Pencarian

Kumpulan Cerpen 5

Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi Bagian 5


Seaneh apa pun ayah memberi nama, yang ia hadiahkan adalah segunung cinta. Aku saja yang terlambat melihat.***
11 Mei 2006 padusi = perempuan
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah = adat bersendi syariat (Islam), syariat bersendi Kitab Allah.
Arah Angin Cerpen: Kurnia Effendi M. Iksaka Banu Sumber: Koran Tempo, Edisi 11/09/2003 Catatan: Cerpen ini ditulis bersama M. Iksaka Banu Buitenzorg, suatu hari 1817
SATU dari tiga kaca tebal di atas koridor mengantarkan segaris cahaya matahari yang jatuh ke ujung lorong. Persis di muka kafetaria. Mengambil tempat di lantai dan sepertiga dinding gang. Agak melengkung dan menyerong, serupa layar kapal jung Cina. Di situlah langkah Sarip terhenti.
Sudah belasan kali ia menyusuri lorong ini. Mungkin sudah belasan kali pula ia melihat benda itu. Tetapi baru kali ini nalurinya terpanggil. Entah karena suasana hati, atau kitab riwayat hidup memang sengaja memberinya peluang itu. Ia berdiri menjaga jarak pandang, melipat tangannya ke depan dada, mengamati.
Di hadapannya, di sudut tembok, tepat di tengah bagian yang terkena cahaya matahari, dipaku pada sebatang baja, sebuah kerangka utuh dari seekor kuda Arab berdiri tegak menjulang dengan dua kaki depannya terangkat ke atas seperti seorang balerina yang sedang bersiap melakukan pas de-deux.
Sarip tahu apa yang akan dilakukannya. Panggilan itu semakin kuat.
Di kafetaria, ketika Sarip masuk, para meneer sedang menikmati sherry dan amontillado sebagai minuman pembuka. Itu berarti masih sekitar satu jam sebelum mereka kembali bekerja. Ia makan sedikit roti bawang dan secangkir teh pahit, lalu minta izin kepada Tuan Payen untuk kembali ke studio.
Sebentar kemudian ia sudah duduk tiga meter di depan kerangka kuda itu membelakangi kafetaria. Di tangannya, sehelai kertas gambar dan pensil arang yang sudah diserut. Lalu jarinya mulai bergerak, mengikuti rangkaian fragmen yang dituturkan secara surut balik oleh ingatannya tentang istal kuda milik Paman Kanjeng Bupati di Terboyo. Semakin lama gerak jarinya semakin cepat.
Kuda Paman Kanjeng Bupati ada sepuluh ekor. Enam di antaranya adalah kuda beban. Semua berasal dari Sumbawa, kecuali si Pasopati, kuda Austria kesayangan beliau, hadiah dari Tuan Baron van der Capellen.
Sarip sering pergi ke istal sore hari melihat kuda-kuda itu dimandikan dan digosok dengan sikat halus yang punggungnya memiliki pegangan melintang seperti sebuah sarung tangan.
Sekali ia pernah mencoba menggambar hewan-hewan tersebut, tetapi mereka sungguh tidak mau diam. Apalagi si Pasopati. Ia hanya tunduk kepada Paman Kanjeng.
Untuk bisa membelai tubuh si Pasopati, Paman Kanjeng dengan sabar akan menolong menahan tali kekangnya dengan kedua belah tangan. Sambil mengelus tulang hidungnya penuh kasih sayang, mata Paman menatap tegas dan dalam ke mata si Pasopati. Supaya dia tahu siapa majikannya, demikian Paman Kanjeng percaya.
Setelah si Pasopati tenang, Sarip yang ketika itu berumur enam tahun, dengan bantuan kursi tinggi yang dipegang oleh Ki Sapar, boleh naik ke atas punggungnya yang tak berpelana. Di situ ia menelungkup, mengelus leher, kemudian bahu kuda itu. Merasakan dengan telapak tangannya yang kecil bagaimana jaringan otot deltoid di lingkar leher, serta trapezius yang berpiuh-piuh di bahu itu bergerak-gerak oleh rangsangan setiap tekanan jarinya.
Lantas ia minta diturunkan dari punggung untuk meraba bagian bawah. Pelan-pelan tangannya menelusur lagi. Ke dada, menemukan ceruk sternum, berputar sedikit ke arah punggung, dan berhenti di latissimus dorsi, sekitar rusuk dan pangkal kaki depan. Meski tampak rata, pangkal kekuatan kaki kuda ini sesungguhnya terdiri dari tiga bungkil besar otot pipih yang diikat jalin-menjalin seperti keranjang rotan. Sarip masih cukup hafal bentuk tonjolan dan jalinan itu, walaupun pada waktu itu si Pasopati tidak berdiri dengan kedua kaki depan diangkat.
"Ia membuat kerangka itu meringkik dan menyepak." Suara itu mengejutkan Sarip. Ia memutar badannya.
Tuan Lars Hoofman, si bendahara biro dan Tuan Payen berdiri di belakangnya, tersenyum lebar. Tidak. Ia tidak salah lihat, Tuan Payen memang tersenyum lebar kepadanya. Merasa kurang santun, Sarip bergegas bangkit, tetapi Tuan Payen dengan kedua tangannya memberi isyarat untuk tetap duduk.
"Cobalah biasakan mengarsir satu arah saja, Nak." Tuan Payen menyalakan pipa rokoknya, "Dan jangan lupa, cahaya matahari datang dari kiri atas. Tutuplah bagian leher di kanan bawah itu dengan arsiran yang lebih tebal. Anggap saja ia seekor kuda hitam!"
"Saya, Tuan." Sarip menahan luapan gembira yang terasa berdesakan di dadanya. Sesungguhnya ia ingin bersorak.
Delapan tahun kemudian, ia dapat merasakan kembali gejolak yang sama ketika Tuan Antoine Auguste Joseph Payen, pelukis yang bekerja pada Komisi Ilmu-ilmu Alam itu, memintanya berkemas untuk ikut tur keliling Jawa menjadi eerste onderwijzer. Ketika itu Tegalrejo sudah dibumihanguskan Kompeni.
Pangeran Diponegoro, bersama Mangkubumi melarikan diri, menghimpun kekuatan di Selarong. Lalu bersama Kyai Modjo dan ketiga panglimanya yang gagah berani, mengawali perang yang paling lama dan paling berdarah di Jawa.
Waktu itu usia Sarip 18 tahun. Ia juga telah melepaskan panggilan kecilnya dan menggunakan namanya setara dengan kedewasaannya, menjadi Raden Saleh Syarif Bustaman.
*** Menoreh, Oktober 1829. Cuaca dingin dan basah. Di kaki pegunungan antara sungai Progo dan Bogowonto, sudah tiga hari terdengar lolong anjing hutan, silih-berganti dengan ratap kedasih. Semua segera waspada. Itulah jam-jam ketika syak wasangka disertai pikiran jahat melayang bersama teluh, malapetaka dan pengkhianatan.
Di gubuk-gubuk sederhana sepanjang Selarong, Trucuk, Sambiroto, Pengasih, Siluk, Pincuk, serta desadesa lain di kaki pegunungan Menoreh, anak-anak kecil dan para gadis muda berangkat tidur lebih awal. Ibu mereka, istri para prajurit yang ikut dalam pasukan Diponegoro, telah lama berpuasa untuk kejayaan, dan kesetiaan suami-suami mereka. Larut malam, di bawah lampu minyak kelapa, para sesepuh dengan cemas mengajak semua melihat kembali isyarat nasib yang barangkali tersirat dalam neptu-primbon atau cerita turuntemurun tentang Babad Tanah Djawi. Betapa pun, tampaknya satu hal semakin pasti, arah angin memang sedang berubah.
Pada ujung jarak yang lain, tempat asal berita itu ditiupkan, di tenda-tenda prajurit di hutan Kelir, di sekeliling api unggun jaga malam, masih juga peristiwa menyakitkan itu dibisikkan bersama rasa benci dan heran: Tiga hari yang lalu, Basah Sentot Prawirodirjo, panglima asal Madiun yang memiliki naluri perang paling tajam itu telah berkhianat. Ia menerima tawaran menjadi opsir kavaleri Kompeni. Kabarnya Jenderal De Kock sendiri yang menyambut kedatangannya dengan upacara kebesaran militer.
Gubernur Jenderal Du Bus, atasan sekaligus saingan politik De Kock, merasa keberatan dengan keputusan itu. Anugerah jabatan bagi para bekas pemberontak kedengaran aneh dan kurang masuk akal. Lupakah De Kock bahwa belum lama ini mereka telah menjagal 7500 marsose dan 5000 perwira Kompeni"
Tapi tampaknya De Kock sengaja menutup kuping. Baginya, memecah-belah kekuatan Diponegoro dengan bujuk-rayu kekayaan yang menggiurkan, adalah jalan yang seharusnya ditempuh.
Hadiah dan penghormatan sebagai opsir bukan barang baru. Setiap prajurit Jawa mengetahui muslihat ini. Beberapa waktu yang lalu juga tersiar imbalan seribu gulden untuk kepala Diponegoro. Semua tahu itu. Masalahnya hanya soal keteguhan dan kesetiaan. Tetapi mengapa harus Panglima Sentot yang tergiur"
Api unggun jaga malam semakin mengecil. Sambil merapatkan jubah, seorang tamtama Bulkijo mengajak semuanya melupakan peristiwa itu. Untuk apa resah" Lihatlah, Pangeran sendiri tampak begitu tabah dan tawakal.
Pembelotan Sentot memang telah menancapkan panah kepedihan di dada setiap prajurit Diponegoro. Seperti sedang mencium mulut ngarai, jalan menurun yang licin, rasa letih oleh kekalahan beruntun, membuat mereka setengah tak berdaya. Sampai akhirnya tempat berlindung terasa menyempit sewaktu Kompeni berhasil menggiring anak buah Diponegoro ke sebuah daerah di antara sungai Progo dan Bogowonto, kemudian menjepitnya di situ. Tanpa kiriman makanan dan senjata. Hubungan dengan desa lain pun tersumbat. Setiap hari lingkaran kepungan semakin mencekik.
Pangeran Ngabehi, paman Diponegoro, beserta dua putra kesayangannya yang berkeras menawarkan diri memimpin pasukan untuk membuka jalan, tewas dalam pertempuran keras di sekitar Temon. Diponegoro yang belum sembuh betul dari sakit pun nyaris tertangkap dalam perjalanan menuju Panjer.
Satu per satu para pembesar pengikutnya mulai kelelahan dan pamit meninggalkannya. Termasuk juga Mangkubumi yang sudah tua dan sakit-sakitan. Di desa Laban, Diponegoro kembali jatuh sakit.
Berita tersudutnya pasukan Jawa hadir hampir setiap hari, memenuhi barak-barak opsir, ruang rapat perwira, serta meja makan para jenderal Kompeni di Jogjakarta, Surabaya dan Batavia. Mereka bangga setiap kali berhasil mendirikan benteng kecil di setiap daerah yang berhasil direbut dari pasukan Jawa.
Para jenderal menjadi terbiasa membuka santap malam dengan toast untuk masa depan Hindia Belanda yang lebih cerah. Ditambah beberapa bualan congkak tentang aksi mereka di medan perang yang lebih terhormat di Eropa semacam Prusia atau Waterloo. Nama Napoleon seringkali dipinjam tanpa beban.
Di kelab-kelab pertemuan perwira lainnya, lulusan muda yang belum pernah ikut berperang menyanyikan waltz, meneguk brendi dan makan panggang menjangan sambil menyumpahi kebodohan dan kelambatan berpikir senior-senior mereka.
Di pojok ruangan yang sama, para veteran mengucilkan diri dalam jaket malam mereka yang longgar, menutupi bekas cacat perang. Mereka bercakap antar sesamanya dengan lirih, minum sedikit bir, serta berdoa semoga pemuda-pemuda itu lekas dikirim ke medan laga. Agar merasakan ciutnya nyali tersambar gelimang cahaya pedang pasukan Jawa.
Para veteran itu telah melewati hari-hari pahit mereka, ketika ratusan laskar telanjang kaki tiba-tiba muncul dari balik semak. Memotong konvoi. Membunuh seratus orang dalam serangan selama satu jam, kemudian lenyap tanpa bekas.
Pada pertempuran semacam ini, bedil maupun meriam jarak jauh buatan Bronbeek yang biasanya menjadi kunci kemenangan samasekali tak ada gunanya. Orang-orang gila itu bergerak terlalu cepat dan tidak pernah punya kedudukan tetap untuk menjadi sasaran bidik.
Namun kini mereka boleh bernapas lega. Jam pasir telah dibalik. Detik kemenangan boleh mulai dihitung. Dan mereka akan menikmati semua ini dengan penuh rasa syukur karena maut telah ditundukkan.
Di desa-desa sepanjang sungai Progo dan Bogowonto, tiada lagi lolong anjing hutan atau tangisan burung kedasih semenjak itu. Namun bila malam tiba, ketika hening mencapai puncak, penduduk mendengar sayup-sayup beberapa bait tembang dandanggula. Dibawakan dengan tenang, berat dan berwibawa. Sebuah ajakan untuk merapatkan barisan. Mereka tahu dari mana tembang itu berasal, tetapi mereka bersedia menukar nyawa untuk merahasiakan nama pemilik suaranya. ***
Lautan India, Oktober 1829
Pada saat yang sama, terpaut enam jam limabelas menit dalam skala waktu internasional dan tujuh ribu mil dari desa Laban, sebuah kapal penumpang berbendera Belanda dengan lima tiang layar, mengangkat sauh dari perhentian lima hari mereka di Calcutta. Tujuan akhir: Rotterdam, pelabuhan paling sibuk di Eropa.
Perjalanan sangat lancar. Seorang peranakan Belanda- Afrika dengan bekas luka panjang di pipi kiri sebagai kapten kapal, tak suka membual sambil mabuk seperti umumnya pelaut kawakan. Namun dibukanya sebotol rum ketika didengarnya berita bahwa laskar Jawa telah mengendurkan perlawanan dan bersedia berunding. Bisnis akan kembali normal, ia berseru kepada syahbandar ketika kapal mulai bertolak.
Di kabin penumpang kelas satu, seorang lelaki Jawa berusia 22 tahun yang sejak tadi duduk di tepi dipan mendengar pula berita itu. Matanya menatap laut dari jendela
kabin yang berkisi-kisi. Angin laut membuat rambutnya yang panjang sebahu berkibar seperti bendera Belanda. Pandangannya kosong, tetapi jejak kecerdasan dan semangat hidup yang besar terpancar jelas di situ.
Ketika ia berdiri untuk mengambil ikat kepala, map di atas pangkuannya terjatuh. Isinya berhamburan. Yang pertama dipungut untuk dimasukkan kembali adalah sebuah surat identitas diri dari J.C. Baud, Menteri Jajahan, yang menerangkan sedikit banyak silsilah keluarganya.
Pada silsilah itu diterangkan bahwa buyutnya, Kyai Ngabehi Kertoboso Bustam, telah memperlihatkan kesetiaan kepada Gupermen ketika Pemberontakan Tionghoa meletus di Surakarta seratus tahun yang lalu. Ia tidak menyeberang kepada Susuhunan Surakarta untuk bergabung dengan pemberontak Tionghoa, sementara bangsawan lain banyak yang berbuat sebaliknya.
Meski pada masa sekarang kedudukan pemuda itu terhitung tak ternoda, ia sadar beberapa persoalan bisa tetap muncul dari silsilah ini. Sulit diingkari bahwa nama pamannya, Kanjeng Bupati Terboyo, Raden Aryo Adipati Sosrohadimenggolo, terlanjur cemar. Ketika api perlawanan Diponegoro merembet sampai Semarang, pamannya telah membentuk pasukan, tetapi gerakan itu lekas tercium oleh mata-mata Kompeni. Ia ditangkap dan diasingkan.
Raden Saleh Syarif Bustaman, pemuda itu, kembali duduk di dipan. Alangkah sulitnya meletakkan kata "aku" akhir-akhir ini. Siapakah "aku?" Apakah "aku" harus ikut toast nanti siang di meja makan bersama Tuan Inspektur Keuangan De Linge, atau merenung di sini, mereka-reka sedang berbuat apa Pamanda tercinta di pengasingan"
Tawaran untuk mengunjungi Belanda ini begitu langka. Hanya tikus dan orang idiot yang akan menolaknya. Ia punya hak yang sah untuk itu. Gubernur Jenderal sendiri telah merestuinya. Meski pada umumnya keluarga bangsawan punya kedekatan hubungan dengan Belanda, tidak semua anak bangsawan bisa membuktikan kecakapan seperti dirinya. Ia tahu ilmu ukur, fasih berbahasa Melayu, Inggris dan Belanda. Pandai menulis Latin, serta faham hampir semua adat istiadat Melayu, seperti yang diakui oleh Inspektur De Linge.
Sesuai persetujuan, selama pelayaran ini, juga di Belanda kelak, ia akan membantu Tuan De Linge menerjemahkan dan menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra Jawa dan Melayu. Sebagai gantinya, selama beberapa bulan ia akan beroleh kesempatan pesiar ke pelbagai museum seni dan sanggar para pelukis terkenal di sana.
Lonceng kapal berdentang duabelas kali. Seorang jongos dari Champa bermata sipit, mengetuk pintu kabin, mengatakan dalam bahasa Melayu yang buruk bahwa waktu makan siang telah tiba.
Di atas dek, di jalan menuju ruang makan, ia berjumpa dengan Tuan De Linge. Belanda itu mengucapkan salam dan menepuk bahunya dengan akrab.
Di meja makan, bersama duabelas penumpang terhormat lainnya, hidangan pengantar mulai disajikan: sup asparagus berbumbu pedas, disuap denganrye, roti Yahudi yang diiris kecil-kecil. Bagi yang tidak suka bumbu pedas, disediakan sup kepiting. Minumannya anggur putih yang diimpor dari Bologna.
Setelah toast, hidangan utama dikeluarkan: panggang lembu muda dengan saus tiram ditambah olahan daun kemangi dan kentang yang digiling lembut. Sebagai hidangan sampingan, disediakan pula irisan daging bebek yang disajikan dalam semangkuk bubur jagung asammanis. Untuk penutup, segelas shorbet dan semangkuk kecil irisan pepaya yang disiram dengan gula dan agaragar.
Selesai bersantap, kopi dituangkan ke dalam cangkir keramik, diedarkan bersama brendi dan pipa tembakau.
Sambil menyatakan dukungan untuk jurumasak atas lezatnya santapan, seorang bangsawan berkisah tentang rombongan konser musiknya yang belum lama ini melawat ke istana Buckingham untuk bermain di hadapan Yang Mulia Raja George IV, penguasa Britania Raja, dan keponakannya, puteri Victoria. Semua orang bisa mendengar, ada tekanan khusus pada kata istana dan Raja , tetapi tak ada seorang pun yang merasa keberatan dengan keangkuhan itu.
Di ujung meja, seorang hertog dari Salzburg bertubuh tambun bahkan menimpali dengan bualan lain tentang kemungkinan penanaman modal pada pembuatan kereta uap yang baru-baru ini diperagakan di Newcastle untuk melayani tambang batubara dalam jumlah besar.
Raden Saleh mengamati. Tak banyak percakapan tentang perang Jawa. Untuk bangsawan-bangsawan ini, politik memang tidak perlu dibicarakan secara mendalam. Mereka adalah manusia setengah dewa, yang hadir karena takdir, aliran darah dan keagungan moyang mereka. Kebanyakan dari mereka adalah para bebal manja dengan otak yang tidak lebih besar dari buah jeruk. Tetapi di antara mereka adalah segelintir cerdik-pandai di bidang kesenian dan kesusasteraan yang cukup termasyur. Dan, tentu, pantas dikenang.
Raden Saleh menghirup kopinya. Ia tahu pilihannya. ***
(Fragmen ini merupakan nukilan dari cerita yang lebih luas Banu & Kef)
Kincir Api Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/13/2003
HAMPIR setiap malam, Damar memperhatikan langit yang bertabur bintang. Hampir setiap malam, kecuali ketika turun hujan. Ia merasa banyak belajar dari makhluk yang berkelap-kelip itu. Makhluk yang berbeda dengan kunang-kunang, karena tak memiliki sayap dan bergerak amat perlahan pada lintasan yang telah ditentukan. Entah oleh siapa. Garis edar yang panjang itu, melengkung jauh, menghilang ditelan fajar.
Mulanya ia hanya membutuhkan gemintang sebagai teman melamun, setelah seluruh pekerjaannya dituntaskan. Ia akan tiduran di rumput, berbantal kedua tangan yang dilipat, matanya menatap jauh ke atas. Seolah ada berlapis-lapis selimut transparan yang disingkap. Sampai akhirnya mendapatkan sebuah kejora. Atau bintang timur. Atau sekumpulan rasi, entah apa namanya. Bentuknya kadang seperti rangka layang-layang. Seperti seekor kuda laut. Seperti bagan sebuah rumah. Seperti penari bersayap yang meliuk...
Damar merasa sangat bahagia setelah berjam-jam menatap bintang. Dari cahayanya yang samar, seolah ada energi yang lurus menukik ke matanya. Memasuki retina, merambat ke serabut halus dalam manik matanya. Sesudah cahaya itu mengalir dan membasahi kedua lensa matanya dengan cairan yang berkilat-kilat, ia akan merasa mengantuk. Biasanya ia segera bangkit dari telentang, berjalan ke rumah kecilnya, dan tidur dengan nyaman.
Biasanya, ketika Damar pulang, kemudian berbaring di kasur lapuknya, kamarnya menjadi benderang. Ia tak pernah menyadari sepenuhnya, tidak pernah menyaksikan. Karena matanya terpejam, lenyap terlelap. Sementara ayah atau ibunya merasa terusik oleh sinar yang entah datang dari mana. Mereka tak melihat sumber cahaya, selain anaknya yang tergolek pulas. Ada kecurigaan mereka, bahwa cahaya itu terbit dari kulit anaknya yang sesungguhnya coklat legam. Namun mereka tak merasa silau memandang tubuh anaknya.
Damar akan terbangun saat ayam berkokok di remang pagi. Ia bukan anak pemalas. Terbukti dari gerakannya yang cekatan, turun dari tempat tidur, dan melangkah cepat ke belakang rumah. Ia mulai melakukan kegiatannya yang paling dini: mengisi bak mandi dengan air sumur menggunakan timba yang dikerek dengan roda katrol. Terdengar perih, derit roda besi karatan yang berputar pada sumbu. Mirip jerit perempuan yang teraniaya. Tetapi itu sudah terlalu biasa berkumandang, membelah sunyi subuh. Maka mulailah suhu tubuhnya menghangat, bintik keringat mengembun di kening dan leher.
Setelah bak air penuh, Damar akan mengipas dadanya yang telanjang. Peluhnya membasahi tubuh, segera dihembus angin pagi. Tak lupa ia tengadahkan kepala, memandang ke langit yang mulai disambar cahaya awal dinihari. Dicarinya titik bintang terakhir sebelum pudar oleh nyala matahari. Ketika ditemukan pijar kemilau hampir di ujung baratdaya, matanya melebar. Damar seolah bisa bercakap-cakap dengan bintang. Seperti dua orang sahabat. Seperti sedang saling mencurahkan kerinduan.
Bermalam-malam seperti itu, membuat Damar ingin tahu lebih banyak tentang serbuk emas yang berserak di langit hitam. Dan setiap subuh selalu ada percakapan tanpa suara yang menggugah keinginannya untuk bisa terbang ke angkasa. Perasaan itu terbawa ke dalam mimpi dan melahirkan keputusan bagi Damar untuk berdoa meminta sepasang sayap. Permintaannya yang mustahil itu membuatnya terbangun mendadak. Damar merasa lebih kaget karena memergoki kedua orangtuanya sedang berada di kamarnya.
"Ada apa" Apakah aku mengigau?" tanya Damar. Cemas jika permintaannya terucap lewat mulutnya, dan boleh jadi ibunya akan menganggapnya gila.
Ibu dan ayahnya saling memandang. Sudah waktunya berkata jujur, bahwa setiap malam kamar anaknya tampak benderang. Tapi bagaimana cara menyampaikannya agar serta-merta dipercaya" Karena begitu Damar terjaga, cahaya itu sirna, dan kamar kembali suram seperti sediakala.
"Apakah aku mengigau?" Damar bangkit duduk. Suaranya serak oleh mimpi yang tertahan di kerongkongan. Tangannya mengusap mata, mencoba menatap lebih tajam ke arah dua sosok yang masih termangu.
"Begini, Damar& " akhirnya ayahnya mengambil inisiatif. "Kebetulan saja kami terbangun dan khawatir kamu kedinginan. Mana selimutnya tadi, Bu?"
Dengan agak gugup, ibunya mengangsurkan selimut yang kebetulan ikut terseret bersama langkahnya. "Pakailah, Damar. Dan tidurlah kembali."
Damar mengangguk karena memang masih mengantuk. Lebih dari itu, betapa ia ingin melanjutkan mimpinya yang terpotong. Ia benar-benar sedang merindukan sepasang sayap. Tapi ia juga berusaha agar pada bola matanya tidak nampak bayang-bayang hasratnya, dan tercuri oleh tatapan ibunya. Ia paling cemas terhadap tatapan sang ibu. Tatapan yang sanggup membongkar seluruh isi hatinya.
HAMPIR setiap malam ayahnya terjaga oleh nyala terang di kamar anaknya. Yang dimaksud kamar adalah bilik dari anyaman bambu yang ditegakkan di atas dinding bata setinggi hampir satu meter, dan berpuncak susunan usuk, reng, dan genteng rapuh.
Dan setiap kali ia nglilir dengan mata terpicing silau oleh garis cahaya sempit yang memantul ke arah kamarnya, ia mengusik isterinya. "Kita lihat anak kita," lalu mereka berdua bersijingkat, menghampiri bilik Damar yang tak pernah bisa menutup sempurna karena engselnya lepas. "Dari mana cahaya itu?"
Isterinya menggeleng. Antara kantuk dan takjub. Berulang-hari. Sampai akhirnya ia berpikir, untuk apa dipertanyakan" Seingatnya, waktu isterinya melahirkan Damar, tidak ada yang istimewa. Ujung pusarnya putus setelah sepekan kelahirannya. Damar tengkurap pada usia menjelang tiga bulan. Tapi kemudian ia terperanjat oleh kelebatan ingatan yang betul-betul ingin dilupakan!
"Hei, pencuri!" Rasanya hardikan itu yang terlontar dari mulutnya, sewaktu pada sunyi malam memergoki bayangan putih mendekati tilam bayinya.
Isterinya sedang demam tinggi, oleh karenanya meringkuk di balik selimut, dengan gemuruh nafasnya sendiri.
Ia melompat dalam keadaan terperanjat. Jantungnya berdesir memandang sosok yang ganjil. Boleh jadi, sepasang matanya masih berada pada batas kantuk dan jaga. Boleh jadi, pendengarannya pun terganggu oleh dua macam suara: erang isterinya dan tangis bayi. Lalu dalam sekian detik ia sanggup mengumpulkan suara yang didengar sebelumnya, orok Damar melengking lantaran lapar. Sementara ia sedang mengompres dahi isterinya dengan mata setengah terpejam.
Ia merasa telah berada di sisi tempat tidur Damar ketika kelebat tubuh itu melayang, melampaui jendela yang tak terkunci dan pergi menghampiri gemintang. Sulit dipercaya, dalam setengah pandangan, ia seperti memergoki seorang perempuan dalam bentuk siluet menyusui seorang bayi. Ia juga melihat ada kibaran halus sepasang sayap, atau sekadar gaun, atau semacam selendang yang ringan melambai&
"Pencuri!" teriaknya di ambang jendela. Tapi apa yang tercuri" Semerbak wangi yang tertinggal menandai kehadiran orang lain. Seseorang, atau sesuatu" Hanya bidadari yang dikenal memiliki sayap, selain burung dan pesawat terbang. Tapi, ia kemudian melihat Damar mungil tidur dalam senyum yang tenang. Di ujung katup bibirnya yang memerah, masih terdapat noda air susu. Lembab dan lengket.
Haruskah ini diceritakan kepada isterinya" Malam itu, ia menjadi bimbang bukan main. Dan bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan berita mustahil kepada seorang yang sedang giat menggigil. Ia hanya berbisik sendiri, sebelum bermaksud melupakannya: "Seorang bidadari telah menyusui Damar, ketika ia menangis kelaparan." *
HAMPIR usia sebelas tahun, ketika Damar mulai memelihara sepasang angsa. Ia begitu tekun memberi makan, setelah mengeluarkan mereka dari kandang, seiring ia berjalan ke arah perigi. Setiap petang ia memandikan dengan air sungai, lalu memasukkan mereka ke bilik bambu. Tempat yang nyaris sama dengan kamarnya sendiri. Dibuatkan jendela pada rumah angsa itu, agar mereka dapat menyaksikan kerlip beribu bintang dari tempat tinggalnya.
Dengan demikian, Damar bisa telentang di sisi kandang, bersama dengan angsa-angsa itu memandang langit, dengan tatapan rindu kepada bintang-bintang. Adakah ia memang mengharapkan bintang-bintang itu turun merendah dan mengecup keningnya" Ia sendiri tidak tahu. Impiannya untuk memiliki sayap semakin kuat. Harapannya, jika sepasang angsa itu sudah benar-benar dewasa, akan dipinjamnya berpuluh bilah bulu itu untuk dijalin menjadi sepasang sayap. "Kurasa ibu mau membantu menjahitkannya di kedua bahuku."
Namun ada hal yang kemudian membuat Damar berubah pikiran. Ia merasa bintang-bintang itu berasal dari bola api yang dilemparkan seseorang dari sebuah tempat. Ia selalu curiga terhadap cakrawala kelam yang membentang di bawah perbukitan tempatnya bermukim. Di dasar lembah itu mungkin ada seseorng yang begitu kuat, berdiri sembunyi, dan dengan senyum akal-bulus membuat bola api dan dengan tangannya yang kuat melempar satu per satu ke langit. Maka malamnya ia bermimpi mirip seperti perkiraannya: bintang-bintang itu bergerak dari sebuah kedalaman di lepas pandangan mata. Meluncur seperti mercon kembang api sebelum pecah di udara. Sebelum akhirnya tenang berlayar di latar kelam langit.
"Aku akan mencari sumbernya," begitu ujarnya sesaat setelah terjaga dari mimpi. Ayah dan ibunya surut ke balik pintu, sesaat setelah benderang di bilik Damar padam.
"Selama ini," bisik ayahnya. "Kami pun mencari sumbernya. Sumber cahaya dalam kamarmu."
Pagi-pagi sekali, sehabis melepas angsa-angsa ke kebun, Damar pamit kepada orangtuanya. Segala alasan telah disiapkan agar orangtuanya mengijinkan. Namun di luar dugaan, ayah dan ibunya memberi restu, bahkan membawakannya bekal makanan untuk sebuah perjalanan yang diperkirakan sangat jauh. Damar terpana, dan tibatiba terharu. Dipeluknya ibu dan ayahnya demikian kuat. Ia sesenggukan di dada ibunya. Samar-samar ia mencium aroma yang sangat lama pernah diciumnya. Harum kulit payudara dan air susu. Jauh sekali, seperti direndam dalam genangan waktu yang tak terjangkau.
Akhirnya Damar melangkah menjauh dari rumahnya menuju lembah. Sepanjang perjalanan ia tak merasa lelah, sepasang kakinya yang kecil sudah sekuat pengembara. Ia pun ternyata tak merasa haus sampai rembang petang yang ditunggunya tiba. Harapannya, sehabis bergundukgunduk bukit dituruni, akan segera sampai ke suatu tempat kelahiran bintang. Maka betapa gemerlap sinar matanya memandang sesuatu yang semula tampak samar kemudian semakin jelas di seberang langkahnya.
Warna malam membuat segala yang menyala tampak lebih baik dibanding bentuk-bentuk lainnya. Seperti cahaya fosfor di kegelapan. Dan itu membuatnya terhenti, berdiri takjub, hampir tidak mengira. Di bawah sana tak ada seorang pun manusia. Tapi ia melihat sebuah jentera yang berputar. Dari setiap gayung yang bergantung di keliling batang melingkar, menciduk cairan menyala dalam sebuah kolam yang terang gemilang. Dari gayung yang hampir mencapai puncak putaran, terlontar bola warna emas itu ke langit.
"Kincir api!" seru Damar terpesona.
"Kincir api?" seru ayahnya heran. "Apa maksudmu Damar?"
Damar tergeragap dan melompat dari mimpinya. Ia memandang ayahnya yang tegak di ambang pintu kamarnya. Warna suram membasuh dinding kamar, di luar malam masih matang, mungkin hanya percik bintang bertabur di langit.
"Kamu mimpi?" tanya ayahnya. Mungkin, pikirnya, sudah waktunya untuk saling berterus terang.
"Ya, ayah." Damar turun dari tempat tidur. Memeluk ayahnya. "Di mana ibu?"
Ayahnya membelai kepala. Berusaha menenangkan Damar. Dibiarkan anak lelakinya mendengar degup jantung riuh di dadanya. "Kamu mimpi apa?"
"Di mana ibu?" tanya Damar kembali. "Apa yang sebenarnya terjadi denganku, ayah?"
Hampir ayahnya mengatakan: "Mungkin kamu anak bidadari. Mungkin kamu titisan makhluk bercahaya, bintang-gemintang. Mungkin ibumu keturunan jauh dari makhluk bersayap itu. Mungkin rajutan pikiran dalam kepalamu tidak sama dengan sel-sel otak manusia pada umumnya. Mungkin segala yang kamu lihat di luar kenyataan, membuat segalanya tampak luar biasa. Aku tak pernah tahu apa yang kamu maksud dengan kincir api& " Tapi mulutnya seperti terkunci.
Mungkin kini saatnya saling berterus terang. Tapi ia sangat ragu-ragu. Apalagi ketika menjelang tengah malam ia membiarkan isterinya melayang dengan kibaran mirip sayap melampaui jendela, ke arah langit. Benar, mungkin kini saatnya saling berterus terang.
*** Jakarta, 16 Mei 2003 Sepanjang Braga Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/08/2001 PERASAANKU dibungkus kesunyian luar biasa. Dua jam termangu dalam kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat minyak. Ada jendela terbuka ke arah sungai, tempat mengalir udara segar. Termasuk suara belalang dan kerisik bunga rumput. Hanya pada bidang itu, aku tak bisa melukis apa pun. Di seberangnya terdapat langit, yang mudah berubah rona. Hijau daun, merah senja, atau sesekali lintasan burung. Tapi sejak pameran terakhir, jendela itu belum menyumbangkan kegairahan.
Apakah harus menyesal, ketika mendapatkanmu di ruang pameran" Mula-mula yang kulihat adalah punggungmu. Engkau memandang lukisan yang mungkin menyemburkan sejumlah episode masa lalu, tentang hubungan kita yang lebih banyak melalui surat. Separuh dari kenangan itu masih tersimpan, untuk sewaktu-waktu kubaca ulang. Sebagian yang lain menjadi lukisan dalam berbagai ukuran.
"Aku senang kamu sempat datang,"
Kamu menoleh dan memandang dengan rasa bersalah. Seakan-akan perlu undangan resmi, dan ditegur karena berada di tempat yang " barangkali " mustahil.
Galeri Soemardja memang kecil. Dalam sekejap bisa kulihat semua yang hadir hanya dengan memutar kepala. Mereka bukan orang asing. Beberapa dosen, mahasiswa senirupa, dan kawan-kawan yang selama ini demikian dekat. Sehingga tentu segera kukenali dirimu, bahkan hanya dengan hembusan parfummu. Sesuatu yang tak berubah sejak bertemu muka, sekitar lima atau enam tahun lalu.
"Kau memang tidak mengundangku," katamu, tidak tampak kaget. Kita bergenggaman tangan. Berjuta bingkai diorama berputar. Gambar yang meloncat-loncat. Sejak Braga Permai, Concurrent Jewelery, Kafe Datumuseng, Pantai Losari, Somba Opu, sampai Benteng Fort Rotterdam"
"Padahal, ini hampir semua tentang kamu." Engkau menghela nafas panjang. "Aku tahu. Tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat buatku." Kamu seperti ingin menghindar. Mengkhawatirkan sesuatu. Aku pun merasa tak bisa berbuat banyak, meski segera kutangkap tanganmu.
"Kita harus merayakan pertemuan?"
"Maaf, Mas, ini pasti di luar perkiraanmu. Mungkin lebih baik?"
"Please," kuperkeras genggamanku. "Kau bahkan belum memberitahu kapan datang dan di mana menginap."
Beberapa kawan muncul silih-berganti, menjabat tangan, mengucapkan selamat. Ini memang hari pertama pameran "Sepanjang Braga" dibuka. Tema yang seharusnya kukonfirmasi kepadamu. Tapi aku bimbang. Hal-hal yang menyangkut perempuan lain bisa jadi aneh dan mengerikan untuk dibahas. Apalagi tentang pelukis dan pecinta lukisan. Aku hampir tak membicarakan dengan isteriku. Padahal perasaanku santai saja jika sesekali kugambar model perempuan telanjang di studio. "Sepanjang Braga," kau bergumam begitu aku terbebas dari kawan-kawan. Kilatan cahaya blitz kadangkadang melampaui kepala kita. Seperti benderang lampu petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin terlihat kembang api jingga setiap kita bicara. Karena yang terlompat dari mulut, meski terdengar seperti perdebatan, adalah upaya saling menggosok batu api. Sejak itu, setelah komunikasi terdiri atas berlembar-lembar surat, tumbuh perasaan saling menyayangi.
"Aku akan datang ke tempatmu, apakah nanti malam punya waktu?"
Kau tersenyum. Seperti menyindir. Tapi juga menyiratkan kebijaksanaan. "Seharusnya aku yang tanya, apakah kau punya waktu" Kau tahu, aku belum terikat siapa pun. Setidaknya sampai hari ini. Tapi, it"s okay, kau bisa telepon dulu. Aku menginap dekat Dago Tea House." Kau memberiku sebuah kartu nama guest house.
Sejak kutulis tentang Chiara, dulu, muncul nuansa lain dalam hubungan kita. Aku merasa: ada seseorang yang juga dekat denganmu. Meskipun tidak kauceritakan, kecuali ketika putus menjelang tunangan, justru setelah aku menikah.
"Aku jatuh hati sejak pandangan pertama," demikian suratku. "Ia seorang pembaca puisi, pasti memiliki apresiasi yang kuat tentang seni. Beberapa kali kukirimi sketsa, tapi tidak tahu apakah dipasang di kamarnya?"
Waktu ngoceh seperti itu, aku lupa, bagaimana perasaanmu" Seolah-olah engkau ibuku. Terlebih ketika nada suratmu biasa-biasa saja. Bahkan mendorong untuk meraih setiap harapan. "Memang sudah waktunya, Mas. Kudoakan semoga berhasil. Aku yakin, dia pasti cantik." Cantik memang relatif, seperti halnya lukisan.
Kabarku masih terkirim dengan rentang makin panjang. Lantas lama tidak bertukar kabar. Saat itulah aku kembali suka berjalan-jalan di sepanjang Braga. Tidak dengan Chiara. Seringkali justru bersama Acep Zamzam Noor, Diyanto, atau Tia Lesmana dan Soni Farid Maulana. Di tempat itu, juga di tempat lain, aku ingat kau. Ingat pertemuan yang hanya beberapa hari tapi bagai berbulanbulan. Ditemani gerimis, jarum air yang menabur rambut kita, dan cahaya senja yang memantul dari dinding pertokoan Braga. Kita pernah berteduh di Majestic, menertawakan pasangan yang mencuri kesempatan dalam gelap bioskop. Rasanya percakapan kita sangat berbeda. Aku suka marah oleh kritikanmu. Belakangan kusadari, semua itu membentuk kekuatan goresan, karakter yang kini dibicarakan banyak orang.
"Bagaimana kabar Baby?" Pertanyaanmu membuyarkan lamunan.
"Oh, ia mulai sekolah. Kelas bermain."
"Aku masih menyimpan fotonya waktu bayi. Hampir tiga tahun lalu. Betapa bahagianya Chiara. Apakah ia masih sibuk dengan jasa-boganya?"
"Ya, apalagi ini musim menikah. Sementara kau masih sendiri, sejak berpisah dengan pemuda dari bursa effek." Aku mengambil dua cangkir teh. Kita minum sambil berdiri. "Bukan keinginanku. Tapi mudah-mudahan itu yang terakhir."
Terkadang aku kagum padamu, karena tidak serapuh dugaanku. Waktu kau ceritakan patah hati yang pertama, tersirat ungkapan syukur. Sambil menikmati pisang epek di pantai Losari, kita berbagi kisah. Ada semacam keajaiban. Setelah lama saling bersurat, kegiatan budaya mempertemukan kita di Bandung. Catatanmu yang melukai perasaan di buku tamu pameran lukisan, telah memaksaku terbang ke Ujungpandang. Begitu tiba di teras rumahmu, pertanyaan pertama yang muncul adalah: "Bagaimana kabar Braga?"
"Aku sedang menggarap semacam proyek tentang Braga. Rasanya tak akan sempurna tanpa diskusi denganmu."
Kini, seratus lukisan telah selesai. Seperti yang kujanjikan pada diri sendiri. Hanya Chiara dan Baby yang jadi saksi prosesnya. Atau satu-dua kawan dekat. Aku memang mengerjakannya setengah diam-diam.
"Oke, aku pulang dulu," katamu, sambil mengambil selembar katalog dan memasukkan ke dalam saku blazer.
"Tidak mengikuti diskusi" Pak Pirous dan Bang Hardi yang bicara."
Kamu menggeleng. "Aku banyak urusan," tersenyum dan pergi menjauh. "Jangan lupa, telepon dulu."
Kulambaikan tangan, sebelum bergabung dengan peserta diskusi di ruang Bulu Domba. Seorang moderator mendekat, mengkonfirmasi biodata. Sepuluh menit kemudian acara berlangsung, dan baru berakhir pukul dua. Semalam aku hanya tidur sekitar tiga jam. Akumulasi keletihan itu sangat terasa begitu sampai di rumah.
Rupanya aku menyimpang dari perjanjian. Selepas petang kukatakan pada Chiara: seorang wartawan asing ingin berjumpa di Dago Tea House. Aku langsung melaju ke penginapanmu. Di ruang tamu yang temaram, kau main piano sendirian. Baru kali ini, sepanjang kita kenal, kulihat kau mengenakan baju tidur warna pastel.
"Kenapa tidak telepon dulu, Mas?" tanganmu terangkat dari tuts piano.
"Apa bedanya" Toh kau ada di tempat." Aku membanting diri di sofa.
"Kita mau bicara di sini atau di kamar?"
"Apa bedanya" Yang penting isi pembicaraannya, bukan tempatnya."
Tapi sebuah dorongan bawah sadar membawa langkahku ke dalam kamar. Kau hendak ganti baju yang pantas untuk menerima tamu. Namun peristiwa yang berlangsung kemudian berbeda. Sangat berbeda. Sungguh di luar seluruh pikiran-pikiran kita selama ini. Ke mana jalinan persahabatan itu"
Mungkin ini percintaan paling panas. Kita bagai berenang di antara ombak biru, di bawah matahari tropik, dengan angin pesisir yang berarak-arak. Pulau yang ditempuh masih jauh di ujung cakrawala. Timbul-terbenam, diayun buih samudera. Kita memburu dan mengejarnya, ingin meraih. Namun perjalanan bagai tak hendak selesai sampai nyaris tenggelam, dan tiba-tiba kudengar lengking panjang. Kutangkap tanganmu, matamu terpejam dengan kelopak bibir terbuka, tersenyum. Wajahku terasa hangat dan basah kuyup"
Tangis itu terdengar lagi. Tapi bukan dari mulutmu. Suara itu dekat dengan telinga, membuatku terjaga. Aku terperanjat menangkap warna-warni lukisan.
Ya Tuhan, ini mimpi! Tapi wajahku benar-benar basah dan hangat. Dalam keremangan senja, celah jendela memberikan sedikit cahaya. Kulihat Baby terisak dengan mata masih terpejam.
Anakku ngompol! Kucoba mengingat asal-usul kejadian ini. Ya. Keletihan membuat aku tergeletak di atas karpet " satu-satunya tempat dalam studio yang bebas tetesan cat. Sebelum lelap, Baby memanggilku, mendekat dan berbaring dekat kepala.
Astaga, jam berapa ini" Aku punya janji denganmu! Apa yang baru kita lakukan dalam mimpi" Kugunakan Tshirt untuk mengusap pipis Baby di wajah, sebelum kubangunkan dia. "Kenapa ngompol lagi, sayang" Ayo kita mandi."
Kulihat Chiara sedang menerima telepon di ruang tengah. Ia memberi isyarat dengan tangannya. Aku mendekat. "Ada seorang kolektor Filipina hendak memborong semua lukisanmu. Mau langsung bicara dengannya?"
Kesadaranku belum pulih benar. Tapi ini mengejutkan. Sekaligus terdengar mustahil, seperti mimpi yang baru saja berakhir. "Aku akan menelepon kembali, minta nomornya. Lihat! Baby ngompol."
Chiara tertawa sebelum memasang kembali gagang telepon ke telinganya. Sepanjang siraman air shower, berdua Baby, aku belajar percaya kabar aneh itu. Seorang kolektor memborong seluruh koleksi "Sepanjang Braga"! Apa katamu nanti" Chiara seharusnya tidak hanya berunding denganku, tapi juga denganmu. Tapi, apa itu mungkin"
*** MALAM telah larut ketika akhirnya aku menemukan suaramu di telepon penginapan. "Ke mana saja?" Aku kesal. Tapi bukan hakku untuk memintamu tetap berada di tempat yang aku mau.
"Sorry, Mas. Seseorang mendadak mengajak makan malam. Aku memang tidak menelepon, karena satu dan lain hal. Aku ingin bahagia, seperti juga kau, Mas. Dan kebahagiaan kita tidak perlu mengganggu kebahagiaan orang lain."
"Aku mencarimu. Pertama, karena janji tadi siang. Tapi ada yang lebih penting. Seluruh lukisan "Sepanjang Braga" dibeli seorang kolektor. Aku" aku bahkan belum pernah mengenal orang itu."
"Lalu?" "Aku harus minta ijinmu. Sebelum kupikir bahwa ini sesuatu yang hampir tidak masuk akal. Koleksi itu seharusnya tidak pernah dijual."
"Itu tidak rasional, Mas. Apa kata Chiara nanti?" Benar katamu. Jika seratus lukisan itu hanya untuk disimpan, akan menimbulkan pertanyaan dan layak diusut. Berapa puluh juta rupiah investasi dan waktu yang tertimbun di dalamnya"
"Ini memang pilihan yang sulit." Aku mengeluh.
"Tapi, benarkah kau hendak meminta ijinku?" tanyamu untuk meyakinkan.
"Tentu. Aku tak ingin melakukan kesalahan dua kali." "Jangan merasa bersalah, karena memang tidak bersalah."
"Setelah seratus lukisan itu terjual, aku mungkin tak punya lagi kenang-kenangan itu. Cobalah mengerti perasaanku."
"Aku sangat mengerti perasaanmu, Mas. Pertanyanku, benarkah kau meminta ijinku?" tanyamu manja. "Ya."
"Aku seratus persen mengijinkan, Mas. Aku tak keberatan kau menjual semuanya. Tapi sebaiknya kau bertemu dengan pembelinya, sebelum ia membawanya pergi. Pameran masih berlangsung tujuh hari lagi, bukan?"
Aku terdiam. Bukan oleh suara gerimis di luar. Aku merasa pilu mendadak. Sangat tidak menduga, engkau merelakan nostalgi tentang kita dibawa orang. Kita tak punya apa-apa lagi. Mungkin aku menyesal telah memasang price list dalam katalog.
"Mas, boleh aku tidur" Besok aku harus pulang ke Ujungpandang."
"Secepat itu?" Aku terkesiap. Putus asa. "Aku jadi ragu. Kenapa kau?" Kupikir aku lebih cengeng dibanding perempuan mana pun di dunia. Kau, pemilik separuh kenangan, sudah tidak mempersoalkan hal-hal yang sentimentil. Mengapa aku bertahan pada ilusi yang hanya mirip guratan nama di daun kaktus" Atau pada poci keramik yang kelak retak seperti kata Goenawan Mohamad"
"Aku minta maaf," katamu berbisik.
"Ya," tak ada lagi yang harus dibicarakan. Kututup telepon dengan kecewa.
Kuhampiri Chiara yang meringkuk di ranjang. Kuletakkan badanku pada sprei yang masih rapi, telentang, memandang langit-langit. Tubuh di sampingku berbalik. Dalam ketidaksadaran ia mendesakkan wajahnya ke leherku. Dan kupeluk sebuah kenyataan.
Barangkali tak pernah kupejamkan mata sampai pagi datang. Aku menjadi sedikit pendiam, namun tidak menarik perhatian Chiara. Sehabis sarapan, telepon berdering, dan Chiara mengatakan tentang kolektor Filipina itu. Aku hanya memberi anggukan, tanda setuju.
Selesai bicara, wajah Chiara berseri-seri. Ia menciumku dengan hangat. "Hampir setengah milyar! Empat ratus delapan puluh enam juta, setelah dipotong PPh." Ia tidak merasakan, alangkah hancur hatiku. Tapi buat apa" Aku tidak ingin merana sendirian. "Ia bilang, nanti siang ditransfer. Lukisan akan dikemas hari Minggu, setelah penutupan. Baby"! Baby"! Ayo beri selamat kepada Ayah!"
Gadis kecil itu meloncat ke pangkuan. Kupeluk dia dan seolah-olah aku mendapatkan pengganti dari semua yang hilang.
Chiara pamitan ke kantor, Baby berangkat ke Tadika Puri. Aku terdiam di kursi, mendengarkan rekaman Tony Prabowo. Membayangkan gelas-gelas yang ditabuhnya pecah berkeping-keping. Menggambarkan perasaanku.
Aku terbius. Sampai kudengar teleponmu dari bandara.
"Sepuluh menit lagi aku berangkat. Sorry, aku memang tak ingin diantar. Aku tinggalkan kartupos dan undangan di receptionist galeri. Apa rencanamu hari ini, Mas?"
Nada suaramu menunjukkan kelegaan, bahkan kegembiraan. Sungguh ganjil, atau menyakitkan" Membuatku meradang: "Apa yang kautulis dalam kartupos itu" Banyak orang bisa membacanya!"
"Yang paling kaucemaskan pasti jika Chiara melihatnya, bukan?" Kudengar kau tertawa, di antara gemuruh suara pesawat yang landing. Aku merasa baru mengenalmu. "Aku cuma memberitahu bahwa "Sepanjang Braga" sudah jadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak menikah sama sekali. Kaget" Maaf, aku tak mungkin bilang dari awal, karena aku sulit melupakanmu. Aku hanya ingin semuanya beres, sejak kubaca berita budaya di koran. Pameran itu pasti untukku, tanpa kau memberitahu?"
"Ya, Tuhan?" Aku terperangah.
"Benar, itu memang kehendak Tuhan. Itulah sebabnya aku harus segera pulang ke Ujungpandang, untuk menyiapkan pesta sederhana. Aku tak boleh ingkar dan menyakiti hati Feliciano. Semua syarat telah dia penuhi."
Bagai ada segelas embun yang melintas ke tenggorokan. Mungkin aku benar-benar kehilangan kamu. Tapi tidak kehilangan "Sepanjang Braga".
"Kau sudah mempersiapkan sejak lama, bukan" Undangan pernikahan tak mungkin dibuat secepat itu." "Benar. Maksudku, undangan itu hanya berupa print-out yang kubuat di sekretariat FSRD. Kalau hal itu membuatmu tidak datang, aku mesti bilang apa" Oke, tampaknya aku harus masuk pesawat. Salam untuk Chiara dan Baby."
Seminggu setelah teleponmu itu, kupasang kanvas baru. Menyiapkan semua botol cat, kuas, dan minyak pengencer. Tapi, telah dua jam aku di sini: pada sebuah kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat. Dalam keadaan ngungun. Perasaanku dibungkus kesunyian luar biasa.
*** Jakarta, 99-01 Relung Telinga Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 09/29/2002
DI relung telingamu, pernah kubisikkan kata-kata: Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kemudian kutidurkan tubuhmu dengan kasih-sayang, juga kutiduri tubuhmu penuh kasih-sayang.
Kelembutan warna kamar, wangi sayup sedap malam, dan remang cahaya yang menawarkan candu asmara, membuat waktu terasa panjang. Kita bercinta seperti abad yang diseret perlahan, menuntaskan titik peluh di sekujur pori. Sesudah itu, berkali-kali kubisikkan di relung telingamu: Aku tak akan pernah melupakanmu.
Hampir aku menyebutmu Bunga, karena kutemukan dirimu di tengah lanskap taman yang asri. Mungkin bintangmu aquarius, selalu karib dengan guci di tangan, berjalan sabar di antara perdu dan pohon kembang, menyiramkan air seperti memberi minum anak-anaknya. Namun hampir pula kupanggil dirimu Bulan, sebab ada kemiripan antara wajahmu dengan bundar purnama. Kau mudah tersenyum, bahkan oleh lelucon sederhana. Pernah juga kubayangkan dirimu Gula, setelah berulangkali kuhisap manis rasa bibirmu. Engkau sedikit tersengal. Tampak dadamu naik-turun seperti ombak. Sesudahnya, kauhela nafas panjang dengan mata terpejam, dengan bulu mata bergetar.
Apakah kausimpan janjiku dalam relung telingamu" Aku menyediakan hidupku untukmu. Aku mencintaimu dan bekerja keras dengan perasaan riang. Jiwaku melepuh oleh cinta, dan seluruh hari yang kulalui adalah nyanyian. Rindu yang tak habis terperas. Kasih-sayang yang tak terhalang keterbatasan rahimmu. Melalui rangkaian pemeriksaan yang berlarut-larut, akhirnya inilah keputusan dokter: tak akan menetas seorang bayi melalui persetubuhan kita.
Bisa jadi, ada harapan yang tercerabut. Tapi, untaian malam yang berhias cahaya ranum lampu temaram, ikut mendengar selarik bisik dari bibirku, memasuki relung telingamu: Sampai kapan pun aku terus mencintaimu.
Itulah yang ingin kupatuhi bertahun-tahun. Engkau Bunga, Bulan, sekaligus Gula dalam hidupku. Impian panjang berlarat-larat, wangi hari yang terulur dari sumber fajar, mata-air sungai yang mengalir menempuh tubuh benua. Begitu ringan langkah kuayun, dilepas tatapan matamu dari ambang pintu setiap pagi. Begitu lekas sore merapat, jiwaku terhisap untuk pulang, dijemput rindu di lereng beranda. Aku abai terhadap apa pun yang terjadi sepanjang siang. Mendulang madu atau racun, menampung susu atau airmata.
Namun senja ini, saat hujan ditabur mengakhiri kemarau yang jumawa, sesuatu berkelebat di fokus mataku. Kucium harum parfum yang tak sengaja singgah, dari leher jenjang yang terbuka, pada papasan singkat di tengah kaf". Bagai ada tarikan seksama pada kepalaku untuk menoleh ke arahnya. Kulihat sepintas lambaian scarf yang terjuntai ke punggung. Betis langsing berwarna duku. Sepatu bertumit tinggi yang melangkah ritmis. Kilau polesan jingga pada kuku kelingking. Dan sesudahnya tak pernah kukenali wajah pemilik tubuh semampai itu.
Bisa saja kuurungkan niat untuk keluar dari kaf": toh hujan yang mengguyur di luar cukup kuat menjadi alasan. Trotoar di depan berangsur basah. Langit kehilangan warna biru. Angin seolah-olah ditambah kecepatannya oleh tangan gaib dari ujung perempatan jalan. Tentu saja, jika aku nekad melangkah keluar dengan sisa rasa kopi di lidah, hujan tak akan memilih tempat jatuh di luar tubuhku. Senja terasa semakin kusam oleh gelap awan, dan lampu jalan mulai menyala seperti kerlip bintang yang tersesat.
Di saat yang sama, aku teringat dirimu. Terngiang katakata yang kubisikkan di relung telingamu. Aku akan selalu mencintaimu. Setiap huruf menjadi tekstur pada lidahku. Perasaan bimbang menyergap. Apakah salah, jika tibatiba kuterima rangsang dari perempuan lain, setelah lima tahun demikian setia" Tak seorang pun sanggup memerangkapku, kecuali dirimu. Kecuali& seseorang yang baru saja melintas.
Aku menahan langkah tepat di depan pintu. Gerimis cukup pekat, seperti anak panah halus yang dilepas ke alam raya setelah lama terhimpun dalam gundukan busur awan. Lincah berhamburan ke atas aspal, menumbuhkan kabut samar di permukaannya. Dan bau apak debu yang tersiram menebar ke udara, tercium dari celah pintu. Suhu panas hotmix yang terpanggang sepanjang siang, terempas dan kuyu. Serupa perasaanku.
Tanganku menyentuh pintu, dan terkejut sewaktu daun pintu itu terbuka karena seseorang menyeruak masuk. Ia laki-laki yang sebagian kemejanya basah. Bisa jadi, semenit yang lalu dia melompat-lompat di atas trotoar. Mencari tempat berteduh. Dan caf" ini menjadi pilihan. Sementara aku bermaksud meninggalkannya, menembus hujan.
Aku memberi jalan kepada laki-laki yang mengenakan dasi. Butir air bergantungan di ujung-ujung rambutnya. Ia tersenyum bersahabat. Senyum yang sanggup meruntuhkan jantung perempuan. Apakah kedatangannya karena menghindari percik air, atau oleh sebuah janji"
Janji bertemu di sebuah resto yang nyaris padat, bukan hal mustahil. Selepas jam kantor, di ujung bentang hari, dan mungkin bagian dari kencan berkala. Dengan perempuan itukah ia hendak berjumpa" Ada debar yang mendadak sibuk di dada. Meskipun kemungkinan itu satu berbanding jumlah pengunjung.
Adakalanya, peruntungan datang tidak pada waktu yang senggang. Sekali ini ingin kupertaruhkan seluruh intuisi. Namun terlintas di saat yang sama, janjiku di relung telingamu: Percayalah, aku tak akan pernah melupakanmu.
Kumaki diriku sendiri. Ternyata kesetiaan membuatku terpenjara. Mataku mulai panas. Perasaanku terpilin oleh beban duka dan kehilangan. Alangkah mudahnya aku tergoda seruap aroma parfum yang melintas dari leher terbuka. Begitu sulit ditepiskan. Bahkan meresap ke paruparu. Harum itu merembes ke setiap celah tulang rawan. Aku berusaha keras menukarnya dengan wangi rambutmu sehabis berkeramas. Lima tahun aku setia kepadamu. Lima tahun aku terbelenggu cinta. Sampai sore yang kuanggap bedebah ini datang. Aku, bahkan, tak melihat wajahnya! Yang melintas hampir tanpa jarak, namun luput dari kerling mata. Hanya scarf yang melayang di balik punggungnya.
Kulihat dari kaca jendela, kilat membelah langit mendung. Setengah gila aku disergap bimbang: tetap di kaf" atau melangkah ke jalan raya yang basah" Akhirnya kumenangkan pertarungan itu dengan cara mengayunkan kaki ke luar pintu. Rasanya belum sempurna bidang kayu pinus itu menutup kembali, ketika ada suara memanggil.
Aku menoleh dengan kecepatan tak terukur begitu mengenali suara perempuan. Warna scarf yang menggantung di bahunya tak bisa kupungkiri, dia pasti wanita yang berusaha menyingkirkan kesetiaanku. Langkahku terhenti dan menunggu. Tapi sebelum jelas kulihat wajahnya, ia telah masuk kembali. Refleks kuraba saku baju dan celana. Adakah sesuatu tertinggal" Hand phone, pulpen, kacamata, saputangan, sisir, dompet, rokok, & ah, ya! Korek api! Apakah cukup berharga jika kubalik arah demi mengambil korek api senilai lima ribu rupiah" Apakah perempuan dengan scarf ungu itu memanggilku dan bermaksud mengembalikan korek api" Kukira sang tokoh dalam film Another Nine and Half Weeks, jadi sakit juga akibat sebuah scarf milik seseorang di masa lalu.
Ini pasti ilusi! Ini pasti sebuah ikhtiar untuk membuatku lupa padamu. Ini godaan picisan yang tak sebanding dengan cintaku padamu. Percayalah, aku tetap mencintaimu! Lihat, bagaimana aku berlari pulang ke arahmu. Dalam derai gerimis, melompat-lompat di atas teracotta. Menyalip-nyalip di antara deretan mobil yang gelisah dalam antrian traffic jam. Mereka nyaris tak bergerak, dengan kap mesin menguapkan selapis fatamorgana. Suara klakson mulai menyalak di sana-sini. Aku teringat awal film Prince of Tide. Layar lebar yang mampat oleh warna-warna punggung mobil. Ya, hujan yang turun mendadak membuat seluruh pengendara tidak siap.
Di emper toko, kakilima yang tempias, berdiri orangorang yang enggan basah. Kulewati mereka dengan gegas, karena ingin segera berada di sampingmu. Ingin segera meremas tanganmu. Mungkin mencium pipimu yang masih hangat. Membisikkan kembali ke relung telingamu: Aku selalu mencintaimu. Sekalipun sia-sia.
Namun dalam kondisi seperti ini, amat sulit mendapatkan taxi. Di mana-mana mobil antri. Sopir taxi akan berpikir seratus kali untuk mengangkut penumpang.
Kecuali yang sudah terjebak dan tergenang dalam lautan kendaraan. Aku merasa terapung-apung di antara mereka. Menerobos kerumunan. Melesat di bawah curah rinai air. Aku harus terus berlari, dengan iringan rasa cemas. Aku telah cukup lama meninggalkanmu. Dan hampir mengkhianatimu. Biasanya, sebelum matahari terbenam aku telah sampai pada pelukanmu. Aku menyesal telah berjalan terlalu jauh. Sungguh, itu semata karena aku tidak tahu harus melakukan apa. Andaikan kau melihat langkahku yang terhuyung di awal hari, meninggalkan rumah dengan airmata memenuhi pipi...
Hujan mengalir tipis dari langit yang merambat gelap. Aku masih saja tergoda oleh harum parfum di lehernya. Seperti apa wajahnya, tak pernah sanggup kubayangkan. Rambut diikat dan dilipat ke atas, sehingga jenjang lehernya terbuka. Gemulai scarf demikian lembut tergantung di bahunya. Mungkinkah ia mirip Wanda Hamidah atau Reza Artamevia" Atau Penelope Cruz" Atau bukan ketiga-tiganya" Desir halus membuatku terjaga dari pengkhianatan.
Tinggal dua ratus meter letak pintu rumah kita. Aku terus berlari dalam gerimis pekat. Tubuhku mulai menggigil oleh dua hal. Dingin air hujan, dan rasa sesal karena meninggalkanmu sendiri. Nafasku terengah dengan degup jantung yang lekas. Maafkan aku, maafkan aku. Ini tak pantas untukmu. Tentu saja. Karena kepergianku disebabkan peristiwa yang tak terduga. Dadaku terasa mau pecah mengingat ini semua. Entah siapa yang mulai main sembunyi, sampai seluruh rahasia terungkap dini hari.
Tersungkur aku di teras. Tapi tak mungkin memanggilmu dari ambang beranda. Kumasuki pintu rumah dengan dua putaran kunci. Lampu yang menyala membuat ruang tamu jadi benderang. Aku menuju sofa tempat engkau berbaring: masih seperti ketika kutinggalkan pagi tadi. Telentang dengan paras pucat dan mata terkatup.
Entah harus kupanggil apa dirimu saat ini. Bunga layu" Bulan pucat" Gula getir" Airmataku menderas, membaur dengan sisa hujan yang membasahi sejak rambut hingga ujung kaki. Aku berlutut di sisimu dengan tubuh gemetar. Menyentuh pipimu, lenganmu, dadamu, meremas jarijarimu yang mulai kaku. Ada yang tak kumengerti dari akhir hidupmu. Entah siapa yang mulai main sembunyi. Sesuatu telah merenggutmu dariku dengan cara telengas melalui bagian tubuhmu yang paling ringkih. Luput dari pengetahuanku. Sebab sepanjang lima tahun aku setia padamu, dan menganggap aliran hari adalah nyanyian yang tak pernah putus.
Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris membuat perasaanku berubah. Maafkan aku. Tanpa suara aku terisak. Dengan gamang kurapikan helai rambutmu yang masai menutup pipi.
Memandang relung telingamu, mengingatkan pada film Blue Velvet. Seorang pemuda menemukan sepotong telinga yang mulai dikunjungi semut, di halaman rumput rumah tetangga. Tentu saja aku bukan pemuda itu, yang tatapan matanya memasuki rongga telinga. Aku kekasihmu, belahan jiwamu, yang pernah membisikkan janji setia pada liang rawan itu. Kini aku menunggu kemungkinan lirih gaung suaraku keluar lagi. Karena tak menemukan rongga yang hangat dan penuh denyut untuk menetap. Aku terus menunggu. Berlarut-larut. Sampai akhirnya kudekatkan wajahku, mencium relung telingamu yang dingin dan mulai menerbitkan aroma aneh. Berbisik untuk yang terakhir kali: Aku akan selalu mencintaimu, dan tak akan pernah melupakanmu. ***
Jakarta, 20 September 2002
Lagu Malam Braga Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 03/30/2003
SELALU ada cita-cita dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet tak putus acapkali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.
Angin malam akan membisikkan keloneng becak di kejauhan, yang mengangkut beban dengan setengah kantuk ke arah Tamblong atau Suniaraja. Sewaktu-waktu mengirimkan pula jerit roda mobil yang sengaja menikung dengan kecepatan tinggi di perempatan, dari arah Banceuy, menjelang warung-warung sop-kaki-kambing di sisi kali Cikapundung menutup dagangan. Ia akan sedikit tersadar oleh suara mendadak itu, seperti cubitan mengagetkan pada gendang telinga. Tapi sebentar saja. Ia akan kembali melangkah dengan oleng, serupa kapal ferry yang menunggu di seberang dermaga, terayun-ayun oleh pertemuan gelombang selat. Bibirnya tersenyum dan mengguman: Ah, anak muda borjuis! Apalagi yang mereka pikirkan selain makan terlambat" Menawar perempuan" Mengajak singgah ke diskotik" Dan menghabiskan sisa pagi di kamar motel" Puah! Ya, apalagi yang mereka pertimbangkan"
Bulan yang berlayar di sela langit, begitu tenang dengan cahaya gadingnya, terapit jajaran rapat pertokoan Braga yang hangus oleh gelap malam. Ia menatap sambil terus melangkah di atas paving-block yang memang tidak rata. Melampaui toko demi toko. Terseok di antara mobil parkir yang nyaris beku oleh dingin malam. Serta-merta ia pun merapatkan jaketnya.
Dibayangkannya seorang puteri melongok dari teras Hotel Princess. Ia akan segera menunduk takzim, seolah silau oleh gemerlap mahkota yang terayun di atas rambut panjangnya. Aku hanya seorang lelaki jelata, pikirnya. Yang setiap malam mabuk dan tertatih melewati halaman istanamu. Tak pantas aku menatap sepasang mata beningmu, bola kristal yang memantulkan setiap sinar. Jangan pandang aku! Segeralah menyingkir, atau masuk ke balairung. Aku hanya numpang lewat, karena tak ada rute lain, kecuali memutar kembali ke Jalan Asia-Afrika. Itu artinya aku mempertaruhkan seluruh tenaga yang tersisa, dan boleh jadi, akan jatuh sebagai buntalan tubuh di tepi jalan. Lalu embun akan berkerumun dan menyelimutiku sampai pagi datang, sampai seorang penyapu jalan menemukan badan kumalku. Ayo, menepilah Sang Puteri!
Ia pun tertawa dengan gigi yang tersingkap. Barisan tulang putih dengan hiasan endapan nikotin. Uap alkohol berhamburan memenuhi udara malam di sekitar mulutnya. Ia tertawa karena menyadari bahwa di depan langkahnya tidak ada seorang puteri pun. Hotel Princess hanya menyalakan lampu pada ambang pintu. Warna redup neon dari kotak kaca kusam itu menunjukkan bahwa masih ada kegiatan rutin orang menginap, satu dua saja, karena banyak hotel lebih baik di sekitarnya. Hampir semua pelanggan terserap ke hotel-hotel dengan lobby lebih lebar dan cahaya yang lebih terang. Ia masih tersenyum sambil melewati penginapan muram itu. Matanya menyeberang dan ditatapnya Amsterdam Caf" penuh perhatian.
Berhenti sejenak ia di trotoar, bersandar tiang lampu jalan. Setiap kali menatap balkon Amsterdam Caf", dengan warna mediteranian, kuning tanah liat dan aksen merah bata, selalu saja teringat akan penginapannya. Tentu saja. Dulu ia meminta kepada pemilik penginapan untuk membuat jendela kayu seperti tingkap yang terpampang di atas kaf" itu. Jendela yang akan membuatnya leluasa melihat ke luar, ke arah gang berliku dan sering basah oleh got yang meluap. Ke arah atap rumah perkampungan yang menurutnya sangat artistik. Terdiri dari genting aneka ragam, berlubang di sana-sini, atau seng-seng berkarat yang gagal mengembalikan sinar matahari. Parade jemuran, antena televisi, juga sangkar burung. Beberapa tumpukan sampah, dan deretan MCK yang begitu antusias menyiarkan bau amoniak.
Jendela itu menurutnya juga tampak artistik karena terasa betul ketidakrapiannya. Jendela yang membuka rahasia di luar kamarnya sebagai hawa kehidupan sejati. Apakah pembuat jendela itu masih hidup" Ia sibuk mengingat-ingat, karena ketika mengerjakan permintaannya, tubuh dan usia tukang kayu itu tampak sama renta. Buat apa dipikirkan"
Dilanjutkannya langkah, dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaket. Teraba oleh jari-jarinya bungkusan rokok yang membekas jumlah batang di dalamnya. Mungkin akan terusir rasa dingin dari tubuhnya dengan menghisap sebatang kretek filter. Ia berhenti sejenak, menyalakan rokok, menghisap dan menghembus asap, sebelum melangkah kembali. Sebentar lagi melewati Pos Satpam Braga. Setidaknya ada tiga orang penjaga di sana, satu di antaranya mengenakan seragam polisi. Di depan mereka harus bisa bersandiwara, pura-pura berjalan tegak. Asap rokok akan membuatnya terlindung dari aroma bir pada uap nafasnya. Selekasnya ia melintas, selekasnya ia melampaui kemungkinan dicurigai. Tiba di tikungan toko buku Nusa Cendana, ia pun berhenti.
Etalase yang sudah kehilangan separuh lampunya itu menampakkan buku-buku sastra. Sampul mereka mulai menguning oleh tempias matahari dari arah timur. Puisipuisi di setiap halaman buku itu pasti jauh lebih awet dari sampulnya. Seperti puisi-puisi yang bergelimang dalam kepalanya. Ia masih hafal setiap kata yang pernah ditulisnya untuk para kekasih di masa lalu. Ada nama Anne dan Inne, yang tersimpan utuh dalam benaknya. Keduanya menetap dalam dada, turut mengatur detak jantung, dan membuatnya selalu tersenyum dalam luka memanjang.
Ah! Dengan ngilu ia mengusap wajahnya. Seperti bermaksud membersihkan airmata yang pernah membasahinya. Rambutnya yang mulai menyentuh bahu disusur dengan sepuluh jari. Seraya membayangkan segumpal hati yang bersitahan pada cinta tak sampai, hati yang tak patuh pada realitas, dan diremasnya agar menjadi serpih.
Lama ia tak menulis puisi semenjak membawa pulang sejumlah besar puisi dari Italia. Padahal di negeri itu seharusnya ia hanya melukis. Dengan model perempuan berambut pirang, kulit bau asam, payudara selicin pualam. Kadang-kadang tangannya perlu meremas untuk meyakinkan volume dan kelembutannya. Agar lukisannya lebih memiliki ruh, dan senantiasa mengalirkan hasrat untuk dipandang. Sampai kini ia lebih bergairah melukis, ketimbang menulis. Ia telah menyimpan banyak sketsa dalam angan-angannya. Setiap berjumpa kertas dan kanvas, ada saja yang mengucur dari jemarinya. Warnawarna yang menyala, mengaduh, menerjang, mengaum, merangsek, memendar, dan memancarkan tanaga melampaui batas pigura. Garis-garis yang mewakili gejolak perasaannya, tajam dan lugas, menyayat mata-hati. Tiba-tiba ia disenggol seorang lelaki yang berjalan terburu-buru. Membuatnya sadar untuk terus melangkah. Penginapannya masih sekitar dua ratus meter, turun ke arah viaduct. Sebelum jembatan sungai, ia akan berbelok ke kiri, ke arah gelap. Tapi, sebelum itu, ia harus berhenti dan menunggu di depan Braga Sky Nite Club. Ia berjanji menjumpai Poppy. Tentu akan tampak seronok jika berdiri di bawah siraman lampu. Maka ia duduk di warung seberang, memesan minuman yang tidak menambah jumlah halusinasi.
Hanya Poppy yang selalu membuatnya tertawa di pagi buta, atau ketika siang terasa membosankan. Gadis itu yang memaksanya membuat tujuh langkah tangga saja di penginapannya. Padahal ia lebih menyukai angka delapan. Tapi apa boleh buat: tengah malam, papan pijakan terakhir dicopot dengan paksa oleh Poppy dan dihanyutkan ke sungai Cikapundung. Ia terkejut, nyaris terperosok ketika turun dari balkon kamarnya. Poppy yang memergoki hanya tergelak dengan lesung pipinya. Ia pun menghukum Poppy, dengan melukis wajah langsat itu mirip sketsa tentang kerusuhan. Tetapi, sesungguhnya ia tak pernah benarbenar marah kepada anak SMP yang begitu kerasan berjam-jam menemaninya melukis. Bahkan kadangkadang dengan setengah telanjang, karena penginapannya memang panas. Tak tertolong oleh kipas angin yang berputar dengan suara menyedihkan. Poppy merasa nyaman dengan hanya berpakaian dalam.
Hanya kepada Poppy ia tak pernah bisa murka. Setiap kali hendak berbuat jahat kepada Poppy, selalu teringat akan Tifa. Cukup sering ia meninggalkan buah hatinya itu.
Dalam perjalanan ke Eropa, atau pameran keliling Nusantara. Di saat memenuhi obsesi Sepanjang Braga ini, tak sanggup menipu diri: matanya digenangi bayangbayang Tifa.
Digelengkannya kepala. Ia meneguk habis air jeruk dari gelasnya, lalu memesan lagi. Poppy belum muncul juga. Padahal sudah menjelang pukul dua. Apakah ia tertidur dalam diskotik itu" Atau telah lama menunggu dan pulang dengan kecewa" Terlambatkah aku" pikirnya.
Ia merasa sangat bersalah, andaikata gadis itu pulang lebih awal karena tak menemukan dirinya di pintu Braga Sky. Tapi, boleh jadi Poppy lupa waktu, lupa janji, dan terus terlena dengan musik yang mengalun keras. Atau gadis itu akhirnya mencoba minum bir hitam dan lupa jumlah yang harus ditenggak bagi sang pemula. Kalau benar, mabuklah dia! Mungkin kepalanya jatuh di atas meja, dan tak seorang pun peduli karena ruangan gelap dan suara demikian bising. Bisa jadi, ia terhuyung ke toilet, mengeluarkan seluruh isi perut, dan bersandar di dinding keramik dingin dengan pandangan nanar. Atau seorang pemuda memapahnya ke ruang karaoke, mencoba menyadarkan: mula-mula menepuk pipi, memberikan aroma minyak-angin, lalu& lalu melintas pikiran tak senonoh di kepalanya.
Poppy! desisnya dengan terperanjat. Membayangkan gadis itu tergolek di sebuah sofa, dalam sinar lampu yang redam. Lalu seorang laki-laki melakukan tindakan yang cukup beralasan, misalnya membuka bagian pusar untuk mengolesi balsam. Merentangkan kedua tangan agar nafasnya mudah mengalir. Mengendurkan risluiting jeansnya, supaya perut tidak terhimpit. Memikirkan sebuah cara pernafasan buatan, untuk membuat Poppy tersengal, terbatuk dan siuman.
Itu tak boleh terjadi! Ia bangun dari bangku. Meninggalkan selembar uang di meja yang lengket oleh tetesan pelbagai minuman. Lari menyeberangi jalan, diselamatkan oleh sepi. Nyaris ia menabrak Satpam dan seorang penjaga yang mengenakan blazer. Ia masuk ke lobby dan mendapatkan gema suara penyanyi di sana-sini.
Mau ke mana, Mas" Cover-charge-nya dulu& Seorang perempuan dengan busana minimalis menyapa. Aku" Mencari Poppy.
Poppy" Pegawai di sini atau pengunjung" Hari Rabu ini aku janji bertemu dia di sini! jawabnya berang.
Kalau begitu, besok malam datang lagi ya. Sekarang hari Selasa.
*** BETAPA menggembirakan bila dengan sempoyongan ia bisa pulang ke penginapan. Memandang sekitar dengan nuansa warna kabut. Cahaya lampu yang letih menyiram wajah toko, berubah menjadi jutaan pixel. Ia akan melukis semua itu dengan separuh ilusi. Ia akan menulis ratusan sajak dengan sebagian hilang-ingatan. Ia berjalan pulang bukan dengan matanya, melainkan dituntun langkah kaki yang terbiasa mencium jejak sendiri di malam-malam sebelumnya. Tujuh langkah tangga ke balkon penginapan. Pintu kayu dengan cat terkelupas. Jendela yang meniru tingkap Amsterdam Caf". Dan kunci yang harus diputar berulang-ulang.
Di ruang tidur, sekaligus tempat ia melukis, ditatapnya kanvas yang haus. Seperti wanita yang merentangkan kedua kakinya. Menunggu luapan nafsu sang pejantan. Dengan ribuan pelangi dalam lensa matanya, ia mengayun-ayunkan kuas seperti pemerkosa yang jalang. Nafasnya memburu, raut wajahnya tegang. Ia menciptakan komposisi warna dan garis yang tak mungkin terulang. Sampai akhirnya terguling, lelap dengan bibir membisikkan nama: Tifa&
Ia terbangun menjelang ngungun fajar, oleh suara mirip hujan yang memukul kaca jendela. Ia terbangun oleh suara gemuruh di luar kamar. Ia, sesungguhnya, terbangun oleh sengat dingin yang menyentuh kulitnya. Dalam cahaya muram, ia melihat sesosok tubuh tergolek di sisinya.
Poppy! Ia terpesona oleh pemandangan yang membuat perasaannya hancur. Kulit gadis itu sedingin es krim: cantik namun membeku. Pakaiannya basah kuyup, lengket dan menggambarkan seluruh bentuk di baliknya. Ia pun gemetar dan bimbang, tapi kemudian memeluknya. Poppy&
Selanjutnya ia tak ingat apa pun, sampai azan subuh membuatnya terjaga. Ia melompat dari lantai tempatnya terlelap. Di sebelahnya, seorang gadis tersenyum begitu manisnya. Sebelum jari-jari lentiknya menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.
Poppy, apa kamu lakukan di sini"
Gadis itu menurunkan selimut dari wajahnya, seperti menggoda. Menjadi model lukisanmu, jawabnya. Aku sangat suka caramu melukis tadi malam. Pelukis sejati!
Semalam aku melukis" Ia mencoba menyalakan lampu yang membuat mata Poppy menyipit. Di atas kanvas yang tegak menghadap jendela, ia melihat lukisan gadis dalam posisi yang amat mengharukan. Meringkuk letih dengan seluruh tubuh basah, namun jelas denyut nadi di lehernya. Semalam aku melukis"


Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau menjemputku di pintu Braga Sky. Kita melangkah berpelukan, dalam aroma malam yang memabukkan. Memasuki gelap, turun ke sisi jembatan. Mendaki tujuh anak-tangga, masuk ke kamar. Memintaku mandi tanpa melepas baju. Aku menggigil, berbaring bagai sekarat. Tapi aku suka. Aku suka melihatmu melukis seperti semalam.
Semalam aku melukis" Ia mencoba menelusuri ingatan, mengurai seluruh kejadian. Sejak bercita-cita ingin mabuk dan menyeret langkah tengah malam menyusuri sepanjang Braga. Ia membayangkan lampu yang mencair seperti bubur emas, garis tembok pertokoan yang memudar, dan trotoar menyerupai punggung ombak yang lunak.
Angin malam membisikkan sepotong sajak untuk Anne, untuk Inne, untuk Tifa, yang dibaca perlahan, seperti sunyi keloneng becak dari kejauhan. Tapi ia tak pernah bisa mengingat keinginan yang sesungguhnya. Mengapa ia berada di sini" ***
(Untuk Acep Zamzam Noor, pelukis dan penyair). Bandung-Jakarta-Lampung, 8 Oktober 2002 Rasa Takut
Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 12/15/2002
RASA takut membuat wajahnya lebih cantik dari biasa. Itu sebabnya aku selalu mencari akal untuk memberi rasa takut, agar tampak oleh mataku: parasnya yang jelita. Pandangan mata cemas, alis yang mengkerut, bibir gemetar, dan suaranya yang menghiba; selalu meningkatkan gairahku. Biasanya, tak lama sesudah hawa dingin merambati permukaan kulitnya, ia akan berlari ke dalam pelukanku. Kedua tanganku sangat terbuka bagi tubuh takutnya. Kepalanya berusaha sembunyi ke leherku, dengan nafas menghembus santer, membuat darahku melaju lebih cepat dari jantung ke pangkal nadi. Adrenalin pun menyembur ke segala arah.
Kenapa mesti takut" aku menghiburnya. Kubelai rambutnya yang halus. Seraya kuhirup parfum lembut dari punggung telinganya.
Aku akan sulit tidur malam ini& ujarnya gemetar. Seperti tak hendak membuka mata, kecuali ke dalam warna teduh sebuah pelukan yang aman.
Aku menghiburnya. Bukankah besok ia harus kuliah" Sebaiknya segera tidur. Aku berjanji menunggui sampai ia terlelap. Tapi ia seperti menyangsikan janjiku. Aku mengangguk ketika kepalanya tegak dan memandangku. Percayalah!
Kuyakinkan bahwa aku tak akan beranjak sampai dia berbaring di ranjangnya. Matanya tak lepas memandangku.
Kukira ia khawatir mendadak kutinggalkan, bahkan ketika ia berkedip. Tapi aku tetap berdiri di tempat,.mengawasi tubuhnya yang mulai meringkuk. Tangannya menarik selimut. Dari kaki sampai dadanya tertutup warna ungu. Aku terus menikmati wajahnya, dan menunggu ia terpejam. Kulihat tangannya agak tegang meremas selimut, seperti meremas rasa takutnya. Dadanya bergerak menghela nafas dengan ritme yang lekas, namun lambat-laun mereda. Sampai akhirnya ia terlena.
Sungguh aku tidak sepenuhnya mengerti, kenapa aku begitu gemar dengan perilakunya itu" Ketergantungannya kepadaku, akibat rasa takut, telah menjadi candu buatku. Hampir setiap hari kucari gagasan-gagasan baru untuk melahirkan rasa takutnya. Karena ia akan membutuhkan aku. Membutuhkan senyumku yang menenangkan hati. Membutuhkan rengkuhan kedua tanganku untuk mengusir rasa cemas. Membutuhkan ucapanku yang barangkali menggugurkan keinginannya untuk histeris.
Ketika di kulkasnya terdapat dua jenazah tikus yang meringkuk dalam posisi saling berpelukan, ia tak ingin mengalami untuk kedua kalinya. Menurut pengakuannya, sepasang kakinya tak lagi bisa digunakan untuk berdiri. Ia nyaris terjerembab, jika tangannya tak segera meraih kursi yang terdekat. Dorongan untuk muntah lebih kuat dibanding keinginan minum air dingin. Rasa haus yang semula ditahannya tidak memerlukan air lagi.
Beberapa menit ia terbaring. Tentu dengan kekhawatiran seandainya Tuhan mengijinkan salah seekor tikus itu hidup lagi dan turun menari di atas tubuhnya yang tak berdaya. Ingatan itu membuatnya sekonyong-konyong bangkit, serabutan bergerak, meraih telepon dengan gugup, dan memanggilku.
Dalam telepon, suaranya terdengar panik. Aku tersenyum karena sudah menduga sebelumnya. Mas! Segeralah datang! Aku takut! teriaknya di telepon. Pengakuan itu yang kutunggu.
Ada apa lagi, sayang" Ada tikus dalam lemari es!
Mungkin saja ia salah lihat. Aku mencoba mengujinya. Kusibak gorden jendela. Dari bidang kaca yang tersingkap, aku bisa melihat siluet tubuhnya di rumah seberang. Siluet yang demikian jujur menyampaikan bayangan seorang gadis seksi. Sejumlah lekuk dalam ukuran yang akurat, beberapa bagian bahkan sangat menunjukkan materi
yang membentuk garis dan tonjolan.
Ia mencoba meyakinkan aku: Aku bahkan masih bisa membayangkan bulu-bulu lembutnya yang halus seperti tersisir rapi sebelum mereka meninggal. Aku takut!
Maka segera kuletakkan telepon. Aku tak hendak membiarkan wajah takutnya tampak sia-sia. Justru paras cantiknya, menurut mataku, tampil sempurna saat ketakutan sedang memenuhi perasaannya. Hanya dalam beberapa lompatan aku telah tiba di rumahnya. Sepuaspuasnya kulahap wajah ayu itu dengan pandangan yang memberikan harapan. Ia menghambur ke arahku. Tubuhnya dingin, gemetar, di bahunya yang terbuka aku melihat bulu-bulu yang meremang. Bersamaan dengan desir halus namun kencang yang merambat hangat dari dadaku ke seluruh tubuh.
Tenanglah. Aku pasti akan membuang tikus itu. Kusentuhkan bibirku ke punggung telinganya. Ada harum parfum yang berkelebat. White Musk! Harum yang kupastikan tersimpan lama dalam rongga paru-paruku sampai waktu tidur nanti. Kapan kamu membuka lemari es terakhir kali"
Tadi siang sebelum berangkat kuliah. Ujarnya setengah terisak.
Apakah Simbok tidak memeriksanya setelah itu" Ia mengangkat wajah. Matanya tampak basah. Saat itu aku seperti jatuh cinta. Aku merasa menjadi si kuat yang melindungi peri bersayap rapuh. Aku berperan sebagai the beast bagi the beauty. Ia menggelengkan kepala.
Aku tidak tahu. Tetapi, kenapa tikus itu tampak demikian bahagia" Oh, tolong, buang ke tempat yang jauh!
Sekarang duduklah yang manis. Tenangkan hatimu. Aku akan melakukan sesuatu yang pantas bagi sepasang tikus itu. Kupegang kedua bahunya sampai ia bersandar di sofa. Kulihat matanya sejenak terbelalak, sebelum mengangguk takzim.
Setelah semua beres, kami bercakap-cakap sebentar. Seperti biasa, kutunggu sampai ia tidur, baru aku kembali ke rumah. Paviliun kontrakan kami memang bersebelahan, dipisahkan taman yang banyak berisi pohon palem dan bambu kuning, juga sente dan suplir. Ia tinggal sendiri, karena pembantu yang membersihkan kamar dan mencuci pakaian tidak pernah menginap dengan alasan memiliki keluarga.
Suatu hari, ia ceritakan bahwa kakaknya seorang dokter bedah. Rumahnya di selatan, dua jam dari sini. Dia sampaikan itu setelah kutolong dari teror lukisan mengerikan yang menggantikan beberapa foto besar di dinding kamarnya. Beberapa karya reproduksi Entang Wiharso, telah menjadi poster-poster yang mencekam. Apakah kamu akan pindah" tanyaku.
Ia menggeleng. Ia memang ditawari untuk tinggal di rumah kakaknya. Tapi tentu akan selalu telat tiba di kampus. Sulit mengambil resiko seperti itu, sementara saat ini ia memasuki semester yang amat padat dengan tugas.
Mudah-mudahan aku selalu siap menolongmu. Tinggal angkat telepon atau teriak dari jendela ini. Kataku menenteramkan. Karena memang itulah harapanku. Aku tidak ingin kehilangan mainan.
Kutinggalkan dia yang terlelap di ranjangnya. Di bawah lampu tidur, parasnya coklat matang, seperti warna croisant yang keluar dari oven. Warna yang menggugah gairah. Ingin melahapnya. Tapi tentu tidak sopan menggarapnya ketika sedang tidur. Tidak ada nilai romantisme sama sekali.
Pagi-pagi sekali ia menelepon. Kulihat dari jendela, ia sedang menyibak gorden. Di antara gerumbul taman, tampak ia begitu segar. Rambutnya basah. Kuduga, sebentar lagi ia akan turun ke jalan, bergerak di bawah matahari pagi, melompat ke dalam bis di ujung jalan, menuju kampusnya. Memang tak pernah ia mau menungguku agar bisa kuantar dengan VW kodok tahun 70. Karena berarti ia akan terlambat satu mata kuliah. Pagi itu, ia bilang akan menginap di rumah kakaknya.
Sampai kapan" tanyaku. Jawabannya bisa menjadi modal untukku: merencanakan segala sesuatu di paviliunnya, atau mengukur kesepianku jika tak bertemu wajah takutnya dalam beberapa hari.
Belum tahu. Besok aku kuliah siang, jadi aman. Tapi, tolong jaga rumahku.
Itu memang yang kuharapkan. Simbok punya kunci duplikat, dia memang yang membuatkan. Tapi kunci yang ada padaku, tentu hanya aku yang tahu. Dan aku terlampau hafal jam datang dan jam pergi Simbok dari paviliunnya. ***
Punya tang atau kunci Inggris" Dia bertanya melalui telepon.
Oh, kau sudah pulang" Kusibak gorden. Tubuhnya terbungkus daster tipis. Untuk apa"
Rupanya keran washtafel macet. Dia mau cuci muka dengan semacam pembersih cair, untuk kemudian diakhiri olesan pelembab. Itu biasa dilakukan sebelum tidur. Sekarang pukul 22.15, tentu amat kesal dengan problemnya itu. Jadi kubawakan dengan senang hati alat-alat yang memungkinkan untuk memperbaiki keran macet.
Kami saling berpandangan melalui cermin washtafel. Wajah kami begitu dekat, dan tentu sisa aroma white musk singgah ke hidungku. Ia menceritakan perjalanan macet dari kampusnya. Juga menceritakan betapa nyaman menginap di rumah kakaknya.
Kuperiksa sambunga pipa di bawah washtafel, juga dari mana asal pipa itu berbelok. Kukatakan, di tempattempat itulah biasanya terjadi gangguan. Aku tampak begitu cekatan, dan kemudian kubuka sumbat pada salah satu knee di sudut rumah.
Sekarang cobalah, kataku dari kejauhan.
Hanya seperempat menit, yang kudengar adalah jeritannya. Pekikan yang membuat aku amat kaget, karena di luar perkiraan. Tubuhnya mengejang, lalu ada tandatanda hendak jatuh ke belakang. Dengan sigap aku segera menangkapnya, sesudah melempar alat pemutar baut.
Kupeluk tubuhnya yang menggigil. Wajahnya pasi, sekaligus amat cantik. Aku melihat cahaya kecantikan dari rasa takutnya. Sementara dari keran masih mengalir darah. Warna merah pekat dan bau anyir yang membuat ketakutannya langsung mencapai puncak. Memandangnya, aku seperti melaju ke lereng orgasme. Oh, inilah wajah rupawan yang aku dambakan. Aku ingin mencium bibirnya. Aku ingin mencium semua yang terletak di wajahnya. Aku gemetar oleh demam gairah.
Air keran masih mengalir. Warna merah telah kembali menjadi bening. Lima liter darah segar sapi yang kusiapkan dalam suhu tertentu telah lenyap ke terowongan saluran. Tapi gadis itu masih pingsan. Dan selalu saja tak sopan setiap kali ingin menggarapnya pada saat ia tak sadar. Buat apa" Tak akan ada perlawanan sedikit pun. Seperti makan nasi dengan air tawar, tanpa rasa& Bangunlah, apa yang kautakutkan" Aku berbisik. Jemarinya bergerak, lalu kukunya mencengkeram lenganku. Lama seperti itu sampai akhirnya matanya terbuka. Ia membalik tubuh ke arahku. Memelukku erat sampai aku tersengal. Kepalanya tersusuk ke leher, membuat loncatan bunga api dalam jantungku. Dan mulai kudengar isak tangisnya.
Darah& darah& Suaranya terbata-bata.
Untung aku di sini. Kataku menghibur. Apakau kau yakin dengan penglihatanmu"
Ia mengangguk begitu cepat. Lalu dengan sisa rasa cemas, ia melirik ke arah washtafel. Dapat kurasakan keheranan mengaliri rona mukamu. Tak ada darah di sana. Air itu meluncur dari mulut keran dengan suara ricik yang syahdu. Bening. Tanpa bau, kecuali samar-samar kaporit. Aku tidak mimpi! Aku tidak bohong!
Sudahlah, kataku mengelus rambutnya. Kau hanya lelah. Aku akan tunggui kau cuci muka, gosok gigi, dan tidur. Aku akan pulang setelah kau pulas.
Akhirnya ia setuju setelah berulangkali aku membujuknya. Ia tidak banyak bicara, bahkan ketika mungkin dia temukan percik darah di lantai atau di punggung tanganku. Bisa jadi bekas nyamuk yang sial.
Seperti biasa aku melahap tubuhnya yang meringkuk. Seperti anak kucing, di bawah selimut ungu. Dan setelah mataku kenyang, setelah rasa takut itu tiada, aku segera meninggalkan rumahnya. Pintu yang kutinggalkan terkunci sendiri, karena aku menekan tombol di tengah pemutar bagian dalam.
Rasanya, itu malam terakhir aku melihatnya ketakutan. Esoknya tak ada telepon. Aku tak yakin apakah ia kuliah atau tidak. Aku cukup hafal jadwalnya, seharusnya ia memiliki jam pagi. Suasana paviliunnya sepi. Tapi, aku tak berani meneleponnya. Karena biasanya dia yang telepon, membangunkan tidurku. Boleh jadi, ia pergi tanpa pamit, tak hendak menggangguku. Kini aku gelisah.
Siang hari, aku terusik suara mobil parkir di depan paviliun sebelah. Tamu" Tak biasanya tetanggaku yang cantik menerima tamu, kecuali pulang bersama temannya untuk mengerjakan tugas. Aku mengintip, dan melihat seorang laki-laki yang rapi turun dari mobil. Begitu yakin orang itu melangkah ke beranda, dan mengetuk pintu. Seseorang membukakan, mungkin Simbok, yang langsung menutup pintu itu kembali setelah tamunya masuk. Aku penasaran untuk bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Tapi kehadiran gadis yang siluet tubuhnya suka terpampang di jendela, tak kunjung memenuhi harapan. Sepertinya sepi-sepi saja. Dan, tak mungkin Simbok punya selingkuhan seorang laki-laki perlente. Ah, apakah itu kakaknya yang menjadi dokter bedah" Kalau begitu, mungkin saja dia sakit. Shock setelah malam itu melihat darah mengalir dari keran washtafel!
Kalau saja ia tahu: aku hanya ingin menikmati wajah takutnya. Wajah yang akan cantik luar biasa ketika matanya cemas, alisnya mengkerut, dan memucat. Aku termenung begitu lama. Aku merasa bersalah pada akhirnya. Tapi selalu ragu-ragu mengangkat telepon. Pagi berikutnya, aku dikagetkan dering yang begitu dekat di telinga. Bukan jam weker karena aku tak pernah memilikinya. Telepon! Dalam sisa kantuk, kuangkat, sambil tetap berbaring. Seseorang yang amat kukenal suaranya mengucapkan selamat pagi begitu riang. Astaga! Aku terkecoh, ternyata dia tak kurang suatu apa.
Mau kuliah" tanyaku menebak. Kulirik arloji. Hampir pukul sembilan.
Tentu. Tapi sebelumnya aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Lalu kudengar suara tawa yang begitu lepas. Seperti tak pernah mengidap rasa takut. Mulai hari ini aku bebas dari rasa takut.
Seharusnya aku gembira mendengarnya. Tapi yang terasa adalah sebaliknya. Maksudmu"
Kakakku telah melakukan sesuatu. Dengan keahliannya, ia mengoperasiku dan memotong kelenjar rasa takut dari tubuhku.
Aku bagai mendengar suara dari kabut mimpi. Tapi aku masih merasakan kakiku yang kesemutan. Bagaimana mungkin&
Seharusnya kau percaya. Aku sudah mengirimkan rasa takutku dalam bejana kepadamu. Apakah kau belum melihatnya" Kuletakkan di meja dekat ranjangmu, pagipagi sekali. Waktu kau masih tidur.
Serta-merta aku menengok ke meja samping. Memang ada bejana terbuat dari gelas yang tadi luput dari pandangan. Di dalamnya berisi air dan sebuah benda yang mengapung. Bulu kudukku meremang melihat potongan kelenjar dengan beberapa akar dikelilingi butiran halus berwarna merah segar. Aku mendekat dan menajamkan mataku.
Benda itu mirip sayatan segumpal amandel. Atau mungkin pangkal pangkreas. Atau mungkin potongan usus buntu. Atau mungkin klitoris yang dikerat. Atau mungkin daging tumbuh semacam tumor dan kista. Atau bagian lain dari dalam tubuhnya yang mengandung sulur-sulur lembut.
Mendadak perutku mual. Telepon yang mendekap telingaku masih memperdengarkan suaramu. Entah menjelaskan apa. Aku mulai gemetar. Tubuhku berkeringat tapi terasa dingin. Aku mau muntah. Kini ketakutan menjalari pikiranku, melumuri perasaanku& *** (souvenir untuk Hudan Hidayat)
Jakarta, 4 Mei 2002 Penjaga Malam dan Tiang Listrik Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Koran Tempo, Edisi 02/16/2003
IA selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi malam seperti yang paling dimungkinkan oleh malam. Ia menjaga malam, agar bulan tetap menjadi rembulan seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap malam. Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang keluar dari got, merayap di tengah pasar, mencari makanan dalam kegelapan. Itulah tugas sang penjaga malam, betul-betul menjaga malam yang kelam agar tetap menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran tanpa pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara dalam penyamaran.Malam memang selalau samar dan ia harus tetap menjaganya agar tetap samar-samar. Segala seuatu serba samar-samar di malam hari, seperti kita melihat pencuri, tapi tidak pernah tahu bahwa bagaimana ia mencuri. Adalah menjadi tugasnya agar sepanjang malam yang kelam para pencuri tetap bisa bergerak bebas dalam kegelapan, berkelebat menghindari cahaya bulan, menyelinap ke balik pohon-pohon hitam, merayap di tembok seperti cecak, membongkar jendela, dan memasuki ruangan. Malam tanpa pencurian bukanlah malam. Malam tanpa pengkhianatan bukanlah malam. Tugasnya adalah menjaga agar malam tetap menjadi kegelapan yang menguji kesetiaan.Beberapa Saat menjelang tengah malam, dalam kegelapan dan embun malam, ia akan keluar dari gardu, melangkah dari rumah ke rumah untuk mengetahui apakah semuanya berjalan seperti malam. Dari sebuah jendela ia akan mendengar blues, dari jendela lain ia akan mendengar tangisan, dan dari jendela lain lagi akan didengarnya lenguhan tertahantahan dalam permainan cinta yang menggetarkan. Ia akan berjalan perlahan-lahan sepanjang kompleks perumahan yang sepi, memperhatikan bagaimana cahaya bulan menyepuh aspal jalanan, mendekati tiang listrik.Akan diusapnya tiang listrik itu, dan mipukulnya tiang listrik itu dengan batu, sampai dua belas kali.Tentu saja ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah yang membuatnya begitu perlu untuk memukul tiang listrik itu sampai dua belas kali" Apakah memang para penghuni kompleks itu meras begitu perlunya untuk mengetahui waktu pada tengah malam" Jika mereka ingin mengetahui waktu, apakah mereka sendiri tidak punya arloji di dekat tempat tidur, wekerm atau jam dinding dengan burung di dalamnya yang akan keluar dan berkukuk dua belas kali saat tengah malam" Apakah memang menjadi tugas seoarng penjaga malam untuk memukul tiang listrik dari jam ke jam" Tidakkah semestinya ia menjaga ketenangan agar tidak seorang penghuni pun terbangun selewat tengah malam hanya karena mendengar tiang listrik dipukul orang" Itulah pertanyaannya: mengapa seorang penjaga malam harus memukul tiang listrik setiap jam"Penjaga malam itu selalu memukul tiang listrik dengan batu dari jam ke jam. Setiap kali ia memukul rtiang listrik dengan batu, selalu ada saja penghuni kompleks perumahan itu terbangun, meski tidak bertanya-tanya lagi apa memang ada orang yang begitu perlunya mendengar tiang listrik dipukul seorang penjaga malam untuk mengetahui jam.Sejam telah berlalu. Tiba saatnya penjaga malam itu harus memukul tiang listrik sebanyak satu kali saja. Ia keluar dari gardunya, melangkah ke tiang listrik terdekat. Namun seorang lelaki yang tidak dikenalnya berdiri di dekat tiang listrik itu."Maaf, saya mau memukul tiang listrik itu," katanya.Lelaki itu tidak beranjak."Aku ada di sini memang untuk menghalangimu, wahai penjaga malam."Lelaki itu tersenyum-senyum mendekapkan tangan. Ia bersandar di tiang listrik sambil memperhatikan sikp penjaga malam.Adapun penjaga malam itu hanya memikirkan waktu. Ia harus memukul tiang listrik satu kali tepat pada pukul 01:00. Jika terlambat, ia tidak tahu caranya memukul tiang listrik untuk mengabarkan waktu telah tiba pada pukul 01:01. Ia juga tidak pernah dan tidak akan pernah bisa melompatinya sampai pukul 02:00 saja. Tidak mungkin. Tidak akan pernah mungkin. Kecuali dunia kiamat tapi sekarang kan belum"Waktunya tidak banyak. Ia berlari ke tiang listrik yang lain, tapi tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di tiang listrik juga, memang dengan sengaja menghalanginya.Penjaga malam itu merasa sangat gelisah. Ia berlari lagi ke tiang listrik lain. Ternyata lelaki itu pun sudah ada di sana. Wajahnya tersembunyi di balik topi lebar, mendekapkan tangan tenang-tenang, tersenyum-senyum melihat kegelisahan penjaga malam itu masih bisa melihat senyum dikulum pada mulutnya yang mengejek.Waktunya tinggal sedikit."Minggirlah," katanya, "aku harus memukul tiang listrik itu satu kali."Lelaki itu tidak minggir, dari mulutnya masih terlihat senyuman, yang bukan hanya mengejek, tapi juga menghina.Penjaga malam itu mengambil pisau belati yang selalu tergantung di pinggangnya. Senjata tajam itu sudah berkarat, maka tidak ada yang berkilat di bawah cahaya bulan."Minggirlah, aku tidak punya waktu lagi," katanya.Lelaki itu tidak beranjak."Aku di sini untuk menghalangimu," katanya. "Lakukanlah apa yang harus kamu lakukan."Penjaga malam itu menggerakkan pisaunya.Kemudian, seorang perempuan yang tidak bisa tidur karena patah hati, mendengar tiang listrik dipukul batu sebanyak satu kali. Suaranya bergema di tengah malam yang sunyi. Tepat pada waktunya.***Pondok Aren, Jumat 15 November 2002
Kembang Kecubung 1 Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak Hantu Wanita Berambut Putih 7
^