Pencarian

La Barka 1

La Barka Karya Nh Dini Bagian 1


atahari musim panas bersinar dengan cahayanya
yang kekuningan ketika kereta api kami sampai di
stasiun Les Arcs. Seorang laki-laki yang berdiri di dalam kereta
api menolongku menurunkan kedua kopor, lalu menyambut
tubuh anakku dan diletakkannya dengan hati-hati di peron.
"Terima kasih, Anda baik sekali," kataku.
"Saya tidak dapat menolong Anda sampai di luar stasiun.
Tunggulah sebentar. Nanti akan ada tukang pelat."
Sebelum aku mengucapkan sekali lagi rasa terima kasih, dia
telah melompat ke dalam kereta api yang beberapa detik mulai
ber"gerak untuk meneruskan perjalanannya. Kuambil tangan
anak"ku dan melayangkan pandang ke arah gedung. Seorang
laki-laki men"dekati tempat kami berdiri. Dari baju luarnya yang
biru disulam dengan nomor-nomor tertentu, aku segera tanggap
dialah tukang pelat itu. "Dapat saya bantu, Nyonya?"
"O, ya," jawabku dengan segera, "kalau Anda sudi mem"bawa"
kan kedua kopor ini sampai di luar stasiun, saya akan berterima
kasih." La Barka 1.indd 1 Diangkatnya kedua koporku ke atas kereta dorong dari ke"
rangka besi, lalu dia menariknya menuju gedung. Kami meng"
ikuti. "Nyonya datang dari mana?" tanyanya tanpa menoleh.
"Dari Jenewa." "Bagaimana udara di sana?"
"Jelek. Jelek sekali. Kemarin malam hujan. Pagi tadi, ketika
kami berangkat lagi, langit masih penuh awan."
"Nyonya datang untuk berlibur?"
"Ya." "Di sini Nyonya akan menjumpai langit yang selalu terang."
"Tidak hujan?" "Oh, sudah hampir enam bulan tidak hujan."
"Itu malah menyusahkan."
"Memang. Beberapa rumah yang tinggal di bukit dan di
ladang anggur mulai kekurangan air."
Kami berjalan beriringan. Tukang pelat itu sebentar berhenti,
menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menyeberangi rel kereta api
yang terdapat tepat di depan gedung. Kami mengikutinya, masuk
ke ruang penjualan karcis lalu keluar ke bagian yang lain.
Kami sampai di luar stasiun. Sebuah bus besar berwarna biru
berhenti di seberang jalan. Aku mencari wajah yang kukenal.
Tapi tak seorang pun kutemui.
"Ada yang menjemput?"
"Belum datang. Saya akan menunggu sebentar."
Kuambil lima franc dari tasku, kuberikan kepada laki-laki itu.
"Terima kasih, Nyonya."
Seperti mengkhawatirkan nasib kami berdua, dia tidak segera
meninggalkan tempat itu. Sebentar melihat sekeliling, berjalan
hilir-mudik, akhirnya menghilang di balik salah satu pintu.
La Barka 1.indd 2 Kupergunakan saat bersendiri itu untuk mengamati lebih baik
mobil-mobil yang berjajar di pinggir jalan, di antaranya beberapa
yang masih baru. Kukenali satu demi satu nama pabriknya. Di
seberang jalan, selain bus, ada dua sepeda motor yang tersandar
di dekat pohon. Jalan kelihatan lengang. Sebentar-sebentar ter"
dengar suara mobil atau deru mesin truk lewat di jalan besar
yang mestinya terletak tidak jauh dari sana.
Pintu terbuka, kulihat tukang pelat tadi kembali mendekati
kami. "Belum datang?"
"Belum. Mudah-mudahan telegram saya sudah sampai."
"Kapan Anda mengirimkannya?"
"Kemarin pagi."
"Tentu sudah sampai. Ke mana Nyonya akan pergi?"
"Ke Trans." Laki-laki itu melihat jam tangannya.
"Bus di depan itu akan berangkat ke Draguignan tujuh menit
lagi. Dia menunggu kereta api dari Nice. Kalau Anda mau naik,
saya tolong membawakan kopor ke seberang jalan."
"Anda baik sekali. Tapi saya akan menunggu sebentar lagi."
"Trans tidak jauh dari sini. Hanya dua belas kilo. Kalau Anda
naik bus, turunnya di perhentian kedua."
Tanpa menunggu jawaban dariku, laki-laki itu masuk kem"bali
ke gedung. Kupandangi anakku. Di tangan kanannya dia meme"
gang beruang mainan yang didekapkan ke dadanya. Sedang di
lengan kirinya tergantung tas kecil dari perusahaan penerbangan
yang kami tumpangi dari Athena ke Jenewa. Kulepaskan gantung"
an tas dari bahunya. Kududukkan anakku di atas kopor abu-abu.
Kuperhatikan wajahnya yang lembut.
"Mengapa kita tidak naik bus, Mama?"
La Barka 1.indd 3 Di bawah kelopak matanya terdapat garis-garis kelelahan
yang tak kusukai. Di dalam kereta api dia hanya tidur sebentar.
Tubuhnya yang kecil itu tiba-tiba kelihatan semakin lesu. Kucium
pipinya selintas. "Karena kita tidak tahu rumah di mana kita akan tinggal.
Sebentar lagi tentu Monique datang."
Kudengar suara mobil mendatang; dengan cepat aku mene"
ngok ke jalan. Monique turun dan bergegas ke arah kami.
"Kau telah lama menunggu?"
Kami berciuman. Dia menunduk mengangkat anakku ke gen"
dongannya. "Kau tidak ingat kepadaku, Sayang. Waktu aku sering datang
ke rumahmu, kau masih bayi."
Tukang pelat tadi muncul kembali tanpa kuketahui dari mana,
langsung mengangkat kopor-koporku ke dalam mobil.
"Aku mengagumi keringanan hati orang-orang di sini untuk
menolong pendatang," kataku sesudah Monique duduk di bela"
kang setir. "Ah, itu itu belum seberapa. Kau lihat nanti bagaimana orangorang di desa. Mereka amat baik."
Mobil berjalan menuruni lembah serta meninggalkan desa
Les Arcs. "Aku terlambat, karena tidak bisa meninggalkan toko lebih
cepat," kata Monique.
"Toko?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
"Aku bekerja sekarang. Seorang kawan membuka toko pakai"
an. Aku menolong sebagai penjual, kadang-kadang pagi, kadangkadang sesudah pukul dua siang."
Diangkatnya pandangannya ke kaca yang tergantung di ten"
tang kepalanya untuk melihat ke jalan yang telah kami lalui.
La Barka 1.indd 4 ain "Bagaimana kabarmu?" tanyanya kemudian, lalu melirik ke"
pada"ku sejenak. Sambungnya, "Kau kurus."
"Keadaanku beginilah," jawabku. Dan tanpa sadar aku meng"
hela napas. "Suamimu tidak libur" Dia membiarkan kau naik kereta api
sendirian dengan anakmu?"
"Banyak ceritaku, Monique. Sekarang aku mengantuk, lelah
dan lapar sekali. Berilah aku waktu untuk istirahat, untuk me"
ngenal rumahmu, untuk makan masakanmu dari Prancis Selatan.
Sesudah itu, barulah kau berhak menanyaiku tentang kabarkabar lain."
"Sacre Rina, va," Monique mengumpat halus dan tertawa
kecil. "Selama sepuluh tahun aku mengenalmu, setiap bertemu
selalu kudengar kau mengeluh kelaparan!"
Aku mengajak berbicara sambil lalu untuk mengisi keko"
songan. Anakku yang bersandar di belakang mulai mengisap ibu
jarinya. Kelinci tersayang! Dia kubangunkan tadi pukul lima pagi
agar bisa mengejar kereta api pertama yang lewat dari Lausanne
ke Jenewa. Di sana kami terpaksa menunggu satu setengah jam
untuk pindah kereta menuju pantai Prancis Selatan.
"Lihatlah ke sebelah kanan," kata kawanku tiba-tiba. "Kau
lihat rumah persegi panjang dengan latar belakang hutan-hutan
cemara?" Memang aku melihatnya. "Itulah La Barka!"
Jauh di dataran sejajar dengan jalan yang kami turuti, di se"
belah kanan, tampak rumah itu seperti juga rumah-rumah desa
lain yang pernah kulihat, yang terdapat di sana-sini di tengahtengah ladang.
Mobil mulai memasuki desa Trans, melalui jalan tidak begitu
La Barka 1.indd 5 lebar tetapi terpelihara dan bersih. Sampai di dekat gereja, kami
membelok ke kanan, lalu melewati jembatan. Kutengok sungai
yang mengalir jauh di bawah, tidak kurang dari dua puluh meter
dari jalan yang kami lalui. Kemudian mobil meninggalkan jalan
beraspal, memasuki celah-celah kebun anggur. Beberapa waktu
kemudian tampak sebuah batu putih cukup besar dengan tulisan
terang "La Barka". Monique menekan gas, dan mobil naik meng"
ikuti jalan menuju rumah.
Hari amat sejuk, matahari tetap kuning tetapi lebih temaram.
Sejak kami masuk ke lingkungan kebun itu, bau daun-daun thym
yang sedang berbunga membikin pikiran membayangkan suatu
dapur, di mana makanan yang lezat sedang disiapkan. Tanah
se"luas tujuh hektar dipenuhi pohon-pohon cemara dan zaitun.
Pada tempat-tempat yang datar terlihat bekas-bekas kelompok
pohon anggur, telah tua atau tertinggal tidak terpelihara. Di
sana-sini, di sela-sela rumput ilalang, terdapat berbagai daundaun"an bumbu masakan: romarin, marjolaine, fenouil, thym, dan
sebagainya. Pada tanah yang mulai menanjak, di tengah-tengah
kelompok daun serta batang yang beragam itulah muncul seperti
seseorang yang berdiri dengan kaki tegak: La Barka. Bentuknya
persegi panjang. Dindingnya kuning keputihan, diseling abuabu dari batu-batu dan semen yang pada beberapa tempat telah
berganti warna. Di berbagai tempat kelihatan pula bekas-bekas
kerangka binatang laut yang berserakan. Batu karang di daerah
Prancis Selatan dipergunakan untuk bahan bangunan.
Ketika turun dari mobil, kubalikkan tubuhku membelakangi
rumah. "Bukan main!" seruku.
Kudapati di depanku keluasan yang tergelar dengan keseder"
hanaannya. Hari yang terang memungkinkan mataku melihat
La Barka 1.indd 6 ain dengan jelas jarak yang tidak terbatas. Di sebelah kiri dan kanan
terdapat gundukan bukit, seolah berjongkok dengan kediamannya
yang ramah, tampak memagari langit.
"Pantai Fr"jus berada di balik bukit itu," kata Monique. "Kirakira dua puluh menit dengan mobil. Kita bisa mandi-mandi di
pantai tiga kali seminggu kalau kau mau. Atau bila aku tidak
sem"pat, kuantar kau dengan anakmu sesudah makan siang, sore
kujemput." Kami mendekati rumah, disambut oleh tiga ekor anjing jenis
penjaga ternak. Ketiganya tidak berhenti menggonggong sejak
mobil tiba. Monique memperkenalkan nama-namanya.
"Wiski, yang hitam, itu bapak keluarga. Tani, yang berekor
seperti daun kelapa, betinanya; dan Arsui, anaknya."
Ketiga binatang itu seakan mengerti arti perkenalan, seekor
demi seekor mendekati aku dan anakku. Bergantian mereka men"
cium-cium sepatu dan betis kami berdua. Anakku ketakutan me"
nempel ke tubuhku. Tinggi ketiga anjing itu melebihi kepala
anakku. Ketika aku hendak mengikuti Monique memasuki rumah,
kusa"dari kehadiran seorang laki-laki di samping.
"Ada barang di mobil, Nyonya?" serunya.
"Ah, Joseph!" Laki-laki itu mendekati kami di depan pintu masuk.
"Ini, Joseph, tukang kebun. Dia dulu penerbang di zaman
perang. Ini, Nyonya Bonin dari Indonesia," Monique memper"
kenalkan aku. Aku mengangguk sambil memberikan salam.
"Saya boleh mengambil barang-barang di mobil, Nyonya?"
Monique memberikan kunci mobil kepadanya.
"Letakkan barang-barang di kamar besar. Nyonya Bonin akan
menempati kamar saya selama tinggal di sini."
La Barka 1.indd 7 "Baik, Nyonya," kata Joseph.
?"" Itulah peristiwa pertama yang kurasa penting engkau ketahui
sejak kita berpisah di Montreaux, sehari sebelum aku berangkat
dari Swiss. Walaupun tempat kita sekarang terpisah jauh, namun
kenanganku terhadap saat-saat indah bersamamu, mendorongku
untuk menulis buku harian ini.
Setelah bertemu dengan Monique, aku tidak banyak bercerita
mengenai diriku kepadanya. Aku juga berusaha untuk tidak ber"
cerita mengenai diri kita berdua. Maksudku yang utama adalah
mengisahkan mereka yang kutemui selama liburanku, bersama
dengan kejadian serta hal yang menyangkutnya.
Seperti apa yang telah dikatakan Monique, aku mendapat
kamarnya selama tinggal di La Barka. Kamar itu adalah ruangan
tidur terbesar dibandingkan dengan kamar-kamar lainnya. Ben"tuk
lemari dan tempat tidur terpengaruh oleh seni bangunan Jepang,
manis dan praktis. Dari jendela yang berwarna kayu biasa, mata"
hari pagi masuk ke dalam kamar untuk beberapa waktu. Cukup
sekedar menyehatkan udara di dalamnya. Pemandangan yang
tersuguh dari sana amat luas. Lapisan-lapisan jalan menuju ke
Les Arcs, Cannes, Nice, dan kota-kota pantai lainnya kelihatan
se"perti pita-pita biru keabuan.
Sejak tiba di sana, aku tidak berhenti berpikir kepadamu.
Ketika Monique bertanya mengenai suamiku, aku merasakan
keengganan yang kaku menguasai diriku. Akhirnya, aku harus
menyadari keadaan hidup sebenarnya yang waktu ini kusandang.
Aku seharusnya tidak bermimpi terus-terusan tentang kehidupan
yang sering kita bicarakan bersama. Di dalam kamar yang
La Barka 1.indd 8 tenang dan menenteramkan itu, aku akan coba menyusun keja"
dian-kejadian yang kualami dan yang telah kujanjikan akan
kuceritakan kepadamu. Monique, seperti telah beberapa kali kuulang kepadamu,
berasal dari Pulau Korsika. Pulau yang terkenal dengan watak
dendamnya, ketabahan orang-orangnya pada waktu perang,
ke"murahan hati, serta berlimpahnya sinar matahari di seluruh
musim. Juga menjadi kebanggaan orang Prancis karena pulau itu
tempat asal Napoleon Bonaparte, prajurit biasa yang kemudian
menjadi jenderal pada usia amat muda, selanjutnya menjadi kon"
sul tertinggi, lalu kaisar terkenal.
Sesuai dengan sifat-sifat keistimewaan pulau itu, Monique
kukenal karena keemasan hatinya. Seperti juga manusia-manusia
lain, dia memiliki berbagai kekurangan serta kesalahan watak.
Namun kekawanan yang ada di antara kami berdua sanggup
meng"atasi berbagai pasang-surutnya waktu.
Kami bertemu untuk pertama kalinya ketika aku bekerja
sebagai pengasuh kanak-kanak pada satu keluarga insinyur yang


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali ke Prancis dari Indonesia. Bahasa Prancisku masih amat
miskin pada waktu itu. Selama satu tahun mengikuti kursus yang
diadakan Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, kiranya belum cukup
bagiku untuk berbicara dengan lancar.
Sewaktu keluarga yang kuikuti sampai di Prancis, Monique
sering datang ke tempat kami. Dia banyak memberi tambahan
pada perbendaharaan kata-kataku. Dan waktu liburan selesai, aku
mengikuti keluarga itu kembali ke Indonesia. Sejak itu, hubung"
anku dengan Monique tidak pernah terputus. Kami bersuratan
secara teratur. Hingga saat perkawinanku, hingga pertemuan
kami yang hampir secara kebetulan di Vietnam. Aku mengikuti
suami"ku, Monique juga mengikuti suaminya. Kemudian disusul
La Barka 1.indd 9 dengan pertemuan lainnya pada liburan pertama di Prancis.
Aku diperkenalkan kepada ibunya, yang selanjutnya kupanggil
Maman, kepada kedua kakaknya lelaki dan perempuan serta
kedua adiknya, juga lelaki dan perempuan. Keluarga itu segera
menganggapku sebagai bagian dari mereka sendiri. Aku berhak
mendapat segala sesuatu, sampai-sampai ciuman mesra yang di"
tempelkan mereka ke pipiku pada waktu pertemuan ataupun
per"pisahan. Aku boleh datang, makan, tidur sewaktu-waktu di
tempat mereka. Aku juga berhak memberikan pendapatku me"
ngenai hal-hal yang bersangkutan dengan nasib keluarga. Bah"
kan kadang-kadang aku menyesal telah masuk begitu jauh ke
dalam lingkungan mereka, karena sering mereka ingin mengurusi
nasibku pula. Dengan sifat-sifatku yang ingin menyendiri, ku"rasa"
kan semakin sukar hendak melepaskan diri dari mereka. Tetapi
aku menghibur hati dengan berpikir bahwa orang hidup tidak
selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Dan aku berpuas diri
dengan menganggap keluarga Monique yang terlalu baik itu seba"
gai keluargaku sendiri di Eropa.
Monique dibesarkan dengan sifat kedekatan yang kuat.
Sedari kecil, dia selalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi
kepada ibunya. Setelah menamatkan sekolah menengah, dia
ingin meneruskan ke sekolah perhotelan. Ibunya tidak setuju,
dan menyuruhnya memilih jurusan hukum di sekolah tinggi.
Monique yang tidak memiliki cukup keberanian seperti kakaknya
untuk membantah, takluk dan bersedia akan mengikuti ujian
penerimaan. Belum lagi hal itu terlaksana, kemalangan menimpa
keluarganya. Dalam kecelakaan mobil, ayahnya meninggal, se"
dang"kan adik laki-lakinya, Serge, terhindar dari maut dengan
sebe"lah kaki yang cacat seumur hidupnya.
Ibu La Barka 1.indd 10 Monique mencintai adik itu lebih dari saudara-saudara lain"
nya. Dia menemani si sakit melawat dari sebuah rumah sakit ke
tempat pengobatan yang lain. Kekayaan ibunya memungkinkan
perawatan yang bermacam-macam di berbagai klinik. Monique
menemani Serge berbulan-bulan di kota-kota pemandian de"
ngan mata air panas atau mata air belerang, di tempat-tempat
perawatan anak-anak cacat. Dengan kesabaran yang luar biasa,
Monique menguatkan kemauan adiknya menggunakan kem"
bali urat-urat kaki serta punggung yang telah terbengkok oleh
kecelakaan mobil itu. Jerih payahnya terbayar tiga tahun kemu"
dian. Serge dapat berjalan dengan satu tongkat penolong saja.
Kaki kanannya yang memakai sepatu spesial tidak dapat diguna"
kan untuk menapak. Dokter-dokter telah berbuat semampu me"
reka. Itu pun merupakan hasil yang hampir tidak dapat diper"caya
orang. Mereka pulang ke rumah, tetapi Monique telah kehilangan
tahun-tahun pelajaran selama itu. Baginya hal itu memberinya
alasan yang kuat untuk tidak meneruskan kuliah. Berganti-ganti
dia mendapat pekerjaan mengurus surat-menyurat pada sebuah
toko alat rumah tangga, lalu sebagai penggambar desain di pabrik
keramik. Di tempat yang terakhir inilah dia berkenalan dengan
Daniel, seorang mahasiswa arsitektur.
Tanpa banyak waktu berpacaran, mereka kawin setahun kemu"
dian. Monique yang biasa hidup berpegang pada baju ibunya,
turut suaminya ke ibu kota. Dia menjalani kehidupan barunya
de"ngan ketabahan yang amat mengagumkan. Tanpa sadar, dia
mulai berani mengolah segala persoalan seorang diri. Pada waktu
itu, uang biaya sekolah dan pondokan dikirim orangtua Daniel.
Dari pekerjaan-pekerjaan sampingan, kadang-kadang Daniel
men"dapat uang dari pembuatan rencana buku dan model-model
La Barka 1.indd 11 majalah arsitektur. Sedangkan Monique membantu menerima
jahitan baju dari kenalan di sana-sini.
Mereka hidup bahagia dengan cara seperti yang diharapkan
oleh orang-orang muda sebayanya. Tempat tinggal mereka sem"
pit, terdiri dari kamar tidur dan satu ruangan lagi untuk segala"
nya: memasak, belajar, menerima tamu, dan di pojok terdapat
tempat air untuk mencuci muka. Rumah tangga mereka segera
men"jadi semacam pelabuhan bagi bujangan-bujangan teman
kuliah Daniel. Pada waktu-waktu mereka tidak bisa lagi mem"
bayar sepiring makanan, di tempat Monique selalu tersedia roti
dan beberapa potong keju, sosis, apel, atau susu untuk menen"
teramkan perut yang keroncongan. Kadang-kadang mereka tibatiba datang dengan lengan yang diberati bungkusan-bungkusan
berisi daging, sayur, makaroni, telur, atau makanan kalengan.
Demikianlah hidup Monique, hingga tiba waktunya Daniel
memperoleh ijazah. Orangtua Daniel meminjami uang untuk
membayar sebagian harga rumah yang akan mereka beli. Setelah
memikir serta memilih dan berbagi pertimbangan, pilihan me"
reka jatuh pada La Barka, bekas rumah peternakan di Prancis
Selatan, dikelilingi tujuh hektar tanah kering tapi penuh pohon
cemara dan zaitun. Dengan kesigapan seorang ahli bangunan, Daniel merencana"
kan perubahan, penambahan serta pergantian yang harus diker"
jakan di dalam rumah tersebut. Pengetahuannya mengenai seni
bangunan Jepang menambah semakin sempurnanya bentuk ru"
mah peternakan itu. Tetapi semua memerlukan biaya. Berkat kenalan ibu Monique
yang luas, setamat dari kuliah, Daniel mendapat tempat yang
ter"pandang di sebuah pabrik barang pecah-belah terbesar di
Prancis. Selain mendapat gaji lumayan, masa depan yang dekat
La Barka 1.indd 12 juga terjamin bagi keluarga muda itu. Sedikit demi sedikit, se"
irama dengan kebutuhan hidup mereka sehari-hari, La Barka
mulai kelihatan terang. Alang-alang serta dahan-dahan yang ber"
lebihan dipotong untuk persediaan perapian di musim dingin
berikutnya. Sumur yang terdapat di bawah tangga di dalam rumah telah
dibersihkan. Airnya dipompa dengan alat listrik yang dipasang
oleh kotapraja terdekat. Belum ada air panas, belum ada tandatanda kemewahan lain, penambahan-penambahan terpaksa ter"
henti karena tidak cukup biaya.
Dua tahun kemudian, Daniel mendapat tawaran untuk be"
kerja di sebuah perkebunan di Vietnam. Permintaan pertim"
bang"an diajukan Daniel kepada beberapa kenalan ibu Monique.
Akhirnya, diputuskan bahwa pekerjaan itu amat menguntungkan
bagi tambahan pengalaman dan keuangan Daniel. Sebelum be"
rangkat ke Vietnam, Daniel tinggal di Paris selama beberapa bu"
lan agar mengetahui seluk-beluk pekerjaan yang akan diserah"kan
orang kepadanya. Aku sendiri waktu itu telah kawin dengan seorang insinyur
bangsa Prancis yang secara kebetulan mewakili bagian penjualan
hasil perkebunan di mana Daniel akan bekerja. Suamiku men"
dapat kota perwakilan di Saigon, mengawasi penjualan hasil
karet ke negeri-negeri pembeli.
Karena garis nasib, ditambah oleh keberuntungan, Monique
dan aku bertemu kembali. Kali itu dalam keadaan yang mapan
bagiku. Suamiku mendapat rumah besar. Dia menyuruh aku
berun"ding dengan arsitek untuk perusahaannya. Dengan bangga
dan senang hati aku menurutinya.
Rumah itu bertingkat dua. Karena terlalu besar bagi kami,
bagian bawah kugunakan sebagai tempat penyimpan barang dan
La Barka 1.indd 13 kamar tamu. Dengan penyekatan kayu yang sepadan dari arah
pintu masuk, orang akan terus dapat menuju tangga, naik ke
ting"kat dua. Jadi kami hanya menempati ruangan yang di atas:
dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur yang cukup besar, di
sampingnya satu pojok yang intim untuk makan berdua maupun
berempat. Kemudian salon atau kamar penerima tamu yang luas
beserta ruang makan. Aku menjadi nyonya rumah dan pengatur segala yang ber"sang"
kutan dengan keberesannya. Ini berbeda sekali dengan ke"ada"
anku beberapa tahun yang silam, ketika aku berkenalan de"ngan
Monique sebagai pengasuh kanak-kanak, yang hanya menuruti
perintah majikanku. Kukira kami berdua benar-benar bersenang
hati, hampir-hampir kusebutkan bahagia dapat bertemu kem"
bali dalam keadaan semacam itu. Sering suamiku dan aku meng"
habiskan liburan akhir pekan Sabtu-Minggu di perkebunan, di
rumah Monique dan Daniel, beberapa kilometer di luar kota
Saigon. Pada tahun ketiga perkawinanku, anakku lahir. Sepulang
dari rumah sakit, Monique datang dan tinggal bersama kami
selama seminggu menolong mengurus bayi.
Waktu itu aku terlalu memikirkan kesibukanku yang baru
sebagai seorang ibu, hingga hari-hari berlalu tanpa mencurah"kan
perhatian yang lebih kepada perubahan tingkah laku suamiku.
Juga terhadap Monique. Kadang-kadang, dalam per"cakapan ber"
dua dengan Monique, kurasakan seolah dia ingin mem"bicara"kan
sesuatu yang terlalu memenuhi hatinya. Seolah-olah dia ingin
memecahkan kebekuan yang terlalu menyesak di dalam dirinya.
Tetapi dia tidak menceritakan lebih daripada bayangan-bayangan
yang kabur. Atau mungkin pula karena aku tidak menolongnya
untuk membuka atau menemukan ujung benang persoalan yang
kusut guna meluruskannya kembali.
La Barka 1.indd 14 Beberapa hari setelah dia kembali ke perkebunan, dia menele"
ponku. Dikatakannya bahwa akhir bulan itu dia akan berlayar
pulang ke Prancis. Aku sempat menanyakan sebab-sebab kebe"
rangkatan yang tiba-tiba itu. Tetapi dia tidak menjawab dengan
tegas. Dikatakannya bahwa dia akan pulang seorang diri.
Hidup di perkebunan merupakan neraka bagi Monique. Pada"
hal di sana tersedia segala macam alat untuk perintang waktu.
Kolam renang yang luas, taman bacaan, tempat bermain tenis,
dan bioskop sekali seminggu. Tidak terhitung perkumpulan per"
mainan kartu dan catur. Tetapi itu semua tidak cukup untuk me"
nye"babkan Monique merasa kerasan. Dia adalah jenis perem"puan
yang betah tinggal di rumah, mengurus makanan dan anak-anak,
sambil menunggu kedatangan suami yang selalu penuh cinta.
Kalau dipikir, hal itu biasa buat seorang perempuan.
Beberapa kali dia pergi ke kolam renang. Taman bacaan" Dia
sekali dua kali ke sana untuk meminjam buku yang kemu"dian
tinggal tertumpuk di atas meja di samping tempat tidur, hingga
akhirnya dia terlambat dua atau tiga bulan untuk mengembali"
kannya. Sekali seminggu dia pergi ke gedung pertemuan untuk
menonton film seperti juga penghuni perkebunan seluruhnya. Itu
telah menjadi kebiasaan, namun akhirnya membosankan pula.
Dia melihat film apa saja tanpa perhatian yang istimewa. Dia
tidak bermain kartu maupun catur karena tidak suka.
Selama dua tahun di perkebunan, dia menjadi bayangan
Daniel, mengikutinya dari satu tempat ke lain tempat, berkunjung
dari rumah satu ke rumah lain, sambil acapkali menelan segelas
dua gelas anggur, minuman yang tidak menyehatkan di udara tro"
pis yang panas. Obrolan mereka itu-itu juga. Kalau tidak, mem?"
per"gunjingkan orang lain. Semua itu kosong. Semua itu ham"bar.
Dan setiap kali dia berbaring atau duduk-duduk seorang diri di
La Barka 1.indd 15 beranda yang luas sambil memandang kebun teratur di keliling"
nya, dengan perasaan sedih di hati, dia menyadari bahwa yang
dia perlukan sebetulnya adalah seorang anak. Rumah besar yang
didiaminya kurang semarak dengan tidak adanya suara kanakkanak sehat yang renyah, berteriak, tertawa atau menjerit.
Monique tidak mengenal kekhawatiran hati seorang ibu yang
me"nunggu kedatangan anaknya dari sekolah. Dia juga tidak
dapat mengerti kebanggaan seorang perempuan yang pada hari
Minggu memasak makanan manis, untuk kemudian memandangi
serta meneliti akibat rasa makanan itu pada anak-anak di meja
makan. Sejak membeli La Barka, dengan diam-diam dia mulai me"
minta nasihat dokter kenalan baiknya dengan biaya dari ibunya
sendiri. Menurut hasil pemeriksaan yang teliti, dokter dapat
me"narik kesimpulan bahwa kesuburan Monique amat tipis. Dia
menyarankan agar Daniel juga memeriksakan diri untuk me"
lihat beda serta persamaan titik yang ada. Daniel tidak pernah
menganggap itu sebagai hal penting. Dengan berbagai alasan
yang remeh dan ringan dia selalu menghindari waktu-waktu
pembicaraan mengenai hal tersebut. Sedikit demi sedikit jarak
mulai terbentang di antara Monique dan suaminya. Delapan
tahun perkawinan dianggapnya lebih dari cukup untuk menunggu
kedatangan seorang anak. Sikap Daniel yang masa bodoh semula
dikira karena rasa bahagia yang telah mencukupi kebutuhan.
Tetapi kemudian Monique mulai melihat beberapa sikap masa
bodoh lain yang lebih menyakitkan perasaan. Campur tangan
dalam hal-hal kecil hingga kepada soal-soal yang penting dari
orangtua Daniel tidak bisa dibenarkan.
Monique sudah tumbuh dan mengenal lingkungan dengan
baik sejak dia mulai merawat adik laki-lakinya. Sejak kawin, per"
La Barka 1.indd 16 gaulan dengan mertuanya terbatas dengan beberapa pertemuan
serta surat-menyurat. Kemudian mereka membeli rumah di
Prancis Selatan. Monique bersenang hati, karena sejak kecil dia
hidup di daerah bermatahari itu. Tetapi mertuanya mempunyai
pikiran yang baik, yaitu meninggalkan daerah Paris dan menetap
di kota tidak jauh dari rumah Monique dan Daniel.
Dua kali seminggu ayah Daniel datang ke La Barka. Alas"
annya selalu ada. Sekali untuk membawakan tulang-tulang dari
rumah penyembelihan di mana dia dulu bekerja. Kali yang lain
dia datang, katanya untuk melihat sampai di mana kerja tu"
kang kebun membuat pagar bagian barat atau selatan. Mertua
itu berbuat serta bersikap seperti di rumahnya sendiri. Monique
mengatur teras bagian kanan untuk penyebaran benih-benih
kem"bang. Pada musim panas untuk yang pertama kalinya, ketika
dia harus ke ibu kota untuk suatu keperluan, sekembalinya ke
La Barka, bunga-bunga yang menghiasi teras telah terbongkar,
diganti dengan berbagai tanaman yang sama sekali tidak dikenal"
nya. Tukang kebun mengatakan bahwa mertuanya telah datang
seharian untuk mengerjakan itu. Ketika Joseph mencegahnya,
mertua itu menjawab La Barka adalah rumah anak laki-lakinya.
Jadi, dia berhak berbuat apa yang disukainya.
Itu hanyalah satu dari contoh-contoh lain yang dianggap
Monique sebagai perbuatan keterlaluan. Kadang-kadang tanpa


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut atau meminta, ayah Daniel kembali dari kebun, le"
ngan"nya penuh buah delima yang dia petik tanpa izin siapa pun.
Sering pula sebelum masuk rumah, dia membagikan tulang ke"
pada anjing-anjing yang baru saja selesai makan.
Perbuatan itu amat menyakitkan hati Monique. Dia tidak
suka berterus terang mengatakan isi hatinya kepada mertuanya.
Dia hanya meminta Daniel agar berbicara baik-baik kepada
La Barka 1.indd 17 orangtuanya, bahwa Monique ingin mengatur rumahnya sendiri,
bahwa segala sesuatu yang ada di rumah itu adalah milik mereka,
bukan milik orangtua Daniel.
Memang perasaan kemilikannyalah yang tersinggung. Betul
mertuanyalah yang meminjami sebagian uang untuk mem"bayar
rumah itu. Tetapi itu bukanlah merupakan alasan untuk berpen"
dapat bahwa rumah anaknya adalah miliknya, di mana mereka
dapat diperlakukan sekehendak hati. Berkali-kali Monique me"
ngatakan kegusaran hatinya kepada Daniel. Tetapi suaminya tidak
peduli, atau tidak memuaskan harapannya. Dia anak tunggal.
Dia lebih merupakan anak yang patuh kepada orangtua daripada
seorang suami yang berperhatian cukup kepada istrinya.
Dari waktu itulah suami-istri yang kukenal itu semakin keli"
hatan seperti dua musuh yang selalu saling mencari kesalahan
masing-masing untuk berkesempatan meletuskan pertengkaran.
Karena kecewa, Monique semakin merasakan kesepiannya.
Ti"dak hentinya dia mencari sebab, mengapa seorang laki-laki
dapat berubah begitu cepat. Ketika mereka hidup di ibu kota
ber"jauhan dari orangtua serta mertua, tidak ada kebun tidak ada
rumah, semua berjalan dengan baik. La Barka justru merupakan
tempat di mana segala kesukaran serta watak yang sebenarnya
tersingkap. Dia mulai mengenal sifat-sifat asli suaminya. Yang
dikehendakinya adalah laki-laki tegas. Laki-laki yang mengawini
perempuan di luar lingkungan keluarga, berarti dia harus me"ning"
galkan kalangan keluarganya sendiri untuk menjalani hidupnya
bersama istri. Laki-laki yang telah kawin sepatutnyalah condong kepada
keluarga istrinya daripada ke keluarga sendiri, disebabkan oleh
hubungan batin serta kebutuhan yang tidak atau tidak mungkin
terputus antara seorang ibu dan anak perempuannya. Pada wak"tu
La Barka 1.indd 18 kelahiran bayi, kebanyakan istri ditunggui atau ditolong ibu"nya
pada hari-hari pertama. Monique juga berpikiran seperti keba"
nyakan perempuan lain. Kalau ada sesuatu keperluan, dia tidak
hendak meminta kepada orang lain kecuali kepada ibunya.
Tetapi dengan terus terang dia mengakui bahwa anak tunggal
seperti Daniel amat sukar melepaskan diri dari perhatian ataupun
pemikiran mereka. Monique tidak berkeberatan terhadap kasih
sayang yang terus berlangsung di antara mertua dan suaminya.
Yang dikehendaki Monique ialah ketentuan hak milik yang jelas,
mutlak dan lepas dari urusan orang lain, dari mertua, ibunya,
atau saudara-saudaranya sendiri.
Kemudian mereka berangkat ke Vietnam. Diharapkannya per"
bedaan-perbedaan akan hilang dan jarak yang terhampar antara
dia dan Daniel akan mengecil. Tetapi jurang bertambah dalam.
Daniel tidak lagi menangkap getar-getar kehendak istrinya.
Malam hari ketika mereka tidak berkewajiban keluar, berdua
mereka makan, diladeni oleh seorang pembantu. Kalimat-kalimat
percakapan mereka semakin hari semakin terbatas. Kadang kala,
pada hari-hari yang luar biasa, misalnya pada hari-hari di mana
Monique menerima surat dari keluarganya atau kawan-kawannya
yang hidup di Jepang dan Italia, percakapan akan beragam sedikit
oleh kabar-kabar yang baru diterima. Sesudah itu, Daniel akan
duduk di belakang mejanya. Tinggal di sana hingga tertidur, atau
hingga pukul satu atau dua lewat.
Beberapa kali, Monique mengatasi keengganannya, mencoba
menggugah nafsu suaminya. Yang didapatkannya hanyalah dua
atau tiga ciuman di bibir yang tidak langsung. Hingga pada suatu
hari Monique merasa bosan dan menyarankan Daniel pergi ke
dokter. Tetapi seperti juga pada waktu-waktu yang lampau, suami"
nya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak penting.
La Barka 1.indd 19 Dikatakannya, dia tidak bernafsu untuk tidur dengan istri atau"
pun perempuan lain. Tidak perlu orang lain atau seorang dokter
mengetahui hal itu. Itu adalah urusannya sendiri.
Sebegitu egoisnya seorang laki-laki. Dia tidak bisa membayang"
kan betapa cengkeraman kejam dapat dirasakan oleh perem"pu"an
yang menghendaki tidur dengan laki-laki, betapapun saleh"nya
perempuan itu. Alam menggariskan berbagai tanda yang memi"
sahkan kedua jenis makhluk. Tetapi yang lebih ngeri lagi ialah
adanya perbedaan naluri masing-masing untuk bisa mengecap
kepuasan bergaul sementara. Masyarakat telah memasti"kan bahwa
dunia ini untuk pihak laki-laki. Yang terang, dunia yang modern
yang kukenal dan yang dikenal Monique lebih memudahkan se"
orang lelaki yang haus akan tubuh perempuan daripada sebalik"
nya. Seorang laki-laki memiliki seribu kemungkinan untuk me"
muas"kan diri. Mereka bisa pergi ke pelosok mana pun dan berke"
sem"patan menemukan apa yang mereka butuhkan. Mereka bisa
pergi ke mana pun pada waktu apa pun untuk kepuasan sejenak
mengelus tubuh-tubuh pasangannya dengan membayar sejumlah
uang. Kepanasan yang bergolak di tubuhnya dapat dilepaskan
bersama naluri yang terpuaskan, kepuasan mutlak yang sejak
manu"sia mengenalnya, merupakan satu dari kebutuhan-kebutuh"
annya seperti juga makan, minum, bergerak dan bernapas.
Monique menganggap pemuasan kebutuhan itu merupakan
hal pokok bagi tubuh dan rohani. Sewaktu dia sendiri terbaring
di tempat tidur di malam hari, tidak satu buku atau pikiran lain
pun dapat menenangkan desakan yang bergolak di dalam dirinya.
Baginya kebutuhan itu berupa dua tujuan: ketenangan saraf dan
seorang bayi. Monique menanggungnya selama dua tahun. Lalu
pada suatu hari dia memutuskan untuk pulang ke Prancis.
La Barka 1.indd 20 Hari itu hujan di pelabuhan. Daniel ada di sana. Sikap lakilaki itu tidak berubah, bahkan semakin mendekati kekanakkanakan, seperti orang-orang muda yang berumur belasan tahun.
Kepada kawan-kawan, Monique menjelaskan keberangkatannya
untuk mengawasi pekerjaan perbaikan La Barka. Setelah dua
tahun bekerja di perkebunan, Daniel dapat mengumpulkan uang
lagi, cukup guna meneruskan pekerjaan perbaikan rumah itu.
La Barka 1.indd 21 La Barka 1.indd 22 Francine agi itu aku terbangun oleh geritan cakar Wiski di pin"
tu dapur. Disusul oleh tangis Tani atau Arsui yang per"
lahan panjang, seolah dia tahu diri, segan membangunkan seisi
rumah. Kulihat jendela. Di celah-celah kayu, cahaya pagi menerobos
ke dalam kamar. Kucari sandalku, kukenakan baju kamar yang
tebal, lalu aku turun. Lima hari berturut-turut, akulah yang mem"
bukakan pintu untuk anjing-anjing itu. Oleh langkah-lang"kahku
di tangga, mereka terdiam menunggu. Begitu pintu dapur terbuka,
Wiski melompat dengan kaki depan tertekan ke dadaku. Lidah"nya
yang hangat mencuri beberapa jilatan kasap di pipi serta kupingku.
Arsui menarik-narik baju kamarku. Sedangkan Tani yang pemalu
melihat kami bertiga dari dekat pintu. Aku membebaskan diri
dari Wiski, kuelus sebentar kepala Tani. Ke"mudian pintu keluar
kubuka. Mereka berebutan berlari ke pojok untuk buang air.
Hari yang mulai muncul tidak terlalu dingin. Kabut tipis ter"
gantung di udara seperti kain sutra halus. Tidak ada angin. Bau
sedap campuran berbagai daun menyemarak hidungku. Napas
desa yang tenang itu meresap seakan-akan kehadiran seseorang
La Barka 1.indd 23 yang akrab. Aku beranjak dari depan pintu menuju ke bawah di
mana terserak batu-batu putih. Kucari di antaranya yang tidak
terlalu kotor, lalu duduk di atasnya.
Telah seminggu aku tinggal di rumah Monique. Tidak banyak
yang terjadi sejak itu. Beberapa hari yang lalu, Jacques, kawan
Monique, datang dari Kongo. Dia sudah bercerai dari istrinya,
lalu bekerja pada sebuah organisasi dunia untuk menolong pem"
bangunan negeri-negeri terbelakang. Jacques juga akan tinggal di
La Barka beberapa waktu, selama musim liburan.
Orang itu besar tinggi, tubuhnya serba tebal berminyak. Kalau
berbicara suaranya keras, dengan gema yang berdengung mengisi
rumah. Apalagi kalau dia tertawa! Seakan tidak habisnya udara
di ruang mana dia berada menggetar olehnya. Tidak ada sifat-sifat
yang menonjol dari wajah. Pada perutnya yang gendut, orang
dapat melihat bahwa dia memiliki hidup mudah dan terjamin di
Kongo. Sejak Jacques datang, ada dua mobil yang dapat turun ke desa
sewaktu-waktu. Ini berarti satu tambahan yang menenteramkan
pikiran. Setiap hari kami memerlukan pengangkutan berliterliter air dari desa Trans. Sumur satu-satunya yang terdapat di
ba"wah tangga mulai mengering. Permukaan airnya terletak jauh
di dalam, tidak tercapai oleh ujung pompa listrik yang meng"
alirkan pipa-pipa ke dapur serta kamar mandi. Monique menye"
diakan enam botol besar bekas minuman anggur. Setiap botol
dapat memuat 25 liter cairan. Sedangkan kebutuhan rumah
tang"ga sehari-hari ditambah dengan keperluan mandi tidak ter"
hitungkan. Apalagi pada musim panas.
Kehidupan kami serumah teratur dan tenang. Bergantian
Monique dan aku memasak untuk makan malam, karena pada
waktu siang kami hanya makan sayur mentah untuk selada, serta
La Barka 1.indd 24 keju dan beberapa buah-buahan yang terdapat pada musim itu.
Jacques dan aku mengurunkan sejumlah uang belanja makanan
untuk seminggu. Anakku mulai mengenal dan bermain dengan anjing-anjing.
Dia mulai dapat kulepaskan seorang diri di kebun. Bila kadangkadang aku tidak melihatnya dari jendela dapur atau ruang tamu,
aku cukup pergi sampai ke belakang garasi, di mana Joseph
mempunyai kamar yang sejuk dan bersih.
Segalanya teratur, dan hatiku mulai mengharapkan ketenang"
an demikian akan berlangsung terus. Satu harapan yang tidak
mung"kin terlaksana. Kawanku berkata, di musim panas itu akan
datang banyak orang. Aku pun mengerti hal itu. Monique de"
ngan kebaikan hatinya tidak akan membiarkan rumahnya yang
besar itu setengah kosong untuk menghabiskan musim yang
bermata"hari. Kota terdekat terletak kurang lebih tujuh kilometer di sebelah
Barat Laut, namanya Draguignan. Setiap dua puluh menit ada
bus yang lewat menuju ke sana.
Perhentian bus terletak di depan gereja Trans, kira-kira dua
puluh lima menit jalan kaki dari rumah. Benar seperti kata
Monique, desa Trans sepi, tapi penghuninya bersikap hangat
se"perti udara Prancis Selatan. Aku telah berkesempatan turun
ke desa berbelanja di toko-toko makanan. Di mana-mana kami
datang, baik di toko roti, daging, maupun toko serba ada, anakku
selalu mendapat pemberian kue atau permen sebagai tanda per"
hatian mereka. Hal yang sebenarnya kusesalkan, karena seperti
umumnya kanak-kanak lain, anakku menjadi manja. Pada waktu
berjalan menuju suatu toko, dia menarik-narik lenganku hendak
pergi ke toko lain, sebab dia ingat pemberian makanan manis
yang dia suka. La Barka 1.indd 25 Jendela dapur tebuka. Kulihat Monique mengulurkan tangan"
nya untuk menguakkan korden. Bau kopi terbawa angin hingga
ke tempatku. Aku bangkit dengan malas. Kabut telah tersingkap
ke belakang bukit. Perlahan aku menuju rumah. Kawanku berada
di pintu sambil menghirup udara.
"Sejak kau datang, aku menjadi nomor dua di antara orangorang yang bangun pagi di rumah ini," katanya, lalu menempelkan
mulutnya ke pipiku, sambungnya: "Selamat pagi."
Aku menjawab dengan beberapa perkataan dan langsung ke
dapur. "Di Draguignan ada pasar hari ini. Kau turut ke kota?"
"Kita masih mempunyai banyak makanan di lemari es,"
jawabku. "Di pasar ada ikan basah yang segar dan tidak mahal. Lagi
pula aku ingin kau berkenalan dengan Francine, kawanku yang
memiliki toko pakaian di mana aku bekerja."
Aku tidak berkata lagi, minum kopiku.
"Dia juga ingin ketemu kau. Sudah sejak lama aku bercerita
mengenai kau kepadanya."
"Bagaimana orangnya?"
"Baik sekali. Dia orang Armenia. Nenek moyangnya sudah
lama di Prancis." "Pantas mempunyai toko."
"Mengapa?" "Biasanya orang-orang Armenia sangat pandai berdagang."
Kudengar anakku memanggil-manggil dari tingkat atas. Aku
hendak berdiri, tapi Monique mendahuluiku.
"Tinggallah! Kuambil dia ke bawah."
Monique juga sering menceritakan mengenai kawannya itu.
Tidak hanya dia. Dalam percakapan-percakapan keluarga, nama
La Barka 1.indd 26 Francine tidak jarang tersela pada segala macam kesempatan.
Mendengar pembicaraan mereka, aku dapat menarik kesimpulan,
Francine juga telah dianggap sebagai bagian dari keluarga
Monique. Mereka memperbincangkan keadaan rumah tangganya
yang sejak tahun-tahun terakhir kurang sehat. Aku kerap pula
mendengar nama Ren", suami Francine. Juga berkali-kali aku
menangkap nama Claudine serta Sybile yang dihubungkan dalam
percakapan mengenai suami-istri itu. Begitu sering, sehingga rasa
ingin tahuku tergugah untuk melihat mereka, bertemu dengan
Ren", berbicara dengan Francine.
Aku memandikan anakku yang penuh dengan bau kencing
dari malam hari. Hal itu terjadi kadang-kadang. Biasanya dia
tidak lagi kencing di waktu tidur.
Dari pintu kamar mandi yang terbuka, aku berkata kepada
Monique. "Aku ikut ke Draguignan."
"Hanya kita berdua yang pergi. Jacques masih tidur. Kurasa
dia tidak akan bangun sebelum pukul 12!"
"Kita akan punya waktu menengok Christine?"
"Christine siapa?"
"Christine, kawanmu yang jadi guru!"
"Ah, kau ingat dia?"
Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong anak"ku.
Dari suaranya aku tahu bahwa Monique agak keheranan. Ku"
letakkan anakku di bangku panjang dan kukenakan pakaian?"nya.
"Tentu saja aku ingat Christine."
"Aku lupa bahwa kau telah berkenalan dengan dia."
"Kami bertemu di rumah ibumu di Cannes beberapa tahun
yang lalu." La Barka 1.indd 27 Dia berhenti sebentar dari kerjanya mengipasi bubur anakku,


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah berpikir keras. "Ya, memang. Kini aku ingat. Tapi dia tidak di sini waktu ini.
Dia sedang berlibur bersama anak-anaknya ke Bulgaria."
"Bulgaria?" "Mereka bergantian menyetir mobil dari Draguignan hingga
Bulgaria. Hebat, bukan?"
"Kapan mereka kembali?"
"Akhir bulan. O, tidak. Bahkan seminggu lagi, karena Robert,
anaknya yang sulung yang bersekolah di Akademi Peternakan di
Rambouillet akan menempuh ujian."
Aku mulai menyuapi anakku.
"Aku berdandan dulu, Rina," kata kawanku sambil masuk
ke kamar mandi. "Kalau sudah selesai, letakkan piring di bawah
keran. Kita cuci nanti sehabis makan."
Pukul setengah sepuluh mobil kami menuruni La Barka me"
nuju desa Trans, terus ke Draguignan. Sepanjang jalan tampak
orang-orang menuju pasar di kota. Bus dan kendaraan lain pe"nuh
penumpang yang membawa keranjang dan tas belanja. Kadangkadang tampak kendaraan dari jurusan kota telah sesak dengan
sayur serta buah, maupun bahan makanan lainnya. Jalan yang
menghubungkan kedua tempat itu lebih ramai daripada biasanya.
Sejak kedatanganku seminggu lalu, baru kali inilah aku keluar
hingga ke kota. Bagian kota yang kami masuki memberi kesan sebagai wajah
yang kentara baru dibangun. Jalan besar lebar dan terpelihara
dipinggiri trotoar lebar serta bersih. Pohon-pohon rindang dan
toko-toko bersama kaca pamerannya yang berkilau. Segalanya
teratur menarik. Di beberapa tempat, rumah-rumah minum yang dinamakan
La Barka 1.indd 28 kafe menyediakan meja dan kursi sampai ke trotoar. Pemandangan
demikian amat simpatik, mengingatkan pada kota Paris di ujung
musim semi yang bermatahari.
Kami meninggalkan jalan besar untuk memasuki belokan
satu-dua lorong. Di sini masih kelihatan kekunoan kota-kota
Prancis Selatan. Sudah ada pembaruan-pembaruan rumah atau
toko, juga datar jalanan yang licin di sana-sini. Tetapi belum ada
kesepadanan corak seperti yang terlihat pada waktu memasuki
kota. Kami melewati toko Francine, tetapi tidak ada tempat buat
parkir. "Kita mungkin lebih beruntung mendapat tempat di depan
pemandian umum," kata Monique.
Mobil belok kanan. Benar. Di jalan itu masih ada beberapa
ruang di pinggir. Kami harus berjalan kira-kira tiga puluh meter.
Anakku tidak berkata sesuatu, merapatkan tangannya yang kecil
ke dalam genggamanku. Di belokan jalan ada sebuah toko bina"
tang. Kadang-kadang sangkar burung yang terletak di trotoar
menarik perhatiannya. Di samping pintu ada bermacam-macam
kurungan berisi berbagai binatang kesayangan: kelinci, anjinganjing kecil, kastor, masing-masing dengan mata redup oleh silau"
nya sinar matahari. "Nanti kita kembali lagi, Sayang. Sekarang harus cepat ber"
belanja, karena kalau agak siang sedikit, sudah tidak akan ada
pilihan ikan basah," kata Monique sambil berjalan mendahului
kami. Seperti juga anakku, dengan menyesal aku menuruti kawan"
ku. Setelah melalui apotek, kami masuk ke toko Polysport. Di
luar, di dalam kaca pameran, kuperhatikan ada beberapa celana
beledu berbagai corak dan warna, baju-baju wanita, sepatu pan"
La Barka 1.indd 29 tai, dua atau tiga benda untuk keserasian pandang. Monique
langsung menuju ke belakang meja, di mana duduk seorang
perem"puan yang berpakaian rapi. Mereka berciuman. Kawanku
meno"leh kepadaku dan berkata:
"Ini Rina. Kau telah mengenal namanya sejak lama."
"Selamat pagi, Rina, aku Francine," katanya dengan ramah,
lalu melihat kepada anakku. "Ini anakmu?" lalu ia berdiri men"
dekati kami. Diangkatnya anakku, didudukkannya di atas meja.
"Kau manis. Siapa namamu" Apa yang kau sukai?"
Anakku tidak menjawab. Dia bukan termasuk jenis kanakkanak yang langsung dapat berkenalan dengan orang yang baru
dilihatnya. "Dia suka biskuit?" Lalu serunya, "Madame Paulette, ada tamu
kecil. Anda dapat memberinya kue?"
Diturunkannya anakku dari meja sambil berkata,
"Kau ke belakang dengan Madame Paulette, ada kue di
sana!" Aku mengikuti anakku ke belakang, memperkenalkan diri
kepada seorang penjahit dan seorang penjual.
"Kau mau berbelanja?" kudengar Francine berkata kepada
Monique. "Ya. Rina biar melihat pasar Draguignan."
"Kau dapat meninggalkan anakmu di sini," Francine berseru
kepadaku. Kuperhatikan anakku tenang dengan kue-kue kecilnya.
"Dia tidak mengganggu?" tanyaku.
"Tentu saja tidak. Pagi begini tidak banyak pembeli."
Dengan dua keranjang dan dua tas, kami keluar ke arah
pasar. La Barka 1.indd 30 "Bagaimana pendapatmu mengenai Francine?" kata Moni"que.
"Aku tidak tahu. Baru bertemu sekali dan belum berbicara
panjang-panjang dengan dia. Kita tidak dapat menarik kesim"
pulan begitu saja mengenai seseorang."
"Kau benar. Tapi setidak-tidaknya kau dapat berkata kau suka
kepadanya atau tidak."
"Aku suka kepada caranya yang ramah terhadap anakku dan
aku sendiri. Kau mendengar" Dia langsung menegurku: kau."
"Ya. Dia menganggapmu kawan baik, justru karena kau kawan
baikku." Lalu beberapa waktu kemudian, Monique menyambung, "Dia
suka kepada kanak-kanak. Ren" dan dia telah kawin selama lima
belas tahun tanpa keturunan. Dalam beberapa hal, dia mirip
dengan aku." Aku tidak menyahut. Kami meneruskan berjalan sampai ke
ujung lorong. Trotoar sempit penuh orang membawa perbekalan
mereka, berdesakan. Kadang-kadang kami turun ke jalan untuk
menghindari tubrukan dengan pejalan-pejalan kaki lain.
Pasar di mana pun di dunia selalu gaduh, penuh sesak dan
sering kotor. Tetapi pasar yang seindah itu belum pernah kulihat
seumur hidupku. Dia tidak terdapat di dalam gedung. Juga tidak
di atas tanah yang berumput dikelilingi pagar tertentu. Tempat itu
adalah semacam ruang di udara terbuka, persegi panjang, terletak
di tengah-tengah kota, dipinggiri oleh empat jalan sempit serta
bangunan-bangunan lama, tinggi dengan dindingnya yang ber"
warna usang tetapi kokoh.
Di antara ruang dan jalan-jalan sempit di setiap sisi terdapat
pohon-pohon besar dan rindang. Tepat benar jika orang Prancis
menyebutnya "la place", yang berarti "tempat atau alun-alun
tanpa rumput". La Barka 1.indd 31 Dua kali satu minggu, kotapraja menyiapkan tenda-tenda
yang dipancangkan di atas batang-batang besi, dilengkapi dengan
papan-papan penjaja dagangan. Tempat itu menjadi pasar buat
penduduk kota dan sekitarnya. Tidak sedikit pedagang datang
dengan mobil atau truk, lengkap dengan bagian sisi yang dapat
terbuka, hingga merupakan toko berjalan di atas roda-rodanya.
Seperti juga pemandangan yang tampak di jalan besar, di pasar
itu segalanya teratur dan bersih. Pagi itu mungkin sama seperti
pada kebanyakan tempat di Prancis Selatan, sinar matahari ber"
warna emas, seolah tersaring oleh dahan dan daun-daun pohon,
jatuh merupakan cetakan-cetakan gambaran di atas tenda, di
atas buah-buahan segar menarik selera, di atas sayuran ber"aneka
ragam, di wajah orang-orang yang bergerak, berbicara. Peman"
dangan seperti itu tidak terlupakan dengan mudah.
Aku mengikuti Monique dari satu tenda ke tenda lain. Alun
suara orang-orang berbicara di kelilingku renyah penuh rasa
istirahat. Kujawab kata-kata kawanku seperlunya, karena aku
takut mematahkan daya karisma yang mengawang di segala pen"
juru. Dua keranjang kami telah penuh. Kami masih harus membeli
makaroni, daging, dan kentang. Kata temanku, belanjaan harus
dititipkan dulu. Kukira Monique akan mengajakku pergi ke rumah di pinggir
jalan. Tapi dia menuju ke sebuah dasaran sayur dan buah-buah"
an. "Selamat pagi," kata kawanku, langsung meneruskan, "saya
tinggalkan keranjang di sini, boleh?"
Seorang perempuan yang gendut tebal duduk di belakang
papan tempat sayur. Itu adalah Ibu Ren". Dia tersenyum, wajah"
nya menampakkan sifat terbuka.
La Barka 1.indd 32 "Ini kawanmu yang baru datang?" tanyanya sambil memandang
kepadaku. "Ya." Lalu cepat Monique memperkenalkan kami.
Rupa-rupanya kabar kedatangan kami sudah merata!
"Bawalah dia ke rumah," kata nyonya itu kepada kawanku.
Lalu menoleh kepadaku dia meneruskan, "Mana anaknya?"
"Saya tinggal di toko Francine."
Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus meman"
dangiku. Senyumannya seperti meleleh dengan sendirinya di bibir
itu. Dan kita yang berhadapan dengan dia, mau atau tidak, turut
tertarik untuk tersenyum bersamanya. Monique memberikan tas
kepada Ibu Ren". "Kami mengambil lima kilo kentang, satu kilo daun prei, dua
kilo bawang merah. Tidak ada bawang putih yang muda?"
"Minggu depan. Berapa kau mau, aku sisihkan buat kau. Ini
belewah manis yang datang kemarin malam. Berapa kau mau?"
Sewaktu kami pergi dari sana, dapat kudengar wanita berumur
itu membicarakan halku kepada beberapa orang yang dia layani.
Semua orang saling mengenal di kota sekecil itu. Semua orang
saling mengabarkan apa-apa yang terjadi atau dialami. Kalau ada
hal baru, mereka tidak dapat menyimpannya semenit pun.
Sekembali dari pasar, kudapati anakku sedang asyik bermainmain dengan timbunan potongan kain. Francine duduk di sam"
pingnya. "Anakmu tenang sekali. Madame Paulette memberinya potong"
an-potongan kain sisa jahitan. Anakmu tidak merengek sekali
pun." "Memang pada umumnya dia tidak sukar."
"Rina, kau sebaiknya tinggal di sini dulu. Aku akan ke mobil
untuk menyimpan belanjaan kita sedikit demi sedikit," kata
Monique. La Barka 1.indd 33 "Aku akan menolongmu," usulku.
"Tidak. Tinggal saja di sini."
Tanpa menunggu, Monique keluar membawa sebuah keran"
jang di setiap tangannya.
"Aku berkenalan dengan ibu mertuamu," kataku kepada
Francine. "Ah, Ang"le" Dia baik, bukan?"
"Ya," kataku. "Namanya Ang"le?"
"Oh, jangan terkejut. Aku memanggilnya Ang"le, karena
pergaulan kami baik sekali."
Aku hanya tersenyum. Aneh pikirku, karena di Asia seorang
menantu tidak akan memanggil mertuanya dengan nama kecil
demikian. "Kau tahu" Aku lebih dapat berkawan dengan mertuaku dari"
pada dengan suamiku."
"Dia perempuan, sedangkan suamimu laki-laki."
"Ya," suaranya mengambang, bukan pertanyaan bukan pem"
betulan. Ia memandang kepadaku, lalu melanjutkan, "Kau mung"
kin benar, itulah sebabnya. Aku sendiri tidak pernah berpikir
demikian." "Ada kalanya kita dapat berkawan dengan laki-laki. Tapi
jarang sekali. Kekawanan dari hati ke hati hanya dapat berlang"
sung di antara sesama jenis," sambungku pula.
Francine tidak menyahut dengan segera.
"Kau tahu, Rina" Kukira aku sudah mengenalmu dari ceritacerita Monique. Tapi rupanya aku lebih dapat mengenalmu seka"
rang. Kalau kau bosan di La Barka, tinggallah bersama kami. Kau
belum bertemu dengan suamiku?"
"Belum." Francine melihat ke jam di pergelangan tangannya.
La Barka 1.indd 34 "Dia seharusnya datang pagi ini untuk membawa surat dari
bank buatku." Monique kembali dari mobil. Aku mengingatkan kepadanya
bahwa kami masih harus mengangkut satu atau dua botol besar
air dari Trans. "Mengapa" Sumurnya kering lagi?" Francine bertanya.
"Tidak. Untuk memasak dan minum, kami lebih baik tidak
terlalu mempergunakan air dari sumur. Itu untuk tabungan!"
Setelah berjanji ini dan itu untuk memperlihatkan bahwa
pertemuanku dengan Francine berlangsung baik dan mengesan"
kan, kami meninggalkan toko. Sekali lagi di pojok jalan aku
menemani anakku melihat-lihat bermacam binatang, sedangkan
Monique langsung menuju mobil.
Ketika kami menyusulnya, kudapati dia di samping mobil
sedang bercakap-cakap dengan seorang lelaki.
"Ini Ren", Rina."
Kami berjabatan tangan. "Selamat siang," katanya sambil mengulurkan tangannya
kepada anakku. Biasanya anakku kurang ramah kepada orang yang belum
dikenalnya. Tapi siang itu dia bermurah hati mau menyalami
Ren". "Akhirnya Anda jadi datang setelah dua kali berganti tanggal
dan bulan," Ren" menegurku.
Aku agak gugup oleh keintiman bicaranya, sehingga tidak
menemukan kalimat buat menyahut. Monique menolongku.
"Setiap aku menerima surat darimu, aku menceritakannya
kepada Francine dan Ren"."
Aku tersenyum. Kuteliti wajah lelaki yang berdiri di depanku
dengan agak tersipu-sipu.
La Barka 1.indd 35 "Ya, akhirnya saya datang seminggu yang lalu," kataku seperti
orang bodoh. Hanya itulah kata-kata yang kutemukan.
Dia cakap. Yang lebih menarik hatiku lagi adalah rambutnya
yang berwarna putih abu-abu. Begitu sepadan dengan garis-garis
di mukanya. "Anda datang hanya dengan anak Anda" Sang suami?"
"Sang suami mengambil jalan yang berlainan, melalui Austria


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Jerman." "Sendiri-sendiri begitu tidak baik. Bahkan jelek, amat jelek,"
komentarnya, keningnya berkerut.
Aku sekali lagi tersenyum.
Perkenalanku dengan Francine hari itu sangat berguna. Per"
cakapan-percakapan kami bersama suaminya selanjutnya menjadi
lancar. Ibu Monique datang dari Cannes, tinggal dua hari di La Barka.
Disusul pada hari Minggu berikutnya oleh seluruh keluarga:
Josette, kakak perempuan; Serge, adik laki-laki dengan istrinya
Suzanne; Poupette, adik perempuan; dan Guy, kakak laki-laki
sulung yang bekerja sebagai bendahara pada kapal dagang perusa"
haan negara. Monique memintaku untuk menyiapkan masakan Indonesia.
Tak lupa pula dia menambahkan, sebaiknya aku memasak banyakbanyak, karena mereka adalah pemakan besar, lebih-lebih istri
Serge. Aku belum pernah bertemu dengan wanita itu. Pada waktu
terakhir aku ke Cannes, Serge belum kawin. Menurut pendapat"
ku, Serge bukan tokoh laki-laki yang dapat tingggal dengan
tenang dalam rumah tangga. Sifatnya yang keras membuatnya
su"ka bersikap sinis. Mungkin ini disebabkan oleh kecelakaan
yang menimpanya, yang menyebabkan sebelah kakinya menjadi
La Barka 1.indd 36 kaku, berjalan tidak seperti orang biasa. Antara dia dan aku
tidak pernah terjadi perbincangan yang ramah. Aku selalu
merasa tidak kerasan di hadapannya. Kalimat-kalimatnya lebih
tepat diucapkan di depan kelas untuk didengarkan oleh muridmurid yang patuh. Untung aku jarang duduk berhadapan dengan
Serge. Jadi, segala macam ketegangan dapat dihindari. Menurut
Monique, Serge baik hatinya. Ini tidak mengherankan. Tidak
masuk akal bila Monique yang sebaik itu mempunyai adik yang
jahat. Mungkin di balik kekakuan watak atau sikap Serge itu
tersembunyi hati yang seharga emas.
Makan siang keluarga berlangsung meriah. Di meja kayu yang
sesuai potongannya dengan perabotan rumah, duduk delapan
orang. Josette mengundang kawannya, Jerry, pemuda Amerika
yang sering berhubungan dagang dengan perusahaan kakak
Monique itu. Sejak Sabtu pagi Jacques tidak di rumah. Kalau aku tidak
salah, dia sengaja menghindari pertemuan keluarga tersebut.
Wak"tu makan bagi orang-orang Barat amat panjang, berlenalena untuk berbicara sambil menikmati makanan dan minuman
anggur yang tidak manis. Seperti biasanya, masakanku mendapat sambutan menyenang"
kan. Selain pedasnya cabai yang mereka gemari, juga terpuji ber"
bagai bumbu, rempah-rempah dan santan kelapa yang memberi"
kan rasa gurih serta lembut pada setiap makanan. Pembicaraan
ber"simpang-siur. Dari makanan ke mode pakaian, potongan ram"
but, piringan hitam terbaru, penyanyi-penyanyi yang menduduki
tempat berarti atau terlalaikan, akhirnya sampai kepada omongan
mengenai orang-orang yang mereka kenal. Dan itu tidak lengkap
jika Francine dan suaminya tidak termasuk ke dalamnya.
Kasihan. Tentulah kuping mereka berdengung tak habis-habis"
La Barka 1.indd 37 nya. Semuanya berbicara. Semua memberikan pendapatnya.
Bagai"manapun juga, aku merasa bahagia siang itu, karena men"
dapat alasan untuk tidak bersuara mengenai hal tersebut.
"Bagaimana menurut kau, Rina" Francine atau Ren" yang
salah dalam cerita semacam ini?" tiba-tiba Josette menoleh dan
bertanya kepadaku. Aku menjawab dengan sederhana bahwa aku tidak mengerti
duduk perkaranya. "Kau tidak menceritakan kepadanya bagaimana Francine dan
Ren?"" akhirnya Josette bertanya kepada Monique.
"Tidak banyak," jawab Monique. "Kuharap dia akan tahu
sendiri dari percakapan-percakapan kita."
Aneh Monique ini! Kini aku mendapat kesempatan untuk
menyatakan pikiranku. "Aku merasa tidak bernapas dengan udara yang sama dengan
kalian. Setiap kali ada nama Francine atau Ren" yang diucapkan,
setiap kali itu pula aku hanya dapat menerka-nerka."
"Baik," Josette menyela. "Kau tahu, mereka tidak mempunyai
anak?" "Aku tahu." " Ren" mempuyai hubungan dengan perempuan lain. Semula
dengan Sybile, istri pematung terkenal kawan kami. Lalu sejak
setahun ini dengan Claudine, istri seorang kawan juga."
Rupanya laki-laki itu tak mempunyai lingkungan berburu
selain daerah sekitarnya. Tapi aku menyimpan pikiran ini untuk
diri sendiri. "Suami mereka mengetahui?"
"Keduanya memang hidup berpisahan. Tidak bercerai, tetapi
hidup sendiri-sendiri," sambung ibu Monique. Ren" berhubungan
dengan wanita-wanita yang boleh dikatakan bebas, yang dapat
La Barka 1.indd 38 disebut tak bersuami karena hidup berpisah tanpa hubungan
jasmaniah. Hanya, Ren" menpunyai satu kesalahan, sebab dia
masih sebagai suami Francine! Ini tidak dapat berlalu begitu saja
bagi keluarga Monique. Hari itu pengetahuanku mengenai suami-istri yang baru kuke"
nal itu menjadi lebih luas. Claudine sering kali datang ke Trans,
tinggal di rumah seorang teman, tidak jauh dari La Barka. Di
sanalah kencan pertemuan-pertemuan Ren" dengan buah hatinya
yang baru. Selama makan siang itu, Maman, ibu Monique, tidak
hentinya mempersoalkan bagaimana kedua ke"kasih itu bersikap di
depan anak-anak Claudine yang sedang dalam taraf pertumbuhan
usia. Di rumah itu juga sering terdapat beberapa penghuni lain,
datang berlibur bersama keluarga, kebanyakan anak-anak mereka.
Sebagai seorang ibu baik yang berpegang teguh pada hukum-hukum
moral, Maman tidak dapat membayangkan betapa kelalaian Ren"
itu dapat dimaafkan di dunia lain.
Gambaran yang kubentuk mengenai Ren" mulai merupa. Ke"
san pertemuanku pertama memberiku kesempatan untuk me"lihat
sifat jasmaniah laki-laki itu.
Tidak dapat disangkal bahwa dia cakap. Tubuhnya ramping
tegap, tidak terlalu tinggi. Kulit berwarna sehat, putih tetapi
mem?"berikan kesan adanya sinar matahari yang sering singgah.
Di wajahnya tidak ada yang dapat kucela. Semuanya sempurna.
Mungkin garis-garisnya yang terlalu teratur" Tetapi itu amat se"
padan dengan warna rambutnya yang memutih. Dia memang
memiliki segala syarat untuk mendapatkan julukan hidung be"lang.
Dengan hati-hati aku menahan diri untuk tidak menarik suatu
kesimpulan. Baru saja aku mengenal suami-istri itu. Aku dapat
menganggap mereka sebagai teman. Mestikah aku meng"hukum
seorang di antaranya dengan tuduhan yang kurang meya"kin"kan"
La Barka 1.indd 39 Berulang kali kau berkata, kau tidak bahagia dengan istrimu.
Berulang kali pula kau mengingatkanku, seandainya kau men"
dapatkan apa yang engkau idamkan pada perempuan yang kau"
kawini, kau tidak akan memuaskan kehausanmu di pelukan
perem"puan lain. Sebab itu masih banyak yang harus kudengar
dan kupelajari sendiri, kusaksikan dengan pandangan yang wajar,
agar dapat memperoleh gambaran yang sebenarnya.
Mengenai Monique adalah lain soalnya, karena aku telah lebih
lama mengenal dia. Juga suaminya. Waktu itu Daniel bekerja di
suatu perusahaan di Pantai Gading, Afrika. Pokok-pokok per"
gaulan mereka terbatas kepada hal-hal praktis. Daniel mencari
uang, Monique menunggui La Barka yang terus diperbaiki dan
dibangun. Monique tidak mau mengikuti suaminya ke Afrika.
Baginya hidup dengan suami yang memperlakukan istri sebagai
pembantu tidak menarik hati.
Dengan orangtua Daniel aku belum bertemu. Mereka mem"
punyai apartemen kecil di Draguignan. Tapi sejak aku datang,
mereka tidak ada di kota. Sekali setahun mereka ke Paris mengun"
jungi keluarga serta kenalan-kenalan di sana.
Sesudah minum kopi, beberapa orang menghilang dari ruang
tamu. Monique dan Poupette mencuci piring, aku naik ke kamar
menemani anakku di tempat tidur beberapa saat. Sewaktu turun
kembali, kulihat Monique telah siap untuk mandi-mandi sinar
matahari. Digosokkannya minyak zaitun ke seluruh tubuh, lalu
tanpa secarik pakaian pun dia membungkus diri dengan handuk
yang lebar. "Siapa ikut?" tanyanya.
"Aku akan naik bersamamu," Josette menyahut.
"Aku juga," sambung Poupette. "Lengan dan betisku telah
men"jadi putih selama seminggu aku tidak ke pantai."
La Barka 1.indd 40 "Rina?" tanya Josette kepadaku.
"Aku tinggal di sini saja."
"Jangan mengajak Rina untuk memburu sinar matahari. Dia
takut menjadi lebih cokelat lagi." Monique mengejekku.
Aku tidak menjawab. Memang betul kata kawanku. Jadi aku
tidak merasa perlu memberi penjelasan.
Maman, begitulah panggilanku terhadap ibu Monique, masuk
ke dapur. "Biar Rina tinggal," katanya. Lalu kepadaku, "Kita berbaring
sambil omong-omong di teras. Mari, Rina!"
Ketiga saudara naik ke belakang rumah, masing-masing mem"
bawa, tikar, bantal, buku, obat pengusir nyamuk atau lalat dan
ramuan minyak untuk menjadi lebih cokelat di bawah sinar mata"
hari. Di sana mereka terlindung dari pandangan jalan sepi di balik
dinding pagar dan pohon-pohon cemara lebat yang merupakan
hutan kecil di belakang rumah. Mereka dapat berbaring tenang
tanpa gangguan meskipun tanpa pakaian.
Aku sibuk sebentar di dapur membenahi pecah-belah yang
diatur di dekat pencucian piring. Kemudian dengan membawa
segelas air jeruk, aku pergi ke teras. Maman telah tiduran di atas
kursi panjang. "Saya tidak tahu, apakah Anda mau air jeruk," kataku.
"Nanti saja. Terima kasih."
Kupasang kursi panjang lain. Aku lena berbaring, kuselonjor"
kan kakiku. Daun-daun anggur rambatan di atas ragangan besi
merupakan atap yang sejuk. Tidak ada sesilir angin pun. Udara
begitu berbeda dengan pagi hari, kecuali pada waktu-waktu ada
tiupan angin mistral yang turun dari lembah Sungai Rhone. Di
teras itu napas dahan-dahan yang berjuluran di atas kepala mem"
berikan rasa lindung yang nyaman.
La Barka 1.indd 41 "Sedap di sini, bukan?" kata Maman.
Sejak dia datang dua hari lalu, setiap dia tiduran di teras,
selalu kudengar kalimat yang sama seperti itu.
"Anda suka sekali berbaring di sini," aku menyahut.
"Teras adalah tempat yang paling saya senangi di La Barka.
Sayang banyak debu. Tetapi beberapa bulan lagi, kalau tangga
masuk di bawah itu telah dibikin, tentulah tidak akan banyak
lagi debu yang sampai ke rumah."
"Tangga masuk mana maksud Anda?"
"Itu, di dekat batu besar di mana Anda sering duduk. Monique
tidak mengatakannya kepada Anda?"
"Tidak. Dia hanya berkata, bahwa pekerjaan pembangunan
berhenti selama musim panas, karena tamu-tamu akan datang.
Banyak perubahan lagi?"
"Hanya tangga di depan dan garasi. Dan yang lebih penting
adalah bak penampungan air dari desa serta pompanya sebagai
motor penghubung ke rumah."
Jadi, La Barka akan memiliki air yang belimpah-limpah. Satu
rencana bagus. Tapi juga membutuhkan biaya yang tidak kecil.
Ini kukatakan kepada ibu kawanku.
"Daniel akan datang akhir bulan Agustus nanti. Selain untuk
mengurusi hal-hal pribadi, dia juga akan melihat berapa biaya
pembangunan itu." "Urusan pribadi?" aku tak dapat menahan pertanyaan ini.
"Ya, urusan kesehatan, berlibur. Bagaimanapun juga La Barka
adalah rumahnya. Selama ini dia tidak banyak memanfaatkan
rumah yang dia beli."
"Oh, saya kira ada hal-hal lain yang lebih menyusahkan,"
kataku seolah-olah kutujukan kepada diri sendiri.
"Saya harap tidak ada," suara Maman tiba-tiba menjadi lebih
La Barka 1.indd 42 lirih. "Kita sering membicarakan rumah tangga Francine atau
kenalan-kenalan lain. Sedangkan rumah tangga anak saya sendiri
tidak sesehat yang dapat diharapkan. Anda melihat, bukan?"
Entah mengapa aku tidak menyahut dengan segera. Aku ber"
hati-hati untuk tidak melukai perasaan wanita tua ini. Juga tidak
terlalu memberinya harapan yang palsu.
Selama tinggalku di La Barka, tidak hentinya Monique dan
aku saling bercerita mengenai diri kami masing-masing. Monique
men"ceritakan hal-hal yang terjadi sejak keberangkatannya dari
Saigon. Daniel tidak berubah sikap. Mertua tetap datang dan me"
nya"kiti hatinya. Pada setiap kesempatan, kami berdua mengu"pas
soal yang itu-itu juga: rumah tangga yang tidak kokoh.
Aku juga berkata terus terang kepadanya bahwa di La Barka aku
sedang menunggu penyelesaian proses perceraian. Juga ku?"katakan
bahwa aku mempunyai harapan baru pada diri seorang pria lain.
Hanya sampai di situ. Tidak sekali pun aku mengkhianatimu de"
ngan menyebut namamu kepada kawanku itu. Dari petukaran
pikiran demikian aku mendapat bayangan lebih jelas, apa yang
dapat terjadi pada pasangan Monique dan Daniel. Yang menunggu
di ujung jalan hanyalah perpisahan. Entah itu berupa perceraian
penuh atau perpisahan jasmani, hanya itulah jalan keluar satusatunya. Namun, aku tidak mengucapkan kata itu di depan
Monique, seolah ada satu perasaan segan. Justru karena aku pun
sedang menunggu kepastian yang sama. Aku tidak ingin kawanku
berpikir seolah-olah aku menghendaki teman dalam perjalanan.
Dengan kesukaran yang kurasa menekan, aku mencoba meng"
utarakan apa yang singgah di kepalaku.
"Daniel berkelakuan seperti anak-anak. Monique telah ber"
sabar hati selama ini."
"Apa lagi yang dapat dikerjakannya selain bersabar" Tetapi
La Barka 1.indd 43 saya kira hal itu tidak dapat berlangsung lebih lama. Apalagi
selama dua tahun kini mereka tidak hidup bersama. Daniel jarang
menyurati. Padahal Monique dengan teratur menulis kepadanya,
selalu dengan kabar keluarga, urusan rumah dan keuangan."
"Apakah dia tetap datang setiap musim panas?"
"Ya, untuk seminggu, paling lama sepuluh hari. Lalu terbang
lagi ke Swiss atau Belgia."
"Mungkin ada seseorang yang menunggunya di sana."
"Itu juga saya katakan kepada Monique. Semua mengatakan"
nya kepada Monique: Josette, Poupette, Serge. Tetapi Anda
kenal Monique. Dia tidak percaya, atau tidak mau percaya."
Tentu saja. Mengingat kedinginan daya kelaki-lakian yang
di"kenalnya, kawanku tidak dapat memikirkan hal itu akan ter"


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi. Hanya saja Monique tidak tahu bahwa laki-laki yang tak
berhasrat terhadap seseorang perempuan, mungkin bisa bergolak
dengan perempuan lain. Hati kawanku hanya terisi oleh segala
perbuatan kebaikan menolong kawan, mempercayai orang.
Yang terakhir ini lebih mendekati sifat naif. Bagi dia, semua
orang, atau tegasnya orang-orang yang bergaul dengan dia, ber"
kelakuan benar dan jujur. Baginya, kepalsuan di hati manusia
hanya terjadi sekali dalam seabad. Dan karena dia sendiri tidak
mem"benarkan kepalsuan itu, semua orang dianggapnya sepakat
dengan dia. Dugaan bahwa suaminya mengkhianatinya karena bermainmain dengan perempuan lain, tidak sekali pun pernah masuk di
kepalanya. Aku mengenal Monique dengan baik. Kuakui bah"
wa semula aku juga berpikiran seperti dia. Kemudian, dengan
ling"kungan yang berbeda, dengan umur serta pengalaman yang
bertambah, aku lebih dapat menempatkan persoalan keseluruh"
annya pada suatu cara berpikir yang praktis dan seadanya.
La Barka 1.indd 44 Matahari masih terang. Hanya udara mulai lembut dengan
siliran angin yang menggerisik. Aku menoleh ke arah Ibu Monique.
Karena matanya yang terpejam, aku tidak berani berbi"cara. Aku
juga malas untuk memulai suatu percakapan mengenai apa pun.
Tiba-tiba pikiranku terhanyut merenungkan nasibku sen"diri.
Tidak ada latar belakang masa lampau yang dapat memberikan
rasa gairah maupun kegembiraan. Masa kanak-kanakku teng"
gelam entah di mana. Yang timbul kemudian adalah masa selama
aku tinggal di biara Katolik. Dari Sekolah Dasar ke Sekolah Me"
nengah, dilanjutkan ke jurusan farmasi yang terputus karena aku
tidak mampu memperhitungkan angka-angka yang pasti, diakhiri
dengan kursus-kursus bahasa dan tulisan steno.
Kebaikan Ibu Biara tidak ternilai. Walaupun aku membantu
untuk tugas asrama dengan cara menyapu, memasak, menjahit,
sampai mencuci lantai, namun bekal yang diberikan kepadaku
untuk mencari kehidupan sendiri itulah merupakan hutang yang
tak terlunasi. Benar, beberapa orang biarawati pernah mempe"
ngaruhi aku untuk mengambil jalan seperti yang mereka tempuh.
Tetapi aku tidak pernah menanggapi mereka dengan jawaban
yang terang "ya" ataupun "tidak". Dari kecil mula aku diberkati
oleh Tuhan untuk lebih banyak melihat dan mendengarkan dari"
pada berbicara. Dan aku melihat serta mendengarkan kelilingku
baik-baik. Kehidupan yang kulihat membikin aku mengetahui
ada"nya berbagai kemungkinan bagi seseorang, tergantung kepada
nasib maupun takdir, itu hanyalah salah satu cara untuk menama"
kannya. Aku terlalu suka kepada barang-barang bagus, pakaian kawankawanku di sekolah yang elok dan tentulah berharga. Aku terlalu
suka kepada kanak-kanak. Aku akan sangat gembira, jika pada
suatu hari aku dapat memeluk seorang anak kepunyaanku sendiri.
La Barka 1.indd 45 Akhir"nya, aku bermimpi memiliki kehidupan rumah tangga yang
belum pernah kukenal. Yang kukecap hingga waktu itu adalah suasana hening dari
seluruh gedung yang kadang-kadang dipecahkan hanya oleh geri"
sik-gerisik baju panjang para suster, lonceng ruang ibadah, suara
bergumam dari bilik-bilik pribadi yang sedang meng"ucapkan doadoa. Mereka mengasihiku. Tetapi aku tidak hanya memerlukan
kasih seperti yang mereka berikan: keras dan tertutup. Mereka
tidak mengenal hatiku yang kadang-kadang ingin terbang men"
jelajahi kesenangan-kesenangan anak muda.
Sejak itu, semenjak keluar dari biara dan hidup dengan kesang"
gupanku sendiri di kota lain, aku mulai memiliki kesenangan
yang lebih bebas. Menonton film bersama teman, berpiknik de"
ngan kawan-kawan sekantor, kemudian perkenalanku dengan
calon suamiku yang waktu itu sedang berkunjung ke Indonesia.
Kantor menunjuk seorang pemuda dari bagian teknik dan aku
dari bagian sekretariat penerjemah untuk menemani dua tamu
waktu itu, berkeliling daerah-daerah perkebunan dan singgah
ke daerah-daerah pelancongan. Aku menduduki tempat baik di
kantorku. Tugas itu kuanggap sebagai satu kesempatan untuk me"
nambah pengalaman kerja di samping mengenal bagian-bagian
Tanah Air. Hasilnya, dua puluh lima hari kemudian, calon suamiku ber"
kenalan dengan Ibu Biara. Kami kawin sebulan kemudian di
gereja kota kecil kami, lalu di kedutaan suamiku di ibu kota.
Semua itu seperti terjadi di dalam mimpi, seperti terjadi di
dalam buku-buku dongeng. Dua tahun aku berbahagia. Pada
tahun ketiga, anak yang lahir, yang sebetulnya menjadi pengikat
halus antara suami dan istri, justru selalu menjadi alasan bagi
suamiku untuk mencetuskan kemarahan atau ketidaksenangan
La Barka 1.indd 46 hatinya. Sering kali dia pergi malam-malam, hanya disebabkan
oleh tangis yang kedengaran lamat-lamat dari kamar bayi. Ka"lau
aku meminta bantuannya agar diantar ke dokter untuk memerik"
sa"kan penyakit anak, dengan gusar dia menjawab, bahwa waktu"
nya akan habis untuk mengurusi bayi. Ataukah itu semua hanya
alasan yang dibikin-bikin" Dicari-cari untuk menutupi sesuatu
yang sesungguhnya" Waktu itu aku tidak memikirkannya. Namun, hatiku mulai
sepi. Keakraban yang kurasakan terhadap suamiku dari hari ke
hari mulai mengendur. Sewaktu anak kami berumur beberapa
bulan, buat pertama kalinya sejak aku melahirkan, suamiku me"
ngun"jungi aku di tempat tidur. Keesokannya aku merasa sebagai
pengantin baru, mengharapkan kelembutan sikap dari laki-laki
yang kuanggap menjadi satu-satunya pegangan hidup di dunia ini.
Dengan kecewa aku tidak mendapatkan apa yang kuidamkan.
Kalimat-kalimat yang ditujukannya kepadaku tajam menya"kit"
kan hati. Caranya berbicara di depan orang-orang yang kukenal
seakan-akan disengaja agar aku berdiam diri. Malam yang satu
disusul oleh malam yang lain bila dia menghendaki tubuhku.
Hingga tiba saatnya aku berpikir dengan sungguh-sungguh bahwa
aku hanya dianggapnya sebagai alat, sebagai suatu benda bagi dia
mencapai puncak-puncak kenikmatan yang mungkin berbeda
dari kenikmatan-kenikmatan yang didapatkan dari perempuanperempuan lain. Pada saat itulah aku merasa muak. Pikiranku ter"
buka oleh segala macam terkaan yang dapat dibayangkan manu"
sia. Kepalaku mulai berpikir keras, setiap malam mengingat kem"
bali kata-kata tak senonoh serta perlakuan-perlakuan semau"nya
yang semula kuterima dengan kelapangan dada.
Sejak itulah aku menjadi kurang berhasrat menerima dan me"
La Barka 1.indd 47 nanggapi belaiannya yang kuakui selalu membikin aku kehilang"
an akal. Ini tidak dapat berlangsung terus, seruku di dalam
hati setiap kali peristiwa semacam itu berulang. Di hati terasa
harga diriku yang menderita, yang pasrah, terasa luka seluruh
perasaanku sebagai perempuan yang sadar bahwa aku bisa hidup
tanpa bantuan maupun belaian laki-laki semacam suamiku.
Gereja merupakan satu-satunya pelarian bagiku. Benar. Pada
waktu itu pun aku menganggap kepergianku ke gereja sebagai
me"larikan diri dari kesukaran pemecahan persoalanku. Aku
ti"dak lagi menganggap gereja sebagai rumah Tuhan, di mana
aku datang untuk menghormat serta mendengarkan ajaranNya
yang diucapkan oleh para pastor kepercayaan pihak tertinggi di
Roma. Aku mencari bantuan dari mereka untuk meme"cah"kan
kesukaranku, untuk memberiku pertolongan guna menye"lamat"
kan rumah tanggaku dari korban pertikaian antara harga diri dan
sikap suamiku. Pastor-pastor adalah laki-laki. Tentu saja mereka memberi
nasihat untuk tetap menuruti kehendak suamiku. Aku kawin
de"ngan janji kontrak menjadi istri yang menganggapnya sebagai
majikan, sebagai yang dipertuan di dunia. Seorang pastor me"
nyang"gupi akan berbicara kepada suamiku. Aku tidak pernah
me"ngetahui, apakah itu benar-benar dilaksanakan.
Keadaan semacam itu berlarut-larut hingga lebih dari setahun.
Akhirnya, aku memutuskan, bukan orang lainlah yang akan dapat
menolongku keluar dari pertanyaan yang membingungkan itu.
Sedikit demi sedikit aku membalas sikap suamiku dengan sikap
yang sama. Pada waktu pertemuan-pertemuan di mana hadir
beberapa orang penting dari berbagai lingkungan dagang maupun
pemerintah, aku tidak peduli membantah segala kalimatnya
yang pedas dan tidak menyenangkan hatiku. Ada kalanya dia
La Barka 1.indd 48 me"nanyakan sesuatu, aku menanggapinya tanpa mengindahkan
apakah jawabanku cukup jelas baginya atau tidak.
Masa bodoh! Aku memaksa diri untuk memasabodohkan
segala yang bersangkutan dengan pekerjaan rumah tangga. De"
ngan terus terang pula aku menolak kunjungannya di tempat
tidurku. Hatiku yang penuh kemarahan karena harga diri tersing"
gung, akhirnya menjadi kosong. Diam-diam aku mulai berpikir
un"tuk mengkhianati suamiku. Pandanganku terhadap setiap
lelaki yang kujumpai mulai berubah.
Aku tidak pernah mendapat didikan bagaimana melayani
laki-laki. Dari biara yang kuterima adalah pelajaran memasak
dan menjahit, dua hal pokok terpenting buat menyelenggarakan
rumah tangga. Tetapi, dengan naluri ditambah otak yang tidak
terlalu bodoh, aku dapat membedakan antara kekawanan biasa
dengan kekawanan yang mesra dan bernafsu.
Aku tetap pergi ke gereja, tidak tanpa perasaan salah yang
ter"bungkam dan menyiksaku. Manusia tidak pernah dapat hi"
dup hanya dengan kesucian dalam perbuatan. Dengan hadirku
di gereja aku merasa curang terhadap Tuhan, karena terdapat
orang-orang lain yang lebih bersih daripada aku. Tetapi mung"
kin pula aku tidak sendiri dalam hal ini. Pada waktu-waktu
ter"tentu, beberapa pastor menerima pengakuan dosa dari umat
yang patuh di dalam bilik-bilik sempit setengah gelap. Dulu aku
pernah menjalaninya. Aku menerimanya tanpa bertanya, tanpa
syarat, karena aku menganggapnya sebagai bagian dari ibadah.
Kemudian dengan umur dan pengalaman, pikiranku berubah.
Sejak anakku lahir, sejak pincangnya keseimbangan rumah
tanggaku, aku lebih berpikiran praktis, kalaupun ini tidak diang"
gap laknat oleh orang-orang beriman.
Orang-orang berderet memanjang di depan bilik-bilik kecil
La Barka 1.indd 49 ain untuk mengakui dosa. Satu demi satu menceritakan pengalaman
dosanya yang disetujui ataupun disalahkan oleh pastor. Sewaktu
keluar dari sana mereka merasa lebih ringan, karena beban kesa"
lahan seolah-olah hilang. Tetapi mereka mungkin akan membuat
dosa-dosa baru, dengan seluruh kesadaran ataupun tidak. Demi"
kian, minggu depannya mereka mungkin akan kembali ke tempat
yang sama, mengucapkan kalimat-kalimat penyesalan yang sama
pula. Begitu mereka akan hidup seterusnya, menjadi umat-umat
yang setia dan patuh di dalam rumah Tuhan, tetapi setelah keluar
dari sana mereka merasa bebas berkecimpung di dalam segala
macam dosa. Tanpa sadar mereka menjadi korban bayangan atau
khayalan yang terlalu berlebih-lebihan buat memenangkan tem"
pat teduh di dunia yang akan datang. Itu mungkin baik bagi
orang-orang lain, yang memerlukan tempat pelarian guna mem"
beri arti pada hidup mereka. Tetapi bagiku, itu tak ada lagi ke"
baik"annya. Jadi, aku tidak lagi pergi mengakui dosa. Aku bahkan sema"
kin menjauhkan diri dari gereja. Ini bukan berarti aku juga men"
jauhkan diri dari Tuhan. Tuhan tidak hanya ada di gereja. Dia
hadir di mana-mana. Menjauhi gereja bukan berarti aku tidak
lagi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan sosial. Aku tetap
suka rela mengulurkan tangan membantu meringankan pen"deri"
taan rohani maupun jasmani kaum yang tidak mampu. Aku
meng"hindar dari gereja, karena seperti telah kukatakan, aku tidak
hendak berlaku curang. Dengan pikiran-pikiran yang menya?"lahi
aturan-aturan agama, aku merasa tidak berhak lagi menginjak"kan
kaki di rumahNya, meskipun aku belum melaksanakan kesa"lahan
tersebut. Hati manusia telah menghitam hanya oleh pe"mikiran
dosa atau rencana pengkhianatan yang berupa apa pun juga.
Aku terkejut dari renunganku oleh napas yang gaduh. Cahaya
La Barka 1.indd 50 matahari lebih lembut, namun tetap kuning. Aku menegakkan
kepalaku. Kulihat Tani berdiri di arah pintu kebun. Kupanggil dia
per"lahan. Ekornya terkibas-kibas, anjing itu melangkah perlahan
men"dekatiku dengan suara kuku-kukunya yang menapak ke
lantai. Aku membelai kepalanya, lalu dia membaringkan diri
di arah kakiku. Tani lebih santun daripada lainnya. Seandainya
seorang manusia, dia adalah seorang wanita yang pantas, sedi"kit
pemalu, menarik. Kalau menghendaki sesuatu, dia tidak meng"
utara"kan maksudnya secara kasar.
Tiba-tiba aku tersenyum. Sifat-sifat inilah yang kaupuji dan
kausukai. Dan kau mencintaiku antara lain karena sifat-sifatku
yang demikian pula. Gonggong Wiski yang keras terdengar dari jauh disusul oleh
deru mobil mendekati rumah. Tani hendak berdiri, tapi kucegah.
Dari celah-celah pohon zaitun aku mulai dapat melihat warna
mobil Francine yang datang.
"Siapa?" Maman sudah menegakkan badan dari kursi panjang,
bertanya. "Anda dapat melihat?"
"Kelihatannya mobil Francine," aku menjawab.
Dari tempatku, kemudian kulihat Francine mengendarai mobil"
nya yang tidak beratap. Wiski berlari-lari mengikutinya. Turun
dari kendaraan, kuperhatikan pakaiannya yang serba model baru:
topi joki kuning menyala, baju biru kehijauan, celana sewarna
dengan topinya, dengan kedua bagian bawah yang melebar seperti
kaki-kaki ga"jah. Dia menuju teras, mencium ibu Monique, lalu
aku. "Wiski mengikuti mobil sejak dari desa. Yang tidak kusukai,
dia terus-menerus menggonggong."
Dia tetap berdiri melihat keliling.
"Mana yang lain-lain?" tanyanya kemudian.
La Barka 1.indd 51 Dari kebun samping muncul Monique dan saudara-saudaranya.
Aku meninggalkan mereka, hendak menengok anakku di kamar.
Serge tetap di ruang duduk, bermain kartu sendirian. Aku tidak
melihat istrinya. Beberapa waktu kemudian, kudapati mereka lengkap di dapur,
duduk di bangku panjang mengelilingi meja. Masing-masing meng"
hadapi gelas-gelas minuman atau cangkir kopi. Kawanku telah me"
nyiapkan susu untuk anakku di pojok meja bersama kue kering.
Francine sedang menceritakan sesuatu yang menarik. Hari
itu dia diundang oleh seorang kawannya yang menjadi anggota
perkumpulan perenang-perenang telanjang di pantai Fr"jus.
"Kau tidak bersama Ren?"" tanya Poupette.
"Oh, Ren?" Hari Minggu begini, dia tidur dan tinggal di rumah.
Lagi pula perkumpulan telanjang tidak menarik bagi"nya."
"Bagaimana di sana" Kau tidak malu" Kau tidak segan?"
"Semula memang aneh rasanya. Coba kalau sendirian di
kamar mandi, lalu membuka pakaianmu, tidak akan ada perasaan
apa-apa yang membikinmu takut atau malu. Sebaliknya di pantai


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi, aku juga merasa aneh justru karena aku berpakaian lengkap,
berada di tengah-tengah orang lain yang tidak mengenakan se"
carik kain pun. Lalu sedikit demi sedikit, oleh panasnya matahari,
hangatnya tanah dan suasana santai di sekitar, aku dapat meng"
ikuti kawanku menanggalkan pakaian renangku. Tetapi jangan
dikira bahwa mereka melihatmu. Oh, tidak. Masing-masing si"
buk dengan urusan mereka sendiri-sendiri: membaca, bercanda
atau bercumbu dengan pasangannya.
Aku ingin mendengarkan lagi lanjutan percakapan itu, pen"
dapat Maman yang berdasarkan moral, Poupette yang serba
murni, Josette yang seperti aku serba praktis, Serge yang sinis
dan kaku. La Barka 1.indd 52 Tapi waktu berjalan-jalan buat anakku tiba. Seperti seekor
anjing, anakku memiliki naluri yang keras untuk kesempatan itu.
Dia gelisah, tidak bisa tenang. Biasanya kuajak dia berjalan kaki
turun ke arah desa, sampai ke jembatan Sungai Nartuby, di mana
ada peternakan ikan truite, atau keluar dari La Barka menuruni
jalan kecil sepanjang pagar bambu.
Sore itu, aku tidak bersemangat untuk berjalan lebih jauh.
Kuambil tangan anakku, lalu kami mengunjungi kebun di arah
bawah. Bergantian kami berlari mengejar burung-burung kecil
atau kupu-kupu musim panas yang berwarna-warni sayap"nya. Di
dekat batas sebelah timur kami bertemu dengan Joseph. Seperti
biasa, dia selalu menyimpan sesuatu di dalam sakunya untuk di"
berikan kepada anakku. "Apa, Mama?" tanyanya kepadaku.
Aku sendiri tidak jelas melihat apakah yang diberikan tukang
kebun itu kepada anakku. Kuambil barang itu dari tangannya.
"Apa ini, Joseph?"
"Noix," jawabnya.
Sebangsa kacang atau kemiri yang gurih dan banyak mengan"
dung lemak. Itu sering digunakan untuk menambah lezatnya
ma"kanan, kue-kue, bahkan masakan atau sayuran selada orang
Prancis. Aku belum pernah melihat buah itu dalam bentuknya
yang segar. "Baru kali inilah saya melihat buah noix yang masih segar,"
kataku tanpa menyembunyikan keheranan.
"Itu pohonnya ada di sana." Joseph menunjukkan satu pohon
tidak jauh dari tempat kami berdiri.
"Banyak buahnya?"
noix = kacang-kacangan La Barka 1.indd 53 "Musim ini tidak baik. Banyak kembang yang luruh sebelum
menjadi buah.." Tanpa menunggu jawaban, dia keluarkan sebutir kacang lagi
dari sakunya, diletakkannya di atas batang kayu yang meng"gelem"
pang di sana. Dengan sekali pukul, dia pecahkan kacang yang
keras itu dengan tinjunya. Hati-hati dia pisahkan isi dari kulit,
kemudian dia berikan kepada anakku.
"Musim ini yang banyak berbuah adalah almon dan nougat.
Tetapi nougat pun tidak akan banyak yang dapat dipanen jika
istri Tuan Serge terus-menerus datang."
Aku tidak mengerti maksud kalimatnya itu, kutanyakan apa
arti kata-katanya. "Anda tidak lihat" Sejak selesai makan siang, nyonya itu
tidak hentinya mengelilingi rimbunan pohon-pohon nougat, dari
samping timur ke depan, lalu ke samping barat rumah. Meskipun
banyak pohon itu di kebun, tetapi kalau dia sering datang, pasti"
lah pada musim panen nanti tidak akan ada lagi buah yang ke"
tinggalan." Aku dapat merasakan kegusaran suaranya, seolah-olah buahbuah itu akulah yang memetiknya.
"Tapi apakah sudah ada buah-buah yang cukup tua pada
waktu ini?" "Oh, itu tidak menjadi soal buat dia. Justru buah-buah yang
masih hijau yang dia petik!"
Kata Monique, sejak Joseph datang di La Barka, kebun keli"
hatan lebih mengesankan. Aku memang dapat melihat sendiri
bagai"mana laki-laki setengah umur itu bekerja sepenuh hati.
Sehari"an kami jarang melihatnya di dekat rumah. Bila orang
berjalan-jalan di kebun petang hari, sering kali kelihatan Joseph
masih meneruskan kerjanya hingga udara menjadi remang men"
La Barka 1.indd 54 jelang malam. Apalagi pada bulan-bulan Juli dan Agustus, di
mana sinar matahari baru lenyap sama sekali dari permukaan
bumi di Prancis Selatan pada pukul 10 atau 11 malam.
Setelah beberapa hari tinggal di La Barka, aku dapat menge"
tahui bahwa Joseph bukan orang kasar. Bila dia terlalu banyak
minum anggur merah, sering dari mulutnya keluar kata-kata
ke"ras, mengkritik segala macam aturan pemerintah, mencela
orang-orang dengan siapa dia pernah berhubungan, baik dalam
kerja maupun perbantahan. Tapi pada umumnya dia tidak meng"
gangguku. Berbicara mengenai alam, itulah yang paling meng"
asyikkan. Dia mempunyai pengetahuan luas mengenai hal ini.
Dan aku merasa bahwa apa yang dikatakannya adalah benar.
Anjing-anjing menurut dan taat kepadanya. Binatang-binatang
memiliki naluri kuat untuk segera mengerti apakah seorang
men"jadi kawan atau musuh. Kata Monique, Joseph tidak suka
kepada kanak-kanak. Tetapi bukti yang kulihat dia sering-sering
berbicara amat manisnya dengan anakku yang berkunjung di
belakang garasi. Pada dasarnya, laki-laki itu tidak suka kegaduhan.
Aku segera mengerti sifat-sifatnya yang suka menyendiri. Kukira
sebab itulah dia memilih kebun sebagai daerah kerjanya: karena
sebagai bekas pilot di zaman perang tentulah dia akan dapat
memperoleh jenis pekerjaan lain seandainya dia mau. Caranya
memelihara kebun seperti memelihara miliknya sendiri. Petakpetak sayuran yang dipelihara di samping garasi, walaupun tanah"
nya kering, dapat menghasilkan daun-daun selada, wortel, ken"
tang dan bermacam sayur lain yang bermanfaat.
Kuikuti anakku menaiki tanah berbongkah-bongkah. Kadangkadang dia membungkuk berpegang pada daun ilalang, men"cari
keseimbangan badan untuk lebih kuat mendaki. Di sana-sini ke"
dengaran gerisik ranting patah. Dua atau tiga kelinci berlari"an.
La Barka 1.indd 55 Itu adalah waktu yang paling digemari anakku. Kesenangannya
berjalan-jalan kuarahkan ke jurusan yang sebaik mungkin. Kami
melihat berbagai binatang kecil, beragam daun dan bunga pa"dang,
kami berbicara tidak hentinya. Kukira semua kanak-kanak dapat
ditumbuhkan dengan cara yang sama. Tergantung bagaimana
kita menyuguhkan kesempatan yang tersedia itu dengan sebaikbaiknya.
Kami mendaki semakin mendekati pagar di samping rumah.
Sinar kuning tertumpah di atas bukit, tampak segar dari tempatku
berdiri. Semuanya diam. Kadang-kadang suara mobil jauh dibawa
angin lamat-lamat sampai ke La Barka. Hari semakin mendekati
masa tidur bagi margasatwa. Tidak ada lagi suara burung yang
dapat mengingatkan kami bahwa kebun itu merupakan hutan
kecil yang dihuni berbagai binatang. Dari depan anakku menoleh
dan memanggilku. Sekali lagi aku mengikutinya. Tanah mulai
me"nanjak tajam. Kutuntun tangannya. Kusingkapkan rimbunan
daun-daun di depanku, tampak istri Serge duduk di batang kayu
cemara yang dikeringkan. Dia mengangkat kepalanya untuk ber"
kata, "Ah, saya kira Joseph!"
Aku tidak berkata apa-apa dan mendekatinya. Kulepas ta"
ngan anakku. Tanpa mengindahkan aku lagi, Suzanne meng"am"
bil sesuatu dari sakunya, diletakkan di atas sebuah batu. De"ngan
batu lain dia pukul benda itu, dikupas lalu dimasukkan ke mulut.
Seluruhnya dikerjakan dengan cara yang lena masa bodoh. Aku
berdiri mengamatinya. Lebih-lebih kuamati mulut yang ber"
komat"kamit mengunyah biji-biji nougat muda. Mukanya meng"
ingatkan aku pada seekor tikus abu-abu dengan dua mata ber"
sinar, tetapi dingin dan selalu kecemasan.
Jengkerik mulai bermusik di sudut kebun. Kucari anakku.
La Barka 1.indd 56 Tentulah dia telah naik ke rumah. Jalan kecil yang ada di depan
dikenalnya dengan baik. Aku beranjak dari tempatku, mengikuti
jalan itu. Tetapi Suzanne bersuara lagi.
"Anda tidak mau?"
"Apa?" Aku ganti bertanya tanpa berhenti.
"Buah nougat." "Tidak. Sayang buah-buah yang masih muda itu dipetik."
Aku langsung menuju rumah, ketiga anjing kulihat berdiri
bersama anakku di dekat pondok Joseph.
Sesudah makan malam, keluarga Monique berangkat kem"bali
ke Cannes. Francine tinggal dengan kami hingga larut malam.
Dua hari kemudian, seperti telah direncanakan, aku turun
ke Draguignan tinggal di rumah Francine bersama anakku.
Rumahnya masih baru, terdiri dari dua kamar tidur, sebuah ruang
panjang untuk ruang tamu dan tempat makan, dapur yang cukup
besar dan dua kamar mandi. Kebun di belakang penuh pohon
anggur, sedang lebat berbuah. Di depan dan di samping terdapat
latar yang rindang oleh pohon-pohon apel, jeruk, serta aprikot.
Tidak ada garasi. Mobil-mobil diparkir di bawah pohon apel di
samping bangunan kayu tempat alat-alat berkebun. Telah ada
timbunan bata dan semen di pojok kebun untuk pendirian garasi.
Mungkin mereka menunggu biaya atau kesempatan.
Seperti di La Barka, aku lebih banyak mengajak anakku ting"
gal di kebun daripada di dalam rumah. Pagi hari, Francine dan
Ren" berangkat ke tempat kerja masing-masing. Boleh dikata"
kan selalu Ren" yang berangkat lebih dulu ke hanggar di mana
dia dan seorang kawannya mengusahakan tempat penjualan
mobil-mobil bekas tetapi masih dalam keadaan baik. Francine
meninggalkan rumah sesudah pukul 9, bahkan kadang-kadang
pukul 10 lebih. Kalau dia harus berangkat pagi-pagi, itu dise"bab"
La Barka 1.indd 57 kan oleh perjanjian dengan seorang langganan untuk membicara"
kan barang dagangan. Hari pertama bersama suami-istri itu aku tidak menemukan
sesuatu yang aneh dalam pergaulan mereka. Kuperhatikan me"reka
tidak berciuman pada waktu berpisah maupun bertemu. Tetapi ini
bukan hal yang luar biasa. Banyak suami-istri yang demi"kian.
Hari berikutnya berlalu dengan cara yang sama. Kemudian
pada suatu hari, kalau tidak salah hari Jumat pagi, Francine
berang"kat pagi-pagi sekali. Aku bahkan tidak melihatnya. Se"
waktu masih di tempat tidur, lamat-lamat aku mendengar suara
mobil di halaman, lalu menjauh. Seperti biasa, sebelum keluar
dari kamar aku menyisir rambut, sekedar meluruskannya agar
kelihatan agak rapi. Dengan baju kamar saja, aku masuk ke dapur
untuk menyediakan makanan pagi.
Kudapati Ren" telah ada di sana, duduk menghadapi secangkir
kopi susu sambil membaca surat kabar. Kuucapkan selamat pagi,
dan langsung menyiapkan bubur anakku.
Tanpa kusadari, aku merasa gugup. Ren" meninggalkan baca"
annya, bercakap-cakap dengan anakku mengenai berbagai soal.
Dari apa-apa yang dia sukai untuk makan pagi, kucing yang ber"
main di kebun, sampai-sampai kepada apa-apa yang dia ingat
mengenai ayahnya. Kanak-kanak yang berumur tiga tahun tidak
mempunyai perbendaharaan kata. Tetapi anakku mengerti semua
atau hampir semua yang dikatakan orang kepadanya. Dia juga
mengetahui cara-cara yang berhasil untuk memikat hati orang.
Akhirnya, aku duduk menyuapinya di depan Ren".
"Saya dengar suara mobil pagi-pagi sekali. Saya kira Anda
yang berangkat," kataku.
"Francine yang berangkat ke Nice."
"Kapan pulang?"
La Barka 1.indd 58 "Nanti malam. Dia bilang tidak perlu ditunggu makan."
Aku berbicara seadanya, asal tidak tampak kaku di depan
Ren". Aku tidak pernah makan pagi dengan lahap. Pagi itu
lebih-lebih lagi! Sama sekali aku tidak lapar. Kegugupan menjadi
kecanggungan. Duduk di sana, di depan Ren" yang selalu tampan
dan kokoh dalam pakaian atau sikap apa pun, dengan rambutku
yang setengah terurai tanpa aturan, dengan baju kamarku yang
tua dan longgar, benar-benar aku tidak memiliki perasaan keras"
an. Aku tidak tahu apakah Ren" melihat kecanggunganku. Yang
kutahu, dia biasa, lemah-lembut, melayani aku dengan sebaikbaiknya.
Sewaktu aku berdiri hendak meringkasi meja, dia berkata,
"Kalau Anda mau ke kolam renang, saya antar."
"Baik kolamnya?"
"Cukup. Ada bagian dangkal buat anak-anak."
Tapi aku enggan "Banyak yang berenang atau tidak?"
"Biasanya banyak."
"Lebih baik saya di rumah saja. Terima kasih."
"Hari ini ada tetangga yang datang buat membersihkan ru"
mah, menyikat lantai dan jendela. Anda tidak mau keluar untuk
menghindari debu?" "Kami bisa tinggal di kebun. Anak saya suka sekali berlari-lari
di antara pohon-pohon anggur."
Ren" tidak berkata lagi, tersenyum dengan anehnya.
Cangkir dan bekas-bekas makanan pagi kami tumpuk di
samping tempat cucian. Tetangga yang akan membersihkan
rumah akan mencucinya, kata Ren". Aku kembali ke kamar dan
ber"ganti baju. Setelah mengatur tempat tidur dan bersisir, kuajak
anakku keluar. La Barka 1.indd 59 Perempuan pembersih rumah telah datang. Dia ada di ruang
tamu menjalankan alat pengisap debu. Aku menyalaminya de"
ngan singkat. Hari terang, hanya anginnya kencang dan agak dingin. Di
samping rumah, mobil Ren" masih berada di tempatnya. Tanpa
sengaja aku memandang ke jam tanganku. Sembilan lebih dua
puluh lima menit. Ren" terlambat sekali.
Anakku melepaskan gandengan tanganku dan mulai berkelana
se"orang diri dari pojok satu ke tempat lain, memetik ini dan
itu. Aku terus mengelilingi rumah hingga ke samping dapur. Di
bawah pohon jeruk terdapat meja, bangku kayu dan beberapa
kursi kebun. Kudapati Ren" duduk di sana dengan surat kabar
di tangannya. Kedua kakinya yang menyilang terletak dengan
lena di atas meja. Pakaiannya tetap piyama yang sama. Dia tidak
meli"hatku. Semula aku ingin mengatakan hari telah cukup siang
untuk berangkat bekerja. Tetapi kemudian aku memutuskan ber"
balik menemui anakku, lalu mengitari rumah dari samping lain
menuju ke kebun anggur. Pada sebuah sudut yang agak rimbun terlindung dari angin,
aku menumpuk onggokan jerami dan daun kering, sehingga
me"rupakan sarang, tempat kami bertiduran serta bermain jualbeli setiap hari. Kebun tetangga sebelah ditanami jagung dan
bermacam-macam bayam serta selada. Anakku dengan tubuhnya
yang kecil kadang-kadang menerobos pagar menemui orang di
sana, lalu kembali ke sarang kami dengan keranjang kecilnya
yang berisi penuh. Pagi itu, setelah bermain beberapa waktu denganku, dia mulai


La Barka Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelisah. Kami dengar suara orang berbicara di rumah kayu yang
ada di kebun samping. Aku mengizinkan anakku pergi. Segera
dia menghilang dari pandanganku. Kuambil sikap duduk yang
La Barka 1.indd 60 paling nyaman, bersandar ke pagar dengan melonjorkan kedua
kaki. Langit silau oleh terangnya matahari. Sekali-sekali angin
bertiup cukup keras. Pohon-pohon anggur sarat dengan buah
muda, meniupkan napas segar harum. Aku memejamkan mata.
Seorang diri di pojok kebun, berkas-berkas sinar hangat jatuh
di mukaku, aku tidak dapat menolak buat berpikir kepadamu.
Apakah itu kerinduan atau rasa terharu, aku tidak tahu dengan
pasti. Keduanya merupakan derita yang nikmat. Dan untuk kese"
kian kali, kubayangkan saat-saat kita berdua, timbul-tenggelam
seperti rentetan film yang diputar tanpa suara.
Entah berapa lama aku tinggal demikian. Kudengar langkah
orang di atas tanah berbatu-batu kecil, disusul suara Ren" ber"
bicara dengan tetangga, di kebun sebelah. Sebelum aku sempat
bangkit mengambil posisi pantas, Ren" telah mendekati sarang
kami. Dari tempatku setengah berbaring, tubuhnya tampak me"
rupa dengan latar belakang langit. Wajahnya menatapku sambil
tersenyum. Seolah-olah tidak melihat keterperanjatanku, dia
lang"sung menjatuhkan diri di sampingku sambil menghirup
udara panjang-panjang. "Jadi inilah tempat persembunyian Anda."
Aku tidak menyahut. Aku juga tidak beringsut sedikit pun,
khawatir akan memecahkan kenyamanan orang yang berbaring
di sisiku. Aku melirik. Kakinya panjang, melampaui lapisan jerami
yang kususun sebagai alas di atas tanah yang berumput kering.
Celananya berwarna cokelat dari beledu bergaris-garis. Bajunya
berpotongan sportif, hampir sewarna dengan yang kupakai, hijau
zaitun, tertutup hangat hingga ke lehernya. Dia tidak bersepatu,
hanya memakai sandal pantai.
Berbagai pikiran singgah di kepalaku. Ren" belum pergi ke
La Barka 1.indd 61 pekerjaannya. Melihat caranya berpakaian, dia tidak akan segera
berangkat. Mungkin dia akan bekerja di siang hari sesudah makan.
Tetapi apa peduliku memikirkan itu semua. Bukan urusanku kalau
orang tidak atau belum pergi ke tempatnya bekerja. Hanya saja,
karena aku berada di sana, berdua dengan dia, masing-masing
dengan sikap yang lena dan bebas, menjadikan aku tidak tenang.
Dari balik pagar aku tidak lagi mendengar suara tetangga
maupun anakku. Kadang-kadang angin masih bertiup, keras
dan sejuk mengiris tulang. Kudekapkan kedua lenganku ke dada
untuk menapis panas baju pada lapisan kulitku.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk beringsut agak ke
belakang, lalu duduk tegak bersandar pada pohon apel rendah
yang dijadikan pagar di sana. Seperti hendak menenteramkan
perasaan aku berkata, "Tidak terdengar lagi suara anak saya."
"Oh, jangan khawatir. Nyonya Carosse tentu membawanya
ke sebelah lain untuk melihat kelinci atau kambing."
Dia langsung menyahut seolah telah menduga dari semula
kalimat-kalimat yang akan kuucapkan. Mataya tetap terpejam,
lalu menyambung, "Siapa tahu, mungkin waktu ini anak Anda sedang mencicipi
keju yang baru jadi bikinan nyonya itu."
Aku terdiam. Sama sekali tidak tahu apa yang harus kukatakan
lagi. Tiba-tiba Ren" menggerakkan kepala, menoleh kepadaku.
"Nyonya Carosse adalah seorang di antara sedikit nyonyanyonya tua zaman ini yang membikin keju di rumah dari hasil
susu peternakannya sendiri. Rasanya, hmm," telunjuk kanannya
ditemukannya dengan ibu jari, lalu diletakkan ke mulut.
"Saya tidak tahu bahwa Nyonya Carosse juga mempunyai
peternakan," tanpa ragu-ragu aku menjawabnya.
La Barka 1.indd 62 "Hanya dua sapi betina dan satu jantan, lebih dari selusin
kambing, disusul ayam dan kelinci yang selalu dibeli tetangga
atau dimakan sendiri."
Ren" bangkit dan duduk menghadapiku. Lalu sambungnya,
"Berbicara tentang makan, apa yang akan kita makan siang
ini?" Aku tidak menjawab langsung.
"Pukul berapa sekarang?" aku ganti bertanya.
"Sebelas lebih, hampir setengah dua belas."
"Saya tidak sadar bahwa hari telah sesiang ini." Lalu dengan
memberanikan diri kutanyakan, "Anda tidak ke hanggar?"
"Tidak," jawabnya singkat, lalu melanjutkan pokok percakapan
semula. "Akan saya lihat apa yang ada di lemari es, kemudian saya
kabarkan kepada Anda. Saya juga harus membayar pembersih
rumah. Tugasnya sampai pukul setengah dua belas."
Ren" tidak segera kembali. Anakku menerobos lubang pagar.
Keranjang kecilnya diisi Nyonya Carosse dengan buah-buah
aprikot yang pertama masak musim itu. Aku meneruskan ber"
main-main dengan anakku sambil menunggu Ren". Waktu ber"
lalu tanpa setahuku. Ketika kulihat jam telah menunjukkan setengah satu, aku
memutuskan untuk kembali ke rumah, terutama karena angin
semakin kencang. Meskipun panas matahari tetap memancar,
sarang kami telah terlindung oleh atap bangunan kayu yang ter"
letak tidak jauh dari sana.
Kami dapati Ren" di dapur. Tanpa memberitahuku, dia telah
menyiapkan segala keperluan meja dan memasak di sudut kebun
di dekat pintu yang menuju ke dapur. Di meja bahkan kelihatan se"
gelas bunga-bunga yang baru dipetik dari rumpunan pagar depan.
Siang itu kami makan iga biri-biri muda yang lezat. Terus
La Barka 1.indd 63 terang aku menikmati makan siang itu seperti telah lama aku
tidak mengalaminya. Iga biri-biri muda itu dipanggang di atas api ranting dan dahan
kayu kering di sudut dekat meja dan pintu. Ren" menerangkan
bagaimana dia menyiapkan daging tersebut sebelum dibakar,
yaitu melumurinya dengan campuran minyak zaitun serta ber"ba"
gai ramuan bumbu daun thym, laurier, dan romarin. Baunya sedap
memenuhi kebun. Sikap Ren" ringan, jauh lebih ramah dan bebas dari saat-saat
Francine ada di antara kami. Dengan kesabaran yang nyata, dia
membuat anakku makan dengan lahap, hal yang tidak setiap
hari terjadi. Aku tidak dapat melepaskan diri dari pikiran bahwa
laki-laki itu sedang berusaha memikatku. Ia melayani aku serba
cepat. Ketika aku menolong meringkasi meja, sesudah makan,
dia melarangku mencuci piring.
"Anak Anda tentu perlu cepat tidur siang ini."
Dia memang benar. Lagi pula tidak sering seorang laki-laki
melarangku mencuci piring ataupun mengerjakan sesuatu kesi"
bukan rumah tangga lainnya. Jadi aku mengikuti anjuran"nya.
Anakku kubawa ke kamar mandi. Tanpa membantah, kucuci
mukanya, kaki dan tangannya. Jendela kamar kututup sedikit,
melindungi dari sinar matahari.
Aku hampir ikut tertidur di sampingnya, ketika kudengar
telepon berdering di ruang tamu. Ren" menyahut dan berbicara
beberapa waktu. Aku keluar dengan diam-diam ke kebun. Ketika
melalui dapur, kulihat semuanya bersih. Ren" telah mencuci
serta mengatur pecah-belah dengan rapi.
Aku tenggelam ke dalam bacaanku tanpa memikirkan waktu.
Sebentar-sebentar aku hanya mengangkat muka untuk melihat
rimbunan daun-daun di atasku. Udara lebih hangat karena angin
La Barka 1.indd 64 telah mereda. Matahari masih meninggalkan kekuningannya.
Dari tempatku bersandar, aku tidak dapat melihatnya.
"Bukunya kelihatan mengasyikkan," kudengar tiba-tiba suara
Ren" di belakangku. Aku menegakkan dudukku untuk menoleh. Dia berbaring di
atas ayunan dari anyaman tali yang diikat di antara dua pohon,
merupakan tempat tidur yang lengkung.
"Biasa," jawabku. "Akhirnya selalu baik."
"Roman?" "Detektif. Bacaan terbaik untuk berlibur."
Aku berdiri perlahan. "Sudah lama Anda di sini?"
Betul-betul aku tidak mendengarnya datang.
"Sudah satu jam lebih. Saya sudah tidur lelap sekali."
Kulihat jam di pergelanganku. Sebentar lagi anakku akan
bangun. Aku melangkah mengitari tempat itu buat melemaskan
urat-urat kaki. "Anda berlibur hari ini?" aku bertanya.
"Ya benar." "Sering-sering demikian?"
"Malangnya tidak. Kalau Francine ke luar kota, saya tinggal
seharian di rumah seperti ini."
Justru kalau istrinya tidak ada di kota! Tentulah laki-laki ini
lebih bersifat damai daripada apa yang hingga kini kudengar.
"Francine mengetahui ini?"
"Mungkin. Saya sendiri tidak pernah mengatakannya."
Ren" berbicara tanpa memandang kepadaku. Mukanya yang
tampan menengadah, begitu jernih, seolah terbuat dari kaca
berwarna yang lembut dan berharga. Pandangnya terpancang di
antara dahan-dahan, mungkin menerobos lebih jauh, ke langit
atau ke awan yang mengiringkan tenggelamnya hari.
La Barka 1.indd 65 "Anda selalu tidur di kebun seperti ini?"
"Pada musim panas, ya. Bila ada waktu, saya selalu tidur di
sini." "Biasanya orang-orang lebih memilih pergi ke kolam renang
atau ke pantai." Dia tidak segera menjawab. Aku tetap mengamatinya. Tibatiba dia menoleh. Kami bertatapan pandang; sejenak kutahan
tancapan sinar matanya yang abu-abu kebiruan itu. Lalu kami
tersenyum bersama-sama. Dia berkata perlahan, kali ini dialah
yang mengamatiku. Aku seperti hendak melarikan diri, mengalih"
kan mata ke tempat lain. "Saya lebih suka bersendiri. Tempat-tempat yang ramai, kalau
bisa saya hindari." Tanpa melihat kepadanya, aku tersenyum mengerti. Dia lebih
simpatik bagiku kini daripada hari-hari yang telah lalu.
Sewaktu anakku bangun, Ren" mengajak kami keliling kota
naik mobil. Dia membawa kami hingga ke batas Barat, di mana
terdapat batu kuno dolmen yang dikunjungi pelancong-pelancong
yang lewat daerah itu. Francine kembali setelah kami selesai makan malam. Seperti
biasa, aku mengerjakan sulaman di meja makan karena lampunya
yang terang. Francine duduk di sebelah lain, memeriksa buku
keuangan tokonya. Sebentar-sebentar dia menceritakan apaapa yang dialaminya hari itu, siapa yang ditemuinya, di mana
dia makan dan sebagainya. Aku menyahut di sana-sini. Ren"
keli"hatan memaksa diri untuk berbaik hati. Tetapi tidak banyak
bicara. Akhirnya, Francine menutup buku dan membuka-buka
majalah mode yang diterimanya hari itu.
"Apa yang akan kita kerjakan akhir pekan ini?" katanya.
Aku tidak pasti kepada siapa kalimat tersebut ditujukan.
La Barka 1.indd 66 Kuangkat muka, kulihat Francine memandang suaminya yang
duduk setengah berbaring di kursi tebal sambil membalik-balik
majalah otomobil. "Ren"!" panggil Francine.
"Ehm." "Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Oh, maaf." Tapi Ren" tetap menenggelamkan muka ke majalahnya.
"Apa yang akan kita kerjakan Sabtu-Minggu ini?"
"Ah, entahlah."
Jelaslah jawaban itu mengesalkan hati Francine. Dikesam"
pingkannya majalah mode itu lalu menatapku.
"Ah, entahlah!" katanya, meniru suara suaminya. "Selalu itu
jawabannya." Seperti hendak mengetahui akibat kata-katanya itu, Francine
mengarahkan pandang ke arah Ren". Tetapi suaminya tetap
membaca saja. "Jawaban itu klasik dari Ren": entah, atau: saya pikir nanti,
atau: sesuka hatimu," kata Francine lagi, sambil memandang
kepadaku. Diam-diam aku meneruskan kerjaku, sekali-sekali melihat
ke arah Francine atau Ren". Aku berpikir keras, bagaimana se"
baiknya menanggapi keadaan itu. Aku harus bijaksana, berkalikali hatiku berkata.
Francine melanjutkan, "Dengan Ren", sesuatu tidak pernah atau jarang menjadi pasti.
Berita Ekslusif 2 Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin Api Di Bukit Menoreh 23
^