Pencarian

Lalita 2

Lalita Karya Ayu Utami Bagian 2


Perempuan itu bangkit. "Saya kira sudah waktunya saya tidur. Selamat malam, Yuda."
"Lalita..." "Ya?" "Terimakasih. Selamat malam juga."
B andung . K amar kos itu telah jenuh dengan uap tubuh mereka. Tak ada pendingin. Hanya ada kipas angin dan radio yang menyala nyaring untuk menyamarkan suara persetubuhan. Yuda mengingat-ingat gerakan Perempuan Indigo sambil mencoba, diam-diam, mengatur posisi tubuh Marja. Tapi mengapa ia tidak juga mengalami sensasi tutup sampanye itu dengan kekasihnya. Ia melakukan yang serupa dengan saatsaat ia bersama Perempuan Indigo: Kaki tidak rapat. Kaki sedikit membuka. (Marja berteori, lelaki yang naik motor akan bercinta dengan kaki agak terbuka, sementara yang naik mobil cenderung merapatkan kakinya sesuai posisi kaki mereka saat berkendaraan.) Sekarang ia meminta Marja berpijak pada betisnya. Itu seingatnya dilakukan Lalita (terkadang kaki kanannya merujuk ke atas mencari keseimbangan, mendentingkan genta-genta kecil di pergelangan). Yuda sendiri melakukan apa yang disebutnya gerakan ungkit, yang mengandalkan otot perut. Tapi, untuk pertama kalinya ia merasa Marja tidak mengejar dengan maksimal. Padahal selama ini Marja adalah ceweknya yang paling binal paling kenyal.
Di antara erangan cintanya Yuda menyelipkan ungkapan baru: kejar, Marja.. kejar aku. Tapi ia tak mengalami juga axis mundi kecil itu. Ia mencoba posisi lain. Sia-sia. Ia tak cepat putus asa.
"Sudah ah, Yuda!" tiba-tiba Marja berkata. "Ah. Kenapa?"
"K-kamu... kayak robot."
"Masa" Ini kan baru ketiga. Kita pernah sembilan kali." "Iya sih. T-tapi itu kan seharian."
"Tapi ini kan baru ketiga?"
"Iya, Yuda. Tapi... kamu... kamu kayak robot," Marja menjawab dengan berat.
Yuda masih membujuk. "Sekali-sekali berfantasi sama robot kan seru juga..."
Marja tertawa tapi tetap merajuk. "Aku capek. Lihat saja. Aku kering. Coba aja, pasti gak bisa. Dan kamu kayak robot." Gadis itu kuyup oleh keringat. Pangkal dan ujung rambutnya melekat oleh basah. Pipi dan bibirnya merah segar. Ah, ia sungguh berbeda dengan perempuan iblis keturunan drakula yang tak pernah berkeringat itu, yang tak bisa kau ketahui wajah aslinya.
Beberapa saat kemudian Yuda menyerah. Ia heran bahw a kini Marja bisa seperti arca yang baru selesai ditatah dan dijemur: kasap, tak berlumut. Selama ini gadis itu selalu membuat ia tergelincir. Ia mulai didera sedikit gelisah.
"Kita cari makan dulu ke luar, Yuda," kata Marja. Gadis itu mengecilkan suara radio, membuka jendela agar udara bert ukar, memaksimalkan kipas angin. Yuda mengamati belakang gadisnya, pinggang yang rapat, lekuk kecil otot sebelum tulang punggung berakhir, tempat keringat kerap mengerling.
Marja mengajak Yuda ke warung tenda pojok jalan langganan mereka. Tapi Yuda mengajak pergi ke kafe yang lebih gaya.
"Aku lagi ada duit," katanya. "Kamu menang taruhan lagi?"
"Bukan. Aku ngajar teknik pengamanan ketinggian untuk para wartawan foto."
Mereka duduk di sebuah kafe, di mana kau bisa memilih kopi toraja, lampung, mandailing, juga turkish ataupun irish coffee dengan sedikit wishki; bisa makan spageti, lasagna, nasi goreng hongkong yang pucat, stik daging, dengan salad atau sup krim jamur. Demikianlah menu yang sedang naik daun di masa itu di kelas itu.
"Kita jangan sering-sering makan di sini," kata Marja setelah menghabiskan seporsi lasagna.
"Kenapa?" "Mahal. Dan bikin gendut." Marja mengelap saus yang menempel di bibirnya. "Mungkin aku harus belajar jadi vegetarian juga kayak Parang Jati."
"Ah. Justru itu. Makanya kita harus sering-sering berc inta yang hot. Supaya gak cepet gendut."
Marja tersenyum kecil, tapi dengan segera matanya menerawang ke luar jendela.
Yuda mencoba menyangkal bahwa ia melihat kekasihnya melamun. Ia membelai anak-anak rambut Marja yang masih lembab oleh keringat. "Abis ini, kita bercinta lagi ya!"
Marja memandanginya sambil tersenyum. "Tapi jangan kayak robot."
Yuda sedikit tidak senang karena gadisnya menyebut itu berulang kali. Kayak robot, kayak robot. Tapi mungkin sesungguhnya ia frustrasi karena tidak bisa mengalami axis mundi bersama Marja.
"Masa sih aku kayak robot" Robot itu kan kalau gerakannya kaku. Maju mundur maju mundur dalam garis lurus." Ia mer asa sudah membuat gerakan ungkit yang ia jamin hanya lelaki dengan otot perut liat saja yang bisa melakukan liukan itu tapi pacarnya masih mengatai dia seperti robot.
"Bukan gerakannya. Gerakannya bagus. Tapi... kamu tadi kayak gak pake perasaan. Seperti teknis saja."
Mereka terdiam. Mungkin Marja betul. Sebab Yuda memang tidak terutama menikmati perbuatan itu, melainkan sibuk mencari terapan pengetahuan baru. Marja berjiwa seni (karena itu ia memilih jurusan seni rupa ITB). Ia punya kepekaan tentang rasa-rasa. Ia tahu membedakan sesu atu yang punya rasa dan yang sekadar teknis. Tapi Yuda suka menyangkal rasa bersalahnya. Tiba-tiba ia teringat bahwa Marja pun baru pulang berlibur dengan Parang Jati.
"Gimana liburan ke candi-candi kemarin" Kamu ngapain aja sama Parang Jati?"
Sebetulnya ia tidak bermaksud mengajukan tuduhan bahwa Marja berselingkuh dengan Parang Jati, sekalipun ia menduga itu sangat bisa terjadi. Di luar dugaannya, Marja menjadi sensitif.
"Maksudnya apa" Kamu nuduh aku ngapa-ngapain sama Parang Jati?"
"Aku tidak menuduh apa-apa, Marja. Kok kamu marah sih?"
Marja merengut. Yuda mendesah. "Kalau kamu gak ngapa-ngapain kan kamu seharusnya tidak perlu marah."
"Kamu nuduh aku berbuat apa-apa sama Parang Jati"!" "Tidak. Aku tidak menuduh. Jangan marah dong." "Bagaimana aku tidak marah, Yuda!" suara Marja mulai meninggi.
"Kenapa aku dimarahi... Apa salahku, Marja?" suara Yuda lelaki sok bijak. Ia percaya bahwa lelaki lebih bijak daripada perempuan.
"Lihat dirimu, Yuda! Kamu bahkan tidak merasa bersalah sama sekali!"
Yuda tercekat. Apakah Marja tahu hubungannya dengan Perempuan Indigo"
"Kamu yang berkhianat, Yuda. Tapi kamu tidak pun merasa."
Yuda menelan ludah. "Apa kabar temanmu akrabmu itu sekarang?" "T-teman?"
"Iya. Apa kabar teman kamu yang perwira garong itu, yang kamu bela habis-habisan sampai kamu khianati aku dan Parang Jati?"
Ah. Yuda menarik nafas lega. Marja tidak bicara soal Lalita. Ia bicara soal pengkhianatan yang sebelum ini.
"Musa Wanara" Katanya kamu sudah memaafkan dia. D-dia masih sakit. Dia masih tidak begitu ingat dirinya siapa. Kamu tahu..." Perwira yang malang itu, yang terbaring dengan mata kosong di Rumah Sakit Angkatan Darat. Ah. Yuda memang mengkhianati sahabat dan kekasihnya dalam urusan itu.
"Aku dalam keadaan sulit waktu itu, Marja. Aku minta tolong Musa Wanara untuk mengintimidasi dosen killer yang tak mau memberiku ujian ulangan. Aku terancam drop out, Marja. Kamu tahu." Tapi utang perbuatan jahat tak pernah gratis. Musa Wanara adalah pemburu jimat. Tanpa sadar, Yuda memberitahu bahwa Parang Jati dan sekelompok arkeolog menemukan prasasti yang diduga bertuah di sebuah candi makam di Jawa Timur: prasasti bertuliskan mantra Bhairawa Cakra. Musa Wanara menginginkan prasasti itu. Maka giliran Yuda harus membantu perwira pemburu jimat itu mencuri. * Tapi dosa paling besarnya adalah mencuri dari sahabatnya sendiri, Parang Jati, yang ketika itu pun sedang dimintanya menjaga Marja. Ah ia memang bersalah. Bayangkan. Ia membantu perbuatan kriminal terhadap sahabat sendiri. Pada
* Lihat Seri Bilangan Fu sebelumnya, Manjali dan Cakrabirawa.
akhirnya, rencana tak mulia itu agaknya tak direstui semesta. Dalam usaha pencurian, Musa Wanara terperosok ke dalam sumur yang ternyata bersambung dengan lorong yang dalam. Perwira itu kekurangan banyak oksigen ketika terjepit dalam sumur. Kini ia masih belum bisa mengingat siapa dirinya. "A-aku memang keterlaluan, Marja."
Parang Jati pun begitu marah sehingga ia membawa Marja berlibur berdua. Yuda menduga bahwa keduanya Marja dan Parang Jati menghukum dia dengan perselingkuhan selama liburan.
"Kamu harus minta maaf yang sungguhan pada Parang Jati." "Ya, Marja."
"Kamu harus minta maaf. Kamu sudah mengkhianatinya, padahal dia baik sekali padamu."
"Ya, Marja. Berilah aku waktu."
"Kamu tidak tahu bagaimana dia baik pada kamu." "Aku tahu, Marja."
"Tidak. Kamu tidak tahu."
"Ya, deh... Aku tidak tahu, Marja." "Kamu mengejek aku?"
"Ya ampun. Tidak, Marja. Masa aku mengejek kamu?" "Kamu pakai 'ya deh'! Kamu meledek!"
"Ya ampun, Marja. Kenapa kamu jadi sensi begitu" Kamu lagi mau mens?"
"Kamu mengejek perempuan?" "Ya ampun..."
"Kamu tidak usah bawa-bawa mens. Kamu tidak tahu rasanya jadi perempuan!"
Yuda hampir putus asa. Ia tak mengerti kenapa Marja jadi begitu agresif, tak seperti biasanya. Apakah gadisnya mengetahui sesuatu" Atau justru menutupi sesuatu"
"Marja, ampun, maafkan aku, Marja. Aku tidak mau meledek siapapun. M-menurut aku, perempuan yang mau mens itu justru sangat menarik. Mereka memang jadi sulit ditebak. Tapi biasanya mereka semakin bergairah, bukan" Perempuan yang bergairah itu juga menggairahkan..."
Ah. Yuda tahu ia sudah menggunakan salah satu cara paling norak untuk menjinakkan perempuan marah: menyatakan betapa mereka menarik dan seksi. Tapi tidak mempan. Bahkan kali ini Marja merasa bahwa bujukan itu sangat kampungan. Mulut gadis itu merapat, tanda dia tak ingin bicara lagi. Yuda mati akal. Hari lain ia bersama Perempuan Indigo, yang memberinya sensasi tutup sampanye, lalu menjadi cemburu di penghujung percakapan seusai bercinta. Hari ini ia bers ama kekasihnya, yang biasanya manis lucu tapi kali ini jadi sep erti kucing mendekis menunjukkan taring.
Tapi Yuda suka meringankan, jika bukan menutupi, kesalahannya sendiri. Kali ini ia tidak bisa menghapuskan bahwa ia bersalah. Hanya saja, ia tak ingin berdosa sendirian. Ia tidak mau menutup kemungkinan bahwa Marja dan Parang Jati pun berkhianat pada dia. Sama seperti ia berkhianat pada mereka. Kedudukan seri. Jadi, kenapa Marja menjadi agresif" Apakah gadis itu mengendus perselingkuhannya dengan Perempuan Indigo" Ataukah Marja sedang menyembunyikan penyelewengannya sendiri dengan Parang Jati"
Teleponnya bergetar terus sedari tadi. Ia telah mengheningkan deringnya, tetapi sejak tadi benda itu bergidik di saku celananya, membuat ia menggerinjal beberapa kali dan Marja menyadarinya dengan hati kesal.
"Ngapain sih kamu, geli-geli sendiri begitu!" "Handponku."
"Kenapa gak diterima?" "Bentar ya. Mungkin Ibu..."
Dengan agak gelisah Yuda mengambil telepon genggamnya. Dilihatnya nama Indigo mengedip di layar. Mampus, Lalita menelepon di saat genting begini. Cepat-cepat ia tekan tombol tolak. Pada saat itu ia melihat pesan masuk pula. Dari Jisheng. Segera ia membukanya.
Yuda, can I stay at your place tonight"
Ah, Yuda dapat alasan mengelabui Marja tentang siapa yang mengontak. Baru ia mengetik, telepon bergetar lagi. Nama Indigo mengedip-ngedip lagi. Ia matikan lagi, buru-buru. "Kenapa gak diterima aja sih?" tukas Marja. "Ah. Reseh."
"Siapa?" "Itu. Anak Singapura," Yuda berbohong tentang yang menelepon, tapi tidak perihal yang mengirim pesan. "Dia mau nginep di rumah Ibu. Dia harus berhemat kayaknya. Jadi selalu cari tumpangan. Tapi, kan bisa sms aja. Aku susah ngomong sama dia di telepon. Bahasa Inggrisnya logatnya aneh. Makanya aku malas angkat telepon."
Untuk mencegah telepon Lalita, ia membalas Jisheng dengan singkat: ask mom; lalu cepat-cepat menelepon ibunya. "Bu, temanku yang waktu itu, yang orang Singapura itu, mau nginep lagi di rumah, kalau Ibu gak keberatan. Nanti dia akan kontak Ibu. Dia bisa bantu kasih makan kucing." Ibunya menjawab dan Yuda mengangguk-angguk. Setelah itu Yuda segera mematikan teleponnya. Uh, sementara, satu persoalan selesai.
"Anak Singapura itu bisa bicara bahasa Indonesia?" kata Marja.
"Gak terlalu sih."
"Terus, gimana dia bisa telepon Ibu?"
H ari itu mereka berangkat ke Jakarta bersama. Sandi Yuda dan Parang Jati. Dua sahabat yang sedang memperbaiki hubungan yang sempat tegang. Sandi Yuda berwajah bengal, berambut lurus cepak, dengan retak kecil pada satu gigi seri berkat keliaran di masa kanak. Parang Jati bermata bidadari, berlesung pipit dengan baris gigi yang rapi, berambut ikal. Keduanya adalah pasangan panjat tebing. Keduanya pura-pura melupakan hal-hal serta dugaan tak enak di antara mereka.
Kali ini Yuda tidak mengizinkan Parang Jati mengemudi motor. Ia merasa Parang Jati kurang ngebut. Ia harus tiba di rumah sebelum keponakannya ngambek. Hari Minggu itu ada pesta ulang tahun salah satu cucu ibunya, dan anak tanggung itu meminta setelan dari factory outlet tertentu di Bandung. Yuda sudah diwanti-wanti agar tidak kelewat telat membawakan kado.
Beberapa bingkai pemandangan indah antara Bandung dan Jakarta terlewat begitu saja. Warna hijau Fujifilm hilang. Masuklah motor mereka ke dalam kusam potret tahun enampuluhan. Kodak tua. Asap bis kota yang mengelabukan seluruh gambar. Cawang yang terhempas debu Cililitan. Jalan Panjaitan yang tak mengandung satu kafe cerah sama sekali. Hanya disko dangdut yang tertutup rapat dan tak menyala di waktu siang. Jalan Pemuda. Jalan Matraman. Kompleks militer tua yang dihuni pensiunan. Rumah-rumah peningg alan Belanda yang telah ditumbuhi kandang-kandang.
Di dalam rumah itu anak-anak dan orang dewasa sedang bernyanyi dalam nada yang tak keruan: selamat panjang umur! Sambil bertepuk tangan. Jam kakek mendentangkan bunyi seperempat.
"Nah! Om Yuda! Mana kadonya?" "Eh, Nak Jati! Apa kabar, Nak Jati?"
Yuda melihat seseorang yang tak terlalu pas berada di tengah keluargan ya: Jisheng. Pemuda belor berambut kawat itu duduk di sebelah ibunya, menonton anak-anak kecil bergantian meniup lilin. Kucing Topeng duduk di pangkuannya, mendengkur nyaman. Ah, entah bagaimana, si belor ternyata berhasil mengontak ibunya dengan bahasa Indonesia yang pas-pasan. Padahal ibu Yuda sama sekali tidak bisa bahasa selain Indonesia dan Jawa. Setidaknya, Yuda senang karena itu membuktikan bahwa Marja salah. Ibunya bercerita bahwa Jisheng tidak menelepon, melainkan nongol begitu saja di depan jendela tatkala si Ibu sedang mengerjak an jahitan. Ibu tidak kaget" tanya Yuda. Tentu saja kaget, jawab sang ibu. Tapi wajah pemuda itu mengingatkan Ibu pada anak angsa kehilangan induk. Lalu, benar katamu, Nak, dia bisa membantu memberi makan kucing. Ah, syukurlah Jisheng dan ibunya kini berteman (meskipun ia tak tahu bagaimana mereka berkomunikasi). Masalahnya...
Masalahnya, malam ini kakak-kakakmu dan cucu-cucuku juga mau menginap. Jadi, kamu dan Nak Jati tidak dapat kamar. Jisheng akan tidur di sofa karena kamarmu dipakai cucu-cucu.
"Tidak apa, Tante," kata Parang Jati. "Kami bisa nginap di wisma Suhubudi Jakarta."
Mereka makan siang, beramah-tamah sebentar, lalu bersiap cabut. Yuda tak tahan terlalu lama dengan suara anak kecil dan ibu-ibu. Frekuensi bunyi para monster cilik dan monster bergincu membuat kepalanya seperti mau meledak. Oh, sungguh takut ia membayangkan jika suatu hari melihat Marja menjadi satu dari monster bergincu. Tapi ia tak bisa langsung kabur. Jisheng mengajak ngobrol Parang Jati dengan urusan yang tidak perlu.
Di mana bisa olah raga pagi"
Ah, Parang Jati bukan orang Jakarta. Tak tahu dia. Kalau kamu mau lari pagi sepuluh kilometer ya di Senayan atau Ragunan.
Saya dengar ada Falun Gong di Senayan" Apa itu Gong apa"
Parang Jati menerangkan apa itu Falun Gong. Sungguh percakapan yang sia-sia bagi Yuda. "Oh itu! Kakek-kakek Cina senam pagi!" kata Yuda. Pembicaraan melantur hingga soal pendukung Dalai Lama di Indonesia. Yuda kenal para fans fanatik Dalai Lama di Indonesia. Mereka pernah bertemu di Galeri dan ngobrol soal alat-alat pendakian sebab duta Indonesia untuk Dalai Lama itu mau ke Himalaya. Lalu celotehan beralih tentang Buddhisme Tibet yang mendapatkan pengaruh dari Sriwijaya. Dan akhirnya soal ceramah Lalita berjudul Mandala dan Misteri Bodobudur yang dijadwalkan sore itu di Galeri, sebagai penutup dari pameran.
"Do you guys plan to go there?" tanya Jisheng. Parang Jati menoleh pada Yuda. "Kalau tidak ada rencana lain, kenapa tidak?"
Yuda sebetulnya agak ragu. Bukan ia tak rindu pada Lalita. Bukan ia tak penasaran. Tapi ia tidak ingin Parang Jati terlibat di sini. Sialnya Parang Jati sangat suka pada pengetahuan tentang candi-candi. Dua lawan satu. Ia kalah. Lebih sial lagi, Jisheng yang tampaknya sangat berhemat itu bertanya apakah mungkin mereka pergi bersama. Maka berangkatlah tiga pemuda itu dengan satu motor. Yuda menyetir. Parang Jati di tengah. Jisheng menempel seperti konde kaput. Hari Minggu, semoga tak ada polisi.
Di lampu merah Yuda mengirim pesan kepada Lalita bahwa ia akan hadir dalam ceramah itu bersama teman. Ia takut Lalita akan marah padanya di muka orang, di hadapan Parang Jati, sebab sebelumnya ia mengaku tidak bisa datang ke acara itu. Sepanjang perjalanan Yuda gelisah seolah sebuah rahasia akan terbongkar...
Tak seorang pun tahu apakah Yuda kini memasuki momen autis, atau mengalami sesuatu yang lain. Ia merasa dunia sayup-sayup hilang. Ceramah Lalita terdengar bagai dengung alam semesta yang memuai, perlahan meninggalkan dia. Kini ia sendiri di pusat kekosongan. Ia masih bisa merasakan gelombang. Ia terayun-ayun dalam suara rendah. Ia merasakan sesuatu yang konsentris.
Mandala. Bagan konsentris. Barangkali ceramah Lalita menelusup ke bawah sadarnya. Lalita sedang bercerita tentang model-model mandala yang ada di dunia ini. Poros dunia. Axis mundi. Tapi Yuda tak sanggup mendengarkannya. Ia jatuh tertidur.
Barangkali ia menarik diri dari dunia dalam ruangan itu karena, diam-diam, ia minder. Tapi tentu saja ia tidak menga kuinya. Ceramah itu dalam bahasa Inggris. Sebagian tamu yang datang adalah orang asing: pecinta kebudayaan Nusantara undangan Indonesian Heritage Society, ibu-ibu dari International Women's Club, wakil budaya kedutaan asing.
Mana Oscar" Lelaki itu bolak-balik sambil menyapa tamu. Yuda tampak seperti seorang pecinta alam yang kumuh. Pakaiannya kaus oblong dan kemeja kotak-kotak, berbau asap Bandung Jakarta. Kemampuan Inggrisnya hanya cukup untuk bercakap tentang akomodasi dengan Jisheng. Ia menjelma makhluk tanpa bahasa.
Parang Jati tidak. Sahabatnya itu berbahasa Inggris dengan baik. Mahasiswa geologi ITB itu juga tahu sangat banyak tentang percandian dan simbol-simbol spiritualitas yang dibicarakan Lalita di panggung. Ayah angkatnya adalah seorang guru kebatinan tersohor: Suhubudi. Pergaulan ayah angkatnya membuat Parang Jati menguasai bahasa kalangan intelektual, sekalipun hari itu ia juga berbau knalpot. Barangkali Yuda merasa iri pada Parang Jati, atau tersingkir dalam komunikasi di ruangan itu. Daripada memilih mengejar pengetahuan yang tak akan bisa ia rangkum dalam satu jam, tubuhnya memilih ngantuk dan tidur. Pada usia semuda ini, ia masih suka menyangkal banyak hal.
Ketika diskusi telah usai, ia disergap enggan untuk menghampiri Lalita. Ada yang mencekat. Tiba-tiba Lalita tampak begitu gemerlap dan ia anjing kampung yang dicaci. Tiba-tiba ia merasa bahwa birahi yang ada di antara mereka sangat dalam dan rahasia. Gelap. Axis mundi kecil itu, yang mensyaratkan kesei mbangan penuh antara lelaki dan perempuan, dan yang mereka bisa mencapainya... ah, itu hanya diizinkan di kamar gelap yang tak diketahui. Di tempat yang seutuhnya kedap. Seb uah rahim buatan yang kejam. Di luar itu adalah dunia yang berbeda. Di luar itu tidak ada kesetaraan. Sang Wanita bagai ratu. Ia, Sandi Yuda, hanyalah ponggawa yang bisa dipanggil atau dibuang sesukanya. Ia merasa melankoli. Lalu ia membiarkan dunia mengambil keputusan-keputusan sendiri...
Tahu-tahu mereka sudah berada di rumah Lalita lagi. Vila dalam sebuah kompleks yang memisahkan diri dari kekumuhan. Menurut Parang Jati, mereka berdua sepakat untuk memenuhi ajakan makan malam sambil melihat-lihat koleksi model mandala, lebih banyak daripada yang tadi diperlihatkan dalam presentasi. Mungkin Yuda bilang ya, tanpa sepenuhnya peduli pada yang ia katakan. Mungkin tadi ia berada dalam momen autis, betapapun sejenak.
Lalu malam telah terlampau larut. Kalau kalian belum menelepon wisma Suhubudi, menginap sajalah di sini. Ada kamar tidur tamu. Berkata Lalita. Pada saat itu barulah Yuda teringat pada Jisheng. Kenapa anak itu tidak ada di sini" Bukankah mereka bertiga tadi berangkat bersama naik motor" Lalita tidak mengajaknya, kata Parang Jati. Seharusnya Yuda telah curiga.
Pada saat ia berada di ambang tidur Parang Jati di sisinya, berbagi ranjang yang sama dalam kamar yang telah ia ketahui teleponnya bergetar. Bukan Marja. Nama Indigo mengerling di layar biru, memancar di kegelapan, seperti mata yang berbahaya. Ya Tuhan, ini jam dua malam. Ia melirik pada Parang Jati. Sahabatnya begitu lelap. Nyaris tak ada gerakannya.
Ia berbisik menjawab panggilan. "Ya?" Ia sengaja tidak menyebut nama.
Yuda bisa merasakan nafas perempuan itu berhembus dari dalam teleponnya.
"Sayang, aku tidak bisa tidur." Yuda tercekat. "K-kenapa?" "Saya inginkan kamu."
Yuda menelan ludah celaka. "A-apa yang bisa saya lakukan?" "Kamu ke sini... "
"T-tapi..." "Atau aku ke sana."
Pada jam dua malam, ia menemukan seorang perempuan, dalam riasan boneka. Sepasang bulu merak pada pelupuknya. Buah ceri merah keunguan pada bibirnya. Bola matanya gelap oleh bayang-bayang surai lentik yang tak manusiawi. Rambutrambut suteranya berkelung di ujung-ujung laksana kehidupan palsu. Perempuan itu duduk di atas ranjang, bersandar bantalbantal bulu angsa. Hamparan sutra ungu mengungkapkan kuning kulitnya. Korset hitam mengetatkan pinggulnya, menyemb ulkan dadanya yang keibuan: Mencucuplah, menghisaplah dariku, seakan kau tak bisa kenyang. Perempuan itu merindukan dia, siapapun dia, yang akan mengembalikan kei ndaha n rasa memberi hidup, betapapun sesaat.
Setelah itu Yuda berjalan kembali ke kamar tidurnya seperti mayat yang disihir. Tubuh yang kosong oleh penganiayaan setempat yang menghisap jiwanya. Dilihatnya Parang Jati tidur memunggungi; nafasnya lembut dan tenang. Nafas manusia. Tiba-tiba mayat hidup dirinya mampu berpikir kembali: tidak mungkinkah perempuan drakula itu menelepon sahabatnya setelah ia tidur mati" Tidak mungkinkah istri sang iblis itu mengambil anak yang kedua pada malam yang sama"
I a bukan satu satunya lelaki.
Yuda memacu motornya. Tangannya mencengkram gas. Mesin di antara kakinya menggeram dalam putaran tinggi. Bahan bakar, ataukah darah mudanya, menggelegak. Ia tak tahu lagi, apakah ia masih bisa menebak. Atau menikmati tebak-tebakan. Ia berharap ia tak bermata gelap.
Sebab, janganlah sampai gelap matamu. Tak kah kau ingat, apa yang kuberikan bagimu lebih banyak daripada yang kau berikan kepadaku. Bukankah kamar gelapku mengajari kamu tentang sesuatu yang tak diketahui lagi oleh anak-anak abad digital" Yaitu, bahwa gambar ya, gambar menjelmakan dirinya perlahan-lahan. Tapi kau lebih suka mengingat yang jorok daripada pengetahuan. Susuku yang lembut dan rindu serta kegelapanku kau kenang. Tapi ilmu yang kuajarkan kau lupakan.
Wahai. Anak-anak abad digital adalah anak-anak malang yang kehilangan satu misteri. Yaitu, bahwa dunia ini memiliki bayang-bayang. Apa yang kau lihat ini berasal dari kebalikannya.
Apa yang di kanan adalah yang di kiri. Yang putih terbit dari yang hitam. Yang hijau adalah merah, dan kuning nyalang adalah indigo. Sungguh, anak-anak digital tidak mengerti lagi itu. Tapi, kau... di kamar gelapku kau tahu rahasia itu. Sebab semua pembalikan itu terjadi diam-diam, di tempat gelap.
Jantung Yuda berdebar. Ia ingat. Perempuan dengan mata bulu merak itu duduk di atasnya, memakai zirah kekuasaan. Perempuan itu memotretinya. Wajah liarnya yang jadi merintih. Liurnya yang menitik. Dadanya yang bidang. Rambut ketiaknya. Perutnya yang bersekat. Benihnya yang tumpah di sana. Ketika segar. Juga ketika telah mencair. Kini ia membayangkan sebuah kamar, ataukah sederet album, di mana berjajar potretpotret lelaki muda yang mengerang karena permainan cinta. Darahnya, ataukah bahan bakar motornya, mendidih.
Tapi itu hanya bayanganmu sendiri. Mengapa pula mendidih darahmu karena sesuatu yang tidak kau lihat, sementara yang kau lihat kau lupakan"
Tangan perempuan yang berkuku runcing itu mengenakan sarung. Tangan itu menyentuh dan mengajari jemarinya memindahkan gulungan film ke dalam tabung cuci, mengisi tabung itu dengan cairan pengembang yang basa seperti mani. Kocoklah dua kali, pelan-pelan, penuh perasaan, setiap satu menit. Bayangkan kau mengocok tabungmu sendiri, dalam gerakan pelan. Seni adalah tahu kapan mengocok dan kapan berhenti. Betapa anak-anak fotografi digital telah kehilangan sensualitas. Mereka tak tahu lagi bau dan tekstur yang ada pada selembar gambar. Dingin alumunium. Kaku plastik. Basah dan aroma cuka.
Dalam kamar gelap tangan perempuan itu meraba, menyentuh, memutar sehingga lampu di puncak alat-pembesar itu menyoroti film yang telah matang, dan sinar serta bebayang jatuh pada kertas foto yang dipasang empat puluh senti di bawahnya. Sinar-sinar itu akan mencetak gambar. Jemari berkuku tajam yang bersarung tangan karet itu merendam kert as foto pada cairan developer. Dan lihatlah, di bawah cahaya merah yang asam dan menakjubkan, gambar muncul perl ahan-lahan, seolah memberimu waktu untuk takjub. Ah, inilah yang otentik. Tahukah kau" Foto artinya sinar, grafi artinya gambar. Fotografi adalah sinar yang menggambar. Yang sekarang kau sebut fotografi digital itu palsu belaka, kataku. Pada digital, bukan sinar yang mencipta gambar. Huh, gambar itu terbuat dari pigmen! Pigmen yang disimpan dalam baki mesin cetak. Fotografi palsu. Pada fotografi yang sejati yang sekarang, dengan tidak adil, kau sebut fotografi analog kami tidak menggunakan cat atau pigmen sama sekali. Itulah yang membuat fotografi berbeda dari seni lukis!
Tapi pada wajah perempuan itu begitu banyak pigmen menempel. Yuda membuang ludah. Ia marah bahwa yang dikatakan perempuan itu berbalikan dengan perempuan itu sendiri.
Perempuan Indigo tertawa, di langit kota. Anak-anak abad dig ital tidak memahami lagi pembalikan. Anak-anak digital tak tahu bahwa manusia memiliki bayang-bayang. Sungguh kasihan. Tapi sesungguhnya kau mengamuk karena bayang-bayangmu sendiri: yaitu bahwa aku bercumbu dengan sahabatmu. Siapa namanya" Parang Jati. Wahai! Kenapa kamu marah pada yang tidak kamu lihat, sedangkan yang kau lihat kau lupakan"
Yuda meludah lagi. Ia merasa rongga mulutnya dipenuhi ampas knalpot kemacetan. Sirene menjerit-jerit, pertanda buruk. Lampu hijau berganti merah. Perempuan itu telah men g?" ajarinya: ada yang ajaib pada warna merah dan hijau. Merah dan hijau adalah warna yang berlawanan, tapi juga warna yang berpasangan. Sebagai lampu lalu lintas, keduanya melambangkan makna yang berlawanan, tapi juga berpasangan. Warna-warna dengan kekuatan setara. Dan orang memilih warna itu dalam lampu trafik tanpa perlu tahu teori skema warna.
Artinya, tidakkah tubuh kita mengetahui sesuatu mengenai warna-warna itu"
(Tubuh memiliki pengetahuannya sendiri. Pengetahuan dalam darah. Gnosis sanguinis. Seekor serigala bernama Sebul pernah mengatakan itu dalam mimpinya.)
Di pelupuknya seseorang kembali tertawa. Lelaki itu: Janaka, ataukah Jataka. Abang, ataukah saudara kembar, Lalita. Dalam penasarannya Yuda menemui lelaki itu lagi, kemarin ataukah kemarin lusa.
"Ah! Apa yang bisa dia bilang tentang warna?" Suara menghinanya mengiang kembali di antara ribut jalan raya dan menit-menit lampu merah. "Dia buta warna, Yuda!" Yuda menelan ludah.
Segala hal bertolak belakang. Segala hal bertentangan. Ia benci melihat wajah menang Janaka ataukah Jataka. Adikku itu buta warna, Yuda. Ia tidak bisa membedakan hijau dan merah. Sebelum ada komputer yang canggih, pembantu setianya menjadi matanya dalam memilih warna. Sekarang, ia punya software khusus untuk mengetahui kadar cyan magenta yellow tiga ukuran unsur yang bisa membentuk segala rona warna. Ia tahu warna secara teoretis, tapi ia tidak melihatnya. Bahwa dia memilih indigo sebagai karakternya, itu lantaran ia bisa melihat warna itu dengan cukup aman. Tapi ia melihat merah dan hijau sama sebagai kelabu. Ia sangat istimewa. Buta warna adalah kasus jarang pada wanita. Terlebih buta hijau dan merah. Ia sangat cerdas juga. Ia bisa menutupi segala kekurangannya. Seperti ia menutupi seluruh wajahnya dengan make-up. Luar biasa. Menakutkan.
Tapi, kau harus tahu, ia bukanlah yang kau lihat. Dan kau harus ingat empat lelaki yang namanya kutulis di balik kartu dulu.
Berhati-hatilah. Ia mungkin membawa bencana bagimu. Atau bagi keluargamu. Atau temanmu. Atau kekasihmu...
Lampu hijau. Marja. Nama itu menderam bersama hentakan motornya yang sedari tadi tak sabar. Anak manis itu, sang kekasih, tak seorang pun boleh melukainya. Betapa manis anak itu. Segar pipinya dan merah bibirnya. Inosen. Tak tahu apa-apa tentang yang kulakukan ini. Setitik airmata tergenang di mata Yuda. Cemas demikian mendera sekarang. Keringat dingin melembabkan telapaknya. Ia telah menelepon Parang Jati untuk memastikan bahwa Marja dalam keadaan aman.
Ia sendiri sedang di Jakarta saat menerima sms menakutkan itu, dua puluh menit lalu. Marja bagai huruf menjerit: Tolong. Aku mau diperkosa. Ia segera menelepon Marja, tapi telepon itu tidak bisa dihubungi lagi. Tak ada nada. Hanya suara perempuan persetan yang berkata: nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif; silakan mencoba beberapa menit lagi. Ia ingin berteriak. Ia menghubungi Parang Jati. Teleponnya bersahut. Parang Jati di Bandung juga. Jati, cari Marja! Cari Marja! Ia bilang ada yang mau memperkosanya. Kerahkan geng kita. Kabari aku setiap perkembangan!
Di benaknya cuma ada satu nama: Lalita. Si Perempuan Indigo. Iblis betina keturunan Drakula. Primadona yang menyimpan cemburu dalam hati jika perempuan itu memiliki hati. Wanita bertopeng tanpa sosok di dalam dirinya, selain bayang-bayang kekosongan. Kegelapan yang menghisap titiktitik terang. Kedengkian yang mengirimkan kaki-tangan...
Seluruh tubuh Yuda meremang. Mimpi seramnya menggerayang kembali. Tapi kapankah ia bermimpi" Ia tak bisa ingat kapan ia bermimpi...
Sesosok hantu tanpa kepala. Tubuhnya perempuan. Duduk di depan meja rias yang cerminnya mengeluarkan cahaya. Tapi cahaya itu adalah cahaya yang hanya menerangi diri sendiri. Seperti fosfor. Ruang itu kelam. Sebongkah tengkorak terpacak pada meja rias. Si hantu mengambilnya dan meletakkannya pada puncak lehernya. Kini ia hantu dengan kepala jerangkong. Lalu ia mengambil bola mata dari kotak perhiasan, seperti kristal dengan batu kecubung, dan memasangkan pada kedua rongga. Ia mengambil daging seperti lembar-lembar lilin ataukah sashimi dalam restoran Jepang ganjil itu dan menyaluti tengkoraknya, satu per satu. Ia membentuk hidung lancip, memas ang wig sutra, menaburi wajah barunya dengan tepung maizena, dan melukiskan yang semula tak ada. Ia membikin wajahnya sendiri. Wajah Lalita. Bibir merah sirup frambosen.
Rasa mengenali wajah itu begitu menakjubkan Yuda sehingg a ia memanggilnya Sebul. Lalu kepala itu berubah menjadi kepala jakal. Serigala tembaga. Makhluk itu mengend us ia lalu bergoyang di atas tubuhnya seraya tertawa: "Itu adalah bilangan yang menciptakan dirinya sendiri."
Bilangan Fu. Yuda merasa mual menerjang lambungnya. Mual itu adalah sesosok jenglot, sejenis bayi ataukah janin berbentuk gump alan akar gingseng, yang menghisap darah ataukah memuncratkan racun. Perempuan Sihir itu telah mengirim itu ke dalam perutnya. Syarafnya terkontaminasi. Dan darahnya jadi hitam.
Ia memacu motornya dengan darah ataukah bahan bakar yang kotor jelantah; membuat tubuhnya ataukah mo?"" tornya gemetaran. Ia bergidik membayangkan bahwa ia pernah berkali-kali tidur dengan iblis itu. Ah, iblis yang memberi dia aniaya setempat dalam rupa jepitan botol sampanye. Kamar cahaya merah dan asam kalajengking. Sesuatu tegang di kelangkangnya.
Iblis itu seperti tertawa di langit kota. Sebab seorang pemuda terjebak dalam dongeng istana. Lihat si malang. Dia merasa dirinya pangeran, berkuda demi membebaskan seorang putri yang terjerat kutuk Ratu Sihir. Putri itu akan tidur seribu tahun. Sang pangeran malang memacu kudanya menuju puri abad pertengahan, tempat Ratu Sihir itu semayam. Sebuah kota kastil yang dikelilingi benteng. Sebuah dongeng yang terbalik. Sebab kota kastil ini membentengi dirinya bukan dari belantara hutan melainkan dari kekumuhan tak berbatas. Pohon belukar duri yang dulu mengelilingi puri itu, yang telah membunuh banyak pangeran sejak seribu tahun silam, kini menjelma manusia-manusia miskin, para pencoleng, preman dan pemuda gopek, tukang ojeg, tukang tambal ban yang menebar paku di jalan-jalan.
Pangeran itu datang untuk membunuh Ratu Sihir. Tapi, seperti kau dengar dalam dongeng, kelak ia tahu bahwa kek uatannya tak sebesar itu. Pedangnya tak cukup tajam untuk bisa menebas ratu yang bertelekung tanduk dengan jubah hitam ungu. Ia harus bernegosiasi dengan setan itu. Dan Ratu Sihir itu telah menyimpan kelemahannya dalam botol; yaitu beberapa tetes benihnya. Beberapa tetes yang diperahnya beberapa waktu lalu. Kelak, sang pangeran harus berkata, dengan penuh kepahlawanan, "Bebaskan kekasihku. Apapun bayarannya!" Lalu, sambil tergelak Sang Ratu mem inta lelaki muda itu sendiri sebagai bayaran, menjebloskannya ke dalam bunker bawah tanah, tempat Sang Ratu bisa menghisap cairannya manakala suka. Tetapi Iblis perempuan itu tidak akan pernah membebaskan sang putri.
Yuda memasuki gerbang kastil tanpa halangan. Penjaga berwajah kasar itu membuka tangkai besi tanpa bertanya. Bahk an memberinya sebuah hormat ketentaraan. Barangkali dal am keadaan marah Yuda memiliki gestur seorang militer. Barangkali penjaga itu mengira ia seorang perwira. Tapi, barangkali sesuatu yang terlalu mudah adalah jebakan.
Tubuhnya tahu jalan yang dituju. Sebuah vila ungu di tengah taman dengan bunga tumbergia dan bugenvil. Tapi kini ia merasa darahnya berbalik arah. Sebuah sedan Timor milik polisi terparkir di seberang jalan. Ada apa" Tapi Yuda tahu bahwa ragu bukanlah sikap yang menguntungkan orang dalam bahaya. Sebagai pemanjat ia tahu, ragu bukannya tak memakan energi. Ia lebih suka mengambil risiko daripada bimbang. Ia membelokkan motornya dan memarkirnya di halaman, lalu berjalan menuju rumah dengan langkah gegas dan siaga. Ia memang tampak seperti seorang perwira muda berpakaian sipil.
Di garasi, satu-satunya akses yang terbuka, ia berpapasan dengan seorang polisi. Perasaannya sungguh tak enak. Tapi polisi itu lalu berhenti sejenak, bersikap tegak dan memberi hormat. Insting memberi tahu Yuda untuk membalas salam militer itu. Latar keluarga dan pergaulannya membuat ia terbiasa dengan bahasa tubuh militer. Polisi berpangkat sersan itu pasti mengira ia seorang "anggota". Perasaannya semakin kacau. Terutama sehubungan dengan Marja. Terlampau banyak yang tak bisa ia duga perihal Lalita.
Lehernya terasa kering. Ia menelan ludah. Ruang duduk itu seperti kapal pecah. Patung-patung dewa telah tumbang dan bergelimpangan. Segala laci tercerabut dari lemari. Jok pada sofa tercungkil. Beberapa kaca bingkai lukisan pecah. Ia yakin seluruh ruangan di rumah ini dalam keadaan demikian. Tapi kakinya mengatakan bahwa ia harus menemukan perempuan itu lebih dulu daripada memeriksa bagian lain rumah ini. Tubuhnya seperti tahu ke mana harus menuju.
Kamar gelap di bawah tanah itu kini terang benderang. Dua lampu neon panjangnya menyala. Sepasang lampu yang Yuda tak pernah tahu ada di siku langit-langit. Ia melihat seorang polisi sedang berjongkok di hadapan perempuan yang duduk di sofa itu. Sofa tempat Lalita beberapa kali memberinya sensasi tutup sampanye. Tapi perempuan itu, tubuhnya kini tertutup kain yang tampaknya baru saja diselubungkan oleh si polisi. Tubuh itu bergetar begitu keras sehingga kain tak bisa menyembunyikannya. Yuda belum pernah melihat makhluk gemetar seperti itu. Dan tubuh itu tidak lagi mengenakan korset zirahnya. Punggung si pemuda meremang saat ia melihat wajah itu.
Wajah itu tanpa riasan sama sekali. Tak ada sepasang bulu merak congkak ungu keemasan padanya. Tak ada bibir ranum buah ceri. Tak ada rona jambu pada pipi. Kulit itu berwarna pucat, dengan sedikit bercak, pigmen yang tak rata, tanda usia. Bibirnya agak kelabu dan berkerut, seperti daging terkena asap. Bibir itu tak kuasa menahan rahang yang gemeretuk, yang menggoyangkan kulit pipinya pula. Rambutnya sengkarut dan menipis. Pada lantai berserak segumpal-segumpal rambut sutra yang masih mengilap dan tersemat jepit halus.
Tapi yang paling mencekam Yuda adalah matanya. Mata yang kesedihannya menakutkan ataukah ketakutannya menggiriskan. Mata itu lebar, nyaris membelalak. Tapi itulah kali pertama Yuda merasa melihat sesosok manusia yang matanya terpasang terbalik. Mata yang tidak memandang kepada dunia, melainkan melihat ke dalam, kepada kekosongan tak terperi yang ada di dalam jiwanya sendiri. Mata itu menatapmu, tapi ia tidak menatapmu. Ia menolak melihatmu. Sebaliknya, di sana kau melihat suatu lubang gelap kehampaan. Kehampaan yang jangan kau pandangi lama-lama sebab akan menghisapmu ke dalamnya. Itulah matanya yang sesungguhnya. Selama ini ia mengenakan topeng merak itu pada pelupuk, sehingga ia tampak seperti manusia. Tapi kini kau melihat matanya yang sesungguhnya, yang terpasang terbalik. Ia malu, ia cemas, ia sedih, sebab engkau kini telah mengetahui rahasianya.
Kini kau telah tahu juga bibirnya yang kering dan letih, pipinya yang kusam dan bernoda. Padahal ia tidak mau dunia melihat itu. Ia tidak mau dunia melihat ia sebagai sesosok mumi: tanpa warna meriah kehidupan. Tanpa rona keremajaan. Menjadi tua dan mati adalah hal yang paling menakutkan manusia. Sepanjang hidupnya ia menutupi dirin ya yang telanjang mayat kelabu. Tapi kini para polisi dan dirim u sendiri melihat ia tanpa tabir. Kau tak pernah tahu apa rasanya terbuka manakala satu-satunya hal yang kau inginkan di dunia ini adalah menutup. Kau melihat seluruh tubuhnya gemetar. Tapi demi Tuhan kau tak akan pernah tahu apa yang ia rasakan. Ia, hantu yang ingin menjadi manusia.
Yuda menyadari seutas tali tergeletak di lantai. Pergelangan tangan perempuan itu lecet. Polisi itu tampaknya telah mel epaskan si perempuan dari ikatan. Seseorang ataukah seg e?" rombol orang telah melakukan ini semua pada Lalita. Mengobrak-abrik rumah, menelanjangi ia dalam arti yang paling menyakitkan: menghapus segala riasan dari wajahnya, dan membiarkan ia ditemukan polisi dalam keadaan itu. Telanjang dan terikat.
Perempuan itu pernah memberinya rasa poros dunia. Perempuan itu mengajari ia tentang bayang-bayang. Segala sesuatu di dunia ini memiliki pembalikan.
Teleponnya bergetar. Ia angkat.
Suara Parang Jati, "Yuda. Marja ada bersama aku."
Hitam Circa AD XV JERUSALEM INDIA SYRIA ARABIA LYBIA Morenland Circa 1581 Der Welt MESOPODAMIA A S I A I E I D E V R O PA A F R I C A AMERICA D a s R o t e M e e r Engelland Deutchland Die Niewe Welt Babylon Dennemard Griechenland Z"rden Das grosse Mittelmeer P seudosains . Sebagian orang menuduhnya begitu. Ilmu palsu. Tapi tidak, kataku. Sesuatu baru boleh disebut pseudosains jika telah digunakan untuk mencari untung. Tanpa itu, sesuatu hanya boleh disebut sebagai seni, atau bahkan keyakinan, yang belum menemukan bahasa rasional. Inilah kisah yang ditulis Lalita dalam Buku Indigo-nya. Buku besar bersampul kulit warna ungu. Kau boleh mempercayainya. Atau tidak.
Ilmu itu tercatat pada sejilid kertas-kertas tua yang diw ariskan kakeknya, seorang lelaki eksentrik berkulit pucat berm ata hijau dengan hidung besar dan posisi kepala yang selalu sed ikit miring. Lembaran-lembaran menguning dan berbau langut itu berisi manuskrip, catatan, ilustrasi, serta diagram yang hampir semuanya konsentris. Pada awalnya, sebagai perkenalan, suatu hari sang kakek lebih dulu memperlihatkan kertas-kertas yang tampaknya paling muda. Sebagian ilustrasinya diwarnai penuh tak ubahnya lukisan. Tulisannya indah laksana salinan kaligrafi gothik dari seorang rahib abad pertengahan. Catatan dan gambar di sana kakek yang membuatnya, berdasarkan penemuannya sendiri. Tetapi setumpuk sisanya diwariskan secara turun-temurun. Dari leluhur mereka yang hidup di abad ke-15. Bahkan yang, secara ajaib, lebih tua dari itu. Atau yang lebih tepat disebut leluhur spiritual.
Lalita menerima sejilid kertas tua itu, dan sejak itu setiap hari pengetahuannya tentang sang kakek bertambah. Setiap kali pengetahuan itu bertambah banyak, setiap kali pula sang kakek bertambah muda dalam penglihatannya. Pada suatu titik, ia bisa sepenuhnya melihat seorang remaja berumur tiga belas tahun. Anshel Eibensch"tz, yang berdiri kurus kaku dengan telapak kaki menekuk ke dalam dan kepala sedikit miring seolah melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Sekali lagi, kau boleh percaya. Atau tidak.
1889. Paris. Kaki pemuda kecil itu berjingkrak-jingkrak begitu tiba giliran mereka menaiki konstruksi tercanggih di dunia yang baru dibuka dalam perayaaan besar ini. "La Tour Eiffel!" ia berseru dalam bahasa Prancis berlogat Austria, dengan nada dan tekanan pada bunyi ai.
Menara Eiffel. Prancis sedang merayakan peringatan maha besarnya: seratus tahun Revolusi Prancis. Koran dan kabar burung di seluruh Eropa sudah membicarakannya: Paris akan memiliki monumen tertinggi dan tercantik di dunia. Tonggak yang akan segera menjadi pusat kota. Bahkan salah satu poros dunia. Axis mundi. Konstruksinya sudah dimulai sejak dua tahun sebelumnya dan prosesnya yang mendebarkan diikuti para pemirsa dari bulan ke bulan. Hari itu Anshel kecil agak kecewa bahwa penonton hanya boleh naik sampai platform kedua. Tangga menara itu belum sepenuhnya rampung. Padah al ia telah membayang-bayangkan menantang angin akhir musim semi di puncaknya di ketinggian 300 meter. Mata hijaunya mengangankan bisa melihat kota tinggalnya, Wina, yang sudah pasti tidak akan terlihat, jauh di Timur, di wilayah kerajaan Austro-Hongaria tapi barangkali kepala miringnya akan mengizinkan dia menemukannya.
Mereka sekeluarga telah naik keretaapi dari Wina ke Paris, khusus untuk melihat ikon baru kota itu dan Exposition Universelle, pameran dunia akbar, yang menandai perayaan seabad revolusi nan bersejarah. Turis dari pelbagai penjuru Eropa, sebagian dengan payung, menggenangi jalan di tepi Seine dan taman Trocadero yang masih menyisakan aroma musim semi. Setelah melewati Pont d' l"na yang menyeberangi sungai, orang-orang tiba di kaki menara baja itu, yang sekaligus merupakan pintu masuk menuju pameran yang menempati Champ de Mars. Luasnya hampir satu kilometer persegi. Anshel mendengar lidah orang-orang berdecak kagum. Ia sendiri bersiul takjub.
Selain perkembangan teknologi terbaru, komoditi dan prod uk kolonial, mereka menonton pertunjukan eksotis dari negeri-negeri jajahan dan tanah baru. Ada paviliun Village N"gre, Kampung Negro, di mana pengunjung bisa melihat desa-desa primitif dan semi primitif bagaikan di tempat aslinya. Panitia telah membangun kembali rumah adat dari Afrika dan Asia atau negeri jauh lain; lengkap dengan tetumbuhan dan sampel manusianya, orang-orang kulit hitam atau coklat yang dipaket langsung dari tanah jajahan, untuk hidup di sana selama beberapa bulan pameran agar warga peradaban Barat bisa menonton dan mempelajari manusia primitif maupun semi primitif, dan menyadari betapa jauh Eropa telah beranjak dari bangsa primata. Selain itu ada pertunjukan Buffalow Bill "Wild West" di mana ada atraksi koboy dan Indian. Ada satu cewek pirang penembak jitu yang menakjubkan pula. Sirkus ketangkasan itu sungguh menegangkan, sehingga tak pernah sepi penonton.
Tapi Anshel juga anak yang menyukai kesunyian. Ada yang menyapa-nyapa ruhnya manakala ia berada di tempat sepi. Atau dalam dengung musik magis. Sesungguhnya, istilah "musik magis" itu baru ia sebutkan bagi dirinya sendiri di sini. Ketika itu ia tersihir oleh bunyi-bunyi logam yang berasal dari salah satu desa yang ditampilkan di sana. Getaran-getaran aneh membuat suara-suara lain hilang dari telinganya dan ia hanya mendengar lapisan-lapisan ombak yang mengalun bertumpang-tumpangan. Ia terbawa ke suatu tempat, seperti terhisap ke arah tengah lautan.
Ia menyadari di hadapannya kini ada orang-orang kecil berkulit coklat duduk di lantai, masing-masing dengan perangkat musik yang didominasi instrumen logam yang dipacak pada rangka kayu. Mereka seperti berasal dari pepohonan dan memakai kain berwarna monokrom coklat indigo. Alat mus iknya ada yang menyerupai silofon, hanya saja terbuat dari kuningan, lalu perangkat seperti genta-genta aneh yang dipukul pada ujungnya, serta sejenis simbal pelbagai ukuran yang digantung. Mereka tidak membaca partitur. Tidak ada dirigen. Masing-masing seolah bermain sendiri. Tapi paduan itu menghasilkan bunyi-bunyi yang membius.
Ia bertanya pada seorang pemuda, sekitar duapuluhan umurn ya, yang tampaknya sudah sejak lama menyimak di sana.
"Namanya gamelan. Dari Jawa," jawab lelaki muda dengan rambut poni itu, sambil segera menjelaskan sedikit tentang nama asing tadi.
Mereka berkenalan. "Saya Claude," kata si pemuda. "Claude Debussy. Dari sini. Hampir tiap hari saya main ke pameran ini." Anshel merasa getaran gamelan itu berbicara pada jiwanya tanpa melalui otaknya. Ia merasa kepalanya kosong tetapi dadanya penuh. Ia mengamati bentuk gong, instrumen yang gaung beratnya paling menyentuh dasar jiwa. Tapi, kata Claude, kau tidak bisa tiba-tiba berada di dasar. Kau harus menyelam pel an-pelan lebih dulu. Gong hanya ditabuh setelah gelombanggelombang yang lain mengalun engkau untuk menyentuh dasar. Dan gong itu berbentuk bagan konsentris.
Lalu ayahnya membawa ke sebuah tempat di mana ada begitu banyak kepala Buddha dari batu andesit. Sebagiannya dengan proporsi manusia. Kepala-kepala itu ditancapkan pada sunduk besi, atau dipacak pada tatak. Mereka membaca keterangan pameran. Penggalan arca-arca itu diambil dari sebuah kompleks percandian di pulau Jawa, daerah jajahan Kerajaan Belanda jauh di timur. Candi Buddha terbesar yang sejauh ini ditemukan di dunia: Borobudur. Seorang penjaga pameran menunjukkan denahnya. Sebuah bagan konsentris yang disebut mandala.
"Apa pendapatmu?" tanya ayahnya ketika mereka berdua saja, memandangi jajaran kepala yang telah terpisahkan dari tubuh-tubuh yang tertinggal jauh di pulau asing.
Mata hijau anaknya menerawang melampaui kepalakepala berwajah damai.
"Menurut saya, Ayah, seseorang yang sungguh-sungguh mencintai ilmu dan kebijaksanaan tidak akan memenggal kepala-kepala itu dan memamerkannya di sini."
Jawaban itu menunjukkan kecenderungan anaknya ke arah spiritualitas dan kebijaksanaan.
"Mereka seharusnya datang ke sana dan mempelajari segala sesuatunya di sana," lanjut si anak bermata hijau dengan kepala miring.
Si ayah mengelus rambut anaknya. Lelaki itu lalu berbisik, "Menurutku, seluruh pameran kolonial ini adalah pameran rasisme." Ia melirik ke kanan kiri, meyakinkan diri bahwa tak ada orang lain. "Mereka memamerkan orang-orang dari tanah jajahan, yang mereka bilang manusia primitif, seperti suatu kebun binatang. Berhati-hatilah, Nak!"
"Ya Ayah?" "Orang senang pada binatang aneh dan buas sekalipun, sejauh hewan-hewan itu dikurung dalam kandang. Tapi jika binatang-binatang itu berbagi desa atau kota yang sama, hidup setara, mereka tak segan membunuhnya."
Ayahnya mengatakan itu dengan wajah dan suara ringan. Tapi Anshel tahu ada yang mencapai dasar hatinya. Suatu kenyataan pahit tentang manusia.
Mereka orang Yahudi. Bukan kalangan taat. Cukuplah bahwa Anshel, dan semua lelaki dalam keluarga Baruch Eibensch"tz itu, dikhitan sejak bayi. Itu sudah membedakan kel uarga mereka dari orang Katolik maupun Protestan di imperium Austro-Hongaria maupun seluruh Eropa akhir abad ke-19 ini. Dan tanpa harus buka celana, tetangga tahu bahwa mereka tidak pergi ke gereja manapun pada hari Minggu. Tidak makan babi, sekalipun keluarga itu tidak ketat soal kosher tidaknya garam dan bahan makanan lain. Sebetulnya Anshel tertarik pada spiritualitas. Ia suka mencuri baca atau dengar, dalam pertemuan keluarga besar, tentang kabala dan gematria. Tetapi ayahnya tidak ingin agama mendominasi kehidupan keluarga itu. Ayahnya seorang yang skeptis. Mereka beribadah seminimal mungkin, atau tidak sama sekali. Ayahnya lebih suka mengatakan bahwa Yahudi adalah tradisi ketimbang ras atau agama.
"Lagipula, kita memiliki darah Slavia, darah Jerman, dan barangkali saja darah Turki, darah Mongol, dan yang lebih jauh lagi," kata si ayah. "Mata hijaumu adalah mata Afghan."
Pada tahun itu, oleh alasan-alasan yang tidak sepenuhnya diungkapkan kepada anak-anak, ayah dan ibunya memutuskan untuk pindah dari Wina ke sebuah tempat lebih ke timur. Ke arah pegunungan Carpathian, di mana orang menyanyikan lagu rakyat bernada minor dan balada tentang pahlawan perkasa yang melawan pasukan Turki. Liburan ke Paris kemarin, sambil mel ihat peresmian Menara Eiffel dan Exposition Universelle, menjadi tanda peralihan kehidupan masa remaja Anshel. Ia akan menjadi lebih dekat dengan garis darah ibunya yang agak misterius. Bukan Yahudi, melainkan cenderung Slavia. Keluarga itu berpikir untuk mengelola estate dengan kebun anggur, yang dimiliki bersama seorang nenek-bibi yang setahun belakangan ini tinggal di sana.
Anshel selalu mengira Babushka atau Nenek Katarina adalah orang Rusia, meskipun nama belakangnya Szilagyi. Jika bercakap dengannya, Babushka Katarina menggunakan bahasa Jerman bahasa keluarga Anshel dengan suatu logat Slavia. Yang sangat ia ingat tentang perempuan itu adalah rambut pirangn ya yang terjalin rapi, dibentuk lingkaran-lingkaran, seperti sederet biskuit mentega yang ditempel mengitari kepalany a yang selalu sedikit miring. Bajunya hampir selalu hitam dan terasa kuno. Sangat tertutup, dengan korset di pingg ang, serta rok panjang mengembang. Perempuan yang tampak penuh rahasia itu lahir di Miskolc, sebuah kota di kaki perb ukitan karts di wilayah Hongaria, sebelum kerajaan itu bersatu dengan Austria. Lalu ia lama tinggal di Rusia St.Petersburg, Yekaterina kemudian menghilang. Konon ia melangl angbuana ke negerinegeri jauh di Asia Turki, Mesir, India lantas menyeberangi dunia hingga Amerika Serikat, sebelum berlabuh kembali ke tanah kelahirannya. Bagi Anshel, nenek-bibi ini adalah sosok yang menimbulkan rasa penasaran.
Nenek Katarina mengirim kendaraan untuk menjemput keluarga itu dari stasiun Miskolc. Jantung Anshel berdebardebar ketika mereka memasuki lahan perkebunan anggur yang telah ada di sana sejak abad ke-15, ketika wilayah itu dalam kekuasaan Turki. Kata Ibu, Nenek Katarina juga berniat memb uka pemandian ala Turki, dengan air panas alami yang mengalir dari pegunungan di sana, namun dipadu dengan tradisi pengobatan dan meditasi dari India. Itu adalah hasil penjelajahan Katarina hampir sepanjang hidupnya. Ketika itulah Anshel tahu bahwa nenek-bibi telah menganut agama baru. Agama yang mempertemukan agama-agama yang ada di pelbagai penjuru bumi. Ia bukan lagi Kristen seperti umumnya orang Slavia. Ia bukan Yahudi seperti keluarga Ayah. Ia bukan Islam seperti orang Turki. Ia semua itu. Ia bahkan juga Buddhis dan Hindu. Di leher Babushka yang mulai berlipat, tergantung seuntai kalung emas. Anshel melihat leontin dengan simbol aneh. Di pusatnya ada lambang bintang segi enam, serta beberapa lambang lain yang ia tak kenal, salah satunya seperti salib tapi lebih mirip sebuah kunci (kelak ia tahu lambang itu berasal dari Mesir kuno), dan sebagai lingkaran terluar adalah ouroboros ular yang menelan ekornya sendiri, sebuah simbol dari zaman pagan.
Anshel senang pada Babushka. Ada kesamaan di antara mereka: kepala keduanya selalu agak miring. Ayah Anshel yang skeptis selalu mengkritik segala sesuatu dan nyaris tidak percaya apapun, meskipun semua itu tak mengurangi kelembutan dan senyum hangatnya. Sebaliknya, Babushka Katarina selalu punya cerita tentang hal-hal yang bisa dilihat maupun yang tak bisa dilihat. Ia bercerita tentang peperangan antara Pangeran Vlad dengan Sultan Mehmed, tentang orang sederhana yang dikubur di dalam tonggak jembatan sebagai tumbal, juga periperi hutan yang berubah jadi burung layang-layang kar ena diburu-buru oleh para rahib. Ia mendongeng tentang penjelm aan dewa Wisnu yang tampan dan bertubuh biru, putri cantik yang terjun ke dalam api, serta reinkarnasi binatangbinatang di negeri India. Tentang catur yang dimainkan orang Turki. Tentang perpustakaan Sultan Bagdad. Cerita-cerita itu menghibur kerinduan Anshel tentang sesuatu yang ia sendiri tidak tahu. Katarina pun menyenangi Anshel. Perempuan itu seperti menemukan mutiara hitamnya: seseorang dalam keluarga mereka yang ia bisa mewariskan sesuatu.
"Jadi, kenapa Babushka akhirnya pulang ke sini?" tanya Anshel setelah mendengarkan begitu banyak kisah hebat tentang kota dan negeri asing yang dikunjungi Nenek-bibi Katarina. Istanbul, Kairo, Goa, Kalkuta, Madras, Delhi, Ayodhya, Nepal, Kathmandu.
Mereka duduk di serambi, memandangi pegunungan Carpathian yang angker di kejauhan. Di celah bebatu garang dan ker imbunannya dahulu tinggal para pahlawan yang memp ertahankan Eropa dari pasukan Sultan Mehmed. Mereka bernyanyi dalam nada sedih dan membunuh tanpa belaskasih. Itulah jiwa Carpathian. Carpathian adalah benteng alam yang membujur dari utara. Di ujung selatannya ke arah baratdaya terletak Transylvania dan Wallachia, di mana dinasti Drakula dahulu berkuasa. Drakula, sang Ksatria Naga.
Nenek-bibi Katarina termenung sebentar. "Kamu mau jawaban yang sesungguhnya, Nak?" "Kupikir begitu."
Katarina memandang anak itu dengan kepala miring. Begitu pula Anshel balas menatap wanita tua itu, dengan kepala miring. Keduanya seperti sepasang makhluk ganjil yang saling memeriksa dan mengirimkan gelombang satu sama lain. "Aku kembali ke sini untuk menghadapi bayang-bayangku." Anshel menegakkan kepalanya.
"Ya Tuhan! Tentu kau belum bisa paham," kata Nenek Katarina. "Terlalu panjang untuk menjelaskannya. Kau masih terlalu muda..." Ia berpikir sebentar. "Tapi... Begini, kau pernah dengar cerita Drakula?" "Hm. Ya, pernah."
"Lihatlah ke sana, ke arah selatan pegunungan. Legenda menceritakan bahwa Drakula datang dari Transylvania. Ia lahir di sebuah kota di sana, Sighi_oara."
"Itu hanya dongeng bukan?"
Ayahnya mendidik ia untuk tidak percaya yang demikian. Nenek-bibi Katarina tersenyum. Senyum yang membuat kerumitan jadi bersahaja.
"Tentang vampir penghisap darah memang hanya dongeng. Tapi dongeng menceritakan suatu kebenaran dengan cara lain, Nak. Yang penting, kamu harus bisa menemukan cara baca yang lain itu." Ia memandangi cucunya dalam-dalam. "Kamu tahu, dalam dongeng itu, vampir atau drakula tidak punya bayang-bayang?"
"Ya." "Itulah yang kumaksud."
Nenek-bibi tersenyum kembali. Senyum yang membersahajak an kerumitan.
"Dia yang tidak bisa melihat bayang-bayangnya sendiri, dia tidak akan mendapatkan pembebasan."
Camkanlah itu. Di kejauhan mereka melihat petir menyambar. Tak lama kemudian awan membebaskan dirinya menjadi hujan. Anshel termenung. Ia tahu, bahkan awan dan kabut, yang tak bisa dipegang, tetap memiliki bayangan.
A yahnya adalah seorang yang sangat rasional dan skeptis. Kepala lelaki itu selalu tegak sekalipun dahinya berkerut karena berpikir. Jika ia sedang menalar keras, kerenyit di dahinya bagai membentuk sebuah inskripsi. Anshel sudah berb ak at memiringkan kepalanya ke kanan sejak bocah. Kini, ia punya kebiasaan tambahan baru: memiringkan kepalanya ke kiri. Dalam tiga bulan Babushka Katarina telah mengubah penglihatannya dan menambah mimpi-mimpinya.
Sekarang ia kerap bermimpi masuk ke dalam sebuah sumur, dengan menuruni tangga atau tali. Ia juga bermimpi me?" manjat teraju yang serupa, ke atas, hingga begitu tinggi dan kakinya jadi merinding. Sebuah mimpi dari masa kecil sering timbul kembali: ia harus menyembelih seekor kalkun, lalu tibatiba leher unggas itu memanjang dan tak berbulu.
Ia selalu bisa menemukan wajah pada corak bebatu dan kulit pepohon. Ia merasa setiap angin memiliki pusat. Ia merasa ada yang berbisik padanya, tetapi ia tak mengerti bahasa mereka.
Pada musim semi keluarga Baruch Eibensch"tz akan mulai membangun rumah baru di lahan itu sehingga mereka tidak lagi menumpang di tempat Nenek Katarina. Ketika bunga narsis pertama muncul, mungil putih-kuning, para tukang mulai menggali untuk landasan. Babushka mengulang cerita tentang zaman lampau, ketika orang masih mengubur hidup-hidup tumbal dalam konstruksi fondasi, agar roh jahat yang dengki tidak merobohkan bangunan. Pernah yang dikubur adal ah seorang gadis berambut pirang panjang. Rambutnya men yembul di antara semen dan batu-bata sampai lebih sembilan puluh tahun kemudian, seperti benang-benang emas. Tepat pada tahun keseratus, rambut itu memutih.
Persis di saat itu kepala tukang mendatangi mereka, bersama asistennya. Anshel dan neneknya sedang berc erita sambil minum teh dengan kue kifli di serambi. Kedua lelaki itu penduduk sekitar sini.
"Nyonya," katanya dengan agak gugup. "Kami menemukan kerangka manusia."
"Tempat itu bekas kuburan," kata yang lain.
Beberapa waktu kemudian Anshel telah berdiri di tepi penggalian itu dengan kepala miring ke kiri, dan telapak kakinya mengarah ke dalam, membuat postur tubuhnya tampak dem ikian kaku. Babushka Katarina, Ayah, dan beberapa orang lain, termasuk polisi, ada di sana. Nenek juga menatap ke bawah dengan kepala miring ke kanan.
Di tanah, di suatu kedalaman, tampak lima sosok jerangkong. Kelima kerangka itu berbaring bersisian satu sama lain seolah dalam deretan makam kuno. Anshel tidak berdebardebar. Sebaliknya, ia merasa kosong. Kosong yang aneh. Satu di antara jerangkong itu, satu yang paling bongsor, memiliki tengkorak yang terletak di antara kedua kakinya, membuat sos ok itu menjadi sangat janggal. Empat yang lain berbaring dalam posisi telungkup. Seseorang di tepi penggalian menunjuk dan berkata, "Lihat. Ada pasak-pasak besi yang menembus rusuk mereka semua."
Anshel meyakinkan diri dengan mata hijaunya. Sungguh, pada setiap kerangka itu ada paku logam besar sepanjang sekitar duapuluh senti, menembus di tempat jantung seharusnya berada. Dan sosok yang paling besar itu, yang kepalanya terletak di antara kaki... Dia bukan orang cacat, melainkan kepalanya telah dipisahkan dari lehernya.
"Ya Tuhan! Ini makam vampir," seseorang berkata dengan suara jeri.
Ketika itu Anshel merasa tengkuknya meremang. Ia baru menyadari bahwa manusia malang itu telah dipancung. Mungkin seratus tahun yang lalu.
Pembangunan fondasi rumah mereka ditunda. Pada waktu makan malam Ayah menenangkan anak-anak dengan berkata bahwa yang benar adalah demikian: itu adalah makam orangorang yang dituduh vampir. Ia menekankan kata "dituduh". Tapi, ya, ia memang tidak bisa menyangkal bahwa kepercayaan akan vampir pernah ada. Selama ini ia tak pernah berc erita tentang yang begitu-begitu. Masyarakat di sini, di kaki pegunungan Transylvania, yang hingga saat itu pun masih banyak yang buta huruf, pernah percaya bahwa orang-orang mati tert entu akan bangun di malam hari untuk menghisap darah manusia ataupun hewan yang masih hidup. Makhluk inilah yang disebut vampir. Para vampir membunuh agar bisa terus menyeg arkan tubuh matinya. Satu-satunya cara agar mereka tidak gentayangan lagi pada malam hari, mayat sang vampir harus dipasak pada jantungnya. Atau, dipenggal dan kepalanya dip isahkan dari lehernya. Pada zaman itu, orang-orang masih hid up dalam takhayul, ujar Ayah.
Anshel merasa mual membayangkan pemancungan kep ala kar ena takhayul. Ia tak mau melanjutkan makan gulash-nya. Ia juga bergidik membayangkan rasa takut yang hidup di suatu zaman entah kapan sehingga orang-orang percaya tentang mayat yang bangun untuk menghisap darah. Apa gerangan yang menyebabkan ketakutan demikian rupa" Ketakutan itulah yang membuat ia bergidik, lebih daripada bayangan tentang mayat yang bergentayangan.
Malam itu ia merasa kepala Babushka Katarina ada dekat bantalnya. Nenek menempelkan telunjuk di bibir, berdesis memanggil ketenangan. "Dongeng menceritakan kebenaran dengan cara lain, Nak."
Begitu juga dongeng vampir (yang bukanlah dongeng bagi mereka yang percaya).
"Kamu tahu, daerah ini adalah perbatasan Eropa dan Turki, Nak. Hal-hal aneh selalu terjadi di perbatasan."
Pada zaman dulu, kira-kira dua ratus tahun lalu, seo rang prajurit Serbia bayaran pindah dari sebuah kota di wilayah Turk i ke sebuah desa perbatasan di wilayah Austria. Lelaki itu mengeluh bahwa di kota lamanya ia pernah diserang makhluk aneh, yang menggigit tengkuknya. Tak terlalu lama setelah pindah, ia mati. Tak sampai sepekan setelah itu, desa tersebut diserang wabah aneh. Setiap hari ada orang jatuh mati. Beberapa, sebelum ajaln ya, sempat mengaku bahwa mereka didatangi yang telah mati itu, yang menggigit leher mereka. Sejak itu wabah kematian mend adak menyerang desa-desa di perbatasan.
Orang pun percaya bahwa mereka telah diserang vampir. Barangsiapa terkena gigitan vampir akan mati dan menjelma vampir juga: mayat hidup yang pada malam hari bangkit untuk menghisap darah.
Penduduk desa pun membongkar makam-makam yang dicurigai. Mereka menemukan mayat yang tidak membusuk, bahkan terkadang menjadi lebih gemuk daripada saat masih hidup. Gigi dan kuku yang bertambah panjang, serta darah segar yang masih mengalir dari mulut. Itulah tanda-tanda vampir yang mereka catat. Untuk membasminya, jantung sang vampir harus ditusuk dengan pasak besi, lalu kepalanya dipancung.
Pada suatu masa, pembongkaran kuburan terjadi di manamana, termasuk pedesaan yang agak jauh dari perbatasan. Ratu Maria Theresa pun memerintahkan dokter pribadinya untuk menyelidiki gelombang ini. Dokter Belanda yang sangat skeptis itu turun sendiri ke lapangan, dan akhirnya menyimpulk an bahwa semua demam pembasmian vampir adalah berdasark an takhayul belaka. Sang Ratu pun melarang pembongkaran mak am.
Tapi hukum tidak bisa mengubah sikap manusia dalam seketika. Setelah perburuan vampir menjadi ilegal, masyarakat yang ketakutan pun memakamkan sosok-sosok yang dikhawatirk an akan menjadi vampir dengan cara-cara tertentu. Jika mereka pasti bahwa si mati akan menjelma vampir, mereka memenggal kepala dan meletakkannya jauh dari leher serta menembuskan pasak pada jantung seperti jerangkong terbesar yang ditemukan di halaman rumah keluarga Eibensch"tz. Jika kecurigaan tidak terlalu besar, mereka membaringkannya tel ungkup, menaruh bata untuk mengganjal gigi, menyertakan salib, bawang putih, dan juga sekantung biji-bijian. Orang percaya bahwa vampir tidak tahan melihat biji-biji dan selalu harus menghitung jumlah biji-biji tersebut dorongan itu pada masa ini disebut arithmomania dan kerap dikaitkan secara serampangan dengan orang autis. Diharapkan, jika vampir itu bangun pada malam hari dan menemukan kantong berisi bebiji, ia akan keasyikan menghitungnya sampai fajar tiba dan ia harus tidur kembali.
(Kelak, setelah dewasa dan membikin penelitian, Anshel meremang tatkala menemukan arsip berita dari abad ke-18 yang melaporkan hal tersebut. Arsip dari koran Wina itu ada di perpustakaan kota, dan memberitakan catatan aparat kerajaan tentang kasus-kasus Petar Blagojevich (mati 1725) dan Arnaud Pavle (mati sekitar 1726), persis seperti yang diceritakan Babushka Katarina.
Dongeng menceritakan kebenaran dengan cara lain. Tapi ia belum bisa memahami itu.
Di setiap tempat selalu ada sekelompok orang yang berpikir takhayuli.
Sepuluh tahun silam banjir besar menerjang Miskolc, menghanyutkan ratusan orang dan menghancurkan bangunan di sekitar sungai Sajo dan Szinva. Empat tahun lalu hama filoxera orang Jerman menyebutnya reblaus menyerang perkeb unan anggur di wilayah sekitarnya. Sebetulnya, kel uar?" ga Anshel memang mengambil kesempatan baik dal am bencana ini. Babushka Katarina membeli lahan dengan harg a lumayan murah dari petani anggur yang sedang membutuhkan uang sementara panen gagal. Lalu sekarang orang tahu bahwa pemilik sebagian tanah yang dibeli itu adalah keluarga Yahudi yang baru pindah dari Wina.


Lalita Karya Ayu Utami di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di setiap tempat selalu ada orang yang suka membaca tanda-tanda buruk.
Tanda buruk yang pertama adalah banjir, yang kedua hama reblaus. Tanda buruk yang ketiga adalah penemuan kuburan vampir di lahan orang Yahudi.
Ayah Anshel, Baruch Eibensch"tz, nyaris tidak pernah beribadah. Tapi hari itu ia pergi ke sinagoga di kota Miskolc untuk menghadiri suatu upacara dari kerabat. Sampai sore ia tidak pulang juga ke rumah mereka yang jaraknya sekitar 5 0 kmdari kota.
Pada pukul sembilan malam, seseorang bertubuh bongsor mengetuk di pintu. Melihat bayangannya, Anshel membayangkan yang datang adalah sesosok golem, yaitu makhluk yang diciptakan rabi sakti dari lempung, untuk melindungi ko?"" munitas Yahudi dari musuh. Orang itu muncul. Tubuhnya me?" mang besar, tetapi tak ada inskripsi apapun pada dahinya, seperti seharusnya sesosok golem. Di wajahnya justru berc amp ur sedih dan cemas. Ia memberi kabar, telah terjadi pogrom terhadap sinagoga di Miskolc. Sebelum Anshel sempat bertanya apa maknanya, orang itu berkata bahwa Baruch Eibensch"tz termasuk di antara yang tewas.
Pada malam ayahnya mati, dalam suatu penyerangan terhad ap orang Yahudi, mata hijau dan kepala miring Anshel melihat: akalbudi juga mati.
P ada hari kematian ayahnya, Anshel memutuskan bahwa manusia tidak terbentuk dari akalbudi. Hal ini menjadi perg ul atan hidupnya, sejak hari itu. Kenyataan pahit tentang man usia. Matanya semakin hijau danau dan telapak kakin ya semakin mengarah ke dalam. Musim semi, musim manak ala sang ayah pergi, selalu datang dengan kenangan sedih.
"Di pusat banyak hal tak bisa kau sadari. Di perbatasan banyak hal aneh terjadi," kata Babushka Katarina. "Sudah saatnya kau tahu, Nak."
Mereka kembali duduk di serambi. Anshel memandang ke kejauhan timur ataukah tenggara, membayangkan ujungujung jubah kesultanan di balik pegunungan masa silam. Praju rit-prajurit gagah berani seperti semut membawa ujungujung jubah itu agar meluas, menangkupi gunung-gunung Trans lyvania, Wallachia, dan Serbia. Lalu ia memandang ke kej auhan barat ataukah utara, membayangkan istana tempat para ratu dan para raja Eropa bertakhta. (Lalu, jauh, lebih jauh lagi ke sana ada sebuah menara masa sekarang: La Tour Eiffel, yang merayakan seratus tahun disembelihnya para raja dan ratu lalim. Di manakah pusat" Barangkali Babushka betul: kau tak bisa menyadari pusat. Tapi di perbatasan banyak hal aneh terjadi.)
"Sekarang sudah saatnya kau tahu," Nenek-bibi Katarina muncul lagi di depannya sambil memeluk dua buku tua bersampul gelap. Buku-buku itu menyodok leontin emasnya di mana seekor ular berputar memakan ekornya sendiri.
"Kita masih keturunan Drakula." Nenek membuka buku itu. "Bukan. Drakula bukanlah vampir. Drakula lebih kejam daripada itu."
Anshel meronta dalam kebekuan. Cerita perburuan vampir dulu pun sudah cukup untuk membuat ia tak suka lagi makan gulash. Kini Nenek hendak mengisahkan yang lebih seram.
"Kau sudah lebih besar sekarang. Kau sudah melewati yang paling sedih. Kau sudah mampu untuk mulai paham." Dengan kerlingnya Babushka seperti mengingatkan pertanyaan bocah itu tatkala baru tiba dulu: kenapa Nenek kembali ke sini" Sebab aku ingin menghadapi bayang-bayangku. Dan inilah bayangbayangku. Di sini. Di perbatasan.
"Di buku ini. Ada silsilah keluarga. Bukan dari pihak ayahmu, tapi pihak ibumu, pihak kita berdua."
Seolah ruh-ruh kecil melesat sambil menjerit ketika buku itu terbuka, terbang dari lembar-lembarnya. Ruh makhlukmakhluk yang mati dibunuh, yang mengaburkan pandangan sesaat seperti kabut. Lalu pohon keluarga muncul di halaman terbentang. Pohon keluarga Drakula. Bukan drakula dengan huruf kecil, melainkan Pangeran Vlad wangsa Naga atau Draculesti, atau Dracul, atau Drakula. Ini adalah bangsawan penguasa Transylvania dan Wallachia, wilayah bukit-bukit di ujung selatan Carpathian (yang menaungi rumah kebun anggur mereka dari kejauhan), yang menjaga perbatasan Eropa dari serbuan balatentara Turki.
Abad ke-15. Ia diberi gelar Vlad Sang Penyula. Sebab ia menyula ribuan orang. Orang yang disula artinya tubuhnya ditembus dengan tombak, lalu tombak itu ditegakkan di tanah, dan orang itu dibiarkan mati perlahan di sana. Orang bisa ditembus sula dari perut ke punggung atau sebaliknya. Orang juga bisa ditembus sula melalui dubur ke arah mulutnya. Vlad Sang Penyula menyuruh algojo meminyaki mata tombak lebih dulu, agar bisa menembus dengan lancar dan tidak menimbulkan terlalu banyak robekan yang tak perlu. Demikian, agar pesakitan bisa mati lebih lama lagi. Pesakitan itu boleh prajurit Turki maup un bangsa sendiri; boleh lelaki, perempuan, maupun anak-anak.
Babushka menunjukkan sebuah gambar cukil kayu. Anshel merasa perutnya bergolak. Seolah ruh dan darah makhluk-makhluk yang mati dibunuh telah masuk ke sana, membuncah-buncah hendak muncrat dari mulutnya.
Vlad Drakula Sang Penyula menjamin semua kekejian dilakukan pelan-pelan dan terencana oleh tangan manusia. Ia juga memerintahkan tombak dengan manusia tertancap padanya dijajar dalam pola geometris yang rapi sehingga ia bisa memandang-mandangi dari sebuah jarak.
(Pola geometris itu menjadi perhatian Anshel sejak hari itu dan sepanjang hidupnya.)
Babushka bercerita: Vlad Sang Penyula memiliki istri bernama Jusztina dari Moldavia. Jusztina melahirkan dua anak, Mihnea "si Jahat" dan Mihail "si Lemah". "Ada memang Nak, dua-dua yang berlawan-lawanan. Kelak kamu akan tahu," kata Babushka Katarina. "Seperti Kain dan Habil. Esau dan Yakub. Dan banyak lagi." Mihail si Lemah mati muda. Tapi sebelum men emui ajal, ia sempat meneruskan benihnya, meskipun sejar ah menyembunyikan hal ini. "Mihail dan gadis itu menjadi leluh ur kita. Dari garis merekalah aku, nenek-bibimu ini, mewar isi beberapa gambar kuno yang menyerupai bagan-bagan konsentris." Nenek menutup buku yang satu, seolah mengunci kembali ruh-ruh yang belum sempat membebaskan diri. Wanita itu membuka kitab yang lain. Bukan betul sebuah buku, melainkan map tebal bertali dari kulit, yang memuat kertas dan perkamen tua. Lembar-lembar yang menguarkan bau kuno itu berisi bagan-bagan konsentris. Diagram-diagram yang memiliki pola memusat. Ada titik pusat, dan ada rasa bertepi. Ada yang berbentuk lingkaran. Ada juga yang berbentuk salib, segi empat, segitiga, bintang daud, pentagram, dan pelbagai variasi yang semuanya memiliki titik poros.
Hari itu, Nenek-bibi Katarina meminta Anshel memandangi diagram-diagram itu dengan satu cara dulu saja. "Pandanglah titik tengahnya. Pandanglah pusatnya." Itu dulu. Tapi Anshel punya pemberontakan dalam setengah hatinya. Ia memandangi diagram-diagram itu dari tepi-tepinya. Dan ia mend engar kembali kata-kata Nenek, bahwa peristiwa-peristiwa aneh terjadi di perbatasan.
Pada mulanya ia tidak ingin lagi memutar ulang deskripsi kekejaman Vlad Sang Penyula, apalagi menerima bahwa Pangeran Drakula yang lebih keji daripada vampir itu adal ah leluhurnya. Tapi bersama tahun-tahun cerita itu menghiburnya.
Cerita itu menghiburnya secara intelektual. Ia merasakan apa yang kemudian ia rumuskan sebagai "perpindahan energi" yang aneh, dari kesedihan menjadi intelektualitas. Kesediha nnya akan kematian ayahnya yang membuat ia memutusk an bahwa rasionalitas juga mati bersama sang ayah kini berubah bentuk menjadi pencaritahuan mengenai manusia. Bukan manusia akalb udi seperti ayahnya, yang telah mati itu, mel ainkan manusia yang mengerikan, yang membunuh dan menyiksa oleh sebab-sebab yang tidak diketahui. Manusia mengerikan itu telah menjelma dalam leluhurnya: Vlad Sang Penyula, yaitu Vlad III, yaitu Drakula.
Pada usia tujuh belas tahun Anshel, yang jika berdiri telapak kakinya semakin mengarah ke dalam, yang kepalanya semakin sering miring ke kiri maupun ke kanan, yang mata hijaunya kini dilindungi kacamata tebal, telah menjadikan Vlad Sang Penyula obyek kajian untuk studi kesusasteraannya di gimnasium. Ia telah mengajukan pandangan-pandangan yang masih sulit dipahami oleh zamannya, Eropa di akhir abad ke-19.
Ia melihat suatu struktur abstrak yang konsentris. Ada sebuah pusat. Ada tepian. Ada sesuatu yang disebut batas atau perbatasan.
Ia juga melihat, dengan aneh, motif-motif yang berulang. Babushka Katarina berkata bahwa Vlad Sang Penyula lahir pada tanda astrologi ke-13: Ophiuchus, si pembawa ular. Bintang ini menaungi akhir November hingga awal Desember, dialah perbatasan Scorpio dan Sagitarius. Ophiuchus si pembawa ular ini masih merupakan horoskop rahasia yang diakui kalangan khusus saja. Sebagian ahli perbintangan tidak mau menerima bahwa perbatasan bisa menjadi sebuah wilayah sendiri. Vlad Sang Penyula lahir di suatu hari, di permulaan musim dingin, antara akhir November dan awal Desember 1431.
Anshel menulis bahwa legenda tentang vampir penghisap darah yang dipercaya orang sampai abad ke-18 dan cerita sejarah mengenai Vlad Drakula dari abad ke-15 memiliki kes amaan. Semuanya berhubungan dengan suatu perbatasan. Dalam hal ini, perbatasan antara Eropa dan Turki, dan antara dunia Kristen dan Islam. Tapi perbatasan sesungguhnya adalah suatu konsep yang abstrak.
Ketika itulah ia membaca arsip koran Wina dari abad ke-18 yang memberitakan pembasmian vampir, dalam kasus terkenal: kasus Petar Blagojevich dan Arnaud Pavle. Keduanya terjadi di perbatasan kerajaan Ottoman dan Habsburg. Dalam semua kasus, warga mendaku bahwa serangan vampir lebih dulu terjadi di wilayah Turki, sebelum masuk ke Eropa. Tentu saja, ini laporan dari pihak Eropa. Penemuan makam vampir (orang yang dituduh vampir) terjadi di Eropa Timur atau sekali lagi, daerah dekat dengan ketegangan perbatasan. Sedangkan Vlad Sang Penyula...
Ingat, itu adalah zaman ketika orang masih mengubur tumbal hidup-hidup di fondasi bangunan agar roh jahat pend engki tidak merobohkan gedung berkata Babushka Katarina. Termasuk si pirang yang rambutnya baru memutih pada tahun keseratus.
...Sosok yang kelak dikenal di dunia sebagai Drakula ini, Vlad Sang Penyula, adalah Vlad III. Ayahnya, Vlad II, menggab ungkan diri dengan Societas Draconistarum atau Ksatria Naga, ordo ketentaraan yang didirikan oleh Raja Hongar ia. Sejak itu ia menyebut keturunannya dengan nama wangsa Draculesti, atau Drakula. Para Ksatria Naga adalah si pembawa ular. Simbolnya adalah ular-naga yang melingkar, ekornya menerk am kepalanya. Tak bisa tidak, ini adalah perw ujudan kembali, dalam bentuk terbalik, simbol yang lebih purba, yaitu ouroboros, ular yang memakan ekornya sendiri.
Para penguasa di daerah Transylvania maupun Wallachia senantiasa berperang: memperebutkan kekuasaan di antara mereka sendiri, serta melawan pasukan Turki. Intrik dan persek ongkolan tak terhindarkan. Pada suatu hari nan sial, Vlad II pendiri wangsa Draculesti (ayah dari, kelak, Vlad Sang Penyula) memutuskan untuk meminta perlindungan Sultan Turki dari ancaman lawan sebangsanya. Sultan Mehmed setuju. Tentu dengan bayaran. Selain jizsya, yaitu pajak non-muslim, Vlad II harus menyerahkan dua putranya kepada Sultan untuk masuk Islam dan menjadi pasukan Turki. Ini praktik yang diterapkan Sultan di wilayah Kristen yang ditundukkannya.
Vlad II menyerahkan dua putranya kepada Sultan Mehmed. Kedua anak itu: yang tua, Vlad III si pendendam dan, yang muda, Radu si pemaaf. Atau, Vlad yang keras dan Radu yang lembek.
Ada memang Nak, dua-dua yang berlawan-lawanan. Kelak kamu akan tahu.
Radu, lempung yang pemaaf, mempelajari segala yang baik dari Sultan. Vlad III, batu yang pendendam, mempelajari segala yang jahat dari Sultan. Termasuk hukum sula, yang tidak dik enal di Eropa. Radu masuk Islam dengan ikhlas. Vlad III tidak hanya membenci Islam, agama yang dipaksakan terhadapnya, tetapi juga membenci ayahnya. Sebab sang ayah telah mengkhianati sump ah ordo Ksatria Naga untuk melindungi kerajaan Kristen sebagai penerus para Ksatria Salib; bahkan menyerahkan anakanaknya pada Sultan Turki.
Vlad III menjalani pendidikan agama, politik, dan kesatriaa n di Turki dengan mulut menahan dendam. Sekali lagi ia mencerna hanya yang bengis, dan memberakkan kembali semua yang baik. Setiap hari ia berdoa kepada Tuhannya agar mend apatkan celah untuk melarikan diri. Doa itu terjawab setelah ia putus asa dan memutuskan untuk tidak berdoa lagi.
Vlad III berhasil merebut kekuasaan lagi di Transylvania dan Wallachia, serta mengusir tentara Turki dari wilayah itu. Yang segera ia lakukan adalah menyula seluruh lawan politiknya, termasuk keluarga dan kerabatnya sendiri, selain prajurit Turki yang tertangkap. Dan dalam kesenian gereja, ia suka menyuruh seniman melukis dia sebagai pihak yang menganiaya Kristus dan para martir.
Maka ia terkenal sebagai Vlad Sang Penyula. Ia tidak hanya menyula musuh-musuhnya, tetapi juga pelayan dan badut istana yang salah melucu. Yang terkenal tentang dia, yang menj adi catatan serius Anshel, adalah ini: Vlad menyuruh para algojo untuk membariskan tombak-tombak dengan pesakitan tersula padanya dalam pola-pola geometris yang konsentris.
Ia bisa memerintahkan hukum sula terhadap ratusan orang sekaligus. Maka ratusan sula dibariskan membentuk suatu bagan konsentris di tanah lapang, atau di sebuah bukit. Dan dari kastilnya, atau dari jarak tertentu di udara terbuka, Vlad akan menikmati anggur merahnya dan makan shashlik daging yang ditusuk sunduk logam sambil memandang-mandangi diagram konsentris yang terbuat dari shashlik manusia. Diagram konsentris.
Pola-pola yang berulang. Anshel melihatnya lagi. Ia melihatnya sebagai kunci-kunci kepada jiwa manusia yang tak dikenal akalbudi.
Manusia memiliki jiwa yang tak dikenali oleh akalbudinya sendiri.
Jiwa itu demikian gelap sehingga tak terpahami. Tapi kegel apan itu memiliki pintu-pintu juga. Dan kunci-kunci pada pintu-pintu itu adalah diagram-diagram konsentris.
Fixum Inferior Abylsus A b y l s u s b y l s u m Abylsus Volatile Superior 1907. W ina . B erggasse nomer 19.
Umurnya kini menjelang tigapuluh. Ia telah membenamkan kepala miringnya dan seluruh dirinya dalam ilmu kimia-fisik, barangkali untuk mengalihkan duka kehilangan ayah. Luka itu tak tersembuhkan, sebab menorehkan di dalam hatinya kecemasan laten: bahwa ia tak hanya kehilangan ayah, namun juga kehilangan kepercayaan pada rasionalitas. Jika kau tidak lagi percaya pada akalbudi, ke mana kau akan pergi selain ke dalam kegelapan" Sepuluh tahun ini ia mempelajari ilmu-ilmu yang rasanya tak berhubungan dengan jiwa gelap manusia, sampai suatu hari Rabu seorang kolega mengajaknya ke sebuah rumah di suatu jalan yang tertib dan tak ramai di kota masa kecilnya. Ia menghabiskan masa bocah nan indah bersama ayahnya di kota Wina ini. Kali ini ia datang ke sebuah pintu yang akan membawanya kembali kepada petualangan mencari jiwa gelap manusia. Ia berdiri di depan pintu itu, dengan postur kaku dan telapak kaki yang mengarah ke dalam. Apartemen seorang neurologis yang beralih menjadi ahli jiwa. Namanya Sigmund Freud. Mereka punya acara mingguan yang disebut Sosietas Psikoanalisa Rabu.
Ruang duduk itu agak gelap sehingga harus diterangi lampu. Belasan orang, kebanyakannya dokter, psikiater, intelektual dan seniman, mengisi sofa dan kursi-kursi. Satu atau dua di antara yang datang akan mendapat giliran membacakan kertas kerja. Setelah itu kopi, teh, dan penganan akan dihidangkan sebagai jamuan. Imperium Habsburg terkenal dengan tart dan pelbagai kue pemuas lidah aristokrat. Mereka akan mengunyah sambil berdiskusi. Setelah itu, sebagai penutup dari segalanya, tuan rumah akan memberikan khotbah pamungkas yang biasanya tak bisa dibantah lagi, setidaknya pada hari itu.
Anshel menulis dalam catatan hariannya: sekalipun yang hadir adalah manusia-manusia skeptis, suasana pertemuan Rabu itu terasa seperti peribadatan. Orang mulai dengan membaca teks. Seperti membaca Talmud. Dalam pertemuan Rabu ini: membacakan makalah ilmiah. Setelah itu mereka melanjutkan dengan perjamuan. Perjamuan juga merupakan bagian penting dalam peribadatan, seperti Perjamuan Pesakh. Lantas, sebagai penutup, sang patriark akan menegaskan ajaran yang tak boleh dibantah. Dialah sang imam, sang rabi.
Demikianlah, orang boleh membuang simbol-simbol agama, tetapi toh berada dalam struktur yang sama. Stuktur; Anshel menggarisbawahi kata itu.
Dia yang memiliki kata terakhir itu, sang patriark, adalah pria lima puluh tahun yang tajam dan berwibawa. Ayah intelektual dari mereka semua. Laksana seorang patriark, lelaki itu berjanggut kelabu, seperti brewok Socrates, atau janggut Musa atau Abraham. Kepalanya bagaikan sosok arkhaik yang muncul dari balik setelan modern. Ia bisa sedingin alumunium dan sehangat pendiangan. Para murid diam-diam merindukan pujian hangatnya, seperti merindukan keindahan percik-percik bara dalam perapian. Ia bisa membuat kau tertawa tanpa ia sendiri menampakkan gigi. Virus pengetahuan (jika bukan ajaran baru) yang dibawakannya diberinya nama psikoanalisa. Dan Anshel diam-diam menemukan sebagian diri ayahnya pada sosok itu.
Subjek utama kajian lingkaran ini adalah: alam tak sadar manusia. Das unbewusste. The unconcious. Nirsadar. Anshel pun menemukan kembali apa yang dulu dengan susah-payah ia rumuskan sebagai jiwa gelap yang tak dikenali akalbudi. Jiwa yang ada pada leluhurnya, Pangeran Vlad sang Penyula. Juga jiwa yang ada secara massal pada para pembantai ayahnya. Jiwa yang gelap ini hanya bisa dicoba kenali melalui proses analisa. Psiko-analisa. Anshel segera tertarik pada umat rabi-sekular Sigmund Freud ini, sebab membawanya menghadapi lukanya sendiri yang belum sembuh. Sesungguhnya Tuan Freud sama sekali tidak seperti ayahnya, yang keraguannya pada segala hal tidak mengurangi kelembutan dan sikap manis. Tapi, sesuatu pada sosok itu membangkitkan kembali kepercayaan Anshel pada akalbudi. Akalbudi untuk menguasai jiwa gelap. Ia mulai memuja lelaki itu.
Pada suatu Rabu giliran Anshel membacakan makalah. Dengan bersemangat ia mengembangkan kembali apa yang ia pernah tulis di usia tujuh belas di gimnasium. Ketika itu anggota lingkaran telah mulai melakukan kajian psikoanalisa terhadap mitologi dan ritual keagamaan.
Studi Atas Mitos Vampir dan Kekejaman Drakula
(Pangeran Ordo Naga) serta Diagram Konsentris sebagai Citra-Dalam Psike
1. Kepercayaan dan perburuan masal akan vampir adalah sejenis histeria yang berhubungan dengan suatu krisisidentitas. Akalbudi atau kesadaran gagal mengidentifikasi Diri. Akibatnya, terciptalah bayangan tentang makhluk monsteriah yang menghisap kehidupan kita.
Demikianlah, para petani Serbia yang mendiami perbatasan wilayah kesultanan Ottoman dan imperium Habsburg, senantiasa dalam ketidakstabilan identifikasi Diri. Mereka percaya bahwa vampir berasal dari wilayah yang lain dan monster itu akan menghisap darah mereka. Pada saat yang sama vampir juga menginfeksi mereka sehingga menjadi bagian dari mereka sendiri. Ini sebetulnya bisa dibaca sebagai ketakutan dihisap oleh kekuatan politik dan bangsa yang digambarkan sebagai asing, tetapi sesungguhnya tak selalu bisa dibedakan dari diri sendiri.
2. Krisis identitas, ditambah dengan paparan terhadap kekejaman, juga menjadi latar belakang pembentukan jiwa Vlad III Sang Penyula. Adalah menarik untuk membandingkan abang adik: Vlad III dan Radu, yang dijual oleh ayah mereka kepada Sultan Mehmed sang musuh. Keduanya diproses secara sama, tapi bereaksi secara berbeda. Radu yang konformis kehilangan identitas lamanya dan menemukan identitas baru. Vlad III menolak pemaksaan identitas baru. Ia bisa melawan kekuatan sangat besar itu. Tapi ada bayarannya. Ia menjadi monster. Untuk melindungi Diri-nya selama di Turki mereka dibuat menonton hukum sula maupun hukum belah manusia dengan seretan kuda, dan lain-lain metode mengerikan, sebagai contoh pelajaran bagi pemberontak Vlad membikin dirinya menyukai darah dan mematikan semua belaskasih dalam dirinya. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan Diri. Ya, bayarannya adalah ia menjelma monster itu sendiri.
3. Yang menarik, ada ciri sama antara bayangan tentang vampir maupun Vlad Drakula, Sang Penyula. Masyarakat percaya bahwa vampir memiliki dorongan obsesif-kompulsif, yaitu menghitung dan menyusun sesuatu dalam pola geom etris. Karena itu mereka menyertakan sekantung biji-bijian dalam kuburan vampir. Sedang Vlad" Vlad menyuruh orang membariskan sula dan para pesakitannya dalam pola kons entris. Pola, yaitu keteraturan, tampaknya merupakan dorongan obsesif dari jiwa yang khaos.
4. Sekarang perkenankanlah saya melompat ke atas dari tema semula. Yang menjadi perhatian khusus saya sekarang adalah pola-pola konsentris itu. Kita mengenal pelbagai diagram konsentris dari hampir seluruh sistem kepercayaan yang bisa kita kenali. Masyarakat primitif menyumbang kita dengan koleksi yang sangat berharga. Kita juga mewarisi diagram dasar berbentuk salib (empat penjuru), bintang Daud (enam penjuru), pentagram (lima penjuru), dan pelbagai variannya dari tradisi agama, tradisi pemujaan setan, astrologi maupun alkemi. Dan di Asia, Hinduisme, Buddhisme, serta agama-agama di Tiongkok dan Jepang memiliki bagan terpusat dalam pelbagai variasi. Di Timur, mereka menyebutnya sebagai mandala. Mandala adalah bagan makrokosmos. Tetapi mandala sebagai sarana meditasi adalah juga bagan mikrokosmos, yaitu jiwa manusia.
.... [pokok 5 sd 8 tidak dimuat di sini karena terlalu panjang]
9. Copernicus (yang hidup sezaman dengan Vlad III Drakula) dan Galileo membuka mata kita bahwa alam semesta bergerak dalam model konsentris; dalam hal ini heliosentris. Belakangan ini, penemuan struktur atom juga menunjukan pola konsentris. Model konsentris adalah struktur dasar yang ada dalam alam semesta. Saya hendak memberanikan diri mengatakan bahwa alam nirsadar kita memiliki "citra-dalam", yaitu gambaran atas model-model struktur makrokosmos dan mikrokosmos. Citra-dalam ini bisa diakses ketika pengalaman dari alam tak sadar itu muncul ke permukaan kesadaran, melalui mimpi, pengalaman spiritual, trans, atau pengalamanpengalaman intens lain. Citra-dalam psike itulah yang menjadi bahan bagi mandala dan bagan konsentris dalam agama-agama yang mencari pencerahan atau penyelamatan. Tetapi citradalam juga muncul dalam pengalaman kekejaman yang intens dan gelap, sebagaimana dalam kasus Vlad Sang Penyula. Juga dalam sekte pemujaan setan.
10. Tesis saya di sini adalah demikian: alam nirsadar me?" miliki kumpulan citra-dalam. Citra-dalam ini mengenali struk?" tur-struktur makrokosmos maupun mikrokosmos. Dan struktur itu tampaknya berbentuk konsentris, sebagaimana sejauh ini kita lihat dalam mandala maupun model astronomi dan struktur atom.
Jam berdentang. Ia tak tahu lagi adakah itu jam di rumah ini, atau lonceng kota, atau genta-genta gaib yang berbunyi di antara nirsadar dan kesadaranya sendiri. Ia telah membacakan makalahnya. Orang-orang bertepuk tangan, setelah tertahan sebentar. Lalu dilihatnya sang tuan rumah berwajah dingin. Mata skeptisnya lebih tajam daripada biasanya. Anshel berdesir. Ia merasa menjadi kanak-kanak yang mendapati ayahnya tidak puas atas pekerjaan rumahnya. Betapa aneh. Ia menjadi ciut dan kecil hati.
Tapi sepasang mata di antara hadirin menyorot dalam dan hangat. Sepasang mata asing yang tiba-tiba menampakkan diri. Ia belum pernah bertemu orang itu sebelum ini. Tampaknya anggota baru. Seorang lelaki yang kelihatan seusia dia. Samasama pantas untuk menjadi putra sang pemimpin. Kepalanya miring dan posturnya sedikit kaku. Anshel seperti melihat dirinya sendiri. Pria itu mengacungkan tangan, memperkenalkan diri, dan menyatakan sangat tertarik dengan pemikiran Anshel karena ia juga melihat hal-hal serupa. Namanya Carl Gustav Jung, orang Swiss, psikiater dari Rumah Sakit Jiwa Burgh"lzli di Zurich.
Seusai perjamuan, sang tuan rumah berkata padanya bah?" wa psikoanalisa bertujuan agar rasionalitas menganalisa irasion alitas, tapi ia khawatir Anshel lebih dianalisa oleh mimpi daripada sebaliknya. Anshel seperti tertiup udara dingin dari masa silam. Ia benci perasaan itu. Ia tidak pernah mengalami hal ini di umur tiga puluh: merasa menjadi anak kecil yang memb utuhkan tepukan bahu ayahnya, rasionalitas yang telah men inggalkan dia. Tapi itulah yang dia rasakan sore itu. Hati yang mengecil lantaran sang patriark tidak menyambut pendapatnya. Dulu, akalbudi mati dibunuh kekuatan gelap. Kini, rasionalitas menyangkalnya dengan kekuasaan penuh.
Ia meninggalkan rumah nomer 19 itu dan menapaki jalan Berggasse dengan kaki kaku yang terasa rapuh. Tapi, dari arah belakang seseorang memanggil namanya. Orang itu mengejar langkahnya. Ia menoleh dan melihat. Carl yang baik. Carl yang suka memiringkan kepala juga. Mereka mencari sebuah kafe dan duduk di sana. Mereka tak cukup hanya memesan kopi, sebab percakapan jadi begitu mengasyikkan sehingga waktu makan malam tiba.
Berkata Carl pada Anshel, "Kebetulan yang aneh. Apa yang Anda katakan itu, tentang diagram konsentris atau mandala, itu juga kerap muncul dalam mimpi-mimpiku..."
S ejak hari itu Anshel dan Carl suka bertukar cerita aneh. Jika bertemu, mereka bisa begitu asyik sehingga menjelma dua kanak-kanak yang saling membisikkan kisah rahasia. Anshel menunjukkan segepok bagan konsentris dari pelbagai penjuru dunia sebagiannya ada yang terdapat dalam perkamen tua yang diwariskan oleh Babushka Katarina sebelum nenek-bibi itu wafat beberapa tahun lalu. Ia juga menceritakan mimpimimpi paling aneh, seperti ditugaskan memotong unggas tetapi leher hewan itu tiba-tiba memanjang dan jadi tidak berbulu: atau berada di tengah-tengah suatu amfiteater yang sangat besar dengan tangan memegang piala berisi darah yang akan ia minum.
Carl membalas dengan cerita mimpi dari usia tiga tahun, tentang sebuah lubang yang mengantarnya ke ruang di bawah tanah di mana di pusatnya tertatah sebuah mahkota raja yang sangat indah, tetapi sesuatu seperti pohon menjulang dari dalam lingkarnya, dan batang pohon yang berdiri tegak itu ternyata bukan kayu melainkan terbuat dari kulit dan daging, dan di puncaknya ada jendul dengan sebuah mata menakutkan yang menatap ke langit-langit; lalu terdengar ibunya berkata: lihatlah si pemakan manusia.
Setelah sama-sama menceritakan mimpi aneh yang terlamp au kuat terlampau kerap untuk bisa dilupakan, keduanya berpandangan dengan kepala miring sambil berkata, nyaris bersamaan: "Ya ampun, bukankah itu... adalah penis... lambang falus?"
Tapi rasa remang mengusap punggung keduanya setelah rasa terkejut penemuan. Mereka seperti terhubungkan kepada alam yang lain, yang tak berasal dari hidup nyata sebagai anakanak. Lingga-yoni. Teater arena dalam mimpi Anshel, ruang bawah tanah dalam mimpi Carl, adalah yoni. Leher unggas yang memanjang dalam mimpi Anshel, pokok penis dalam mimpi Carl, adalah lingga.
Pelan-pelan Anshel merumuskannya sebagai suatu citradalam, das innere Bild. Suatu model visual dari yang abstrak, yaitu persatuan antara yang tegak dan yang mendatar, yang tunggal dan yang universal, yang horisontal dan yang vertikal. Persatuan antara yang bertentangan. Itulah yang dinamai axis mundi atau pusat jagad, konsep yang ada dalam semua peradaban. Titik di mana lingga menembus yoni, itulah pusat bagan konsentris. Yoni tidak mengetahui di mana pusat dirinya hingga lingga menembusnya. Lingga tidak punya makna tanpa yoni menyediakan peta. Tapi, semua itu dirumuskan Anshel pelan-pelan, sambil ia melakukan perjalanan ke negeri-negeri Timur kelak, menapaktilas Nenek Katarina Szilagyi.
Hari itu tersisa suatu misteri yang membuat kedua anak lelaki itu termenung-menung. Bukanlah mereka mulai mendapat mimpi-mimpi aneh itu di umur tiga tahunan" Ya. Tiga tahun. Apa yang bisa diketahui bocah tiga tahun" Dari mana gambaran tentang lingga-yoni bisa ada dalam mimpi mereka"
Anshel dan Carl tercenung. Mereka tahu bawa mereka tiba pada konsekuensi yang sama. Ada sesuatu yang menghubungk an mereka dengan dunia di luar sana. Sesuatu yang terasa gaib. Kulit mereka meremang. Anshel semakin meyakini rumusan awalnya, bahwa di alam nirsadar manusia terdapat citra-dalam. Citra-dalam itu adalah model-model visual yang mengenali struktur-struktur yang ada dalam alam semesta. Mandala dan axis mundi adalah dua di antara struktur-struktur yang terdapat dalam jagad raya.
Hari itu keduanya tahu bahwa mereka memiliki pandangan yang menyempal dari teori gurunya. Rasanya tidak menyen angkan. Ah, menjadi bid'ah. Mereka sama-sama mencintai dan mengagumi gurunya. Mereka percaya bahwa sang guru membukakan suatu kebenaran pada dunia. Tapi mereka mulai melihat sesuatu pula. Anshel memandang ke kejauhan dengan mata hijaunya yang semakin danau, mencoba membayangk an masa depan di mana ia tak harus berpisah dari sang guru. Danau itu tidak memantulkan cahaya langit seperti yang ia harapkan. Tiba-tiba suatu rasa cemas dari masa silam datang kembali. Rasa cemas yang hadir ketika sosok menyerupai golem muncul di ambang pintu untuk mengabarkan sesuatu tentang Ayah...
Ia mengenangnya sebagai suatu usaha kudeta yang muram. Sebuah ruangan dalam apartemennya. Carl hadir di sana. Juga S"ndor Ferenczi, psikiater kelahiran Miskolc (kota sedih tempat ayahnya wafat). Lalu ada Alfred Adler, Victor Tausk, dan Herbert Silberer, dan beberapa orang lain. Bagi Anshel, mereka sedang merencanakan sebuah kritik.
Kisah Membunuh Naga 39 Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Api Di Bukit Menoreh 2
^