Pencarian

Lalita 3

Lalita Karya Ayu Utami Bagian 3


Anshel berkata bahwa ia tak berniat mengkhianati sang guru. Tapi, jika perkumpulan ini bukan agama, mengapa ia tak boleh berbeda pandangan dari gurunya" Seseorang mencoba memperlihatkan kacamata guru itu: Persis karena menurut gur u kita, pandanganmu terlalu dekat dengan agama. Anshel tidak rela: jika konsekuensi teoriku memberi tempat pada yang supran atural, apakah itu membatalkan kelurusanpikirnya"
Freud punya pandangan buruk tentang agama. Ia melihat monoteisme sebagai sekumpulan simptom ketegangan syaraf. Di sana libido direpresi sehingga muncullah gejala-gejala neurosis. Freud tidak punya hati bagi spiritualitas. Baginya tak ada dasar asli bagi rasa ketuhanan, selain hanya suatu sublimasi dari libido yang ditekan. Freud membayangkan jiwa manusia sep erti gunung es yang mengapung-ngapung di samudra nirsadar. Di dasarnya adalah libido.
Anshel bukan orang yang menjalankan agama. Tapi ia punya pandangan positif tentang spiritualitas. Ia, dan kelak Carl Jung, membayangkan jiwa manusia sebagai suatu bagan kons entris. Di tengahnya adalah alam nirsadar yang mempertemukan manusia dan semesta. Dalam alam nirsadar itu terdap at citra-dalam yang menghubungkan manusia den gan semesta. Struktur jiwa manusia mencerminkan struktur alam semesta. Religiositas memiliki dasar alami.
Yang belum bisa ia jawab adalah, jika demikian, bagaimana itu berkaitan dengan kekejaman gelap manusia seperti yang ada pada Vlad III Drakula dan para pembunuh ayahnya.
Tapi justru di titik itulah sang guru menikmati keme nangan. Satu, orang yang tidak percaya Tuhan tidak perlu menjelask an kenapa ada kejahatan. Hanya orang yang percaya Tuhan-lah yang harus menerangkan kenapa ada kejahatan. Dua, pendapat bahwa struktur jiwa manusia mencerminkan struktur alam semesta adalah spekulasi yang tak punya dasar logis maupun ilmiah. Dengan demikian, orang juga tak punya argum en ilmiah untuk mengatakan bahwa spiritualitas atau religiositas memiliki dasar alami. Kita tidak bisa mengatakan jiwa manusia memiliki struktur yang konsentris, bahkan jika bumi berputar mengelilingi matahari atau atom memiliki inti yang dikitari neutron.
Dalam pertemuan Rabu berikutnya, pada akhirnya Anshel dikalahkan dalam perdebatan melawan sang patriark yang semakin otoriter.
"Saya kira ada orang yang tidak berguna bagi psikoanalisa," kata sang guru di tengah pertemuan itu. "Dialah orang yang dianalisa oleh mimpinya dan bukan menganalisa mimpinya."
Itulah hari terakhir Anshel hadir di sana. Pintu ia tutupk an, dari luar. Ia menapaki jalan Bergasse dengan kaki-kaki kakunya yang mencoba tak rapuh. Jalan itu sepi, muram, dan gelap. Dan di belakangnya tidak ada suara yang memanggil-manggil namanya seperti dulu. Carl belum ingin berada di sisinya lagi. Sahabat-sahabatnya masih ingin bergabung dengan guru yang mengucilkan dia. Di dalam khayalannya, ia telah sampai ke rumah dan memeluk kertas serta perkamen tua berisi salinan bagan-bagan konsentris dari pelbagai penjuru dunia...
K au telah melewati titik pusat cerita ini. Ketahuilah, jika kau berada di dalam suatu bagan konsentris, bukan di luarnya, besar kemungkinan kau tidak sadar manakala kau tiba di pusatnya. Dan, setelah itu kau tak selalu tahu apakah kau kini berjalan maju atau mundur.
1932. (Asia) Ketika menerima berita tragis itu, Anshel telah berada sangat jauh meninggalkan benua Eropa. Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak ia tinggalkan pintu di Bergasse 19 dengan kaki-kaki rapuh. Surat yang di tangannya ini dari Carl, sahabatnya. Ia terima di kampung halaman yang baru, di sebuah kota pelabuhan yang agak berbukit di suatu negeri tropis. Kota itu bernama Semarang, terpacak di sisi utara sebuah pulau bernama Jawa. Inilah pulau yang gamelannya pernah menyihir ia. Kerajaan Belanda menguasai tanah ini dan membangun perumahan yang manis di naik-turun konturnya. Di sini tak ada musim dingin yang depresif. Tapi berita itu memuramkan hatinya. Ini berita sedih yang kedua:
Kabar duka. Karib dan kolega kita terkasih Herbert Silberer mati gantung diri...
Anshel menahan nafas sejenak terlintas wajah sang kawan; terlintas suasana saat mereka sedang merencanakan kritikan bagi sang guru, samar-samar. Kudeta kaum cendekia yang sia-sia. Ia lanjutkan membaca.
...Itu terjadi tak terlalu lama setelah Herbert berpisah dari Freud. Permusuhan intelektual tampaknya membuat ia depresi berat...
Herbert, oh, Herbert. Ia sebut nama sang kawan dengan ngen as dalam hati. Sekarang wajah itu datang sangat jelas; wajahn ya dalam pertemuan-pertemuan terakhir mereka, tatk ala merencanakan kritik, dan tatkala ia sendiri akhirnya diu sir oleh sang guru. Herbert sesungguhnya berbagi minat yang sama dengannya, yaitu mengenai simbolisasi dalam spir itualisme. Herbert menerbitkan tulisan berjudul Problem Mist isisme dan Perlambangannya. Sama seperti yang Anshel alami, ketertarikan Herbert ke arah dunia ruh (bukan hanya jiwa) menjengkelkan Freud. Sang guru mengucilkannya.
Kini Anshel menghembuskan nafas keras-keras. Ini pun bukan yang pertama. Tiga tahun lalu, ahli jiwa yang lain juga bunuh diri. Victor Tausk. Padahal Victor tidak tertarik pada spiritualitas. Ia hanya mempunyai metode yang berbeda dalam menghadapi pasien. Freud membuat pasien itu berhenti berkonsultasi padanya.
Dan Carl. Carl yang dulu memanggil namanya di jalan muram. Carl yang tidak membelanya di hari genting itu. Tapi Carl yang terus berkirim surat dengannya dan menjadi sahabatnya dalam jarak jauh. Ah, Carl juga sudah berpisah dari Freud sejak hampir sepuluh tahun silam. Dalam surat-suratnya, sahabatnya itu menulis bahwa ia rasanya mengalami ambang kegilaan pada tahun-tahun awal setelah hubungan dengan sang guru hancur.
Freud, sang guru, memang sosok yang sangat memukau dan cemerlang. Kau akan jatuh cinta padanya sebagai seorang intelektual. Tapi, Anshel bergidik sebab ia merasa makhluk itu bisa menghisap darahmu manakala kau tidak menurut lagi padanya. Kau akan jadi pucat, kehilangan kebahagiaan dan semangat. Kau akan terperosok dalam depresi dan menunjukkan gejala anemia. Simptom serangan drakula. Kau merasa putus asa dan melihat betapa hidup adalah sia-sia. Sekalipun kau seorang ahli jiwa, kau bisa saja tak sanggup menyelamatkan jiwamu sendiri. Ia mengalaminya dulu. Untunglah, dokumen tua yang diwariskan Babushka, sekumpulan bagan konsentris, memberinya semangat hidup. Tapi Victor dan Herbert tak selamat.
Vampir. Vampir tidak harus menghisap darahmu dengan mulut dan taringnya. Ia bisa menghisap darahmu dengan katakata.
Anshel memandang pantulan dirinya pada kaca jendela. Ia kini telah menjadi wujud yang sangat berbeda. Barangkali hanya dengan demikian ia bisa bertahan hidup dengan damai dalam diri sendiri. Rambut dan wajahnya tak lagi klimis. Ia memelihara brewok, seperti seorang rahib Rusia. Seorang spiritualis. Ia memakai setelan gelap yang bukan gaya Eropa tulen. Ia mengenakan pantalon longgar yang lebih mirip celana pangsi Asia. Yang tetap padanya adalah kepalanya yang kerap miring, berdirinya yang kaku, serta telapak kakinya yang mengarah ke dalam. Mata hijaunya adalah danau di musim ganggang.
Ia mengenang perjalanannya.
Lebih dari sepuluh tahun silam ia memutuskan untuk meninggalkan Eropa. Benua itu membuat ia patah hati dua kali. Pada akalbudi. Akalbudi mati bersama ayahnya lalu bangkit kembali bersama gurunya. Tapi, rasionalitas pun akhirn ya menyingkirkan ia ketika sang guru mengucilkannya. Rasionalitas itu telah jadi begitu congkak sehingga spiritualitas pun tak diizinkan untuk memberi pemahaman pada alam nirsadar. Harta karunnya kini adalah warisan Nenek Katarina Szilagyi: sejilid besar diagram konsentris dari pelbagai penjuru bumi. Mandala-mandala itu adalah pintu-pintu ke dalam jiwa manusia yang terhubung dengan alam semesta. Ia memutuskan untuk memulai perjalanan spiritualnya. Sesuatu yang tak pernah dipikirkannya dulu.
Di Eropa ia menemui orang dan organisasi yang berhubunga n dengan Babushka Katarina. Terutama kelompok Teosofi dan Antroposofi. Setelah itu ia memutuskan untuk menapaktilas pengembaraan neneknya.
Paruh perjalanan pertama: Istanbul, Yerusalem, Kairo... anehnya tak terlalu membuat ia bergairah. Barangkali kekecewaannya pada persoalan Eropa (di perbatasannya Kesultanan Islam berperang dengan Imperium Kristen, di dalamnya orang Yahudi diserang) melahirkan rasa jenuh pada tiga agama Abraham. Nama itu, Abraham, mengingatkan ia pada gurunya. Bayangan tentang lelaki berjanggut yang bersedia menyembelih putranya sendiri demi ide-ide besar membuat ia semakin muram dan membangkitkan mimpi-mimpi buruk. Ia berada di pusat padang dan harus menyembelih seekor burung unta tetapi leher hewan itu memanjang dan membesar sehingga tugas memancung itu jadi begitu menakutkan sebab ia harus memenggal penis tegangnya sendiri. Ia bertemu dengan Abraham, tetapi wajah yang ia lihat adalah wajah Sigmund Freud, dan ia melihatnya sebagai seorang patriark yang berkhianat. Ayah yang mau mengebiri anak. Rasionalitas yang mau membungkam spiritualitas. Ia mengalami demam yang cukup parah di wilayah-wilayah itu. Orang-orang bilang ia dehidrasi, tetapi ia yakin bahwa ia mengalami depresi.
Semangatnya timbul kembali tatkala ia tiba di Madras. Di sana ada asrama Sosietas Teosofi Adyar, yang didirikan di tengah sebuah halaman yang luas, oleh Helena Blavatsky bersama Nenek Katarina Szilagyi dan beberapa orang lain. Ia disambut dengan ramah. Di India ia bertemu dengan sistemsistem kepercayaan yang begitu riuh dan sulit dipahami tetapi memberinya energi baik. Memakai asrama Teosofi itu sebagai basis awal, ia hendak melanjutkan perjalanan ke utara, ke pegunungan suci di sana. Himalaya. Tibet, yang bersarang di pucuk-pucuk tebing seperti elang. Di negeri ini tradisi mandala masih sangat kuat. Orang-orang masih menggambar mandala dengan pigmen warna-warni pada tanah. Mandala. Bagan konsentris. Betapa menakjubkan. Bukankah itu yang ia cari"
Ia diperkenalkan kepada seorang pejabat Inggris yang bertugas di wilayah itu. Tuan Bell ini ternyata juga seorang akademisi dan fotografer yang suka main piano, tertarik pada ban yak hal dan memiliki koneksi luas, termasuk dengan Dalai Lama ke-13. Di negeri ini orang percaya pada reinkarnasi. Mereka percaya bahwa pemimpin, yaitu dalai lama, dari masa silam akan lahir kembali dalam setiap generasi. Para biksu mulia dan dukun bisa mengenali tanda-tanda bayi titisan tersebut. Si bayi akan bertumbuh dalam rangkaian ujian khusus untuk menguji kebenaran reinkarnasinya.
Di puncak benua Asia inilah ia berkenalan lebih dalam dengan Buddhisme dan menjadi begitu terpikat. Ada seorang Mongol warga Rusia yang menjadi biksu, Agvan Dorzhiev, yang sangat membantu ia memahami ajaran ini. Orang itu memiliki paradigma Barat dan Timur di kepalanya sehingga bisa menjelaskan kepadanya dengan bahasa pemikiran yang ia mengerti.
Ia mulai melihat kontras antara agama Abraham dan Buddhisme. Agak tidak bahagia ia kini mengakui adanya kebenaran pada pendapat gurunya yang telah mengusir dia: monoteisme memperlihatkan simptom neurosis. Di sini, pada ketinggian yang sama dengan sarang burung elang, di tebingtebing Himalaya yang bening, semua itu seperti tampak di matanya. Monot eisme menunjukkan struktur represi atas libido. Hasiln ya bukan suatu keseimbangan yang alami, melaink an keteg anga n syaraf. Monoteisme membutuhkan banyak huk um unt uk menekan libido, dan akibatnya banyak kompensasi untuk menyei mbangkan ketegangan syarafnya. Salah satu bentuk kompensasi yang paling utama adalah gambaran tentang setan. Gambaran ini bisa berupa bayangan belaka. Tapi, kenyataannya, lebih sering diproyeksikan kepada orang lain atau kelompok lain. Karena itu, monoteisme selalu menciptakan musuh, agar mereka bisa memproyeksikan libido-tertekan mereka ke sana. Kompensasinya, monoteisme selalu takut bahwa pengikutnya pindah ke agama musuh.
Ia tidak melihat struktur tadi pada Buddhisme (setidaknya, pada saat itu dan di Tibet). Buddhisme tidak mengajarkan ada?"" nya Tuhan yang bersifat personal. Tak ada nama-nama bagi Tuhan. Tidak ada Tuhan yang pecemburu maupun yang penyayang. Mereka sama sekali tidak terobsesi pada Tuhan. Mereka juga tidak terobsesi pada setan atau seks. Obsesi adalah salah satu bentuk neurosis. (Tiba-tiba Anshel teringat pada obsesi Drakula pada keteraturan susunan sula, dan obsesi para vampir untuk menyelesaikan suatu masalah aritmatika.)
Buddhisme terbebaskan dari obsesi akan Tuhan. Buddhisme menawarkan paradigma yang lain sama sekali. Untuk paham, kaum monoteis harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari kerangka pikir monoteistik, atau mereka akan gagal me?" ngerti. Buddhisme mengajarkan agar man usia memperoleh penceraha n dengan melepaskan diri dari kelekatan pada bendabenda dan hal-hal yang sesungguhnya hanyalah ilusi.
Anshel merasa mendapat penyingkapan sekaligus pembebasan ketika menemukan sebuah agama yang paradigmanya berbeda sama sekali dari yang ia kenal. Lebih dari itu, ajaran ini kompatibel dengan psikoanalisa yang ia bayangkan. Psikoanalisa yang ia bayangkan adalah sebuah ilmu rasional yang mengantar manusia untuk bisa melihat alam nirsadar-nya. Sebab, dalam alam nirsadar itu kelekatan, ketergantungan, dan ketakutan meng-ada. Ada-nya itu bagaik an vampir, yang tak memiliki bayang-bayang, sehingga tak bisa melihat dirinya sendiri, tak bisa menyadari dirinya sendiri. (Kata-kata Babushka Katarina selalu muncul sewaktu-waktu.) Hanya kesadaran yang bisa dilatih untuk melihat yang tak sadar. Psikoanalisa yang ia bayangkan mengajarkan latihan itu.
Hanya dengan melihat bayang-bayangnya sendiri manusia bisa melepaskan diri secara batin dari sang bayang. Tanpa membalik badan dan mengakui bayang-bayangmu, kau akan terus dibayanginya.
Toh ia menemukan satu kesenangan karena ternyata ia tetap memiliki satu hal yang membedakan dia dari sang guru. Psikoanalisa Freud hanya mengajarkan manusia untuk men yadari alam nirsadarnya sendiri. Spiritualisme Buddhis mengajarkan manusia untuk mencapai kesadaran diri dan semesta. Ya, tingkat "kesadaran" Diri yang mempersatukan manusia dengan makrokosmos. Anshel lega bahwa ia bukan pengikut Freud lagi.
Pada hari itu Anshel telah membunuh Freud seperti Oed ipus membunuh ayahnya, sebab seorang anak harus memb unuh figur ayah untuk bisa menjadi diri sendiri.
Pada hari itu Anshel mencukur habis rambutnya. Seperti seorang biksu. Meskipun ia bukan seorang biksu.
Ia tinggal tiga tahun di sana, menyalin dan mempelajari mandala-mandala, menakjubi betapa diagram jiwa berkembang sebagai seni, betapa citra-citra-dalam diwujudkan sebagai keindahan yang terlihat mata.
Setelah tiga tahun, ia tahu ia tak bisa selamanya berdiam di puncak dunia. Ia harus turun lagi. Tapi ke mana" Dulu, nenekbibinya pergi ke New York sesudah menetap setahun di sini. Katarina, bersama beberapa orang, mendirikan perkumpula n Teosofi di kota duniawi itu. Sang Apel Besar. Sebelum wanita itu pulang untuk menghadapi bayang-bayangnya. Anshel termenung. Kali ini, ia tidak ingin mengikuti jejak Babushka lagi. Ia sama sekali tidak tertarik menengok New York. Ia juga tidak ingin kembali ke Eropa. Ia tak mau kembali kepada rasionalitas yang congkak. (Dan ia tidak melihat bayang-bayang untuk dihadapi.)
Sore itu Anshel minum teh bersama Tuan Bell yang baik hati dan biksu Agvan Dorzhiev yang murah ilmu. Udara sedang cerah. Burung elang berkitaran di kejauhan.
"Dengar," kata Agvan. "Dahulu ada seorang guru yang sangat utama. Atisha Dipankara namanya, seorang Bengali. Ia menurunkan ajaran yang sangat penting di sini, yaitu bodhichitta. Ajaran utama itu ia pelajari di tempat nan jauh bernama Pulau Emas. Svarnadwipa. Ia berguru pada yang mulia Lama Serlingpa, atau Lama dari Pulau Emas."
"Svarnadwipa adalah pulau Sumatra hari ini. Sejak zaman antik memang dikenal sebagai penghasil emas. Letaknya di arkipelago Hindia Belanda," kata Tuan Bell. Mengikuti tradisi mencintai arkeologi seperti Sir Stamford Raffles, Bell mel anj utkan, "Di sana, dulu, sekitar abad ke-6 sampai 13, ada pusat peradaban Buddhis yang sangat berpengaruh, kemudian bernama Sriwijaya. Orang-orang dari benua Asia mempelajari Buddhisme di sana. Salah satu mahagurunya adalah Dharmakitri, atau yang di Tibet ini dikenang sebagai Lama Serlingpa."
"Betul, dari Sriwijaya kami mendapatkan ajaran bod hichitta dan beberapa mandala," sahut Agvan. "Kami masih memakainya hingga sekarang. Sayang..."
"Ya. Sayang sekali hari ini tak satu pun penduduk di pulau itu mengenal lagi kemajuan kerajaan kunonya. Mereka telah sepenuhnya lupa bahwa bangsa mereka pernah memiliki kiblat intelektualitas dan spiritualitas di Asia," kata Tuan Bell.
"Betul. Menurut kami, apa yang dibawakan oleh guru Atisha Dipankara ke sini adalah ajaran yang agung. Sangat istim ewa. Sebab, itu adalah ajaran yang telah membikin lingk aran penuh."
"Apa maksudnya membikin lingkaran penuh?" tanya Anshel. Ia selalu tertarik pada perlambangan yang geometris.
"Kau tahu, Siddharta Gautama lahir di Nepal. Di hutan Lumbini. Sekitar abad ke-6 sebelum masehi," jawab Agvan sambil menunjuk ke sebuah arah. Di kejauhannya terletak distrik Lumbini. "Bayangkanlah. Ajarannya merambat melewati India, selama berabad-abad. Lalu, setelah sepuluh abad ya, seribu tahun ajarannya telah berkembang di kerajaan paling Selatan: Sriwijaya di Svarnadwipa. Pulau Emas. Itu adalah setengah lingkaran yang dilalui. Dari sana ajaran itu kembali lagi ke tempat di mana Sang Buddha dilahirkan. Ia menyempurnakan perjalanannya, dengan membikin lingkaran penuh."
Anshel terdiam sebentar. Ia berdesir, terharu memb ayangkan sebuah peziarahan panjang dan perjalanan pul ang. Barangkali ia teringat pada perjalanannya sendiri. Tapi, lingkaran penuh tentu saja sebuah pola sempurna yang mengag umkan.
"Kenapa tidak kau ke sana saja dari sini?" tiba-tiba Agvan berkata sambil memandangi mata hijau Anshel dalam-dalam. Anshel tergagap.
"Kau telah napaktilas nenekmu, yang membawamu ke sini. Mungkin sekarang saatnya kau napak tilas para biksu." "Ya, kenapa tidak, Anshel?" sambung Tuan Bell. "Orangorang di negeri itu sudah melupakan warisan kekayaannya nenek moyang mereka sendiri. Mungkin kau yang harus menggalinya kembali dan menggosoknya agar dunia melihatnya lagi!" Bell menepuk bahu Anshel yang tampak tercenung. "Peninggalan kerajaan kuna di Sumatra memang nyaris tak ditemukan lagi. Sayang. Tetapi, ah, bukankah sejarah adalah dinamika! Wilayah dan pengaruh Buddhisme pada masa itu juga mencakup pulau Jawa, yang terletak di selatan Sumatra. Dan di sana, begitu banyak penemuan kuil-kuil. Bahkan..."
Sesuatu seperti bangkit dari masa lalu Anshel. "...Bahkan ada satu kuil Buddhis yang sangat besar di Jawa Tengah. Ah! Katanya, itu bangunan Buddhis terbesar di dunia malah!"
"Betul," kata Agvan. "Saya belum pernah melihatnya sendiri, mem ang. Tapi para perwira Rusia, ehm, juga perwira Inggris, memperlihatkan fotonya kepada saya. Sungguh ajaib. Aduh, saya bahk an hampir lupa hal penting itu. Betul, Anshel, kau harus ke sana."
"Apa ajaibnya?"
"Saya memiliki seseorang pernah memberikannya pada saya mandala yang sangat tua, disulam dalam gambar sutra thangka. Dari biara Kadampa, yang meneruskan ajaran Atisha dengan sangat setia. Dan, bentuk mandala yang sama adalah denah kuil besar yang disebut-sebut tadi. Anshel, kuil itu adalah sebuah mandala yang sangat kuno!"
"Betulkah, Agvan?"
"Jika kau memang mau menempuh peziarahan baru ke sana, kuberikan kain thangka bersulam mandala itu bagimu, Anshel. Sungguh."
"Bagus! Mari kita rayakan!" seru Tuan Bell tanpa menunggu persetujuan Anshel. Ia mengambil sebotol wishki. "Saudarasaudara dipersilakan minum. Aku ingin memainkan piano buat kalian!"
Bell duduk di kursi piano. "Tak sempurna ya permainanku mem ang. Tapi Saudara-saudara yang mulia tak punya pilihan. Aku akan memainkan karya komponis kesukaanku. Orang Prancis. Claude Debussy! Ah! Ini penting bagimu, Anshel. Komposisi yang akan kumainkan ini berjudul Pagodes. Dibuatn ya dengan pengaruh bunyi-bunyian orkestra ah! apa namanya" ah ya, gamelan Jawa."
Anshel merasakan desir yang lebih kuat lagi. Masa lalu mengutuh melingkupi pelupuk matanya. Bau sisa musim semi dan rempah-rempah dalam bangsal besar menelusup nafasnya. Exposition Universelle. Menara Eiffel di luarnya. Paris. Kampung Negro. Rekonstruksi pedesaan Jawa. Bunyi-bunyi logam seperti lapis-lapis ombak mengalun bertumpang-tumpangan. Ia terbawa seperti ke arah tengah lautan. Seorang pem uda di sebuah sudut, menyimak musik gamelan yang dimainkan manusia-manusia kecil berkulit coklat. "Saya Claud e Deb ussy. Hampir tiap hari saya main ke pameran ini." Kini ia bertemu lagi dengan lelaki itu dalam permainan piano. Segala hal bertemu kembali dalam semesta.
Airmata membayang di ujung-ujung.
Lalu ayahnya membawa ke sebuah tempat di mana ada begitu banyak kepala Buddha dari batu andesit. Ayah dan anak yang mesra melihat-lihat foto dan maket sebuah kuil Buddha di negeri yang jauh. Denahnya yang berbentuk bagan konsentris. Itulah sesungguhnya kali pertama ia melihat sebuah mandala. Airmatanya retas lalu mengalir.
Bell mengira permainannya sangat menyentuh. Agvan tahu bahwa bukan permainan Bell yang mengharukan. Biksu Rusia itu mengelus-elus bahu Anshel.
"Kau telah tahu, Anshel. Orang di sini percaya reinkarnasi. Barangkali perjalananmu ke Jawa bukanlah kepergian, melainkan kepulangan."
A ir matanya mengalir , seperti parit kecil di padang yang lalu menghilang di semak-semak janggutnya. Ia melipat kembali surat sedih itu dan memasukkannya ke dalam amplop semula. Ia menciumnya dengan kecup perpisahan bagi sahabat yang mati.
Ia sendiri... telah panjang perjalanannya. Dari kota kerajaan di Eropa Tengah, ke negeri drakula; dari pusat ke perbatasan. Lalu ke tanah-tanah di mana Tuhan yang satu diperebutkan tiga agama. Ke Timur yang tak terpahami. Ke pucuk dunia temp at burung-burung tertinggi bersarang dalam dingin yang bengis dan kedamaian. Dan akhirnya ke pulau misterius di mana sebuah kuil nan anggun terpacak di tengah hijau hutan.
Dulu, air matanya juga mengalir tatkala melihat candi itu untuk pertama kali. Tampak bahwa kuil tersebut telah ditinggalkan selama seribu tahun. Putri tidur yang dibelit hutan tropis, dilindungi hamparan sawah, dan dibentengi gununggun ung api. Misteri menggetarkan jiwanya. Sesuatu seperti berb isik: kemarilah, di sini ada yang lama kau cari. Lumut dan tetumb uhan pada bebatu, lantai dan dinding yang condong dan rumpang, mereka seperti tubuh yang purba dan letih namun menyimpan suatu rahasia peta jiwa di kedalamannya. Suatu pusat dunia. Axis mundi.
Ah. Orang-orang kecil berkulit coklat di pulau ini tidak lagi mengingatnya. Mereka tidak menganggap bangunan suci itu berharga. Tapi orang-orang asing berbadan besar dan bermuka pucat tahu bahwa kepala-kepala Buddha itu laku dijual sebagai suvenir dari negeri jajahan. Orang Jawa mengabaikannya. Petualang Eropa menjarahnya, dengan kejam memancung, memisahkan wajah damai dari tangan-tangan mudra. Perbukitan Menoreh membisu, memantulkan larit-larit keemasan matahari ataupun biru bulan.
Untunglah, Eropa juga melahirkan para ilmuwan dan kaum romantis. Merekalah yang tertarik pada peninggalan terkubur dari peradaban tinggi yang hilang secara misterius di tanahtanah jauh. Anshel menggabungkan diri dengan satuan tugas yang sekarang sedang memperbaiki candi itu yang dinamai Borobudur, sekalipun nama aslinya tidak diketahui. Letnan muda yang mengepalai pekerjaan ini, van Erp, memberi ia posisi sebagai konsultan Buddhisme. Itu adalah tahun-tahun yang sangat menggairahkan dia. Anshel. Umurnya kini pertengahan empat puluh.
Karena pekerjaan itu tidak memberinya cukup uang, pad ahal sisa warisannya semakin tipis, ia juga membuka konsultasi parapsikologi di Semarang. Suatu hari datang seorang perempuan. Seorang Indo. Ia janda kembang dan mewarisi suatu perkebunan yang jaya dari seorang lelaki Belanda yang mati karena penyakit tropis. Perempuan itu mengeluh bahwa seluruh tindakannya dikendalikan oleh kekuatan tak diketahui dari kejauhan. Ia percaya, di suatu gunung ada seseorang jahat yang memiliki boneka. Setiap kali boneka itu digerak-gerakan, setiap kali itu pula ia akan bergerak di luar kontrolnya, seperti gerakan boneka. Setiap kali orang jahat ini membisikkan katakata seakan diucapkan oleh boneka, setiap kali pula ia mengutarakan kata-kata itu.
Setelah beberapa kali konsultasi, perempuan itu berkata kepada Anshel bahwa penasihat jiwanya tidak cocok berkepala gundul. Seperti biksu" Ah, orang di sini tak tahu lagi apa itu biksu. Di sini dan di zaman sekarang, seorang spiritualis adalah mereka yang memelihara janggut. Janggut adalah lambang pengalaman dan kebijaksanaan. Janggut juga lambang bahwa perkara duniawi sudah tak penting lagi sehingga seorang lelaki tak punya waktu untuk bercukur. Anshel jatuh cinta kepadanya. Ia kadang-kadang membawa wanita itu ke Borobudur. Lalu wanita itu berkata, lihatlah, tak ada pendeta berkepala gundul dalam semua penggambaran di candi ini. Semua brahmana dan pendeta berambut panjang disanggul dan berjanggut. Anshel dan perempuan itu pun menikah. Mereka menikah di kantor catatan sipil pemerintah koloni, dan membuat upacara spiritual sendiri di kalangan kelompok Teosofi di Jawa. Pada hari pernikahan itu Anshel telah menggelung rambutnya ke atas dan rahangnya telah dibungkus brewok.
Mereka pergi ke studio Cephas di Yogyakarta untuk membuat foto. Anshel menyesal tak bisa bertemu dengan sosok yang telah membuat dokumentasi seluruh panil Borob udur. Orang Jawa pertama yang menjadi fotografer. Kassian Cephas telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Studionya dilanjutkan oleh putranya, Sam. Anshel mengambil banyak waktu untuk menikmati karya-karya Cephas senior tentang candi-candi dan kehidupan di Jawa. Ah, koleksi yang mengagumkan. Ia sendiri suka memotret. Ia sangat senang bercakap-cakap dengan Sam, sekalipun anak itu tampaknya tidak setekun mendiang ayahnya. Ia merasa menemukan bakal sahabat yang dengannya ia bisa berbagi hobi. Sekarang ia mulai menekuni fotografi. Ia suka bercerita tentang ramuan organik maupun kimia yang dipakai para jurufoto. Sebelum pulang ke Semarang, istrinya berkata agar Sam jangan naik kuda hari-hari ini. Ketika Anshel dan sang istri datang lagi ke studio itu untuk mengambil foto-foto yang seharusnya telah selesai dicetak dan dilukis, Cephas yunior sudah tidak ada. Sam meninggal setelah jatuh dari kuda.
Anshel mencoba melupakan kesedihannya kehilangan kawan, serta kemampuan istrinya meramal tanpa dikehendaki, dengan bermalam sendirian di satu rumah tim restorasi candi yang terletak di desa Mendut. Dekat sebuah candi kecil, yang berbagi nama dengan desa tersebut. Ia menghabiskan sepanjang hari berkelana di sekitar situ, membuat litografi, dan merenung. Renungan itu akan ia tuliskan kepada teman-teman bekas anggota pertemuan psikoanalisa Rabu di Bergasse 19. Terutama Carl. Korespondensi ini sangat menghiburnya. Selain itu, ia terus merenung dan membikin catatan dan gambar dalam sebuah jilidan yang dibungkusnya dengan sampul kulit berwarna indigo.
Kemarin ia menulis lagi tentang citra-citra-dalam, Inneren Bilder: penampakan yang muncul dalam mimpi tanpa didahului pengalaman, atau citra yang muncul berulang kali dalam ritual maupun pada kuil-kuil di seluruh penjuru dunia. Ia percaya bahwa citra-dalam ini ada dalam jiwa manusia, dalam alam nirsadarnya. Beberapa orang, seperti dukun ataupun psikoanalis yang peka, bisa mengakses beberapa citra-dalam, jika tak melalui mimpi atau trans. Kali itu ia menulis tentang ularnaga, yang dimaknai sebagai jahat di Barat tetapi sebaliknya di Timur. Setelah merinci panjang lebar, ia menyimpulkan: Marilah kita beranjak dari yang citrawi. Sebab ada yang abstrak. Sungguh tak berwujud. Yaitu struktur tak terlihat. Relasi. Dalam hal ini ularnaga ini adalah perlawanan atau pembalikan. Semua citra bisa mengalami proses pembalikan. Ularnaga, satu dari banyak citra-dalam, bisa dimaknai secara berlawanan: positif maupun negatif.
Ada citra. Ada struktur. Ada yang berwujud. Ada juga yang abstrak.
Mandala adalah sebuah usaha untuk menggambarkan struktur atau hubungan yang abstrak itu. Dan mengintegrasikan citra ke dalam struktur itu.
Ia mengirim kepada teman-temannya bagan jiwa manusia menyerupai mandala Borobudur. Catatannya: para dewata yang digambarkan dalam sebuah mandala adalah setara dengan citra-dalam yang ada pada alam nirsadar kita. Citra-dalam itu memperkenalkan kita pada kekuatan-kekuatan dan sifatsifat yang ada dalam alam semesta maupun jiwa kita yang kebanyakan kita tidak kenal lagi, sebab kita telah terlalu jauh dari inti nirsadar kita. Tapi denahnya adalah sebuah struktur makrokosmos sekaligus mikrokosmos.
"Betapa menakjubkan pengetahuan para pembuat Borobudur mengenai struktur jiwa manusia. Apalagi dilihat dari kacamata psikoanalisa modern," demikian tulis Anshel kepada koleganya di Eropa.
Tetapi pengalaman hidup membuat ia gampang diterpa rasa sedih. Semua hal menakjubkan yang ada pada kuil itu segera mengingatkan ia pada orang-orang kecil berkulit coklat yang sama sekali tidak peduli pada warisan nenek-moyang mereka sendiri. Sebagai orang asing ia mengembara sangat jauh, hingga ke pulau ini, dan menemukan betapa yang ia cari sejak dulu ia dapatkan di sini. Betapa ia tergetar hingga men itikkan air mata karenanya. Tapi orang-orang pribumi, bahkan yang tinggal di gubuk bambu dan buang air dalam sungai yang sama dengan tempat mereka mencuci baju, melihat kuil itu sebagai tumpukan batu tak berharga, kecuali bahwa beberapa bongkahnya bisa dipakai untuk membuat bangunan lagi, atau ternyata ada orang kulit putih yang mau membeli patungpatungn ya. Ia merasa muram. Seorang ahli bahasa Jawa malah mengatakan padanya bahwa ada sebuah buku dari abad ke- 18 yang menggambarkan reruntuhan kuil itu sebagai tempat penuh kutukan. Betapa menyedihkan bahwa kerajaan Jawa sendiri lupa pada kejeniusan leluhur mereka.
Hari telah remang ketika ia tiba di kuil Borobudur. Tadi ia berjalan menyusuri rute setapak dari candi Mendut, lalu Pawon, dan berakhir di Borobudur. Jalur itu adalah sebuah garis lurus barat-timur, dan itu pasti bukan sebuah kebetulan. Ketiga candi itu pastilah berhubungan. Agaknya ritual dimulai dari candi paling Barat, yaitu Mendut. Reliefnya mengandung kisah moral yang sederhana, singkat, dan menarik, menggunakan dongeng binatang. Kedua candi kecil itu tampaknya untuk mem?"" persiapkan batin para peziarah sebelum berhadapan dengan kuil utama yang begitu masif dan padat-ajaran.
Anshel hendak menikmati matahari terbenam di balik perbukitan Menoreh, membayangkan kesadaran tenggelam ke alam nirsadar. Tapi, dari puncak candi itu ia melihat sesuatu yang ganjil di pelataran. Sebuah kendaraan bak berhenti dekat tempat mereka telah meletakkan batu-batu dan patung-patung yang belum tersusun kembali. Dilihatnya mandor Jawa yang biasa membantu mereka, bersama seorang kulit putih yang tak ia kenal. Bukan anggota tim. Dan beberapa jongos, membawa tali dan galah. Mereka mulai mengangkut patung-patung batu ke dalam truk itu. Pencuri!
Anshel segera berlari turun, terperosot di antara undakundakan yang berantakan. Ia menjerit memperingatkan orangorang itu dengan rasa sakit hati yang meledak. Yang diteriaki menoleh terkejut. Terutama si mandor Jawa dan si kulit putih yang asing. Mata mereka mendesak. Tiba-tiba sesuatu membentur belakang kepalanya. Anshel tak melihat apa-apa lagi.
Ketika ia siuman, ia mengalami pewahyuan ambang sadar, yang terasa begitu jernih dan terang benderang. Yaitu bahwa mandala bukan hanya gambaran yang dikarang manusia oleh kesadarannya, atau bahkan setelah menyelam ke dalam alam nirsadar. Tidak. Tidak hanya itu. Lebih dari itu. Mandala adalah bagan yang digambar oleh alam semesta sendiri! Melalui getaran.
Seperti apa yang disebut "pelat Chladni", yang ia pelajari dulu dalam studinya. Getaran atau gelombang sesungguhnya memiliki gerak dan struktur yang menakjubkan. Kita bisa melihatnya dengan alat bantu. Alat bantu yang paling sederh ana adalah tepung, serbuk, atau pasir. Lihatlah jejak angin pada pasir laut. Demikian pula gelombang bunyi dan gelomb anggelombang lain bisa menciptakan hal yang sama. Taburk anlah serbuk atau tepung pada selempeng pelat dan papark anlah lempengan itu pada getaran. Serbuk pada pelat itu akan menciptakan gambar-gambar menakjubkan: mandala dan polapola! Gambar-gambar itu akan berubah-ubah bersama perg erakan getaran. Pada getaran-getaran tertentu tercipta pola-pola berulang dan merata, kadang menyerupai batik; pada getara n tertentu tercipta pola konsentris. Pada titik-titik kritis yang tak dapat diterangkan gambar berubah dengan sangat drastis, bagai malih kepada citra yang sama sekali baru.
Dalam ambang sadarnya Anshel melihat gerakan pelan jutaan serbuk, memisahkan diri dan mempersatukan diri, membentuk suatu pola ke arah luar, dari sebuah pusat, seperti alam semesta mengembang, menyebarkan debu, lalu terciptalah pola-pola baru yang melingkar dan yang terbentuk dari garisgaris lurus... lalu ia melihat Mandala Borobudur. Suara perempuan memanggil namanya.
Dilihatnya wajah istrinya, lalu seorang pria berpakaian dokter. Kelambu putih. Seprei putih. Ia telah berada di rumah sakit di Muntilan.
Lalu ia merasa muram kembali menyadari bahwa beberapa bagian sangat berharga dari kuil agung itu telah dijarah lagi. Muram yang mengingatkan ia akan hilangnya rasa percaya pada akalbudi...
K esedihan membayangi kehidupan Anshel. Terutama kesedihan akibat kehilangan rasa percaya pada manusia akalbudi. Pada suatu kali kesedihan itu demikian mencekam sehingga ia men ulis bahwa ia tak percaya jika orang Jawa-lah yang membangun Borobudur. Kuil ini terlalu sempurna bagi sebuah bangsa yang mel upakan khazanah kecerdasan masa silamnya, kecuali bahwa khazanah itu bukan dari leluhur bangsa tersebut.
Tapi kali lain ia merevisi pendapat tadi. Tulisnya: Bisa saja terjadi suatu bencana, konflik kekerasan, atau proses pem iskinan yang parah sehingga untuk bertahan hidup suatu mas yarakat ataupun jiwa tak punya lagi daya untuk mengakses sumber-sumber kehidupan asalinya.
Pada saat inilah ia juga mengembangkan teori warnanya sendiri. Jiwa memiliki pancaran cahaya. Dalam mandala, pusatn ya adalah cahaya putih, diikuti violet, indigo, biru, hijau, kuning, jingga, merah, merah-hitam atau kecoklatan, dan akhirn ya tiada cahaya. Gelap. Itu menggambarkan gradasi dari yang spiritual kepada material. Kesadaran manusia hanya bisa menangkap sebagian kecil gelombang itu sebagaimana mata manusia hanya dapat melihat sebagian kecil spektrum cahaya. Tentang bangsa-bangsa yang kehilangan khazanah spiritualnya ia menggambarkannya sebagai bangsa yang memancarkan warn a merah. Merah: cahaya dengan gelombang pendek saja. Inil ah warna lapisan bangsa Jawa yang melupakan Borobudur.
Semua itu menunjukkan ketertarikan Anshel terhadap ilmu gelombang. Sejak siuman sehabis insiden penyerangan di Borobudur dulu, ia menghubungkan jiwa dengan gelombang. Ia mengembangkan mandalanya, sebagai bagan konsentris jiwa, dengan menambahkan warna-warna. Ia membangun sebuah laboratorium di rumah mereka, di mana ia bisa bereksperimen dengan pelbagai frekuensi dan tekstur bunyi, pelbagai materi pelat, pelbagai serbuk, untuk menghasilkan "citra-citra-alam sem esta". Ia percaya bahwa suatu hari ia akan menemukan frek uensi dan materi yang tepat yang menghasilkan Mandala Borobudur. Ia mengisi lembar demi lembar Buku Indigo-nya.
Tapi, kehidupannya berjalan dengan kesedihan membayangb ayangi. Seperti selalu.
Perang terjadi di Eropa. Tahun 1929, setelah perang dunia yang pertama, krisis ekonomi melanda dunia sehingga dana untuk memperbaiki Borobudur tak ada lagi. Proyek restorasi distop. Tim itu berhenti bekerja.
Di Eropa, peta politik berubah. Muncul sebuah kekuatan baru, yang dipimpin oleh Adolf Hitler: Nazi. Kekuatan ini membangkitkan semangat mesin dalam diri manusia dan jiwa yang sangat membenci orang Yahudi, yang telah Anshel ketahui sejak ayahnya mati. Begitu berkuasa di Jerman maupun Aust ria, pemerintahan Hitler mengirim orang Yahudi ke kamp konsentrasi, termasuk keluarga Eibensch"tz. Tak lama kemud ian, desas-desus semakin santer bahwa pembunuhan terhadap orang Yahudi mulai dilakukan secara bertahap dan sistematis dalam kamp konsentrasi.
Sebelum kota Wina jatuh ke tangan Nazi, Sigmund Freud berhasil dibujuk untuk melarikan diri ke Inggris. Freud, yang dikenang oleh beberapa muridnya bagai patriark yang cem erlang sekaligus kejam, drakula yang menghisap darah dengan kata-kata, meninggal tahun 1939 karena kanker mulut. Katakatan ya memang beracun. Tapi ia juga seorang perokok berat. Ia mengatakan bahwa menghisap rokok atau cerutu adalah substitusi bagi masturbasi. Tidak. Sebelum kanker mulut sungguh-sungguh mencabut nyawanya, ia meminta put rin ya menyuntikkan morfin dengan dosis yang cukup untuk menyelesaikan dia. Ia wafat setelah menuliskan Musa dan Monoteisme. Buku ini menunjukkan, secara ironis, bahwa akh irn ya ia percaya juga bahwa ada semacam memori kolekt if dalam nirs adar manusia hal yang dulu ia tolak mentah-ment ah dan membikin ia mengusir murid-muridnya, termasuk Anshel, Carl, dan Herbert. Ironisnya, ia mati dan tidak bisa memb antah tuduhan itu. Tuduhan bahwa ia kini percaya apa yang dipercaya murid-murid terusirnya.
Di Nusantara, ketika Jepang (yang berkolaborasi dengan Jerman) menduduki Indonesia, seluruh orang Belanda termasuk Anshel, istri, dan tiga anak mereka dimasukkan ke dalam kamp internir yang, lagi-lagi, membekaskan pengalaman sedih.
Setelah Jepang kalah dan mereka dibebaskan, Anshel melanj utkan pencariannya untuk menemukan gelombang dan materi yang mewujudkan Mandala Borobudur. Ia menamai ilmu gelombang-nya "kimalogi". Dari bahasa Yunani: kyma, gelombang, dan logos, ilmu.
Kesedihan datang lagi. Tahun 1950-an, Presiden Sukarno merebut seluruh aset orang Belanda, menjadikannya milik negara baru Republik Indonesia. Perkebunan mereka, yang diwarisi oleh istrinya dari suami terdahulu, menjadi milik PTPN. Sukarno juga mengusir penduduk bangsa Eropa, kecuali jika mereka meninggalkan nasionalitasnya dan menjadi warga negara Indonesia.
Anshel dan keluarga itu pindah ke Eropa. Tapi ia sudah tidak merasa Eropa lagi, dan istrinya yang Indo tidak pernah kenal Eropa. Dua tahun kemudian mereka kembali sebagai warga asing yang berbisnis di Indonesia. Putra mereka tetap di Eropa. Tetapi putri mereka menikah dengan pria Indonesia bernawa Nataprawira. Dari mereka, Anshel mendapat dua cucu: seorang lelaki dan seorang perempuan. Ia menamai mereka Jatakamala dan Lalitavistara, dua kitab yang terdapat dalam Borobudur. Tapi orangtua mereka memanggil anak-anak itu dengan nama lain.
Ia terus menetap di Indonesia. Mereka memiliki rumah di Jakarta dan vila di Magelang. Ia terus menekuni pencariannya terh adap ilmu gelombang, ilmu jiwa, dan spiritualitas, yang membuat ia semakin hari semakin sulit dipahami oleh orang lain kecuali oleh cucu perempuannya.
Sekarang ia kerap berkata bahwa suatu kali ia akan menemukan gelombang yang bisa membuat ia mencapai moksa. Yaitu pencerahan ultima. Alam sadar akan bersatu dengan alam nirsadar. Partikel cahaya akan mengubah materi gelap. Di saat itu, kesadaran manusia akan hilang, bersatu dengan kesadaran semesta. Anak-anak dan cucu lelakinya menganggap itu sebagai suatu tanda-tanda kepikunan usia tua. Cucu perempuannya tidak berpendapat begitu. Cucu yang dinamainya Lalita.
Di hari ulang tahun ke-85 ia berangkat sendiri dari vila mereka di Magelang ke Borobudur. "Kepada axis mundi," katanya. "Sebab moksa hanya bisa dilakukan di titik-titik axis mundi, yang tak banyak di muka bumi ini. Dan Borobudur adal ah salah satunya. Ia membawa beberapa lempeng logam, beber apa kantung serbuk, kamera Roleiflex twin lens reflex dengan trip od dan perlengkapan lain. Ia tak mengizinkan orang mengantarnya. Ini adalah perjalanan spiritual dan intelektual yang har us dil akoni sendirian. Anak dan menantunya berpendapat bahwa seorang kakek tua pun layak berbahagia dengan permainannya sendiri, seperti anak-anak. Mereka berpikir untuk membiarkan Kakek Anshel pergi bermain sendirian, puas berbah agia, dan menjemputnya kemudian.
Sore harinya, orang yang disuruh menjemput Kakek Anshel di Borobudur tidak menemukan pria tua itu. Tidak juga lempengan logam, sisa serbuk, atau kameranya. Demikianl ah, Anshel Eibensch"tz hilang. Orang yang skeptis akan berkata bahw a ia dirampok dan dibunuh. Mayatnya dibuang ke tempat yang tak bisa ditemukan. Orang yang beriman boleh berkata bahw a ia menemukan rumus untuk mencapai moksa. Ia moksa bersama lempeng logam serbuk, dan kameranya.
Pada lebih kurang tahun 1959 Carl Gustav Jung merum uskan teorinya mengenai memori nirsadar kolektif dan arketipe.
Pada tahun 1967, seorang dokter Swiss Hans Jenny menul is buku berjudul Kymatik, atau Kimatik, yang lebih kurang membicarakan tema yang sama dengan apa yang disebut Anshel sebagai cymalogic atau kimalogi.
Tahun 1990-an dunia dilanda trend tentang aura manusia, yang percaya bahwa manusia memancarkan sejenis cahaya dengan warna energi berbeda.
Semua itu telah dituliskan oleh Anshel Eibensch"tz. Hanya saja, ia tidak mau buru-buru menyatakannya kepada dunia. Sebab ilmu yang tidak bisa diverifikasi adalah ah, ia ingat gurunya ya, ilmu demikian, jika ditawarkan kepada publik, akan menjadi suatu pseudosains belaka. Ilmu palsu. Ilmu-ilmuan.
Sekarang, kau telah melewati wilayah dalam dari buku ini, yang ditulis dengan struktur bagan konsentris pula. Ini perj alanan dari kehidupan sehari-hari yang riuh, masuk ke wilayah dalam yang semakin tenang, tempat kau bisa bertemu leluhur, bayang-bayangmu, dunia lain yang lebih luas, atau melihat struktur jiwamu. Kepada memori kolektif bawah sadar. Perjalanan yang belum tentu menyenangkan seleramu. Setelah itu orang kembali ke dalam hidup sehari-hari dengan membawa pengertian yang diambilnya dari alam mimpi. Jika kau tidak menyadari apapun dari alam itu, maka itu berarti kau kini berjalan mundur.
Tapi, agar tak berjalan mundur, baiklah kita mengingat kata-kata Anshel, kakekku, tentang candi kecintaannya: Betapa menakjubkan pengetahuan para pembuat Borobudur mengenai struktur jiwa manusia. Apalagi dilihat dari kacamata psikoanalisa modern.
Lumbini (Nepal) INDIA Jawadwipa Thangka Roda Kehidupan dan Ajaran yang telah membuat Lingkaran Penuh
Merah D alam sebuah mandala , satu segitiga membutuhkan pas angan yang terbalik agar menjadi bintang segi enam yang stabil. Buku Indigo
Ia bukan satu-satunya lelaki.
Parang Jati memacu motor. Tangannya, yang berjari enam, melonggarkan gas. Mesin di antara kedua pahanya, yang semula menggelegak, kini mereda. Ia memutuskan untuk menepi ke pinggir jalan sepi yang penuh ilalang.
Setiap pemuda diam-diam memendam mimpi kisah peri. Menjadi pangeran tampan yang membebaskan Sang Putri. Tap i, meski ia tampan, ia tidak mendapatkan peran itu. Ia jatuh cinta tanpa kata-kata pada seorang putri, namun tugasnya justru menyelamatkan Sang Pangeran. Ia hanya pemeran pembantu, tapi bebannya begitu berat.
Ia tahu tidak baik ngebut dengan hati kalut. Ia memutuskan untuk masuk ke antara semak dan kencing. Buang air adalah bahasa tubuh dari melepas beban.
Ia berharap bisa berpikir jernih. Ia duduk di bawah sebuah pohon randu muda, dan memandang kepada bulan kesiangan dengan mata bidadari cemas. Marja terbit di sana, dalam warna tembus cahaya, menoleh kepadanya dengan wajah polos dan mata bertanya ada apa sebenarnya. Itulah gadis yang ia cintai tanpa bahasa. Apa yang harus ia katakan kepada Marja tentang semua ini" Ia membayangkan mata itu berlinang, ia mengusapnya sambil berkata, tenanglah Marja, semua akan baik-baik saja. Tapi ia sendiri tidak tenang.
Dua puluh menit yang lalu teleponnya berdering. "Maaf, apakah saya bicara dengan Parang Jati" Temannya Sandi Yuda?" suara lelaki dengan logat ganjil bertanya dari seberang yang terasa jauh sehingga bergaung.
"Betul." Tapi perasaan Parang Jati segera tak nyaman. "Apakah kamu kan juga menginap di rumah Ibu Lalita pada malam itu?"
Suara asing itu menyebut tanggal, dan Parang Jati sem akin merasakan getaran masalah, seperti gempa yang bakal mendekat. "Ada apa ya?"
"Begini. Maaf, ini pasti tidak menyenangkan kamu." Suara itu lalu diam, seperti sengaja menciptakan ketegangan.
"Sahabatmu, Sandi Yuda, ada bersama kami sekarang," suara itu melanjutkan. Logatnya tak berasal dari suku atau kota apapun. Logatnya berasal dari bahasa lain. "Dia baik-baik saja. Sejauh ini. Tapi, jika kamu ingin ia kembali, kami minta tolong..." Parang Jati tercekat.
"Kami minta tolong agar kamu mengembalikan Buku Indigo kepada kami."
"Apa maksud Anda?" Parang Jati berusaha tenang. Suara itu menjawab dengan tenang yang lebih mendasar. "Kami kehilangan Buku Indigo dari rumah Ibu Lalita. Dan kami berharap Anda bisa mengembalikannya kepada kami." "Tapi, saya tidak mengambilnya?"
"Oh" Kamu tidak mengambilnya?" Suara itu terbatuk (ataukah tertawa"). "Baiklah, kalau begitu kami minta tolong Anda mencarikannya."
"Saya tidak tahu apa-apa tentang itu. Bagaimana mungkin saya mencarinya?"
"Ya, kami juga tidak tahu apa-apa tentang di mana buku itu sekarang. Jadi kita sama-sama tidak tahu. Karena itu mungkin kamu harus mencarinya. Terutama jika kamu ingin sahabatmu ini, Sandi Yuda, kembali padamu."
Parang Jati merasa darahnya berhenti mengalir. Ia tak tahu apakah ia marah atau cemas. Ia mencoba menduga jika ini lelucon kawan-kawan pemanjat tebing mereka. Tapi ia khawatir tidak. Ia khawatir ini bukan permainan.
"Maaf, Bung ini siapa" Dan jika Bung memang bersama Sandi Yuda, tolong saya ingin bicara dengan dia. Kalau tidak, bagaimana saya bisa bercaya bahwa dia memang ada dengan Anda" Bagaimana jika Bung cuma main-main saja..."
"Begini ya," kata suara itu dengan yakin akan kemenangan. "Kalau kamu bisa bicara atau menemukan Sandi Yuda di tempat lain, maka, silakan, kamu tahu ia tidak bersama kami. Tapi jika tidak, maka yakinkah bahwa ia ada bersama kami." "Ini tidak adil "
Orang itu tertawa kecil. "Tentu saja kita tidak sedang bicara soal keadilan. Saya sedang minta tolong kepadamu. Saya harap kamu mengerti. Jadi, jangan nonaktifkan teleponmu. Sebab, saya akan menghubungi kamu dari waktu ke waktu. Untuk men a?" nyakan kabarmu, dan memberi kabar tentang sahabatmu ini." Telepon ditutup.
Parang Jati tercenung. Ia tak langsung paham apa yang terjadi. Ia ingat, gerombolan pemanjat mereka terdiri dari dua belas pemuda jahil. Mungkinkah mereka sedang mengerjai dia" Tapi untuk apa" Dan bagaimana mungkin anak-anak itu bisa tahu tentang Buku Indigo, yang bahkan tak terpajang dalam benaknya" Bukankah itu buku yang diperlihatkan Lalita sembari bercerita tentang mandala-mandala dari pelbagai penjuru dunia" Terlalu jauh terlampau canggih jika geng pemanjat bisa tahu perkara ini. Ia menghapus kemungkinan kejahilan.
Lalu, apa yang mungkin terjadi" Ia mencoba merunut peristiwa. Buku Indigo di rumah Ibu Lalita. Ia memang mel ihatn ya tatkala perempuan itu mengajaknya menginap di sana. Sebuah buku tebal dengan sampul kulit warna ungu. Berisi catatan tangan, gambar-gambar yang indah, dan bagan-bagan konsentris, yang tampaknya salinan dari suatu sumber yang lebih tua. Ia tak sempat membaca sendiri buku itu, yang tak akan habis dibaca dalam semalam. Lalita menceritakan isinya kepada dia: kisah-kisah dan spekulasi yang baginya sangat menarik. Sama memikat dengan rupa isi buku itu. Meski demikian, ia tak tahu kenapa benda itu sampai harus diburu. Ada apa dengan kitab itu sehingga kini ia mendapat ancaman bahwa sahabatnya tak akan dikembalikan jika ia tak bisa menyerahkannya"
Penelepon misterius itu mengaitkan hilangnya Buku Indigo dengan Yuda dan dirinya. Tapi, demi Tuhan, kenapa" Ia send iri tak kenal Lalita sebelum ceramah di galeri. Perempuan nan berdandan meriah itu. Ia tak penah bertemu lagi pula setelah malam itu. Lebih mungkin orang itu mengaitkannya dengan Yuda saja. Si penelepon yang kadang menyebut diri sebagai "saya" dan kadang sebagai "kami" mengira ia tahu juga di mana Yuda menyembunyikan buku itu, sebab ia sahabat Yuda. Mer eka mengira ia bersekongkol dengan Yuda. Atau, ia sekadar punya akses kepada tempat-tempat rahasia Yuda.
Masalahnya, di mana Yuda sekarang" Parang Jati mencoba tidak membayangkan pemandangan Yuda terikat dengan mulut terbekap, mendengarkan percakapan telepon yang dinyaringkan sehingga bergaung.
Jika Yuda ada bersama orang itu, apa yang terjadi padan ya" Tentulah si penculik mencoba mengorek keterangan. Termasuk, sangat mungkin, dengan penganiayaan. Kenapa Yuda tidak menjawab saja di mana benda itu" Apakah ia memang tidak mengambil dan tidak tahu di mana Buku Indigo bersembunyi sekarang" Ataukah, ia tutup mulut" Tapi, jika ia tutup mulut, apak ah itu berarti ia memang mencuri" Untuk apa" Apakah ia berkomplot lagi dengan si perwira pemburu jimat yang kini terbaring di rumah sakit" Bukankah Yuda dulu membantu perwira itu mencuri prasasti dari candi Calwanarang" Ya Tuhan, apakah Yuda melakukannya lagi"
Parang Jati tahu ia tak boleh berhenti pada marah, cemas, dan dugaan. Ia sungguh tak suka keadaan ini. Terjebak dalam sebuah dongeng penyelamatan, di mana ia bukan pangeran, sementara ada janji bahaya sungguhan. Seberapa jahat dan seberapa serius ancaman ini"
Celaka. Seketika itu terbayang wajah Marja. Ya Tuhan. Gadis itu berada dalam ancaman juga! Kemarin, Yuda, yang sed ang di Jakarta, menerima pesan pendek dari nomer Marja; men gat akan bahwa ia mau diperkosa. Sms mengejutkan itu membuat Yuda panik dan meminta Parang Jati, yang memang sedang asistensi di kampus, untuk segera mencari kekasihnya. Parang Jati mahasiswa geologi ITB. Marja mahasiswa seni rupa. Ternyata Marja ada di kampus, bersama teman-temannya. Hanya saja handponnya memang baru dijambret oleh dua orang yang bersepedamotor tak jauh dari tempat kosnya.
Kini, Parang Jati yakin bahwa kedua hal itu berhubunga n. Itu bukan pencopetan biasa. Jambret itu bagian dari peringatan terhadap Yuda. Yuda telah diteror dengan pesan palsu sebel um ini. Parang Jati tersengat rasa rakut. Pesan palsu itu bukannya tak mungkin diwujudkan. Bukan tidak mungkin komplotan itu memperkosa Marja sebagai hukuman bagi Yuda yang dianggap menyembunyikan Buku Indigo. Bukankah dulu ia sendiri membawa Marja liburan, selain ia senang dengan gadis itu, juga sebagai hukuman bagi Yuda" Yuda memang kerap melakukan sesuatu yang membuat orang ingin menghukumnya. Tapi Marja juga gadis yang tubuhnya meruapkan gairah tanpa ia sadari...
Parang Jati segera menelepon Marja, memastikan bahwa gadis itu, sekali lagi, baik-baik. "Aku masih di kampus," jawab Marja. "Sama siapa?" Parang Jati bertanya, menyembunyikan cemas, tetapi ia langsung meminta Marja tetap dengan tem annya, jangan ke mana-mana dulu, ia mau menyusul. Ia belum berani mengungkapkan masalah. Setelah itu ia menelepon gerombolan panjat tebing mereka si Pete dan kawan-kawan. Ia memerintahkan setidaknya tiga dari mereka untuk segera ke tempat Marja dan menjaganya. "Ada apa dengan Yuda?" Pete langsung bertanya. Jika mereka diminta menjaga pacar seorang anggota geng, pasti ada gara-gara dengan si anggota. "Nanti kuceritakan. Jangan bilang apa-apa pada siapa-siapa dulu," jawab Parang Jati tergesa. Itulah yang terjadi. Setelah itu ia memacu motor dengan hati kalut.
Kini, di tepi jalan berilalang itu, Parang Jati bimbang. Apakah sebaiknya ia bertemu Marja, atau lebih dulu melaporkan sem ua ini pada Pete" Ia ingin memeluk Marja, mendekapkan wajah gadis itu pada lehernya yang kokoh, berkata aku mencintaimu dan, apapun yang terjadi, aku akan mencari Yuda bagi kita. Tapi ia memutuskan untuk menaiki motornya lagi dan mendatangi Pete di markas.
Pete adalah yang paling dituakan dalam gerombolan pemanjat itu. Bukan lantaran pemuda itu paling jago. Yuda dan Parang Jati yang paling cakap perihal pemanjatan. Tapi Pete paling mengayomi. Pete juga yang paling luwes bergaul dengan kelompok dan organisasi lain. Termasuk instansi militer. Pete seorang organisator dan humas. Yuda dan Parang Jati adalah tipe pendekar. Tapi Yuda cenderung reaktif, sehingga mudah dipancing. Sedangkan Parang Jati seorang yang reflektif.
Anjing mereka menandak-nandak. Parang Jati telah ditunggu oleh Pete di markas. Seperti biasa, nafas anak itu berbau petai. Piring dengan sisa kulit petai bakar serta sekaleng bir masih terdadah di meja. Sebetulnya, Pete dan Yuda kerap bersitegang, tapi Parang Jati lega karena kawan ini sama sekali tidak memperlihatkan sisi perseteruan dalam saat-saat genting. Ia menyukai kesetiakawanan gerombolan panjat tebing ini. Mereka terbukti bisa mengatasi konflik karakter. Parang Jati tahu apa yang ia harapkan dari Pete dan pemuda itu akan menyatakannya tanpa diminta. Pete dan Yuda adalah dua dari gerombolan yang paling kerap menjadi partner latihan satuan elite tentara dan polisi.
Pete mengangguk-angguk mendengarkan laporan Parang Jati. "Kita minta bantuan big brothers lah," katanya kemudian. "Kalau perlu kita beri pelajaran setimpal. Maunya apa sih, main culik-culik begitu."
Dalam hatinya Parang Jati selalu tidak nyaman perihal pers ekongkolan dengan big brothers. Memakai istilah itu saja sudah kekalahan buatnya. Di mana pun di dunia, aparat keamana nlah yang paling banyak melakukan penculikan dan penga niayaan sewenang-wenang, sebab mereka mengatasnamakan negara. Tapi hari ini ia merasa tidak berdaya. Untuk menyel amatkan sahabat dari komplotan jahat yang tak ia ketah ui sama sekali identitasnya, ia memang berharap pada komplotan yang memiliki kekuasaan juga. Ia belum melihat cara lain.
Pete mencatat semua yang diketahui Parang Jati. Nomer telepon, nama-nama, alamat, tanda waktu, segala macam. Ia akan segera melaporkannya kepada para big brothers. Mereka akan bergerak menumpang jalur informasi militer dan polisi. Sementara itu, Parang Jati akan menelusur dari jalur yang lain. Jalur sipil. Dan, diam-diam, jalur spiritual. Selain menelisik keberadaan Yuda, juga perihal ada apa sesungguhnya dengan Buku Indigo. Sementara itu, Marja...
Bagaimana memberitahu Marja bahwa Yuda diculik, dan menjelaskan rangkaian penyebab penculikan itu" "Tentu saja itu tugasmu, Jati," kata Pete sambil beranjak. Tentu saja. Parang Jati termenenung.
Parang Jati menunggangi motor lagi, melaju menuju Kampus ITB. Ia merasa begitu canggung. Ia belum menemukan cara mengungkapkan ini kepada Marja. Ia hanya tahu bahwa hari ini juga ia harus ke Jakarta. Setelah entah apa yang ia akan katakan kepada Marja nanti. Ia harus menemui tiga orang pertama yang bisa memberi informasi: Jisheng, Oscar, dan Lalita sendiri. Hanya ketiganya yang ia kenal dalam kasus ini. Sialnya, ia tidak memiliki nomer telepon mereka. Ia hanya tahu di mana mereka mungkin bisa ditemui. Dan bagaimana ia bisa berhadapan dengan ibunda Yuda" Ia mencoba menenangkan diri bahwa kenalan mereka di pasukan elite ia tak mau memakai istilah big brothers tentu akan mengetahui di mana Yuda berada dalam satu kali duapuluh empat jam. Kalau tidak, jangan mengaku pasukan elite. Tapi sungguh tak nyaman baginya rasa ketergantungan dengan angkatan bersenjata itu.
Motor berbelok ke dalam kerindangan jalan menuju kampus Ganesha itu. Ia parkir dan ia berjalan dengan tergesagesa ke tempat Marja biasa nongkrong. Dilihatnya gadis itu di taman, dari kejauhan. Bersama beberapa teman kampus dan tiga anak pemanjat. Marja tampak sedang ceria. Ah. Gadis itu mem ang nyaris selalu gembira. Tawanya yang renyah dan istimewa terdengar dari tempat Parang Jati berdiri. Gadis itu tak menyadari apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba Parang Jati merasa lidahnya kelu. Kakinya tak berani melanjutkan langkah.
I a teringat pertemuan terakhirnya dengan Yuda.
Hari itu mereka pulang dari Jakarta bersama. Parang Jati dan Sandi Yuda. Dua sahabat yang sebetulnya masih sedang memperbaiki hubungan yang sempat tegang. Sandi Yuda berwajah bengal. Ada retak kecil pada gigi serinya. Parang Jati bermata bidadari. Ada lesung pipit bersama senyumnya. Sandi Yuda yang berkhianat. Parang Jati yang setia. Tetapi setia bukan berarti manusia tak bisa muntab.
Kali ini Parang Jati tidak mengizinkan Yuda mengemudi. Ia ingin menunjukkan siapa yang sekarang mengambil keputusan. Terutama setelah mereka menginap di rumah Lalita. Ia membelokkan motor ke arah gunung Parang, bukit utama pada serangkai pegunungan cadas tak jauh dari bendungan Jatiluhur tempat mereka kerap memanjat. Yuda agak heran, mengira partnernya hendak memanjat tebing. Tak biasanya Parang Jati tidak bilang-bilang. Anak itu bukan tipe pemberi kejutan. Tapi Yuda memakai ukurannya sendiri. Ia sendiri jenis orang yang bisa berbelok arah di tengah jalan tergantung angin hati. Tanpa protes dan komentar ia pun mengikuti sahabatnya, seolah tidak ada yang aneh sedang terjadi.
Motor trail itu meloncat-loncat di jalan mendaki, kadang tergelincir di tanah pasir, kadang menyentak bongkah bebatu. Yuda masih bercanda agar Jati berhati-hati atau biji mereka pecah sama-sama. Sahabatnya tidak menjawab. Yuda masih melucu lagi bahwa kalau biji mereka menetas semua, sekaligus, tak ada yang bisa menolong satu sama lain. Parang Jati diam saja. "Dan kau tak pernah tahu apa yang keluar kalau telurtelur kita menetas!"
Parang Jati memarkir motor di depan warung desa tempat mereka biasa makan. Setelah itu ia membawa ransel dan berjalan menuju setapak yang mereka kenal, yakin bahwa Yuda akan mengikutinya. Memang Yuda mengiringinya, agaknya sambil menyangkal rasa ganjil pada sikap sahabatnya. Parang Jati tahu, Yuda banyak melakukan penyangkalan. Sudah jelas ia tidak membawa tali dan perlengkapan panjat. Masa tak ada yang aneh dengan perjalanan ini" Hari itu ia sangat jengkel dengan sikap kawannya yang seolah tak ada masalah.
Mereka berjalan dua jam untuk mencapai salah satu puncak gunung batu itu lewat punggung landainya. Dan Yuda tidak bertanya apapun kenapa Parang Jati tiba-tiba berjalanjalan ke sini. Di puncaknya terbentang pemandangan hijau, ke arah Jakarta maupun ke arah Bandung. Itulah pemandangan yang terlewat ketika mereka tergesa-gesa menuju Jakarta hari Minggu lalu. Pemandangan dengan warna Fujifilm.
Dua pemuda itu berdiri kacak pinggang, memandang pada keluasan yang selalu menakjubkan mereka, merasakan angin yang selalu merangsang hasrat mengadu tubuh dengan tebing. Yuda masih mengoceh, mengapresiasi pemandangan itu dengan ilmu yang baru ia dapat dari Lalita. Warna digital yang tak wajar. Warna film. Fuji untuk alam. Kodak untuk peradaban. Warna yang dicetak oleh cahaya. Warna yang dibuat oleh pigmen.
Kedangkalan fotografer era digital. Parang Jati membiarkan sahabatnya membual hingga kehabisan cerita.
Canggung terasa ketika Yuda berhenti bicara. Canggung itulah yang sejak tadi dihindari Yuda dengan mengoceh. Parang Jati membiarkan mereka merasakannya beberapa saat lagi.
"Kamu tidak tanya kenapa saya ajak kamu ke sini, Yud?" akhirnya Parang Jati bicara.
"Aku sering kangen dengan suasana di sini," sahut Yuda. "Kamu kangen?" suara Parang Jati sinis sekarang. "Kamu... kangen" Pernahkah kamu tidak memikirkan dirimu sendiri" Apa kamu pikir saya ajak kamu ke sini karena KAMU kangen tempat ini?"
Yuda menelan ludah. "Ya, kupikir kamu juga kangen suasana di sini."
Parang Jati memegang bahunya, menatapnya dalamdalam. "Yuda, saya ajak kamu ke sini sebab aku ingin menghajar mukamu, tahu. Aku ingin kita berkelahi."
Yuda mulai tahu bahwa ia bersalah. Tetapi sesuatu selalu mendorongnya untuk menyangkal.
"Kenapa Jati?" Parang Jati menatapnya tajam. "Makhluk apa kamu ini, Yuda" Masih bertanya kenapa..."
"Kesalahanku yang mana, Jati?"
Tiba-tiba Parang Jati mendorongnya ke arah tanah landai. "Kamu tidur dengan perempuan itu. Di depan kehadiranku. K-kamu menjijikkan, Yuda..."
Yuda yang terjengkang tidak membantah. Ia terdiam. Seandainya teman lain yang memaki begitu, ia akan melawan dan berkata, apa urusanmu, setan! Ia akan mengamuk dan berkata bahwa ia tak perlu nasihat kaum moralis. Tapi Parang Jati lain dari semua orang. Yuda mengagumi sahabatnya itu, sedikit iri padanya, dan merasakan suatu eros yang aneh. Ada Marja pada diri Parang Jati, dan ada Parang Jati pada diri Marja. Ia tahu kekasihnya diam-diam mencintai sahabatnya. Ia juga merasakan ada dirinya pada Parang Jati, yang memendam kasih dan hasrat pada Marja. Kemarahan Parang Jati tak bisa dilepaskan dari Marja.
"Ya. Aku memang salah, Jati," kata Yuda akhirnya. Ia teringat malam ketika ia terpaksa menyelinap ke kamar Sang Perempuan Indigo, meninggalkan Parang Jati, yang ternyata tidak sepenuhnya lelap. Ah, ia memang keterlaluan. "Demi Marja, kau boleh pukul aku."
Parang Jati tampak sangat geram. Barangkali ia tak berharap Yuda secepat itu mengaku salah. Barangkali ia ingin bisa menghajar wajah itu dengan alasan yang lebih besar lagi.
Perlahan Yuda bangkit. Tiba-tiba Parang Jati menampar wajahnya. Ia terhuyung sedikit. Rasa terkejutnya lebih besar daripada rasa sakit. Ia kembali ke tempat semula. Parang Jati menamparnya lagi. Kali ini rasa terhina lebih besar daripada rasa terkejut. Pada kali yang ketiga, rasa sakit terasa begitu merendahkan martabat.
"Bagaimana mungkin kamu bisa melakukannya. K-kamu tahu b-betapa sayang aku pada Marja." Parang Jati mendorong dada Yuda sehingga terhuyung ke belakang. "K-kamu tahu b-betapa aku menjaga Marja. Tapi kamu, p-pacarnya sendiri, m-menghina dia di hadapanku!" Akhirnya Parang Jati memukul Yuda dengan tinjunya sehingga sahabatnya tersungkur. "Kamu tidak bisa menghargai apa yang kamu miliki, bajingan!"
Kemudian kedua pemuda itu telah berguling-guling di tanah, saling memukul satu sama lain. Yuda tak bisa menahan rasa sakit, kaget, dan terhina yang tak diduganya akan datang bersama pukulan. Sebetulnya ia ingin membiarkan Parang Jati menumpahkan geram pada dirinya, tapi ia membalas. Mereka berkelahi dalam perasaan-perasaan ganjil. Kemarahan, dendam, cemburu, luka dikhianati, dan pengetahuan bahwa mereka saling menyayangi satu sama lain bercampur-aduk.
Juga pengetahuan bahwa mereka mencintai gadis yang sama...
"Aku tidak mau menghina Marja, Jati. Aku juga tidak mau menghina kamu. Kamu tidak tahu apa yang terjadi!" Terdengar suara Yuda di antara pergumulan itu.
Barangkali letih memberi mereka jeda. Parang Jati masih menonjok Yuda sekali lagi. Sahabatnya sadar untuk tidak melawan, sebab ia memang kalah secara moral. Ketika itulah perkelahian reda.
"Aku memang banyak melakukan kesalahan, Jat," kata Yuda sambil mengelap darah di sudut bibirnya. "Tapi, kuharap kamu masih percaya padaku, aku tidak pernah berniat melakukannya." Ia melihat lecet di pelipis Parang Jati.
Terbata-bata Yuda menyatakan: ia seperti melakukan ketololan-ketololan kecil yang menggiringnya kepada kes alahank esalahan yang semakin besar. Lihatlah kasus penc urian prasasti dulu. Semua hanya bermula dari satu hal kecil: ia tidak ingin Parang Jati tahu bahwa ia sedang berlatih dengan militer. Sebab ia tahu Parang Jati benci pada militer, dan ia tidak ingin membuat luka di hati sang sahabat. Maka ia berbohong. Tapi kebohongan itu menjebaknya ke dalam sederet masalah lain. Dan pada akhirnya ia harus membantu perwira pemburu jimat itu mencuri dari Parang Jati. Kebohongan putih itu akhirnya menjelma hitam.
Ia merasa kali ini pun serupa. Ia sama sekali tidak ingin berhubungan dengan wanita itu. Sesuatu terjadi dalam sebuah pesta. Ada yang mau menyerang Lalita. Sebagai lelaki yang baik dan tangkas ia menyelamatkan wanita itu. Lalu Perempuan Indigo memberinya ucapan terimakasih dengan membuatnya mengalami, ah, axis mundi kecil. Ia tidak menyebut istilah itu di depan Parang Jati. Dan bukannya ia tak mencoba tolak dengan halus "ucapan terimakasih" itu pada awalnya.
"Aku tidak berniat jahat, Jati. Sebaliknya. Aku mencoba menjaga perasaan orang," keluh Yuda.
"Akibatnya kau justru melukai perasaan orang. Dan orang yang sangat dekat denganmu."
"Aku memang salah, Jati. T-tapi, aku sering tidak tahu cara melepaskan diri..."
"Jangan ketemu lagi dengan perempuan itu. Selesai." Yuda berjanji untuk tidak menemui Sang Perempuan Indigo. Tapi, bisakah anak itu dipercaya" Yang tidak diketahui Parang Jati adalah Yuda selalu mendapatkan pancingan untuk datang lagi kepada wanita itu. Dan Yuda memang terpancing...
Parang Jati menelan ludah. Ia berdiri di koridor kampus ITB. Ia masih memandangi Marja dari kejauhan. Larit-larit cahaya matahari dari sela dedaun membuat gadis itu semakin bercahaya. Limau yang segar. Tidak. Ia tidak bisa men?" ceritakannya sekarang pada Marja. Ia sendiri tidak tahu kesalahan lanjutan apa lagi yang terjadi pada Yuda, setelah kesalahan kecil di awal, sehingga anak itu kini sungguh terjebak dalam masalah serius. Ia berkata dalam hati, marilah kita percaya pada Pete dan para big brothers bajingan itu bahwa mereka akan tahu di mana Yuda berada dalam satu kali duapuluh empat jam. Ia juga pantas percaya bahwa ketiga pemanjat berbadan sekal bisa menjaga Marja dalam tiga kali duapuluh empat jam juga. Sementara itu, ia akan mencari informasi dari pihak-pihak lain. Parang Jati memutuskan untuk berangkat ke Jakarta tanpa memberitahu Marja apa yang terjadi.
J akarta . K amar kos itu gelap dan pengap. Hanya ada satu jendela. Pendingin tak bisa dinyalakan lagi. Sebuah kipas angin dan radio menyala nyaring. Penghuninya tak ada di sana.
Parang Jati tertegun. Ia berdiri di ambang pintu. Di dalam kamar itu ada beberapa orang. Kolega dari galeri.
"Oscar hilang," kata salah satunya. "Dua hari ini ia tidak kelihatan."
Kamar itu telah digeledah. Pintunya memang tidak rusak, menandakan bahwa si pembongkar memiliki kunci, asli ataupun palsu. Ruangan porak-poranda. Segala isi laci dan lemari tercerabut. Seprei, pakaian, buku, majalah, seluloid, foto-foto, pelat film dan musik, gramofon, benda-benda antik. Bahkan AC telah dibongkar, seolah-olah mungkin di sana disimpan sesuatu. Radio yang menyala nyaring itu barangkali disengaja untuk menyamarkan keributan ketika si pelaku menggeledah kamar.
Beberapa teman dari galeri memutuskan untuk mendatangi tempat kos Oscar setelah dua hari pemuda itu tak berkabar. Sekarang orang-orang itu berdiskusi apakah perlu segera melaporkan ini ke polisi. Ada yang setuju, ada yang tidak. Seorang pria lajang bisa saja menghilang sejenak hanya karena kebanyakan cewek. Mungkin ini cuma cinta segi lima. Tapi pembongkaran kamar seperti ini, masa dilakukan oleh cewek cemburu" tukas yang lain. Bisa saja. Ingat gadis-gadis ganas yang dulu mau melempar piala ke muka tante cantik yang berdandan menor gebetan baru Oscar itu...
Parang Jati mendengarkan. Tapi ia diam saja. Ia tidak mengutarakan info yang ia punya. Hilangnya Oscar tak mungkin tidak berh ubungan dengan penculikan Yuda. Pemuda gondrong dan ganteng itu pasti berhubungan juga dengan Lalita. Ia pasti jadi salah satu terduga pencuri Buku Indigo. Jadi, Yuda bukan satu-satunya orang yang dituduh dan ditangkap. Tapi, oleh siapa" Siapa yang berkepentingan dengan Buku Indigo itu"
Parang Jati ingin memancing lebih banyak dengan pertanyaan yang mengarah kepada Lalita. Tapi, ia tidak kenal dengan orang-orang di sana. Siapa tahu justru di antara mereka ada yang terlibat. Ia harus hati-hati.
Ia berharap bertemu Jisheng. Ia berharap tidak usah mencari Jisheng di rumah orangtua Yuda. Sebab ia tak tega menutupi sesuatu dari ibunya, tapi ia pun tak sampai hati menyampaikan berita buruk. Tak satu pun tahu di mana pemuda belor itu. Anak Singapura itu memang tak selalu di Jakarta. Ia sering mengunjungi kota-kota lain di Indonesia untuk memetakan perkembangan fotografi Asia Tenggara. Parang Jati berhasil mendapatkan nomer telepon Jisheng dari seseorang.
"Hi, Jisheng. Can I see you now?" Setidaknya ia bersyukur bahwa telepon itu diangkat dan bahwa Jisheng ada di Jakarta, di rumah orangtua Yuda.
Mereka bertemu di sebuah kafe, di mana kau bisa memilih kopi toraja, lampung, mandailing, juga turkish ataupun irish coffee dengan sedikit wishki. Tapi Parang Jati tidak bernafsu untuk minum apalagi makan.
Parang Jati berpikir sebentar, apakah ia harus jujur pada Jisheng. Ia tak terlalu kenal si belor berambut kawat ini. Di sisi lain, anak itu tampak sangat akrab dengan keluarga Yuda; tampak tidak berbahaya. Parang Jati memutuskan untuk berterus terang.
"Ini urgen, Jisheng. Tahukah kamu Yuda dan Oscar hil ang?" Kalimat pembuka itu segera mengubah air muka Jisheng menj adi begitu tegang dan prihatin, seperti ikan yang terpancing.
"Apa yang kamu tahu tentang Oscar, Yuda, dan Lalita?" Parang Jati bertanya lagi.
"Saya kira Lalita punya affair dengan keduanya," jawab Jisheng.
"Tampaknya memang begitu. Kamu tahu ada laki-laki yang lain tidak?"
"Sejauh ini, hanya Oscar dan Yuda yang saya tahu. Entahlah di tempat lain."
"Kamu tahu tentang Buku Indigo?"
Jisheng mengerutkan dahinya. Mata kecil di balik kacamata lodongnya jadi semakin kecil. "Itu buku mengenai mandala yang ia terangkan dalam ceramah, bukan?"
"Ya. Begini, Jisheng. Saya mendapat telepon dari orang yang mengaku menculik Yuda. Ia minta saya mengembalikan buku itu. Mungkin ia pikir, karena saya sahabatnya, saya akan tahu. Tapi saya tidak tahu sama sekali..."
"Siapa yang menelepon itu?"
"Siapa yang menculik Yuda" Tentang itu saya tidak punya ide sedikit pun. Justru saya ingin tanya kamu," sahut Parang Jati. "Tapi, sekarang, kita lihat Oscar juga hilang dan kamarnya dibongkar. Jadi, saya pikir si penculik menangkap laki-laki yang punya hubungan dekat dengan Lalita, yang dicurigai mengambil buku itu."
"Oh, no! Itu berarti ada kemungkinan rumah ibu Yuda dimasuki juga"!" kata Jisheng genting. "Berbahaya! Kasihan ibunya. Perempuan baik hati tak berdosa..."
Mendengar itu Parang Jati agak panik juga. Jika para penjahat itu sudah membongkar kamar Oscar, kenapa tidak mungkin mereka melakukannya dengan rumah Yuda. Lalu ia menc oba menenangkan keadaan, "Tidak terlalu mudah menyatronin ya. Rumah mereka ada di kompleks militer. Tapi ada baiknya kita tetap waspada."
"Kalau begitu sebaiknya saya pulang ke sana sekarang. Setidaknya, saya bisa berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu," kata Jisheng tak sabar.
"Aku antar kamu dengan motor."
Parang Jati masih ingin menggali banyak tentang Lalita. Siapa perempuan ini sebenarnya" Jika ia pemilik galeri, di mana saja galerinya dan apa yang ia jual-beli. Seni kontemporer, benda antik, lain-lain" Tapi ada baiknya itu dilakukan sambil mengamankan ibunda Yuda juga.
Ibunda Yuda menyambut sahabat anaknya dengan kehangatan tanpa curiga. "Lho, Nak Jati" Yuda malah ke mana?" tanyanya. "Iya, Tante. Gak sempat janjian sama Yuda. Ini mau ambil sesuatu dari Jisheng." Parang Jati berusaha menghindar tanpa melakukan kebohongan putih. Ia ingat kasus Yuda: bahkan kebohongan yang bertujuan baik pun bisa menggiring manusia kepada jerat masalah.
Parang Jati dan Jisheng mencoba mengontak ponsel Lalita, tetapi nomer itu tidak lagi bernada. Mereka menghubungi nom er rumahnya. Juga tak ada yang mengangkat. Parang Jati memutuskan untuk datang ke rumahnya. Jisheng punya alamatnya dan Parang Jati ingat di mana kompleks mewah itu. Ia mandi, berpakaian rapih (meminjam pakaian Yuda), dan memesan taksi Silver Bird yang mahal.
"Kenapa harus begitu?" tanya Jisheng, yang selalu berh em at. "Apa boleh buat, Jisheng. Ini Jakarta. Penuh dengan senjang sosial-ekonomi. Kompleks yang ditinggali Lalita itu tak ramah kepada pengendara motor dengan baju lusuh. Saya tak mau ditanya-tanya satpam dan diminta tinggalkan KTP." Parang Jati berdecak. "Ini memang prasangka. Tapi para satpam biasanya ramah jika kita memakai simbol-simbol kemapanan. Apa boleh buat. Apa Singapura tidak begitu?"
"Tidak," jawab Jisheng singkat.
Parang Jati tidak terlalu percaya, tapi juga tidak peduli. Di dalam taksi ia berpikir-pikir. Rumah Lalita tentunya ada dalam pemantauan para penculik. Bahkan bisa saja Yuda atau Oscar disekap di sana. Ia tidak bisa senaif itu mengetuk pintu sendirian. Itu malah bisa berarti menjebloskan diri ke dalam lubang yang telah menghisap Yuda, Oscar, dan entah siapa lagi. Ia mulai tahu bahwa ia tak akan mendapatkan terlalu banyak dari perjalanan kali ini. Agaknya ia harus datang lagi dengan kendaraan sendiri. Ia jadi tak sabar menantikan kabar dari Pete yang menggunakan jalur para big brothers. Kalau dalam satu kali duapuluh empat jam mereka tidak bisa menemukan di mana Yuda, taiklah! Tak usah mengaku pasukan elite. Ah. ini sudah satu kali duabelas jam. Ia menerima telepon penculikan itu jam tujuh pagi tadi. Sekarang sudah jam tujuh malam. Berulang kali ia memeriksa handponnya, kalau-kalau ada pangg ilan terlewat dari nomer yang barangkali saja si penculik. Atau Lalita. Atau siapapun. Dari waktu ke waktu ia menelepon gerombolan pemanjat mereka di Bandung, memastikan bahwa Marja baik-baik saja.
Taksi mercedes hitam itu tiba di gerbang kompleks, seperti tiba di depan sebuah kota dari masa lain di mana pagar benteng memisahkan kota dari keliaran di luarnya. Jakarta, ia mengeluh, bukan kota yang terbuka, melainkan kota yang tersekat-sekat. Sang supir memberi salam kepada petugas, yang mengintip sebentar ke dalam dengan sopan lalu meloloskan mobil itu sebab kemewahannya.
Parang Jati menunjukkan jalan, dan tibalah mereka di rumah yang dituju. Ia mencoba mengingat-ingat bangunan itu. Ia yakin itu vila yang sama. Lampu-lampu kebun menyala, tetapi lampu dalam ruang-ruang utama padam. Seperti hunian yang sedang ditinggalkan majikan namun ditunggu sekadar penjaga. Rumah di kelas itu tidak mungkin mematikan lampu dengan alasan hemat listrik, kecuali jika memang tidak aktif dihuni. Di kompleks ini tidak ada warung rokok yang penjajanya bisa dimintai keterangan. Supir taksi bertanya. Parang Jati menjawab, sepertinya ini rumahnya. "Tampak kosong, Pak?" kata si supir.
Parang Jati berpikir untuk turun dan membunyikan bel, atau tidak. Bukan tak ada risiko. Ia masih tidak tahu makhluk apa yang akan ia hadapi. Pete belum memberi kabar apapun. Ia tak tahu apakah Lalita seorang wanita karir yang mengumpulkan kekayaan dari kerja kerasnya sendiri, atau sesungguhnya istri gelap dari seorang berkuasa. Jika yang terakhir, bisa saja ia akan beradu dada dengan anggota pasukan elite pula. Artinya, mungkin ia malah mengacaukan usaha yang sedang dijalankan Pete. Ia menggigit-gigit bibir. Ia begitu penasaran, setidaknya untuk menemui penjaga rumah dan bertanya tentang Lalita. Mana yang harus ia pilih: menuntaskan penasarannya sekarang, atau menunggu beberapa waktu lagi untuk memperkecil risiko merusak operasi jalur Pete" Sial. Ia sungguh gemas. Pintu itu telah di depan mata.
Tapi Parang Jati terlatih untuk mendahulukan perhitunga n daripada perasaan sesaat. Ayah angkatnya, Suhubudi, mendid ik dia untuk itu juga dengan cara-cara yang tidak menyenangkan dan terasa terlalu kejam bagi anak-anak. Itu hal yang mem?" bedakan dirinya dari Yuda, selain ketidaksukaannya pada militer. Jika Yuda ada di posisi ini, besar kemungkinan pemuda itu akan menutupi alasan penasaran. Ia akan menyangkal rasa itu, seperti biasa ia suka menyangkal, dan menggantinya dengan alasan yang tampak masuk akal suatu tindakan yang disebut rasionalisasi. Ia akan mengatakan pada dirinya bahwa informasi harus didapat secepat dan sebanyak mungkin. Sesungguhnya itu hanya rasionalisasi dari nafsu mengetahui. Atau dari ketakutan untuk merasa pengecut.
Dalam kerja tim, kau juga harus punya kepercayaan pada kolegamu.
"Kita kembali saja, Pak. Kelihatannya orangnya belum pulang," kata Parang Jati kepada supir taksi.
Pengemudi memutar balik kendaraan itu.
Telepon Parang Jati berdering. Dengan tergesa ia mengambilnya. Pete. Ia begitu tak sabar. "Bagaimana, Pete"!"
"Siap, Dan. Koordinat sudah diketahui," terdengar suara sang kawan.
Parang Jati tidak suka istilah "komandan", bahkan sekadar untuk lelucon. Tapi berita dan suara Pete kali itu membuat ia merasa ringan.
"Koordinat sudah diketahui. Tapi untuk membebaskannya masih perlu beberapa waktu," kata Pete, tidak dengan nada genting.
"Satu kali duapuluh empat jam?" "Mungkin lebih."
"Apa yang terjadi?"
"Yuda diambil polisi dari rumah Ibu hm, siapa tadi namanya" Ibu Lalita. Pada awalnya ia diperiksa sebagai saks i kasus perampokan dan pemerkosaan. Ia ada di lokasi tak lama setelah rumah Ibu Lalita dimasuki penggeledah dan korban diperkosa..."
Kata itu langsung menyengat kecemasan Parang Jati mengenai Marja. Jika Lalita diperkosa, mengapa tak mungkin kejahatan yang sama dilakukan terhadap...
"Lalu, ya, kau tahulah, terkadang polisi senang menakutnakuti orang dengan ancaman meningkatkan status dari saksi menjadi tersangka. Pendek cerita, Yuda ditahan." "Lalu?"
"Lalu ia dibon."
Dibon: dipinjam oleh pihak lain.
"Waktu ditahan itulah ia dibon. Yuda dibon oleh seseorang yang dekat dengan kekuasaan, tentu. Seorang pentolan ormas. Yah, kau tahulah, ormas yang dekat dengan kerja centeng dan debt collector. Orang itu adalah saudara kandung korban. Agaknya, dialah yang meminta polisi meningkatkan status Yuda dari saksi menjadi tersangka. Mungkin supaya Yuda bisa ditahan. Nah, dialah yang meminjam Yuda dari tahanan polisi."
Parang Jati tahu bahwa banyak organisasi kemasyarakatan, ormas, adalah organisasi kekerasan. Preman. Mafia.
"Tapi, para big brothers sudah melakukan upaya kontak dengan pihak tersebut. Setidaknya, sekarang mereka yang meminjam Yuda tahu bahwa Yuda bukannya tanpa beking. Jadi, kita bisa cukup tenang bahwa ia tidak akan diapa-apakan."
Parang Jati agak kesal bahwa temannya sudah mulai bicara dengan gaya aparat dan birokrat: sering menyamarkan subyek pembicaraan. Tapi ia tak punya pilihan selain mengabaikan perasaan-perasaan remeh itu.
"Sekarang kita sedang menyelidiki seperti apa sebetulnya keterlibatan Yuda dengan korban dan pelaku perampokan serta pemerkosaan itu. Kalau Yuda memang hanya kebetulan ada di tempat artinya, ia hanya sebagai saksi ia segera bisa dilepaskan."
"Dan dari penilaian kalian sejauh ini?"
"Dari penilaian kita sejauh ini, tampaknya ia cuma saksi." "Kau yakin?"
"Yakin." "Jadi, berapa kali duapuluh empat jam lagi kawan kita itu bisa dilepaskan?"
"Negosiasi sedang dilakukan."
"Apa yang diminta?" Parang Jati tahu bahwa si penculik menginginkan Buku Indigo. Tapi ia ingin dengar informasi dari jalur lain.
"Mungkin yang bersangkutan memang mengira Yuda merupakan bagian dari pelaku kejahatan. Agaknya ini soal kehormatan keluarga dan balas dendam. Ini yang sedang kita clear-kan."
Baiklah, kata Parang Jati dalam hati. Buku Indigo tidak dibicarakan di sana. Artinya, Buku Indigo adalah motif yang dirahasiakan oleh si penculik. Parang Jati mulai mendapat titik terang baru. Satu hal yang agak menenangkan dia hari itu: Yuda tidak akan dianiaya. Sekarang si penculik sudah tahu bahwa Yuda punya beking militer. Parang Jati benci dengan kenyataan ketergantungan itu, tapi ia tidak punya pilihan.
Ia menelepon Jisheng. "Jisheng. Tolong bujuk temanteman fotografer di galeri untuk melaporkan hilangnya Oscar. Ajak para wartawan juga."
Jika pengaduan atas hilangnya Oscar sudah masuk ke polisi, ia bisa minta Pete mengaitkan itu dengan kasus Yuda.
Ia menelepon Marja. "Marja. Saya akan ke Yogya besok. Ada yang mendesak. Kamu ikut, ya?"


Lalita Karya Ayu Utami di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah itu ia berkata pada supir taksi, "Pak, coba kita kembali lagi ke rumah yang tadi."
Di gerbangnya ia memijit bel berkali-kali. Tak ada yang membukakan pintu. Akhirnya ia bertanya kepada satpam, apakah betul itu rumah Ibu Lalita. Satpam menjawab, "Ibu Lalita sudah tidak tinggal di situ sejak terjadi perampokan dan..." (orang itu tak berani mengucapkan "pemerkosaan") "... kemarin lusa."
Parang Jati menelepon Marja lagi. "Marja, malam ini juga saya jemput kamu. Temani saya ke Yogya. Dua malam saja."
I a tak begitu tahu apa yang terjadi. Ia tak punya terlalu banyak informasi. Tapi ia percaya, suatu pengetahuan akan datang tiba-tiba, seperti sebuah struktur yang muncul dari bawah permukaan. Seperti kerangka makhluk purba yang tiba-tiba mengangkatkan diri, dan kau pun melihat hubungan keping cerita yang satu dengan yang lain, yang semula bagaikan tekateki. Kau akan merasakan struktur itu bangkit dari dalam rongga dada, sebelum mencapai kesadaranmu.
Ayah angkatnya, Suhubudi, seorang guru kebatinan yang memiliki padepokan spiritual nan besar di selatan Yogyakarta, menyuruh ia pergi ke candi Borobudur. Setelah melakukan semua upaya rasional, Parang Jati tak bisa tidak apalagi dalam menghadapi kasus yang mengancam keselamatan sahabatnya bertanya kepada ayah angkatnya itu. "Apa yang Rama lihat?" hanya itu yang ia tanyakan. Ia tahu betul batas bertanya. "Aku melihat patung Buddha. Aku melihat candi Borobudur," jawab sang ayah.
Maka Parang Jati pergi ke sana. Bersama Marja, yang ia bawa lebih agar ia tenang mengenai keamanan gadis itu. Ia menga jak Marja untuk menempuh peziarahan yang lebih lengkap daripada sekadar perjalanan turis. Para arkeolog telah menemukan bahwa tiga candi di dataran tinggi Kedu itu Borobudur, Pawon, dan Mendut ternyata terletak di satu garis lurus yang melintang dari barat ke timur. Ketiganya adalah candi Buddha. Tampaknya, perjalanan spiritual menuju puncak Borobudur dimulai dari candi paling timur, di Mendut, di mana ada garbagraha dengan tiga arca.
Parang Jati telah menjadi pemandu Marja berwisata ke candi-candi Jawa Timur pada libur lalu. Marja si gadis kota kini mulai paham percandian, yang sebelumnya nyaris tak ia ketahui dalam rinci sama sekali. Garbagraha adalah ruang di perut cand i. Garba, rahim, yang selalu lembab dan dingin bagai dalam goa. "Barangkali, semua candi memiliki garbagraha, Marja. Ke?"" cuali Borobudur." Dan itulah yang membuat Borobudur menj adi sangat berbeda dari yang lain. "Kenapa begitu?" tanya Marja. "Nantilah, saya terangkan kalau kita sudah di atas sana. Sekarang, nikmati saja keindahan arca di sini," jawab Parang Jati.
Marja memandang-mandangi wujud-wujud di hadapannya yang sedikit menunduk dan berwajah tenang. Ia menakjubi stilisasinya. Parang Jati memandangi gadis itu dari belakang. Ia masih belum berani mengungkapkan apa yang terjadi pada Yuda. Ia tak berani merusak keceriaannya.
Tiga arca itu: yang tengah, yang terbesar adalah Buddha Vairocana; di sampingnya Avalokitesvara dan Vajrapani. Marja mengagumi sang Vairocana yang dingin dan damai, tubuh batun ya yang abadi dan mengilap seperti logam yang hidup. Tapi Marja ingin mengeluh, baginya lebih mudah memahami ikon ografi dewata dalam Hinduisme ketimbang Buddhisme. Berm aksud mengadu, ia menoleh ke belakang dengan tiba-tiba. Didapatinya mata Parang Jati sedang memandanginya. Mata malaikat jatuh ke bumi. Ada kesedihan di sana. Ada rindu yang tak diizinkan. Mata yang terkejut. Marja melihat seorang biksu muda yang sedang gelisah dan tertangkap.
"Jati... K-kenapa sulit buatku mengerti dewa-dewa dalam Buddhisme?" Ia pura-pura tidak melihat galau di mata itu.
Parang Jati sesungguhnya sedang tidak konsentrasi. Terkadang cemas muncul mengenai keselamatan Yuda. Tapi, kala cemas tak menyerangnya, sesuatu yang lain memenuhi nafasnya: keinginan merebut Marja dari Yuda.
"Sebab kamu tidak dibesarkan dalam paradigma itu, Marja." Parang Jati mengalihkan matanya kepada arca-arca yang Marja sulit kenali. Tetapi sudut matanya mengusap-usap bayang-bayang Marja.
"Aku kira bukan cuma karena itu," Marja membantah. "Aku tak terlalu sulit memahami dewa-dewa dasar Hindu, meskipun aku bukan orang Hindu." Sesekali gadis itu menoleh pada Parang Jati. Tapi ia merasa ada yang terlalu intens di mata pemuda itu kali ini. Kedalamannya terlampau tulus. Maka segera ia kembali mengamati arca-arca nan setengah terpejam. "Aku rasa... karena aku gagal memetakan relasi yang satu dengan yang lain. Aku tak bisa memetakan hubungan Buddha dengan Vairocana, dengan Avalokitesvara, dengan Vajrapani, dengan Manjusri, dengan Maitreya, dan yang lain-lain." Marja menyebut nama-nama itu dengan susah payah. "Sebaliknya, dalam Hinduisme, aku tahu hubungan Syiwa, Brahma, dan Wisnu. Mereka itu trimurti. Atau Durga, Saraswati, dan Laksmi. Mereka itu syakti, istri, atau aspek feminin, dari trimurti. Aku tahu letak Ganesha, juga sapi Nandi, garuda, maupun angsa dalam peta perdewataan. Lalu, ada dewa bawahan seperti Indra, Bayu, dan lain-lain yang mewakili kekuatan alam. Dewadewa Hindu itu hidup sebagai cerita dan hubungan-hubungan di kepalaku. Dewa-dewa Buddhisme ini tidak. Dewa-dewa ini tidak berpeta."
Hubungan antar dewa. Parang Jati mengeluh dalam hati. Ia teringat hubungan antar mereka: ia, Marja, dan Yuda. Ia pun tak bisa memetakannya.
Adakah kita memiliki peta, Marja"
"Mungkin..." sahut Parang Jati sambil setengah melamun. "Mungkin karena dalam Buddhisme, perdewataan ini sebetulnya sama sekali tidak sentral."
"Jadi?" "Yang sentral adalah mencapai kesadaran sejati. Kesadaran yang terlepas dari segala keterlekatan." Parang Jati memandang Marja. Ada sedih di mata itu, seolah ia ingin melepaskan diri dari keterlekatannya pada gadis itu.
"Keterlekatan pada apa?"
"Pada apapun. Termasuk pada cinta."
"Ah, kalau itu, aku tidak suka," sahut Marja manja, tanpa pikir panjang.
"Tapi cinta membuat kita sengsara," kata Parang Jati. Barangkali kali ini ia membicarakan dirinya.
Marja menatap padanya agak lama, lalu membalikkan tubuh lagi ke arah Vairocana, sambil berkata, "Kalau orang mau melepaskan diri dari cinta karena tak mau mengalami sengsara, menurut aku itu pengecut."
Parang Jati terkejut bahwa ia merasa ditampar. "Ya deh. Lebih tepatnya, keterlekatan dari keinginan me?" miliki," ia mencoba memperbaiki. Tapi perkataan Marja sebelumnya telah melecut dia: pengecut.
Betulkah ia pengecut"
Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Nanti di candi Borobudur kamu akan lihat bahwa dewa-dewa ini tidak penting lagi, Marja. Mendut ini adalah candi pertama dalam peziarahan. Candi terluar. Kamu ingat, dalam candi Buddha, ada tiga tingkatan dunia: kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. A-rupa-datu, dunia tanpa rupa, itulah yang paling tinggi." Marja ingat. Dari wisata candi liburan lalu. Candi Hindu maupun Buddha membagi kuil dalam tiga tingkat perlambangan. Candi Hindu menamainya bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Dunia bawah, tengah, dan swarga atau surga. Candi Buddha menamainya kamadatu, dunia hasrat; rupadatu, dunia rupa; dan arupa datu, dunia tanpa rupa. Sebagai mahasiswa desain dan senirupa, Marja suka mengasosiasikannya dengan tiga aliran seni: primitif, realis-naturalis, dan abstrak. Tentu tidak tepat betul, ia tahu, tapi itu jembatan keledainya sementara ini. Seperti menghafalkan unsur kimia dengan kalimat lucu di masa sekolah: Bemo Mogok Cari Serep Ban Radial. Be, Mg, Ca, Sr, Ba, Ra.
"Di sekolah saya dulu: Cewek Sexy Genit Senangnya Pub," kata Parang Jati saat mereka melanjutkan percakapan samb il berjalan di antara sawah. "C-Carbon, Si-Silikon, Gn- Germanium, Sn-Stanum-Timah, Pb-Plumbum-Timbal."
"NaPAs Sebelum Binasa. N, P, As, Sb, Bi." Marja tak mau kalah.
"Orang Surabaya Senangnya Tela Pohung. O-Oksigen, S-Sulfur, Se-Selen, Te-Telenium, Po-Polonium," lanjut Parang Jati.
"Fanta, Cola, Bir, Idaman Ati. F, Cl, Br, I, At," Marja menjerit.
Keduanya tertawa-tawa. "Ada lagi! Heboh Negara Arab Karena Seks Ranjang! Apa coba?" jerit Marja.
"Apa itu" Tahu saya! He-Helion.. Ne-Neon.. Ar-Argeon.. Kr-Kripton.. Xe-Xenon.. Rn-Radon.." sahut Parang Jati. Marja mulai meloncat-loncat.
"Lina Kawin Robi Cs Frustrasi!" jeritnya lagi. "Hm... Li, Na, K, Rb, Cs, Fr," jawab Parang Jati. "Litium, Natrium, Kalium, Rubidium, Sesium, Fransium." "Aaa! Kok tahu sih!"
Marja yang cepat gemas kini menggigit lengan Parang Jati. Trisepsnya yang liat. Pemuda itu menjerit kesakitan. Marja suka memberi siksaan kecil padanya. Barangkali ia tak sepenuhnya sadar: jeritan lelaki itu menghidupkan bayangan akan erangan cinta. Tapi tak ada yang tahu adakah Marja tahu: rasa sakit kecil itu juga membangkitkan ketegangan pada si pemuda. Parang Jati menelan ludah. "Sudah... Sakit, Sayang." Angin meniup daun-daun kelapa. Sungai Progo menyembunyik an arus bawah. Kuil antara, Candi Pawon, telah terl ewat. Marja menelan ludah.
Di saat-saat seperti itu, Yuda muncul dalam ingatan. Seperti setan rasa bersalah.
"Jati. Ke mana ya Yuda" Kok dua hari ini dia tidak telepon aku?"
"Lho, dia tidak bilang" Kan mau urus temannya yang sakit itu." Parang Jati heran dari mana ia dapat kekuatan untuk langsung berbohong. Ia berharap tipuan putihnya tidak menjerat.
"O, begitu ya" Aku kok lupa kalau dia omong begitu." Parang Jati mencoba mengalihkan ingatan Marja pada kekasih yang sesungguhnya dalam masalah.
"Jadi, kira-kira perdewataan juga begitu," katanya. "Begitu apa?"
"Dewa-dewa yang kadang terlalu banyak dan beragam itu kira-kira adalah jembatan keledai bagi orang-orang yang lemah untuk memahami keilahian. Sama seperti kalimatkalimat memikat untuk menghafalkan tabel periodik unsur kimia." Parang Jati merangkul Marja. "Kita juga orang lemah. Menghafal dengan jembatan keledai..."
Marja menghirup kehangatan dari bahu itu.
"...Tidak semua orang kuat memahami tabel periodik. Tid ak semua orang kuat untuk langsung mencapai kesadaran sejati.
Sebagian besar manusia lemah, dan mereka membutuhkan alat bantu."
"Dewa-dewa itu alat bantu?"
"Hm. Kira-kira begitu." Parang Jati mengeratkan rengkuhann ya. "Saya kira begitu. Segala yang rupa ini membantu kita mencapai yang tanpa rupa."
Marja membalas rengkuhan itu, menempelkan pipi dan tubuhnya pada lengan liat itu. "Sebetulnya, tentang itu aku tidak begitu setuju. Apa yang salah dengan rupa, Jati?"
"Tidak ada yang salah, memang. Kecuali bahwa dia tidak abadi."
"Justru itu. Apakah hanya karena sesuatu tidak abadi maka sesuatu itu tidak berharga?"
Parang Jati diam saja. Kata Marja: "Kalau orang tidak bisa menghargai sesuatu hanya karena tidak abadi, kukira itu justru... jahat. Itu mengingkari kemanusiaan. Sebab manusia memang tidak abadi. Kenapa kita tidak bisa menerimanya?"
Parang Jati mengelus rambut Marja. Betapa ingin ia menikm ati kesementaraan ini. Ketidakabadian. Tapi di saat seperti itu pula sesuatu meruap menguasai pernafasannya. Keinginan untuk merebut Marja dari Yuda.
Mereka tiba di kaki kuil nan agung itu. Pintu masuknya terletak di sisi timur. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah menempuh jalur yang ditapaki Anshel Eibensch"tz puluhan tahun silam, dan para peziarah berabad-abad silam. Jalan setapak dari Mendut ke Borobudur. Tiga puluh tahun silam seorang lelaki bermata hijau, dengan kepala miring, serta telapak kaki mengarah ke dalam, berjalan sedikit tertatih samb il merenungkan mandala di landai dan lereng yang sama. Sebelum lelaki itu menghilang, bersama kamera dan pelat-pelat logam. Orang yang skeptis berkata bahwa lelaki itu dirampok, dibunuh, dan tubuhnya dibuang ke tempat yang tidak bisa ditemukan. Orang beriman berkata bahwa lelaki itu moksa.
Parang Jati tahu bahwa ini saat terbaik untuk merebut Marja dari Yuda. Yuda tak hanya berkhianat dalam perkara perd ata dan pidana. Yuda juga berkhianat dalam perkara cinta. Parang Jati tahu, ia lebih dalam banyak hal daripada Yuda. Ia lebih pintar. Ia lebih setia. Ia dan Yuda sebanding dalam kek uatan fisik dan pemanjatan, memang. Satu-satunya kelemahannya barangkali adalah ia tidak semahir Yuda dalam bercinta. Tapi orang bisa belajar. Apa susahnya menjadi mahir bercinta jika kau biasa bersetubuh dengan tebing dalam pemanjatan bersih. Kau biasa tidak memaksa. Kau biasa menyesuaikan gerak tubuhmu dengan kontur alam. Dan kau tahu betapa gadis itu sesungguhnya juga mendambakanmu.
"Ada satu relief yang paling mudah dipahami bagi seorang pemula di candi ini, Marja," kata Parang Jati dengan suatu semangat baru. "Mari. Saya tunjukkan buatmu."
Parang Jati membimbing Marja ke tingkat satu. Ia menunjuk kepada suatu jajaran pahatan dinding batu. "Ini relief kitab yang berjudul Lalitavistara."
"Lalita-vistara. Nama yang cantik."
"Ini kitab yang paling mudah diperkenalkan kepada turis. Semua pemandu wisata membawa korbannya ke sini. Perkenankan saya menjadi pemandumu, Nona manis Marja Manjali." Parang Jati membungkuk manis.
Kitab Lalitavistara adalah biografi Siddharta Gautama. Dari pengandungan hingga mencapai pencerahan sejati. Bagi turis Barat yang akrab dengan tradisi Kristen, jembatan keledai kitab ini adalah Injil, yaitu kisah Yesus dari konsepsi hingga naik ke surga. Seperti Maria, Ratu Maya hamil tidak dari benih lelaki, melainkan dari ruh surgawi, yang dalam Lalitavistara digambarkan sebagai gajah putih bergading enam yang menyusup ke dalam tubuh Sang Ratu.
Pada dinding di hadapan Lalitavistara, ada relief Jatak amala. "Jataka-mala. Atau Jata-kamala" Apapun. Nama yang cakep," kata Marja.
Kitab Jatakamala bercerita tentang kehidupan-kehidupan lalu Siddharta sebelum ia lahir dari Ratu Maya. Agama-agama Timur percaya reinkarnasi. Siddharta Gautama mengalami pelbagai kelahiran, termasuk sebagai macam-macam hewan, dan ia menjalani kehidupan demi kehidupan itu dengan mulia. Sebagai kelinci ia melompat ke dalam periuk seorang pendeta, agar tubuhnya memberi hidup bagi sang pendeta. Sebagai penyu, ia menyelamatkan makhluk-makhluk yang hampir mati tenggelam dan memberikan dagingnya setelah mereka tiba di darat. Berkorban, agaknya, adalah tema cerita ini. Bukan menegakkan keadilan. Sebab Jatakamala bercerita tentang kebaikan makhluk-makhluk sederhana. "Aku suka cerita-cerit anya," kata Marja tentang Jatakamala.
Api Di Bukit Menoreh 13 Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Tiga Dara Pendekar Siauw Lim 1
^