Pencarian

Dari Mulut Macan 7

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 7


ganjil?" Bibi Joan menjawab sambil menuding Bibi Kim.
"Memang dia yang menaruhnya, dikubur di
halaman rumahku. Untung Nona A-kun dipimpin
bisikan gaib memberi tahu bahwa di halaman
rumahku ada yang tidak beres. Kugali, dan
ternyata kutemukan bangkai burung itu, pasti
sudah dua atau tiga hari di situ."
"Bukan aku!" bantah Bibi Kim yang ketakutan
dihukum oleh Lui Kong-sim yang amat berkuasa
belakangan ini. "Pasti dia! Sebab dia dulu pinjam beras, lalu
beberapa hari yang lalu ku-desak untuk
melunasinya tetapi dia enggan, bahkan pura-pura
lupa! Sebagai balasan dari kebaikanku meminjami
dia beras dulu, dia malah menggunakan ilmu
hitam untuk mencelakakan keluargaku! Untang
476 mahluk-mahluk suci di langit melindungiku
dengan petunjuk lewat Nona A-kun!"
"Bohong, aku pun menganut ajaran suci dan
tidak sudi berurusan dengan ilmu hitam. Dia ingin
memfitnah!" Kedua perempuan yang tadi bungkam sebentar,
sekarang kembali saling mencaci-maki dengan
sengit. Lui Kong-sim melihat bangkai burung hitam itu
sambil merasa lega dalam hati bahwa kedua
perempuan itu tidak tahu Lui Kong-simlah yang
mengubur bangkai burung itu di halaman rumah
Bibi Joan, secara diam-diam, tiga malam yang lalu.
Tujuan Lui Kong-sim ialah ingin membunuh Akiam sejak A-kiam diperkosa gerombolan, padahal
Bibi Joan terus-terusan mendesak-desak Lui Kongsim agar hubungannya dengan puteri Bibi Joan itu
segera diresmikan. Jemu menghadapi desakan Bibi
Joan, Lui Kong-sim memakai cara guna-guna yang
diberitahukan oleh seorang kawannya yang sedang
kesurupan waktu itu. Meski Lui Kong-sim merasa
agak kecewa karena gagal, tapi lega juga karena
tidak ketahuan sebagai pelakunya.
Kini dengan lagak seorang hakim yang adil, Lui
Kong-sim berkata kepada kedua perempuan itu,
"Bibi berdua, diamlah dulu! Urusan kalian bisa
diselesaikan nanti dan kita akan menghukum berat
siapa yang bersalah! Sekarang kita selesaikan dulu
silang pendapat dengan Saudara Giam ini. Ini
harus beres. Kalau tidak, Saudara Giam ini akan
merasa benar dengan pendapatnya, padahal salah.
Dia akan menularkan pendapatnya kepada orang
477 lain, dan jalan suci dari langit akan ditinggalkan
banyak orang, lalu kota ini akan kena bencana
dahsyat!" Kedua perempuan yang bertengkar itu tidak
berani berkutik lagi. Lui Kong-sim kembali menghadapi Giam Lok
sambil bertanya mengejek, "Saudara Giam, kau
bilang bahwa tanpa kekuatan-kekuatan suci
penjaga-penjaga keamanan kita akan tetap hebat,
apakah ucapanmu itu ada buktinya, atau cuma
kira-kira?" "Aku buktinya. Aku sembuh dari sakit karena
semangatku, bukan karena pertolongan gaib mana
pun." "Sekarang kita uji, benarkah semangatmu bisa
mengalahkan kekuatan-kekuatan dari langit." kata
Lui Kong-sim. Giam Lok kaget, "Saudara Lui, apa maksudmu?"
"Bertanding. Apalagi selain itu" Kau bertanding
dengan semangatmu yang kau banggakan, dan kau
akan melawan salah seorang dari kami yang
menggunakan kekuatan gaib."
Bukannya gentar, namun Giam Lok merasa
kurang adil. "Saudara Lui, kau tahu bahwa aku
sembuh dari sakit baru beberapa hari, mana
mungkin melawanku?" "Bukan melawanku, tetapi melawan dia!" sahut
Lui Kong-sim sambil menunjuk salah seorang
pengikutnya. 478 Darah Giam Lok mendidih oleh rasa terhina
ketika melihat orang yang ditunjuk Lui Kong-sim
itu adalah seorang bocah tanggung berbadan
kurus dan pendek. Usianya kira-kira tiga belas
tahun, tetapi lagaknya berusaha nampak seperti
seorang jagoan yang sudah dewasa.
"Aku... melawan dia?"
"Ya." "Kakak-kakaknya dan kakak iparnya adalah
teman baikku, mana bisa aku melawannya"
Apalagi dia jauh lebih muda dari aku."
"Saudara Giam, tidak perlu sungkan, sebab ini
bukan pertarungan untuk saling membunuh,
melainkan hanya uji coba. Jadi tidak usah pakai
alasan macam-macam untuk menghindari kekalahanmu yang akan membuktikan kesalahan
pen-dapatmu!" Kata-kata Lui Kong-sim yang tajam itu bagaikan
minyak disiramkan kepada api, membuat hati Lui
Kong-sim menyala. Rasanya, biarpun ia belum
lama sembuh dari sakit, Giam Lok merasa mampu
mengalahkan anak kecil itu tanpa menciderainya.
Sementara, anak itu sudah mengeluarkan
sehelai ikat kepala kuning untuk dililitkan di
kepalanya, lalu matanya terpejam dan mulutnya
berkomat-kamit, kemudian tubuh itu bergetar.
Giam Lok geleng-geleng kepala, lalu ia
mendekati anak itu sambil menghimpun Semangatnya dan meningkatkan kesiagaan sampai
ke puncaknya, dengan keyakinan bahwa 479 semangatnya tetap mampu mengatasi apa pun,
termasuk kekuatan-kekuatan gaib.
Jarak Giam Lok dengan anak itu masih
beberapa langkah, tetapi anak itu tiba-tiba
melambaikan tangan kurusnya perlahan, serempak
Giam Lok merasa hatinya guncang dan konsentrasinya buyar. Berikutnya, tubuhnya
terpental ke belakang tanpa disentuh oleh Si Anak.
Lui Kong-sim dan teman-temannya tertawa riuh,
membuat kuping Giam Lok sampai memerah.
Dengan mengertakkan gigi, Giam Lok bangkit
480 kembali, lalu menghimpun kembali semangat dan
konsentrasinya untuk kembali mendekati Si Anak
Kecil dengan amat hati-hati.
Si Anak, dalam keadaan masih tidak sadar,
hanya melakukan gerak pelan seperti menari.
Tahu-tahu Giam Lok merasa tubuhnya diputar
seperti gasing, tak tertahan oleh Giam Lok sendiri.
Sampai tubuhnya terhempas lagi.
Kali ini sebelum Giam Lok bangkit, Si anak
menaik-turunkan tangannya, maka tubuh Giam
Lok pun terhempas naik-turun tanpa henti.
Makin riuhlah gelak tawa Lui Kong-sim dan
teman-temannya. "Ayo, Saudara Giam, tunjukkan semangatmu
yang hebat itu!" "Masa semangatmu hebatnya?" hanya segini saja Giam Lok gusar dan malu bukan main, tetapi
tak mampu lepas dari keadaan itu. Tak peduli
sudah menghimpun semangat sebisa-bisanya
untuk mengendalikan diri, ia tetap terbantingbanting oleh kekuatan tak terlihat. Lui Kong-sim
merasa cukup mempermainkan Giam Lok, sambil
membaca mantera dia merenggut ikat kepala
kuning dari kepala Si Bocah Tanggung. Si Bocah
langsung terkulai roboh ke tanah dengan mata
terpejam, tubuhnya cepat ditangkap oleh temanteman Lui Kong-sim yang lain. Giam Lok pun tidak
lagi terhempas-hempas. "Masih butuh bukti lain, Saudara Giam?" tanya
Lui Kong-sim. 481 Dengan hati bergolak oleh kemarahan dan rasa
malu meluap-luap, Giam Lok bangkit lalu bergegas
pergi dari situ. Dalam kemarahannya, uang
pemberian Si Nenek yang dipesankan untuk
dibelikan hadiah bagi ibu Giam Lok demi
memperbaiki hubungan, sekarang dibawa Giam
Lok ke bengkel besi kepunyaan Pang Se-hiang,
adik Pang Se-bun. Giam Lok memesan sebuah
tombak besi seberat tujuh puluh dua kati.
Tombak besi seberat itu biasa digunakan untuk
melatih tenaga. Baik ujung tombak maupun
gagangnya terbuat dari besi padat semuanya.
Murid-murid almarhum Ciu Koan yakin, kalau
sering memainkan tombak besi yang beratnya
beberapa kali lipat tombak biasa, maka kalau
memainkan tombak biasa akan jadi lebih cepat dan
mantap. Dengan memesan tombak besi, Giam Lok
tetap yakin bahwa semangat dan kekuatan jiwa
raga manusia dapat dilatih untuk mengatasi apa
saja, termasuk yang gaib.
Pulang dari bengkel Pang Se-hiong, Giam Lok
menjumpai rumah bekas kediaman Ek Yam-lam
itu sudah sangat rapi dan bersih. Bahkan di dapur
ada beberapa macam masakan di atas meja, entah
dari mana bahan-bahannya. Itu mengherankan
Giam Lok. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Si
Nenek, sebab nenek itu tidak kelihatan batang
hidungnya di situ. Hanya saja, meski Si Nenek tidak disitu, Giam
Lok seolah bisa merasakan rasa kecewa yang
dalam dari hati Si Nenek tertinggal di udara
ruangan itu. 482 Rasa kecewa karena uang untuk membeli
hadiah pemulihan hubungan dengan ibu Cam Lok
malah digunakan untuk memesan tombak besi.
Di pondoknya, Tabib Kian sedang bersiap-siap
mengunjungi Seng-tin. Biasanya, kalau ia bersiapsiap ke Seng-tin, wajahnya akan berseri-seri
gembira, sebab merasa sebagai tabib yang masih
dibutuhkan orang. Tetapi kali ini wajahnya
murung saja, sebab belakangan ini Tabib Kian
merasa dirinya sudah tidak berguna lagi. Ia merasa
ilmu pengobatannya sudah ketinggalan jaman,
sehingga tidak lagi dapat menyembuhkan orangorang Seng-tin yang sakit. Kali ini ia ke Seng-tin
juga bukan untuk mengobati orang, melainkan
hendak mengembalikan sekantong uang kepunyaan Nyonya Yao yang dititipkan melalui
Siau Hiang-bwe. Selain itu, kecemasannya akan
nasib Siau Hiang bwe membuat Si Tabib ingin cari
berita tentang Siau Hiang-bwe.
"Aku ikut!" kata Cu Tong-liang begitu
mendengar Tabib Kian hendak ke Seng-tin. Sudah
beberapa hari Cu Tong-liang menghabiskan waktu
hanya dengan membantu Liu Yok berkebun sambil
mengobrol ringan, dan ia mulai merasa jemu. Ia
ingin ke Seng-tin, apa pun resikonya.
Sangat di luar dugaan, bahwa Liu Yok pun tibatiba berkata, "Aku juga ingin melihat-lihat seperti
apa Seng-tin itu dengan mata jasmaniahku."
Cu Tong-liang sudah tegang wajahnya, kuatir
Liu Yok "si picik dan fanatik" ini akan
menimbulkan gara-gara besar di Seng-tin nanti.
483 "Kenapa, Kakak Liang?" tanya Liu Yok ketika
melihat wajah Cu Tong-liang yang menegang.
"Begini, Saudara Liu... kau mungkin akan lebih
kaget melihat keadaan Seng-tin. Orang-orangnya
menganut keyakinan lain yang barangkali amat
membuat Saudara Liu tidak senang. Jadi, apakah
tidak lebih baik kalau Saudara Liu tetap dirumah
saja?" Liu Yok menyeruput teh hangatnya sambil
menaikkan sebelah kakinya di bangku. "Aku sudah
melihat sejatinya Seng-tin di alam batin, sekarang
ingin juga kulihat bayangannya di bumi seperti


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa." Mati-matian Cu Tong-liang hendak mencegah
Liu Yok, "Lebih baik jangan, Saudara Liu. Tidak
akan cocok. Lagipula, bukankah Saudara pernah
bilang, bahwa kali ini giliran A-kui yang
menanganinya?" "Dulu waktu aku berkata begitu, aku lupa
sesuatu. Waktu itu, aku berpikir bahwa aku ya
aku, A-kui, ya A-kui, pribadi sendiri-sendiri. Aku
lupa yang tertulis di bukuku bahwa semua yang
sudah menyambut anugerah itu sudah menjadi
sedarah-sedanging-seroh, diibaratkan sebuah tubuh. Jadi, urusan A-kui adalah urusanku juga.
Dan semalam kubaca lagi, kalau satu orang dapat
menaklukkan seribu musuh, maka dua orang akan
menaklukkan sepuluh kali lipatnya."
Cu Tong-liang .garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, sadar bahwa ia tidak dapat mencegah
Liu Yok. Entah bagaimana nanti reaksi Liu Yok
kalau melihat bendera-bendera dengan "huruf suci"
484 yang dikibarkan di segenap pelosok Seng-tin
sebagai "penangkal pengaruh buruk alam maupun
roh jahat?" Tidakkah Liu Yok akan mengkritiknya
sebagai pemberhalaan benda-benda mati" Bagaimana nanti reaksi Liu Yok kalau mendengar
pembicaraan orang-orang Seng-tin yang menghubung-hubungkan segala sesuatunya dengan "mahluk-mahluk suci di langit?" Bagaimana reaksi Liu Yok bila ia melihat toko Ban
Ke-liong yang laris dikunjungi orang-orang yang
ingin mencari sosok patung untuk dipuja" Dan
bagaimana pula reaksi penduduk Seng-tin kalau
melihat sikap Liu Yok" Cu Tong-liang ngeri
membayangkannya. Ketika itulah Liu Yok berkata dengan kalem,
agaknya memahami gejolak hati Cu Tong-liang.
"Kakak Liang, Kakak Liang. Kakak kuatir aku akan
berpidato di tengah-tengah jalan atau di tengah
pasar, mengkritik orang-orang Seng-tin?"
Cu Tong-liang cuma nyengir sambil melanjutkan
sarapan paginya. Dalam hati, ia memang ngeri
membayangkan Liu Yok benar-benar akan
bertindak demikian di Seng-tin.
Kata Liu Yok pula, "Tidak. Nanti Kakak Liang
hanya akan melihat wadah kasarku ini menyusuri
lorong demi lorong di Seng-tin, mengikuti ke mana
langkah Paman Kian tertuju. Dan mungkin Paman
Kian akan mengajak wadah kasarku ini sedikit
dimanjakan di... warung bubur kacang tempat
kegemaran Paman Kian. Bukankah begitu,
Paman?" 485 Biarpun Tabib Kian sedang agak murung,
namun mendengar pertanyaan Liu Yok itu dia pun
tertawa kecil. Katanya, "Pasti A-kui yang
mempromosikan bubur kacang itu kepadamu, Ayok. Dia pernah kuajak ke sana."
Sementara Cu Tong-liang menangkap "arti
terselubung" yang lain dalam kata-kata Liu Yok itu.
Pikirnya, "Hem, dia hanya menjanjikan 'wadah
kasar'nya yang tidak melakukan apa-apa yang
membahayakan. Dia tidak menjanjikan tentang
'manusia sejati'nya alias rohnya apakah akan
melakukan sesuatu atau tidak di alam batin.
Tetapi biarlah. Asal 'wadah kasar'nya tidak
melakukan sesuatu di Seng-tin, biar 'manusia
sejati'nya mau jungkir balik di alam batin pun
terserah." Setelah sekian bulan berjalan bersama Liu Yok,
sedikit banyak Cu Tong-liang paham juga tentang
jalan pikiran Liu Yok tentang "wadah kasar" alias
"kemah" alias "manusia berkodrat alamiah" ini
dengan "manusia sejati" alias "penghuni kemah"
alias "manusia berkodrat ilahiah". Tetapi Cu Tongliang belum paham benar bahwa "manusia sejati"
Liu Yok itu jusru memiliki kekuatan yang berjutajuta kali lipat dari "wadah kasar" yang terdiri dari
darah, daging, tulang dan otot-otot itu. Karena
ketidak-pahameinnya akan kekuatan batin inilah
yang membuat Cu Tong-liang sampai berpikir,
"Asal 'wadah kasar'nya tidak melakukan apa-apa,
terserahlah kalau 'manusia sejati'nya mau jungkirbalik atau melakukan apa pun asal dalam batin
saja." 486 Ketiga orang itu pun kemudian bersiap-siap
untuk berangkat. Tabib Kian tidak membawa kotak
obatnya, yang dianggapnya takkan banyak berguna
lagi. Ketika mereka sudah melangkah di padang
ilalang yang luas itu, diguyur cahaya matahari pagi
yang hangat keemasan, sedikit banyak kemurungan Tabib Kian agak tersapu bersih juga.
Liu Yok diam-diam membatin, "Inilah manusia
alamiah. Gembira dan sedih tergantung kepada
situasi alam sekitarnya, kepada sikap orang
terhadapnya." Ketika memasuki kota Seng-tin, dan melihat
bendera-bendera "kerajaan langit" berkibar di
mana-mana, Cu Tong-liang diam-diam memperhatikan bagaimana sikap dan air muka
'wadah kasar' Liu Yok ini. Ternyata air muka
'wadah kasar' itu hanya berkerut sedikit alisnya,
tetapi tidak menampakkan lebih dari itu, dan tidak
mengucapkan apa-apa. Sementara Cu Tong-liang tidak menyadari
bahwa alam batin Liu Yok sudah bertindak dan
menimbulkan kepanikan dahsyat pada penghunipenghuni alam gaib yang selama ini menguasai
jiwa dan pikiran orang-orang Seng-tin. Kepanikan
di alam gaib yang akan segera tercermin di alam
kasar yang menjadi bayangannya.
Di rumah keluarga Yao, suasananya seperti
biasa. Yao Kang-beng, salah seorang kepercayaan
Guru Wong, sudah bersiap-siap dengan jubah
putihnya dan banyak benda suci di kantong
bajunya, bersiap menghadap Wong Lu-siok.
487 Yao Sin-lan nampak semakin sehat sejak ia
dibebaskan dari kewajiban ikut dari kelompok
penari. Gadis itu nampak sedang berjalan-jalan di
kebun bunga di samping rumah, diiringi gadis cilik
pembantunya. Yao Pek-hoat, ayah Yao Kang-beng dan Yao Sinlan, yang baru saja pulang dari berniaga di kota
Tiang-an, siap-siap pergi ke tokonya dan membuka
tokonya untuk memamerkan barang-barang dagangan yang dibawanya dari Tiang-an, kota
kuno bersejarah itu. Tetapi harapan yang menggebu-gebu dari
saudagar kawakan itu jadi sedikit surut, ketika
mendengar kata-kata isteri-nya, "Orang-orang
Seng-tin sekarang lebih suka membelanjakan uang
mereka untuk membeli barang-barang yang ada
khasiat gaibnya, misalnya: patung-patung porselen
Ban Ke-liong yang melambangkan mahluk-mahluk
gaib di kerajaan langit."
"Ah, Ban Ke-liong, dia pernah pinjam uangku.
Kalau kutagih uangnya dia ngotot berkata bahwa
dia pernah membayarnya. Memangnya dia anggap
aku pikun" Kalau dia sudah bayar, kok di buku
catatan keuanganku tidak tercatat?"
"Tetapi hati-hati sekarang dengan Ban Ke-liong,
suamiku. Kau tidak boleh berlaku kasar
kepadanya, atau kau akan membuat marah
banyak warga Seng-tin."
"Lho, kenapa?" "Sebab orang banyak percaya bahwa Ban Keliong ini sekarang sering dihubungi oleh 'dewa' saat
488 dia mengerjakan arca porselennya. Dia sering
mimpi di-tampaki dewa ini atau dewa itu, lalu
dibuat patungnya. Setelah patungnya jadi, eh,
tahu-tahu ada orang yang membelinya dengan
harga mahal, katanya orang itu beberapa malam
sebelumnya juga melihat tokoh gaib yang sama
dengan yang dibuat patung itu, lalu bertekad
mencari patungnya untuk memujanya."
"Ooo, begitu" Jadi sekarang Ban Ke-liong tidak
sekedar membuat vas bunga atau mangkukmangkuk indah, tetapi mengaku dihubungi dewa
segala?" "Hati-hati kalau bicara begitu di hadapan orang
lain...." desis Nyonya Yao kuatir. "Bahkan di
hadapan anak kita sendiri. Dia sudah menjadi
penganut sekte baru itu, bahkan menjadi salah seorang yang terkemuka. Dia menjadi salah seorang
pembantu kepercayaan Guru Wong."
Yao Pek-hoat mengangguk-angguk. "Kota ini
sudah banyak berubah, tidak seperti setahun yang
lalu ketika kutinggalkan. Tetapi biarlah, aku justru
bisa memanfaatkan kedudukan terhormat A-beng
sekarang ini untuk memperlaris dagangan yang
kubawa dari kota Tiang-an. Akan kusuruh A-beng
bilang bahwa beberapa barang daganganku dari
Tiang-an itu adalah benda keramat milik orang
suci atau pendekar sakti jaman dulu. Ada khasiat
gaibnya. Pasti daganganku akan selaris dagangannya Ban Ke-liong, he-he-he...."
"Apa yang kaubawa dari Tiang-an, Suamiku?"
489 "Sebagian besar barang dagangan biasa, tetapi
ada beberapa yang bisa laku buat yang keranjingan
hal-hal aneh atau gaib." "Misalnya?"
"Kubawa beberapa buah tameng, tombak dan
senjata-senjata model kuno lainnya."
"Betul-betul umurnya?" kuno" Beberapa ratus tahun Yao Pek-hoat tertawa, "Ah, itu baru berumur
beberapa bulan. Buatan tukang-tukang besi di
Tiang-an. Tetapi sengaja dibuat seperti kuno, agar
tinggi harganya. Tetapi kuketahui siasat tukangtukang logam itu dan aku berhasil menawar
murah. Sekarang akan kujual mahal di Seng-tin,
he-he-he." Perbincangan pasangan suami isteri usia senja
yang sudah setahun tak bertemu itu pun tiba-tiba
terputus ketika yao Kang-beng masuk ke ruangan
itu dengan wajah terengah-engah tegang. Lalu tibatiba saja ia berlari ke dinding untuk mengambil
pedang yang tergantung di dinding, yang dengan
terhunus hendak dibawanya keluar.
Nyonya Yao kaget, kuatir Yao Kang-beng
mencelakai adiknya lagi. Kalau kemarin-kemarin
hanya dengan tangan kosong, jangan-jangan hari
ini akan menggunakan pedang" Cepat nyonya Yao
bangkit dan memegangi lengan anak lelakinya.
"Ada apa, A-beng" Ada apa?"
Di sela-sela engah napasnya, Yao Kang-beng
menjawab, "Ada siluman jahat di kebun bunga!
Siluman itu sakti, harus kubunuh dengan pedang
yang telah di-manterai oleh Guru Wong ini!"
490 Nyonya Yaoi kaget, pegangannya dilengan
anaknya semakin kuat. "Siluman apa" Jangan
mengigau, Nak. Mana ada siluman disiang bolong
begini?" "Sunggu, Ibu, aku melihatnya. dia bersisik hijau
dan berambut merah. Matanya seperti nyala api.
lidahnya yagn bercabang terjulur sampai ke tanah.
dia ditemani mahluk jahat lainnya berwujud katak
besar yang bisa bicara."
Yao kang Beng terus melangkah, biarupun
legnannya dipegangi kuat-kuat oleh ibunya. Makan
Nyonya Yao jadi terseret oleh Yao Kang-beng,
dalam hati ibu tua itu ada semacam bisikan agar
dia terus memegangi anaknya, sebab kalau
dibiarkan saja akan menimbulkan bencana besar.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lepaskan aku ibu! Ibu memperlambat gerakku,
nanti kedua siluman itu keburu lari."
"Tidak ada siluman dirumah ini, Nak. Sadarlah,
siumanlah." "Ibu tidak melihatnya sebab itu tidak
mempunyai 'mata ketiga' yang dapat menembus ke
alamnya para siluman. Aku memilikinya, baru
semalam aku mendapatkannya setelah bermeditasi
didepan patung Dewa Bermata Tiga."
Tak perduli alasan apaun yang dikemukakan
Yao kang-beng, ibunya tetap menuruti bisikan
aneh dalam hatinya untuk terus memegangi Yao
Kang beng, biarpun terseret-seret.
Mereka tiba di kebun bunga di samping rumah,
Yao Kang-beng menuding dengan pedangnya ke
491 tengah-tengah kebun bunga sambil berkata, "Lihat,
Ibu, itulah kedua siluman yang kukatakan tadi."
Yang dikuatirkan oleh Nyonya Yao pun terbukti,
karena yang dituding sebagai "dua siluman" itu
ternyata adalah Yao Sin-lan dan bujang wanita
ciliknya yang bernama Hong-hong. Keruan
pegangan tangan Nyonya Yao semakin kuat.
"A-beng, mereka adalah adikmu dan Hong-hong,
coba lihat baik-baik. Mereka adikmu dan Honghong, bukan siluman."
"Siluman itu telah menyihir mata Ibu sehingga
mata Ibu telah dikelabuhi mereka. Mereka
siluman, aku tahu. Aku melihat dengan 'mata
ketiga'ku." "Itu adikmu, bukan siluman! Ilmu gaibmu itulah
yang menyesatkan pandanganmu!" Nyonya Yao
ngotot. "Suamiku, bantu aku."
Yao Pek-hoat yang lama meninggalkan Seng-tin
dan kurang paham perubahan-perubahan di kota
kelahirannya, benar-benar heran melihat kelakuan
isteri dan anak laki-lakinya itu. Namun ia melihat
gawatnya keadaan, dan ikut memegangi Yao Kangbeng sambil berteriak-teriak mencegah. Biarpun
usianya sudah lima puluh tahun lebih, namun
tubuhnya masih cukup sehat, masih mampu
menempuh perjalanan jauh ke Tiang-an, dan
kekuatannya membuat Yao Kang-beng tertahan
langkahnya. Sedangkan Nyonya Yao sambil memegangi anak
laki-lakinya, juga meneriaki anak perempuannya,
"Sin-lan, cepat lari!"
492 Yao Sin-lian dalam beberapa hari ini baru saja
merasa agak gembira melihat perubahan sikap
kakaknya yang sedikit demi sedikit membaik. Ia
juga senang bahwa ia dibebaskan dari kewajiban
menari "bagi dewa" yang ternyata mustahil
sempurna tanpa kerasukan "penari langit" padahal
Yao Sin-lan tidak pernah kemasukan "penari
langit" itu. Kini melihat kakaknya berwajah
beringas dengan pedang di tangannya, dipegangi
ayah ibunya yang menyuruh Yao Sin-lian lari,
gadis itu pun bingung dan sedih. Kenapa dengan
kakaknya" Kakaknya yang selama beberapa hari
ini sudah membaik sikapnya, adakah sekarang
tiba-tiba kembali begitu membencinya sampai
membawa-bawa pedang segala" Saking bingung
dan sedihnya menghadapi perubahan yang tidak
diduga-duga itu, Yao Sin-lan malah berdiri
mematung saja tidak cepat-cepat lari. Padahal
ayah ibunya yang sudah tua itu bagaimanapun tak
bisa terus menerus memegangi Yao Kang-beng
yang meronta semakin kuat dan semakin beringas
wajahnya. "Sin-lan, cepat lari!" Teriak Nyonya Yao pula.
Yao Kang-beng pun berteriak, "Ibu, Ayah,
lepaskan aku. Nanti kedua siluman itu keburu
lari!" Yao Sin-lan masih juga kebingungan, belum
juga lari. Tetapi saat itu, tiba-tiba di samping Yao
Sin-lan sudah muncul Si Nenek Bungkuk yang
ditemui Yao Sin-lan beberapa hari yang lalu. Nenek
itu langsung saja menyeret pergi Yao Sin-lan dan
493 pembantu ciliknya sambil berkata, "Selamatkan
jiwa kalian." Digandeng Si Nenek yang tidak diketahui
bagaimana datangnya, Yao Sin-lan dan Hong-hong
dibawa berlari menyeberangi halaman samping itu
lalu ke halaman depan. Yao Kang-beng mengejar, meskipun langkahnya
berat karena diganduli kedua orang tuanya yang
tetap memegangi lengan kanan dan kirinya.
"Lepaskan aku, Ayah, Ibu! Siluman-siluman itu
keburu kabur!" "Sadar, Nak, sadar!" tangis Nyonya Yao. "Oh,
Langit, tolong sadarkan anakku!"
Bukannya sadar, Yao Kang-beng tiba-tiba malah
sekuat tenaga menggerakkan tubuhnya untuk
melepaskan pegangan ayah ibunya. Gerakannya
begitu kuat, sehingga pegangan kedua orang
tuanya mengendor. Ketika Yao Kang-beng dengan
kasar menggerakkan tubuh sekali lagi, kedua
orang tuanya sampai terjatuh ke tanah.
Langkah Yao Kang-beng kini tidak terhambat
lagi untuk memburu Yao Sin-lan dan Hong-hong
yang kini sudah mencapai pintu halaman depan.
Mereka sedang hendak membuka pintu halaman
depan.... Yao Kang-beng yang sedang memburu itu tibatiba bersikap ketakutan dan berteriak, "Jangan
buka! Hei, jangan buka!"
Tetapi pintu itu sudah terbuka, dan di depan
pintu berdirilah Tabib Kian, Liu Yok dan Cu Tong494
liang. Sebenarnya Tabib Kian baru saja mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu,
tapi sudah lebih dulu terbuka dari dalam.
Yao Kang-beng yang beringas dengan pedang di
tangannya, ketika menatap Liu Yok tiba-tiba
menutupkan lengan kirinya di depan matanya,
seolah amat silau, melangkah mundur sambil
ketakutan. Lalu tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya sambil lari terbirit-birit meninggalkan
rumah itu lewat pintu yang lain.
Yao Kang-beng lari meninggalkan rumah, dan di
jalanan orang-orang minggir dengan kaget melihat
pembantu kepercayaan Guru Wong ini memegangi
pedang terhunus. Ia berlari-lari menuju ke rumah
almarhum guru silat Ciu Koan yang di siang hari
pintunya selalu terbuka lebar, karena tempat itu
sudah menjadi semacam rumah ibadah untuk
pengikut-pengikut Wong Lu-siok.
Kedatangan Yao Kang-beng yang menggemparkan itu tentu saja membuat orangorang di rumah ibadah itu bertanya-tanya dalam
hati. Sementara Yao Kang-beng terus menerobos ke
bagian dalam bangunan itu, dan ketika bertemu
dengan EK Yam-lam dan Ciu Bian-li, ia langsung
berteriak, "Kakak Lam, gawat! Rumahku dimasuki
dan dikuasai siluman-siluman! keluargaku disandera oleh siluman-siluman jahat itu! Mana
Guru Wong" Guru Wong harus segera menggunakan ilmu dewanya untuk menolong
keluargaku!" 495 Ek Yam-lam dan Ciu Bian-li buru-buru
menangkapnya, sambil mengatakan bahwa Guru
Wong masih bersemedi dan belum bisa ditemui.
Sementara itu, di rumah keluarga Yao, suasana
menakutkan dengan mengamuknya Yao Kangbeng, sekarang terasa agak aman setelah Yao
Kang-beng pergi. Namun Nyonya Yao cemas juga
membayangkan apa yang terjadi diluar sana, di
jalanan, dengan anak laki-lakinya yang berlarian
panik dengan pedang di tangan"
"Suamiku, coba susul A-beng dan tenangkan
dia!" kata Nyonya Yao yang mukanya masih pucat
dan berkeringat karena takut dan tegangnya tadi.
Yao Pek-hoat agak ragu, tetapi ia melangkah
juga. Sebelum suaminya melangkahi ambang pintu,
Nyonya Yao menambahkan pesan, "Cari beberapa
orang untuk membantu, mungkin kau perlu
menemui Guru Muda Pang lebih dulu."
"Guru Muda?" Yao Pek-hoat agak asing dengan
istilah itu setelah sekian lama meninggalkan Sengtin.
"Maksudku, Pang Se-bun, yang punya toko
rempah-rempah dan bumbu-bumbu di pojok pasar
itu lho...." "O... yang adiknya jadi tukang besi itu?"
"Benar." Setelah Yao Pek-hoat pergi, Tabib Kian yang
baru datang itu pun bertanya, "Nyonya, ada
kejadian apa di sini?"
496 Nyonya Yao merasa serba salah. Ia paling tidak
suka kalau ribut-ribut dalam keluarganya sampai
diketahui orang luar, apalagi menyebar luas dan
menjadi gosip. Dulu, peristiwa Yao Kang-beng
memukuli adiknya pun hendak dicobanya menutup-nutupinya dengan menyogok sejumlah
orang yang menjadi saksi mata kejadian itu dengan
"uang tutup mulut". Tabib Kian termasuk yang
disogoknya dengan uang, dititipkan lewat Siau
Hiang-bwe. Nyonya Yao menganggap keributan
dalam keluarga itu dapat menyuramkan pamor
keluarga Yao. Tak terduga, selagi peristiwa yang
dulu saja belum sepenuhnya dilupakan orang,
sekarang Tabib Kian bertiga muncul di saat Yao
Kang-beng bertingkah seperti orang gila. Pertanyaan Tabib Kian tadi benar-benar susah,
dijawab. Maka Nyonya Yao tidak menjawab, malahan
balik bertanya, "Tabib Kian, ada keperluan apa ke
sini?" Tabib Kian mengeluarkan kantong uang
pemberian Nyonya Yao melalui Siau Hiang-bwe
beberapa waktu yang lalu, yang isinya masih utuh
karena tidak diambil sedikit pun oleh Tabib Kian.
"Nyonya, aku berterima kasih untuk perhatianmu,
tetapi aku tidak tahu apa gunanya uang sebanyak
ini Nyonya kirimkan kepadaku."
"Bukankah ada sepucuk surat kusertakan?"
"Ooo, itu maksudnya" Kalau hanya itu, dengan
senang hati aku akan melakukannya untuk
Nyonya, tanpa mengharapkan imbalan. Aku hanya
mau menerima imbalan untuk obat-obatku dan
497 jasa pengobatanku, pekerjaanku." sebab memang itulah Nyonya Yao tidak mau menyebut untuk apa
uang itu, karena malu kepada Coa Tong-liang dan
Liu Yok yang belum dikenalnya. Begitu pula dalam
sahutannya Tabib Kian tidak menyebut-nyebut
untuk apa uang itu, melindungi muka Nyonya Yao.
Nyonya Yao menatap Cu Tong-liang dan Liu Yok
dengan agak curiga, curiga jangan-jangan kedua
orang asing ini sama dengan pemeras-pemeras
yang sudah menghabiskan banyak uang Nyonya
Yao untuk "uang tutup mulut?"
Terpaksa Tabib Kian menjelaskan,
"Kalau Nyonya ingin kedua temanku ini untuk
tutup mulut akan apa yang dilihatnya tadi, mereka
akan tutup mulut. Tanpa upah. Bukan kebiasaan
mereka mencerita-ceritakan rahasia keluarga
orang. Aku kenal mereka."
Nyonya Yao mengangguk canggung, Ingin


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berterima kasih terang-terangan, namun terlalu
merasa gengsi, katanya, "Baiklah. Uang ini
kuterima kembali, dan jangan bilang aku tak
tahu... berterima..., maksudku, berbuat baik. Aku
sudah memberi, kau yang tidak mau terima. Dan
maafkan aku karena aku sedang banyak
kesibukan, aku belum dapat menerimamu. Sin-lan,
Hong-hong, ayo masuk!"
Lalu masuklah nyonya itu dengan gaya anggun
ke dalam rumahnya sendiri, diikuti Yao Sin-lan
dan Hong-hong. Begitu saja meninggalkan Tabib
Kian bertiga di halaman. 498 Tabib Kian berdiri termangu-mangu, lalu
katanya, "Luar biasa. Ia berusaha sekuat tenaga
memberi kesan kepada orang lain bahwa
keluarganya sangat harmonis, serba beres, tidak
pernah terjadi apa-apa. Ia menjadikan dirinya
sendiri tembok tinggi untuk menutupi pandangan
orang luar terhadap sekeluarga-nya. Apa tidak
lelah bersikap begitu bertahun-tahun?"
Kata Cu Tong-liang, "Kukira, sedikit banyak
semua orang punya sifat seperti itu. Ingin
menutupi kejelekan diri sendiri, keluarganya
sendiri, atau kelompoknya sendiri."
"Betul, Kakak Liang. Itu Normal. Asal jangan
sampai menjadi tembok keangkuhan sehingga
menolak pertolongan dari luar yang tulus, padahal
sedang membutuhkan pertolongan itu."
"Sekarang kita ke mana, Paman Kian?"
"Ke mana lagi kalau bukan ke warung bubur
kacang?" *** Di halaman belakang rumahnya, A-kun sedang
asyik bermain-main sendiri, boneka porselen "Ahwe" ditaruh berdiri beberapa langkah di dekatnya
dan itulah satu-satunya teman bermainnya. Tidak
ada anak-anak Seng-tin yang berani bermain-main
dengan A-kun, ngeri kena akibat buruk. Anak
Seng-tin terakhir yang berani bermain dengan Akun ialah A-boan, anak si tukang peti mati Ciok
Yan-lim. Dan semua sudah tahu nasib A-boan.
Gadis cilik itu dijanjikan oleh A-bun untuk "diajak
bermain-main ke taman indah" dan ternyata A499
boan lalu meninggal dunia. Tetapi juga tidak ada
orang Seng-tin yang berani memprotes langsung
kepada A-kun maupun kepada orang tuanya.
Memprotes A-kun sama dengan memprotes "A-hwe"
sama dengan memprotes "kerajaan gaib yang
mempunyai kuasa mutlak atas nasib manusia" dan
bisa amat gawat akibatnya.
Selagi asyik bermain, tiba-tiba wajah A-kun
menjadi tegang dan ia memiringkan kepalanya
seperti mendengarkan sesuatu. Boneka porselen
"A-hwe" diambilnya dan mulut boneka ditempelkan
ke kupingnya. Habis "mendengarkan A-hwe" A-kun meninggalkan keasyikan bermainnya, melangkah
masuk ke dalam rumah untuk menjumpai ayahnya
dan berkata dengan nada memerintah, "Ayah,
keamanan kota ini terancam. A-hwe baru saja
bilang bahwa saat ini Beng Hek-hou sudah masuk
kota bersama dua pembantunya, siap menyebarkan kejahatan dan bencana! Sekarang
mereka ada di warung bubur kacang!"
Pang Se-bun sedang bersiap-siap pergi untuk
membuka warungnya, tetapi mendengar kata-kata
puterinya, ia langsung mengambil tombaknya lalu
menuju ke tempat berkumpulnya pengawalpengawal kota. Biarpun yang bicara hanya A-kun,
namun Pang Se-bun seyakin orang-orang Seng-tin
lainnya bahwa perkataan A-kun adalah sabda
dewa yang tabu untuk dibantah.
Di tempat berkumpulnya para pengawal kota
ada sepuluh orang pengawal yang sedang dudukduduk mengobrol, di terdapat adik Pang Se-bun
500 ini, dengan senjatanya yang khas sebagai seorang
tukang besi, yaitu martil besi.
Mereka heran melihat kedatangan Pang Se-bun
yang bergegas dan berwajah sungguh-sungguh,
dan sebelum mereka berkata apa-apa, Pang Se-bun
sudah berkata, "A-hiong, siagakan seluruh
pengawal maupun sukarelawan yang mau membantu, bahkan kalau perlu bekerja sama
dengan Lui Kong-sim serta teman-temannya juga
tidak apa-apa. Awasi seluruh kota. Perketat
penjagaan di seluruh kota, sebab Beng Hek-hou
sudah menyusup masuk kota ini."
Orang-orang itu berlompatan bangun sambil
menyambar senjata masing-masing. Tak lupa
mengenakan segala macam jimat pelindung dan
penambah keamanan pemberian Wong Lu-siok.
Kemudian Pang Se-bun menunjuk dua diantara
para pengawal itu untuk mengikutinya ke warung
bubur kacang guna meringkus Beng "Hek-houw".
Dua orang yang dipilih itu yang dinilai paling tinggi
kemampuannya. Merekalah pengawai-pengawal
yang mudah berjalan di api, memanjat golok
bersusun, dan yang penting, dapat bertempur
dengan kemampuan yang bukan kemampuan
mereka sendiri melainkan kemampuan lain yang
jauh lebih dahsyat dari kemampuan normal
mereka. Demikianlah Pang Se-bun bertiga menuju ke
warung bubur kacang, demi menjalankan perintah
"A-hwe" lewat A-kun.
Sementara itu, di warung bubur kacang, Tabib
Kian bersama Cu Tong-liang sedang menikmati
501 bubur kacang yang lezat, memakai sendok-sendok
kecil dari kayu. Liu Yok begitu menikmatinya,
sampai ia naikkan satu kakinya di bangku warung.
Ketika itulah Cu Tong-liang kebetulan melongok
keluar pintu dan melihat Pang Se-bun serta dua
pengawal kota sedang berjalan tergegas dengan
wajah amat bersungguh-sungguh dan senjatasenjata di tangan.
Cu Tong-liang heran, ada apa sehingga Pang Sebun bersikap siap tempur macam itu" Sebagai
teman, Cu Tong-liang merasa perlu menawarkan
bantuannya. Ia tinggalkan meja dan menuju ke
pintu sambil berseru, "Saudara Pang, ada apa?"
Adalah di luar dugaan Cu Tong-liang, bahwa
Pang Se-bun mendadak menuding arah Cu Tongliang sambil berseru, "Beng Hek-hou, kau sudah
diusir dari kota ini, sekarang berani kemari lagi"
Kota ini bukan lagi makanan empukmu, melainkan
sekarang siap menghajarmu!"
Mula-mula Cu Tong-liang menyangka bahwa
Pang Se-bun menuding seseorang dibelakangnya,
dan orang yang di belakangnya itu adalah Beng
Hek-hou. Maka dengan sigap Cu Tong-liang
melompat menjauhi ambang pintu sambil memutar
tubuh, untuk menghadapi "Beng
Hek-hou". Ternyata ia tidak melihat Beng Hek-hou, dan
lebih kaget lagi ketika melihat Pang Se-bun tetap
menghadapinya dengan garang. "Jangan coba-coba
lari, Beng Hek-hou. Beberapa waktu yang lalu kau
bisa lolos, sekarang jangan harap bisa lolos."
502 "Saudara Pang! Tidakkah kau mengenalku" Aku
Cu Tong-liang, sahabatmu!"
"Kau sudah membunuh Cu Tong-liang sahabatku" Bagus, bertambah kuat alasanku
untuk membunuhmu!" Lalu sambil membentak, ujung tombak Pang Sebun meluncur ganas ke leher Cu Tong-liang. Ketika
Cu Tong-liang menghindar, pangkal tangkai
tombak berganti menyambar dahsyat.
Sambil mengelak, Cu Tong-liang heran bukan
main melihat kelakuan Pang Se-bun itu. Panutan
kota Seng-tin ini kok begini tindakannya" Seperti
orang tidak sadar. Cu Tong-liang dikira Beng Hek503
hou, dan ketika Cu Tong-liang menjelaskan siapa
dirinya, malah dikiranya Beng Hek-hou mengaku
sudah membunuh Cu Tong-liang.... aneh betul.
Sudah gilakah Pang Se-bun"
Heran atau tidak heran, Cu Tong-liang benarbenar harus bekerja keras menyelamatkan diri dari
labrakan Pang Se-bun yang makin lama makin
ganas. Secara normal, Cu Tong-liang jau lebih terlatih
berkelahi dari Pang Se bun. Cu Tong-liang adalah
mantan perwira Kaisar yang sudah berpengalaman
dalam ratusan pengalaman berbahaya. Tetapi Cu
Tong-liang sadar bahwa sejak awal segalanya
sudah tidak normal. Pang Se-bun sampai mengira
Cu Tong-lian sebagai Beng Hek-houw itu saja
sudah tidak normal. Sebelumnya juga Cu Tong
liang sudah menjumpai kejadian tidak normal di
rumah keluarga Yao, di mana Yao Kang-beng
menyangka adik perempuannya dan pembantunya
sebagai "dua siluman". Dan dalam pertarungannya
dengan Pang Se-bun sekarang, juga tidak berjalan
secara normal. Cu Tong-liang harus berpontang-panting menyelamatkan diri dari serangan membadai Pang
Se-bun. Cu Tong-lian amat cepat geraknya, tetapi
Pang Se-bun lebih cepat. Pang Se-bun begitu cepat
sehingga seolah berubah menjadi manusia
berlengan tiga pasang dan memegang tiga tombak,
saking cepat gerakannya. Cu Tong-liang yang
sedikit banyak tahu "keanehan" Pang Se-bun, tahu
bahwa saat itu Pang Se-bun sudah berada total di
bawah pengaruh "sesuatu" yang oleh Pang Se-bun
504 sering diceritakan sebagai "Pendekar tombak dari
abad silam", Banyak orang-orang di pinggir jalan menonton
perkelahian itu. Tidak sedikit yang sambil
berkomat-kamit membaca penolak "doa penolak
siluman" ajaran Wong Lu-Siok, atau sekedar
memegangi benda "suci" di depan tubuh sebagai
pelindung diri. Cu Tong-liang yang sedang amat terdesak itu
melihat di antara penonton banyak pengawalpengawai kota yang sudah dikenal Cu Tong-liang.
Kepada mereka, Cu Tong-liang berteriak, "He,
bantu aku sedikit, jelaskan kepada Guru Muda
Pang kalian bahwa aku bukan Beng Hek hou, aku
adalah sahabat kalian, sahabatnya juga."
Karena sambil berbicara, konsentrasinya dalam
pertarungan sedikit mengendor, maka pundaknya
tersodok keras oleh ujung tombak Pang Se-bun
sehingga Cu Tong liang sempoyongan. Belum
sempat berdiri tetap, kaki Pang Se-bun menghujam
keras ke perut Cu Tong-liang sehingga Cu Tongliang terbungkuk dan terpental beberapa langkah
di tanah. Pang Se-bun berseru, "Mampuslah sekarang
kau, Beng Hek-hou!" Ia melompat dan tombaknya meluncur dengan
ujungnya ke bawah, siap "memaku" tubuh Cu
Tong-liang dengan permukaan tanah. Penontonpenonton di tepi jalan bersorak mendukung Pang
Se-bun, sebab di mata mereka yang kelihatan
adalah Beng Hek-hou, bukan Cu Tong-liang yang
mereka kenal. Ketika Cu Tong-liang berteriak505
teriak tadi, yang terdengar di kuping mereka bukan
kata-kata seperti yang diucapkan Cu Tong-liang,
melainkan ancaman Beng Hek-hou, bahkan geram
yang mirip suara macan. Namun saat ujung tombak Pang Se-bun hampir
menembus dada Cu Tong-liang, dan tak ada
kesempatan sedikit pun bagi Cu Tong-liang untuk
menyelamatkan nyawanya, Pang Se-bun tiba-tiba
melihat bahwa yang hendak ditikamnya itu adalah
Cu Tong-liang, bukan Beng Hek hou.
Sekuat tenaga Pang Se-bun yang amat kaget itu
berusaha menyimpangkan ujung tombaknya.
Gerakan yang terlalu spontan dan tanpa persiapan
itu membuat tubuh Pang Se-bun terbanting ke
samping dan bergulingan, tetapi tombaknya tidak
mengenai Cu Tong-liang. Tertatih Pang Se-bun bangkit duduk, dengan
terheran-heran ia menanyai Cu tong liang,
"Saudara Cu, apa yang terjadi" Di mana Beng Hekhou?"
Cu Tong-liang pun garuk-garuk kepala karena
sama bingungnya dengan Pang Se-bun. Dengan
agak jengkel Cu Tong-liang menjawab, "Tidak ada
Beng Hek-hou disini. Dari tadi kududuk di warung
bubur kacang itu dan tidak kulihat Beng Hek-hou.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saudara Pang, yang baru saja yang kau serang
mati-matian dan amat sengit adalah aku, bukan
Beng Hek-hou." "Apa?" 506 "Ya, Begitulah. Tanya orang-orang itu.." kata Cu
Tong-liang sambil menuding orang-orang Seng-tin
yang tadi menyaksikan perkelahian.
Pang Se-bun menyapukan pandangan ke arah
orang-orang itu, dengan suara bimbang karena
meragukan kewarasan otaknya sendiri. "Saudarasaudara warga Seng-tin, apa yang kalian lihat tadi"
Apakah kalian melihat aku bertempur dengan Beng
Hek-hou, atau dengan Tuan Cu ini?"
Orang-orang yang ditanya juga bingung, sebab
mereka pun tadi melihat Pang Se-bun bertempur
melawan Beng Hek-hou, entah bagaimana, tahutahu "Beng Hek-hou"nya berubah jadi Cu Tongliang yang mereka kenal. Perubahan pandangan
yang tak masuk akal itu membuat mereka hanya
bisa membungkam ketika ditanya Pang Se-bun.
Orang-orang itu tercekam dalam kebingungan
massal, dan tanpa menjawab pertanyaan Pang Sebun, satu demi satu mereka mengeloyor pergi.
Yang paling bingung sebenarnya adalah Pang Sebun sebab keterangan tentang Beng Hek-hou itu
diperoleh dari A-kun puterinya, dan A-kun
memperolehnya dari A-hwe, sedangkan A-hwe
adalah "juru bicara kerajaan dewa-dewa di langit",
lalu siapa yang bohong" A-kun, A-hwe, atau "para
dewa?" Sementara itu, di dalam warung, Tabib Kian
juga terheran-heran tetapi keheranannya ditujukan
kepada Liu. Yok, lewat sorot matanya yang tak
habis mengerti. Sebab beberapa menit yang lalu,
Tabib Kian melihat Liu Yok memandang ke luar
jendela warung dan berkata perlahan, "Kalian
507 mahluk-mahluk keparat yang membingungkan
pikiran manusia dan mengacaukan panca indera,
kalian kubelenggu. Selubung gaib kalian atas
pikiran dan panca indera orang-orang ini,
kukoyakkan hancur." Tabib Kian bertanya-tanya
dalam hati, kepada siapa Liu Yok berbicara"
Apakah kata-katanya ada hubungannya dengan
Pang Se-Bun yang pulih pikirannya dan Panca
Inderanya sehingga tidak lagi menganggapnya
sebagai Beng Hek-hou" Jadi kalau begitu, yang
dilakukan Liu Yok itu adalah suatu kegiatan yang
menimbulkan dampak kuat di alam gaib, di alam
kasar hanya tindakan amat sepele, hanya
berbicara keudara kosong di luar jendela"
Yang membuat Tabib Kian masih ragu, ialah
karena Liu Yok melakukan semuanya itu dengan
gaya yang tidak anggun sama sekali. Bahkan
waktu mengucapkan juga mulutnya masih ada
bubur kacang yang belum ditelan kakinya masih di
atas bangku, dan habis mengucapkan itu dia
meneruskan makan bubur kacang-nya dengan
gaya tidak terjadi apa-apa. Soalnya Tabib Kian
membayangkan kalau seorang ahli ilmu gaib
mempraktekkan ilmunya, biasanya pakai sesajen,
melakukan gerak-geriknya dengan gaya, bukan
seperti Liu Yok yang seenaknya.
Sementara itu, di luar warung, Pang Se-bun
telah membangunkan Cu Tong-liang disertai
permintaan maaf tak habis-habisnya. Biarpun
masih mendongkol, Cu Tong-liang memaafkannya
juga. 508 "Saudara Cu, ke beberapa hari ini?" mana saja kau selama Cu Tong-liang berdebar-debar ingat pengalamannya "menolong Siauw Hiang-bwe",
entah Pang Se-bun dan orang-orang Seng-tin
lainnya mengetahuinya atau tidak" Jawabnya,
"Aku di rumah Tabib Kian,"
"Sekarang Saudara Cu ke Seng-tin untuk apa?"
"Aku... hanya mengantarkan Paman Tabib."
"Aku heran bisa terjadi peristiwa seperti tadi.
Aku penasaran dan ingin memperoleh jawaban.
Saudara Cu, kataku punya teman yang agak
paham soal-soal aneh ini, yang namanya Liu Yok,
maukah Saudara mengantarku menemuinya?"
Cu Tong-liang merasa agak geli dalam hati
mendengar kata-kata Pang Se-bun itu. Cu Tongliang yang sekian lama sama-sama Liu Yok,
belakangan ini sedang condong mengagumi Wong
Lu-siok, sementara Pang Se-bun yang bahkan
sudah diajari beberapa macam "ilmu sakti" oleh
Wong Lu-siok, agaknya malah mulai tertarik
kepada Liu Yok meskipun baru mendengar
namanya. Ada yang tersembunyi dalam hati Pang
Se-bun ialah, ia mulai merasakan ajaran Wong Lusiok itu ada yang kurang beres. Cuma kurang
beresnya di bagian yang mana, Pang Se-bun belum
jelas. Sahut Cu Tong-liang, "Saudara Pang, saat ini
Saudara Liu sedang duduk di dalam warung."
Pang Se-bun nampak bergairah sekali. "Aku
ingin berbicara dengan Guru Liu...."
509 "Jangan memanggilnya 'guru' kepadanya, dia
tidak suka...." "Lalu harus panggil apa?"
"Panggil 'saudara' seperti antara kita."
Pang Se-bun mengangguk sambil melangkah ke
dalam warung. Dengan isyarat gerakan tangannya,
ia menyuruh kedua orang pengawal kota yang
mengikutinya tadi pergi. Ketika Pang Se-bun hendak melangkah masuk
ke dalam warung, Cu Tong-liang kembali
memperingatkannya, "Tombakmu lebih baik jangan
dibawa masuk, Saudara Pang. Saudara Liu juga
tidak senang melihat senjata."
"Kalau senjata membela hak?" untuk membela diri atau "Dia tetap tidak suka. Baginya, senjata tetap
senjata, tetap saja alat untuk membunuh."
"Aneh benar orang ini...." kata Pang Se-bun
hanya dalam hatinya, namun ia tidak membawa
masuk tombaknya, melainkan disandarkannya di
ambang pintu sebelah luar.
Tiba di depan meja tempat Liu Yok dan Tabib
Kian masih makan bubur kacang, Cu Tong-liang
memperkenalkan, "Saudara Liu, kukenalkan
kepadamu Saudara Pang, tokoh terkemuka di kota
ini. Dan Saudara Pang, inilah Saudara Liu Yok."
Liu Yok duduk seenaknya menghadapi penguasa-penguasa gaib di Seng-tin kini ketika
berhadapan dengan "mahluk darah-daging" Pang
Se-bun, memberikan sikap hormat yang 510 selayaknya. Ia membungkuk hormat
menjura, "Salamku untuk Kakak Pang."
sambil Tanpa bertele-tele Liu Yok langsung menunjukkan sikap persaudaraannya dengan
memanggil "kakak" kepada Pang Se-bun.
Pang Se-bun merasakan jiwanya hangat segar
oleh sikap Liu Yok itu. "Aku merasa sangat
beruntung berjumpa dengan pemegang 'rahasia
langit' seperti Saudara Liu."
"Jangan menyanjungku, Kakak Pang, sanjunglah Yang Maha Menganugerahkan pengetahuan itu kepada umat manusia. Silakan
duduk." Pang Se-bun dan Tabib Kian sudah lama saling
kenal, mereka bertukar salam sebelum Pang Sebun duduk.
Si Pemilik Warung dengan sangat hormat
mendekati Pang Se-bun dan menanyakan pesanan.
Si Tukang Warung sadar, yang dihadapinya adalah
seorang pembantu terpercaya dari Wong Lu-siok Si
"utusan langit". Si Tukang Warung kuatir kalau
kurang hormat kepada Pang Se-bun akan
mengakibatkan bencana dalam kehidupannya.
Apalagi Si Guru Muda Pang ini adalah ayah dari Akun yang perkataannya ditakuti orang-orang Sengtin.
Namun, untuk pertama kalinya sejak ajaran
Wong Lu-siok dianut di kota itu, entah kenapa
Pang Se-bun merasa risih dengan penghormatan
berlebihan dari Si Tukang Warung. Perasaan Pang
Se-bun itu mungkin karena baru saja mendengar
511 dari Cu Tong-liang tentang Liu Yok yang tidak mau
dipanggil "guru" dan ingin bersaudara dengan
semua orang. Ketika Pang Se-bun menyebutkan pesanannya,
Si Tukang Warung dengan, kegembiraan meluapluap menyediakan pesanan itu. Ia berharap
warungnya akan mendapat rejeki besar karena
dikunjungi orang dekat dari "utusan langit".
Setelah duduk semuanya, langsung saja Pang
Se-bun bertanya kepada Liu Yok, "Saudara Liu,
kudengar dari Saudara Cu bahwa kau ini juga
punya semacam... kemampuan ajaib seperti Guru
Wong"!" Liu Yok menggelengkan kepala. "Barangkali
Kakak Pang salah dengar. Aku tidak punya
kemampuan apa-apa. Aku hanya sekedar menuruti
pimpinan-Nya. Apa-apa yang berasal dari diriku
sendiri, tak ada artinya."
Pang Se-bun bingung mendengar jawaban Liu
Yok itu, sehingga Cu Tong liang harus
membantunya bicara, "Saudara Liu, Saudara Pang
ini sedang bingung oleh peristiwa tadi, dan
membutuhkan jawaban yang mudah diterima."
Liu Yok mengangguk, dan menjawab jelas,
"Singkatnya, peristiwa-peritiwa ganjil di Seng-tin
hari ini adalah akibat kemarahan mahluk-mahluk
gaib yang menguasai kota ini. Kemarahan mereka
mempengaruhi manusia-manusia yang mereka
kendalikan, dan mahluk-mahluk gaib itu ingin
menimbulkan kekacauan agar manusia-manusia
saling mencelakai." 512 Liu Yok berkata begitu ringan, tanpa bersusah
payah hendak menyodorkan bukti yang bisa
diterima akal. Ia bicara dengan sikap "mau
dipercaya ya syukur, tidak dipercaya ya terserah".
Meskipun demikian cara Liu Yok bicara, di
kedalaman jiwa Pang Se-bun terasa ada sesuatu
yang meneguhkan kata-kata Liu Yok dan membuat
Pang Se-bun mempercayainya.
Pang Se-bun jadi berkeringat dingin mendengar
berita buruk tentang kemarahan mahluk-mahluk
gaib penguasa kota itu, ia membayangkan kota
Seng-tin bakal kena bencana besar.
"Para dewa dan bidadari, para panglima langit
dan bangsawan-bangsawan kerajaan langit marah?" tanya Pang Se-bun ketakutan. "Oh, marah
kepada siapa mereka?"
"Kepadaku." sahut Liu Yok sambil menyendok
bubur kacangnya dan menyuapkannya ke mulutnya dan mengunyah dengan amat nikmat.
Pang Se-bun tercengang. Liu Yok ini sedang
menimbulkan amarah kerajaan langit kok begini
santai sikapnya" Tidakkah Liu Yok tahu akibatnya
kalau menimbulkan amarah mahluk-mahluk tak
terlihat yang "berkuasa atas mati hidup manusia"
itu" "Saudara Liu, dosa besar apa yang sudah kau
lakukan, sehingga menimbulkan kemurkaan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka?" "Bukan aku yang berdosa, tetapi mereka.
Mereka pernah bersama Si Malaikat Durhaka
memberontak kepada kekuasaan Yang Maha
513 Kuasa, lalu terbuang dari surga. Di bumi mereka
menyesatkan manusia dengan berbagai agama dan
filsafat palsu. Dan mereka marah kepadaku,
karena aku membawa bukuman-hukuman Yang
Maha Kuasa, Raja Segala Rajaku, Panglima
Tertinggiku, untuk mahluk-mahluk jahat itu.
Malaikat-malaikat buangan itu."
Inilah yang dikuatirkan Cu Tong-liang, sehingga
ia cepat-cepat berkata, "Saudara Liu, kita harus
menghargai orang-orang Seng-tin dengan keyakinan mereka." "Aku menghormati manusia sebagai mahluk
ciptaan termulia. Karena penghormatanku kepada
martabat manusia itulah aku sangat marah kepada
mahluk-mahluk yang merampas kebebasan jiwa
manusia, menunggangi manusia untuk melakukan
kehendak mahluk-mahluk itu dan bukan kehendak manusia sendiri, lebih buruk lagi,
menuntut manusia untuk bersujud kepada
mahluk-mahluk gaib itu."
"Saudara Liu, aku kira Saudara Pang sulit
mengikuti jalan pikiranmu itu."
Cu Tong-liang mencoba "mengerem" Liu Yok
karena kuatir Pang Se-bun marah. Tak terduga
Pang Se-bun, meskipun mukanya agak tegang dan
pucat karena kata-kata Liu Yok tadi, malah
berkata, "Tidak apa-apa, Saudara Cu. Aku tetap
bisa memahami apa yang dikatakan oleh Saudara
Liu." Hanya dalam hatinya, Pang Se-bun mengakui
kebenaran kata-kata Liu Yok tentang mahlukmahluk gaib yang menunggangi manusia untuk
514 melakukan kehendak mahluk-mahluk itu, sehingga manusianya jadi berkelakuan lain dari
kepribadian aselinya. Pang Se-bun melihat
contohnya sehari-hari di Seng-tin. A-kun puterinya
yang makin berkuasa dan makin memerintah
semua orang termasuk kedua orang tuanya
sendiri, Pang Se-bun merasa seolah kehilangan
puterinya itu semenjak A-kun menjadi "anak
langit". Juga Yao Kang-beng, Lui Kong-sim, Ek
Yam-lam, dan banyak orang Seng-tin lainnya yang
rasanya jadi berkepribadian asing. Bahkan tidak
terhindari, Pang Se-bun harus mengaku jujur
dalam hati bahwa dirinya pun tak terhindar dari
pengaruh "kepribadian asing" yang sering membuat
dirinya bertingkah laku di luar kemauan sendiri.
Contoh yang "masih hangat" ialah ketika tadi ia
menyerang Cu Tong-liang dengan dahsyat karena
menganggap Cu Tong-liang sebagai Beng Hek-hou.
Sesuatu yang amat tidak masuk akal, tetapi
nyatanya sudah terjadi. Kemudian tanya Pang se-bun terbata-bata,
"Saudara Liu, kalau mahluk-mahluk... eh,
penguasa-penguasa kerajaan langit itu marah
kepadamu, lalu apakah... apakah Saudara Liu
tidak akan... tidak akan... celaka?"
Liu Yok menggeleng ringan. "Tidak. Kalau aku
marah, barulah mereka celaka, sebab kemarahanku adalah kemarahan-Nya."
"Saudara tadi mengatakan... mereka itu
mahluk-mahiuk jahat. Tetapi nyatanya mereka
membebaskan Seng-tin dari Beng Hek-hou yang
memiliki sihir hitam."
515 "Maaf kukatakan terang-terangan, Kakak Pang.
Orang-orang Seng-tin seperti lepas dari mulut
macan lalu masuk ke mulut buaya. Macannya dan
buayanya satu majikan, macan ibarat tangan
kirinya, buaya ibarat tangan kanannya."
Pang Se-bun termangu, benarkah "mahlukmahiuk suci" yang selama ini dipuja-puja untuk
menangkis kembalinya "siluman-siluman" ternyata
"satu majikan" dengan siluman-siluman peliharaannya Beng Hek-hou"
Cu Tong-liang sudah tegang sendiri, kuatir
percakapan Liu Yok dan Pang Se-bun itu bisa
membuat panas suasana Seng-tin.
Tiba-tiba terdengar suara di jalanan, "Guru
Muda Pang!" Lalu nampak Yao Pek-hoat, lelaki setengah tua
yang terkenal sebagai saudagar pengembara itu.
Lelaki setengah abad itu tengah melangkah
bergegas-gegas ke warung bubur.
Pang Se-bun bangkit dan menyambut keluar
pintu sebagai tanda hormat orang yang lebih
muda. "Ada apa, Paman Yao?"
Pang Se-bun sebenarnya kikuk juga dipanggil
"Guru Muda" oleh lelaki yang seangkatan dengan
ayahnya ini. Lebih dulu ia persilakan Yao Kangbeng duduk di dalam warung, bersama-sama Cu
Tong-liang, Tabib Kian dan Liu Yok. Melihat ketiga
orang yang tadi singgah sebentar di rumahnya ini,
Yao Pek-hoat ragu sejenak. Tetapi ia tidak
berwatak seperti isterinya yang suka menutupi
kekurangan-kekurangan dalam keluarganya, 516 lagipula menganggap bahwa Tabib Kian bertiga toh
tadi sudah memergoki tingkah laku Yao Kang-beng
puteranya, jadi tak ada yang perlu ditutupi lagi.
Bersambung jilid XIII. *** Jilid 13 >o< DENGAN ringkas dan suara bernada gugup, Yao
Pek-hoat menceritakan kepada Pang Se-bun
tentang kelakuan Yao Kang-beng puteranya yang
hampir membunuh adik perempuannya sendiri
dengan pedang, karena menganggap adiknya
sebagai siluman. Kisah itu ditutup dengan suara
bernada memohon, "Guru Muda Pang, tolonglah
keluarga kami." Sekali lagi Pang Se-bun melihat bukti peristiwa
penyesatan pandangan dan pikiran. Yang dialami
Yao Kang-beng tak berbeda dengan yang baru saja
dialami Pang Se-bun sendiri. Pang Se-bun
menyangka Cu Tong-liang sebagai Beng Hek-hou,
sedangkan Yao Kang-beng menyangka adiknya
siluman dan hampir membunuhnya.
"Sungguh menakutkan kalau sampai warga
Seng-tin banyak yang mengalami ini. Bagaimana
kalau ada yang menyangka bayinya sebagai ayam
lalu menyembelihnya?" pikir Pang Se-bun.
"Guru Muda Pang, bagaimana?" Yao Kang-beng
memohon. 517 "Nanti kucoba bicara kepada Saudara Yao.
Paman tenang-tenang sajalah menunggu di
rumah...." cuma itu yang bisa dikatakan Pang Sebun. Mau menawarkan jalan keluar yang
bagaimana, sedang Pang Se-bun sendiri baru saja
mengalami salah lihat sampai hampir membunuh
Cu Tong-liang" Saat itu Liu Yok bicara pula, "Jangan kuatir,
Paman. Saat ini ada bala tentara yang jauh lebih
besar dari yang menguasai kota ini secara tak
terlihat. Mereka menjaga agar orang-orang kita ini
tidak saling mencelakakan."
"Bala tentara?" serempak Tabib Kian, Yao Pekhoat, Pang Se-bun dan bahkan Cu Tong-liang yang
sedikit banyak sudah tahu "keanehan" Liu Yok itu
pun bertanya tercengang. "Mana tentaranya?"
"Sama tak terlihatnya dengan tentara gaib yang
menguasai Seng-tin." sahut Liu Yok.
"Orang gila dari mana lagi ini?" pikir Pek-hoat.
Namun setelah ditenangkan oleh Pang Se-bun, dia
pun pulang ke rumahnya. Kemudian Pang Se-bun berkata kepada Liu Yok,
"Saudara Liu, aku percaya bahwa pulihnya
pandangan mataku tadi karena tindakanmu. Kalau
tidak, pasti aku masih menyangka Saudara Cu
sebagai Beng Hek-hou. Saudara Liu, maukah kau
memberi muka kepadaku untuk menjelaskan lebih
lanjut tentang kejadian-kejadian ganjil di kota ini?"
Liu Yok mengangguk. Bersamaan dengan ketika Pang Se-bun di
warung bubur mengundang Liu Yok ke rumahnya,
518 di rumah keluarga Pang, Si Cilik A-kun yang
sedang duduk memangku boneka porselennya itu
tiba-tiba tersentak kaget. Wajahnya memucat
ketakutan, lalu ia merosot turun dari kursinya dan
berlari sekencangnya keluar rumah.
Nyonya Pang terkejut dan meneriakinya, "A-kun,
mau ke mana?" Jawab A-kun sambil terus berlari, "Ada dewa
jahat yang hendak mencelakakan A-hwe! A-hwe
adalah teman baikku, tidak boleh dicelakakan
siapa saja!" A-kun berlari menuju ke rumah milik almarhum
Ciu Koan dulu. Di sebuah ruangan tengah dari rumah
almarhum Ciu Koan, sedang terjadi suatu
pembicaraan yang serius antara Ek Yam-lam, CiuBian-Li, Yao Kang-beng, Lui Kong-sim dan
perempuan setengah baya berwajah dingin angker
yang adalah adik perempuan dari almarhum Ciu
Koan. Yao Kang-beng yang masih membawa pedangnya dari rumah itu baru saja menceritakan
bahwa di rumahnya ada "dua siluman" yang
hendak dibunuhnya, tetapi ayah ibunya mencegahnya karena mengatakan bahwa "dua
siluman" itu adalah Yao Sin-lan dan Hong-hong si
pelayan cilik. "Ayah dan Ibu pasti sudah disihir matanya oleh
siluman-siluman itu, sehingga sampai menganggap
mereka sebagai Sin-lan dan Hong-hong," demikian
519 Yao Kang-beng menutup menyalahkan ayah ibunya. ceritanya dengan "Kota kita sedang menghadapi penyusupan
kekuatan-kekuatan jahat kelas berat...." desis Bibi
Ciu kuatir. "Kita harus mengadakan persiapan
yang memadai...." "Semua ini adalah salahnya Kakak Pang yang
berhati lembek itu," Lui Kong-sim berkomentar dan
langsung menyalahkan, seperti biasanya. "Ia
terlalu terbuka kepada unsur asing yang menodai
ajaran suci kita. Coba pikir, Cu Tong-liang itu
siapa" Bukankah orang asing itu tidak sepaham
dengan kita" Tetapi oleh Kakak Pang dia disambut
dengan bersahabat, malah dijadikan pelatih Penghoat (teori militer) untuk pengawal kota. Ini
keterlaluan. Para pengawal itu adalah prajuritprajurit para dewa sendiri, mana boleh dilatih
orang najis macam Cu Tong-liang" Dan lihatlah
akibatnya, sesetelah Cu Tong-liang datanglah Siau
Hiang-bwe, utusan para siluman yang membawa
hawa jahat untuk kota ini, sampai-sampai adik
dan anak dari Kakak Ciok Yan-lim meninggal oleh
hawa jahat itu. Sesudah Siau Hiang-bwe kita
penjarakan, datanglah pentolan yang lebih jahat
yang namanya Liu Yok. Sudah pasti kedatangannya untuk menggoyahkan keyakinan
kota ini, untuk menghancurkan agama suci kita!"
Kata-kata Liu Kong-sim yang membakar hati
seperti api disiram minyak ketika A-kun datang


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan langsung mengadu sambil menangis, "Ayah
jahat! Ayah mengundang dewa jahat bernama Liu
Yok ke rumah, padahal A-hwe sudah bilang
520 kepadaku bahwa dewa jahat itu bermaksud
menyakiti dan menganiaya A-hwe! Tak ada yang
boleh menganiaya A-hwe!"
Kalau anak kecil lain yang berkeluh-kesah
seperti itu, boleh saja didiamkan. Tetapi orangorang Seng-tin menganggap A-Kun ini lain. Inilah
"juru bicara kerajaan langit" yang kata-katanya
tabu untuk diabaikan. Sudah terbukti beberapa
kali, yang berani mengabaikan akan memperoleh
bencana. Kata Lui Kong-sim, "Nah, apa sudah kubilang"
Kakak Pang keterlaluan. Orang yang menentang
kerajaan langit itu malah diundang ke rumahnya
dan diperlakukan sebagai tamu terhormat!"
Di antara orang-orang yang sedang berbincang
itu, Ek Yam-lam yang terhitung paling tenang.
Dengan terheran-heran dia menangkap suatu
keganjilan. Orang-orang itu tiba-tiba saja begitu
sering menyebut nama Liu Yok, padahal
sebelumnya tidak pernah sekalipun nama itu
disebut-sebut. Sekarang tiba-tiba Yao Kang-beng
menyebutnya sebagai "penyihir maha jahat" dan
Lui Kong-sim menyebutnya "orang yang akan
menghancurkan agama suci" seolah-olah Lui Kongsim sudah tahu jauh sebelumnya, disusul A-kun
yang langsung menyebutnya sebagai "dewa jahat"
padahal kalau mendengar cerita A-kun berikutnya
ternyata Liu Yok itu bahkan belum menginjak
rumah keluarga Pang ketika A-kun kabur terbiritbirit mengungsikan "A-hwe".
Ek Yam-lam merasa dalam hati, kok seolah-olah
ada "pihak tertentu" yang tiba-tiba saja menaruh
521 komentar-komentar tentang Liu Yok ke bibir orangorang itu. "Pihak tertentu" yang tentunya tidak
menyukai Liu Yok, sebab komentar tentang Liu Yok
bernada negatif semuanya. Dan siapakah "pihak
tertentu" itu" Apakah mahluk-mahluk gaib yang
menguasai Seng-tin tanpa terlihat itu"
"Kita harus bertindak cepat sebelum bencana
mendahului kota!" kata Lui Kong-sim sambil
memukul meja. "Bibi Ciu, mintakan restu kepada
Guru Wong, aku akan meringkus Liu Yok di rumah
Kakak Pang sekarang juga seperti dulu aku
tangkap dan penjarakan Siau Hiang-bwe!"
Tetapi sebelum Lui Kong-sim meninggalkan
kursinya, di ambang pintu sudah terdengar suara,
"Tidak perlu." Semua orang serempak menoleh, dan mereka
melihat Wong Lu-siok berdiri di ambang pintu.
Dandanannya yang serba putih seperti dulu itu tak
berubah, mulai dari topi, pakaian sampai sepatu.
Dandanan yang membuatnya seperti khayalan
orang tentang dewa dari langit itulah yang
mempesona orang-orang Seng-tin, bahkan sampai
kini pun masih. Tetapi wajahnya yang anggun,
bersih dan berjenggot indah itu sekarang kelihatan
agak kuyu dan pucat, nampak seperti kelelahan.
Belasan hari Wong Lu-siok mengurung diri di
kamar semedinya, bahkan orang-orang seperti Ek
Yam-lam, Ciu Bian-li serta Bibi Ciu yang sehariharinya berdiam di situ pun tidak pernah melihat
wajah Si Guru ini, kecuali mendengar suaranya
dari balik pintu tertutup yang memerintahkan ini
itu. Sekarang tiba-tiba tanpa diminta sudah
522 muncul sendiri dengan wajahnya yang kuyu,
apakah baru sakit tetapi berusaha menyembunyikannya dari mata orang-orang Sengtin agar ceritanya sebagai pembawa pesan dari
dewa-dewa tidak ternoda"
Bagaimanapun, ketika Wong Lu-siok muncul,
serempak orang-orang di ruang itu berlutut
menghormat sampai jidatnya menempel lantai. Tak
terkecuali adalah A-kun yang dimanjakan seantero
Seng-tin, sekarang juga harus bersikap sepatutnya
kepada "utusan langit" ini.
Kata Wong Lu-siok, "Kalian semua, ikut aku."
Orang-orang itu heran mendengar suara Wong
Lu-siok kok jadi kecil seperti suara perempuan"
Namun tak ada yang berani menanyakannya.
Mereka hanya bangkit lalu mengikuti Wong Lu-siok
meninggalkan ruangan itu.
Wong Lu-siok diikuti orang-orang itu menuju
sebuah ruangan besar yang dulunya adalah Lianbu-thia (balai latihan silat) ketika Ciu Koan masih
hidup dan mengajar silat. Tempat itulah yang
digunakan Wong Lu-siok mengurung diri belasan
hari. Kini, begitu orang-orang memasuki ruangan
setelah Wong Lu-siok sendiri membukakan
pintunya, semerbaklah bau dupa dan bunga yang
menusuk hidung. Di ujung ruangan, di seberang
pintu ada patung besar penguasa gaib yang oleh
Wong Lu-siok sering diterangkan sebagai "ratu
langit" alias "ibu semua ajaran di dunia" dengan
sesaji lengkap di depannya. Patung besar itu
523 seolah-olah begitu hidup dan
pengaruh yang menggetarkan.
memancarkan Ketika Wong Lu-siok tersungkur bersujud di
depan patung itu, semuanya mengikutinya. Lalu
mereka bersama-sama melagukan sebuah syair
sanjung puja yang sebelumnya sudah mereka
hapal, bahkan banyak warga Seng-tin yang juga
hapal. Selesai memuja, Wong Lu-siok berkata lagi
dengan suaranya yang tetap mirip wanita dan
mengherankan pendengar-pendengarnya itu, "Kalian diperkenankan bangkit oleh ibunda ratu."
Orang-orang itu baru berani bangkit, dan baru
sempat memperhatikan keadaan ruangan itu. Dan
mereka terheran-heran. Di ruangan itu tidak ada perabot lain seperti
meja atau kursi, semuanya disingkirkan. Yang
tertinggal hanyalah sebuah meja kecil di samping
altar "ratu langit" dan di atas meja kecil itu ada
tujuh buah patung dan tujuh buah topeng. Baik
wajah patung-patung maupun topeng-topeng itu
dikenal sebab sudah pernah diajarkan oleh Wong
Lu-siok sebagai "pembesar-pembesar kerajaan
gaib" yang diterangkan sekaligus dengan "jabatan"
dan "tugas" mereka atas menusia-manusia di
bumi. Tetapi di lantai ruangan yang seluas itu,
nampak ada sebuah peta besar, hampir seluruh
lantai. Dan kalau dilihat jalan-jalannya, loronglorongnya, letak rumah-rumahnya, itulah kota
Seng-tin. Miniatur kota Seng-tin.
524 Bukan itu saja, di setiap rumah itu juga ada
patung-patung tanah liat yang kecil-kecil, dibentuk
asal-asalan saja asal kelihatan ada kepala dan
badannya. Pada patung-patung kecil itu tergores
nama setiap penduduk Seng-tin. Ada ratusan
patung asal jadi itu, dan mereka semua menempati
rumah masing-masing. Patung yang bertuliskan
nama Giok Yan-lim misalnya, yang ditempatkan di
rumah Ciok Yan-lim dalam denah miniatur Seng
tin ini. Kalau diteliti ternyata nama beberapa warga
kota yang sudah mati juga diikut-sertakan.
Ketika orang-orangnya memandangi denah dan
patung-patung kecil itu dengan terheran-heran,
Wong Lu-siok menerangkan, "Belasan hari aku
mendapat kehormatan berbicara dengan Sang
Ibunda Ratu, dan kulaksanakan perintahnya
secermat-cermatnya. Inilah yang harus kita
jalankan untuk memperkuat pengaruh ajaran suci
kepada jiwa orang-orang di Seng-tin."
Semua orang dengan seksama memperhatikan
Wong Lu-siok, lalu Wong Lu-siok menuding ke
meja kecil tempat patung-patung dan topengtopeng itu sambil berkata, "Kalian masing-masing
ambillah patung-patung maupun topeng-topeng
itu, setiap orang satu patung dan satu topeng, dari
yang kalian puja dan kalian mintai kekuatan setiap
hari." Yao Kang-beng yang memuja "dewa bermata
tiga" langsung mengambil patung dan topeng yang
berwujud sama dengan pujaannya. Ia percaya
tokoh dunia gaib itulah yang memberinya
"kesaktian mata ketiga" yang membuat ia dapat
525 "melihat siluman meskipun silumannya sedang
menyamar sebagai manusia".
Bibi Ciu memilih "dewi keadilan" yang
tampangnya seram dan dingin seperti dirinya
sendiri (atau dirinyalah yang sedikit demi sedikit
jadi seperti yang dipujanya)".
Keponakannya, Ciu Bian-li memilih "ratu
kegelapan malam" yang patung dan topengnya
berwajah cantik dan kakinya menginjak mega.
A-kun tidak ingin berpisah dengan "a-hwe"nya,
tetapi hatinya diliputi rasa gentar bukan main
ketika ia merasakan kemarahan "A-hwe" ditujukan
kepadanya. A-hwe memaksa A-kun untuk memilih,
tetapi A-kun melihat di antara patung-patung dan
topeng-topeng itu tidak ada yang seperti A-hwenya.
Namun di pinggir telinganya serasa ada bisikan
dan dorongan untuk, memilih patung dan topeng
berwujud bidadari berpakaian serba merah dan
sedang menari di tengah-tengah kobaran api.
"Itulah ujudku yang sebenarnya, bukan seperti
patung yang kau bawa-bawa itu...." demikian suara
bisikan itu. Ia merasa sedikit kecewa, jadi A-hwe selama ini
tampil di depannya tidak dengan wujud aselinya,
alias membohonginya" Tetapi di bawah sorot mata
yang mengancam dari patung besar di altar, A-kun
mengambil juga patung dan topeng "A-hwe dalam
wujud sebenarnya" itu, sementara patung kesayangannya ditaruh di meja.
Lui Kong-sim memilih patung dan topeng
seorang yang berdandan seperti panglima perang
jaman kuno, tetapi bersayap dua di punggungnya.
526 Juga bertaring, dengan tangan kanan memegang
petir dan tangan kiri memegang gumpalan bola api.
Terkesan oleh kegagahan mahluk itu, Lui Kong-sim
mengambilnya. Ek Yam-lam mengambil patung berujud seorang
tua berwajah cerah tersenyum, berjenggot putih
panjang, berjubah indah dan tangannya memegang
pena bulu. Wong Lu-siok sering menceritakan
mahluk suci yang satu ini sebagai "dewa ilmu
pengetahuan". Setelah semuanya mengambil, di meja kecil
tersisa patung seorang dewa yang agak aneh
ujudnya. Ujudnya seperti dua manusia yang saling
membelakangi lalu disatukan, bukan dengan tali,
tetapi dengan kulit dan daging. Jadi manusia
dengan dua muka dan dua dada tetapi tidak ada
punggung, tengkuk dan pantatnya. Lengannya ada
empat dan memegang, senjata yang berbeda-beda.
"Mari kita pakai topengnya," kata Wong Lu-siok,
dan ia sendiri mulai memakainya. Suatu keanehan,
bahwa Wong Lu-siok mengucapkan itu dengan
perasaan sangat enggan dan amat terpaksa, begitu
pula mimik wajahnya sebelum tertutup topeng
adalah mimik wajah seseorang yang sedang
digiring ke tempat penyiksaan.
Pengikut-pengikut dekatnya itu sebetulnya
merasa heran juga, namun tidak berani menanyakannya. Mereka pun memakai topeng
pilihan masing-masing, A-kun jadi kelihatan aneh,
sebab tubuhnya masih tubuh kecil kanak-kanak,
namun topeng itu dibuat untuk ukuran orang
527 dewasa. Ia jadi sesosok mahluk bertubuh cebol
bertampang dewasa. Wong Lu-siok lalu menentukan tempat auduk
mereka masing-masing, dalam posisi bersila,
mengitari miniatur Seng-tin itu. Patung-patung
kecil mereka ditaruh di depan mereka, dihadapkan
ke arah "Seng-tin", dengan demikian "Seng-tin"
seolah dikepung oleh tujuh mahluk suci yang
dilambangkan patung-patung itu, dan juga tujuh
orang yaitu Wong Lu-siok dan kawan-kawannya.
Lalu ketujuh orang itu bergandengan tangan dan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar suara Wong Lu-siok melengking bagaikan perempuan, "Kalian adalah tujuh
manusia yang kupilih langsung dari singgasanaku
di langit. Kalian abdi-abdiku, karena itu kutuntut
pengorbanan kalian untuk menjadi saluransaluran kekuatanku sampai Seng-tin benar-benar
takluk, karena selama ini Seng-tin belum benarbenar takluk. Masih ada orang macam Giam Lok
yang tidak mau tunduk kepadaku. Pengorbanan
kalian ialah, kalian tetap dalam posisi ini, tidak
makan dan tidak minum, memusatkan kekuatan
jiwa kalian untuk penaklukan Seng-tin. Jiwa
kalian adalah kereta perangku."
Keenam orang lainnya sudah tahu kalau Wong
Lu-siok mulai kesurupan, mereka juga merasakan
suhu ruangan itu menurun tajam sehingga
menjadi dingin, sayup-sayup ada angin bertiup
agak kencang dalam ruangan itu padahal semua
jendela dan pintu tertutup. Juga bau sejuta macam
bunga tetapi sekaligus juga bau belerang yang
menyengat hidung. 528 Suasana ruangan itu menciptakan dalam
bayangan pikiran Ek Yam-lam dan lain-lainnya,
bahwa sang ratu langit yang sering dikhotbahkan
oleh Wong Lu-siok benar-benar datang ke ruangan
itu. *** Selagi di bekas rumah guru silat Ciu Koan itu
terjadi kegiatan yang sifatnya gaib, maka di bekas
rumah Ek Yam-lam juga terjadi kegiatan
sekelompok orang yang sifatnya tidak gaib sama
sekali. Ada tujuh orang pemuda yang dipimpin Giam
Lok, habis berlatih silat selama berjam-jam dengan
tombak besi yang berat. Tubuh-tubuh lelaki-lelaki
muda tanpa baju itu nampak mengkilat kulitnya
karena keringat. Dan kini mereka semuanya
berteduh, sementara alat-alat latihan silat masih
bergeletakan di halaman belakang rumah bekas
kediaman Ek Yam-lam itu. Giam Lok nampak tidak sekurus waktu baru
sembuh dari sakit dulu, sekarang nampak mulai
pulih otot-ototnya yang tegap. Dalam belasan hari
ini memang sengaja Giam Lok latihan berat setiap
hari, dibarengi makan sebanyak-banyaknya. Makanannya dikirim oleh rekan-rekan yang
sepaham dengannya untuk "memenangkan kembali akal sehat di Seng-tin", sebab ibunya
sendiri tidak mau mengirim makanan kepada Giam
Lok. Selain latihan fisik di siang hari, di malam
hari Giam Lok juga latihan memupuk semangat
dengan merenungi dan meresapi nasehat-nasehat
almarhum gurunya, Ciu Koan, tentang semangat
529 kependekaran. Giam Lok yakin kalau seorang
pesilat yakin dalam jiwanya sendiri, pasti takkan
mudah dibanting-banting "dari jarak jauh" seperti
yang dialami Giam Lok dulu di halaman rumah
Bibi Kim. Giam Lok juga melakukan "pembinaan
mental" kepada rekan-rekannya itu.
Demikian pula siang itu, sambil mennyeka
keringat yang terus membanjir karena kerasnya
latihan tadi, Giam Lok menanyai teman-temannya,
"Teman-teman, masihkah kalian yakin bahwa
semangat kita yang tinggi akan mengatasi
hambatan apa pun" Termasuk kekuatan yang
dikatakan kekuatan gaib para dewa?"
"Tentu, kami tetap yakin. Tidakkah Kakak Giam
melihat bagaimana bersemangatnya kami latihan
tadi" Latihan yang begitu bersemangat, mana bisa
dilakukan oleh orang yang tidak yakin?"
"Benar, kesembuhan Kakak Giam dan Kakak Ho
membuktikan bahwa semangat manusia mempunyai kekuatan di atas segalanya!"
Ho Tong juga ada di kelompok itu. Ia senang,
bahwa ia mulai berteman lagi, terlepas sedikit demi
sedikit dari kenangan pahitnya sebagai orang gila
dulu. Namun ketika mendengar bahwa kesembuhannya dikait-kaitkan dengan "semangat
manusia yang mengatasi segalanya", Ho Tong
diam-diam tidak setuju. Ia merasa semangatnya
tidak punya andil apa-apa dalam kesembuhannya.
Ia hanya merasa berpindah dari suatu alam asing
yang gelap dan penuh mahluk menakutkan,
mendadak ke alam manusia kembali. Ia tidak
paham bagaimana bisa terjadi begitu, baru ketika
530 ia ketemu Si "nenek misterius" yang mengaku
diutus seorang bernama Siau Hiang-bwe yang juga
pernah sakit jiwa seperti Ho Tong, Ho Tong
diberitakan bahwa kesembuhannya bukan karena
ia bertekad dengan semangat sendiri untuk
sembuh, melainkan terjadi karena Siau Hiang-bwe
merelakan diri menjadi saluran untuk kesembuhan. Ho Tong tak paham tentang "saluran
kesembuhan" itu namun ia begitu mudah
mempercayai nenek itu. Itulah sebabnya Ho Tong
tidak sependapat dengan Giam Lok tentang
"semangat manusia mengatasi segalanya" itu,
hanya Ho Tong tidak mau mengatakannya karena
kuatir melemahkan tekad teman-temannya. Jadi,
meski Ho Tong ikut dalam kelompok Giam Lok ini
namun tidak benar-benar sependapat. Lebih tepat
kalau disebut Ho Tong bergabung hanya ingin
sekedar berteman daripada terkucil sebagai orang
yang pernah gila. "Kenapa Kakak Giam menanyakan tekad kami?"
tanya seorang anggota kelompok yang bernama In
Bun-san, sambil menggosok keringatnya pula.
Sahut Giam Lok, "Karena malam nanti kita akan
bertindak. Akan kita bakar rumah bekas kediaman
guru kita itu. Biar penduduk kota ini tahu bahwa
segala kepercayaan tahyul mereka itu omong
kosong." Mendengar itu, beberapa orang membungkam.
Giam Lok maklum, sebagian besar anggota
kelompoknya itu adalah bekas murid-murid Ciu
Koan, dan sedikit banyak masih ada ikatan batin
dengan rumah itu, biarpun rumah itu sekarang
531 digunakan untuk kegiatan Wong Lu-siok, Mendengar Giam Lok mengajak membakar rumah
itu, semuanya kaget juga.
Giam Lok berkata pula, "Aku maklumi perasaan
kita, tetapi sadarilah, rumah itu sudah dikeramatkan sedemikian rupa oleh saudarasaudara kita, warga Seng-tin, sehingga kehilangan
akal sehat mereka. Bahkan, tahukah kalian apa
yang dikatakan orang-orang Seng-tin pagi ini"
Omongan mereka sudah seperti orang tak berakal.
Coba dengar, ketika aku di pasar, aku dengar
beberapa orang membicarakan, katanya tadi
malam beberapa tetangga dari Paman Ou Siang si
tukang peti mati yang sudah almarhum itu
mendengar di rumah Paman Ou ada suara orang
bekerja dengan kayu dan palu, padahal rumah itu
kosong sejak Paman Ou meninggal. Lebih tidak
masuk akal, katanya pagi-pagi orang-orang
mendatangi rumah itu dan menemukan bahwa
semalam ada yang bekerja membuat peti mati di
rumah kosong itu. Lebih gila lagi, tanda ini
dikatakan isyarat dari langit segala. Ada yang
menafsirkan bahwa sebentar lagi peti mati akan
laris di Seng-tin, alias banyak orang yang akan
mati. Banyak orang jadi ketakutan."
"Benar, orang-orang jadi bertingkah-laku tak
masuk akal. Ada yang takut melangkahi pintu, dan
pamanku tidak berani melewati simpang tiga lebih
dari satu kali sehari, katanya itu pantangan yang
bisa mencelakakannya kalau dilanggar."
Beberapa orang lagi juga memberi kesaksian
tentang orang-orang yang jadi berkelakuan ganjil
532 sejak beberapa hari ini. Dari yang sekedar lucu
sampai yang sudah membahayakan nyawa orang
lain. Kalian dengar tentang Yao Kang-beng yang
hendak membunuh adiknya dengan alasan bahwa
adiknya itu siluman?"
"Bukan begitu ceritanya, Kakak Giam. Katanya,
Kakak Yao itu mendapat anugerah dari langit
berupa 'mata ketiga' dan ia benar-benar melihat
siluman." "Omong kosong itu!" tukas Giam Lok setengah
membentak sehingga temannya yang sedang bicara
itu terbungkam takut. "Itu dongeng tak masuk akal! Itu hanya akalakalannya Yao Kang-beng agar dikira benar-benar
punya ilmu gaib, supaya orang-orang takut
kepadanya! Jangan sedikit pun pikiran kita
dipengaruhi oleh itu! Kita hanya berhadapan
dengan cara berpikir yang keblinger dan tidak ada
itu yang namanya mahluk-mahluk gaib segala!"
"Tetapi... perlukah kita membakar bekas rumah
Guru?" "Terpaksa, kita tidak boleh membiarkan tingkah
aneh orang-orang itu sampai membuat ada nyawa
melayang. Aku percaya, arwah guru kita sendiri
akan setuju. Kalau tempat itu dibakar, runtuhlah
segala tahyul di kota kita ini."
Akhirnya semua menyetujui, meski ada juga
yang masih ragu dalam hati seperti Ho Tong. Kata
Giam Lok, "Nah, kita istirahat agar nanti malam
kita bisa bertindak dalam kondisi segar. Ingat,
bulatkan semangat. Tak ada yang bisa 533 menaklukkan kita!" atau mempermainkan semangat Orang-orang itu pun bubar pulang ke rumah
masing-masing. Ketika Giam Lok melangkah masuk ke dalam
rumah bekas kediaman Ek Yam-lam, dia
tercengang melihat bagian dalam rumah yang
berantakan tadinya sekarang sudah rapi. Bahkan
di atas meja dapur sudah ada masakan lezat yang
tak pernah terbayangkan. Memang setengah harian
Giam Lok di halaman belakang, berlatih bersama
teman-temannya, dan kini ia dalam keadaan lapar.
Rasa-rasanya Giam Lok langsung bisa menebak
siapa yang melakukan. Giam Lok pun memanggilmanggil, "Nek... Nenek...."
Giam Lok langsung menduga kepada Si Nenek
tak dikenal yang singgah di situ belasan hari yang
lalu, kemudian pergi entah ke mana sejak Giam
Lok memutuskan untuk menggunakan uang
pemberian Si Nenek untuk membuat tombak besi
ketimbang untuk membelikan hadiah bagi ibunya
demi memperbaiki hubungan.
Sejak itu Si Nenek tidak pernah lagi menemui
Giam Lok. Kini Si Nenek tiba-tiba muncul di ambang
dapur, lalu berkata kepada Giam Lok,
mendengar rencanamu, anak muda. Kau
dengan membakar rumah itu, kau
membereskan semua masalah?"
pintu "Aku

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikir akan "Aku yakin, ya."
534 Si Nenek geleng-geleng kepala, "Kuberi tahu
caranya. Kalian semua orang-orang Seng-tin saling
memaafkan, saling memperbaiki hubungan, tidak
perlu saling menuntut siapa benar siapa salah.
Nah, mulailah dengan Ibumu. Nanti pengaruh
jahat itu akan menghilang dari Seng-tin."
Giam Lok hanya tertawa mendengar Si Nenek
yang kedengaran anjurannya terlalu menganggap
gampang masalahnya, terlalu gegabah dan
dangkal. Meski Giam Lok heran juga, tadi tidak ada
kegiatan apa-apa di dapur, kok tahu-tahu sudah
tersedia hidangan selengkap ini"
"Masakan ini untukku, Nek?" Giam Lok coba
mengalihkan pembicaraan. "Ya. Tetapi rencanamu." bukan berarti aku setuju "Mari makan bersama-sama, Nek," ajak Giam
Lok yang agaknya memang enggan membicarakan
rencananya dengan nenek yang "sangat baik hati
tapi terlalu meremehkan masalah besar Seng-tin"
ini. Wajah Si Nenek nampak murung dan kurang
puas mendapat jawaban Giam Lok yang serba
menghindar itu, tetapi ia duduk juga di kursi
makan. Ia mencedok sedikit makanan air semacam
sup, lalu sambil makan dia tetap menggiring Giam
Lok ke masalah yang ingin dibicarakannya,
"Kau tidak pecaya bahwa keluarga yang utuh
dan saling mengasihi adalah benteng yang amat
kuat, bahkan terhadap kekuatan-kekuatan gaib
jahat?" 535 Giam Lok tidak berani terang-terangan mengutarakan ketidak-percayaannya, ia hanya
meneruskan makannya tanpa menjawab.
Si Nenek mendesaknya lagi, "Kau sadar, bahwa
kau berhadapan dengan sesuatu yang gaib dan
tidak alamiah" Kaupikir sesuatu yang alamiah
seperti membakar bekas rumah Ciu Koan itu akan
mencabut akar masalahnya?"
"Nek, pokoknya urusan membebaskan Seng-tin
adalah urusan kami. Hendaknya Nenek nikmati
hari-hari Nenek dengan tenang dan damai."
Si Nenek tidak menghabiskan supnya, lalu
melangkah keluar tertatih-tatih, sehingga dengan
perasaan tidak enak Giam Lok berkata, "Nek, aku
tidak mengusir Nenek. Bahkan aku ingin Nenek
bersamaku terus." Suara jawaban Si Nenek sudah terdengar dari
luar pintu dan makin jauh. "Aku juga tidak merasa
diusir kok. Aku hanya ingin jalan-jalan."
"Hati-hati di jalan, Nek."
Giam Lok kemudian sendirian menikmati
hidangan sebanyak dan seenak itu, sambil
menggerutu, "Nenek aneh, entah siapa dia."
Habis makan, Giam Lok beristirahat sebaikbaiknya, menunggu turunnya matahari untuk
melaksanakan rencana. Ketika matahari sudah terbenam dan hari gelap,
satu persatu anggota-anggota kelompok Giam Lok
berkumpul di rumah itu. Semuanya berpakaian
ringkas namun tidak membawa senjata, karena
536 senjata-senjata sudah lebih dulu disimpan di bekas
rumah Ek Yam-lam itu. Giam Lok senang melihat seluruh kelompoknya
berkumpul tak kurang seorang pun. "Semangat
kalian adalah harapan untuk seluruh Seng-tin,"
pujinya. "Kita berangkat sekarang, Kakak Giam?" tanya
In Bun-san bersemangat sekali, sambil mengikatkan sepasang golok bersilang di punggungnya. "Tunggu sebentar lagi, sampai jalanan benarbenar sepi," cegah Giam Lok.
"Jalanan sudah sepi, Kakak Giam. Dalam
beberapa hari ini apakah Kakak Giam tidak
merasakan perbedaan suasananya" Biasanya
sampai agak malam warung Paman Ao masih
buka, dan Paman Giam masih berkeliling dengan
pikulan mie pangsitnya. Tetapi dalam beberapa
hari ini, belum sampai hari benar-benar gelap,
semua pintu sudah ditutup rapat, orang-orang di
jalanan sudah tak kelihatan satu pun."
"Aku merasa dalam beberapa hari ini kota Sengtin lebih cepat menjadi gelap.
Ada gumpalan awan hitam yang datang setiap
matahari terbenam, tetapi bukan terbawa hujan.
Juga ada angin yang keras bertiup, dan udara yang
demikian lama makin dingin, dan kabut yang
turun begitu rendah sampai...."
"Cukup!" bentak Giam Lok. "Kau mau
melemahkan semangat teman-teman" Dan ingin
537 menghubung-hubungkan cuaca yang tidak biasa
itu dengan hal-hal gaib?"
"Tetapi, Kakak Giam, di seluruh kota juga
tercium bau belerang dan bermacam-macam bunga
yang...." "Tutup mulutmu! Malam ini kita babat sumber
ketahyulan di kota ini, dan besok warga Seng-tin
akan tahu bahwa akal sehatnya yang menang!"
Mereka bersiap-siap, kemudian berangkat ke
sasaran. Selain senjata-senjata, tidak lupa mereka
bawa bumbung-bumbung minyak dan batu api.
538 Begitu melangkah keluar, hati Giam Lok agak
bercekat juga melihat bahwa di luar sudah penuh
kabut tebal sampai ke tanah, padahal matahari
belum lama tenggelam. Udara juga terasa amat
dingin, angin tajam bertiup. Kota Seng-tin berubah
jadi seperti suatu alam yang asing.
Ho Tong yang melangkah di samping Siam Lok
sambil memanggul tombaknya itu, rasa-rasanya
pernah melihat alam seperti itu, bahkan pernah
menghuninya. Sedangkan Giam Lok sendiri sebenarnya tidak
tenteram hatinya, di kupingnya serasa terngiang
kata-kata Si Nenek siang tadi, "... kau berhadapan
dengan sesuatu yang tidak alamiah... kau
berhadapan dengan sesuatu yang tidak alamiah...."
Namun Giam Lok menyembunyikan itu jauhjauh di dasar hatinya, dan dengan gagah memberi
komando bagaikan panglima perang, "Berangkat!"
Kelompok itu pun berbaris gagah bak pasukan
ke medan laga. Sambil melangkah, Giam Lok berusaha menjaga
semangat teman-temannya dengan menyebut
tempat-tempat yang dilewatinya. Ini perlu, sebab
suasana malam itu cukup aneh, sehingga pikiran
orang-orang perlu dijaga dan diingatkan terusmenerus bahwa mereka "tetap berada di Seng-tin"
dan belum "pindah ke alam lain".
"Eh, lihat, kebun buah-buahan Paman Giam
yang dulu sering kita ambili buahnya. Masih
ingat?" 539 Demikianlah, Giam Lok menyerocos terus agar
teman-temannya jangan terlalu tegang. Toh temantemannya sulit menghapus ketegangan mereka.
Terutama Ho Tong, suasana Seng-tin makin
mengingatkannya kepada suasana "suatu tempat
asing yang pernah dihuni berbulan-bulan", yaitu
ketika ia menjadi orang gila.
Dalam perjalanan menuju bekas rumah ,guru
Ciu, mau tidak mau mereka melewati sebuah
lorong di mana terdapat rumah kosong bekas
kediaman Ou Sing si tukang peti mati. Rumah
yang sedang ramai dibicarakan orang, dikabarkan
kalau malam hari "ada suara orang bekerja di situ
tetapi kalau didatangi tidak terlihat apa-apa".
"Kakak Giam, bukankah kita... akan melewati
rumah kosong berhan... eh, maksudku, bekas
kediaman Paman Ou?" tanya seorang teman Giam
Lok, suaranya agak tertahan, setengah tertelan.
"Ya, memangnya kenapa?" sahut Giam Lok.
"Kau mulai takut" Kau mulai percaya omongan
orang-orang yang mulai luntur akal sehatnya?"
"Tentu saja tidak!" yang ditanya pun menyahut
dengan nada segagah mungkin.
"Bagus. Jaga semangat kalian. Kita bertindak
begini justru sedang hendak mengikis pikiran
bodoh yang memalukan kota kita ini!"
Baru selesai kata-kata itu, tiba-tiba di tengah
lorong itu angin menerpa mengiris kulit, disertai
suara siut anginnya menciutkan nyali, dan saat
itulah teman Giam Lok yang berlagak gagah berani
540 itu berkata, "Kakak Giam, mendadak kelapaku kok
pusing-pusing, barangkali aku kurang sehat."
Belum lagi Giam Lok menjawab, seorang teman
yang lain sudah memutuskan, "Kalau kurang sehat
ya jangan dipaksakan. Mari kuantar pulang."
Cerdik juga orang ini, sebab mengantar pulang
berarti ikut pulang juga.
Disusul kata seorang teman lainnya, "Biar aku
juga mengantarnya. Kalau dia jatuh di jalan, jadi
ada dua orang yang menggotongnya... kalau satu
orang saja mana cukup?"
Alangkah gusarnya Giam Lok mendengar katakata teman-temannya itu. "He, pengecut-pengecut
bernyali tikus, kalau kalian memang takut dan
tidak ingin meneruskan perjalanan ini, pulanglah.
Jangan cari alasan macam-macam. Sana, pulang,
mudah-mudahan kalian ketemu hantu di jalan."
Orang-orang itu agak tersinggung juga dikatakan "pengecut bernyali tikus", namun
melihat suasana yang makin tidak wajar, mereka
keder juga. Kuatir kena akibat-akibat buruk dari
mahluk-mahluk gaib, dan buyarlah apa yang
selama berhari-hari ditanamkan Giam Lok di
benak mereka, yaitu tentang "akal sehat di atas
segalanya". Begitu mendengar Giam Lok memperbolehkan
pulang, langsung empat orang memisahkan diri.
Empat orang, padahal tadi yang minta ijin hanya
tiga orang, orang minta ijin karena "tidak enak
badan" dan dua orang "ingin mengantar"-nya.
541 Giam Lok membanting kaki sambil meneriaki
keempat temannya yang sudah jauh itu, "Percuma
kalian jadi laki-laki! Mulai besok belilah pupur dan
gincu!" Ho Tong berkata, "Kakak Giam, ketika kita
membentuk kelompok ini, bukankah sudah
disepakati bahwa ini kelompok sukarela" Kalau
ada yang ragu-ragu, dia boleh mengundurkan diri,
tidak ada paksaan. Kakak Giam tentu tidak mau
jadi seperti Lui Kong-sim yang mengecam dan
melawan siapa saja yang tidak sepaham dengannya
kan?" Giam Lok membungkam termangu, memandangi kelompoknya yang mengecil jadi
empat orang termasuk dirinya.
"Apakah kau berubah pendirian, Saudara Ho?"
"Terus terang saja, pengalamanku ketika gila
lalu sembuh, aku sembuh bukan karena
semangatku sendiri. Ketika itu aku merasa berada
di suatu tempat asing yang... suasananya mirip
seperti sekarang ini."
"Ah, sudah! Mau ikut tidak?" tukas Giam Lok.
Yang ditawari Ho Tong, dua orang yang tersisa
lainnya yang menjawab, "Kakak Giam, mengembalikan warga kota kepada akal sehat
bukan

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cara begini. Kita bisa mengumpulkan orang-orang , yang sepaham,
seorang demi seorang, dan lama-lama...."
"Kau ingin pulang, pulanglah!"
542 Tanpa pamit, kedua orang itu putar tubuh dan
meninggalkan Giam Lok. Dengan kesal Giam Lok
berkata kepada Ho Tong, "Semua sudah
mengundurkan diri di tengah jalan, nah, Saudara
Ho, apa yang kautunggu?"
"Aku tetap bersamamu, Kakak Giam."
"Untuk apa" Kau sudah tidak meyakini lagi
garis perjuangan kelompok ini, bahwa semangat
manusia adalah satu-satunya yang paling unggul.
Buat apa bersamaku lagi?"
"Kakak Giam, sejak dulu, sejak aku mulai
bergabung dengan Kakak, sebenarnya aku sudah
tidak sepaham dengan Kakak tentang semangat
manusia itu. Fengalamanku sendiri buktinya.
Ketika aku dibuat gila dengan sihir oleh Beng Hekhou, memangnya Kakak Giam anggap semangatku
lemah, sehingga dengan mudah aku diperlakukan
seperti itu" Tidak. Justru saat itu semangatku
sedang tinggi-tingginya hendak menuju ke kota
oin. Toh aku kena juga. Dan ketika aku sembuh,
tak lain karena ada orang tak kukenal yang
mendoakan kesembuhanku."
"Kata Siapa?" "Kata seorang nenek-nenek yang datang entah
dari mana, yang jelas omongannya begitu mudah
diterima oleh hatiku."
"Jadi kau juga bertemu dengan nenek" Aku
juga. Aku tahu nenek itu orang baik, tetapi dia
sudah pikun, omongannya jangan dianggap
bersungguh-sungguh. Katanya, masalah di Sengtin ini bisa hilang sendiri kalau semua orang mau
543 saling memaafkan, khususnya keluarga-keluarga
jadi utuh kembali. Coba pikir, omongan macam itu
kalau bukan omongan orang pikun lalu omongan
apa?" "Entahlah, Kakak Giam, aku mempercayai katakatanya."
"Baiklah, terserah kepadamu. Sekarang kita
kembali ke pokok persoalan, lalu bagaimana
sikapmu sekarang" Dalam urusan hendak
membakar markas Wong Lu-siok?"
"Kuanjurkan jangan, Kakak Giam. Pakai cara
lain saja. Aku yakin akan makin banyak orang
Seng-tin yang bisa diajak omong baik-baik tentang
betapa kelirunya pikiran mereka. Tetapi kalau
Kakak Giam ingin meneruskan langkah, aku akan
bersama-sama Kakak."
"Tapi kau sudah tidak yakin akan keunggulan
semangatmu lagi." "Aku minta maaf tidak berterus-terang sejak
dulu. Tetapi sekarang aku blak-blakan, bahwa
sejak aku bergabung dalam kelompok ini, aku
sebenarnya tidak sepaham dengan Kakak."
"Lalu, kenapa bergabung?"
"Aku... sebagai bekas orang gila yang dijauhi
oleh orang-orang yang masih takut kepadaku,
dengan bergabung dalam kelompok mendapatkan
jalan berkumpul kembali dengan beberapa teman."
"Jadi kau memperalat kelompok itu untuk
kepentinganmu sendiri ya?"
544 "Kakak Giam juga memperalat kesembuhanku
untuk mempopulerkan pendapat Kakak dan aku
diam saja, tidak memprotes."
Keduanya sama-sama bungkam membeku di
tengah-tengah lorong gelap berkabut yang bersuasana serem itu. Kata Giam Lok akhirnya, "Tinggalkan aku,
Saudara Ho. Aku dapat melakukan semua rencana
seorang diri, tanpa bantuan kalian. Aku yakin akan
kemampuanku!" Lalu Giam Lok sudah melangkah pergi dengan
menjinjing tombaknya, namun Ho Tong melangkah
di samping Giam Lok dan berkata, "Aku tetap ikut,
biarpun tidak sepaham dengan Kakak. Kita bisa
tetap saling membela."
Giam Lok malah mempercepat langkahnya
sambil berkata, "Orang yang tidak percaya diri
sendiri malah akan merepotkan aku, bukan
membantu." Kata Ho Tong, "Aku bukan tidak percaya diri,
melainkan menyadari keterbatasan diri. Aku
menyadari, ada sesuatu kekuatan tak dilihat di
alam semesta ini, yang jauh melebihi kekuatan
manusia. Tak terlihat tapi ada dan bekerja, seperti
dalam persitiwa kesembuhanku dari kegilaan."
Giam Lok geleng-geleng kepala. "Pertama, aku
tidak percaya kekuatan tak terlihat itu melebihi
manusia. Ke dua, kekuatan tak terlihat itu jahat,
selalu ingin memperbudak manusia, membuat
manusia seolah-olah hanya boneka wayang di
tangan dalang. Contohnya, dulu Seng-tin dikuasai
545 Beng Hek-hou dengan kekuatan macam itu. Lalu
Wong Lu-siok datang dengan kekuatan gaib juga,
mengaku kekuatan gaibnya dari pihak yang baik,
mengusir Beng Hek-hou. Tetapi apa jadinya"
Ternyata Wong Lu-siok juga menguasai kota ini,
membuat orang-orang jadi aneh dan asing satu
dengan yang lain. Itulah hasilnya kalau terlalu
menggantungkan diri kepada yang tak terlihat.
Manusia jadi permainan, pindah-pindah dari
cengkeraman kekuatan yang satu ke kekuatan
yang lain. Karena itu berhentilah mengharapkan
sesuatu yang tak kita kenal, lebih baik
mengandalkan diri sendiri. Pakai otak sebaikbaiknya, pasti kita jaya!"
Ho Tong ternyata punya sikap yang sama
teguhnya dengan Giam Lok, meskipun sikap yang
berbeda. "Silakan Kakak berkeyakinan demikian.
Tapi aku percaya lain. Memang di alam raya ini ada
kekuatan-kekuatan gaib yang jahat, yang ingin
menunggangi manusia untuk menuruti bisikan
mereka. Tapi pasti ada juga suatu kekuatan yang
benar-benar baik, bukan yang pura-pura baik
seperti kekuatan gaibnya Wong Lu-siok. Bukan.
Nah, kekuatan yang benar-benar baik ini pastilah
lebih kuat dari yang jahat, menjaga agar yang jahat
itu tidak benar-benar menguasai alam semesta.
Inilah kekuatan yang patut didambakan oleh
manusia, kekuatan yang patut diusahakan untuk
kita ketemukan." "Ah, tidak masuk akal itu, Saudara Ho."
"Menurutku sangat masuk akal. Kalau di alam
semesta tidak ada kekuasaan yang benar-benar
546 baik itu, entah apa namanya, pasti alam semesta
ini sudah hancur lebur dan kacau-balau karena
yang jahat. Buktinya, alam semesta masih tetap
dalam keteraturan, meskipun disana-sini ada
kerusakan-kerusakan oleh alam maupun manusia." "Baiklah, kau dengan keyakinanmu, aku dengan
keyakinanku. Mari kita buktikan mana yang benar.
Diuji dengan ujian sejati dengan bersama-sama
menghadapi Wong Lu-siok. Aku. andalkan
semangat diriku sendiri, kauandalkan 'kekuatan
yang benar-benar baik'mu itu."
Dengan demikian, kedua sahabat itu samasama meneruskan langkah ke medan laga, namun
tidak dengan sehati lagi, melainkan dengan
keyakinannya sendiri-sendiri. Dan seolah malah
ingin saling membuktikan bahwa dirinya lebih
benar. Ketika mereka tiba di depan gedung bekas
kediaman Ciu Koan, mereka melihat rumah besar
itu pun diselimuti kabut tebal sehingga menimbulkan kesan antara ada dan tidak ada.
Angin yang dingin dan keras membuat benderabendera di sekitar rumah itu berkibaran, terasa di
hati memang ada pengaruhnya.
Yang mendebarkan kedua pemuda pemberani
itu, ialah ketika melihat pintu gerbang depan
terbuka lebar kedua daun pintunya, namun tidak
nampak ada seorang pun. Angin yang bertiup
cukup keras untuk menggerak-gerakkan sedikit
daun-daun pintu depan, biarpun daun-daun pintu
itu cukup tebal dan berat, menimbulkan suara
547 keriat-keriut lemah di engsel-engsel pintunya. Di
kiri kanan pintu ada sebuah lampion yang
mungkin disengaja kertasnya berwarna biru
sehingga cahaya lampion pun berwarna biru, dan
Giam Lok serta Ho Tong kalau saling memandang
akan kelihatan berkulit muka biru, seperti... mayat
yang sudah beberapa hari.
Giam Lok tertawa dingin, untuk membesarkan
nyalinya sendiri, "Hem, ini akal-akalan yang tidak
bermutu untuk mencoba menakut-nakuti orang.
Tetapi kali ini mereka kena batunya bertemu
dengan Giam Lok." Lalu Giam Lok melangkah maju dengan gagah,
dan dengan heran Giam Lok melihat Ho Tong pun
melangkah tidak kalah beraninya. Pikir Giam Lok,
mungkin temannya ini mengandalkan "kekuatan
yang benar-benar baik yang menjaga alam
semesta" namun yang belum dikenal oleh Ho Tong
itu. Sepasang lampion biru di kiri kanan pintu itu
nampak bergoyang-goyang kena angin. Karena
kabut, tidak terlihat talinya, demikian anggapan
Giam Lok. Tetapi setelah dekat, ketajaman mata
Giam Lok mendapati kenyataan bahwa sepasang
lampion itu memang tidak ada talinya, tidak ada
tangkainya, alias terapung-apung begitu saja di
udara. "Semangat manusia yang mengungguli segalanya" di hati Giam Lok pun memperoleh
pukulan keras melihat kenyataan yang tak bisa
diterangkan ini. Tetapi untuk mundur, ia malu
kepada Ho Tong, maka dengan mengeraskan
548 kepala dia melangkah memasuki pintu, dan Ho
Tong mendampinginya karena tidak tega membiarkan sahabatnya sendirian menghadapi
keanehan itu. Namun Ho Tong justeru bersikap
lebih tenang dari Giam Lok, agaknya tidak terlalu
kaget meski sudah mengetahui lampion-lampion
itu tergantung di udara kosong. Ho Tong merasa
ada sesuatu yang menguatkan jiwanya, memberinya keberanian. Rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan itu
sudah amat dikenal oleh semua murid-muridnya,
temasuk Giam Lok dan Ho Tong. Bisa dibilang
rumah almarhum Ciu Koan adalah "rumah kedua"
bagi semua murid-muridnya, karena seringnya
para murid berada di situ.
Namun kali ini begitu Giam Lok dan Ho Tong
melangkahi pintu, mereka merasa terjeblos ke
suatu alam yang belum pernah dikenal, bagi Giam
Lok. Sedangkan bagi Ho Tong, rasanya "sudah
tidak asing lagi" karena pernah mengenalnya, yaitu
ketika ia dianggap gila oleh orang-orang Seng-tin.
Ho Tong pernah "tinggal di dalamnya" dan
bersyukur bahwa ia berhasil "keluar dari sana".
Sekarang Ho Tong "mengunjunginya" kembali,
jantungnya berdebar-debar juga, namun kali ini
merasakan ada sesuatu dalam hatinya yang
membuatnya berani. Pandangan kedua pemuda itu dikaburkan oleh
kabut, tetapi mereka heran melihat samar-samar
ada bentuk bukit-bukit dan lembah di depan
mereka.

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa bukit-bukit dan lembah" 549 Bukankah itu halaman rumah mendiang guru
mereka" Giam Lok membungkam, tidak berani asal
mangap lagi. Ho Tong justeru yang mencoba
membesarkan hati kawannya. "Alam seperti ini
pernah mengurung jiwaku, tetapi ada yang
menolongku sehingga aku dapat keluar kembali.
Berarti apa yang kita lihat ini bukannya sesuatu
yang maha kuasa, melainkan terbatas."
Giam Lok bungkam tak menjawab, masih
bingung. Dan suara Ho Tong yang terdengar
kembali, "Kalau kita mau keluar dari sini, aku
percaya, kekuatan yang pernah menolongku itu
akan menolongku kembali."
Baru saja Ho Tong selesai berkata demikian, di
belakang mereka terdengar suara berkeriut keras,
dan daun pintu yang tebal itu telah terkatup
sendirinya. Tetap tak terlihat batang hidung
seorang pun. Sementara dari arah "bukit" di depan terlihat
nyala-nyala api beterbangan dalam gelapnya
malam. Orang-orang di daerah Se-cuan barat-daya
sering menceritakan tentang "burung api hantu" di
bukit yang angker. Sekarang Ho Tong sendiri sama bingungnya
dengan Giam Lok. Apakah keyakinannya tentang
"kekuatan yang benar-benar baik" itu adalah
keyakinan-yang berdasar, atau sekedar persangkaan membabi buta yang akhirnya bakal
mengecewakan" 550 Saat itulah di kaki "bukit" dalam kegelapan sana
sayup-sayup terdengar ter-riakan minta tolong,
"Kakak Lok, tolong....."
Giam Lok yang semula membeku, kini tersentak
kaget. "Itu suara adikku, A-lik! Dia harus
kutolong!" Lalu Giam Lok sudah hendak menerobos ke
depan, tetapi Ho Tong menyambar lengannya,
menahannya. "Kakak, jangan gegabah. Itu bisa
perangkap." "Dengan dasar apa kau menduga demikian?"
Ho Tong ragu menerangkannya, sebab berarti
harus menceritakan sebagian dari pengalamannya
ketika dia berada di "alam asing" itu alias ketika ia
masih gila. Namun akhirnya ia jelaskan juga,
"Waktu aku masih... gila, dalam pikiranku pernah,
bahkan sering, kudengar suara orang yang
kucintai menjerit dari tempat gelap tanpa kelihatan
wujudnya. Entah tempat gelap itu sebuah guha
atau sebuah sumur. Ketika kukejar ke asal suara
itu, yang ada hanya... mahluk-mahluk aneh yang
akan mengeroyokku, tidak ada orang yang hendak
kita tolong itu." Giam Lok menjadi ragu bertindak setelah
mendengar keterangan Ho Tong itu. Pikirnya, "Ho
Tong ini bekas orang gila, dan sekarang kalau
keterangannya kupercayai mentah-mentah, apakah
aku juga tidak gila namanya?"
Selagi Giam Lok terombang-ambing, sayupsayup
kembali terdengar seruan adik perempuannya minta tolong.
551 Saat itu pikiran Giam Lok sudah mulai
kehilangan arah. Ia sudah bingung menentukan di
mana dirinya, apa yang dialaminya, dan apa tujuan
tindakannya. Segala geriak-geriknya sekarang
sekedar berlandasan naluri paling mendasar dari
mahluk-mahluk hidup. Naluri ketakutan, ingin
menyelamatkan diri, ingin membela orang yang
disayangi... dan segala tindak-tanduknya bukan
lagi berdasar rencana yang rapi yang dipertimbangkan masak-masak. Bagaimana bisa
mempertimbangkan kalau segala sesuatu sudah
jungkir balik dan tidak masuk akal"
Begitu mendengar teriakan itu sekali lagi, Giam
Lok berlari ke depan dengan ujung tombaknya
merunduk setinggi dada. Ho Tong mendampinginya. Mereka berlari menerobos ke dalam kabut, dan
rasanya mereka memasuki sebuah lorong yang
terbentuk oleh dua deretan bendera-bendera.
Semua bendera kelihatan berwarna hitam karena
gelapnya. Giam Lok jadi ingat dongeng kuno yang
pernah didengarnya tentang jaman Cun-ciu,
sebuah jaman kacau-balau ribuan tahun yang
silam ketika daratan Cina masih belum menjadi
sebuah kerajaan yang utuh melainkan terdiri dari
wilayah-wilayah kecil yang berperang terus. Ketika
itu, kata orang, bahkan para dewa dari gununggunung pertapaan ikut berperang, ada yang
memihak sini ada yang memihak sana. Menurut
cerita, tidak jarang para dewa membentuk formasi
militer campuran antara perajurit manusia yang
berdarah daging dengan mahluk-mahluk tak
berdarah daging. Senjata-senjatanya juga bukan
552 hanya pedang, torrlbak dan panah, tetapi juga
"senjata-senjata" yang tidak lazim seperti sin-ki
(bendera dewa) yang disembahyangi dan ditaruh di
posisi-posisi tertentu, pasir emas, kertas jimat yang
dibakar saat-saat yang ditetapkan, potonganpotongan tubuh manusia (biasanya pesakitan dari
penjara) yang ditanam, pedang yang bisa terbang
sendiri dan sebagainya. Lalu tokoh-tokoh dari
pihak-pihak yang sedang berperang biasanya
menantang lawan untuk membuktikan ketinggian
ilmu dengan memecahkan formasi yang dibentuknya. Tentu saja yang dibutuhkan oleh
orang yang berniat memecahkannya bukan hanya
ilmu silat dan ilmu militer, melainkan juga
pengetahuan gaib dan sarana-sarananya. Sekarang, sambil berlari di antara deretan
bendera-bendera itu Giam Lok merasa seolah-olah
ia sedang memasuki suatu barisan gaib dari jaman
Menyergap Penyelundup 2 Fear Street - Petualang Malam Night Games Panji Wulung 6
^