Menyergap Penyelundup 2
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara Bagian 2
karena hendak menanyakan alamat seseorang."
Muka pengurus gedung yang tadinya merah padam, kini berubah menjadi ungu.
"Aku... aku.. aku..." kat?nya terbata-bata. Ia tidak bisa meneruskan, karena
terlalu marah. "Kalau Anda tetap berkeras, sepupuku nanti terpaksa melepaskan anjingnya," kata
Dick dengan nada santai. "Dan kami semua akan mengatakan bahwa Anda yang lebih dulu menyerangnya." tambah
Julian dengan sengit. Pengurus gedung itu mundur pelan-pelan, memasuki kediamannya lalu cepat-cepat
menutup pintu. "Hahh!" kata George dengan sikap menang. "Ia takut digigit Timmy! Hebat,
Anjingku! Bagus! Sekarang kita bisa meneruskan pelacakan!"
Mereka bergegas menaiki tangga rumah, menuju lantai dua. Julian menekan tombol
bel di pintu kediaman yang paling dekat dengan tangga. Seorang wanita yang masih
muda muncul. "Selamat siang!" kata Julian dengan sopan. "Maaf atas gangguan ini - tapi kami
mencari alamat anak keluarga Landreux, yang dulu pernah tinggal di gedung ini.
Mungkin Anda tahu?" "Landreux" Aku tidak tahu bahwa di sini dulu pernah ada keluarga yang namanya
begitu. Aku memang belum lama pindah kemari. Sebaiknya kalian naik saja ke
tingkat empat, mendatangi seorang guru musik yang tinggal di situ. Ia sudah
lebih dari tiga puluh tahun tinggal di sini. Jadi kurasa Ia lebih tahu dari
aku." "Terima kasih!"
Anak-anak bergegas naik ke tingkat empat. Di salah satu pintu di sebelah kin
terpasang papan nama terbuat dari kuningan.
Marc Serignac Guru Musik George menekan bel. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki di ambang
pintu. Orangnya tinggi agak bungkuk, dan rambutnya yang panjang sudah putih
semua. Raut mukanya menarik. Senyumannya sangat ramah.
"Selamat siang, Tuan-tuan muda," kata laki-laki itu dengan ramah. "Ada perlu
apa" Ingin belajar main piano, ya?"
"Wah - sayang tidak" kata George dengan cepat, sambil tersenyum pula. "Kami
ingin bicara sebentar dengan Anda, karena ada urusan penting."
"Ya, ya, tentu saja bisa," jawab guru musik yang ramah itu. "Silakan masuk! Ah -
kau ingin masuk juga rupanya," sambungnya. Ia melihat George memberi isyarat
pada Timmy, yang langsung menggosok-gosokkan kaki ke keset yang ada di depan
pintu. "Anjing pintar," katanya. Ia memandang George. "Milikmu, Tuan muda!"
George berseri-seri, karena senang dikira anak laki-laki.
"Saya bukan laki-laki, Pak" katanya. "Ya, ini memang anjing saya. Ia kocak dan
pintar. Ya kan, Tim" Ia sekarang sedang membantu kami melakukan penyelidikan."
Timmy mengacungkan kaki depannya ke arah guru musik itu, yang menyalaminya
sambil tersenyum. Setelah itu George menjelaskan maksud kedatangan mereka. Pak
Serignac, guru musik itu, mendengarkan dengan penuh minat. Keningnya berkerut.
"Aku mengerti," katanya kemudian. "Yah - keterangan pengurus gedung tadi pada
kalian memang benar. Suami-istri Landreux, begitu pula menantu laki-laki mereka,
meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Hubungan kami dulu cukup dekat. Jadi
kalian ini mencari anak mereka, Arlette" Ya - untung saja Ia masih hidup. Aku
sudah mengenalnya sejak Ia dilahirkan. Ia sangat mencintai musik. Kini Ia juga
menjadi guru musik, sebagai sumber penghasilan untuk menghidupi dirinya serta
anak perempuannya, Mona."
"Siapa nama keluarga yang dipakai Arlette sekarang?" tanya George.
"Dan di mana tempat tinggalnya?" sambung Dick.
"Nama keluarga almarhum suaminya Trebor. Tinggalnya tidak jauh dari sini. Di Rue
de Santiago." Anak-anak saling berpandangan dengan puas. Akhirnya mereka berhasil!
"Kami mencarinya karena hendak menyampaikan bahwa Ia mendapat warisan yang
berharga," kata Julian menjelaskan.
"Wah!" seru Pak Serignac dengan gembira. "Aku ikut senang mendengarnya."
"Rue de Santiago itu di mana, Pak?" tanya Dick.
Saat itu seorang pemuda berumur sekitar delapan belas tahun yang berisik
memasuki ruangan. Timmy menggonggong melihat pemuda itu datang.
"Kau tidak perlu menggeram," kata Pak Serignac pada Timmy. "Tomas tidak apa-apa.
Ia keponakanku." Pemuda itu diperkenalkan pada anak-anak. Kemudian ia menawarkan diri untuk
mengantar mereka ke de Santiago. "Sebetulnya tidak jauh dari sini - tapi kalau kuantar dengan mobil, kalian kan
bisa menghemat waktu," katanya.
Anak-anak meminta diri dari guru musik yang ramah itu pergi mengikuti Tomas.
Pemuda itu sangat simpatik. Ramah, dan gemar mengobrol.
"Aku tahu siapa kalian," katanya pada anak-anak. Kalian kan pernah menjadi
pemberitaan besar dalam pers. Kalian waktu itu menemukan kota misterius yang
tersembunyi letaknya dalam gunung, kan?"
"Betul!" jawab Dick sambil tertawa lebar. "Ingatanmu sangat baik!"
"Kalian yang terkenal - karena itu aku ingat! Jika selama di sini kalian
memerlukan bantuan, dengan senang hati aku mau membantu. Aku diperbolehkan
ayahku sekali-sekali meminjam mobilnya. Mungkin kapan-kapan aku bisa membantu,
jika kalian sedang berada dalam keadaan terdesak. Ini nomor teleponku!"
Julian menerima kertas dengan nomor telepon yang odorkan pemuda itu, lalu
mengantunginya. Anak-anak kemudian berpisah dari Tomas, setelah Ia mengantar
mereka sampai ke Rue de Santiago.
Mereka berdiri di depan gedung tempat tinggal Arlette Trebor. Gedung itu
sederhana - tanpa pengurus. Anne memperhatikan nama-nama yang tertera pada kotak
surat yang berderet-deret di ruang masuk. Arlette bertempat tinggal di tingkat
dua. Anak-anak menaiki tangga rumah. Julian menekan tombol bel di depan pintu
kediaman wanita muda itu. Tapi tidak ada yang datang membukakan. Julian menunggu
sebentar, lalu menekan bel sekali lagi. Pintu rumah tetap tertutup. Rupanya
Arlette sedang luar. "Apa boleh buat," kata Dick agak kecewa. "Nanti saja kita kembali lagi."
"Sayang padahal tugas kita sudah hampir selesai!" kata Anne.
Bab VII TAMU TAK DIUNDANG KEEMPAT remaja itu kembali ke rumah yang mereka tinggali dalam liburan itu, lalu
bercerita tentang pengalaman mereka tadi pada Bibi Fanny. Ibu George
mendengarkan dengan penuh minat. Tugas pelacak jejak siang itu ternyata
melelahkan juga anak-anak. Malam itu mereka cepat masuk ke tempat tidur.
Sebelum terlelap, pikiran George masih melayang Ia teringat pada Denise
Landreux, lalu pada anaknya Arlette Trebor. Arlette pasti akan sangat senang,
jika diberi tahu bahwa ia mendapat harta warisan.
*** Malam itu George bermimpi aneh. Kalung mutiara merah jambu itu tergeletak
melingkar pada alas duduk kursi sandar antik yang dibeli ibunya. Tahu-tahu ada
seorang laki-laki datang menghampiri sambil mengendap-endap. Orang itu nampak
sangat tangkas walau perutnya gendut. Ia si Muka Bangkong pedagang barang antik!
Sambil tertawa mengejek orang itu mengulurkan tangannya, hendak mengambil kalung
mutiara.... George ingin berteriak. Tapi kerongkongannya seakan-akan tersumbat!
Tiba-tiba George terbangun, karena ada bunyi menggeram di dekatnya. Geraman itu
terdengar lagi. Timmy berdiri di depan pintu kamar tidur. Hidungnya didekatkan
ke lantai. Ia mengendus-endus.
George buru-buru meloncat turun dari tempat tidurnya.
"Ssst!" desisnya. "Coba kuperhatikan sebentar."
Dirapatkannya telinga ke daun pintu. Apakah yang menyebabkan Timmy terbangun
lalu menggeram" Dari arah ruang duduk terdengar bunyi berderik pelan.
Dengan hati-hati George membangunkan Anne. "Anne! Anne, bangun!" bisiknya.
"Timmy mendengar sesuatu. Rupanya ada orang menyelinap masuk kemari. Yuk - kita
periksa!" "Tapi kita bangunkan dulu Paman Quentin serta Dick dan Ju," balas Anne sambil
berbisik pula. "Aduh, tidak sempat lagi - karena nanti pencuri itu mendengar lalu cepat-cepat
lari. Timmy saja kan sudah cukup untuk melindungi kita. Ayo!"
Anne bangun dengan ragu-ragu, sementara George sudah membuka pintu. Kedua anak
itu menyelinap dalam gang. Ruang duduk terletak di ujung gang itu. George dan
Anne melihat sinar cahaya samar lewat celah-celah pintu yang tertutup. Kini
Timmy tidak bisa ditahan lagi. Ia melesat maju sambil menggeram-geram, diikuti
oleh George. "Paman Quentin! Cepat!" seru Anne ketakutan. "Ju! Dick!"
Saat itu juga George sudah masuk ke ruang duduk. Nyaris saja Ia menubruk seorang
laki-laki yang berdiri sambil membungkuk di depan kursi sandar antik. Sosok
tubuhnya nampak samar, diterangi pantulan sinar lampu yang diletakkan di lantai.
George melihat dengan jelas saat orang itu menarik tangannya, yang tadinya
dimasukkan ke dalam celah yang terdapat di antara sandaran dari alas duduk kursi
itu. "Tim! Sergap!" seru George.
Sambil mengumpat kaget, tamu tak diundang itu lari ke jendela yang terbuka. Tapi
Timmy berhasil mengejar, lalu membenamkan gigi pada bagian kaki celana orang
itu. Orang itu mengayunkan tangannya, memukul Timmy. Ia berhasil membebaskan
diri dari gigitan anjing itu. Dalam sekejap mata ia sudah berada di balkon. Dari
situ Ia meloncat ke balkon yang bersebelahan. Dari situ meloncat lagi ke tangga
darurat yang menempel pada dinding bangunan. Ketika Paman dan Bibi muncul di
dalam ruang duduk bersama Ju dan Dick, hanya George dan Timmy saja yang masih
ada di situ "Itu tadi pencuri." kata George. Tubuhnya menggigil karena tegang. "Aku tidak
bisa melihatnya dengan jelas, tapi aku yakin ia Si Muka Bangkong! Ia berdiri
sambil membungkuk di depan kursi sandar itu. Nampaknya seperti mencari-cari
sesuatu..." "Pasti kalung mutiara itul" sela Dick.
"Tepat!" sambung George. "Orang itu sejak kursi ini belum dilelang pun sudah
tahu ada kalung terselip di belakangnya...."
"Karena itu Ia begitu berkeras ingin memperolehnya, sehingga berani mengajukan
penawaran yang sangat tinggi pada Bibi Fanny," kata Anne.
"Kita tidak boleh seenaknva saja menuduh-nuduh tanpa bukti," kata Paman Quentin
memotong. "Tapi semuanya kan cocok, Paman," kata Julian.
"Aku juga tidak membantah kalian" ujar Paman menjelaskan pendapatnya. "Tapi
polisi tidak bisa menerimanya. Mereka menghendaki fakta-fakta dan bukti-bukti
nyata. Lagi pula karena tidak ada yang diambil, maka ini hanya merupakan
percobaan mencuri saja. Aku akan melaporkannya besok pagi ke kantor polisi - tapi
aku tidak bisa langsung menuduh bahwa Pak Pradier-lah pelakunya. Kau kan hanya
samar-samar saja melihat sosok tubuhnya, George!"
Sementara itu Bibi Fanny sudah memeriksa, melihat apakah ada sesuatu yang
hilang. Ternyata tidak. Dick dan Julian menemukan bekas-bekas pada jendela
balkon yang menunjukkan bahwa orang tadi masuk dengan dengan jalan paksa. Tapi
Bibi Fanny tahu bahwa dengan petunjuk itu saja polisi takkan bisa berbuat
banyak. Anak-anak tidur lagi. Mereka yakin, orang yang masuk tadi pasti si Muka
Bangkong. Hanya Julian saja yang agak sangsi.
Sambil menutup tubuh dengan selimut, George berpikir-pikir. Jika polisi tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa bukti, maka ia bersama ketiga sepupunya akan
mengusahakan adanya bukti.
"Dan kau juga ikut, Timmy," bisik George pada anjingnya. "Kita berlima - Lima
Sekawan!" "Guk!" gonggong Timmy pelan, sebagai tanda mengiakan.
"Untung saja kalung itu sudah tidak ada lagi di lipatan alas kursi," kata Anne
lirih. "Orang tadi tidak tahu bahwa perhiasan itu disimpan Bibi Fanny dalam
tasnya." Tapi George sudah tidur. Timmy yang berbaring lantai dekat ujung bawah tempat
tidur juga sudah pulas lagi. Akhirnya Anne juga tertidur.
*** Keesokan harinya anak-anak sibuk membicarakan kejadian malam sebelumnya di meja
makan. Mereka berunding sambil sarapan pagi.
"Aku yakin orang itu pasti Pak Pradier, si Muka Bangkong," kata George untuk
kesekian kalinya dengan tegas.
"Ia kan pedagang. Uangnya pasti banyak, dari hasil penjualan di tokonya," kata
Julian menimbang-nimbang. "Katakanlah ia tahu tentang kalung mutiara merah jambu
- itu bisa saja - tapi setelah gagal membeli kursi sandar antik dari Bibi Fanny,
ia mestinya pasrah. Tidak bisa kubayangkan Ia menyelinap-nyelinap masuk ke rumah
orang dengan jalan memanjat dari balkon ke balkon lalu membuka jendela balkon
secara paksa, untuk kemudian secara sembunyi-sembunyi mencari-cari di ruang
duduk." "Tapi kecuali dia, siapa lagi yang mungkin tahu bahwa kalung itu ada di dalam
lipatan alas kursi, dan bahwa Bibi Fanny yang membeli kursi itu?" bantah Dick.
"Aku juga tidak suka melihat tampangnya," kata Anne menggumam. "Dugaanku sama
dengan George - cuma Pak Pradier yang mungkin merupakan orang yang masuk kemari
tadi." "Memang dia! Aku kan melihatnya!"
"Tapi bagaimana kita bisa membuktikannya?" kata Julian sambil mengeluh.
"Barangkali ada kemungkinan bagi kita untuk memastikan hal itu," kata George
dengan nada yakin. "Coba kalian lihat ini!"
Ia mengeluarkan secarik kain berwarna biru tua dari sakunya, lalu menyodorkannya
ke depan sepupul-sepupunya.
"Ini tanda bukti - berkat Timmy!" kata George lagi.
"Apa itu?" tanya Anne dengan mata terbelalak karena heran.
"Secarik kain! Kemarin malam Timmy masih berhasil menggigit kaki celana pencuri
itu sampai robek - dan inilah robekannyal"
"Maksudmu, kita harus memeriksa seluruh lemari pakalan yang ada di kota ini,
untuk mencari celana yang robek kakinya?" tanya Dick. Keningnya berkerut. "Itu
kan gila-gilaan namanya!"
"Memang, kalau begitu cara kerja kita," batas George sengit. "Tapi rencanaku
bukan begitu. Pada sobekan kain ini kan masih menempel bau badan pemiliknya.
Dengan penciumannya yang tajam. Timmy pasti bisa mengenali kembali orang itu.
Aku akan mendatangi si Muka Bangkong, bersama Timmy. Kalau Timmy di sana
menunjukkan reaksi yang tepat maka persoalannya akan jelas."
"Lalu apa gunanya itu untuk kita?" tanya Julian aga sangsi.
"Dengan begitu setidak-tidaknya kita tahu bahwa penyelidikan kita harus
diarahkan pada orang itu. Jika Ia benar-benar ingin mengambil kalung mutiara itu
maka pasti Ia akan mencoba kembali."
Anne berpikir-pikir. "Tapi jika kita mendatanginya, Pak Pradier pasti akan langsung sadar bahwa kita
mencurigainya," katanya kemudian. "Dengan begitu akan lebih sulit bagi kita
nanti untuk mengamat-amatinya."
"Ah, mana mungkin!" kata George dengan sikap meremehkan. "Ia kan tidak tahu
siapa kita. Kurasa tidak memperhatikan kita sewaktu pelelangan."
"Betul!" kata Dick mendukung sepupunya. "Lalu ketika Ia kemari dengan maksud
membujuk Bibi agar mau menjual kursi sandar itu padanya, kita sedang berada di
kamar sebelah." "Tapi malam tadi Ia melihat George di ruang duduk!" ujar Julian mengingatkan.
"Paling-paling Ia cuma melihat sekilas saja, dan itu pun hanya bayangan gelap
saja!" "Tapi Timmy" Ia bukan saja melihat Timmy, tapi juga nyaris menjadi mangsanya!"
kata Anne dengan perasaan geli.
Sesaat George nampak lenyap sikap santainya. Ia berpikir. Tapi kemudian Ia
mendongak tagi. Ditatapnya anak-anak yang lain dengan wajah berseri-seri.
"Biar saja!" katanya. "Aku akan tetap masuk ke toko Pak Pradier, bersama Timmy.
Jika kecurigaanku ternyata benar, setelah itu tugas pengamatan bisa kalian yang
melakukan. Si Muka Bangkong kan tidak mengenali kalian!"
Bab VIII KE TOKO PAK PRADIER "RENCANA itu bisa diterima. Ya - dengan cara begitu mungkin bisa!"
George mendekatkan sobekan kain biru tua ke hidung Timmy, memberi kesempatan
padanya untuk mengendus-endus sepuas hati.
Satu jam kemudian keduanya berangkat. Tapi tidak sendiri, karena Julian serta
kedua adiknya berkeras mengantarkan. Ketiganya berhenti sekitar lima puluh meter
dari toko Pak Pradier. Di situlah mereka menunggu George.
Sebelum memasuki toko, sekali lagi George mengambil sobekan kain biru tua dari
kantungnya, lalu mendekatkannya ke hidung Timmy. Setelah itu Ia berjalan lagi
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuju pintu toko, lalu membukanya.
George melangkah ke dalam, diiringi bunyi bel yang tergantung di ambang pintu.
Saat itu hanya Pak Pradier saja yang ada di tokonya. Ia menghampiri George
sambil tersenyum. "Anda ingin membeli sesuatu?" sapanya dengan gaya pedagang yang hendak
menawarkan jualannya. George tidak sempat lagi mencari-cari alasan kenapa ia datahg, karena Timmy
sudah lebih dulu menggeram. Rupanya ia mengenali kembali orang yang malam
sebelumnya masuk ke rumah secara sembunyi-sembunyi, dan kini ?a hendak menyerang
orang itu. George sampai kewalahan menahannya.
"Maaf, Pak!" ujar George dengan sikap kikuk. "Saya tidak tahu, kenapa anjing ini
tiba-tiba begini kelakuannya! Biasanya ia baik sekali."
Pak Pradier memandang keduanya - mula-mula dengan perasaan heran, tapi kemudian
berubah menjadi curiga. Sedang bagi George sudah jelas, bahwa Timmy mengenali
kembali orang itu. Sedang Pak Pradier rupanya juga merasa bahwa anjing itulah
yang menyerangnya tadi malam.
"Cepat keluar dengan anjing Anda itu," tukas pedagang itu dengan sengit.
"Binatang tidak boleh masuk ke dalam toko!"
Tanpa membantah lagi, George berpaling lalu keluar. Sementara itu Ia menyesali
keputusannya untuk mendatangi Pak Pradier. Sekarang orang itu pasti akan berjaga-jaga.
Sambil termenung, George kembali ke tempat tetiga sepupunya menunggu.
Keempat remaja itu berembuk sebentar. Begitu asyik, sampai tidak melihat bahwa
Pak Pradier cepat-cepat menyusul George, setelah mengunci pintu tokonya. Timmy
juga tidak mencium baunya, karena saat itu angin datang dan arab yang lawanan.
Pak Pradier cepat-cepat bersembunyl di balik dinding sebuah bangunan. Dari situ
ia ikut mendengarkan perembukan anak-anak.
"Memang perbuatanku tadi ternyata keliru," keluh George menyesali diri. "Tapi
setidak-tidaknya kini kita tahu bahwa orang itu tidak segan berbuat apa saja,
asal bisa memperoleh kalung mutiara merah jambu itu. Kita harus mengusahakan
agar harta warisan itu selekas mungkin diserahkan pada Arlette Trebor, selaku
ahli waris yang sah."
"Aku punya akal," kata Julian. "Sagaimana jika kita sekarang ini juga mendatangi
rumahnya lagi. Mungkin kini ia ada di rumah!"
"Ya, setuju" seru Anne bersemangat. "Ia pasti akan sangat gembira jika mendengar
kabar baik itu." Keempat remaja itu memutuskan untuk dengan segera berangkat ke tempat kediaman
Arlette. *** Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di depan bangunan tempat tinggal yang
terletak di Rue ce Santiago. Sebelum masuk, George masih sempat menoleh sebentar
untuk memperhatikan jalanan.
"Wah!" serunya kaget. "Aku rasanya seperti melihat si Muka Bangkong sekilas!"
"Kau ini macam-macam saja?" kata Dick sambil tertawa. "Teguhkan semangatmu!"
Sekali itu anak-anak bernasib baik. Arlette Trebor sendiri yang membukakan
pintu, begitu anak-anak membunyikan bel rumahnya. Wanita itu nampak masih sangat
muda dan berperawakan langsing. Rambutnya coklat dan panjang sampai menyentuh
bahu. Dengan matanya yang besar ditatapnya anak-anak dengan pandangan bertanya.
Mona, anak Arlette yang masih kecil, berdiri di samping ibunya. Anak itu
berambut pirang. Hidungnya mungil, sedang senyumannya manis sekali. Umurnya
sekitar enam tahun. Julian memperkenalkan dirinya serta ketiga saudaranya pada wanita muda itu.
Kemudian Ia mengatakan ingin bicara sebentar. Arlette tersenyum melihat
keseriusan keempat pengunjungnya itu.
"Begitu pentingkah urusan kalian itu?" tanyanya.
"Ya - kami hendak menyampaikan berita tentang harta yang akan Anda peroleh...."
"Ah - jika kalian ini hendak menjual lotere..."
"Bukan, bukan begitu maksud kami. Harap Anda dengar dulu keterangan kami!"
Sementara itu Mona sudah masuk ke dalam ruang duduk yang kecil tapi apik,
bersama Timmy. Dengan cepat keduanya sudah menjalin persahabatan. Arlette
mempersilakan anak-anak duduk. Ia sendiri mengambil tempat di bangku piano.
"Baiklah, ceritakan saja maksud kedatangan kalian ini."
Anak-anak bercerita tentang penemuan mereka yang tak tersangka-sangka. Tentang
kotak berisi kalung mutiara yang ditemukan terselip di belakang kursi antik,
serta tentang laci rahasia di meja tulis. Bahkan Mona pun ikut mendengarkan
dengan asyik. Ia tdak lagi bermain-main dengan Timmy.
"Bukan main! Luar biasa!" seru Arlene ketika anak-anak selesai bercerita.
"Kedengarannya seperti dongeng saja!"
"Tapi ini bukan dongeng! Jika Anda ingin memastikan bahwa kami tidak bohong,
telepon saja ibuku." kata George menyarankan. "Ibu nanti akan menegaskan cerita
kami tadi." Setelah berbicara dengan Bibi Fanny lewat telepon, lenyaplah segala kesangsian
Arlene bahwa Ia benar-benar mewarisi kalung mutiara yang berharga. Sambil
merangkul Mona dengan wajah berseri-seri, Ia mengucapkan terima kasih pada Lima
Sekawan. "Ini berkat ketangkasan kalian melacak, dan juga berkat kebaikan hati sahabat
nenekku," kata wanita muda itu. "Sekarang mungkin aku akan bisa hidup agak lebih
sejahtera, dan dengan begitu bisa memanjakan Mona sedikit. Dengan penghasilanku
dan mengajar piano, kami hanya bisa hidup pas-pasan. Wanisan ini benar-benar
karunia yang tak terduga!"
"Kalung itu memang tinggi nilainya, karena jarang ditemukan mutiara asli
berwarna merah jambu," kata Julian.
"Bukan hanya asli, tapi juga sangat indah," kata Anne dengan mata bersinar-
sinar. "Ibumu tadi menyarankan agar aku lekas-lekas menjual kalung itu dengan harga
yang pantas," kata Arlette pada George. "Lalu uangnya kutabung atau kubelikan
surat berharga. Kurasa itulah yang nanti kulakukan."
"Bagus!" Nampak jelas bahwa George ikut merasa bergembira.
Anak-anak dengan cepat merasa senang terhadap Arlette Trebor serta anaknya,
Mona. Mereka mengobrol dengan akrab, sementara Arlette menyuguhkan minuman dan
kue-kue. Timmy juga mendapat bagian.
"Sekarang Anda tinggal mengambil kalung itu di tempat kami," kata George
kemudian. "Aduh, sayang hari ini tidak bisa," kata Arlette dengan nada menyesal. "Siang
ini aku sibuk terus sampai petang, memberi pelajaran piano. Tapi kalau besok
bisa - asal ibumu ada waktu! Sewaktu meneleponnya tadi, aku begitu gugup, sampai
lupa membuat janji."
George menelepon ibunya sekali lagi. Bibi Fanny ada waktu besok pagi pukul
sepuluh, untuk menerima Arlette.
"Jadi sampai besok," kata wanita muda itu dengan wajah berseri-seri, ketika
anak-anak pulang. "Dan sekali lagi, terima kasih banyak!"
"Yuk! Sampai besok!" seru Mona, yang dari tadi menempel terus pada Tinmy dan
Anne. Seakan-akan sulit sekali baginya berpisah dari mereka berdua. Anne memang
menyukai anak kecil, dan keramahannya telah memikat Mona. Dalam hati Ia berharap
agar bisa segera berjumpa lagi dengan anak itu.
Bab IX PERAMPOKAN! KEESOKAN harinya anak-anak berdiri dengan sikap tidak sabar di balkon. Mereka
ingin melihat kedatangan Arlette bersama Mona.
Tiba-tiba Dick berseru sambil menunjuk-nunjuk, "Itu mereka!"
"Asyik - Mona juga diajak" kata Anne senang.
"Kuberi tahu saja Bibi Fanny sekarang," kata Julian.
Dick dan Anne bergegas ke ruang duduk, untuk menyongsong kedua tamu itu. George
masih berdiri balkon, sambil memandang ke jalan yang terjulur bawah.
Seorang laki-laki muncul dari balik tikungan. Nampaknya seperti sedang mengikuti
Arlette dengan diam-diam, karena Ia kelihatannya berusaha jangan sampai
kelihatan. Berulang kali Ia derigan cepa menyelinap masuk ke salah satu portal
terdekat. Atau pura-pura asyik melihat sesuatu di balik jendela toko.
Mungkin aku keliru, kata George dalam hati. Tapi sosok tubuhnya seperti sudah
pernah kulihat sebelum ini. Itu pasti si Muka Bangkong!
"Pendapatmu bagaimana. Tim?" tanyanya sambil menoleh ke arah anjingnya yang
setia. Timmy ikut memandang ke bawah sambil menggeram-geram.
Tapi dari atas sini tidak begitu jelas kelihatan, pikir George lagi. Orang itu
memakai mantel yang panjang, terjela-jela, dengan kerah dilipat ke etas.
Kepalanya tertutup topi yang dibenamkan dalam-dalam. Kalau itu memang si Muka
Bangkong, rupanya Ia berusaha agar tidak bisa dikenali.
"Aneh - Pak Pradier nampaknya tahu persis tentang segala-galanya" kata George
sambil masuk ke ruang duduk. "Ia membuntuti Arlette dan Mona sampai kemari."
"Ah, kau mimpi rupanya," kata Dick mengejek. "Dari mana Ia bisa tahu..."
"Ssst," potong Anne, "itu - bunyi bel!"
Bu Kirnin menyambut kedatangan Arlette anaknya yang masih kecil dengan ramah-
tamah. Setelah mengobrol sebentar, Ia pergi mengambil kotak perhiasan yang
berwarna biru dari kamarnya lalu diserahkannya pada pemiliknya yang sah. Arlette
membuka kotak itu. Ia sangat terharu. Matanya terbuka lebar ketika melihat
kalung mutiara merah jambu yang terdiri dari dua untai itu.
"Alangkah indahnya! Belum pernah saya melihat kalung mutiara seindah ini!"
"Harganya pasti sangat mahal. Anda bisa kaya jika kalung itu Anda jual," kata Bu
Kirrin nenegaskan. "Tahukah Anda bahwa kalung ini nyaris dicuri orang di sini?" kata Dick menyela
pembicaraan. "Tadi malam
ada orang masuk kemari. Untung George dan Timmy berhasil mengusirnya!"
"Astaga! Kalian pasti kaget sekali karenanya!" seru Arlette cemas. "Tapi tahu
pastikah kalian bahwa orang itu memang hendak mencuri kalung ini?"
"Kami yakin!" kata Dick mantap, lalu menceritakan kejadiannya dari awal -
termasuk kecurigaan George terhadap Pak Pradier, si Muka Bangkong.
"Kita tidak bisa menuduh orang dengan seenaknya saja, tanpa punya bukti apa-apa"
kata Bu Kirrin dengan tegas. "George memang selalu cepat memberi penilaian."
"Tapi itu memang benar, Bu! Tadi sewaktu aku masih di balkon, aku melihat
seseorang membuntuti Arlette. Orang itu nampakniya menyamar. Tapi pasti itu Pak
Pradier!" "Kau mimpi!" tukas Dick sambil menepuk kening "Dari mana Ia tahu bahwa Arlene
kemari untuk urusan kalung ini?"
"Entah - aku juga tidak tahu," jawab Georga dengan wajah suram, "tapi
kenyataannya begitu Mona dan ibunya tadi dibuntuti sampai kemari."
Wajah Arlene pucat mendengarnya.
"Kalau begitu aku memang tidak keliru," gumamnya.
"Apa maksud Anda?" tanya George tercengang. "Tadi, ketika keluar dari gedung
tempat tinggal kami, kami berpapasan dengan seorang laki-laki yang memakai
mantel panjang. Orang itu naik bis yang sama dengan kami. Tapi aku tidak bisa
melihat mukanya." Julian dan Dick bergegas ke balkon, lalu memandang kian kemari. Tapi mereka
tidak melihat orang yang penampilannya seperti yang dikatakan George dan
kemudian oleh Arlette! "Kami tidak melihatnya," kata Julian ketika sudah masuk lagi ke ruang duduk.
"Mungkin orang itu sudah pergi lagi - jika Ia memang membuntuti Anda. Bisa juga
cuma kebetulan saja Anda berjalan seiring dengan dia."
"Kurasa tidak," bantah George. "Ia memang dengan sengaja membuntuti Arlette. Aku
sendiri melihatnya tadi! Orang itu memang tidak nampak jelas karena geraknya
selalu menyelinap - tapi aku merasa pasti bahwa dia Pak Pradier!"
"Jika Ia masih ada di sekitar sini, pasti saat sedang bersembunyi di salah satu
tempat," kata Dick "Lalu saat Anda pergi dari sini, mungkin Ia mencoba merebut
kalung mutiara ini!"
"Jangan suka berkhayal, Dick!" kata Bibi Fanny.
"Aku punya akal bagus!" kata Julian tiba-tiba sambil menoleh ke arah Arlette
Trebor. "Kurasa sebaiknya Anda menyimpan kalung itu di bank"
"Ya, itu memang gagasan baik! Bank langgananku tidak jauh tempatnya dari tempat
tinggalku." "Kalau begitu segera saja Anda ke sana," kata Fanny. "Tapi jika Anda sendiri
saja, mungkin berbahaya!"
"Kami bisa mengantar!" sela George. "Jika Pak Pradier melihat kita beramai-
ramai, pasti Ia takkan berani berbuat apa-apa!"
Saran itu nampaknya menenangkan perasaan Arlette.
"Tentu saja aku mau," katanya dengan gembira, berpaling pada Bibi Fanny, "tapi
tentu saja jika Anda mengizinkan!"
"Tentu saja boleh!" kata Bibi Fanny. "Tapi saya rasa takkan ada apa-apa nanti!"
Sambil tersenyum ditambahkannya, "Naik kereta bawah tanah saja ke sana! Dekat
sini kan ada stasiun. Dengan begitu Anda akan lebih lekas sampai di rumah,
dibandingkan dengan naik bis. Tapi mudah-mudahan saja anak-anak ini keliru, dan
sebenarnya tidak ada orang yang hendak berbuat jahat terhadap Anda. George
memang hebat, kalau sudah mengkhayal!"
Arlette memasukkan kotak kecil yang berisi kalung ke dalam tasnya. Setelah itu
Ia pergi, bersama anak-anak. Sesampainya di jalan, anak-anak memandang ke kiri
dan ke kanan dengan sikap waspada. Tapi mereka tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan! "Syukurlah!" Anne mendesah lega. "Aku tidak suka jika ada kesulitan."
Berlainan dengan kedua abangnya, anak itu memang selalu ikut jika ada
petualangan. Tapi Ia sebenarnya tidak menyukai kesulitan. Apalagi bahaya! Tapi
itu tidak berarti bahwa ia tidak bersikap tabah.
Rombongan itu sampai di jalan masuk ke stasiun kereta bawah tanah. Mereka
menuruni tangga peron. Sambil membisu mereka menunggu kedatangan kereta. Arlette
nampak tidak sabar, ingin lekas-lekas sampai di bank. Anak-anak memikul tugas
sebagai pengawal dengan serius. Mereka berdiri agak belakang Arlette. Anne
menggandeng tangan Mona sambil mengajak anak kecil itu mengobrol. Timmy duduk di
dalam tas besar yang dijinjing oleh Dick dan George. Anjing itu nampak sangat
memelas, seakan-akan malu diperlakukan seperti itu. Sejak kejadian dengan kucing
waktu itu, ia dilarang Georgo mengeluarkan kaki dari lubang di dasar tas.
Dari jauh terdengar bunyi peluit, disusul segera oleh deru roda-roda kereta yang
memasuki stasiun. Arlette berdiri di pinggir peron, sambil menggenggam tasnya yang berisi kalung
mutiara. Tahu-tahu ada orang muncul di sampingnya. Orang itu menyenggol Arlette
dengan keras, sehingga wanita muda itu terhuyung. Saat itu orang tadi merampas
tasnya! Arlette pasti sudah tersungkur ke bawah kereta kalau Dick dan George kurang
tangkas. Kedua remaja itu dengan sigap menyentakkan Arlette ke belakang.
Orang yang merampas tas memanfaatkan kekacaauan yang terjadi untuk menghilang di
tengah kerumunan orang. Ia lari ke arah pintu keluar. Orang-orang yang
berkerumun kebanyakan tidak menyadari apa yang terjadi tadi. Semua ingin cepat-
cepat masuk kereta. Jadi perampok tadi pasti bisa dengan mudah melarikan diri.
Tapi untung Julian - dan juga Timmy
- sangat waspada. Julian mengejar orang itu. Sedang Timmy meloncat keluar dari tas, dan dengan
cepat sudah berhasil menyusul perampok.
Orang itu, yang berpenampilan seperti gelandangan, berteriak kaget ketika tahu-
tahu ada anjing yang menerpanya. Saat itu juga Julian sudah datang, lalu
merampas tas Arlette dari tangan orang itu.
Timmy membenamkan giginya yang runcing-runcing ke lengan kiri perampok itu,
sehingga Ia tidak bisa lari lagi. Julian berpaling, hendak mencari bantuan. Tapi
tahu-tahu datang seorang pegawai kereta api. Ia menarik kalung leher Timmy,
sehingga anjing itu tersentak ke belakang.
"Anjing goblok! Ayo, lepaskan!" bentak pegawai itu. "Seenaknya saja menyerang
orang, hanya karena berpakaian lusuh! Kecuali itu anjing tidak boleh berkeliaran
di stasiun, tahu! Anjingmukah ini!" tanya pegawai itu pada Julian. "Kau harus
diberi peringatan keras, menyebabkan keributan di sini!"
Bab X ANCAMAN JULIAN berusaha menjelaskan duduk perkara. Tapi sia-sia, karena pegawai kereta
api itu tidak mau tahu. Orang itu menarik kalung leher Timmy keras-keras, sampai
anjing itu sulit bernapas dan terpaksa melepaskan gigitannya. Penjahat yang
semula sudah berdaya memanfaatkan peluang baik itu. Ia cepat-cepat menghilang di
tengah orang banyak. Kejadiannya begitu cepat, sehingga Julian sama sekali tidak
sempat mengejar lagi. Kecuali itu ia juga dipegang oleh pegawai kereta.
"Eh, kau ini! - tidak mendengar ya"! Aku..."
Saat itu anak-anak yang lain datang, diikuti oleh Arlette. Wanita muda itu
gemetar sekujur tubuhnya. Sedang Mona menangis ketakutan.
"Lepaskan anjingku!" beritak George. Ia marah sekali, melihat anjing
kesayangannya diperlakukan dengan kasar. "Anda keterlaluan - tidak melihat bahwa
orang yang digigitnya tadi perampok!"
"Orang itu tadi baru saja merampas tas saya, sedang saya didorongnya sehingga
nyaris saja terjerembab ke bawah roda kereta" kata Arlette menjelaskan dengan
wajah pucat-pasi.
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh, George - kau dan Dick menyelamatkan nyawaku tadi - sedang Julian dan
Timmy berhasil mengamankan tasku." Arlete menangis karena gugup.
Pegawai kereta yang galak itu bingung. Ia tergagap.
"Wah, maaf... saya kan tidak tahu..." Suaranya serak.
"Cepat - kita harus pergi dari sini!" sela Julian dengan buru-buru. "Arlette dan
kalung mutiaranya takkan aman sebelum kita sampai di bank!"
Timmy masuk lagi ke dalam tas. Mereka beramai-ramai masuk ke kereta yang datang
setelah itu. Dalam perjalanan tidak ada yang berbicara. Ketika sampai stasiun
tujuan, mereka keluar. Mereka melihat dulu kiri dan ke kanan dengan sikap
curiga, sewaktu sudah naik ke atas lagi. Tapi tidak nampak sesuatu ya
mencurigakan di situ. "Cepat!" kata Arlette dengan gugup. "Bankku letaknya di jalan berikut."
"Kalau kalung itu sudah aman dalam Bank si Muka Bangkong perlu ditanyai tentang
soal ini." gumam George.
"Jadi kalian benar-benar beranggapan bahwa gelandangan tadi memang Pak Pradier?"
tanya Arlette dengan nada kurang percaya.
"Ya, aku yakin!" kata George sambil mengangguk. "Ia tadi cuma menyamar saja
sebagai gelandangag Tapi ketika Ia menyenggol Anda tadi, aku sempat melihat
mukanya. Tadi itu memang Pak Pradier!"
"Kalau begitu ia membuntuti kita sejak dari rumah." kata Dick menduga.
"Begitulah kalau menurutku" kata George menegaskan. "Ia mengintai kita - mungkin
dari balik kios tempat penjualan koran dan majalah. Tidak banyak yang perlu
dilakukannya untuk menyamarkan diri. Cukup dengan memenyokkan topi, mengotori
muka dan tangan, serta meremas - remas mantel sehingga nampak lusuh. Dengan begitu
Arlette takkan bisa mengenalinya, jika Ia semula dilihat ketika sedang
membuntuti ke tempat kita. Orang itu ternyata berbahaya sekali, karena tidak
segan berbuat apa saja asal maksudnya tercapai!"
"Penjahat!" tukas Julian marah. "Aku juga yakin bahwa orang tadi pasti Pak
Pradier! la memang berusaha menyembunyikan mukanya, tapi tampangnya yang seperti
bangkong itu gampang sekali diingat!"
"Dan kita pasti berhasil membekuknya, jika tidak dirintangi pegawai kereta yang
goblok tadi," kata George mengomel.
"Tapi setidak-tidaknya tas Arlette berhasil kita rebut kembali!" kata Anne
dengan nada menenangkan. Anak-anak kembali bergembira.
"Nah - kita sudah sampai," desah Arlette lega. "Aku akan menyewa kotak dalam
lemari besi bank ini lalu akan kusimpan kalungku di dalamnya. Bisakah Mona
kutitipkan pada kalian sebentar?" Tanpa menunggu jawaban lagi, Anlette bergegas
ke dalam bank. Dan beberapa menit kemudian kalung mutiar merah jambu itu sudah
diamankan, disimpan di kotak yang disewa dalam lemari besi.
"Nah - urusan ini sudah beres sekarang!" Julian puas. "Sekali lagi Lima Sekawan
berhasil dengan tugasnya. Kita boleh mengucapkan selamat pada diri sendiri,
karena berhasil menemukan kalung serta surat wasiat, lalu menyerahkan warisan
itu pada Arlette, ahli waris yang sah!"
"Entah kenapa - tapi aku masih saja memikirkan si Muka Bangkong," kata George
sambil merenung. "Kita memang ternyata lebih cekatan dari orang itu sehingga
berhasil menggagalkan niat jahatnya - tapi Ia belum mendapat hukuman yang
setimpal dengan kejahatannya. Itulah yang menyebabkan perasaanku masih kurang
enak. Kalian bagaimana?"
"Ah - sudahlah, lupakan saja orang itu," kata Dick dengan santai, sambil
mengibaskan tangan. "Pada suatu waktu nanti pasti ada pembalasan baginya."
"Yuk, kita main sembunyi-sembunyian" ajak Anne. Ia ingin melonggarkan pikiran,
setelah tegang terus selama itu.
Saudara-saudaranya setuju. Mereka bermain-main dalam taman yang terletak tidak
jauh dari situ. George sudah tidak memikirkan Pak Pradier lagi. Atau tepatnya,
Ia berusaha melupakan orang itu.
*** Tapi keesokan harinya Arlette menelepon.
"Halo, George! Ada kejadian yang buruk sekali!"
"Kejadian apa?" tanya George. Ia kaget, bercampur cemas.
"Tadi pagi aku menemukan sepucuk surat yang diselipkan di bawah pintu rumah.
Surat itu tanpa alamat pengirim. Orang itu hendak memeras diriku. Aku bingung
sekali sekarang. Aku tidak tahu, apa yang harus kuperbuat!"
George merinding. Pemerasan! Dan semula Ia sudah menduga bahwa si Muka Bangkong
takkan selekas itu menyerah.
"Tenang sajalah dulu," katanya membujuk Arlette yang sementara itu menangis
tersedu-sedu. "Apa urusannya yang sebenarnya" Dengan apa Anda diperas?"
"Pengirim surat itu mengatakan akan menculik Mona, jika aku tidak mau
menyerahkan kalung mutiaraku."
"Apa?" George benar-benar kaget.
"Dalam surat itu tertulis petunjuk-petunjuk yang harus kuikuti," kata Arlette
yang masih terisak-isak. "Aku harus mengambil kalung itu dari bank, lalu dengan
segera menyerahkannya pada mereka. Aduh, George! Apa boleh buat - aku sudah
memutuskan untuk menuruti permintaan pemeras itu. Memang sayang kalung berharga
itu - tapi bagiku keselamatan Mona jauh lebih penting daripada segala kalung
mutiara yang ada di dunia!"
"Tunggu! Tunggu dulul" seru George. "Jangan putuskan hubungan, Arlette! Aku
harus berembuk dulu dengan saudara-saudaraku!"
Dengan cepat George menceritakan kabar mengejutkan itu pada anak-anak yang lain.
"Aduh, jahatnya!" tukas Julian dengan marah. "Mengancam keselamatan anak kecil!
Siapa orang yang sejahat itu?"
"Siapa lagi, kalau bukan Pak Pradier si Muka Bangkong," kata George dengan nada
pasti. "Ya, betul - Ia masih tetap ingin memperoleh kalung mutiara itu," kata Dick
dengan sengit. "Orang itu ternyata tidak segan-segan berbuat apa saja!"
"Arlette harus segera memberi tahu polisi!" seru Anne. Air matanya berlinang-
linang. "Mona perlu dilindungi!"
George berbicara lagi lewat telepon.
"Halo! Arlette, kami semua sependapat bahwa harus cepat-cepat memberi tahu
polisi. Dengan begitu Anda akan memperoleh pengawalan polisi, yang akan menjaga
Mona-" "Tapi dalam surat itu aku diperingatkan agar jangan memberi tahu polisi. Mona
kan tidak mungkin bisa terus-menerus dikawal polisi. Dan begitu polisi pergi,
keselamatan Mona akan terancam lagi!"
George berpikir dengan cepat. Saat itu orang tuanya sedang tidak ada, jadi tidak
bisa dimintai nasihat. Tapi urusan itu terlalu gawat - tidak mungkin Lima
Sekawan sendiri yang menangani!
Julian sampai pada kesimpulan yang serupa. Diambilnya gagang telepon yang masih
dipegang George, lalu berusaha meyakinkan Arlene.
"George tadi benar, Arlette! Anda harus dengan segera memberi tahu polisi.
Percayalah - itu satu-satunya tindakan tepat!"
"Aku tidak berani, Julian. Aku takut sekali! Aku tadi sebenarnya juga tidak
boleh menelepon kalian - tapi aku harus berbicara dengan seseorang! Aku sekarang
akan mengambil kalung dari bank, lalu menyerahkannya di tempat yang sudah
ditetapkan. Bagiku lebih baik kehilangan kalung itu, karena keselamatan Mona
jauh lebih penting. Kalian bisa memahaminya, kan?"
Arlette terdengar menangis tagi.
Sekali lagi Julian berusaha meyakinkan Arlette.
"Biar k?mi saja yang melapor pada polisi, jika Anda tidak berani melakukannya,"
kata Julian. "Dengan begitu Anda tetap terlindung."
"Tapi polisi takkan percaya jika kalian yang melapor," kata wanita muda itu
dengan suara sedih. "Soalnya, satu-satunya bukti tentang bahaya yang mengancam
Mona adalah surat itu. Tapi walau begitu aku senang sekali bahwa kalian begitu
baik budi, mau menolongku. Terima kasih!"
George yang ikut mendengar langsung sadar bahwa Arlette akan memutuskan hubungan
telepon. Karenanya dengan cepat dirampasnya gagang telepon dari tangan Julian,
lalu berkata, "Halo, Arlette! Tunggu - jangan putuskan dulu! Coba katakan
bagaimana bunyi petunjuk-petunjuk yang tertera dalam surat itu. Apakah yang
harus Anda lakukan setelah mengambil kalung mutiara dari bank" Di mana Anda akan
bertemu dengan pemeras itu?"
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi! Sudah terlalu banyak yang kukatakan
tadi" Sambil mengeluh Ia menambahkan, "Kita bertemu lagi nanti, kalau urusan
yang tidak enak ini sudah lewat. Sekali lagi terima kasih atas kesediaan kalian
membantuku." Bab XI MENYUSUN SIASAT ARLETTE sudah memutuskan hubungan. Anak-anak berdiri mengelilingi pesawat
telepon. Wajah mereka pucat. Anne sudah hampir menangis kelihatannya. Bahkan
Timmy pun ikut gelisah. Ia merasa suasana
tidak enak saat itu. "Kita harus berbuat sesuatu!" seru George dengan tiba-tiba. "Kita tidak boleh
putus asa! Aku punya rencana. Begini rencanaku itu: kita menunggu Arlette dekat
pintu bank. Begitu Ia keluar, kita buntuti sampai ke tempat sudah ditentukan
penjahat itu. Nah - saat itu kita beraksi!"
"Beraksi" Tapi dengan cara bagaimana?" tanya Dick kaget. "Sekarang pun kita
sudah tidak ada waktu lagi untuk menyusul Arlene ke bank, sebelum Ia pergi
lagi!" "Siapa tahu, mungkin masih ada," gumam George. "Cepat, Ju! Mana nomor telepon
yang kauterima dari keponakan Pak Serignac yang guru musik itu. Sekarang pemuda itu harus
membuktikan bahwa Ia benar-benar mau membantu kita seperti yang dikatakannya!"
Dengan segera George sudah berhasil menghubungi Tomas.
"Halo, Tomas! Di sini Lima Sekawan. Kami memerlukan bantuanmu - atau tepatnya,
mobilmu. Bisakah kau datang dengan segera kemari" Dalam sepuluh menit" Bagus!
Urusannya sangat medesak. Kami menunggumu di bawah. Terima kasih!"
Anne kagum melihat semangat George, yang selalu ada saja akalnya. Bahkan dalam
menghadapi keadaan yang paling rumit pun, ia biasanya bisa menemukan jalan
keluar. Reaksinya cepat dan cekatan. Dan sangat gigih, jika sudah melacak jejak.
Bahkan Dick pun kagum. "Kita pasti masih bisa datang pada waktunya" kata George dengan tenang.
"Soalnya. Arlene masih harus mencari orang dulu pada siapa Mona bisa dititipkan
selama Ia pergi. Mungkin ia akan minta tolong salah seorang tetangganya. Lalu
setelah itu Ia harus pergi ke bank, mengambil kalung mutiara dari kotaknya dalam
lemari besi. Urusan itu kan tidak segera selesai, karena ia masih harus ini
formulir, dan sebagainya. Aku pernab melihat orang melakukan urusan seperti itu,
di televisi. Dan sebelum Arlette meninggalkan bank, mudah-mudahan kita sudah
tiba di sana." Dengan segera Tomas datang dengan ayahnya. Ia melambai dengan riang.
"Mobil ini memang agak kecil, tapi kurasa kita semua bisa muat di dalamnya. Ke
mana kita?" Julian menjelaskan tujuan mereka. Tomas menekan pedal gas, dan mobil itu melesat
maju. Tomas sangat cekatan mengemudikan mobilnya. Bukan saja cekatan, tapi
kadang-kadang juga nekat. Anne yang duduk...
(hal 138-139 tidak ada) "Lebih baik kita memencar," kata George mengusulkan. "Jangan sampai menyolok
mata. Tomas, kau berjalan di depan. Arlette kan tidak mengenalmu. Jadi Ia takkan
merasa curiga melihatmu, jika Ia kebetulan menoleh ke belakang."
Para remaja itu membuntuti Arlette dengan tetap menjaga jarak. Arlette bergegas-
gegas terus menyusuri jalan besar. Tahu-tahu Ia membelok, memasuki suatu jalan
kecil. Anak-anak yang membuntuti ikut membelok ke situ. Keadaan di jalan kecil
itu lebih ramai. Arlene nampak seperti ragu sesaat, lalu berpaling dengan cepat.
Siasat George ternyata berhasil. Arlette hanya melihatTomas di belakangnya Dan
Ia tidak mengenal pemuda itu.
Kini Arlene melanjutkan langkahnya. Rupanya tadi merasa curiga, jangan-jangan
ada yang membuntuti. Tapi setelah sekitar lima puluh meter, langkahnya
diperlambat. Anak-anak juga memelankan jalan mereka. Rupanya saat yang
menentukan sudah tiba. Apakah yang akan terjadi kini" Sepanjang penglihatan
mereka, tidak ada orang yang nampak memperhatikan wanita muda itu.
Arlette semakin memperlambat jalannya. Para remaja yang mengikuti merasa seolah-
olah Ia sedang mencari-cari sesuatu.
Setelah itu peristiwa berlangsung dengan cepat.
Arlette memegang kotak perhiasan yang selama dikempitnya, lalu mencampakkannya
ke dalam buah mobil yang diparkir di tepi jalan dengan kaca jendela terbuka.
Kotak perhiasan itu jatuh di sebelah kemudi.
Penyerahan Itu berlangsung dengan lancar, tanpa diketahui orang lain. Kecuali
anak-anak dan Tomas, tentunya! Setelah itu Arlette meneruskan langkah dengan
santai, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Rupanya Ia mematuhi petunjuk.
George menerjang maju sambil berteriak-teriak, diikuti oleh anak-anak dan Timmy.
Tomas juga ikut lari memburu. Orang-orang yang sedang berjalan ditubruknya saja.
Tapi terlambat! Mobil yang diparkir itu mulai bergerak, karena ternyata berhenti dengan mesin
dihidupkan. Tomas dan George masih sempat meraih pegangan pintu Tapi itu pun
percuma. Hasilnya hanya berupa kuku tangan yang patah!
Timmy ingin ikut beraksi. Dicobanya menggigit ban mobil itu. Tapi kendaraan itu
bukan manusia, yang bisa merasa sakit kalau digigit. Dengan cepat mobil itu
sudah menghilang di sela keramaian lalu lintas. Anne berteriak-teriak menyuruh
berhenti. Orang-orang di sekeliling mereka tertawa geli karena menyangka bahwa Anne
memanggil Timmy. Anjing tabah itu berputar-putar mengejar ekornya sendiri,
setelah gagal menghentikan mobil.
Tapi Arlette mendengar teriakan Anne. Ia berseru kaget, ketika melihat Lima
Sekawan ada di belakangnya.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanyanya. "Bagaimana kalian bisa menemukan aku?"
Wajahnya pucat-pasi, setelah mendengar penjelasan George.
"Aduh! Bisa kacau tadi karena kalian," gumam dengan cemas.
"Tidak mungkin!" bantah Dick. "Bahkan sebaliknya, nyaris saja kami berhasil
menangkap penjahat itu. Coba berhasil tadi - Anda akan bisa memperoleh kalung
mutiara itu kembali, dan Anda tidak usah lagi mengkhawatirkan keselamatan Mona!"
"Pokoknya anakku sekarang sudah aman." desah Arlene dengan nada lega.
"Ya, itu sudah pasti," tukas George dengan sengit. "Tapi sebagai gantinya
penjahat itu berhasil memperoleh apa yang diingini, dan bisa lolos dari hukuman
yang setimpal?" "Aku tadi seharusnya mengikuti Arlette dengan mobil, sementara kalian berjalan
kaki" kata Tomas menyesal. "Ck, sayang!"
Julian memperkenalkan pemuda itu pada Arlette yang sementara itu nampaknya sudah
pulih ketakutan. Ia mengelus-elus Timmy, yang juga sudah tenang kembali.
"Entah dengan cara bagaimana aku bisa menyatakan terima kasihku pada kalian.
Kalian tadi sudah berusaha menolongku, tapi... Yah, memang sayang kalung
berharga itu, tapi masa bodohlah! Biar saj? penjahat tadi berbuat semaunya
dengan untaian mutiara itu!"
Bab XII RENCANA GEORGE TAPI anak-anak tidak selekas itu bersikap pasrah. Soalnya, mereka sudah sangat
berpengalaman menghadapi keadaan seperti itu!
"Apakah Anda tadi sempat melihat muka orang yang mengemudikan mobil?" tanya
Dick. "Aku bahkan sama sekali tidak memandang ke arahnya, karena dilarang, menurut
petunjuk dalam surat," jawab Arlette.
"Sedang kami - kami datang terlambat!" George mengepalkan tinju. Menurut
perasaannya, Arlette terlalu cepat putus asa. Ia menyesali dirinya sendiri,
karena tidak merencanakan penggunaan mobil Tomas secara lebih baik. Mestinya kan
sudah diperhitungkan bahwa penjahat akan muncul dengan mobil!
Tomas menawarkan diri untuk mengantar Arlette pulang. Tapi Arlette menolak.
"Aku berjalan kaki saja," katanya. "Kan tidak jauh."
Anak-anak ikut berjalan dengan Arlette, karena ingin bertemu dengan Mona yang
selama itu dititipkan pada seorang tetangga.
"Sekali lagi terima kasih" kata Arlene terharu, ketika berpisah dengan anak-
anak. "Urusan kalung mutiara itu ada juga gunanya bagiku, yaitu bahwa setidak-
tidaknya bisa berkenalan dan bersahabat dengan kalian."
Mona memeluk anak-anak sebagai salam perpisahan. Suasana haru saat itu rupanya
menulari Timmy. Anjing itu bersin tiga kali berturut-turut.
"Kuantar kalian pulang!" kata Tomas menawarkan. "Sayang kita tidak berhasil -
apalagi justru saat aku mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan Lima
Sekawan!" "Hah!" dengus George. "Urusan ini sama sekali belum selesai! Tidak selekas itu
aku menyerah. Aku masih tetap bertekad membekuk si Muka Bangkong!"
"Aku agak sangsi, apakah betul dia pelakunya," kata Julian. "Sayang kita tadi
tidak sempat memperhatikan nomor mobil penjahat itu!"
"Kalau kauperhatikan pun takkan ada gunanya," ujar Dick. "Pelatnya dilumuri
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lumpur, sehingga tulisannya tidak bisa dilihat!"
"Itu sama sekali tidak penting," kata George menggerutu dengan wajah sengit.
"Bagiku, yang penting adalah berusaha mengambil kembali kalung mutiara itu dari
tangannya!" "Mengambil kembali?" Anne menatap sepupunya dengan wajah ketakutan.
"Ya! Kenapa tidak" Aku tidak suka kalau kalah cepat dari penjahat! Lagi pula,
itu kan tidak adil! Sangat tidak adil! Penculikan merupakan kejahatan yang
paling keji - apalagi kalau hanya karena ingin memiliki kalung mutiara!"
George benar-benar marah. Darahnya seakan mendidih. Pada saat seperti itu ia
tidak bisa diajak bicara secara tenang. Anak itu pemurah dan berani, tapi
kadang-kadang juga bisa sangat keras kepala seperti keledai!
"Lalu - apa yang hendak kaulakukan sekarang?" tanya Dick, yang selalu bersedia
ikut bertualang bersama sepupunya.
"Pertama-tama" jawab George, "aku harus memastikan dulu apakah kalung itu benar-
benar ada pada Pak Pradier sekarang!"
Tomas melongo. "Eh - kusangka kau sudah yakin sekali!"
"Kau salah mengerti," balas George. "Maksudku, kita harus menyelidiki apakah
kalung itu disimpan di tempat si Muka Bangkong!"
"Apa?" Tomas nyaris tersedak, karena kaget. "Kau bermaksud hendak mendatangi
orang itu" Kau nekat." Tomas mengerem mobilnya. "Nah, kita sudah sampai! Jika
kalian memerlukan aku lagi, tinggal menelepon saja - dengan senang hati aku akan
datang! Yuk - sampai lain kali!"
*** Selesai makan siang, anak-anak pergi ke sebuah taman, tidak jauh dari tempat
mereka menginap. Mereka menuju ke suatu sudut yang tenang dan terang, untuk
berembuk. "Kita harus mengamat-amati toko Pak Pradier," kata George. "Harus kita selidiki
dengan siapa saja Ia bertemu, balk di dalam maupun di luar bangunan. Kalau
perlu, kita buntuti dia. Menurut perasaanku, Ia mencuri kalung itu karena hendak
menjualnya lagi." Julian menggeleng. "Ah - kita takkan bisa mengetahui apa-apa, karena ia pasti bersikap waspada,"
katanya. "Terus-terang sajalah, George - niatmu yang sebenarnya bukan begitu."
"Baiklah - kukatakan saja niatku yang sebenarnya." kata George. "Aku hendak
menyelidiki keadaan sekitar toko itu, melihat cara yang terbaik menyelinap masuk
tanpa ketahuan!" "Apa maksudmu?"
"Kita hanya bisa mengetahui dengan pasti apakah kalung itu ada pada si Muka
Bangkong, kalau kita masuk lalu memeriksa sendiri!"
"Tapi Pak Pradier sekarang kan sudah mengenal tampang kita!" bantah Dick.
"Begitu kita melewati ambang pintu tokonya, pasti ia akan lansung mengusir kita
ke luar! Di samping itu, apa gunanya kita berhasil masuk" Kita kan tidak bisa
seenaknya berkata padanya, 'Kembalikan mutiara yang Anda rampas dari Arlette
Trebor! tidak mungkin! Dan kalau kita berkata begitu, Ia takkan menjawab dengan,
'0 ya, tentu saja anak muda, ini, kukembalikan - karena kau memintanya dengan
sopan!" George nyengir. "Menurutku juga terlalu berbahaya, jika kita melakukan penyelidikan sewaktu toko
masih buka. Tapi begini. Si Muka Bangkong kan saat tengah malam menyelinap masuk
ke tempat tinggal kita. Nah - kenapa kita tidak bisa berbuat sama terhadapnya."
Julian terlonjak karena kaget."Kau sinting! Kita tidak bisa melakukannya, karen
Paman dan Bibi tidak mungkin mengizinkan kita keluar malam-malam. Dan andaikan
kita diizinkan, mereka pasti akan bertanya kita hendak ke mana"
"Tenang-tenang sajalah!" kata George. "Sebelum melakukannya, tentu saja kita
harus menyusun rencana sebaik-baiknya. Tapi kau tadi benar, Ju. Kurasa memang
sangat sulit melakukan rencana itu malam-malam. Kecuali itu kita juga belum tahu
apakah Pak Pradier bertempat tinggal di atas tokori atau mungkin juga di tempat
lain. Kebiasaannya juga tidak kita kenal. Misalnya saat tokonya ditutup,
sebagainya. Jadi kita harus memulai tindakan dengan melakukan pengamatan secara
cermat. Setelah itu barulah kita bisa menyusun tindakan selanjutnya. Tentu saja
kita perlu menyelidiki dulu situasi dalam tokonya."
Bagi Julian, pengamatan terhadap toko Pak Pradier tidak mengkhawatirkan, karena
sama sekali tidak mungkin menimbulkan bahaya. Selama tiga hari anak-anak
mengamat-amati toko itu. Kemudian mereka membuat susunan terperinci tentang apa
saja yang berhasil mereka ketahui selama masa itu.
"Pak Pradier biasa menutup toko pukul enam sore," kata Anne.
"Dan tidurnya di tingkat satu bangunan yang sama." kata Julian menambahkan.
"Pukul tujuh malam Ia pergi dari tokonya, untuk makan di restoran," ujar Dick
melaporkan. "Antara pukul enam dan pukul tujuh Ia selalu membereskan pembukuan dan menelepon
- itu sejauh yang bisa kita lihat lewat jendela," sambung George. "Aku sudah
mempertimbangkan dengan masak-masak. Menurutku, hanya suatu rencana yang
sederhana tapi mengandung risiko saja yang mungkin bisa berhasil. Sekarang
dengarkan.." Rencana George ternyata memang sangat sederhana. Tidak lama sebelum toko ditutup
Ia hendak menyelinap masuk lalu bersembunyi di dalam. Ia baru keluar lagi, kalau
sudah tahu di mana kalung mutiara itu disembunyikan.
Bahkan Julian pun harus mengakui bahwa rencana itu sangat bagus. Tapi selaku
yang paling tua di antara mereka berempat, ia menyatakan keberatannya. Julian
memang suka berhati-hati, dan merasa bertanggung jawab alas keselamatan ketiga
saudaranya. Agak lama juga mereka berdebat. Akhirnya George mengibaskan tangan
dengan sikap tidak sabar.
"Aku sudah berusaha memperhitungkan segala kemungkinan," katanya menjelaskan.
"Rencanaku pasti berhasil, jika kalian semua menaatinya."
"Kami kan nyaris tak berperan di dalamnya," Dick.
"Betul!" kata Anne mendukung abangnya. "Sementara kau memeriksa isi toko, kami
menunggu di luar. Itu kan lebih menggelisahkan, dibandingkan dengan melakukannya
sendiri!" "Tapi peranan kalian sangat penting," kata George membantah, "karena kalian
bertanggung jawab atas keselamatanku. Kalian tahu di mana aku berada dan apa
yang akan terjadi terhadap diriku, jika sampai ketahuan oleh si Muka Bangkong.
Jika aku lama sekali belum keluar juga, kalian harus cepat-cepat pergi ke polisi
untuk memberi tahu. Sedang aku - karena tahu bahwa ada kalian yang kalau perlu
bisa memberikan dukungan - bisa menggertak lawan kita itu jika ia memergoki
diriku lalu hendak mengancam. Sudah mengerti belum?"
Penjelasan itu dipahami ketiga sepupunya. Mereka sadar bahwa George sudah
bertekad melaksanakan niatnya, tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam.
Bangau Sakti 21 Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Peti Bertuah 2
karena hendak menanyakan alamat seseorang."
Muka pengurus gedung yang tadinya merah padam, kini berubah menjadi ungu.
"Aku... aku.. aku..." kat?nya terbata-bata. Ia tidak bisa meneruskan, karena
terlalu marah. "Kalau Anda tetap berkeras, sepupuku nanti terpaksa melepaskan anjingnya," kata
Dick dengan nada santai. "Dan kami semua akan mengatakan bahwa Anda yang lebih dulu menyerangnya." tambah
Julian dengan sengit. Pengurus gedung itu mundur pelan-pelan, memasuki kediamannya lalu cepat-cepat
menutup pintu. "Hahh!" kata George dengan sikap menang. "Ia takut digigit Timmy! Hebat,
Anjingku! Bagus! Sekarang kita bisa meneruskan pelacakan!"
Mereka bergegas menaiki tangga rumah, menuju lantai dua. Julian menekan tombol
bel di pintu kediaman yang paling dekat dengan tangga. Seorang wanita yang masih
muda muncul. "Selamat siang!" kata Julian dengan sopan. "Maaf atas gangguan ini - tapi kami
mencari alamat anak keluarga Landreux, yang dulu pernah tinggal di gedung ini.
Mungkin Anda tahu?" "Landreux" Aku tidak tahu bahwa di sini dulu pernah ada keluarga yang namanya
begitu. Aku memang belum lama pindah kemari. Sebaiknya kalian naik saja ke
tingkat empat, mendatangi seorang guru musik yang tinggal di situ. Ia sudah
lebih dari tiga puluh tahun tinggal di sini. Jadi kurasa Ia lebih tahu dari
aku." "Terima kasih!"
Anak-anak bergegas naik ke tingkat empat. Di salah satu pintu di sebelah kin
terpasang papan nama terbuat dari kuningan.
Marc Serignac Guru Musik George menekan bel. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki di ambang
pintu. Orangnya tinggi agak bungkuk, dan rambutnya yang panjang sudah putih
semua. Raut mukanya menarik. Senyumannya sangat ramah.
"Selamat siang, Tuan-tuan muda," kata laki-laki itu dengan ramah. "Ada perlu
apa" Ingin belajar main piano, ya?"
"Wah - sayang tidak" kata George dengan cepat, sambil tersenyum pula. "Kami
ingin bicara sebentar dengan Anda, karena ada urusan penting."
"Ya, ya, tentu saja bisa," jawab guru musik yang ramah itu. "Silakan masuk! Ah -
kau ingin masuk juga rupanya," sambungnya. Ia melihat George memberi isyarat
pada Timmy, yang langsung menggosok-gosokkan kaki ke keset yang ada di depan
pintu. "Anjing pintar," katanya. Ia memandang George. "Milikmu, Tuan muda!"
George berseri-seri, karena senang dikira anak laki-laki.
"Saya bukan laki-laki, Pak" katanya. "Ya, ini memang anjing saya. Ia kocak dan
pintar. Ya kan, Tim" Ia sekarang sedang membantu kami melakukan penyelidikan."
Timmy mengacungkan kaki depannya ke arah guru musik itu, yang menyalaminya
sambil tersenyum. Setelah itu George menjelaskan maksud kedatangan mereka. Pak
Serignac, guru musik itu, mendengarkan dengan penuh minat. Keningnya berkerut.
"Aku mengerti," katanya kemudian. "Yah - keterangan pengurus gedung tadi pada
kalian memang benar. Suami-istri Landreux, begitu pula menantu laki-laki mereka,
meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Hubungan kami dulu cukup dekat. Jadi
kalian ini mencari anak mereka, Arlette" Ya - untung saja Ia masih hidup. Aku
sudah mengenalnya sejak Ia dilahirkan. Ia sangat mencintai musik. Kini Ia juga
menjadi guru musik, sebagai sumber penghasilan untuk menghidupi dirinya serta
anak perempuannya, Mona."
"Siapa nama keluarga yang dipakai Arlette sekarang?" tanya George.
"Dan di mana tempat tinggalnya?" sambung Dick.
"Nama keluarga almarhum suaminya Trebor. Tinggalnya tidak jauh dari sini. Di Rue
de Santiago." Anak-anak saling berpandangan dengan puas. Akhirnya mereka berhasil!
"Kami mencarinya karena hendak menyampaikan bahwa Ia mendapat warisan yang
berharga," kata Julian menjelaskan.
"Wah!" seru Pak Serignac dengan gembira. "Aku ikut senang mendengarnya."
"Rue de Santiago itu di mana, Pak?" tanya Dick.
Saat itu seorang pemuda berumur sekitar delapan belas tahun yang berisik
memasuki ruangan. Timmy menggonggong melihat pemuda itu datang.
"Kau tidak perlu menggeram," kata Pak Serignac pada Timmy. "Tomas tidak apa-apa.
Ia keponakanku." Pemuda itu diperkenalkan pada anak-anak. Kemudian ia menawarkan diri untuk
mengantar mereka ke de Santiago. "Sebetulnya tidak jauh dari sini - tapi kalau kuantar dengan mobil, kalian kan
bisa menghemat waktu," katanya.
Anak-anak meminta diri dari guru musik yang ramah itu pergi mengikuti Tomas.
Pemuda itu sangat simpatik. Ramah, dan gemar mengobrol.
"Aku tahu siapa kalian," katanya pada anak-anak. Kalian kan pernah menjadi
pemberitaan besar dalam pers. Kalian waktu itu menemukan kota misterius yang
tersembunyi letaknya dalam gunung, kan?"
"Betul!" jawab Dick sambil tertawa lebar. "Ingatanmu sangat baik!"
"Kalian yang terkenal - karena itu aku ingat! Jika selama di sini kalian
memerlukan bantuan, dengan senang hati aku mau membantu. Aku diperbolehkan
ayahku sekali-sekali meminjam mobilnya. Mungkin kapan-kapan aku bisa membantu,
jika kalian sedang berada dalam keadaan terdesak. Ini nomor teleponku!"
Julian menerima kertas dengan nomor telepon yang odorkan pemuda itu, lalu
mengantunginya. Anak-anak kemudian berpisah dari Tomas, setelah Ia mengantar
mereka sampai ke Rue de Santiago.
Mereka berdiri di depan gedung tempat tinggal Arlette Trebor. Gedung itu
sederhana - tanpa pengurus. Anne memperhatikan nama-nama yang tertera pada kotak
surat yang berderet-deret di ruang masuk. Arlette bertempat tinggal di tingkat
dua. Anak-anak menaiki tangga rumah. Julian menekan tombol bel di depan pintu
kediaman wanita muda itu. Tapi tidak ada yang datang membukakan. Julian menunggu
sebentar, lalu menekan bel sekali lagi. Pintu rumah tetap tertutup. Rupanya
Arlette sedang luar. "Apa boleh buat," kata Dick agak kecewa. "Nanti saja kita kembali lagi."
"Sayang padahal tugas kita sudah hampir selesai!" kata Anne.
Bab VII TAMU TAK DIUNDANG KEEMPAT remaja itu kembali ke rumah yang mereka tinggali dalam liburan itu, lalu
bercerita tentang pengalaman mereka tadi pada Bibi Fanny. Ibu George
mendengarkan dengan penuh minat. Tugas pelacak jejak siang itu ternyata
melelahkan juga anak-anak. Malam itu mereka cepat masuk ke tempat tidur.
Sebelum terlelap, pikiran George masih melayang Ia teringat pada Denise
Landreux, lalu pada anaknya Arlette Trebor. Arlette pasti akan sangat senang,
jika diberi tahu bahwa ia mendapat harta warisan.
*** Malam itu George bermimpi aneh. Kalung mutiara merah jambu itu tergeletak
melingkar pada alas duduk kursi sandar antik yang dibeli ibunya. Tahu-tahu ada
seorang laki-laki datang menghampiri sambil mengendap-endap. Orang itu nampak
sangat tangkas walau perutnya gendut. Ia si Muka Bangkong pedagang barang antik!
Sambil tertawa mengejek orang itu mengulurkan tangannya, hendak mengambil kalung
mutiara.... George ingin berteriak. Tapi kerongkongannya seakan-akan tersumbat!
Tiba-tiba George terbangun, karena ada bunyi menggeram di dekatnya. Geraman itu
terdengar lagi. Timmy berdiri di depan pintu kamar tidur. Hidungnya didekatkan
ke lantai. Ia mengendus-endus.
George buru-buru meloncat turun dari tempat tidurnya.
"Ssst!" desisnya. "Coba kuperhatikan sebentar."
Dirapatkannya telinga ke daun pintu. Apakah yang menyebabkan Timmy terbangun
lalu menggeram" Dari arah ruang duduk terdengar bunyi berderik pelan.
Dengan hati-hati George membangunkan Anne. "Anne! Anne, bangun!" bisiknya.
"Timmy mendengar sesuatu. Rupanya ada orang menyelinap masuk kemari. Yuk - kita
periksa!" "Tapi kita bangunkan dulu Paman Quentin serta Dick dan Ju," balas Anne sambil
berbisik pula. "Aduh, tidak sempat lagi - karena nanti pencuri itu mendengar lalu cepat-cepat
lari. Timmy saja kan sudah cukup untuk melindungi kita. Ayo!"
Anne bangun dengan ragu-ragu, sementara George sudah membuka pintu. Kedua anak
itu menyelinap dalam gang. Ruang duduk terletak di ujung gang itu. George dan
Anne melihat sinar cahaya samar lewat celah-celah pintu yang tertutup. Kini
Timmy tidak bisa ditahan lagi. Ia melesat maju sambil menggeram-geram, diikuti
oleh George. "Paman Quentin! Cepat!" seru Anne ketakutan. "Ju! Dick!"
Saat itu juga George sudah masuk ke ruang duduk. Nyaris saja Ia menubruk seorang
laki-laki yang berdiri sambil membungkuk di depan kursi sandar antik. Sosok
tubuhnya nampak samar, diterangi pantulan sinar lampu yang diletakkan di lantai.
George melihat dengan jelas saat orang itu menarik tangannya, yang tadinya
dimasukkan ke dalam celah yang terdapat di antara sandaran dari alas duduk kursi
itu. "Tim! Sergap!" seru George.
Sambil mengumpat kaget, tamu tak diundang itu lari ke jendela yang terbuka. Tapi
Timmy berhasil mengejar, lalu membenamkan gigi pada bagian kaki celana orang
itu. Orang itu mengayunkan tangannya, memukul Timmy. Ia berhasil membebaskan
diri dari gigitan anjing itu. Dalam sekejap mata ia sudah berada di balkon. Dari
situ Ia meloncat ke balkon yang bersebelahan. Dari situ meloncat lagi ke tangga
darurat yang menempel pada dinding bangunan. Ketika Paman dan Bibi muncul di
dalam ruang duduk bersama Ju dan Dick, hanya George dan Timmy saja yang masih
ada di situ "Itu tadi pencuri." kata George. Tubuhnya menggigil karena tegang. "Aku tidak
bisa melihatnya dengan jelas, tapi aku yakin ia Si Muka Bangkong! Ia berdiri
sambil membungkuk di depan kursi sandar itu. Nampaknya seperti mencari-cari
sesuatu..." "Pasti kalung mutiara itul" sela Dick.
"Tepat!" sambung George. "Orang itu sejak kursi ini belum dilelang pun sudah
tahu ada kalung terselip di belakangnya...."
"Karena itu Ia begitu berkeras ingin memperolehnya, sehingga berani mengajukan
penawaran yang sangat tinggi pada Bibi Fanny," kata Anne.
"Kita tidak boleh seenaknva saja menuduh-nuduh tanpa bukti," kata Paman Quentin
memotong. "Tapi semuanya kan cocok, Paman," kata Julian.
"Aku juga tidak membantah kalian" ujar Paman menjelaskan pendapatnya. "Tapi
polisi tidak bisa menerimanya. Mereka menghendaki fakta-fakta dan bukti-bukti
nyata. Lagi pula karena tidak ada yang diambil, maka ini hanya merupakan
percobaan mencuri saja. Aku akan melaporkannya besok pagi ke kantor polisi - tapi
aku tidak bisa langsung menuduh bahwa Pak Pradier-lah pelakunya. Kau kan hanya
samar-samar saja melihat sosok tubuhnya, George!"
Sementara itu Bibi Fanny sudah memeriksa, melihat apakah ada sesuatu yang
hilang. Ternyata tidak. Dick dan Julian menemukan bekas-bekas pada jendela
balkon yang menunjukkan bahwa orang tadi masuk dengan dengan jalan paksa. Tapi
Bibi Fanny tahu bahwa dengan petunjuk itu saja polisi takkan bisa berbuat
banyak. Anak-anak tidur lagi. Mereka yakin, orang yang masuk tadi pasti si Muka
Bangkong. Hanya Julian saja yang agak sangsi.
Sambil menutup tubuh dengan selimut, George berpikir-pikir. Jika polisi tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa bukti, maka ia bersama ketiga sepupunya akan
mengusahakan adanya bukti.
"Dan kau juga ikut, Timmy," bisik George pada anjingnya. "Kita berlima - Lima
Sekawan!" "Guk!" gonggong Timmy pelan, sebagai tanda mengiakan.
"Untung saja kalung itu sudah tidak ada lagi di lipatan alas kursi," kata Anne
lirih. "Orang tadi tidak tahu bahwa perhiasan itu disimpan Bibi Fanny dalam
tasnya." Tapi George sudah tidur. Timmy yang berbaring lantai dekat ujung bawah tempat
tidur juga sudah pulas lagi. Akhirnya Anne juga tertidur.
*** Keesokan harinya anak-anak sibuk membicarakan kejadian malam sebelumnya di meja
makan. Mereka berunding sambil sarapan pagi.
"Aku yakin orang itu pasti Pak Pradier, si Muka Bangkong," kata George untuk
kesekian kalinya dengan tegas.
"Ia kan pedagang. Uangnya pasti banyak, dari hasil penjualan di tokonya," kata
Julian menimbang-nimbang. "Katakanlah ia tahu tentang kalung mutiara merah jambu
- itu bisa saja - tapi setelah gagal membeli kursi sandar antik dari Bibi Fanny,
ia mestinya pasrah. Tidak bisa kubayangkan Ia menyelinap-nyelinap masuk ke rumah
orang dengan jalan memanjat dari balkon ke balkon lalu membuka jendela balkon
secara paksa, untuk kemudian secara sembunyi-sembunyi mencari-cari di ruang
duduk." "Tapi kecuali dia, siapa lagi yang mungkin tahu bahwa kalung itu ada di dalam
lipatan alas kursi, dan bahwa Bibi Fanny yang membeli kursi itu?" bantah Dick.
"Aku juga tidak suka melihat tampangnya," kata Anne menggumam. "Dugaanku sama
dengan George - cuma Pak Pradier yang mungkin merupakan orang yang masuk kemari
tadi." "Memang dia! Aku kan melihatnya!"
"Tapi bagaimana kita bisa membuktikannya?" kata Julian sambil mengeluh.
"Barangkali ada kemungkinan bagi kita untuk memastikan hal itu," kata George
dengan nada yakin. "Coba kalian lihat ini!"
Ia mengeluarkan secarik kain berwarna biru tua dari sakunya, lalu menyodorkannya
ke depan sepupul-sepupunya.
"Ini tanda bukti - berkat Timmy!" kata George lagi.
"Apa itu?" tanya Anne dengan mata terbelalak karena heran.
"Secarik kain! Kemarin malam Timmy masih berhasil menggigit kaki celana pencuri
itu sampai robek - dan inilah robekannyal"
"Maksudmu, kita harus memeriksa seluruh lemari pakalan yang ada di kota ini,
untuk mencari celana yang robek kakinya?" tanya Dick. Keningnya berkerut. "Itu
kan gila-gilaan namanya!"
"Memang, kalau begitu cara kerja kita," batas George sengit. "Tapi rencanaku
bukan begitu. Pada sobekan kain ini kan masih menempel bau badan pemiliknya.
Dengan penciumannya yang tajam. Timmy pasti bisa mengenali kembali orang itu.
Aku akan mendatangi si Muka Bangkong, bersama Timmy. Kalau Timmy di sana
menunjukkan reaksi yang tepat maka persoalannya akan jelas."
"Lalu apa gunanya itu untuk kita?" tanya Julian aga sangsi.
"Dengan begitu setidak-tidaknya kita tahu bahwa penyelidikan kita harus
diarahkan pada orang itu. Jika Ia benar-benar ingin mengambil kalung mutiara itu
maka pasti Ia akan mencoba kembali."
Anne berpikir-pikir. "Tapi jika kita mendatanginya, Pak Pradier pasti akan langsung sadar bahwa kita
mencurigainya," katanya kemudian. "Dengan begitu akan lebih sulit bagi kita
nanti untuk mengamat-amatinya."
"Ah, mana mungkin!" kata George dengan sikap meremehkan. "Ia kan tidak tahu
siapa kita. Kurasa tidak memperhatikan kita sewaktu pelelangan."
"Betul!" kata Dick mendukung sepupunya. "Lalu ketika Ia kemari dengan maksud
membujuk Bibi agar mau menjual kursi sandar itu padanya, kita sedang berada di
kamar sebelah." "Tapi malam tadi Ia melihat George di ruang duduk!" ujar Julian mengingatkan.
"Paling-paling Ia cuma melihat sekilas saja, dan itu pun hanya bayangan gelap
saja!" "Tapi Timmy" Ia bukan saja melihat Timmy, tapi juga nyaris menjadi mangsanya!"
kata Anne dengan perasaan geli.
Sesaat George nampak lenyap sikap santainya. Ia berpikir. Tapi kemudian Ia
mendongak tagi. Ditatapnya anak-anak yang lain dengan wajah berseri-seri.
"Biar saja!" katanya. "Aku akan tetap masuk ke toko Pak Pradier, bersama Timmy.
Jika kecurigaanku ternyata benar, setelah itu tugas pengamatan bisa kalian yang
melakukan. Si Muka Bangkong kan tidak mengenali kalian!"
Bab VIII KE TOKO PAK PRADIER "RENCANA itu bisa diterima. Ya - dengan cara begitu mungkin bisa!"
George mendekatkan sobekan kain biru tua ke hidung Timmy, memberi kesempatan
padanya untuk mengendus-endus sepuas hati.
Satu jam kemudian keduanya berangkat. Tapi tidak sendiri, karena Julian serta
kedua adiknya berkeras mengantarkan. Ketiganya berhenti sekitar lima puluh meter
dari toko Pak Pradier. Di situlah mereka menunggu George.
Sebelum memasuki toko, sekali lagi George mengambil sobekan kain biru tua dari
kantungnya, lalu mendekatkannya ke hidung Timmy. Setelah itu Ia berjalan lagi
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuju pintu toko, lalu membukanya.
George melangkah ke dalam, diiringi bunyi bel yang tergantung di ambang pintu.
Saat itu hanya Pak Pradier saja yang ada di tokonya. Ia menghampiri George
sambil tersenyum. "Anda ingin membeli sesuatu?" sapanya dengan gaya pedagang yang hendak
menawarkan jualannya. George tidak sempat lagi mencari-cari alasan kenapa ia datahg, karena Timmy
sudah lebih dulu menggeram. Rupanya ia mengenali kembali orang yang malam
sebelumnya masuk ke rumah secara sembunyi-sembunyi, dan kini ?a hendak menyerang
orang itu. George sampai kewalahan menahannya.
"Maaf, Pak!" ujar George dengan sikap kikuk. "Saya tidak tahu, kenapa anjing ini
tiba-tiba begini kelakuannya! Biasanya ia baik sekali."
Pak Pradier memandang keduanya - mula-mula dengan perasaan heran, tapi kemudian
berubah menjadi curiga. Sedang bagi George sudah jelas, bahwa Timmy mengenali
kembali orang itu. Sedang Pak Pradier rupanya juga merasa bahwa anjing itulah
yang menyerangnya tadi malam.
"Cepat keluar dengan anjing Anda itu," tukas pedagang itu dengan sengit.
"Binatang tidak boleh masuk ke dalam toko!"
Tanpa membantah lagi, George berpaling lalu keluar. Sementara itu Ia menyesali
keputusannya untuk mendatangi Pak Pradier. Sekarang orang itu pasti akan berjaga-jaga.
Sambil termenung, George kembali ke tempat tetiga sepupunya menunggu.
Keempat remaja itu berembuk sebentar. Begitu asyik, sampai tidak melihat bahwa
Pak Pradier cepat-cepat menyusul George, setelah mengunci pintu tokonya. Timmy
juga tidak mencium baunya, karena saat itu angin datang dan arab yang lawanan.
Pak Pradier cepat-cepat bersembunyl di balik dinding sebuah bangunan. Dari situ
ia ikut mendengarkan perembukan anak-anak.
"Memang perbuatanku tadi ternyata keliru," keluh George menyesali diri. "Tapi
setidak-tidaknya kini kita tahu bahwa orang itu tidak segan berbuat apa saja,
asal bisa memperoleh kalung mutiara merah jambu itu. Kita harus mengusahakan
agar harta warisan itu selekas mungkin diserahkan pada Arlette Trebor, selaku
ahli waris yang sah."
"Aku punya akal," kata Julian. "Sagaimana jika kita sekarang ini juga mendatangi
rumahnya lagi. Mungkin kini ia ada di rumah!"
"Ya, setuju" seru Anne bersemangat. "Ia pasti akan sangat gembira jika mendengar
kabar baik itu." Keempat remaja itu memutuskan untuk dengan segera berangkat ke tempat kediaman
Arlette. *** Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di depan bangunan tempat tinggal yang
terletak di Rue ce Santiago. Sebelum masuk, George masih sempat menoleh sebentar
untuk memperhatikan jalanan.
"Wah!" serunya kaget. "Aku rasanya seperti melihat si Muka Bangkong sekilas!"
"Kau ini macam-macam saja?" kata Dick sambil tertawa. "Teguhkan semangatmu!"
Sekali itu anak-anak bernasib baik. Arlette Trebor sendiri yang membukakan
pintu, begitu anak-anak membunyikan bel rumahnya. Wanita itu nampak masih sangat
muda dan berperawakan langsing. Rambutnya coklat dan panjang sampai menyentuh
bahu. Dengan matanya yang besar ditatapnya anak-anak dengan pandangan bertanya.
Mona, anak Arlette yang masih kecil, berdiri di samping ibunya. Anak itu
berambut pirang. Hidungnya mungil, sedang senyumannya manis sekali. Umurnya
sekitar enam tahun. Julian memperkenalkan dirinya serta ketiga saudaranya pada wanita muda itu.
Kemudian Ia mengatakan ingin bicara sebentar. Arlette tersenyum melihat
keseriusan keempat pengunjungnya itu.
"Begitu pentingkah urusan kalian itu?" tanyanya.
"Ya - kami hendak menyampaikan berita tentang harta yang akan Anda peroleh...."
"Ah - jika kalian ini hendak menjual lotere..."
"Bukan, bukan begitu maksud kami. Harap Anda dengar dulu keterangan kami!"
Sementara itu Mona sudah masuk ke dalam ruang duduk yang kecil tapi apik,
bersama Timmy. Dengan cepat keduanya sudah menjalin persahabatan. Arlette
mempersilakan anak-anak duduk. Ia sendiri mengambil tempat di bangku piano.
"Baiklah, ceritakan saja maksud kedatangan kalian ini."
Anak-anak bercerita tentang penemuan mereka yang tak tersangka-sangka. Tentang
kotak berisi kalung mutiara yang ditemukan terselip di belakang kursi antik,
serta tentang laci rahasia di meja tulis. Bahkan Mona pun ikut mendengarkan
dengan asyik. Ia tdak lagi bermain-main dengan Timmy.
"Bukan main! Luar biasa!" seru Arlene ketika anak-anak selesai bercerita.
"Kedengarannya seperti dongeng saja!"
"Tapi ini bukan dongeng! Jika Anda ingin memastikan bahwa kami tidak bohong,
telepon saja ibuku." kata George menyarankan. "Ibu nanti akan menegaskan cerita
kami tadi." Setelah berbicara dengan Bibi Fanny lewat telepon, lenyaplah segala kesangsian
Arlene bahwa Ia benar-benar mewarisi kalung mutiara yang berharga. Sambil
merangkul Mona dengan wajah berseri-seri, Ia mengucapkan terima kasih pada Lima
Sekawan. "Ini berkat ketangkasan kalian melacak, dan juga berkat kebaikan hati sahabat
nenekku," kata wanita muda itu. "Sekarang mungkin aku akan bisa hidup agak lebih
sejahtera, dan dengan begitu bisa memanjakan Mona sedikit. Dengan penghasilanku
dan mengajar piano, kami hanya bisa hidup pas-pasan. Wanisan ini benar-benar
karunia yang tak terduga!"
"Kalung itu memang tinggi nilainya, karena jarang ditemukan mutiara asli
berwarna merah jambu," kata Julian.
"Bukan hanya asli, tapi juga sangat indah," kata Anne dengan mata bersinar-
sinar. "Ibumu tadi menyarankan agar aku lekas-lekas menjual kalung itu dengan harga
yang pantas," kata Arlette pada George. "Lalu uangnya kutabung atau kubelikan
surat berharga. Kurasa itulah yang nanti kulakukan."
"Bagus!" Nampak jelas bahwa George ikut merasa bergembira.
Anak-anak dengan cepat merasa senang terhadap Arlette Trebor serta anaknya,
Mona. Mereka mengobrol dengan akrab, sementara Arlette menyuguhkan minuman dan
kue-kue. Timmy juga mendapat bagian.
"Sekarang Anda tinggal mengambil kalung itu di tempat kami," kata George
kemudian. "Aduh, sayang hari ini tidak bisa," kata Arlette dengan nada menyesal. "Siang
ini aku sibuk terus sampai petang, memberi pelajaran piano. Tapi kalau besok
bisa - asal ibumu ada waktu! Sewaktu meneleponnya tadi, aku begitu gugup, sampai
lupa membuat janji."
George menelepon ibunya sekali lagi. Bibi Fanny ada waktu besok pagi pukul
sepuluh, untuk menerima Arlette.
"Jadi sampai besok," kata wanita muda itu dengan wajah berseri-seri, ketika
anak-anak pulang. "Dan sekali lagi, terima kasih banyak!"
"Yuk! Sampai besok!" seru Mona, yang dari tadi menempel terus pada Tinmy dan
Anne. Seakan-akan sulit sekali baginya berpisah dari mereka berdua. Anne memang
menyukai anak kecil, dan keramahannya telah memikat Mona. Dalam hati Ia berharap
agar bisa segera berjumpa lagi dengan anak itu.
Bab IX PERAMPOKAN! KEESOKAN harinya anak-anak berdiri dengan sikap tidak sabar di balkon. Mereka
ingin melihat kedatangan Arlette bersama Mona.
Tiba-tiba Dick berseru sambil menunjuk-nunjuk, "Itu mereka!"
"Asyik - Mona juga diajak" kata Anne senang.
"Kuberi tahu saja Bibi Fanny sekarang," kata Julian.
Dick dan Anne bergegas ke ruang duduk, untuk menyongsong kedua tamu itu. George
masih berdiri balkon, sambil memandang ke jalan yang terjulur bawah.
Seorang laki-laki muncul dari balik tikungan. Nampaknya seperti sedang mengikuti
Arlette dengan diam-diam, karena Ia kelihatannya berusaha jangan sampai
kelihatan. Berulang kali Ia derigan cepa menyelinap masuk ke salah satu portal
terdekat. Atau pura-pura asyik melihat sesuatu di balik jendela toko.
Mungkin aku keliru, kata George dalam hati. Tapi sosok tubuhnya seperti sudah
pernah kulihat sebelum ini. Itu pasti si Muka Bangkong!
"Pendapatmu bagaimana. Tim?" tanyanya sambil menoleh ke arah anjingnya yang
setia. Timmy ikut memandang ke bawah sambil menggeram-geram.
Tapi dari atas sini tidak begitu jelas kelihatan, pikir George lagi. Orang itu
memakai mantel yang panjang, terjela-jela, dengan kerah dilipat ke etas.
Kepalanya tertutup topi yang dibenamkan dalam-dalam. Kalau itu memang si Muka
Bangkong, rupanya Ia berusaha agar tidak bisa dikenali.
"Aneh - Pak Pradier nampaknya tahu persis tentang segala-galanya" kata George
sambil masuk ke ruang duduk. "Ia membuntuti Arlette dan Mona sampai kemari."
"Ah, kau mimpi rupanya," kata Dick mengejek. "Dari mana Ia bisa tahu..."
"Ssst," potong Anne, "itu - bunyi bel!"
Bu Kirnin menyambut kedatangan Arlette anaknya yang masih kecil dengan ramah-
tamah. Setelah mengobrol sebentar, Ia pergi mengambil kotak perhiasan yang
berwarna biru dari kamarnya lalu diserahkannya pada pemiliknya yang sah. Arlette
membuka kotak itu. Ia sangat terharu. Matanya terbuka lebar ketika melihat
kalung mutiara merah jambu yang terdiri dari dua untai itu.
"Alangkah indahnya! Belum pernah saya melihat kalung mutiara seindah ini!"
"Harganya pasti sangat mahal. Anda bisa kaya jika kalung itu Anda jual," kata Bu
Kirrin nenegaskan. "Tahukah Anda bahwa kalung ini nyaris dicuri orang di sini?" kata Dick menyela
pembicaraan. "Tadi malam
ada orang masuk kemari. Untung George dan Timmy berhasil mengusirnya!"
"Astaga! Kalian pasti kaget sekali karenanya!" seru Arlette cemas. "Tapi tahu
pastikah kalian bahwa orang itu memang hendak mencuri kalung ini?"
"Kami yakin!" kata Dick mantap, lalu menceritakan kejadiannya dari awal -
termasuk kecurigaan George terhadap Pak Pradier, si Muka Bangkong.
"Kita tidak bisa menuduh orang dengan seenaknya saja, tanpa punya bukti apa-apa"
kata Bu Kirrin dengan tegas. "George memang selalu cepat memberi penilaian."
"Tapi itu memang benar, Bu! Tadi sewaktu aku masih di balkon, aku melihat
seseorang membuntuti Arlette. Orang itu nampakniya menyamar. Tapi pasti itu Pak
Pradier!" "Kau mimpi!" tukas Dick sambil menepuk kening "Dari mana Ia tahu bahwa Arlene
kemari untuk urusan kalung ini?"
"Entah - aku juga tidak tahu," jawab Georga dengan wajah suram, "tapi
kenyataannya begitu Mona dan ibunya tadi dibuntuti sampai kemari."
Wajah Arlene pucat mendengarnya.
"Kalau begitu aku memang tidak keliru," gumamnya.
"Apa maksud Anda?" tanya George tercengang. "Tadi, ketika keluar dari gedung
tempat tinggal kami, kami berpapasan dengan seorang laki-laki yang memakai
mantel panjang. Orang itu naik bis yang sama dengan kami. Tapi aku tidak bisa
melihat mukanya." Julian dan Dick bergegas ke balkon, lalu memandang kian kemari. Tapi mereka
tidak melihat orang yang penampilannya seperti yang dikatakan George dan
kemudian oleh Arlette! "Kami tidak melihatnya," kata Julian ketika sudah masuk lagi ke ruang duduk.
"Mungkin orang itu sudah pergi lagi - jika Ia memang membuntuti Anda. Bisa juga
cuma kebetulan saja Anda berjalan seiring dengan dia."
"Kurasa tidak," bantah George. "Ia memang dengan sengaja membuntuti Arlette. Aku
sendiri melihatnya tadi! Orang itu memang tidak nampak jelas karena geraknya
selalu menyelinap - tapi aku merasa pasti bahwa dia Pak Pradier!"
"Jika Ia masih ada di sekitar sini, pasti saat sedang bersembunyi di salah satu
tempat," kata Dick "Lalu saat Anda pergi dari sini, mungkin Ia mencoba merebut
kalung mutiara ini!"
"Jangan suka berkhayal, Dick!" kata Bibi Fanny.
"Aku punya akal bagus!" kata Julian tiba-tiba sambil menoleh ke arah Arlette
Trebor. "Kurasa sebaiknya Anda menyimpan kalung itu di bank"
"Ya, itu memang gagasan baik! Bank langgananku tidak jauh tempatnya dari tempat
tinggalku." "Kalau begitu segera saja Anda ke sana," kata Fanny. "Tapi jika Anda sendiri
saja, mungkin berbahaya!"
"Kami bisa mengantar!" sela George. "Jika Pak Pradier melihat kita beramai-
ramai, pasti Ia takkan berani berbuat apa-apa!"
Saran itu nampaknya menenangkan perasaan Arlette.
"Tentu saja aku mau," katanya dengan gembira, berpaling pada Bibi Fanny, "tapi
tentu saja jika Anda mengizinkan!"
"Tentu saja boleh!" kata Bibi Fanny. "Tapi saya rasa takkan ada apa-apa nanti!"
Sambil tersenyum ditambahkannya, "Naik kereta bawah tanah saja ke sana! Dekat
sini kan ada stasiun. Dengan begitu Anda akan lebih lekas sampai di rumah,
dibandingkan dengan naik bis. Tapi mudah-mudahan saja anak-anak ini keliru, dan
sebenarnya tidak ada orang yang hendak berbuat jahat terhadap Anda. George
memang hebat, kalau sudah mengkhayal!"
Arlette memasukkan kotak kecil yang berisi kalung ke dalam tasnya. Setelah itu
Ia pergi, bersama anak-anak. Sesampainya di jalan, anak-anak memandang ke kiri
dan ke kanan dengan sikap waspada. Tapi mereka tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan! "Syukurlah!" Anne mendesah lega. "Aku tidak suka jika ada kesulitan."
Berlainan dengan kedua abangnya, anak itu memang selalu ikut jika ada
petualangan. Tapi Ia sebenarnya tidak menyukai kesulitan. Apalagi bahaya! Tapi
itu tidak berarti bahwa ia tidak bersikap tabah.
Rombongan itu sampai di jalan masuk ke stasiun kereta bawah tanah. Mereka
menuruni tangga peron. Sambil membisu mereka menunggu kedatangan kereta. Arlette
nampak tidak sabar, ingin lekas-lekas sampai di bank. Anak-anak memikul tugas
sebagai pengawal dengan serius. Mereka berdiri agak belakang Arlette. Anne
menggandeng tangan Mona sambil mengajak anak kecil itu mengobrol. Timmy duduk di
dalam tas besar yang dijinjing oleh Dick dan George. Anjing itu nampak sangat
memelas, seakan-akan malu diperlakukan seperti itu. Sejak kejadian dengan kucing
waktu itu, ia dilarang Georgo mengeluarkan kaki dari lubang di dasar tas.
Dari jauh terdengar bunyi peluit, disusul segera oleh deru roda-roda kereta yang
memasuki stasiun. Arlette berdiri di pinggir peron, sambil menggenggam tasnya yang berisi kalung
mutiara. Tahu-tahu ada orang muncul di sampingnya. Orang itu menyenggol Arlette
dengan keras, sehingga wanita muda itu terhuyung. Saat itu orang tadi merampas
tasnya! Arlette pasti sudah tersungkur ke bawah kereta kalau Dick dan George kurang
tangkas. Kedua remaja itu dengan sigap menyentakkan Arlette ke belakang.
Orang yang merampas tas memanfaatkan kekacaauan yang terjadi untuk menghilang di
tengah kerumunan orang. Ia lari ke arah pintu keluar. Orang-orang yang
berkerumun kebanyakan tidak menyadari apa yang terjadi tadi. Semua ingin cepat-
cepat masuk kereta. Jadi perampok tadi pasti bisa dengan mudah melarikan diri.
Tapi untung Julian - dan juga Timmy
- sangat waspada. Julian mengejar orang itu. Sedang Timmy meloncat keluar dari tas, dan dengan
cepat sudah berhasil menyusul perampok.
Orang itu, yang berpenampilan seperti gelandangan, berteriak kaget ketika tahu-
tahu ada anjing yang menerpanya. Saat itu juga Julian sudah datang, lalu
merampas tas Arlette dari tangan orang itu.
Timmy membenamkan giginya yang runcing-runcing ke lengan kiri perampok itu,
sehingga Ia tidak bisa lari lagi. Julian berpaling, hendak mencari bantuan. Tapi
tahu-tahu datang seorang pegawai kereta api. Ia menarik kalung leher Timmy,
sehingga anjing itu tersentak ke belakang.
"Anjing goblok! Ayo, lepaskan!" bentak pegawai itu. "Seenaknya saja menyerang
orang, hanya karena berpakaian lusuh! Kecuali itu anjing tidak boleh berkeliaran
di stasiun, tahu! Anjingmukah ini!" tanya pegawai itu pada Julian. "Kau harus
diberi peringatan keras, menyebabkan keributan di sini!"
Bab X ANCAMAN JULIAN berusaha menjelaskan duduk perkara. Tapi sia-sia, karena pegawai kereta
api itu tidak mau tahu. Orang itu menarik kalung leher Timmy keras-keras, sampai
anjing itu sulit bernapas dan terpaksa melepaskan gigitannya. Penjahat yang
semula sudah berdaya memanfaatkan peluang baik itu. Ia cepat-cepat menghilang di
tengah orang banyak. Kejadiannya begitu cepat, sehingga Julian sama sekali tidak
sempat mengejar lagi. Kecuali itu ia juga dipegang oleh pegawai kereta.
"Eh, kau ini! - tidak mendengar ya"! Aku..."
Saat itu anak-anak yang lain datang, diikuti oleh Arlette. Wanita muda itu
gemetar sekujur tubuhnya. Sedang Mona menangis ketakutan.
"Lepaskan anjingku!" beritak George. Ia marah sekali, melihat anjing
kesayangannya diperlakukan dengan kasar. "Anda keterlaluan - tidak melihat bahwa
orang yang digigitnya tadi perampok!"
"Orang itu tadi baru saja merampas tas saya, sedang saya didorongnya sehingga
nyaris saja terjerembab ke bawah roda kereta" kata Arlette menjelaskan dengan
wajah pucat-pasi.
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh, George - kau dan Dick menyelamatkan nyawaku tadi - sedang Julian dan
Timmy berhasil mengamankan tasku." Arlete menangis karena gugup.
Pegawai kereta yang galak itu bingung. Ia tergagap.
"Wah, maaf... saya kan tidak tahu..." Suaranya serak.
"Cepat - kita harus pergi dari sini!" sela Julian dengan buru-buru. "Arlette dan
kalung mutiaranya takkan aman sebelum kita sampai di bank!"
Timmy masuk lagi ke dalam tas. Mereka beramai-ramai masuk ke kereta yang datang
setelah itu. Dalam perjalanan tidak ada yang berbicara. Ketika sampai stasiun
tujuan, mereka keluar. Mereka melihat dulu kiri dan ke kanan dengan sikap
curiga, sewaktu sudah naik ke atas lagi. Tapi tidak nampak sesuatu ya
mencurigakan di situ. "Cepat!" kata Arlette dengan gugup. "Bankku letaknya di jalan berikut."
"Kalau kalung itu sudah aman dalam Bank si Muka Bangkong perlu ditanyai tentang
soal ini." gumam George.
"Jadi kalian benar-benar beranggapan bahwa gelandangan tadi memang Pak Pradier?"
tanya Arlette dengan nada kurang percaya.
"Ya, aku yakin!" kata George sambil mengangguk. "Ia tadi cuma menyamar saja
sebagai gelandangag Tapi ketika Ia menyenggol Anda tadi, aku sempat melihat
mukanya. Tadi itu memang Pak Pradier!"
"Kalau begitu ia membuntuti kita sejak dari rumah." kata Dick menduga.
"Begitulah kalau menurutku" kata George menegaskan. "Ia mengintai kita - mungkin
dari balik kios tempat penjualan koran dan majalah. Tidak banyak yang perlu
dilakukannya untuk menyamarkan diri. Cukup dengan memenyokkan topi, mengotori
muka dan tangan, serta meremas - remas mantel sehingga nampak lusuh. Dengan begitu
Arlette takkan bisa mengenalinya, jika Ia semula dilihat ketika sedang
membuntuti ke tempat kita. Orang itu ternyata berbahaya sekali, karena tidak
segan berbuat apa saja asal maksudnya tercapai!"
"Penjahat!" tukas Julian marah. "Aku juga yakin bahwa orang tadi pasti Pak
Pradier! la memang berusaha menyembunyikan mukanya, tapi tampangnya yang seperti
bangkong itu gampang sekali diingat!"
"Dan kita pasti berhasil membekuknya, jika tidak dirintangi pegawai kereta yang
goblok tadi," kata George mengomel.
"Tapi setidak-tidaknya tas Arlette berhasil kita rebut kembali!" kata Anne
dengan nada menenangkan. Anak-anak kembali bergembira.
"Nah - kita sudah sampai," desah Arlette lega. "Aku akan menyewa kotak dalam
lemari besi bank ini lalu akan kusimpan kalungku di dalamnya. Bisakah Mona
kutitipkan pada kalian sebentar?" Tanpa menunggu jawaban lagi, Anlette bergegas
ke dalam bank. Dan beberapa menit kemudian kalung mutiar merah jambu itu sudah
diamankan, disimpan di kotak yang disewa dalam lemari besi.
"Nah - urusan ini sudah beres sekarang!" Julian puas. "Sekali lagi Lima Sekawan
berhasil dengan tugasnya. Kita boleh mengucapkan selamat pada diri sendiri,
karena berhasil menemukan kalung serta surat wasiat, lalu menyerahkan warisan
itu pada Arlette, ahli waris yang sah!"
"Entah kenapa - tapi aku masih saja memikirkan si Muka Bangkong," kata George
sambil merenung. "Kita memang ternyata lebih cekatan dari orang itu sehingga
berhasil menggagalkan niat jahatnya - tapi Ia belum mendapat hukuman yang
setimpal dengan kejahatannya. Itulah yang menyebabkan perasaanku masih kurang
enak. Kalian bagaimana?"
"Ah - sudahlah, lupakan saja orang itu," kata Dick dengan santai, sambil
mengibaskan tangan. "Pada suatu waktu nanti pasti ada pembalasan baginya."
"Yuk, kita main sembunyi-sembunyian" ajak Anne. Ia ingin melonggarkan pikiran,
setelah tegang terus selama itu.
Saudara-saudaranya setuju. Mereka bermain-main dalam taman yang terletak tidak
jauh dari situ. George sudah tidak memikirkan Pak Pradier lagi. Atau tepatnya,
Ia berusaha melupakan orang itu.
*** Tapi keesokan harinya Arlette menelepon.
"Halo, George! Ada kejadian yang buruk sekali!"
"Kejadian apa?" tanya George. Ia kaget, bercampur cemas.
"Tadi pagi aku menemukan sepucuk surat yang diselipkan di bawah pintu rumah.
Surat itu tanpa alamat pengirim. Orang itu hendak memeras diriku. Aku bingung
sekali sekarang. Aku tidak tahu, apa yang harus kuperbuat!"
George merinding. Pemerasan! Dan semula Ia sudah menduga bahwa si Muka Bangkong
takkan selekas itu menyerah.
"Tenang sajalah dulu," katanya membujuk Arlette yang sementara itu menangis
tersedu-sedu. "Apa urusannya yang sebenarnya" Dengan apa Anda diperas?"
"Pengirim surat itu mengatakan akan menculik Mona, jika aku tidak mau
menyerahkan kalung mutiaraku."
"Apa?" George benar-benar kaget.
"Dalam surat itu tertulis petunjuk-petunjuk yang harus kuikuti," kata Arlette
yang masih terisak-isak. "Aku harus mengambil kalung itu dari bank, lalu dengan
segera menyerahkannya pada mereka. Aduh, George! Apa boleh buat - aku sudah
memutuskan untuk menuruti permintaan pemeras itu. Memang sayang kalung berharga
itu - tapi bagiku keselamatan Mona jauh lebih penting daripada segala kalung
mutiara yang ada di dunia!"
"Tunggu! Tunggu dulul" seru George. "Jangan putuskan hubungan, Arlette! Aku
harus berembuk dulu dengan saudara-saudaraku!"
Dengan cepat George menceritakan kabar mengejutkan itu pada anak-anak yang lain.
"Aduh, jahatnya!" tukas Julian dengan marah. "Mengancam keselamatan anak kecil!
Siapa orang yang sejahat itu?"
"Siapa lagi, kalau bukan Pak Pradier si Muka Bangkong," kata George dengan nada
pasti. "Ya, betul - Ia masih tetap ingin memperoleh kalung mutiara itu," kata Dick
dengan sengit. "Orang itu ternyata tidak segan-segan berbuat apa saja!"
"Arlette harus segera memberi tahu polisi!" seru Anne. Air matanya berlinang-
linang. "Mona perlu dilindungi!"
George berbicara lagi lewat telepon.
"Halo! Arlette, kami semua sependapat bahwa harus cepat-cepat memberi tahu
polisi. Dengan begitu Anda akan memperoleh pengawalan polisi, yang akan menjaga
Mona-" "Tapi dalam surat itu aku diperingatkan agar jangan memberi tahu polisi. Mona
kan tidak mungkin bisa terus-menerus dikawal polisi. Dan begitu polisi pergi,
keselamatan Mona akan terancam lagi!"
George berpikir dengan cepat. Saat itu orang tuanya sedang tidak ada, jadi tidak
bisa dimintai nasihat. Tapi urusan itu terlalu gawat - tidak mungkin Lima
Sekawan sendiri yang menangani!
Julian sampai pada kesimpulan yang serupa. Diambilnya gagang telepon yang masih
dipegang George, lalu berusaha meyakinkan Arlene.
"George tadi benar, Arlette! Anda harus dengan segera memberi tahu polisi.
Percayalah - itu satu-satunya tindakan tepat!"
"Aku tidak berani, Julian. Aku takut sekali! Aku tadi sebenarnya juga tidak
boleh menelepon kalian - tapi aku harus berbicara dengan seseorang! Aku sekarang
akan mengambil kalung dari bank, lalu menyerahkannya di tempat yang sudah
ditetapkan. Bagiku lebih baik kehilangan kalung itu, karena keselamatan Mona
jauh lebih penting. Kalian bisa memahaminya, kan?"
Arlette terdengar menangis tagi.
Sekali lagi Julian berusaha meyakinkan Arlette.
"Biar k?mi saja yang melapor pada polisi, jika Anda tidak berani melakukannya,"
kata Julian. "Dengan begitu Anda tetap terlindung."
"Tapi polisi takkan percaya jika kalian yang melapor," kata wanita muda itu
dengan suara sedih. "Soalnya, satu-satunya bukti tentang bahaya yang mengancam
Mona adalah surat itu. Tapi walau begitu aku senang sekali bahwa kalian begitu
baik budi, mau menolongku. Terima kasih!"
George yang ikut mendengar langsung sadar bahwa Arlette akan memutuskan hubungan
telepon. Karenanya dengan cepat dirampasnya gagang telepon dari tangan Julian,
lalu berkata, "Halo, Arlette! Tunggu - jangan putuskan dulu! Coba katakan
bagaimana bunyi petunjuk-petunjuk yang tertera dalam surat itu. Apakah yang
harus Anda lakukan setelah mengambil kalung mutiara dari bank" Di mana Anda akan
bertemu dengan pemeras itu?"
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi! Sudah terlalu banyak yang kukatakan
tadi" Sambil mengeluh Ia menambahkan, "Kita bertemu lagi nanti, kalau urusan
yang tidak enak ini sudah lewat. Sekali lagi terima kasih atas kesediaan kalian
membantuku." Bab XI MENYUSUN SIASAT ARLETTE sudah memutuskan hubungan. Anak-anak berdiri mengelilingi pesawat
telepon. Wajah mereka pucat. Anne sudah hampir menangis kelihatannya. Bahkan
Timmy pun ikut gelisah. Ia merasa suasana
tidak enak saat itu. "Kita harus berbuat sesuatu!" seru George dengan tiba-tiba. "Kita tidak boleh
putus asa! Aku punya rencana. Begini rencanaku itu: kita menunggu Arlette dekat
pintu bank. Begitu Ia keluar, kita buntuti sampai ke tempat sudah ditentukan
penjahat itu. Nah - saat itu kita beraksi!"
"Beraksi" Tapi dengan cara bagaimana?" tanya Dick kaget. "Sekarang pun kita
sudah tidak ada waktu lagi untuk menyusul Arlene ke bank, sebelum Ia pergi
lagi!" "Siapa tahu, mungkin masih ada," gumam George. "Cepat, Ju! Mana nomor telepon
yang kauterima dari keponakan Pak Serignac yang guru musik itu. Sekarang pemuda itu harus
membuktikan bahwa Ia benar-benar mau membantu kita seperti yang dikatakannya!"
Dengan segera George sudah berhasil menghubungi Tomas.
"Halo, Tomas! Di sini Lima Sekawan. Kami memerlukan bantuanmu - atau tepatnya,
mobilmu. Bisakah kau datang dengan segera kemari" Dalam sepuluh menit" Bagus!
Urusannya sangat medesak. Kami menunggumu di bawah. Terima kasih!"
Anne kagum melihat semangat George, yang selalu ada saja akalnya. Bahkan dalam
menghadapi keadaan yang paling rumit pun, ia biasanya bisa menemukan jalan
keluar. Reaksinya cepat dan cekatan. Dan sangat gigih, jika sudah melacak jejak.
Bahkan Dick pun kagum. "Kita pasti masih bisa datang pada waktunya" kata George dengan tenang.
"Soalnya. Arlene masih harus mencari orang dulu pada siapa Mona bisa dititipkan
selama Ia pergi. Mungkin ia akan minta tolong salah seorang tetangganya. Lalu
setelah itu Ia harus pergi ke bank, mengambil kalung mutiara dari kotaknya dalam
lemari besi. Urusan itu kan tidak segera selesai, karena ia masih harus ini
formulir, dan sebagainya. Aku pernab melihat orang melakukan urusan seperti itu,
di televisi. Dan sebelum Arlette meninggalkan bank, mudah-mudahan kita sudah
tiba di sana." Dengan segera Tomas datang dengan ayahnya. Ia melambai dengan riang.
"Mobil ini memang agak kecil, tapi kurasa kita semua bisa muat di dalamnya. Ke
mana kita?" Julian menjelaskan tujuan mereka. Tomas menekan pedal gas, dan mobil itu melesat
maju. Tomas sangat cekatan mengemudikan mobilnya. Bukan saja cekatan, tapi
kadang-kadang juga nekat. Anne yang duduk...
(hal 138-139 tidak ada) "Lebih baik kita memencar," kata George mengusulkan. "Jangan sampai menyolok
mata. Tomas, kau berjalan di depan. Arlette kan tidak mengenalmu. Jadi Ia takkan
merasa curiga melihatmu, jika Ia kebetulan menoleh ke belakang."
Para remaja itu membuntuti Arlette dengan tetap menjaga jarak. Arlette bergegas-
gegas terus menyusuri jalan besar. Tahu-tahu Ia membelok, memasuki suatu jalan
kecil. Anak-anak yang membuntuti ikut membelok ke situ. Keadaan di jalan kecil
itu lebih ramai. Arlene nampak seperti ragu sesaat, lalu berpaling dengan cepat.
Siasat George ternyata berhasil. Arlette hanya melihatTomas di belakangnya Dan
Ia tidak mengenal pemuda itu.
Kini Arlene melanjutkan langkahnya. Rupanya tadi merasa curiga, jangan-jangan
ada yang membuntuti. Tapi setelah sekitar lima puluh meter, langkahnya
diperlambat. Anak-anak juga memelankan jalan mereka. Rupanya saat yang
menentukan sudah tiba. Apakah yang akan terjadi kini" Sepanjang penglihatan
mereka, tidak ada orang yang nampak memperhatikan wanita muda itu.
Arlette semakin memperlambat jalannya. Para remaja yang mengikuti merasa seolah-
olah Ia sedang mencari-cari sesuatu.
Setelah itu peristiwa berlangsung dengan cepat.
Arlette memegang kotak perhiasan yang selama dikempitnya, lalu mencampakkannya
ke dalam buah mobil yang diparkir di tepi jalan dengan kaca jendela terbuka.
Kotak perhiasan itu jatuh di sebelah kemudi.
Penyerahan Itu berlangsung dengan lancar, tanpa diketahui orang lain. Kecuali
anak-anak dan Tomas, tentunya! Setelah itu Arlette meneruskan langkah dengan
santai, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Rupanya Ia mematuhi petunjuk.
George menerjang maju sambil berteriak-teriak, diikuti oleh anak-anak dan Timmy.
Tomas juga ikut lari memburu. Orang-orang yang sedang berjalan ditubruknya saja.
Tapi terlambat! Mobil yang diparkir itu mulai bergerak, karena ternyata berhenti dengan mesin
dihidupkan. Tomas dan George masih sempat meraih pegangan pintu Tapi itu pun
percuma. Hasilnya hanya berupa kuku tangan yang patah!
Timmy ingin ikut beraksi. Dicobanya menggigit ban mobil itu. Tapi kendaraan itu
bukan manusia, yang bisa merasa sakit kalau digigit. Dengan cepat mobil itu
sudah menghilang di sela keramaian lalu lintas. Anne berteriak-teriak menyuruh
berhenti. Orang-orang di sekeliling mereka tertawa geli karena menyangka bahwa Anne
memanggil Timmy. Anjing tabah itu berputar-putar mengejar ekornya sendiri,
setelah gagal menghentikan mobil.
Tapi Arlette mendengar teriakan Anne. Ia berseru kaget, ketika melihat Lima
Sekawan ada di belakangnya.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanyanya. "Bagaimana kalian bisa menemukan aku?"
Wajahnya pucat-pasi, setelah mendengar penjelasan George.
"Aduh! Bisa kacau tadi karena kalian," gumam dengan cemas.
"Tidak mungkin!" bantah Dick. "Bahkan sebaliknya, nyaris saja kami berhasil
menangkap penjahat itu. Coba berhasil tadi - Anda akan bisa memperoleh kalung
mutiara itu kembali, dan Anda tidak usah lagi mengkhawatirkan keselamatan Mona!"
"Pokoknya anakku sekarang sudah aman." desah Arlene dengan nada lega.
"Ya, itu sudah pasti," tukas George dengan sengit. "Tapi sebagai gantinya
penjahat itu berhasil memperoleh apa yang diingini, dan bisa lolos dari hukuman
yang setimpal?" "Aku tadi seharusnya mengikuti Arlette dengan mobil, sementara kalian berjalan
kaki" kata Tomas menyesal. "Ck, sayang!"
Julian memperkenalkan pemuda itu pada Arlette yang sementara itu nampaknya sudah
pulih ketakutan. Ia mengelus-elus Timmy, yang juga sudah tenang kembali.
"Entah dengan cara bagaimana aku bisa menyatakan terima kasihku pada kalian.
Kalian tadi sudah berusaha menolongku, tapi... Yah, memang sayang kalung
berharga itu, tapi masa bodohlah! Biar saj? penjahat tadi berbuat semaunya
dengan untaian mutiara itu!"
Bab XII RENCANA GEORGE TAPI anak-anak tidak selekas itu bersikap pasrah. Soalnya, mereka sudah sangat
berpengalaman menghadapi keadaan seperti itu!
"Apakah Anda tadi sempat melihat muka orang yang mengemudikan mobil?" tanya
Dick. "Aku bahkan sama sekali tidak memandang ke arahnya, karena dilarang, menurut
petunjuk dalam surat," jawab Arlette.
"Sedang kami - kami datang terlambat!" George mengepalkan tinju. Menurut
perasaannya, Arlette terlalu cepat putus asa. Ia menyesali dirinya sendiri,
karena tidak merencanakan penggunaan mobil Tomas secara lebih baik. Mestinya kan
sudah diperhitungkan bahwa penjahat akan muncul dengan mobil!
Tomas menawarkan diri untuk mengantar Arlette pulang. Tapi Arlette menolak.
"Aku berjalan kaki saja," katanya. "Kan tidak jauh."
Anak-anak ikut berjalan dengan Arlette, karena ingin bertemu dengan Mona yang
selama itu dititipkan pada seorang tetangga.
"Sekali lagi terima kasih" kata Arlene terharu, ketika berpisah dengan anak-
anak. "Urusan kalung mutiara itu ada juga gunanya bagiku, yaitu bahwa setidak-
tidaknya bisa berkenalan dan bersahabat dengan kalian."
Mona memeluk anak-anak sebagai salam perpisahan. Suasana haru saat itu rupanya
menulari Timmy. Anjing itu bersin tiga kali berturut-turut.
"Kuantar kalian pulang!" kata Tomas menawarkan. "Sayang kita tidak berhasil -
apalagi justru saat aku mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan Lima
Sekawan!" "Hah!" dengus George. "Urusan ini sama sekali belum selesai! Tidak selekas itu
aku menyerah. Aku masih tetap bertekad membekuk si Muka Bangkong!"
"Aku agak sangsi, apakah betul dia pelakunya," kata Julian. "Sayang kita tadi
tidak sempat memperhatikan nomor mobil penjahat itu!"
"Kalau kauperhatikan pun takkan ada gunanya," ujar Dick. "Pelatnya dilumuri
Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lumpur, sehingga tulisannya tidak bisa dilihat!"
"Itu sama sekali tidak penting," kata George menggerutu dengan wajah sengit.
"Bagiku, yang penting adalah berusaha mengambil kembali kalung mutiara itu dari
tangannya!" "Mengambil kembali?" Anne menatap sepupunya dengan wajah ketakutan.
"Ya! Kenapa tidak" Aku tidak suka kalau kalah cepat dari penjahat! Lagi pula,
itu kan tidak adil! Sangat tidak adil! Penculikan merupakan kejahatan yang
paling keji - apalagi kalau hanya karena ingin memiliki kalung mutiara!"
George benar-benar marah. Darahnya seakan mendidih. Pada saat seperti itu ia
tidak bisa diajak bicara secara tenang. Anak itu pemurah dan berani, tapi
kadang-kadang juga bisa sangat keras kepala seperti keledai!
"Lalu - apa yang hendak kaulakukan sekarang?" tanya Dick, yang selalu bersedia
ikut bertualang bersama sepupunya.
"Pertama-tama" jawab George, "aku harus memastikan dulu apakah kalung itu benar-
benar ada pada Pak Pradier sekarang!"
Tomas melongo. "Eh - kusangka kau sudah yakin sekali!"
"Kau salah mengerti," balas George. "Maksudku, kita harus menyelidiki apakah
kalung itu disimpan di tempat si Muka Bangkong!"
"Apa?" Tomas nyaris tersedak, karena kaget. "Kau bermaksud hendak mendatangi
orang itu" Kau nekat." Tomas mengerem mobilnya. "Nah, kita sudah sampai! Jika
kalian memerlukan aku lagi, tinggal menelepon saja - dengan senang hati aku akan
datang! Yuk - sampai lain kali!"
*** Selesai makan siang, anak-anak pergi ke sebuah taman, tidak jauh dari tempat
mereka menginap. Mereka menuju ke suatu sudut yang tenang dan terang, untuk
berembuk. "Kita harus mengamat-amati toko Pak Pradier," kata George. "Harus kita selidiki
dengan siapa saja Ia bertemu, balk di dalam maupun di luar bangunan. Kalau
perlu, kita buntuti dia. Menurut perasaanku, Ia mencuri kalung itu karena hendak
menjualnya lagi." Julian menggeleng. "Ah - kita takkan bisa mengetahui apa-apa, karena ia pasti bersikap waspada,"
katanya. "Terus-terang sajalah, George - niatmu yang sebenarnya bukan begitu."
"Baiklah - kukatakan saja niatku yang sebenarnya." kata George. "Aku hendak
menyelidiki keadaan sekitar toko itu, melihat cara yang terbaik menyelinap masuk
tanpa ketahuan!" "Apa maksudmu?"
"Kita hanya bisa mengetahui dengan pasti apakah kalung itu ada pada si Muka
Bangkong, kalau kita masuk lalu memeriksa sendiri!"
"Tapi Pak Pradier sekarang kan sudah mengenal tampang kita!" bantah Dick.
"Begitu kita melewati ambang pintu tokonya, pasti ia akan lansung mengusir kita
ke luar! Di samping itu, apa gunanya kita berhasil masuk" Kita kan tidak bisa
seenaknya berkata padanya, 'Kembalikan mutiara yang Anda rampas dari Arlette
Trebor! tidak mungkin! Dan kalau kita berkata begitu, Ia takkan menjawab dengan,
'0 ya, tentu saja anak muda, ini, kukembalikan - karena kau memintanya dengan
sopan!" George nyengir. "Menurutku juga terlalu berbahaya, jika kita melakukan penyelidikan sewaktu toko
masih buka. Tapi begini. Si Muka Bangkong kan saat tengah malam menyelinap masuk
ke tempat tinggal kita. Nah - kenapa kita tidak bisa berbuat sama terhadapnya."
Julian terlonjak karena kaget."Kau sinting! Kita tidak bisa melakukannya, karen
Paman dan Bibi tidak mungkin mengizinkan kita keluar malam-malam. Dan andaikan
kita diizinkan, mereka pasti akan bertanya kita hendak ke mana"
"Tenang-tenang sajalah!" kata George. "Sebelum melakukannya, tentu saja kita
harus menyusun rencana sebaik-baiknya. Tapi kau tadi benar, Ju. Kurasa memang
sangat sulit melakukan rencana itu malam-malam. Kecuali itu kita juga belum tahu
apakah Pak Pradier bertempat tinggal di atas tokori atau mungkin juga di tempat
lain. Kebiasaannya juga tidak kita kenal. Misalnya saat tokonya ditutup,
sebagainya. Jadi kita harus memulai tindakan dengan melakukan pengamatan secara
cermat. Setelah itu barulah kita bisa menyusun tindakan selanjutnya. Tentu saja
kita perlu menyelidiki dulu situasi dalam tokonya."
Bagi Julian, pengamatan terhadap toko Pak Pradier tidak mengkhawatirkan, karena
sama sekali tidak mungkin menimbulkan bahaya. Selama tiga hari anak-anak
mengamat-amati toko itu. Kemudian mereka membuat susunan terperinci tentang apa
saja yang berhasil mereka ketahui selama masa itu.
"Pak Pradier biasa menutup toko pukul enam sore," kata Anne.
"Dan tidurnya di tingkat satu bangunan yang sama." kata Julian menambahkan.
"Pukul tujuh malam Ia pergi dari tokonya, untuk makan di restoran," ujar Dick
melaporkan. "Antara pukul enam dan pukul tujuh Ia selalu membereskan pembukuan dan menelepon
- itu sejauh yang bisa kita lihat lewat jendela," sambung George. "Aku sudah
mempertimbangkan dengan masak-masak. Menurutku, hanya suatu rencana yang
sederhana tapi mengandung risiko saja yang mungkin bisa berhasil. Sekarang
dengarkan.." Rencana George ternyata memang sangat sederhana. Tidak lama sebelum toko ditutup
Ia hendak menyelinap masuk lalu bersembunyi di dalam. Ia baru keluar lagi, kalau
sudah tahu di mana kalung mutiara itu disembunyikan.
Bahkan Julian pun harus mengakui bahwa rencana itu sangat bagus. Tapi selaku
yang paling tua di antara mereka berempat, ia menyatakan keberatannya. Julian
memang suka berhati-hati, dan merasa bertanggung jawab alas keselamatan ketiga
saudaranya. Agak lama juga mereka berdebat. Akhirnya George mengibaskan tangan
dengan sikap tidak sabar.
"Aku sudah berusaha memperhitungkan segala kemungkinan," katanya menjelaskan.
"Rencanaku pasti berhasil, jika kalian semua menaatinya."
"Kami kan nyaris tak berperan di dalamnya," Dick.
"Betul!" kata Anne mendukung abangnya. "Sementara kau memeriksa isi toko, kami
menunggu di luar. Itu kan lebih menggelisahkan, dibandingkan dengan melakukannya
sendiri!" "Tapi peranan kalian sangat penting," kata George membantah, "karena kalian
bertanggung jawab atas keselamatanku. Kalian tahu di mana aku berada dan apa
yang akan terjadi terhadap diriku, jika sampai ketahuan oleh si Muka Bangkong.
Jika aku lama sekali belum keluar juga, kalian harus cepat-cepat pergi ke polisi
untuk memberi tahu. Sedang aku - karena tahu bahwa ada kalian yang kalau perlu
bisa memberikan dukungan - bisa menggertak lawan kita itu jika ia memergoki
diriku lalu hendak mengancam. Sudah mengerti belum?"
Penjelasan itu dipahami ketiga sepupunya. Mereka sadar bahwa George sudah
bertekad melaksanakan niatnya, tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam.
Bangau Sakti 21 Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Peti Bertuah 2