Pencarian

Dari Mulut Macan 8

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 8


Cun-ciu dulu. Bedanya, Giam Lok tak ubahnya
binatang tak berakal yang bergerak sekedar
menuruti dorongan naluri saja.
Giam Lok sampai terengah-engah di "lorong
bendera" yang seolah tak ada ujungnya itu, dan
sekian lama berlari namun belum juga melihat
adiknya yang tadi bersuara minta tolong itu. Ho
Tong yang berlari di sebelahnya tentu saja juga
ikut kelelahan. Ho Tong kemudian berhenti, sambil berteriak,
"Berhenti saja, Kakak Giam. Itu bukan suara
adikmu, itu hanya tipuan untuk membuatmu
kehabisan tenaga dan makin kacau pikiranmu...."
553 Giam Lok berhenti. Pemuja "semangat manusia"
itu kini pucat berkeringat, terengah-engah,
menatap ke sekelilingnya dengan bingung. Di
sekelilingnya yang terlihat hanya ribuan, bahkan
mungkin jutaan bendera di tengah-tengah kabut
malam. Seandainya Giam Lok masih berpikir
jernih, tentu ia akan heran, sebab di rumah bekas
kediaman gurunya tak ada tempat seluas itu,
sampai cukup dijadikan "hutan bendera" macam
itu. Namun saat itu pikiran Giam Lok sudah
membeku, malah Ho Tonglah yang masih dapat
berpikir, biarpun lumayan bingung juga.
Malah Ho Tong yang sekarang dengan berani
berteriak ke sekelilingnya, "He, entah kalian
mahluk yang namanya manusia, atau siluman,
atau kalian sebut diri kalian apapun juga,
tunjukkan batang hidung kalian! Kalian tidak
maha kuasa! Kalian terbatas! Ada yang jauh lebih
kuat dari kalian, yaitu yang sudah mengeluarkan
aku dari dunia kalian, dan kalian tak berdaya
mencegahku! Kali ini pun kalian takkan berdaya
atasku! Ada yang melindungiku!"
Sebagai jawaban, dari tengah kabut tiba-tiba
terdengar suara seseorang, "Besar sekali mulutmu,
bocah kemarin sore. Siapa yang melindungimu?"
Ho Tong bingung sejenak, namun ngotot
menjawab, "Pokoknya ada! Dan sekarang pun akan
tetap melindungiku!"
Terdengar suara langkah kaki mendekat, dan
Ho Tong sudah agak lega. Kalau, yang datang ini
langkahnya bersuara, itu tandanya manusia biasa,
sebab kalau hantu kabarnya jalannya 554 mengambang. Ia membesarkan hati Giam Lok,
"Jangan takut, Kakak Giam, kita menghadapi
manusia biasa. Barangkali dia memang sakti
sehingga dapat mengacpukan panca indera kita,
namun tetap manusia biasa."
Dari dalam kabut melangkah keluar sesosok
tubuh yang dandanannya seperti panglima perang
jaman kuno, wajahnya agaknya berlapis topeng,
sebab wajah itu dingin tak berekspresi. Juga wajah
suatu tokoh yang barangkali hanya ada dalam
dongeng tentang dewa-dewa dan mahluk-mahluk
langit. Kedua tangannya memegang gada dan
pedang. Ho Tong makin besar hatinya. "He-he-he,
kenapa kau harus bersembunyi di balik pakaian
555 wayang dan juga topengmu" Di sini tidak ada
panggung wayang untuk aksimu, juga tidak ada
penontonnya, tidak ada pemain-pemain musiknya.
Kau salah alamat, Bung."
"He, manusia, mahluk hina-dina yang tak tahu
diri, jangan kurang ajar kepada mahluk yang lebih
tinggi derajatnya dari kalian! Kalian manusia
hanyalah terbuat dari darah daging, tercipta dari
segumpal tanah, sedang kami ini dicipta dari zat
yang lebih mulia." Entah darimana memperoleh keberanian, Ho
Tong menjawab tangkas, "Kalau begitu, sama-sama
ciptaan-Nya kan?" Suara dari balik topeng itu menggerung gusar,
"Tapi derajatnya berbeda! Nasib kalian di tangan
kami! Manusia, sadarilah diri kalian dan
bersujudlah kepada kami!"
"Kulihat kalian juga manusia...." sahut Ho Tong
makin berani. "Coba buka topengmu, barangkali
aku mengenalimu sebagai salah seorang warga
Seng-tin. Atau setidak-tidaknya manusia seperti
aku, ada matanya, ada hidungnya."
"Jaga mulutmu, mahluk tanah liat yang hinadina. Saat ini aku memang sedang berada dalam
raga seorang manusia yang mengabdi aku, tetapi
aku tetap berkodrat jauh lebih mulia dari kalian.
Akulah penguasa langit!"
Habis berkata demikian, orang itu tiba-tiba
melompat, gada di tangan kanannya menyambar
dengan dahsyat. Ho Tong menghindar dengan
kaget. Kaget, karena serangan sedahsyat itu tak
556 bisa dilakukan oleh orang Seng-tin yang paling
ulung dalam silat sekalipun. Entah siapa orang di
balik topeng dan pakaiannya yang seperti anak
wayang hendak naik panggung itu"
Gadanya luput, ganti pedang di tangan yang lain
menyambar. Ho Tong menangkis dengan tombaknya, dan hasilnya ialah tombak Ho Tong
terbang mecelat dari tangannya.
Biarpun Giam Lok masih agak kebingungan,
tetapi ia membela temannya. Si "wayang panggung"
ini tertawa, tiba-tiba memutar tubuh membelakangi ujung tombak Giam Lok yang
sedang meluncur tiba. Ho Tong tercengang melihat jurus seaneh ini,
namun begitu orang itu membalik tubuh maka Ho
Tong lebih tercengang lagi. Sebab sebagian
belakang tubuh orang itu ternyata juga berujud
seperti bagian depan manusia, hanya dandanannya dan topengnya lain. Jadi seolah-olah
dua orang diikat saling membelakangi... dengan
dua wajah di depan dan belakang.
Dengan posisi berbalik badan, Ho Tong
menduga orang itu akan sulit membela diri dari
jurus tombak ganas yang sedang dilancarkan Giam
Lok. Belakangan ini Giam Lok amat rajin berlatih
dengan tombak besinya, dan sekarang dengan
tombak biasa bertangkai rotan yang jauh lebih
ringan dari tombak besi, gerakannya pun jauh
lebih cepat. Namun Ho Tong tercengang melihat orang itu
seolah memiliki dua pasang mata, sepasang di
depan dan sepasang di belakang. Lebih 557 mengherankan lagi, sepasang lengan orang itu
seakan tidak tunduk pada hukum alam tentang
arah gerakan persendian tulang. Persendian bahu
yang normalnya amat terbatas dalam gerak ke
belakang, oleh orang bertopeng ganda ini
dilakukan dengan enak saja, tak ada hambatan
apa-apa. Siku yang untuk orang biasa tidak
mungkin ditekuk ke belakang, oleh orang ini
digerakkan begitu leluasa.
Dengan demikian, entah orang ini sedang
menghadap ke depan atau sedang membelakangi,
ia bergerak sama leluasanya, tak terhalangi oleh
arah persendiannya. Seperti boneka dari kain saja.
Lagi-pula, dengan topeng dan dandanannya yang
serba bolak-balik itu, susah dikatakan orangnya
sedang menghadap ke mana.
Persendian-persendian kakinya pun membingungkan arahnya. Mulai dari sendi paha,
sendi lutut sampai pergelangan kaki. Maka
serangan Giam Lok yang membadai itu dengan
cepat dibalas dengan serangan gada dan pedang
yang jauh lebih dahsyat dan membingungkan.
Melihat itu, Ho Tong tak habis heran. Ia pernah
mendengar cerita gurunya tentang pendekarpendekar yang bisa melatih otot-otot dan sendisendi tulangnya sehingga bisa mengecilkan tubuh,
bahkan kata gurunya, ada yang sampai mampu
memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam guci dan
cuma kepalanya yang nongol keluar. Ada juga yang
melatih sampai lengannya bisa mulur sampai
hampir satu setengah kali panjang normalnya.
Tetapi mengacau-balaukan putaran persendian
558 seperti Si Topeng Bolak-balik ini, mendengar pun
Ho Tong belum pernah. Namun Ho Tong tidak membiarkan Giam Lok
kerepotan sendirian, ia berlari ke arah tombaknya
terlempar tadi, mencarinya. Tetapi mencari
sebatang tombak di tengah malam berkabut seperti
itu ternyata sama sulitnya dengan menemukan
sebatang jarum. Akhirnya, karena tidak dapat menemukan
tombaknya, Ho Tong melawan Si Topeng Bolakbalik itu dengan tangan kosong.
Kenekadan Ho Tong dan keputus-asa-an Giam
Lok memang menghasilkan perlawanan hebat,
seandainya yang mereka hadapi adalah mahluk
dari alam kasar ini. Tetapi mereka berdua
menghadapi manusia yang sedang "ditunggangi"
kekuatan dari alam lain, manusia yang arah
gerakannya tidak dapat diperhitungkan secara
normal karena arah persendian tufang-tulangnya
pun jadi aneh bukan main. Gerakan-gerakan yang
gajil dan tak terduga sering membuat Giam Lak
dan Ho Tong kelabakan. Bersambung jilid XIV. *** Jilid 14 >o< SAAT kedua orang itu seakan seperti telur di
ujung tanduk, mendadak terasa ada perubahan
559 pada alam. Awan hitam di langit perlahan-lahan
terdorong menyingkir, membuat angkasa raya
dengan jutaan bintangnya kembali terbentang
menyegarkan pemandangan. Angin dingin yang
bertiup mengiris kulit, juga kabut amat tebal,
menyingkir pergi. Udara pelan-pelan jadi hangat.
Giam Lok dan Ho Tong dapat merasakan itu,
meskipun mereka sedang sibuk. Kemudian
menyusul perubahan lain, setelah terangkatnya
kabut ifu, pelan-pelan "lorong sejuta bendera" yang
tadinya seolah-olah tak berujung pangkal dan
simpang siur itu pun lenyap entah ke npana. Yang
tertinggal adalah bendera-bendera besar yang
memang terpasang di sepanjang dinding rumah
almarhum Ciu Koan itu. Selain itu, Giam Lok dan
Ho Tong mendapati diri mereka tidak berada di
mana-mana, melainkan berada di halaman depan
rumah almarhum guru mereka. Pemandangan
"bukit dan lembah" tadi juga lenyap.
Giam Lok dan Ho Tong berharap si "manusia
bolak-balik" itu pun akan menghilang seperti kabut
dan pemandangan palsu lainnya, namun si
"manusia bolak-balik" ternyata tidak menghilang.
Hanya saja, bersamaan dengan pulihnya pemandangan ke pemandangan normal, maka si
"manusia bolak-balik" itu pun kehilangan sebagian
besar dari kemampuan tempurnya yang membingungkan tadi. Gerak tangan, kaki dan
seluruh tubuhnya kembali tunduk kepada gerakgerak normal persendian manusia biasa.
Berbarengan dengan itu, Ho Tong juga melihat
tombaknya yang terlempar tadi sekarang berada di
560

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pojok halaman. Ho Tong melompat keluar dari
gelanggang, berlari secepatnya mengambil tombaknya, kemudian bergabung dengan Giam Lok
mengeroyok si "manusia bolak-balik".
Kini si "manusia bolak-balik" terdesak hebat
oleh kedua anak muda itu. Pakaiannya yang mirip
pemain opera hendak naik panggung itu pun
membuatnya kerepotan sendiri. Rupanya baik
"pakaian wayang"nya maupun kedua topengnya itu
dianggap memberi suatu kekuatan hebat, dan
sehari-harinya bila dandanan itu sedang tidak
dipakai, dandanan itu tidak disimpan dalam kotak
begitu saja, melainkan disimpan secara khusus.
Perangkat pakaian dan topeng-topeng serta
senjata-senjata itu ditaruh di tempat terhormat
dengan sesajian di depannya untuk menjaga
khasiatnya. Dan sekarang, entah kenapa pengaruh
itu hilang, sehingga dandanan yang harusnya
membantu malahan jadi merepotkan.
Giam Lok yang mulai pulih semangatnya,
berkata kepada Ho Tong, "Saudara Ho, kita
tangkap orang ini dan kita pertontonkan kepada
orang-orang Seng-tin siapa dia sebenarnya. Dia
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,
membuat rumah guru yang kita hormati menjadi
rumah hantu-hantuan konyol macam ini."
Bersamaan dengan kata-katanya, tombaknya
menyambar-nyambar lebih hebat. Si "manusia
bolak-balik" masih melawan dengan sengit, tetapi
di balik topengnya berulang kali terdengar desis
seperti menahan sakit tak tertahankan, entah
kenapa. Tadi waktu persendian tulang-tulangnya
561 bergerak tidak normal, ia tidak mengeluh, sekarang
setelah sendi-sendinya normal gerakannya, malahan dia mengeluh kesakitan.
Giam Lok tidak peduli dan terus menyerang,
namun Ho Tong merasa berbelas kasihan sehingga
ia mengendorkan serangannya. Belas kasihan yang
sebenarnya tak beralasan, sebab yang dibelaskasihani toh adalah seorang yang baru saja hampir
mencelakakannya. 562 Dalam suatu gebrakan yang amat cepat, Giam
Lok menggertak lawan dengan ujung tombaknya
yang diputar-putar cepat di depan wajah lawan,
lalu tangkai tombak menghantam pinggiran lutut si
"manusia bolak-balik" sehingga orangnya jatuh.
Dengan geram Giam Lok siap melakukan tikaman
terakhir, namun geraknya tertahan karena ditahan
oleh Ho Tong. "Jangan, Kakak Giam...."
"Kenapa" Dia hampir membuat kita gila dengan
sulap jahatnya!" 563 "Kakak tahu, orang-orang yang sedang dikuasai
kekuatan-kekuatan dari luar dirinya, orang itu pun
melakukan apa yang tidak dikehendakinya sendiri.
Aku pun sebelum sembuh dulu, pasti ditunggangi
kekuatan-kekuatan asing itu untuk melakukan
apa yang di luar kehendakku sendiri. Kubayangkan
seandainya ada orang yang menuntut ganti rugi
kepadaku atas kerusakan-kerusakan yang kuakibatkan dalam ketidak-warasanku dulu."
"Itu beda, Saudara Ho. Kau diguna-guna. Kau
menjadi perusak bukan karena kemauanmu
sendiri. Sedang orang ini, entah kesurupan atau
apa, adalah karena kemauannya sendiri, mungkin
ia sengaja melakukan suatu upacara gaib untuk
memasukkan kekuatan jahat ke dalam dirinya.
Karena itu dia pantas bertanggung jawab!"
Entah beroleh pikiran dari mana, tiba-tiba saja
Ho Tong berkata, "Bisa jadi dia pun tertipu, Kakak
Giam. Dia melakukan suatu upacara untuk
memperoleh kekuatan gaib yang dikiranya
kekuatan suci, kekuatan dewa-dewa, ternyata
kekuatan jahat yang memasukinya."
Begitulah, selagi si "manusia bolak-balik" sudah
terkapar tak berdaya di tanah dan tinggal
menghabisinya dengan sekali tikam, malahan Giam
Lok dan Ho Tong berselisih pendapat.
Saat itulah di ambang pintu depan terdengar
suara Si Nenek yang sudah dikenal baik oleh Giam
Lok maupun Ho Tong, "Maafkan dia. Itulah
kekuatan terbesar untuk membebaskannya dari
kekuatan asing yang mencengkeramnya."
564 Giam Lok amat sulit Nenek, namun ketika Ho mengikutinya meskipun menoleh dengan sorot "manusia bolak-balik"."
mematuhi permintaan Si Tong menariknya pergi, ia
sambil sebentar-sebentar mata gusar kepada si Si Nenek bergabung dengan kedua pemuda itu,
sambil berkata, "Kita pulang. Aku hendak
memasak enak untuk kalian."
Giam Lok heran bahwa Si Nenek selalu muncul
di saat-saat tidak terduga, dan entah dari mana
datangnya bahan-bahan masakannya, ia sudah
beberapa kali menyediakan makanan lezat untuk
Giam Lok. Begitu pula, malam ini, selagi jiwa Giam
Lok masih guncang oleh pengalaman aneh yang
baru saja dialaminya tahu-tahu di rumah bekas Ek
Yam-lam sudah menanti hidangan lezat, tentu ini
menyenangkan. Sambil berjalan pulang, Ho Tong bertanya, "Nek,
apakah Nenek tahu sebabnya kenapa suasana
aneh di Seng-tin ini muncul, begitu saja, terutama
di bekas kediaman guruku" Dan kenapa tiba-tiba
hilang begitu saja?"
Giam Lok heran kepada Ho Tong, urusan "berat"
seperti ini kok ditanyakan kepada seorang nenek
yang jalannya saja sudah sempoyongan" Namun Si
Nenek menjawab juga pertanyaan itu, dengan nada
mantap seperti dialah ahlinya, "Suasana aneh tadi
muncul karena dalam rumah bekas kediaman guru
kalian ada sekelompok kecil orang yang sedang
memusatkan dan menyatukan kekuatan jiwa
mereka untuk menghadirkan penguasa-penguasa
gaib dari dunia lain ke Seng-tin melalui tubuh
565 mereka. Dan suasana itu menghilang, karena ada
manusia sejati yang sadar kedudukan syahnya
yang ditentukan Sang Maha Pencipta, membatalkan kehadiran penguasa-penguasa dari
dunia lain itu." "Manusia?" Giam Lok tercengang. "Hanya
manusia yang menyingkirkan pengaruh aneh yang
menguasai kota tadi?"
Giam Lok menjadi begitu bergairah mengetahui
urusan itu, sebab ia sendiri adalah penjunjung
tinggi "semangat manusia yang mengatasi segalagalanya", maka sekarang mendengar bahwa yang
menyingkirkan pengaruh aneh itu bukan dewa,
bukan siluman, bukan "panglima langit" tetapi
"hanya" manusia. Maka lupalah ia bahwa yang
bicara itu juga "hanya" seorang nenek-nenek asing
yang belum terlalu dikenalnya, ia langsung
mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, "Jadi yang menghalau suasana aneh tadi
bukannya mahluk gaib melainkan hanya manusia
biasa" Siapa ia" Bagaimana caranya" Di mana ia
sekarang" Bagaimana ia bisa sampai disebut
manusia sejati" Apakah dengan bertapa habishabisan, menyiksa diri di gunung" Atau apa?"
Sahut Si Nenek, "Yang menghalau suasana gaib
tadi adalah sejenis mahluk gaib yang... yang
namanya manusia...."
Giam Lok dan Ho Tong sama-sama tercengang,
dan tafsiran mereka muncul. Tanya Giam Lok,
"Maksudmu, Nek, mahluk gaib yang... dulu pernah
jadi manusia semasa hidupnya" Lalu mati dan
menjadi arwah?" 566 Si Nenek menggeleng. "Tidak. Kepercayaan
bahwa arwah orang mati masih bisa dihubungi
adalah kepercayaan sesat, membuat orang-orang
hidup dituntut oleh setan-setan yang menyamar
sebagai sanak keluarga yang sudah meninggal.
Tidak, Giam Lok, aku tidak bicara tentang arwah
orang mati, melainkan tentang manusia yang
masih hidup di bumi ini, mereka adalah ciptaan
yang gaib. Mereka itu mahluk gaib, tetapi tidak
menyadarinya. Bahkan mahluk yang dikaruniai
kemuliaan tertinggi di antara mahluk-mahluk
ciptaan lainnya. Manusia adalah satu-satunya
mahluk yang diberi kesempatan untuk bertukar isi
hati dengan Penciptanya, kesempatan itu bahkan
tidak dimiliki oleh mahluk sejenis kami."
Giam Lok dan Ho Tong serempak menghentikan
langkah lalu menatap Si Nenek tajam-tajam, tanya
mereka hampir serempak, "Jadi... Nenek ini jenis
mahluk apa?" "Yang melayani manusia, tanpa mempengaruhi
kebebasan jiwa yang kami layani."
Giam Lok dan Ho Tong berhenti melangkah,
terpaku. Si Nenek berhenti melangkah pula.
Ketiganya jadi berdiri di tengah jalanan kota Sengtin
yang lengang itu, suasananya tidak menakutkan seperti tadi. Tak ada kabut, tak ada
awan hitam tebal di langit, tak ada angin yang
bertiup mengiris kulit. Bahkan, secara serempak
tiba-tiba lampion-lampion penerangan yang ditaruh didepan rumah-rumah orang pun menyala
kembali. Namun lampion-lampion untuk keperluan
lain, yaitu yang digunakan untuk keperluan
567 pemujaan-pemujaan mahluk-mahluk gaib, tetap
padam. Si Nenek menarik tangan Giam Lok dan Ho Tong
sambil berkata, "Ayolah, kalian mau membiarkan
dingin hidangan yang kusediakan?"
Sambil melangkah mengikuti tarikan Si Nenek,
Ho Tong bertanya, "Nek, lalu kami harus
memanggil apa dan bersikap bagaimana kepadamu?" "Jenismu dan jenisku sesama mahluk, semua
yang diciptakan, jadi bersikap biasalah."
Ganti Giam Lok bertanya, "Nek, pertanyaanpertanyaanku tadi masih banyak yang belum
dijawab." "Aku pun belum mempunyai seluruh jawabannya. Aku juga masih belajar dari....
manusia. Tanyakan saja Liu Yok."
Sementara itu, si "manusia bolak-balik" yang
terkapar sendirian di halaman rumah bekas
kediaman guru silat Ciu Koan itu pun merintihrintih, "Tolong... tolong... Ek Yam-lam, Yao Kangbeng, Ciu Bian-li, siapa saja... tolong aku... Aduh,
semua persendian tubuhku seperti habis dipelintiri
semuanya...." Rumah itu tetap sunyi, tak ada yang
menggubris suaranya. Hanya bau dupa dibakar
menyengat memenuhi udara.
Terpaksa si "manusia bolak-balik" dengan
menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya merayap
perlahan-lahan ke dalam rumah yang temaram
568 dengan lilin-lilinnya itu. Perjalanannya penuh
kesengsaraan, meskipun hanya belasan langkah,
dan sambil merayap dia juga terus-menerus
mendesiskan pujaan

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekaligus permohonan kekuatan kepada "ratu langit" dan "bala
tentara"nya. Beringsut-ingsut ia menyeret tubuhnya seperti
seekor kadal habis digebuk, menuju ke ruang
paling belakang. Ruang yang dulunya adalah Lianbu-thia (balai latihan silat). Berkali-kali dia juga
berteriak memanggil seseorang untuk menolongnya, namun tetap tidak digubris.
Akhirnya, dengan tubuh serasa remuk, setelah
hampir dua jam merayap untuk menempuh jarak
yang hanya belasan langkah, dia mencapai juga
ambang pintu Lian-bu-thia, lalu menyeret tubuh ke
dalamnya. Dalam ruangan yang luas namun gelap itu,
dengan patung besar "ratu langit" di ujung
ruangan, nampak ada enam orang duduk di lantai,
melingkari bentuk rumah-rumahan dan jalan-jalan
yang menggambarkan kota Seng-tin. Bukan hanya
rumah-rumahnya dan jalan-jalannya, tetapi juga
ada patung-patung kecil bertuliskan nama semua
orang di Seng-tin. Keenam orang itu masing-masing memakai
topeng yang berbeda-beda. Wajah-wajah yang
terlukis di topeng itu adalah wajah-wajah dari
tokoh-tokoh "kerajaan langit", ada "pangeran" ada
"puteri" ada "panglima" ada "menteri".
Mereka duduk mematung saja dengan tangan
tetap saling bergandengan membentuk lingkaran,
569 sedikit pun tidak menggubris "manusia bolakbalik" yang merintih-rintih pilu di depan pintu.
"Kalian kumintai tolong sejak tadi, kenapa
Kalian tidak menggubris aku?" protes si "manusia
bolak-balik" dari balik topengnya.
Kali ini ia mendapat jawaban, namun bukan
jawaban yang membesarkan hati, "Dalam jajaran
abdi-abdi sejati kerajaan langit, tidak ada tempat
bagi yang lemah dan kalah!"
"Lui Kong-sim, kaukah yang bicara itu?" geram
si "manusia bolak-balik" dari ambang pintu.
Marah. Lui Kong-sim menjawab dengan bangga dari
balik topengnya, "Ya, akulah Lui Kong-sim.
Perajurit bawahan langsung dari penguasa petir
dan api!" Tepat di depan Lui Kong-sim memang ada
patung kecil sesosok mahluk berdandan seperti
panglima jaman kuno, bersayap dua di punggungnya, mulutnya bertaring, tangan kanan
memegangi petir dan tangan kiri memegangi
gumpalan api. Patung yang dihadapkan ke arah
miniatur Seng-tin. Dan wajah topeng yang dipakai
Lui Kong-sim memang persis wajah patung
kecilnya. Si "manusia bolak-balik" melengking gusar, "Lui
Kong-sim, apakah kau lupa siapa aku?"
"Tentu saja tidak lupa. Namamu Wong Lu-siok,
pernah terpilih menjadi utusan suci Pek-gok-nia
(Bukit Buaya Putih) untuk menyebarkan agama
Sang Ratu ke seluruh bumi. Tetapi baru sampai di
570 Seng-tin ini, kau sudah menjadi lemah. Kau tidak
segera menaklukkan kota ini secara total sehingga
seluruh warga kota dalam waktu singkat menjadi
pemuja Sang Ratu. Kau terlalu lemah, kau lamban
bertindak kepada orang-orang yang menentang
ajaran yang kaubawa, padahal mereka seharusnya
dikutuk habis-habisan agar menemui kemalangan
yang paling pedih. Sekarang di kota ini berkeliaran
orang macam Liu Yok yang sangat membahayakan
kita. Karena kegagalanmu itu, Wong Lu-siok, kau
sekarang bukan apa-apa. Jangan lagi kauanggap
dirimu sebagai utusan suci Sang Ratu Langit.
Kau sekarang sama dengan manusia-manusia
hina lainnya di bumi, yang melata seperti cacing
dalam debu. Sang Ratu sudah memberikan
peneguhannya kepadaku!"
"Manusia bolak-balik" yang ternyata adalah
Wong Lu-siok itu pun tercenung, tubuhnya
menggeletar. Ketakutan hebat melanda jiwanya.
Dia pernah melihat sendiri di Bukit Buaya Putih,
seperti apa nasib seorang "utusan suci" yang gagal.
Orang itu bukan hanya akan di-gantikan orang
lain, melainkan juga akan mengalami penyiksaan
raga jiwa seumur hidupnya sampai mati dalam
kengerian hebat. Selain tubuhnya mengalami
kesakitan hebat, jiwanya pun akan mengalami
ketakutan, kebingungan, kekacauan yang tak
keruan asal-usulnya, disiksa habis-habisan sampai
matinya. Kini masa tergelap yang amat ditakuti Wong Lusiok itu sudah di depannya.
571 "Kau bohong, Lui Kong-sim...." desis Wong Lusiok gusar bercampur takut. Tubuhnya tergeletak
di ambang pintu namun lengannya terangkat
menuding Lui Kong-sim. "Kau tidak tahu
membalas kebaikan, kau kuajak bergabung dalam
kegiatan ini, kegiatan menguasai Seng-tin, ternyata
kau hendak menjerumuskan aku ke dalam
kesengsaraan itu... tidak apa-apa kau ingin
menggantikanku, tetapi kumohon... kumohon...
jangan biarkan jiwaku memasuki 'sumur hitam'
itu...." Dari kata-katanya itu, Wong Lu-siok rela
kehilangan posisinya sebagai orang yang paling
dihormati di Seng-tin. Sebenarnya memang sudah
lama Wong Lu-siok mulai meragukan ajaran
"suci"nya sendiri ketika melihat akibat-akibat
buruk yang menimpa penganut-penganut-nya
sendiri, juga penderitaan hampir tak tertahankan
bagi tubuh dan jiwanya setiap kali ia "habis
dipakai" oleh penguasa gaib yang manapun juga.
Misalnya malam ini ketika ia dirasuki "panglima
kembar" sehingga terpaksa ia menjadi "manusia
bolak-balik", maka sesudahnya ia merasakan
seluruh persendian tubuhnya amat kesakitan
karena habis dipelintir semuanya dengan mengabaikan gerak-gerik alamiah, ketika bertempur dengan Giam Lok dan Ho Tong tadi.
Kemudian Wong Ku-siok juga sudah lama ingin
melepaskan diri dari "penugasan dari langit" ini
tetapi tidak berani, takut membuat gusar petugaspetugas gaib. Kebetulan kalau ada yang mau
menggantikannya, seperti Lui Kong-sim yang
sangat berambisi ini. Tetapi yang ditakuti Wong
572 Lu-siok ialah kalau sampai karena kegagalannya
itu jiwanya "dimasukkan sumur hitam" sehingga
menderita raga dan jiwanya seumur hidupnya.
Lui Kong-sim tertawa bangga, merasa betapa
senangnya sekarang ia menguasai nasib orang lain,
dan bukan sekedar merasa, melainkan benarbenar mempunyai dukungan kekuatan "dari langit"
untuk menjalankan kuasanya itu. Dan orang yang
dikuasainya tidak tanggung-tanggung, Wong Lusiok, yang paling dihormati di kota itu. Sekarang
Wong Lu-siok sedang merintih-rintih memohon
ampun kepadanya. Diam-diam Lui Kong-sim membatin, "Ah,
seandainya seluruh Seng-tin melihat peristiwa
ini..." Kata Lui Kong-sim kemudian, "Wong Lu-siok,
kau sudah lupa ketika dulu kau menyakiti hatiku.
Sehabis mengusir Beng-Hek-hou dan kau bercokol
di kota ini, lalu kau memilih orang-orang untuk
membantumu, ternyata kau mengkesampingkan
aku begitu saja. Bahkan ketika Giam Lok menolak
untuk membantumu, kau lebih senang membiarkan tempat itu kosong daripada diduduki
olehku. Hem, malam ini ternyata terbukti bahwa
Sang Ratu Langit lebih berkenan kepadaku
daripada kepadamu. Nah, mau apa kau sekarang"
Kekuatan langitmu sudah dicabut dan dialihkan
kepadaku!" Wong Lu-siok menarik napas. Memang begitulah
peraturan dalam sektenya. Siapa yang "diperkenankan ratu langit" dialah yang 573 mengambil-alih kedudukan begitu saja. Orangnya
bisa berganti dengan cepat.
Kemudian berkatalah Lui Kong-sim dengan
nada memerintah kepada Ek Yam-lam dan Yao
Kang-beng, "He, kalian berdua, jebloskan si
pecundang ini ke dalam kurungan. Besok akan
mulai kuterapkan 'sihir sumur hitam' kepadanya!"
Ek Yam-lam dan Yao Kang-beng merasa gentar.
Sebetulnya mereka tidak rela bahwa Lui Kongsimlah yang memerintah mereka sekarang, Lui
Kong-sim yang dulu adalah teman sepermainan
mereka. Namun tadi ketika mereka bersemedi,
dalam suatu penglihatan gaib mereka melihat Lui
Kong-sim seolah diguyur cahaya kebiru-biruan dari
langit, maka Ek Yam-lam dan Yao Kang-beng tidak
berani membantah lagi. Mereka bangkit, masih mengenakan topeng
masing-masing, lalu mengangkat setengah menyeret tubuh Wong Lu-siok untuk dibawa dan
dimasukkan ke sebuah ruang kurungan di
halaman belakang. Sementara diseret, Wong Lusiok makin keras rintihannya karena persendian
tulang-tulangnya yang masih sakit sekali, "Aduh...
pelan-pelan, Saudara Ek... tubuhku sakit semua...." Ek Yam-lam yang sekian lama hidup bersama
Wong Lu-siok di bekas rumah guru silatnya itu,
merasa agak kasihan juga mendengar rintihan
Wong Lu-siok yang memelas itu. Ia mencoba
bersikap lebih lembut. Namun Yao Kang-beng bersikap lain. Pemuda
ini sedang merasa tidak senang hatinya karena
574 diperintah-perintah oleh Lui Kong-sim. Merasa
tidak senang namun tidak berani melawan, maka
sekarang ketidak-senangannya dilampiaskan kepada Wong Lu-siok yang sudah kehilangan
kekuasaannya "yang dari langit" itu dan jadi orang
biasa. Mendengar rintihan Wong Lu-siok, Yao
Kang-beng malahan menyentak dan menyeret
Wong Lu-siok lebih keras sehingga jerit kesakitan
Wong Lu-siok melengking merobek kesunyian
malam. Ek Yam-lam mengerutkan alis dan menegur
temannya, "Saudara Yao, meskipun Guru Wong
sudah...." "Jangan dipanggil 'guru' lagi! Manusia tak
berguna ini!" tukas Yao Kang-beng sengit sambil
menyentak lengan Wong Lu-siok sekali lagi
sehingga Wong Lu-siok kembali menjerit kesakitan.
Seluruh tubuhnya masih sakit, namun lengan yang
dipegangi Yao Kang-beng sakitnya berlipat.
Ek Yam-lam gusar melihat itu, namun dia
hanya bisa menahan diri. "Saudara Yao, meskipun... orang ini sudah
gagal, tetapi ingatlah jasanya mengusir Beng Hekhou Mari kota ini."
Tak terduga sikap Yao Kang-beng kepada Ek
Yam-lam pun amat kasar, "Lebih baik kaututup
mulut, Kakak Ek. Tutup mulut sajalah! Kalau
kulaporkan kepada Saudara Lui, bisa dicabut
seluruh kekuatanmu dan mengikuti nasib orang
she Wong ini!"

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

575 Darah Ek Yam-lam mendidih, namun sadar
benar bahaya yang mengancamnya kalau sampai
Lui Kong-sim tidak senang Kepadanya. Ek Yamlam tahu Yao Kang-beng sedang memendam
kesesalan, tetapi tak terduga akan sekasar itu
sikapnya. Tetapi ia memilih untuk bungkam.
Tiba di depan pintu tempat pengurungan, Ek
Yam-lam membukakan pintu ruang kurungan yang
tebal itu. Di dalam gelap sekali, sehingga tak
terlihat ada apa di dalamnya. Ek Yam-lam ingat,
beberapa waktu yang lalu ke dalam ruang itu
dimasukkan seorang "penyihir wanita jahat"
bernama Siau Hiang-bwe, setelah disiksa dan
dipermalukan habis-habisan dilapangan. Sejak
dimasukkan ke situ, "atas perintah ratu langit"
melewati mulut Wong Lu-siok, maka Siau Hiangbwe tidak diberi makan minum dan tidak pernah
dijenguk sedetik pun. Para penghuni rumah itu
sudah membayangkan tentu si "penyihir wanita"
sudah membusuk di dalamnya.
Namun ketika Ek Yam-lam membuka pintu sel
itu, kenapa tidak tercium bau busuk"
Tetapi Wong Lu-siok yang akan dijadikan satu
sel sempit dengan "sesosok mayat busuk" itu
sudah menangis sesenggukan, "Tolong, jangan
tempatkan aku di ruangan ini. Arwah Si Penyihir
Wanita itu akan menghantuiku terus... tolong...
berbelas kasihanlah kepadaku...."
"Maaf, ini perintah, Saudara Lui...."
576 Kalau Ek Yam-lam masih bersikap sopan, maka
Yao Kang-beng dengan kasar menendang punggung Wong Lu-siok sambil membentak,
"Jangan banyak mulut, orang she Wong! Nikmati
hari-harimu!" Wong Lu-siok terdorong keras ke ruangan gelap
itu, dan ia menjerit ketika dalam kegelapan
menyentuh sesosok tubuh di pojokan. Detik
berikutnya, pintu tebal kembali tertutup dari
rumah dan melenyapkan sama sekali segala
cahaya dari luar. Wong Lu-siok merasa ditenggelamkan ke dalam cairan tinta yang hitam
pekat. Selain persendian tulang-tulangnya sakit
semua, sekarang jiwanya disiksa oleh ketakutan
hebat. Tiba-tiba dari pojokan yang gelap itu pun
terdengar suara seorang wanita, "Saudara,
siapakah kau" Kenapa sampai dijebloskan ke sini?"
Wong Lu-siok membungkam beberapa saat.
Sebagai seorang yang sudah biasa berhubungan
dengan dunia gaib, Wong Lu-siok tidak takut
berhadapan dengan yang namanya arwah, namun
kini ia merasa gentar bukan main.
Dan suara perempuan di pojok gelap tadi
terdengar lagi, "Siapa kau, Saudara" Kenapa
sampai dijebloskan kemari?"
Suara itu ramah, hangat, penuh perhatian,
terdengar aneh dalam suasan seperti itu. Mana ada
orang yang sudah dikurung belasan hari tanpa
makan minum di ruang gelap itu masih bisa
bicara" Seandainya masih hidup pun pasti suda
577 sangat lemah dan memikirkan diri sendiri, mana
sempat memperhatikan orang lain"
Beberapa saat suara dalam sel gelap itu hanya
desah napas Wong Lu-siok yang tersendat-sendat
ketakutan. Dan suara wanita dari pojok gelap itu
pun terdengar lagi, "Tadi kudengar orang-orang
yang menyeretmu menyebutmu 'orang she Wong',
apakah Saudara yang bernama Wong Lu-siok, yang
mengajarkan kepercayaan baru kepada orangorang Seng-tin?"
Bukannya menjawab, Wong Lu-siok malahan
balas bertanya, "Siapa kau" Manusia atau hantu?"
"Aku manusia, namaku Siau Hiang-bwe. Tadi
ketika kau menubrukku, bukankah yang kausentuh adalah darah, daging dan bertulang?"
"Manusia hidup, atau arwah?"
"Hidup. Aku masih hidup."
"Tetapi bukankah... sudah belasan hari kau...
tidak diberi makan dan minum?"
"Mati hidupku tidak tergantung makan dan
minuman jasmani, tetapi tergantung dari Dia Sang
Pemelihara hidupku. Dia belum menghendaki aku
mati, maka aku pun hidup, dan tak ada yang bisa
mengubahnya." Wong Lu-siok bungkam, dalam hatinya dia
merasa aneh bahwa tiba-tiba jiwanya dilanda
kegentaran hebat. Wong Lu-siok yang merasa
punya "ilmu dewa" itu tidak pernah gentar kepada
siluman atau mahluk gaib yang bagaimana pun
578 seramnya, entah kenapa berhadapan dengan
seorang gadis yang lemah seperti Siau Hiang-bwe.
Kemudian Wong Lu-siok merasa lebih heran
lagi, sebab dalam dirinya timbul perasaan lain,
yaitu harapan untuk ditolong. Campuran dua
macam perasaan yang seharusnya bertentangan,
ada rasa gentar dan ingin menjauhi Siau Hiangbwe, sekaligus juga ada harapan ingin ditolong dan
makin akrab dengan Siau Hiang-bwe.
"Kau yang bernama Wong Lu-siok, apakah
dugaanku benar?" tanya Siau Hiang-bwe dalam
kegelapan. Wong Lu-siok gentar membayangkan kemarahan Siau Hiang-bwe kalau sampai tahu
bahwa yang ada di depannya adalah orang yang
paling bertanggung jawab atas penjeblosan diri
Siau Hiang-bwe ke tempat gelap itu. Aneh lagi.
Seorang "utusan langit yang punya ilmu dewa" dari
Bukit Buaya Putih gentar membayangkan kemarahan seorang gadis lemah yang ketika
dianiaya dan dihina orang-orang Seng-tin tidak
menunjukkan kehebatan apa-apa, mengalah terus.
Sekian lama Wong Lu-siok membungkam, dan
terdengarlah suara Siau Hiang-bwe pula, "Kalau
kau benar Wong Lu-siok, kenapa takut mengakuinya di depanku" Takut aku marah?"
"Nona... tidak marah?" tanya Wong Lu-siok
takut-takut. Pertanyaan baliknya itu secara tidak
langsung sudah mengakui di depan Siau Hiangbwe bahwa dialah Wong Lu-siok.
579 "Aku tidak marah kepadamu, kepada ... Liu
Kong-sim, kepada Nyonya Giam, kepada manusia
yang manapun. Aku sangat marah kepada mahlukmahluk
bukan manusia yang hendak merendahkan martabat manusia dengan menunggangi pikiran dan tubuh manusia. Mahlukmahluk gaib itulah yang harus bersiap-siap
menerima kemarahanku."
Dalam hati Wong Lu-siok muncul luapan rasa
terima kasih dan syukur, tetapi ketika bibirnya
hendak bergerak mengucapkannya, mendadak gigigiginya Terkatup kuat, rahang-rahangnya menjadi
kaku, dan suatu kekuatan iain dalam dirinya
mengambii-alih dirinya. Suatu gelombang kemarahan bercampur ketakutan meluap memenuhi dirinya, dan yang terluncur dari
mulutnya bukannya ucapan syukur dan terima
kasihnya kepada Siau Hiang-bwe, melainkan katakata geram, "Mahluk hina dina! Manusia, mahluk
dari debu, apa yang kauandalkan sehingga hendak
memarahi penguasa-penguasa di langit yang
mengendalikan nasib manusia" Apa yang hendak
kau andalkan?" Waktu itu kesadaran Wong Lu-siok tidak
sepenuhnya hilang, meskipun kesadaran itu seolah
terdesak minggir oleh suatu kekuatan yang jauh
lebih besar. Wong Lu-siok juga mencoba matimatian mempertahankan kesadarannya agar tidak
sepenuhnya diambil-alih. Sikap Wong Lu-siok itu
adalah suatu sikap yang selama ini belum pernah
dilakukannya. Biasanya, apabila kekuatan itu
muncul, Wong Lu-siok bersikap menyerah dan
membiarkan kesadarannya "ditidurkan" ke alam
580 lain, lalu jadilah Wong Lu-siok pribadi yang lain.
Raganya masih raga Wong Lu-siok, tetapi jiwa yang
menjalankan raga itu sudah bukan jiwa Wong Lusiok. Itu biasanya. Sekarang justru Wong Lu-siok
tidak membiarkan kesadarannya hanyut begitu
saja, juga tidak membiarkannya "ditidurkan" begitu
saja. Dalam sisa kesadarannya yang hanya sayupsayup itulah Wong Lu-siok menemukan bahwa
ternyata kemarahan dan sikap permusuhan yang
ada dalam dirinya terhadap Siau Hiang-bwe itu
bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari
kekuatan yang sekarang tampil. Kekuatan ini yang
membenci Siau Hiang-bwe, bukan diri Wong Lusiok. Sekarang Wong siok cemas bahwa tubuhnya
yang dikendalikan oleh pribadi lain itu akan
mencelakai Siau Hiang-bwe, namun Wong tak
berdaya. Tubuhnya seakan-sudah bukan miliknya
sendiri. Begitu pribadi lain dalam diri Wong Lu Siok itu
tampil, udara dalam ruang sempit itu seolah
memadat dan mencekik pernapasan, kehadiran
pribadi gaib itu begitu terasakan oleh Siau Hiangbwe, bahkan menekan Siau Hiang-bwe.
Wong Lu-siok mencemaskan nasib Siau Hiangbwe, namun dari sudut gelap itu terdengar Siau
Hiang-bwe berkata dengan tegas, "Aku manusia,
yang dianugerahi menjadi mahluk termulia,
mengandalkan anugerah Yang Maha Besar untuk
menghadapimu, mahluk-mahluk jahat. Matamu
pasti bisa menembus melihat ke dalam wadahku
581 dan melihat Siapa yang di dalam aku, nah,
pandanglah Dia!" Wong Lu-siok mendesis dan menggeliat seperti
cacing kepanasan. Kesakitan hebat di sendi-sendi
tulang Wong Lu-siok menghebat berkali lipat.
Kekuatan yang selama ini menghuni Wong Lu-siok,
memperbudak Wong Lu-siok, karena sekarang
gagal melampiaskan kemarahannya kepada Siau
Hiang-bwe, sekarang melampiaskannya kepada
Wong Lu-siok. Tidak peduli selama ini Wong Lusiok sudah memujanya, mengabdinya.
Kini Siau Hiang-bwelah yang marah, hingga ia
membentak, "Jangan menyakiti manusia! Kuperintahkan ini dengan ancaman hukuman
yang berat kalau tidak kaupatuhi!"
Terdengar geram mirip binatang buas dari
mulut Wong Lu-siok. Tapi rasa nyeri di sendi-sendi
tulangnya menurun sedikit demi sedikit, bahkan
hilang sama sekali. Tekanan kekuatan asing yang
berusaha menenggelamkan kesadaran Wong Lusiok pun mengendor.
Diam-diam Wong Lu-siok heran. Kekuatankekuatan gaib yang menghuni dirinya ini sering
muncul di mimpi Wong Lu-siok menunjukkan
kekuasaan dan mereka, menamakan diri "penguasa-penguasa kerajaan langit." Bukan saja
dalam mimpi, tetapi dalam kenyataan pun mereka
menunjukkan kekuasaan nasib orang-orang yang
menentang mereka. Wong Lu-siok pernah merasa
bangga bahwa dia menjadi saluran "kekuatan
dewa-dewa" untuk

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghukum kekuatankekuatan hitam, namun lama kelamaan hati Wong
582 Lu-siok terusik juga melihat korban-korban yang
tak seharus dari kekuatan yang bersarang dalam
dirinya. Korban-korban dari orang-orang yang
disebut "menentang ajaran suci dari Ibu Segala
Agama". Biar hati nuraninya terusik, Wong Lu-siok
tak berdaya dalam cengkeraman kekuatankekuatan aneh dalam dirinya. Dulunya ia mengira
ia akan dapat menguasai kekuatan-kekuatan itu,
ternyata kemudian kekuatan-kekuatan itulah yang
menguasainya, bahkan Wong Lu-siok disiksa kalau
tidak mentaati kemauan penghuni-penghuni gaib
dalamnya itu. Sekarang, dalam sel sempit itu Wong
Lu-siok dengan terheran-heran menjumpai kenyataan bahwa kekuatan kekuatan dalam
dirinya itu tunduk kepada perkataan Siau Hiangbwe.
Saat itulah kuping Wong Lu-siok mendengar
mulutnya sendiri berkata dengan suara Wong Lusiok, "Nona Siau, cukup Aku sudah merasa baik.
Cukuplah. Terima kasih, aku sudah baik."
Kesadaran aseli Wong Lu-siok sendiri memprotes kata-kata dari mulutnya itu Wong Lusiok tahu bahwa, itulah bukan perkataannya,
meski menggunakan mulutnya dan bersuara persis
suaranya. Wong Lu-siok ingin memberitahu Siau
Hiang-bwe, tetapi bagaimana bisa kalau mulutnya
"sedang dikuasai sesuatu yang lain" sesuatu yang
ingin membohongi Siau Hiang-bwe dengan
menirukan suara Wong Lu-siok" Ada sekat tebal
tak tertembus antara kesadaran Wong Lu-siok
dengan kemampuan bicaranya.
583 Hanya dalam hatinya sendiri Wong Lu-siok
dapat menjerit, "Nona Siau, bukan aku yang baru
saja bicara, bukan aku! Tolong aku,. jangan
berhenti menggunakan kekuasaan untuk menangani penghuni-penghuni asing yang sering
menyiksa dalam diriku!"
Namun Wong Lu-siok tidak berani berharap
bahwa Siau Hiang-bwe akan bisa mendengar
jeritannya itu, karena jeritan itu hanya dalam hati
dan tidak keluar lewat mulut.
Ternyata dalam diri Siau Hiang-bwe sendiri ada
suatu bisikan untuk melakukan sesuatu. Dan Siau
Hiang-bwe pun menurutinya, katanya kepada
"penghuni" Wong Lu-siok, "Jangan bicara dengan
menirukan suara Wong Lu-siok. Itu tipuan kalian
agar aku berhenti mengusik kalian, sebab kalian
tahu bahwa aku tak dapat bertindak apa-apa kalau
kalian berlindung di balik kehendak bebas
manusia yang kalian huni, tetapi kehendak Wong
Lu-siok memihak aku. Selain itu, tipuan
menirukan suara orang ini juga sudah menyebabkan banyak orang tersesat mengikuti
pimpinan kalian, setan-setan jahat!"
Kembali terdengar geram binatang-binatang
buas bercampur aduk lewat mulut yang berbuih.
Sementara Wong Lu siok harus mengerahkan
tenaga habis-habisan hanya untuk mengangkat
tangannya menjangkau topeng-topeng bolak-balik
itu dan merenggutnya lepas. Tindakan tanpa kata
itu menyatakan penolakan Wong Lu-siok kepada
"penguasa-penguasa kerajaan langit" yang pernah
disembah dan diabdinya. 584 Kembali tubuh Wong Lu-siok bergerak oleh
amukan penghuni-penghuni dalam dirinya yang
gusar karena merasa diusir, merasa "hak
bertempat tinggal" mereka mulai diusik, oleh "yang
punya rumah" yaitu Wong Lu-siok. Kalau cuma
Wong Lu-siok, penghuni-penghuni gaib itu masih
bisa mengatasi, bahkan menindas dar menganiaya
Wong Lu-siok dari dalam. Namun Wong Lu-siok
sekarang dibantu Siau Hiang-bwe yang tak
terlawan oier penghuni-penghuni gaib di dalam
Wong Lu-siok. Inilah yang membuat penghunipenghuni gaib itu gentar namun tak berdaya.
Dalam kegelapan, Siau Hiang-bwe tersenyum
lega. Bersyukur, bahwa satu lagi mahluk
sejenisnya, manusia, menolak perbudakan oleh
mahluk-mahluk lain. *** Matahari bersinar cerah, berbeda dengan
suasana semalam yang begitu mengerikan. Namun
wajah Lui Kong-sim tidak secerah langit, wajah itu
justeru gelap, tersaput mendung kemarahan, dan
sorot matanya seperti kilat halilintar.
Ketika Lui Kong-sim berteriak memanggil Ek
Yam-lam, Yao Kang-beng, Ciu Bian-li dan Bibi Ciu
serta A-kun, maka kelima orang itu pun terbiritbirit memenuhi panggilan itu. Menghadap Lui
Kong-sim di ruangan bekas balai latihan silat yang
ada patung besar "ratu langit"nya itu. Mereka
meninggalkan pekerjaan apa pun, jangan sampai
telat, sebab Lui Kong-sim jauh lebih keras dari
Wong Lu-siok yang digantikannya.
585 Begitu masuk ruangan, lebih dulu mereka
bersujud sampai jidat mereka menyentuh lantai ke
patung besar "ratu langit", setelah itu ke arah Lui
Kong-sim yang duduk bersila di atas bantalan, di
samping patung besar itu. Tempat duduk Lui
Kong-sim itu adalah tempat yang biasanya
diduduki Wong Lu-siok. Lui Kong-sim juga
mengenakan jubah putih dan pakaian iain yang
biasanya dikenakan Wong Lu-siok.
Dengan suara marah Lui Kong-sim berkata,
"Semalam ibunda ratu menjumpai aku dalam
mimpi, dan beliau menuntut seluruh Seng-tin
tunduk mutlak kepadanya. Selama ini kita terlalu
sabar terhadap orang-orang yang belum mau
tunduk, kita membiarkan mereka begitu saja,
tetapi ini tidak akan terjadi lagi selama aku
menduduki jabatan sebagai utusannya. Kita harus
keras. Manusia-manusia di seluruh Seng-tin harus
disadarkan bahwa mereka hanyalah mahlukmahluk hina tak berdaya yang nasibnya
sepenuhnya di tangan para penguasa langit! Dan
tindakan tegas itu menuntut pengabdian kita
secara mutlak, total, kita harus berani mengorbankan siapa saja, bahkan anggota
keluarga kita, yang tidak mentaati ajaran ibunda
ratu!" Kelima orang di depannya duduk dengan sikap
tak berani menunjukkan penentangan sedikit pun.
Lui Kong-sim kemudian menunjuk kepada Yao
Kang-beng. "Kaukumpulkan seluruh pengawal
kota, lalu hukumlah mati Pang Se-bun sekeluarga
kecuali A-kun, juga janda Giam dan seluruh
586 keluarganya. Ditumpasnya dua keluarga itu akan
menjadi contoh bagi seluruh Seng-tin!"
Yao Kang-beng bangkit dan langsung menjalankan tugas itu. A-kun adalah puteri Pang
Se-bun, namun ketika mendengar nasib keluarganya diputuskan demikian, dia tetap
berwajah dingin, sedikit pun air mukanya tidak
berubah. Kemudian Ek Yam-lam juga mendapat tugas.
"Kautumpas seluruh keluarga Ho Tong, bawa juga
pengawal kota secukupnya. Habis menumpas
keluarga Ho, tumpas juga keluarga Yao!"
Berbeda dengan Yao Kang-beng yang dengan
sigap bangkit menjalankan perintah, Ek Yam-lam
nampak agak ragu menjalankan perintah gilanya
itu. Mana bisa menyebarkan "ajaran suci" dengan
main tumpas kepada yang tidak sepaham"
Namun Ek Yam-lam gentar ketika mata Lui
Kong-sim bersorot mengerikan menatap ke
arahnya. Ek Yam-lam pun bangkit.
Terhadap tiga perempuan di depannya, yaitu
Ciu Bian-li, Bibi Ciu dan A-kun yang masih kanakkanak, Lui Kong-sim memerintahkan, "Kalian
bertiga dalam satu hari ini harus mengunjungi
semua rumah di Seng-tin, rumah demi rumah,
jangan ada yang kelewatan. Mintalah agar setiap
orang besumpah setia kepada Ibunda Ratu. Mereka
harus bersumpah setia dengan mengutuk diri
dengan tiga puluh enam macam kutukan. Yang
merasa keberatan menjalankan upacara sumpah
setia, catat namanya dan laporkan kepadaku. Aku
587 mendukung dengan seluruh kekuatan kerajaan
langit dari tempat ini."
Sambil berkata demikian, Lui Kong-sim
menunjuk ke miniatur Seng-tin yang tergelar di
lantai, lengkap dengan patung-patung kecil yang
mewakili penduduk Seng-tin.
Tanpa banyak membantah, ketiga perempuan
yang terdiri dari tiga generasi itu pun berangkat
menjalankan tugas mereka.
Sepeninggal mereka Lui Kong-sim mengambil
patung-patung dari segenap "penguasai langit"
yang pernah diajarkan Wong Lu-siok. Ada
berpuluh-puluh tokoh-tokoh negeri gaib yang
diujudkan dalam patung-patung buatan si tukang
keramik Ban Ke-liong, kini patung-patung itu
dijajarkan di meja-meja rendah di sebelah kirikanan altar. Ada yang berwajah seram dengan
taring dan tanduk, bahkan ekor, ada yang berujud
setengah manusia setengah binatang, atau
manusia tidak normal dengan tiga kepala dan
enam lengan, ada yang gagah dengan pakaian
panglima perang jaman kuno, ada yang tampan
dan cantik dengan pakaian kebangsawanan, dan
beberapa di antaranya bahkan berjubah panjang
dengan wajah cerah dengan jenggot putihnya yang
memperlihatkan seolah-olah bijaksana. Lui Kongsim dengan sikap hormat menaruh patung-patung
itu berkeliling miniatur kota, seolah-olah mengepung kota Seng-tin. Kemudian Lui Kong-sim
mengambil buku tipis yang berjudul "KiTab Tiga
Puluh Enam Kutukan" dan mulai diucapkannya
kutuk itu dengan berlagu.
588 Tak peduli di luar alam semesta sedang
bermandi cahaya matahari yang lembut dan
hangat, dalam ruangan itu udaranya justeru
menurun suhunya, makin dingin dan makin
dingin. Bahkan, biarpun jendela-jendela tertutup,
tiba-tiba dalam ruangan itu ada angin dingin yang
berputar berkeliling ruangan, sampai rambut dan
ikat kepala Lui Kong-sim berkibar kencang. Tetapi
Lui Kong-sim tidak berhenti membacakan kutukan, malah makin bersemangat, bahkan
kemudian matanya terbalik sehingga kelihatan
hanya putihnya saja, sementara mulutnya tidak
berhenti melagukan kutukan bagi barang siapa
yang menentang Sang "ibunda segala agama", kali
ini tidak usah membaca lagi, sebab ia sudah dalam
keadaan tidak sadar. Wajah patung-patung di ruangan itu seolah-olah
menjadi hidup, menyeringai dan mendukung
terlaksananya kutukan itu.
Di pagi yang cerah itu, di padang ilalang, Liu
Yok bersama Cu Tong-liang dan Tabib Kian sedang
melangkah santai menuju ke kota Seng-tin. Mereka
hendak mengunjungi Pang Se-bun, dan alasan
untuk mengunjungi Pang Se-bun itu tidak usah
rumit-rumit, cukup sederhana saja yaitu "karena
dorongan hati" Liu Yok.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Tong-liang yang sudah beberapa bulan
bersama-sama Liu Yok, sudah agak hapal
meskipun belum sepenuhnya akan tabiat Liu Yok.
Bila sudah menuruti "dorongan hati" maka tak ada
alasan yang bagaimanapun masuk akalnya yang
bisa membatalkan tindakan Liu Yok.
589 Begitu pula pagi tadi, begitu bangun tidur, Liu
Yok langsung saja berkata, "Hatiku terdorong
untuk mengunjungi Pang Se-bun. Aku merasa dia
sedang membutuhkan kita."
Hanya itu alasannya, dan berangkatlah mereka
bertiga ke Seng-tin. Sambil melangkah di padang ilalang di bawah
langit yang biru jernih bermandikan cahaya
matahari, Cu Tong-liang mendongak ke langit dan
melihat burung-burung beterbangan gembira.
Melihal burung-burung itu, tiba-tiba Cu Tong-liang
teringat ayat yang baru saja dibacanya pagi tadi di
bukunya Liu Yok. Belakangan ini Cu Tong-liang
memang rajin menjalani apa yang dianjurkan Liu
Yok, setelah ia merasa dalam hal kerohanian ia
tertinggal jauh dari Liu Yok dan Siau Hiang-bwe.
Antara lain dengan membaca buku kepunyaan Liu
Yok itu, dan apa yang tidak ia ketahui artinya, ia
tanyakan kepada Liu Yok. Begitu pula saat itu, melihat burung-burung di
udara, mendadak Cu Tong-liang ingat yang
dibacanya pagi tadi, dan bertanya, "Saudara Liu,
tadi pagi kubaca di bukumu begini: sebagaimana
burung terbang berkelana, demikian pula kutukankutukan berkelana mencari tempat hinggap,
namun takkan hinggap kalau tidak ada sebab yang
kuat. Apa artinya, Saudara Liu?"
"Tidak bisa kita sangkal bahwa ada banyak
pengaruh buruk yang siap menerkam siapa pun di
muka bumi ini. Pengaruh buruk itu ada yang bisa
dikenali sebab-sebabnya secara alamiah, ada yang
tidak bisa dilacak penyebabnya secara alamiah.
590 Yang bisa dilacak secara alamiah, misalnya,
sebuah warung makan yang kurang laku karena
tempatnya jorok, pelayan-pelayannya juga jorok,
apalagi kalau masakannya tidak enak. Kalau si
pemilik warung ingin memajukan warungnya, ia
harus membersihkan warungnya, juga pelayanpelayannya,
dan memperbaiki kelezatan hidangannya. Atau orang yang selalu sakit-sakitan
karena cara hidupnya yang tidak. sehat. Tetapi ada
juga penyebab-penyebab yang sifatnya gaib.
Misalnya, seorang pedagang ingin menjatuhkan
saingannya, pedagang yang lain. Karena cara-cara
yang normal tak berhasil, dia lalu minta tolong
orang yang berilmu gaib untuk menghancurkan
usaha dagang saingannya. Dalam kenyataan
sehari-hari, kita dengar banyak cerita tentang
seorang penguasa yang baik, tanpa cacad sedikit
pun nama baiknya, pelayanannya kepada pelanggan sangat terpuji, barang-barangnya baik
dengan harga yang pantas, pokoknya secara
normal tak ada kelemahannya setitik pun, eh,
tahu-tahu ditinggalkan pelanggan-pelanggannya
sampai bangkrut. Pelanggan-pelanggannya beralih
ke pedagang lain yang kwalitetnya jauh di bawah si
pedagang yang baik tadi. Kenapa bisa begitu"
Secara normal, akal manusia tak mampu
menjawabnya. Tetapi jangan lupa, ada dunia lain,
alam lain, selain alam yang terindera dan bisa
diurai akal ini. Alam gaib tidak dapat dicerna
dengan akal, tetapi dalam diri setiap manusia ada
sesuatu yang bisa merasakan keberadaannya.
Itulah yang mendorong manusia beragama,
beribadah, bahkan menjalankan syarat-syarat
agama, yang berat demi menenteramkan hatinya
591 sendiri, meskipun secara akal tak berguna.
Pengaruh-pengaruh buruk yang tidak alamiah dan
tidak dapat dicerna akal inilah yang disebut
kutukan. Dan kita bisa mematahkan kutukankutukan yang manapun juga, karena kita
dianugerahi kuasa itu. Ingat yang pernah
kukatakan kepada Kakak Liang, barang siapa
berpegang teguh di atas batu karang pengakuan
iman itu, maka kerajaan maut, artinya bagian dari
alam yang paling jahat pun, tidak menguasainya.
Bahkan kita ini dikatakan, yang kita ijinkan di
alam kasar ini diijinkan juga di alam gaib, yang
kita larang di alam kasar juga terlarang di alam
gaib." Tabib Kian yang baru kali ini seterang itu
mendengar apa yang diyakini Liu Yok, jadi
tercengang. Ia pun nyeletuk bertanya, "Mengijinkan
dan melarang di alam gaib" Manusia mengijinkan
dan melarang di alam gaib?"
Sahut Liu Yok, "Kusempitkan sedikit, Paman
Kian, bukan semua manusia, tetapi manusia yang
dengan rendah hati menyambut anugerah pemulihan Yang Maha Kuasa. Manusia yang tidak
menyambut anugerah itu, ya tetap saja dikuasai
oleh penguasa-penguasa gaib itu."
"Bukankah alam gaib itu ada penghuninya" Ada
penguasa-penguasanya?"
"Tetap saja mereka bertindak hanya atas ijin
atau larangan kita."
"Bagaimana dengan orang-orang yang dikuasai
kekuatan-kekuatan gaib" Seperti Beng Hek-hou,
592 juga pengawal-pengawal Seng-tin
berjalan di atas api tanpa luka?"
yang dapat "Karena mereka menginginkan, bahkan meminta dengan sungguh-sungguh agar kekuatankekuatan gaib atau penguasa-penguasanya itu
masuk ke tubuh mereka. Ada yang memuja suatu
benda keramat, bertapa di tempat angker, dan
sebagai-nya. Manusia mengijinkan, tentu saja
penguasa-penguasa gaib masuk dan menguasai
hidup mereka. Manusia-manusia ini, mereka bisa
mengundang masuk tetapi takkan mampu
melepaskan diri dari penguasa-penguasa gaib ini,
sebab sudah dikuasai. Bermain-main dengan
kuasa-kuasa gaib yang salah adalah jalan satu
arah menuju kekelaman abadi."
Tabib Kian berkata, "Untunglah yang menguasai
orang-orang Seng-tin itu adalah penguasapenguasa gaib yang baik, yang pernah menolong
rakyat Seng-tin dari cengekeraman Beng Hek-hou."
Tetapi Liu Yok menggelengkan kepala.
"Tidak ada penguasa yang gaib yang baik, sebab
mereka melakukan penguasaan atas jiwa manusia
yang seharusnya bebas memilih. Yang Maha Kuasa
sendiri tidak memaksa. Dia mencipta manusia
dengan jiwa bebas, bebas memilih apakah akan
mengingkari-Nya atau mematuhi-Nya. Kalau mematuhi Dia, bukan mematuhi dalam ketakutan
dan keterpaksaan. Tetapi penguasa-penguasa gaib
di Seng-tin itu memaksa orang-orang yang
dihuninya, dan mereka bukan kekuatan yang
baik." 593 Cu Tong-liang mengangguk-angguk menyetujui.
"Benar. Meskipun orang-orang bisa memperoleh
kekuatan, kesembuhan, kesaktian, keberuntungan, keawet-mudaan, tetapi mereka
tidak bahagia. Terus terang, aku pernah iri dan
merasa rendah diri melihat pengawal-pengawal
Seng-tin berjalan di atas api tanpa terluka,
memanjat tangga golok, menggoreng tangan dan
sebagainya. Aku semakin merasa tak berguna
ketika aku hampir dicabik-cabik Beng Hek-hou
yang mengubah wujud menjadi macan jadi-jadian,
sedangkan pengawal-pengawal Seng-tin berhasil
mengalahkan Beng Hek-hou dengan jurus-jurus
yang tidak pernah mereka pelajari, tetapi tiba-tiba
saja dapat mereka lakukan dengan dahsyat. Tetapi
aku juga mulai berkelakuan yang sebagian tidak
dari kepribadianku sendiri. Tabiat-tabiat yang
bukan sifatku itu makin lama makin kuat dan
seperti mendesak, bahkan hendak menguasai
sifatku sendiri. Untung aku akhirnya menyadari
dan tertolong." Mereka kemudian sudah tiba di Seng-tin. Udara
begitu cerah, tetapi terasa situasinya agak lain.
Jalan-jalan dan halaman-halaman nampak lengang. "Ada apa lagi ini" Setelah kemarin banyak orang
Seng-tin tiba-tiba berbaku hantam tanpa sebabmusabab yang jelas?" tanya Cu Tong-liang tanpa
mengharapkan jawaban. Namun Liu Yok menjawabnya, "Aku melihat
burung-burung beterbangan di udara, sedang
594 mencari tempat hinggap bukan di pepohonan
melainkan di hati manusia."
Ketika mereka bertiga berbelok di sebuah
persimpangan, tak terhindari mereka tiba-tiba
berpapasan dengan Bibi Ciu, Ciu Bian-li dan A-kun
bersama boneka A-hwenya. Bibi Ciu dan Ciu Bianli mengenakan jubah putih yang bersambungan
dengan penudung kepala, sedang A-kun berpakaian serba merah. Sejak ia "bersahabat
dengan A-hwe" ia berpakaian meniru sahabat dari
alam lain itu. Ketiga perempuan yang sedang berkeliling dari
rumah ke rumah untuk menjalankan perintah Liu
Kong-sim itu pun kaget melihat Tabib Kian bertiga.
Namun paling kaget ialah ketika mereka melihat
Liu Yok, mata mereka nampak jelalatan ketakutan.
Bahkan Bibi Ciu dan Ciu Bian-li yang sama sekali
belum pernah melihat Liu Yok pun ketakutan
menatap Liu Yok. Ketakutan yang berasal tidak
dari mereka sendiri. Mereka segera berbalik dan bergegas-gegas
meninggalkan Tabib Kian, tanpa menyapa sepatah
pun dan juga tidak lagi menoleh sekejap pun.
"Kenapa mereka?" Tabib Kian heran.
Sahut Liu Yok, "Bukan antara aku dan mereka,
sebab saling kenal pun belum. Tetapi antara yang
di dalam aku dengan yang di dalam mereka. Yang
di dalam mereka merasakan kehadiran yang di
dalam aku, jadi menggiring mereka untuk pergi."
595 Tiba-tiba Cu Tong-liang bertanya, "Saudara Liu,
kalau di dalammu ada kekuatan gaib itu, apa
bedanya kau dengan orang-orang Seng-tin?"
"Tiga bedanya. Pertama, yang di dalam aku, juga
dalam Kakak Liang dan dalam Siau Hiang-bwe itu
sama, karena sifatnya Yang Maha Hadir, tidak
terpecah-pecah. Satu tetapi hadir di mana-mana,
bahkan memenuhi alam semesta ini. Yang di dalam
orang-orang Seng-tin itu berbeda-beda dalam tiap
orang, sebab mereka tidak maha hadir. Ke dua,
yang di dalam kita ini Pencipta, sedang yang di
dalam orang-orang Seng-tin itu bagaimana
saktinya tetaplah mahluk, yang diciptakan. Yang
ke tiga, yang di dalam kita ini kemahakuasaannya
mutlak tetapi tidak memaksa, tidak menganggap
manusia sebagai kuda tunggangan yang bisa
dikian-kemarikan semaunya. Sebaliknya yang di
dalam orang-orang Seng-tin itu kekuasaannya
terbatas, tetapi mereka seenaknya saja memperlakukan manusia seperti boneka-boneka
wayang di tangan si dalang, menganggap manusia
hanya boleh menjalani garis lakon kehidupan
masing-masing menurut pakem atau suratan yang
ditulis oleh mahluk-mahluk gaib itu. Ini sangat


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merendahkan martabat manusia sebagai mahluk
merdeka, yang diangkat jadi raja di bumi, lebihlebih sebagai citra-diri Sang Maha Pencipta sendiri.
Itulah tiga perbedaannya, Kakak Liang."
Cu Tong-liang mengangguk, ia sendiri pernah
mengalaminya, terutama yang ke tiga yang
dijelaskan Liu Yok itu. Ketika Cu Tong-liang
tergoda melihat kehebatan pengawal-pengawal
Seng-tin, maka di dasar hati Cu Tong-liang
596 memang ada suara peringatan lembut agar ia tidak
tergoda, supaya jangan tergelincir. Suara itu
berwibawa, tetapi tidak memaksa, tidak begitu,
saja mengambil-alih kehendak, pikiran dan
perasaan Cu Tong-liang. Bahkan ketika Cu Tongliang menentang suara itu karena tergiur oleh apaapa yang dimiliki pengawal-pengawal Seng-tin.
Sementara itu, Pang Se-bun dan keluarganya
sedang dalam suasana murung karena larinya Akun dari rumah orang tuanya ke rumah bekas
kediaman guru silat Ciu Koan. Minggatnya A-kun
itu untuk menentang datangnya Liu Yok ke rumah
itu, bahkan ke Seng-tin. Sudah beberapa kali
dalam sehari, kemarin, Pang Se-bun mengajak Akun pulang kembali tetapi A-kun tetap menolak.
Sejak A-kun menjadi "penyampai berita dari
alam gaib" melalui "A-hwe"nya, memang kedua
orang tuanya sering pusing oleh tingkah A-kun
yang aneh, bahkan kadang-kadang begitu menakutkan kedua orang tuanya sendiri. Tetapi
pembangkangan kali ini, sampai lari dari rumah,
adalah pembangkang yang terbesar. Lebih sulit
lagi, di bekas kediaman guru silat Ciu Koan itu Akun dibela oleh tokoh-tokoh tertinggi dalam sekte
yang diajarkan Wong Lu-siok. Pang Se-bun sendiri
juga tokoh yang dihormati, namun dianggap tokoh
yang "kurang teguh" karena dianggap kelewat
bersahabat dengan orang-orang di luar keyakinan
seperti Cu Tong-liang, Siau Hiang-bwe dan Liu Yok.
Berhadapan dengan tokoh-tokoh keras macam Lui
Kong-sim, Bibi Ciu, Yao Kang-beng dan sebagainya, Pang Se-bun tak berdaya membawa
pulang A-kun, apalagi memang A-kun sendiri juga
597 tidak mau. Pang Se-bun dan isterinya amat sedih
ketika membayangkan sorot mata A-kun kemarin
kepada kedua orang tuanya sendiri, yaitu sorot
permusuhan dan kebencian yang luar biasa!
"Sebenci itukah A-kun kepada kita?" keluh
Nyonya Pang pagi itu sambil mengusap matanya
yang bengkak dan merah, karena semalam ia amat
sedikit tidurnya karena mengenang puterinya.
Pang Se-bun juga merasa tertekan jiwanya,
namun ia coba menghibur isterinya, "Jangan
terlalu bersusah hati, Isteriku. Kata Saudara Liu
Yok kemarin, yang membenci dan memusuhi kita
itu bukanlah pribadi A-kun sendiri, melainkan
pribadi-pribadi lain yang menghuni jiwa dan
tubuhnya. Kalau A-kun sudah dilepaskan dari
cengkeraman kekuatan-kekuatan asing itu, ia akan
normal seperti semula."
"Aku tak mengerti. Yang menghuni A-kun itu
dulu sering mengaku sebagai dewa-dewa yang
datang untuk menolong manusia dari kejahatan
siluman-siluman, kenapa dewa-dewa bisa sejahat
itu?" "Aku sendiri bingung. Dulu ketika Beng Hekhou menguasai kota ini dengan ilmu silatnya, kita
kelabakan mencari pertolongan, lalu menemukan
Wong Lu-siok yang mengaku ilmunya putih, datang
dari langit untuk menolong dan membahagiakan
kita, katanya. Tetapi sekarang aku tak tahu harus
omong apa...." "Kata orang asing yang namanya Liu Yok itu,
yang dianggap siluman maupun dewa itu
sebenarnya sama jahatnya. Sama-sama ingin
598 memperbudak manusia. Apa kau percaya Liu Yok,
Suamiku?" "Aku benar-benar pusing. Jangan-jangan Liu
Yok ini datang seperti Wong Lu-siok dulu,
kelihatannya mau menolong tetapi ternyata
menguasai jiwa dan pikiran orang-orang Seng-tin
dengan ajaran barunya" Lalu Seng-tin ini seperti
hanya berpindah dari tangan ke tangan, dari
kekuatan yang satu ke kekuatan yang lain."
Ketika itulah pelayan masuk dan berkata,
"Tuan, Tuan Giam, Tuan Ho dan teman-temannya
ingin menemui Tuan... mereka membawa senjata."
Pang Se-bun memegangi kepalanya kuat-kuat
seolah takut copot. Urusan minggatnya A-kun
belum bertemu jalan keluarnya, tahu-tahu Giam
Lok datang beramai-ramai, entah untuk urusan
apa" Bawa-bawa senjata segala.
"Tidak kautanyai mereka tentang keperluan
menemui aku?" tanya Pang Se-bun kepada
pembantunya. "Sudah kutanya, Tuan, tetapi mereka tidak mau
menjawab. Mereka hanya ingin bicara dengan
Tuan." "Ada-ada saja...." keluh Pang Se-bun sambil
bangkit dan melangkah hendak menjumpai tamutamunya.
Namun isterinya mencegah, "Hati-hati Suamiku.
Belakangan ini banyak kejadian tak terduga,
menilai orang tidak bisa lagi secara biasa. Misalnya
peristiwa kemarin, secara akal sehat tidak
mungkin kau menyerang Saudara Cu Tong-liang
599 karena persahabatan dengannya. Tetapi nyatanya
kau sudah menyerangnya mati-matian di warung
bubur kacang, menganggap dia sebagai Beng Hekhou. Bukankah ini aneh" Sekarang kita tak dapat
menebak apa yang akan terjadi antara kau dengan
Giam Lok dan teman-temannya."
"Kalau tidak menemui mereka, lalu harus
bagaimana" Bersembunyi" Lari terbirit-birit lewat
pintu belakang?" Nyonya Pang tak dapat mencegah suaminya
untuk keluar menemui Giam Lok dan temantemannya.
Di depan pintu, Pang Se-bun menjumpai ada
Giam Lok, Ho Tong dan belasan lelaki Seng-tin
lainnya yang semuanya sudah ia kenal baik.
Sebagian bekas sesama murid almarhum Ciu
Koan, sebagian bukan. Yang jelas, semuanya
bersenjata dan wajahnya menunjukkan sikap siap
berkelahi, tetapi berkelahi dengan siapa"
Dengan berdebar-debar Pang Se-bun bertanya,
"Saudara Giam, Saudara Ho, ada apa ini?"
Jawab Giam Lok di luar dugaan, "Kami siap
berkelahi di pihak Kakak Pang. Untuk membela
Kakak Pang." "Lho, kok berkelahi di pihakku dan membela
aku, memangnya aku mau berkelahi dengan
siapa?" "Lho, Kakak Pang belum tahu" Yao Kang-beng
sedang mengumpulkan teman-temannya yang
sepaham, yang disebutnya 'pengawal kota' padahal
hanyalah penguasa-penguasa kecil yang 600 mengangkat diri sendiri, setelah itu mereka hendak
menuju kemari untuk menumpas Kakak Pang
sekeluarga. Kami tidak boleh membiarkan dia
seenaknya saja menentukan mati hidupnya
sesama warga kota!" Pang Se-bun kaget mendengarnya. "Jadi... Yao
Kang-beng sedang...."
"Ya!" "Kenapa Guru Wong diam saja dan tidak
mencegahnya?" Pang Se-bun penasaran. Ia belum
tahu bahwa saat itu Wong Lu-siok sudah
meringkuk dalam sel karena sudah "dipecat oleh
Ratu Langit" dan digantikan Lui Kong-sim yang
lebih ganas. "Aku harus menjumpai Guru Wong
untuk menanyakan kenapa sampai bisa begini."
"Percuma, Kak, ini bukan saatnya untuk bicara,
tetapi untuk bertindak. Yao Kang-beng dan lainlainnya itu pikirannya sudah terbalik, sudah tidak
mungkin diajak bicara baik-baik secara akal waras,
mereka hanya bisa memandang segala sesuatu
menurut sudut pandangan mereka sendiri.
Pandangan orang lain diabaikan."
Baru saja selesai kata-kata Giam Lok, dari
ujung lorong sudah muncul Yao Kang-beng
bersama belasan temannya yang juga bersenjata.
Mereka sudah mengenakan ikat kepala kuning
mereka yang ditulisi "huruf langit" yang dipercaya
menambah kekuatan mereka.
Bahkan ketika masih berjarak belasan langkah,
Yao Kang-beng sudah berteriak garang, "Pang Sebun, atas nama Ibunda Ratu Langit, serahkan
601 dirimu dan seluruh keluargamu untuk dihukum
mati!" Wajah Pang Se-bun berubah. Sesabar-sabarnya
ia, namun Yao Kang-beng mengucapkan kata-kata
"hukuman mati" itu dengan enak dan ringan saja
seperti orang mau beli kerupuk saja.
Sebelum Pang Se-bun menjawab, Giam Loklah
yang menjawab lebih dulu dengan tak kalah
kerasnya, "Aku tahu di ibukota Pak-khia sana ada
seorang manusia yang duduk sebagai kaisar, yang
dipertuan di negeri ini. Biarpun sulit ditemui,
tetapi dia manusia, ada wujudnya. Kalau memberi
perintah, ada surat perintahnya. Tetapi yang
namanya 'ratu langit' itu mahluk apa" Mana
ujudnya" Dan yang namanya panglima-panglima
langit' serta 'balatentara langit' itu apa" Ingin
kulihat batang hidung mereka. Kalian ini
seenaknya saja memutuskan nasib orang dengan
hukuman mati berdasarkan sesuatu yang belum
tentu ada!" Sebenarnya dalam hati Giam Lok sendiri-sendiri
pun sudah mulai percaya akan keberadaan dunia
lain yang tak terlihat itu serta penghunipenghuninya yang juga berkegiatan seperti
penghuni-pengnuni dunia yang terlihat. Kepercayaan Giam Lok ini muncul sejak peristiwa
semalam, ketika ia dan Ho Tong terjebak dalam
"formasi sejuta bendera" yang ternyata berasal dari
alam lain. Tetapi ucapannya di depan Yao Kangbeng ini sekedar untuk menjatuhkan moril Yao
Kang-beng dan teman-temannya.
Bersambung jilid XV. 602 *** Jilid 15 >o< HO Tong kemudian ikut bicara, meski dengan
nada yang lebih lunak, "Saudara Yao, keyakinan
yang kauanut ternyata telah menunggangi dirimu,
membuatmu salah lihat dan salah dengar, sampai
adikmu sendiri kuanggap siluman dan hampir
kaubunuh. Demi persahabatan kita, kumohon,
kembalilah ke pribadimu yang dulu."
Sebagai jawaban, Yao Kang-beng malah
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke langit
sambil berseru ke langit juga, "Ibunda Ratu Langit,
berilah kekuatan kepada pelaksana-pelaksana
ajaran sucimu ini, yang akan membersihkan muka
bumi dari manusia-manusia hina-dina yang
menentangmu!" Ulahnya diikuti teman-temannya yang juga
berseru-seru mengundang tokoh-tokoh gaib pujaan
mereka masing-masing memasuki tubuh dan
senjata mereka. Pang Se-bun terkesiap melihat itu, menguatirkan dirinya sendiri dan juga Giam Lok
dan teman-temannya. Sebab Pang Se-bun tahu,
Yao Kang-beng dan teman-temannya itu kaiau
sudah demikian, tak lama lagi akan memperoleh
603 kekuatan gaib yang hebat dalam bertempur, yang
mustahil tertanggulangi oleh Giam Lok dan kawankawannya. Lebih gawat lagi karena dalam keadaan
kerasukan seperti itu Yao Kang-beng dan temantemannya bakal kehilangan kesadaran akan diri
sendiri dan orang di sekitarnya, mereka akan
dikuasai suatu nafsu membunuh yang bukan dari
diri mereka sendiri. Pang Se-bun sendiri pernah
demikian, bahkan kemarin ia hendak membunuh
Cu Tong-liang yang disangkanya Beng Hek-hou,
kemudian kemarin ia dengan sukarela dibersihkan
oleh Liu Yok dari pengaruh-pengaruh jahat itu.
Giam Lok dan teman-temannya pun bersiapsiap menghadapi lawan-lawan mereka. Untuk
membesarkan hati,kawan-kawannya, Giam Lok


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Jangan takut, teman-teman. Bukankah
pagi ini sudah kuceritakan bahwa kemarin malam
aku dan Saudara Ho menerobos ke dalam bekas
kediaman guru yang katanya angker, gaib dan
dijadikan markas bala-tentara langit itu, namun
nyatanya aku dan Saudara Ho dapat keluar
kembali dengan selamat. Mana itu yang namanya
bala-tentara langit" Yang paling penting adalah
semangat manusia!" "Belum kapok juga Kakak Giam ini..." pikir Ho
Tong. Kemarin memang ia dan Giam Lok berhasil
lolos, namun sebelumnya juga hampir gila karena
kebingungan menghadapi pengalaman di rumah
itu. Giam Lok tetap saja ngotot mengandalkan
"semangat manusia"nya, sementara Ho Tong
menyimpulkan dari kata-kata Si Nenek Tua tak
dikenal bahwa manusia memang "mahluk gaib
yang paling dimuliakan" tetapi harus dalam
604 hubungan yang pas dengan Penciptanya, bukan
saat mengandalkan kekuatannya sendiri.
Meskipun Giam Lok menyalah-artikan pengalamannya kemarin malam, tapi kata-katanya
membakar semangat teman-temannya.
Ketika Yao Kang-beng dan kawan-kawannya
menyerbu, maka di lorong di depan rumah Pang
Se-bun itu pun terjadilah pertarungan antar
kelompok yang seru. Pang Se-bun sendiri sedih melihat sesama bekas
teman-temannya saling hantam sesengit itu.
Pikirannya yang terang setelah kemarin "dibersihkan" Liu Yok sekarang mulai mengerti
betapa benarnya kata-kata Liu Yok bahwa banyak
orang Seng-tin sudah dikendalikan oleh mahlukmahluk tak terlihat sehingga mereka bertingkah
laku tidak sesuai kepribadian sendiri. Di jaman
Beng Hek-hou dulu, hanya Beng Hek-hou dan kaki
tangannya yang suka kesurupan, di jaman "ajaran
suci" Wong Lu-siok sekarang malah banyak orang
Seng-tin sendiri yang jadi aneh.
Namun Pang Se-bun berupaya juga, dia
berteriak-teriak melerai, "Teman-teman, tahan diri
kalian! Sadarlah, bukankah kalian adalah sahabatsahabat selama bertahun-tahun" Kalian dapat
menyelesaikan segala permasalahan secara keluargaan seperti dulu! Tahan senjata kalian!
Tahan! Saudara Giam, Saudara Yao, Saudara Ho."
Suatu upaya alamiah yang sia-sia untuk
mencoba membereskan sesuatu yang akar
masalahnya bukanlah sesuatu yang alamiah.
Teriakan Pang Se-bun bukannya digubris, malahan
605 Yao Kang-beng menerkam ke arahnya dengan
pedang terjulur, mukanya sangat beringas seperti
bukan mukanya sendiri, tetapi matanya terpejam
rapat. Sekuat tenaga Pang Se-bun membanting dirinya
ke samping, namun baru saja ia melompat bangun
dan belum berdiri kokoh, pedang di tangan Yao
Kang-beng kembali menyambarnya dahsyat. Pang
Se-bun harus menjatuhkan diri kembali, bahkan
bergulingan pontang-panting karena Yao Kangbeng dengan amat ganas terus menyusulkan
bacokan ke tanah bertubi-tubi.
Pang Se-bun kenal kemampuan silat Yao Kangbeng yang dibawahnya, secara normal tidak
mungkin Yao Kang-beng bisa membuat Pang Sebun jungkir-balik macam itu. Namun kini Pang Sebun tahu bahwa ini bukan perkelahian normal.
Seandainya Pang Se-bun belum "dibersihkan" Liu
Yok maka dia pun bisa mengundang kekuatan
asing dalam dirinya untuk mengimbangi Yao Kangbeng. Diam-diam ia menyesal juga, merasa terlalu
cepat membuang "kekuatan langit"-nya sehingga
sekarang tak berdaya menghadapi Yao Kang-beng.
Saat Pang Se-bun suatu kali sudah tersudut,
dan pedang Yao Kang-beng tengah meluncur
hendak menyabet lehernya, begitu cepat dan tidak
ragu sedikit-pun. Pang Se-bun takkan sempat lolos
kali ini. Tetapi memukul rotannya. ujungnya Ho Tong menyerobot dari samping dan
pedang Yao Kang-beng dengan tongkat
Ho Tong tidak membawa tombak yang
tajam dan melukai, melainkan hanya
606 tongkat rotan. Ho Tong tidak berniat menyakiti
siapa-siapa meskipun ia memihak Giam Lok.
Pedang Yao Kang-beng terpukul dan berubah
arah, namun karena kuatnya ayunan Yao Kangbeng, pedang itu menggores dalam dan panjang di
tembok. Sementara Ho Tong berseru, "Kakak Pang,
menyingkirlah dulu!"
Pang Se-bun melompat menjauh. Ada perasaan
ganjil juga, bahwa ia yang merupakan tokoh
terhormat di Seng-tin, hampir menjadi korban Yao
Kang-beng yang dari keluarga terhormat pula, dan
yang menyelamatkan adalah Ho Tong yang
beberapa waktu yang lalu masih berkeliaran
sebagai orang gila. "Perbedaan antara waras dan gila jadi semakin
kabur." gerutu Pang Se-bun dalam hatinya.
Sementara itu, Yao Kang-beng dengan pedangnya masih ingin menyerang Pang Se-bun
tetapi Ho Tong menghalangi sambil mencoba
menenangkannya. Upaya menenangkan ini sama sia-sianya dengan
upaya Pang Se-bun melerai perkelahian tadi.
Karena dihalangi Ho Tong, sekarang Yao Kang-beng
menyerang Ho Tong dengan amat sengit.
Pedang yang tajam lawan tongkat rotan biasa,
Pang Se-bun yang melihatnya sudah cemas. Ia
berlari masuk ke dalam rumahnya untuk
mengambil tombaknya. Begitu keluar hendak
membantu Ho Tong, ia tercengang karena melihat
Ho Tong tidak terdesak sedikit pun oleh Yao Kangbeng. Serangan pedang yang membadai dari Yao
607 Kang-beng dengan ketangkasan dan ketenangan
yang menakjubkan berhasil dihalau oleh Ho Tong.
Bukan cuma Ho Tong yang "ajaib" tetapi tongkat
rotannya juga "ajaib" sebab puluhan kali kena
sabetan pedang tak memutuskan tongkat rotan itu.
Pang Se-bun jadi heran, apakah Ho Tong juga
sedang tidak normal alias bertarung tidak dengan
keadaannya sendiri" Tetapi Ho Tong kelihatan
sadar, matanya terbuka, bahkan sambil terus
menangkis pedang ia tak henti-hentinya 608 menasihati Yao Kang-beng agar sadar. Nasihat
yang sia-sia, sebab jiwa Yao Kang-beng sendiri
sedang "tidur" di kedalaman, dan yang sedang
beraksi adalah jiwa dari suatu pribadi yang lain.
Yang diherankan Pang Se-bun ialah tetap
sadarnya Ho Tong. Pikir Pang Se-bun, "Apakah
diam-diam Ho Tong ini belajar ilmu gaib aliran lain
lagi" Kalau alirannya Beng Hek-hou dulu orangnya
bisa berubah wujud jadi binatang-binatang, lalu
alirannya Wong Lu-siok yang membuat orangnya
kemasukan dewa, bidadari dan entah apa lagi
sampai tidak sadar melakukan apa, sekarang Ho
Tong yang dalam keadaan sadar tetapi dapat
mengimbangi Yao Kang-beng yang sedang kesurupan." Apabila diperhatikan lebih seksama. Pang Sebun tambah heran karena dalam menggunakan
tongkat rotannya itu Ho Tong tak pernah sekalipun
balas menyerang. Ia hanya menangkis pedang atau
menghindar saja, jadinya banyak mengalah kepada
Yao Kang-beng yang menyerang dengan kalap.
Meski mengalah, namun nampak tidak mengalami
kesulitan sedikit pun. Sementara itu, perkelahian massal di lorong itu
pun makin ribut, sudah ada beberapa orang
terluka. Umumnya teman-teman Giam Lok
kewalahan menghadapi teman-teman Yao Kangbeng yang beringas tak sadar diri itu. Perkelahian
kemudian bertambah "ramai" ketika berdatangan
orang-orang baru yang langsung mencemplungkan
diri ke kancah perkelahian. Ada yang memihak
Giam Lok ada yang memihak Yao Kang-beng.
609 Orang-orang baru ini masuk gelanggang dengan
alasan bermacam-macam, dari alasan yang paling
mentereng sampai yang paling sepele. Ada yang
karena persamaan sikap dengan pihak-pihak yang
dibelanya, ada yang sekedar membela orang yang
dikenalnya baik atau sanak keluarganya yang lebih
dulu ikut berkelahi. Pang Se-bun jadi sedih melihat itu, ia berteriakteriak, bahkan ia berkata kepada Yo Kang-beng,
"Saudara Yao, kau ingin menangkapku, mari
tangkap aku! Aku takkan melawan, daripada
orang-orang Seng-tin gontok-gontokan seperti ini!"
Teriakannya sedikit pun tidak mempengaruhi
jalannya perkelahian massal itu. Yao Kang-beng
tak menggubris karena sedang tidak sadar, sedang
Giam Lok malah menjawab, "Biarpun Kakak Pang
rela, aku dan teman-teman yang tidak rela dan
akan terus membela! Mana boleh warga kota yang
tidak bersalah dihukum semena-mena demi alasan
yang tidak jelas?" Waktu itu Giam Lok sedang berhadapan dengan
seorang pengawal kota yang juga dalam keadaan
kesurupan. Pengawal kota itu hanya seorang anak
remaja yang kurus berusia belasan tahun,
mengenakan ikat kepala kuning, bersenjata golok
dan sangat berbahaya. Tidak peduli dalam belasan
hari otot-otot Giam Lok sudah membesar dan
permainan tombaknya tambah mantap berkat
latihannya dengan tombak besi, tetap saja Giam
Lok kewalahan. Ia tidak bisa seperti Ho Tong yang
begitu tenang dalam menghadapi Yao Kang-beng
dengan tongkat rotannya. 610 Pang Se-bun melihat perbedaan antara Giam
Lok dan Ho Tong itu dan tidak tahu kenapa bisa
begitu. Giam Lok dan Ho Tong sama-sama pernah
mengalami musibah, Ho Tong gila dan Giam Lok
sakit keras sampai hampir mati, lalu hampir
bersamaan waktunya sembuh secara aneh, lalu
keduanya bergabung merang pengaruh Wong Lusiok. Tetapi sekarang dilihatnya keduanya jauh
berbeda dalam cara dan kemampuan berkelahi.
Dan kebanyakan teman-teman Giam Lok
berkelahi mirip Giam Lok, penuh semangat, penuh
kemarahan, tetapi sekaligus juga tertekan hebat
oleh keberingasan para pengawal kota temanteman Yao Kang-beng.
Ho Tong yang paling tidak bersemangat dan
tidak marah, malah paling baik keadaannya.
Dari mulut Yao Kang-beng keluarlah geram yang
bukan suara Yao Kang-beng, "Ho Tong, bukankah
kau orang gila yang dulu mengorek sisa-sisa
makanan di sudut pasar" Bahkan orang-orang
Seng-tin masih ingat ketika di lapangan kau
mencopot celanamu dan memeluk gadis itu."
Hati Ho Tong jadi guncang mendengar kata-kata
itu. Ia memang sadar bahwa belum semua orang
Seng-tin lupa bahwa dialah bekas orang gila yang
tingkahnya memalukan. Ho Tong sudah siap
mental menghadapi pandangan orang-orang kota
kecil itu, tetapi benar-benar belum siap mendengar
soal "mencopot celana di lapangan" itu, karena
belum pernah ada yang memberitahunya bahwa ia
melakukan itu. Alangkah memalukannya.
611 "Be... benarkah aku... ketika masih sakit...
pernah berbuat begitu?" suara Ho Tong terdengar
setengah percaya setengah tidak.
Suara yang dari mulut Yao Kang-beng itu
mengejek, "Tanyakan kepada orang-orang Seng-tin.
Mereka bersorak-sorak menontonmu ketika kau
menggerak-gerakkan pantatmu seperti orang..."
"Tutup mulutmu!" meledaklah kegusaran Ho
Tong. "Tidak mungkin kulakukan itu!"
"Kenapa tidak mungkin" Kau orang gila waktu
itu....." Ho Tong tertekan perasaannya oleh rasa malu


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada diri sendiri, membayangkan kemungkinan
yang dikatakan mulut Yao Kang-beng itu benar.
Rasa tertekan itu berubah menjadi marah, dan
kacaulah caranya dalam menghadapi Yao Kangbeng. Kalau tadinya begitu tenang, bahkan sambil
mencoba menasihati Yao Kang-beng, tongkat
rotannya juga hanya digunakan untuk menangkis
tanpa membalas, maka setelah diberitahu kisah
memalukan itu berubahlah sikap Ho Tong. Ia jadi
bernafsu ingin memukul Yao Kang-beng.
Aneh, tadi ketika Ho Tong dengan sabar dan
mengalah hanya menangkis sambil menghamburkan nasihat, ia kokoh tak tergoyahkan. Padahal menurut teori ilmu silat,
kalau dua orang petarung berkepandaian sejajar
dan yang satu bersikap mengalah maka pastilah
yang mengalah itu akan benar-benar kalah.
Sekarang ketika Ho Tong tinggalkan sikap
mengalahnya dan mulai sama marahnya mengimbangi Yao Kang-beng, Ho Tong malah mulai
612 mengalami kesulitan. Kesulitannya makin lama
makin besar karena Yao Kang-beng dirasuki
kekuatan-kekuatan dunia lain.
Perkelahian yang amat ribut itu menyedihkan
Pang Se-bun. Ia benar-benar merasa asing dengan
tingkah laku orang -orang Seng-tin yang
dikenalnya sejak ia lahir itu.
Ketika itulah Liu Yok, Tabib Kian dan Cu Tongliang muncul di ujung lorong. Mereka terheranheran melihat perkelahian itu.
Seorang lelaki Seng-tin yang bersenjata pisau,
berkelahi entah untuk pihak siapa, dengan mata
merah hendak menusuk Tabib Kian. Tabib tua
yang tak berdaya membela diri sendiri itu sudah
pucat mukanya, namun Cu Tong-liang dengan
sigap menangkap pergelangan tangan orang itu
lalu menekuk lengan orang itu sehingga orang itu
dipaksa berlutut sambil menyeringai kesakitan.
Ketika Cu Tong-liang dengan gusar hendak
menjotos ringsek muka orang itu, Liu Yoklah yang
kini menangkap lengan Cu Tong-liang.
"Jangan, Kakak Liang...."
Sahut Cu Tong-liang gusar, "Orang ini tega
hendak mencelakai Paman Kian yang hampir
seumur hidupnya menolong orang-orang Seng-tin.
Orang macam ini tidak perlu dikasihani!"
"Bukan kemauannya," kata Liu Yok. Orang yang
hampir dijotos Cu Tong-liang itu bukannya
berterima kasih karena Liu Yok mencegah Cu
Tong-liang, malahan melotot kepada Liu Yok dan
menggeram, "Lagi-lagi kau! Lagi-lagi kau!"
613 Liu Yok tersenyum. "Aku cuma perajurit kecil
yang menurut diperintah oleh Panglima Agungku
untuk pergi ke mana pun."
Geram dari mulut orang itu bertambah sengit,
mulutnya mulai berliur banyak dan mencaci-maki
Liu Yok, "Liu Yok, aku akan menyebar-luaskan
siapa dirimu. Kau hanya seorang gunung dari Seshia, ayahmu bajingan besar bernama Liu Jingyang yang mati dibunuh oleh kakek luarmu sendiri
karena berusaha merebut harta kakek luarmu
yang adalah mertua ayahmu. Kakek luarmu pun
seorang bajingan besar yang berkedok sebagai
pendekar budiman, ia adalah pemimpin terselubung dari kelompok penjahat Elang Hitam.
Ibumu, Liu Yok, adalah tukang kawin, sampai
berganti suami empat kali, dan kau sendiri Liu
Yok, dulu adalah orang yang cacad dan tak
berguna." Mula-mula orang itu membeberkan kebusukan
leluhur dan keluarganya Liu Yok dan ini
mengherankan Tabib Kian dan Cu Tong-liang,
kenapa penduduk kota kecil Seng-tin ini tiba-tiba
tahu selengkap itu tentang leluhur serta keluarga
Liu Yok, lengkap dengan daftar skandal-skandal
busuknya" Kemudian caci-maki dahsyat dan banjir
omongan kotor yang menggidikkan pun ditujukan
kepada Liu Yok. Sampai Cu Tong-liang merah
padam mukanya mendengar omongan sekotor itu,
tetapi anehnya Liu Yok tetap tenang-tenang saja.
Hanya kemudian dia berkata, "Tinggalkan orang
ini." 614 Cu Tong-liang melepaskan tangannya dan
meninggalkan orang itu, karena mengira kata-kata
Liu Yok itu untuknya. Tetapi begitu dilepas, orang
itu menggelepar di tanah seperti ikan, mulutnya
berliur banyak, kemudian terdiam.
"Matilah ia?" hati nurani Tabib Kian terketuk.
Liu Yok menggeleng, "Nanti akan baik kembali,
percayalah." Kedatangan Liu Yok secara aneh rrenciptakan
suasana yang lain, padahal Liu Yok tidak berteriak
seperti Pang Se-bun, tidak juga bertindak apa-apa
selain melangkah ke rumah Pang Se-bun. Tetapi
beberapa orang yang tadinya berkelahi dengan
kalap, tiba-tiba "gencatan senjata" lalu saling
bertanya dengan terheran-heran kenapa mereka
bisa sampai berkelahi. Karena tak mendapat
jawaban yang meyakinkan tentang penyebab
perkelahian, mereka lalu mengeloyor pergi begitu
saja. Yao Kang-beng dan teman-temannya yang
semula bersikap garang tak kenal kompromi pun
tiba-tiba menghentikan keganasan mereka lalu
meninggalkan tempat itu. Sambil melangkah pergi, Yao Kang-beng masih
bersikap gagah-gagahan sambil melambaikan
pedang di udara, "Ada hawa jahat yang menyertai
seorang penyihir jahat yang datang ke kota ini!"
Giam Lok dan teman-temannya tidak lari.
Normalnya mereka gembira karena kedatangan Liu
Yok membuat kabur Yao Kang-beng dan kawankawannya, entah dengan "pengaruh sakti" macam
615 apa. Tetapi anehnya, jauh dalam hati Giam Lok
dan teman-temannya juga ada rasa tidak enak
melihat kehadiran Liu Yok. Hal ini, akal sehat yang
dibangga-banggakan oleh Giam Lok pun tak
mampu menerangkannya. Bahkan bertemu Liu
Yok pun belum pernah, darimana perasaan tidak
enak itu" Ho Tong punya perasaan lain, melihat Liu Yok
tiba-tiba ia seolah dihadapkan ke sebuah cermin
untuk melihat coreng-moreng di wajahnya sendiri.
Tanpa ada yang menegur, tiba-tiba Ho Tong
membanting tongkat rotannya lalu geleng-geleng
kepala sambil menarik napas, katanya menyesali
diri sendiri, "Kenapa aku begitu tolol, terpancing
kemarahan sehingga menurunkan derajat jadi
seperti orang-orang yang sedang kehilangan akal
sehat itu" Aku benar-benar malu."
Liu Yok tersenyum. "Selamat, Saudara."
Kata-kata Liu Yok itu membanjirkan gembira
dan tenteram ke hati Ho Tong, setelah hati itu lebih
dulu dikosongkan dari kemarahan dan ketersinggungan akibat ejekan Yao Kang-beng tadi,
melalui penyesalannya yang jujur.
Sementara Pang Se-bun cepat menyambut Liu
Yok bertiga, lalu memperkenalkannya dengan Giam
Lok dan lain-lainnya. Setelah itu, Pang Se-bun
mempersilakan semuanya masuk ke dalam rumah.
Namun Tabib Kian punya banyak kerjaan, sebab
ada beberapa teman Giam Lok yang babak-belur
akibat perkelahian tadi. 616 Giam Lok sendiri menolak dengan halus
tawaran Pang Se-bun, ia dan kawan-kawannya
lebih suka berpamitan kepada Pang Se-bun, Hanya
Ho Tong seorang yang menyambut tawaran Pang
Se-bun itu. Pang Se-bun tidak dapat memaksa Giam Lok
dan teman-temannya untuk tinggal. Ia mengantar
kepergian mereka dengan kata-kata, "Saudara
Giam, aku berterima kasih kepadamu dan kepada
saudara-saudara lainnya, bahwa kalian sudah
datang untuk membela aku. Tetapi kumohon pula
dengan sungguh-sungguh, jangan bikin ribut ya?"
"Kakak Pang tahu, bukan kelompokku yang
memulai keributan, tetapi kelompok Yao Kangbeng. Pesan kakak itu seharusnya dikatakan
kepada Yao Kang-beng."
"Seandainya kalian ada waktu untuk mendengar
sedikit penjelasanku." kata Liu Yok.
"Penjelasan apa?" tanya Giam Lok.
"Bahwa... Yao Kang-beng dan kawan-kawannya
pun ditunggangi...."
Baru sampai di situ Liu Yok bicara, Giam Lok
sudah menukas dengan geleng-geleng kepala dan
nada tak percaya, "Saudara Liu mau menjelaskan
apa" Tentang kekuatan-kekuatan gaib yang
menggerakkan Yao. Kang-beng" Tidak, terima
kasih. Aku tidak mampu mendengar penjelasan
yang sulit diterima akal."
Lalu Giam Lok memberi meninggalkan tempat itu. hormat lagi dan 617 Sambil melangkah masuk beramai-ramai ke
dalam rumah Pang Se-bun, Cu Tong-liang berkata
kepada Liu Yok, "Saudara Liu, aneh betul,
kelihatannya Giam Lok tidak menyenangimu.
Kenapa ya" Padahal dia belum pernah bertemu
sekalipun denganmu."
Jawab Liu Yok, "Tidak usah heran. Orang yang
hampir menikam Paman Kian tadi juga belum
pernah bertemu denganku sebelumnya, tetapi ia
menghamburkan kata-kata kebencian kepadaku
sebanyak itu, dan lebih aneh lagi, ia tahu kuburan
Keluargaku di masa lalu."
"Jadi....." Cu Tong-liang tak melanjutkan katakatanya,
terheran-heran. Ia mulai sedikit menangkap maksud Liu Yok tetapi ragu.
Liu Yok menghapus keraguannya. "Kakak Liang,
ketidak-senangan Giam Lok Kepadaku persis sama
dengan ketidak-senanganmu dulu kepadaku, di
rumah Paman Kian ketika orang-orang Senghendak menangkap Siau Hiang-bwe. Ingat?"
"Ya. Ingat. Ketidak-senangan yang berada dalam
jiwaku tetapi tidak berasal dari jiwaku sendiri.
Begitu jugakah Giam Lok sekarang?"
"Ya...." "Itu berarti juga Giam Lok... kemasukan mahluk
gaib?" "Ya." "Tetapi dia tadi tidak bertarung dengan
kemampuan luar biasa. Kemampuan tarungnya
normal saja." Pang Se-bun ikut bicara. "Tidak
618 seperti Yao Kang-beng dan kawan-kawannya yang
sambil memejamkan mata pun bisa berkelahi
dengan amat hebat, jauh melebihi kemampuan
normalnya." Jawab Liu Yok, "Aku hanya menduga-duga.
Begini, Giam Lok tidak dapat dikuasai sepenuhnya
oleh mahluk jahat itu, ia hanya dipengaruhi dan
tidak dikuasai total. Karena dia tidak menyerahkan
jiwanya dengan sengaja, dia bahkan menentang.
Dan sikap menentangnya itu ditunggangi oleh
mahluk itu." "Aku jadi bingung, Saudara Liu...." kata Cu
Tong-liang. "Kalau dugaanmu itu benar berarti
Giam Lok dan Yao Kang-heng sama-sama dipakai
oleh mahluk-nahluk tak terlihat itu. Kalau begitu,
sebenarnya mahluk-mahluk itu di pihak mana" Di
pihak Giam Lok atau Yao Kang-beng?"
"Kakak Liang, pahamilah sifat utama dari
manluk-mahluk itu, yaitu ingin menghancurkan
umat manusia. Dan mahluk-mahluk itu tidak
peduli memihak yang mana, tidak peduli siapa
menghancurkan siapa, pokoknya agar umat


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia serusak-rusaknya."
"Sungguh jahat...."
"Saudara Liu, adakah sesuatu
sehingga Saudara ke rumahku?"
keperluan "Dorongan hati," jawab Liu Yok.
"Saudara Liu, apa yang bisa membebaskan kota
ini dari pengaruh jahat yang makin mengacaukan
tingkah laku orang-orang kota ini?" tanya Pang Sebun. "Rasa-rasanya aku jadi bingung menentukan
619 siapa kawan dan siapa lawan. Dan seandainya
dapat kutentukan, rasanya lawan dan kawan
sama-sama menakutkannya."
"Pegang ini saja, Kakak Pang. Semua manusia
adalah kawan, dan semua mahluk jahat yang
mempengaruhi mereka adalah lawan. Kekuatan
yang dapat mematahkannya ialah saling memaafkan, saling mengutamakan orang lain lebih
dari diri sendiri." Pendengar-pendengarnya tercengang. Mereka
sangka Liu Yok akan membeberkan tentang
serangkaian upacara gaib mengusir pengaruh
buruk, tak terduga cuma itu "resep" Liu Yok.
Seperti dinasihatkan turun-temurun, nasihat
kuno, klise, basi. "Kalau yang itu... kami sudah diajari sejak
kecil...." komentar Ho Tong sambil menggarukgaruk kepalanya.
"Kalau begitu, jalankan setulus-tulus-nya dan
tunggu hasilnya." Ho Tong bungkam. Tiba-tiba ia ingat pertarungannya sendiri. dengan Yao Kang-beng
tadi. Waktu Ho Tong dengan sabar, tenang, bahkan
merasa kasihan kepada Yao Kang-beng, maka ia
tidak terdesak sedikit pun oleh Yao Kang-beng
biarpun Yao Kang-beng sedang "dipakai raganya"
oleh "dewa bermata tiga". Tetapi begitu Tong
terpancing kemarahannya karena akan tentang
hal-hal memalukan ia masih gila dulu, dan Ho
Tong gusar mulai bernafsu mengenakan rotannya
ke tubuh Yao Kang-beng, maka Ho Tong mulai
620 mengalami kesulitan dan didesak hebat oleh Yao
Kang-beng. Sementara Cu Tong-liang pun ikut memahaminya, dan ia menarik napasnya, "Pantas
tadi Liu Yok dicaci-maki begitu keji oleh orang yang
hendak menikam Tabib Kian tadi, tetapi Liu Yok
tak terpancing sedikit pun."
"Sebuah rantai kasih sayang sedang dibangun di
kota ini," kata Liu Yok pula. "Itu rantai, tetapi
nikmat di hati." *** Wong Lu-siok terheran-heran mendapati dirinya
ada di tengah-tengah padang ilalang, dan matahari
bersinar cemerlang di atas kepalanya. Tetapi selain
cuaca terang benderang, ada juga kabut hitam
yang memenuhi langit. Suasananya jadi aneh, ya
terang ya gelap. "Kenapa aku di sini?" ia kebingungan dan tidak
tahu kepada siapa pertanyaan itu ditujukan.
"Bukankah aku telah di-jebloskan oleh Lui Kongsim ke dalam sel gelap dan sempit itu?"
"Wadah kita memang masih di sana," terdengar
suara seorang gadis di sampingnya. Wong Lu-siok
menoleh dan melihat seorang gadis cantik di
sampingnya. "Siapa... nona?"
"Kita sudah saling mengenal, dalam sel sempit
dan gelap itu. Aku Siau Hiang-bwe. Secara jasmani
kau belum pernah bisa melihatku karena indera
621 penglihatanmu terhalang oleh gelapnya sel itu. Kau
hanya bisa mendengar suaraku."
"Nona Siau, ternyata kau begitu muda. Ketika
dalam sel itu kudengar fasihnya kau menjawab
pertanyaan-pertanyaanku, menyegarkan batinku,
kukira Nona Siau ini setidak-setidaknya... berumur
empat puluhan tahun."
"Tak terduga hanya anak kemarin sore ya?"
"Aku... memang tidak menduga. Bagaimana
Nona bisa?" "Aku hanya menempatkan diri di bawah
anugerah-Nya yang berlimpah-limpah. Di kitab
yang kupercayai tertulis : bukan selalu orang
lanjut umur yang mengerti nikmat, bukan selalu
orang yang sudah tua yang mengerti keadilan.
Tetapi roh yang di dalam manusia itu menampung
ilham dari Yang Maha Tinggi dan memberi manusia
pengertian." "Bukan otak?" "Aku tidak ingin meremehkan mengandalkan otak, tetapi aku tidak."
yang "Nona...." "Kita sudah bersahabat, bagaimana kalau
bersikap lebih akrab" Aku akan memanggilmu
Paman Wong, dan Paman memanggilku A-kui
seperti sahabat-sahabatku lainnya?"
622 "Aku merasa mendapat kehormatan."
"Segala kehormatan hanya bagi Yang Tertinggi."
Wong Lu-siok menarik napas. "Baiklah... A-kui.
Aku bangga kau memanggilku 'paman'. Tetapi... di
mana kita sekarang?"
"Di luar kota Seng-tin, masa Paman tidak
mengenal padang ilalang ini?"
623 "Bukankah kita dikurung oleh... Lui Kong-sim
dan teman-temannya?"
"Ya. Dan tubuh kita memang masih dalam sel
itu...." "Astaga, jadi kita ini sudah mati" Kita ini
arwah?" "Tidak. Tubuh kita masih hidup. Sekarang ini,
'tubuh kita yang lain' cuma jalan-jalan sedikit
dengan melepaskan keterbatasan tubuh yang
terdiri dari darah daging."
"Ah, jadi kau ini punya ilmu sakti untuk keluar
dari raga" Padahal di Bukit Buaya Putih hanya
guruku seorang yang bisa...."
Tetapi Siau Hiang-bwee geleng-geleng kepala.
"Tidak, kita tidak keluar dari tubuh kasar itu. Kita
tetap bersama-sama tubuh kasar itu, hanya, tidak
dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan tubuh
kasar itu. Dan ini bukan ilmu yang bisa dipelajari
atau diajarkan, ini anugerah. Aku hanya meminta
sungguh-sungguh agar diperbolehkan menunjukkan kepada Paman tentang keadaan
Seng-tin yang sebenarnya, keadaan yang dilihat
dari dua alam sekaligus. Aku tak tahu
permohonanku dikabulkan atau tidak, dan tahutahu aku mengalami seperti ini, agaknya inilah
jawaban-Nya." "Jadi... sekarang ini yang kita lihat adalah Sengtin, tetapi dua alam sekaligus?"
"Benar. Mari kita manfaatkan pemberian
berharga ini dengan melihat sebanyak-banyaknya.
624 Lain kali belum tentu aku diijinkan mengalami
kesempatan berharga ini."
"A-kui, kenapa tidak memohon pengalaman ini
untuk dijadikan semacam ilmu yang terusmenerus berada pada dirimu" Sehingga kapan saja
kau mengingininya, kau dapat berada di alam ini"
Kan enak" Guruku di Bukit Buaya Putih...."
"Bekas gurumu, Paman Wong." Siau Hiang-bwe
meralat kata-kata Wong Lu siok. "Perkataan kita
harus cermat, Paman, sebab dengan kata-kata itu
kita mengijinkan atau melarang sesuatu di alam
gaib." "Ya, ya, terima kasih kau ingatkan status
baruku sekarang sebagai murid dari Yang
Diminyaki. Kulanjutkan kata-kataku tadi. Bekas
guruku punya ilmu itu. Suatu malam ia bersemedi
semalam suntuk. Ketika pagi, ia bercerita bahwa
semalam pergi ke sebuah gunung-suci di Tibet
untuk menjumpai penguasa-penguasa gaib di
sana, ia pergi dan pulang dengan badan halusnya.
Padahal jarak antara Bukit Buaya Putih dengan
gunung yang disebutkan di Tibet itu biasa dua
bulan perjalanan." "Seandainya aku ditawari itu cuma-cuma, aku
menolak. Aku merasa lebih aman mengalami apa
saja dalam pimpinanNya, bukan dorongan
keinginan sendiri. Pimpinan-Nya pasti aman, tidak
keliru, bertujuan baik. Lagipula, aku harus belajar
menghargai semua pemberian-Nya, semua yang
Dia ijinkan untuk kualami, dari yang paling gaib
sampai yang paling sederhana dalam kejadian
sehari-hari, yang sama dengan orang kebanyakan."
625 Mereka berdua melangkah di antara padang
ilalang ke arah Seng-tin. Makin dekat ke Seng-tin,
Wong Lu-siok agak tertegun-tegun langkahnya,
soalnya ia melihat di atas kota Seng-tin nampak
ada sesuatu yang beterbangan. Ketika ia
perhatikan benar-benar, Wong Lu-siok melihat
yang beterbangan itu ada jenis burung-burung,
besar tetapi ada juga orang-orang yang bisa
terbang karena ada sayapnya. Orang-orang
berwajah seram dan jahat, tetapi "orang terbang"
lainnya berwajah ramah. "Apa itu?" tanya-Wong Lu-siok yang kini benarbenar menghentikan langkahnya karena takut.
Siau Hiang-bwe sendiri sebenarnya baru satu
kali ini mendapatkan pengalaman macam ini,
namun karena ia sudah berbekal pengetahuan
tentang alam roh dari Liu Yok maupun dari buku
pinjaman Liu Yok, maka ia menjawab yakin,
"Jangan lupa, Paman Wong, kita sedang melihat
dua alam sekaligus. Mahluk-mahluk yang beterbangan itu sebagian adalah mahluk-mahluk
jahat yang mempengaruhi perilaku orang-orang
Seng-tin, dan sebagian lagi adalah di pihak kita."
"Yang di pihak kita apakah mahluk-mahluk gaib
yang baik, yang suka menolong, yang dipuja di
tempat-tempat suci?"
"Kau belum paham juga, Paman Wong. Seorang
utusan Yang Maha Kuasa pernah dianiaya dan
dibuang di sebuah pulau kosong dan tandus, di
situ dia hampir saja menyembah mahluk gaib yang
diutus untuk berbicara kepadanya, tetapi mahluk
gaib itu menolak untuk disembah. Mahluk itu
626 berkata: kita sesama mahluk ciptaan, sesama
hamba, sesama sekedar pelaksana ketetapanketetapan Yang Maha Kuasa. Mahluk yang baik,
pasti menolak untuk disembah. Kalau yang mau
disembah, itu pasti yang jahat."
Wong Lu-siok agak bingung. "Tetapi... banyak
yang disembah itu ternyata memberi manfaat
kepada manusia, apakah itu juga jahat" Pernah
kukunjungi sebuah desa di tepi sungai, tiap tahun
desa itu mengalami kerugian harta dan jiwa karena
banjir. Lalu seorang pelihat-gaib memberi tahu
penduduk agar membangun kuil Dewi Sungai di
tepi sungai sebagai pelindung. Penduduk membangunnya dan menghormatinya, heran, desa
itu tidak pernah kena banjir lagi. Bukankah berarti
dewi sungai itu menolong manusia?"
"Justru manusia terjerumus ke bencana yang
besar. Yaitu kehilangan hubungan sejati dengan
Sesembahan Sejati Yang Esa. Bisa kutebak, pasti
ada juga bencana lain yang menimpa desa itu,
menggantikan bencana banjir yang tak pernah
datang lagi.. Bencana itu bisa

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyakit, kehancuran hubungan-hubungan keluarga dan
seribu satu macam lagi. Mahluk-mahluk gaib yang
mau disembah oleh manusia pastilah mahlukmahluk jahat, tidak peduli mereka itu menyamar
sebagai penolong. Dan mahluk-mahluk jahat itu
ditegaskan oleh Guru kita sebagai pencuri
pembunuh dan pembinasa."
Wong Lu-siok bungkam, tetapi ia melihat sendiri
keadaan Seng-tin. Seng tin lepas dari penindasan
Beng Hek-hou dan gerombolannya, seakan-akan
627 tertolong, ternyata kemudian warga Seng-tin jatuh
ke bawah pengaruh asing yang menimbulkan
akibat macam-macam. Dulu Wong Lu-siok tidak
menyadarinya, sekarang ia melihatnya.
"Jadi... biarpun mahluk-mahluk gaib itu
mengaku diri dengan sebutan yang indah-indah
seperti dewi keberuntungan, dewi kesuburan dan
sebagainya, tetapi mereka sebetulnya membawa
bencana?" "Tepat." Ketika mereka mulai melangkah di lorong-lorong
Seng-tin, mereka melihat mahluk-mahluk dari dua
alam sekaligus berada di jalan-jalan, rumahrumah, bahkan beterbangan di udara. Mereka
berpapasan dengan beberapa warga Seng-tin,
tetapi warga Seng-tin yang adalah manusiamanusia biasa itu tentu saja tidak dapat melihat
Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe biarpun
melintas di depan hidung mereka.
"Mereka tidak melihat kita...." kata Siau Hiangbwe terkagum-kagum.
Dalam pengalaman ini, justeru Wong Lu-sioklah
yang jauh lebih berpengalaman dari Siau Hiangbwe. Selama bertahun-tahun mengabdi kepada
"ratu langit", Wong Lu-siok sering melihat yang
gaib-gaib, dalam semedinya, bahkan dalam
mimpinya, bahkan ketika dalam keadaan sadar.
Kemudian setelah ia mendengar ajaran-ajaran yang
disampaikan Siauw Hiang-bwe, Wong Lu-siok tahu
bahwa "tamasya gaib" nya itu hanya melihat halhal palsu, tipuan-tipuan para penguasa gaib yang
ingin menguasai manusia melalui Wong Lu-siok.
628 Pandangan batin Wong Lu-siok diputar-balik,
hampir sama dengan Pang Se-bun yang menyangka Cu Tong-liang sebagai Beng Hek-hou,
Yao Kang-beng yang menyangka Yao Sin-lan
adiknya sebagai siluman, dan A-kun yang
menyangka Liu Yok sebagai "dewa jahat". Namun
"tamasya gaib"nya kali ini bersama Siau Hiang-bwe
adalah tamasya yang "disponsori" oleh Yang Maha
Benar sendiri, untuk menunjukkan hal-hal apa
adanya. Di alam gaib maupun di alam kasar.
Sedangkan Siau Hiang-bwe yang "memintakan
sponsor" bagi Wong Lu-siok malahan baru sekali
ini "mengunjungi" alam gaib sebagai pribadi yang
bebas, biasanya ia hanya mendengarkan kata-kata
Liu Yok tentang alam gaib ini. Di Lam-koan,
pernah juga Siau Hiang-bwe "mengunjungi" alam
ini tetapi bukan sebagai orang bebas, melainkan
sebagai tawanan. Ketika ia dikurung di sebuah
"kota hitam berpenghuni mahluk-mahluk aneh".
Wong Lu-sioklah yang menjawab keheranan
Siau Hiang-bwe tadi, "Mereka sedang berbeda alam
dengan kita, maka mereka tak dapat melihat kita."
"Tetapi kita dapat melihat mereka karena alam
yang sedang kita tapaki lebih halus dari alam
mereka." sambung Siau Hiang-bwe paham, ingat
pelajarannya Liu Yok. Siau Hiang-bwe merasa ia seolah-olah seperti
sedang melihat dua lembar lukisan yang digambar
di kaca dua lembar lukisan yang berbeda tetapi
kacanya ditumpuk sehingga kedua lukisannya jadi
satu. Bedanya ini bukan gambar mati, melainkan
gambar-gambar hidup. 629 Dilihatnya di alam kasar ada Nyonya Pang
sedang membawa keranjang menuju ke sebuah
toko kueh, juga dilihatnya Nyonya Giam membeli
banyak bunga dan dupa. Orang-orang di alam
kasar itu tak melihat Siau Hiang-bwe dan Wong
Lu-siok. Tetapi Kota Seng-tin juga dipenuhi orang-orang
aneh yang tidak lazim tampil di Seng-tin. Orangorang asing yang sebagian berdandan sebagai
perajurit-perajurit lengkap dengan topi besi dan
baju besi, tetapi dandanan perajuritnya model
kuno, jauh bedanya dengan dandanan perajuritperajurit Mancu jaman itu. Perajurit-perajurit ini
ada yang normal seperti manusia, tetapi ada yang
bertaring, ada yang bertangan empat, ada yang
berkepala tiga, ada yang berekor, ada yang
bertanduk. Sedangkan yang bersayap beterbangan
di udara. Selain perajurit-perajurit ini, ada pula
hewan-hewan lain yang kalau dilihat dengan mata
jasmani pasti takkan terlihat. Ada srigala, burungburung besar yang aneh bentuknya, bahkan katak
raksasa, ular besar, kuda yang bisa berjalan di
udara. Hewan-hewan itu nampaknya bisa berbicara dengan perajurit-perajurit aneh itu.
Bahwa baik perajurit-perajurit maupun mahlukmahluk aneh itu merupakan mah-luk gaib, bisa
Pendekar Pemetik Harpa 16 Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari Badik Buntung 14
^