Pencarian

Premortem 1

Premortem Karya J.angin Bagian 1


?"Premortem e m m Novel J.Angin J . A g i n Premortem Premortem J.Angin Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Kupanggil dia ke ruanganku. Tidak lama kemudian dia masuk.
Silakan duduk, kataku. Dia mengangguk, menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan mejaku dengan wajahnya yang tanpa senyum itu. Kubuka map dokumen dirinya. Bulan ini akan jadi bulan terakhir dia bertugas di sini. Sebenarnya aku tidak peduli. Senyum atau cemberut, yang penting dia tidak pernah macam-macam. Atasannya juga tidak peduli. Prestasi cukup baik. Tugas selalu beres.
Cuma itu masalahnya: selalu menyendiri, tidak bersosialisasi, tegur sapa seadanya, tanpa senyum. Hanya masalah senyum. Tetapi rupanya Pak Pimpinan peduli.
Mengurus sebuah perusahaan besar dengan jumlah orang yang sangat banyak, Pak Pimpinan punya prestasi cukup baik. Pak Pimpinan cukup peduli. Peduli pada semua hal yang penting menurut Pak Pimpinan. Yang penting bagi perusahaan. Yang pen ting bagi orang-orang di sini.
Yang tidak penting, tentu saja Pak Pimpinan tidak peduli. Seperti namaku misalnya. Sekian lama aku di sini, Pak Pimpinan tidak pernah ingat namaku. Tetapi mungkin itu memang tidak pen ting untuk diingat. Tidak penting bagi perusahaan. Apa lah arti nya namaku" Kalau terlupa toh tidak membuat perusahaan merugi.
Tetapi rupanya masalah senyum ini lebih penting dari namaku.
Selama ini prestasi cukup baik, kataku. Kulihat sekilas isi doku men nya, lalu kutatap dia. Dia menunduk tak membalas ta tapanku. Ini pertama kali aku bertemu empat mata, tapi menurut Atasannya dia memang begini kalau diajak bicara. Yang pernah mendapat sedikit catatan hanya sikapmu. Pertama kali aku melihat dirinya saat dia diajak Atasannya ikut pertemuan dengan Pak Pimpinan beberapa waktu lalu. Rupa nya Pak Pimpinan sempat mengamati. Seusai rapat aku dipang gil.
Orang itu wajahnya masam terus, kata Pak Pimpinan padaku sambil tersenyum simpul.
Di situlah aku baru menyadari keberadaan dia dan wajahnya yang murung. Apakah perusahaan merugi kalau dia tidak senyum" Menurutku tidak. Apalagi tugasnya di sini memang tidak per nah mengharuskan dia untuk senyum. Tetapi pendapat Pak Pim pinan lain.
Orang seperti itu menjatuhkan semangat. Jika semangat jatuh, perusahaan merugi. Demikian menurut Pak Pimpinan.
Karena itu masalah senyum ini penting bagi perusahaan. Lebih penting dari namaku. Dan nama istri serta anakku.
Kupelajari data dirinya dan kutemui Atasannya. Menurut Atas annya dia memang begitu. Hidupnya pahit. Tidak berkawan. Tidak berkeluarga. Tidak punya kehidupan selain di sini.
Atasannya berkata, Sepanjang pengetahuan saya, dia memang tidak pernah kelihatan ceria. Pernah saya tanya apa alasannya, dan dia bilang
Menurutmu tidak ada alasan tersenyum bila tidak bahagia. Benar begitu" kutanya dia.
Dia mengangguk. Masih menunduk. Itu alasanmu"
Bisa saja kutanyakan apa yang dia maksud dengan kalimat itu. Tetapi tidak kulakukan karena aku sudah tahu jawabannya. Atasannya sudah pernah bertanya.
Dia malah balik bertanya, Apa Bapak bahagia disini" cerita Atasannya.
Aku tak mau dia ajukan pertanyaan itu padaku. Harus jawab apa" Apa harus bohong" lanjut Atasannya sambil tersenyum sinis.
Aku paham benar apa maksud Atasannya, namun berusaha un tuk terlihat tidak peduli. Tidak penting bagi perusahaan. Tidak pen ting bagiku.
Mungkin dia perlu berobat" tanyaku. Aku juga sudah tahu ja wab annya.
Penghasilannya seberapa sih" jawab Atasannya dengan senyum kecut, lalu melanjutkan, kalau sampai benar dia perlu berobat, apa perusahaan mau mengurus orang seperti itu"
Aku cuma bisa balas tersenyum. Mungkin senyum kecut juga. Aku tak bisa melihat wajahku sendiri waktu itu.
Selalu ada alasan untuk tersenyum..., kuganti kalimatku untuk dia. Tidak ada yang salah dengan sikapmu. Mungkin saja sikap mu bisa dinilai sedikit mengganggu
Lebih tepatnya: sedikit mengganggu perusahaan. Punya orang yang selalu berwajah muram, dan mungkin, butuh pengobatan.
Tetapi tidak mungkin kukatakan itu kan"
tapi bukan itu yang menjadi pertimbangan. Persoalannya adalah, saat ini posisimu dianggap tidak sesuai lagi untuk kondisi per usahaan di masa datang. Perusahaan hendak melakukan per ubah an.
Alasannya adalah, perusahaan akan merugi jika harus terus mempertahankan orang yang tidak sesuai. Siapa pun orang itu. Termasuk dia, rekan-rekannya, juga aku, dan Atasannya. Kita semua sama.
Perusahaan tidak mungkin dibiarkan merugi. Jika perusahaan terus merugi, perusahaan tidak akan bisa mengurus orangorangnya lagi. Perusahaan tidak akan punya masa depan.
Memang betul pimpinan kadang juga merugikan per usahaan. Jauh lebih merugikan dari masalah senyum. Tetapi untuk pim pinan, perusahaan harus punya lebih banyak pertimbangan.
Tidak bisa langsung diberhentikan tiap kali diang gap kurang tepat. Siapa yang akan memegang kemudi per usahaan" Siapa yang akan mengurus orang-orang" Per usahaan bisa bu bar. Karena itu, ma kin tinggi posisi, makin ting gi toleransi. Ale gorinya memang tidak ada diskriminasi, tetapi aplikasinya tidak ada harga mati.
Itu penting bagi perusahaan. Demi masa depan semua orang.
Itu alasan untukmu. Andai kamu bertanya.
Kutunggu sejenak. Tetapi ternyata dia diam saja. Jadi kusampaikan apa yang harus didengarnya.
Perusahaan tidak punya pilihan. Mulai bulan depan kamu tidak bisa bertugas di sini lagi, kataku dengan nada tegas.
Kutunggu reaksinya. Tetapi lama dia terus tertunduk tanpa suara.
Sampai akhirnya, masih menunduk, dia berkata pelan, jadi... saya dinilai tidak sesuai untuk perusahaan... karena sikap saya" Karena tidak pernah senyum"
Bukan karena itu, kubantah kesimpulan itu untuk dia. Ini sa ma sekali tidak ada hubungannya dengan sikapmu. Semua mur ni karena perubahan kebutuhan perusahaan. Bukan karena sikap mu. Bukan karena tidak senyum. Harap dipahami. Itu jawaban untukmu. Walau tidak sepenuhnya benar. Entah kenapa aku mulai sedikit berdebar menunggu kalimat apa yang akan meluncur dari mulutnya setelah ini. Aku tak tahu apa lagi yang mungkin akan dikatakan orang seperti dia. Orang yang sebenarnya punya prestasi cukup baik, tetapi kebetulan saja tidak pernah tersenyum. Yang mungkin butuh pengobatan.
Aku tak mau dia ajukan pertanyaan itu padaku. Terima saja jawaban untukmu. Alasan untukmu. Aku tak mau dia mempermasalahkan hal lain. Karena aku tahu persis bagaimana kesudahan orang yang membuat masa lah dengan perusahaan. Apa artinya dia. Apa artinya rekanrekan dan Atasannya. Apa artinya aku.
Kita semua sama. Tetapi tidak mungkin kukatakan itu kan"
Aku tak kenal dia selain catatan dokumennya, cerita Atasannya dan dari pertemuan ini. Apa yang akan dia lakukan setelah tidak bertugas di sini, bagaimana masa depannya nanti, aku tidak peduli. Mungkin akan tenggelam dalam hidupnya yang pahit. Tidak penting bagi perusahaan. Tidak penting bagiku. Cuma satu ha rapanku untuk dia.
Jangan ajukan pertanyaan itu padaku. Tetapi
detik selanjutnya, harapanku sudah runtuh tak berwujud di ha dapanku.
Apa Bapak bahagia di sini" kalimat yang kutakuti itu me luncur juga dari mulutnya.
Aku terdiam. Aku tak mau dia ajukan pertanyaan itu padaku. Seperti yang kutakutkan, aku tak tahu harus menjawab apa. Sama seperti Atasannya.
Harus jawab apa" Apa harus bohong"
Lebih menakutkan lagi, dia mengangkat kepala dan menatap mataku. Menunggu jawabanku.
Aku berusaha keras tidak berpaling dari tatapannya.
Harus jawab apa lagi" Harus bohong apa lagi" Alasan apa lagi yang harus kuberikan"
Apa harus mengikuti alasanmu" Jika harus mengikuti alasanmu, orang yang tidak pernah tersenyum, siapa yang akan pernah ter senyum di sini"
Dia pikir rekan-rekannya bahagia berada di sini pagi hingga petang dengan penghasilan secukupnya" Tidak cukup buat berobat. Tidak cukup buat masa depan anak-anaknya. Tidak cukup buat hidup sejahtera.
Dia pikir Atasannya bahagia"
Di sini Atasannya tersenyum karena atasan harus tersenyum, pada bawahan, pada rekan, pada pimpinan. Pada semua orang. Per nah lihat Atasannya tersenyum tulus" Tidak perhatikan senyum nya yang sinis dan kecut"
Pernah lihat ada yang bahagia di perayaan hari jadi perusaha an"
Di tengah tawa, kembang api, pesta, musik, hiburan dan lom ba, coba cari siapa yang bahagia di sana. Kutraktir makan ka lau kamu bisa temukan.
Dia pikir aku bahagia"
Dia tak tahu betapa aku iri pada mereka yang bahagia di luar tempat ini. Mungkin mereka punya kehidupan lain. Punya orang lain yang mau memberi kebahagiaan. Yang mau memberi se nyum tulus. Yang mau memberi cinta, walau tidak bisa hidup sejah tera.
Aku tidak punya kehidupan selain di sini. Seperti kamu.
Hidupku pahit. Selalu cekcok dengan istri. Anakku menjauhi.
Aku tidak punya waktu dan uang untuk memberi bahagia. Tidak bisa memberi hidup sejahtera. Tidak bisa memberi cinta. Aku tidak peduli katanya. Aku mementingkan kerja katanya.
Dia tak tahu betapa aku mengharapkan sebuah tempat yang lain. Yang pimpinannya ingat namaku dan nama anak-istriku. Yang mengurus orang-orangnya, walau butuh pengobatan. Yang mem beri hidup sejahtera. Supaya aku punya lebih banyak wak tu dan uang untuk memperbaiki hidupku.
Itu juga kalau benar waktu dan uang yang lebih banyak bisa mem perbaiki semuanya.
Dia pikir Pak Pimpinan bahagia"
Di sini Pak Pimpinan tersenyum karena pimpinan harus terse nyum, pada semua bawahan, semua relasi, semua aparat, semua pejabat. Pada semua orang.
Bukan karena bahagia. Dia pikir Pak Pimpinan bahagia melihat kondisi perusahaan se ka rang sejak krisis melanda tempat ini"
Dulu, kita semua pernah punya harapan. Tapi ternyata krisis tidak pernah benar-benar berlalu.
Lebih banyak waktu, dan semuanya ternyata tetap tidak bisa diperbaiki.
Hingga kini datang lagi krisis berikutnya. Hingga, seperti dulu, kini perusahaan harus mulai lagi mengorbankan orangorang nya. Dimulai dari yang dianggap paling bisa dikorbankan. Kamu salah satunya.
Setelah itu yang lain. Dan bila krisis tidak juga berakhir, selanjut nya bisa saja termasuk aku dan Atasannya. Lalu bila sudah tak ada lagi yang bisa dikorbankan, mungkin pada akhirnya pim pin an juga harus jatuh. Seperti dulu.
Memang begitu urutannya. Kita dulu, baru mereka. Makin tinggi posisi, makin tinggi toleransi. Tanpa kita, perusahaan tetap akan bisa berjalan. Kita yang harus jatuh lebih dulu. Tetapi tidak mungkin kukatakan itu kan"
Tidak tahukah kalau Pak Pimpinan juga tidak punya kehi dupan selain di sini"
Pak Pimpinan tidak punya tempat yang bisa memberi kebaha giaan. Istri dan anak-anaknya, yang namanya aku hafal benar, tidak memberi perhatian. Tidak mencintai. Karena Pak Pimpinan juga tidak bisa memberi senyum tulus. Tidak bisa memberi keba ha gia an. Tidak bisa memberi cinta. Walau secara materi me reka hidup sangat sejahtera.
Lebih banyak uang, tapi semuanya ternyata tetap tidak bisa dibe nahi.
Tanyakan Apa Bapak bahagia disini" Tatap matanya. Pak Pim pinan juga tidak akan bisa menjawab.
Akan terdiam. Seperti aku. Atau balik bertanya. Seperti kamu.
Sadarkah kalau dia, aku, dan Pak Pimpinan itu sama" Tidak ada bahagia di sini, tetapi kita tidak punya kehidupan selain di sini.
Kita semua sama. Jadi, jika harus mengikuti alasanmu, orang yang tidak pernah tersenyum, kita semua tidak akan pernah tersenyum di tempat ini, tidak akan pernah tersenyum di mana pun. Seperti kamu. Tetapi
Tidak ada yang harus mengikuti alasanmu. Di tempat ini, tidak ada yang harus mengikuti alasanmu.
di sini, di tempat ini, kita selalu tersenyum. Walau tidak ada ba hagia.
Harap dipahami. Karena itu, sekarang kukembangkan seulas senyum di wajah ku.
Tidak ada bahagia. Tetapi senyumku kini terentang dari telinga ke telinga. Aku tak tahu senyum apa ini. Aku tak bisa melihat wajahku sendiri.
Selalu ada alasan untuk tersenyum..., kataku di sela senyuman yang lebar. Cuma kalimat itu yang bisa kuulangi lagi. Cuma itu jawab anku untuk dia.
Kututup map dokumen dirinya, lalu kuulurkan tangan untuk ber jabat, tetap tak berpaling dari tatapannya.
Dia pikir aku tersenyum karena bahagia"
Aku tersenyum karena aku tak tahu harus menjawab apa lagi. Karena cuma ini yang bisa kulakukan.
Sampai di sini saja alasanku untukmu. Selebihnya aku tidak peduli. Tidak penting bagi perusahaan. Tidak penting bagiku.
Kala senja, sirene sudah tidak berbunyi sama sekali. Seketika bom berjatuhan, menebar nyala yang melantakkan segenap ba ngunan; tanpa pesan, tanpa peringatan. Nun di atas awan hitam, derum mesin pesawat memenuhi udara; bagai kumpulan malaikat pencabut nyawa sedang mengintip ke bawah dan saling ribut bergumam, memperdebatkan roh siapa saja yang akan mereka kumpulkan di permukaan tanah yang bersimbah darah.
Ke mana pertahanan udara kita" gerutu orang yang tiarap di sam pingku di antara puing dan api. Suaranya bergetar. Kabarnya tentara kita sudah kalah. Posisi mereka tersapu habis, dipukul mundur keluar dari kota. Meninggalkan kita. Tanpa pesan. Tanpa peringatan. Sudah tiga hari tidak ada bantuan ma kan an. Kabarnya semua jalur telah jatuh ke tangan musuh.
Tak mungkin mereka pergi tanpa memberitahu! kata seseorang kemarin siang.
Mereka pasti ungsikan kita lebih dulu! kata yang lain. Suaranya panik.
Tetapi tiga hari tidak ada siaran radio di kanal darurat. Kabarnya pemancar terdekat sudah musnah. Jika benar begitu, berarti kita di sini sendirian. Dan esok yang muncul di hadapan kita mung kin saja wajah-wajah dari negeri seberang. Namun mungkin saja tidak akan ada pagi, kalau malam ini kita keburu mati.
Kapan pemerintah kita menyerah" Perang ini tak mungkin kita menangkan! Seorang berkata pelan kemarin malam, sambil menangis.
Kabarnya pemerintahan sudah dipindah ke tempat aman. Lalu mereka putuskan untuk terus berjuang, mempertahankan ke daulatan. Apa pun risikonya.
Biarkan saja musuh duduki kota ini! Kita rakyat sipil! Buat apa mereka membunuh kita! Orang yang lain bicara tadi pagi.
Tetapi dalam perang apa pun bisa terjadi. Dan orang yang me ngatakan rakyat tidak mungkin dibantai sekarang sudah tergeletak tanpa nyawa, sekian depa di hadapanku.
Kenapa tak segera mengungsi" Pernah kudengar seseorang ber tanya.
Tidak kukira akan secepat ini..., yang ditanya menjawab pelan sambil menggeleng. Matanya kosong tanpa asa.
Kekuatan militer kita memang jauh di bawah. Semua tahu itu, ter masuk musuh.
Rakyat punya daya tahan! Kita tak akan menyerah begitu saja walau lawan lebih kuat! Jerit seorang petinggi negara, berbulan lalu saat situasi semakin panas dan orang mulai bicara ke mung kinan terburuk.
Di mana nasionalisme" Para pendahulu sudah pernah buktikan, bangsa kita bukan bangsa yang bisa ditaklukkan begitu saja! Seseorang mengoceh hampir dua tahun lalu, ketika semua be lum terjadi.
Silakan datang& Kita habisi mereka! Kali ini orang yang sama dengan yang bertanya kapan kita akan menyerah. Hanya saja itu dia ucapkan kemarin pagi, sebelum pemboman gencar di sekitar sini. Dan waktu itu wajahnya garang, tidak ada air mata.
Walau sadar lebih lemah, tetapi tak ada yang menduga; semua seakan terlalu mudah; seakan musuh sudah tahu semua po sisi pertahanan kita; tahu semua rahasia kita. Mungkin karena itu juga mereka memulai invasi: karena tahu akan menang.
Tidak ada ledakan lagi. Para burung pemangsa sudah berde ngung menjauh, makin tak terdengar. Setelah itu semua kem bali sunyi; tinggal derak suara serpih perabot, genting-kaso atap ambruk, gemeretak dimakan panas. Langit kini gelap. Surya berangsur padam. Akhirnya aku dan orang di sebelahku mem berani kan diri merayap keluar dari bawah reruntuhan, berselimut debu dan abu. Semua gelap gulita jika saja tak ada pijar kobaran. Di temaramnya kami saling pandang.
Ada yang terluka" tanya seorang yang berdiri di kejauhan. Bung yang itu meninggal..., kata orang di sebelahku sambil ter batuk. Ia menunjuk jenazah di hadapan kami.
Perlahan kami susuri ruang yang porak-poranda. Tiga hari lalu, tujuh orang terjebak di sini. Malam ini tinggal kami bertiga yang masih berdiri. Kabarnya yang diserang hanya sasaran militer. Na mun posisi tentara kita sering terlalu dekat, bahkan mem baur de ngan permukiman, hingga akhirnya rumah ini terhantam juga. Risiko perang gerilya. Di luar sana pasti banyak juga yang ter pe rangkap, sebagian besar perempuan dan anakanak. Tak tahu bagaimana nasib mereka sekarang. Seperti kami" Atau seperti yang kini terbujur kaku"
Persediaan makanan " Orang di kejauhan berlari ke ruang se belah, tapi semua di situ sudah terpanggang bara. Kami tertegun.
Besok pagi kita harus pindah dari sini..., kata orang itu. Besok pagi tentara musuh mungkin sudah lebih dulu me nemu kan kita! kata yang di sampingku. Atau sebaiknya kita bergerak malam ini juga" ia bertanya. Keningnya berdarah.
Belum tentu musuh sudah masuk kota! Mungkin saja masih ada pejuang kita, entah di mana" Orang berjaket di kejauhan ber jalan mendekat.
Tapi kabarnya " Kabarnya, kabarnya, kabarnya! Sejak radio mati, hanya desas-desus yang kita dengar... Kita tak tahu bagaimana kondisi se be nar nya di luar!
Jadi Bung percaya tentara kita masih bertahan" tanya orang de ngan kening berdarah. Sudah tiga hari kita sendirian, tapi Bung yakin pasukan kita masih ada"
Ada atau tidak, jawab orang berjaket dengan nada kesal, kita tidak mungkin keluar malam ini. Kalau memang benar ada ten tara di luar sana, entah kawan atau lawan, dalam kegelapan se perti ini kita bisa mati ditembak....
Jika musuh datang, kita juga akan mati ditembak! Belum tentu mereka akan menembak mati kita! Untuk apa me reka membunuh kita tanpa alasan" Bukan begitu, Bung" Ia me minta pendapatku; dukunganku.
Aku mengangguk. Bung pernah dengar di mana kalau mereka tidak akan meng habisi kita" Lihat sendiri yang terjadi malam ini.... Orang de ngan ke pala terluka berkeras.
Pernah dengar yang namanya Konvensi" Ada asas kesatriaan sekali pun dalam perang! balas orang satunya.
Asas kesatriaan" Aku yakin tidak ada yang pernah mendengar itu. Apakah itu betul-betul ada" Dalam situasi seperti ini"
Wah, maaf Bung... Aku memang tidak bersekolah, tapi menu rut ku dalam perang hanya ada satu asas: hidup atau mati. Peluru ti dak kenal kawan atau lawan.... Orang dengan kepala ter luka ber jalan menjauh, mengintip ke luar jendela.
Bung tahu dari mana" Apa Bung ini tentara" Pernah ke medan perang" ucap orang satunya yang sepertinya mulai naik pi tam. Atau itu hanya Bung dengar saja dari teman-teman Bung yang ikut berjuang"
Aku..., orang di pinggir jendela tampak bingung harus menjawab apa. A-aku memang tidak ikut angkat senjata.... Suaranya sedikit serak, tanpa sadar ia mengusap-usap kepalanya. Tapi keluargaku banyak yang pejuang... mereka selalu katakan itu padaku... Bung sendiri" Bung tahu dari mana soal kesatriaan" Ia kini tersenyum mengejek. Atau itu juga cuma Bung dengar-dengar saja"
Terserah anda saja, Bung... Tidak ada yang mencegah Bung te tap di sini, kata orang berjaket sambil mendengus.
Orang di sisi jendela menatap kami berdua. Saya pergi sekarang juga. Jika Bung berdua mau tinggal, silakan pikirkan apa yang akan Bung berdua lakukan bila tentara musuh benar-benar da tang kemari... Tanyakan apa mereka pernah dengar kon-apaitu yang Bung sebutkan tadi
Tentu saja mereka tahu! Itu dibuat di negara mereka sendiri! potong orang di sampingku dengan gusar.
Orang di sisi jendela tersenyum lebar. Terserah Bung. Berdoa saja semoga besok tentara kita yang datang. Bung-satunya bagaimana" Ikut atau tinggal" ia bertanya padaku.
Jangan gegabah, Bung! kata orang di sampingku pada orang yang dahinya berdarah. Tapi orang itu sudah tidak mau dengar dan tetap menatapku.
Aku menggeleng. Orang dengan dahi luka tersenyum lagi. Baiklah... Semoga Bung berdua bernasib baik. Kemudian ia bergerak menuju pintu dan, seakan tanpa ragu sedikit pun, langsung berlari ke luar dite lan kegelapan malam. Kami sadar tidak akan pernah me lihat nya lagi.
Bodoh..., desis orang di sebelahku. Kalau memang mau kabur, kenapa tidak dari kemarin"
Aku tahu jawabannya: karena malam ini semua harapan sudah lenyap. Tetapi tidak kukatakan itu pada dia. Lama sekali kami berdua berdiri diam, tak tahu harus bicara apa.
Sebenarnya, orang di sebelahku akhirnya kembali bersuara, meski sudah ada hukum kemanusiaan... sering tersebar kabar pi hak musuh melakukan tindakan biadab... Anda juga pernah dengar, Bung" Tahun lalu"
Aku mengangguk. Sering sekali kudengar.
Karena itu... jujurnya aku tetap tidak tahu... bagaimana keadaan sebenarnya... Mana yang benar dan mana yang salah.... Ia men desah, lalu perlahan duduk bersimpuh di lantai yang koyak. Mung kin dalam perang... memang tidak ada benarsalah....
Mungkin memang begitu. Aku ikut duduk di dekatnya. Apa yang Bung lakukan andai musuh muncul di sini" Ia bertanya lagi. Orang tadi benar... Jika lawan menemukan kita, cuma akan ada dua pilihan... Dan bukan kita yang menentukan.... Aku mengangkat bahu.
Tiba-tiba saja dari arah luar terdengar sesuatu pelan bergeme risik di kejauhan. Kami berdua tersentak kaget dan langsung ber diri menghambur ke jendela, mendelengkan telinga.
Bunyi langkah kaki! Makin lama makin jelas& bukan hanya se orang!
Bisa saja kami berharap itu kawan, tetapi kami tahu ini bukan saat mengharap mukjizat. Segera kami berjongkok menyem bunyikan diri di bawah ambang jendela. Di luar gelap pe kat, kami tak bisa melihat siapa yang mendekat. Tetapi dari sana mereka bisa melihat kemari dengan jelas, karena tempat ini diterangi pendar cahaya kebakaran.
Belum tentu lawan... dan belum tentu berhenti di sini..., bisik orang di sebelahku sangat pelan, hampir tak terdengar. Di luar dugaan, ternyata dia masih berharap.
Dadaku berdebar (Lawan" Kawan" Lawan" Kawan")
menunggu dalam naungan bayang-bayang saat bunyi ber derap makin dekat. Dan saat bunyi itu tiba-tiba terhenti, kami berdua sadar...
Mereka di depan.... Suara orang di sebelahku gemetar, tangan nya mencengkam lenganku. Tetapi saat aku menoleh, di luar dugaan kulihat ia menatapku dengan mata yang tenang.
Apa yang akan Bung lakukan jika mereka temukan kita" bi sik nya. Pilihan di tangan mereka... Andai mereka putuskan untuk mem bunuh... kita juga punya dua pilihan: melawan atau me ny erah"
Aku tidak bisa menjawab. Tidak berani menjawab. Saat itu terdengar langkah-langkah mulai memasuki pekarang an, mendekati bangunan tempat kami berada. Semua terlalu mudah; seakan mereka sudah tahu semua posisi; tahu semua rahasia. Kini sosok mereka seharusnya sudah bisa terlihat, na mun tentu saja kami tak berani mengintip. Kami berdua saling ber tukar pandang tanpa kedip. Mata orang itu tetap tenang walau aku yakin jantungnya berdebur sekencang jantungku
(Lawan" Kawan" Lawan" Kawan" Melawan" Menyerah" Me la wan" Menyerah")
Tiba-tiba saja kilap mata orang di sampingku berubah. Sesaat ia jadi serupa dengan orang berkening luka yang meninggalkan kami tadi. Di luar dugaanku, walau orang-orang di luar makin dekat, ia kembali berbisik dengan suara bergetarnya yang masih juga sama sekali tidak menyemburkan aroma takut: orang tadi benar... Harusnya kita segera lari selagi ada kesempatan... Tidak ada bedanya ditemukan musuh di sini atau di luar sana... kemarin, seka rang, atau besok... Mungkin kita yang bodoh... bukan dia....
Ia melepaskan pegangan di lenganku, merogoh ke balik jaket nya dan menghunus sebilah belati besar. Kemudian ter senyum lebar. Senyum itu mirip sekali dengan senyum orang berkening luka sebelum meninggalkan tempat ini tadi.
Bagaimana, Bung"... Ikut"... Atau tinggal" Ia bertanya padaku, hampir tak berbisik sama sekali.
(Lawan" Kawan" Melawan" Menyerah" Benar" Salah" Hidup" Mati" Ada" Tidak" Ikut" Tinggal")
Aku tidak bisa menjawab. Tidak berani menjawab. Ia tampak mengerti.
Baiklah... Semoga Bung bernasib baik, katanya pelan, masih ter senyum. Lalu ia beringsut ke pintu dan tanpa ragu sedikit pun lang sung meloncat berdiri, menerjang keluar dengan belati di tangan; ditelan pekatnya malam. Ada salak senapan. Tiga kali. Lalu kembali senyap, menyisakan desir lidah api terembus angin. Tidak ada teriakan. Aku sadar tak akan pernah bicara de ngannya lagi.
Dan ternyata memang tidak perlu menunggu pagi. Malam itu juga muncul di depan pintu wajah-wajah dari negeri seberang menodongkan senjata. Orang-orang berambut pirang, bermata biru. Tetapi aku tidak ditembak. Tugasku adalah mem beri kabar bagi mereka. Masih akan ada esok, karena malam ini na sibku bukan mati. Mereka ke sini untuk menjemput aku.
Darah adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan seorang wanita. Lain halnya dengan pria: pria menghindari darah.
Pria tidak mau berdarah. Pria takut darah.
Sedang untuk kita, darah adalah teman.
Bagi perempuan, darah seperti air untuk tanaman. Menumbuh kan; mengembangkan.
Ibu datang. Ia memberikan sebuah bungkusan kecil. Isinya kain pembalut. Ia tersenyum lembut dan membelai rambutku. Air mukanya terli hat bahagia.
Kamu sekarang sudah dewasa, katanya. Kini kamu seorang wa nita.
Kubalas senyumnya. Tadi aku merasa takut, tapi sekarang tidak lagi. Kulihat mata ibuku. Aku ingin menjadi wanita. Aku ingin seperti dirinya.
Dosa apa yang telah kau perbuat"
Ini tak pernah terjadi pada kami. Pasti aib keluargamu! Kami tak bisa merawat anak ini!
Tidak ada yang mau menyentuhnya. Dibiarkan saja dia sendiri ter bungkus lampin, begitu mungil; menjerit. Gemetar. Kuberi dia air dan teh, seadanya. Kurebus sendiri, kusendoki satusatu ke dalam mulut kecilnya yang megap-megap. Ta ngan ku ber getar. Aku terlalu bingung. Tidak adakah yang peduli padanya" Esoknya pagi-pagi buta, kubawa lari anak itu. Semua ini bu kan salahnya. Aku juga tak pernah berbuat nista selama dia dikandung. Mung kin ibunya" Tetapi toh itu tak pernah ku ta nyakan. Tidak pernah dipertanyakan. Kubawa dia ke rumah orangtuaku.
Pasti aib keluarga istrimu!
Jujurlah, tindakan terkutuk apa yang pernah mereka kerjakan"
Dia tidak bisa di sini. Apa kata orang nanti"
Aku tidak tahu siapa yang berdusta; yang jelas bukan aku. Kalau semua orang tak menginginkannya, lantas siapa yang harus merawatnya" Sempat kubopong dia ke tepi kali. Ber menit-menit aku berdiri di sana, namun aku tidak tega. Ini semua juga bukan dosanya.
Aku nekat membawanya menggelandang; kubawa dia berjalan. Di terik matahari, meraung lemah ia dalam pelukanku; basah wajahnya oleh air mataku. Aku tak mampu memberinya susu. Hingga kami tiba di pinggir kota, di sebuah masjid kecil yang tidak kukenal. Di sana ada Ustad Adil yang mengantar kami ke Balai Kesehatan.
Bidan di tempat itu Ibu Bidan Nalik berkata, sedikit lagi ter lambat mungkin anak ini bisa mati.
Aku tak mampu berkata apa-apa; sesenggukan di bahu Ustad Adil.
Bu Nalik berkata: kamu harus percaya ini bukan kutukan. Aku percaya itu. Dari mula aku selalu percaya itu. Masjid kecil itu jadi rumah kami. Kami tempati sebuah ruang sempit yang tadinya gudang. Aku belajar sekaligus menjadi ibu baginya. Kumandikan, kusuapi, dan kukeloni dia hingga tidur. Kuganti, kucuci popoknya; kain popok bekas, pemberian orang sekitar sini. Banyak yang menawari tumpangan; beberapa wanita ingin membantu merawat; semua kutolak. Aku tak ingin berutang lebih dari ini. Tiap malam banjir pelupukku meli hat nya berbaring di sampingku. Aku tidak tahu aib siapa; yang jelas bukan aibnya. Biar saja aku yang tanggung semua. Dan kuberi dia nama: Bagus. Biar saja kalaupun tak ada yang meng ang gapnya bagus; biar aku saja.
Terpaksa kubesarkan dia dengan menjadi setengah pe nge mis. Memang tiap hari aku membantu pengurus masjid mem bersihkan dan menjaga bangunan ini; Ustad Adil dan istrinya juga mem buat kan gerobak dagang di dekat sini untuk kami. Tetapi peng hasil anku tidak pernah seberapa. Makanan kami dan susu Bagus lebih banyak hasil urunan warga yang rutin dikirimkan tiap hari. Tentu saja di bibir aku selalu berterima kasih, tetapi jiwa ku se sung guhnya berontak. Kian hari aku merasa diriku dan anakku bagai setengah manusia.
Bulan-bulan awal kami di sana, Bagus selalu jadi tontonan. Darahku mendidih. Andai boleh kuusir semua orang itu. Kami se perti binatang; diberi makan tiga kali dipelihara. Ingin aku ber teriak: Bagus manusia seutuhnya! namun tak mungkin. Saat ini hidup kami di tangan mereka. Aku kini hanya setengah laki-laki. Hatiku sakit. Tetapi aku tahu, tidak ada yang dapat kulakukan selain menunggu.
Pada waktunya, mereka menjadi terbiasa. Bagus tumbuh men jadi anak yang paling masyhur di sini; semua mengenalnya, temannya banyak sekali. Tetapi belakangan aku baru tahu, tidak ada anak sebayanya yang memanggil dia Bagus di belakang pung gungku. Dadaku terbakar. Hampir tak dapat menahan diri; sung guh aku tidak ingin berada di sini lebih lama. Entah mau ke mana, tidak apa jika harus pergi lagi. Tetapi kemudian aku sadar, seka rang situasi berbeda. Apakah aku ingin membuat Bagus meng ulang semua dari awal" Kembali hidup sebagai tontonan orang asing, di tempat yang asing" Di sini ia sudah jadi manusia. Di sini ia jadi bocah seutuhnya.
Dan Bagus sendiri sepertinya tidak terganggu; mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Aku pernah berharap, semoga ia tidak tumbuh besar, hingga tidak perlu tahu kenapa kawan-kawannya memanggil dia begitu. Tetapi tentu saja tidak ada yang mungkin membalikkan waktu.
Namun saat ia lebih besar, di luar dugaanku, ternyata Bagus tetap bergeming. Ia tahu aku tak terima mendengar julukan untuknya.
Dengan senyum lucunya ia hanya berkata, Mereka cuma guyon, Pak& .
Ingin kusergah tetapi selalu kuurungkan. Sekejam apa pun ke dengarannya, anak-anak itu nyatanya mau menerima dia. Mung kin Bagus juga menyadari. Mungkin karena itu ia tidak per nah mempertanyakan kenapa dirinya berbeda. Aku tidak pernah melihat dia terasing. Sering aku membatin: benarkah" Atau itu hanya ia lakukan di depanku" Hampir tiap malam aku terjaga, cemas menatapnya terlelap di sebelahku. Mudah-mudah an hanya aku yang perlu merasa. Jangan dia. Biar kuambil se mua darinya.
Seminggu sekali kupangkas bulu-bulu di wajahnya. Dan seperti rambut lainnya, rambut itu juga selalu tumbuh kembali. Kata Bidan Nalik, akan terus seperti itu. Tidak ada obatnya. Kala itu aku baru sadar: Agaknya memang cuma aku yang belum me nerima Bagus apa adanya.
Ke mana aku pergi, diriku selalu jadi pusat perhatian para pe muda. Banyak di antara mereka sering mampir, berusaha me - rebut hatiku. Tetapi, aku tak mengerti sebabnya, cintaku hanya tertambat pada Abang; walau ia masih jadi kekasih Mbak Norma.
Berbulan-bulan aku bergelut dengan pikiran sendiri. Apalagi mulai terdengar ada rencana pertunangan, dan tidak lama setelah itu tentunya pernikahan. Kuputuskan harus berbuat sesuatu, walau mungkin berarti pengorbanan. Aku bukan orang yang segan berkorban. Aku tidak pernah menolak untuk berkor ban.
Dan akhirnya peluang itu kudapat. Suatu sore, keluargaku pergi ke pesta pernikahan seorang kerabat dekat. Kukatakan pada mereka aku tak enak badan. Lalu setelah mereka semua be rangkat, kusuruh babuku naik becak ke rumah Abang, mengantar surat.
Satu jam kemudian, kamarku diketuk. Ya" Siapa" tanyaku dengan suara lemah. Ini aku..., katanya dari balik daun pintu. Oh... kamu, Bang....
Ada apa" Badanku lemas, Bang... Aku butuh pertolongan... Di sini tak ada orang..., jawabku.
Oh"... Tapi..." Ia terdengar ragu. Cepat kemari, Bang... Aku takut.... Setelah beberapa lama, akhirnya ia masuk. Dan malam itu terjadilah semuanya.
Sudah hampir dua dasawarsa berlalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di kampung ini. Akhirnya berhasil kulunasi modal gerobak yang dulu diberikan Ustad Adil. Ia sempat berkeras tidak mau terima uangku, tetapi setelah kujelaskan bahwa sebenarnya selama ini aku merasa hidup seperti peminta-minta, beliau mengerti. Sebagai jalan tengah, uang itu akhirnya beliau ambil untuk digunakan memugar masjid tempatku berteduh selama ini. Lepas satu bebanku.
Aku juga telah menghentikan sumbangan makanan dari warga. Kukatakan terus terang: jika ingin membantu Bagus atau aku, beli saja daganganku. Lama-kelamaan mereka paham. Dan be ban kedua terlepas. Selain itu, rasanya memang tidak ada lagi yang mampu kutebus.
Aku dan Bagus tidak tinggal di masjid lagi. Sedikit demi sedikit ku kumpulkan material untuk membangun rumah sendiri. Rumah sederhana berdinding bambu, atapnya genteng bekas masjid jadi masih terhitung sebagian dari kantongku juga. Tetapi, rumah itu didirikan di sebuah lahan kosong di pinggir hutan yang diberikan oleh Pak Lurah; dibangun dengan banyak sekali bantuan dari para tetangga. Sungguh tidak kuasa kutolak. Se berapa pun aku berusaha, mereka tetap datang; hingga rumah itu selesai.
Di sisi lain, aku tidak tahu bagaimana caranya bersyukur. Kalau ini yang namanya kebaikan, kenapa masih saja terasa gundah" Harga diri" Tetapi aku memang sudah tak punya harkat sejak terdampar di sini. Lelaki macam apa yang tidak pernah bisa mem bela saat anaknya dipanggil dengan sebutan tak pantas" Tetapi apa yang harus kulakukan" Kubawa Bagus ke sini demi sebuah ke hor matan, namun apa yang kami dapat" Mungkin karena itu se mua, wajahku cepat menua. Rambutku memutih, dahiku pe nuh kerut, walau usiaku belum empat puluh. Berapa lama lagi kamu mau hidup sendiri" Bagus perlu seorang ibu.
Setiap orang berkata begitu, pikiranku ramai berbantah: benar kah" Atau sekedar basa-basi di depanku" Sungguh ada kah di antara mereka yang mau saudari atau putrinya kupinang" Orang yang selama ini hidup dari rasa iba" Adakah yang rela men jadi ibu untuk Bagus, anak yang dicampakkan ibu kan dung - nya sendiri" Aku tak pernah mau mencari jawabnya. Tiap malam kupikirkan hingga larut, tetapi hanya sebatas itu saja. Kupandang Bagus yang terpejam di dekatku, dan kusimpulkan aku tidak butuh jawaban itu. Jika ini yang namanya takdir, biarlah aku menerimanya. Namun meski kuputuskan begitu, tetap saja kupusingkan lagi malam sesudahnya. Karena itu mestinya kulupa kan saja soal kebanggaan. Aku tak pantas.
Satu-satunya kebanggaan yang patut kudapat hanyalah Bagus. Ia tumbuh menjadi remaja baik. Sebenarnya ia lebih pandai dari aku, andai aku bisa menyekolahkan lebih tinggi. Setelah Sekolah Rakyat, aku sudah tidak mungkin membiayai kemewahan yang dinamakan pendidikan. Mungkin itu bisa berguna bagi masa depan, cuma aku tidak mau Bagus terus menumpuk utang budi pada siapa pun. Aku tidak mau dia menjadi seperti diriku. Le bih baik ia bantu aku berdagang. Bagus menurut saja. Tidak kecewa. Rupanya ia mengerti.
Tiap hari ia bercukur malam hari sebelum tidur, di temaram lampu teplok. Itu yang bisa membuatnya tampak tidak terlalu ber beda dengan teman-temannya. Rambut-rambut di daun telinga dan punggung memang sulit dihilangkan, tetapi setidaknya wa jah nya bersih. Wajah seorang pemuda seutuhnya.
Anggap saja seperti mengurus jenggot, Pak! katanya sambil ter senyum riang.
Aku tertawa. Cambang saja aku tak punya.
Sesekali masih kudengar panggilan laknat itu dari kawanka wan nya, tetapi rupanya aku juga mulai terbiasa. Kujadikan Bagus se bagai jangkarku. Selama ia mau menerima, begitu pula aku. Membesarkan dirinya, kucoba belajar mencicip rasa bahagia. Pada akhirnya, mungkin doaku selama ini telah dide ngar. Rasanya kini aku bisa menerima Bagus sebagaimana adanya.
Hingga di suatu sore, kutemukan wajahnya suram. Aku terkejut. Selama ini tidak pernah kulihat ia begitu. Sepanjang hayatnya, aku tidak pernah mampu memberi apa pun, tetapi ia tidak pernah gundah. Namun ketika itu, kulihat semua emosi tadi di matanya.
Tidak ada apa-apa, Pak& , begitu saja jawabnya. Tetapi aku tahu itu tidak benar. Baru kali itu kutemukan dia me nipuku.
Saya ndak bohong, Pak& . Masih saja ia tak mau jujur. Malam itu ia tidak tidur, termenung-menung di depan rumah. Ku sembunyikan air mataku. Akhirnya harus kuakui: aku takut. Bertahun-tahun aku dalam ketakutan. Tidak berani melawan. Aku yakin, kini sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang kuharap selalu dapat kuambil darinya, yang tidak perlu dirasakannya. Malam itu aku tahu, mungkin aku tidak mampu melindungi lagi. Barang kali selama ini aku cuma mengibuli diri sendiri. Mungkin me mang sebenarnya aku tak pernah bisa melindunginya sama sekali. Selama ini, semua hanya ilusi. Malam itu satu-satunya kebang gaan ku seperti sudah diambil kembali.
Pagi hari saat Bagus berangkat mengasong, ia berusaha tersenyum padaku, tetapi aku dapat melihat sebuah sisa tangis di wajahnya.
Aku kenal betul apa itu kesedihan; tak tersembunyikan dariku.
Entah apa itu, andai bisa, akan kurampas kubunuh yang telah menyakiti dia. Sekarang aku belum tahu; namun jika nanti kute mukan, pasti kutamatkan. Biar saja kutanggung semuanya sendiri. Sekali untuk seterusnya. Kali ini mungkin aku jadi berani. Bagus sudah dewasa; tidak perlu mengalah lagi. Setelah sekian lama, kita berdua dia dan aku akan kembali jadi lelaki sejati. Utang kami di sini mungkin tidak pernah impas, namun tidak bakal kubiarkan anakku hidup dalam lingkaran-keji ini. Kapan pun kita mau, kita pergi ke mana kaki kuat membawa, dan di sana kita mulai hidup baru. Lepas dari belas kasihan. Lihat saja. Akhirnya kita akan lari dari sini. Bagus seorang manusia bebas.
Kucoba menemui Bu Fatimah dan Bu Quraini, orangtua teman-teman dekat Bagus. Mungkin mereka tahu masalahnya. Siapa tahu dia bertengkar dengan kawan.
Mereka mengusulkan memanggil Bagus untuk diajak bicara bersama, tetapi kutolak. Aku tidak mau Bagus tahu aku ber tanya-tanya begini. Akhirnya aku pulang dengan perasaan tak puas. Bingung harus ke mana lagi mencari jawaban yang kuinginkan.
Kulihat Ustad Adil menunggu di depan gerobak dagang yang belum kubuka sejak tadi.
Ada yang perlu kubicarakan denganmu, katanya. Beliau mengajakku duduk di emperan masjid; tempat yang sama saat pertama kali ia menemukan aku dan Bagus bertahun lalu. Wajahnya tampak risau. Mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang sedang dihadapi Bagus" Syukurlah jika dapat kuketahui persoalannya saat ini juga.
Entah bagaimana cara menjelaskannya, kata Ustad Adil pelan. Kuharap kamu bisa paham. Ini tidak ada hubungannya dengan keadaan dirimu, atau Bagus. Kamu tak perlu merasa dipandang ren dah. Ini murni demi kebaikan semua orang, termasuk putra mu.
Aku belum mampu menebak arah yang dituju pria tua yang kuhormati itu. Pria yang telah menjadi penolongku; penolong Bagus.
Bagus anak yang baik dan saleh. Sudah kuanggap seperti cucu& Kamu juga kuanggap anak sendiri& Aku tidak pernah me nilai kondisi Bagus sebagai kekurangan; bahkan terbukti itu ada lah sebuah kelebihan& Kita semua bersyukur, Bagus& dan kamu, tinggal di tengah-tengah kami& . Ustad Adil menghela na pas, tampak berat sekali mengutarakan apa yang ingin ia sam pai kan.
Tapi seperti yang dulu pernah dikatakan Bidan Nalik& keada an Bagus merupakan penyakit turunan& .
Entah kenapa, kini rasanya aku mulai bisa menduga ujung percakapan ini.
Belakangan Bagus akrab dengan Nissa& cucuku& Jangan ma rah, dan jangan salah sangka& Aku sangat bahagia bila suatu hari punya cucu-menantu sebaik dia, tapi& tapi ini semua demi Nissa& dan Bagus juga& Kamu tentu bisa mengerti& Ka rena itu aku hanya minta& anakmu jangan terlalu dekat dulu de ngan cucu ku& kasihan mereka nanti& .
Aku terbelalak, tak percaya apa yang baru saja kudengar. Di telingaku tiba-tiba terngiang suara teman-teman Bagus saat me manggilnya: & Nyet& Nyet& Nyet& .
Melahirkan putraku bukan perkara gampang. Panggulku tak cukup lebar, kerepotan dia mencari jalan keluar. Dokter terpaksa menggunakan alat vakum. Syukurlah anakku selamat. Nyeri luar biasa; seperti nyaris hilang nyawaku. Namun tak ada yang kurang pada dirinya, bahkan nantinya dia termasuk anak pandai di sekolah.
Sesudah enam bulan, aku dan Abang mulai membawanya ber jalan-jalan. Pertama kali kami bawa bertamasya ke Cibodas. Abang menyetir Kombi. Jendela kami buka lebar-lebar. Udara be lum sepanas dan sekotor sekarang. Sampai di sana, kami gelar tikar bambu besar, kami buka bekal; makan dan bercanda se puasnya. Dapat kurasakan, Abang makin sayang padaku. Ia tam pak bahagia.
Satu jam sebelum kejadian itu, aku mematut diri di cermin seusai mandi dan berpakaian. Aku sangat bersemangat. Hari ini ada pekerjaan besar yang harus digarap. Dan setelah pekerjaan ini aku akan segera menikahi kekasihku di kampung halaman.
Pekerjaanku berpindah-pindah. Selesai menggarap suatu pro yek, aku harus pindah ke kota lain untuk mengerjakan proyek berikutnya. Beberapa tahun belakangan rezeki mengalir lan car. Proyek demi proyek sukses kuselesaikan tanpa banyak ma salah. Meski banyak penganggur, beruntung aku sendiri tidak mengalami kesulitan. Pekerjaanku mampu membelikan apa yang kubutuhkan, dan lebihnya selalu kusimpan untuk hari depan setelah berkeluarga nanti.
Dalam bekerja, aku punya banyak teman yang bisa di andalkan. Teman yang mahir dalam tugas. Yang sudah ku kenal betul adat-kelakuannya, mau bahu-membahu berbagi keringat, dan setia kawan. Aku sangat bersyukur punya temanteman semacam itu. Mereka siap menolong kapan pun dibutuh kan. Tidak gampang mencari teman yang baik, tetapi aku sudah memilikinya. Karena itu sekarang aku tak pernah merasa kekurangan lagi. Dulu hidup ku pernah susah, namun peruntungan sudah berubah. Aku kini punya semuanya.
Pekerjaanku memang tidak ringan. Tetapi bukankah memang tidak ada pekerjaan yang mudah" Lagipula ini toh bukan untuk se terusnya. Setelah kerja hari ini selesai, aku bisa saja memilih un tuk menetap di kampung setelah menikah, dan hidup dari hasil kebun, ternak, dan empang yang sudah kupersiapkan sedikit demi sedikit sejak lama. Aku tersenyum. Satu proyek, dan aku akan berjumpa dengan kekasih manisku. Terbayang wajah ba hagia gadis itu saat menerima cincin emas dua puluh empat karat yang akan kubelikan nanti.
Selesai merapikan rambut, kuambil tas ransel berisi per lengkapan yang tergeletak di meja. Kulihat sekeliling ruangan, memas tikan tidak ada barang yang tertinggal. Ini hari terakhir aku di hotel ini. Malam nanti aku sudah akan berada di kampung. Ku ten teng tas ransel lalu berjalan keluar kamar sambil bersiul riang.
Satu jam sebelum kejadian itu, kubanting dompetku ke tanah dengan kesal. Dompet itu kosong. Aku sangat letih. Berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini"
Sudah beberapa hari aku terpaksa hidup menggelandang sejak tidak mampu lagi bayar kontrakan. Tadinya kucoba mencari pekerjaan di pabrik. Namun tidak ada lowongan. Sudah sekian bulan aku mengais pekerjaan sejak dikeluarkan dari tempat kerja yang terakhir. Aku tahu hari-hari ini sangat tidak mudah men dapat kerja. Tahu seharusnya bertahan dengan segala cara supaya tetap bisa bekerja. Tetapi aku memang bukan lelaki yang mudah mengontrol emosi. Cukup lama aku menahan diri menghadapi makian dan sindiran dari Atasanku. Sampai akhirnya suatu hari aku tidak tahan lagi. Tidak ada pilihan selain meng hajar Atasanku itu hingga babak-belur.
Hari ini tampaknya pilihan sudah semakin habis. Aku masih be lum juga mendapat kerja dan uang simpanan sudah ludes. Sepertinya sudah tidak ada yang bisa menolong lagi. Tidak juga Tuhan. Aku memang sudah lama tidak sembahyang, sejak aku merasa Tuhan tidak pernah benar-benar menolong sepanjang ingat an hayatku. Aku sudah lama hidup tanpa harapan hadirnya se buah pertolongan. Aku sudah lama meyakini, hidup ini ternyata adalah tanggunganku sendiri, yang harus ditanggung sen dirian. Dan hari ini tidak berbeda.
Kuambil tas besarku yang kumal dan membuka retsletingnya. Kurogoh ke bawah tumpukan pakaian dan menemukan benda yang kusembunyikan di situ. Sudah lama aku memiliki benda ini, tetapi tidak seorang pun tahu. Tiap kali terpaksa membawa ben da itu di tas, hatiku was-was. Apalagi di jalanan seperti ini.
Tetapi aku tak mungkin meninggalkan atau menitipkan benda ini. Risikonya terlalu besar. Aku sudah tidak punya siapa pun yang bisa dipercaya. Hari ini tidak ada pilihan lagi. Benda itulah ha rapan terakhir untuk menyambung hidup, paling tidak untuk beberapa bulan ke depan, sambil terus berupaya mencari penghidupan. Tanpa uluran tangan orang lain. Atau makhluk lain. Atau Tuhan.
Jam delapan pagi, dengan tas besarku tersampir di bahu, aku berjalan menyusur trotoar di tepi jalan yang ramai kendaraan. Aku sudah biasa berjalan kaki begini, menghirup harum asap knalpot sambil sedikit mandi keringat. Waktu masih kerja dulu juga setiap hari seperti ini. Gajiku tidak cukup untuk ba yar ongkos angkutan pulang-pergi. Lebih baik buat bayar pe mondokan, beli makan-minum dan rokok.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya aku sampai di tujuan. Daerah ini pernah kulalui sewaktu iseng berkeliling kota di akhir pekan entah berapa lama berselang. Aku memang jarang sekali bepergian, selain ke tempat kerja. Tidak punya teman dan tidak punya uang lebih untuk dibelanjakan. Di waktu luang kupilih ber diam saja di kamar. Tidur sebanyak-banyaknya dan beraktivitas seminimal mungkin, supaya tidak perlu makan banyak di luar hari kerja. Memang membosankan. Sangat-sangat kesepian. Ka dang berjam-jam hanya duduk tercenung sendirian di kamar. Tetapi aku sudah terbiasa hidup begitu. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi atau didambakan. Aku sudah menerima nasib seperti ini.
Aku berhenti sejenak, ragu memilih arah yang dituju, ragu juga untuk melakukan hal yang akan kulakukan. Perut mulai ke ron congan, tetapi aku tidak akan bisa makan sebelum menun taskan hal ini. Aku tidak mau sampai harus mengemis. Pantang me nadahkan tangan tanpa berusaha, aku sudah tak punya apa-apa selain harga diri. Apakah itu akan kubuang juga dengan men jadi seorang peminta-minta" Karena itu tampaknya memang tidak ada cara lain, setidaknya untuk sementara ini. Walau aku sadar, melakukan hal ini berarti membuang sesuatu yang jauh lebih mahal dari sepotong harga diri.
Aku segan untuk bertanya pada orang, khawatir nanti malah dicurigai karena penampilanku yang lusuh mandi debu berharihari. Karena itu walau masih dicekik keraguan akhirnya kuputus kan untuk terus berjalan. Yang kucari pasti ada tak jauh dari sini.
Jam delapan lima belas, aku turun dari taksi yang mengantarku ke tempat tujuan. Karena harus tinggal berpindah-pindah, tidak ekonomis bagiku untuk membeli motor atau mobil, walau sebenarnya aku mampu. Di kampung aku sudah punya dua motor. Satu kutitipkan pada keluarga, dan satu lagi yang kubelikan buat calon mertua.
Kututup pintu taksi lalu memanggul tas ransel di punggung dan mulai berjalan ke arah tempat yang kutuju. Sambil berjalan kulirik jam tangan. Aku tiba tepat waktu dan segera sampai ke tujuan karena sudah hafal benar daerah ini setelah berulang kali me ngunjunginya. Aku tidak akan terlambat untuk bekerja nanti. Bidang pekerjaanku memang membutuhkan disiplin waktu tinggi.
Aku mempercepat langkah. Aku tidak bisa terlalu lama berada di tempat ini. Setelah urusan beres, temanku akan se gera da tang men jemput.
Daripada memikirkan pekerjaan, saat ini aku lebih senang meng alihkan pikiran pada rencana pernikahanku. Mulai kubayang kan cincin emas seperti apa yang akan kubeli. Aku sudah paham ukuran yang harus dipilih, tetapi soal bentuk dan desain sebenarnya tidak terlalu punya gambaran. Memang lebih afdol kalau kekasihku yang memilih sendiri, tapi itu artinya tidak akan jadi kejutan. Karena itu kuputuskan untuk membeli saja yang me nurutku paling bagus. Jika kekasihku merasa kurang pas, kapan pun cincin itu masih bisa ditukarkan lagi. Lagipula cincin ini hanya sebagai buah tangan. Setelahnya masih ada cincin per nikahan yang juga akan kubelikan. Itu saja yang nanti dipilih ber sama. Aku juga mulai membayangkan, pesta seperti apa yang akan diselenggarakan nanti.
Aku memperlambat langkah. Mataku menatap ke arah deretan bangunan di depan, dan tak lama kemudian kutemukan tempat yang sedari tadi kucari. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, masih meragu. Pikiranku tertuju pada benda di dalam tasku. Benda itu peninggalan almarhum ayahku. Satu-satunya yang masih bisa ku ba yangkan seperti sosok penolong bagiku. Penjaga perjalanan hi dupku selama mengadu nasib sebatang kara. Dan hari ini, memang benda itulah satu-satunya yang bisa menolong. Kutarik na pas dalam-dalam. Berpikir akankah aku menyesal melakukan hal ini.
Aku berjalan mendekati tempat yang menjadi tujuanku. Sebelum ini aku sudah mengunjungi beberapa tempat, menanyakan harga, melihat-lihat. Dan tempat inilah yang paling pas di hati. Koleksi nya cukup lengkap dan modelnya juga banyak yang bagus. Andai saja bisa kuajak kekasihku kemari. Tetapi apa boleh buat, bukan begitu rencananya.
Jam delapan tiga puluh, kompleks pertokoan masih tampak sepi. Belum banyak kendaraan diparkir, dan baru sedikit pengunjung yang lalu-lalang. Beberapa toko baru membuka dagangan, termasuk sebuah toko perhiasan besar yang jadi primadona di ka wasan ini. Di toko ini, selain aku, hanya ada dua orang tamu yang sedang dilayani para pegawai. Seorang tamu lelaki dan seorang wanita setengah baya. Biasanya sekitar setengah jam lagi pe langgan baru akan bertambah ramai. Semua kelihatan akan ber jalan seperti biasa bagi pegawai toko di hadapanku. Sampai kukeluarkan sepucuk pistol dan kuacungkan ke wajahnya.
Jangan ada yang berteriak, kataku sambil menodongkan pistol, dan meletakkan tas di atas meja etalase.


Premortem Karya J.angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mundur dua langkah dan kulempar pandangan pada semua orang yang ada di situ. Moncong pistolku bergerak selaras d e ngan arah pandanganku. Dua orang tamu di sebelahku dan semua karyawan toko di seberang meja mematung sambil meman dang ketakutan. Jantungku berdegup sangat kencang terbakar adrenalin, tetapi tetap kupasang tampang garang untuk me nakuti para korbanku.
Kosongkan laci etalase dan masukkan semua isinya ke dalam tas saya. Jangan ada yang berani melawan..., perintahku lagi sam bil terus mengawasi orang-orang di sekitarku satu-persatu.
Dengan gemetar para pegawai toko mulai mengeluarkan isi etalase dan menuangkan perhiasan yang ada disitu ke dalam tas yang kusediakan. Saat itu kulihat tamu yang berdiri di sebelah kiri juga sedang memegang sepotong cincin emas. Cincin itu tampak tebal, mungkin saja dua puluh empat karat. Pasti mahal harganya. Spontan aku berkata, Masukkan juga cincin itu!
Kata-kata itu keluar begitu saja. Tidak kupikirkan dalam situasi seperti ini. Tetapi ternyata itu kesalahan yang sangat fatal.
Beberapa jam setelahnya, aku sudah berada dalam tahanan. Polisi menahanku untuk keperluan pemeriksaan terkait insiden di toko perhiasan.
Dalam sel aku sebenarnya tidak dibolehkan membawa barang apa pun. Tetapi setelah dilakukan cek silang dengan pihak toko, polisi akhirnya mengizinkan aku tetap menggenggam cincin emasku. Cincin peninggalan Bapak.
Satu hari setelahnya, peristiwa di toko perhiasan itu sudah dimuat dalam liputan kriminalitas surat kabar pagi. Judul beritanya: GAGAL RAMPOK TOKO EMAS, TEWAS. Seorang residivis ang gota komplotan perampok spesialis toko emas, mati ter bunuh sewaktu melakukan aksinya di sebuah toko perhiasan kemarin pagi. Perampok bersenjata api itu tewas setelah seorang pem beli yang kebetulan sedang berada di dalam toko berbalik me nyerangnya saat si perampok mencoba mengambil cincin milik lelaki tersebut....
Makan bersama diselenggarakan di rumah baru Mas Darwin. Rumahnya bagus, dua tingkat, berhalaman luas. Ruang makannya lapang, cukup menampung kita sekeluarga. Nissa dan Dama bahkan bisa berkejar-kejaran di situ. Sebelum acara mulai kami diajak berkeliling melihat-lihat. Terus terang aku kagum, apa jika sudah bekerja nanti aku bisa punya yang seba gus ini" Di sisi lain aku bangga Mas-ku punya karier bagus, da pat rumah ba gus-walau cuma rumah dinas. Papa-Mama wa jahnya bangga, se akan rumah itu milik mereka juga.
Malam itu, Mas Darwin jadi bintang. Mbak Norma sempat me ngomentari beberapa kekurangan rumah itu, kurang inilah, kurang itulah... Aku tahu dia iri, karena karier Mas Jono masih begitu-begitu saja, mereka masih tinggal di rumah kontrakan. Tapi buat apa sih sikap seperti itu" Mbak Sinta sebagai nyonya rumah jelas terganggu; kulihat ia menahan kesal. Sebaliknya Mas Darwin kenal betul sifat adiknya, tertawa-tawa saja, menjawab komen Mbak Norma dengan santai.
Sebelum acara makan dimulai, Dama sudah kena marah Mama karena memecahkan gelas. Anak itu memang selalu ceroboh, dan seperti biasa: cengeng. Dulu aku juga sering dimarahi, tapi toh tidak segampang itu menangis. Nissa yang lebih muda saja tidak seperti itu. Dama terlalu sensitif. Ujung-ujungnya dia ngambek tidak mau makan, akibatnya malah tambah diomeli. Suasana jadi jengah. Dama duduk sendiri di teras sementara kami bersantap. Mbak Sinta sempat berinisiatif mengambilkan ma kanan, tapi langsung dicegah Mama.
Makin dituruti makin bertingkah dia nanti, kata Mama. Kita semua sudah tahu lebih baik tidak membantah Mama, dan jadilah Dama tidak ikut makan.
Selesai jamuan, waktu lonceng tengah malam, Dama masih tidak mau masuk menyalami Papa-Mama. Mbak Sinta, Mas Jono sempat membujuk, tetapi dia tetap menolak. Aku sendiri, dan kurasa juga Mbak Norma, sudah tahu, percuma membujuk Dama. Mbak Norma lebih memilih menilik Prissy kecil yang dititip kan tidur di kamar Mas Darwin selama kami makan. Biarpun Dama mau dibujuk, Mama belum melunak. Mama masih akan mengomel. Karena itu Dama segan. Kami semua tahu, bila dimarahi, lebih baik turuti saja kemauan Mama sampai emosinya reda. Tetapi Dama beda. Dia keras kepala, tidak pernah mau mengalah. Karena Dama tidak masuk juga, Mama makin ke sal. Akhirnya, sebagai hukuman Dama ditinggal di sana. Saat berpamit an, aku sempat lihat Dama berlinang air mata lagi.
Sudah jangan nangis, aku sempat berbisik waktu melewati tem patnya duduk.
Aku dan Nissa melambai kepadanya saat mobil Papa membawa kami pergi. Tapi Mama dan Papa sedikit pun tidak mau memalingkan wajah. Sudah begini, besok Mas Darwin yang meng antar pulang, lalu berhari-hari, bisa berminggu-minggu perang dingin dengan Mama. Papa orangnya juga keras, tapi bila hukuman sudah dilaksanakan, ia kembali bersikap normal. Mama tidak.
Aku mengendap, mengerling ke meja samping, mengerut kening. Sama sekali tidak nampak raut sedih atau gusar pada lelaki yang sedang kuamati itu. Orang itu memunguti dan memuat barang-barang ke dalam kardus dengan tenang. Bukankah seharusnya setidaknya ada sekerat saja rasa bersalah" Atau jengah" Sepucuk amuk tiba-tiba termaktub.
Dasar makhluk minus akhlak! Nurani dan hati telah mati! Namun orang yang kucermati rupanya tak tahu dirinya diumpat. Pria itu malah mengangkat muka membalas pandangan ku, lalu tersenyum lebar-lebar dan berkata, Selamat tinggal, sa habat, sam bil mendekat menjulurkan tangan menghatur salam.
Aku tersengat; seketika menyambut telapak yang tak sesuai syak terasa hangat; impulsif membebek menguntai seringai. Dan& good luck, mengalun begitu saja dari lekuk pita suara. Saat berikut aku tersaput benci.
Tak berotak! Bila tubuh ini dimutilasi, yang akan muncul mung kin bukan merah-putih, tetapi kawat dan besi!
Lelaki di hadapanku melepas genggaman lalu mundur be berapa langkah; menghela napas dan berpaling, menggamit tas di tangan kanan, membopong kotak yang tadi dikemas dengan tangan kiri; kemudian beranjak meninggalkan ruangan. Untuk sekian lama, dari luar masih terdengar orang itu ber pa mit an dengan beberapa rekan, hingga detak-detak bunyi sepatu kian hilang ke ujung koridor. Kali ini aku mendengus; lega; me ngempas di kursi ergonomik; bergidik.
Semoga saja! Selamat jalan untuk selamanya! Saat itu aku belum tahu: harapan itu tidak akan terwujud. *
Suatu waktu, empat tahun sejak kejadian itu, pintu kamar kosku diketuk. Terjaga dari tidur ayam tengah hari, kulihat sepucuk surat diselipkan di bawah daun pintu. Aku bergegas bangun dan me nyambarnya.
Ternyata sebuah surat panggilan wawancara kerja. Tentu saja. Aku tersenyum senang setengah tak menyana.
Empat hari kemudian aku telah berbusana pantas, di gedung kantor jalur protokol berlantai lima, berdiri menghadap perempuan berparas indah.
Pak Pimpinan menunggu anda, ujar si molek sambil ter senyum empuk.
Aku terperangah, menoleh kanan-kiri. Tidak seorang pun mengantri. Aku satu-satunya yang dipanggil ke sini"
Dipandu sekretaris manis, aku berjalan menuju sebuah lawang lebar berkayu tebal mengilat berlapis pernis. Ketika pintu dibuka, sebentuk wajah meringis menyambutku. Selamat datang!
Beberapa saat aku hanya terlongong menyaksikan siapa yang berdiri di dalam.
Kau tak mengenali" Ini aku!
Tak mungkin! Tampangnya memang serupa, tetapi apakah perjumpaan ini lebih mirip halusinasi"
Seperti bisa membaca pikiran, lelaki itu berkata, Ayolah! Aku kan belum berubah" Pria itu tergelak, lalu bergerak dari balik meja besarnya, mendesak ke ambang pintu; kedua lengan meng ga pai.
Aku mematung bagai setumpuk karung, membiarkan je mariku direnggut dan diguncang tabik penuh semangat. Betapa aku ber usaha untuk lupa; sadar tak dapat berdalil. Bagai mana".... Cuma ceracau itu yang meluncur.
Panjang ceritanya! Lengan lelaki itu melingkar memeluk pun dak ku seperti kawan lama. Ayo masuk!
Tiba-tiba saja aku merasa terjebak.
Patuh bagai siswa sekolah, aku dipersilakan mengarah sofa me wah di sisi jendela yang memajang pemandangan jalan raya; memampang kendaraan dan manusia lalu-lalang saling seng karut.
Aku lihat namamu di daftar pelamar, karena itu kuundang kau ke sini, kata lelaki itu sambil duduk menyebelahi, saat di de pan kami dua gelas kopi dihidangkan oleh seorang pemuda ber se ra gam rapi.
Sudah keluar dari tempat Pak Pimpinan atau sekadar cari pengalaman segar" Lelaki itu masih saja tersenyum.
Hmm.... Aku tahu, mau tak mau harus tersenyum pula. Sudah berhenti....
Kupikir kau betah di sana"
Aku hanya bisa mengangkat bahu. Pria itu tertawa. Sejak kapan" Lama... Cukup lama....
Jadi sekarang di mana" Aku... wiraswasta....
Ah, sudah jadi juragan juga rupanya! Kecil-kecilan& .
Usaha apa" Modal dengkul... Rumahan& . Sekali lagi aku bergerising. Lelaki di sampingku kembali terbahak. Kalau tak ada kejadian dulu... nasibku juga tidak akan seperti sekarang. Pria itu me ren tangkan kedua tangannya, seperti seorang pesulap setelah trik nya sukses tereksekusi.
Dapat kurasa bulu kudukku meremang-rinding; matimatian aku menahan diri. Orang ini ternyata tetap tak berbeda! Jemawa!
Memang jalan Tuhan sering tak terduga. Kalau bukan karena kesalahanku, tak akan kutemukan kebenaranNya....
Aku berusaha keras agar tak terbeliak. Tuhan" Sekarang kenal Tuhan"
Kalau begitu... kau mungkin tidak akan tertarik tawaranku ya" Mari, silahkan.... Tanpa sungkan pria itu mengambilkan cang kir dari meja.
Dengan canggung kuterima dan kuteguk sedikit. Kulihat lelaki di sebelahku tidak ikut minum.
Tadinya aku ingin kau bergabung di sini& Membantuku, lan jut pria itu. Perusahaan ini makin besar. Butuh profesional de ngan ka pasitas sepertimu.
Segera kuselesaikan menyeruput dan kuletakkan kembali ge las ku. Bukankah banyak yang lebih mampu daripadaku"
Kau tidak berubah! Selalu merendah! Sekali lagi lelaki itu ter tawa. Aku sudah jumpa banyak. Hingga sekarang... belum per nah kutemukan yang melebihimu!
Aku mengangkat alis. Pujian terbaik dari seorang penipu yang baik"
Begini saja... Biar kuajukan penawaranku, lalu bisa kau tentu kan sendiri. Pria itu menyebut sebuah posisi. Dan sederet re mu nerasi.
Hampir aku tak percaya apa yang kudengar. Kupandangi wajah lelaki itu tanpa berkedip. Tak tahukah dia siapa aku" Silakan pertimbangkan.
Aku terangguk-angguk; semestinya keputusan sangat mudah jika saja yang kuhadapi bukan pria ini. Tapi itu bukan bidangku"
Aku yakin kau tak akan kesulitan. Aku tak tahu harus berkata apa.
Ngomong-ngomong, sudah berkeluarga" Pria itu bertanya lagi. Sedikit terkejut; ragu; tak ingin menjawab. Perlahan aku meng geleng.
Jangan kuatir, relasi dan pegawaiku banyak yang cantik. Nanti kuke nalkan! Lelaki itu menyikut perutku, sambil tergelak keempat kali. Mari kuajak berkeliling! Aku yakin kau bakal kerasan di sini!
Pria itu kembali merangkulku. Bagai sobat lama.
Satu jam terlewati. Aku duduk tak jauh dari kaki gedung tadi, ber upaya keras menjelujur perasaan yang terkoyak; moral yang morat-marit. Rahangku gemeretak.
Memang betul! Jalan Yang Esa tak terkira! Siapa sangka" Di sini, pada halte di tepi keramaian, peristiwa empat tahun silam bermuara"
Namun mungkin dunia memang adil" Mungkin lelaki itu telah insaf" Karena itu diampuni; dan diberi rezeki; lalu diubah jadi pe nolong. Kemudian, mungkin, aku harus bersyukur. Mung kin.
Aku ingin mengangguk; tidak bisa. Aku tidak mampu berbohong.
Suara siapa yang baru saja melintas" Tak pernah ingin mengata kan kalimat-kalimat itu; tak sungguh-sungguh percaya hal itu. Namun kenapa semua terulas"
Bukankah yang salah harusnya dijarah" Katanya pendosa ber tempat di api neraka" Jika segala penjahat boleh bertobat, tentu saja maksiat tak pernah tamat riwayat! Karuan saja korupsi tak per nah pergi!
Aku tidak sudi. Tidak mau menyimpan dusta lagi. Kurogoh uang receh di saku celana; kupungut kartu nama yang terselip dalam kantong kemeja, dan bergegas menuju boks tele pon umum yang berdiri masam tidak jauh dari situ. Ya" Halo" Suara lelaki itu di ujung koneksi.
Ini aku.... Oh kau! Ada apa" Ada yang tertinggal" Bukan... Ada yang harus kukatakan padamu.... Apa"
Jantungku berderum. Ingat kejadian dulu" Saat kau diberhen tikan"
Sejenak hanya ada suara napas di pengeras suara yang menem pel telinga.
Sudah lama berlalu.... Akhirnya terdengar pelan. Tahukah kau" Kedua bolamataku terasa perih; seisi sesak debu gas buang kendaraan yang terhirup hidungku. Waktu itu... aku yang melaporkan perbuatanmu pada Pak Pimpinan.... Sekian detik senyap.
...Aku tahu... Aku telah lama tahu....
Sekujur tubuhku kelu. Jawaban itu tidak kuperkirakan. S-sejak kapan"... Siapa yang buka mulut"
Tak ada... Tak ada yang buka rahasia. Dari mula aku langsung pa ham. Siapa lagi yang mafhum sepak-terjangku... selain kau"....
Dadaku mendidih; ingin berteriak; tetapi kalimat yang terucap sangat jinak, Lantas kenapa kau tawarkan jabatan itu pada ku"... Kenapa kau panggil aku"
Rupanya bajingan ini hanya ingin mempermainkan! Pamer keja yaan dan kekayaan pada orang yang pernah menje ru muskan!
Jangan salah mengerti, lelaki itu menyahut. Aku sungguh ingin menjadikanmu manajer keuanganku, sama sekali tak ada mak sud lain....
Aku ingin menginterupsi; tak sanggup. Sekarang semuanya ma suk akal.
Kau orang paling jujur dan bersih yang pernah kukenal... Tidak ada yang sebaik dirimu....
Mendengar itu, sungguh aku ingin terkikik; mencibir yang kini terjadi; memperolok diri sendiri. Namun nanti apa kesan orang-orang"; gadis yang berdiri mengantri di belakangku sedari tadi seperti menguping; pengasong yang duduk terbengong di sam ping boks ini kini melirik. Perutku bergolak aneh saat aku berusaha menelan kegelisahan.
Jadi bagaimana" Suara pria itu terdengar kembali. No hard feelings... Kau bersedia, sahabat"
Dalam budi, segalanya jelas; tetapi entah sudah berapa lama badan selalu culas. Di jiwa, sepenuhnya jernih; tetapi entah sam pai kapan bibir kerap beralih. Mungkin aku memang bukan ma nusia: manusia punya kebebasan.
Aku tidak. Aku.... Aku bergelut dengan lidahku; keringat luruh. Aku.... Kali ini biarkan AKU yang berpikir! Kali ini biarkan AKU yang bi cara!
Makan bersama diadakan di hotel bintang lima. Mas Darwin yang traktir. Sekaligus syukuran naik jabatan katanya. Mas Darwin, Mbak Sinta, Arman dan Olive berbusana seragam. Me reka tampak manis sekali. Mbak Norma mengenakan gaun baru setidaknya aku belum pernah lihat sebelumnya. Lama tak jumpa, Prissy sudah besar. Tinggi badannya bahkan sudah me - nyamai Mas Jono. Anak-anak sekarang memang cepat de wasa, beda de ngan dulu. Prika juga sudah besar, sudah SD dia se karang, tam bah ceriwis saja rupanya.
Aku sendiri mengenakan gaun lama, dan tidak senada dengan kemeja Abang. Sejujurnya aku berpendapat, memakai baju yang seragam dengan pasangan itu sedikit norak. Seperti anak sekolah saja, he he he....
Tadi dari rumah, Nissa jalan duluan bersama pacar barunya, Charlie. Papa dan Mama kesal harus menunggu Dama bersiap. Seperti biasa, dia memang klemar-klemer, belum selesai mandi. Ak hirnya Abang mengajak Papa-Mama berangkat dengan mobilnya, karena kita tahu Papa paling tidak suka terlambat. Jadilah Dama tiba paling akhir di restoran saat semua sudah mulai ber santap; dicemberuti Mama dan Papa. Heran, anak itu memang tidak kenal kapok. Hampir selalu kena omel Mama tiap acara ber sama tahun-tahun kemarin juga begini tapi tetap lambat juga. Rambutnya acak-acakan dan bajunya sedikit kusut. Itu rambut disisir dulu dong, bisikku padanya.
Tidak bawa sisir, jawabnya.
Kupinjami sisirku dan setengah kupaksa dia merapikan diri di toilet. Masa di tempat sebagus ini dia tetap tampil berantakan" Dari tadi Papa dan Mama sudah melirik-lirik sebal ke arahnya. Walau masih berat hati, akhirnya dia menurut juga.
Topik favorit para wanita malam itu adalah rencana per nikah anku bulan Februari nanti. Bahkan Prika ikut menguping. Mbak Norma seperti biasa, cerewet memberikan tips ini-itu, bersaing dengan Mama. Padahal semua itu sudah pernah mereka kata kan entah berapa kali sebelumnya. Setelah bosan mengikuti pem bicaraan, para pria akhirnya mengobrol sendiri. Papa mem bicarakan rencana di kantor setelah ia pensiun nanti, Mas Darwin dan Mas Jono seperti berlomba membanggakan karier masing-ma sing, Abang juga ikut menceritakan toko orangtuanya. Orang tua Abang mempunyai, bukan hanya satu, melainkan tiga toko kelontong. Aku sempat mendengar, ia mengatakan aku akan diajak ikut kerja di sana setelah menikah hal yang belum aku setujui, karena terasa janggal, dan sedikit menakutkan, bekerja pada mertua. Sedang Nissa dan Charlie sibuk mengobrol-ce ki kikan berdua. Aku dan Mbak Sinta senyum-senyum sendiri menyaksikan kemesraan mereka. Mbak Sinta sempat bertanya soal pacar pada Dama. Belum, itu saja jawabnya sambil tersipu.
Entah kapan dia bisa dapat kekasih" Terus terang saja, dari sudut pandang wanita, aku bisa paham kenapa hingga sekarang dia belum pernah sekalipun pacaran. Selain itu dia terlalu pemalu. Dia tidak punya nyali melakukan pendekatan pada gadis.
Mana ada cewek yang mau kalau penampilan seperti itu" Mama sempat-sempatnya menyindir.
Dama berlagak tidak dengar, terus menyibukkan diri dengan makanannya.
Selesai makan, acara dilanjutkan di lobby hotel, menonton hiburan sambil menunggu detik pergantian tahun. Anak-anak ramai bermain, lari ke sana-kemari, meniup terompet karton yang mereka bawa. Olive akhirnya tertidur di pangkuan ibunya, ta pi yang lain sama sekali tidak ngantuk, bahkan hingga lonceng tengah malam berbunyi. Kembang api dinyalakan, musik ramai dibunyikan, kami semua saling peluk-cium memberi salam. Saat itu aku baru sadar Dama tidak ada. Seperti biasa, yang me nanya kan dia cuma Mbak Sinta dan Mas Jono; kali ini Abang juga. Tapi yang lain sudah sangat terbiasa menghadapi ting kah nya. Jam satu pagi kami semua pulang, kecuali Mas Darwin sekeluarga yang menginap. Kemarin Mas Darwin juga menawarkan Papa-Mama ikut bermalam, tapi Mama menolak. Aku tahu Mama mau memastikan aku dan Nissa langsung kembali ke rumah seusai acara, tidak terdampar di tempat lain, melanjutkan pesta dengan kegiatan terlarang . Padahal jika memang kami mau berbuat yang tidak-tidak, tiga ratus enam puluh lima hari, buat apa menunggu malam tahun baru" He he he... Lagipula aku kan sudah resmi bertunangan" Sampai di rumah, kulihat motor Dama sudah terparkir di garasi. Rupanya dia mendahului kami pulang, entah dari jam berapa....
Bagaimana nasib pengusaha kecil seperti saya, Pak Lurah" keluhku.
Kita tidak bisa menghindari kemajuan jaman, Pak, jawab Pak Lurah.
Jawaban yang bijak, tetapi tidak membuat aku berhenti bermimpi buruk.
Mimpi burukku akhirnya jadi nyata. Suatu pagi, kulihat di seberang jalan para pekerja mulai datang memasang patok tanah. Be sok nya pagar seng didirikan.
Beberapa hari kemudian mesin dan truk besar muncul menguruk tanah, lalu lewat seminggu bahana palu tiang pancang ter dengar. Sesudahnya barang dan meja pajang yang berselimut debu harus dibersihkan paling tidak dua kali sehari; belum termasuk bersin dan batuk yang jadi rajin mampir.
Dan genap sembilan bulan kemudian berdirilah bangunan swa layan besar tepat berhadapan dengan toko kelontong kecilku yang berpintu papan kayu.
Puncak dari mimpi buruk itu adalah saat aku mendapati diriku, istriku, dan Bagus anakku, ikut berdesakan dalam laut an ma nusia, mencicip sejuk pendingin udara dan megah de ret rak jang kung terisi puluhan ribu jenis barang yang dijual korting, saat hari peresmian di jaman rupiah terpuruk dan harga membum bung tinggi.
Bagaimana cara menghadapi lawan yang lebih kuat" tanyaku saat sowan ke rumah Pak Adil di suatu petang. Jika ditanya, siapa orang paling pandai yang kukenal, aku hanya punya satu jawaban.
Pak Adil tersenyum. Pria tua itu menyulut sebatang rokok dan mulai mengisap. Ia seperti tahu persis apa yang kumaksud. *
Istriku kembali pada profesi buruh cuci untuk menambal kebutuhan hidup. Tahun depan Bagus lulus SD. Aku tak mungkin mem biar kan keadaan terus begini. Perjalanan masih sangat pan jang dan kepala rumah tangga harus punya jalan keluar, walau menemukannya bukan hal yang mudah.
Seumur hidup aku tidak pernah harus mencari. Toko kelontong ini warisan orang tua. Wanita yang kuperistri adalah anak salah satu karib mendiang ibuku. Biasanya semua selalu ter sedia waktu dibutuhkan, namun sekarang ini rasanya kebun ke hi dupan ku mulai puso.
Hampir dalam semua kesempatan, kata Pak Adil sambil mene rawangi kepulan asap putih di depan wajahnya. Cara yang terbaik adalah melarikan diri. Jangan melawan. Pasti kamu juga sudah tahu itu kan" Pak Adil seperti bicara pada diri sendiri, tidak meli hat ke arahku yang sedang mengangguk walau tidak bisa meng iyakan; karena aku tidak pernah belum pernah tahu apa yang disebut melarikan diri.
Apa baiknya aku ganti profesi saja ya" Aku bergumam pada istriku saat kami hendak pergi tidur.
Abang bisa apa lagi selain dagang" Istriku malah balik bertanya.
Apa kita pindah saja ya" tanyaku lagi keesokan paginya setelah kami bangun tidur.
Mau pindah ke mana, Bang"
Dan lagi-lagi aku tidak tahu jawabannya. *
Tapi kalau kamu memilih untuk tidak lari, setidaknya kamu harus punya tiga syarat. Yang pertama, harus tahu mana titik kele mah an lawanmu. Dan kedua, harus punya senjata yang cocok untuk melawan dia.
Pak Adil tersenyum lagi dan kembali mengisap rokok di jepitan jarinya, masih tidak melihat ke arahku.
Misalkan kamu tendang kemaluannya. Sebesar apa pun badan lawan, dia pasti kesakitan, asal tendanganmu tepat.
Tentang ini aku cukup paham, karena semasa muda aku bisa dibilang tukang berkelahi.
Dan seandainya kamu punya tongkat kayu panjang, lalu kamu hantamkan tongkat itu ke selangkangan lawan sebelum dia bisa mendekat, kemungkinan untuk menang walau kamu le bih lemah akan semakin bertambah, kalau tongkatnya kena sasaran. Pak Adil kini memandang ke arah mataku. Jadi itulah syarat yang ketiga: kamu harus tepat sasaran. *
Karena itu fajar-fajar berikutnya, aku kembali tercenung di toko mungilku, memikirkan konfrontasi dan tiga syarat Pak Adil. Tak terpikir sedikit juga apa kelemahan musuh di seberang. Tak terba yang ke mana harus menemukan sebuah senjata untuk melawan; untuk bertahan.
Aku menelan ludah. Untuk beberapa saat aku bingung, namun akhirnya bisa kutemukan pertanyaan yang berikut. Apa dengan tiga syarat itu... yang lemah pasti bisa selamat"
Pak Adil menggeleng. Kita hanya bicara memperbesar kemungkinan, bukan memastikan. Ingat kisah Nabi Daud melawan Jalut" Itu satu contoh di mana yang kuat bisa dikalahkan dengan tiga syarat: tahu kelemahan lawan, senjata yang tepat dan tepat sasaran.
Sudah tidak terhitung berapa kali aku mendengar cerita itu, tetapi apa relasinya dengan syarat-syarat tadi"
Memikirkan Nabi Daud yang kecil-pendek. Memikirkan Jalut yang bertubuh tinggi-besar. Hingga siang demi siang tak ada hasil yang bisa kudapat. Sepertinya pilihan lain itu memang tidak ada. Jalur kemajuan zaman tidak menyediakan alternatif bagi orang-orang seperti aku.
Eng Djiauw Ong 20 Tjeng Hong Kie Su Karya Chin Yung Anak Harimau 7
^