Pencarian

Delapan Surat Kematian 1

Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian Bagian 1


SATU REMBULAN di angkasa serta merta lenyap
dari pemandangan begitu kelompok awan gelap
tebal menutupinya. Malam menjadi semakin ge-
lap, udara tambah dingin, demikian dinginnya
sehingga terasa sampai menyusup ke tulang-
tulang sum-sum. Awan gelap makin banyak, lan-
git makin menggelap sedang tiupan angin tambah
keras. Panji Ireng hampir-hampir tak dapat meli-
hat jalan yang ditempuhnya. Beberapa kali ka-
kinya terserandung. Setiap kali terserandung se-
tiap kali pemuda tanggung ini memaki dalam ha-
tinya. Dia mempercepat langkah karena tahu
bahwa kampungnya masih jauh dan masih harus
menyeberangi Kali Brantas di samping itu hari
hendak hujan pula. Panji Ireng seorang pemuda tanggung be-
rumur enam belas tahun. Jika melihat kepada pe-
rawakan badannya agaknya tak seorang pun
akan percaya bahwa dia baru berumur sekian.
Bagaimana tidak, tubuhnya tinggi kekar. Otot-
ototnya kuat. Rambutnya hitam sedikit berombak
dan tebal. Di bawah kedua alis matanya terdapat
sepasang mata yang tajam. Hidungnya tinggi se-
dang bibirnya tipis panjang. Bibir yang tipis panjang ini serta mata yang tajam
cukup memberikan gambaran bahwa Panji Ireng seorang yang berhati
keras. Panji seorang anak petani miskin di kam-
pung Sariwangi yang terletak di seberang timur
Kali Brantas. Malam itu dia habis melihat pertun-
jukan wayang kulit di desa tetangga. Panji Ireng
memang seorang paling suka pada pertunjukan
seperti itu. Walau di mana pun tempatnya, walau
bagaimanapun jauhnya, tapi bila mendengar ada
wayang maka dia pasti akan pergi ke sana. Apala-
gi kalau diketahuinya cerita wayang bagus serta
Ki Dalang yang membawakannya Ki Dalang ke-
sayangannya, biar sakit biar udara buruk, dia
pasti pergi juga. Tapi yang sekali itu, entah mengapa sele-
watnya tengah malam Panji Ireng merasa ma-
tanya sangat mengantuk. Hatinya tidak enak dan
ingatannya selalu kepada pulang. Ketika dia me-
mandang ke langit dilihatnya awan gelap berke-
lompok-kelompok tanda hari akan hujan. Panji
Ireng menguap dan mulai berpikir-pikir untuk
pulang. Tapi dia ingat akan pantangan bagi seo-
rang yang menonton pertunjukan wayang yaitu
bila hendak pulang harus sebelum tepat tengah
malam. Bila pulang sesudah tengah malam pasti
orang yang pulang itu akan mengalami apa-apa
yang tidak baik di tengah jalan. Hati pemuda itu
menjadi bimbang. Pulang atau tidak" Kakinya te-
rasa pegal, mata memberat dan dia menguap lagi
untuk kesekian kalinya. Akhirnya tarikan pulang
tak bisa ditahannya. Panji Ireng menyeruak di an-
tara orang banyak dan meninggalkan tempat per-
tunjukan. Pada saat dia mencapai kali, kilat yang per-
tama menyambar disusul oleh suara gelegar gu-
ruh seperti hendak memecahkan anak telinga.
Angin kencangnya bukan main tak ubahnya se-
perti suara ratusan seruling yang ditiup secara
bersamaan. Guruh menggelegar lagi tanpa dida-
hului oleh kilat, membuat Panji Ireng jadi terkejut sehingga bulu tengkuknya
merinding. Di dalam kegelapannya malam, diantara gemuruh suara
guruh dan kilat petir yang sambung-menyambung
pemuda itu menyusuri tepi kali, mencari rakit pe-
nyeberang. Di Kali Brantas, dalam jarak-jarak ter-tentu biasanya terdapat rakit-
rakit untuk menye- berang. Panji Ireng sampai ke bagian kali di mana
tertambat sebuah rakit kecil. Dia meluncur di tebing kali dan naik ke atas
rakit. Pada saat kakinya menginjak bambu-bambu rakit tersebut barulah
diketahuinya betapa derasnya arus air kali saat
itu. Kakinya bergetar. Dengan susah payah dile-
paskannya tali tambatan rakit. Rakit bergoyang
keras dilanda arus sungai. Sementara itu seperti
dicurahkan dari langit layaknya hujan pun mulai
turun sangat lebatnya. Dalam beberapa detik saja
seluruh pakaian dan tubuh Panji Ireng sudah ba-
sah kuyup. Pemuda ini menggigil kedinginan. Dipe-
gangnya tali rakit penyeberang yang menghu-
bungkan tepi kali dengan tepi lainnya. Diantara
gemuruh suara guntur dan kilapan kilat yang
menyambar, di bawah hujan lebat, dalam kea-
daan arus sungai mengamuk gila maka Panji
Ireng mulai menarik tali penghubung. Dalam
keadaan seperti itu sukar bagi rakitnya untuk bi-
sa bergerak ke seberang. Beberapa lamanya rakit
tersebut berputar-putar dan dihempas-
hempaskan arus. Sebelum mencapai pertengahan
kali tali pengikat rakit dengan tali penghubung
putus! "Celaka!" kata Panji Ireng dalam hatinya.
Arus sungai melanda dengan deras membuat ra-
kit di mana dia berada berputar miring. Pemuda
itu terpelanting dan jatuh terguling. Untung dia
masih sempat memegang tepi rakit, kalau tidak
pasti tubuhnya tenggelam ke dasar sungai di te-
lan arus yang mengamuk hebat. Panji Ireng ber-
pegang seerat-eratnya pada bambu itu sementara
arus membanting-banting dan melemparkan rakit
kian kemari. Panji merasakan urat-urat dan otot-
otot tubuhnya menjadi kaku mengejang. Tena-
ganya semakin berkurang. Pegangannya pada
bambu rakit sudah tidak berarti lagi. Akhirnya
ketika satu arus keras memukul rakit, Panji Ireng tak punya daya lagi.
Pegangannya terlepas. Tubuhnya dipermainkan arus beberapa saat la-
manya. Panji menggapai-gapaikan kedua tangan-
nya ke atas dan berteriak minta tolong. Berbuat
demikian membuat tubuhnya cepat tenggelam di-
telan air sungai dan lagi pula kepada siapa dia
akan minta tolong dimalam buta begitu"
Ujung bambu rakit yang berputar-putar
membentur kepala Panji Ireng. Tak ampun lagi
pemuda ini segera tak sadarkan diri. Tubuhnya
mulai tenggelam dan sedetik lagi niscaya segera
hilang dari permukaan air. Namun pada detik te-
gang yang menentukan ini pulalah dari seberang
kali meloncat melesat sesosok tubuh yang tak da-
pat dikenal siapa adanya karena malam begitu ge-
lap dan hujan begitu lebat menghalangi peman-
dangan. Begitu kedua kakinya menjejak rakit
orang ini segera mengulurkan tangan menjangkau
dan mencekal tengkuk pakaian Panji Ireng. Den-
gan satu lompatan yang sangat enteng kemudian
dia membawa tubuh Panji Ireng ke seberang sun-
gai! Melihat bagaimana cara dan kecepatan me-
lompatnya manusia ini, melihat bagaimana dia
kemudian membawa Panji Ireng ke tepi sungai
dengan satu tangan dan tangan kiri pula, maka
siapa pun adanya manusia itu sudah dapat kita
ambil kepastian bahwa dia bukan manusia sem-
barangan, tapi manusia yang punya ilmu tinggi
sekali! DUA PANJI Ireng mulai sadarkan diri. Perlahan-
lahan dibukanya kedua matanya. Ternyata saat
itu tubuhnya terbaring menelungkup. Dengan
memutarkan kedua bola matanya dia coba me-
mandang berkeliling. Tanah di mana dia terbujur
dan tanah di sekelilingnya basah dan becek. Ba-
nyak semak belukar serta pepohonan. Kemudian
disadarinya bahwa saat itu dia berada di tepi
sungai, di tepi Kali Brantas. Pemuda ini menjadi
keheran-heranan sendiri memikirkan bagaimana
dia bisa sampai berada di situ, dalam keadaan
basah kuyup dan di malam yang dingin serta ge-
lap menggidikkan. Dicobanya mengingat-ingat. Malam itu dia
pulang menonton wayang golek di desa tetangga...
lalu hari hujan... dia naik rakit menyeberangi
sungai... tali rakit putus... dia terpelanting jatuh...
kemudian mental ke dalam air... sesudah itu
bambu rakit membentur kepalanya membuat dia
tidak ingat apa-apa lagi. Lalu mengapa dia kini
bisa berada terbaring dalam keadaan seperti itu di tepi sungai" Tak bisa
dimengertinya. Mungkin arus sungai telah melemparkannya ke tebing itu"
Tidak bisa jadi, pikir Panji Ireng. Atau mungkin
ada seseorang yang telah menolongnya" Ini juga
suatu hal yang mustahil karena siapa pula manu-
sianya yang malam-malam seperti itu akan bera-
da di sekitar sungai. Kalau pun ada juga mustahil dia bisa menolong.
Barangkali... barangkali penghuni sungai yang telah menolongnya" Setan iblis
jin dedemit"! Meskipun udara dingin dan tubuh-
nya basah kuyup tapi tak urung bulu tengkuk
pemuda ini menjadi merinding!
Berpikir-pikir dan mengingat-ingat itu
membuat kepalanya menjadi sakit berdenyut-
denyut, terutama di bagian yang luka kena bentu-
ran rakit. Sementara itu seperti orang mendengar
suara petir di liang telinganya maka demikianlah
terkejutnya pemuda ini ketika mendadak sontak
dia mendengar satu suara halus tapi nyaring di
sampingnya. "Bagus... bagus! Kau sudah siuman Panji"
Bagus! Bangkitlah dan duduk!"
Demikian halusnya suara yang tak dikenal
ini, Panji Ireng tak dapat memastikan apakah itu
suara orang laki-laki atau suara perempuan. Di
samping rasa takut yang semakin mencekam Pan-
ji Ireng juga kepingin tahu. Ia putar kepalanya
dengan perlahan. Pandangannya membentur se-
pasang kaki yang memakai gelang akar bahar.
Kaki ini penuh dengan bulu-bulu kasar. Pandan-
gannya naik ke atas dan mengetahui bahwa orang
yang berdiri di sampingnya itu hanya memakai
sehelai celana hitam sebatas dengkul. Dadanya
terbuka jelas dapat dilihat tulang-tulang iganya
bertonjolan tanda bahwa orang itu berperawakan
kurus. Akhirnya pandangan Panji Ireng mencapai
muka orang tersebut. Tubuh pemuda belasan tahun itu jadi
menggigil. Bukan karena dinginnya udara malam
atau basah kuyupnya baju melainkan karena
kengerian yang tak bisa dilukiskan ketika dia me-
lihat wajah itu. Manusia tak dikenal bertubuh ku-
rus ini bertampang luar biasa menyeramkan. Te-
linganya yang ada cuma sebelah kiri sedang yang
kanan licin sumpung. Hidungnya sangat besar
tapi pesek. Mulutnya kecil runcing, jadi tambah
runcing karena kedua pipinya yang cekung.
Orang ini tidak berkumis tapi memiliki janggut
tebal hitam sampai ke dada. Mukanya penuh
dengan kerenyut-kerenyut. Namun apa yang pal-
ing menyeramkan dari tampang manusia ini ada-
lah kedua matanya. Matanya cuma satu yaitu yang sebelah ka-
nan, besar melotot serta berwarna merah. Dalam
gelapnya malam Panji Ireng dapat melihat bagai-
mana mata yang satu itu memandang menyorot
kepadanya menyala laksana bara api. Berlainan
dengan mata kanan ini maka mata kiri orang itu
cuma merupakan satu rongga yang besar dan ge-
lap hitam menggidikkan. Rambutnya gondrong
awut-awutan. "Ya Tuhan... tolong hamba Mu ini..." kata Panji Ireng dalam hati. Kengeriannya
tiada terpe-rikan. Dia hendak bangkit dan lari tapi tubuhnya
terasa lemah lunglai seakan-akan dia tidak punya
tulang-tulang lagi saat itu.
"Celaka! Mati aku... pasti ini setan peng-
huni sungai! Pasti aku dicekiknya! Tuhan sela-
matkan aku...." Panji Ireng merasakan tanah di mana dia
terbujur menjadi bergetar ketika dia dengar suara manusia bermuka setan itu
berkata dengan keras dan tinggi "Panji Ireng, bangun kataku!"
Diantara kengeriannya pemuda itu tak ha-
bis mengerti bagaimana manusia di hadapannya
itu bisa tahu namanya. "Panji Ireng!" bentak si muka setan ketika melihat pemuda tersebut masih saja
berbaring menelungkup di tanah. Panji hendak berteriak
minta tolong tapi tenggorokannya seperti tersum-
bat dan lidahnya terasa kelu membatu. Orang di
hadapannya dilihatnya menggeserkan kaki ka-
nannya. Sedetik kemudian Panji Ireng merasa
adanya sesuatu kekuatan masuk ke dalam tu-
buhnya. Mula-mula tubuhnya terasa panas. Lalu
denyutan sakit di kepalanya yang luka hilang. Se-
sudah itu kekuatannya perlahan-lahan menjadi
pulih seperti sedia kala. Dan anehnya pemuda ini
kemudian menggerakkan tubuhnya bangkit.
"Bagus! Duduklah!" kata si muka setan.
Panji Ireng dudukkan dirinya di hadapan
orang itu. Dia duduk bersila. Meskipun dia tak


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanggup menahan kengeriannya tapi kedua ma-
tanya tidak berkesip memandang ke wajah yang
menyeramkan itu. "Berdiri, Panji!"
Si pemuda berdiri. Dia melakukan semua
perintah di atas itu seperti orang yang kena sirap.
"Putar tubuhmu ke kiri!" datang lagi perintah dari si muka setan.
Mula-mula Panji Ireng tetap tak bergerak
tapi sorotan mata kanan yang melotot itu mem-
buat hatinya menjadi gentar dan ia putarkan tu-
buhnya sebagaimana yang diperintahkan. Kini dia
menghadap ke rimba belantara di tepi Kali Bran-
tas sebelah barat. Karena tak biasa mula-mula
dalam kegelapan itu kedua matanya hampir tidak
melihat apa-apa. Tapi sesaat kemudian peman-
dangannya mulai terang dan samar-samar dili-
hatnya sesosok tubuh manusia bersandar ke se-
batang pohon beberapa langkah di hadapannya.
"Kau lihat sosok tubuh itu, Panji?" terdengar suara bertanya.
Panji Ireng menoleh pada si muka setan
dan mengangguk. Kembali dia memutar kepala
memandang ke arah sosok tubuh di hadapannya.
Dan pada kali inilah untuk pertama kalinya dia
menyadari bahwa tubuh manusia yang di hada-
pannya itu tidak punya kepala sama sekali!
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Lu-
tutnya kembali goyah, bulu tengkuknya yang se-
jak tadi memang sudah merinding jadi tambah
merinding. Dia sudah bulat tekad untuk melari-
kan diri tapi tidak dapat. Satu kekuatan aneh
seakan-akan memaku kedua kakinya ke tanah
saat itu. "Buka pakaianmu, Panji!" terdengar lagi perintah si muka setan.
Kedua alis mata Panji Ireng menaik. Dia
pura-pura tidak mendengar perintah itu.
"Buka pakaianmu, Panji!" datang lagi perintah yang sama untuk kedua kalinya.
"Jangan pura-pura jadi tuli!"
Di luar kemauannya, di luar kesadarannya
Panji Ireng kemudian membuka kemejanya yang
basah kuyup. "Sekarang buka celanamu!"
Panji Ireng memandang tak mengerti pada
si muka setan. "Celanamu!" bentak si muka setan seraya menunjuk ke celana Panji Ireng dengan
tangan kirinya. Saat itu baru si pemuda mengetahui
bahwa makhluk yang mengerikan itu tangan ki-
rinya sengkok bengkok. Juga di luar kemauan dan kesadarannya
Panji Ireng kemudian membuka celananya. Di
malam yang berudara dingin itu dia cuma men-
genakan cawat saja kini. "Cawatmu!" Nafas Panji Ireng menyesak mendengar pe-
rintah yang, selanjutnya ini. Hatinya berontak tidak mau mengikuti perintah
tersebut. Tapi keku- atan gaib yang menguasai dirinya membuat dia
tidak punya daya dan lagi-lagi di luar maunya
tangannya mulai membuka cawat yang dikena-
kannya. Dengan demikian pemuda itu kini men-
jadi tidak memakai secarik kain pun untuk menu-
tupi tubuhnya alias telanjang bulat.
"Melangkah ke hadapan sosok tubuh yang
tersandar di batang pohon itu!" Ini adalah perintah selanjutnya dari manusia
bermuka setan. Panji Ireng menurut patuh. Saat itu dengan
masih memegangi pakaiannya yang tadi dibuka
dia langkahkan kakinya ke muka. Satu langkah
di hadapan sosok tubuh tanpa kepala atau jelas-
nya mayat tanpa kepala Panji menghentikan
langkah. "Buka seluruh pakaian mayat itu, Panji!"
Berdiri sedekat itu dengan mayat yang mengeri-
kan membuat Panji seperti mau gila. Seramnya
bukan main tapi hendak lari tidak dapat. Jan-
gankan lari membuka mulutnya pun tidak bisa!
"Cepat Panji! Kerjakan perintahku! Nanti
hari keburu siang!" kata si muka setan sambil memandang ke langit jurusan timur.
Dengan tubuh menggigil si pemuda menja-
lankan perintah itu. Dia berlutut di hadapan
mayat. Dapat dilihatnya dengan jelas leher yang
putus penuh dengan gumpalan-gumpalan darah
beku. Pada pakaian mayat juga terdapat banyak
noda-noda darah. Panji mengulurkan tangannya
yang gemetar mulai membuka pakaian si mayat.
Dalam keadaan serupa itu sukar untuk membuka
bajunya karena tubuhnya tersandar ke batang
pohon. Tiba-tiba sosok tubuh itu jatuh tergelim-
pang ke tanah! Panji ikut pula jatuh duduk. Na-
fasnya memburu, tubuhnya mengejang karena
terkejut. "Ayo Panji! Cepat!"
Satu demi satu Panji Ireng membuka pa-
kaian mayat itu. Kini tubuh mereka sama-sama
telanjang. Cuma bedanya yang satu sudah tidak
punya kepala dan tak bernafas sedang yang satu
masih punya kepala dan masih hidup!
"Selesai"!"
Tanpa menoleh pada si muka setan Panji
Ireng menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Sekarang pakai olehmu pakaian
mayat itu!" Perintah ini pun diturut oleh si pemuda
tanpa bantahan. Pakaian mayat tak dikenal se-
suai dengan perawakan tubuhnya, cuma pakaian
itu bau busuk dan amisnya darah. Panji berpaling
pada si muka setan yang dari tadi tetap berdiri di
tempatnya dengan segala keangkerannya.
"Kenakan pakaianmu pada mayat itu."
Perintah ini pun dituruti oleh si pemuda.
Begitu selesai terdengar pula perintah si muka setan. "Berdirilah dan melangkah
ke hadapanku!" Panji Ireng berdiri lalu melangkah ke hada-
pan manusia angker itu. Berdiri demikian dekat-
nya lebih jelas betapa mengerikan mukanya. Tak
terlihat oleh Panji tiba-tiba si muka setan meng-
gerakkan tangan kirinya yang sengkok ke arah
dada si pemuda. Panji Ireng mengeluh kesakitan.
Tubuhnya pada detik yang sama menjadi kaku
kejang dan tak sadarkan diri. Dia rebah ke muka
dan si muka setan cepat rundukkan tubuhnya
sehingga tubuh Panji Ireng jatuh tepat di bahu kirinya. Dengan tubuh Panji Ireng
berada di atas pundaknya, si muka setan membuat satu gerakan
enteng. Tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke
muka dan lenyap di telan kegelapan malam yang
hampir mencapai pagi. Bersamaan dengan le-
nyapnya si muka setan bersama pemuda boyon-
gan maka di kejauhan, di dalam rimba belantara
terdengar suara lolongan anjing hutan yang men-
gerikan. TIGA KAMPUNG SARIWANGI.... Pada pagi hari
itu, belum lagi matahari naik, Pak Ireng sudah
kelihatan berdiri di ambang pintu muka pondok-
nya. Laki-laki ini sudah enam puluh lebih umur-
nya. Rambut dan kumis bahkan alis matanya su-
dah memutih. Geraham-gerahamnya tak satu pun
lagi yang tinggal. Keseluruhan giginya di barisan sebelah bawah sudah tanggal
semua. Cuma di bagian atas masih ada dua buah gigi. Salah satu
diantaranya sudah goyah pula.
Pak Ireng batuk-batuk beberapa kali, me-
ludah ke tanah lalu memandang ke tepi jalan. Di-
ambilnya sabuk tembakau dan daun kaung. Ma-
ka mulailah orang tua ini menggulung rokok. Ro-
kok yang pertama dipagi itu. Baru tiga kali dihi-
sapnya maka di pintu muncullah seorang perem-
puan. Rambutnya sudah memutih pula sedang
mukanya penuh dengan kerut-kerut tanda bahwa
dia tak berapa beda umurnya dengan Pak Ireng.
Perempuan ini adalah isteri Pak Ireng.
"Pakne, masih belum kelihatan juga dia?"
"Belum," kata Pak Ireng menjawab perta-
nyaan isterinya. "Tak mengerti aku, ke mana anak itu ngelanturnya." Pak Ireng
menarik nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Semalam dia bilang mau pergi melihat
wayang kulit di desa Waringin. Mungkin dia men-
ginap di rumah salah seorang kawannya di sana.
Bukankah hari hujan lebat semalam?"
"Tapi kalau dia nginap, pagi ini pasti sudah kembali."
"Mungkin dia kepulasan, maklumlah anak
seumur dia itu biasanya tukang penidur. Ditam-
bah udara dingin pula," kata Bu Ireng menenangkan hati suaminya padahal hatinya
sendiri saat itu sudah gelisah. Pak Ireng masuk ke dalam mengambil topi
pandan, pacul dan sabit. "Aku ke ladang dulu, Bu," katanya pamitan pada
isterinya. Sang isteri anggukkan kepala dan mem-
perhatikan kepergian suaminya sampai hilang di
kelokan jalan. Dulu Pak Ireng punya sebidang la-
dang sayur mayur. Karena terdesak hidup ladang
itu dijual pada seorang tetangga. Kini karena ti-
dak punya tanah lagi terpaksa mengambil peker-
jaan di ladang orang lain.
Sebelum tengah hari Pak Ireng sudah pu-
lang. "Lho, kok cepat pulang sekali ini, Pak?"
"Hatiku gelisah dan tak enak sejak pagi ta-
di. Sudah pulang si Panji...?"
"Itulah Pakne...."
"Jadi belum juga kembali?" bertanya Pak Ireng memotong kata-kata isterinya. Dia
sudah maklum bahwa anak mereka Panji Ireng belum
pulang. Dan kemudian dilihatnya isterinya men-
ganggukkan kepala. Orang tua itu membuka to-
pinya. Meletakkan sabit dan paculnya lalu duduk
di balai-balai reyot, termenung.
"Benar-benar si Panji ini! Ke mana dia" Dia
musti sudah pulang saat ini. Terlalu! Tak tahu
kecemasan orang tua.... Aku khawatir kalau ter-
jadi apa-apa dengan dia, Bu."
"Aku juga demikian Pakne. Tapi biar kita
tunggu sampai sore nanti...."
"Dan kalau sore nanti dia tetap tidak pu-
lang juga, bagaimana"!"
Bu Ireng menyahut. "Makanlah dulu,
Pakne. Kebetulan nasi sudah masak."
Memasuki rembang petang, Pak Ireng ber-
kata. "Pasti ada apa-apa terjadi dengan dirinya."
Dijangkaunya topi pandannya. Golok pendek yang
tersisip di dinding diselipkannya di pinggang.
"Kau mau pergi, Pakne?"
"Ya. Ke desa Waringin," kata Pak Ireng
menjawab pertanyaan isterinya.
"Hati-hati di jalan."
Di bawah sorotan sinar matahari sore yang
kuning kemerahan maka berjalanlah orang tua
itu dengan terbungkuk-bungkuk. Dikelokan jalan
yang hendak menuju ke sungai seseorang mene-
gurnya. "Mau ke mana Pak Ireng" Ada suatu uru-
san penting agaknya sampai berjalan secepat
itu?" Si orang tua palingkan kepala. Yang mene-gurnya ternyata seorang pemuda
bernama Kebo Ninggul, kawan Panji Ireng.
Tanpa mengacuhkan pertanyaan anak mu-
da itu Pak Ireng balik bertanya. "Ada kau lihat si Panji?" "Tidak, Pak. Saya
sendiri juga heran. Dia tak muncul-muncul sejak...."
"Malam tadi dia pergi ke desa Waringin. Ka-
tanya ada wayang kulit di sana. Tapi sampai be-
gini hari dia belum pulang."
"Mungkin dia mampir di tempat kawan-
nya." "Mungkin, tapi tidak sampai selama itu.
Aku khawatir ada terjadi sesuatu dengan dia. Aku
akan pergi ke desa Waringin."
Kebo Ninggul berpikir sejurus lalu berkata:
"Saya ikut bersama Bapak."
Kedua orang itu sampai di tepi Kali Bran-
tas. Baik Pak Ireng maupun Kebo Ninggul sama
terheran-heran. "Seharusnya di sini terdapat rakit penyebe-
rang," kata si orang tua.
"Betul. Ke mana perginya?" Kebo Ninggul memandang ke seberang sana. Tak ada
rakit yang dicarinya. Dia memandang berkeliling dan melihat
tali penghubung yang putus. "Rupanya hujan lebat semalam membuat arus jadi
besar. Tali peng- hubung putus dan rakit dihancurkan."
"Boleh jadi..." membenarkan Pak Ireng.
Sambil memandang berkeliling Kebo Ning-
gul berkata: "Kita ke hilir saja. Di sana ada rakit...." Ini pemuda tak bisa
teruskan kata- katanya. Pandangan matanya membentur sesua-
tu di bawah pohon di tepi rimba.
"Ada apa?" tanya Pak Ireng menghentikan langkah.
"Itu. Seseorang di bawah pohon besar.
Mungkin...." Si orang tua memutar kepalanya ke arah
yang ditunjuk Kebo Ninggul. Dia jadi terkejut dan berseru: "Anakku! Itu pasti si


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji. Dia memang mengenakan pakaian itu semalam!" Pak Ireng
dengan tersaruk-saruk berlari ke bawah pohon di
mana sesosok tubuh terbujur.
Kebo Ninggul menyusul. Orang tua ini berlutut di samping tubuh
itu. Digoyang-goyangnya tubuh tersebut. "Panji!
Nak"! Apa yang terjadi...." Ucapan Pak Ireng jadi terhenti dengan serta merta
ketika kedua matanya memandang ke bagian leher dari orang
yang disangkanya anaknya itu. Air mukanya be-
rubah. Pucat pasi seperti orang yang melihat se-
tan mengerikan. "Gusti Allah! Panji...!!!" Sehabis mengeluarkan seruan yang
keras setinggi langit itu, Pak Ireng roboh ke tanah tanpa sadarkan diri.
Kebo Ninggul yang sampai ke sana jadi ter-
kejut melihat si orang tua sudah melosoh. Dia
berlutut hendak menolong. Tapi.... Kedua mata
pemuda ini melotot besar. Tubuhnya menggigil.
Seluruh bulu romanya merinding ngeri ketika me-
lihat sosok tubuh kawannya yang tidak berkepala
lagi. Untung dia masih tahan sehingga tak sampai
jatuh pingsan seperti si orang tua. Tanpa pikir
panjang pemuda ini segera putar tubuh dan ambil
langkah seribu. Dia lari terus pontang panting seperti orang dikejar jin hutan.
Lari kembali ke kampung Sariwangi sambil berteriak-teriak. Apa
yang diteriakkannya itu tidak jelas. Dia sudah seperti orang gila.
Setiap orang yang bertemu dan melihatnya
jadi terheran-heran. Sudah pasti pemuda itu gila, pikir mereka. Kalau tidak
tentu dia kemasukan setan. Maka hebohlah seluruh Sariwangi.
Seorang yang berpakaian bagus bertubuh
tinggi kurus bernama Sura Djali, kepala kampung
Sariwangi berlari keluar dari dalam rumahnya ke-
tika mendengar kehebohan itu. Di mukanya dili-
hatnya seorang pemuda tengah lari dengan cepat.
"Hai Kebo Ninggul! Tahan! Ada apa dengan
dirimu"!" tanya Sura Djali. Ketika Kebo Ninggul sampai di hadapannya segera
dicekalnya lengan pemuda itu. Kebo Ninggul meronta hendak terus
lari. Tapi cekalan Sura Djali bukan cekalan biasa melainkan sudah berisi tenaga
dalam. Pemuda itu tidak dapat bergerak barang selangkah pun.
"Apa yang terjadi Kebo Ninggul?" tanya Su-ra Djali.
Si pemuda tak segera memberikan jawa-
ban. Hidungnya kembang kempis. Nafasnya me-
gap-megap. Seluruh tubuhnya basah oleh kerin-
gat. "Kebo Ninggul! Jawab pertanyaanku!" men-gulangi Sura Djali sementara itu
penduduk kam- pung sudah ramai mengerumuni mereka karena
juga sama ingin tahu apa yang membuat si pe-
muda sampai lari sedemikian rupa.
"Panji.... Panji Ireng..." kata Kebo Ninggul dengan terputus-putus.
"Mengapa, mengapa Panji Ireng"!"
"Kepalanya... kepalanya putus!"
Semua orang saling berpandangan.
"Bicaralah yang terang. Tak usah kesusu,"
kata Sura Djali. Dia masih mencekal lengan pe-
muda itu. Di samping supaya Kebo Ninggul tidak
larikan diri dia juga berusaha menenangkan pe-
muda ini dengan tenaga dalamnya.
"Beberapa waktu yang lalu saya berpapa-
san dengan Pak Ireng..." mulai menerangkan Kebo Ninggul, "Ia menanyakan tentang
anaknya, Panji Ireng. Saya sendiri tidak melihat pemuda itu sejak pagi. Pak
Ireng bilang bahwa anaknya pergi ke
desa Waringin malam tadi. Melihat pertunjukan
wayang kulit." "Memang di desa itu ada orang yang kawi-
nan. Lantas?" menyela Sura Djali.
"Sampai sore ini Panji tidak kembali. Pak
Ireng khawatir. Dia pergi ke desa itu untuk men-
cari anaknya dan saya turut bersama dia. Di tepi
sungai, ketika kami tengah mencari-cari rakit un-
tuk menyeberang tiba-tiba kelihatan sesosok tu-
buh tergelimpang di bawah satu pohon, di tepi
rimba...." "Panji Ireng?" Kebo Ninggul manggut. "Pak Ireng lari
mendapatkan tubuh anaknya. Mendadak sontak
kemudian saya lihat orang tua itu jatuh pingsan
dan rebah ke tanah. Saya datang menyusul dan...
dan...." "Dan apa"!" tanya Sura Djali tak sabaran sedang orang banyak di
sekeliling mereka mulai merasa bergidik. "Tubuh Panji Ireng cuma tinggal badan sa-
ja! Kepalanya lenyap! Putus!"
Semua orang jadi terkejut. Semua mulut
jadi menganga dan semua mata jadi melotot.
"Kepalanya lenyap?"
"Putus"!" "Siapa yang memutus"!" tanya Sura Djali.
"Saya tidak tahu. Begitu saya lihat tubuh
yang mengerikan itu saya lantas lari pontang
panting!" Tubuh Kebo Ninggul jelas kelihatan ge-metaran ketika dia menerangkan
semua itu tanda bahwa rasa ngeri masih saja menggerayangi di-
rinya. Sura Djali melepaskan cekalannya dengan
perlahan-lahan. Begitu terasa tangannya dile-
paskan, Kebo Ninggul segera lari meninggalkan
tempat itu. Lari pulang ke rumahnya. Sura Djali
sendiri dengan diikuti beberapa orang penduduk
kampung yang ingin tahu dan punya nyali segera
berlari cepat menuju ke sungai.
Bu Ireng, begitu dia mendengar nasib
anaknya dari seorang tetangga, belum lagi dia me-
lihat dengan mata kepala sendiri, perempuan ini
meraung tinggi dan rubuh tak sadarkan diri.
Tubuh Pak Ireng dibopong orang sedang
mayat "Panji Ireng" dibawa di atas sebuah tandu,
ditutup dengan sehelai kain sarung.
Esok harinya, mayat "Panji Ireng" yang sudah biru kehijau-hijauan itu
dikuburkan. Baik Pak Ireng dan isterinya, maupun seluruh pendu-
duk kampung Sariwangi, tak ada yang tahu kalau
mayat yang mereka kuburkan hari itu bukanlah
mayat Panji Ireng yang sebenarnya. Juga tidak
satu orang pun yang tahu apa sesungguhnya
yang telah terjadi dengan si pemuda. Ada yang
mengatakan bahwa kepalanya dimakan buaya
Kali Brantas. Ada yang menduga kepala Panji
Ireng diterkam raja hutan dalam rimba belantara.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa pemuda
itu telah dipuntir dan ditanggalkan kepalanya
oleh setan atau dedemit penghuni sungai!
EMPAT LIMA tahun lebih berlalu sudah. Kalau di
kampung Sariwangi boleh dikatakan tak ada lagi
orang yang membicarakan peristiwa kematian
Panji Ireng maka sementara itu di puncak gunung
Kelud.... Awan putih kelihatan menutupi puncak
gunung yang tinggi ini. Meskipun matahari bersi-
nar terik namun udara terasa sejuk. Selama be-
lum ada satu manusia pun yang menginjakkan
kaki di puncak gunung ini maka tidak ada yang
tahu kalau di sana terdapat satu pondok kayu.
Tak ada yang tahu kalau puncak gunung Kelud
itu mempunyai penghuni. Selama puluhan tahun
Gunung Kelud dianggap sebagai gunung angker,
karenanya tidak ada manusia yang berani berada
di sekitar sana. Kalau pun ada maka cuma dekat
kaki-kakinya saja. Di dalam pondok....
Dengan matanya yang cuma satu itu dia
pandang muridnya yang duduk bersila khidmat di
hadapannya. Sejak lima tahun yang lalu rambut-
nya tak pernah dicukur dan tak pernah disisir,
sehingga rambut yang awut-awutan dan kotor itu
panjangnya sampai ke bahu, seperti rambut pe-
rempuan. Keriput-keriput yang menghiasi mu-
kanya yang cekung itu juga tambah banyak.
Rongga matanya sebelah kiri yang besar menye-
ramkan itu seperti tambah dalam. Inilah si muka
setan yang lima tahun lewat telah melarikan Panji Ireng dari tepi Kali Brantas.
Embah Jagatnata alias si muka setan buka
suara "Panji Ireng, di saat perpisahan ini aku tidak akan bicara panjang lebar
dengan kau. Kau turun gunung hari ini juga dengan kubekali dua
buah tugas!" "Apakah tugas itu Embah?" tanya Panji
Ireng yang kini sudah berumur dua puluh satu
tahun itu. Tubuhnya tegap kekar.
"Aku akan katakan sebentar lagi," sahut Embah Jagatnata pula. "Yang penting
adalah kesadaran bahwa selama berguru lima tahun kepa-
daku, ilmu kesaktian yang kau miliki masih be-
lum berarti apa-apa, masih kurang...."
"Bagi saya semua ilmu yang Embah ajar-
kan sudah terlalu banyak dan sangat tinggi...."
"Jangan dulu potong kata-kataku!" tukas Embah Jagatnata. Orang tua aneh dan
sakti itu sudah biasa suka membentak seperti itu. Panji
Ireng mengunci mulutnya. "Karena belum berarti apa-apa, karena masih kurang maka
aku nasi-hatkan pada kau untuk mencari guru lain dan
belajar kepadanya yaitu sesudah kau turun gu-
nung nanti. Ini adalah mengingat betapa beratnya
tugas yang kubekalkan kepadamu itu!"
Embah Jagatnata komat-kamitkan mulut-
nya seketika lalu meneruskan: "Mulai detik kau turun gunung, kau harus ganti
nama. Kepada siapa pun sekali-kali tak boleh kau beritahu bah-
wa namamu sebenarnya adalah Panji Ireng. Kau
dengar"!" "Dengar Embah. Nama apa yang harus
saya pakai?" "Mahesa Kelud."
"Mahesa Kelud...?"
Sang guru manggutkan kepala. "Juga pe-
sanku yang satu ini harus kau ingat benar-benar.
Selama kau turun gunung, selama kau masih be-
lum menyelesaikan tugasmu, sekali-kali kau tidak
boleh datang ke Kampung Sariwangi, apalagi me-
nyambangi kau punya orang tua. Kau harus men-
jauh dari kampung itu. Mengerti?"
"Mengerti Embah," jawab Panji Ireng.
"Kini tentang dua tugas yang harus kau ja-
lankan. Dengar baik-baik, aku tak sudi bicara di-
ulang-ulang. Pertama kau harus cari dan da-
patkan sebuah pedang bernama - Samber Nyawa.
Yang kedua kau harus cari dan bunuh seorang
manusia bernama Simo Gembong."
"Pedang Samber Nyawa dan manusia Simo
Gembong," mengulang Panji Ireng dalam hati.
"Kau harus berhasil dengan tugas yang
pertama. Tanpa mendapatkan pedang Samber
Nyawa itu niscaya kau tidak mampu melaksana-
kan tugas yang kedua karena manusia Simo
Gembong hanya bisa dibunuh dengan pedang ter-
sebut!" "Kalau murid boleh tanya," kata Panji Ireng pula, "Siapa adanya manusia
bernama Simo Gemblong itu, Embah."
"Justru itulah sebabnya aku suruh kau
untuk mencarinya. Bila kau berhasil menemuinya
dan memang kau harus berhasil... maka kau
akan tahu siapa adanya itu manusia! Dan sesu-
dah kau tahu siapa dia kau harus ambil nya-
wanya!" "Saya akan laksanakan kedua tugas itu,
Embah," kata Panji Ireng. "Mohon doa restu dari Embah."
Jagatnata mengangguk. "Kau boleh pergi
sekarang, kecuali kalau ada yang kau ingin kata-
kan." "Selama lima tahun saya telah dididik dan diberi berbagai ilmu kesaktian
luar biasa oleh Embah. Sebagai orang yang sudah diambil jadi
murid maka sudah sepantasnya saja...."
Si orang tua yang sudah tahu apa yang
hendak diucapkan oleh muridnya itu segera me-
motong: "Kalau kau mau menghaturkan terima
kasih, tak usah katakan. Aku tak ingin kau minta
terima kasih padaku."
Sang murid memandangi wajah gurunya
yang buruk dan seram itu dengan rasa tidak
mengerti. Dia tak berani teruskan kata-katanya.
Karena merasa tak ada lagi yang harus dikata-
kannya maka berdirilah dia.
"Saya pergi, Embah."
Sang guru mengangguk. "Mohon doa restu agar saya bisa laksana-
kan tugas yang Embah bekalkan."
"Kau pasti berhasil," ujar Jagatnata.
Di hadapan gurunya Panji Ireng menjura
tiga kali berturut-turut lalu memutar tubuh dan
melangkah ke pintu. LIMA KETIKA sore berganti senja dan malam
yang gelap muncul maka Mahesa Kelud alias Pan-
ji Ireng sudah berada sangat jauh dari kaki gu-
nung Kelud. Ini disebabkan tak lain karena dia
pergunakan ilmu lari ajaran gurunya yang ber-
nama "Kaki Angin". Larinya cepat luar biasa seperti angin, gerakannya enteng.
Pemuda yang baru turun gunung ini baru
memikirkan arah tujuannya ketika perutnya mu-
lai keroncongan minta diisi. Saat itu dia tengah


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari cepat di lereng sebuah bukit. Jauh di kaki bukit sebelah selatan
dilihatnya suatu nyala api
yang sangat kecil. Demikian kecilnya sehingga ka-
lau bukan dengan mata yang tajam seperti pemu-
da itu tak mungkin akan sanggup untuk dilihat.
Tanpa pikir panjang Mahesa Kelud segera putar
arah larinya kejurusan nyala api tersebut.
Ternyata nyala api yang dilihatnya ini ada-
lah api pelita yang terletak di atas sebuah meja
kecil dalam satu pondok kajang beratap rumbia.
Daun pintu terbuka sedikit dan dari celah daun
pintu inilah api pelita memancar keluar. Suasana
sekitar pondok sunyi sepi seperti di pekuburan.
Mahesa Kelud melangkah ke muka pintu. Dike-
tuknya daun pintu. Tak ada jawaban.
Dia mengetuk lagi. Lalu sekali lagi tetap
masih tak ada jawaban. Pemuda ini menjadi he-
ran. Apakah tak ada penghuni dalam pondok ini,
pikirnya. Mustahil, karena di dalam ada pelita
yang menyala. Mahesa hendak mengetuk sekali lagi. Saat
ini didengarnya ada suara yang ditimbulkan oleh
sesuatu benda yang bergerak-gerak di dalam
pondok. Pemuda ini beranikan diri. Daun pintu
didorongnya, suaranya berkereketan. Cepat-cepat
Mahesa masuk ke dalam. Langkahnya dengan
serta merta terhenti begitu dia melewati ambang
pintu beberapa langkah. Di hadapannya, di lantai
pondok terbujur sesosok tubuh laki-laki yang pa-
kaiannya penuh dengan darah. Di tangan kanan-
nya tergenggam sebilah pedang yang juga ada lu-
muran darahnya. Ketika diperhatikannya jari-jari
tangan yang berkuku panjang dari orang itu ma-
ka Mahesa Kelud bisa menduga siapa adanya dia.
Dari gurunya dia pernah mendapat keterangan
bahwa di sebelah barat gunung Kelud, tak jauh
dari kaki gunung Wilis terdapat seorang pendekar
tua ternama yang memiliki kuku-kuku panjang
beracun dan digelari "Si Cakar Setan" oleh orang-orang dunia persilatan.
"Ini pasti si Cakar Setan," kata Mahesa Kelud dalam hatinya. "Kalau begitu aku
berada di daerah sekitar gunung Wilis...."
Tubuh si Cakar Setan bergerak-gerak. Ke-
dua kakinya melejang-lejang walaupun tidak me-
lejang keras sedang tangan kirinya menggapai-
gapai lantai. Pendekar tua yang tengah meregang
nyawa ini terbujur menelungkup. Dari mulutnya
terdengar suara erangan. Mahesa Kelud melang-
kah lebih dekat lalu berlutut. Hidungnya mem-
baui amisnya darah di seluruh tubuh si Cakar Se-
tan. "Jaliteng.... Jaliteng...." Terdengar si Cakar Setan menyebutkan nama
seseorang diantara suara erangannya.
"Siapa Jaliteng ini..." pikir Mahesa Kelud.
"Mungkin orang yang telah membuat urusan dengan dia?"
"Jaliteng... muridku..." terdengar lagi suara si Cakar Setan. "Jaliteng,
mendekatlah...." Mahesa Kelud kini mengerti. "Kasihan, dia
menyangka aku muridnya," kata Mahesa dalam
hati. Dia mendekat. Dengan susah payah, dalam keadaan yang
boleh dikatakan sudah tidak punya daya karena
tengah meregang nyawa, si Cakar Setan masih
sanggup membalikkan tubuhnya dengan perto-
longan tangan kirinya. Kini dia terbaring menelentang. Sungguh dahsyat manusia
ini. Pada muka si Cakar Setan kelihatan satu luka hebat meman-
jang mulai dari kening, lewat antara kedua alis
matanya terus ke pipi. Dari luka itu bisa dipastikan bahwa si Cakar Setan kena
bacokan golok atau pedang lawan yang tangguh. Darah dari luka
besar ini membanjir dan menggenang membasahi
kedua matanya sehingga si Cakar Setan tidak
sanggup melihat apa-apa lagi.
"Jaliteng...?" "Ya... guru," sahut Mahesa Kelud dengan perlahan agar si Cakar Setan tidak
mengenali suaranya. "Surat itu... surat itu ada dalam... dalam
pedang. Kau ambil dan cari manusia yang mence-
lakaiku. Namanya...." Si Cakar Setan hanya sanggup bicara sampai di situ.
Keterangannya terpu- tus karena nyawanya keburu melayang lebih da-
hulu.... Kedua matanya yang digenangi darah
membeliak sedang mulutnya menganga.
"Surat..." desis Mahesa Kelud. "Surat apa agaknya?" Pemuda ini beringsut ke
muka. Diperhatikannya pedang yang tergenggam di tangan
mayat. Menurut keterangan si Cakar Setan surat
itu ada di dalam pedang. Apakah pedang yang
tergenggam di tangannya saat itu atau pedang
yang lain" Kalau dalam pedang yang dipegangnya
berarti pada senjata ini terdapat satu rongga tempat menyembunyikannya.
Agak susah juga bagi Mahesa Kelud untuk
melepaskan pedang itu dari genggaman si Cakar
Setan karena pegangan pendekar tua itu sangat
erat meskipun nyawanya sudah pisah dengan tu-
buh kasar. Diperhatikannya senjata itu dengan teliti.
Mulai dari ujungnya yang runcing dan bertanda
sampai ke hulunya. Pedang milik si Cakar Setan
meskipun besar serta panjang tetapi enteng. Ini
tandanya bahwa pedang itu bukan senjata sem-
barangan. Warnanya kuning sedang hulunya pu-
tih, terbuat dari perak yang berukirkan kepala
naga. Mahesa ingat pada tugas yang dibekalkan
gurunya yaitu mencari satu pedang yang bernama
Samber Nyawa. Mungkinkah ini pedangnya" Si
pemuda tak bisa memastikan.
Lama sekali dia meneliti pedang itu. Di ba-
gian manakah dari senjata ini disembunyikan su-
rat yang diterangkan oleh si Cakar Setan tadi"
Pada kali yang ketiga matanya memperhatikan
hulu pedang, maka Mahesa Kelud akhirnya meli-
hat satu celah yang sangat halus pada bagian
leher dari ukiran naga di hulu pedang. Kini pe-
muda itu tahu rahasia tempat persembunyian su-
rat yang dimaksudkan si Cakar Setan. Dia putar
kepala naga ke kanan. Tapi kepala naga itu tidak
bergerak barang sedikit pun. Mahesa mengganti
arah putaran. Kini ke kiri. Dan... memang kepala
naga itu kini bergerak memutar sedikit demi sedi-
kit sampai akhirnya terlepas sama sekali dari le-
hernya. Kemudian pada bagian leher naga yang
masih melekat ke hulu pedang kelihatanlah satu
lobang sebesar lobang kunci. Di dalam lobang
yang kecil ini terdapat secarik kertas yang digu-
lung rapi. Mahesa segera congkel itu kertas dan
menariknya keluar. Ternyata isinya adalah sepu-
cuk surat yang agak aneh bagi Mahesa Kelud. Su-
rat ini berbunyi: Kepada pendekar-pendekar utama
dari delapan penjuru angin,
Siapa-siapa dari kalian yang ingin merajai
dunia persilatan datanglah membawa surat
ini ke Gua Iblis untuk mendapatkan senjata
ampuh Cambuk Iblis Mahesa Kelud kerenyitkan keningnya se-
habis membaca surat tersebut. Tentang senjata
ampuh yang bernama Cambuk Iblis itu tak per-
nah didengarnya, tapi mengenai Gua Iblis dia
memang pernah dengar yaitu sebuah gua yang
terletak di muara sungai Ngulonngidul di pantai
Selatan. Mahesa Kelud menggulung surat kecil itu
kembali dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Kepala naga pada hulu pedang dipasangnya kem-
bali. Ditimang-timangnya pedang itu sejurus. Se-
telah noda darah dibersihkannya dia berpikir-
pikir lalu senjata tersebut diselipkannya di belakang punggungnya. Mahesa
memandang berkelil- ing. Perabotan yang ada di dalam pondok itu ti-
dak banyak. Sebuah lemari kecil kelihatan terbu-
ka melompong. Isinya bertaburan acak-acakan
tanda lemari itu habis digeledah orang. Pasti la-
wan yang telah mencelakai si Cakar Setan, pikir
Mahesa. Tikar penutup balai-balai dan bantal ju-
ga bertaburan. Di sudut sana terdapat sebuah
gentong air tanah liat yang sudah pecah beranta-
kan dan airnya menggenangi lantai pondok.
Kedua bola mata Mahesa Kelud tampak
membesar ketika pandangannya membentur sua-
tu benda di lantai, tak berapa jauh dari tubuh si Cakar Setan. Benda ini tak
lain adalah potongan tangan kiri manusia. Mula-mula Mahesa tidak bi-
sa mengerti namun kemudian jelas juga duduk
persoalan baginya. Sebelumnya antara Cakar Se-
tan dan lawannya telah terjadi perkelahian seru.
Lawan Cakar Setan berhasil merubuhkan pende-
kar tua itu tapi sebaliknya Cakar Setan sendiri
berhasil membabat puntung tangan kiri lawan-
nya. Si lawan kemudian melarikan diri.
Mahesa Kelud melangkah ke pintu mak-
sudnya hendak segera pergi. Tapi tidak terduga,
mendadak dari luar melompat masuk sesosok tu-
buh. Mahesa cepat hindarkan diri karena dari de-
rasnya siuran angin dia sudah maklum bahwa
orang yang baru masuk itu punya ilmu yang tidak
bisa dianggap enteng. Mahesa melompat ke bela-
kang sejauh dua tombak. Dia menyangka yang
datang ini adalah Jaliteng, murid si Cakar Setan.
Tapi dugaannya meleset. Orang yang berdiri di hadapannya bertu-
buh pendek kate. Kepalanya botak dan berkilat-
kilat ditimpa cahaya pelita. Berlawanan dengan
kepalanya yang licin polos itu maka mukanya pe-
nuh dengan berewok kasar meliar sehingga tam-
pangnya penuh keseraman. Mahesa melihat ma-
nusia kate ini tidak punya tangan kiri alias bun-
tung. Ketika diperhatikannya lebih teliti ternyata buntungan tangan itu masih
baru karena di sekitar buntungan terdapat bekas-bekas noda darah!
Kini Mahesa Kelud tahu. Siapa pun adanya ini
orang kate maka dia adalah orang yang telah ba-
ku hantam dan membunuh si Cakar Hitam. Di
tangan kanan si kate tergenggam sebatang golok
panjang. Si kate menyeringai buruk. "Kau muridnya
si Cakar Setan"!" tanyanya dengan membentak.
"Kau sendiri siapa, manusia kate"!" balik menanya Mahesa Kelud.
"Sialan! Ditanya malah menanya! Jawab,
kau muridnya Cakar Setan"!"
"Kalau ya mengapa?"
"Kau harus serahkan surat itu!"
"Surat" Surat apa...?" tanya Mahesa pura-pura tidak mengerti.
"Sompret! Jangan berlagak pilon! Aku min-
ta surat rahasia itu sekarang juga! Cepat!"
ENAM MAHESA silangkan tangan di muka dada
dan merenggangkan kedua kakinya. "Dengar ma-
nusia kate! Jangan bicara segala macam surat
yang aku tidak mengerti. Berlalulah dari sini. Aku tak suka cari urusan
denganmu." Si kate terheran-heran mendengar kalimat
yang terakhir dari Mahesa Kelud ini. Mengapa dia
mengatakan tidak mau cari urusan" Kalau ini
pemuda benar-benar murid si Cakar Setan pasti
dia sudah sejak tadi menyerangnya. Atau mung-
kin dia tidak tahu bahwa aku telah membereskan
nyawa gurunya" Si kate memancing, "Anak muda bernyali besar, terhadapku jangan
bicara seenak bacotmu! Kau mau terima nasib seperti kau
punya guru"!" Mahesa Kelud balas ancaman itu dengan
ejekan. "Guruku telah buntungkan lengan kirimu.
Rupanya kau inginkan muridnya buntungkan
lengan kananmu!" Si kate tertawa bekakakan. "Pemuda ingu-
san hendak menipuku! Ha... ha! Hendak menipu
Warok Kate! Mengaku murid si Cakar Setan. Pa-
dahal cuma maling kesiangan!"
Mahesa Kelud terkejut ketika mendengar
nama Warok Kate yang disebutkan oleh orang di
hadapannya itu. Warok Kate adalah seorang yang
memimpin gerombolan perampok yang bersarang
di bukit Jatiluwak, yang punya ilmu tinggi. Du-
lunya dia seorang murid pertapa sakti tapi kemu-
diannya berhati serong melakukan pekerjaan-
pekerjaan salah menjadi kepala rampok. Mahesa
tak menyangka kalau kini dia berhadap-hadapan
dengan Warok Kate sendiri!
"Ha... ha! Hilang kau punya nyali ketika
mengetahui dan mendengar namaku"!" kata Wa-
rok Kate pula. "Karena itu cepat-cepat keluarkan surat tersebut dari dalam
sakumu dan berikan kepadaku. Tapi kalau kau mencari mampus, si-
lahkan kita mulai bikin urusan!" Si kate melin-tangkan golok panjangnya di muka
dada. "Dengar Warok," sahut Mahesa Kelud. "Surat itu tidak ada padaku! Aku cuma
kebetulan le- wat di sini dan tidak tahu apa-apa!"
"Kalau begitu kau benar-benar mencari
mampus! Aku intip sendiri kau mengeluarkan su-
rat itu dari gagang pedang yang kini ada di pung-
gungmu! Kau mencari mampus!"


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersamaan dengan itu tubuh Warok Kate
melesat ke muka. Goloknya menyambar ke kepala
Mahesa Kelud laksana seekor alap-alap menyam-
bar mangsanya. Melihat ini murid Emban Jagat-
nata segera rundukkan kepala. Golok lewat di
atas kepalanya mengeluarkan angin dingin bersi-
uran. Tapi tak terduga senjata yang telah lewat
itu mendadak berbalik dengan sangat cepat dan
kini menyambar ke perutnya. Mahesa terkejut
bukan main melihat serangan yang hebat dan ce-
pat ini. Buru-buru dia melompat mundur ke be-
lakang sambil kirimkan satu jotosan tangan ka-
nan ke muka lawan. Kini Warok Kate yang terkejut. Jotosan la-
wannya tidak diduga memiliki tenaga yang tinggi
ampuh. Kepala rampok dari bukit Jatiluwak ini
tidak mau ambil risiko. Dia miringkan kepalanya
seraya menggeser kakinya ke belakang. Jotosan
Mahesa lewat di samping kirinya tapi tak urung
angin pukulan lawan yang terasa dingin meme-
rihkan matanya membuat dia terkesiap dan mun-
dur lebih jauh. "Pemuda ingusan! Kau punya sedikit ilmu
juga huh"!" bentak Warok Kate. "Beritahu kau punya nama dan siapa gurumu sebelum
nyawamu kukirim ke neraka!"
Warok Kate kembali mengeluarkan suara
bekakakan. Dia sabetkan goloknya ke arah lam-
bung Mahesa Kelud. Ketika serangan ini dapat di-
elakkan oleh pemuda itu dia segera kirimkan lagi
tiga serangan berantai dengan cepat. Meskipun
terdesak ke sudut pondok namun Mahesa masih
sanggup mengelakkan ketiga serangan yang dah-
syat itu. Ini membuat lawannya jadi penasaran.
Warok Kate hantamkan golok panjangnya kian
kemari. Beberapa jurus lamanya dia kuasai. Ma-
hesa dibuat sibuk dan melompat kian kemari. Ji-
ka saja dia tidak memiliki ilmu mengentengi tu-
buh yang tinggi serta tidak gesit maka pasti saat itu Mahesa sudah kena sambaran
senjata lawannya. Diam-diam Warok Kate jadi terkejut dan
mengagumi kehebatan pemuda lawannya itu.
Saat itu mereka sudah bertempur sebanyak dela-
pan jurus. Sebelumnya, dengan golok di tangan
tak pernah Warok Kate memberi kesempatan ber-
tahan pada lawannya sampai lima atau enam ju-
rus tanpa berhasil melukainya. Tapi kini dengan
pemuda yang tadi diremehkannya itu dia masih
tidak sanggup membuat segores luka pun pada
tubuh lawannya. Jangankan segores luka, bah-
kan goloknya tak sanggup menyentuh pakaian si
pemuda! Dan lebih membuat si kate ini menjadi
lebih geram serta penasaran ialah karena sampai
saat itu Mahesa Kelud masih saja melayaninya
dengan tangan kosong! Mahesa Kelud miringkan bahunya ke kiri
ketika ujung golok Warok Kate datang menusuk
dari muka. Begitu serangannya gagal lagi, maka
si kate hantamkan mata goloknya ke pinggul Ma-
hesa. Tapi sang lawan tidak bodoh. Sebelumnya
dia sudah duga lanjutan serangan kepala rampok
itu. Mahesa menggeser tubuhnya ke samping kiri
dengan cepat. Tangan kirinya bekerja, melayang
ke arah sambungan siku tangan kanan lawannya.
Warok mengerti apa yang bakal dialaminya. Sam-
bungan sikunya akan putus bahkan tulang si-
kunya mungkin akan ambruk bila dia teruskan
serangan goloknya. Cepat-cepat kepala rampok ini putar go-
loknya sedemikian rupa dan melompat ke samp-
ing kanan untuk menyelamatkan sikunya.
Kedua orang itu berhadap-hadapan satu
sama lain kembali. "Anak muda! Keluarkanlah
senjatamu! Untuk jurus selanjutnya aku tidak
sungkan-sungkan lagi!" kata Warok Kate. Ru-
panya manusia ini hendak mengeluarkan ilmu
simpanannya karena Mahesa Kelud melihat Wa-
rok Kate merubah cara pegangan pedangnya.
"Memang tak usah sungkan-sungkan, Wa-
rok. Biar, aku tetap layani kau dengan tangan ko-
song," jawab Mahesa pula.
Merasa dihina direndahkan Warok Kate se-
perti orang kalap segera menyerang pemuda itu.
Permainan goloknya memang sangat berubah kini
dari yang tadi. Sambaran-sambaran, sabetan-
sabetan dan tusukan-tusukannya cepat dan de-
ras serta hampir tak terduga arahnya. Mahesa
Kelud berkelebatan kian kemari namun tak urung
akhirnya ujung golok lawannya menyambar seca-
ra tak terduga ke arah dadanya ketika dia berada
dalam posisi yang sulit di pojok pondok. Dengan
mengandalkan cuma satu kaki yaitu kaki kiri
yang menjejak lantai, Mahesa coba membuang di-
ri ke samping. Ini dilakukannya dengan untung-
untungan. Meskipun dia memiliki ilmu kebal tapi
Mahesa tak mau andalkan ilmu itu jika masih bi-
sa mencari jalan mengelak yang lain. Dan gerakan
yang dibuatnya itu memang berhasil. Tapi tak
urung pakaiannya di bagian dada kena tersambar
ujung golok dan robek besar.
"Ha... ha! Pemuda sombong! Masih juga be-
rani meremehkanku dengan ilmu silat tangan ko-
songmu"!" ejek Warok Kate.
"Jangan buru-buru merasa menang, Wa-
rok!" tukas Mahesa Kelud.
Kali ini Mahesa yang memulai serangan.
Serangan yang dilancarkannya memang hebat
bertubi-tubi namun Warok melindungi tubuhnya
dengan putaran golok yang bergulung-gulung.
Murid Embah Jagatnata itu kehabisan kesaba-
rannya. Akhirnya pemuda ini keluarkan pedang
yang tersisip di belakang punggungnya.
"Nah... nah! Itu namanya manusia yang ta-
hu peradatan dunia persilatan. Majulah dengan
pedang itu, meskipun cuma sebuah pedang cu-
rian!" ejek Warok Kate.
Jawaban dari Mahesa Kelud ialah samba-
ran pedang yang tak terduga. Mulanya Warok
Kate hendak menangkis serangan ini dengan go-
loknya. Tapi mengetahui bahwa tenaga dalam la-
wannya tidak berada di bawahnya dia urungkan
niat itu. Apalagi dia maklum bahwa pedang ber-
hulu naga milik si Cakar Setan yang di tangan
Mahesa Kelud saat itu bukan pedang sembaran-
gan. Kalau selama jurus-jurus yang lewat Ma-
hesa Kelud cuma bersikap sebagai pihak yang
bertahan maka sesudah dia bersenjatakan pe-
dang milik Cakar Setan itu keadaan berubah se-
perti siang dengan malam. Pedang Cakar Setan
bukan pedang sembarangan, sedang yang meme-
gangnya bukan pula manusia sembarangan tapi
murid Embah Jagatnata yang punya ilmu tinggi
luar biasa. Keadaan jadi berubah seperti siang
malam. Warok Kate dibikin kelabakan. Gulungan
sinar kuning dari pedang di tangan Mahesa Kelud
kelihatan dengan jelas mengurung setiap gerakan
golok. Setiap serangan yang coba dilancarkan
oleh kepala rampok itu senantiasa menemui jalan
buntu di tengah jalan karena siang-siang sudah
dipapasi atau dipatahkan oleh serangan yang ber-
tubi-tubi dari Mahesa Kelud.
Warok Kate terdesak hebat ke pojok pon-
dok. Tubuhnya sudah basah oleh keringat. Gera-
kannya sudah mulai kacau. Mahesa tidak mem-
beri kesempatan. Serangannya seperti hujan lebat
menggempur dan membobolkan setiap pertaha-
nan lawan. "Celaka!" kutuk Warok Kate dalam hati.
"Tak disangka bangsat rendah ini punya ilmu
tinggi!" Diputarnya goloknya sedemikian rupa coba mengimbangi permainan lawan.
Tapi jangankan untuk mengimbangi, bahkan sebaliknya Warok
semakin terdesak. Satu kali pedang di tangan
Mahesa Kelud membabat deras ke dada Warok
Kate. Kepala rampok dari bukit Jatiluwak ini me-
lompat mundur ke belakang. Tapi ujung pedang
lawan memburu terus. Dia tak berani mematah-
kan serangan itu dengan memapasi pakai golok
karena sebelumnya senjata mereka sudah bebe-
rapa kali beradu dan Warok tahu kalau tenaga
dalam lawannya berada di atasnya. Dia khawatir
kalau goloknya buntung atau terlepas mental
yang mana tentu akan mencelakakan jiwanya.
Warok Kate melompat lagi ke belakang. Ta-
pi saat itu dia sudah memepet ke dinding sehing-
ga tubuhnya tertahan setengah lompatan. Semen-
tara itu pedang di tangan lawan menyambar deras
ke kepalanya. Warok Kate terkesiap. Untung dia
tidak menjadi gugup atau kehilangan akal. Dia
babatkan golok panjangnya ke perut lawan ber-
samaan dengan itu kaki kanannya mengirimkan
tendangan ke bawah perut Mahesa Kelud. Murid
Embah Jagatnata segera bantingkan diri ke
samping. Pedangnya menghantam dinding kajang
sampai bobol sedang kedua serangan Warok Kate
masih sempat dielakkannya dengan sekaligus.
Meskipun serangan pedang Mahesa Kelud
tidak mengenai sasaran namun goloknya masih
tertahan oleh dinding kajang sehingga tubuhnya
tidak sampai terdorong ke muka. Berlainan hal-
nya dengan Warok Kate serangan golok dan ten-
dangan kaki kepala rampok ini dilancarkan den-
gan sekuat tenaga, dan kedua-duanya mengenai
tempat kosong. Akibatnya tubuh Warok Kate ter-
dorong ke muka. Kesempatan ini dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Mahesa Kelud. Dia geserkan
kedua kakinya dengan cepat. Bersamaan dengan
itu jotosan tangan kirinya yang berisi aji "Kelabang Merah" dihantamkannya ke
pangkal teng- kuk Warok Kate. Tak ampun lagi kepala rampok ini menjerit
tinggi. Tubuhnya mental dan jatuh menelungkup
di lantai pondok sedang goloknya terlepas. Warok
gulingkan dirinya menjauhi musuh. Dia berdiri
dengan sempoyongan. Pangkal tengkuknya yang
kena pukul lawan sakitnya bukan main dan keli-
hatan sangat merah. Dia sadar bahwa bila saja
tenaga dalamnya masih dalam tingkat tanggung
tanggungan pasti pukulan "Kelabang Merah" me-namatkan riwayatnya. Kini Warok
maklum bahwa meskipun masih muda belia, tapi Mahesa Kelud
bukan tandingannya. Hatinya sangat dongkol dan
geram. Darahnya mendidih. Tapi apa daya, il-
munya jauh berada di bawah lawan.
"Ayo Warok! Ambil goloknya, tak usah ma-
lu-malu!" kata Mahesa Kelud.
Muka kepala rampok itu kelihatan sangat
merah oleh ejekan tersebut. Dia melompat ke
samping, membungkuk dan mengambil goloknya
yang di lantai. Kedua matanya memandang penuh
kegeraman pada Mahesa Kelud. Mulutnya komat-
kamit. "Bangsat rendah!" maki Warok Kate. "Lain kali aku pasti temui kau lagi!
Dan kali itu ber-siap-siaplah untuk mampus!" Warok kirimkan sa-tu serangan ke
dada Mahesa lalu terus melesat
menuju ke pintu pondok. "Mengapa lari, Warok"!"
"Anjing ingusan! Satu hari aku akan da-
tang untuk bikin kau mampus!" jawab Warok
Kate yang sudah berada di luar pondok. Dia tahu
walau bagaimana pun dia tak akan sanggup me-
layani pemuda ini. Karenanya meskipun darah-
nya mendidih namun dia terpaksa mengundur-
kan diri. Dia sudah bulat tekad bahwa di lain ke-
sempatan dia pasti membuat penyelesaian hitun-
gan dengan pemuda itu. Mahesa Kelud sendiri yang tidak ingin me-
neruskan cari urusan dengan si kepala rampok
tidak punya tekat untuk mengejarnya.
TUJUH DISETIAP muara sungai biasanya selalu
terdapat rumah penduduk yang kebanyakan
mencari hidup dengan menjadi nelayan. Tapi ti-
dak demikian dengan muara sungai Ngulonngi-
dul. Tak ada satu rumah penduduk pun terlihat
di sana. Tak ada satu gubuk atau teratak nelayan
pun terdapat di situ. Ini disebabkan karena se-
mua orang yang berdiam agak jauh dari muara
sungai tersebut sama mengetahui bahwa muara
sungai Ngulonngidul sangat angker dan ditakuti
sehingga kalau bukan manusia-manusia yang be-
rilmu tinggi dan sakti serta tidak mempunyai
urusan sangat penting, pasti tidak akan punya
nyali untuk berada dekat-dekat ke sana. Bahkan
para nelayan di pesisir selatan bila pergi ke laut senantiasa menjauhi muara
sungai itu. Pernah terdengar kabar ada beberapa
orang yang tersesat ke sana, tapi kemudian hilang lenyap tanpa tentu rimbanya.
Kabarnya pula muara sungai itu mempunyai penghuni yaitu sejenis
setan tinggi yang pasti akan merampas nyawa
siapa saja yang berani datang ke sana. Sampai di
mana kebenaran hal ini tidak satu orang pun da-
pat memastikan. Tapi baik benar entah tidaknya


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap saja tak ada orang yang berani dekat-dekat
ke sana. Malam itu gelap gulita. Udara mendung se-
dang di langit tak ada bulan atau pun bintang
yang memancarkan sinarnya menerangi bumi.
Dari laut bertiup angin dingin mengandung ga-
ram. Daun-daun pohon kelapa berlambaian dan
mengeluarkan suara mendesir menambah kese-
raman suasana sekitar muara sungai Ngulonngi-
dul. Diselingi pula dengan suara deburan ombak
yang bergulung-gulung lalu memecah di pasir, ra-
sa seram itu menjadi lebih kentara.
Tapi anehnya, di malam yang sedemikian
itu, samar-samar dalam kegelapan kelihatan se-
sosok bayangan berkelebat cepat, berlari kencang
menuju muara sungai. Tak dapat dipastikan apa-
kah sesosok bayangan ini adalah manusia atau
setan penghuni sungai Ngulonngidul sendiri! Dia
berhenti dan berdiri di atas satu unggukan pasir
laut. Diusapnya mukanya beberapa kali lalu dia
mulai memandang berkeliling. Dengan kedua ma-
tanya yang tajam dia coba menembus kegelapan
malam. Ternyata dia seorang manusia juga dan
tak lain daripada Mahesa Kelud atau Panji Ireng
adanya. Pemuda berilmu tinggi ini berada di sekitar
muara sungai yang angker itu sehubungan den-
gan surat aneh yang ditemukannya dalam pedang
milik si Cakar Setan. Dia tidak punya maksud
sama sekali untuk menjadi raja dunia persilatan
dengan jalan berusaha mendapatkan Cambuk Ib-
lis itu. Yang dipentingkan oleh Mahesa Ialah pen-
galaman dan disamping itu siapa tahu dia men-
dapat jalan guna menunaikan tugas gurunya
yakni mencari pedang Samber Nyawa dan menca-
ri serta membunuh Simo Gembong.
Mahesa tidak tahu dengan pasti dimana
Gua Iblis itu terletaknya. Tengah dia berdiri se-
perti itu dengan memandang berkeliling menda-
dak dari rerumpunan pohon-pohon dan semak
belukar yang lebat dan gelap melesat satu benda
hitam sebesar butiran jagung. Mahesa Kelud
hampir tidak melihat benda itu. Tapi dia bisa
mendengar suara desirannya yang mengeluarkan
angin bersiuran. Tahu bahwa bahaya besar hen-
dak mencelakainya pemuda itu segera melompat
mundur. Benda hitam lewat. Namun belum lagi
Mahesa Kelud sempat memalingkan kepala men-
cari sumber dari mana datangnya benda atau
senjata rahasia itu maka dua butir benda yang
sama menyusul melesat lagi ke arahnya. Yang
pertama menyerang ke jurusan lehernya sedang
yang kedua mengarah bawah perutnya.
Mahesa Kelud terkejut melihat serangan
yang bisa mematikan ini. Hatinya juga menjadi
geram karena dia tahu dari serangan tersebut
musuh gelap yang menyerangnya bermaksud un-
tuk merampas nyawanya. Dengan cepat pemuda
ini melompat ke atas. Tubuhnya melesat tinggi.
Senjata rahasia yang tadi mengarah ke bawah pe-
rutnya lewat di selangkangannya sedang yang
mengarah leher dibikin mental dengan lambaian
tangan kiri berisi kekuatan tenaga dalam ampuh.
Namun penyerang gelap yang bersembunyi
di balik semak-semak rupanya tidak mau membe-
ri kesempatan pada Mahesa Kelud. Begitu dili-
hatnya pemuda itu berhasil memusnahkan se-
rangannya dia segera lemparkan lagi empat butir
senjata rahasianya. Secepat kilat murid Embah
Jagatnata menjatuhkan diri ke tanah. Gerakan-
nya ini sekaligus berhasil mengelakkan dua butir
senjata rahasia yang menyerangnya. Butiran keti-
ga yang mengarah dadanya dielakkan dengan ja-
lan bergulingan di tanah sedang butiran senjata
rahasia keempat ditangkapnya dengan tangan ki-
ri. Meskipun telapak tangannya agak pedih ketika
terbentur senjata musuh tersebut namun tanpa
menunggu lebih lama Mahesa Kelud segera me-
lemparkan senjata itu ke jurusan semak-semak.
Penyerang gelap yang bersembunyi di balik
semak-semak mau tak mau jadi terkejut melihat
senjata rahasianya ditangkap sedemikian rupa
dan dilemparkan kembali kepadanya. Dengan
mengeluarkan suara cekikikan melengking di ma-
lam sunyi itu, dia melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Sejurus kemudian penyerang ini sudah be-
rada di hadapan Mahesa Kelud. Ternyata dia ada-
lah seorang nenek-nenek, bertubuh kurus tapi
tinggi, lebih tinggi dari Mahesa. Mukanya cekung
dan keriputan. Kedua matanya sipit. Rambutnya
berwarna putih dan jarang sehingga batok kepa-
lanya bisa terlihat dengan jelas. Di setiap telinganya terdapat sepasang anting-
anting hitam. Dia hanya mengenakan sehelai kain panjang hitam
yang dipakai lewat dengkul sehingga kakinya
yang kecil kurus dan bengkok tersingkap sama
sekali. Di hadapan Mahesa Kelud dia masih terus
tertawa cekikikan memperlihatkan barisan gigi-
giginya yang sudah banyak ompongnya.
Mau tak mau Mahesa Kelud jadi bergidik
juga melihat perempuan tua aneh ini. Meskipun
hatinya masih geram terhadap manusia ini kare-
na tadi dia telah diserang secara pengecut dan
membabi buta, namun memaklumi bahwa dia
berhadapan bukan dengan orang sembarangan,
Mahesa Kelud tidak mau bertindak gegabah.
Hembusan nafas perempuan tua ini sangat tajam
dan memerihkan mata. Mahesa kerahkan tenaga
dalamnya dan bertanya. "Nenek, kau siapa?"
Yang ditanya cekikikan setinggi langit. Ma-
hesa menggeram dalam hatinya. Tapi dia me-
nunggu dan waspada. "Pemuda, kau rupanya
punya ilmu yang diandalkan heh"! Kau tahu
bahwa berada di sekitar sini berarti mencari
mampus"!" "Harap dimaafkan kalau kedatanganku
mengganggu ketentraman Nenek..." kata Mahesa Kelud tetap tenang dan menghormat.
"Tapi aku tidak punya maksud demikian."
"Ho... ho! Lalu kau punya maksud apa"!"
"Aku tengah mencari di mana letaknya Gua
iblis." menerangkan Mahesa Kelud.
Si nenek tertawa melengking. "Aku sudah
duga," katanya, ia tudingkan ibu jari tangan kanannya ke dadanya yang rata dan
kulitnya keri- putan. "Aku adalah Nenek Iblis. Aku pemilik Gua Iblis itu. Ikut aku...!"
Si nenek berkelebat. Tubuhnya lenyap dari
hadapan Mahesa Kelud. Pemuda ini segera gera-
kan kaki menyusul si nenek. Meskipun si Nenek
Iblis tidak dapat dilihatnya dengan jelas ke mana larinya, namun dari tertawa
cekikikannya yang terus menerus terdengar. Mahesa Kelud masih
sanggup mengetahui ke mana perginya si nenek.
Mahesa lari dengan kencang di antara pe-
pohonan rapat dan sekali-sekali terpaksa melom-
pati semak belukar tinggi. Mendadak tawa ceki-
kian si Nenek Iblis lenyap. Mahesa Kelud meng-
hentikan larinya. Dia memandang berkeliling
mencari-cari di mana si nenek adanya.
"Anak muda! Kemari!"
Mahesa memutar tubuhnya ke kiri ke arah
dari mana datangnya suara memanggil itu. Di
muka sana, di ambang pintu gua besar yang ter-
tutup batu karang tebal berdiri si Nenek Iblis ber-tolak pinggang. Kepalanya
yang berambut putih jarang menyondak bagian atas gua. Mahesa Kelud
melangkah ke hadapan si Nenek Iblis.
Begitu dia sampai di hadapan si Nenek Ib-
lis pertanyaan pertama segera diajukan kepa-
danya. "Kau punya nama siapa"!"
"Jaliteng," jawab Mahesa Kelud berdusta.
"Kau murid siapa?" tanya lagi si Nenek Iblis.
"Si Cakar Setan di kaki gunung Wilis."
Kini tampak perubahan di wajah keriput
nenek-nenek itu ketika dia dengar nama Cakar
Setan. Satu seringai kemudian muncul di wajah-
nya. "Pantas kau punya nyali datang ke sini heh!
Bagus... bagus... bagus Jaliteng! Kau inginkan
Cambuk Iblis itu, bukan"!"
Jaliteng alis Mahesa Kelud alias Panji Ireng
mengangguk. "Tidak mudah untuk mendapatkan senjata
digjaya itu anak muda...."
"Aku tahu. Tapi aku akan coba Nek."
"Bagus... bagus. Mana itu surat rahasia se-
bagai bukti"!" Dari dalam sakunya Mahesa Kelud menge-
luarkan surat rahasia yang ditemuinya dalam pe-
dang si Cakar Setan satu minggu yang lewat.
Waktu diperlihatkan surat tersebut, diam-diam si
nenek memperhatikan jari-jari tangan Mahesa Ke-
lud. Surat itu diambilnya kemudian dirobek-
robeknya. Tiba-tiba, dengan sangat cepat dan ti-
dak terduga kedua tangan yang tengah merobek-
robek itu melesat ke muka.
"Bukk!" Dua pukulan yang sangat keras menghan-
tam tubuh Mahesa Kelud dalam waktu yang ber-
samaan. Yang pertama mendarat di ulu hatinya
sedang yang kedua menghantam pangkal tenggo-
rokannya, tepat pada urat aliran darah. Karena
tak menduga akan dipukul mendadak sedemikian
rupa dan lagi dua pukulan si Nenek Iblis bukan
pukulan biasa melainkan berisi tenaga dalam
yang tinggi, maka tak ampun lagi Mahesa Kelud
roboh dan jatuh pingsan, melingkar di tanah di
muka kaki si Nenek Iblis.
Perempuan tua bermuka buruk itu tertawa
cekikikan beberapa lamanya. Tubuhnya diputar.
Dengan tangan kanannya digedornya pintu batu
karang yang menutupi mulut gua. Digedor sede-
mikian rupa anehnya batu karang yang kukuh
dan tebal segera menggeser membuka.
Dengan tangan kirinya si nenek menyeret
tubuh Mahesa Kelud ke dalam gua.
Di antara cekikikannya dia berkata: "Pe-
muda hijau hendak menipu aku si Nenek Iblis!
Mengaku bernama Jaliteng murid si Cakar Setan!
Hi... hi! Tak apa... tak apa! Pemuda macam kau
pun sudah cukup bagiku! Hi... hi... hi!!"
Dengan mempergunakan tumit kaki kirinya
si nenek kemudian menendang batu karang di be-
lakangnya. Batu itu bergeser lagi dan mulut gua
pun tertutup. Di dalam gua gelapnya bukan main.
Bila jari-jari tangan diletakkan di muka mata pun tidak akan kelihatan. Tapi si
nenek yang sudah tahu seluk beluk gua itu dan juga memakai pera-
saan serta pendengarannya yang tinggi, berjalan
dengan seenaknya sambil menyeret tubuh Mahe-
sa Kelud. Di satu bagian gua terdapat banyak lorong-
lorong kecil. Si Nenek Iblis membelok ke salah sa-
tu lorong tersebut kemudian berhenti di hadapan
dinding yang berbentuk empat segi. Ini adalah se-
buah pintu. Kembali dia pergunakan tangan ka-
nannya untuk menggedor salah satu bagian raha-
sia dari pintu tersebut, dan seperti pintu di mulut gua, batu karang berat dan
tebal menggeser secara aneh ke samping.
"Masuk!" bentak si nenek. Tubuh Mahesa
Kelud ditendangnya sampai mental masuk ke da-
lam ruangan batu karang yang sempit dan gelap.
Di hadapan pintu itu si nenek tertawa sepuas ha-
tinya. "Satu korban lagi! Satu korban lagi...!" katanya. Kemudian pintu
digedornya. Batu karang penutup pintu tertutup pula dengan rapat.
DELAPAN ENTAH berapa lama waktu berlalu.... Ma-
hesa Kelud siuman sadarkan diri. Tubuhnya le-
mah lunglai. Tulang-tulangnya terasa sakit. Per-
lahan-lahan dibukakannya kedua matanya. Dia
jadi terkejut karena sama sekali tidak melihat
apa-apa selain kegelapan yang amat sangat. Digo-
sok-gosoknya kedua matanya. Masih gelap. Digo-
soknya lagi, tetap saja tidak berubah. Pemuda ini menyangka bahwa kedua matanya
sudah menjadi buta! Kepalanya seperti mau pecah! Dia berteriak
keras! Tak jelas apa yang diteriakkannya itu. Sua-ra teriakannya menggema dan
menyakitkan anak telinganya. Dengan penuh keputusasaan pemuda
ini berdiri sempoyongan. Dia meraba-raba. Tapak
tangannya menyentuh dinding karang yang san-
gat tebal. Diputarinya ruangan itu. Setiap dia meraba selalu saja dinding karang
tebal yang dipe- gangnya. Dinding karang ini dingin dan berlumut.
Mahesa Kelud kini menyadari bahwa di-
rinya dikurung di satu ruang kecil dan gelap tan-
pa jendela atau pun pintu.
"Tapi mustahil tidak ada pintu. Kalau tidak
ada bagaimana aku dijebloskan ke sini?" pikir si pemuda. Dia berkeliling sekali


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi dalam ruangan gelap itu. Akhirnya dirasakannya satu legukan
pada dinding. "Ini mungkin pintunya," pikir Mahesa. Dikerahkannya segala
kekuatan dan tenaga dalamnya. Dengan bahunya dia dorong bagian
dinding yang leguk itu berkali-kali. Tapi hasilnya nihil. Dicobanya memukul dan
menendang. Pukulan dan tendangannya berisi aji kesaktian yang
diajarkan Embah Jagatnata, tapi hasilnya tetap
kesia-siaan belaka. Tubuh pemuda ini basah oleh
keringat. Tangan dan kakinya sakit-sakit. Dia ja-
tuhkan diri ke lantai dan duduk bersandar di
dinding. "Celaka! Bila aku dikurung terus-terusan di sini aku bisa mati konyol!
Terkutuk perempuan tua itu!" kata Mahesa memaki.
Mendadak terdengar ketukan pada dinding
di mana dia bersandar. Mahesa terkejut. Dipa-
sangnya telinganya. Terdengar lagi suara ketukan
yang serupa. Lebih jelas. "Orang yang memaki, kau siapa?" Suara ketukan disusul
oleh suara pertanyaan halus. Agaknya yang bertanya ini seo-
rang tua renta. Mahesa Kelud jadi terkejut. Terdengar sua-
ra halus bertanya: "Orang di kamar sebelah, kau siapa" Apakah kau tawanan baru?"
"Betul," sahut Mahesa Kelud. "Kau sendiri siapa, orang tua...?" balik menanya
Mahesa. "Orang-orang menjuluki aku si Karang Se-
wu. Tapi kini cepat atau lambat akan tamatlah
riwayat si Karang Sewu!"
Mahesa Kelud terkejut bukan main. Dalam
dunia persilatan siapa manusianya yang tidak
kenal dengan si Karang Sewu" Karang Sewu, seo-
rang tokoh kelas satu yang pernah menggetarkan
dunia persilatan bahkan boleh dikatakan merajai
dunia persilatan secara tidak resmi, kini tahu-
tahu berada di dalam Gua Iblis itu.
"Aku kena ditipu dan dipenjarakan di sini
oleh si Nenek Iblis."
Ingat kepada nasibnya sendiri, Mahesa ber-
tanya pula. "Bagaimana kau orang yang lihay bisa kena ditipu?"
"Sepuluh tahun yang lalu...."
"Sepuluh tahu yang lalu?" memotong Ma-
hesa. "Jadi selama itu kau sudah dipenjara di si-ni?" "Betul. Aku hanya tunggu
detik kematian saja lagi."
"Ampun..." kata Mahesa dalam hati. "Bila aku dipenjarakan sampai sekian lama
bisa celaka!" Mahesa memandang ke dinding yang tak ke-
lihatan di hadapannya. "Karang Sewu, selama sepuluh tahun itu apa kau tidak
berhasil mencari usaha untuk lari...?"
Si orang tua terdengar menarik nafas da-
lam. "Sebaiknya aku akan tuturkan padamu ri-
wayatku agar menjadi jelas."
"Aku akan dengarkan dengan senang hati,
Karang Sewu," kata Mahesa sambil rapatkan telinga ke dinding.
Karang Sewu mulai tuturkan riwayat.
"Sepuluh tahun yang lewat, ketika aku ma-
sih mengembara di sebelah barat, dari seorang
pengemis aneh aku mendapatkan sepucuk surat
rahasia. Surat rahasia ini diberikannya padaku
karena aku telah selamatkan nyawanya dari satu
malapetaka. Surat itu pendek dan isinya kalau
aku tidak salah ditujukan kepada pendekar-
pendekar utama dari delapan penjuru angin. Sia-
pa-siapa di antara mereka yang ingin merajai du-
nia persilatan diajurkan untuk datang ke Gua Ib-
lis di mana terdapat satu senjata ampuh bernama
Cambuk Iblis." Sampai di sini sebenarnya Mahesa Kelud
hendak menyela penuturan itu, hendak mene-
rangkan bahwa dia pun sampai ke gua tersebut
adalah karena sepucuk surat yang sama. Namun
Mahesa membatalkan niatnya. Dia biarkan Ka-
rang Sewu merenungkan riwayatnya.
"Menurut si pengemis, surat seperti itu ada
delapan helai. Lima di antaranya sudah jatuh ke
tangan pendekar-pendekar silat kelas satu yang
kemudian segera pergi mencari di mana letak Gua
Iblis tersebut. Sebegitu jauh kelima pendekar itu tidak pernah lagi didengar
kabarnya. Mereka seperti hilang tak tahu rimbanya. Setelah dapatkan
surat itu diam-diam aku memutuskan untuk
mencari Gua Iblis. Maksudku bukan untuk men-
jadi raja dunia silat, sama sekali tidak. Aku hanya ingin cari pengalaman. Ingin
tahu senjata macam mana dan bagaimana keampuhannya Cambuk Ib-
lis itu serta ingin menyelidik apa yang telah terjadi dengan kelima pendekar
kelas satu tadi. Ada kira-kira dua purnama aku berkeliling baru men-
dapatkan keterangan di mana letaknya gua itu.
Aku sampai ke sini pada suatu pagi yang men-
dung. Ketika aku berdiri di mulut gua yang tertu-
tup batu karang dengan bingung karena pintu itu
sukar dibuka, maka aku putuskan untuk meng-
hancurkan batu karang menyumpal mulut gua
dengan pukulanku yang berisi aji Karang Sewu,
bukan aku sombong tapi sebegitu jauh tak ada
satu benda apa pun yang tahan terhadap puku-
lanku...." "Jika memang demikian mengapa kau ti-
dak hancurkan saja dinding kamar di mana kau
dipenjarakan saat ini dan melarikan diri?" tanya Mahesa Kelud memotong.
"Itulah..." sahut Karang Sewu dan untuk kesekian kalinya jago tua ini tarik
nafas dalam. "Nanti dalam kelanjutan penuturanku kau
akan tahu juga. Ketika baru saja aku ayunkan
tinju kanan untuk menghancurkan batu karang
yang menutup pintu gua, tiba-tiba melayang satu
butir benda hitam ke arah tanganku. Melihat ke-
pada bentuknya benda itu serta kecepatan mele-
satnya yang luar biasa, aku segera tahu bahwa
itu adalah jenis senjata rahasia yang berbahaya.
Aku tidak mau celaka dan cepat-cepat menarik
pulang tanganku. Beberapa butir senjata rahasia
semacam itu menyerangku lagi dari tempat yang
tersembunyi. Semuanya berhasil kuelakkan. Aku
mencari perlindungan di balik sebatang pohon
besar dan berteriak agar musuh gelap yang ber-
sembunyi segera keluar memperlihatkan tam-
pangnya. Dari atas pohon di belakang gua kemudian
melayang turun sesosok tubuh perempuan me-
makai kain hitam. Tanpa menimbulkan suara ke-
dua kakinya mencapai tanah di muka pintu gua.
Perempuan tua ini kemudian kuketahui adalah si
Nenek Iblis yang memiliki gua. Dia membentakku
agar datang ke hadapannya. Aku melompat ke
muka gua. Dia tanya apakah aku mau mencari
mampus berani-beranian datang ke daerahnya.
Kuterangkan bahwa aku mencari Cambuk Iblis.
Dia meminta surat rahasia. Surat itu kuberikan.
Setelah diperhatikannya lalu dirobek-robeknya.
Aku berbuat salah. Aku lengah waktu itu. Tanpa
terduga sama sekali tangan yang tengah merobek-
robek itu tahu-tahu melayang menghantam aliran
darah dan perutku! Aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku siuman ternyata diriku sudah dibikin
cacat oleh Nenek berhati iblis itu. Kedua tangan
dan kakiku telah dibacok putus! Si perempuan ib-
lis itu tahu selama kedua tangan dan kakiku ma-
sih tetap utuh, penjara manapun tak sanggup
mengurungku. Dalam waktu yang singkat aku
akan segera bisa lolos. Karena itu siang-siang, se-lagi aku pingsan tak berdaya
dia pergunakan ke- sempatan untuk melakukan perbuatan durjana
itu. Nah, kini kau tahu anak muda. Meskipun
aku masih tetap memiliki aji kesaktian Karang
Sewu tak ada gunanya karena aku tidak bisa per-
gunakan tangan ataupun kakiku yang sudah
buntung!" "Mengapa dia tidak bunuh kau saja dengan
seketika?" bertanya Mahesa Kelud.
"Tentu ada sebabnya," sahut Karang Sewu.
"Si Nenek Iblis tidak ingin melihat tawanannya mati dengan cepat. Dia ingin
menyiksa sedikit demi sedikit dulu sampai akhirnya sang tawanan
meregang nyawa dengan sendirinya...."
"Maksudmu?" tanya Mahesa Kelud tak
mengerti. "Setiap tawanan di sini tak pernah diberi
makan. Dengan sendirinya mereka akan mati ke-
laparan!" "Tapi mengapa kau sampai saat ini masih
hidup" Kau bilang sudah sepuluh tahun dikurung
di sini padahal tak pernah diberi makan."
"Si Nenek keparat itu memang tidak mem-
beri makan. Tapi dia tidak tahu bahwa di dalam
sini aku bisa mendapatkan makanan!"
"Makanan" Makanan dari siapa?" tanya
Mahesa Kelud pula. "Bukan dari siapa-siapa. Anak muda, coba
kau pegang dinding karang di dekatmu...."
Mahesa ulurkan tangannya dan meraba
dinding karang di hadapannya.
"Sudah?" "Sudah." "Nah, apa yang kau rasakan di dinding
itu?" "Dinding ini lembab, licin dan berlumut,"
jawab Mahesa Kelud. "Betul... betul! Kau tadi menyebutkan lu-
mut! Ya... lumut itulah yang telah menyambung
nyawaku selama sepuluh tahun di sini. Selama
aku terpenjara lumut itu yang aku makan...."
Mahesa Kelud menggigit bibir. Dia maklum,
kalau sampai tahunan pula dia dikurung di ruang
batu karang itu untuk hidup satu-satunya hanya-
lah dengan makanan lumut. Kemudian terdengar
lagi suara si Karang Sewu. "Mula-mula sangat tidak enak dan pahit rasanya lumut
itu. Pertama kali aku makan, aku muntah-muntah. Tapi se-
minggu kemudian aku sudah mulai bisa...."
"Selama sepuluh tahun itu apakah lumut
di dinding dalam ruanganmu tidak habis-habis?"
tanya Mahesa. "Tidak. Kau tahu penjara ini terletak di tepi sebuah anak sungai. Udara selalu
lembab. Dalam waktu satu hari saja lumut-lumut yang baru ber-
tumbuhan dengan cepat."
Mahesa saat itu memang merasakan pe-
rutnya sangat lapar. Dikoreknya sedikit lumut da-
ri dinding lalu coba dicicipinya. Sesaat kemudian lumut itu diludahkannya ke
lantai. "Hai, ada apa kau meludah-ludah?" terdengar suara Karang Sewu dari kamar
sebelah. "Pahit!" "Apa yang pahit?"
"Lumut ini. Kucoba mencicipinya!"
Si Karang Sewu tertawa perlahan. "Mula-
mula memang terasa demikian, namun lama-
lama kau akan biasa dan lidahmu akan mera-
sanya manis," kata jago tua itu pula. "Anak muda, omong-omong kau belum
perkenalkan diri dan beritahu siapa nama gurumu."
Mahesa berpikir-pikir. Apakah dia akan be-
ri keterangan palsu atau mengatakan dengan ju-
jur siapa dia dan siapa gurunya. "Karang Sewu, apa kau sudi dengar riwayatku?"
"Oh tentu sudi. Ceritalah anak muda...."
SEMBILAN "NASIB yang membawaku sampai ke sini
tiada beda dengan nasibmu. Aku baru saja turun
gunung dilepas guruku yang bernama Embah Ja-
gatnata. Mungkin kau pernah dengar nama be-
liau...." "Jagatnata..." Embah Jagatnata?" Karang Sewu berpikir-pikir. "Tidak,"
katanya. "Tak pernah kudengar nama itu. Di mana gurumu berdiam?"
"Puncak gunung Kelud."
"Puncak gunung Kelud" Aneh... selama pu-
luhan tahun gunung itu dianggap angker. Semua
orang dalam kalangan persilatan sama mengeta-
hui bahwa tak ada orang sakti yang bermukim di
sana. Ini adalah satu kabar aneh yang aku baru
dengar. Tapi aku maklum, selama sepuluh tahun
terkurung di sini, dunia luaran tentu telah ba-
nyak mengalami perubahan. Jago-jago baru ba-
nyak bermunculan. Gurumu pasti seorang sakti
luar biasa. Kalau tidak mana mungkin dia menca-
ri tempat kediaman di puncak gunung Kelud."
"Guruku biasa saja, Karang Sewu. Kurasa
ilmunya tak beda dengan yang dimiliki orang-
orang sakti lainnya termasuk kau," kata Mahesa Kelud pula.
"Ah... kau pandai merendah diri. Aku suka
padamu. Tapi kau masih belum beritahu nama-
mu." "Maaf, aku sampai kelupaan. Aku Mahesa Kelud." Teruskan kisahmu, Mahesa."
"Aku turun gunung. Ketika malam tiba ku-
lihat ada nyala api di kejauhan. Ketika kudatangi ternyata nyala api ini adalah
sebuah pelita yang terletak di atas meja di dalam sebuah pondok.
Aku masuk. Dan terkejut ketika menemui ada
orang terkapar di lantai. Tubuhnya mandi darah.
Mukanya kena bacok.. Orang yang tengah mere-
gang nyawa itu ternyata adalah si Cakar Setan...."
"Cakar Setan!" kata Karang Sewu setengah
berseru karena terkejut. "Apa yang terjadi dengan jago silat itu"!"
"Rupanya surat rahasia dari Gua iblis ini
salah satu di antaranya jatuh ke tangan si Cakar


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan. Di lain pihak seorang jago silat yaitu Wa-
rok Kate kurasa mengetahui pula perihal surat itu lalu mendalangi tempat
kediaman si Cakar Setan...." "Warok Kate memang seorang kepala rampok tamak dan
jahat.!" tukas Karang Sewu.
"Tentunya telah terjadi perang tanding an-
tara kedua pendekar itu. Dan si Cakar Setan ber-
hasil dikalahkan oleh Warok Kate. Kepala rampok
itu kemudian menggeledah isi pondok kediaman
Cakar Setan, mencari surat rahasia tersebut. Tapi tak berhasil. Dalam keadaan
tangannya sendiri buntung Warok Kate kemudian tinggalkan si Ca-
kar Setan. Saat itulah aku muncul. Kasihan si
Cakar Setan. Kedua matanya tidak bisa melihat
karena tergenang oleh darah yang keluar mem-
banjir dari luka bekas bacokan Warok Kate pada
mukanya. Dia sangka aku adalah muridnya, Jali-
teng. Lantas saja dia terangkan padaku di mana
surat rahasia tersebut berada yaitu di dalam pe-
dang...." "Si Cakar Setan memang seorang cerdik
dalam hal menyembunyikan apa-apa. Lalu kau
temui surat itu?" tanya Karang Sewu dari kamar sebelah.
"Betul. Ternyata disembunyikan dalam leh-
er ukiran naga pada gagang pedang. Pedang kun-
ing milik si Cakar Setan kuambil, sekarang ada
padaku...." "Kau mencurinya"!"
"Aku tidak bermaksud demikian. Tapi ka-
rena aku tahu bahwa senjata itu bukan senjata
sembarangan dan khawatir sepeninggalku akan
dicuri orang lain untuk dipergunakan dalam
maksud-maksud jahat maka aku putuskan untuk
membawanya. Di satu waktu aku akan berikan
pedang ini kepada siapa yang berhak mewari-
sinya. Mungkin Jaliteng, murid si Cakar Setan
sendiri...." "Tapi di samping Jaliteng, si Cakar Setan
masih memiliki beberapa orang murid lagi. Satu
di antaranya seorang gadis! Kau bisa kena celaka, Mahesa! Murid-murid si Cakar
Setan pasti akan menjatuhkan tuduhan kepadamu! Tuduhan berat
yaitu membunuh guru mereka mencuri pedang
dan surat rahasia! Mereka pasti mengadu nyawa
dengan kau sampai seribu jurus!"
"Hal itu bisa dimaklumi!" sahut Mahesa Kelud sambil meluruskan kedua kakinya
yang tera- sa pegal di lantai. "Namun bila aku berhadapan dengan salah seorang dari mereka
nanti aku akan terangkan kejadian yang sebenarnya."
"Memang harus demikian supaya mereka
tidak salah sangka," ujar Karang Sewu pula. "Te-ruskanlah kisahmu."
"Ketika aku berniat untuk pergi mendadak
seseorang menerobos masuk lewat pintu pondok.
Manusia ini ternyata adalah Warok Kate! Rupanya
diam-diam dia telah mengintip kedatanganku ke
pondok itu dan mengetahui bahwa surat rahasia
yang dicari-carinya kini berada di tanganku. Den-
gan membentak dan mengancam dia meminta su-
rat tersebut. Karena aku sudah bertekad untuk
mempertahankan surat itu maka terjadilah perke-
lahian seru antara kami. Warok Kate, memang
seorang yang lihay dan gesit. Untung sekali pe-
dang si Cakar Setan ada padaku sehingga setelah
bertempur belasan jurus Warok Kate yang mulai
merasakan dirinya terdesak segera ambil keputu-
san untuk kabur. Sebelum berlalu dia masih
sampaikan ancaman padaku bahwa satu ketika
dia akan datang kembali untuk merampas nya-
waku!" "Aku tahu sifat Warok Kate," kata Karang Sewu pula. "Ancamannya itu bukan
ancaman kosong. Dia pasti mencari guru yang lihay. Setelah
mendapatkan ilmu tambahan baru dia akan
menghadapi kau mungkin pula dia membawa ser-
ta benggolan-benggolan rampok kawakan lain-
nya...." Menurut Mahesa Kelud apa yang dikatakan orang tua itu memang benar. Dia
kembali termenung memikirkan nasibnya yang baru saja turun
gunung, belum apa-apa tahu-tahu sudah kejeblos
ke dalam penjara tanpa ada harapan untuk bisa
kabur melarikan diri. Sampai puluhan tahun dia
akan mendekam di ruang batu karang yang sem-
pit gelap dan lembab itu sampai akhirnya dia
menghembuskan nafas penghabisan tanpa sang-
gup menunaikan tugas-tugas yang diberikan gu-
runya Embah Jagatnata. "Bagaimana dengan kelima jago-jago silat
yang kau terangkan tadi" Apa berhasil mencari
atau mengetahui jejak mereka?" tanya Mahesa.
"Tidak. Namun kuduga mereka juga sudah
menjadi korban si Nenek Iblis, dipenjarakan di
gua ini. Kau tahu di sini terdapat banyak lorong-
lorong dan setiap lorong ada kamar-kamar penja-
ra seperti tempat di mana kita di kurung saat ini.
Kalau saja kelima orang itu tahu bahwa lumut di
dinding karang ini bisa dimakan, mungkin mere-
ka masih hidup sampai saat ini...."
"Kasihan mereka...."
"Ah... mengapa harus kasihan sama mere-
ka" Mengapa harus pikirkan nasib mereka" Kita
sendiri harus kasihan pada diri kita yang sudah
ditimpa nasib celaka ini. Kita harus pikirkan na-
sib kita sendiri..." ujar si Karang Sewu pula.
"Karang Sewu," kata Mahesa Kelud. Dia
putar pembicaraan. "Kau jauh lebih tua dariku.
Tentu lebih banyak pengetahuan. Aku tidak men-
gerti mengapa pemilik gua ini berhati jahat dan
menyebarkan surat-surat celaka itu. Siapa si Ne-
nek Iblis ini sebenarnya?"
"Mengapa dia sampai berhati sejahat Iblis,
ada riwayatnya," jawab Karang Sewu.
"Kalau kau tak keberatan menuturkan-
nya..." mohon Mahesa.
"Aku akan tuturkan. Dulunya si Nenek Ib-
lis ini seorang perempuan baik-baik. Nama as-
linya aku tak ingat lagi. Ketika masih belasan tahun dia sudah diambil murid
oleh seorang perta- pa sakti disatu pulau kecil di pantai utara. Me-
nanjak dewasa nyatalah bahwa dia bakal menjadi
seorang gadis berparas jelita. Banyak pendekar-
pendekar muda yang jatuh cinta tergila-gila pa-
danya. Dia sendiri jinak-jinak merpati. Namun
demikian akhirnya dia terpikat juga pada seorang
pemuda berilmu tinggi dan dijuluki Simo Gem-
bong...." "Simo Gembong?" seru Mahesa Kelud.
"Hai, kau terkejut sekali mendengar nama
itu. Kau kenal Simo Gembong?" tanya Karang Se-wu dari kamar sebelah.
"Tidak. Tapi...."
"Tapi apa?" "Simo Gembong adalah manusia yang aku
harus cari," menerangkan Mahesa Kelud.
"Hemm... kau punya urusan dengan orang
itu agaknya?" Mahesa ragu-ragu seketika lalu membuka
mulut. "Karang Sewu, ketahuilah bahwa waktu
aku dilepas turun gunung oleh guruku, beliau
memberikan dua buah tugas penting padaku. Sa-
lah satu di antaranya ialah harus mencari sampai
dapat seorang yang bernama Simo Gembong dan
membunuhnya!" Di kamar sebelah si Karang Sewu mengge-
leng-gelengkan kepalanya. "Mahesa Kelud," katanya, "Bukan aku memandang rendah
kepada ilmumu atau meremehkanmu. Tapi jika Simo
Gembong masih hidup saat ini, kurasa sukar di-
cari orang yang sanggup menandinginya. Aku
sendiri tidak sungkan-sungkan mengaku bahwa
ilmuku masih berada di bawahnya. Berbahaya,
terlalu berbahaya mencari urusan dengan dia
Mahesa!" "Tapi Karang Sewu," berkata Mahesa Ke-
lud. "Guruku agaknya juga memaklumi keheba-
tan Simo Gembong tersebut. Karenanya sebelum
aku mencari dia, Embah Jagatnata menugaskan
aku agar terlebih dahulu mencari sebuah pedang
bernama Samber Nyawa. Menurut beliau hanya
dengan pedang itulah si Simo Gembong bisa di-
habisi riwayatnya." "Kalau kau sebut-sebut pedang Samber
Nyawa, itu lain perkara, Mahesa."
"Jadi kau tahu mengenai senjata ini?"
"Semua jago silat dalam dunia persilatan
pernah mendengar tentang pedang sakti itu. Se-
mua mereka ingin memilikinya. Namun sebegitu
jauh tidak satu orangpun yang tahu di mana pe-
dang itu berada, termasuk aku. Lambat laun di-
ragukan tentang adanya senjata tersebut. Mahe-
sa... tugas yang diletakkan gurumu di atas pun-
dakmu adalah tugas sangat berat. Nyawa hadan-
gannya." "Aku maklum Karang Sewu. Tapi sebagai
murid aku harus laksanakan. Kapan lagi aku
berbakti kepadanya...."
"Betul, betul.... Tandanya kau seorang mu-
rid yang tahu balas jasa. Mari kuteruskan men-
genai riwayat si Nenek Iblis tadi. Jadi semasa ga-disnya dia adalah seorang
gadis yang jelita. Ba- nyak pemuda tergila padanya sampai suatu hari
dia terpikat pada Simo Gembong yang juga masa
itu merupakan seorang pemuda gagah dan beril-
mu. Simo Gembong sebenarnya adalah pemuda
hidung belang doyan perempuan. Kesempatan ini
tidak disia-siakannya. Dia segera tempel si gadis.
Sebagaimana setiap pemuda hidung belang maka
begitulah, Simo Gembong cuma permainkan itu
gadis. Ketika dia puas mencicipi tubuh yang in-
dah dan mulai bosan maka dia segera tinggalkan
si gadis. Padahal saat itu gadis tersebut sudah
berbadan dua! Si gadis mencari Simo Gembong.
Celakanya waktu itu dipergokinya Simo Gembong
sedang meniduri anak gadis orang di satu pondok
di tengah ladang yang sepi. Si Nenek Iblis tidak
mau ambil perduli dengan urusan Simo Gem-
bong. Yang penting baginya ialah mendapatkan
pemuda itu dan meminta pertanggung jawabnya.
Si Nenek Iblis yang cinta akan Simo Gembong
mengharap agar mereka bisa buru-buru kawin
demi menutupi malu karena kandungannya su-
dah membesar. Tapi Simo Gembong mengelak diri
dan tidak mengacuhkan dia sama sekali. Si Nenek
Iblis jadi kalap dan mengamuk hebat. Dia serang
Simo Gembong. Maka terjadilah perkelahian yang
sangat hebat. Tadinya mereka saling suka sama
suka dan kini sebaliknya bertekad bulat untuk
mencabut nyawa satu sama lain. Sekali lagi Simo
Gembong menunjukkan kepengecutan di mana
dia tidak bertanggung jawab. Tahu bahwa bekas
kekasihnya itu memiliki ilmu yang lebih tinggi,
maka ketika dia mulai kepepet dia segera ambil
langkah seribu dan kabur. Si Nenek Iblis menge-
jar dan memburunya terus. Tapi Simo Gembong
hilang lenyap seperti di telan bumi. Sampai saat
ini tidak satu orangpun tahu di mana dia berada.
Cuma satu hal yang dapat dipastikan ialah bahwa
tentunya, kalau dia masih hidup maka ilmu silat
dan kesaktiannya tentu sudah mencapai tingkat
yang tinggi, yang bukan sembarang orang bisa
mencapainya...." "Bagaimana dengan si Nenek Iblis sesudah
dia tak berhasil menemui Simo Gembong?" tanya Mahesa Kelud.
"Beberapa bulan sesudah Simo Gembong
lenyap maka diapun melahirkan. Ternyata anak
haram jadah yang ia brojotkan ke dunia ini ada-
lah seorang laki-laki dan celakanya tampangnya
sangat sama dengan Simo Gembong. Sudah ba-
rang tentu dendam si Nenek Iblis terhadap Simo
Gembong menggejolak kembali, ditambah pula
bahwa itu adalah anak haram jadah maka tanpa
hati kemanusiaan sedikit pun si Nenek Iblis lan-
tas saja bunuh itu bayi! Sejak dia membunuh
anak sendiri, sejak itu sifatnya yang kejam dan
terkutuk menjadi-jadi. Dia membenci kepada se-
mua orang, terutama terhadap laki-laki yang ber-
tampang gagah dan punya ilmu tinggi. Di mana-
mana dia mencari lantaran, menganiaya dan
membunuh. Sementara itu dia tak henti-hentinya
mengelana mencari Simo Gembong. Sambil men-
gelana dia menyebar maut. Dan ketika puluhan
tahun kemudian dia sudah menjadi seorang ne-
nek-nenek maka orang-orang menggelarinya si
Nenek Iblis. Kurasa gelar itu sangat cocok."
"Lantas apa perlunya si Nenek Iblis menye-
barkan delapan surat rahasia itu?" tanya Mahesa Kelud. "Dengan dua maksud,"
jawab Karang Se-wu. "Pertama untuk mengundang pendekar-
pendekar kawakan di delapan penjuru angin. Dan
jika mereka datang ke sini lantas dipenjarakan
hidup-hidup tanpa diberi makan sampai akhirnya
mereka menemui ajal mati kelaparan. Ini adalah
disebabkan karena lekatnya sifat membenci da-
lam diri si Nenek Iblis terhadap setiap laki-laki karena seorang laki-lakilah
yaitu Simo Gembong yang telah merusakkan kehidupannya. Maksud


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kedua tak lain adalah untuk memancing da-
tangnya Simo Gembong sendiri ke Gua Iblis ini.
Dan bila ini benar-benar kejadian maka mungkin
akan kesampaian maksud si Nenek iblis untuk
membalas dendam. Namun sebegitu jauh, sampai
saat ini Simo Gembong tak pernah kelihatan mata
hidungnya. Hilang lenyap seperti gaib. Entah ma-
sih hidup entah sudah berkubur...."
"Bagaimana dengan Cambuk Iblis yang ter-
tera dalam surat rahasia itu?" tanya Mahesa.
"Sudah aku katakan kita semua yang da-
tang ke sini tertipu. Cambuk Iblis itu sama sekali tidak pernah ada!" sahut
Karang Sewu. Mahesa Kelud tak habisnya menyumpah
dan memaki dalam hati. Tapi apa mau dikata.
Dirinya sendiri sudah kena dikeram dalam
Gua Iblis itu! SEPULUH MENDADAK di luar terdengar lapat-lapat
suara menderu yang halus. Mahesa Kelud pasang
telinganya, coba menduga suara apa itu adanya,
tapi tak berhasil. Diketuknya dinding karang di
sampingnya. "Karang Sewu..." dia memanggil.
"Ya, ada apa Mahesa?" terdengar suara si orang tua dari kamar sebelah.
"Kau dengar suara menderu di luar sana?"
"Oh itu" Tak usah khawatir. Itu cuma sua-
ra hujan dan derasnya arus sungai di belakang
dinding karang ini," menerangkan Karang Sewu.
Sunyi seketika. Lalu terdengar suara si
orang tua bertanya. "Mahesa, kau tahu bahwa
kau tak akan bisa keluar lagi hidup-hidup dari
penjara iblis ini?" Mahesa Kelud tak menjawab. "Tak ada seo-
rang pun di dunia luar yang sanggup menolong
kita." "Sebaiknya kita tak usah bicarakan hal itu," kata Mahesa Kelud jadi tidak
enak. "Bukankah lebih bagus bila kita berpikir berusaha men-
cari akal agar bisa keluar dari sini?"
"Sudah sejak sepuluh tahun lalu aku men-
cari akal anak muda," ujar si orang tua pula.
"Dan buktinya sampai saat ini aku masih tetap mengeram di sini, menunggu
mampus!" "Namun tidak ada yang tidak mungkin di
atas jagat ini. Siapa tahu ada yang akan meno-
long kita." "Betul, Mahesa. Betul sekali katamu. Kau
mungkin bisa ditolong tapi aku tidak. Kau mung-
kin bisa lolos tapi aku tidak. Dan aku ingin agar kau bisa keluar hidup-hidup
dari sini!" "Kau punya akal?" tanya Mahesa Kelud penuh harapan seraya ingsutkan diri lebih
rapat ke dinding. "Akal dan cara," jawab si Karang Sewu.
"Katakanlah!" ujar Mahesa tak sabaran.
"Tapi sebelumnya kau mau berjanji" Yaitu bila aku tolong kau maka apa kau mau
tolong aku?" "Sudah barang tentu! Bila saja aku berhasil
keluar dari penjara batu karang ini maka aku
akan adu jiwa untuk selamatkan kau!"
"Oh, bukan... bukan itu maksudku," kata Karang Sewu pula.
"Lantas?" "Dengar Mahesa, aku tolong kau keluar da-
ri sini dan sebagai ganti budi aku minta agar kau melaksanakan beberapa tugas.
Tugas-tugas yang berat, Mahesa." "Melaksanakan tugas-tugas berat bagiku
adalah lebih baik daripada terkurung di sini me-
nunggu ajal!" "Bagus aku gembira kau bicara demikian.
Aku akan beritahu tugas-tugas itu lebih dahulu,
baru cara bagaimana aku menolongmu lolos dari
sini. Pertama, bila kau sudah berada di luar nanti maka pergilah ke barat, ke
daerah kesultanan Banten, hambakan dirimu di sana karena aku
mendapat firasat bahwa Banten kini tengah bera-
da dalam kekalutan. Bila kekalutan itu berakhir
sudah maka berarti selesainya tugasmu. Sanggup
kau laksanakan tugas yang pertama ini?"
"Dengan doa restumu, Karang Sewu."
"Bagus. Sekarang tugas yang kedua atau
yang terakhir. Pergilah ke Lembah Maut yang ter-
letak di tanah utara di mana bersarang seorang
gadis berhati jahat digelari si Dewi Maut. Dia telah membunuh dua orang anak
laki-lakiku. Ku- harapkan kepadamu agar kau bisa menuntut ba-
las untukku. Sanggup?"
"Sanggup Karang Sewu," kata Mahesa Ke-
lud tanpa ragu-ragu. Meskipun dua tugas yang
dipikulkan gurunya sendiri di pundaknya belum
terlaksana dan kini mendapat dua tugas tamba-
han yang tak kalah beratnya namun bagi Mahesa
itu adalah lebih baik daripada harus mengeram
menunggu mati di dalam penjara Gua Iblis.
"Nah, sekarang aku akan terangkan pada-
mu cara bagaimana aku bisa menolongmu lolos
dari sini," kata Karang Sewu.
Mahesa Kelud merasakan dadanya berde-
bar. Kemudian didengarnya suara si orang sakti
dari balik dinding. "Dengar baik-baik, Mahesa.
Mulai saat ini aku akan ajarkan kepadamu aji ke-
saktian pukulan Karang Sewu. Dengan memper-
gunakan ilmu pukulan itu nanti kau akan sang-
gup menghancurkan dinding karang dan melari-
kan diri!" "Kalau begitu aku akan panggil kau guru,
Karang Sewu!" seru Mahesa Kelud penuh gembi-
ra. "Ah, tak usah pakai peradatan segala Ma-
hesa." "Bila nanti kau sudah keluar, aku akan segera tolong kau menyelamatkan
diri dari sini," berjanji pemuda itu. "Tentang diriku tak usah dipikirkan. Dalam
keadaan tubuh yang cacat seperti ini hidup di
dunia bebas tak ada artinya bagiku. Biar aku te-
tap mengeram di sini menunggu ajal, tak usah di-
pikirkan. Yang penting jalankan tugas yang aku
pikulkan atasmu. Dengan demikian aku bisa
menjadi puas." "Baiklah kalau itu maumu," ujar Mahesa
Kelud namun dalam hatinya dia tetap berniat un-
tuk bebaskan si orang tua.
"Nah, Mahesa. Bersiap-siaplah untuk me-
nerima pelajaran permulaan.
"Baik guru." Dua bulan berlalu seperti tak terasa...
"Mahesa, syukur kau sudah mempunyai
dasar ilmu dalam yang sangat tinggi sehingga kini kurasa kau sudah memiliki ilmu
pukulan Karang Sewu, sama dengan yang kumiliki. Kau tinggal
memilih waktu saja lagi kapan kau akan melari-
kan diri dari sini. Lebih cepat lebih baik."
"Kalau aku memiliki ilmu pukulan yang
ampuh, maka itu adalah berkat keikhlasanmu,
Karang Sewu. Aku mengucapkan terima kasih
dan tak akan lupakan budimu. Kalau kau tak ke-
beratan aku akan pergi sekarang juga."
"Ya, pergilah Mahesa. Hati-hati dan jangan
lupa tugas yang kupikulkan padamu."
"Menghindarlah ke sudut ruangan, Karang
Sewu. Aku akan bobolkan dinding yang memba-
tasi tempat kita agar kita berdua bisa keluar sa-
ma-sama." "Mahesa, kau tidak ingat kata-kataku tem-
po hari. Jangan pikirkan aku, tak usah tolong di-
riku. Kau pergilah sendirian. Aku...."
Karang Sewu hentikan kalimatnya dengan
serta merta ketika di luar sana mendadak terden-
gar suara tertawa cekikikan. Mahesa sendiri juga
terkejut. "Mahesa, larilah! Cepat sebelum si Nenek
Iblis itu mengetahuinya!" kata Karang Sewu.
"Hi... hi... hi! Tidak ada satu manusia pun
yang bisa lari dari sini! Tidak satu manusia pun!
Karang Sewu, rupanya kau sudah bosan hidup...
sudah mau cepat-cepat pergi ke neraka. Aku den-
gar semua apa yang kau bicarakan dengan itu
pemuda. Karenanya kau harus mampus saat ini
juga." Dari tempat di mana dia berada Mahesa Kelud mendengar dinding karang
digedor lalu su- ara benda berat bergeser yang disusul dengan su-
ara tertawa cekikikan menegakkan bulu roma.
Mahesa segera tahu bahwa si Nenek iblis tengah
membuka pintu karang di tempat di mana Karang
Sewu dipenjarakan. Tanpa menunggu lebih lama
pemuda ini kerahkan aji kesaktian yang diteri-
manya dari si orang tua. Tangan kanannya terasa
panas dan bergetar. Tangan kanan yang memben-
tuk tinju itu kemudian dihantamkannya ke muka.
"Braak!!!" Sungguh luar biasa! Dinding karang di ha-
dapannya ambruk bobol. Karena pintu di kamar
sebelah terbuka maka di antara sinar tipis yang
masuk, samar-samar Mahesa Kelud dapat melihat
si Nenek Iblis. Dia segera menerobos masuk ke
kamar sebelah itu. Tapi Mahesa Kelud terlambat.
Dengan satu gerakan cepat luar biasa si Nenek
Iblis yang menggenggam pedang pada tangan ka-
nannya melompat ke muka dan menghunjamkan
senjata itu dalam-dalam ke dada Karang Sewu
yang terbaring tanpa daya di lantai. Orang tua ini mengeluh tinggi. Nyawanya
melayang seketika itu juga. "Perempuan laknat!" maki Mahesa Kelud seraya mencabut pedangnya dari balik
punggung. "Pemuda sedeng!" semprot si Nenek Iblis.
"Berani memaki aku! Apa tidak tahu nyawamu
hanya tinggal sekejapan mata saja"! Kau akan se-
gera susul anjing tua itu!"
Si Nenek Iblis cabut pedangnya dari dada
Karang Sewu yang sudah menjadi mayat dan me-
nangkis sambaran pedang Mahesa Kelud yang
menderas ke arah kepalanya.
Trang! Dua senjata beradu keras mengeluarkan
suara nyaring. Bunga api memercik. Kedua mu-
suh itu sama-sama mundur ke belakang. Mahesa
merasakan tangannya bergetar, sebaliknya si Ne-
nek Iblis merasa tangan kanannya panas dan pe-
das! Mau tak mau ini membuat dia terkejut. Tidak
menunggu lebih lama dia segera putarkan pe-
dangnya sampai mengeluarkan suara menderu.
Namun Mahesa tidak kalah sigap. Gerakan pe-
dangnya yang tidak terduga-duga memaksa si
Nenek Iblis mengambil sikap bertahan. Demikian-
lah di dalam ruangan yang samar-samar itu ke-
dua manusia tersebut bertempur dahsyat. Yang
satu perempuan yang lain laki-laki. Yang satu su-
dah tua renta sedang yang lain masih muda belia!
Mereka lebih banyak mempergunakan perasaan
dari pada penglihatan. Si Nenek Iblis memaki dalam hatinya keti-
ka dia kena didesak keluar kamar. Tanpa perdu-
likan tata cara persilatan tangan kirinya menyelinap cepat ke balik kain yang
dipakainya. Ketika tangan itu keluar maka melayanglah tiga butir
senjata rahasia ke jurusan Mahesa Kelud.
"Licik!" teriak si pemuda seraya miringkan kepalanya dengan cepat. Dua buah
senjata rahasia yang menyerang ke arah sepasang matanya
lewat. Yang ketiga dibuat mental dengan lambaian
tangan kiri! Si Nenek menggerakkan tangannya kembali
tapi kali ini Mahesa Kelud tidak mau memberi ke-
sempatan. Tubuhnya melesat ke muka. Pedang
membabat bersiuran sedang kaki kanan menen-
dang ke tangan kiri lawannya. Si Nenek miring-
kan tubuh. Tendangan kaki kanan Mahesa lewat.
Serangan pedang ditangkis dengan pedang. Untuk
kesekian kalinya sepasang senjata itu beradu lagi.
Tapi kali ini si Nenek Iblis sudah kepayahan dan
kehabisan tenaga. Pedangnya terlepas dan men-
tal. "Celaka!" kata si Nenek Iblis dalam hati.
Dia melompat mundur menjauh lalu putarkan
tubuh hendak lari. "Perempuan iblis! Mau lari ke mana"!" teriak Mahesa seraya lari mengejar. Tapi
si Nenek Iblis sudah lenyap di dalam salah satu lorong gua yang sangat gelap!
SEBELAS MAHESA Kelud geram bukan main. Tapi
apa mau dikata. Musuh besarnya itu sudah le-
nyap. Dia tidak mau mengejar karena dalam lo-
rong gua yang gelap itu akan mudah bagi si Ne-
nek Iblis untuk membokong mencelakainya. Pe-
muda itu putar tubuh dan masuk ke dalam ruan-
gan batu karang di mana sebelumnya Karang Se-
wu dipenjarakan. Dia berlutut di hadapan mayat
Karang Sewu. Hatinya terharu. Bukan saja terha-
ru melihat tubuh cacat dari si orang tua tapi juga terharu karena Karang Sewulah
yang menyelamatkan nyawanya keluar dari penjara maut itu
dan kini manusia sakti yang telah menolongnya
itu harus mati dalam keadaan seperti itu.


Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karang Sewu," kata Mahesa Kelud. "Aku bersumpah di hadapan mayatmu untuk
membunuh si Nenek Iblis!" Diangkatnya mayat si orang tua dan diletakkannya di
bahu kirinya. Mahesa meninggalkan tempat itu, mencari jalan keluar.
Setiap dia menemui dinding karang yang meng-
hadang, dia pergunakan pukulan Karang Se-
wunya untuk membobolkan dinding tersebut. Ak-
hirnya ketika dia membobolkan untuk kesekian
kalinya dinding karang di hadapannya maka ma-
suklah sinar terang yang menyilaukan mata. Ter-
nyata sinar matahari. Mahesa menarik nafas lega.
Kini dia sudah sampai di luar gua maut itu. Un-
tung sekali saat itu hari siang sehingga tidak sukar bagi si pemuda untuk
mencari tanah yang baik guna menguburkan mayat Karang Sewu.
Mahesa Kelud kemudian teringat akan lima
orang pendekar silat yang diceritakan oleh Karang Sewu tempo hari. Jika mereka
benar-benar menjadi tawanan si Nenek Iblis... dan masih hidup
saat itu... Mahesa bulatkan tekat bahwa dia ha-
rus menolong kelima pendekar yang malang itu.
Dibuatnya sebuah obor. Lalu dia melangkah ma-
suk ke dalam gua melalui bagian yang bobol dari
mana dia keluar tadi. Tapi baru saja dia sampai di hadapan bagian gua yang bobol
itu mendadak sontak terdengar suara tertawa cekikikan di bela-
kangnya. Pemuda ini terkejut dan cepat putar tu-
buhnya. Di hadapannya berdiri si Nenek Iblis. Di
tangan kanannya tergenggam sebatang tombak
aneh bermata tiga sedang pada tangan kirinya
ada sebuah senjata lain dari yang lain yaitu se-
buah kendi! Sekilas pandang kendi itu tak ubah-
nya seperti kendi-kendi lain yang terbuat dari tanah liat. Tapi Mahesa tahu
bahwa kendi yang ada di tangan Nenek Iblis saat itu adalah terbuat dari besi dan merupakan senjata
yang berbahaya! Namun dari semuanya itu, apa yang sangat men-
gejutkan Mahesa Kelud ialah bahwa si Nenek Iblis
yang berdiri di hadapannya saat itu sama sekali
tidak berpakaian alias telanjang bulat!
"Perempuan edan!" maki Mahesa dalam ha-
tinya. Diperhatikannya tubuh Nenek Iblis yang
kurus tinggi, seluruh kulitnya hitam keriputan.
Buah dadanya yang hampir sama rata dengan tu-
buhnya kelihatan bergoyak-goyak melepet karena
tertawanya yang cekikikan.
"Ha...! Ha...! Kau terkejut Mahesa Kelud"!
Pandangi tubuhku yang bagus ini baik-baik! Kau
tidak punya kesempatan lama untuk menikma-
tinya karena sebentar lagi nyawamu akan ming-
gat ke neraka!" "Perempuan terkutuk!" maki Mahesa. Ber-
samaan dengan itu dilemparkannya obor yang di
tangannya ke muka si nenek. Nenek Iblis me-
nangkis obor itu dengan tombak di tangan ka-
nannya. Lalu sambil mengeluarkan suara jeritan
melengking mengerikan tubuhnya melesat ke ha-
dapan Mahesa Kelud. Si pemuda tidak tunggu lebih lama. Dia se-
gera cabut pedang milik Cakar Setan yang tersisip di punggungnya. Senjata ini
diputarkannya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi di-
rinya dari serangan ganas Nenek Iblis. Pedang
dan tombak beradu. Suaranya berdencing dan
meskipun hari siang tapi samar-samar masih ke-
lihatan bunga api. Tubuh si Nenek Iblis sem-
poyongan sedang tubuh Mahesa Kelud tidak ber-
gerak sedikit pun! Ini tak lain berkat keampuhan
ilmu Karang Sewu yang dimilikinya. Meskipun ta-
hu bahwa tenaga dalam lawannya lebih tinggi
namun Nenek Iblis yang sudah seperti kalap terus
saja mengirimkan serangan kedua.
Dia tusukkan tombak bermata tiganya ke
arah dada Mahesa Kelud. Si pemuda menggeser
tubuhnya ke samping tapi ujung tombak itu den-
gan cepat mengikuti arah elakannya. Mahesa per-
gunakan pedangnya untuk memapas tombak. Ta-
pi tak terduga Nenek Iblis enjot tubuh dan mele-
sat tinggi ke atas. Saat itu dengan berbarengan
dia lancarkan dua serangan sekaligus!
Yang pertama yaitu serangan tombak ber-
mata tiga menusuk lurus dengan deras dari atas
ke arah batok kepala Mahesa Kelud yang tertutup
dengan sapu tangan putih. Sedang yang kedua
adalah hantaman senjata berbentuk kendi men-
garah lambung Si pemuda. Jika Mahesa mem-
bungkuk mengelakkan tusukan tombak maka
senjata yang berbentuk kendi pasti akan meng-
hantam dagunya. Sebaliknya jika dia melompat
maka tusukan tombak niscaya menembus kepa-
lanya! Dalam posisi yang menegangkan itu tiba-
tiba Mahesa keluarkan suara membentak meng-
geledek! Lutut kiri dilipat, kepala dimiringkan. Dia enjot kaki kanannya dan
sedetik kemudian tubuhnya rebah jungkir balik ke belakang! Seran-
gan tombak dan kendi besi lewat sekaligus. Den-
gan gusar si nenek memburu ke muka untuk ki-
rimkan serangan berantai. Tapi ketika jungkir ba-
lik ke belakang tadi Mahesa Kelud tidak bodoh.
Dia babatkan pedang kuning di tangannya ke
arah perut Nenek Iblis, membuat perempuan ber-
hati setan ini terpaksa menarik pulang serangan-
nya. Untuk menangkis senjata Mahesa dia tidak
punya nyali karena dia maklum akan kalah tena-
ga dalam. Jurus selanjutnya Mahesa Kelud yang
membuka serangan. Pedangnya berputar tak me-
nentu, menyerang ke bagian-bagian mematikan
dari tubuh si Nenek Iblis yang telanjang bulat. Perempuan itu tidak mau kalah.
Tubuhnya berkele- bat cepat seperti bayang-bayang. Ilmu mengen-
tengi tubuhnya memang patut dikagumi. Tapi wa-
lau bagaimanapun pemuda yang menjadi tandin-
gannya tetap berada di atas angin. Memasuki ju-
rus ke sembilan terlihatlah Mahesa mulai mende-
sak si Nenek Iblis ke arah semak-semak. Dengan
lebih mempercepat gerakannya si Nenek Iblis co-
ba untuk bertahan bahkan sekali dua ganti me-
lancarkan serangan. Tapi tidak ada guna. Mahesa
tidak memberikan kesempatan padanya. Gulun-
gan pedang kuning seakan-akan mengurung tu-
buh si Nenek Iblis dan dia terdesak hebat!
"Keparat!" gertak Nenek Iblis penuh geram.
Dia pasang kuda-kuda baru dan ketika dia lan-
carkan serangan maka gerakan ilmu silatnya be-
rubah sama sekali. Sangat gesit dan serangan-
serangan yang dilancarkannya tidak terduga. Ma-
hesa dibikin sibuk kini! Tapi pemuda ini tetap tenang. Gerakannya
diperhitungkannya benar- benar. "Nah... nah Jaliteng palsu! Nyawamu sudah tinggal sekejapan mata lagi!
Sebutkan nama gurumu!" "Perempuan bejat pembunuh anak kandung sendiri!" balas
memaki Mahesa Kelud. "Tak usah banyak bacot!" Pemuda ini kirimkan satu tusukan
ke dada lawannya tapi dengan mudah
dielakkan oleh si Nenek Iblis. Namun demikian
perempuan ini salah duga, tak tahu kalau seran-
gan empuk itu adalah tipuan belaka. Dengan ke-
susu dan sembrono begitu mengelak dia segera
hantamkan kendi besinya ke arah sambungan si-
ku lawan. Mahesa sengaja tidak menghindarkan
tangannya cepat-cepat dan si Nenek sudah dapat
membayangkan bagaimana sesaat lagi siku la-
wannya itu akan menjadi hancur luluh!
Si Nenek Iblis menjadi terkejut ketika kendi
besinya sudah sangat dekat dengan siku lawan
tiba-tiba Mahesa Kelud melesat ke udara. Nenek
Iblis hantamkan mata tombaknya ke perut pemu-
da itu. Tapi dia terlambat. Siku kanan Mahesa
yang dahsyat lebih dahulu menghantam rahang-
nya. Si Nenek menjerit keras. Tubuhnya mental
dan terguling beberapa tombak. Mahesa tetap
berdiri di tempatnya dengan pedang di tangan,
memperhatikan tak berkesiap. Perempuan bejat
ini berdiri terhuyung-huyung. Mukanya menge-
lam sedang rahangnya kelihatan merah dan
bengkak besar. Kepalanya yang berambut putih
jarang itu miring. Mulutnya kini menjadi men-
cong! Kedua matanya memandang garang tak
berkedip pada Mahesa Kelud. Dia maju selangkah
demi selangkah mendekati si pemuda.
"Setan alas! Mampuslah!" Bersamaan den-
gan makian itu Nenek Iblis menyerbu ke muka.
Dia ayunkan kendi besinya ke pinggang Mahesa.
Tombak di tangan kanan menusuk ke arah teng-
gorokan. Mahesa miringkan kepalanya. Ketika
tombak lewat dengan tangan kiri dia coba memu-
kul pangkal ketiak si nenek. Tapi dengan gesit,
meskipun sudah kena cedera perempuan tua itu
masih sanggup mengelak sambil kirimkan ten-
dangan kaki kanan sementara kendi besinya
mencari sasaran di pinggang Mahesa.
DUA BELAS MURID Embah Jagatnata babatkan pe-
dangnya dari atas ke bawah. Maksudnya sekali-
gus hendak memapas dan memusnahkan ten-
dangan serta serangan kendi besi lawan yang
sangat berbahaya. Tapi dengan cerdik segera Nenek Iblis hun-
jamkan tombaknya ke bahu Mahesa membuat
pemuda ini terpaksa pergunakan pedangnya un-
tuk menangkis. Tombak si Nenek Iblis putus kena
dibabat oleh pedang kuning. Bersamaan dengan
itu Mahesa membuang diri ke samping. Meskipun
dia bisa luput dari hantaman kendi besi tapi tak
urung tendangan kaki Nenek Iblis bersarang juga
di pinggulnya. Mahesa terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah. Jangankan mengeluh sakit, menge-
renyit pun pemuda ini tidak! Melihat tendangan
dahsyatnya tidak berhasil merobohkan lawan Ne-
nek Iblis jadi beringas. Dilemparkannya patahan
tombaknya ke arah Mahesa. Si pemuda menghan-
tam patahan tombak tersebut dengan pedangnya
sehingga terpotong dua lagi dan bermentalan.
Dengan dua senjata di tangan Nenek Iblis
belum tentu bisa melayani Mahesa apalagi kini
cuma dengan kendi besi itu saja. Menyadari hal
itu si Nenek Iblis segera gerakkan tangannya ke
arah konde kecil di belakang kepala. Konde itu
terlepas dan di tangan kirinya kini kelihatan satu tusuk konde berwarna hijau.
Mahesa Kelud tidak mau meremehkan tusuk konde kecil itu. Dia tahu
bahwa benda semacam itu besar juga bahayanya
bila tidak waspada. Dan bukan mustahil kalau
tusuk konde tersebut diberi racun berbisa!
"Seranglah, anak muda!" kata si Nenek Iblis. Kedua tangannya dikembangkannya ke
samp- ing sehingga susunya yang sudah rata jadi tam-
bah rata dan memuakkan untuk dipandang. "Se-
ranglah!" teriaknya sekali lagi ketika Mahesa masih tetap berdiri di tempatnya.
"Kalau kau tidak punya nyali, ini rasakan!"
Si Nenek melompat ke muka. Gerakannya seperti
seekor alap-alap hendak menyambar anak ayam.
Setengah lompatan tiba-tiba kedua tangannya
bergerak ke muka. Maksudnya hendak mengge-
rus kepala Mahesa Kelud. Si pemuda mendon-
gakkan kepalanya ke belakang seraya kirimkan
tusukan pedang ke perut lawan yang telanjang.
Menyadari bahwa ujung pedang yang lebih pan-
jang akan mengenai tubuhnya lebih dahulu Ne-
nek iblis cepat ayunkan kendi besinya ke arah
lengan Mahesa sambil miringkan tubuh. Mau tak
mau Mahesa tarik pulang tangannya. Arah seran-
gan pedangnya dirubah ke tangan kiri lawan yang
memegang tusuk konde. Si Nenek pagi-pagi su-
dah merubah kedudukannya sehingga tusuk
konde yang di tangan kirinya kalau tadi menye-
rang kepala kini menusuk ke arah leher.
Mahesa Kelud terkejut ketika merasakan
angin dingin menyambar keluar dari tusuk konde
di tangan kiri Nenek Iblis. Pasti sudah bahwa sen-
jata itu mengandung racun sangat berbisa dan
jahat. Dengan cepat dia menggerakkan tubuhnya
ke samping kanan. Si Nenek Iblis memburu. Tapi
dia kena tertipu! Meskipun tubuh lawannya dili-
hatnya miring ke samping kanan namun dengan
menggeserkan kedua kakinya cepat sekali maka
Mahesa tahu-tahu sudah melesatkan diri ke
samping kiri. Dengan sendirinya kedua senjata si
Nenek Iblis lewat. Akibat menyerang sasaran ko-
song tubuh perempuan jahat itu menjadi ter-
huyung-huyung. Dalam keadaan itu dia tidak da-
pat lagi mengelakkan kaki kanan Mahesa yang
menyerang ke arah perutnya yang telanjang!
Untuk mengelak si Nenek Iblis sudah tidak
punya kesempatan. Satu-satunya jalan menyela-
matkan diri hanyalah dengan mempergunakan
kendi besi di tangan kanannya untuk dipakai
memukul kaki Mahesa Kelud. Si Nenek Iblis men-
gadu untung! Sedetik kemudian kaki kanan Ma-
hesa Kelud saling beradu dengan kendi besi. Ter-
dengar suara seperti letusan. Kendi besi Nenek Iblis mental ke belakang sedang
Mahesa merasakan kaki kanannya kesemutan.

Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Nenek Iblis mulai jeri. Mahesa maklum
kalau lawannya mulai bimbang untuk menghada-
pinya terus. Tanpa menunggu lebih lama pemuda
sakti ini segera menyerang. Pedang milik si Cakar Setan yang di tangan kanannya
menderu bergulung-gulung. Dengan hanya mengandalkan tusuk
konde dan kegesitannya si Nenek tak bisa mem-
pertahankan diri. Dia terdesak hebat. Kedua ma-
tanya yang sipit berputar liar mencari kesempa-
tan untuk larikan diri. "Mau coba lari perempuan terkutuk"!"
tanya Mahesa Kelud mengejek yang siang-siang
sudah tahu maksud lawannya itu.
"Setan alas!" maki Nenek Iblis. "Aku bukan manusia pengecut!" Dia kirimkan
pukulan tangan kiri yang dahsyat. Ketika Mahesa melompat untuk
mengelak maka si Nenek segera putar tubuh dan
merat! "Jangan lari manusia rendah!" teriak Mahesa Kelud. Pemuda ini menjejakkan
kedua ka- kinya di tanah. Tubuhnya membungkuk dan se-
perti anak panah lepas dari busurnya Mahesa Ke-
lud kemudian melesat cepat ke udara. Inilah ilmu
warisan Embah Jagatnata yang bernama "gende-
wa emas melepas anak".
Si Nenek Iblis yang lari cepat tidak tahu
sama sekali kalau saat itu musuhnya seperti ter-
bang sudah berada di atasnya! Dia baru menya-
dari dan terkejut setengah mati ketika satu tan-
gan menjambak rambutnya yang putih jarang!
"Anjing busuk! Mampuslah!" rutuk Nenek
Iblis sambil menusukkan tusuk kondenya ke se-
langkangan Mahesa Kelud yang ada di atasnya.
Serangannya ini meskipun mematikan namun ti-
dak pakai perhitungan. Akibatnya dia harus tang-
gung sendiri. Tak ayal lagi Mahesa Kelud ba-
batkan pedangnya! "Trass!" Suara tertebasnya lengan kiri Nenek iblis
dibarengi dengan jeritan yang melolong tinggi. Darah menyembur dari urat
nadinya, membasahi pakaian Mahesa. Si Nenek mengamuk seperti
orang gila. Dia meronta-ronta. Rambutnya yang
dijambak Mahesa bertanggalan. Tubuh telanjang-
nya bergelimang darah yang keluar dari tangan
kirinya yang buntung. Dari mulutnya keluar jerit
bercampur kutuk serapah. "Manusia iblis! Jangan terlalu banyak me-
rutuk di tempat ini! Sisakan nanti di liang nera-
ka!" teriak Mahesa Kelud. Lalu dia hantamkan kaki kirinya ke kepala perempuan
tua itu. "Praaak!" Jerit dan kutuk serapah Nenek Iblis lenyap.
Kaki kiri Mahesa Kelud yang mengandung aji Ka-
rang Sewu telah membuat kepala itu rengkah
mengerikan! Mahesa Kelud pandangi tubuh telanjang
tanpa nyawa itu. Beberapa kali dia meludah ka-
rena jijik. Selama puluhan tahun si Nenek iblis telah menjadi penghuni dan
penguasa Gua Iblis yang menjadi tempat kematian bagi siapa saja
yang berani datang. Delapan surat kematian telah
disebarnya selama hidupnya.
"Menurut Karang Sewu lima surat telah ja-
tuh ke tangan lima tokoh silat. Lima tokoh silat
itu kemudian diketahui lenyap secara aneh.
Mungkinkah mereka sudah terkubur di dalam
Gua iblis ini" Delapan surat kematian telah dis-
ebar oleh manusia celaka itu. Yang keenam jatuh
ke tangan Karang Sewu. Yang ketujuh sampai di
tanganku. Berarti masih ada satu surat lagi....
Aku harus menyelidik. Si nenek jelas punya dosa
besar selangit tembus. Menjadi pembunuh para
tokoh yang kena ditipunya. Tapi kalau dipikir le-
bih dalam manusia bernama Simo Gembong itu
yang jadi biang racun pangkal bahala! Justru
guru menugaskan diriku untuk mencari dan
membunuhnya!" Mahesa Kelud ambil beberapa lembar daun
pepohonan. Dengan daun itu dibersihkannya no-
da-noda darah yang melekat di tangan serta pa-
kaiannya. "Aku harus menyelidik masuk ke dalam Gua Iblis itu..." membathin
Mahesa "Siapa tahu, bukan hanya lima orang yang dipendam si nenek
di dalam sana. Siapa tahu pula masih ada yang
hidup.... Di samping itu aku harus mengurus dan
mengebumikan jenazah Karang Sewu. Orang tua
sakti itu.... Kalau tak ada dia pasti aku akan ter-pendam sampai mati di gua
celaka itu!" TAMAT Segera menyusul!!! FITNAH BERDARAH Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Fujidenkikagawa
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 14 Wiro Sableng 082 Dewi Ular Kelana Buana 8
^