Pencarian

Dewi Pedang Delapan Penjuru 1

Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin Bagian 1


SATU HARI masih pagi, matahari belum naik
tinggi, butiran-butiran embun pada dedaunan
masih kelihatan di sana sini, berkilau-kilauan
laksana intan berlian karena sorotan sang surya.
Mahesa Kelud berdiri di ambang pintu be-
lakang rumah di hutan Bangil itu.
"Wulan," katanya memanggil. Gadis yang
dipanggil datang dan berdiri disampingnya. Tidak
seperti biasanya kali ini si gadis berdiri dengan agak kikuk. Mungkin karena
teringat pada peris-tiwa kemarin malam yaitu saat dimana mereka
berkasih mesra bercumbu-cumbuan.
"Pagi yang indah bukan, Wulan?"
Si Gadis anggukkan kepala.
"Bagaimana kalau kita berlatih memperda-
lam ilmu pedang yang diajarkan oleh mendiang
kakekmu?" "Baiklah, Mahesa. Aku akan ambil pedang-
ku," kata si gadis dan masuk ke dalam.
Mahesa yang berdiri menunggu di ambang
pintu belakang memasang telinganya. Lapat-lapat
didengarnya suara krasak krisik di kejauhan. De-
tik demi detik suara itu semakin jelas tanda se-
makin dekat. Mahesa tahu benar bahwa suara
yang didengarnya itu adalah suara semak belukar
dan tanaman-tanaman rendah disibakkan orang.
Dan benar saja, ketika dia putar kepala ke sebe-
lah kirinya maka terlihatlah semak belukar lebat
di sebelah sana tersingkap dan muncullah satu
kepala berkuncir. Manusia ini memakai jubah hi-
tam dan di belakangnya menyusul beberapa
orang yang memakai jubah putih dan berkepala
botak! Mahesa Kelud terkejutnya bukan main ke-
tika melihat keenam manusia yang muncul dari
balik semak-semak itu. Dia serasa tidak percaya.
Mereka tak lain adalah resi Waranganaya dan Li-
ma Brahmana sesat. Cepat-cepat Mahesa berlindung ke balik
dinding dekat pintu. Tapi Waranganaya Toteng
keburu melihatnya. Dan berserulah resi itu: "Kawan-kawan! Kita berhasil menemui
mereka! Aku barusan lihat bangsat yang laki-laki tadi di am-
bang pintu rumah itu! Mari kita bereskan mereka
sebelum keduanya kabur!"
Di dalam rumah.... "Wulan!" "Ya, Mahesa...." Wulansari keluar dari dalam kamar dengan pedang di tangan.
Melihat air muka pemuda itu dia jadi terkejut. "Ada apa?" tanyanya.
"Tinggalkan rumah ini cepat! Resi bangsat
dan Lima Brahmana itu datang ke sini! Mereka
berhasil mengetahui tempat kita! Kita tak akan
sanggup melawan mereka. Mari lari sebelum ter-
lambat!" Kedua orang itu kemudian meninggalkan
rumah, lari lewat pintu muka. Waranganaya dan
kawan-kawannya yang baru saja hendak mengu-
rung rumah, begitu melihat kedua orang tersebut
melarikan diri segera mengejar sambil berteriak:
"Manusia-manusia ingusan! Menyerahlah dan
berlutut di hadapan kami! Kalian tidak akan bisa
lari jauh!" Mahesa Kelud dan Wulansari tidak menga-
cuhkan peringatan itu. Mereka mempercepat lari
masing-masing sambil bergandengan tangan.
Keenam pengejar berhasil mereka tinggalkan jauh
di belakang. Sebenarnya bukan ilmu lari kedua
anak muda ini yang membuat mereka bisa me-
ninggalkan jauh para pengejarnya tapi adalah ka-
rena mereka tahu seluk beluk keadaan dalam hu-
tan belantara itu sehingga sementara Waranga-
naya dan Lima Brahmana masih sibuk menyibak-
nyibakkan semak belukar yang menghalang da-
lam pengejaran mereka, Wulan dan Mahesa su-
dah jauh di depan mereka.
Tapi kedua murid Pendekar Budiman ini
tidak bisa lama meninggalkan musuh-musuh me-
reka. Begitu mereka keluar dari hutan belantara
maka membentanglah sebuah lembah terbuka
yang menurun. "Celaka!" kata Mahesa Kelud. "Di tempat terbuka ini mereka pasti bisa menyusul
kita! Percepat larimu, Wulan!"
Benar saja, ketika keduanya baru menuru-
ni bagian leguk dari lembah itu maka keenam
pengejarnya keluar dari dalam hutan. Waranga-
naya Toteng berada paling depan sekali. Ini mem-
buktikan bahwa ilmu larinya lebih tinggi dari pa-
da kelima Brahmana yang menyusul di belakang-
nya. Lima Brahmana itu segera mengeluarkan
senjata rahasia mereka yaitu berupa pisau-pisau
pendek berkeluk serta mengandung racun mema-
tikan. Lima pisau kemudian meluncur pesat ke
arah kedua muda mudi yang lari menyelamatkan
diri itu. Mahesa Kelud dan Wulansari mencabut
pedang masing-masing dan sambil lari mereka
memutar senjata itu di belakang punggung. Keli-
ma pisau berkeluk kena tertangkis tapi anehnya
begitu kena benturan pedang segera berbalik dan
menyerang kembali! Inilah kehebatan senjata ra-
hasia Lima Brahmana itu! Kedua muda mudi ini terkejut bukan main.
Dengan serta merta mereka jatuhkan diri dan
bergulingan di lembah yang menurun itu! Untung
saja lembah itu menurun sehingga dengan bergu-
lingan menyelamatkan diri dari lima senjata raha-
sia itu mereka sekaligus berhasil memperjauh diri dari para pengejarnya.
Melihat kelima kambratnya sudah kelua-
rkan senjata rahasia maka Waranganaya Toteng
tidak tinggal diam. Dia segera kebutkan ujung-
ujung berumbai ikat pinggang jubah hitamnya.
Meskipun Mahesa Kelud dan Wulansari berada
lebih dari seratus langkah di mukanya namun
kedua orang ini terpaksa harus menghindarkan
diri dengan cepat karena angin pukulan berba-
haya yang keluar dari rumbai-rumbai itu berhasil
mencapai mereka dan terasa panas.
"Celaka Wulan! Cepat atau lambat kita pas-
ti tertawan oleh mereka!" kata Mahesa sambil terus lari dengan terhuyung-huyung.
"Tuhan! Embah Jagatnata tolong kami...!"
teriak Mahesa Kelud menyebut nama Tuhan dan
nama gurunya. "Ayah! Tolonglah anakmu ini! Tolong kami,"
seru Wulansari. Dan pada saat itu terjadilah sesuatu kea-
nehan yang luar biasa! Entah dari mana datang-
nya tahu-tahu muncullah seekor anak rusa. Bina-
tang ini berlari cepat sambil melompat-lompat
dan menghalang-halangi larinya keenam pengejar
itu. "Binatang keparat!" maki Waranganaya dengan geram sambil menendang binatang
itu dengan kaki kanannya. Tapi dengan gerakan me-
lompat yang lucu jenaka, anak rusa itu berhasil
menghindarkan tendangan maut sang resi. Bina-
tang itu kemudian melompat-lompat pula di ha-
dapan kelima Brahmana sehingga lari keenam
orang itu menjadi kacau balau dibuatnya.
Sambil terus mengejar, keenam orang itu
terpaksa sibuk menyingkirkan anak rusa yang
senantiasa menghalangi lari mereka. Tapi bina-
tang kecil ini terus lompat sradak sruduk kian
kemari sampai akhirnya karena gemas, salah seo-
rang dari kelima Brahmana cabut goloknya dan
memapasi tubuh si rusa. Binatang ini berkelit lu-
cu lalu menyerempet kaki si Brahmana sampai
Brahmana itu hampir saja jatuh terserimpung.
Sementara itu Mahesa dan Wulansari su-
dah jauh di ujung lembah dan mereka sama
menghentikan lari ketika dari jauh melihat ba-
gaimana keenam pengejar mereka lompat sana
lompat sini karena lari mereka selalu dihalang
dan diserimpung oleh seekor anak rusa. Mahesa
dan Wulan saling berpandangan. Tiba-tiba pemu-
da itu berseru. "Lihat! Binatang itu lari ke sini!"
Benar saja. Rusa itu lebih cepat larinya da-
ri pada Waranganaya dan Lima Brahmana yang
saat itu kembali mengejar Mahesa dan Wulansari.
Boleh dikatakan dalam beberapa kejapan mata
saja anak rusa itu sudah berada di hadapan ke-
dua muda mudi ini. Binatang ini melompat-
lompat lalu lari masuk ke dalam hutan! Melihat
bagaimana binatang kecil ini tadi sanggup meng-
halangi larinya keenam orang-orang sakti itu
bahkan mempermainkan mereka maka baik Ma-
hesa maupun Wulan sama-sama memaklumi
bahwa ada suatu keanehan pada binatang ini
yang menyatakan bahwa dia bukanlah binatang
sembarangan. Karenanya tanpa ragu-ragu ketika
anak rusa itu melompat ke kiri dan lari masuk
hutan kedua orang tersebut segera mengikutinya.
Tiba-tiba anak rusa itu menyelinap di anta-
ra semak-semak yang lebat, dan menghilang. Ma-
hesa Kelud serta Wulansari berdiri di hadapan
semak-semak itu kebingungan dan saling pan-
dang. Di belakang mereka sementara itu Waran-
ganaya Toteng dan Lima Brahmana sudah dekat
pula. Dengan ujung pedangnya Wulansari menyi-
bakkan rerumputan semak belukar itu dan satu
seruan terdengar keluar dari mulut gadis ini.
"Mahesa, lihat!"
Tak terduga sama sekali di hadapan mere-
ka saat itu, begitu semak belukar disibakkan ter-
lihatlah mulut sebuah gua! Mahesa Kelud berpal-
ing ke belakang. Waranganaya Toteng dan Lima
Brahmana tambah dekat. Tanpa pikir panjang
Mahesa Kelud segera tarik lengan Wulansari dan
keduanya masuk ke dalam gua yang gelap itu.
"Kalau kita harus mati di dalam gua ini, bi-
arlah kita mati bersama!" ujar Mahesa Kelud.
Bersama Wulansari dia melangkah mengendap-
endap. Ternyata gua itu semakin ke dalam sema-
kin besar dan anehnya tambah ke dalam tambah
terang. Tahu-tahu mereka sampai di satu ruan-
gan berdinding batu karang empat persegi. Ruan-
gan ini bersih sekali. Di sini tidak terdapat nyala api ataupun pelita atau
sinar matahari yang masuk dari luar tapi anehnya ruangan tersebut te-
rang benderang! Dan lebih aneh lagi karena di
sudut sana, di atas sebuah batu karang yang pu-
tih bersih, duduklah anak rusa tadi sambil me-
mandang kepada mereka dan kedip-kedipkan ma-
tanya yang kecil jernih. "Mahesa..." bisik Wulansari sambil memegang lengan pemuda disampingnya. "Kurasa
binatang ini bukan binatang sungguhan, tapi binatang
jadi-jadian. Mungkin...."
Suara si gadis terpotong dengan serta mer-
ta ketika di luar sana, dari mulut gua terdengar
suara yang keras. "Anak cucu pemberontak! Kalian keluarlah baik-baik. Kalau
tidak kalian akan berkubur di dalam gua ini!" Yang berteriak ini adalah
Waranganaya Toteng. "Celaka! Mereka berhasil mengetahui per-
sembunyian kita, Mahesa...."
"Diamlah," bisik Mahesa. "Siapa tahu mereka tidak benar-benar pasti bahwa kita
berada di sini." "Bangsat-bangsat kecil!" terdengar lagi suara Waranganaya
Toteng. "Jangan bikin kami
orang menjadi tidak sabar! Keluar dengan aman,
kalian akan selamat! Cepatlah!"
Mahesa dan Wulansari tegak di tempat
masing-masing tanpa bergerak. Kemudian dari
mulut gua terdengar suara bersiuran seperti ca-
pung terbang. Sebuah pisau melayang ke jurusan
mereka. Mahesa Kelud pergunakan pedangnya
untuk menyampok senjata rahasia itu. Tapi begi-
tu disampok segera pisau berkeluk ini berputar
dan kali ini melakukan serangan kedua. Wulan-
sari babatkan pedangnya dan pisau itu mental ke
samping. Sunyi seketika. Anak rusa itu masih sa-
ja duduk di tempatnya tadi yaitu di atas batu ka-
rang putih dengan tenang sambil menjilat-jilat
kakinya. Di luar gua resi Waranganaya Toteng men-
jadi geram karena kedua anak muda itu masih
juga belum mau keluar. Dia segera genggam
ujung ikat pinggang jubahnya dan kebutkan ke
dalam gua. Angin pukulan yang keras dan panas
melesat bersiuran. Di dalam gua, di ruangan batu
karang empat segi Mahesa Kelud serta Wulansari
dengan cepat melompat ke samping menghindar-
kan pukulan tenaga dalam yang dahsyat itu. Ka-
rena pukulan tersebut tidak mengenai sasaran-
nya maka terus menyambar ke pojok ruangan di
mana anak rusa itu duduk "Hai, awas!" teriak Mahesa Kelud memberi ingat pada sang rusa. Jangankan seekor
rusa, seorang manusiapun bila terkena sambaran angin
pukulan ujung rumbai-rumbai ikat pinggang ju-
bah tersebut bisa mati, dan buktinya sudah dili-
hat oleh Mahesa atas diri Pendekar Budiman alias
Sentot Bangil. Tapi inilah suatu kejadian aneh


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hampir tak dapat dipercaya oleh kedua
orang tersebut. Ketika angin pukulan yang dah-
syat itu menyambar ke arahnya, tiba-tiba si anak
rusa berdiri di atas batu karang putih dan me-
lompat-lompat kian kemari. Lompatannya itu ti-
dak beda dengan lagak sikap lompatan seekor
anak rusa biasa tapi yang anehnya ialah bagai-
mana dari gerakan lompatannya itu melesat ke-
luar satu kekuatan tenaga yang sangat dahsyat,
berputar-putar bergelombang dan memukul kem-
bali angin pukulan rumbai-rumbai ikat pinggang
Waranganaya Toteng! Di kejauhan di mulut gua
terdengar suara seruan-seruan tertahan. Baik ke
Lima Brahmana maupun Waranganaya Toteng
sendiri sama-sama meloncat menghindar ke
samping gua, tidak mau ambil resiko terluka oleh
angin pukulannya sendiri yang dikembalikan!
Butiran-butiran keringat dingin bepercikan
di kening Waranganaya Toteng. Disamping terke-
jut dia juga menjadi sangat heran. Ada apakah di
dalam gua itu sampai tenaga pukulannya yang
dahsyat yang tak pernah satu orang pun sebe-
lumnya sanggup menahan kini dikembalikan se-
demikian rupa bahkan hampir saja mencela-
kainya" Dengan rasa tak percaya sang resi berdiri kembali di depan gua dan
kebutkan rumbai-rumbai. Ikatan jubah hitamnya. Hal yang sama
terjadi lagi! Dari dalam gua keluar sambaran an-
gin sangat keras. Sang resi cepat menghindar ke
samping tapi tak urung jubah hitamnya masih
kena serempetan angin dahsyat itu dan robek!
Muka Waranganaya Toteng pucat pasi se-
perti mayat. Bulu tengkuknya meremang dan ke-
ringat dingin membasahi sekujur badannya. Meli-
hat ini salah seorang dari Lima Brahmana segera
bertanya: "Ada apakah Waranganaya" Parasmu
pucat sekali!" Sebagai orang yang sudah berilmu tinggi
dan ditakuti lawan serta disegani kawan maka
tentu saja Waranganaya Toteng merasa malu un-
tuk menerangkan hal yang sebenarnya. Maka
menjawablah dia: "Tidak ada apa-apa. Kedua
bangsat kecil itu tentu sudah mampus dan ber-
kubur di dalam gua. Mari kita tinggalkan tempat
ini!" DUA DI DALAM gua.... Mahesa Kelud dan Wu-
lansari kini menjadi benar-benar yakin bahwa
anak rusa itu bukan binatang biasa, mungkin
malaikat atau seorang sakti luar biasa yang me-
rubah diri menjadi seekor anak rusa. Mengingat
pula bahwa binatang kecil itulah yang telah me-
nyelamatkan nyawa mereka dari serangan Wa-
ranganaya Toteng maka tanpa ragu-ragu kedua-
nya segera menjura dan berlutut di hadapan anak
rusa itu. Pada saat itulah terdengar satu suara
menggema dan menggetarkan empat dinding ka-
rang di ruangan itu. "Berdiri... berdirilah anak-anak muda! Jangan menyembah
pada rusa itu, pun jangan menyembah pada manusia atau ma-
laikat karena hanya Tuhanlah satu-satunya ke-
pada siapa seluruh umat menyembah. Berdiri!"
Mahesa Kelud dan Wulansari berdiri den-
gan cepat. Suara yang mereka dengar adalah sua-
ra seorang laki-laki tapi orangnya sama sekali tidak terlihat. Kedua anak muda
ini memandang berkeliling. Di ruangan yang terang itu hanya me-
reka dan sang anak rusa saja yang ada dan bina-
tang ini tampak duduk sambil menjilat-jilat ka-
kinya. Di ruangan itu juga tidak terdapat celah-
celah yang memungkinkan timbulnya dugaan
bahwa suara tersebut keluar dari celah-celah itu.
Kedua orang ini menjadi bingung.
"Jangan khawatir anak-anak muda... jan-
gan takut. Kalian berada di tempat yang aman.
Aku sudah lama menunggu kalian. Syukur kalian
datang saat ini, syukur sekali!"
Mahesa memandang berkeliling tapi orang
yang bicara tetap tidak kelihatan. Mungkin rusa
itu yang bicara, pikirnya, tapi ketika diperhatikan si binatang masih tetap
duduk di atas batu karang putih seraya menjilat-jilat kakinya.
"Suara tanpa rupa, siapakah engkau"
Mengapa tidak mau memperlihatkan diri?" tanya Mahesa.
"Belum saatnya kau harus tahu siapa aku,
anak muda. Belum saatnya aku memperlihatkan
diri..." terdengar suara jawaban menggema di dalam ruangan batu karang yang
terang dan bersih itu. "Apakah engkau malaikat, suara tanpa ru-pa?" tanya Wulansari.
Terdengar suara tertawa bergelak. "Tidak...
aku bukan malaikat, aku bukan setan ataupun
jin. Aku adalah manusia juga, manusia biasa tak
beda dengan kalian...."
Mahesa berpikir, kalau yang bicara ini
memang benar manusia adanya maka pasti dia
adalah seorang sakti luar biasa. Mahesa Kelud in-
gat waktu dia dipenjarakan di gua batu karang si
Nenek Iblis. Saat itu dia bersebelahan tempat
dengan Karang Sewu. Mereka dipisahkan oleh
dinding karang yang tebal seperti dinding karang
yang ada di hadapannya kini. Pada saat Karang
Sewu bicara padanya, suara orang sakti itu hanya
terdengar perlahan tapi kini suara yang didengar-
nya sangat jelas, menggema bahkan menggetar-
kan ruangan itu. Inilah suatu tanda bahwa orang
yang berbicara kesaktiannya luar biasa dan jauh
lebih tinggi dari kesaktian Karang Sewu!
Mahesa menjura dan berkata: "Suara tanpa
rupa, kau telah menolong kami dari bahaya maut.
Kami yang rendah ini menghaturkan ribuan teri-
ma kasih...." Terdengar lagi suara tertawa. "Jangan
ucapkan terima kasih padaku. Anak rusa itulah
yang telah menolongmu, bukan aku...."
Mahesa dan Wulansari memandang pada
binatang yang duduk di atas batu karang putih.
Rusa ini memandang pula pada mereka dan men-
gedip-ngedipkan matanya. Mahesa dan si gadis
tersenyum lalu anggukkan kepala. Binatang itu
seperti seorang anak kecil yang kegirangan me-
lompat-lompat di atas batu karang lalu duduk lagi seperti semula.
"Suara tanpa rupa," kata Mahesa, "Kami rasa kau cukup maklum apa yang telah
terjadi atas diri kami sehingga kami terpaksa berani-
beranian datang mengotori tempatmu yang suci
ini." "Tidak apa... tidak apa. Aku memang suruh anak rusa peliharaanku itu untuk
membawa kalian masuk ke sini. Kalau kalian merasa letih, kalian duduklah!"
Mahesa menggamit tangan Wulansari dan
kedua orang itu lantas duduk di atas lantai batu
karang yang putih bersih. Maka sesudah itu ter-
dengar pula suara menggema dari orang sakti
yang tidak terlihat itu. "Anak-anak muda, aku sudah lama me-
nunggu kedatangan kalian di sini. Siapakah nama
kalian?" "Aku Mahesa Kelud," menerangkan si pe-
muda. Terdengar suara tertawa,
"Suara tanpa rupa, ada apakah kau terta-
wa?" bertanya Mahesa Kelud.
"Tidak apa-apa, aku cuma tertawa men-
dengar nama yang kau sebutkan itu...."
Si pemuda merasa gelisah. Apakah orang
sakti itu mengetahui namaku yang sebenarnya,
pikir Mahesa. "Anak gadis, kau sendiri namamu siapa?"
"Aku Wulansari, suara tanpa rupa...."
"Bagus, bagus. Nama kalian gagah-gagah.
Sesuai dengan rupa dan budi kalian, kalian pan-
tas menjadi muridku. Itulah sebabnya kutunggu-
tunggu kalian...." Mendengar kata-kata itu Mahesa Kelud
dan Wulansari gembiranya bukan main. Betapa-
kan tidak karena mereka akan diangkat menjadi
murid oleh seorang sakti luar biasa! Segera kedu-
anya menjura memberi hormat.
"Terima kasih, guru. Kami berdua mengha-
turkan terima kasih yang sebesar-besarnya..." ka-ta Mahesa.
Sang guru yang tidak kelihatan itu menge-
luarkan suara tertawa. "Kalian berdua jangan ce-
pat-cepat menjadi gembira. Untuk dapat menjadi
muridku sebelumnya kalian harus kucoba lebih
dahulu! Aku ingin tahu sampai di mana keting-
gian ilmu yang kau dapat dari guru-gurumu sebe-
lumnya! Berdirilah!"
Mahesa dan Wulansari berdiri dengan pa-
tuh. Keduanya berpandang-pandangan dan ber-
tanya-tanya dalam hati. Kalau orang sakti itu
hendak menguji mereka, bagaimanakah caranya"
Dia sendiri tidak kelihatan. Kedua orang ini me-
nunggu dengan hati berdebar.
Kemudian terdengar suara: "Joko Cilik!
Kau ujilah mereka!" Mahesa dan Wulansari sama-sama terke-
jut. Mereka menyangka bahwa saat itu ke dalam
gua telah masuk seorang lain bernama Joko Cilik
yang akan menguji mereka. Tapi sampai saat itu
mereka berdua serta anak rusa tersebut yang ada
di sana. Tiba-tiba anak rusa di atas batu karang
putih melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Kaki
mukanya yang sebelah kanan memanjang lurus
ke samping. Pemuda ini terkejut karena samba-
ran kaki binatang itu, meskipun kecil, tapi men-
geluarkan angin dingin yang tajam dan deras. Ce-
pat-cepat Mahesa berkelit ke samping. Sedang si
anak rusa pada saat itu kelihatan meliukkan tu-
buhnya dan kini dia melesat ke hadapan Wulan-
sari. Gadis ini yang tidak kalah terkejutnya cepat-cepat melompat mundur. Hampir
saja pakaiannya kena disambar ujung kaki anak rusa itu!
Begitu dua kaki mukanya menginjak lantai
gua, anak rusa tersebut segera memutar tubuh.
Lalu dengan mengandalkan kekuatan kaki bela-
kang dia melompat kembali ke arah Mahesa Ke-
lud. Lompatannya ini seperti tadi juga merupakan
satu serangan hebat. Cepat-cepat si pemuda ber-
kelit "Mahesa, Wulansari..." terdengar suara menggema dalam gua. "Mengapa kalian
diam sa-ja" Layanilah Joko Cilik, anak rusa peliharaanku
itu!" Mahesa dan Wulansari sama terkejut dan saling pandang karena tidak
menyangka sama sekali bahwa si anak rusa itulah yang bernama
Joko Cilik dan lebih tidak percaya lagi kalau binatang kecil inilah yang harus
mereka hadapi seba- gai ujian dari orang sakti yang akan mengangkat
mereka menjadi murid! Maka ketika binatang itu
menyerang kembali, Mahesa Kelud dan Wulansari
segera bersiap-siap. Untuk lima jurus lamanya
kedua muda mudi itu terus-terusan bersikap ber-
tahan. Karena walaupun mereka tahu bahwa
anak rusa itu bukan binatang sembarangan, tapi
untuk turun tangan melancarkan serangan, me-
reka tidak sampai hati dan ragu-ragu.
"Ayo, anak-anak muda! Mengapa kalian
mengelak terus"! Jangan ragu-ragu, layani Joko
Cilik sebagaimana mestinya!" terdengar suara memerintah.
Kini Mahesa dan Wulansari tidak ragu-
ragu lagi. Kedua orang itu segera melancarkan se-
rangan dengan ilmu silat tangan kosong. Sungguh
lucu kelihatannya, dua orang anak muda berke-
pandaian tinggi berkelahi mengeroyok seekor
anak rusa yang berkelebat ke sana sini menge-
lakkan setiap serangan mereka. Tahu-tahu dua
puluh jurus sudah berlalu dan sampai saat itu
baik Mahesa Kelud maupun Wulansari masih be-
lum berhasil "menyentuh" tubuh Joko Cilik barang satu kalipun! Benar-benar
binatang luar bi- asa anak rusa ini. "Bagus Joko Cilik! Tak sia-sia kau jadi bi-
natang piaraanku. Mahesa, Wulansari cabut pe-
dang kalian!" Mendengar perintah itu, kedua anak muda
tersebut segera menghunus pedang masing-
masing. Tubuh mereka berkelebat cepat, dua pe-
dang bersiuran bergulung-gulung menyerang dan
mengurung si anak rusa dari segala penjuru. Tapi
jangankan untuk melukainya, bahkan pedang itu
tidak berhasil menyentuh sedikitpun tubuh anak
rusa ini padahal Mahesa dan Wulansari sudah
kerahkan semua ilmu kepandaian bahkan tak ja-
rang serangan-serangan pedang mereka dibarengi
dengan pukulan-pukulan tangan kiri berisi tena-
ga dalam yang tinggi. Tapi laksana seorang yang
tengah "akrobat", anak rusa itu melompat kian kemari, jungkir sana jungkir sini,
menyeruduk dan menyelinap di antara kedua penyerangnya
bahkan tak jarang melesat tinggi melancarkan se-
rangan dahsyat dari atas ke kepala kedua orang
itu! "Cukup Joko Cilik!"
Anak rusa itu melompat tinggi mengelak-
kan sambaran pedang Mahesa Kelud dan tahu-


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu... beberapa saat kemudian dia sudah duduk
kembali di atas batu karang putih di seberang sa-
na dan mulai menjilat-jilat kakinya!
Mahesa Kelud dan Wulansari berdiri den-
gan tubuh keringatan. Hati mereka sangat kecewa
dan malu karena lebih dari lima puluh jurus me-
reka mengeroyok binatang kecil itu tapi jangan-
kan untuk mengalahkannya, menghadiahkan sa-
tu pukulanpun mereka tidak sanggup! Bagaimana
pula nanti mereka akan menghadapi jago-jago
Kadipaten Madiun musuh besar mereka"! Men-
gingat sampai ke sini Wulansari menjadi putus
asa dan rasanya mau saja dia melemparkan pe-
dangnya ke arah anak rusa yang duduk di atas
batu karang itu. "Anak-anak muda," terdengar suara yang
menggetarkan ruangan. "Kalau kalian tidak berhasil mengalahkan Joko Cilik, itu
bukan berarti bahwa ilmu yang kalian miliki masih rendah dan
tak ada artinya! Tidak sekali-sekali. Sebelum ka-
lian, pernah seorang pertapa sakti tersesat ke sini dan berhadapan dengan Joko
Cilik. Mereka bertempur seru, sesudah dua puluh jurus dan perta-
pa itu tidak sanggup mengalahkan Joko Cilik, dia
lantas menjura lalu meninggalkan tempat ini den-
gan sangat malu. Mahesa, Wulansari.... Kalian
tak usah kecewa. Ilmu silat tangan kosong dan
ilmu pedang kalian memang belum mencapai
tingkat yang tinggi, tapi itu sudah cukup untuk
menjadi dasar bagiku dalam menggembleng ka-
lian...!" Mendengar itu maka senanglah hati kedua muda mudi tersebut. Ruangan
batu karang empat persegi itu bergema kembali oleh suara si orang
sakti yang berupa perintah pada anak rusa peli-
haraannya. "Joko Cilik, untuk sementara tugasmu su-
dah selesai. Kau kembalilah ke dalam hutan!"
Binatang kecil itu berdiri lurus-lurus den-
gan hanya mempergunakan kedua kaki bela-
kangnya di atas batu karang putih. Lalu tak
ubahnya seperti seorang manusia dia memben-
tangkan dua kaki mukanya ke samping dan me-
runduk, lantas turun dari atas batu itu dan me-
lompat-lompat di hadapan Mahesa serta Wulan-
sari untuk akhirnya lari dengan cepat meninggal-
kan gua. Wulansari senyum-senyum melihat ke-
jenakaan binatang itu. "Mahesa Kelud, Wulansari... kalian duduk-
lah di kiri kanan batu karang putih yang licin itu.
Dan dengarlah apa yang aku akan katakan selan-
jutnya...." Setelah Mahesa Kelud dan Wulansari duduk di tempat yang
diperintahkan maka suara tanpa rupa itu terdengar pula. "Anak-anak muda, aku adalah manusia biasa tak
ubahnya seperti kalian. Untuk sementara aku tidak bisa memper-
lihatkan diri pada kalian. Aku tidak mempunyai
nama karena memang ketika aku dilahirkan ke
dunia ini aku masih belum diberi nama oleh ke-
dua orang tuaku sedangkan mereka keburu me-
ninggal dunia. Meskipun begitu, aku tidak kebe-
ratan jika kalian memanggilku seperti yang kalian sebut tadi yaitu Suara Tanpa
Rupa. Mulai hari ini aku angkat kalian menjadi murid-muridku. Aku
tidak mempunyai ilmu apa-apa dan tidak akan
mengajarkan kepandaian apa-apa kepada kalian.
Tapi padaku, di gua batu karang ini, ada sepa-
sang pedang sakti. Senjata-senjata ini akan aku
berikan kepada kalian dan senjata-senjata inilah
yang akan memberi pelajaran pada kalian mas-
ing-masing tanpa dituntun, tanpa diajar, sampai
akhirnya kalian berdua memiliki ilmu pedang
yang bernama "Dewa-Dewi Pedang Delapan Pen-
juru Angin". Sepasang pedang itulah yang akan membimbing kalian untuk memiliki
kepandaian tersebut dan juga memberikan tambahan tenaga
dalam yang ampuh. Dan seandainya kalian sudah
berhasil memiliki ilmu pedang yang hebat itu
nanti, beberapa hal harus kalian ingat betul-
betul. Pertama, jangan menjadi sombong atau
congkak dengan ilmu yang kalian miliki. Kedua,
ketahuilah bahwa di atas langit ada lagi langit
yang lebih tinggi, di atas setiap orang yang pandai akan selalu ada lagi seorang
lain yang lebih pandai, demikianlah seterusnya. Ketiga atau yang te-
rakhir, pergunakanlah ilmu tersebut untuk ke-
baikan karena bilamana dipakai untuk kejahatan
ilmu itu sendiri yang akan menyerang kalian! Ka-
lian dengar pesanku itu...?"
"Dengar, guru..." kata Mahesa Kelud dan
Wulansari hampir bersamaan.
"Bagus. Mahesa, kau angkatlah batu ka-
rang putih dan licin di sampingmu."
Pemuda itu berdiri dan melangkah ke ha-
dapan batu karang putih di mana anak rusa tadi
sebelumnya duduk. Batu ini diangkatnya, berat-
nya bukan main. Dengan mengerahkan tenaga
dalamnya baru dia berhasil mengangkatnya ke
samping. Pada dasar batu karang itu kelihatanlah
tumpukan pasir halus berwarna sangat merah.
Sampai di situ maka terdengarlah suara si orang
sakti. "Mahesa dan Wulansari, dengar dahulu. Bilamana kalian sudah menguasai
ilmu Dewa Pe- dang Delapan Penjuru Angin, ambillah pasir me-
rah tersebut, masukkan dalam dua buah kantong
kulit dan kalian bisa mempergunakannya sebagai
senjata rahasia bernama - Pasir Terbang - Nah
Mahesa kini kau galilah pasir merah tersebut,
singkirkan baik-baik ke tepi. Gali sampai akhir-
nya kau menemui sesuatu...."
Dengan mempergunakan sepuluh jari-jari
tangannya Mahesa Kelud menggali pasir merah
itu. Makin ke dalam digalinya pasir galian sema-
kin merah sedang lubang galian terang benderang
oleh pancaran sinar merah aneh yang keluar dari
dasar pasir merah. Akhirnya jari-jari tangan pe-
muda itu menyentuh sesuatu yang runcing lancip
dan memancarkan sinar merah.
"Guru, saya menemukan sesuatu benda
berujung lancip dan mengeluarkan sinar merah,"
menerangkan Mahesa. "Bagus, kau tariklah benda itu keluar!"
Mula-mula Mahesa Kelud mempergunakan
tangan kanannya untuk menarik benda itu, tapi
tak berhasil. Dengan bantuan tangan kiri dan
dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ak-
hirnya pemuda itu berhasil juga menarik keluar
benda tersebut. Begitu benda ini keluar dari da-
lam lobang pasir maka memancarlah sinar merah
yang menyilaukan mata! Ternyata yang berada di
tangan Mahesa Kelud saat itu adalah sebilah pe-
dang panjang yang dari ujungnya yang lancip
sampai ke gagangnya yang berukir indah berwar-
na memancarkan sinar merah menyilaukan.
"Sudah Mahesa...?" terdengar Suara Tanpa Rupa bertanya. "Sudah, guru."
"Apa kini yang tergenggam di tanganmu?"
"Sebilah pedang mustika berwarna merah,"
jawab Mahesa Kelud. "Bagus! Kau memang berjodoh untuk me-
miliki Pedang Dewa itu. Coba kau pegang pada
bagian hulunya." Mahesa pegang gagang pedang merah itu
dengan tangan kanannya. Mendadak terasa satu
hawa panas mengalir ke tangannya, terus menja-
lar ke seluruh tubuh mulai dari ujung kaki sam-
pai ke ujung rambut. Demikian panasnya hawa
aneh ini sampai Mahesa hampir-hampir tak sang-
gup memegang terus pedang sakti itu.
"Apa kau merasa adanya aliran hawa pa-
nas menjalar ke seluruh tubuhmu Mahesa?" Sua-ra Tanpa Rupa bertanya.
"Benar guru. Saya hampir tak sanggup ber-
tahan. Panas sekali. Tangan saya seperti dipang-
gang," menjelaskan Mahesa Kelud.
"Jangan dilepas. Bertahan terus. Sebentar
lagi hawa panas akan berganti dengan hawa se-
juk...." Mendengar ucapan sang guru Mahesa kuatkan diri, bertahan sampai sekujur
tubuhnya ba- sah oleh keringat. Ternyata betul. Perlahan-lahan hawa panas meredup lalu sirna.
Kini terasa ada aliran hawa sejuk masuk ke tubuhnya.
"Kurasa sekarang ada hawa sejuk mema-
suki tubuhmu...." "Benar guru," jawab Mahesa. Saat itu dirasakannya secara aneh tubuhnya menjadi
segar bugar. Otot-otot dan urat-uratnya bergetar ken-
cang. Satu kekuatan aneh yang dahsyat kini
mendekam dalam tubuhnya! "Mahesa muridku," terdengar Suara Tanpa Rupa berucap. "Ketahuilah, aliran panas
tadi masuk ke tubuhmu untuk memusnahkan segala ke-
kotoran jasmani dan rohani yang masih bersa-
rang dalam dirimu. Sesudah semua itu disingkir-
kan dan dirimu seolah menjadi kosong maka ma-
suklah aliran sejuk ke dalam tubuhmu. Ini adalah
aliran yang membawa kekuatan lahir batin serta
kekuatan tenaga dalam yang sangat ampuh. Ma-
hesa sekarang coba masukkan ujung pedang ke
dalam lobang sampai batas gagangnya. Tunggu
seketika kemudian tarik ke atas..."
Mahesa menurut. Ketika pedang itu dita-
riknya kembali ternyata senjata ini sudah memili-
ki sarung merah berukir indah!
"Nah, kau minggirlah Mahesa. Wulan, kini
giliranmu. Gali pasir merah itu selanjutnya sam-
pai kau juga menemui ujung runcing sebatang
pedang merah." Seperti Mahesa Kelud tadi maka Wulansari
melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Be-
lum lama menggali ditemui ujung sebilah pedang
lancip. Dengan kedua tangannya si gadis menarik
senjata itu ke atas. Ternyata pedang ini juga berwarna merah dan bentuknya tiada
beda dengan yang sudah menjadi milik Mahesa. Waktu dipe-
gang pada gagangnya terasa hawa panas mengalir
yang disusul oleh hawa dingin sejuk. Kemudian
Suara Tanpa Rupa menyuruh Wulansari mema-
sukkan ujung pedang ke dalam lubang dan ketika
dicabut senjata itu sudah bersarung.
"Murid-muridku," terdengar suara si orang sakti. "Keluarkan pedang yang tadi
kalian bawa ke sini dan masukkan ke dalam lubang lalu timbun dengan pasir merah
itu. Senjata itu tidak ka-
lian pergunakan lagi dan biarlah dia hancur di
dalam tanah...." Mahesa mencabut pedang Naga Kuning se-
dang Wulan mengeluarkan pedang putih warisan
gurunya. Kedua senjata itu satu demi satu dima-
sukkan ke dalam lubang lalu ditimbun dengan
pasir dan ditutup dengan batu karang licin seperti sediakala. Selesai mereka
mengerjakan itu maka terdengar pula suara sang guru.
"Murid-muridku, sekarang dua pedang
mustika sakti itu sudah berada di tangan kalian
dan menjadi milik kalian. Sepintas lalu kedua pe-
dang itu bentuknya sama tiada beda. Tapi yang
menjadi milik Wulansari yaitu Pedang Dewi, ada-
lah satu jari lebih pendek dari milikmu, Mahesa.
Dengan berlatih serta mempergunakan pedang
itu, maka setingkat demi setingkat kalian akan
memiliki ilmu pedang yang hebat sampai akhir-
nya mencapai tingkat teratas yaitu yang kunama-
kan Dewa-Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin.
Ilmu pedang itu, bila kalian pergunakan bersama-
sama menghadapi musuh, niscaya sukar dicari
tandingannya. Tapi bila dipergunakan sendiri-
sendiri juga tidak kalah hebatnya dan khusus un-
tukmu, Wulan, kau boleh ganti nama ilmu pe-
dang itu menjadi Dewi Pedang Delapan Penjuru
Angin. Kemudian satu pantangan harus kalian
ingat baik-baik yaitu selama kalian belajar di sini sekali-sekali tidak boleh
meninggalkan gua!" "Tapi guru..." kata Wulansari sambil memandang berkeliling, "Jika kami tidak
diperke-nankan keluar dari gua ini, bagaimana kami ma-
kan?" "Wulan, ingatanmu ke perut saja!" kata Suara Tanpa Rupa dengan tertawa
bergelak. "Tapi muridku, kalian tak usah khawatir. Joko Cilik
akan datang ke sini setiap hari membawakan
buah-buahan segar untuk kalian.... Nah sekarang
kau tak perlu bicara panjang lebar lagi. Kalian
berdirilah berhadap-hadapan untuk mulai mela-
tih diri!" Meskipun guru mereka itu tidak kelihatan
sama sekali tapi Mahesa dan Wulansari sama-
sama menjura memberi hormat lalu mencabut
pedang masing-masing. Anehnya pedang itu kini
terasa sangat enteng. Dan bukan itu saja, bahkan
tubuh serta tindakan kaki mereka juga menjadi
enteng pula. Dan ketika mereka sama-sama men-
gangkat pedang suatu kekuatan gaib yang dah-
syat seakan-akan membimbing tangan mereka.
Sesaat kemudian kedua murid Suara Tanpa Rupa
itupun bertempurlah memulai latihan yang per-
tama. Tubuh mereka berkelebat laksana bayang-
bayang. Pedang mereka mengeluarkan sinar me-
rah bergulung-gulung dan menimbulkan angin
keras sehingga di dalam gua itu kedengarannya
seperti ada ribuan tawon yang mendengung!


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TIGA TAK terasa lagi satu tahun berlalu. Mahesa
Kelud dan Wulansari sudah sama-sama mengua-
sai ilmu pedang yang hebat itu. Suatu hari ma-
suklah Joko Cilik ke dalam gua. Saat itu Mahesa
dan Wulansari tengah berlatih ilmu pedang. Anak
rusa itu masuk ke dalam dengan berlari cepat te-
tapi kaki belakangnya sebelah kiri pincang. Kedua murid Suara Tanpa Rupa
menghentikan latihan mereka dan berlari mendapatkan Joko Cilik yang
duduk di atas batu karang licin dan menjilat-jilat
kakinya yang pincang. "Joko Cilik! Apa yang terjadi dengan kau"!"
seru Mahesa. Ketika diperhatikannya kaki kiri se-
belah belakang anak rusa itu ternyata terlepas
persendian tulangnya. "Pasti ada manusia-manusia jahat mence-
derainya!" kata Wulansari. Gadis ini berlutut.
Dengan jari-jarinya yang halus dipertemukannya
kembali persendian kaki yang terlepas itu. Joko
Cilik menjilat-jilat lengan Wulansari tanda men-
gucapkan rasa terima kasihnya.
Sementara itu Mahesa Kelud yang memang
merasa yakin akan kata-kata Wulansari tadi yaitu
bahwa ada manusia yang mencelakai binatang
peliharaan gurunya segera meninggalkan ruangan
empat persegi dan berlari ke mulut gua. Dia lupa
akan pantangan gurunya yaitu selama berada di
dalam gua sekali-kali tidak boleh keluar!
Dan benar saja. Begitu Mahesa sampai di
mulut gua maka kelihatanlah belasan manusia
tengah menyibakkan semak belukar lebat yang
menutupi mulut gua. Orang-orang ini terkejutnya
bukan main. Salah seorang yang bertampang ke-
ren membuka mulutnya. "Eh... eh... kita mencari anak rusa tahu-
tahu yang muncul manusia. Lucu! Hai orang mu-
da, kau manusia sungguh atau jin siluman"!"
Orang ini adalah Braja Kunto, kepala pasukan
pengawal Kadipaten Madiun dan dia adalah anak
murid Waranganaya Toteng, si resi jahat yang du-
lu bersama Lima Brahmana pernah berurusan
dengan Mahesa serta Wulansari sampai kedua
anak muda tersebut yang masa itu masih belum
mempunyai ilmu yang cukup tinggi untuk meng-
hadapi mereka terpaksa lari menyelamatkan diri.
Mahesa sendiri tidak tahu kalau dia berhadapan
dengan murid musuh besarnya. Dia cuma tahu
dari pakaian orang-orang yang dihadapan itu
bahwa mereka adalah pengawal-pengawal Kadipa-
ten. "Setan busuk kesasar!" semprot Mahesa Kelud pada Braja Kunto. "Kalau bicara
jangan seenak perutmu! Kalian datang ke sini mau apa?"
Dengan sikap gagah Braja Kunto lipatkan
tangan di muka dada dan renggangkan kaki. "Siluman bermulut besar, kami datang
ke sini untuk mencari seekor anak rusa buruan! Tapi kalau
anak rusa itu sudah lari, kami rasa kaupun cu-
kup enak dagingnya untuk dipanggang!"
"Manusia rendah! Jadi kalian yang mence-
lakai anak rusa itu"!"
Saat itu Wulansari sudah berada pula di
mulut gua. Dia terkejut melihat Mahesa Kelud
tengah berhadap-hadapan dengan belasan orang
berpakaian prajurit. Di lain pihak, Braja Kunto
dan kawan-kawannya tidak pula kurang terkejut-
nya ketika melihat ada seorang gadis jelita berdiri dihadapan mereka.
Kunto mengulum senyum. "Tak sangka ada
gadis cantik diam di gua ini! Sayang sekali, men-
gapa tidak tinggal di kota" Aku bersedia membe-
rikan satu kamar dengan tempat tidur yang em-
puk dalam rumahku untukmu gadis manis!"
"Manusia rendah! Jangan kau bicara sem-
barangan terhadap adikku!" memperingatkan
Mahesa Kelud. Sebegitu jauh pemuda ini masih
bisa menahan kesabarannya.
"Ho... ho! Jadi gadis ini adikmu" Bagus se-
kali kalau begitu sehingga aku tak perlu susah-
susah mencari walinya untuk mengajukan lama-
ran!" Semua orang tertawa kecuali Mahesa dan Wulan. Si gadis sendiri menjadi
merah mukanya ketika mendengar kata-kata Braja Kunto itu.
"Manusia tidak tahu peradatan, berlalulah
dari sini sebelum aku naik darah!" memperin-
gatkan Mahesa Kelud. "He... he, kunyuk ini terlalu banyak mulut!
Kau masuklah kembali ke dalam gua dan cuci
kaki, tidur!" kata Braja Kunto mengejek. Bersamaan itu tangan kirinya dipakai
mendorong Ma- hesa Kelud ke dalam gua. Dia mendorong sambil
kerahkan tenaga dalam yang tinggi, maksudnya
dengan sekali dorong saja pemuda itu akan men-
tal terguling masuk ke dalam gua. Tapi alangkah
terkejutnya murid Waranganaya Toteng ini, ketika
dengan kecepatan luar biasa Mahesa Kelud berke-
lit ke samping dan mengirimkan jotosan yang ke-
ras ke bawah ketiak laki-laki itu. Cepat-cepat Bra-ja Kunto tarik pulang
tangannya. Dari angin pu-
kulan lawan, kepala pasukan Kadipaten ini segera
maklum bahwa lawannya memiliki tenaga dalam
yang jauh lebih tinggi dari padanya dan yang tak
akan mungkin bisa dihadapinya dengan seorang
diri. Maka berteriaklah anak murid Waranganaya
Toteng ini. "Kawan-kawan! Keroyok!"
Serentak dengan itu belasan pengawal-
pengawal Kadipaten segera menyerbu kedua mu-
rid Suara Tanpa Rupa itu. Braja Kunto dan anak-
anak buahnya terlalu sombong dan menyangka
bahwa hanya Mahesa Kelud sendirilah yang be-
rilmu tinggi, tapi tak dinyana tak diduga ketika
melihat Wulansari berkelebat cepat dan dalam sa-
tu gebrakan saja berhasil membikin mental roboh
seorang prajurit, mereka menjadi hati-hati dan
segera mengeluarkan senjata.
Mahesa Kelud setahun yang lalu tidak sa-
ma dengan Mahesa Kelud sesudah digembleng
oleh si orang tua sakti tanpa nama. Dengan satu
bentakan keras dia kirimkan sebuah jotosan yang
tak terelakkan ke dada Braja Kunto. Kepala pa-
sukan Kadipaten ini menjerit keras dan terlempar
jauh. Dadanya sesak. Cepat-cepat dia alirkan te-
naga dalamnya ke bagian yang terpukul. Prajurit-
prajurit anak buahnya menjadi panik dan ngeri.
Golok-golok maut di tangan mereka menderu kian
kemari mencari sasaran di tubuh kedua lawan
tapi tak satupun yang berhasil. Sementara itu
Mahesa dan Wulansari berhasil membuat dua
orang pengeroyoknya menggeletak di tanah bah-
kan si gadis yang meskipun saat itu membawa
pedang mustika di punggungnya tapi belum mau
mempergunakannya berhasil merampas pedang
salah satu pengeroyok. Dengan pedang di tangan
maka mengamuklah gadis ini.
Nyali Braja Kunto menjadi lumer. Mengha-
dapi lawan yang bertangan kosong dia dan ka-
wan-kawan sudah dibikin sibuk serta panik bah-
kan telah banyak jatuh korban, apalagi kini meli-
hat Wulansari mempergunakan pedang pula! Ga-
dis ini tidak tanggung-tanggung. Meskipun pe-
dangnya bukan pedang mustika namun waktu
dia mengeluarkan ilmu pedang yang diajarkan
oleh gurunya si Suara Tanpa Rupa maka berpeki-
kanlah beberapa orang pengeroyoknya yang kena
tersambar pedang! Untuk memberi aba-aba lari. Braja Kunto
merasa malu terhadap anak buahnya sendiri.
Apalagi mengingat dia adalah anak murid seorang
resi berilmu tinggi dan ditakuti! Namun untuk
melawan terus kedua pendekar muda yang ber-
kepandaian jauh lebih tinggi itu, dia sudah tidak punya nyali tak punya harapan.
Akhirnya dia mendapat akal juga. Dia berseru: "Tahan!" dan bersamaan itu melompat keluar dari
kalangan pertempuran, anak-anak buahnya mengikuti.
Mahesa dan Wulansari yang tahu tata cara
persilatan segera pula menghentikan gerakan me-
reka tapi mereka menanti dengan waspada. Mere-
ka maklum bahwa bangsat-bangsat Kadipaten itu
punya seribu satu macam akal dan tipuan yang
busuk! Braja Kunto maju satu langkah ke hada-
pan Mahesa Kelud dan menjura hormat.
"Saudara-saudara yang gagah," katanya,
"Harap maafkan kami. Terus terang kami akui kesalahan dan tidak tahu diri sampai
berani turun tangan terhadap saudara-saudara yang gagah.
Sekali lagi maaf. Dan bila saudara-saudara tidak
keberatan sudilah memberitahukan nama sauda-
ra-saudara berdua kepada kami."
Wulansari menyeringai mengejek. "Huh, ti-
dak perlu kami kasih tahu nama pada manusia-
manusia macam kalian! Berlalulah cepat dari ha-
dapanku!" Braja Kunto geramnya bukan main. Tapi
dia tidak berani bertindak gegabah lagi. Dia
memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Den-
gan membawa kawan-kawan mereka yang luka-
luka parah maka berlalulah pasukan pengawal
Kadipaten itu di bawah pimpinan Braja Kunto.
Mahesa memegang lengan Wulansari dan
kedua orang itu kemudian masuk ke dalam gua
kembali. Begitu mereka sampai di ruang batu ka-
rang empat persegi maka terdengarlah suara guru
mereka menggema. "Sayang... sayang sekali... sayang seka-
li____" Mahesa Kelud dan Wulansari saling pandang tak mengerti. Keduanya masih
belum sadar kalau mereka sudah melanggar pantangan sang
guru. "Murid-muridku, sayang sekali.... Kalian baru satu tahun berada di sini
tapi kalian sudah melanggar laranganku, padahal ilmu pedang ka-
lian belum mencapai tingkat kesempurnaan, pa-
dahal ilmu dalam dan batin kalian belum menca-
pai tingkat teratas! Sayang... sayang sekali murid-muridku...."
Terkejutlah kedua orang itu. Mereka segera
menjura. "Guru!" seru Mahesa. "Harap maafkan kami karena telah keluar dari gua
dan melanggar larangan guru! Sebenarnya kami tidak punya
maksud demikian. Tapi Joko Cilik dikejar-kejar
bahkan dicelakai oleh bangsat-bangsat Kadipaten!
Kami tak senang kalau tidak turun tangan...!"
"Itu bukan alasan.... Itu bukan alasan mu-
rid-muridku. Kenyataannya kalian sudah melang-
gar larangan...." "Guru, ampunilah kesalahan kami," kata
Wulansari seraya tundukkan kepala dengan air
mata berlinang-linang. "Tidak ada kesalahan yang harus diampu-
ni, muridku," jawab Suara Tanpa Rupa. "Yang ada hanyalah larangan yang telah
dilanggar. Manusia luaran telah melihat kalian berdua. Dan dalam
tempo yang singkat puluhan kaki-kaki tangan
Kadipaten berilmu tinggi akan datang ke sini
mencari kalian. Karena itu sebelum terlambat ka-
lian pergilah dari sini...."
"Guru," kata Mahesa, "demi kesalahan yang kami telah buat, kami berani mengadu
nyawa untuk menghadapi mereka."
"Tidak Mahesa, ini belum lagi saatnya. Ka-
lau kataku kalian harus pergi, kalian lakukan!
Kau Wulansari, pergilah ke timur dan kau Mahe-
sa, pergilah ke barat. Satu tahun kemudian baru
kalian datang lagi ke sini. Dan selama waktu itu
kalian sekali-kali jangan bikin urusan dengan
Adipati Suto Nyamat ataupun kaki-kaki tangan-
nya. Jauhi mereka untuk sementara."
"Tapi guru, mereka adalah musuh besar
kami," kata Wulansari
"Tak perduli siapapun mereka adanya!" jawab Suara Tanpa Rupa.
Mahesa dan Wulansari segera maklum
bahwa guru mereka sangat kecewa karena mere-
ka telah melanggar larangan. "Guru," kata Mahesa, "sebelum pergi murid inginkan
beberapa pen-jelasan. Mudah-mudahan guru sudi menerang-
kannya. Apakah guru pernah kenal atau dengar
tentang manusia bernama Simo Gembong...?"
"Aku tidak suruh kau bertanya, Mahesa.
Tapi suruh kau dan Wulansari segera berangkat
dari sini. Pertanyaanmu lain kali kujawab! Nah,
pergilah...!" "Harap maafkan, guru. Kami pergi seka-
rang," kata Mahesa. Kedua murid Suara Tanpa
Rupa itu menjura sekali lagi, menganggukkan ke-
pala pada Joko Cilik yang berbaring di atas batu
karang licin lalu keluar.
Sampai di luar gua, kedua orang itu berdiri
berhadap-hadapan dan untuk beberapa lamanya
tidak bisa berkata apa-apa. Mahesa melihat ba-
gaimana kedua mata Wulansari berkaca-kaca.
Pemuda itu maju satu langkah dan memegang
bahu si gadis. "Wulan, tak usah menangis. Mari sama kita tabahkan hati dan
kuatkan jiwa. Ini adalah kesalahan yang kita harus tanggung. Kau


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pengembaraan hati-hatilah. Kalau kau
sampai ke sini lebih dahulu nantikan aku...."
Butiran-butiran air mata jatuh berderai
membasahi pipi merah Wulansari. Gadis ini me-
meluk tubuh Mahesa dan menyandarkan kepa-
lanya ke dada si pemuda yang bidang. "Tapi Mahesa..." katanya perlahan dan sayu,
"satu tahun itu lama sekali. Aku tak sanggup berpisah sekian
lama denganmu. Aku... aku mencintaimu, Mahe-
sa...." Berdebar dada si pemuda ketika mendengar pengakuan terus terang dari
gadis yang dipe- luknya itu. Selama berhubungan mereka memang
sudah sama-sama merasakan satu perasaan me-
sra, yang tak sanggup mereka utarakan satu sa-
ma lain. Tapi di saat perpisahan itu, semua baru-
lah diucapkan, diiringi dengan seseduan serta air mata. "Tidak, Wulan... satu
tahun tidak lama. Kau harus sanggup. Satu tahun berpisah untuk
bertemu lagi di sini. Aku juga mencintaimu, Wu-
lan..." bisik Mahesa Kelud.
Gadis itu menengadah. Air matanya berde-
raian. Mahesa dengan hati penuh haru menyeka
butiran-butiran air mata yang membasahi pipi
Wulansari dan mencium kedua matanya.
"Mahesa, benarkah..." Benarkah kau juga
mencintaiku...?" "Ya, Wulan. Aku sangat mencintaimu. Su-
dah lama ini kurasakan tapi baru sekarang, di
saat berpisah ini kusampaikan padamu. Semoga
cinta kita masing-masing memberikan ketabahan
dalam pengembaraan kita selama satu tahun
mendatang...." Mendengar itu Wulansari memeluk tubuh
Mahesa Kelud erat-erat, seakan-akan tak hendak
dilepaskannya lagi pemuda itu. Mahesa mencium
rambut si gadis berulang-ulang dan kemesraan
itu dilanjutkan dengan sepasang bibir yang saling kecup penuh kehangatan.
"Wulan...." "Ya, Mahesa...."
"Aku harus pergi sekarang adikku...." Wulansari melepaskan pelukannya. "Kuatkan
hati-mu, Wulan. Sampai bertemu kekasih...."
Mahesa memutar tubuhnya, dan sekali dia
berkelebat maka dia sudah berada jauh. Wulan-
sari membetulkan letak rambutnya. Dipandan-
ginya tubuh orang yang dikasihinya itu di kejau-
han untuk penghabisan kalinya, lalu dengan pe-
nuh ketabahan dia berkelebat pula meninggalkan
tempat itu. EMPAT DI ANTARA sekian banyaknya daerah di
kadipatenan yang berada di bawah kuasa Raja
Pajang, salah satu di antaranya ialah Magetan.
Magetan hanya sebuah kota kecil, tapi apa yang
membuat kota kecil ini lebih menonjol dan ter-
kenal namanya ialah karena daerahnya yang
subur, penduduknya yang rajin serta ramah baik
budi dan hasil alamnya yang tumpah ruah. Boleh
dikatakan tidak ada seorang petani miskin pun di
sana. Tukang minta-minta jarang terlihat, kalau
pun ada maka biasanya adalah pendatang dari
daerah-daerah lain di sekitar Magetan. Hasil upeti yang diterima Raja Pajang
setahun sekali dari Magetan, jika dibandingkan dengan tiga daerah
kadipaten lainnya yang dijumlahkan sekaligus
maka masih lebih tinggi dan lebih banyak upeti
dari Magetan, demikianlah kayanya daerah itu.
Kemudian ada pula hal lain yang menggembira-
kan. Yaitu bahwa Bupati Magetan yang bernama
Lor Bentulan adalah seorang Bupati yang cakap,
baik serta ramah. Seluruh penduduk Magetan
suka pada Bupati ini. Justru kejujuran dan bim-
bingan yang tak segan-segan diberikan oleh Lor
Bentulanlah yang menambah tumpah ruahnya
segala hasil kekayaan yang ada di Magetan. Dan
bukan rahasia lagi kalau banyak Bupati-Bupati
lain yang diam-diam merasa iri terhadap kecaka-
pan Lor Bentulan ini, padahal kalau dilihat kepa-
da umur, Lor Bentulan belum lagi mencapai em-
pat puluh tahun tapi sudah pandai mengatur de-
mikian rupa sehingga tingkat kehidupan rakyat
yang berada di bawahnya menjadi tinggi, rakyat
hidup aman makmur tenteram sejahtera.
Suatu malam yang gelap tanpa bulan tan-
pa bintang, di ruang tengah Kadipaten yang besar
dan terang duduklah Adipati Lor Bentulan ber-
sama isteri dan anak tunggal mereka, seorang ga-
dis cilik berumur sembilan tahun. Mereka tengah
asyik bercakap-cakap ketika tiba-tiba saja ke
ruangan itu melompat enam orang berewokan,
bertampang buas. Yang lima, bertubuh besar-
besar dan tegap, mereka segera mengurung ketiga
beranak itu. Salah satu diantaranya dengan kece-
patan luar biasa tahu-tahu sudah melintangkan
bagian goloknya yang tajam ke batang leher Adi-
pati Lor Bentulan! Isteri sang Adipati yang hendak berteriak segera ditekap
mulutnya demikian juga anak tunggalnya. Orang yang keenam berdiri dekat pintu.
Tangan kanannya menekan hulu golok panjang
yang tersisip di pinggang. Tangan kirinya ternyata buntung. Berbeda dengan lima
orang lainnya ma-ka yang satu ini bertubuh pendek kate serta bo-
tak. Tapi melihat kepada sikapnya berdiri di pintu itu maka tahulah kita bahwa
dialah yang menjadi pemimpin dari kelima manusia-manusia tinggi
besar gondrong dan berewokan. Kemudian meli-
hat pula kepada tampang-tampang mereka dapat
diduga bahwa mereka bukan orang baik-baik dan
tentu pula datang bukan dengan maksud baik!
Orang yang bertangan buntung, berkepala
botak serta berbadan pendek kate maju ke muka,
ke hadapan Adipati Lor Bentulan. Di bibirnya
yang tebal tersungging satu seringai mengejek.
Manusia kate ini tak lain adalah Warok Kate, ke-
pala rampok dari bukit Jatiluwak yang telah
membunuh si Cakar Setan yaitu guru Wulansari
dalam memperebutkan surat rahasia.
Meskipun tahu bahwa dia tengah berhada-
pan dengan satu gerombolan orang-orang jahat,
namun dengan menguasai dirinya sedapat mung-
kin, Lor Bentulan bertanya tenang: "Saudara-
saudara, kalian siapa dan punya maksud apa da-
tang ke tempatku ini?"
Seringai di mulut Warok Kate semakin
memburuk. "Adipati Lor Bentulan, aku senang
melihat kau masih mau bicara pakai peradatan
dan juga senang karena kau ingin tahu siapa ka-
mi adanya. Aku Warok Kate dari bukit Jatilu-
wak...." Kepala rampok menyeringai kembali ketika melihat bagaimana air muka Lor
Bentulan menjadi berubah terkejut ketika mendengar na-
manya. Dia menggoyangkan kepalanya kepada
kelima orang di sekelilingnya dan berkata: "Mereka adalah anak-anak buahku yang
juga menjadi murid-muridku." "Kalian datang untuk maksud apa...?"
tanya Lor Bentulan meskipun sembilan di antara
sepuluh dia sudah yakin apa tujuan keenam
orang itu datang ke tempatnya.
"Sebelum aku beri tahu maksud kedatan-
gan kami terlebih dahulu kau harus ingat satu
hal baik-baik, Adipati. Jika kau berani memban-
tah atau menolak segala apa yang aku kata dan
perintahkan, ketahuilah bahwa aku Warok Kate,
kepala rampok dari Jatiluwak tidak segan-segan
untuk pisahkan kepalamu dengan badan!"
Menggigillah tubuh Lor Bentulan ketika
mendengar itu, isteri serta anaknya terlebih lagi.
"Kalau kalian datang untuk merampok segala
uang dan harta kekayaan yang ada silahkan. Am-
bil semua yang ada, aku tidak akan melawan! Ta-
pi kalian harus ingat pula, sekali aku berteriak
memanggil pengawal, kalian semua akan tertang-
kap hidup-hidup atau mati konyol di ruangan
ini!" Warok Kate tertawa bergelak. "Berteriaklah sampai kau muntah darah! Pasti
tak ada satu orang pengawalmu pun yang muncul. Anak-anak
buahku sudah membereskan mereka terlebih da-
hulu!" Terkejutlah Lor Bentulan. Mukanya menjadi pucat pasi. Dia tak bisa
berkata apa-apa. Wa- rok Kate meletakkan tangan kanannya di atas
bahu kiri Adipati itu sambil kerahkan tenaga da-
lam. Lor Bentulan merasakan betapa bahunya
seperti ditekan oleh satu karung berat ratusan
kati dan tubuhnya menjadi terhuyung. Sebagai
seorang bangsawan yang baik serta jujur, Lor
Bentulan tidak pernah belajar ilmu silat atau pun ilmu-ilmu kebathinan. Selama
dia hidup baik dan jujur serta ramah kepada semua orang, dia mera-
sa dirinya aman, tak punya musuh, sehingga dia
merasa pula tidak perlu menuntut atau mempela-
jari segala macam ilmu kepandaian. Menghadapi
kejadian saat itu, diam-diam Bupati Magetan ini
menyesali diri. "Warok Kate, kalau kau dan anak buahmu
hendak merampok, lakukanlah. Sesudah itu ber-
lalu dengan cepat. Jangan ganggu kami lebih la-
ma..." kata Lor Bentulan.
Warok Kate melepaskan pegangannya.
Tangan kanannya kembali menekan hulu golok.
"Lor Bentulan dengarlah! Aku datang ke sini bukan untuk merampok...!"
Bupati itu menjadi heran. "Lalu...?" tanyanya sambil mengerling kepada isteri
dan anaknya. Hatinya menjadi gentar ketika terpikir
olehnya mungkin rampok-rampok itu datang un-
tuk menculik isterinya atau anaknya lalu meme-
ras. "Kami datang untuk membuat perjanjian
dengan kau, begitulah secara halusnya! Atau ka-
lau kau tidak mengerti bahasa halus baiklah ku-
jelaskan. Mulai saat ini ke atas, kau harus turut segala ketentuan yang aku
perintahkan, kau harus lakukan demi nyawamu dan nyawa anak iste-
rimu...." "Ketentuan atau perintah apakah yang aku
harus jalankan?" tanya Lor Bentulan.
"Daerah Magetan ini daerah yang kaya
raya, bukan?" Lor Bentulan tidak mengerti apa maksud
pertanyaan ini. Tapi dia mengangguk perlahan.
"Bagus," ujar Warok Kate. "Petani-petani dan semua penduduk di sini juga semua
orang-orang kaya, bukan?" Lor Bentulan mengangguk lagi. Warok Kate
tertawa senang. "Nah, sekarang kau dengar baik-baik. Mulai besok terhadap semua
penduduk di sini, terutama petani-petani serta pedagang-pedagang kaya kau harus tarik pajak penghasilan
sepuluh kali lipat dari yang sudah-sudah! Kau
dengar...?" "Warok Kate...?"
"Sialan!" maki kepala rampok berkepala botak itu. "Aku tanya kau dengar apa
tidak malahan bicara seenaknya. Kau dengar...?"
"Dengar. Tapi...."
"Tapi apa"!" bentak Warok Kate.
"Tapi ini adalah pemerasan, aku...."
"Tak perduli pemerasan atau apapun yang
kau namakan. Aku ingin tahu, kau mau laksana-
kan perintahku itu atau tidak?"
"Tidak mungkin Warok. Tidak mungkin. ini
adalah pemerasan dan melanggar aturan pajak
kerajaan yang sudah ditentukan Sri Baginda...."
"Persetan dengan peraturan Sri Baginda.
Sekalipun setan yang bikin peraturan harus tun-
duk pada peraturanku! Mengerti"!"
"Aku mengerti Warok, tapi tak mungkin
aku laksanakan. Tak bisa...."
"Apa yang tidak bisa"!"
"Semua orang, seluruh rakyat Magetan ini
akan mencap aku sebagai Bupati tukang peras.
Bupati jahat dan tidak jujur! Daripada dicap
orang macam begituan lebih baik mati!"
"Hem...." gumam Warok Kate. "Jadi kau tidak takut mati, Lor Bentulan"!"
"Tidak, bunuhlah!"
Warok Kate menyeringai. Golok Besar di
tangan anak buahnya yang saat itu masih melin-
tang di leher Lor Bentulan ditekannya dengan
tangan kanannya sedikit. Bagian yang tajam dari
senjata ini mengiris kulit leher sang Adipati,
membuat dia meringis kesakitan. Tapi dengan ta-
bah dia berkata: "Teruskan Warok aku sudah bilang aku tidak takut mati!"
Kepala rampok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya lalu berkata: "Kau memang mungkin
tidak takut mati, Lor Bentulan. Tapi kami punya
cara lain untuk memaksamu tunduk! Coba kau
lihat pertunjukan ini sebentar...."
Warok Kate melangkah ke hadapan anak
perempuan Lor Bentulan. Dijambaknya rambut
anak itu lalu ditamparnya. Gadis cilik umur sem-
bilan tahun ini tentu saja menjerit kesakitan dan menangis.
Melihat anaknya diperlakukan demikian,
naiklah darah Lor Bentulan. Dikibaskannya tan-
gan anak buah Warok Kate yang memegang golok.
Dia melompat ke muka: "Rampok keparat! Jangan sakiti anakku!"
Tapi lompatan Adipati ini baru setengah sa-


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ja ketika anak buah Warok Kate yang tadi tan-
gannya dikibaskan menghantam dadanya dengan
satu jotosan keras. Bupati Magetan itu terbanting kembali ke kursinya. Dadanya
sakit dan napasnya sesak. "Sekali lagi kau berani memaki pemimpin kami,
kucincang anak dan isterimu di
depan kau punya mata!"
Mendidihlah amarah Lor Bentulan. Tapi
apa daya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Baginya
untuk mati di tangan rampok-rampok itu bukan
apa-apa, tapi kalau anak isterinya harus pula
menjadi korban, dia harus berpikir dua kali!
"Bagaimana Adipati, masih coba hendak
melawan?" tanya Warok Kate mengejek.
Sang Adipati tidak menyahut.
"Nah, kalau kau tak ingin anak isterimu
mampus, sebaiknya dengar kata-kataku. Mulai
besok kau harus ambil pajak sepuluh kali lipat
atas semua penduduk di daerah ini! Sesudah ha-
silnya terkumpul, kau boleh sisihkan bagian yang
harus kau serahkan pada raja sedang lebihnya,
tidak kurang satu peser pun harus kau berikan
kepada kami! Dengar?"
Lor Bentulan mengangguk. Kini dia mak-
lum, kalau Warok Kate dan anak-anak buahnya
datang untuk merampok, harta kekayaannya
yang banyak memang masih belum berarti apa-
apa dibandingkan dengan hasil pemerasan pajak
yang diperintahkannya! Bupati ini mengutuk da-
lam hati. "Dan pajak itu. Adipati..." terdengar kembali suara Warok Kate, "Kau harus
pungut dua kali dalam satu bulan!"
"Warok Kate, kau keterlaluan! Untuk pajak
yang sebesar itu satu kali dalam sebulan belum
tentu rakyat Magetan sanggup membayarnya,
apalagi sampai dua kali!" kata Lor Bentulan.
"Aku tidak tanyakan sanggup atau tidak-
nya, Adipati! Tapi aku perintahkan kau untuk
melaksanakannya!" "Gila!" LIMA RAMPOK yang memegang golok hendak
meninju Adipati itu dengan tangan kirinya tapi
dicegah oleh Warok Kate. Kepala rampok ini
membuka mulut kembali. "Sebagai jaminan bah-
wa kau akan mengikuti perintahku, kelima anak
buahku ini kutempatkan di sini! Kepada setiap
orang yang bertanya kau harus terangkan bahwa
mereka adalah pengawal-pengawal tambahan
yang didatangkan dari kotaraja! Dan untuk jami-
nan bahwa kau tidak akan melaporkan hal ini
kepada orang-orang di kotaraja, maka anak pe-
rempuanmu kubawa ke bukit Jatiluwak!"
"Tidak bisa, Warok! Anak itu harus tetap
berada di sini bersamaku!" tutur Lor Bentulan.
"Tidak ada satu orang pun boleh memban-
tah kehendakku, Adipati. Jika kau ingin anakmu
selamat, lakukan apa yang kukatakan. Dan sela-
ma kau patuh serta tunduk kepada kami tak
usah khawatir tentang dia! Pungut pajak itu mu-
lai besok. Hasil yang pertama selambat-lambatnya
harus sudah kuterima minggu depan! Ada yang
kurang jelas bagimu?"
Lor Bentulan tidak bisa menjawab saking
cemas dan geram. Cemas terhadap keselamatan
anak perempuannya dan geram terhadap perbua-
tan terkutuk rampok-rampok bejat itu. Dengan
satu gerakan cepat kemudian Warok Kate tahu-
tahu telah menotok jalan darah di leher anak pe-
rempuan Lor Bentulan lalu anak yang sudah ke-
jang tak sadarkan diri itu diletakkannya di bahu
kirinya. Dia memandang berkeliling pada kelima
anak buahnya dan berkata: "Kerjakan tugasmu
dengan baik. Siapa saja yang bertindak mencuri-
gakan atau berani berlaku gegabah, jangan ragu-
ragu untuk menggorok batang lehernya!"
Kelima anak buah Warok Kate menjura
dan kepala rampok itu kemudian melompat lewat
jendela, menghilang dalam kegelapan malam.
Tak lama sesudah Warok Kate pergi, lima
orang prajurit pengawal Kadipaten segera siuman
dari pingsan masing-masing. Mereka sama terke-
jut ketika mendapati diri mereka terbujur di ha-
laman muka Kadipaten. Mereka kemudian ingat
bahwa malam itu waktu mengadakan pengawalan
tahu-tahu datanglah lima orang bertubuh besar
menyerang mereka. Dalam beberapa gebrakan sa-
ja mereka semua kena dirobohkan! Kelima pen-
gawal itu segera berdiri dan masuk ke dalam ge-
dung Kadipaten karena mereka khawatir kalau
terjadi apa-apa. Betapa terkejutnya para pengawal ini ketika melihat di ruangan
tengah kadipaten lima orang berbadan besar, berewokan dan ber-
muka kejam buas yang berdiri dalam satu lingka-
ran mengurung Adipati Lor Bentulan.
"Manusia-manusia siluman kotor!" bentak salah seorang dari mereka yang menjadi
kepala pengawal, "Kalian bikin apa di sini"!"
"Anjing Kadipaten, jangan bicara besar!
Kurobek mulutmu nanti!" balas membentak anak buah Warok Kate.
Kepala pengawal menjadi geram dihinakan
seperti itu. Dia memberi isyarat pada keempat
kawannya. Kelimanya kemudian segera menyer-
bu. Terjadilah pertempuran seru. Meskipun pen-
gawal-pengawal tersebut sama memiliki ilmu ke-
pandaian yang tinggi, terutama kepala pengawal,
tapi menghadapi murid-murid Warok Kate mereka
tidak bisa berkutik. Mereka hanya bisa bertahan
sepuluh jurus. Sesudah itu satu demi satu mere-
ka roboh ke lantai menjadi korban sambaran go-
lok perampok-perampok. Ketika korban ketiga ja-
tuh maka berteriaklah Lor Bentulan, "Tahan!" Tadinya dia sengaja berdiam diri
karena mengharap bahwa para pengawalnya akan sanggup mengha-
jar manusia-manusia jahat itu tapi kenyataannya
adalah kebalikannya. Dua orang pengawal yang masih hidup
yang memang sudah tidak punya nyali untuk
meneruskan perkelahian itu karena tahu bahwa
lawan-lawan mereka lebih tinggi kepandaiannya,
ditambah lagi saat itu mereka hanya tinggal ber-
dua, segera melompat mundur.
"Adipati, suruh pengawal-pengawalmu
yang masih hidup itu keluar dari sini..." perintah seorang rampok.
Lor Bentulan segera memberi isyarat pada
kedua pengawal. "Tunggu dulu!" kata seorang rampok yang lain. "Seret ketiga
mayat kawan- kawanmu itu keluar dari sini!" Maka mayat tiga pengawal yang telah menjadi
korban itu pun dibawa keluar.
Keesokan harinya, pagi-pagi, Adipati Lor
Bentulan diiringi oleh lima anak buah Warok Kate
yang saat itu memakai pakaian-pakaian kepraju-
ritan pengawal Kadipaten menuju ke alun-alun
Magetan. Di sini, karena sebelumnya sudah dis-
iarkan dari mulut ke mulut, maka berkumpullah
penduduk Magetan, terutama kaum tani dan pe-
dagang. Sebelumnya memang rakyat Magetan su-
dah sering disuruh berkumpul di alun-alun untuk
mendengarkan pengumuman-pengumuman atau
penerangan-penerangan. Karenanya tak ada ter-
pikir di dalam benak mereka bahwa mereka akan
mendengar kabar yang mengejutkan!
Mula-mula alun-alun yang penuh oleh ma-
nusia itu menjadi sunyi senyap ketika Lor Bentu-
lan menjelaskan bahwa mulai hari itu akan dita-
rik pajak yang besarnya sepuluh kali lipat dari
yang sebelumnya dan harus dibayar dua kali da-
lam sebulan! Tapi sesaat kemudian maka ramai-
lah alun-alun Magetan oleh ratusan suara manu-
sia. Semua orang menjadi terkejut dan tidak per-
caya akan putusan itu. Setengahnya menggerutu
memaki bahkan ada pula yang mulai mencap
bahwa Adipati Lor Bentulan seorang pemimpin
pemeras rakyat! Di kalangan rakyat, walaupun
berbagai tanggapan mereka, namun satu hal yang
tidak bisa mereka mengerti ialah bagaimana dan
mengapa sampai Adipati Lor Bentulan yang sela-
ma ini merupakan seorang yang jujur dan baik
serta bijaksana bahkan tak jarang turun tangan
untuk membantu rakyat kecil kini mengambil
tindakan sewenang-wenang, menindas rakyat
dengan pajak yang begitu tinggi"! Namun terpikir
pula oleh rakyat banyak itu bahwa di dunia ini
segala sesuatu tidak bersifat kekal, semuanya su-
atu waktu pasti mengalami perubahan. Demikian
juga dengan sifat diri manusia, seorang pemim-
pin! Kalau dulu seorang pemimpin berhati jujur,
maka suatu saat bisa berubah menjadi jahat bu-
suk, kalau dulu seorang pemimpin baik hati dan
pemurah, maka suatu ketika bisa menjadi penin-
das dan pemeras rakyat. Empat bulan kemudian, seperti siang den-
gan malam, seperti hitam di atas putih, terbalik
seratus delapan puluh derajat demikianlah terja-
dinya perbedaan di daerah Magetan. Petani-petani
kaya jatuh miskin. Jangankan untuk menjual ha-
sil sawah ladang mereka ke pasar, untuk dima-
kan sendiripun sudah tidak mencukupi. Peda-
gang-pedagang menutup kedai mereka karena tak
ada lagi barang yang bisa dijual. Rakyat yang du-
lu hidup sederhana dan bahagia kini menjadi
sangat tertekan. Sawah ladang berubah menjadi
padang rumput dan alang-alang. Pasar menjadi
sunyi senyap. Magetan kini diliputi oleh seribu
satu macam kemiskinan. Kemiskinan lahir dan
kemiskinan bathin! Ini disebabkan tak lain adalah akibat penarikan pajak yang
tinggi dan sewenang-wenang oleh Adipati Lor Bentulan. Dan selama itu
tidak satu orang pun yang tahu kalau sang Adipa-
ti melakukan itu semua adalah karena terpaksa,
dibawah ancaman golok maut kelima anak buah
Warok Kate. Rakyat cuma tahu bahwa Lor Bentu-
lan kini adalah seorang Adipati jahat, pemimpin
busuk tukang tindas rakyat! Semua itu diterima
Lor Bentulan dengan hati hancur. Kalau tidak ku-
rang-kurang iman mungkin dia dan isterinya su-
dah menjadi gila memikirkan semua persoalan,
terutama keselamatan anak mereka yang dibawa
oleh Warok Kate. Keadaan tubuh kedua suami isteri itu se-
makin hari semakin kurus dan kuyu. Lor Bentu-
lan kalau tidak perlu tak pernah keluar dari ge-
dung Kadipaten. Bagaimana dia bisa melihat na-
sib kehidupan rakyatnya yang kini sangat mende-
rita sengsara itu. Bahkan tidak jarang kalau dia
berpapasan di tengah jalan dengan seorang pen-
duduk, penduduk tersebut memalingkan kepala
membuang muka! Dan ini masih untung, karena
ada pula yang sampai tidak segan-segan untuk
meludah di hadapannya. Ya, seluruh isi Magetan
sudah menjadi sangat benci pada Adipati yang
dulu mereka hormati dan mereka sanjung-
sanjung itu! ENAM SEKARANG marilah kita ikuti perjalanan
Wulansari setelah dilepas oleh gurunya si Suara
Tanpa Rupa karena gadis ini bersama saudara
seperguruannya yaitu Mahesa Kelud telah me-
langgar pantangan. Karena Magetan adalah kota
yang terdekat maka kota ini menjadi tujuannya
pertama. Sekeluarnya dia dari hutan belukar
yang lebat maka di hadapannya terbentang sa-
wah-sawah luas tapi yang kini hanya merupakan
dataran-dataran kering bertanah keras retak-
retak serta di sana sini ditumbuhi rumput dan
alang-alang liar. Gadis ini menjadi heran. Saat itu adalah menjelang musim hujan
dimana seharus-nya para petani mulai menyebar bibit menanam
padi baru. Dan ketika dia memasuki pinggiran
kota, dia jadi heran lagi karena ladang dan ke-
bun-kebun yang mustinya sarat dengan sayur
mayur kini tertutup oleh semak belukar.
Sekeluarnya dia dari hutan belukar yang
lebat maka di hadapannya terbentanglah sawah-
sawah luas tapi yang kini hanya merupakan data-
ran-dataran kering bertanah keras retak-retak
serta di sana sini ditumbuhi rumput dan alang-
alang liar. "Apakah orang-orang di sini pemalas se-
mua...?" pikir Wulansari sambil terus berlari menuju ke pusat kota. Di sepanjang
jalan dilihatnya gubuk-gubuk reyot beratap rumbia. Untuk tidak
menarik perhatian orang-orang, gadis ini meng-
hentikan larinya dan berjalan biasa. Setiap orang yang ditemuinya laki perempuan
dan anak-anak, rata-rata bertubuh kurus berparas cekung me-
mucat. Orang-orang itu memandang memperhati-
kannya dengan sepasang mata mereka yang kuyu
tiada bercahaya. Wulan melewati sebuah tanah lapang yang
di tepi-tepinya terdapat kedai-kedai buruk.
"Mungkin ini dulunya adalah pasar," pikir si gadis. "Tetapi mengapa tidak satu
pedagang pun yang kelihatan" Kedai-kedai kosong melompong
bahkan pasar sunyi senyap...."


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat dia mencapai tepi kota, hari sudah
senja. Begitu dia masuk kota maka malam yang
gelap menyambut kedatangannya dan seluruh pe-
losok kota sunyi sepi. Tidak sepotong manusia
pun yang kelihatan! Keheranan Wulansari sema-
kin menjadi-jadi sementara itu perutnya yang se-
jak pagi tadi baru berisi beberapa buah-buahan
yang dipetiknya di dalam hutan kini terasa sakit
memilin minta diisi. Tapi seperti sudah disaksi-
kannya tidak ada satu kedai pun yang dibuka.
Tiba-tiba dari tikungan jalan di depannya
kelihatan berlari seorang laki-laki separuh baya.
Begitu berhadapan Wulansari segera menegur:
"Bapak, ada apakah kau berlari seperti seseorang yang dikejar-kejar...?"
Laki-laki itu ketika melihat yang bertanya
adalah seorang gadis cantik jelita segera berhenti.
Matanya melirik ke hulu pedang yang tersembul
di balik punggung Wulansari lalu menjawab:
"Nak, aku lari bukan karena dikejar-kejar, tapi karena barusan menjumpai mayat
yang sudah rusak di tepi kota sebelah sana! Di dalam hutan!"
Wulansari terkejut. "Mayat" Mayat siapa?"
tanyanya. "Mayat Sukropringgo...."
"Sukropringgo itu siapa...?"
Laki-laki itu hendak mengomel karena di-
tanya terus-terusan seperti itu sedang napasnya
yang megap-megap karena berlari masih belum
teratur. Tapi melihat bahwa Wulansari adalah
seorang gadis asing, dia dapat memaklumi lalu
menjawab: "Sukro adalah seorang pemuda yang
telah bertekad bulat hendak pergi ke kotaraja gu-
na melaporkan segala penindasan yang terjadi di
sini. Kenyataannya, sebelum pergi dia sudah di-
bunuh di tengah jalan. Pasti ini pekerjaannya
Adipati Lor Ben...." Mendadak sampai di situ orang tersebut menghentikan
keterangannya. Dia memandang berkeliling dengan paras pucat, se-
perti orang yang takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar keterangannya
itu tadi. Dia berpaling kepada Wulansari. "Anak, aku tak bisa memberi keterangan
lebih lanjut. Kalau anak buah Lor Bentulan mengetahuinya pasti aku bisa
celaka...!" Cepat-cepat laki-laki itu memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Wulansari yang berseru memanggil-manggilnya tidak di-
acuhkan. Gadis ini mengangkat bahu lalu mene-
ruskan perjalanannya. Perutnya terasa sakit lagi.
Di hadapan sebuah rumah panjang gadis
ini berhenti. Melihat kepada bentuk bangunan-
nya, mungkin ini adalah rumah sewaan atau pen-
ginapan. Wulansari segera mengetuk pintu depan.
Tak lama kemudian seorang laki-laki tua keluar
membukakan pintu. Digosoknya matanya. Dita-
tapnya gadis yang di hadapannya lalu bertanya.
"Anak, kau ada keperluan apa...?"
"Kalau aku tidak salah duga bukankah ini
rumah penginapan?" tanya Wulansari.
"Benar, Nak. Tapi sudah sejak empat bulan
yang lewat tidak dibuka lagi," jawab si orang tua.
"Memangnya ada apa?"
"Kami tidak sanggup membayar pajak..,."
"Tapi daripada kosong saja bukankah lebih
baik disewakan satu kamar padaku. Besok pagi
aku akan meneruskan perjalanan...."
Orang tua itu tertawa. Tertawa getir yang
menyatakan kepahitan hidup. "Kata-katamu me-
mang betul daripada kosong lebih baik disewa-
Bidadari Pulau Penyu 1 Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Musibah Baru 2
^