Pencarian

Pulau Mayat 1

Mahesa Kelud - Pulau Mayat Bagian 1


1 MAHESA Kelud menatap wajah cantik dan tubuh bagus yang berada di balik dinding
kaca itu. Serangkum kebimbangan mendadak saja menyeruak dalam hati murid Embah
Jagatnata dari Gunung Kelud ini.
"Kalau dia bukan orang yang kucari berarti sia-sialah semua jerih payahku sampai
menyambung nyawa untuk bisa berada di tempat ini. Wajahnya begitu cantik,
tubuhnya bagus dan kulitnya mulus sekali. Mungkinkah makhluk sebagus ini
memiliki hati sejahat iblis?"
Selagi Mahesa Kelud berada dalam kebimbangan begitu rupa, si cantik di belakang
dinding kaca membuka mulut.
"Orang muda, bukankah kau manusianya yang bernama Mahesa Kelud?"
Mahesa sembunyikan rasa terkejutnya. Sesaat ke-
mudian malah dia balik bertanya. "Kau sendiri bukankah yang disebut orang
sebagai Dewi Maut, penguasa Pulau Mayat"!"
Yang ditanya tertawa merdu. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. "Mahesa
Kelud, pertanyaan yang kau ucapkan barusan tanpa kau sadari telah membuka kedok
sandiwara siapa dirimu!"
Mahesa Kelud terkesiap. Apa yang diucapkan Dewi Maut memang benar. Dia memaki
kebodohannya sendiri. Dewi Maut kembali tertawa lalu berkata, "Kalau kurang jelas bagimu biar
kupaparkan ketololanmu. Pertama tiang layar perahu yang patah. Tak ada hujan tak
ada badai, bagaimana mungkin tiang perahu bisa patah. Kedua samaran pakaianmu
yang rombeng bertambal-tambal lebih cocok untuk jadi seorang pengemis daripada
nelayan. Ketiga, mana ada nelayan berkulit sekuning yang kau mlliki" Hi... hik... hik!
Kalau kau hendak menipu dan ber-sandiwara lebih baik belajar dulu pada anak
buahku." Mahesa Kelud hanya bisa memandang dengan mulut
terkatup. Di seberang sana si cantik berpakaian hijau itu kembali berkata.
"Kini kau tahu di mana kau berada, dengan siapa kau berhadapan! Kau sudah
menyelidik tentang kami berarti kau sudah tahu adanya peraturan barang siapa
yang injakkan kakinya di pulau ini akan menemui ajalnya!
Sebelum kepalamu dipisahkan dengan badan aku ingin tanya, apa maksud
kedatanganmu ke sini"!"
"Dewi Maut aku selalu mengambil sikap persahabatan terhadap siapa saja juga
terhadap kau...." "Jangan bicara semanis trengguli orang muda! Ingat bahwa kau telah membunuh
salah seorang mata-mataku?"
potong Dewi Maut "Aku tidak tahu kalau dia adalah mata-matamu. Yang aku tahu ialah bahwa dia
telah membunuh nelayan tua yang tidak berdosa itu!"
"Nelayan tua itu tidak berdosa katamu" Dia telah melanggar aturan, memberitahu
tentang Pulau Mayat dan juga tentangku!"
"Dan karena itu dia harus mati?"
"Harus mati! Sebentar lagi kau juga akan menyusul!"
jawab Dewi Maut. "Kau belum jawab apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya ke
sini!" Mahesa Kelud melangkah ke hadapan dinding kaca.
Antara dia dan Dewi Maut hanya dipisahkan oleh dinding kaca itu saja dan dalam
jarak sedekat itu Mahesa Kelud dapat melihat lebih jelas kecantikan yang
dimiliki perempuan tersebut. Dewi Maut sendiri merasa berdebar hatinya disoroti
pandangan demikian rupa. Seumur hidupnya baru hari itu dia berhadapan dengan
seorang laki-laki berparas gagah dan bernyali besar macam Mahesa Kelud. Dia
merasa bimbang apakah dia benar-benar tega untuk memisahkan kepala laki-laki itu
dengan badannya" "Dewi Maut, kau pernah kenal dengan seorang tua sakti bernama Karang Sewu?"
Terkejut Dewi Maut mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa?" balas menanya dia.
"Orang tua itu pernah menolongku ketika aku didekam dalam penjara batu oleh
seorang musuh sakti. Ketika aku dilepaskannya, aku diberinya tugas untuk mencari
dan membunuhmu! Aku tidak perduli permusuhan apa yang ada di antara kalian,
namun hutang nyawaku kepadanya membuat dan memaksaku untuk melaksanakan tugas
yang dibebankannya ke pundakku."
"Jadi kau sengaja datang untuk membunuhku"!"
"Aku tidak membunuh siapa-siapa, aku hanya akan men-jalankan tugas, lain tidak!
Di samping itu aku juga mendapat keterangan bahwa pedang sakti bernama Samber
Nyawa berada di tanganmu. Apakah pedang yang tergantung di pinggangmu saat itu
senjata sakti tersebut?"
"Orang muda, nyalimu untuk datang ke sini dan bicara demikian rupa terhadapku
sungguh besar. Aku mau lihat sampai di mana tingginya ilmu yang kau andalkan!"
Habis berkata demikian Dewi Maut bertepuk tiga kali.
Terdengar suara halus seperti mendesir dan langit-langit ruangan tersebut
membuka. Lima ekor macan tutul melompat masuk. Kelimanya mengaum dan tanpa
menunggu lebih lama menyerang Mahesa Kelud dari lima jurusan!
Meski terkejutnya bukan main karena mendapat lawan tak terduga dan diserang
demikian tiba-tibanya namun pendekar yang sudah banyak pengalaman ini tidak
menjadi gugup. Dengan keluarkan bentakan keras yang meng-getarkan dinding serta
langit-langit ruangan itu, Mahesa Kelud gerakkan tangan dan kakinya. Auman keras
me-mecah di ruangan itu. Tiga ekor macan tutul yang menyerang mencelat mental
dengan kepala hancur. Dua lainnya terguling ke dinding, segera menyerang Mahesa
dengan lebih garang. Tapi kalau tadi berlima binatang tersebut tidak sanggup
menggoreskan sebars luka pun di tubuh mangsa mereka maka apalagi tinggal berdua!
Macan tutul yang datang dari sebelah kanan di-
sudahinya dengan satu tendangan berisi aji "batu karang".
Dengan rundukkan tubuh sedikit Mahesa berhasil mengelakkan cengkeraman macan
kelima. Begitu tubuh binatang tersebut lewat di atasnya Mahesa Kelud ulurkan tangan kanan dan
menangkap ekor binatang tersebut.
Macan tutul coba membalik untuk menyerang namun
dengan sigap Mahesa memutar tubuh binatang itu seperti sebuah titiran di udara
untuk kemudian dilemparkannya ke arah dinding kaca di belakang mana Dewi Maut
berdiri! Kepala macan tutul menghantam dinding kaca dengan keras dan pecah. Binatang itu
melosoh ke lantai ruangan.
Anehnya dinding kaca sama sekali tidak apa-apa! Di belakang dinding itu
kelihatan Dewi Maut berdiri tolak pinggang pelototkan mata. Apa yang dilihatnya
di depan matanya tadi sungguh membuat hatinya diam-diam
mengagumi laki-laki itu. Lima ekor macan tutul peliharaan-nya dapat dihadapi
dengan digdaya hanya dengan mempergunakan tinju dan tendangan! Dengan tangan
kosong! "Mahesa Kelud, ilmumu memang tidak dangkal! Tak salah kalau kau begitu bernyali
untuk datang ke sini...."
"Dewi Maut," memotong Mahesa. Seperti tadi dia berdiri dekat-dekat di muka kaca.
"Keluarkan aku dari ruangan ini, kalau tidak aku akan cari jalan sendiri dan
obrak-abrik tempatmu!"
Dewi Maut keluarkan suara tertawa bergelak. "Itulah buruknya sifat manusia! Bila
dipuji merasa bahwa dirinya sudah bisa berbuat apa saja seenak perutnya! Berani
menantang! Aku ingin lihat apakah kau bisa menghadapi pisau-pisau terbangku!"
Dewi Maut bertepuk lagi tiga kali. Lantai yang dipijak Mahesa Kelud amblas ke
bawah dan tubuhnya jatuh ke satu ruangan baru. Ruangan ini bercat merah dan pada
setiap dinding serta langit-langit terdapat dua puluh buah lobang. Ketika dia
memandang ke bawah maka ternyata lantai yang diinjaknya terbuat dari kaca dan di
bawah sana dilihatnya Dewi Maut dikelilingi oleh dua belas orang gadis cantik
yang semuanya berpakaian biru!
"Dewi Maut, pertunjukkan apa yang kau bakal perlihatkan padaku"!" tanya Mahesa
Kelud. "Orang muda, bukan kami yang bakal perlihatkan pertunjukkan, tapi kau! Kau lihat
seratus lobang pada dinding dan langit-langit ruangan di mana kau berada"!"
Mahesa berpikir-pikir apakah arti lobang-lobang tersebut.
Kemudian terdengar suara Dewi Maut kembali. "Di dalam setiap lobang terdapat
sebuah pisau terbang beracun! Jangankan tertusuk, tergores sedikit saja sudah
dapat membuat seseorang mati dalam beberapa kejap mata. Dekat kakiku saat ini
ada sebuah tombol yang jika kutekan maka seratus pisau terbang beracun akan
menyerangmu dengan sebat! Bila kau sanggup hadapi seratus pisau itu nyawamu akan
selamat dan kau akan dapat satu ujian lagi. Bila kau tidak sanggup, tubuhmu akan
lumat oleh pisau-pisau tersebut! Silahkan cari tempat berdiri yang baik dan jika
kau punya senjata, silahkan memakainya!"
Berdiri bulu tengkuk Mahesa mendengar kata-kata Dewi Maut itu. Racun dari pisau
baginya bukan apa-apa karena saat itu dia masih memiliki dua senjata ampuh sakti
yang sanggup menolak racun jahat yaitu Pedang Dewa dan Keris Ular Emas. Tapi
untuk menghadapi diri dari sambaran seratus pisau yang datang menyerang
sekaligus, sanggupkah dia"!
Dewi Maut mendekatkan ibu jari kaki kanannya ke
tombol di atas lantai. Di bibirnya yang mungil segar itu membayang sekuntum
senyum, senyum maut! Sudah
belasan tokoh-tokoh persilatan yang terkenal dan lebih berumur serta
berpengalaman dari Mahesa Kelud menemui ajalnya dalam ruangan pembantaian kedua
ini setelah sebelumnya mereka rata-rata dibikin babak belur dalam ruang
pembantaian pertama. Dua belas orang pembantu-pembantu Dewi Maut sudah dapat
memastikan bahwa Mahesa Kelud akan menemui ajalnya dalam ruang kedua ini meski
tadi sebelumnya dia telah unjuk gigi mem-binasakan kelima ekor macan tutul di
ruang pertama! "Kau sudah siap, Mahesa Kelud?" tanya Dewi Maut yang sejak tadi bicara dengan
mengerahkan tanaga dalamnya.
Mahesa tak menjawab. Tenaga dalamnya dipusatkan
pada kedua kakinya. Aliran aji batu karang serta api salju disalurkannya pula
pada kedua kaki itu. Dia melompat ke atas beberapa tombak dan turun kembali
dengan menendangkan kedua kakinya ke lantai kaca. Seperti diamuk gempa, ruangan
tersebut ber-goncang keras.
Namun demikian lantai kaca itu tidak rusak sedikit pun!
Mahesa Kelud keluarkan keringat dingin. Dari bahan apakah kiranya lantai serta
dinding-dinding ruangan itu dibuat sehingga atos demikian rupa"
Di bawah didengarnya suara Dewi Maut tertawa. Waktu ruangan di mana Mahesa
berada bergoncang keras maka ruangan tempat Dewi Maut dan pembantu-pembantunya
juga turut bergoncang sehingga gadis-gadis berhati jahat itu berpelantingan kian
kemari. "Keluarkan segala aji kesaktian yang kau miliki, Mahesa.
Lapatkan mantera-mantera yang kau punya! Sampai
kiamat dinding ataupun langit-langit ataupun lantai ruangan itu tidak akan dapat
kau bikin bobol!" Mahesa Kelud menggigit bibir.
"Kau sudah siap Mahesa"!" terdengar lagi suara Dewi Maut bertanya. Untuk
beberapa detik lamanya Mahesa Kelud tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Bukan
dia ingin membanggakan diri, tapi segala ilmu yang dimilikinya bukanlah rendah,
dipelajarinya dengan susah payah bahkan dengan menyambung nyawa. Tapi hari ini,
menghadapi dinding-dinding dan langit-langit serta lantai ruangan bisu itu dia
tidak punya daya! Benar sekali bahwa di luar langit akan ada langit lagi!
Akhirnya laki-laki muda ini berkata dalam hatinya... jika aku harus mati di
tangan Dewi Maut aku tak akan mati percuma... nyawaku demi tugas guru-guruku
tercinta.... Mahesa berdiam diri sambil tangannya meraba
sesuatu.... *** 2 MAHESA KELUD melangkah ke tengah ruangan. Dari balik punggung dikeluarkannya
pedang sakti. Sinar merah memantul di setiap segi ruangan. Kedua kakinya me-
renggang yang satu agak ke depan. Tubuhnya mem-
bungkuk sedikit dan kepalanya agak ditundukkan. Di bawahnya terlihat Dewi Maut
mengangsurkan kaki kanan ke muka. Pada detik yang sama Mahesa Kelud membuat satu
lompatan penuh sedang pedang merah di tangannya menderu sederas topan! Gulungan
sinar merah membungkus tubuh laki-laki itu dari kepala sampai ke kaki.
Mahesa Kelud melindungi diri dengan mengeluarkan jurus pertahanan terhebat dari
ilmu Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin yakni jurus yang dinamakan "bendungan
baja lawan seribu angin seribu gelombang". Jurus ini sebenarnya dilakukan tanpa
melompat. Namun Mahesa khawatir kalau-kalau beberapa pisau terbang yang
menyerang kaki tak sanggup dielakkannya. Karena jurus tersebut digabungkannya
dengan jurus yang dinamai
"menembus ombak membelah gelombang"!
"Trang... trang... trang... trang..." terdengar suara riuh berisik dalam ruangan
itu. Puluhan pisau-pisau terbang beracun mental kena sambaran samping atau
belakang pedang, tidak sedikit pula yang patah dua atau sumpung dibabat bagian
tajam pedang merah di tangan Mahesa Kelud. Kira-kira selusin senjata maut itu
berhasil dielakkan oleh pendekar tersebut. Namun betapa pun lihainya Mahesa
Kelud, tidak keseluruhan pisau-pisau beracun itu dapat dihindarkan atau
ditangkisnya! Tiga buah pisau menyambar merobek pakaiannya. Satu menggores betis kanan sedang
satu lagi menggores pinggulnya!
Sementara itu di ruang bawah, tiga belas pasang mata, termasuk mata Dewi Maut
melotot besar dan saling be-rpandangan. Beberapa di antara anak buah Dewi Maut
leletkan lidah di ujung bibir, yang lainnya geleng-gelengkan kepala.
"Dewi," kata Tujuh Biru. "Laki-laki muda itu pasti bukan manusia biasa!
Sekurang-kurangnya dia pasti turunan Dewa-dewa juga adanya!"
"Betul Dewi," menyambung Sebelas Biru. "Sebelum dia, sudah belasan tokoh-tokoh
silat tingkat utama menemui ajalnya!"
Dewi Maut tengadahkan mukanya ke atas. Meski hati kecilnya tambah mengagumi
kehebatan Mahesa namun di mulutnya dia berkata dengan membentak, "Jangan men-
celoteh yang tidak-tidak! Aku lihat beberapa buah pisau merobek pakaiannya dan
dua lainnya melukai dia punya tubuh! Dalam waktu singkat racun pisau pasti akan
mengalir dalam darahnya dan menghancurkan jantungnya!
Lihat saja, berdirinya pun sudah tidak benar!"
Anak-anak buah Dewi Maut memandang ke atas. Saat itu Mahesa berdiri tersandar ke
dinding sebelah kanan. Tubuhnya dirangsang hawa panas akibat goresan luka-luka pada betis dan pinggul.
Tonggorokan seperti tercekik sedang tubuh mandi keringat. Dikerahkannya tenaga
dalamnya untuk memusnahkan aliran racun yang merayapi tubuh. Pedang merah di
tangan kanannya turut membantu menghancurkan racun jahat tersebut. Namun racun
yang mengalir di darah Mahesa Kelud saat itu luar biasa hebatnya, padahal di
dalam tubuh pendekar itu sudah ber-padu hawa sakti "Api-Salju". Mahesa menotok
urat-urat peredaran darah di beberapa tempat. Ini menolongnya sedikit. Racun
Jahat terhenti tak dapat terus mengalir ke jantung. Tapi pada bagian di mana
racun tersebut ter-bendung Mahesa Kelud merasakan sakit yang amat
sangat! Mahesa sadar bahwa jika hanya mengandalkan tenaga dalam dan aliran sakti "Api-
Salju" serta bantuan pedang merah sakti dia tak akan dapat mempertahankan diri.
Kelak urat-urat aliran darahnya akan pecah, jaringan tubuhnya akan musnah!
Karenanya dengan tangan kiri pendekar ini segera cabut Keris Ular Emas yang
tersisip di pinggangnya. Sinar kuning menerangi ruangan tersebut bahkan merembes
ke ruangan bawah, menyilaukan mata Dewi Maut dan para pembantunya! Dan juga
mengejutkan mereka! "Dewi," seru Delapan Biru. "Kalau aku tak salah, keris itu adalah Keris Ular
Emas! Senjata ampuh milik Dewi Ular di barat!"
"Betul sekali," sahut Sembilan Biru. "Dulu Dewi pernah menyuruh kita untuk
mencari senjata itu. Selama berbulan-bulan kita pergi kembali dengan berhampa
tangan!" Dewi Maut katupkan bibirnya rapat-rapat.
"Dewi," kata Empat Biru. "Keris itu sanggup meretas lantai kaca. Sebaiknya kita
bunuh manusia itu sebelum dia bikin kita susah!"
Dewi Maut masih katupkan mulut. Dia tak habis pikir bagaimana dan dari mana
pendekar muda itu dapatkan Keris Ular Emas. Sejak tadi sebenarnya dia sudah
kagumi pedang merah di tangan Mahesa dan kini ditambah lagi dengan keris
tersebut! "Dewi, sebaiknya...."
"Diamlah kalian!" bentak Dewi Maut dengan gusar karena saat itu dia tengah
meneliti keadaan korbannya dan diganggu terus menerus oleh ucapan-ucapan anak-
anak buahnya. Mahesa Kelud membungkuk. Badan dari Keris Ular
Emas ditempelkannya pada luka kena pisau di betisnya.
Dari senjata sakti itu terasa satu hawa sedotan yang keras.


Mahesa Kelud - Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darah hitam bercampur racun pisau terbang meleleh dan pada detik itu juga rasa
sakitnya lenyap! Mahesa menempelkan pula Keris Ular Emas tersebut di luka pada
daging pinggul dan hal yang sama terjadi. Malahan kini tubuhnya terasa lebih
segar dari sebelumnya! "Celaka Dewi," seru Empat Biru. "Laki-laki itu berhasil selamatkan nyawanya
dengan senjata sakti tersebut. Kalau saja senjata itu...."
"Tutup mulutmu, Empat Biru!" hardik Dewi Maut. Empat Biru diam, tak berani
teruskan ucapannya. "Mahesa Kelud!
Masih satu ruang ujian harus kau lewati! Kali ini jangan harap nyawamu akan
selamat! Kalaupun selamat jangan sangka bahwa kau akan dapat tinggalkan Pulauku
hidup-hidup!" Habis berkata demikian Dewi Maut menarik seutas tali yang tergantung di dekat
kepalanya. Ruangan di mana Mahesa Kelud berada menjadi gelap gulita. Dan seperti
sebuah kotak yang dimainkan oleh anak-anak, demikianlah ruangan itu membalik.
Tubuh Mahesa terpelanting kian kemari. Kemudian satu hembusan angin keras dan
dingin bertiup dari samping kanan. Bagaimanapun Mahesa Kelud mempertahankan diri
namun tubuhnya tetap terseret bergelindingan. Dikeluarkannya kembali Keris Ular
Emas. Sinar kuning terang yang keluar dari senjata mustika itu membuat Mahesa tahu apa
yang terjadi atas dirinya. Dia bergulingan di dalam sebuah terowongan yang
menurun sedang di belakangnya menghembus angin dingin tajam.
"Buk!" Akhirnya tubuh laki-laki itu terhempas ke atas lantai keras. Kepalanya
terasa pening. Dia berdiri cepat-cepat dan atur jalan nafas serta peredaran
darahnya. Sinar lembayung tiba-tiba merembas dari sudut atas ruangan sebelah
kiri, sedikit demi sedikit ruangan itu menjadi terang dan Mahesa terkejut ketika
dia menyadari bahwa ternyata dia tidak sendirian dalam ruangan tersebut! Di
setiap sudut ruangan terdapat satu makhluk mengerikan.
Makhluk ini tubuhnya seperti manusia tapi tanpa kepala!
Setiap makhluk hanya mengenakan cawat, tubuh masing-masing rata-rata kekar dan
berbulu mulai dari pergelangan kaki sampai ke dada! Apa yang mengerikan ialah
dari leher makhluk-makhluk ini senantiasa membuih dan mengucur darah kental
merah berbau amis! Lantai ruangan ter-genang oleh darah yang mengucur dari
keempat leher itu! Masing-masing makhluk tanpa kepala menggenggam
sebilah pedang hitam. Mahesa tabahkan hatinya. Pedang pemberian gurunya Suara Tanpa Rupa dikeluarkan
kembali dan ketika dia memandang ke atas ruangan ternyata Dewi Maut sudah berada
di atasnya bersama dengan selusin anak buahnya!
"Empat leher buntung! Laksanakan tugas kalian!" berseru Dewi Maut.
Empat bilah pedang hitam terangkat ke atas dan empat pasang kaki dilangkahkan ke
satu jurusan di tengah ruangan, di mana Mahesa Kelud berada. Pendekar itu tidak
tahu sampai di mana kehebatan makhluk-makhluk tanpa kepala yang bakal
menyerangnya itu dan sampai di mana keampuhan pedang-pedang hitam di tangan
mereka! Sementara keempat makhluk ini melangkah mendekatinya Mahesa Kelud memutuskan
untuk menyerang lebih dahulu sebelum dirinya dikeroyok!
Pedang merah di tangan kanan segera diputar hebat.
Mahesa Kelud menerjang menyerang makhluk kepala
buntung. Dan seperti manusia biasa yang berkepala serta bermata, anehnya makhluk
tersebut segera bergerak ke samping, putar pedang hitam dan mengelak untuk
kemudian kirimkan satu tusukan mematikan ke dada Mahesa Kelud. Pendekar kita
terpaksa jungkir balik guna mengelakkan serangan tersebut. Kaki kirinya
bergeser, tendangan mengandung aji "batu karang" melesat ke bawah selangkangan
makhluk tersebut! Tapi lagi-lagi Mahesa Kelud dibikin terkesiap karena bukan
saja serangannya itu dapat dielakkan bahkan makhluk yang diserangnya balas
lancarkan serangan dan jika saja dia tidak cepat tarik pulang kakinya pastilah
kaki kiri itu terpapas buntung oleh sambaran pedang hitam si makhluk tanpa
kepala! Satu makhluk saja sudah demikian hebatnya. Apalagi bila keempat makhluk-makhluk
itu menyerang sekaligus! Mahesa pegang pedang merahnya erat-erat. Tubuhnya dingin oleh basahan keringat.
Makhluk pertama yang tadi diserangnya sudah balikkan tubuh dan bersama tiga
kawan-kawannya segera melangkah dekati Mahesa. Darah masih terus juga mengucur
dari leher-leher mereka yang buntung, membasahi lantai ruangan dan tingginya
sudah sampai setapak kaki! Bila saja Mahesa Kelud tidak memiliki ilmu
mengentengi tubuh yang tinggi, pastilah setiap gerakan yang dibuatnya akan
menyebabkan dirinya terpelanting karena licin. Di samping itu bau amisnya darah
semakin menjadi-jadi merasuk jalan pernapasan!
"Empat leher buntung! Ayo serang!" terdengar suara Dewi Maut dari ruangan atas.
Mendengar itu maka makhluk yang di depan sekali tiba-tiba jatuhkan diri ke
lantai. Darah memercik ke atas tertimpa tubuhnya.
Makhluk ini berguling cepat sekali ke arah Mahesa dan memapaskan pedang hitamnya
ke kaki pendekar itu! Di saat yang sama makhluk kedua bungkukkan tubuh dan tusukkan pedangnya ke perut
Mahesa. Makhluk ketiga menyambar dari samping kiri dan yang terakhir dari
samping kanan! Empat pedang maut memapas, menusuk dan menyambar pada satu
sasaran yaitu tubuh Mahesa Kelud!
Mahesa Kelud keluarkan bentakan keras disertai aliran tenaga dalam! Ruangan itu
bergetar, genangan darah di lantai menggelombang! Bentakan yang keras ini
mempengaruhi sedikit serangan ke empat makhluk buntung itu.
Mahesa melompat ke atas. Serangan lawan yang berguling lewat di bawah kakinya
dan serentak dengan itu untuk kedua kalinya Mahesa Kelud keluarkan jurus
pertahanan yang hebat dari ilmu Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin.
"Trang... trang... trang!" Tiga kali senjata sakti di tangan Mahesa Kelud beradu
di udara dan tiga kali pula bunga api memijar.
Ketika Mahesa Kelud mencari posisi baru setelah berhasil menghadapi empat
serangan maut tadi maka di-ketahuinyalah bahwa salah satu dari senjata lawan
telah dibikin mental oleh pedang merah. Ini menambah
semangat pendekar itu. Dibukanya serangan dengan mengeluarkan jurus "seribu dewa
mengamuk". Gelombang angin dahsyat bersiuran keluar dari pedang merah. Dengan
putar pedang di muka dada masing-masing makhluk coba lindungi diri sementara
yang tidak bersenjata berdiri mematung di sudut kanan ruangan.
Begitu sambaran pedang melesat ke arah mereka,
makhluk kepala buntung memencar berpindah tempat sangat jauh sekali, didahului
dengan lambaian tangan kiri yang mengeluarkan angin berbau amis ketiganya
kemudian menyerang dengan serempak. Lambaian angin keras ditangkis oleh Mahesa
dengan gerakan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam tinggi. Seperti seekor
burung rajawali pendekar itu kemudian melompat dua tombak ke atas untuk
seterusnya menukik dan mem-babatkan pedangnya ke arah dada tiga makhluk
bersenjata. Tapi dengan sebat tiga makhluk ini mengelak!
Dengan penasaran Mahesa Kelud arahkan pedangnya
pada makhluk ke empat yang bertangan kosong! Diserang tiba-tiba, yang satu ini
jadi gugup. Meski dia coba mengelak namun dadanya tak urung masih tersambar
ujung pedang merah sakti. Makhluk itu mengeluarkan pekik yang mengerikan, yang
tak pernah didengar Mahesa Kelud sebelumnya! Tubuhnya terhampar ke sudut, darah
kental dan bau amis mengucur dari dadanya yang terluka.
Kucuran darah ini tiada kunjung henti sehingga Mahesa Kelud tak dapat memastikan
apakah makhluk tersebut sudah mati atau tidak!
Tak disadari lagi saat itu mereka sudah bertempur lebih dari dua puluh jurus!
Dan tak disadari pula genangan darah di lantai ruangan sudah melewati betis!
Pakaian putih-putih yang dipakai Mahesa hampir keseluruhannya sudah
menjadi merah oleh percikan darah. Di tingkat atas, Dewi Maut memperhatikan apa
yang terjadi di bawahnya dengan mengunci mulut.
Sembilan Biru diam-diam mendekati kawannya Sepuluh Biru.
"Ssst..." bisiknya perlahan sekali agar tak kedengaran oleh yang lain-lain.
Sepuluh Biru berpaling. "Menurutmu, sanggupkah laki-laki itu merobohkan Tiga Leher Buntung?"
"Aku tak bisa memastikan. Tapi dia memang hebat sekali!" jawab Sepuluh Biru.
Kemudian katanya, "Kalaupun dia sanggup merobohkan Tiga Leher Buntung, dia tetap
tak dapat selamatkan diri dari ruangan tersebut! Dia akan mati tenggelam di
genangan darah!" "Tapi dia bisa pergunakan Keris Ular Emasnya untuk membobolkan lantai kaca yang
kita pijak ini!" "Itu kalau dia tahu mempergunakan senjata tersebut.
Kau saksikan sendiri, dalam dua ruangan tadi sama sekali hal itu tidak
dilakukannya!" "Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal tersebut dan berhasil keluar..." tanya
Sembilan Biru. "Kurasa tidak sukar bagi Dewi untuk memisahkan badannya dengan kepala!" Sembilan
Biru terdiam. Kawannya melirik. "Kenapa kau diam kini heh"!"
"Oh tak apa-apa," jawab Sembilan Biru dan matanya ditujukan ke bawah namun dia
tak dapat menyembunyikan perubahan parasnya.
"Kau seperti orang yang sedih. Ada apa, Sembilan Biru?"
"Aku sudah bilang tak apa-apa."
"Hem... aku tahu," ujar Sepuluh Biru pula.
"Tahu apa?" "Kau kasihan kalau pemuda itu sampai menemui ajalnya!"
"Perlu apa aku kasihan sama dia?" tukas Sembilan Biru dengan berusaha
menyembunyikan getaran batinnya
karena apa yang dikatakan Sepuluh Biru memang benar adanya!
"Kau kasihan karena dia berilmu tinggi dan juga punya paras gagah!"
Air muka Sembilan Biru menjadi merah.
"Kau tertarik padanya, ya?"
Sembilan Biru diam. "Kau naksir"!"
"Sudahlah!" Sepuluh Biru tertawa geli dan menutup mulutnya. "Tapi kau tak akan berhasil
memiliki dia, Sembilan Biru,"
memancing Sepuluh Biru. "Siapa bilang aku inginkan dia?"
"Kau memang tidak bilang, tapi aku tahu," jawab Sepuluh Biru.
"Kau hanya mengada-ada. Mungkin sebenarnya kau sendiri yang tertarik padanya."
"Ah, kalau kau memang suka padanya, aku tak akan khianati kawan. Tapi
percayalah, kau tak bakal dapatkan pemuda itu."
Sembilan Biru diam kembali. Lalu akhirnya dia ajukan juga pertanyaan. "Kau
begitu yakin akan kata-katamu, Sepuluh Biru!"
"Tentu saja. Jika dia bisa keluar dari ruangan maut itu, mungkin Dewi yang
langsung turun tangan membunuhnya atau kalau tidak Dewi menyuruh kita
mencincangnya! Dan kalau dia punya nasib baik, Dewi akan ambil dia sebagai hamba
sahayanya! Sebagai pengawal pribadinya! Kau dengar itu" Pengawal pribadi dan
mungkin lebih dari itu! Kau tahu, aku perhatikan pemimpin kita waktu pertama kali dia melihat pemuda
itu. Ada sesuatu yang tak biasanya kulihat pada sepasang mata Dewi. Mata itu
memancarkan sinar aneh setiap kali ditujukan pada si pemuda. Dan kau tahu sinar
aneh macam apa" Sinar gairah... sinar cinta...
sinar rindu asmara...."
"Sudahlah, aku tak ingin bicara tentang dia lebih lanjut,"
potong Sembilan Biru. "Kau cemburu, ya?"
Sembilan Biru pelototkan matanya. Sepuluh Biru
senyum-senyum dan buru-buru menjauhi kawannya itu sebelum cubitan Sembilan Biru
menggelumit di pahanya yang mulus!
*** 3 GENANGAN darah amis sudah mencapai pangkal paha!
Makhluk kepala buntung yang tersandar di sudut sudah tak kelihatan lagi,
tertutup oleh cairan tersebut. Meski demikian dari leher serta bekas luka di
dadanya masih terus mengucur darah kental!
Bertempur dengan cairan kental lengket sebatas
pinggang merupakan pengalaman baru bagi Mahesa
Kelud. Karenanya setiap gerakan ataupun langkah yang dibuatnya diperhitungkan
masak-masak. Pedang merahnya sambar-menyambar kian kemari dengan mengeluarkan
suara berdengung! Kepala buntung tampaknya mulai repot.
Saat itu pertempuran sudah lebih dari lima puluh jurus!
Pada jurus lima puluh lima ujung pedang sakti di tangan Mahesa berhasil membabat
pinggang salah satu makhluk tanpa kepala. Seperti kawannya yang tadi makhluk ini
memekik setinggi langit menggidikkan. Darah menyembur dari pinggang dan perutnya
yang robek. Tubuhnya perlahan-lahan tenggelam dalam cairan merah amis!
Menghadapi dua lawan kini terasa lebih entengan bagi Mahesa. Ketika di dalam
cairan darah kakinya menyusup tak kelihatan mengirimkan tendangan ke
selangkangan salah satu lawannya, maka meskipun Mahesa berhasil membuat makhluk
tersebut konyol menyusul kawan-kawannya namun makhluk yang keempat berhasil pula
menusukkan ujung pedang hitamnya di bahu kanan
Mahesa. Pemuda ini hampir saja lepaskan pedang merah dari tangannya karena sakit
yang bukan alang kepalang!
Dia harus tangkis satu bacokan dahsyat ketika mendadak kepalanya terasa pusing,
pemandangannya ber-kunang-kunang sedang tubuhnya panas dingin! Ini adalah akibat
racun pedang hitam lawannya! Cepat-cepat murid Embah Jagatnata itu keluarkan
Keris Ular Emas lalu tempelkan bagian badan dari senjata sakti ini ke bahu
kanannya yang terluka. Keris mustika segera sedot racun pedang dari tubuh
Mahesa. Darah hitam mengucur keluar dan sesaat kemudian keadaan tubuh pemuda itu
kembali seperti sedia kala.
Genangan darah mencapai dada kini. Dalam cairan yang kental dan liat itu tidak
mudah untuk membuat gerakan-gerakan, apalagi gerakan-gerakan pertempuran. Mahesa
sendiri tidak bisa bergerak leluasa. Sebenarnya bukan tidak bisa tapi khawatir.
Dia tak berani bergerak ke jurusan mana tiga makhluk lainnya tadi tenggelam
karena dia khawatir bilamana makhluk-makhluk itu masih hldup dan menarik kaki
atau pinggangnya selagi dia hadapi makhluk terakhir.
Makhluk tanpa kepala yang satu ini agaknya paling tinggi kepandaiannya dari
kawan-kawannya yang sudah konyol. Empat jurus di muka baru Mahesa berhasil
merobohkan lawannya dan saat itu genangan darah sudah sampai ke lehernya!
Mahesa memandang ke atas. Jarak antara kepalanya dengan langit-langit kaca
ruangan terpisah lima tombak.
Meski cukup jauh namun lambat laun dan pasti genangan darah akan naik terus
sampai ke atas! Dia akan mati tenggelam dalam genangan darah itu!
"Dewi Maut! Keluarkan aku dari sini!" teriak Mahesa.
"Ha... ha... jangan merengek macam anak kecil!"
"Kau perempuan Iblis!" maki Mahesa.
Dimarahi demikian Dewi Maut hanya tertawa merdu.
Mahesa semakin geram. Dia melompat ke atas dan
tusukkan pedang merahnya ke langit-langit kaca! Langit itu bergetar tapi
jangankan bobol, sumbing sedikit pun tidak!
Mahesa tusukkan pula pedangnya ke dinding, namun tetap sia-sia. Dicobanya
membobolkan langit-langit kaca dengan pukulan Batu Karang serta Api Salju.
Ruangan itu bergoncang keras namun langit-langit kaca tetap utuh!
Genangan darah mencapai dagu, terus naik ke mulut.
Mahesa kini pergunakan ilmu mengentengi tubuh untuk apungkan diri di atas
genangan darah. Tapi sampai berapa lama dia bisa bertahan dengan ilmu tersebut"
Bila cairan darah amis sudah mencapai langit-langit kaca... pastilah dia akan
kehabisan napas, tenggelam dan mati!
"Mahesa Kelud, ajalmu audah di depan mata!" kata Dewi Maut dengan keluarkan
suara tertawa mengejek. "Perempuan Iblis, keluarkan aku dari sini!"
"Heh, jika aku keluarkan kau, kau mau buat apa?"
"Memuntir batang lehermu!"
"Oh, kalau begitu biarlah kau tetap di dalam ruang kematian itu!"
"Keparat kau!" maki Mahesa.
Tiba-tiba Mahesa ingat. Dia berenang dalam cairan darah dan menggapai-gapai
dengan kedua kakinya. Kaki kiri menyentuh makhluk pertama yang tadi
dirobohkannya. Ditariknya makhluk ini ke atas dan ditotoknya pada lima bagian tubuhnya. Dia
berhasil. Darah yang mengucur dari leher dan dada dengan serta merta berhenti!
Dengan susah payah Mahesa Kelud kemudian berhasil pula
menotok tubuh tiga makhluk tanpa kepala lainnya satu demi satu! Kini tak ada
lagi darah yang mengucur dan berarti genangan darah dalam ruangan maut itu akan
tetapi dalam tinggi yang sama. Mahesa merasa lega sedikit. Dengan andalkan llmu
mengentengi tubuhnya yang tinggi dia bisa mengapungkan diri dalam genangan
darah.

Mahesa Kelud - Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun kemudian diingatnya pula, sampai berapa lama dia bisa bertahan dalam
ruangan maut tersebut" Bau amisnya darah sangat menusuk rongga hidung dan jalan
pernapasan. Hal ini lambat laun akan merusak paru-parunya sehingga akhirnya
paru-paru itu tak sanggup lagi me-mompa dan menghisap udara segar! Dengan
andalkan tenaga dalamnya yang tinggi mungkin Mahesa masih sanggup selamatkan
paru-parunya dari kerusakan.
Tapi meski demikian tetap saja dia tak akan bisa tinggal selama-lamanya mendekam
dalam ruangan tersebut. Suatu ketika, bila sudah tiba saatnya, pasti teng-gorokannya akan haus mengering
dan dia tentu saja tak bisa meminum cairan darah amis di sekitarnya untuk
pelepas haus! Suatu saat perutnya akan perih merintih minta diisi dan mungkinkah
baginya untuk menyumpal perut tersebut dengan memamah tubuh-tubuh makhluk tanpa
kepala"! Mahesa Kelud memandang ke atas dan berseru, "Dewi Maut, kau betul-betul tak mau
keluarkan aku dari ruangan ini"!"
Sang Dewi tertawa meninggi. "Kenapa berteriak-teriak macam anak kecil"!"
ejeknya. "Kau orang sakti, punya ilmu tinggi dan punya otak cerdik! Gunakan
semua itu untuk selamatkan diri keluar dari ruangan maut! Kalau tak bisa,
mungkin sudah takdirmu harus mampus!"
"Jika aku berhasil keluar nanti maka rasakan pembalasanku!"
"Ah, cakapmu macam anak kecil kalah bertinju!" mengejek lagi Dewi Maut, membuat
Mahesa Kelud jadi semakin panas hatinya.
Ruangan berisi udara yang sangat sedikit di sekitar kepala Mahesa Kelud, di atas
permukaan cairan darah, lambat laun membuat napas laki-laki itu menjadi megap
dan dia mulai batuk-batuk! Kening dan seluruh mukanya sudah basah oleh butiran-
butiran keringat. Di atasnya Dewi Maut beserta pembantu-pembantunya
memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama. Meskipun Sang Dewi senantiasa
menyunggingkan senyum mengejek
namun di hati kecilnya dia tetap cemas kalau-kalau Mahesa keluarkan Keris Ular
Emasnya dan mempergunakan senjata tersebut untuk membobolkan lantai kaca yang
dipijaknya! Dan Dewi Maut benar-benar jadi kaget sekali ketika dilihatnya Mahesa mencabut
Keris Ular Emas dari sarung-nya. Sinar kuning merembas ke pelbagai penjuru dan
memantul di tubuhnya serta tubuh anak-anak buahnya.
Masing-masing mereka merasakan hawa yang sejuk tapi menggidikkan dari sinar
senjata tersebut. "Celaka Dewi," bisik Empat Biru. "Sekali saja senjata itu dipakai untuk menusuk
lantai kaca ini, pasti akan hancur berantakan...."
Dewi Maut mengangguk. Dia memberi isyarat pada
anak-anak buahnya. "Tinggalkan tempat ini dan tunggu aku di Pedataran
Pemancungan! Semuanya siap dengan
pedang di tangan!" *** 4 DUA belas gadis-gadis baju biru itu mengangguk. Mereka menjura lebih dahulu lalu
meninggalkan tempat tersebut dengan cepat. Dewi Maut berlalu paling akhir
sekali. Mahesa Kelud mencabut Keris Ular Emas bukanlah
bermaksud untuk menusukkan senjata itu ke langit-langit kaca di atasnya. Dia
berpikiran bila Keris mustika itu sanggup menyedot racun yang mengalir dalam
darah, mungkin pula senjata ini dapat menyedot habis genangan darah di ruangan
tersebut. Kemudian mungkin Mahesa Kelud bisa mencari lobang-lobang atau pintu-
pintu rahasia yang akan membawa dia keluar dari ruangan maut itu. Dia jadi
terheran ketika melihat Dewi Maut serta anak-anak buahnya tampak gelisah dan
saling bisik ketika Keris Ular Emas berada dalam tangannya. Ini membuat pendekar
itu jadi berpikir lama dan akhirnya, ketika Dewi Maut dilihatnya meninggalkan
tempat itu bersama anak-anak buahnya, tanpa ragu-ragu Mahesa lompatkan diri ke
atas. Keris Ular Emas di tangan kanannya ditusukkan ke langit-langit kaca!
"Brang!" Langit-langit kaca yang selama ini atos terhadap pukulan-pukulan sakti Mahesa
Kelud bahkan tiada sanggup ditembus oleh Pedang Dewa pemberian Suara Tanpa Rupa kini hancur
berantakan berkeping-keping.
Untuk membuat mental pecahan-pecahan kaca yang
jatuh dari atas ruangan itu Mahesa Kelud lambaikan tangannya, menghantam dengan
satu pukulan mengandung angin deras. Bersamaan dengan itu dia
kerahkan ilmu meringankan tubuh untuk dapat melesat keluar menerobos melalui
pecahan kaca. Begitu keluar dari perangkap ruang berdarah itu Mahesa dapatkan
dirinya berada di satu ruangan yang keseluruhannya berwarna hijau.
Dia memandang berkeliling. Dewi Maut tidak kelihatan, juga para anak buahnya. Di
ujung kiri terdapat sebuah pintu kayu dalam keadaan terkunci. Mahesa segera lari
menuju pintu ini. Darah busuk amis yang membasahi tubuh dan pakaiannya
bertetesan dimana-mana. Dengan sekali terjang saja pintu di hadapannya bobol.
Ruang di belakang pintu yang jebol ternyata adalah sebuah tangga berlapiskan
permadani merah muda, berkembang-kembang hijau dan biru. Dengan Keris Ular Emas
tetap di tangan murid Embah Jagatnata itu lompati sekaligus sepuluh anak tangga
sampai akhirnya dia tiba di satu ruangan terbuka penuh perabotan bagus dan
mewah. Seluruh lantai ruangan tertutup permadani. Di dinding terdapat rak kayu dipenuhi
berbagai benda pajangan berbentuk aneh. Salah satu ujung ruangan lantainya naik
meninggi. Di sini terlihat sebuah kursi besar beralas kain hijau berbunga-bunga
ditaburi perhiasan terbuat dari emas dan batu-batu berharga.
Mahesa memandang berkeliling. Ruangan itu kosong.
Tak satu orang pun berada di tempat itu. Dia memperhatikan dua pintu yang
terletak di dinding pada bagian belakang kursi besar. Dengan gerakan cepat tapi
penuh hati-hati Mahesa berkelebat ke arah pintu sebelah kanan.
Ternyata pintu tidak dikunci. Begitu didorong pintu terbuka.
Mahesa langsung masuk sampai dia menemui sebuah
tangga menurun berhubungan dengan sebuah lorong dan akhirnya membawa dia sampai
di hadapan satu ruangan yang dindingnya terbuat dari jeruji-jeruji besi. Di
dalam ruangan ini berkeliaran dua puluh ekor macan tutul.
"Binatang-binatang langka itu..." membatin Mahesa.
"Rupanya sengaja dikumpul dan dikurung untuk diadu dengan orang-orang yang
menyusup ke pulau ini..."
Binatang-binatang yang sengaja tidak diberi makan banyak itu mengaum dahsyat
begitu melihat sosok Mahesa Kelud di depan kerangkeng dimana mereka dikurung.
Apalagi saat itu tubuh dan pakaian Mahesa penuh ber-gelimang darah membuat
binatang-binatang buas ini seperti gila berusaha menerobos jeruji-jeruji.
Bagian terujung selelah ruangan macan tutul itu
merupakan sebuah dinding yang berlobang bulat
sepemasukan tubuh manusia. Mahesa Kelud melangkah dan menjenguk. Ruang di
belakang lobang bundar gelap gulita dan ada angin keras yang menampar-nampar
muka Mahesa Kelud. Laki-laki ini merasa bimbang untuk memasuki ruangan tersebut.
Dia memandang berkeliling.
Darahnya hampir tersirap ketika secara tak sengaja sepasang matanya membentur
sebuah patung makhluk mengerikan dua kali tinggi manusia yang membungkuk
menggapaikan tangannya ke muka. Waktu memasuki
ruang tersebut Mahesa membelakang sehingga ketika dia membalikkan tubuh baru dia
melihat patung raksasa tersebut!
Mahesa Kelud kembali ke ruangan terbuka yang
mewah. Kini dimasukinya pintu sebelah kiri. Pintu ini juga membawanya melewati
sebuah tangga menurun. Sinar lampu minyak menerangi lorong yang berbelok-belok.
Selewatnya lorong ini Mahesa Kelud sampai ke sebuah ruangan bulat. Dia tak
berani memasuki ruangan ini karena bentuknya yang aneh.
Lantai, dinding dan langit-langit ruangan keseluruhannya terbuat dari batu
pualam putih licin berkilat. Tepat di pertengahan lantai terdapat sebuah
lingkaran merah. Di dalam lingkaran merah ini terdapat lagi dua garis silang
menyilang tegak lurus. Mahesa tak tahu apa arti lingkaran dan garis-garis
tersebut. Persis di seberang ambang pintu di mana Mahesa Kelud berdiri terdapat
sebuah pintu besar yang membuka. Di belakang pintu ini kelihatan samar-samar
dalam kegelapan pohon-pohon bunga serta
rerumputan hijau. Adanya angin silir-silir yang bertiup lewat pintu menambah
keyakinan laki-laki itu bahwa di luar pintu adalah tempat terbuka yang
berhubungan dengan dunia luar. Ini menarik Mahesa Kelud untuk lekas-lekas
melewati ruangan itu. Namun demikian dia harus berlaku hati-hati.
Ruangan bundar di hadapannya yang begitu bagus bersih bukan mustahil satu
ruangan yang akan membawa maut.
Dan di samping itu apa pula arti lingkaran dengan garis-garis di tengah lantai
dan langit-langit ruangan"
Bila dia melewati ruangan tersebut menuju ke pintu di seberang sana, apakah dia
harus melangkah biasa, atau membuat lompatan menginjak lingkaran ataukah harus
menghindarkan sama sekali lingkaran merah tersebut"!
Warna merah adalah warna bahaya, demikian pendapat Mahesa. Ini berarti dia
sekali-sekali tidak boleh injakkan kaki di atas lingkaran tersebut!
Mahesa Kelud masukkan Keris Ular Emasnya ke dalam sarung. Sebagai ganti dia
cabut pedang merah. Kemudian pendekar ini angsurkan langkah pertama dengan hati-
hati. Tak ada terjadi apa-apa. Dia angsurkan langkah kedua, ketiga dan seterusnya.
Ketika Mahesa Kelud mendekati lingkaran merah yang sengaja dihindarkannya ke
samping kanan mendadak sepasang telapak kakinya merasakan lantai yang dipijaknya
bergetar lalu bergoyang! Menyusul terdengar suara menderu seperti ruangan itu dipenuhi oleh ribuan tawon.
Goyangan pada lantai semakin keras. Suara menderu tiba-tiba berhenti, digantikan
sedetik kemudian oleh suara dari langit-langit atas. Mahesa Kelud dongakkan
kapala! Semangatnya serasa terbang ketika dia saksikan bagaimana langit-langit
di atasnya turun ke bawah dengan kecepatan yang luar biasa!
*** 5 MAHESA KELUD kerahkan tenaga dalam. Teriakan se-
dahsyat geledek keluar dari mulutnya. Ini mempengaruhi sedikit kekuatan turunnya
langit-langit batu di atasnya.
Peluang yang sedikit ini dipergunakan oleh Mahesa Kelud untuk melompat ke muka
menuju ke pintu. Mahesa Kelud mencapai ambang pintu ketika langit-langit batu
dengan segala kedahsyatannya jatuh ke atas lantai, menimbulkan suara bergemuruh.
Meskipun selamat namun tak urung bagian belakang dari baju Mahesa Kelud masih
kena terjepit langit-langit dan lantai. Punggung pendekar ini tertarik dan
terbanting ke batu keras. Nyawanya serasa terbang, mukanya pucat pasi. Dia
mengucap syukur pada Tuhan menyadari dirinya selamat.
Di saat itu terdengarlah suara tertawa mengejek
cekikikan! "Kasihan! Baru terjepit baju saja sudah demikian pucat pasinya!
Hik... hik... hik...!"
Dengan geram Mahesa Kelud palingkan kepala. Di
sebelah sana, di satu pedataran berumput yang luas dan ditepinya dipagari dengan
pohon bunga-bungaan berdiri Dewi Maut ditengah-tengah dua belas orang anak
buahnya. Dewi Maut bertangan kosong sedang anak-anak buahnya sama memegang sebilah pedang
hitam! Di langit kelihatan bulan sabit dan bintang-bintang. Ternyata saat itu
malam hari. Dengan gemas Mahesa babatkan pedangnya ke
pakaiannya yang terjepit lalu berdiri sepuluh tombak di hadapan Dewi Maut dan
anak buahnya. Di tengah-tengah pedataran itu terdapat beberapa buah tiang dan
pada setiap tiang terpancang mayat manusia! Ada yang masih baru, ada yang sudah
agak lama dan membusuk serta ada pula yang sudah menjadi jerangkong! Hanya ada
satu tiang yang masih kosong!
Dewi Maut hentikan tertawanya dan bertolak pinggang.
"Mahesa Kelud, manusia muda bernyali besar, katahuilah pedataran berumput ini
bernama Pedataran Pemancungan!"
"Aku tidak tanya nama pedataran ini!" membentak Mahaea Kelud.
"Oh, begitu"!' ujar Dewi Maut dengan sikap tetap seperti tadi tanpa unjukkan
rasa gusar karena dibentak demikian rupa di hadapan anak-anak buahnya. "Namun
kurasa ada gunanya juga memberitahukan nama pedataran ini
kepadamu, orang gagah! Pedataran Pemancungan adalah tempat manusia-manusia
bernyali besar dan sombong besar mulut macam kau menemui ajalnya dengan di-
pancung! Kau lihat tiang-tiang yang penuh dengan mayat-mayat atau jerangkong-
jerangkong di belakangku"! Sebentar lagi kau akan menemui nasib yang sama dengan
mayat-mayat atau jerangkong-jerangkong itu bahkan mungkin lebih buruk lagi!"
"Perempuan iblis, tak usah pidato! Cabut pedangmu dan mari kita bertempur seribu
jurus!" Dewi Maut tertawa lagi. "Ah, mengapa pula aku harus kotorkan tangan malayani
manusia buruk macammu"
Anak-anak buahku sudah terlalu pantas untuk beri pelajaran padamu bagaimana cara
mencari jalan ke neraka!" Habis berkata demikian Dewi Maut bertepuk satu kali.
Di bawah penerangan rembulan, maka dua belas gadis baju biru segera berpencar
dan hanya dalam sekejapan mata saja Mahesa Kelud sudah terkurung di tengah-
tengah! "Orang gagah! Anak-anak buahku telah mambentuk lingkar pengurungan yang
dinamakan Lingkaran Maut!"
kata sang Dewi pula. "Selama tiga tahun tak ada satu orang pun dari kalangan
persilatan yang bisa keluar dari Lingkaran Maut ini. Kalau pun mereka sanggup
maka mungkin hanya roh busuk mereka yang terbang meng-gebubu ke neraka!"
Mahesa Kelud memandang berkeliling. Dua belas gadis berparas cantik, berpakaian
biru tipis dan bersenjata pedang-pedang hitam yang ampuh mengurungnya! Tak ada
yang bisa diperbuat Mahesa selain mempertahankan diri dan balas menyerang
seandainya gadis-gadis itu nanti menyerangnya, tak perduli meski hati kecilnya
merasa sayang sekali kalau nanti pedang saktinya harus menusuk atau membabat
ataupun memapas bagian tubuh gadis-gadis jelita itu! Jika dia berlaku tidak tega
maka sebaliknya tubuhnya sendiri mungkin yang akan tercincang! Soalnya ialah
membunuh atau dibunuh! "Mulai!" teriak Dewi Maut.
Dua belas pedang hitam yang tadi terhunus mengarah tanah kini sedikit demi
sedikit diangkat dan diputar di muka tubuh. Gadis-gadis baju biru menyertai
gerakan ini dengan langkahkan kaki ke muka. Dari cara memegang pedang-pedang
hitam tersebut Mahesa Kelud dapat
mengetahui bahwa masing-masing gadis menyalurkan tenaga dalamnya ke pedang
serempak dahsyatnya tak dapat dilukiskan! Mahesa alirkan pula tenaga dalam
bahkan juga aliran "Api-Salju" lewat tangan kanannya terus ke pedang merah.
Senjata sakti itu kelihatan bergetar dan sinar merahnya memancar lebih menyala!
"Dewi Maut!" berseru Mahesa Kelud dalam detik-detik yang tegang mendebarkan itu.
"Aku tidak mau turun tangan terhadap anak-anak buahmu! Sebaiknya kau saja yang
maju!" "Jangan bicara pongah orang muda!" sahut Dewi Maut.
"Nyawamu aku yang tentukan!"
"Serang!" teriak Dewi Maut kemudian!
Dua belas lengkingan dahsyat yang keluar dari mulut anak-anak buah Dewi Maut
merobek udara malam! Dua belas pedang hitam kemudian dalam gerakan yang sama dan
sangat teratur menderu ke satu sasaran di tengah lingkaran!
Mahesa Kelud tak tinggal diam. Lebih keras dari pekik anak-anak buah Dewi Maut
maka dia keluarkan bentakan mengguntur! Tubuhnya mencelat ke udara, tangan kiri
dan kedua kaki melajang sedang pedang di tangan kanan berubah seperti puluhan
banyaknya saking cepatnya diputar. Pada saat semua serangan gadis-gadis baju
biru itu mengenai tempat kosong maka di udara Mahesa Kelud membuat gerakan
cepat, tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian tardengar suara beradunya senjata,
suara teriakan kematian dan suara pekik kesakitan!
Empat orang anak buah Dewi Maut mental ke belakang!
Tiga di antaranya yaitu Satu Biru, Lima Biru dan Sebelas Biru lepaskan pedang
dan rebah ke rumput dengan tubuh mandi darah. Yang satu lagi yakni Dua Belas
Biru terhampar tak bergerak kena sambaran kaki kanan
Mahesa Kelud. Dadanya di bagian dalam terluka parah, kelak beberapa saat
kemudian dia terpaksa lepaskan nyawa!
Dewi Maut kepalkan tinju melihat kematian empat anak buahnya itu. Inilah satu
hal yang tidak pernah diduganya!
Delapan orang anak buahnya yang masih hidup di samping terkejut, nyali mereka
rata-rata menjadi ciut! "Serang!" teriak Dewi Maut marah sekali.
Delapan pedang berputar dahsyat. Tubuh Mahesa
lenyap kembali dan untuk kedua kalinya jatuh pula korban di pihak gadis-gadis
baju biru dan kini malah berjumlah lima orang yaitu Dua Biru, Tiga Biru, Enam
Biru, Delapan Biru dan Sepuluh Biru! Semuanya mati dalam sekejapan mata!


Mahesa Kelud - Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menggigil tubuh Dewi Maut saksikan hal ini. "Tahan!"
serunya. "Sesudah korbankan anak-anak buahmu klni baru kau hentikan pertempuran, huh!"
ujar Mahesa Kelud. "Kau majulah! Jika kau mati maka kau sekaligus tanggung dosa-
dosa mereka!" "Orang muda! Jangan terus-terus bicara menantang!
Ingat, aku memiliki pedang Samber Nyawa! Sepuluh manusia macam kau bukan apa-apa
bagiku sekali aku pergunakan senjata sakti tersebut! Kau pantas untuk kuajak
berunding! Sembilan Biru, antarkan dia ke tempatku!" Dewi Maut berkelebat dan
lenyap dari pemandangan! Mahesa Kelud hendak mengejar namun dihalangi
dengan ujung pedang ketiga gadis baju biru yang masih hidup.
"Kalian juga inginkan mampus"!' bentak Mahesa Kelud penasaran.
"Orang muda, jangan berlaku tolol!" balas membentak Empat Biru. "Jika Dewi sudah
berkata demikian pada kau berarti dia inginkan perdamaian dan nasibmu akan
beruntung!" "Perdamaian palsu!" semprot Mahesa. "Sesudah merasa terdesak minta berunding!"
Sepasang bola matanya menyapu paras ketiga gadis itu. Hanya salah seorang dari
mereka yang tundukan muka ketika dipandang demikian rupa yakni Sembilan Biru dan
Mahesa ingat gadis inilah yang menemukannya di tepi pasir pulau bersama kawan di
sebelahnya yaitu Empat Biru. Di antara kawan-kawannya, Sembilan Biru adalah yang
tercantik bahkan kecantikannya hampir menyaingi Dewi Maut sendiri!
Empat Biru, yang memang merupakan gadis paling
galak tapi paling patuh dan setia pada Dewinya maju ke muka kertakkan geraham.
"Dewi kami sama sekali tidak terdesak, orang muda! Kau ingat apa yang tadi
dikatakan-nya" Dengan pedang Samber Nyawa di tangannya, sepuluh manusia macam
kau dapat ditumpasnya dalam satu
gebrakan saja! Kau sebaiknya jangan banyak mulut, ikut kami dan kami akan
antarkan kau ke tempat Dewi. Pasti ada yang akan dibicarakannya dengan kau dan
pasti itu akan menguntungkan kau!"
"Aku datang ke sini bukan untuk cari untung!" tukas Mahesa Kelud.
Empat Biru pencongkan sudut bibirnya. "Semua manusia selalu hidup untuk dapatkan
keuntungan dan kau tak usah menutup diri karena kau pun tak terkecuali!
Mari...." Empat Biru menggamit kedua kawannya. Mahesa Kelud memperhatikan saja, sama
sekali tidak bergerak dari tempatnya. Empat Biru hentikan langkah. "Tunggu
apalagi"!" "Mungkin... mungkin, hik... hik... hik," Tujuh Biru tak bisa teruskan kalimatnya
karena keburu tertawa mengikik.
Empat Biru terheran. "Mungkin apa"!" tanyanya.
Tujuh Biru adalah gadis paling lucu di antara kawan-kawannya. Didekapnya
mulutnya seketika lalu katanya:
"Mungkin... hik... hi... mungkin dia kepingin digendong!
Hik... hik... hik!" "Oh, ya" Eh, betul, orang muda"!" tanya Empat Biru sementara Sembilan Biru tak
dapat pula menahan gelinya!
Air muka Mahesa Kelud menjadi merah padam.
"Perempuan iblis macam kalian rupanya masih bisa bicara ngelantur huh! Suruh
keluar Dewimu untuk hadapi aku!"
"Eeh... sudah diundang orang untuk datang, malah mengundang," kata Tujuh Biru
dan gadis ini tertawa lagi cekikikan.
"Dewi kami sudah sangat bermurah hati terhadapmu, orang muda. Turut
permintaannya sebelum dia merobah niat!" memperhatikan Empat Biru.
Ketika gadis-gadis itu melangkah kembali Mahesa menjadi bimbang. "Tunggu!"
serunya. "Bila kalian menipuku, nasib kalian lebih buruk dari kawan-kawanmu yang
sembilan orang itu!" Kemudian dengan tetap menggenggam pedang di tangan Mahesa
mengikuti ketiga gadis tersebut.
*** 6 MAHESA KELUD dibawa ke satu ruangan mandi di mana terdapat sebuah pancuran
berair sejuk dan harum. "Bersihkan tubuhmu dahulu," kata Empat Biru. "Jika sudah buka pintu di sebelah
kanan pancuran. Di situ kau akan menemukan kamar dengan beberapa lemari terdapat
di dalamnya. Di setiap lemari terdapat banyak pakaian laki-laki, kau bisa
mengambil dan memakai salah satu
daripadanya pengganti pakaianmu yang kotor!"
Mahesa Kelud merasa dirinya diperlakukan seperti seorang tamu dan bukan seperti
musuh sebagaimana yang sudah-sudah. Ini menimbulkan kecurigaannya kembali.
Ruangan mandi tersebut bukan mustahil merupakan
ruangan kematian pula! Dia tak mau tertipu.
"Kalian bertiga coba masuk dahulu!" kata Mahesa kepada gadis-gadis itu.
Ketiganya jadi terheran. "Apa maksudmu, orang muda"
Jangan coba-coba berlaku tidak senonoh terhadap kami!"
hardik Empat Biru. "Dengar, meski bagaimana pun kini baiknya kalian dan Dewi kalian, namun manusia-
manusia macam kalian bagiku tidak mudah untuk dipercaya. Masuklah!"
"Manusia macam apa kau"! Sudah diperlakukan dengan baik malah...."
Mahesa Kelud bergerak dengan cepat. Ketiga gadis itu berpekikan dan tahu-tahu
mereka sudah terlempar ke dalam ruangan mandi. Mereka pelototkan mata dan
bersihkan noda-noda darah yang melekat di pakaian mereka. Meski langit-langit di
sebelah atas tidak jatuh namun Mahesa Kelud tetap masih curiga.
"Salah satu dari kalian coba basahkan tubuh di bawah pancuran!" perintah Mahesa.
Tak ada satu pun dari ketiga gadis-gadis itu yang bergerak.
"Ayo!" teriak Mahesa lagi.
Empat Biru maju ke muka. "Jika saja Dewi tidak meminta kami lebih suka untuk
membeset mulutmu yang terlalu kasar itu, orang muda! Apa maksudmu menyuruh salah
seorang dari kami membasahkan badan di bawah pancuran"!"
Mahesa tak menjawab. Dia pernah dengar tentang
semacam air jahat yang bila sampai membasahi makhluk hidup maka makhluk itu akan
menjadi kaku membatu seperti patung! Dan inilah yang tak mau diambil risiko oleh
Mahesa Kelud. Mahesa Kelud melompat ke muka untuk menangkap
tubuh Empat Biru. Tapi gadis ini dengan gesit berkelit ke samping. Mahesa terus
bergerak ke samping Tujuh Biru namun yang satu ini pun dengan terpekik sempat
pula selamatkan diri. Nasib malang bagi Sembilan Biru, yang sejak tadi berdiri
agak lengah sehingga ketika tubuhnya kena diraih, dia tak sempat lagi loloskan
diri! Mahesa menyeret gadis ini ke bawah pancuran.
Sembilan Biru sangat ketakutan sekali tampaknya namun anehnya sama sekali dia
tidak meronta untuk lepaskan diri. Air pancuran yang harum jatuh di kepalanya
terus membasahi tubuh. Pakaiannya yang kuyup oleh air
membuat tubuhnya yang montok bagus kelihatan jelas!
Gadis itu menggigil, ketika Mahesa ulurkan tangannya menampung air pancuran
ternyata air itu disamping harum juga sejuknya bukan main. Dia jadi kasihan pada
Sembilan Biru. Dan gadis itu masih saja berdiri di bawah air yang memancur,
memandang dengan bola matanya yang
bening. "Sudah, minggirlah!" seru Mahesa. Sembilan Biru masih memandang kepadanya
seperti tadi. Mahesa Kelud jadi salah tingkah. Pandangan mata itu tidak
membayangkan rasa benci dan juga sama sekali tidak menyatakan rasa marah atau
dendam. Pandangan itu demikian tajam
membuat hatinya berdebar tidak enak. Namun akhirnya gadis itu menghindar juga
dari bawah pancuran. Ketika ketiganya keluar, Mahesa Kelud segera menutup pintu
ruangan mandi dan membuka pakaiannya.
Air yang sejuk menyegarkan tubuh Mahesa Kelud. Di dalam lemari-lemari di kamar
yang ditunjukkan Empat Biru ditemuinya banyak pakaian laki-laki semuanya
berwarna biru dan hijau dan terbuat dari bahan yang bagus. Mahesa mengenakan
salah satu pakaian berwarna hijau lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu. Di
luar pintu ruangan mandi ketiga gadis baju biru sudah menunggunya. Mereka sama-
sama menyembunyikan kekaguman mereka ketika melihat kemunculan Mahesa dengan
baju hijau bagus rapi dan gagah sekali! Mahesa melirik pada Sembilan Biru.
Ternyata gadis ini sudah menukar pakaiannya yang tadi basah.
"Ikuti kami!" kata Empat Biru. Ketika gadis itu berjalan di sebelah muka dan
Mahesa Kelud mengikuti dari belakang.
Dia berpikir-plkir bagaimana jika saat itu ditotoknya saja ketiga gadis di hadapannya, kemudian mencari sendiri di mana Dewi
Maut berada sehingga dia tak perlu khawatir akan dikeroyok bila antara dia
dengan Dewi Maut terjadi pertempuran! Namun karena beberapa alasan pendekar kita
batalkan niatnya. Dia dibawa melewati sebuah taman. Di ujung kanan membelok ke kiri, melewati
sebuah jembatan di atas kolam besar yang dihuni oleh dua belas pasang angsa
hitam dan dua belas angsa putih. Selewatnya jembatan terdapat tangga menurun.
Sesudah melewati beberapa lorong yang diterangi
lampu-lampu minyak maka sampailah Mahesa Kelud di hadapan sebuah pintu besi.
Empat Biru menekan tombol rahasia dan sesaat kemudian pintu itu terbuka. Mahesa
diberi isyarat untuk masuk lebih dahulu. Pintu kemudian tertutup lagi dengan
sendirinya. Di dalam ruangan yang terang benderang itu mereka melangkah di
sepanjang jalur permadani. Empat Biru di muka sekali, menyusul Mahesa lalu Tujuh
Biru dan terakhir Sembllan Biru.
Empat Biru menyingkapkan tirai hitam lalu tirai coklat.
Kemudian berturut-turut tirai merah darah dan tirai kuning.
Ketika tirai kelima - tirai terakhir - disingkapkan maka di belakang tirai itu, di
atas satu pembaringan yang indah tampak berbaring miring Dewi Maut. Pakaian
hijaunya tipis sekali sehingga sepintas lalu kulit tubuhnya kelihatan jelas
kehijauan. Parasnya segar tanda dia baru saja habis berhias. Empat Biru dan dua
kawannya segera berlutut.
Ketika dilihatnya Mahesa tetap berdiri, Empat Biru segera membentak, "Berlutut
di hadapan Dewi Maut!"
Mahesa tersenyum sinis. "Siapa sudi berlutut di hadapan dia!" katanya. Tangan
kanan dan kirinya senantiasa siap sedia untuk cabut pedang merah ataupun Keris
Ular Emas bila hal-hal yang mencurigakan dan tak diingini terjadi.
Empat Biru hendak membentak kembali namun Dewi
Maut lambaikan tangan. "Empat Biru, kau tunggu di luar tirai hitam. Dan kau
Sembilan Biru bersama Tujuh Biru urus mayat kawan-kawanmu!"
Ketiga gadis baju biru itu menjura. Sebelum berlalu ke tempat masing-masing
diperintahkan, Mahesa Kelud masih dapat melihat bagaimana Sembilan Biru
layangkan satu lirikan tajam kepadanya.
*** 7 KINI di ruangan itu hanya Mahesa Kelud dan Dewi Maut saja yang tinggal. Mahesa
berdiri enam langkah di muka pembaringan. Dekat ujung kaki pembaringan ada
sebuah kursi bundar rendah yang beralaskan kain hijau berenda.
"Silahkan duduk di sana, Mahesa," kata Dewi Maut seraya menunjuk ke kursi
tersebut. "Aku lebih suka berdiri," jawab Mahesa Kelud.
Dewi Maut lontarkan senyum mendebarkan. Tubuhnya digerakkan. Kini dia berbaring
menelentang. Baju hijaunya yang memang sama sekali tidak mempunyai kancing,
hanya diikat dengan seuntai mutiara di bagian pinggang tersingkap lebar di
bagian dada dan di bagian perut.
Mahesa Kelud memandang ke jurusan lain dan berkata,
"Jika kau ingin bicara, bukan di sini tempatnya Dewi!"
"Dimana yang bagus menurutmu, Mahesa?" tanya Dewi Maut dengan matanya memandang
ke langit-langit ruangan. "Di tempat terbuka seperti di Pedataran Pemancungan itu. Di sana pembicaraan
yang tidak selesai bisa diteruskan dengan senjata!"
Dewi Maut tertawa merdu. "Aku senang pada orang-orang muda yang berjiwa gagah
bernyali besar...." "Kuharap kau jangan bicara bertele-tele Dewi Maut.
Katakan apa maksudmu mengundang aku ke sini. Kau bicara tentang perundingan.
Ketahuilah, dengan manusia macam kau, yang pernah berniat membunuhku, tak ada
perundingan. Mari keluar untuk selesaikan urusan atau mungkin kau lebih senang
berkubur di tempatmu yang bagus ini"!" Nada suara Mahesa Kelud mengandung
kesungguhan dan keras. Dewi Maut menatap lama sekali pada Mahesa dengan pandangan yang menggairahkan.
Saat itu Mahesa baru menyadari bahwa Dewi Maut tidak bersenjata. Di
pinggangnya tak kelihatan pedang hitam. Namun demikian Mahesa tetap waspada
karena manusia macam gadis yang ada di hadapannya saat itu punya seribu satu
akal licik. Bukan mustahil senjatanya disembunyikan di satu tempat yang mudah dijangkau!
"Dengar Mahesa..." kata Dewi Maut pula. Suaranya halus mengharu. "Antara aku dan
kau sebelumnya tidak ada permusuhan bukan?"
"Itu betul...."
"Mengapa kau punya tekad untuk membunuhku saat ini!
Hanya karena tugas yang dibebankan kepadamu oleh Karang Sewu..." Sungguh bodoh
kau...." Mahesa Kelud kertakan geraham. Tangan kanannya
meraba hulu pedang merah dan dia maju ke muka. Namun ketika dilihatnya gadis itu
tetap diam di tempatnya tanpa membuat gerakan, Mahesa jadi batalkan niatnya. Dan
Dewi Maut tertawa lagi. "Semua orang pasti marah bila dikatakan dirinya bodoh.
Tapi aku tetap akan katakan kau bodoh! Kau diberi sedikit ilmu oleh seseorang...
kemudian dengan alasan itu kau disuruhnya mencari orang lain untuk membunuhnya!
Bukankah itu bodoh namanya"!"
"Itu suatu hal yang lumrah dalam dunia persilatan!"
tukas Mahesa. "Lumrah tapil lumrah gila! Tidak berpikiran! Dunia persilatan sekarang sudah
gila, Mahesa! Justru itulah maksudku sejak bertahun-tahun ini ingin merubah
segala kegilaan itu!"
"Dengan membunuh manusia-manusia tak berdosa...?"
"Lantas apa dosaku sampai kau mempunyai niat meng-habisi aku punya nyawa?" tanya
Dewi Maut pula. Kini Mahesa Kelud yang keluarkan suara tertawa.
Tertawa mengejek. "Kau tanya apa dosamu, Dewi Maut"!
Mungkin aku yang kau katakan bodoh ini tidak tahu apa dosamu. Tapi aku cuma
ingin tanya, sejak kau muncul di dunia persilatan dengan memakai nama Dewi Maut,
sudah berapa belas manusia yang kau bunuh di ruang-ruang maut itu" Sudah berapa
belas manusia yang kau tamatkan riwayatnya di Pedataran Pemancungan" Dan apakah
dosa mereka"!" "Mereka melanggar aturanku, Mahesa!"
"Aturan macam apa"!"
"Mahesa, dengar...."
"Sudah! Aku tak berniat lagi untuk teruskan pembicaraan ini! Dimana kau simpan
pedang Samber Nyawa"!"
hardik murid Suara Tanpa Rupa.
Kedua mata Dewi Maut yang indah bersinar itu menyipit sedikit. Bibirnya terkatup
rapat-rapat memungil. "Mengapa kau inginkan senjata mustika itu, Mahesa?"
"Tak usah banyak tanya. Aku harus dapatkan senjata itu, tak perduli dengan cara
bagaimana pun dan kalau perlu aku tak segan-segan melewati mayatmu...."
"Jadi bila kuberikan pedang tersebut kepadamu, kau tak akan membunuhku?"
"Aku tidak katakan demikian!"
"Mahesa..." Dewi Maut berdiri. Dia turun dari pembaringan dan melangkah ke
hadapan Mahesa Kelud dengan langkah bergoyang yang menggiurkan, meruntuh-kan
iman laki-laki sedang di sudut bibirnya senantiasa terkulum senyum gairah, penuh
mengundang! "Berhenti! Jangan dekati aku!" bentak Mahesa Kelud.
Dewi Maut tetap mendekat bahkan ulurkan kedua
tangannya merangkul leher Mahesa sedang kedua
matanya menatap dalam-dalam pada mata laki-laki itu.
Mula-mula Mahesa seperti seseorang yang tersirap tenungan oleh sinaran mata
gadis tersebut. Dewi Maut memeluknya dan menempelkan tubuhnya rapat-rapat.
Mahesa merasakan betapa hangat dan lembutnya tubuh itu. Namun kemudian dia ingat
lalu cepat-cepat melepaskan diri dan menjauh.
"Mahesa..." kata Dewi Maut lirih. Dia melangkah lagi hendak mendekat.
"Aku akan bunuh kau bila berani datang lebih dekat!"
ancaman Mahesa Kelud dan acungkan pedang saktinya.
Ini memaksa gadis itu hentikan langkah. Dadanya meng-gemuruh turun naik. Dia
duduk kembali di tepi tempat tidur.
"Mahesa... kita berdua, kau dan aku bisa hidup sama-sama di sini. Ini tawaran
sungguh-sungguh dan bukan main-main. Aku...."


Mahesa Kelud - Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bicara gila! Mana pedang Samber Nyawa"!"
"Kita berdua akan merajai dunia persilatan. Bukankah itu cita-cita setiap
pendekar gagah macam kau...?"
"Aku tanya pedang Samber Nyawa, bukan lain hal!"
bentak Mahesa. "Pedang itu memang ada padaku," berkata Dewi Maut.
"Dan aku bersedia memberikannya padamu...."
"Kalau begitu lekas berikan padaku dan aku berjanji untuk melepaskan kau dengan
aman!" "Itu satu janji yang bagus! Tapi ucapanmu tadi mempunyai arti bahwa aku adalah
tawananmu...." Dewi Maut tertawa. "Padahal sebenarnya kaulah yang menjadi
tawanan di pulau ini!"
Mahesa Kelud menjadi geram karena setiap pem-
bicaraan selalu diputar ke hal-hal lain oleh Dewi Maut.
Dewi Maut berdiri lagi. "Bagaimana Mahesa?" tanyanya.
"Kau bersedia tinggal di sini bersamaku?"
"Jangan ngelantur!"
"Aku tidak ngelantur!" sahut Dewi Maut. Dan sepasang matanya kembali bersinar
seperti tadi. Dia melangkah ke hadapan Mahesa.
"Kalau begitu kau ngaco!"
"Aku tidak ngaco!" Dewi Maut makin dekat.
"Kau gila... keblinger!"
"Aku tidak gila dan ti...." Dewi Maut tiba-tiba melompat ke muka dan memeluk
tubuh laki-laki itu dengan erat.
Sebelum Mahesa bisa lepaskan diri Dewi Maut sudah ciumi parasnya. Nafasnya
memburu mendengus! Mahesa mendorong tubuh gadis itu hingga terlempar ke atas
pembaringan dan sesaat kemudian ujung pedangnya
sudah menempel di kulit leher Dewi Maut.
"Aku sudah berjanji untuk tidak membunuh kau! Tapi agaknya janji itu terpaksa
kubatalkan...." "Teruskan Mahesa... teruskan. Bunuh aku," kata Dewi Maut dengan suara serak
parau. Kedua matanya dipejamkan dan Mahesa melihat bagaimana dari sudut-sudut
mata yang bening itu mengalir menetes butiran air mata kemudian terdengar sedu
sedan Dewi Maut. Tangan Mahesa yang memegang pedang jadi bergetar.
"Mengapa tidak kau teruskan Mahesa" Kau ingin membunuh aku bukan"! Teruskan
niatmu!" Mahesa bungkam. "Mahesa... hanya kepadamu kututurkan hal ini karena...
karena kaulah orang pertama yang telah menarik dan mengikat hatiku...."
Mahesa Kelud hendak membentak gadis itu. Namun
lidahnya kelu dan mulutnya tak mau membuka.
"Selama empat puluh tahun aku hidup di sini...."
Mahesa terkejut. "Empat puluh tahun katamu"!'
"Kau tidak tahu Mahesa dan mungkin kau tak percaya.
Kenyataan yang kau lihat saat ini adalah bahwa parasku cantik dan umurku menurut
taksiranmu pasti tak akan lebih dari dua puluhan! Tapi Mahesa... aku sudah
tua... terlalu tua. Terlalu tua untuk hidup di dunia yang penuh kekejaman ini tanpa
mengenal apa artinya kebahagiaan, tanpa mengenal apa artinya cinta mesra...
kasih sayang. Bila kau lihat parasku yang asli dan tubuhku yang sebenarnya kau akan terkejut
dan akan lari langkah seribu!
Karena sesungguhnya aku adalah seorang nenek-nenek tua renta... nenek keriput
yang bungkuk seperti sabut...
yang berumur enam puluh tahun lebih!"
"Tapi parasmu dan keadaan tubuhmu yang sekarang ini" Bagaimana mungkin...?"
"Ini karena guruku Dewi Cabut Nyawa sebelum meninggal masih sempat berikan
semacam ilmu awet muda kepadaku...."
Mahesa terdiam. Dia tak pernah dengar tentang
manusia bergelar Dewi Cabut Nyawa dan dia tak percaya akan penuturan Dewi Maut.
"Aku tahu kau tak percaya," kata Dewi Maut pula. "Apa kau bersedia untuk melihat
paras dan tubuhku yang asli"!"
"Aku bersedia," jawab Mahesa.
Dewi Maut kini terdiam. "Ayo!" "Kau akan menyesal Mahesa...."
"Itu aku tak perduli!"
"Baik, kau perhatikanlah," kata Dewi Maut. "Lihat baik-baik, " katanya lagi
diusapnya paras yang jelita itu.
*** 8 MAHESA KELUD jadi sipitkan mata dan kerenyitkan kulit kening karena begitu Dewi
Maut mengusap mukanya, maka paras yang jelita itu dengan serta merta berubah
menjadi paras seorang nenek-nenek keriputan, berpipi kempot, bermata cekung
merah mengerikan! Tubuh yang terbaring di atas pembaringan indah itu kalau tadi
demikian mulus menggiurkan penuh rangsangan kini kelihatan sama rata dengan
pembaringan, kurus lecak lunglai dan bungkuk! Bulu kuduk Mahesa merinding.
Tangan kanannya yang menekankan ujung pedang ke leher Dewi Maut ditariknya
dengan perlahan. "Kau sudah lihat Mahesa?" kata Dewi Maut. Dan suara perempuan itu pun berubah
tidak seperti tadi lagi. Kalau tadi demikian merdu maka kini mendesau parau
seperti suara nenek-nenek! Mahesa tak menjawab. Dewi Maut tersenyum kepadanya.
Senyum yang mengerikan, bukan senyum seperti tadi lagi yang penuh mengundang!
Dewi Maut menggerakkan tangan kanannya yang kecil halus berkulit keriput nyenyer
dan mengusap mukanya. Parasnya kembali menjadi jelita dan tubuhnya kembali beralih montok menggiurkan.
Perlahan-lahan dia bangun dari pembaringan itu. Dia masih saja menangis tersedu.
"Enam puluh tahun lebih aku hidup di dunia dengan percuma. Tanpa kenal apa
artinya cinta, kasih sayang dan kemesraan. Tanpa pernah merasakan belaian tangan
laki-laki, pelukan mesra apalagi ciuman rindu dendam.
Salahkah aku, berdosakah aku kalau kini aku inginkan semua itu..." Mahesa, kau
mau tinggal bersamaku bukan"
Kita akan hidup bahagia...."
"Bagaimana dengan gadis-gadis baju biru yang menjadi pembantumu itu?" tanya
Mahesa putar bicara. "Kalau mereka memang gadis-gadis asli!" jawab Dewi Maut. Suara dan parasnya
menyatakan rasa cemburu. "Kepada mereka juga kelak akan kuberikan ilmu awet muda itu bila mereka sudah
tua.... Mahesa, kau mau bukan, mau tinggal di sini" Kita akan berbahagia, kita
akan menjadi raja dunia persilatan...."
"Mana pedang Samber Nyawa itu, Dewi?"
"Ah, kau selalu saja putar pembicaraan. Pedang itu ada padaku aku berjanji akan
memberikannya padamu asal kau mau berjanji pula untuk hidup bersamaku."
"Ambil pedang itu, Dewi!"
"Aku akan ambil Mahesa. Tapi aku mau tanya dulu, kau mau hidup bersamaku?"
"Itu kita bicarakan nanti," jawab Mahesa. "Sekarang mana pedang itu"!"
"Mahesa kau demikian mendesaknya! Agaknya ada seseorang musuh yang tak sanggup
kau kalahkan" Yang tak sanggup dihadapi oleh pedang merah serta Keris Ular
Emasmu?" Mahesa Kelud diam-diam terkejut juga ketika Dewi Maut mengetahul nama dua
senjata yang dimilikinya. "Siapa gerangan musuh yang demikian tangguh itu,
Mahesa?" terdengar lagi Sang Dewi bertanya. Mahesa tak menjawab dan gadis itu berkata
lagi. "Setahuku, dalam dunia persilatan hanya ada satu tokoh utama yang tak
sanggup dibunuh dengan senjata apapun, kecuali dengan pedang Samber Nyawa. Tokoh
itu bernama Simo Gembong, tapi Simo Gembong sudah menghilang tak tentu rimbanya
sejak hampir sepuluh tahun yang silam. Apakah manusia itu yang menjadi lawanmu,
Mahesa?" "Kau kenal padanya?" tanya pendekar kita.
Dewi Maut mengangguk. Mahesa Kelud jadi berdebar.
"Aku banyak tahu tentang dia. Sakti luar biasa tapi kejam, lebih kejam dari
setan, lebih jahat dari iblis. Semasa mudanya bahkan sampai lanjut usianya pun
dia manusia bejat tukang main perempuan, perusak rumah tangga orang!"
Di dalam hatinya Mahesa berkata, "Kekejaman yang dilakukan oleh Simo Gembong
tiada beda dengan yang kau lakukan sendiri Dewi Maut!"
"Dari seorang tokoh persilatan aku mendapat keterangan ciri-ciri diri manusia
itu. Simo Gembong bertampang buruk, berambut gondrong. Hidungnya pesek, dia
memelihara janggut sampai ke dada sedang mata kirinya picak. Apakah itu betul?"
"Betul," sahut Dewi Maut. "Namun ada yang kau lupakan...."
"Apa?" Telinga kanannya sumplung dan akulah yang
membabatnya dulu dengan pedang Samber Nyawa!"
Terkejut sekali Mahesa mendengar keterangan Dewi Maut ini. Jika dengan
mengandalkan ilmu kesaktian belaka pasti Dewi Maut tak akan sanggup hadapi Simo
Gembong tapi dengan pedang Samber Nyawa di tangan Simo
Gembong benar-benar tak berdaya.
"Jadi kau pernah bentrokan dengan Simo Gembong?"
tanya Mahesa. "Ya. Kami bertempur sampai tiga ratus jurus. Ketika kucabut pedang Samber Nyawa,
Simo Gembong terkesiap, dia segera ambil langkah seribu namun aku masih sempat
membabat telinga kanannya dengan ujung pedang. Dia lari menjerit-jerit setinggi
langit dan sejak itu dia lenyapkan diri dari dunia persilatan...."
"Lenyapkan diri atau sudah mati"!" tanya Mahesa ingin kepastian.
"Lenyapkan diri," Jawab Dewi Maut. "Aku tak tahu apa sebabnya dia melenyapkan
diri. Mungkin tengah men-ciptakan satu ilmu silat baru tapi mungkin pula ber-
sembunyi karena takut pada musuh-musuhnya yang terlalu banyak di seluruh antero
tanah Jawa." "Kau tak tahu di mana manusia itu kira-kira berada?"
tanya Mahesa. "Aku sudah sebar mata-mata dan pembantu-
pembantuku. Sebegitu jauh di mana Simo Gembong
berada belum kami ketahul. Tapi belakangan ini kuterima keterangan yang agak
kurang pasti dan belum kuselidiki kebenarannya. Kabarnya manusia ituu berada di
puncak Gunung Kelud...."
"Apa" Puncak Gunung Kelud"!" tanya Mahesa setengah berteriak.
"Eh, kau terkejut orang muda" Apa karena nama gunung itu kebetulan sama dengan
namamu?" tanya Dewi Maut.
"Ya... ya..." jawab Mahesa gugup. Tubuhnya tergetar hebat dan perasaannya tak
bisa ditekannya. Betapakah tidak! Sejak dia mendapat keterangan mengenai ciri-
ciri Simo Gembong dari Lor Munding Saksana, si orang tua sakti gila, maka
perasaannya sudah mulai tidak enak karena ciri-ciri yang diterangkan oleh orang
tua itu adalah sama dengan ciri-ciri yang dimiliki gurunya sendiri yaitu Embah
Jagatnata! Hari ini Dewi Maut berikan keterangan ciri-ciri yang sama kepadanya
dan malahan mengatakan pula bahwa ada kabar Simo Gembong diam di puncak Gunung
Kelud, puncak gunung dimana dia dulu
digembleng oleh Embah Jagatnata, tempat gurunya itu tinggal! Apakah Simo Gembong
adalah gurunya sendiri"
Apakah Simo Gembong sama dengan Embah Jagatnata! Ini satu teka-teki yang tak
bisa dipecahkannya saat itu juga.
Satu pemikiran yang sangat sulit! Namun hatinya tak bisa menerima, akalnya tak
dapat memastikan. Kalau Simo Gembong adalah juga Embah Jagatnata lantas mengapa
Embah Jagatnata menyuruh dia mencari Simo Gembong bahkan harus membunuhnya jika
sudah bertemu! Mahesa menatap paras Dewi Maut sejurus. "Keterangan bahwa Simo Gembong diam di
puncak Gunung Kelud itu kurasa keterangan kosong tidak betul. Setahuku di sana
diam seorang kakek-kakek bernama Embah Jagatnata...."
"Seorang tokoh persilatan?" tanya Dewi Maut.
Mahesa anggukkan kepala. "Tak pernah kudengar nama itu," kata Dewi Maut pula.
"Ini memberikan kenyataan padaku bahwa mungkin sekali Embah Jagatnata itu adalah
sebenarnya Simo Gembong sendiri!"
Getaran di tubuh Mahesa semakin hebat. Perasaannya semakin meluap. Air mukanya
kelihatan mengelam. "Tidak mungkin!" katanya keras.
"Di jagat ini bisa saja terjadi seribu satu macam hal yang tidak mungkin,
Mahesa." Mahesa Kelud termenung. Diingat-ingatnya keadaan diri gurunya itu baik-baik.
Ciri-ciri sama namun sifat banyak berbeda. Dia mengingat-ingat lagi. "Dewi
Maut... apakah pada tangan kanan sekitar siku manusia bernama Simo Gembong
itu... terdapat tanda hitam" Tanda hitam besar sejak lahir?"
Kini Dewi Maut jadi terkejut. "Kau tahu dari mana hal itu" Jadi kau sudah jumpa
sendiri dengan Simo Gembong"!" Untuk selang beberapa lamanya Mahesa Kelud tak
dapat berkata-kata. Otaknya kacau balau! Hatinya benar-benar campur aduk! "Dewi,
aku tak bisa menunggu lebih lama. Mana pedang Samber Nyawa itu"!"
"Eh, tampaknya kau semakin kesusu Mahesa. Kenapa?"
"Pedang Samber Nyawa!" teriak Mahesa Kelud tak sabaran.
Dewi Maut tersentak karena terkejut oleh teriakan yang menggeledek itu. Dia
melangkah ke hadapan Mahesa. "Aku akan ambil," katanya. Tapi dia masih berdiri
di situ dan sinar matanya berubah mesra seperti beberapa saat yang lalu "Aku
akan ambil untukmu Mahesa, percayalah. Tapi...."
Dia maju satu langkah lagi.
"Tapi apa"!"
"Kau... kau tak ingin memeluk aku lebih dahulu, Mahesa"'
"Jangan bicara ngelantur!"
"Peluk aku Mahesa... peluk. Aku rindu akan pelukan seorang laki-laki. Enam puluh
tahun Mahesa... enam puluh tahun aku hidup tanpa merasakan kemesraan itu...."
"Ambil pedang itu atau aku akan obrak-abrik tempatmu!'
mengancam Mahesa. "Peluk aku dulu Mahesa," kata Dewi Maut dengan suara minta dikasihani.
"Tidak!" "Sekejap pun jadi, Mahesa."
"Gila kau!" "Mahesa.... " "Pedang itu!" "Kalau kau tak mau peluk, cium saja...."
"Gadis Jalang! Kalau kau tak bergerak dari hadapanku kutebas batang lehermu!"
dan Mahesa cabut kembali pedang merahnya.
"Kau kejam sekali," desis Dewi Maut. "Kau tak mau memeluk aku... tak mau mencium
aku... tak mau meraba tubuhku" Aku akan berikan pedang sakti itu, sungguh! Tapi
kabulkan permintaanku!" Dada Dewi Maut kelihatan turun naik sedang hidungnya
kembang kempis, nafasnya meniup-niup di muka Mahesa dan bibirnya bergetar. "Aku relakan semua itu untukmu
Mahesa, hanya untukmu saja!"
Mahesa angkat tangan kanannya yang memegang
pedang. Dewi Maut gelengkan kepalanya. "Kau kejam Mahesa... kejam sekali. Kalau
kuberikan pedang itu padamu nanti, mau kau kabulkan permintaanku...?" mengajuk
Dewi Maut. "Ambil senjata itu!"
"Kau tak mau karena kau tahu paras dan keadaan tubuhku yang asli?"
"Ambil pedang itu dulu, Dewi!"
"Baik Mahesa, kau tunggu di sini...."
"Awas, jangan coba untuk menipuku!" memperingatkan Mahesa Kelud.
Dewi Maut tersenyum kepadanya dan menghilang di
balik tirai hijau di ujung kanan ruangan.
Mahesa Kelud menunggu mundar-mandir tak sabaran.
Beberapa saat berlalu. Tirai hijau tersingkap dan Dewi Maut muncul! Mahesa Kelud
terkejut benar dan mundur beberapa langkah. "Benar-benar perempuan bejat!" maki-
nya dalam hati. Dewi Maut melangkah ke hadapannya dan tubuhnya
tiada tertutup sehelai benang pun alias telanjang bulat seperti dulu dia
dilahirkan oleh ibunya ke dunia! Pada pinggang kanannya tergantung sebuah pedang
hitam sedang digenggaman tangan kirinya Mahesa melihat satu benda tergulung,
seperti sebuah ikat pinggang besar.
Mahesa Kelud memandang ke jurusan lain. "Lemparkan pedang itu kepadaku, cepat!"
katanya. "Ah, kau terlalu terburu-buru Mahesa." Dewi Maut berkata. Lalu direbahkannya
tubuhnya yang tanpa pakaian itu di atas pembarlngan. Mahesa merasakan dirinya
panas dingin!

Mahesa Kelud - Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pedang itu!" "Ambillah sendiri, Mahesa. Bukankah kau punya tangan"!" ujar Dewi Maut.
Mahesa Kelud kertakkan rahang. Dengan kepala diputar ke jurusan lain dia
melompat ke muka untuk menyambar pedang. Pedang hitam itu berhasil
direnggutkannya sampai lepas namun di saat yang sama Dewi Maut sempat pula
mencekal tangan kanan dan meraih pinggangnya. Mahesa ditariknya ke atas
pembaringan dan dihimpitnya dengan tubuhnya yang telanjang. Tangannya kemudian
meng-gerayang dan ciumannya bertubi-tubi di muka serta di dada laki-laki itu.
"Mahesa.... Mahesa..." bisiknya berulang kali penuh nafsu iblis.
"Gadis bejat!" kertak Mahesa. Dibantingkannya tubuh gadis itu ke samping.
Keduanya bergulingan di pembaringan yang lebar itu seketika lalu terguling ke
lantai. Mahesa berhasil lepaskan dirinya dari pelukan Dewi Maut meski pakaian hijaunya
robek tersambar renggutan kuku gadis itu!
"Mahesa... kau penipu! Kau berjanji akan melakukan itu, akan mengabulkan
permintaanku bila pedang Samber Nyawa kuberikan padamu!"
"Aku bukan manusia rendah macam kau!"
"Mahesa, kemarilah...."
Mahesa tak acuhkan undangan iblis betina itu. Dia putar tubuhnya tapi Dewi Maut
sudah melompat ke hadapannya.
"Kau mau ke mana Mahesa. Kau mau ka mana kekasih...?"
katanya. Dan seperti orang gila... oleh rangsangan nafsu, dijatuhkannya dirinya
ke hadapan Mahesa namun dengan berkelit laki-laki itu berhasil menghindar ke
samping. "Selamat tinggal Dewi Maut," Mahesa berkelebat namun kalah cepat. Dewi Maut
menarik seutas tali dan tiba-tiba tirai-tirai hijau yang lebar terbal dan berat
jatuh meng-gulung tubuh Mahesa. Kedua manusia itu tersungkup dan Dewi Maut
kembali rangkulkan kedua tangannya di tubuh Mahesa.
Dengan tangan kirinya Mahesa memukul tirai hijau sehingga bobol. Begitu dia
dapat lepaskan diri dari pelukan Dewi Maut dia segera lolos lewat bobolan
tersebut namun lagi-lagi Dewi Maut berhasil mendahuluinya.
"Mahesa, kau mau pergi setelah dapatkan senjata sakti itu"!"
Mahesa tak menjawab namun segera putar tubuh.
"Kau tertlpu Mahesa," seru Dewi Maut dan terdengar suara tertawanya yang
meringkik macam kuda, mengerikan!
Kalimat ini membuat Mahesa hentikan gerakannya. Dan Dewi Maut di antara
tertawanya yang meninggi itu berkata:
"Kau tertipu. Jangan kira bahwa kau sudah berhasil memiliki pedang Samber
Nyawa!" Mahesa terkesiap. Ditelitinya pedang hitam di tangan kanannya lalu dicabutnya.
Pedang itu ternyata hanya pedang biasa cuma buatannya yang bagus. Tak ada
seberkas sinar pun memantul dari senjata tersebut yang menandakan bahwa pedang
hitam itu bukanlah senjata sakti atau senjata mustika adanya!
Ringkik tawa Dewi Maut semakin keras meninggi. "Kalau kau mau lihat inilah
pedang Samber Nyawa!" Habis berkata demikian Dewi Maut buka genggaman tangan
kirinya dan gulungan benda hitam yang sejak tadi berada dalam genggaman itu
terbuka. Ternyata benda ini adalah sebuah pedang! Mahesa seperti tak percaya
pada pandangannya. Adakah sebuah pedang bisa digulung demikian rupa"!
Belum habis rasa herannya, dilihatnya Dewi Maut
mencabut pedang itu maka memancarlah sinar hitam pekat yang mengerikan. Sinar
hitam itu mengandung hawa yang menusuk-nusuk pori-pori tubuh! Ketika Dewi Maut
maju ke hadapannya maka cepat Mahesa Kelud cabut pedang merahnya. Sinar merah
pedang sakti itu yang biasanya terang kini kelihatan meredup kalah!
Dewi Maut tertawa lagi mengerikan. "Aku Dewi Maut sudah demikian merendah diri
terhadapmu, sudah demikian menghiba-hiba seperti seorang pengemis lapar yang
minta dikasihani! Kau manusia rendah budi yang tak tahu diri mampuslah!"
Pedang Samber Nyawa membabat ke muka
mengeluarkan suara berdengung seperti tawon. Mahesa menghindar ke samping dengan
cepat. Hawa sambaran pedang di tangan Dewi Maut demikian tajamnya sehingga
pemuda itu rasakan sekujur tubuhnya menjadi perih.
Dengan sebat Mahesa kirimkan satu tusukan ke
pangkal leher lawannya. Dewi Maut tak mengelak tapi pergunakan pedang mustika di
tangannya untuk menangkis. Mahesa yang ingin tahu sampai dimana
kehebatan senjata lawan dan sekaligus ingin menguji apakah pedang itu benar-
benar pedang sakti Samber Nyawa adanya sengaja tidak menarik pulang pedang
merahnya sehingga terjadilah bentrokan yang hebat di antara kedua senjata itu!
Mahesa Kelud mengeluarkan seruan tertahan. Bunga api memercik menyilaukan mata.
Pedang di tangan Mahesa mental ke udara, tangannya tergetar hebat serta linu! Mahesa bergerak ke
samping lalu meloncat ke atas menyambar pedang merahnya kembali. Di saat itu
pedang Samber Nyawa membabat di pinggangnya.
"Bret!" Mahesa Kelud jungkir balik di udara. Masih untung baginya hanya pakaian hijaunya
saja yang robek. Namun demikian hawa pedang yang jahat membuat pinggangnya
sangat sakit dan terasa kaku! Dan ketika diperhatikannya pedang merah di
tangannya ternyata bagian yang tajam dari senjata itu gompal sedikit! Laki-laki
itu yakin kini bahwa senjata di tangan Dewi Maut adalah benar-benar pedang sakti
Samber Nyawa. Mengetahui bahwa dalam senjata dia kalah jauh maka satu-satunya jalan untuk
hadapi lawan ialah harus merampas pedang itu dari tangan lawan. Mahesa putar
pedang merahnya seperti kitiran, mengeluarkan tiupan-tiupan mematikan sampai
akhirnya di satu jurus yang hebat dia berhasil merampas pedang Samber Nyawa dari
tangan Dewi Maut! Dewi Maut terpekik dan melompat mundur. Parasnya pucat pasi!
Ketika Mahesa datang mendekat dia segera berteriak.
Suara teriakannya aneh sekali dan sesat kemudian ketiga orang pembantunya yaitu
Empat Biru, Tujuh Biru dan Sembilan Biru sudah muncul di sana dengan pedang di
tangan dan langsung menyerbu Mahesa Kelud.
"Kalian pergilah semua!" teriak Mahesa. Sekali pedang Samber Nyawa di tangannya
bergerak maka puntunglah ketiga pedang hitam di tangan gadis-gadis itu. Anak
buah Dewi Maut berpekikan.
"Celaka Dewi!" seru Empat Biru. "Bagaimana pedang sakti itu bisa berada di
tangannya"!" "Matilah kita semua!" seru Tujuh Biru.
Dalam gugupnya Dewi Maut berteriak. "Tinggalkan tempat ini dengan cepat! Kalian
tunggu aku di Pintu Rahasia!"
Sebelum Mahesa Kelud menyerang kembali maka Dewi Maut tarik tiga utas ujung tali
yang ada di belakang kepalanya. Terdengar suara mendesir dan tiga tirai berat
jatuh menyungkup Mahesa. Meski bagaimana pun laki-laki ini coba hindarkan diri
namun tetap saja tubuhnya tertimbun oleh tirai-tirai raksasa itu. Ketika sesaat
kemudian dia keluar dari timbunan tirai maka Dewi Maut dan anak-anak buahnya
sudah lenyap! Mahesa memeriksa seluruh ruangan itu bahkan
kemudian seluruh pulau namun Dewi Maut dan pembantu-pembantunya hilang lenyap
tidak berbekas. Mahesa akhirnya hentikan pencahariannya karena percuma membuang
waktu saja, lagi pula pedang Samber Nyawa sudah berada di tangannya.
Diperhatikannya senjata mustika itu beberapa lamanya.
Pedang itu ringan dan tipis sekali. Bentuknya sederhana bahkan hulunya biasa
saja tiada berukir. Keanehan dari senjata ini disamping kesaktiannya yang luar
biasa ialah bahwa pedang Samber Nyawa bisa ditekuk bahkan dilipat!
Tak dapat diduga oleh Mahesa siapa yang membuat
senjata tersebut atau dari bahan apa terbuatnya. Ketika pedang ini digulungnya,
sinar hitam pekat lenyap dan gulungan pedang itu hampir tersembunyi di dalam
genggaman tangan kanannya yang besar!
*** 9 PUNCAK Gunung Kelud.... Rambutnya yang panjang seperti perempuan itu awut-awutan
dan kotor. Telinga kanannya sumplung. Mukanya yang buruk lebih menyeramkan
karena dihias oleh sebuah hidung besar pesek dan mata kiri yang picak senantiasa
membuka sedang mata kanannya terpejam. Janggutnya yang dulu sampai ke dada kini sudah menjela perut.
Dia duduk bersila di atas batu hitam dalam pondok kayu itu. Kedua tangannya
dilipat di muka dada dan dari ubun-ubun di batok kepalanya
mengepul asap putih kehijauan. Satu jam kemudian barulah orang tua ini membuka
mata kanannya yang sejak tadi dipejamkan. Mata itu berwarna sangat merah dan
pandangannya menyorot. "Syukur kau sudah kembali Mahesa," kata Embah Jagatnata. "Aku gembira sekali!'
suaranya besar serak sedang mata kanannya yang merah itu meneliti Mahesa Kelud
yang duduk bersila penuh khidmat di hadapannya.
Dia tersenyum, tapi justru senyumnya ini membuat tampangnya jadi tambah buruk
dan lebih mengerikan. "Muridku, kau berhasil dapatkan pedang Samber Nyawa?"
"Berhasil Embah," jawab Mahesa Kelud. Kedua matanya pun meneliti paras orang tua
di hadapannya itu. "Bagus sekali!" terdengar Embah Jagatnata berkata.
"Apakah kau juga sudah berhasil menemukan itu manusia bernama Simo Gembong maka
kau datang ke sini"!"
Mahesa tak menjawab. Diperhatikannya tanda hitam di siku tangan kanan Embah
Jagatnata dan hatinya berdebar.
"Apakah kau sudah berhasil menemui Simo Gembong?"
tanya Embah Jagatnata sekali lagi.
"Embah... petunjuk yang saya dapat tidak begitu memastikan. Saya datang untuk
meminta tambahan petunjuk dari Embah...."
Air muka Embah Jagatnata jadi berubah. "Kalau begitu, percuma kau datang kemari
Mahesa! Bukankah dulu aku sudah beri ingat padamu bahwa kau sekali-kali tidak
boleh kembali ke sini sebelum kau berhasil menemui dan membunuh manusia bernama
Simo Gembong itu! Apa kau lupa"!"
"Tidak lupa Embah... cuma... hasil pencaharian yang saya lakukan membuat saya
jadi bingung sendiri...."
"Bingung bagaimana"!"
"Ciri-ciri tentang Simo Gembong semuanya tepat sama dengan ciri-ciri Embah...."
"Kalau begitu kau sudah berpendapat bahwa aku gurumu, Embah Jagatnata, adalah si
Simo Gembong itu"!"
"Kenyataan membawa petunjuk yang demikian bagi saya. Namun sesungguhnya saya
sama sekali tidak bisa mempercayainya, Embah..." jawab Mahesa Kelud.
"Aku tanya, kau mau berpegang pada kenyataan atau pada rasa percaya pada diri
sendiri"!" "Pada dua-duanya, Embah," sahut Mahesa.
"Kalau kau sudah berpegang pada kedua hal itu, mengapa kau belum sanggup mencari
manusia tersebut"!"
"Justru itulah yang saya inginkan petunjuk dari Embah,"
jawab Mahesa Kelud pula. Embah Jagatnata memandang pada Mahesa dengan
matanya yang cuma satu sementara asap putih kehijauan terus juga mengepul dari
ubun-ubun kepalanya. "Bodoh!"
bentak orang tua itu tiba-tiba. "Tolol! Goblok! Dungu! Kau sudah lihat
kenyataan! Kau sudah dapati kesamaan antara aku dengan Simo Gembong! Apakah kau
masih juga tidak tahu siapa aku sebenarnya"!"
Terkejutlah Mahesa Kelud mendengar kata-kata Embah Jagatnata itu. "Jadi betulkah
itu Embah...?" "Apa yang betul"!"
"Bahwa Embah adalah Simo Gembong yang harus saya cari dan saya bunuh"!'
"Sudah tahu akan kenyataan masih bertanya! Benar-benar bodoh! Mahesa Kelud,
kakek-kakek tua renta bermata satu di hadapanmu ini adalah Simo Gembong!
Simo Gembong! Apakah kau masih belum sadar"!"
Kedua mata Mahesa Kelud membuka lebar-lebar.
"Lantas... mengapa Embah menyuruh saya mencari Simo Gembong dan membunuhnya
kalau kenyataannya bahwa Simo Gembong itu adalah Embah sendiri"!" tanya Mahesa
tak mengerti. "Ini satu hal yang perlu aku terangkan kepadamu, murld-ku," jawab Embah
Jagatnata yang telah mengakui dirinya sebagai Simo Gembong. "Selama puluhan
tahun hidup, aku telah melewatinya dengan percuma, bahkan dengan me-nanam dosa
di sepanjang hari kehidupanku itu! Aku berilmu tinggi dan ilmuku itu aku
pergunakan untuk berbuat segala macam kejahatan, merampok, membunuh, memeras,
merusak kehormatan gadis-gadis, melarikan istri orang, menghancurkan rumah
tangga orang bahkan membunuh anak-anak yang tiada berdosa! Ilmuku terlalu tinggi
sehingga tak satu manusia lain pun yang sanggup turun tangan terhadapku. Diriku
terlalu sakti sehingga tak satu senjata pun mempan menembus kulitku! Aku semakin
tua dan dosaku semakin karatan! Aku kepingin mati, tapi ajal masih belum sampai!
Satu-satunya senjata yang sanggup memisahkan tubuhku dengan jiwa adalah pedang
Samber Nyawa. Aku tak tahu dimana senjata itu berada karenanya kusuruh kau untuk
mencarinya! Dan katamu kau berhasil!
Dimana kau temukan pedang itu, Mahesa?"
"Di Pulau Mayat, tempat kediaman Dewi Maut...."
"Dewi Maut..." desis Embah Jagatnata. "Memang terakhir kali kuketahui senjata
itu memang ada padanya dan senjata itulah yang dipakainya untuk membabat putus
telinga kananku. Masa itu kesaktian kami berada ditingkat yang sama cuma Dewi
Maut mempunyai pedang sakti
tersebut sehingga aku terpaksa lari tak sanggup me-layaninya."
Embah Jagatnata alias Simo Gembong berhenti seketika lalu meneruskan. "Di hari-
hari tuaku... di masa hampir masuk ke liang kubur maka terbitlah di hatiku rasa
penyesalan atas apa yang pernah kulakukan selama puluhan tahun. Penyesalan atas
dosa-dosa tak berampun yang lambat laun semakin tak sanggup aku pertahankan.
Dan inilah yang harus aku pertanggung jawabkan di akhirat kelak! Sedang aku yang
kepingin mati belum juga sampai ajal! Akhirnya kucari jalan! Kau tahu Mahesa,
kau adalah salah seorang anak manusia yang menjadi korban ke-bejatanku! Ibumu
seorang perempuan cantik. Sesudah dia melangsungkan perkawinan dengan ayahmu,
sesudah dia baru saja melahirkan kau yang saat itu berumur dua bulan, ibumu
kularikan! Ayahmu kubunuh, bahkan paman serta kakekmu dan mertua ayahmu kubunuh
semua! Ibumu kularikan ke sebuah pondok di tengah rimba belantara, ku-rusak
kehormatannya selama berminggu-minggu dan
ketika aku sudah bosan, perempuan itu kubunuh! Aku bejat, terlalu bejat! Dan
dosa semacam itu, dosa tak berampun, bukan sekali itu saja kulakukan, tapi
puluhan kali!" Mahesa Kelud merasakan tubuhnya bergetar dan bulu tengkuknya menggerinding.
Kemudian terdengar lagi suara Simo Gembong. "Penyesalan datang selalu terlambat.
Ketika aku tahu bahwa kau adalah anak dari perempuan yang dulu aku bunuh maka
aku berniat agar kelak kaulah yang dapat membunuhku sebagai pembalasan atas
dosa-dosaku yang bejat tiada berampun itu! Waktu itu kau sudah menjadi seorang
pemuda dan kau diambil anak angkat oleh keluarga petani miskin di kampung
Sariwangi dan kau diberi nama Panji Ireng oleh mereka! Suatu malam ketika kau
habis menonton wayang, di bawah hujan lebat kuhadang kau di Kali Brantas. Kau
kubawa ke sini, kuambil sebagai murid, kudidik berbagai ilmu silat dan
kesaktian, sekedar bekal bagimu dalam kelak mencari pedang
Samber Nyawa yakni senjata satu-satunya yang dapat menamatkan riwayatku! Kau
pergi dan kini kau kembali dengan berhasil! Hari ini adalah hari kematianku,
Mahesa! Niatku untuk mati di tanganmu rupanya kesampaian juga!
Hari pembalasanku telah tiba! Aku tahu kematianku di tanganmu belum tentu dapat
sebagai penebus dosa-dosaku! Mahesa, keluarkan pedang itu, letakkan di kepalaku!
Balaskan sakit hati orang tuamu, kakekmu dan juga sakit hati puluhan manusia
yang aku telah bunuh dan rusak kehidupan mereka! Lakukan Mahesa!"
Meskipun hatinya menggeram mendengar penuturan
Embah Jagatnata, namun Mahesa Kelud tetap duduk tak bergerak di tempatnya.
"Kau tunggu apalagi, Mahesa?"
"Mana mungkin Embah... mana mungkin saya lakukan itu. Semua manusia tak ada yang
suci...." "Aku membunuh ayah ibumu, Mahesa. Kau tak akan berdosa jika kau membunuh aku
karena aku yang tanggung segala dosa itu!"
Antara guru dan murid terjadi perdebatan. Simo
Gembong kehabisan sabar. Dia berdiri dari duduknya.
Dicabutnya sebuah tongkat kecil dari pinggangnya. "Mari kita keluar," katanya.
"Aku tahu hatimu! Kau memang seorang kesatria murni! Keluarkan pedang Samber
Nyawamu dan mari kita selesaikan hidupku yang bejat ini, kalau memang cara
satria ini yang kau minta Mahesa."
Sesudah lama gurunya menunggu di luar, barulah
Mahesa berdiri. Tapi yang dicabutnya adalah pedang merah. Melihat senjata itu


Mahesa Kelud - Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka berkatalah Simo Gembong. "Ah Pedang Dewa yang bagus. Tentu kau telah berguru pula pada Suara
Tanpa Rupa. Masukkan saja senjata itu Mahesa, percuma nyawaku tak akan minggat
dari tubuhku dengan seribu tusukan pedang sakti ini!"
Mahesa berdiri bimbang. "Kalau kau tak percaya, mari kita buktikan!" kata Embah Jagatnata pula. Tubuhnya
meloncat enteng ke muka. Tongkat di tangannya meskipun kecil tapi menderu laksana badai dan menyambar
dahsyat ke leher Mahesa pemuda ini berkelit, dia tak mau balas menyerang. Ketika
tongkat membalik dengan bagian ujungnya menotok ke arah
peredaran darah besar Mahesa mengelak lagi dan tahu-tahu pedangnya terpukul
lepas oleh tongkat gurunya!
Mahesa berdiri termangu. "Pedang Samber Nyawa, Mahesa. Lekaslah! Supaya cepat aku minggat ke neraka
mempertanggung jawabkan dosa-dosaku!" kata Simo Gembong.
Sebaliknya yang dikeluarkan Mahesa adalah Keris Ular Emas. "Oh Keris Ular
Emas... syukur kau berhasil dapatkan senjata mustika itu! Senjata sakti pembunuh
segala macam racun. Namun untukku tetap tak ada manfaatnya, Mahesa. Lihat...!'
Simo Gembong seperti seekor burung elang melayang ke udara. Kakinya menyerang
muridnya lebih dahulu. Mahesa meskipun pegang senjata di tangan tapi tak berani membalas menyerang
bahkan selalu mengelak. Dia melompat ke samping. Tongkat kecil di tangan gurunya
memukul ke kepala. Mahesa menunduk tapi tertipu karena sesungguhnya tongkat yang
dilihatnya memukul ke kepala hanyalah bayangan saja dari tongkat yang asli
sedang tongkat asli sudah menyambar ke atas dari bawah.
"Plak!" Tangan Mahesa tergetar hebat dan Keris Ular Emas ter-lepas dari tangannya!
"Masih juga kau tak mau keluarkan Samber Nyawa"
Lekaslah muridku..." kata Simo Gembong.
Mahesa menjadi penasaran juga. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya gulungan
pedang sakti itu. Ketika gulungan pedang hitam terbuka maka kelihatan air muka
Simo Gembong berubah kecut melihat sinar pekat yang
memancar dari senjata tersebut. Diangsurkannya kepalanya ke muka dan berkata:
"Bacokkan cepat, Mahesa!'
Pemuda itu hanya diam saja.
"Ayo Mahesa!" Mahesa tetap tak bergerak.
Maka menyeranglah si orang tua dengan hebat. Tongkat kecil di tangannya menderu,
menyerang ke pelbagai bagian tubuh Mahesa. Serangan ini benar-benar dahsyat
sehingga di samping mengelak Mahesa terpaksa pergunakan
pedang Samber Nyawa untuk menangkis. Dan setiap terjadi bentrokan senjata maka
kelihatanlah bagaimana tongkat di tangan Simo Gembong menjadi buntung, makin
lama makin pendek! "Ayo Mahesa! Serang aku, mengapa cuma menangkis dan mengelak" Serang dan bunuh!
Tusukkan pedangmu di dadaku!"
Mahesa tetap tak mau balas menyerang. Dapatkah
seorang murid menyerang gurunya dengan bersungguh-sungguh" Bisa dan sanggupkah
seorang murid membunuh guru sendiri... meski si guru mempunyai dosa besar yang
harus dipertanggung jawabkannya" Puluhan jurus sudah berlalu namun Mahesa masih
juga mengelak dan menangkis. Mahesa sendiri tahu jika Simo Gembong ber-hasrat
membunuhnya mungkin sudah sejak tadi dilakukan oleh orang tua itu.
"Ayo Mahesa, serang aku! Tusukkan pedangmu!"
Namun laki-laki muda itu tetap mengelak dan me-
nangkis saja. Simo Gembong habis kesabarannya. Di-buangnya tongkatnya yang
tinggal pendek. Sekali dia melompat ke muka maka kedua tangannya sudah mencekal
lengan Mahesa yang memegang pedang. Sebelum Mahesa tahu apa yang akan diperbuat
gurunya, Simo Gembong dengan sangat cepat menarik lengan itu ke muka dan "cras!"
ujung pedang terhunjam di dadanya!
"Mahesa muridku... selamat tinggal...."
Mahesa melepaskan pegangannya pada hulu pedang
dan cepat-cepat memeluk tubuh gurunya. Namun tubuh itu sudah tidak bernyawa
lagi. Mahesa membopong jenazah gurunya ke dalam pondok dan membaringkannya di
atas balai-balai kayu. Dipandanginya jenazah itu seketika dengan mata berkaca-
kaca lalu dia ke luar lagi untuk mengambil pedang merah serta Keris Ulas
Emasnya. Dia memandang ke langit. Udara kelihatan mendung namun dalam waktu
dekat hujan belum akan turun. Dan laki-laki itu mulai membuat kubur untuk
gurunya. Guru yang telah membunuh orang tuanya, kakek serta neneknya. Guru yang
telah menghancurkan kehidupannya, tapi kepada siapa dia tiada menaruh secuil pun
dendam kesumat. TAMAT Segera menyusul!!! MAHESA KELUD PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Dengan judul : SIMO GEMBONG MENCARI MATI
Max Havelar 5 Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai Playboy Dari Nanking 7
^