Pencarian

Mayat Dalam Istana 1

Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana Bagian 1


1 LANGKAH, REZEKI, JODOH DAN MAUT........ TULAH empat parkara yang tidak dapat ditentukan oleh manusia. Keempatnya berada
dalam kuasa dan I kehendak Yang Maha Kuasa. Kekuasaan dan kehendak
itulah yang menjadi dasar dari jalannya cerita, menyangkut pendekar sakti
mandraguna Mahesa Kelud dan istrinya Wulansari....
PUNCAK GUNUNG MURIA---- Pagi itu langit tampak mendung. Angin bertiup kencang.
Supitmantil berdiri di ambang pintu rumah kayu,
memperhatikan Wulansari - yang sejak lebih dua bulan lalu jadi istrinya - berkemas-
kemas. Hatinya gembira karena akhirnya hari itu Wulansari bersedia juga
meninggalkan tempat kediamannya itu. Selama ini Supumantil selalu merasa kawatir
kalau-kalau Mahesa Kelud tiba-tiba
muncul. "Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supitmantil.
Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak Pedang
Dewi yang tersisip di balik punggung. Walaupun kini sudah lebih dari dua bulan
dia menjadi isteri lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang
pertama - yang disangkanya benar-benar sudah mati - tidak dapat pupus dari ingatannya. Dia merasa
bersyukur bahwa Supitmantil ternyata seorang suami yang sangat baik, lemah
lembut tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilangan Mahesa Kelud cukup
terhibur meskipun dia sadar cintanya terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya
terhadap Mahesa. "Hai! Mendung sekali cuaca hari ini. Dan angin begini kencang. Sebentar lagi
pasti turun hujan!" seru Wulansari ketika dia sampai di beranda rumah "Bagaimana
kalau kita tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru kita
berangkat." Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin cepat-
cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu Wulansari seraya memandang ke
langit lalu berkata: "Cuaca memang agak buruk. Tapi hujan tak segera akan turun.
Paling cepat satelah kita sampai di kaki gunung. Sebaiknya kita
berangkat sekarang saja Wulan."
Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan suaminya.
Untuk terakhir kali dia mamandangi rumah kayu di puncak Muria itu. Hatinya
terasa pilu. Dia akan meninggalkan rumah penuh kenangan. Entah kapan akan
kembali lagi ke situ. Kadua matanya berkaca-kaca.
"Mari Wulan," bisik Supitmantil.
Sambil berpegangan tangan kedua orang itu menuruni
serambi rumah, melangkah ka ujung kiri halaman di mana tertambat dua ekor kuda.
Ketika Supitmantil hendak
membantu Wulansari naik ke atas kuda, tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar
biasa mengejutkan baik Wulansari apa lagi bagi Supitmantil. Muka pemuda ini
berubah sapucat kain kafan! "Wulan! Aku datang!"
Sebelum gema saruan itu lanyap, sesosok bayangan
berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tampak tegak enam langkah di dapan kedua
orang itu, menatap dengan pandangan mata aneh, penuh tanda tanya.
"Mahesa! Kau . .. !"
Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada wajahnya namun lebih banyak
terlihat bayangan ketidak-
percayaan akan pandangan matanya sendiri!
"Mahesa! Betul kau ini yang datang ... "!"
"Wulan .... Ada apa" Apakah matamu tidak melihat hingga tidak mengenali diriku
lagi?" tanya Mahesa tanpa bergerak dari tempatnya. Setelah berbulan-bulan tidak
ber-jumpa dan penuh kerinduan tentu saja saat itu ingin dia memeluk istrinya.
Tapi entah mengapa dia tetap diam di tempatnya. Ada sesuatu kelainan
dirasakannya di puncak gunung Muria itu.
"Aku tidak buta. Aku dapat melihatmu dangan jelas Mahesa. Tapi .... Tentu Tuhan
telah menyelamatkanmu dari malapetaka itu!"
Wulansari sandiri ingin lari menubruk Mahesa. Namun detik itu pula dia sadar
akan keadaan dirinya yang telah menjadi istri Supitmantil. Parempuan ini
merasakan tubuhnya berguncang, dadanya bargatar. Jalan nafasnya menjadi sesak. "Ya Tuhan!
Bagaimana semua ini bisa terjadi... ?"
Meskipun tambah heran malihat sikap dan mendengar
ucapan istrinya namun Mahesa berkata: "Betul Wulan.
Tuhan telah menyelamatkan sewaktu terpental masuk
jurang batu. Seorang kakek sakti menolongku. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku
selamat dari malapetaka masuk jurang batu itu ... ?"
"Jurang batu . . . ?" Wulansari mengulang heran.
"Ya, jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah itu malapetaka yang kau maksudkan?"
Mahesa berpaling sedikit ke arah Supitmantil. "Kulihat ada sahabatku Supitmantil
di sini. Dan kalian berdua seperti bersiap-siap hendak meninggalkan tempat
ini...." Di atas mereka langit tambah mendung. Udara tambah
gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan suara ber-
siuran. Di kejauhan kilat menyambar. Rambut Mahesa
berkibar-kibar ditiup angin. Mendadak saja dia teringat mimpinya waktu di goa
dulu. Mimpi rembulan disambar petir! Guntur menggelegar menegakkan bulu roma.
Puncak gunung Muria bergetar. Tapi lebih hebat lagi getaran yang ada di dada
ketiga orang itu! "Mahesa! Ya Tuhan....Kalau taja aku tahu kau masih hidup!" Wulansari menjerit
setengah meratap sedang kedua matanya telah basah oleh air mata. "Bagaimana ....
bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi ....?"
"Memangnya siapa yang mengatakan aku sudah mati Wulan?" tanya Mahesa. Ketika
Wulansari tak menjawab Mahesa membentak. "Katakan! Apa arti semua ini!" Lalu dia
maju mendekati Wulansari. Tapi baru satu langkah kakinya tertahan seperti
dipantek ke tanah ketika mendengar keterangan Wulansari.
"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di tengah laut. Jenazahmu tak pernah
ditemukan. Dia .... dia.... "
Wulansari berpaling ka arah Supitmantil dangan mata berapi-api. "Dia yang
mengatakan semua itu. Lalu dia meminta aku jadi istrinya. Karena tak ada harapan
lagi bahwa kau masih hidup aku .... aku .... "
"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya"!" Suara Mahesa bergetar.
Dadanya terasa panas seperti mau
meledak. Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa lunglai dan meluncur ke bawah,
jatuh berlutut. "Jadi, jelas dia telah menyusun cerita dusta!" Rahang Mahesa Kelud menggembung.
"Aku menyesalkan kau begitu mudah percaya dan tidak menyelidik . . . ." Dangan
mata membeliak garang dan pelipis bergerek-gerak
Mahesa barpaling pada Supitmantil, "Manusia keparat!
Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba.
Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!"
Mahesa melompat ke dapan. Kedua tangannya
terkembang. Dari mulutnya tardengar suara menggeram seperti seekor harimau yang
hendak menerkam mangsa-nya.
"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit menghindar. "Aku akan terangkan
pada kalian ...." "Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu yang memberi keterangan pada setan-
setan neraka!" teriak Wulansari. Tubuhnya yang tadi berlutut tiba-tiba melompat
sebat. Sinar merah berkiblat. Ternyata perempuan ini telah mencabut Pedang Dewi
pemberian gurunya Suara Tanpa
Rupa. Tetapi dia bukan menyerang ka arah Supitmantil, melainkan memapas serangan
Mahesa Kelud! "Bagus! Kau memang patut membela suamimu!" teriak Mahesa. Di samping marah
hatinya juga hancur sekali melihat kenyataan ini.
"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak ingin kau membunuhnya! Dia harus
mampus di tanganku!" balas teriak Wulansari. Namun ucapannya itu tidak dapat
menyurutkan amarah dan sakit hati Mahesa Kelud.
Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat dalam
pertengkaran mulut itu Supitmantil yang sudah lumer nyalinya pergunakan
kesempatan untuk melompat ke
punggung salah seekor dari dua kuda yang ada di situ.
Akan tetapi sebelum sempat membedal binatang itu,
Wulansari sudah lebih dulu berkelebat dan kirimkan satu bacokan pedang sakti
yang ganas. Supitmantil cepat melompat dari punggung kuda
selamatkan diri. Sesaat kemudian terdengar ringkik
binatang itu ketika Pedang Dewi di tangan Wulansari membabat lehernya, membuat
luka manganga yang amat besar. Darah menyembur. Kuda yang malang ini lari
menghambur, namun ambruk tarsungkur ke tanah setelah lari beberepa belas tombak,
meringkik keras untuk penghabisan kali sebelum terkapar tak bernafas lagi!
Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar berulang kali disusul gelegar
guntur. Bagitu meloncat dari kuda dan lolos dari samberan pedang Wulansari,
Supitmantil selamatkan diri ke balik sabatang pohon. Maksudnya
hendak terus melarikan diri di bawah hujan lebat sarta kabut yang menutup
pemandangan. Tetapi dua sosok
tubuh lebih cepat bergerak menghadang. Di sebelah kanan Mahesa Kelud, di sebelah
kiri Wulansari. "Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?" tanya Supitmantil dangan suara
bergetar. Dalam ketakutan yang amat sangat dia seperti berusaha menaruh seberkas
harapan. Tapi dia keliru.
"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas hidup di muka bumi ini"!"
"Siapapun diriku aku adalah suamimu! Kita kawin sacara sah!"
"Suami jahanam! Kau barhasil memperistrikanku karena menipuku!" teriak Wulansari
lalu siap untuk membantai dengan pedang saktinya. Namun tubuhnya tersentak dan
mukanya pucat ketika tiba-tiba Supitmantil berkata.
"Kalau kau membunuhku, bagaimana dangan benih bayi yang kini kau kandung"! Apa
kau ingin melahirkan seorang anak tanpa ayah" Anak yang ayahnya mati di tangan
ibunya sendiri"!"
Wulansari merasakan tengkuknya sedingin es.
Sebaliknya Mahesa Kelud merasakan dadanya meng-
gemuruh seperti sebuah kepundan gunung api yang siap meledak memuntahkan cairan
dan lumpur panas! Jelas rupanya kedua orang itu telah melangsungkan parkawinan secara sah. Bahkan
Wulansari kini tengah hamil, mungkin sakitar satu atau dua bulan. Menghamili
anak hasil hubungan perkawinannya dangan Supitmantil, sahabat
yang telah mengkhianatinya secara terkutuk. Kalau tadi dalam kemarahannya Mahesa
ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu juga, kini dia jadi bingung sendiri.
Supitmantil jelas telah melakukan dosa besar karena telah menipu Wulansari untuk
dapat mengawini perempuan itu.
Tetapi apakah Wulansari sendiri tidak terlepas dari kasalahan" Yaitu kurang
periksa dan dalam waktu singkat mau saja menerima Supitmantil jadi suaminya.
Seolah-olah kasih sayang dan kecintaannya terhadap dirinya hanya selapis kabut
yang segera lenyap begitu tertiup angin dan kini hanya tinggal kenangan belaka.
Lalu siapa pula yang telah mengawini mereka dan di mana" Jika dia membunuh
Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari hidup menjadi janda, memelihara
seorang anak tanpa ayah"
Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa Kelud ter-
hadap Wulansari namun jauh di lubuk hatinya masih
tersemat rasa cinta kasih terhadap parempuan itu meskipun kini mungkin hanya
seperti sebuah pelita kehabisan minyak.
Mahesa Kelud yang tertegun dalam gelegak amarah tapi kemudian menjadi bingung
sendiri, baru sadar ketika di depannya terdengar raungan Supitmantil.
Di bawah hujan lebat tampak pakaian putihnya yang
basah oleh air hujan kini juga basah oleh cairan merah.
Darah! Sinar pedang di tangan Wulansari menyambar tiada henti. Supitmantil tak
kuasa untuk melarikan diri bahkan sama sekali tidak mampu menghindar dari
serangan ganas perempuan yang selama dua bulan menjadi istrinya itu.
Luka besar menganga di sekujur tubuhnya. Ketika
Wulansari yang seperti gila itu menusuk bahunya sebelah kiri Supitmantil
terhuyung-huyung. Luka-luka yang diderita-nya menimbulkan hawa panas di sekujur
tubuhnya. "Wulan .... Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon Wulan ..." pinta Supitmantil
meratap. Namun saat itu tak ada belas kasihan apalagi kasih
sayang di hati Wulansari. Ratapan lelaki itu malah
membakar amarahnya. Pedangnya membabat, membacok
dan menusuk berulang kali. Dari mulutnya tiada henti terdengar pekikan
mengerikan. Supitmantil yang menjadi bulan-bulanan serangan pedang akhirnya
terkapar di tanah becek dalam keadaan menggidikkan. Tubuhnya seperti
dicincang. Beberapa bagian anggota lengan dan kakinya buntung putus. Mulutnya
masih tampak bergerak, megap-megap berusaha bernafas dan tampak separti hendak
mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Bagian hitam
bola matanya lenyap. Kedua mata itu kini membeliak putih memandang ke langit
yang masih terus menumpahkan air hujan.
Tiba-tiba Wulansari keluarkan pekik keras, menembus deru angin dan hujan lebat.
Mukanya tampak beringas dan sepasang matanya berputar ganas. Pedang Dewi yang
masih digenggam di tangan kanan ditusukkan dalam-
dalam ke leher Supitmantil hingga menembus sampai ke tanah. Wulansari tak
berusaha mencabut pedang merah itu, membiarkannya sengaja menancap tarus di
leher lelaki yang pernah menjadi suaminya, lelaki yang semula
disangkanya benar-benar mengasihinya. Tetapi kemudian ternyata srigala berbulu
domba. Yang telah menipu dan menghancurkan kehidupannya.
Ketika perempuan ini membalikkan tubuh, pandangan-
nya beradu dangan Mahesa Kelud. Keberingasan pada
wajahnya langsung mengendur. Ingin sekali dia berlari memeluk Mahesa dan
menangis di dada lelaki itu. Tapi dia merasakan dirinya seperti seonggok sampah
kotor yang tak layak melakukan hal itu. Maka di bawah hujan lebat
Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di tangga serambi depan dan menangis
sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mahesa Kelud tarmangu sesaat Apakah dia akan
mendatangi Wulansari. Atau .... Ternyata Mahesa Kelud kemudian melangkah
mendekati mayat Supitmantil.
Dicabutnya pedang yang menancap di leher lalu
ditendangnya mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng gunung. Pedang Dewi
yang berlumuran darah itu kemudian diletakkannya di tangga serambi, di samping
Wulansari. Setelah diam sejenak lelaki ini marasa tak ada hal lain yang bisa dilakukannya
selain bertekad meninggalkan tempat itu membawa segala kesengsaraan dan
kehancuran lahir batin. Sebenarnya untuk terakhir kali ingin dia mengatakan
sesuatu pada Wulansari. Namun
bibirnya terasa berat, lidahnya kelu dan tenggorokannya terasa kering. Dia hanya
bisa memandangi perempuan
yang pernah sangat dikasihinya itu dengan perasaan pilu.
Ada air mata membasahi kadua matanya. Sebelum air
mata itu jatuh membasahi pipinya, Mahesa segera
membalikkan diri hendak pergi. Justru pada saat itu di bawah deru hujan lebat
dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar gelegar suara seseorang.
"Murid-muridku! Tabahkan hati kalian menghadapi cobaan yang sangat besar dan
maha berat ini... !"
Perlahan-lahan Wulansari turunkan kedua tangannya
yang menutupi muka dan memandang ke depan. Mahesa
sendiri cepat membalik. "Guru!" seru keduanya hampir bersamaan dan cepat menjura hormat.
Di halaman di seberang sana, di bawah hujan lebat
tegak seorang lelaki sangat tua. Berambut putih laksana kapas. Mukanya meski tua


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi masih licin. Janggut dan kumisnya pun putih, juga kedua alis matanya. Di
atas bahu kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain adalah si
Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan sepasang pedang sakti serta ilmu
Pedang Dewa dari Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.
"Kalian berdua dengarlah . . . ." sang guru kembali berkata. "Jika ada manusia
paling bersalah dalam persoalan kalian, orang itu adalah aku si tua bangka buruk
ini. Mahesa... aku telah menikahkan istrimu dengan Supit-
mantil tanpa melakukan penyelidikan. Aku benar benar merasa bersalah...."
Terdengar ratap tangis Wulansari meninggi. Mahesa
tegak terdiam, tak tahu apa yang hendak dikatakannya.
"Aku benar-benar bersalah. Bagaimana aku harus minta maaf..." terdengar kembali
suara sang guru penuh penyesalan.
Akhirnya Mahesa Kelud membuka mulut juga, berkata:
"Guru tak ada yang bersalah dalam hal ini. Mungkin semua ini sudah takdir dan
kehendak Tuhan .... Kita manusia hanya menerima nasib."
Tangisan Wulansari terdengar semakin memilukan.
"Tak lama setelah aku menikahkan mereka..."
menyambung Suara Tanpa Rupa. "Ada timbul satu
kecurigaan dalam hatiku. Namun karena ada satu
pekerjaan mendesak yang harus aku rampungkan, baru
saat ini aku bisa muncul di sini. Ternyata kedatanganku sudah sangat terlambat!"
Di bawah hujan lebat wajah orang tua yang kelimis itu tampak pucat penuh
penyesalan. Anak rusa yang ada di pundaknya memandang sayu pada Mahesa Kelud
seolah mengerti kehancuran hati dan kehancuran hidup yang
dihadapi pemuda itu. "Guru..." kata Mahesa pula. "Apapun yang telah terjadi saya tetap menghormatimu."
Diusapnya mukanya yang basah oleh air hujan. "Izinkan saya pergi sekarang. . ."
"Tunggu! Jangan pergi dulu . . .!" seru Suara Tanpa Rupa ketika dilihatnya
muridnya hendak memutar tubuh.
Saat itu Wulansari telah berdiri sambil memegang
Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri.
Dia melangkah ke hadapan Suara Tanpa Rupa seraya
berkata: "Guru, saya merasa tidak layak lagi memegang senjata sakti ini. Diriku
terlalu kotor. Biarlah pedang ini saya serahkan kembali padamu ...."
Suara Tanpa Rupa menggeleng.
"Tidak muridku," katanya. "Apa yang telah kuberikan padamu tetap menjadi
milikmu. Masukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya. Mari kita bicara di
dalam rumah..." Kini Wulansari yang balas menggeleng. Dia mengatakan sesuatu tapi suaranya
terbata-bata, tak jelas apa yang diucapkannya. Matanya sesaat memandang pada
Mahesa. Hatinya perih hancur luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan keinginan lelaki
itu untuk pergi jelas memberi kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi
mengharapkan dirinya. Lalu apakah lagi gunanya hidup ini dengan setumpuk dosa
dan kesalahan tak berampun membungkus diri" Rasa malu dan putus asa membuat
perempuan ini menjadi nekad.
Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali. Baik Mahesa maupun sang guru
yang berada dekat dengan Wulansari tidak mampu mencegah ketika perempuan itu tiba-tiba sekali menusukkan
pedang merah sakti ke dadanya. "Wulan!" seru Mahesa dan cepat melompat ke depan.
Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang tangan
muridnya. Namun kedua orang itu tetap saja terlambat.
Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus
sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya
menatap sayu ke arah Mahesa. Ada sekelumit senyum di sudut bibirnya. Lalu
pandangan mata itu mulai berbinar-binar kuyu, perlahan-lahan mengelam. Ketika
Mahesa mendukung tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata
yang dulu indah menawan itu kini terkatup dan tak akan pernah lagi terbuka.
Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin deras.
Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di puncak gunung Muria itu ....
*** Satu pemandangan baru kini tampak di puncak gunung
Muria. Yaitu kehadiran sebuah kuburan bertanah merah di bawah sabatang pohon
rindang di rumah kayu. Saat itu menjelang tengah hari. Hujan telah lama berhenti
tapi angin masih kencang dan udara masih terasa dingin.
Mahesa tampak berlutut beberapa lamanya di kepala
kuburan. Kemudian pemuda ini berdiri, berpaling pada orang tua yang tegak di
kaki makam dan berkata: "Guru sudah saatnya saya pergi sekarang..."
Suara Tanpa Rupa manarik nafas dalam dan meng-
angguk. Jika kau hendak pergi baiklah Mahesa. Aku tak bisa
melarang. Hanya kalau aku boleh bertanya ke manakah tujuanmu ... ?"
"Saya sendiri tidak tahu guru. Jadi tak dapat
menjawab..." sahut si pemuda.
Suara Tanpa Rupa mengulurkan Pedang Dewi yang
dipegangnya. "Ambillah senjata pasangan Pedang Dewi ini. Bawalah biar lengkap perbendaharaan
senjata saktimu...,"
Gelengan kapala Mahesa Kelud membuat si orang tua
tercengang. "Kau tak mau menerimanya Mahesa ... ?"
"Tarima kasih guru. Kau baik sekali. Bukan saya tak mau menerimanya, tapi tidak
berani...." "Kenapa tidak berani?"
"Membawa Pedang Dewa saja besar tantangannya bagi murid, apalagi membawa
pasangannya sekaligus. Malah kalau guru tidak keberatan, murid ingin
mengembalikan Pedang Dewa ini..." Mahesa bergerak hendak mengambil pedang sakti
yang tersisip di balik punggungnya.
"Jangan kau lakukan itu Mahesa!" kata Suara Tanpa Rupa dengan keras dan jelas
merasa tersinggung. Namun orang tua ini kemudian menyadari muridnya sampai
bertindak begitu karena tekanan perasaan yang meng-
gejolak tinggi hampir tak tertahankan. Maka orang tua ini pun kembali berkata
dengan nada sabar. "Muridku, aku mengerti perasaanmu saat ini. Mungkin mati pun kau mau. Namun hal
ini mengingatkan aku pada seorang nenek sakti sahabatku di masa lalu. Namanya
Kunti Kendil. Aku tak tahu di mana dia berada sekarang.
Dia punya sebuah ujar-ujar yaitu: Jangan sampai perasaan mangalahkan pikiran.
Kuharap hal itu tidak akan terjadi padamu. Karena jika manusia lebih banyak
bertindak berdasarkan perasaan, bukan menurut pikiran, akan celakalah dia ..."
"Murid akan perhatikan kata-katamu itu guru," sahut Mahesa. "Hanya saja memang
saat ini saya merasa sangat terpukul. Sejak semula hidup ini penuh sengsara dan
derita agaknya masih belum berakhir. Sejak eyang Jagatnata mengambil saya jadi
murid sampai saat ini saya tak pernah lagi melihat orang tua. Lalu satu-satunya
orang yang saya kasihi kini telah tiada. Bagaimana mungkin melupakan hal ini...?"
"Mahesa." kata Suara Tanpa Rupa pula. "Ingat ketika pertama kali kau memegang
Pedang Dewa" Mula-mula kau merasakan aliran hawa panas menjalar ke seluruh
tubuhmu. Lalu hawa panas sirna, berubah dengan aliran sejuk menyegarkan yang
memberikan satu kekuatan tenaga
dalam padamu. Aliran panas itu masuk ke tubuhmu untuk memusnahkan segala
kekotoran jasmani dan rohani yang ada di situ. Setelah semua dimusnahkan dan
dirimu menjadi kosong suci maka aliran sejuk yang masuk
kemudian memberikan satu kekuatan lahir batin baru.
Kekuatan yang berdasarkan amalan suci, berdasarkan
jalan pikiran yang sehat, bukan berdasarkan panutan perasaan sesat. Karenanya
selayaknya saat ini kau tidak harus menyesali diri sendiri, menyesali
kehidupanmu, apalagi sampai menjadi putus asa. Apakah kau mendengar dan mengerti
Mahesa"'' "Murid mendengar dan mengerti, guru."
"Bagus. Sekarang kau boleh pergi. Jika kau tak ingin membawa serta Pedang Dewi
tak jadi apa. Senjata sakti ini akan kembali kubawa ka dalam goa. Mudah-mudahan
suatu saat bisa kuserahkan pada seorang pengganti
Wulansari agar dia dapat muncul lagi dalam rimba
belantara persilatan menjalankan tugasnya membasmi
kejahatan dan kesesatan."
Mahesa Kelud menjura hormat dalam-dalam, beberapa
saat dia mengusap dan mencium rusa bernama Joko Cilik itu, lalu tinggalkan
puncak gunung Muria. Suara Tanpa Rupa menghela nafas panjang. "Saatnya kita juga pergi Joko," katanya
pada anak rusa di pundaknya. Lalu orang tua ini pun tinggalkan tempat
tersebut.... *** 2 SEPERTI biasanya malam menjelang pagi udara selalu
terasa lebih dingin. Namun karena sore sebelumnya hujan turun dengan lebat maka
sejak dini hari udara dingin terasa lebih mencucuk sampai ke tulang sumsum. Di
bawah udara dingin begitu rupa dan kegelepan malam
yang masih memekat sesosok bayangan berkelebat cepat menuju pusat kota di mana
Istana Sultan Banten terletak.
Karena orang ini berpakaian serba hitam, ditambah
gerakannya serba luar biasa maka dia tak ubah seperti setan malam yang
berkelebat, lenyap sebelum dapat terlihat jelas. Dalam waktu singkat dia sudah
berada di luar tembok istana yang berketinggian lebih dari empat meter dan
ditancapi besi-besi runcing pada sebelah atasnya.
Dengan satu lompatan luar biasa orang berpakaian
hitam-hitam itu mudah saja melompati tembok istana.
Seperti seekor burung alap-alap dia turun di bagian dalam istana, tepat di
sebuah taman besar yang terletak di bagian belakang istana. Dua orang penjaga
yang bertugas terkantuk-kantuk di tempat itu tersentak kaget dan segera memburu dangan tombak
di tangan. Tiga langkah dari
hadapan mereka, tiba-tiba si penyusup lambaikan lengan kanan baju hitamnya,
Selarik angin menerpa deras.
Perajurit di sebelah kanan keluarkan keluhan pendek.
Tubuhnya terhempas di belakang lalu roboh di halaman taman. Kawannya yang satu
lagi angkat tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk menghujamkan senjata ini ka arah
orang-orang berpakaian serba hitam, tapi belum sempat bergerak lebih jauh
kembali si baju hitam lambaikan lengan pakaian-nya. Hal yang sama terjadi.
Perajurit kedua mencelat, roboh pingsan dekat bangku batu. Dengan mudah, tanpa
banyak halangan lagi si penyusup bergerak ke ujung kiri halaman belakang di mana
terletak sebuah bangunan besar dan bagus. Di sini terdapat beberapa kamar besar tempat ketiduran istri-
istri Sultan. Masing-masing kamar tidak ubahnya seperti sebuah rumah kecil saja
karena dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang besar.
Di tangga bangunan besar yang tampaknya sepi tiba-
tiba saja orang berpakaian serba hitam itu dapatkan dirinya sudah dikurung oleh
empat orang pengawal bersenjata golok. Salah seorang pengawal membentak.
"Maling tua dari mana yang malam-malam begini berani masuk istana Banten"!"
Orang yang dibentak menyeringai. Dia ternyata memang seorang tua bermata sangat
cekung, berambut panjang hitam dikuncir. Tiba-tiba orang ini mambuat gerakan
aneh dan luar biasa cepatnya. Dua pengawal di sebelah depan -
salah satu di antaranya yang tadi membentak - langsung roboh begitu dada masing-
masing dilabrak jotosan kaki kanan orang itu! Melihat ini pengawal yang dua lagi
tanpa banyak cerita segera bacokkan goloknya. Namun meraka pun menerima nasib
sama. Dengan mudah orang tua
berpakaian serba hitam itu tundukkan tubuh mengelakkan sambaran golok. Di lain
saat jotosan kirinya menghantam perut pengawal sebelah kiri hingga terpuntir dan
terguling pingsan. Pengawal terakhir kena dicekal lengannya yang memegang golok.
Sekali banting saja pengawal ini tersungkur ke tanah. Lehernya patah. Nyawanya
lepas! Sesaat orang berpakaian hitam itu memandang ber-
keliling. Merasakan segala sesuatunya aman maka dia pun berkelebat menuju pintu
depan bangunan besar. *** Hari masih gelap dan pagi belum datang ketika seorang perajurit mamacu kudanya
menuju gudang besar kediaman Patih Sumapraja. Sang patih yang sedang lelap tidur segera dibangunkan
dan langsung menemui prajurit itu. Atas perintah Sultan dia diminta segara
menghadap. "Apa yang terjadi?" tanya Sumapraja.
"Mohon dimaafkan, saya tak boleh mengatakan apa-apa. Hanya diperintah agar patih
segera datang ka istana...." jawab perajurit itu lalu menjura dan cepat-cepat pergi.
Penuh rasa heran patih Sumapraja segera berganti
pakaian. "Apakah Sultan gering...?" pikir patih berusia setengah abad ini.
Ketika dia sampai di istana bersama pengiringnya
didapatinya puluhan perajurit berjaga-jaga di luar dan di dalam istana. Dia
diantar ke sebuah ruangan di bagian belakang istana di mana telah duduk menunggu
Sultan Hasanuddin. Selesai mengatur sembah Sumapraja segera bertanya mengapa
Sultan memanggilnya. Dilihatnya keadaan dalam istana tidak seperti biasa. Dua
orang istri Sultan duduk di sebuah kursi panjang sedang di lain sudut dilihatnya
beberapa pelayan perempuan yang biasa mengurusi keperluan permaisuri dan istri-
istri Sultan duduk di lantai, bersimpuh sambil terisak- isak.
Sultan Hasanuddin tidak menjawab pertanyaan patih
Sumapraja. Dia tegak dari duduknya lalu memegang bahu sang patih dan mengajaknya
melangkah menuju rumah besar tempat kediaman para istrinya. Mereka langsung masuk ke sebuah kamar. Di
situ tampak para pengawal memenuhi ruangan dengan senjata terhunus.
Di dalam kamar, di atas ranjang besar dan bagus terbaring tubuh seorang
perempuan muda berparas cantik yang segera dikenali oleh patih Sumapraja sebagai
Dewi Kemulansari, istri termuda Sultan. Sepintas tampaknya perempuan ini seperti
tidur nyenyak. Namun setelah lebih diperhatikan patih Sumapraja segera melihat
bahwa ada tanda merah kebiruan pada leher istri ketiga Sultan itu.
Bekas cekikan ganas. Dari seorang pengurus istana
Sumapraja juga mendapat laporan bahwa enam orang
pengawal istana ditemui pingsan, satu di antaranya malah telah menemui ajal.
Meskipun dia dihadapi dengan laporan dan kenyataan
namun masih kabur bagi sang patih untuk menduga apa yang sebenarnya telah
terjadi, sampai pada saat Sultan Hasanuddin membawanya ke sebuah ruangan
pertemuan. Di situ telah duduk menunggu beberapa orang petinggi kerajaan. Di ruangan ini
Sultan menyerahkan sehelai surat pada patih Sumapraja seraya berkata: "Surat itu
ditemui di atas tempat tidur Kemulansari. Kau bacalah paman patih."
Sumapraja mengambil surat itu, membuka lipatannya
dan membaca isinya. Sultan Hasanuddin, Sumpah bukannya sumpah kalau tidak menjadi
kenyataan. Sepuluh orang yang sangat kau kasihi dalam
hidupmu akan menemui ajal satu demi satu. Semua itu untuk membalas sakit hati
kematian murid-muridku. Hari ini korban pertama menemui kematiannya.
Dalam waktu dekat akan menyusul korban kedua!
Surat itu tidak ada tanda tangan ataupun nama
pengirimnya. Patih Sumapraja memandang berkeliling lalu menatap langit-langit
ruang pertemuan seperti merenung.
"Paman patih bisa menduga siapa penulis sekaligus pembunuh Kemulansari . . . ?"
bertanya Sultan. "Bunyi surat ini mengingatkan saya pada kutukan seorang tokoh silat Pajajaran
pada peristiwa beberapa waktu lalu Ki Balangnipa ... !"
"Betul!" kata Sultan pula. "Aku yakin memang dia orangnya. Dua tahun lebih telah
berlalu. Segala sesuatunya aman tenteram di dalam dan di luar istana walau
sampai saat ini kita masih belum memiliki Kepala Balatentara dan Kepala Pengawal
Istana. Tahu-tahu sumpah orang itu


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar dijalankannya...."
Pikiran Sultan dan sang patih teringat kambali pada peristiwa dua tahun yang
silam. Waktu itu dalam sebuah sayembara mencari orang yang dapat dijadikan
Kepala Balatentara Karajaan telah keluar sebagai pemenang
seorang pemuda bernama Tirta. Sesuai dengan jabatannya maka dia diberi gelar
Raden Mas. Setelah menduduki
jabatan tarsebut ternyata barsama saudara seperguruannya bernama Jaka Luwak,
Tirta melakukan pengkhianatan.
Dia bersekutu dengan kaki tangan Kerajaan Pajajaran untuk menghancurkan Banten
di mana kelak dia dijadikan kedudukan sebagai patih Pajajaran dan sekaligus
menjadi penguasa tertinggi di Banten. Namun sebelum maksud
busuknya itu kesampaian, rahasia keburu bocor dan
diketahui oleh Raden Mas Ekawira. Kepala Pengawal
Istana Banten. Celakanya Tirta dapat memutar balik
kenyataan dan berhasil memfitnah Ekawira dengan
mengatakan bahwa sebenarnya Ekawiralah yang diam-
diam telah bersekutu dengan Pajajaran. Kepada Sultan, Tirta memperlihatkan
sepucuk surat dari raja Pajajaran yang ditujukan pada Ekawira, padahal surat ini
adalah surat palsu buatan Tirta sendiri. Akibatnya Ekawira ditangkap dan
dipenjarakan. Tapi dengan pertolongan Mahesa Kelud yang menjadi pembantu
kepercayaannya Ekawira kemudian berhasil melarikan diri.
Dalam pelarian, Kepala Pengawal Istana ini berhasil mencari tahu siapa
sebenarnya ular kepala dua yang telah mengkhianati Banten. Dari keterangan
seorang mata-mata Pajajaran yang berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan Sultan
diketahuilah bahwa memang Raden Mas Tirta serta kakaknya seperguruannya Jaka
Luwak yang hendak merebut kekuasaan di Banten dengan jalan bersekutu
dengan Pajajaran. Raden Mas Tirta terbunuh dalam suatu rimba belantara.
Menemui ajal di tangan Resi Mintaraya, guru dari seorang pemuda yang bernama
Unang Bonalola yang sebenarnya
berpeluang untuk jadi Kepala Balatentara Banten sebelum Tirta muncul dangan
tiba-tiba dan mengalahkannya dalam sayembara yang sebenarnya talah ditutup. Jaka
Luwak, saudara seperguruannya berhasil ditawan oleh Mahesa Kelud lalu dibawa ke
Banten. Namun sebelum dia sempat memberi keterangan apapun pada Sultan, Ki
Balangnipa muncul dan membunuh muridnya sendiri untuk menutup
rahasia. Di saat itu pula Ki Balangnipa mengeluarkan sumpahnya terhadap Sultan.
Yakni dia akan membunuh sepuluh orang yang paling di kasihi Sultan sebagai akibat kematian kedua orang
muridnya. Resi Mintaraya sendiri kemudian juga menemui kematiannya di tangan Ki
Balangnipa setelah terlibat dalam perkelahian puluhan jurus. Sementara Ekawira
yang tadinya memegang jebatan Kepala Pengawal Istana meninggalkan jabatannya
meskipun Sultan telah menawarkan jabatan baru yang lebih tinggi yaitu Kepala
Balatentara Kerajaan. Pemuda ini telah terlanjur sakit hati atas perlakuan
Sultan. Bersama Mahesa Kelud dia meninggalkan Banten.
"Sultan ...," kata patih Sumapraja, "kejadian ini mungkin salah satu kelalaian
kita yang sampai saat ini masih belum mendapatkan seorang yang pantas untuk
jabatan Kepala Pengawal Istana dan Kepala Balatentara Kerajaan . .. ."
"Mungkin." jawab Sultan perlahan, "tapi kita telah berusaha mencarinya. Hanya
saja belum mendapatkan calon yang tepat. Apakah harus dengan jalan mengadakan sayembara seperti dua
tahun lalu" Kau tahu sendiri hasilnya paman. Salah-salah kita bisa kemasukan
pengkhianat lagi. Karena itulah jabatan tersebut selama ini terpaksa kau rangkap
..." Setelah diam sesaat Sultan kembali berkata "Kelalaian atau kekeliruan itu
tidak saatnya kita bicarakan dalam sidang kilat ini paman patih. Kita semua di
sini sudah tahu di mana tempat kediaman Ki
Balangnipa. Kau boleh membawa ratusan pasukan. Naik ke puncak Gunung Gede. Cari
dan dapatkan pembunuh itu.
Aku ingin melihat tubuhnya digantung di alun-alun!"
"Perintah saya jalankan Sultan!" jawab patih Sumapraja seraya berdiri. Sebelum
pergi dia bertanya: "Adakah hal lain yang ingin Sultan katakan sebagai
petunjuk ...?" "Sebelum pergi minta beberapa orang pajabat kita untuk menghubungi tokoh silat.
Dengan adanya kejadian ini kita memerlukan bantuan mereka. Para tokoh silat
istana yang ada kurasa masih belum cukup..."
"Akan saya jalankan Sultan. Cuma harap Sultan
maklum. Sejak perginya Ekawira entah mengapa para
tokoh silat tampak seperti menjauhkan diri dari istana...."
Sultan jadi termenung beberapa lamanya.
"Apa kau tak pernah mendengar lagi tentang Ekawira"
Dan juga pemuda pembantunya yang berkepandaian tinggi itu. Siapa namanya....?"
"Mahesa Kelud," jawab sang patih. Lalu dia meng-gelengkan kepala. "Keduanya tak
pernah terdengar lagi Sultan....."
Sultan Hasanuddin menarik nafas panjang. Setelah
memberi beberapa petunjuk lagi terutama yang
menyangkut keamanan lingkungan istana maka sidang
darurat itupun dibubarkan. Hari itu Sultan kehilangan salah satu dari orang-
orang yang dikasihinya. Masih sembilan lagi akan menyusul.
*** 3 ESAMPAI di kaki barat gunung Muria Mahesa Kelud
seolah-olah menemui jalan yang buntu, tak tahu lagi S dia akan menuju ke mana.
Dirinya terasa kosong. Pendekar malang ini akhirnya menundukkan diri di bawah sebatang pohon waru. Apa
yang akan dilakukannya dan ke mana dia harus pergi" Semula terlintas dalam
pikirannya untuk pulang saja ke kampung halamannya di kampung
Sariwangi, sebelah timur Kali Brantas. Tetapi sesampai di sana apa yang akan
diperbuatnya" Kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Mati dibunuh Simo Gembong
yang juga adalah gurunya sendiri. Sanak saudara dia pun tidak punya. Saat itu
baru disadarinya kalau dirinya sebatang kara di dunia ini. Dapatkah dia
melupakan masa lalunya yang serba pahit dan getir itu" Sekilas timbul
keinginannya untuk memencilkan diri di satu tempat sunyi dan jadi pertapa. Namun
kemudian dia tertawa sendiri. Orang
semuda dia mana mungkin tabah menjadi pertapa.
Mahesa tak sadar entah berapa lama dia merenung-
renung di kaki gunung ini sementara sinar sang surya tampak mulai suram tanda
hari sudah sore menjelang
senja. Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dari duduknya.
Tubuhnya terasa letih. Tapi keletihan batin terasa lebih menikam dari keletihan
aurat. Sesaat ketika dia hendak melangkah pergi di atas pohon di depannya
dilihatnya sepasang kera coklat berlari-larian, melompat dari satu cabang pohon
ke cabang pohon lainnya. Kera betina
tampak melompat-lompat sambil mendukung seekor anaknya yang mungil dan tak
henti-hentinya mengeluarkan suara hiruk pikuk. Kera yang jantan tegak di cabang
pohon, memandang tepat-tepat ke arah Mahesa sambil
menyeringai memperlihatkan gigi dan taringnya yang
tajam. Dari tenggorokannya keluar suara seperti menggereng. Sikapnya jelas
seperti bertindak waspada
melindungi anak dan istrinya.
"Aku tak akan mengganggumu. Apalagi menyakitimu!
Jangan kawatir. Aku bukan orang jahat!" kata Mahesa pada kera-kera itu. Sang
anak kembali berteriak hiruk-pikuk.
Induknya ikut-ikutan memekik sementara si kera jantan terus memandang beringas
dan tak berkesiap pada Mahesa. Mahesa yang tidak perdulikan lagi binatang-
binatang itu segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba saja dia menghentikan
langkahnya. Telinganya sEbelah kiri mendadak mendenging. Di saat itu juga
teringatlah dia pada Kemaladewi, murid almarhum Dewa Tongkat yang
telah melahirkan seorang bayi hasil hubungannya di masa lalu akibat ditipu
diberi obat rangsangan oleh Sitaraga alias Iblis Buntung. Ah, di manakah
perempuan yang malang itu kini berada dan bagaimana keadaannya. (Mengenai
kejadian hubungan Mahesa dengan Kemaladewi silahkan baca: Pedang Sakti Keris
Ular Emas) Lalu bagaimana pula dengan bayinya yang bernama Lutung Bawean,
benarkah bayi itu hasil hubungannya dengan Mahesa, bukan dan suaminya manusia
bertubuh monyet yang dikenal dengan nama Lutung Gila" Lalu bagaimana pula dengan
lutung raksasa yang disebut Raja Lutung itu" Langkah pendekar dari gunung Kelud
ini jadi tertahan. Kembali dia duduk ke bawah pohon waru tadi sementara kera-
kera di atas pohon sana telah lenyap masuk ke dalam rimba belantara.
Diam-diam Mahesa merasakan ada rasa bersalah dan
berdosa dalam dirinya. Memang hubungan mesum itu terjadi antara dia dengan
Kemaladewi adalah akibat kejahatan si Iblis Buntung yang sengaja memasukkan obat perangsang ke dalam
minuman mereka. Yaitu ketika kedua muda-mudi itu tersesat ke dalam goa kediaman
si nenek jahat. Setelah sadar apa yang terjadi Kemaladewi meminta agar Mahesa
bersedia mengawininya. Sesungguhnya
Kemaladewi memang sejak lama diam-diam mencintai
pemuda itu. Sebaliknya Mahesa yang sudah tertambat hatinya pada Wulansari tidak dapat
memberi kata putus. Dia berjanji setelah menyelesaikan urusannya mencari pedang
Samber Nyawa, dia akan kembali menemui gadis itu untuk mem-bicarakan persoalan
mereka. Namun sampai Kemaladewi melahirkan seorang anak
lelaki dia tak pernah menemui perempuan itu. Malah dia dibingungkan dengan rasa
curiga, apakah betul anak itu hasil hubungan mereka dulu, dan bukan dari
perkawinan Kemaladewi dengan manusia aneh bernama Lutung Gila
itu" Mahesa ingat pada peristiwa sekitar dua tahun silam di Perguruan Ujung Kulon.
Itulah saat terakhir kali dia melihat Kemaladewi. Dan pertemuan itu sangat
mempengaruhi jiwa raganya. Kemaladewi yang dulu cantik jelita dilihatnya seperti seorang yang
tidak waras lagi. Pakaian dan rambut-nya kotor awut-awutan ....
Saat itu Kemaladewi muncul sambil menggendong bayi.
Ditemani oleh seorang lelaki berpakaian aneh, menyerupai bulu lutung menutupi
sekujur tubuhnya. Selain aneh
makhluk setengah manusia setengah lutung itu jelas
berotak miring. Dan yang mengerikannya dalam ketidak warasan itu Lutung Gila
ternyata memiliki ilmu silat hebat luar biasa yang didapatnya dari ayah
angkatnya yakni Raja Lutung.
Raja Lutung yang memiliki kepandaian sukar di
gambarkan, sampai di perguruan Ujung Kulon lebih dahulu.
Ketika Kemaladewi dan Lutung Gila bersama anaknya,
Lutung Bawean, sampai di situ, Raja Lutung telah
membantai lebih dari setengah lusin anak murid
perguruan. Kemaladewi kemudian mengangkat dirinya
menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon, bersama Lutung Gila membunuh pula beberapa
orang anggota perguruan. Angka kamatian bertambah menjadi lebih dari selusin. Dan dari sekian banyaknya
anak murid perguruan kini hanya tinggal empat orang yang masih hidup.
Keganasan Raja Lutung, Kemaladewi dan Lutung Gila
bukan saja membuat geger dunia persilatan tinggi tetapi sekaligus membuat
prihatin para tokoh silat. Mereka yang tidak bisa berpangku tangan segera
mendatangi Ujung Kulon. Ada yang datang dengan cara memberi peringatan dan
nasihat. Ada pula yang langsung menyerbu untuk
melenyapkan ketiga mahluk itu. Namun mereka semua
tidak pernah kembali. Tidak pernah meninggalkan Ujung Kulon hidup-hidup. Semua
menemui kematian dengan cara amat mengenaskan!
Sampai pada suatu hari, muncullah seorang tua berusia lebih dari 70 tahun,
berambut putih, dan suka sekali mengucapkan kata-kata "sompret" dalam setiap
perkataannya. Orang tua ini bernama Lor Munding Saksana, guru dari Empu Sora yakni ketua
perguruan yang talah dibunuh oleh Lutung Gila alias Jayengrana, muridnya
sendiri! Lor Munding Saksana datang bersama Udayana, seorang
murid perguruan yang memang diutus untuk mencari dan menemui kakek gurunya itu
guna menyelamatkan perguruan. Begitu melihat kemunculan orang tua tak dikenalnya, Kemaladewi yang sedang
mendukung Lutung Bawean segera membentak. "Orang tua buruk, kau siapa"!"
Lor Munding Saksana mendongak ka langit, mengeluar-
kan suara tertawa panjang. Tangannya bergerak men-
jangkau mematahkan ujung ranting. Ketika itu di udara melayang seekor burung.
Ranting yang di tangannya
dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara
terdengar mencicit lalu menggelepar jatuh ke bawah. Lor Munding Saksana ulurkan
tangan kirinya menyambut burung yang jatuh, lalu kelihatan tubuhnya melayang ke atas pohon pendek dan
sesaat kemudian dia sudah duduk di salah satu ranting pohon itu. Kedua kakinya
digoyang-goyangkan seenaknya. Dia duduk sambil menyantap
burung mentah hasil "tangkapannya" tadi!
Meski diketahui Kemaladewi seperti kurang waras
ingatannya namun jelas dia menunjukkan rasa terkejut amat sangat ketika
menyaksikan perbuatan orang tua itu.
Dia masih mampu meniru perbuatan si kakek tak
dikenalnya dalam melempar burung yang terbang di udara.
Tapi untuk dapat duduk ongkang-ongkang kaki di atas ranting yang begitu kecil
benar-benar tak mungkin dilakukannya! Lutung Gila sekalipun tak akan sanggup!
"Ahoi ... ! Kau terkejut ya"! Kau heran ya"! Sompret!"
Kemaladewi menjadi marah mendengar kata-kata orang
tua itu. "Tua bangka gila! Kau siapa sebenarnya" Lekas jawab!
Kalau tidak jangan menyesal... !"
"Hemm ... ehmmmm ..." Lor Munding Saksana mengunyah daging burung mentah dalam
mulutnya sambil mengeluarkan suara bergumam. Beberapa kali terdengar ciplakannya. "Aih, wajahmu
boleh juga sompret! Tapi ...
coba... ehmmmm kau kasih keterangan dulu siapa kau
adanya. Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila kau beri tahu namamu,
ahoi!" Kemaladewi marahnya bukan main. Namun dia tidak
berani bertindak kesusu. Dari gerak-gerik dan dari apa yang tadi diperlihatkan
orang tua itu dia maklum tengah berhadapan dangan bukan sembarang orang.
"Orang tua edan! Kalau kau mau tahu akulah Ketua Perguruan Ujung Kulon yang
baru!" "Oho . . . " Hemmm!" Si orang tua berhenti mengunyah.
Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu berpaling pada Udayana, anak murid
perguruan yang tadi datang bersamanya. "Hai sompret! Apa betul dia Ketua
Perguruan Silat Ujung Kulon"!"
"Tidak!" jawab Udayana cepat. "Perempuan ini pasti istri Lutung Gila. Dia pasti
merampas kedudukan Ketua Perguruan dangan kekerasan dan membunuh saudara-
sauderaku... !" Kemaladewi berpaling pada Udayana lalu berkata:
"Hemmm... jadi kau adalah salah seorang anak murid perguruan. Kalau begitu lekas
kau berlutut di hadapan ketuamu yang baru!"
"Siapa sudi!" sahut Udayana.
"Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemala maju mendekati pemuda itu.
"Sompret! Tunggu dulu!" kata Lor Munding Saksana cepat. "Jika kau mengaku Ketua
Perguruan maka kaulah yang harus berlutut di hadapanku! Ayo lekas lakukan
sompret!" Paras Kemaladewi jadi beringas ganas.
"Ahoi! Jangan marah. Lekas berlutut karena aku adalah kakek guru anak-anak murid
Empu Sora! Ayo berlutut sompret!" Bahwa orang tua di hadapannya itu mengaku kakek
guru murid-murid perguruan sungguh mengejutkan
Kemaladewi. Namun dia sama sekali tidak merasa takut.
"Sompret! Kenapa berdiri bengong"! Ayo berlutut!"


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak Lor Munding Saksana.
"Orang tua, kalau kau datang untuk mencari mampus turunlah dari ranting itu!"
balas membentak Kemaladewi.
Bayi yang ada dalam gendongannya diletakkannya di atas sebuah batu besar. Waktu
meletakkan bayi itu tubuh
Kemaladewi membungkuk. Lir Munding Saksana kelihatan menyeringai. Tulang burung
yang ada di tangannya dilemparkannya dan "pluk" jatuh tepat di pantat Kemaladewi!
"Orang tua kurang ajar! Kau benar-benar sudah bosan hidup!"
Kemaladewi putar tubuhnya. Sambil berputar kaki
kanannya menendang ke muka, tangan kiri ikut memukul ke depan. Dua rangkum angin
dahsyat melesat menghantam Lor Munding Saksana. Ranting yang didudukinya hancur
berantakan sampai ke cabang pohon. Daun-daun pohon berguguran. Akar pohon
terbongkar dan sesaat kemudian pohon itu pun tumbang!
Namun si orang tua sendiri tidak cidera barang sedikit-pun!
Pada saat dirinya diserang dan ranting yang didudukinya hancur orang tua itu
membuat gerakan berputar seperti seorang ahli akrobat. Dia turun ke tanah dengan
kedua tangan lebih dulu sedang sepasang kakinya menyentak mengirimkan tendangan
jarak jauh. Kemaladewi sangat tarkejut ketika dapatkan dirinya dihantam angin
deras luar biasa. Secepat kilat dia selamatkan diri dengan jalan melompat ke
samping. "Krak!" Pohon besar di belakang perempuan jelita itu patah lalu tumbang bergemuruh. Di
saat yang sama Lor Munding
Saksana sudah berdiri dengan kedua tangan bertolak
pinggang. "Sompret! Apa kau masih belum mau berlutut" Masih belum mau minta ampun padaku,
sompret"!" bentak si orang tua.
Rahang Kemaldawi menggembung tanda dia marah
sekali. Parasnya mengelam merah. Kadua kakinya digerakkan cepat tapi seperti
tidak beraturan. Kedua tangan kelihatan seolah tambah panjang, disentakkan kian
kemari. Semua gerakan ini ternyata adalah serangan yang sangat berbahaya!
Lor Munding Saksana semula terheran-heran melihat
serangan dengan gerakan aneh itu. Dia menggeser kuda-kuda ke samping, siap untuk
menotok urat besar di sisi kiri Kemaladewi. Namun secara aneh kembali perempuan
muda itu membuat gerakan tak terduga hingga totokan si orang tua tidak menemui
sasaran. Tiba-tiba sepasang tangan Kemaladewi tahu-tahu sudah mencengkeram muka
dan dada kakek guru Perguruan Silat Ujung Kulon itu.
Si kakek berseru keras. Dia melompat ke belakang
untuk selamatkan diri dari serangan ganas lawan. Bersamaan dengan itu mulutnya
tampak mengembung, lalu meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat
menyembur ke wajah Kemaladewi, membuat dia terhuyung nanar. Seumur hidupnya tak
pernah dia mencium bau busuk sehebat itu hingga jalan pernafasannya seperti tercekik. Belum sampat dia
mengimbangi tubuh tahu-tahu satu jotosan keras menghantam pertengahan dadanya.
Kemaladewi menjerit. Tubuhnya jatuh tersandar di atas batu besar di mana anaknya
- Lutung Bawean - tadi dibaringkannya. Susah payah Kemaladewi mencoba bangkit. Dadanya
sakit dan sesak. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah untuk
mengurangi rasa sakit. Selama mendapat pelajaran ilmu silat dari Lutung Gila dan
Raja Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh tubuh dan memukulnya
demikian hebat! Penuh gelegak amarah Kemaladewi cabut pedang hijau
dari balik punggungnya. Senjata ini adalah milik Empu Sora, pedang pusaka tumbal
pertanda bahwa siapa yang memegang atau memiliki senjata tersebut maka dia
adalah Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon.
"Kau lihat pedang ini anjing tua"!"
"Eit, aku toh tidak buta sompret!"
"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"
Dengan pedang di tangan, dangan menggunakan jurus-
jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka mengamuklah Kemaladewi
dangan segala kehebatannya.
Tetapi orang yang diserang hanya ganda tertawa.
Padahal jika orang lain yang dihadapi Kemaladewi saat itu mungkin tubuhnya telah
terkutung-kutung paling tidak jadi tiga bagian!
"Pedang pusaka sakti itu tak pantas berada di tangan manusia setengah iblis
macammu sompret! Lekas berikan padaku!"
Habis membentak begitu si orang tua maju ke muka
ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemala-
dewi. Hal ini membuat Kemaladewi menjadi semakin naik pitam melihat serangannya
dipapasi. Karenanya selain menggempur dengan pedang, Kemala juga hantamkan
kaki kanannya. Gerakannya seperti tadi serba tak teratur dan aneh. Dalam
keanehan itu ter-kandung bahaya ganas yakni maut!
"Serahkan pedang!"
Lor Munding Saksana berseru.
Kemaladewi tarpekik. Kagetnya bukan main. Bukan saja seluruh serangannya
berhasil dielakkan lawan, tapi si orang tua malah berhasil merampas pedang hijau
dari tangannya! "Sompret! Bukankah tadi sudah kukatakan pedang pusaka ini tidak pantas berada di
tanganmu"! Nah sompret, apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut minta ampun"! Ayo
berlutut somp....." Buk! Ucapan Lor Munding Saksana terputus. Tubuhnya
terjajar ke kanan sampai dua tombak. Bahunya sakit
bukan main. Tulang bahu itu serasa hancur! Siapakah yang telah menyerangnya dan
memukul bahu kanannya dengan tiba-tiba" Barpaling ka samping kanan orang tua ini
melihat sesosok tubuh seperti lutung berbulu hitam, namun berkepala manusia!
"Sompret! Kau pasti setan alasnya yang bernama Lutung Gila! Murid murtad tujuh
turunan!" memaki si kakek.
"Icuh! Biung! Sudah tua bangka begini rupa masih bermulut kotor! Biung. Apa kau
tidak sadar kalau umur hanya tinggal sekejapan mata" Apa tidak tahu kalau liang
kubur hanya tinggal sejengkal dari depan hidung"! Icuh . . .
icuh!" Inilah Lutung Gila yang mengaku dan menganggap diri sebagai suami
Kemaladewi. Lor Munding Saksana marah bukan main. Bukan saja
oleh rasa sakit akibat kena gebukan tadi, tetapi juga oleh ucapan Lutung Gila
yang sengaja manghina dan mem-permainkannya. Diputarnya pedang hijau di tangan
kanan dengan sebat hingga senjata itu tak ubahnya seperti saakor ular panjang
yang memancarkan sinar hijau
kemilau, mengurung dan menyerang Lutung Gila serta
Kemaladewi sekaligus! Demikianlah kejadiannya. Seorang tua renta berotak miring,
bertempur melawan dua orang suami istri berotak tidak waras!
Sampai dua jurus di muka Lutung Gila dan Kemaladewi masih dapat mengimbangi
lawan mereka bahkan ganti
melancarkan serangan balasan. Namun memasuki jurus
ketiga, keempat dan seterusnya keduanya mulai tardesak dan dibikin tak berdaya.
Kemarahan Lor Munding Saksana sebenarnya lebih
banyak tertumpah pada Lutung Gila alias Jayengrana yang sesungguhnya adalah cucu
muridnya sendiri. Bukan saja kanena Jayengrana seorang murid murtad yang telah
membunuh guru dan saudara-saudaranya seperguruan
tetapi juga adalah dia tadi yang menyerang dan memukul secara mendadak. Hampir
seluruh serangan si kakek
ditujukan pada Lutung Gila. Akibatnya Lutung Gila menjadi sibuk sekali.
Betapapun lihaynya dia selama ini namun saat itu dia benar-benar ketemu batu!
Dalam keadaan terdesak hebat dan kepepet tak berdaya akhirnya pedang pusaka
Perguruan Silat Ujung Kulon mulai mencari sasaran bertubi-tubi di tubuhnya.
Mula-mula dua tulang iganya terbabat putus. Lalu kulit dada robek besar sampai
ke perut. Ususnya menjela-jela.
Lutung Gila terhuyung megap-megap. Satu jeritan dahsyat kaluar dari mulutnya.
Setelah itu diapun roboh tak bergerak lagi!
"Keparat edan! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!"
teriak Kemaladewi kalap. Dikeluarkannya tongkat rotan berkeluk pemberian gurunya
dulu yakni Dewa Tongkat. Dengan senjata ini seperti kemasukan setan dia menyerbu si kakek.
Udayana yang berdiri di kejauhan menyaksikan per-
kelahian itu diam-diam merasa lega. Jika kakek gurunya berhasil mengalahkan dan
membutuh Lutung Gila, membunuh perempuan muda itu jelas akan lebih mudah.
"Perempuan sompret sontoloyo! Aku yang tua sudah berikan kesempatan bertobat dan
berlutut minta ampun padamu! Tapi dasar sompret! Malah kau inginkan
mampus! Nah mampuslah kau kini sompret!"
Pedang hijau di tangan Lor Munding Saksana membabat ke kiri, membalik ke kanan,
memapas ke pinggang dan menusuk ke leher! Kemaladewi perlihatkan gerakan aneh
untuk menghindarkan semua serangan itu. Kelihatannya dia akan berhasil. Namun
apa lacur. Serangan tarakhir yakni tusukan pedang ternyata hanya tipuan lihay
belaka. Karena sesaat kemudian dangan cepat pedang hijau ini membalik ke kiri lalu
kembali membabat ke kanan,
memapas ke pinggang untuk kemudian menusuk ke perut.
Dan tutukan ini tidak dapat dielakkan lagi oleh
Kemaladewi! "Raja Lutung! Tolong aku!" jerit Kemala.
Sedetik sabelum ujung pedang menembus perut
Kemaladewi maka trang! Terdengar suara beradunya
senjata. Bunga api berpijar. Pedang di tangan Lor Munding Saksana terangkat ke
atas dan gompal bagian tajamnya!
Merasakan tangannya tergetar hebat dan kesemutan
cepat-cepat orang tua ini melompat menjauh. Si orang tua tarkejut ketika
menyaksikan bahwa yang berdiri di
hadapannya bukanlah seekor binatang yang dipanggil
dengan sebutan Raja Lutung itu, melainkan seorang lelaki muda berparas cakap
dengan potongan tubuh kakar
berotot berpakaian serba putih! Di tangan pemuda ini ada sebilah pedang mustika
yang memancarkan sinar terang merah, sinar yang membuat Lor Munding Saksana
merasa kagum tetapi juga tergetar hatinya. Sinar merah pedang di tangan si
pemuda membuat sinar hijau pedang di
tangannya menjadi redup! Jika orang tua itu terkejut maka Kemaladewi jauh lebih terkejut. Mata perempuan
ini terbuka lebar-lebar. Mulutnya menganga, wajahnya menunjukkan
ketidakpercayaan. Sesaat kemudian wajah itu tampak pucat pasi sedang
sepasang matanya yang tadi beringas galak kini kelihatan berkaca-kaca.
"Mahesa..." ucap Kemaladewi antara terdengar dan tiada. "Kucari kau berbilang
minggu bahkan berbilang bulan. Lebih delapan belas bulan telah berlalu, kau tak
pernah kutemu. Kini kau datang. Kau selamatkan nyawaku setelah kau sia-siakan.
Kakak... apakah kau datang untuk menepati janjimu dulu ...." Air mata
menggelinding ke pipi Kemaladewi.
Mahesa Kelud merasakan hatinya seperti disayat-sayat ketika mendengar kata-kata
itu. Kata-kata yang diucapkan dangan sangat perlahan, hampir berupa bisikan.
Tetapi berdesing sampai ke telinga si pemuda!
"Manusia-manusia sompret!" terdengar bentakan Lor Munding Saksana. Dia memandang
pada Kemaladewi lalu pada Mahesa. "Kalian berdua rupanya tengah main sandiwara
ya" Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini bukan panggung! Kalian....."
Angin sedahsyat badai tiba-tiba menyambar dari
belakang. Lor Munding Saksana terpental, hampir terjungkal kalau tidak lekas-
lekas melompat ke samping.
Dia cepat membalik ketika satu lengkingan sangat keras menggetarkan telinga
mendebarkan dada terdengar meng-geledek. Di hadapannya berdiri seekor lutung
setinggi tiga meter, manyeringai memperlihatkan gigi-gigi yang besar serta
taring yang panjang runcing!
"Lutung sompret! Menyerang dari belakang! Pasti kau yang dijuluki si Raja
Lutung! Bagus! Berarti kau pun harus mampus menyusul muridmu! Dengan pedang
hijau gompal Lor Munding Saksana menerjang binatang raksasa itu.
Maka terjadilah perkelahian yang seru antara manusia berkepandaian tinggi dangan
binatang yang juga memiliki ilmu luar biasa.
Tapi Kemaladewi tidak perhatikan perkelahian itu. Dia berpaling pada Mahesa dan
memandang pada pemuda itu dengan mata basah.
"Kakak... kau datang untuk menepati janjimu dulu"
Benar?" Kalau sebelumnya dendam Kemaladewi demikian hebat, berurat berakar
terhadap Mahesa Kelud, kini se-sudah berhadap-hadapan dangan lelaki itu hilang
semua perasaan tersebut. Hilang lenyap tanpa bekas laksana setitik air jatuh di
atas pedang pasir. Namun jawaban yang didengarnya dari Mahesa sungguh
mengejutkan. "Kemala ... aku datang hanya untuk bertanya....."
"Untuk bertanya"!" mengulang Kemala.
Mahesa mengangguk. Kening Kemaladewi mengernyit. Matanya menyipit.
"Mengapa kau jadi sampai begini Kemala" Melakukan hal yang tidak dapat diterima
oleh akal manusia sehat. Kau bunuh gurumu. Kau kawin dangan mahluk setengah
manusia setengah lutung itu. Lalu ilmu kesaktian yang kau miliki kau pergunakan
untuk membunuh tokoh-tokoh persilatan, merusak tempat kediaman dan Perguruan
orang. Mengapa Kemala ...?"
Perempuan itu merasakan tubuhnya lunglai. Tidak beda seperti seseorang yang
dibanting dihenyakkan ke bumi.
"Jadi itu rupanya maksud kedatanganmu Mahesa"
Hanya untuk bertanya ... "!"
"Dan juga untuk meminta agar kau menghentikan
semua perbuatan ganas sesat itu!"
Kamala tampak diam sejurus. Lalu wajahnya yang tadi lembut kini berubah
beringas, "Kau tanya mengapa" Baik!
Aku akan jawab! Semua itu terjadi dan kulakukan karena kau! Karena kau seorang
manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bertanggung jawab atas apa yang
telah kau lakukan! Kau lari dari tanggung jawabmu! Kau manusia paling pengecut
di dunia ini! Manusia macammu harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak
merusak gadis-gadis lainnya!"
Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat marah dan kelam
sampai ke telinga. Kata-kata yang diucapkan Kemaladewi kini bukan saja menyayat
hatinya, tetapi juga membakar amarahnya. Selagi dia berusaha menahan hati di
depannya dilihatnya Kemaladewi talah menyerbu dangan tongkat rotan berkeluk.
Sebelumnya Mahesa telah pemah melihat ilmu tongkat yang menjadi andalan Kemala.
Karenanya dia tak perlu merasa gentar. Tetapi ketika tongkat itu berkiblat
Mahesa menjadi kaget. Jurus silat yang dimainkan Kemala bukan jurus silat ajaran
gurunya si Dewa Tongkat, tetapi satu jurus yang sangat aneh. Untung saja Mahesa
sudah bersiap waspada hingga serangan maut yang mengarah
batok kepalanya berhasil dielakkan. Namun begitu
serangan pertama gagal, tongkat berkeluk itu dangan ganas membalik. Kali ini
ujungnya yang berkeluk seperti seekor ular berusaha menggelung batang leher
Mahesa. Murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini runduk-
kan kepala sambil pukulkan lengan kiri ke atas. Lengan dan tongkat beradu keras.
Mahesa merasakan tangannya bergetar sedang Kemaladewi cepat melompat mundur
ketika hantaman tangan Mahesa membuat tongkatnya
lepas dan mental! Bertambah pucatlah paras perempuan ini. Selagi dia
menjadi murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di bawah Mahesa. Sesudah
belajar dan mendapat ilmu
tambahan yang aneh dari Lutung Gila dan Raja Lutung disangkanya akan mudah
baginya untuk mangalahkan
Mahesa, orang yang pemah sangat dicintainya namun kini sangat dibencinya. Tak
disangka Mahesa kini malah jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Dalam
amarahnya Kemala memutuskan untuk kembali menyerbu dangan
tangan kosong serta tendangan-tendangan dahsyat.
Namun mendadak Kamala batalkan keputusan itu.
Matanya berkilat-kilat memandang pedang merah di
tangan Mahesa. "Mahesa! Kau telah menghancurkan kehidupanku!


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adalah lebih baik kau bunuh saja aku saat ini juga!
Tusukkan pedang itu ke tubuhku biar aku mati! Biar lepas dari siksa dan derita
batin! Bila aku sudah mati, kau bunuhlah anak di atas batu itu! Dia adalah
anakku. Anakku dan anakmu juga! Hasil hubungan kita di goa batu dulu!"
Jika ada seekor singa atau harimau yang tiba-tiba
menerkam di muka hidungnya saat itu, mungkin tidak
sedemikianlah kegetnya Mahesa Kelud ketika mendengar apa yang diucapkan Kemala
tadi. "Kemala! Kau ... kau bilang apa"! Bayi itu .... Anakku"!"
Mahesa barpaling ke batu besar di atas mana dilihatnya terbaring seorang bayi.
Kulitnya masih merah tanda
umurnya baru beberapa bulan saja. Mahesa melangkah
menghampiri. "Jangan dekat!" teriak Kemaladewi. "Bunuh aku, lalu bunuh bayi itu!"
Mahesa hentikan langkah. Lututnya goyah seperti mau lepas dari persendiannya.
Kedua matanya memandang sayu pada Kemala namun dalam dadanya laksana ada
bara api yang berkobar. "Adikku, kau tahu .... Peristiwa itu tarjadi bukan mauku.
Bukan pula karena kahendakmu. Semua terjadi di luar kesadaran kita. Kita telah
ditipu oteh nenek jahat Iblis Buntung hingga teraniaya..."
"Aku tahu. Lebih dari tahu!" sahut Kemaladewi. "Meskipun begitu apa anak itu
jadinya bukan anakmu"!"
"Bagaimana aku dapat memastikan Kemala. Karena kudengar bukankah kau kawin
dengan Lutung Gila"!"
"Kami tidak kawin!" jawab Kemaledewi hampir berteriak.
"Aku hanya menganggap dia sebagai suami dan dia menganggap aku sebagai istri!
Kami tidak pernah satu ketiduran! Kami tidak pernah bercampur! Jangan coba berdalih Mahesa! Jangan
mengambing hitamkan orang
lain! Jangan kau cobe-coba hendak mencuci tangan! Bayi itu adalah anak mu! Darah
dagingmu! Kau dengar... "!"
"Kalau begitu serahkan dia padaku. Dan kau kembali ke jalan yang benar!" kata
Mahaaa pula. Kepalanya seperti dipentung-pentung ketika mandangar ucapan
Kemaladewi tadi. "Kau minta aku kembali ke jalan yang benar" Jalan yang benar bagaimana Mahesa"
Macam yang telah kau perbuat tarhadapku"! Tak ada tanggung jawab sama sekali"!
Cis! Kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak terampunkan! Kau lari ....
Pengecut! Berani berbuat tak berani tanggung Jawab!"
"Kemala...." "Jangan sebut namaku!" potong Kemaladewi meng-hardik.
Mahesa terkesiap mendengar hardikan itu. "Kalau menurutmu dosaku tidak
terampunkan dan jika kau katakan aku tidak bartanggung jawab, ada jalan yang sangat mudah bagimu. Ambil
pedang ini! Kau pantas membunuhku!" Habis berkata bagitu Mahesa Kelud mengangsurkan
hulu pedang merah kepada Kemaladewi. Tapi perempuan ini tidak mau menyambutnya.
Malah dia menyeringai sinis dan berkata: "Tidak! Terlalu enak bagimu mati cara
begitu! Kau dengar baik-baik! Kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari yang
akan membunuhmu! Ingat itu! Anak
sendiri yang akan membunuh ayahnya!"
Kemaladewi putar tubuhnya lalu lari ke arah batu besar.
Lutung Bawean didukungnya. Dia berteriak pada Raja
Lutung "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Saat itu Raja Lutung tengah bertempur malawan Lor
Munding Saksana dan berada di atas angin. Meskipun si kakek berhasil menghujani
Raja Lutung dengan pukulan dan tendangan keras namun semua itu seperti tidak di
rasakan oleh binatang raksasa itu. Lama-lama Lor Munding Saksana menjadi
terdesak dan terancam nyawanya.
Untunglah Raja Lutung patuh pada Kemaladewi. Begitu mendengar kata-kata
perempuan itu binatang ini segera tinggalkan si kakek dan lari menyusul
Kemaladewi. Mahesa hendak mengejar namun kemudian membatalkan
niatnya .... Mahesa tersadar dari kenangan masa lalu itu ketika
nyamuk-nyamuk hutan mulai menyerangnya dan
didapatinya hari telah malam. Pendekar ini menarik nafas dalam. Dia merasa
seperti tak ada gunanya lagi hidup ini.
Dia berpikir-pikir mungkinkah semua derita sengsara dan cobaan besar yang
dialaminya saat itu merupakan
sebagian dari kutuk sumpah Kemaladewi, merupakan
pembalasan dan dosa besarnya yang telah menyia-nyiakan perempuan itu"
"Anak itu . . ." desis Mahesa. "Saat ini tentu dia sudah berumur dua tahun ....
Aku harus mencari Kemala dan minta maaf. Aku harus memelihara anak itu .... Ya
Tuhan. tunjukkan aku jalanMu yang lurus agar aku dapat
menghadapi semua cobaan ini!" Perlahan-lahan Mahesa berdiri lalu tinggalkan
tempat itu. 4 EBERAPA hari setelah lewat masa perkabungan, tiga
ratus perajurit Banten barangkat menuju Gunung
B Gede, di pimpin langsung oleh Patih Sumapraja.
Setelah menempuh jalan yang sulit melewati rimba
belantara, menyeberangi sungai dan mendaki bebukitan, dua minggu kemudian
pasukan ini sampai di kaki gunung yang dituju.
Di sini rombongan dipecah tiga. Seratus prajurit dipimpin oleh sang patih
sendiri. Seratus lainnya dipimpin oleh Tampak Ungu, seorang perajurit kepala
bertubuh tinggi hampir dua meter dan memiliki kepandaian silat cukup tinggi
meskipun hanya silat luar tanpa "isi". Rombongan terakhir yang juga berjumlah
seratus perajurit dikepalai oleh Purajaya, keponakan Patih Sumapraja. Meskipun
baru berusia 22 tahun tetapi pemuda ini memiliki kepandaian silat yang cukup
dapat diandalkan serta ahli memainkan tombak pendek bermata tiga.
Menjelang tengahari rombongan yang terbagi tiga itu mulai mendaki gunung dari
tiga jurusan berbeda. Hampir sore mereka baru berhasil mencapai sepertiga
ketinggian Gunung Gade dan tidak menemukan apa-apa yang
memberi patunjuk adanya orang yang mereka cari yakni Ki Balangnipa yang telah
membunuh istri termuda Sultan Banten. Pandakian diteruskan sampai ke pertengahan
lereng gunung dan saat itu hari telah mulai gelap.
Tiga rombongan pasukan berhenti dan berkamah di tiga bagian lereng yang saling
terpisah jauh. Keesokan paginya baru mereka kembali bergerak. Semakin ke atas
semakin sulit jalan yang ditempuh. Masing-masing rombongan
bergerak sangat perlahan. Satu hari untuk mereka hanya mampu mencapai ketinggian
dua pertiga gunung. Sebegitu jauh penyelidikan yang mereka lakukan masih belum
membawa hasil. Berarti rombongan harus terus naik
sampai ke puncak gunung karena pasti di situlah Ki
Balangnipa bercokol. Siang keesokannya tiga rombongan akhirnya berhasil
mencapai puncak gunung dalam waktu tak jauh barbeda.
Di puncak gunung itu ditemukan sebuah bangunan kayu yang hampir roboh.
Melihat kaadaan bangunan itu, baik Patih Sumapraja
maupun Tampak Ungu dan Purajaya segera maklum kalau orang yang mereka cari tak
ada di situ. Sambil mengelilingi bangunan tersebut sang patih tiada hentinya
mengeluarkan ucapan yang menyatakan kejengkelannya.
"Perjalanan yang sia sia ... !" kata Sumapraja.
"Kelihatannya orang yang kita cari itu sudah sejak lama tidak diam di sini,
paman Patih." Berkata Purajaya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang"!'' tanya Tampak Ungu sembari memijat-mijat
betisnya yang berbulu. "Kita beristirahat dan bermalam di sini. Besok pagi segera kembali ke Banten.
Aku menyirap firasat tidak enak
..." Purajaya segara menyatakan ketidak setujuannya.
"Paman, sebaiknye kita tidak bermalam di puncak gunung ini. Siang hari begini
saja dinginnya bukan kepalang.
Apalagi malam hari. Perajurit-perajurit kita yang sudah amat letih ini bisa mati
kedinginan!" Pendapat Purajaya itu masuk akal. Maka Patih
Sumapraja memerintahkan seluruh rombongan untuk
beristirahat seadanya kemudian menuruni gunung. Kini mereka tidak dipecah tiga
seperti waktu mendaki, melainkan tetap bergabung jadi satu. Meskipun perjalanan menuruni gunung itu
tidak sesulit sewaktu mendaki namun perajurit-perajurit yang sudah kecapaian itu
hanya mampu bergerak sangat perlahan. Karenanya sewaktu malam tiba mereka belum
mencapai setengah ketinggian gunung.
Rombongan berhenti dan membangun kemah. Setelah
makan seadanya dari parsediaan yang semakin menipis, perajurit-perajurit itu
mencari tempat ketiduran masing-masing dan segera saja pulas, termasuk tiga
pimpinan mereka. Yang kebagian tugas untuk berjaga-jaga
sebagaian malah sudah ikut mendengkur!
Di dalam salah satu kemah patih Sumapraja walaupun
merasakan tubuhnya sangat letih tapi sampai saat itu masih belum dapat
memicingkan mata. Sejak masih di
puncak gunung tadi hatinya entah mengapa merasa tidak enak. Jika saja dia tidak
memimpin rombongan perajurit sedemikian banyaknya, dia lebih suka meninggalkan
tempat itu terlebih dulu. Dalam hatinya patih Banten ini juga menyesali hubungan
yang tidak baik antara Sultan dengan para tokoh dunia persilatan akhir-akhir
ini. Jika saja hubungan itu masih seperti tiga empat tahun silam, dia tak akan
perlu bersusah payah mengadakan perjalanan sejauh itu ke puncak Gunung Gede
untuk mencari Ki Balangnipa. Cukup dengan meminta bantuan dua atau tiga tokoh silat maka segala
urusan pasti bisa dibereskan.
Selagi sang patih merenung-renung begitu tiba-tiba di luar didengarnya suara
pengawal berteriak: "Ada orang datang!"
Patih Sumapraja cepat melompat bangun. Ketika dia
keluar kemah dilihatnya Purajaya dan Tampak Ungu juga sudah keluar dari kemah
masing-masing. Puluhan perajurit bersiap sedia dengan senjata di
tangan. Di kejauhan terdengar suara kaki kuda. Dari suara
langkah kuda yang satu-satu itu jelas penunggangnya bergerak perlahan lahan dan
hati-hati di malam gelap. Atau mungkin juga karena keletihan dalam menempuh
jalan buruk terjal dan mendaki. Kemudian tampak cahaya
terang. Tak lama berselang kelihatan sosok tubuh kuda dan penunggangnya membawa
obor yang hampir padam karena kehabisan minyak. Tampak Ungu memberi isyarat.
Lebih sepuluh perajurit segera bergerak menghadang dan mengurung orang yang
datang. Melihat gelagat yang tidak baik, penunggang kuda cepat berseru: "Tahan! Aku
Umbara utusan Sultan!"
Perajurit-perajurit yang mengurung segera turunkan
senjata masing-masing. Salah seorang dari mereka
bertanya : "Ada apa kau datang jauh-jauh kemari"!"
"Sesuatu telah terjadi di istana. Aku dikirim untuk memanggil Patih ..."
"Sesuatu apa?" tanya perajurit yang lain.
"Aku hanya akan bicara dengan patih." jawab si penunggang kuda.
"Aku ada di sini!" terdengar suara Patih Sumapraja yang tegak di depan kemahnya.
Umbara cepat turun dari kuda, menjura di hadapan sang patih. Sampai saat itu dia
masih momegang obor yang tadi dibawanya sampai seorang perajurit mengambilnya
dari tangannya. "Katakan siapa yang mengirimmu kemari?"
"Sultan Banten. Sesuatu tarjadi di Istana. Patih diharap segera kembali ke
Banten!" "Apa yang tarjadi"!" tanya Patih Sumapraia pula dengan kening berkerenyit. Rasa
tidak enak yang dipendamnya sejak siang tadi agaknya akan muncul menjadi satu
kenyataan. "Pemberontakan?"
"Tidak..." jawab Umbara.
"Orang-orang Pajajaran menyerang perbatasan lagi?"
"Bukan Patih. Bukan itu ... "
"Sultan gering... ?"
"Tidak. Seseorang tElah mem ..."
Ucapan Umbara mendadak terpotong oleh suara tawa
bergelak yang mengumandang di dalam malam gelap dan dingin itu, mengejutkan
puluhan bahkan ratusan orang yang ada di situ! Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan
Purajaya dan mereka yang ada di situ sama memalingkan kepala ka arah kanan
lamping gunung yang terjal dan gelap tertutup pepohonan lebat, yakni dari mana
datangnya suara tawa tadi.
"Ada orang pandai yang sengaja hendak mengganggu."
kata Purajaya. "Kita harus waspada." ujar Patih Sumapraja. Lalu dia berbisik pada Tampak Ungu
agar menyiapkan para perajurit. Namun perintahnya belum lagi selesai ketika tiba-tiba Umbara yang
barusan datang membawa berita
tersungkur ke tanah di hadapan mereka sambil pegangi leher.
Tiga pimpinan dari Banten itu cepat membungkuk dan
memeriksa. Tapi Umbara saat itu sudah tidak bernafas lagi.
Lahernya berkubang darah. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari
perak putih menancap di tenggorokannya.
Paras Patih Sumapraja berubah. Dia pernah melihat
Kitab Pelebur Jiwa 2 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Dendam Sejagad 8
^