Pencarian

Beauty Affair 2

Beauty Affair Karya Abdullah Harahap Bagian 2


tembok. Lesu dan bergemetaran, dengan terpaksa ia terus mendengarkan pembicaraan di dalam kamar kerja yang terpantul ke luar melalui kisi-kisi di atas pintu.
"Wah. Enak!" Zain dapat juga menikmati pijitan sang istri di tengkuknya.
Ida tertawa senang. Ini kesempatannya! Tumit Ida lantas ditinggikan, tubuh pun sedikit condong ke depan agar dapat meninjau ke dalam tas kerja suaminya yang kini menganga terbuka ke arah lda. Gerakan Ida dengan sendirinya membuat telapak tangannya agak menekan pundak Zain. Bahkan ujung kuku ikut menghujam kulit pundak Zain.
Zain mengeluh keras, "Aduh! jangan terlalu kuat!"
"Oh!" Ida terengah.
Di luar pintu. Susi semakin tersiksa. Tangannya ditutupkan ke mulut, menahan jerit kecewa dan kecemburuan tiada terperi. Apalagi setelah mendengar pernyataan majikan perempuannya di sebelah dalam pintu, "Sakit, Pah?"
"Sakit sih nggak. Hanya... aku tak tahan!"
Susi langsung angkat kaki. Berjingkat ke pintu koridor, menjauhi suara-suara yang menurutnya sangat terkutuk dan menghina dirinya. Dalam sekejap,
Susi sudah mengunci pintu kamarnya sendiri. ia melompat ke tempat tidur. Dan menangis penuh rasa sesal, "...padahal ia sudah janji denganku!"
Susi memukul-mukulkan tangan ke bantal.
Disertai rintihan sakit, "Terkutuklah dia! Mentang-mentang aku cuma seorang babu!"
Tiba-tiba. Susi tersentak sendiri.
Ia pun rebah, lunglai. Menatap langit-langit kamarnya tanpa daya. lalu berbisik lebih tak berdaya lagi, "Ya. Aku hanya seorang babu. . ..1"
Air matanya pun mengalir.
Deras. Dan di balik pintu yang tadi Susi tinggalkan, Ida memperlihatkan wajah kecewa karena tak berhasil menemukan petunjuk berarti di tas kerja suaminya. Tubuhnya merenggang dari punggung kursi sang suami. Pijitannya pun mengendor. "Masih banyak yang harus Papah kerjakan?"
"He-eh" Ida melenggang memutari meja. Sembari melepas semua kancing gaun, sehingga ketika berdiri di seberang meja kerja suaminya, boleh dikata Ida sudah setengah bugil. Desahnya mengundang. "Papah?"
"Hem?" lepas dengusan pendek dari mulut Zain, yang terus saja menulis di buku catatannya.
"Jangan sampai kelewat lelah ya" Aku tunggu Papah di tempat tidur"." Ida mengingatkan. Dengan senyum disabar-sabarkan.
Sejenak Ida menunggu reaksi. Paling sedikit komentar.
Zain menyimak ke catatan-catatan yang barusan ia kerjakan. Disambarnya lembar deskripsi, mencocokkan lagi ke catatan, lantas mengeluh, "Gawat. Klien yang satu ini sungguh tak mungkin lagi diselamatkan.. .!"
Ida pun kecewa berat. Pelan-pelan ia memutar tubuhnya. Berjalan ke pintu tanpa menoleh lagi ke belakang. Langkahnya penuh kemarahan. Jeritan yang meledak ledak di sanubarinya tak kurang marah pula.
"jangankan nafsunya tergerak. Menoleh pun dia tidak!"
Dalam sekejap, Ida sudah berada di ruang latihan pribadinya. la sambar alat untuk skipping dan mulai mengayunkannya. Dengan batin terus menjeritjerit, "Ia hanya berpura-pura sayang! Berpura-pura menaruh perhatian! Si munafik terkutuk!"
la mengayun lebih keras. Dan melompat-lompat lebih cepat.
"Suami sialan itu tak tertarik lagi padaku!" batinnya kembali menjerit lebih keras. "Perempuan setan itu! Entah dari neraka mana ia datangnya! Awaslah. Sekali perempuan busuk itu kutemukan, aku akan mencabik-cabiknya. Hiiiih!"
Ia shipping terus. Habis-habisan. Di kamar kerjanya, Zain nyelctuk, "Coba kau lihat ini, Ida. Dan katakan apakah..."
Matanya hanya menemukan tempat kosong.
Lalu kemudian, ia mendengar bunyi lecutan bersiut-siut yang sayup-sayup sampai. Sadarlah ia di mana saat itu Ida berada, sedang apa istrinya, dan mengapa!
Zain pun terhenyak. "Wah. Ia pasti marah besar.?"
Bunyi bersiut-siut itu melemah, kemudian menghilang
Di ruang latihan, tali skipping jatuh meluncur ke matras. Ida mengawasi salah satu bagian gaun tidurnya yang robek-robek. lantas dengan wajah murung ia meninggalkan ruang latihan, dan pergi ke kamar tidurnya. Sesaat. sewaktu lewat sempat ia awasi
pintu kamar kerja suaminya. Tak ada gerakan atau suara dari arah sana. Darah Ida naik lagi ke kepala. Pintu kamar tidur kemudian ia bantingkan sekeraskerasnya. Dikunci sekalian. Dengan bunyi berdetakderak anak kunci yang seakan mau patah.
Di kursinya, Zain terdongak. Berpikir-pikir resah.
Tetapi kemudian ia mampu juga tersenyum. Meski, seulas senyuman kecut. Disusul desahan riang, "Paling tidak, aku aman. Tinggal menunggu ia terbang ke alam mimpi!"
la lirik jam mejanya Pukul sepuluh lewat lima menit.
Zain bergumam penuh harap, "Sebentar lagi, Susi. Sebentar lagi. . ..!"
Ia jemput sebatang sigaret, dengan mulut tersenyum-senyum.
Bergairah." *** lima belas WAKTU sudah menunjukkan sekitar pukul dua dini hari, ketika ujung puntung rokok menyala semakin mendekati kulit jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Zain. Lantai ditaburi serpihan puntung. Di asbak, lebih banyak lagi bekas puntung. Salah satu puntung malah terguling di permukaan meja. Mug pun tinggal terisi bubuk kopi yang sudah mengering, lembab.
Lalu Zain terjaga dari tidurnya.
Terjaga riuh rendah. Puntung sigaret dijatuhkan ke lantai. Diinjak-injak, kulit jari yang bagai terbakar, ditiup-tiup. Nyaris kursinya terjungkal ke belakang, karena begitu terjaga, Zain serempak berdiri dan lupa bahwa ia tertidur di kursi.
Setelah menenangkan diri, barulah Zain melihat ada wastafel di kamar kerjanya. Ia pergi ke sana, mendinginkan jari-jarinya yang terasa masih panas. Wajahnya sekalian dibasuh. Waktu tegak, di cermin ia melihat seraut wajah memerikan.
Zain menyeringai. "Bisa pingsan Susi dibuatnya!"
Ia keringkan wajah dari basahan keringat dengan sehelai handuk kecil. Kemudian menyisir rambut serapi rapinya. Baru kemudian teringat, ia sudah banyak merokok, sempat terlelap pula di kursi sambil bermimpi yang aneh-aneh dan satu sama lain tidak nyambung Buru-buru seperti takut ketinggalan kereta, Zain menyikat gigi. Dikeringkan lagi dengan handuk, memperbaiki letak susunan rambut. Piyama dirapikan, terus berjalan ke pintu.
la tongolkan kepala ke luar.
lampu lampu di dalam rumah masih menyala. Tetapi lewat kisi-kisi, lampu di balik kamar tidur yang tertutup, jelas sudah dipadamkan Ida. Untuk meyakinkan bahwa istrinya sudah tidur, Zain bergerak ke sana. Berjingkat. Telinga ditempelkan ke daun pintu. Lamat-lamat, terdengar bunyi dengkuran Ida yang teratur.
Zain menyeringai puas. Berjingkat lagi, pintu kamar tidur ia tinggalkan. Ia sempat hampir terpekik waktu seekor tikus berlari melintas dan lenyap ke arah dapur. Ada bunyi kresakkresek sebentar, kemudian sepi menyentak. Zain mengawasi pintu kamar tidur sekali lagi, takut-takut.
Dan tak lama kemudian, Zain pun tiba di depan pintu kamar tidur Susi di bagian belakang rumah induk. Di sini, ia juga menempelkan telinga ke daun pintu. Tak ada suara apa-apa di dalam. Zain meluruskan tegaknya, melihat ke jendela kamar tidur utama dengan khawatir, lantas tersenyum lebar ke arah rembulan di langit cemerlang membiru.
Rembulan, balas tersenyum.
Zain lantas memanggil dengan bisikan, "Susssiii. . .?"
Sepi di sebelah dalam pintu.
Hati-hati. Zain kemudian mengeruk. "Ini aku datang, Cintaku!"
Masih sepi. la memaling lagi ke jendela kamar tidur utama. Di sana juga sepi. Waktu akan memaling kembali ke pintu kamar tidur Susi, Zain langsung terkesiap. Ada sepasang mata berkilat-kilat mengawasi" a. Ah, ternyata seekor kucing besar yang mendekam di atas tembok halaman belakang.
Zain mengumpat, "Sialan!"
Si kucing menggeram. Di sebelah dalam pintu. Susi yang tidurnya sangat resah sehingga tak lelap lelap, pelan-pelan membuka mata. Ia mendengar suara di luar pintu, mendengar suara kucing menggeram. Disusul ketuk
an-ketukan pelan di daun pintu, dan suara majikannya memanggiLmanggil setengah berbisik, "Ayolah, kekasihku. Mengapa tak juga kau bukakan pintumu untukku?"
Susi bangkit perlahan. Ranjangnya berderit karenanya.
Bunyi derit sampai ke luar. Zain yang nyaris kecewa, balik lagi semangatnya. la tempelkan lagi telinga di daun pintu. "Susi?"
Susi duduk merenung. Wajahnya murung. "Ayo, dong. Susi sayangku. Cepatlah!" Zain mendesak tak sabar. "Tak usah takut. Istriku sudah tidur mendengkur. Dan kita. .."
Ucapan berbisik Zain terputus sampai di situ.
Karena di sebelah dalam pintu, Susi sudah menyambar sebuah gelas dari meja kecil di dekatnya, yang secepat kilat sudah ia lemparkan. Gelas itu melayang ke daun pintu, yang di sebelah luarnya ditempeli kuping sang majikan. Bunyi detak gelas menghantam kayu pintu, bagaikan bunyi dentuman dinamit di telinga Zain yang seketika menarik kepalanya menjauh. Wajah kagetnya kemudian berubah pucat sewaktu telinganya menangkap bunyi lain. Bumi jatuhnva gelas di lantai. yang pecah berderai.
Zain terkesiap. Cepat ia berpaling, Dan, ketakutanlah Zain, sewaktu melihat lampu tiba-tiba dinyalakan di sebelah dalam jendela kamar tidur utama. Kucing yang tadi mendekam diam, kini tegak dengan bulubulu meremang, disertai dengan geraman geraman panjang.
Sementara di balik pintu, Susi sudah rebah lagi dan menarik selimut sampai menutupi kepala, maka di luar pintu Zain dibuat kalang kabut. Ia sudah mendengar suara-suara di rumah induk. Dan ia tak mungkin menyelinap masuk ke kamar kerja tepat waktu, karena pasti akan kepergok istrinya.
Tetapi seringkali terjadi, suami yang terpojok, ada saja akal bulusnya.
Konon pula Zain, si mantan Taman Bacaan yang oleh Alex disanjung sebagai sahabat berotak cemerlang yang dengan cepat dapat memecahkan masalah, bagaimana pun rumitnya.
Sepasang mata Zain lantas sibuk mencari-cari.
Ah, itu dia! Tempat setrikaan. Ada meja di dekatnya, dan di situ ada sebuah vas bunga porselen. la terbang menyambar benda itu, yang dengan hati hati dipukulkan ke lantai jubin koridor. Benda tak punya
salah apa-apa itu pun pecah berantakan, dengan suara yang tidak terlalu keras. Pada detik berikutnya, Zain sudah berlari ke tengah taman, dan di sana Zain pun melompat-lompat marah.
Ia acungkan tinju ke kucing di atas tembok.
"Kau, ternyata!" Ia berteriak keras. "Hayo, enyah kau binatang sialan! Bikin orang kaget saja! Hush! Hush! Hush. Hem, mau dirambas rupanya kau ya?"
Si kucing melengkungkan tubuhnya.
Namun tak juga berlalu dari tempatnya. Sewaktu Zain sibuk mencari benda apa saja yang dapat ia lemparkan pada binatang itu, Ida sudah berdiri di ambang pintu tembus.
"Ada apa?" Zain mendengar. Kucing itu pun mendengar. Zain melihat istrinya. Kucing pun ikut melihat siapa yang bertanya. Zain mundur mendekati istrinya. Sebaliknya si kucing, menggeram ketakutan saat beradu pandang dengan mata Ida yang telah melihat keberadaannya. Langsung mengeong ketakutan, lantas lompat menghilang!
"Apa yang terjadi?" Ida bertanya lagi, setengah mengantuk.
Lebih dulu Zain mencari sapu dan setelah menemukannya ia berjalan mendekati pecahan vas
bunga yang berserakan di lantai koridor, tak berapa jauh dari pintu kamar tidur Susi.
"Aku terkecoh, Mah," sahutnya sambil sibuk menyapu. "Tadi aku mendengar suara-suara aneh di garasi. Pencuri, itulah yang terpikir olehku. Kau tahu semakin banyak pencurian terjadi akhir-akhir ini, bukan?"
Pertanyaan itu ia ajukan sambil mendongak ke arah Ida.
Ida diam saja. Agak jengkel, Zain melanjutkan, "Tadi aku sempat tergoda untuk menangkap salah satu. Eh, tak tahunya cuma kucing sialan itu. Mana sambil kabur, ia pecahkan pula vas bunga kesayanganmu ini ...."
Ida melihat ke tumpukan pecahan vas yang tengah disapukan suaminya.
Lantas mendengus, "Sudahlah. Biarkan Susi yang membersihkan besok pagi!"
Orang yang namanya disebutkan, menurunkan selimut dari kepala. ia sudah mendengar semuanya, dan Susi pun akhirnya mampu membaca situasi. Diam-diam, ia tersenyum mencemooh. Lalu menarik selimutnya lagi sampai menutupi kepala seperti tadi.
Zain menutupkan pintu tembus ke koridor.
Melirik sekilas ke daun pintu kamar tidur Susi, tentu saja sebelum menutup dan menguncikan pintu di hadapannya. Sambil terus saja mulut mencerocos tanpa diminta, "Kucing sialan! Awaslah, akan aku beli racun keras, dan...."
Dari Ida terus saja melangkah meninggalkan suaminya.Tak peduli.
Zain terpaksa mengikuti, tanpa berkata apa-apa lagi. Tiba di depan pintu kamar tidur mereka yang menganga terbuka, lda berhenti lalu membalikkan tubuh memandang suaminya.
"Mau ke mana kau, Pah?"
Zain menatap heran. "Ya... tidur...."
Mulut Ida tersenyum tipis. "Tidur bersama istrimu hanya akan menyiksa dirimu saja. Tempatmu bukan di sini. Tetapi itu tuh. Di sana ....l"
Ida menunjuk lurus ke pintu kamar kerja suaminya.
Seperti orang bodoh, Zain lagi-lagi hanya bisa mengikuti dengan memutar lehernya ke belakang. Masih dengan wajah bodoh, lehernya diputar lagi ke arah semula.
Bam! Daun pintu sudah keburu dibanting di depan batang hidungnya.
lanjutannya jelas. Yakni, bunyi gemeretaknya anak kunci dari sebelah dalam daun pintu.
Kemudian sepi. Lama, Zain tegak termangu-mangu.
Baru kemudian, dengan wajah tak berdaya dan pundak jatuh begitu layu, ia melangkah lunglai menuju kamar kerjanya. Di belakang pintu yang kemudian ia tutupkan tanpa semangat. Zain pun tegak mematung. Bingung
"Apes betul aku malam itu!" ia menggerutu pelan, setengah heran. "Susi tak jadi... bini pun tak sudi memberi!"
Ia tersuruk-suruk ke sofa.
Lalu meringkuk di sana. Dengan sekujur tubuh, pelan-pelan mulai menggigil.
Kedinginan." *** Enam belas NADA panggil telepon menyentakkan Zain dari tidur.
Reflek ia melompat bangun dan pergi tertatihtatih ke meja kerjanya. Kepalanya pening. Mana hawa sedikit terasa gerah pula. Ia sempat salah ambil bungkus rokoknya dan sempat menempelkannya ke telinga sebelum kemudian tersadar lalu ganti menyambar handphone yang nada panggilnya terus berbunyi. Setelah menyahut dengan setengah hati, dari seberang sana telepon ia dengar suara seseorang memanggil.
"Hallo. Kau itu Zain?"
Zain segera mengenali suara rekan sekerjanya. "Ada apa, Suharnoto?"
Nada suaranya yang malas, seketika disahuti suara keheran-heranan, "Ada apa kau bilang, eh" Apakah kau lupa kita ada janji temu dengan akuntan pajak?"
Zain melirik jam meja. Bergumam setengah mangantuk, "Pukul sebelas malam" Yang benar saja, Tok!"
Sepi sesaat. lalu, "Kau masih tidur atau sudah bangun, Zain?" rekan sejawatnya bertanya ingin tahu.
"Baru saja kau bangunkan" .."
"Nah. Kunasihatkan, pergilah sebentar ke jendela kamarmu. Dan lihatlah ada apa di luar!"
Kantuk Zain sirna seketika. "Emangnya ada apa?"
"Ayolah " Dengan wajah khawatir, Zain menuruti anjuran rekan sejawatnya. Ia pergi ke jendela, membukanya dengan takut-takut. Takut-takut pula ia mengintai ke luar.
Matanya pun silau seketika.
Waktu dibuka kembali, tampaklah lalu lintas yang sibuk di jalan raya. Ada suara orang meneriakkan sesuatu dari salah satu rumah tetangga. Dan seorang perempuan tengah baya lewat di sebelah sana pintu pagar rumah Zain, dengan payung terbuka di tangannya. Barulah Zain menyadari apa yang dimaksud Suharnoto.
Wajah Susi tampak sendu. Seraut wajah lain, justru kelihatan risau.
Yakni wajah Ida, di kantornya. Yang menjauhi jendela dan kembali ke tempat duduknya. lalu berkata getir, "... aku tak tahu harus berbuat apa sekarang, Novi."
Sahabat yang sekaligus bawahannya itu memandang dengan sorot mata menaruh simpati. Namun tak satu pun komentar keluar dari mulutnya. Seperti biasa, ia merasa lebih bijaksana dengan mengambil sikap menunggu.
"Sebelum meninggalkan rumah pagi tadi, aku hampir saja mengutarakan niatku pada Mail, supir kami. Untung aku segera teringat, ia tak mungkin kumintai bantuan. Bagaimana pun, ia pasti lebih dekat dengan suamiku. .."
Barulah Novi membuka mulut, didahului senyuman menghibur. "Tindakanmu bijaksana, Ida."
"Aku mengerti maksudmu," kata Ida, balas tersenyum meski tampak pahit. "Bayangkan...! Aku mengungkap hal-hal yang sangat pribadi pada salah seorang pembantuku di rumah. Memikirkan itu saja, sudah membuat aku malu pada diriku sendiri."
"Akibatnya akan sama, jika kau teruskan niatmu untuk melakukannya sendiri. Selain kehadiranmu
dibutuhkan di kantor ini, yang pasti akan muncul tanda tanya di kepala suamimu. Setelah siapa tahu, ada yang melaporkan padanya bahwa kau banyak bertanya di sana-sini. Bahwa kau selalu tampak hadir tak jauh dari suamimu, ke mana pun ia pergi."
"Dan Zain akan semakin rapi menyembunyikan wanita simpanannya!" Ida nyeletuk, nyaris putus asa.
"Santai sajalah, Ida. masih banyak jalan ke Roma, bukan?"
"Tunjukkan salah satu!"
". .. Detektif pribadi." Novi berujar tenang dan khidmat. "Itulah yang kau butuhkan, Ida."
"Tetapi... siapa?"
"Aku mengenal seorang pensiunan polisi, dari satuan serse. Dia pernah menolong salah seorang kerabatku. Anggota keluarga kerabatku itu lama hilang bahkan dinyatakan resmi sudah mati. Pihak asuransi bahkan sudah setuju membayar klaim. Tetapi bukan uang yang dibutuhkan kerabatku. Melainkan, putranya tercinta. . .."
"Dan?" lda tertarik.
"Pensiunan polisi itu menemukannya. Masih hidup lagi!"
Kerisauan di wajah Ida menghilang, digantikan oleh semangat yang berkobar kobar. "Buatlah janji temu dengannya, Novi. Sesegera mungkin!"
"Sebentar. Biar kucari dulu nomor teleponnya," jawab Novi, ikut bersemangat, lalu pergi ke pintu untuk mencari yang ia maksud di laci mejanya sendiri. Sebelum menghilang di balik pintu, lebih dulu ia melempar seulas senyum pada sahabat yang juga majikannya itu.
Senyuman yang jelas sebagai pengganti katakata, "Tenang-tenang sajalah, semuanya pasti beres!"
*** "Tidak akan semudah itu!"
Yang mengeluarkan suara tegas dan kaku itu, tentu saja Eddy Natapraja.
Semua yang hadir di ruang pertemuan, sama mendengar penuh minat ke wajah insinyur muda itu kecuali Zain yang berdiam diri semenjak tadi. Serius dan tetap kaku.
Eddy menjelaskan, "Kita boleh saja mengusulkan komisi yang menjadi hak kita, dimasukkan ke saham perusahaan calon klien dimaksud. Namun harus juga dipertimbangkan beberapa dampak."
Zain menggeser kursinya ke belakang.
Dengan kepala mumet. "Mau ke mana?" Suharnoto berbisik.
"Aku akan istirahat sejenak," jawab Zain, lelah. "Kurang enak badan. Kalian teruskan sajalah tanpa aku !"
Magdalena, sekretarisnya yang berparas lumayan, ikut bangkit. "Perlu saya teleponkan dokter, Pak?"
"Duduk sajalah. Lena. Bantu aku mencatat tetek-bengek yang mereka ributkan. . .."
Magdalena duduk kembali ke tempatnya.
Suharnoto yang sempat menyeringai mendengar sindiran Zain, menoleh pada rekan sejawatnya yang satu lagi. Masih dengan seringai, ia mendorong, "Teruskan. Bung. Teruskan!"
Di kantor pribadinya, Zain langsung mendaratkan pantat di kursi. Tetapi ia tidak berleha-leha begitu saia. Apa yang memenuhi pikirannya di ruang rapat tadi, harus ia tuntaskan sekarang. Maka telepon pun diangkat. Nomor-nomor rumahnya diputar.
Dan terdengarlah sahutan merdu di telinganya, "Halo."
"Sussii, ahh. . .!" Zain mendesah suka cita. Semua kelesuan dan mumet di kepala lenyaplah seketika.
Susi bertanya khawatir, "Ada apa, Tuan?"
Suara Zain pun berubah berat dan serak karena hati yang galau, "Kau baik-baik saja?"
"Terima kasih, Tuan. Saya tak kurang sesuatu apapun, ini," jawab Susi lirih.
Tak kurang sesuatu. Apa maksudnya" Ia buang pertanyaan itu dari kepala, lantas mengutarakan isi hatinya, "Tentang tadi malam itu, Susi...."
Pelayannya sudah menukas, "Yaaah. Ramai ya, Tuan?"
"Apa"!" "Kucingnya. Jadi tidak diracun, Tuan?"
Tak pelak lagi, Zain tertawa tergelak. Tanpa menyadari, di seberang sana Susi sedikitpun tidak tertarik untuk ikut tertawa. Zain lebih tidak tahu lagi karena saat itu Susi menutup corong telepon dengan tangan, apa yang diumpatkan Susi dengan marah. "Masih bisa tertawa dia. Padahal yang aku maksud, kucing galak di tempat tidurnya!"
Susi menurunkan tangannya dari corong telepon, terus bertanya santai. "Tuan ingin apa hari ini?"
Zain menjawab mesra. "Kau.!"
"kapau' sahut susi, tetap santai. "baik Tuan. Nanti akan saya buatkan Tuan nasi kapau"!"
Makin terbahaklah Zain, menyangka pelayannya mengajak bercanda.
"Lainnya, Tuan?"
"Kau sungguh tahu betul menghibur hatiku yang lara, Susi," jawab Zain bahagia. "lainnya, adalah ini. Aku teramat sangat merindukanmu. Suruhlah aku meninggalkan kantor saat ini. Dalam sekejap, aku sudah akan rebah di haribaanmu!"
Di seberang sana, Susi menggeleng geleng sedih. "Teruskanlah tugas-tugas Tuan. Nanti kalau Tuan pulang ke rumah, tak usah khawatir. Saya tak ke mana-mana, ini!"
"Aku akan datang, Susi...." Zain berjanji. "Aku akan datang, Kekasihku.?" Telepon ia letakkan di tempatnya, dengan wajah diliputi kebahagiaan. Diteruskan dengan gumam riang, "Dan aku datang sebagai seorang kekasih yang tahu diri. Tetapi... apakah itu yang betul-betul Susi maksudkan?"
Zain pun kembali ke ruang rapat.
Yang suasananya, tampak lebih tegang dari ketika ia tinggalkan. Eddy mendengus karena merasa terganggu. Suharnoto lebih rilek. Ia biarkan Zain lebih
dulu duduk di tempatnya. Baru bertanya perlahan, "Cepat juga kau sembuh, Zain.!"
Zain tersenyum gembira. "Ada obat mujarab, Tok," katanya. "Obat yang amat sangat mujarab!"
"Apakah itu"!" Suharnoto bertanya penuh minat.
"Ssshhh!" Zain memotong seraya mengerling ke arah Eddy Natapraja, yang sudah memutarkan pandang ke wajah semua peserta rapat, yakni para staf dan sekretaris.
Eddy mengawasi salah seorang staf. Bertanya, "Apakah kau tadi mengusulkan sesuatu, Prayudi?"
Yang disebut Prayudi mengangguk. "Benar. Pak Eddy. Usul saya jelas. Lebih baik kita lakukan pemilihan suara saja."
Berisiklah seketika ruang pertemuan itu.
Zain mencondongkan kepalanya ke arah Magdalena. Bertanya dengan bisikan sedikit keras, "Mau menolongku, Lena?"
Magdalena mendekatkan telinga. Sama berbisik. "Katakan saja, Pak!"
"Ada seorang wanita berkata pada seorang pria. Bahwa ia, si wanita, tak kurang sesuatu apapun. Apakah itu maksudnya ia mengharapkan semacam pemberian dari sang pria?"
Sempat keheranan. Magdalena akhirnya mengangguk.
"Terima kasih," bisik Zain. Puas.
Yang tak puas, Magdalena. Sebelum kepala majikannya menjauh, ia pun bertanya, "Keberatankah Bapak memberitahu, siapa wanita yang mengucapkan kata-kata bermakna itu pada Bapak?"
Saking asyiknya mereka bertukar bisik, mereka berdua tidak menyadari bahwa Eddy telah mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk mendiamkan suara berisik para peserta rapat. Lambat laun, suasana pun menyepi. Dan di kesepian itu, nyata terdengar bisikan Zain menjawab pertanyaan Magdalena. "Istriku, dong!"
Magdalena tersenyum lega. "Bapak seorang suami yang menakjubkan. Patut ditiru oleh.. .."
Ia tidak meneruskan kalimatnya.
Tiba-tiba menyadari, semua mata tertuju ke arah mereka berdua. Bahkan Eddy yang senantiasa bersikap serius itu, tampak menahan tawa. Zain meluruskan duduknya dengan wajah bersemu merah.
Dan mendengarkan Suharnoto menggumamkan apa yang tadi diucapkan Zain sendiri. "Sungguh suatu obat mujarab. Ya?"
Benar. Karena suasana di ruangan itu, dalam seketika telah berubah santai.
Semua mata yang hadir mengawasi kedua pembisik.
Sambil tersenyum-senyum."
*** Tujuh belas ZAIN sedang beruntung agaknya.
Tiba di rumah ia tidak melihat mobil Ida baik di halaman maupun di garasi. Yang pintunya menganga terbuka. Dengan gembira ia memencet bel.
Susi yang sedang sibuk membersihkan kamar mandi, segera pula meninggalkan pekerjaannya. Pakaian Susi basah di sana-sini. Rambut pun acakacakan. Namun ia tidak merasa perlu memperbaiki penampilannya lebih dulu sebelum pergi membuka pintu depan.
Lain halnya dengan Zain. Begitu ia melihat bayangan Susi lewat kaca jendela. Zain langsung merapikan letak dasi. Tegaknya pun lebih digagahgagahkan. Sekilas ia memperhatikan Mail yang tengah mengambil selang air untuk mencuci mobil yang bekas dibasahi hujan tadi di tengah jalan. Zain bermaksud menegur agar besok sajalah itu dilakukan Mail. dan sebaiknya Mail lekas-lekas minggat saia.
Tetapi pintu sudah terbuka.
"Hai, Susi..." sapa Zain dengan suara agak bergetar karena rindu.
"Selamat sore, Tuan," sahut si pelayan, sopan. Sambil menyisi memberi jalan.
Susi tidak segera menutupkan pintu. Terpaksalah Zain yang melakukannya. Zain yang sudah tidak sabar, berdiri memperhatikan penampilan Susi yang seadanya.
"Ah. Kau tampak lebih cantik dan sexi" desah Zain yang lupa diri dan dibutakan matanya karena cinta. Zain pun merunduk, siap merangkul dan memeluk Susi. Si pelayan tidak mengelak. la tenangtenang saja. Menunggu.
Benar saja. Zain memang langsung mundur seketika.
Hidungnya mengendus-endus tak senang "Parfum merek apa pula yang kau pakai?"
"Karbol, Tuan." Susi menyahuti dengan senyuman manis. "Ketika Tuan membunyikan bel, saya sedang membersihkan kakus!"
Zain pun terjengah. Susi pergi meninggalkannya, untuk meneruskan pekerjaan yang tertunda. Zain pun mengikuti, untuk menyimpan tas ke kamar kerjanya.
"Nyonya belum pulang, ya?"
"Belum Tuan. Tetapi tadi Nyonya menelpon dan meninggalkan pesan untuk Tuan. . ."
Zain tertegun. Heran. "Pesan" Pesan apa?"
Susi membalikkan tubuh dengan sopan, lantas memberitahu. "Nyonya bilang, Nyonya pulang agak malam. Masih ada transaksi yang harus diselesaikan."
Berbinarlah sepasang mata Zain.
"Kesempatan bagus buat kita berdua, bukan?" ia berujar dengan wajah kembali riang gembira, bahkan suka cita. "Aku akan segera bertukar pakaian. Dan kau pun, Susi. Mandilah "!"
Susi tidak berkomentar apa-apa, dan akan berlalu sewaktu Zain teringat sesuatu. "Eh, sebentar, Susi!"
Susi berhenti. Dan seperti tadi, kembali diam. Menunggu.
Zain membuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah amplop tebal yang kemudian diserahkan kepada Susi. "Ini. Ambilah!"
Terheran-heran Susi menerima dan tanpa bercuriga apa-apa langsung membuka tutup amplop yang memang tidak dilem itu. Sesaat kemudian di tangannya sudah ada seikat uang kertas seratus
ribuan, yang masih pakai labeL "Wah. . .! Masih barubaru, ya Tuan" Tetapi mengenai uang belanja. Nyonya sudah...."
Zain menyeringai. Gembira. "Itu untuk anakmu di kampung, Susi!"
Terbelalaklah Susi. "Yang benar saja, Tuan . . .!"
"Sungguh!" kata Zain, gagah. "Uang itu diperlukan anakmu untuk membayar uang sekolahnya sekaligus satu tahun. lalu untuk membeli buku-buku, pakaian seragam, sepatu baru, tas baru, dan...."
"Tetapi. Tuan," Susi menukas, tenang. "Anak saya umurnya belum juga tiga tahun, Tuan!"
"Oh!" Zain terkejut. "Aku baru tahu itu. Ya, sudahlah. Pendeknya, kirim segera uang itu pada orangtuamu di kampung"
"Untuk apa, Tuan?"
"Ya, terserah kau mengatakannya pada mereka. Mau beli sawah kek, beli kerbau kek, beli rumah kek, kapal terbang juga boleh. . ..!" Zain tertawa tak sabar. Tangannya mencari-cari ke dalam tas, menemukan sebuah kotak super mini yang ia sodorkan lagi ke tangan pelayannya. "Yang ini, khusus untukmu sendiri!"
Sebuah kotak perhiasan. Susi menerimanya dengan wajah semakin bingung. "Apa lagi ini, Tuan?"


Beauty Affair Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo. buka sajalah .!
Susi lebih dulu meletakkan uang seikat tadi ke meja makan di dekat tempatnya berdiri. Lantas dengan tangan gemetar kotak super mini dibuka, dan tampaklah sebentuk cincin bermata jamrud yang gemerlapan. Kilaunya bahkan memantul di bola mata Susi yang seperti mau terloncat keluar. Susi sampai tak mampu mengeluarkan kata-kata.
Bangga, Zain mendorong, "Ayo, dipakai!"
Ragu ragu Susi memasukkan ke jari manis tangan kanannya. la begitu gemetar sehingga Zain harus ikut membantu. Pas.
Zain kemudian mundur. Menunggu reaksi Susi berikutnya.
Susi memang segera bereaksi.
la menatap lurus ke mata majikannya, mengatur nafasnya yang sesak sebentar, baru kemudian bergumam. Gugup. "Aduh, Tuan. . .."
Zain tersenyum, mendorong semangat Susi.
Susi pun menjelaskan. "Jika ini saya pakai di rumah, bukankah Nyonya nanti curiga?"
Senyuman di mulut Zain. tak jadi mengembang. "Betul juga. Tapi dapat kau pakai bila kau pergi jalanjalan, toh?"
"Saya jarang ke luar rumah. Tuan. Kecuali ke pasar!"
"Nah. Pakailah jika kau nanti pergi berbelanja ke pasar!"
"Ngeri, Tuan." "Eh, mengapa pula?" Zain mulai hilang sabar.
"Nanti dijambret orang!"
Zain pun habis akal. "Ya, sudah. Telan saja!" ujarnya, setengah jengkel.
Melihat ada perubahan di wajah pelayannya. Zain buru-buru meneruskan dengan nada menyesal. "Kau sih, Susi. Payah...!" Ia tertawa, sengau. "Ayo, bersihkan dirimu sana. Aku pun akan mandi. Mumpung Nyonya belum pulang, kita akan. "
Susi menggelengkan kepala. Sedih. "Tidak, Tuan. Semua ini tidak baik...."
Habislah sudah kesabaran Zain. Dengan marah ia mencengkeram pundak Susi, kemudian menceracau tanpa ditimbang timbang lagi. "Lalu aku harus apa, Susi" Apakah kau kira aku akan gratisan saja meniduri tubuh molekmu"!"
"jadi... Tuan membayar. Dan saya tak lebih dari. . .. "
"Salah. Susi!" Zain membentak kasar. "Aku tak pernah menganggap dirimu seorangpelacur. Tidakkah kau mengerti juga" Pemberianku ini sebagai tanda aku sayang dan cinta padamu. Lantas pada waktunya nanti, aku pun akan menikahimu!"
Dengan wajah datar tanpa ekspresi. Susi mengeluh, "Tuan ini juga payah...!"
"Apa"!" Susi memandang tajam ke mata majikannya. "Apakah Tuan punya keberanian untuk... menceraikan istri Tuan"!"
Zain pun terbungkam seketika.
Dan Susi tidak perlu meronta untuk melepaskan diri dari cengkeraman majikannya. Pegangan tangan Zain di pundak Susi. perlahan-lahan melepas sendiri, untuk kemudian jatuh lunglai di sisi tubuh sang majikan yang tampak seperti orang habis mencuri dan tahu-tahu tertangkap basah tanpa ada jalan untuk meloloskan diri.
Sebaliknya dengan Susi. Mantap dan manis, Susi bertanya seakan sambil lalu saja. "Tuan akan mandi dulu, atau langsung makan...?"
Zain masih belum menemukan dirinya juga.
Maka Susi pun membuka tudung saji di atas meja makan. Katanya lembut, "Nasi kapau sudah menunggu, Tuan!"
Sebuah kejutan lain. Karena soal nasi kapau itu bermula dari salah dengar yang dikira Zain disendaguraukan oleh Susi.
Namun Zain tidak tertarik untuk tertawa. Melirik pun ia tidak. Zain sedemikian lemas setelah mendengar tuduhan pelayannya yang tepat mengenai sasaran. Susi yang memahami keadaan majikannya, dengan arif menarik sebuah kursi. Tanpa sadar, Zain mendaratkan pantat tuanya di kursi itu, lalu berusaha keras menguasai diri.
Susi pergi ke kamar mandi majikannya, menyelesaikan tugasnya sampai selesai, lalu kembali lagi ke tempat semula. Zain masih duduk termangu di kursinya. Susi yang akan meneruskan langkah ke koridor belakang, mendadak tak tega melihat keadaan Zain yang sedemikian sengsara.
"Susi...." "Saya, Tuan" "Simpanlah." Zain berkata tanpa menunjuk atau menjelaskan apa yang harus disimpan pelayannya. Namun dengan penuh pengertian Susi mengambil uang dan kotak
berisi perhiasan Tanpa menoleh bahkan tanpa kata, Susi kemudian menghilang di sebelah sana pintu menuju koridor belakang.
Zain hanya memperhatikan. Dengan wajah kosong,
?"Bahkan mengucapkan terima kasih pun dia tidak!" Zain bergumam, lantas menggelengkan kepala.
Dengan susah payah ia masuk ke kamar kerjanya untuk menyimpan tas. Ketika meletakkan tas itu di atas mejanya, mata Zain terpaut ke selembar foto berwarna yang diberi bingkai antik. Foto bersama dengan Ida dan putra kesayangan mereka, Eduard atau dipanggil Edo.
Ida tersenyum ke arahnya.
Begitu pula Edo. Dan di balik senyum istri apalagi anaknya, Zain menemukan dirinya yang terpuruk tanpa daya, serta dibebani dosa. Terngiang lagi di telinganya ucapan Susi, "Apakah Tuan punya keberanian untuk menceraikan istri Tuan?"
Zain tidak jadi bersalin pakaian.
Hanya dasi yang ia tanggalkan.
Tiba di halaman, ia lihat mobil masih dicuci Mail dengan sabun pembersih khusus.
"Mana kuncinya, Mail?"
Mail memandangi majikannya, dan terkesima memandang wajah Zain yang tampak berantakan. "Masih di tempatnya. Tuan...!"
Zain membuka pintu mobil. Masuk ke dalam. Menghidupkan mesin, dan mengajak mobil itu melompat ke jalan raya. Hampir saja melindas seekor anjing yang bermaksud melintas di sebelah luar pintu gerbang .
Mail hanya bisa ternganga memandangi majikannya menghilang dengan mobil yang masih basah bahkan penuh busa sabun. Supir kerempeng itu baru tersadar, sewaktu ada suara menggonggong marah. Gonggongan musuh besar Mail. Anjing yang tadi hampir dilindas mobil majikannya.
"Eh. Kok aku pula yang kau marahi?"
Seraya menyentakkan kata-kata itu. Mail mengarahkan mulut selang air ke arah sang anjing, yang seketika minggat dengan gonggongan melengkinglengking."
*** Delapan belas WAKTU terus merambat. Duduk mengitari sebuah meja di dalam sebuah restoran berkelas, seorang laki-laki misterius berujar dengan suara berat dan dalam, "jadi, saya harus mengikuti dia semenjak meninggalkan pagar rumah sampai ia kembali ke tempat yang sama!"
lda menjawab gembira. "Persis. Dan laporan Anda saya tunggu setiap akhir minggu...."
Orang itu bangkit dengan tenang.
Lalu menunggu. Dengan tenang-tenang pula.
Ida segera memaklumi. Tasnya dibuka dengan pertolongan Novi. Lalu Ida mengeluarkan buku cek, mengisi lembar kosong sesuai kesepakatan. yang kemudian ditandatangani. Lembar cek itu dirobek dari buku, lantas ia serahkan ke tangan si lelaki misterius. "Ini uang mukanya."
"Terima kasih."
Setelah orang itu berlalu, barulah Ida bertukar pandang dengan Novi. Wajah Ida tampak gundah. Novi menepuk-nepuk lembut punggung tangan sahabatnya. Berkata menghibur, "Memang kurang menyenangkan urusan ini, Ida. Tetapi setelah semua ini berlalu, yakinlah segala sesuatunya akan beres kembali ...!"
Ida manggut saja akhirnya.
"Pukul berapa sekarang. Novi?"
Novi melirik ke arloji. *** jam dinding di tembok lobby sebuah gedung bioskop, tampak menunjukkan waktu merambat ke pukul sembilan malam.
Sejumlah bangku diisi oleh sejumlah pengunjung yang akan mengikuti penunjukkan berikutnya. Lalu pintu masuk ke gedung pertunjukan dibuka dari dalam. Tampaklah Zain ke luar, dengan langkah kaki bermalas-malas dan wajah lebih malas lagi.
Penjaga pintu bertanya sopan, "Filmnya tidak menarik, Om?"
Zain cuma angkat bahu. Ia berlalu meninggalkan bioskop, melewati mobilnya di tempat parkir, dan menyelinap masuk ke sebuah bar. Setelah mendapatkan bangku untuk ia duduki. Zain memesan dengan suara getir, "Bir...l"
Menjelang tengah malam, Ida yang berwajah khawatir membukakan pintu untuk suaminya, yang melangkah masuk ke dalam dengan tubuh sempoyongan. Ida mengendus bau alkohol, meninjau ke halaman dan melihat sebuah taksi memutar pergi.
"Mobilmu mana, Pah?"
Zain yang memang mabuk, jadi terperanjat sendiri. "Astaga. Aku sampe lupa. Mobilku masih di tempat parkir ...."
Reaksi Ida jelas. Ida berkata curiga, "Papah habis bertengkar hebat, ya?"
Zain tertegun. Bingung. Lalu, "Bertengkar" Dengan siapa?"
'Wanita lainmu itu'"
Dasar di bawah pengaruh alkohol, Zain pun tertawa. Tawa orang setengah teler. Lantas menyahuti tanpa dipikir, "Kok kau tahu!"
Tersentaklah lda mendengarnya.
la mengerang. "Siapa perempuan itu, Pah?"
Sempoyongan. Zain memutar tubuh. Seraya menggerutu, "Kau pasti sedang mabuk, Ida."
Ida menerjang maju. Tetapi ia terlambat. Tubuh Zain sudah limbung, kemudian melorot jatuh ke lantai. Dari mulutnya terdengar pertanyaan sayup-sayup, "Kasur apaan sih ini. Keras banget. Dingin lagi...."
lantas Zain pun tertidur.
Mendengkur. Ida merengut dan tidak mau membuang tempo. Ia pergi ke depan rumah. Gulungan selang yang tergantung di batang keran air ledeng, ia ulurkan memanjang sampai ke ruang depan. Keluar sebentar. keran air dibuka selepas lepasnya, masuk lagi dengan cepat ke dalam.
Zain pun ia semprotlah habis-habisan. Sesaat dua tak ada reaksi. Baru pada saat berikutnya, Zain yang sudah basah kuyup menggeliat sedikit. Matanya terbuka malas.
Begitu pula mulutnya. "Hei.." ada air mancur!"
lantas matanya terpejam kembali.
Tak habis akal, Ida menyimpan selang di lantai. Membiarkan air menyembur nyembur kian kemari. la berjongkok membalikkan suaminya agar telentang. Lalu ritsleting celana panjang suaminya ditarik membuka dengan satu sentakan cepat dan kasar. Tindakan berikutnya adalah, menjejalkan ujung
selang yang terus menyemburkan air ke balik celana dalam suaminya. Setelah itu tegak menunggu.
Mulanya, Zain membuka mata dengan malas, seperti tadi. Setelah itu, sepasang mata Zain terpentang. Serempak ia bangkit ke posisi duduk. lalu memandang ke arah celana dalamnya, serta benda yang menjulur ke luar dan' tempat yang eksklusif itu. Terulur sampai ke pintu, terus ke luar rumah.
Zain pun bergumam bingung,. "Lho. Kok jadi begini panjang"!"
Mendengar ucapan suaminya, Ida pun lemaslah.
Tubuhnya melorot jatuh menyusuri tembok yang disandarinya. lantas duduk terenyak. Di lantai yang basah.
Syukurlah semua itu tidak berlangsung lama.
Tak berapa lama kemudian Zain akhirnya sadar sepenuhnya, terus pergi mandi. Tentu saja mandi yang sesungguhnya. Berpakaian seadanya, kemudian mencegat sebuah taksi yang lewat di depan rumah. la bawa serta identitas, karcis parkir surat-surat lengkap mobilnya. Dan setelah berdebat panjang dan penjaga malam mencari tukang parkir yang bertugas, barulah Zain diperkenankan membawa pulang mobilnya. Tentu saja, dengan mengeluarkan sejumlah uang ekstra.
Tiba di rumah, ia disambut pintu kamar tidur yang terkunci dari daLam. Tak dibukabuka, betapa pun ia sudah mengetuk dan berusaha memangggilmanggil istrinya dengan suara lembut yang bernada penyesalan.
Adapun Susi, yang tadi membukakan pintu depan untuknya lantas langsung minggat tanpa kata, masih lumayan.
Susi ia temukan duduk termenung-menung di teras belakang. Mengawasi kain pel dan ember yang setengah terisi air kotor, pasti bekas mengeringkan lantai ruang depan dan belum sempat ia buang ketika majikannya pulang.
Susi masih bersedia membuka mulut ketika melihat Zain muncul. "Saya masih capek, Tuan. jadi kalau Tuan ingin kopi, silakan Tuan bikin sendiri...!"
lantas dengan membiarkan kain pel dan ember tetap di tempatnya semula, Susi pun bangkit dan langsung berlalu, masuk ke kamarnya sendiri. langsung pula menutupkan pintu, yang anak kuncinya terdengar diputar dari sebelah dalam.
Dengan suara bergemeratak. kasar."
*** ESOK paginya, mobil suami istri itu meninggalkan rumah hampir berbarengan. Mobil lda lebih dulu meninggalkan halaman, mengambil arah ke kiri. Setelah melewati beberapa rumah, ia lihat sebuah mobil di parkir di seberang jalan Ida melempar senyum pada laki-laki yang duduk santai di belakang kemudi mobil dimaksud.
Satu menit kemudian, barulah Zain meninggalkan rumah dengan mobilnya yang disupiri' Mail. Begitu lalu lintas aman dan mobil Zain mengambil arah ke kanan, maka mobil yang tadi di parkir dan pengemudinya dihadiahi senyuman manis Ida, mulai bergerak maju. Lalu mengikuti mobil Zain secara tidak kentara.
Zain turun dari mobil di depan kantornya.
Ia serahkan selembar cek pada Mail dengan perintah, "Kau langsung balik lagi ke sini, sepulang dari' bank."
Mail lantas meluncur pergi untuk melaksanakan perintah majikannya.
Seseorang juga mengeluarkan perintah di mobil satunya lagi. Mobil yang berhenti tidak jauh dari kantor Zain, di pinggir jalan yang basah karena genangan air: limbah dari saluran pembuangan yang agaknya mampet. Perintah itu bernada berat dan dalam.
"Kau terus ikuti mobil itu. Orang kita, biar aku yang urus!"
"Siap, Bos!" Pintu mobil terbuka cepat. Secepat itu pula, si pemberi perintah melompat keluar dari pintu belakang mobil, ke trotoar. Sepatunya mengkilap, celananya pasti dari merek yang mahal pula, licin dan rapi. Begitu pintu mobil ditutupkan kembali, orang yang menerima perintah tidak membuang tempo. Mobil langsung ditancap. Mencipratkan air lumpur kian kemari. Dalam sekejap, sepatu mengkilap dan celana licin dan rapi itu, sudah tidak karuan lagi bentuk maupun warnanya.
Yah, apa mau dikata. Dari semula urusan ini memang sudah serba salah. Andai saja orang yang membayarnya mau berterus terang, urusannya tidak akan serumit ini. Tetapi perempuan itu terlalu berlebihan menjaga
nama baik dan terutama, gengsinya. Ia seharusnya jujur saja, dan tinggal mengatakan satu permintaan saja: temukan perempuan tak tahu diri itu!
*** Tahu diri atau tidak, yang jelas Susi harus memutuskan sesuatu. Sendirian di rumah, lama ia hanya duduk termangu mangu memikirkan apa sebaiknya yang harus ia perbuat. Di tangannya ada sejumlah besar uang, yang nilainya sama dengan gaji Susi selama satu tahun. Dan cincin bermata jamrud itu, bukan tak diinginkannya. Memimpikannya selama ini pun Susi tak berani!
Ia harus melakukan sesuatu.
Semua tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Setan telah menjerumuskannya pada malam yang menakjubkan itu. Dan setan itu, kini menari nari lagi di depan matanya. Dengan sebuah rayuan maut, "Kau dapat memperoleh lebih banyak lagi, Susi. Kalau kau mau, kau tak perlu membabu lagi. karena kau akan dinobatkan menjadi seorang Ratu!"
Susi menarik nafas panjang.
Kemudian bangkit untuk melakukan tugasnya sehari-hari.
Di sudut lain kota, tugas sehari-hari bagai terlunaskan sudah oleh Ida. Ia memasuki kantor dengan
wajah risau. Dan begitu ia lihat Novi tersenyum menyambut, Ida pun langsung saja menyeret sahabat yang juga sekretarisnya itu ke ruang kantor pribadinya. la pastikan dulu bahwa tidak ada pegawai yang mungkin mendengar pembicaraan mereka. Baru kemudian bicara serius.
"Suamiku mengaku!"
Tanpa kata pendahuluan. Tetapi Novi segera menangkap arah pembicaraan sahabatnya. Dan Novi pun tercengang .
"Begitu cepat"!"
Sekali lagi, Novi dibuat tercengang, ketika ia lihat Ida menggelengkan kepala, dengan semangat yang patah. Kembali teringat bahwa sampai detik ini Ida tidak juga menemukan apa yang sesungguhnya telah ia peroleh dari pengakuan suaminya itu.
Wajah Ida pun berubah murung. "Sayangnya, ia mengakuinya selagi ia dalam keadaan mabuk berat!" Ida mengakui seraya menyandar lesu di kursinya. "Begitu ia normal kembali, aku tak mungkin mendesaknya. Ia toh dengan mudah dapat saja membantah. Namanya juga ucapan orang mabuk!"
"Percayakan saja pada detektif kita, Ida," bujuk Novi. "Tetapi, bagaimana terjadinya?"
Ida menceritakan apa yang terjadi.
Lamanya belum seberapa. NOVI sudah melelehkan air mata, karena terus-menerus tertawa. "jadi, suamimu menyangka bahwa yang bertambah panjang itu.... "
Novi semakin tergelak."
*** SEPERTI pencuri, pada malam harinya Zain berulang-ulang mengintip dari kamar kerjanya. Setelah ia yakin Susi masih duduk menikmati siaran televisi kabel di ruang keluarga, yakin pula Ida sedang melakukan latihan dngan menjelang tidur, barulah Zain menyelinap ke koridor.
Ia membuka pintu kamar Susi. Lalu masuk ke dalam. Setelah pintu ia tutupkan kembali, Zain pun sibuk berbenah di atas tempat tidur Susi. Ia keluarkan isi bungkusan yang ia bawa dari kamar kerjanya, lalu membeber-beberkannya di tempat tidur Susi yang sudah ia rapikan tadi.
Zain kemudian berlutut. Menghadap ke meja kecil dekat kepala tempat tidur. Ada dua foto yang diberi bingkai sederhana. Foto Susi, dan satunya lagi foto sesosok bayi gemuk sehat sedang mengisap dot.
"Maaf. Aku akan bicara empat mata dengan Ibumu!" dengus Zain. lantas ia balikkan foto si bayi menghadap tembok.
Susi tidak memprotes. Ia tetap saja tersenyum, di foto satunya lagi.
Dan Zain pun berbicara dengan khidmat, "Nah, Kekasihku. Kali ini kau tidak ada alasan lagi. Jika kau takut dicurigai istriku, ngeri pula memakainya sewaktu kau pergi belanja ke pasar, maka pakailah pemberianku yang ini ketika kau berangkat tidur!"
Foto Susi digeser sedikit agar mengarah ke tempat tidur. Di situ tampaklah seuntai kalung yang tadi diletakkan Zain melingkar di leher sehelai gaun. Tetapi, entah ia sadar entah tidak, yang dibeberkan Zain di tempat tidur itu bukanlah sehelai gaun tidur. Melainkan gaun pesta!
Foto Susi digeser lagi menghadap dirinya. "Cantik, bukan?"
Susi tersenyum. Manis sekali.
"Kau lihat bukan, Sayangku" Aku sangat memperhatikanmu. Aku juga akan membelikanmu sepasang anting. Dan seperangkat kosmetik!" Zain berjanji. "Kau akan tampil lebih hebat ketimbang Ida. Yang semakin tambah umur, semakin tampak mengerikan itu ...!"
Zain diam sebentar. Garuk garuk kepala, baru meneruskan, "Apapun yang kau minta akan kuberi, Susi. Tetapi, tolonglah jangan yang satu itu! Kau tidak tahu bagaimana anakku Edo..." Zain membasahi
bibirnya yang kering dengan lidahnya. "Edo sama galak dengan ibunya. Jika aku menceraikan Ida... bisa bisa aku mereka keroyok"
Membayangkan itu saja, Zain sudah takut.
Takut-takut pula ia pergi ke pintu. Dibuka sedikit, mengintip ke luar. Masih aman. Pintu ia rapatkan lagi1 terus kembali berlutut menghadap Susi yang masih menunggu dengan tersenyum.
"Aku pun sudah berpikir-pikir akan mengontrak sebuah rumah, Susi. Di sana kau akan kusimpan... eh, maksudku, di sana kau akan tinggal. Dan kita akan menikah diam-diam...!"
Belum habis Zain berbicara, di luar sana sudah terdengar suara menyentak, "Susi!"
Lalu sahutan terkejut, "Saya, Nyah..."
Zain terlompat bangkit. Lalu menghambur ke pintu dengan wajah pucat pasi. Ia sudah akan minggat, ketika teringat sesuatu. Cepat cepat ia kembali lagi ke dalam kamar tidur Susi. Ia balikkan foto si bayi ke posisi semula, terus menyelinap pergi.
"Antar minumanku ke kamar, Susi!" terdengar lagi suara Ida.
"Baik Nyah." Zain menyandari tembok di sebelah pintu tembus rumah induk. Menunggu dengan jantung berdebar.
Setelah yakin segala sesuatunya berjalan aman, Zain pun menyelinap masuk ke kamar kerjanya.
*** Pagi harinya Zain bangun dengan gembira.
Zain pergi jogging sebentar. Ia atur tempo agar tidak terbatuk-batuk seperti sebelumnya. Pulang ke rumah, ia berpapasan dengan Susi yang baru keluar dari dapur. Mereka saling tertegun. Saling menukar tatap.
"Hai.... !" Zain menyapa lembut lalu menunggu.
Bibir ranum Susi menggerimit tersenyum. Tetapi matanya menggurat sedih. Pelayan itu menggeleng-geleng, sudah akan mengutarakan sesuatu ketika pintu kamar tidur utama terbuka dari dalam. Susi cepat kembali ke dapur. Zain menyambar cangkir kopi di meja makan, mengangguk pada istrinya yang pas baru keluar dari kamar, lalu masuk ke ruang kerjanya sendiri. Sambil pintu langsung ditutupkan dari dalam. Duduk di sofa meneguk kopi. Zain kemudian tersenyum bahagia.
"Susiku menerima!" bisiknya, sukacita.
Di dapur, Susi terus sibuk. Sekali, ia menyeka pipi. Pipi yang tanpa dapat ditahan, telah dilelehi air matanya."
*** KETIKA meninggalkan rumah, esok paginya Zain tidak tahu kalau mobilnya ditempel ketat oleh sebuah mobil lain. Maklum nempelnya tidak begitu kentara.
Zain siap mengantar dengan semangat tinggi. Sebelum masuk, ia menyuruh Mail mencairkan selembar cek ke bank.
Siang harinya, pada jam istirahat, Zain makan sendirian di sebuah restoran. Kenyang makan, ia sulut sebatang rokok dengan perasaan nikmat. Lalu dengan rokok tetap menempel di bibir, ia meninggalkan restoran. Berjalan kaki menuju sebuah supermarket. Ketika akan masuk ke dalam ia menjatuhkan sesuatu ke trotoar, menginjaknya, baru setelah itu masuk ke dalam supermarket.
Seorang gadis remaja putri berparas rupawan, melirik sekilas ke arah Zain menghilang, lalu membungkuk untuk memungut apa yang tadi dijatuhkan Zain. Begitu si gadis tegak kembali, sebuah tangan yang kokoh sudah mencengkeram lengannya. Si ga
dis terkejut dan seketika mengatupkan telapak tangannya.
Terdengar-lah suara berat dan dalam, "Boleh kulihat apa yang ia jatuhkan, anak manis?"
Remaja putri itu menatap curiga. "Bapak ini polisi ya?"
Tak ada sahutan. Gadis itu pun berkata penuh semangat, "Tangkaplah Om yang barusan masuk ke dalam itu. Dia bukan warga kota yang baik!"
"Kenapa?" "Karena ia membuang ini sembarangan..." si gadis membuka telapak tangannya. Di situ, tampaklah puntung rokok yang sudah gepeng bekas diinjak .
Tangan kokoh yang tadi mencengkeram, pelanpelan merenggang lalu menjauh. Si gadis melangkah ke sebuah tong sampah dan membuang puntung rokok itu dengan wajah ketus. Setelah itu, meneruskan perjalanannya sendiri. Dengan sikap acuh tak acuh.
*** Ida, juga makan siang di sebuah restoran. Dengan Novi tentu.
Novi bergumam tidak mengerti, "Heran. Kau bilang suamimu sudah mengaku. Tetapi kau tetap tidak mengetahui siapa perempuan itu!"
Ida menjawab lesu, "Seperti kubilang tadi Zain mengatakannya selagi ia mabuk."l"
"Lalu. Mengapa tidak terus kau desak?"
Ida menggelengkan kepala. "Orang mabuk suka ngomong aneh-aneh. Kata-katanya, tak dapat dipegang,"
"Setelah ia normal kembali?"
"Sama saja. Dengan mudah Zain akan membantah keras. Maka, daripada bersitegang urat leher, aku memilih lebih baik diam."
"Pilihan yang bijaksana, Ida." Novi akhirnya menyatakan persetujuan disusul dorongan bersemangat, "Semuanya akan beres. Percayakan sajalah Dada detektif kita. Oke?"
*** DAN waktu, terus saja berlalu. Berlalu meninggalkan siapa saja yang kerjanya cuma berleha-leha. Atau, siapa saja yang ingin berbuat sesuatu, tetapi ragu ragu, lebih-lebih lagi jika tidak tahu dari mana ia harus memulai.
Zain bukanlah jenis orang semacam itu. Sebagian dari hidupnya dihabiskan Zain bersama buku. Dan buku senantiasa mengajarinya agar tidak terus bertanya-tanya, tetapi segeralah buka lembaran berikut.
Di lembar hari pertama, ia temukan Susi yang sibuk mengerjakan segala sesuatu di rumah. Atau jika tidak sedang bekerja, ia mengunci diri. Di lembar hari berikutnya, Zain sengaja berlambat-lambat meninggalkan rumah. Dan begitu istrinya berangkat ke kantor, Zain langsung memanfaatkan waktunya pada kesempatan pertama.
Susi yang tengah memberesi meja makan, ia peluk dari belakang.
Mestinya lebih dahulu Zain memberitahu lewat kata kata, paling sedikit berdehem dehemlah. Tetapi karena ia sadar Susi bermaksud menghindar, Zain langsung main terkam. Tentu saja Susi terperanjat alang kepalang. Piring gelas yang barusan diangkatnya dari meja, terlempar dan pecah berhamburan di lantai.
"Astaga! Apa yang Tuan lakukan?" Susi mengomel seraya memberesi lantai, sementara Zain terpaksa hanya bisa garuk-garuk kepala.
Zain menunggu dengan sabar, sampai segala sesuatunya sudah rapi kembali. Pecahan-pecahan piring gelas pun sudah lenyap di tempat pembuangan sampah. Susi tampaknya tidak punya alasan lagi untuk menghindar dan Zain sudah siap melancarkan serangan kedua, manakala dari depan rumah terdengar bunyi klakson mobil.
Zain jengkel setengah mati.
Siapa pun tamu tidak diundang itu, harus diusirnya jauh jauh. jika perlu, sampai ke neraka pun jadi.
Zain lantas bergegas ke luar rumah. Siap untuk melemparkan sekeranjang sumpah serapah, sewaktu ia mengenali mobil yang pintunya sudah dibuka dan dari dalamnya turunlah Ida. Karena mereka ber
bentrokan di pintu masuk, mau tidak mau perang dingin terpaksa harus ditunda dulu.
Ida tersenyum berbasa-basi, kemudian terheranheran melihat wajah suaminya yang susah ditebak apakah sedang marah atau sedang putus asa. Tetapi apa pula pedulinya" Maka sambil menyelinap masuk setelah sang suami memberi jalan, Ida pun berbicara seperlunya, "Buku cekku tertinggal!"
Ketika Ida keluar dari kamar, Zain sudah angkat kaki dari rumah.
Namun ketika lembaran hari berikutnya dibuka oleh Zain, ia membaca situasinya lebih berhati-hati. Menjelang tengah hari, dari kantor pribadinya ia menghubungi nomor telepon kantor Ida. Pegawai yang menerima menanyakan siapa yang menelepon. Dan begitu Zain memberitahu. pegawai itu menghilang sebentar dari telepon. Waktu ia kembali lagi, dengan nada menyesal si pegawai memberitahu bahwa majikannya sedang sibuk dan tak bisa diganggu.
Ida sedang sibuk, memang itulah yang diharapkan oleh Zain. Tetapi harus jelas, berapa lama kesibukan itu akan menyita waktunya. Maka Zain pun minta dihubungkan dengan Novi.
"...Pegawai itu tidak berdusta, Bang Zain." Novi menjelaskan dengan nada bersahabat. "Istrimu
memang lagi sibuk berat. Tetapi jika Abang mau meningggalkan pesan.?"
"Apakah pegawaimu tadi tidak memberitahu bahwa aku bermaksud mengajak Ida makan siang?" potong Zain, mengatur permainannya dengan baik.
Novi tertawa lunak, sebelum menjelaskan dengan suara menghibur, "Harap Abang tidak kecewa. Istrimu bilang, dia berterima kasih untuk ajakan makan siang, yang katanya sedikit mengherankan!" Novi tertawa lagi, masih tetap lunak, sebagai isyarat bahwa ia tahu ada sesuatu tetapi itu bukanlah urusannya.
"Sibuk apa sih dia?"
"Ada seorang klien, eh, persisnya mantan klien karena baru saja meninggal dua hari lalu. Ia meninggalkan tidak saja harta berlimpah-limpah. Tetapi juga anak yang berceceran di sana-sini. Masingmasing merasa punya hak, walau belum jelas sah atau tidaknya. Penasihat-penasihat hukum mereka saat ini tengah mempelajari sejumlah akta yang tersimpan dalam arsip kami. Memusingkan memang, Bang Zain. Tetapi Ida tidak ingin mengecewakan mereka. Dan tampaknya waktunya akan tersita selama beberapa jam lagi. Apakah penjelasan saya ini cukup, Bang Zain?"
"untuk ditulis dalam sebuah buku, lebih dari cukup" jawab Zain, disusul keluh kesah kecewa, sebelum telepon ia letakkan. Tetapi begitu telepon sudah tersimpan aman, keluh kesahnya pun berubah seketika jadi siulan riang gembira.
Beberapa jam, kata Novi. Cukup banyak waktu, tetapi Zain tak mau melepaskan sia sia walau hanya sedetik saja. Bukankah perjalanan hidup bahkan pikiran seseorang, dapat saja berubah dalam hitungan detik"
kebetulan ada tugas untuk Mail di kantor.
Maka dengan gembira, Zain mengemudikan sendiri mobilnya dan terbang pulang ke rumah. Seujung rambut pun ia tidak tahu bahwa ada sebuah mobil lain ikut-ikutan terbang mengikuti dari belakang.
Yah, andai pun Zain tahu, apa pula yang harus dicemaskan" Mobil itu toh berhenti cukup jauh dari rumahnya, karena aturannya adalah ikuti semenjak meninggalkan pintu gerbang, sampai kembali ke tempat yang sama. Setelah memasuki pintu gerbang, bukan lagi urusan orang yang duduk di belakang kemudi mobil yang mengawasi dan menunggu dengan setia itu.
Senyum memekar di bibir Zain, ketika pintu dibukakan oleh Susi. Zain sudah siap untuk mengu
capkan, "Halo, Kekasihku!" ketika ia didahului oleh dering telepon di dalam rumah .
jangan-jangan, Ida! Harap harap cemas, Zain menunggu Susi yang ia biarkan mengangkat dan berbicara di telepon, namun gagang telepon tidak langsung disimpan Susi. Tetap memegang gagang telepon, pelayannya yang berpenampilan menggoda itu berpaling pada Zain. Lalu memberitahu diiringi senyuman manis. "Tuan muda Edo. langsung dari Amerika....!"
Hari hari yang menyakitkan!
Zain rindu dan cinta Edo, itu sudah pasti. Pembicaraan dengan Edo pun ringkas saia. Edo hanya sekadar memberitahu ia seperti juga ayahnya, tidak kuat menahan rindu. Bahwa beberapa hari belakangan ini ia merasa tidak enak, lalu bertanya apakah semua orang di rumah baik-baik saja.
Itu saja yang ingin dipastikan Edo. Agar ia dapat belajar dengan tenteram, katanya. Lantas kemudian mengakhiri, "Barangkali, Papah, aku hanya terpengaruh musim dingin yang kelewat panjang. jangan lupa peluk ciumku untuk Mamah!"
Sungguh, hari yang menyakitkan. Karena, perasaan tak enak Edo bukanlah tanpa sebab. Zain menyadari betul hal itu. Ia diliputi perasaan bersalah.
*** "Untuk ditulis dalam sebuah buku, lebih dari cukup!" jawab Zain, disusul keluh kesah kecewa, sebelum telepon ia letakkan. Tetapi begitu telepon sudah tersimpan aman, keluh kesahnya pun berubah seketika jadi siulan riang gembira.
Beberapa jam, kata Novi. Cukup banyak waktu, tetapi Zain tak mau melepaskan sia sia walau hanya sedetik saja. Bukankah perjalanan hidup bahkan pikiran seseorang, dapat saja berubah dalam hitungan detik"
kebetulan ada tugas untuk Mail di kantor.
Maka dengan gembira, Zain mengemudikan sendiri mobilnya dan terbang pulang ke rumah. Seujung rambut pun ia tidak tahu bahwa ada sebuah mobil lain ikubikutan terbang mengikuti dari belakang.
Yah, andai pun Zain tahu, apa pula yang harus dicemaskan" Mobil itu toh berhenti cukup jauh dari rumahnya, karena aturannya adalah ikuti semenjak meninggalkan pintu gerbang, sampai kembali ke tempat yang sama. Setelah memasuki pintu gerbang, bukan lagi urusan orang yang duduk di belakang kemudi mobil jang mcngau asi dan menunggu dengan setia itu.
Senyum memekar di bibir Zain, ketika pintu dibukakan oleh Susi. Zain sudah siap untuk mengucapkan. "Halo, Kekasihku!" ketika ia didahului oleh dering telepon di dalam rumah.
jangan-jangan, Ida! Harap harap cemas, Zain menunggu Susi yang ia biarkan mengangkat dan berbicara di telepon, namun gagang telepon tidak langsung disimpan Susi. Tetap memegang gagang telepon, pelayannya yang berpenampilan menggoda itu berpaling pada Zain. Lalu memberitahu diiringi senyuman manis. "Tuan muda Edo. Langsung dari Amerika....!"
Hari hari yang menyakitkan!
Zain rindu dan cinta Edo, itu sudah pasti. Pembicaraan dengan Edo pun ringkas saja. Edo hanya sekadar memberitahu ia seperti juga ayahnya, tidak kuat menahan rindu. Bahwa beberapa hari belakangan ini ia merasa tidak enak, lalu bertanya apakah semua orang di rumah baik-baik saja.
Itu saja yang ingin dipastikan Edo. Agar ia dapat belajar dengan tenteram, katanya. lantas kemudian mengakhiri, "Barangkali. Papah, aku hanya terpengaruh musim dingin yang kelewat panjang jangan lupa peluk ciumku untuk Mamah!"
Sungguh, hari yang menyakitkan. Karena, perasaan tak enak Edo bukanlah tanpa sebab. Zain menyadari betul hal itu. Ia diliputi perasaan bersalah.
Dan ketika ia memutuskan kembali lagi ke kantor, jangankan mengajak Susi ke tempat tidur. Untuk ngomong saja pun, Zain sudah tidak bernafsu.
Segi positifnya memang ada.
Telepon dari Edo dan kirim salam untuk ibunya, sedikit meredakan suasana.
Pulang kantor, Zain serta Ida tidak lagi sekadar berbasa-basi, ketika pembicaraan sudah menyangkut tentang anak mereka. Bahkan lda sempat minta maaf karena tak dapat memenuhi undangan makan siang suaminya. Zain yang sama sekali sudah melupakan ajakan makan siang itu, mau tidak mau tertawa jadinya.
Tertawa pahit, tentu saja.
Alih alihnya, urusan kantor masuk juga dalam pembicaraan. Seperlunya saja memang, tetapi yang seperlunya itu telah mengingatkan mereka kembali pada kenyataan hidup yang harus mereka hadapi. Dengan cara, dan jalan pikiran masing-masing. Dan sadar atau tidak, diam-diam mereka kembali menjaga jarak.
Seperti malam sebelumnya.
Mereka tidur di ranjang yang sama, itu benar. Diam-diam, mereka juga menginginkan hal yang sama. Ida, karena dorongan hasrat kewanitaan. Zain.
karena hilang kesempatan untuk mendapatkannya dari Susi. Tetapi baik Ida maupun Zain, sama menahan diri. Sama menunggu, agar yang lain memulai lebih dulu.
Akibatnya, mereka berdua kelewat kesal menunggu lantas akhirnya sama tertidur. Punggung memunggungi!
Malam pun lewat, dan toh, kurang ajarnya, tetap lewat dengan sia-sia. Itu, menyangkut kebutuhan rohani. Namun jika sudah menyangkut kebutuhan badani, lain halnya. Orang harus hidup. walau dengan musuh besarnya sekalipun.


Beauty Affair Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu pula Zain dan Ida.
Mereka tetap makan pagi bersama, walau satu sama lain tak berbicara. Tanpa mengetahui bahwa Susi yang mengawasi dari dapur diam-diam menyadari bahwa dirinyalah yang menjadi sumber penyakit.
Diam-diam Susi meneteskan air mata. Mendadak pula, terbit kerinduan pada anak dan orangtuanya di kampung. Kerinduan itu membuat kedua belah pipi Susi semakin basah saja.
Dan, waktu masih terus berlalu.
Yang terlewat ialah, ada waktu-waktu senggang yang terkadang justru menjemukan. Dan ada waktu waktu sibuk yang malah menerbitkan kegembiraan.
Zain pun dihadapkan pada hari-hari sibuk yang menggembirakan itu. Kantor konsultan Zain bersama dua rekan sejawatnya, dipercaya oleh seorang rekanan untuk melaksanakan sendiri negosiasi dengan sebuah perusahaan lain. Untuk itu diperlukan keikutsertaan kantor notaris. Dan seperti acapkali terjadi, yang ditunjuk adalah kantor notaris Rufaida S.H.
Tetapi Ida tak bersedia hadir.
Tugasnya ia delegasikan pada orang kepercayaannya. "Bu Ida sedang sibuk menangani transaksi yang tak mungkin ditangani orang lain," wakilnya menjelaskan. Lazim-lazim saja, dan selama ini toh segala sesuatunya pun beres-beres saja. Rekan-rekan sejawatnya pun tidak bertanya apa-apa.
Dan Zain terbebas dari keharusan menjelaskan bahwa lda tak bersedia hadir karena tidak ingin duduk satu meja dengan suaminya!
Karena ada permintaan agar urusan negosiasi itu diselesaikan sesegera mungkin, terpaksalah mereka mengabaikan waktu istirahat bahkan waktu untuk tidur. Malam berikutnya, giliran Zain kerja lembur. Mengingat situasi di rumah kurang menguntungkan, maka Zain memilih berkurung sepanjang malam di kantonya. Ditemani sekretarisnya, dan salah seorang staf. Sekitar pukul sepuluh pagi esoknya, Zain selesai
menyusun deskripsi yang diperlukan pihak-pihak berkepentingan. Yang salah satu tembusannya nanti akan dikirimkan ke Departemen Kehakiman.
Zain menarik nafas lega. "Aku mau pulang ke rumah. Tidur barang satu dua jam," katanya lelah pada sekretarisnya. "Kuharap, tidak ada yang masih terlupakan, Magda!"
Meski matanya memperlihatkan kantuk, Magdalena toh masih sanggup mengulas senyuman manis. "Tak satu pun. Pak Zainul, kecuali pesan Bapak kemarin dulu. . .."
"Apa ya?" Zain mengingat ingat.
"Agar bila semua urusan ini selesai, saya harus mengingatkan Bapak!"
"Tentang?" "Hadiah untuk istri Bapak di rumah!"
Mendengar kata "istri" itu, Zain terpaksa menahan senyum.
Maka, dalam perjalanan pulang ke rumah Zain pun menyempatkan diri singgah ke toko permata. Kosmetik yang sebelumnya ia beli di pasar sualayan, sudah ia selundupkan dengan selamat ke kamar tidur Susi. Hari ini, ia memilih giwang berlian yang ia niatkan akan diserahkan langsung ke tangan Susi.
Ia harus berbicara dengan pelayannya yang cantik lagi sexy itu. jika mungkin, Zain teramat sangat ingin mendapatkan sesuatu sebagai imbalan jerih payahnya
Sesuatu yang sebagai seorang perempuan, tentunya dipahami betul oleh Susi!"
*** 122 TAMPAKNYA, ada harapan! Ketika ia tiba di rumah, Zain segera mengetahui bahwa Ida baru saja berangkat ke kantor dan Susi hanya sendiri di rumah. Zain lalu menemui supirnya yang masuk ke dapur untuk membuat segelas kopi bagi dirinya sendiri.
"Mail. Kau giliran ronda lagi semalam suntuk tadi bukan?"
"Benar, Tuan." sahut Mail dengan mata merah dan masih setengah mengantuk.
"Nah. Pulanglah ke rumah. Dan tidur yang nyenyak!"
"Sekarang, Tuan?" desah Mail, gembira.
"Sekarang juga!"
"Terima kasih, Tuan!" ujar Mail gembira seraya berjalan ke luar rumah, menuju sepeda motor tuanya. Di pintu depan, ia ditahan Zain yang menjejalkan beberapa lembar uang kertas lima puluh ribuan ke tangan kerempeng Mail.
"Untuk nonton nanti malam. Dengan pacar
?"Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Beribu-ribu terima kasih." Mail sampai terbungkuk-bungkuk ketika menyatakan perasaan suka citanya. Dalam sekejap, ia sudah lenyap bersama sepeda motornya.
Zain menutup pintu. Bersiul-siul kecil. ia masuk ke kamar tidur utama. Dasi dilepas. juga kemeja, yang kemudian ia ganti dengan baju rumah. Lalu pergi ke kamar mandi. Gosok gigi, membasuh muka, mengeringkan dengan handuk, lalu kembali ke kamar tidur. Untuk menyisir rambut. Dan menyemprotkan wangi wangian ke sekujur tubuh. Sembari bersiul-siul gembira, tak peduli nadanya sumbang.
Dan, waktu untuk bermesraan pun tibalah!
Zain berjalan gembira menuju kamar mandi di koridor belakang. Dengan berjingkat tanpa suara, diam-diam ia menyelinap masuk. Susi yang tengah asyik mencuci keset-keset kotor, dirangkulnya dari belakang. Tengkuk telanjangnya dicium.
Susi tentu saja terperanjat setengah mati.
Sembari meronta melepaskan diri. Susi memekik-mekik ketakutan. "Tolong. Ada hantu?"
Zain membalikkan tubuh Susi. "Bukan hantu. Melainkan ini. . ..!"
Dikeluarkan Zain kotak perhiasan dari kantong celananya, terus dibuka dan isinya dipampangkan di depan mata si pelayan. Membuat Susi yang tadinya terbelalak, kian terbelalak saja.
"Suka?" tanya Zain bernafsu.
Ketegangan Susi mengendur. "Aduh. Tuan. Apa yang ...."
"Ayo. Kita ke kamarmu," potong Zain, tak tahan.
"Cucian saya belum selesai. Tuan. ?"
"Nantilah itu. Aku sudah tak kuat, nih!" Zain mencoba mencium bibir Susi, yang dengan halus mengelak.
"Tuan. Ini. . . tidak baik!" bisiknya, terengah.
Zain tersenyum. "Alasan itu lagi! Payah amat sih"!"
"Tuan pun payah," balas Susi, kalem. "Karena saya tahu, Tuan tidak akan pernah berani. . .. "
"Berani apa?" "Menceraikan istri Tuan"
Kegembiraan Zain melenyap. Zain menggeram, "Apakah itu merupakan syarat mutlak, Susi"!"
"Maaf. Tuan. Yang pasti, saya tak pernah bercitacita dijadikan istri muda. Itulah yang Tuan inginkan, bukan?"
Tembakan yang jitu. Dan tepat mengenai sasaran.
Zain pun terkulai. Dering telepon menyelamatkan Zain dari perasaan malu. Dengan tertatih maka ia tinggalkan kamar mandi dan pergi ke rumah induk. Gagang telepon diangkat tanpa gairah. Suara lain lebih tidak bergairah lagi, ?" Halo!"
Ada suara laki-laki menanyakan sesuatu.
Wajah Zain yang luruh, seketika berubah marah.
"Kau salah sambung, Bung!" ia menggerutu. Telunjuk tangan kirinya seketika menekan tombol di bak telepon, untuk memutuskan hubungan Gagang telepon di tangan lain, diamat amati dengan jengkel. "Bangsat. Mengganggu saja!"
Dengan jengkel pula gagang telepon dihentakkan dengan keras ke tempatnya.
Lupa, telunjuk jari kirinya masih ada di sana.
Zain pun berseru kesakitan.
lantas terduduk di kursi. Dengan wajah sengsara....l]
*** ZAIN membuka matanya perlahan lahan. Dalam sekejap. ia sudah beradu pandang dengan sepasang mata yang lain. Mata yang memandang sejuk, yang seakan siap meneduhi siapa saja yang ingin berlindung dalam naungannya. Dan di bawah sorot mata sejuk itu, terulas seulas senyuman yang tak kurang sejuk.
Senyuman arif seorang psikiater.
"Aku terjepit, Dokter!"
Psikiater itu tidak mengomentari. Prinsip kerjanya adalah, biarkan mereka mengutarakan lepas semua kandungan hati, dari yang baik sampai ke yang paling busuk. Lalu masukkan pendapatmu pada waktu dan suasana hati yang tepat..
Zain bangkit dari sofa. Berjalan ke jendela kantor praktik si dokter yang berlokasi di lantai tingkat sekian sebuah gedung perkantoran. di mana juga ada sebuah hotel. Di bawah sana, tampak taman yang asri. bunga-bunga segar memekar. rumput-rumput
hijau. Dan ayunan tangan serta kaki teramat begitu indahnya, di kedalaman air sebuah kolam renang.
Pikiran yang tengah berkecamuk membuat semua yang indah di bawah sana tak terperhatikan oleh Zain. Berkeluh kesah sebentar, ia kemudian melanjutkan.
"Aku bisa saja membohongi istriku. Dokter 'kan tahu. Jika ingin rumah tanggamu selamat, janganlah terlalu sering mengatakan kebenaran pada istrimu. Karena seorang istri, ada kalanya lebih menyukai kebohongan dari suaminya. . ..!"
"Hem. Itu tergantung pada banyak hal, Tuan Zain," desah si psikiater, lembut.
Zain angkat bahu Tak tertarik.
"Dengan istri kita, ya. Tetapi tidak dengan seorang kekasih," ia kembali mengeluh. "Begitu ia tahu kau berbohong padanya, seketika itu pula ia akan mengucapkan selamat tinggal. Bye-bye. Lupakan semuanya dan silakan kentut sepuas-puasmu!"
Ungkapan kasar. memang. Dan sang psikiater hanya bisa menanggapi dengan senyuman tanpa kata.
Zain memutar tubuh, menghadap ke psikiaternya yang duduk tenang tenang di kursinya.
"Tetapi, mana mungkin aku mengatakan yang sebenarnya pada Susi, dokter" Menceraikan Ida sih, mungkin dan boleh boleh saja. Lantas bagaimana dengan Edo?" Pandangan mata Zain menerawang jauh dan kosong, waktu pertanyaan itu kemudian ia jawab sendiri. "Masa depan anakku satu-satunya itu akan berantakan! Dan Edo akan habis, sekali ia tahu siapa perempuan yang kunikahi. Seorang ba... Aah, sudahlah!"
Zain kembali ke sofa empuknya.
Duduk setengah rebah, dengan kelopak mata terpejam. Sakit.
"Anda masih dapat memperbaiki keadaan," dokter mengusulkan. "Saya maksudkan, dengan istri Anda."
"Ida?" Zain menyeringai. Masam. "Ida akan makin semena-mena. Ia akan semakin keranjingan mengunci pintu kamar tidur. Berpuas diri mengetahui aku terpaksa meringkuk kedinginan tak bisa nyenyak di kamar kerjaku yang sumpek itu!"
"Bukankah masih ada kamar tidur lainnya?"
"Kamar tidur Edo tak boleh kami usik. .. Memang ada dua kamar lain di paviliun. Tetapi apa bedanya. Dokter?"
"Sesekali, cobalah tidur di kamar sebuah hotel...."
"Itu sebuah penghamburan!"
"Apakah membelikan hadiah-hadiah pada seorang wanita yang tak berani memakai hadiah itu bukan sebuah penghamburan, Tuan Zainul?" si dokter muda mulai membidik ke sasaran.
Bidikannya benar. Sasarannya yang salah.
Dengan cepat Zain sudah menemukan jawaban yang pas. "Semua itu kuberikan dengan hati yang ikhlas. Hati yang diselimuti oleh kasih sayang dan cinta yang tulus. . ..!"
Zain berhenti sebentar. Ia menatap lurus ke wajah dokter muda di seberang meja, lantas berujar datar, "Tidak seperti ketika tiap kali aku menandatangani cek untuk membayar honorariummu, Dokter. Mungkin itulah yang lebih tepat disebut sebagai penghamburan!"
Mau tidak mau, dokter muda itu terpaksa nyengir.
Ia kalah set. *** Lain halnya dengan cengar-cengir Ida, ketika orang misterius itu melangkah masuk ke kantor pribadinya, mengambil sebuah kursi dan meletakkan tas kerjanya yang besar, di pangkuan.
"Siap untuk melapor, Bu Ida." ujar si lelaki, dengan suaranya yang khas. Suara yang amat berat, amat dalam.
Karena orang itu belum juga membuka tasnya, Ida segera memaklumi. la ambil buku cek, menulis lalu menandatangani, kemudian menyerahkan cek itu kepada tamunya.
Ditambah sebuah penjelasan pendek, "Jumlah yang tertulis sudah termasuk uang muka Anda untuk minggu depan"
Lebih dahulu orang itu mengantongi upah jerih payahnya, baru setelahnya tas besarnya ia buka dengan santun. la keluarkan sebuah bundel dengan tebal sekitar lima puluh halaman. Kertas-kertas folio yang diketik dan dibundel rapi.
Dengan bernafsu Ida menyambar bundelan itu. "Semuanya ada di sini?" Hasil penyelidikan Anda selama satu minggu?"
Orang misterius itu menjawab tenang, "Itu laporan hari pertama, Bu Ida."
Lalu tenang-tenang pula ia keluarkan bundelbundel lainnya. Diletakkan satu per satu di atas meja, seraya menambahkan hari-hari laporan secara lisan. Semuanya ada tujuh bundel, termasuk yang sudah dipegang Rufaida. Tak pelak lagi, sepasang mata Ida terpentang lebar. Beberapa saat, nafasnya sesak.
Lalu, dengan terengah-engah ia nyeletuk, "Ini. . . akan menghabiskan waktu untuk membacanya... paling tidak" satu bulan!"
"Sesuai dengan instruksi Anda, Bu Ida," orang itu membela diri, "Tertulis lengkap hasil penyelidikan kami setiap jam, menit, bahkan ke detik detiknya. Kami telusuri semua gerak-gerik suami Anda, semenjak meninggalkan pekarangan rumah. Ke mana ia pergi, untuk apa, dengan siapa ia bertemu. Dirinci juga dalam laporan kami, apa saja yang ia bicarakan. Siapa teman bicaranya, macam apa hubungan mereka. Dilengkapi rincian identitas, dan. "
Dan, Ida tersentak. Tanpa daya. Orang itu pun bangkit dari duduknya. "Ada satu hal yang ingin saya ketahui langsung dari mulut Anda, Bu Ida.... "
Ida terdongak. Gairahnya muncul lagi.
"Katakan saja."
"Apakah suami Bu Ida suka membagi bagikan hadiah untuk relasi relasinya?"
"Ya, sama denganku sendiri," jawab Ida mulai cemas lagi.
"Termasuk hadiah gaun. Dan kosmetik?"
lda tercengang. "Begitu juga pendapat saya. Mustahil, bukan?" suara orang itu, kali ini terdengar lebih riang. "Tetapi, apakah dalam minggu terakhir ini Bu Ida ada memperoleh hadiah hadiah cinta seperti itu dari suami?"
Hampir saja Ida mengangguk, terdorong gengsi dan nama baik.
Tetapi ia cepat memutuskan untuk berterus terang. "Tidak. . .!" katanya hampir tak kedengaran.
"Mulai besok pagi, saya akan menaruh perhatian khusus dalam hal ini!" orang itu menjanjikan. "Saya anjurkan, kapan saja Bu Ida bersedia, lebih baik Bu Ida langsung mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Sehingga, saya pun tak perlu mengerahkan sedemikian banyak orang untuk mengetik laporan. Bu lda pun. . . paling banyak hanya menerima laporan tak akan lebih dan lima lembar kertas!"
Orang itu kemudian berlalu.
Meninggalkan Ida termangu-mangu. lda yang menatap nanar ke gundukan bundel laporan di atas mejanya. Makin lama ia menatap, bundelan itu seakan tambah menggunduk, sampai akhirnya kelihatan seperti menggunung.
Dengan Ida sendiri. terhimpit di bawahnya!"
*** Lelah dan tampak bertambah tua beberapa tahun, Ida menoleh ketika mendengar ada bunyi suara memantul dari arah pintu. Itu adalah pintu kamar tidurnya. Yang bernuansa remang mengarah gelap, karena lampu utama tadi sudah dipadamkan lda. Sinar lampu baca memang cukup terang untuk membantu Ida membaca sembari rebahan di ranjang. Tetapi sinar yang memantul ke balik kap lampu baca itu terlalu gelap untuk menerangi daun pintu di sana.
Begitu pun, Ida tahu apa yang menimbulkan suara samar barusan. Pasti tombol pintu yang diputar seseorang dari luar. Usaha yang jelas sia-sia saja, karena pintu itu dalam keadaan terkunci dari sebelah dalam.
Benar saja. Orang di sebelah sana pintu terdengar menghela nafas panjang. Disusul suara segan-segan, "Apakah kau sudah siap untuk berangkat, Mah?"
"Siap apa?" Ida membatin, seraya memandangi kimono tidur yang membungkus tubuhnya.
Karena tak ada sahutan, suara di luar mengingatkan, "Totok dan Eddy sudah sepakat membawa istri menghadiri jamuan makan malam itu Mah."
Ida melengos. Lalu kembali menekuni kertas kertas yang tadi ia baca. Tepatnya bundelan bundelan laporan sang detektif pribadi, yang kini susunannya sudah tidak karu-karuan di tempat tidur Ida.
Zain akhirnya mengalah. "Tak apalah kalau Mamah mengantuk. Aku akan pergi sendiri. Tetapi jangan salahkan, jika aku pulang pagi '
"Terserah!" Ida mendengus Pelan.
Tentu saja tidak terdengar sampai ke luar pintu.
"Persetan!" di luar pintu, Zain memaki. Dan juga, tentu saja berusaha agar tidak sampai terdengar ke sebelah dalam pintu.
Ida terus membaca. Dan Zain pun terus melangkah pergi untuk mengeluarkan mobilnya dari garasi. Tetapi ia sempatkan mengambil kunci pintu depan. Siapa tahu, ia pulang dini hari. Pintu garasi ia buka dengan marah, membuat suaranya terdengar hingar bingar di kesunyian malam sekitarnya.
Susi yang baru saia selesai makan malam di kamar tidurnya sendiri segera bangkit. Bagaimana pun, toh ia harus mengunci garasi dari sebelah dalam. Susi pun bergegas ke garasi. Zain yang sudah siap memasuki mobil, tertegun melihat keberadaan kekasihnya. Sesuatu melintas di kepala Zain. Dan ia pun langsung mengutarakannya.
"Inilah kesempatanmu, Susi!"
"Ya. Tuan?" Susi memandang tak mengerti.
"Hadiah hadiah itu. Sekaranglah waktu yang tepat untuk kau pakai menghiasi tubuhmu yang indah.. .."
"Oh. Dan saya akan mendampingi Tuan dalam jamuan makan malam yang tadi sempat Tuan singgung-singgung. iya "kan?"
"Persis!" Susi meluruskan tegaknya. "Saya siap untuk mendampingimu Tuan. Asal Tuan bersedia meminta izin dari Nyonya!"
Terbadailah Zain. Tetapi ia sudah terlalu jemu untuk bertengkar terus dengan perempuan-perempuan yang menghuni rumahnya. Maka, dengan susah payah Zain dapat juga memaksakan seulas senyum. Bahkan juga, secercah harapan.
"Susi?" "Saya, Tuan" "Sudah beberapa hari ini kau mengelak. Tetapi sekali ini. . . boleh ya" Sekilas pun, tak apa"
"Baiklah." Susi akhirnya menyatakan setuju.
Sementara di kamar tidur Ida menggelenggeleng keras karena baru saja menemukan sesuatu yang mengherankan di laporan sang detektif, maka di garasi, suaminya mencondongkan tubuh ke depan. Lalu bibir Zain hinggap di bibir Susi. Maunya memang sekilas, tetapi Zain tak kuasa menahan untuk mengulum bibir Susi berlama lama
Susilah yang dengan susah payah terpaksa melepaskan diri. "Sudah ah, Tuan. Nanti Nyonya memergoki. . .l"
"Sialan!" Ida memaki di kamar tidurnya. "Kukira siapa. Perempuan ini 'kan kasir di kantor suamiku. Sudah hampir nenek nenek lagi!"
lda pun melembari laporan berikutnya.
Di bagian lain rumah, Zain memundurkan mobil dari garasi. Dan masih sempat mendengar suara Susi yang diucapkan dengan suara bergetar, "Hati-hati di jalan. Tuan. . .!"
Kemudian garasi serentak tertutup.
Dan Zain mulai memasuki lalu lintas yang hiruk pikuk.[]
*** JAMUAN makan malam itu berlangsung di sebuah restoran, yang juga menyediakan tempat untuk melantai. Semua biaya ditanggung oleh dua perusahaan yang baru saja menyepakati merger atas bantuan tiga sekawan konsultan yang sama sama hadir dalam jamuan itu. Suharnoto, Eddy, wakil-wakil perusahaan dimaksud, dan kebanyakan tamu lainnya sama membawa istri masing masing .Ada pula yang membawa pacar. Dan secara sembunyi-sembunyi, segelintir lagi menemukan pasangan sambil lewat yang memang tersedia, entah atas inisiatif siapa.
Zain yang muncul sendirian, tentu saja jadi sasaran olok olok. Sampai akhirnya ia dengan terpaksa membela diri. "Lengan Ida terkilir sewaktu latihan di rumah. . .."
"Sumpah?" Nyonya Eddy mendesak.
Kepalang basah. Zain pun menganggukkan kepala.
Beberapa menit sebelum Zain terdesak menyatakan sumpah, di kamar tidur utama rumahnya, Ida dihinggapi perasaan pusing yang memumetkan kepala. Benar, ada beberapa hal yang menarik dari laporan yang ia baca. Tetapi kebanyakan hanya tetek bengek tak bernilai, ditinjau dari sudut kepentingan Ida.
Kepala Ida bertambah mumet sewaktu ia teringat bahwa Zain sudah berangkat sendirian menghadiri jamuan makan malam. Bayangan buruk pun pelanpelan merasuki pikiran Ida.
"Jangan jangan, Zain hanya berpura pura kecewa. Padahal, sesungguhnya ia berSorak karena aku menolak ikut" lantas dengan menari-nari dia pergi menjemput wanita simpanan sialannya itu!"
Nah, lu! Bagaimana sekarang" Dapat saja Ida menyusul. Dan okelah, jika ia temukan Zain tetap sendirian.
lantas, bagaimana jika lda temukan Zain tengah melantai, berpelukan, bahkan berciuman dengan perempuan terkutuk itu" Ida dapat mundur teratur. Tetapi bagaimana dengan harga dirinya" Aib besar pun akan menimpa, jika misalnya ia jambak rambut si perempuan lalu membanting saingannya itu ke lantai, sampai kelenger!
Ida pun pusing tujuh keliling.
"Baiknya aku latihan saja ah.. .!" ia memutuskan dengan bimbang. Kimono tidurnya dilepas. Hanya dengan beha dan celana dalam, ia meninggalkan kamar. Tak lupa mengunci pintu sekalian. Ada rahasia besar terserak-serak di tempat tidur, bukan"
Mulanya, Ida hanya latihan ringan.
Namun bayangan-bayangan tak sedap mendorongnya untuk latihan lebih berat. Dan, persis ketika suaminya dengan terpaksa mengangkat sumpah, lantai matras yang dibasahi keringat Ida menjadi licin dan seketika itu juga Ida pun terpeleset.
Barbel yang tengah diangkatnya, mujur sempat ia lemparkan jauh-jauh terdorong naluri menyelamatkan nyawa. Tetapi gerakan melempar membuat lda tak kuasa mengatur posisi jatuhnya di lantai. Siku tangannya tertekuk menyalahi ketentuan.
Terkilirlah Ida. Ia mengerang kesakitan, kemudian ribut memanggil pelayannya.
Sayang, Susi yang diliputi perasaan risau, tengah menghibur diri dengan menonton televisi 14 inch di kamar tidurnya. Panggilan sang majikan tidak ia dengar. Dan karena ia tak muncul-muncul juga, terpaksalah Ida bangkit tertatih-tatih. Seraya
memegangi lengannya yang perih alang kepalang, ia setengah berlari-lari pergi ke koridor belakang, ribut menggedor. Begitu pintu kamar tidur Susi terbuka, ia langsung mengeluarkan perintah setengah menjerit, "Panggilkan dokter Faisal!"
Di pusat kota, Zain tersiksa oleh perasaan jemu. Diam-diam ia menyingkir. Ia keluarkan mobilnya dari tempat parkir.
Terus memacunya. Pulang ke rumah."
*** APAPUN yang kemudian terjadi, maka biang keladinya tak bisa dipungkiri.
Yakni ciuman menggebu, tadi di garasi. Ciuman itulah yang terus-menerus mengganggu pikiran Zain selama menghadiri jamuan makan malam yang dilanjutkan dengan acara melantai itu. Seorang perempuan cantik lagi sexy dengan sengaja telah didorong Suharnoto untuk menggoda sahabatnya. Namun di kepala Zain hanya ada seorang wanita cantik nan sexy, Susi!
"Kuharap saia Ida sudah ngorok di kamarnya," gumam Zain bernafsu, setengah berdoa. "Dan kali ini, tidak ada ampun untuk Susi. Aku sudah tidak tahan lagi. Kalau perlu ia akan kuperkosa!"
Ada kemungkinan Susi akan menentang .Jeritan Susi membangunkan Ida, dan semua pun terbuka. 'Ida ngamuk besar, itu pasti. Tetapi lebih baik begitu. Daripada terus-terusan main sembunyi-scmbunyian, yang tak jelas pula juntrungannya.
Zain menunggu dengan tak sabar, sampai petugas di sebuah pompa bensin selesai mengisi tangki mobilnya. Nafsu birahinya sudah sedemikian merasuk. Bukan hanya ke dalam jiwa. Bahkan juga ke sekujur raga. Setelah membayar, Zain bertanya di mana letak kamar kecil. Mobilnya ia parkirkan di sudut yang bebas, lantas masuk ke kamar kecil dimaksud. Di sana matanya merem-melek. Kencing.
Di rumah, Ida yang sudah tak tahan menanggung derita, terbadai di tempat tidur Susi. Tak berapa lama pelayannya itu berlari-lari maSuk ke dalam. Memberitahu dengan cemas, "Aduh. Nyonya. Dokter Faisal masih mengoperasi pasien di rumah sakit. . .. !"
Ida pun mengerang. "Punya obat gosok?"
Susi buru-buru mengambil obat dimaksud. Lalu terheran-heran ia melihat majikan perempuannya, yang duduk di pinggir tempat tidur dengan tegak. Sikunya yang terkilir tampak sudah sangat merah, mendekati bengkak.
"Aku tak sanggup lagi, Susi."
"Ya. Nyah?" "Hanya ada satu jalan!" Ida berkata mantap, meski wajahnya tetap menyeringai menahan sakit. "Mudah-mudahan aku belum lupa caranya. Dan kau, Susi, jangan terlalu gugup. .."
"Apa yang harus saya lakukan, Nyonya?"
Ida lantas memberi petunjuk-petunjuk. Susi mendengarkan dengan sesungguh hati. Ia tidak ada permusuhan pribadi secara langsung dengan majikan perempuannya, dan urusannya dengan suami sang majikan itu merupakan persoalan terpisah. Maka ia merasa wajib menolong dengan segala upaya.
"Jangan lupa," Ida kembali mengingatkan, "Sentakkan sekaligus. Sekuat kau mampu ...!"
Beberapa saat kemudian. Ida pun terpekik.
Butir-butir peluh seakan berlompatan dari sekujur pori-pori di tubuhnya. Susi yang pucat pasi, dengan ketakutan mengawasi sang majikan menggerak-gerakkan lengannya yang terkilir. Susi bahkan hampir semaput sewaktu pelan-pelan ia lihat Ida mengangkat muka, menatap lurus ke matanya.
"...Kau berhasil, Susi." bisik Ida, lembut. "Terima kasih."
Susi pun jatuh berlutut. Dengan sekujur tubuh bergemetaran oleh perasaan bersyukur.
Agak lama, barulah Susi mampu berkata kata, "Tetapi, andai Nyonya tidak nekad. . .. "
Ida tersenyum "Gosoklah sekarang"
Dengan hati hati Susi mengoleskan minyak gosok. Diurutkan lembut di sana sini.
"Urutanmu enak. Susi. Belajar dari' siapa?"
"Nenek saya di kampung, Nyonya..."
"Mau kau mengurut otot-ototku lainnya. Aku begitu letih. . .."
"Berbaringlah. Nyonya," sahut pelayannya dengan senang hati.
Ida menurut, dan tak lama kemudian matanya sudah terpejam-pejam nikmat mengarah kantuk yang kian memberat. Ia bahkan tak mendengar janji Susi untuk menggiling jahe. Ditambah air sari jeruk purut, dan sedikit minyak kelapa. Itulah yang terbaik untuk menyembuhkan lengan majikannya. Kalimat terakhir itu saja yang tertangkap telinga Ida. Dan Ida berkomentar malas.
"Sudah sembuh kok, ini "!"
Kemudian, Ida menguap lebar.
"Apakah Nyonya tidak lebih baik pindah ke kamar....?"
"Aku malas bangkit, Susi. Mataku... berat sekali...!"
"Kalau begitu, biarlah saya padamkan lampu."
Setelah memadamkan lampu dan dengan segansegan menyelimuti majikannya dengan selimutnya sendiri. Susi berkata bahwa ia akan mengeringkan
lantai matras yang telah mencelakakan nyonyanya. Lantas menambahkan malu malu.
"Boleh saya. . . mengayuh sepeda itu, Nyonya?"
Tak kuat menahan kantuk, Ida menyahut lirih, "Mau angkat barbel juga, silakan!"
Dengan gembira Susi menutup pintu.
jarang sekali ia diperkenankan mengganggu milik majikannya yang galak dan terkadang bersikap meremehkan itu. Sekaranglah kesempatan Susi berpuas-puas diri. Apalagi ia memang semenjak tadi susah benar memincingkan mata akibat pikiran risau.
Seperti takut ketahuan, Susi toh menutupkan pintu ruang latihan majikan perempuannya begitu matras ia keringkan. Matanya bergairah memandangi perlengkapan yang hebat-hebat di dalam. Ketika melihat tali untuk skipping, tcrbayanglah masa kecilnya" meski hanya memakai tali tambang. Susi pun tak terbendung untuk mencoba. Eh, ternyata ia masih bisa.
Ayunan .skipping pun dipercepat.
Suatu saat, kakinya terkait, dan Susi pun tersungkur ke depan. Dengan hidung lebih dulu mencium matras. Ccngar-cengir Susi bangkit duduk, mengusap-usap hidungnya. "Wah. Masih utuh. . .!"
Barulah ia pergi ke sepeda sport.
Berkayuh, berkayuh, dan terus berkayuh.
Begitu asyiknya Susi mengayuh sepeda yang langka ia nikmati itu, sehingga ia tidak menangkap kilasan cahaya melintas lewat ventilasi jendela. Kelopak mata Susi terpejam, membayangkan jalan jalan naik turun di pegunungan kampung kelahirannya.
Semua rasanya bagaikan mimpi indah, ketika orangtuanya masih cukup mampu membelikan Susi sebuah sepeda untuk dipakai ke sekolah. Susi yang masih bocah sepuluh tahunan, sudah terampil menggunakannya. Walau terkadang, ada saat di mana ia juga tidak tahu harus berbuat apa jika sepedanya tiba tiba saja bertingkah
Seperti siang hari itu, sepulang dari sekolahnya di alun alun desa. Susi harus menempuh perjalanan panjang naik turun bukit. Itu tidaklah melelahkan buat bocah seusia Susi, apalagi kalau sudah saling tancap dengan teman-teman yang juga punya sepeda. Terik matahari yang memanggang kepala, bahkan tak dirasakan lagi.
Susi terlambat menahan laju sepedanya ketika tiba tiba ia tiba di sebuah jalan menurun curam. Di situlah, untuk pertama kali, rantai sepedanya tiba-tiba putus begitu saja Disertai suara hingar bingar di balik
bak penutup rantai, sepeda Susi terus saja meluncur. Malah nyaris tidak terkendali.
Seorang teman sekelas yang mendahuluinya di depan, dibuat Susi jatuh tunggang langgang. Lalu seorang tua pejalan kaki, melihat adanya bahaya mendatang, dibuat Susi terbang ke luar jalan, mendarat di bekas kubangan kerbau. Sepeda dengan Susi di atasnya, toh masih selamat meluncur. Sampai tibalah di sebuah tanjakan yang tak kurang curamnya.
Susi sudah sempat menarik nafas lega. Susi pun sudah bersiap-siap untuk turun, ketika tahu tahu sepedanya bergerak lagi. Kali ini, dengan gerakan mundur. Mundur dan terus mundur. Susi berteriakteriak panik, tetapi laju mundur sepedanya semakin cepat saja. Rupany a, rem sepeda ikut mengulah. Tak mau kerjasama, macet.
Si tua pejalan kaki, yang sudah kembali lagi ke jalan, mendengar teriakan Susi, dan lagi-lagi melihat adanya bahaya mendatang. lagi lagi ia harus melompat. Lalu mendarat, masih di tempat yang sama, lumpur bekas kerbau berkubang. Hanya kali ini, orang tua yang sial itu ditemani Susi, beserta sepedanya sekalian.
Orang tua itu tidak menempelengnya. Entah mengapa. Mungkin karena ia seorang tua yang bijak
sana, dan yang ia hadapi bocah ingusan, perempuan pula. Atau barangkali, meski sudah tua, dia tetap saja seorang laki laki. Sementara Susi, di usia bocahnya sudah dikenal sebagai bunga paling cantik di desa, mana sudah pula memperlihatkan pertanda atau gejala gejala dia bakal sexy.
Sepeda Susi malah ditolong dibetulkan.
Sambil si orang tua mengomel panjang pendek, "jika saja aku lebih muda beberapa tahun, atau kau, sebaliknya lebih dewasa beberapa tahun. Hem. Kau akan merasakan akibat perbuatanmu!"
*** Susi pun lantas tersenyum senyum sendiri, di ruang latihan majikan perempuannya. Tanpa ia ketahui, majikannya yang laki-laki sudah pulang ke rumah, dan entah mengapa, tidak langsung menyimpan mobil ke garasi. Pintu gerbang ia biarkan pula menganga terbuka.
Zain mendapatkan lampu lampu besar di dalam rumah sudah dipadamkan. Berjingkat ia pergi ke kamar tidur. la menyelidiki pelan. Benar, terkunci. Ia masuk ke kamar kerjanya. Tanpa menyalakan lampu, jas ditanggalkan, menyusul dasi, sepatu, lalu kaos kaki. Semua dilempar semau-maunya. Terserah masing masing, mau hinggap di mana suka.
Zain sudah mau keluar, sewaktu ia diganggu oleh pikiran lain. Maka, tak ayal lagi, celana panjangnya juga ditanggalkan dan disuruh mencari tempat singgah yang lain.
"Begini lebih praktis. Tidak bertele tele, nanti"
Mclangkahlah Zain ke koridor, menuju kamar tidur pelayan. Langkah berjingkat, itu jelas. Seraya menanggalkan kancing-kancing kemejanya, itu sudah pasti.
Mulanya, ia mau mengetuk pintu. Tetapi niat itu segera dibatalkan.
"Buang-buang energi saja!" desahnya,
Alangkah beruntungnya Zain, pintu itu tidak terkunci.
Zain pun seketika membatin, "Nah, benar 'kan" Ia memang sudah menunggu kedatanganku!"
Merayap-rayap dalam gelap, ia temukanlah apa yang dicari. Meraba-raba sebentar dalam kegelapan, Zain pun bergumam tak sadar.
"Bahkan ia tanpa be-ha!"
Dalam gelap, Zain pun naik ke tempat tidur. Ia langsung merangkul, mencium, dan meremas kian kemari. Tubuh hangat di bawah himpitannya terasa
menggeliat. Ada suara keluhan samar. Sebelum berubah jadi jeritan. Zain dengan tangkas sudah menemukan bibir hangat itu untuk dicium habishabisan.
Apa yang semestinya terjadi, kemudian terjadilah.
Dimulai dari makian pendek. Disusul tekanan lutut di arah pinggang. Terakhir, adalah teriak keras seseorang yang tengah mengerahkan tenaga. ltu semua berlangsung hanya dalam satu helaan nafas saja.
Bahkan Zain belum sempat untuk berpikir, manakala tubuhnya tahu-tahu bagai melayang di angkasa lepas. Kemudian mendarat dengan hebatnya di lantai yang keras.


Beauty Affair Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada kejap berikutnya, kamar itu pun tetang benderanglah.
Ida, setelah menyalakan lampu, memandang galak ke lantai di bawahnya. Mata Ida liat ketika mengawasi suaminya bangkit dengan susah payah, wajah pucat bagaikan kertas. Tangan yang satu mengurut belakang kepala, tangan Zain mengusap lutut yang memar bahkan mencipratkan darah.
Zain tidak berani mengangkat muka.
Ida pun tidak merasa perlu berkoar-koar, mengumpat umpat cerca agar semua tetangga tahu, jika
*** Zain sudah mau keluar, sewaktu ia diganggu oleh pikiran lain. Maka, tak ayal lagi, celana panjangnya juga ditanggalkan dan disuruh mencari tempat Singgah yang lain.
"Begini lebih praktis. Tidak bertele tele, nanti!"
Melangkahlah Zain ke koridor, menuju kamar tidur pelayan. Langkah beriingkat, itu jelas. Seraya menanggalkan kancing kancing kemcianya, itu sudah pasti.
Mulanya, ia mau mengetuk pintu. Tetapi niat itu segera dibatalkan.
"Buang-buang energi saja!" desahnya, menyeringai.
Mangkah beruntungnya Zain, pintu itu tidak terkunci
Zain pun seketika membatin, "Nah, benar 'kan" Ia memang sudah menunggu kedatanganku!"
Merayap-rayap dalam gelap, ia temukanlah apa yang dicari. Meraba raba sebentar dalam kegelapan, Zain pun bergumam tak sadar.
"Bahkan ia tanpa be-ha!"
Dalam gelap, Zain pun naik ke tempat tidur. Ia langsung merangkul, mencium, dan meremas kian kemari. Tubuh hangat di bawah himpitannva terasa
menggeliat. Ada suara keluhan samar. sebelum berubah jadi jeritan. Zain dengan tangkas sudah menemukan bibir hangat itu untuk dicium habishabisan.
Apa yang semestinya terjadi, kemudian terjadilah.
Dimulai dari makian pendek. Disusul tekanan lutut di arah pinggang. Terakhir, adalah teriak keras seseorang yang tengah mengerahkan tenaga. Itu semua berlangsung hanya dalam satu helaan nafas saja.
Bahkan Zain belum sempat untuk berpikir, manakala tubuhnya tahu-tahu bagai melayang di angkasa lepas. Kemudian mendarat dengan hebatnya di lantai yang keras.
Pada kejap berikutnya, kamar itu pun terang benderanglah.
Ida, setelah menyalakan lampu, memandang galak ke lantai di bawahnya. Mata Ida liar ketika mengawasi suaminya bangkit dengan susah payah, wajah pucat bagaikan kertas. Tangan yang satu mengurut belakang kepala, tangan lain mengusap lutut yang memar bahkan mencipratkan darah.
Zain tidak berani mengangkat muka.
lda pun tidak merasa perlu berkoar-koar, mengumpat-umpat cerca agar semua tetangga, jika
perlu seluruh dunia, mengetahuinya. Ida sudah sedemikian lemas untuk melakukannya. Lemas tiada terkira, begitu semuanya terbuka di depan mata. Hanya ada seuntai kata getir, ". . Jadi, perempuan itu. ?"!" Sementara mata Ida pun berkaca-kaca."
*** PAGI begitu cerah. Pantas dinikmati, disertai perasaan bersyukur kepada Yang Maha Pencipta. Sayang sekali, hal hal baik seperti itu enggan masuk ke dalam sebuah mobil. Bahkan mobilnya sendiri pun, seakan melaju ogah-ogahan di tengah lalu lintas yang belum begitu ramai.
Sial benar nasib MaiL Ia tak tahu apa-apa. Yang ia tahu, Susi di sebelahnya tampak begitu murung .Majikannya suami istri di jok belakang, lebih murung lagi. Lantas Mail terpengaruh. Ikut-ikutan murung.
Tanpa tahu, mengapa ia harus murung!
Semenjak meninggalkan rumah, tidak seorang pun dari mereka yang berkata-kata.
Susi yang duduk tak bergerak gerak dengan kepala tegak, diam-diam memastikan dalam hati, "Tidak satu kata pun diperlukan lagi hari ini!"
Karena, Susi memang sudah mengungkapkan semua kata.
Dini hari tadi. Ketika ia mendengar suara ribut ribut di kamarnya, berlari tergopoh-gopoh ke sana dan, kemudian ia menyaksikan pemandangan yang begitu mencengangkan.
Majikan perempuannya, sudah bangun dan tampak menyandar di tembok. Dengan sekujur tubuh bergemetar. Plus, kejutan besar terbayang di wajahnya. lalu, majikannya yang laki-laki. Sejak kapan tuannya tiba" Mana jas, dasi, sepatu, serta celana panjangnya" Dan lihatlah itu! Barangkali tuannya amat tergopohgopoh mengenakan kemeja di tubuhnya. Ada kancing keliru terpasang. Sehingga sebagian celana dalamnya masih jelas kelihatan.
Susi memang perempuan lugu.
Tetapi seperti sebelumnya, ia toh mampu dengan cepat membaca situasi. Apalagi setelah majikan perempuannya memutar leher lalu menatap penuh hina ke wajah Susi.
Ida merintih sakit, ?" jadi, kaulah kutu busuknya!"
Minggat. Ayo. cepat minggat. Semula, pikiran itu sempat meneriaki alam bauah sadar Susi. Namun, akal sehatnya mendorong Susi untuk bertindak
sebaliknya. Ia berjuang keras menguasai diri, kemudian melangkah masuk ke dalam. Toh itu adalah kamarnya sendiri!
Ketegaran hati pelayannya sangat membuat Ida terpana.
Lalu terdengar suara majikan perempuannya menyentak, "Bodoh!"
Susi berpaling tenang. Toh, kebiasaan seorang pelayan terlontar juga dari mulutnya, "Saya, Nyonya. . .."
"Diam kau, kutu busuk!" hardik Ida berang. Perasaan sakit di siku lengannya kambuh lagi. Ida mengabaikan. Yang tidak dapat diabaikannya, adalah perasaan sakit yang lain. Di sanubari. Di otot-otot sekujur tubuh. Di urat-urat darah yang dengan cepat merambat naik sampai ke ubun-ubun. Ida pun mengurut-urut pelipisnya yang berdenyut-denyut keras.
Lantas mengeluh pada diri sendiri, "Astaga. Bersusah payah aku menyewa seorang detektif swasta untuk mencari kutu busuk itu di luar rumah. Tak tahunya....!"
Berulang ulang disebut kutu busuk, Susi pun menyeringai.
Dirasuk keinginan mempertahankan harga diri Susi pun berinisiatif melanjutkan kalimat majikan perempuannya yang terputus. Dengan sindiran tajam bin sengit.
"Tak tahunya, kutu busuk itu justru berkeliaran di balik rambut kepala Nyonya. Begitu?"
". . .Terkutuklah kau, Susi!"
Susi menengadah dengan gagah berani. "Jangan hanya mengutuk. Nyonya. Tindaslah kutu busuk ini, Nyonya. Ayo, tindaslah. . .!"
*** Zain tersentak. Di dalam mobil yang menurutnya bagai merayap saja. Lalu ia berujar tak senang pada supirnya, "Cepetan dikit. Mail. Bisa-bisa kita terlambat nanti!"
Barulah Mail tersenyum, setelah akhirnya ada juga yang membuka mulut. Maka dengan senang hati ia cepat menyahuti, "Dengan senang hati. Tuan!"
Injakan di pedal gas pun diperdalam Mail. Semakin mendekati pusat kota, lalu lintas sudah semakin ramai. Main selap-selip, itulah yang terbaik. Ngebut, lebih baik lagi. bukan semata-mata untuk mengejar waktu. Tetapi lebih karena sebagai pengusir rasa jemu seorang supir.
Mail pun terus tancap gas.
Diam-diam, Zain melirik ke sebelahnya .Tampak Ida memperlihatkan wajah khawatir, apalagi setelah Mail makin keranjingan saja. Ida sudah siap melontarkan protes keras. Namun begitu ia tahu suaminya tengah memperhatikannya seketika itu juga lda melengos. Cemberut.
Zain pun kecewa. Zain sungguh mengharap protes dari mulut istrinya. Lalu ia akan melancarkan protes balik. Akan ramai jadinya. Dan itu, bagaimana pun, lebih menyenangkan ketimbangharus terus saling bungkam dengan sikap saling memusuhi.
Untuk memprotes Ida, diperlukan keberanian.
Zain sudah memulainya. Dini hari tadi.
Karena namanya juga baru memulai, maka diperlukan sebuah jembatan untuk menyeberang. Dan jembatan penyeberang itu ia temukan dalam diri Susi.
Susi, yang dini hari tadi menantang dengan gagahnya.
"Mengapa Nyonya terdiam" Apakah karena Nyonya juga berpikir... bahwa kutu-kutu lainnya akan segera bermunculan menggantikan tempat saya?"
Di situlah Zain memulai protes.
"Itu tidak benar, Susi. Sebelum ini, aku tak pernah tertarik pada perempuan lain. Setelah kau, perempuan lain itu tak akan pernah ada....!" Untuk lebih meyakinkan, Zain pun menambahkan, "Sumpah!"
Protes yang benar-benar konyol.
Maklumlah, itu yang pertama! Tetapi akibatnya langsung ia terima. Dari mulut istrinya, yang tiba tiba menggeram, jijik. "Dulu, kau pun mengucapkan yang seperti itu padaku. Dulu, kau pun bersumpah. . .!"
Tak kurang jijik, Susi tersenyum pada majikan selingkuhannya. "Tuan sudah memulai. Akan sulit Tuan menghentikannya. Lalu di hari hari mendatang, Tuan akan terus bersumpah dan bersumpah lagi, ya"!"
Ida mendengus, muak. "Mengerikan!"
Susi ikut menambah bara. "Sungguh tak dapat dipercaya!"
Perasaan akibat bantingan istrinya tadi, pelanpelan sirna dari sekujur tubuh Zain. Dia laki-laki. Paling sedikit, dia pun berhak punya harga diri.
Harga diri mengangkat tubuh Zain supaya tegak.
Disemangati harga diri itu pula, ia tatap kedua orang perempuan di hadapannya, silih berganti.
Sungguh mengherankan, Zain ternyata sesekali dapat juga bersikap galak.
"Ayo. Terus. Terus. . .!" ia pun ikut mengobarkan nyala api di tungku. "Kalian keroyoklah aku beramairamai!"
Ida tersenyum, kecut. *** Detik-detik sebelum ia tersenyum, lalu lintas terhalang oleh lampu merah. Saat untuk para pejalan kaki menyeberang jalan. Mereka menyebrang berombongan. Tinggallah seorang nenek nenek, yang masih saja berdiri. Ragu, bingung, mungkin juga takut. Nenek itu lantas melirik segan pada seorang petugas lalu lintas yang kebetulan berada di dekat tempat itu. Polantas itu tersenyum mengerti. Lantas bergegas mendatangi dengan maksud menolong si perempuan tua menyeberang jalan. Sayang, karena terburu-buru sepatu si petugas terantuk akar sebatang pohon yang menyembul di antara retakan trotoar.
Polantas itu tersungkur sungkur ke depan. Beruntung ia masih cukup trampil menjaga agar tidak sampai jatuh terjerembab. Tersipu-sipu ia memegang tangan si nenek.
Tetapi lampu sudah keburu menyala hijau.
Dan mobil-mobil yang mengantri tak sabar, saling berebut dahulu-mendahului.
Begitu juga MaiL Ida menghela nafas. Dalam dan panjang.
Nenek-nenek tadi pikirya. Suatu ketika, mungkin Ida pun akan seperti dia. Akan tiba saatnya, Ida merambat semakin tua. Dan ia masih harus merangkaki hari hari yang masih tersisa. Mungkin ia masih kuat dan mampu untuk itu. Namun adalah lebih tenteram, jika ada seseorang yang bersedia mendampinginya.
Ia menghela nafas lagi. Sogan-segan, ia menoleh ke arah suaminya. Ida memang masih bisa menahan diri agar tidak sampai mengulas senyum di bibir. Tetapi di balik sinar matanya, tak kuasa ia bendung sebersit harapan.
Antara sadar dan tidak, telinga Zain mendengar istrinya berkeluh kesah. Zain pun kemudian menangkap dengan ekor matanya, bahwa lda tengah memperhatikan dirinya. Seperti ingin mengutarakan sesuatu, atau mengharapkan sesuatu.
Teringat oleh Zain, bagaimana tadi ia juga mengharapkan sesuatu dari istrinya. Tetapi Ida cepat melengos cemberut. Memangnya hanya Ida saja yang bisa bertingkah laku semacam itu"
Dalam hati, Zain menggeram, "Hem!"
Lantas Zain pun melengos.
Cemberut. Ida terenyak di tempat duduknya. Kelopak matanya terpejam. Letih, kecewa, dan tak berdaya. Membersitlah perasaan cemas. jangan-jangan, ia terpaksa harus tetap sendirian. Seperti nenek nenek tadi, merangkaki hari-hari tua yang selain sepi, juga akan menyedihkan. . .!
Kenyataan pahit itu baru ia sadari, dini hari .
Setelah menginjak usia mendekati 20 tahun pernikahan mereka, dini hari tadi suaminya tiba-tiba memiliki keberanian tidak saja untuk memprotes Ida. Melainkan juga untuk memperlihatkan bahwa suaminya juga adalah seorang laki laki. lelaki dengan segenap kepribadiannya yang tak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Termasuk oleh istrinya.
Mengejutkan, sewaktu dini hari tadi Zain menatap galak ke arah dirinya dan Susi. Dan berujar tak kurang galaknya, "Ayo. Mengapa berhenti mengeroyokku" Percuma saja, ya"!
Kemudian, suaminya menyeringai. Menang.
Penuh kemenangan pula, suaminya berujar pada lda, "jadi, kau telah menghambur hamburkan uangmu untuk membayar sia-sia seorang detektif. Dan kau membuat detektif itu tampak tolol dan
kampungan. karena ia telah menerima instruksi yang salah! Iya 'kan?"
Zain tertawa. Meremehkan.
"Mengherankanl" katanya lagi. "Kau meminta orang lain menelisik kutu di balik rambut kepalamu. Padahal, kau dapat melakukannya sendiri. Satu hal lagi. dan ini adalah sebuah nasihat. Itu, jika kau sudi mendengar. . .."
Bukan sudi. Melainkan terpaksa.
Betapa tidak. Suaminya tidak memberi kesempatan sedikit pun. Suaminya hanya memerlukan sehelaan nafas, untuk melanjutkan serangannya kembali. Dengan gaya seorang pahlawan penyelamat, jari telunjuk ia tudingkan ke arah Susi.
"Ayo tindaslah dia, tapi ingat... Adalah tolol, jika kau hanya berpikir untuk hanya menindas kutu demi kutu. Bukan berpikir bagaimana agar supaya tidak seekor kutu pun memperoleh kesempatan mendekati kulit kepalamu. . .!"
"Perempuan!" Susi terdengar menyela, jemu. "Bukan kutu....!"
Ida melihat pelayannya yang terlunta-lunta menggapai sebuah kursi. Lalu Susi terduduk di sana. Tampak begitu sendiri. Dan ada kabut misteri
menyelimutinya, sehingga Ida seakan belum pernah mengenal bahkan bertemu dengannya.
"Seorang perempuan. Itulah yang dibutuhkan suami Nyonya." Susi menjelaskan. Bosan dan tanpa gairah.
Ida bagaikan ditampar keras dan kasar sekali. "Terkutuknya kau, Susi. Apakah kau kira aku ini bukan...."
"Sebaiknya Nyonya berhenti mengutuk-ngutuk," tukas Susi, menggeleng sedih. "Berkaca sajalah, Nyonya. Perhatikan baik baik apa yang tersembunyi di balik diri Nyonya selama ini. Perempuankah, atau hanya sekadar seorang istri!"
Merembeslah air mata Ida.
Tak tahan ia mendengar tuduhan yang teramat sangat melukai hati itu. Ia berpaling pada suaminya. Memohon dengan sangat, "Katakanlah. Pah. Bahwa dia tidak benar...."
Suaminya masih merengguk kemenangan. Yang seperti terus berlimpah-limpah saja. Mabuk oleh kemenangannya, suaminya menyeringai lantas berujar takzim.
"Dia benar!" Tak tahan lagi, Ida pun menangis tersedu sedu.
Susi memandang majikan perempuannya dengan perasaan iba kasihan. Mereka berdua satu kaum. Mereka berdua, bernasib sama. Dipermainkan. Dengan marah, Susi berkata pada orang yang mempermainkan mereka berdua itu.
"Tuan pun salah!"
Ida menahan tangisnya. Lalu memandang heran, lebih heran dari suaminya sendiri.
"Begitu Tuan menemukan seorang perempuan yang sudah lama Tuan cari-cari...." Susi merintih. ?"Tuan pun lantas tergesa-gesa. Lantas salah menilai. Memang saya ini orang miskin. Cuma pembantu lagi! Tetapi saya juga punya perasaan cemburu. Saya ingin kasih sayang Tuan tidak terbagi-bagi. . .!"
Rona kemenangan si wajah Zain, mengabur pelan pelan.
Mestinya, sinar kemenangan itu beralih ke wajah Susi. Tetapi wajah si pelayan, justru tampak menderita. Begitu pula kata-kata yang meluncur patah patah dari mulutnya yang bergemetar.
"Saya pun salah. Saya terlalu larut dalam kesepian, dengan keinginan-keinginan yang terus mengendap. Lalu datanglah Tuan. Kesepian itu pergi. Keinginan itu terlampiaskan. Baru setelah semuanya terjadi, saya
menyadari, bahwa yang sebenarnya Tuan cari dan Tuan berusaha keras membelinya dari saya. .."
Sesaat Susi tersenyum getir. Lalu, "...semua itu dengan mudah dapat Tuan dapatkan dari Nyonya. Hanya saja... mata Nyonya masih tertutup. Artinya, sekali Nyonya mau membuka mata. . . maka kehadiran saya pun tak ada lagi artinya di hadapan Tuan".!"
*** Ida membuka matanya lebar lebar.
Mereka telah tiba di stasiun kereta api. Mail dengan senang hati karena terbebas dari gunung es yang membeku dan bagai menghimpit seisi mobil, pergi membeli selembar tiket dan tiga lembar karcis peron.
Tak berapa lama kemudian, mereka pun duduk di bangku-bangku peron. Masih tetap seperti ketika masih di mobil tadi. Wajah-wajah yang murung. Dan mulut yang betapa susah dibuka untuk berkata kata, kecuali tentang hal-hal sepele dan tak bermakna seperti, "Duduklah.?" Atau, "Awas kakimu....!" juga, "jangan sembarangan meletakkan kopernya, Mail ...!" Dan, "Mana tasmu. Susi?"
Susi meletakkan tasnya di lantai.
Sebuah tas pakaian kecil. Dan tak ada lain lainnya lagi. Berdiam diri sambil menunggu pintu kereta
dibuka untuk dimasuki penumpang, Ida teringat lagi pada insiden kecil menjelang subuh tadi.
Ida, yang saat itu belum sudi menyerah, menggeram sakit hati pada pelayannya, ?" kau pintar bersandiwara, Susi. Di wajahmu kau tampaknya menderita. Padahal, di dalam hatimu, kau menari-nari sukacita!"
Pelayannya terkesiap. "Apa maksud Nyonya?"
Di antara isak tangisnya, Ida mengguratkan cibiran. "Kau tadi malam minta berhenti, bukan" Dengan dalih merindukan anakmu di kampung?"
"Itu bukan dalih....!"
"Kau kira aku tidak tahu ya" Kau sudah ingin Cepat-cepat pergi. Seraya menggondol hadiah-hadiah cinta suamiku...! Yang aku yakin akan mengangkat dirimu menjadi salah seorang janda terkaya di kampungmu, iya toh"!"
"Oh. Itu. . .." Susi tersenyum. "Ingatkah nyonya tadi malam, Nyonya menyuruh saya memasukkan pakaian pakaian yang sudah disetrika ke lemari yang kemudian Nyonya kunci?"
Ida memandang tak mengerti.
Susi pun bangkitlah, tenang dan wajahnya penuh kedamaian.
"Sudilah mengikuti saya, Tuan dan Nyonya saya yang budiman. . .."
lalu di kamar tidur utama, pelayan itu meminta majikan perempuannya membuka sendiri lemari yang terkunci. Menangkap samar samar maksud Susi, ida membuka pintu demi pintu lemari, menyibak-nyibak sampai akhirnya ia menemukan sesuatu yang tidak ia kenal dan tersimpan rapi pada gantungan bajubajunya. Sehelai gaun pesta yang belum pernah dilihatnya.
"Ini" bukan punyaku!" Ida mendesah, bingung.
"Periksalah sakunya, Nyonya"
Ida pun merogoh. Lalu wajahnya tampak terkejut. Tangannya ia tarik keluar dari saku rajutan di gaun pesta yang masih berbau baru keluar dari toko atau mungkin butik itu. Terlihat segenggam perhiasan yang menyilaukan dalam jilatan lampu kamar tidur. Atas petunjuk Susi, hadiah-hadiah lainnya dikeluarkan lda pula dari lemari yang sama.
lda menatap terpana. Susi ikut menatap. Namun tanpa minat.
Adapun Zain, berpaling seketika. Dengan kulit muka memerah padam dibakar perasaan malu berat.
susi lantas menjelaskan. "Itu bukan milik saya. Itu milik Nyonya. Karena yang membelikan toh suami Nyonya. . .! Begitu pula isi amplop yang di lantai lemari itu. Milik Nyonya pula, karena pemberian dari suami Nyonya juga ...!"
Susi berhenti sejenak. Tampak lelah.
Lalu bertanya, hambar. "Boleh saya kemasi semua pakaian dan barang barang pribadi saya sekarang, Nyonya?"
Ida terdiam. Zainlah yang kemudian berbicara menggerimit.
"Jika keputusanmu tidak dapat diubah lagi, Susi. Lakukanlah. Kami sendiri yang besok pagi akan mengantarkanmu ke stasiun!"
Jika Ida tidak keliru, ucapan suaminya tadi adalah sebuah keputusan yang langka terjadi.
Karena, tidak lebih dahulu meminta persetujuan Ida."
*** PINTU kereta berderak terbuka.
Mereka pun sama berdiri. Sama bertukar pandang. Mail yang tidak tahu apa-apa, ikut-ikutan memandang. Meski sambil mencuri-curi. Dan membuat Mail semakin tidak mengerti!
Ida kemudian bergumam serak pada suaminya, "Pah. Tolonglah Susi mencarikan nomor kursinya di dalam"."
Zain memandang heran. Tetapi kemudian mengangguk lalu berjalan mengikuti Susi naik ke atas kereta bersama penumpang penumpang lain.
Di peron. Ida cepat menggamit Mail. Katanya, "Ke mobil. Cepat!"
Mereka berdua setengah berlari-lari menuju tempat parkir di luar stasiun. Masih banyak waktu. Tetapi Ida begitu sangat tidak sabar. "Bagasinya, toloL Buka"
mail mengambil sebuah tas plastik dari bagasi mobil. Setelah mana ia bergegas masuk lagi ke peron, terus naik ke atas kereta. Waktu berangkat sudah hampir tiba, barulah lda menemukan sosok Zain lalu Susi yang sudah duduk di tempatnya. Mereka sedang asyik membicarakan sesuatu, dan tidak melihat kedatangan Ida. Semakin dekat, Ida semakin jelas mendengar.
Zain sedang berbicara, "Kau masih tahan?"
Susi menjawab dengan sindiran. "Tuan masih ingin, ya?"
Zain tertawa, "jelas, dong!"
Tertegunlah langkah-langkah kaki ida. Lalu ia dengar Susi ikut tertawa, walau tidak terlalu gembira. Pelayan, ah mantan pelayannya itu pun berkata, "Saya sudah terbiasa naik kereta api, Tuan. Saya akan tahan. Mengenai keinginan Tuan agar saya meminum pil anti mabok, sungguh. Saya sangat berterima kasih.. ..!"
Ida menarik nafas lega. Setelah lebih dulu mendehem untuk memberitahu keberadaannya, lda lantas menyerahkan tas plastik yang ia letakkan di pangkuan Susi. "Sekadar oleh-oleh pulang kampung." katanya. Tangan Susi diganggam. Hangat. "Selamat jalan, Susi!"
"Selamat tinggal, Nyonya ...!"
Tidak ada ucapan selamat untuk Zain.
Agak kecewa, ia kemudian berjalan mengikuti istrinya karena dari pengeras suara terdengar pemberitahuan bahwa kereta sudah siap untuk berangkat.
Saling melambai, setelahnya.
Habis, mau apa lagi"
Toh, semua sudah berlalu.
Kereta api pun merayap pergi.
Dan di jalan raya, mobil dipacu Mail dengan lebih gembira. Karena kali ini, suasana entah mengapa sudah berubah. Bermula, ketika ia dengar majikannya yang lelaki bergumam terharu, "Bijaksana. Mah. Kau berikan juga apa yang sudah menjadi hak Susi!"
Ida berkata merengut, "Tadinya aku sempat berpikir, akan kubagi-bagikan pada gelandangan di sepanjang jalan. . . .!"
"Keterlaluan " Zain mendengus.
Ida juga mendengus. Galak, ia menyergah, "Siapa yang keterlaluan, Pah?"
Zain tak mau kalah. "Mulai lagi, ya" Ayo, boleh coba!"
Mail menggelengkan kepala. Takjub atas keberanian Tuannya.
Dan di kereta api yang melaju makin cepat, Susi pun mcnggeleng gelengkan kepala. Juga takjub seperti Mail. Takjub akan kemurahan hati nyonyanya. Di dalam tas plastik yang barusan ia buka dengan kepala dipenuhi tanda tanya, ia melihat semuanya, seikat uang kertas, kosmetik, gaun pestanya. Perhiasan perhiasannya yang gemerlapan!
Ada seorang pemuda menyapa, "Ada apa, Neng?"
Susi melihat ke pemuda yang tersenyum-senyum menggoda itu. Lantas menyahut kalem. "Ada belang, Oom!"
"Belang apa, Neng?"
"Belangnya lelaki!" jawab Susi tuntas, terus memalingkan wajah ke luar jendela dengan bibir tersenyum, tetapi matanya masih tetap dipenuhi tanda tanya. Memang, akan masih banyak pertanyaan yang harus dijawab.
Di luar sana. Begitu pula di dalam mobil.
Mail bertanya, "Terus ke kantor, Tuan?"
"Buat apa!" Mail mengalihkan pertanyaan ke majikan yang seorang lagi. "Bagaimana, Nyonya?"
"kok tanya-tanya!"
Ya, mau apalagi Mail, kecuali memilih yang tergampang, pulang saja ke rumah.
Lantas, setibanya mereka di rumah, Mail pun berleha-leha di dalam mobil, dengan nikmat mendengarkan musik dangdut lewat radio. la menyeringai ketika menyaksikan majikannya suami istri berjalan memasuki rumah. Setelah pintu dibuka, mereka masih kelihatan mempertengkarkan sesuatu, baru kemudian masuk.
"Pasti bakal ramai di dalam sana !" Mail nyeletuk. lalu menyeringai semakin lebar.
Ia benar. Saat itu. lda bertanya menyentak, *jadi kau melarang aku meneruskan hobiku, ya?"
Zain berkacak pinggang. "Bukan itu. Tetapi nafsu serakahmu untuk kembali meraih juara!"
"Apakah Papah tidak lepas dari nafsu serakah?"
"Asal nikmat, apa salahnya!"
"Heem. Dasar laki-laki!"
"Uh. Dasar perempuan!"
"Apa sih maunya Papah ini?"
"Kau sendiri apa. coba!"
264 Tiba tiba, Ida melemparkan tas tangannya ke atas meja. Lalu melangkah tegak menuju ke kamar tidur. Di belakangnya, Zain pun menghentakkan tas kerjanya. Di lantai.
lalu ia lihat, sembari melangkah lda menanggalkan pakaiannya satu demi satu, sampai tinggal celana dalam dan beha saja. Selama beberapa detik, Zain membayangkan apa yang tampak di depan matanya adalah langkah kaki gemulai dan ayunan pinggul menawan dari Susi. Bayangan itu mulai membuat gairahnya pelan-pelan terbangkit. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap. Sampai gemulai kaki dan ayunan pinggul itu kembali terlihat lebih nyata.
Sepasang kaki yang melangkah tegak. Setengah mengangkang. Dan pinggulnya yang kokoh, tegastegas Penuh energi seorang jantan.
Di pintu kamar tidur, Susi eh, Ida berhenti.
Memutar tubuhnya dengan ciri khas itu. lantas bertanya dengan senyuman, "Tunggu apa lagi, Pah?" Zain pun melepaskan dasinya.
Disertai gumamam tak sabar. "Yah. Lumayanlah. Daripada tidak sama sekali!"
Menit berikutnya, pintu kamar sudah tertutup lagi. Ya, ampun.
265 Ribut benar di dalam! Tak malu-malu lagi. Coba saja dengar, suatu saat Zain menggamit, "Sekali-sekali, aku mau di atas!"
". . .Tidak." "Kalau kau tak mau, aku akan pergi...."
"Nanti saja, kalau sudah selesai!" Payah. Benar-benar payah!"
Catatan : buat pembaca kisah ini yuk gabung di Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook terbaru dan menarik lainnya dan yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa juga kunjungi http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Terimakasih situbondo,11 Juli 2018 TAMAT Pendekar Remaja 6 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Tiga Macan Lembah Neraka 2
^