Pencarian

Geger Demak Pajang 1

Geger Demak Pajang Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


" Penerbit : CV. GEMA - Solo Cetakan : ke III tahun 2005
Pelukis : Yohanes H. Di Ketik oleh : Eddy Zulkarnaen Di Posting oleh : Djan M Di Edit ke Doc, PDF, TXT oleh :
Cersil KPH Geger Demak Pajang (Seri ke - 01 Geger Demak Pajang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Derap kaki kuda memecah kesunyian pagi di atas jalan raya. Hanya sedikit debu mengebul di belakang kuda ketika empat buah kaki kuda itu mencongklang di atas jalan yang masih basah karena embun pagi.
"Satria yang gagah perkasa! Semoga Yang Maha Kuasa memberkahinya," gumam seorang petani tua sambil menurunkan cangkulnya dan merangkap kedua tangan seperti sembah.
"Aah, Raden Jaka Tingkir. Alangkah gagah perkasa dan tampan. Betapa akan bahagianya mempunyai seorang anak mantu seperti dia," bisik seorang wanita tua dengan sinar mata bercahaya penuh kekaguman dan menatap pemuda yang duduk diatas punggung kuda yang mencongklang itu. Hampir semua orang yang berada di jalan itu menoleh dan memandang penuh kagum, apalagi para wanitanya. Yang tua dengan hormat dan kagum, yang muda dengan kerling menyambar dan senyum di kulum sambil menekan debar jantung yang hendak memecah dada. Seorang gadis remaja, saking gugup karena tiba-tiba tubuhnya gemetar oleh deburan jantung yang tak dapat terkendalikan lagi, tak kuasa mencegah jatuhnya periuk air yang tadi dipondongnya.
"Prak!" Periuk itu terlepas jatuh, airnya tumpah dan mengalir, dihisap habis oleh tanah di bawah kakinya. Ia berdiri bingung. Derap kaki kuda berhenti ketika pemuda itu menahan kendali, lalu dengan sigapnya tubuh yang kuat itu meloncat turun di depan gadis yang kebingungan.
"Kau kenapa, dik?" suara halus menyapa penuh perhatian, membuat si dara makin bingung.
"Ti... Tidak, hamba..., tidak apa-apa, periuk ini jatuh..." Jawab dara itu gugup dan wajah yang ayu segar itu menjadi merah sekali, hampir menangis. Pemuda yang berpakaian sebagai kepala tamtama itu tersenyum, merogoh saku dan mengeluarkan sepotong uang, diberikannya kepada gadis itu.
"Sudah, jangan gelisah. Belilah periuk air yang baru." Seperti dalam mimpi gadis itu menerima potongan uang, wajah yang merah itu berubah pucat ketika ia memandang pemuda yang telah naik kepunggung kuda dan melarikan kuda itu menuju ke alun-alun. Kemudian ia terisak, memutar tubuh dan lari pergi dari situ, tangan kiri menggenggam potongan uang dan tangan menutupi muka yang menagis.
"Alangkah mulia dan pemurah hatinya...," perempuan tua yang berada dekat situ memuji, "Untung benar genduk (bocak perempuan) itu."
"Sudah mendapat pangkat tinggi, masih mau mendekati rakyat, tidak menjadi sombong, benar satria sejati," gumam petani tua sambil melanjutkan langkahnya yang tadi ditundanya. Matahari naik makin tinggi, cahayanya bermain-main diantara daun-daun pohon yang basah oleh embun pagi, indah sekali. Angin pagi sepoi-sepoi meniup daun-daun itu, meruntuhkan air embun dari ujung daun-daun. Tak terdengar oleh telinga manusia betapa angin berbisik-bisik mengeluh dan tak terlihat oleh mata manusia betapa matahari tersenyum pahit menyaksikan adegan tadi. Kata mereka dalam bahasa alam yang terahasia:
"Periuk pecah mudah diganti
Hati patah siapa mengerti"
Aduhai sayang, perawan jelita
Terpikat oleh senyum teruna perkasa,
Sayang, teruna hanya tahu tentang periuk
Tidak melihat hati yang remuk!
Salah dara, kau salah. Jangan biarkan hati mudamu mudah menyerah."
Siapakah teruna muda perkasa yang menunggang kuda dengan gagahnya dan menjadi buah bibir penuh kekaguman penduduk kota raja Demak itu" Bukan lain adalah Jaka Tingkir, seorang pemuda yang amat tampan. Dengarlah pujian-pujian diantara gadis-gadis yang merindukannya.
"Wajahnya ganteng bagus bercahaya tubuhnya tegap, pundak lebar dada bidang, jalannya seperti harimau dengan kepala tegak, tutur sapanya halus, sinar matanya jujur berani penuh semangat, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Perpaduan antara Raden Gatotkaca dan Sang Arjuna!" Jaka Tingkir sebetulnya bernama Bagus Karebet, putera tunggal dari mendiang Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga putera ke dua dari mendiang Adipati Andayaningrat di Pengging. Karena setelah ditinggal mati ayah-bundanya Bagus Karebet dipelihara oleh Nyi Ageng Tingkir maka selanjutnya ia lebih terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Semenjak masih kecil Jaka Tingkir suka sekali mempelajari olah keprajuritan juga seorang ahli tapa yang tekun. Banyak ilmu ia pelajari dari pendeta-pendeta sakti sehingga menjelang dewasa ia telah menjadi seorang pemuda remaja yang memiliki kekuatan lahir batin.
Karena kegagahannya, ditambah budi pekerti baik dan tindak-tanduk sopan halus, ketika ia bersuwita (mengabdi) di keraton Demak, Raja Demak yaitu Sultan Trenggono tertarik hatinya dan sebentar saja Jaka Tingkir menjadi abdi terkasih. Malah selanjutnya ketika melihat bahwa kesaktian Jaka Tingkir mengalahkan semua tamtama, Sultan Trenggono berkenan mengangkat pemuda perkasa ini menjadi kepala tamtama memimpin dua ratus orang tamtama pengawal pribadi raja yang rata-rata memiliki kegagahan. Pada pagi hari itu Jaka Tingkir bergegas menuju ke alun-alun berkuda. Bukan dia seorang yang pergi menuju alun-alun, malah sebagian besar penduduk berbondong-bondong menuju alun-alun dengan sikap gembira. Dari jauh terdengar gamelan dipukul, tanda bahwa ada sesuatu yang menarik hati diadakan di alun-alun. Ada apakah gerangan"
"Eh, kang Suro, kau juga pergi nonton" Kau tinggalkan lukumu?" tegur seorang petani ketika bertemu seorang sahabatnya di persimpangan jalan. Yang ditanya mengangguk.
"Tentu saja! Biar aku kehilangan pekerjaan sehari, besok boleh kukerahkan semua tenaga mengganti kehilangan itu. Siapa orangnya betah di sawah kalau di alun-alun diadakan pertandingan yang menarik untuk memilih tamtama baru?"
"Memang, tentu hebat sekali. Kabarnya kali ini Gusti Sultan menguji para tamtama baru dengan pertarungan melawan kerbau jantan. Wah, tentu hebat!"
"Berita yang dipercakapkan ini memang benar. Sultan Trenggono setelah bermufakat dengan Jaka Tingkir, berkenan menerima tamtama-tamtama baru untuk menambah jumlah dua ratus menjadi empat ratus orang. Syarat yang diadakan bagi para pelamar cukup berat, yaitu setiap orang calon harus dapat mengalahkan seekor kerbau jantan yang muda dan kuat!"
Ketika Jaka Tingkir tiba di alun-alun yang telah dihias janur dan disediakan tempat yang luas untuk menguji para calon tamtama, persiapan telah selesai. Kerbau-kerbau jantan yang telah disediakan dalam sebuah kandang besar darurat, dan puluhan orang calon yang bertubuh tegap dan kuat telah menanti, duduk bersila di atas rumput menanti giliran. Jaka Tingkir seperti memberi petunjuk kepada anak buahnya, mengatur sana-sini sambil menanti kedatangan Sultan Trenggono. Tak lama kemudian tibalah Sultan diiringkan hulubalangnya. Semua orang memberi hormat menyembah, kemudian sang prabu menuju ke panggung yang telah disediakan untuknya, diiringkan suara gamelan merdu. Berseri, wajah sang prabu ketika dari tempat duduknya yang tinggi itu ia melihat para calon yang nampak tegap-tegap dan kuat-kuat,
Masih muda-muda dan gagah nampaknya lebih dari empat puluh orang calon hadir di hari pertama ini, mereka adalah putera-putera bangsawan, putera pendeta, dan satria-satria dari berbagai daerah. Sultan Trenggono mengangkat tangan memberi tanda supaya ujian segera di mulai. Gamelan berubah suaranya, kini diperkeras dan dipercepat memainkan lagu perang. Jaka Tingkir memberi aba-aba dan dimulailah adu manusia lawan kerbau ini. Diiringi tepuk sorak riuh rendah dari para penonton, calon yang duduknya paling depan bangkit setelah menyembah ke arah panggung, lalu berjalan tenang memasuki lapangan yang telah dipagari. Ia seorang pemuda berkulit kuning, tubuhnya sedang saja dan kedua tangannya keliatan tak bertenaga. Namun melihat pancaran matanya, Jaka Tingkir maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan.
Seekor kerbau jantan telah dilepas. Karena kaget, bingung dan takut mendengar suara hiruk-pikuk di sekelilingnya, segera kerbau ini menjadi marah, matanya merah liar melirik ke sana ke mari, hidungnya kembang kempis mengeluarkan uap putih, kepalanya ditundukkan, siap dengan tanduknya yang hitam meruncing untuk menghadapi bahaya yang mengancamnya. Satria itu terus melangkah maju menghampiri kerbau, sikapnya tenang waspada, biarpun dari luar tidak kelihatan perubahan pada dirinya, namun setiap urat syaraf di bawah kuliatnya sudah siap siaga. Gamelan terdengar makin seru dipukul para yogo. Sepasang mata merah yang melirik ganas sudah melihat datangnya satria itu. Kerbau itu mendengus, kaki depan yang kiri menggaruk-garuk tanah, kepalanya makin tunduk mempersiapkan tanduk.
Tiba-tiba dengan seluruh berat badannya binatang itu menyeruduk ke depan. Cepat sekali gerakannya, sepasang tanduknya merupakan dua batang pedang runcing kuat yang menyerang ke arah perut! Semua penonton menahan napas, malah terdengar jerit kecil disana-sini. Namun, dengan tenang dan mudah saja satria itu miringkan tubuh menghindar sehingga tubuh kerbau yang besar dan berat itu lewat disampingnya. Tangan kiri si pemuda gagah menyambar dan tahu-tahu ekor itu sudah dipegangnya! Binatang itu marah sekali. Cepat ia memutar tubuh dengan kekuatan yang tak dapat dibayangkan besarnya. Si pemuda terpaksa melepaskan cekalannya dan menghadapi lawannya yang makin marah. Binatang itu menyerang pula, lebih ganas dari tadi. Kini satria itu tidak mengelak sama sekali!
"Aduh celaka"!"
"Mati dia...!" Seru penonton, ada yang merasa ngeri dan kuatir, ada pula yang merasa gembira seperti orang penyabung ayam melihat jagonya mendesak lawan. Akan tetapi segera terdengar sorak-sorai ketika tubuh satria itu pada saat tanduk kerbau sudah mendekat, mencelat ke atas dan berjungkir balik di udara, kemudian turun di atas panggung kerbau. Bukan main hebat dan tegangnya pertempuran ini, sampai-sampai para yogo tidak keruan lagi menabuh gamelan, asal kena dan asal bunyi saja.
Hal ini malah membuat suasana lebih ramai, lebih menegangkan, lebih menggembirakan. Binatang itu menjadi makin marah sampai seperti gila. Tubuhnya digerak-gerakkan dalam usaha melempar lawan yang duduk di punggung. Setelah beberapa kali usaha ini gagal, tiba-tiba binatang itu merebahkan diri dengan bantingan keras ke kanan! Serangan ini hebat dan begitu kaki pemuda itu tergencet, celakalah dia. Namun kembali gagal karena pemuda itu dengan tersenyum manis telah meloncat turun di sebelah kiri kemudian sebelum binatang itu sempat bangkit kembali, ia menyerbu. Dua kali jari telunjuk tangan kirinya bekerja dan sepasang mata kerbau itu berlumuran darah seperti ditusuk pisau. Pada detik berikutnya, tangan kanan yang terkepal meluncur bagaikan petir menyambat tempat di tengah kepala kerbau di antara ke dua mata.
"Krakk"!!" Si pemuda melompat mundur, tubuh binatang itu terkulai dengan kepala pecah dan otak berhamburan membasahi rumput. Sorak-sorai penonton bergemuruh. Sang Prabu mengangguk senang ketika satria itu menyembah ke arahnya. Jaka Tingkir membawa tamtama baru ini ke sebelah kiri, disuruh bersila disitu. Mulai saat itu satria berkulit kuning ini telah diterima menjadi tamtama. Bukan main girang hatinya, wajah yang tampan itu dan senyumnya mengandung kebanggaan. Tidak percuma ia sejak kecil mengejar ilmu. Tidak mengecewakan lagi ia menjadi murid Sunan Kudus, biarpun hanya menerima ilmu dari orang sakti ini selama beberapa hari saja.
Orang kedua yang memasuki lapangan adalah seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya seperti raksasa, otot-otot menonjol keluar seperti tambang membelit-belit lengan, dada dan kakinya. Brengosnya melintang di bawah hidung, matanya sebesar jengkol selalu melotot. Melihat bentuk badannya, tentu dia seorang jagoan. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa kenyataan membuktikan sebaliknya. Tindaknya yang kasar dan tergesa-gesa ketika menghadapi seekor kerbau jantan, membuat dia kurang cepat mengelak dan kena diseruduk tanduk kerbau sampai jatuh kerengkengan! Baiknya ia berkulit tebal dan bertubuh kuat sehingga perutnya tidak pecah.
Binatang itu terus menyerangnya dan sekali kepala si raksasa terpukul tanduk, membuat ia berpusing pada sebelah kakinya lalu roboh dan tak ingat orang. Jaka Tingkir memberi isyarat dan beberapa orang tamtama maju menyelamatkan nyawa calon yang gagal itu, diseretnya keluar lapangan dan digeletakkan di atas rumput sampai ia siuman dan dengan malu pergi dari tempat itu. Ujian dilanjutkan dengan calon ketiga, keempat dan seterusnya. Diantara mereka banyak yang gagal malah ada dua orang yang tewas terkena tanduk pecah perut dan remuk tulang dada. Akan tetapi adapula yang lulus ujian dan mereka ini duduk bersila di sebelah satria berkulit kuning dengan bangganya. Diantara para penonton, terdapat sepasang orang muda, seorang gadis manis berkulit kehitaman dengan mata jeli dan seorang pemuda tampan yang berambut keriting.
Gadis itu paling banyak berusia lima belas tahu, tubuhnya langsing, pakaiannya sederhana, hanya kain yang tidak baru dan kembeng (pengikat pinggang penutup dada) yang membelit pinggang dan dadanya dengan erat. Pemuda itupun berpakaian sederhana, pakaian seorang petani muda. Mereka duduk di barisan penonton paling depan dan pemuda itu menonton dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri saking senangnya. Ia ikut bersorak-sorak dengan para penonton lainnya. Akan tetapi semenjak tadi gadis itu mengarahkan pandangannya selalu kepada Jaka Tingkir, pandang mata yang mesra penuh kekaguman. Dada tertutup kemben itu berkali-kali menarik napas panjang dan setiap gerak-gerik Jaka Tingkir diikutinya dengan seksama.
"Wati, kau lihat satria itu. Keliatannya seperti orang dari timur. Gerakannya tangkas dan cepat, dia tentu akan menang," kata pemuda tani itu diantara gemuruh sorak penonton. Akan tetapi yang diajak bicara diam saja karena sedang memandang ke arah Jaka Tingkir yang tengah bercakap-cakap sambil tersenyum dengan Ki Patih Wonosalam, yaitu patih di Demak yang mewakili rajanya mengepalai ujian ini. Karena tidak puas jejaka itu mengulangi kata-katanya sambil menyentuh lengan gadis itu tanpa menoleh karena ia merasa sayang untuk mengalihkan pandang dari tengah gelanggang pertempuran. Gadis itu sekarang mendengar perkataannya.
"Betapapun gagahnya mana bisa melawan Raden Jaka Tingkir?" jawabnya.
"Apa kau bilang" Tentu saja, dia adalah kepala tamtama. Akan tetapi dia dahulu tamtama biasa pula, tentu kedigdayaannya tidak berselisih jauh dengan para tamtama yang lain."
"Mana bisa!" Si gadis mencela penuh penasaran. "Di dunia ini mana ada yang dapat menandingi dia" Ketika masih kecil saja dia sudah dapat melompati blumbang (kolam air) di masjid Suranatan yang amat besar."
"Hemm, apa sukarnya itu?" jawab si jaka tanpa menoleh.
"Kang Sono, aku bilang dia melakukan itu ketika masih kecil! Dan sebelum dia diangkat menjadi kepala tamtama, dia menangkap harimau dan buaya begitu saja dengan tangan kosong untuk menyenangkan hati gusti sultan. Apa tidak hebat?" Suara yang berapi-api penuh nafsu ini membuat si Jaka yang bernama Sasono itu menoleh Gadis yang bernama Wati itupun kebetulan menoleh kepadanya, pandang matanya penuh tantangan, Sasono mengerutkan keningnya.
"Wati, setiap pria memiliki kegagahan dan keberanian!"
"Huh, buktinya banyak yang gagal!"
"Mereka kurang berani. Akupun kalau perlu dapat melakukan perbuatan Raden Jaka Tingkir!" Sasono membusungkan dadanya, dada kuat berwarna coklat dan mengkilat karena peluh. Wati mencibirkan bibirnya, menambah manisnya.
"Aduh sombongnya! Kalau memang digdaya, kenapa tidak menjadi tamtama?" Sasono terpukul oleh serangan ini. Ia memandang ke tengah gelanggang lalu menggelengkan kepala dan menjawab lirih,
"Kerbau adalah kawan kerjaku semenjak kecil. Mana bisa aku membunuhnya?" Percakapan mereka terhenti karena sorak-sorai gemuruh memuji pemuda timur yang benar-benar telah keluar sebagai pemenang. Dia adalah calon terakhir dan sampai disitu habislah pertandingan untuk hari itu. Semua penonton bubar, pulang ke tempat kerja masing-masing. Di antara puluhan orang calon yang lulus dan di terima hanya dua puluh lima orang. Kerbau jantan yang tewas ada dua puluh lima ekor pula. Namun sang prabu merasa puas.
"Adakan sayembara lagi besok dan seterusnya sampai barisan tamtama bertambah dua orang lagi," sabdanya ketika hendak meninggalkan panggung, kembali ke istana. Patih Wonosalam menyanggupi. Tak lama kemudian alun-alun itu telah ditinggalkan orang sunyi kembali. Hanya darah dan otak yang keluar dari kepala kerbau yang menjadi bukti bahwa di tempat itu telah terjadi pertandingan-pertandingan dasyat antara manusia dan kerbau jantan. Rumput-rumput hijau yang tadi rebah terinjak ribuan pasang kaki orang, kini telah bangkit kembali.
Dusun Depoksari di sebelah utara kota raja Demak adalah sebuah dusun kecil dan permai, terletak di tepi kali Demak. Penduduknya adalah petani rajin, pagi-pagi sebelum burung berkicau semua penduduk telah meninggalkan pintu pondok untuk bekerja. Setiap orang laki-laki dan anak-anak sampai kakek-kakek, berbodong pergi ke sawah ladang dengan riang gembira. Hujan mulai tiba, berarti tanah menanti digarap dan ditanduri. Para wanita tidak ketinggalan, membantu ayah, suami, anak di sawah, ada pula yang pergi untuk mencuci pakaian. Sepagi itu Wati telah berada di tepi sungai. Ia telah selesai mencuci pakaian, pakaiannya sendiri dan pakaian ayahnya, karena ibunya telah tiada. Pakaian basah telah diperasnya dan diletakkan di atas batu di pinggir kali. Dia sendiri duduk di atas rumput tepi sungai, berpakaian sebatas dada, rambutnya terurai ke belakang dibiarkan mengering. Segar nyaman rasa tubuh sehabis mandi sepagi itu.
Hitam-hitam si buah manggis
Biar hitam si dara manis Rambut halus terurai panjang.
Tapih pinjung memantas diri
Kidung kencana bermata bintang.
Mengalahkan sang bidadari!
Memang Wati manis sekali. Terutama sekali sepasang matanya, jeli bercahaya seperti bintang kejora. Apalagi bibir gendewa yang selalu tersenyum mesra itu. Entah mana yang lebih indah antara mata dan bibirnya, sukar dipilih. Dara juwita ini tengah duduk melonjorkan kaki ke depan, dari jauh tampak seperti seorang anak-anak sedang bermain-main. Kedua tangan dengan sepuluh jari-jari kecil meruncing itu sedang memilih-milih benang serat yang putih kering. Asik benar ia memilih-milih, mencari benang yang panjang dan utuh. Bibirnya bergerak-gerak perlahan lalu terdengar ia bertembang.
"Kupintal si benang serat
Kupilih tali pengikat Kuikat tali tanda kasih sakti
Agar selalu dekat dihati."
Tembangnya sederhana, namun suaranya empuk dan merdu. Diulang-ulanginya tembang ini, kemudian setelah cukup benang serat ia kumpulkan ia lalu menoleh ke kanan kiri, memandang ke depan belakang penuh selidik. Setelah ia merasa yakin bahwa tak ada mata jail memandangnya, tidak ada orang disekitarnya, gadis manis ini lalu menarik kain sebelah kanan ke atas. Nampaklah kini kaki kanannya sampai sebatas pahanya.
Aduhai gadis, kalau saja engkau tahu betapa burung murai di atas pohon menunda kicaunya yang riang tadi dan kini meram melek memandang kearahnya. Kalau saja enkau tahu betapa sekawan burung gereja yang terbang lewat mendadak meliuk-liuk dan hinggap di pohon di dekatnya, termangu-mangu kehilangan suaranya! Semua itu masih belum apa-apa kalau dibandingkan dengan kenyataan bahwa di balik sebatang pohon besar, hanya lima enam meter jauhnya sepasang mata melotot-lotot semenjak tadi mengintainya dan kini hidung di bawah mata berkembang-kempis dan mulut dibawahnya lagi menyeringai dan menahan air liur yang hendak mengalir keluar! Dengan enak dan tenang Wati terus memilih benang serat itu di atas pahanya yang berkulit halus seperti emas di sangling, menjadi seutas tali yang berpilih-pilih rata dan kuat.
Kemudian, lupa untuk menurunkan kembali kainnya, dara ini mengeluarkan sebuah mata uang dari keranjang tempat pakaian. Mata uang itu berlubang tengahnya dan dengan senyum manis ia memasukkan ujung tali pada mata uang itu dan mengikatnya erat-erat. Kemudian ia menalikan kedua ujung, merupakan sehelai kalung benang serat dengan mata uang sebagai mainannya. Sambil bersenandung girang ia mengalungkan kalung istimewa ini pada lehernya. Pada saat itu terdengar suara orang berbatuk di belakangnya. Wati tersentak kaget dan secepat kilat tangannya menyambar ujung kain yang tersingkap tadi, menutupi kembali kaki kanannya, lalu serentak ia melompat berdiri. Cepat dan sigap seperti seekor rusa muda. Ia memutar tubuh dan berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar, bertubuh raksasa dengan kumis melintang sekepal sebelah. Laki-laki itu tertawa senang.
"Ha-ha-ha, bocah ayu. Merdu sekali suaramu tadi. Hemm, kau manis, molek ayu. Genduk, biarlah aku saja yang selalu dekat dihatimu. Ha-ha-ha!" Wati kaget setengah mati, akan tetapi segera mengenal laki-laki ini dan ia tertawa terkekeh menutupkan belakang tangan kiri ke depan mulutnya sehingga deretan giginya yang rata dan putih mengkilat itu tidak nampak dari depan.
"Hik, hik, kiraku siapa tadi sampai kaget aku. Tidak tahunya engkau"!" Laki-laki itu membuka matanya yang sudah lebar itu menjadi lebih lebar. Biji mata yang sebesar jengkol itu seakan-akan hendak terloncat keluar. Mulutnya menyeringai, nampaknya ia senang sekali.
"Heh-heh, cah ayu! Kau sudah mengenal aku" Bagus, Lebih baik lagi kalau begitu. Kau tahu siapa namaku yang amat terkenal" Tentu tahu, kan?" Sambil menahan rasa jijiknya, Wati menjawab geli,
"Tentu saja tahu. Namamu Burisrawa!" Mata jengkol itu terputar-putar, akan tetapi kumis di atas mulut bergerak-gerak ketika orangnya tertawa.
"Bocah ayu, kau jangan main-main! Kau tentu belum pernah kenal dengan aku, jago tanpa tanding di pesisir utara. Ini dia yang bernama Bajulsengoro!" katanya sambil menebak-nebak dadanya sendiri dengan keras dan sombong. Wati tersenyum manis sekali, mengalahkan madu.
"Aku tidak peduli kau bernama Bajul mati, akan tetapi yang kutahu kau memang seperti Burisrawa." Laki-laki yang bernawa Bajulsengoro itu melangkah maju, sikapnya mengancam.
"Apa persamaanku dengan Burisrawa?"
"Burisrawa orangnya kasar dan sombong, akan tetapi sebetulnya tidak becus apa-apa, berlagak jagoan tapi sebenarnya lemah. Kaupun begitu, di alun-alun kemarin baru di sundang sekali saja oleh kerbau jantan, kau mencelat dan jungkir-balik, matamu mendelik dan napasmu hampir putus, kau pingsan!" Mata jengkol itu makin melotot, mulutnya berbusa, hidungnya kembang kempis, mengingatkan Wati akan kerbau-kerbau jantan yang sedang marah. Bajulsengoro melangkah maju menghampiri Wati yang mulai ketakutan dan mundur-mundur.
"Bocah ayu, mulutmu lancang... heh-heh, kalau dipukul sayang ayumu. Lebih baik kau ikut aku ke pesisir." Secepat kerbau jalang menyeruduk, Bajulsengoro menubruk gadis itu hendak dipeluknya. Wati menjerit dan mengelak lalu lari dikejar Bajulsengoro. Karena berkain, gadis ini tak dapat lari cepat, malah-malah ia lalu terserimpet dan jatuh tertelungkup.
"Hah-hah-ha! Mau lari kemana, manis?" Bajulsengoro sudah datang dekat hendak menubruk. Tiba-tiba sesosok bayang berkelebat dan sebuah tinju yang keras mengenai pangkal telinga Bajulsengoro, membuat laki-laki tinggi besar ini seketika menjadi pening dan matanya melihat ribuan bintang menari-nari. Dengan menggoyang-goyang kepalanya seperti lakunya seekor anjing mengibas-ngibaskan air dari tubuhnya, Bajulsengoro akhirnya dapat menguasai diri dan baru tampak olehnya bahwa seorang petani muda berdiri di depannya dengan kedua tangan terkepal dan mata bersinar marah. Ia melompat berdiri dan membentak.
"Setan alas! Kaukah yang memukulku tadi?" bentakan ini mengandung ketidakpercayaan karena
memang sukar ia dapat percaya bahwa pukulan yang seperti halilintar tadi datang dari pemuda dusun ini.
"Keparat!" Pemuda tani itu balas memaki. "Kau menghina seorang wanita, sudah sepatutnya kupukul. Kalau tidak lekas pergi minggat dari sini pukulan kedua akan meremukkan kepalamu!"
"Kang Sono, kenapa banyak bicara dengan setan itu" Pukul saja dia biar kapok!" kata Wati yang berdiri tak jauh dari situ, keranjang dan kain cucian sudah di tangannya.
"Babo-babo, bocah gunung nang-nung, bocah dusun goblok, petani busuk...!"
"Burisrawa, jangan menghina petani. Kalau tidak ada petani kau akan mampus kelaparan!" Wati memotong marah. Dengan keranjang cucian dikempit dilengan kiri, gadis ini membusungkan dada dengan tangan kanan dikepal! Hilang takutnya setelah Sasono berada disitu melindunginya.
"Manusia kasar, tak perlu kau memaki-maki, lebih baik lekas kau pergi dari sini tinggalkan Depoksari" Sasono berkata sambil melangkah maju, seujung rambutpun tidak merasa taku kepada raksasa itu.
"Setan alas, sombong amat. Kau belum tahu berhadapan dengan siapa" Inilah Bajulsengoro, jagoan tingkat atas dari pesisir utara. Aku murid terkasih dari Ki Dadungawuk. Berani kau kurang ajar kepadaku" Hayo pergi kau, jangan mencampuri urusanku dengan bocah perempuan ini!"
"Orang benar tak perlu takut, namamu dan nama Dadungawuk takkan menggetarkan hati orang benar."
"Babo-babo, kau menantang" Heh, bocah, siapa kau" Mengakulah, jangan mampus tanpa nama!"
"Aku Sasono, anak Depoksari, pamong tani pembela keadilan dan kebenaran."
"Mampuslah!" Dengan curang sekali selagi pemuda itu bicara, Bajulsengoro menerjang mau, memukul dengan kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa. Diserang secara mendadak selagi bicara, Sasono tak dapat mengelak, kebelakang. Baiknya Sasono adalah pemuda yang bertubuh kuat sekali, juga sudah pernah mempelajari ilmu kedigdayan. Maka begitu ia roboh terlentang, ia cepat bangun kembali dan hanya merasa dadanya agak sesak. Bajulsengoro tertawa bergelak-gelak akan tetapi segera berhenti ketika melihat lawannya itu sudah cepat bangun. Ia menerjang lagi, kini disambut oleh Sasono yang sudah siap. Pemuda Depoksari ini menangkis dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya menyambar secepat kilat memukul leher Bajulsengoro dengan jari-jari terbuka.
"Plakk!" "Aduh biung...!" Bajulsengoro terjungkel, untuk kedua kalinya, ia melihat ribuan bintang menari dan sukar bernapas. Namun ia kebal dan kembali bangun dengan cepat. Mulutnya berbuih, matanya merah mendelik, hidungnya kembang kempis dan bagaikan seekor serigala kelaparan ia menerjang lagi, menubruk dengan kedua tangan ke depan hendak mencekik leher Sasono. Pemuda dusun ini dengan tenang dan sigapnya mengelak ke kiri, lalu tangan kanannya menempiling pangkal telinga, disusul tendangan kaki keras mengenai pantat Bajulsengoro. Raksasa ini mengeluh, terhuyung-huyung dan terputar-putar ke arah tempat Wati berdiri. Gadis cepat mengambil periuk air di dekatnya sambil melepas keranjang, mengangkat periuk dengan kedua tangannya lalu...
"Prakk!" priuk air itu dihantamkan ke arah kepala Bajulsengoro. Periuk pecah, airnya muncrat-muncrat dan kepala Bajulsengoro terpukul sampai benjut, matanya semrepet. Beberapa kali ia terayun-ayun dan terputar-putar di atas ke dua kakinya, matanya menjuling, lidahnya keluar kemudian roboh pingsan didepan kaki Wati! Wati menjadi pucat, tubuhnya menggigil.
"Aduh... aku... aku telah membunuhnya..."
"Tidak, Wati, dia tidak mati. Kau gagah berani..." Sasono memuji sambil meraih pecahan periuk yang masih ada airnya dan menyiramkan sedikit air itu kemuka Bajulsengoro. Raksasa ini mengeluh dan membuka matanya, mengaduh-aduh merayap lalu bangkit. Matanya memandang ke arah Sasono penuh kebencian.
"Awas kau, kelak guruku akan datang membalas dendam!" Sasono hanya tersenyum dan membiarkan orang kasar itu pergi dengan langkah panjang. Kemudian ia menoleh dan memandang Wati yang masih berdiri termangu melihat ke bawah.
"Wati, kau kenapa?"
"Periukku" periukku pecah lagi?" kata Wati lirih dan ia seperti dalam mimpi karena terbayanglah semua pengalamannya di hari kemarin periuknya pecah ketika ia bertemu dengan Jaka Tingkir.
"Pecah lagi kau bilang"Apa bisa periuk pecah dua kali?"
"Bukan, ini yang baru... dan..." Pada saat itu, Wati melihat kalungnya tergantung di depan dada, terayun-ayun ke kanan-kiri. Rupanya mata uang itu telah keluar dari balik kainnya. Juga Sasono melihat ini dan pemuda ini berseru.
"Aduh bagus benar kalungmu, Wati! Eh mainannya kok mata uang! Dari mana kau memperoleh itu?" Dengan kepala dikedikkan, tubuh tegak dan kedua lengan menenteng dalam gayanya meniru bagaimana seorang puteri keraton sepatutnya berlagak, Wati menjawab bangga.
"Dia yang memberi kepadaku sebagai hadiah! Alangkah baiknya dia, alangkah gagah dan tampan halus tutur sapanya, sampai-sampai ia turun dari kuda dan menghibur ketika perikku terjatuh dan pecah dan... Dan memberiku hadiah ini" hemmmm" Gadis itu mengepal mata uangnya di depan dada dan meramkan mata agar kejadian yang amat mengguncangkan perasaannya itu terbayang makin nyata. Sasono mengerutkan alisnya, penuh rasa cemburu.
"Siapa dia itu, Wati" Siapa dia?" Suara pemuda ini gemetar akan tetapi Wati agaknya tidak memperhatikan.
"Siapa lagi kalau bukan Raden Jaka Tingkir yang gagah perkasa?" Sasono membanting kaki kirinya. Semenjak kemarin ketika ia mengajak gadis itu menonton pemilihan tamtama di alun-alun, ia sudah dibikin tak senang dan cemburu ketika betapa gadis itu memuji-muji dan mengagumi Jaka Tingkir.
"Wati! Baru saja aku menolongmu dari bencana hebat yang menimpamu. Kalau tidak ada aku disini, apa jadinya dengan kau" Mungkin sudah diculik oleh Si Bajulsengoro. Akan tetapi kau tidak ingat ini, kau hanya ingat kepada Jaka Tingkir!" Wati membuka matanya dan menatap wajah pemuda yang menjadi sahabat baik sejak kecilnya itu dengan sinar mata berseri.
"Oohhh, kaupun seorang pemuda yang gagah berani, kang Sono. Pemuda paling baik tetapi..., Raden Jaka Tingkir lain"!" Dan kembali gadis itu meramkan matanya untuk membayangkan wajah Jaka Tingkir yang amat dikaguminya. Panas rasa dada pemuda itu, dipenuhi cemburu dan iri hati. Ia mengepal tinju dan berkata keras-keras,
"Kau kira aku tidak sanggup melakukan apa yang dapat diperbuat olehnya" Kau kira aku tidak sanggup mengalahkan kerbau jantan" Hemm, kau lihat saja. Besok pagi akulah orang pertama yang akan memasuki gelanggang, menghadapi seekor kerbau jantan dan mengalahkannya. Baru kau lihat bahwa aku sasono tidak kalah oleh pemuda lain yang manapun juga?" Setelah berkata demikian, dengan hati panas Sasono lalu pergi dengan langkah lebar, kembali ke sawahnya, dimana tadi ia bekerja dan terganggu oleh jerit Wati. Tiba-tiba Wati membuka matanya, wajahnya berubah pucat,
"Kang Sono! Jangan kau lakukan itu! Kau akan celaka di tanduk kerbau"!" Akan tetapi Sasono tidak menjawab, menolehpun tidak.
"Kang Sasono"!" Wati mengejar. Namun Sasono tetap tidak menghiraukannya, malah mempercepat langkahnya. Pemuda ini merasa panas hatinya, Wati adalah sahabatnya semenjak mereka masih kanak-kanak dan setelah mereka dewasa, hatinya dipenuhi cinta kasih yang amat mendalam terhadap gadis ini. Sungguhpun dengan cara hidup mereka yang sederhana, mereka tak pernah saling mengutarakan perasaan hati mereka secara terang-terangan, namun dalam seribu bahasa dari sinar mata, mereka telah saling mengetahui isi hati masing-masing. Dan sekarang gadis ini menandingkan dengan pemuda lain, Jaka Tingkir yang dianggapnya jauh melebihinya. Siapa orangnya takkan panas, iri hati dan cemburu!
"Kang Sono...!" Namun Sasono tetap membungkam, bahkan tidak menjawab ketika gadis itu sudah tiba disawah.
Ia terus mencangkul sawah dengan ayunan keras, seakan hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah yang dicangkulnya. Akhirnya Wati berjalan pulang dengan hati penuh kekuatiran. Pada keesokan harinya, alun-alun telah penuh orang-orang yang hendak menonton ujian calon tamtama. Lebih banyak daripada kemarin, karena sekarang setelah ujian diadakan untuk ketiga harinya, banyak orang-orang dari daerah jauh untuk menonton. Patih Wonosalam mewakili Sang Prabu Trenggono memimpin sayembara tamtama ini, ia bertukar pandang dengan Jaka Tingkir penuh keheranan ketika orang pertama yang menjadi calon adalah seorang pemuda dusun yang usianya paling banyak dua puluh tahun. Pemuda ini berpakaian amat sederhana, seperti seorang petani, juga tidak kelihatan gagah, tubuhnya sedang saja.
"Apakah tidak membahayakan jiwanya kalau dia bertanding melawan kerbau jantan?" Sang patih berkata,
"Paman patih, biasanya kepandaian yang tinggi justru tersembunyi dalam orang yang kelihatan paling lemah dan sederhana. Kalau seorang pemuda tani seperti dia berani maju, hamba kira dia memiliki sesuatu yang patut diandalkan" Setelah para calon siap berkumpul dan saatnya tiba ujian bagi calon pertama dimulai. Hanya sedikit orang yang bertepuk tangan menyambut Sasono yang berdiri setelah menyembah ke arah panggung dimana sang patih dan Jaka Tingkir duduk. Banyak orang mengira bahwa pemuda ini tentu akan roboh, kalau tidak terluka hebat tentu akan mati.
"Menyia-nyiakan nyawa saja, lebih baik macul di sawah," seorang berpakaian mewah mencemooh. Banyak pula yang menguatirkan keselamatan pemuda tani itu dan diantara mereka yang paling berkuatir adalah Wati. Gadis ini diam-diam pergi ke alun-alun dan sejak tadi sepasang matanya yang membasah karena semalam ia menangis terus, memandang kearah Sasono.
Hanya sekali-kali ia memandang ke arah Jaka Tingkir, akan tetapi bukan pandang seperti kemarin dulu, sekarang pandang matanya penuh permohonan dan ia mengharapkan Jaka Tingkir akan menyelamatkan nyawa Sasono andaikata sahabatnya terancam bahaya nanti. Dengan amat tenang Sasono memasuki gelanggang pertandingan. Tadinya ia merasa agak lesu dan kurang semangat oleh karena sesungguhnya tidak ada sedikitpun minat di dalam hatinya untuk menjadi tamtama! Ia memasuki sayembara hanya terdorong nafsu amarah dan iri hati karena oleh Wati ia dibanding-bandingkan dengan Jaka Tingkir! Sekarang ia mulai merasa menyesal mengapa ia menuruti nafsu hatinya. Sama sekali ia tidak merasa takut, hanya semangatnya mengendur setelah ia membayangkan bagaimana nanti kalau ia sampai menjadi tamtama.
Apalagi ia tidak melihat adanya Wati disitu, padahal semua ini ia lakukan untuk memperlihatkan kepada kekasihnya itu bahwa ia cukup jantan, cukup gagah tidak kalah oleh Jaka Tingkir! Akan tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang menarik hatinya sehingga otomatis ia menoleh ke kiri dan" disana, diantara para penonton yang berjejal, ia melihat gadisnya itu! Wati memandang kepadanya dengan air mata berlinang dan gadis itu kini menggoyang-goyang kepalanya, agaknya hendak mencegah dia bertanding melawan kerbau jantan. Tiba-tiba hati sasono membesar, matanya bersinar-sinar. Jadi hadir pula Wati! Bagus sekali, kau lihat sendiri Wati. Lihatlah bahwa aku tidak kalah oleh pemuda yang manapun juga. Setelah berkejap beberapa kali kepada Wati Sasono melangkah terus.
Hatinya dipenuh kegembiraan besar, mulutnya tersenyum dan kaki tangannya tiba-tiba bergerak-gerak, menari menurutkan bunyi gamelan! Tadinya para penonton terheran, juga Jaka Tingkir dan Patih Wonosalam, akan tetapi setelah melihat betapa tarian itu amat gagah dan tepat dengan bunyi gamelan, tahulah semua orang bahwa pemuda muda itu ternyata adalah seorang penari yang ahli! Memang tidak salah. Sejak kecilnya Sasono sudah suka sekali mempelajari tari-tarian, apalagi setelah ia mempelajari gerakan-gerakan olah keprajuritan, sekarang ia menarikan tari perang yang amat gagah. Dengan langkah-langkah teratur dan kedua tangan bergerak-gerak dalam berbagai sikap yang gagah dalam ilmu menjaga diri, Sasono berhadapan dengan kerbau jantan yang sudah dilepas dari kandang. Kerbau jantan mulai bingung dan marah, lalu tiba-tiba menyeruduk ke arah Sasono,
"Eeiiittt!" Pemuda itu dengan gerakan yang lincah dan indah menggeser kaki dan meliukkan tubuhnya ke samping mengelak dalam aturan ilmu menjaga diri yang mengagumkan. Para penonton bersorak dan tertawa-tawa, karena pemuda itu dalam menghadapi serangan maut masih menari-nari. Tukang-tukang penabuh gamelan juga gembira bukan main. Baru sekarag mereka menyaksikan pertandingan yang menarik dan lucu, juga yang cocok sekali dengan selera mereka, selera seniman-seniman.
Tukang kendangnya beraksi, kendang dipukul dengan lincah dan gencar, mengikut gerak-gerik Sasono. Jaka Tingkir bertukar pandang dengan Patih Wonosalam dan dalam pandang mata kepala tamtama ini menyatakan kegirangannya bahwa dugaannya tidak keliru, bahwa petani muda itu betul-betul "Berisi." Sorak-sorai bergemuruh sambung-menyambung ketika para penonton dibuat gembira oleh kelincahan tubuh Sasono. Berkali-kali kerbau jantan menyerang namun untuk kesekian kalinya selalu menyeruduk dan menyundang angin. Tiap kali kerbau itu menerjang, Wati merasa ngeri membayangkan perut Sasono terobek oleh sepasang tanduk yang runcing itu. Kerbau jantan mulai lelah, terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan busa, keringatnya membasahi punggung dan empat buah kakinya menggigil. Mulai lambat penyerangannya. Jaka Tingkir mengerutkan keningnya.
"Banyak terdapat lowongan, kenapa ia tidak menjatuhkan tangan memukul binatang itu" Tidak tepat orang seperti dia menjadi tamtama. Sebaliknya daripada menggunakan kesempatan balas menyerang, dia menari-nari. Apa dia kira ini main-main?" Kepala tamtama yang muda belia ini merasa tidak puas menyaksikan lagak Sasono. Juga para penonton mulai merasa tidak sabar lagi.
"Pukul kepalanya, perlihatkan tinjumu yang keras!" Mendengar ini, Sasono merasa sudah cukup memperlihatkannya kepada Wati, bukan kepada orang lain.
Ia melihat kerbau itu sudah lelah sekali, maka pada saat kerbau menubruknya kembali, ia mengelak ke kiri, lalu dari samping ia menubruk dan dengan kedua tangan memegang sepasang tanduk kerbau. Dengan penuh tenaga ia memutar kepala kerbau itu. Binatang itu tentu saja tidak mau menyerah dan mempertahankan, namun tenaga sasono cukup hebat dan binatang itupun sudah lelah. Akhirnya kerbau itu tak dapat mempertahankan diri lagi, rebah miring tak dapat bergerak lagi! Para penonton bersorak riuh-rendah memuji pemuda ini dan Wati sendiri dengan dada lapang kini tersenyum. Ketika melihat Jaka Tingkir dengan langkah lebar menghampiri tengah gelanggang pertandingan, Sasono cepat melepaskan kerbau itu. Sambil menguak jinak kerbau itu berdiri lalu berjalan perlahan menjauhkan diri, tidak melawan lagi ketika para petugas mengiringnya keluar dari lapangan. Sasono cepat menyembah.
"Heh, kisanak (saudara). Kau siapakah dan apa maksudmu mempermainkan kerbau itu dan tidak lekas-lekas membunuhnya" Apakah kau hendak memamerkan kedigdayaanmu disini?" tegur Jaka Tingkir agak marah karena ia menyangka bahwa pemuda ini sengaja menyombongkan kepandaiannya.
"Tidak sekali-kali Raden. Mana hamba berani memamerkan kebodohan hamba?" jawab Sasono kaget, tidak mengira bahwa ia akan mendapat marah.
"Hemmm. Kalau begitu mengapa kau tadi tidak lekas-lekas memukul mati binatang itu dan mempermainkannya?"
"Kerbau adalah kawan hamba yang setia semenjak hamba kecil, membantu kaum tani bekerja di sawah. Bagaimana hamba tega membunuhnya?" jawab Sasono sambil menyembah dengan hormat. Jaka Tingkir mengangguk-angguk, dapat menerima alasan ini.
"Dengan sikapmu yang lemah itu, kau tidak pantas menjadi tamtama."
"Ampun Raden. Memang sesungguhnya, tidak ada sedikitpun keingingan di hati hamba untuk menjadi tamtama."
"Apa katamu" Kalau begitu kenapa memasuki gelanggang ini?" Raden Jaka Tingkir bertanya penuh keheranan, kembali timbul sangkaannya bocah ini hendak memamerkan kepandaiannya.
"Karena... Karena terdorong nafsu" eh, karena" karena dia itulah, Raden?" jawab Sasono gugup sambil menoleh dan menundingkan ibu jari ke arah Wati.
"Apa maksudmu?" Jaka Tingkir memandang ke arah yang ditunjuk, akan tetapi karena disana terlihat banyak sekali penonton, ia masih tidak mengerti maksudnya.
"Dia siapakah?" Wajah Sasono yang biasanya tenang sekarang menjadi gugup, sebentar pucat sebentar merah. Ia jatuh kalah wibawa berhadapan dengan Jaka Tingkir dan dia mulai menyesal atas kelancangannya.
"Dia gadis itu, dia membanding-bandingkan hamba dengan" dengan para tamtama, disangkanya hamba tidak sanggup menaklukkan kerbau. Untuk memperlihatkan dan membuktikan kepadanya maka hamba telah lancang memasuki gelanggang, mohon Raden suka memaafkan kelancangan hamba ini?" Kini Jaka Tingkir dapat melihat Wati, gadis manis yang bertubuh ramping, yang kini dengan sepasang mata jeli memandang kepadanya penuh permohonan. Tak tahan lagi ia tertawa dan tahulah ia kini akan semua lelakon petani muda ini.
"Ha-ha, lucu sekali! Bocah, kau masih kekanak-kanakan. Memang seperti itulah orang yang sedang dirundung cinta kasih. Ha-ha, seperti kanak-kanak saja. Betapapun juga aku ikut girang melihat kebahagianmu, pilihanmu tepat, bocah itu tentu kekasihmu, bukan?" Merah wajah Sasono dan ia hanya mengangguk.
"Untuk menyenangkan hati kekasih, kau berani menempuh bahaya, itulah menandakan besarnya cintamu. Kau berani dan tulus, juga tahu akan setia kawan, tidak mau membunuh kerbau. Nyata kau seorang pemuda yang amat baik. Siapa namamu?"
"Hamba Sasono dari Depoksari."
"Bagus Sasono, mulai sekarang ajaklah gadismu itu pulang. Aku akan ingat namamu dan kelak aku boleh jadi akan membutuhkan bantuanmu."
"Hamba dengan segala kebodohan hamba berjanji hendak membantu, Raden." Jaka Tingkir merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa potong mata uang, diberikannya kepada Sasono yang menerimanya dengan terima kasih. Kemudia ia bangkit berdiri dan menghampiri Wati. Ditariknya gadis itu dan diajaknya pulang.
"Kau menimbulkan gara-gara." Gumamnya di tengah jalan. Wati melepaskan tangannya dan memandang penuh tuduhan.
"Bukan aku, kaulah yang menimbulkan gara-gara. Apa-apaan kau tadi menghadapi kerbau jantan" Hampir gila aku karena kekuatiran." Sasono memandang mesra.
"Hemm, kau masih menguatirkan aku?" Wati cemberut.
"Siapa menguatirkan kau" Aku kuatir kau akan membunuh kerbau itu!" Namun jawaban yang menyimpang ini tidak dapat membohongi Sasono yang tahu akan isi hati gadisnya.
"Lihat, Raden Jaka Tingkir malah memberi hadiah, dia tidak marah kepadaku ketika kukatakan terus terang bahwa aku berkelahi dengan kerbau karena kau. Karena hendak membuktikan kepadamu bahwa aku tidak kalah oleh para tamtama!" kata Sasono dengan perasaan bangga sambil memperlihatkan beberapa mata uang itu.
"Oohhh", jadi kau tadi menyebut-nyebut aku" Pantas saja dia menengok dan memandang kepadaku. Apa... Apa dia ingat bahwa aku yang pernah ia beri mata uang ketika periukku pecah?"
"Entahlah. Kurasa tidak kenal lagi, karena dia tidak menyatakan sesuatu." Wati termangu-mangu hatinya kosong. Dia begitu mudah lupa padaku, malah memberi hadiah setiap orang. Dia tidak memikirkan aku sama sekali. Ia menjadi kecewa. Sasono biarpun hanya seorang pemuda tani, namun ia dapat menduga apa isi hati kekasihnya ini, maka katanya dengan suara agak menggetar.
"Wati, apakah... Apakah kau amat tertarik oleh Raden Jaka Tingkir" Wati, apakah kau lupa kepadaku" Kau tahu bahwa aku" aku selalu mengidamkan kelak kau menjadi... menjadi teman hidupku..."
Baru kali ini selama mereka bersahabat pemuda itu bicara tentang perasaan hatinya. Wati menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Dua titik air mata membasahi pelupuknya. Kemudian ia mengangkat muka memandang pemuda itu, pemuda yang dipujanya selama ini, dan hanya agak mengendur perasaannya terhadap pemuda ini setelah ia tergoda oleh bayangan Jaka Tingkir. Akan tetapi setelah kepala tamtama itu sama sekali tidak menghiraukannya, perasaan yang dahulu timbul lagi, malah kuat, bukankah kekasih hatinya inipun seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang pemuda yang telah menolongnya dari tangan bajulsengoro, seorang pemuda yang sudah menyatakan cinta hatinya dengan taruhan nyawa ketika menghadapi kerbau jantan"
"Tidak, kang Sono. Mengapa aku tertarik kepada segala orang bangsawan seperti dia" Dia boleh digdaya boleh tampan dan gagah, akan tetapi belum tentu dapat mencangkul dan meluku sawah sepandai engkau. Tidak, tempatku adalah disisimu..." Setelah berkata demikian, dengan kerling mesra dan senyum dikulum gadis ini lalu melarikan diri.
"Eh kenapa lari" Wati tunggu?" Demikianlah, sepasang orang muda yang bahagia itu berkejar-kejaran da berlari-larian sambil tertawa dan bersenda gurau, menuju ke kampung halaman mereka, Depoksari. Siapa bilang manusia itu penentu jalan hidupnya, pengatur nasib dirinya dan berkuasa atas segala yang terjadi disekitarnya" Pembilangan yang membesarkan semangat, memang.
Namun pembilangan yang sesungguhnya tidak benar, pembilangan orang yang lupa akan dirinya lupa bahwasanya diatas segala kekuasaan yang ada didunia ini, masih ada kekuasaan tertinggi yang mutlak kekuasaan-Nya, yang tak dapat dipengaruhi oleh segala macam daya upaya manusia. Manusia hanyalah menjadi wajib pelaksana yang telah menerima kewajiban dalam hidup untuk berusaha demi kelangsungan hidupnya, wajib mengelakkan bahaya dan kemalangan yang mengancam diri, wajib berusaha mencari dan meraih keuntungan bagi dirinya pula. Inilah hak dan kewajiban manusia. Namun, segala penentuan, segala keputusan adalah didalam tanan Kekuasaan Tertinggi. Manusia hanya dapat meminta, memohon tanpa berhak menentukan apakah permohonannya dikabulkan ataukah tidak. Tepatlah orang-orang dahulu yang menyatakan demikian,
"Manusia penuh kehendak,
Malang tak dapat dielak, Manusia penuh pamrih, Untung Tak dapat diraih Memang manusia WAJIB berusaha
Namun akhirnya TUHAN yang Berkuasa!"
Keluarga di pondok Sasono dan Wati bergembira ria karena pinangan Sasono atas diri Wati. Sasono putera tunggal seorang janda, Wati puteri tunggal seorang duda. Cocok sekali seperti tumbu mendapatkan tutup. Pinangan diterima, pertunangan diresmikan tanpa upacara tanpa pesta namun tidak mengurangi kebahagian mereka. Senja hari itu amat cerah, udara tidak digelapi mendung, terang damai seperti keadaan hati Sasono dan Wati yang duduk dipinggir kali bengawan. Mereka melepas lelah sehabis bekerja berat sehari penuh disawah. Angin senja yang bersih meniup pergi semua kelelahan tubuh. Sepasang muda-mudi ini duduk diatas batu di pinggir kubur, tak banyak bercakap namun kediaman mereka ini bahkan mempertebal rasa kepuasaan bahwa mereka duduk bersanding, bahwa mereka saling memiliki, kedekatan raga dan hati.
Tiap hati yang dibuai asmara selalu penuh keriangan, penuh kebahagian dan segala sesuatu yang tampak oleh mata kelihatan indah dan permai. Mengalirnya air sungai yang membawa daun-daun kering, beriak kecil mengeluarkan bunyi bagaikan gamelan dari sorga. Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin seperti tangan-tangan para bidadari kahyangan melambai-lambai. Kicau burung yang beterbangan hendak pulang ke sarang masing-masing seperti selingan nyanyian, menambah keindahan alam, keindahan yang hanya dapat terasa oleh orang-orang yang sedang berbahagia, orang-orang yang terpenuhi hasrat hatinya, padahal keindahan seperti itu setiap saat memang sudah ada, hanya biasanya tak pernah terasa oleh orang yang sedang murung.
"Wati?" "Hemmm...?" Dalam panggilan dan jawaban sederhana ini terkandung semua kasih yang mesra dan dua pasang mata saling tatap membawa suara hati masing-masing.
"Kalau kita sudah berumah tangga... Dimana kita hendak tinggal?" Wati memandang kepada tunangannya dengan bibir tersenyum.
"Kalau kau bagaimana, Kang Sono?"
"Aku...?" Sasono termenung sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir perlahan. "Disini begini sunyi, begini indah. Ingin aku tinggal di pinggir sungai ini, membuat gubug kecil untuk kita berdua, jauh dari keramaian?" Wati memandang heran.
"Lho, kok aneh sekali kau ini, Kang Sono! Apa kau hendak membawaku bertapa di tempat sunyi" Bagaimana kita bisa meninggalkan dan menjauhkan diri dari kampung kita" Bagaimana ayahku dan ibumu" Mereka keduanya tiada kawan di rumah."
"Ibumu atau ayahmu dapat saja setiap saat datang mengunjungi kita atau dapat pula kita mengunjungi mereka secara bergantian. Betapapun juga, kalau kita tinggal disini berarti masih sekampung. Tidak berapa jauh. Aku ingin tinggal di tempat sunyi bersama kau, Wati, di dalam kesunyian makin terasa olehku bahwa kau berada disampingku!" Wati hanya terheran-heran. Tentu saja seperti wanita-wanita lain, gadis inipun tidak mengerti akan perasaan hati seorang pria. Perasaan hati Sasono adalah perasaan yang wajar, yang ada pada hati tiap orang pria. Pria mana yang tidak mempunyai keinginan yang sempurna, yakni tinggal berdua saja dengan wanita yang dikasihinya di tempat sunyi" Tidak demikian dengan wanita, karena didalam kebahagiannya bersanding dengan pria yang dicintainya, wanita ingin memperlihatkan kebahagiannya itu ingin membanggakan kebahagiannya itu kepada orang lain!
"Baiklah, aku akan menuruti segala keinginanmu, kang Sono." Akhirnya, seperti semua calon isteri yang bijaksana dan baik, Wati berkata dengan perasaan menyerah dan tunduk akan kehendak calon suaminya. Demikianlah, sepasang orang muda ini bercakap-cakap, diseling kerling dan senyum cumbu rayu sederhana dan sewajarnya. Tiada yang lebih indah daripada cahaya dalam mata kekasih, tiada yang lebih manis dari pada senyum bibir pujaan hati. Gembira, suka cita, bahagia! Dalam keadaan demikian sukarlah orang teringat bahwa duka adalah saudara kandung suka, lupa bahwa sepasang saudara kembar ini selalu saling menyeling dalam kehidupan manusia.
Suka dan Duka Bagai Malam dan hari Dalam bersukaria Jangan sombong dan lupa diri
Dalam berdukacita Jangan patah semangat dan terlena
Tetap tenang waspada Teguh kuat sederhana Di atas kepercayaan akan diri pribadi
Serahkanlah kepada Yang Maha Kasih
Ketenangan penuh damai dan yang memenuhi dada sepasang orang muda itu tiba-tiba terganggu oleh suara ketawa yang parau dan keras. Sasono meloncat bangun sambil memutar tubuhnya. Juga Wati bangkit berdiri dan alangkah kagetnya ketika melihat dua orang laki-laki telah berdiri tak jauh didepannya, hanya dalam jarak tiga meter. Dalam buaian kasih tadi mereka tidak mendengar datanganya dua orang laki-laki itu yang bukan lain adalah Bajulsengoro bersama seorang laki-laki tinggi besar pula, setengah tua dan berwajah serba kasar yang mengerikan!
"Bajulsengoro ! Kau datang lagi mau apakah" Kalau buruk kehendakmu, lebih baik kau lekas pergi dari sini!"
"Ha-ha-hak, sombong amat!" Seru laki-laki setengah tua yang tinggi besar, teman Bajulsengoro itu. "Bajul inikah petani muda yang menghinamu itu" Aha, pendek kecil, nyekingkring kaya monyet kelaparan. Masa kau kalah olehnya" Walaah, kau memalukan orang yang menjadi gurumu!" Diam-diam Sasono terkejut sekali. Kiranya orang yang menjadi guru Bajulsengoro, yang bernama Ki Dadungawuk. Ia harus waspada, harus hati-hati. Pada saat itu, terdengar seruan dari jauh, suara kanak-kanak,
"Kang Sasono...!" Lalu muncullah seorang bocah penggembala kerbau, mengiringkan tiga ekor kerbaunya, hendak pulang. Bocah ini tahu bahwa Sasono dan Wati berada disitu, maka dari jauh ia sudah memanggil-manggil. Ketika melihat dua orang laki-laki asing yang sikapnya mengancam, bocah ini mengancam bocah itu kaget bukan main, dan ia menutup mulutnya yang sudah hendak memanggil lagi. Sasono menoleh dan berkata,
"Bejo, kau pulanglah, giring kerbau-kerbaumu baik-baik" Bocah itu cepat menghalau kerbaunya, akan tetapi setelah jauh, diam-diam ia menyelinap dan mengintai dari balik pohon.
"Heh, bocah! Apakah kau yang bernama Sasono?" tanya pula laki-laki yang kasar tadi.
"Betul, aku yang bernama Sasono. Paman siapakah dan ada keperluan apa datang kesini bersama Bajusengoro?" Sepasang mata kemerahan itu bergerak-gerak liar.
"Kau mau tahu" Akulah Ki Dadungawuk, gegedug (pentolan) desa Pingit, jagoan negara Kedu! Ketika muridku si Bajul bercerita bahwa dia dihina olehmu, aku marah dan penasaran. Tidak tahunya kau hanya seorang bocah nyekingkring. Ah, malu aku harus menanganimu. Sekarang begini saja. Kau dan muridku ribut-ribut soal perempuan, tentu gadis hitam manis ini, bukan" Nah, kau serahkan perempuan ini kepada si Bajulsengoro, dan nyawamu kuampuni." Bukan main marahnya Sasono mendengar ini. Penghinaan yang amat besar, yang membuat ia menjadi nekat. Tinjunya dikepal, semua urat ditubuhnya menegang, matanya berapi memandang kepada Ki Dadungawuk.
"Ki Dadungawuk, sikapmu menyeleweng daripada kebenaran! Keputusanmu berat sebelah dan melanggar kesusilaan. Aku Sasono bukanlah seorang pengecut yang sudi menyelamatkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain, apalagi Wati calon isteriku. Kemarin dulu aku menghajar Bajulsengoro karena dia berlaku kurang ajar terhadap Wati. Sepatutnya kau sebagai gurunya harus menegur kelakuannya yang tidak patut, tidak seharusnya kau malah membelanya. Kalau begitu kau yang mengaku seorang gegedug, patutnya gegedug keparat, jagoan jahat!"
"Sasono, tutup mulutmu. Jangan menghina guruku!" Bajulsengoro membentak marah sekali dan mencabut kerisnya.
"Babo-babo! Jago Kate keruyuknya nyaring amat! Coba, hendak kulihat sampai dimana tebalnya kulitmu!" Ki Dadungawuk melangkah maju penuh ancaman.
"Kau hendak menggunakan kekerasan" Baik, Ki Dadungawuk, mari kulayani?" jawab Sasono dengan sikap gagah sambil bersiap menghadapi serangan lawan. Dadungawuk tertawa bergelak lalu maju menerjang. Pukulan-pukulan antep dan kuat sekali sehingga ketika menangkis, Sasono merasa lengannya sakit dan tubuhnya terhuyung-huyung. Wati menjerit ketakutan dan penuh kekuatiran. Bocah penggembala kerbau, si Bejo, menggigil di belakang pohon, lalu diam-diam ia melarikan diri ke dusun untuk memberi kabar kepada penduduk Depoksari. Dengan napas terengah-engah Bejo berteriak-teriak sambil memasuki kampungnya.
"Paman-Paman semua... Tolong" Kang Sasono diserang penjahat." Sudah menjadi kebiasaan yang amat mengagumkan disetiap dusun, penduduknya hidup dalam suasana gotong royong, senasib sependeritaan dan rukun sekali. Begitu mendengar teriakan Bejo ini, cepat beberapa orang muda menanyakan dimana terjadinya perkelahian itu dan lima orang pemuda berlari-lari cepat sekali menuju ke pinggir kali. Puluhan orang teman-teman lainnya, tua muda berbondong-bondong lari pula ke tempat itu. Dari jauh lima orang pemuda dusun Depoksari itu menyaksikan pertempuran yang hebat. Akan tetapi segera terlihat oleh mereka bahwa Sasono yang biasanya mereka anggap sebagai pemuda paling kuat dan gagah di dusun sekarang tak berdaya menghadapi serbuan seorang yang bertubuh tinggi besar dan amat kuat.
Beberapa kali Sasono yang lebih sigap berhasil menjatuhkan pukulannya, namun tubuh lawannya demikian kuatnya sehingga semua pukulannya tidak dapat merobohkan lawan. Ketika dia sendiri terkena pukulan Ki Dadungawuk, Sasono terjengkang dan roboh! Pada saat itu, lima orang pemuda sudah datang dekat, dalam jarak sepuluh meter lagi. Namun mereka itu agak terlambat, tidak berdaya menolong ketika secara curang dan licik si Bajulsengoro menubruk dan menikam dada Sasono yang sudah roboh dengan kerisnya. Saking keras tusukan itu, sampai gagang keris terlepas dari pegangan Bajulsengoro yang cepat melepaskan kerisnya menancap di dada Sasono sambil meloncat ke belakang karena kedua kaki Sasono masih dapat melancarkan tendangan dahsyat ke arahnya.
"Kang Sono"!!" Wati menjerit-jerit sambil menubruk tubuh Sasono yang mandi darah. Sementara itu, lima orang petani muda dengan marah sekali menghadapi dua orang tinggi besar itu.
"Kalian ini siapa" Datang-datang melakukan pembunuhan biadab?" tanya mereka. Dadungawuk tertawa bergelak.
"Belum mengenal kami" Ha-ha-ha, dengar baik-baik agar jangan terjungkal karena kaget. Aku adalah Ki Dadungawuk Jagoan gemblengan dari Kedu, sakti mandraguna tidak tedas tapak paluning pande (kebal). Dan dia ini muridku si Bajulsengoro. Sasono telah menghina kami, maka kami sudahi hidupnya. Kalian ini bocah-bocah dusun lebih baik pergi saja." Marahlah mereka dan serempak lalu menyerang, mengeroyok Dadungawuk dan Bajulsengoro yang melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sementara itu, Sasono memandang kepada Wati, bibirnya tersenyum!
"Wati, aku tidak... tidak menyesal" biarpun harus mati" dalam mati" dalam membelamu?"
"Kang Sasono... jangan mati, kang?" Wati memeluki tubuhnya, bercucuran air matanya ke atas muka dan dada Sasono sehingga air mata itu bercampur dengan marah. Dara ini tidak perduli bagaimana dia sendiri berlepotan darah yang mengucur keluar dari luka di dada kekasihnya. Dengan tangan menggigil dan lemah, Sasono mengelus-elus rambut kekasihnya.
"Wati" aku senang di tempat sunyi... berdua dengan" kau?" Napasnya tersendat, lalu batuk tiga kali dan pemuda yang gagah berani itu menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Wati.
"Kang Sasono... Tunggu, kang" aku ikut"!" Tanpa ragu-ragu kedua tangannya yang menggenggam gagang keris yang masih berlumuran darah kekasihnya itu bergerak menikamkan ujung keris ke dadanya sendiri!
"Cep"!" Tubuhnya terguling dan dengan lemas gadis ini masih dapat merangkak mendekati mayat Sasono, lalu roboh di atas dada yang terlentang dan masih panas itu,
Tak bergerak-gerak lagi, hanya darah yang mengucur dari dadanya kelihatan bergerak, mengalir turun dan bercampur dengan darah Sasono, kemudian terus mengalir ke bawah diisap oleh bumi. Lima orang pemuda yang sedang mengeroyok Dadungawuk dan Bajulsengoro, menjadi kaget sekali melihat kenekatan Wati. Namun mereka tak dapat mencegah, karena mereka sendiri repot sekali menghadapi kedigdayaan Dadungawuk dan Bajulsengoro. Biarpun berlima, mereka masih bukan tandingan dua orang raksasa itu. Dua orang diantara mereka sudah roboh dengan kepala benjol-benjol dan pingsan. Baiknya pada saat itu, teman-teman lain yang datang membantu sudah tiba, puluhan orang laki-laki datang membawa linggis, pacul, alu, golok, tumbak dan lain senjata tajam. Melihat ini, keder juga hati Dadungawuk.
"Bajul, lari saja!" ajaknya dan mereka lalu melarikan diri sipat kuping meninggalkan gelanggang pertempuran, tidak berani menghadapi kemarahan rakyat Depoksari. Dengan penuh kemarahan, penasaran dan dukacita penduduk Depoksari lalu mengangkut sepasang jenazah itu ke Depoksari, disambut ratap tangis para wanita, terutama sekali Nyi Randa Ibu Sasono dan Kidung Ayah Wati. Depoksari berada dalam suasana berkabung. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dilarikan kencang menuju ke dusun Depoksari. Penunggangnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali. Sepasang
mata seperti bintang membayangkan kesaktian, senyum manis dan ramah di bibir membayangkan keluhuran hatinya.
"Raden Jaka Tingkir...!" Seru beberapa orang dusun yang mengenalnya dan dari sana sini orang memberi hormat. Pemuda gagah itu, Jaka Tingkir, segera melompat turun dari atas kuda putihnya yang tinggi. Ia menghampiri seorang laki-laki dan bertanya halus,
"Paman, saya datang hendak mencari Sasono. Dimanakah rumahnya?" Laki-laki tua itu mengerutkan kening lalu kelihatan berduka sekali. Sampai lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang kepada Jaka Tingkir.
"Ada apakah, Paman" Apa kau tidak mengenal Sasono?" Orang itu menarik napas panjang.
"Raden, siapakah diantara kami yang tidak mengenal Sasono" Pemuda terbaik, Petani terbaik, kebanggaan dusun kami..."
"Ya, betul. Dia orangnya. Dimana rumahnya?" orang itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Rumahnya dekat saja, Raden. Akan tetapi kau datang terlambat."
"Terlambat" Apa maksudmu?"
"Dia... Sasono itu" baru saja dibawa pulang oleh kawan-kawannya dalam keadaan" sudah mati." Jaka Tingkir menekan kekejutan hatinya.
"Tunjukkan aku dimana rumahnya!" ketika orang itu menuding ke arah sebuah pondok kecil dimana terdapat banyak orang dan dari mana terdengar ratap tangis, jaka tingkir cepat menuntun kudanya ke situ.
Ditambatkan kudanya itu pada sebatang pohon dan dia sendiri memasuki rumah Nyi Randa yang kehilangan puteranya. Di dalam pondok yang kecil itu, di atas balai-balai bambu, diletakkan sepasang jenazah, Sasono dan Wati. Ayah Wati juga berada di situ dan nampak sepuluh tahun lebih tua daripada biasanya. Jaka Tingkir berdiri terpaku di ambang pintu, memandang kepada jenazah Sasono yang bibirnya masih tersenyum, kemudian memandang jenazah Wati yang wajahnya masih kelihatan seperti orang bermohon, mohon kepada kekasihnya untuk menanti dan mengajak dia. Bersama-sama pergi ke tempat sunyi! Ketika orang-orang di rumah melihat kedatangan Jaka Tingkir, mereka lalu memberi hormat.
"Apakah yang terjadi kepada mereka" Keduanya terluka, siapakah yang membunuhnya?" tanya Jaka Tingkir dengan suara perlahan, ikut belasungkawa. Seorang pemuda lalu maju dan menceritakan kepadanya.
"Dua orang yang membunuh Sasono itu mengaku bernama Dadungawuk dan Bajulsengoro. Adapun Wati membunuh diri ketika melihat Sasono tewas." Jaka Tingkir mengertak gigi. Biarpun orang-orang itu tidak ada yang dapat menerangkan apa permusuhan antara Sasono dan dua orang itu, namun ia sudah dapat menduga ketika melihat Wati, gadis manis yang kini rebah disisi Sasono. Tanpa berkata sesuatu Jaka Tingkir lalu mengeluarkan sekantong uang, diberikan kepada Nyi Randa dan Ki Dua, kemudian meninggalkan tempat itu, kembali ke kota raja. Beberapa hari kemudian ketika Jaka Tingkir tengah melatih para tamtama baru yang lulus ujian, melatih ulah keprajuritan di alun-alun, seorang tamtama penjaga melapor bahwa ada seorang tinggi besar dan kelihatannya memohon untuk menghadap Jaka Tingkir.
"Suruh ia menanti sampai waktu istirahat," jawab Jaka Tingkir yang tidak suka menghentikan latihan-latihan hanya karena kedatangan seorang tamu.
Tugas harus diselesaikan lebih dulu baru urusan pribadi, demikianlah sikapnya yang membuat ia menjadi seorang pemimpin tamtama yang amat baik. Setelah tiba saatnya waktu beristirahat, ia lalu mendapatkan tamu itu. Diam-diam Jaka Tingkir kagum melihat seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat bukan main. Otot-otot besar seperti ular melingkar-lingkar di kedua lengan orang itu, dadanya bidang dan kuat, lehernya besar seperti leher banteng, akan tetapi setelah ia melihat wajah orang itu, di dalam hatinya timbul kecewa dan tidak suka. Bibir tebal yang menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar menghitam itu, mata jengkol yang kemerah-merahan dan bergerak liar itu, semua membayangkan watak yang tidak baik. Namun, sebagai tuan rumah, Jaka Tingkir menerima dengan ramah.
"Paman, siapakah dan apa keperluan apakah mencari saya?" Jaka Tingkir menegur halus. Sambil tertawa ha-ha he-he orang tinggi besar itu tidak langsung menjawab pertanyaan ini, malah berkata menyatakan pendapatnya,
"Raden, kulihat tadi latihan-latihan para tamtama, ah... Kurang sempurna, gerakan-gerakan mereka demikian lemah, mana bisa menjadi tamtama yang baik" Kalau orang-orang selemah itu menghadapi serbuan lawan yang kuat, sebentar saja mereka roboh binasa atau lari tunggang-langgang." Bukan main panas hati Jaka Tingkir mendengar ini. Namun pemuda ini bukanlah orang sembarangan, sudah mendapat para gemblengan lahir batin maka ia tetap tersenyum sabar.
"Paman apakah kedatangan Paman ini hanya untuk menyatakan pendapat itu" Apakah tidak ada keperluan lain" Siapakah nama Paman dan dari mana Paman datang?"
"Ha-ha-ha, sampai hamba lupa memperkenalkan diri!" orang itu tertawa bergelak, senang melihat sikap Raden Jaka Tingkir yang ramah. "Ketahuilah, Raden. Jauh dari tempat hamba, terdengar berita bahwa Sang Prabu di Demak hendak mencari tamtama yang sakit mandraguna. Nah, kedatangan hamba ini adalah untuk menghambakan diri menjadi tamtama." Dadanya yang sudah lebar dan besar itu melar dan kepalanya dikedikkan, bangga sekali nampaknya. Jaka Tingkir tersenyum. Ia dapat mempercayai bahwa orang itu memiliki sedikit ilmu kepandaian, akan tetapi ia maklum bahwa orang ini tidak memiliki kepribadian yang baik.
"Sayang sekali, Paman. Ujian mengalahkan kerbau jantan bagi setiap orang calon tamtama sudah ditutup. Mengapa tidak kemarin-kemarin Paman datang untuk memasuki ujian?"
"Diadu dengan kerbau jantan" Hah-ha-hah heh! Ujian begitu, apasih sukarnya" Raden, ditempat hamba sana, hamba menangkapi-nangkapi banteng seperti menangkap seekor kucing saja. Biar dihadapkan sepuluh ekor banteng akan hamba kalahkan semua. Jangan kata lagi hanya seekor. Hah-hah-ha!" Diam-diam Jaka Tingkir muak sekali, menghadapi kesombongan seperti ini, sudah hampir hilang kesabarannya.
"Siapakah namamu dan darimana kau datang?"tanyanya, mulai dingin.
"Hamba bernama Ki Dadung Awuk dari desa Pingit di Kedu. Mungkin disini hamba tidak dikenal, akan tetap di Kedu sana, waaahh, hamba inilah gegedugnya, hambalah pentolannya. Semua jagoan disana adalah murid-murid hamba!" Berubah wajah Jaka Tingkir mendengar nama ini dan terbayanglah di depan matanya sebuah bale bambu lebar dimana terbaring dua jenazah, Sasono dan Wati di dusun Depok Sari. Jadi inikah manusianya yang melakukan perbuatan keji, yang menurut orang-orang Depoksari telah merobohkan Sasono yang kemudian dibunuh seorang yang bernama Bajul Sengoro"
"Hem, jadi Kau inilah yang bernama Ki Dadung Awuk dari Kedu" Aku pernah mendengar namamu disebut orang di Depoksari, bersama seorang muridmu bernama Si Bajul Sengoro. Kabarnya kau dan muridmu memperlihatkan kedigdayaan disana, betulkah itu" Dan apa sebabnya?" Sambil menyeringai Dadung Awuk menjawab,
"Aah biasa saja, Raden. Urusan laki-laki, si Bajul berebutan perempuan dengan seorang pemuda desa itu, terjadilah perkelahian dan" begitulah..."
"Heh-heh-heh! Tentu saja, Raden. Diuji apa saja mengenai kedigdayaan, hamba sanggup. Sang Prabu takkan kecewa mendapatkan hamba sebagai tamtama malah sebagai senapati sekalipun! Hamba sudah mempelajari segala macam ilmu, hamba sudah mentulang besi berkulit baja! Sesungguhnya Raden didusun hamba sana, tubuh hamba ini setiap hari harus bersarapan tombak, bermakan pedang, sehari saja kulit hamba tidak menerima tusukan senjata tajam yang ampuh, gatal-gatal rasanya tak tertahankan lagi!" Inilah puncak kesombongan yang tiada taranya, sampai pucat muka Jaka Tingkir mendengar ini, kemudian berubah merah sekali. Namun ia masih dapat menekan nafsu marahnya dan bicaranya masih tenang dan halus,
"Bagus kalau begitu, Ki Dadung Awuk. Bukan orang lain yang akan menguji kesaktianmu, melainkan aku sendiri. Berdiri dan majulah kau!" Dadung Awuk bangkit berdiri, tubuhnya satu setengah kali lebih tinggi dari Jaka Tingkir. Dengan sombongnya ia membuka baju yang menutupi dadanya sehingga nampaklah dada yang dilindungi bulu hitam.
"Mana Pusakamu, Raden" Keluarkanlah, biar kutadahi dengan dadaku!" Jaka Tingkir bangkit berdiri, tangan kirinya menyambar sehelai daun sirih tempat kinang dan digulung-gulungnya daun sirih itu.
"Pusaka apa" Aku hanya hendak menggunakan daun sirih ini untuk mencoba ketebalan kulit dadamu. Bersiaplah kau!" Dadung Awuk kaget setengah mati.
Kalau Jaka Tingkir menggunakan keris atau pedang, ia tidak gentar karena ia sudah memiliki ketebalan yang amat hebat, siap menghadapi segala macam senjata tajam yang ampuh. Akan tetapi daun sirih" Orang yang menggunakan benda seperti ini sebagai senjata, terang memiliki kesaktian hebat dan inilah yang membuat Dadung Awuk menjadi pucat. Namun tak dapat ia mundur lagi dan terpaksa ia melangkah maju sambil mengerahkan semua ajiannya. Jaka Tingkir memegang daun sirih di tangan kanan, mengerahkan ilmu kesaktiannya, maju selangkah dan tiba-tiba seperti halilintar menyambar, tangan kanannya itu menebak dada Ki Dadung Awuk yang lebar dan kuat terdengar suara keras disusul jerit mengerikan dan tubuh tinggi besar itu roboh tak bernyawa lagi. Dadanya pecah oleh pukulan tangan Jaka Tingkir yang ampuhnya bukan main! Gegerlah para tamtama menyaksikan peristiwa ini.
Dari tempat jauh hanya kelihatan Jaka Tingkir memukul tewas seorang yang kabarnya datang hendak mengabdi di Kerajaan Demak menjadi tamtama. Ketika ditanya, Jaka Tingkir yang masih merasa amat marah terhadap Dadung Awuk, tidak banyak cakap hanya memerintahkan orang menyingkirkan mayat Ki Dadung Awuk dari paseban luar di alun-alun itu. Kemudian tanpa banyak cakap ia melanjutkan latihannya. Sudah lazim bahwa manusia yang lemah batinnya mudah sekali merasa iri hati kalau melihat manusia lain mendapatkan kedudukan yang baik, dan makmur melebihi dirinya sendiri, demikianlah tidak aneh lagi kalau diantara para tamtama, banyak yang merasa iri hati terhadap Jaka Tingkir yang masih begitu muda namun sudah mendapatkan anugerah dari Sang Prabu, menerima kasih sayang dan mendapatkan kedudukan tinggi sebagai kepala tamtama.
Oleh karena itu, mereka ini segera mendesas-desuskan tentang peristiwa pembunuhan Ki Dadung Awuk, ditambah-tambahi sehingga ketika berita ini akhirnya sampai di telinga Sang Prabu sudah menjadi berita yang amat merugikan nama Jaka Tingkir. Sang Prabu mendengar betapa sekarang Jaka Tingkir menjadi sombong dan sewenang-wenang setelah menjadi tamtama sampai-sampai ada seorang calon tamtama yang gagah perkasa disiksanya lalu dibunuhnya karena kuatir kalau-kalau tamtama yang gagah itu kelak merebut kedudukannya. Sang Prabu marah sekali mendengar hal ini. Dipanggilnya Patih Wonosalam dan ditanyainya, sampai dimana kebenaran berita ini, Ki Patih juga sudah tahu akan peristiwa itu, maka dengan terus terang Patih Wonosalam membenarkan adanya berita itu, bahwa Jaka Tingkir telah membunuh seorang calon tamtama yang datang hendak mengabdi kepada Sang Prabu.
"Hemm, baru menjadi kepala Tamtama sudah sewenang-wenang. Jangan-jangan dia tidak ingin melihat orang lain berkedudukan lebih baik, jangan-jangan dia mempunyai niat yang kurang sempurna terhadap kerajaan."
"Ampunkan hamba, Gusti Sultan. Menurut hamba Jaka Tingkir adalah seorang abdi yang amat setia, kira-kira tak mungkin kalau dia memiliki niat yang kurang baik?"
"Heh, siapa tahu isi hati manusia" Biarlah aku hendak mengujinya. Nyatakan kepadanya bahwa karena dia telah berlaku sewenang-wenang, aku sebetulnya harus menghukumnya. Namun, mengingat pengabdiannya yang sudah-sudah, biarlah dia dibebaskan dari hukuman akan tetapi harus minggat dari Demak. Katakan bahwa dengan perbuatannya membunuh calon tamtama tanpa berdosa berarti mencemarkan nama kerajaan yang selalu menjaga keadilan. Usir dia dari Demak dan jangan berani menghadap aku lagi kalau tidak dipanggil."
Ki Patih Wonosalam yang sudah berpengalaman itu tentu saja dapat menduga akan isi hati Sang Prabu. Ia dapat menduga bahwa hukuman ini merupakan ujian akan kesetiaan Jaka Tingkir terhadap kerajaan demak dan khususnya terhadap Sultan Trenggono. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menjalankan perintah ini, mendatangi pondok Jaka Tingkir menyampaikan perintah Sang Prabu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Jaka Tingkir mendengar keputusan ini bagaikan mendengar halilintar di siang hari yang menyambar kepalanya. Sampai hampir pingsan ia ketika mendengar ucapan Ki Patih Wonosalam ini. Dengan tubuh lemas seakan-akan dilolosi semua otot dan bayu. Ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan muka pucat.
"Ya Tuhan Yang Maha Agung...! Serunya menyebut nama Tuhan. "Apakah sebabnya maka Gusti Sultan menjatuhkan hukumaan ini, Paman Patih" Apakah dosa hamba?"
"Sudah kukatan tadi, perbuatanmu yang sewenang-wenang membunuh seorang calon tamtama yang tak berdosa, amat memurkakan hati Sang Nata,"Jawab Patih itu dengan tenang.
"Akan tetapi... hamba membunuh bukan tanpa alasan, Ki Dadung Awuk itu amat sombong dan orang seperti dia amat membahayakan kalau diterima menjadi tamtama. Paman Patih, paduka cukup mengetahui isi hati hamba, bahwa hamba setia sampai mati terhadap Sang Prabu bahwa hamba selalu siap sedia mengorbankan nyawa dan raga demi kepentingan kerajaan, demi keselamatan Sang Prabu, Kenapa..." Kenapa sekarang hambar diusir...?" Kening putih yang tua itu berkerut.
"Orang muda, kau tadi bilang bersetia sampai mati kepada Sang Nata" Betulkah ucapanmu itu" Ataukah hanya hiasan mulut,mengoles madu dibibir belaka"
"Hambah bersumpah! Hamba lahir dan batin bersetia kepada Sang Nata?"


Geger Demak Pajang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm", orang muda. Kau bilang hendak bersetia, akan tetapi mengapa perintah Sang Prabu mengusirmu dari Demak saja tak dapat kau terima dan laksanakan dengan hati setia" Sampai dimana kesetiaan macam ini" Dimulut bilang setia, sanggup mengorbankan jiwa raga, namun baru disuruh pergi saja sudah hendak melawan perintah"!"
"Aduh" ampunkan hamba Paman Patih. Saking pedihnya perasaan karena diusir kerajaan, saking bingung menghadapi perintah yang menghancurkan semua cita-cita hamba, hamba sampai lupa diri. Baiklah, Paman Patih. Mohon Paman sampaikan sembah bakuku kepada Gusti Sultan dan hamba menjalankan titah ini sebaiknya. Hamba akan pergi dari Demak, entah kemana" biarpun hamba mesti mati karena duka dan sengasara." Terharu juga hati ki Patih menyaksikan keadaan satria yang masih muda belia ini, dan diam-diam ia berdoa semoga Sang Nata dapat lekas-lekas memberinya ampunan. Ia lalu tinggalkan pondok Jaka Tingkir menyampaikan segala yang didengarnya kepada Sang Prabu. Adapun Jaka Tingkir sendiri, sepeninggal ki Patih lalu pergi dari kota Raja dengan hati hancur luluh dan semangat menurun.
Ia meninggalkan semua pakaian yang indah-indah pemberian Sang Prabu, dan hanya mengenakan pakaian lamanya yaitu pakaian yang dipakainya ketika mula-mula ia datang ke Demak. Malah sisa uang sebagai hasil upahnya, ia tinggalkan semua demikian pula kudanya. Setelah diusir, ia tidak ada niat untuk membawa sesuatu yang didapatkan di Demak. Bagaikan seorang linglung yang kehilangan semangatnya, Jaka Tingkir meninggalkan Demak pergi tanpa tujuan menurutkan ke mana saja kedua kakinya membawanya. Tanpa ia sengaja ia menuju ke selatan, masuk keluar hutan-hutan yang angker dan liar, naik turun gunung dan jurang, hatinya nelangsa dan seakan-akan sudah bosan hidup. Ia lupa makan lupa tidur, yang terasa di dalam hati dan pikiran hanya kecewa. Malu, penasaran yang tergolong menjadi duka nestapa yang hebat.
"Aduh awak, kenapa mengalami nasib begini" Ya Tuhan Maha Pengasih, apabila hamba tidak diberi keadilan, lebih baik cabut saja nyawa hamba?" Demikian ratap tangis hatinya. Berkali-kali ia menggeletak tak ingat diri di dalam hutan. Namun karena Tuhan belum menghendaki-Nya, maka satria muda ini masih terbebas dari bencana maut. Buktinya, biarpun ia tengah tergeletak pingsan di dalam hutan liar, tidak seekorpun binatang buas mendekatinya. Kemudian tanpa pertolongan orang lain, ia siuman kembali dan melanjutkan perjalanan seperti orang dalam mimpi.
Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat pasi dan sinar matanya melayu. Setelah berbulan-bulan menderita sengsara, terlunta-lunta masuk keluar hutan, akhirnya Jaka Tingkir tiba di tengah sebuah hutan liar yang sangat angker, hutan yang letaknya disebelah utara bengawan. Ini adalah daerah Gunung Kendeng, yang sampai sekarang masih ada, yaitu deretan gunung gamping yang terletak di sebelah utara Bengawan Solo di daerah Sragen (Sukowati Tengah). Setibanya di tempat ini, dengan tubuh lemas Jaka Tingkir melangkah maju memasuki hutan yang penuh pohon jati. Kemudian matanya tertarik oleh serumpun bunga menur (Melati Susun) yang secara liar tumbuh di bawah pohon besar. Melihat bunga menur sedang mekar, putih bersih indah dan harum semerbak, tiba-tiba sepasang mata Jaka Tingkir bersinar-sinar.
"Wahai... diajeng" Sang dewi, paduka disini?"" Jaka Tingkir berlutut, disembahnya dibelainya bunga-bunga menur itu, mulutnya tiada henti mencumbu rayu. Kalau ada orang lain melihat keadaan taruna ini tentu mengira bahwa dia sudah menjadi gila. Memang, tak banyak selisihnya. Jaka Tingkir sedang gandrung-gandrung dan orang yang gandrung keyungyun memang tak bedanya dengan orang gila. Melihat bunga menur, bunga yang menjadi kesukaan puteri ke empat dari Sultan Trenggono, bunga menur yang selalu menghias sanggul rambut Sang puteri yang hitam dan halus dan panjang itu, sekita bunga-bunga itu dalam pandang mata Jaka Tingkir beubah menjadi wajah Sang puteri manis kemalu-maluan dan mengerling, seperti ketika ia masih menjadi pemimpin tamtama di Keraton dan kebetulan bertemu dengan puteri Juita remaja itu.
Terbukalah sekarang rahasia hati Jaka Tingkir. Hancur luluhnya hati ketika diusir oleh Sang Prabu, bukan semata-mata karena kehilangan kedudukan, bukan semata-mata karena cita-cita berantakan, melainkan berdekatan dengan Sang Dyah Kesuma hatinya, puteri keempat dari Sang Prabu itu! Dan sekarang dapat dimengerti pula mengapa Sang Prabu mengusir abdi terkasih ini hanya karena kesalahan membunuh Dadung Awuk. Kiranya dibalik ini masih ada hal lain yang menjadi lantaran. Agaknya Sang Prabu sudah dapat menjenguk isi hati puterinya yang keempat, yang seperti ratusan wanita lain di Demak, tak dapat menahan sambaran panah asmara yang mencorong keluar dari sinar mata Jaka Tingkir yang tampan gagah itu. Inilah agaknya menjadi sebab penyingkiran Jaka Tingkir dari Demak!
"Aduh, diajeng... diajeng dewi..., tak tahukah paduka betapa hamba terlunta-lunta sengsara?" Tidak kasihankah paduka kepada hamba?" Hamba terusir tanpa dosa?" Tak tertahankan lagi Jaka Tingkir menangis sambil mendekap bunga-bunga itu ke dadanya. Ketika Sang Jaka mengusap air matanya, seakan-akan selubung yang menutupi pandang matanya, seakan-akan lenyap wajah Sang dewi dan ternyata yang didekap dan dibelainya hanyalah serumpun pohon menur dengan kembang-kembangnya.
"Aduh jagat Dewa Batara...!" Jaka Tingkir terkulai dan roboh pingsan di dekat pohon kembang. Wajahnya pucat sekali dan masih basah air mata. Sepasang kupu-kupu yang indah warna sayapnya terbang lalu. Yang betina terbang rendah, beberapa kali hingga di atas muka Sang Jaka yang rebah pingsan, seakan-akan ikut sedih melihat keadaan ini.
"Aduh kasihan Muda beli nan malang... Apakah gerangan Yang menyebabkan dia pingsan di dekat kembang"
Aduh tega benar, kejam tak terkira Membiarkan dia
menderita sengsara?"
Kupu-kupu jantan terbang liar, beberapa kali menerjang kupu-kupu betina dan mengajaknya terbang menuju kembang-kembang yang mekar indah. Nampaknya marah dan penasaran.
"Aahh...! Pemuda lemah!
Tak pantas disebut jantan gagah!
Mana iman dan kepercayaannya.
Mana penyerahannya kepada Yang Maha Kuasa"
Tak ada madu datang sendiri
Tanpa usaha keras diri pribadi"
Pada saat itu, dari jauh datang seorang Kakek yang berjalan perlahan sambil menikmati keindahan pemandang alam di sekitarnya. Kakek ini sudah tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, namun wajahnya masih nampak segar sehat, membayangkan kesabaran dan keagungan yang hanya terdapat pada wajah orang-orang yang telah memiliki ketenangan dan ketetraman lahir batin. Pakaiannya sederhana sekali, seperti para petani yang setiap hari bergalang-galang dengan tanah dan air. Tangan kanan Kakek ini memegang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya membawa sebuah kendi penuh air bening yang diambilnya dari pancuran air gunung. Setelah tiba di dekat tempat Jaka Tingkir menggeletak pingsan, Kakek itu nampak tertegun, terheran, lalu memandang penuh kekaguman.
"Tidak sari-sarinya tadi timbul keinginanku pulang melalui hutan ini. Kiranya Hyang Agung yang ini," pikir Kakek itu sambil melangkah dekat dan memandang penuh perhatian, makin kagum dia ketika memandang penuh perhatian, lalu ia menarik napas panjang dan mendongak ke angkasa.
"Ya Tuhan Maha Kasih ku melihat cahaya mencorong dari tubuh bocah muda ini... siapa gerangan dia?" Ketika diperiksanya dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu dalam keadaan pingsan, Kakek itu mengucurkan air dari mulut kendi, menyiram muka Jaka Tingkir sambil berkata,
"Kulup, bangunlah segera" Jaka Tingkir siuman dan bangun dengan gelagapan. Ia bermimpi, hanyut oleh bengawan banjir dan hampir saja tenggelam dan tewas kalau tidak ada sepotong debog (batang pohon pisang) yang hanyut di dekatnya lalu dipeluknya erat-erat. Ketika ia membuka matanya, ia merasa mukanya dingin dan basah, kemudian tampak olehnya seorang Kakek tua berdiri didepannya. Sebagai seorang satria yang berilmu, cepat Jaka Tingkir dapat menguasai tubuhnya yang lemah dan pikirannya yang kacau maka ia lalu duduk bersila dan menenangkan hati.
"Kulup, bocah bagus kau siapakah dan mengapa tiba ditempat sunyi ini" Apa yang kau cari?" Karena terpengaruh oleh kesedihannya, Jaka Tingkir menjawab dengan lirih dan lemah,
"Paman Tua, tinggalkanlah saya seorang diri. Saya seorang bocah yatim piatu dan datangku kesini hendak mencari mati."
"Eh..., eh... bagus, jangan kau bicara itu jangan tak boleh, anakku..." Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala, dia pun duduk diatas akar pohon didepan Jaka Tingkir. "Kulup, mati berarti memasuki alam yang belum dikenal panca inderamu, tak takutkah engkau?" Dengan kepala masih tunduk Jaka Tingkir menjawab singkat,
"Saya sudah berani hidup, mengapa takut mati?" Sebetulnya tak suka hatinya mendapat gangguan ini, namun dasar ia seorang satria, tak mau dia berlaku kurang hormat terhadap seorang Kakek, seorang tua yang harus dihormati sebagai layaknya sikap seorang satria utama.
"Heh-heh-heh, kau benar. Memang seorang satria sudah berani hidup tidak semestinya takut menghadapi kematian. Akan tetapi mati yang bagaimana" Banyak macam cara mati, kulup. Seorang satria harus mati sebagai seorang satria pula! Mati dalam menunaikan tugas suci demi kepentingan nusa bangsa, sedemikianlah seharusnya seorang satria mati. Tidak mati kelaparan karena terlunta-lunta dan sengsara, mati karena duka nestapa, bukan mati seorang satria! Apalagi kalau kau hendak menggunakan kematian sebagai tempat pelarian hidup, kau benar-benar menyeleweng kulup! Kalau tadi kau menyatakan tidak takut mati, kenapa kau takut hidup?" Jaka Tingkir merasa kepalanya seperti diguyur air dingin. Tak disangkanya sama sekali bahwa Kakek sederhana ini bisa bicara seperti ini, mewejangkan ilmu yang amat dalam. Perhatiannya tergugah dan ia mulai mengangkat muka menatap wajah Kakek itu.
"Mati atau hidup bukanlah hak kita untuk menuntut. Hanya Tuhan yang menentukan. Tuhan yang memberi api kehidupan dalam raga, dan Tuhan Maha Kuasa pulalah yang berhak mengambil kembali api hidup dari dalam raga kita. Mati tak dapat ditolak, seperti juga hidup tak dapat diminta. Siapakah yang dapat meminta agar supaya dihidupkan sebagai manusia dimuka bumi ini dan siapa pula kuasa menghindarkan diri dari kematian apabila Hyang Agung menghendakinya" Seorang tamtama bisa saja menerjunkan diri ke dalam yudha sampai seribu kali tanpa tergores kulitnya, untuk kemudian mati di dalam rumahnya karena sesuatu penyakit! Seorang mulia kedudukannya boleh merengek dan meronta menolak datangnya kematian karena dia tak rela meninggalkan kemuliaan duniawi, namun nyawanya tetap dicabut kalau Yang Maha Kuasa menghendaki. Sebaliknya yang diturunkan ke atas bumi dalam tubuh seorang bayi boleh menjerit-jerit karena ngeri dan takut dihidupkan sebagai anak keluarga yang rendah dan miskin, namun tetap saja bayi itu hidup karena Tuhan menghendaki demikian. Demikianlah, hidup atau mati bukanlah hakmu untuk menentukan, bocah bagus. Kau berdosa mencari mati." Sekarang tanpa ragu-ragu Jaka Tingkir menyembah memberi hormat, tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang Kakek arif bijaksana.
"Aduh Paman yang arif bijaksana, mendengar wejangan Paman, buyarlah awan gelap yang selama ini menutupi budi pekerti hamba. Terbukalah mata batin hamba yang selama ini seakan-akan menjadi buta. Terima kasih, Paman."
"Bagus sekali kalau kau sudah insaf, kulup. Siapakah sebetulnya kau ini dan putra siapa" Wajahmu seperti pernah ku kenal."
"Nama saya Bagus Karebet, juga disebut Jaka Tingkir. Ayah bunda saya sudah tiada, dan mendiang Ayah adalah Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging. Setelah Ayah meninggal, saya dipelihara oleh Nyi Ageng Tingkir."
"E-ladhalah, Tuhan Kuasa! Anakku, angger karebet, kau adalah keponakanku sendiri! Ketahuilah, aku adalah ki Ageng Butuh, mendiang ramamu itu seperti kakakku sendiri. Aduh, kulup, kenapa kau sampai menderita sengsara dan terlunta-lunta seperti ini?" Ki Ageng Butuh, Kakek yang arif bijaksana itu lalu merangkul Jaka Tingkir. Mendengar ucapan itu dan menyaksikan sikap Kakek yang baik hati ini, Jaka Tingkir semedot hatinya, terharu lalu menitikkan air mata sambil merangkul kedua kaki ki Ageng Butuh. Kakek itu membiarkan Jaka Tingkir melampiaskan keharuannya, kemudian menyuruh pemuda itu duduk baik-baik lalu ia berkata.
"Bagus Karebet, sekarang ceritakanlah bagaimana kau meninggalkan Tingkir dan bagaimana bisa tiba di tempat ini. Keringkanlah air matamu karena sesungguhnya pantang bagi seorang satria utama untuk menumpahkan air mata seperti laku seorang wanita. Tekankanlah perasaanmu dan ceritakanlah kepada Pamanmu."
"Aduh, Paman, memang nasib saya yang amat malang. Entah apa gerangan dosa besar yang hamba perbuat sehingga Tuhan memberi siksa batin yang begini berat. Bertahun-tahun saya mengabdikan diri kepada Sang Prabu Demak, dengan kesetiaan lahir batin. Namun, karena hamba menyingkirkan seorang yang jahat dan berbahaya dari muka bumi, Sang Prabu menjadi murka dan mengusir saya?" Dengan singkat dan jelas Jaka Tingkir lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia meninggalkan tingkir bersuwita kepada Sultan Demak, sampai peristiwa ki Dadung Awuk yang menyebabkan dia terusir dari kerajaan. "Demikianlah, Paman. Betapa saya tidak akan merasa terhina dan tersiksa batin saya sehingga saya kehilangan akal budi dan sebelum bertemu dengan Paman saya sudah bosan hidup." Ki Ageng Butuh tertawa bergelak, lalu mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggotnya.
"Memang demikian itulah hidup, bagus! Kadang-kadang terang-benderang, kadang-kadang gelap gulita seperti terputarnya Sang surya. Karena itu kau wajib selalu waspada dan ingat, berpegang teguh kepada kebajikan yang harus disatukan dengan kepribadianmu, menyerahkan diri tulus ikhlas kepada Yang Maha Kuasa. Di kala kau diberi nikmat dan mulia, jangan sekali-kali kau terjerumus ke dalam jurang kepongahan, jangan menjadi sombong adigung adiguna, mengandalkan harta dan kedudukan. Jangan dumeh (mentang-mentang) sewaktu berada di atas lalu menghina yang dibawah. Bahkan di kala kau menerima karunia yang melimpah-limpah dari Tuhan, pandanglah ke bawah dan limpahkan pula karunia itu kepada orang lain yang wajib kau tolong. Kelirulah kalau kau menjadi tinggi hati dan yakinlah bahwa semua hasil itu sesungguhnya hanya karena Tuhan memberkahimu dan adalah kehendak Tuhan agar berkah dan karunia itu kau bagi rata dengan orang lain yang membutuhkan pertolonganmu. Dengan demikian takkan sia-sialah karunia Tuhan itu kepadamu. Sebaliknya, apabila kau berada di dalam kegelapan apabila kau berada dalam cobaan Tuhan atau mungkin hukuman karena kedosaanmu, jangan sekali-kali menjadi patah hati lemah semangat, jangan sekali-kali merasa nelongso lalu berputus asa. Lebih-lebih jangan sekali-kali menyangka bawah Tuhan tidak adil kepadamu. Oh, itu keliru kulup, keliru sekali. Dalam keadaan demikian kau harus lebih kuat berusaha, berikhtiar untuk mengatasi kesukaran seperti yang dikehendki Tuhan bahwa manusia wajib berusaha. Di dalam usaha memperbaiki keadaan ini kau harus lebih mempertebal iman dan kepercayaan kepada Tuhan dengan penuh keyakinan bahwa kesemuanya itu adalah kehendak Tuhan yang tak mungkin dapat ditolak atau didorong oleh siapapun atau apapun juga."
Jaka Tingkir mendengarkan penuh khidmat. Terbuka matanya dan jelas sekarang bahwa kesengsaraan yang ia derita selama ini semata-mata kesalahannya sendiri, seakan-akan sengaja ia adakan. Ia terlalu lemah dan lupa akan kekuasaan Tuhan. Seharusnya ia berusaha menolong keadaannya, melenyapkan kemalangannya, bukannya merana dan nelangsa sampai terlunta-lunta seperti orang gila di dalam hutan-hutan, menangisi nasibnya tanpa usaha untuk mengakhiri kemalangan itu.
"Saya menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas segala wejangan Paman dan selanjutnya saya mohon petunjuk."
"Kau telah menerima kemurkaan Sang Nata di Demak. Terimalah kejadian ini dengan sabar. Tidak ada kesempurnaan dan hasil baik dapat tercapai tanpa melalui kegagalan dan kepahitan. Justru semua kepahitan ini merupakan gemblengan hidup, merupakan pengalaman baik untuk bekal di hari kemudian. Tanpa mengalami kegagalan dan segala macam penderitaan dan kepahitan, bagaimana orang bisa menjadi masak jiwa raganya" Sekarang, kulup, karena aku adalah Pamanmu sendiri, kalau kau suka marilah kau ikut denganku ke pondokanku di Butuh. Disana kau boleh beristirahat sambil memperdalam ilmu batin dan berdoa kepada Tuhan semoga kemarahan Sang Nata di Demak kepadamu cepat-cepat padam. Percayalah, angger, kelak akan ada wahyu padamu. Akan tetapi kau harus prayitno dan waspada, gelombang penghidupan memang tidak selamanya tenang dan menyenangkan. Maka kau ingatlah selalu, jauhkan segala permusuhan pribadi. Jaga persatuan bangsa, jangan menuruti nafsu angkara murka hanya karena urusan pribadi yang remeh, lebih baik mengalah, karena mengalah bukan berarti kalah melainkan karena ingin menjaga persatuan adalah mengalah luhur dan bijaksana. Yang ikhlas memaafkan kesalahan semua manusia, karena bukankah sifat Tuhan adalah pengampun dan pemurah" Pasrah jiwa ragamu kepada Tuhan di samping keterkuranganmu dalam usaha dan ikhtiar untuk menghindarkan segala kesulitan."
Jaka Tingkir mentaati perminataan ki Ageng Butuh dan ikutlah dia bersama Kakek itu ke dusun Butuh. (Menurut keterangan bapak bagyo, pasarean/makam ki Ageng Butuh terletak di dusun Butuh, di tepi Bengawan Sala di daerah Asistenan Masaran Kabupaten Sragen, dimana terdapat pula petilasan Jaka Tingkir dan Ki Mas Monconagoro). Berbulan-bulan Jaka Tingkir berada di dusun Butuh, menerima gemblengan dari Ki Ageng Butuh.
"Sudah bulatkah hatimu untuk kembali ke Demak, kulup?" Pada suatu pagi Ki Ageng Butuh bertanya ketika pemuda Tingkir datang menghadapnya untuk berpamit untuk pulang ke Demak.
"Sudah tujuh bulan saya meninggalkan Demak, Paman. Mudah-mudahan Sang Prabu telah reda kemarahannya dan dapat mengampuni saya." Ki Ageng Butuh mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau demikian kehendakmu. Kembalilah kau ke Demak. Akan tetapi pesanku, bagus, andaikata Sang Prabu masih belum reda kemarahannya, janganlah kau menjadi kecil hati, jangan menjadi putus asa malah kau harus memperhebat keprihatinanmu, memperkuat budi usahamu."
Setelah mendapat bekal berupa nasihat-nasihat berharga, Jaka Tingkir meninggalkan dusun Butuh. Dengan penuh harapan ia menuju ke Demak. Dalam gemblengan Ki Ageng Butuh selama beberapa bulan ini, tidak saja bertambah kedigdayaannya, juga imannya terhadap Yang Maha Kuasa menjadi kokoh kuat, semangatnya bertambah besar. Oleh karena hukuman yang dijatuhkan kepadanya berbunyi : Tidak boleh datang di Demak kalau tidak dipanggil, maka tentu saja Jaka Tingkir tidak berani muncul di Demak secara terang-terangan. Menentang perintah Raja dapat dianggap memberontak dan dosanya menjadi lebih besar lagi. Maka ia menyamar sebagai seorang petani, memasuki Demak dengan secara diam-diam.
Pada pagi hari itu, dua orang tamtama berkuda di pinggir kota yang sunyi. Mereka ini adalah Teja dan Bakri, dua orang tamtama muda yang terkenal sebagai ahli-ahli panah, pelatih para tamtama lainnya dalam ilmu ini. Mereka hari mendapat kesempatan libur sehari maka mereka hendak bersenang-senang ke luar kota. Dalam kegembiraan mereka, ketika melihat rombongan burung emprit terbang lalu. Teja segera mencabut anak panah dan memasang sebatang paa gendewanya.
"Mari kita berlatih," katanya. Gendewanya menjepret anak panah meluncur ke atas dan tak lama kemudian panah itu melayang jatuh dengan seekor burung tertusuk dadanya. Bakri tertawa senang.
"Orang akan menertawakan aku kalau melihat hanya kau seorang yang berhasil menurunkan burung yang sedang terbang. Kau lihat panahku." Orang muda itu juga memasang anak panah pada gendewanya, menanti sampai lewat serombongan burung gelatik. Cepat sekali ia menarik gendewanya, dan seakan-akan tanpa membidikkan lagi anak panahnya sudah meluncur ke atas dan menurunkan seekor burung gelatik yang juga tertusuk dadanya.
"Bagus sekali, Bakri. Seminggu yang lalu, masih terlalu kuat kau menarik gendewa sehingga burungnya tertembus anak panah." Bakri tertawa.
"Di dalam yuda, baik anak panah kita menancap di dada atau menembusnya, sama saja. Yang sukar adalah melepas anak panah untuk mematikan nyali musuh, bukan orangnya."
"Kau benar. Mematikan nyali musuh tanpa melukainya memang amat sukar. Mari kita mencoba ilmu itu," kata Teja.
"Mana sasarannya?" tanya Barki. Seorang petani muncul di tikungan jalan dan membelok membelakangi mereka. Petani ini memakai ikat kepala.
"Kau lihat dia?" Tanya Teja sambil menunding ke arah petani yang berjalan di depan mereka, ada lima puluh meter jaraknya. Bakri mengangguk, tapi tak mengerti maksud kawannya. "Lihat kedua ujung ikat kepalanya yang menjungat ke kanan-kiri. Nah, kita melepaskan anak panah, kau memutuskan ujung kanan dan aku memutuskan ujung kiri ikat kepala itu. Bukankah nyalinya akan terbang tanpa melukainya?" Bakri tertawa. Kalau yang mengajaknya berlatih bukan Teja, tentu ia menolak cara berlatih ini, karena sedikit saja meleset bidikan, petani itu tentu akan terkena anak panah dan bisa celaka. Namun ia sudah percaya penuh akan kepandaiannya sendiri dan percaya pula bahwa Teja dapat membidik sasarannya dengan tepat, maka sambil tersenyum-senyum dengan mata nakal, Bakri mengangguk dan memasang anak panahnya.
"Kuhitung sampai tiga kali, melepas berbareng dan mari kita lihat anak panah siapa yang mengenai sasaran lebih dulu," kata Teja yang segera menghitung. "Satu... Dua" Tiga!" Dua batang anak panah terbang meluncur ke depan, dengan ketepatan yang sudah dibidikkan oleh tangan-tangan yang ahli, tak mungkin meleset seujung rambut dari titik sasaran, yaitu dua ujung pengikat kepala yang menjungat dikanan-kiri kepala petani itu. Teja dan Bakri memandang dengan mata berseri, hendak melihat jelas anak panah siapa yang mengenai sasaran terlebih dulu. Akan tetapi keduanya tiba-tiba melongo, dengan muka pucat mereka terpaku diatas tanah.
"Eh-eh bagaimana...?" Kata Teja.
"Setan dia, siluman"!" sambung Bakri. Betapa mereka takkan menjadi terkejut dan heran sekali ketika peristiwa yang ganjil dan tak masuk akal. Ketika dua batang anak panah tadi menyambar, tanpa menoleh petani tadi mengangkat kedua tangan dan... Tahu-tahu dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dengan gerakan cepat sekali dari bawah sebelum anak panah-anak panah itu mengenai ujung ikat kepala.
"Saudara Teja! Bakri! Kaliankah ini?" Tiba-tiba petani itu berseru gembira. Teja dan Bakri tercengang dan memandang penuh perhatian. Kemudian mereka berseru gembira dan meloncat turun dari kuda.
"Raden Jaka Tingkir"!" seru Teja.
"Aduh, Raden. Kaukah ini?"" Bakri segera merangkul. Dua orang tamtama ini memang sahabat-sahabat baik Jaka Tingkir, tentu saja pertemuan ini selain mengagetkan, juga menggirangkan hati mereka.
"Bagaimana kau bisa berada disini, Raden?" Tanya Bakri. Jaka Tingkir tersenyum dan menggandeng mereka untuk duduk di pinggir sawah, di galengan. Kemudia dengan singkat ia menuturkan maksud kedatangannya. Selama aku pergi meninggalkan Demak sampai tujuh bulan, apakah ada berita dari Keraton" Apakah Gusti Sultan pernah menanyakan aku" Dengan penuh gairah Jaka Tingkir bertanya kepada kedua orang sahabatnya atau anak buahnya itu. Dua orang tamtama itu saling pandang, lalu masing-masing mengangkat pundak.
"Sepanjang pengetahuanku, tak pernah ada berita dari Keraton, Raden. Gusti Prabu belum pernah bertanya tentang kau," kata Teja dengan suara perlahan dan disertai nada kecewa.
"Juga selama itu Paman Patih tidak pernah berbicara apa-apa tentang kau," Bakri menyambung dengan murung. Jaka Tingkir yang tadinya dengan wajah penuh harapan mengajukan pertanyaan, sekarang seperti lampu kehabisan minyak. Mendung gelap menutupi cahaya harapannya dan ia merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik. Sampai lama ia duduk termangu-mangu seperti lupa bahwa di depannya duduk dua orang tamtama yang memandang kepadanya dengan penuh iba. Akhirnya, melihat keadaan Jaka Tingkir seperti telah berubah menjadi patung. Teja menyentuh lengannya.
"Aduh, Raden, harap kau kuatkan hatimu." Jaka Tingkir sadar kembali, lalu menarik napas panjang. Tidak percuma ia menerima gemblengan dari Ki Ageng Butuh, segera ia dapat menguasai hatinya. Ia bangkit dan berdiri dan berkata perlahan,
"Teja, Bakri, pulanglah dan lakukanlah tugasmu baik-baik sebagai satria." Kemudian ia lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi, diikuti pandang mata sayu oleh dua sahabatnya itu.
"Sayang", sayang sekali seorang satria gagah itu disia-siakan oleh Sang Prabu," Teja berkata. Bakri menarik napas panjang.
"Nasib manusia berada ditangan Tuhan Yang Maha Agung?" Dua orang satria ini kehilangan kegembiraannya dan tanpa banyak bicara lagi mereka meloncat ke atas kuda dan memutar kembali kuda mereka, pulang ke kota raja. Lemah lunglai seluruh sendi anggauta tubuh Jaka Tingkir, menipis harapannya untuk dapat melanjutkan cita-citanya, mengabdi Keraton Demak.
"Duh, Rama, berat benar jalan meunuju kepada kemuliaan," bisiknya berkali-kali, bersambat kepada Ayahnya yang telah meninggal dunia. Dalam kedukaannya Jaka Tingkir teringat akan Ramandanya dan kini ia bertekad pegi ke Pengging, tempat kelahirannya dimana makam Ayahnya berada. Setibanya di Pegging, ia disambut dengan cinta kasih dan kegembiraan oleh penduduk Pegging, namun ki Jaka yang sedang berduka itu lalu mengasingkan diri, betapa mohon ampun dan pentunjuk dari Yang Maha Kuasa sambil menjaga makam Ayahnya, Ki Ageng Pengging.
Kita tinggalkan dulu Jaka Tingkir yang sedang berprihatin dan bertapa di makam Ayahnya minta pengampunan dari Yang Maha Kuasa dan kita berkenalan dengan seorang tokoh lain yang memegang peran penting dalam cerita ini.
Menurut catatan dalam Babat Tanah Jawi Gancaran, Raja Majapahit yang terakhir, yaitu Sang Prabu Brawijaya V, mempunyai banyak sekali keturunan dari banyak isteri dan selirnya. Tentu saja setelah Sang Prabu Brawijaya V dikalahkan oleh puteranya sendiri, Raden Patah yang kemudian memindahkan kerajaan yang dirampas dari Ayahnya itu ke Demak, para putera yang lain menjadi cerai berai tak keruan. Menurut catatan dalam Babad itu, isteri pertama atau permaisuri Sang Prabu Brawijaya adalah puteri dari Cempa yang menurunkan tiga putera, yaitu pertama seorang puteri yang menjadi isteri Prabu Andayaningrat di Pengging (Kakek dari Jaka Tingkir). Yang kedua seorang putera bernama Raden Lembupeteng yang menjadi adipati di Madura. Yang ketiga laki-laki pula bernama Raden Gugur tak tercatat ke mana perginya.
Menurut catatan itu, ada pula isteri selir Prabu Brawijaya yang berupa seorang puteri Denawa (raksasa) yang kemudian berputera Raden Damar menjadi adipati di Palembang. Selirnya yang didapat dari Tiongkok, yang dikenal dengan sebutan Puteri Cina, mempunyai putera yang kemudian amat terkenal karena menjadi pembangun Kerajaan Demak pertama, Raja yang dibantu oleh para wali di Tanah Jawa, yaitu Raden Patah. Selir puteri Wandan mempunyai putera Raden Bondan Kajawan, menjadi mantu ki Ageng Tarup. Dan masih banyak lagi selir-selir yang mempunyai putera-putera dan puteri-puteri. Akan tetapi yang hendak kita ikuti adalah keturunan Sang Prabu Brawijaya dengan puteri dari Begelen. Puteri ini melahirkan seorang putera bernama Raden Jaranpanoreh yang kemudian menjadi adipati di Sumenep Pamekasan.
Pada waktu cerita ini terjadi ada seorang keturunan Raden Jaranpanoreh ini yang meninggalkan kerajaan dan berkelana, kemudian menjadi seorang pertapa di dusun Talpitu, bernama Harya jambuleka. Dusun Talpitu terletak di lereng gunung Dumilah (Gunung Lawu) dan di gunung inilah Harya Jambuleka ini bertapa. Ki Jambuleka mempunyai seorang putera yang amat tampan dan ahli tapa pula seperti wajah Ayahnya, bernama Mas Manca. Semenjak berusia belasan tahun, Mas Manca sudah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi daripada Ayahnya sendiri. Pemuda ini berkulit hitam manis, bertubuh sedang dan sepasang matanya yang terang tajam menjadi perhiasan wajahnya yang paling menarik, membuat wajahnya semakin tampan. Semenjak remaja, Mas Manca mengikuti jejak Ayahnya dan selalu berkemandang di dalam telinganya wejangan yang seakan-akan telah menjadi tembang yang selalu dinyanyikan suara hatinya.
Bertapalah angger, kurangi tidur dan makan
Akan menguatkan batin memperkaya iman
Perut lapar mengingatkan kita
Akan penderitaan dan kemiskinan rakyat jelita
Menggugah welas asih kita
Mendorong kita untuk menolong sesama
Tidur kekenyangan Hanya mendatangkan kemalas-malasan
Banyak duduk diam berjuga
Membuat kita waspada Bertapa menguatkan batinmu
Dalam ketekunan menambah ilmu
Membuka matahari kita Akan kebesaran TUHAN MAHA MULIA
Pada suatu hari Mas Manca menghadap Ayahnya dan menyatakan permohonannya agar supaya Ayahnya mengijinkan dia pergi berkelana untuk menambah ilmu dan pengalaman.
"Anakku yang bagus, tempat kita ini sudah begitu indah dan sunyi, hawanya pun nyaman sekali, cocok bagi kita untuk bertapa mengheningkan cipta membersihkan hati dan pikiran. Kenapa kau masih tidak puas dan hendak pergi ke tempat lain."
"Rama keinginan saya pergi berkelana bukan sekali-kali terdorong oleh ketidakpuasan dengan keadaan di tempat kita ini, bukan sekali-kali karena saya menganggap tempat ini kurang indah. Malahan semata-mata karena ingin meluaskan pengetahuan, menambah pengalaman. Sudah lama saya mendengar tentang keindahan dan kekramatan pantai Laut Kidul, dan saya ingin sekali menikmati keindahan di sana sambil bertapa."
Ki Jambuleka cukup mengenal watak puteranya. Ia tahu bahwa puteranya ini memiliki kemauan yang amat teguh, dan niatnya tentu akan dilaksanakannya. Kalau ia mencegah, tentu anaknya akan menjadi patah semangat dan selalu penasaran. Di samping itu, iapun maklum bahwa memang amat berguna bagi seorang muda untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman hidup. Biarlah puteranya merasakan sukarnya orang berkelana seorang diri, merasakan lapar dan sengsara, mengalami segala macam goda dan cobaan agar matang jiwanya.
"Baiklah, kulup, kalau demikian kehendakmu. Ayahmu tidak bisa memberi bekal sesuatu kecuali doa restu dan pesan agar kau selalu ingat akan semua ajaranku dan selalu berhati-hati, waspada dalam menentukan sikap menghadapi sesuatu. Ingatlah bahwa jalan terutama ke arah keselamatan adalah menyesuaikan diri dengan segala apa yang akan menimpa dirimu dan dengan apa yang kau hadapi, disamping kemauan keras untuk maju dan pemasrahan diri mutlak kepada kehendak Yang Maha Agung."
Setelah menerima banyak wejangan Ayahnya, Mas Manca lalu berangkat pergi meninggalkan dusunnya. Sebagai putera seorang pertapa miskin, ia tidak membawa bekal apa-apa kecuali seperangkat pakaian untuk pengganti, dan sebilah keris pusaka pemberian Ayahnya. Siapa yang pernah pergi ke pesisir Laut Kidul, menjelajah tempat-tempat yang amat indah dan luar biasa seperti Gua Langse, Becici, Dwarawati, dan lain-lain pantai berbatu karang di tepi Laut Kidul daerah Yogyakarta, tentu akan mengaku bahwa selain indah permai pemandangan di tepi laut itu, juga di situ mempunyai hawa yang lain daripada pantai lain. Banyak tempat-tempat yang keramat. Bukit-bukit batu karang sepanjang pantai, dengan gua-gua yang besar dan aneh bentuknya.
Batu-batu karang yang runtuh dari bukit sepanjang ratusan bahkan ribuan tahun dengan bentuk beraneka macam, aneh dan menimbulkan suasana serem-serem menarik. Tentu saja keseraman yang terasa oleh orang bukan hanya disebabkan kesunyian tempat, bukan pula oleh berdebar deburnya ombak-ombak sebesar bukit yang menghantamgetakkan batu karang melainkan terutama sekali karena dongeng-dongeng yang menjadi tradisi dan kepercayaan rakyat bahwa tempat-tempat inilah Nyi Ratu Roro Kidul yang menjadi Ratu di situ memerintahkan sekalian demit dan setan di Kerajaan Laut Kidul! Ketika untuk pertama kalinya melihat semua ini, Mas Manca berdiri di atas sebuah batu karang besar dengan mata terbelalak lebar memandang ke tengah lautan, dimana ombak-ombak laut bagaikan ratusan naga berkepala putih saling kejar tiada hentinya.
Bukan main takjubnya menyaksikan kehebatan alam yang tak pernah dilihat sebelumnya itu. Alangkah jauh bedanya dengan pemandangan di atas gunungnya. Ia memuji kebesaran Tuhan dan makin tebal imannya bahwa kekuasaan Tuhan adalah tiada terbatas. Beberapa hari Mas Manca tinggal di pantai laut bersama sekelompok nelayan yang pekerjaannya mencari ikan. Tiada habisnya ia menikmat pemandangan di laut penuh ketakjuban dan kekaguman. Berhari-hari ia tampak duduk atau berdiri di atas batu karang memandang ke arah ombak-ombak laut yang tak pernah, namun yang dalam ketidak tenangannya itu malah mendatangkan ketenangan di dalam hatinya. Pada suatu pagi, kala ia mengagumi munculnya matahari dari timur, merupakan sebuah bola kemerahan besar yang amat indah, lupa akan keadaan diri sendiri, tiba-tiba ia mendengar teguran orang dibelakangnya,
"Eh, ki sanak (saudara). Kau berdiri seperti patung memandang lautan, sedang mencari apakah?" Mas Manca menoleh untuk melihat siapa orangnya yang mengganggunya itu. Ketika dilihatnya bahwa yang menegurnya adalah seorang laki-laki muda, hanya beberapa tahun lebih tua dari padanya, ia menjawab tak acuh.
"Mencari ketenangan jiwa?" Orang itu membelalakkan matanya, lalu berkata lagi setengah tertawa, "Mencari ketenangan jiwa kenapa memandang laut" Apakah ketenangan jiwa terletak di ombak-ombak itu?" Mas Manca mengerutkan alisnya, merasa terganggu. Bodohnya orang ini, pikirnya. Sudah menjadi kewajibannya untuk memberi penerangan kepada orang bodoh, maka sekali lagi ia menjawab, kini menghadapi orang itu.
"Ki sanak, kau tidak tahu. Ketenangan jiwa hanya dapat dirasakan apabila kita yakin bila diatas segala apa didunia ini terdapat kekuasaan tertinggi, kekuasan mutlak dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan melihat kebesaran alam disini, dengan gelombang sebesar gunung yang bergerak tiada hentinya, dapat menebalkan keyakinan hati akan adanya Tuhan." Orang itu menurunkan kedua alisnya yang tadi diangkatnya, lalu tertawa dan dengan lagak bodoh bertanya.
"Jadi kau hendak maksudkan bahwa kalau kau tidak memandang lautan dengan gelombang-gelombang besarnya, keyakinanmu akan Tuhan tipis sekali dan kau tidak tenang jiwamu?" Mas manca tak dapat menjawab! "Kalau begitu teruskanlah melamun dan mimpi, sahabat," kata orang itu yang lalu pergi dari situ. Akan tetapi Mas Manca masih mendengar suara ketika orang itu berbicara seorang diri.
"Membuktikan kebesaran Tuhan di laut" Ho-ho tentu dia orang gunung! Orang gunung terbuka matanya akan kebesaran Tuhan setelah melihat gelombang di laut, seperti orang pantai melihat kebesaran Tuhan setelah melihat keindahan tamasya alam di gunung. Seakan-akan kebesaran Tuhan hanya terdapat di gunung maupun di laut, padahal di setiap tempat sudah nampak jelas, ribuan tanda kebesaran Tuhan tampak pada setiap langkah kaki. Rumput-rumput, batu-batu, angin, langit, udara, napas kita, mata kita...!"
Mas Manca tersentak kaget. Memang kepergiannya dari depan Ayahnya adalah untuk menambah ilmu dan tentu saja ia ingin sekali bertemu dengan orang berilmu untuk berguru kepadanya. Orang itu! Ucapan yang dikeluarkan sambil meninggalkannya adalah ucapan seorang luar biasa, tak mungkin ucapan itu keluar dari seorang nelayan biasa yang sebagian besar hanya hidup untuk perutnya. Ia cepat meloncat turn dari atas batu karang dan mengejar.
"Hee, ki sanak, harap berhenti dulu, aku ingin berbicara!" Namun orang muda yang berpakaian seperti seorang nelayan itupun lalu berjalan cepat sekali meninggalkan pantai. Mas Manca mengejar, namun makin cepat pula orang muda lain yang berdarah panas, ia tidak mau kalah. Dikerahkan kepandaiannya mengejar dan akhirnya ia dapat menyusul orang itu. Orang itu jelas kelihatan terkejut dan heran melihat Mas Manca dapat mengejarnya lalu bertanya, sikapnya curiga.
"Eh, orang yang bermimpi dipinggir laut. Kenapa kau mengejarku?" Mas Manca kini memberi hormat.
"Saudara yang baik, harap kau suka memaafkan sikapku tadi. Mendengar ucapan tadi, ternyata kau adalah seorang pandai, siapakah gerangan namamu yang mulia dan dimanakah tempat tinggalmu?" Orang itu tiba-tiba bertolak pinggang dan berkata nyaring,
"Eh, orang muda yang baru melihat kebesaran Tuhan setelah melihat laut dan baru menghargai orang setelah mendengar ucapannya! Kau sendiri siapakah dan darimana" Kau tentu bukan orang sini." Mas Manca tersenyum. Dari sikap ini saja ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang berdarah panas, biarpun agaknya sudah mempelajari ilmu batin dari guru yang pandai. Ia tetap sabar. Terkejut dan girang hati orang itu. Terngiang dalam telinganya pesan gurunya kepadanya,
"Kulup Sudarso. Kalau kau bertemu dengan seorang pemuda dari Gunung Dumilah dalam perjalananmu bawalah dia kesini. Dia itu calon putera angkatku."
Selain girang, juga pemuda ini yang bernama Sudarso dan murid seorang pertapa yang sakti merasa penasaran. Masa gurunya yang sidik dan sakti itu akan mengambil putera angkat seorang pemuda gunung yang pelamun ini" Tak dapat disangkalnya bahwa lari pemuda gunung ini cepat bukan main sehingga ketika tadi dicobanya, ia harus mengaku kalah. Namun, selain bisa lari cepat yang tidak aneh pula mengingat dia bocah gunung, apakah dia ini juga memiliki kedigdayaan" Sudarso terkenal pemuda yang suka sekali mencoba tebalnya kulit kerasnya tulang. Maka setelah kini mendapat kenyataan bahwa bocah di depannya inilah yang dimaksudkan oleh gurunya, ia lalu mengambil keputusan untuk mencobanya.
"Hemm, kiranya kau seorang bocah gunung Dumilah dan namamu Mas Manca. Pantas saja kau pandai berlari cepat itupun kau memiliki kedigdayaan lain."
"Aku bocah gunung nang-nung tidak tahu apa-apa mana bisa dibandingkan dengan kau" Lagi pula, bukan niatku untuk berbicara tentang kepandaian, aku ingin sekali berkenalan denganmu, saudara yang baik. Siapakah gerangan kau dan darimana?"
"Kau hendak mengetahui nama dan tempat tinggalku" Baiklah, kau kalahkan dulu aku, baru aku mau mengaku!" Setelah berkata demikian, Sudarso lalu berdiri menenteng, kedua kakinya direnggangkan, dada diangkat ke muka, kedua lengannya siap siaga, sikapnya menantang sekali. Mas Manca tetap tenang dan sabar, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Dia bukan seorang pemuda bodoh biarpun dia juga berdarah panas, dia maklum bahwa orang aneh ini memang sengaja hendak mencobanya, maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaian agar orang ini dapat menerimanya menjadi sahabat. Mas Manca dapat mempelajari watak orang didepannya ini melihat sikap dan kata-katanya. Seorang pemuda yang dogol, kasar dan jujur yang telah mendapat didikan seorang yang arif bijaksana.
Orang Miskin Dilarang Kawin 2 Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno Pedang Pelangi 4
^