Pencarian

Manekin 2

Manekin Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Ketika pada akhirnya Bursok toh ternganga juga, bibir tua Dokter Faisal langsung mengulas senyum. Dan dari kepalanya yang terpenggal, bibir mungil sang manekin tampak ikut tersenyum.
Gembira! Setelah pasangan tombol sakelar dikembalikan ke posisi 'off' dan sepasang lengan boneka bergerak perlahan untuk kembali pula ke posisi semula, Asep
Taryat dengan tenang melompat turun dari tubuh yang ditindihnya. lalu menatap ingin tahu ke wajah tamu mereka.
Cepat sekali Bursok sudah menguasai diri. Namun bersamaan dengan itu. perasaan kecewa tampak datang merambat di wajahnya. Menatap diam sejenak ke tubuh pop yang diam membeku di atas meja bedah, ia pun melontarkan kekecewaan hatinya dalam satu keluhan lesu.
"Jadi, kebisaannya cuma merangkul!"
"ltu maka tadi saya bilang pada Dokter Faisal. Komandan." Asep menimpali dengan bersemangat, "Bagaimanapun jeniusnya orang yang telah merakit isi lambung boneka ini, imajinasinya masih saja kurang sempurna!"
"Karena robotnya tidak sekalian dibuat bisa berjalan dan berbicara?"
Si tukang servis menggeleng. "Menurut pandangan saya, boneka ini direkayasa semata-mata hanya untuk teman bermain cinta...."
"Lantas, di mana letak ketidaksempurnaannya?"
Dokter Faisal tampak sudah membuka mulut untuk mencegah, namun Asep lebih cepat. Seraya tersenyum dikulum. ia memberitahu, "Pinggulnya, Kapten. Pinggul boneka ini tidak sekalian dibuat... bergoyang!"
Jadah! lngin rasanya Bursok memaki. namun toh ia tersenyum juga. Meski jelas dipaksakan. Dokter Faisal yang tahu gelagat, cepat menetralisir dengan mengalihkan pembicaraan.
"Sekarang kita semakin tahu semua jawaban teka-teki itu!"
"Teka teki?" Bursok menggeram. Masih tak senang. Sudah kecewa, masih dikerjai pula oleh si tukang servis!
"Pertama, mengapa bukan boneka tiup yang dari pabriknya sudah dilengkapi dengan vagina..." Dokter Faisal menjelaskan seraya menjulurkan tangan bukan ke vibrator, melainkan ke payudara boneka. Dengan tekanan jarinya tampaklah payudara serta puting susu tersebut bergerak melentur. Bukti babwa bagian itu juga telah direkayasa. Bahan aslinya yang keras diganti dengan bahan yang empuk tapi kenyal.
"Yang ini sih karet padat," Dokter Faisal melanjutkan. "Sementara balon tiup, bahannya lebih tipis lagi. Jika dipasangi perangkat yang kita lihat tadi, jelas akan terasa mengganggu badan orang yang menindihnya. lalu yang kedua. wajah..."
Dokter Faisal mengalihkan pandangan matanya ke arah kepala pop. diikuti oleh mata kedua orang pendengarnya. dibalas oleh tatapan sepasang mata sang manekin, yang membuka nyalang.
"Wajah boneka tiup-kecuali dilukis-tak bisa dibuat supaya persis dengan wajah yang kita inginkan. Lain halnya jika dicetak secara khusus oleh pabrik pembuatnya. Tidak harus seluruh tubuh. Cukup bagian kepala dan wajah saja. Dan si pemberi Order-tentunya dengan mengorbankan sejumlah besar uang-cukup menyerahkan pasfoto wajah orang yang dikehendakinya..."
"Ke pabrik!" Bursok mendesah. Takjub. "Di luar negeri?"
Dokter Faisal menggeleng. "Pop kelas satu me
mang terbuat dari bahan yang disebut resien." ujarnya. Tetapi yang kita hadapi ini dari fiberglass. Jika Anda rajin bertanya-tanya, Komandan, pabrik pembuat pop ini pasti akan dengan mudah Anda temukan. Di Tangerang. mungkin!"
"itu akan kuingat-ingat, Dokter!" Bursok manggut-manggut menyetujui. "Namun sayang. semua itu masih juga belum menjawab teka-teki lainnya yang terus-menerus mengganggu pikiranku!"
"Oh!" Dokter Faisal menatap. Ingin tahu.
"Okelah misalnya si tersangka pelaku orangnya kreatif..." kata Bursok sambil tampak berpikir-pikir. "Selain membuat jejak berdarah dengan sepatu, juga mempertemukan bibir boneka ini dengan bibir almarhum. Dia punya nuansa sensual, mungkin. Namun ada dua fakta kuat yang tidak sesuai dengan kreativitas tersangka pelaku!"
"Apa saja?" "Pertama," ganti kini Bursok yang memberi penjelasan, "keterangan yang kami peroleh dari salah seorang saksi tambahan. Paling tidak, lima potong gaun telah dicuri. Lalu mengapa yang dipakai oleh pop ini-selagi di lemari-tidak ikut dicuri" Belum lagi yang kita temukan di lantai. Terinjak oleh tumit sepatu berdarah!"
"Mungkin di situlah kreasi si tersangka," Dokter Faisal berkata menduga-duga. "Supaya misteri yang ia buat tampak semakin rumit!"
Bursok menggeleng tak setuju. "Ingat dua cangkir di meja makan itu. Dokter?"
Sang dokter tua hanya manggut, mengiyakan.
"Yang berisi bekas kopi," Bursok meneruskan.
"Sidik jarinya dibiarkan. Sidik jari korban. Sementara cangkir satunya lagi, yang berisi bekas teh. sama seperti benda lainnya di seantero rumah, sidik jarinya dihapus total. Atau sewaktu beraksi. si pclaku memakai sarung tangan. Mengapa?"
Dokter Faisal tersenyum. "Itu jelas. Si tersangka sempat minum. mungkin sambil mengangkat toast dengan korbannya. Tak mau meninggalkan jejak. setelah membunuh korban, sidik jarinya pada cangkir lantas dihapus!"
"Masih ada banyak mengapa lainnya, Dokter. Mengapa korban dibunuh di ruang tengah dekat pintu tembus ke ruang tamu" Bukankah lebih aman jika sekalian di ruang makan saja" Dan. yang lebih menarik lagi, mengapa korban bersusah payah menyeret dirinya untuk kembali ke ruang makan" Apa sesuatu yang teramat penting yang ia ingin dari atau ingin lihat di ruangan itu?"
Dokter Faisal berpikir sekeras-kerasnya. Namun otak tuanya tak kuat berlelah-lelah. Maka ia pun menyerah. "jawabannya masih belum ketemu juga ya?"
"Barusan ini sudah!"
"Barusan?" Sebelum menjawab, Bursok lebih dulu mengawasi gulungan kabel serta stop kontak kombinasi yang sudah disimpan kembali oleh si tukang servis listrik di tempatnya semula. lalu cepat ia berpaling pada sang tukang, yang saat itu tengah sibuk melipat-lipat gaun merah hati milik boneka yang semula tersampir di sebuah kursi. sambil menguping.
"Bung Asep?" Asep Taryat mengangkat muka. terkejut. "Ya. Komandan?"
"Tadi kau bilang kaki boneka ini juga dilengkapi batangan besi dan engsel tanam. Benar?"
'Yang di kaki, Komandan, cuma engsel tanam?"
"Supaya lututnya bisa dilipat" Ke posisi duduk, misalnya?"
Si tukang servis mengiyakan dengan anggukan kepala. Bursok cepat berpaling lagi pada Dokter Faisal yang tanpa ditanya, sudah bergumam sendiri. "jadi, boneka inilah yang ia tuju. Boneka, yang duduk untuk minum bersamanya. Hanya saja, yang kemudian meminum teh adalah... si tersangka pelaku!"
"Persis!" Dokter Faisal tersenyum, menghibur. "Kalau begitu, teka-tekinya sudah terjawab. Lantas apa lagi yang menyusahkan pikiranmu?"
"Entahlah...." Bursok mendesah, lesu lantas diam sejenak. Merenung, murung. "Semua itu terlalu mudah dibaca. Ada beberapa unsur yang menurutku kurang pas!"
Diam sesaat, Dokter Faisal kemudian berkata mengajak, "Kita teruskan di kantin yuk. Aku mendadak haus nih!"
Mereka sudah akan memutar tubuh ketika suara Asep Taryat menahan langkah mereka. "Sebentar, Pak Dokter!"
"Ya?" Si tukang servis mendekat lalu menunjuk ke tu
buh pop di meja bedah. 'Rongsokan ini. Apa harus saya rapikan kembali?"
"Buang saja. Mau ke tempat sampah atau ke tempat pembakaran, terserah!" jawab Dokter Faisal. Enteng.
'Lho. Sebelumnya bilang mau dipajang dekat pintu!"
"Memang ya. Tetapi setelah peragaanmu tadi, dipikir-pikir suatu hari kelak boleh jadi aku ketularan pikiran kotormu. Tergoda untuk memerkosanya!"
Berkata demikian, Dokter Faisal menyeringai lebar. Lantas berlalu dari ruang bedah mayat, diikuti oleh Bursok yang wajahnya sudah kembali seperti biasa.
Tanpa emosi. *** DITINGGAL sendirian dalam ruang patologi yang Suasananya dengan segera berubah menjadi sunyi, Asep yang sehari-harinya pekerja paruh waktu di bagian operator listrik bukannya takut, justru malah sebaliknya, gembira.
Ia langsung mendekat lalu berbicara pada penggalan kepala boneka yang menatap diam dengan sepasang mata bulatnya yang terbuka nyalang.
"Kau dengar itu. bukan" Ke tempat sampah! Atau membiarkan tubuh antikmu perlahan-lahan meleleh di tempat pembakaran!" Asep menggelenggeleng sebagai isyarat betapa bengisnya perintah itu. "Untunglah orang tua yang suka nyinyir itu bilang terserah aku. Maka, bergembiralah. Kau akan kuboyong ke kamar kosku dan..."
Asep diam sejenak, mengawasi mata boneka yang tetap diam menatap. Seakan Curiga. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Asep kemudian menyeringai. Lebar.
"Tak usah cemas, Neng. Aku ini masih bujangan
DITINGGAL sendirian dalam ruang patologi yang suasananya dengan segera berubah menjadi sunyi. Asep yang sehari-harinya pekerja paruh waktu di bagian operator listrik bukannya takut. justru malah sebaliknya. gembira.
Ia langsung mendekat lalu berbicara pada penggalan kepala boneka yang menatap diam dengan sepasang mata bulatnya yang terbuka nyalang.
"Kau dengar itu. bukan" Ke tempat sampah! Atau membiarkan tubuh cantikmu perlahan-lahan meleleh di tempat pembakaran!" Asep menggelenggeleng sebagai isyarat betapa bengisnya perintah itu. "Untunglah orang tua yang suka nyinyir itu bilang terserah aku. Maka, bergembiralah. Kau akan kuboyong ke kamar kosku dan?"
Asep diam sejenak, mengawasi mata boneka yang tetap diam menatap. Seakan curiga. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Asep kemudian menyeringai. Lebar.
"Tak usah cemas, Neng. Aku ini masih bu
jangan. Dan biar namanya aku suka mampir ke rumah petak di dekat pelabuhan, kujamin punyaku tetap bersih. Karena aku tak pernah alpa memakai kondom. Tetapi sebelum itu..."
Asep menggantung ucapannya, lalu kedua tangannya sibuk merapatkan belahan pada tubuh pop. Namun betapa pun ia coba, bahan dari fiberglass yang sudah digergaji itu tetap bergeming. Memerah kulit muka Asep karena malu sendiri. Namun bukan Asep Taryat namanya, habis akal secepat itu.
"Tak apa!" katanya tersengal-sengal sambil memaksakan senyum di bibir. "Nanti di rumah, belahanmu akan kuratakan pakai dempul, atau... adukan semen!" Asep diam sejenak. menimbang nimbang. "Memang akibatnya tubuhmu akan sedikit melar ke samping. Tetapi itu pun tak apa. Malah menurutku. semakin enak dirangkul. Hehehe!"
Terkekeh-kekeh gembira. Asep memutar tubuh untuk mengambil kantong plastik ekstra besar bekas pembungkusnya semula untuk digunakan lagi. Namun baru satu dua langkah, ia mendadak teringat sesuatu lalu kembali mendekat. "Ah. ya!" katanya. bergairah. "Untuk lebih mendorongmu mau tinggal bersamaku, isi lambungmu akan kurakit ulang. Supaya pinggulmu juga bisa bergoyang. Seperti ini....
Asep pun lantas menggoyang-goyang pinggul sendiri.
"Asyik bukan?" katanya kemudian dengan setingai. "Apalagi jika nanti kita..."
Telepon berdering. Dan terus berdering.
Merasa terganggu, mata Asep mencari-cari lalu
melihat pesawat telepon menempel bersama kotak otomatnya di salah satu sisi tembok. Ke sana Asep lantas bergegas: lalu menyahuti telepon. "Halo?"
"Kau itu, Sep?" Suara teman sekerjanya di bagian operator listrik.
"He-eh. Ada apa, Nyong?"
"Cepat kemari, Goblok. Listrik di seantero rumah sakit mendadak padam!"
Refleks Asep melihat ke bola lampu di langit-langit ruangan. Ia pun seketika dibuat terkejut. Lupa bahwa sebelumnya lampu di ruangan itu memang tidak dinyalakan. Asep bergegas menuju pintu. Berhenti sesaat, lalu mewanti-wanti ke arah boneka pop yang rebah dengan tubuh dan kepala terpisah di atas meja bedah. "Kau tunggulah di sini. Nanti kukembali menjemputmu. Oke?"
Mata di kepala boneka hanya menatap diam. Dengan mulut tersenyum. Pintu pun ditutup. sekalian dikunci. Berlari menitipkan anak kunci ke petugas piket ruang patologi. lagi Asep mewanti wanti. "Nanti kupinjam lagi. Masih ada yang perlu kuberesi di dalam sana!"
Berlari lagi lebih cepat ke tempat kerja rutinnya, Asep menemukan temannya sudah menghidupkan pembangkit diesel.
"Pasti ada korsleting pada jaringan pusat," sang teman berkata. Dan ketika mereka periksa. ternyata benar. "Wah, beruntung terjadinya siang hari. Tetapi kita tetap bakal dibuat sibuk nih. Selain jaringan ini. seperti biasa pasti akan banyak peralatan rumah sakit yang harus kita cek...."
Tetapi ada juga upahnya. Di tengah kesibukan mereka, ada sambungan telepon dari luar untuk Asep. lnstalatur langganan kerjanya memberitahu mereka perlu tenaga tambahan di suatu proyek yang harus selesai tepat waktu. ltu berarti pemasukan uang dalam jumlah besar dan langka didapat. Melimpahkan tugas yang belum terselesaikan pada rekannya-dengan janji pemasukan ekstra Asep tak akan dicicipi sendiri-Asep pun minggatlah dari rumah sakit.
Boneka pop pun terlupakan sudah. Termasuk goyang pinggulnya!
Dan di ruang patologi. terjadilah sesuatu.
Begitu Asep hengkang dari rumah sakit, sambil bibir mungilnya tetap tersenyum. penggalan kepala pop perlahan-lahan bergetar dan terus bergetar. Seraya bergetar, penggalan kepala itu terangkat lalu bergerak sendiri menuju batang tubuhnya untuk kemudian menyatu, sambil terus bergetar. Dan tampaklah belahan bekas digergaji pada tubuhnya perlahan-lahan merapat. Semakin rapat. sampai akhirnya utuh kembali seperti semula.
Getaran pun mulai melemah, dan akhirnya berhenti. Tubuh pop rebah diam. Masih dengan mata bulatnya tetap terbuka. dan bibir mungilnya tetap tersenyum. Seperti senyuman lega.
Akan tetapi, eh... nanti dulu!
Ada udara yang keluar-masuk dengan leluasa, dan itu tidak semestinya terjadi. Pasti ada lubang menganga yang terlewatkan!
Tubuh pop pun perlahan-lahan kemhali bergetar. Kian lama kian kuat, sampai tubuh dari fiberglass itu terguncang-guncang di permukaan meja bedah.
Terguncang dan terus terguncang. Mencari-cari, merasa-rasa.
Dan... nah, itu dia. Vibrator di dekat kaki, yang secara perlahan tetapi pasti mulai ikut bergetar. Scmakin kuat getarannya. semakin vibrator terangkat. terus melayang cepat di sepanjang bagian atas tungkai. Menuju lubang menganga di selangkangan.
Lantas, hup! Vibrator hinggap dengan manis di tempat ia seharusnya bersarang. Udara yang tadinya keluar-masuk langsung terhenti seketika itu juga. Vaginanya sudah terpasang!
Bersamaan dengan itu. semua guncangan maupun getaran tampak melemah lantas berhenti total.
Sang manekin pun kembali diam dalam rebahnya.
Diam yang tenang. Dan nyaman.
*** Proses menuanya tubuh dapat dicegah, namun tidak demikian halnya dengan umur serta dampak sampingannya. Garis kehidupan yang tak bisa ditolak itu baru disadari oleh Dokter Faisal seusai mereka makan siang di kantin rumah sakit dan Busrok bangkit untuk pamitan. Dan sebelum berpisah, secara sambil lalu Bursok mengingatkan tentang boneka pop yang mereka tinggalkan di ruang patologi.
"Oh ya. Dokter," Bursok berkata. "sebelum lupa. tolong barang bukti titipan di ruang kerja Anda itu dirapikan kembali. Dan tolong disimpan baik-baik sampai anak buahku nanti datang mengambilnya. Oke?"
"Percayakan saja padaku!" jawab dokter tua itu. Meyakinkan.
"Maunya sih percaya...' Bursok mengomentari. "Karena lelucon Anda bahwa makhluk cantik itu akan dipajang di pintu masih dapat kuterima. Tetapi tidak dengan guyon lainnya. Dibuang ke tempat sampah, atau ke tempat pembakaran!"
"Tak usah cemas. Dokter lndra-asistenku-sudah terbiasa. Dia tahu betul mana ucapanku yang..." Dokter Faisal berhenti, tiba-tiba tersadar. 'Astaga... si tukang listrik!"
Bursok tersenyum. "Maka itu, Dok. Bergegaslah. Atau kalian nanti bisa dikenai pasal menghilangkan barang bukti!"
Namun sang dokter tidak segera berlalu. Diam mematung sejenak, wajahnya yang selalu ceria dan energik itu mendadak seperti menyesuaikan diri dengan umurnya yang sebenarnya. Tua, dan tampak lelah. Seperti juga desahan lirih yang kemudian terlontar dari bibirnya. "Datang juga akhirnya...."
"Apa?" "Yang selama ini diam-diam kucemaskan." jawab sang dokter. Murung. "Pikun!"
Bursok nyaris tertawa. tetapi mampu menahan diri. "Itu pertanda Anda ini masih tetap manusia normal," katanya menghibur. "Bergembiralah. Dan nikmati hidup barumu!"
Beberapa saat lamanya Dokter Faisal tetap diam. Baru kemudian ia kembali tersadar lantas cepat mengangkat muka dan mendelik marah. "Apa" Menikmati penyakit pikun" Kau...!"
Tetapi Bursok sudah berlalu dari hadapannya.
Dan Dokter Faisal benar-benar sangat marah lalu berubah seperti orang linglung setiba di ruang patologi. Ia sudah bergegas karena kuatir Asep Taryat menganggap guyonannya serius. Kalau cuma ke tempat sampah. tak apa. Masih bisa dibersihkan. jika perlu disucihamakan. Tetapi dibuang ke tempat pembakaran...!
Semakin dekat ke ruang patologi, semakin Dokter Faisal mempercepat langkah. Malah kemudian setengah berlari sambil memanggil-manggil nama si tukang servis listrik.
Namun dokter tua itu tetap saja terlambat.
Si boneka cantik... dan itu adalah barang bukti titipan pihak berwajib, agaknya tidak sabar dan tidak mau menunggu berlama-lama.
Boneka pop itu sudah lenyap!
Mustahil, memang. Tetapi demikianlah kenyataannya. Paling tidak. menurut para saksi mata yang kredibilitas maupun akal sehatnya tidak sedikit pun diragukan oleh Dokter Faisal. Dudung. petugas piket ruang patologi serta laboratorium yang letaknya berdampingan. jelas-jelas menyatakan bahwa si tukang servis listrik hanya menitipkan kunci dan berpesan akan kembali untuk membereskan sesuatu, tanpa mengatakan akan membereskan apa.
"Yang pasti," Dudung menegaskan. "Dia tidak terlihat membawa apa pun. Apalagi kantong mayat yang Pak Dokter sebutkan!"
Dan kantong plastik ekstra besar bekas pembungkus pop ketika dibawa ke ruang patologi memang ditemukan terhampar di lantai dekat meja bedah. Tidak demikian halnya dengan si boneka misterius. Pop itu tidak ditemukan di tempat pembuangan sampah. Ruang oven, apalagi. Kosong serta dingin membeku. karena sudah dua hari tidak dioperasikan.
Berkeringat dingin dan dalam keadaan setengah panik. Dokter Faisal kemudian meminta Dokter Indra-asistennya menuturkan lagi apa yang dia serta dua perawat lainnya saksikan sebelum memasuki ruangan patologi.
"Keluarga korban yang meninggal akibat penganiayaan itu akhirnya setuju anak mereka diautopsi," jawab Dokter lndra tanpa berpikir karena tidak tahu dari mana akan memulai. "Jadi kami meminta kunci ruangan ini dari Dudung, dan..."
"Mereka tiba tak sampai lima menit setelah Asep pergi!" Dudung menimpali tanpa diminta.
Dokter Faisal menggeleng, tak sabar. "Bukan bagian yang itu yang ingin kudengar!"
Lebih dulu batuk-batuk kecil karena merasa bersalah-tanpa mengetahui di mana letak kesalahannya barulah Dokter lndra menutur ulang bagian berikut dari ceritanya. Bahwa. sementara kedua petugas pendamping memegangi brankas pembawa mayat, tanpa prasangka apa-apa ia membuka pintu ruang patologi.
Baik Indra maupun kedua pendampingnya sama terkejut setelah pintu membuka lebar. karena di hadapan mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak sesosok tubuh yang tidak mereka kenal. Seorang wanita cantik bergaun merah hati. Dengan sepasang mata bulatnya menatap lebar, dan bibir yang tersenyum kaku ketika membuka lalu menyapa dengan suara lirih serta terdengar sayup.
"Hai...!" "Hai!" balas Dokter lndra setelah sempat diam tercekat. Saking kaget.
Masih terdengar lirih dan sayup, wanita asing itu cepat-cepat menjelaskan keberadaannya. "Aku tadi ketiduran. Tak menyangka Asep tega meninggalkan... sambil mengunci pintu pula!"
"Oh?" desah Dokter Indra. Masih terkejut. Sementara kedua perawat laki-laki yang mendampinginya hanya diam menatap. Terpesona.
"Terima kasih kalian membukakan pintu untukku." Si cantik bergaun merah hati itu tersenyum. Manis. "Permisi!"
Dan sebelum Dokter Indra sempat berpikir apalagi berbicara. si cantik sudah berlalu.
Dengan tenang. Dan tampak santai.
"Ber-bi-ca-ra...!" Dokter Faisal menggumam setelah asistennya selesai bercerita. Suaranya serak dan patah-patah. Dan wajahnya tampak seperti orang dengan mental terbelakang sedang memaksakan diri untuk mengeja kata-kata yang harus dihafalkan. "Ber ja-lan...!"
"Dengan langkah gemulai pula!" salah seorang perawat ikut bergumam. setengah melamun.
"Dan. aduhai," temannya menimpali, "goyang pinggulnya!"
"Bahkan ketika ia lewat di depan kantor piket." Dudung tidak mau ketinggalan. hanya saja, wajah serta suaranya terkesan kecewa. "saya sempat menyiulinya. Sayangnya, menoleh pun ia tidak!"
Dokter lndra tidak mendengarkan semua itu. Perhatiannya lebih tercurah ke wajah seniornya yang
tampak semakin tua, semakin lelah. Lalu kemudian bertanya hati-hati, "Memangnya. Pak Faisal, siapa sih dia itu?"
Yang ditanya menyahuti dengan pertanyaan pula. Pertanyaan yang lebih ditujukan pada diri sendiri.
"Jawablah, Indra. Yang sudah pikun itu aku... atau kalian?"
lalu dokter tua itu pun jatuh terduduk.
Linglung. MALAS kembali ke kantor, Bursok mengebut mobilnya ke pemakaman Kemlaten dan setiba di sana, ia dibuat heran ketika melihat keberadaan regu Patwal (Patroli Kawal) di pelataran parkir. Regu dimaksud serempak bangkit menyalut begitu melihat mobil Bursok mendatangi. Turun dari mobil, Bursok langsung mendekat dan menanyai si komandan regu.
'Seharusnya tugas kalian hanya sebatas mengantar ke tempat. Mengapa belum kembali ke Posko?"
"Regu yang Bapak maksud sudah membubarkan diri, Komandan." jawab sang Danpatwal. "Regu saya mendapat perintah khusus untuk pengawalan Pak Wali. Pulang pergi!"
"Wali kota?" Bursok mengernyitkan dahi. Semakin heran.
"Siap. Komandan. Benar, Komandan!"
Wali kota sendiri! Bursok memikirkannya seraya memasuki kom
pleks dan langsung menuju satu-satunya tempat terlihat kerumunan orang yang sedang mengikuti ritual pemakaman. Apa sih keistimewaan Rendi sehingga kepala daerah mereka berkenan hadir di pemakamannya" Dari catatan yang diperoleh Bursok. almarhum hanyalah seorang kepala bagian di biro perlengkapan. Dan setahu Bursok, untuk tingkat jabatan seperti itu yang biasa hadir mewakili pimpinan mereka adalah kepala biro. Paling tinggi, Sekretaris Daerah.
Wali kota sendiri! Bukan main, pikir Bursok seraya mengawasi salah seorang anggota berpakaian preman yang ditugasi menghadiri upacara secara tidak mencolok memisahkan diri dari kerumunan untuk menyongsong kedatangan komandannya.
"Ada petunjuk, Brigadir?" tanya Bursok sambil terus berjalan lalu berdiri di bagian belakang kerumunan yang terdekat.
"Sampai saat ini belum, Komandan!"
Begitulah selalu, pikir Bursok. Belum, atau pada akhirnya lebih sering nihil. Tetapi ilmu jiwa kriminologi diciptakan oleh para penemunya tentu disertai dasar yang kuat serta akurat. Bahwa ada kalanya si pembunuh tergoda untuk bernostalgia. lkut menonton di TKP, atau di upacara pemakaman korban yang dibunuhnya.
Mengawasi kesibukan para penggali kubur yang sedang sibuk menimbunkan tanah ke liang lahat. Bursok teringat pada salah satu keberuntungannya tidak lama berselang. Atau kalau boleh membanggakan diri sedikit, salah satu dari hasil kejelian serta
ketajaman matanya. Hal yang membuat dirinya pernah dijuluki si mata elang. julukan yang ia minta supaya dilupakan dan tidak disebut-sebut lagi dengan alasan sederhana.
"Kita semua punya ketajaman mata yang sama. Aku cuma kebetulan beruntung. itu saja!"
Kebetulan itu terjadi pada waktu pemakaman seorang ibu muda serta dua anak balitanya yang terbunuh secara kejam di ladang keluarga mereka. Tersangka pelakunya langsung diketahui dan ditangkap. Namun kesederhanaan kasus itu tidak disukai Bursok. Ada beberapa fakta serta informasi yang kurang berkenan di hatinya, lantas iseng menghadiri upacara pemakaman. Berharap kunci pertanyaan bisa terjawab oleh relung-relung ilmu jiwa yang rumit namun selalu berguna untuk pengusutan.
Dan itulah yang terjadi. Secara tak sengaja. mata tajam Bursok menangkap senyuman di bibir salah seorang kerabat yang menghadiri upacara. Hanya sekilas memang. Tetapi Bursok yakin betul bahwa yang ia lihat adalah senyuman puas di bawah sepasang mata yang bengkak oleh tangis berkepanjangan!
Bursok langsung memerintahkan anak buahnya untuk diam-diam bekerja ekstrakeras. Hasil akhirnya mencengangkan semua orang. Tersangka pelaku yang sudah diproses segera dibebaskan. Ia adalah bekas pacar korban yang, sialnya. dipergoki sedang berkeliaran dalam keadaan mabuk berat di sekitar ladang TKP. Yang kemudian masuk penjara untuk menggantikan si orang sial itu adalah si empunya
senyum, yakni mertua si ibu muda, atau kakek kandung kedua anak balita yang ikut jatuh sebagai korban.
Motivasinya masih tetap sederhana, namun mengejutkan.
Si ibu muda rupanya pernah ditiduri secara paksa oleh sang mertua. Tetapi wanita malang itu menutup mulut rapat-rapat. Selain tak tega menciptakan permusuhan di tengah keluarga-dan nama baik keluarga pasti tercemar-juga karena sang mertua kemudian menyesali perbuatan bejatnya. Malah ditambah sumpah tidak akan mengulanginya lagi.
Apa mau dikata, setan kembali menggoda.
Hanya saja kali ini sang menantu menolak dan berjuang keras mempertahankan kesuciannya. Memang tak diniatkan, namun toh sang menantu terbunuh oleh mertuanya yang sudah kalap. Peristiwa mengerikan itu disaksikan oleh dua pasang mata balita yang semula terlelap lalu terbangun oleh suara ribut-ribut di luar dangau. Bocah-bocah malang itu menjerit histeris. Dan jadilah nyawa mereka melayang di mata sebilah golok yang masih digelimangi darah sang ibu.
Saat jenazah mereka, atau persisnya sang ibu muda, diturunkan ke liang lahat. tanpa sadar lepaslah senyuman yang justru mencelakakan diri si empunya senyum tersebut. Senyuman puas karena perbuatan jahatnya ia kira sudah ikut terkubur, dan nama baiknya sebagai tokoh yang dihormati warga sedesa tetap terjaga.
Sayang. ada mata elang yang melihat!
Lus tunda! Bursok tersadar dan seketika mengangkat muka. Lalu seperti mereka yang lain. memusatkan perhatiannya pada Heri Herlambang. seorang Letnan Kolonel non-aktif dan kini menjadi wali kota Cirebon. Wajah sang pimpinan daerah itu tampak menyimpan duka yang dalam sewaktu berbicara. Sambil melihat ke arah orang yang namanya ia scbut.
Bursok ganti menatap ke arah yang sama, yakni saudara kembar almarhum yang baru saja dikebumikan. Dan ia tampak berdiri tegar di tempatnya. Bukan karena didampingi atau dipegangi Prasetyo. sang suami, melainkan-sebagaimana informasi yang sebelumnya sudah diterima Bursok dari ajudannya-karena sudah dua kali diberi suntikan penenang. Pertama, sewaktu akan melihat jenazah Rendi-nya tercinta yang sudah selesai dimandikan dan dikain-kafankan. Suntikan kedua saat ia memaksa untuk ikut menghadiri pemakaman.
Rinda mengenakan gaun berkabung. Sepenuhnya hitam. mulai dari gaun, tas. sampai ke sepatu. "Dibeli mendadak dari toko..." begitu antara lain Hadi Saputra melapor lewat handphone Bursok dalam perjalanannya dari rumah sakit ke pemakaman. Mengapa bukan warna merah hati, pikir Bursok selagi mengawasi penampilan Rinda yang berdiri di barisan terdepan kerumunan. berseberangan dengan kerumunan tempat Bursok diam-diam mengawasi dari belakang. Terutama. wajah Rinda, yang dirias
sedikit mencolok untuk menutupi kepucatannya dan justru membuat wajah yang dilihatnya mengingatkan Bursok ke wajah lainnya.
Wajah sang manekin atau si boneka pop di balik pintu lemari.
"Memang benar, saya baru delapan minggu dilantik sebagai pimpinan daerah di Cirebon ini.." Wali Kota melanjutkan. "Atau dengan perkataan lain, baru delapan minggu saya bekerja sebagai... katakanlah rekan sejawat saudara kembar Zus Rinda. Karena kesibukan masing-masing. tentu saja kami berdua jarang bertemu. Jarang pula dapat berbincang-bincang dengan leluasa. Akan tetapi..."
Wali kota diam sejenak. Tampak seperti raguragu. atau mungkin mencari kata-kata yang lebih tepat untuk diungkapkan. Bursok terus mengawasi. Dan menunggu, seperti juga hadirin lainnya. Menunggu kalimat apa lagi yang akan mereka dengar. Karena tampak jelas Pak Wali Kota sepertinya bukan memberi kata sambutan dukacita seorang kepala daerah. Sikap maupun bicaranya lebih mendekati pribadi. Berbicara atas nama diri sendiri.
Tidak tahu kenapa, Bursok tidak suka melihat dan mendengarnya. Mungkin karena ia memang tidak suka seorang perwira menengah-dengan jabatan hebat pula-berbicara seperti itu. Atau barangkali, sebagai wali kota yang baru orang itu ingin mencari popularitas serta simpati, tak peduli tempatnya berbicara dikelilingi oleh ribuan batu nisan milik orang-orang yang sudah mati"
"Namun yang pasti, Zus Rinda," sang wali kota kembali meneruskan setelah diam sejenak. Dengan
wajah dan suara yang sepenuh perasaan, sampai suaranya tersendat-sendat. dan terdengar bergetar. "Ketahuilah... almarhum seperti... sudah bertahuntahun saya kenal. Seolah olah saudara kembar Zus itu mengikuti dan mendampingi saya dengan setia. dan..."
Ngaco! Bursok membatin setengah ingin tertawa. kekasih mantan penghuni kubur kali dia itu!
Seakan ikut menyadari bahwa pembicaraannya keluar jalur, Wali kota batuk-batuk kecil. Menguasai dirinya sesaat, baru kemudian meneruskan dengan sikap dan nada yang semestinya. Sikap dan nada bicara seorang perwira, seorang kepala daerah. "Ringkasnya, Zus Rinda, bukan hanya Zus beserta suami. Saya... dan seluruh warga kota ini. ikut merasa kebilangan!"
Dan entah apalagi kata sambutan dukacita lainnya yang dengan diam didengarkan oleh orang yang dituju. Tanpa wajah Rinda memperlihatkan em0si. Tidak menangis terharu, juga tidak tersenyum bangga. Jika pun ada senyuman di bibir mungilnya, itu tak lebih dari seulas senyuman tipis dan kaku.
"Senyuman manekin...!" Bursok bergumam tanpa sadar.
Baik anak buahnya maupun orang-orang di dekatnya sama menoleh. Membuat Bursok diam-diam menyesal sekaligus mengancing mulutnya rapat-rapat. Sambil pura-pura memalingkan muka ke arah lain dengan gaya tak acuh.
Saat itulah mata elang Bursok menangkap sosok seseorang yang berteduh sendirian di bawah sebatang pohon, terpisah tidak begitu jauh dari tempat
upacara berlangsung. Pria berbaju kotak-kotak dengan celana jeans ketat yang menyandar ke batang pohon itu dilihat Bursok sedang menyalakan rokok yang baru dengan api dari puntung rokok sebelumnya yang rupanya sudah habis. Lalu sambil menginjak puntung rokoknya yang pertama dan mengisap rokok lainnya dengan nikmat. pria semampai bertubuh atletis itu kembali mengawasi jalannya upacara. Dengan perhatian serius.
Bursok cepat bertanya, dengan suara direndahkan. "Siapa dia. Brigadir?"
Yang ditanya. melihat ke arah sama lalu merogoh saku jaket. Notes yang sudah kucel dikeluarkan, sambil menyahuti. "Sopir Pak Wali. Namanya?" Notes dilembari dengan cepat, lalu jemari sang brigadir berhenti mencari. "Reinaldi. Dipanggil Ronald. Menurut informasi. juga merangkap sebagai pengawal pribadi!"
"Pengawal pribadi, eh?"
Bergumam demikian, Bursok memisahkan diri lalu berjalan menuju orang dimaksud dengan memasang senyum bersahabat di bibirnya. Tetapi tanya jawab yang kemudian berlangsung sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda persahabatan.
"Hai!" Bursok memulai. "Bung Ronald. bukan?"
Reinaldi meluruskan tegaknya. Bahkan sewaktu Bursok mendekat, ia tampak sudah berwaspada. Mengangguk kaku, ia balik tertanya. "Bapak ini siapa?"
Dengan santun. Bursok mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri. Bursok Sembiring. Dari Satuan Serse!"
"Oh"' Reinaldi menanggapi pendek. Sambil menyambut uluran tangan Bursok namun cepat melepaskannya lagi.
"Pengawal pribadi Pak Wali, bukan?" Bursok langsung menembak.
Tembakannya ditangkis dengan senyuman serta jawaban yang tenang. Malah terkesan tidak peduli. "Sopir. tepatnya. Sopir pribadi. Dan sebagai sopir pribadi-dengan gaji memuaskan pula tentu saja saya merasa terpanggil untuk melindungi orang yang menggaji saya. Cuma itu, Komandan!"
"lantas," Bursok terus mengejar, "mengapa tidak bergabung saja bersama kami di sana" Dengan begitu, orang yang menggajimu akan terlindungi bila sewaktu-waktu misalnya terjadi apa-apa!"
"Ada Komandan di sana. bukan?" Reinaldi kembali tersenyum. "Plus anak buah Anda yang tadi juga telah menanyai saya. Membuat saya harus berterima kasih. Karena saya bisa menunggu di sini, sambil merokok. Dengan perasaan tenteram tentunya!"
"Mengapa tidak di mobil saja" Atau di sekitar tempat parkir?"
Sudah kucoba, Reinaldi membatin. Tetapi di sana ada polisi. Memang cuma patroli kawal dengan seragam serta sepeda motor serba putih mereka yang serba megah. Namun mereka itu tetap saja polisi. Dan membuat Reinaldi merasa gerah sendiri. Seperti sekarang ini, diam-diam mulai gerah. Karena yang kali ini mendatangi dan menanyai dirinya, sor0t matanya benar-benar tajam menusuk. Belum lagi pertanyaan serta caranya bertanya. Mudah-mu
dahan aku terus mampu mengimbangi, pikir Reinaldi.
Tetapi, berkeringatkah wajahnya"
Pura-pura mengisap rokoknya dengan dua tiga kali isapan panjang. barulah Reinaldi menjelaskan setenang mungkin. "Begini, Ajun Komisaris Pertama, saya baru merasa tenang bila melihat sendiri bahwa Pak Wali aman-aman saja. Tanpa saya harus bersembunyi di bawah ketiak beliau..."
"Dan?" "Saya juga suka mendengar doa, terutama petuah-petuah di upacara pemakaman yang selalu mengingatkan bahwa kita semua pada akhirnya juga akan mati. Dan kalau beruntung. masih diberi tempat untuk beristirahat. Walau hanya satu kali dua meter persegi!" Reinaldi mengisap rokoknya lagi. Tersenyum santai lantas mengakhiri, "Apakah itu salah?"
Bursok balas tersenyum. Datar, itu sudah pasti.
"Senang berkenalan denganmu. Bung Ronald. Oke. teruskanlah tetapi berhati-hati dengan paru parumu. Permisi!"
Senang" Sambil berlalu, Bunok justru memaki dalam hati. "Sialan!"
Dan di tempat yang ia tinggalkan, Reinaldi tidak bersorak gembira. Benar. ia telah keluar sebagai pemenang. Tetapi sampai kapan"
Tak jauh di depannya, Bursok tiba-tiba tampak berhenti melangkah. Seketika. jantung Reinaldi berdetak. Dan membercik jugalah peluh dingin dari pori-pori kulit wajahnya.
Di tempatnya berhenti, Bursok mengeluarkan telepon selular yang sebelumnya berbip-bip di balik jaketnya. Lantas, masih jengkel, cepat menyahuti, "Siapa"!"
"Aku, Komandan," terdengar sahutan si dokter tua Faisal. Suaranya berat dan serak, seakan menderita sakit parah. "Aku harus melaporkan sesuatu padamu..."
"Oh?" Bursok menanggapi dengan lebih lunak sambil berjalan menuju kerumunan orang tak jauh di depannya.
"Maaf aku agak lambat menelepon," kata Dokter Faisal lagi. "Soalnya, aku sempat shock. Lantas lebih dulu harus sibuk mencari ulang, untuk lebih yakin bahwa apa yang kudengar tidaklah keliru!"
"Shock?" Bursok berhenti melangkah. Ia sudah tiba di tempatnya semula dan mendengar pembacaan doa sudah dimulai.
"Benar, Komandan. Shock...!" Berhenti sejenak dengan napas tersengal-sengal, Dokter Faisal melanjutkan, "Bagaimana tidak. Pikiran iseng yang kau lontarkan sewaktu kita makan siang kini menjadi kenyataan!"
"Tentang?" tanya Bursok, bingung, sambil mengawasi sosok berpenampilan menawan di seberang tempatnya berdiri. Rinda, yang ketegarannya tampak mulai goyah. Dirangkul erat dan penuh kasih sayang oleh sang suami. bibir mungil itu tampak digigit sendiri. Namun toh mata bulatnya tetap saja melelehkan butir-butir air bening.
Sang dokter menyahuti, setengah marah, "Doa
atau pikiran isengmu terkabul. Dia benar-benar hidup. dan kini sudah minggat entah ke mana!"
Misalkan boneka itu bernyawa, demikianlah ide yang dilontarkan Bursok sewaktu makan siang dengan sang dokter. Si boneka bangkit meninggalkan meja makan, menginjak jalur berdarah untuk kembali ke lemari. Mengapa" Apakah karena boneka itu "merasa" lemari itulah tempatnya menetap"
Sekarang. Bursok terkejut sendiri dengan pikiran isengnya itu. Lantas berkata setengah tertawa. "Janganlah mempermainkan aku. Pak Tua. Aku sedang..."
"Sumpah mati. Komandan!" suara sang dokter terdengar bagai menjerit di seberang telepon. "Bahkan Iptu Hadi juga sudah kutelepon. la kuminta pergi ke TKP. Untuk memeriksa, siapa tahu boneka itu kembali ke sana!"
Duk. Jantung Bursok berdetak. tegang.
la nyaris tak mendengar pembicaraan sang dokter di telepon. yang menjelaskan dengan kacau peristiwa mengejutkan yang dialami asistennya serta saksi mata lainnya. Pikiran serta perhatian Bursok lebih tercurah kepada sang sosok di seberang kuburan Rendi. Sambil Bursok diam-diam tegang sendiri.
Rinda-kah yang berurai air mata di depan sana"
Atau si boneka pop" *** AMBULANS yang semula meluncur kencang dengan sirene meraung-raung di jalan raya Tuparev itu perlahan-lahan tampak melambat. Lalu menepi di dekat pertigaan yang trafic light-nya mati. Seorang pria muda berjubah rumah sakit melompat turun dari kabin depan untuk membantu perempuan bergaun merah hati yang kemudian menyusul turun. sambil pria muda itu bertanya dengan wajah berharap.
"Sungguh, tidak mau kami antar sampai ke rumah?"
Berdiri di trotoar sambil tangan kiri membenahi sisi rambutnya dengan potongan sebatas tengkuk itu. si gaun merah hati menjawab dengan senywnan manis.
"Bukan tak mau. Tetapi kalau kalian terlambat menjemput, kasihan anak yang katanya terserang demam berdarah itu. Dia boleh jadi tidak tertolong. Dan..." si gaun merah hari bergidik sesaat. Tampak ngeri. Namun dengan cepat wajahnya sudah kem
bali berubah ceria. "Oh ya, Pak Mantri. Terima kasih untuk pinjamanmu ini!" Tangan kanannya setengah dilambaikan, memperlihatkan uang kertas lima puluh ribuan yang terjepit di antara jemarinya. "Kapan sempat. akan kukembalikan!"
"Ah. Lupakan saja," pria yang mantri rumah sakit itu menjawab tersipu. "Tadi juga sudah kubilang, itu bukan pinjaman. Tetapi, Neng Shinta, nonton dan makan malamnya jadi, kan?"
"Terserah yang mengajak saja." Bibir mungil si gaun merah hati kembali mengulas senyum manis. "Aku sih ngikut!"
"Kalau begitu, akan kujemput pukul tujuh nanti!" Dengan gembira sang mantri naik lagi ke kabin depan ambulans. tempat ia melongokkan wajah hahagianya untuk berwanti-wanti, "Hati-hatilah di jalan. Neng Shinta!"
"Terima kasih, Pak Mantri!"
Ambulans pun berlalu menempuh jalan lurus Tuparev. Si gaun merah hati berdiri menunggu di trotoar teraya mengawasi mobil angkutan kota yang bergantian lewat di jalanan. "Nomor berapa tadi mereka bilang" Oh ya...."
Bergumam demikian, ia kemudian melambaikan tangan ke arah angkot yang nomor trayeknya sesuai dengan yang ia inginkan. Setelah ia naik, angkot memberi tanda kemudian meluncur lalu membelok ke kiri setiba di pertigaan jalan.
Pada waktu sama, di kabin depan ambulans.
lamunan sang mantri seketika buyar manakala pengemudi ambulans bertanya dengan setengah
hati, "Kang Mantri yakin dia itu bernama Shinta, dan juga memberi alamat rumahnya yang benar?"
"Apa aku harus meminta dia tunjukan KTP, eh." jawab sang mantri muda, masih setengah melamun. "Kau sendiri tadi dengar, Adang. Dia kehilangan loketnya ketika mengunjungi kerabatnya di rumah sakit!"
"ltu sih oke. Tetapi..."
"Tetapi apa?" "Ah, cuma pikiran iseng, Kang Mantri. Apalagi melihat penampilannya. Dia..."


Manekin Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang dari kalangan berada. Begitu, eh?"
Pengemudi ambulans diam saja. Dan sang mantri rumah sakit pun sibuklah meyakinkan teman seperjalanannya dengan bersemangat.
"Kalau dia orang kaya, Adang, dia tidak akan nekat mencegat lalu memaksa ikut menumpang ambulans ini sewaktu kita tadi meluncur dari rumah sakit. Dia pasti punya mobil sendiri atau tinggal angkat telepon. Minta dijemput. Sesial-sialnya, ya naik taksi. Bayar setiba di rumah!"
"Yang kupikirkan bukan itu. Kang Mantri."
"Lantas?" "Sekali lagi. ini cuma pikiran iseng," Adang mengingatkan sambil membelokkan ambulans ke arah kanan di perempatan jalan. "Dia tadi bilang, rumahnya tak jauh dari kompleks makam. Bagaimana kalau dia tinggalnya justru di dalam kompleks?"
"Maksudmu. dia itu sebenarnya hantu!"
Adang mengangguk. Tanpa komentar.
"Yang benar saja, Adang!" si mantri muda ter
tawa. "Masa iya ada hantu berkeliaran di siang bolong begini!"
"Hantu baheula, memang!" bantah Adang. Bersikeras. "Tetapi di jaman serba canggih ini..."
Adang tidak melanjutkan. Si mantri muda tak pula menanggapi. Ia kembali melamunkan janji kencannya dengan si cantik yang payudaranya sempat ia raba dengan sengaja waktu membantu perempuan itu turun. Payudara di balik gaun merah hati itu memang tidak sehangat yang ia harapkan. Tetapi...
"Hei!" Adang mendadak terpekik.
Sayang, terlambat. Karena makhluk raksasa yang sempat terlihat oleh Adang sudah keburu menerkam ambulans.
Dengan kejam! Di tempat terpisah, angkot yang ditumpangi si gaun merah hati tampak berhenti tak jauh dari pelataran parkir kompleks makam. Setelah membayar ongkos dan menerima kembaliannya. ia kemudian turun lalu berjalan memasuki kompleks tanpa menoleh kiri-kanan.
Suasana kompleks yang sebelumnya diramaikan oleh upacara penguburan almarhum Rendi saat itu sudah kembali sunyi. Tak terlihat siapa pun di sekitar. Kecuali batu atau kayu-kayu nisan yang tegak diam menatap kedatangan sang tamu menawan yang melangkah tenang namun tampak sedikit kaku di sepanjang jalan pemisah petak-petak kubur. Namun begitu, jelas terlihat langkah kaki itu terarah.
Tidak sekali pun berhenti atau ragu-ragu. Penanda langkah itu tahu betul arah yang dituju.
Dan, itulah dia kuburan Rendi.
Bau gundukan tanahnya tercium masih segar. Bercampur dengan aroma wangi dari taburan bunga rampai yang juga masih segar karena terlindung dari terik matahari oleh timbunan daun pohon di atasnya.
Tegak diam sejenak dengan wajah membeku, si gaun merah hati kemudian duduk bersimpuh di tanah. Merenungi sesaat kayu nisan di kepala kuburan, perhatiannya lalu dicurahkan pada gundukan tanah bertabur bunga rampai di hadapannya. Diam lagi, merenung. Dengan tarikan wajah serta bibir mungilnya tampak getir.
Saat berikutnya, barulah bibir mungil itu membuka dan berbicara dengan suara lirih dan terdengar sayup. "Panggilan jiwamu terus kudengar, Kekasih. Tenteramkan hatimu. Dan yakinlah... kita akan tetap menyatu padu!"
Tak ada uraian air mata. Karena memang tidak perlu.
Yang ada hanyalah proses yang kemudian terjadi selagi si gaun merah hati duduk diam bergeming. Proses itu berlangsung cepat dan hanya tampak samar-samar saja. Dimulai dari garis-garis kulit punggung jemari tangan yang tampak saling merapat satu sama lain sampai garis-garis tersebut melenyap. Dan jemari lentiknya dengan cepat sudah mengeras dalam kebekuan yang benar-benar tampak kaku.
Proses yang sama kemudian menyusul pada garis garis leher, lalu tarikan kulit wajah. Terakhir.
bibir. Guratan yang semula getir pada bibir mungil itu, perlahan-lahan membentuk garisan tipis.
Garis senyum, dengan beribu makna.
Tetapi tarikan gerak bibir mungil itu pun dengan cepat sudah berhenti. Diam. dan kaku. Begitu pula dengan kelopak mata. Membuka lebar. memperlihatkan sepasang mata bulatnya yang juga diam membeku. Sebeku tubuhnya yang masih tetap duduk dalam posisi bersimpuh.
Memang tidak seperti posisi sebelumnya ketika masih tersimpan di balik pintu lemari. Tetapi satu hal sudah pasti. Dengan berakhirnya proses tadi, makhluk cantik Inspektur Satu Hadi Saputra sudah kembali menjadi diri sendiri.
Sang manekin atau si boneka pop.
*** Meledak jugalah akhirnya emosi Bursok yang sering dibiarkan terpendam itu.
Dihadapkan pada kasus berat apalagi rumit. biasanya ia lebih suka diam berpikir ketimbang ribut tidak keruan. Tetapi hari itu mendadak seisi kantor satuan serse dibuat gempar. Hampir sepanjang siang sampai tibanya sore, dari ruang kerja sang komandan terus-menerus terdengar suara menyenggak-nyenggak. Bahkan terkadang disertai suara meja yang digebrak penuh kemarahan.
Siapa saja anggota yang datang untuk melapor atau karena dipanggil, sudah lebih dulu tegang sebelum mengetuk pintu. Keluarnya, wajah mereka pasti tampak pucat pasi lantas bekerja kalang kabut atau sibuk mencari kontak dengan pesawat HT masing-masing. Ada pula di antaranya yang ganti menyenggak orang lain, terutama wartawan!
Cuma Hadi Saputra seorang yang tetap tenang.
Inspektur Satu Polisi kelahiran Rawabelong di wilayah selatan Bandung itu tahu betul siapa dan
mengapa komandan mereka meledak-ledak. Penyebabnya bukanlah dikarenakan serbuan para wartawan media cetak maupun elektronik itu yang karena ada bocoran. ribut keluar-masuk untuk menuntut jawaban yang pasti. Sang komandan. seperti biasa, masih bisa menahan emosi. Hanya ketenangannya saja yang tampak sedikit terganggu manakala salah seorang dari gerombolan nyamuk pers situ tidak bisa menjaga mulut.
Didorong keluar dengan paksa dari ruang komandan, wartawan dari salah satu TV swasta itu rupanya merasa diusir. Lantas mengancam akan memboikot pemberitaan dari satuan reserse, khususnya sang komandan. Rekan-rekannya langsung pada bersorak, mendukung .
Mendengar itu, sang Ajun Komisaris pun bangkit dari kursinya. Tangannya diangkat. sambil berkara lantang. "Oke. Aku akan membuka kartu!"
Wajah sang komandan tampak seperti orang yang mengalah. Gerombolan nyamuk pers itu merasa telah meraih kemenangan lantas menghentikan keributan mereka. Suasana yang semula bak di pasar pagi dengan cepat berubah menjadi tenang.
Dan diam-diam, Hadi Saputra tersenyum.
"Memang benar. barang bukti yang hilang dari rumah sakit itu adalah sebuah boneka pop!" Komandannya kembali membuka mulut. Tampak salah satu alat perekam yang disorongkan terlalu dekat-nyaris seperti akan tertelan masuk ke mulut sang komandan.
Secara halus Hadi Saputra menjauhkan perekam dimaksud dengan tangannya, sambil tetap terse
nyum. Sementara komandannya meneruskan pembicaraan.
"Tetapi sebelum kulanjutkan, lebih dulu marilah kita buat kesepakatan. Aku minta, informasi maupun bocoran yang telah dan akan kalian dapat baik dari rumah sakit atau pun dari kami. supaya dianggap berstatus of the record. Sampai benda terkutuk itu kami temukan kembali!"
Ribut lagi, tentu saja. Namun urusan dengan gerombolan nyamuk pers itu toh terselesaikan dengan baik. Pemuatan atau penayangan berita dengan terpaksa harus ditunda. Senjata sang komandan sederhana saja: jangan sampai masyarakat luas dibuat terguncang!
Yang sempat terguncang adalah Hadi Saputra. ltu dikarenakan makhluk cantiknya disebut benda terkutuk oleh sang komandan. Ia ingin memprotes.
Tetapi Bursok Sembiring" Nanti dulu!
Berdiri diam mengawasi sang komandan yang mondar-mandir dengan wajah masih memerah setelah membuat seorang anggota mereka minggat ketakutan, pikiran Hadi Saputra terus saja berputar. Bukan para wartawan itu! Bukan pula karena sang manekin konon mendadak hidup. berbicara, dan hebatnya lagi. berkeliaran ke mana-mana!
Untuk seorang Bursok Sembiring. pikir sang inspektur, itu bukanlah hal yang luar biasa. Dan tidak akan membuat komandannya heboh lantas darah tingginya naik. terus kumat.
"Di tempat kelahiranku. Hadi. di kaki gunung Sibolangit sana.." komandannya itu bercerita sewaktu subuh tadi mereka berdua meninggalkan
TKP, "Aku sudah terbiasa mendengar atau menyaksikan bagaimana benda mati mampu bergerak sendiri. Tentu saja, ada orang punya ilmu di belakang bergeraknya benda-benda tersebut!"
Biasa. Dan Hadi Saputra tidak tertarik untuk menanggapinya.
"Tetapi, Hadi, aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana sesosok mayat yang sudah diturunkan ke liang lahat tiba-tiba melompat bangkit dari kuburannya, lantas sibuk mendatangi rumah demi rumah kaum kerabat. Hanya untuk mencari gigi emasnya yang dicuri pada waktu jenazahnya sedang dimandikan!"
Yang itu. luar biasa. Hadi Saputra bukan hanya tertarik. malah kemudian mendesak, karena komandannya berdiam diri cukup lama sambil tampak berpikir-pikir. "Terus. Komandan?"
"Setelah pencurinya ketemu dan mengaku, mayat itu meminta dan memasang kembali gigi palsu kebanggaannya. Terus pulang sendiri ke liang lahat. Rebah diam. Siap untuk ditimbuni tanah!"
Sempat tercengang, Hadi Saputra kemudian bertanya ingin tahu, "Dan tak pernah bangkit lagi?"
Komandannya mengangguk. Diam lagi, berpikir. Lantas menggeleng geleng. Murung. "Mungkin kenangan lama itulah yang membuat feeling-ku tibatiba muncul bcgitu saja...."
"Mengenai apa Komandan?"
"Bahwa jejak sepatu boneka di jalur berdarah, juga noda di sudut bibirnya, bukanlah rekayasa tersangka pelaku. Melainkan. terjadi dengan sendirinya. Oleh perilaku si boneka pop!"
Tidaklah mengherankan bila kemudian komandannya itu ikut terjun mengusut dan menginterogasi para saksi mata di rumah sakit, setelah boneka ajaib itu diketahui belum atau boleh jadi tidak akan pernah pulang ke TKP. Setelah mereka yang lain gagal. tentu saja tanpa memberitahu yang dicari adalah sebuah boneka pop, sang Ajun Komisaris pulalah yang ternyata menemukan titik terang. Dari seorang penjual rokok yang mangkal di perempatan jalan tak jauh dari pintu gerbang keluar-masuk bagian emergency.
"Bergaun merah hati?"
"Ya!" "Rambutnya sebatas tengkuk?"
"Ya. Betul. Betul!"
"Oh. Si cantik lagi sexy itu saya lihat mencegat sebuah ambulans. Dan..."
Dan titik tentng itu mendadak berubah gelap gulita. Penyebabnya sederhana saja: pengemudi yang mengantuk berat!
Bukan si pengemudi ambulans yang kemudian diketahui bernama Adang. Melainkan pengemudi truk peti kemas yang sedang dalam perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta. Terlelap sekilas di jalan Tuparev. si pengemudi tak menyadari truknya tibatiba melenceng ke jalur berlawanan.
Mungkin saking tiba-tibanya, Adang sangat terkejut dan tak keburu menghindar. Ambulans yang dibawanya terseret sekian belas meter dalam keadaan ringsek berat, sampai kemudian pengemudi truk berhasil juga menggenjot rem. Adang mati seketika. Pria muda yang mantri rumah sakit, nyawanya ma
sih sempat tertolong. Tetapi ia dalam keadaan luka berat serta koma pula. Tak diketahui kapan bisa bangun untuk ditanyai mereka apakan makhluk cantiknya Hadi Saputra!
Dan magma terpendam di kepundan sang Ajun Komisaris pun mulai mengalir keluar. Lantas meledak.
"lptu Hadi"!"
Hadi Saputra tersentak. kaget. Dengan lamunan yang ikut buyar. ia mencari-cari dengan matanya. Dan menemukan sang komandan sudah duduk di belakang meja kerja, tampak sudah lebih tenang. namun sambil mengawasi Hadi Saputra dengan sorot mata elangnya yang tajam menusuk.
Sang Inspektur Satu pun seketika mengerakkan tumit sepatunya ke permukaan lantai yang keras. dan menyahuti, sama kerasnya, "Siap, Komandan!"
Bursok tidak tersenyum. Juga tidak mengedip. "Memikirkan sesuatu. Hadi?"
Kembali menyebut nama. Tetapi Hadi Saputra tidak mau mengambil risiko, lantas menyahuti dengan sikap sebagaimana harusnya ia bersikap dan menangggapi.
"Siap, Komandan. Benar, Komandan!"
"Nah?" Tanpa mengubah posisi tegak maupun sikap menyalutnya, Hadi Saputra menghela napas. Plus. sedikit menelan ludah. Sempat lupa, akhirnya ia ingat juga apa yang terpikirkan manakala anak buahnya datang bergantian untuk pergi dengan wajah pucat pasi.
Menurut saya, komandan," ia berkata hati-hati, "makhluk antik itu sudah waktunya kita temui!" Bursok pun mengemyitkan dahi. "Tetapi?"
Hadi Saputra cepat memperbaiki, "Maksud saya, makhluk yang satunya lagi" kembaran si boneka !' Diam menatap, Bursok mendadak tersenyum.
"Tahukah kau. Hadi?" ia berkata dengan sinar mata yang tampak bergairah. "Kau tiba-tiba membuatku berpikir. Bagaimana kalau nanti setiba di sana... kita telanjangi dia bersama-sama!"
Hadi Saputra mengerjap, terkejut. Komandannya" Punya pikiran sebejat itu"
"Bukan apa-apa!" Bursok cepat menjelaskan. "Sekadar melihat apakah pinggang kirinya dipasangi sakelar atau stop kontak!"
BISA saja terjadi ada petunjuk yang terlewatkan sehingga rumah TKP perlu disegel selama waktu tertentu supaya petunjuk yang terlewatkan itu tidak keburu diusik atau dihilangkan oleh mereka yang tidak berkepentingan. Tetapi polisi ternyata tidak usah repot-repot meminta izin penyegelan dari sang ahli waris.
"Tidur dan berkeliaran di tempat Rendi-ku mati terbunuh?" Rinda mengerang sakit, di telepon. "Tidak! Silakan saja kalian tutup dan kunci selama kalian inginkan!"
lalu Rinda memberitahu. bahwa ia dan suaminya memutuskan untuk menginap di hotel sampai tiba waktunya untuk pulang ke Jakarta. Dan kesanalah Bursok bersama tangan kanannya. Hadi Saputra, datang berkunjung selepas waktu lsya. Pintu kamar yang mereka tempati dibukakan oleh Rinda sendiri. Wajah serta bibir mungilnya tampak lebih segar, meski dirias seadanya saja. Hanya sepa
sang mata bulatnya yang tampak terbuka lebar, jelas terlihat masih menyimpan dukacita yang dalam.
Selagi si cantik rupawan itu mempersilakan kedua orang tamunya duduk lalu menawarkan minuman yang ditolak secara halus oleh Bursok.suaminya keluar dari kamar kecil lantas ikut bergabung. Tak ada basa-basi selain menanyakan kabar dan kesehatan masing-masing. Karena begitu mereka semua duduk. Rinda langsung memulai.
"Silakan bertanya apa saja. Komandan. Saya siap menjawab!"
Satu nilai tambah untukmu, Cantik. Bursok membatin senang. Dan di mulut ia mengimbangi. langsung ke masalah, "Dini hari tadi, Bu Rinda. suami Anda menceritakan pada kami tentang seseorang... yang katakanlah. seperti kembaran Anda. Apakah ceritanya itu benar?"
Meluruskan duduknya dengan wajah berubah kaku sewaktu mendengar pertanyaan itu. Rinda kemudian menjawab dengan anggukan kepala. Sementara mata bulatnya umpak menatap tegang.
Bursok melanjutkan pertanyaannya. "Pernah melihatnya lagi" Maksudku selama beberapa jam rerakhir. Kira-kira setelah pukul satu siang!"
"Sekitar jam itu, Komandan," Rinda menjawab dengan cepat, "kita bertemu dan masih di pemakaman Rendi, saudara kembar saya!"
"Sepulang dari sana, pernah melihatnya."
"Tidak!" "Sampai detik ini?"
"Sampai detik ini!" Rinda mengulangi. Tegas.
Bursok beralih pada Prasetyo. "Bagaimana dengan Anda?"
Prasetyo menatap tamunya sejenak. Bingung. lalu, "Semenjak kalian minta saya melihat isi lemari itu..." tampak tersadar, Prasetyo cepat berhenti. Tetapi dengan cepat meneruskan, "Tidak. Saya tidak pernah lagi melihatnya. Sampai detik ini. Mengapa itu Anda tanyakan?"
Sebelum Busrok sempat menjawab, Rinda sudah mendahului. Sambil menatap bergantian dari Bursok ke suaminya. "Aneh. Bukankah yang melihat hanya aku seorang, Mas Pras?" katanya. Curiga. "Dan apa maksudmu dengan isi lemari?"
Yang dibuat kaget oleh pertanyaan itu bukan cuma Prasetyo tetapi juga Bursok. Mereka telah membuat kesepakatan setelah Prasetyo melihat boneka pop di dalam lemari. Dan Bursok Sembiring bukan orang Sibolangit jika tidak teguh memegang janji.
Maka, selagi sang suami dibuat gelisah oleh pertanyaan istrinya, Bursok meraea wajib untuk tampil sebagai penyelamat. "Hanya beberapa barang bukti, Bu Rinda. Yang tidak ikut dicuri. Kami meminta bantuan suamimu untuk mengklarifikasi. Itu saja!"
Seketika, Prasetyo menatap Bur-sok dengan pandangan berterima kasih. Hadi Saputra yang sempat berhenti mencatat di buku notesnya diam-diam tersenyum. Bangga pada Komandannya. Namun belum berarti mereka bertiga boleh menarik napas lega, karena orang keempat. Rinda. sudah kembali menyerang. Masih tetap curiga. Kali ini kecurigaannya diarahkan pada Bursok. "Tetapi. suami saya tidak
tahu-menahu mengenai wajah lain... yang sangat mirip dengan saya. Dan..."
"Justru itu!" Bursok cepat sekali sudah memasang kuda-kuda, dan mengambil dua keuntungan sekaligus. Pertama, menjawab pertanyaan sang suami. Dan kedua. mengelakkan serangan tak terduga dari sang istri. "Barang bukti yang ada di dalam lemari itu. tadi siang lenyap secara misterius. Kami masih terus melacak keberadaannya. Namun yang pasti, barang bukti tersebut sangat dekat kaitannya dengan apa yang Bu Rinda lihat dalam mimpi. Mimpi yang menurutku, tak kurang misterius!"
"Apa yang saya alami. Komandan!" katanya tegas, setengah marah, "Adalah sesuatu yang nyata. Bukan sekadar mimpi, betapa pun buruknya. Juga bukan halusinasi. sebagaimana dikatakan oleh suami saya!"
Kemarahan nyonya rumah diterima Bursok dengan lapang dada. Tak apa, pikirnya. Yang penting Rinda sudah melupakan kecurigaannya. Dan kesempatan itu dimanfaatkan Bursok sebaik-baiknya.
"Menyangkut hal itulah antara lain mengapa kami datang menemui Anda berdua," ujarnya. Tenang, dengan perasaan yang juga mendadak nyaman. "Jelasnya. untuk mengklarifikasi informasi sekilas-sekilas yang baru hanya kami dengar dari suami ibu saja!"
Rinda diam. Menunggu. "Baiklah," Bursok kembali pada sikap resminya. Kembali pada rutinitas. "Kita awali saja dengan pertanyaan ini"." Diam sesaat sambil menatap serius,
Bursok meneruskan. "Apakah Bu Rinda memiliki kemampuan supranatural?"
Prasetyo seketika menghela napas. Wajahnya berubah murung.
"Saya tidak tahu malah tidak percaya saya punya kemampuan itu." sang istri menjawab disertai gelengan kepala. Untuk lebih meyakinkan kebenaran ucapannya. terutama pada diri sendiri. "Karena terus terang baru kemarin malam itu saya mengalaminya. Sebelumnya tidak pernah. Dan jangan sampai terjadi lagi, saya harap!"
"Bagaimana dengan darah keturunan. Bu Rinda" Tidak supranatural. paranormal, atau katakanlah dukun..."
Rinda kembali menggeleng. Yakin. "Setahu maupun seingat saya. tidak ada!"
"Hm!" Bursok mengusap dagunya. Sekadar mengusap. sambil berpikir-pikir. "Selain memang tidak enak untuk mengalaminya, juga karena agak muskil. Tetapi, baiklah. Kita abaikan dulu apakah lbu punya kemampuan supranatural atau tidak. Mari kita kembalikan saja pada apa yang telah ibu alami kemarin malam?"
Hadi Saputra cepat membuka lembaran nota-nya yang kosong ketika Bursok memulai. "Mari kita langsung saja, Bu Rinda. Setelah memadamkan TV dan suamimu masuk ke ruang kerjanya. apa yang ibu sendiri lakukan?"
"Saya lebih dulu menyuruh Inah, pelayan kami, memeriksa apakah semua pintu dan jendela sudah terkunci. Lalu masuk ke kamar tidur...?"
"Terus?" Bursok mendesak karena nyonya rumah sempat diam dan tampak ragu-ragu.
"Entahlah," jawab Rinda. Dengan punggung lebih tegak, kaku. Dan wajah yang mulai dirambati ketegangan. "Selain kacau, semuanya begitu aneh dan menakutkan. Saya... sedang membaca novel ketika pikiran bahkan jiwa saya tiba-tiba sudah ada di tempat lain. Saya... mendengar jeritan-jeritan histeris. Jerit kemarahan...!"
"Jeritan siapa?"
"ltulah yang aneh. Karena yang saya dengar sepertinya jeritan hati saya sendiri!"
"Apa yang ibu jeritkan?"
Agak lambat. barulah Rinda menirukan. Dengan napas tampak sesak. "Kalian telah membunuhnya. Kalian telah membunuhnya"l"
"Membunuh Rendi?"
'Benar. Membunuh Rendi-ku!"
Ekor mata Bursok menangkap tatapan sedih di mata Prasetyo. Berpikir-pikir sejenak, ia meneruskan. "Hm. Tadi Ibu bilang 'kalian'. Itu berarti tersangka pelaku lebih dari satu orang?"
Rinda manggut-manggut. Cepat dan kaku, juga semakin tegang.
"Berapa orang?"
"Saya... tidak tahu pasti. Tetapi sebelum jeritanjeritan histeris saya itu... saya mendengar suarasuara. Suara percakapan yang tak begitu jelas. Karena... terdengarnya sangat jauh!"
"Ada berapa suara?"
"Kalau tak salah... tiga."
'siapa saja." "Pertama. tentu saja Rendi. Yang kedua. tidak begitu jelas. Karena suaranya rendah. Juga jarang berbicara...!"
"Dan yang ketiga?"
"Suara orang yang kemudian... mendatangi saya. Berbicara dengan saya. Malah kemudian...." Wajah Rinda tampak memucat. Bukan oleh ketakutan. tetapi kemarahan. Hal itu terlihat dari sinar matanya yang berapi-api. Juga suaranya yang kemudian terdengar gemetar oleh kemarahan "...Mencium bibir saya!"
Prasetyo mengangkat muka. terkejut. Namun begitu melihat tubuh istrinya gemetar semakin hebat-dcngan wajah mulai diperciki peluh pula-ia cepat beringsut. Mendekatkan duduknya untuk dapat memegangi lalu mengusap-usap tangan sang istri.
"Sudahlah, Ririn. Jangan diingat-ingat lagi. Semuanya sudah berlalu. Dan..."
"Teruskanlah saja. Bu Rinda!" Bursok cepat menyela. Tegas, dan tanpa kompromi.
Prasetyo menoleh, tak senang. Mulutnya sudah terbuka untuk memprotes. Tetapi secepat membuka, secepat itu pula mulutnya sudah dikatupkan kembali. Karena sepasang mata elang Bursok sudah keburu menyambar, mencabik-cabik dan membuat Prasetyo seketika bagaikan lumpuh. Tak berdaya.
Bursok kembali mengalihkan perhatiannya pada Rinda. yang mata bulatnya tampak bergerak-gerak. Liar. "Apa yang kemudian terjadi?"
Gemetar hebat, yang ditanya menyahuti terse
ngal-sengal, "Dia tiba-tiba marah. Lalu menjatuhkan saya dengan kasar. Membuat kepala saya... terpenggal!"
Mendengar itu, Burwk tibatiba terdiam. Dengan wajah membeku. Lain halnya dengan Hadi Saputra. Terhenti menulis saking kaget, sang lptu cepat bertanya dengan suara setengah tersedak.
"terpenggal" Bagaimana mungkin.?""
Tanpa berpaling dari nyonya rumah mereka, Bursok cepat menangggapi dengan suara datar. "Karena, lnspekrur, yang dijatuhkan oleh tersangka pelaku adalah..."
Di bibir Bursok sudah menggantung dua perkataan: boneka pop. Namun karena sudah ada kesepakatan dengan sang suami yang jadi tuan rumah mereka, dua perkataan itu cepat ia ganti dengan yang lain. Hanya satu kata. tetapi pas dan bisa diterima semua pihak.
"...Kembaran Bu Rinda!"
Hadi Saputra diam-diam menyesal telah bertanya lalu kembali sibuk dengan notes serta bolpoinnya. Dan dari kursi yang ia duduki. Prasetyo diam menatap wajah sang Ajun Komisaris. Pandang tak senangnya sudah melenyap, digantikan oleh pandangan berterima kasih... untuk yang kedua kali!
Bursok tidak memperhatikan.
Ia sedang berpikir. Sedemikian kerasnya sehingga pangkal kedua alis matanya yang tebal serta membentuk bilah golok itu, tampak hampir bertaut satu sama lain. Dan selagi ia diam berpikir, suasana kamar mendadak berubah sunyi. Tak terdengar apaapa kecuali desah napas nyonya rumah yang terse
ngal-sengal, setengah sesak. Tetapi lambat laun, suara napas itu terdengar lebih tenang setelah sang suami kembali mengusap-usap tangan, bahkan kemudian merangkul pundak sang istri dengan sikap melindungi.
Bursok-lah yang akhirnya memecah kesunyian yang menekan itu. Sinar matanya tampak bergairah ketika ia berbicara dengan hati-hati. "Setelah kepala Ibu... maksudku, kepala sosok wanita yang sangat mirip dengan Ibu itu terpenggal. Apa, kemudian?"
"Tidak ada apa-apa lagi," jawab yang ditanya. Tenang.
"Tidak?" Rinda manggut-manggut. memastikan. "Begitu kepalanya-dan saya merasa seolah-olah kepala saya sendiri yang terpenggal-saya langsung terjaga. Oleh suami saya yang menyadarkan bahwa leher saya masih utuh. Dan dia ada bersama saya di kamar tidur rumah kami sendiri. Bukan di tempat lain!"
Gairah di mata Bursok sudah melenyap perlahan-lahan. Diam merenung, ia kemudian membuka mulut lagi. Masih dengan hati-hati.
"Sekarang, Bu Rinda, tolong dipikirkan dengan tenang dan Ibu mengingat-ingat lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan berikut. Karena jawaban lbu boleh jadi akan sangat membantu... atau malah sebaliknya justru mengacaukan pengusutan kami untuk mengetahui siapa para tersangka pembunuh saudara kembar Ibu. Khususnya yang mendatangi
dan berbicara dengan Bu Rinda. Dapat dipahami?"
Nyonya rumah diam sejenak. Tampak mengingat ingat. lalu menganggukkan kepala.
"Bisa menggambarkan ciri-ciri orangnya" Postur dan yang terutama tentunya profil!"
"Dia hanya terlihat samar-samar. Tetapi, yah" saya kira bisa!"
"Yakin?" Rinda kembali manggut-manggut. "Dia berbicara dengan saya cukup lama juga. Komandan. Berbicara sendiri, tentunya. Karena entah mengapa, saya merasa lidah saya bukan cuma kelu tetapi juga terasa keras dan kaku untuk melayani pembicaraannya!"
"Mengenai itu akan kita bahas lain kali!" Bursok memberitahu. "Yang penting, bersediakah Bu Rinda datang besok siang ke kantor kami?"
"Untuk?" "Melukiskan orang yang lbu lihat pada juru gambar kami di bagian identifikasi!"
"Dengan senang hati. Komandan. Kapan saja dipanggil. saya siap untuk datang!"
"Terima kasih. Waktunya nanti akan kami beritahu lewat telepon," Bursok menjawab, lega. Lalu mendadak, seakan tanpa berpikir, ia sudah mengajukan pertanyaan yang mengejutkan. "Mengenai proses kedatangan tersangka pelaku sampai kepala yang terpenggal, apakah terjadinya di ruang makan?"
Untuk pertama kali, sepasang mata bulat itu menatap heran. Bahkan terkesan takjub. "Benar. Bagaimana Anda tahu?"
"Kami ke sini untuk bertanya. Bu Rinda. Bukan
ditanyai!" jawab Bursok. Kalem. Dan cepat melanjutkan. "Apakah di meja makan... di hadapan Bu Rinda, terhidang secangkir teh?"
Sepasang mata bulat itu membuka semakin lebar. Kini. benar-benar takjub. "Sekali lagi. benar..." Bibir mungilnya mendesah. Sama takjubnya. seraya mengamati wajah sang Ajun Komisaris dengan sinar mata diliputi perasaan heran yang tak habis-habis. Hal yang sama terlihat pada wajah maupun mata sang suami.
Kecuali Hadi Saputra. Benar, Hadi Saputra diam-diam juga ikut takjub. namun tidak memperlihatkannya. Ia lebih tertarik untuk menggambarkan di otaknya gerangan apa yang bergejolak di otak sang komandan. Kemudian. ia tahu. Dan itu membuat jantungnya terasa bergetar.
"Selama peristiwa itu berlangsung, Bu Rinda." Bursok melanjutkan kejutannya. "Apakah ada dalam perasaan lbu bahwa teh dihidangkan untuk Ibu, tetapi nantinya akan diminum oleh orang yang menghidangkannya?"
Ketika ia mengangguk, tampak jelas Rinda tidak menyadari bahwa dirinya mengangguk!
"Dan dia meminum teh itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Bu Rinda?"
Tidak lagi anggukan sekarang. Melainkan, tuduhan. 'Jangan-jangan, Komandan, bukan saya. Tetapi Anda sendirilah yang memiliki kemampuan supranatural itu!"
Bursok tidak tersenyum. Hadi Saputra-lah yang tersenyum. Nah, orang Sibolangit! Apa jawabmu sekarang"
Tidak ada. Karena nyonya rumah sudah keburu menambahkan. "Hanya saja, Komandan. apa yang kemudian terjadi dalam peristiwa yang saya lihat, teh itu bukan diminum oleh saudara kembar saya. Melainkan..."
Bursok segera memberi kata penutup. "Oleh orang yang mendatangi Bu Rinda!"
Selagi bibir mungil di hadapan mereka terbuka menganga, si orang Sibolangit cepat menetralisir suasana. "Aku tidak sehebat yang ada dalam pikiran, Bu Rinda. Cuma menduga-duga berdasar fakta serta barang bukti yang kami temukan di TKP. Itu saja kok!"
Mengakhiri penjelasannya dengan kata-kata sederhana itu, Bursok kemudian duduk menyandar di kursinya. Rileks. Lalu tersenyum manis ketika bertanya dengan nada seakan sambil lalu.
"Teringat pada minuman, Bu Rinda. Kalau tak salah Anda tadi menawari kami. bukan?"
*** SAMBIL menunggu datangnya pesanan mereka, barulah berlangsung pembicaraan yang lebih berbau basa-basi dengan sedikit seloroh di sana-sini untuk lebih menyegarkan suasana. Rinda serta suaminya tampak lebih hidup serta bergairah sewaktu ditanya kapan pertama kalinya mereka berkenalan dan siapa yang lebih dulu mengutarakan pernyataan cinta.
Tetapi dasar naluri polisi. begitu melihat ada celah, Bursok langsung menerobos masuk. "Pasti juga sangat menarik, Bu Rinda, bila Anda mau bercerita barang sedikit mengenai apa yang Bu Rinda ketahui tentang almarhum Rendi...!"
Terdiam agak lama. sepasang mata bulat terbuka itu tampak menerawang. Jauh.
"Saya lebih mengganggap sebagai takdir yang tak terelakkan, " ia memulai. Lirih. "Bahwa semenjak kami lahir. bahkan sampai setelah kini dia meninggal... kami selalu dan selamanya akan tetap dekat satu sama lain. Tak terpisahkan!"
Ada sesuatu yang seakan melecut sel-sel otak Bursok. Sekilas cuma.
Bursok tak keburu tahu apa kiranya. Apalagi setelah pikirannya kemudian lebih tercurah untuk memperhatikan apa yang terlihat pada salah satu bagian yang menjadi daya tarik pada wajah cantik si pembicara di hadapannya selain bibir mungilnya.
Di balik sepasang bola mata indah itu membersit berbagai perasaan yang saling berebut muncul. Duka cita. keterharuan, perasaan sedih yang mendekati frustrasi, silih berganti dengan kebanggaan, kegembiraan, serta perasaan bahagia yang jelas tidak terperi!
"Kembali pada pertanyaan Anda. Komandan," Rinda meneruskan. "dan jika Anda ingin tahu seperti apa dia itu, baiklah. Rendi orangnya pendiam. suka menutup diri. Sifatnya itu muncul begitu saja, setelah kedua orangtua kami meninggal...."
Tanpa risi-karena memang sudah tugasnyaHadi Saputra cepat menyela. "Meninggal bagaimana?"
"Kecelakaan lalu lintas," jawab Rinda murung. "Andong yang mereka tumpangi dihantam bus antarkota yang remnya blong...."
"Di mana dan kapan terjadinya?"
"Turen, pinggiran kota Malang, kota kelahiran kami. Musibah itu terjadi sewaktu kami berdua masih duduk di bangku kelas lima SD!"
"Teruskan!" gumam Hadi Saputra. sementara ia sendiri meneruskan catatan di buku notesnya.
Tampak ragu-ragu sejenak karena bingung akan
meneruskan dari mana, sepasang mata bulat Rinda kemudian tampak berbinar-binar.
"Tetapi..." katanya. kembali menerawang, "Yang paling saya ingat dari saudara kembar saya itu, adalah sifat suka berkorbannya. Yang kadang kala bisa membahayakan dirinya sendiri!"
Lebih dulu menceritakan bahwa mereka berdua kemudian tinggal dan diurus oleh paman mereka dari pihak ayah, Rinda lalu memberi contoh pengorbanan Rendi.
"Terus terang." ia berkata sambil tampak malumalu, "sewaktu duduk di bangku kelas satu SMP, saya pernah mencuri!"
Suaminya tersenyum. Bunok tersenyum. Sempat terhenti menulis, Hadi Saputra pun ikut-ikut tersenyum.
Tampak dongkol disenyumi ramai-ramai. Rinda buru-buru menambahkan. "Tetapi itu sekali-sekalinya saya mencuri! Itu pun karena tak tahan. Ingin membeli martabak. Jajanan kesukaan saya!"
Tiga pria di dekatnya bukan lagi tersenyum melainkan tertawa. Geli mendengar alasan Rinda mencuri. Untuk pertama kali selama hampir empat puluh delapan jam terakhir wajah cantik menawan itu tampak kembali ceria. Memang tidak sampai ikut tertawa. Ia hanya sebatas tersenyum. Senyuman malu pula. namun membuat bibir mungilnya tampak sedap dipandang. Malah terkesan lebih sensual. Dan membuat Bursok menatap kagum, begitu pula Hadi Saputra. Sementara sang suami menatap bahagia.
Namun keceriaan di waiah cantik itu perlahan
lahan melenyap ketika menceritakan bagaimana perbuatannya ketahuan oleh sang paman yang kebetulan pemarah karena mengidap darah tinggi. Pas Rinda akan dicambuk dengan sapu lidi, Rendi cepat berlari dan tegak di hadapan saudaranya sambil berkata pada sang paman.
"Dia tak bersalah. Aku yang menyuruh dan memaksanya mengambil uang itu dari lemari pakaian Bibi!"
Akibatnya jelas. Disaksikan oleh bibi mereka yang ikut marah, Rendi pun dicambuki dengan sapu lidi. Rinda yang keburu ngepet melihat sapu lidi dan ngeri jika dicambuk, lari ke dapur tempat ia menangis ketakutan tanpa punya keberanian mengakui kesalahannya.
Sewaktu masuk kamar tidur dan mengolesi salep ke punggung saudaranya yang meringis-ringis mcnahan perih. Rinda kembali menangis sambil menyatakan penyesalannya karena telah bersikap pengecut. Saudaranya seketika berhenti meringis. Dan Rinda ingat betul apa yang waktu itu diucapkan oleh Rendi sambil merangkulnya erat-erat.
"Kau bersalah atau tidak. Ririn, tak akan kubiarkan siapa pun menyiksa apalagi melukai dirimu!"
Rendi kemudian mengingatkan agar mereka berdua tidak berbalik marah atau benci pada sang paman maupun sang bibi. "Benar kita langka diberi uang jajan atau dijajanin. Tetapi itu dikarenakan Paman bermaksud mengajari kita supaya bisa berhemat. Bukan berarti dia pelit!"
Lalu Rendi mengingatkan tentang Kuntoro, sau
dara sepupu mereka. Walau Kuntoro anak satu-satunya. ia tidak dimanjakan. Tidak pula dibeda-beda oleh paman maupun bibi mereka. Kuntoro diberi jajan, Rinda dan Rendi juga diberi. Apa yang dimakan Kuntoro. juga dimakan oleh mereka berdua.
"Jangan kuatir," Rendi kemudian berkata menghibur, "Nanti kau, bahkan juga Kuntoro. akan kuberikan uang jajan. Sepulang sekolah, aku akan ikut teman menyemir sepatu di terminal!"
Rendi memenuhi janjinya. Sang paman tidak pula melarang, kecuali memberi syarat.
"Kau harus berhenti menyemir sepatu. begitu nanti kulihat ada warna merah di rapor sekolahmu!"
Maka sepulang sekolah dan menyemir sepatu di terminal. Rendi pun belajar sampai larut malam. bahkan sering sampai datang subuh. Kurang tidur" "Tidak," katanya. "Bila ada waktu kosong. aku bisa rebahan di bangku atau di emper terminal. Suka nyenyak lagi!"
Yang pasti, Rinda langsung kapok mencuri. Bukan karena Rendi rerpaksa jungkir balik cari uang jajan mereka. Tetapi karena Rinda tak pernah lupa bagaimana Rendi dicambuki tanpa sekali pun mengeluh, demi menyelamatkan kulit halus punggung Rinda.
Sialnya, Kuntoro-lah yang kemudian mulai rajin mencuri uang atau perhiasan orangtuanya karena Kuntoro diam-diam mulai pacaran. gonta-ganti pula. Untuk mentraktir pacar-pacarnya, Kuntoro perlu banyak uang. Orangtua tidak memberi, semen
rara pemberian Rendi. menurut Kuntoro: jangankan untuk dimakan, digigit pun tak terasa!
Hebat dan pintarnya Kuntoro, ia baru mencuri kalau tahu Rendi lagi panen semiran sepatu dan pulang membawa uang lebih banyak dari biasa. Paman serta bibi mereka yang sama-sama bekerja dan jarang mengetahui keadaan di rumah, tak pelak lagi menjatuhkan tudingan ke alamat Rendi. yang "sekali lancung ke ujian seumur hidup tak diperaya."
Maka. lagi dan lagi Rendi kembali dicambuki atau dipukuli. Tanpa pernah mengeluh, maupun membuka mulut, tak peduli kulit punggung atau betisnya lecet berdarah. Bahkan pernah bibirnya sampai luka dan salah satu giginya tanggal ditinju sang paman.
"Tak apa, Ririn," katanya pada Rinda yang tak tahan melihat saudara kembarnya menderita dan ingin membuka rahasia. "Biarkan saja. Mari kita anggap sebagai balas budi. karena orangtua Kuntoro-lah yang menghidupi serta menyekolahkan kita!"
"Sebentar, Bu," Hadi Saputra tiba-tiba menyela di tengah kesunyian yang merambat sewaktu Rinda terdiam cukup lama karena terpengaruh gejolak masa lalu saudaranya yang begitu pahit dan menyedihkan. "Apakah maksudnya gigi seri almarhum yang sebelah kiri?"
Tersentak dari lamunannya. Rinda mengangguk perlahan. "Benar. Mengapa Anda tanya, lnspektur?"
"Oh, bukan apa-apa!" jawab Hadi Saputra. Kalem. "Cuma untuk menguatkan hasil identifikasi yang kami peroleh dari pemeriksaan mayat!"
Mayat! Terlambat mencegah, Bursok cuma bisa mendeIik pada orang kepercayaannya itu yang seketika tampak menyesali ucapannya. Usaha yang sia-sia. Karena nyonya rumah mereka sudah keburu terlihat meluruskan punggung. Dan wajah cantiknya kembali pucat, membeku.
Bursok mendeham. Lalu menetralisir situasi dengan berkata pada nyonya rumah mereka dengan nada lembut, bersimpati.
"Kita harapkan saja amal ibadah saudara kembar Bu Rinda di terima oleh Yang Maha Kuasa!" katanya. Mendeham lagi, ia cepat meneruskan, "Masih ada hal lain yang Anda ingat mengenai diri Almarhum?"
Rinda menghela napas panjang, berusaha mengusai diri. Namun toh wajah cantiknya tetap tampak membeku sewaktu menjawab. "Banyak, Komandan. Banyak sekali. Akan menghabiskan waktu berhari-hari untuk menceritakan semuanya!"
"Aku percaya. Tetapi mari kita sederhanakan saja." Bursok ikut-ikutan menghela napas, lalu kembali pada rutinitas polisi pengusut. "Seberapa dekat hubungan Anda dengan almarhum Rendi?"
Seketika Prasetyo mengangkat muka dan langsung memprotes. Tak senang. "Patutkah pertanyaan itu. Komandan" Sebagai dua orang bersaudara kembar, tentu saja hubungan mereka..."
"...sangat dekat!"
Kali ini tak perlu mata elang harus menyambar. Karena protes keras Prasetyo langsung dihentikan oleh suara istrinya. Yang dengan wajah datar dan mata bulatnya kembali menerawang. melanjutkan cegatannya. Lirih, nyaris seperti berbisik.
"Dekat sekali, Komandan. Boleh saya bilang. sedekat kuku dengan daging jari tempatnya tertanam!"
Selagi Prasetyo berusaha menahan marahnya lantas kemudian duduk gelisah-bagai menduduki bara api-Bursok sudah menembakkan peluru berikutnya. "Mengutip kalimat suami Bu Rinda tadi, apakah kedekatannya, sebatas hubungan bersaudara kembar?"
Bahkan Hadi Saputra sempat terhenti menulis. Lantas menatap komandannya dengan pandangan tak percaya. Tetapi merasa dirinya tidak punya wewenang menegur, sang lptu hanya mampu mengatupkan mulut. Sangat rapat. bahkan giginya terdengar bergemeletuk sebagai isyarat dari kemarahannya yang terpaksa ditelan dalam-dalam.
Akan tetapi, sang istri! Rinda tetap tenang. Malah di mata Hadi Saputra. luar biasa tegar. Dan ia sedikit pun tidak percaya ketegaran nyonya rumah mereka itu berkat pengaruh suntikan atau obat penenang.
Tersenyum misterius-ah. seperti senyuman sang manekin di balik pintu lemari-Rinda berkata datar ke alamat Bursok. "Anda bilang tadi, disederhanakan. Bukankah begitu, Komandan?"
Yang ditanya bergeming. Juga-seperti biasa-ti
dak memperlihatkan emosi apa-apa pada raut wajahnya.
'Supaya lebih sederhana, biarlah cerita saya akan saya ringkas saja..." Rinda meneruskan. "Dari situ nanti, silakan Anda menafsirkan sendiri. Itu bila Anda masih punya waktu untuk mendengar!"
"Untuk orang seperti Bu Rinda," Bursok menjawab tenang. "waktuku selalu tersedia!"
Ringkasnya, meski sudah mengencangkan ikat pinggang sedemikian rupa toh paman serta bibi mereka bangkrut juga. Gara'garanya, pasar Turen lama tempat mereka membuka usaha ludes dilalap si jago merah, Konon diakibatkan ledakan tabung gas di salah satu kios nasi. Yang jelas, Pemda setempat melarang pasar lama yang sudah rata dengan tanah itu untuk dipergunakan kembali oleh para pedagang yang semua kiosnya terbakar. Alasan Pemda cukup kuat. Pasar lama itu jauh-jauh hari sudah direncanakan akan dibongkar lalu di situ akan dibangun pusat perkantoran pemerintah. Walau di belakang hari' toh nyatanya yang dibangun adalah pasar swalayan, plus tempat hiburan yang serba megah.
Memang ada ganti rugi dari pihak asuransi. Namun jumlah yang diterima oleh paman mereka, jangankan untuk modal usaha, untuk membeli sepetak kios kosong di pasar Turen baru pun tidak mencukupi. Yang lebih menyedihkan lagi, barulah setelah musibah itu terjadi si kembar Rendi dan Rinda diberitahu. Bahwa hasil penjualan rumah dan tanah peninggalan orangtua mereka sejak awal sudah dijadikan tambahan modal usaha oleh sang


Manekin Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman, yang rencananya akan dikembalikan setelah dua bersaudara itu menginjak usia dewasa atau menikah.
Rinda terpukul berat mendengarnya.
Tidak dengan Rendi. "Tak apa, Paman. Kami tahu Paman bermaksud baik dan yakin Paman tetap berniat untuk mengembalikannya!"
"Tetapi, Rendi. Dengan kebakaran itu?"
"Sudahlah. Yang penting, paman serta bibi selamat. Tidak ikut terbakar, bukan?" petong Rendi. setengah berseloroh. "Lagi, siapa pula yang ingin musibah menimpa. Jadi soal uang warisan kami, Paman kembalikan saja kapan Paman sudah bangkit dan mampu. Mau sekaligus, terserah. Dicicil pun silakan!"
Paman serta bibi mereka hanya bisa menangis. Lalu mengajak Rendi dan Rinda untuk ikut hijrah ke kampung asal sang bibi di Bengkulu. yakin di sana mereka bisa membuka usaha dengan modal penjualan rumah yang mereka tempati, plus uang ganti rugi dari asuransi.
Sadar bahwa paman serta bibi mereka hijrah lebih disebabkan oleh perasaan frustrasi, Rendi menolak ajakan itu. "Kami di Turen ini saja, Paman. Soalnya tanggung. Tiga bulan ke depan, kami berdua akan menempuh ujian akhir!"
itu benar. Ujian akhir SMA. Dan keluarga paman mereka pun minggat ke Bengkulu dengan meninggalkan sedikit uang untuk biaya hidup sehari-hari, ditambah uang untuk menyewa satu kamar kos selama enam bulan.
"Kapan uang kalian habis, kirim surat saja ke Bengkulu!"
Tuhan Maha Pemurah. Ketika semua itu terjadi. Rendi sudah diterima sebagai pekerja magang di bengkel toko elektronik milik seorang Cina tua, yang pernah jadi pelanggan tetap Rendi sewaktu masih jadi penyemir sepatu.
Setelah ditinggal pergi oleh paman mereka. Rinda juga diterima magang sebagai pelayan di toko yang sama. Selain menasihati supaya sabar dan tekun. Cina tua yang baik hati itu juga selalu mendorong mereka berdua untuk meneruskan sekolah. "Kalau kalian mau, sampai ke perguruan tinggi pun jadi. Dan aku yang akan membiayai!"
Cina tua itu membuktikan ucapannya.
Manakala Rendi dan Rinda lulus ujian dengan hasil memuaskan, bapak asuh mereka itulah yang paling sibuk mengurus surat-surat perlengkapan yang diperlukan untuk mendaftar dan pindah domisili ke Jakarta.
"Aku tahu biaya kuliah di Surabaya apalagi di Malang ini jauh lebih murah," katanya gembira. "Tetapi aku juga tahu, kalian sudah lama memimpikan indahnya menikmati suasana ibu kota. Selama ini kalian berdua cuma mendengar-dengar. Belum pernah melihat, apalagi menginjakkan kaki. jadi. jangan kalian bantah keputusanku ini. Sekalian saja kalian kuliah di sana!"
Kemurahan hati Cina tua itu tidaklah membuat Rendi dan Rinda berpangku tangan. Di luar waktu kuliah, Rendi bekerja sambilan sebagai calo jual-beli alat-alat elektronik sekaligus memontirinya. Begitu
pula Rinda, magang di butik milik orangtua salah seorang teman sekuliahnya. Bapak asuh mereka di Turen tidak melarang.
"Sejak lama aku sudah tahu." katanya. "Kalian berdua terutama si Rendi ini semenjak lahir sudah membawa bakat untuk mandiri. Tetapi, Rendi, ingat apa katamu mengenai paman kalian dulu. Jangan sampai ada warna merah di rapormu!"
Lalu, musibah lagi. Si Cina yang sudah uzur akhirnya meninggal karena pankreasnya pecah. Dan ahli warisnya tak seorang pun yang berminat jadi bapak atau ibu asuh. Sebabnya tidak jelas. Tetapi seperti biasa. lagilagi Rendi menerimanya dengan lapang dada dan menganalisis penyebab mereka kemudian terlupakan dengan kalimat sederhana.
"Mungkin karena tak satu pun dari sepatu mereka pernah kusemir!"
"Lantas, dengan apa kalian hidup?"
Datangnya pertanyaan itu bukan dari Hadi Saputra, konon pula Bursok. Melainkan dari suami Rinda sendiri. Yang begitu tersadar lepas omong, lantas berkata tersipu pada kedua orang tamu mereka,
"Maklum. belum dua tahun kami menikah. Termasuk masa perkenalan kami yang singkat," katanya. "Dan seperti halnya almarhum, istri saya juga suka tertutup. Terutama mengenai masa lalu mereka...."
"Dapat kumengerti." gumam Bursok. Tersenyum. maklum. Lalu ganti menatap pada nyonya rumah
mereka. Diam menunggu, tanpa merasa perlu untuk bertanya.
Agak lambat barulah terdengar suara lirih Rinda. "Hasil jerih payah kami sendiri. Ditambah sedikit kiriman uang dari keluarga Paman di Bengkulu, sebagai cicilan dari uang warisan kami yang pernah terpakai oleh Beliau!"
'Dan sudah terlunasi semuanya?"
Salah omong lagi. Dan sang istri langsung menoleh. "Apa yang Mas bisa harapkan dari petani yang cuma memiliki sawah beberapa petak saja" Di daerah yang sering terlanda gempa lagi!"
'Cuma ingin tahu!" jawab sang suami, tidak terpengaruh. "Coba kau beritahu dari dulu-dulu. Tetapi tak apa. Setelah semua urusan kita di Cirebon ini berakhir. kita akan pergi berlibur ke sana. Sekalian membawa modal yang cukup untuk membeli sawah di tempat yang lebih baik. Oke?"
Rinda menatap. Tak percaya. "Sumpah, Mas Pras?"
"Sumpah!" "Demi apa?" Rinda menantang. Serius.
Prasetyo menggapai lalu menggenggam erat tangan istrinya. Lalu menjawab dengan senyuman mesra.
"Kau, sayangku!"
"Setelah apa yang kulakukan selama ini padamu?"
Prasetyo mengangguk dan mengulangi. Lebih jelas.
"Setelah apa yang kau lakukan dan yang kuterima. selama ini!"
Perlahan tetapi pasti, kebekuan di wajah si mntik tampak mulai mencair. Yang-tentu saja-membuat kedua orang tamu mereka bingung sendiri dan saling bertukar pandang tak mengerti. Bursok sudah ambil ancang-ancang untuk bertanya. Namun keburu pintu kamar ada yang mengetuk dari luar.
"Masuk saja. Tak dikunci!" Prasetyo cepat menyahuti. lantang, dan tampak gembira.
Seolah waktunya sudah diatur, dua orang pelayan hotel dengan seragam restorasi masuklah beriringan. Dan di atas meja tamu dengan segera sudah disesaki bukan cuma oleh minuman segar, tetapi juga hidangan makan malam yang sungguh mengundang selera.
Terutama selera makan orang Sibolangit!
SETELAH kedua tamu mereka berlalu dan pintu ditutup, Prasetyo mendekat lalu berdiri di samping istrinya yang diam merenungi kegelapan malam di luar jendela kamar hotel. Lalu berkata hati-hati, "Memang, gambaran yang kau berikan cuma samarsamar. Tetapi menurutku, Ririn. kau tak perlu seterbuka itu pada mereka!"
Masih berdiam diri beberapa saat lamanya dan tanpa berpaling dari jendela. sang istri kemudian menyahuti, "Aku percaya mereka berdua... terutama Ajun Komisaris itu, dapat memegang rahasia. Malah boleh jadi dengan cepat melupakannya!"
"Sesederhana itu?"
"Tidak!" Rinda menggeleng. Lalu menoleh dan mengawasi wajah suaminya dengan pandangan sabar. "Tidakkah Mas melihatnya?"
'Apa?" "Sorot mata dan cara dia bertanya. Lalu. pertanyaan demi pertanyaan yang dia ajukan. Yang jelas jelas sangat menjurus!"
Prasetyo terdiam. Mulai mengerti.
Namun Rinda tetap saja menjelaskan, "Terlepas apakah salah satu dari kita telah bersikap atau berucap salah, pada akhirnya toh mereka akan tahu juga. Karena. Mas jangan lupa, mereka itu polisi!"
"Dan di mata mereka. kita berdua bukan cuma sekadar saksi melainkan juga tersangka..." keluh Prasetyo. Murung. "Dengan motivasi kuat: cemburu buta!"
"Dari pihak Mas tentunya!" Rinda cepat menambahkan tanpa sungkan. 'ltulah yang ingin kunetralisir. Ironisnya, dengan membuka pintu untuk mereka masuki. Yakin. mereka tidak akan menemukan apa-apa. Karena faktanya memang begitu...!"
Prasetyo mengangkat muka. Menatap terharu. "Sebenarnya, sayangku, kau tak perlu repot-repot begitu. Kau pasti tahu. bahwa aku dapat melindungi diriku sendiri!"
"Aku memang tahu." Rinda tersenyum. Lirih. "Tetapi biar tanpa diminta. seorang istri wajib mendukung suaminya, bukan?"
Kata-kata memang perlu. Tetapi ada kalanya, tindakan lebih punya arti. Maka Prasetyo mengangkat kedua tangan. memegangi pipi lalu mengecup bibir mungil sang istri sebagai pengganti ucapan terima kasih. Setelah bibir mereka saling berpisah... dengan enggan, Prasetyo tersenyum. Lucu.
"Agaknya tadi aku terlalu rakus makan sambal," katanya setengah tertawa. "Tak apa kutinggal sebentar" Perutku yang tak tahu diri ini semenjak tadi sudah berulah!"
Tanpa menunggu jawaban, Prasetyo langsung
berlalu. Sambil lewat, Prasetyo menyambar sebatang rokok dari meja. menyulutnya cepat-cepat, baru setelahnya menyelinap ke kamar mandi. tempat yang baik untuk seorang perempuan melatih suara merdunya, dan buat laki-laki merenungi diri.
Itulah yang kemudian dilakukan Prasetyo.
Perutnya normal-normal saja, cuma terpaksa harus rela jadi kambing hitam. Yang diperlukan Prasetyo adalah tempat untuk merenungi diri, dengan mengisap rokok sebagai penenang. Maka duduklah ia di kloset-bahkan tanpa perlu menanggalkan celana merenungi harmoni pernikahannya dengan Rinda, yang semenjak malam pengantin mereka sudah tersandung langsung dengan kerikil tajam.
Jangankan ditiduri, ditelanjangi pun Rinda waktu itu tak sudi.
Aku mendadak mens. itu alasan di minggu pertama. Diam-diam Prasetyo sudah mencari tahu bahkan juga mencuri lihat. Dan tak ada tanda-tanda konon lagi bukti istrinya menstruasi. Prasetyo bersabar menunggu. sambil bertanya-tanya apa yang salah pada dirinya. Bumi sudah dibongkar langit sudah dibelah, rasanya tetap tidak ada yang salah.
Tetapi memasuki minggu kedua, muncul penolakan baru. "Rematikku kambuh lagi!
Lalu, "Aduh, Mas. Tolong carikan aspirin. Kepalaku rasanya mau pecah!"
Dan entah alasan apa lagi, sampai akhirnya Prasetyo habis sabar dan Rinda mengakui dengan diiringi derai air mata.
"Mas tak punya salah apa-apa. Aku yang tak ingin!"
Curiga dan marah berat, Prasetyo nekat ngebut sendirian ke Cirebon tanpa pamit pada sang istri. Mengadu pada saudara iparnya, tanpa malu-malu.
Rendi shock mendengarnya.
Beberapa saat terduduk pucat dan lemah lunglai bagai orang yang mendadak lumpuh, Rendi kemudian bangkit dengan susah payah lalu pergi mengangkat telepon. Pembicaraan yang didengar Prasetyo singkat saja, dan sepihak.
Rendi berkata di telepon. "Kau itu, Ririn" Prasetyo ada di sini. Kau pasti tahu mengapa. Tetapi kuingatkan Ririn, sekembali ia nanti ke Jakarta, jangan sekali-kali menegur apalagi memarahi suamimu. Atau kau akan kubuat menyesal!"
Diam mendengarkan beberapa saat, Rendi kembali berbicara. Lebih tegas. Dengan nada serta katakata yang tak suka dibantah.
"Ini bukan menyangkut perasaanmu. Tetapi menyangkut sumpah sucimu sewaktu mejalankan akad nikah. Biarlah kuulangi apa yang waktu itu kuperingatkan padamu. Bahwa kau bukan lagi milikku. tetapi milik suamimu. Jelas" Nah, kalau begitu Ririn, terima dan jadilah seorang istri yang baik. Oke?"
Lalu telepon diputuskan begitu saja.
Rendi setengah memohon pada Prasetyo untuk dibiarkan dan ditinggalkan sendirian. Alasan yang pas untuk Prasetyo pamit dan ngebut kembali ke pangkuan istrinya. Sambil terbingung-bingung dan bertambah curiga!
Tiba di rumah. ia dan Rinda memerlukan tiga hari untuk saling beradaptasi. Sebelum kemudian...
sambil sama-sama ragu, sepakat untuk naik ke tempat tidur. Sempat terjadi perlawanan sebelum akhirnya Rinda menyerah.
Lalu. di tengah sanggama mereka, dan ketika Rinda yang awalnya sedingin es mulai memanas. Rinda yang terus saja terpejam mendadak mengerang tak sadar. "lagi, Rendi-ku. Lagi. Lebih cepat lagi!"
Prasetyo pun tertegun. Kaget.
Dan di bawah tubuhnya, sang istri yang matanya tetap terpejam. kembali mengerang. "Ayolah. Rendi. Jangan berhenti. Hancurkan aku. kekasih, hancurkanlah!"
Sadarlah Prasetyo. Bahwa di balik mata terpejam itu, yang terbayang bukan dirinya sebagai suami. melainkan saudara iparnya!
Ini bukan cinta buta. melainkan cinta yang setulus hati. Dari Prasetyo, yang kecurigaannya ternyata tidak terbukti. Istrinya dalam keadaan suci ketika ia masuki dan itu sudah lebih dari cukup untuk Prasetyo menelan kekecewaan hatinya. Maka Prasetyo pun berpacu dan terus berpacu sampai akhirnya mereka berdua tiba pada waktu yang hampir bersamaan.
Serelah mereka saling melepaskan diri dan Prasetyo sedang mencoba tidur dengan susah payah. telinganya tahu-tahu dikecup dan dibisiki oleh Rinda-nya tercinta. 'Maafkan aku, Mas!"
Prasetyo cepat merangkul dan tersenyum menghibur. "Tak apa. Aku bisa memahami!"
"Percayalah. Mas. Aku dan Rendi benar saling mencintai," Rinda mengakui juga akhirnya. Disertai
air mata yang terurai. "Tetapi kami masih tetap mampu menjaga diri. Tidak sampai berbuat!"
"Aku percaya, Ririn!" jawab Prasetyo. mencoba tertawa. "Buktinya, bukankah kau tadi sempat meronta dan terpekik kesakitan" Tuh, lihat." Prasetyo menunjuk ke dekat selangkangan istrinya. "Darah siapa itu, eh?"
"Tetapi, Mas. aku tetap malu. Aku sangat menyesal!"
Namun toh ketika pada waktu-waktu tertentu dan secara teratur mereka berdua melakukan hubungan suami istri. kadang kala Rinda melupakan juga perasaan malu serta penyesalannya, dan kembali merintihkan nama Rendi. Demi cinta, Prasetyo menyabarkan diri. diam-diam berjuang untuk terus menerus menelan kesedihannya. Dan lambat laun, jadi terbiasa. Lantas mulai tak peduli.
Dan... "Jadah!" Prasetyo memaki tertahan dan tergopoh-gopoh menjatuhkan puntung rokok yang nyaris membakar kulit jarinya. Menepis-ncpiskan jari yang terasa perih dan tersadar saat itu ia berada di kamar mandi, Prasetyo menyesali mengapa tadi tidak sekalian saja bungkus rokoknya ia bawa. Masih banyak yang perlu ia renungi. Termasuk apa yang harus ia lakukan kemudian setelah saudara ipar yang terus membayangi pernikahannya itu kini meninggal.
Apakah nama Rendi akan tetap menempel di bibir mungil Rinda-nya tercinta. atau Prasetyo harus meminta agar istrinya mulai belajar untuk melupakan Rendi"
Tidak semudah itu, prasetyo!
Meninggalkan jendela lalu rebah melamun di ranjang tidur hotel yang empuk serta nyaman. kenangan lama itu perlahan-lahan muncul di pelupuk mata Rinda. Satu memori indah serta menggetarkan yang tidak akan pernah ia ceritakan pada orang lain. Terlebih-lebih pada Prasetyo, suaminya.
Sekian belas tahun Rinda serta saudara kembarnya menjalani hidup yang tak terpisahkan. Sebagian besar dari waktu itu bahkan mereka isi dengan tinggal satu kamar. Sampai kemudian mereka tahu, namun tak pernah membicarakannya. Saling menatap sewaktu makan atau selagi bertukar cerita mengenai apa yang mereka alami hari ini atau hari itu, sudah cukup banyak berbicara. Ditambah sentuhan-sentuhan tak sengaja yang membuat bukan hanya raga. tetapi juga jiwa mereka langsung bergetar bagai dihangati oleh bara api yang menyembur-nyembur.
Sekali lagi, mereka berdua tahu.
Tetapi mereka tetap bertahan. Karena sadar, mereka bersaudara. Satu ayah. satu ibu, satu susu.
lalu. terjadilah yang tidak diharapkan namun diam-diam mereka inginkan itu. Memaksa diri pulang kerja di tengah hujan badai. setiba di kamar kos mereka Rinda langsung terkena flu kemudian demam. Karena dokter yang dipanggil lewat telepon tak kunjung datang. Rendi berusaha meringankan penderitaan Rinda dengan satu-satunya obat yang tersedia yaitu obat gosok.
Ajaib. namun itulah yang terjadi.
Bagai disentuh oleh tangan malaikat, begitu tangan Rendi mengusap kulit punggungnya. Rinda merasa dirinya sembuh secara mendadak. Dan ketika ia berbalik tubuh, matanya langsung beradu dengan mata Rendi yang mengandung hasrat.
Tak seorang pun yang berbicara, walau hanya sepatah kata.
Mereka hanya bergerak dan bergerak. Sampai tahu-tahu bibir mereka berdua sudah saling menari. Lantas saling memagur kuat, saking sudah lama menahan lapar. Pakaian mereka berdua kemudian juga tahu-tahu sudah ditanggalkan. Bahkan Rendi sudah menindih tubuhnya dan Rinda pun sudah siap pula untuk dimasuki.
Lalu pada detik-detik terakhir, Rendi tiba-tiba menjauh dan melompat turun dari tempat tidur. Sambil menggeram, marah.
"Terkutuk! Kita tak boleh melakukannya!" Dan selagi Rinda masih terkejut, Rendi sudah memutuskan. "Hanya ada satu jalan untuk menghindarinya. Kau" harus secepatnya menikah!"
Kalimat terakhir yang jelas-jelas ultimatum menyakitkan itu, nyaris tak didengar bahkan kemudian jarang diingat Rinda. Apa yang selalu diingatnya, adalah hasrat yang menuntut di mata Rendi dan ia juga yakin di matanya sendiri. Pagutan bibir, lidah yang saling menggapai. Dan yang paling menggetarkan, tubuh telanjang Rendi yang sudah menindih tubuhnya!
Tak peduli dengan siapa. tetapi itulah pengalaman pertama Rinda. Dari cinta pertamanya pula.
Tidak. Kenangan manis tetapi sekaligus pahit itu
tidak akan pernah terlupakan oleh Rinda. Rendi belum mati. Rendi masih hidup, dan akan terus hidup.
Dalam jiwa Rinda! "Ririn?" Suara yang terdengar sayup itu semula dianggap Rinda cuma halusinasi. Tetapi kelopak matanya ia buka juga perlahan-lahan. lalu melihat bayangan samar-samar sesosok tubuh berdiri tegak di samping ranjang di mana ia rebah. Rendi-nyakah itu"
Sepasang mata bulat Rinda membuka lebih lebar. Lalu ia mengenali suaminya, Prasetyo, yang tersenyum malu ketika bertanya.
"Boleh aku rebah di sisimu?"
Rinda mencoba tersenyum Namun kemudian. air matanyalah yang menetes.
*** DALAM pekerjaan mereka, Bursok serta anak buahnya berhubungan langsung dengan karakter dan sepak terjang manusia dalam mengarungi laut kehidupan. Dan sebagai polisi dari satuan serse. tentu saja yang terbanyak mereka hadapi dan harus mereka urus adalah sisi buruknya. Yang terkadangsadar atau tidak-memancing kemarahan serta kebencian pada manusia yang mereka hadapi. Tak peduli itu tersangka pelaku sebagai "si buruk" maupun saksi atau sang korban sebagai "si baik".
Akan tetapi yang mereka hadapi malam ini adalah sesuatu yang berbeda. Sisi buruknya tetap berperan, namun sedemikian menyentuh hati bahkan menarik simpati. Tak heran. setelah pamit dari tuan dan nyonya rumah mereka, Bursok serta Hadi Saputra seakan kehilangan kata-kata lantas berdiam diri. Tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Bursok-lah yang lebih dulu membuka mulut sewaktu mobil dinas pribadinya yang saat itu disopiri
Hadi Saputra meluncur tenang di jalanan yang telah sepi karena malam sudah mendekati larut.
"Luar biasa bukan, Hadi?"
"Apanya, Komandan?" sahut sang ajudan. tersentak dari lamunannya.
"Cinta!" Bursok berkata dengan pikiran menerawang. "Dan panahnya jika sudah melesat!"
Lalu menembus jantung korbannya. pikir Hadi Saputra, ikut menerawang. Tanpa ampun, dan tanpa pilih-pilih bulu. ltulah yang ditafsirkan Hadi Saputra dari penuturan si cantik Rinda, seusai mereka makan malam.
"Anda tanya pacar. Komandan?" Rinda berkata. "Boro-boro. Teman saja pun. boleh dihitung dengan jari. Kami adalah dua orang anak yang selalu terbuang, Komandan. Terlempar terus-menerus kian kemari. Dan dengan kejam dipaksa untuk berjuang sendiri!"
Murung dan tampak terluka. saksi utama mereka itu meneruskan, "Itu maka kami jarang bergaul dengan orang lain. Kalau pun ada. hanya sebatas memenuhi etika bermasyarakat saja. Dengan sendirinya. teman dekat serta pengaduanku satu-satunya hanyalah Rendi seorang. Begitu pula sebaliknya. Membuat kami semakin dekat, semakin tak terpisahkan!"
Saat mengutarakan kalimat-kalimat terakhir, sepasang mata bulat Rinda tampak bersinar-sinar. penuh gairah. Bibir mungilnya yang sensual apalagi.
Tersenyum. bahagia! "Lalu. kami tahu!" katanya lagi. masih menerawang. "Ada sesuatu yang berubah dalam diri maupun perasaan kami. Tumbuh dengan subur... dan
tidak terelakkan. Kami ingin namun tidak pernah membicarakannya. Selain karena takut... juga kami anggap tidak perlu. Yang penting, kami tahu. Itu sudah lebih dari cukup!"
Prasetyo batuk-batuk kecil untuk memperingatkan istrinya.
Hadi Saputra maupun komandannya pura pura tak mendengar. Juga pura-pura tak melihat ketika duduk Prasetyo tampak semakin resah karena sang istri terus saja meluncur dengan mulus.
"Bukan sedikit yang mengejar-ngejar saya maupun Rendi. Namun kami tidak tertarik, konon lagi melayani. Dan..."
Barulah saat itu peringatan sang suami masuk. Karena Rinda tiba-tiba mengerem laju luncurannya. Tampak tersadar, ia menggeleng keras lalu menatap tajam ke arah Bursok. Dan tanpa terlihat adanya tanda-tada risih maupun perasaan bersalah. ia berkata dengan tegas dan gamblang.
"Silakan tafsir sendiri apa yang berubah di antara kami, Komandan. Tetapi tolong tidak berpikir yang bukan-bukan. Karena... Anda mau percaya atau tidak, terserah. Ada tembok kokoh yang tidak pernah-karena memang tidak mampu-kami tembus, yakni bahwa kami terlahir dari rahim ibu yang sama. Oleh ayah yang sama pula. Itu cukup jelas. saya harap!"
Di luar perkiraan Hadi Saputra, komandannya menyahuti dengan tenang. Suaranya pun terdengar lembut.
"Aku percaya, Bu Rinda!"
tak tahu mengapa aku percaya padanya, Hadi" lamunan Hadi Saputra buyar lagi. Menoleh
pada komandannya yang duduk menyandar dengan
mata menerawang, sang lptu menjawab ragu-ragu,
"Tidak. Komandan."
"ltulah anehnya." Bursolt tersenyum. "Karena terus terang. aku sendiri pun tidak tahu!"
lalu Bursok meluruskan duduknya. dengan senyuman yang perlahan-lahan melenyap. Menatap jalanan yang sepi dari arus lalu lintas di hadapan mereka, Bursok kembali membuka mulut. memperingatkan dengan nada lembut.
"Satu lagi. Hadi. Apa pun juga tafsiranmu dari penuturan si cantik itu, tutuplah sampai di sini saja. Apa yang tadi sama-sama kita dengar hanyalah untuk telinga kita berdua. Paham?"
"Siap. Komandan!"
"Bagus!" Bursok kembali tersenyum. Namun dengan wajah sudah berubah serius dan terkesan resmi. "Nah. Daripada kita pusing-pusing menggunjingkan urusan rumah tangga orang lain... mari kita fokuskan otak kita pada sisi lainnya. Yang jauh lebih bermanfaat untuk ditelusuri. Dan mengikuti firasatku. kemungkinan besar terkait dengan kasus yang kita tangani sekarang ini!"
"Sisi yang mana, Komandan?"
"Pasti ada dalam catatanmu. Tetapi aku tak ingin kau membuka lalu membacakan isi notesmu sekarang. Karena kau sedang mengemudi dan aku,
mengutip Chairil Anwar, masih ingin hidup seribu tahun lagi!"
Hadi Saputra tersenyum mendengarnya.
"lngat apa jawabannya ketika kutanya, apakah almarhum saudara kembarnya punya musuh?"
"idem dito dengan jawaban sang suami, Komandan!"
"Setahu saya mustahil dan rasanya tidak mungkin ada!" Bursok manggut-manggut seraya menirukan kalimat yang mereka dengar dari mulut Rinda. "Tetapi sewaktu iseng-iseng kutanya mengapa ia dan saudara kembarnya dulu meninggalkan Jakarta mereka yang menakjubkan untuk kemudian menetap di kota udang ini. Ada sesuatu dalam jawabannya. bukan?"
Hadi Saputra diam sejenak. Mengingat-ingat dan mereka ulang apa saja yang ia dengar dalam pcmbicaraan mereka seusai makan malam yang sangat mereka nikmati itu.
*** Nyonya rumah mereka mengawali jawabannya dengan pendahuluan yang lumayan panjang tentang karakter saudara kembarnya. Bahwa, biar orangnya tertutup serta tidak tegaan, sebagaimana halnya dengan lelaki normal lainnya, Rendi juga tidak terlepas dari masalah. Pernah memukul atau dipukuli orang bahkan dikejar-kejar. Tetapi Rendi selalu tahu bagaimana cara menyelamatkan atau melindungi diri. Dan sedapat mungkin, juga menetralisir permusuhan agar berubah menjadi persahabatan. Paling tidak, supaya tidak lagi saling mengganggu.
Lalu, tibalah hari yang mengherankan itu.
Ceritanva. si dua bersaudara kembar merayakan
kelulusan mereka dari perguruan tinggi dengan berlibur ke kampung halaman sekaligus bersilaturahmi dengan kerabat mereka yang masih ada di Turen. Rencananya liburan satu minggu. Jika betah dan kantong masih kuat. tambah seminggu lagi.
Namun baru dua hari mereka di Turen dan perasaan rindu pun baru terpuaskan anginnya saja, Rendi yang sebelumnya pergi untuk bernostalgia dengan temannya waktu SD dulu, mendadak pulang tergopoh-gopoh dan memberitahu bahwa mereka harus kembali saat itu juga ke Jakarta.
"Memangnya ada apa?" tanya Rinda. Heran.
jawaban Rendi cuma, "Jangan banyak tanya. Pokoknya berkemas sajalah!"
Melihat wajah saudaranya tegang bahkan terkesan panik, Rinda hanya bisa menurut. Dan di kereta api, Rinda tidak pula berani bertanya karena Rendi terus diam dan tampak tidak mau diganggu. Begitu pula setelah mereka tiba di Jakarta dan sekali lagi Rendi menyuruh berkemas.
Untuk minggat lagi. "Kita harus pindah," itu saja kata Rendi. "Sejauh mungkin!"
Sekali lagi Rinda menurut tanpa bertanya.
Dalam surat keterangan pindah yang diambil Rendi dari kelurahan setempat. sempat terbaca oleh Rinda tujuan mereka: Bengkulu. Rinda sedikit terhibur karena berpikir akan bertemu lagi dengan keluarga paman mereka yang memang sudah lama ia rindukan.
Namun anehnya, setiba di terminal Pulogadung, mereka malah menaiki bus dengan tujuan Cirebon.
Karena banyak orang di terminal maupun kemudian di dalam bus, Rinda masih bisa menahan diri. Tetapi begitu turun di Cirebon, Rinda langung berkacak pinggang.
"Sebelum ini kau tak pernah lari." katanya menuntut. "juga tak pernah sekacau dan sepanik ini. Mengapa"!"
"Yang sekarang ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya, Ririn!" jawab Rendi.
"Perbedaannya?"
"Dia punya kekuasaan. juga senjata!"
"Siapa?" "Tak perlu kuceritakan, Ririn. Karena makin sedikit kau tahu, makin baik untuk keselamatan dirimu!"
Titik sampai di situ. Dan Hadi Saputra pun bergumam tak sadar. "Seperti di film saja!"
"Apanya, Hadi?"
Hadi Saputra mengerjap tersadar. Lantas tersenyum, kecut. "Ucapan si Cantik itu. Makin sedikit kau tahu, makin..."
"Sialan. Kukira apa!" Bursok menggerutu.
Hadi Saputra terpaksa menelan ludah. "Maaf, Komandan!"
"Lupakan. Dan beritahu aku apa yang ada di otakmu!"
'Mengenai dari siapa mereka lari?"
Mereka tiba di perempatan jalan dengan tanda ke kiri jalan terus. Mobil pun dibelokkan sang ajudan ke kiri, searah dengan kantor Polres, tempat mereka harus kembali, sambil Hadi Saputra mengutarakan analisanya.
"Sangat jelas, Komandan. Orang berpangkat atau punya jabatan berpengaruh"."
"Lebih rinci lagi. Hadi?"
"Militer. Atau dari korps kita sendiri. Polisi!"
Bursok mengangguk sependapat. Lalu berkata serius, "Kalian selidiki itu segera. Hadi. Jika perlu, berkeliaranlah ke Turen sana. Paham?"
"Siap, Komandan!"
Mereka tiba di tempat yang dituju. Mobil pun sudah berhenti di pelataran parkir. Tetapi Bursok tampak belum punya kemampuan untuk turun sehingga Hadi Saputra yang sudah membuka pintu di sebelah kanannya dibuat tertegun. Ikut-ikutan tidak turun.
"Apa ya kira-kira?" Bursok kemudian bergumam, setelah beberapa saat lamanya duduk di tempatnya. Termenung-menung.
Hadi Saputra diam saja. Menunggu.
"Ketika si Cantik itu tadi bercerita, Hadi?" Bursok akhirnya memberitahu, tanpa berpaling. "Sesuatu melintas dalam pikiranku. Sedemikian cepat, sehingga aku tak keburu menangkapnya!"
Hong Lui Bun 2 Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar Mesin Tik Hantu 2
^