Pencarian

Misteri Lembah Hantu 3

Misteri Lembah Hantu Karya Abdullah Harahap Bagian 3


Di perbatasan. gelak tawa meledak ketika seorang penduduk nekat menggunting sejemDut bulu-bulu anjing yang tergantung di
W ' _ v-.... | ---' cabang pohon belimbing tua. Waktu ditanya mengapa ia melakukan hal itu. dia menjawab tenang: "Sebagai kenang-kenangan. Siapa tahu. membawa berkah!"
Meskipun banyak yang mencemoohkan. tidak sedikit yang kemudian mengikuti orang tadi. Rata-rata mereka mengatakan, sejemput bulu anjing yang mereka ambil akan dipakai sebagai jimat, pemberi kekuatan gaib. penolak bala. pembawa rejeki dan macam-macam lagi yang semuanya berhubungan dengan alam gaib. Tak heran. menjelang pagi keadaan tubuh bangkai itu tidak lagi sebagus yang tampak semula. Tubuh makhluk itu hampir plontos. awut-awutan, sehingga tampak sangat jelek, menjijikkan. Ditambah genangan darah membeku di sana-sini serta luka menganga di lambungnya, sosok itu justru menimbulkan kengerian di mata orang yang menyaksikannya.
Bahkan orang terakhir yang semula berniat mencungkil kuku makhluk itu untuk dijadikan hiasan kalung leher. mendadak sontak mundur ketakutan. Kelopak mata makhluk yang setengah tertutup itu, memperlihatkan sedikit bagian mata di sebelah dalam. Mata itu seakan menatap lurus ke mata orang yang mendekatinya. Barangkali, hanya suatu kebetulan. Tetapi orang itu merasa. mata itu seakan hidup dan menatapnya dengan penuh an
caman Ketika ia menceritakan apa yang menurutnya dia lihat, kembali gelak tawa berderai di sana sini. Salah seorang malah dengan berani mam ke muka dan menepuk-nepuk kepala makhluk itu sambil tertawavtawa. Dengan sombongnya ia dekatkan wajahnya ke wajah makhluk itu. Kelopak mata setengah tertutup itu ia buka dengan jari tangan. la pandangi mata merah saga yang pudar itu, sambil berseru:
"Hei. kau melihatku bukan" Perkenalkan, namaku Kartijo. Akulah yang nanti akan memotong lehermu. Apakah kau ada permintaan terakhir?"
Habis mencemooh sambil bercanda itu. orang yang menamakan dirinya Kartijo mundur seraya mengangkat dagu dengan angkuhnya.
"Dan aku yang memukul kepalamu sampai memar! " teriak seorang lainnya. yang kemudian tertarik untuk mengikuti perbuatan kawannya. "Sebutkan saja namaku si Codet, karena memang pelipis kiriku codet. Lihat, ini nih ...," ia mendekatkan pelipisnya yang ditandai bekas luka ke dekat mata makhluk itu. "Nah, kau sudah tahu siapa aku. bukan" Jadi sekali-kali, datanglah berkunjung ke rumahku. Kau akan senang. Karena biar aku ini codet,
aku punya istri paling cantik di kampung ini. Kau akan kuperkenalkan padanya. Dan kau akan lihat, bahwa untuk mengangkangi istriku tidaklah semudah mengangkangi Nyi Imas. He-he-he "!" Bedug subuh dari surau menyadarkan semua orang yang masih berkeliaran di seputar belimbing tua itu. Para tetua menyuruh semua orang pulang untuk membersihkan diri dan ikut ke surau untuk berjamaah. "Bagaimana dengan anjing terkutuk ini?" teriak Kartijo tak sabar. "Nanti saja, setelah hari siang ." jawab salah seorang tetua. "Mengapa tidak sekarang?" "Sekarang waktu sholat. Pantang melakukan yang tidak pantas ...." "Ah, cuma bangkai!" Kartijo menggeram. Lalu sreeetl Goloknya melayang. Dan put uslah leher makhluk itu. Kepala yang mengerikan itu jatuh ke tanah. Menggelinding sebentar, lalu diam. Tetapi eh, nanti dulu. Benarkah kelopak mata makhluk itu tadi mengerjap sebelum terlepas dari tubuhnya" Kartijo mengawasi kepala makhluk dekat kakinya. "'
Kelopak mata itu tidak mergerjap. Kartijo menyeringai. kemudian berlalu. Tanpa memperhatikan. bahwa kelopak mata di ke
pala makhluk itu yang tadinya setengah terbuka. sekarang terpejam rapat. Suatu pertan
da. nyawa makhluk itu belum terpisah dari
badannya. sampai golok Kartijo membantai lehemya!
**. 10 HADIMAN tidak perlu ribut-ribut menyuruh orang mencari tahu di mana dua potong bangkai anjing itu dikuburkan. la pelajari situasinya dengan seksama. kemudian memutuskan dam dan menunggu adalah lebih bijaksana Maka pagi hannya ia pergi ke balai desa. meski banyak hal lain yang bermanfaat untuk ia )alankan Misalnya melihat apakah kebun cengkehnya sudah siap untuk dipanen Atau menanyakan pada warga yang dipercayakan mengurus empat ekor sapi Bantuan Presiden -yang dua di antaranya belum lama ini melahirkan. tidak kurang suatu apa Dan lain-lain urusan. Baik sebagai kepala desa. maupun sebagai kepala dua rumahtangga
Tetapi setiap kali ada warga desa yang da tang padanya memohon potunpuk l-ladiman selalu menanamkan sembouan di kepala warga itu: "Dahulukan mana yang paling pen ting dan bermanfaat!" ltulah sebab mengapa Hadiman memilih pergi ke balai desa ketim
163" bang mengerjakan urusan lain.
Balai desa masih tutup ketika ia tiba. Juru tulis yang tinggal berdekatan. melihat kedatangannya lalu tergopoh-gopoh datang membawa anak kunci.
"Ada perlu apa Pak Lurah" Pagi-pagi sudah masuk kantor," tanya juru tulis seraya membuka pintu.
"Ah, tidak ada yang penting." jawab Hadiman. "Aku kebetulan kurang kerjaan. Maka kupikir apa salahnya duduk-duduk di balai ini. Siapa tahu ada di antara warga yang membutuhkan pertolongan, bukan?"
Dugaan Hadiman tidak meleset. Belum juga ia sempat mengambil tempat duduk. juru tulis telah mengantarkan seorang tamu, yang ia segera kenali sebagai penduduk kampung Parigi. Sesaat jantung Hadiman berdebar. Apakah orang ini membawa kabar terakhir mengenai akhir pembantaian anjing itu"
"Aku memerlukan surat pindah, Pak lurah ," orang itu menerangkan.
"Kau" Pindah?" Hadiman kecewa, sekaligus terheran-heran.
"Bukan aku yang pindah. Melainkan Pard' "|
,"'Parjo" Parjo yang pensiunan juru tulis kecamatan itu?"
"Persis." " Lho, kok?" "lni menyangkut anak gadisnya. Pak Lurah.
Maksudnya. si Ningrum." "Ningrum?" Wahai, bertanya dan bertanya
saja yang ia lakukan. Tetapi Hadiman betulbetul terkejut dan heran, sehingga ia bertanya lagi: "Ningrum. Hem, ada apa dengan Ningrum?"
"Ah. Masa Pak Lurah lupa! "
Hadiman berpikir. kemudian terhenyak. "Ningrum! Aku ingat sekarang. Anak gadis yang malang "." wajah Hadiman murung seketika. "Ke mana Ningrum akan pindah?"
"Bukan Ningrum saja, Pak Lurah. Tetapi juga ayahnya, ibunya. bahkan kakaknya yang sudah berkeluarga. Semuanya boyong ."
"Astaga, separah itu benarkah" Tidak dapat lagi dicegah, atau ditunda?"
"Terlambat, Pak Lurah. Dini hari tadi, mereka sudah menyelinap pergi. Aku diwakilkan mengurus apa-apa yang mereka tinggalkan. termasuk mengenai kepindahan mereka. Maklumlah, Pak Lurah. Karena peristiwa memalukan itu, mereka tidak tahan ...."
Sambil mengerjakan surat-surat yang diperlukan. pikiran Hadiman menerawang. Penyebab penderitaan Parjo sekeluarga, tak dapat dipungkiri lagi adalah makhluk jahanam itu. Mengingat makhluk itu adalah anak tirinya,
sungguh sangat menyakitkan hati.
Kesalahan apa yang diperbuat Hadiman, sehingga ia tertimpa aib yang tidak saja memalukan tetapi juga mengerikan itu" Salah memilih istri" Rasa-rasanya tidak. la menyayangi Maryati. Sebaliknya, Maryati juga menyayangi Hadiman. malah tak pernah lupa mengingatkan agar Hadiman tidak menomorduakan Supinah.
"Dia istri pertama Kang Maman. Jadi dia tetap harus nomor satu." begitu Maryati mengibaratkan.
Hadiman tidak pernah berpikir untuk menomor duakan Supinah. Di lain pihak, ia juga tidak mau menomorduakan Maryati. Maka ia senantiasa memperlakukan dua-dua istrinya sama hak dan kedudukan. Tak heran kalau Supinah dan Maryati sama bangga dan kagum pada suami mereka. Bahkan lambat laun. Suplnah serta Maryati seperti sepakat bahwa mereka berdua adalah satu adanya. Sungguh karunia Tuhan yang patut disyukuri.
Lalu di mana letak kesalahannya"
Apakah pada Maryati, yang kebetulan melahirkan seorang anak terkutuk"
Astaga, betapa nistanya tuduhan itu!
Adalah lebih patut bila dikatakan, Margono sekedar sial. Sial karena memilih jalan merepotkan untuk mengunjungi ibunya, tersesat
& di jalan. masuk rimba larangan. dan terjadilah bencana itu. Demikianlah kira-kira yang dapat disimpulkan Hadiman dari apa-apa yang ia lihat dan dengar sepanjang malam tadi.
Tetapi apakah seluruh kesalahan pantas ditimpakan di pundak Margono"
la tersesat, bukan" Jadi yang salah, mungkin rimba larangan itu. Atau penghuninya. Sumirta. Eh, atas dasar apa pula ia mengkambinghitamkan Sumirta"
Bisa mabok l-hdiman memikirkan pertanyaan bertumpuk yang menyakitkan kepala itu. Untunglah tidak terlalu lama. Menjelang tengah hari. datanglah apa yang sesungguhnya ia tunggu. Yakni dua orang tamu lain. Kepala kampung Parigi dan kepala kampung Banjar. Mereka mengulang peristiwa hari-hari sebelumnya sebagai pembuka kata. Dan diakhiri dengan dibantai-putusnya kepala anjing besar hitam bermata semerah darah itu.
"Aku tidak berkeberatan mengenai itu," kata Hadiman, tenang dan ramah, meski dadanya berdebar-debar dan hatinya gelisah resah. "Sayang, aku tak dilapori sebelumnya ...." ia pura-pura menyesalkan.
"Maafkanlah, Pak lurah." ujar kepala kampung Parigi. menyesal. "Kami mengetahui istri Pak Lurah sakit keras. Jadi kami pikir. sung
rm & guh tak pantas membebani pikiran Pak Lurah dengan urusan yang mampu kami atasi sendiri. Baru setelah beres, kami sekarang datang melapor."
"Aku mengerti. Hem ...." Hadiman memperlihatkan wajah acuh tak acuh. "Anjing itu dibantai. Lalu kalian apakan" Dibuang di sembarang tempat?"
"Dikuburkan secara terpisah, Pak Lurah. Kampung kami dapat bagian kepala. Kami tanam di pinggir kali. Dekat jembatan yang ke kampung Maung. Siapa tahu, roh makhluk itu sudi jadi penjaga jembatan ...." kepala kampung Parigi tertawa terkekeh-kekeh.
Dapat satu, cetus Hadiman dalam hati Dan ia pun tertawa senang, yang ditanggapi keliru oleh tamu-tamunya. Karena dengan segera. kepala kampung Banjar berujar riang:
"Seperti Pak Lurah, aku pun paling jengkel bila temanku ngobrol bicara soal hantu, demit, atau setan gentayangan lainnya. Tetapi demi menghormati saran tetua-tetua kampung. aku terpaksa mengalah. Tubuh makhluk tanpa ke
pala Itu kami kuburkan di pintu masuk kampung Banjar. Mereka bilang, agar roh jahat tidak berani lalu lalang ...." "Maksudmu, di bawah pohon beringin tua itu?" desah Hadiman, seolah tanpa minat. "Wah. Pak Lurah dari dulu selalu jitu mene
168 & bak isi hati orang," kepala kampung Banjar memuji diiringi senyum kekaguman yang tulus.
"Sering-sering hanya kebetulan!" sambut Hadiman, dan tawanya pun berderai gembira. Lengkap sudah yang kuharap-harapkan, pikirnya, lebih gembira lagi. Namun perasaan itu ia sembunyikan dengan segera beralih ke permasalahan lain. Seingatnya saja: "Kebetulan pula kau berkunjung, Pak Diran," ujarnya pada kepala kampung Banjar. "Anak sapi yang dua ekor itu. Apakah sehat-sehat saja?"
"Malah rasanya kelewat gemuk, Pak Lurah. Adapun induknya ...."
Yang selebihnya, tidak lagi diperhatikan sungguh-sungguh oleh Hadiman. Pikirannya lebih terpusat pada letak masing-masing kuburan kepala dan tubuh anjing yang sial itu. Tentunya kuburan-kuburan itu masih terus dikunjungi, siapa tahu juga diziarahi penduduk tertentu untuk memohon berkah. Kepercayaan semacam itu telah mendarah daging di sanubari sebahagian penduduk desanya. Dan merupakan salah satu tugas paling berat yang selama ini harus dihadapi Hadiman, dibantu oleh beberapa pemuka agama setempat. Meskipun berjalan lambat tetapi hasilnya lu. mayan juga. Paling tidak, menekan jumlah penduduk yang masih berpegang teguh pada
tradisi dan kepercayaan nenek moyang mereka.
Persoalannya sekarang, haruskah ia percaya pula" Sialnya, ia terlibat pula. Masih perlu dibuktikan. Dan kalau ternyata apa yang ia khawatirkan memang terbukti benar adanya" ia akan berserah diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, dan Maha Pencipta. Apa pun dapat terjadi, bila Tuhan menghendaki. Yang penting diingat, pikir Hadiman, janganlah jauh-jauh dari jalan yang ditunjuk Tuhan melalui rasulNya, Nabi Besar Muhammad.
Setelah dua tamunya itu pulang. Hadiman pun pulang pula ke rumahnya. la mengajak Martubi bicara di bawah empat mata. la ceritakan apa semua yang ia dengar dan ketahui.
Martubi seketika menanggapi. Katanya. bernafsu: "Jadi malam ini kita sudah boleh keluyuran!"
"Jangan. Setiap ketergesaan, dapat berakibat buruk. Kuburan-kuburan itu masih hangat. Jadi besar kemungkinan, ada saja orang-orang yang masih berkeliaran di sekitarnya ...."
"Kita takut-takuti saja mereka!" dengus Martubi, tak sabar.
"Seorang kepala desa yang menakut-nakuti warganya. lebih baik diturunkan saja dari ja
batannya!" Hadiman menggerutu tak senang. '
"Lagipula, kalau mereka kita takut-takuti, itu berarti aku mendorong mereka untuk mempercayai apa yang selama ini justru kusuruh tinggalkan!"
"Aku hanya bermaksud semua urusan ini cepat terselesaikan ." Martubi berdalih, menyimpan perasaan kecewa. "Tetapi berapa lama kita harus menunggu" Dan jangan lupa. bangkai yang sudah dikubur dalam tanah, lambat laun pasti hancur. Tak ada lagi yang dapat kita perbaiki ...."
"Yang lebih patut diperbaiki, Pak Martubl
...," ujar Hadiman tenang. "Adalah ketentraman jasmani dan rohani ibu dari cucumu. Untuk jangka panjang. Bukan sekedar hari ini sa'a!"
]"Aduh. Perutku kok mendadak lapar!" Martubi mengelakkan diri dari kekalahan.
"Aku juga. Tercium oleh bau ikan panggang Supinah!"
... MALAM hari itu Kartijo tak mampu memicingkan mata. la gelisah setengah mati. tanpa sebab-sebab yang jelas. Kerlngatnya mengalir tak putus-putus. lewat tengah malam ia menyelinap ke luar rumah untuk mendapatkan hawa segar. Baru saja ke luar. ia sudah kaget sendiri waktu ada bayang-bayang lewat di dekatnya. Tahu tahu pundaknya ditepuk pula. Tak pelak lagi. ia memekik tertahan. Suara tawa bergelak menyadarkannya. la cepat berpaling, mengenali siapa yang memperdayakannya, lantas memaki:
"Haram jadah kau, Parlan! Kukira ...."
"Hantu ya?" yang disebut Parlan, tertawa lagi. "Katanya kau bukan penakut!"
"Siapa bilang aku takut, kau tikus busuk" Aku kaget. hanya itu saja. Dan apa kerjamu keluyuran larut malam begini" Mau maling ?" ya "Maling nenekmu!" Parlan balas menggerutu. "Aku baru dari kuburan itu. Anakku sakit keras. dan ada yang bilang kalau aku menyiram kuburan kepala anjing itu dengan air kembang, anakku akan lekas sembuh ...."
"Omong kosong!" dengus Kartijo mencemooh. "Lalu apa yang terjadi kalau umpamanya kuburan itu kukencingi?"
"Kau berani?" "Mengapa pula tidak" Mau kubuktikan?"
"Uh. Kau pergilah sendiri. Aku tidak mau terlibat ikut mengotori tempat di mana aku justru mengharapkan berkah ...."
"Dasar manusia tak eling," Kartijo geleng kepala. "Dan supaya kau eling, biarlah kukencingi saja kuburan itu. Lalu akan kita lihat besok, bahwa aku tetap segar bugar dan anakmu tak sembuh-sembuh."
"Atas nama anakku, terkutuklah kau Kartijo! " umpat Parlan seraya berlalu dengan sakit hati.
Kartijo memperhatikan Parlan pergi. meninggalkan amarah meluap-luap di dadanya. Dari maksud semula ingin bercanda, ia lantas nekat melaksanakannya. Wajahnya memerah padam waktu ia bergegas ke arah jembatan di batas kampung mereka dengan kampung Maung. Kuburan kecil yang ditumpuki batu sungai sebagai tanda, tampak bekas air dan bunga rampai yang bertebaran.
Kartijo mengawasi tumpukan batu itu sembari nyeletuk kasar: "Anjing terkutuk Minumlah air kencingku sepuas-puas dahagamu! "
lalu celana ia buka, dan kemudian tumpukan batu ia kencingi disertai tawa histeris. Air seninya mengalir dan terus mengalir. Belum pernah seumur hidup ia kencing sebanyak dan selama itu. Menit demi menit berlalu, air seninya terus mengucur seolah tidak habishabis. Tawanya pelan-pelan merendah, lalu hilang. dan kemudian ganti ia ketakutan. la berusaha melepaskan tangan dari kelelakiannya, tetapi usaha itu tidak berhasil. Ia mulai kalut
dan melangkah mundur. Namun lewat kelelakiannya cairan terus saja mengalir lepas tanpa kendali. la mundur dan terus mundur dengan panik, manakala air yang mengalir berubah warna kemerah-merahan. semakin merah dan merah.
"Darah!" Kartijo berseru dengan suara setengah tercekik. "Aku kencing darah Aku tak dapat.. .menghentikannya .Apakah. .. . 'suaranya semakin lemah dan lemah. Wajahnya pun semakin pucat dan pucat. Langkah mundurnya makin lama makin tertegun-tegun. kaku. Kemudian ia sadari bahwa permukaan kulit lainnya ikut pula memucat dan seterusnya perlahan-lahan membiru bersama dengan semakin banyaknya darah yang tersedot keluar dari dalam tubuhnya.
"... aku ..tak mengerti..." Kartijo merintih pelan ketika tubuhnya limbung ke depan, kemudian jatuh dengan wajah lebih dulu mencium tanah. Tanpa dapat dihindari. ia sekaligus pula mencium genangan darahnya sendiri. Baunya anyir dan busuk alang kepalang.
Kartijo menggeliat. Ingin muntah.
Tetapi tidak sesuatu pun yang dapat ia muntahkan lagi, setelah jaringan-jaringan di sekujur tubuhnya menolak untuk bereaksi karena sudah terlalu lemah kehabisan bahan bakar, yakni darahnya. Sementara keheranan
tetap menghantui. Kartijo masih dapat merasakan bahwa dalam genggaman telapak tangan kanannya. kemaluan Kartijo terus mengeluarkan cairan.
la berupaya sekuat tenaga menggerakkan kepala. Ia berhasil, tetapi hanya untuk menoleh ke samping untuk melihat kegelapan yang bertambah pekat hitam, datang bergumpal-gumpal ke arah dirinya. mengepung dan kemudian mencengkeram, menekan, menghimpit.
"To-long ...," Kartijo bernafas megapmegap."Aku ...."
Pandangannya mengabur sudah.
Kegelapan sudah berhasil menguasai dan memperbudak kemauannya. la menyatu dengannya. Larut perlahan-lahan. sampai ia tidak tahu apa dan siapa lagi dirinya. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, masih sempat Kartijo menangkap gambaran lengan kiri yang terkulai lunglai di depan matanya.
Lengan itu seperti mengecil.
Kulitnya mengisut. Hitam kebiru-biruan.
Gambaran menakjubkan dan' lengannya itu tiba-tiba menghilang. Bersama dengan hilangnya nyawa Kartijo. Saksi mata terus memperhatikan matinya Kartijo. Mengawasi diam diam beberapa belas meter dari tempat Kartijo jatuh lalu mengakhiri ajal.
Saksi mata itu. memang bisu. Karena sebenarnyalah. hanya terdiri dari tumpukan batu-batu semata!
*** BAB 11 BELUM juga matahari terbit, penduduk kampung Parigi sudah dilanda gempar. Kabar tentang matinya Kartijo secara mengerikan dengan cepat pula telah sampai ke telinga Lurah desa Lamping. Hadiman bukan main terkejut. hampir tak mempercayai gunjingan yang ia dengar. Untuk meyakinkan. ia bergegas menuju kampung Parigi ditemani oleh Martubi.
Di antara jerit tangis yang memenuhi rumah almarhum, di sana-sini terdengar bisik-bisik ketakutan membicarakan sebab musabab kematian Kartijo. Semuanya mengarah pada satu hal. yang membuat Hadiman semakin murung. Baru setelah dibisiki Martubi. ia teringat apa yang semestinya dilakukan. Tanpa membuang waktu maupun kesempatannya. ia meminta semua orang yang hadir didalam rumah duka agar diam sebentar.
"Bela sungkawa patut kusampaikan pada keluarga almarhum," katanya tenang dan datar. Ia tidak ingin memperlihatkan kemarahan.
namun toh kalimat kalimatnya yang meluncur kemudian dari mulutnya jelas berbau kemarahan itu: "Tanpa maksud merendahkan martabat almarhum. aku harus mengingatkan kalian kembali. Bahwa telah beratus bahkan mungkin ribuan kali aku peringatkan warga desa kita. termasuk kamu, kamu. dan kamu"." ia menunjuk beberapa orang yang seketika merundukkan kepala. "Melihat diri dalam urusan setan jahanam tanpa didukung iman yang teguh. akan membuka jalan pada setan untuk memperbudak kalian. Memuja benda atau tempat keramat pun setali tiga uang. Sebaliknya, menolak kepercayaan yang sudah patut ditinggalkan itu, benar, baik. terpuji. Tetapi pun harus diingat. Tidak pantas mengotori atau memperhinakan kepercayaan orang lain. Selalulah bertukar pikiran secara kekeluargaan. Dengan begitu. mudah-mudahan setiap kesulitan yang sama-sama kita hadapi dapat dibereskan tanpa saling melukai hati sesama. Baik yang sudah mati, konon pula yang masih hidup.?"
Kepala kampung kemudian angkat bicara. "Tak ada jalan lain." katanya. "Aku tak sudi ada warga kampung ini memuja maupun mengotori sesuatu yang tidak patut dipuja dan dikotori. Kuburan sialan itu harus dibongkar. Dan kepala anjing yang terkubur di dalamnya
harus dibuang!" "Dibuang ke mana?" seseorang nyeletuk.
"Biarlah aku yang mengurusnya! " sela Hadiman dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku akan menguburkannya di suatu tempat. yang kuharap tak seorang pun kalian mengetahuinya,,.
Harapan Hadiman itu sungguhlah, setulus hatinya.
Ketulusan hati itu, meski dalam tafsiran lain. disambut anggukan kepala serempak di sanasini. Lepas dari kengerian melihat keadaan jasad jenazah Kartijo, diam-diam Martubi menahan senyum sekaligus kagum akan siasat jitu Hardiman.
Tetapi Martubi samasekali tidak kuasa lagi tersenyum sewaktu tumpukan batu lalu tanah di bawahnya dekat jembatan, selesai dibongkar. Ia sendiri yang dengan sukarela mengangkat kepala anjing itu dari liang kubur. membungkusnya dengan sehelai kain yang diserahkan salah seorang penduduk. lalu menyimpannya hati hati di dalam sebuah kardus. Selagi mengerjakan semua itu, tangannya gemetar dan jantung berdegup keras.
"Benarkah ini kepala cuCuku?" ia membatin, getir dan sakit .
*** TAK seorang pun yang berani mengikuti Lurah ketika pergi bersama Martubi meninggalkan kampung Parigi. Kedua orang itu berjalan cepat dengan mulut bungkam, sampai suatu saat Hadiman bergumam:
"Tahukah kau, Pak Martubi?"
"A--pa?" sahut Martubi terkejut, karena pikirannya sedang tertuju pada wujud kepala anjing dalam kardus yang dikepit lengannya.
"Bangkai kepala itu. Sekarang sudah memasuki hari ke dua sejak mereka menghabisi nyawanya. Aku jongkok di dekatmu ketika kau mengeluarkan lalu membungkus kepala itu. Dan aku tak mencium bau apa-apa.. .."
"Iya ya!" Hadiman manggut-manggut. "Anehnya. kepala ini masih utuh. Maksudku. tidak membusuk. Aneh memang, namun buat kita keanehan itu justru sangat menolong!"
"Kuharap saja. Pak Martubi. bagian lain tubuhnya punya keanehan serupa...."
"Ah. Baru aku ingat. Apa tak ada salahnya kita langsung saja mengambil jalan pintas ke kampung Banjar" Tentunya mereka di sana sudah mendengar tentang peristiwa mengerikan di kampung Parigi. Dan seperti halnya penduduk kampung Parigi, mereka pun akan merelakan bagian tubuh lain itu kita bawa pulang.. ."
"Kita harus punya alasan yang masuk akal.
Pak Martubi." '"Ada. Katakan saja. kau tidak mau jatuh korban yang senasib dengan Kartijo."
"Usul yang tepat!" desah Hadiman gembira. "Ayolah! "
Memakan tempo lebih setengah jam sebelum mereka tiba dan bertemu dengan kepala kampung Banjar. Waktu memasuki kampung itu. Hadiman dan Martubi bernafas lega melihat suasana aman tenteram. Tampaknya apa yang terjadi di kampung Parigi belum dan semoga tidak terjadi pula di kampung Banjar yang damai ini.
Kepala kampung sudah mendengar peristiwa kematian Kartijo. la menyuruh orang memanggil tetua yang dihormati penduduk. dengan siapa kemudian mereka berembuk. Meskipun sempat adu mulut yang menegangkan dengan tetua kampung itu. akhirnya diperoleh juga kata sepakat. Martubi hampir bersorak kegirangan setelah disadarinya bahwa betapa mudah mereka memperoleh apa-apa yang mereka kehendaki. Tanpa curiga atau prasangka dari siapa pun juga. Urusan seterusnya, tentulah akan lebih ringan dan lancar. Perasaan sama juga meliputi hati Hadiman. Nama baik dan kehormatannya. terutama istrinya Maryati, akan tetap terjaga tanpa cela!
Namun dengan segera kegembiraan itu lenyap. Sewaktu datang. mereka mengambil jalan pintas. Tidak melalui pintu masuk kampung. Sekarang mereka berdua didampingi kepala dan tetua kampung yang membawa pacul untuk menggali. sama berdiri menghadapi kuburan di bawah pohon beringin. Atau lebih tepat dikatakan. bekas kuburan.
Karena kuburan itu tampaknya telah lebih dulu dibongkar orang lain.
Bagian tubuh yang mereka cari. lenyap tanpa bekas.
"Kurang ajar! Siapa pula yang menjahili tempat ini?" Kepala kampung mengumpat marah. Lalu mengawasi tetua yang dihormati itu dengan mata curiga. Yang diawasi tak kurang-kurang gusarnya.
Desisnya murka: "Siapa pun dia. biar anakku sendiri misalnya. lehernya akan kucekik! "
Ada pun Hadiman dan Martubi. hanya mampu bertukar pandang.
Khawatir. Dan patah semangat Sewaktu mereka dalam perjalanan kembali ke rumah kepala kampung untuk menyusun rencana mencari tahu siapa yang bertangan jahil itu. mereka berpapasan dengan salah seorang penduduk yang baru saja akan berangkat ke ladang. Orang itu kelihatan melangkah gontai dengan wajah keruh dan mata kemerah-merahan karena kurang tidur.
!" "He. Sulimin!" panggil kepala kampung. "Kau sakit?"
Orang itu berpaling kaget. Setelah mengetahui siapa yang menegur. ia segera terbungkuk-bungkuk mendekat "Mungkin saya memang sakit.... Mungkin juga berubah ingatan," katanya. Ia menoleh pada Hadiman. makin membungkuk lagi sambil berujar diriang-riangkan: "Pak Lurah. Tumben!"
Hadiman memaksakan senyum di bibir. Bertanya lembut: "Kau barusan mengatakan sesuatu yang -yah. agak membingungkan. Apakah kau memerlukan bantuan. Sulimin?"
"Tidak. Tidak. Tidak ada yang dapat membantu saya. Pak Lurah." sahut orang itu dengan suara gemetar dan mata yang liar. la mengawasi dari arah mana keempat orang itu datang. dan ia bertambah-tambah gemetar. "Apakah... bapak ini tadi melewati kuburan
menakutkan itu?" "Kuburan mana?" Hadiman berlagak pilon.
"Yang mana lagi. Itu. yang di bawah pohon beringin. Yang penghuninya.... penghuninya...." suaranya mulai panik. "Bangkit sendiri!"
Sulimin diajak ke rumah kepala kampung. Setelah diberi minum dan disuruh beristirahat sebentar. ia menjelaskan: "itulah yang membuat saya tidak dapat tidur semalaman. Sampai sekarang. saya tetap gugup dan takut mengingat apa yang terjadi tadi malam. sewaktu saya dalam perjalanan pulang dari kampung tharu untuk melayat kerabat yang sakit payah. Mau tidak mau saya harus melewati kuburan di bawah pohon beringin itu. Dan...."
Sekali lagi ia terpaksa diberi minum. Meski tadi ia sudah meneguk dua gelas penuh, toh ia habiskan satu gelas teh manis lagi, yang ia reguk tanpa merasakan panasnya teh itu. Mungkin lidah atau kerongkongannya terbakar. hanya tidak merasakan. Duduk terbadai di kursinya. orang itu mengulang pengalaman buruknya dengan suara terputus-putus sehingga harus beberapa kali disabarkan dan disuruh mengucap istigfar.
Tadinya, ia bukan seorang penakut. Disuruh duduk semalaman tanpa ditemani orang lain menunggu jenazah, pun ia berani. Namun desas-desus yang sudah menyebar luas tentang makhluk berwujud anjing hitam bermata merah darah itu berkembang begitu cepat dan entah dibumbui entah tidak, yang jelas dapat membuat seorang laki-laki gagah perkasa akan terpaksa harus berpikir dua kali sebelum melewati kuburan makhluk itu.
"Bayangkan..." ia menyela kisahnya, "Mereka bilang, pada malam hari kita berpikir tengah menggeluti istri, dan tiba-tiba kita sadari bahwa yang kita peluk adalah tubuh seso-
sok makhluk hitam tanpa kepala. Yang lain bi-lang, suatu pagi ia terbangun dan melihat kepala makhluk itu tergolek di sebelah bantalnya,
dengan mata merah menyala dan gigi-gigi ta-ring mengancam Katanya ia langsung terbirit
birit lari, dikejar oleh kepala mengerikan itu
Baru ketika tiba di bawah terik matahari, sosok
kepala itu seperti debu ditiup angin.!
Dan kau percaya tentang tahayul itu?" de-sah kepala kampung.
Sebenarnya tidak. Namun toh waktu pulang dari kampung owaru mau tidak mau hati
saya gentar juga...."
Sayang ingatan pada si sakit di awaru
memenuhi pikirannya, sehingga ketika sampai
di mulut kampung Banjar baru la teringat bah-wa ia harus melewati kuburan itu. Tengah ma-lam buta, seorang diri, sementara suasana se-kitar kampung begitu lengang. gelap, seakan
mendadak tidak berpenghuni. Angin sedingin
es bertiup kencang pula, entah dari mana da-tangnya dan tidak mengerti mengapa angin
dapat sedingin itu. Setelah ragu-ragu sebentar, kemudian ia
memutuskan untuk berjalan menghindar agak
jauh agar tidak melewati kuburan di bawah po-hon beringin tua itu. Baru saja ia akan beran-jak, ia mendengar suara suara berisik yang
aneh. disusul oleh udara yang semakin dingin membekukan. Cepat ia merapatkan tubuh ke sebatang pohon besar agar terhindar dari tiupan angin. Suara berisik itu makin kentara. Datangnya dari arah bertiupnya angin. Penasaran. ia melongokkan kepala dan mengawasi arah suara tadi terdengar.
Dan. ia melihatnya. Melihat tumpukan tanah kubur bergerak dan berhamburan tanpa ada yang menggerakkan. kecuali bahwa arah gerakan itu seperti mendorong diri dalam liang kubur. Mula-mula ia tidak melihat apa-apa. Namun setelah menajamkan pandang mata menembus kegelapan, tampaklah sesosok tubuh hitam. jelek dan menjijikkan. merayap naik dari liang kubur kemudian berdiri limbung di atas keempat kaki-kakinya. Makhluk tanpa kepala. Anjing besar berbulu hitam. tetapi yang sudah plontos awut-awutan.
"Saya begitu terkesima!" desis Sulimin lirih. "Sehingga saya hanya dapat berdiri menyandar di pohon dengan seluruh tubuh gemetar hebat. Celana saya terasa hangat. basah. Setelah sosok makhluk itu melompat lompat pergi dan lenyap di kejauhan. barulah saya lari bagai dikejar setan. Pulang ke rumah. Dan ditanyai oleh istri saya. Apa-apaan saya ini. masuk rumah bagai kesurupan. kencing di celana pula. ..! "
"Kau pulanglah. Istirahatlah yang banyak. Sampai kau merasa cukup pulih untuk kembali melakukan pekerjaan sehari-hari!" Kepala kampung menyarankan selesai orang itu bercerita.
"Tetapi kebun mentimun saya, Pak...."
"Seseorang akan kumintai tolong untuk mengurusnya." kepala kampung menjanjikan.
Kemudian mereka berempat hanya tertunduk diam di kursi masing-masing. Penganan yang dihidangkan nyonya rumah. hampir tidak disentuh sama sekali. Akhirnya Hadiman berujar:
"Kita harus mencari tahu. ke mana perginya tubuh tanpa kepala itu!"
"Setuju," Martubi mendukung.
"Caranya?" desah kepala kampung.
"Bagaimana ya"," Hadiman bingung. "Apakah tidak ada yang lapor telah didatangi makhluk tanpa kepala itu tadi malam?"
"Damai di luar sana, bukankah begitu Pak Lurah?" Kepala kampung mengingatkan dengan halus.
Bingung lagi Hadiman. Lalu: "Begini saja. Sambil kita sama-sama mengasah otak tak ada salahnya kau ceritakan kembali apa-apa yang terjadi sewaktu dan setelah makhluk itu kalian gantung di pohon belimbing. Siapa tahu kita dapat meraba-raba kejadian malam itu dengan apa-apa yang terjadi selama dua hari terakhir ini. . . ."
Kepala kampung dengan enggan menceritakan apa yang ia lihat dan dengar sesekali ditambahi keterangan lain oleh tetua kampung yang lebih banyak diam dari tadi. Menjelang akhir ceritanya, tanpa disengaja sepasang mata kepala kampung menatap kardus milik tamunya yang diletakkan di sudut ruangan. Mendadak kepala kampung Banjar itu tertegun. lalu berbisik: "Kartijo... Kartijo.... lalu siapa lagi yang bikin ulah paling brengsek malam itu ya?"
Tetua kampung menolongnya. Orang tua itu bersungut tak senang: "Si Codet. Bekas narapidana itu!"
"Si Codet?" Hadiman tertarik. "Apa kaitannya dengan Kartijo almarhum?"
"Mereka berdualah yang memperolok-olokkan bangkai makhluk itu," jawab kepala kampung resah. "Membuka kelopak mata anjing itu. Dan seperti Kartijo, si Codet pun mengeluarkan kata-kata tantangan yang memalukan...."
"Tantangan apa yang diucapkan?" Hadiman semakin tertarik.
"Semacam undangan. begitu."
"Ha. Undangan?"
"Ya. Agar makhluk itu datang berkunjung
ke rumahnya. dan melihat -yah. seperti dia bilang waktu itu --. bahwa mengangkangi istrinya tidaklah semudah mengangkangi Nyi imas...."
Martubi menahan nafas. lalu angkat bicara: "Lidah berbisa!"
"Apa?" kepala dan tetua kampung bertanya serempak.
"Ah... bukan apa-apa." jawab Martubi rendah sembari mengerling Hadiman. "Apakah kau sependapat. Pak Lurah" Bahwa undangan itu kemudian... dipenuhi oleh yang diundang?"
Seketika Hadiman bangkit dari duduknya.
"Aku lupa-lupa ingat rumah si Codet. Sudilah mengantarku ke sana, Pak Diran." ia memohon pada kepala kampung. Dengan nada memerintah.
*** Sl CODET" bernama lahir Sobara. Ayahnya berharap sangat kelak putranya yang ke sembilan itu menjadi manusia penyabar. tabah menghadapi cobaan hidup maupun tantangan kehidupan. Sobara Sekaligus juga anak bungsu. karena setelah ia lahir, ibunya tidak akan pernah hamil lagi. Perempuan berahim subur itu sudah sangat lemah dan kurus sehingga
tidak lagi dapat meneteki Sobara. demi anak anaknya yang berumur rapat satu sama lain, sang ibu beberapa kali harus berpuasa selama beberapa hari. Puasa terpaksa, sampai akhirnya ia benar-benar mati karena kelaparan.
Di tengah kemelaratan keluarga, Sobara tumbuh besar bersama ketidakpuasan, hinaan, perlakuan semena-mena orang lain. Termasuk sanak famili yang sudah muak diemisi terus. Menginjak umur belasan tahun Sobara turun ke kota kecamatan, dari mana ia menumpang truk pasir sampai ke ibukota Kabupaten. Apa saja ia kerjakan, asal halal dan bisa memberinya kesempatan hidup satu hari lagi, lagi dan lagi.
Suatu hari, sang majikan tempatnya bekerja meludah! piring berisi nasi dan lauk pauk yang baru saja akan dimakan Sobara. Ia dituduh, mencuri lauk pauk dari lemari dapur tetapi tidak berani membantah. Ia ingin menjaga itikad baik Saniah, pelayan perempuan majikan yang diam-diam menaruh hati padanya. Saniah diperlakukan majikan jauh lebih baik. Karena ia perempuan, muda, berwajah manis. murah senyum dan penurut pula. Saniah-lah yang diam-diam mengambil lauk pauk dari lemari dan diselundupkan ke piring Sobara.
Hari itu Sobara dapat menahan diri karena ia masih menyukai pekerjaannya sebagai tukang
kebun dan pekerjaan kasar lainnya. dengan gaji memadai. Gaji yang juga jumlahnya beberapa kali meningkat berkat senyuman manis Saniah pada majikan. Tetapi beberapa hari kemudian, kesabaran Sobara runtuh bagai tanggul lapuk yang mendadak dilanda banjir dahsyat. la pergoki Saniah tengah diperkosa oleh majikan, dengan tangan dan kaki Saniah diikat di tempat tidur. Tanpa berpikir panjang Sobara berlari mengambil penyabit rumput dan tubuh majikan durjana itu ia tebas-tebas sampai hampir tak dapat lagi dikenali.
Di pengadilan, jaksa menuntut hukuman penjara 11 tahun untuk Sobara. Tetapi hakim mempertimbangkan kedurjanaan si mati, dan sependapat dengan penasihat hukum bahwa Sobara membantai majikannya terdorong oleh naluri ingin membela kehormatan Saniah. Ia hanya divonis 4 tahun, langsung masuk dan hanya ia jalani sekitar tiga tahun karena dikurangi remisi-remisi. Keluar dari penjara ia menikah dengan Saniah. Pindah ke kota lain. menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Hinaan dan perlakuan semena-mena masih juga mengejar kemana pun Sobara pergi.Tiap kali ia berusaha menghindar, selalu ada saja sebab ia lagilagi dipojokkan. Ia tusuk perut teman usaha jual beli kendaraan bermotor, karena muak teman itu terus menerus menipu pembagian untung. Sobara kali ini kena 7 tahun, karena terjebak pancingan jaksa dan terpaksa membuka rahasia masa lalu bahwa sebelumnya ia pernah masuk penjara karena kasus pembunuhan pula.
Dengan setia Saniah menantinya. bersama dua orang anak mereka yang syukur tumbuh sehat dan tidak kekurangan berkat Saniah yang jungkir balik tanpa kenal lelah. Bebas untuk ke dua kalinya, Sobara memutuskan untuk mengasingkan diri. Hidup di kota hanya membangkitkan haus darahnya saja. Saniah setuju diboyong pulang ke Kampung Banjar. Reputasinya di kota telah didengar penduduk. Tidak lagi ada yang berani memperhinakannya. Dan tidaklah mengherankan pula, apabila kemudian ia ditawari pekerjaan bagus oleh salah seorang sanak yang memiliki perkebunan kopi satu-satunya di desa Lamping. Upahnya berupa bagi hasil sepertiga dari hasil panen.
Hidupnya sudah lumayan layak. Bahkan mampu membantu sedikit-sedikit satu dua saudaranya agar tidak sampai kelaparan. Karena kalau tidak sedang bekerja ke kebun kopi, Sobara turun ke kecamatan dan kerja sampingan menggali dan menjualkan pasir serta batu-batu sungai untuk bahan bangunan. Sebenarnya ia laki-laki yang baik. Sayang, sejak lahir ia sudah didorong untuk berlaku kasar dan mudah naik darah.
Ketika Nyi Imas diperkosa oleh makhluk berupa anjing besar hitam bermata merah darah itu, Sobara baru saja akan meninggalkan rumah untuk meronda. Cerita perkosaan yang ia dengar cukup menakutkan. Wujud pemerkosa itu lebih menakutkan lagi. Penduduk ketakutan setengah mati; sore-sore sudah mengunci rapat pintu dan jendela.
"Penakut semua!" umpat Sobara marah. "Bagaimana kalau istrimu yang diperkosa?" ia menghardik dua tiga orang temannya.
Mau juga dua laki-laki lain mendukung niatnya sama-sama mencari dan menemukan makhluk jahanam yang terkutuk itu. Sewaktu mereka akan bergerak ke lereng gunung itulah sifat penaik darah yang sering lewat batas dilontarkan Sobara lewat ucapan lantang: "Apa, setan" Setan buatku tak lebih dari taik! "Lalu ia memperlihatkan codet di pelipisnya. "Waktu di kota, seseorang coba mengguna-gunai istriku. Dengan petunjuk seseorang. aku mengetahui dukun pembuat guna-guna itu. Lehernya kucekik karena ia bersikeras tidak mau menyebut siapa yang membayarnya. Lalu tiba tiba. ia menyemburkan ludah ke pelipisku. Ludah itu melukai dan membakar. Dua bulan baru sembuh. Dukun itu sendiri yang mengobati. Setelah kapok. ia bilang aku begitu kuat. Orang lain. akan hancur kepalanya kena semburan ludahnya. la bilang lagi. setan pujaannya tidak berdaya melawan kekuatan ajaib dalam tubuhku."
Entah benar entah omong kosong saja ceritanya mengenai codet di pipinya itu. Sobara yang lebih dikenal dengan sebutan si Codet memang selalu paling depan'atau lebih dulu memasuki tempat-tempat gelap menakutkan ketimbang yang lain, termasuk lelaki lelaki kampung Parigi yang kemudian bergabung dengan mereka. Dan waktu mereka memergoki secara kebetulan makhluk yang dicari. dia yang pertama mengejar lalu memukul kepala makhluk itu dengan pentungan kayu, setelah mana Kartijo berhasil menyabetkan golok ke lambung makhluk itu.
Jerih payah itu melambungkan kesombongannya.
Geli menyaksikan orang terakhir yang membatalkan maksud mencabuti kuku anjing besar yang tergantung di cabang rendah pohon belimbing tua, ia tidak mau kalah dengan Kartijo yang mengolok-'olok bangkai anjing itu. Tak ada yang mengetahui, apakah ia sadar pada saat ia menantang makhluk yang mereka pastikan sudah mati itu. untuk mau berkunjung ke rumahnya. "Akan kau lihat, mengangkangi istriku tidak semudah mengangkangi Nyi Imas!" teriaknya. disusul tawa berderai-derai.
*** *** SANIAH lah yang menceritakan bagaimana sang makhluk benar-benar memenuhi undang si Codet untuk datang berkunjung ke rumah mereka. Makhluk itu muncul tanpa membawa serta kepalanya! Ia dan suami beserta anak. anaknya tinggal di rumah kecil bobrok peninggalan ayah Sobara yang juga sudah almarhum. Tidak seorang tetangga pun yang mengetahui kunjungan makhluk misterius itu, karena rumah mereka jauh terpisah dan memencil dari kelompok perumahan tetangga sekitar.
Saniah ditemukan rombongan Hadiman duduk terkulai di lantai tanah rumah mereka, ditangisi oleh anak-anaknya yang bocah tanggung. Anak-anak itu, kebetulan malam pergi menginap di rumah majikan Sobara untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kecil dalam rangka khitanan Cucu majikan itu dua hari mendatang. Pulang ke rumah, hari sudah siang dan mereka temukan ibu mereka dalam keadaan seperti beberapa menit kemudian
muncul rombongan Hadiman. Duduk terkulai menyandarkan diri ke dinding kayu lapuk. dengan tubuh lunglai tak bergerak dan mata liar di wajahnya yang pucat tak berseri .
Sementara tetua kampung mengusap wajah Saniah sambil membaca doa-dna penolak bala. Hadiman bertanya pada anak-anak yang panik itu:
"Ayah kalian. Mana dia?"
"Tak tahu. Pak Lurah." jawab yang tertua. "Ketika kami datang. ayah tak ada di rumah ini. Hanya emak yang ada. Itu pun...." ia melirik ibunya dan menangis lagi sesenggukan. Oleh kepala kampung. kedua orang bocah tanggung itu diantarkan ke rumah majikan ayah mereka dan menunggu di situ sampai mereka diperbolehkan bertemu kembali dengan ibunya.
"Apa yang terjadi" Ada sesuatu yang dapat kami bantu?" majikan si Codet bertanya khawatir.
"Yang terjadi. bagiku masih gelap." jawab kepala kampung. "Kalau mau membantu. hiburlah dua anak yang menderita ini. Mengenai ibunya. biarlah kami yang mengatasi. ..."
Tiba di rumah yang letaknya terasing itu. kepala kampung melihat Saniah sudah mulai dapat berbicara. Namun masih diperlukan waktu seperempat jam kemudian sebelum Saniah dapat mengulang ceritanya yang membingungkan agar lebih jelas dan tidak lari sana lari sini, sukar dikaitkan satu sama lain. Syukurlah, meski ia hanya seorang perempuan, ia lebih mudah dibujuk ketimbang Sulimin, lakilaki yang terkencing-kencing di celananya itu.
" bersama Kang Sobara, aku baru pulang dari rumah majikan," ia memulai lagi ceritanya dengan lebih tenang dan tabah. Tinggal matanya saja yang sesekali mendadak liar mengawasi pintu depan. "Kami baru saja akan berangkat tidur ketika" . ketika terdengar. . . suara menggaruk-garuk itu . . . ."
Suara itu berasal dari pintu depan.
Sang suami yang sudah mengantuk saking lelah, menjadi jengkel karena suara garuk garukan itu bukannya berhenti setelah dibentak dari kamar tidur. Malah makin keras dan bernafsu, disertai suara berdebum-debum seperti daun pintu dihempas-hempas sesuatu.
"Setan laknat!" Sobara naik darah, melompat dari tempat tidur. "Kuhajar kau!"
Saniah mulanya tidak tahu apa atau siapa yang menjadi sumber keributan itu. Ia hanya dengar suaminya merenggut pintu depan sampai terbuka, membentakkan kata-kata cercaan, lalu mendadak segalanya sepi. Diam membisu. Saniah bingung, dan tiba-tiba tegang. la lihat suaminya masuk kembali. Berjalan mundur tanpa bersuara. Suaminya yang kasar dan gagah berani. tampak pucat dan loyo seolah berada di bawah pengaruh kekuatan gaib.
Lalu" . sesuatu tampak mengikuti ke dalam.
Sesosok tubuh setinggi paha suaminya, barangkali malah setinggi pinggang... berkaki empat, kekar kokoh dengan tubuh yang tampak begitu jelek menjijikkan karena digenangi darah membeku bercampur tanah. Sewaktu suaminya menyisih untuk memberi jalan, barulah Saniah terpekik. Hanya terpekik di dalam sanubari, karena lidahnya terasa kelu dan persendian tubuhnya mendadak lumpuh tanpa sebab. Dengan kengerian luar biasa ia melihat, bahwa makhluk itu tanpa dilengkapi kepala. Pada batas leher yang terputus, hanya terlihat daging dan tulang yang juga digenangi darah berlumur tanah.
Leher itu. 'memandang' lurus pada Saniah yang terpukau.
Ada terdengar desahan-desahan nafas, entah nafas siapa dan dari mana datangnya, Saniah tidak memperhatikan benar. Yang pasti, ia dengar suara suaminya bergumam rendah: "Benar. Dialah... istriku...."
Dengan siapa suaminya bicara"
Belum selesai Saniah memikirkan pertanyaan itu. sang suami tiba-tiba pula bergerak
mendekatinya lalu memerintahkan Saniah menanggalkan pakaiannya. Saniah ingin menolak, tetapi "sorot pandang" leher makhluk itu memaksanya untuk mematuhi perintah si suami. Aneh, meski jiwanya terasa lumpuh. justru sebaliknya kelumpuhan pada persendian saat itu mulai berkurang. Ia dapat menggerakkan tangan dan jari-jemarinya.
Setelah pakaian ditanggalkan, ia tertegak lunglai dalam keadaan bugil sama sekali. Disaksikan oleh suaminya yang seakan membeku tanpa kuasa melakukan sesuatu, Saniah ketakutan setengah mati sewaktu makhluk tanpa kepala itu mendekati. Leher yang diselaputi darah serta tanah itu kemudian disentuh sentuhkan lalu digosok-gosokkan ke paha Saniah. Saking tidak kuat menahan kengerian, Saniah limbung lalu jatuh terjerembab di lantai. Selama beberapa saat kepalanya terasa pening , tanpa ada yang menolong.
Saniah beringsut ke dinding.
Mencari pegangan. lalu ia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang menyembul keras dan panjang di antara kaki-kaki belakang makhluk itu. Saniah setengah sadar setengah tidak. tahu bahwa ia beringsut dengan posisi tercelentang ke arah dinding. la ingin pingsan, namun kekuatan gaib yang aneh memaksanya untuk tetap sadar. Lalu .makhluk itu mengangkanginya. Dengan cepat dan mudah. karena Saniah tidak punya kekuatan apa apa lagi. Jangankan untuk memberontak. Untuk menggerakkan mata saja ia tak mampu. Sepasang mata Saniah terpentang lebar, diam tak berkedip tak beralihalih dari leher sang makhluk yang begitu dekat ke wajahnya.
Puas mengangkangi, makhluk itu kemudian mengundurkan diri dengan langkah-langkah kaki gontai. Tak ada yang bertanya, tetapi telinga Saniah menangkap suara suaminya menjawab:
"Ya... ya.... Gampang saja...."
Suaminya tidak sekali pun menoleh lagi ke arah Saniah ketika berjalan lunglai mengikuti makhluk itu menuju pintu depan. Saniah tidak dapat lagi melihat dua sosok tubuh berlainan takdir itu.keCuali sayupsayup mendengar ucapan terbata-bata Sobara:
"Gantung diri... aku... mengerti.?"


Misteri Lembah Hantu Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dinihari datang. Saniah tak sadarkan diri entah beberapa lama. Menjelang subuh ia terjaga lagi. seolah bukan pingsan tetapi baru bangun dari tidur. Sekujur tubuhnya lemas dan sakitsakit tiada terperi. Ia melihat pakaiannya yang berserakan, ingin menjemput tetapi tangan maupun kaki tidak mampu ia gerakkan. Siang menjelang Tak seorang pun datang. Juga
tidak suaminya. Kemudian ada suara-suara kaki-kaki kecil datang berlari-lari. Disertai teriakan-teriakan riang gembira. Anak-anaknya! Anak-anak itulah, yang setelah terlepas dari shock, kemudian memakaikan dengan susah payah pembalut tubuh Saniah, sementara Saniah sendiri masih tetap tak kuasa bergerak kecuali matanya yang dengan liar terus mengawasi ke arah pintu depan. Ia berharap, suaminya segera muncul. Sangat mengharapkannya. Untuk menanyakan hanya satu pertanyaan pendek saja:
"Kang Sobara. Tidurkah aku?" la heran dan malu ketika yang muncul adalah rombongan lurah desa mereka. Setelah wajahnya diusap, diberi minum air putih. dibacakan doa-doa penolak bala oleh tetua kampung, barulah pengaruh kelumpuhan itu perlahan-lahan hilang. Yang tinggal hanya keletihan dan keputusasaan.
Selesai dengan kisahnya, kelopak mata Saniah terpejam rapat. Bulu-bulu matanya bergetar getar. Mengungkap kandungan perasaan yang menggugah siapa pun yang melihat. Tak ada yang tega untuk menanyai Saniah lagi. Berpikir bahwa Saniah tertidur. keempat orang tamu bersijingkat ke ruang depan. Baru juga sampai di pintu, terdengar bisikan setengah mengerang dari mulut Saniah:
"Kang Sobara. Tidurkah aku?"
Serempak keempatnya memalingkan muka. Sama-sama menahan air mata. Martubi apalagi. Bukan saja ingin menangis. la malah ingin mengutuk. Teringat apa yang dikhawatirkan orang tua misterius bernama Sumirta itu: bagaimana kalau orang lain tak bersalah yang jatuh sebagai korban"
Sementara tiga orang lainnya sibuk berembuk, ia berkeliaran ke sekeliling rumah. Bagian-bagian akhir cerita Saniah yang membangkitkan nalurinya. Tak jauh dari rumah kecil bobrok itu, ia menemukan apa yang ia cari. Di salah satu cabang pohon rambutan, tampak terayun-ayun sesosok tubuh tinggi besar. Lehernya terjerat tali yang diikatkan ke cabang pohon rambutan itu. Martubi tidak pernah sebelumnya bertemu dengan Sobara. Tetapi setelah melihat bekas luka di pelipis mayat itu, ia yakin sudah bahwa ia kini berhadapan dengan Sobara alias si Codet. Barangkali benar, ia seorang pemberani tiada tara. Karena ia berani mengundang maut untuk datang mengangkangi istrinya.
Dan kemudian, mengangkangi nyawa si Codet sendiri!
*** SETElAH diberitahu dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa si Codet alias Sobara mati gantung diri, Hadiman mengambil keputusan cepat dan bijaksana. Dari cerita Saniah sebelumnya ia tahu bahwa baru mereka berempat saja orang luar yang pertama-tama berkunjung ke rumah kecil dan letaknya terkucil itu. Dua orang anak Saniah yang datang lebih dulu, juga tidak tahu apa-apa kecuali bahwa ibu mereka waktu itu seperti orang pingsan, dan merasa heran mengapa ibu mereka tersandar di lantai tanpa busana.
"Tugasmulah memberitahu warga sekitar," ia berkata pada kepala kampung. "Kalau ada yang bertanya mengapa si Codet gantung diri. bilang saja mungkin habis bertengkar hebat dengan istrinya tadi malam. Pokoknya terserah kau bagaimana menjelaskan. Pendeknya. kegemparan yang terjadi di kampung Parigi jangan sampai terjadi di sini."
Dan dengan sendirinya, nama baik Saniah dan anak-anaknya tetap pula terjaga. Perempuan itu tentu saja terpukul begitu diberitahu suaminya meninggal. Namun ia menerimanya dengan sikap tampak tetap tenang. Rupanya pukulan lain malam harinya, sudah sedemikian berat dan menyeramkan, sehingga pukulan yang datang berikutnya tidak terlalu mengejutkannya lagi. Dia malah sempat berterimakasih atas kebijaksanaan yang ditempuh Pak Lurah. Ketika jenazah suaminya dibawa masuk ke dalam rumah. ia hanya duduk mematung. Air mata mengalir melelehi pipinya, sementara mulutnya terkatup rapat. Membisu dalam tangis.
Satu setengah jam kemudian, Hadiman merasa kehadirannya tidak lagi diperlukan. Martubi pun sependapat agar segera berlalu. karena tidak tahan mendengar jerit tangis dua orang bocah tanggung yang ditinggalkan almarhum. Mereka kembali ke rumah kepala kampung untuk membicarakan beberapa hal, kemudian pamit pada tuan rumah.
Sewaktu akan mengambil kotak kardus di sudut ruang tamu, Martubi mendadak merasa mual perutnya. Ia ingin membuka penutup kotak itu, lalu muntah ke dalamnya, mengotori kepala makhluk yang menjijikkan itu. Rasanya malah ia sangat ingin memberakinya. Dengan wajah tak senang dikepitnya kotak kardus itu pada lengan, kemudian meninggalkan rumah kepala kampung yang berjanji akan menyuruh orang-orang kepercayaan mencari bagian tubuh lain sang makhluk yang hilang tak tentu rimba itu.
"Kupikir-pikir, aku tidak lagi berminat untuk mencari bagian tubuh yang hilang itu...," gumam Martubi. tak senang. "Malah Inipun," ia
tepuk-tepuk kardus yang dikepitnya. "Rasanya ingin kubuang jauh-jauh! "
Hadiman tidak mengomentari. Dia pun punya perasaan serupa. Jijik dan mual. Kalau tidak mengingat Maryati. maulah ia lupakan urusan ini dalam seketika. Selama ia menjabat sebagai Lurah, kehidupan di desa Lamping aman tenteram, warganya pun rukun damai satu sama lain. Memang ada saja urusannya yang berat untuk ditanggung sebagai seorang Lurah. Tetapi urusan yang satu ini, sungguh tak sanggup lagi ditahankannya. Ia ingin mengutuk Margono, karena Margono-lah sumber semua bencana ini. Tetapi ia juga tidak mampu membuang kemungkinan, bahwa yang terjadi bukanlah atas kehendak Margono sendiri. Margono ada di bawah pengaruh. Entah pengaruh apa. Setan, barangkali" Ataukah semua ini sebenarnya tidak pernah ada. Bahwa, Hadiman sebenarnya hanya bermimpi. Sebuah mimpi buruk, yang teramat panjang dan menakutkan" Ataukah, semua ini hanya sekedar tipu muslihat setan"
Lepas magrib mereka tiba di rumah.
Martubi masuk lebih dulu sementara Hadiman pergi ke gudang kecil tempat menyimpan perlengkapan yang tidak terpakai. Kotak kardus berisi kepala anjing itu ia kunci di dalam gudang. kemudian menyusul masuk ke dalam
rumah. Disambut oleh desahan tanya Maryati: "Jasad anakku. Mana?" "Belum saatnya. sayang." jawab Hadiman lembut. "Mungkin besok."
"Rasanya, ia begitu dekat. Dekat sekali.. . ."
Hadiman memaksakan senyum menghibur di bibir. "Memang demikianlah selalu perasaan seseorang ibu," katanya. Kemudian ia pergi menemui Martubi yang sedang berbincang sesuatu dengan Supinah. Dengan halus ia meminta Supinah agar ditinggalkan berdua saja dengan Martubi.
Kemudian: "Dia tahu ," bisiknya. kecut. "Bila pun sebenarnya tidak tahu, paling sedikit ia dapat merasakannya. Merasakan kehadiran anaknya...."
"Sebagian dari anaknya!" desah Martubi muram.
Hadiman lebih muram lagi. Teringat bahwa Maryati hanya tahu bahwa anaknya telah mati. Tetapi tidak pernah diberitahu bahwa setelah anaknya mati, disembelih oleh penduduk dan bagian-bagian tubuh itu dikuburkan jauh terpisah. Apa jadinya kalau Maryati mengikuti naluri. Mencari-cari kian kemari, berakhir di dalam gudang, dan menemukan sepotong kepala anjing"
"Bagaimana keadaan Yayah?" desah Martubi lagi. mengalihkan pikiran dari kepala anjing itu.
"Tampaknya lebih baik. Mungkin karena ia tahu anaknya sudah mati. Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Ia sungguh perempuan yang tabah. Lebih-lebih mengingat, jadi apa anaknya itu sekarang . . .."
Kembali dan kembali lagi ke persoalan semua. Martubi mengeluh: "Sampai kapankah ini berakhir."
"Sampai bagian lain itu kita peroleh," Hadiman justru menanggapi dengan sungguhsungguh.
"Kau masih mengharapkannya, Pak Lurah?"
"Demi Maryati, Pak Martubi!"
"Lalu ke mana akan kita cari?"
"Entahlah. Sialnya, aku tadi lepas omOng. Pada istriku aku bilang, mungkin besok."
"Apanya yang besok?"
"Kita bawakan dia jasad anaknya ."
"Kepala anjing terkutuk itu, maksudmu?"
"Jasad yang utuh," Hadiman menggigil. Lalu: "Eh, apakah aku tadi tidak salah dengar. Kau mengutuk cucumu sendiri?"
Martubi menarik nafas panjang. Baru menjawab: "Aku tak tahu. Bahkan aku mulai raguragu. Benar, cucuku seorang brengsek..." Ah, apa yang diucapkannya itu" Untunglah Hadiman tidak mendesak mengapa Martubi
menyebut cucunya brengsek. Ia meneruskan: "... tetapi setelah menyaksikan apa yang dilakukan makhluk itu, rasanya tak masuk diakal bahwa cucuku sebiadab itu."
"Yang melakukan bukan cucumu. Tetapi makhluk itu ."
" Adakah bedanya?"
"Mungkin tidak. Tetapi aku masih tetap berharap. mungkin ya. Yang melakukan perbuatan sedemikian buas, biadab, nista dan menjijikkan, adalah sang makhluk. Bukan cucumu. Margono barangkali kesurupan setan, sehingga nekat mau menggagahi ibunya sendiri. Ibunya murka, dan tanpa sadar menyebut-nyebut tentang anjing. Margono sadar, lalu menyelinap pergi. Tak pernah kembali. Tetapi karena masih shock atas kelakuan anaknya. kepergian Margono yang misterius membuat ibunya ketakutan, terpengaruh oleh bayangannya sendiri. Menyangka, bahwa putranya benarbenar berubah jadi anjing . . . ."
"Alangkah indahnya kalau memang demikian. Lalu, bagaimana dengan Sumirta, apa yang dikatakannya, dan kemudian apa yang dikerjakannya di rumah ini. "
"Uh, si tua bangka itu! Ia, dengan ide-idenya yang sinting! Membuat istriku semakin meyakini apa yang tadinya cuma bayangan. Bahkan terus terang, aku sendiri mulai terpengaruh. Apalagi setelah menyaksikan semua kejadian yang berlangsung sampai hari ini. Semua hampir tidak masuk di akal sehat kita. Tetapi semua itu ada. Dan nyata. Dapat dilihat. Dapat diraba. . . ."
Martubi berpikir-pikir, kemudian nyeletuk dengan bersemangat: '"Kita dapat membuktikan kebenarannya. Apakah yang kita hadapi memang jelmaan cucuku, atau hanya makhluk' sialan yang mengatasnamakan cucuku."
"Caranya?" "Seperti rencana semula. Meminta darah istrimu, lalu diusapkan ke kepala anjing didalam kotak kardus itu. Kalau keadaannya tak berubah, berarti itu bukan Margono. Cucuku itu memang telah pergi, dan saat ini berada di suatu tempat. Entah di mana."
"Boleh juga itu," Hadiman bergumam, kaku. "Lalu kalau kemudian wujud kepala anjing itu berubah, bagaimana" Sanggupkah kau melihat sepotong kepala manusia, dan kepala
itu adalah... ." "Jangan teruskan!" dengus Martubi pucat,
seraya tubuhnya bergidik seram.
"Kukira akan demikian pula halnya reaksi istriku," Hadiman mengeluh. "Lain halnya, kalau yang berubah itu adalah wujud yang utuh. Yang telah disatukan kepala dengan badannya...."
Sampai larut malam mereka berdua masih terus mengobrol, membicarakan langkah. langkah selanjutnya yang harus mereka tempuh. Terutama mengenai cara dan kemana mereka akan mencari sosok tubuh yang hilang lenyap itu. Mereka sudah sangat letih, tetapi tidak ada yang berniat pergi tidur. Siapa pula yang dapat tidur sambil menyadari kenyataan yang sedemikian mengerikan harus dibawa serta menyelinap ke bawah selimut"
Obrolan mereka yang tak tentu ujung pangkal lagi karena terlalu banyak menyusun rencana pencarian tubuh makhluk itu. barulah terputus beberapa menit lewat dinihari. Terputus tiba-tiba. Oleh suara berisik yang disusul bunyi gedebak-gedebuk dari belakang rumah. Karena kebetulan mereka ngobrol dekat pula dari arah datangnya suara itu, mereka mendengar cukup jelas dan wajah Hadiman berubah pucat.
"Rasanya... dari gudang!" ia berbisik tegang.
"Apakah?" Belum habis pertanyaan Mariubi. tuan rumah sudah merentak bangkit lalu berlari-lari ke pintu belakang, diikuti oleh Martubi. Di luar tumah, suara-suara itu semakin jelas dan nyata. malah semakin hingar bingar karena bendabenda yang ada di dalam gudang seakan terlempar atau berjatuhan. Hadiman baru saja akan berlari membuka pintu gudang ketika terdengar suara berderak yang keras. Atap gudang mendadak pecah berantakan. Lalu dari pecahan atap itu. melesat ke luar sesuatu benda. Di bawah sinar rembulan yang terang benderang. tampaklah benda itu melayang-layang kian kemari seperti bingung, dan tiba-tiba tergantung diam di udara lepas waktu terdengar seruan tertahan dari mulut Martubi:
"Kepala itu. Dia...."
Apa yang mereka lihat, sebenamyalah kepala anjing yang tadinya tersimpan rapih di dalam kardus, terbungkus kain yang disimpultalikan dengan erat. Barangkali makhluk itu telah merobek-robek kain pembungkusnya. karena sesaat ia melayang-layang tadi tampak juga carikan-carikan kain kecil beterbangan lalu melayang-layang jatuh ke tanah.
Kepala makhluk tanpa anggota tubuh lainnya itu, mengawasi ke arah suara seruan. Mengawasi Martubi dan Hadiman yang sama tertegun, berdiri mematung dengan tubuh kaku dan wajah pucat. Kelopak mata di kepala itu membuka perlahan kemudian tampaklah dua sorot mata merah menyala. Moncongnya terbuka, tidak terlalu lebar. Sesaat, kepala itu menengadah ke arah rembulan, lalu terdengarlah suara lolongan yang panjang lirih. Habis
melolong. mengawasi lagi ke bawah. lalu turun pelan-pelan dengan moncong terbuka semakin lebar. Taring-taring runcing tajam di moncong itu seperti siap untuk merobek-robek tubuh Hadiman yang kebetulan paling dekat dengannya.
"Ha...," Martubi lepas dari kesimanya dan menghambur ke depan, terdorong naluri ingin melindungi. sementara Hadiman tetap tak bergerak seperti pasrah menunggu nasib.
Kepala makhluk yang melayang turun itu, berpaling ke arah Martubi. berhenti melayang Kembali seperti tergantung di udara tanpa ada yang menahan. Matanya yang semerah darah, menyorot tajam, berkilat-kilat. Mata itu memperhatikan Martubi dengan seksama, seakan ingin mempelajari Martubi dari ujung rambut sampai ke ujung jari kaki. kembali lagi ke wajah Martubi. Setelah mengawasi wajah Martubi sekali lagi, makhluk itu kembali menengadah, memperdengarkan lolongan lirih menyayat tulang. Kemudian. kepala makhluk itu melesat pergi. Melayang cepat di antara pepohonan, terbang seperti burung tanpa sayap. dengan kecepatan luar biasa. Arah terbangnya, lurus ke lereng gunung yang tampak hitam legam berlatarbelakang bibir langit membiru tanpa noda noda awan. Makin jauh kepala itu melesat, makin kecil bentuknya, terakhir menyerupai titik hitam saja. untuk kemudian sirna dari jangkauan mata yang memandang . . . .
*** Hadiman serta Martubi masih tertegak kaku, berdiri berdekatan melihat ke arah lereng gunung di kejauhan, ketika terdengar suara lemah dari arah pintu yang terbuka:
"Apakah yang kulihat tadi?"
Serempak kedua lelaki itu berpaling dan terkejut melihat Maryati yang tegak berpegangan ke bendul pintu. Hadiman menghirup udara segar ' sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-paru yang beberapa saat tadi terasa hampa. menekan. la datangi istrinya, dipeluk dan berkata setengah gugup:
" Hanya seekor burung , Maryati. . . ."
"Itu bukan burung. Tetapi sesuatu... dan aku merasa pernah melihatnya sebelum ini. ..."
"Maryati, masuklah. Nanti di dalam kita bicarakan. Kau masih sakit. ingat?" Hadiman kali ini berujar dengan nada menegur. ia menuruti perintah suaminya dengan patuh. Ternyata tidak ada yang perlu dibicarakan. Karena Maryati langsung masuk ke kamar tidur di mana Supinah masih terlelap, tanpa terusik oleh suara suara hingar bingar tadi. Hadiman sempat bingung memandangi pintu yang tahutahu telah ditutupkan Maryati di depan batang hidungnya. Marahkah Maryati" Dan kalau benar dia memang melihat kepala makhluk itu,
mengapa Maryati tidak tampak takut seperti halnya yang dialami Hadiman" Begitu hebatkah kekuatan batin yang tersimpan dalam tubuh seorang ibu"
Di luar rumah, Martubi masih tetap berdiri di tempat semula.
Ia juga berpikir bingung. Bagaimana kepala makhluk itu tiba-tiba mendadak hidup" Dan ke mana kepala itu melarikan diri"
*** BAB 13 MAKHLUK yang cuma terdiri dari kepala dengan matanya yang semerah darah itu melayang-layang di lereng gunung. Keluar masuk celah-celah sempit, menerobos ke rongga gua yang satu ke rongga gua yang lain. Mengintip ke semak belukar, mengintai ke balik pepohonan, kembali lagi ke celah demi celah, ke rongga gua demi gua. Makin lama gerakan makhluk itu makin tertegun-tegun; beberapa saat berhenti tergantung di udara lepas atau terkulai lelah di tanah maupun di atas batu. Mata merahnya mengerjap-ngerjap seperti bingung, untuk kemudian kembali menemukan kebiasaannya tadi sampai mata merahnya tampak panik dan putus asa.
Pada saat keputusasaan muncul itulah, dari balik sebuah pohon besar muncul sesosok tubuh sambil menyeret sesuatu di tangannya. Sosok tubuh itu keluar ke tempat terbuka di bawah sinar rembulan, memperlihatkan tubuhnya yang besar kokoh, meski rambut, kumis serta jenggotnya sudah pada memutih dimakan waktu yang terus berlalu.
"Kau mencari ini. bukan?" ia berkata keras tetapi tenang. Benda yang ia seret tadi ia lemparkan ke tanah. Ternyata tubuh berkaki empat. hitam plontos awut-awutan bulunya yang tersisa. Tubuh tanpa kepala. hanya tertinggal setengah bagian lehernya saja .
Makhluk yang menggantung diam di udara lepas itu. berpaling cepat. Sorot matanya mengawasi apa yang tergeletak diam di tanah. kemudian ganti mengawasi si orang tua yang baru ke luar dari persembunyiannya itu. Dari sela-sela moncong sang makhluk terdengar suara menggeram. dan matanya menyalakan kemarahan.
"Kau betul-betul sial. bukan" Mereka memotong lehermu. Memisahkan kepala dari badanmu. Tanpa mereka tahu. saat itu kau dalam keadaan mati suri. Atau kau lebih suka kusebut. sekarat" Mereka tidak tahu itu. Tetapi aku. Sumirta. tahu. Karena aku selalu mengikutimu semenjak kau meninggalkan pondokku. Mengikutimu dengan mata batinku. Dengan mata batinku pula aku melihat apa yang mereka perbuat di bawah belimbing tua itu. Dengan mata batinku pula.. . aku lihat setiap tindak-tandukmu. Mengapa semua itu masih kau lakukan" Belum cukupkah Melati saja?"
Mendengar disebutnya nama Melati. makhluk yang mengawang itu berhenti menggeram. dan sorot matanya pun tidak lagi segalak semula. Hanya terdengar desah nafas berat. panjang pendek. serta lidahnya terjulur ke luar, seakan terengah-engah menahan perasaan
"Setelah apa yang hampir kau lakukan pada ibumu...," orang tua itu. Sumirta meneruskan. "Kau sebenarnya tidak perlu takut padaku. Tak perlu sembunyi ke sana. lari ke sini. Sudah sejak semula kukatakan padamu, apa yang terjadi pada Melati... adalah sesuatu yang wajar terhadap makhluk apa pun. Aku tidak menaruh dendam, meski terus terang aku merasa kecewa atas dirimu. Dan tentu saja. prihatin karena aku terpaksa kehilangan si Melati. . . ."
Kepala yang tergantung di udara malam itu. pelan-pelan tampak merendahkan moncongnya. Seperti merunduk.
"Tetapi nafsu angkaramu, rupanya tidak pernah terpuaskan bukan?" Suara Sumirta lebih tegas sekarang. "Sehingga sebelum ajalmu benar-benar tiba. lidahmu telah bersumpah untuk membalas dendam pada di desa sana.... Nafsu angkara murkamu kemudian memperbudak dirimu, dan dengan senang hati
memberimu kekuatan untuk melampiaskan dendammu. Rohmu telahdiperbudak oleh kebusukan, dan sifat baikmu telah menyingkir jauh. Keburukan dan kebaikan memang ada dalam diri setiap makhluk. Tetapi kalau keburukan sudah memperbudak kebaikan, maka kehancuranlah yang akan kau peroleh. Seperti sekarang ini. Dengan kekuatan rohmu, kau bangkitkan tubuhmu ini dari kubur. Kau lampiaskan dendammu di desa sana. Sayang kau kurang hati-hati sehingga tidak menyadari bahwa aku mengintai setiap gerak-gerikmu. dan melihat kau masuk ke salah satu rongga gua menjelang subuh tadi. Aku menunggu sampai hari siang. Karena aku tahu. di siang hari makhluk-makhluk penasaran seperti dirimu tidak memiliki kehidupan. Guamu kumasuki. Jasadmu kusentuh. Sesosok jasad mati. Aku menunggui jasadmu sampai malam menjelang, kemudian aku keluar dari guamu. Mengintai gerangan apa yang akan kau lakukan. Dan seperti dugaanku, jasadmu tak pernah keluar dari gua lagi. Yang keluar hanya rohmu, untuk menjemput kepalamu. . . .
Apakah kau pikir, kau akan mampu menyatukan tubuhmu kembali" Secara utuh" Atau... siapa tahu, kau memang bisa. Lakukanlah. dan percaya bahwa aku tidak akan mengusikmu." ***
Makhluk mengawang itu bimbang sebentar Kemudian, turun ke bawah menuju bagian lain tubuhnya yang tergeletak kaku. Moncongnya mencium-cium jasad itu sejenak. seakan ingin membaui apakah jasad itu telah diselaputi mantera oleh Sumirta agar tak dapat ia masuki, dengan rohnya. Setelah tak mencium bau apaapa, ia mendongak ketika Sumirta berujar:
"Mengapa tak kau buktikan penciuman anjingmu yang tajam" Tinggalkan kepala, masuk ke tubuh?"
Bimbang lagi. Lalu tiba-tiba kepala itu terkulai jatuh begitu saja di tanah, tanpa daya. Kelopak matanya menutup rapat, mati. Sebaliknya, tubuh yang terkulai di tanah, bergerakgerak pelan, kemudian tegak di atas keempat kaki-kakinya.
Sumirta geleng kepala. Berkata: "Begitulah hidupmu seterusnya" Akan bergantian kepala dan tubuh dimasuki rohmu" Oh, oh... kau mau mencobanya juga" Berharap kepala dan tubuhmu dapat menyatu kembali ya...." desah Sumirta ketika melihat tubuh berkaki empat itu menggerakkan leher ke sambungannya di kepala yang terkulai di tanah. Rupanya usaha itu tak berhasil. Tubuh itu mendadak roboh, diam. Ganti kepala itu bergerak hidup. kelopak matanya terbuka, bola matanya merah menyala-nyala. Kepala itu yang kini
mencoba menyatukan diri ke bagian tubuh, juga tanpa hasil.
Akhirnya kepala itu menggeram. kemudian melolong panjang.
"Anak malang!" Sumirta akhirnya tidak sampai hati.
Ia membungkuk dan memperbaiki posisi tubuh berkaki empat yang terkulai di tanah agar letaknya seimbang. Kemudian ia menyuruh si kepala mendekat. "Satukan lagi bagian leher kepalamu dengan sambungan bagian leher tubuhmu," ia memerintahkan.
Setelah persambungan itu benar benar pas, Sumirta berdiri membuka kancing celana, kemudian -seer, mengalirlah keluar air seninya, menyembur-nyembur ke arah sambungan leher makhluk itu. Dari sambungan leher itu terdengar suara berdesis tajam, dan uap panas keluar berkepul-kepul.
"Agak bau dan menyakitkan, bukan?" Sumirta tertawa lunak. "Jangan bergerak dulu." Tunggulah sebentar..., sebentar lagi.... Nah. sekarang!"
Makhluk berwujud anjing besar hitam dengan mata semerah darah itu pun bangkit di atas keempat kaki-kakinya. dan dengan kepala menyambung kukuh pada lehernya. Makhluk itu menggeram-geram senang. berjalan kian kemari. kemudian berlari-lari dari satu tempat
ke tempat lainnya. berhenti, lalu melolong ke arah rembulan.
"Sayang sekali." Sumirta mengeluh, setelah makhluk itu kembali mendekatinya. "Kalau aku dan ibumu waktu itu tidak didahului orang, kau sebenarnya tidak perlu mengalami semua ini...." Ia mengusap-usap moncong makhluk itu, yang memperdengarkan lirihan-lirihan tertahan. Matanya yang merah itu tampak agak memudar, lalu berkilat basah. Sumirta menarik nafas. Melanjutkan dengan getir: "Sayang juga, bahwa sebenarnya kau dapat mati secara wajar. Bila kau tidak bangkit dari kuburmu. Dan melakukan perbuatan-perbuatan nista itu. Karena perbuatanmu itu, kau telah menyatukan dirimu yang sebenarnya sudah mati, dengan diri mereka yang masih hidup. Sehingga. lengkaplah sudah perbudakan angkara murka atas dirimu. Darah ibumu sekalipun, tidak akan mampu lagi mengembalikan wujudmu, andaikata mereka berhasil menemukan jasadmu yang utuh...."
Makhluk itu merintih dalam. Matanya semakin basah dan basah.
"Ayolah. Kau ikut aku ke pondokku. Kau tahu tempatnya bukan" Kau tak dapat berkeliaran di sini. Kau juga tak dapat pergi ke bawah sana lagi. mengganggu mereka yang masih hidup. Karena tubuhmu telah menyerap air kencingku, kekuatanmu kini pun sangat terbatas. Hanya bila tinggal denganku di lembah, kau akan tetap hidup. Di luar itu. kau akan tersiksa oleh panasnya matahari. Tubuhmu akan terbakar. itu sih tak apa. Sayangnya, rohmu juga akan ikut terbakar. Dan akan terus terbakar. sampai di akhir zaman. Apakah kau tahan tersiksa terus selama itu?"
Makhluk itu mengerang. kemudian berjalan lunglai mengikuti langkah-langkah kaki Sumirta ke Lembah Hantu. Sambil berjalan pulang, Sumirta suatu saat bergumam: "Dipikir-pikir. aneh juga. Aku kehilangan anak perempuan. Dan kini aku dapat ganti, seorang anak lakilaki."
Tiba di pondok kediamannya, Sumirta menyuruh makhluk itu rebahan di dipan._ tidur, untuk menyesali nasib dan mencoba untuk tetap tabah karena ia kini menjadi warga penghuni Lembah Hantu. Ada pun Sumirta sendiri, keluar lagi dari pondok. Di tempat terbuka tak jauh dari pondok kerjanya, ia duduk bersila dengan lengan-lengan bersidekap dada. Kelopak matanya memejam, dan mulutnya perlahan-lahan terlihat kumat-kamit dengan tenang .
Pada saat Sumirta memulai pemusatan pikirannya di Lembah Hantu. maka di desa lamping Martubi yang ingin meredakan ketegangan jantungnya dengan rebahan di kamar tidur. mendadak tersentak bangun dengan kaget. la mengawasi kamarnya yang gelap, kemudian bertanya hati-hati:
" Siapa itu?" Ia dengan suara menjawab yang sayup-sayup sampai: "Aku, Sumirta. Syukur kau mendengarku...."
"Pak Sumirta?" Martubi tersentak lagi. Makin kaget. "Kau ada di sini" Di kamar ini?"
"Tidak. Aku ada di tempatku. Kau tak tahu tempatku. tetapi itu penting...." Sepi sebentar. Martubi hanya mendengar helaan nafas berat, lalu kemudian: "Seperti apa kau mengenal cucumu. Martubi?"
Pertanyaan yang ganjil itu membingungkan Martubi. Lalu ia teringat peristiwa-peristiwa yang menyusahkan hatinya itu. Pada kepala yang mengerikan itu. Korban-korbannya yang mati, yang diperkosa, jerit tangis bocah tanggung. Tidak, ia tidak percaya itu adalah akibat perbuatan cucunya. Tak akan pernah percaya. Maka ia menjawab pelan: "Cucuku gagah. Tampan. Agak brengsek. tetapi aku tetap sayang padanya."
"Bagus Martubi. Kenanglah dia "!"
"Tetapi. .." "Cucumu ada bersamaku. Di sini. Tetapi ia bukan sebagaimana cucu yang kau kenal .ia tidak dapat kembali atau pergi ke mana-mana lagi. Jadi kau, atau siapa pun, tidak usahlah berharap akan bertemu lagi dengannya. Aku hanya dapat membantu menguatkan batinmu. nuranimu, dan menanamkan di dalamnya kenangan pada cucu yang selama ini kau kenal. Cucu yang gagah tampan. brengsek tetapi kau sayangi. Selamat berpisah. Martubi!"
Telinga Martubi berdenging keras.
Sedetik Cuma. Lalu lengang. menyepi diam.
Beberapa menit lamanya ia hanya terduduk bingung. Kerongkongannya kering. ia ingin minum, oleh dorongan dahaga yang teramat sangat. Apakah barusan ia bermimpi" Atau semua itu nyata" Tidak. Karena Maryati pernah mengalami hal serupa. Penyatuan batin. Hubungan telepati, tetapi bersifat alami yang mampu menembus tabir batas alam nyata dan alam gaib.
la bergerak ke pintu. terus ke dapur untuk mengambil air minum. Di dapur. ia sempat terkejut ketika pintu belakang terbuka dan melihat Hadiman masuk seraya membimbing istrinya. Maryati, yang tampak pucat tetapi berwajah lebih tenang dari biasa. Sementara Maryati terus berjalan ke kamar tidur, Hadiman tetap tinggal bersama Martubi. Wajah lurah itu, anehnya. sama aneh dengan ketenangan dan kekuatan fisik Maryati yang lebih pulih secara mendadak."... wajah di depan Martubi juga lebih ceria dari biasa.
"Apa yang terjadi?" bisik Martubi ingin tahu.
"Entahlah." suara Hadiman terdengar mantap. "Maryati tiba-tiba minta diantar untuk mengambil air Wudhu. . .."
"Oh. Mau tahajud...."
Hadiman menggelengkan kepala. "Sholat gaib ." katanya membetulkan.
"Sholat gaib?" Martubi tercengang. "Untuk siapa?"
"Anaknya. Margono."
'Oh!! *** BAB 14 PAGI harinya, selesai sarapan Maryati berkata pada suaminya: "Aku tahu kau dan Bapak telah berupaya sekuat daya memenuh permintaanku. Mulai saat ini, Kang Maman. aku tidak rela menyusahkanmu lagi. Juga Bapak. Maafkanlah karena aku telah meminta yang bukan-bukan...."
"Ah. Aku menganggap hal itu sebagai permintaan yang wajar," jawab Hadiman, tenang, meski sebenarnya ia heran sekaligus gembira mendengar apa yang dikatakan istrinya. Dari tempat duduknya, Martubi manggut-manggut mendukung komentar Hadiman. Lurah desa Lamping itu sejenak diam, lalu bertanya hati-hati: "Andaikata kami boleh tahu. Maryati, dan kau tidak merasa keberatan. Mengapa?"
"Mengapa aku akhirnya menyadari kedunguanku?" desah M aryati lirih, yang disambut suaminya dengan senyuman menghibur. "Agak susah menerangkannya." Perubahan
itu kualami tengah malam tadi. Setelah aku masuk kembali ke kamar. Hatiku bertanya-tanya. Mengapa yang kulihat hanya kepalanya saja" Mana bagian tubuh lainnya" Kemudian aku merenungkan semua yang terjadi. Serta segala kemungkinan-kemungkinan yang paling masuk akal. Lalu aku bayangkan kira-kira apa yang telah berlangsung di luar setahuku...."
Wajah Hadiman memerah, sementara Martubi berpaling ke arah lain. Merasa bersalah.
Seperti dapat menebak pikiran kedua orang itu,. Maryati meneruskan: "Aku tidak menyalahkan kalian berdua, menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu, semua itu dengan maksud-maksud baik. Yang kusalahkan adalah kekerasan hatiku. Baru tengah malam tadi aku mengerti, bahwa di luar sana mestinya telah terjadi banyak yang tidak kukehendaki, dan kalian berdua berusaha menutup-nutupinya. lalu setelah kulihat kepala itu melesat pergi, aku pun berkata pada diriku sendiri: dia tidak lagi milikku."
"Dia?" Martubi nyeletuk.
"Dia. Bila tubuh dan kepalanya disatukan...." " mengapa kau sampai berpikir demikian. Yayah?"
"Naluri. Naluri seorang ibu," jawab Maryati, lirih. "Naluriku mengatakan bahwa dia telah pergi untuk selama-lamanya, tanpa seorang pun berhak untuk mencari atau memilikinya. itu pulalah yang dikatakannya...."
"Dikatakan siapa?" tanya Martubi lagi. Teringat pengalamannya tadi malam sewaktu ia baru saja merebahkan tubuh di kamar. "Sumirta?"
"Orang tua yang aneh itu?" Maryati geleng kepala. "Bukan dia, Bapak. Tetapi Margono. Aku sendiri juga heran. Sewaktu aku merenung-renung, batinku bergetar. Seakan ada yang membelainya. Tiba-tiba aku sadar. bahwa yang membelai batinku adalah batin anakku. . . ." Maryati berhenti untuk menarik nafas beberapa kali. sementara suaminya saling bertukar pandang dengan Martubi, takjub. "Tahu kalian bisikan apa yang didengar batinku?" Maryati bertanya tiba-tiba.
Suami dan bekas mertuanya sama menggelengkan kepala.
"Dia akan pergi, Mama. Ke suatu tempat. Tak usah dicari! " Maryati menirukan apa yang didengar oleh batinnya.
Batin seorang ibu, pikir Martubi. Terkenang pada almarhumah istrinya. yang lama waktu berselang ketika putra tunggal mereka Sumargo berkelana membawa anaknya ke kota untuk mencari sang istri yang minggat. Almarhumah suatu hari pernah berkata dengan khawatir: "Si Sumargo bakal mencelakakan dirinya. Juga mencelakakan cucuku yang malang itu!"
Sumargo terbukti hanya menyia-nyiakan hidupnya, dan Margono jatuh sebagai korban. Kini Martubi diam-diam mengawasi Maryati. Perempuan inilah yang begitu dicintai Sumargo dulu, sehingga Sumargo nekat pergi ke kota membawa anak mereka. Sungguh ironis. bahwa kini Martubi duduk bersama Maryati, dan tengah membicarakan babak-babak terakhir dari nasib celaka yang harus diderita Margono. Obrolan selanjutnya tidak lagi menarik perhatian Martubi. Ia menyadari bahwa ia pernah ikut-ikutan membenci Maryati. tetapi kemudian menekan kebencian itu karena juga sadar bahwa Maryati masih bocah tanggung ketika melahirkan anaknya. Sumargo sendiri sebenarnya belum cukup umur untuk menjadi seorang ayah. Apa yang diketahui Sumargo hanyalah, bahwa ia jatuh cinta. Kini Maryati begitu dekat dengannya. Dekat secara fisik. maupun batin. Mereka berdua telah dipersatukan kembali. Justru oleh Margono. yang datang mengunjungi mereka sebentar. untuk kemudian pergi lagi. Kali ini, selama lamanya.
Apakah memang itu tujuan Margono pulang kampung"
Untuk menjalin kembali hubungan keluarga yang pernah porak poranda" Tetapi mengapa harus berakhir sedrastis ini" Mengapa pula kepergian Margono untuk kali yang terakhir ini, harus sedemikian rupa membingungkan, menakutkan, mencemaskan, kemudian ditutup oleh misteri yang berangkai"
Apa pun juga yang terselubung di balik misteri itu, satu hal jelas sudah. Misteri seorang ibu tidak akan pernah diketahui orang lain kecuali dirinya sendiri. Maryati jelas masih menyimpan sisa-sisa penderitaan, tetapi kesehatan semakin pulih. Semoga tak lama lagi, ia akan kembali menjadi seorang ibu yang utuh.
Martubi melirik ke perut Maryati. Kandungannya baru tampak samar-samar saja. Apakah semua ini akan berpengaruh pada jabang bayinya, di kelak kemudian hari" Di tangan Maryatilah jawabannya tersimpan. Tangan seorang ibu....
Sudah tiba waktunya pulang ke tempatku sendiri, pikir Martubi.
Lalu setelah menunggu saat yang tepat, ia mengutarakannya pada tuan rumahnya, yang disambut oleh suara gusar Hadiman. yang lebih mirip terdengar di telinga Martubi sebagai suara gusar seorang lurah:
"Apa-apaan Pak Martubi ini" Tidak. Tidak boleh. Lain kali saja urusan pulang kita bicarakan!"
Martubi terpaksa menunggu beberapa hari. Dan melihat Maryati kembali menemukan dirinya, Hadiman kembali pada kebahagiaannya, dan Supinah pada ketabahannya yang mengagumkan. Martubi merenungkan dirinya sendiri. Hasil renungan itu adalah berupa kesibukan membereskan pakaian dan barang miliknya yang tak seberapa ke dalam tas.
Tetapi kali ini, bukan Hadiman yang harus ia hadapi. Melainkan Maryati.
"Mau ke mana. Pak?" tanya bekas menantunya itu, ketika memergoki Martubi sibuk beberes.
"Pulang!" jawab Martubi. pendek.
"Pulang ke mana?"
"Ke...." Martubi tidak jadi meneruskan ucapannya, ketika ia melihat apa yang tersirat di balik sepasang mata Maryati yang bercahaya. Martubi setiap saat. kapan pun mau, boleh saja pulang kampung. Pulang ke rumah, kembali sibuk di sawah. barangkali juga sesekali berbaik hati membuka pintu air sawah Nyi Sarijah. Tetapi Nyi Sarijah jelas-jelas telah menolak lamarannya. Sebelum itu. Martubi telah kehilangan istri, kehilangan anaknya, dan kini kehilangan cucuya pula.
la sebatang kara. kini. Dan maksud pertanyaan Maryati sesungguhnyalah punya arti lain. Bukan "ke mana"nya yang jadi persoalan. Tetapi. "siapa": Untuk siapa Martubi pulang" la sebatang kara kini. Sudah tua pula. Kelak kalau ia mati, tiada yang menangisi. itu. kalau ia mati besok hari!
Selagi Martubi dilanda dukacita, ia dengan suara lirih Maryati berkata: "Benar aku bekas menantumu. Tetapi darahku juga mengalir di tubuh Margono.cucumu. Kau masih punya aku. Bapak. Kau tidak sebatang kata.?"
Perempuan itu datang padanya.
Memeluknya. Lalu berbisik di telinganya: "Kalau toh kau ingin pergi, tunggulah sampai cucumu kembali aku lahirkan. . .! "
Hadiman boleh ia tolak. Tetapi Maryati" Apalagi. cucunya! Aneh tetapi menggembirakan memikirkan misteri yang datang dalam bentuk lain. Bahwa. ia bakal punya cucu. Dan hidup ini memang penuh misteri. Seperti halnya apa yang beberapa hari kemudian diutarakan oleh Hadiman. Lurah desa Lamping itu:
"lucu tidak. Pak Martubi" Anak tiriku pergi. Sebagai gantinya. aku punya bekas mertua
tiri." Hadiman bergelak. Seolah tidak terjadi sesuatu apa pun sebelumnya. Demikian pula keadaannya di Lembah Hantu. Tenang. diam. lengang dan suram. Di sana, kata orang, tersimpan misteri yang lebih banyak lagi. Jangan dekat-dekat. Atau kalau terpaksa. jangan ke luar dari jalan setapak. Aneh, bukan" Jangan ke luar dari jalan setapak. padahal yang selalu kita dengar adalah:
"Terus saja berjalan. Jangan menoleh ke belakang!"
Catatan : buat pembaca ebook ini .silahkan gabung di group fb Kolektor -Ebook untuk mendapatkan ebook terbaru.. atau yang suka baca novel dan cerita silat secara online bisa juga kunjungi
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Terima kasih Sampai jumpa di lain kisah ya !
SELESAI Memanah Burung Rajawali 1 Patung Pembawa Maut Karya Aryani Kedele Maut 14
^