Pencarian

Misteri Lembah Hantu 2

Misteri Lembah Hantu Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Tujuannya adalah ke sana.
Pada orang itu. Ibunya. Astaga. Ibunya masih hidup. Luar biasa . Sungguh suatu keajaiban untuk mendengar
ibunya masih ada dan telah lama mencarinya. Ibu akan melindunginya dari kejaran siapa pun. Di balik ketiak ibunya. ia akan aman bersembunyi. Entah sampai kapan. Tetapi mengapa harus meributkan masa datang yang belum tentu"
Lihat di depan sana. Ada cahaya terang. Cahaya matahari.
Dan eh, apa itu yang merah-merah di sebelah kiri sana" Wah, jambu. Jambu air yang ranum segar. Betapa lebatnya! Mengapa tidak ia petik saja beberapa buah" Toh tidak akan ada yang tahu. Mungkin malah jambu-jambu itu tak bertuan!
Namun baru saja ia akan memutar tubuh, tiba-tiba ia teringat: "He. bukankah kakek bilang. aku tak boleh keluar dari jalan setapak"!" la ragu-ragu.' Omong kosong semua itu, tetapi.... Nalurinya mengingatkan agar ia menuruti nasihat kakeknya. Aneh, ia akhirnya mengalah pada semua omong kosong yang menggelikan itu.
Ia meneruskan langkah. Dengan tenggorokan kering, dan perut keroncongan. . . .
*** BAB 6 GlLlRANNYA masih tersisa satu jam lagi. Tetapi air yang mengaliri sawahnya sudah lebih dari cukup. Martubi membuang puntung rokoknya, menutup pintu air, kemudian berjalan pulang ke rumah. Biarlah air saluran itu mengalir terus. Ke mana saja. Biarlah terbuang percuma. Atau di suatu tempat, dicuri seorang pemilik sawah lainnya. Yang pasti, ia tidak rela meneruskan arus ke sawah Ki Sukriya yang tamak itu. Juga ia tidak bernafsu membuka pintu air Nyi SariJah, seperti biasanya bila ada kesempatan. Toh, bantuannya itu tidak dipandang seujung rambutpun oleh Nyi Sarijah.
Apa kata janda itu kemarin"
"Bukannya aku menolak, tetapi.?" Kalimat pembuka itu saja sudah jelas. Tak lebih dari basa-basi. Jadi Martubi tidak mau menerima begitu saja alasan yang kemudian diutarakan oleh Nyi Sarijah: "Aku terikat sumpah. Beberapa saat sebelum suamiku menghembuskan nafas terakhirnya, aku bersumpah tidak menyia-nyiakan anak-anaknya. Bersumpah, akan tetap menghormati masa-masa bahagia selama kami hidup bersama...." Bersumpah atau tidak, yang pasti Nyi Sarijah menolak mentah mentah uluran kasih sayang Martubi. la cuma bertepuk sebelah tangan!
Beberapa jauh melangkah. dalam kegelapan tampak bayang-bayang dua sosok tubuh menuju pintu air yang barusan ditinggalkan Martubi. Dengan memperhatikan sekilas saia. Martubi tahu kalau ke dua orang itu adalah begundal-begundalnya Ki Sukriya. Keduanya telah tiba di pintu air, melirik ke arah Martubi, lantas yang seorang menggerutu:
"Dasar tua bangka pendengki! "
Martubi menangkap umpatan itu. Ia marah. Gagang pacul di tangan, ia genggam erat-erat. Lalu seorang lainnya lagi ia dengar berkata:
"Bagaimana kalau kita datangi dia, dan kita kencingi mukanya bersama-sama?" Sambil berkata demikian. orang itu mengeluarkan golok panjang dan tajam berkilat dari balik pinggangnya. Martubi terkesiap. Jantungnya bagaikan amblas seketika.
"Sudahlah," kata yang seorang lagi. "Tanpa kita mengotori tangan pun. si tua bangka itu akan mati sendiri. Mati digerogoti sifat dengkinya"
Kecut hati Martubi sewaktu ia meneruskan perjalanan pulang. masakan ia mati karena digerogoti sifat dengki" Benarkah ia seorang pendengki" ia tidak rela memanfaatkan gilirannya yang tersisa untuk mengairi sawah ki Sukriya. Ia juga tak sudi lagi membantu Nyi Sarijah, setelah janda sialan itu menolak cintanya. Lalu air saluran ia biarkan mengalir perCuma. Bunarkah itu pertanda dengki"
Kedengkian itulah yang mendorong anaknya, Sumargo nekat pergi ke kota. Ia bawa Margono yang masih bocah. Kalau bertemu. bocah itu akan ia jejalkan ke muka istrinya yang sampai hati lari dengan laki-laki lain. Sampai ia mati Sumargo tak berhasil melaksanakan niatnya. Tak pernah ia berhasil mencari istrinya yang durjana itu. la tersiksa. lahir batin. Jadi ia mati, karena digerogoti sifat dengki yang tidak tersalurkan. Atau memang tersalurkan. namun dalam wujud yang berbeda" Yakni, menyia-nyiakan Margono"
"Cucuku yang malang!" keluh Martubi setiba di rumah. "ia tak akan pernah jadi perampok, kalau ia tidak disia-siakan. Disia-siakan ibunya, kemudian ayahnya.. .."
Perasaan kasihan pada cucu itulah yang mendorongnya untuk meninggalkan rumah begitu ia selesai sarapan pagi. Lagipula. tak ada lagi yang ia harapkan di dunia ini karena Nyi Sartjah telah menolaknya. Satu-satunya harapan yang masih tersisa, adalah lebih memperhatikan cucunya. Anak itu masih muda. Masih punya harapan. Biar sulit dan penuh marabahaya. paling tidak Margono masih punya harapan. Martubi akan menemuinya, mengatakan padanya bahwa sawahnya yang tak seberapa itu ia wariskan semua padanya. Didukung pula oleh ibu Margono yang kini jadi istri seorang lurah, Martubi berharap cucunya akan mau membuka lembaran hidup yang baru. Martubi meninggalkan rumah pada saat setengah penduduk kampungnya masih terlelap tidur. Dengan begitu. mudah baginya menyelinap pergi tanpa dicurigai Orang lain. Polisi desa pun sudah beberapa hari ini berhenti mengintip-intip di sekitar rumah Martubi. Mungkin karena tersiarnya kabar dari kota. bahwa Margono lenyap tanpa jejak, dan alat negara kembali disibukkan perkara-perkara lain yang jauh lebih penting dari buronan mereka yang satu itu.
Martubi menerobos ladang tetangganya. menyisiri sungai sampai ke jalan raya. Tidak menempuh jalan umum, karena ia belum yakin bahwa polisi desa benar-benar sudah mempersetankan Margono. Setelah menunggu beberapa menit, ia naik sebuah bus sampai ke kota kecamatan. Dari situ naik oplet yang melewati desa Cibeureum. Dari desa Cibeureum barulah ia naik ojek, dan turun setelah ojek itu tidak lagi mampu menanjak jalan mendaki berbatu-batu. Dari rumahnya sampai ke tempat itu, Martubi menghabiskan waktu cuma dua jam. Tetapi perjalanan seterusnya yang harus ia tempuh dengan jalan kaki. akan makan tempo sekitar tiga jam. Memang melelahkan, tetapi di lain pihak ia juga merasa gembira. Gembira memikirkan bahwa desa Lamping letaknya begitu terpencil. Komunikasi ke daerah sekitar boleh dikatakan seperti terputus. Sungguh jitu otak Martubi menyarankan cucunya pergi ke desa lamping. Meski untuk itu, Martubi terpaksa membuka rahasia masa lalu. Biarlah. Yang penting, desa Lamping sangat cocok dipakai bersembunyi.
ia tiba di desa Lamping menjelang tengah hari. Meskipun komunikasi dengan dunia luar sangat terbatas. Martubi melihat bahwa Lamping sudah berubah lebih maju. Jauh lebih maju dari waktu ia bertahun-tahun silam datang ke desa yang sama. untuk melayat seorang kerabat yang meninggal dunia. Lurahnya waktu itu hanya ia kenal sepintas lalu. Sekarang. takdir menghendaki mereka jadi kerabat. setelah lurah itu kini menikahi ibunya Margono.
Seraya mengagumi kemajuan yang banyak dicapai desa Lamping, Martubi membalas
tegur sapa orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia juga tak segan-segan memberitahu tujuannya, ingin ke balai desa. "Mau bertemu Pak Lurah." katanya. Ia merasa bebas di sini. Tak sebebas di desanya sendiri. Terutama. dalam kaitan dengan cucunya.
Di balai desa, ia disuruh menunggu sebentar. Pak Lurah tengah mengadakan rapat dengan pengurus LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Saat-saat menunggu ia pergunakan untuk istirahat. Baru sekarang ia rasakan betapa melelahkan perjalanan jauh yang harus ia tempuh, demi cucunya. Juga baru sekarang ia sadari, bahwa ia tidak semuda dulu lagi. Mungkinkah karena itu Nyi Sarijah menolak lamarannya"
Setengah jam kemudian barulah ia dipersilahkan bertemu Pak Lurah secara pribadi. Tuan rumah mengawasi tamunya sebentar dengan dahi berkerut. kemudian sambil tersenyum lebar berkata: "Pak Martubi ya" Mertua istriku?"
"Bekas mertua," Martubi memperbaiki. seraya membalas uluran tangan tuan rumah. Mereka berdua tertawa. namun Martubi melihat bahwa suara tawa tuan rumah tidaklah sepenuh hati. Waktu ia perhatikan lebih seksama, barulah ia sadari bahwa tuan rumah lebih pucat, lebih kurus dari saat kedatangannya ke
desa Martubi untuk menikah dengan bekas menantu Martubi. Matanya pun kelihatan seperti tak bergairah. "Tampaknya Pak Lurah tidak enak badan ya?" ia bertanya, simpatik.
Tuan rumah menghempaskan pantatnya di kursi. Tampak teramat lelah. Dan menderita. "itulah," katanya. "Itulah yang sering mereka katakan tentang diriku. Pak Martubi. Lalu aku bilang. aku sehat walafiat saja. Bukan aku yang sakit. Tetapi . . . ." '
"Maryati?" bisik Martubi. Curiga. sekaligus waswas.
"Heeh ." "Apa yang terjadi?"
"Banyak sekali. Dan serba membingungkan. Eh, Bapak belum bertemu dia, kalau begitu?"
Martubi tersenyum. "Aku kira kurang pantas kalau aku langsung ke rumah kalian. Aku seorang bekas mertua saja. bukan?"
"Kau membuatku malu. Pak Martubi. Kita sudah menjadi keluarga besar. sekarang. Maksudku. sejak saat pertama kali cucumu datang ke rumah kami. ..."
Kabar itulah yang paling ditunggu Martubi. Jadi cucunya selamat, tak kurang suatu apa. Lembah Hantu telah dilewatinya. Lalu mengaPa Maryati jatuh sakit" Pasti bukan sakit biasa, karena tampak berpengaruh besar pada suaminya. Martubi merasa tak enak, dan ia mengeluarkan isi hatinya dengan terus terang:
"Margono penyebabnya?"
Tuan rumah manggut-manggut, disertai keluhan tak jelas. itu membuat rasa sayang Martubi pada cucunya sempat terampas. ia menjadi marah. Dan kemarahan itu pun ia lontarkan tanpa berpikir panjang: "Anak berandal dan tak tahu diuntung itu! "
Lurah desa Lamping mengerutkan dahi. Berpikir sebentar, kemudian memberikan komentar yang kontras: "Setahuku, Margono anak yang baik. Tak suka berkeliaran ke luar rumah. Ia memang agak pendiam. tetapi itu pun kukira karena ia kurang begitu sehat. Barangkali kelelahan. Bayangkan. ia menerobos gunung dan lembah. Bukan menempuh jalan biasa. Katanya sih, cari pengalaman. Begitulah anak-anak muda sekarang. Bersemangat tinggi. Tapi lupa kemampuan mereka ada batasnya...."
Dalam hati, Martubi bertanya-tanya. Sudah tahukah orang ini siapa dan apa pekerjaan Margono" Bagaimana pula dengan Maryati" Perempuan itu tidak banyak mengetahui tentang anaknya, kecuali apa yang pernah diutarakan Martubi: Margono tinggal di kota, tidak punya pekerjaan tetap, tetapi di kota ia tidak kekurangan, tak perlu dicemaskan -aku akan
memanggilnya pulang. begitu kudapatkan alamatnya yang terakhir. Sungguh sebuah dusta besar. Dan sekarang, setelah Maryati dan suaminya mengetahui-Ataukah belum" Sama saja : suatu saat mereka akan tahu. Dan pertanggungan jawab akan mereka tuntut dari Martubi!
Setelah menghela nafas panjang, Martubi bertanya hati-hati: "Apakah cucuku tidak menyusahkan?"
"Menyusahkan?" Pak Lurah geleng-geleng kepala. "Ia justru membahagiakan ibunya. Sejak kedatangannya, ibunya begitu gembira, tampak jauh lebih muda. . . ."
,,Dan"! "Datanglah kesusahan itu. Kesusahan yang membingungkan. Membuat aku putus harapan, karena tidak tahu harus berbuat apa.... Beberapa hari lalu. Margono tiba-tiba menghilang. Tanpa pamit, tanpa kabar berita. Sejak itulah istriku jatuh sakit. Perilakunya aneh, keinginannya lebih aneh-aneh lagi. Keinginan yang Sungguh tak masuk diakal. .. ."
"Aku tak mengerti. Bagaimana cucuku... pergi?"
"Tak ada yang tahu ."
"Mengapa" Apakah terjadi... sesuatu?" Martubi membayangkan polisi.
"Tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Kecuali. bahwa Margono tiba-tiba lenyap. Lenyap begitu saja. Bagai ditelan bumi'"
"Wah...." "Lebih wah lagi, apabila Pak Martubi tahu apa yang kemudian terjadi pada istriku."
"Apa yang terjadi dengan Maryati?"
"Sejak kepergian Margono, istriku selalu ketakutan. Mengurung diri di kamar, dan kalau ia kebetulan dapat tidur. dalam tidurnya ia menjerit-jerit, menceracau tak menentu. Tiap kali ia menyebutnyebut nama anaknya. Atau kata-kata seperti 'tidak', 'jangan', 'pergi', bahkan beberapa kali' ia mengingaukan.. .setan! "
Hampir terlonjak Martubi dari kursinya. "Setan?" tanyanya, kelu. Bayangan Lembah Hantu dan cerita-cerita ganjil menakutkan sekitar lembah itu maupun penghuninya, mencemaskan Martubi. "Setan apa?"
"Entahlah. Pendeknya, tiap kali terjaga dari tidurnya, istriku tak mau bercerita apa-apa. Kecuali hanya menangis dan menangis. Lalu terjadilah peristiwa itu . . . ."
Martubi mendengarkan dengan takjub kisah yang diutarakan lurah desa Lamping, ketika suatu hari ada seekor anjing menerkam ayam tetangga. Yang punya ayam marah. lalu menyambit si anjing. Anjingnya melawan. Menggigit penyambitnya. Orang-orang yang melihat segera datang, dan anjing itu dipukuli berama ramai.
Didalam rumah. Maryati yang berbaring sakit di tempat tidur. tiba-tiba melonjak bangun mendengar suara anjing terkaing-kaing. "Anakku! Oh, anakku!" ia memekik lalu berlari
larian ke luar rumah. ia berteriak-teriak pada kerumunan orang agar jangan memukuli anaknya. Dengan terheran-heran para tetangga kemudian menyaksikan bagaimana Maryati mendatangi anjing yang sekarat itu. Ia bersimpuh, seakan mau memeluk makhluk malang yang terluka parah di depan matanya. Lalu tiba-tiba Maryati merintih: "ia bukan anakku." lalu dengan langkah lunglai pulang ke rumah. "Aku begitu malu karena peristiwa itu," Lurah desa Lamping mengeluh sakit. "Sukar untuk membela keanehan perilaku istriku. Lalu pada mereka semua kubilang, istriku sakit dan agar mereka semua bubar dan tidak meributkan persoalan itu lagi. Sampai di situ. semuanya beres. Tampaknya. Kemudian. istriku selalu terkejut mendengar suara anjing menggonggong, apalagi di malam hari. Dan menyebarkan desas-desus. istriku terkena gunaguna...." Tuan rumah mengerang lembut. Katanya: "Aku justru tengah berniat mencari dukun. sebelum istriku tiba-tiba memintaku memenuhi tuntutannya. Agar aku mencarikannya seekor anjing hitam besar, bermata merah saga!"
"Wah. ..," lagi-lagi hanya itu komentar yang mampu diucapkan Martubi.
Seakan tak mendengarnya, tuan rumah meneruskan: "Aku telah membawakannya beberapa ekor anjing. Kulitnya hitam. bulunya hitam. Tetapi istriku bilang, anjing itu kurang besar. Atau. matanya hitam, bukan merah. Ada yang merah, tetapi kata Maryati kurang merah lagi. Dia bilang, mata anjing itu harus berwarna kalau tak semerah saga, haruslah semerah darah. Ya Tuhan!" suami yang malang
itu mengusap wajahnya dengan putus asa.
Martubi membasahi bibirnya dengan lidah, kemudian bergumam hati-hati: "Barangkali, Maryati memang terkena. .. ."
"Guna-guna?" potong tuan rumah dengan kesal. "Aku tak mau percaya itu. Lagipula. setelah kupikir cukup lama, aku merasa belum pernah punya musuh, atau berbuat sesuatu yang menyakiti hati orang. Aku tak gila kedudukan, tak suka menumpuk harta. Aku perlakukan semua orang tanpa membedakan kedudukan maupun kekayaannya. Setiap saat aku berpikir dan berusaha bagaimana aku harus memajukan desa ini. memajukan kehidupan rakyat di sini. Satu-satunya yang kukira belum sempat kulakukan, hanyalah membuka komunikasi dengan dunia luar. Untuk itu, kemampuan desa sangat terbatas. Sedang bantuan dari beliau-beliau di atas sana. hanya berupa janji belaka. Aku dapat mengerti .Apa apa yang dihasilkan desa ini hanya cukup untuk menghidupi rakyatnya sendiri. Tidak ekonomis untuk dunia luar. Sayangnya, penduduk di sini sudah merasa puas dengan apa yang telah mereka capai. Lalu. dengan mereka menghormatiku dan merasa puas dengan caraku memimpin mereka, siapa pula yang harus kutakuti sebagai musuh?"
"Barangkali, ada sebab lain," Martubi berujar hanya sekedar berujar, karena tidak tahu lagi apa yang mau dikatakan. "Misalnya. maaf -dari pihak istri tua"." dan Martubi terkejut sendiri. Menyesali tuduhan sembarangan yang dapat menyakitkan hati itu.
Tetapi tuan rumah hanya tertawa parau. "Kau tahu. Pak Martubi" Dua-dua istriku hidup rukun, bahkan melebihi saudara kandung. Bahkan istriku yang pertamalah yang dengan tekun dan setia menjaga Maryati selama madunya ini menderita sakit. Ia bahkan menghormati Maryati. Karena berkat pengalaman-pengalaman Maryati selama tinggal di kota, perempuan-perempuan desa Lamping kini berpikiran lebih maju. dan tidak hanya mengandalkan hidup dari hasil sawah dan ladang.
Kursus-kursus keterampilan yang didirikan dan diawasi Maryati berkembang pesat. meski ia baru lima bulan menjadi warga desa kami. Sudah tampak harapan, hasil kursus-kursus itu dapat kami perkenalkan ke luar desa. Mungkin sampai ke kota kabupaten. Kalau itu berhasil, akan terbuka" jalan menuntut dibangunnya sarana komunikasi ke desa ini oleh Pemerintah. Maryati sungguh merupakan mujizat buat kami. Terutama buatku. Karena?" wajah tuan rumah lebih bersinar kini. "la tengah mengandung anakku yang pertama!"
"Ah" Martubi tanpa sadar bertepuk tangan. "Jadi itulah sebabnya. Maryati mengandung, dan karena kandungannya. ia berperilaku aneh, meminta yang aneh-aneh.?"
"Aku sependapat," tuan rumah menyetujui. Namun tanpa kegembiraan. Martubi mau tidak mau terhenyak. Berpikir keras. Perempuan yang hamil muda memang sering menyusahkan. Seperti sekarang ini: mengidam anjing. Anjing besar hitam, bermata semerah darah!
"Kita harus mendapatkannya. Mendapatkan anjing yang diinginkan istrimu, bagaimanapun caranya'" Martubi berkata mantap. "Setelah itu, baru memikirkan kemana perginya Margono, dan setelah bertemu, menyadarkan perbuatannya yang dungu telah
menyusahkan ibunya yang begitu baik."
"Itulah yang membuatku semakin susah. Pak Mart ubi." kembali tuan rumah mengeluh.
"Maksudmu?" "Anjing yang diidam idamkan istriku. Aku tak pernah berharap bahwa ada anjing seaneh bahkan --rasanya semengerikan begitu. Tetapi. sungguh luar biasa. Anjing itu memang ada. Beberapa orang kepercayaanku tengah berusaha mengikuti jejaknya dan kalau bertemu, agar menangkapnya tanpa cidera. Di sinilah timbul kesulitan baru. Anjing yang sama. ternyata juga dicari oleh orang-orang lain, untuk kepentingan yang berbeda...."
"Ahhh!" Martubi berdesah, takjub.
"Anjing itu," tuan rumahnya berkata dengan nada cemas. "Pernah terlihat atau diketahui muncul di dua tempat. Dan kemunculannya. tak kalah mencemaskan dengan apa yang diderita istriku!"
" Mencemaskan bagaimana?"
"Boleh dibilang, malah mengerikan." jawab Lurah desa Lamping yang tampak semakin menderita itu. Malu ia menceritakan apa-apa yang ia dengar dari orang-orang kepercayaannya yang ia suruh mencari anjing dimaksud.
"Nyi Imas. pemilik warung dikampung Banjar baru saja akan menutup warungnya karena hari sudah malam. ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh munculnya seekor anjing besar berbulu hitam. Mata anjing itu merah. teramat merah, dan sorotnya memukau Nyi imas. Sebelum Nyi Imas sempat berteriak untuk mengusir anjing itu, ia sudah diserang. Anehnya, ia tidak digigit. Hanya pakaiannya yang dicabik-cabik sampai tubuhnya boleh dibilang telanjang. Lalu, entah kekuatan gaib apa yang mempengaruhi Nyi Imas sehingga ia tidak berani melawan ataupun berteriak minta tolong, Nyi Imas pun diam saja ketika anjing itu menindihkan tubuh telanjangnya lalu memperkosanya!"
"Mustahil, bukan?" keluh Lurah desa Lamping melihat Martubi tercengang. "Tetapi itulah yang diceritakan Nyi Imas, ketika suaminya kemudian melihat dia merayap seorang diri di lantai warung, memunguti pakaiannya yang compang-camping. Nyi Imas menceritakan pengalamannya sambil menceracau seperti orang gila. Mulanya sulit dipercaya. Sampai hari berikutnya. di pancuran air kampung Parigi, peristiwa sama dialami seorang gadis. Gadis itu sungguh sial. kebetulan mencuci sendirian di pancuran. Ia juga terpukau. dan tak berdaya ketika disetubuhi. Baru ketika ia merasakan perih sewaktu keperawanannya pecah -ia menjerit dan jeritannya didengar teman-temannya yang belum pergi terlalu jauh.
*** Mereka berlari-lari mendatangi. dan melihat sesosok makhluk besar hitam tengah menggagahi si gadis. Mereka pun berteriak-teriak minta tolong. Makhluk itu melepaskan mangsanya, kemudian melarikan diri. Sejak hari itu. tak ada lagi kabar berita mengenai anjing yang menakutkan itu. Kecuali bahwa. beberapa laki-laki pemberani dari kampung Banjar dan Parigi telah bekerja sama untuk mencari anjing itu sampai dapat dan kemudian membunuhnya...."
Untuk ke sekian kalinya. Martubl bergumam: "Wah"
Untunglah jurutulis desa muncul untuk pamit pulang karena hari sudah mulai gelap. Jurutulis menyerahkan berkas-berkas yang telah ia kerjakan dan merupakan kelanjutan hasil rapat kepala desa dengan pengurus LKMD.
Hampir tak menaruh perhatian pada berkas berkas itu. Pak Lurah bangkit dari duduknya. Berkata menyesal: "Maaf. Pak Martubi. Kami lupa menyediakan air minum. Ayo kita ke rumah. Perutku mendadak lapar. Juga Pak Martubi. bukan?"
Dalam perjalanan ke rumah lurah itu. mereka tak berbicara sepatah pun. Dua-duanya dipenuhi pikiran-pikiran kacau. Lurah memikirkan istrinya. Martubi memikirkan cucunya. Mungkin. hanya dalam satu hal pikiran mereka sama: makhluk apakah kiranya, anjing besar hitam bermata semerah darah itu"
*** BAB 7 MARYATI terbujur kaku di tempat tidur, tanpa daya. Sepasang matanya terbuka lebar, seakan mencari sesuatu di langit-langit. Mulutnya megap megap, susah bernafas. Ia tidak bergerak atau pun menoleh ketika suaminya. melangkah masuk diiringkan Martubi. Wajahnya tampak sangat pucat. Tubuh pun jauh lebih kurus dibanding terakhir kali Martubi melihatnya lima bulan yang lalu. Perhatian Martubi kemudian beralih pada Supinah, istri pertama tuan rumah, yang bergegas bangkit menyongsong. Wajahnya pun pucat, gerakannya lemah. dan mata memerah karena kurang tidur.
"Pak Martubi, aduh. Syukurlah kau datang!" sambutnya, bergetar. Diambilnya tangan kanan Martubi, lalu dicium khidmat. Waktu Supinah tengadah lagi. ia memohon lirih: "Tolonglah Dik Maryati, Pak Martubi. Lakukanlah sesuatu untuk mengurangi penderitaannya. Kasihan. Dia...,," dan air matanya pun mengalir jatuh.
Sambutan perempuan itu membuat Martubi terharu. Sekaligus ia juga kagum, bersimpati. Tutur kata maupun air mata Supinah begitu tulus. sehingga Martubi dapat membayangkan betapa perempuan ini tanpa mengenal lelah merawat dan menjaga Maryati, saingan berat dalam rumah tangganya.
"Aku akan berusaha... sedapatku." Martubi menyahut.
"Kau pasti dapat, Pak Martubi. Kau lebih mengenal Dik Maryati. Lebih dekat padanya!"
Benarkah. pikir Martubi. Benarkah ia lebih mengenal Maryati" Mungkin, dan itu telah lama berlalu. Ketika Maryati masih bocah perempuan kecil yang tiba-tiba hamil, menjadi menantunya, kemudian memberikannya seorang cucu. Bocah perempuan itu tidak tahu pahit getirnya hidup. apalagi soal berumah tangga. Tidak tahu membedakan mana bujuk rayu yang patut dituruti, mana yang harus dijauhi karena di balik bujuk rayu itu tersembunyi hati yang busuk berulat. Maryati termakan hati berulat itu, tega meninggalkan suami dan anak, meninggalkan Martubi yang sebenarnya mengasihinya. Semenjak itu si bocah perempuan tidak pernah lagi dilihatnya. Sampai belasan tahun kemudian. ia muncul lagi. Lebih dewasa. lebih matang, tampak tetap muda dalam usianya yang sudah 35 tahun. dan lebih cantik dari yang pernah diketahui Martubi. Ia muncul begitu tiba tiba, untuk kemudian pergi lagi. Mengikuti suaminya yang terbaru!
Martubi menarik nafas panjang.
Maju dua langkah mendekati tempat tidur. la bungkukkan badannya , untuk dapat menyentuh rambut Maryati. Berbisik lembut: "Yayah" Kau mendengarku, Yayah?"
Kelopak mata si sakit mengerjap. Mulut kumat-kamit sebentar, lalu terdengar erangan lirih: "Ba--pak?" Tangannya mencari-cari. Martubi menyambut tangan itu. menggenggamnya. melimpahinya kasih sayang. Luka yang pernah ditinggalkan Maryati, mencair perlahan-lahan. Hampir tidak terasa lagi bekasnya di hati Martubi.
"Ini aku, Nak. Apa yang terjadi?"
"Bapak?" Mata yang hampa itu memancarkan sinar. namun hanya sekejap. "Bapak. dia datang lagi...."
"Dia siapa, Yayah?"
"Anakku. Dia datang. .. lalu pergi lagi!"
"Aku tahu. Nak. Aku tahu. Tetapi nantilah itu kita bicarakan, ya?"
" Dia datang, Bapak." Maryati seakan tidak mendengar. "Melayang-layang dari balik kegelapan. la berlari-lari ke arahku. Lalu -tiba-tiba ia -terjatuh. la menjerit minta tolong.
Lalu aku berlari. menyongsongnya. dan. dan ia menghilang begitu saja... "
Sedih bercampur bingung, Martubi berkata menghibur: "Tabahkan hatimu, Yayah. Aku akan membantu menemukan dia untukmu. ..."
"Bapak tidak akan dapat menolongku. Suamiku juga... tidak. Tidak seorang pun dapat menolongku. Tidak seorang pun. . . ."
"Mengapa tidak, Yayah?"
"Karena karena. . .. Aduh, Bapak. Aku sakit. Tubuhku lelah sekali rasanya. Aku juga ingin tidur...."
"Tidurlah." "Tetapi aku takut."
"Takut apa, Yayah?"
"Takut kalau aku bangun, dia sudah pergi lagi...."
"Tak usah takut, Nak. Kalau anakmu datang, ia akan kuikat ke tempat tidurmu agar tak pergi lagi meninggalkanmu."
"Jangan. Jangan kasari dia. Bapak."
"Kalau begitu, akan kukurung dia di kamar ini. Akan kujaga sendiri. Supaya nanti kalau kau bangun, ia akan tetap di sini. Di dekat mu.?"
"Terima kasih, Bapak. Kau baik sekdi. Baik... sekali...," suara Maryati melemah. semakin lemah. Tangannya masih menggenggam erat tangan Martubi. Seolah ia mencari
perlindungan. Seperti dulu ia pernah meminta nya dengan manja, mengadu dengan lugu: "Bapak' Kang Margo jahat. Pantatku digigitnya!"
Ketika Maryati benar-benar tertidur dan nafasnya lebih teratur, Martubi dengan hatihati menarik tangannya. Seraya menahan air mata, ia berpaling pada tuan rumah. Namun di mata suami Maryati. ia mendapatkan kegetiran dan kesulitan yang sama. Bagaimana kalau nanti Maryati terjaga, dan menuntut kehadiran anaknya"
Lurah desa Lamping itu memaksakan senyum di bibir, menghibur diri sendiri tetapi siasia. Ia berbisik mengajak Martubi meninggalkan kamar tidur. "Kita bicarakan di luar saja. . . ," katanya tak bersemangat.
Dua gelas kopi kental panas telah dihidangkan Supinah untuk mereka berdua. Dari suara suara yang didengar Martubi dari arah dapur. Martubi tahu bahwa saat itu Supinah tengah sibuk untuk mempersiapkan makan malam mereka. Setelahnya"
Martubi duduk dengan gelisah. Tuan rumah, tak kurang gelisah. Mereka sama-sama membisu. Tak seorang pun berselera untuk mencicipi kopi yang terletak di depan masing masing. Malah tuan rumah sampai lupa mempersilakan tamunya minum. Keduanya sama
termenung. Duduk kaku di tempat masing masing. Menunggu .
Tetapi apa yang mereka tunggu"
Seakan menjawab pertanyaan yang musykil itu. terdengar pintu depan diketuk orang dari luar. Pak Lurah sampai terkejut, kemudian bergegas bangkit untuk membukakan pintu. Di luar. malam sudah gelap. Lampu yang lebih dulu sudah dinyalakan Supinah, menerangi tubuh seseorang di beranda. Seorang laki-laki yang dari rambut, jenggot serta kumisnya jelas telah berusia lanjut. Berdirinya tegak, perkasa seperti tubuhnya yang tinggi kekar sebagai kontradiksi yang sungguh menyolok.
"Maaf," suaranya terdengar dalam dan berat. "Apakah benar ini rumah Pak Lurah."
Yang ditanya. menganggukkan kepala. Masih kalut oleh pikiran pada istrinya, tuan rumah bergumam tak ramah: "Ada perlu apa?"
Tamu misterius itu memperlihatkan senyuman tipis. "Boleh saya ketemu Pak Lurah?" katanya berharap.
"Aku sendiri." "Namaku Sumirta," tamu itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan yang dengan segan-segan dijabat oleh tuan rumah yang setelah bingung sesaat kemudian mempersilakan tamu asing itu masuk dan mengambil tempat duduk. Sementara tuan
rumah beranjak ke dapur untuk membentahu istrinya agar mengantarkan minuman untuk tamu yang baru datang, Martubi mengawasi si pendatang. Pakaian orang itu berbeda dengan pakaian Martubi sebagai seorang petani. Berbeda dengan pakaian Pak Lurah sebagai orang yang dihormati. Sederhana, rapih, tidak ada yang istimewa atau yang dapat dijadikan petunjuk mengenai pekerjaan maupun asal usulnya.
Tanpa dapat menahan diri, Martubi lalu bertanya: "Bukan orang sini, ya?"
"Aku datang dari jauh. Dari balik gunung," jawab orang yang menamakan dirinya Sumirta itu.
"Malam-malam begini" Tentunya penting sekali."
"Benar." Tetapi orang tua itu baru mau menceritakan tujuannya datang, setelah tuan rumah bergabung lagi dengan mereka, diikuti Supinah yang membawa segelas minuman. istri tuan rumah melirik curiga ke arah tamunya, mengawasi sebentar sebelum menangkap lirikan menegur dari sang suami. Setelah mana, Supinah bergegas kembali ke dapur.
;"Maafkan atas sambutan kami yang kurang pantas," ujar tuan rumah. Berusaha ramah, rupanya telah dapat menguasai dirinya kembali. "Apa yang dapat kami bantu, Pak Sumirta?"
"Sebaliknya. akulah yang ingin membantu." jawab Sumirta, tersenyum.
"Oh ya?" "Kalian mencari sesuatu, bukan?"
"Kami tidak "."
Ucapan Pak Lurah dipotong tamu misterius itu: "Sudahlah. Tak usah malu mengakuinya. Apa yang kalian hadapi, adalah hal yang wajar dan lumrah terjadi di jagad raya yang mengandung begitu banyak hal-hal gaib dan musykil. Maafkan kalau aku berlaku kurang sopan. Tetapi benarkah kalian mencari seekor anjing besar hitam, bermata semerah darah?"
Pak Lurah tercengang. Akan halnya Martubi, diam-diam menahan nafas. Jantungnya berdegup kencang. Apakah tadi nalurinya yang "membisikkan agar ia berjanji pada Maryati untuk menemukan anak yang hilang itu" Apakah janji itu akan terpenuhi, melalui orang tak dikenal ini" ia berdehem halus, dan dengan lirikan matanya yang ditangkap oleh mata Pak Lurah, ia mengisyaratkan agar bersikap lebih terbuka.
Suami yang tengah diliputi gundah gulana itu, menelan ludah sambil berpikir keras. Kemudian: "Dari mana Bapak mengetahui tentang anjing itu"'
Sumirta mengelus jenggotnya dengan gerakan sambil lalu. Menjawab: "Kisahnya panjang. Tetapi baiklah kuceritakan garis besarnya saja!"
Menurut Sumirta, selama beberapa hari terakhir ini tidurnya terganggu oleh kehadiran makhluk asing di sekitar pondok tempatnya tinggal. Ia tidak mau menjelaskan di mana letak pondok itu, kecuali satu petunjuk samar: di kaki gunung. Makhluk itu, katanya. muncul tidak terlalu dekat. Bahkan hampir tidak terlihat. Tetapi berkat kemampuannya melihat jauh maupun melihat dalam kegelapan, Sumirta tahu bintik-bintik merah menyala yang sering dilihatnya, adalah sepasang mata. Mata yang terus mengawasinya, entah dengan maksud apa. Kadang-kadang. sinarnya seperti menuduh, kadang-kadang seperti memohon pertolongan. atau putus asa. Namun tiap kali didekati, makhluk itu segera melarikan diri.
"Seperti ia takut padaku," kata Sumirta di tengah ceritanya. "Yang pasti, aku kemudian tahu bahwa makhluk itu berupa anjing. Anjing
besar berbulu hitam pekat. Matanya semerah darah ...."
Sementara ia masih dibingungkan oleh kehadiran makhluk berperilaku ganjil itu. Sumirta kebetulan bertemu dengan seorang kenalan, yakni pencari rotan yang sudah lama dikenalnya dan kemudian menjadi sahabatnya. Lewat sahabatnya itu Sumirta mendengar bahwa makhluk yang sama tengah dicari-cari oleh penduduk sekitar. Ia juga menceritakan apa yang ia dengar dari penuturan kelompok pencari makhluk itu, bahwa ada seorang perempuan yang tiba-tiba kehilangan anaknya setelah mana kemudian jatuh sakit dan sering mengigau tentang anjing.
"Waktu sahabatku menyebut desa Lamping, aku pun lantas mengerti," Sumirta mengawasi pintu yang tertutup di belakang punggung tuan rumah. "Aku pernah mengenal seseorang lain, yang katanya akan pergi ke desa Lamping untuk mengunjungi ibunya. Kemudian aku berpikir. Berpikir tentang beberapa hal yang kuketahui mengenai orang itu, mengenai ibunya, lalu makhluk yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalku. Naluriku berkata. antara semua itu ada jalinan yang saling kait berkait satu sama lain. Maka kuputuskan untuk berbuat sesuatu. Lalu aku pun berkunjung ke rumah ini ...."
Sementara tuan rumah hanya termenung menung bingung, Martubi merasakan detakan di jantung. Orang yang diceritakan Sumirta pastilah cucunya, Margono. Kalau benar.
maka tamu misterius ini tentulah tinggal di sekitar Lembah Hantu. Bahkan bukan tidak mustahil. orang ini salah satu penghuni Lembah Hantu!
Seraya menjilat bibirnya yang mendadak kering. Martubl bergumam parau: "Apakah orang yang Bapak maksud. seorang pemuda bernama Margono "
Dengan wajah datar. sang tamu menjawab: " kukira demikianlah namanya
"la ia tersesat?" tanya Martubi lagi, dengan suara tercekik.
"Tersesat ke mana?" Sumirta balas bertanya. tajam. Dengan sorot mata yang lebih tajam lagi. Sorot mata memukau. yang membuat Martubi terdiam. tak kuasa lagi berkata apa apa.
Martubi kemudian berpaling pada tuan rumahnya. dan dengan gelisah berkata: "Kalau tak salah. waktu pertama kali Margono datang ke sini. ia agak sakit. bukan?"
"Kukira hanya letih," sahut Pak Lurah. "Seorang penduduk menemukannya tergeletak kepayahan di pinggir hutan. Anak itu pucat. tak bertenaga. Jelas ia sangat kelaparan. Ia tidak membawa bekal. kecuali sebuah buntelan berisi kain-kain rombeng ."
"Kain rombeng?" celetuk Martubi. tak mengerti. "Seingatku. selain makanan secukupnya. ia juga kubekali satu stel baju dan celana yang masih utuh. Selain yang ia pakai. tentunya. Bukan baju-baju mahal. tetapi aku yakin terbuat dari bahan yang kuat dan tak mudah rusak. Tetapi kain-kain rombeng?" Martubi geleng-geleng kepala. Ia menoleh pada si tamu misterius. tetapi dengan cepat berpaling untuk menghindari pandangan menusuk dari mata orang tua yang muncul entah dari mana itu.
Situasi sunyi menegangkan yang berlalu beberapa helaan nafas, untunglah segera dipecahkan oleh suara ramah tuan rumah: "Pak Sumirta. Tadi kau katakan kaitan dari semua yang kau dengar dan lihat. dengan istriku serta putra kesayanganku. Kaitan macam apa yang Bapak maksudkan?"
"Wah. Sulit untuk menceritakan. Tetapi mengapa tidak Pak Lurah tanyakan sendiri pada istri Pak Lurah?"
"Aku telah berulangkali berupaya. Tetapi selalu gagal. Bukan saja tak mau menceritakannya. Tetapi juga, apa-apa yang ia katakan semua serba kacau, tak jelas. tepatnya tidak dapat kumengerti ...."
"Dapat kupahami. Karena selain mengerikan, tentunya juga sangat memalukan. Mengingat, Suaminya seorang Lurah yang dihormati banyak orang," ujar Sumirta, tanpa tedeng aling-aling.
"Apa"!" Pak Lurah hampir menjerit.
"Jangan berkata yang bukan-bukan!"
"Aku berkata yang sebenarnya." Sumirta bersikeras, tetapi dengan sikap dan nada yang lunak. Sinar matanya pun memandang seperti itu pula, yang dengan seketika mendinginkan kepala tuan rumah yang sempat panas. "Baiklah kita tidak usah bertele-tele. Aku mencium adanya bahaya mengancam di seputar peristiwa ini. Entah apa, aku belum tahu jelas. Yang pasti, kita harus cepat melakukan sesuatu."
"Misalnya?" Tuan rumah bertanya dengan dada berdebar-debar.
"Tolong ambilkan aku minuman."
"Oh. Maaf . Itu, di depan Bapak. Silahkan
"Maksudku segelas air putih. Untuk diminumkan pada istri Pak Lurah," ujar Sumirta. sopan.
Apa yang dimintanya dalam sekejap telah terhidang. Rupanya diam-diam Supinah nguping dari dapur. Lalu tanpa membuang tempo segera berlari-lari masuk ke ruang tamu membawa segelas air putih. Membuat suaminya terheran-heran, karena si suami justru baru bangkit untuk meminta air putih itu pada Supinah.
Baik Supinah, Pak Lurah, maupun Martubi sama menanti dengan tegang apa yang akan terjadi. Mereka sama menunggu. sama berpikir. Tanpa mengetahui, bahwa mereka membayangkan hal yang sama. Bahwa si tamu misterius yang tak ketahuan ujung pangkalnya itu, akan menghadapi gelas air putih dengan duduk bersila. Mulutnya kumat-kamit membaca mantera. Tubuh berguncang-guncang keras, semakin keras; sampai asap tipis mengepul dari celah-celah gumpalan rambutnya yang memutih. Kemudian menjerit-jerit atau berkata kacau, mungkin kesurupan, lalu
Tak satu pun yang menjadi kenyataan.
Karenanya, ternyata caranya sederhana saja. Sumirta menerima gelas berisi air putih itu dengan tenang dan mulut terkatup rapat. Ia hanya mengawasi isi gelas dengan tajam, seperti khawatir dari dalam gelas itu tiba-tiba muncul tangan-tangan gaib yang haus darah. Satu-satunya keanehan yang ia perbuat. adalah mencelupkan ujung telunjuk jari tangan kanannya ke permukaan air. Tanpa mantera apa pun.
Kemudian gelas ia berikan ke tangan Pak Lurah.
"Datangilah istrimu. Minumkan air putih ini. Dan yakinlah, ia akan mengungkapkan semuanya dengan jelas dan terus terang! "
Tuan rumah menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Matanya mengawasi sang
tamu, mengawasi Martubi. mengawasi Supinah. Ia tidak menemukan apa-apa, kecuali kebisuan yang mendebarkan. Setelah berpikir sejenak, ia lalu menoleh pada Martubi.
"Kukira tak ada salahnya Bapak ikut mendampingi." katanya.
Martubi mengangguk setuju.
Sementara Supinah cemberut tak diajak.
Dan ketika suaminya masuk ke kamar tidur Maryati diiringkan Martubi. wajahnya kembali membayangkan kekhawatiran. Pintu kamar tidur ditutup dari dalam. Supinah mengeluh, lalu memperhatikan tamu misterius yang duduk tenang dan santai di kursinya. Entah mengapa. Supinah merasa takut pada orang itu. . Benar saja. Ketika Sumirta melirik karena tahu diperhatikan, sekujur tubuh Supinah seketika bergetar. Darahnya tersirap, dan dengan wajah pucat pasi ia membalikkan tubuh dan dalam sekejap ia sudah menghilang didapur.
Sumirta tersenyum. Penuh arti. *** BAB 8 KETIKA beberapa orang penduduk datang ke rumahnya seraya menggotong seorang pemuda yang setengah pingsan. Maryati segera menyadari itulah makna dari firasat yang telah dirasakannya. Selama dua hari terakhir, beberapa kali Maryati merasakan Jantungnya berdegup kencang tanpa sebab. Begitu pun telinga kanannya, sesekali berdenging panjang. Pertanda ia akan menerima atau mengalami sesuatu yang tidak terduga-duga.
Pemuda itu dibaringkan di kursi panjang. Maryati memperhatikannya sebentar, kemudian terkesima. Telinga Maryati mendengar suara lelah salah seorang penduduk, rupanya mewakili teman-temannya, menjelaskan di mana pemuda itu mereka temukan dan mengapa dibawa ke rumah ini.
"Katanya, ia minta diantarkan ke rumah Lurah desa Lamping. untuk bertemu seseorang di rumah ini. Apakah ibu mengenal
dia", ! Maryati memperhatikan wayah pemuda itu sekali lagi. Pemuda itu membuka kelopak matanya dengan susah payah. Pandangan mata mereka bertemu. Dan jantung Maryati berdebar keras. Bahkan wajahnya sempat bersemu merah lalu pucat. karena sempat terlintas dalam pikirannya bahwa yang ada di depan biji matanya adalah Sumargo, bekas Suaminya yang pertama. Tetapi ia segera teringat bahwa Sumargo sudah lama meninggal dunia. Sumargo juga tidak punya saudara lakilaki. konon pula saudara kembar. Jelas pemilik wajah yang bagai pinang dibelah dua dengan wajah bekas suaminya itu. tak lain tak bukan adalah Margono. Anak laki-laki Sumargo. Anak Maryati pula. Darah dagingnya sendiri'
Setelah pemuda itu cukup kuat untuk duduk dan berbicara. Maryati sedikit pun tidak ragu lagi. Bahkan Margono tidak perlu bersusah payah menerangkan siapa dirinya. Dengan melihat bola mata si pemuda, Maryati sudah cukup diyakinkan. Bola mata Sumargo hitam pekat. Memandang bola mata si pemuda, Maryati seakan bercermin dan melihat bola matanya sendiri. Coklat gemerlap, warna yang menyimpan kekerasan hati serta hasrat bertualang yang begitu kuatnya sehingga terkadang melampaui batas yang semestinya.
Meskipun kerinduan begitu mendalam di
hati Maryati. ternyata ia tidak punya keberanian untuk memeluk Margono .Ada semacam perasaan bersalah dalam dirinya. Perasaan bersalah yang menghantuinya selama sekian belas tahun. dan kini membuatnya takut. Takut kalau uluran tangannya akan disambut dengan penolakan yang menyakitkan hati, atau kebencian yang telah mengeras seperti batu sehingga tidak dapat lagi dicairkan. Apalagi setelah Maryati melihat sinar mata Margono. Yang memandangi Maryati dengan tidak berkedip. dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. kembali lagi ke atas. dan berhenti sangat lama di wajah Maryati.
"Jadi. kaulah perempuan yang melahirkan aku." terdengar suara si pemuda bergumam. Datar. Tidak bersahabat, namun mengandung hasrat tersembunyi dan sukar diduga maknanya. "Bolehkah aku tahu berapa usia ibu sekarang?"
Pertanyaan itu mengejutkan Maryati. Namun toh dijawabnya juga. Dengan kaku. "34 tahun. Mengapa?"
"Tadinya kubayangkan. Ibu sudah tua. Kurus. Dan sakit-sakitan ...."
"Oh yaa?" Maryati berusaha menahan senyum.
"Sungguh. Malah aku tak percaya. Ibu berusia di atas 30tahun!"
"Aku berusia 13 tahun. ketika menikah dengan ayahmu." Maryati mencoba menjelaskan.
"Pantas." "Pantas apanya?"
"lbu tampak masih begitu muda. Muda dan sehat ."
Mulanya Maryati ingin mengomentari. Bahwa kondisi seseorang bukan tergantung dari usia. Melainkan dari kehidupan yang dijalani. Maryati tinggal cukup lama di kota besar. Boleh dibilang pergaulan maupun pengalamannya luas. Hal itu memberikan pengaruh besar dalam diri seseorang untuk memandang hidup dan kehidupan. Misalnya, apa yang harus dilakukan seorang perempuan agar bukan ia saja yang dikecewakan tetapi ia juga dapat mengecewakan kaum lelaki. Tetapi ah buat apa semua itu diceritakan. Bukan untuk maksud seremeh itu Margono datang berkunjung.
Maka Maryati berujar hati-hati: "Syukurlah. Tuhan telah mempertemukan kita kembali. Aku selalu berharap. kau baik-baik saja. Dan"
"Tak ada yang perlu dicemaskan tentang diriku. Bu. Kecuali. bahwa aku sangat terkejut setelah mengetahui Ibu masih hidup."
"Oh!" Maryati terdiam. Tidak perlu bertanya. pikirnya. Ia sudah dapat menduga apa
yang diceritakan seorang ayah pada anakanaknya. bila ibu anak-anak itu pergi meninggalkan mereka secara tidak terhormat. Kembali perasaan bersalah menghantui Maryati. Betapa ia menyesal, tetapi pantaskah diutarakan sekarang. Dan oh, mengapa Margono duduk begitu kaku di kursi. Mengapa pemuda itu tidak datang padanya, lalu memeluknya" Atau kalau memang Maryati pantas dibenci mengapa Margono tidak mengeluarkan kata kata kutukan"
Lakukanlah salah satu dari keduanya! Jerit Maryati dalam hati. Supaya pertemuan yang mengejutkan dan serba kaku ini cepat terselesaikan, dan Maryati dapat mengambil sikap. Tetapi Margono hanya duduk, dan terus memandangi wajah Maryati dengan sorot mata beribu'arti.
Gelisah, Maryati berdesah: " Dari siapa kau tahu aku tinggal di desa ini" Bapak, ya?" ia bertanya sekedar bertanya, untuk menekan kegelisahannya, paling tidak membuang suasana kaku yang tidak mengenakkan itu.
"Bapak?" Margono balas bertanya, heran.
"Maksudku, kakekmu."
"Oh. Memang dari dia. Dia pula yang menyuruhku untuk datang menemui Ibu. Aku ingin bersem Eh, maksudku, ingin beristirahat di suatu tempat di mana aku dapat
menyendiri tanpa mendapat gangguan dari orang-orang yang selama ini mengelilingiku dan membuatku yah. membuatku susah bernafas!" Kalimat terakhir itu disusulkan Margono dengan suara tawa yang kaku. "Aku tak tahu kemana harus pergi. Lalu kakek menyu ruhku datang ke sini."
"Kau akan lihat, bahwa kakekmu memberikan alamat yang benar. Di sini. kau akan dapat beristirahat dengan tenang, selama kau suka. Aku tak berani menjanjikan apa-apa. Tetapi aku akan berusaha sedapatnya, agar kau betah tinggal di sini."
Setelah mengutarakan semua itu, Maryati merasa plong. Ia tidak menampak adanya permusuhan dari pihak anaknya. Maka ia benar-benar berjanji pada diri sendiri untuk berusaha sekuat tenaga supaya Margono betah dan mau tinggal bersama dia beberapa waktu, kalau mungkin untuk selamanya. Lebih dari itu, ia tidak berani berharap. Biarlah waktu dan keadaan nanti yang menentukan, apakah Margono bersedia mencintai ibunya dan melupakan kesalahan besar yang pernah dilakukan sang ibu. Maryati merasa lebih lega sekarang.
Ia mulai dapat tersenyum, ketika ia bangkit dari duduknya seraya berkata dengan keramahan yang tulus: "Kau tentu lelah dan lapar.
lbu akan ke dapur sebentar. Oh ya. Apakah tidak lebih baik, sambil menunggu kau mandi dulu" Ada pancuran air di belakang rumah "
Barulah kemudian Maryati menyadari betapa menyedihkan keadaan anaknya. Ketika Margono juga bangkit dan bermaksud mengambil buntelannya, Maryati bertindak lebih cepat. "Biar Ibu bawakan. Dan marilah kutunjukkan kamar tidurmu." Buntelan Margono ia ambil dan kemudian mengajak Margono ke kamar tidur yang memang khusus disediakan untuk tamu atau kerabat yang datang berkunjung. Diam-diam, sambil menunjuk lemari dan memberitahu di mana Margono bisa menemukan handuk serta pakaian ganti, Maryati untuk pertama kali semenjak kehadiran Margono, diliputi kebahagiaan tiada terperi. Anak yang yang telah lama hilang, kini datang sendiri padanya dan tinggal bersamanya. Bagaikan mimpi saja!
"Kebetulan," katanya gembira, "postur tubuh serta tinggimu tidak jauh berbeda dengan suamiku. Jadi kau dapat memilih pakaian miliknya, mana saja yang kau sukai. Dan nanti, Ibu akan menjahitkan sendiri baju untukmu
Menjahitkan baju untuk anaknya! Alangkah beruntungnya Maryati.
Buntelan Margono ia letakkan di sebuah meja kecil kemudian bergerak ke pintu, waktu ia dengar pertanyaan Margono: "Suami ibu. Kok saya belum melihatnya?"
"Sebentar lagi dia juga pulang," jawab Maryati. tiba-tiba menyadari bahwa kebahagiaan itu belum saatnya untuk ia miliki secara utuh. Lalu dengan suara tergetar, ia berdesah: "Kuharap kau suka padanya ."
"Selama dia tidak keberatan aku tinggal di rumahnya, aku akan menyukai dia," ujar Margono kalem.
"Ia akan gembira berkenalan denganmu." Maryati tersenyum. Manis.
Pemuda itu memandanginya beberapa saat. Matanya tampak bersinar-sinar. Mata yang sudah lama tidak melihat sesuatu yang teramat ia dambakan, dan kini sesuatu itu ada di depan matanya, berhak untuk dimilikinya. Sinar mata itu menyenangkan Maryati. Namun ucapan yang kemudian lepas dari bibir si pemuda, membuat Maryati sempat tertegun.
Margono berkata: "Maaf kalau aku terus terang. Selain masih muda, kau juga cantik!"
Ucapan terus terang itu mengganggu plkiran Maryati selama bekerja di dapur. Seorang anak wajar memuji ibunya. Tetapi mengapa Margono begitu terbuka dan bebas lepas" Selain 'kau', Margono sesekali juga menyebut 'ibu'. Tetapi mengapa nada suara Margono tidak terdengar mengandung nada suara seorang anak pada ibunya" Begitu jauhkah jurang yang telah memisahkan mereka selama ini. Dan sebaliknya, sudah berapa jauhkah Maryati sendiri mengenal anak kandungnya"
Benar, dia yang mengandung dan melahirkan Margono.
Tetapi ketika itu ia masih bocah. Atau bolehlah dibilang gadis tanggung. Gadis yang merasa lucu dan sering terganggu oleh perutnya yang kian hari kian membesar. Yang menjerit-jerit menggemparkan seisi rumah ketika melahirkan. Dan mengangkat bahu sambil mengeluh: "Menyusuinya" Apakah aku punya air susu?" Lalu ketika bayinya jatuh sakit, Maryati memang prihatin. Tetapi ajakan teman teman sebaya untuk main petak umpat di pekarangan belakang, lebih kuat. Malah pernah ketika Margono berusia tiga tahun. Maryati ditegur mertuanya: "Hei, dia bukan boneka. Dia anakmu!"
Betapa mengerikan, memikirkan masa lalu itu sekarang. Masa di mana ia diharuskan bersikap sebagai seorang ibu, sementara dalam dirinya lebih kuat dorongan untuk memperlakukan Margono bukan sebagai seorang
anak. Melainkan sebagai seorang adik yang kebetulan lahir lewat rahimnya.
Maryati gemetar. Dan memekik tertahan ketika mata pisau menggores ujung jari tangannya
*** Hari pertama lewat. Disusul hari berikutnya. dan berikutnya lagi. Hadiman, suaminya yang lurah itu benar-benar memenuhi janji. Dengan dada lapang Hadiman menerima kehadiran anak tirinya. Dari sikap serta caranya tertawa bersama Margono, juga tampak betapa sebenarnya Hadiman sangat bersyukur. Karena kehadiran Margono lebih membahagiakan istrinya. Ia juga tidak perlu lagi merasa cemas harus meninggalkan Maryati sendirian kalau pada waktunya ia pergi menggilir istri tuanya. Sambutan dari istri tua Hadiman hampir tidak jauh berbeda. Begitu mendengar tentang Margono, istri tua Hadiman langsung melupakan pekerjaannya dan pergi berkunjung ke rumah yang didiami Maryati. ia tidak saja menjabat tangan tetapi juga memeluk Margono (suatu hal yang Maryati sendiri belum melakukannya), dan berkata riang: "Tak kusangka. aku punya anak sebesar dan setampan ini' "
Margono pun lantas dengan gembira pergi ke rumah ibu tirinya bila disuruh. Sungguh menakjubkan ketika Maryati menyadari bahwa Margono bukan lagi anaknya seorang. Margono kini juga jadi anak Hadiman, anak istri tua Hadiman, bahkan anak beberapa orang lainnya pada siapa Margono sowan sebagai seorang pendatang. Margono senang pada suasana sekitar. Ia juga tidak kecewa dengan kesederhanaan hidup di desa, ataupun tentang hampir tidak adanya komunikasi dengan dunia luar. "Justru tempat seperti inilah yang cocok untukku sekarang ini," pernah Margono berkata, tanpa bersedia menjelaskan apa yang dia maksudkan. Maryati atau suaminya hanya beranggapan. bahwa Margono barangkali telah muak dengan hiruk-pikuk atau palsunya kehidupan di kota besar.
Margono tertawa lebar ketika diberitahu tak lama lagi ia bakal punya adik. "Semoga saja laki-laki. _Supaya ada temanku memancing!" katanya.
Memancing dan berenang sepuas-puasnya di sungai adalah pilihan pertama Margono setelah ia mempelajari suasana kehidupan di sekitarnya. Katanya hanya itu yang dapat ia kerjakan. "Untuk sementara ini, aku belum berpikir untuk memulai sesuatu." Alasan yang sederhana dan masuk akal. Namun setelah diperhatikan lebih seksama oleh Maryati, tahulah dia bahwa Margono sengaja menjauhkan diri dengan cara yang halus. agar tidak bertemu cukup sering dengan orang-orang lain.
Maryati tidak berprasangka apa-apa. la pikir, Margono suka menyendiri karena ia benarbenar ingin menikmati waktu-waktu istirahatnya di desa ini. Tanpa mengganggu atau diganggu arang lain.
Lalu tibalah malam mengejutkan itu.
Hadiman sedang pergi menggilir istri tuanya. Di rumah, Maryati hanya berdua dengan anaknya. Lelah sehabis memancing sepanjang hari; Margono lekas pergi tidur. Maryati menyusul kira-kira dua jam kemudian, karena ia harus menyelesaikan jahitannya.
Baru saja Maryati mau rebah di tempat tidur. ia dengar suara gedebak-gedebuk di kamar tidur Margono. Hanya dengan mengenakan pakaian tidur seadanya Maryati berlari-lari memasuki kamar anaknya. Lampu belum dipadamkan. Jadi Maryati dapat melihat bagaimana sambil tidur Margono menendang dan memukul kian kemari. Gerakan-gerakannya liar, begitu pula kata-kata yang terlontar dari mulutnya, sementara wajah pemuda itu tampak bersimbah peluh.
Maryati segera tahu bahwa anaknya bermimpi buruk.
"Margono. He. bangunlah Nak ...," Maryati memegang tangan Margono. "Kau bermimpi ya?"
Margono menarik tangannya. Dengan mata


Misteri Lembah Hantu Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih terpejam. Margono mengigau dengan kata kata kasar: "Jangan! Jangan dekati aku.kau. ular terkutuk! Aku takut " jangan oh. kau membelitku Aduh enyahlah. enyahlah ...!"
Maryati memperkeras pegangannya. "Bangunlah. Margono. ini aku. ibumu'"
Suaranya yang keras dan tajam, menyadarkan Margono. Pemuda itu terjaga. Matanya terpentang lebar, tampak ketakutan. Ketika ia mengenali Maryati, pemuda itu berkata dengan nafas tersengal-sengal: "Aku
takut!" "Tak ada yang perlu ditakutkan. anakku,"
Maryati tersenyum, menghibur. "Kau cuma bermimpi ...."
"Tetapi ular sanca besar dan hitam itu
"Tak ada ular di sini. Lihatlah sekelilingmu. Tak ada yang perlu ditakutkan. bukan?"
Sepasang mata Margono membelalak liar ke seputar kamar. Kemudian ia tampak lebih tenang. meski sinar matanya masih membayangkan ketakutan. "Jangan tinggalkan aku sendirian di sini," ia merintih tersendat sendat.
"Baiklah. Aku akan menungguimu sampai kau tidur dan bangun lagi besok pagi. Akan kau lihat. bahwa semuanya beres.
"Aku .. .kedinginan. Dingin sekali."
' "Kuselimuti ya?" Maryati menyelimuti anaknya. Ketika merasakan sekujur tubuh Margono masih gemetar, ia bahkan naik ke tempat tidur dan mendekap anaknya supaya Margono merasa lebih hangat, nyaman dan terlindungi. Lambat laun, nafas Margono bergerak lebih teratur. Tubuhnya pun tidak gemetar lagi. Bahagia dapat melindungi dan membeli kehangatan pada anaknya. tanpa terasa Maryati tetap mendekap Margono dan kantuknya kemudian datang menyerang. Maryati pun lantas tertidur.
Ia baru terjaga ketika nafasnya terasa sesak dan tubuhnya seperti ditekan dari segenap penjuru. Waktu ia buka matanya, Maryati terperanjat. Sedikit pun ia tidak percaya bahwa tubuh putranya ada di atas tubuhnya. Semakin tidak percaya lagi, setelah melihat Margono tidak mengenakan walau selembar benang pun di tubuhnya. Bagaikan mimpi yang jauh lebih buruk ketimbang mimpi Margono, ia sadari bahwa Margono memeluknya sedemikian erat dan menciumi dadanya dengan bernafsu.
"Ya Allah!" Maryati terpekik.
Margono melepaskan payudara ibunya, dan memandang lurus ke matanya. "Kau berjanji akan menyenangkan aku!" kata pemuda itu seraya menyeringai. "Aku menuntutnya sekarang. perempuan cantik! "
Maryati mengucapkan istigfar. sambil berusaha menolakkan tubuh pemuda itu dengan sekuat tenaga. "Sadarlah. Aku ibumu!" ia memperingatkan, dengan pikiran bahwa anaknya mungkin tengah mengigau sehingga berbuat yang tidak-tidak.
"Aku tak percaya kau ibuku "!"
" Lepaskan aku! "
"Nanti. Setelah kita sama-sama menikmatinya," dan sambil berkata demikian mulut Margono mencari-cari bibir Maryati. Maryati menghindar dan terus menghindar sehingga Margono menjadi kalap dan mencengkeram rambut Maryati. dipaksa untuk tengadah menghadap ke wajah pemuda itu. "Apakah kau harus kuperkosa"!" pemuda itu menggeram. dahsyat.
"Ya ampun, Margono. Sadarlah ingat aku ibumu. Dan aku tengah mengandung!"
"Biar!" "Jangan. Oh ...." Maryati terbungkam ketika mulutnya diciumi Margono dengan liar. Setelah ciuman itu terlepas, Maryati memberontak dan membentak: "Jangan bertingkah laku seperti binatang, Margono!"
"Persetan!" dengus pemuda itu. "Biarlah misalnya aku jadi anjing, asal ...."
Dan *** MARYATl tergetar hebat di tempat tidurnya. Tubuhnya menegang kaku. sementara kulit wajahnya tampak jauh lebih pucat. Hadiman, suaminya, dengan gelas berisi sisa air putih masih tergenggam di tangan. bertanya dengan suara tersedak: "Dan apa, Maryati?"
Bibir yang pucat kebiru-biruan itu kemak-kemik sebentar. Disusul suara setengah menjerit: "la berubah jadi anjing! Anakku tiba-tiba berganti wujud menjadi seekor anjing besar. hitam menakutkan, dengan mata menyala merah mengerikan!"
Berderai bunyi gelas yang jatuh ke lantai tanpa disadari Hadiman. Suami yang malang itu mengawasi istrinya sejenak dengan wajah membeku, kemudian berpaling dengan susah ke arah Martubi yang dari tadi berdiri ternganga sewaktu mendengar bagian akhir dari cerita yang dituturkan Maryati. Margono, Cucunya, berubah wujud menjadi seekor anjing" Bagaimana mungkin"
"Anjing itu menyalak keras Menggonggong lirih. kemudian melompat menerjang jendela. Kabur ...," lamat-lamat terdengar suara Maryati memecahkan kesunyian yang membekukan sumsum di kamar tidur istri lurah desa Lamping Itu.
Ada suara berkeriut. Martubi dan Hadiman sama berpaling. Pintu
dibuka dari sebelah luar. dan muncullah orang tua misterius yang mengaku bernama Sumirta itu. Ia mengawasi dua lelaki lainnya. mengawasi si sakit di tempat tidur. kemudian bergumam lirih:
"Aku telah memperingatkannya."
Lama. cuma keheningan yang ada.
Lalu Martubi berbisik rendah: "Memperingatkan siapa, Pak Sumirta?"
"Margono," jawab orang tua itu. "Sudah kubilang agar hati-hati menjaga lidahnya. Karena lidahnya, mengandung bisa yang busuk!"
"Lidah berbisa" Seperti ular?"
Sumirta tampak kaku ketika mendengar kata 'ular', tetapi dengan cepat ia menguasai dirinya kembali. "Aku tidak berbicara tentang bisa sebagaimana bisa yang pernah kalian kenal. Aku juga tidak berkata tentang lidah bertuah. Tuah, mengandung unsur positif. Tuah, adalah kemujizatan Yang Maha Pencipta. Ada pun bisa di lidah Margono. tak lebih dari kebejatan setan. itulah yang tidak disadari
oleh pemuda itu. Sehingga di luar kesadaran atau pun kemauannya. ia telah mengutuk dan
mencelakakan diri sendiri... ."
*** BAB 9 SETELAH mendengar apa yang dituturkan Maryati. maka Martubi tidak lagi terkejut mendengar penuturan Sumirta. la bertambah yakin sekarang bahwa dalam perjalanan ke desa Lamping cucunya telah tersesat di Lembah Hantu. Sejauh mana cucunya tersesat. Martubi tidak tahu. Namun ia tidak ragu sedikit pun, bahwa Sumirta terlibat cukup dalam dengan musibah yang menimpa cucunya. Pun ia tidak ragu bahwa keselamatan cucunya kini terletak di tangan orang tua misterius itu.
Seketika itu juga ia mengambil keputusan. Ia sadar bahwa Hadiman tidak sepenuhnya mempercayai apa yang ia dengar. Maka dia bertanya langsung ke sasaran: "Katakanlah apa yang harus kami lakukan, Pak. Mirta. Demi cucuku, aku bersedia mengurbankan nyawa bila itulah yang diminta sebagai syaratnya."
"Tidak segawat itu." ujarSumirta tenang. "Kita hanya mengerjakan beberapa hal kecil
dan sederhana. Pertama-tama ...," ia melirik Maryati sambil bertanya pada tuan rumah: "Apakah istrimu sanggup duduk beberapa menit tanpa dibantu, Pak Lurah?"
Sebelum suaminya sempat menjawab, Maryati yang semula heran melihat kehadiran Sumirta, menjawab lemah tetapi tegas: "Selama ini aku telah menyia-nyiakan anakku. Sekaranglah kesempatanku untuk memperbaiki kesalahan. Aku sanggup duduk sendiri. Bila itu dapat menolong anakku, maka aku akan duduk menunggu selama diperlukan. Mati duduk pun aku rela!"
Suaminya akan memprotes. Tetapi kakinya keburu diinjak oleh Martubi sebagai pengganti teguran. Hadiman menggerutu perlahan, kemudian angkat bahu. Pertanda pasrah, meski setengah terpaksa. Lewat bahunya, ia mengintip Sumirta dengan pandangan masih curiga. Begitupun, ia tidak lagi memprotes manakala istrinya bangun dengan susah payah. berjalan lunglai ke ruang depan sesuai permintaan Sumirta, lalu duduk menghadap lurus ke pintu masuk rumah. Atas perintah Sumirta, Hadiman dengan segan pergi membuka pintu. la pentangkan lebar-lebar, seolah mengundang kesunyian dan kegelapan malam di luar supaya masuk berbondong-bondong ke dalam rumah untuk mencemoohkan peristiwa
apa yang bakal berlangsung
Sementara Maryati duduk setengah oleng. Sumirta duduk pula di belakangnya. Bersila. Lewat pundak nyonya rumah ia mengawasi kegelapan yang hitam pekat di luar rumah. "Perlu kalian semua kuingatkan," ia berkata seraya menyapukan pandang pada Hadiman, Martubi dan Supinah yang muncul dari dapur dengan wajah cemas setelah mengetahui Maryati tidak rebah di pembaringan. "Kalau terjadi hal hal yang di luar kehendak kita, tak seorang pun dari kalian boleh menyentuh tubuhku maupun tubuh di depanku. Apa pun yang terjadi!"
"Kami akan mengingatnya," jawab Martubi. "Masih ada syarat lainnya?"
"Selama hidupku. aku sudah membiasakan diri untuk tidak terlalu banyak menuntut. Tidak. Tidak ada syarat lainnya," jawab Sumirta dingin. "Sekarang kuminta kalian tenang dan diam. Karena aku akan menyatukan diri dengan tubuh di depanku ini. ..."
" Apa?" Hadiman tersentak.
"Jangan salah mengerti," Sumirta berkata sabar. "Dan supaya Pak Hadiman tidak terus menerus mencurigai aku. biarlah aku jelaskan sebentar. Dapatkah kau bertahan, Bu Lurah?"
"Da-'pat." jawab Maryati terbata-bata Jelas ia tengah berusaha sekuat tenaga agar
tidak semakin oleng dan jatuh. la sempatkan pula memaling ke arah suaminya. Dengan sorot matanya serta senyum yang dipaksakan di bibir, ia memperingatkan suaminya agar tidak terlalu rewel. Hadiman jadi malu sendiri dan tidak berani lagi memprotes.
"Sebagaimana kukatakan tadi," Sumirta menjelaskan dengan cepat. Rupanya ia memburu waktu. "Aku akan menyatukan diri dengan tubuh di depanku ini. Ia seorang ibu. Mata hati seorang ibu punya pandangan luas dan jauh. Ia dapat menjangkau apa yang tidak dapat dijangkau oleh mata dalam arti harafiah. Begitu pula kata hati. Kata hati seorang ibu dapat menggetarkan dan menembus batas antara alam nyata dan alam gaib. Begitupun, seorang ibu tetaplah seorang manusia biasa. Ia juga punya kelemahan, khususnya untuk merangsang mata hati. serta mendorong kata hati agar mau menuruti kehendak jiwanya. Sebaliknya, aku punya kelebihan untuk urusan semacam itu. Dengan penyatuan diri, aku akan menggabungkan kekurangan tubuh di depanku ini dengan kekuatan yang ada di dalam tubuhku. Cukup jelas?"
Meski agak bingung, toh Hadiman menganggukkan kepala. "Apa sebenarnya yang kita hadapi?" ia bertanya lembut, khawatir pertanyaan itu ditanggapi sebagai protes.
" Angkara murka"
"Dan kita akan melawannya dengan angkara murka pula?"
"Kalau angkara murka dilawan dengan angkara murka pula," jawab Sumirta, jelas dengan nada menahan kejengkelan. "Akan terjadi adu kekuatan. Kalian, dan semoga aku juga demikian, bukanlah manusia angkara murka. Maka bila terjadi adu kekuatan, kita berada di pihak yang lemah. Kita jadi pecundang. Jadi kita akan melawan angkara murka itu dengan kelembutan serta kasih sayang. Unsur terakhir ini merupakan musuh bebuyutan angkara karena sering angkara murka tak berdaya menghadapinya. Masih ada pertanyaan lain'?"
Hadiman menggelengkan kepala begitu menangkap sorot mata menusuk. Tidak saja dari Maryati, tetapi juga dari istri tuanya, Supinah.
"Mulailah, Pak Mirta," Martubi mendesak, sambil menatap Hadiman dengan iba.
*** BELUM habis gaung suara Martubi, penyatuan diri itu telah berlangsung. Karena jelas terlihat, Maryati yang tadinya duduk lunglai mendadak duduk tegak lurus. Matanya pun terpentang lebar. Sementara di belakangnya,
Sumirta duduk tanpa bergeming, dengan mata terpejam rapat. Tak sepatah pun ada pembacaan mantera, tiada bunga rampe, apalagi dupa menyan. Anehnya, seputar ruang depan rumah itu mendadak terasa dingin membeku. Begitu dinginnya sehingga Martubi sempat menggigil, Hadiman menggeratakkan gigi, dan Supinah bersidekap dada dengan wajah pucat pasi.
Lalu, pelan-pelan bibir Maryati terbuka. Suaranya hampir menyerupai bisikan, ketika ia memanggil: "Anakku, Margono. Kau mendengarkan aku, Nak?"
Selama beberapa saat, tak terjadi apa pun juga. Kecuali bahwa sinar mata Maryati yang tadinya redup karena menderita sakit, mendadak bersinar tajam. Lengannya yang tadi terkulai tanpa daya di haribaan, kini bergetar kuat dan hidup. "Apa yang kau kerjakan di dalam gua yang gelap dan dingin itu, anakku?" ia berbisik lagi. Lebih keras, tetapi dengan kelembutan yang demikian membelai, sehingga Supinah yang berjaga-jaga tidak jauh darinya, menggigit bibir menahan perasaan. "Aku tidak marah, anakku.... Buanglah perasaan berdosa itu. Ikutilah suaraku, Margono... datanglah padaku. Aku... menunggumu.?"
Getaran tangan Maryatl makin kuat. Begitu
pula suara yang keluar dari mulutnya: "Bagus!
ikuti terus, anakku Hati-hati! Ada perangkap di sebelah kirimu. Dekat reruntuhan batu.Apa" Kau mendengar suara-suara yang membuatmu takut" Jangan perdulikan. Tetaplah dengar dan ikuti suaraku. Sekarang larilah. Lebih cepat. Lebih cepat lagi. Lihatlah, betapa aku menanti dengan rindu Awas!"
Kata terakhir itu mirip pekikan cemas bercampur kaget. Sekujur tubuh Maryati terguncang keras, sementara di belakangnya Sumirta tetap duduk bersila tanpa bergeming, tak ubahnya patung batu. Tiada tanda-tanda bahwa ia mendengar, melihat, atau pun merasakan sesuatu. Sumirta duduk membeku, seakan roh sudah tidak menyatu lagi dengan dirinya. Martubi berpikir penuh hasrat ingin tahu: "Ataukah rohnya sudah tidak bersatu lagi dengan tubuhnya" Beralih dan menyatu dengan roh Yayah?"
"Jangan!" Maryati memekik lebih keras. Bola matanya bergerak liar memancarkan ketakutan teramat sangat. "Jangan perdulikan mereka. Larilah, anakku Hei, kau dengar aku Margono" Jauhi mereka. Jangan turuti nafsu angkara murkamu! "
Mendadak nafas Maryati tersengal-sengal. Supinah mau mendekati, tetapi Martubi mencegah dengan kibasan tangan. Di sebelah Martubi, Hadiman mengawasi istrinya dengan
khawatir. Lurah desa Lamping itu lebih khawatir lagi ketika ia lihat istrinya mencengkeram paha sendiri, seakan mau menghunjamkan ujung-ujung kuku ke daging pahanya .untuk mencari kekuatan.
Lalu, seisi rumah seakan pecah oleh ledakan jerit Maryati yang melengking nyaring: "Margonoooo "! Jangan! Jangan kalian ciderai anakku! Tolonglah kumohon! Biarkan dia pergi Aduh. Margono. Jangan melawan lagi, Nak. Kau dengar aku" Kau ingin aku mati tersiksa melihat darah membanjir dari lambungmu" Tidak" Oh kau menyesal" Cepat lari. Nak. Lewat sebelah kirimu Ayo, bertahanlah. Jangan cengeng!" Dan air mata Maryati membanjir menggenangi pipinya yang pucat, "Yaa ya. Aku tahu kau sangat kesakitan. ibu juga merasakannya. Seakan lambung ibulah yang dibacok orang itu Nah. Mereka makin jauh di belakangmu mereka kehilangan jejak. Jangan berhenti! Bangkitlah, anak bodoh! Kau sudah begitu dekat dengan aku! Ayo. kuatkan dirimu! "
Suara-suara kemarahan itu, mendadak hilang. Diganti suara lemah dan bingung: "Margono" Mengapa kau tak menjawab" Margono! Kau dengar ibumu, Nak" Ayo, jawablah. Jawablah "."
Agaknya jawaban itu tidak kunjung datang
dan Maryati menjadi kalut karenanya. Terlihat dari sorot matanya yang mendadak liar. Dadanya naik turun dengan kencang, sementara tangan mengepal memukuli paha karena putus asa. Tangan itu, kemudian naik dengan cepat, dan tahu-tahu ia sudah menjambaki rambut sendiri.
Sampai di situ, Hadiman tidak sanggup lagi menahan diri. Ia melompat mendekati istrinya yang tengah menyiksa diri itu. Tetapi ia telah didahului oleh yang lain. Sumirta yang duduk diam tak bergeming di belakang Maryati. membuka matanya tiba-tiba. Gerakan pertamanya adalah condong ke depan, menangkap tubuh Maryati yang doyong mau jatuh. Diusapnya wajah perempuan itu. sambil menggelengkan kepala pertanda tidak senang.
"Kita terlambat ." katanya. "Mereka ...."
Ucapannya terputus sewaktu merasakan gerakan tubuh Maryati melemah. dan perempuan itu kemudian terkulai dalam pegangannya. Sumirta menarik nafas panjang dan berkata pada suami Maryati: "Angkatlah ia ke tempat tidur."
Melihat istrinya terkulai diam. Hadiman menggeram: "Apakah dia ..."
"Pingsan. Karena lelah. Tak perlu dikhawatirkan," potong Sumirta lembut.
Wajah Hadiman beringas ketika ia mengambil Maryati dari tangan tamu misterius itu. Suaranya gusar tak terperi: "Kau yang jadi gara-gara. Kau yang menyiksa istriku. Dan apa hasilnya"!" lalu tanpa menunggu reaksi, ia bopong tubuh Maryati. Masuk ke kamar tidur diiringkan oleh istri tuanya, Supinah.
Martubi tak bergerak di tempat duduknya. Matanya lurus mengawasi pintu depan yang menganga terbuka, seakan ingin menembus kegelapan malam sejauh ia dapat memandang. Dari tadi ia mendengar dan menyimak tiap kata yang diucapkan Maryati dengan bantuan kekuatan batin Sumirta. Selama mendengarkan, Martubi pun mampu membayangkan apa yang terjadi di luar sana. Di suatu tempat. entah di mana, anjing besar hitam bermata semerah darah itu keluar meninggalkan gua tempatnya bersembunyi. Terpanggil oleh suara hati nurani ibunya. Di tengah perjalanan. anjing itu dipergoki oleh beberapa orang. Mungkin karena takut atau mungkin juga karena mengikuti sifat penaik darahnya. anjing itu kemudian melawan waktu orang-orang itu bermaksud menangkapnya.
"Jangan kalian ciderai anakku!" terngiang suara memohon Maryati. Lalu: "Kau ingin aku mati tersiksa melihat darah membanjir dari lambungmu?" Berkat dorongan suara nurani ibunya, anjing itu melepaskan diri kemudian
lari. Tetapi jatuh lagi. Hubungan gaib antara ibu dan anak pun terputus tiba-tiba. Maryati melihat dan menyadari apa yang telah terjadi pada putranya. Maryati pingsan.
Mengingat semua itu, tanpa sadar Martubi menggigil. Pun tanpa ia sadari. air mata merembes membasahi pipi tuanya. Ia sudah dapat memahami apa yang terjadi di luar sana. Dan hampir tidak dapat diterima jiwa tuanya. karena semua itu hanya berarti satu hal saja. Bahwa, Martubi kini tinggal sebatang kara!
Di antara linangan air matanya, Martubi melihat ada bayangan berkelebat ke arah pintu. Segera ia menguasai perasaan, berusaha tenang dan kemudian bertanya terbata-bata: "Bapak mau ke mana?"
"Pulang ke tempatku." jawab Sumirta datar.
Martubi bangkit dari duduknya. "Aku ingin tahu. kalau Bapak tak keberatan," katanya. "Sebenarnya, apa yang akan Bapak lakukan apabila usaha Bapak tidak gagal setengah jalan?"
"Tidak banyak," jawab Sumirta. "Aku hanya mengalihkan kekuatan gaib yang ada dalam diriku. Yang melakukan seterusnya. adalah dia ...." Sumirta melirik ke arah pintu kamar tidur, di mana tampak Maryati masih terkulai rebah dan suami beserta madunya tengah berusaha menyadarkannya.
"Apa pula yang harus dia lakukan?" Martubi terus mendesak.
" Mengiris nadinya."
"Apa?" "Mengiris nadinya. Karena lewat nadi darah akan menyembur dengan cepat. Ia harus menghirupnya, kemudian dengan bantuan kekuatan gaibku darah itu disemburkan lagi ke tubuh makhluk yang kita panggil bila ia datang. Di dalam tubuh makhluk itu, mengalir darah ibunya. Dengan darah ibunya pulalah, wujudnya akan kembali seperti semula. Setelahnya ...."
Dari kamar terdengar suara-suara mengandung kelegaan. Martubi tidak menoleh. Perhatiannya lebih terpusat pada Sumirta, yang tampak ragu-ragu. Ia ingin bertanya. tetapi kemudian ia berpikir bahwa diam dan menunggu adalah lebih pantas dan sopan.
"Sebenarnya. bagian terakhirlah yang menjadi tujuan pokok aku datang untuk membantu. Aku harus melakukan sesuatu yang memalukan, dan mungkin akan membuat kalian semua mengumpatku habis-habisan. Syukur, kini aku terbebas dari tugas berat itu
"Karena makhluk itu "," Martubi menggigii kembali. "Karena, cucuku telah mati."
"Aku turut berduka cita." ujar Sumirta, prihatin.
"Dan. tugas berat itu?"
" Apakah perlu kuungkapkan" Toh tidak berguna lagi!"
"Ah maafkanlah. Aku hanya sekedar ingin tahu. Tetapi kalau Bapak tetap keberatan"." Martubi menggantung suaranya. Berharap.
"Baiklah," Sumirta mengalah. "Cucumu, seperti sebelumnya kukatakan, memiliki lidah berbisa. Yang dapat mencelakakan baik dirinya maupun orang lain. Karena apa pun yang diucapkannya, seketika akan menjadi kenyataan. Tentu saja bukan mengenai hal-hal yang baik atau menggembirakan. Karena kekuatan bisa di lidahnya, adalah kekuatan angkara murka, maka yang terucap dan menjadi kenyataan tentulah mengenai hal-hal buruk dan menakutkan seperti apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Lama aku berpikir, kemudian diam-diam menyesal. Kalau itu hanya terjadi pada dirinya! Bagaimana kalau karena dia, orang lain jadi korban" Padahal mereka tak berdosa apa-apa?" Sumirta menghela nafas berat dan panjang. "Maka kusingkirkan dari kepalaku. kesalahan besar yang diperbuat oleh cucumu. Aku putuskan untuk menemuinya. Dan mencabut kutukan itu. Caranya sederhana saja. ia harus meminum air kencingku!"
Setelah mengungkapkan apa yang perlu diungkapkan. Sumirta kemudian minta diri. Sebelum Martubi sempat mengatakan sesuatu. Sumirta sudah berlalu. Dalam sekejap mata saja. ia sudah menghilang ditelan kegelapan malam. Pergi ke tempat dari mana ia datang.
Di manakah tempat itu sebenarnya"
Apa pula kesalahan besar yang telah diperbuat cucu Martubi?"
Martubi mengawasi sekali lagi kegelapan di luar sana. kemudian menutup pintu. Setelah termenung sebentar, ia putuskan untuk melihat keadaan bekas menantunya.
Maryati sedang diberi minum ketika Martubi masuk ke dalam kamar tidur. Hanya beberapa teguk, kemudian perempuan malang itu rebah kembali. Sesaat kelopak matanya terpejam. disusul gumam lirih yang menyentuh perasaan: "Tidak usah mendustaiku, Kang Maman. Aku yakin bahwa apa yang kudengar dan kulihat, bukan impian buruk seperti yang kau katakan tadi."
"Ia benar," desah Martubi menimpali.
"Nah. Apa kukatakan." seru Hadiman diriang-riangkan, merasa didukung oleh Martubi. Tetapi keriangannya seketika buyar.
waktu Martubi menjelaskan:
"Yang kumaksud. Yayah benar."
Hadiman memandang Martubi dengan sorot mata gusar. Namun setelah melihat sudut sudut mata Martubi berkilat basah, ia menahan kegusarannya. Lalu berkata setengah jengkel: "Okelah. Kita misalkan semua omong kosong itu benar. Lantas. apa yang sekarang harus dilakukan?"
"Aku tidak tahu." jawab Martubi terus terang.
"Aku tahu." Maryati menyela. Suaranya teramat getir. "Aku sudah pasrah. Namun begitu, kita harus berbuat sesuatu. Jenazah anakku, harus kita kuburkan secara layak'"
Mendengar itu, Hadiman berubah gelisah.
Martubi mengerti. Tampaknya memang sepele: ambil bangkai anjing itu. lalu kuburkan. Yang membuat persoalannya tidak sepele, adalah apa yang tadi dikatakan oleh Maryati. Dikuburkan secara layak. dan yang dikuburkan itu adalah anak kandungnya. Berarti upacara penguburan itu haruslah sebagaimana layaknya upacara penguburan jenazah seorang manusia.
Mungkinkah" Apa pula nanti, omongan orang sedesa"
*** DALAM keadaan bingung karena merasa serba salah itu. pintu depan terdengar digedor dari luar. Sementara Martubi berpikir bahwa Sumirta telah melupakan sesuatu, tuan rumah berjalan menuju pintu depan. Martubi segera pula mengikuti. Khawatir kalau Sumirta yang menggedor pintu, akan terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki mengingat perasaan tak senang tuan rumah pada orang tua misterius itu.
Ternyata yang muncul di depan pintu adalah tiga orang penduduk setempat. Salah seorang maju ke depan mewakili teman-temannya. la muda, kuat. bertampang keren, tetapi suaranya kecil seperti suara perempuan. Katanya. dengan nafas terengah-engah: "Maafkan kami, Pak Lurah. Mereka lebih dulu dari kami melihat anjing itu, dan ...."
. Lurah desa Lamping memberi isyarat supaya orang itu menunda dulu keterangannya. Lurah itu lalu beranjak ke luar, yang segera pula diikuti oleh Martubi. Pintu kemudian ditutupkan.
"Atur nafas dulu," Hadiman berkata pelan. "Dan rendahkanlah suaramu, ya?"
Orang itu mengatur nafasnya agar lebih tenang. Namun toh suaranya yang halus merdu itu tetap saja terdengar menggopoh: "Rombongan pencari dari kampung Parigi yang pertama-tama melihat anjing itu. Pak Lurah. Mereka lalu mengejarnya. Gerakan mereka terlihat oleh rombongan pencari dari kampung Banjar. Mereka pun ikut mengejar lalu mengepung anjing itu. Waktu kami mengetahui hal itu dan datang menyusul. kami Sudah terlambat. Maafkan kami Pak Lurah. Kami tidak
"Sudahlah. Tak ada yang perlu disesalkan," desah Hadiman menenangkan. "Apa yang terjadi?"
"Anjing itu dapat mereka keroyok dengan mudahnya. Memang aneh, Pak Lurah. Tetapi begitulah nyatanya. Anjing itu tampaknya tidak segalak yang diduga. Gerakan-gerakannya tertegun-tegun. Waktu melawan, kepalanya beberapa kali ditolehkan ke arah lain. Bukan ke arah orang yang mau memukulnya. Sepertinya ia mendengar atau mau melihat sesuatu di tempat lain itu Akibatnya ia lengah dan ...."
"Teruskan," Hadiman menahan nafas. Sambil berpikir: si Sumirta itu agaknya bukan orang sembarangan!
"Mereka berhasil membacoknya." orang itu meneruskan. "Anjing itu, bagai tidak merasa kesakitan sekali lagi ia memalingkan kepala dari orang yang membacoknya lalu ia berlari ke arah tadi ia memaling. Tetapi dengan lambung terluka parah ia tidak dapat berlari jauh. Anjing itu terjatuh lagi. Kami semua mengejar. Setelah sampai ke tempat anjing itu jatuh kami lihat anjing itu memandangi kami semua dengan matanya yang merah tidak lagi semengerikan semula. Mata itu seperti memohon. Malah kalau tak salah seperti menangis. Aku sampai tercengang. dan entah mengapa terpengaruh. Ada keinginan untuk melindunginya. Aku merasakan kesedihannya aku ingin menangis bersamanya ...
Orang bertubuh tinggi besar dan bertampang keren itu. tidak dapat meneruskan ceritanya. la tersendat-sendat, dan menangis beneran! Lurah desa mereka dengan lembut menepuk-nepuk bahunya. mengucapkan katakata menghibur. Salah seorang yang dari tadi hanya manggut-manggut mengiyakan wakil mereka, diminta Pak Lurah untuk melanjutkan kisah yang terputus itu. Yang ini bertubuh kecil dan suaranya mantap:
"Anjing itu mati, Pak Lurah," katanya pendek.
"Oh ...," Hadiman mendadak loyo. Berpikir: seperti dikatakan Martubi, dugaan Maryati ternyata benar. Lalu ia teringat lagi akan tugas yang meresahkan itu: menguburkan bangkai anjing itu sebagaimana layaknya menguburkan jenazah manusia. Sambil berusaha menenangkan pikiran gundahnya Hadiman bertanya:
"Bangkai anjing itu. Mereka apakan, Dudung?"
Si kecil yang dipanggil dengan nama Dudung itu menjawab pelan: "Dibawa pulang. Pak Lurah. Entah mau diapakan. Usaha kami untuk mengambil alih dan mengurus bangkai anjing itu, tidak mereka perdulikan. Kata mereka anjing itu akan diarak keliling kampung. Setelah itu. bangkainya akan dipotong dua "'"
Hadiman terkejut. Bertanya: "Dipotong dua! Mengapa?"
Si kecil hilang kemantapannya sejenak. Lalu: ?" kata mereka. anjing itu adalah makhluk jadi-jadian. Makhluk jelmaan setan"," ia terdiam sesaat ketika melihat Lurah desa mereka memalingkan muka. Ia merasa menyesal, karena tahu betul bahwa Lurah mereka itu paling tidak suka membicarakan hal hal yang berbau mistik.
Namun karena sudah terlanjur, si kecil terpaksa meneruskan juga: "Makhluk seperti itu. kata mereka, agar tidak mengganggu atau membalas dendam, harus dipisahkan kepala dari badannya. Kemudian dikuburkan di tempat yang berjauhan pula. Satu di sekitar kampung Parigi, satunya lagi di sekitar kampung
Banjar. Tentang tempat dan cara dikuburkannya belum diperoleh kata sepakat. Pendeknya. tubuh anjing itu harus dipotong dua."
Setelah menjelaskan beberapa pertanyaan lagi, ketiga orang penduduk itu kemudian permisi untuk pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa Hadiman mengucapkan terima kasih atas letih payah orang-orang kepercayaannya itu. Disertai pesan: "Seperti semula, kuharap
kalian tetap tutup mulut. Maklum. perempuan ngidam. Aneh-aneh saja permintaannya bukan?"
Ketiga orang itu mengangguk mengerti kemudian menghilang di kegelapan malam. Martubi bertukar pandang dengan tuan rumahnya, tanpa tahu harus berkata apa. Untuk beberapa waktu lamanya mereka hanya berdiam diri, tanpa memperdulikan udara malam yang semakin dingin menggigit. Hadimanlah yang mula-mula membuka mulut: "Apa yang harus kuperbuat. Pak Martubi?"
Yang ditanya termenung, berpikir. Kemudian: "Yah. Tak ada jalan lain. Seperti kata istrimu, kita harus menguburkannya dengan layak."
"Tetapi diarak berkeliling kampung. Mudah-mudahan hanya di Parigi dan Banjar saja. Tetapi kampung-kampung lain di seputar desa ini dan bukan tidak mustahil desa-desa di
seantero daerah ini. akan mendengar peristiwa yang langka ini .Semua orang akhirnya tahu Semua orang akan lebih waspada. Dan akan muncul pertanyaan. Mengapa aku bersikeras memiliki kepala dan tubuh bangkai seekor anjing bermata semerah darah?"
"itu. kalau kau memang memintanya " "
"Maksud Bapak?"
"Kau dapat memperoleh bangkai itu tanpa seorang pun melihat lalu bertanya mengapa," Martubi menjelaskan dengan tenang.
"Mencurinya" Astaga. seorang lurah yang terhormat melakukan perbuatan yang sangat tidak terhormat. Astaga ...."
"Kau tidak mencuri apa pun. Pak Lurah. Kau hanya membongkar dua buah kuburan kecil. lalu mengambil isinya yang tidak bermanfaat buat orang-orang lain. Lagipula, yang kau ambil adalah milik istrimu. Aku akan membantu. Karena yang akan diambil, adalah juga milikku ...."
"Bapak percaya itu. adalah cucumu?"
Martubi diam saja. Kata-kata, tak ada gunanya.
"Baiklah." Hadiman menyerah. Tidak sepenuhnya. karena masih ada yang lain: "Setelah kita ambil, lalu apa?"
"Jangan berpura-pura lagi. Pak Lurah!" Martubi mendengus kesal.
"Bukan begitu. Aku hanya berpikir, bahwa orang lain akan bertanya-tanya mengapa bangkai seekor anjing harus dimandikan. disemayamkan, disembahyangkan, dikain kafani, baru dikuburkan. Diiringi doa-doa pula!" Hadiman mengakhiri kata-katanya dengan gelengan kepala pertanda betapa ia teramat susah dan berada dalam posisi yang teramat sulit.
"Sudah kubilang tadi," kata Martubi. pelan. "Tidak ada orang yang tahu. Akan kubujuk istrimu, agar hanya dia, kau, istrimu satunya lagi, dan aku saja yang ikut terlibat. Orang lain, tak boleh ikut campur. Soal disembahyangkan, itu pun wajar ...."
"Wajar?" Hadiman membelalak. "Jangan jangan kau sudah terpengaruh dan ikut edan seperti si .:.," Hadiman tertegun. Rupanya baru sadar. "Sumirta. Aku tak melihatnya dari tadi."
"Ia sudah pergi."
"Ke mana?" "Bukan hakku menanyakan itu. Lagi pula apa bedanya?"
"Yah. Kupikir-pikir, ada benarnya juga. Entah di mana ia menetap, entah bagaimana Margono bertemu dengannya. Dan kalau semua ini benar dan nyata. entah setan terkutuk apa pula yang menimbulkan bencana
mengerikan ini. Yah, sudahlah itu. Atas dasar apa Pak Martubi berpendapat bahwa bangkai binatang wajar disembahyangkan?"
"Yang akan kita sembahyangkan. bukan bangkai binatang. Tetapi jenazah manusia biasa," jawab Martubi tenang
"Jangan membuatku bingung, Pak Martubi."
"Begini," Martubi menjelaskan. "Sebelum orang tua itu pergi. aku sempat mengobrolkan beberapa hal. Antara lain, cara bagaimana yang harus ditempuh agar wujud anjing itu berubah kembali ke wujudnya semula. Wujud manusia yang diberi nama Margono, dan takdir menghendaki bahwa dia adalah cucuku ...
"Wah, wah, wah! Rupanya kesintingan ini masih harus terus kuhadapi. Dengan apa kita dapat merubah wujud makhluk itu?"
"Darah! ', Kasihan, Hadiman tampak semakin linglung
*** BANGKAI anjing besar berbulu hitam pekat dan bermata merah darah yang sudah memudar mati itu, ternyata batal diarak berkeliling kampung. Setelah rombongan kecil yang
merupakan gabungan penduduk lelaki lelaki pemberani kampung Banjar dan kampung Pa rigi berembuk dengan tetua-tetua setempat. dicapai kata sepakat bahwa arak-arakan hanya membuang waktu dan tenaga. Mana malam hari pula lagi. Jadi diputuskanlah bahwa bangkai itu akan digantung di suatu tempat agar dapat disaksikan oleh mata kepala siapa pun yang ingin melihat. Yang tidak ingin melihat. dengan demikian dapat tinggal diam di rumahnya dan menganggap tidak pernah terjadi apaapa.
Lewat tengah malam bangkai anjing itu telah tergantung di cabang rendah sebatang pohon belimbing tua, yang kebetulan terletak di sekitar batas kampung Parigi dengan kampung Banjar. Belasan obor ditempatkan berkeliling, dan tempat itu dijaga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kabar pun dengan cepat tersiar. Ternyata hampir seisi ke dua kampung tumpah ke luar rumah untuk melihat atau dapat memegang bangkai anjing itu. Semuanya pergi berbondong-bondong ke pohon belimbing tua itu disertai suara-suara memanggil, berteriak, sorak-sorai atau bernyanyi-nyanyi, bahkan ada yang dengan sengaja membawa bekal untuk dimakan beramai-ramai. Kalaupun ada di antara penduduk yang tidak ikut ke luar rumah, maka
jumlah itu hanya segelintir kecil .Malah mungkin hanya dua orang saja .
*** Nyi imas, perempuan beranak empat yang membuka warung di kampung Banin meringkuk ketakutan di tempat tidur ditunggui oleh suami dan anak-anaknya. Peristiwa menakutkan itu mungkin tidak akan pernah lenyap dari pikirannya. la gemetar dan berteriak-teriak histeris tiap kali teringat saat ia melihat anjing besar hitam bermata merah itu menerkamnya. merobek-robek pakaiannya. lalu menyetubuhinya. Anak-anaknya menjadi malu karena sering mendengar tawa cemoohan tentang ibu mereka diperkosa anjing gila. Syukurlah suami Nyi Imas seorang penyabar dan juga mawas diri. Ia sadar peristiwa itu di luar kehendak istrinya. Ia pun teringat pula masa depan anakanaknya. Jadi ia memutuskan untuk mengabaikan saja omongan di luar. dengan harapan suatu hari kelak toh akan berhenti dan hilang dengan sendirinya.
Tetapi Sunggoro. putra kesayangannya seorang pemilik kebun kelapa yang luas di kampung Parigi tidaklah sesabar dan sepasrah suami Nyi lmas. Benar. Sunggoro mencintai Ningrum. anak gadis paling bungsu keluarga pensiunan juru tulis kecamatan. yang masih ada pertalian famili dengan keluarga Sunggoro. Ia tidak kuasa membayangkan selalu
bagaimana Ningrum diperkosa dengan ganas oleh makhluk buas itu di pancuran tempat mandi perempuan. Yang lebih-lebih tidak dapat diterimanya lagi. Ningrum sudah tidak perawan! Padahal sudah lama Sunggoro mengidam-idamkan bagaimana rasanya menembus keperawanan seorang gadis di pelaminan. Belum lagi sindiran teman-teman Sunggoro: "Kau ketinggalan oleh anjing!"
Ningrum gembira mendengar makhluk buas itu telah dibunuh. Tetapi apa arti kegembiraan itu mengingat kekasihnya tidak kuat menghadapi kenyataan. dan kemudian memutuskan jalinan cinta kasih yang tadinya begitu indah dan membahagiakan" Maka. di saat warga penduduk lainnya pergi berduyunduyun ke perbatasan kampung dengan suara riuh rendah seakan berpesta besar. Ningrum sibuk membereskan barang-barang miliknya dan milik keluarganya. Orangtuanya telah memutuskan, besok hari pagi-pagi benar mereka akan menyelinap pergi meninggalkan kampung. Sambil menatap foto kecil berbingkai kayu di mana terpampang wajah tampan dan senyum menggoda Sunggoro, air mata Ningrum mengalir melelehi pipi
Pendekar Pedang Kail Emas 8 Pendekar Rajawali Sakti 160 Keris Iblis Manusia Rambut Merah 2
^