Pencarian

Panglima Gunung 2

Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 2


Maka kembalilah mereka ke urusan semula, tanya Pui Tong-pa, "Nah, bagaimana dengan petunjuk tertulis yang kemarin" Sudah dijalankan?"
"Belum...." "Kenapa?" Pui Tong-pa berusaha menahan rasa jengkelnya.
"Ketika sedang kubicarakan, Gui Gong menyebut-nyebut ketika ia dan adik iparku diculik dan hampir dibunuh orang orangnya Jenderal Eng. Aku jadi takut, urusan bersangkut-paut dengan orang orang berpangkat. Itulah yang membuat aku tadi takut melanjutkan, tetapi setelah mendengar bujukanmu, aku tidak takut lagi. Jadi, maaf, perintah tertulis yang kemarin itu belum kulaksanakan."
Pui Tong-pa menarik napas menahan kejengkelannya. "Jadi, setelah kau mantap kembali untuk bekerjasama dengan kami, kau akan menjalankan perintah itu kan" 'Terlambat satu hari tidak apa-apa."
Eng Liong mengangguk. Mereka kemudian berpisah.
Sambil melangkah pergi, Pui Tongpa membatin dalam hati. "Gawat. Ternyata waktu Ang Siok-sim dan Gui Gong diculik dulu, mereka entah bagaimana dapat menyimpulkan kalau mereka dibawa ke kediaman Jenderal Eng. Ini membahayakan rencana Jenderal. Aku! harus segera merundingkannya dengan In Yao dan Tong Jiu." _
"Mungkin inilah urusan terakhir yang harus dikerjakan si kapten tolol itu. Habis ini, dia beserta Ang Siok-sim dan Gui Gong harus ditumpas, jangan sampai merepotkan di kemudian hari. Urusan-urusan berikutnya bisa cari orang lain lagi.
Tong Jiu ahli mencari dan memikat orang orang baru."
Begitulah, selagi Eng Liong melangkah pulang ke rumah sambil membayangkan "masa depan yang cerah", ia tidak menyadari bahwa komplotan yang memanfaatkannya sudah siap mencampakkannya dan memusnahkannya.
Eng Liong pun berhasil melaksanakan pesan tertulis itu, dengan cara membujuk Gui Gong untuk menguji orang orang di Ceng-san-lau. Memastikan mereka jago silat atau bukan. Gui Gong adalah "perkakas" yang mudah dipakai sebab ia sendiri sedang berkeinginan kuat menemukan seorang pendekar hebat untuk berguru.
"Caranya mengetahui seorang itu pintar silat atau tidak, ialah dengan membahayakan orang itu secara mendadak, nanti akan terlihat reaksinya..." Eng Liong mengajari Gui Gong.
"Nanti, ketika kau kerja di dapur, pura-pura kau bawa sepanci air panas, ketika dekat Bibi Mo, kau pura-pura terpeleset dan menyiramkan air itu ke tubuh Bibi Mo. Kalau dia bisa silat, pasti akan kelihatan."
"Bibi Mo begitu baik kepadaku, masa aku harus menyiram air panas kepadanya hanya untuk mengetahui dia bisa silat atau tidak" Kalau dia bisa silat dan dapat menyelamatkan diri, tidak jadi soal.
Tapi bagaimana kalau dia ternyata hanya seorang jurumasak biasa?"
"Ya jangan air panas sungguh-sungguh, cukup air hangat-hangat saja, asal kelihatan ada uapnya sehingga kelihatan seperti air panas sungguhan. Sambil jalan, kau juga harus berkata, 'awas air panas' berulang-ulang. Jadi kalau kena sungguh sungguh, paling-paling Bibi Mo itu basah kuyup, tidak melepuh kulitnya. Paham?"
"Paham, paham..." Gui Gong mengangguk-angguk. "Terima kasih atas petunjukmu, Kakak Liong. Kalau benar kutemukan seorang pendekar, aku akan sungguh-sungguh belajar kepadanya, eh, siapa tahu kelak juga bisa jadi pendekar" Eh, kalau aku sudah jadi pendekar, enaknya pakai julukan apa ya?"
"Uh, belum-belum sudah berkhayal..." gerutu Eng Liong sambil mendorong jidat Gui Gong dengan ujung jarinya. "Ketemu pendekarnya saja belum."
Gui Gong berangkat kerja bersama Ang Siok-sim. Ang Siok-sim sendiri tidak tahu apa-apa tentang rencana Gui Gong tu.
Tiba di rumah makan, mereka segera bekerja.
Ang Siok-sim tanya Bibi Mo apa yang harus dikerjakan. Sedang Gui Gong tidak tanya-tanya lagi langsung menyalakan tungku dan merebus air.
Bibi Mo menegur, "He, A-gong, siapa suruh kau memasak air" Tadi A-kit sudah melakukannya."
"Biar saja, Bibi. Untuk cadangan."
"Mulai kapan kau berani membantah aku" Aku yang diberi kuasa di dapur ini. Kalau ada yang tidak menurut aku, bisa kacau semua pekerjaan!" Bibi Mo ini sering menggerutu dan bersikap galak, tetapi semua orang di dapur itu tahu bahwa hatinya baik.
"Kalau begitu, biarlah air ini matang dulu..." Gui Gong berdalih. "Sayang, kayunya sudah terlanjur terbakar."
Bibi Mo masih menggerutu sedikit, tetapi tidak memaksa.
Gui Gong pun menjalankan rencananya. Ketika air sudah beruap tetapi belum sampai mendidih, ia bawa dengan panci sambil mendekati Bibi Mo yang sedang merajang sayuran. Sambil melangkah pelan-pelan seolah-olah benar-benar membawa air mendidih. Gui Gong berkata kepada orang-orang di dapur, "Awas ... minggir... air mendidih... air mendidih...."
Tiba di dekat Bibi Mo sesuai rencana, Gui Gong "terpeleset" sambil pura-pura berseru kaget dan menyiramkan airnya kepada Bibi Mo.
Reaksi Bibi Mo ternyata tak mirip reaksi seorang pendekar. Sama sekali tidak mirip. Ia ikut menjerit kaget dan malah ikut jatuh pula, lengannya serabutan bergerak di udara dan menyampuk pancinya sehingga airnya seluruhnya menyiram Gui Gong. Bibi Mo tak kena setetes pun, kecuali air yang di lantai. Sedangkan Gui Gong mandi untuk kedua kalinya pagi itu.
Lantai dapur menjadi becek, Bibi Mo menyuruh orang-orangnya untuk mengeringkan sambil menggerutu. Gui Gong pun mengepel lantai sambil menggerutu dalam hati, karena "uji coba"nya atas Bibi Mo tak menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Reaksi Bibi Mo tadi apakah reaksi seorang jago silat atau bukan" Sambil mengepel, Gui Gong juga merancang suatu cara uji coba lain.
Gui Gong tak tahu bahwa Bibi Mo pun sebenarnya sudah curiga dalam hati. "Terang yang dibawa bocah ini hanya air hangat yang tidak berbahaya, kenapa dia bilang air mendidih" Untuk menguji reaksikukah" Kalau benar, apakah atas prakarsanya sendiri atau didalangi orang lain?"
Bersambung jilid 3 Panglima Gunung Jilid 3 karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful B Ebook Persembahan Group FB Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** "Ya, tidurku semalam amat pulas," Eng Liong berbohong.
Sementara Ang Siok-sim sedang menimba sumur.
Selesai Eng Liong mandi dan siap pergi ke tangsi, rumah itu kedatangan seorang tamu. Seorang tamu yang menerobos masuk ke halaman belakang begitu saja, sambil berkali-kali menoleh ke belakangnya seolah-olah ada yang membuntutinya.
Nyonya Eng yang sedang menjemur cucian di halaman samping pun kaget melihat orang yang menyelonong begitu saja. Seorang lelaki berusia empat puluhan tahun bertubuh tegap dan berwajah keras, dan saat itu wajahnya sedang menunjukkan ketegangan hatinya.
Eng Liong membentak orang itu, "He, siapa kau" Masih terlalu pagi kalau hendak mencuri di sini!"
Orang itu memberi hormat dengan gerak sembarangan saja, malah bertanya, "Apakah ini rumah Kapten Eng Liong?"
"Benar. Kau ini siapa?"
Pertanyaan dibalas pertanyaan, "Apa Ang Siok-sim dan Gui Gong tinggal di sini?"
Saat itu Ang Siok-sim dan Gui Gong yang sudah mandi dan siap berangkat ke rumah makan Ceng-san-lau, juga muncul di halaman samping karena mendengar suara ribut-ribut. Begitu juga anak-anak Eng Liong.
Melihat orang yang menyelonong datang itu, Ang Siok-sim serasa pernah melihat orang itu. "Sobat, kau ini...."
Orang itu menyahut tergesa-gesa, "Aku orang yang... hampir mencelakaimu, tetapi kau malah memintakan ampun untukku ketika aku hampir dibunuh oleh orang berkedok itu. ingat?"
Ang Siok-sim dan Gui Gong pun teringat peristiwa ketika mereka diculik, disekap, dimintai keterangan, kemudian hendak dibunuh. Tapi muncul orang berkedok yang menyelamatkan mereka. Mereka sekarang ingat, orang inilah yang dulu hampir membunuh mereka.
"Ya, aku ingat kau. Kenapa kau datang?"
"Aku hendak membalas kebaikanmu dulu, karena kau mintakan ampun untukku dan aku masih hidup sampai sekarang. Kuberitahu, kau dan seluruh orang di sini, menyingkirlah dan bersembunyilah."
"Kenapa?" "Kudengar jago-jago bayaran majikanku berbicara, mereka hendak membunuh kalian semua."
"Apa salah kami?" Nyonya Eng memucat wajahnya, Merangkul anaknya seolah-olah si utusan maut benar-benar telah berdiri di hadapannya.
Orang itu menjawab, "Karena mereka menyangka bahwa ketika Saudara Ang dan Gui diculik dulu, kedua saudara ini tahu tempat mereka dibawa, dan jagojago bayaran di pihakku takut kedua saudara itu membicarakan kepada siapasiapa, maka merencanakan untuk membunuh kedua saudara ini."
"Astaga, hanya urusan sekecil ini membuat mereka hendak membunuh kami?" Ang Siok-sim berkata penasaran. "Tidak adakah hukum yang melindungi orang-orang tak bersalah di ibu kota kerajaan ini?"
orang yang datang itu menarik napas melihat keluguan Ang Siok-sim, katanya, "Hukum" Yang berkuasa itulah yang pegang hukum. Bahkan kadang-kadang tanpa alasan pun seseorang bisa disingkirkan begitu saja... maaf, hanya sebatas ini aku bisa menolong kalian. Sekali lagi, menyingkirlah secepatnya. Kalian menghadapi orang-orang yang sangat kejam."
Habis berkata begitu, ia sekali lagi memberi hormat secara tergesa-gesa dan pergilah ia sebagaimana datangnya tadi. Menyelonong begitu saja. Bisa dimaklumi, ia takut tindakannya itu diketahui komplotannya sendiri.
Dan orang-orang yang ditinggalkannya saling berpandangan kebingungan, sampai Nyonya Eng bersuara dalam kecemasannya, "Bagaimana ini" Bagaimana kalau sampai anak-anak kita yang belum tahu apa-apa ini dicelakakan orang?"
Eng Liong sebagai kepala keluarga sebenarnya gentar juga, tapi malu memperlihatkannya. Tiba-tiba ia ingat bahwa dirinya pun punya "komplotan" biarpun masih kabur dan samar-samar. Ia lalu
*** dari ancaman Manchu di utara, mengikat para penguasa di selatan ini agar tetap ' bersatu meskipun tidak ikhlas, dan membabat para pengkhianat dalam barisan ' bangsa Han. Tujuannya baik, tetapi tak dapat disangkal bahwa kita kadang menggunakan cara kotor sesuai dengan 'peraturan main' di gelanggang di mana kita sedang bermain. Ang Siok-sim tidak cocok untuk 'permainan' ini. Ia terlalu jujur, terlalu bersih." '
Bibi Mo mengangguk-angguk. '
Lai Tek-hoa meneruskan menghitung uangnya. itu bukan uang pribadinya, separuh keuntungan harus disetorkan kepada atasan tertingginya yang disebu "San-cu" (Penguasa Gunung)' untuk biayi organisasi.
Tiba-tiba Lai Tek-hoa berhenti menghitung dan memiringkan kepalanya. Lalu desisnya, "Ada dua orang melompat masuk lewat dinding halaman belakang " Lihat dan hati-hatilah. Setelah kukunci uang-uang ini, kususul kau." "
Tanpa menyahut sepatah kata pun Bibi Mo menyelinap keluar. Tiba di halaman belakang yang gelap, ia melihat dua orang pegawai rumah makan yang tidur di situ, yaitu Nyo Ban-kit dan Ong Gai-lam sudah berdiri di tengah halaman dengan bersiaga dengan senjata masing masing.
Namun begitu melihat yang datang adalah dua orang yang sudah mereka kenal, kesiagaan mereka pun dikendorkan. Yang datang adalah seorang lelaki berusia tiga puluh limaan yang bertubuh sedang, tidak kelihatan membawa senjata. Yang kedua adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun, dengan sepasang golok liu-yap-to (golok daun liu yang ringan dan tipis) di pinggangnya yang ramping.
Melihat Bibi Mo keluar, gadis itu menghambur ke pelukannya sambil berseru, "ibu!" Bibi Mo memeluk puterinya itu sambil bertanya, "Ada apa, A-lin?"
Mo Giok-lin, gadis itu, segera menyerocos bercerita mendahului si lelaki yang datang bersamanya, "Ibu, kami butuh bantuan. Malam ini kami mengincar suatu sasaran, tetapi kami perhitungkan tenaga kami terlalu terbatas, maka Paman Tam menyuruh aku dan Kakak Song minta bantuan Paman Lai."
Ketika itu Lai Tek-hoa sudah melangkah keluar sambil bertanya, "Sasarannya segemuk aku atau sekurus Paman Tammu?"
Yang mendengar tertawa, lelaki yang datang bersama Mo Giok-Iin itu meniawab, "Yang ini tiga kali lebih gemuk dari Kakak Lai. Ini sebuah kiriman besar dari utara, harusnya malam ini masuk ke kota tetapi karena pintu kota sudah ditutup, jadi mereka bermalam di sebuah kampung di luar tembok kota. Orang orang kami sudah menguntit diam-diam sejak dari utara."
Lai Tek-hoa mengusap-usap 'dagunya yang "bersusun tiga" itu sambil menggumam sendiri, "Dari utara" Hemm, mencurigakan. Jangan-jangan dari bangsat-bangsat Manchu itu...."
"Bisa jadi." "Siapa alamat yang dikiriminya di Lam-khia?"
"Entah. Pengawal-pengawal kiriman itu pun agaknya tidak tahu, mungkin mereka hanya diberi tahu suatu isyarat dari pihak pemerima kiriman. Tetapi gampang, kalau kita rampas, siapa yang paling kelabakan di Lam-khia nanti patut kita curigai sebagai si penerima kiriman dari utara ini."
"Jangan-langan kiriman untuk teman sendiri?" kata Lai Tek-hoa ragu. la memang sudah biasa berhati-hati dalam segala tindakannya.
Song Po, si lelaki yang datang bersama Mo Giok-Iin, yang pernah menolong Ang Siok-sim dan Gui Gong dari kekejaman orang-orangnya Jenderal Eng, menjawab sambil menggeleng. "Tidak. Kakak Tam sudah mencari penegasan kepada San-cu (Penguasa Gunung) dan San-cu kirim berita bahwa pihak kita tidak punya sesuatu yang harus kita terima dari utara. Berarti kiriman itu bukan punya kita. Kakak Tam curiga terhadap kiriman itu, sebab dua hal. Pertama, kerahasiaan si penerimanya. Kedua. pengawalannya yang kuat, hingga untuk merampasnya Kakak Tam minta bantuan kalian."
"isinya apa ya, kira-kira..." Nyo Bankit bertanya.
Sementara Lai Tek-hoa telah mengambil keputusan. "Kita rebut. Kita lihat bagaimana reaksinya orang-orang di Lamkhia. Kalau ternyata kita keliru, kita kembalikan."
"Aku ikut!" hampir serempak Bibi Mo, Nyo Ban-kit dan Ong Gai-lam berkata.
Nyo Ban-kit meregang-regangkan ototototnya sambil berkata lagi, "Sejak Sancu mengirim aku kemari untuk membantu, aku belum pernah bertempur. Kaku sekali rasanya otot-ototku ini...."
"Memangnya aku tidak?" tukas Ong Gai-lam.
Lai Tek-hoa tertawa, "Jangan berebut. Semua ikut. Nah, ganti pakaian, kita berangkat bersama-sama."
"Lalu, tempat ini dikosongkan begitu saja?" tanya Bibi Mo.
"Memangnya kau mau tinggal untuk menunggui tempat ini?" Lai Tek-hoa balas bertanya.
"Uh, siapa mau?" Bibi Mo merengut.
Lai Tek-hoa tertawa, "Kalau begitu, ikutlah sekalian. Biar tempat ini kosong. Takkan ada yang mencurigainya."
Orang-orang di Ceng-san-lau itu kemudian mengganti pakaian mereka dengan pakaian pejalan malam yang ringkas dan berwarna gelap. Tak ketinggalan adalah senjata-senjata mereka. Lai Tekhoa ternyata bersenjata aneh, cocok dengan panggilannya sehari-hari sebagai "juragan Lai", yaitu sebuah suipoa terbuat dari baja. Jika diperlukan, jeruji jeruji suipoa bisa menjeplak terbuka untuk melepaskan biji-biji suipoa sebagai senjata rahasia, bahkan jeruji suipoanya pun bisa jadi semacam panah bertenaga lontar tinggi. Senjata yang dibawa Bibi Mo ternyata juga ganjil, juga cocok dengan kerjanya sehari-hari. Yaitu sepasang pisau lebar yang biasa untuk mencincang daging di dapur.
Nyo Ban-kit membawa sebuah samciat-kun (ruyung tiga ruas), dan On Gailam membawa sepasang tiat-pi garpu berujung tiga, bertangkai sependek pisau).
Berenam mereka menyelinap keluar.
*** Sementara itu, Kapten Eng Liong yang merasa penasaran dan tidak puas akan hasil "test" yang dilakukan Gui Gong terhadap Bibi Mo, susah memejamkan matanya. Ketika hari sudah larut malam dan seisi rumahnya sudah tidur, pelan-pelan ia turun dari pembaringannya tanpa membangunkan isterinya yang tidur di sebelahnya. Tanpa suara ia memakai pakaian ringkas berwarna gelap, memakai kedok, menyelipkan belati di pinggangnya, lalu melangkah sepanjang lorong yang sempit, gelap dan berbau air kencing para gelandangan, menuju rumah makan Ceng-san-lau.
Tiba di dinding belakang, Eng Liong menggunakan bantuan sebuah pohon yang tumbuh dekat dinding untuk naik ke atas dinding, sebab Eng Liong tidak dapat melompati dinding itu.
Tiba di atas dinding ia bertiarap, matanya mengawasi halaman belakang yang gelap dan sepi itu. Ada sumur, ada dapur, ada tumpukan kayu bakar. Pikir Eng Liong, "Kata Gui Gong, ada beberapa orang tidur di sini, dan belum dapat dipastikan mereka itu bisa silat atau tidak. Kalau mereka bisa silat dan memergoki aku, malam ini adalah malam terakhir aku menjadi manusia. Besok sudah jadi arwah gentayangan. Tapi kalau tidak kuselidiki sekarang, mau omong apa besok kepada si pengemis yang pakai sepatu sebelah dan sandal sebelah itu?"
Biarpun dengan berdebar-debar tegang, Eng Liong lanjutkan juga niatnya. Beberapa saat ia bertiarap di atas dinding sambil mengawasi halaman belakang rumah itu, namun tetap saja gelap dan sunyi, tak ada peristiwa apa-apa, tak ada siapa-siapa.
Setelah menunggu sekian lama, Eng Liong membulatkan tekad. la merayap menuruni tembok, lalu dengan celingukan mulai melihat ke sana kemari. la periksa dapur, menyalakan lilin. Dan tidak ada yang diketemukannya kecuali alat-alat masak-memasak dan bahan-bahan mentah masakan.
Dengan belati tergenggam erat di tangan kanan, ia merunduk membuka sebuah pintu kamar yang diperkirakannya
sebagai kamarnya Bibi Mo. "Kalau Bibi Mo seorang pesilat, aku bisa celaka...' pikirnya dalam hati. "Tetapi kalau terjepit, akan kukatakan siapa diriku dan mudah-mudahan mereka menghargai prajurit kerajaan...."
Tetapi ternyata kamar itu pun kosong. Itu memang sebuah kamar tidur wanita, terlihat dari pakaian-pakaiannya yang terlipat rapi. Tapi kosong. Di bawah penerangan lilin, Eng Liong dengan leluasa menggeledah dan tak menemukan sesuatu yang pantas dicurigai. Begitu pula ketika ia menggeledah ruangan-ruangan lain.
Meskipun tidak menemukan apa-apa, namun Eng Liong curiga juga melihat bangunan itu ternyata kosong sama sekali. Tak ada orangnya satu pun.
"Ini aneh. Ke mana penghuni-penghuninya?" pikirnya.
Akhirnya Eng Liong kembali ke dinding, lalu bersembunyi di atas pohon di luar dinding di mana ia bisa mengawasi seluruh halaman.
Selama menunggu itu, kantuk menyerangnya namun ia terus berjuang melawannya sehingga kepalanya sakit. Selain itu, ia harus menghadapi gigitan nyamuk dan semut yang tak terhitung banyaknya.
Di suasana malam yang dingin, gelap dan sunyi, Lai Tek-hoa berenam berjalan cepat dan tegap menuju ke suatu arah. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang dari luarnya tak berbeda dengan rumah-rumah lain. Bahkan rumah ini lebih kumuh, lapisan temboknya banyak yang sudah rontok, dan cat pintunya sudah mengelupas, bagian atas tembok halamannya sudah ditumbuhi rumput dan beberapa jenis tumbuhan liar menjalar..
Keenam orang itu berlompatan melewati tembok yang tingginya dua meter lebih itu. Di bagian dalam tembok, ada halaman dan bangunan yang juga setengah berantakan dan tak terawat. Ada obor ditancapkan di tengah halaman, dan di dekat obor itu menunggu dua orang.
Satu orang lelaki kurus berjenggot kambing dan berpakaian kumal dengan kalung rantai tipis berujung sabit kecil dua arah di ujung rantai. Seorang lagi pendek, bermuka lancip mirip tikus dan matanya mungkin tidak lebih lebar dari sebiji kacang. Senjata yang dibawanya ialah sebatang pentung besi.
Mereka berdua bangkit menyambut Lai Tek-hoa dan rombongannya, langsung si kurus berjenggot kambing menyambut dengan kelakar akrabnya, "Aku mohon maaf sebesar-besarnya di malam selarut ini sudah mengganggu tidur nyenyak sang juragan besar."
Lai Tek-hoa menjawab dengan purapura bersungut, "He, tukang copet, apakah hasil copetanmu hari ini kurang banyak, sehingga kau ajak-ajak aku untuk merampok orang?"
"Eh, juragan besar, jangan sok. Sancu menugaskan kita menurut bakat kita masing-masing...."
"Ya, bakatku ialah jadi majikan rumah makan, bakatmu ialah copet."
Yang lain cuma tertawa mendengar saling-ejek antara kedua sahabat akrab yang berjuang di bawah satu bendera ini. Kata si pendek bermuka tikus itu kemudian kepada si jenggot kambing, "Kak, sang juragan besar sudah mau bersusahpayah datang kemari dengan meninggalkan tumpukan uangnya yang membukit, bahkan dia sudah bawa suipoanya lho. Pasti dia sudah membayangkan keuntungan besar, karena itu mari kita segera menuju sasarannya."
"Baiklah. Mari, semuanya ikut aku."
Si jenggot kambing yang bernama Tam Yo itu segera bangkit diikuti adik kandungnya yang bernama Tam Ci, si muka tikus itu, melangkah ke dalam rumah.
Mereka berdua, yang satu bertampang mirip kambing dan kebetulan namanya juga memakai "Yo" (kambing), sementara adiknya seperti tikus dan namanya kebetulan juga "Ci" (tikus). Keduanya mendapat julukan Yo-ci Heng-te (Kakak Ber-adik Kambing dan Tikus) dari kalangan rimba hijau.
Lai Tek-hoa dan lain-lainnya mengikut. Di tengah-tengah rumah, mereka membongkar lantai papan dan nampaklah sebuah tangga bawah tanah. Tam Ci membawa obor mendahului melangkah turun.
Tanya Lai Tek-hoa, "Saudara Tam, inikah terowongan bawah tanah yang pernah kau ceritakan kepadaku, yang bisa menembus sampai ke luar tembok kota"
"Benar?" "Hebat benar Si Tikus itu sehingga bisa membuat ini. Padahal dari sini sampai ke luar tembok kota ada belasan li jaraknya."
"0, tidak. Bukan semuanya dibuat adikku. Di bawah kota Lam-khia ini ada saluran-saluran air yang digali oleh penguasa-penguasa dari abad ke abad, adikku cuma menghubung-hubungkan saja. Menggali sedikit di sini, sedikit di sana... sampai menyambung jadi terowongan panjang-"
"Biar" begitu, hebat juga...." puji Bibi Mo. "Dasar tikus." sahut Lai Tek-hoa. Dipandu Tam Ci yang membawa obor, mereka menyusuri lorong-lorong bawah tanah. Kadang mereka melalui lorong berdinding tanah yang lembab berlumut dan menetes-neteskan air, bahkan ada lintahnya, sehingga Mo Giok-lin sebagai seorang gadis jadi ngeri tetapi melangkah terus. Kadang tempat yang mereka lewati berdinding batu-batu pahat persegi yang besar-besar, yang terang bukan buatan Tam Ci. Di beberapa bagian ada airnya setinggi lutut dengan kotoran manusia terapung-apung di atasnya.
"Tamasya yang hebat,'"gerutu Lai Tek-hoa.
"Kalau musim hujan, berarti terowongan ini tidak dapat dilewati, Kakak Tam?" tanya Bibi Mo.
"Ya, jelas, kecuali kita jadi ikan."
Setelah berjalan belasan li di bawah tanah, mereka tiba di ujung perjalanan. Di depan mereka ada terali-terali besi yang separuh di atas air dan separuh di bawah air. Kedelapan orang itu sendiri melangkah maju dalam air setinggi ulu hati. Bagi Tam Ci yang pendek, malahan setinggi leher. Beberapa anggota rombongan berbangkis beberapa kali.
Tam Ci menyerahkan obornya ke tangan orang lain, lalu ia dengan mudah mencopoti terali-terali itu. Kelihatannya saja terali-terali itu kokoh terpasang, ternyata semen-semen pencengkeramnya sudah dikeroposkan oleh Tam Ci, setiap saat diperlukan mudah saja mencopotnya.
"Lewatlah. Hati-hati, parit yang mengelilingi kota agak dalam airnya," kata Tam Ci kepada teman-temannya. "Hatihati, jangan sampai kelihatan prajurit prajurit yang di atas tembok kota, bisa dipanah."
Obor dimatikan. Lalu orang-orang itu setengah berenang melewati lubang itu dan menuju ke tepian lain yang sudah termasuk kawasan luar tembok kota Lamkhia. Sementara Tam Ci paling akhir mencapai seberang setelah memasang kembali terali-terali itu sehingga kelihatan seperti semula.
Dalam keadaan basah kuyup di malam dingin, kedelapan orang itu berlari-lari kecil menuju sasaran. _
"Aku kebelet kencing," keluh Ong Gai-lam dengan langkah yang kelihatan kurang leluasa karena menahan kencing.
Lai Tek-hoa seenaknya saja menjawab anak buahnya itu, "Kencing sambil berlari tidak apa-apa. Toh pakaianmu sudah basah."
Orang-orang tertawa dan Tam Yo mengejek, "Lai Tek-hoa kencing berdiri, anak buahnya kencing berlari."
"Nanti pakaianku bau," bantah Ong Gai-lam, satu-satunya yang tidak ikut tertawa. Air mukanya cengar-cengir menahan kencingnya.
Sahut Lai Tek-hoa, "Tidak apa-apa. Sebau-baunya kau, masih lebih bau si jenggot kambing she Tam ini."
Tetapi akhirnya rombongan itu berhenti juga sebentar karena memang harus buang air, termasuk Lai Tek-hoa sendiri. Bahkan juga Bibi Mo dan anak gadisnya, Mo Giok-iin, yang harus menyelinap ke balik semak-semak.
"Nah, lega sekarang..." kata Ong Gailam sambil membenahi celananya. "Kurang enak berkelahi sambil menahan kencing."
Rombongan kecil itupun berangkat kembali setelah terhambat sebentar oleh "panggilan alam" yang tak mungkin mereka pungkiri itu. _
ketika di depan nampak kelihatan sebuah kampung, Tam Yo memberi lsyarat kepada teman-temannya agar berhenti. Katanya sambil menuding ke depan, 'Di dalam kampung itulah sasaran kita. D rumah Kepala Kampung."
"Sudah kau perhitungkan kekuatan mereka dan kekuatan kita?" tanya Lai Tek-hoa, kali ini sungguh-sungguh, tidak berkelakar.
"Sudah. Kita unggul. Dan satu lagi keunggulan kita, yaitu pendadakan. Serangan kita yang tidak mereka perhitungkan."
"Bagus. Ada rencana serangan?"
"Kita berdelapan, kita pecah jadi empat kelompok, kita serang dari empat jurusan. Yang dari depan haruslah yang paling kuat, tugasnya menarik atau memancing kekuatan musuh sebanyak mungkin agar kelompok-kelompok lain lebih mudah kerjanya."
"Kalau begitu, kelompok satu ini paling cocok adalah Kakak Lai dan Kakak Tam sendiri," usul Bibi Mo, yang langsung disetujui semua orang.
"Kelompok kedua, yang menyerang dari belakang terdiri Bibi Mo dan Nyo Ban-kit, membuat kekacauan seperti membakar dan sebagainya, dan bergeraknya setelah mendengar isyarat dari kelompok satu. Kelompok tiga adalah Song Po dan Mo Giok-lin, menyerang dari sisi kanan setelah dapat isyarat pula. Kelompok ke empat Tam Ci dan Ong Gai-lam, bergerak tanpa isyarat dan tugasnya ialah melarikan dua buah kereta besar yang diduga berisi "kiriman dari utara" itu.
"Kenapa kelompok empat bergerak tanpa isyarat?" tanya Ong Gai-lam kepada Tam Yo si pengatur serangan.
Sahut Tam Yo, "Untuk mengacaukan musuh. Bayangkan pikiran musuh begini. Terdengar isyarat, datanglah serangan dari belakang. Terdengar isyarat lagi, datang serangan dari samping. Musuh tentu berpikir, kalau terdengar isyarat barulah ada serangan, kalau tak terdengar isyarat takkan ada serangan. Nah, kelompok empat ini menyerang tanpa puasa, kapan waktunya terserah mereka."
Keempat kelompok itu bergerak setelah saling berpesan,! menentukan posisi masing masing .
Lai tek-hoa Tam Yo melangkah tanpa sembunyi-sembunyi memasuki kampung itu. Gonggongan anjing yang dipelihara orang-orang kampung tidak mereka gubris. Bahkan diharap akan memancing lebih banyak perhatian dari pihak yang akan diserang.
Ketika tiba di depan rumah Kepala Kampung yang menjadi sasaran, mereka memakai kedok kain mereka. Kata Lai Tek-hoa, "Sesuai dengan pesan San-cu yang selalu diulang-ulang, hindari jatuhnya korban jiwa sedapat-dapatnya."
Tam Yo mengangguk-angguk. "Kita lompati tembok atau dobrak pintunya?"
"Sesuai dengan niat kita untuk menarik perhatian lawan sebanyak-banyaknya, kita dobrak saja."
"Pintunya cukup tebal, dan pintunya juga agaknya kuat."
"Serahkan kepadaku, Saudara Tam."
Lai Tek-hoa pasang kuda-kuda rendah di depan pintu yang terkancing rapat itu, memusatkan perhatiannya. Tubuhnya yang gemuk pendek itu jadi kelihatan lucu seolah-olah seekor kodok hendak melompat. Hampir saya Tam Yo mengoloknya seperti biasa, tapi batal karena tidak ingin mengganggu konsentrasi sobatnya itu.
.Lai Tek-hoa membentak dan melejit ke depan sambil menendang. Disertai derak-derik hebat, daun pintu berguncang tetapi belum terbuka. Tetapi jelas kalau palangnya sudah setengah patah.
Di sebelah dalam pintu, terdengar teriakan orang-orang serta gemerincingnya senjata-senjata disiapkan.
"Ada musuh! Ada musuh!"
Sementara Lai Tek-hoa sedang berancang-ancang hendak mengulangi tendangannya, Tam Yo berkata, "Saudara Lai, beri bagian kepadaku."
Lalu berlarilah Tam Yo kencang-kencang ke arah pintu sambil membungkuk, dan... menyeruduk daun pintu itu. Biarpun daun pintu itu sudah retak berat karena tendangan Lai Tek-hoa tadi, namun masih cukup kokoh untuk kepala manusia biasa.
Tetapi Lai Tek-hoa tenang'tenang saja, ia tahu tidak percuma sobatnya dijuluki "Si Kambing" oleh banyak orang kawan maupun lawan, sebab bukan cuma jenggotnya yang mirip kambing tetapi ia juga punya "jurus kambing" ialah serudukannya.
Pintu itupun jebol kena serudukan Tam Yo, bahkan tubuh Tam Yo keterusan masuk ke dalam dan harus melakukan koprol untuk menghentikan laju tubuhnya.
Di halaman depan, belasan orang bersenjata sudah bersiaga menyambutnya. Tubuh Tam Yo yang sedang menggelundung itu langsung dihujani serangan berbagai senjata.
Tetapi tiba-tiba dalam kegelapan malam terdengar suara rantai bersiut-siut karena diputar dengan kuat. Rupanya Tam Yo sempat menguraikan rantainya dan diputar kencang untuk coba membubarkan pengepungan atas dirinya. Bahkan ketika ia melompat bangkit sambil membandringkan sabit berujung bolak-balik ke salah satu lawannya, lawannya itu menjerit dan roboh.
Orang-orang bersenjata lainnya berteriak-teriak, "Awas, orang ini cukup berbahaya!"
Sementara dalam kegelapan, rantai bersabit Tam Yo masih terus menyambar nyambar memangsa yang lemah. Susah dijaga karena cepatnya, juga karena gelapnya.
"Pasang obor!" teriak orang-orang itu.
Sementara orang sedang berusaha memasang obor, Lai Tek-hoa juga sudah menerobos masuk, suipoa bajanya langsung hantam sana hantam sini dan dua orang segera roboh.
Kemudian beberapa obor pun berdatangan, dengan demikian perlawanan orang-orang bersenjata yang mengawal tempat itu membaik. Rantai sabit Tam Yo tidak lagi menyambar-nyambar dalam gelap, namun masih saja terlalu cepat biarpun lawan-lawannya juga adalah orang-orang tangkas yang pintar berkelahi.
Sedangkan Lai Tek-hoa juga membentur perlawanan yang semakin mantap dan terarah dari orang-orang di situ. Jumlah orang-orang ada sekitar lima belas orang. Beberapa orang diantara mereka kedengarannya berlogat utara sewaktu berbicara.
Ketika keributan meningkat, dari dalam rumah keluar beberapa orang. Nampak Si Kepala Kampung sendiri, yang menunjukkan mimik kaget dan gusar melihat datangnya dua "garong" yang berkedok mengacau rumahnya. Yang seorang lagi adalah seorang lelaki bertubuh pendek kecil, perawakannya mirip Tam Ci, bedanya yang ini sedikit bungkuk. Usianya kira-kira empat puluh lima tahun, dandanannya adalah dandanan orang utara, lengkap dengan topi bulu yang ada penutup kupingnya.
Melihat betapa repotnya lima belas orang pengawal dalam usaha mengatasi dua orang berkedok itu, si orang utara ini melangkah turun ke halaman dan meneriaki orang-orangnya, "Menyingkir kalian! Biar kubereskan kedua laron yang menyerbu api ini!"
Logat utaranya begitu kental terdengar dan tidak ditutup-tutupi. Bahkan ! bukan cuma logat utara, tetapi yang paling utara, logat Liao-tong alia logat bicaranya orang-orang Manchu!
Lai Tek-hoa dan Tam Yo diam-diam bergetar hatinya mendengar getaran suara orang itu. Mudah dirasakan oleh mereka berdua, kalau si orang utara ini memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan ia menyebut Tam Yo dan Lai Tek-hoa sebagai "dua laron menyerbu api" meskipun sudah melihat kemampuan "kedua laron" ini, dan agaknya ingin menghadapinya sendirian. Pasti orang utara ini punya sesuatu yang amat diandalkan.
Orang orang yang mengeroyok Lai Tek-hoa berdua itupun berlompatan mundur. Toh ada juga beberapa orang yang agak terlambat mundur dan sempat menjadi korban Lai Tek-hoa berdua. Satu orang terluka pundaknya oleh sabit berantai Tam Yo, satu orang lagi keluar dari arena dengan mencelat karena pinggangnya kena seruduk "jurus kambing" Tam Yo, satu orang kena gebuk punggungnya dengan suipoa Lai Tek-hoa, satu lagi ambruk kena tendangan Lai Tek-hoa.
Setelah gelanggang dikosongkan dari orang-orangnya, si orang utara memasuki gelanggang dengan langkah santai, tanpa senjata, sambil memuji, "Lumayan juga kalian. Sayang kalian berkedok sehingga tak bisa kulihat muka kalian. Tetapi kau, Si Kurus, gerakan-gerakan tempurmu mengingatkan aku akan cerita orang orang selatan tentang tokoh yang berjuluk Hui-yo (Kambing Terbang, saudara tua dari dua bersaudara yang berjulukan Yo-ci Heng-te (Kakak-beradik Kambing dan Tikus). He-he-he, julukan yang lucu."
Tam Yo diam membungkam karena memang dialah orangnya. Sebenarnya ia bukanlah tokoh tingkat tinggi yang terlalu terkenal, bukan, tetapi agaknya orang dari utara ini punya pengetahuan luas tentang rimba persilatan di selatan, sampai tokoh yang tak begitu terkenalpun dikenali identitasnya melalui ciri-ciri bertempurnya. Orang yang punya catatan terperinci tentang kekuatan terpendam di suatu wilayah, termasuk pendekar-pendekarnya, biasanya adalah... mata-mata tingkat tinggi. Memang tugas mata.-mata ialah mencatat kekuatan yang ter Simpan di suatu tempat. Entah kekuatan berupa jumlah prajurit, mutu pemimpin militernya, perguruan-perguruan silatnya, pendekar-pendekarnya, bahkan keadaan alamnya dinilai menurut peng-hoat (ilmu militer).
Sementara si orang utara tadi menyerocos pula, kali ini mengomentari Lai Tek-hoa, "Dan kau, Si Gemuk, kulihat tendanganmu yang serba pendek dan beruntun itu mengingatkanku akan Ap-hengtui (Tendangan Bebek) dari seorang tokoh bernama Lai Tek-hoa yang berjulukan Tiat-ap (Si Bebek Besi). Kaukah orangnya?"
Tentu saja Lai Tek-hoa membungkam. Namun diam-diam ia punya perasaan sama dengan Tam Yo bahwa percuma kedok yang mereka kenakan. Tujuan kedok untuk menutupi jatidiri tetapi malahan " orang utara ini dapat menebak siapa mereka melalui memperhatikan
gerak silat mereka. Toh mereka tidak mencopot kedok mereka. Agaknya si orang utara hanya punya catatan tentang mereka berdua namun belum pernah melihat sendiri mereka berdua, jadi kedok itu masih ada gunanya sedikit.
Si orang utara itu tertawa, "Tentu kalian enggan mengaku, tetapi tidak apaapa. Akan kujajal kalian. Terus terang, sejak lawan setimpalku yang bernama Oh Kui-hou dan berjuluk Thai-lik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) itu menghilang dari rimba persilatan sejak beberapa tahun yang lalu, aku kesepian, tidak kutemui lawan yang berarti sehingga otot-ototku agak kaku. Tapi malam ini kulihat kalian berdua cukup lumayan untuk melemaskan otot-ototku. Nah, siap-siaplah."
"Siapa kau?" tanya Lai Tek-hoa.
Orang itu menjawab, "Supaya adil, tebak siapa aku dari jurus-jurus yang akan kalian lihat nanti."
Tam Yo dan Lai Tek-hoa pun bersiapsiap. Tetapi mereka bersifat jantan. Melihat lawan tak bersenjata, mereka siap siap menyimpan senjatb mereka, namun si orang utara buru-buru mencegah, tidak usah disimpan. Gunakan senjata kalian. Akan kuhadapi dengan tangan kosong."
Dan ketika Tam Yo dan Lai Tekhoa bertukar pandangan untuk menentukan siapa salah satu yang akan melawan orang itu, orang itu seolah dapat menebak pikiran mereka, dan berkata, "Tidak usah sungkan. Majulah berdua."
ltulah penghinaan rangkap dua.' Lal Tek-hoa dan Tam Yo bukan saja disuruh menggunakan seniata untuk melawan si orang utara yang bertangan kosong, tetapi juga disuruh maju berdua untuk lawan yang hanya sendirian. Meski Lai Tekhoa berdua bukanlah orang yang terlalu pusing dengan gengsi dan nama besar seperti umumnya kaum rimba persilatan, tetapi sikap orang utara itu menjengkelkan juga.
Kata Lai Tek-hoa, "siapapun sobat, kau keterlaluan meremehkan kami".
Orang utara itu tertawa keras, "Bukan meremehkan. Justru menghormatimu dengan memberi kesempatan kalian mengadu tenaga denganku."
Tam Yo yang lebih tidak sabaran dari Lai Tek-hoa, berkata kepada temannya itu, "Saudara Lai, orang ini perlu hajaran agar mampu melihat luasnya rimba persilatan."
Dalam emosinya yang meluap, tanpa sadar Tam Yo menyebut "Saudara Lai" padahal tujuan mereka berdua memakai kedok adalah menyembunyikan identitas. Kini identitas itu sudah bocor sedikit dengan'sebutan "Saudara Lai" itu.
Orang utara itu diam-diam mencatat dalam hati, "Jadi orang gemuk pendek ini she Lai. Akan lebih mudah menemukannya di Lam-khia kelak. Tetapi akan lebih mudah lagi kalau malam ini juga dapat kuringkus mereka berdua."
Tiba-tiba matanya berkilat, lalu melejitlah tubuhnya yang kecil agak bungkuk itu ke arah Tam Yo dengan sepasang lengan terjulur hendak mencengkeram muka.
,.Tam Yo yang tinggi kurus itu meliuk melangkah bagaikan pohon bambu tertiup angin, membuka ruang gerak untuk rantai sabitnya yang langsung melayang bagai kilat hendak membelit sepasang kaki lawan yang masih di udara.
Orang utara melakukan salto sederhana di udara sambil menyurutkan sepasang kakinya. Suatu gerak yang sebenarnya tak terlalu istimewa, banyak pesilat bisa melakukannya, namun ketika orang utara itu menjejakkan sepasang kakinya di udara kosong seolah-olah perenang meluncurkan tubuhnya dalam air, dia benar-benar dapat menambah luncurannya untuk terus memburu Tam Yo dengan sepasang lengannya tetap terulur ke depan.
Rantai-sabit Tam Yo memang keutamaannya untuk menyerang jarak menengah maupun jauh, tetapi bukan berarti Tam Yo tak punya gerak pertahanan. Dengan tangkas ia menarik pendek rantainya lalu dipegangi dua tangan dan dilingkarkan di udara, membuat semacam jerat, menunggu sepasang lengan si orang utara disodorkan sendiri ke dalam jerat. Sambil begitu, kaki kanannya menendang tinggi ke depan. Tendangan tinggi sampai melebihi kepala. .
Lai Tek-hoa belum ikut bertempur, ia hanya memperhatikan adu gebrak antara kedua orang itu. Sambil berharap akan dapat mengenali aliran silat si orang utara, ia juga berharap agar Tam Yo seorang diri sanggup mengatasi orang utara yang sombong itu.
Ternyata kedua harapan Lai Tek-hoa itu tak terkabul. Bukan saja ia tak berhasil mengenali aliran silat si orang utara, nampaknya dalam beberapa gebrak saja Tam Yo sudah dapat ditekannya ke dalam kesulitan besar yang membahayakannya.
Lai Tek-hoa terpaksa harus bersiapsiap membantu temannya, sambil berpikir, "Anak buah Si Kambing yang memperhitungkan kekuatan pengawalan kiriman dari utara ini, agaknya hanya menghitung jumlah orangnya, namun melupakan setangguh apa orangnya."
Sebelum terjun membantu Tam Yo, lebih dulu Lai Tek-hoa bersuitsekali untuk memberi isyarat agar regu kedua segera beraksi.
Habis itu terjunlah dia ikut
ngeroyok si orang utara itu. baik suipoa besinya maupun "tendangan bebek" dalam pertarungan jarak dekat, dan memberi kesempatan kepada
Tam Yo agar lebih memusatkan diri ke serangan-serangan jarak jauh yang memang dimahirkannya. Jadi semacam pembagian tugas. Sebagai petarung berpengaLaman Tam Yo memahami maksud temannya itu dan menyesuaikan diri. Begitulah mereka berdua tidak sekedar main keroyok, tetapi juga membagi tugas dengan keahlian tempur masing masing .
Regu kedua yang adalah Bibi Mo dae
Nyo Ban-kit pun segera melompati tembok belakang. Di halaman belakang rumah Kepala Kampung itu juga ada beberapa orang bersenjata yang berjaga: namun tidak banyak. Cuma lima orang. Mereka kaget melihat datangnya dua orang berkedok melompati tembok, dan segera melawan.
Bibi Mo memutar sepasang golok Pencincang dagingnya menangkis beberapa. serangan, agaknya ia ingin menghadang semua lawan, memberi kesempatan NYo Ban-kit untuk membakar. Di tempat itu memang ada dapur, ada gudang. kandang kuda. Ada obor di kandang kuda yang segera digunakan oleh Nyo Ban kit untuk membakar sana-sini.
Setelah timbul kebakaran hebat di tempat itu, Nyo Ban-kit bertempur membantu Bibi Mo. la bersenjata ruyung tiga ruas.
Kalau hanya lima orang yang di halaman belakang itu, itu bukan masalah berat buat Bibi Mo dan Nyo Ban-kit. Tetapi kemudian berdatangan beberapa orang lagi ke situ sampai mencapai jumlah belasan orang. Bibi Mo dan Nyo Ban-kit berharap agar regu tiga dan empat cepat-cepat muncul untuk meringankan beban mereka. Tetapi pemberi komando adalah Lai Tek-hoa, bukan mereka .
Sementara itu, di halaman depan gabungan Lai Tek-hoa dan Tam Yo depan memberikan perlawanan tangguh kepada orang utara. Namun bagaimanapun juga si orang utara agaknya memag hebat. Lai Tek-hoa dan Tam Yo perna mengalami pertempuran-pertempuran hebat: tetapi. jarang sampai mati-matian seperti malam ini. _
Tak lama kemudian suitan panjang Lai Tek-hoa yang kedua terdengar memecahkan malam.
Si orang utara tertawa mengejek, "Bagus, keluarkan seluruh teman-temanmu. Ingin kulihat siapa saja yang bersama kalian."
Regu tiga yang terdiri dari Song Po dan Ma Giok-lin pun masuk gelanggang dari halaman samping. Mo Giok-lin bersenjata sepasang golok tipis liu-yap-to,
sedangkan Song Po agaknya seorang jago tangan kosong.
Begitu terjun ke tengah gelanggang tubuh Song Po berputar bagai angin puyuh,_ tangan dan kakinya seolah berubah menjadi masing-masing tiga pasang. Tetapi agaknya pengawal-pengawal di rumah itu memang orang orang terlatih, dan berjumlah banyak juga '
bahkan kemudian setelah regu keempat masuk juga, keadaan di pihak Lai Tek-hoa dan kawan-kawannya tidak lebih membaik. Dalam rencananya tadi, regu ke empat boleh muncul setelah regu-regu sebelumnya "mengobrak abrik" penjagaan musuh, dan regu ke empat tinggal menggondol pergi kiriman dari utara yang dicurigai itu. Begitu rencananya. Dalam kenyataannya tidak segampang itu. Regu ke empat muncul justru bukan karena "musuh sudah diobrak-abrik" melainkan karena pihak Lai Tek-hoa makin mengalami tekanan berat 'yang membuat regu ke empat tidak tega tinggal diam dan terjun ke gelanggang. Dan setelah seluruh kekuatan terjun ke gelanggang, ternyata tidak terlalu menolong keadaan. Sesuai dengan laporan anak buah Tam Yo yang membuntuti rombongan ini sejak dari utara, dari wilayah Manchu, jumlah pengawal memang lebih-kurang tiga puluh orang. Ini cocok dengan laporan. Yang tidak cocok dengan laporan ialah soal kemampuan tempur orang-orang dari utara ini. Mata-mata Tam Yo cuma bilang bahwa orang-orang ini berotot dan pintar berkelahi, menimbulkan kesan pada Tam Yo bahwa mereka hanyalah pesulat pesilat biasa yang sekedar mengandalkan otot dan keberanian. Sebagian besar memang begitu, namun Tam y0 tidak mimpi bahwa dalam rombongan itu ada orang macam Si Pendek Bungkuk yang sanggup melawannya dan Lai Tek-hoa sekaligus. Ternyata orang tangguh dalam rombongan itu bukan cuma Si Pendek Bungkuk saja, melainkan ada tiga orang lagi, meski tidak sekaliber Si Pendek Bungkuk.
Di halaman belakang, Bibi Mo dan Nyo Ban-kit ketemu seorang lelaki tinggi besar yang bersilat dengan gaya Propinsi Shoe-tong dengan hebat. Lelaki ini bertangan kosong, tetapi kepalan tangannya menimbulkan gerakan udara setiap kali diayunkan. Agaknya kemampuannya berimbang dengan Bibi Mo.
Namun Bibi Mo dan Nyo Ban-kit tidak mau melawan orang ini satu lawan satu, sebab kalau salah satu dari mereka
melawan pesilat dari Shoa-ton ini, maka berarti yang lain harus sendirian menghadapi belasan orang. Maka Bibi Mo dan NYo Ban-kit tidak menghadapi sendiri-sendiri melainkan bekerja sama, mengadu Punggung, menganggap semua musuh sebagai musuh bersama.
Dengan mengadu punggung dengan Bibi Mo, sebetulnya Nyo Ban-kit jadi mengurangi keleluasaannya bermain samciat-kun (ruyung tiga ruas), sebab permainan -sam-ciat-kun membutuhkan putaran di belakang tubuh segala, dan Nyo Ban-kit sekarang tidak bisa melakukan ini karena dapat mengenai Bibi Mo.
Di halaman samping, kegarangan Song Po dengan "tendangan angin puyuhnya juga terhadang seorang lawan yang bertubuh kurus tetapi jari-jarinya lincah mengincar urat-urat dan simpul-simpul syaraf di sekujur tubuh 'Song Po. Selain menghadapi lawan seges1t_itu, Song Po masih punya beban membagi perhatiannya Untuk Ma Giok-Iin yang tak dapat dibiarkannya sendirian menghadapi lawan begitu banyak.
Yang mengalami pengalaman istimewa ialah regu keempat yang terdiri dar Tam Ci dan Ong Gai-lam. Kedua orang ini masuk ke gelanggang tanpa diundang oleh suitan isyarat, mereka mengintai dari atas tembok, dan ketika tidak melihat seorang pun di bawah mereka maka mereka menyelinap masuk. Mereka _hanya mendengar ributnya suara perkelahian _di beberapa, arah, namun mereka sendiri tidak menjumpai seorangpun.
"Teman-teman kita benar-benar sudah berhasil memancing seluruh kekuatan musuh." Tam Ci berbisik menafsirkan situasi.
Ong Gai-lam mengangguk setuju, "Betul. Tinggal kita cari di mana kiriman dari utara itu tersimpan."
" Dengan langkah ringan tak bersuara, mereka berdua menyeberangi halaman mendekati bangunan. Ada sebuah pintu berbentuk bundar di halaman samping, di dalamnya ada taman bunga. Di tengahtengah taman bunga nampak seorang lelaki _kurus sedang duduk menghadap kolam 'ikan emas, membelakangi Tam Ci .
Tam ci dan Ong Gai-lam bertukar pandang sekejap. lalu Tam Ci berbisik,
" Itu kepala kampungnya. Kebetulan. Kita sergap, kita tanyai."
Ong Gai-lam menunjukkan jempolnya tanda setuju, lalu bagaikan kucing mendekati ikan asin di atas meja, mereka merunduk orang itu dari belakang.
Setelah tepat di belakangnya, makin jelas orang itu bertubuh kurus, berambut putih, berjubah kain tebal murahan.
Melihat orang setua dan sekurus itu, Tam Ci tidak tega menggunakan pentung besinya. la ingat pesan pemimpinnya yang dipanggil San-cu (Penguasa _Gunung), agar dalam menjalankan operasinya" sedapat-dapatnya menghindari korban jiwa. Tam Ci memberikan pentung besinya kepada Ong Gai-lam, lalu _berkata kepada orang itu, "Kek, kami tidak bermaksud melukaimu, asal kau jawab pertanyaan dari kami.
Si kakek menoleh pelan pelan menampakkan wajahnya yang ketakutan. wajahnya benar-benar tua, sudah tujuh puluh tahun lebih. _ _ '
"Kek, kau tahu di mana disimpannya kiriman dari utara itu?"
Si Kakek mengangguk-angguk.
"Bagus. Tunjukkan di mana."
Kali ini Si Kakek menggeleng-geleng.
Tam Ci sudah hampir jengkel,. tetapi Ong Giam-lam berkata, "Mungkin dia sudah agak tuli dan kurang paham apa yang ditanyakan Kakak Tam."
Tam Ci memang perlahan bicaranya, takut didengar penghuni rumah lainnya. Sekarang ia agak memperkeras suaranya, "Kek, tunjukkan di mana disimpannya kiriman dari utara itu!"
Wajah Si Kakek tetap saja memelas, tetapi kebandelannya betul-betul menjengkelkan. Dengan wajah memelasnya itu ia tetap geleng-geleng kepala.
Ong Gai-lam yang tadinya menganjukan bersabar, sekarang gregetan juga. "Kek, kalau kau bandel, ketahuilah, begitu mudah kami ini mencelakaimu. Sekarang ini kami masih kasihan karena Kakek sudah tua."
Si Kakek tetap bandel. Sekedar untuk menakut-nakuti, Ong Gai-lam menaruh dua tangannya di leher kurus Si Kakek, berlagak hendak mencekik. "Hayo, Kek, mau menjawab atau tidak?"
Lengan-lengan kurus Si Kakek terangka pelan-pelan, tidak mirip gerakan silat sedikitpun, jari-jarinya menyentuh kedua lengan kekar berotot milik Ong Gai-lam yang memegangi lehernya itu. Ong Gailam merasa kedua lengannya bergetar lembut lalu terkulailah kedua lengannya itu, tenaganya amblas entah ke. mana, tak tersisa sedikit pun.
Baru Ong Gai-lam kaget, sadar Si Kakek bertampang memelas itu ternyata orang hebat, bahkan sesungguhnya Ong Gai-lam dan Tam Ci sendirilah yang lebih pantas dikasihani.
Sebelum Ong Gai-lam sempat melangkah mundur untuk menyiapkan perlawanan, Si Kakek sudah tertawa terkekeh sambil menepuk pinggang Ong Gan-lam. rebahlah Ong Gai-lam dengan tubuh amat lemas. _
Tam Ci kaget melihat nasib rekannya itu. sadar bahwa sikapnya yang tidak tega itu salah alamat. Dengan cepat mengirim sebuah jotosan ke wajah tua memelas itu. namun tinjunya menghantam angin. Belum sempat Tam Ci menarik tinjunya, tahu-tahu pergelangan tangannya sudah dicengkeram Si Kakek, sehingga lemas, tengkuknya ditekan dan dipijit oleh jari-jari kurus dari "orang tua memelas" tadi dan kesadaran Tam Ci pun amblas.
Begitulah, selagi rekan-rekan Tam Ci dan Ong Gai-lam memeras keringat habis habisan dalam pertempuran mati-hidup, Tam Ci dan Ong Gai-lam lebih "beruntung" sebab mereka tidak perlu memeras tenaga dan pertarungan selesai begitu cepat. _
Tiga regu lainnya merasakan tekanan makin berat dan sudah ingin cepat-cepat keluar dari gelanggang, namun setelah ditunggu-tunggu sekian lama kok belum juga ada isyarat dari regu keempat bahwa mereka sudah berhasil membawa pergi kiriman dari utara itu"


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lai Tek-hoa yang bersama-sama Tam yo
menghadapi Si Kecil Bungkuk, sebenarnya tak terancam bahaya. Mereka berdua dapat mengimbangi lawan, yang mereka kuatirkan ialah teman-teman mereka. Apakah mereka pun ketemu orang sekaliber Si Kecil Bungkuk ini" Kalau benar, pasti mereka mengalami kesulitan sebab tak seorang pun dari mereka berilmu setingkat kami, pikir Lai Tek-hoa.
Yang kemudian terdengar adalah isyarat dari regu dua dan tiga, isyarat pemberitahuan bahwa mereka mengalami tekanan dan kesulitan hebat.
Situasi macam itu memaksa Lai Tekhoa harus melupakan tujuannya merampas "kiriman dari utara" dan harus lebih mementingkan keselamatan orang-orangnya. Karena itulah di tengah pertarungannya dengan si orang utara, Lai Tekhoa bersuit panjang satu kali, isyarat mundur.
Lai Tek-hoa dan Tam Yo sendiri sebagai pimpinan akan mundur paling akhir.
Pikir Lai Tek-hoa "Kalau keseimbangan begini-begini terus, rasanya tak akan selesai-selesai. Orang dari utara itu harus ditundukkan."
Untuk itu masih ada satu kesempatan Lai Tek-hoa, .yaitu senjata rahasa yang berupa biji-biji suipoanya, bahkan biji jeruji-jeruji suipoanya. Suatu upaya yang Lai Tek-hoa sendiri kurang suka sebab bersifat penyergapan yang agak curang, namun demi keselamatan teman-temannya, kini Lai Tek-hoa mencari kesempatan untuk melakukannya. '
Sejak pertarungan dimulai, Lai Tekhoa terus merangsek dengan jarak dekat, karena memang itu keahliannya. Suatu kali, ketika ia sedang begitu dekat dengan lawannya, kurang dari dua langkah, lebih dulu ia menghujani musuh dengan sodokan-sodokan dan keprukan-keprukan suipoa besinya dikombinasi dengan "tendangan bebek"nya. Dan tiba-tiba saja ia menekan satu sisi dari kerangka suipoanya, membuat dua buah jeruji menjeplak tegak, disusul ayunan keras lengan Lai Tek-hoa, maka biji-biji suipoa meluncur lepas dari jeruji-jeruji yang terbuka itu dan si orang utara seolah dihujani bijibiji suipoa besi itu. "
Si orang utara blingsatan oleh serangan tak terduga itu. Ia melompat mundur sambil serabutan menggerakkan kedua lengannya di depan tubuh. Beberapa biji suipoa dapat ia tangkis atau elakkan, dan yang tidak mengenainya lalu mengenai orang-orang disekitarnya. Tiga orang menjerit kesakitan kena biji suipoa terbang itu.
Menyusul sabit-berantainya Tam Yo menyambar bertubi-tubi; Sabit di ujung rantai .itu seolah seekor burung ganas yang terbang berputaran menyambar nyambar bolak-balik.
Tapi, sambaran sabit ini tidak jadi masalah besar buat si orang utara, kelincahamya dapat menghindarinya dan bahkan dapat balas menekan Tam Yo. Tetapi sekarang serangan sabit rantai itu ' dibarengi serangan hebat lain dari Lai Tek-hoa. Lai Tek-hoa telah menekan pula bingkai suipoanya dan melesatlah dua
jeruji suipoa ke arah lawan. Orang utara itu dapat bersalto menghindari sabit, dapat pula_ menepis salah satu jeruji suipoa, namun jeruji yang satu lagi tak terhindarkan. Menancap di paha dan membuat orang utara itu "mendarat" sambil menyeringai menahan sakit.
"Kukira kau cukup jantan, ternyata..." desis orang itu dengan sorot mata gusar menatap Lai Tek-hoa.
Lai Tek-hoa menjawab, "Benar, aku agak curang. Maaf."
Nadanya juga minta maaf kepada dirinya sendiri.
Waktu itu Lai Tek-hoa dan Tam Yo mendengar dua kali suitan dari arah yang berbeda, tanda regu dua dan tiga sudah berhasil kabur. Lai Tek-hoa dan Tam Yo merasa lega. Soal tidak terdengarnya isyarat dari regu ke empat, Lai Tekhoa berdua anggap wajar saja, bukankah regu empat memang disuruh "masuk tanpa menunggu isyarat, keluar tanpa isyarat juga" untuk mengecoh lawan. Karena itu, kedua orang itupun meninggalkan gelanggang tanpa ada yang bisa menghalangi.
Mereka bertemu dengan teman-teman mereka di suatu belukar gelap beberapa mil dari kampung tadi. Melihat Tam Ci dan Ong Gai-lam belum juga berkumpul, mereka menunggu.
Namun setelah menunggu sekian lama, ternyata 'yang di" tunggu-tunggu tidak muncul juga dan muncullah berbagai dugaan.
"Apa mereka langsung kembali ke kota tanpa menunggu kita?"
"Tidak mungkin. Mereka tadi sudah jelas mendengar perintah agar selesai operasi, apa pun hasilnya, mereka berkumpul di sini."
"Atau mereka salah mengenali tempat" Di malam gelap, semua tempat kelihatannya sama saja."
"Itu juga kecil kemungkinannya. Ong Gai-lam itu orang kelahiran sini, hapal tempat-tempat di sini biarpun dengan mata ditutup. Tam Ci juga, meski bukan orang kelahiran sini."
"Atau mereka..." Tam Yo tak melanjutkan kata-katanya, diganti kata-kata lain, "...aku berfirasat tidak enak tentang adikku itu."
"Mungkinkah mereka... tak dapat keluar dari tempat itu?"
"Ya. Tempat itu memiliki kekuatan yang diluar dugaan. Kita sudah memperhitungkan akan berhasil, nyatanya ada tokoh-tokoh lihai di antara orang-orang !
"Kita balik ke sana, kita bebaskan Saudara Tam dan Ong!" kata Lai Tekhoa bersemangat, sambil mengepalkan tinjunya. "Kita berangkat bersama, pulang bersama!"
Tapi malahan Tam Yo, kakak Tam Ci, yang mencegah, "Tidak. Aku merasakan adanya semacam perangkap dalam urusan ini. Entah perangkap macam apa, siapa yang pasang perangkap, siapa yang hendak dituju oleh perangkap, aku tidak tahu. Otakku tidak dapat menjelaskannya. Tetapi perasaanku jarang salah. Kita harus hati-hati, tidak baik membahayakan seluruh jaringan rahasia kita meskipun untuk menyelamatkan saudara kandungku sendiri."
"Justru kalau kedua saudara kita itu di tangan musuh, akan membahayakan rahasia organisasi kita. Bagaimana kalau mereka menyiksa Saudara Tam dan Saudara Ong sehingga mereka menunjukkan tempat-tempat kita di Lam-khia?" _ Tam Yo menggeleng, "Kita_ pindah tempat, tempat yang belum diketahui oleh adikku maupun Saudara Ong, bahkan oleh kalian. Tempat cadangan yang hanya ada di otakku dan otak Saudara Lai."
Rupanya organisasi bawah tanah ini punya peraturan yang menekankan segi kemanusiaan, meskipun peraturannya sendiri cukup untuk mengamankan kerahasiaan organisasi. Bahkan menghadapi musuh dalam operasi-operasi penting pun pemimpin tertinggi mereka menekankan "sebisa-bisanya hindari korban jiwa, di pihak musuh sekalipun". Dan apabila ada anggota organisasi yang tertangkap, Sang Pemimpin tidak memaksa anggota itu bersumpah "lebih baik mati daripada membocorkan organisasi", melainkan "sebisa-bisanya bertahanlah hidup, sebab hidup itu berharga". Soal kerahasiaan organisasi, si pemimpin kelompok macam Lai Tek-hoa dan Tam Yo punya suatu tempat cadangan yang hanya mereka ketahui sendiri untuk melanjutkan kegiatan.
Jadi seandainya anggota yang tertangkap itu membocorkan tempatnya, lalu tempat diserbu, Si penyerbu akan menubruk tempat kosong sebab sasarannya sudah pindah ke tempat yang tak diketahui anggota yang tertawan itu. Kalau pemimpin kelompok sendiri yang tertawan" Maka dalam organisasi rahasia itu ada atasan kepala kelompok yang cepat mengambil-alih kelompok, menunjuk pemimpin kelompok baru dan memindahkan tempat. Singkatnya, organisasi rahasia itu berusaha menjunjung kehidupan setinggi-tingginya, tidak menganggap murah nyawa manusia, kawan atau lawan, tidak seperti organisasi-organisasi rahasia lain yang meremehkan nyawa anggota demi kepentingan organisasi, dengan peraturan-peraturan seperti "lebih baik mati daripada bocorkan rahasia" dan sebagainya.
"Jadi kita akan biarkan Saudara Tam dan Ong menderita di tangan musuh?" tanya 'Nyo Ban-kit, sahabat akrab Ong Gai-lam.
Tam Yo menjawab, "Tentu saja kita takkan berpangku tangan. Kita akan bebaskan mereka, tetapi dengan membawa kekuatan yang jauh lebih besar dari sekarang. Kalau dengan kekuatan seperti sekarang kita balik ke sana, kita ini ibaratnya laron-iaron yang menerjang api."
Akhirnya semua orang dapat diredakan emosinya. Tam Yo yang mencemaskan saudara kandungnya pun bisa begitu tenang.
"Kapan kita bebaskan teman-teman kita?" tanya Song Po.
"Besok. Sekarang kita pindah tempat dulu, tempat kita yang lama sudah tidak aman. Pindahan harus selesai sebelum fajar. Besok kita kumpulkan kekuatan kita dan kita susun rencana."
"Harus ada yang mengawasi diamdiam, kalau-kalau teman-teman kita dipindahkan tempatnya. Jangan sampai besok malam kita menubruk tempat kosong."
"Tentu saja." Orang-orang itu kemudian balik ke dalam kota dalam suasana murung. Tak terdengar saling olok yang biasanya ramai antara Lai Tek-hoa dan Tam Yo.
Sementara itu, di rumah Kepala kampung yang baru saja diserbu Lai Tekhoa dan kawan-kawannya, sibuk mengobati yang terluka, memadamkan api dan menenangkan kuda-kuda dalam kandang yang panik oleh api. Tak ada korban jiwa satu pun.
Si orang utara yang pendek kecil, terpincang-pincang menemui kakek berwajah memelas di kebun belakang. Jeruji suipoa yang menancap di pahanya sudah dicabut, untung tidak dalam masuknya, dan sudah diobati serta dibalut.
"Guru," katanya dengan hormat kepada Si Kakek berwajah memelas.
' "Bagaimana dengan lukamu?" tanya sang guru.
"Tidak berbahaya, tetapi sungguh menjengkelkan."
Si Kakek malah tersenyum, "Tidak apa-apa kalau begitu, sedikit berkorban, tetapi agaknya umpan yang kita lempar itu mulai disambar 'kakap besar' yang dikehendaki Jenderal Ni. Aku yakin si 'kakap' akan keluar dari persembunyiannya, tapi kita harus sabar. Jangan ceroboh. Jangan membuat si 'kakap' tahu hendak dipancing keluar lalu sembunyi lebih rapat."
"Guru yakin orang orang berkedok tadi orang-orangnya si 'kakap'?"
"Yakin secara pasti memang tidak. Tidak ada kepastian dalam urusan macam ini,'bisa saja terjadi sesuatu yang tak terduga. Namun dugaanku kuat bahwa umpan kita mulai dincar sasaran kita. Sejak ratusan li sebelum menyeberangi Sungai Tiang-kang, kita sudah dibuntuti mereka. ini menandakan bahwa mereka awas, waspada, dan mereka menaruh curiga terhadap iring-iringan kita yang secara luarnya tak berbeda dengan iring-iringan lain. Hanya si 'kakap' itu dan orang orangnyalah yang memiliki ketajaman dan kewaspadaan macam itu. Petugas-petugas kerajaan tak sehebat itu, mereka cuma kantong-kantong nasi yang tidak becus tetapi bukan main gayanya."
"Kalau benar, maka apa yang ditugaskan Jenderal Ni kepada kita, yaitu mengetahui di mana beradanya 'kakap' itu, ada harapan berhasil. Sedangkan
tugas lainnya, yaitu sengaja membocorkan informasi yang salah dari pihak kita ke pihak selatan, juga ada harapan berhasil. Si penerima kiriman di Lam-khia pastilah akan menjadi pusat perhatian orang-orangnya 'si kakap' di bawah tanah, itulah peluang kita untuk menyalurkan informasi menyesatkan tentang gerakan pasukan kita."
Si Kakek berwajah memelas menganguk-angguk, "Benar. Asal jangan terburu-buru, jangan ceroboh, jangan cepat cepat kepingin berhasil. ingat, 'si kakap' itupun tajam otaknya."
"Kalau selancar ini, rasanya aku ditambahi luka pun rela."
*** Kapten Eng Liong yang nongkrong di atas pohon di luar halaman belakang rumah makan Ceng-san-iau, mendapat musuh yang sangat berat, yaitu kantuknya. Betapapun ia berusaha melek, tetapi ia tertidur juga meskipun terputus-putus.
' lalu Tidur sebentar geragapan bangun, tertidur lagi ,sebentar dan geragapan bangun lagi.
Namun ia pas melek matanya Waktu dalam kegelapan dini hari yang dinginnya membekukan darah itu, ia sekelompok sosok tubuh melompati dinding dengan ringannya. Seorang bertubuh gemuk pendek, seorang perempuan berperawakan besar bagaikan lelaki, dan seorang lelaki berperawakan sedang.
"Ini dia..." hilanglah kantuk Eng Liong, dan ia pun mementang matanya lebar lebar.
Kata Eng Liong pula dalam hatinya, "Tak keliru dugaanku. Penghuni-penghuni rumah makan ini adalah orang-orang pintar silat._ Mereka dapat mengelabui Gui Gong, tetapi sekarang dengan mataku sendiri kulihat mereka melompati tembok. Ini pasti laporan sangat berharga buat Jiu Tong."
Bersambung jilid IV PANGLIMA GUNUNG Karya : STEVANUS SP. Jilid IV
Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** SUDAH terbayang keping-keping uang emas yang bakal diterimanya dari si "pengemis" yang sebelah kakinya bersepatu dan sebelah lagi bersandal.
Merasa pengamatannya sudah cukup bernilai, disamping kantuknya yang hebat, Eng Liong diam-diam merosot turun dari pohon itu dan pulang ke rumahnya.
Eng Liong tidur, dan rasanya ia baru tidur amat sebentar ketika isterinya membangunkannya dengan mengguncang-goncang pundaknya keras-keras, memberitahukan hari sudah siang dan harus ke tangsi.
Dengan kantuk masih terasa, sang Kapten melangkah sempoyonan ke belakang, sambil berharap bila tubuhnya sudah berendam di tong air maka kantuknya akan hilang. Dilewatinya halaman belakang di mana Gui Gong sedang berlatih sendirian.
"Bangunmu kesiangan, Kakak Liong," tegur Gui Gong.
"Ya, tidurku semalam amat pulas," Eng Liong berbohong.
Sementara Ang Sick-slm sedang menimba sumur.
Selesai Eng Liong mandi dan siap pergi ke tangsi, rumah itu kedatangan seorang tamu. Seorang tamu yang menerobos masuk ke halaman belakang begitu saja, sambil berkali-kali menoleh ke belakangnya seolah-olah ada yang membuntutinya.
Nyonya Eng yang sedang menjemur cucian di halaman samping pun kaget melihat orang yang menyelonong begitu saja. Seorang lelaki berusia empat puluhan tahun bertubuh tegap dan berwajah keras, dan saat itu wajahnya sedang menunjukkan ketegangan hatinya.
Eng Liong membentak orang itu, "He, siapa kau" Masih terlalu pagi kalau hendak mencuri di sini!"
Orang itu memberi hormat dengan gerak sembarangan saja, malah bertanya, "Apakah ini rumah Kapten Eng Liong?"
"Benar. Kau-ini siapa?"
pertanyaan dibalas pertanyaan, "Apa
Ang Siok-sim dan Gui Gong tinggal di sini?"
Saat itu Ang Siok-sim dan Gui Gong yang sudah mandi dan siap berangkat ke rumah makan Ceng-san-lau, juga muncul di halaman samping karena mendengar suara ribut-ribut. Begitu juga anak-anak Eng Liong.
Melihat orang yang menyelonong datang itu, Ang Siok-sim serasa pernah melihat orang itu. "Sobat, kau ini...."
Orang itu menyahut tergesa-gesa, "Aku orang yang... hampir mencelakaimu, tetapi kau malah memintakan ampun untukku ketika aku hampir dibunuh oleh orang berkedok itu. ingat?"
Ang Siok-sim dan Gui Gong pun teringat peristiwa ketika mereka diculik, disekap, dimintai keterangan, kemudian hendak dibunuh. Tapi muncul orang berkedok yang menyelamatkan mereka. Mereka sekarang ingat, orang inilah yang dulu hampir membunuh mereka.
"Ya, aku ingat kau. Kenapa kau datang?"
"Aku hendak membalas kebaikanmu dulu, karena kau mintakan ampun untukku dan aku masih hidup sampai sekarang. Kuberitahu, kau dan seluruh orang di sini, menyingkirlah dan bersembunyilah."
"Kenapa?" "Kudengar jago-jago bayaran majikanku berbicara, mereka hendak membunuh kalian semua."
"Apa salah kami?" Nyonya Eng memucat wajahnya, Merangkul anaknya seolah-olah si utusan maut benar-benar telah berdiri di hadapannya.
Orang itu menjawab, "Karena mereka menyangka bahwa ketika Saudara Ang dan Gui diculik dulu, kedua saudara ini tahu tempat mereka dibawa, dan jago jago bayaran di pihakku takut kedua saudara itu membicarakan kepada siapa siapa, maka merencanakan untuk membunuh kedua saudara ini."
"Astaga, hanya urusan sekecil ini membuat mereka hendak membunuh kami?" Ang Siok-sim berkata penasaran. "Tidak adakah hukum yang melindungi orang-orang tak bersalah di ibu kota kerajaan ini?"
Orang yang datang itu menarik napas melihat keluguan Ang Siok-sim, katanya, "Hukum" Yang berkuasa itulah yang pegang hukum. Bahkan kadang-kadang tanpa alasan pun seseorang bisa disingkirkan begitu saja... maaf, hanya sebatas ini aku bisa menolong kalian. Sekali lagi, menyingkirlah secepatnya. Kalian menghadapi orang-orang yang sangat kejam."
Habis berkata begitu, ia sekali lagi memberi hormat secara tergesa-gesa dan pergilah ia sebagaimana datangnya tadi. Menyelonong begitu saja. Bisa dimaklumi, ia takut tindakannya itu diketahui komplotannya sendiri.
Dan orang-orang yang ditinggalkannya saling berpandangan kebingungan, sampai Nyonya Eng bersuara dalam kecemasannya, "Bagaimana ini" Bagaimana kalau sampai anak-anak kita yang belum tahu apa-apa ini dicelakakan orang?"
Eng Liong sebagai kepala keluarga sebenarnya gentar juga, tapi malu memperlihatkannya. Tiba-tiba ia ingat bahwa dirinya pun punya "komplotan" biarpun masih kabur dan samar-samar. Ia lalu tanya Ang Siok-sim, "Siok-sim, orang tadi dari pihak mana?"
"Dari pihak yang pernah menculik aku dan A-gong karena mengira kami berdua teman-teman dari orang-orang berkedok yang menyatroni rumah Jenderal Eng malam-malam."
Eng Liong berdebar-debar, samar samar dapat menebak pihak mana itu. Tetapi ia masih mencari penegasan dari adik iparnya, "Ya, pihak mana itu?"
"Ketika diculik, kami mengenali tempat memeriksa kami sebagai kediamannya Jenderal Eng. Mungkin yang ingin melenyapkan kita sekarang, ya dari pihaknya Jenderal Eng itulah. Karena kebusukan mereka sedikit banyak sudah tersingkap oleh kami, misalnya menculik kami, dan mereka tidak ingin ini tersebar luas karena bisa menjatuhkan nama baiknya."
Eng Liong berkeringat dingin. Jenderal Eng begitu berpengaruh. Maukah komplotan "pengemis sandal-sepatu" itu melindunginya dan keluarganya" Seandainya mau, dapatkah menandingi pengaruh Jenderal Eng, yang akrab dengan Bangsawan Dao yang adalah kerabat Permaisuri"
"Bagaimana?" desak Nyonya Eng.
Eng Liong akhirnya berkata, "Kau tahu rumah saudara sepupuku yang jadi juragan tahu di jalan Gio-kai?"
Nyonya Eng mengangguk-angguk.
Kata Eng Liong pula, "Pergilah ke sana. Dulu waktu di kampung dia pernah kuselamatkan ketika hanyut di sungai. Mudah-mudahan ia ingat budi baikku dan mau menampung kalian sekalian di rumahnya."
"Kakak takkan mengantar kami ke sana?" tanya Ang _Siok-sim.
"Aku ini prajurit, harus disiplin. Aku tetap harus berdinas hari ini. Nanti pulang dari tangsi, aku langsung ke sana. Katakan, sekarang pangkatku cian-bu, bukan lagi tui-thio."
Kemudian Eng Liong pergi ke tangsi, sementara Ang Siok-sim serta Gui Gong harus menunda keberangkatan ke tempat kerja, membantu Nyonya Eng membenahi barang-barang. Yang dibawa yang dianggap perlu saja. Sambil bebenah, berulang kali Gui Gong memperdengarkan gerutuan "sungguh tidak adil, sungguh tidak adil".
"A-gong, tidak adakah kata-kata lain selain itu?" tanya Ang Siok-sim. "Tegarlah sedikit. ini Lam-khia, bukan desa kita."
"Seandainya aku jadi orang berkuasa di sini, pasti orang takkan berani seenaknya kepadaku."
"Kalau begitu, jadilah ?"Apa" atau gubernur atau apa...." jenderal
*** Orang-orang itu kemudian pergi ke rumah juragan tahu saudara sepupu Kapten Eng itu. Untunglah si juragan tahu mau menampung mereka sementara waktu, mengingat Eng Liong pernah menyelamatkan nyawanya di kampung dulu. Si juragan tahu menerima dengan ramah, tetapi isterinya agak menunjukkan muka tidak senang.
Habis mengantarkan kakak perempuannya, Ang Sick-sim dan Gui Gong menuju ke rumah makan Ceng-san-lau, untung tidak jauh, jadi mereka tidak perlu tersesat di Lam-khia yang luas itu.
Namun Ang Siok-sim dan Gui Gong terheran-heran melihat rumah makan itu tertutup rapat. Ketika mereka gedor gedor pintunya, tak ada yang membukai, dan ketika mereka masuk dengan memanjat dinding belakang, mereka tak menemui siapa pun.
"Aneh, ke mana orang-orang ini?" Gui Gong bertanya-tanya. "Sial, gaji kita belum dibayar bulan ini, tahu-tahu mereka menghilang begitu saja."
"A-gong, siapa tahu mereka mengalami musibah, jangan kita hanya memikirkan diri sendiri saja..." tegur Ang Siok-sim. "Soal gaji adalah soal kecil. Soal keselamatan mereka, bagaimana nasib mereka, itu yang penting." '
Tetapi Gui Gong masih membantah juga, "Keselamatan diri kita sendiri pun masih tanda tanya kok memikirkan keselamatan orang lain, huh...."
Setelah yakin di rumah makan itu benar-benar tak ada orangnya, Ang Sioksim dan Gui Gong pun meninggalkan tempat itu. Seperti datangnya, perginya mereka juga memanjat dinding.
Sambil melangkah pulang ke "penampungan"nya di rumah si juragan tahu, Ang Siok-sim diam-diam merenung, "Alangkah kerasnya hidup di kota ini. Di sini orang bisa saja diculik tanpa alasan. Hendak dibunuh tanpa alasan, hilang tak tentu rimbanya, dan entah apa lagi yang bakal kami alami...."
Namun di' sela-sela gambaran kelam itu, Ang Siok-sim melihat setitik cahaya yang melegakan hati. Di antara orang orang Lam-khia yang konon kejam kejam dan mementingkan diri sendiri itu, ternyata ada orang semacam yang memberitahunya tadi pagi. Orang yang mempertaruhkan keselamatan untuk membalas kebaikan. Rasa puas Ang Siok-sim seperti puasnya seorang petani yang melihat taburannya mulai bersemi. Menabur benih saling memperhatikan antar sesama di tanah gersang yang namanya Lam-khia.
"Harus kuperbanyak taburanku, entah berapa yang akan tumbuh dan berapa Yang tidak tumbuh, pokoknya kutabur sebanyak mungkin...."
Sementara. itu, setibanya di tangsi.
Eng Liong langsung mendapatkan tugas. la tergabung dalam sebuah pasukan yang akan mengawal sesuatu ke dalam kota.
"Kau yang mengomandani pasukan itu," kata komandannya.
"Baiklah, Komandan." ' "Lakukan dengan waspada, semalam ada yang mencoba merampok kiriman itu tetapi gagal, bahkan dua perampok berhasil ditawan. Kiriman itu kepunyaannya. Dia bisa marah kalau sampai terusik."
Mendengar nama Jenderal Eng, Eng Liong sudah berdebar-debar, ingat peringatan yang diterimanya pagi tadi. Sekarang kebetulan ia ditugasi mengawal sesuatu yang ada sangkut-pautnya dengan Jenderal Eng. Tiba-tiba muncul suatu pikiran di otak Eng Liong, "Kalau aku bisa membuat sebuah pahala kecil buat Jenderal Eng, barangkali... ancaman terhadapku dan keluargaku dari pihak Jenderal Eng bisa dibatalkan. Barangkali aku justru bisa mendapat jalan untuk akrab dengannya, dan masa depanku akan cerah .
Dengan pikiran macam itu. semangat Eng Liong pun berkobar-kohar untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya demi mencari muka kepada Jenderal Eng. " melangkah gagah memanggul tombak di depan lima puluh prajuritnya yang berbaris.
Mereka menuju ke luar kota, ke sebuah kampung sesuai petunjuk komandannya. Eng Liong langsung memimpin orang orangnya ke rumah kepala kampungnya.
Si Kepala Kampung menyambutnya dan langsung menyerocos menceritakan kedatangan perampok-perampok semalam. "Padahal, kiriman dari utara itu untuk Jenderal Eng, bayangkan kemarahan Sang Jenderal kalau sampai kiriman'itu jatuh ke tangan perampok-perampok itu..." Si Kepala Kampung yang gendut itu mengakhiri keterangannya. "Sekarang kami percayakan keamanan pengirimannya sampai ke tempat Jenderal Eng kepada ' Kapten... Kapten siapa?"
"Kapten Eng Liong," sahut Eng Liong : dengan bangga. "Nama keluargaku sama dengan nama keluarga Jenderal Eng. Jangan kuatir, kirimannya akan sampai kepada Jenderal Eng dengan aman."
Eng Liong melihat di rumah kepala kampung itu ada puluhan orang bersenjata, sebagian besar dari mereka berbicara dalam logat 'utara. Daerah utara adalah daerah yang sudah diduduki Manchu, segala sesuatu yang berasal dari sana selayaknya dicurigai, demikian akal normal Eng Liong, namun saat itu ia sedang butuh cari muka kepada Jenderal Eng . demi keamanan keluarganya, maka ia sedikit pun tidak menunjukkan sikap menyelidik terhadap kiriman itu. Ia tidak tanya kirimannya apa, siapa pengirimnya ' dan sebagainya. Ia tidak mau tahu soal itu, pokoknya Jenderal Eng akan merasa puas kepadanya. Dalam hati kecilnya, terasa juga suara hatinya mengusik, "Bagaimana kalau urusan ini membahayakan negara?" Tapi dihiburnya sendiri dalam hati, "Apakah orang utara itu pasti kaki-tangan Manchu" Belum tentu. Di wilayah yang sudah diduduki Manchu itu masih ada ribuan patriot bangsa Han yang ingin mengenyahkan Manchu. Siapa tahu inilah hubungan yang dibuat Jenderal Eng dengan para patriot Han di utara."
Demikianlah Eng Liong membuang pikiran buruk tentang Jenderal Eng, menggantinya dengan persangkaan sendiri untuk menenteramkan hatinya sendiri.
Tak lama kemudian, dua buah gerobak besar yang berisi kiriman dari utara yang entah apa itu, meninggalkan rumah Si Kepala Kampung menuju ke dalam kota. Pengawalannya adalah gabungan antara pasukannya Kapten Eng dengan orang orang bersenjata berlogat utara itu. Selain gerobak-gerobak itu, juga ada dua tawanan yang diikat tangannya, disatukan ke leher dengan papan penjepit bergembok rantai besar, namun kaki mereka tidak dijepit, hanya dirantai.
"inikah perampok-perampok yang berani coba-coba merampas milik Jenderal Eng?" Eng Liong menatap kedua tawanan itu, berusaha bersikap galak agar kelihatan sungguh-sungguh membela Jenderal Eng. "Siapa kalian, siapa pemimpin gerombolan kalian?"
Tawanan yang bertubuh kecil dan berwajah mirip tikus, menjawab, "Namaku Tam Ci. Tapi lebih baik tak usah kusebut nama pemimpinku. Kalau kusebut namanya, Kaisar pun bisa terjungkal kaget."
"Wah, hebat pemimpinmu itu" Tetapi kalau kebentur Jenderal Eng yang hebat dan berkuasa, pastilah pemimpinmu itu akan bertekuk lutut," sahut Eng Liong sambil berharap akan ada yang menyampaikan kata-kata itu kepada Jenderal Eng. "Dan kau, siapa namamu?"
"Namaku Ong Gai-lam," sahut tawanan yang satu lagi blak-blakan. "Tetapi jangan harap kau bisa melacak kawan kawanku. Organisasi kami punya caracara untuk menghindari pelacakan apabila ada anggota yang tertangkap. Cara ini membuat kalian percuma menangkap kami," meskipun menyiksa kami sampai
mati 1." ' "Ong Gai-lam... Ong Gai-lam.?" Kapten Eng berkomat-kamit sendirian mengulang-ulang nama itu, merasa pernah mendengarnya. Tiba-tiba ia ingat bahwa Gui Gong pernah bercerita kepadanya .
bahwa di rumah makan Ceng-san-lau bekerja seorang tenaga kasar bernama Ong Gai-lam.
Ingat ini, Eng Liong amat girang, merasa memiliki suatu keterangan yang cukup ada harganya untuk diberikan kepada Jenderal Eng.
Karena itu, Eng Liong dengan sikap bangga kemudian menanyai pemimpin orang-orang bersenjata dari utara itu, "Sobat, sudah berhasil kau dapati keterangan tentang gerombolan perampok ini?" .
Orang yang ditanya menggeleng, dan Eng Liong berkata dengan bangga, "Aku sudah. Tetapi akan kukatakan sendiri kepada Jenderal Eng."
Lalu dengan gagah Eng Liong .melambaikan tangannya sambil berseru, "Berangkat!"
Rombongan pun berangkat. Sambil melangkah sepanjang jalan, Eng Liong terus menyusun dalam benaknya tentang kata-kata yang akan dikatakannya di depan Jenderal Eng, bagaimana sedapat dapatnya memikat hati jenderal tua itu
sehingga ancamannya bisa berubah jadi keuntungan.
Kadang-kadang terpikir juga pertanyaan di hati Eng Liong, apa isi gerobak gerobak itu" Nampaknya cukup berat, sehingga roda gerobak membekas agak dalam di tanah yang keras. Namun Eng Liong setiap kali harus menghalau rasa ingin tahu itu, menahan diri untuk tidak bertanya. Rasa ingin tahu akan urusan "orang-orang di atas" bisa menimbulkan bencana.
Rombongan itu tiba di gedung kediaman Jenderal Eng yang megah, disambut seorang pengawal pribadi Jenderal Eng yang langsung menjumpai Eng Liong, "Kapten, kau yang mengawal?"
Eng Liong mengangguk bangga, "Ya, demi Jenderal Eng. Bisakah aku berjumpa langsung dengan Jenderal Eng?"
"Lebih baik barang-barangnya dimasukkan dulu, tetapi lewat pintu samping."
Bisa dimaklumi. Jalanan di depan rumah Jenderal Eng adalah jalan raya yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Agaknya Jenderal Eng tidak ingin menimbulkan kecurigaan banyak orang kalau sampai ada yang melihat kiriman-kiriman besar itu lewat pintu depan, makanya disuruh lewat pintu samping.
Pintu samping dibuka, kiriman kiriman digotong masuk di bawah pengawasan ketat dari pengawal-pengawal pribadi Jenderal Eng di bawah pimpinan Tiattau-bong (Ular, Besar Berkepala Besi) In Yao. Kedua tawanan juga digiring masuk ke suatu tempat tertutup di bawah tanah, masih dilingkungan kediaman Jenderal Eng.
Kapten Eng melihat kotak-kotak persegi panjang yang nampak berat sehingga satu kotak digotong enam orang dengan kayu panjang dan tali-tali. Ada empat kotak seperti itu, disimpan di suatu tempat di kediaman Jenderal Eng.
Eng Liong ingin bertemu sendiri dengan Jenderal Eng, tetapi ia tak melihat jenderal ' tua itu ikut menyambut barang kiriman buatnya, maka Eng Liong pun mendekati In Yao si kepala pengawal pribadi, katanya ramah, "Bung, aku ingin menghadap Jenderal Eng. Apa bisa?"
in Yao menjawab acuh tak acuh, "Tidak bisa."
Eng Liong tidak mundur begitu saja, "Urusannya bukan sekedar laporan rutin, tetapi ada sesuatu yang penting."
"Sebutkan saja namamu, nanti kulaporkan kepada Jenderal bahwa pekerjaanmu cukup baik, dan Jenderal akan mencatat pahalamu. Tidak nanti pahalamu hilang."
"Bukan, bukan soal pahala, tetapi ada urusan yang benar-benar penting, ingin kukatakan sendiri bahwa aku bisa berguna baginya...."
in Yao tetap menggeleng. Eng Liong pun mengiming-imingi, "Ketahuilah, orang-orang utara yang mengawal kiriman ini tetap belum mengetahui seluk-beluk orang-orang yang mencoba merampok barang kiriman ini, tetapi aku sudah tahu, biarpun sedikit."
Eng Liong ingin menggunakan sedikit keterangan tentang rumah makan Cengsan-lau dan penghuni-penghuninya agar bisa mendekati Jenderal Eng. Keterangan itu harusnya untuk si "pengemis" bersepatu sandal, namun kini ia menawarkannya untuk pihak Jenderal Eng (tanpa mengetahui bahwa pihaknya Jenderal Eng dan pihak si "pengemis" adalah satu kelompok). Eng Liong pikir, tak ada salahnya setelah informasinya disampaikan kepada Jenderal Eng, nanti "dijual" lagi kepada si "pengemis" bersepatu sandal.
"Apa yang kau ketahui?" tanya In Yao.
Jawab Eng Liong, "Aku harus mengatakannya sendiri kepada Jenderal, aku harus menyakinkannya bahwa aku berguna baginya."
ln Yao berpikir-pikir sebentar, lalu bertanya, "Siapa namamu?"
Agak berdebar-debar Eng Liong menyahut, "Terus terang, ada sedikit kesalahpahaman dari pihaknya Jenderal Eng kepadaku, sehingga kudengar aku dan keluargaku hendak di... di...."
Eng Liong kesulitan dalam kata-katanya, sebab ia tahu pantang menyebut orang-orang berpangkat macam Jenderal Eng sebagai pelaku kejahatan. Maka akhirnya dengan agak nekad ia berkata, "Te rus terang, namaku Eng Liong, Kapten Eng Liong, pihak Jenderal Eng berprasangka kepadaku dan aku sungguh ingin menghadapnya langsung untuk menyakinkannya bahwa aku bisa berguna bagi beliau, aku mau menjalankan perintah apa saja baginya...."
ln Yao termasuk orang-orang yang merencanakan pemusnahan Eng Liong dan isi rumahnya, hanya karena kuatir Ang Siok-sim dan Gui Gong menyebarluaskan cerita tentang penculikan mereka di kediaman Jenderal Eng, kemudian usaha membunuh mereka meskipun gagal; Pihak Jenderal Eng berpendapat bahwa cerita macam itu kalau beredar luas bisa menimbulkan kecurigaan pihak-pihak lain tentang kegiatan rahasia Jenderal Eng.
In Yao dan teman-temannya merencanakan membunuh Eng Liong, tapi mereka belum pernah melihat wajah Eng Liong sendiri. Sekarang baru ln Yao melihatnya. Sudah tentu ia takkan membunuh Eng Liong di depan mata banyak orang seperti saat itu.
in Yao juga tertarik tawaran Eng Liong tentang yang diketahuinya tentang penghuni-penghuni rumah Ceng-san-lau, juga tentang kesediaan Eng Liong untuk mengabdi kepada Jenderal Eng.
"Barangkali memang lebih berguna kalau tenaganya digunakan, daripada dibunuh..." pikir In Yao, lalu katanya, "Kapten Eng, kenapa kau merasa terancam oleh orang-orang pihak kami" Apakah ada yang memberitahumu, bahwa kau hendak diapa-apakan oleh kami?"
Eng Liong ragu sejenak. Kalau menjawab terus terang, berarti mencelakakan orang yang tadi pagi memberitahunya. Kalau tidak menjawab, jelas takkan bisa menyakinkan pihak Jenderal Eng, berarti tetap dalam posisi terancam oleh pihak Jenderal Eng.
Akhirnya Eng Liong memutuskan untuk mengorbankan orang tak dikenal itu, daripada keluarganya yang jadi korban. Katanya, "Karena ada yang memberi tahu."
Jantung ln Yao membara karena tahu ada pengkhianat di antara anak buahnya sendiri, yaitu yang membocorkan rencana terhadap Eng Liong seisi rumahnya. Dalam urusan penuh kerahasiaan tingkat tinggi, seorang musuh dalam selimut seperti itu sungguh membahayakan dan bisa membuat berantakan rencana sehebat apa pun.
"Siapa yang memberitahumu?" tanya ln Yao, ingin tahu siapa pengkhianat di pihaknya. ,
Karena emosinya, sikap ln Yao secara tidak sadar sudah menunjukkan pihaknya memang punya rencana itu, rencana melenyapkan Eng Liong seisi rumahnya.
Eng Liong cepat memperbaiki posisinya dalam pembicaraan itu, "Nampaknya pihakmu memang punya rencana itu kepadaku dan keluargaku. Kuharap pembicaraanku dengan Jenderal Eng akan menghapus kesalahpahaman itu."
"Kutanya dan belum kau jawab, siapa yang memberitahumu, katanya kau akan kami bunuh?"
"Akan kuberitahukan, setelah aku berjumpa Jenderal Eng..." sahut Eng Liong licin. Diteruskan dalam hati, "Kalau kau tidak memberi aku kesempatan menemui Jenderal Eng, takkan kuberitahukan pengkhianat di pihakmu, biarlah pihakmu terus dirugikan oleh pengkhianat itu...." .
Meskipun tidak dikatakan, In Yao tahu akibatnya kalau Eng Liong tidak mau memberitahukan siapa pengkhianat ! itu.
Akhirnya ln Yao berkata, "Soal keinginanmu menjumpai Jenderal, aku tidak dapat memutuskan sendiri. Tunggu di sini sebentar, aku akan bicara dulu dengan Jenderal."
Habis berkata demikian, In Yao melangkah meninggalkan Eng Liong.
Sambil menunggu, Eng Liong mengawasi orang-orang yang bekerja menggotong peti-peti persegi panjang yang nampak sangat berat itu.
Beberapa saat kemudian, In Yao datang kembali. "Jenderal bersedia menemuimu." Eng Liong pun melangkah masuk ke bangunan rumah megah itu, mengikuti In Yao.
Eng Liong menjumpai Sang Jenderal sedang duduk santai di sebuah ruangan setengah terbuka yang menghadap sebuah kebun bunga, di bagian tengah rumahnya yang megah dan besar. Jenderal itu mengenakan jubah sehari-hari yang santai. Ia nampak gemuk dan segar, memperlihatkan hidupnya yang nyaman di tahuntahun terakhir ini. _Tahun-tahun sejak ia bersekutu dengan Bangsawan Dao yang amat kuat 'pengaruhnya itu.
Eng Liong yang mengenali Jenderal Eng karena pernah melihatnya di suatu apel besar, cepat berlutut berkata, "Saya Eng Liong, berpangkat kapten, menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada Jenderal!" _
Jenderal Eng hanya mengangguk di kursinya.
Eng Liong melanjutkan, "Hari ini saya ! merasa beroleh keuntungan dan kehormatan besar karena telah berbuat sesuatu bagi Jenderal, yaitu mengawal kiriman untuk Jenderal. Kulakukan sepenuh hati, karena Jenderal adalah salah satu pilar kokoh penyangga dinasti Beng Selatan ini...."
Ujung-ujung bibir Jenderal Eng sudah bergerak sedikit hampir membentuk senyuman, senang juga mendengar sanjungan Eng Liong.
"Kapten Eng, selama kau mengawal barang-barangku, kau tahu isinya apa tidak?"
"Saya mengabdi sebagai perajurit yang berdisiplin. Tugas tetap tugas, dijalankan tanpa bertanya-tanya."
Jenderal Eng mengangguk-angguk, "Bagus. Kau sudah bertugas dengan baik, jasamu akan dicatat baik-baik. Apa lagi?"
"Maaf saya sudah mengganggu ketenangan Jenderal dengan permintaan saya untuk menghadap sendiri. Soalnya... pertama-tama ada hal penting yang perlu Jenderal ketahui. Yaitu soal orang-orang yang semalam sudah berani mencoba merampas barang itu. Orang-orang yang mengawal barang-barang berhasil menangkap dua perampok, tetapi tidak berhasil mengorek keterangan lebih banyak lagi. Paling-paling kedua bandit itu mengakui nama mereka, tapi tidak lebih dari itu."
"Lalu kau?" "Jenderal, saya tahu si bandit yang tertangkap yang namanya Ong Gai-lam itu sehari-harinya bekerja di rumah makan yang namanya Ceng-san-lau. Saya juga tahu pasti penghuni rumah makan itu jagoan silat semuanya, semalam menjelang dinihari kuintai tempat itu dan kulihat penghuni-penghuninya pulang entah dari mana. Berpakaian ringkas, bawa senjata, pakai kedok, bisa melompati tembok dengan gampang. Tempat itu mencurigakan, Jenderal, jangan-jangan sarang bandit yang terselubung?"
Sejak pagi sebenarnya Jenderal Eng sedang dirundung kekecewaan gara-gara orang-orangnya tak dapat menyingkap pihak mana yang ingin merampas kirimannya, kini keterangan Kapten Eng itu seperti secawan air di gurun pasir untuk memuaskan kekecewaannya. Keruan saja ia langsung menyukai Eng Liong.
"Benarkah kata-katamu?"
"Kalau Jenderal menghendaki, aku bisa mengusahakan lebih banyak keterangan lagi, sebab adik iparku dan temannya bekerja di sana tetapi sama sekali tidak bersangkut-paut dengan kelompok orang kurang ajar itu."
"Kalau begitu, lakukanlah untukku. Ada hadiahnya...."
Sambil tetap berlutut, Eng Liong coba melirik wajah Jenderal Eng dan hatinya senang melihat wajah itu sedang gembira. Eng Liong memanfaatkan kesempatan itu untuk menyodorkan kepentingannya sendiri, "Maaf, Jenderal, hadiah itu urusan nomor dua. Ada sesuatu yang ingin saya mohon dari Jenderal...."
Jenderal Eng menjawab ogah-ogahan untuk "tahan harga", "Coba katakan, akan kupertimbangkan."
Lalu Eng Liong pun panjang-lebar menceritakan soal keluguan, kekeliruan tindakan Ang Siok-sim yang tidak sengaja, yang membuat orang-orang Jenderal Eng merasa terancam dan ingin memusnahkan Eng Liong seisi rumahnya. Eng Liong menjelaskan bahwa segalanya itu hanya akibat kesalahpahaman, ia minta agar ia dan seisi rumahnya jangan dibunuh, disertai janji bahwa ia akan "mengendalikan" Ang Siok-sim dan Gui Gong, ditambah lagi janji Eng Liong sendiri untuk mengabdi kepada Jenderal Eng dengar sepenuh hati.
Habis mendengar cerita Eng Liong, Jenderal Eng menoleh kepada ln Yao yang berdiri di samping, dan bertanya, "ln Yao, benar kau rencanakan pembunuhan Kapten Eng seisi rumahnya?"
Dalam nada pertanyaannya tak terkandung nada menuduh, menyalahkan, tak' ada nada yang menimbulkan kesan bahwa tindakan In Yao itu salah. Karena dalan "urusan rahasia"nya itu Jenderal Eng dan orang-orangnya sudah biasa main tumpas' 'siapa pun yang kelihatannya membahayaan.
Dan jawaban In Yao juga menunjukkan sikap tak bersalah, "Memang. Karena dulu waktu kami culik orang-orang yang namanya Ang Siok-sim dan Gui Gong ternyata mereka tahu bahWa mereka dibawa ke tempat ini. Kami kuatir kalau' mereka bercerita kepada orang-orang tentang pengalamannya itu. Bayangkan kalau sampai tersebar cerita bahwa orang orang kita main culik dan main bunuh, tentu merusak nama baik Jenderal."
Sebelum Jenderal Eng menanggapi kata-kata ln Yao itu, Eng Liong mendahului, "Segala gerak-gerik Ang Sioksim dan Gui Gong dilakukan dalam keluguannya dan ketidak-tahuan mereka sebagai orang-orang desa yang belum lama di kota, bukan karena kesengajaan. Saya berjanji, saya pasti bisa mengendalikan dan mengawasi mereka, kalau perlu sedikit ditakut-takuti."
Jenderal Eng berpikir beberapa saat, rasanya tak ada jeleknya menambah kaki tangan baru untuk memperluas pengaruhnya. Akhirnya ia mengangguk dan berkata kepada ln Yao, "Jangan apa-apakan Kapten Eng seisi rumahnya...."
Dilanjutkan kepada Eng Liong, "...dan kau, Kapten Eng, seperti janjimu sendiri, kendalikan orang orang seisi rumahmu. Kuberi kemurahan sekali ini, tetapi kalau sampai kau langgar janji akan sangat mencelakakan kau dan keluargamu. Paham?"
Dalam sikap berlutut, Eng Liong menyentuh-nyentuhkan jidatnya ke lantai sampai topinya lepas, "Terima kasih, Jenderal, terima kasih. Saya dan seisi rumah saya seolah-olah dihidupkan kembali dari kematian oleh kebaikan Jenderal. Sisa hidupku adalah milik Jenderal sekarang, dan saya bersedia...."
Masih banyak sekali kata-kata yang hendak diucapkan Eng Liong saking girangnya, sekiranya Jenderal Eng tidak memberinya isyarat untuk diam. Kata Jenderal itu, "Hubungan kita harus dirahasiakan, kau sanggup?"
"Saya sanggup, Jenderal. "
"Jangan berkunjung kemari kalau tidak kuundang."
"Baik, Jenderal."
Kemudian in Yao menagih janji Eng Liong, "Kapten Eng, kau sudah berjanji akan menunjukkan siapa pengkhianat itu."
Jenderal Eng tadi sudah diberitahu In Yao tentang adanya pengkhianat diantara kaki tangannya sendiri. Pengkhianat yang membocorkan rencana in Yao untuk menumpas Eng Liong. Meski sekarang masalah penumpasan Eng Liong sekeluarga sudah dicabut oleh Jenderal Eng, tapi pengkhianat tetap tak dapat dibiarkan. Kalau kali ini membocorkan rencana, siapa tahu lain kali mengulangi perbuatannya, bahkan rencana yang lebih gawat"
Hati Eng Liong berat juga. Orang yang dinamai "pengkhianat" oleh ln Yao itu berbuat begitu karena sekedar ingin membalas kebaikan Ang Siok-sim, lalu ia mengambil resiko demi menyelamatkan Eng Liong sekeluarga. Sekarang tegakah Eng Liong mengorbankannya"
Hati Eng Liong bergolak, tetapi ia lebih berat akan keselamatan keluarganya daripada keselamatan orang itu. Dihiburnya hatinya sendiri, "Apa boleh buat, memang' pilihan berat, tetapi daripada aku dan keluargaku terancam" Di Lamkhia, kalau mau selamat haruslah tega kepada orang lain...."
Maka menjawablah Eng Liong, "Kata adik iparku, itulah orang yang pernah ditugasi membunuh adik iparku, tapi gagal karena adik iparku ditolong orang berkedok yang entah dari mana datangnya. Bahkan orang berkedok itu berhasil hampir membunuh orang-orang yang disuruh membunuh adik iparku, tetapi adik iparku memohonkan ampun dan orang berkedok itu benar-benar mengampuni orang-orangmu."
"Waktu itu memang kusuruh dua orang. Yang mana yang datang ke rumahmu tadi pagi?"
Eng Liong melukiskan wajah dan potongan tubuh orang itu, ln Yao mengangguk-angguk dan menggeram sambil meraba rantai berbola besi di pinggangnya, "Aku tahu orangnya. Aku sendiri akan membereskannya secepatnya meskipun dia masih tergolong keluargaku." '
Jenderal Eng mengangguk setuju, bahkan ia juga setuju In Yao mengucapkan itu di depan Eng Liong supaya Eng Liong tahu akibatnya kalau berkhianat.
Eng Liong memang berkeringat dingin mendengar Sang Jenderal dan kaki tangannya itu enak saja memutuskan mati hidup orang lain. Tiba-tiba Eng Liong ingat bahwa dirinya juga punya hubungan dengan kelompok orang yang mengaku bernama Jiu Tong itu. ia kuatir, kalau hubungannya dengan mereka diketahui pihak Jenderal Eng, apakah ia pun akan dianggap pengkhianat dan dienyahkan" Tapi kalau mengaku terus terang kepada Jenderal Eng, apakah komplotan Jiu Tong takkan berbalik memusuhinya" Kembali Eng Liong terombang-ambing dalam pilihan sulit. '
Melihat wajah Eng Liong, ln Yao bertanya, "Apa lagi yang ingin kaukatakan, Kapten?"
Eng Liong mengambil keputusan, jawabnya, "Seorang tak boleh berada di dua perahu, begitu pula aku. Terus terang saja, sebelum ini ada kelompok orang-orang yang menghubungiku, mereka juga ingin cari-cari keterangan tentang penghuni-penghuni Ceng-san-lau itu. Aku ceritakan ini karena aku hanya ingin mengabdi kepada Jenderal, tidak mendua hati."
"Kelompok macam apa yang menghubungimu itu?"
' "Pertamanya, seorang lelaki bernama Jiu Tong, selanjutnya aku selalu dihubungi seorang pengemis yang sebelah kakinya dan sebelah kaki lainnya bersepatu dan sebelah kaki lainnya bersandal."
ln Yao tertawa mendengarnya, "0, tidak perlu kau pikirkan mereka. Kuhargai kejujuranmu, Kapten. Mulai sekarang mereka takkan menghubungimu lagi."
Dari kediaman Jenderal Eng, Eng Liong lebih dulu mengembalikan pasukannya ke tangsi, lalu melangkah menjemput keluarganya' yang dititipkan ke saudara sepupunya, Si Juragan Tahu. Sambil melangkah, dalam hatinya bercampur-aduk rasa senang, sedih dan gentar juga. Senang bahwa ia dan keluarganya bebas dari ancaman Jenderal Eng dan kaki tangannya, sedih bahwa kebebasannya itu harus mengorbankan si "pengkhianat" itu, dan gentar kalau-kalau di kemudian hari ia sampai mengalami nasib seperti "pengkhianat" itu.
"Sebaiknya Ang Siok-sim tidak usah kuberitahu urusan ini. Perasaannya terlalu halus untuk urusan-urusan macam ini...."
Seisi rumah Eng Liong bangun pagi dan dengan rasa lega, semalam mereka sudah tidur kembali di rumah sendiri. Di rumah juragan tahu itu mereka tidak betah melihat muka tak ramah dari si nyonya rumah.
Pagi itu, Gui Gong berlatih seperti biasanya, namun sambil banyak menggerutu, "Keparat, Juragan Lai itu tidak bertanggung jawab. Entah kenapa ia minggat begitu saja, sedang gajiku belum dibayar. Mungkin ia banyak hutang lalu didatangi yang empunya piutang, makanya kabur tanpa pamit...."
Ang Siok-sim yang sedang menimba sumur itu pun menyahut, "Jangan begitu, A-gong. Yang penting ialah keselamatan mereka."
"Kita akan cari mereka, atau kita cari pekerjaan lain saja?"
Sebelum Ang Siok-sim menyahut, Eng Liong yang juga sedang di halaman belakang itu sudah menukas duluan, "Lebih baik cari mereka. Tidak enak ganti pekerjaan kalau sudah terlanjur akrab dengan teman-teman sekerja yang lama."
Sebenarnya alasan Eng Liong bukan itu, melainkan setelah ia tahu bahwa kelompok penghuni Ceng-san-lau itu ternyata sebuah kelompok yang mencoba merampas barang kiriman Jenderal Eng, maka Eng Liong ingin tahu lebih banyak tentang kelompok itu, demi majikan barunya, Jenderal Eng.
"Kalau tidak ketemu?" tanya Gui Gong.
"Tanya-tanya ke sana ke mari, pasti ada setitik petunjuk di 'mana mereka..." dorong Eng Liong. "Eh, Siok-sim, kau ingin mencari mereka atau tidak?"
"Tidak hari ini," sahut Ang Siok-sim sambil terus menimba. "Hari ini aku janji untuk membikinkan kereta-keretaan dan prajurit-prajuritan."
Eng Liong tidak berkata apa-apa lagi, ia memang tahu kalau Ang Siok-sim sudah berjanji kepada anak-anak dari kakak perempuannya untuk membuatkan mainan-mainan itu.
Tanya Eng Liong kemudian kepada Gui Gong, " kau bagaimana" Hari ini tidak pergi ke mana-mana?" ,
"rencanaku mau jalan-jalan. Sumpeg di rumah."
"Jangan sampai kesasar lho. Lamkhia bukan sebuah kampung...."
"Uh, memangnya aku anak kecil?"
Usai membersihkan diri dan sarapan; Eng Liong berangkat ke tangsi seperti biasanya. Sedang Gui Gong terus mengeloyor keluar rumah. Sedangkan Ang Sioksim sibuk di rumah, dengan pisau, gergaji, dan pasak-pasaknya untuk membuatkan mainan keponakan-keponakannya. Dalam hal mengukir kayu, ia memang agak berbakat. Bahkan Ang Siok-sim semalam sempat berpikir, kalau ia tidak dapat meneruskan kerjanya di Ceng-san-lau karena "hilang"nya Juragan Lai, Bibi Mo dan lain-lainnya, ia siap cari nafkah dengan mainan kanak-kanak dari kayu.
Menjelang tengah hari, beberapa boneka prajurit dari kayu sudah dapat diselesaikan, dan anak-anak Eng Liong dengan gembira memain-mainkannya. Tetapi Sang Paman masih harus menyelesaikan kereta-keretaan yang dijanjikannya.
Melihat keponakan-keponakannya senang, Ang Siok-sim ikut senang pula dan makin bersemangat bekerja.
Tiba-tiba dari luar pagar halaman yang rendah, terdengar suara seorang gadis, "Numpang tanya, apakah di sini rumah Kakak Sim" Nama lengkapnya Ang Siok-sim?"
Ang Siok-sim mengangkat matanya dan heran melihat seorang gadis yang sama sekali belum dikenalnya berdiri di 'luar pagar. Ang Siok-sim menaruh alat alatnya lalu bangkit sambil menepuk nepuk serutan-serutan kayu yang menempel di pakaiannya. Sambil melangkah ke pagar, ia menyahut, "Aku Ang Siok-sim. Nona siapa?"
Ang Siok-sim sempat memperhatikan gadis itu usianya kira-kira tujuh belas delapan belas tahun, bertubuh ramping padat, kulitnya agak gelap seperti gadis gadis Propinsi Hun-lam, mukanya berbentuk bulat telur dan matanya lebar serta indah. Secara keseluruhan, gadis ini manis.
Dipandangi begitu oleh Ang Siok-sim, gadis itu kikuk juga. Lalu katanya,
"Tuan Ang, barangkali...."
"Lho! Tadi sudah betul memanggilku 'Kakak Sim' kok sekarang jadi Tuan" Tuan macam apa aku ini" Apa aku berpotongan tuan besar?"
Gadis itu menunduk menyembunyikan senyumnya dan Ang Siok-sim agak berdebar juga melihatnya. Kata gadis itu kemudian katanya, "Kakak Sim, Kakak belum mengenalku, tetapi pasti sudah mengenal ibuku. ibuku adalah tukang masak di restoran Ceng-san-lau.?"
"0000, jadi Nona ini anaknya Bibi Mo?" .
"Benar. Namaku Mo Giok-Un...."
"Kebetulan aku bertemu denganmu, Adik Lin. Eh, boleh kupanggil Adik Lin" Sebab ibumu pun kupanggil Bibi?"


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau mau ya boleh saja...."
"Kemana ibumu, Juragan Lai, Kakak Lam dan Kakak Kit" Kenapa semuanya amblas begitu saja dan rumah makan ditinggal begitu saja?" ,
"Tidak apa-apa, Kakak Sim. Mereka semua akan kembali lagi kalau sudah aman..." tiba-tiba gadis itu menghentikan bicaranya secara mendadak, merasa telah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Tetapi Ang Siok-sim sudah terlanjur menangkap kata-kata gadis itu. "Kalau sudah aman" Aman dari apa" Apakah ada yang mengancam Juragan Lai dan lain-lain?"
Si Gadis menghindari pertanyaan bertubi-tubi itu dengan mengeluarkan dua buah kantong kecil dari saku baju luarnya yang longgar dan tebal itu, kantong kantong yang isinya terdengar gemerincing. Katanya sambil menyodorkan kantong-kantong itu, "Aku disuruh Paman Lai untuk menyampaikan ini untuk Kakak dan seorang lagi bernama Gui Gong. Ini gaji kalian berdua bulan ini, juga bulan depan, sekiranya rumah makan belum bisa buka. Paman Lai tahu kalian mengandalkan gaji ini untuk hidup kalian, makanya dia kirimkan meskipun restorannya sedang tutup."
' Ang Siok-sim menerima kedua kantong uang itu tanpa sungkan-sungkan atau basa-basi: karena memang butuh.
Tanyanya, "Uang memang kami butuhkan, tetapi aku juga ingin tahu apakah Juragan Lai, Bibi M0 dan lain-lainnya selamat?"
"Legakan hati Kakak. Mereka selamat."
Habis itu Mo Giok-Iin meninggalkan Ang Siok-sim.
Setelah pertemuannya dengan Mo Giok-Iin, kerja Ang Sick-sim dalam membuat mainan bagi keponakan-keponakannya jadi kurang berkonsentrasi, sering ia meraut kayu sambil melamun, akibatnya dua kali jarinya teriris pisau dan harus dibalut oleh kakak perempuannya.
Sementara itu, Gui Gong yang sedang berjalan-jalan menghilangkan kesal hatinya, ketika lewat sebuah jalan besar tiba-tiba melihat suatu kegiatan yang lain dari yang lain terjadi di depan sana. Ada banyak orang sedang berkerumun, agaknya sedang membaca suatu tulisan yang ditempelkan di dinding.
Iseng saja Gui Gong ikut berkerumun dan membaca pengumuman di dinding itu. Biarpun hanya belajar di sekolah desa, Gui Gong dapat membaca pengumuman itu dan memahami artinya, apalagi agaknya pengumuman yang ditempelkan itu dibuat dengan gaya bahasa yang sesederhana mungkin. Isinya ialah, sebuah sekolah silat "Tiat-ciang Bu-siao" (Sekolah Silat Tapak Besi) mengundang pendaftaran murid baru, disertai tanggal dan tempatnya. , .
Gui Gong yang kebetulan sedang kesal karena sadar di Lam-khia ini yang lemah jadi mangsa yang kuat, dan kebetulan Gui Gong sendiri sedang tidak puas karena dilatih Eng Liong yang jurusnya begitu-begitu saja, keruan jadi tertarik.
Lebih tertarik lagi ketika ia mende-ngar percakapan orang-orang di sekitarnya, mengomentari pendaftaran itu.
Seorang lelaki setengah baya yang nampak sangat sederhana, menarik napas, katanya kepada orang sebayanya di sebelahnya, "Sayang sekali, anak laki-lakiku berbadan kurang sehat. Seandainya ia sehat, pasti kusuruh mendaftarkan diri, agar masa depan keluarga kami bisa berubah, tidak sengsara terus-terusan...."
Bukankah itu adalah ibu kepangeranannya Pangeran
' Orang di sebelahnya menjawab, "Memangnya kalau belajar silat di sini, nasibnya bisa berubah" Paling-paling ya jadi pintar berkelahi, mana bisa mendapat masa depan cemerlang segala" Kalau mau mendapat masa depan cemerlang, suruh anakmu melamar jadi pegawai kerajaan atau masuk tentara."
Lelaki pertama tadi membantah, "Justru kalau jadi pegawai kerajaan atau tentara, bisa-bisa seumur hidup berpangkat rendah terus kalau tidak punya uang untuk menyogok atasan. Kalau masuk sekolah silat ini, masa depan terbentang cemerlang, kalau beruntung."
"Apa iya?" "Benar. Ada bekas orang sekampungku masuk ke sekolah silat ini, dan dia mendapat jalan menjadi orang penting. Sekarang dia jadi orang terhormat di Siaohin...."
"Siao-hin" Bukankah itu adalah ibu kota wilayah kepangeranannya Pangeran Lou-eng?"
"Di mana pun, pokoknya nasibnya berubah. Kalau tidak, sampai mati dia hanya akan menggembala kerbau seperti bapaknya dan leluhurnya turun-temurun." "Kok bisa begitu ya?" "Kau tahu siapa pemilik sekolah silat ini?"
"Siapa?" "Penasehat Agung Kaisar, Paduka Lam Peng-hi."
"Oooo... pantas."
"Jadi sekolah ini merupakan tempat penggemblengan. Yang terlihat bersungguh-sungguh dan berbakat akan ditolong, diangkat, dipromosikan jabatan-jabatan tertentu."
"Wah, enak ya" Jadi sekolah ini seolah-olah 'jalan bebas hambatan' ke jabatan-jabatan tinggi ya?"
Entah percakapan kedua orang itu disengaja dilakukan di tengah orang berkerumun itu, entah tak sengaja, yang jelas percakapan itu sudah membangkitkan minat banyak orang untuk mendaftar masuk perguruan itu. Termasuk Gui Gong yang ingin berpindah dari posisi "orang lemah" ke "orang kuat". Dari posisi diinjak, ke posisi yang tidak diinjak, syukur
Kuil Atap Langit 1 I Dont Belong Here Karya Angchimo Prabarini 4
^