Pencarian

Rondo Kuning Membalas 2

Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Gambar 0301 Dan bersama dengan munculnya bulan, datanglah air laut yang bergulung-gulung bagaikan pasukan besar iblis dan demit dari Laut Kidul keluar hendak menyerbu musuh! Tanpa mengenal kasihan, gulungan air itu menimpa tubuh Rondo Kuning dan mayat anaknya. Untuk sesaat tubuh wanita itu lenyap ditelan air, seakan-akan telah dimakannya dan tak akan muncul lagi, akan tetapi ketika air menipis dan hanyut kembali ke laut, nampak tubuh Rondo Kuning yang gelagapan itu merangkak bangun. Cepat ia melihat ke arah anaknya dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa anaknya telah dibawa oleh air ke tengah laut.
"Ha... Ha?" pekiknya nyaring sekali, mengalahkan deru ombak Laut Kidul, "Kembalikan anakku" hai...! Jangan bawa anakku...! Hayo kembalikan...!" Dan tanpa memperdulikan datangnya gulungan ombak yang baru, Rondo Kuning lalu berlari-lari di air yang selutut dalamnya itu, mengejar tubuh anaknya yang mengambang di air, sambil memaki-maki. Akan tetapi, gulungan ombak yang besar itu kembali menelan dirinya hingga ia menjadi gelagapan dan terbawa hanyut ke tepi lagi. Rondo Kuning tidak menjadi takut, bahkan lalu cepat merangkak bangun lagi dan melihat kearah dimana tadi tubuh anaknya mengambang. Akan tetapi, sekarang ia tidak melihat lagi tubuh kecil yang tadi masih mengambang itu. Maka ia menjadi makin marah dan penasaran.
"Hayo kembalikan anakku... Kembalikan"!" dan ia maju lagi dengan susah payah melawan aliran air. Ia terdampar air dan roboh lagi, bangun kembali, jatuh lagi, bangun kembali, terhuyung ke depan, terdampar ke belakang, maju lagi ke depan sambil mengulurkan tangan ke arah laut dan ke arah ombak yang datang bergulung-gulung dan menjerit,
"Bondan... Bondan anakku...! Tunggulah nak... Tunggulah Ibumu, Bondan... Bondan" Hai, jangan bawa anakku. Hayo kembalikan"!"
Rondo Kuning berlari-lari di air yang selutut dalamnya itu. Akhirnya, karena terlampau lelah jatuh bangun menjadi permainan ombak yang seakan-akan berubah menjadi iblis yang tertawa dan bersuka ria mempermainkan wanita yang malang ini, Rondo Kuning roboh pingsan di dalam gulungan ombak! Akan tetapi, agaknya Nyai Roro Kidul tidak menghendaki tubuh wanita ini hanya menghendaki mayat Bondan, karena ternyata bahwa ombak yang datang bergulung berikutnya telah melontarkan tubuh Rondo Kuning yang telah menjadi lemah tiada berdaya itu ke pantai, dimana tubuh itu jatuh di atas pasir dalam keadaan pingsan! Setelah mempermainkan Rondo Kuning, agaknya ombak tidak mengganas lagi seperti tadi, buktinya air ombak itu tidak sampai ke pasir dimana tubuh Rondo Kuning menggeletak bagaikan telah mati.
Pada keesokan harinya di waktu fajar mulai menyingsing dan matahari muncul dari ujung bulan lautan merupakan bola merah yang besar, bulat dan tidak bercahaya, tubuh Rondo Kuning yang menggeletak bagaikan mati itu bergerak-gerak. Dan agaknya penyakit gilanya menghebat oleh karena tiba-tiba ia merangkak bangun, berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa keras sekali seperti bukan suara manusia, kemudian tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, menghadapi lautan sambil menyembah, seakan-akan berhadapan dengan seorang yang berdiri di depannya dan yang hormati sekali! Dan lebih gila lagi, tiba-tiba ia berkata perlahan dan kalau kebetulan ada orang di dekatnya yang mendengar apa yang diucapkannya, tentu orang itu tidak akan ragu-ragu lagi bahwa wanita ini benar-benar telah gila!
"Baiklah Gusti Ratu!" katanya sambil menyembah dengan penuh khidmat. "Hamba menerima titah paduka dan perintah paduka akan junjung tinggi di atas kepala hamba. Hamba hanya mohon doa restu semoga hamba akan kuat menunaikan tugas dan menjalankan perintah paduka, Gusti!" Ia menyembah lagi, kemudian ia membentur-benturkan kepalanya di atas pasir hingga ketika ia mengangkat kepalanya kembali, jidat dan rambutnya yang terurai itu penuh dengan pasir halus. Ia duduk berlutut tak bergerak seakan-akan ada sesuatu yang di dengarnya dengan amat teliti, kemudian mulutnya kemak-kemik berkata lagi,
"Hamba rela, Gusti. Biarlah anak saya Bondan paduka ambil, asalkan hamba diberi kesempatan untuk membalas dendam!" Setelah menyembah lagi berkali-kali, agaknya gilanya berubah lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu dan meremas-remas rambutnya, lalu tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan sambil berkata,
"Aws kau, Galiga Jaya! Awas kau" ha-ha-ha! Akan kubeset kulit dadamu, akan kurogoh jantungmu dan kumakan mentah-mentah! Ha-ha-ha!" Kemudian ia berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke darat. Seekor kepiting yang agaknya terbawa ombak ke tepi, terkejut meliha kedatangannya dan hendak melarikan diri, akan tetapi terlambat! Rondo Kuning mengejar dan sekali pijak saja remuklah tubuh kepiting itu. Dari tubuhnya keluarlah kepiting-kepiting kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin ada ratusan. Roro Kuning lalu berlutut dan meraup kepiting kecil-kecil ini dan memasukkan ke dalam mulutnya, lalu dikunyah dengan enaknya sambil masih tertawa-tawa dan memaki-maki.
"Bangsat keparat Galiga Jaya! Enak sekali makanan ini, akan tetapi jantungmu yang penuh darah lebih enak lagi!" Ia lalu bangkit berdiri, membawa bangkai kepiting itu dan makan daging kepiting sambil tiada hentinya bicara seorang diri! Demikian, semenjak saat ini, Rondo Kuning nampak berkeliaran di dekat pantai,
Rambut riap-riapan, pakaian hampir telanjang, tubuhnya menjadi bongkok, seringkali tertawa terkekeh-kekeh atau memaki-maki dan kemudian menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, ada kalanya ia tak keliahatan di pandai dan ternyata bahwa ia berada dalam sebuah gua yang angker dan menyeramkan di tepi pantai itu, gua karang yang pantas menjadi kediaman siluman dan iblis, duduk tak bergerak, kedua kaki bersila, kedua tangan dirangkapkan merupakan sembah dan ditempelkan di ujung hidung, bersamadhi dengan tekun, tak bergerak sampai kadang-kadang sembilan hari lamanya. Dan yang amat mengherankan ialah perubahan pada sepasang matanya yang dulu bersinar terang bersih dan berbentuk indah itu, kini berubah menjadi kemerah-merahan dan menyeramkan karena dari kedua mata itu memancar keluar sinar ganjil dan mengerikan!
Dengan pengaruhnya yang besar, Penewu Galiga Jaya lalu menyuruh para anak buah dan kaki tangannya untuk menyiarkan berita tentang ada pemberontakan di Pakem, dan ia sendiri membawa tiga ratus orang perajurit menyerbu ke Pakem!
Dengan ganasnya, Penewu itu melarikan kudanya, diikuti oleh barisannya menuju ke kampung Pakem dan langsung menuju ke rumah Pak Wiryosentiko, oleh karena dari para penyelidik dan mata-matanya, ia mendapat kabar bahwa Adiguna adalah kemenakan petani tua itu. Ketika ia tiba di pondok pak Wiryosentiko, petani ini dengan para tetangganya tengah sibuk mengurus jenazah Kencanawati dan Sutadi, pemuda tunangan Kencanawati yang tewas dalam tangan Penewu itu, karena Pak Wiryosentiko bermaksud hendak mengubur kedua jenazah itu dalam waktu yang sama dan menjajarkan kuburan kedua teruna remaja itu. Semua orang terkejut sekali melihat kedatangan Penewu Galiga Jaya, akan tetapi mereka berusaha sekerasnya agar dapat bersikap tenang, oleh karena memang telah dapat menduga akan datangnya serbuan ini.
"Pak Wiryosentiko! Dimana adanya bajingan besar, pemberontak kurang ajar itu?" bentak Galiga Jaya setelah turun dari kudanya dan bertolak pinggang di depan pintu. Pak Wiryosentiko dengan tubuh membungkuk-bungkuk memberi hormat, menjawab,
"Pemberontak yang manakah, gusti Penewu" Hamba tidak mengerti akan maksud paduka." Terputar kedua mata Galiga Jaya mendengar ini.
"Setan tua! Jangan kau mencoba berlaku cerdik! Siapa lagi kalau bukan keponakanmu si Adiguna itu" Hayo lekas panggil dia keluar, atau beritahukan dimana ia bersembunyi. Juga dimana kedua anakku si Sariwati dan Bandini" Awas, kalau kau membohong, tidak saja kau yang akan kubikin mampus, akan tetapi seluruh Pakem akan kumusnahkan!" Menggigil tubuh semua orang Pakem mendengar ancaman ini, bukan hanya karena takut dan ngeri, akan tetapi juga karena amarah yang ditahan-tahan.
"Hamba sekalian tidak tahu, gusti. Adiguna hanya datang menyerahkan jenazah Kencanawati dan minta agar supaya jenazah ini diurus baik-baik, kemudia ia meninggalkan dusun kami tanpa meberitahukan hendak kemana."
"Bohong! Kau juga ingin memberontak?" Sambil berkata demikian, Galiga Jaya mendorong orang tua itu sampai terjengkang dan jatuh dengan kepala menubruk daun pintu! Ketika pintu yang tertubruk kepala Wiryosentiko ini terbuka, Galiga Jaya lalu melangkah ke dalam rumah untuk memeriksanya sendiri, seakan-akan ia mengharapkan untuk melihat kedua gadis yang dicarinya dan Adiguna bersembunyi disitu. Akan tetapi ia hanya mendapatkan dua tubuh Kencanawati dan Sutadi yang telah menjadi mayat, berbaring terlentang dan bersanding dibalai-balai.
Sutadi Nampak tampan dan Kencanawati masih cantik jelita hingga keduanya merupakan pasangan yang cocok sekali. Melihat wajah Kencanawati, makin menyesal, kecewa dan marahlah hati Galiga Jaya. Terutama sekali ketika ia memandang ke arah jenazah Sutadi, timbul gemas dan cemburu mendesak dadanya, maka tanpa pikir panjang lagi ia lalu mengayun kakinya menendang balai-balai dimana mayat pemuda itu telentang. Kaki balai-balai dari bamboo itu patah dan mayat Sutadi terlempar bergulingan ke atas lantai. Kemudia sambil bersungut-sungut Galiga Jaya keluar lagi dari rumah itu mendapatkan Wiryosentiko yang telah berdiri lagi. Penewu itu memegang lengan tangan Pak Wiryosentiko dan memuntirnya kebelakang dengan kuat-kuat hingga petani tua itu wajahnya menggeliat kesakitan, akan tetapi tidak ada keluhan keluar dari mulutnya yang sudah ompong.
"Pemberontak tua! Kalau kau tidak lekas meberitahukan dimana adanya bangsat Adiguna dan kedua anakku yang diculiknya, akan kupatahkan lenganmu ini!"
"Hamba bersumpah bahwa hamba sungguh-sungguh tidak tahu dimana adanya mereka pada saat ini," jawab Pak Wiryosentiko dengan berani oleh karena ia benar-benar tidak membohong. Ia memang tidak tahu dimana Adiguna membawa pergi Sariwati dan Bandini. Galigaja marah sekali. Ia memutar lengan itu makin keras ke belakang dan "Krek" tulang lengan kakek tua itu patah. Pak Wiryosentiko hanya mengeluarkan keluhan.
"Aaah..." dan ia roboh pingsan, tak kuasa menahan rasa sakit yang menusuk jantungnya. Beberapa orang tetangga dan isteri Pak Wiryosentiko melangkah maju hendak menolong, Galiga Jaya segera membentak dan memerintahkan kepada anak buahnya,
"Periksa semua rumah di Pakem ini! Tanyai setiap orang laki-laki dimana adanya pemberontak itu. Mereka yang tidak mengaku, bunuh saja, karena mereka hendak membantu pemberontak itu!" Sambil berkata demikian, Penewu yang telah marah sekali ini menggunakan kaki dan tangannya memukul dan menendangi semua orang, termasuk Mbok Wiryosentiko yang hendak menolong Pak Wiryosentiko.
Sedangkan para perajurit dan mendapat tugas ini, mempergunakan kesempatan itu untuk mengumbar nafsu angkara murka mereka! Setiap rumah dimasuki, barang berharga digondol, wanita-wanita muda diganggu, laki-laki dibunuh dengan kejam, anak-anak gadis orang diculik dan dibawa lari! Pak Wiryo sentiko dan isterinya dibunuh mati oleh Galiga Jaya sendiri, juga anak laki-lakinya yang sudah kawin. Mantu perempuannya dilarikan oleh seorang perajurit. Gegap-gempita di desa Pakem! Jerit tangis membubung tinggi ke udara. Keluh kesah dan pekik kesakitan terdengar memenuhi kampung. Anak-anak lari kesana kemari, ada yang tertumbuk kuda yang ditunggangi oleh para perajurit yang tergesa-gesa melarikan harta atau gadis yang dirampasnya. Setiap orang laki-laki dewasa dan tua dibinasakan.
Maut mengamuk di Pakem dan sekejab saja, kampung yang tadinya tenteram dan aman itu berubah menjadi tempat penyembelihan yang mengerikan. Darah mengalir di setiap rumah dan dimana-mana. Suara isteri yang melihat suaminya mati terbunuh, gadis-gadis yang dilarikan, anak-anak yang ditinggal mati orang tua, serempak memenuhi angkasa dan menggelapkan cahaya matahari yang bersembunyi di balik awan tak tahan menyaksikan kekejaman luar biasa ini. Tiba-tiba terdengar Guntur menggelegar di angkasa dan sebentar lagi turunlah dengan derasnya sungguhpun cahaya matahari masih menerangi alam. Agaknya Yang Maha Kuasa tak rela menyaksikan sepak terjang makhluknya yang ganas ini. Terdengar kaki-kaki kuda berlari dan meninggalkan kampung Pakem. Galiga Jaya dan anak buahnya telah selesai melakukan pembersihan dan kembali ke Waru.
Disepanjang jalan, jerit tangis perawan-perawan desa yang diculik membuat air hujan menimpa turun makin deras. Ketika para iblis berbentuk manusia itu telah meninggalkan Pakem, dari luar dusun ini datang berlari-lari seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah gagah. Pemuda ini masih muda sekali, akan tetapi larinya cepat dan sinar matanya tajam. Dia ini bukan lain ialah putera bungsu Pak Wiryosentiko yang bernama Riyatman, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang jarang berada di rumah, karena kesukaannya ialah merantau kedesa-desa lain, mencari sahabat-sahabat dan mempelajari ilmu olah keperwiraan. Di dalam usia semuda itu, Riyatman telah terkenal sekali karena ilmu kepandaian pencak silatnya yang hebat. Ia telah diaku menjadi "Jago" dari Pakem, bahkan berkali-kali ia telah mengalahkan jago-jago dari luar dusun, yakni dalam sebuah pertempuran mengadu ilmu.
Tiap kali mendengar bahwa di dusun lain terdapat seorang kuat dan jago pencak yang pandai, tentu ia datang ke dusun itu dan mengajak jago itu untuk bertanding kekuatan. Kalau ia memang, maka dengan segala suka hati tanpa disertai sikap sombong, ia mengganggap jago yang dikalahkannya itu sebagai kawan baik dan anak buahnya. Sebaliknya kalau ia kalah, tanpa merasa dengki, ia tidak segan-segan untuk berlutut menyembah dan mengangkat guru pencak itu sebagai gurunya! Dengan sikapnya yang baik ini, Riyatman disukai sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan jujur, dan ilmu kepandaiannya makin meningkat saja. Akan tetapi, karena ia jarang berada di rumah dan jarang sekali mau membantu pekerjaan disawah, Ayahnya seringkali marah sekali dan memakinya.
"Anak tiada guna!" makinya, "Apakah kau kelak hendak menjadi tukang pukul" Apakah semua kepandaian bermain pukulan itu dapat kau makan dan mengenyangkan perutmu yang gembul itu?" Riyatman hanya tertawa dan memandang wajahnya Ayahnya dengan muka terbuka dan terang, hingga Ayahnya tersenyum juga dan selalu marahnya dilenyapkan oleh pandangan mata Riyatman yang disertai senyumnya. Ketika terjadi peristiwa maut di dusunnya, Riyatman sedang berada di sebuah dusun tak jauh dari Pakem, bergembira ria dengan kawan-kawannya, pemuda-pemuda di kampung itu. Tak lain yang mereka bicarakan adalah tentang ilmu berkelahi atau membicarakan ayam-ayam jago aduan yang juga menjadi kegemaran Riyatman. Pemuda ini memang suka mengadu jago, oleh karena ia tertarik sekali akan lagak dan sepak terjang ayam-ayam jago itu di dalam perkelahian.
Ia menganggap bahwa diantara segala mahluk ayam jago adalah mahluk yang paling gagah berani! Ketika itu, Riyatman dan kawan-kawannya menerima kedatangan seorang bercambang bauk yang membawa seekor jago adu. Si cambang bauk ini datang dari timur dan logat bicaranya yang kaku itupun menjadi tanda bahwa ia datang dari timur jauh. Ketika diperkenalkan kepada tamu tinggi besar dan bercambang bauk ini, diam-diam Riyatman memandang tajam dan merasa kagum oleh karena ia maklum bahwa di balik baju kurung yang berwarna hitam itu tentu bersembunyi tubuh yang kuat sekali. Diam-diam ia mengukur potongan orang ini dan mengaku bahwa tentu si cambang bauk yang berusia tiga puluh tahun ini merupakan seorang lawan yang kuat dan tangguh!
"Jika diantara saudara-saudara ada yang mempunyai seekor jago aduan yang jempolan dan berani diadu dengan jagoku ini, aku berani bertaruh lima potong uang emas!" katanya menantang. Mereka adalah pemuda-pemuda dan laki-laki dusun yang miskin, maka uang emas merupakan benda berharga yang tak mungkin didapat.
"Ayam jago memang banyak terdapat disini, akan tetapi kami tidak mempunyai uang emas untuk dipertaruhkan." Si cambang bauk itu tertawa,
"Tidak apa, tidak apa! Kalau jagoku kalah, uang emasku sebanyak lima potong boleh kalian ambil untuk dibagi-bagi, sedangkan kalau ayamku menang, kalian hanya kuminta menyediakan tempat menginap yang patut dan makanan yang enak saja," orang itu tertawa lagi.
"Aku yakin bahwa tidak ada ayam jago di seluruh Mataram yang dapat mengalahkan ayam jagoku ini. Ketahuilah, jagoku si Naga ini adalah pemberian Sang Hyang Yamadipati, maka ia menjadi pencabut nyawa juga!" Semua orang merasa mendongkol mendengar kesombongan ini, Yamadipati adalah seorang tokoh dewa pewayangan yang terkenal sebagai malaikat pencabut nyawa. Juga Riyatman yang kebetulan pula membawa jagonya si Wareng yang belum pernah terkalahkan, merasa mendongkol sekali. Si Wareng ini adalah seekor ayam jago yang kuat dan sigap sekali, dan bukan sembarang jago, karena ayam jagonya ini adalah keturunan langsung dari ayam jago aduan milik seorang pangeran di kota raja. Hal ini terjadi ketika Riyatman masih kecil. Ia mendengar tentang kehebatan dan kekuatan ayam jago milik seorang pangeran yang seringkali mendatangi dusun-dusun membawa jago aduannya.
Ketika mendengar bahwa pangeran itu membawa jagonya dan berada di sebuah dusun yang tak jauh dari situ, Riyatman diam-diam minggat dari rumahnya membawa seekor ayam betina milik Ibunya. Ia tiba di dusun yang ditujunya dan dengan diam-diam ia mendatangi tempat adu jago. Ketika dilihatnya bahwa jago pangerang yang terkenal sekali itu berada dalam sebuah kurungan di atas tanah, ia mencari waktu sambil mengempit ayam betinanya di bawah lengan. Dan pada waktu pangerang berunding dengan orang-orang kampung pemilik jago lain, diam-diam Riyatman memasukkan ayam betinanya ke dalam kurungan itu! Demikianlah, terlahir si Wareng yang kemudian menjadi jago aduan yang baik sekali, seperti ayam jago milik pangeran itu dulu! Kini, melihat seorang dari timur jauh menyombangkan jagonya yang bernawa si Naga. Riyatman lalu menjawab,
"Baiklah, kawan. Kuterima tantanganmu dan biar si Wareng mencoba kekuatan jagomu. Akan tetapi, oleh karena aku bukan orang kampung ini, maka biarlah kalau aku kalah, aku berikan semua pakaian yang menempel di tubuhku ini kepadamu, berikut jagoku pula!" Si cambung bauk memandang kepada Riyatman dengan tajam dan berseri. Kemudian ia tersenyum dan berkata,
"Kau gagah sekali, anak muda dan tentu jagomu juga gagah seperti kau! Perkenalkan, namaku Singalodra dan marilah kita segera memberi kesempatan kepada jago-jago kita." Riyatman juga memperkenalkan namanya dan ia merasa suka kepada orang ini. Ketika melihat jago Riyatman si Wareng itu, Singalodra menjadi tertegun.
"Eh-eh, bukankan ini ayam jago Pangeran Wirokusumo?" katanya, akan tetapi ia menggeleng-geleng kepada membantah pertanyaan sendiri.
"Tak mungkin, ayam jago pangeran itu sudah mati beberapa tahun yang lalu. Sungguh sama benar bentuk dan warnanya." Riyatman diam-diam tertawa geli dan ia tidak mau membuka rahasianya dan membiarkan saja Singalodra merasa khawatir.
"Apakah engkau takut kalau jagomu akan kalah" Kalau begitu kita batalkan saja," kata Riyatman. Merahlah wajah Singalodra.
"Siapa yang takut" Hayo kita mulai!" Dua ekor jago itu lalu dilepas dan dikelilingi oleh mereka yang menontonnya. Mula-mula kedua ekor binatang itu berlagak dan saling pandang dengan mata penuh amarah. Kemudian bertarunglah mereka! Kedua-duanya sama kuat, sama tangkat dan sama cepat. Pukulan datang balas-membalas dan tiada satupun pukulan yang tidak segera dibalas kontan, tanda bahwa itu adalah jago-jago baik. Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa biarpun dalam hal kekuatan dan ketangkasan kedua jago itu berimbang, namun dalam hal kecerdikan, si Wareng itu lebih menang.
Si Wareng menggunakan siasat lari memutar, dikejar-kejar oleh si Naga, apabila pengejarnya sudah dekat, tiba-tiba si Wareng membalik dan memukul! Sebelum si naga sempat membalas, Wareng telah lari pula berputaran, dikejar-kejar lagi oleh lawannya. Tiba-tiba ia membalik dan menyerang lagi dengan pukulan keras, lalu lari pagi. Karena beberapa kali terkena pukulan keras tanpa dapat membalas, si Naga mulai nampak lelah dan lemas. Penonton-penonton bersorak riuh-rendah, karena tentu saja mereka membela jago Riyatman. Sedangkan Singalodra makin merah wajahnya, melihat betapa ayam jagonya kena diakali dan dipermainkan. Semua orang, juga dia maklum bahwa akhirnya jagonya tentu akan kalah. Benar saja, dengan pukulan yang keras sekali datangnya, si Naga dibikin tunduk dan terkeok-keok sambil melarikan diri, kini dikejar-kejar oleh si Wareng!
"Sialan!" Singalodra bersungut-sungut, "Bertemu dengan ayam jago yang licik dan pengecut!" Mendengar makian ini, Riyatman menjadi naik darah dan ia segera menghampiri dengan mata memandang tajam.
"Tutup mulutmu yang lancing itu" bentaknya. "Jago siapa yang licik dan pengecut" Jagomu sudah kalah, tak perlu kau mencari-cari alasan dan memaki-maki jago orang lain!" Singalodra memandang kepada wajah Riyatman yang berapi-api itu, dan tiba-tiba timbul seri pada muka si cambang bauk. Agaknya sikap Riyatman menggembirakannya dan juga menimbulkan rasa kagum dalam hatinya.
"Memang jagoku kalah, tetapi jagomu licik!" katanya sambil mengangguk-angguk.
"Hayo kau keluarkan taruhanmu dan berikan kepadaku!" Riyatman menuntut. Sambil tersenyum-senyum Singalodra merogoh sakunya dan mengeluarkan lima buah kancing kuningan yang telah digosok mengkilat. Ia memberikan kancing kuningan itu kepada Riyatman yang menerimanya dengan sangsi, karena memang ia belum pernah melihat bagaimana macamnya uang emas!
"He, itu bukan uang emas! Itu adalah kancing kuningan!" teriak seorang pemuda kawan Riyatman memandang tajam.
"Betulkah bahwa ini kancing kuningan dan bukan uang emas?" tanyanya kepada Singalodra.
"Aku namakan ini uang emas, terserah kalian mau menamakannya apa," jawabnya tenang.
"Itu bukan uang emas tulen, itu uang emas palsu! Riyatman, kita kena ditipu oleh orang ini!" kata kawan Riyatman pula. Singalodra tertawa bergelak.
"Siapa tadi yang bilang bahwa aku hendak bertaruh uang emas tulen" Aku hanya bilang lima potong uang emas, tulen atau palsu tidak masuk hitungan!" Riyatman hampir saja tertawa karena ia merasa bahwa kata-kata orang ini betul juga! Akan tetapi, melihat wajah kawan-kawannya yang marah, ia menahan kegelian hatinya.
"Kau... Licik!" katanya kepada Singalodra.
"Ayam jagomu lebih licik dan pengecut!" jawab Singalodra.
"Kalau ia tidak berkali sambil berlari-lari seperti ayam betina, tentu kepalanya sudah hancur oleh ayamku tadi!" Marahlah Riyatman.
"He, hati-hati menjaga lidahmu yang panjang itu, kawan. Kalau aku sudah naik darah, bukan jagomu saja yang terkeok-keok, tapi kau juga!" Kawan-kawan Riyatman tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini, sedangkan Singalodra juga tertawa bergelak.
"Eh-eh, agaknya kau ini jagoan juga, anak muda?" tanyanya, sambil memandang kepada Riyatman dengan mata dipicingkan, seakan-akan menaksir dan mengukur kekuatannya.
"Memang, aku Riyatman memang jagoan dusun ini!" Riyatman mengaku dengan gagah. "Dan aku bukan orang yang tergila-gila akan lima buah uang emas. Kalau saja kau mau mengakui bahwa kau telah menipu kami dan minta maaf, aku akan bikin habis perkara ini!" Makin kagum kedua mata Singalodra memandang wajah Riyatman, dan sambil tertawa ia berkata,
"Aku Singalodra orang miskin dan perantau melarat, mana punya lima potong uang emas tulen" Aku tidak merasa menipu kalian, dan kalau kau mau mencoba kekuatanku, marilah kita coba-coba, kawan!" Sambil melangkah ke kalangan di mana ayam-ayam tadi berkelahi, Singalodra mengangkat dada, mempererat ikatan kain kepalanya, menalikan ujung sarungnya di pinggang dan berdiri memasang kuda-kuda. Ramailah orang-orang membuat kalangan perkelahian dan mereka sudah nongkrong mengelilingi tempat itu, bersiap menonton pertandingan yang menarik hati, lebih menarik daripada perkelahian dua ekor ayam jago. Riyatman dengan tenang juga masuk ke dalam kalangan itu dan menghadapi Singalodra!
Keduanya memasang kuda-kuda dan tak lama kemudian, sambil mengeluarkan bentakan keras, Singalodra maju menyerang dengan kepalan tangan kanan ke arah dagu Riyatman. Pemuda ini dengan gesit menggerakkan kaki dan mengelak ke samping kemudian secepat kilat ia mengirim pukulan dari samping ke arah iga lawannya. Tentu saja singalodra tidak membiarkan tulang-tulang iganya dibuat gambang dan dipukul oleh pemuda itu, dengan sebat ia menangkis dengan lengan tangan dan demikianlah kedua orang itu kini berkelahi dengan seru dan hebat menggantikan ayam-ayam jago mereka yang tadi telah berlagak dan bertanding. Riyatman berusaha sunguh-sungguh untuk mencontoh ayam jagonya yang telah mendapat kemenangan, sebaliknya Singalodra berusaha keras untuk menebus kekalahan ayam jagonya.
Para penonton di luar ramai mengadakan taruhan atas perkelahian itu. Ternyata Singalodra memiliki tubuh yang kuat dan tenaga yang besar sekali melebihi kekuatan Riyatman sendiri. Hal ini terasa oleh Riyatman dan diam-diam ia menjadi terkejut. Akan tetapi sebaliknya, Singalodra kagum sekali melihat ketangkasan dan kecepatan pemuda itu yang dalam hal ini lebih unggul daripadanya. Kekurangan dan kelebihan masing-masing ini membuat pertempuran itu berlangsung ramai dan hebat sekali hingga terdengar sorak-sorai para penonton, lebih hebat daripada sorak-sorai ketika kedua ekor ayam jago tadi bertanding. Pada saat petempuran itu terjadi dan sedang ramai-ramainya, tiba-tiba seorang pemuda dengan wajah pucat sekali dan keringat mengucur datang di tempat itu dan langsung masuk ke dalam kalangan pertempuran.
"Riyatman"! Riyatman...! Berhentilah berkelahi. Celaka... Celaka besar?" Semua orang terkejut dan yang berkelahi juga berhenti dengan sendirinya.
"Riyatman" Penewu Galiga Jaya mengamuk di dusunmu" semua orang dibunuh habis-habisan... lekas" lekas!" Riyatman menjadi pucat sekali dan tak menanti sampai orang itu habis bercerita, ia telah melompat keluar dari kalangan pertempuran itu dan berlari secepat angin menuju ke Pakem. Ketika tiba di luar dusun Pakem, ia telah mendengar jerit tangis yang keluar dari dusun itu. Ketika memasuki dusun, ia melihat banyak sekali anak-anak kecil berlari simpang-siur bagaikan anak-anak ayam melihat alap-alap. Makin berdebarlah jantungnya dan ia segera lari menuju ke rumah Ayahnya. Hatinya makin kecut ketika melewati rumah-rumah tetangganya karena mendengar jerit tangis keluar dari setiap rumah.
Dan ketika ia memasuki rumahnya, tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung di depan rumahnya. Tubuhnya menggigil wajahnya sepucat mayat, kedua tangannya mengepal, dan kemudia dengan sedu ia menubruk mayat yang menggeletak di depan rumah itu. Mayat Ayahnya. Kemudian ia melihat pula mayat Ibunya, mayat kakaknya, bergelimpangan di depan rumah dan darah mengalir membuat tanah di depan rumahnya berwarna merah. Riyatman sambil menangis menubruk mayat-mayat itu, memeluk sana, menangis sini, dan akhirnya ia memondong semua mayat itu dan membawanya ke dalam rumah. Sambil berdiri di depan mayat-mayat yang direbahkan di atas balai-balai, pemuda itu berdiri diam tanpa bergerak dan bibirnya berkemak-kemaik. Di dalam hatinya ia berbisik.
"Ayah, Ibu, Kang Mas dan semua orang dusun Pakem! Dengarlah sumpahku! Aku Riyatman sebelum membalas dendam ini, bersumpah takkan mau berhenti berusaha dan akan kubunuh dengan kedua tanganku sendiri si jahanam Galiga Jaya!" Kemudian, dengan wajah beringas dan menyeramkan, ia lalu melompat ke luar dari rumah dan berlari sekerasnya menuju ke Waru untuk mencari Penewu Galiga Jaya dan membalas dendam! Ketika ia tiba di luar kampung, dari depan mendatangi seorang tinggi besar yang bercambang bauk yang bukan lain adalah Singalodra sendiri. Si Cambung bauk ini berlari keras ketika tadi mendengar cerita orang yang mengabarkan tentang malapetaka yang menimpa keluarga kampung Pakem, mengejar dan hendak menyusul Riyatman. Melihat pemuda itu keluar dari kampung sambil berlari-lari dan dengan wajah yang menyeramkan, Singalodra mencegat jalan bertanya,
"Riyatman, kawan baikku! Bagaimana dengan keluargamu" Selamatkah mereka?" Riyatman berhenti berlari, memandang tajam dengan mata berapi-api, lalu berkata,
"Hendak kucekik leher si Galiga Jaya!" Lalu ia berlari-lari tanpa memperdulikan Singalodra. Akan tetapi si cambang bauk lalu menubruk dan memeluknya erat-erat.
"Anak muda, sahabat baikku! Dengarlah nasihatku, jangan kau berlaku sembrono dan terlalu menurutkan nafsu hati. Galiga Jaya adalah seorang yang berpengaruh dan mempunyai perajurit seribu orang banyaknya. Apakah dayamu menghadapi perajurit yang sekian banyaknya itu?" Riyatman meronta-ronta hendak melepaskan diri akan tetapi Singalodra memeluknya sehingga ia tidak berhasil melepaskan diri.
"Lepaskan aku" lepaskan!" teriaknya marah. "Apakah aku harus duduk diam sambil menangis saja melihat mayat Ayah, Ibu, kakakku, dan banyak orang kampung yang telah tewas terbunuh oleh jahanam itu" Biar dia mempunyai selaksa perajurit, aku Riyatman tidak takut! Aku rela berkorban untuk membalas dendam itu!"
"Tenang... Tenangkanlah hatimu, Riyatman dan dengarlah kata-kataku dengan kepala dingin. Memang sakit hati ini harus dibalas, dan aku akan merasa jijik dan benci kepadamu kalau kau tidak berusaha membalasnya. Akan tetapi harus dilakukan dengan teratur dan tidak gegabah. Apa artinya pembalasan dendammu kalau begitu tiba disana engkau akan dikeroyok hingga mati. Bukankah itu akan menambah penasaran kepada roh orang tuamu saja?" Mendengar ucapan ini, pikiran Riyatman tersadar dan ia lalu menjatuhkan mukanya pada dada si cambang bauk yang bidang itu, lalu menangis terisak-isak bagaikan seorang anak kecil! Kedua mata Singalodra berkaca-kaca karena terharu.
"Marilah kita kembali ke dusunmu untuk membantu mereka mengurus semua jenazah itu. Setelah jenazah keluargamu dikubur baik-baik, baru kita merundingkan tentang usaha membalas dendam itu." Riyatman mengangkat mukanya memandang.
"Apa maksudmu. Kita?" Apakah... Kau...?" Singalodra mengangguk sambil tersenyum menghibur.
"Anak muda, semenjak pertemuan pertama tadi aku maklum bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi sahabat baikku. Aku suka kepadamu dan aku bersedia membantumu dalam usaha membalas sakit hatimu itu."
Riyatman lalu maju menubruk dan memeluk tubuh tinggi besar itu dengan hati terharu dan bersyukur. Setelah kini kehilangan Ayah, Ibu dan kakaknya hingga ia hidup sebatangkara, ia merase seperti mendapatkan pengganti mereka itu dalam diri Singalodra. Keduanya lalu pergi ke Pakem dan membantu orang-orang perempuan dan beberapa orang laki-laki yang kebetulan sedang pergi keluar dusun ketika serbuan itu tejadi hingga mereka terluput dari kematian. Dan setelah penguburan selesai dan beres, Riyatman dan Singalodra meninggalkan Pakem dan masuk ke dalam hutan lebat. Mereka hendak mengumpulkan kawan-kawan sehaluan untuk memberontak dan menumbangkan kekuasaan Galiga Jaya yang kejam! Banyak sekali kawan-kawan yang menggabungkan diri dengan mereka, terutama mereka yang masih terhitung keluarga dari para korban penumpasan di Pakem itu.
Mereka ini berkumpul dan bersembunyi di dalam hutan yang liar dan semenjak saat itu mereka mengumpulkan tenaga, berlatih perang dan melakukan pencegatan dan gangguan kepada setiap rombongan perajurit yang melakukan perjalanan atau penjagaan. Riyatman setelah mendengar dengan jelas penuturan orang-orang kampung Pakem tentang terjadinya segala peristiwa, tidak saja mendendam kepada Galiga Jaya, akan tetapi juga merasa benci dan tidak senang kepada Rondo Kuning dan kedua puterinya, terutama sekali kepada seorang pemuda yang bernama Adiguna yang dulu ketika kecilnya menjadi kawan bermain. Di dalam anggapannya, yang menjadi biang keladi hingga menimbulkan bencana hebat di desa Pakem itu adalah Adiguna!
Pada suatu hari, ketika Adiguna yang turun gunung dan melakukan perjalanan lelana brata tiba di hutan itu, dari belakang pohon-pohon berlompatan keluar lima orang yang masih muda-muda dan bersikap gagah.
"Berhenti! Jawab dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Apakah engkau seorang warga Mataram?"" teriak seorang di antara kelima orang itu. Adiguna tertegun. Kemudian ia mengangguk dan menjawab,
"Memang ada adalah seorang kawula (rakyat) Mataram!" Tiba-tiba kelima orang itu tertawa menghina dan tanpa banyak cakap lagi kelimanya lalu menghunus keris dan menyerbu hendak membunuhnya! Adiguna terkejut sekali dan juga merasa penasaran. Ia melompat jauh mengelak dan berkata keras,
"Hai! Apakah kalian berlima ini kemasukan setan dan menjadi gila semua" Datang-datang menyerang orang kalang-kabut dengan keris di tangan. Jangan main-main, keris adalah senjata berbahaya yang dapat membunuh orang."
"Memang kami hendak membunuhmu!" kata seorang diantara mereka. Adiguna merasa heran sekali sehingga ia memandang mereka dengan mata terbelalak.
"Pernahkah kita bertemu dan apakah salahku maka kalian hendak membunuhku?"
"Engkau adalah warga Mataram, maka harus kami bunuh!"
"Siapa yang berkata bahwa warga Mataram harus dibunuh?"
"Siapa lagi yang memerintah kami kalau bukan pemimpin kami" Sudahlah, jangan banyak cerewet. Hayo kawan-kawan kita bunuh manusia ini!" Dan kelimanya lalu menyerbu lagi dengan lebih ganas.
Adiguna merasa heran sekali. Kelima orang ini masih muda-muda dan melihat gerakan mereka mempermainkan keris, nyata bahwa mereka ini terlatih baik dalam ilmu perkelahian dan sikap merekapun bukan seperti perampok. Siapakah mereka ini" Sambil menduga-duga, ia mengelak dengan cepat dan ketika kakinya bergerak, sebuah keris terlepas dari pegangan seorang pengeroyoknya dan orang itu berteriak kesakitan. Adiguna hanya bermaksud untuk merampas senjata mereka dan melukai tangan yang memegang keris itu, akan tetapi pada saat itu, dari dalam hutan lebat keluarlah belasan orang lain yang segera maju mengeroyok sambil berteriak-teriak. Alangkah kagetnya Adiguna ketika melihat bahwa mereka itu sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda yang berpakaian sebagai petani-petani biasa.
"Tahan dulu... tahan dulu...!" teriaknya, akan tetapi semua orang tak mau menghiraukannya, hanya menyerang membabi buta dan berteriak-teriak.
"Bunuh warga Mataram! Bunuh!" Terpaksa Adiguna memperlihatkan ketangkasannya dan melawan mereka, akan tetapi lawan yang mengepungnya makin banyak saja. Tiba-tiba, seorang di antara mereka yang dulu tinggal di Pakem, dapat mengenal pemuda ini dan ia segera berseru keras.
"Kawan-kawan, tahan! Jangan menyerang dia! Dia adalah adiguna, seorang kawan sendiri, bukan warga Mataram!" Teriakan ini berhasil baik dan semua orang menahan senjata mereka. Mereka menahan dengan kagum kepada pemuda yang dengan mudahnya telah merobohkan lebih dari lima orang dengan hanya bertangan kosong. Sementara itu, Riyatman dan Singalodra yang juga berlari mendatangi tempat itu, lalu maju ke depan. Riyatman terkejut sekali ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah Adiguna, maka ia lalu melangkah maju mendekati. Sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata menghina, ia berkata,
"Hm, jadi engkau ini yang bernama Adiguna" Engkaukah anak yang dulu digondol macan siluman dan setelah kembali ke kampung hanya mendatangkan malapetaka belaka" Kenalkah engkau siapa aku?" Melihat lagak yang keras dan sikap marah ini, Adiguna makin terkejut dan heran. Ia dapat menduga bahwa orang ini tentu pimpinan rombongan yang tadi mengeroyoknya, dan serasa ia pernah melihat wajah yang gagah dan tampan ini, akan tetapi ia tidak ingat lagi dimana dan bilaman ia bertemu dengan pemuda gagah ini.
"Sapakah kau yang muda dan gagah ini, sahabat" Dan mengapa kau memusuhiku?"
"Adiguna, benar-benar tak ingat lagikah kau kepadaku" Ingatkah engkau kepada putera bungsu pak Wiryosentiko?"
"Riyaman!" Adiguna berseru girang dan maju hendak memeluk pemuda itu, akan tetapi Riyatman mengelak cepat.
"Jangan menyentuh aku dengan jari-jarimu yang kotor dan berlumur darah!" bentaknya. Adiguna melangkah mundur dengan kaget,
"Apa" apa maksudmu, Riyatman" Mengapa engkau berkata demikian?"
"Hm, memang engkau berhati palsu! Mukamu yang cakap itu hanya menjadi kedok kepalsuanmu! Engkau datang ke Pakem dan menimbulkan huru-hara, mengandalkan kesaktian menolong wanita dan apa akibatnya" Seluruh rakyat Pakem dibinasakan oleh Galiga Jaya! Hampir semua orang lelaki tewas, banyak wanita diculik, rumah-rumah dirampok dan dibakar, sedangkan engkau enak-enak pergi meninggalkan hasil dan akibat perbuatanmu itu, senang-senang membawa lari dua orang gadis cantik! Tidak rendahkah perbuatanmu ini?" Bukan main terkejutnya Adiguna mendengar berita ini.
"Apa katamu..." Galiga Jaya menumpas rakyat Pakem" Dan... dan... paman Wiryosentiko?" Sambl menggigit bibir Riyatman berkata,
"Ayah, Ibu dan semua keluargaku-pun tewas! Semua" ini akibat perbuatanmu mengerti?" Kalau pada saat itu ada kilat dari angkasa menyambarnya, Adiguna mungkin takkan sekaget itu. Mukanya menjadi pucat.
"Keparat si Galiga Jaya!" serunya dengan marah. Riyatman tertawa menghina.
"Mudah saja memaki, aku lebih pandai dari padamu. Akan tetapi apa buktinya" Aku yang menderita, kehilangan keluarga, bahkan sebagian besar kawan-kawanku inipun menderita, keluarganya habis binasa, semua ini karena engkau! Dan kami bersumpah hendak membasmi setiap warga Mataram yang terkutuk!" Makin terkejut hati Adiguna,
"Riyatman! Engkau keliru! Galiga Jaya memang tersesat dan jahat, akan tetapi apakah salahnya Mataram dalam hal ini" Kalau Sri Sultan mendengar tentang perbuatanmu ini, bukankah engkau dan kawan-kawanmu akan dianggap sebagai pemberontak dan hal ini sangat membahayakan?"
"Biarlah! Biar aku dan kawan-kawan dianggap pemberontak! Kami akui, memang kami memberontak! Kata orang Sri Sultan adil dan bijaksana akan tetapi mana buktinya" Seorang Penewu yang kejam dan jahat seperti Galiga Jaya, didiamkan saja dan rakyat Pakem yang menderita sengsara dan dibinasakan oleh Penewu itu tidak diperdulikan, apakah ini boleh disebut bijaksana dan adil" Pendeknya, kami akan memusuhi setiap orang Mataram, terutama sekali Galiga Jaya dan kaki tangannya!"
"Riyatman! Pikirlah baik-baik, kau tidak sadar dan dibutakan oleh nafsumu dan dendam di hatimu! Sri Sultan adalah raja kita yang agung, arif bijaksana, dan mencinta rakyat seperti mencinta anak sendiri! Kalau tidak demikian halnya, apakah Mataram bisa jaya seperti sekarang" Tentang Galiga Jaya, mungkin karena orang ini amat licin dan cerdik, Sri Sultan belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Insyaflah engkau, Riyatman. Aku tidak percaya bahwa sikap ini Timbul dari hati nuranimu, tentu ada orang yang membujuk dan menyeretmu ke jurang kesesatan. Untuk membalas dendan kepada Galiga Jaya itu adalah hal yang terpisah, dan dicampuradukkan dengan sikap memberontak terhadap Mataram. Engkau tersesat!
"Tutup mulutmu! Aku tidak membutuhkan nasihat-nasihatmu. Enak saja engkau bicara. Tentu saja engkau tidak merasakan kesedihan yang kuderita, karena engkau yang menjadi biang keladi ini, tidak kehilangan keluargamu!"
"Riyatman, engkau tahu bahwa aku amat berduka mendengar berita tentang bencana yang menimpa keluarga paman Wiryo. Engkau tahu bahwa aku menganggap orang tuamu seperti orang tuaku sendiri. Bukankah dulu kita hidup seperti sahabat-sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri" Sadarlah, Riyatman, bahwa nasihatku tadi terdorong oleh rasa setia kawanku kepadamu yang kuanggap saudara sendiri."
"Cukup!" tiba-tiba Singalodra berkata, "Riyatman, pemuda ini berbahaya sekali dan dapat melemahkan semangat perlawanan kita!" Riyatman juga tidak mau membuka mulut lagi dan menyerang dengan pukulannya yang keras ke arah dada Adiguna.
"Hm, engkau mengandalkan kepandaianmu, Riyatman" Cobalah, hendak kulihat sampai dimana kemajuanmu!" kata Adiguna yang merasa penasaran juga.
Dengan cepat ia mengelak, mempergunakan kegesitannya yang sudah banyak membuat orang merasa kagum. Riyatman pandai main pencak silat dan serangan-serangannya sengit dan berat, akan tetapi Adiguna sama sekali tidak mau membalas, hanya mengelak atau kadang-kadang menggunakan tangan yang terbuka jari-jarinya menangkis perlahan. Namun lengan dan tangan Adiguna yang telah berisikan aji kesaktian ini, biarpun hanya ditangkisnya perlahan saja, cukup membuat Riyatman merasa lengannya yang tertangkis pedas dan sakit, hingga ia menjadi terkejut dan diam-diam ia mengagumi kegagahan Adiguna! Lebih dari dua puluh jurus Riyatman menyerang hebat dan akhirnya ia merasa tidak kuat lagi Manahan kesakitan pada lengan tangannya, maka dengan berseru keras ia mencabut kerisnya! Segera ia menyerang lagi dengan sengit.
"Ingat, Riyatman, kerismu dapat membunuh orang. Tegakah engkau membunuh aku, saudara misanmu sendiri?" Akan tetapi, Riyatman yang merasa marah dan malu karena tak dapat merobohkan Adiguna, tidak menjawab dan mengeraskan hatinya, lalu menyerang terus makin hebat. Terpaksa Adiguna memperlihatkan kepandaiannya. Setelah ia miringkan tubuh hingga keris Riyatman lewat di samping tubuhnya, ia lalu mempergunakan dua buah jari tangannya mengetuk pergelangan lengan Riyatman dengan perlahan.
Akan tetapi oleh karena ketukannya tepat mengenai urat, Riyatman menjerit kesakitan dan lengannya serasa lumpuh! Ia terpaksa melepaskan kerisnya dan segera melompat mundur sambil memandang dengan terheran-heran dan kagum. Singalodra merasa marah sekali dan mencabut kerisnya lalu menyerang dengan hebat kepada Adiguna. Riyatman tak keburu mencegah. Sebetulnya, melihat kepandaian Adiguna yang luar biasa, kemarahan Riyatman telah lenyap, terganti oleh rasa kagum dan ingin sekali ia membaiki Adiguna dan mengajaknya berkawan kembali agar ia dapat mempelajari ilmu dari pemuda itu. Adiguna maklum dan dapat menduga bahwa si cambang bauk ini tentu seorang jagoan yang telah membujuk Riyatman yang kurang berpengalaman dan masih sangat muda itu,
Karena ia melihat betapa serangan Singalodra ini lebih hebat daripada serangan Riyatman. Akan tetapi, murid Eyang Sidik Paningal ini telah mendapat gemblengan selama bertahun-tahun dari gurunya yang sakti, maka menghadapi Singalodra, ia tidak gentar sedikitpun juga. Dengan sigap ia mengelak serangan keris itu dan tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dan sebelah kakinya menyabet, mempergunakan gerakan menyerampang Singalodra hingga tidak ampun lagi tubuh Singalodra yang tinggi besar itu roboh terguling-guling! Akan tetapi, dasar orang cabang atas yang banyak pengalaman, didalam robohnya, Singalodra dapat mengatur dirinya hingga ia tidak menderita luka dan cepat sekali ia melompat berdiri lagi dan mengirim tendangan bertubi-tubi dengan gesitnya.
Adiguna hanya mempergunakan kegesitannya dan melompat kesana-kesini untuk menghindarkan tikaman keris itu. Kawan-kawan Riyatman yang melihat pertempuran ini menjadi penasaran sekali ketika menyaksikan betapa dengan mudahnya Riyatman, jago yang mereka segani itu roboh dalam tangan Adiguna yang bertangan kosong. Dan kini ketika pemuda itu menghadapi Singalodra, yang mereka kenal pula kegagahannya, hanya dengan tangan kosong pula, bahkan dalam segebrakan saja berhasil membuat Singalodra terjatuh, mereka lalu maju mengeroyok! Riyatman hendak mencegah, akan tetapi ia merasa kurang baik kalau memperlihatkan sikap membela Adiguna, khawatir kalau-kalau dianggap pengecut dan jerih terhadap saudara misannya itu.
Pertempuran berjalan makin ramai dan seru. Kini Adiguna terpaksa melawan juga karena tak mungkin baginya untuk terus mempertahankan diri tanpa membalas terhadap keroyokan yang hebat itu. Namun, ia tetap tidak mau melukai mereka. Ia hanya mendorong, mendupak, memegang lalu melemparkan, hingga sebentar saja banyak orang terlempar dan roboh sambil berseru terkejut. Adiguna tak melanggar pantangan membunuh hanya oleh karena kesalahfahaman dan kemarahan Riyatman saja. Ia maklum bahwa pemuda itu mempunya hati yang baik dan kegagahan yang patut dipuji, dan dapat menduga bahwa kedukaan dan kemarahan karena bencana menimpa keluarganya itulah yang menyebabkan pemuda itu bersikap keras kepadanya. Kemudian setelah berkata lagi kepada Riyatman, sambil melawan keroyokan,
"Ingatlah nasihatku dan sadarlah, Riyatman!" Adiguna lalu mempergunakan kesaktiannya dan sekali tubuhnya melompat, ia telah lenyap dari kepungan para pengeroyoknya. Bukan main terkejutnya semua orang itu dan tiada habisnya mereka memuji-muji kesaktian Adiguna. Juga Riyatman merasa kagum sekali. Sedangkan Singalodra sambil menghela napas, berkata,
"Hebat sekali kepandaian pemuda itu. Kalau saja kita dapat menariknya untuk membantu kita, dengan mudah kita dapat menghancurkan Mataram!"
Adiguna melanjutkan perjalanannya. Hatinya berduka dan menyesal. Berduka karena malapetaka yang menimpa penduduk Pakem, dan menyesal karena memikirkan kesesatan Riyatman. Kalau saja pemuda itu membatasi rasa dendamnya dengan usaha membalas sakit hatinya kepada Penewu Galiga Jaya, tentu ia akan membantunya sekuatnya. Akan tetapi, dendam hati pemuda itu ternyata amat besar dan meluas, hingga ia membenci semua orang Mataram, tidak ingat bahwa ia sendiri adalah kawula Mataram. Baginya sendiri, Adiguna tidak mempunyai niat untuk membalas kejahatan Galiga Jaya atau membunuhnya, oleh karena hal itu ia anggap bukan tugasnya.
Ia tidak mau membunuh Galiga Jaya, karena teringat akan pantangan membunuh yang dulu dinasihatkan oleh gurunya kepadanya. Mungking ia dapat mendatangi dan mengajar adat kepada Galiga Jaya yang kejam, akan tetapi apakah gunanya" Adiguna langsung menuju ke Pakem. Hatinya diliputi keharuan besar melihat betapa dusun itu kini sunyi sepi dan wajah orang-orang nampak berkabung dan sedih. Beberapa orang dulu pernah melihatnya dan kini mengenalnya, ketika melihat pemuda itu, membuang muka dengan penuh sesal dan marah. Adiguna menghela napas panjang dan ia dapat meraba dan memaklumi kemarahan Riyatman kepadanya. Orang-orang yang singkat pandangan dan bodoh ini mempunyai pandangan dan pertimbangan yang sempit sekali.
Mereka memandang sesuatu perkara hanya di luarnya saja, tidak mau memeriksa lebih dalam, hingga bencana itu mereka anggap timbul karena perbuatannya! Mereka tidak mau merenungkan bahwa biarpun ia tidak datang di dusun itu, tetap saja Galiga Jaya akan melakukan kejahatan itu dan merampas ketiga puteri Rondo Kuning. Akan tetapi, Adiguna maklum bahwa segala sesuatu itu telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Ia lalu pergi mencari makam orang-orang kampung yang menjadi korban, lalu berziarah ke makam paman dan bibinya. Ia bersila di depan makam mereka dan mengheningkan cipta, menyatakan bela sungkawa atas nasib mereka yang malang. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu banyak sekali mata memandangnya dengan tajam dan banyak sekali tangan meraba-raba gagang keris siap menyerbu.
Tiba-tiba ia mendengar suara ranting terpinjak. Ia cepat menengok dan pada saat itu, dari balik pohon-pohon yang banyak tumbuh disekitar tanah kuburan itu, berlompatan keluar banyak perajurit dengan senjata di tangan! Ini adalah perajurit-perajurit Mataram yang gagah perkasa, dan mereka ini dipimpin oleh seorang perwira yang gagah perkasa dan sakti, seorang panglima yang telah amat terkenal di Mataram, yakni Tumenggung Surgo Agul-agul yang terkenal sakti mandraguna dan memiliki ilmu kepandaian pencak silat yang amat tinggi! Ternyata bahwa Penewu Galiga Jaya yang licik dan cerdik itu telah menyuruh kaki tangannya menyiarkan berita bahwa di daerahnya terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh orang-orang sakti bernama Adiguna dan Riyatman. Kemudian ia sendiri berangkat ke kota raja dan membuat laporan ke hadapan Sri Sultan Agung,
Hingga Sri Sultan yang berkhawatir kalau-kalau pemberontakan itu akan menjadi luas dan membahayakan keamanan negara, lalu mengutus Tumenggung Suro Agul-agul untuk membawa seribu orang perajurit guna menumpas pemberontak-pemberontak itu! Suro Agul-agul adalah seorang panglima perang yang berpengalaman dan cerdik. Ia dapat menduga bahwa pemberontak-pemberontak itu tentu dipimpin oleh orang-orang Pakem, maka ia sengaja menjaga tanah kuburan Pakem yang baru itu, menanti kalau-kalau pemimpin pemberontak yang namanya disebut sebagai Adiguna dan Riyatman datang berziarah ke makam keluarganya di kuburan itu. Karena itulah maka ketika Adiguna berziarah disitu, tahu-tahu ia telah dikepung oleh banyak perajurit Mataram! Tumenggung Suro Agul-agul sendiri melompat maju menghadapi Adiguna dan bertanya,
"Bukankah kau yang bernama Adiguna?" Matanya tajam menatap wajah pemuda tampan itu.
"Betul, namaku Adiguna," jawab Adiguna dengan tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan wajah takut dan gentar.
"Ha, jadi kaukah yang menjadi pemimpin pemberontak itu" Menyerahlah baik-baik, anak muda. Kalau kau menyerah, mungkin Gusti Sultan yang welas asih akan mengampunimu. Dimanakah adanya Riyatman, kawanmu yang memimpin pemberontakan itu?" Tiba-tiba Adiguna mendapat pikiran untuk melindungi Riyatman, maka ia menjawab lantang,
"Tentu Galiga Jaya yang menghasut dan memfitnah. Kalau kalian percaya bahwa disini ada pemberontakan, biarlah aku yang bertanggung jawab. Riyatman adalah seorang pemuda petani yang tahunya hanya mengayun cangkul dan menyabit rumput, mana ia bisa memimpin pemberontakan?" Kedua mata Suro Agul-agul yang berpengaruh dan tajam itu mengeluarkan sinar kagum, karena ia tidak percaya bahwa pemuda yang tampan dan tabah ini menjadi pemimpin pemberontakan. Apalagi setelah mendengar ucapan pemuda itu yang penuh setia kawan, melindungi kawan-kawannya dan sengaja mengorbankan diri sendiri dengan mengakui semua kesalahan. Alangkah gagah berani, sesuai dengan jiwa ksatria!
Gambar 0302 "Menyerahlah, Adiguna, dan aku sanggup untuk memintakan ampun untukmu kepada Gusti Sultan," katanya.
"Bagaimana aku dapat menyerah kalau aku tidak merasa bersalah?" kata Adiguna yang sudah berdiri dengan sikap tenang dan berani.
"Tangkap pemuda ini!" Tumenggung Suro Agul-agul memerintah, dan tiga orang pembantunya yang tinggi besar dan kuat melangkah maju membawa tali pengikat tangan.
Akan tetapi, sekali tubuhnya bergerak, Adiguna telah berhasil merobohkan ketiga orang itu dengan dorongan kedua tangannya! Para perajurit menjadi marah dan belasan orang datang menerjang hendak menangkap pemuda pemberontak itu. Akan tetapi Adiguna memperlihatkan kesigapan dan kegagahannya. Setiap perajurit yang berani datang dekat, tak perduli dia bertubuh kecil kurus atau tinggi besar seperti raksasa, baik yang menyerangnya dengan senjata tajam maupun tangan kosong, dia pasti terpelanting roboh dan menjerit-jerit kesakitan! Bukan main kagumnya Tumenggung Suro Agul-agul melihat kegagahan ini. Hatinya tertarik sekali dan sekarang ia mau percaya bahwa pemuda ini tentulah pemimpin pemberontak! Tidak aneh kalau orang-orang berani mengadakan pemberontakan di bawah pimpinan pemuda segagah ini.
"Kalian mundur semua, biarkan aku menghadapi pemuda ini!" teriak Tumenggung Suro Agul-agul dengan suara keras. Teriakannya ini keras dan berpengaruh sekali hingga semua perajurit cepat-cepat mengundurkan diri. Adiguna diam-diam merasa kagum karena dari suara ini saja ia dapat mengukur sampai dimana kehebatan ilmu kepandaian panglima ini. Teriakan ini mengandung perbawa (pengaruh seseorang) besar sekali.
"Adiguna!" kata Suro Agul-agul sambil memandang tajam.
"Sebelum aku turun tangan dan menangkapmu dengan kedua tangan sendiri, lebih baik engkau menyerah saja. Jangan engkau khawatir, aku yang menanggung bahwa Gusti Sultan pasti akan mengampunimu!"
"Maaf, tak mungkin menyerah karena aku tidak bersalah apa-apa!" Jawab Adiguna dengan sikapnya yang masih tenang.
"Keparat, sombong sekali engkau! Tahukah engkau bahwa engkau sedang berhadapan dengan Suro Agul-agul, banteng dari Mataram" Lebih baik engkau menyerah sebelum menghadapi seranganku!" Adiguna terkejut juga. Pernah ia mendengar bahwa Tumenggung Suro Agul-agul adalah seorang senapati (panglima besar) Mataram yang berilmu tinggi dan sakti mandraguna! Akan tetapi ia tidak merasa takut, bahkan ingin sekali mencoba kesaktian tumenggung ini! Maka ia sengaja menjawab.
(Lanjut ke Jilid 04) Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04 "Aku tidak kenal dengan segala banteng Mataram dan aku tidak mau menyerah dan ditawan oleh karena aku tidak merasa melakukan pelanggaran apa-apa!" Tumenggung Suro Agul-agul menjadi marah dan sambil menggereng bagaikan seekor harimau marah, ia mengayunkan tangan menampar ke arah pundak Adiguna.
Biarpun tumenggung itu sengaja tidak mau menurunkan pukulan maut dan hendak merobohkan saja pemuda itu, namun tamparannya keras sekali karena tangannya mempunyai aji kesaktian yang kuat. Adiguna merasa betapa angin tamparan itu bertenaga besar, maka ia tidak berani berlaku semberono dan cepat mengelak. Melihat kegesitan pemuda itu, Suro Agul-agul yang tamparannya memukul tempat kosong, menjadi marah dan menyerang lagi. Kali ini ia mendorong dada Adiguna. Akan tetapi, dengan sigapnya pemuda itu dapat melompat ke pinggir dan mengelakkan dorongan itu lagi. Kini Adiguna tidak tinggal diam karena maklum bahwa ia menghadapi seorang kuat, maka iapun membalas dengan sebuah tamparan ke arah dada tumenggung itu. Suro Agul-agul yang kuat dan sakti tertawa melihat datangnya tamparan dan ia sengaja memasang dadanya menerima tamparan itu!
Ketika tamparan itu mengenai sasaran, Adiguna merasa seperti menampar batu karang yang keras, sedang Suro Agul-agul merasa betapa kulit dadanya menjadi pedas! Kedua-duanya terkejut dan kagum, Suro Agul-agul membalas dengan sebuah pukulan ke dada Adiguna. Kini pemuda itu tidak mau kalah dan iapun memasang dadanya menerima pukulan Suro Agul-agul! Dan ketika pukulan itu tiba, tumenggung itu merasa seakan-akan ia memukul kapas yang lunak dan lembut hingga tenaga pukulannya buyar sendiri. Ia terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa pemuda ini mempunyai aji kesaktian yang demikian hebat. Ia makin tertarik dan ketika Adiguna membalas memukul, ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya menerima pukulan itu sambil tertawa.
"Ha-ha-ha! Engkau hendak mengadu ilmu" Baik, baik, Adiguna! Engkau pukullah dan pilihlah tempat yang lunak dan empuk!" Sambil berdiri dan bersedekap, mengheningkan cipta dan mengerahkan aji kekebalannya Trenggiling Wesi! Adiguna masih belum mau mengeluarkan kesaktiannya yang paling tinggi, hanya memukul tiga kali sekuat tenaga. Akan tetapi, semua pukulannya ketika jatuh di tubuh tumenggung itu, meleset bagaikan memukul sesuatu yang amat keras dan licin! Adiguna juga lalu berdiri diam dan bersedekap, lalu berkata,
"Tumenggung Suro Agul-agul! Bukan engkau saja yang memiliki kulit keras. Engkau pukullah aku tiga kali dan pilihlah tempat yang paling lunak!"
Setelah tertawa bergelak-gelak, Suro Agul-agul lalu memukul sekuat tenaga. Berbeda dengan Adiguna, ia mengeluarkan aji kesaktiannya dan menggunakan ilmu Pukulan Liman Petak (Gajah Putih), semacam aji kesaktian yang mengakibatkan pukulan itu keras sekali. Bahkan kata orang, pukulan Suro Agul-agul ini apabila dipukulkan kepada kepala gajah, maka kepala itu akan pecah! Adiguna maklum akan hebatnya pukulan ini, maka ia lalu mengeluarkan aji kekebalannya si Welut Putih, hingga ketika kepalan tangan Suro Agul-agul menyentuh kulit tubuhnya, tiba-tiba pukulan itu meleset kesamping karena tubuhnya menjadi licin sekali bagaikan belut! Tiga kali Suro Agul-agul memukul dan tiga kali pula pukulannya meleset! Hal ini tentu saja membuat tumenggung itu terkejut dan kagum.
Mereka lalu bertempur lagi, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian dan kepandaiannya. Ketika Adiguna mendapat kesempatan, ia menampar leher tumenggung itu dengan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu disertai Aji Regi Geni (Gunung Merapi). Terkena pukulan yang ampuh ini, Suro Agul-agul merasa kepalanya menjadi pening dan ia terhuyung ke belakang! Untung ia memiliki kekebalan, kalau tidak, ia tentu akan tewas terkena pukulan yang dapat menghancurkan batu karang itu! Dengan geram Suro Agul-agul lalu mencabut keris pusakanya si Banaspati, dan dengan keris di tangan ia menanti sampai rasa pening di kepalanya lenyap. Ia merasa penasaran sekali bahwa seorang pemuda dusun yang tak ternama ternyata telah dapat mengalahkannya. Adiguna memang hanya bermaksud mengukur tenaga mengadu kepandaian dengan banteng Mataram ini.
Melihat betapa tumenggung itu tidak roboh oleh pukulannya Redi Geni, ia merasa kagum sekali, akan tetapi ia merasa cukup puas betapa melihat tumenggung itu merasa tidak kuat menghadapinya dengan tangan kosong hingga ia mencabut keris pusaka yang mengeluarkan hawa panas itu. Maka ia lalu mempergunakan ilmunya, melompat pergi jauh sekali dan ketika para perajurit mengejar, Adiguna telah lari jauh dan lenyap dari pandangan mata. Kalau Adiguna mengira bahwa ia dapat mengalihkan perhatian Suro Agul-agul dari pengejaran terhadap rombongan yang dipimpin oleh Riyatman kepada dirinya, maka ia keliru sangka dan tidak mengetahui akan kecerdikan dan keuletan Tumenggung Suro Agul-agul yang sudah banyak pengalaman dalam hal mencari pemberontak dan yang mempunyai banyak siasat itu.
Tumenggung Suro Agul-agul maklum bahwa pokok kekuatan setiap pemberontakan bukan terletak di tangan seorang dua atau beberapa gelintir pemimpin, akan tetapi seluruhnya tergantung pada kekuatan kesatuan, yakni anak buah para pemberontak itu. Biarpun ribuan anak buah pemberontak takkan berbahaya apabila tidak dipimpin oleh seorang yang pandai dan sakti, namun pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin saja tanpa ada yang setia, takkan ada guna dan artinya pula. Maka tugas terutama baginya ialah mencari, mengejar dan menghancurkan kekuatan pasukan pemberontak itu. Ia dapat menduga bahwa pemberontak itu tentu bersembunyi di dalam huta-hutan, maka ia lalu menyebar barisan penyelidik dan mata-matanya untuk mencari dimana letak sarang pemberontak yang dipimpin Adiguna dan Riyatman.
Beberapa hari kemudian, ia berhasil mengetahui tempat bersembunyi para pemberontak itu dan dengan kekuatan sepenuhnya barisannya menyerbu dan menyergap. Riyatman dan Singalodra yang belum mengadakan persiapan lebih dulu, terkejut sekali dan keadaan para pemberontak menjadi kacau-balau. Sungguhpun Riyatman dan Singalodra memimpin anak buahnya dan melawan mati-matian, namun dengan mudah Tumenggung Suro Agul-agul menghancurkan pasukan pemberontak yang tidak saja kalah besar jumlahnya, akan tetapi juga kalah pengalaman dan kalah pula dalam hal kepandaian atau pengalaman berkelahi. Tumenggung Suro Agul-agul sendiri mengantuk dan akhirnya ia berhadapan dengan Riyatman dan Singalodra. Melihat si cambang bauk yang tinggi besar itu, Tumenggung Suro Agul-agul tertawa bergelak-gelak.
"Ha-ha-ha! Tidak tahunya kau yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini. Mertalaya! Pemberontakanmu di Pasuruan gagal dan hancur, kini kau mencoba-coba menghasut orang-orang Mataram untuk memberontak! Bagus, sekarang kau berhadapan dengan aku, hendak lari kemana?" Sambil berkata demikian, Tumenggung Suro Agul-agul lalu menyerang si cambang bauk dengan sengitnya. Riyatman terkejut sekali dan untuk sementara tak dapat bergerak maupun berkata-kata.
Tak pernah disangkanya bahwa kawannya yang bernama Singalodra ini bukan lain ialah Mertalaya, pemberontak yang telah didengar namanya itu, pemberontak yang telah kalah dan yang melarikan diri, menjadi orang buruan! Maka menyesallah dia, karena merasa malu bahwa ia telah kena bujuk oleh seorang pemberontak yang dulu amat dibencinya. Ia lalu melawan sambil mundur, dan akhirnya karena tidak tahan menghadapi amukan perajurit-perajurit Mataram yang merupakan perajurit pilihan itu, ia melarikan diri ke arah Timur dengan diikuti oleh beberapa orang kawannya! Akan tetapi, Tumenggung Suro Agul-agul yang tidak mau bekerja kepalang tanggung dan yang telah memperhitungkan dengan tepat sekali, telah menaruh perajurit-perajurit penjaga yang sengaja mencegat disitu untuk mencegah para pemberontak melarikan diri.
Kembali Riyatman dan kawan-kawannya terkepung dan didesak hebat oleh perajurit-perajurit Mataram! Biarpun kenyataan bahwa selama ini ia bersekutu denan seorang pemberontak membuat hatinya menjadi tawar dan tiada nafsu lagi untuk melawan, namun karena keadaannya amat terdesak, Riyatman lalu melakukan perlawanan hebat dan mengamuk seolah-olah seekor banteng terluka! Banyak fihak lawan yang roboh karena amukannya ini hingga kepungan menjadi melonggar, Riyatman terus membuka jalan darah dan akhirnya, dengan tubuh penuh luka-luka, ia berhasil melarikan diri ke dalam hutan dan terus lari menuju ke timur. Semua kawannya kena terbunuh atau tertawan. Sementara itu, Singalodra atau Mertalaya tidak kuat menghadapi kegagahan Tumenggung Suro Agul-agul.
Setelah melawan mati-matian, akhirnya dadanya tertembus oleh keris Banaspati yang ampuh. Tanpa mengeluarkan teriakan Singalodra roboh binasa! Melihat betapa kedua orang pemimpin mereka telah kalah, habislah semangat para pemberontak itu, dan ketika Tumenggung Suro Agul-agul berseru keras dan membentak supaya mereka menyerah, mereka lalu melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda takluk! Sekali lagi Tumenggung Suro Agul-agul yang gagah perkasa itu kembali ke kota raja membawa laporan kemenangan bahwa ia telah membasmi pemberontakan di daerah Pakem. Kemenangannya disambut oleh Penewu Galiga Jaya dengan girang sekali dan Penewu ini lalu mengadakan pesta besar untuk menghormat Tumenggung Suro Agul-agul dan membagi banyak hadiah kepada para perajurit Mataram.
Namun, biarpun tidak berani mengucapkan dengan kata-kata, hatinya masih khawatir dan merasa kecut mendengar betapa Adiguna dan Riyatman dapat melarikan diri dan belum dibinasakan! Riyatman terus melarikan diri ke jurusan timur sampai ia tiba di kaki Gunung Lawu. Melihat bukit yang penuh hutan itu, Riyatman merasa girang dan melanjutkan pelariannya ke atas gunung. Oleh karena tubuhnya memang kuat, maka luka-luka di kulitnya cepat mengering dan baiknya tidak ada luka yang parah dan berat. Ia lalu masuk ke dalam hutan-hutan di lereng Gunung Lawu dan merasa dirinya aman berada di hutan yang sunyi dan liar itu. Sambil merawat luka-lukanya, pemuda ini berkeliaran di dalam hutan dan hidup menyendiri sambil menyesali untungnya yang buruk. Tetapi, api dendam terhadap Galiga Jaya masih tetap bernyala di dalam kalbunya.
Kini ia tersadar dan dapat menangkap maksud baik dari nasihat-nasihat Adiguna, dan ia merasa menyesal sekali mengapa ia menurutkan nafsu hati memusuhi pemuda sakti itu dan dengan mudah terbujuk oleh Singalodra yang pada hakekatnya memang benci kepada Mataram dan memang sengaja mencari kawan untuk mengadakan pemberontakan lagi! Ia kini maklum akan maksud Adiguna dan mengakui bahwa sebenarnya ia tidak harus memusuhi Mataram, oleh karena yang bersalah dalam peristiwa pembasmian Pakem hanyalah Galiga Jaya seorang. Ia dapat menduga pula bahwa barisan Mataram yang datang menyerbu tentu utusan Sri Sultan yang tertipu oleh Galiga Jaya, karena selain Galiga Jaya yang melaporkan dan menuduh bahwa ia dan kawan-kawannya memberontak kepada Mataram, dari manakah Sri Sultan mengetahuinya dan mengirim pasukan penggempur.
Didalam perantauannya, Adiguna tiba di sebuah dusun yang amat ramai dan makmur. Sawah ladang di sekitar dusun ini amat suburnya hingga keadaan kaum tani disitu boleh dikatakan makmur. Ini dapat dilihat dari keadaan rumah-rumah yang rata-rata besar dan baik dan juga pakaian penduduk dusun itu jarang ada yang compang-camping. Bahkan beberapa belas rumah, termasuk rumah Lurah dan pemilik-pemilik tanah, amat besar dan megah, terbuat dari kayu jati tua yang kokoh dan kuat. Ketika Adiguna masuk ke dusun itu, ia melihat bawah dua diantara rumah-rumah itu, terhias dan di depannya dipasangi tarup (bangunan darurat) seperti biasanya jika orang merayakan pesta pernikahan.
Ia mendengar pembicaraan orang dusun itu bahwa yang hendak melangsungkan perkawinan itu adalah pak Romojali yang menikahkan anak gadisnya kepada Raden Panji, seorang priyayi (ningrat) yang kaya raya dan yang menjadi tuan tanah terkaya di dusun itu. Pesta pernikahan ini menurut kata orang-orang dusun, adalah yang terhebat di dusun itu. Malam ini dan besok pagi, fihak pengantin perempuan menanggap wayang kulit dengan cerita "Narayana Maling", yaitu tujuh cerita ketika Sri Kresna Ratu Dwarawati masih muda dan bernama Narayana menjadi maling. Akan tetapi yang dicurinya bukanlah emas atau permata, melainkan seorang puteri! Cerita ini memang amat digemari orang, apalagi kalau yang menjadi dalangnya pandai, karena sifat cerita yang jenaka dan penuh pertandingan yang mengagumkan antara Narayana dan Arjuna.
Dan yang memainkan wayang di rumah pak Kromojali adalah seorang dalang Mataram yang amat terkenal dan mahal bayarannya. Wayangnya kepunyaan Raden Panji sendiri, demikian gamelan-gamelannya dan semua orang tahu bahwa wayang kulit milik Raden Panji masih baik-baik dan catnya masih mengkilat, sedangkan gamelannyapun nyaring dan merdu. Raden Panji yang kaya raya itu mempunyai dua perangkat gamelan, seperangkat dipinjamkan kepada calon mertuanya, yang seperangkat lagi dipakainya sendiri untuk meramaikan malaman hari kawinnya, karena ia mengadakan hiburan yang lebih ramai dan menggembirakan lagi, yaitu hiburan tayuban dengan memanggil ledek dari Widuran, si Harum manis yang terkenal indah suaranya dan cantik jelita wajahnya. Adiguna memang gemar akan cerita wayang dan suka sekali menonton wayang.
Dulu ketika ia masih kecil dan tinggal di Pakem, di rumah pamannya, tiap kali di lain dusun ada wayang kulit, biarpun secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam, ia bersama Riyatman selalu pergi dari rumah dan menonton wayang semalam suntuk, rela mendapat teguran dan marah dari Pak Wiryosentiko pada keesokan harinya! Oleh karena ini, mendengar bahwa di dusun yang makmur itu malam nanti ada pertunjukan wayang dengan cerita Narayana maling yang disukainya pula, ia lalu menunda perjalanannya dan menonton wayang di rumah pak Kromojali. Benar saja, dalang Mataram ini memang seorang ahli. Suaranya empuk dan nyaring, dan suluknya bagus, kata-katanya jelas dan tidak ngawur, setiap kata-kata mengandung filfasat kebatinan yang tinggi dan dalam meniru suara tokoh-tokoh pewayangan, ia seakan-akan memiliki beberapa banyak macam suara.
Para tamu memenuhi ruangan dan semua orang menyatakan selamat kepada Kromojali, seorang tua berambut putih yang bermata kecil. Dan tamu-tamu ini lalu mendapat tempat duduk di belakang layar wayang kulit, ada pula yang sengaja mencari tempat duduk di depan untuk dapat menikmati pertunjukan lebih sempurna lagi. Adiguna berdesak-desak dengan para penonton yang berdiri di luar, tak seorangpun memperhatikannya. Percakapan masing-masing disekelilingnya memberi tahu padanya bahwa Kromojali yang tak boleh disebut kaya itu mengawinkan anaknya kepada Raden Panji yang sudah tua dan sudah mempunyai banyak isteri, dan Sutinah gadis Kromojali ini menjadi isterinya yang entah keberapa belasnya! Diam-diam Adiguna menghela napas panjang dan menyesali kedua orang itu. Raden Panji karena sifat mata keranjangnya dan mengandalkan pengaruh kekayaannya,
Sedangkan pak kromojali karena sifat mata duitan yang mengorbankan anak daranya semata-mata karena ingin bermenantukan orang kaya raya! Akan tetapi, urusan ini tidak menyangkut dirinya dan ia tidak berhak untuk ikut mencampurinya. Akan tetapi, pada saat cerita sedang ramai-ramainya dan wayang sedang dimainkan oleh ki dalang dengan indahnya, telinga Adiguna yang mempunyai pendengaran tajam sekali dan jauh melebihi pendengaran orang biasa itu, tiba-tiba dapat menangkap suara isak tangis yang datang dari arah belakang. Adiguna memiliki hati yang perasa sekali dan rasa iba menyelubungi hatinya ketika ia mendengar suara tangis yang amat menyedihkan itu. Ia maklum bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita dan wanita itu mencoba untuk menahan tangisnya karena takut kalau-kalau suara tangisnya akan terdengar dari luar.
Ketika Adiguna melirik ke arah tuan rumah ia melihat betapa pak Kromojali sama sekali tidak mendengar suara tangis itu dan mukanya yang lebar masih berseri-seri dan bercakap-cakap dengan gembiranya melayani para tamu. Oleh karena tidak dapat menahan keinginan tahunya lebih lama lagi, Adiguna lalu menyelinap diantara penonton dan diam-diam mengambil jalan memutar menuju kebelakang rumah. Ia memandang ke atas dan melihat bahwa rumah itu mempunyai atap kayu yang kuat, dan karena dibawah banyak sekali orang hilir-mudik, ia lalu mempergunakan kepandaiannya. Sambil menahan napas dan mengerahkan aji kesaktiannya, pemuda itu lalu melompat ke atas dan tubuhnya melayang ke atas genteng.
Perbuatannya ini tidak terlihat oleh siapa juga, oleh karena selain malam gelap sekali, juga gerakannya amat cepat hingga kalau misalnya ada yang melihatnya, tentu akan mengira bahwa yang melompat itu adalah seekor kucing. Dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun, Adiguna menuju ke bagian belakang dari mana ia mendengar suara tangis yang makin nyata. Ia membetot sebuah papan di atas dan mengintai ke dalam. Ternyata di dalam kamar itu terdapat seorang dara muda yang mudah diduga bahwa ia pengantinnya karena jidatnya telah berbekas kerikan dan ditambah hiasan-hiasan pengantin pada sanggulnya. Biarpun hanya gadis kampung, namun ternyata bahwa Sutinah manis sekali wajahnya. Ia duduk dan menangis, sedangkan seorang perempuan setengah tua yang juga duduk di atas balai-balai itu menghiburnya.
"Sudahlah! Sutinah, mengapa kau bersedih" Kau dan aku tak berdaya melawan kehendak Ayahmu, dan pula apa susahnya menjadi isteri Raden Panji" Dia seorang keturunan bangsawan agung, pandai dan kaya raya pula. Kau akan hidup penuh kebahagiaan disampingnya anakku." Tahulah Adiguna bahwa wanita setengah tua itu adalah Ibu gadis itu atau isteri pak Kromojali. Kembali Adiguna menarik napas panjang. Hal ini sudah diduganya sejak tadi. Sudah seringkali terjadi perkawinan-perkawinan ganjil seperti ini, dimana yang memegang peranan penting adalah pengantin laki-laki dan orang tua pengantin perempuan. Sedangkan pengantin perempuannya sendiri lebih patut disebut seekor domba yang menanti jatuhnya pisau penjagal yang hendak menyembelihnya. Setiap orang gadis harus tunduk akan kehendak Ayahnya, dan harus siap sedia tanpa membantah lagi untuk dikawinkan dengan siapa saja.
"Ibu..., lebih baik Ayah bunuh saja aku" aku tidak sudi menjadi isteri muda bandot tua itu, Ibu" aku lebih suka mati...!" tangis anak dara itu dengan suara memilukan.
Adiguna termenung. Seringkali ia mendengar ucapan seperti ini, bukan langsung dari para pengantin perempuan yang dipaksa kawin, akan tetapi mendengar cerita orang-orang. Gadis-gadis dusun yang dipaksa kawin, selalu menyatakan lebih baik mati daripada diperisteri oleh seorang laki-laki pilihan Ayahnya, apalagi kalau suami paksaan itu seorang yang sudah tua dan mempunyai banyak isteri. Akan tetapi, lazimnya mereka ini terpaksa tunduk, menyerah, tak berdaya, dan akhirnya mereka hanya dapat menyesali nasib! Kalau kelak beberapa tahun lagi suami mereka yang sudah kakek-kakek itu mati, mereka menjadi janda muda, janda kembang yang menjadi rebutan orang untuk menjadi permainan mereka. Ini sudah umum, sudah lazim, dan sudah menjadi nasib para dara kampung.
"Jangan kau bicara seperti itu, anakku!" Wanita tua itu menghibur, "Kau adalah seorang anak baik, yang cinta orang tua, yang dapat menjaga nama baik orang tua. Kau tahu sendiri bahwa Ayahmu yang gemar berjudi dan mengadu ayam itu telah menghabiskan uang banyak sekali. Dan tahukah kau darimana datangnya sekalian uang sebanyak itu" Ayahmu tidak bekerja, kita tidak mempunyai penghasilan apa-apa! Uang itu adalah uang pinjaman, anakku. Uang itu adalah uang Raden Panji yang baik hati dan merasa kasihan melihat nasib kita, maka ia mengulurkan tangan memberi pertolongan. Coba saja pikir, pinjaman Ayahmu yang sekian banyaknya itu telah dibebaskan, dianggap lunas. Dan lebih lagi, Raden Panji telah menyumbangkan sejumlah uang yang cukup untuk membeli sawah dua patok hingga penghidupan Ayahmu dan aku kini terjamin. Juga penanggapan wayang ini adalah kehendak Raden Panji, dan semua dibiayainya, juga wayang dan gamelannya adalah miliknya sendiri! Kurang apakah dia" Dia adalah seorang baik, Sutinah. Kau harus bergirang dan merasa bangga, karena tidak sembarang gadis dapat ditanggapkan wayang apabila ia menikah. Bahkan Ibumu sendiri dulu waktu menikah, jangankan menanggap wayang, bahkan menanggap ketek ogling (pertunjukan kera menari) pun juga tidak!"
Mendengar hiburan Ibunya yang mendesaknya ini, Sutinah tunduk dan menahan isaknya yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Butiran air mata mengalir turun membasahi pipinya yang sudah dibedaki dengan langir, semacam bedak berwarna kuning. Adiguna yang mengintai dan mendengarkan di atas genteng, tidak merasa heran mendengar cerita tentang segala macam pinjaman yang dibebaskan itu. Lagu lama bagi si miskin di dusun-dusun. Memang demikianlah nasib si kecil yang miskin di dusun.
Sudah diperas, digencet, dinodai kehormatannya, masih harus berterimakasih lagi! Dan si kaya yang berkuasa yang menipu, memikat, memancing kemudian meminta korban gadis orang, masih dipuji-puji lagi sebagai seorang Budiman! Melihat keadaan Sutinah itu, Adiguna maklum bahwa sebagaimana lain gadis yang senasib sependeritaan, Sutinah akhirnya akan tunduk dan menyerah, lalu mengalah dan menyesali untung! Pada saat Adiguna hendak melompat turun lagi oleh karena merasa dalam hal ini ia tidak berhak dan tak dapat ikut campur, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang bergerak cepat dipekarangan belakang yang gelap dan sunyi! Pandangan matanya yang tajam dapat menembus gelap dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang pemuda yang bergerak mencurigakan, seperti seorang pencuri lakunya.
Adiguna lalu melompat kebagian paling belakang dan mengintai. Dilihatnya bayangan tadi kini berdiri di ujung pekarangan yang gelap sambil bersedekap tak bergerak. Ia merasa heran sekali dan memandang penuh perhatian. Tiba-tiba ia merasa betapa dari arah pemuda itu datang hawa yang aneh dan setelah mencurahkan perhatiannya, Adiguna tersenyum geli. Ternyata bahwa pemuda itu sedang mengerahkan aji kesaktian dan mendatangkan sirep kepada seisi rumah! Ia merasa kagum juga melihat pengaruh sirep yang amat kuat itu hingga lambat-laun keadaan di dalam rumah makin sunyi. Tamu-tamu yang duduk bercakap-cakap mulai menguap dan bahkan ada yang sudah mendengkur tertidur sambil duduk menghadapi hidangan dan minuman.
Akan tetapi, gamelan dan wayang bermain terus dan hal ini menandakan bahwa ki dalang itupun memiliki kekuatan yang luar biasa dan tidak mempan dijatuhi sirep pemuda itu. Adiguna makin tertarik dan ingin sekali ia melihat apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemuda itu. Apakah ia seorang maling biasa" Akan tetapi mengapa ia harus menjatuhkan sirep yang demikian hebatnya. Tentu ada maksud yang lain lagi. Maka diam-diam Adiguna lalu membaca mantera dan menambah kekuatan aji sirep pemuda itu hingga sebentar saja suara gamelan menjadi tidak karuan bunyinya karena sebagian besar pemukulnya telah tertidur dan tak lama kemudian gamelan itu berhenti sama sekali, juga ki dalang yang mempunyai kepadaian tinggi itupun kena pengaruh sirep Adiguna dan tertidur dengan kedua tangannya masih memegang wayang! Pemuda itu lalu bergerak cepat dan masuk ke dalam rumah.
Adiguna melompat turun bagaikan sehelai daun melayang dan tidak menimbulkan suara lalu mengejar dan mengintai. Ternyata bahwa pemuda itu adalah seorang yang gagah dan tampan, berkulit hitam manis dan berkumis kecil di bawah hidungnya yang lurus mancung. Ia langsung menuju ke kamar pengantin dan Adiguna mengintainya dengan perasaan makin tegang dan heran! Ketika tiba di dalam kamar pengantin, ternyata bahwa Ibu pengantin telah tertidur sambil meringkuk bagaikan seekor kucing, sedangkan Sutina sendiri sambil duduk menyandar bilik. Dengan perlahan pemuda itu lalu mempergunakan jari-jari tangan kirinya menyentuh muka gadis itu mengusap wajah manis itu tiga kali. Sutinah membuka matanya dan memandang dengan mata terbelalak. Untuk sejenak ia bingung dan tak tahu apa yang telah terjadi. Kemudian ia memandang pemuda di depannya itu dan berbisik,
"Kang Teja!" "Ssstt?" pemuda itu menaruh telunjuk pada mulutnya minta agar supaya gadis itu tidak mengeluarkan suara keras.
Gambar 0401 "Sutinah, aku datang untuk menolongmu. Marilah kau ikut aku melarikan diri!" Gadis itu masih memandangnya dengan mata terbelalak dan timbul keraguan pada matanya.
"Kang Teja" aku" aku takut!"
"Takut" Mengapa" Takut apa?" tanya pemuda itu.
"Bagaimana kalau mereka mengetahuinya" Kita akan celaka dan kau... Kau akan dibunuhnya!" Wajah gadis itu memucat di balik bedak langirnya. Pemuda itu tersenyum menghibur.
"Jangan kita persoalkan hal itu sekarang. Pokoknya, Tinah, apakah kau cinta kepadaku seperti aku mencinta padamu?"
"Kau masih bertanya lagi, kang Teja" Kau tahu bahwa tidak ada laki-laki lain yang kucinta selain engkau!"
Pemuda itu mengangguk puas.
"Nah, kalau begitu mengapa kau ragu-ragu" Apakah kau suka menjadi isteri muda Raden Panji?" Gadis itu memandang marah.
"Aku lebih suka mati!"
"Kalau begitu, apakah tidak lebih baik mati disampingku daripada, disamping bandot tua itu?" Keraguan Sutinah melemah dan ia bangkit berdiri.
"Kang, kau betul-betul berani melarikan aku?" Pemuda itu menahan ketawanya.
"Kalau tidak berani masak aku bisa sampai kesini" Semua orang telah kusirep dan tertidur, mari lekas pergi." Dipegangnya tangan gadis itu dan hendak menariknya keluar dari kamar.
"Nanti dulu, kang..."
"Ada apa lagi?"
"Uang pemberian Raden Panji yang disimpan Ayah" apakah tidak lebih baik kita bawa untuk keperluan kita?" Suara pemuda yang bernama Suteja itu terdengar sunguh-sungguh ketika ia menjawab perlahan,
"Sutinah! Jangan kita sentuh uang itu! Aku tidak sudi mengotori tangan mengambil uangnya! Uang itu akan menodai usaha kita yang suci. Kita saling mencinta dan tidak sudi diganggu oleh tua bangka bandotan itu, mengapa kita harus mengambil uangnya" Tidak, Tinah, biarpun aku miskin akan tetapi untuk keperluan kita berdua, aku akan berusaha dengan jalan bersih."
Tanpa membantah lagi, Sutinah lalu ikut pemuda itu berlari ke tempat gelap. Adiguna yang menyaksikan dan mendengar semua ini, berdiri diam bagaikan patung. Ia merasa terharu dan kagum menyaksikan kegagahan dan kejujuran Suteja. Mendapat seorang suami seperti pemuda itu, dapat dipastikan bahwa hidup sutinah tentu akan berbahagia, apalagi mereka saling mencinta. Jauh lebih baik hidup miskin di samping orang yang dicintainya daripada hidup mewah dan kaya raya di samping seorang bandotan tua yang dibencinya. Adiguna tersenyum senang dan merasa bersyukur melihat peristiwa tadi. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan.
"Tolong" Tolongg" maling" maling!" Ini adalah teriakan ki dalang yang karena memiliki kekuatan batin yang lebih daripada orang-orang biasa, maka dapat tersadar lebih dulu dari pengaruh sirep. Mendengar teriakannya ini, orang-orang yang tadi kena sirep juga tersadar karena Suteja sudah pergi dari situ dan tidak menjaga atau memperkuat daya sirepnya. Dan dari jauh terdengar teriakan-teriakan orang banyak dan nampak orang-orang datang membawa obor ditangan. Ini adalah rombongan Raden Panji, karena mendengar keganjilan yang terjadi di rumah Kromojali.
Oleh karena yang terkena sirep hanya orang-orang di rumah Kromojali, maka ketika tiba-tiba gamelan wayang berhenti berbunyi, para tetangga menjadi heran dan ketika ada yang menjenguknya dan melihat betapa semua orang tertidur dalam keadaan yang aneh dan lucu, ada yang mulutnya masih penuh makanan yang belum dikunyahnya telah tertidur pula sambil duduk dan di tangan memegang makanan, maka orang itu lalu berlari sambil memberi kabar kepada yang lain hingga malam-malam Randen Panji datang membawa rombongannya dengan obor di tangan sambil berlari-lari. Ketika mereka mendengar teriakan-teriakan ramai di rumah pak Kromojali, mereka makin khawatir dan mempercepat larinya. Alangkah kaget dan marahnya Raden Panji ketika tiba disitu dan mendapat kenyataan bahwa pengantin wanita telah lenyap digondol maling!
"Bangsat kurang ajar!" Teriaknya dengan kumis berdiri. Orang-orang menjadi panik dan semua orang heran akan peristiwa yang aneh itu. Kebetulan sekali wayang itu melakonkan cerita Narayana Maling Puteri dan sekarang puteri pak Kromojali yang lenyap digondol maling! Siapakah gerangan maling yang teramat berani dan yang telah memcontoh perbuatan Narayana dalam cerita wayang itu"
"Ayo kita kejar! Kita cari sampai dapat! Biar aku sendiri membunuh mampus keparat yang berani kurang ajar itu!" teriak Raden Panji yang segera mengatur orang-orangnya untuk mencari dan mengejar ke berbagai jurusan. Akan tetapi, tiba-tiba dari atas genteng terdengar suara ketawa berkakakan dan suara ketawa ini demikian kerasnya membuat semua orang yang berada di bawah tersentak diam ketakutan.
"Raden Panji"!!" Tiba-tiba terdengar suara yang besar dan menyeramkan. "Tak perlu kau mencari! Pengantinmu telah kuambil karena ia tidak pantas menjadi isteri seorang bandot tua yang telah banyak mempunyai isteri sepeti engkau!" Semua orang merasa ketakutan dan Raden Panji marah sekali. Dia adalah seorang keturunan bangsawan dan sedikit banyak ia memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian.
"Iblis keparat! Siapakah engkau yang berani mempermainkan Raden Panji" Turunlah kalau engkau memang jantan!" Kembali terdengar suara tertawa yang keras dan membuat bulu tengkuk berdiri.
"Ha-ha, Raden Panji! Engkau naiklah kalau ingin merebut kembali pengantinmu!" Raden Panji mencabut kerisnya dan ia lalu melompat ke arah genteng rumah pak Kromojali. Kaki kirinya menginjak patah papan genteng, akan tetapi ia dapat juga menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tidak terjatuh kembali kebawah. Ia memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak melihat bayangan orang.
Ia melangkah maju dan melompat ke atas wuwungan rumah itu. Tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar dan ketika memutar tubuh sambil mengayunkan kerisnya untuk menyerang, tiba-tiba ia merasa betapa tubuhnya terdorong oleh semacam tenaga yang aneh dan kuat sekali hingga ia tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan tubuhnya lalu terguling dan menggelundung ke bawah! Baiknya Raden Panji memang tangkas dan gesit, maka ketika merasa bahwa tubuhnya jatuh ke bawah, ia dapat menggerakkan kaki tangan dan mengatur sedemikian rupa hingga ketika tubuhnya tiba di tanah, ia jatuh dengan kaki dan tangan di depan dan tidak mengalami luka-luka hebat. Kembali terdengar tertawa mengejek dari atas genteng hingga Raden Panji merasa marah luar biasa. Ia acung-acungkan kerisnya yang masih berada di tangannya ke arah genteng dan berseru,
"Iblis keparat, mengakulah siapa engkau?"
"Aku adalah Kala Kaprah, penunggu hutan disebelah selatan! Sutinah telah kubawa untuk menjadi isteriku yang tercinta, dan mereka yang merasa penasaran, boleh naik kesini atau menyusulku ke hutan!"
"Iblis laknat! Engkau pengecut! Kalau engkau memang gagah, jangan main-main sembunyi dan keluarlah!" kata Raden Panji yang memberi isyarat kepada kaki tangannya untuk bersiap hingga orang-orang itu telah mencabut senjata masing-masing dan bersiap sedia dengan hati gentar! Tiba-tiba dari atas genteng berkelebat sesosok bayangan bagaikan seekor gardu melayang turun dan menyambar. Semua orang merasa ngeri dan terkejut. Raden Panji mengangkat kerisnya menyambut bayangan yang turun menyambar itu, akan tetapi ia segera memekik kesakitan dan kerisnya dapat terampas oleh bayangan itu.
Sambil tertawa menyeramkan, bayangan itu lalu mematahkan keris Raden Panji. Semua kawan-kawan Raden Panji menyerbu, akan tetapi bayangan itu gesit sekali gerakan-gerakannya hingga tak dapat terlihat nyata mukanya, berkelebat kesana kemari membagi-bagi pukulan dan tendangan hingga keadaan menjadi kalang-kabut dan banyak orang pembantu Raden Panji terlempar dan jatuh saling tindih! Raden Panji sendri yang mendapat serangan pertama, telah patah tulang lengannya dan kini merintih-rintih sambil memegangi lengan tangannya! Kemudian bayangan itu lalu melarikan diri cepat sekali menuju ke selatan dan menghilang di dalam gelap! Tentu saja dapat diduga bahwa yang menjadi setan ini bukan lain ialah Adiguna dalam usahanya membantu Sutinah yang melarikan diri dengan kekasihnya menuju ke utara.
Ia sengaja memancing Raden Panji dan orang-orangnya hingga tidak melakukan pengejaran, memberi kesempatan kepada sepasang merpati itu untuk terbang pergi jauh meninggalkan tempat itu. Juga ia sengaja memberi tahu bahwa ia membawa Sutinah ke hutan sebelah selatan untuk membelokkan perhatian Raden Panji dan kaki tangannya. Setelah melakukan perbuatan ini, sambil tersenyum-senyum puas dan geli, Adiguna melanjutkan perjalanannya. Sebagaimana yang ia telah duga dan rencanakan, pada keesok harinya Raden Panji disertai banyak sekali orang-orangnya, pergi ke hutan di sebelah selatan dan mencari-cari Sutinah, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan gadis yang kini telah berada jauh di utara bersama pemuda kekasihnya untuk menempuh hidup baru yang penuh bahagia!
Pada suatu hari Adiguna tiba di dusun Gandekan. Dusun ini berada di sebelah selatan kali dan keadaan dusun ini nampak tenteram dan makmur. Kaum tani yang mengerjakan sawah di sekitar Gandekan, bekerja sambil menembang, menandakan bahwa keadaan penghidupan di dusun itu memang baik dan serba cukup. Ketika Adiguna berjalan perlahan di atas lorong yang diapit sawah ladang yang amat luas dan suburnya itu, ia melihat para petani bekerja dengan rajin dan seorang laki-laki yang sudah tua berdiri di atas gelengan sawah memberi petunjuk-petunjuk kepada mereka yang sedang menanam padi. Orang tua ini berwajah peramah dan baik hati dan melihat sikap para petani terhadap dia, Adiguna dapat menduga bahwa orang tua ini tentulah pemimpin mereka atau setidaknya Lurah dusun di depan itu.
Ia menjadi amat tertarik karena sikap kakek ini berbeda dengan orang-orang yang menjadi Lurah di dusun-dusun lain. Orangnya bersikap ramah-tamah, sederhana dan jelas kelihatan bahwa ia amat menghargai tenaga para petani di kampungnya. Pada waktu itu, matahari telah naik tinggi dan panasnya bukan main. Adiguna lalu pergi ke sebuah pohon di pinggir jalan dekat tempat itu, dan duduk berteduh di bawah pohon sambl melihat petani-petani bekerja. Dari arah desa datang dua orang yang memikul keranjang. Ketika mereka ini tiba di tempat dimana kakek itu memberi petunjuk dan contoh kepada para petani dengan turun tangan sendiri ikut membantu menanam padi, dua orang pemikul keranjang itu berhenti. Kakek itu lalu berdiri dan berteriak dengan suara nyaring,
"Berhenti dulu, kawan-kawan! Kita mengisi perut dulu!" Maka berhentilah semua petani dan meninggalkan pekerjaannya lalu menghampiri dua orang pemikul keranjang itu dengan wajah gembira. Ternyata bahwa yang dipikul itu adalah sebuah keranjang besar berisi makanan. Petani-petani laki perempuan yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu lalu duduk di atas rumput dan nasi serta sayur-mayurnya dibagi-bagi. Dari dalam keranjang juga dikeluarkan empat buah kendi berisi air jernih. Tak enak sekali hati Adiguna melihat orang makan minum dengan senang itu, karena ia sendiri juga merasa amat lapar. Ia lalu berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu memanggilnya,
"Hai, sahabat. Marilah kau ikut makan dan membantu kami menghabiskan nasi ini!" suaranya terdengar ramah-tamah sekali, dan banyak mulut petani-petani itupun lalu menawarkan makanan kepada Adiguna. Adiguna merasa malu sekali.
"Terima kasih, terima kasih. Saudara-saudara makanlah dengan enak, aku tak berani mengganggu."
"Eh-eh, mengapa begitu, nak?" kata kakek tadi. "Tak baik menolak rezeki. Marilah, jangan malu-malu. Setelah kebetulan engkau berada di sini, engkau terhitung orang kami sendiri!" Adiguna merasa malu dan tidak enak untuk menolak terus, maka iapun lalu menghampiri mereka. Banyak pasang tangan yang segera menyambutnya dengan ramah dan ia mendapat bagiannya pula, nasi merah dengan sayur terong dan sambal. Sungguhpun hidangan itu amat bersahaja, namun Adguna makan dengan enaknya.
Ia melihat betapa keramah-tamahan semua orang ini keluar dengan sewajarnya dari hati yang tulus ikhlas, jujur dan baik. Oleh karenanya, ia merasa gembira sekali. Makan bersama ini membuat ia mendapat perasaan seakan-akan ia berada di tengah-tengah keluarga sendiri yang besar, hingga tiba-tiba ia merasa terharu sekali. Dengan mata berseri, ia memandang dan menatap semua wajah mereka seorang demi seorang dan mendapat kenyataan bahwa mereka ini benar-benar petani tulen yang berhati jujur dan bersih, sejujur sifat tanah yang sehari-hari mereka kerjakan. Hanya kakek itu saja yang mempunyai wajah cerdik dan berpengalaman. Setelah selesai makan, semua petani lalu merokok dan kembali ke pekerjaan masing-masing, sedangkan kakek tadi duduk bercakap-cakap dengan Adiguna sambil menghisap rokok klobotnya.
"Banyak terima kasih atas budi kebaikanmu ini, pak," kata Adiguna dengan gembira. "Kalian sungguh-sungguh orang-orang baik dan saat aku makan dengan kalian tadi adalah saat yang paling bahagia bagiku dan yang takkan mudah kulupakan." Adiguna mengeluarkan ucapan ini dengan sejujurnya, dan kakek itu memandangnya dengan muka mengandung iba hati.
"Anak muda," katanya dengan suara lemah lembut, "melihat keadaanmu, tentu kau seorang yang datang dari tempat jauh dan mungkin sekali kau ini seorang pemuda perantau. Memang hidup merantau amat sengsara, karena kau tidak mengenal kebahagian kekeluargaan. Kalau kau merasa suka tinggal disini, tinggallah bersama kami, kami akan menerimamu dengan segala senang hati." Adiguna tersenyum dan diam-diam ia merasa kagum akan kebaikan yang tulus ikhlas ini. Ia tahu bahwa bangsanya memang bangsa yang ramah-tamah, penuh perikemanusiaan, jujur dan suka menolong sesama manusia. Akan tetapi, jarang ia bertemu dengan seorang yang seperti kakek ini, yang dengan tepat dapat mengetahui keadaan dan yang tanpa ragu-ragu hendak menerimanya sebagai keluarga kampung itu.
"Bapak yang berhati mulia, terima kasih atas tawaran ini. Dusun apakah namanya tempatmu ini dan siapa gerangan bapak ini yang memimpin para petani?" Kakek itu tersenyum,
"Dusun kami bernama dusun Gandekan dan aku adalah Lurah mereka." Adiguna segera menjura dan menyatakan hormatnya,
"Ah tidak tahunya bapak adalah pak Lurah Gandekan. Maaf, maaf, aku berlaku kurang hormat." Pak Lurah Gandekan tersenyum ramah,
"Ha-ha, anak muda. Siapakah aku ini maka harus mendapat perlakuan berbeda" Seorang Lurah bukanlah seorang bangsawan agung yang harus dipuja-puja. Aku hanyalah seorang Lurah yang menjadi bapak seluruh penduduk Gandekan." Adiguna merasa kagum sekali. Jarang ada Lurah sesederhana dan sebaik ini. Biasanya Lurah dusun yang ia lihat adalah orang-orang yang ingin berkuasa saja, ingin mempengaruhi seluruh penduduk dan bersikap seolah-olah ia adalah raja kecil di dalam dusunnya. Maka ia merasa amat girang dapat bertemu dengan Pak Lurah Gandekan ini.
"Pak Lurah, tidak heran apabila rakyatmu bekerja dengan rajin dan dusunmu menjadi makmur, karena dusun Gandekan mempunyai seorang Lurah yang bijaksana seperti bapak!" Tiba-tiba Pak Lurah tua ini menghela napas.
"Tidak semakmur yang kau duga atau yang kuhendaki. Telah beberapa hari ini dusun kami mendapat gangguan luar biasa dari seorang maling. Beberapa orang yang keadaannya lumayan didatangi dan dicuri uangnya oleh maling ini. Kami telah mengerahkan seluruh tenaga peronda dan penjaga, namun sia-sia saja. Maling itu terlampau cerdik bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau saja meneruskan aksinya di kampung kami, sebentar saja Gandekan akan mengalami penderitaan hebat!" Adiguna tertarik sekali hatinya.
"Bagaimana bapak tahu bahwa maling itu memiliki ilmu kepandaian tinggi?"
"Pernah ia terkepung oleh barisan peronda yang mengintai dan kemudian ia dikeroyok, akan tetapi, belasan orang peronda dengan mudah dapat dirobohkannya semua!" Adiguna terkejut, karena maling yang dapat merobohkan belasan orang peronda bukanlah maling biasa! Kemudian ia minta penjelasan dari Pak Lurah Gandekan yang segera menceritakan bahwa telah beberapa hari ini, tiap malam pasti terjadi pencurian, dan yang dicuri uang dalam jumlah besar dari para penduduk yang agak baik keadaannya. Pencuri itu sama sekali tidak meninggalkan bekas dan ia selalu masuk ke dalam rumah melalui jendela atau pintu yang dibukanya dengan cara luar biasa sekali, bahkan kadang-kadang ia turun dari atap rumah.
"Pak Lurah, aku telah menerima kebaikan penduduk Gandekan dan sudah seharusnya aku membantu kalian apabila terjadi kesukaran. Apalagi dusun yang mempunyai penduduk sebaik kalian, bahkan seandainya aku tidak diterima dengan baik-baikpun, sudah menjadi kewajibanku untuk menolong. Biarlah malam nanti kucoba untuk menangkap maling sakti itu!" Semenjak pertama kali bertemu dengan Adiguna, Pak Lurah Gandekan memang telah dapat menduga bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang pemuda sembarangan, bahkan tadinya a menaruh curiga jangan-jangan pemuda ini adalah maling sakti itu! Kini mendengar janji Adiguna, ia merasa girang sekali.
"Kau gagah dan baik sekali, nak. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?"
"Aku yang rendah dan bodoh bernama Adiguna dan datang dari dusun Pakem" Pak Lurah Gandekan nampak terkejut,
"Pakem, dusun yang telah mengadakan pemberontakan itu?" Adiguna tersenyum.
"Sudah begitu luaskah menjalarnya berita itu" Benar, pak lurah, memang dusun Pakem yang kau maksudkan itu. Akan tetapi, jangan khawatir, aku bukanlah seorang pemberontak!" Demikianlah, malam hari itu Adiguna bermalam di rumah Pak Lurah Gandekan, dan setelah malam tiba, pemuda ini lalu keluar melakukan pengintaian. Sebelum keluar, ia bertanya kepada pak Lurah dimana rumah-rumah yang belum didatangi maling itu dan kiranya didatangi maling, yakni rumah-rumah orang-orang yang keadaannya cukup kaya.
Ia melakukan pengintaian dan berkeliling sambil mempergunakan ilmu kepandaiannya berjalan cepat hingga tak ada orang yang melihatnya. Kurang lebih jam dua belas tengah malam, tiba-tiba ia melihat bayangan orang yang berlari cepat sekali dibawah sinar bulan purnama. Bayangan ini tidak saja berlari cepat, akan tetapi kedua kakinya tidak mengeluarkan suara, seakan-akan kedua kaki itu tidak menginjak bumi. Adiguna terkejut dan heran, karena dapat menduga bahwa ini tentulah maling yang ternyata benar-benar berkepandaian tinggi. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mengejar tanpa diketahui oleh yang dikejarnya. Benar saja seperti dugaannya, orang yang dikejarnya itu menuju ke sebuah rumah orang kaya di ujung timur dan ketika tiba di dekat rumah itu, ia lalu bersembunyi di balik sebatang pohon dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi.
Adiguna juga bersembunyi dan mengintai dengan pandangan mata tajam. Ia ingin menyaksikan bagaimana cara bekerjanya maling sakti ini. Ia melihat betapa maling itu duduk bersila di bawah pohon dan diam tak bergerak seperti orang ber samadhi, maka tahulah ia bahwa maling sakti itu sedang mengeluarkan aji sirepnya untuk membuat seisi rumah itu tertidur nyenyak. Kemudian, maling itu lalu berdiri dan menghampiri rumah itu dengan perlahan. Ia meraba-raba daun pintu dan ketika mendapat kenyataan bawah daun pintu itu terpalang kokoh kuat, ia lalu menghampiri jendela. Akan tetapi, juga jendela ini tertutup dan terkunci kuat-kuat, karena semenjak di dusun itu terjadi banyak pencurian, setiap orang mengunci pintu dan jendela rumah mereka kuat-kuat.
Maling itu lalu melangkah mundur, kemudian tiba-tiba ia melompat ke atas atap rumah. Adiguna merasa kagum sekali oleh karena ilmu lompat maling itu cukup hebat. Ia tetap menanti di luar oleh karena hendak menangkap basah pencuri itu. Ia tak usah lama menanti karena agaknya sebentar saja pencuri itu beraksi di dalam rumah. Kini ia keluar melalui pintu samping, setelah membuka palang pintu dari dalam dan dengan enaknya ia keluar seperti keluar dari rumahnya sendiri saja. Di pundaknya terdapat sebuah buntalan kain yang besar dan berat, dipegang dengan tangan kiri. Ketika melihat wajah pencuri itu di bawah sinar bulan, Adiguna makin heran, karena pencuri itu adalah seorang yang masih muda dan tampan. Ia segera melompat ke depan pencuri itu sambil membentak,
"Maling sakti, menyerahlah untuk menebus dosamu terhadap penduduk Gandekan!" Maling itu terkejut karena melihat betapa pemuda yang datang ini memiliki kepandaian melompat demikian hebatnya. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu maju menyerang dengan tangan kanannya. Pukulan ini hebat dan mendatangkan angin karena kerasnya. Adiguna menangkis untuk mencoba tenaga itu dan tangkisan ini membuat maling itu terhuyung ke samping. Karena tahu bahwa kali ini bukan menghadapi peronda atau penjaga biasa, akan tetapi seorang lawan tangguh, maling itu tidak berani berlaku sembrono.
Terpaksa ia melepaskan buntalan yang dipegangnya di tangan kirinya agar ia dapat melawan dengan menggunakan kedua tangan. Maka berkelahilah mereka dengan hebat, saling pukul, saling tendang dan mengeluarkan ilmu kepandaian masing-masing. Akan tetapi, ternyata bahwa maling itu tidak cukup sakti untuk menghadapi Adiguna yang tangguh. Setelah berkali-kali pukulannya diterima dengan tenang oleh Adiguna yang seakan-akan tidak merasa sesuatu, maling itu maklum bahwa ia takkan mungkin menang. Tiba-tiba ia berseru keras sekali hingga Adiguna merasa terkejut karena tubuhnya menjadi lemas! Ia maklum bahwa ini tentu semacam aji kesaktian yang luar biasa, maka ia lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan seruan ini.
Ia berhasil menolak pengaruh itu akan tetapi kesempatan ini digunakan oleh maling itu untuk melarikan diri dengan cepat. Adiguna mengejar dan ia sengaja tidak mau menyusul karena ia memang ingin tahu dimana tempat tinggal maling sakti yang muda ini. Ternyata bahwa maling itu lari terus ke timur dan Adiguna juga tetap mengejar. Jarak antara kedua orang yang berlari-lari ini tak pernah berubah. Maling itu beberapa kali berpaling dan mengeluh dengan gugup ketika melihat bahwa pemuda yang sakti itu masih saja mengejarnya! Mereka telah berkejar-kejaran jauh sekali dan setelah tiba di dalam sebuah dusun kecil dan miskin, maling itu lalu masuk ke dalam sebuah pondok bobrok yang terbuka pintunya. Adiguna mengetuk pintu pondok itu dan seorang petani yang berpakaian penuh tambal-tambalan membuka pintu.
"Maaf, pak. Baru saja ada seorang pemuda masuk di dalam pondokmu. Aku mengejar dia dan suruhlah dia keluar."
"Kau siapa dan mengapa malam-malam menggangguku" Di rumahku tidak ada siapa-siapa dan juga tidak ada orang yang masuk kesini!"
"Jangan begitu, pak. Aku mengejar seorang maling dan kulihat jelas bahwa ia masuk ke dalam pondok ini. Apakah dia itu anakmu?"
"Tidak, tidak ada siapa-siapa disini!" kata orang tua itu sambil bergerak hendak menutupkan daun pintu.
Akan tetapi, tiba-tiba Adiguna terkejut sekali. Ia mengenal sinar mata ini!
"Kaulah orangnya!" katanya sambil cepat mengulurkan tangan hendak menangkap. Akan tetapi maling sakti yang dengan cepat telah dapat menyamar sebagai seorang kakek itu lalu mengelak dan melompat lagi sambil mendengarkan suara ketawa! Adiguna menjadi gemas dan cepat mengejar lagi. Akan tetapi, oleh karena kini mereka berkejaran di dalam sebuah kampung, agak sukar juga bagi Adiguna untuk menangkap maling itu yang berlari-lari memutari rumah-rumah. Adiguna lalu mendapat akal. Ia melompat dan memanjat pohon cemara yang tinggi dan duduk di atas puncak pohon itu sambil memandang tajam. Benar saja, dari tempat tinggi ini ia dapat melihat segala gerak-gerik maling itu.
Ketika maling itu tidak melihat pengejarnya lagi, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah dan keluarlah beberapa orang dari rumah itu. Cepat sekali maling itu masuk ke dalam rumah dan pintu ditutup lagi. Adiguna tersenyum puas. Ia telah tahu kediaman tempat tinggal maling sakti yang cerdik itu. Ia merasa kurang baik kalau malam-malam bergerak dan menangkap maling, karena takut kalau-kalau mengganggu penduduk kampung itu, maka ia lalu menanti sampai malam berganti pagi. Setelah rumah-rumah di kampung itu semua pintunya telah terbuka, Adiguna dengan tindakan tenang menuju ke rumah itu. Ia melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggiring kerbaunya keluar dari kandang dan agaknya orang itu hendak bekerja di sawah, karena iapun telah mengeluarkan bajaknya. Melihat kedatangan Adiguna, orang itu lalu bertanya,
"Saudara hendak mencari siapa?" Adiguna tersenyum dan merasa geli hatinya. Ternyata bahwa orang ini sudah mengetahui maksudnya, karena pertanyaan hendak mencari siapa ini juga sudah cukup membongkar keadaan hatinya! Maka langsung pula ia menjawab,
"Aku hendak mencari maling sakti yang mengganggu dusun Gandekan!" Orang itu nampak marah.
"Apa katamu" Jangan engkau main-main, kawan. Mengapa engkau mencari maling di rumahku" Apakah engkau mau berkata bahwa aku adalah seorang maling?" Ia melepaskan tali kerbau yang tadi dipegangnya dan menghampiri Adiguna. Tubuhnya yang besar dan kuat itu menegang, siap untuk berkelahi!
"Tenang, sahabat!" kata Adiguna, "Bukan engkau pencuri yang kumaksudkan itu, akan tetapi ia bersembunyi di dalam rumahmu. Suruhlah dia keluar dan menyerah kepadaku!"
"Bangsat! Jangan engkau menghina orang! Aku hanya hidup dengan seorang Ayah yang telah tua, seorang isteri dan dua orang anak, serta seorang adik perempuan. Tidak ada maling disini!"
"Maaf, saudara yang berangasan! Bolehkah kiranya aku menemui keluargamu itu untuk membuktikan sendiri bahwa benar-benar di rumahmu tidak ada maling?"
"Kurang ajar! Engkau tidak percaya omonganku?" Pada saat itu, dari dalam rumah keluar dua orang anak laki-laki kecil dan petani itu segera berkata kepada anak-anaknya,
"Suruh kakekmu dan Ibumu keluar!" Kedua orang anak itu lalu berlari masuk dan tak lama lagi dari pintu itu keluarlah seorang kakek-kakek dan seorang wanita, Ibu kedua orang anak kecil tadi.
"Nah, inilah Ayahku dan ini isteriku. Apakah mereka ini patut menjadi maling?" Adiguna tersenyum tenang.
"Masih ada adik perempuanmu, kawan, dan ia belum keluar."
"Keparat kurang ajar! Jadi engkau masih tidak percaya" Hai, Untari"! Keluarlah engkau sebentar!" Adiguna memandang tajam ke arah pintu dan ketika gadis yang bernama Untari itu keluar, terkejutlah dia. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis ini lemah lembut dan manis sekali wajahnya, akan tetapi mata itu!! Mata itu tiada bedanya dengan mata maling sakti yang telah bertempur dengannya malam tadi, dan sama pula dengan mata petani tua penyamaran maling sakti! Inikah maling sakti yang dikejar-kejarnya malam tadi" Ah, tidak mungkin! Akan tetapi mata itu! Ia tidak bisa salah lagi, pasti inilah malingnya!
"Ada apakah kang?" tanya gadis itu dengan suaranya yang halus dan merdu.


Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemuda kurang ajar ini hendak melatihmu!" Gadis itu mengerling ke arah Adiguna dan merahlah wajahnya.
"Siapakah dia" Aku tidak mengenalnya," katanya.
"Maaf " maling itu" eh" aku" aku yakin bahwa maling sakti yang kukejar malam tadi masuk ke rumah ini dan" dan" maling itu" matanya sama benar dengan matamu, nona!" kata Adiguna dengan gagap.
"Memang pemuda kurang ajar!" kata petani itu sambil mengepal tinju. Sementara itu, peristiwa ini menarik perhatian semua orang dusun yang segera menghampiri dan mengelilingi mereka. Sikap mereka ini rata-rata memperlihatkan kemarahan kepada Adiguna hingga pemuda ini merasa serba salah dan juga heran. Agaknya semua orang dusun ini membela si maling sakti!
"Di dusun ini memang banyak terdapat orang-orang yang hampir serupa bentuk dan mukanya," kata gadis itu.
"Akan tetapi tidak ada mata yang sama sinarnya," kata Adiguna dengan pandangan mata tajam menatap mata gadis itu. Untari tersenyum dan makin manislah wajahnya yang ayu.
"Dan sinar mataku bagaimanakah?"
"Sinar matamu sama benar dengan sinar mata maling sakti tadi, sama bening, sama tajam dan bentuknya sama... indah." Kembali memerah wajah gadis itu, sedangkan kakaknya lalu melangkah maju dan mengamang-amangkan tinjunya yang besar.
"Pemuda kurang ajar! Ayoh, kau lekas pergi dari dusun kami, kalau tidak, kuhancurkan mukamu yang halus itu!"
"Tidak! Aku baru mau pergi kalau maling sakti ini suka ikut padaku untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosanya kepada penduduk Gandekan! Aku merasa pasti bahwa adik perempuanmu inilah malingnya!" Sambil berkata demikian, untuk mencoba, Adiguna lalu mengulurkan tangan dan mempergunakan tenaganya untuk mencengkeram lengan Untari, akan tetapi, dengan gesit gadis itu dapat mengelak!
"Ha, tahulah aku sekarang Untari adikmu inilah malingnya! Maling wanita yang sakti!" Akan tetapi, pada saat itu semua orang dusun yang mengurungnya lalu serempak maju mengeroyoknya! Adiguna terkejut dan berteriak,
"Saudara-saudara, jangan salah faham! Di dalam dusun kalian terdapat seorang maling jahat. Inilah malingnya, gadis ini. Tak salah lagi!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak seorang petani yang berpakaian lapuk. "Jeng Untari yang menjadi penolong dan pembela kami kau sebut maling jahat!" Sambil berkata demikian ia mengayun aritnya dan menyerang kalang kabut! Diam-diam Adiguna maklum bahwa kiranya Untari adalah seorang maling haguna, yaitu maling yang menjalankan pekerjaan khusus untuk menolong orang-orang yang menderita sengsara karena kemiskinannya. Ia pernah mendengar tentang adanya maling-maling haguna seperti ini dan perbuatan mereka itu betapapun juga telah mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya. Akan tetapi belum pernah selama hidupnya ia mendengar tentang adanya seorang maling haguna wanita! Dan wanita itu seorang gadis ayu dan muda seperti Untari lagi!
"Tahan dulu!" teriaknya dengan keras hingga para pengeroyoknya menahan senjata masing-masing karena tertarik oleh suaranya yang berpengaruh dan nyaring. "Aku bukanlah seorang peronda atau penjaga dusun Gandekan, dan aku hanyalah seorang perantau yang tidak rela melihat dusun Gandekan diganggu maling! Tak kusangka bahwa maling itu bukan maling biasa. Apakah benar dugaanku bahwa Nona Untari ini seorang maling haguna yang membagikan hasil curiannya kepada rakyat miskin" Kalau memang demikian halnya, aku Adiguna tak akan mau ikut campur!" Kini Untari yang melompat maju dan menghadapi Adiguna tanpa gentar sedikitpun, hingga pemuda ini mengenal lagi pencuri aneh yang bertempur dengan dia malam tadi.
"Benar, aku adalah Untari, maling haguna! Tak perlu aku bersembunyi lagi dan berlaku pengecut menyembunyikan perbuatanku! Kau ingin menangkapku" Boleh, engkau coba saja! Sebelum Untari menggeletak dengan nyawa putus, jangan harap engkau akan dapat menawan aku" Gagah benar sikap gadis ini hingga Adiguna memandang kagum.
"Jangan bersikap galak, sahabat," kata Adiguna sambil tersenyum. "Aku mengejar-ngejarmu karena tidak tahu bahwa engkau adalah seorang maling haguna yang budiman, dan karena aku telah berjanji kepada Pak Lurah Gandekan untuk menangkap pencuri yang mengganggu dusunnya. Sekarang karena ternyata bahwa engkau bukanlah maling jahat biasa, maka akupun tidak mau ambil perduli lagi. Hanya saja, karena kulihat bahwa penduduk Gandekan adalah orang-orang yang baik hati dan lurahnya pun seorang bijaksana, kuharap engkau suka memandang mukaku dan jangan melakukan pencurian disana lagi! Kau pilih orang-orang kaya yang jahat dan kikir di dusun atau kota lain. Aku berjanji tak akan menghalangi pekerjaanmu yang istimewa itu!" Untari memandang wajah Adiguna dan nyata bahwa gadis ini tertarik dan kagum. Memang malam tadipun ia telah selalu memikirkan diri pemuda yang sakti dan yang telah mengalahkannya itu.
"Kau adalah seorang gagah yang jujur, dan nasihatmu itu patut diturut. Akupun tahu bahwa pak Lurah Gandekan adalah seorang bijaksana, maka akupun tak pernah melukai para peronda yang menjaga di dusun Gandekan. Aku hanya mengambil sedikit saja uang orang-orang kaya disana untuk dibagikan kepada para petani miskin disekitar dusun itu pula. Akan tetapi, karena kini telah engkau minta, biarlah aku tidak akan mengganggu Gandekan lagi."
(Lanjut ke Jilid 05) Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05 Untari dan kawan-kawannya hendak mencegah pemuda itu pergi, akan tetapi Adiguna telah mempergunakan kesaktiannya, dan sekali saja berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari kepungan mereka. Untari menghela napas berkenalan dengan pemuda gagah itu. Adiguna lalu menuju ke Gandekan dan kembali ke rumah Pak Lurah. Ia tidak membongkar rahasia Untari, hanya menceritakan bahwa ia dapat membengkuk maling itu dan telah membuatnya bertobat.
"Aku yang menanggung bahwa dusunmu takkan mendapat gangguannya lagi, Pak Lurah. Akan tetapi satu saja pesanku, hendaknya Pak Lurah sudi memperhatikan keadaan rakyat tani yang miskin disekitar dusunmu ini dan kau selidiki baik-baik siapa yang patut mendapat pertolongan dan bantuan agar tidak Timbul hal-hal yang tidak diinginkan." Setelah meninggalkan pesanan ini, Adiguna lalu melanjutkan perjalanannya berkelana brata, yaitu merantau sambil menyebar perbuatan-perbuatan yang bersifat menolong sesama manusia yang menderita sengsara dan membutuhkan pertolongan. Karena ini, namanya sebentar saja menjadi terkenal sebagai seorang pendekar Budiman di dusun-dusun yang pernah dijelajahinya dan pengalamannyapun bertambah banyak.
Setelah beberapa bulan lamanya hidup terasing seorang diri di dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lawu, keadaan Riyatman menjadi seperti seorang liar. Pakaiannya telah hancur dan kini ia hanya mengenakan cawat yang dibuatnya dari kulit harimau yang dibunuhnya. Rambutnya panjang dan mukanya penuh kumis dan jenggot. Akan tetapi, tubuhnya makin tegap mukanya makin gagah. Ia hidup menyendiri, memburu binatang buas dengan tombak dan anak panah yang dibuatnya sendiri. Cita-citanya untuk membalas dendam masih saja menyala di dalam hati, sungguhpun ia tidak melihat adanya kesempatan untuk melakukan hal ini.
Ia tidak berdiam di tempat tertentu, melainkan mengembara dan berpinda-pindah dari satu ke lain hutan. Telah seringkali ia bertemu binatang buas dan menghadapi bahaya maut, akan tetapi berkat ketangkasan dan kegagahannya, ia berhasil menyelamatkan diri dan semenjak berbulan-bulan itu, hanya beberapa luka kecil tak berarti saja bekas terkaman binatang buas yang pernah dideritanya. Tubuhnya yang kuat dan darahnya yang sehat menolak setiap penyakit yang mencoba menghampirinya. Pada suatu pagi, seperti biasa ia pergi memburu binatang hutan. Telah beberapa hari lamanya ia mengintai seekor rusa muda dan mengejar-ngejarnya, karena telah lama sekali ia ingin makan daging rusa muda. Akan tetapi, binatang itu terlampau liar dan gesit hingga usahanya untuk menangkapnya selalu gagal.
Akhirnya ia dapat mengetahui jalan mana yang biasa dilalui rusa ini untuk mencari air minum, maka kini ia mengintai di dalam alang-alang, siap dengan busur dan anak panahnya. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan rusa itu mendatang dari jauh, dengan hati berdebar girang Riyatman menarik busurnya. Anak panah terlepas cepat dan karena rusa itu gerakannya gesit sekali, sasaran tidak mengenai tepat dan anak panah tidak menancap di dada yang diarah Riyatman, akan tetapi menancap perut. Binatang itu memekik keras dan melompat tinggi laru berlari. Riyatman berseru girang dan mengejar, akan tetapi saat itu, seekor bayangan loreng-loreng menerkam dan menubruk rusa itu! Ternyata seekor harimau telah keluar dari tempat persembunyiannya dan sebagaimana Riyatman, dia juga menanti kedatangan rusa itu yang biasanya terlalu cepat baginya itu.
Lolita 1 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Hijaunya Lembah Hijaunya 32
^