Pencarian

Rondo Kuning Membalas 3

Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Kini rusa itu telah terluka dan larinya tidak cepat lagi, maka harimau itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menerkam! Riyatman terkejut dan marah sekali, ia melemparkan busur dan anak panahnya, lalu dengan tombak di tangan ia menyerang harimau itu! Sementara itu, rusa yang muda itu telah kena diterkam dan kini rebah tak berdaya dengan leher terkoyak. Petarugan sengit antara harimau dan Riyatman terjadi. Harimau itu besar sekali dan bertubuh kuat hingga ketika ujung tombak Riyatman meluncur kea rah dadahnya, tombak itu dapat diterkam dan ditangkis dengan kaki depan dan harimau itu sambil mengaum keras lalu maju menubruk. Akan tetapi Riyatman dapat mengelak dan bersiap menghadapi rajah hutan itu. Tiap kali harimau menerkam, Riyatman melompat kesamping sambil memukul dengan tombaknya.
Sebuah tusukannya telah berhasil melukai punggung harimau hingga binatang yang kelaparan itu menjadi makin buas dan mengamuk makin hebat, akan tetapi dengan gagah dan tangkas Riyatman membela diri cukup baik. Ia merasa yakin bahwa kalau ia berlaku tenang, akhirnya ia tentu akan berhasil menundukkan binatang buas ini dan telah terbayang pada matanya betapa ia akan menikmati daging binatang buas ini serta mengulitinya dan kulit itu akan menjadi sebuah celana pendek yang indah. Pada saat itu, sang harimau yang telah mulai lelah, melakukan serangan nekat. Ia tidak menubruk dari atas lagi, akan tetapi langsung menubruk maju dengan kedua kaki depan terpentang lebar ke kanan kiri untuk menjaga lawannya mengelak ke samping, sedangkan mulutnya terbuka lebar memperlihatkan giginya yag tajam bagaikan ujung pisau-pisau belati.
Pada saat Riyatman hendak mengerjakan tombaknya, tiba-tiba dari arah kiri menyambar dua batang anak panah yang tepat menancap di lambung dada binatang itu hingga sang harimau memekik ngeri dan terlempar. Ia berdiri lagi, akan tetapi tombak Riyatman menembusi kulitnya yang tebal dan langsung menusuk jantungnya hingga binatang itu rebah berkelojotan dan mati tak lama kemudian. Riyatman merasa jengkel dan penasaran sekali. Siapakah yang telah berlaku lancing dan merusak "Bahan Celananya" dengan dua tusukan anak panah" Ia berpaling dengan mata marah, akan tetapi matanya memandang terbelalak heran ketika ia melihat seorang gadis bertindak mendatangi dengan gagahnya! Gadis itu memegang sebuah busur kecil di tangan kiri, dan di pingganya terselip sebilah pisau belati yang panjang. Rambut hitam panjang dikucir dan kini membelit lehernya.
Pakaiannya serba ringkas dan singsat. Kutang berwarna hijau muda mengikat dadanya dengan kencang, kainnya yang panjang itu dilibatkan ke pinggang. Gelang terbuat dari akar yang kecil bagaikan dua ekor ular kecil melilit di pergelangan lengannya. Sikapnya sungguh gagah perkasa, mengingatkan Riyatman kepada Srikandi, pendekar wanita dalam cerita perwayangan sebagai tokoh wanita yang terkenal gagah perkasa! Riyatman sama sekali tak dapat menduga bahwa gadis gagah ini bukan lain ialah Bandini, anak bungsu Rondo Kuning, gadis sekampungnya yang dulu pernah dikenalnya. Mana dapat ia mengenal Bandini yang sudah amat berubah itu. Dulu Bandini hanya seorang gadis cilik yang kenes dan nakal. Akan tetapi gadis yang berdiri di depannya dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan bertolak pinggang ini telah merupakan seorang gadis dewasa yang cantik manis dan gagah.
Sebaliknya, Bandini juga tidak dapat mengenal wajah Riyatman yang peram kumis dan yang hanya berpakaian cawat kulit macan tutul hingga lebih pantas menjadi orang hutan yang liar itu. Riyatman memang orang beradat keras dan biarpun ternyata olehnya bahwa yang berlancang tangan melepas batang anak panah tadi adalah seorang gadis jelita, namun amarahnya belum lenyap. Dengan cemberut ia menatap wajah gadis itu. Sementara itu, Bandini yang tadinya mengira akan disambut oleh pemuda liar ini dengan ucapan terima Kasih dan pandangan mata kagum ketika kini melihat bahwa pemuda itu memandangnya dengan marah dan mulut cemberut, iapun menjadi penasaran sekali dan balas memandang dengan marah dan mulut cemberut pula.
"Siapakah engkau ini yang begitu lancang berani merusak kulit buruanku" Siapa engkau yang mengandalkan sendikit kepandaian memanah untuk menyombongkan diri?" Bukan main marahnya Bandini mendengar caci maki ini. Alis matanya yang berbentuk indah dan hitam sekali itu seakan-akan berdiri dan sepasang matanya memancarkan cahaya panas.
"Orang hutan kurang ajar!" teriaknya sambil menunding dengan telunjuknya. "Engkau ini orang hutan liar sungguh tak tahu diri. Kalau aku tidak segera datang dan membunuh harimau itu dengan anak panahku tentu sekarang engkau telah menjadi lumat dimakan macan!"
"Siapa menyuruh kau melepaskan anak panah" Apakah kau tadi mendengar aku berteriak minta tolong" Mengapa kau selancang ini dan menjual kepandaian di hadapanku" Kau kira aku kagum melihat permainan kanak-kanak ini?" Bandini menjadi gemas sekali. Dibanting-bantingnya kakinya dan memaki kalang kabut,
"Orang hutan! Monyet, kera, kunyuk. Seorang binatangpun takkan bersikap serendah sikapmu menghadapi seorang wanita!"
"Seorang wanita" Hm, hm, engkau yang lancang ini tak pantas disebut wanita. Agaknya engkau seorang wadat wandu, seorang bandi!" jawab Riyatman yang menjadi marah jua ketika ia dimaki munyuk monyet. Hampir Bandini menangis karena sebutan ini.
"Bangsat kurang ajar! Aku baru saja menolong jiwamu dari ancaman harimau dan sekarang engkau memaki-maki aku" Bagus! Engkau memang patut dibikin mampus!"
Gambar 0501 "Siapa sudi dan butuh akan pertolonganmu?" jawab Riyatman dengan marah pula. Bandini lalu meletakkan busurnya ke atas tanah dan melompat maju sambil mengirim pukulan tangannya kearah dada Riyatman.
Pemuda ini melihat gerakan pukulan Bandini dan merasa betapa pukulan ini berbahaya datangnya, tidak berani memandang rendah dan segera menangkis. Keduanya lalu berkelahi ramai sekali. Ternyata Bandini telah mempelajari ilmu berkelahi yang hebat juga karena gerakan tubuhnya cepat dan gesit, sebentar menyerang dari kiri, sebentar dari kanan, setiap pukulannya diarahkan ke tempat berbahaya. Riyatman tidak mau mengalah dan juga menangkis sambil membalas dengan serangan-serangannya, akan tetapi ia pantang menyerang dada lawannya dan hanya menujukan pukulan-pukulannya kearah leher dan kepala saja! Biarpun menjadi murid seorang sakti dan berilmu tinggi seperti Eyang Sidik, akan tetapi oleh karena baru beberapa bulan Bandini mempelajari ilmu kepandaian,
Sedangkan lawannyapun bukan seorang pemuda biasa, maka lambat laun Bandini terdesak oleh serangan-serangan Riyatman. Sebetulnya kalau ia mau berlaku kejam tentu akan dapat merobohkan Bandini dengan pukulan keras, akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba hati pemuda ini merasa tidak tega maka ia hanya berusaha untuk menangkap gadis ini atau menyerampang kakinya agar terjatuh. Asal saja ia dapat membikin gadis itu terjungkal dan jatuh mencium rumput, ia akan merasa puas! Sibuk juga Bandini ketika Riyatman berusaha sekuatnya untuk merobohkannya, maka akhirnya dengan gemas ia lalu mencabut pisau belatinya yang tajam mengkilat! Riyatman tertawa mengejek melihat Bandini mencabut belati. Ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa geli.
"Engkau mencabut senjata tajam" Bagus, bagus!" katanya mengejek.
"Keparat! Lekas cabutlah kerismu jika engkau memang jantan! Jangan engkau mengejek orang yang bersenjata karena engkau sendiri juga membawa keris. Cabutlah dan biar kita bertempur mati-matian untuk menentukan siapa yang lebih gagah!" Riyatman mencabut keris yang terselip pada pinggangnya akan tetapi ia tidak hendak menggunakan senjata itu untuk berkelahi.
"Lihat!" katanya, "untuk menghadapi kau saja aku tak perlu mempergunakan senjata tajam!" Sambil berkata demikian, Riyatman melempar kerisnya kearah sebatang pohon jati yang terpisah kurang lebih tiga tombak dari tempatnya. Kerisnya meluncur bagaikan anak panah dan menancap sampai di gagangnya pada batang pohon itu. Ternyata bahwa timpukannya jitu sekali. Melihat betapa pemuda itu memamerkan kepandaiannya menimpuk dengan keris, Bandini tertawa menghina.
"Apa anehnya kepandaian seperti itu" Kau kira aku tak bisa?" Sambil berkata demikian, gadis yang berhati keras dan berwatak tidak mau kalah ini lalu mengayun tangannya yang memegang pisau belati. Pisau itu tidak meluncur seperti anak panah, akan tetapi meluncur berputaran seperti kitiran angin dan akhirnya ketika tiba di batang pohon, pisau itu menancap sampai di gagangnya pada batang, tepat di atas keris Riyatman.
"Bandi sombong!" teriak Riyatman. "Apa kau kira kau sudah terlalu pandai dan gagah" Apakah anehnya kau melepas anak panah tadi" Lihatlah ini!" Ia lalu mengambil busur dan anak panahnya yang tadi dilempar ke tanah. Sekali pasang ia menaruh tiga batang anak panah pada busurnya dan ketika tali gendewanya menjepret, tiga anak panah itu meluncur keras dan menancap ke batang pohon yang tadi juga.
"Kunyuk monyet! Kepandaianmu itu hanyalah permainan kanak-kanak!" Bandini memaki dan gadis inipun meniru perbuatan pemuda itu dengan sama baiknya. Sambil memaki-maki keduanya lalu memperlihatkan kepandaian memanah. Bandini menaruh seluruh anak panahnya yang berjumlah dua puluh batang lebih itu diatas gendewanya dan dengan cepat sekali anak panahnya sebatang demi sebatang meluncur cepat dan kesemua anak panah itu tepat menancap di batang pohon yang telah penuh dengan anak panah itu. Riyatman juga tidak mau kalah dan meniru perbuatan ini. Pada saat kedua orang ini sedang saling maki dan saling memamerkan kepandaian, tiba-tiba terdengar seruan orang mencela,
"Kalian berdua ini apakah sudah menjadi gila" Memaki-maki dan menyerang pohon jati. Lihatlah batang pohon itu sampai penuh tertancap senjata. Apakah salahnya pohon itu, maka kalian siksa dia sampai begitu macam?" Ternyata ketika Riyatman menengok, yang berbicara ini adalah seorang dara muda yang berkulit kuning dan berwajah ayu sekali,
Gerak-geriknya lemah lembut dan suaranya merdu dan halus. Dengan mata terbelalak heran ia mengenal gadis ini sebagai Sariwati, puteri kedua Rondo Kuning. Sariwati melangkah perlahan menghampiri batang pohon yang penuh dengan anak panah itu. Gadis ini menggunakan telapak tangannya menepuk batang pohon itu tiga kali perlahan-lahan, dan aneh! Semua anak panah, termasuk pisau belati dan keris yang menancap di batang pohon itu berloncatan keluar dan jatuh di atas tanah di bawah pohon merupakan tumpukan malang melintang. Riyatman hampir tak dapat mempercayai mata sendiri. Benarkah gadis itu Sariwati yang lemah lembut" Akan tetapi, bagaimana gadis itu dapat memiliki aji kesaktian yang menakjubkan" Sariwati lalu menghampiri mereka dan kepada Riyatman ia berkata sambil tersenyum,
"Riyatman, bagaimana engkau sampai menjadi begini?"
"Sariwati! Benar-benar engkaukah ini" Tidak sedang mimpikah aku?" Sariwati tersenyum geli.
"Siapa yang bermimpi" Karena kekerasan hatimulah yang membuat engkau seakan-akan buta dan tidak mengenal bahwa gadis ini adalah adikku Bandini!"
"Bandini" Jadi engkau Bandini anak perempuan yang" nakal dan kewat dahulu itu?" katanya kepada Bandini sambil memandang dengan heran.
"Siapa pula bisa menyangka bahwa engkau yang seperti orang hutan ini adalah Riyatman, anak muda yang bisanya Cuma mengadu ayam dan main judi itu!" jawab Bandini dengan masih marah.
"Bandini, mengapa engkau marah-marah dan saling maki dengan Riyatman" Seharusnya pertemuan dengan kawan sekampung menggembirakan, tidak disambut dengan makian dan perang tanding mati-matian! Kalian ini benar-benar orang liar!"
"Habis, siapa yang tidak gemas" Aku dimakinya banci!" Sariwati memandang kepada adiknya dan menahan geli hatinya.
"Dan aku dimakinya munyuk monyet!" Kembali Sariwati menahan kegelian hatinya. Kedua anak muda ini benar-benar berwatak sama. Sama keras dan sama kasar, dan diam-diam Sariwati membandingkan keadaan Riyatman dengan Adiguna, pemuda kekasihnya yang sopan dan santun dan halus tutur sapanya itu. Mereka lalu duduk di bawah pohon yang dijadikan korban kemarahan kedua orang muda tadi dan saling menuturkan pengalaman masing-masing. Dengan muka geram dan suara menyatakan kemarahan hatinya, Riyatman menutup penuturannya dengan ucapan,
"Aku telah bersumpah bahwa pada suatu saat aku tentu aku membunuh mampus si jahanam keparat Galiga Jaya yang telah menumpas kampung kita itu!" Melihat sikap pemuda ini, Bandini yang telah melupakan kemarahannya tadi lalu berkata,
"Bagus, Riyatman! Dalam hal ini, jangan engkau takut karena akupun masih mempunyai perhitungan dengan keparat laknat si Galiga Jaya itu!" Sariwati memandang kedua orang itu dengan senyum tenang.
"Memang kita harus membalas dendam, akan tetapi kita tidak boleh bertindak dengan semboro, karena betapapun juga, Galijaya adalah seorang Penewu yang bekerja untuk Gusti Sultan di Mataram. Terutama sekali kita harus mendapat perkenan dan nasihat Eyang Panembahan." Riyatman memandang heran.
"Siapakah Eyang Panembahan yang engkau sebutkan itu?"
"Beliau adalah guruku, dan guru Mbak Wati!" kata Bandini dengan bangga. "Eyang Bagawan Sidik Paningal adalah seorang sakti mandraguna dan mulia." Riyatman merasa tertarik sekali dan menyatakan keinginannya hendak menghadap pertapa suci itu. Terutama sekali ketika ia mendengar bahwa pertapa itu adalah guru Adiguna, ia makin tertarik. Dengan wataknya yang jujur, Riyatman menceritakan kepada dua orang gadis itu tentang pertemuannya dan pertempurannya dengan Adiguna. Tanpa malu-malu diakuinya tentang kesalahannya dan kesesatannya bahwa ia dan kawan-kawan tak berdaya menghadapi Adiguna. Diam-diam Sariwati merasa girang dan bangga sekali di dalam hatinya, akan tetapi tentu saja wataknya yang halus melarang ia memperlihatkan kebanggaan ini. Akan tetapi, Bandini yang nakal berkata kepada Riyatman,
"Baiknya kau tidak mengganggu atau melukai Kang Mas Adiguna, kalau kau lakukan itu, tentu sekarang Mbak Wati takkan menerimamu dengan manis budi. Mungkin kau akan dibunuhnya!" Riyatman terkejut dan memandang Sariwati, akan tetapi gadis ayu kuning ini hanya mengerling tajam kepada adiknya dengan mulut cemberut. Riyatman terbawa sinis dan berkata,
"Aha, syukurlah kalau begitu. Dia memang seorang pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi calon anumu!"
"Eh-eh, bicara kok tidak keruan!" sela Bandini. "Calon anu bagaimana" Apakah maksudmu dengan anu itu?" Sariwati makin merah mukanya dan dengan gemas berkata,
"Sudahlah, Bandini! Kalau kau tidak mau diam, akan kutampar mulutmu!" Bandini membelalakan matanya yang bagus itu seakan-akan terkejut. Ia tahu bahwa kakaknya ini selamanya takkan pernah melakukan ancamannya, akan tetapi ia berpura-pura ketakutan dan berkata,
"Ya ampun, Mbak Wati. Kalau kau menampar mulutku, apa akan jadinya dengan mulutku yang malang ini" Betapapun gagahnya seorang, tak mungkin ia dapat menahan tamparanmu yang sakti, apa lagi mulutku yang lancang ini. Ampunkanlah, Mbak Wati!"
Sariwati hanya tersenyum saja dan tidak mau melayani adiknya yang nakal dan suka menggoda orang itu. Kedua orang gadis itu lalu kembali ke tempat pertapaan Panembahan Sidik Paningal, diikuti oleh Riyatman dan disepanjang jalan mereka tiada hentinya bercakap-cakap, terutama Bandini yang telah lenyap sama sekali rasa bencinya kepada Riyatman dan kini menjadi kawan baik. Panembahan Sidik Paningal menerima Riyatman dengan sabar dan mendengarkan cerita pemuda itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Sariwati dan Bandini minta perkenan darinya untuk membantu Riyatman dalam usaha membalas dendam kepada Galiga Jaya, pertapa itu menghela napas, dan berkata perlahan,
"Memang segala hal telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanya wajib menjalani saja. Bukan kehendak kita hingga hari ini kalian berdua bertemu dengan Riyatman. Aku tidak mencela kalian bertiga yang mempunyai maksud membalas dendam atas kekejaman Penewu Galiga Jaya, dan akupun tidak berhak melarang. Akan tetapi pesanku, hendaknya kalian bertiga berlaku waspada dan hati-hati, jangan selalu menurutkan nafsu hati. Terutama kau Sariwati, oleh karena setidaknya kulihat bahwa kaulah yang wajib memimpin adikmu dan juga Riyatman ini, karena keduanya berwatak keras dan berdarah panas. Kaulah yang seakan-akan memegang kemudinya dan kedua orang muda ini hanya mendayung saja. Riyatman dan Bandini, dalam segala hal kalian berdua harus tunduk kepada bimbingan Sariwati, karena kalau tidak mungkin kalian akan tersesat ke jalan keliru, menurutkan nafsu hatimu dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa. Apakah arti kepandaian seseorang apabila ia ditunggangi oleh nafsu angkara murka" Lebih baik tiada kepandaian sama sekali akan tetapi waspada dan dapat memilih jalan benar!" Banyak sekali petuah-petuah dan nasihat-nasihat mulia diucapkan oleh sang arif bijaksana ini dalam pesannya kepada ketiga orang muda itu. Dan pada keesok harinya di waktu fajar menyingsing, ketiga anak muda itu lalu turun gunung untuk melakukan tugas mereka, yakni membalas dendam kepada Galiga Jaya.
Penewu Galiga Jaya merasa senang dan lega hatinya. Pemberontakan Riyatman yang ia ketahui ditujukan kepada dirinya itu telah berhasil ditumpas. Walaupun Riyatman dan Adiguna sendiri belum dibinasakan, akan tetapi setelah hampir setahun tak pernah ada kabar cerita tentang kedua orang muda itu, ia merasa girang dan bahkan cerita tentang pemberontakan di Pakem telah mulai dilupakan orang. Oleh karena ia telah kehilangan selirnya yang tercinta, yaitu Rondo Kuning, dan telah gagal untuk mengambil selir anak tirinya sendiri, bahkan Sariwati dan Bandini juga telah dilarikan orang, maka Penewu Galiga Jaya mencari korban-korban baru dan mengambil selir banyak gadis-gadis dusun yang didapatkannya dengan berbagai jalan, yaitu dengan pengaruh uang, pengaruh kedudukan dengan halus maupun dengan kasar.
Pendeknya, biarpun telah mendapat pelajaran hebat yang berupa pemberontakan Pakem sebagai akibat kejahatannya, Penewu ini tidak menjadi kapok, bahkan makin mengganas karena dianggapnya bahwa tidak akan ada orang yang berani menentangnya. Semenjak lenyap dan hancurnya ancaman pemberontak-pemberontak di Pakem itu, keadaan di Waru tenteram daan aman. Berkat kekuasaan dan pengaruh Penewu Galiga Jaya yang besar dan ditakuti orang, tidak ada yang berani mengacau desa Waru yang tiap malam masih diakan penjagaan keras oleh karena betapapun juga, pengalaman-pengalaman yang lalu membuat Galiga Jaya berlaku amat hati-hati menjaga desanya, bahkan rumah Penewu itu kini dijaga keras di sekelilingnya hingga jangankan orang, biarpun seekor kucing tak akan dapat memasuki rumah itu tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Malam Jum"at Kliwon yang gelap gulita,keadaan di desa Waru sunyi senyap, oleh karena seperti biasa pada malam Jum"at Kliwon yang menyeramkan, penduduk jarang yang keluar pintu diwaktu malam, kecuali apabila ada keperluan penting yang memaksa mereka keluar dari rumah. Dari setiap rumah mengebul asap kemenyan hingga di seluruh desa dapat tercium bau yang harum dan sedap akan tetapi menyeramkan itu memenuhi udara. Bagi mereka yang mempunyai tujuan tertentu, malam ini adalah malam istimewa untuk melakukan puja samadhi memohon berkah kepada dewata yang mereka puja agar cita-cita mereka dapat terkabul. Para pemuda dan penjaga keamanan yang biasanya pada lain malam suka berjalan meronda melakukan tugasnya, pada malam itu hanya duduk berkelompok di gardu penjagaan masing-masing, bercakap-cakap sambil merokok menghilangkan kesunyian yang menyeramkan.
Apabila malam itu tidak ada bulan, hanya ribuan bintang yang berkelap-kelip di udara menyinarkan cahaya remang-remang yang menambah seram keadaan. Burung-burung malam yang disebut juga burung setan agaknya amat senang menyambut malam Jum"at Kliwon, terbukti dari suara mereka yang tiada hentinya terdengar dan menambah seram keadaan. Sebetulnya hal ini bukan tidak ada sebabnya, yakni apabila pada malam-malam biasa banyak orang berada di luar rumah sehingga burung-burung itu takut bersuara, adalah pada malam Jum"at Kliwon yang sunyi sepi ini membuat mereka berani keluar dari tempat persembunyian dan memperdengarkan suara mereka yang menakutkan. Rasa takut dan seram memang terbit dari dalam hati dan pikiran sendiri. Apabila orang merasa takut di dalam hatinya, maka segala apa yang tampak pada matanya mendatangkan pemandangan yang menyeramkan.
Pohon-pohon besar nampak sebagai raksasa-raksasa atau iblis-iblis besar bergerak-gerak dengan tangan seribu. Segala apa yang berbunyi menimbulkan pendengaran yang menyeramkan pula. Kalau bunyi jangkerik dan belalang pada malam-malam hari biasanya mendatangkan nyanyian indah dan merdu, pada malam Jum"at itu tiba-tiba saja dalam pendengaran mereka berobah menjadi suara yang menyeramkan, seakan-akan segala iblis dan siluman sama keluar dan menjerit-jerit. Tujuh orang penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang desa Waru di sebelah selatan, sedang berkumpul mengelilingi api unggun yang dibuat oleh mereka di dalam gardu penjagaan. Mereka membakar jagung dan makan jagung bakar yang manis gurih itu, kadang-kadang diseling dengan meneguk air kopi. Mereka makan sambil bercakap-cakap mengusir kesunyian. Malam itu hawanya dingin, juga karena seorang diantara mereka yang bernama Saimin menyatakan bahwa segala macam siluman paling takut kepada api.
"Segala iblis dan siluman takut menghadapi api oleh karena mereka segan melawan kekuasaan Dewi Agni yang menguasai api dan yang sakti sekali. Maka apabila kita menyalakan api, takkan ada setan berani mengganggu," katanya.
"Aah, engkau ini penakut sekali!" sela seorang penjaga lain bernama Balelo yang terkenal sombong dan pemberani. "Bilang saja hendak membuat api untuk mencegah hawa dingin. Segala macam omonganmu tentang siluman dan iblis itu, siapa yang akan percaya?" Ia meludah ke arah api.
"Kau memang paling sombong dan tidak percaya tentang iblis dan siluman." Saimin mencelanya sambil menambah kayu kering pada api unggun itu hingga api berkobar makin besar. "Tunggu saja sampai engkau mengalami hal seperti yang dialami Paryoso, penjaga di gardu utara, tentu engkau akan mati ketakutan." Biarpun semua penjaga lain merasa tidak enak mendengarkan mereka bercerita tentang segala siluman dan iblis, akan tetapi seperti biasanya, mereka ingin sekali mendengar cerita ini. Mereka menggeser tempat duduk agar lebih mendekati api dan kawan-kawan, lalu mendesak agar Saimin suka menceritakan pengalaman mengerikan yang katanya dialami oleh penjaga Paryoso di gardu utara.
"Begini pengalamannya," Saimin mulai berceria sambil mengerling kepada Balelo yang mendengarkan dengan senyum menghina. "Pada malam Jum"at Kliwon yang lalu, keadaan juga seperti sekarang ini, dingin dan gelap. Paryoso berjaga malam dengan lima orang kawan lain. Karena hawa yang dingin, mereka itu mengantuk dan untuk menahan rasa kantuk mereka menghisap rokok. Akan tetapi akhirnya kelima orang kawan Paryoso itu tertidur mendengkur dan tinggal Paryoso seorang diri yang masih duduk melenggut dan menahan kantuknya dengan menghisap rokok kelobot terus menerus. Tiba-tiba ia mencium harum kembang cempaka. Ia merasa heran oleh karena disitu jauh dari rumah orang dan juga harum bunga itu tercium olehnya dengan tiba-tiba saja. Kemudian ia melihat kawan-kawannya bangun seorang demi seorang dan dari depan mendatangi seorang wanita yang cantik jelita dan harum baunya. Paryoso dan kawan-kawannya lalu menegur dan mengajak wanita itu bersenda-gurau yang dilayani dengan genitnya oleh wanita itu. Ternyata bahwa diantara kawan-kawannya, wanita itu memilih Paryoso dan agaknya mencinta dia karena duduknyapun selalu mendampingi Paryoso. Tentu saja Paryoso merasa gembira sekali dan semalam suntuk ia merasa berbahagia dan bangga. Ketika fajar hendak menyingsing dan terdengar suara ayam berkokok, Paryoso yang tertidur dengan kepala di pangkuan wanita itu, terbangun karena wanita itu bergerak dan berkata bahwa ia hendak pulang. Paryoso membuka matanya dan" ia melihat seorang... Bangkai hidup! Wajah wanita itu pucat dan kedua matanya memandang tanpa sinar, mulutnya menyeringai menakutkan dan baunya busuk sekali, bau bangkai! Ketika paryoso tersentak bangun dan melompat keluar dari gardu, lalu berdiri dengan tubuh menggigil memandang mayat hidup itu, mayat itu tertawa terbahak-bahak-bahak dan terdengar amat mengerikan. Paryoso lalu memandang ke arah kelima kawan-kawannya yang tadi ikut bersenda-gurau dengannya, dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa lima orang kawannya itu bukan lain adalah lima tengkorak manusia yang telah kering dan yang kini bangun satu demi satu sambil mengeluarkan suara berkotekan karena tulang-tulang itu beradu! Paryoso jatuh pingsan dan ketika ia siuman kembali, ternyata bahwa ia telah ditolong oleh kelima orang kawannya yang tadinya tertidur dan yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang perisitiwa yang dialami oleh Paryoso." Semua orang mendengarkan cerita ini dengan bulu tengkuk berdiri, akan tetapi Balelo dengan suara mencemooh berkata,
Gambar 0502 "Yang menceritakan hal itu tentu Paryoso sendiri bukan" Ah, bohong belaka semua itu! Dia memang orang pengecut dan penakut, aku tahu sifat-sifatnya. Buktinya, kawan-kawannya yang lima orang tidak tahu dan tidak melihat sesuatu, ia membohong!" Pada saat itu, terdengar suara yang ketawa dan suara ini terdengar begitu menyeramkan hingga Balelo sendiri yang terkenal berani menjadi pucat, sedangkan orang-orang lain telah menggigil tubuh mereka.
"Nah" ce" celaka... Tentu iblis yang tertawa"!" kata seorang diantara mereka dengan bibir menggigil ketakutan. Enam orang penjaga saling mendekati dan memegang tombak mereka erat-erat. Balelo bangun berdiri dan memegang tombaknya.
"Siapa yang tertawa itu?" bentaknya dengan nyaring seakan-akan hendak memamerkan keberaniannya, akan tetapi pada hakekatnya, hatinya terasa kecut sekali dan ia tidak berani maju meninggalkan tempat itu.
"Jangan tinggalkan api?" kata Saimin yang teringat bahwa segala macam iblis takut kepada api. Tiba-tiba dari gelap muncul sesosok bayanga orang yang mendatangi dengan terbongkok-bongkok dan dengan langkah terseok-seok.
Bayangan itu datang makin dekat dan ketujuh orang penjaga itu melihat seorang wanita, bukan seorang wanita cantik jelita seperti yang dituturkan oleh Saimin tadi, akan tetapi seorang wanita yang kelihatan tua dan rambutnya telah riap-riapan tidak keruan, pakaiannya compang-camping. Ia berjalan terbongkok-bongkok dan dibantu oleh sebatang tongkat berbengkok-bengkok warna hitam. Sepasang mata wanita ini memancarkan cahaya aneh dan ketujuh orang penjaga itu harus mengakui bahwa di waktu mudanya wanita ini tentu cantik sekali, karena bentuk mulutnya dan matanya amat indah. Setelah datang dekat, ketujuh orang penjaga itu merasa seram sekali karena ternyata muka wanita ini jelas sekali menyatakan bahwa ia adalah seorang gila! Wanita gila ini tertawa terkekeh-kekeh dan berkata singkat,
"Kamu orang-orang Galiga Jaya?" Balelo tidak sudi menjawab pertanyaan orang gila yang kurang ajar ini, akan tetapi Saimin menjawab.
"Ya, kami adalah penjaga-penjaga disini. Kau orang gila lekaslah pergi dari sini dan jangan mengganggu kami!" Kembali terdengar suara ketawa, seperti suara ketawa yang menyeramkan tadi dan tubuh wanita itu terguncang-guncang dan mukanya berdongak ke atas.
"Hi-hi-hi-hi! Kalian anjing-anjing penjilat! Galiga Jaya harus mampus!" Marahlan Balelo dan kawan-kawannya. Mereka lalu menggunakan tombak untuk mengusir orang gila ini, akan tetapi tiba-tiba si wanita yang menyeramkan itu mengangkat tongkat hitamnya dan membentak,
"Diam dan jangan bergerak!" Sungguh luar biasa! Ketujuh orang penjaga itu tiba-tiba berdiri diam tak kuasa bergerak sama sekali! Pikiran mereka masih terang, panca indra mereka masih bekerja seperti biasa, akan tetapi mereka tak mampu bergerak dan berada dalam keadaan pada saat wanita itu membentak mereka. Ada yang berdiri memegang tombak, ada yang baru saja mau bangkit berdiri ada yang masih duduk.
"Ha-ha-ha! Anjing Galiga Jaya, mampuslah kalian!" dengan ujung tongkatnya, wanita iblis itu lalu mendorong tubuh seorang penjaga ke dalam api unggun yang masih bernyala-nyala dengan garangnya! Ia membakar hidup-hidup penjaga itu! Penjaga itu tak dapat berteriak, hanya kedua matanya saja berputar-putar karena menderita kesakitan hebat, sedangkan tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali dan terpaksa diam saja biarpun api telah membakar kulitnya! Pakaiannya mulai termakan api dan sebentar saja pakaiannya itupun berkobar membakar dirinya. Orang kedua didorong lagi ke dalam api dan wanita itu membakas sambil tertawa haha-hihi dan berkata,
"Bagus... Bagus" anjing-anjing Galiga Jaya harus mampus dulu, biar kalian mendahului Galiga Jaya dan menjadi penjaga-penjaganya nanti di neraka. Ha-ha-ha-ha!" Kemudian ia mendorong lagi orang ketiga, keempat dan seterusnya hingga tubuh-tubuh itu bertumpuk-tumpuk di dalam api unggun! Balelo adalah yang terakhir karena ia berdiri paling jauh dari api unggun.
Ketika tubuh Balelo masuk ke dalam tumpukan tubuh kawan-kawannya, api telah mulai mengecil dan hampir padam! Sambil tertawa terkekeh-kekeh wanita itu lalu meninggalkan tempat itu dan malam menjadi sunyi kembali seperti sediakala, hanya kini lebih menyeramkan. Balelo yang jatuh paling akhir di dalam api yang sudah hampir padam, tertolong jiwanya. Api hanya menjilat kakinya dan tubuhnya lalu terguling dari tumpukan mayat-mayat kawannya jatuh terguling keluar dari unggun api hingga ia selamat. Akan tetapi enam orang penjaga lainnya terbakar hingga mayat mereka menjadi hangus! Pada keesokan harinya, seluruh Waru menjadi gempa dengan adanya peristiwa ini. Apalagi ketika Balelo telah dapat bicara kembali dan menceritakan peristiwa yang mendirikan bulu roma itu, semua orang Waru menjadi ketakutan.
"Iblis mengamuk di Waru!" kata mereka dan gegerlah dusun Waru. Galiga Jaya ketika mendengar cerita ini menjadi terkejut sekali. Ia tidak dapat menduga siapa adanya wanita itu, oleh karena menurut cerita Balelo, setan wanita itu sudah tua dan bongkok pula.
Manusia atau setankah dia" Akan tetapi Galiga Jaya lalu mengerahkan seluruh perajurit untuk mencari wanita setan itu. Seluruh desa diperiksa, bahkan para perajurit sampai di luar dusun. Semua tempat diperiksa, gua-gua dimasuki, hutan-hutan digeledah, akan tetapi wanita itu tak dapat ditemukan. Dan pada malam hari berikutnya, kembali tujuh orang penjaga di sebelah utara terdapat mati semua pada keesokan harinya. Kepala mereka pecah seakan-akan terpukul oleh benda keras. Tak seorangpun tahu bahwa iblis wanita itu datang lagi dan menyerang ketujuh orang penjaga itu dengan tongkatnya yang berat dan luar biasa! Kalau ada yang melihat peristiwa itu, tentu mereka akan merasa heran sekali, oleh karena ketika para penjaga hendak melawan, kembali wanita itu membentak dan menyuruh mereka diam jangan bergerak seperti halnya ketujuh orang yang dibakarnya itu.
Dan penjaga-penjaa di gerbang utara ini diam tak bergerak hingga mudah saja bagi wanita itu untuk memukulkan ujung tongkatnya yang hitam berbengkok-bengkok kearah kepada mereka. Sekali pukul saja, remuklah kepala mereka. Peristiwa pada malam kedua ini membuat semua orang Waru makin gempar dan ketakutan! Mulai takut pula hati Galiga Jaya, akan tetapi kembali ia mengerahkan perajurit-perajuritnya untuk mencari iblis wanita itu walaupun tanpa mendapatkan hasil memuaskan. Nama iblis wanita menjadi kembang bibir setiap orang dan apabila malam mulai tiba, tak seorangpun di Waru dapat memejamkan mata. Bahkan mereka yang telah sangat ketakutan berlari mengungsi di rumah tetangga dan rela berjaga sampai pagi di rumah tetangga ini. Dan pada malam ketiga ini terjadi lagi peristiwa mengerikan yang mendatangkan korban lebih banyak lagi!
Galiga Jaya yang merasa penasaran dan marah sekali mengerahkan seluruh tenaga untuk melakukan penjagaan rapat di luar pintu gerbang, akan tetapi iblis wanita itu tetap muncul di pintu gerbang. Puluhan orang penjaga mengeroyoknya, akan tetapi iblis wanita itu mengamuk makin hebat, menggunakan tongkat hitamnya mengamuk dan memukul membabi buta. Akan tetapi, setiap kali pukulannya mengenai tubuh seorang perajurit, sambil memekik ngeri perajurit itu roboh terguling dengan kepala remuk atau dada pecah! Setiap ujung tombak yang berhasil menusuk tubuh iblis wanita itu, hanya merobek pakaian yang sudah compang-camping itu, akan tetapi sama sekali tidak melukai tubuh iblis wanita itu! Akhirnya, semua penjaga melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban dan yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang!
Peristiwa ini hebat sekali dan lebih menggegerkan daripada peristiwa pemberontakan Pakem dulu, Galiga Jaya lalu mengirim utusan untuk membuat laporan ke Ibukota Mataram, yaitu kota Karta. Utusan ini naik kuda dan membalapkan kudanya membawa laporan yang menggegerkan dusun Waru itu. Sementara itu, Galiga Jaya dengan hati cemas lalu mengerahkan penjagaan yang lebih hebat dan kuat lagi. Dikerahkannya semua pembantu-pembantunya yang mempunyai kepandaian tinggi dan memperlangkapi penjagaannya dengan tambahan perajurit-perajurit bersenjata lengkap. Akan tetapi, pada malam berikutnya, dengan secara aneh sekali, iblis wanita itu tidak muncul di pintu gerbang, bahkan muncul di gedung Penewu Galiga Jaya sendiri!
Ketika itu Galiga Jaya yang merasa tidak enak hati karena terjadinya peristiwa yang aneh dan menyeramkan itu, duduk di ruang depan dengan para pembantu dan penasihatnya, membicarakan iblis wanita yang mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Dari dalam gelap muncullah setan wanita itu. Sambil berjalan terbongkok-bongkok dan menyeret tongkatnya, wanita menghampiri tempat mereka duduk berunding, Penewu Galiga Jaya menjadi pucat dan cepat dikeluarkannya keris pusaka dan sabuk lawe merah, dua buah senjatanya yang ampuh dan diandalkan. Semua pembantunya juga mengeluarkan pusaka masing-masing dan seorang diantara mereka berteriak memberi tahu kepada para penjaga di luar gedung! Entah bagaiman cara iblis wanita itu dapat masuk tanpa diketahui para penjaga.
Para penjaga mendengar teriakan ini, lalu berlari-lari memasuki Penewu dengan tombak dan pedang di tangan. Iblis wanita itu sambil tertawa terkekeh-kekeh lalu mengangkat tongkatnya dan sambil berlompatan ia kini menghampiri Galiga Jaya. Beberapa orang perwira pembantu Galiga Jaya maju menyerang dengan keris, akan tetapi sekali saja tongkat itu diputar, beberapa orang perwira roboh. Biarpun mereka tidak tewas karena mereka memiliki kesaktian cukup, akan tetapi pukulan itu membuat mereka merasa pening dan pandangan mata mereka nanar, seakan-akan mabok oleh bau amis yang keluar dari tongkat itu. Iblis wanita itu segera dikeroyok, akan tetapi dia tetap melangkah maju sambil memutar-mutar tongkatnya yang berbahaya, maju terus menuju ke tempat dimana Galiga Jaya berdiri dengan wajah pucat dan kedua senjata di tangan.
Ketika wanita itu telah datang dekat, Galiga Jaya berusaha mengenal wanita itu, akan tetapi oleh karena keadaan tidak begitu terang dan wajah itu tertutup oleh rambut yang riap-riapan, ia tidak dapat mengenal muka itu dan ia harus segera mengadakan perlawan karena agaknya iblis itu memang sengaja hendak menyerangnya. Iblis wanita itu agaknya maklum akan keampuhan senjata ini, karena ia tidak berani menerima sabetan itu, lalu menangkis dengan tongkat hitamnya. Galiga Jaya lalu menusuk dengan keris, akan tetapi sampokan tangan iblis wanita itu membuat kerisnya terpental dan terlepas dari tangannya. Pada saat itu para pengeroyok sudah datang lagi dan mengepung dengan rapat kepada iblis wanita itu. Galiga Jaya dengan pucat melompat mundur dan memungut kerisnya.
Ia merasa heran dan terkejut sekali karena ternyata tangkisan tangan wanita itu mendatangkan hawa dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Belum pernah ia bertemu dengan lawan yang memiliki kesaktian menyeramkan ini dan ia mulai menduga bahwa wanita ini tentulah iblis tulen yang sengaja datang mengamuk atau memang disuruh oleh orang-orang yang menjadi musuhnya. Iblis itu mengamuk terus dan kepungan makin tebal oleh karena para perajurit yang menjaga di pintu gerbang dusun, ketika mendengar bahwa iblis wanita itu kini mengamuk di gedung Penewu, segera masuk ke dusun untuk membantu mengeroyok. Akan tetapi, oleh karena yang dikeroyok hanya satu orang lawan, maka sekian banyaknya perajurit itu tidak bisa turun tangan bersama dan hanya kurang lebih sepuluh orang saja yang dapat mengepung dan mengeroyoknya.
Iblis tua itu tetap mengamuk dan korban yang jatuh telah bertumpuk-tumpuk. Darah membanjir di dalam gedung itu. Iblis itu tetap saja mencari dan mengejar-ngejar Galiga Jaya yang terpaksa melawan juga, biarpun hatinya takut sekali. Ia tidak mau dianggap pengecut oleh anak buahnya, maka ia melawan sambil mundur dan mengandalkan bantuan keroyokan anak buahnya. Pertempuran berlangsung terus hingga pagi hari dan ternyata bahwa iblis wanita itu makin kuat saja, amukannya makin ganas! Akhirnya Galiga Jaya merasa tidak aman. Ia lalu menunggangi kudanya dan melarikan diri keluar dari kampungnya! Iblis wanita itu agaknya tahu juga bahwa Galiga Jaya pergi melarikan diri, karena ia lalu menyerang dan membuka jalan darah sambil berteriak menyeramkan,
"Galiga Jaya"!! Kemana engkau hendak lari...?" Tunggu aku beset kulit dadamu dan makan jantungmu"!!" Semua orang merasa ngeri sekali mendengar suara ini, dan ketika mereka melangkah mundur dengan takut-takut, iblis wanita itu lalu memutar tongkatnya mengejar ke arah larinya Galiga Jaya. Akan tetapi Penewu itu telah membalapkan kudanya berlari jauh dan sambil memaki-maki. Iblis wanita ini lalu melarikan diri keluar dusun sambil memutar-mutar tongkat hingga tak ada orang yang berani mencegahnya melarikan diri.
Bersama dengan menghilangnya kabur fajar, iblis inipun menghilang, entah kemana sembunyinya! Walau ada orang yang dapat mengikutinya tentu orang ini akan melihat bahwa iblis wanita ini dengan larinya yang cepat sekali menuju ke dusun Pakem! Pada waktu penduduk Pakem kembali dari sawah ladang dan melewati tanah perkuburan para korban keganasan Penewu Galiga Jaya setahun yang lalu, mereka melihat seorang wanita yang berpakaian compang-camping dan berambut riap-riapan sedang menangis di depan batu-batu nisan itu. Ia meratap-ratap memilukan hingga beberapa orang merasa tertarik dan berhenti mendengarkan ratap tangisnya. Hari telah mulai gelap dan orang-orang yang melihat wanita ini merasa seram dan ngeri karena ucapan yang mereka dengar penuh mengandung ancaman maut,
"Saudara-saudara sekalian janganlah penasaran. Tak lama lagi aku tentu akan membalaskan sakit hati kalian, dan akan kubeset kulit dada Galiga Jaya dan akan kumakan jantungnya mentah-mentah!!" Kemudian, wanita yang menyeramkan itu menangis keras dan meratap-ratap,
"Bondan" Bondan anakku?" Maka terkejutlah semua orang.
"Rondo Kuning"!" mereka berteriak memanggil lalu menghampiri wanita yang berlutut membelakangi mereka itu. Tiba-tiba tubuh itu tersentak kaget dan melompat berdiri. Bukan main terkejutnya semua orang itu ketika melihat wajah yang mengerikan itu. Namun, mereka masih dapat mengenal bahwa orang yang bermuka seperti iblis ini memang Rondo Kuning, janda yang dianiaya oleh Galiga Jaya dulu!
"Rondo Kuning...!" teriak seorang wanita pula yang dulu yang menjadi tetangganya. Tiba-tiba Rondo Kuning yang telah menyerupai iblis wanita itu tertawa menyeramkan hingga orang-orang petani itu melangkah mundur ketakutan.
"Ya, aku adalah Rondo Kuning dan akulah satu-satunya wanita Pakem yang memiliki pribudi! Hanya akulah orang perempuan yang berani membalaskan sakit hati semua orang yang telah menjadi gundukan tanah ini! Kalian ini semua orang apakah" Bukan orang, akan tetapi anjing-anjing yang kalau dipukul menyembunyikan ekor di bawah perut dan lari berkaing-kaing! Ha-ha-ha! Kalian dibinasakan, suami dibunuh, anak dibunuh, Ayah disembelih semua dilakukan oleh Galiga Jaya, akan tetapi apakah yang dilakukan oleh kalian perempuan-perempuan Pakem" Ha-ha-ha paling hebat kalian lalu kawin lagi mencari suami baru!" Sambil tertawa terkekeh-kekeh Rondo Kuning lalu melompat pergi dan menghilang di balik pohon.
Semua orang lalu berlari dan menceritakan pengalaman ini. Terkenalah hati para janda di Pakem oleh kata-kata Rondo Kuning yang menghina ini. Mereka yang bersetia kepada suami dan Ibu-ibu yang kehilangan anak mereka, lalu berkumpul dan berunding. Wanita-wanita lain, para isteri petani juga ikut berkumpul dan kemudian mereka memutuskan untuk beramai-ramai menghadap Sri Sultan Agung di karta untuk membuat laporan dan menuntut Penewu Galiga Jaya yang telah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk Pakem! Pada keesokan harinya, berangkat segerombolan wanita terdiri dari tiga puluh orang lebih wanita dan beberapa orang pria sebagai pengantar, menuju ke kota raja untuk menuntut Galiga Jaya dihadapan Sang Prabu, terdorong dan terpengaruh oleh kata-kata Rondo Kuning yang mencela mereka.
Penewu Galiga Jaya yang ketakutan setengah mati melihat betapa iblis wanita itu mengamuk hebat dan berkeras hendak membunuhnya, pada menjelang fajar itu melarikan diri sambil menunggang kudanya. Beberapa orang pembantu-pembantu melihat hal ini lalu ikut pula melarikan diri hingga sebentar saja ada sepuluh orang pemimpin perajurit yang melarikan diri bersama Galiga Jaya! Penewu ini tidak menjadi marah bahkan diam-diam merasa girang bahwa ada orang-orang yang mengantarnya,
Oleh karena sebenarnya, ia merasa takut dan ngeri dan takut untuk melarikan diri seorang diri saja melalui hutan-hutan liar itu! Setelah bertemu dengan iblis wanita itu, Galiga Jaya yang biasanya sombong dan pemberani itu, tiba-tiba menjadi penakut! Tanpa banyak bicara Galiga Jaya dan kawan-kawannya membalapkan kuda menuju ke Karta Ibukota Mataram. Setelah matahari naik tinggi dan mereka telah berada jauh dari dusun Waru, barulah Galiga Jaya berhenti di dalam sebuah hutan untuk memberi kesempatan kepada kudanya untuk bernapas dan makan rumput. Ia lalu duduk dan bercakap-cakap dengan anak buahnya yang sepuluh orang itu, dan tentu saja mereka membicarakan tentang iblis wanita yang mengerikan itu. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita nyaring,
"Kepara Galiga Jaya! Bersedialah untuk binasa di ujung senjataku!" Bukan main terkejutnya Penewu itu hingga wajahnya berubah pucat hijau. Ia menyangka bahwa iblis wanita itu telah mengejar sampai ke tempat itu, maka tanpa menoleh lagi ia lalu melompat ke atas punggung kuda hendak melarikan diri.
Juga kawan-kawannya terkejut dan ketakutan, lalu masing-masing melompat pula ke atas punggung kuda. Akan tetapi pada saat itu, beberapa anak batang anak panah menyambar dan menancap di perut kuda. Kuda Galiga Jaya yang terkena anak panah pada dadanya, melonjak tinggi dan meringkik keras, berdiri di atas kedua kaki belakang meronta-ronta hingga Galiga Jaya terlempar dari atas punggung kuda dan jatuh bergulingan. Demikian pula beberapa orang kawannya karena kuda mereka terkena anak panah. Ributlah mereka dan ketika Galiga Jaya menengok, ternyata bahwa yang melepas anak panah itu adalah Riyatman dan seorang wanita gagah berkulit hitam manis. Seorang gadis ayu kuning berdiri ditengah-tengah antara Riyatman dan gadis hitam manis itu, sikapnya halus dan tenang, akan tetapi kedua matanya berpengaruh dan memandangnya dengan tajam.
"Bangsat Riyatman, pemberontak hina-dina!" teriak Galiga Jaya dengan marah dan hatinya lega melihat bahwa yang datang bukanlah iblis wanita yang ditakutinya.
"Kau datang mengantarkan nyawamu?" Kawan-kawannya yang mendengar bentakan ini, juga menjadi lega dan yang sudah melarikan diri lalu kembali lagi dan melompat turun dari kuda masing-masing sambil menghunus golok dan keris.
"Ha, Galiga Jaya, keparat kejam! Kematian sudah berada di depan matamu, akan tetapi kau masih berani berlagak?" teriak Bandini sambil mencabut pisau belati di tangan kanan dan menggerak-gerakkan busur di tangan dengan sikap gagah sekali.
"Siapakah kau, setan perempuan?" bentak Galiga Jaya. Bandini tertawa nyaring dan merdu, akan tetapi matanya yang indah itu mengeluarkan cahaya mengancam hebat.
"Bangsat tua Bangka! Matamu sudah terlalu tua dan lamur! Lihatlah baik-baik, tidak kenalkah kau kepada Bandini dan kakakku Sariwati ini" kami datang menagih hutangmu kepada mbakyu Kencanawati dan penduduk Pakem!" Galiga Jaya melengak dan heran. Betulkah kedua gadis ini Bandini dan Sariwati, kedua anak tirinya itu" Ia menggosok-gosok kedua matanya denga heran-heran.
"Kalian anak-anak ini mau apa menggangguku" Apakah kalian juga ingin mampus?"
"Bangsat tua, jangan sombong!" seru Bandini sambil melompat maju dan mengayun pisaunya menusuk dada, sedangkan gendewa di tangan kanan dipukulkan kea rah muka Galiga Jaya. Melihat gerakan serangan ini terkejutlah Galiga Jaya dan ia cepat-cepat melompat dan mengelak.
"Ayoh, keroyok dan tangkap tiga setan ini!" teriaknya dan pembantu-pembantunya lalu maju menyerang dengan ganas. Menghadapi ketiga orang lawan muda, bahkan yang dua orang hanya gadis-gadis muda yang lemah, timbul pula keberanian dan keganasan mereka. Akan tetapi, Riyatman dan Bandini mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka hingga sebentar saja para pengeroyok ini terkejut sekali karena tak pernah disangkanya bahwa Bandini dapat bertempur sehebat itu. Sariwati tidak seganas Riyatman dan Bandini, dan gadis ini hanya menjaga diri saja, akan tetapi kesaktiannya membuat para perajurit pengiring Galiga Jaya menjadi jerih dan takut mendekatinya. Seorang perajurit yang tertarik melihat kecantikan Sariwati, maju menubruk dengan tangan kosong, bermaksud memeluk dan menawan gadis itu.
Akan tetapi, dengan gerakan yang indah Sariwati mengelak kesamping dan ketika tangan kirinya menampar pilingan kepala perajurit itu, lawannya menjerit keras dan bergulingan di atas tanah sambil memegangi kepalanya yang serasa remuk terkena tempilingan Sariwati. Perajurit kedua yang masih merasa penasaran maju pula menubruk, akan tetapi kini dengan keris di tangan Sariwati menggerakkan tangannya yang cepat sekali menyentuh siku tangan lawan yang memegang keris. Perajurit itu merasa tangannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan lemas karena urat lengannya kena disentil oleh jari Sariwati dan sebelum ia tahu apa yang terjadi dengannya, telapak tangan Sariwati menampar pipi yang membuat ia tiba-tiba melihat bintang bertaburan dan berloncatan di depan matanya hingga ia terhuyung kebelakang lalu roboh merintih-rintih! Setelah terjadi hal ini, tak seorangpun perajurit berani menghampiri Sariwati!
Bandini dan Riyatman mengamuk hebat, bagaikan dua ekor harimau kelaparan! Galiga Jaya yang mempergunakan senjata lawe merah dan keris pusakanya, tak tahan menghadapi desakan kedua anak muda ini sunggupun ia telah dibantu oleh beberapa orang pembantunya! Beberapa orang perajurit yang membantunya telah roboh di tangan Riyatman dan Bandini. Ketika seorang perajurit dengan gemas dan penasaran menyerang Bandini dengan goloknya, membacok leher gadis hitam manis itu, Bandini mengelak cepat dan gendewa di tangannya bergerak menghanam muka penyerang itu. Pedas perih rasa kulit muka orang itu terkena pecutan gendewa dan terpaksa iaa memejamkan mata. Pada saat itu, keris Bandini terayun kearah perutnya, akan tetapi tiba-tiba lengan tangan Bandini serasa dipegang orang dan terdengar suara Sariwati membentak adiknya,
"Bandini, jangan membunuh orang!"
Mendengar bentakan kakaknya ini, Bandini menarik kembali kerisnya dan sebagai gantinya, kaki kanannya bergerak dan "Masuk" ke lambung lawan itu hingga ia terjungkal dan merintih-rintih memegangi perutnya yang terkena tendangan kaki Bandini yang keras! Juga Riyatman mendengar bentakan Sariwati yang melarangnya membunuh orang, maka pemuda inipun membatasi gerakannya dan hanya memukul lawan-lawannya hingga pengeroyok-pengeroyoknya roboh menjerit-jerit kesakitan!
Melihat sepak terjang ketiga anak muda itu, Galiga Jaya menjadi terkejut sekali. Dengan permainannya yang hebat ia masih dapat mempertahankan diri dan belum kena pukul, akan tetapi ia maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali dan kalau melawan terus, akhirnya ia akan kalah juga, maka ia lalu mencari kesempatan dan melompat ke atas punggung seekor kuda terdekat dan lari dari tempat itu!
"Kejar! Kejar si jahanam!" teriak Sariwati sambil berlari cepat! Sungguh mengherankan, gadis yang halus dan lemah lembut ini ketika berlari, cepat sekali seakan-akan kedua kakinya tak menginjak tanah! Akan tetapi, Galiga Jaya telah membedal kudanya yang larikan bagaikan dikejar setan. Bandini dan Riyatman juga berlari mengejar, sedangkan para perajurit yang belum dijatuhkan lalu menolong kawan-kawan mereka dan membantu mereka naik ke atas kuda masing-masing. Galiga Jaya cepat melarikan kudanya dan memecuti kuda itu tiada hentinya karena ia mendengar betapa ketiga anak muda yang gagah perkasa itu mengejar dari belakang. Ketika ia tiba di sebuah tikungan di dalam hutan itu, tiba-tiba dari depan datang seorang pemuda tampan berpakaian serba hitam yang tampan sekali. Pemuda itu berdiri di tengah jalan dan memandangnya dengan heran.
"He, ada apakah maka engkau melarikan diri seakan-akan orang ketakutan?" teriaknya. Melihat sikap pemuda ini, Galiga Jaya menahan kudanya dan dengan terengah-engah ia menjawab,
"Aku adalah Penewu dari Waru dan dikejar-kejar oleh tiga orang pemberontak."
"Keparat!" seru pemuda ini dengan suaranya yang merdu dan nyaring. "Jangan engkau takut, bapak Penewu. Teruskanlah perjalananmu dan aku akan menghadapi ketiga pemberontak itu!"
"Terima kasih... terima kasih, engkau baik sekali, anak muda. Kalau ada kesempatan, datang di kota raja dan carilah Galiga Jaya, aku takkan melupakan budi kebaikanmu ini." Pemuda baju hitam itu tersenyum dan wajahnya makin tampan. Galiaga Jaya lalu membedal lagi, melarikan diri secepatnya menuju ke kota raja. Pemuda ini lalu bertolak pinggang dan berdiri tak bergerak, memandang kepada tiga orang yang lari cepat mendatangi tempat itu. Ia merasa terkejut dan kagum juga ketika melihat bahwa orang-orang yang mengejar Penewu dan disebut pemberontak itu adalah dua orang dara yang manis dan seorang pemuda tampan. Sikap ketiga orang ini gagah sekali.
"Berhenti!" teriak pemuda itu sambil mengangkat tangan kanan ke depan. Riyatman, Bandini dan Sariwati berhenti di hadapan orang itu.
"Apa maksudmu menyuruh kami berhenti?" Riyatman membentak
"Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak yang mengejar-ngejar Penewu?" tanya pemuda itu dengan beraninya.
"Kalau betul begitu, engkau perduli apakah?" Bandini melangkah maju sambil memandang tajam. Pemuda itu tersenyum melihat lagak Bandini yang galak.
"Eh-eh, galak benar engkau. Melebihi Srikandi! Apakah kepandaianmu juga melebihi Srikandi?"
"Pemuda kurus kecil seperti cacing tanah," Bandini memaki marah. "Apa engkau sudah bosan hidup?"
"Belum," jawab pemuda itu dengan sikap jenaka. "Aku masih ingin seribu tahun lagi, apalagi disamping seorang Srikandi seperti engkau ini."
"Bangsat rendah bermulut busuk!" Riyatman berseru marah sekali. Entah mengapa, mendengar pemuda ini menggoda Bandini, ia merasa marah bukan main. Sambil berseru ia melompat maju dan memukul dengan tangan kanannya ke arah dada pemuda baju hitam itu.
(Lanjut ke Jilid 06 - Tamat)
Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06 (Tamat) "AH, tak tahu malu, pemuda kasar kurang ajar!" seru pemuda baju hitam itu yang lalu mengelak cepat. Gerakannya cepat dan gesit sekali bagaikan seekor burung Srikatan.
"Riyatman, biarkan aku menjatuhkan cacing tanah ini!" teriak Bandini yang menyerang dengan cepatnya. Gadis ini mempergunakan Ilmu Pukulan Rajah Geni dan memainkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, akan tetapi jangan dipandang ringan telapak tangan gadis yang berkulit halus ini, oleh karena kalau kena tampar tangan gadis ini, pipi orang bisa menjadi matang biru dan rasanya panas seperti dibakar, sedangkan gigi di dalam mulut bisa berantakan. Akan tetapi pemuda baju hitam itu tersenyum manis dan melayani Bandini sambil mengejek,
"Eh-eh, Srikandi beranikah engkau melawan Arjuna?"
"Bedebah!" Riyatman memaki sambil mengertak gigi, akan tetapi ia merasa malu kalau harus mengeroyok, sungguhpun tak ada yang lebih disenanginya lagi pada saat itu daripada mengirim kepalannya kepada mulut pemuda genit itu. Tiba-tiba Sariwati memandang dengan wajah berseri. Ia memperhatikan baik-baik gerakan pemuda baju hitam itu dan maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih lebih tinggi daripada kepandaian Bandini dan Riyatman.
Pemuda ini memiliki kelincahan dan kecepatan yang hebat sekali hingga Bandini sebentar saja merasa pening menghadapinya. Tubuh pemuda berbaju hitam itu berkelebat kesana kemari bagaikan burung Srikatan hitam menyambar-nyambar. Berkat ketangkasan tangan Bandini saja yang membuat gadis ini masih kuat bertahan, dan hatinya menjadi makin gemas oleh karena pemuda baju hitam itu tiada hentinya mengejeknya. Pada saat yang tepat, pemuda itu berhasil menggunakan jari telunjuknya untuk menyentuh hidung Bandini. Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu Bandini merasa betapa hidungnya ditowel orang. Bukan main marahnya! Kemudian sambil berseru keras ia mencabut pisau belatinya yang tajam mengkilat. Akan tetapi, tiba-tiba Sariwati berseru,
"Bandini, tahan dulu!" Biarpun gemas dan kecewa sambil memandang kepada kakaknya dengan heran, Bandini tunduk juga terhadap perintah ini dan ia menahan pisaunya sambil berdiri terengah-engah. Ia memandang wajah pemuda baju hitam itu dengan kebencian besar dan seakan-akan hendak ditelannya pemuda nakal ini. Sariwati melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sambil tersenyum manis, Sariwati berkata,
"Adik yang menyamar seperti laki-laki ini siapakah dan mengapa engkau mengganggu kami?" Bukan main terkejutnya pemuda itu mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa Sariwati bermata tajam dan dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang wanita. Padahal dalam hal menyamar, ia mahir sekali dan belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya dalam penyamaran, karena ia telah mempelajari ilmu menyamar ini, hingga ia dapat merobah dirinya menjadi pemuda, menjadi nenek, atau kakek-kakek. Pemuda baju hitam ini bukan lain ialah Untari, simaling haguna yang dulu pernah bertempur dan dikalahkan oleh Adiguna. Ia lalu mengubah sikapnya dan berkata kepada Sariwati penuh hormat.
"Engkau bermata tajam sekali, saudara. Dan ini saja sudah cukup membuktikan bahwa engkau berkepandaian tinggi dan sakti. Engkau berbeda sekali dengan" Srikandi ini." Bandini dan Riyatman merasa terkejut dan heran sekali hingga mereka saling pandang dengan melongo. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda baju hitam itu adalah seorang wanita.
"Dia adalah Bandini, adikku. Maafkanlah kekasarannya," kata Sariwati kepada Untari.
"Tidak apa, aku suka sekali kepada saudara yang lewat dan manis. Kepandaiannya mengagumkan juga. Akulah yang minta maaf karena telah mempermainkannya," jawab Untari
"Kuulangi lagi pertanyaanku. Kau ini siapakah dan mengapa kau menghalangi kami mengejar Galiga Jaya?"
"Aku bernama Untari dan tanpa tedeng aling-aling kuakui bahwa aku adalah seorang maling haguna! Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Galiga Jaya, akan tetapi sebagai seorang yang bertugas membela mereka yang berada dalam bahaya, apalagi ketika seorang Penewu Mataram dikejar-kejar oleh tiga orang pemberontak, terpaksa aku turun tangan dan menghalangi kalian! Sebaliknya, kalian ini tiga orang yang gagah perkasa mengapa berlaku sesat dan memusuhi seorang petugas Mataram" Apakah kalian tidak takut akan kemarahan Gusti Sultan yang sakti dan arif bijaksana?"
"Dengarlah, Untari," jawab Sariwati. "Aku adalah Sariwati dan ini adikku Bandini. Pemuda itu adalah seorang sahabat kami bernama Riyatman."
"Hm, sudah kudengar nama Riyatman, bukankah ia pemimpin pemberontak di dusun Pakem?" kata Untari sambil memandang tajam kepada Riyatman.
"Kau telah terkena pengaruh racun jahat yang disebar oleh Galiga Jaya," kata Sariwati dengan tenang.
"Kami bukanlah pemberontak dan kami tidak bermaksud memberontak terhadap Mataram. Kami mempunyai urusan dendam pribadi terhadap Galiga Jaya dan kami harus membalas sakit hati kami terhadap keparat itu!"
"Tak mungkin! Aku sudah memberi janjiku untuk menolong dia dari ancaman kalian," kata Untari sambil menggeleng-geleng kepala.
"Maling rendah tak tahu diri!" bentak Bandini. "Sudahlah Mbak Wati jangan ladeni dia"
"Eh-eh, Srikandi marah lagi,"ejek Untari.
"Maling keparat! Rasakan ujung belatiku!" Bandini membentak sambil mengirim serangan dengan pisau belatinya. Untari melihat gerakan ini segera mengelak ke samping dan iapun mencabut kerisnya.
"Sekarang Arjuna diwakili oleh Larasati! Hendak kulihat bagaimana Srikandi berlagak melawan Larasati!" kata Untari dengan sikapnya yang Jenaka. Bandini makin marah dan keduanya lalu bertempur lagi, akan tetapi sekarang masing-masing mempergunakan senjata tajam hingga suara keris beradu berkali-kali dengan pisau belati menimbulkan ketegangan dalam hati Riyatman dan Sariwati. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali dan yang menuju ketempat itu. Mendengar suara ini, baik Bandini mapupun Untari menghentikan pertempuran mereka. Ketika mereka memandang ke arah kaki kuda yang riuh itu, terkejutlah mereka oleh karena melihat bahwa yang datang itu adalah pasukan berkuda dari Mataram, dikepalai oleh seorang panglima besar Mataram, yaitu Tumenggung Suro Agul-agul.
Ini adalah barisan Mataram yang sengaja dikirim untuk menumpas pemberontakan dan menangkap iblis wanita yang mengamuk di Waru! Ketika rombongan ini di tengah jalan bertemu dengan Penewu Galiga Jaya yang melarikan diri, Penewu ini memberitahukan bahwa ia dikejar oleh beberapa orang anak muda pemimpin pemberontak dan diantaranya terdapat Riyatman, pemimpin pemberontak dari Pakem yang dulu belum sempat tertawan. Menengar ini, Tumenggung Suro Agul-agul lalu memimpin perajurit-perajuritnya menuju ke tempat itu. Ketika melihat anak-anak itu berdiri dengan gagah di tengah jalan, Tumenggung Suro Agul-agul lalu membedal kudanya menghampiri dan melompat turn. Akan tetapi ketika melihat pemuda baju hitam itu, wajahnya menjadi pucat dan ia bertanya dengan suara keras.
"Untari! Engkau... Disini...?" Untari tersenyum.
"Paman Tumenggung, tenangkanlah hatimu. Kemenakanmu ini tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan mereka bertiga ini, hanya kebetulan saja bertemu di jalan." Kemudian, maling haguna itu menengok dan berkata kepada Sariwati.
"Sariwati, dan engkau Bandini. Sebenarnya aku amat senang bertemu dan berkenalan dengan kalian. Akan tetapi, apa daya. Agaknya jalan hidup kita berlainan! Kalau saja engkau tidak menghadapi pasukan Mataram yang bahkan dipimpin oleh pamanku sendiri, tentu dengan senang hati aku akan membantumu. Lebih baik kalian menyerah saja, jangan melawan pasukan Mataram." Kemudian ia berkata kepada Tumenggung Suro Agul-agul,
"Paman Tumenggung, maafkan hamba tak dapat membantu" Setelah berkata demikian, gadis yang gagah perkasa ini lalu melompat dan melarikan diri jauh dari tempat itu, dipandang oleh Tumenggung Suro Agul-agul yang menghela napas panjang. Memang Untari adalah keponakannya, anak tunggal adik perempuannya, anak yang telah yatim piatu dan dulu ketika bertemu dengan Adiguna, petani tua itu bukanlah orang tuanya, hanya dipakai untuk menipu Adiguna saja, akan tetapi pemuda itu terlampau cerdik untuk dapat ditipu sebagaimana yang telah dituturkan. Kemudian Suro Agul-agul menghadapi ketiga anak muda itu dan berkata dengan halus,
"Benar seperti yang dikatakan oleh keponakanku tadi, kalian lebih baik menyerah, tiada gunanya melawan pasukan Mataram." Akan tetapi Riyatman menjawab,
"Kami lebih baik mati daripada menyerah sebelum dapat membunuh si keparat Galiga Jaya"
"Hm, engkau memang pemberontak muda yang keras kepala." Kata Tumenggung Suro Agul-agul, akan tetapi Tumenggung ini merasa ragu-ragu untuk menyerang kedua gadis yang nampak cantik jelita itu. Ia merasa sayang dan tidak tega kalau harus membunuh kedua dara muda ini, maka katanya,
"Kalian berdua remaja puteri ini mengapa ikut-ikut memberontak pula" Pulanglah saja ke rumah orang tuamu dan berlaku sebagai wanita utama!" Bandini mencibirkan bibirnya dan hendak menjawab, akan tetapi ia dicegah oleh Sariwati yang menjawab dengan suaranya yang halus dan tenang,
"Gusti Tumenggung, hambalah yang menjadi pemimpin dan penanggung jawab dari kami bertiga. Kami tidak bermaksud memusuhi pasukan Mataram yang kami hormati. Kami hanya ingin membalas dendam kami kepada Galiga Jaya si keparat." Tumenggung Suro Agul-agul menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh sekali kalian ini, anak-anak! Galiga Jaya adalah seorang Penewu, seorang pamong praja yang diangkat oleh Gusti Sultan. Tak mungkin kalian mau membunuhnya demikian saja. Itu berarti kalian hendak mengganggu petugas Mataram dan berarti memberontak pula! Kalian menyerahlah saja dan mungkin aku dapat memohon ampun untuk kalian dihadapan Gusti Sultan."
"Maaf, Gusti Tumenggung," jawab Sariwati. "Bukan kami yang menghendaki jika paduka mendesak hingga terbit pertempuran diantara kita. Lepaskanlah kami agar kami dapat mengejar dan membalas sakit hati kami kepada Galiga Jaya. Setelah itu, terserahlah, kami tak akan melawan apabila hendak di tawan."
"Tiba bisa, tidak mungkin! Aku yang bertanggung jawab dan mendapat kesalahan apabila kalian menggangu Galiga Jaya. Terpaksa aku melarangmu."
"Bukan hamba yang ingin bertempur dengan paduka, akan tetapi kami bertiga telah bertekad bulat untuk melawan siapa saja yang menghalangi maksud pembalasan dendam kami." Jawab Sariwati dengan suara tetap dan tenang.
"Rawe-rawe rantas, malang-malang putung." kata Riyatman dan Bandini serempak dengan suara gagah yang menyatakan bahwa mereka pantang mundur selangkahpun dalam mempertahankan dan memperjuangkan maksud hati mereka. Marahlah Tumenggung Suro Agul-agul melihat kekerasan hati ini.
"Tangkap mereka! Akan tetapi, kalau tidak terpaksa, jangan lukai mereka!" perintahnya dan puluhan perajurit serentak maju hendak menangkap ketiga orang muda itu. Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan keras, Riyatman dan Bandini bergerak menyambar dengan pukulan dan tendangan hebat hingga beberapa orang perajurit jatuh tersungkur! Melihat ketangkasan ini, Tumenggung Suro Agul-agul merasa kagum sekali, lalu ia sendiri turun tangan hendak menangkap anak-anak muda yang nakal ini. Akan tetapi diluar dugaannya, dara muda yang ayu kuning dan sopan santun serta halus gerak geriknya itu, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat mengagumkan. Berbeda dengan Riyatman dan Bandini yang mengamuk mempergunakan kekerasan, Sariwati hanya melangkah maju perlahan dan dengan gerakan tangan halus ia mengebut tangannya sambil berseru perlahan,
"Roboh!" Dan aneh sekali, setiap perajurit yang hendak menyerangnya apabila kena dikebut dan dibentak segera roboh bagaikan terdorong oleh tenaga yang besar. Tumenggung Suro Agul-agul terkejut sekali karena ia maklum bahwa dara muda yang cantik jelita itu ternyata telah menggunakan ilmu batin yang kuat untuk melawan perajurit-perajurit itu dan merobohkannya dengan tenaga kesaktian yang keluar dari kebutan tangan dan bentakan berpengaruh. Semacam ilmu sihir yang luar biasa. Maka ia menjadi penasaran dan segera maju menghampiri.
"Engkau berani melawanku?" bentaknya sambil mengirim pukulan ke arah pundak Sariwati. Tumenggung Suro Agul-agul adalah seorang yang sakti dan berilmu tinggi maka Sariwati tidak berani menerima pukulan ini dan cepat mengelak sambil balas menyerang dengan kebutan ujung jarinya kearah dada tumenggung itu sambil mulutnya membentak halus,
"Robohlah, tumenggung!" Tumenggung Suro Agul-agul merasa betapa hawa yang kuat dan luar biasa mendorong dadanya. Ia mempertahankan dirinya dan hanya terdorong mundur dua langkah.
Sariwati maklum bahwa ia bukan tandingan tumenggung yang sakti ini, akan tetapi ia melawan dengan gigih sambil memperlihatkan kelincahannya. Sebentar saja, ia telah didesak hebat oleh serangan-serangan kedua tangan Tumenggung Suro Agul-agul dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Akhirnya Sariwati terpaksa meloloskan sabuk cinde yang diikatkan di pinggang menutupi kemben dan dengan senjata istimewa ini ia menyerang hebat. Suro Agul-agul kembali dikejutkan oleh kehebatan dan tenaga yang luar biasa yang diterbitkan oleh sabuk cinde ini, karena ketika ia menangkis sabetan sabuk itu, ia merasa tangannya sakit sekali, bahkan rasa panas dan pedas sampai menusuk ke tulang. Ia maklum bahwa sabuk cinde itu adalah sebuah pusaka keramat, maka iapun lalu meloloskan keris pusakanya dan menghadapi Sariwati dengan kerisnya.
Pertempuran antara tumenggung yang menjadi pahlawan besar Mataram ini melawan Sariwati berlangsung ramai sekali. Dari pertahanan yang gigih ini saja dapat diukur sampai dimana kesaktian Panembahan Sidik Paningal, karena dalam waktu kurang dari setahun, ia telah berhasil menurunkan aji kesaktian yang demikian besar kepada Sariwati. Bandini mengamuk sambil menggunakan pisau belati dan busurnya. Sepak terjang gadis ini benar-benar seperti Srikandi yang gagah perkasa. Banyak sekali perajurit yang roboh di dalam tangannya, dan ia mat berhati-hati dalam merobohkan lawan karena teringat akan pesan Sariwati agar ia tidak membunuh perajurit Mataram, cukup merobohkan saja. Karena kehebatan sepak terjang Bandini, maka hati para perajurit menjadi gentar dan kagum dan mereka tidak berani maju seorang demi seorang lagi, tetapi mengeroyok.
Kini Bandini dikeroyok oleh lima orang dari segala jurusan hingga gadis ini mengobat-abitkan gendewanya sedemikian rupa sampai tali gendewa menerbitkan suara mengaung. Pisau belatinya berkelebatan mengerikan, mengancam setiap tangan yang berani datang mendekat! Namun, karena jumlah lawannya banyak sekali dan mereka itupun bukan perajurit-perajurit sembarangan, maka lambat laun ia terdesak juga. Demikian pula dengan keadaan Riyatman. Pemuda ini mengamuk bagaikan banteng terluka dan sebagaimana Bandini, iapun tidak mau menewaskan lawan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan dan pukulan yang keras. Sekali pukul saja seorang perajurit akan roboh tak dapat bangun pula karena kuatnya pukulan itu membuat kepalanya pening. Pengeroyok-pengeroyok lalu mempergunakan senjata hingga Riyatman menjadi sibuk juga.
Ia melawan mati-matian akan tetapi hanya dapat mempertahankan dan menjaga diri saja. Sementara itu Sariwati juga terdesak hebat oleh Tumenggung Suro Agul-agul yang tidak saja lebih unggul dalam hal kesaktian dan ilmu kepandaian bertempur, akan tetapi juga jauh lebih unggul dalam hal pengalaman mempergunakan senjata. Keadaan Sariwati, Bandini dan Riyatman sungguh-sungguh berbahaya dan sebentar lagi akan dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan roboh tertawan. Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba barisan belakang pasukan Mataram menjadi kalut karena mengamuknya seorang pemuda yang setelah berhasil menyerbu dan membubarkan kepungan yang mengurung ketiga teruna remaja itu, ternyata bukan lain ialah Adiguna. Berseri wajah Sariwati melihat pemuda kekasihnya ini dan tak terasa pula bibirnya menyebut nama pemuda itu dengan mesra,
"Kang Mas Adiguna..."
"Diajeng Sariwati, jangan khawatir, kanda datang membantumu."
"Kang Mas Adiguna." seru Bandini dengan gembira pula, "Syukur engkau datang" dan melihat pemuda ini, makin berkobat semangat gadis hitam manis ini karena sekarang ada orang yang diandalkan. Ketika Adiguna dan Riyatman bertemu pandang, Riyatman tersenyum dan berkata,
"Adiguna! Aku telah insyaf" Adiguna tersenyum pula dengan girang, lalu ia menghadapi Tumenggung Suro Agul-agul dan menahan serangan keras tumenggung itu dengan tangkisan lengannya sambil berkata,
"Gusti Tumenggung! Janganlah kau mendesak anak-anak muda yang hendak membalas sakit hatinya yang besar! Kami tidak sekali-kali bermaksud melawan pasukan mataram! Lepaskanlah mereka!" Dengan mata merah karena marah, Tumenggung Suro Agul-agul membentak,
"Adiguna! Lagi-lagi kau yang menjadi biang keladinya. Janganlah kau yang masih muda ini berlarut-larut terbenam dalam kesesatan. Menyerahlah sebelum terlambat." Melihat bahwa percuma saja untuk merobah, pendirian tumenggung yang kukuh melakukan tugasnya ini, Adiguna lalu berkata kepada Sariwati,
Gambar 0601 "Adinda, larilah dulu dengan kawan-kawan lain. Biarlah aku yang menahan serbuan mereka." Sariwati mengangguk lalu berkata kepada Riyatman dan Bandini,
"Mari kita pergi!" Bandini sebetulnya merasa kurang puas dengan keputusan ini. Setelah Adiguna datang dan tiba saatnya untuk membalas desakan lawan, kini ia bahkan disuruh lari! Sambil bersungut-sungut ia berlari disamping kakaknya dan berkata,
"Kang Mas Guna selalu mengalah."
Sariwati hanya tersenyum. Hati dara ini merasa girang sekali karena dapat bertemu kembali dengan Adiguna yang telah lama dikenang-kenangnya! Dengan cepat mereka bertiga berlari ke kanan untuk mengambil jalan memutar dan selanjutnya mencari Galiga Jaya. Tak lama kemudian, Adiguna yang dikepung oleh Surot Agul-agul dan perajurit-perajuritnya, dapat membingungkan lawan dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu. Kemudian pemuda ini lalu memergunakan kesaktiannya dan melompat ke atas melampau kepala para pengeroyoknya keluar dari kepungan dan menghilang di dalam hutan, menyusul ketiga orang kawannya. Tumenggung Suro Agul-agul merasa kagum sekali dan ia menghela napas. Memang hatinya merasa berat untuk melukai, lebih-lebih lagi kalau harus membunuh empat orang muda yang mengagumkan hatinya itu.
Ia maklum bahwa mereka berempat itu bukanlah orang-orang jahat dan mempunyai sifat yang hampir sama dengan kemenakannya Untari. Ia dapat menduga bahwa Galiga Jaya tentu telah melakukan perbuatan rendah dan kejam yang membuat sakit hati orang-orang muda itu, dan iapun mulai merasa ragu-ragu untuk percaya bahwa empat orang muda itu benar-benar mempunyai niat memberontak kepada Mataram. Kemudian, teringat akan tugasnya menangkap seorang iblis wanita yang mengamuk di Waru, dipimpinnya sisa barisannya ke Waru. Hatinya menjadi lega ketika melihat bahwa sekian banyaknya perajurit yang roboh, tak seorangpun tewas. Ia maklum bahwa anak-anak muda itu memang sengaja tidak mau membunuh anak buahnya, maka ia menjadi makin kagum saja.
Kota raja Karta, Ibu kota Mataram adalah sebuah kota yang besar dan makmur, lambang kejayaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung yang cerdik pandai dan arif bijaksana. Penduduk Karta hidup senang tenteram dan diliputi kebahagiaan. Akan tetapi, semenjak datangnya Galiga Jaya yang membawa kabar mengejutkan tentang mengamuknya seorang iblis wanita, penduduk merasa takut dan khawatir. Dan kekhawatiran mereka ini ternyata terbukti. Malam ketiga semenjak Galiga Jaya tiba di Karta dan menempati sebuah gedung yang disediakan untuk tamu-tamu para pembesar dari daerah luar.
Semenjak sore hari, penduduk Karta tidak ada yang mau keluar pintu rumah, karena mendung tebal menggelapkan udara dan kilat menyambar-nyambar tanda bahwa malam hari itu hujan akan turun deras. Bersama dengan datangnya malam gelap yang sebentar-sebentar diterangi cahaya kilat menyambar dan guntur menggelegar di angkasa, turunlah hujan angin ribut. Genteng-genteng rumah serasa akan pecah tertimpa air hujan yang besar-besar dan deras datangnya itu. Suara di luar rumah bergemuruh dan membisingkan telinga. Suara air menimpa genteng, angin ribut menghembus daun-daun pohon, dan suara guntur membuat semua orang merasa lega dan senang bahwa pada saat itu mereka tinggal di dalam rumah dan berkumpul dengan sanak keluarga dalam keadaan aman sentausa.
Para penjaga di pintu gerbang kota raja menggigil kedinginan dan bahkan ada yang mengutuk hawa udara seburuk itu. Tiba-tiba para penjaga melihat sesosok bayangan yang terbungkuk-bungkuk, berjalan di dalam hujan. Angin ribut membuat rambut kepala orang yang riap-riapan itu berkibar-kibar di belakang tubuhnya dan ketika ia telah datang dekat, semua penjaga merasa bulu tengkuk mereka berdiri. Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita tua yang bongkok dan membawa sebatang tongkat. Wajahnya mengerikan sekali karena dalam cahaya kilat, wajah kurus itu nampak pucat seperti mayat dan rambutnya yang panjang berkibar di belakang tubuhnya menambah seram keadaannya.
"Hordah! Siapa itu?" bentak seorang penjaga dengan tombak di tangan. Nenek di dalam hujan itu lalu tertawa dan suara ketawanya mengalahkan suara angin, mendatangkan rasa takut dalam hati semua penjaga yang gagah berani.
"Hai, siapa engkau" Mengakulah!" bentak pula seorang penjaga lain dan semua orang penjaga di dalam penjagaan yang berjumlah lima belas orang lalu berkerumun di depan gardu dengan tombak di tangan.
"Ha-ha-ha! Orang Mataram! Serahkan Galiga Jaya kepadaku!" pekik wanita itu. Terkejutlah kini semua penjaga karena mereka telah mendengar tentang mengamuknya iblis wanita di Waru dan yang hendak membunuh Galiga Jaya.
"Iblis wanita!" seru seorang dengan suara ketakutan. Kembali wanita itu tertawa dan melompat ke arah gardu. Para penjaga lalu menyerang dengan tombak, akan tetapi iblis wanita itu lalu menggunakan tongkatnya untuk memukul tiang gardu yang besar. Tiang itu patah dan gardu itu ambruk. Para penjaga berlarian simpang-siur, tidak memperdulikan air hujan yang turun menimpa dan membasahi seluruh pakaian dan tubuh mereka. Mereka sambil berteriak-teriak mengeroyok dan menyerang iblis wanita itu dengan tombak. Akan tetapi, dengan mengeluarkan suara pekik mengerikan, iblis wanita itu memutar-mutar tongkatnya dan semua tombak terpental, lalu wanita itu menyerang membabi buta hingga bergelimpanganlah tubuh-tubuh para penjaga. Sambil mengamuk, iblis wanita itu terus masuk ke dalam kota dan gegerlah seluruh kota Karta.
"Iblis mengamuk di Mataram!" teriak orang-orang dan semua penduduk segera merapat pintu dan jendela kuat-kuat dan berkumpul di dalam rumah dengan hati berdebar takut. Orang-orang lelaki menyiapkan senjata mereka di tangan dan para Ibu memeluk anaknya dengan cemas. Orang-orang tua segera membakar kemenyan dan dupa terus berdoa minta diselamatkan dari iblis yang mengamuk di Mataram itu. Perajurit-perajurit berlari-lari keluar membawa tameng dan tombak dan seluruh tenaga dikerahkan untuk menangkap iblis wanita yang mengamuk di kota raja ini. Para panglima Mataram keluar dari rumah masing-masing membawa pusaka mereka. Iblis wanita itu agaknya mencari-cari dimana adanya Galiga Jaya, oleh karena ia mengamuk sambil memekik-mekik menyebut nama Galiga Jaya.
"Keparat Galiga Jaya! Keluarlah agar dapat kubeset kulit dadamu dan kuganyang (makan mentah-mentah) jantung dan isi perutmu." Teriakan menyeramkan ini diulangi berkali-kali dan dengan hantam kromo ia mengamuk dan memukuli rumah-rumah penduduk Karta. Tiap kali pintu rumah dipukul hancur, ia menjenguk ke dalam mencari-cari dengan sepasang matanya yang mengerikan. Orang-orang dalam rumah itu saling berpelukan dengan takut bahkan wanita-wanita banyak yang roboh pingsan ketika iblis itu menjenguk dari ambang pintu yang telah ambruk. Iblis wanita itu tidak mengganggu orang di dalam rumah, hanya setelah melihat bahwa Galiga Jaya tidak berada di rumah itu, ia memekik-mekik dan memaki-maki lalu pergi lagi untuk memukul hancur pintu rumah yang lain lagi.
Ada seorang laki-laki yang tinggal di dalam rumah, ketika melihat iblis itu menjenguk dari pintu, lalu menyerang dengan parangnya. Akan tetapi orang ini mencari mati sendiri, karena begitu ia bergerak menyerang, tongkat iblis wanita itu telah menghantam dan menghancurkan kepalanya. Jerit tangis terdengar disana-sini dan para perajurit setelah memburu ke tempat itu lalu mengeroyok. Iblis wanita itu mengamuk lagi dengan hebatnya. Tak seorangpun diantara para perajurit itu kuat menahan serangan tongkatnya yang ampuh dan mengeluarkan bau amis itu. Tubuh para perajurit yang kena pukul bergelimpangan mandi darah dan darah mengalir terbawa oleh air hujan hingga membuat air yang mulai tergenang di jalan raya menjadi kemerah-merahan. Banjir darah di Mataram! Iblis mengamuk di Mataram!
Pahlawan-pahlawan Mataram yang kebetulan berada di Karta ketika hal ini terjadi, adalah Baurekso dan Adipati Uposonto yang terkenal akan kesaktian mereka, rekan-rekan dari Tumenggung Suro Agul-agul yang sedang melakukan pengejaran ke Waru. Mereka berdua lalu mengejar ke tempat keributan itu dan berbareng mereka lalu menyerang iblis wanita itu. Serangan keris kedua pahlawan ini membuat iblis itu terdesak mundur dan mengamuk makin hebat. Akan tetapi, dikeroyok oleh panglima-panglima tangguh ini, iblis wanita ini terdesak hebat dan setelah berkelahi mati-matian di dalam hujan badai, akhirnya iblis wanita itu terkena pukulan tangan kiri Baurekso yang ampuh dan keras. Iblis itu terpukul pundak kanannya dan ia jatuh bergulingan di atas tanah. Akan tetapi, ketika kedua pahlawan itu datang hendak menangkapnya, tiba-tiba iblis itu melompat berdiri dan mengayun tongkatnya.
Gambar 0602 Gerakan ini tiba-tiba sekali datangnya dan kalau tidak dua orang ini memiliki kepandaian tinggi dan cepat sekali mengelak, tentu akan hancurlah kepala mereka. Iblis wanita menggunakan kesempatan ini untuk berlari menghilang di dalam gelap sambil memekik-mekik. Ketika Baurekso mengadakan pemeriksaan, ternyata bahwa yang terluka dan tewas dalam amukan itu berjumlah lebih dari tiga puluh orang! Pada keesokan harinya, pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Suro Agul-agul tiba di Karta, oleh karena tumenggung ini tidak berhasil mencari iblis wanita itu di Waru. Ketika mendengar bahwa iblis itu semalam telah mengamuk di kota raja, tumenggung Suro Agul-agul marah sekali. Penjagaan dilakukan dengan keras dan seluruh daerah Karta diperiksa untuk mencari dimana sembunyinya iblis wanita itu. Akan tetapi, agaknya iblis itu menghilang bersama perginya sang malam.
Hari itu penduduk Karta ramai membicarakan tentang iblis yang mengamuk di Mataram dan menjatuhkan sekian banyak korban. Hati semua orang gentar. Sri Sultan Agung sendiri ketika menerima laporan tertegun dan beliau duduk termenung seakan-akan memikirkan peristiwa yang aneh ini. Sri Sultan lalu memerintahkan agar semua pahlawannya mengerahkan tenaga istimewa dan berusaha sekerasnya untuk menangkap iblis yang mengamuk di Mataram ini. Para panglima dan perajurit maklum bahwa Sang Prabu merasa marah sekali karena menghadapi seorang iblis saja, panglima-panglima Mataram tak mampu menangkapnya. Ketika orang-orang sedang membicarakan tentang iblis wanita yang menyeramkan itu, tiba-tiba terjadi kegegeran lain lagi yang menggemparkan dan lebih mengacaukan keadaan.
Peristiwa yang menimbulkan kegemparan ini terjadi di tempat pemondokan Penewu Galiga Jaya. Dengan menyamar sebagai penduduk biasa, Adiguna berhasil membawa Riyatman, Bandini dan Sariwati memasuki pintu gerbang tanpa menimbulkan kecurigaan dan ia berhasil pula mencari tahu dimana tempat tinggal Galiga Jaya, pokok pangkal segala peristiwa. Akan tetapi Adiguna dan kawan-kawannya belum mengetahui tentang terjadinya geger yang disebabkan oleh iblis wanita malam tadi. Ketika itu Galiga Jaya sedang berada di dalam rumah pondokan dan hatinya berdebar ketakutan ketika mendengar bahwa iblis wanita itu telah mengejar dan menyusulnya ke Karta. Diam-diam ia dapat menduga bahwa iblis wanita itu tentulah Rondo Kuning yang entah bagaimana telah berubah menjadi iblis yang dahsyat dan mengerikan.
Ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri kalau ia ingat akan ancaman Rondo Kuning, maka ia sama sekali tidak berani keluar dari pintu pondokan, berdiam saja di dalam beserta selir-selirnya yang menghiburnya! Ketika penjaga pondoknya memberitahukan bahwa ada orang-orang petani dari Waru hendak bertemu dengannya, Galiga Jaya yang sedang kebingungan itu terpaksa keluar karena iapun ingin sekali mendengar berita tentang keadaan di desanya. Akan tetapi, ketika ia keluar dan melihat bahwa yang datang adalah Adiguna, Riyatman, Bandini dan Sariwati, ia menjerit dan hendak lari masuk lagi. Akan tetapi Riyatman telah melompat dan menyerangnya hingga terpaksa ia melawan! Kepandaiannya yang cukup tinggi membuat Riyatman terhuyung mundur ketika Penewu itu menangkis pukulannya dengan keras. Bandini berseru,
"Penewu bangsat! Terimalah pembalasanku!" Gadis ini lalu menyerang dengan pisau belatinya! Galiga Jaya yang sudah terkepung itu terpaksa menarik kerisnya dan melakukan perlawan hebat.
Sayang sekali bahwa ia tidak membawa sabuk lawe merah yang diandalkannya hingga ia melawan hanya dengan sebilah keris. Akan tetapi oleh karena ia sudah nekat, maka tidak mudah bagi Bandini dan Riyatman untuk menjatuhkannya. Sariwati lalu maju pula mengeroyok dan Adiguna juga maju pula. Kali ini Galiga Jaya kewalahan dan keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi teriakannya minta tolong telah menarik perhatian orang dan sebentar saja disitu terdapat banyak perajurit yang membantunya hingga sebaliknya keempat orang muda itulah yang dikeroyok! Para perajurit tak dapat melawan empat anak muda yang gagah itu hingga banyak orang yang telah roboh kena pukulan dan tendangan. Terutama sekali Adiguna yang memegang setiap lawan dan melempar-lemparkan kepada pengeroyok lain seakan-akan orang melemparkan ketela-ketela busuk saja!
Tak lama kemudian datanglah Baurekso, Adipati Uposonto dan Tumenggung Suro Agul-agul! Semua perajurit lalu mengundurkan diri, memberi tempat kepada ketiga pahlawan besar ini untuk mewakili mereka menangkap empat orang pengacau itu. Galiga Jaya sendiri segera menyelamatkan diri dan lari ke dalam rumah, masuk ke kamarnya dan mengunci kamar itu dari dalam! Melihat kedatangan panglima-panglima tangguh ini, Adiguna lalu mengajak kawan-kawannya melarikan diri. Ia lari paling belakang, merupakan pertahanan teguh hingga kawan-kawannya dapat lari dengan selamat oleh karena biarpun ia dikeroyok oleh ketiga orang jago Mataram itu, namun pertahanan Adiguna benar-benar tangguh hingga para pengejar tak dapat menghalangi larinya Riyatman, Bandini dan Sariwati.
Baurekso marah sekali dan mengeluarkan tombaknya yang jarang dipakai, yakni Tombak Pusaka Bandudenta. Melihat ujung tombak yang mengeluarkan cahaya merah ini, Adiguna terkejut sekali dan ia lalu melepaskan ikat kepalanya dan mengebut dengan ikat itu. Ketiga jago Mataram terkejut dan mundur karena hawa yang keluar dari kebutan itu sungguh ampuh dan luar biasa! Adiguna mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan cepatnya. Ketiga jago Mataram mencoba mengejar, akan tetapi oleh karena Adiguna mempergunakan aji kesaktian hingga larinya secepat angin, maka sebentar saja pemuda itu dapat melarikan diri keluar kota dan menyusul kawan-kawannya dengan selamat. Makin gegerlah kota raja dengan terjadinya peristiwa ini. Malam tadi iblis wanita mengamuk, dan kini pada siang hari ada empat orang muda yang sakti datang pula mengamuk.
Akan terjadi apakah di Mataram" Demikian orang-orang berpikir dengan hati kecut. Malam hari itu kembali iblis wanita mengamuk lagi. Dan kini iblis wanita ini bahkan terus mengamuk sampai ke depan keraton Sri Sultan! Kalau biasanya ia hanya membawa sebatang tongkatnya yang berbengkok-bengkok dan hitam kini tangan kirinya membawa sehelai kain yang basah dan ketika Baurekso, Adipati Uposonto dan Tumenggung Suro Agul-agul berusaha menangkapnya, ia mengibas-ngibaskan selampai itu dan air memercik dari situ menyerang ke arah ketiga orang panglima Mataram. Mereka segera mundur dengan terkejut sekali karena air yang memercik keluar itu menyiarkan bau busuk seperti bau bangkai yang telah lama rusak! Tentu saja mereka merasa jijik dan tak tahan menghadapi senjata istimewa ini. Ketika tiba di depan keraton Sri Sultan, iblis wanita itu menjerit-jerit,
"Hai...! Sultan Agung Mataram... Kau melindungi seorang penjahat dan membela seorang keparat, apakah itu sesuai dengan kebesaranmu" Apakah itu dapat disebut arif bijaksana" Keluarkanlah Galiga Jaya, kalau tidak, Mataram akan kubikin musnah, kuratakan dengan bumi!" Tentu saja para perajurit dan panglima menjadi marah sekali dan Baurekso lalu memerintahkan agar menghujani anak panah kepada iblis wanita yang ganas itu!
Para perajurit memasang anak panah yang pada busurnya dan sesaat kemudian beterbanganlah ratusan batang anak parah ke arah tubuh iblis wanita itu. Akan tetapi, ternyata tubuh iblis wanita itu agaknya kebal, karena sambil memutar-mutarkan tongkatnya,ia melarikan diri tanpa menderita luka! Ia memekik-mekik, menjerit-jerit, menangis dan tertawa menyeramkan hati mereka yang mengepungnya dan akhirnya ia berhasil melarikan diri keluar dari pintu gerbang. Juga kali ini ia telah menjatuhkan banyak korban! Melihat keganasan iblis wanita itu, Sri Sultan Agung menjadi marah sekali dan mengambil keputusan untuk keluar sendiri pada besok malam untuk menghadapi iblis pengganggu yang berani itu! Sementara itu, Adiguna, Sariwati, Riyatman, dan Bandini yang mendengar tentang amukan seorang iblis di Mataram menjadi terkejut.
"Kita harus membantu Mataam dan menangkap iblis yang mengamuk dan merusak Mataram itu. Ini adalah tugas kewajiban kita sebagai kawula Mataram," kata Adiguna karena merasa kasihan betapa puluhan orang perajurit telah tewas di tangan iblis yang ganas itu.
"Kau benar, Adiguna. Iblis itu telah berani menyerang keraton, berarti ia telah berani menghina Sri Sultan. Biarlah aku membantu untuk menangkapnya, sebagai penebus dosaku dulu karena aku telah mempunyai maksud untuk memberontak terhadap Mataram," kata Riyatman.
Sariwati dan Bandini saling pandang dan keduanya mempunyai perasaan yang tidak enak sekali. Siapakah iblis wanita itu, pikir mereka dan di sudut hati mereka mempunyai dugaan yang mengerikan. Jangan-jangan iblis itu Ibu mereka, Rondo Kuning! Akan tetapi, mereka segera mengusir pergi dugaan hati ini jauh-jauh! Tak mungkin Ibunya sampai menjadi seorang iblis yang mengerikan! Mereka tidak berani memikirkan hal ini, sehingga ketika Adiguna dan Riyatman menyatakan pendapat mereka, Sariwati dan Bandini tidak dapat menyatakan pendapatnya. Selain itu, sebagai seorang wanita, biarpun mereka memiliki kepandaian, namun merasa ngeri dan takut juga mendengar tentang sepak terjang yang ganas dan kejam itu.
"Terserah kepadamu sajalah, aku dan Bandini tentu saja siap membantu," kata Sariwati dengan menundukkan kepala. Adiguna mencari kesempatan untuk bicara berdua dengan Sariwati dan ketika kesempatan itu tiba, yaitu dengan perginya Riyatman dan Bandini yang mencari buah-buahan di hutanm, Adiguna berkata dengan suara halus,
"Diajeng Sariwati, aku telah maklum apa yang kau khawatirkan. Aku sendiripun mempunyai dugaan kuat bahwa iblis wanita itu bisa jadi Ibumu sendiri, Rondo Kuning."
"Kang Mas Adiguna"!" Sariwati menahan jeritnya dengan muka pucat.
"Tenanglah, dik. Ini hanya dugaan saja dan belum tentu benar. Akan tetapi andaikata benar bahwa iblis itu adalah Ibumu sendiri, apakah yang harus kuperbuat?" Ia memandang tajam. Tak tertahan lagi dari kedua mata Sariwati yang indah itu mengalir turun air mata.
"Bagaimana..." Aku sendiri tidak tahu, Kang Mas... Apakah yang harus kulakukan" Aku... Aku menyerah saja kepadamu, terserah kau yang mengaturnya?" Adiguna melangkah maju dan memegang tangan Sariwati.
"Adikku sayang, kita telah mendapat pelajaran untuk menjunjung tinggi kebajikan dan untuk menolong sesama manusia yang menderita. Maka andaikata ternyata bahwa iblis itu benar-benar Ibumu, tak dapat tidak kita harus melawannya. Iblis itu telah mendatangkan malapetaka kepada rakyat Mataram dan kalau kita diamkan saja, apakah kita dapat disebut pembela-pembela keadilan dan penolong orang sengsara" Pikirkanlah baik-baik. Kita mengejar-ngejar Galiga Jaya oleh karena ia seorang jahat dan telah banyak membinasakan orang. Sekarang, iblis inipun telah banyak menewaskan orang Mataram, apabila kita tidak mengejarnya pula, bukankah kita berlaku kurang adil?" Sariwati mengangguk-angguk dan menyatakan mengerti, akan tetapi oleh karena yang sedang dibicarakan ini adalah pengejaran terhadap Ibunya, maka hatinya terasa perih seperti ditusuk-tusuk pisau.
"Kang Mas, kalau benar dia ini Ibuku"jangan" jangan kau berlaku kejam kepadanya" jangan kau siksa dia, dan musnahkan saja dengan segera?" Gadis itu lalu menangis, hatinya merasa terharu dan sedih sekali. Dengan bibir gemetar ia mengeluh,
"Ibu... ibu" mengapa kau menjadi begitu?"" Adiguna merasa kasihan dan mendekap kepala kekasihnya ke dada.
"Sariwati, jangan kau bersedih. Apapun yang akan terjadi, bukankah kau masih mempunyai aku" Aku akan selalu membelamu dan menyayangimu sampai akhir zaman! Dan pula, tentang iblis itu, kita baru menduga-duga saja. Belum tentu dia itu Ibumu."
Akan tetapi Sariwati merasa yakin bahwa iblis wanita itu tentu Ibunya, oleh karena siapa lagi wanita yang begitu nekat mengejar-ngejar Galiga Jaya selain Ibunya" Juga dulu Ibunya telah melarikan diri dalam keadaan tidak waras dan hampir gila karena sedih. Sementara itu, Riyatman dan Bandini yang pergi mencari buah di sepanjang jalan bersenda gurau saja. Memang kedua muda-mudi ini mempunyai adat yang cocok, sama jenaka dan sama keras hati, akan tetapi keduanya mempunyai hati yang baik. Ketika Riyatman memanjat sebatang pohon kelapa dengan cekatan dan cepat, Bandini memandang kagum. Setelah pemuda itu memetik beberapa buah kelapa muda dan melemparkan ke bawah, Bandini dari bawah berteriak,
"Riyatman...! Kau sungguh pandai memanjat pohon kelapa, tiada ubahnya seperti" seperti?" Riyatman memandang ke bawah.
"Seperti apa?" tanyanya sambil meluncur turun.
"Seperti munyuk monyet."
"Kurang ajar kau! Awas, kalau aku sudah turun, akan kucubit bibirmu yang nakal!" Riyatman mempercepat turunnya dan ketika ia tiba di bawah, Bandini lalu melarikan diri. Riyatman mengejar dan mereka lalu berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa. Bandini cepat larinya dan gesit gerakannya hingga sukar bagi Riyatman untuk menangkapnya. Setelah berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa, Bandini lalu berkata,
"Sudahlah Riyatman, jangan kita bersenda-gurau saja! Mbak Wati dan Kang Mas Adiguna tentu menanti-nanti. Dan lagi, aku ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu." Melihat sikap sungguh-sungguh gadis itu, Riyatman juga bersikap sungguh-sungguh. Mereka berdua lalu pergi mengambil buah kelapa muda dan beristirahat sebentar di atas rumput.
"Jangan engkau memaki aku munyuk monyet lagi, Bandini," kata Riyatman.
"Habis, engkau dulu juga pernah memaki aku banci." Kata Bandini mengerling tajam.
"Bukankah sekarang aku tak pernah memakimu lagi" Apakah aku begitu buruk seperti seekor monyet?"
"Katakan dulu, apakah akupun begitu buruk seperti seorang banci?" Riyatman menggeleng kepala dengan cepat.
"Tidak engkau... engkau seperti Srikandi, bahkan lebih hebat lagi. Engkau cantik manis dan gagah." Dua pasang mata saling pandang dan Bandini merasa girang sekali, akan tetapi tiba-tiba mukanya yang manis itu menunduk dan warna merah menjalar sampai ke telinganya.
"Eh, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Riyatman. Bandini mengangkat mukanya dan memandang dengan wajah berseri,
"Pertanyaan apa?"
"Apakah aku benar-benar begitu jelek seperti monyet?" Bandini tersenyum manis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Engkau" baik sekali." Riyatman tertawa dengan senang.
"Kalau engkau menganggap aku seperti monyet, biarlah! Akan tetapi aku bukanlah monyet sembarang monyet. Kalau aku menjadi monyet, aku adalah Sang Hanoman (monyet putih yang sakti dalam cerita pewayangan) dan engkau adalah Tri-jata." Keduanya tertawa lagi dengan gembira. Akan tetapi tiba-tiba Bandini nampak sedih.
"Riyatman, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."
"Apakah itu?" tanya pemuda itu dengan sungguh-sungguh.
"Tentang iblis itu. Aku mendapat perasaan aneh dan timbul dugaanku bahwa dia itu mungkin...ibuku."
Riyatman melompat kaget. "Apa..." Mbok Rondo Kuning?"" Ia lalu duduk kembali di dekat Bandini lalu termenung, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin juga! Ibumu mempunyai banyak alasan untuk membenci Galiga Jaya dan mendendam sakit hati yang amat hebat. Habis, apa yang harus kita lakukan?" Bandini termenung dengan sedih.
"Terserah Mbak Wati saja. Aku tidak tahu. Menurut patutnya, kita harus membasmi iblis yang mengacau Mataram, akan tetapi kalau ia Ibuku... Ah, Riyatman, apakah yang harus kulakukan?" Gadis ini lalu menangis. Riyatman termenung dan tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Bandini, jangan engkau bersedih. Disini masih ada aku yang akan membelamu dengan seluruh jiwaku." Bandini terharu sekali dan memandang kepada pemuda itu. Melalui air matanya dengan sinar mata berterima kasih. Kemudian mereka lalu membawa kelapa muda dan buah-buahan lain, kembali ke tempat dimana Adiguna dan Sariwati menanti mereka. Mereka telah mengambil keputusan untuk keluar dari hutan dan masuk ke Karta malam itu, mengintai dan membantu Mataram untuk menangkap iblis yang mengamuk!
Malam itu kebetulan sekali malam Jum"at. Penjagaan dilakukan dengan keras sekali hingga takkan mudah bagi orang luar untuk masuk ke dalam kota Karta pada malam itu. Akan tetapi, dengan cerdiknya Adiguna yang telah dapat menduga hal ini, telah masuk beserta ketiga kawannya siang tadi ke dalam kota dan bersembunyi menanti datangnya malam. Dan di luar dugaan mereka serta dugaan para penjaga, iblis wanita yang dicari-cari itupun telah berhasil memasuki kot pada senja hari, yaitu dengan bersembunyi di dalam tumpukan padi yang dibawa masuk oleh gerobak sapi yang mengangkut padi dari sawah! Tak seorangpun dapat menyangka kecerdikan ini. Ketika gerobak itu tiba di tempat sunyi, iblis wanita itu melompat turun tanpa diketahui orang dan ia lalu bersembunyi juga sambil mencari-cari tempat tinggal Galiga Jaya.
Agaknya iblis wanita itu maklum juga bahwa malam hari ini Sri Sultan sendiri turun tangan dan melakukan penjagaan, bahkan raja yang sakti ini melakukan perondaan dan memeriksa keadaan para penjaga sambil naik kuda! Oleh karena ini, iblis wanita itu tidak berani muncul, sehingga setelah lewat tengah malam tidak melihat terjadinya sesuatu, Sri Sultan merasa bosan dan lelah, lalu kembali ke dalam keraton untuk beristirahat. Akan tetapi menjelang fajar, orang-orang dikejutkan oleh pekik yang mengerikan yang keluar dari tempat kediaman Galiga Jaya! Ternyata bahwa ketika itu Galiga Jaya sedang berada di kamarnya dengan beberapa orang selirnya. Penewu itu merasa aman dan tenteram karena ia percaya penuh bahwa kali ini apabila iblis wanita berani keluar, tentu akan dapat ditewaskan.
Akan tetapi, menjelang pagi, ketika ia telah tidur pulas, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ketawa yang menyeramkan dan ketika ia membuka matanya, ternyata bahwa iblis wanita itu telah berada di dalam kamar dan berdiri di depan pembaringannya sambil memandang dengan sikap mengancam. Galiga Jaya terkejut sekali dan merasa seperti sedang bermimpi. Ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi bayangan yang mengerikan itu bukanlah mimpi. Ia lalu melompat cepat hingga mengejutkan selir-selirnya yang segera bangun dari tidur dan memeluk kawannya sambil menggigil ketakutan. Galiga Jaya menyambar senjatanya, akan tetapi sambil berteriak buas, iblis wanita itu melompat menghalangi Penewu itu mengambil senjatanya yang tergantung di dinding.
Gambar 0603 "Ha-ha-ha, Galiga Jaya! Kau kenal siapa aku" Lihatlah... pandanglah baik-baik... Aku adalah Rondo Kuning, selir yang kau cintai dulu... ha-ha-ha! Dan kau tahu mengapa aku mencarimu" Ha-ha-ha, Galiga Jaya, aku datang untuk merasai jantungmu!"
"Rondo Kuning, kasihanilah aku. Aku bekas suamimu..." Galiga Jaya meratap.
"Keparat rendah!" Teriak Rondo Kuning sambil melangkah maju ke arah Galiga Jaya yang terduduk di atas pembaringan sambil menggigil ketakutan. Melihat betapa iblis wanita itu melangkah maju, Galiga Jaya menjadi nekat dan ia menerjang. Akan tetapi, sekali Rondo Kuning mengayun tangan, Galiga Jaya roboh sambil mengeluarkan pekik mengerikan karena takutnya. Selir-selirnya juga menjerit-jerit minta tolong lalu roboh pingsan karena takutnya.
"Ha-ha, Galiga Jaya. Engkau tidak patut mati di dalam rumah! Engkau harus mampus di tengah jalan, menjadi tontonan orang!"
Sambil berkata demikian, Rondo Kuning lalu memegang tangan Galiga Jaya dan menyeret tubuhnya yang telah lemas tak berdaya itu keluar dari pondoknya. Beberapa orang penjaga yang terkejut mendengar pekik tadi, dan kini berada di luar pondokan, hendak menyerang dengan tombak mereka, akan tetapi ketika ujung tombak mereka dapat dipukul patah oleh iblis wanita itu, mereka melarikan diri sambil berteriak-teriak minta tolong. Rondo Kuning menyeret tubuh Galiga Jaya yang meronta-ronta itu ke tengah jalan dan kembali terdengar jerit yang menyeramkan dari Galiga Jaya. Beberapa kali terdengar jerit mengerikan itu, seakan-akan Galiga Jaya mengalami kesakitan hebat dan ketakutan besar, kemudian jerit itu tidak terdengar lagi, terganti oleh suara ketawa yang diseling tangis sedih. Adiguna mendengar jerit itu, maka ia segera berkata kepada ketiga orang kawannya.
"Aku mengejar dulu kesana! Kalian menyusullah cepat-cepat!"
Kemudian pemuda yang gagah ini lalu mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat mengejar ke arah tempat dimana terdengar jeritan itu. Pada saat itu, fajar telah mulai menyingsing dan keadaan tidak segelap tadi, akan tetapi kabut tebal masih menyelimuti seluruh kota. Ketika Adiguna tiba di tempat itu dan memandang ke arah dimana ia melihat bayanga orang, hampir saja ia berteriak karena merasa ngeri. Ia melihat betapa mayat Galiga Jaya rebah terlentang di atas jalan dengan mandi darah. Dadanya koyak-koyak dan rongga dadanya terbuka! Dan didekatnya, Rondo Kuning yang telah menjadi iblis itu duduk sambil mengunyah benda yang berdarah hingga mulutnya berlumuran darah, demikian pula kedua tangannya. Ternyata iblis wanita ini benar-benar telah menggayang jantung Galiga Jaya yang dicabutnya keluar dari dalam dadanya.
"Iblis kejam!" teriak Adiguna dan ia lalu maju menyerang dengan ikat kepalanya, karena ia tahu bahwa iblis ini sakti sekali. Rondo Kuning lalu melompat berdiri dan bagaikan seekor serigala yang khawatir makanannya direbut, ia mengeram keras dan menyambar tongkatnya lalu menyerang Adiguna. Mereka lalu bertempur hebat sekali. Adiguna mengerahkan kesaktiannya, akan tetapi ia menjadi ketakutan oleh karena Rondo Kuning benar-benar bukan merupakan manusia lagi. Agaknya iblis telah menguasainya hingga ia sejahat dan sekejam iblis, dan kesaktiannya luar biasa sekali. Pukulan ikat kepala Adiguna hanya membuatnya roboh sebentar untuk kemudian melompat lagi dan melakukan serangan pembalasan yang membuat Adiguna terhuyung-huyung mundur. Dan ketika Adiguna masih belum sempat bersiap sedia, tahu-tahu Rondo Kuning telah berhasil menangkap lengannya.
"Ha-ha-ha! Aku memang perlu pemuda-pemuda tampan untuk menjadi pelayan di Laut Kidul! Ha-ha-ha! Galiga Jaya telah kudapati dan ia pantas menjadi pemakan bangkai disana, karena banyak sekali bangkai-bangkai mengotorkan tempat. Galiga Jaya pemakan bangkai, ha-ha-ha! Dan engkau menjadi pelayan yang tampan!" Ketika Rondo Kuning sudah siap hendak mencekik pemuda itu dengan tangannya yang berkuku runcing, tiba-tiba terdengar jerit keras,
"Ibu...!" Rondo Kuning tersentak kaget mendengar suara ini dan tangannya yang telah diangkat hendak mencekik leher Adiguna itu tertahan. Ternyata bahwa yang memekik itu adalah Sariwati yang datang bersama Riyatman dan Bandini. Melihat betapa pemuda kekasihnya tertangkap dan hendak dibunuh Ibunya, tak terasa lagi Sariwati menjerit dan jeritannya ini telah menolong nyawa Adiguna. Riyatman marah sekali melihat hal ini dan ia segera menerjang iblis wanita itu dengan kerisnya.
"Iblis terkutuk!" serunya dan ia menusuk dengan kerisnya ke arah dada Rondo Kuning. Akan tetapi, Rondo Kuning mengangkat lengannya dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menangkap Riyatman pula.
"Ibu!" teriak lagi Sariwati, "Lepaskan Kang Mas Adiguna!" Rondok Kuning membelalakan matanya memandang kepada Sariwati.
"Hi-hi-hi..... pemuda ini siapakah" Kekasihmu?" Sariwati mengangguk dan sambil tertawa terkekeh-kekeh Rondo Kuning melepaskan lengan Adiguna dan mendorong pemuda itu hingga jatuh terduduk di pinggir jalan. Adiguna merasa heran sekali karena ia merasa bahwa yang dilawannya ini benar-benar bukan seorang manusia! Memang setelah berhasil makan jantung Galiga Jaya, keadaan Rondo Kuning benar-benar berobah dan kesaktiannya yang dimiliki pada saat itu mentakjubkan, seakan-akan ada iblis yang masuk ke dalam tubuhnya.


Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hi-hi-hi! Bawalah pulang kekasihmu itu, manis. Akan tetapi, pemuda kasar ini cukup tampan juga untuk menjadi pelayan di Laut Kidul!"
"Ibu..... Kau lepaskan Riyatman! Kalau kau mengganggu dia, aku akan menyerangmu dengan belati ini!" Bandini berseru sambil memandang Rondo Kuning dengan sinar mata berapi-api. Rondo Kuning terkejut dan nampak marah mendengar ada orang berani melawannya, akan tetapi ketika sinar matanya yang liar itu bertemu dengan pandang mata Bandini yang berani, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh lagi.
"Eh-eh, kau si hitam manis yang galak! Apamukah pemuda ini" Kekasihmu-kah?"
"Tak perlu bertanya. Pendeknya, kau harus melepaskan dia!" Rondo Kuning menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau bukan kekasihmu aku akan mencekik lehernya!" Sambil berkata demikian, jari-jari dengan kuku panjang itu telah menjalar ke dekat leher Riyaman yang tak berdaya dan hanya dapat memandang kepada Bandini dengan mata terbelalak!
"Jangan Ibu...! Dia... dia kekasihku..." kata Bandini sambil melompat maju, menangkap lengan Riyatman dan menariknya dari pegangan Rondo Kuning. Iblis wanita itu tertawa menyeramkan dan mendorong tubuh Riyatman hingga pemuda itu terlempar dan bertumbukan dengan Bandini hingga keduanya jatuh ke atas tanah. Pada saat itu, Baurekso dan lain-lain panglima telah tiba disitu dan memandang peristiwa ini dengan mata terbelalak. Mereka juga merasa ngeri sekali melihat mayat Galiga Jaya dan melihat keadaan iblis wanita itu. Rondo Kuning berdiri dan mengulurkan kedua tangannya berlumur darah itu keatas sambil berseru mengancam,
"Orang Mataram! Siapa hendak membela Galiga Jaya, majulah! Biar aku menambah sarapanku dengan beberapa buah jantung segar lagi! Ha-ha-ha!"
Pada saat itu, tiba-tiba orang-orang disekeliling tempat itu berlutut dan dari dalam kabut keluarlah seorang laki-laki yang berpakaian indah dan sikapnya agung sekali. Yang baru datang ini bukan lain ialah Sri Sultan Agung sendiri! Dengan langkah tetap dan pandang mata tenang dan tajam, Sultan Agung menghampiri Rondo Kuning yang masih berdiri dengan tubuh bongkok dan mata liar, Sultan Agung lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan di pinggang sambil menatap wajah Rondo Kuning. Iblis wanita itu ketika melihat Sultan Agung lalu memekik liar dan menubruk dengan jari-jari terbuka ke arah leher Sultan Agung. Akan tetapi, raja sakti itu mengebutkan tangan kirinya yang mengenai kening iblis wanita itu. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh iblis wanita itu roboh di depan Sultan Agung.
"Pergi kamu! Pergi tinggalkan tubuh wanita ini.!" Sri Sultan Agung membentak dengan suara yang amat berpengaruh. Iblis wanita itu masih memekik-mekik dan melompat berdiri lagi hendak menyerang Sri Sultan. Akan tetapi, kembali tangan kirin Sultan Agung menampar dan kini tubuh itu jatuh bergulingan di atas tanah seperti cacing kena abu panas! Namun, iblis wanita itu memang kebal sekali, ia mencoba untuk menyerang lagi hingga sampai tujuh kali Sultan Agung menamparnya sambil tiap kali membentak mengusir iblis yang mempengaruhi Rondo Kuning. Melihat betapa Ibunya mendapat siksaan dari Sultan Agung, Sariwati dan Bandini menjerit dan menangis lalu menghampiri tubuh yang masih bergulingan setelah kena tampar yang ketujuh kalinya. Agaknya ia tak kuasa bangun lagi dan bergulingan sambil menjerit-jerit.
"Ibu" ibu... mintalah ampun, Ibu..." Kata Bandini sambil memeluk tubuh yang mengerikan itu.
"Ibu... sadarlah, Ibu" aku anakmu, Sariwati, Ibu?" Rondo Kuning memandang kepada dua gadis itu, dan tiba-tiba ia terisak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sultan Agung.
"Pergilah, dan bawa tubuh yang kau nodai ini agar jangan mengotori yang lain!" Sri Sultan Agung bersabda. Rondo Kuning lalu menjerit lagi dengan suara memilukan, lalu bangun berdiri dan berlari pergi dari situ.
"Ibu..." Kedua gadis itu hendak mengejar, akan tetapi Adiguna dan Riyatman memeluk kekasih masing-masing, mencegah mereka mengejar Rondo Kuning. Orang-orang lain dan perajurit-perajurit yang mengejar nenek bongkok itu melihat Rondo Kuning berlari terus menuju Bengawan Solo dan wanita itu lalu melompat ke dalam air terus menghilang tak timbul lagi. Tubuhnya tak pernah ditemukan orang, entah menjadi korban buaya entah berada dimana. Sementara itu, Sri Sultan Agung lalu memandang kepada dua pasang muda-mudi yang masih bertangisan disitu, lalu bertanya dengan suara keren, Adiguna dan kawan-kawannya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Ampun beribu ampun, gusti junjungan hamba sekalian. Hamba mengaku salah dan segala keputusan paduka akan hamba terima dengan rela." Sri Sultan Agung memberi tanda agar supaya mayat Galiga Jaya dibawa pergi. Setelah mayat itu diangkut orang, beliau lalu berkata kepada Baurekso,
"Paman Baurekso, tangkap dan penjarakan empat anak-anak nakal ini!" Baurekso maklum bahwa Sri Sultan hanya hendak memberi pengajaran kepada empat anak muda itu dan takkan menghukumnya, maka dengan wajah berseri siap menjalankan perintah itu.
Akan tetapi, pada saat itu serombongan wanita datang dengan tangis memilukan dan datang-datang mereka semua berlutut di depan Sang Prabu. Dengan ratap tangis, semua wanita yang ternyata adalah janda dari Pakem, menuturkan tentang keganasan Galiga Jaya, betapa Penewu yang kejam itu telah menganiaya Rondo Kuning bahkan telah membunuh puteranya sendiri dan telah menculik ketiga anak tirinya. Kemudia menceritakan pula betapa Penewu Galiga Jaya telah membasmi dusun Pakem dan membunuh banyak rakyat lalu membuat laporan palsu bahwa rakyat Pakem yang memberontak terhadap Mataram. Semua orang merasa terharu mendengar jerit tangis dan cerita mereka ini dan merasa gemas kepada Galiga Jaya yang telah mati dalam keadaan demikian menyeramkan. Sri Sultan Agung mengangguk-angguk dan bersabda,
"Kalau begitu, kesalahan terletak di pundak Galiga Jaya yang telah tewas. Biarlah peristiwa ini dijadikan contoh oleh semua orang bahwa betapapun pandai seorang menutupi kesalahan dan kejahatannya, akhirnya Hyang Agung akan menjatuhkan hukumanNya juga!" Kemudian, dengan suara halus dan manis budi, Sri Sultan mengampuni kesalahan Adiguna, Riyatman, Sariwati dan Bandini, bahkan lalu bersabda,
"Adiguna, kau berjodoh dengan Sariwati dan bawalah isterimu ini ke Pakem. Kau kuangkat menjadi kepala desa Pakem dan pimpinlah rakyat dusun itu dengan bijaksana. Dan kau Riyatman, Bandini adalah jodohmu. Kau kuangkat menjadi kepala Desa Waru menggantikan Galiga Jaya. Kurangilah kekerasan hatimu dan pimpinlah rakyat tani dengan baik!" Keempat anak muda itu menyembah dan menghaturkan terima kasih lalu berangkat ke tempat masing-masing dengan penuh bahagia, diantar oleh rombongan yang datang dari Pakem. Untuk sepekan lamanya di dusun Pakem dan Waru diadakan perayaan ramai untuk merayakan pernikahan Adiguna dengan Sariwati dan Riyatman dengan Bandini.
Demikianlah, keempat anak muda yang gagah perkasa itu hidup bahagia. Ketika Sri Sultan pada tahun 1629 menyerang Belanda, Adiguna dan Riyatman beserta isteri mereka yang setia, ikut pula berjuang dengan gigih. Biarpun senjata para pahlawan Mataram hanya senjata tajam saja, namun perlawanan yang dahsyat itu telah membuat fihak Belandan hancur berantakan. Akan tetapi, siasat Belanda yang terkenal licin dan curang, yang seringkali menjalankan siasat adu domba, akhirnya menggagalkan penyerbuan Sultan Agung hingga terpaksa tentara Mataram di tarik mundur. Namun perlawanan terhadap penjajah Belanda tak pernah lenyap dari hati parah pahlawan bangsa.
TAMAT Penerbit : CV. GEMA " Solo
Di Ketik oleh : Eddy Zulkarnaen
Di Posting oleh : Djan M Di Posting di Grup : Cersil KhoPingHoo
Di Edit ke Doc, PDF, TXT oleh : Cersil KPH
Sumber : https://dunia-kangouw.blogspot.com/2017/09/download-rondo-kuning-membalas-dendam.html
1000 Kutu Di Kepala 1 Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Bulan Jatuh Dilereng Gunung 16
^