Pencarian

Si Tangan Halilintar 2

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Pedang itu beronce merah dan merupakan sebuah pedang yang indah, juga mengkilap saking tajamnya tertimpa- sinar bulan. "Manusia liar dari mana berani meng gangguku" bentaknya dengan suara merdu dan nyaring sehingga walaupun ketus dan marah namun terdengar sedap di telinga Heng San. "Maaf, nona. Sungguh aku tidak mengira bahwa roh jahat yang mengganggu kota ini adalah seorang gadis." "Jangan banyak cakap. Kembalikan kantungku!" bentak gadis itu. Heng San mengulurkan tangan yang memegang kantung seolah hendak mengembalikan kantung itu, akan tetapi ketika tadi dia merampas kantung, dia menggunakan tenaga terlalu kuat sehingga tali pengikat mulut kantung menjadi putus. Ketika dia menjulurkan tangan, kantung itu terbuka mulutnya dan sebagian isinya berhamburan di atas genteng! "Bangsat kurang ajar!" gadis itu membentak dan cepat sekali ia menggerakkan pedangnya menusuk ke arah dada Heng San.
"Eit! Aku tidak sengaja, nona:" Heng San berseru sambil cepat mengelak dari tusukan itu. Dia menutup kantung itu dan untuk mencegah isinya berhamburan keluar, dia menyelipkannya di ikat pinggangnya. Pada saat itu, lawannya sudah menggerakkan lagi pedangnya, membacok ke arah lehernya. Namun dengan luar biasa cepat dan gesitnya, Heng San sudah mengelak lagi. Sejak berguru kepada Pat-jiu Sin-kai dan digembleng ilmu silat tangan kosong yang banyak macamnya dan ada di antaranya yang merupakan ilmu silat tangan kosong yang khusus untuk melawan musuh yang menggunakan pedang. Maka, biarpun gadis itu menyerangnya terus secara bertubi-tubi, dengan mudah Heng San dapat menghindarkan semua serangan itu dengan elakan maupun tangkisan tangannya dari samping. Dari serangan-serangan itu Heng San mengetahui bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang cukup lihai.
Dia merasa kagum dan ingin sekali berkenalan karena dia menduga bahwa gadis ini adalah sebangsa gi-to (maling budiman). Akan tetapi setelah serangan bertubi-tubi itu selalu dapat dia hindarkan, hal ini tentu membuat gadis itu merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. "Nona, tahan dulu, mari kita bicaraI" Heng San melompat ke samping sambil mengangkat kedua tangannya. Akan tetapi gadis itu yang menjadi gemas dan mendongkol karena semua serangannya luput atau tertangkis tangan yang berani bertemu pedangnya itu, tidak menjawab melainkan terus mengejar dan mengirim serangan-serangan maut! Heng San men jadi bingung. Tiba-tiba dia mendapat akal. Dia sengaja memperlambat gerakannya sehingga ujung pedang gadis itu dapat menusuk ujung bajunya sehingga robek. Heng San sengaja berseru kaget dan ketakutan, lalu melompat ke samping sambi! berkata gugup.
"Nona...., nona yang baik.... sebelum kau bunuh aku, beritahu lebih dulu namamu, agar aku dapat mati dengan mata terpejam dan tidak menjadi setan penasaran....." Benar-benar gadis itu menahan pedangnya. Ia adalah seorang pendekar wanita yang tidak mau membunuh secara menggelap tanpa berani mengakui namanya. "Dengar kau, bangsat kecil! Namaku adalah Ma Hong Lian, pendekar wanita dari Tit-le! Nah, sekarang terimalah kematianmu dengan mata terpejam!" Tanpa menanti jawaban ia Ialu menyerang kembali dengan gerakan Pek-hong-koan-jit (Pelangi Putih Penutup Matahari). "Aihh....!" Heng San pura-pura terkejut dan bergerak cepat mengelak. Hatinya girang karena akalnya telah berhasil, dia telah mengetahui nama gadis jelita itu. "Aih, Tit-le Lihiap (Pendekar Wanita dari Tit-le)! Kenapa engkau bernapsu besar untuk membunuhku"
Engkau tidak takut nanti setanku seialu mengejarmu untuk menuntut balas?" "Kamu laki-laki kurang ajar! Tunggu nonamu mengambil kepalamu!" Pedang itu berkelebat lagi menyambar ke arah leher. "Haaitt...! Luput lagi, nona. Suka betulkah engkau pada kepalaku, nona Hong Lian?" Heng San menggoda sehingga kemarahan gadis itu semakin memuncak. Ia merasa bahwa ia pasti akan dapat membunuh laki-Iaki kurang ajar ini karena bukankah tadi hampir saja pedangnya menembus tubuh pemuda itu dan merobek ujung bajunya" Tiba-tiba nona itu terkejut bukan main. Kini gerakan kaki tangan Heng San berubah. Tubuh pemuda itu kini bergerak cepat sekali, berloncatan ke kanan kiri dan tiba-tiba di belakangnya dan cepat sekali sudah berada di depannya lagi sehingga mata gadis itu berkunang dan kepalanya menjadi pusing.
Kemudian, sebelum ia mengetahui bagaimana pemuda itu melakukannya, tahu-tahu pedangnya telah terampas! Melihat gadis itu kini berdiri di depannya dengan muka pucat, Heng San menjadi tidak tega dan merasa iba. Dia mengambil kantung dengan tangan kiri, la1u mengulurkan kedua tangannya, yang kiri memegang kantung yang kanan memegang pedang, sambil berkata lembut, "Nona,. terimalah barang-barangmu. Aku Lauw Heng San bukanlah bangsat kecil seperti yang kaukira. Atau.... sebaiknya kita jangan bicara tentang roh jahat atau maling, karena hal itu bisa menyinggung perasaanmu juga." Dia tersenyum. Gadis itu menggigit bibir sendiri dan memandang dengan penuh kebencian, lalu dengan isak tertahan ia membalikkan tubuh dan melompat pergil Heng San hendak mengejar, akan tetapi dia berpendapat bahwa hal itu tentu akan memperbesar kesalahpahaman dan menambah kemarahan nona itu.
Maka dia la1u melompat pergi kembali ke rumah penginapan. Ketika Heng Sang melompat memasuki kamarnya melalui jendela, dia disambut serangan hebat yang tidak disangka-sangkanya semula. Tiga batang golok menyambarnya dari balik jendela! Heng San bergerak cepat, seperti sekor burung tubuhnya sudah melayang kembali keluar kamar melalui jendela. Lima orang berpakaian seperti jago-jago silat, masing-masing memegang sebatang golok besar juga berlompatan keluar jendela dan setelah tiba di luar segera mengepung Heng San dengan muka bengis mengancam. "Nah, itu dial Aku sudah curiga bahwa dia bukan orang baik-baik. Pantas dia berani bermalam di kamar ini. Ternyata dialah hantu dan roh jahat Itu. Serbu! Tangkap!!" Yang berteriak itu adalah pelayan rumah penginapan yang ramah itu. Heng San menjadi marah.
Akan tetapi dia dapat menduga bahwa hal ini merupakan kesalahpahaman dari pelayan itu yang mencurigainya. Tentu pelayan itu tadi telah membuka pintu kamarnya dan melihat dia tidak ada, lalu timbul kecurigaannya dan mendatangkan jagoan-jagoan untuk menangkapnya yang dikira pengganggu keamanan kota itu. Dia hendak berlari pergi, akan tetapi dia teringat akan buntalan pakaiannya yang masih berada di dalam kamar. Ketika lima orang bergolok itu mengepungnya, Heng San cepat melompat ke atas, berpok-sai (bersalto) di udara dan tubuhnya masuk lagi ke dalam kamarnya. Cepat dia mengambil buntalan pakaiannya, digendong di punggung bersama pedang yang. dirampasnya dari gadis bernama Ma Hong Lian itu, kemudian ia melompat ke luar lagi. Lima batang golok menyambutnya. Akan tetapi Heng San mempergunakan kepandaiannya. Kedua tangannya bergerak, diikuti kedua kakinya dan terdengar suara berkerontangan ketika lima batang golok itu terlepas dari pegangan para pengeroyoknya, terlempar dan lima orang itu mundur dengan terkejut.
Heng San menggunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan malam. Dia terus berlari meninggalkan kota Leng koan, akan tetapi ketika tiba di atas wuwungan toko obat di mana tadi Ma Hong Lian beraksi, dia teringat bahwa dia masih membawa setengah kantung terisi uang emas dan perak milik toko obat itu! Dia berhenti dengan ragu. Akan dikembalikankah uang pemilik toko obat itu" Tiba-tiba dia mendengar isak tangis yang datangnya dari rumah kampung di belakang toko obat. Di belakang toko-toko yang berjajar di sepanjang tepi jalan raya terdapat perkampungan rumah-rumah kumuh. Dia lalu berlompatan ke atas genteng rumah dari mana datangnya isak tangis wanita itu. Dia mengintai dari atas genteng. Sebuah ruangan rumah yang kumuh dan kotor. Seorang wanita duduk di tepi dipan bambu menunggui seorang anak berusia lima tahun yang tampaknya sedang menderita sakit.
Anak. itu menggigil kedinginan walaupun sudah ditimbuni kain-kain butut yang banyak. Jelas dia menderita demam. Seorang laki-Iaki setengah tua duduk di kursi butut dan tampak sedih sekali. "Sudahlah, jangan menangis. Anak kita : tidak akan sembuh oleh tangismu." kata laki-Iaki itu sambil menghela napas panjang. "Keterlaluan sekali juragan toko obat itu. Kenapa dia tidak mau menolong anak kita" Pada hal, sudah bertahun-tahun aku bekerja mencucikan pakaian keluarga mereka." tangis wanita kurus itu. "Orang-orang kaya itu, mana ada yang baik hati" Semakin kaya, mereka itu menjadi semakin kikir. Permintaan tolong kita dianggap sebagai pengganggu kesenangan mereka saja. Uhhh.....!" Tertegun Heng San melihat dan mendengar semua itu. Kini mengertilah dia apa yang telah diperbuat gadis bernama Ma Hong Lian itu.
Gadis itulah yang mengambil uang para hartawan kikir dan dia pula yang membagi-bagikan uang kepada para fakir miskin. Ah, dan dia telah mengganggu pekerjaan gadis itu! Terdorong oleh perasaan kagum terhadap nona itu, dia lalu mengambil beberapa potong uang perak dan dijatuhkan ke bawah dari celah-celah genteng. Beberapa potong uang itu jatuh ke atas meja di depan laki-laki itu, berbunyi nyaring. Laki-laki dan isterinya itu terkejut, terbelalak melihat empat potong uang perak di atas meja. Mereka sudah mendengar ten tang adanya "dewa" yang memberi pertolongan kepada orang-orang miskin. Segera mereka berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Heng San sudah melayang pergi tanpa menimbulkan suara. Dia membagi-bagikan sebagian isi kantung ke rumah-rumah kumuhdan miskin. Kemudian baru dia meninggalkan kota Leng-koan.
Masih ada uang emas seperempat kantung. Kini dia tidak malu menganggap uang itu sebagai miliknya sendiri. Dia memang membutuhkan uang untuk biaya hidup. Setelah berlari keluar kota Lengkoan beberapa lamanya, dia melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan di tepi jalan. Kuil kosong itu tampak angker dan menakutkan, akan tetapi Heng San yang merasa lelah dan mengantuk, segera masuk ke dalam kuil, menemukan bagian yang agak bersih dan tidur di situ sampai pagi. Pada kesokan harinya setelah matahari terbit, Heng San melanjutkan perjalanannya. Ketika melewati sebuah dusun, dia berhasil membeli sekor kuda yang kuat dan dia melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Selama dua hari dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan masuk keluar hutan.
Dia menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanan. Kini dia selalu membawa bekal makanan roti dan daging kering, dan sebuah guci yang diisi air minum. Tidurnya di mana saja. Kalau perlu, karena tidak menemukan kota atau dusun dan kemalaman di jalan, dia tidur di kui! tua, di gubuk sawah ladang, atau di atas pohon! Pada hari ke tiga, sejak pagi hari yang cerah itu Heng San menjalankan kudanya dengan santai memasuki sebuah hutan besar di kaki sebuah bukit. Hari itu cerah sekali. Sinar matahari pagi yang menerobos di celah-celah daun pohon mendatangkan kehidupan dalam hutan. Heng San menikmati perjalanan dalam hutan ini. Dia mendengarkan kicau burung-burung di dalam pohon dan terkadang melihat tupai berlompatan saling kejar memanjat pohon dengan gesitnya, atau melihat kelinci menyusup-nyusup di antara semak-semak. Ada pula dilihatnya sekumpulan kijang berlari cepat mendengar suara kaki kudanya.
Heng San melihat dan mendengar itu semua dengan gembira. Dia tidak tahu ke mana arah kudanya berjalan dan dia juga tidak peduli. Ke manapun sarna saja baginya, asal jangan kembali ke tempat yang sudah dilaluinya. "Tolong....! Tolonggg....!" Heng San terkejut. Suara minta tolong itu keluar dari dalam hutan. Cepat dia membedal kudanya yang melompat dari berlari congklang ke depan, ke arah dari mana datangnya suara minta tolong. Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka, dia melihat betapa belasan orang berpakaian sebagai perajurit sedang bertempur melawan dua puluh lebih orang-orang yang berpakaian biasa. Banyak orang berpakaian perajurit sudah menggeletak dan orang yang berteriak-teriak minta tolong adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh gemuk pendek. Dia memegang sebuah perisai di tangan kiri dan sebatang golok di tangan kanan dan dengan dua macam senjata ini dia membela diri dan menangkis serangan-serangan yang dilakukan seorang anggauta gerombolan yang menyerang para perajurit pengawal itu.
Orang gemuk pendek ini melihat pakaiannya tentulah seorang pembesar. Heng San melompat turun dari kudanya dan langsung saja dia membantu pembesar itu. Sekali saja kakinya mencuat, penyerang pembesar itu terkena tendangannya dan terlempar jauh lalu jatuh terbanting, tidak mampu bangkit lagi.Heng San lalu menyerbu dan membantu para perajurit yang terdesak hebat. Begitu kaki tangannya bergerak, para anggauta gerombolan itu kocar-kacir, berpelantingan roboh. Heng San merasa kagum dan juga bangga atas kemampuannya sendiri. Gerombolan yang bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu silat yang membuat para perajurit pengawal kewalahan itu, dengan mudah saja dia robohkan dengan tamparan dan tendangannya. Kepala gerombolan yang bercambang bauk dan bersenjata pedang, tubuhnya tinggi besar dan kokoh melawan mati-matian ketika tiba gilirannya berhadapan dengan Heng San. Akan tetapi diapun hanya dapat bertahan selama belasan jurus saja. Akhirnya dia terkena tendangan Heng San dan roboh muntah darah.
"Anjing pemerintahl" kepala gerombolan itu memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Heng San. "Siapakah engkau yang membela seorang pembesar anjing pengkhianat penindas rakyat?" Sebelum Heng San menjawab, seorang perajurit meluncurkan anak panah. "Serrr.... cappp!" Anak panah itu menancap di leher kepala gerombolan yang seger a roboh dan tewas seketika. Heng San terkejut dan dia tidak mengerti akan maksud kata-kata kepala gerombolan tadi. Sementara itu, pembesar yang tadi ditolongnya sudah membuang perisai dan goloknya, lalu menghampiri Heng San dengan wajah berseri. "Hebat, hebat sekali Engkau sungguh seorang gagah perkasa, tai-hiap (pendekar besar) Kalau tidak ada tai-hiap yang datang menolong, tentu nyawa kami akan melayang semua. Ahh, sungguh keadaan tidak aman sekarang, di mana-mana terdapat perampok dan gerombolan yang jahat dan kejam. Mereka meminta barang barang kami dan sudah kami berikan, akan tetapi mereka masih menghendaki nyawa kami. Tentu saja kami melawan.
Terima kasih, tai-hiap. Bolehkah kami mengetahui namamu yang terhormat?" Heng San merasa rikuh juga melihat sikap pembesar yang demikian hormat kepadanya. Dia cepat membalas penghormatan itu dan berkata dengan sikap merendah. "Siauw-te (adik muda) bernama Lauw Heng San. Kebetulan saja siauwte lewat dan melihat pertempuran sehing ga dapat membantu tai-jin (pembesar) membasmi gerombolan perampok itu." "Engkau sungguh seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar besar yang mengagumkan. Siapakah julukanmu, Lauw taihiap (pendekar Lauw)?" Heng San tersenyum. "Ah, tai-jin, orang seperti saya ini mana mempunyai julukan segala?" Pembesar itu memperlihatkan wajah heran. "Sungguh tidak adil! Kami telah bertemu banyak orang gagah yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaianmu, tapi mereka itu sudah mempunyai nama julukan yang hebat-hebat! Apa lagi yang berkepandaian selihai engkau ini, yang dengan tangan kosong saja dapat merobohkan belasan orang perampok yang bersenjata tajam dengan sekejap mata saja!
Ah, Lauwtaihiap, percayalah, selama hidup belum pernah aku bertemu dengan pendekar sehebat engkau dan belum pernah menyaksikan kepandaian silat sedemikian tinggi. Engkau benar-benar seorang SIN KUN BU TEK (Kepalan Sakti Tanpa Tanding)!" Heng San merasa bangga sekali dan dia mengganggap pembesar itu sangat ramah dan baik. Dari logat bicaranya dia tahu bahwa pembesar itu seorang bangsa aseli, yaitu bangsa Han seperti dia sendiri. Memang tidak sedikit bangsa Han yang diangkat menjadi pembesar sipil oleh pemerintah Ceng, yaitu pemerintah Bangsa Mancu. "Terima kasih, tai-jin." kata Heng San sambil menjura, memberi hormat. "Saya tidak merasa pantas mempunyai julukan sehebat itu, akan tetapi kalau tai-jin berkenan memberikan julukan itu kepada saya, sayapun tidak berani menolaknya." Pembesar itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus! Memang engkau tepat sekali dengan julukan Sin-kun Bu-tek, karena sebagai seorang pendekar gagah, tidak kami lihat engkau tadi menggunakan senjata ketika melawan mereka." "Memang senjata saya hanya sepasang tangan dan kaki ini, tai-jin.
Pedang di punggung saya inipun bukan milik saya, melainkan milik seorang pencuri yang saya rampas di kota Leng-koan." "Ahh! Jadi engkau sudah pula menangkap pelaku pencurian dan penyebaran penyakit yang kabarnya dilakukan roh jahat di kota Leng-koan itu, Lauw-taihiap?" tanya pembesar itu sambil membelalakkan mata penuh kagum. "ia seorang pencuri biasa, bukan roh jahat, tai-jin." kata Heng San dengan singkat, bahkan dalam hatinya dia tidak menganggap pencuri itu orang jahat. Pembesar gendut pendek itu mendekati Heng San dan menepuk-nepuk pundaknya dengan sikap akrab. "Lauw-taihiap, perkenalkanlah. Kami adalah seorang pembesar dari kota Keng-koan berpangkat ti-koan. Engkau masih muda dan gagah, marilah ikut kami ke Keng-koan, di mana engkau akan kami perkenalkan kepada Thio-ciangkun (Perwira Thio). Dia seorang pembesar miIiter yang berkuasa besar, cerdik pandai dan menjadi sahabat baikku. Thio-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang menjadi tangan kanan kaisar yang bertugas membasmi gerombolan pemberontak yang berusaha untuk merobohkan pemerintah Ceng yang jaya."
Heng San merasa tertarik sekali. Ayah maupun gurunya tidak pernah bicara tentang pemerintah Kerajaan Ceng, maka dia tidak tahu akan politik kerajaan baru itu. Dia memang tidak memiliki pekerjaan dan kalau ada pekerjaan yang cocok dengan kepandaian silatnya, maka tentu saja dia suka. "Jangan ragu, taihiap. Aku menjamin bahwa engkau tentu akan senang sekali berkenalan dengan orng-orang gagah yang menjadi para pembantu Thio-ciangkun yang pandai." bujuk pula pembesar gendut itu. "Aku bernama Liok Han Sai, dikenal sebagai Liok-tikoan yang selalu bertindak adil dan jujur." "Akhirnya Heng San tidak menolak. ketika diajak ikut ke kota Keng-koan oleh Liok-taijin (pembesar Liok). Di sepanjang jalan, sambil duduk sekereta dengan pembesar itu dan kudanya dibawa perajurit pengawal, Heng San mendengarkan keterangan Liok-taijin tentang Thiociangkun yang dipuji-pujinya.
Thio-ciangkun (Perwira Thio) itu bernama Thio Ci Gan, seorang perwira bangsa Han juga yang namanya terkenal di kota raja. Dia adalah seorang kepercayaan kaisar dan sudah berjasa besar sekali ketika ikut menghancurkan barisan Gouw Sam Kui yang tadinya bersekutu dengan pasukan Mancu kemudian membalik dan melawan pasukan Mancu secara mati-matian. Ketika Kaisar Kang Hsi dari kerajaan Ceng (Mancu) mendengar dari para penyelidik bahwa di daerah Keng-koan terdapat banyak orang-orang Han yang bersikap memberontak, kaisar lalu memerintahkan Thio Cin Gan untuk pindah ke kota Keng-koan dan menjadi komandan pasukan keamanan di kota itu. Tugasnya adalah membasmi kaum patriot bangsa Han yang menentang penjajahan Mancu. Di kota Keng-koan ini Thio Cin Gan yang cerdik membujuk para orang gagah dengan sogokan harta benda dan janji-janji muluk dan berhasil membentuk pasukan istimewa terdiri dari ahli-ahli silat yang dapat terbujuk.
Ketika Liok-taijin membawa Heng San menghadap Thio-ciangkun, pembesar militer itu sedang duduk minum bersama beberapa orang gagah yang menjadi pembantunya. Segera Liok-taijin disambut ramah dan dipersilakan duduk semeja, ikut menikmati minum arak dan makanan ringan. Liok-taijin segera memperkenalkan Heng San Kepada perwira tinggi itu. "Thio-ciangkun, ini adalah seorang kawan baru yang berjuluk Sin-kun Bu-tek dan bernama Lauw Heng San. Kawan yang gagah perkasa ini telah menolongku dari serangan dan kepungan belasan orang pengacau. Dia merobohkan belasan orang itu hanya dengan tangan kosong saja." Mendengar laporan ini, Thio-ciangkun menunda cawan araknya dan memandang Heng San dengan sinar mata tajam pemih selidik. Juga para jagoan yang tadinya memandang acuh tak acuh kepada Heng San, kini menatapnya penuh perhatian. Thio-ciangkun berkata dengan ramah sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.
"Selamat datang, Lauwsku (orang gagah Lauw), kami merasa mendapat kehormatan besar menerima kunjungan seorang gagah perkasa seperti engkau." Heng San berdiri dan menjura dengan hormat. "Terima kasih, ciang-kun. Yang menerima kehormatan adalah saya. Adapun mengenai pujian Liok-taijin terhadap saya, semua itu hanya main-main saja." ''Ha-ha Lauw-taihiap terlalu merendahkan diri" Liok-taijin mencela. "Lauw-taihiap dapat diumpamakan sebatang pedang pusaka masih terbungkus dalam sarungnya, belum terhunus sehingga tidak tampak ketajamannyal" Mendengar ucapan itu, Thio-ciangkun tampak gembira. Dia lalu memperkenalkan para pembantunya yang gagah perkasa kepada Heng San. Di antara mereka, yang sudah amat terkenal namanya di dunia kang-ouw dan dalam perantauannya selama enam bulan itu Heng San pernah mendengar ketenaran nama mereka, adalah tiga orang, maka ketika diperkenalkan, dia memperhatikan mereka.
Yang pertama adalah seorang tinggi kurus berusia sekitar empat puluh lima tahun dan mukanya berwarna kuning, diperkenalkan sebagai Lui Tiong berjuluk Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning) yang memiliki sebatang pedang di punggungnya. Orang kedua bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat berusia sekitar empat puluh tahun, bernama Ban Kok dengan julukan Hoagu-ji (Si Kerbau Belang) dan bertt:maga besar. Adapun orang ketiga yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bermuka tampan namun tubuhnya kate (pendek) bernama Ouwyang Sin dan orang itu memiliki sebatang golok emas yang tergantung di punggungnya. Setiap menerima pembantu, Thio-ciangkun selalu menguji kepandaian mereka untuk menentukan tingkat mereka, maka setelah diuji ditetapkan bahwa menurut ukuran kepandaian mereka, tingkat pertama adalah Ui-bin-houw, kedua adalah Hoa-gu-ji. Ban Kok, dan ketiga adalah si kate Ouwyang Sin yang berjuluk Kim-to (Si Golok Emas).
Ketika diperkenalkan, tiga jagoan pembantu Thio-ciangkun ini memandang Heng San dengan sikap acuh tak acuh dan meremehkan karena mereka belum pernah mendengar pemuda yang berjuluk Sin-kun Bu-tek ini di dunia kang-ouw. Mereka menganggap pemuda itu sombong sekali, berani memakai julukan Sin-kun Bu-tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding). Seorang laki-laki yang masih begitu muda dapat mempunyai kepandaian setinggi apakah" Hidangan-hidangan lezat dikeluarkan dan Heng San menikmati makanan enak-enak dan arak yang wangi. Karena keramahan tuan rumah, Heng San agak terlalu banyak minum arak sehingga sikapnya berubah gembira sekali dan bebas. "Lauw-sicu," kata Thio-ciangkun sambi! tersenyum, "karena engkau seorang pengembara yang menurut katamu sendiri ingin meluaskan pengalaman, bagaimana kalau engkau bekerja dengan kami di sini?" "Bekerja sih mudah, Thio-ciangkun, akan tetapi saya harus mengetahui Iebih dulu macam apakah pekerjaan itu," jawab Heng San dengan Iancar.
"Apa lagi"' Kita adalah golongan orang-orang gagah, golongan pendekar pembela keadilan. Pekerjaan kita adalah membasmi orang-orang jahat, pengacau-pengacau dan para perampok! Setujukah engkau?" "Ha-ha-ha! Thio-ciangkun, tanpa dimintapun saya sudah bekerja seperti itu!" Thio-ciangkun mengisi cawan Heng San yang sudah kosong sambi! tertawa. Engkau benar sekali, Sin-kun Bu-tek. Akan tetapi pekerjaan ini akan lebih sempurna dan teratur jika kita rencanakan bersama. Kalau engkau bekerja sendiri bagaimana kalau sampai engkau salah tindak" Tidak demikian halnya kalau engkau bekerja sarna dengan kami. Kami mempunyai pasukan penyelidik yang dapat mengetahui orang macam apa yang harus kita basmi." "Bagus! Saya terima usul ciangkun dengan hati dan tangan terbuka!" kata Heng San gembira. "Nanti dulu, Thio-ciangkun," tiba-tiba Ui-bin-houw Lui Tiong berkata dengan nada mencela.
"Tidakkah itu terlalu sembrono" Kita belum mengetahui sampai di mana kesetiaan dan kepandaian Lauw-sicu ini. Apakah ciangkun hendak menyimpang dari kebiasaan?" Thio-ciangkun memandang pembantu pertamanya itu dengan tersenyum. "Tentu saja kita harus mengujinya dulu. Eh, Lauw-sicu, bersediakah engkau untuk diuji?" "Diuji?" tanya Heng San. "Diuji bagaimana maksud ciangkun?" "Biasa saja. Diuji kepandaianmu, dicoba dan diukur sampai di mana tingkat kepandaianmu." Heng San tersenyum. Dia sedang gembira oleh pengaruh arak, maka diapun ingin sekali memamerkan kepandaiannya. "Ah, boleh, boleh sekali, ciangkun. Siapa yang akan mengujiku" Apakah Lui-toako (kakak Lui) ini?" Dia menunjuk kepada Lui Tiong. Tiba-tiba Si Golok Emas Ouwyang Sin yang pendek kate itu bangkit berdiri. "Ciangkun, perkenankanlah saya mencobanya lebih dulu." Dengari wajah gembira Thio-ciangkun mengangkat tangan tanda setuju lalu bangkit berdiri.
"Mari kita semua pindah ke lian-bu-thia! Mereka semua lalu rnengiringkan perwira itu menuju ke lianbu-thia (ruangan berlatih silat yang berada di belakang gedung. Ruangan ini luas sekali dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak yang penuh dengan delapan belas rnacam senjata untuk bermain silat. Thio- ciangkun mempersilakan Liok-taijin untuk duduk di atas bangku yang berjajar dekat dinding. Tujuh orang jagoan lain yang tingkatnya rendahan juga duduk di deretan bangku belakang. Thio-ciangkun sendiri duduk di sebelah Liok-taijin menonton dengan wajah berseri, sedangkan dua orang jagoan pertama dan kedua duduk di sebelah kirinya. Dengan senyum simpul Ouwyang Sin membuka jubah luarnya, hanya mengenakan baju dalam yang ringkas, rambutnya yang tipis dikucir kecil bergantung di tengkuknya, lalu dengan lagak memandang rendah dia melambaikan tangan kepada Heng San yang sudah berdiri di depannya.
Pemuda ini juga menanggalkan buntalan pakaiannya, diletakkan di sudut dan kuncirnya yang hitam panjang seperti sekor ular membelit lehernya. "Marilah, siauw-ko (kakak kecil), kita main-main sebentar!" kata Ouwyang Sin dengan nada. mengejek, lalu memasang kuda-kuda dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar seperti menunggang kuda, kedua tangan di pinggang terkepal dan dia menoleh ke arah Heng San yang berdiri di sebelah kanannya. Heng San menghadapinya. Sikapnya tenang dan berhati-hati karena dia belum tahu sampai di mana kelihaian lawan ini. "Mulailah, Ouwyang toako (kakak Ouwyang). Bukankah engkau yang hendak mengujiku?" "Baik, lihat seranganku!" Ouwyang Sin (Lanjut ke Jilid 03)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03 tidak sungkan-sungkan lagi, segera dia membalik ke kanan, lalu menggunakan kepalan kanan untuk memukul ke arah Heng San dan segera disusul tendangan kaki kirinya. Biarpun kaki dan tangannya pendek, namun serangan ini cukup cepat dan bertenaga.
Namun, Heng San melihat bahwa gerakan lawan ini agak lamban sehingga dengan tenang dan mudah saja dia mengelak dan langsung balas menyerang. Si Golok Emas terkejut bukan main melihat gerakan aneh dari pemuda itu. Dalam keadaan terserang, pemuda itu mengelak dan balas menyerang. Alangkah cepatnya gerakan pemuda itu! Akan tetapi sebagai seorang jagoan )fang sudah banyak pengalaman bertanding, Ouwyang Sin juga mampu menangkis serangan balasan Heng San. "Dukkk!" Untuk kedua kalinya Ouwyang Sin terkejut bukan main ketika merasa betapa lengannya tergetar dan nyeri ketika bertemu dengan lengan lawan. Kini Heng San sudah dapat mengukur tenaga dan kecepatan lawan, maka dia melompat ke belakang dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, bukan dengan niat mengejek. "Ouwyang-toako, tadi aku mendengar engkau berjuluk Kim-to atau Golok Emas. Maka karena aku mendapat kesempatan, penuhilah keinginanku mtuk melihat kehebatan golok emasmu itu."
Ouwyang Sin memandang dengan muka merah. ''Lauw-siauwte (adik Lauw)," katanya menyebut adik dan tidak ngejek lagi walaupun hatinya panas. Apakah engkau tahu bahwa permainan ini hanya untuk menguji kepandaianmu saja" kita bukan sedang pi-bu (mengadu ilmu) atau berkelahi. Golok tidak ada matanya, kawan, sekali salah bacok bisa mendatangkan luka berat atau maut!" "Aku tahu dan aku mengerti, Ouw-toako. Tapi maksudku juga bukan untuk mencari keributan. Aku hanya ingin melihat permainan golokmu yang tersohor itu, juga agar lebih indah dipandang untuk menghormati tuan rumah. tetapi kalau engkau keberatan, baiklah kita teruskan pertandingan adu kepalan dan tendangan ini." "'Lihat serangan!" Ouwyang Sin yang penasaran itu menyerang lagi, kini mempergunakan jurus yang paling diandalkan dan menyerang dengan bertubi. Akan tetapi dalam dua gebrakan saja, ketika kakinya menendang, kaki itu dapat ditangkap Heng San dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas!
Untung sekali baginya bahwa Heng San segera menangkapnya kembali sehingga Ouwyang Sin tidak sampai terbanting ke atas lantai yang keras. Liok-tikoan bertepuk tangan dengan girang. "Apa kata saya tadi, ciangkun" Dia benar-benar Si Kepalan Sakti Tanpa Tanding!" Thio-ciangkun juga memandang heran. Dia tidak menyangka pemuda itu dapat menjatuhkan Ouwyang Sin hanya dalam dua gebrakan saja! Si Golok Emas merasa malu sekali. Dia menjura kepada Heng San sambi! berkata, "Sungguh engkau lihai sekali. Apakah sekarang engkau masih ingin melihat permainan golokku" Aku memang tidak biasa bersilat dengan tangan kosong." Ouwyang Sin menunjuk dengan jari tangan kirinya ke arah buntalan pakaian Heng San. "Akan tetapi aku melihat sebatang pedang di buntalanmu." "Oh, itu bukan pedangku, melainkan pedang seorang maling yang kurampas di Leng-koan.
Aku tidak bisa menggunakannya." Ouwyang Sin menurunkan lagi goloknya dan berkata dengan muka cemberut, "Kukira pertandingan ini tak dapat diteruskan. Apa kau kira aku ini seorang pengecut yang hendak menandingi seorang lawan bertangan kosong dengan menggunakan golok emasku?" "Lauw-sicu, keluarkanlah senjatamu!" Thio-ciangkiun juga ikut membujuk. Akan tetapi Heng San menjawab dengan suara sungguh-sungguh. "Maaf, ciangkun. Saya berkata sebenarnya bahwa semenjak kecil saya tidak pernah bermain dengan senjata tajam. Saya hanya mengandalkan kedua tangan dan kaki ini saja." "Benar-benar Sin-kun Bu-tek, Kepalan Sakti Tanpa Tanding!" kata Liok-tikoan dengan kagum. Thio-ciangkun juga merasa heran dan kagum. "Kalau begitu, Ouwyang-sicu, pergunakan golokmu, jangan ragu-ragu lagi. Aku ingin melihat kelihaian tangan kosong dan kakinya." kata perwira itu yang juga rnerupakan seorang ahli silat yang tangguh.
Mendengar anjuran dan perkenan Thio-ciangkun yang juga didengar oleh semua rekannya, Ouwyang Sin tidak rnerasa ragu.dan rnalu lagi. Dia segera rnemutar goloknya dan berkata, "Maaf dan lihat serangan golok emasku!" Ketika dia rnemainkan golok emasnya, tampak sinar emas bergulung-gulung dan menyambar-nyambar, menggulung tubuh Heng San dari semua penjuru. Akan tetapi Heng San berseru, "Bagus!" dan tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya laksana telah berubah menjadi bayang-bayang. Dia berhasil keluar dari gulungan sinar golok dan tampak bayangan itu berkelebat luar biasa gesitnya. Ouwyang Sin mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan sernua jurus maut golok emasnya, akan tetapi dia mengalami hal yang aneh dan payah juga harus mengejar ke manapun bayangan itu berkelebat. Setiap kali diserang, bayangan itu lenyap dan tahu-tahu angin pukulan menyambar dari belakang, dari depan, dari atas, dan dari kanan kiri.
Dia merasa heran, kagum, akan tetapi juga penasaran. Selama bertahun-tahun merajalela: di dunia kang-ouw dengan goloknya, belum pernah dia bertemu tanding yang demikian gesitnya. Dia mempercepat gerakan goloknya. Namun, bagaikan mempermainkannya, gerakan Heng San ternyata lebih cepat lagi sehingga akhirnya serangan Ouwyang Sin hanya merupakan bacokan-bacokan ngawur saja karena bayangan itu seolah berada di mana-mana dan berubah banyak! Thio-ciangkun dan Liok-tikoan merasa kagum sekali dan tak terasa lag1 mereka berdua bertepuk tangan memuji. Belum habis tepukan tangan mereka, tiba-tiba terdengar keluhan Ouwyang Sin dan golok itu tahu-tahu telah ter1empar ke udara. Agaknya golok itu akan menancap di langit-langit, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali gerakan melayang ke atas dan dapat menangkap go1ok itu sebelum menancap di langit-langit ruangan lian-bun-thia itu.
Heng San melayang turun dan kakinya tidak mengeluarkan bunyi sedikitpun ketika hinggap di atas lantai. Heng San mengembalikan golok kepada Ouwyang Sin dan membungkuk. Tanpa mengandung ejekan, melainkan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, "Ouw yang-toako, terimalah kembali golokmu. harus kuakui bahwa permainan golokmu sangat hebat dan engkau pantas berjuluk Si Golok Emas!" Ouwyang Sin menerima goloknya dan 'menghela napas pan jang. "Sudahlah, jelas engkau bukan tandinganku, Lauw-te (adik Lauw)." Thio-ciangkun dan Liok-tikoan merasa kagum dan memuji Heng San. Bahkan para jagoan di situ juga merasa kagum sekali. Ban Hok si Kerbang Belang yang menjadi jagoan nomor dua melihat betapa Ouwyang Sin dengan golok di tangan dipermainkan sedemikian oleh Heng San yang betangan kosong, merasa takluk dan maklum bahwa kepandaian silatnya yang hanya sedikit lebih tinggi daripada tingkat si golok emas, bukanlah lawan pemuda luar biasa itu.
Maka diapun berkata terus lerang kepada Thio-ciangkun. "Ciangkun, terus terang saja saya mengaku bahwa tingkat kepandaian Sinkun Bu-tek Heng San benar-benar hebat dan masih jauh lebih tinggi dari pada kemampuan saya dan agaknya di antara kami para pembantu ciangkun tidak ada yang mampu mengalahkannya." Thio-ciangkun mengangguk-anggukpuas. Akan tetapi Ui-bin-houw Lui Tiong, Si Harimau Muka Kuning tidak senang mendengar ini. Dia menjura kepada Thiociangkun dan berkata, "Saudara Ban Hok sangat merendahkan diri sendiri. Biarpun kepandaian Sin-kun Bu-tek amat lihai, akan tetapi sebelum mencobanya sendiri, saya tentu menjadi penasaran juga. Bolehkah saya mengujinya, ciangkun?" Thio-ciangkun tampak gembira sekali dan berkata kepada Heng San yang masih di tengah ruangan lian-bu-thia.
"Law-sicu, maukah engkau bermain sebentar dengan Lui-sicu?" Heng San menjawab sambil memang ke arah Lui Tiong. "Tentu saja saya sedia melayani Lui-toako." Lui Tiong segera menggerakkan tubuh dan tubuh itu melesat dengan cepat melayang ke tengah lian-bu-thia dan ia berhadapan dengan Heng San. t ini, Heng San maklum bahwa pertama yang menjadi jagoan Thio ini memiliki gin-kang.(ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat. LuiTiong berkata kepada Heng San sambi1 menatap wajah yang tampan itu. "Lauw-te sungguh mengagumkan. Masih begini muda sudah memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi. Ilmu silatmu selain lihai juga aneh sekali gerakannya. Bolehkah aku mengetahui dulu nama suhumu yang mulia?" Dengan suara sederhana Heng San jawab, "Suhuku berjuluk Pat-jiu Sin-kai" Mendengar nama gurunya ini wajah Lui Tiong menjadi pucat dan tubuhnya agak gemetar. Dia mendengar pula seruan suara Thio-ciangkun.
"Apa" Si Pengemis Sakti Tangan Delapan?" Heng San menoleh dan melihat betapa semua orang yang berada di situ, termasuk Thio-ciangkun dan para jagoannya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Diam-diam dia merasa bangga sekali akan gurunya yang ternyata demikian terkenal dan besar wibawanya sehingga baru mendengar namanya sa ja membuat semua orang begitu terkejut! "Aih, pantas sekali kalau begitu! Tidak tahunya Lauw-sicu murid Pat-jiu Sin-kail Pantas begitu lihail" Thiociangkun berkata lantang "Hayo, Lui-sicu, cobalah dia!" suaranya terdengar begitu gembira sekali. "Marilah, Lauw-te!"kata Si Harimau Muka Kuning menantang. "Saya telah siap, Lui-toako!" kata Heng San yang bersikap tenang namun dia waspada karena maklum bahwa ilmu lawan ini tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lawannya yang terdahulu. "Hyaaatt!" Lui Tiong menyerang dengan jurus pukulan Pai-in-jut-sui (Mendorong Awan Keluar Puncak).
Heng San mak1um akan kekuatan lawan. Angin pukulan serangan itu amat kuat. Maka diapun melayani dengan memainkan ilmu silat Lo Han Kun-hoat (Hmu Silat Orang Tua Gagah), yaitu ilmu silat aliran Siauw lim-pai, satu di antara banyak ilmu silat yang diajarkan Pat-jiu Sin-kai kepadanya. Seperti ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai pada umumnya, Lo Han Kun-hoat ini gerakannya mantap dan kokoh sekali. Tenyata ilmu silat Lui Tiong memang tangguh, namun kini dia bertemu lawan yang dapat mengimbanginya, baik dalam hal kecepatan maupun tenaga sakti. Setelah mereka bertanding selama puluhan jurus, tahulah Heng San bahwa daiam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan lwe-kang (tenaga dalam) dia masih lebih unggul. Maka dia segera mengubah gerakannya. Kini dia mengerahkan gin-kang untuk bergerak lebih cepat dari lawan dan dia mulai menyerang sambi! mengeluarkan ilmu silat Ngoheng Lian-huan Kun-hoat (IImu Silat Lima Unsur).
Lui Tiong terkejut sekali. Dia melihat seolah bayangan tubuh lawan menjadi banyak dan mengeroyoknya. Dia terdesak hebat dan hanya dapat mengelak dan menangkis sambil mundur berputaran di lian-bu-thia, sarna sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Para penonton hanya melihat bayangan Heng San seakan-akan terus mengejar ke manapun tubuh Lui Tiong bergerak. Lui Tiong sudah mandi keringat dan napasnya mulai terengah. Tiba-tiba bayangan itu melompat ke belakang dan tahu-tahu Heng San telah berdiri tiga tombak jauhnya dari Lui Tiong sambil menjura dan berkata. "Lui-toako suka mengalah, terima kasih!" Lui Tiong cepat memberi hormat. "Lauw-te sungguh patut disebut Kepalan Sakti Tanpa Tanding! Aku mengaku kalah!" Ketika orang-orang yang melihat dengan teliti, baju di bagian dada Lui Tiong telah bolong karena robek oleh jari-jari tangan Heng San! Seandainya mereka berkelahi sungguh-sungguh, tentu nyawa Lui Tiong takkan tertolong lagi!
Tentu saja kemenangan Heng San atas jagoan nomor satu itu membuat semua orang kagum. Terutama sekali Thio-ciangkun. Perwira tinggi ini merasa senang sekali dan sambi! tersenyum lebar dia menghampiri Heng San dan menangkap lengan tangan kanan pemuda itu. Sebagai seorang perwira yang berpangkat tinggi Thio Ci Gan ini bukan orang sembarangan. Sebagai seorang panglima yang berkedudukan tinggi dan rnenjadi seorang kepercayaan kaisar, dia memiliki ilmu silat tinggi di samping ilmu berperang dan diapun terkenal cerdik bukan main. Ketika dia memegang lengan Heng San sebenarnya bukan sekedar memegang biasa, melainkan tangannya itu memegang lengan dengan sebuah cengkeraman ilmu kim-na-jiu yang dapat membuat robek kulit daging dan mematahkan tulang! Pegangannya itu ternyata merupakan ujian pula bagi Heng San. Pemuda ini mengetahui pula akan hal itu maka diapun telah siap siaga. Ketika jari-jari Thio-ciangkun menyentuh lengannya, panglima itu terkejut bukan main.
Kulit lengan pemuda itu telah berubah lemas dan lembut bagaikan kapas sehingga tidak mungkin dapat dicengkeram, sedangkan ilmu cengkeramannya itu khusus dipelajari untuk mencengkeram benda keras. Batu karang akan hancur kalau terkena cengkeramannya. Akan tetapi sekarang menghadapi benda lunak lembut seperti kapas, cengkeramannya tidak berdaya dan mati kutu! "Ah, engkau benar-benar gagah perkasa, Lauw-sicu. Mari, kita harus merayakan pertemuan kita yang menggembirakan ini dengan minum arak sepuasnya!" Hidangan ditambah dan Thio-ciangkun bahkan memerintahkan pengawal mengundang gadis-gadis penyanyi dan penari yang muda-muda. dan cantik jelita. Mereka makan minum sambil mendengarkan suara merduu yang keluar dari bibir mungil itu dan menonton lenggang tubuh muda dengan lekuk yang menggairahkan itu. Di tengah-tengah perjamuan itu, Thiobertanya kepada Heng San riwayatnya, orang tuanya dan Gurunya.
Heng San memberi keterangan secara singkat saja. Ketika dia ditanya tentang suhunya, dia menjawab. Saya telah lebih setengah tahun berpisah dari suhu dan sekarang saya tidak tahu di mana ada.nya orang tua itu. Thio-ciangkun menghela napas panjang "Ah, sudah lama sekali aku mendengar akan nama besar Pat-jiu Sin-kai. Betapa senangnya kalau aku dapat bertemudengan orang tua yang luar biasa itu. " Sementara itu, arak terus mengalir ke perut Heng San sampai pemuda itu menjadi mabok dan terpaksa digotong ke dalam sebuah kamar yang indah dan sudah tersedia untuknya. Sejak hari itu, Heng San menjadi jagoan nomor satu yang amat disayang dan dipercaya oleh Thio-ciangkun, bahkan dia dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi pembesar militer itu yang bertugas menjaga keamanan pribadi Thio Ci Gan atau Thio-ciangkun. Beberapa hari kemudian, pada pagi hari Thio-ciangkun memanggil Heng San, Ban Hok dan Ouwyang Sin datang menghadap.
Tiga orang jagoan ini cepat menghadap Thio-ciangkun yang duduk di ruangan dalam, sebuah ruangan tertutup dan menjadi tempat rahasia kalau pembesar itu mengadakan pembicaraan penting dengan para pembantunya. Setelah tiga orang pembantu itu datang menghadap, hanya Lui Tiong yang tidak ikut dipanggil, Thio-ciangkun lalu berkata kepada Heng San. "Aku mendengar dari seorang penyelidik bahwa di dalam hutan sebelah timur kota Bun-koan terdapat segerombolan perampok yang seringkali mengganggu para pelancong atau para pedagang yang kebetulan lewat di daerah itu. Bahkan sudah dua kali gerombolan itu berani masuk dan mengadakan kekacauan dan perampokan ke dalam kota Bun-koan. Mereka itu harus dibasmi sebelum mendatangkan malapetaka yang lebih besar lagi. Lauw-sicu, engkau kuserahi tugas ini. Ban-sicu dan Ouwyang-sicu hanya membantumu. Bawalah selosin perajurit pilihan dan berangkatlah sekarang juga.
Hati-hati, kabarnya di pihak gerombolan itu ada seorang yang tinggi kepandaiannya." Heng San menerima tugas itu dengan gembira karena baru pertama kali ini dia mendapat tugas yang penting. 'Dia menganggap tugas itu sebagai pekerjaan yang penting dan baik, karena bukankah dia harus membasmi segerombolan perampok yang ganas dan yang mengganggu keaman an kehidupan rakyat" Tugas itu sesuai dengan watak pendekar yang ditanamkan ke dalam hatinya oleh gurunya, Pat-jiu Sin-kai. Setelah membuat persiapan, mereka diberi pakaian berwarna biru merah oleh Thio-ciangkun sehingga dalam pakaian seragam itu mereka tampak gagah. Tiga orang jagoan itu memilih dua belas orang perajurit yang gagah be rani dan limabelas orang. itu masing-masing menunggang kuda pilihan. Pasukan itu tampak gagah sekali. "Pasukan di bawah pimpinan Lauw-sicu ini kuberi nama Pasukan Garuda Sakti" kata Thio-ciangkun dan Heng San merasa girang dan bangga sekali.
Pasukan yang terdiri dari lima belas orang itu segera berangkat, merupakan barisan berkuda yang rapi sehingga di sepanjang perjalanan mereka menjadi perhatian para penduduk. Ban Hok bersikap sombong. Pada setiap orang yang memandang barisan itu. dia berseru lantang, "Heii, lihatlah! lnilah barisan Garuda Sakti" Melihat kelakuan kawannya yang bertubuh tinggi besar ini, Heng San hanya tersenyum geli. Setelah melakukan perjalanan sehari penuh, tibalah mereka di kota Bun-koan. Ketika mereka memasuki kota, tentu saja menimbulkan perhatian dan pembesar yang menjadi kepala daerah lalu mengadakan penyambutan. Heng. San memperlihatkan surat perintah dari Thio-ciangkun. Membaca surat perintah ini, kepala daerah itu tergopohgopoh melakukan penyarnbutan dengan hormat, mengadakan perjamuan dan mempersilakan mereka bermalam di kamar-kamar pilihan di gedung kepala daerah.
Pada kesokan harinya, kepala daerah itu datang berkunjung dengan memakai kereta. Heng San sebagal komandan pasukan menyambutnya dan pemuda ini merasa heran sekali ketika kepala daerah itu menyerahkan sebuah bungkusan atau kantung kepadanya dan berkata dengan merendah. "Kami tidak dapat memberi apa-apa, hanya sedikit bingkisan ini harap 5icu terima dengan senang hati untuk menambah biaya sekadarnya. Tolong sampaikan kepada Thio-ciangkun bahwa kami di sini baik-baik saja dan sampaikan pula hormat karni kepada beliau." Heng San terheran-heran sehingga tidak.cIapat berkata-kata. Dia cepat membuka mulut kantung dan ternyata isinya potongan-potongan emas yang berkilauan. Dia terkejut dan cepat dia membawa bungkusan itu berlari keluar mengejar kepala daerah yang sudah naik ke keretanya.
"Taijin, tunggu! Ini kantung uangmu jangan ditinggalkan. Saya tidak membutuhkan inil" kata Heng San dengan muka merah. Wajah kepala daerah itu terheran dan matanya terbelalak. "Tapi..... tapi, sicu.....!" "Terimalah kembali dan jangan bicara lagi!" kata Heng San sambil melempar buntalan atau kantung uang itu ke atas pangkuan pembesar itu yang kini menjadi pucat wajahnya. Tanpa memperdulikannya lagi Heng San lalu membalikkan tubuh kembali ke dalam rumah di mana dia dan rombongan bermalam. Dia melangkah lebar dan mukanya menjadi merah. Dia masih bersungut-sungut dengan hati sebal ketika Ban Hok dan Ouwyang Sin menghampirinya dan bertanya mengapa pemuda itu tampaknya kesal dan marah. "Ah, aku sedang kesal dan jengkel sekali melihat ulah kepala daerah brengsek itu!" kata Heng San marah. "Dikiranya siapakah kita ini" Berani-beraninya dia mencoba untuk menyuap dengan sekantung emas!
Hemm, pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini, kalau tidak demikian, apa perlunya dia mencoba untuk menyogok" Hemm, sekembali kita dari hutan menumpas gerombolan penjahat, pasti akan. kuselidiki hal inil" Mendengar ini, Ban Hok dan Ouwyang Sin saling pandang lalu tertawa sehingga Heng San memandang heran. "Mengapa kalian tertawa?" tanyanya tak senang. "Lauw-te agaknya tidak mengerti akan keadaan jaman! Memang sudah demikianlah keadaan waktu sekarang, sudah lajim. Pemberian itu tidak berarti apa-apa, hanya sebagai tanda penghormatan belaka dari pejabat itu kepada kita yang menjadi utusan Panglima Thio. Bukan hal aneh, bahkan amat aneh kalau engkau menjadi marah dan menolaknya, Lauw-te!" kata Ban Hok. Heng San memandang kepada Ban Hok dengan mulut ternganga. Ini merupakan hal yang baru baginya. "Akan tetapi apa perlunya" Mengapa dia harus memberi emas kepada kita"
Bukankah kita tidak melakukan sesuatu untuknya?" Kini Ouwyang Sin yang menjawabnya. "Lauw-te, bukankah kita hendak pergi membasmi perampok yang mengaeau daerahnya" Setidak-tidaknya kita akan mengamankan kota ini dari gangguan perampok dan sudah lumrah kalau kepala daera:h itu hendak menyampaikan terima kasihnya dengan sediki t hadiah kepada kita, bukan?" Ouwyang Sin memandang rekan mudanya itu dengan pandang mata rnenyesal mengapa Heng San menolak "rejeki nomplok itu. Kini mengertilah Heng San akan tetapi dia tetap merasa penasaran dan tidak sudi menerima pemberian orang dengan cara demikian. Ia menganggap hal itu merendahkan namanya dan menghinanya. Pasukan Garuda Sakti harus menjadi pasukan yang terhormat, gagah, berjuang yang akan dibanggakan oleh Panglima Thio Ci Gan yang demikian bijaksana. dan jujur!
Pada kesokan harinya setelah mendapat keterangan jelas di mana hutan yang dijadikan sarang gerombolan itu berada, Heng San mengajak pasukannya berangkat. Setibanya di luar hutan, Heng San memesan kepada para anak buahnya agar jangan ada yang bergerak sebelum mendapat perintah darinya. Kemudian Ban Hok yang bertubuh tinggi besar itu mengeluarkan sebuah bendera pemberian Panglima Thio, sehelai bendera berwarna kuning yang tersulam gambar sekor burung garuda berwarna merah kemasan. "Gagah sekali gambar ini, gambar yang serupa benar dengan sulaman gambar garuda yang terpasang di dada mereka. Kemudian, sambil mengibarkan bendera itu, mereka menjalankan kuda perlahan memasuki hutan yang lebat itu. Belum lama pasukan berkuda itu bergerak memasuki hutan, Heng San berada paling depan, di belakangnya Ban Hok dan Ouwyang Sin berdampingan dan dua belas orang anak buah pasukan berbaris dua-dua, tiba-tiba dari kanan kiri menyambar beberapa batang anak panah yang kesemuanya tertuju kepada Heng San yang jelas merupakan pemimpin pasukan itu.
Heng San mengeluarkan suara tawa mengejek dan kedua tangannya menangkapi enam batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri itu. Sekali remas, enam batang anak panah itu patah-patah dan dia membuangnya ke atas tanah. "Para pelepas anak panah, keluarlah sebagai laki-laki, jangan menjadi penyerang gelap seperti para pengecut!" bentak Heng San dengan suara lantang dan karena dia mengerahkan tenaga sakti, maka suaranya mengeluarkan gaung dan menggema di seluruh penjuru hutan. Tiba-tiba hutan yang sunyi itu berubah hiruk-pikuk dengan suara gemuruh orang bersorak dan berteriak-teriak, "Bunuh anjing-anjing kaisar! Basmi para pengkhianat bangsa!!" Banyak bayangan orang berkelebat, berlompatan dari palik batang-batang pohon dan semak belukar. Kurang lebih empat puluh orang anak buah gerombolan yang tampak bengis dan pakaiannya bermacam-macam itu mengepung pasukan Garuda Sakti, dikepalai dua orang pria muda yang bersenjata golok besar.
"Hei, siapakah kepala gerombolan di sini?" Heng San- memajukan kudanya dan bertanya. Dua orang muda itu melompat ke depan. Seorang di antara mereka berseru, "Kami berdua yang memimpin! Engkau komandan pasukan, pengkhianat tak tahu malu. Apa maksudmu membawa pasukan datang ke hutan ini?" Heng San melihat bahwa dua orang kepala gerombolan itu masih muda, sekitar dua puluh tahun usianya dan tampak gagah, maka dalam hatinya dia merasa sayang sekali bahwa dua orang muda seperti itu terperosok rendah menjadi pemimpin gerombolan perampok "Kalian orang-orang muda yang gagah mengapa merendahkan diri menjadi perampok" Tidak adakah jalan hidup yang lain yang lebih bersih dan sempurna untuk kalian tempuh?" Heng San menegur dengan suara berwibawa. Kedua orang kepala gerombolan itu saling pandang lalu mereka tertawa geli.
"Ini namanya anjing kecil memberi nasehat kepada harimau! Kami orang-orang golongan liok-lim walau bagaimanapun masih mempunyai kejantanan dan semangat kepahlawanan, tidak seperti kamu yang bermuka tebal, sudah menjadi anjing pemerintah asing dan menggigit betis bangsa sendiri" Heng San tidak mengerti akan maksud kata-kata itu. Dia hanya menganggap bahwa kepala gerombolan itu bicara kasar sekali. Karena beberapa kali mendengar dia dimaki anjing, dia menjadi marah lalu membentak nyaring. "Kalau kalian sayang nyawa, lebih baik kalian bubarkan orang-orangmu dan kalian ikutlah kami menjadi tawanan, barangkali saja nyawa kalian akan diampunil"
"Anjing hina! Kematianmu sudah di depan mata masih barani mengoceh." Teriak seorang diantara dua orang pemimpin gerombolan dan secepat kilat goloknya sudah menyambar dengan serangan kilat. Anak buahnya yang melihat pemimpin mereka sudah muIai turun tangan, segera bergerak dan berteriak-teriak, "Bunuh merekal Bunuh anjing-anjing penjilat kaisarl" Dan merekapun lalu menyerbu dan menyerang pasukan Garuda Sakti. Heng San dan dua orang rekanya, juga selosin perajurit Garuda Sakti sudah berlompatan turun dari atas pungung kuda dan merekapun menyambut serbuan para gerombolan itu dengan gagah. Heng San bermaksud untuk menangkap atau membunuh dua orang pimpinan gerombolan itu lalu membujuk anak buahmereka agar menakluk dan menyadarkan mereka. Akan tetapi dua orang rekannya Ban Hok dan Ouwyang Sin, mengamuk dengan hebat, merobohkan banyak anak buah gerombolan.
Juga selosin perajurit Garuda Sakti mengamuk dan biarpun jumlah musuh Jebih banyak, namun para prajurit pilihan ini jauh lebih tangguh dan sebentar saja banyak anggauta gerombolan berjatuhan terbabat senjata tajam. Melihat ini, Heng San mempercepat gerakannya. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tubuhnya berkelebat di antara dua orang pimpinan gerombolan yang mengeroyoknya dan dua orang itu terpelanting roboh, tak rnampu bangkit kembali. Setelah merobohkan dua orang pirnpinan gerombolan perampok itu, Heng San lalu berseru kepada para anak buahnya, "Saudara-saudara, tahan dan berhenti menyerang!" Akan tetapi mana dia mampu menahan arnukan para perajurit yang sudah keranjingan itu. Mayat para anggauta gerornbolan berjatuhan, banjir darah. di tempat itu dan akhirnya, lebih dari separuh jumlah gerombolan itu roboh tewas dan selebihnya lalu melarikan diri cerai berai ke dalam hutan lebat.
Ketika para perajurit Garuda Sakti hendak melakukan pengejaran, Heng San berteriak lantang, mengerahkan tenaga saktinya, "Berhenti, jangan dikejar!" Semua orang berhenti dan Heng San berkata kepada dua orang rekannya, didengar pula oleh selosin perajurit yang tidak ada yang cedera parah itu. "Kita tidak mengenal hutan lebat ini, jangan kejar, kita dapat saja terjebak. Dua orang pimpinan mereka telah tewas dan sebagian besar merekapun sudah terbasmi, tentu sisanya tidak akan berani lagi mernbuat kekacauan. Kita kernbali ke Keng-koan!" Kepala daerah kota Bun-koan yang sudah rnendengar akan hasil baik pasukan Garuda Sakti menumpas gerombolan, menyambut dengan penuh penghormatan. Segera kepala daerah itu mengadakan pesta pora menyambut kemenangan pasukan itu di rumah yang disediakan untuk tempat bermalam mereka.
Akan tetapi, sejak keluar dari hutan, wajah Heng San tidak gernbira seperti kedua orang rekan dan anak buah pasukan. Wajah pemuda itu muram. Diam-diam dia merasa menyesal, bersedih dan menyayangkan bahwa dalam pertempuran itu pasukannya melakukan pembunuhan terhadap dua puluh orang lebih anak buah gerombolan. Memang benar, ada kebanggaan dalam hatinya bahwa dia telah melaksanakan tugas pertama itu dengan hasil baik. Gerombolan perampok yang suka mengganggu kehidupan rakyat telah dapat dibasminya, berarti dia sudah berjasa terhadap negara dan bangsa, telah menentang kejahatan dan melindungi yang lemah tertindas, yang di ganggu keamanan hidupnya, sesuai dengan watak pendekar seperti yang diceriterakan gurunya. Akan tetapi dia merasa sedih memikirkan bahwa orang-orang yang dibunuh itu bukan lain adalah bangsanya sendiri.
Kini dia melihat penyambutan kepala daerah kota Bun-koan yang demikian hangat dan hormatnya, diam-diam dia merasa amat muak karena mengingat betapa pembesar itu berusaha menyuaonya dengan emas. Ingin dia mendamprat dan mencaci, akan tetapi Ban Hok dan Ouw-yang Sin, dua orang rekannya, mencegah dan menyabarkan hatinya. Dia hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak mau ikut berpesta, membiarkan anak buah pasukan Garuda Sakti bersenang-senang menikmati pesta perayaan kemenangan yang diadakan untuk mereka. Di dalam kamarnya, Heng San selalu membayangkan para perampok yang telah terbunuh. Terutama sekali dia tidak dapat melupakan dua orang pimpinan gerombolan yang dengan gagah dan gigihnya melakukan perlawanan. Pada kesokan harinya Heng San mengajak pasukannya pagi-pagi meninggalkan kota itu untuk kembali ke Kengkoan.
Pasukan Garuda Sakti yang hanya terdiri dari lima belas orang berikut pimpinan mereka itu menjalankan kuda mereka berbaris rapi dan gagah. Wajah mereka, kecuali Heng San yang dudukBukan hanya karena mereka telah melaksanakan tugas dengan baik dan berhasil sehingga tentu akan mendapat pujian dari Thio-ciangkun, akan tetapi terutama karena di luar tahu Heng San, saku mereka telah dipenuhi emas dan perak oleh kepala daerah kota Ban-koan! Seperti telah mereka duga dan harapkan, kedatangan pasukan kecil ini disambut oleh Panglima Thio Ci Gan sendiri dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira. "Lauw-sicu tentu lelah. Kami merasa girang sekali mendengar betapa engkau telah melaksanakan tugasmu dengan oaik sekall. Gerombolan dapat ditumpas dan tak seorangpun perajurit kita tewas. Silakan duduk, sicu."
Heng San diajak duduk di ruangan dalam dan dijamu minuman bersama Ban Hok dan Ouwyang Sin, sedangkan selosin perajurit Garuda Sakti diperkenankan mengaso dan minum-minum di ruangan beiakang. Setelah mereka minum-minum, Thio-ciangkun bertanya tentang pelaksanaan tugas pertarna rnereka, Heng San rnenceritakan dengan sederhana bahwa gerombolan perarnpok telah dapat dibasrni, dua orang pirnpinan rnereka telah tewas. Keterangan Heng San yang sederhana itu sering diganggu Ban Hok dan Ouwyang Sin yang dengan getol rnenceritakan jalannya pertempuran dengan nada bangga dan. menonjolkan jasa-jasa mereka. Thio-ciangkun menghela napas panjang dan berkata, "Kalian bertiga dan pasukan kalian memang hebat dan jasa kalian besar. Hanya agak kusayangkan bahwa masih ada sisa anak buah gerombolan penjahat yang sempat melo1oskan diri dan tidak semuanya dapat dibunuh.
Penjahat-penjahat macam itu kalau dapat lolos, tidak urung tentu akan membentuk gerombolan lain dan mengacau kembali di lain tempat." "Sisa mereka meiarikan diri ke daiam hutan. Karena saya tidak mengenal daerah hutan lebat itu, saya meiarang para perajurit melakukan pengejaran karena ada bahayanya kami dijebak mereka dan jatuh korban, ciangkun." kata Heng San. "Sudahlah, mungkin tindakanmu itu ada benarnya juga. Biarlah sedikit anak buah gerombolan itu meloloskan diri, hal itu tidak berapa penting. Sekarang ada persoalan yang jauh lebih penting dan berbahaya daripada itu. Lui-sicu sudah kusuruh melakukan penyelidikan teliti akan hal itu. Kami memang sengaja menanti kalian kembali baru akan bertindak, karena sekali ini kita menghadapi lawan-lawan berat." Thio-ciangkun bicara dengan sikap sungguh-sungguh sehingga Heng San menjadi tertarik sekali. Mendengar ucapan ini, Ban Hok si jagoan tinggi besar yang wataknya memang congkak segera berkata.
"Ada persoalan penting apakah, Thiociangkun" Harap ciangkun jangan khawatir. Sekarang pasukan istimewa Garuda Sakti telah kembali dan segala macam rintangan pasti akan dapat kami hancurkan!" Thio-ciangkun mengangguk-angguk senang mendengar ucapan yang terdengar gagah ini, akan tetapi diam-diam Heng San mencela kesombongan rekannya, namun dia diam saja. Thio-ciangkun yang cerdik dapat melihat kerut tak suka pada kening Heng San, maka diapun segera bertanya, "Lauw-sicu, bagaimana pendapatrnu dengan ucapan Ban-sicu tadi?" Heng San tersenyum dan menjawab tenang. "Ban-toako terlalu takabur. Sebelum melihat kekuatan lawan, bagaimana kita dapat memandang rendah" Akan tetapi sebenarnya apakah yang terjadi dan apakah persoalan yang amat penting dan berbahaya itu, ciangkun" Tentu saja sudah menjadi kewajiban kami untuk menanggulanginya." "Mari kalian bertiga ikut aku ke dalam.
Pasukan Garuda Sakti diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing untuk mengaso." kata Panglima Thio Ci Gan. Dua belas orang perajurit pilihan yang menjadi anggauta pasukan Garuda Sakti itu memang tinggal di luar gedung sang panglima, mernpunyai rumah masing-masing. Akan tetapi empat orang jagoan itu mendapatkan kamar di dalam gedung sang panglima. Setelah Thio-ciangkun, Ban Hok, Ouw-yang Sin, dan Heng San duduk di ruangan rahasia yang biasa mereka pergunakan untuk rapat, muncullah Si Harimau Muka Kuning Lui Tiong. Terlebih dulu Lui Tiong memberi salam dan memberi selamat kepada tiga orang rekannya yang telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Thio-ciangkun mempersilakan Lui Tiong duduk dan Lui Tiong segera memberi laporan dengan wajah serius. "Sekarang saya merasa yakin bahwa mereka itu mengadakan kontak hubungan dengan kaki tangan pemberontak yang bersembunyi di kota ini, ciangkun."
Thio-ciangkun mengangguk-angguk, ke mudian sambil memandang kepada tiga 0rang jagoannya yang lain, dia berkata kepada Lui Tiong, "Lui-sicu, sekarang setelah Lauw-sicu, Ban-sicu dan Ouwyang-sicu sudah kembali, kekuatan kita menjadi lengkap. Maka, sebelum kita merundingkan dan merencanakan tindak lanjut, lebih baik engkau menceritakan dulu semua persoalan itu kepada mereka bertiga." Lui Tiong lalu bercerita dan Heng San mendengarkan hal-hal yang baru dan asing baginya, akan tetapi yang membuat dia bertekad untuk membantu perjuangan Thio-ciangkun yang dalam pandangannya adalah seorang pejabat militer yang bijaksana, baik hati dan gagah perkasa. Menurut cerita Lui Tiong, pada bulan terakhir ini banyak sekali terdapat gerakan-gerakan para perusuh atau pemberontak yang memberontak dan merebut kekuasaan alat-alat pemerintah dengan tujuan merampok dan menguasai kota demi kepentingan para gerombolan penjahat itu sendiri.
Banyak sudah gerombolan pernberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw (sungai telaga) dan bu-lim (rimba persilatan) yang dapat ditumpas dan dibubarkan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi masih saja mereka bermunculan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena gawatnya keadaan di daerah Keng-koan ini, maka Sribaginda Kaisar sendiri mengutus dan memberi tugas kepada kami untuk memimpin pasukan di Keng-koan dan membasmi para pemberontak itu sampai habis!" kata Thio-ciangkun penuh semangat. "Beberapa hari yang lalu," Lui Tiong melanjutkan penuturannya yang dipotong oleh ucapan Thio-ciangkun tadi, "di kota ini muncul serombongan penari silat yang membuka pertunjukan. Mereka terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, dua orang pemuda yang menjadi muridnya, dan seorang gadis muda dan cantik, yang diperkenalkan sebagai puterinya.
Mereka itu sungguh menarik perhatian dan mencurigakan sekali dan Thio-ciangkun sudah memerintahkan agar aku melakukan penyelidikan dengan teliti terhadap mereka." "Aah, Lui-toako, apa sih anehnya serombongan penari silat yang hanya terdiri dari empat orang." Banyak rombongan penari silat yang menjual obat luka dan koyo (obat tempel), mereka adalah orang-orang yang tidak perlu dikhawatirkan." kata Ouwyang Sin dengan suara memandang rendah. Jangan beranggapan begitu, Ouwyang-te (adik Ouwyang). Mereka itu jauh berbeda dari rombongan penari silat biasa yang suka mengadakan pertunjukan di pasar-pasar. Aku sudah menyaksikan sendiri ketika mereka mempertunjukkan kemahiran mereka bersilat. Bukan sekedar tarian silat, melainkan gerakan silat yang sungguh tangguh, terutama sekali gerakan sang pemimpin rombongan dan gadisnya yang cantik."
"Hemm, sampai di manakah kehebatan mereka?" Ban Hok juga berkata meremehkan. "Aku telah menyelidiki mereka pada malam hari dengan mendatangi tempat mereka bermalam. Biarpun aku sudah mempergunakan. kepandaianku, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), namun agaknya mereka dapat mendengar langkah kakiku dan hampir saja aku menjadi korban sambaran piauw {senjata rahasia} yang menyambar cepat. Untung aku memang sudah curiga dan berhati-hati sehingga aku dapat menghindarkan diri dan pergi sebelum ketahuan mereka." Heng San merasa tertarik sekali. "Di manakah tempat mereka bermalam?" "Di dalam kelenteng Hok-man-tong di luar kota sebelah selatan itu." "Bagaimana engkau tahu bahwa rombongan penari itu mempunyai hubungan dengan mata-mata pemberontak yang bersembunyi di kota ini seperti yang kau ceritakan tadi, Lui-toako?" Heng San bertanya.
"Ada buktinya yang amat kuat." Lui Tiong bercerita. "Dan ini menjadi laporan saya pula kepada Thio-ciangkun. Begini, ciangkun, kemarin saya menyusup di antara penonton untuk melihat dan menyelidiki rombongan penari silat itu dengan seksama. Mereka memang menawarkan obat-obat kuat, koyo dan obat luka lainnya seperti kebiasaan penari silat lainnya yang menjual obat, walaupun kesibukan ini mereka lakukan sambil lalu saja dan tanpa semangat. Kemudian gadis puteri kepala rombongan itu menari silat pedang. Akan tetapi, saya melihat kenyataan yang luar biasa. Dalam tarian itu terkandung inti ilmu silat pedang yang luar biasa dan saya mengenalnya sebagai Sian-li Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari)! Kemudian mereka semua memperlihatkan tarian silat. Dua orang pemuda yang menjadi murid itu juga memiliki gerakan cepat dan bertenaga, namun tingkat mereka itu tidaklah terlalu tinggi.
Kepala rombongan itulah yang amat lihai dan sambaran pukulan dari tangannya jelas mengandung tenaga sakti yang kuat. Jadi, kepandaian kepala rombongan dan puterinya itulah yang patut diperhatikan. Kemudian, tiba-tiba terdengar pujian orang dan tampak seorang pengemis tua berlompatan ke dalam lingkaran. Dia berjungkir balik dan seolah-olah meniru gerakan silat yang tadi dipertontonkan, sambi! berkata-kata kacau balau. Semua orang tertawa dan menganggap dia itu seorang pengemis gila. Ucapannya hampir tidak ada artinya, akan tetapi saya memperhatikan semua ucapannya dan ada beberapa kata-kata terselip dalam ucapan kacau balau itu. Saya mendengar ada terselip kata-kata Garuda Sakti, dan pesan agar berhati-hati karena sedang diselidiki! Kemudian, tiba-tiba dia melompat keluar sambil berjungkir balik dan pergi diikuti sorak dan tawa penonton.
Saya cepat menyelinap keluar dan mencoba untuk mengikutinya. Akan tetapi, pengemis tua itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak! Nah, karena itulah, Thio-ciangkun, saya merasa yakin bahwa rornbongan penari silat. itu memiliki hubungan dengan pihak pemberontak dan mungkin pengemis tua itu adalah seorang mata-mata pemberontak yang lihai sekali." Lui Tiong mengakhiri laporannya. Heng San dan yang lain-lain mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Thio-ciangkun mengerutkan alisnya. dan bertanya, "Apakah engkau mendapatkan bukti lain yang lebih meyakinkan, Lui-sicu?" "Ada bukti yang jelas, ciangkun. Semalam saya berhasil melakukan pengintaian tanpa mereka ketahui. Saya tidak berani mengambil jalan dari atas genteng. Saya menggunakan kekerasan dan mengancam seorang hwesio kelenteng Hok-man-tong. Hwesio itu menyembunyikan saya dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar rombongan penari silat itu.
Setelah menunggu sampai lama, akhirnya mereka berempat memasuki kamar itu dan dari percakapan mereka itu saya tahu bahwa mereka sudah mencatat nama kita. Bahkan nama-nama para anggauta Garuda Sakti mereka ketahui, demikian pula tempat tinggal kawan-kawan yang tinggal di luar. Kemudian mereka bicara tentang pengemis tua gila itu yang ternyata adalah susiok (paman guru) dari pemimpin rombongan itu." "Hemm, kalau begitu jelas mereka adalah mata-mata dari para pemberontak. Apakah logat bicara mereka berlidah selatan?" tanya Thio-ciangkun. Lui Tiong mengangguk. "Jelas bahwa mereka memang orang-orang selatan, ciangkun." kata-kata ini membuat sang panglima mengepal tinju kanannya. "Kalau begitu mereka tentu anak buah si pemberontak Lo Hai Cin. Orang-orang selatan ini memiliki kepandaian tinggi, oleh karena itu kuminta kalian semua berhati-hati.
Ban-sicu, sekarang juga kumpulkan semua anggauta Pasukan Garuda Sakti dan mulai malam ini mereka harus melakukan penjagaan ketat di sini, penjagaan dipimpin Ban-sicu dan Ouwyang-sicu. Sedangkan engkau, Lauw-sicu dan Lui-sicu, kalian berdua kuberi tugas untuk menangkap empat orang mata-mata itu. Boleh membawa beberapa orang teman. Aku minta semua perintah ini dilaksanakan dengan baik!" Setelah berkata demikian, Thio-ciangkun memberi isarat agar pertemuan itu bubar dan semua pembantunya melaksanakan tugas masing-masing. Ban Hok dan Ouwyang Sin segera pergi memanggil para anggauta Garuda Sakti yang duabelas orang banyaknya, sedangkan Lui Tiong dan Heng San membuat persiapan di luar gedung. "Lui-toako, engkaulah yang lebih mengetahui akan keadaan para mata-mata pemberontak itu, karena itu sebaiknya kalau engkau yang memimpin penangkapan ini. " kata Heng San dan sikap pemuda ini menyenangkan hati Lui Tiong.
Sudah jelas bahwa kini kedudukan jagoan nomor satu jatuh kepada Heng San, akan tetapi pemuda itu tidak menonjolkan kedudukannya itu sehingga Lui Tiong yang tergeser kedudukannya tidak merasa sakit hati karena sikap Heng San yang tetap menghormatinya dan tidak menganggap dia sebagai bawahan yang lebih rendah tingkatnya. "Baiklah, Lauw-te. Rombongan penari silat itu hanya berempat, dan yang perlu kita hadapi berdua hanya sang ayah dan puterinya itu. Untuk menangkap dua orang muridnya, kukira cukup kalau kita dibantu Kam Seng dan Kam Eng berdua saja. Kepandaian mereka cukup tinggi." "Terserah kepadamu, Lui-toako. Akan tetapi sebenarnya siapakah mereka itu" Mengapa begitu ditakuti, menimbulkan kekhawatiran Thio-ciangkun?" tanya Heng San. "Yang dapat kuketahui hanya bahwa pemimpin rombongan penari silat itu adalah seorang bekas guru silat di daerah selatan yang terkenal dengan julukan Lam-Liong (Naga Selatan).
Menurut penyelidikan orang-orangku, dia mengaku she Lim, akan tetapi sebenarnya dia adalah seorang she (marga) Ma. Gadis itu adalah puterinya dan kedua orang pemuda itu murid-muridnya. Melihat gerakan mereka ketika mendemonstrasikan tarian silat, agaknya yang merupakan lawan berat hanyalah si ayah dan puterinya itu. Kedua orang muridnya boleh kita serahkan kepada kedua kakak beradik Kam. Nah, marilah kita berangkat." kata Lui Tiong setelah Kam Seng dan Kam Eng, dua orang jagoan pembantu Thio-ciangkun yang berusia tigapuluh dan tigapuluh tiga tahun. Dua orang saudara she Kam ini merupakan jago-jago silat yang cukup lihai dengan permainan silat siang-kiam (sepasang pedang). Malam mulai menyelimuti bumi ketika empat orang jagoan dari Thio-ciangkun ini berangkat menuju ke kelenteng Hok-man-tong yang berada di luar kota Keng-koan. Di tengah perjalanan itu, Lui Tiong bertanya kepada Heng San, "Lauw-sicu, mana senjatamu?" Heng San tersenyum dan menggerakkan pundaknya.
"Aku tidak mempunyai senjata, Lui-toako." "Ah, kalau begitu, pakailah pedangku ini. Aku akan mencari senjata lain." "Terima kasih, Lui-toako. Terus terang saja, aku tidak pernah mempelajari ilmu silat pedang. Aku hanya mengandalkan kedua kaki tanganku saja." Lui Tiong terheran. "Ah, engkau gegabah sekali, siauw-te." Di dalam hatinya, Lui Tiong sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman tidak percaya akan keterangan pemuda itu. Mana ada seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah setinggi tingkat Heng San, mengaku sama sekali tidak pandai memainkan senjata" Tentu pemuda ini mempunyai ketinggian hati dan ingin mempertahankan julukannya sebagai Kepalan Sakti Tanpa Tanding! Ketika mereka sampai di depan kelenteng, Lui Tiong mengetuk daun pintu kelenteng yang tebal dan sudah tertutup. Seorang hwesio penjaga membuka daun pintu. Melihat empat orang yang pakaiannya gagah bergambar sekor burung garuda dan sikap mereka penuh wibawa, hwesio itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada.
Dia sudah mendengar nama besar Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka tergopoh-gopoh dia menanyakan keperluan mereka. "Di mana adanya para tamu kelenteng empat orang penari silat itu" Hayo katakan dan jangan berbohong!" kata Lui Tiong. "Pin-ceng (aku) tidak berani berbohong, ciangkun (perwira). Baru saja mereka tadi masuk dan kini tentu mereka berada di dalam kamar mereka, di bagian belakang." "Suruh mereka keluar dan menyerah kepada kami. Jangan membawa senjata atau kami terpaksa akan bertindak keras" bentak Lui Tiong. "Omitohud..., baik, ciangkun?" Hwesio itu berlari masuk dengan sikap ketakutan. "Lauw-te, engkau dan Kam Seng jagalah di atas menghadang kalau mereka melarikan diri. Aku dan Kam Eng menunggu mereka di sini." kata Lui Tiong kepada Heng San. Heng San mengangguk, lalu memberi isarat kepada Kam Seng. Mereka berdua melompat ke atas genteng dengan gerakan tangkas sekali.
Untuk beberapa saat lamanya, Lui Tiong dan Kam Eng yang berjaga di luar tidak melihat hwesio tadi keluar lagi. Lui Tiong sudah menjadi tidak sabar dan hendak menyerbu masuk. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dari dalam kelenteng. "Haii! Para anggauta Garuda Sakti! Anjing-anjing pengkhianat dan penjilat kaisar! Kalau memang berkepandaian, tunggulah kami di luar!" "Jahanam gerombolan penjahat dan pemberontak tak tahu malu! Keluarlah kalian!" Lui Tiong balas memaki dengan marah dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Kam Eng yang berdiri di sampingnya juga sudah menggunakan kedua tangan mencabut sepasang pedangnya yang tipis dan tajam. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak sinar menyambar ke arah Lui Tiong, disusuli berkelebatnya sesosok bayangan yang berseru, "Bangsat, makan piauwku!" Lui Tiong menggunakan pedangnya menangkis senjata rahasia piauw yang runcing itu.
"Tranggg....!" Senjata rahasia piauw yang disambitkan itu terpental. Akan tetapi bayangan yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun itu sudah menggunakan sebatang pedang untuk menyerang Lui Tiong. Serangannya cepat dan kuat sekali, langsung menusuk ke arah dada Lui Tiong yang tahu bahwa pimpinan rombongan penari silat itu lihai sekali, cepat mengelak ke samping lalu mengelebatkan pedangnya membacok ke arah perut lawan. Namun, lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali. Dengan lompatan ke samping, serangan dari Tiong itupun dapat ditangkisnya dari samping. "Tranggg..!" Dua pedang bertemu dan keduanya terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga masing-masing. Segera perkelahian dilanjutkan dengan seru, di bawah sinar lampu yang tergantung di de pan pintu kelenteng. Sementara itu, Kam Eng juga sudah bertanding dengan seorang pemuda yang menjadi murid kepala rombongan penari silat itu.
Ternyata tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kam Eng memainkan siang-kiam di kedua tangannya dan pemuda itupun memainkan sebatang pedang yang bergerak cepat. Terdengar bunyi berdentingan berulang kali disusul berpijarnya bunga api ketika pedang- pedang itu saling bertemu di udara. Perhitungan Lui Tiong memang tepat. Rombongan penari silat yang terdiri dari empat orang itu juga membagi rombongan menjadi dua. Ketika Heng San dan Kam Seng menjaga di atas genteng, hanya diterangi sinar bulan yang remang-remang, tiba-tiba tampak dua bayangan berkelebat di atas genteng. Begitu dua bayangan itu muncul, Heng San dan Kam Seng segera melompat dan menghadangnya. Tiba-tiba dua sosok bayangan itu menggerakkan tangan dan tampak benda hitam meluncur, menyambar ke arah Heng San dan Kam Seng.
"Awas senjata rahasia!" teriak Heng San dan dia sudah menggunakan kedua tangan untuk menyambut. Dia berhasil menangkap empat buah peluru besi yang disambitkan dan Kam Seng juga berhasil menyampok dua butir peluru besi yang jatuh berkerontangan di atas genteng. Heng San membuang empat butir peluru itu dan kini dia bersama Kam Seng sudah melompat ke depan dua orang yang hendak melarikan diri itu. Setelah berhadapan dengan dua orang itu, Heng San melihat bahwa mereka adalah seorang gadis dan seorang pemuda. Ketika itu, sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan Heng San terbelalak memandang dengan terheran-heran ketika dia mengenal wajah jelita itu yang bukan lain adalah Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita dari Tit-Ie) Ma Hong Lian! Gadis yang pernah bertanding dengan dia di atas genteng pemilik toko obat di Leng-koan, gadis yang menjadi roh jahat yang ternyata seorang pencuri itu!
Sementara itu, pemuda yang keluar bersama Hong Lian, yaitu murid pimpinan rombongan penari silat yang seorang lagi, sudah cepat menyerang Kam Seng dengan pedangnya. Kam Seng menyambut dengan tangkisan dan serangan balik dengan sepasang pedang di kedua tangannya, terjadilah perkelahian pedang antara kedua orang itu. Adapun Hong Lian, ketika berhadapan dengan Heng San, juga segera dapat mengenal pemuda itu walaupun cuaca hanya remang oleh sinar bulan. Sejenak dia menjadi bengong dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. "Eh, engkaukah ini, nona" Dahulu engkau menjadi roh jahat, sekarang engkau memegang peran sebagai apa pula?" tanya Heng San lirih agar jangan terdengar oleh Kam Seng yang sedang bertanding. Gadis itu memandang kepadanya dengan mata berapi saking marahnya dan bibir yang mungil dan merah itu tersenyum menghina.
"Sudah kusangka bahwa engkau bukanlah manusia baik-baik. Ternyata sekarang bahwa engkau adalah seorang manusia yang lebih rendah daripada apa yang kusangka semula!" "Nanti dulu, nona! Apa kesalahanku maka engkau datang-datang memaki aku sesuka hatimu?" Heng San merasa penasaran dan heran sekali melihat betapa marah dan bencinya gadis itu kepadanya. Pada hal menurut pendapatnya, dialah yang sepatutnya menegur gadis itu. Dulu menjadi pengganggu penduduk Leng-koan dan sekarang malah menjadi mata-mata pemberontak! "Tak usah banyak cerewet! Malam ini kalau bukan aku, tentu engkau yang akan mati di sini" setelah berkata demikian, pedangnya sudah menyambar dengan sebuah serangan tusukan yang amat ganas ke arah dada Heng San. Heng San cepat mengelak dan untuk kedua kalinya dia melayani gadis itu bertanding dengan menggunakan tangan kosong.
Akan tetapi dia hanya selalu menangkis dari samping dengan kedua tangan yang sudah dilindungi ilmu kebal Tiat-pou-san sehingga kedua tangannya tak dapat terluka oleh pedang itu, dan diapun mengerahkan ginkang untuk menghindarkan sinar pedang yang menyambar-nyambar dengan amat ganasnya. Tubuhnya seakan berubah menjadi bayang-bayang yang amat sukar dijadikan sasaran pedang. Sementara itu, kawan gadis itu ternyata tidak kuat menghadapi serangan Kam Seng yang amat lihai memainkan siang-kiamnya. Setelah melawan matimatian selama tigapuluh jurus, tiba-tiba dia berteriak kesakitan dan tubuhnya terguling ke bawah genteng karena pundak kanannya terbacok pedang kiri Kam Seng. Melihat lawannya sudah roboh dan melihat Heng San belum juga dapat mengalahkan lawan, Karn Seng hendak membantu. Akan tetapi Heng San cepat berseru, "Engkau bantulah Lui-toako di pawah!
Mungkin dia membutuhkan bantuan. Biar yang ini aku yang akan menangkapnya!" Mendengar perintah atasannya, KarnSeng segera melompat turun membantu Lui Tiong karena pemimpin rombongan penari silat itu ternyata memang lihai bukan main dan diapun tadi melihat bahwa Heng San tidak terdesak oleh lawan walaupun dia bertangan kosong. Setelah melihat Kam Seng melompat turun, Heng San melompat ke belakang. "Ma-lihiap (Pendekar wanita Ma), sudahlah tahan senjatamu. Mengapa kita selalu bermusuhan" Aku tidak ingin bermusuhan denganmu!" "Pengkhianat jangan banyak mulut!" Hong Lian menyerang lagi dengan tusukan pedangnya. Heng San cepat mengelak dan kembali dia dihujani serangan yang kesemuanya dapat dihindarkannya. Tiba-tiba terdengar teriakan orang mengaduh di bawah sana dan Hong Lian menjadi pucat wajahnya karena dia mengenal bahwa yang berteriak kesakitan itu adalah ayahnya!
Dengan isak tertahan Hong Lian hendak melompat ke bawah untuk membantu ayahnya yang agaknya terluka dan terancam bahaya. Akan tetapi Heng San menghalanginya dengan kedua tangan terpentang. Dia memandang dengan rasa haru dan iba memenuhi hatinya. Entah mengapa, semenjak pertemuan pertama dengan Hong Lian ketika saling memperebutkan kantung uang curian itu, dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Dia tidak tahu perasaan apakah yang menarik hatinya terhadap Hong Lian. Entah perasaan apa namun yang jelas, dia tidak ingin melihat gadis itu celaka. "Nona Ma, jangan turun. Kawan-kawanku di bawah lihai sekali engkau tentu akan celaka kalau turun" cegahnya. Dalam kemarahan dan kebingungan, Hong Lian tertegun mendengar ucapan itu. Ia sungguh tidak mengerti akan sikap pemuda ini.
Sejak perkelahian mereka yang pertama dulu, ia tahu benar bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripadanya, bahkan agaknya tidak kalah hebat dibandingkan tingkat ayahnya sendiri. Akan tetapi mengapa pemuda yang ternyata merupakan pemimpin Pasukan Garuda Sakti ini tidak mau merobohkan dan menangkapnya dan sejak tadi hanya mengelak dan menangkis saja dan banyak mengalah, bahkan agaknya tidak ingin melihat dia celaka" Siapakah pemuda ini yang menjadi lawan namun bersikap melindungi sebagai kawan" Apa maksudnya" Pada saat itu terdengar bentakan Lui Tiong dari bawah. "Masih ada seorang musuh lagi di atas. Hayo kita tangkap" Mendengar ini, Heng San cepat berkata lirih kepada Hong Lian, "Cepat serang aku dengan senjata rahasiamu!" Sambil berseru demikian, tangan Heng San bergerak cepat dan tahu-tahu pedang di tangan Hong Lian sudah dapat dirampasnya!
Hong Lian terkejut sekali dan mendengar ucapan tadi, ia cepat mengambil beberapa buah senjata rahasia piauw dan sambil melompat pergi kedua tangannya bergerak dan empat buah piauw menyambar ke arah tubuh Heng San. Pemuda itu menyampok tiga buah dengan kedua tangannya, akan tetapi piauw yang ke empat sengaja dia sambut dengan pundak kirinya. "Aduhhh...!" Heng San berteriak kesakitan ketika piauw itu menancap di pundaknya. Heng San sengaja menekan piauw itu sehingga menancap lebih dalam dan ketika dia mencabutnya, baju di pundak berikut kulit dagingnya terobek dan mengeluarkan banyak darah. Pada saat itu, Lui Tiong dan kedua orang saudara she Kam berlompatan ke atas genteng dan mereka terkejut melihat Heng San terhuyung. Heng San terhuyung ke arah Lui Tiong yang hendak mengejar Hong Lian yang melarikan diri. Lui Tiong menangkap tubuh Heng San agar tidak jatuh dan tidak melanjutkan niatnya mengejar Hong Lian.
"Awas, toako... senjata rahasianya lihai sekali...!" kata Heng San. "Coba kuperiksa lukamu, Lauw-te." kata Lui Tiong sambil membuka baju bagian pundak yang terobek. Akan tetapi dia hanya dapat melihat sebentar karena Heng San sudah menutupi lukanya itu dengan tangannya. "Tidak berapa parah, toako. Bagaimana hasilnya di bawah, Lui-toako?" tanyanya. "Orang she Ma itu telah terluka dan tertawan, sedangkan kedua muridnya tewas. Kali ini kita berhasil baik, hanya sayang gadis pemberontak liar itu dapat melarikan diri dan rnelukaimu." "Ah, aku kurang hati-hati dan terlalu memandang rendah, Lui-toako. Pedangnya dapat kurampas, akan tetapi aku tidak mengira ia demikian lihai sehingga dapat menyerangku dengan empat buah piauw. Yang tiga dapat kutangkis, akan tetapi yang satu melukai pundakku."
Mereka kembali ke gedung Panglima Thio membawa Ma Giok sebagai tawanan. Thio-ciangkun menyambut mereka dengan gembira sekali. Setelah mengeluarkan pujian terhadap Lui Tiong dan Heng San, Panglima Thio memperkenankan mereka mengaso dan Ma Giok lalu dimasukkan ke dalam penjara yang berada di bagian belakang gedung itu, dikurung dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dilapis baja dan berjeruji baja pula, masih dijaga oleh enam orang perajurit di luar kamar tahanan. Heng San yang masih terkenang dengan rasa prihatin kepada Ma Hong Lian, segera memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa berganti pakaian atau melepas sepatunya. Dia rebah telentang dan termenung memikirkan keadaan Hong Lian. Wajah gadis itu tak dapat dia lupakan, selalu terbayang dan ia merasa kasihan sekali. Dia merasa menyesal mengapa gadis sehebat itu demikian tersesat dan mau menjadi anggauta pengacau dan pemberontak.
Teringat dia akan pertemuan mereka pertama dahulu. Ketika itupun Hong Lian sedang melakukukan pencurian dan menotok tuan rumah dan isterinya. Sekarang malah menjadi anggauta gerombolan pengacau dan pemberontak. Sungguh sayang! Sayang gadis sejelita dan segagah itu, yang arnat menawan hatinya, menjadi seorang penjahat! "Ahh".. Hong Lian". Hong Lian".!" Dia berbisik dan mencoba untuk memejamkan matanya, mencoba untuk tidur, melupakan segalanya, melupakan rasa nyeri di pundaknya yang terluka yang tidak berapa hebat kalau dibandingkan dengan rasa nyeri di dalam hatinya. Heng San sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Lui Tiong yang baru saja memasuki kamarnya sendiri, harus keluar pula karena dipanggil Thio Ci Gan. Panglima itu menerimanya dalam karnar rahasia, di mana kini hanya mereka berdua yang duduk berhadapan. "Ciangkun memanggil saya?" tanya Lui Tiong setelah memberi hormat.
Dia dipersilakan duduk dan panglima i tu bertanya dengan suara tegas. "Sekarang, ceritakanlah sejelasnya tentang,penyerbuan itu dan bagaimana mungkin sampai Lauw Heng San terluka oleh gadis puteri kepala gerombolan mata-mata pemberontak itu." Lui Tiong merasa bahwa dalam suara atasannya terkandung kebimbangan dan, kecurigaan. Hal ini menyenangkan hatinya karena dia sendiripun sudah menaruh hati curiga dalam peristiwa itu. Di samping itu, di dasar hatinya Lui Tiong memang merasa tidak senang kepada Heng San, rasa tidak senang yang timbul dari iri hati. Bagaimanapun juga pemuda itu telah menggeser kedudukannya sebagai orang ke dua dalam jajaran para jagoan di situ sedangkan pemuda itu menjadi orang pertama walaupun sikap Panglima Thio masih con dong percaya kepadanya. "Saya sendiri juga merasa heran" ciangkun. "Saya dan Kam Eng berjaga di luar dan kami berdua bertemu dan bertanding melawan Ma Ciok dan seorang muridnya.
Ma Ciok itu lihai sekali, akan tetapi setelah Kam Eng merobohkan lawannya kemudian Kam Seng datang pula rnembantu, saya dapat melukai dan menangkapnya. Akan tetapi saya merasa heran mengapa Lauw-te yang memiliki ilmu Silat sedemikian tingginya, dapat terluka oleh gadis itu dan membiarkan ia lolos!" Panglima Thio mengelus jenggotnya dan kedua alisnya berkerut. Tiba-tiba dia bertanya, "Lui-sicu, engkau yang pernah melihat gadis itu, bagaimana wajahnya" Apakah dia cantik?" "Cadis itu cantik jelita sekali, ciangkun. Usianya sekitar delapan belas tahun dan iapun memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Tarian pedangnya indah sekali. Pendeknya, ia memiliki daya tarik yang luar biasa bagi pria." "Hemm". hemmm". apakah tidak mungkin Heng San sengaja melepaskannya karena dia jatuh hati kepada gadis itu?" Thio-ciangkun menggumam, mengerutkan alisnya semakin dalam "Hal itu besar sekali kemungkinannya, ciangkun.
Lauw-te adalah seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, tidak akan mengherankan kalaudia tergila-gila kepada wanita cantik." "Akan tetapi setahuku, selama di sini dia tidak pernah keluar bersenang-senang dengan wanita seperti yang lain." "Mungkin dia malu-malu dan takut-takut karena tidak ada pengalaman. Akan tetapi saya melihat sinar matanya bercahaya ketika dia melihat".melihat". Nona Siang... eh, maafkan kelancangan saya, ciangkun." "Melihat Kui Siang maksudmu?" tanya Thio-ciangkun sambil memandang pembantunya dengan sinar mata penuh selidik "Tidak apa, aku tidak marah, ceritakan bagaimana ketika Heng San melihat Kui Siang." Yang disebut Nona Siang adalah seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang tinggal di gedung itu dan disebut Siang Siocia (Nona Siang) oleh semua orang seperti yang dikehendaki gadis itu sendiri. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan lemah lembut, halus budi dan ramah. Semua.
orang mengetahui bahwa biarpun ibu gadis itu merupakan seorang isteri kedua dari Panglima Thio yang amat disayang, namun Kui Siang bukanlah anak kandungnya, melainkan anak tirinya. Dan agaknya gadis itu juga tidak merahasiakan bahwa ia bukan puteri kandung Thio Ci Gan, karena kalau ditanya she-nya (nama marganya) ia akan menjawab bahwa nama marganya adalah Bu, nama lengkapnya Bu Kui Siang! Akan tetapi ia pandai membawa diri sehingga biarpun di dalam hatinya Thio-ciangkun tidak mempunyai perasaan sayang seorang ayah kepada anaknya, namun sikap pembesar itu cukup baik. "Begini, ciangkun. Ketika untuk pertama kalinya Heng San melihat Nona Siang, dia seperti terpesona. Kemudian setelah kami berdua saja, dia banyak hertanya tentang Nona Siang dan terang-terangan mengatakan bahwa selama hidupnya dia belum pernah melihat seorang gadis secantik Nona Siang yang dikatakannya seperti bidadari.
Oleh karena itu, saya tidak akan merasa heran kalau sekali ini dia sengaja meloloskan gadis pemberontak Itu karena dia tergila-gila. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang, dan 1emah terhadap kecantikan wanita." Kini Thio-ciangkun mengangguk-angguk, menundukkan muka, mengelus jenggotnya dan tiba-tiba dia berkata, "Bagus! Aku mendapatkan gagasan bagus sekali Heng San amat lihai, kami amat membutuhkan dia dan sekarang ada jalan untuk mengikatnya kepada kami, untuk selamanya dan akan tetap setia sampai mati" Lui Tiong memandang heran. "Apa". apa maksud ciangkun?" "Aku akan menikahkan dia dengan Kui Siang!" Hampir saja Lui Tiong melompat dari kursinya saking heran dan kagetnya. Dla melapor dengan niat untuk memburukkan Heng San, untuk menjatuhkan terdorong oleh rasa irinya, tidak tahunya laporannya itu malah membuat pemuda itu akan diambil mantu oleh atasannya!
Walaupun gadis itu puteri tiri, namun cantik jelita. Thio-ciangkun merupakan kehormatan besar sekali yang membuat kedudukan Heng San akan lebih terangkat tinggi! "Ciangkun".! Akan tetapi". tetapi " "Tetapi apa" Heng San masih muda, tampan dan gagah, ilmu kepandaiannya tinggi. Dia cukup pantas menjadi suami Kui Siang." Panglima itu kembali mengangguk-angguk. "Maksud saya.... bagaimana kalau Heng San tidak mau, kalau dia menolak?" kata Lui Tiong penuh harap. "Ha-ha-ha, bukankah engkau sendiri yang melaporkan bahwa Heng San jatuh cinta kepada Kui Siang" Aku yang akan mengatur agar dia mau, pasti mau dan harus mau. Ha-ha-ha!" Dia lalu memberi isarat agar pembantunya itu mundur. Thio-ciangkun tetap tertawa ketika Lui Jiong keluar dari ruangan itu, kembali ke dalam kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan bersungut-sungut. Biarpun dia sudah pulas, namun ketika suara langkah lembut itu memasuki kamarnya, pendengaran Heng San yang terlatih baik dapat menangkapnya.
Seketika dia terbangun, namun begitu dia melihat siapa yang memasuki kamarnya sambil membawa sebuah baki dengan beberapa mangkok di atasnya, melangkah dengan lenggang yang lembut dan lemah gemulai, Heng San tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara saking herannya. Mula-mula dalam pandangannya yang baru saja terbangun dari pulas, dia seolah melihat Ma Hong Lian yang melenggang memasuki kamarnya. Hatinya tidak percaya dan dibantahnya penglihatannya sendiri dan perlahan-lahan bayangan Ma Hong Lian itu berubah dan tahulah dia bahwa yang memasuki kamarnya adalah Nona Siang. Dia merasa seperti dalam mimpi. Sudah beberapa kali dia bertemu dengan gadis ini, hal yang tidak dapat dihindarkan karena mereka tinggal di bawah satu atap walaupun gedung itu luas sekali. Dalam setiap pertemuan, mereka hanya saling pandang dan Heng San selalu memberi hormat dengan membungkuk dan gadis itupun mengangguk sambil memandang dan tersenyum kepadanya.
Belum pernah mereka saling bertegur sapa dan sekarang, gadis itu memasuki kamarnya seorang diri. Seperti dalam mirnpi dia melihat gadis itu rneletakkan baki di atas meja, lalu duduk di atas kursi dekat (Lanjut ke Jilid 04)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04 pembaringan di mana dia masih rebah telentang. Kemudian dia memaksa diri bangkit duduk dan berkata, "Eh". ah". Nona Siang"., apakah artinya penghormatan yang diberikan kepadaku ini" Kenapa nona memasuki kamar saya?" Gadis itu memandang dan tersenyum. Heng San terpesona dan wajah itu sungguh mirip wajah Hong Lian. Begitu manis, begitu cantik. Bibir yang merah basah itu merekah, tampak deretan gigi putih mengintai sejenak dan mulut yang tersenyum itu seperti menebarkan beribu bunga, seperti meneteskan sari madu. Mata itu seperti mata burung Hong dalam dongeng. "Kenapa" Apakah tidak boleh aku. memasuki kamar ini, Lauw-sieu?" suara itu demikian lembut, merdu seperti nyanyian indah.
"Ah, tentu, tentu saja boleh sekali, nona. Akan tetapi aku tidak mengerti".." Heng San hendak turun dari pembaringan, akan tetapi gadis itu bangkit berdiri dan menggerakkan kedua tangan mencegah dia turun. "Berbaringlah saja, sicu. Dengarlah, aku disuruh oleh ayah untuk merawatmu, untuk mengobati luka di pundakmu dan memberimu obat. Karena itu, rebahlah saja, biar aku memeriksa keadaan luka di pundakmu." "Akan tetapi..... " Heng San hendak membantah. Dengan lembut kedua tangan gadis itu mendorong pundak Heng San sehingga pemuda itu apa boleh buat merebahkan diri lagi, telentang. "Lauw-sicu, aku adalah puteri seorang panglima dan aku telah banyak mempelajari ilmu pengobatan, khusus untuk mengobati luka-luka yang terjadi dalam pertempuran. Karena ayah sayang kepadamu, maka dia menyuruh aku sendiri yang merawatmu. Nah, biarlah aku memeriksa 1uka di pundakmu."
Dengan jari-jari lembut namun cekatan, gadis itu lalu merobek baju di pundak yang sudah berlubang itu agar dapat memeriksa lukanya dengan lebih teliti. "Hemm, luka ini cukup lebar dan yang paling buruk adalah bahwa senjata rahasia itu agaknya mengandung racun sehingga luka ini agak kehitaman. Aku akan mencucinya lebih dulu." Gadis 1tu ia1u mengambil air daiam tempayan, la1u mencuci 1uka itu dengan cekatan. Heng San diam saja. Biarpun matanya menatap ke langit-langit kamar, namun dia merasa betapa dekatnya gadis itu dengan dia sehingga dia dapat mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu dan seolah terasa kelembutan jari-jari tangan mengusap pundaknya, kehangatan tubuh itu seolah membakarnya. Seteiah menaburkan obat bubuk ke atas luka di pundak itu dan membalutnya, Kui Siang mengambil sebuah mangkuk yang terisi ramuan obat godok ber warna coklat.
"Lauw-sicu, ayahku sengaja membuatkan obat ini untukmu. Aku tidak mengenal obat ini, akan tetapi kata ayah, obat ini baik sekali untuk menguatkan tubuh dan menjaga agar pengaruh racun tidak menjalar lebih jauh. Minumlah, sicu." Heng San melihat obat dalam mangkok itu masih mengepulkan uap panas. "Biarlah agak dingin dulu, nona. Thio-ciangkun sungguh baik sekali kepadaku, dan aku amat berterima kasih kepadanya." "Ah, sicu. Ayah tentu saja suka kepada sicu karena sicu adalah orang kepercayaannya dan sicu sudah banyak membuat jasa besar membantu ayah." "Akan tetapi engkaupun amat baik kepadaku, nona. Aku hanya mengenalmu sebagai Nona Siang. Sebetulnya, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama lengkapmu?" Gadis itu tersenyum dan menatap wajah yang tampan itu. Diam-diam, sejak bertemu dengan Heng San, la memang merasa kagum dan tertarik.
Pemuda Ini tak pernah memandang dengan kurang ajar seperti para jagoan lain kepadanya, melainkan bersikap sopan sekali. Sepasang mata bertemu pandang dan bertaut, lalu gadis itu menundukkan muka. "Namaku".. Bu Kui Siang." Heng San memandang heran. "She".. Bu....?" "Ah, belum tahukah engkau, sicu" Thio-ciangkun itu adalah ayah tiriku. Ketika ibuku menjadi isterinya, ibu sudah janda dan aku ketika itu baru berusia dua tahun." "Dan".. ayah kandungmu?" "Kata ibu, ayah kandungku dahulu adalah seorang perwira pengikut pasukan Gouw Sam Kui dan tewas dalam perang. Ibu dan aku menjadi tawanan dan akhirnya ibu diperisteri oleh ayah tiriku itu. Ah, sudahlah, sicu. Kau minumlah obat pemberian ayah ini." kata Kui Siang yang agaknya tidak suka menceritakan riwayat ayah kandungnya.
Sedikit keterangan ini mendatangkan keharuan dalam hati Heng San dan diapun tidak menolak lagi ketika disuruh minum obat. Dia bangkit duduk dan gadis itu membantunya, memberi minum obat dari mangkok itu. Obat itu rasanya agak pahit namun baunya sedap sehingga diminumnya sampai habis. Rasanya hangat sekali ketika memasuki perutnya. Kui Siang membantu dia rebah kembali. "Sekarang mengasolah saja, sicu. Aku akan melaporkan kepada ayah bahwa keadaanmu sudah membaik." Gadis itu meletakkan mangkok kosong di atas baki yang masih berada di meja. Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar Heng San mengeluh. la cepat membalik dan menghampiri. Dilihatnya pemuda itu gelisah sekali, mengeluh, memejamkan mata dan mukanya berubah merah sekali. Ketika ia mendekat dan meraba dahi pemuda itu, ia terkejut karena terasa kulit mukanya panas sekali.
"Lauw-sicu".. kau".. kau kenapakah"..?" Gadisitu menjadi panik, memegangi kedua pundak Heng San. Heng San tiba-tiba terserang penas yang amat aneh. Dia merasa dirinya dilambungkan ke atas, lalu diombang-ambingkan seolah berada di lautan yang amat kuat ombaknya, membuat kepalanya pening sehingga dia tidak berani membuka matanya, seperti terapung-apung di Iangit. Ketika mendengar suara gadis itu memanggil-manggil dan kedua pundaknya diguncang-guncang, dia memaksa diri membuka kedua matanya. Dilihatnya wajah itu! Wajah yang selama ini menjadi buah mimpinya. Wajah Ma Hong Lian yang membuatnya tergila-gila, wajah gad is yang telah merebut hatinya, yang dicintanya. Gairah yang teramat kuat merangsangnya, membakar berahinya dan diapun merangkul leher itu, ditarik dan didekapnya muka itu, diciuminya. "Hong Lian"... " desahnya.
Kui Siang terkejut setengah mati. la hendak meronta melepaskan diri namun tidak mampu karena dekapan itu kuat sekali. Ketika mukanya, pipinya, hidungnya dan bibirnya dihujani ciuman oleh pemuda yang dikaguminya itu, tiba-tiba ia menjadi lemas lunglai. "Lauw-sicu".. ah, Lauw-sicu.... " ia menangis ketika mukanya. didekap di dada Heng San. Pada saat itu, daun pintu kamar terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk. Wanita itu rnenahan jerit ketika melihat Kui Siang dipeluk Heng San, menelungkup di atas dada pemuda itu. Wanita itu adalah ibu kandung Kui Siang yang baru saja diberitahu suaminya bahwa anak gadisnya bermain gila dengan Lauw Heng San dan sekarang berada di kamar pemuda itu. Mendengar ini, ibu ini tidak percaya dan langsung lari memasuki kamar itu dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir pingsan. "Kui Siang....!" lbu itu menjerit. "Apa yang kau lakukan ini"..?" ya Tuhan, anak durhaka, anak tak tahu malu, mencemarkan nama orang tua"...!"
Ibu itu menjerit-jerit sehingga banyak pelayan berlari-lari mendatangi dan berkumpul di luar kamar yang pintunya terbuka. Mereka semua melihat Nona Siang masih duduk di tepi pembaringan di mana Heng San rebah telentang dan keduanya tampak terbelalak kaget dan kebingungan. Walaupun dia merasa betapa tubuhnya melayang-layang, kepala. pening dan rangsangan gairah berahi seperti membakarnya, namun jeritan ibu Kui Siang itu seolah menyeretnya kembali ke alam kesadaran dan membuat Heng San terkejut setengah mati menyadari akan perbuatannya dan keadaannya. Tiba-tiba Thio-dangkun muncul dan dia melompat ke dalam kamar itu, memandang kepada dua orang muda di pembaringan itu dengan muka merah dan mata melotot. "Bagus sekali perbuatan kalian!" bentaknya. Kui Siang lebih dulu menguasai dirinya dan ia menangis sambil berlari dan menjatuhkan dirinya berlutut didepan ayah tirinya.
Sambil menangis ia berkata tersendat-sendat, "Ayah?" anak telah bersalah?" ampuni saya atau".. hukumlah, bunuhlah saya, ayah?"" Gadis itu merasa malu bukan main. Peristiwa tadi sungguh di luar dugaan. Ia merasa seperti lumpuh ketika dirangkul dan diciumi Heng San. Tiba-tiba Heng San melompat dan berlutut di sebelah Kui Siang. Biarpun dia berada dalam keadaan tidak normal, namun dia masih dapat menguasai dirinya dan dia tahu bahwa gadis itu terancam bahaya besar, akan rusak nama dan kehormatannya, bahkan mungkin akan dihukum mati. Dia tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi! "Ciangkun, bukan Nona Siang yang bersalah, melainkan saya yang bersalah! Saya mengaku salah, saya bersedia menerima hukuman apapun juga." Ibu Kui Siang yang bagaimanapun juga menyayang puterinya, melihat puterinya terancam lalu ikut pula berlutut di depan suaminya sambil menangis. ?".. pandanglah mukaku dan ampuni Kui Siang".. " ia meratap.
Thio Ci Gan menghela nap as panjang dan mengelus jenggotnya. "Hemm, sudahlah. Kalau memang kalian berdua sudah saling mendnta, kami akan segera mengatur pernikahan kalian." Setelah berkata demikian, Thio-ciangkun meninggalkan kamar itu dan segera mengeluarkan perintah agar segera dipersiapkan pernikahan yang harus dilangsungkan tiga hari kemudian.! Hanya Lui Tiong seorang yang dapat menduga bahwa semua itu tentu sudah diatur oleh atasannya. Teringat dia akan kata-kata panglima itu bahwa Heng San pasti dan harus mau menikah dengan Kui Siang! Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan" Dia hanya menyesali nasibnya sendiri dan semakin iri akan nasib baik Heng San yang mendapatkan gadis jelita dan menjadi mantu Panglima Thio! Di dalam hatinya, Heng San merasa menyesal sekali akan kejadian itu. Dia menyesal mengapa dia sampai hanyut oleh rangsangan berahi.
Padahal, sesungguhnya dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa walaupun dia suka kepada Kui Siang, namun sebetulnya cintanya adalah pada Ma Hong Lian! Akan tetapi, dia tidak mungkin membiarkan Kui Siang celaka dan tercemar namanya karena dia. Maka, diapun mau melaksanakan pernikahan dan memaksa dirinya agar jujur terhadap Kui Siang, agar dapat memperlihatkan kasih sayangnya sebagai suami kepada gadis yang tidak berdosa itu. Dan ternyata setelah menikah, Kui Siang bersikap amat mesra dan mencintanya sehingga mau tidak mau timbul pula perasaan sayang dalam hati Heng San kepada isterinya. Suami isteri ini tampak mesra dan saling mengasihi sehingga ibu Siang-siocia (Nona Siang) juga ikut merasa bahagia. Demikian pula Thio-ciangkun merasa gembira sekali karena dia sudah dapat mengikat Heng San menjadi mantunya, berarti orang muda itu kini menjadi pembantunya yang tak dapat diragukan lagi kesetiaannya.
Enam bulan telah lewat sejak Lauw Heng San menikah dengan Bu Kui Siang, anak tiri PanglimaThio Ci Gan. Harus diakuinya bahwa Bu Kui Siang amat mencintanya dan watak gadis itu memang baik sekali, seperti watak ibunya. Halus, lembut dan berperasaan peka. Ia telah mendengar cerita Kui Siang tentang riwayat ibunya. Ayah kandungnya bernama Bu Kiat, seorang panglima pembantu dalam pasukan Go Sam Kui yang dahulu melakukan perlawanan terhadap bala tentara Mancu. Setelah pasukan Go Sam Kui hancur, Panglima Bu Kiat gugur dalam perang. Isterinya bersama puterinya, yaitu Nyonya Bu dan Kui Siang, menjadi tawanan. Ketika itu, yang menjadi komandan pasukan Mancu adalah Thio Ci Gan, seorang Han yang terpikat bangsa Mancu menjadi seorang panglima. Demikianlah, karena tertarik oleh kecantikan Nyonya Bu, Thio Ci Gan mengambilnya sebagai isteri kedua. Nyonya Bu terpaksa mener imanya untuk menyelamatkan puterinya.
Kui Siang lalu menjadi anak tiri Thio-ciangkun dan iapun disayang oleh ayah tirinya. Dari isterinya ini pula Heng San mendengar bahwa para pemberontak itu, menurut persangkaan isterinya yang mendengar dari ibunya, adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah Mancu. Malam itu Heng San duduk termenung memikirkan itu semua. Biarpun ia selalu teringat kepada Ma Hong Lian, namun harus diakuinya bahwa kelembutan dan cinta kasih Kui Siang membuat dia dapat menyayang isterinya pula. Apalagi isterinya kini telah mengandung dua bulan. Akan tetapi dia tidak dapat melupakan Hong Lian, gadis yang amat dikaguminya itu. Dia merasa menyesal mengapa Hong Lian menjadi anggauta pengacau, anggauta pemberontak sehingga terpaksa berhadapan dengan dia sebagai musuh. Teringat dia betapa dalam pertemuannya yang pertama dengan Hong Lian, gadis itupun telah menjadi seorang pencuri.
Senopati Pamungkas 28 Pengaruh Yang Tak Tampak The Invisible Influence Karya Pouw Kioe An Pangeran Perkasa 11
^