Pencarian

Si Tangan Halilintar 6

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


"Bukan sekedar menonton, A Siong. Kalau bisa kita harus berusaha mendamaikan antara mereka. Kedua orang muda itu lalu mencari rumah penginapan. Kini mereka lebih berhati-hati dan mereka tidak memilih rumah penginapan yang besar, melainkan memilih rumah penginapan kecil yang menampung para tamu yang bukan terdiri dari orang-orang kaya agar mereka tidak dipandang rendah oleh pelayan seperti ketika mereka memasuki rumah makan Ho Tin tadi. Mereka meninggalkan buntalan pakaian dalam sebuah kamar yang mereka sewa untuk berdua. Buntalan itu hanya berisi pakaian sederhana milik mereka yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kantung uang berisi emas dan beberapa potong perak itu disimpan A Siong dalam kantung bajunya. Mereka 1alu keluar untuk berjalan-jalan, melihat-lihat kota Sauw-ciu yang ramai. Mereka berputar-putar dan ketika mereka tiba di depan sebuah rumah makan yang besar sekali, bahkan lebih besar dari rumah makan Ho Tin.
Siauw Beng menyentuh lengan A Siong dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kereta yang berhenti di depan rumah makan itu. A Siong memandang dan menyeringai maklum. Mereka melihat kereta yang indah dan mereka mengenal sepuluh perajurit pengawal yang tadi mengawal puteri Mancu itu, kini mereka berdiri di dekat kereta bersama kusir kereta. Tak salah lagi, tentu puteri Mancu tadi makan di restoran ini! Mereka berdua melihat bahwa bukan mereka berdua saja yang menonton kereta yang indah itu. Ada beberapa orang bergerombol di seberang jalan sambil mengamati kereta. Mereka tidak berani terlalu mendekat karena sepuluh perajurit pengawal itu memasang muka asam sehingga tidak ada yang berani mendekat. Pada saat itu, keluarlah sang puteri itu dad dalam rumah makan, diikuti oleh majikan rumah makan dan beberapa orang pegawainya, mengikuti sampai di luar dan membungkuk-bungkuk dengan amat hormatnya.
Sang puteri dengan angkuhnya keluar lalu memasuki kereta yang pintunya dibukakan oleh para pengawal. Kusir sudah menduduki bangkunya dan tak lama kemudian kereta itupun bergerak pergi, diikuti sepuluh orang pengawal yang menunggang kuda. Siauw Beng dah A Siong melihat seorang di (Lanjut ke Jilid 09)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09 antara mereka yang bergerombol tadi kini sibuk bercerita, menggerakkan kepala dan tangannya, didengarkan banyak orang yang tampak tertarik sekalie Diam-diam Siauw Beng dan A Siong mendekati dan ikut pula mendengarkan. Orang itu memang pandai bicara dan ternyata dia bercerita tentang sang puteri tadi. "Kalian tahu apa" Puteri secantik bidadari tadi bukanlah puteri bangsawan biasa! Nama lengkapnya Puteri Mayani Gunam, biasa disebut Puteri Maya saja. Dan kalian tahu ia itu siapa" Ia masih keponakan Yang Mulia Kaisar Kerajaan Ceng! Ayahnya adalah seorang pangeran aseli! Ia puteri pangeran yang besar kekuasaannya.
Dan kalian tentu mengenal pembesar yang paling berkuasa di kota Sauw-ciu" Bukan lain adalah Kepala Daerah dan pembesar itu adalah kakak dari ibu kandung Puteri Maya, seorang pribumi Han. Nah, tentu saja kekuasaan sang puteri itu besar sekali. Ia cantik seperti bidadari dan belum juga bertunangan. Kabarnya yang kudapat dari kota raja, para pemuda bangsawan, para pangeran putera kepala-kepala suku banyak yang tergila-gila kepadanya, akan tetapi semua pinangan ditolaknya! Entah pemuda macam apa yang dicarinya sebagai jodohnya." "Siapa tahu ia akan mencari jodoh seorang pemuda pribumi Han, mengingat bahwa ibunya seorang pribumi!" terdengar seorang laki-laki berkata. "Hemm, siapa tahu" Mungkin saja. Mudah-mudahan begitu. Semakin banyak orang berdarah pribumi menjadi keluarga istana, makin baik karena tentu pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan yang terlalu menindas kita." Ramai kini mereka saling bicara sendiri.
Siauw Beng sudah merasa puas akan apa yang didengarnya dan diapun mengajak A Siong pergi dari situ. Ketika berada di kamar penginapan, malam itu Siauw Beng banyak melamun sehingga beberapakali A Siong menegurnya. Siauw Beng tidak dapat melupakan wajah Puteri Maya! Wajah yang seperti selalu membayang di depan matanya. Pandang mata yang tajam beriing dan indah itu. Bibir yang mungil itu dengan senyumnya yang khas. Dan kehebatan ilmu silatnya. Dia merasa terkagum-kagum. Seorang gadis yang am at luar biasa! Seperti yang diajarkan oleh mendiang Pek In San-jin, dalam keadaan seperti itu, dia mengamati hati dan akal pikirannya sendiri. Dia mendapat kenyataan bahwa rasa kagum itu bukan semata-mata karena gadis itu cantik menarik dan menggairahkan. Rasa kagum dan tertarik di dalam hatinya itu bukan semata karena gejolak nafsu berahi. Namun ada sesuatu yang membuat dia tertarik. Sesuatu pada sinar gadis itu, pada gerak bibirnya.
Ada sesuatu yang membuat dia merasa bahwa dia harus melindunginya, harus menjaganya dari ancaman bahaya. Ada semacam perasaan "iba" dalam hatinya terhadap gadis itu walaupun pikirannya mencela perasaan ini karena pikirannya mengatakan bahwa gadis itu terlalu kejam dan tinggi hati! Ketika ia berhasil merampas pedang si pendek gendut dengan sabuknya, ia lalu menyerangkan pedang rampasan itu ke arah leher si gendut. Serangan itu merupakan serangan maut dan kalau saja Hartawan Song tidak menangkis, tentu si pendek gendut she Ciang itu sudah tewas terpenggal pedang sendiri! Pikirannya mencela gadis itu, akan tetapi mengapa ada perasaan iba dan harus melindungi di dalam hatinya" Siauw Beng menghela napas panjang dan berkata pada diri sendiri bahwa dia besok pagi akan melihat keadaan. Kalau memang ada nyawa terancam, dia akan turun tangan mencegah terjadinya pembunuhan.
Bukankah menurut sikap mereka, lima orang laki-laki tua itu juga bukan sebangsa penjahat" Bahkan Hartawan Song dikatakan sebagai seorang dermawan yang terkenal di kota Sauw-du! Dia tidak akan berpihak, hanya akan melindungi pihak yang terancam bahaya dan kalau mungkin mencegah terjadinya permusuhan yang akan saling membunuh. "Engkau kenapa sih, Siauw Beng" Dari tadi melamun saja. Bahkan engkau tidak mau makan malam, menyuruh aku makan sendiri. Nih, kubelikan bakpauw, makanlah. Kalau tidak, engkau akan kelaparan dan dapat terserang angin." kata A Siong yang baru masuk sambil memberikan bungkusan terisi bakpauw sebanyak lima buah kepada Siauw Beng. Siauw Beng menerima bakpauw itu dan memakannya. A Siong memandang kawannya yang makan bakpauw dengan alis berkerut. Dia tak sabar lagi. "Siauw Beng, agaknya pikiranmu selalu terganggu oleh peristiwa pagi tadi.
Mengapa engkau pusingkan benar urusan orang lain itu?" "A Siong, aku khawatir gadis itu akan celaka. Lima orang itu bukan orang sembarangan. Terutama sekali Hartawan Song itu. Aku melihat ketika dia mencabut pedang dan menangkis, gerakannya begitu cepat dan kuatnya. Dia tentu seorang ahli pedang yang tangguh sekali. Gadis itu memang lihai, akan tetapi tak mungkin ia mampu menandingi lima orang itu dan kalau dibiarkan mereka bertanding, gadis itu tentu akan celaka." A Siong tersenyum, lalu merebahkan diri di atas satu di antara dua buah pembaringan itu. "Mengapa dipusingkan benar" Biarkan gadis itu kalah kalau memang ia kalah. Pula, bukankah ia seorang gadis Mancu, bahkan masih keluarga Kaisar Mancu" Kebetulan kalau ia tewas dalam pertempuran, berkurang satulah musuh bangsa kita. Bukankah menurut Ma lo-sicu, musuh utama bangsa kita adalah keluarga kaisar yang mengatur penjajahan di negara kita?" "A Siong, pendapatmu itu keliru.
Ingat, kita harus selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Siapapun juga orangnya, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, bangsa apapun juga, kalau ia tertindas dan nyawanya terancam, kita harus menolong dan membelanya. Sebaliknya, siapapun orangnya, kalau bertindak sewenang-wenang, harus kita tentang! Demikian pesan ayah Ma Giok, bukan?" A Siong tidak suka kalau diajak berpikir banyak. Kepalanya menjadi pening kalau harus memikirkan hal yang pelikpelik, dan dia berkata, "Ya, sudahlah, bagaimana engkau sajalah. Lalu apa yang hams kita lakukan sekarang?" "Sekarang" Sekarang kita mengaso dan tidur agar besok pagi-pagi kita dapat pergi ke hutan cemara. Kita nonton pertandingan itu dan kita lihat saja perkembangannya. Jangan engkau lakukan sesuatu sebelum kuberi isarat." "Baik, kita tidur. Akupun sudah lelah dan mengantuk." A Siong melepaskan sepatu dan baju luarnya karena hawa malam itu agak panas.
"Hemm, engkau lupa lagi, ya" Apa yang harus kita lakukan sebelum tidur?" Siauw Beng mengingatkan sesuatu kebiasaan yang sudah harus mereka lakukan semenjak dahulu sesuai dengan perintah Ma Giok. A Siong menghela napas panjang, bangkit duduk dan mengenakan lagi sepatunya. "Ya... ya..., membersihkan mulut dan gigi sebelum tidur! Engkau lebih galak daripada Ma lo-sku dalam hal ini, Siauw Beng!" Siauw Beng tertawa. "Karena hat ini penting sekali untuk kesehatan kita, maka aku selalu mengingatkanmu. Setelah makan bakpauw dan membersihkan mulut dan gigi, Siauw Beng juga merebahkan diri di atas pembaringannya yang sederhana karena memang sewa kamar penginapan itu murah. Mereka segera tertidur pulas. Tadinya memang Siauw Beng amat terganggu oleh dengkur A Siong yang menggetarkan kamar itu. Akan tetapi dia menutupi telinganya dengan bantal dan akhirnya dapat pulas Juga.
Pagi-pagi 'benar lima orang yang kemarin berpesta di loteng rumah makan Ho Tin sudah tnemasuki hutan cemara. Oi tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rum put yang terbuka dan di sanalah mereka menanti sambi! duduk di atas batu-batu gunung yang banyak terdapat di Bukit Kera itu. Lima orang ini sebetulnya adalah pendekar-pendekar yang dulu pernah mengguncang dunia persilatan dan mereka dulu terkenal dengan julukan Ciong-yang Ngo-tai-hiap (Lima Pendekar Besar dari Ciong-yang), juga disebut Ngo-kiam-hiap (Lima Pendekar Pedang). Dua puluh tahun yang lalu, Ciong-yang Ngo-kiam-hiap ini pernah menjadi pejuang melawan penjajah Mancu bersama Lam-liong Ma Giok dan lain pejuang. Setelah semua perlawanan terhadap pasukan Mancu gagal, mereka menghentikan perlawanan dan mereka berlima bahkan berpencar agar tidak mudah dilacak oleh pasukan Mancu yang tentu saja mencatat nama mereka dalam daftar hitam sebagai pemberontak-pemberontak.
Seperti juga para pejuang yang lain, setelah tidak ada kesempatan untuk melawan pemerintah penjajah Mancu, mereka bekerja sebagai p~ndekar-pendekar yang menentang kejahatan, membela rakyat yang tertindas. Orang pertama dari Lima Pendekar Pedang dari Ciong Yang ini adalah Song Kwan yang kini telah berusia enam puluh tahun. Song Kwan ini menjadi pedagang dan dia berhasil memperoleh kemajuan sehingga menjadi seorang yang kaya raya di kota Sauw-ciu. Akan tetapi biarpun dia sudah menjadi seorang hartawan, tetap saja jiwa kependekarannya tak pernah lenyap. Oia kini mendapat lebih banyak kesempatan untuk menolong rakyat, baik dengan hartanya maupun dengan tenaganya sehingga Song K wan yang cjikenal sebagai Hartawan Song amat terkenaI di Sauw-ciu sebagai seorang dermawan besar. Oi antara lima orang pendekar itu, Song Kwan memiliki ilmu pedang yang paling lihai sehingga dahulu dia pernah mendapat julukan Kiam-sian (Dewa Pedang)!
Mukanya yang merah gagah, tubuhnya yang tinggi besar, ditambah kumis jenggotnya yang panjang, membuat dia mirip tokoh Kwan Kong dalam kisah Sam Kok (Tiga Kerajaan) yang kemudian terkenal sebagai seorang tokoh yang amat setia dan bahkan dijadikan lam bang kesetiaan. Orang ke dua merupakan adik kandung Song Kwan, berusia lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, bernama Song Kui. Seperti juga kakaknya, Song Kui memiliki. ilmu pedang yang amat tangguh, bahkan dia pernah mendapat julukan Kiam-mo (Setan Pedang). Dua orang kakak beradik Song ini sudah berkeluarga. Kalau Song Kwan tidak mempunyai keturunan, sebaliknya Song Kui mempunyai dua orang anak laki-laki yang waktu itu sudah dewasa. Song Kui dan keluarganya tinggal pula bersama Song Kwan yang hartawan, dan dia membantu kakaknya yang menjadi pedagang rempa-rempa yang besar.
Karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka Song Kwan menganggap dua orang keponakannya yang bernama Song Cun dan Song Cin, seperti anak-anaknya sendiri, bahkan dia yang menga jarkan ilmu pedangnya kepada dua orang keponakann yaitu Orang ke tiga adalah Ciang Hu Seng, tokoh pendek gendut yang berusia lima puluh lima tahun, yang wajahnya selalu riang penuh senyum dan tawa, juga suka melucu. Akan tetapi Ciang Hu Seng inipun memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia seorang ahli pedang yang tangguh sehingga pernah dijuluki Sin-kiam (Pedang Sakti). Dia sampai sekarang hidup menyendiri, sebatang kara dan suka mengembara, tidak tentu tempat tinggalnya akan tetapi di manapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan dan suka mengulurkan tangan untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuannya. Orang ke empat bernama Bhe Kam, berusia lima puluh tiga tahun dan dia sekarang tinggal di Tung-san sebagai seorang guru silat bayaran.
Isterinya sudah meninggal dan dia hidup berdua dengan seorang anaknya, seorang puteri yang sudah berusia delapan belas tahun bernama Bhe Siu Cen yang menjadi kembang kota Tung-san. Gadis yang cantik jelita dan juga lihai ilmu silatnya! Adapun yang ke lima bernama Lee Bun, berusia lima puluh tahun, bermuka tengkorak saking kurusnya. Diapun hidup menyendiri, tanpa keluarga dan sekarang tinggal di puncak Liong-san, menyendiri dan orang ke lima ini paling suka memperdalam ilmu-ilmunya dalam kesunyiannya. Dia banyak bertapa dan memperkuat tenaga dalamnya sehingga tubuhnya menjadi kurus kering, akan tetapi diam-diam dia kini telah menghimpun tenaga dahsyat, bahkan kini, setelah selama dua puluh tahun bertapa, tingkat ilmu kepandaiannya mencapai ketinggian yang melampaui semua tingkat empat orang rekannya! Demikianlah keadaan lima orang yang dulu terkenal sebagai Ciong-yan Ngokiam-hiap dan kini sudah hidup terpisah-pisah, kecuali Song Kui yang ikut kakaknya dan tinggal menumpang di rumah Song Kwan, di Sauw-du.
Pada hari itu, Song Kwan dan Song Kui yang merasa rindu kepada tiga orang rekannya yang tak pernah dijumpainya, mengirim undangan kepada mereka untuk mengadakan semacam reuni, pertemuan yang akan mendatangkan nostalgia setelah mereka saling berpisah selama kurang lebih dua puluh tahun! Dan Song Kwan sengaja memborong dan menyewa ruangan loteng rumah makan Ho Tin untuk pertemuan yang amat membahagiakan itu. Akan tetapi siapakira, pesta pertemuan itu bahkan menimbulkan masalah dengan seorang puteri bangsawan Mancu yang menantang mereka berlima untuk mengadu ilmu pagi itu di hutan cemara Bukit Kera! Sebetulnya Song Kwan merasa segan dan tidak ingin melayani tantangan puteri bangsawan Mancu itu. Akan tetapi empat orang adiknya, yang merasa sebagai para pende:'-ar sungguh memalukan kalau menolak tantangan orang, membujuk dan mendesaknya sehingga akhirnya dia mengalah.
"Untuk apa melayani segala macam anak perempuan yang manja dan sombong itu?" Tadinya dia membantah. "Song-toako, yang menantang kita adalah seorang gadis bangsawan Mancu dan kita melihat sendiri tadi bahwa ilmunya bukanlah sembarangan. Kalau kita tidak menanggapi, tentu kita akan menjadi buah tertawaan dunia kangouw. Orang-orang akan mengejek dan mengatakan bahwa kini Ciong-yang Ngo-taihiap telah menjadi pengecut dan penakut sehingga tantangan seorang gadis mudapun tidak berani kita melayaninya." bantah Ciang Jiu Seng si pendek gemuk yang tadi dibuat penasaran oleh Puteri Mayani. "Benar, Song-toako," kata Bhe Kam. "Tentu saja kita tidak perlu melayani gadis itu bertanding sungguh-sungguh. Akan tetapi tantangan itu harus kita tanggapi, agar kita tidak dianggap takut. Nanti se,telah bertemu, kita bujuk dan nasehati ia agar jangan suka memandang rendah orang lain.
Malu ah kita kalau harus bertanding melawan seorang gadis yang usianya sepantar dengan anakku sendiril" Demikianlah, akhirnya Song Kwan menurut dan pagi itu mereka sudah datang ke hutan cemara memenuhi tantangan Puteri Mayani. Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata mengintai mereka dari balik batu besar yang terdapat tak jauh dari lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu. Pengintai itu bukan lain adalah Siauw Beng dan A Siong. Akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu itupun muncullan. Kemunculan Puteri Mayani sungguh mengejutkan dan di luar dugaan lima orang pendekar itu. Gadis itu muncul seorang diri saja! Hanya tampak sesosok bayangan betkelebat dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di situ, berpakaian sutera berkembang indah dan sabuk sutera merah yang lihai itu melibat di pinggangnya yang kecil ramping. Semua orang memandang dan mau tidak mau lima orang laki-Iaki tua itu diam-diam harus mengaguminya.
Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas, dihias dengan hiasan rambut dari emas permata, berbentuk seek or burung Hong. Wajahnya cantik jelita tanpa bedak gincu yang terlalu tebal, sepasang mata itu bersinar-sinar bagaikan sepasang bin tang kejora. Bibirnya tersenyum mengejek ketika ia melihat lima orang itu sudah berada di situ. Pakaiannya dari sutera halus itu berkibar ketika ia melompat tadi. Kulit yang tampak pada wajah, leher dan lengannya begitu halus dan putih mulus. Yang lebih mengherankan dansama sekali di luar dugaan lima orang pendekar itu, Puteri Mayani datang seorang did saja, tanpa seorangpun pengawal! Padahal, tadinya mereka mengira bahwa puteri itu akan muncul dengan dilindungi oleh sepasukan pengawal yang jagoan dan pilihan! Song Kwan yang menjadi pemimpin di antara teman-temannya dan yang sudah mengambil keputusan untuk mepcegah terjadinya perkelahian yang hanya akan merugikan pihak mereka, segera bangkit berdiri menyambut puteri bangsawan itu, diikuti empat orang adiknya.
Mereka memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Dengan suaranya yang penuh kesabaran dan kelembutan Song Kwan berkata. "Selamat pagi, nona. Kami berlima telah datang memenuhi undangan nona, dankami harap pertemuan antara kita ini akan dapat membicarakan kesalahpahaman yang terjadi kemarin. Juga kesempatan ini kami pergunakan untuk minta maaf kepadamu dan mengharap agar nona suka melupakan peristiwa itu sehingga kesalahpahaman itu tidak perlu diperpanjang lagi.". Puteri Mayani tersenyum. Senyumnya manis sekali akan tetapi senyuman itu. Mengandung ejekan. Ia berkata lantang dan merdu. "Aku sarana sekali tidak ingin memperpanjang urusan kemarin. Adalah kesalahan lima orang pengawalku sendiri, Mereka itu terlalu lemah dan bodoh sehingga mudah dihajar orang! Akan tetapi karena aku mendengar bahwa kalian berlima adalah ahli-ahli silat tersohor, maka aku ingin sekali merasakan kelihaian kalian.
Karena itu aku tidak ingin membikin ribut di kota dan menjadi tontonan orang, maka aku menantang kalian untuk datang ke tempat sepi ini. Di sini kita dapat membuktikan sampai di mana kehebatan kalian sehingga kalian bersikap demikian sombong ketika berada di rumah makan Ho Tin." Kembali Song Kwan menjura dengan hormat. "Nona, kami sudah minta maaf kepadamu. Sebetulnya kami tid~k bermaksud untuk bersikap sombong. Akan tetapi karena para perajurit itu bersikap kasar, maka terjadilah kesalahpahaman itu. Kami tidak ingin sarna sekali untuk bertanding melawanmu, nona. Diantara kita tidak terdapat permusuhan apapun, bagaimana kami lima orang tua begitu tidak tahu malu untuk bertanding melawan seorang gadis muda belia seperti nona" Sudahlah, nona. Maafkan kami dan sudahi saja urusan ini." Puteri Mayani mengerutkan alisnya dan tiba-tiba ia menunjukkan telunjuk kirinya kearah muka Song Kwan, "Orang she Song! Tidak perlu berpura-pura lagi.
Aku sudah tahu bahwa dahulu, sebelum aku lahir, di waktu kalian ber lima masih muda, kalian terkenal sebagai Ciongyang Ngo-tai-hiap! Kalian. adalah orang-orang yang anti pemerintah Ceng, kalian sekumpulan pemberontak yang selalu mengadakan kekacauan. Aku tidak perduli akan itu semua, akan tetapi aku mempunyai satu kebiasaan, yaitu ingin mencoba kelihaian para jagoan yang malang melintang di dunia kangouw! Jangan kalian kini menolak dan berpura-pura menjadi orang-orang yang suka damai dan tidak biasa beradu ilmu silat! Nah, siapapun diantara kalian boleh maju, bahkan kalau perlu, kalian boleh maju berlima. Aku, Puteri Mayani, tidak akan takut menandingi kalian! Biarpun kalian disebut pendekar-pendekar pedang, ingin kulihat sampai di mana ketajaman pedang kalian!" Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak, terdengar bunyi berdesing dan sinar menyilaukan berkelebat.
Di tangan kanannya itu sudah terdapat sebatang pedang yang tipis yang bentuknya bengkok, mengkilap dan tampak tajam sekali. Lima orang pendekar itu terkejut. Kiranya puteri bangsawan Maneu ini telah mengetahui keadaan mereka berlima! Ini berbahaya sekali. Kalau Puteri Mayani melaporkan hal ini kepada pemerintah, mereka berlima tentu akan menjadi orang-orang buruan lagi dan tidak, dapat hidup tenteram, selalu harus "menyembunyikan diri" Yang sadar benar akan hal ini adalah Song Kwan. Sebetulnya Song Kwan. adalah seorang pendekar yang berwatak bijaksana dan baik. Akan tetapi pada dasarnya dia memang membenci orang Mancu sebagai penjajah dan kini dia melihat betapa bahayanya gadis ini yang telah mengenal mereka. Sekali rahasia itu dibocorkan, mereka berlima berikut keluarga mereka akan terancam bahaya maut. Gadis ini seorang musuh besar! Terlalu berbahaya dan tidak ada jalan lain kecuali bahwa gadis Mancu ini harus dibinasakan sebelum rahasia mereka tersiar!
"Bagus, kiranya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah Ngo-kiam-hiap (Lima Pendekar Pedang). Kalau begitu, engkau tentu tahu pula bahwa kami berlima amat mengandalkan Ngo-heng Kiamtin (Pasukan Pedang Lima Unsur). Nah, kalau engkau mampu mengalahkan kiamtin kami itu, anggap saja bahwa kami kalah dan engkau boleh melakukan apa saja terhadap diri kamil" kata Song Kwan. Empat orang adiknya maklum akan bahayanya gadis ini dan mereka semua setuju bahwa gadis ini harus dibinasakan. Akan tetapi, Lee Bun, orang termuda dari mereka yang kini telah memiliki kepandaian tertinggi karena selama dua puluh tahun dia bertapa memperdalam ilmu-ilmunya, terutama ilmu pedangnya sehingga dia berhasil menciptakan Hui-kiam Hoat-sut (Ilmu Sihir Pedang Terbang), merasa malu kalau harus membinasakan gadis muda belia itu dengan cara pengeroyokan. Maka dia lalu berkata. "Song-toako, untuk membunuh seekor tikus kecil tidak perlu menggunakan lima batang pedang besar.
Biarkan aku sendiri saja membereskan puteri Mancu yang sombong ini! Nona, beranikah engkau melawan aku?" Lee Bun sudah melangkah maju menghadapi gadis itu dan perlahan-lahan dia mencabut sebatang pedang hitam dari punggungnya "Bagus, kiranya masih ada juga ang-gauta 'Ciong-yang Ngo-tai-hiap yang menghargai kedudukannya dan malu untuk main keroyokan! Eh, muka tengkorak, katakan siapa namamu sebelum. engkau roboh di tanganku. Jangan mati tanpa nama!" kata Puteri Mayani dengan nada memandang rendah. "Hemm, bocah Mancu. Kenalilah namaku Lee Bun agar engkau tahu siapa nama orang yang menamatkan riwayat hidupmu sekarang!" "Lee Bun, sambutlah ini!" Puteri Mayani lalu menerjang maju. Gerakannya cepat bukan main dan pedang bengkoknya sudah menyambar ke arah perut si tinggi kurus bermuka tengkorak itu Lee Bun kaget juga. Gadis Mancu ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.
Terutama sekali memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Dia lalu menggerakkan pedang hitamnya menangkis. "Cringgg...!" Kini Puteri Mayani yang terkejut. Tangan kanannya tergetar hebat ketika pedang bengkoknya bertemu pedang hitam dan tahulah ia bahwa si muka tengkorak Lee Bun itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali! Iapun tidak berani main-main. Diloloskannya sabuk sutera merah dengan tangan kirinya. Kini ia memegang pedang bengkok dan sabuk sutera merah dan segera menyerang dengan ganas dan dahsyatnya. Bagaikan seorang akrobat saja, gadis itu memutar pedang dengan tangan kanan dan sabuk sutera merah dengan tangan kirinya. Tampak gulungan sinar putih dan merah, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dengan cepat. Lee Bun terpaksa harus memutar pedang hitamnya untuk melindungi diri. Namun, tetap saja dia menjadi kerepotan. Gerakan yang luar biasa cepatnya itu membuat Lee Bun sama sekali tidak sempat untuk balas menyerang dan dia dihujani serangan pedang dan sabuk yang keduanya amat berbahaya dan merupakan serangan maut!
Siauw Beng yang nonton bersama A Siong, mendekam di belakang batu besar, menjadi kagum sekali. "Ah, puteri ini sungguh lihai sekali." bisiknya. "Tapi tengkorak hidup itupun amat lihai." kata A Siong. "Hussh, apa engkau tidak ingat akan cerita ayah Ma Giok" Mereka adalah Ciong-yang Ngo-tai-hiap yang dulu menjadi teman-teman seperjuangan ayah!" "Ah, ya... aku ingat sekarang!" kata A Siong. "Kalau begitu kita harus membantu mereka!". "Hemm, membantu lima orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda" Memalukan sekalis A Siong!" "Habis bagaimana?" "Selama mereka bertanding satu lawan satu, kita tidak boleh mencampuri. Kalau ada yang terancam bahaya maut, aku akan mencegahnya." kata Siauw Beng yang menjadi semakin kagum ketika melihat betapa puteri Mancu itu kini semakin mendesak Lee Bun. Song Kwan dan adik-adiknya juga terkejut. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis Maneu itu sedemikian lihainya memainkan pedang dan sabuknya.
Tentu ia murid seorang yang amat sakti. Lee Bun tidak diberi kesempatan sama sekali, padahal ilmu pedang Lee Bun di saat ini sudah melebihi tingkat ilmu pedang Song Kwan yang berjuluk Dewa Pedang! "Hyaaattt...!" Terdengar Puteri Mayani berseru dengan suara melengking. Sinar pedangnya menyambar leher dan sinat sabuknya mengancam kaki. Lee Bun melompat ke belakang dan terus berguHngan menjauhkan diri. Ketika Mayani mengejar, tiba-tiba Lee Bun mengayun tangannya dan pedang hitam itu kini terbang terlepas daritangannya dan meluncur ke arah Mayani bagaikan sebatang anak panah! Mayan! mengelak ke samping, akan tetapi pedang hitam yang meluncur lewat itu tiba-tiba rgembalik dan menyerangnya lagi, seolah-olah pedang hitam itu hidup! Itulah kehebatan ilmu Hui-kiam Hoat-sut (Ilmu Sihir Pedang Terbang) yang menjadi ilmu andalan Lee Bun yang kini berdiri denggn pencurahan perhatian dan tenaga sakti untuk "mengendalikan" pedang hitamnya dari jarak jauh!
Mayani menjerit saking kagetnya melihat pedang itu membalik dan menyerangnya lagi. Ia cepat menangkis dengan pedang bengkoknya. "Tranggg...!" Bunga api berpijar dan pedang hitam itu terpental sedikit, akan tetapi lalu membalik dan menyerang lagi. Ke manapun Puteri Mayani mengelak dan melompat, menggunakan gin-kang yang amat hebat sehingga tubuhnya seperti beterbangan saja, pedang hitam itu terus mengejar secara bertubi-tubi gadis itu menjadi ngeri menghadapi pedang yang seolah hidup itu. Ia tampak kebingungan dan mengelak ke sana sini sehingga kurang waspada dan kakinya tersandung batu. Tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya terguling dan pedang hitam itu masih terus mengejarnya dari atas, mengarah lehernya. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba pedang hitam itu terpental seperti terpukul sesuatu dan begitu kuat pedang itu terpental sehingga jatuh ke atas tanah! Puteri Mayani melompat bangun.
Lee Bun terkejut. Sama sekali dia tidak mengira gadis Mancu itu demikian lihainya sehingga mampu memukul pedang terbangnya sehingga jatuh. Cepat dia mengambil pedangnya dan kini Song Kwan yang maklum bahwa gadis berbahaya itu harus dibinasakan, memberi isarat kepada adik-adiknya dan lima orang pendekar itu maju menghadapi Puteri Maya sambil membentuk barisan pedang Ngo-heng Kiam-tin yang dua puluh tahun lalu membuat nama mereka terkenal di dunia kangouw. Barisan pedang ini bisa bekerja sama seperti lima unsur yang saling menunjang. Unsur api, air, tanah, logam dan kayu. Puteri Mayani tadi juga tidak tahu mengapa pedang hitam itu berhenti mengejarnya. Hatinya merasa lega dan kini ia menghadapi lima orang itu sambil tersenyum mengejek. "Hemm, inikah Ngo-heng Kiam-tin yang kesohor itu" Lima orang kakek mengeroyok seorang dara remaja" Sungguh lucu! Akan tetapi jangan kira aku takut menghadapi kalian pendekar-pendekar pengecut Majulah!" katanya dengan gagah sambil memutar pedang dan sabuk sutera merahnya.
"Basmi orang Mancu penjajah busuk!" Teriak Song Kwan, mengingatkan adik-adiknya bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Mancu yang harus dibasmi seperti tekad mereka puluhan tahun yang lalu ketika mereka berjuang menentang pemerintah Mancu. yang menjajah tanah air mereka. Teriakan ini menghapus rasa rikuh bahwa mereka mengeroyok seorang gadis muda belia. Yang mereka keroyok bukan gadis muda belia, melainkan seorang Mancu yang berbahaya, bukan saja berbahaya bagi mereka berlima, melainkan berbahaya bagi bangsa clan tanah air! Ngo-heng Kiam-tin memang hebat bukan main. Lima orang ahli pedang yang amat mahir jtu kini bekerja sarna, saling tunjang saling bantu saling dukung, tentu saja hebat bukan main. Betapapun lihainya Puteri Mayani, ia adalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, belum ban yak pengalaman. Mana mungkin ia kuat menghadapi penyerangan lima orang yang bersatu dalam barisan pedang yang merupakan ilmu yang sudah teratur rapi dan amat baiknya itu.
Sebentar saja ia terdesak hebat dan ke pedang dari Ngo-heng Kiam-tin terpentat sehingga barisan itu menjadi kacau! Song Kwan dan adik-adiknya terkejut bukan main melihat dua orang pemuda yang mengamuk dan melindungi Puteri Mayani itu. Akan tetapi A Siong telah dipesan oleh Siauw Beng sehingga ketika menggerakkan tongkatnya, dia sama sekali tidak menyerang lima orang itu, melainkan semata-mata melindungi sang puteri dari ancaman pedang. Puteri Mayani sendiri juga heran dan terkejut, akan tetapi juga girang karena ada dua orang menyelamatkannya. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan muncullah belasan orang perajurit Maneu, dipimpin oleh seorang pemuda berpakaian seperti seorang bangsawan Mancu. Dia juga memegang sebatang pedang bengkok seperti yang dipergunakan Puteri Mayani, akan tetapi pedangnya lebih besar dan lebih panjang. "Adinda Mayani" pemuda bangsawan Mancu itu berseru.
Pemuda itu berwajah. tampan dan gagah dan ketika dia menyerbu, gerakannya juga ganas dan dahsyat sekali sehingga lima orang pendekar itu terdesak ke belakang. "Kanda Dorbai, siapa suruh kau membantu!" Puteri Mayani berseru, alisnya berkerut. Akan tetapi pemuda Mancu yang disebut Dorbai itu tidak perduli dan terus membantu Mayani mendesak lima orang pendekar. Belasan orang perajurit Mancu juga sudah menggunakan golok mereka untuk mengeroyok sehingga lima orang pendekar itu berada dalam keadaan sulit dan gawat. Melihat ini, Siauw Beng segera berkata kepada A Siong, "A Siong, mari kita bantu mereka!" Dan dia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya untuk memukul ke arah lengan pemuda bangsawan yang menggunakan pedang bengkoknya menyerang dengan dahsyat ke arah Song Kwan. Ketika itu Song Kwan sedang menghadapi pengeroyokan tiga orang perajurit, maka serangan dahsyat itu tidak sempat dihindarkannya.
Biarpun pukulan tongkat Siauw Beng membuat pemuda bangsawan itu membalikkan pedangnya, namun tetap saja ujung pedang itu sudah mencium pundak Song Kwan sehingga bajunya robek berikut kulit pundak sehingga berdarah. Akan tetapi, pemuda bangsawan itu terpaksa melompat jauh ke belakang karena tongkat di tangan Siauw Beng sudah meluncur dan mengancam ulu hatinya. Pemuda itu terkejut sekali karena dia merasa betapa tongkat yang tidak mengenai dadanya itu masih tetap mendatangkan angin yang membuat dadanya terasa panas. Dia maklum bahwa pemuda yang tadi dia lihat membantu Mayani dan kini tiba-tiba membalik dan membantu lima orang itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat hebat! Sementara itu, A Siong juga cepat memutar tongkatnya menghalangi Mayani yang telah berhasil melukai Bhe Kam. Ujung pedang puteri Mancu itu berhasil melukai paha kiri Bhe Kam sehingga berdarah.
Akan tetapi untung, selagi Mayani mendesak hendak mengirim tusukannya. Mayani terkejut dan melawan raksasa muda itu. Namun puteri Mancu itu menghadapi permainan toya yang amat kuat. Toya atau tongkat itu diputar sedemikian rupa sehingga membentuk payung yang menjadi perisai amat kuatnya. Ketika Mayani mencoba untuk menyerang dengan pedang dan sabuk sutera merahnya, kedua senjatanya itu terpental keras, terbentur gulungan sinar yang menjadi perisai dari tong kat A Siong! Kini Siauw Beng menahan serangan pemuda bangsawan yang bernama Dorbai itu, sedangkan A Siong menghadang Mayani. Dua belas orang perajurit itu kini bertempur mengeroyok lima orang pendekar yang mengamuk hebat walaupun Song Kwan sudah terluka pundaknya dan Bhe Kam terluka pahanya. Puteri Mayani juga menjadi bingung. Ketika tadi ia terancam Ngo-heng Kiamtin dan nyawanya terancam, keadaannya gawat sekali, muncul dua orang pemuda dusun itu yang menghalangi lima orang itu membunuhnya.
Mengapa kini mereka berdua berbalik dan membantu lima orang itu" "Hai! Gilakah engkau?" teriaknya kepada A Siong yang terus menangkisi semua serangannya sehingga kedua tangannya terasa pedas dan kedua senjatanya selalu terpental kembali. "Tadi engkau membantuku akan tetapi sekarang malah menentangku!" A Siong sendiri juga bingung. Dia hanya secara taat dan otomatis menurut permintaan Siauw Beng dan pikirannya yang agak lambat itu menjadi bingung juga akan perubahan yang ditentukan Siauw Beng ini. "Aku... aku membantu yang terancam bahaya maut!" katanya ngawur, akan tetapi juga membuktikan kejujurannya karena hanya itulah yang dia ketahui mengapa Siauw Beng kini berbalik membela lima orang itu. Siauw Beng mendapat kenyataan bahwa lawannya, pemuda bangsawan Mancu itu benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya. Ilmu pedang yang aneh gerakannya, terkadang menyambar-nyambar bagaikan seekor naga mengamuk dari angkasa, terkadang berubah menyerang dari bawah dengan gerakan lenggak-lenggok seperti serangan seekor ular yang berbahaya sekali.
Akan tetapi, Siauw Beng telah mewarisi ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat peninggalan ayahnya, dimatangkan pula oleh penggemblengan Pek In Sanjin yang sakti, maka dia tidak menjadi kerepotan menghadapi semua serangan aneh itu. Bukan hanyq. dia mampu menangkis semua itu, bahkan kalau dia mau, dia dapat membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Hanya saja, dia tidak ingin terlibat dalam perkelahian. Niatnya hanya menolong Ngo-kiam-hiap, bekas kawan-kawan seperjuangan ayah angkatnya yang tadi terdesak dan terancam bahaya maut. Seperti juga Siauw Beng, A Siong tidak mau menyerang Puteri Mayani, hanya membendung semua serangannya, membuat puteri itu tidak berdaya dan ingin menangis saking jengkelnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Ngo-kiam-hiap. Mereka mengamuk dan sudah ada lima orang perajurit terjungkal menjadi korban pedang mereka yang mengamuk ganas.
Melihat keadaan ini, pemuda bangsawan Mancu dan (Mayani maklum bahwa pihaknya akan kalah dan menderita rugi, bahkan mungkin terancam maut kalau perkelahian itu dilanjutkan. Maka, pemuda Mancu itu lalu membunyikan suitan tanda bahwa mereka semua harus mundur dan melarikan diri. Mayani juga maklum akan bahaya, maka iapun melompat ke belakang dan. melarikan diri bersama pemuda bangsawan Mancu itu, disusul tujuh orang perajurit yang menarik tangan lima orang teman mereka yang terluka. Siauw Beng dan A Siong tidak mengejar, apalagi menyerang, tadipun mereka berdua tidak pernah menyerang lawan. Lima orang Ngo-kiam-hiap juga tahu diri. Dua di antara mereka sudah terluka dan mereka tahu benar, tanpa adanya dua orang pemuda dusun itu, mungkin.sekarang mereka berlima telah tewas. Maka, mereka juga tidak melakukan pengejaran. Setelah membiarkan pundaknya diobati Ciang Hu Seng yang pandai ilmu pengobatan, yang juga mengobati luka di paha Bhe Kam.
Song Kwan lalu menghampiri Siauw Beng dan A Siong yang masih berdiri melihat ke arah larinya orang-orang Mancu tadi sambi! memegangi kayu yang tadi mereka pergunakan sebagai senjata. "Ji-wi eng-hiong (kedua orang pendekar) yang gagah perkasa! Kami berlima berhutang nyawa kepada ji-wi. Kalau tidak ada ji-wi yang membantu, tentu sekarang kami telah tewas di tangan orang-orang Mancu itu." kata Song Kwan sambil memberi hormat. "Bolehkah kami mengetahui nama ji-wi (kalian berdua) yang mulia?" "Hemm, kalau tidak ada mereka berdua, perempuan iblis Mancu tadi tentu telah dapat kita binasakanl" kata Lee Bun si muka tengkorak dengan suara mengandung penyesalan. Siauw Beng dapat merasakan ketidakpuasan yang terkandung dalam ucapan si muka tengkorak itu dan diapun merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang sehingga mereka berlima tidak sempat membunuh Puteri Mayani yang tadi sudah terkepung dan dalam keadaan gawat.
Maka diapun dengan sikap hormat menjura kepada mereka dan berkata, "Harap Ciong-yang Ngo-tai-hiap suka memberi maaf yang sebesarnya kepada kami berdua. Terus terang saja, ketika kami tadi. melihat seorang gadis remaja ngo-wi keroyok dan, ia terancam bahaya maut, kami berdua tidak dapat membiarkannya saja dan terpaksa kami menghalangi ngowi (anda berlima) melakukan pembunuhan terhadap seorang gadis muda." "Heh, orang muda Apakah engkau tidak tahu bahwa ia itu seorang Puteri Mancu yang menjajah bangsa kita dan menjadi musuh bersama kita?" bentak Song Kui yang juga merasa penasaran karena kalau tidak ada dua orang muda dusun itu yang menghalang, tentu puteri itu sudah dapat dibunuh dan merekapun tidak menjadi terdesak ketika pemuda Mancu dan pasukannya datang menyerbu. "Paman sekalian, ada dua hal penting yang membuat terpaksa kami tadi menghalangi ngo-wi membunuh gadis itu.
Pertama, sudah menjadi kewajiban kami untukmenolong siapa saja yang terancam bahaya dan gadis itu kami pandang sebagai seorang manusia, bukan sebagai gadis bangsa ini atau itu dan yang menjadi musuh bangsa adalah pemerintah Mancu, bukan gadis itu. Kiranya bukan ia yang mempunyai prakarsa menyerang dan menjajah bangsa kita. Dan kedua, kami merasa tidak pantas bagi orang-orang seperti Ciong-yang Ngo-tai-hiap untuk mengeroyok dan membunuh seorang lawan yang hanya merupakan seorang gadis remaja. Hal itu akan memalukan sekali dan menjatuhkan nama dan kehormatan para pendekar sakti seperti paman berlima." Lima orang pendekar itu saling pandang dan Song Kwan memberi isarat dengan tangannya agar empat orang adiknya tidak berbantahan lagi. Dia memandang kepada Siauw Beng lalu bertanya. "Pendapatmu itu masuk akal, orang muda. Akan. tetapi kenapa engkau kemudian berbalik dan membantu kami ketika kami diserang oleh pemuda dan gadis Mancu bersama para pengawal mereka itu?"
"Karena kami melihat bahwa keadaannya berbalik. Ngo-wi yang terancam bahaya dan tentu saja kami berdua tidak mungkin membiarkan Ciong-yang Ngotai-hiap yang merupakan orang-orang golongan sendiri terancam bahaya." "Golongan sendiri" Apa maksudmu" Siapakah namamu, orang muda?" Song Kwan mendesak. "Nama saya Lauw Beng dan saudara ini bernama A Siong." "She Lauw" Engkau she Lauw?"" Song Kwan bertanya, alisnya berkerut. "Benar, paman. Dan saya mengenal nama-nama paman berlima. Paman Song Kwan, Song Kui, Ciang Hu Seng, Bhe Kam dan paman Lee Bun, bukan?" "Hei! Bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Song Kwan dan yang lain-lain juga terheran dan ingin tahu sekali. "Paman, yang memberitahu kepada kami adalah ayah angkat saya Ma Giok dan guru say a adalah mendiang Pek In San-jin." Lima orang itu terkejut. "Dan kau... kau ini... she Lauw..." Song Kwan tidak melanjutkan kata-katanya, meragu. "Ayah kandung saya adalah mendiang Lauw Heng San, dan ibu kandung saya adalah mendiang Bu Kui Siang." "Ahh...!!" Seruan ini keluar dari mulut lima orang pendekar itu.
"Su-siok, apa paman tidak melihat jelas siapa mereka ini" Lihat, mereka ini orang-orang begini sederhana, bukan pejabat, bukan bangsawan bukan hartawan, bahkan saudara ini buntung lengan kirinya, dan paman masih tega untuk membajaknya" Ini keterlaluan namanya!." Orang bermuka hitam yang ternyata adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok tersenyum. "Ai Yin, engkau tahu apa" Orang-orang ini menyimpan banyak emas dan perak. Karena itulah aku menghadang mereka! Kalau engkau berpihak kepada mereka, engkau hanya akan membuat mereka ini mengadalkan perlindunganmu dan bersembunyi di belakangmu!" Sejak mendengar bahwa Hui-kiam Lo-mo sudah meninggal dunia dan orang bermuka hitam ini bukan lain adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok, A Siong sudah mengepal tinju dan menyentuh lengan Siauw Beng. Akan tetapi pemuda buntung ini masih bersabar. Jadi inikah orang yang dahulu bersama mendiang Hui-kiam Lo-mo telah menyerang Lam-liong (Naga selatan) Ma Giok pada saat ibunya melahirkan dia"
Biarpun tidak secara langsung, orang bermuka hitam ini yang membuat ibunya ketakutan dan kaget, sehingga ibunya meninggal ketika melahirkan dia. "Nona, terima kasih atas pembelaanmu!" kata Siauw Beng kepada gadis itu sambil mengangkat tangan kanannya, di miringkan ke depan dada sebagai tanda penghormatan. "Akan tetapi biarkan kami menghadapi sendiri Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak buahnya. Kami tidak takut menghadapi mereka, nona". "Nah, Ai Yin, kalau yang kau bela tidak mau, apakah engkah berkukuh hendak membela mereka" Minggirlah, biar kami berurusan dengan bocah sombong ini!" kata Can Ok. Gadis yang di panggil Ai Yin itu memandang Siauw Beng dengan alis berkerut. "Benar-benar engkau berani melawan su-siok Toat-beng Siang-kiam" Dia ini datuk Sungai Huang-ho dan lihai sekali kenapa kalian berdua tidak cepat pergi saja dari sini dan aku yang akan melarang mereka mengganggu kalian!."
"Jangan khawatir, Nona. Kami akan berusaha sekuat tenaga". "Akan tetapi lenganmu... "Gadis itu memandang kearah lengan baju sebelah kiri Siauw Beng yang tergantung kosong bagian bawahnya. "Aku tidak takut, Nona. Terima kasih atas kebaikanmu dan maafkan kalau kami menolak pembelaanmu". Gadis itu mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu ia mendengus dan berkata, "Kalau engkau mati jangan bilang bahwa aku tidak membelamu dan membantu paman guruku yang menyeleweng!" Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kepungan. "He, bocah sombong! Berani kau melawan aku?" Can Ok membentak dan memandang ringan. Dia adalah seorang tokoh besar, menggantikan mendiang gurunya, menjadi datuk Sungai Huangho! Terkenal sebagai seorang ahli pedang sehingga mendapat julukan Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), maka tentu saja dia memandang ringan walaupun tadi dua orang pemuda itu telah memperlihatkan kepandaian merobohkan anak buahnya.
"Katakan dulu siapa nama kalian agar jangan menjadi roh penasaran karena sebentar lagi kalian berdua akan mampus!". A Siong mendahului sutenya menjawab dengan suaranya yang lantang. "Buka telingamu lebar-lebar, kepala bajak sungai! Aku bernama A Siong dan suteku ini yang di kenal sebagai Lui-kong-ciang (Si Tangan Halilintar)!." Mendengar ini Siauw Beng tersenyum saja karena setiap kali memberi pertolongan kepada orang-orang tertindas dan menentang kejahatan, suhengnya itu selalu memperkenalkan sebutan Lui-kong-ciang itu untuknya. Dia membiarkan saja karena hal itu sesuai dengan pesan ayahnya, Ma Giok, dalam usahanya untuk membersihkan nama ayah kandungnya yang dulu juga di sebut Si Tangan Halilintar. Karena nama itu dengan sengaja "diobral "oleh A Siong, maka sebentar saja julukan Lui-kong-ciang menjadi terkenal sebagai pendekar berlengan satu yang baru muncul. Can Ok belum pernah mendengar julukan Si Tangan Halilintar itu, maka dia tertawa mengejek.
Suhengnya berwajah dan bersikap seperti orang bodoh, dan sutenya itu hanya seorang pemuda yang bertangan satu, sama sekali tidak perlu di takuti. "Hemm, bocah-bocah kemarin sore macam kalian berani menentangku! Majulah kalian berdua. Sepasang pedangku ini sudah haus untuk minum darah kalian!." Dia menggerakkan kedua tangan ke belakang dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika sepasang pedang yang berada di kedua tangannya itu tertimpa sinar matahari. Asiong tertawa. "ha-ha-ha, kami bukan orang-orang yang suka melakukan pengeroyokan seperti pengecut. Engkaulah yang pasti akan mengandalkan pengeroyokan!." Wajah Can Ok semakin hitam dan matanya mendelik. Baru sekarang tokoh ini tampak galak menyeramkan, padahal tadi ketika menjadi penjual perahu, tampak lemah lembut. "Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan! Kalau begitu, hayo engkau sendiri yang maju melawanku, satu lawan satu. Yang lain menjadi saksi!."
"He-he-he, siapa percaya saksi seperti anak buahmu ini" Kalian pasti akan bertindak curang". Kata A Siong, sengaja memanaskan hati karena biarpun dia tidak cerdik, namun dia tahu benar bahwa kemarahan membuat seorang ahli silat kurang waspada dalam sebuah pertandingan silat. "Biar aku yang menjadi saksi!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan ternyata yang berteriak itu adalah gadis tadi yang kini sudah duduk di atas sebuah dahan pohon dengan kedua kakinya ongkang-ongkang (tergantung), lagaknya seperti anak kecil yang sedang menonton pertunjukan menarik yang akan dilihatnya di bawah pohon.! "Bagus sekali kalau engkau suka menjadi saksi, Nona!" kata A Siong. Akan tetapi sebelum dia melayani Can Ok bertanding, Siauw Beng yang dapat menduga bahwa orang ini cukup lihai, segera melangkah maju. "Ha-ha, baiklah, Sute. Kalau kau tidak dapat mengalahkannya, barulah aku yang maju!" katanya, sengaja menyombongkan diri untuk membikin gentar hati lawan.
"Aku akan menjaga agar jangan ada yang main curang!." Can Ok menghadapi Siauw Beng dengan senyum mengejek. Dia melintangkan kedua pedangnya di depan dada dengan bersilang, membentuk gunting, lalu berseru, suaranya mengejek. "Si Tangan Halilintar, coba keluarkan tangan ampuhmu itu dan bersiaplah untuk mati!" Dia sudah siap untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gadis itu nyaring. "Tahan! Sebagai saksi aku merasa tidak adil kalau yang seorang menggunakan sepasang pedang, padahal lawannya hanya bertangan satu dan tidak bersenjata! Eh, Tangan Halilintar, kalau kau tidak mempunyai senjata, boleh kau pinjam pedangku ini, agar pertandingan menjadi adil. Kalau tidak adil begini, lebih baik batalkan saja!." Mendengar ini diam-diam Siauw Beng merasa kagum kepada gadis itu. Boleh jadi gadis itu berandalan dan liar, sikapnya kasar, bahkan lebih ugal-ugalan dibandingkan Puteri Mayani.
Mendengar ucapan gadis itu, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dan Can Ok terkejut karena dia tidak dapat mengikuti gerakan tangan kanan itu, tahu-tahu tangan itu memegang gagang sebatang pedang tipis yang mengeluarkan suara mengaung ketika tiba-tiba berkelebat menjadi sinar kilat itu. "Bagus, kiranya engkau memiliki sebatang pedang yang amat baik, buntung.! Nah, sekarang kalian berdua boleh mulai bertanding!" Gadis itu berseru girang. "Lihat pedang!" Can Ok membentak dan dua sinar pedang berkelebat menyambar-nyambar tubuh Siauw Beng. Akan tetapi dengan lincah pemuda ini bergerak cepat, tubuhnya bagaikan baying-bayang berkelebat di antara kedua sinar pedang itu. Tentu saja Can Ok terkejut dan dari gerakan yang amat ringan itu saja dia dapat menilai bahwa pemuda buntung yang berjuluk si Tangan Halilintar ini benar-benar lihai. Maka dia bersikap hati-hati dan mempercepat gerakan sepasang pedang sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya. datuk Sungai Huangho ini memang lihai sekali mempergunakan sepasang pedangnya.
Gerakannya kini amat cepat. Sejak dia kalah oleh Ma Giok sekitar dua puluh tahun yang lalu, dia telah memperdalam ilmu pedangnya, di latih gurunya, Hui-kiam Lo-mo yang kini telah meninggal sehingga kini dia jauh lebih lihai daripada dahulu. Karena serangan sepasang pedang itu menjadi semakin ganas dan berbahaya, Siauw Beng terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga saktinya pula. "Haiiiitttt... trakk-trakkk"! "Can Ok melompat ke belakang dan matanya terbelalak memandang kedua batang pedangnya yang telah patah ketika bertemu sinar pedang kilat lawan sehingga yang tinggal di tangannya hanya gagang dan sepotong pedang pendek sekali! Sama sekali tidak di sangkanya bahwa hanya dalam pertandingan belasan jurus saja, padahal pemuda itu sama sekali belum balas menyerang, sepasang pedangnya sudah patah-patah! Tentu pokiam (Pedang pusaka) si lengan buntung itu luar biasa ampuhnya, pikirnya.
Kalau bertanding tangan kosong tentu dia akan lebih unggul, mengingat lawannya hanya bertangan satu. "Orang muda,pedangmu amat ampuh sehingga sepasang pedangku patah. Beranikah engkau melanjutkan pertandingan dengan tanngan kosong"." "Wah, tidak adil!" kembali gadis itu berseru setelah tadi bertepuk tangan memuji melihat betapa sepasang pedang paman gurunya patah oleh tangkisan pedang Siauw Beng. "Kalau mau adil, tangan susiok yang kiri harus di ikat di pinggang dan tidak boleh di gerakkan!." Can Ok tidak menjawab, hanya memandang Siauw Beng dengan mata mendelik. "Lui-kong-ciang, bagaimana" Beranikah engkau bertanding dengan tangan kosong melawan aku"." Siauw Beng melibatkan lagi pedangnya di pinggang. Biarpun tangannya hanya sebelah, namun dia sudah terlatih dan dapat melibatkan pedang itu. Mula-mula gagang pedang yang di jepit di pinggang lalu ujung pedang di tarik dengan tangan kanan, dililitkan pinggang dan ujung pedang itu masuk ke sebuah lubang yang berada di belakang gagang pedang.
Setelah melibatkan pedang Lui-kong-kiam, barulah dia menjawab. "Tentu saja aku berani. Silahkan maju menyerang". "Hyaaaaaahhh"!!" Can Ok menyerang dengan ganasnya. Gerakan kedua tangannya mendatangkan angina dahsyat. Namun dengan keringanan tubuhnya Siauw Beng dapat mengelak dengan amat mudah. Can Ok menjadi semakin penasaran. Kini kedua tangan dan kedua kakinya menyerang sedemikian gencarnya sehingga mau tidak mau Siauw Beng harus menghindarkan diri dengan tangkisan karena kalau hanya mengelak terus, hal itu dapat membahayakan dirinya. Ketika kaki kanan lawan menyambar kea rah lambung kirinya, lengan bajunya berkelebat menangkis. "Plaakkk!" Can Ok terkejut bukan main. Biarpun lengan baju itu bagian ujungnya kosong karena lengan Siauw Beng hanya sebatas siku, namun lengan baju itu mengandung tenaga yang hebat sehingga kakinya terpental membalik dan terasa panas dan nyeri!
Can Ok merasa terkejut dan penasaran. Dia mengeluarkan semua ilmu silatnya dan mengerahkan selurruh tenaganya. Namun semua serangannya sia-sia belaka. Kalau tidak di elakkan tentu di tangkis pemuda buntung itu. Tiba-tiba kedua tangan Can Ok bergerak di pinggangnya dan begitu tangannya bergerak ke depan, dua sinar kilat menyambar kea rah tubuh Siauw Beng. "Curang!!" terdengar gadis itu berteriak. Akan tetapi tentu saja Siauw Beng tidak mudah di serang secara gelap dengan dua buah pisau terbang itu. Dia melompat ke samping dan menangkis dengan tangan kanannya. Sebatang pisau terbang meluncur lewat dan yang sebuah lagi dipukulnya runtuh. Can Ok sudah marah sekali, menubruk maju hendak menggunakan kesempatan selagi Siauw Beng menghindar dari sambaran dua batang pisau terbangnya, dia menyerang dengan ganas sekali. Siauw Beng miringkan tubuhnya dan ujung lengan baju kirinya menyambar dan membelit lengan kanan Can Ok.
Kemudian dia menarik dengan sentakan sehingga tubuh Can Ok tidak mampu mempertahankan diri dan begitu dia terhuyung ke depan, Siauw Beng menyambar tengkuknya, tangan kanannya menangkap leher baju di bagian tengkuk dan mengerahkan tenaga, tubuh Can Ok sudah terlempar, melayang ke arah sungai. "Byyuurrr".!!" Air sungai muncrat ketika tertimpa tubuh Can Ok. Tujuh belas anak buah Can Ok yang tadinya menonton, kini mencabut senjata golok mereka yang menyerang kea rah Siauw Beng. Akan tetapi A Siong mengeluarkan teriakan marah dan menyambut mereka dengan amukannya. "Suheng, jangan membunuh orang!" kata Siauw Beng dan dia menjauhkan diri, membiarkan A Siong menghadapi pengeroyokan mereka karena dia maklum bahwa A Siong akan mampu mengalahkan mereka semua. "Curang! Tidak tahu malu!" terdengar teriakan dan tubuh gadis itu melayang dari atas pohon lalu iapun mengamuk dan membantu A Siong.!
Siauw Beng tersenyum menyaksikan sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi belasan orang bersenjata golok dengan tangan kosong. Akan tetapi tamparan dan tendangan kaki mereka membuat para pengeroyok terpelanting ke sungai! Pertempuran itu tidak memakan waktu lama dan seluruh anak buah Can Ok sudah terlempar ke sungai semua. Mereka berenang ke tepi yang agak jauh dari situ lalu melarikan diri terlebih dulu.! Setelah semua lawan pergi, Siauw Beng menghampiri gadis itu dan memberi hormat dengan tangan kanan depan dada sambil membungkuk. "Nona, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Nona yang telah membantu kami". "Hemmm, aku tidak membantu kalian. Aku hanya tidak suka melihat sikap paman guruku, maka aku menentang dia dan anak buahnya!" Lalu ia memandang kepada A Siong kemudian kepada Siauw Beng lagi.
"Aku telah melihat gerakan kalian berdua dan aku merasa heran sekali, mengapa kepandaian sang sute yang buntung lengan kirinya lebih lihai daripada suhengnya"." "Ha-ha, tidak usah heran, Nona. Sute ku ini berjuluk si Tangan Halilintar, sedangkan aku tidak mempunyai julukan apapun". "Aku juga merasa heran, Nona. Mengapa seorang keponakan murid berani menentang paman gurunya dan juga memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada kepandaian paman gurunya" Bukankah ini lebih aneh lagi?" kata Siauw Beng. "Tangan Halilintar, ku lihat ilmu silat tangan kosong dan silat pedangmu hebat sekali. Aku jadi ingin mencobanya". "Ah, Nona. Aku tidak ingin berkelahi denganmu!." "Siapa yang mau berkelahi" Aku hanya ingin menguji sampai dimana hebatnya ilmu silatmu sehingga engkau mendapat julukan Si Tangan Halilintar. Nah, bersiaplah, Tangan Halilintar!." Gadis itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya berjungkit, kedua tangannya dikembangkan dengan jari tangan terbuka menunjuk ke atas.
"Sudahlah, Nona. Biar aku mengaku kalah padamu". "Tidak bisa! Kalau engkau mengaku kalah sebelum bertanding, berarti engkau pengecut!." "Sute, nona ini hanya ingin menguji kepandaian, mengapa engkau menolaknya" Tanpa mengenal ilmu masing-masing persahabatan tidak akan menjadi akrab dan dapat saling mencurigai". Mendengar ucapan A Siong itu, Siauw Beng menghela napas panjang. Sebetulnya dia tidak ingin bertanding dengan gadis yang telah membelanya itu. Akan tetapi gadis itu memaksanya, bahkan kini A Siong juga ikut membujuknya. Malah dia akan di anggap pengecut kalau mengaku kalah sebelum bertanding, dia akan melayani dan sekaligus mengobati ketinggian hati gadis liar ini, gadis yang bersikap begitu berani terhadap paman gurunya sendiri yang ugal-ugalan namun agaknya memiliki ilmu kepandian yang tinggi. "Baiklah kalau engkau memaksa. Nah, maju dan seranglah!."
Melihat Siauw Beng tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri dengan santai, gadis itu memberi peringatan dengan seruang nyaring. "Lihat seranganku!" Ia lalu menyerang maju. Dari kuda-kuda dengan jurus Pek-ho-liang-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) ia lalu bergerak maju dan kedua tangannya dengan cepat dan bergantian menotok kea rah jalan darah di tujuh jalan darah terpenting yang terdapat di bagian tubuh Siauw Beng. Ia menyerang dengan jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Gerakannya ringan dan cepat sekali, juga dari angina pukulan yang menyambar mendahului jari-jari mungil yang menotok, Siauw Beng tahu bahwa gadis ini memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan Can Ok tadi. Dia cepat mengelak ke kanan kiri, kecepatan gadis itu sehingga totokan bertubi-tubi itu tak pernah mengenai sasaran. Setelah mengelak terus dan melihat betapa gadis itu mengejarnya dan bahkan mempercepat serangannya yang bertubi-tubi, Siauw Beng menangkis dengan ujung bajunya yang kosong.
"Wuuuttt... plak-plak-plak!" Tiga kali totokan gadis itu tertangkis ujung lengan baju dan gadis itu merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat oleh lengan baju yang lemas itu. Ia kagum sekali, maklum bahwa orang yang sudah mampu menyalurkan tenaga ke ujung kain lengan baju itu tentu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Timbul kegembiraan di hati gadis itu. Tadi ia sudah menduga bahwa pemuda lengan buntung yang memakai julukan Si Tangan Halilintar ini pasti seorang yang lihai sekali dan ternyata benar. Ayahnya pernah mengingatkannya bahwa kalau ia berhadapan dengan seorang wanita atau pria tua, seorang pengemis, seorang penderita cacat atau seorang pendeta, ia harus bersikap hati-hati. Orang-orang yang tampaknya lemah tadk berdaya itu, kalau sudah menguasai ilmu silat, biasanya amat berbahaya. Orang biasanya condong memandang rendah kepada merak dan karena memandang rendah inilah orang dapat roboh oleh orang-orang yang pada umumnya lemah tak berdaya ini.
Setelah merasa yakin bahwa Si Tangan Halilintar itu benar-benar lihai, gadis itu bersemangat dan kini ia mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menyerang Siauw Beng. Melihat perubahan ini dan merasakan betapa serangan gadis itu, Siauw Beng membela diri dan selain mengelak dan menangkis, dia juga mulai membalas dengan serangan tamparan dan totokan dengan ujung lengan buju kiri, walaupun dia berhati-hati agar jangan sampai kesalahan memukul atau menotok bagian tubuh yang berbahaya. Kedua orang itu berkelebatan sehingga tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang saling serang. Demikian hebatnya gerakan mereka sehingga daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang tertiup angin pukulan mereka.! Melihat serunya pertandingan itu, A Siong berulang kali bertepuk tangan sambil berseru memuji, "Bagus, bagus, hebat!." Mendengar pujian ini, gadis itu menyerang semakin gencar dan Siauw Beng juga mengimbanginya.
Tiba-tiba gadis itu mengubah gerakan silatnya dan berseru nyaring, "sambut seranganku ini!." Siauw Beng terkejut karena gadis itu kini berkelebat dan membuat gerakan berputar-putar. Gerakan kedua lengannya mengeluarkan angina berpusar seperti angina rebut. Itulah ilmu silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).! "Hyaaattt"!!" Gadis itu menyerang dengan ganas sekali dengan jurus Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun). Kedua tangan itu menyambar-nyambar dan tubuhnya berkelebat, menyerang Siauw beng dari delapan penjuru! Siauw beng yang bagaimanapun juga tidak mau kalah, mendorong-dorongkan tangan kanannya. Dari telapak tangan itu keluar hawa dorongan yang amat kuat. Pernah gadis itu terserempet dorongan sehingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya melompat ke atas, lalu dari atas ia turun dengan kedua kaki terlebih dulu, menginjak kearah kepala pemuda itu!
Siauw Beng cepat mengelak lalu menyambut sebelah kaki lawan dan mendorongnya ke atas sehingga tubuh gadis itu melayang ke atas sampai melebihi pohon tingginya! Akan tetapi ketika ia meluncur turun, tubuhnya seperti melayang dan ia hinggap di atas dahan pohon seperti seekor burung saja. A Siong bertepuk tangan. "Bagus sekali! Kalian berdua memang lihai sekali!" Gadis itu melayang turun ke depan Siauw Beng dan tersenyum. Manis sekali.! "Julukanmu Si Tangan Halilintar ternyata bukan omong kosong! Ciang-hwat-mu (Ilmu Tangan Kosongmu) memang hebat, aku telah mengujinya dan aku mengaku kalah. Akan tetapi aku ingin sekali menguji Kiam-hwat (ilmu pedang) yang tadi telah engkau perlihatkan ketika melawan susiok Can Ok!." Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya yang berkilauan. "Nah, cabutlah pedangmu, Tangan Halilintar!." "Nona, kiranya sudah cukup. Mengapa kita harus bertanding lagi" Aku khawatir akan merusak po-kiam (pedang pusaka) yang kau pegang itu.
Kalau pedangmu sampai rusak, engkau akan merasa kecewa dan aku akan merasa menyesal sekali". "Hemm, pedangku ini adalah Liong-cu-kiam ( Pedang Naga ), tidak mungkin akan terbabat putus oleh pedangmu. Mungkin pedangmu yang akan patah oleh pedangku". Kalau begitu lebih berbahaya lagi! Aku tidak ingin pertandingan persahabatan yang main-main ini mengakibatkan pedang kita rusak". Tiba-tiba A Siong menghampiri mereka sambil membawa dua potong ranting kayu sebesar lengan dan panjangnya seukuran pedang. "Ha-ha, kalian tidak perlu menggunakan pedang pusaka masing-masing. Untuk mengukur ilmu pedang masing-masing, cukup menggunakan ini sebagai pengganti pedang!." Siauw Beng dan gadis itu agaknya setuju dan mereka berdua menerima sepotong kayu ranting dari tangan A Siong. Gadis itu sudah menyimpan kembali pedangnya. "Bagus, usul ini baik sekali! Nah, Tangan Halilintar, coba perlihatkan ilmu pedangmu!."
"Engkau yang ingin menguji ilmu pedang, nona, maka engkaulah yang harus membuka serangan". "Hemm, awas, lihat serangan pedangku!" Gadis itu membentak dan iapun sudah menggerakkan rantingnya menyerang dengan tusukan kea rah mata Siauw Beng. Itulah jurus yang amat berbahaya bagi lawan! Siauw Beng membuat gerakan ke samping untuk mengelak, akan tetapi ranting di tangan gadis itu, begitu tusukannya gagal, sudah di lanjutkan dengan gerakan membabat dari samping kea rah leher lawan. Siauw Beng kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis ini memang hebat dan dahsyat sekali. Tenaganya kuat dan gerakannya begitu cepat bagaikan angina sehingga dia terpaksa menangkis dengan rantingnya. "Tukk!" Dua ranting bertemu dan keduanya mundur dua langkah, lalu gadis itu menyerang lagi. Agaknya karena ia yakin akan ketangguhan lawan, maka kini ia tidak mencoba-coba lagi, lalu langsung saja mengeluarkan ilmu pedang intinya, yaitu Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti).
Pedangnya bergerak-gerak bergelombang seperti seekor naga melayang-layang dan mengamuk. Pedang itu, pada saat itu digantikan ranting, menusuk, membabat, membacok atau berputar menyambar-nyambar, masih dibantu dengan gerakan tangan kiri menampar dan dua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan-tendangan maut! Benar-benar seorang gadis ahli pedang yang hebat, pikir Siauw Beng. Gadis ini tentu saja menjadi seorang ahli pedang yang hebat karena perguruannya juga terkenal dengan ilmu pedangnya. Buktinya Can Ok itu berjuluk Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) dan kalau tadi sepasang pedang itu tidak patah oleh Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) di tangannya, tentu dia tidak dapat memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Menurut ayah atau gurunya, Ma Giok, Can Ok adalah murid datuk Sungai Huangho yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang).
Kalau Paman gurunya dan kakek gurunya semua ahli pedang, tentu saja gadis ini pun mahir bermain pedang. Akan tetapi bagaimana ilmu pedang gadis ini jauh lebih lihai dibandingkan ilmu pedang yang dimainkan Can Ok tadi" Akan tetapi betapa hebatpun permainan "pedang "gadis itu, Siauw Beng yang sudah menguasai ilmu pedang ajaib Lui-kong Sin-kiam, tentu saja tidak merasa terdesak. Dia juga segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari Lui-kong Sin-kiam. Begitu ia mainkan ilmu pedang ini dan membalas, gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Semua serangannya membalik dan ranting di tangan pemuda itu berubah menjadi sinar kilat berwarna kehijauan seperti halilintar menyambar-nyambar! Juga semua serangan bantuan dengan tangan kiri dan kedua kakinya, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh sasaran, bahkan kalau ujung lengan baju kiri pemuda itu menangkis, dara ini merasa tangan atau kakinya yang tertangkis amat panas dan nyeri.
"Wuutttt"!" Kini ranting di tangan Siauw Beng mendesak dan berputar-putar. Ketika gadis ini menangkis, dia mengerahkan sin-kang menyambut tangkisan itu. "Wuuuttt" Kreekkk!" Ranting di tangan gadis itu patah menjadi dua dan ia melompat ke belakang, wajahnya menjadi pucat akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah berdiri tegak menghadapi Siauw Beng dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira.! "Hebat sekali ilmu pedangmu. Senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Tangan Halilintar!." "Nona, kamilah yang beruntung sekali dapat berkenalan dengan nona yang gagah perkasa dan telah membantu kami menghadapi gerombolan bajak tadi", kata A Siong sambil memandang wajah yang manis itu. "Nona, harap nona jangan menyebut aku Tangan Halilintar. Aku adalah seorang biasa saja dan namaku Lauw Beng dengan sebutan Siauw Beng (Beng Kecil) dan ini adalah suhengku A Siong".
"Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebutmu Siauw Beng dan A Siong", kata gadis itu yang agaknya tidak peduli bahwa dua orang pemuda itu, terutama sekali A Siong, jauh lebih tua daripadanya. "Dan aku sendiri bernama Wong Ai Yin". Gadis itu lalu duduk di atas sebuah dari empat perahu yang berada di situ, yaitu sebuah perahu kecil milik Siauw Beng dan tiga buah milik para baja sungai tadi. "Dan jangan kalian menganggap bahwa mereka tadi gerombolan bajak atau perampok. Sesungguhnya mereka adalah segolongan pejuang yang menentang segolongan pejuang yang menentang pemerintah Mancu yang menguasai tanah air kita". Siauw Beng teringat akan cerita ayah angkatnya. Ayahnya juga menceritakan bahwa Hui-kiam Lo-mo dan muridnya Can Ok, adalah orang-orang golongan hitam, akan tetapi mereka itu pembenci Kerajaan Mancu. Bahkan dulu mereka menyerang Lam-liong Ma Giok karena mereka menuduh Ma Giok pengkhianat karena menolong putera pembesar Mancu yang di ganggu perampok.
Dia menghela napas panjang. Benarkah orang sesat dapat menjadi pejuang, dapat menjadi pahlawan" Ataukah mereka itu berjuang dengan pamrih untuk menguntungkan diri pribadi" Orang sesat selalu bertindak dengan dasar pamrih untuk keuntungan sendiri, maka yang mereka namakan berjuangan itu sesungguhnya hanya untuk menutupi kejahatan mereka. "Nona Wong?". "Husshh!" Gadis itu memotong ucapan Siauw Beng. "Kalau aku menyebut kalian Siauw Beng dan A Siong, mengapa engkau menyebut aku pakai nona-nonaan segala" Namaku Wong Ai Yin dan sebutanku Ai Yin begitu saja, tanpa nona-nonaan!." "Baiklah, Ai Yin. Terus terang saja, kami merasa heran sekali melihat keadaanmu. Bagaimana engkau menyebut Toat-beng Siang-kiam Can Ok tadi sebagai paman gurumu" Dan kalau dia paman gurumu, mengapa aku mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong maupun pedangmu jauh lebih lihai daripada dia"."
(Lanjut ke Jilid 10) Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10 Gadis itu memandang wajah Siauw Beng dengan sinar mata mencorong, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. "Siauw Beng, sudah sepatutnya kalau laki-laki memperkenalkan diri lebih dulu kepada perempuan. Karena itu, sebelum aku menceritakan keadaanku, engkau harus lebih dulu menceritakan tentang kalian, darimana kalian datang dan hendak pergi kemana, lalu mengapa kalian sampai bentrok dengan paman guru Can Ok dan anak buahnya di sini". Siauw Beng dan A Siong saling berpandangan. Ai Yin berkata, "Hayo, duduklah kalian, tidak enak bercakap-cakap sambil berdiri seperti anak wayang!." Siauw Beng dan A Siong tersenyum. Gadis ini lucu dan ramah. Mereka lalu duduk dalam perahu, berhadapan dengan Ai Yin dan Siauw Beng menceritakan keadaannya secara singkat. "Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, mereka sudah meninggal dunia ketika aku masih" Bayi, dan?". "Aduh, kasihan sekali kau, Siauw Beng", Ai Yin memotong.
"Sejak bayi aku di pelihara ayah angkatku, juga guruku, dan aku menjadi muridnya bersama suhengku A Siong ini. Dia jua sudah yatim piatu. Ayah angkatku itu adalah seorang pejuang pula, mungkin engkau sudah mendengar namanya, Ai Yin". "Siapa sih namanya"." "Namanya Ma Giok dan sekarang tinggal di Thai-san.?"Aih, kau maksudkan Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu"." "Benar, kau kenal dia"." "Aku pernah mendengar namanya di puji-puji ayahku, akan tetapi susiok Can Ok pernah menceritakan bahwa Lam-liong mengkhianati perjuangan dan membela pembesar Mancu". Dari ucapannya ini saja, tahulah Siauw Beng bahwa gadis ini jujur dan terbuka, menceritakan apa adanya tanpa khawatir menyinggung perasaan orang. "Aku tidak heran mendengar Can Ok bercerita seperti itu kepadamu, Ai Yin. Ketika itu, dua puluh tahun lebih yang lalu, guruku itu melihat rumah seorang pembesar Mancu di serbu segerombolan perampok yang selain merampok juga membunuh orang dan menculik wanita.
Putera pembesar itu yang masih pengantin baru di culik oleh segerombolan perampok dan pengantin wanitanya, seorang perempuan Han, akan di perkosa di depan suaminya, Melihat ini, suhu turun tangan menyelamatkan mereka dan mengusir para perampok, walaupun gerombolan itu mengaku sebagai pejuang yang membenci Kerajaan Mancu. Nah, kalau engkau yang melihat peristiwa seperti itu terjadi di depanmu, apakah engkau tidak akan menolong mereka dan menentang para gerombolan itu"." Ai Yin mengangguk-angguk. "Sudah ku duga demikian, maka akupun tidak percaya kepada cerita susiok Can Ok. Buktinya, dia tadi juga bermaksud buruk kepada kalian. Aku tidak segan-segan menentang siapapun juga yang melakukan kejahatan". "Nah, setelah kami berdua selesai belajar ilmu-ilmu dari ayah angkatku dan dari mendiang suhu Pek In San-jin kami lalu di suruh turun gunung oleh ayah angkatku". "Hemm, Pek In San-jin"
Nama itupun pernah ku dengar dari ayahku yang memuji-muji dia sebagai seorang tokoh sakti yang setia kepada Kerajaan Beng yang sudah runtuh oleh orang Mancu". Ai Yin memandang kepada Siauw Beng dengan kagum. "Pantas engkau lihai, kiranya mendapat gemblengan dari orang sakti itu. Lalu kemana kalian hendak pergi"." "Kami hendak melihat-lihat keadaan Kota Raja". Kata Siauw Beng yang tidak bercerita tentang ditemukannya Pedang Lui-kong Sin-kiam dan pelajaran ilmu silat di dinding gua. "Ketika kami tiba di tepi Sungai Huang-ho, kami membeli sebuah perahu kecil ini dari orang yang menawarkannya. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu dan setibanya di sini, kami dihadang gerombolan tadi dan baru kami tahu bahwa yang menjual perahu kepada kami adalah Can Ok tadi. Mungkin dia melihat kantung uang kami ketika kami membayar perahu kecil itu. Nah, sekarang tiba giliranmu, untuk bercerita, Ai Yin.
Ceritamu tentu jauh lebih menarik". "Namaku Wong Ai Yin. Aku tidak mempunyai ibu lagi. Ibu meninggal ketika aku masih kecil. Aku hidup bersama ayahku di dusun besar Po-keng di lereng gunung Beng-san. Ayahku bernama Wong Tat, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya Bu-tek Sin-kiam". "Aku pernah mendengar nama besar Bu-tek Sin-kiam. Menurut ayah angkatku, Bu-tek Sin-kiam adalah seorang pejuang yang ditakuti Kerajaan Mancu", kata Siauw Beng. "Memang ayahku dahulu seorang pejuang yang gigih melawan orang-orang Mancu, akan tetapi karena semua perjuangan itu gagal, kini ayah lebih banyak bertapa di lereng Beng-San. Ayah pernah menjadi murid kakek guru Hui-kiam Lo-mo, maka ayahku menjadi suheng ( Kakak seperguruan ) Toat-beng Siang-kiam Can Ok yang kusebut susiok (paman guru)". "Akan tetapi bagaimana tingkat kepandaianmu dapat lebih tinggi daripada tingkat kepandaian paman gurumu, Ai Yin?" Tanya A Siong.
"Tingkat kepandaian ayahku jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian kakek guru Hui-kiam Lo-mo karena setelah tamat belajar pada kakek guru, ayah memperdalam ilmunya dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet". Siauw Beng dan A Siong mengangguk-angguk maklum. "Ayah sudah bertahun-tahun mengasingkan diri di gunung Beng-san dan tidak mencampuri urusan dunia ramai. Akan tetapi ayah selalu memesan kepadaku untuk membantu perjuangan para pendekar yang menentang kekuasaan pemerintah penjajah, juga agar aku bersikap dan bertindak sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Setelah ayah menganggap aku cukup kuat untuk melindungi diri sendiri, ayah memperkenankan aku pergi turun gunung dan memesan agar aku mengunjungi susiok Can Ok untuk membantunya kalau dia masih melakukan kegiatan melawan Kerajaan Mancu.
Akan tetapi, ketika aku melihat dia mengganggu kalian yang bukan orang Mancu, aku menjadi penasaran dan menentangnya. Sekarang aku tidak sudi lagi membantunya karena ternyata perjuangannya hanya menjadi kedok bagi gerombolannya yang sesungguhnya hanyalah gerombolan bajak sungai dan perampok!." Siauw Beng menghela napas panjang. "Yah, begitulah keadaannya, Ai Yin. Memang, menurut cerita ayahku, dahulu pemerintah Kerajaan Beng menjadi lemah karena para pemimpinnya hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, melakukan koropsi dan kecurangan sehingga Negara menjadi lemah, rakyatnya tidak bersemangat sehingga mudah saja mereka ditaklukan oleh Bang Mancu. Ketika itu, beberapa orang pendekar, termasuk ayahmu itu, berusaha untuk menentang pemerintah penjajah. Akan tetapi semua usaha itu gagal dan pemerintah Kerajaan Mancu menjadi semakin kuat sehingga seluruh wilayah daratan telah mereka kuasai.
Kini, tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk melanjutkan perjuangan puluhan tahun yang lalu itu karena kita tidak akan mendapat dukungan rakyat jelata. Pemerintah Mancu ini lebih bijaksana, memperhatikan kesejahteraan rakyat jelata. Juga para pemimpin bangsa Mancu membuka kesempatan besar kepada pribumi Han untuk itu mendorong roda pemerintahan. Bahkan para bangsawan Mancu tidak segan-segan untuk menggunakan nama Han, menerima kebudayaan kita sebagai kebudayaan mereka, kehidupan keluarga mereka juga disesuaikan dengan kehidupan kita. Tidaklah mengherankan kalau rakyat akhirnya dapat menerima kepemimpinan bangsa Mancu, bahkan para pendekar pun banyak yang mulai mendukung usaha pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Aku sendiri sudah beberapa kali bertemu orang-orang Mancu yang berwatak baik. Juga ayah angkatku menganjurkan kepadaku agar kami membela kebenaran dan keadilan sebagai pendekar karena sekarang bukan waktunya untuk memberontak terhadap Kerajaan Mancu.
Menurut ayahku, pemberontakan menggulingkan pemerintah Mancu bukanlah hal yang mudah karena tidak mungkin kita lakukan tanpa dukungan sepenuhnya dari rakyat jelata. Sekarang kami berdua harus melakukan perantauan dan siap menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tidak peduli apakah dia orang Mancu ataukah orang Han sendiri. Dengan cara itu pun kita sudah membantu memerangi kejahatan dan menentramkan kehidupan rakyat". "Benar sekali, Siauw Beng. Ayahku juga berpendapat seperti itu. Kau tadi mengatakan bahwa kalian hendak pergi ke kota raja"." "Ya, akan tetapi sebelum ke Kota raja, kami hendak pergi dulu ke kota Keng-koan. Aku ingin berkunjung ke makam ayah kandungku". "Ayahmu dimakamkan di sana" O ya, engkau belum mengatakan siapa mendiang ayah kandungmu itu, Siauw Beng". "Mendiang ayah yang belum pernah ku lihat itu bernama Lauw Heng San". "Setelah mengunjungi makam ayahmu, engkau lalu pergi ke kota raja"."
"Ya, kami ingin melihat-lihat kota raja dan menyaksikan sendiri apakah benar Kaisar Kang Shi merupakan Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) yang bijaksana dan kabarnya kini sedang berperang melawan bangsa Mongol. Dari keadaan penghidupan rakyat di kota raja kita dapat melihat bagaimana sikap rakyat terhadap kaisar itu". "Bagus! Kalau begitu, aku akan pergi ke sana bersama kalian!" Ai Yin tampak gembira sekali, wajahnya berseri. Siauw Beng dan A Siong saling pandang, agaknya terkejut mendengar ucapan gadis yang mengatakan hendak ikut dengan mereka ke kota raja! Tentu saja kedua orang pemuda ini terkejut dan ragu karena baru saja mereka mengenal Ai Yin dan tiba-tiba saja gadis itu hendak melakukan perjalanan bersama.! "Akan tetapi sebelum kita pergi ke sana, aku ingin minta bantuan kalian lebih dulu". "Bantuan" Tentu saja kami siap membantumu, Ai Yin!" kata A Siong. "Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu, Ai Yin?" Siauw Beng juga bertanya.
"Begini, aku sudah berada di sini, mengikuti kelompok yang di pimpin susiok Can Ok selama hampir tiga bulan. Aku mendengar bahwa di Bukit Menjangan di sana itu terdapat gerombolan jahat yang suka mengganggu penduduk, bukan hanya melakukan perampokan, melainkan juga suka menculik wanita. Semua itu ku dengar dari para nelayan dan sudah kuusulkan kepada susiok untuk menyerbu dan menentang gerombolan itu. Akan tetapi susiok selalu menolak dan mengatakan bahwa gerombolan itu adalah Perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Macan Hitam) yang juga merupakan sekumpulan patriot yang menentang Pemerintahan Mancu. Selama ini aku masih ragu untuk turun tangan sendiri karena menurut keterangan yang ku dapat, gerombolan itu mempunyai anggota sebanyak lima puluh orang lebih dan mereka semua ganas dan kejam, memiliki senjata sepasang cakar harimau dan di pimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar berjuluk Hek-houw Mo-ko (Iblis Macan Hitam) yang sakti.
Aku khawatir kalau gagal jika pergi sendiri. Akan tetapi aku mendengar laporan dari dusun di kaki bukit itu bahwa kemarin puteri kepala dusun di culik dan lima orang penduduk dusun yang membela gadis itu telah di bunuh. Sekarang aku kebetulan bertemu dengan kalian maka aku minta bantuan kalian untuk menolong penduduk dusun di sekitar dusun itu dan menghajar gerombolan jahat itu". "Wah, aku siap membantumu, Ai Yin. Biar ku hajar si Harimau Hitam itu!." kata A Siong sambil mengepal tinjunya. "Benar, Ai Yin. Kami berdua siap membantumu". Gadis itu menjadi girang sekali. Ia meloncat berdiri dan berkata, "kalau begitu, kita tunggu apa lagi" Mari kita berangkat. Kasihan puteri lurah dusun itu yang telah mereka culik kemarin!." Mereka bertiga lalu berangkat, menumpang perahu kecil milik Siauw Beng. A Siong mendayung perahu, Ai Yin duduk di tengah dan Siauw Beng duduk di depan. Perahu meluncur cepat ke hilir dan tak lama kemudian Ai Yin berseru agar A Siong mendayung perahu itu ke tepi sungai sebelah kanan.
Mereka lalu mendarat dan A Siong menambatkan tali perahu ke sabatang pohon. "Inikah Bukit Menjangan itu?" Tanya Siauw Beng sambil memandang kea rah sebuah Bukit tak jauh dari situ. Bukit itu penuh dengan hutan lebat sehingga tampak hijau kehitaman, menyeramkan. "Benar, mari kita cepat mendaki sebelum matahari condong ke barat", kata Ai Yin. Mereka bertiga mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dengan cepat berlari mendaki bukit itu. Ada jalan setapak mendaki ke atas. A Siong berjalan ke depan sambil memegang dayung perahu. Dengan dayung itu dia siap untuk menjaga diri kalau-kalau ada serangan mendadak. Ai Yin berjalan di belakangnya dan Siauw Beng mengikuti dari belakang. Karena mereka belum pernah datang ke situ dan asing dengan daerah yang penuh hutan di bukit itu, maka tentu saja mereka kini tidak dapat melakukan perjalanan cepat. Hutan-hutan bukit itu ternyata lebat bukan main.
Ketika mereka melihat bekas jejak kaki banyak rusa dan setelah tiba di lereng bukit melihat ratusan ekor menjangan yang melarikan diri setelah melihat mereka, tahulah mereka mengapa tempat itu disebut Bukit Menjangan. Kiranya memang terdapat banyak sekali rusa di situ. Saking lebatnya hutan dan jalan setapak itu kini tidak tampak lagi karena banyaknya semak belukar dan rumput tebal tumbuh dengan liar, maka beberapa kali tiga orang itu menjadi bingung karena jalan mereka terhalang jurang yang curam sehingga terpaksa mereka harus mencari jalan lain. Juga berkali-kali mereka menemukan jalan yang tadi pernah mereka lalui sehingga mereka menjadi bingung. Padahal, matahari mulai turun ke barat karena perjalanan mereka yang tersesat dalam hutan itu membuat mereka berputar-putar dan makan waktu yang lama. "Ah, mengapa aku begini bodoh" Kalian tunggu sebentar, aku akan meneliti keadaan dari atas", kata Ai Yin, lalu tubuhnya melayang ke atas seperti seekor burung terbang.
Ia hinggap di atas cabang sebatang pohon besar, lalu memanjat naik sampai ke puncak pohon yang tinggi itu. Dari tempat tinggi itu Ai Yin memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian ia sudah melayang turun. "Nah, sudah tahu aku dimana sarang mereka", katanya. "Mari ikut aku!" Ia lalu menjadi penunjuk jalan menuju kea rah tertentu. Matahari yang sudah condong ke barat menjadi penentu arah sehingga mereka menuju ke arah yang benar, yaitu menuju sebuah perkampungan kecil yang terlihat dari puncak pohon oleh Ai Yin tadi. Akan tetapi karena mereka tidak dapat menemukan jalan rahasia yang dibuat perkumpulan Hek-houw-pang untuk keperluan mereka sendiri, dan terpaksa harus mengambil jalan pintas yang harus melalui daerah sukar yang penuh dengan semak belukar dan berduri, maka setelah senja barulah mereka tiba di depan sebuah perkampungan. Cuaca mulai agak gelap dan ketika mereka bertiga berdiri di depan pintu gerbang yang amat kokoh itu, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan dari dalam bermunculan puluhan orang dengan pakaian serba hitam!
Dan sambil berlari-lari mereka membuat lingkaran mengepung tiga orang itu. Tiga orang muda itu tampak tenang-tenang saja menghadapi pengepungan sekitar empat puluh orang itu, bahkan Ai Yin tersenyum-senyum mengejek. Gadis yang pemberani ini menyapu para pengepung dengan pandang matanya yang tajam, lalu setelah memutar tubuhnya satu kali berkata dengan suara nyaring. "Heeiii! Macan-macan kecil, kami datang untuk bicara dengan pemimpin kalian. Mana dia Hek-houw Mo-ko" Apakah dia tidak berani keluar menemui kami"." Tiba-tiba, seolah menyambut seruan Ai Yin tadi, terdengar auman harimau dari dalam perkampungan, gerengan suaranya menggetarkan keadaan sekeliling tempat itu. Tiga orang muda itu maklum bahwa orang yang mengeluarkan gerengan sehebat itu tentu menggunakan sin-kang (tenaga sakti) sehingga suaranya mengandung getaran yang amat kuat. Lalu dari dalam gapura itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Pakaiannya dari sutera hitam. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, mukanya penuh brewok dan matanya yang lebar mencorong penuh wibawa. Kedua tangan orang ini disambung cakar harimau, tidak seperti para anak buah yang kedua tangan mereka memegang sepasang cakar harimau yang bergagang sepanjang lengan. Dengan langkah perlahan namun tegap bagaikan langkah seekor harimau, laki-laki itu berjalan dan para pengepung di bagian gapura memberi jalan dengan sikap hormat, dia maju terus sampai berhadapan dengan tiga orang muda itu. Dengan matanya mencorong dia mengamati tiga orang itu, pandang matanya berhenti pada Ai Yin dan gadis itu merasa seoalh pandang mata laki-laki tinggi besar itu menggerayangi tubuhnya dari kepala sampai ke kakinya sehingga mukanya berubah merah dan matanya mencorong merah. "Jahanam busuk, apakah engkau yang berjuluk Hek-houw Mo-ko dan menjadi pemimpin gerombolan Hek-houw-pang yang suka mengganggu penduduk, merampok barang dan ternak, juga menculik gadis-gadis itu"."
Hek-houw Mo-ko mendengus, matanya seolah hendak menelan gadis itu hidup-hidup dan jelas tampak bahwa dia terpesona oleh kecantikan Ai Yin. "Nona, engkau tinggallah di sini menjadi biniku dan dua orang pemuda ini boleh pergi dari sini dengan aman dan tidak akan kami ganggu". Ai Yin membelalakkan matanya. Beraninya orang itu! Mukanya serasa di bakar oleh api kemarahan yang berkobar dihatinya. "Keparat bermulut busuk!" bentaknya dan Ai Yin sudah mengunus pedangnya lalu tanpa banyak cakap lagi karena saking marahnya gadis itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, ia sudah menerjang Hek-houw Mo-ko dengan dahsyat sekali. Hek-houw Mo-ko terkejut bukan main. Sebagai orang yang banyak pengalaman dia segera mengenal serangan yang luar biasa hebatnya dan tahulah dia bahwa gadis cantik itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dia cepat mengelak sambil menggerakkan kedua tangannya yang disambung cakar harimau terbuat dari baja yang sudah di rendam racun.
Segera Ai Yin sudah bertanding seru melawan ketua Hek-houw-pang dan laki-laki tinggi besar brewok ini diam-diam memberi tanda kepada anak buahnya untuk bergerak. Empat puluh orang lebih itu segera mengepung dan mengeroyok Siauw Beng dan A Siong. Mereka bermaksud membunuh dulu dua orang pemuda itu, baru mereka akan membantu ketua mereka menangkap gadis yang cantik itu. Akan tetapi, mereka disambut dengan kejutan hebat. Begitu kedua orang pemuda itu menggerakkan tubuh mereka, dalam beberapa detik saja delapan orang pengeroyok sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena tulang patah atau terluka dalam. Tamparan dan tendangan Siauw Beng dan A Siong terlalu kuat bagi mereka sehingga mereka mengeroyok dengan hati gentar dan kacau. Akan tetapi hal ini justeru membuat pengeroyok mereka semakin lemah dan kembali delapan orang berpelanting.! "Hyaattt"!" Ai Yin menyerang dengan hebat.
Kebenciannya terhadap kepala gerombolan yang berani kurang ajar kepadanya itu membuat ia menyerang dengan dahyat untuk membunuh. Hek-houw Mo-ko melihat serangan yang amat ganas itu, segera menggerakkan tangan menangkis. Cakar harimau baja itu bertemu dengan pedang. "Criinggg"!" Tampak bunga api berpijar dan Hek-houw Mo-ko terhuyung ke belakang. Dia semakin terkejut dan mulai merasa gentar. Cakar harimaunya dari baja itu kuat sekali dan biasanya kalau bertemu dengan lawan yang bersenjata cakarnya mampu mematahkan pedang atau golok lawan. Akan tetapi sekali ini, cakarnya tidak mampu mematahkan Liong-cu-kiam, sebaliknya malah sebuah jari cakar itu patah! Maka dia mulai panic, apalagi ketika di liriknya dan dia melihat betapa belasan anak buahnya sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali, hanya duduk dan merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh yang patah tulangnya.
Dia mulai takut dan cepat dia menyelinap dan menyusup kedalam kelompok anak buahnya yang banyak. Melihat kepala gerombolan itu menghilang di antara anak buahnya, Ai Yin menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar terang dan berturut-turut terdengar teriakan dan tubuh bergelimpangan mandi darah di sambar sinar pedang itu. Sementara itu, ketika A Siong sedang mengamuk, dia melihat Hek-houw Mo-ko melarikan diri memasuki pintu gerbang perkampungan. Melihat Ai Yin mengamuk dengan pedangnya dan Siauw Beng masih menggunakan kaki dan tangan kanannya untuk merobohkan para pengeroyok yang kini sudah berkumpul semua di situ, A Siong lalu melakukan pengejaran kepada kepala gerombolan itu. Dengan gerakan ringan ia melewati kepala para pengeroyok di depannya dan mengejar ke dalam perkampungan yang sunyi karena semua anggota gerombolan telah berkumpul di depan pintu gapura untuk mengeroyok.
A Siong masih sempat melihat Hek-houw Mo-ko melompat dan memasuki sebuah bangunan yang paling besar di perkampungan itu. Karena malam mulai tiba, maka cuaca sudah remah-remang. Namun dalam rumah besar itu terdapat penerangan. Dia melompat ke serambi rumah dan melihat di situ sunyi, dengan hati-hati dia lalu memasuki ruangan depan. Dia harus waspada dan hati-hati karena amat berbahaya mengejar seorang penjahat kejam yang memasuki rumahnya. Dia dapat di serang dengan tiba-tiba, bahkan ada kemungkinan rumah itu di pasangi alat-alat rahasia untuk menjebaknya. Ruangan depan itupun kosong tidak nampak seorangpun manusia. Berindap-indap A Siong mencari orang yang dikejarnya. Agaknya rumah itu telah ditinggalkan semua penghuninya karena sepi sekali. Namun di ruangan dalam terdapat lampu penerangan. Dengan berani dia memasuki ruangan yang sebelah dalam. Di sini pun sunyi dan dari ruangan ini dia dapat melihat melalui pintu bahwa ada pula ruangan sebelah belakang.
Akan tetapi menembus ruangan dalam itu terdapat pintu-pintu kasar yang daun pintunya tertutup. Selagi dia bingung tidak tahu harus mencari kemana, tiba-tiba dia mendengar suara orang bicara di ruangan belakang. Cepat dia melangkah ke ruangan itu dan suara itu datang dari sebuah kamar besar yang pintunya tertutup. Dia menghampiri pintu dan mendengarkan suara laki-laki dan wanita yang terdengar berbantahan. "Aku tidak sudi! Bunuh saja aku, aku tidak sudi ikut denganmu!" terdengar suara wanita itu. Lalu A Siong mendengar suara laki-laki yang sudah dikenalnya, suara Hek-houw Mo-ko.! "Gadis bodoh tak mengenal budi! Kalau aku tidak benar-benar cinta kepadamu, sejak kemarin engkau tentu telah ku paksa, ku perkosa seperti para gadis lain, lalu ku berikan kepada anak buahku. Akan tetapi aku tidak mau melakukan itu terhadap dirimu karena aku sungguh cinta padamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku.
Maka, sekali lagi, menurutlah. Mari ku ajak engkau pergi dari sini dan kita hidup berbahagia di tempat lain. Engkau dapat hidup mewah dan terhormat di sana. Marilah manis". "Tidak, aku tidak sudi ikut denganmu. kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri, daripada menjadi isterimu. Terkutuk engkau, laki-laki jahanam yang jahat dan kejam!." "Hemmm, kalau begitu aku akan memaksamu ikut denganku, mau atau tidak mau engkau harus menjadi isteriku!." Asiong mendengar suara gedebukan dan kain robek. Maka dia lalu menendang daun pintu kamar itu. "Braakkkk"!" Daun pintu jebol dan A Siong melompat masuk. Dia melihat Hek-houw Mo-ko hendak memaksa dan meringkus seorang gadis bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi gadis itu meronta dan bajunya yang di cengkram Hek-houw Mo-ko menjadi robek dari leher sampai pinggang, sehingga tubuh bagian atasnya kini hanya tertutup pakaian dalam berwarna merah muda yang tipis dan tembus pandang.
Mendengar suara pintu jebol, Hek-houw Mo-ko terkejut sekali. Cepat dia melepaskan gadis yang meronta-ronta dengan gigih itu dan menghadapi A Siong dengan marah. Dia tadi gentar menghadapi Ai Yin dan dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan dara perkasa itu. Akan tetapi kini melihat A Siong yang tidak membawa senjata, dia memandang rendah. Dia marah sekali. A Siong merupakan seorang di antara tiga orang muda yang mengacaukan perkampungannya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia sudah menerkam dengan kedua cakarnya ke arah A Siong. A Siong yang sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa kedua tangan yang di sambung cakar harimau itu berbahaya sekali, maka dia cepat mengelak ke samping, lalu membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan. Akan tetapi Hek-houw Mo-ko juga mampu mengelak dengan cepat. Maka bertandinglah dua orang laki-laki yang sama tinggi besarnya itu dalam kamar.
Untung bahwa kamar itu cukup luas sehingga mereka dapat bertanding dengan leluasa. Akan tetapi segera ternyata bahwa A Siong masih lebih unggul walaupun lawannya memiliki sepasang cakar berbisa yang menyambung kedua tangannya dan A Siong sendiri bertangan kosong. Selain tingkat kepandaian A Siong memang agak lebih tinggi dan dia memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat karena dia telah makan daging ular kembang merah, juga pada saat itu hati Hek-houw Mo-ko sudah terlanda panic dan ketakutan. Setelah dia mendapat kenyataan bahwa lawannya inipun lihai sekali, hatinya merasa gelisah dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tadinya dia ingin memaksa gadis yang kemarin di culik, puteri lurah itu, untuk menemaninya karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menyelamatkan diri. Maka dia lalu menyerang dengan nekat, mencakar dengan tangan kanannya kea rah muka A Siong sambil menggereng bagaikan seekor harimau terluka.
A Siong sudah waspada. Melihat serangan nekat itu, dia cepat miringkan tubuhnya dan setelah memutar tubuh ke kanan dia menangkap lengan kanan lawan dan dengan pengerahan tenaga sakti dia memutar lengan itu ke belakang tubuh lawan. Sekali dia mendorong lengan itu ke atas, terdengar bunyi berkretekkk dan sambungan tulang pundak kanan Hek-houw Mo-ko terlepas! Kepala perampok itu mengeluh karena rasa nyeri seperti menusuk jantungnya dan dia membungkuk untuk menahan rasa nyeri. A Siong menggunakan kesempatan itu untuk menangkap kedua pergelangan kaki kepala perampok itu dengan kedua tangannya dan sekali angkat dan tarik, tubuh kepala gerombolan itu telah tergantung dan dia lalu memutar-mutar tubuh itu, kemudian dia lemparkan keluar kamar melalui pintu yang jebol. Tubuh itu meluncur dan kepalanya menghantam dinding. "Praakkk".!" Tubuh itu terbanting dan kepalanya retak. Hek-houw Mo-ko tewas seketika.
A Siong menghampiri gadis yang berlutut sambil memegangi bagian depan bajunya yang robek. Ia tadi menonton perkelhaian itu dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh gemetaran. Kini, melihat A Siong menghampirinya ia memandang wajah pemuda tinggi besar itu. A Siong melihat betapa sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak seperti mata kelinci yang ketakutan. maka dia tersenyum dan berkata lembut, "Nona, jangan takut. Aku datang untuk menolongmu dan membawamu pulang pulang ke rumah orang tuamu". Mendengar ucapan itu dan bertemu pandang mata dengan sepasang mata pemuda tinggi besar yang membayangkan kejujuran itu, gadis agaknya baru yakin bahwa pemuda ini benar-benar datang untuk menolongnya. Maka kalau tadi ia sama sekali tidak menangis, kini ia mengeluh dan menubruk kedua kaki A Siong dan terkulai pingsan.! Melihat gadis itu kini rebah telentang di atas lantai dengan tubuh bagian atas depan hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga lekuk lengkung dadanya membayang, jantung A Siong berdebar tegang.
Belum pernah selama hidupnya dia melihat pemandangan seperti ini. Dan wajah gadis itu mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Gadis yang tabah, berani mati dan lebih baik mati daripada menyerahkan diri kepada kepala perampok, seperti yang di dengarnya tadi ketika gadis itu berbantahan dengan Hek-houw Mo-ko. Dan wajah gadis yang bertubuh tinggi tegap ini begitu memelas, dan begitu manis menimbulkan rasa suka dan iba di hatinya yang belum pernah tersentuh oleh seorang wanita. Dengan jari-jari gemetar dia mencoba untuk menutupkan baju luar yang robek, akan tetapi karena dada yang membusung itu membuat bajunya menjadi ketat, maka begitu dia melepaskan tangan, baju itu terbuka kembali.!
Dia menjadi gugup dan bingung, lalu dia melepas baju luarnya sendiri dan mengenakan bajunya itu pada tubuh atas gadis itu dia harus merangkul dan memasukkan lengan gadis dengan mengangkat tubuh itu dan mendudukannya lalu menyangganya. Bajunya terlalu besar, akan tetapi dapat menutup dan menyembunyikan dada yang setengah telanjang itu. hatinya merasa lega dan dia lalu memondong tubuh gadis itu, membawanya keluar dari rumah. Setelah tiba di pintu gapura, A Siong melihat bahwa perkelahian telah berakhir. Siauw Beng dan Ai Yin pada saat itu keluar dari rumah, memasuki perkampungan itu. "Suheng, siapa yang kau pondong itu?" Tanya Siauw Beng, heran melihat A Siong memondong tubuh seorang gadis. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dimana tergantung lampu penerangan sehingga birapun remang-remang, Siauw Beng dan Ai Yin dapat melihat bahwa gadis itu seperti orang tertidur.
Jantung A Siong berdebar dan dia merasa malu sekali. "Ia" ia" adalah puteri kepala dusun yang kemarin di culik. Ia gadis yang tabah dan gagah berani mempertahankan kehormatannya. Ketika ia hendak di paksa pergi oleh Hek-how Mo-ko, aku datang dan aku berhasil menewaskan kepala gerombolan itu. Gadis ini jatuh pingsan dank u bawa keluar". Pada saat itu, gadis itu bergerak dalam pondongan A Siong sehingga pemuda ini cepat menurunkannya dengan hati-hati seketika ia teringat akan peristiwa tadi dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut merangkul kedua kaki A Siong. "In-kong telah menyelamatkan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membalas budi kebaikan in-kong (tuang penolong) kecuali menyerahkan jiwa raga saya kepada in-kong". "Eh, apa" apa maksudmu, Nona" Nanti" atau besok pagi kami akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu". "Tidak, in-kong" Tidak" saya tidak mau pulang?"gadis itu kini menangis lirih.
"Sudahlah, A Siong, soal ini kita bicarakan nanti, perlahan-lahan kita bujuk. Sekarang yang penting kita perlu memeriksa keadaan dalam kampung untuk mengumpulkan barang-barang yang mereka rampas dari penduduk dan menemukan kembali para gadis lain". "Benar, suheng. Kau temani saja nona ini, aku dan Ai Yin akanmemeriksa keadaan dalam perkampungan", kata Siauw Beng. "Baik, sute". Setelah Siauw Beng dan Ai Yin mulai memeriksa ke dalam rumah-rumah di perkampungan gerombolan itu, A Siong mengajak gadis itu keluar pintu gerbang karena dia tidak mau menganggur di situ. "Mau apa kita keluar, in-kong"." "Kita lihat keadaan para penjahat itu. Aku harus mengerahkan tenaga mereka untuk membantu mengangkut kembali barang-barang dan ternak yang di rampok oleh gerombolan. Enak saja kalau dia dibiarkan pergi tanpa harus bertanggung jawab atas semua perbuatan mereka yang jahat. Mari". Eh, siapakah namamu, Nona"."
"Nama saya Lu Bi Hwa, anak tunggal puteri lurah dusun Ki-Cun di kaki bukit ini sebelah utara". Mereka tiba di luar pintu gerbang atau gapura perkampungan itu dan di sana masih ada belasan orang yang mengeluh dan saling menolong. Yang lain mungkin telah pergi sambil membawa mayat kawan-kawan mereka yang tewas. Ketika tujuh belas orang itu melihat A Siong muncul bersama Bi Hwa, mereka terkejut dan nampak ketakutan, bahkan ada yang siap melarikan diri. Bulan telah muncul sejak senja tadi, bulan sepotong yang masih redup sinarnya namun lumayan dapat memberi sedikit penerangan sehingga keadaan di situ remang-remang. "Jangan ada yang berani melarikan diri. Aku akan membunuh mereka yang mencoba untuk melarikan diri!" A Siong membentak. Belasan orang itu semakin ketakutan. Mereka tadi sudah melihat kehebatan sepak terjang pemuda tinggi besar ini, yang dengan tangan kosong dapat merobohkan banyak orang yang bersenjata sepasang cakar harimau.
Mereka serentak berlutut menghadap A Siong dan berseru, "Ampunkan kami, taihiap (Pendekar besar)". "Hayo kalian semua masuk ke perkampungan dan berkumpul di rumah besar tempat tinggal ketua kalian. Urus dan kuburkan mayat ketua kalian yang berada di sana dan tunggulah perintah kami selanjutnya. "Hayo jalan!" Semua orang itu sudah mati kutu. Mereka takut kalau melarikan diri akan benar-benar di bunuh pendekar tinggi besar itu. Maka mereka semua lalu memasuki perkampungan itu, di iringkan A Siong dan Bi Hwa. Diam-diam Bi Hwa merasa kagum bukan main melihat sepak terjang penolongnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang demikian gagah perkasa, tegar dan berwibawa. sampai berusia dua puluh tahun Bi Hwa ini belum menikah karena ia selalu menolak pinangan para pemuda dari dusunnya atau dusun-dusun lain karena ia merasa tidak cocok dengan mereka. Sudah banyak ia melihat gadis yang menikah lalu hidup bagaikan bujang bagi suaminya.
Melayani semua kebutuhan suami, emngurus anak-anak, mencuci, masak, membersihkan rumah dan pekarangan, masih di tambah membantu pekerjaan di sawah lading kalau sang suami terlalu sibuk. Pendeknya, tenaga wanita diperas habis-habisan. Kawan-kawannya sedusun yang sudah menikah, rata-rata bertubuh kurus dan wajahnya cepat tua! Ketika ia berada dalam ancaman malapetaka yang hebat, akan di paksa menjadi isteri kepala gerombolan dan akan di perkosa, ketika ia sudah putus asa dan pasti akanmembunuh diri kalau di perkosa, tiba-tiba muncul pemuda gagah perkasa ini yang menyelamatkannya! Maka ia sudah mengambil keputusan bulat dalam hatinya. Ia akan menjadi isteri pemuda ini, akan menyerahkan jiwa raganya. Ia akan sanggup bekerja keras seperti para isteri lain. Ia akan melakukan semua itu dengan senang hati, tidak seperti kawan-kawannya, karena ia melakukannya untuk membalas budi kebaikan pemuda itu.
Setelah mereka tiba di rumah kepala gerombolan, ternyata Siauw Beng dan Ai Yin juga sudah selesai memeriksa semua rumah di perkampungan itu. Mereka menemukan barang-barang rampasan, juga hewan ternak yang di kumpulkan di belakang perumahan. Selain itu, mereka juga menemukan lima orang gadis dusun yang keadaanya amat menyedihkan. Wajah mereka pucat, sikap mereka ketakutan dan tubuh mereka kurus. Lima orang gadis itu adalah korban penculikan yang sudah berbulan-bulan berada di situ dan menjadi korban keganasan kepala gerombolan dan anak buahnya. Mereka berlima itu menangis sedih, mengingat nasib mereka walaupun mereka kini telah terbebas dari cengkraman para penjahat. Mereka melihat batapa suramnya masa depan mereka. Akan sukar mendapatkan pria yang mau memperistri gadis yang pernah menjadi permainan para penjahat keji itu. Lu Bi Hwa segera menghampiri lima orang gadis itu dan ia menghibur mereka sehingga akhirnya mereka berhenti menangis.
Para anak buah gerombolan itu lalu mengubur jenazah Hek-houw Mo-ko dan malam itu mereka di haruskan berkumpul di ruangan depan rumah besar itu. Siauw Beng dan Ai Yin mengambil keputusan bahwa besok pagi para anggota gerombolan itu di haruskan mengangkat barang-barang rampokan itu kembali ke dusun. Mereka bertiga akan mengawal para gadis kembali ke rumah orang tua masing-masing. "Ai Yin, engkau malam ini mengaso dan tidurlah. Biar aku dan suheng yang melakukan penjagaan agar mereka tidak melarikan diri dan untuk berjaga-jaga kalau ada teman-teman mereka yang berani masuk perkampungan ini ", kata Siauw Beng setelah mereka semua makan hidangan yang dimasak oleh Lui Bi Hwa dan lima orang gadis itu. Di rumah kepala gerombolan itu tersedia bahan makanan yang cukup banyak. Malam itu Ai Yin tidur di senuah kamar rumah besar itu. Kamar yang bersih dan Ai Yin yang sudah kecapaian itu dengan mudah tertidur pulas. Siauw Beng duduk di serambi depan, bersila di atas lantai yang di gelari tikar tebal.
Para gadis juga tidur di sebuah kamar besar. Mereka berlima baru malam ini dapat tidur nyenyak dengan hati tentram. Akan tetapi Bi Hwa tidak mau tidur dan ia duduk menemani A Siong yang juga duduk di serambi depan bersama Siauw Beng. Di serambi ini, A Siong membuat api unggun, bukan untuk mendapatkan penerangan karena di situ juga ada sebuah lampu gantung, akan tetapi untuk mengusir nyamuk yang terdapat banyak di tempat itu. Dari serambi mereka dapat melihat ke luar. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan cahayanya mulai agak tering sehingga cuaca di luar rumah itu remang-remang namun masih dapat di tembus pandang mata. Siauw Beng memejamkan matanya seperti orang tidur. Sebetulnya dia hanya duduk diam seperti sedang siu-lian ( samadhi ), akan tetapi dia menyadari keadaan di luar dirinya sehingga dia dapat mendengar ketika Bi Hwa dan A Siong bercakap-cakap. "In-kong, saya sudah mengambil keputusan tetap.
The Second Chance 1 Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong Kelelawar Tanpa Sayap 5
^