Pencarian

Si Tangan Halilintar 7

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Saya tidak akan kembali ke rumah orang tua saya. Saya akan ikut denganmu ke manapun engkau pergi, In-kong". "Akan tetapi aku seorang perantau miskin, bahkan rumah tinggalpun tidak punya!." "Tidak mengapa, In-kong. Saya sanggup hidup bagaimanapun juga bersamamu. Saya akan melayanimu, mengerjakan semua keperluanmu, mencuci, memasak dan engkau suruh apapun akan saya lakukan dengan senang hati dan rela". A Siong menghela napas panjang lalu menengok kea rah Siauw Beng. Kemudian dia berkata lirih. "Mari kita bicara di sana saja". Dia menambahkan kayu kepada api unggun, lalu bangkit mengajak Bi Hwa pergi ke pekarangan agar dapat bicara dengan leluasa tanpa di dengar orang lain. Setelah cukup jauh mereka duduk di atas dua buah batu besar, berhadapan. Bahkan A Siong sendiri tidak tahu bahwa Siauw Beng membayangi mereka, lalu bersembunyi di balik batu-batu bukit dan mendengarkan percakapan mereka. "Bi Hwa, keputusanmu itu keliru.
Tidak mungkin engkau ikut bersamaku terus. Engkau akan hidup serba kekurangan, sengsara dan terkadang di ancam bahaya. Aku adalah seorang petualang yang tidak memiliki apa-apa, tiada keluarga, tiada rumah tinggal, tiada harta benda. Aku tidak dapat menerima engkau ikut bersamaku, Bi Hwa". Gadis itu menundukkan mukanya menangis perlahan. "Inkong, apakah engkau tidak kasihan kepadaku?" tanyanya di sela isaknya. "Tentu saja aku kasihan padamu, Bi Hwa. Engkau seorang gadis yang baik, tabah, teguh mempertahankan kehormatanmu, engkau pantas di hormati. Aku kagum kepadamu, Bi Hwa". "Kalau begitu, mengapa engkau tidak mau menerima saya, In-kong?" tanyanya dengan suara memelas. "Sudah ku katakana bahwa aku seorang perantau miskin. Engkau akan hidup serba kekurangan dan sengsara, sekali waktu mungkin sehari tidak dapat makan". "Aku rela, in-kong. Biar hidup sebagai pengemis gelandangan sekalipun, saya rela.
Saya rela menjadi pelayanmu, in-kong". Hening sejenak,hanya terdengar beberapa kali A Siong menghela napas panjang, berulang-ulang. Kemudian dia berkata dengan suara sedih. "Percayalah Bi Hwa seandainya aku ini seorang pemuda biasa yang memiliki tempat tinggal, memiliki kebebasan dan harapan masa dengan, sungguh mati aku akan menerima permintaan mu ini dengan senang hati. Akan tetapi, dalam keadaanku seperti sekarang ini, hal itu tidak mungkin ku lakukan. Aku harus membantu sute Siauw Beng, aku sudah berjanji kepada guruku untuk menemani sute, untuk membantunya, bahkan untuk melayaninya. Tidak mungkin aku menerimamu, Bi Hwa". "Apakah". Apakah". Tidak ada jalan keluarnya" in-kong?"." A Siong menghela napas berat, lalu terdengar suaranya lirih. "maaf, Bi Hwa, ku rasa tidak ada"." Isak tangis itu semakin kuat dan tiba-tiba Bi Hwa melompat turun dari atas batu. Ia terguling roboh, akan tetapi bangkit lagi dan berlari sambil menangis ke arah jurang yang berada tak jauh dari situ.
Perkampungan itu berada di lereng dekat puncak bukit Menjangan, maka terdapat banyak jurang di sekitar perkampungan. Dengan nekat Bi Hwa setelah tiba di tepi jurang, hendak meloncat ke dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat merangkul pinggalnya. Ia meronta-ronta, namun tidak dapat terlepas dari rangkulan A Siong. "Bi Hwa, apa yang hendak kau lakukan ini?" A Siong memaksa, mearik tubuh gadis itu menjauhi jurang. "Lepaskan, In-kong, lepaskan. Biarkan saya mati saja! Tiada gunanya hidup lebih lama kalau in-kong tidak mau menerima saya" "Gadis itu menangis sesunggukan. "Akan tetapi mengapa, Bi Hwa" Mengapa engkau menjadi nekat begini" Engkau masih mempunyai keluarga, bahkan ayahmu adalah seorang kepala dusun yang hidupnya serba kecukupan!" bujuk A Siong tanpa melepaskan rangkulannya karena gadis itu masih meronta, berusaha melepaskan dekapan A Siong.
"Tidak, tidak! Nama saya sudah tercemar, semua orang akan membicarakan saya, semua orang akan mencemooh dan memandang hina! Bahkan orang tuaku juga akan menderita karena aib. Biarkan saya mati, In-kong!." "Husshhh! Mengapa engkau berkata demikian" Aku mendengar sendiri ketika engkau bicara dengan kepala perampok itu. Engkau belum ternoda atau" sudahkah tercemar maka sekarang menjadi putus asa"." "Tidak, In-kong! Kalau saya sudah ternoda, tentu saya sudah tidak hidup lagi. Tentu saya sudah membunuh diri". "Kalau begitu, mengapa engkau merasa namamu tercemar"." In-kong tidak tahu, semua gadis yang sudah di culik oelh iblis itu telah ternoda. Siapa yang akan percaya bahwa saya belum tersentuh" Tidak akan ada yang percaya dan orang sekampung akan mencemooh". Ia berhenti sebentar sambil terisak. "Bahkan ayah ibuku tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya belum ternoda. Ah, malu sekali, In-kong. Mati jauh lebih baik daripada hidup menghadapi itu semua!."
"Bi Hwa, biarlah aku yang akan bicara dengan orang tuamu.Aku yang akan menyakinkan mereka bahwa engkau masih bersih, belum ternoda. dan kalau ada orang di dusunmu yang tidak percaya dan mengejekmu, dia akan ku hajar!." "Saya tidak menginginkan itu, In-kong. Saya hanya menginginkan agar diperbolehkan ikut dengan mu, kemana pun In-kong pergi". "Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerimamu, betapa pun berat rasa hatiku. Aku tidak enak kepada sute, kepada suhu dan?""engkau keliru, suheng!" tiba-tiba ucapan A Siong itu terputus oleh suara ini dan muncullah Siauw Beng bersama Ai Yin di tempat itu. Ternyata tadi ketika Siauw Beng mendengarkan percakapan A Siong dan Bi Hwa sambil bersembunyi di belakang batu besar, datang Ai Yin menyusulnya dan gadis inipun ikut mendengarkan. "Sute"! Ai Yin"! Kalian" kalian di sini?" "A Siong bertanya gagap sehingga dia lupa bahwa kedua lengannya masih mendekap pinggang ramping Bi Hwa!
Adapun gadis itu yang melepaskan rangkulan lengan A Siong dengan kedua tangannya. Baru A Siong menyadari dan cepat dia melepaskan rangkulannya dan mundur dua langkah. Suheng, Bi Hwa, Mari kita bicara di serambi", kata Siauw Beng dengan suara serius. Mereka berempat lalu pergi ke rumah besar itu. Api unggun di serambi itu masih menyala dan Siauw Beng segera menambahkan kayu sehingga api unggunnya bernya semakin besar, mengusir hawa dingin dan nyamuk. Mereka duduk dekat api unggun, A Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah, sedangkan Bi Hwa mengambil tempat duduk di atas lantai dekat pemuda itu, memandang kepada Siauw Beng dan Ai Yin dengan harap-harap cemas. "maaf, suheng. Tadi aku telah melihat dan mendengar semua tentang keadaan kalian berdua. Engkau keliru kalau merasa tidak enak kepadaku dan kepada ayahku. Suheng, engkau berhak menentukkan jalan hidupmu sendiri. Apalagi mengenai perjodohan.
Ayah tentu akan menyetujui dan merestui kalau engkau berjodoh dengan nona ini. Aku juga rela sepenuhnya, suheng. Hanya engkau yang dapat menolong Bi Hwa dan kalau kalian sudah saling mencinta, mengapa mesti ragu-ragu lagi"." "Siauw Beng berkata benar, A Siong. Tidak ada aib menimpa dari Bi Hwa dan keluarganya kalau ia menikah denganmu. Biarlah aku yang akan membicarakan dengan orang tua Bi Hwa, melamarnya untukmu agar kalian berdua dapat menikah dengan sah". "Tepat sekali, suheng. Jangan pikirkan tentang diriku. Aku bukan anak kecil lagi yang perlu kau bantu dan lincungi terus menerus. Engkau dapat menjadi suami Bi Hwa dan tinggal di sini, membantu usaha kepala dusun agar menyejahterakan kehidupan rakyat". Di hujan desakan Siauw Beng dan Ai Yin itu, A Siong tak mampu berkata apa-apa lagi dan tiba-tiba Bi Hwa berlutut menyembah kepada Siauw Beng dan Ai Yin. "Ih, jangan begitu, Bi Hwa!" kata Ai Yin dan cepat ia memegang kedua pundak Bi Hwa untuk di paksa bangkit dan duduk kembali.
Setelah Siauw Beng menyakinkan hati A Siong bahwa dia tidak keberatan bahkan girang kalau A Siong berjodoh dengan Lu Bi Hwa dan tinggal di dusun tempat tinggal gadis itu, dan menyakinkannya pula bahwa Ma Giok, ayah angkatnya, juga guru mereka pasti tidak akan merasa keberatan atau marah, akhirnya A Siong menerima juga. Memang hatinya sudah tertarik kepada Bi Hwa. Dia merasa kasihan dan juga jatuh cinta karena selain dalam penglihatannya tidak ada wanita yang lebih cantik menarik daripada Bi Hwa, juga dia merasa kagum akan watak gadis itu. Pada keesokan harinya, tiga orang pendekar itu, sambil mengajak Bi Hwa, mengiringkan lima orang gadis korban para penjahat dan memerintahkan belasan orang anggota Hek-houw-pang untuk mengakut semua barang rampokan dan menggiringkan beberapa ekor kerbau dan kambing, menuruni bukit itu menuju ke dusun Ki-cung. Rombongan ini di sambut oleh seluruh penduduk dusun yang sudah mendengar akan turunnya rombongan ini dari Bukit Menjangan. Para gadis itu di sambut dengan tangisan oleh keluarga mereka.
Kepala dusun Lu dan keluarganya juga menyambut Bi Hwa dengan girang. Ketika penduduk melihat bahwa yang mengangkut barang rampokan dan menggiring ternak adalah para anggota gerombolan, mereka menjadi marah dan tentu belasan orang anggota perampok itu akan di keroyok dan di bunuh kalau saja A Siong, Siauw Beng dan Ai Yin tidak melarang mereka. Semua penduduk bergembira ria mendengar bahwa gerombolan perampok itu telah terbasmi dan pemimpin mereka yang di takuti telah tewas. Setelah semua barang rampokan dan ternak di terima oleh penduduk dan di kembalikan kepada pemilik masing-masing, belasan orang bekas anggota Hek-houw-pang itu lalu diperkenankan pergi setelah diberi ancaman keras oleh Siauw Beng. Mereka mengucapkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Mereka inilah yang menyebarkan berita tentang munculnya seorang pendekar baru berjuluk si Tangan Halilintar, pendekar yang buntung lengan kirinya akan tetapi amat lihai.
Sebentar saja julukan itu tersebar sampai luas. Siauw Beng, A Siong dan Ai Yin di jamu pesta makan oleh Lurah Lu, kepala dusun ayah Lu Bi Hwa beserta beberapa orang yang di anggap sebagai tua-tua dusun Ki-cung. Mereka makan minum dengan gembira dan dalam kesempatan ini, Ai Yin berkata kepada Lurah Lu dan isterinya. "Paman dan bibi berdua, kami tadi telah menceritakan tentang puteri kalian Bi Hwa yang nyaris celaka akan tetapi dapat di selamatkan oleh A Siong. Sekarang kami akan memperkenalkan keadaan A Siong kepada paman berdua sekeluarga. Ketahuilah bahwa A Siong ini telah yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga lain kecuali kami berdua sebagai sahabat baiknya dan gurunya yang tinggal jauh di Thai-san. A Siong sahabat kami ini adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan bijaksana, usianya sekarang sudah". Eh, berapa usiamu, A Siong"." Dengan kedua pipi kemerahan A Siong menjawab sambil menundukkan mukanya.
"Tiga puluh tiga tahun". "Ya, tiga puluh tiga tahun. Akan tetapi dia masih perjaka tulen, belum pernah menikah, belum pernah berpacaran. Setelah dia menyelamatkan kehormatan dan bahkan nyawa Bi Hwa, maka terdapat hubungan kasih di antara mereka berdua. Karena A Siong tidak mempunyai keluarga, maka kami berdua sebagai sahabat baiknya menjadi wakil keluarganya untuk meminang puteri kalian Lu Bi Hwa untuk menjadi jodoh A Siong! Bagaimana pendapat Paman berdua dan keluarga"." Siauw Beng mendengarkan dengan kagum. Bukan main gadis ini. Dapat bicara tentang pinangan sedemikian lancarnya. Padahal kalau dia di suruh mewakili dan mengajukan pinangan seperti itu, dia pasti tidak akan mampu bicara.! A Siong menundukkan mukanya. Dia merasa malu dan juga hatinya berdebar tegang. Mungkinkah kepala dusun dan keluarganya dapat menerima dia yang tidak mempunyai apa-apa itu sebagai jodoh Lu Bi Hwa"
Sambil tunduk dia melirik kea rah Bi Hwa yang juga duduk di situ, di sebelah ibunya dan dia melihat gadis itu juga menundukkan muka. Mendengar ucapan Ai Yin, Lurah Lu dan isterinya saling pandang. Sungguh pinangan itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka! Puteri mereka yang telah di culik perampok, kini di lamar seorang di antara tiga pendekar yang telah menyelamatkan, bukan saja puteri mereka, bahkan seluruh penduduk dusun itu dari gangguan gerombolan perampok" Hampir mereka tidak dapat percaya.! "Bi Hwa, bagaimana pendapatmu?" Tanya ayah dan ibu itu kepada puteri mereka hamper berbareng. Bi Hwa yang tadinya menunduk malu, kini mengangkat muka dan pandang matanya penuh keberanian dan kepastian, "Ayah dan ibu, In-kong A Siong telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku. Aku sudah mengambil keputusan bulat untuk ikut dengannya dan menjadi pelayannya. Kalau hal itu tidak dapat terlaksana, aku akan bunuh diri saya karena hidup hanya akan mendatangkan aib bagiku".
Lurah Lu dan isterinya tertegun mendengar ucapan putrinya itu. Telah banyak pinangan di ajukan orang terhadap Bi Hwa, namun gadis mereka itu selalu menolak keras dan sekarang Bi Hwa telah begitu pasrah kepada penolongnya, A Siong yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu. Terdengar suara tawa dari seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Kakek ini adalah paman dari Lurah Lu. "ha-ha-ha, kalian ini termangu-mangu mempertimbangkan apa lagi?" katanya kepada Lurah Lu dan istrinya. "Bi Hwa sudah berusia dua puluh tahun dan selama ini selalu menolak pinangan yang datang sehingga meresahkan hati keluarga kita. Sekarang dia menemukan jodoh yang begini baik! Mereka sudah saling cocok dan dengan adanya pendekar" A Siong, eh siapakah nama keluarganya?"" Siauw Beng menjawab, "Nama keluarga suheng adalah Tan, akan tetapi dia sudah terbiasa di sebut A Siong". "Ya, dengan adanya Pendekar Tan Siong sebagai cucu mantuku di sini, bukan saja keluarga kita akan terjamin keselamatannya, bahkan keselamatan seluruh dusun dapat di lindungi.
Dimana lagi Bi Hwa bisa mendapatkan seorang suami seperti dia"." Lurah Lu dan istrinya tertawa dan mereka memandang kakek yangmenjadi paman mereka itu. "Aih, Paman, siapa yang termangu-mangu dan ragu" Kami hanya terheran-heran mendengar pinangan itu! Bagaimana mungkin seorang pendekar besar seperti Taihiap ini sudi jodoh dengan anak kami?"" A Siong yang memang berwatak jujur dan terbuka, merasa lega melihat gelagat keluarga Bi Hwa menyetujui ikatan perjodohan itu sehingga kini dia berani mengangkat muka dan dia berkata dengan suara lantang. "Ah, harap paman jangan berkata begitu. Saya yang merasa takut, kalau-kalau di tolak karena saya hanyalah seorang yatim piatu yang miskin". "Hai, A Siong! Mengapa engkau menyebut paman kepada calon ayah mertuamu?" Ai Yin menegur sehingga kembali A Siong tersipu dan semua orang tertawa. Bi Hwa merasa begitu girang sehingga ia merangkul ibunya yang duduk di sebelahnya, mencium pipi ibunya lalu saking malunya ia berlari ke belakang meninggalkan ruangan itu dimana mereka berpesta tadi.
Kembali semua orang tertawa. "A Siong, sebaiknya engkau kejar Bi Hwa, ia pasti berada di taman belakang dan kalian rundingkan berdua kapan perayaan pernikahan akan di langsungkan", kata Lurah Lu. "Sebaiknya secepat mungkin, suheng!" kata Siauw Beng. Dengan muka kemerahan A Siong bangkit lalu mengejar Bi Hwa ke belakang, di ikuti suara tawa gembira semua orang yang berada dalam ruangan itu. Demikianlah, karena Siauw Beng dan Ai Yin akan melangsungkan pernikahan antara A Siong dan Lu Bi Hwa di langsungkan dua hari kemudian. Pernikahan itu berlangsung meriah, di hadiri oleh seluruh penduduk dusun Ki-Cung dan para lurah dan sesepuh dusun tetangga yang semua merasa gembira mendengar gerombolan jahat di Bukit Menjangan itu telah di basmi oleh Pendekar Si Tangan Halilintar bersama dua orang temannya. Lebih gembira lagi ketika mereka mendengar bahwa puteri Lurah Lu di Ki-cung kini menjadi suami istri seorang di antara para pendekar itu sehingga semua orang di sekitar daerah itu akan merasa tentram.
Setelah perayaan pernikahan selesai, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siauw Beng dan Ai Yin berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. A Siong dan istrinya mengantar Siauw Beng dan Ai Yin menuju ke Sungai Huang-Ho, meninggalkan para penduduk yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun. Setelah tiba di pantai dimana Siauw Beng meninggalkan perahu kecilnya, A Siong memegang kedua tangan sutenya dan berkata dengan suara parau karena terharu. "Sute, tolong sampaikan kepada suhu tentang keadaanku di sini dan sampaikan permohonan maafku". "Tentu saja, suheng. Jangan khawatir akan hal itu", kata Siauw Beng yang merasa terharu pula. Selama ini, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah berpisah dari A Siong. Berlatih, bermain, makan dan tidur selalu berdua dan kini mereka harus berpisah.! "Sute, yakinkah engkau bahwa aku tidak harus menemami perjalanmu?" Tanya A Siong dengan suara gemetar.
Siauw Beng merasa terharu dan dia mempererat pegangan tangannya,lalu menggeleng kepala, tidak berani bicara karena dia tahu bahwa suaranya pasti terdengar gemetar pula. Apalagi ketika dia mengangkat muka memandang wajah suhengnya yang merah dan sepasang mata A Siong basah dan berlinang air mata. Siauw Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menundukkan mukanya agar tidak nampak bahwa kedua matanya juga basah, bahkan kini ada air mata menetes dari pelupuk mata mereka. "Hai, hai! Apa- apaan ini" Kalian ini pendekar-pendekar gagah perkasa kini bertangisan seperti nenek-nenek cengeng saja!" terdengar Ai Yin berseru dengan suara mencela. Dua orang pemuda itu cepat-cepat mengusap dua titik air mata dan mereka tersenyum. Untung ada Ai Yin di situ, kalau tidak ada, tentu mereka akan hanyut oleh keharuan yang akan membuat perpisahan itu menjadi terlalu berat bagi mereka. Keduanya memaksa senyum dan saling melepaskan tangan.
Siauw Beng dan Ai Yin lalu mendorong perahu ke air setelah talinya di lepas dari batang pohon oleh A Siong. Dua orang laki-laki itu tidak bicara lagi sampai Siauw Beng dan Ai Yin masuk ke dalam perahu. "Sute, jaga dirimu baik-baik", kata Asiong. "Engkau juga, suheng. Berbahagialah engkau bersama isterimu. Selamat tinggal, suheng, aku akan selalu mengenangmu". "Aku juga, sute. Selamat jalan". Perahu meluncur menurut arus air. Siauw Beng yang duduk di perahu menoleh memandang suhengnya sambil melambaikan tangan. A Siong juga mengikuti kepergian sutenya dan melambaikan tangannya sampai perahu itu lenyap di sebuah tikungan. Baru dia berhenti melambai dan kembali beberapa tetes air mata keluar dari mata dan membasahi pipi. Tiba-tiba Lu Bi Hwa berlutut dan merangkul kedua kakinya. "Aduh, ampunkan aku suamiku, akulah yang telah membuat engkau terpaksa berpisah dari sutemu itu?". Lu Bi Hwa meratap sambil menangis terharu.
A Siong membungkuk, memegang kedua pundak istrinya, mengangkatnya bangkit berdiri. Mereka berpandangan, keduanya dengan mata basah, lalu A Siong mendekap Bi Hwa ke dadanya, menekan kepala istrinya itu ke dadanya. "Bi Hwa, istriku. Engkau tidak bersalah, akulah yang lemah. Marilah, istriku, mari kita pulang. Kita songsong kehidupan baru bersama". Dia mencium isterinya dan mereka berjalan pulang sambil saling rangkul. Suami itu merangkul pundak istrinya dan si isteri merangkul pinggang suaminya.
"Siauw Beng, engkau menyesal membujuk suhengmu menikah sehingga sekarang terpaksa engkau berpisah darinya?" Tanya Ai Yin ketika ia melihat pemuda itu termenung di kepala perahu sehingga pemuda itu lupa bahwa sejak tadi ia yang mendayung perahu itu. Mendengar pertanyaan ini, barulah Siauw Beng seolah terseret kembali ke dunia nyata. Cepat dia berkata," Ah, maaf Ai Yin. Sini biar aku yang mendayung perahu ini". "Biarlah, Siauw Beng. Biar aku dulu yang mendayung, nanti kau gantikan kalau aku sudah lelah. Kau duduklah dan tenangkan dulu hatimu, aku tahu betapa berat hatimu harus berpisah dengan A Siong. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa kini A Siong telah menemukan jodoh dan rumah tinggal keluarga baik-baik. Bi Hwa amat mencintainya dan dia juga menyayang gadis itu. Mereka akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia. Tentu keadaannya jauh lebih baik daripada kalau dia selalu mengikutimu sebagai seorang kelana yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai keluarga".
Siauw Beng menarik napas panjang. "Engkau benar Ai Yin. Aku berharap dan bahkan yakin bahwa dia tentu akan hidup berbahagia. Aku juga ikut merasa senang kalau suheng hidup bahagia. Akan tetapi engkau tentu dapat mengerti, Ai Yin. Hubunganku dengan suheng A Siong bukanlah hubungan kakak dan adik seperguruan belaka. Jauh daripada sekedar saudara seperguruan! Sejak aku kecil dan mulai dapat berpikir, dialah orang yang selalu menemaniku. Bahkan dia yang mengasuhku, mengajak aku bermain, menghiburku kalau aku menangis, menggendongku. Kemudian setelah aku mulai belajar silat, dia pula yang selalu menemaniku berlatih. Dia itu seolah segala-galanya bagiku, satu-satunya orang yang paling dekat dengan aku, latihan bersama, makan bersama, tidur bersama. dan ini terjadi selama hidupku sampai sekarang". Ai Yin mengangguk. "Aku mengerti betapa beratnya berpisah Dari orang yang paling kau sayang.
Akan tetapi aku pernah mendengar ayahku berkata bahwa kehidupan di dunia ini tidak ada yang abadi. Ada pertemuan dan hidup bersama, pasti akan di susul dengan perpisahan karena itu jangan ada kemelekatan karena kemelekatan itulah yang mendatangkan rasa sakit kalau harus berpisah". Mendengar ucapan gadis itu, Siauw Beng tersenyum. Lucu rasanya mendengar gadis ugal-ugalan itu mengucapkan kata-kata yang biasanya di ucapkan seorang pendeta atau setidaknya seorang guru yang sudah tua. Diapun pernah mendengar ucapan itu dari mendiang Pek In San-jin. "Akan tetapi, Ai Yin. Segala macam pelajaran seperti itu amat mudah di dengar dan dimengerti, akan tetapi untuk melaksanakannya, teramat sukar. Manusia manakah yang mampu membebaskan diri dari kemelekatan" Seluruh anggota tubuh kita ini, berikut hati akal pikiran kita, dapat mendatangkan kesenangan dan justru kesenangan itulah yang melahirkan kemelekatan".
"Tepat sekali, Siauw Beng. Memang kesenangan itulah yang menyebabkan adanya kemelekatan, dan tidak mungkin manusia selagi hidup di dunia ini menghindarkan diri dan menolak segala hal yang mendatangkan kesenangan. Pelajaran itu hanya boleh di ajarkan kepada orang yang tidak suka hidup lagi atau orang yang hendak mengasingkan dirinya dari dunia ramai untuk menjadi pertapa atau pendeta, tidak hidup sebagai manusia biasa. Aku pun sudah membantah hal ini kepada ayahku, akan tetapi dia hanya menertawakan aku saja". Siauw Beng mengerutkan alisnya mendengar ucapan gadis itu. Kiranya gadis itu belum mengerti benar akan pelajaran yang mendalam tentang kehidupan dan kebijaksanaan yang tadi di tiru dari ayahnya hanya di kenal kulitnya saja tanpa mengenal benar artinya atau isinya. "Ai Yin, ayahmu benar sekali dan engkau perlu mengetahui bahwa apa yang dimaksudkan dengan semua ajaran tentang kebajikan dan kehidupan.
Segala macam tentang hidup itu tentu saja tidak mungkin di taati secara sempurna karena hal itu tidak mungkin bagi manusia selagi dia masih hidup di dunia ini. Akan tetapi pelajaran itu sedikitnya membuat kita mengerti akan sebab akbibat, mengerti pula dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut kita lakukan dan apa yang semestinya tidak kita lakukan. Pengertian ini yang membedakan kita dari mahluk lain, membedakan kita dari binatang. Kita mengerti bahwa duka akibat perpisahan itu timbul karena adanya kemelekatan yang lahir pula dari kesenangan. Akan tetapi untuk kesenangan dalam kehidupan kita adalah tidak mungkin selama kita masih ingin hidup lumrah sebagaimana manusia biasa. Akan tetapi, pengertian tentang timbulnya duka karena kesenangan itu sedikitnya membuat kita sadar sehingga tidak terlalu larut atau tidak sampai mabuk dalam kesenangan. Membuat kita waspada sehingga andaikata ada kemelekatan pun tidaklah terlalu kuat."
Ai Yin tertawa. "he-he-he, aku melihat engkaupun sudah dapat tersenyum. Itu tandanya bahwa kedukaanmu karena harus berpisah dari orang yang kau kasihi itu tidaklah terlalu mendalam. Aku sendiri tidak mungkin bebas dari senang susah, gembira sedih, puas kecewa, cinta benci dan sebagainya karena aku masih hanyut oleh perasaanku dan aku belum mau menjadi pertapa atau pendeta!." Siauw Beng tersenyum. Senang hatinya bicara dengan gadis ini yang ternyata selain lihai ilmu silatnya, pemberani, gagah, cerdik dan di tambah lagi jujur mengakui kelemahannya dan agaknya dapat mengerti percakapan mengenai kehidupan. "Hemmm, biar seorang pertapa atau pendeta sekalipun selagi masih hidup mereka tidak mungkin terbebas sama sekali dari kesenangan. Mata mereka masih suka memandang apa yang menyenangkan, juga telinga mereka suka mendengarkan suara yang menyenangkan, hidung mereka suka mencium bau yang menyenangkan dan segala anggota tubuh mereka suka akan sesuatu yang menyenangkan. Ini sudah merupakan sesuatu yang alami, yang terbawa sejak lahir.
Biarpun mereka itu sudah lebih kuat dari orang biasa yang mengalami kesenangan tanpa kesan mendalam, namun tetap saja mereka masih dapat terpengaruh segala yang menyenangkan. Bahkan tujuan dan harapan mereka juga ingin mencapai hasil yang menyenangkan bagi mereka, walaupun hasil itu tidak sama dengan kesenangan lahir bagi manusia biasa". "Akan tetapi, Siauw Beng, aku menjadi bingung. Bukan kah para pertapa dan pendeta itu sudah tidak lagi memperdulikan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan surga atau nirwana atau yang di sebut mencapai dan bersatu kembali dengan Sang Sumber atau Thian (Tuhan)"." "Benar, Ai Yin. Akan tetapi kalau mereka mau bicara sejujurnya, apa yang dinamakan surga atau nirwana atau persatuan dengan Thian itu pun merupakan hal yang mereka anggap menyenangkan! Kesenangan yang terselubung kehalusan, seolah berbeda dengan kesenangan badani atau duniawi. Mereka katakan keindahan, kedamaian, ketentraman dan sebagainya.
Akan tetapi bukankah semua itu juga menyenangkan" Kembali kepada rasa senang juga dan dimana ada rasa senang, di situ pasti ada rasa kemelekatan tadi, hanya kadarnya saja yang berbeda, tebal dan tipis". "Wah, wah! Aku menjadi pusing, Siauw Beng. Engkau bicara seperti kakek- kakek dan aku yang mendengarkan dan memikirkan merasa seperti nenek-nenek. Otakku menjadi puyeng!" kata Ai Yin sambil tertawa. Cantiknya gadis itu kalau tertawa.! "Sudahlah, Ai Yin tidak perlu berpusing-pusing memikirkan tentang filsafat. Filsafat itu hanya permainan kata-kata tingkat tinggi. Kembali saja kepada keadaan kita sendiri. Kita ini hidup ada Yang Menghidupkan, mati ada Yang Mematikan. Segala macam perasaan inipun bukan buatan kita, melainkan ada Yang Memberi kepada kita. Kita berhak mempergunakan semua bagian tubuh dan hati akal pikiran kita, asal saja tidak menyimpang dari kebenaran".
"Nah, sulit lagi! Kebenaran itu apa dan bagaimana?""Bukan lagi kebenaran kalau diperebutkan atau diperdebatkan. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua agama. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua orang tua dan guru yang tidak sesat. Kebenaran sudah dikenal oleh setiap orang manusia di bagian dunia masing-masing sejak dia mampu mengerti kata-kata. Semua orang yang melakukan kejahatan di dunia ini tahu bahwa perbuatan mereka itu tidak benar. Jadi kebenaran tidak perlu di perbincangkan lagi. Pendeknya kebenaran itu membangun, memelihara, tidak merusak, kebenaran itu juga dapat dinamakan Kasih". "Ya, sudahlah, kalau kau lanjutkan aku bisa jatuh pulas karena otakku lelah memikirkan itu semua. Sekarang engkau hendak langsung ke kota raja"." "Tidak, Ai Yin. Aku ingin pergi ke Kota Keng-koan dulu yang letaknya tidak jauh dari kota raja. Aku ingin mencari dan mengunjungi Makam ayah kandungku".
"Ah, aku senang dapat melakukan perjalanan ini, Siauw Beng. Aku juga ingin sekali melihat Kota Raja yang kabarnya amat ramai dan indah". "Engkau juga belum pernah ke sana?" "belum. Ketika aku meninggalkan ayah di pegunungan Beng-san, aku langsung saja mencari susiok Can Ok di lembah sungai Huangho. Siauw Beng engkau belum pernah cerita tentang mendiang orang tuamu. Ceritakanlah, Siauw Beng, aku ingin sekali mengetahui segala tentang dirimu". Siauw Beng menghela napas panjang. "Sudah ku katakana bahwa aku terlahir dan tak pernah mengenal ayah ibuku. Aku hanya mengetahui tentang mereka dari ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok. Ceritanya tentang ayah dan ibuku amat menyedihkan Ai Yin". "Nah, nah! Bukankah orang bijaksana tidak boleh terlalu terpengaruh kesenangan dan kesusahan" Ceritakanlah, Siauw Beng. Biar aku yang mendayung terus dan engkau yang bercerita. "Jangan seperti ayahku, Siauw Beng".
"Kenapa ayahmu"." "Pendiam dan pelit sekali kalau di minta bercerita tentang mendiang ibuku, tentang masa mudanya dan sebagainya. Karena pelit bercerita itu aku sampai tidak menduga sama sekali bahwa (Lanjut ke Jilid 11)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11 susiok Can Ok ternyata seorang yang jahat! Nah, berceritalah tentang ayah ibumu". "Di waktu mudanya, ayah bernama Lauw Heng San dan sejak muda dia bertindak sebagai seorang pendekar, menolong siapa saja tanpa membedakan orang karena dia tidak terpengaruh oleh gerakan para pendekar yang berjuang menentang pemerintah Kerajaan Mancu. Siapa saja yang perlu di tolong, dia tolong dan siapa saja yang melakukan kejahatan dia tentang.?"Wah, itu benar sekali. Aku pun dalam dua tiga bulan ini sering menentang susiok kalau dia merampok rombongan orang Mancu dan hendak membunuh mereka yang tidak berdosa.?"Karena sama sekali tidak tahu akan perjuangan menentang Kerajaan Mancu, ayah terbujuk seorang pembesar Mancu, yang di serang gerombolan.
Pembesar Mancu itu memakai nama pribumi Thio Ci Gan, padahal sebenarnya dia seorang pangeran Kerajaan Mancu. Thio-ciangkun (panglima Thio) bersikap baik kepada ayah dan memberi kedudukan sebagai seorang perwira, bahkan ayah di ambil sebagai mantu, di nikahkan dengan puteri tiri Thio-ciangkun atau Pangeran Mancu itu. Kemudian ayah mendapat tugas untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat yang sebetulnya adalah para pejuang yang menentang Kerajaan Mancu. Ayah tidak tahu akan hal itu sehingga banyak pendekar yang tewas di tangannya!." Siauw Beng berhenti dan menghela napas, menyesal dan kasihan kepada ayah yang tidak pernah dilihatnya itu. "ayahmu tidak bersalah. Pangeran Mancu itulah yang jahat" eh, maaf, bukankah mendiang ibumu itu puteri dari pangeran itu"." "Ya, akan tetapi hanya anak tiri. Kakek ku bermarga Bu dan sudah meninggal dalam perjuangan ketika tentara Mancu menyerbu ke selatan.
Nenekku, Nyonya Bu, menjadi istri Thio-ciangkun dan membawa seorang anak, yaitu ibuku yang bernama Bu Kui Siang. Ketika ibuku mengandung aku, ayahku bertemu gurunya dan baru menyadari bahwa dia telah tertipu dan membunuh banyak pendekar patriot yang berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Ayah menjadi marah sekali lalu memberontak, terjadi pertempuran hebat dan ayahku di keroyok para jagoan Thio-ciangkun itu. Akhirnya, ayah dapat membunuh Thio-ciangkun akan tetapi dia juga tewas". "Ah, sungguh sayang. dan bagaimana dengan ibumu"." "Ah, ketika aku ingat akan cerita ayah angkatku tentang ibu kandungku,aku menjadi sedih sekali, Ai Yin. Ketika ayah kandungku memberontak sehingga terjadi perkelahian hebat, ayahku di bantu oleh para pendekar pejuang termasuk Lam-liong Ma Giok, ibuku melarikan diri, di tolong ayah angkatku itu. Ketika ibu di ajak lari oleh Lam-liong Ma Giok, ia dalam keadaan hamil.
Mereka berdua melakukan perjalanan ke Thai-san. Perjalanan itu amat jauh dan ibu dalam keadaan mengandung sehingga perjalanan lambat sekali. Berbulan-bulan mereka melakukan perjalanan. Sebelum tiba di Thai-san mereka melihat pengantin baru di culik gerombolan penjahat. Pengantin prianya putera seorang penjahat Mancu, dan yang wanita seorang wanita Han. lam-liong Ma Giok menolong mereka lalu melanjutkan perjalanan. Ketika itu kandungan ibuku sudah sembilan bulan. Kemudian muncul" Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak buahnya menghadang dan menuduh ayah angkatku sebagai pengkhianat dan membela orang Mancu. Mereka bertanding dan Can Ok melarikan diri". "Hemmm, kiranya sejak mudanya susion Can Ok sudah menjadi kepala gerombolan penjahat!" kata Ai Yin penasaran dan ia merasa malu mempunyai paman guru seperti itu. "Can Ok dan anak buahnya dapat di usir, akan tetapi ibuku di culik dua orang anak buah Can Ok.
Lam-liong Ma Giok melakukan pengejaran dan berhasil membunuh dua orang penculik dan menyelamatkan ibu. Perjalanan di lanjutkan dan sudah tiba saatnya ibu melahirkan. Di sebuah dusun ibu di tolong seorang bidan. Akan tetapi ketika ibu sedang berjuang hendak melahirkan aku, muncul Can Ok yang di bantu oleh Hui-kiam Lo-mo menyerang!." "Wahhh, memalukan sekali! Susiok dan sukong ( kakek guru ) jahat sekali!" teriak Ai Yin. "Lalu bagaimana, Siauw Beng"." "Lam-liong Ma Giok melawan mati-matian di luar kamar sedangkan di dalam kamar, di bantu bidan yang ketakutan, ibu kandungku juga berjuang mati-matian. Tubuhnya yang lemah karena perjalanan jauh dan kedukaan membuat kelahiranku itu sukar sekali. Akhirnya ayah angkatku berhasil mengusir Can Ok dan Hui-kiam Lo-mo, akan tetapi pada saat dia bertanding itu, ibuku telah melahirkan aku. Aku di lahirkan selamat, akan tetapi ibuku?", suara Siauw Beng tersendat.
"Ibumu bagaimana" Bagaimana, Siauw Beng?" Ai Yin memegang lengan Siauw Beng dengan kuat sehingga dia lupa mengemudikan perahu dengan dayung sehingga perahu melintang. "Ibu" meninggal dunia?". "Keparat! Busuk sekali mereka! Aku akan melaporkan kepada ayah tentang kejahatan Can Ok!" teriak Ai Yin marah. Akan tetapi melihat perahu melintang ia lalu menggerakkan dayungnya sehingga perahu itu meluncur kembali. "Siauw Beng, kenapa engkau tidak membunuh Can Ok ketika mendapat kesempatan bertanding dengan dia"." Siauw Beng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ai Yin. Suhu Pek-in San-jin, juga ayah angkatku melarang aku melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Biarpun Can Ok menyerang ayah angkatku, namun dia menyerang dengan tuduhan bahwa Ma Giok menjadi pengkhianat. Dia tidak langsung membunuh ibuku, walaupun munhkin penyerangan itu yang menyebabkan ibuku mati ketika melahirkan".
"Hemm, aku tidak setuju dengan pendapat itu, Kalau aku menjadi engkau tentu sudah ku bunuh Can Ok itu! Lalu bagaimana ceritamu selanjutnya, Siauw Beng"." "Sejak lahir aku di pelihara oleh ayah angkatku itu. Dapat engkau bayangkan betapa sukarnya bagi seorang laki-laki untuk merawat dan memelihara seorang bayi yang baru lahir, padahal dia sedang melakukan perjalanan ke Thai-san. Setelah dia tiba di Thai-san, ayah angkatku itu tinggal di sana dan memelihara aku sampai aku berusia sepuluh tahun, baru aku di serahkan kepada suhu Pek In San-jin untuk di latih lebih lanjut. Dan sejak kecil aku selalu di temani suheng A Siong yang baik dan setia. Demikianlah riwayatku, Ai Yin sampai aku dan suheng di suruh turun gunung". "Wah, sungguh amat bijaksana Lam-liong Ma Giok. Akan tetapi engkau belum bercerita tentang nenekmu, nyonya Bu yang menjadi isteri Pangeran Mancu itu. Bagaimana dengan ia?" "Entah, ayah angkatku tidak tahu tentang nenekku. Karena itu, di Keng-koan nanti aku akan mencari keterangan tentang nenekku itu".
"Sebuah pertanyaan lagi, Siauw Beng. Akan tetapi janji dulu, engkau tidak akan marah oleh pertanyaanku ini". "Siuaw Beng tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap gadis yang lincah, jujur dan terbuka ini". "Aku tidak akan marah. Bertanyalah, Ai Yin". Gadis itu memandang kearah lengan kiri Siauw Beng yang buntung. "Apa yang terjadi dengan lengan kirimu" Aku tidak percaya kalau lengan kirimu buntung sejak engkau lahir". Siauw Beng menghela napas panjang. Dia sudah khawatir akan di Tanya tentang lengan kirinya yang buntung. Kepada orang lain mungkin dia tidak akan menceritakan tentang ini, akan tetapi dia merasa bahwa terhadap Ai Yin dia tidak dapat merahasiakannya. Kalau dia tidak mau menceritakan, tentu Ai Yin akan menganggap dia tidak percaya kepadanya. Padahal gadis itu juga sudah bercerita tentang dirinya tanpa ada yang di rahasiakan, bahkan mengaku terus terang bahwa Can Ok yang jahat adalah paman gurunya.
"Ini semua terjadi karena kesalahpahaman belaka, Ai Yin. Aku pernah menolong seorang wanita Mancu dan hal ini di anggap sebagai pengkhianatan terhadap para pejuang. Bahkan ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok sendiri terkena hasutan itu dan percaya bahwa aku berkhianat. Aku di serang dan" ketika menangkis bacokan pedang, lengan kiriku buntung?". "Apa" "Ai Yin membelalakkan matanya. "Ayah angkatmu Lam-liong Ma Giok itu, yang aku kagumi karena kebijaksanaannya, dia sendiri yang membuntungi lengan kirimu"." Siauw Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kalau dia teringat akan peristiwa itu, bukan dibuntungi lengannya yang menyakitkan hatinya benar, melainkan sikap Lam-liong Ma Giok yang membencinya karena ayah angkatnya itu percaya akan tuduhan yang di lontarkan kepadanya oleh Song Cun. "Bukan, karena ayah angkatku yang membuntungi, Ai Yin. Orang lain yang melakukan.
Akan tetapi aku merasa sedih sekali, bukan kerena buntungnya lengan kiriku, melainkan karena ayah angkatku juga percaya bahwa aku telah berkhianat dan menjadi pembela orang Mancu". "Hemmm, wanita Mancu yang kau tolong itu, mengapa engkau menolongnya" Apa yang terjadi dengannya"." "Ia hendak di bunuh tanpa dosa, maka aku mencegah pembunuhan itu". Siauw Beng tidak mau menceritakan tentang perkosaan terhadap Puteri Mayani itu. "Dua orang pendekar Song, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap telah di serbu pasukan Manchu dan terbunuh. Wanita Manchu itu di tuduh menjadi penggerak dari penyerbuan itu, padahal dia bukan. Para pendekar pejuang menangkapnya dan hendak di bunuh. Aku yang tahu betul bahwa dia bukan penggerak penyerbuan, lalu menolongnya. Akibatnya aku di tuduh pengkhianat". Gadis itu mengangguk-angguk, sampai lama mereka tidak bicara.
Ai Yin termenung dan alisnya berkerut. "Siauw Beng!." Pemuda itu terkejut karena dia pun sedang melamun ketika gadis itu memanggilnya secara tiba-tiba. "Ada apa, Ai Yin"." "Wanita Manchu itu sudah tuakah ia atau masih muda"." "Masih muda, seorang gadis sebaya dengan engkau". "Cantik"." "Yaahhh", sama dengan engkau". Sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut dan sepasang mata itu mengamati wajah Siauw Beng penuh selidik. "Cantik tidak, tanyaku tadi!." "Hemmm, cantik sekali", kata Siauw Beng jujur. Wajah Ai Yin berubah kemerahan. Hatinya merasa senang, akan tetapi juga iri. Senang karena gadis itu cantik sekali dan sama dengannya, berarti pemuda itu juga mengatakan bahwa ia cantik sekali! Dan ia pun iri mendengar Siauw Beng memuji gadis Mancu itu dan menolongnya dengan pengorbanan lengan kirinya sebagai akibat pertolongan itu. "Siapa namanya"." "Nama Siapa?" "Nama gadis Manchu itu tentu saja!."
"Ooo, namanya Puteri Mayani". "Puteri"." "Ya, dia puteri seorang pangeran Mancu, ibunya wanita Han". "Hemmm" Mayani?". "Eh, Ai Yin, mengapa engkau tertarik tentang Puteri Mayani"." "Aku ingin melihat seperti apa gadis Mancu itu sehingga engkau rela mengorbankan lengan kirimu untuknya". "Aih, aku tidak mengorbankan lenganku untuknya! Aku hanya menolong ia karena ia hendak di bunuh Song Cun?"Siauw Beng tiba-tiba menahan bicaranya karena dia tidak ingin bicara tentang peristiwa itu. "Song Cun" Siapa dia?" "Ah, dia itu putera pendekar ke dua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terbunuh oleh pasukan Manchu. Karena menuduh Puteri Mayani sebagai penggerak penyerbuan itu, maka untuk membalas dendam kematian ayahnya dia hendak membunuh gadis itu". Ai Yin mengangguk-angguk. "Hemmm, dan engkau mencegah pembunuhan itu maka engkau lalu di anggap sebagai pengkhianat dan pembela gadis Manchu"."
"Sudahlah, Ai Yin. Tidak ada gunanya kita membicarakan soal itu yang sudah terjadi lebih dari setahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mengenang peristiwa yang pahit itu". Melihat Ai Yin masih mengerutkan alis seperti orang berpikir dia berkata, "Mari ku gantikan mendayung!." Tanpa menjawab Ai Yin menyerahkan dayung dan mereka bertukar tempat. Siauw Beng duduk di tengah mendayung atau lebih tepat mengemudikan perahu karena perahu itu meluncur terbawa arus sungai yang mulai kuat, dan Ai Yin duduk di depannya. Gadis itu duduk membelakanginya seperti menikmati pemandangan yang cukup indah di sepanjang sungai. Setelah lama bersunyi diri, tiba-tiba Ai Yin tanpa menoleh bertanya, "Siauw Beng engkau ingin pergi ke kota raja untuk menemui Puteri Mayani"." "Ah, tidak. Sudah ku katakana, aku ingin melihat-lihat kota raja". Ai Yin diam sampai lama. Akan tetapi akhirnya kegembiraannya muncul kembali dan ia bersikap lincah dan ramah kepada Siauw Beng sehingga pemuda itu...
(Halaman 59 - 62 Hilang) Sehingga kami terpaksa melarikan diri dan banyak anak buahku yang roboh. Anak buahku cerai-berai dan aku terpaksa membentuk kelompok baru yang sekarang baru ada belasan orang". "Si Tangan Halilintar" Siapakah dia itu"." "Orangnya masih muda dan tampaknya lemah, bahkan lengan kirinya juga buntung tinggal sepotong sebatas siku. Akan tetapi dia lihai bukan main. Kawannya pemuda tinggi besar itu juga amat lihai, namanya A Siong". Cun Song mengangguk-angguk. Dia dapat menduga siapa yang dimaksudkan Can Ok. Tentu Siauw Beng yang kini agaknya menlanjutkan julukan ayahnya dahulu, yaitu si Tangan Halilintar. Dan A Siong itu tentu murid Lam-liong Ma Giok yang selalu menemani Siauw Beng. "Aku mengenal mereka, twako. Akan tetapi siapakah keponakan muridmu itu"." "Ia Wong Ai Yin, puteri suheng Bu-tek Sin-kiam". "Ah, seorang gadis"." "Ya, seorang gadis cantik. Akan tetapi iapun lihai bukan main.
Ketahuilah suheng Bu-tek Sin-kiam itu memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat mendiang suhu Hui-kiam Lo-mo". "Akan tetapi bagaimana keponakan muridmu malah membantu dua orang pemuda yang menjadi lawanmu itu"." "Begitulah wataknya, sama dengan watak suheng Bu-tek Sin-kiam. Ia hanya mau membantu kalau kami merampok orang-orang Mancu, itupun ia selalu melarang kalau kami hendak membunuh seorang Mancu dan melarang kami mengganggu wanita Mancu. Menjengkelkan sekali! Akan tetapi Wong Ai Yin, puteri suheng Bu-tek Sin-kiam itu sudah pergi dan aku tidak mau berhubungan dengannya lagi!." "Can-twako, selama setahu aku berada di Hek-kwi-san memperdalam ilmu sehingga aku tidak pernah mendengar akan keadaan di dunia ramai. Bagaimana sekarang keadaan penjajah Mancu" Bagaimana pula perjuangan para patriot menentang Kerajaaan Ceng"."
"Ah, berat sekali bagi kita untuk menentang Kerajaan Ceng, Cun Song, Kerajaan Mancu kini sudah menjadi kuat sekali dan mereka pandai mengambil hati para pendekar dan pejuang sehingga banyak para tokoh yang tadinya berjuang dengan gigih menentang penjajah, kini malah membantu pemerintah Kerajaan Ceng". "Hemmm, keparat para pengkhianat itu", kata Cun Song mengepal tinju. Apa yang di katakan Can Ok itu memang benar. Pemerintah Kerajaan Ceng, di bawah bimbingan Kaisar Kang His, pandai menyesuaikan diri dan mengambil hati rakyat pribumi Han. Selain banyak di antara mereka menikah dengan gadis Han, juga mereka menyesuaikan diri dengan kebudayaan bangsa pribumi. Kaisar Kang His memperhatikan kesejahteraan rakyat jelata sehingga sikap yang baik dari Pemerintah mancu ini menarik hati banyak orang, baik para ahli sastra mau pun ahli silat. Apalagi mereka melihat betapa pasukan Mancu amat kuat sehingga tidak ada gunanya melakukan pemberontakan karena sudah banyak para pemberontak terbasmi.
"Memang tidak ada artinya kalau kita melakukan perjuangan menentang kekuasaan Mancu yang semakin kuat dengan mengandalkan kekuatan kita sendiri, Cun Song. Akan tetapi sekarang terbuka bagi kita untuk memukul bahkan menghancurkan penjajah Mancu". "Eh, bagaimana caranya, twako"." Ketahuilah bahwa kini bangsa Mongol sedang melakukan gerakan untuk menundukkan Pemerintah Mancu dan merampas kerajaan. Mereka di pimpin oleh seorang tokoh Mongol yang gagah perkasa dan hebat bernama Galdan. Mereka mulai menyerbu ke selatan dan kalau kita dapat bergabung dengan mereka dan membantu gerakan mereka, tentu gerakan menentang Pemerintah Mancu akan berhasil!." Cun Song mengerutkan alisnya. "Akan tetapi itu berarti bahwa tanah air kita akan tetap di jajah bangsa Mongol kembali seperti dahulu kalau Pemerintah Mancu kalah. Lalu apa bedanya" kita tetap saja di jajah bangsa asing!."
"Bukan begitu, Cun Song. Kita bergabung dengan orang Mongol hanya untuk menjatuhkan Pemerintahan Mancu. Kalau hal itu sudah terjadi, kiranya akan lebih mudah untuk membalik dan mengusir orang-orang Mongol sebelum mereka menyusun kekuatan di sini". Cun Song mengangguk-angguk mengerti dan setuju."Lalu, bagaimana untuk dapat mengadakan kontak dengan mereka, twako"." "Aku sudah mencari keterangan tentang cara itu, Cun Song. Menurut keterangan yang kami dapat, kini Pangeran Galdan, demikian dia menyebut dirinya, katanya dia masih keturunan Kaisar Jenghis Khan dahulu, mempunyai beberapa tempat persembunyian di perbatasan utara". "Baiklah, ku harap engkau akan melanjutkan usahamu untuk mengadakan hubungan dengan mereka. Aku sendiri masih mempunyai urusan penting". "Urusan penting apakah, Cun Song" Kami akan membantumu". "Tidak, twako, ini merupakan urusan pribadiku.
Akan ku selesaikan sendiri. Ku harap engkau melanjutkan usahamu mengadakan kontak dengan Pangeran Galdan. Setelah nanti ada hubungan, aku akan mencarimu". "Baiklah, Cun Song. Kelak ku harap kita akan dapat selalu bekerja sama dan menikmati hasilnya bersama pula. Akan tetapi dimana aku dapat menemuimu. Setelah aku berhasil mengadakan hubungan dengan Pangeran Galdan"." "Bukan engkau yang menghubungi aku, twako. Akan tetapi aku yang akan mencarimu di daerah lembah Huang-ho". "Baiklah, Cun Song. Ada lagi sesuatu yang amat penting untuk kau ketahui". "Apakah itu, twako"." "Begini, Cun Song. Kami mendapat sebuah berita rahasia lagi tentang seorang pengeran keponakan kaisar Mancu bernama Pangeran Dorbai". Cun Song mengerutkan alisnya mendengar ini. Pangeran Dorbai adalah Pangeran Mancu yang memimpin pasukan menyerbu rumah paman tuanya, yaitu mendiang Song Kwan dan penyerbuan itu menyebabkan Song Kwan dan isterinya juga ayah ibunya sendiri tewas.!
"Ada apa dengan Pangeran jahanam itu?" tanyanya dengan hati mulai merasa panas. "Eh" Agaknya engkau membencinya, Cun Song"." "Apakah engkau juga tidak membenci semua keluarga Kaisar Mancu, twako"." "Ah, benar juga. Akan tetapi ketahuilah, Cun Song, menurut penyelidikan kami, kami mendengar akan suatu rahasia, yaitu bahwa diam-diam Pangeran Dorbai mempunyai hubungan rahasia dengan Pangeran Galdan orang Mongol itu". Cun Song memandang heran. "Aih, benarkah itu, twako" Bukankah Pangeran Dorbai itu seorang yang sibuk menentang para pejuang"." "Dulu memang begitu. Akan tetapi kini ia telah di angkat oleh Kaisar sebagai seorang menteri, pejabat tinggi yang mengepalai seluruh pejabat di daerah sehingga dia memiliki kekuasaan yang tinggi. Pengaruhnya besar sekali dan agaknya kekuasaan tinggi itu menyebabkan dia bercita-cita untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi lagi".
"Hemmm, memberontak"." "Ku kira begitulah. Dia hanya keponakan kaisar sehingga tentu saja tidak berhak mewarisi tahta kerajaan. karena itulah agaknya kini dia melihat kesempatan dengan adanya gerakan Pangeran Galdan dari Mongol itu untuk menjatuhkan kekuasaan Kaisar Kang Shi, pamannya sendiri sehingga dia mempunyai kesempatan untuk menggantikan kedudukan kasiar". "Hemmm, kalau begitu boleh juga engkau mengadakan kontak dengan Pangeran Dorbai itu, twako. Kelak kalau kita berhasil menjatuhkan kekuasaan pemerintah Mancu, aku sendiri yang akan membunuh Pangeran Dorbai sebelum dia mengambil kesempatan menjadi kaisar!." Pernyataan kebencian yang di lontarkan Cun Song terhadap Pangeran Dorbai ini tidak mengherankan Can Ok sehingga dia tidak menduga bahwa ada sesuatu antara pemuda itu dengan Pangeran Dorbai karena di antara para pejuang yang membenci pemerintah penjajah Mancu, siapa yang tidak membenci seorang pangeran, apalagi kalau pangeran itu dulu selalu sibuk membasmi para pejuang seperti Pangeran Dorbai".
"Baiklah, Cun Song. Aku akan berusaha sebaik mungkin. Mudah-mudahan saja apa yang kita cita-citakan berhasil". Cun Song tersenyum. "Cita-cita kita yang bagaimana, Can-twako"." Can Ok tertawa. "ha-ha-ha, tentu saja engkau kelak menjadi kaisar dan aku menjadi Perdana menterinya!." Mendengar ini, Cun Song tertawa bergelak dan Can Ok terbahak-bahak sehingga mereka berdua tertawa dengan gembira membayangkan terlaksananya cita-cita yang muluk itu. Setelah berbincang-bincang cukup, Cun Song pamit dan meninggalkan tempat itu. Can Ok lalu bersiap-siap untuk melaksanakan rencananya, yaitu mengadakan hubungan dengan Pangeran Galdan di perbatasan utara. Untuk mengadakan hubungan dengan Pangeran Dorbai, tentu saja dia belum berani karena hal itu pasti tidak mudah di lakukan. Pangeran yang berniat memberontak ini pasti tidak berani terang-terangan mengadakan hubungan dengan para pejuang yang selama ini menjadi musuhnya. Baru mungkin mengadakan kontak dengan Pangeran Dorbai kalau dia sudah menjadi sekutu orang-orang Mongol.
Kota Ci-kian adalah sebuah kota yang cukup ramai karena mempunyai hubungan langsung dengan kota raja. Perdagangan tumbuh dengan baik karena kota ini menjadi pusat pemasok barang kebutuhan makan sehari-hari bagi penduduk kota raja. Penduduk kota Ci-kian rata-rata hidup cukup sejahtera dari penghasilan mereka bercocok tanam dan berdagang hasil sawah lading. Karena itu, biarpun mereka di jajah Kerajaan Ceng pimpinan orang mancu, rakyat merasa cukup sandang pangan papannya sehingga hidup dengan aman tentram. Akan tetapi, baru beberapa bulan ini kota ini di ganggu seorang penjahat yang amat lihai. Penjahat itu melakukan perkosaan dan pembunuhan secara kejam sekali. Hebatnya gerakannya seperti setan karena amat cepatnya sehingga tidak ada seorangpun yang dapat melihat wajahnya dengan jelas. Yang melihatnya dengan jelas mungkin hanya mereka yang telah di bunuhnya. Mereka yang tidak terbunuh hanya melihat bayangan seorang laki-laki.
Wajahnya tidak jelas, tubuhnya tegap dan penjahat itu hanya memiliki lengan kanan karena lengan kirinya buntung dan sisanya tersembunyi dalam lengan baju yang kosong. Ada pula yang mendengar pengakuan penjahat itu yang berjuluk sebagai Si Tangan Halilintar karena semua pembunuhan dilakukan dengan tamparan yang demikian kuatnya sehingga yang di tampar pecah kepalanya atau patah-patah tulang dadanya, juga berguncang remuk isi perut dan dadanya.! Lebih hebat lagi, apa yang menjadi korbannya hanyalah orang-orang pribumi Han. Belum pernah dia mengganggu pembesar Mancu. Dalam waktu tiga bulan saja, sudah ada lima orang gadis di perkosa dan di bunuhnya, dan ada sepuluh orang pribumi Han yang tidak berdosa dibunuhnya. Maka, kota Ci-kian menjadi gempar dan nama julukan Si Tangan Halilintar tersohor dan di takuti orang. Ketika pasukan keamanan dan para pendekar mencari dan berusaha menangkapnya, tiba-tiba saja dia menghilang dari Kota Ci-kian.
Beberapa hari kemudian, dia sudah mengamuk lagi di kota lain, membunuh dan memperkosa wanita dengan cara yang sama, yaitu hanya orang pribumi Han yang dia bunuh. Setelah kejahatan ini berlangsung beberapa pekan, dia menghilang lagi. Dunia kangouw geger. Belum pernah ada penjahat seganas itu, apalagi yang dijadikan korban bukan hartawan atau bangsawan Mancu yang kaya, melainkan penduduk pribumi Han biasa yang hidupnya tidak mewah. Perbuatan penjahat itu membuat bukan saja para pendekar yang marah, akan tetapi juga pemerintah Kerajaan Ceng. Pemerintah marah karena perbuatan itu dapat mengakibatkan rakyat kembali membenci Pemerintah karena tentu mengira bahwa yang membunuh orang pribumi tentu orang Mancu! Dan para pendekar tentu saja marah kerena ada penjahat yang kejam terhadap rakyat yang tak berdosa. Si Tangan Halilintar itu menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Mancu dan juga kepada para pendekar sehingga kedua pihak itu kini mencarinya, berusaha menemukan dan menghukumnya seberat-beratnya.!
Pada suatu malam, di kota Ceng-jun, hujan turun membasahi seluruh kota. Di jalan-jalan sunyi karena hawa sangat dingin dan dalam cuaca hujan seperti itu, orang-orang lebih suka tinggal di rumah dan kalau tidak terpaksa sekali tidak ada yang mau keluar rumah. Akan tetapi dalam kegelapan malam yang dingin, ketika hujan kini tinggal rintik-rintik, nampak bayangan berkelebat di atas genteng sebuah rumah besar. Sinar lampu besar yang menerobos keluar dari ruangan dalam rumah itu menerangi bayangan yang kini mendekam di atas wuwungan rumah yang gentengnya tebal dan kokoh kuat. dalam keremangan sinar lampu, orang akan dapat melihat bahwa wajah itu wajah seorang laki-laki yang masih muda, akan tetapi bentuk wajah itu tidak jelas. Gerak-geriknya gesit dan tubuh laki-laki muda itu kokoh. Kepalanya di tutup sebuah caping lebar. Lengan baju yang kiri orang itu tergantung kosong. Malam mulai larut dan dalam cuaca yang gelap dan hawa udara yang dingin itu, agaknya semua penghuni rumah telah tidur.
Bagaikan seekor kucing, orang itu setelah mengintai dan mendapat kenyataan betapa ruangan di bawahnya itu sepi tidak tampak ada orang dan juga tidak terdengar suara apa pun, lalu dia melompat ke bawah. Ketika kedua kakinya menginjak lantai, sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hal ini menunjukkan bahwa orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Ada tiga buah kamar berdampingan di ruangan lebar itu. Orang yang jelas buntung lengan kirinya itu mendekati setiap kamar dan menempelkan telinganya pada jendela kamar yang tertutup. Kemudian seolah dapat mengetahui akan isi kamar melalui pendengarannya, ia telah memilih kamar di sudut kiri. Dengan jari-jari tangan kanannya, mudah saja baginya untuk mematahkan pengganjal jendela dan membuka jendela tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Lampu yang menyorot dari dalam kamar tidaklah seterang lampu yang berada di ruangan membuat kamar itu tampak remang-remang.
Namun dalam keremangan itu, orang itu dengan sepasang matanya yang mencorong dapat melihat bahwa yang rebah di pembaringan itu adalah seorang gadis muda, seperti yang di duganya dengan menempelkan telinganya di luar jendela tadi. Dengan mendengarkan secara itu, dia dapat membedakan siapa yang berada di dalam kamar, dan pernapasan orang yang berada di dalam.! Kemampuan inipun menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) kuat sekali. Dia tersenyum lalu bagaikan seekor kucing, dia melompat memasuki kamar melalui jendela yang terbuka. Lalu dia menutupkan kembali daun jendela itu dari sebelah dalam. Ketika ia menghampiri pembaringan, sebuah kejutan menyambutnya. Agaknya gadis itu terbangun dan tiba-tiba gadis itu melompat dan menyerangnya dengan pukulan yang cukup dahsyat. Hal ini membuktikan bahwa gadis itu seorang ahli silat yang sama sekali tidak lemah.!
Akan tetapi ternyata orang berlengan satu yang masuk seperti maling itu bergerak lebih cepat lagi. Dia bahkan menerima pukulan tangan gadis yang menyambar ke arah dadanya itu. "Dukkk"!!!" Pukulan itu tepat mengenai dada, akan tetapi maling itu sama sekali tidak terpengaruh dan pada saat itu, tangan kanannya dua kali meluncur, kea rah pundak lalu kea rah leher. "Tukk-tukk"! "Gadis itu tidak sempat mengelak dan seketika ia tidak mampu bergerak, tubuhnya lemas, kaki tangannya lumpuh dan ia pun tidak mampu mengeluarkan suara. Maling itu menerima tubuh yang terkulai hendak roboh, memondongnya dan membaringkannya kembali ke tempat tidur. Rumah itu adalah milik seorang tokoh dunia kangouw, seorang murid Siauw-lim-pay bernama Gui Liang. Tokoh Siauw-lim-pai berusia empat puluh lima tahun ini mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia sembilan belas tahun bernama Gui Cin. Tentu saja Gui Cin juga mendapat latihan ilmu silat Siauw-lim-pay dari ayahnya.
Gui Liang bekerja sebagai seorang piauwsu (pengawal pengiriman barang) dan terkenal di kota Ceng-jun karena selama kiriman yang di kawalnya tentu selamat sampai di tempat tujuan dan dia dapat menghalau gangguan perampok. Gui Liang tinggal dan hidup tenang, bersama isterinya dan puteri mereka, Gui Cin yang cukup cantik. Pada hari itu Keluarga Gui menerima seorang tamu bernama Lu Kiat yang masih sute (adik seperguruan) sendiri dari Gui Liang. Kedatangan Lu Kiat selain mengunjungi keluarga suhengnya (kakak seperguruannya) juga membawa usul perjodohan dengan seorang pemuda masih keponakan sendiri dari Lu Kiat yang bernama Lu Siong. Keponakan ini juga seorang murid Siauw-lim-pay yang pandai dan semuda itu, berusia dua puluh tiga tahun, dia sudah berdagang, memiliki toko hasil bumi yang cukup besar. Pemuda itu pun juga bukan orang asing bagi keluarga Gui, maka usul ini di terima dengan baik.
Bahkan Gui Cin sendiri juga tidak menolak karena iapun mengenal Lu Siong yang ganteng dan gagah perkasa. Malam itu, karena hawa udara dingin, maka setelah bercakap-cakap, Gui Liang mempersilahkan sutenya mengaso dan tidur di kamar sebelah kiri. Dia sendiri bersama isterinya tidur di kamar besar yang berada di tengah, sedangkan puterinya tidur di ujung sebelah kanan kamar mereka. Demikian ringan gerakan maling tadi sehingga Gui Liang yang lihaipun tidak mendengar apa-apa, padahal dia belum pulas. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata kepada isterinya yang juga belum tidur. "Aku mendengar suara rintihan. Hemm, agaknya dari kamar anak kita. Ada apakah dengan anak itu" Apakah ia sakit"." Isterinya sudah bangkit duduk dan turun dari pembaringan, lalu bersama suaminya ia keluar dari kamar mereka langsung menghampiri pintu kamar puteri mereka. Kini dari depan pintu mereka mendengar suara itu. Suara seperti rintihan.
"Tok-tok-tok!" Gui Liang menggedor pintu. "Gui Cin, engkau mengapakah" Hayo buka pintunya!" Akan tetapi tidak ada jawaban dan daun pintu juga tidak dibuka dari dalam. Bahkan suara seperti rintihan di kerongkongan itu menjadi semakin kuat. Gui Liang menjadi tidak sabar dan karena khawatir terjadi sesuatu dengan puterinya, dia lalu mengerahkan tenaganya dan mendorong dengan kedua tangannya ke arah daun pintu. "Braakkk"!" Daun pintu itu jebol dan suami isteri itu melihat seorang laki-laki berdiri dekat pembaringan. Puteri mereka rebah telentang tak bergerak dan tidak bersuara, dan yang membuat mereka terkejut sekali adalah melihat keadaan puteri mereka itu yang telah bertelanjang bulat! Sepintas saja Gui Liang yang sudah berpengalaman dapat menduga apa yang terjadi. Dia melompat ke dalam kamar itu dan membentak. "Siapa engkau?" Akan tetapi laki-laki yang hanya tampak bayangannya itu tiba-tiba menerjang dan menyerangnya.
Gui Liang bukan orang yang lemah. Dia seorang murid Siauw-lim-pay yang tangguh dan sebagai seorang piauwsu dia tentu saja memiliki benyak pengalaman bertanding. Maka dia yang melihat serangan hebat itu cepat melompat keluar kamar mencari tempat yang lebih luas dan agak terang. Maling itu mengejarnya dan ketika tiba di luar kamar, Gui Liang dan isterinya melihat betapa orang itu adalah seorang pemuda tampan yang memakai sebuah caping, dan lengan kirinya buntung! Gui Liang terkejut dan dia teringat akan berita menggegerkan dunia kangouw tentang penjahat besar berjuluk Si Tangan Halilintar. "Tangan Halilintar!" Dia berteriak lalu menyerang dengan pedang yang sudah dicabutnya. Maling itu tertawa bergelak, suara tawanya bergema dan dia melayani serbuan pedang Gui Liang dengan gerakan tubuhnya yang lincah bukan main. Berkali-kali Gui Liang mengirim serangan bertubi-tubi, namun semua serangannya dapat di hindarkan maling itu dengan elakan dan tangkisan.
Hebatnya, dengan tangan kosong dia berani menangkis pedang yang tajam.! Suara rebut-ribut itu terdengar oleh Lu Kiat yang tidur di kamar sebelah. Ketika dia membuka pintu kamar, dia terkejut melihat suhengnya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki muda yang lengan kirinya buntung. Dia pun segera teringat akan nama Si Tangan Halilintar yang tersohor itu dan melihat betapa si lengan buntung itu dapat menghadapi pedang suhengnya dengan lincah sekali, dia cepat memasuki kamarnya kembali untuk mengambil pedangnya. Ketika dia keluar dia mendengar teriakan suhengnya dan jeritan isteri suhengnya. Bukan main kagetnya melihat suheng dan isteri suhengnya itu telah terkapar di atas lantai dan si lengan buntung itu sekali menggerakkan tangan kanannya, lampu gantung yang berada di luar kamar itu pecah berantakan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang karena hanya mendapat sinar lampu kecil yang menyorot keluar kamar Gui Cin.
Lu Kiat dapat melihat jelas wajah penjahat itu. Dengan marah sekali dia melompat menerjang. "Jahanam! Engkau tentu Si Tangan Halilintar!" bentaknya sambil menggerakkan pedangnya menyerang dengan dahsyat. Tingkat kepandaian Lu Kiat ini masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gui Liang karena dia lebih lama tinggal di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim). "Ha-ha-ha, kalian para pemberontak Siauw-lim harus di basmi!" Maling itu tertawa dan berkata mengejek. Lu Kiat mempercepat serangannya akan tetapi dia merasa terkejut dan juga heran karena orang itu menghadapinya dengan silat tangan kosong Lo-han-kun (Silat Orang Tua) dari Siauw-lim-pai! Akan tetapi gerakannya lincah bukan main dan yang lebih hebat lagi, orang yang hanya bertangan satu itu berani menangkis pedang dengan tangannya dan setiap kali tangan kanannya itu bertemu pedang, terdengar suara berdencing nyaring seolah tangan itu terbuat dari baja yang kuat! Orang ini jelas orang Siauw-lim-pai, memiliki ilmu silat Siauw-lim akan tetapi dengan tingkat yang sudah tinggi sekali dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat.!
"Keparat busuk!" Lu Kiat kembali menyerang setelah belasan serangannya selalu dapat di hindarkan lawan. Kini pedangnya membacok kearah leher. Namun dengan mudah lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang. Pada saat itu, suara rebut-ribut memancing datangnya sisa penghuni rumah itu, ialah para pembantu rumah tangga dan tiga orang piauwsu pembantu yang tinggal di begian belakang rumah. Melihat bala bantuan datang dan di antara mereka membawa teng (lampu gantung) Lu Kiat cepat menyerang lagi dengan pedangnya, menusuk ke arah dada maling itu. Akan tetapi yang di tusuk hanya miringkan tubuh dan begitu tangan kanannya membuat gerakan membacok kearah pedang, pedang itu patah menjadi dua. Sebuah tendangan menyambar dan tubuh Lu Kiat terlempar, menabrak dinding dan roboh dengan dada terasa nyeri. Akan tetapi dia tidak terluka amat parah sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Maling itu tertawa lalu berkelebat lenyap ke atas wuwungan rumah. Geger rumah keluarga itu ketika orang-orang mengetahui bahwa Gui Liang dan isterinya tewas dan lebih ngeri lagi hati mereka melihat dalam kamar Gui Cing juga tewas dalam keadaan telanjang bulat.!
Lu Kiat tidak tewas dan murid Siauw-lim-pai ini merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan dan perkosaan ini adalah Si Tangan Halilintar yang tersohor, penjahat keji yang berlengan satu dan amat lihai itu. Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia merasa sekali yaitu melihat kenyataan bahwa Si Tangan Halilintar itu mahir memainkan ilmu silat Siauw-lim-pai! Jelas bahwa orang itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai dan lihai sekali. Akan tetapi Lu Kiat sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, merasa tidak mengenal murid Siauw-lim-pai yang buntung lengan kirinya. Peristiwa pembantaian terhadap keluarga Gui Liang ini tentu saja menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Si Tangan Halilintar semakin tersohor dan para komandan pasukan keamanan dan para pendekar, walaupun mengambil jalan masing-masing, mempergiat usaha mereka mencari Si Tangan Halilintar.
Setelah sembuh dari luka di dadanya akibat tendangan Si Tangan Halilintar yang untungnya tidak membuat Lu Kiat tewas, tokoh Siauw-lim-pai ini lalu pulang ke dusun Tong-cun, dimana dia tinggal bersama isterinya dan seorang keponakannya yang di anggapnya seperti anak sendiri karena dia tidak mempunyai anak, yaitu Lu Siong. Ketika dia menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di Ceng-jun dan bencana yang menimpa keluarga Gui, Lu Siong mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. "Paman, aku akan mencari dan membunuh jahanam Si Tangan Halilintar itu!." "Hemm, tidak begitu mudah, Lu Siong. Penjahat itu lihai bukan main. Dia ahli ilmu silat Siauw-lim-pai yang tingkatnya sudah tinggi sekali. Bayangkan saja, dengan jurus-jurus Lo-han-kun yang sudah kukuasai dengan baik, dia mampu mengalahkan aku yang berpedang. Dan tenaga saktinya kuat bukan main sehingga tidak mengherankan kalau dia berjuluk Si Tangan Halilintar. Pukulan tangan kanannya seperti sambaran halilintar".
"Akan tetapi saya tidak takut, paman!" kata Lu Siong dengan gagah. "Memang tidak ada yang takut menghadapi penjahat, betapapun lihainya dan tewas dalam perjuangan menentang kejahatan merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang pendekar. Akan tetapi karena penjahat itu seorang ahli silat Siauw-lim-pai, maka semua kejahatannya itu merupakan perbuatan yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Kewajiban Siauw-lim-pailah untuk membasmi penjahat ini untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai yang ternoda. Karena itu, aku hendak pergi ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) di kaki Gunung Sungsan untuk menghadap para suhu dan melaporkan tentang Si Tangan Halilintar ini. Aku sendiri tidak mengenalnya, akan tetapi para suhu tentu mengenal ahli silat Siauw-lim tangan satu yang amat lihai ini". "Paman benar sekali. Saya akan menemani Paman pergi menghadap para suhu di Sungsan".
"Sebelum kita berangkat ke sana, aku mau mengunjungi Suheng Lauw Han Hwesio ketua Thian-li-tang di Bukit Ayam, luar dusun ini. Dia juga murid Siauw-lim-pai, maka berhak pula mengetahui akan peristiwa yang menimpa Suheng Gui Liang sekeluarga". Dua orang itu lalu meninggalkan dusun menuju ke sebuah kuil yang cukup besar, yang terletak di lereng Bukit Ayam. Kuil itu cukup besar dan setiap hari ada saja orang datang sembahyang. Mereka datang dari berbagai dusun di sekitar bukit itu. Lauw Han Hwesio, murid Siauw-lim-pai yang menjadi suheng dari Lu Kiat itu berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata bersinar lembut. Dia menyambut kedatangan Lu Kiat dan Lu Siong dengan gembira dan mereka bertiga lalu duduk di sebelah dalam kuil, bercakap-cakap. Akan tetapi ketika mendengar akan malapetaka yang menimpa Gui Liang dan anak isterinya, Lauw Han Hwesio terkejut bukan main.
"Omitohud..., alangkah menyedihkan nasib sute Gui Liang sekeluarganya". "Suheng, aku sendiri telah bertanding melawan pembunuh itu dan ternyata dia adalah penjahat yang terkenal sekali belakangan ini, yaitu Si Tangan Halilintar dan sungguh mengejutkan sekali bahwa dia itu mahir ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai kita!." "Hemmmm, mungkinkah itu" Mungkinkah dia murid Siauw-lim-pai"." "Itulah yang harus kita selidiki, suheng. Kalau dia benar murid Siauw-lim-pai, hal itu sungguh amat mencemarkan nama baik perguruan kita. Aku dan Lu Siong akan pergi ke Sung-san untuk melapor kepada para suhu di Siauw-lim-si". "Kalau begitu, tunggu sebentar, Sute. Pinceng (aku) harus ikut pula. Hal ini sudah menjadi kewajiban pinceng pula sebagai murid Siauw-lim-pai untuk menangkap murid Siauw-lim-pai yang lalim dan murtad". Mereka bertiga lalu berangkat, melakukan perjalanan menuju Sung-san di mana terdapat kuil Siauw-lim yang menjadi pusat dari perguruan Siauw-lim-pai.
Akan tetapi baru mereka melakukan perjalanan setengah hari, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berpapasan jalan dan tiba-tiba pemuda itu berhenti, menghadang di depan mereka, memandang kepada Lauw Han Hwesio dan bertanya dengan suara lembut dan sikap sopan. "Mohon maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, apakah suhu ini seorang pendeta Siauw-lim-pai"." Lauw Han Hwesio, Lu Kiat dan Lu Siong mengamati pemuda yang menghadang itu dengan penuh perhatian. Pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah, wajahnya juga tampan, dan sikapnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemuda bersusila dan tahu aturan. "Omitohud! Kalau pinceng seorang murid Siauw-lim-pai, apa hubungannya denganmu" Siapakah Sicu (saudara yang gagah)"." "Suhu, nama saya Cun Song. Saya kemarin melewati Kota Ceng-jun dan mendengar akan pembunuhan yang terjadi pada sebuah keluarga piauw-su Gui.
Saya sudah sering mendengar akan pemubunuhan-pembunuhan yang di lakukan Si Tangan Halilintar itu dan kebetulan sekarang saya bertemu seorang tokoh Siauw-lim" Eh, apakah benar suhu seorang hwesio Siauw-lim-pai"." "Hemmm, memang benar, Cun Sicu. Apa yang hendak kau bicarakan tentang Si Tangan Halilintar"." "Kalau suhu seorang tokoh Siauw-lim-pai berarti yang saya duga, sungguh kebetulan sekali. Saya sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pendekar Siauw-lim-pai yang selalu menentang kejahatan. Karena itu, saya merasa yakin bahwa suhu juga tentu menentang kejahatan yang di lakukan Si Tangan Halilintar". "Omitohud, tentu saja pinceng dan semua murid Siauw-lim-pai selalu siap untuk menentang kejahatan. Lalu apa maksud sicu menghadang perjalanan kami"." "Suhu, saya mengetahui siapa adanya Si Tangan Halilintar itu!." Tiga orang murid Siauw-lim-pai itu terkejut dan menatap wajah Cun Song penuh perhatian.
"Omitohud, benarkah ucapan Cun Sicu ini" Siapakah dia"." "Namanya Lauw Beng". "Cun Sicu, engkau berhadapan dengan kami para murid Siauw-lim-pai. Pinceng adalah Lauw Han Hwesio ketua Kuil Thian-li-tang dan ini suteku Lu Kiat dan murid keponakanku Lu Siong. Kami memang sedang menyelidiki tentang Si Tangan Halilintar. Sekarang sicu menghadang kami dan mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar bernama Lauw Beng. bagaimana kami dapat yakin bahwa keterangan sicu ini benar" Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa namanya Lauw Beng"." "Begini, suhu. Terus terang saja saya belum pernah bertemu dengan Si Tangan Halilintar yang akhir-akhir ini merajalela melakukan banyak pembunuhan. Akan tetapi saya yakin bahwa dia adalah Lauw Beng. Dugaan saya ini tidak ngawur. Saya pernah tahu akan seorang pemuda yang menjadi murid dari pejuang yang kenamaan bernama Ma Giok". "Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?" Lu Kiat bertanya.
Tentu saja mereka bertiga tahu siapa Lam-liong Ma Giok karena tokoh itupun merupakan murid Siauw-lim-pai yang disegani, bukan saja karena kelihaiannya akan tetapi terutama akan kegigihannya menentang pemerintah penjajah Mancu. "Benar, guru pemuda itu adalah Lam-liong. Akan tetapi pemuda itu adalah putera seorang pengkhianat bernama Lauw Heng San yang menjadi antek Mancu. Kemudian pemuda itu juga mengkhianati bangsa kita. Dia menjadi antek Mancu dan bergaul dengan puteri seorang pangeran Mancu, bahkan membantu puteri pangeran itu memusuhi para patriot Ciong-yang Ngo-taihiap sehingga membunuh orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, yaitu Song Kwan dan Song Kui berikut isteri mereka. Karena Lauw Beng itu berkhianat, maka para pendekar patriot menghukumnya dan membuntungi lengan kirinya. Akan tetapi dia memang lihai dan kejam. Nah, sekarang muncul Si Tangan Halilintar, julukan yang dulu menjadi julukan ayahnya, maka mudah saja di duga bahwa penjahat itu pastilah Lauw Beng yang sebutannya adalah Siauw Beng".
"Omitohud, pinceng mengenal baik Lam-liong Ma Giok. Dia seorang pendekar dan patriot sejati. Bagaimana mempunyai seorang murid seperti itu"." "Bukan hanya muridnya, Suhu akan tetapi Lauw Beng atau Siauw Beng itu malah anak angkatnya!" kata Cun Song. "Ahhh!" Lu Kiat dan Lu Siong berseru kaget. "Omitohud"! kalau begitu, Lam-liong Ma Giok harus bertanggung jawab! Sute, kalau begitu lebih baik langsung saja kita mencari Lam-liong. Dia harus bertanggung jawab terhadap perbuatan murid juga anak angkatnya itu!." "Akan tetapi kemana kita harus mencarinya, suheng" Sudah bertahun-tahun kita tidak pernah mendengar nama Lam-liong di dunia kang-ouw. Kita tidak tahu dimana dia berada", kata Lu Kiat. "Saya tahu, lo-cian-pwe (orang tua gagah)!" kata Cun Song kepada Lu Kiat. "Dahulu Lam-liong Ma Giok tinggal di puncak Thai-san". "Hemmm, kalau begitu, sute. Biarlah pinceng yang pergi ke kuil Siauw-lim-si di Sung san untuk melaporkan hal ini kepada pimpinan Siauw-lim-pai, sedangkan Lu Sute dan Lu siong mencari Lam-liong Ma Giok di Thai-san".
"Baiklah, suheng. Kami pergi sekarang", kata Lu Kiat yang segera pergi bersama Lu Siong. Lauw Han Hwesio ini memandang Cun Song. "Cun-sicu, kami bertiga amat berterima kasih atas semua keteranganmu yang sungguh amat menolong dan memudahkan penyelidikan kami. Akan tetapi agaknya engkau juga membenci Si Tangan Halilintar. Kalau boleh pinceng mengetahui, apakah yang menyebabkan sicu memusuhinya"." "Suhu, sungguh tidak ada permusuhan pribadi antara saya dan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi sejak kecil saya mendapat didikan menentang Kerajaan penjajah Mancu. Maka, melihat Si Tangan Halilintar adalah seorang yang menjadi antek Mancu, dan kini melakukan kejahatan membunuhi orang-orang tidak berdosa, tentu saja saya membencinya. Cuma saja, dengan kebodohan dan kelemahanku, bagaimanapun juga saya tidak berdaya untuk menentang apalagi menangkap atau membunuhnya".
"Hemm, bagaimanapun juga keteranganmu kepada kami tadi sudah merupakan bantuan yang besar sekali artinya". "Sekarang saya mohon diri, Suhu. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya. Kalau kelak saya dapat bertemu lagi dengan para pendekar yang mencari Si Tangan Halilintar dan kebetulan saya mengetahui dimana dia berada, saya pasti akan membantu mereka dan memberitahu". Mereka saling memberi hormat dan berpisah. Lauw Han Hwesio melanjutkan perjalanannya menuju pegunungan Sungsan untuk menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai.
Mayani melompat ke atas pohon raksasa itu. Gerakannya seperti seekor burung melayang naik. Ia hinggap di dahan depan pondok kecil yang di bangun di puncak pohon, merupakan sarang. Selama setahun ia dulu tiap malam tidur di dalam sarang ini, bersama Nenek Bu. Ia memasuki sarang itu akan tetapi nenek itu tidak berada di dalam pondok. Akan tetapi masih ada tanda-tanda bahwa tempat itu masih didiami orang. Ia keluar dari pondok, berdiri di atas dahan yang paling tinggi dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi hutan itu lebar sekali sehingga sukar untuk mencari orang dalam hutan itu. Pandangannya terhalang daun-daun pohon yang amat lebat. "Ibuuuuu?"Ia berteriak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya melengking dan mengandung getaran sehingga dapat terdengar sampai jauh. Karena tidak ada jawaban, ia memutar tubuh. Sekarang ia menghadap ke selatan dan berteriak memanggil lagi.
"Ibuuuu"!!" Setelah gema teriakan itu mereda, terdengar teriakan lain. "Kui Sianggg".!" Mayani menjadi girang sekali dan cepat tubuhnya melayang ke bawah pohon, lalu ia berlari menuju ke arah suara teriakan tadi. "Ibuuuu!" Mereka saling lari menghampiri dan ketika bertemu mereka saling berangkulan. "Ibuuu"!." "Kui Siang, anak nakal, engkau baru pulang" Mana dia cucuku"." "Ibu, cucumu Lauw Beng, sedang merantau. Marilah ibu ikut bersamaku dan kita bersama nanti mencari dan mengajak Lauw Beng pulang. Nasib Siauw Beng?". "Siauw Beng?" nenek itu bertanya heran. "Ah, namanya Lauw Beng, Ibu, akan tetapi sudah biasa di sebut Siauw Beng (Beng kecil). Nasibnya buruk sekali, Ibu. Lengannya" Lengan kirinya" sebatas siku siku telah buntung"!." Bicara sampai di sini Mayani terisak menangis. Ia teringat betapa dibuntunginya lengan Siauw Beng adalah karena pemuda itu membelanya.!
"Apa" Lengan kirinya buntung" Mengapa bisa buntung?" Mendengar pertanyaan nenek itu yang di ajukan dengan kata-kata yang teratur, Mayani mengerti bahwa nenek itu kini telah tenang pikirannya, tidak kacau seperti dahulu. Diam-diam ia merasa girang dan menyusut air matanya. Nenek itu membelalakkan matanya dan ia mengangkat kedua tanganya keatas, membentuk cakar lalu ia mencengkram ke atas barang pohon besar. "Krekkk!" Jari-jari kedua tangannya masuk ke dalam kayu pohon dan begitu ia menarik, batang pohon itu terobek sebagian. "Siapa yang membuntungi lengan cucuku" Siapa" Hayo katakan, siapa"." Dengan gemas dan penuh kebencian Mayani berkata, "Dia seorang jahanam keparat yang jahat sekali, Ibu. Namanya Song Cun. Dia anak orang kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, gerombolan pemberontak yang di pimpin Lam-liong Ma Giok. Mereka itu orang-orang yang amat kejam, ibu. Akan tetapi mereka itu pun kuat, terdiri dari orang-orang lihai".
"Aku akan menghadapi mereka semua dan akan ku pecahkan kepalanya satu demi satu!" teriak Nenek Bu. "Kita akan hadapi bersama, Ibu. Akan tetapi mari ibu ikut bersama aku ke Kota Raja dulu. Nanti perlahan-lahan kita cari dimana adanya cucumu Siauw Beng dan dimana pula musuh-musuh besar kita, terutama di jahanam busuk Song Cun!." Tadinya Nenek Bu bersikap ragu-ragu, akan tetapi setelah di bujuk-bujuk Mayani, akhirnya ia menurut juga di ajak pergi Mayani keluar dari hutan lebat itu. Dengan pandai Mayani membujuknya, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang pantas, menyisir dan merapikan rambutnya. Kini Nenek Bu menjadi seorang Nyonya berusia sekitar enam puluh dua tahun yang cukup pantas karena mengenakan pakaian yang memang telah disediakan dan dibawa Mayani ke hutan itu. "Eh-eh, pakaian apa ini" Dan rambutku, mengapa engkau tata seperti ini. Aku akan kelihatan jelek dan lucu, kau anak nakal!" Nenek itu terkekeh. "Mari Ibu, Lihat bayanganmu di air.
Ibu tampak cantik!" Mayani membawa nenek itu ke tepi danau kecil yang terdapat di hutan itu dan ketika Nenek Bu melihat bayangannya di air, ia tertawa. "He-he-he, aku seperti nyonya bangsawan!." "Aih, bagaimana sih ibu ini" Ibu memang seorang bangsawan, apa ibu telah lupa"." "He-he-he, ya" aku seorang nyonya bangsawan" he-he-he!." Mayani merasa senang. Gurunya ini memang masih agak aneh kelakuannya, namun sudah tidak ngaco lagi, tidak tampak gila dan kata-katanya sudah mulai teratur. ia merasa yakin bahwa kalau Nenek Bu tinggal di rumahnya, wanita tua itu akan dapat pulih kembali ingatannya. Ayah ibunya tentu akan menerima dengan senang, bukan hanya karena wanita itu telah menjadi gurunya dan telah menyelamatkannya dari tangan para pendekar yang hendak membunuhnya, akan tetapi karena Nenek Bu adalah isteri dari Mendiang Pangeran Abagan. Masih ada hubungan keluarga antara mendiang Pangeran Abagan dan ayahnya Pangeran Gunam.
Dalam perjalanan ini, Nenek Bu tampak gembira sekali. Hal ini dapat dimaklumi karena semenjak ia menjadi murid nenek gila Pek Sim Kuibo yang amat sakti, ia terus mengasingkan diri dan tinggal di dalam hutan selama dua puluh tahun lebih dan hanya kadang-kadang saja ia keluar hutan. Itu pun tidak lama karena ia merasa betapa dunia di luar hutannya aneh dan asing, membuat ia merasa ngeri dan ia selalu kembali ke dalam hutannya. Kini, melakukan perjalanan bersama Mayani yang ia anggap sebagai Bu Kui Siang, puterinya, ia merasa gembira dan tidak merasa aneh atau asing. bahkan perlahan-lahan ingatannya mulai terang kembali dan sedikit demi sedikit ia kembali normal walaupun ia masih kukuh menganggap Mayani sebagai Bu Kui Siang, puterinya. Dalam perjalanan menuju ke Kota Raja, Mayani mendengar berita menggegerkan tentang sepak terjang Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Tentu saja ia tidak percaya akan berita itu.
Seorang penjahat muda yang bertangan satu, lengan kirinya buntung sebatas siku, membunuh banyak orang yang tak berdosa dan memperkosa wanita, berjuluk Si Tangan Halilintar! Tanda-tanda dan nama julukan itu menunjukkan bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng! Tidak mungkin.! "Paman, benarkah berita yang kau ceritakan itu?" Mayani bertanya kepada pelayan rumah penginapan yang mengabarkan tentang Si Tangan Halilintar itu. "Tentu saja benar, nona. Nona dapat bertanya kepada seluruh penduduk kota ini atau daerah lain, mereka semua tentu sudah mendengar akan berita itu. Si Tangan Halilintar penyebar maut itu amat tersohor dan semua orang merasa ngeri dan ketakutan kalau mendengar namanya. Bahkan belum lama ini, di kota Teng-cun, penjahat kejam itu telah membunuh seorang piauw-su murid Siauw-lim-pai bernama Gui Liang, juga membunuh isterinya dan memperkosa lalu membunuh anak gadisnya.
Kejam sekali dia, mudah-mudahan saja dia tidak akan datang ke kota kami ini". Nenek Bu sejak tadi mendengarkan percakapan itu. Biarpun biasanya ia bersikap tidak acuh terhadap hal-hal yang tidak mengenai dirinya, dan merasa gembira melihat segala sesuatu dalam kota seolah baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun kehilangan itu semua, namun mendengar pelayan itu menyebut-nyebut Si Tangan Halilintar ia mulai memperhatikan. "Hei, bukankah Si Tangan Halilintar itu cucuku Siauw Beng"." Pelayan rumah penginapan itu terkejut, memandang terbelalak kepada Nyonya Bu dan Mayani juga terkejut lalu menggandeng tangannya dan menariknya untuk masuk kamar. "Ibu, mari kita masuk kamar dan mengaso". Pelayan itu segera pergi tergesa-gesa dan tampak ketakutan. Nyonya tua itu memang sudah tampak aneh dan tidak wajar, tidak banyak bicara hanya terkadang senyum-senyum sendiri, memandangi segala benda dengan sikap kagum dan terheran-heran.
Kini sekali membuka mulut, mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar adalah cucunya! Siapa tidak merasa ngeri dan takut" Akan tetapi di samping perasaan ngeri, ada juga perasaan bangga. Maka dia segera berpamer diluaran, mengatakan dengan bangga bahwa rumah penginapannya dimana dia bekerja, kedatangan tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar yang tersohor dan dia sendiri sudah melayani tamu agung itu.! Sementara itu Mayani menutupkan daun pintu dan duduk di tepi pembaringan dimana Nenek Bu sudah merebahkan diri. "Ibu, yang diceritakan oleh pelayan tadi bukan cucumu Siauw Beng". "Akan tetapi, bukankah Si Tangan Halilintar itu julukan Siauw Beng seperti yang kau ceritakan padaku"." "Memang benar, Ibu. Dulu Siauw Beng menggunakan julukan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi dia sama sekali bukan orang jahat dan tidak pernah berbuat jahat membunuh orang-orang yang tidak berdosa, apalagi memperkosa wanita.
Tidak aku tidak percaya Siauw Beng yang melakukan itu semua!." "Oh-oh, aku jadi bingung, Kui Siang. Kalau bukan Siauw Beng lalu siapa lagi yang berjuluk Si Tangan Halilintar"." "Ini yang perlu kita selidiki, Ibu. Siauw Beng tidak mungkin melakukan semua kejahatan itu. Aku yakin benar. Maka tentu ada orang lain yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu, mungkin sekali dia sengaja memakai nama julukan itu untuk mencemarkan nama Siauw Beng. Dengan tersohornya nama Si Tangan Halilintar yang jahat, tentu Siauw Beng akan di musuhi banyak orang. Ini jelas fitnah dan kita harus menyelidiki hal ini untuk menolong Siauw Beng!." "Tapi orang tadi menceritakan bahwa pembunuh itupun buntung lengan kirinya". "Ya, itulah yang aneh. Mungkin orang-orang yang memusuhi Siauw Beng sengaja menggunakan seorang yang buntung lengan kirinya untuk memalsukan nama Si Tangan Halilintar, tentu saja dengan maksud agar Siauw Beng di tuduh melakukan itu semua dan dimusuhi banyak orang.
Bahkan menurut orang tadi, si penjahat itu telah membunuh suami isteri murid Siauw-lim-pai dan memperkosa lalu membunuh anaknya. Jelas perbuatan ini akan membuat perguruan Siauw-lim marah sekali dan mereka tentu akan mencari Si Tangan Halilintar untuk menuntut balas. Ah, kasihan Siauw Beng, tentu ia akan di musuhi banyak pihak dan terancam bahaya!." Nenek itu bangkit duduk. "Kui Siang, ini adalah tugasmu sebagai seorang ibu! Engkau harus menyelamatkan anakmu!." "Tentu saja, Ibu. Akan tetapi juga tugas ibu sebagai neneknya! Kita berdua akan membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelaku kejahatan itu. Aku yakin bahwa penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu dan kita harus dapat menangkapnya, Ibu!." "Ho-ho, aku akan tangkap dia dan membuntungi lagi lengannya yang tinggal satu!." Karena adanya berita yang menggelisahkan tentang Si Tangan Halilintar, apalagi adanya jawaban yang meyakinkan dari semua orang yang di tanyai Mayani bahwa berita itu memang benar.
Mayani menunda kembalinya ke kota raja dan bersama nenek Bu ia berputar haluan, hendak melacak dan mencari Si Tangan Halilintar yang menyebar maut itu. Mereka hanya menginap semalam di kota itu dan pada keesokan harinya ia mengajak Nenek Bu untuk melanjutkan perjalan ke Kota Teng-cun dimana Si Tangan Halilintar muncul seperti yang diceritakan pelayan rumah penginapan itu. Pagi-pagi mereka meninggalkan kota itu menuju ke kota Teng-cun yang jaraknya ada seratus li (mil) dari kota yang baru mereka tinggalkan. Akan tetapi baru saja mereka berjalan sejauh belasan li, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berlari dari belakang mereka. Mayani dan Nenek Bu berhneti melangkah dan dua orang sudah tiba di depan mereka. Mayani tidak mengenal dua orang laki-laki itu, yang seorang setengah tua berusia empat puluhan tahun, sedangkan yang muda berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lu Kiat dan keponakannya, Lu Siong.
Seperti kita ketahui, paman dan keponakan ini sedang melakukan perjalanan menuju ke Thai-san untuk mencari Lam-liong Ma Giok dan melaporkan tentang kejahatan Si Tangan Halilintar, murid atau juga anak angkat Naga selatan itu. Malam tadi mereka bermalam di kota yang sama dengan yang diinapi Mayani. Pagi tadi mereka mendengar kabar yang di sebar pelayan rumah penginapan bahwa di rumah penginapannya ada tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar. Mendengar ini tentu saja Lu Kiat dan Lu Siong menjadi kaget dan mereka cepat mengunjungi rumah penginapan itu. Akan tetapi di sana mereka mendengar bahwa pagi tadi nenek itu telah meninggalkan rumah penginapan. Mendengar ini, Lu Kiat dan Lu Siong cepat melakukan pengejaran. Mereka bertanya-tanya dan mudah mendapat keterangan bahwa nenek dan gadis muda itu keluar dari pintu gerbang barat. Keterangan ini mudah di dapat karena orang tidak melupakan Mayani yang cantik jelita kalau melihat ia lewat.
Segera dua orang murid Siauw-lim-pai itu melakukan pengejaran dan di tempat sunyi itu mereka berhasil menyusul dan kini mereka berdua sudah saling berhadapan dengan Nenek Bu dan Mayani. "Tunggu dulu, kami ingin bicara!" Lu Kiat berkata dengan suara keren karena hatinya sudah panas mendengar bahwa nenek ini adalah nenek Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Nenek Bu memandang dengan mulut tersenyum mengejek. mayani yang menjawab sambil menantap wajah Lu Kiat penuh selidik. "Kami tidak mengenal kalian dan sungguh tidak sopan laki-laki menegus perempuan yang tidak dikenalnya di tengah jalan!." Mendengar ucapan itu, wajah lu Kiat menjadi kemerahan. Dia adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai dan biasanya selalu menggunakan peraturan tata susila. "Maaf, Nona. Terpaksa kami melakukan pengejaran dan ingin bertanya apakah benar nenek ini adalah nenek dari Si Tangan Halilintar Lauw Beng?"
Sambil berkata begini, Lu Kiat menatap tajam wajah nenek Bu yang masih tersenyum-senyum. "He-he! Tentu saja aku nenek dari Lauw Beng Si Tangan Halilintar! Mau apa engkau bertanya-tanya?" jawaban ini ketus akan tetapi mulut itu tersenyum lebar. Lu Kiat mengamati nenek itu, dari sanggul rambutnya sampai dandanannya, lalu berkata ragu. "Nyonya" Nyonya seorang berbangsa Mancu?"" "He-he, tentu saja, apa engkau tidak melihat" Aku ini Nyonya Pangeran!." Lu Kiat saling pandang dengan keponakannya, Lu Siong. "Kalau begitu, Si Tangan Halilintar Lauw Beng adalah cucu pangeran mancu"." Kini Mayani tidak sabar lagi. "Hei, kalian ini siapakah dan apa maksudmu menanyai orang seperti hakim saja" Kalau Lauw Beng seorang cucu pangeran mancu, kalian mau apa" Aku adalah seorang gadis Mancu, ayahku seorang pangeran. Nah, kau mau apa?". Dua orang paman dan keponakan she Lu yang amat mendendam kepada Si Tangan Halilintar, mendengar bahwa penjahat itu cucu seorang pangeran, sekarang mengerti mengapa penjahat itu membunuhi penduduk pribumi.
Kebencian dan sakit hati mereka kepada Si Tangan Halilintar manjadi-jadi setelah mendengar bahwa pembunuh keluarga Gui itu cucu pangeran mancu. Otomatis merekapun membenci dua orang wanita ini, seorang nenek yang mengaku isteri pengeran Mancu, dan seorang gadis yang mengaku anak seorang pengeran mancu pula. "Kalian harus kami tangkap dan kami jadikan sandera sampai Lauw Beng Si Tangan Halilintar menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!" bentak Lu Kiat. "Kalian mau menangkap kami?" Mayani berkata mengejek. "Bagaimana tikus-tikus macam kalian akan dapat menangkap kami"." "Ho-ho, kalian ini dua orang budak dari mana, siapa namamu, begitu kurang ajar dan berani kepada kami, nyonya-nyonya majikanmu?" Nenek Bu juga membentak, akan tetapi sambil tertawa-tawa. Lu Kiat tidak memperdulikan Nenek yang bicaranya tidak normal itu, akan tetapi dia segan juga terhadap Mayani, seorang gadis yang cantik dan berwibawa.
Dia merasa keterlaluan kalau ingin menangkap dua orang wanita tanpa memperkenalkan diri dan memberitahu alasannya. "Ketahuilah, aku bernama Lu Kiat dan ini adalah keponakanku Lu Siong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Suhengku, Gui Liang dan anak isterinya telah di bunuh oleh Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai tentu saja kami tidak menerimanya begitu saja. Mengingat bahwa kalian adalah keluarga keluarga Lauw Beng Si Tangan Halilintar, maka kami terpaksa harus menangkap kalian dan menjadikan sandera sampai Lauw Beng menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!." "Hemmm, orang she Lui! Bicaramu ngawur dan engkau menuduh tanpa bukti. Apa buktinya bahwa penjahat yang membunuh banyak orang itu adalah lauw Beng?" Tanya Mayani. "Aku sendiri berada di rumah itu ketika pembunuhan terjadi. Aku menjadi saksi, bahwa aku telah berkelahi melawan penjahat berlengan kiri buntung itu dan dia mengaku Si Tangan Halilintar.
Masih kurang jelas bagaimana"." Mayani mengerutkan alisnya. "Hemmm, itu masih belum jelas. Coba gambarkan bagaimana bentuk wajah dan badannya, Juga cirri-ciri yang lain agar kami dapat menentukan apakah kalian hanya menfitnah saja ataukah keterangan kalian itu benar-benar". "Malam itu gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, akan tetapi die jelas seorang laki-laki yang masih muda dan tubuhnya tegap. Cirinya yang jelas bahwa lengan kirinya buntung. Sudah jelas bahwa dia itu Lauw Beng Si Tangan Halilintar, tak perlu di sangsikan lagi. Karena kalian masih keluarganya, apalahi nyonya ini neneknya, maka kami harus menangkap kalian untuk dijadikan sandera sampai dia menyerahkan diri". "Hemm, keteranganmu itu belum merupakan bukti yang sah, engkau bukan bukan saksi yang sudah pasti memberi keterangan benar. Bagaimana juga, harus di akui bahwa setiap orang dapat menyamar sebagai Lauw Beng.
Mudah saja melakukan pembunuhan lalu mengaku sebagai Si Tangan Halilintar, bukan" Engkaupun dapat melakukannya karena keadaan gelap dan orang tidak dapat membedakan wajah!." "Tidak mungkin orang lain! Jelas bahwa lengan kirinya buntung. Jelas dia adalah Lauw Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar. Memang sejak dulu dia itu telah mengkhianati bangsanya, menjadi antek pemerintah penjajah sehingga lengan kirinya dibuntungi para pendekar". "Omong kosong! Siapa yang menceritakan itu semua kepadamu"." "Tak perlu engkau tahu, aku percaya bahwa kenyataannya memang begitu! Kabarnya ia bergaul akrab dengan seorang puteri Mancu. Semuanya sudah jelas, dia antek penjajah membunuhi bangsa sendiri, orang-orang pribumi yang tidak berdosa". "Engkau manusia tolol, tidak mampu membedakan mana kabar yang benar dan yang salah, merupakan fitnah. Akulah puteri Mancu yang menjadi sahabat baik Lauw Beng dan aku menjadi saksi bahwa dia bukan orang jahat!
Kalian inilah dan semua orang yang mengaku sebagai pendekar dan patriot, yang berpemandangan sempit dan pada dasarnya berhati jahat!." "Bagus, kiranya engkau puteri sahabat baik Si Tangan Halilintar Lauw Beng" Kalian berdua akan kami tangkap dan kami bawa ke Thai-san". "Mau apa di bawa ke Thai-san?" Tanya Mayani heran. "Akan kami hadapkan kepada Lam-liong Ma Giok, guru dan ayah angkat si jahat Lauw Beng sebagai bukti akan pengkhianatan dan kejahatan Lauw Beng!." "Anakku, mengapa melayani si cerewet ini bercakap-cakap" Biar ku hancurkan kepala mereka!" kata Nenek Bu. Mayani khawatir kalau Nenek Bu benar-benar hendak membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, maka akan semakin buruklah nama Lauw Beng yang telah diaku sebagai cucu nenek itu. "Ibu, harap jangan bunuh orang. Mereka ini ku kira bukan jahat, melainkan tolo dan cukup diberi hajaran saja agar sembuh dari kebodohan mereka."
Mendengar ucapan dua orang wanita itu, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali. Mereka adalah pendekar-endekar Siuw-lim-pai yang lihai. Kini dijadikan bahan ejekan seorang nenek dan seorang gadis muda.!"
Lu Siong, kau tangkap gadis itu, biar aku tangkap si nenek bawel!" kata Lu Kiat dan dua orang itu lalu dengan sigap dan cepat maju menjulurkan tangan hendak menangkap pergelangan tangan dua orang wanita itu. Nenek Bu mengeluarkan suara terkekeh dan Mayani menggerakkan tangan menangkis seperti yang di lakukan Nenek Bu sambil terkekeh itu. "Dukkk!!" "Dukk!!" Tubuh dua orang murid Siauw-lim itu terjengkang dan terlempar sampai beberapa meter ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan baru menyadari bahwa dua orang wanita Mancu itu bukanlah orang lemah. Tangkisan mereka tadi mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga mereka berdua tadi tidak menggunakan sin-kang, maka mereka tidak merasa gentar, melainkan penasaran dan marah.
"Bagus, kiranya kalian memiliki sedikit kepandaian dan hendak melakukan perlawanan" Lebih baik bagi kami karena tidak akan dikatakan menyerang dua orang wanita lemah. Lu Siong, jatuhkan gadis itu, akan tetapi jangan bunuh, agar dapat kita tangkap!" kata Lu Kiat dan dia sendiri maju menerjang nenek yang berdiri sambil tersenyum geli itu. Akan tetapi dengan gerakan aneh namun lincah, tubuh nenek itu menggeliat dan serangan Lu Kiat itu hanya mengenai angina kosong! Lu Kiat merasa penasaran dan melanjutkan dengan serangan sambung menyambung secara bertubi, namun kesemuanya itu dapat dihindarkan Nenek Bu dengan amat mudahnya, mengelak dan menangkis. Lu Siong juga sudah menyerang Mayani. Dia seorang pemuda yang sopan, maka ketika menyerang dia menjaga agar jangan menyerang bagian yang tidak pantas. Dia mencengkram kea rah pundak gadis itu dengan maksud kalau sudah dapat mencengkram, membuat gadis itu tidak berdaya dan menelikungnya.
Akan tetapi dia kecelik karena hanya dengan merendahkan pundaknya, Mayani sudah dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Tingkat kepandaian silat Siauw-lim yang dikuasai Lu Kiat sudah cukup tinggi dan tingkat kepandaian Lu Siong bahkan lebih tinggi lagi. Namun kini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki ilmu silat yang aneh. Mereka berdua merasa bingung akan tetapi juga penasaran karena merasa dipermainkan. Dua orang wanita itu membuat gerakan yang aneh sekali, terkadang berloncatan seperti anak kecil menari-nari. Terkadang bertepuk tangan dan berputar-putar, lalu jongkok berdiri dengan lucu dan aneh. Bahkan seolah sengaja membelakangi lawan seperti menantang lawan untuk seperti menantang lawan tubuh mereka! Merasa dipermainkan seperti anak kecil, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali dan mereka mengeluarkan seluruh jurus-jurus terampuh mereka dan mengerahkan semua tenaga sakti.
Namun tetap saja semua serangan mereka tidak pernah menyentuh tubuh lawan dan sebaliknya kalau lawan membalas, mereka menjadi terdesak hebat. "Cukup main-main ini. ibu!" terdengar Mayani berseru. "Nenek Bu terkekeh dan tiba-tiba kakinya menyepak, yaitu menendang miring. "Bukkk!" Lu Kiat tidak mampu menghindar, terpaksa menangkis dan ketika tangkisannya bertemu dengan kaki nenek itu, tubuhnya terlempar dan terbanting sampai terguling-guling. "Pergilah!" Mayani membentak dan tangan kirinya berhasil mendorong pundak Lu Siong sehingga terjungkal lalu bergulingan. Paman dan keponakan itu terluka, dan mereka berdua menjadi penasaran dan marah sekali. Dua orang wanita itu adalah keluarga Lauw Beng Si Tangan Halilintar, musuh besar mereka, maka harus di tangkap atau di robohkan sebagai musuh besar. "Sraattt! Singgg!" Tampak dua sinar berkelebat ketika Lu Kiat dan Lu Siong mencabut pedang mereka.
Akan tetapi mereka adalah orang-orang gagah yang merasa diri mereka pendekar Siauw-lim, maka tentu saja mereka memegang peraturan para pendekar dan tidak menyerang lawan dengan senjata tanpa memberi kesempatan lawan mengeluarkan senjatanya atau tanpa memberi peringatan. "Keluarkan senjata kalian." kata Lu Kiat kepada mereka sambil memandang dengan sinar mata menantang. Juga Lu Siong menahan senjatanya, tidak langsung menyerang melainkan menunggu lawan untuk mengeluarkan (Lanjut ke Jilid 12)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12 senjatanya. Akan tetapi kedua orang wanita itu saling pandang sambil tersenyum dan mereka mengangguk karena saling pandang saja mereka sudah tahu akan isi hati masing-masing. "Kami tidak takut menghadapi pisau mainan kanak-kanan itu. Kalau kalian hendak menggunakan pisau itu, maju dan lakukanlah, kami tidak biasa menggunakan senjata menghadapi lawan yang bodoh seperti kalian." kata Mayani dan ucapan itu diikuti suara tawa nenek Bu.
Tentu saja kedua orang wanita itu tidak sekedar membual atau menyombongkan diri. Adanya mereka berdua berani menantang Lu Kiat dan Lu Siong dengan tangan kosong itu karena mereka berdua yakin dari pertandingan tadi bahwa dua orang murid Siauw-lim-pai itu bukan merupakan lawan yang terlalu berat bagi mereka yakin bahwa dengan tangan kosongpun mereka akan mampu mengalahkan dua orang lawan yang bersenjata pedang. Lu Kiat mengerutkan alisnya. "Kami bukan laki-laki curang dan tidak biasa menyerang lawan yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Hayo keluarkan senjata kalian!" katanya. "Dengar ", kata Mayani. "Kami tidak menganggap kalian curang, melainkan bodoh! Bukan kalian yang menyerang kami yang tidak bersenjata, melainkan kami yang menantang kalian menyerang kami dengan pedang kalian! Hayo jangan banyak cakap, kalau memang kalian berani, seranglah kami!." Dua orang murid Siauw-lim-pai itu tentu saja menjadi semakin penasaran.
Mereka saling pandang dan Lu Kiat mengangguk kepada keponakannya, tanda bahwa dia setuju kalau mereka berdua menyerang lawan dengan pedang. Mereka lalu mengelebatkan pedang mereka. "Sambut pedangku!" Lu Kiat membentak sambil menyerang dengan pedangnya, menusuk kearah dada nenek Bu dengan gerakan yang kuat dan amat cepat. Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju kearah dada nenek itu. "Lihat seranganku!" Lu Siong juga membentak dan pemuda ini menggerakkan pedangnya, bukan menusuk melainkan membacok kearah leher Mayani. Serangan pemuda ini bahkan lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan serangan pamannya. "Syyuuuttt....!" Pedang di tangan Lu Kiat meluncur cepat kearah dada nenek itu dan Nenek Bu hanya tersenyum saja seolah tidak tahu kalau dadanya terancam pedang yang siap menembus dada dan jantungnya. Melihat nenek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Lu Kiat yang berjiwa gagah itu menjadi ragu sehingga tusukannya menjadi lambat.
Akan tetapi ketika ujung pedang hanya tinggal beberapa senti lagi, tiba-tiba dari bawah menyambar tangan kiri Nenek Bu dan tahu-tahu pedang telah di cengkramnya dan sekali tarik, pedang itu ikut tertarik bersama tangan Lu Kiat ke atas, ke dekat mulut. Nenek Bu membuka mulutnya, menggigit pedang itu. "Kreekkk-krekkk-krekkk....!" Pedang itu patah-patah terkena gigitan nenek itu dan beberapa potong kecil berada di mulut Nenek Bu. Lu Kiat terkejut bukan main dan dia cepat melompat ke belakang, memegang pedangnya yang tinggal sepotong. Pada saat itu, Nenek Bu meniup dengan mulutnya dan tiga potongan pedang meluncur seperti peluru ke arah tubuh Lu Kiat. Tokoh Siauw-lim-pai ini terkejut dan cepat memutar pedang buntungnya menangkis. Potongan-potongan pedang itu terpukul runtuh, namun Lu Kiat sudah terkejut bukan main sehingga wajahnya menjadi pucat dan keringat dingin membasahi dahi dan lehernya.
"Sing.....!" Pedang di tangan Lu Siong membacok ke arah leher Mayani. Gadis inipun tidak mengelak dan setelah pedang mendekati lehernya, kedua tangannya dari kanan kiri mencengkram pedang ini. "Kreekk-krekk-krekkk...!" Pedang itu patah-patah dalam cengkraman kedua tangan seolah-olah terbuat dari papan tipis yang rapuh saja. Lu Siong terbelalak dan wajahnya juga pucat. Dia melompat ke belakang, ke dekat pamannya dan mereka berdua memandang kea rah pedang di tangan mereka yang tinggal sepotong pendek. Pedang mereka bukanlah pedang biasa, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang kuat. Namun dua orang wanita itu dengan tangan kosong menyambut pedang dan mencengkramnya sehingga pedang itu patah-patah. Lebih mengerikan lagi ulah nenek itu yang menggunakan giginya untuk menggigit patah-patah pedang Lu Kiat. Sebagai pendekar Siauw-lim, paman dan keponakan yang sudah tahu benar bahwa mereka kalah jauh, tidak mau melarikan diri.
Setelah beberapa kali menghela napas panjang, Lu Kiat berkata dengan gagah. "Kami mengaku kalah. Kalian boleh membunuh kami karena bagaimanapun juga, kami akan tetap memusuhi Lauw Beng Si Tangan Halilintar, mencari dan membunuhnya bersama semua orang Siauw-lim-pai!." "He-he-he, Kui Siang, apakah orang ini sudah gila" Dia minta di bunuh! Kalau begitu, bunuh saja mereka!." "Tidak, Ibu. Kita tidak boleh membunuh mereka. Mereka ini memang gila, jangan dengarkan permintaan mereka yang bukan-bukan. He, orang she Lu, kalau kalian memang orang-orang gagah, pendekar-pendekar sejati yang adil bijaksana dan tidak sembrono, mari kita berlomba. Kalian carilah bukti nyata bahwa pembunuh jahat yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar itu memang benar Lauw Beng, dan kami akan mencari bukti bahwa penjahat itu bukan dia melainkan orang lain yang hendak melakukan fitnah kepadanya!
Mari, Ibu. Kita pergi. Dua orang wanita itu lalu meninggalkan mereka yang masih berdiri dengan tertegun di tempat itu. "Paman, mereka itu lihai bukan main! Ilmu silat mereka aneh dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Sungguh heran, belum pernah aku melihat ilmu silat seperti yang mereka mainkan tadi, kacau balau dan aneh namun tangguh bukan main. Paman kira dari aliran manakah ilmu silat mereka itu"." Lu Kiat menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak yakin karena belum pernah melihat ilmu silat seperti itu. Akan tetapi aku pernah mendengar dari mendiang Thian Hok Losuhu bahwa di dunia persilatan terdapat banyak ilmu silat aneh, diantaranya terdapat ilmu-ilmu sesat yang amat sakti akan tetapi kalau kalau di latih membuat orangnya menjadi seperti gila. Melihat keadaan dua orang wanita tadi, terutama nenek yang seperti miring otaknya itu, aku menduga bahwa mereka telah menguasai apa yang disebut Yauw-hu Sin-kun (Silat Sakti Siluman Betina) yang kabarnya merupakan ilmu silat gabungan dengan sihir sehingga yang melatihnya dapat menjadi orang aneh."
Perang Bangsa Naga 1 Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Tamu Dari Gurun Pasir 10
^