Pencarian

Takhta Bayangan 1

Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen Bagian 1


TAKHTA BAYANGAN Jennifer A. Nielsen TAKHTA BAYANGAN GM Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta
KOMPAS GRAMEDIA THE SHADOW THRONE by Jennifer A. Nielsen Text Copyright ? Jennifer A. Nielsen, 2014
All rights reserved Published by arrangement with Scholastic Inc., 557 Broadway, New York,
NYI 0012, USA 618164023 Alih bahasa: Cindy Kristanto
Editor: Primadonna Angela
Desain sampul: Iwan Nazif
TAKHTA BAYANGAN oleh Jennifer A. Nielsen Hak cipta terjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29-37 Blok I, Lt. 5, Jakarta 10270
Indonesia Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta 360 hlm, 20 cm www.gpu.id ISBN: 9786020383491 9786020383507 (Digital) Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
PENJELASAN UNDANG UNDANG EPUB ini dibuat untuk memfasilitasi akses bagi tunanetra dan mereka yang memiliki keterbatasan membaca buku dalam cetak tinta.
Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
Cuplikan UU No.28 Tahun 2014 Pasal 44 Ayat 2 tentang Hak Cipta
Pasal 44 (1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
(2) Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
(3) Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap Ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk Pat dan Barry, yang kehangatan hatinya melingkupi keluarga terbaik dan membawaku
masuk dengan kue, pelukan, dan pendaratan di tebing
PROLOG TIGA MINGGU SEBELUM PERANG
DALAM hidupku, cukup sering aku berkelahi, kadang dengan tinju, kadang dengan belati, sekali-sekali dengan pedang. Aku menghadapi lawan yang dua kali lebih besar, dua kali lebih kejam, dan, secara umum, lebih jelek daripada yang kuharapkan. Namun tidak ada yang mengalahkan kebuasan pertengkaran yang sedang berlangsung di tengah-tengah aula besarku.
"Membawamu ke istana ini merupakan kesalahan terbesar dalam hidupku!" teriakku. Tanganku mengepal begitu erat sampai terasa seakan kuku bisa menembus kulitku. "Andai tali itu tidak lebih berharga daripada lehermu, akan kuperintahkan kau digantung sekarang juga!"
Target ancamanku tidak lain adalah Roden. Dalam beberapa bulan yang singkat kami saling mengenal, dia dan aku sudah mengalami banyak hal bersama, termasuk upayanya membunuhku dua kali"tiga, kalau kaki yang patah itu dihitung"dan aku mempertaruhkan nyawa untuk meyakinkannya agar kembali ke Carthya sebagai kapten pengawalku. Tentu saja, kami juga sering bertengkar. Tetapi tidak ada yang sampai separuhnya dari perdebatan sekarang ini.
"Aku akan mati dengan senang hati," Roden balas berteriak, "andai perintah itu datang dari raja yang tidak setolol kau!"
Suara tarikan napas menggema di aula ketika hinaan itu terdengar. Kata-kata seperti itu dengan mudah bisa kujadikan alasan untuk menangkap Roden, tapi aku tidak melakukannya. Masih banyak yang harus diucapkan, atau diteriakkan, kalau perlu.
"Menurutmu posisi sebagai kapten membuat kita sejajar?" tanyaku. "Kau mungkin bisa memerintah tentaramu, tetapi kau tidak memerintah aku! Dan aku akan memimpin mereka dengan caraku sendiri!"
Roden menunjuk kaki kananku. Dokter bedah memerintahkan untuk tetap membalutnya erat setidaknya beberapa minggu lagi. "Kau tidak bisa memimpin apa pun dengan kaki patah."
"Kalau begitu seharusnya kau tidak mematahkannya!" kataku.
"Seharusnya kupatahkan rahangmu saja," Roden membalas. "Dengan begitu aku tidak perlu mendengarkan perintah konyolmu!" Terdengar lebih banyak seruan kaget dari para regen di ruangan serta para pelayan yang lewat, menarik perhatian mereka untuk melanjutkan pertengkaran. "Tentara-tentara kita tersebar di seluruh negeri ini. Kalau Avenia menyerang dari selatan, mereka akan menghancurkan kita."
Bendaharaku, Lord Kerwyn, bergegas mendatangi kami dan dengan pelan berkata, "Rajaku, dapatkah kita lanjutkan percakapan ini dalam kerahasiaan ruang takhta" Semua orang mendengarkan."
Ya, memang. Bukan hanya mereka yang berada dalam ruangan ketika pertengkaran ini dimulai, tetapi banyak yang mendengar teriakan dan datang untuk melihat sendiri keributan itu. Kerwyn mungkin merasa malu terhadapku, tetapi aku tidak berniat menjadikan pertengkaran ini rahasia.
Aku mundur dari Kerwyn dan berkata, "Tidak ada yang harus dilanjutkan, Lord Kerwyn. Kapten pengawalku berpikir aku tidak boleh punya pendapat tentang bagaimana tentaraku dilatih."
Kerwyn menatap Roden, jelas terkejut akan ketidaksopanannya, namun Roden hanya mengencangkan otot-otot wajahnya.
"Kita semua tunduk pada keinginan Raja, Kapten. Begitu juga kau." Nada cacian Kerwyn begitu tajam, Roden sampai tersentak.
Tetapi sebelum Roden dapat bicara, aku berkata, "Tidak, Kerwyn. Aku tidak mau dia membungkuk kepadaku dan diamdiam merasa dialah yang benar." Kemudian kepada Roden, aku berkata, "Jika kau pikir bisa melatih orang-orang kita lebih baik, kutantang kau melakukannya. Pilih siapa pun yang kauinginkan, latihlah mereka dengan caramu. Lalu kita bandingkan dua kelompok itu. Kau akan sadar akulah yang benar."
"Tidak akan!" Roden berteriak. "Akan kumulai latihan di pekarangan istana sekarang juga."
"Tidak di pekaranganku, atau bahkan di kotaku!" aku membalas. "Kalau mau melakukannya, kau harus meninggalkan Drylliad. Pergi dengan semua kesombongan serta harapanharapanmu yang tinggi, dan kembalilah ketika kau akhirnya mengerti posisimu."
Kerwyn meletakkan tangan di lenganku. "Jaron, kumohon pikirkan ucapanmu. Kalian berdua harus berdamai. Kau masih terluka, dan jika perang benar-benar terjadi, kita memerlukan kaptenmu di sini."
Aku hanya menepiskan tangannya dan mencondongkan diri pada Roden, kemudian mendesis, "Pergi."
Roden balas menatap dengan kemarahan yang begitu tajam, membuatku cemas. Kemudian dia mengumumkan bahwa dalam satu jam, dia akan pergi, membawa empat puluh orang yang ditugaskan kepadanya. Terlepas dari hal-hal yang kami katakan terhadap satu sama lain, aku berharap dia akan berhasil.
Aku mengawasinya pergi, kemudian memandang berkeliling pada semua yang berkumpul menonton pertunjukan kami. Mereka adalah para anggota kepercayaan kerajaan, pelayan, dan warga negara negeriku. Dan kemungkinan besar, setidaknya salah satunya adalah mata-mata bagi musuh-musuh kami, yang akan melaporkan bahwa tentara Carthya sekarang terbelah dan terbagi.
Sejak hari aku kembali dari para bajak laut, Carthya mulai membuat persiapan yang belum pernah terlihat di generasi ini. Kami menyimpan makanan, menempa persenjataan, dan membangun pertahanan, tetapi untuk semua itu, yang paling kuperlukan adalah yang paling sulit didapat: waktu.
Ternyata, kami hanya punya waktu lebih sedikit daripada yang kuharapkan. Hanya tiga minggu kemudian, perang itu dimulai...
BAB 1 TIGA MINGGU KEMUDIAN AKU menerima berita serangan terhadap Libeth saat matahari terbenam, ketika sedang berdiri di padang rumput luas dekat tembok istana. Di hadapanku ada Kerwyn, Amarinda, dan Mott, tetapi aku hampir tidak melihat mereka. Libeth adalah kota yang damai, lama terisolasi dari berbagai masalah yang mengganggu daerah-daerah lain dekat Avenia. Penduduknya adalah keluarga-keluarga petani dan pedagang. Penjarahan itu pasti datang tanpa peringatan yang cukup sehingga yang terkuat tak sempat membentuk pertahanan yang memadai. Aku tidak bisa membayangkan ketakutan yang mereka hadapi malam itu, kehancuran yang menimpa mereka. Pikiran tentang itu membuatku kehabisan napas.
Dan masih ada lagi. Imogen diculik saat penyerangan itu.
Semua kelihatannya berbicara pada saat bersamaan, tak ada yang menyadari kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab siapa pun. Apakah kita tahu dia masih hidup" Jika demikian, apakah dia disakiti" Apa yang akan mereka lakukan terhadapnya kalau mereka pikir hal itu dapat menyakitiku" Karena pasti itu alasan Raja Vargan mengirim tentara-tentaranya untuk menculik Imogen.
Jika Imogen masih hidup, Avenia akan meminta kami tunduk sepenuhnya sebagai tebusan. Mereka tahu aku tidak akan bisa mengabulkannya, maka aku harus mengusahakan penyelamatan. Imogen hanya merupakan umpan bagi mereka, dan akulah hadiahnya.
Lebih dari itu, perang yang kuantisipasi selama beberapa bulan akhirnya tiba. Tetapi semua yang telah kurencanakan dengan saksama kelihatannya tidak relevan sekarang. Aku tidak mengharapkan berita seperti ini. Dan Kerwyn terus membuatnya semakin buruk.
"Kami juga menerima kabar bahwa Gelyn dan Mendenwal mendekat dari utara dan timur," katanya. "Ini penyerangan terkoordinasi dan kita terkepung. Jaron, perang telah dimulai."
Mereka semua berbalik untuk berbicara lagi, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun, atau setidaknya, aku tidak dapat memisahkan satu kata dari yang lainnya. Tidak mungkin memahami apa yang mereka inginkan dariku.
Amarinda menyentuh lenganku. "Jaron, kau memucat. Katakan sesuatu."
Aku menatap tanpa benar-benar melihatnya dan mulai mundur. "Maafkan aku," gumamku. Kemudian aku berbalik dan lari, diarahkan kekuatan dari dalam yang mengharuskanku pergi. Aku perlu tempat untuk berpikir, untuk mengerti. Tempat untuk bernapas.
Aku berlari cepat ke istana, hanya samar-samar menyadari rasa sakit yang masih muncul di kaki kanan setiap kali aku menggerakkannya terlalu kuat. Tulang yang patah karena
Roden masih belum pulih, namun aku berlari lebih kencang. Malah, aku ingin merasakan nyeri itu, untuk memberikan penyaluran bagi rasa panik ini.
Para pelayan dan tentara mengabur di sampingku ketika aku berlari. Aku tidak yakin akan pergi ke mana, atau apa yang kuharapkan untuk ditemukan di sana. Hanya satu pemikiran yang tetap terkunci dalam benakku, Imogen telah ditangkap. Dan mereka mungkin menuntut segalanya agar dia bisa kembali
Tidak lama aku tiba di Taman Raja, tempat aku dapat sendirian. Berharap untuk menyembunyikan diriku di langkan, aku mencoba memanjat tanaman rambat di dinding istana. Di atas sana aku dapat berpikir. Dengan cukup waktu, aku dapat memahami bencana ini menjadi dunia yang kembali masuk akal. Namun belum lagi sampai separuh dari dinding terendah, kakiku yang lemah menggagalkanku, dan aku jatuh kembali ke tanah. Aku berguling ke posisi duduk dan bersandar ke tembok, tetapi tidak bisa bergerak lebih jauh lagi.
Mungkin pergi ke taman adalah kesalahan. Di sini aku tidak mendapatkan lebih banyak jawaban dibanding tempat lain. Ketika aku memandang berkeliling, dinding-dinding itu menjulang di atasku. Membuat pusing, dan aku tidak dapat meletakkan gagasan yang satu di depan gagasan yang lain. Sebaliknya, berbagai kekhawatiran, rencana, dan segala pilihan berputar di sekitarku seperti asap, tetap mencekikku.
"Yang Mulia, maafkan aku karena mengganggu keleluasaan pribadimu."
Aku berdiri ketika kulihat Harlowe datang. Setelah membungkuk, dia berjalan maju.
"Kupikir hanya Avenia yang akan menyerang," kataku.
"Mungkin Gelyn juga, tetapi bukan Mendenwal. Dan tidak seperti ini."
"Tak seorang pun menyadarinya."
"Vargan tak punya alasan untuk menyerang Libeth. Menghancurkan kota yang tidak memberinya apa-apa." Bayangan mengerikan akan kejadian malam itu kembali lagi dalam benakku. "Tidak ada, kecuali Imogen."
"Aku tahu," Harlowe menjilat bibir, kemudian menambahkan, "Kami menunggu perintahmu, Baginda."
"Perintah apa?" bentakku. Tidak rasional untuk marah, terutama terhadapnya, tetapi aku tidak dapat menahannya. "Aku tidak bisa melawan ini! Aku tidak punya rencana untuk apa pun sebesar ini. Aku bahkan tidak bisa melindunginya. Dia seharusnya aman, jauh dari aku." Mataku membelalak saat aku menelan napas yang tidak bisa lepas. "Aku tidak bisa... tidak bisa?"
Harlowe meletakkan lengan di bahuku dan merengkuhku. Dia pernah memelukku seperti ini dulu, merasakan ketakutanku pada malam aku pergi ke bajak laut. Itu adalah pelukan seorang ayah kepada anaknya, dan aku membutuhkan ketenangan itu lagi.
Terlepas dari semua rencanaku, pikiran bahwa perang menimpa kami membuatku takut. Ayahku mengalami beberapa pertempuran di masa mudanya, sebelum dia naik takhta. Dalam skala kecil, aku mulai mengerti ketakutannya akan konflik. Mungkin bukan kelemahan yang mencegahnya menentang permintaan-permintaan musuh-musuh kami, seperti yang selalu kusangka. Mungkin karena dia telah membayar harga perang itu.
Kalau Carthya melawan kali ini, ada harganya, selalu ada.
Aku dapat membayangkan kerugiannya bagiku, tetapi pilihanpilihan kami berkurang. Selama aku punya cukup kekuatan untuk memegang pedang, aku tidak akan menerima kekalahan Carthya.
Harlowe memelukku sampai aku melepaskan diri, dengan pikiran yang lebih jernih dan keputusan seandainya Carthya dikepung musuh-musuh dan tidak ada kemungkinan untuk menang, setidaknya kami akan membuat akhir yang spektakuler.
"Baiklah," kataku pada Harlowe. "Aku akan menyampaikan rencana-rencanaku dalam satu jam. Kumpulkan semua yang harus berada di sana."
BAB 2 KERWYN duduk di sebelah kananku di ruang singgasana, dan Amarinda di sebelah kiri. Di samping mereka di meja besar ada Harlowe dan Mott, juga Tobias, yang seharusnya berada di sana untuk membantu mewakili para regen. Sebenarnya, dia telah bersamaku sejak aku dimahkotai, dan aku ingin sarannya. Lebih dari itu, aku tidak ingin ada orang lain di sini. Tidak sampai kami memutuskan tindakan yang jelas.
Atas permintaanku, Kerwyn mencondongkan badan ke depan untuk memulai. "Avenia datang dari barat dan memiliki ribuan orang yang siap dipanggil. Mereka akan bertempur dengan sengit dan tanpa ampun, oleh karena itu, mereka merupakan bahaya terbesar bagi Carthya. Mata-mata kami juga mengatakan ada pergerakan dari tentara Gelyn. Kita harus menghentikan usaha mereka untuk mengambil alih perbatasan bagian utara. Pasukan berkuda Bymar dapat membantu kita menahan mereka."
"Kalau Bymar datang," Amarinda berkata. "Negaraku akan membantu, jika kita memiliki cara untuk memberitahu mereka apa yang sedang terjadi di sini."
"Kita juga harus mempertimbangkan Mendenwal," kata Mott. "Mereka belum menyerang, tetapi mata-mata kita yakin
Raja Humfrey telah memerintahkan tentaranya ke Carthya." Aku tidak menduga Mendelwal akan menjadi bagian dalam penyerangan. Dari ketiga negara yang mengelilingi kami, Mendenwal adalah yang paling beradab, paling tidak agresif, dan memiliki tradisi diplomatik paling lama dengan Carthya. Raja Humfrey dan aku sempat bermasalah"aku pernah melukai pahanya bertahun-tahun lalu setelah menantangnya duel. Tetapi itu hampir tidak bisa dijadikan alasan untuk perang. Lagi pula, dia layak mendapatkannya.
Mungkin Kerwyn yang paling terpukul dengan berita ini dibanding yang lain. Dia dan Humfrey mengalami banyak hal bersama selama bertahun-tahun dan hampir dapat dianggap sebagai teman. Memiliki Avenia sebagai musuh cukup buruk, tetapi Mendenwal sama mengkhawatirkannya bagiku. Carthya tidak bisa bertahan terhadap kekuatan penuh Mendenwal, bahkan jika mereka satu-satunya musuh yang kami hadapi.
Aku menggigit bibir dan menatap Kerwyn. "Mengapa Mendenwal" Apakah karena ayahku berbohong pada mereka" Atau lebih daripada itu?"
"Aku telah mengirimkan surat permintaan maaf dan penjelasan kepadanya," Kerwyn menjawab. "Semua diabaikan."
"Kita tidak sanggup menjadi musuh mereka. Tentara Mendenwal tiga kali lebih besar daripada tentara Avenia."
"Tetapi mereka bisa diajak berunding," kata Tobias. "Mereka tidak haus darah seperti Avenia, atau haus harta, seperti Gelyn." Mungkin begitu, tetapi sesuatu telah menarik mereka ke dalam perang ini, dan aku tidak tahu apa. Aku berbalik kepada Kerwyn. "Dapatkah kau meminta Raja Humfrey datang ke sini:
"Caranya" Kalau surat-suratku saja tidak dibalas?"
"Kau harus pergi ke Mendenwal dan mengingatkannya akan persahabatan kalian." Aku benci meminta terlalu banyak. Perjalanannya panjang dan kelihatannya kami bermusuhan sekarang. "Berisiko."
Entah kenapa hal itu membuatnya tersenyum. "Kalau ada yang kupelajari darimu, Baginda, itu adalah cara mengambil risiko."
"Terima kasih, Kerwyn." Dengan selesainya urusan itu, aku berpaling pada Mott. "Kau dan aku harus berusaha menyelamatkan Imogen. Kita akan menemukan kamp dekat Libeth tempat mereka menahannya, kemudian?"
"Tidak." Aku terpana sesaat. "Apa?"
Dia bergeming. "Tidak, Yang Mulia. Aku akan mengusahakan penyelamatan. Aku akan ke sana sendiri, atau ditemani seluruh resimen tentara kalau itu maumu. Tetapi kau sedikit pun tidak akan berada dekat kamp Avenia."
"Ya, aku akan berada di sana!" Aku sering bertanya-tanya apa misi hidup Mott adalah menentangku. Jika demikian, dia seharusnya merasa sangat senang dengan kesuksesannya. Aku curiga kalau aku memilih sesuatu yang tidak begitu penting seperti mengenakan mantel abu-abu untuk makan malam bukannya biru, dia akan menemukan alasan untuk mendebatnya.
"Mereka mengharapkanmu untuk menyelamatkannya," katanya. "Ini jebakan."
"Menurutmu aku belum mempertimbangkan itu?"
"Kupikir kau pernah terlepas dari situasi berbahaya dan percaya kau dapat melakukannya lagi kali ini. Tetapi sekarang berbeda. Mereka mengenalmu dan bersiap-siap dengan muslihatmu. Kalau kau memasuki kamp itu, kau tidak akan keluar hidup-hidup."
Aku berdiri, menggeleng dengan galak. "Jika mereka mengharapkan kehadiranku, kepergianmu ke sana pun sama tidak amannya."
"Itu risiko yang akan kuambil."
"Tetapi aku tidak mau!" teriakku. "Kau tidak akan jatuh ke perangkap yang disediakan untukku! Kau tidak boleh mati demi aku!" Belum ada satu berita pun dari Roden sejak aku menyuruhnya pergi tiga minggu sebelumnya. Yang aku tahu hanyalah, dia menghilang. Dan sekarang, mungkin Imogen juga. Bayangan akan sesuatu terjadi pada temanku yang lain membuatku sangat ketakutan. Kalau Mott benar-benar paham, dia akan berhenti berargumen dan membiarkanku melakukannya dengan caraku.
Mott berhasil tetap tenang menghadapi rasa frustrasiku. Dia menjilat bibir dan berkata, "Tugas utamaku adalah melayanimu, Jaron, dan aku akan senang pergi untuk menggantikanmu. Tetapi tugas utamamu adalah melayani negara ini. Bukan Imogen."
Hal itu hanya membuatku tambah marah. "Jangan menceramahiku soal tugas! Seumur hidupku, apa lagi yang kulakukan selain menjalankan tugas" Aku menghilang karena tugas dan kembali untuk alasan yang sama. Dan aku akan bertempur dalam perang ini karena itu tugasku. Betapapun aku berharap melakukan yang sebaliknya, setiap kali tugas itu datang, aku melakukannya. Tetapi tidak kali ini. Aku akan pergi bersamamu!"
Keheningan melingkupi ruangan itu. Dari sudut mata, kulihat Amarinda menunduk, dan aku segera menyesali kata-kataku. Pertunanganku dengannya merupakan tugas juga.
Tobias berdeham untuk mendapatkan perhatian kami, kemudian berkata, "Mott benar, Jaron, kau harus memanggil Roden untuk kembali. Kirim dia saja ke Libeth."
Saat nama Roden disebut, semua orang kembali terdiam. Sejak pertengkaran kami, aku menolak membicarakan Roden secara terbuka. Malam ini sama saja.
"Roden tidak boleh ikut serta dalam penyelamatan Imogen," kataku kaku.
Seharusnya itu akhir dari pembicaraan, tetapi Tobias mendesak lebih jauh. "Tak peduli pertengkaran apa pun yang terjadi di antara kalian, dia tetap kapten pengawalmu. Jika kita sedang berperang, kau harus memanggilnya kembali."
Untungnya, Mott mengintervensi. "Kalau Roden sudah siap untuk memimpin, dia tidak akan pernah meninggalkan kita. Jangan ganggu Jaron."
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Pertanyaan terakhir adalah bagaimana melindungi sang putri. Mereka menculik Imogen karena dia mangsa yang mudah. Kita tidak akan mengambil risiko dengan Amarinda."
Amarinda membelalak seolah tidak menyadari dia juga berada dalam bahaya. Amarinda menatap Tobias, yang memberinya senyum muram, kemudian perhatiannya teralih kepadaku.
"Aku ingin menjaga agar pertempuran jauh dari Drylliad," kataku. "Tetapi jika mereka tahu kau ada di sini, istana ini akan menjadi prioritas utama mereka. Kau harus pergi ke tempat yang lebih aman."
"Dia bisa pergi ke Farthenwood," Tobias mengusulkan.
"Kita dapat menyembunyikannya di lorong rahasia kalau perlu."
"Sebaiknya aku pulang ke keluargaku di Bymar," Amarinda berkata. "Seseorang harus membawa armada mereka ke perbatasan Gelyn untuk bertempur. Mereka akan lebih mendengarkanku."
"Tetapi kau tidak bisa pergi ke Bymar tanpa melalui Gelyn atau Avenia," kataku. Keduanya bukan rute aman.
Tanpa berkedip, dia menjawab. "Aku harus pergi. Rute paling cepat adalah lewat Avenia, tempat aku bisa naik kapal dari Isel. Mungkin dengan penjagaan para pengawal, aku dapat menyelinap dengan aman."
Aku membalas senyumnya. Dia lebih berani daripada yang kusangka, dan dia benar: Bymar akan merespons panggilannya tanpa ragu.
"Pengawalan yang cukup kuat untuk melindungimu pasti menarik perhatian," Kerwyn memperingatkan. "Dan begitu berada di Avenia, kau akan jauh lebih menonjol."
"Aku setuju." Mott mencondongkan diri dan menepuk tangannya. "Sayangnya, Tuan Putri, kau akan lebih aman dengan pengawalan yang paling samar."
"Yah, itu aku." Tobias berkata apa adanya, seakan dia akhirnya menerima apa yang semua orang sudah ketahui"bahwa dia tidak akan pernah menjadi prajurit. Kemudian dia menambahkan, "Tidak akan ada yang percaya aku satu-satunya yang kaukirim untuk melindungi sang putri. Jaron, kita dapat menggunakan kereta untuk melarikan diri."
Pada satu malam yang larut, ketika kami berdua terlalu lelah untuk berpikir rasional, Tobias dan aku mulai berdiskusi. Lahir dari lelucon tentang bagaimana caranya aku bisa menyelinap kembali ke Avenia untuk menghabiskan satu siang di pantai, dan benar-benar konyol.
"Apa itu kereta untuk melarikan diri?" Amarinda bertanya.
"Kereta yang didesain agar terlihat seperti gerobak gereja yang membawa bantuan bagi orang sakit dan papa," kata Tobias. "Seolah hanya membawa makanan dan perlengkapan, tetapi ada kompartemen rahasia di bawah tempat kita bisa sembunyi, kalau perlu."
Aku menggeleng. "Itu lelucon, bukan rencana sungguhan untuk melarikan diri. Tidak cukup aman."
"Ada prioritas yang lebih tinggi daripada keamanan," kata Amarinda.
"Tidak untukmu," aku berkata tegas.
"Kapan keselamatanmu pernah menjadi prioritas dalam melindungi Carthya?" dia membalas. "Apa aku tidak ada gunanya selain menjadi hiasan bagi lenganmu" Kita harus menyampaikan kabar ke Bymar, dan aku orang terbaik untuk melakukannya."
"Kau dan Tobias" Sendirian di Avenia?" Tidak masuk akal.
"Kereta itu bukan lelucon," Tobias berkata. "Aku mendesainnya, dan aku membuatnya."
Aku menoleh ke arahnya. "Kapan?"
"Ketika kakimu dalam penyembuhan. Aku ingin membuktikan hal itu mungkin." Tobias mencondongkan tubuh ke depan. "Tidak ada yang dapat melihatnya dari luar dan tahu ada lantai palsu. Ini akan melindunginya. Aku akan melindunginya."
Segalanya dalam diriku menentang usulnya. Tetapi pada akhirnya aku tahu pilihan-pilihan kami semakin sempit, dan tidak ada yang benar-benar bagus. Jika Avenia bisa mendapatkan Imogen, seseorang yang seharusnya tidak berhubungan denganku sekarang, aku tidak berani berpikir seberapa jauh usaha mereka untuk mendapatkan calon ratu kami. Jika bisa pulang ke Bymar, dia akan lebih aman di sana, apa pun akhir dari perang ini.
Dengan berat hati, aku memberi izin dan berkata, "Siapkan untuk besok pagi. Aku ingin kau membawa Fink." Fink anak laki-laki Avenia yang kembali bersamaku dari bajak laut. Dia bertanya terlalu banyak, tidak memperhatikan apa pun lebih dari beberapa menit, dan kelihatan berusaha menjejalkan beberapa kalimat ke dalam satu tarikan napasnya. Tetapi menurutku, sekarang dia adalah keluarga, dan aku harus memastikan dia juga aman.
Dengan keengganan yang nyata, Tobias setuju, kemudian aku kembali ke tempat dudukku untuk berkata pada semua orang. "Semua harus dilakukan secepat mungkin. Tentara kita kuat, tetapi tentara mereka juga. Setiap hari perang ini berlangsung, musuh kita merangsek lebih jauh ke tanah kita dan meneror lebih banyak rakyat kita. Dengan tiga negara melawan kita, kita tidak bisa bertahan lebih lama. Aku ingin perang yang berlangsung beberapa minggu, bukan beberapa bulan."
Kepala-kepala itu mengangguk, walaupun tidak satu pun punya ide yang lebih baik mengenai bagaimana kami dapat melakukannya. Aku hanya tahu kami harus mencari jalan.
"Tidak adakah tugas untukku?" Harlowe bertanya. Ini pertama kalinya dia berbicara dalam rapat ini.
Aku menoleh ke arahnya, tetapi menarik napas perlahan sebelum berbicara. "Tugasmu mungkin yang paling berat. Berita harus disebarkan ke seluruh kerajaan, terutama kepada rumah-rumah di luar kota. Undang semua yang ingin datang ke Drylliad. Di sini kita akan menawarkan perlindungan dalam amannya tembok istana. Sebagai balasannya, semua pria yang mampu harus bersiap ikut berperang untuk melindungi ibu kota. Mereka yang tidak bisa bertempur dapat membantu dalam cara apa saja yang kauperintahkan."
Harlowe mengangguk kepadaku, kemudian berkata, "Para regen mengusulkan untuk menawarkan pembebasan para narapidana yang ingin berperang bagi Carthya."
"Bagaimana dengan Conner?" Bahkan jika dia adalah harapan terakhir Carthya, aku tidak akan berani meletakkan pisau di tangan orang itu. Bevin Conner kemungkinan besar akan protes sampai hari kematiannya bahwa dia tetap patriot, tetapi aku sulit percaya dia tidak akan menggunakan pisau itu terhadap orang-orang kami sendiri, dan membenarkannya atas nama patriotisme.
"Kita tidak akan melepaskan dia, tentu saja. Terutama tidak sekarang." Harlowe berdeham, seolah kata-kata yang akan keluar dari bibirnya membuatnya tidak nyaman. "Kami baru saja mengetahui dia telah mengirimkan informasi ke luar perbatasanperbatasan kita, kepada seseorang yang tidak diketahui."
Mataku menyipit. "Informasi apa?"
"Pesan yang kami cegat menggambarkan detail-detail pertengkaranmu dengan Kapten Roden. Kemungkinan ada yang lainnya sebelum itu."
"Biarkan pesan itu dikirim," kataku. "Dan ikuti. Aku ingin tahu Conner berkomunikasi dengan siapa."
"Seperti yang kauperintahkan," kata Harlowe. "Rajaku, Drylliad akan bertahan sampai kau kembali dengan selamat."
Mendengarnya aku tertunduk. Kemudian menengadah lagi. Amarinda menatapku, kedua alisnya menyatu karena cemas. Dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi Kerwyn bicara lebih dahulu.
"Yang Mulia, aku tidak akan berusaha protes tentang risiko yang kauambil," dia berbicara dengan lelah. "Aku tahu tidak pernah ada gunanya. Tetapi kalau kau ingin melakukan ini, ada sesuatu yang harus kita diskusikan. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungimu, tetapi?"
"Itu jebakan bagiku, aku tahu."
Kerwyn mencondongkan tubuh mendekat. "Setelah kematian keluargamu, Carthya hampir jatuh ke dalam perang saudara. Kau tidak bisa pergi tanpa meninggalkan ahli waris."
Aku mengangguk pada sang putri, dan berkata, "Seharusnya Amarinda."
Tetapi dia menggeleng. "Seorang Carthya harus dijadikan penerus. Bukan aku."
"Itu konyol. Kau mungkin tidak lahir di sini, tetapi kau sama Carthya-nya dengan aku."
"Aku di sini untuk menyegel perjanjian antara kedua negara kita, tidak lebih," katanya lembut. "Rakyatmu akan menerima aku sebagai istri raja mereka, tetapi bukan sebagai pemimpin utama."
"Walaupun kalian berdua masih muda, ada kemungkinan lain." Nada suara Kerwyn hati-hati sekarang, berusaha tidak mendesak terlalu jauh. "Kalau kalian menikah, jika terjadi sesuatu dengan sang raja, Amarinda otomatis akan mempertahankan takhta sebagai ratu. Tidak ada yang dapat mempertanyakan kepemimpinannya saat itu."
Amarinda dan aku saling memandang, terkejut dengan usulan yang tak terpikirkan oleh kami berdua dan jelas tidak siap untuk menjawab. Ada bangsawan-bangsawan lain yang menikah bahkan pada usia yang lebih muda dibanding kami, dan biasanya pada saat terdesak seperti yang sekarang kami hadapi. Tetapi ini begitu mendadak. Aku tahu harus mengatakan sesuatu, dan dengan cepat. Namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokan.
Saat itu aku ragu terlalu lama dan Amarinda berbicara lebih dahulu. "Semua itu tidak perlu karena Jaron akan kembali." "Mungkin tidak." Bodoh untuk berpura-pura sebaliknya. Dan Carthya perlu pemimpin. "Kita harus menikah," aku berkata kepada Amarinda. "Malam ini. Untuk mempertahankan takhtamu."
BAB 3 DENGAN keenggananku menerima usulan Kerwyn, semua mata memandang Amarinda. Dia menatapku kaget, lalu berkata perlahan, "Raja dan aku perlu waktu untuk berbicara berdua."
Dengan anggukan hormat, ruangan itu dikosongkan. Aku memegang tangan Amarinda, melihatnya, bukannya menatap matanya. Sejak aku kembali dari bajak laut, hubungan kami menjadi begitu nyaman. Tetapi dengan kemungkinan untuk menikah sunguh mendadak sekarang, semua kecanggunggan itu kembali.
"Aku tahu bukan ini yang kauinginkan, atau cara yang kaukehendaki," kataku. "Tetapi kalau kita tidak melakukannya, kau akan berkewajiban terhadap orang yang kutunjuk sebagai pewaris takhta. Itu tidak adil bagimu, tidak lagi."
"Tetapi kau akan kembali." Aku mengangkat bahu sebagai jawaban dan tetap menjaga tatapanku ke bawah. Dengan suara gemetar, dia menambahkan, "Jaron, apakah kau berharap gugur dalam perang ini?"
Ibu jariku mengusap ibu jarinya. Bukan untuk pertama kali, aku bertanya-tanya bagaimana kulitnya bisa begitu halus. Kemudian aku berkata, "Dengan ancaman yang kita hadapi, aku akan bertarung sampai akhir sebelum menyerah. Dan aku tidak melihat jalur kemenangan."
"Tetapi kau akan mendapatkan jalan keluar. Kau selalu bisa."
"Mungkin Carthya akan berhasil melalui ini. Tetapi hidupku tidak pernah merupakan jenis yang berlangsung sampai tua." Dia meremas tanganku, dan aku menambahkan, "Aku tahu perasaan untuk menikah itu tidak ada bagi kita. Tetapi kita harus membuat gelarmu resmi." Aku tidak tahan untuk meringis. "Dan kalau aku tidak kembali, akan ada lebih banyak ruang di singgasana bagimu."
Dia tidak terhibur. "Hentikan itu! Kematianmu bukan lelucon bagiku!" Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Apa pun yang kita rasakan satu sama lain, kau berharga bagiku, dan bagi seluruh Carthya."
Aku menghargai itu, walaupun kata-katanya terlalu jelas mengungkapkan perasaannya. Dia dengan sangat hati-hati berkata bahwa meski kami berteman, dia tidak mencintaiku.
Kemudian Amarinda meletakkan tangannya yang lain di atas tanganku. "Beritahu aku tentang Roden. Aku tahu pertengkaran kalian tidak sungguh-sungguh."
Dengan geli, aku menaikkan sebelah alis. "Tahu dari mana?"
"Kau hanya marah kepadanya di muka umum. Mott tahu cerita seutuhnya, kurasa."
"Memang. Dan aku hendak menceritakannya kepadamu, tetapi mungkin kau harus berbohong terhadap para regen, dan aku tidak bisa melakukannya."
"Mengapa kau pura-pura bertengkar?"
"Seseorang akan melaporkannya kembali kepada Vargan" mungkin dia yang dihubungi Conner. Aku tidak bisa membuat diriku terlihat lebih kuat daripada yang sebenarnya, maka aku akan berbuat sebaliknya."
Dia terlihat frustrasi dengan ide itu, tetapi hal itu berhasil bagiku sebelumnya, dan lagi pula, waktu untuk mendebatkan kebijaksanaan rencana ini telah berlalu. Dia bertanya, "Jadi di mana Roden sebenarnya?"
Aku mendesah, lega karena bisa mendiskusikan hal ini dengannya. Namun demikian, mengucapkan kata-kata itu mengingatkanku akan nyaris mustahilnya tugas yang kuminta Roden lakukan. "Dia di utara, di perbatasan dengan Gelyn," kataku. "Dengan empat puluh orang terbaik kita, Roden bertugas untuk mengambil alih garnisun Gelyn di sana, kemudian menghentikan tentara mereka yang berusaha masuk."
"Tetapi mereka tidak akan pernah berhasil! Lepaskan perbatasan dan bawa Roden kembali. Dia dan Mott bisa mencari Imogen."
Aku merengut. "Mengapa bukan aku" Kenapa hidupku lebih berharga daripada mereka?"
"Nilai nyawa kalian sama, Jaron. Tetapi bukan nilai dalam peranmu." Genggaman Amarinda terhadap tanganku menguat. "Aku memikirkan Imogen dengan rasa sayang seperti terhadap adikku sendiri, kau tahu itu. Tetapi kalau kau pergi ke dekat kamp itu, kau akan menyerahkan dirimu ke tangan mereka, dan perang ini akan kalah sebelum mulai. Kau tidak bisa pergi." Tatapannya menembusku sampai akhirnya aku melengos. Dia benar, Mott juga"meski aku mendebatnya, aku tahu itu. Rasanya seolah lubang menganga di perutku ketika berpikir
aku tidak berada di sana untuk memastikan Imogen aman, tetapi beberapa minggu terakhir ini aku berusaha menerima masukan dari orang lain dengan lebih baik. Ini bukan insting alamiku, dan bayangan akan memiliki orang-orang dalam hidupku yang benar-benar dapat kupercaya itu sungguh merupakan sesuatu yang baru. Namun alternatifnya, untuk bertindak berdasarkan keputusanku sendiri, telah mengajarku beberapa pelajaran menyakitkan yang tidak ingin kuulangi. Jadi, aku kembali menatapnya dan mengangguk. Aku tidak akan pergi mencari Imogen.
Amarinda berterima kasih kepadaku, lalu tersenyum. "Perang akan terjadi, Jaron, dan kita tahu risiko-risiko apa saja yang terlibat. Tetapi kita harus percaya semua akan berakhir dengan baik. Rencana pernikahan kita akan tetap sama."
Aku berharap bisa seoptimistis dia, tetapi kenyataan akan apa yang ada di depan mendesakku dari setiap sisi. "Tidak, tidak akan." Aku menatap matanya mantap, penuh kekhawatiran. "Kulepaskan kau dari pertunangan ini, Amarinda. Kita akan tetap menikah, tetapi hanya kalau itu pilihanmu. Bukan karena perjanjian apa pun antara dua negara kita atau kewajiban apa pun yang harus kaupenuhi, hanya kalau kau mencintaiku. Namun, Kerwyn tadi benar. Sesuatu yang buruk bisa terjadi dalam perang ini... terhadapku."
"Kalau begitu, kau harus memilih raja pengganti." Amarinda berusaha menyembunyikan kecemasan dalam suaranya, tetapi tidak berhasil. "Apakah aku ditunangkan dengan raja berikutnya, atau aku tidak ada artinya bagi Carthya?"
Dengan lembut, aku tersenyum kepadanya. "Kau putri negara ini, dan dengan demikian, akan menjadi tanggung jawabmu untuk memilih pemimpin Carthya selanjutnya. Kau dapat mengangkat dirimu dan memerintah sendirian dengan restu resmi dariku."
"Rakyat tidak akan menerimanya."
"Tetapi Harlowe mau, kalau itu perintahku. Dan ke mana pun dia memimpin, para regen akan mengikuti. Lagi pula, Tuan Putri, rakyat mencintaimu." Aku duduk kembali dengan kekagumam terhadapnya, kemudian terkekeh saat membandingkannya dengan kesalahan-kesalahanku. "Aku cukup yakin mereka akan lega ketika kau memerintah."
Dia mempertimbangkan itu dalam diam, lalu bertanya, "Bagaimana kalau aku ingin menikah?"
"Aku hanya meminta kau memilih seorang suami dari Carthya." Ibu jariku mengusap ibu jarinya. "Seseorang yang sepadan bagimu."
"Dan jika aku tidak menginginkan mahkota itu?" dia bertanya.
"Maka berikanlah kepada seseorang yang layak, dan pergilah dari takhta selamanya."
Seolah aku telah mengangkat beban berat dari bahu. Dia meluruskan punggung dan mengangguk. Keheningan terjadi di antara kami, dan kalau aku punya keberanian, akan kusahkan perjanjian itu dengan ciuman. Tetapi tidak, dan aku yakin dia juga memperhatikan itu.
Kami akhirnya berdiri dan aku menawarkan untuk menemaninya ke apartemennya. Tetapi Mott sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya tegang dan muram. Dia bersedekap dan entah bagaimana dia terlihat lebih lebar daripada biasanya, jelas menunjukkan aku tidak dapat melewatinya. Tobias juga berada di sekitar situ, jadi aku memintanya untuk mengantar sang putri ke kamarnya.
Bahkan sebelum mereka pergi, aku dapat menduga Mott siap membentakku dalam nada yang paling tajam. Aku takut, merasa seolah penjaga kuburan, ayahku, dan para pendeta kapel telah menyatukan semua energi untuk membuktikan sekali ini betapa aku selalu salah. "Kita perlu bicara," katanya.
Aku memutar bola mata. "Jangan buat ini jadi pertengkaran.
"Aku tidak akan melakukannya, tetapi kau membuat segalanya menjadi pertengkaran."
Yah, kelihatannya memang benar. Jadi aku mengangkat bahu dan membiarkannya mengikutiku kembali ke ruang singgasana. Ketika pintu-pintu tertutup di belakang kami, aku berbalik dan menatapnya untuk memberitahunya perjanjian yang baru saja kubuat dengan Amarinda.
Namun demikian, dia dengan cepat memotongku. Dibukanya tangan besarnya untuk memperlihatkan pesan yang kusut di dalamnya. Aku lega ketika melihat tulisan tangan Roden yang kaku di ujung kertas yang terbuka. Jadi setidaknya dia masih hidup, atau hidup ketika pesan ini ditulis.
"Kapan kau mendapatkannya?" tanyaku.
"Belum sampai sepuluh menit yang lalu. Pembawa pesan dari Roden berkata dia hampir tidak berhasil melarikan diri dengan selamat dari Gelyn untuk membawa pesan ini."
"Kau sudah membacanya?"
"Ya." Dari ekspresi Mott, aku tahu beritanya tidak bagus. "Pasukan Roden berhasil menyelinap ke dalam Gelyn, dan menyerang tentara Gelyn di garnisun sepanjang perbatasan kita. Kemudian Roden dan pasukannya membangun perangkap yang menghentikan sebagian besar gelombang pertama dari tentara Gelyn yang mencoba melintas." Mott tambah merengut. "Dia mengirimkan pesan ini, mengantisipasi gelombang tentara kedua. Sisanya sedang dalam perjalanan."
Artinya bisa ratusan, atau bahkan ribuan musuh. "Apakah dia memberitahu berapa banyak orang yang tersisa?"
"Delapan belas."
Delapan belas dari empat puluh. Hatiku sakit membayangkan betapa banyak yang gugur. Dan walaupun orang-orang yang tersisa merupakan prajurit-prajurit terbaik yang dapat Carthya sediakan, kemungkinannya mengerikan. Bisa saja sekarang, tak seorang pun masih hidup.
Mott memberikan pesan itu kepadaku. "Dia memintamu membawa bantuan untuk bergabung bersamanya. Dia yakin itu satu-satunya cara agar mereka bisa berhasil."
Aku membaca cepat pesan itu. Karena latar belakangnya yang kurang berpendidikan, ejaan dan tulisan tangannya jelek, tetapi dalam hal ini aku bersyukur akan kesalahan-kesalahan itu. Ini membuktikan bahwa pesan ini datang langsung dari tangannya. "Kapten memintaku untuk mengirim bantuan, bukan membawa bantuan. Kau lebih suka aku pergi ke pertempuran melawan ribuan orang Gelyn ketimbang ke kamp tempat Imogen ditahan?"
"Bukan. Aku lebih suka kau bersembunyi dalam lemari sampai semua ini selesai. Tetapi aku tahu dari pengalaman bahwa bahkan dengan kunci terbaik, kami tidak bisa menahanmu di sana." Ada sedikit ejekan dalam suaranya, tetapi setelah ragu beberapa saat, Mott menjadi serius lagi. "Mereka hanya punya satu alasan untuk menangkap Imogen, karena mereka tahu kau akan menyelamatkannya. Jaron, apa pun yang mereka rencanakan, pasti jahat. Jadi kalau harus memilih salah satu, ya, aku lebih suka kau pergi ke Gelyn."
Untungnya, keputusanku telah dibuat, kalau tidak aku akan harus berargumen, hanya karena gengsi. Tetapi aku hanya berkata, "Baiklah, Mott. Kau menang kali ini, tetapi jangan biarkan ini menjadi kebiasaan." Lalu, dengan jantung berdebar, aku menambahkan, "Berjanjilah kalau Imogen?"
"Aku tidak dapat menjanjikan apa pun kecuali melakukan yang terbaik." Dengan gugup, dia menjilat bibir. "Dan kau, berjanjilah padaku?"
"Aku juga tidak dapat melakukannya." Kupaksakan tersenyum muram. "Tetapi dengan cara apa pun, kita akan memastikan perang ini berakhir. Harus."
BAB 4 KEESOKAN paginya, satu resimen yang terdiri atas dua ratus orang meninggalkan Drylliad ke perbatasan utara dengan Gelyn. Aku berharap dapat mengirim lebih banyak, tetapi tentara-tentara lainnya dibutuhkan di selatan untuk menghadapi pasukan Mendenwal yang mendekat. Dan kontingen ketiga dikirim untuk menjaga perairan besar di Danau Falstan. Sisanya tetap di sini untuk mempertahankan ibu kota. Kekuatan yang Carthya miliki telah terbagi, dan sumber daya kami diperas sampai batasnya. Walaupun aku berdiri tegak dan bangga mengawasi mereka pergi, dalam hatiku, aku tetap meragukan mereka punya kesempatan untuk selamat.
Begitu mereka pergi, aku bergabung bersama Tobias, Amarinda, dan Fink di halaman dalam. Rencanaku adalah untuk pergi bersama mereka sampai ke perbatasan Avenia, untuk meyakinkan mereka selamat setidaknya sejauh itu. Kemudian aku akan membawa kudaku, Mystic, ke Gelyn dari sana dan berharap para iblis memberi mereka kemudahan sampai sang putri selamat di negara asalnya. Kereta untuk melarikan diri sedang dimuati pakaian, selimut-selimut, dan makanan. Tobias menelengkan kepala ke arah peti-peti dan berkata, "Setidaknya kita tidak akan kedinginan atau kelaparan dalam perjalanan ini."
Cengiran jail tersungging di mulutku. "Kita tidak akan kedinginan, tetapi kusarankan jangan menyantap makanan itu. Resep hari ini menambahkan bumbu Ayagall." Erangannya mengungkapkan bahwa Tobias mengenal tanaman itu sebaik aku. Ayagall adalah tanaman liar yang tumbuh subur dekat panti asuhan tempat aku tinggal, dan merupakan sumber lelucon seru ketika kehidupan di panti asuhan menjadi membosankan. Ayagall dalam jumlah sedikit saja menjamin muntah-muntah seharian. Tiba-tiba, misteri mengapa Mrs. Turbeldy amat membenciku terungkap.
Terlepas dari usahanya untuk tetap serius, Amanda terkikik. "Avenia pikir mereka melawan seorang raja. Aku ragu mereka siap melawan anak laki-laki yang berpikir jebakan kekanakkanakan merupakan strategi praktis untuk perang."
"Begitu, ya?" kataku, memberikan kedipan dan senyum pada Fink, yang sudah tertawa.
Begitu kereta itu dimuati, Amarinda, Fink, Tobias, dan aku berdesakan di dalamnya. Tidak akan menjadi perjalanan yang nyaman, tetapi kalau mereka dihentikan di perbatasan, ini harus terlihat seperti kereta perbekalan, tidak layak untuk penumpang, dan jelas tidak layak untuk calon ratu dari negara itu. Amarinda dan aku duduk bersebelahan di bangku kecil di ujung kereta, sementara Fink dan Tobias duduk di lantai di depan kami.
Fink langsung mulai bercakap-cakap dengan Tobias, yang menyuruhnya diam tidak kurang dari dua puluh kali sebelum gerbang Drylliad berada di belakang kami. Aku tidak yakin mengapa dia peduli. Mencegah Fink untuk bertanya itu seperti membendung laut. Dia bicara kapan saja dia senewen, atau senang, atau bosan, atau setidaknya, terjaga. Akhirnya, Tobias menyerah berpura-pura mendengarkan dan hanya menatap ke depan. Kecemasannya jelas dalam setiap ekspresinya, setiap gerakannya, dan semakin parah dalam setiap kilometer yang kami lalui.
Aku lihat Amarinda membalas senyumnya, berharap memberinya kepercayaan diri dalam semua yang akan terjadi dalam beberapa jam ke depan. Tobias mendapat semangat dan tersenyum kembali. Aku mengamati komunikasi hening mereka, tetapi memperhatikan mata Tobias tetap memandangnya lama setelah Amarinda berpaling. Tentu saja begitu. Amarinda bertambah cantik setiap harinya. Bahkan orang buta akan menyadarinya.
Akhirnya, Fink kehabisan pertanyaan dan terdiam seperti kami semua. Aku hampir berharap dia terus berbicara, karena kereta yang sunyi terasa seperti berhantu. Otakku tidak lebih jernih dibanding kemarin, dan aku berjuang untuk fokus terhadap setiap masalah yang kami hadapi tanpa seratus hal lain memohon perhatianku lebih dulu. Ketegangan itu membuatku ingin berjalan atau memanjat atau melakukan sesuatu selain duduk dalam kereta sempit yang bergoyang-goyang sepanjang jalanan berdebu.
Hanya untuk memberiku kesempatan bergerak, aku merenggangkan kaki dan lengan. Merasakan ketidaknyamanan, Amarinda menggenggam tanganku dan menjalin jemarinya dengan jemariku. Kemudian dia berkata, "Begitu kami bertiga melewati perbatasan, jaraknya hanya beberapa hari ke Bymar. Kalau kau dapat menahan Gelyn sampai saat itu, rakyatku akan datang membantumu."


Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kuharap kau ikut bersama kami, Jaron." Fink menunduk, tetapi hanya sebentar sebelum dia menengadah lagi dan berkata, "Kudengar Kerwyn ingin kau dan Putri menikah. Kenapa tidak jadi?"
Aku tidak yakin siapa yang memberitahunya, tetapi jelas salah satu pelayan di ruangan itu bicara terlalu banyak. Aku hendak menegurnya karena bertanya begitu, tetapi Amarinda tertawa dan berkata, "Jelas kau tidak tahu apa-apa tentang pernikahan seorang gadis. Kalau aku di altar bersama Jaron sementara dia pergi ke medan perang, menurutmu bagian apa dari kudanya yang akhirnya akan kucium?"
Dia menatapku dan tersenyum, dan aku mulai tertawa membayangkannya. Fink bergabung bersama kami juga, yang hanya membuatnya terasa lebih lucu. Tetapi dari sudut mata, kulihat Tobias menunduk ke tangannya yang terkatup, mengamati ibu jarinya berputar.
"Kereta untuk melarikan diri ini akan berhasil," aku meyakinkannya. "Bergembiralah."
Senyum balasannya terhadapku penuh harapan, tetapi kosong. Ada yang mengganggunya, tetapi jelas bukan sesuatu yang bisa diutarakan di sini.
Tidak terlalu jauh lagi, kusir kami akan memberitahu jalan ke Avenia sudah dekat. Aku memerintahkannya untuk berhenti di tempat kami tidak akan terlihat, dan begitu berada di sana, kami turun dari kereta. Kami mengosongkan beberapa peti untuk membuka lantai palsu. Ruang di dalamnya lebih kecil daripada yang kubayangkan, namun jika lebih besar lagi, akan terlihat dari luar.
"Ini tidak akan cukup bagi kalian bertiga," kataku pada Tobias.
Tobias tanpa suara memberi tanda kepada Fink, mengingatkanku bahwa pada saat-saat terakhir aku mendesak agar dia ikut juga. Bahkan kalau tempat itu dibuat lebih besar, tidak akan ada waktu untuk mengganti desainnya.
"Harus cukup untuk kita," kata Amarinda.
"Aku akan di luar saja, kalau perlu," Tobias menawarkan. "Prioritas kita adalah keselamatan sang putri, Pan Fink dapat menunjukkan jalan untuk melewati Avenia sampai ke Bymar." "Tidak," ujar Amarinda. "Harus ada suatu cara bagi kita semua untuk melewati perbatasan itu."
"Aku di luar saja," Fink berkata. Kami memprotes, tetapi mengatasi seluruh suara kami, dia menambahkan. "Aku orang Avenia, dan aku masih kecil. Mereka tidak akan melihatku sebagai ancaman." Dia berbalik kepadaku. "Jaron, kau tahu aku benar."
Rasanya seperti ada gumpalan terbentuk di tenggorokanku. "Kau sudah seperti keluarga bagiku, Fink."
Sesuatu berkelip di matanya. "Kalau begitu aku... hampir menjadi seorang pangeran. Kalau raja mempertaruhkan segalanya bagi Carthya, aku juga harus."
Dengan sangat berat, aku mengangguk memberikan izin kepadanya, lalu berkata, "Avenia akan menggeledah kereta ini. Beritahu mereka, kusir mengizinkanmu menumpang untuk pulang. Pastikan mereka melihat peti anggur, tapi bilang anggurnya keras, dan sebaiknya mereka tidak mengambilnya."
"Mereka akan semakin berniat membawanya." Kemudian wajah Amarinda berseri-seri ketika dia mengerti. "Ayagall-nya banyak?"
"Mereka akan sakit selama seminggu."
Tobias memanjat ke dalam kereta lebih dulu, dan tubuhnya bermanuver untuk memberikan tempat bagi sang putri.
"Aku mungkin datang ke Carthya karena ikrar dan perjanjian," dia berbisik, "tetapi aku akan kembali lagi, karena hatiku tertambat di sini."
"Kalau begitu, aku akan segera bertemu lagi denganmu." Kukecup pipi Amarinda dan kupeluk dia dengan hangat. Ketika kami melepaskan diri, aku berusaha untuk menenangkan kecemasan di matanya dengan seuntai senyum dan meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, walaupun kuakui, aku sendiri tidak sepenuhnya yakin.
Aku membantunya menaiki kereta, walaupun dia harus meringkuk dekat Tobias agar muat, lengan Tobias terentang menjadi alas nyaman baginya untuk meletakkan kepala. Tidak mungkin Fink bisa cukup di situ juga.
Begitu mereka di dalam, aku mengingatkan Tobias akan tugas mulianya untuk melindungi Amarinda, dengan nyawanya kalau perlu. Dia berjanji untuk melakukan yang terbaik, tetapi tidak pernah memandangku saat mengatakannya. Mungkin dia tidak nyaman dalam posisi yang sempit dan canggung. Atau, aku bertanya-tanya, mungkin rasa tidak nyamannya datang dari tubuh lain yang lekat dengan intim terhadapnya. Dalam keadaan darurat, Tobias dapat melepaskan pintu lain di bawah mereka, tetapi sampai saat itu tiba, pintu palsu ditutup di atas mereka dan peti-peti dinaikkan kembali.
Fink berhenti sebelum memanjat naik dan berbalik padaku. "Jaron, aku takut."
Mengingat bahaya yang terlibat dalam fase berikut dari perjalanannya, aku mengerti perasaannya. Tetapi aku juga punya gambaran untuk membantunya dengan hal itu, sesuatu yang telah kupertimbangkan untuk sekian lama. Kutarik pedang dan berdiri tegak. "Berlutut," aku memerintahkannya.
Dia menatapku, bingung, sampai aku memberinya tanda untuk berlutut. Ketika dia berlutut, dengan pedangku kusentuh bahu kanan, kemudian bahu kirinya. "Sebagai raja Carthya, dan kepala rumah tangga Artolius, aku mengangkatmu, Fink, menjadi anggota keluargaku, dan sebagai kesatria kerajaan." "Sungguh?" Senyumnya lebih lebar daripada yang pernah kulihat. "Aku akan menjadi kesatria yang baik."
Ketika dia berdiri, aku menyarungkan pedang. "Upacara yang sebenarnya lebih panjang, tetapi aku ragu kau dapat duduk selama upacara itu berlangsung. Ini cukup untuk sekarang. Kau ditugaskan melindungi seorang putri. Dia membutuhkanmu untuk menjadi kuat, dan aku tahu kau bisa. Bawa dia pulang dengan selamat, dan jangan takut."
"Aku senang kau menjadikanku kesatria, tetapi bukan itu yang kumaksud tadi," dia berkata. "Ketika aku bilang takut, Jaron. Aku takut akan keselamatanmu."
Aku tidak menduga itu. Rasa takut di hatiku untuk Carthya, dan untuk semua orang di sekelilingku yang sedang dalam bahaya besar. Tetapi mungkin aku takut untuk diriku sendiri juga. Kukatakan kepadanya untuk berani bagi kami berdua. Kemudian aku menutup pintu dan menyuruh kusir untuk jalan. Begitu mereka pergi, aku menaiki punggung Mystic dan pergi ke tempat aku dapat melihat kereta itu selama mungkin. Akhirnya kereta itu hilang dari pandangan dan debu mengendap. Perhentian mereka selanjutnya adalah perbatasan Avenia, persis di bawah pengawasan tentara-tentara yang bisa mendapat imbalan besar untuk menangkap sang putri. Nasib Amarinda sekarang tergantung pada seorang regen yang tidak bisa mengayunkan pedang melawan bayangannya sendiri, dan seorang kesatria muda yang hampir tidak bisa mengangkat pedang dengan kedua tangan.
BAB 5 CELAH Bulan Sabit merupakan koridor sempit melalui gunung-gunung Gelyn yang terjal. Dinamai berdasarkan bentuk jalan yang seperti bulan sabit, celah itu satu-satunya jalur untuk bepergian antara dua negara.
Gelyn telah lama memiliki garnisun kecil sekitar tiga ratus orang di mulut celah. Tugas Roden adalah menarik sebagian kecil tentara ke luar, menangkap mereka, dan pelan-pelan mengambil alih kendali seluruh perbatasan. Begitu tercapai, mereka harus menunggu datangnya tentara Gelyn yang lain.
Aku tidak yakin kapan keadaan memburuk. Pesan dari Roden mengindikasikan mereka telah mengontrol garnisun, bahkan bertahan melawan gelombang pertama pasukan yang datang melalui celah. Tetapi perang itu menyisakan hanya delapan belas orang, dan kelompok berikutnya sedang dalam perjalanan. Sekarang, saat mendekati pertempuran itu dari kejauhan, aku berharap tambahan orang yang kukirimkan pagi itu akan membawa perubahan.
Semakin dekat, denting pedang, jeritan yang terluka, dan bau keringat serta darah menyerbuku dalam gelombang liar. Aku segera menarik pedang dan menyerang maju.
Pertempuran yang paling parah tampaknya sudah lewat, dan terlalu banyak pasukanku terbaring gugur di tanah. Aku yang mengirim mereka ke sini, dan tidak dapat mengabaikan pengorbanan mereka semudah membuang muka. Kami harus memenangi pertempuran ini sebelum matahari terbit lagi, atau kematian mereka akan sia-sia.
Aku mencapai garnisun dalam bayangan mentari yang tenggelam, tetapi masih ada cukup cahaya bagiku untuk menyerap pergumulan pasukanku melawan orang-orang Gelyn yang berpakaian kulit. Kelihatannya kami sedang unggul, tetapi perang jauh dari usai. Garnisun itu didesain untuk memberi makan dan tempat tinggal para tentara, tetapi sekarang menjadi sederetan bangunan-bangunan kecil tempat yang berani akan bertempur dan yang lemah dapat berlindung. Di sekeliling beberapa bangunan ada tebing terjal dan kasar, beberapa langkannya menghadap ke kawasan itu. Aku berniat masuk sedalam mungkin ke pusat peperangan, tetapi belum lagi mendekati kandang kuda yang kosong, aku sudah terseret ke dalam pertempuran.
Aku dengan cepat mengenali salah satu tentara yang pergi bersama Roden beberapa minggu lalu. Kami tidak punya waktu untuk saling menyapa dengan pantas, tetapi dengan menggabungkan kekuatan, kami mampu membeli waktu beberapa detik untuk menarik napas.
"Di mana Roden?" Aku takut mendengar dia telah gugur, karena tidak kulihat ada tanda-tandanya dekat pasukan ini.
Prajurit itu hanya memiringkan kepala ke atas bukit. "Kapten mungkin berada di salah satu bukit di belakang garnisun, tetapi di mana pun dia berada sekarang, tidak ada gunanya bagi kita."
"Mengapa tidak?" aku melihat berkeliling di daerah itu, berharap untuk melihatnya. "Bukankah dia berperang?"
"Ya, rajaku, dia berperang," orang itu menjawab. "Tetapi kita memiliki banyak prajurit. Yang tidak kita punya adalah pemimpin."
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi kami terseret lagi ke dalam pertempuran. Meski orang Gelyn tidak terbiasa bertempur, aku menyadari bahwa mungkin aku meremehkan kekuatan mereka sebelumnya. Alih-alih pedang, mereka bertempur dengan gada dan tombak, dan itu membuat kami harus mengubah strategi. Mereka dapat mengayun atau menusuk dengan ujung tajam gada mereka sebelum kami berada dalam jarak cukup dekat untuk melukai mereka. Namun, aku segera menyadari senjata-senjata mereka juga membuat mereka hanya bisa bertempur ke arah depan. Jadi aku memfokuskan seranganku ke orang-orang yang punggungnya menghadapku dan berusaha sedapat mungkin menghindari yang lain.
Ketika aku terjun lebih dalam lagi, kusadari bahwa Carthya unggul dalam gelombang tentara ini. Jelas kami telah bertempur sekuat tenaga dengan baik, walaupun tanpa tambahan tentara yang kukirim, kami jelas akan kalah. Keadaan berbalik memihak kami, namun aku ingin perang ini selesai sebelum lebih banyak lagi nyawa melayang.
Di bukit di depanku, beberapa pemanah kami bergabung membentuk setengah lingkaran, mengamati kalau ada masalah dan membantu saat mereka bisa. Mereka amat berharga, tetapi diperlukan selusin pasukanku untuk melindungi mereka, dan kami kehilangan terlalu banyak karena tombak-tombak yang diarahkan orang Gelyn langsung terhadap mereka.
Aku mendesak ke arah para pemanah, lalu menunjuk langkan di tebing di belakang kami. "Naik ke sana!" teriakku mengatasi suara-suara di sekitar kami. "Kalian akan jauh lebih berguna dan tidak perlu dilindungi."
"Kami tidak punya bakat memanjat seperti sang raja!" satu pemanah berkata.
"Belakangan ini, sang raja juga kekurangan bakat yang sama," kataku. "Tetapi di sanalah kalian harus berada."
Pemanah itu mengangguk, kemudian menyuruh anak buahnya untuk mengikuti. Begitu mereka lari ke langkan, aku melompat masuk, bergabung dengan yang lain, berhenti hanya untuk meringis karena sakit yang menyerang kakiku. "Di mana kapten?" teriakku.
Tentara berpedang di belakangku menyeringai. "Roden itu kaptenmu, bukan kapten kami. Kami semua tahu mengapa dia diberi posisi itu."
Reaksinya membuatku terdiam. "Oh" Mengapa begitu?"
"Dia temanmu, Baginda. Mungkin kau percaya kepadanya, tetapi Baginda tidak bisa mengharapkan kami untuk berbuat begitu."
Sebenarnya, ya, aku mengharapkannya, dan memang begitu. Tetapi balasanku itu lenyap dalam jeritan beberapa orang Gelyn yang menyerang kami berbarengan. Tentara di sebelahku tersandung dan jatuh, tetapi aku menahan mereka sampai dia bergabung denganku lagi. Berharap untuk membawa para Gelyn menjauhi para pemanah kami, yang masih memanjat, aku berlari lebih dalam ke garnisun.
Bangunan-bangunan yang digunakan para penjaga perbatasan Gelyn itu kecil, tetapi dibuat kokoh dari batu dan lembaran kayu tebal. Dibangun dalam dua garis paralel dan memiliki daerah luas di bagian tengah tempat mereka dapat makan, berlaatasi suara-suara di sekitar kami. "Kalian akan jauh lebih berguna dan tidak perlu dilindungi."
"Kami tidak punya bakat memanjat seperti sang raja!" satu pemanah berkata.
"Belakangan ini, sang raja juga kekurangan bakat yang sama," kataku. "Tetapi di sanalah kalian harus berada."
Pemanah itu mengangguk, kemudian menyuruh anak buahnya untuk mengikuti. Begitu mereka lari ke langkan, aku melompat masuk, bergabung dengan yang lain, berhenti hanya untuk meringis karena sakit yang menyerang kakiku. "Di mana kapten?" teriakku.
Tentara berpedang di belakangku menyeringai. "Roden itu kaptenmu, bukan kapten kami. Kami semua tahu mengapa dia diberi posisi itu."
Reaksinya membuatku terdiam. "Oh" Mengapa begitu?"
"Dia temanmu, Baginda. Mungkin kau percaya kepadanya, tetapi Baginda tidak bisa mengharapkan kami untuk berbuat begitu."
Sebenarnya, ya, aku mengharapkannya, dan memang begitu. Tetapi balasanku itu lenyap dalam jeritan beberapa orang Gelyn yang menyerang kami berbarengan. Tentara di sebelahku tersandung dan jatuh, tetapi aku menahan mereka sampai dia bergabung denganku lagi. Berharap untuk membawa para Gelyn menjauhi para pemanah kami, yang masih memanjat, aku berlari lebih dalam ke garnisun.
Bangunan-bangunan yang digunakan para penjaga perbatasan Gelyn itu kecil, tetapi dibuat kokoh dari batu dan lembaran kayu tebal. Dibangun dalam dua garis paralel dan memiliki daerah luas di bagian tengah tempat mereka dapat makan, berlatih, dan berbaris. Daerah itu sekarang dipenuhi pasukanku dan mereka, semua bertarung hampir di atas yang lainnya, jadi aku minggir ke kanan, melalui jalan sempit di antara dua bangunan. Di sana aku berharap bisa melarikan diri dari balik garnisun dan keluar dalam posisi yang lebih baik. Namun, jalan buntu. Ketika aku mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya, aku sadar telah membuat keputusan yang salah untuk mengambil jalan ini. Amat salah.
Orang yang mengikutiku lebih banyak daripada yang kuantisipasi, dan ketika aku tidak bisa lari lebih jauh lagi, aku menghadapi kamar kecil dengan bukit terjal berbatu di belakangnya. Tanpa pilihan untuk memanjat, tidak ada jalan keluar dari area ini. Jadi aku terus bertempur, tapi orang-orang Gelyn mendesakku lebih dekat ke bukit, jauh dari pertolongan apa pun.
"Mereka memanggilmu Baginda, tadi," satu orang Gelyn berteriak padaku. "Mungkinkah kami sudah menangkap raja kecil itu?"
"Yah, aku di sini," kataku. "Tetapi gagasan bahwa kalian menangkapku hanya khayalan. Apakah ikan menangkap beruang hanya karena jaraknya ke cakar beruang dekat?"
Kupikir itu komentar yang bagus, tetapi tampaknya hanya angin lalu, dan hinaan yang amat baik itu menjadi sia-sia. Aku menghibur diri dengan menancapkan pedang dalam-dalam ke salah satu tentara yang besar. Setidaknya mereka memperhatikan itu.
Aku menggunakan kesempatan itu untuk mulai memanjat batu-batu tempat aku tidak akan bisa dijangkau gada mereka. Kalau mereka mencoba mengikuti, aku dapat menendang senjata mereka, atau lebih baik lagi, menjatuhkan batu-batu ke atas mereka. Ini bukan gaya tempur yang anggun, tetapi pada saat ini, anggun adalah pemikiran terjauh dalam benakku.
Sayangnya kakiku yang lemah ambruk saat aku hampir mencapai puncak bebatuan, dan aku mendarat kembali di atas atap kamar kecil, hampir terperosok masuk, yang akan sangat disayangkan untuk berbagai alasan. Orang-orang di bawah menangkap satu kakiku, dan kemudian satunya lagi, menarikku mendekati mereka. Aku mencoba menendang, tetapi tak terlalu bermanfaat. Mungkin akhirnya mereka menangkapku.
Kemudian aku mendengar jeritan yang familier. Sepasang sepatu bot muncul di atasku dan segenggam penuh batu meluncur di atas kepalaku dan jatuh mengenai orang-orang di bawah. Aku dapat berkata punya ide yang sama, tetapi kurasa tidak ada artinya siapa yang melemparkan batu, hanya bahwa hal itu terjadi.
Dua lengan meraih ke bawah dan menyanggaku. Ketika aku dibantu naik dari gubuk itu ke atas langkan, aku nyengir dan berkata kepada Roden, "Kalau kau menyambutku dalam pertarungan seperti ini saat kita berteman, aku bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau kita masih menjadi musuh."
BAB 6 SEMENTARA berada di luar jalur orang Gelyn, Roden dengan cepat memelukku, kemudian berkata, "Apa yang kaulakukan di sini" Ketika meminta tambahan pasukan, aku tidak bermaksud memintamu datang."
"Ya, tapi aku bosan." Kami terdiam mendengar komandan Gelyn memerintahkan untuk menyerah. Pertempuran pasti hampir berakhir lebih cepat daripada yang kusadari. Roden mulai bergerak ke arah bukit untuk bergabung bersama kemenangan itu, tetapi aku menahannya dengan lenganku. "Pasukanmu dapat menyelesaikan ini. Kita perlu tempat untuk bicara."
Dia mendesah. "Kita bisa bicara. Tetapi kau mungkin sudah menyadarinya, mereka bukan pasukanku." Kemudian dia memberi tanda dari puncak bukit ke teluk kecil, di sana tidak terlihat ada pertempuran.
Begitu kami sendirian, aku duduk pada salah satu batu yang licin dan mengundangnya duduk juga. Dia bertumpu bergantian pada kakinya, seakan merasa lebih nyaman kalau siap berperang. Aku mengerti itu, tetapi pertempuran telah selesai, dia dan aku perlu bicara sebelum yang berikutnya datang.
Akhirnya, dia menyarungkan pedang, kemudian duduk dengan tangan menangkup. Dia memandangku singkat, kemudian menunduk dan mengorek-ngorek tanah dengan sepatu botnya.
Kami duduk diam sampai dia akhirnya berkata, "Malam sebelum kami mengambil alih garnisun, akau mendengar orangorang itu berbicara. Mereka tahu akan sulit, berisiko, dan sebagian besar membayangkan kekalahan. Aku hampir keluar dari bayangan saat itu, untuk meyakinkan mereka aku akan bertempur bersama mereka sampai akhir. Tetapi mereka lalu berkata kalau kita kalah, itu kesalahanku, bahwa aku tidak layak menjadi kapten mereka." Ketika dia menengadah menatapku, matanya penuh kesedihan dan keraguan. "Mereka benar, Jaron."
Untuk alasan tertentu, suatu ingatan dari masa kecil muncul dalam benakku saat berdiri di hadapan Ayah ketika dia duduk di singgasana, memandangku penuh ketidaksetujuan. Sebelumnya, hari itu, aku mengambil seluruh koin dari mangkuk persembahan di gereja. Mencurinya, kata Ayah, seperti pencuri murahan. Meniliknya kembali, aku tahu tindakan-tindakanku mempermalukan Ayah, tetapi yang bisa kumengerti saat itu hanyalah amarahnya. Aku tidak dapat menjelaskan bahwa aku memberikan koin itu kepada janda muda di kota yang diancam akan dipenjarakan karena utang-utangnya. Betapapun aku ingin Ayah mengerti alasan-alasanku, aku khawatir akan membuatnya mendapat masalah juga. Di hadapan seluruh dewan, dia memberitahuku bahwa aku sama sekali tidak bersikap sebagaimana seharusnya seorang pangeran.
Tidak nyaman dengan memori itu, aku berdiri dan mengingatkan diri bahwa percakapan ini untuk Roden dan bukan untukku. Sambil mengangkat bahu, aku berkata. "Kau tahu kelemahanku, Roden. Aku membuat rencana-rencana yang gagal, tidak percaya teman-teman terdekatku, dan melakukan hal-hal bodoh ketika pilihan yang lebih baik terlihat jelas. Aku selalu salah. Tetapi aku tidak salah mengenai kau."
"Aku kapten yang buruk!" Roden berkata. "Kau tidak bisa meyakinkanku sebaliknya."
"Oh tidak, aku setuju dengan itu," kataku. "Kau parah."
Dia mundur. "Apakah itu dimaksudkan untuk menyemangatiku?"
Sekali lagi, kenangan-kenangan itu mengirimku kembali ke tahun-tahun silam. "Setelah Ayah menyuruhku pergi, aku kadang mendengar orang-orang berbicara tentang pangeran yang hilang, tentang aku. Pada awalnya, aku mengharapkan untuk mendengar kesedihan, betapa mereka berduka akan kepergianku. Mereka sedih, ya, tetapi tidak dalam cara yang kupikirkan. Mereka tidak kehilangan aku, hanya kesalahan-kesalahanku, muslihat-muslihatku, semua yang kulakukan memberi mereka cerita yang layak ditertawakan. Ini adalah orang-orang yang membungkuk ketika aku memasuki ruangan, tetapi mereka tidak pernah mencintaiku dan jelas tidak pernah menghormatiku."
"Oh begitu," Roden mengangguk. "Kau tidak layak menjadi pangeran."
"Atau seorang raja. Sebelum aku pergi ke para bajak laut, kau tahu mengapa Gregor dapat dengan mudah memanipulasi para regenku?"
"Karena mereka konyol dan bodoh."
"Yah... benar. Tetapi mereka tidak jahat. Yang mereka tahu hanyalah aku anak laki-laki yang diusir Ayah dari istana. Kalau aku masih tetap anak laki-laki itu, mereka seharusnya tidak membiarkanku memerintah. Kalau mereka tidak percaya padaku untuk memimpin, itu salahku."
Sekarang Roden berdiri. "Tetapi mereka mematuhimu sekarang"mereka membungkuk karena menghormatimu, bukan cuma karena gelarmu. Ini berbeda bagiku. Aku tidak layak untuk posisiku, dan kau tahu itu."
"Beraninya kau meragukanku?" Murkaku cepat datang, tetapi dapat dimengerti. "Menurutmu kenapa aku pergi ke bajak laut" Untuk bersenang-senang bersama mereka" Untuk hiburan" Jelas tidak ada untungnya bagi kesehatanku. Aku datang karena kau, Roden. Aku mempertaruhkan nyawaku bagimu. Jadi, jangan pernah lagi meremehkan risiko untuk mendapatkanmu itu tidak layak kuambil."
"Aku hanya anak yatim piatu yang terlunta," dia menggumam.
"Aku juga!" Kemudian suaraku melunak. "Tetapi aku juga seorang raja, dan kau kaptenku. Silakan meragukan diri sendiri, tetapi kau tidak boleh mempertanyakanku!"
Dia mundur, lalu menunduk. "Aku dapat menduga jalannya suatu pertempuran dan dapat mengayunkan pedang, dan strategi-strategiku bagus kalau ada yang mau mendengarkan. Namun mereka tidak mau. Aku tidak dapat melakukan pekerjaan ini kalau mereka tidak menaruh respek padaku."
"Tak seorang pun memberimu respek dalam hidup ini. Kau harus mendapatkannya, kau harus mengusahakannya, lalu kau harus memperlakukannya dengan sakral. Karena betapapun sulitnya mendapatkan respek, hal itu dapat hilang dalam sekejap."
Aku mengangguk ke arah garnisun. "Ambillah, Roden. Orang tidak akan mengikuti pemimpin yang tak mengetahui arah yang ditujunya. Tunjukkan pada mereka kau bisa."
Roden mengangguk, kemudian mulai berjalan di sampingku kembali menuruni bukit ke arah garnisun. "Aku tabu arah kita pergi, dan aku akan membawa kita ke sana. Jaron, dengan armada ini, aku akan mempertahankan perbatasan ini sampai Gelyn menyerah kepadamu."
BAB 7 PADA saat kami kembali ke kamp, yang gugur telah dipisahkan dari yang terluka. Tawanan yang sehat dilucuti dan ditempatkan di bagian garnisun tertutup, tampaknya berfungsi sebagai penjara sementara kapan saja kebutuhan itu muncul. Kelihatannya sesak dan tidak nyaman, tetapi kupikir mereka luput dari pertempuran, dan kami akan memperlakukan mereka lebih baik daripada perlakuan mereka terhadap kami. Mereka tidak punya alasan untuk mengeluh.
"Panggil pasukanmu, " kataku pada Roden. "Bicara sebagai kapten mereka."
"Dan bilang apa?"
"Yah, mereka baru saja memenangi pertempuran besar," kataku merengut. "Kau bisa menyebutkan itu."
Dipanggilnya anak buahnya untuk berbaris, tetapi seseorang menjawab bahwa mereka harus membuat api dulu untuk mayat-mayat. Roden melirikku dan aku mengangkat alis, menunggu apa yang akan dilakukannya. Dia memanggil orangorangnya lagi, tetapi kali ini semua mengabaikannya. Aku tidak punya niat untuk membantunya. Sebenarnya, menolong dia merupakan hal terburuk yang dapat kulakukan. Itu akan memperlihatkan pada mereka bahwa Roden membutuhkan bantuanku, bahwa mereka hanya harus menuruti perintahnya ketika aku berada di dekat situ. Jadi, aku mundur dan menunggu.
Api unggun dibuat tepat di luar garnisun. Tubuh-tubuh tanpa nyawa belum ditempatkan"dibutuhkan api yang kuat dan panas lebih dahulu. Di tanah berbatu, inilah penghormatan terbaik yang dapat kami lakukan.
Di sampingku, Roden melihatnya juga. Kebanyakan yang menyalakan api itu adalah orang-orang yang pergi bersamanya pertama kali. Mereka prajurit-prajurit yang bagus, beberapa darinya kukagumi sejak aku kecil. Beberapa dari mereka bahkan mengajariku sekali-sekali. Tetapi pada saat ini, mereka salah.
Akhirnya, Roden mengangguk seakan telah membuat keputusan. Diraihnya sebuah ember dan berjalan ke luar kamp. Hanya satu atau dua menit kemudian, dia kembali, kali ini dengan ember begitu penuh sehingga airnya tumpah ke mana-mana ketika dia membawanya. Dia berjalan langsung ke arah api, dan begitu percikan api pertama mulai berkobar, dia menyiramkannya ke seluruh kayu, memastikan orang-orang itu tersiram juga.
Aku menahan tawa, sedikit terkejut dan sangat geli. Sungguh, itu lebih baik daripada yang kuharap akan dilakukannya.
Orang-orang itu langsung merespons dengan menarik pedang. Roden juga menaikkan pedangnya dan semacam kesiagaan dimulai. Aku mulai melangkah maju"hal yang alami untuk kulakukan. Tetapi sekali lagi, aku menahan diri agar Roden dapat bicara. Namun, aku tetap meletakkan sebelah tangan dekat pedangku dan berharap Roden tahu apa yang dilakukannya.
Setelah mendapatkan perhatian anak buahnya, Roden berseru, "Aku kapten kalian, dan aku telah memberi kalian perintah!"
Mereka menendang-nendang tanah, jelas tidak terkesan, tetapi mereka menurunkan pedang.
"Kalian akan membentuk suatu barisan," kata Roden. "Raja bersama kita dan dia akan menemui kalian sekarang."
Aku tidak yakin mereka berbaris karena Roden menuntutnya, atau karena menghormatiku. Namun apa pun alasannya, mereka segera membentuk dua baris pada masing-masing sisi halaman dalam garnisun yang sempit.
Roden mulai berbicara kepada mereka. "Kalian bertempur dengan baik," dia berkata. "Peperangan yang lain akan segera datang dan aku harap kalian bisa beristirahat malam ini."
Dia menoleh kepadaku dan aku menggumam, " Pidato terburuk yang pernah disampaikan. Sepanjang masa. Perbaiki itu juga."
Roden hanya memutar bola mata, kemudian mengikuti di sebelahku ketika kami berjalan di satu deretan, memperhatikan kesehatan setiap orang dan berusaha mendapatkan gambaran seberapa kekuatan yang tersisa.
Ketika aku lewat, seorang yang lebih tua menyentuh lenganku. Aku berhenti untuk memberinya perhatian penuh dan dia segera berlutut. "Raja Jaron, apakah kau mengingatku?" dia bertanya. Aku menggeleng, dan dia berkata, "Ketika kau berusia sepuluh tahun, ayahmu memerintahkanku untuk membuatkanmu hadiah, sebuah pedang."
"Kau perajin pedang! Aku ingat sekarang." Aku menggunakan pedang itu dalam duel melawan Raja Humfrey dari Mendenwal, yang sekarang mau berperang melawan kami. Conner membuat duplikat pedang yang sama sebagai bagian dari rencananya untuk memasang seorang pangeran palsu di takhta.
Pedang itu terlalu kecil untuk kugunakan sekarang, tetapi aku masih menyimpannya di antara barang-barang berhargaku. Masih tetap menatap pembuat pedang itu, aku berkata, "Kau berdiri di aula besar ketika Ayah memberikannya kepadaku. Pedang itu telah melayaniku dengan baik."
"Ya, Baginda." Dengan senyum hati-hati dia menambahkan, "Aku mengaku, aku meminta ayahmu untuk memberimu hadiah yang lain, seekor kuda, atau buku harian untuk ditulisi. Tetapi dia hanya berkata kau akan menggunakan kuda untuk melarikan diri atau memakai buku harian untuk menyalakan api di suatu tempat di istana. Dia ingin pedang untuk mendorongmu belajar lebih serius."
"Dan benar." Kemudian aku balas menyeringai kepadanya, sejail biasanya. "Walaupun seharusnya kau kan tabu bahwa aku menemukan kuda-kuda lain untuk membantuku melarikan diri dan masih saja menyalakan api"."
Tawanya tidak keluar dengan mudah, dan berakhir dengan ekspresi sedih. "Aku ingat anak laki-laki seperti apa kau dulu. Jadi ketika kau menjadi raja, aku meragukanmu. Tetapi aku salah, dan aku memohon pengampunanmu."
Aku memiringkan kepala ke arah Roden. "Kuharap kau tidak akan sama salahnya mengenai kaptenku."
"Tidak, Baginda."
Roden dan aku lanjut berjalan sampai mencapai daerah orang Gelyn yang tersisa dikumpulkan. Tembok-tembok di sekitar mereka licin dan tinggi. Batang-batang besi dipasang di antara batu dan tembok semen. Hampir tidak ada tempat bagi mereka untuk duduk dan tidak cukup ruang untuk berbaring kecuali mereka mau saling tindih. Ember-ember berisi air telah disediakan untuk minum dan mereka diberi makan apa pun yang bisa kami sisihkan. Mudah-mudahan mereka hanya sebentar berada di sana.
"Tetaplah tenang dan kalian akan hidup sampai Gelyn menyerah," kataku kepada mereka. "Tetapi ada konsekuensi kalau kalian membuat masalah sebelumnya."
Aku mulai berjalan pergi, tetapi seorang tentara tinggi dengan tanda-tanda kapten melangkah maju dan berkata, "Kami tidak akan dipenjara lama. Kami hanya pasukan awal. Gelyn akan mengirim seluruh kekuatannya dalam tentara yang berada di perjalanan."
"Seluruh kekuatan apa?" tanyaku. "Gelyn bertarung seperti nenek-nenek yang terkapar di tempat tidur, namun jarum rajutnya lebih panjang."
"Mereka nyaris tiga hari di belakang kami," katanya. "Dan Mendenwal juga akan datang. Begitu kami mengalahkan pasukanmu di sini, kami akan menyerang Drylliad dan menghancurkan semua yang bergerak."
Aku mendengus. "Jarummu bisa menembus tembok sekarang"
"Tidak, tetapi meriam kami bisa. Mungkin sedang melintasi dataran Carthya sementara kita bicara."
Hal itu menghentikanku. Kudengar Mendenwal telah bereksperimen dengan meriam, dan aku tidak suka kalau mereka mengetesnya di istanaku. Aku mendengar bahwa meriam lebih biasa ditemukan di tempat lain, tetapi itu benar-benar baru bagi daerah ini. Harapanku, Carthya dapat membangun sendiri meriam itu, tetapi tidak ada waktu. Sekarang, ledakan dari satu senjata dapat meruntuhkan seluruh dinding. Bahkan dengan semua perlindungan kami, Drylliad dapat diserbu dalam beberapa menit.
Yakin kekhawatiranku akan terbuka bila percakapan ini dilanjutkan, aku menginstruksikan Roden untuk mengorek informasi sebisanya dari orang itu, lalu berkata aku perlu tempat pribadi untuk berpikir dan beristirahat.
Tetapi orang itu memanggilku, "Kuakui bahwa aku terkejut melihatmu di sini, Jaron. Raja Avenia berpikir rakyatmu akan melindungimu lebih baik daripada ini."
"Rakyatku melindungi aku," kataku, masih berjalan pergi. "Dan aku melindungi mereka."
"Oh" Bagaimana dengan gadis yang ditangkap Raja Vargan" Apakah kau melindunginya" Kudengar dia dideskripsikan sebagai gadis pelayan yang konon kautaksir."
Aku berbalik kembali mendekatinya. "Kau tahu tentang itu?" Dia memberikan tanda pada penjara di belakangnya. "Janjikan aku kamar pribadi dengan makanan dan tempat tidur. Aku tidak akan menyulitkan orang-orangmu, tetapi aku tidak bisa tinggal di sini."
Aku mengangguk pada Roden, yang memberikan janjinya pada orang itu. Kemudian dia berkata, "Rajaku mendengarnya langsung dari komandan lapisan atas Avenia. Gadis itu merupakan pusat rencana Vargan untuk mengakhiri perang dengan cepat. Setelah Vargan menculiknya, dia akan membiarkan seseorang melarikan diri untuk memastikan kau mendapat beritanya. Hal itu akan membawanya ke target yang sesungguhnya." Berlagak tidak peduli, aku menggeleng. "Jelas, aku tidak pergi menyelamatkannya, jadi rencananya untuk menangkapku gagal."
Tetapi tentara itu tertawa di hadapanku. "Bocah sombong! Dia tidak pernah berharap untuk menangkapmu. Tentunya, kau tidak akan diizinkan pergi."
"Lalu apa?" "Terlalu berbahaya mengirim seluruh tentara untuk menyelamatkannya"-Avenia akan membunuh gadis itu sebelum pasukanmu lewat. Jadi Vargan pikir kau akan mengirim kelompok yang sangat kecil dari prajurit-prajurit terbaikmu"seseorang yang dapat kaupercaya untuk melindungi nyawa gadis itu. Itu yang diinginkannya. Orang kepercayaanmu."
Mott. Aku telah mengirim Mott.
"Mengapa?" tanyaku.
"Begitu dia tertangkap, Avenia akan memaksanya untuk membuka semua strategimu, semua yang dibutuhkan Avenia untuk memenangi perang ini. Dan jika dia tidak mau bicara, Vargan akan mengingatkannya tentang tugasnya untuk menyelamatkan gadis pelayan itu. Mereka tidak akan berhenti sampai dia membuka mulut atau mati." Senyumnya menjadi gelak tawa. "Jadi, apa yang bisa dipilihnya, Jaron" Gadis yang pura-puranya tidak kaucintai, atau negeri ini, yang menurut sumpahmu, akan kaulindungi?"
Aku pergi tanpa menjawab. Setiap jawaban yang mungkin kuberikan berisiko mengubah hatiku menjadi batu.
Roden mengejarku begitu kami berjarak lebih jauh dari mereka. "Jangan pergi. Kita harus bicara tentang apa yang dikatakannya."
"Kenapa" Dapatkah kau mengubahnya?" Otakku bergerak cepat saat aku bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan orang Gelyn itu. Tadinya kupikir rencana Vargan adalah menangkap-
ku, jadi Mott akan punya kesempatan lebih baik untuk bergerak dengan aman melalui kamp Avenia. Namun tidak, bahkan jika dia hati-hati, Mott akan memasuki kamp tanpa tahu bahwa para penjaga di sana mengawasinya.
Mott tidak akan memberitahukan strategi-strategi perangku, tidak peduli apa yang akan mereka lakukan terhadapnya. Tetapi bukan hanya nyawanya yang dipertaruhkan. Apa yang akan dilakukannya kalau Imogen terancam"
Roden bertanya, "Seberapa banyak yang diketahuinya, Jaron?" "Cukup untuk membuat Carthya berlutut." Mott memintaku untuk memercayainya, jadi aku melakukannya. Dan sekarang dia dan Imogen harus menanggungnya.
"Izinkan aku mengambil beberapa orang dari sini," Roden menyambar lenganku untuk membuatku berjalan lebih pelan. "Kita selamatkan mereka berdua."
"Dan memberi mereka lebih banyak target akan rencana rahasia kita?" Aku melambatkan langkah, tetapi tidak berhenti. "Dalam tiga hari, tentara Gelyn akan tiba di sini. Mereka tidak boleh melintas ke Carthya. Untuk itu, kau akan memerlukan setiap orang yang kita miliki. Meski demikian, tidak akan cukup kecuali Bymar tiba di sini pada waktunya."
"Lalu apa yang akan kau?" rahang Roden mengendur dan dia mulai menggeleng. "Jaron, tidak bisa. Kau raja kami."
"Aku mungkin mengenakan mahkota, tetapi dalam hati aku tetap pencuri. Tidak ada yang tahu cara lebih baik untuk memasuki kamp itu." Sebelum dia dapat protes lebih lanjut, aku menambahkan, "Siapkan kudaku besok pagi. Aku pergi saat fajar."
BAB 8 RODEN menanti di samping kuda ketika aku muncul dari tenda pagi-pagi keesokan harinya.
"Kau sempat tidur?" dia bertanya padaku.
Aku mengabaikannya dan sebaliknya menunjuk sekeliling daerah itu. "Siapa yang mengurus kudaku" Di mana orangorangmu?"
Dengan mendesah, dia menjawab, "Mereka lelah."
"Roden, kau tidak akan pernah?"
Tetapi dia mengantisipasi teguranku dan memotong. "Perintah untuk beristirahat datang dariku, bukan dari mereka. Aku berjanji akan belajar cara memimpin mereka, cara menjadi kaptenmu. Tetapi kau harus membiarkanku melakukannya dengan caraku sendiri."
Aku hanya dapat membalas anggukannya. Sebenarnya, kekuranganku sebagai pemimpin jauh lebih banyak daripada yang diperlihatkannya, dan cukup sulit bagiku menemukan cara untuk maju. Jadi aku memeluknya sebelum berpisah dan mendoakan dia berhasil, lalu berayun menaiki sadel Mystic.
"Izinkan aku pergi bersamamu," kata Roden. "Kudaku siap ditunggangi."
"Terima kasih." Aku memaksudkannya jauh lebih tulus daripada yang bisa ditunjukkan nada suaraku. "Tetapi tidak bijaksana kalau kita berdua pergi. Seandainya..."
"Selama kau terus berjuang, aku juga," katanya. "Apa pun yang akan terjadi, untuk kita berdua."
"Pertolongan akan segera datang." Kata-kataku datang dari harapan ketimbang keyakinan, tetapi aku ingin dia memercayainya. "Tobias dan Amarinda akan sampai ke Bymar. Amarinda akan meyakinkan mereka untuk mengirimkan pasukannya ke sini agar bergabung denganmu."
Roden menyipit melawan matahari pagi saat dia menatapku. "Putri harus menyeberang melalui Avenia dulu. Kita berdua tabu betapa berbahayanya, dan Tobias tidak akan bisa menolong kalau mereka tertangkap. Kalau mereka tidak berhasil?" "Entah Bymar datang atau tidak, kau harus menjaga perbatasan ini," kataku. "Gabungan kekuatan Avenia dan Mendenwal mungkin masih bisa menghancurkan kita, tetapi setidaknya kita punya kesempatan. Kalau Gelyn berhasil lewat, tidak ada harapan. Tidak ada."
Roden mengusapkan tangannya ke leher Mystic, kemudian menggenggam kekang dalam kepalannya. "Aku bersumpah untuk melindungi raja, yang pergi sendirian ke Avenia, itu sudah cukup buruk. Setidaknya dapatkah kau berjanji bahwa kau menyadari perbuatanmu" Bahwa perhatianmu tidak terbagi?"
Aku mengeraskan suara dan menjawab, "Ini yang aku inginkan. Pikiranku ada pada hal ini."
Dia merengut. "Dan bagaimana dengan hatimu?" Aku berbalik, tetapi dia menambahkan, "Jaron, apakah kau jatuh cinta kepada Imogen?"
Pertanyaannya membuatku mendesah. "Ini rumit."
Namun Roden hanya menggeleng. "Aku tidak punya seorang pun dalam hidupku. Tidak ada keluarga, atau kekasih. Bagiku, cinta tidak rumit sama sekali."
Aku menatap menembus udara yang kosong sampai kehilangan fokus dari dunia ini. "Aku tidak bisa mencintainya." "Tentu saja kau bisa. Aku tahu dia sudah?"
"Tidak, Roden. Aku tidak bisa mencintainya. Pilihan itu tidak pernah diberikan kepadaku." Ada kebisuan sebelum aku menambahkan, "Dan kalau aku tak dapat mencintainya, aku tidak akan memintanya untuk memiliki perasaan apa pun terhadapku."
"Aku pernah melihat bagaimana dia memandangmu. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang dibuatnya agar kau percaya, dia tidak dapat memilih untuk tidak punya perasaan apa pun terhadapmu."
Tetapi itulah persisnya yang telah dia Imogen perbuat. Terakhir kali kami bertemu, dia telah menyangkal mencintaiku, dan kenyataan menunjukkan hampir kebalikannya. Aku mengusir pikiran-pikiran itu dari kepalaku dan berkata, "Dia juga tidak memilih untuk mati dalam rencana untuk membocorkan rahasiaku. Aku akan membebaskannya, dan mengembalikannya ke dalam kehidupannya. Tidak lebih."
Setelah beberapa saat dia berkata, "Aku tahu kau bisa bohong, Jaron. Tapi tak terpikir olehku kau akan berbohong pada diri sendiri." Roden merengut saat meletakkan kekang ke tanganku. "Setelah Gelyn menyerah, aku akan kembali ke Drylliad. Sekarang, lakukanlah apa yang harus kaulakukan."
Aku ingin menepiskan tuduhannya semudah mengusir seorang pelayan, tetapi aku tidak bisa. Kata-katanya memengaruhiku lebih besar daripada yang mungkin diduganya. Aku mengangguk pada Roden dan menyuruh Mystic membawaku pergi. Awalnya aku mengarah ke selatan, langsung ke arah Libeth, tetapi kata-kata komandan Gelyn terngiang-ngiang di benakku. Mendenwal punya meriam, yang dapat menghancurkan kota-kotaku sebelum kami sempat membela diri. Pada saat ini mungkin melintasi dataran Carthya, di bagian utara istanaku. Di sini wilayahnya luas, tetapi untuk sesuatu sebesar itu, mereka harus mengambil jalan utama.
Aku tidak pernah merasa tercabik dengan keputusanku seperti ini sebelumnya. Kalau aku tidak berbalik ke barat, aku menambah risiko bagi Mott dan Imogen. Tetapi kalau aku tidak berbalik ke timur, meriam itu akan mencapai Drylliad. Semua orang yang kami kirim ke sana dengan janji keselamatan akan tewas.
Pada akhirnya, aku memejamkan mata serta membisikkan permohonan bagi Mott dan Imogen agar bertahan sehari lagi, kemudian pergi ke timur. Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa mencuri meriam, tetapi aku sangat menyukai ide untuk mencobanya. Setiap kali ada bukit, aku berusaha tetap di atas dan menghabiskan perjalanan itu menyusuri cakrawala mencari tanda-tanda adanya pasukan sedang berbaris. Namun sejauh mata memandang, tidak ada apa-apa.
Begitu lewat tengah hari, Mystic mulai melambat. Meski tergesa-gesa, aku tahu dia perlu istirahat. Jadi kutemukan sekelompok pepohonan lebat di lembah perbukitan yang dilintasi sungai kecil. Mystic dan aku minum sebanyak mungkin, dan aku mengisi kantong air untuk perjalanan selanjutnya, kemudian berbagi sebagian makanan dari kamp Roden dengan Mystic. Aku ingin makan lebih banyak, tetapi kenyataannya, makanan itu keras dan hambar. Mystic kelihatannya lebih menikmatinya.
Ketika aku hendak menaiki sadel untuk melanjutkan perjalanan, suara kuda-kuda dalam tim besar dan derak logam yang berat menarik perhatianku. Aku berusaha begitu keras mencari meriam itu, menemukannya dengan cara ini membuatku tersenyum jail. Kutinggalkan Mystic di pepohonan, lalu merayap sedekat mungkin agar aku dapat mengintip.
Beberapa pengendara kuda berbaris di jalan dan terus maju sampai seruan untuk berhenti diteriakkan. Mereka mengenakan warna kuning dan putih Mendenwal, warna yang tidak biasa bagi tentara. Aku kesal membayangkan kami mungkin dikalahkan tentara-tentara yang seolah mengenakan bunga daisy. Begitu mereka berhenti, ada ruang dalam barisan mereka, dan di antaranya kulihat sebuah meriam besar hitam ditarik di atas roda oleh pasangan-pasangan kuda yang berjajar panjang. Aku tidak dapat membayangkan beratnya, selain dengan menghitung jumlah binatang dan menebak beban yang mereka pikul. Tetapi setidaknya, aku menemukannya.
"Kuda-kuda ini lelah," seseorang dalam barisan berseru. "Mereka tidak bisa menarik lebih jauh lagi."
"Ini sudah cukup," laki-laki yang lain balas berseru. "Lagi pula, lebih baik aku tidak membawa meriam ini ke kamp. Sekitar satu setengah kilometer dari sini, kau akan bertemu tentara kita lainnya. Pergilah dan beritahu Kapten kita akan menguji meriam itu di sini, menembak ke lereng bukit."
Sementara orang-orang itu melaksanakan perintahnya, melepaskan kuda-kuda, kemudian melanjutkan perjalanan, kugunakan kesempatan itu untuk menyelinap lebih dekat lagi. Namun sebelum bisa melakukannya, dua orang berjalan ke bukit, mengevaluasi lereng sebagai target untuk percobaan menembakkan meriam. Aku merunduk di balik batu dan menyadari dengan cepat mereka ternyata berada persis di baliknya. Kalau salah satu dari mereka berjalan beberapa langkah lagi ke kanan atau kiri, mereka dapat melihat ke bawah dan mendapatiku bersembunyi di situ. Sementara orang-orang itu terus berbicara, aku menahan napas, yakin bahwa satu-satunya alasan mereka tidak mendeteksiku karena keributan yang dibuat orang-orang di bawah sana.
"Setidaknya kita berhasil mengejar yang lain sebelum mereka lebih jauh lagi memasuki Carthya," kata salah satu pria.
"Hei bodoh, kita tidak mengejar siapa pun," temannya menghardik. "Mereka diperintahkan untuk menunggu kita di sini sampai Avenia tiba. Raja mereka ingin tahu apakah meriam ini bekerja sebelum kita menyeretnya sampai ke Drylliad."
"Kuharap orang lain yang mencobanya. Sepupuku hampir tewas ketika meriam terakhir meledak. Tahu tidak, yang menyulutnya malah lebih parah daripada tewas. Hancur berkeping-keping sampai tak bisa dikenali ibu mereka sendiri."
"Hus! Kalau kau bicara seperti itu, tidak ada yang akan mengajukan diri untuk menguji yang satu ini."
"Pokoknya bukan aku." Terdengar kaki yang digeser, kemudian dia menambahkan, "Aku tidak akan menunggu di sini sementara yang lain pergi. Mereka akan berpikir itu pertanda aku menjadi sukarelawan."
"Kau akan dihukum kalau meninggalkan pos ini."
"Tetapi tidak meledak. Aku tidak mau mengetesnya, dan kalau kau melihat kondisi sepupuku, kau juga tidak akan mau."
"Baiklah, ayo pergi. Toh sepertinya tidak ada yang bisa mengambilnya."
Sambil tertawa, mereka berjalan kembali menuruni bukit. Hanya beberapa menit kemudian, aku mendengar kuda-kuda mereka ditunggangi menjauh. Aku menunggu tanpa suara, bertanya-tanya apakah ini jebakan. Tetapi ketika aku berani mengintip, hanya ada meriam itu di jalan dan cantelan yang kosong. Di belakangnya ada gerobak lain yang kelihatannya membawa perlengkapan meriam itu. Tidak masuk akal untuk dibawa, kecuali kalau memang diperlukan di sini untuk mengujinya, ketimbang di kamp.
Setelah memastikan aku sendirian, aku menyelinap sepanjang jalan ke arahnya. Meriam itu lebih besar daripada kuda perang dan dibuat dari besi. Aku mengusapkan tangan di sepanjang logam kasar dan dingin, kemudian merunduk di belakangnya untuk menyelidiki perlengkapan yang dibawa bersamanya.
Gerobak kedua membawa instrumen-instrumen kebutuhan meriam, termasuk besi panjang, spons, dan selusin atau lebih peluru. Tas-tas yang dianyam erat bertumpuk di sudut terdekat. Beberapa kantong kosong di bawah tiga atau empat kantong lainnya dipenuhi butiran-butiran hitam.
Aku tahu butiran apa itu. Ketika aku bersama para perompak, mereka menangkap sebuah kapal penuh berisi perlengkapan tambang. Ketika Roden dan aku meninggalkan bajak laut itu, kami membawa sekantong bahan yang sama sehingga kami dapat mempelajari lebih jauh kekuatan dan potensinya. Tobias bilang itu bubuk mesiu, mampu membuat ledakan yang tidak pernah dilihat sebelumnya di negara-negara ini.
Roden dan aku memutuskan untuk mengetesnya pada suatu malam dan mengundang Tobias juga. Tetapi dia menolak mentah-mentah dan berkata kami gila. Mungkin dia benar. Bahkan sejumlah kecil yang kami gunakan merobohkan beberapa pohon dan menciptakan api yang mungkin dapat membakar separuh kerajaanku kalau tidak diselamatkan hujan badai yang sedang lewat.
Beberapa hari sesudahnya, Tobias mulai membuat desaindesain agar kami membuat meriam sendiri. Dia menjelaskan bahwa bubuk mesiu dijejalkan ke dalam selongsong meriam dengan tongkat besi, diikuti peluru besi yang berat. Ketika bubuk mesiu dinyalakan dengan sumbu, akan terjadi ledakan dan peluru akan terlontar ke luar. Satu tembakan dapat menimbulkan kerusakan yang ditimbulkan pelantak dan menghancurkan benteng-benteng yang biasanya membutuhkan sepasukan tentara untuk menaklukkannya. Satu meriam bahkan dapat mengubah jalannya perang.
Masalahnya, aku tidak bisa mencurinya. Mystic kuda yang kuat, tetapi kalau sendirian dia tidak akan bisa menggerakkan senjata ini sesenti pun. Lebih buruk lagi, waktu tidak ada di pihakku. Aku tidak tahu kapan para Mendenwal akan kembali ke meriam mereka, tetapi kuduga tidak akan lama.
Kalau aku tidak bisa mencurinya, aku harus menghancurkannya.
Kupejamkan mata, berusaha mengingat semua yang Tobias pernah beritahukan berdasarkan apa yang dipelajarinya. Percakapan yang baru saja kudengar muncul dalam ingatan, tentang tentara yang sepupunya hampir tewas ketika mencoba model meriam sebelumnya. Mengapa" Apa yang salah dari tes itu"
Dulu ketika aku menyarankan Tobias untuk mencoba membuat meriam dan mencoba siapa tahu berhasil, dia memperingatkan bahayanya, dalam bentuk bagaimana metal itu dicor. Kalau tidak cukup tebal, atau dilas agar tersambung cukup baik untuk menahan ledakan di dalam, meriam itu akan gagal. Mungkin sepupu yang terluka itu terlalu dekat dengan meriam ketika hal itu terjadi.
Masalahnya, meriam di depanku kelihatan sangat tebal dan sangat kuat. Diperlukan jauh lebih banyak ledakan mesiu yang normal untuk menghancurkannya.
Kemudian aku tersenyum. Tidak, ledakan yang normal tidak akan cukup kuat. Tetapi siapa bilang harus seperti itu"
Aku membuka kantong mesiu terdekat dan menyendok sejumlah besar ke dalam selongsong, kemudian menyodoknya ke dalam gandar. Begitu yakin sudah padat, aku menempatkan kembali tongkat besi dan sendoknya persis seperti sebelumnya. Aku nyaris menutup kantong ketika menyadari aku melewatkan kesempatan luar biasa. Aku menyendok sebanyak mungkin bubuk mesiu yang berani kucuri ke dalam kantong ekstra, kemudian mengencangkan kembali kantong itu dan menaiki Mystic untuk melarikan diri.
Kecuali mereka memeriksa meriam dengan teliti, Mendenwal tidak akan tahu mereka menguji senjata yang telah berisi mesiu.
Aku pergi dari sana, menyusuri kembali perjalananku ke arah Avenia. Tidak sampai satu jam kemudian, aku mencapai lengkungan bukit rendah yang lain, tanah berguncang cukup kencang sampai Mystic terkejut dan berdiri di kaki belakangnya, dan asap hitam tebal menggumpal ke udara beberapa kilometer di belakangku.
Aku berbalik untuk melihatnya dan nyengir. Avenia dan Mendenwal masih merupakan ancaman bagi Carthya. Tetapi mereka tidak lagi memiliki meriam.
BAB 9 KETIKA aku menemukan tempat Imogen ditawan, senja nyaris tiba. Kamp yang dibuat terburu-buru itu berada persis di sisi Avenia pada perbatasan dekat Libeth, tetapi sebuah bukit yang melandai ke arah kamp membuatku bisa melihat dengan baik ke dalamnya. Tanah rawa yang mengelilingi Libeth berbatasan dengan batas utara kamp. Karena reputasinya akan semaksemak lebat dan ular berbisa, tak seorang pun berani melintasi rawa-rawa itu dengan berjalan kaki, dan dengan perahu juga sama sulitnya. Sisi lainnya dikelilingi gundukan-gundukan tanah yang tinggi atau batang-batang besi berujung tajam. Kamp itu lebih besar daripada yang kuantisipasi, memiliki beberapa bangunan dan tenda berbagai ukuran.
"Yang Mulia?" Aku berputar, menarik pedang, sementara dua orang mendekat. Sadar memergokiku sedang lengah, mereka mengangkat tangan sebagai tanda damai, kemudian keduanya segera berlutut di satu kaki.
Ketika mengenali mereka, aku menyarungkan pedang dan meminta mereka berdiri. Orang yang tadi berbicara adalah Henry Evendell, pemanah berbakat baik hati yang sering menjadi penjaga di istanaku. Aku tidak begitu mengenal yang satunya lagi, tetapi Evendell memperkenalkannya sebagai Herbert, tentara baru namun ambisius, juga dari Drylliad. Busur terselempang di bahu mereka, tabung penuh anak panah di punggung mereka.
"Di mana Mott?" tanyaku.
Dengan hormat, Evendell menunduk sebelum berbicara lagi. "Dia memasuki kamp pagi ini, Baginda, berharap dapat mendekati tenda yang kami pikir terlihat berbeda. Tetapi kami tidak melihatnya selama berjam-jam, dan kami khawatir dia mungkin tertangkap."
"Tunjukkan padaku tendanya." Evendell menunjukkannya dan aku menyipitkan mata, berusaha melihatnya lebih baik. Beberapa penjaga berdiri di sekelilingnya sekarang. Entah ada bangsawan di dalam, atau lebih mungkin, tawanan berharga.
"Apakah Mott meninggalkan perintah bagi kalian?" aku bertanya pada mereka.
Evendell dan Herbert saling memandang, kemudian Evendell menjawab, "Sebelum datang ke sini, kami menambatkan sebuah perahu kecil dekat rawa-rawa, di bagian utara kamp. Begitu Mott keluar dengan Lady Imogen, kami harus menggunakan panah-panah kami untuk membuka jalan bagi mereka yang melarikan diri ke perahu."
"Apakah ada tanda-tanda Imogen?"
Baik Evendell dan Herbert menggeleng. Herbert menggumamkan sesuatu yang tak dapat kudengar dan aku menyuruhnya bicara lebih keras. Lalu dia berkata, "Ada satu perintah lagi, Baginda, tetapi Anda tidak akan menyukainya."
Apa pun itu, melihat ekspresi kecut di wajahnya, aku sudah tidak menyukainya.
"Mott memperingatkan kami kalau Anda mungkin datang," dia melanjutkan. "Seandainya Anda datang, dia meminta kami untuk mengingatkan Anda tentang tanggung jawab akan keselamatan kerajaan ini. Bukan terhadapnya, atau Lady Imogen." Gagasan itu bagus, namun tertangkapnya Mott baru saja menjadi ancaman terbesar bagi keselamatan kerajaanku. Lagi pula, aku tidak pernah mematuhi Mott. Aku tidak dapat memikirkan alasan apa pun untuk menaatinya sekarang.
"Kita harus mendapatkan mereka berdua kembali," kataku. "Kalian tidak tahu di mana Imogen ditahan?"
Evendell mulai meminta maaf dan menggeleng, tetapi Herbert mengangkat lengannya dan menunjuk persis ke depan. Aku mengikuti garis lengannya dan melihat sekelompok tentara Avenia keluar dari tenda jauh di tengah kamp. Di tengahtengah kelompok itu ada Imogen, lengannya diikat dan mulutnya disumpal. Kelihatannya dia tidak terluka, itu melegakan, dan sumpalan mulutnya tidak mengejutkanku. Walaupun kami berteman, dia tetap cukup sering membentakku. Aku dapat membayangkan kata-kata menusuk yang dilontarkannya bagi seorang musuh.
Rasa panikku muncul ketika kulihat Mott digiring dari tenda yang ditunjuk Evendell. Tangannya juga diikat, dan dia pincang. Bagi orang lain, jumlah pedang yang mengarah ke badannya terlalu banyak. Tetapi tidak bagi Mott. Dia kuat dan cepat, dan kalau senjata itu jumlahnya lebih sedikit, dia dapat melawan mereka semua dan menang.
Dari posisi ketiga di kamp, aku melihat seseorang berjalan maju dengan cambuk berduri di tangannya. Tujuannya dengan segera menjadi jelas. Mott akan ditanyai tentang strategi perang
Carthya. Kalau dia menolak menjawab, cambuk itu akan digunakan terhadap Imogen. Mereka akan memaksa Mott untuk berbicara, atau keadaan akan menjadi lebih buruk. Jauh lebih parah.
Memperkuat ketakutanku, begitu Imogen dan Mott dibawa bersama ke lapangan kecil, Mott disuruh duduk di kursi. Lebih banyak lagi tali dilingkarkan seputar tangan dan kakinya. Para tentara yang mengawal Imogen memutarnya menghadap tonggak cambukan kasar, lalu mulai mengikat tangannya kembali terpisah di masing-masing sisi kayu itu.
Dengan cepat, aku berbalik pada Evendell dan Herbert. "Siapa di antara kalian yang bisa memanah lebih baik?"
Evendell menelengkan kepala dan aku menyuruhnya membuat api kecil, kemudian memberikan instruksi kepadanya. Herbert akan ikut bersamaku. Dia dan aku berlari menuruni bukit ke lembah sempit dari kamp itu, menggunakan bayangan senja yang memanjang untuk menyembunyikan diri.
Semakin dekat, kami semakin menyadari kesibukan di mana-mana dalam kamp. Para penjaga berdiri mengawasi kedua gerbang, dan pada pos-pos yang tinggi, juga di samping beberapa tenda di dalam kamp. Mustahil untuk bisa lebih dekat lagi tanpa ketahuan dan kemungkinan besar ditembak. Semua yang terjadi selanjutnya harus dilakukan dengan cepat. Herbert memasang sebilah panah dan mengambil tempat. Mudahmudahan Evendell masih bisa melihat kami dalam keremangan cahaya dan juga memperhatikan.
Istana Yang Suram 11 Hardy Boys Naga Berkepala Empat Pusaka Jarum Surga 1
^