Pencarian

Kisah Sepasang Naga 3

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi jangan kau
kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah
saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan
memberi pelajaran silat pedang yang disebut Sin-liong Kiam-sut. Tetapi
karena pedang yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu
pedang ini akan kupecah menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masingmasing. Untuk Sin Wan akan kuberi ilmu pedang Pek Liong Kiam-sut dan
untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw-liong Kiam-sut. Tapi terlebih dulu
kalian harus mengetahui dan hafal benar rahasia-rahasia dari Sinliong Kiam-sut." Kemudian Bu Beng Lojin lalu memberi pelajaranpelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti yang hebat itu.
Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan
melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dana berotak
cerdas, kedua anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaranpelajaran pertama yang diajarkan oleh suhu mereka. Tetapi ketika
mereka mulai dengan pelajaran praktek, terasalah kesukarannya.
Gerakan Sin-liong Kiam-sut benar-benar ganjil dan sukar, setiap
gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang takkan
terduga oleh lawan. Juga setiap gerakan pedang dari ilmu ini selalu
dirangkai dengan keterangan-keterangan bahwa gerakan ini ialah
untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang lain. Oleh
karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-liong Kiam
sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam
tipu serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-lum-pai, Go-bipai,Bu-tong-pai, dan Siauw-lim-pai! Untung sekali bahwa sebelum
mempelajari Sin-liong Kiam-sut yang hebat ini, mereka telah mendapat
latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu silat
dari lain cabang sudah mereka sudah banyak mengerti.
Tidak saja setiap gerakan dari Sin-Liong Kiam-sut mempunyai
rangkain yang panjang bagaikan mata erantai dengan cabang lain, juga
untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal yang mudah.
Pedang itu mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus,
sehingga untuk menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga
yang sempurna pula, untuk tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan
tenaga yang sesuai, tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu
kecil. Maka tidak heran bahwa untuk mempelajari satu dua macam
gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru dapat dilakukan
dengan baik! Cara yang aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar muridmuridnya ialah ia jarang sekali menyaksikan murid-muridnya belajar.
Jika Sin Wan dan Giok Ciu menggerak-gerakkan pedang dan melatih
gerakan-gerakan baru yang sedang dipejari, kakek tua itu duduk
bersamadhi dengan sikapnya yang aneh itu dan meramkan matanya.
Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu membuat
gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, kakek itu tanpa
membuka matanya lalu menegur!
Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu keluar dari gua
naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri. Untuk
makan mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung
yang lewat di atas gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan
pelajaran yang baik bagi mereka. Jika ada burung yang terbang, atau
ada binatang lewat di atas sumur, biarpun tidak tampak dari bawah,
namun gerakan binatang yang meloncati sumur dapat tertangkap oleh
telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan batu,
binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan
menjadi mangsa mereka! Sungguh suatu cara mencari makan yang aneh
sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat yang membaja, Sin Wan dan
terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri hidup seperti itu.
Tetapi mereka heran sekali melihat suhu mereka, karena orang tua yang
aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya
kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk
dimakan begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang
didapat dari balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu
jatuh. Memang , ditempat kedua anak muda itu dulu terjatuh, terdapat
lereng yang sangat curam menurun dan tak terkira dalamnya, dan di
atas lereng tumbuhlah banyak pohon yang menghasilkan buah-buah.
Hanya saja, untuk mengambil buah-buah itu bukanlah pekerjaan mudah,
karena lereng yang curam itu tak mungkin dituruni begitu saja tanpa
bahaya tergelincir mengancam jiwa, dan sekali tergelincir, jangan
harap akan tinggal hidup. Lereng itu tidak tampak dasarnya karena
dalam dan panjangnya! Tapi Sin Wan dan Giok Ciu cerdik dan tabah. Dari rumput alangalang yang panjang dan kuat, Giok Ciu berhasil membuat pintalan
tambang yang panjang lagi kuat. Kemudian Sin Wan menggunakan tambang
yang dipegang Giok Ciu dari atas, untuk menuruni tebing itu dan
memetik buah-buah mana saja yang disukainya. Dengan cara inilah maka
mereka dapat makan buah-buah segar dan lezat setiap hari.
Demikianlah, dengan sangat tekun dan tak kenal lelah di bawah
gemblengan kakek yang luar biasa itu, Sin Wan dan Giok Ciu melatih
diri dan mempelajari sin-liong Kiam-sut. Setelah mempelajari ilmu
pedang gaib ini selama dua tahun lebih, barulah mereka pahami
seluruhnya! Kemudian datanglah giliran mempelajari ilmu lweekang
yang tinggi dan untuk mempelajari ini, mereka harus tekun bersamadhi
dan mempelajari peraturan napas yang berat sekali. Cara cara samadhi
dan menahan napas seperti yang pernah mereka pelajari di bawah
pimpinan Kwie Cu Ek dulu sangatlah ringan dan mudah jika
dibandingkan cara-cara yang diberikan oleh suhu mereka ini. Ada
kalanya mereka diharusnya bersamadhi dengan jungkir balik yakni
kepala di atas lantai dan kaki di atas dan mereka harus
mempertahankan tubuh dalam keadaan ini sampai setengah hari! Ada
kalanya mereka harus menahan tubuh dengan sebelah tangan di atas
tanah dan menggunakan tangan ini mengganjal tubuh sampai setengah
hari lamanya. Dan banyak lagi macam cara bersamadhi yang aneh-aneh
juga mereka diajar menahan jalan pernapasan mereka sedemikian rupa
sehingga napas yang tersedot itu dapat dijalarkan ke bagian tubuh
yang mereka kehendaki sehingga di bagian itu tampak hawa itu
bergerak-gerak di bawah kulit seakan-akan ada seekor tikus yang
bergerak-gerak dan berjalan di dalam tubuh mereka.
Latihan-latihan ini mendatangkan kemajuan besar sekali, baik
dalam lweekang maupun ginkang mereka, juga membuat mereka menjadi
tenang dan bersemangat. Pada suatu hari,ketika Sin Wan dan Giok Ciu asik mengintai
lewatnya binatang di atas sumur, tiba-tiba terdengar derap kaki
binatang yang ringan sekali mendatang.
"Seekor kijang!" Sin Wan berkata gembira dan mempersiapkan sebuah
batu tajam di tangannya. Sudah lama sekali ia tidak makan daging
kijang yang manis dan sedap.
Ketika binatang itu datang dekat dengan loncatan kilat meloncati
sumur itu, Sin Wan mengayunkan tangannya. Ia menanti jatuhnya korban
itu ke dalam sumur. Tapi alangkah herannya ketika ditunggu-tunggu
badan binatang itu tidak juga jatuh ke dalam sumur, padahal ia merasa
pasti bahwa sambitannya tadi tentu mengenai sasaran.
"Sungguh heran dan aneh," katanya kepada Giok Ciu.
"Kita harus melihat ke atas," kata Giok Ciu.
Karena terheran dan merasa penasaran, pula karena menyangka
bahwa binatang itu tentu mati di pinggir tebing sumur dan perlu
diambil, mereka sekali saja menggenjot tubuh, keduanya melayang ke
atas dengan berbareng dan sesaat kemudian mereka telah menembus
halimun yang menutup sumur itu dan keduanya berada di atas tanah di
pinggir sumur. Untuk sejenak mereka agak silau melihat dunia luar,
tetapi tiba-tiba mereka melihat bahwa di sekeliling sumur itu terdapat
belasan orang yang berpakaian seragam dan bertopi runcing. Tentara
kaisar! Keduanya segera mengenal mereka dan Sin Wan hendak buru-buru
terjun kembali ke dalam sumur, tetapi ia melihat kijang besar dan muda
berada di dekat orang-orang itu.
Sementara itu, belasan tentara kaisar itu ketika tiba-tiba
melihat ada seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita melayang
keluar dari sumur, menjadi demikian terkejut dan heran hingga mereka
memandang kedua anak muda itu dengan mata terbelalak heran.
"Tuan-tuan, harap kalian kembalikan hasil buruanku itu." Kata
Sin Wan dengan tenang samil menunjuk ke arah bangkai kijang.
Diantara pahlawan kaisar itu terdapat seorang yang sombong dan
suka mengagulkan kegagahannya. Ia adalah Song Tat Kin, murid dari Cin
Cin Hoat-su si pendeta Tibet, maka kepandaiannya memang cukup tinggi.
Apalagi pada saat itu ia bersama tiga belas orang kawannya yang
kesemuanya adalah pahlawan-pahlawan dari keraton kaisar dan
kesemuanya memiliki silat yang cukup lihai. Bahkan diantaranya
terdapat Sim Kwie si Walet Terbang yang mempunyai ginkang luar biasa
sekali. Tadipun Sim Kwie telah mendemontrasikan kepandaiannya dan
mengejar binatang kijang itu. Tepat di atas sumur ia dapat mengejar
dan pada saat ia hendak meloncati sumur, tiba-tiba ia melihat binatang
itu seperti terpukul sesuatu dari bawah dan tubuh binatang itu
terpental ke atas. Tetapi sebelum tubuh binatang itu terjatuh ke dalam
sumur, Sin Kwie dengan cepat telah menyautnya dan membawa loncat ke
pinggir sumur. Sambil memeriksa luka di dada binatang itu, Sim Kwie
dan kawan-kawannya memandang ke dalam sumur dengan terheran-heran
dan saling menduga-duga dan mempercakapkan hal yang ganjil ini.
Kini melihat bahwa yang melukai kijang hanya seorang pemuda dan
seorang gadis cantik, Song Tat Kin segera bertindak maju dan bertolak
pinggang lalu berkata, "Kau orang liar dari mana begitu berani mengaku-aku kijang ini?
Yang menangkap adalah kami dan dagingnya adalah bagian kami pula.
Kau orang hutan hayo pergi jangan mengganggu kami."
Mendengar ucapan orang yang sangat kasar dan menghina ini, Sin
Wan masih dapat menahan sabarnya, tetapi Giok Ciu yang lebih keras
wataknya segera maju sambil menuding dengan telunjuknya yang runcing
dan membentak nyaring, "Laki-laki kasar yang tidak mengenal aturan! Kau bilang kijang
itu kalian yang menangkap, mana buktinya? Tidak tahu malu merampas
hak milik orang lain!"
Giok Ciu memang memiliki wajah yang cantik jelita dan potongan
tubuh yang langsing berisi. Bagaikan bunga, dara yang berusia tujuh
belas tahun ini, sedang harum-harumnya dan sedang indah menariknya,
maka biarpun sederhana sekali pakaiannya, ia bahkan tampak makin
jelita dan menarik. Kini ia sedang marah, sepasang matanya berapi-api
dan kedua pipinya kemerah-merahan, maka ia lebih manis pula. Song Tat
Kin melihat dara itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk padanya,
tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak lalu berkata kepada
kawan-kawannya. "He, kawan-kawan lihatlah. Kuda betina gunung ini tampaknya liar
sekali! Tapi, alangkah indah bentuk badannya. Lihat matanya, jelita
dan bersih bagaikan mata burung Hong, dan pipinya itu, ah segar
kemerah-merahan." Kawan-kawannya tersenyum dan ada yang tertawa girang, lalu
terdengar ucapan, "Song twako, kau penjinak kuda betina liar, agaknya
yang seekor ini cukup bagus untuk kau bikin jinak!"
Mendengar kata-kata mereka ini, Giok Ciu yang masih hijau tidak
mengerti bahwa yang dimaksudkan kuda betina liar adalah dirinya,
maka ia memandang ke kanan kiri dan mengganggap pembicaraan mereka
itu tidak karuan. Tetapi Sin Wan mengerti maksud kata-kata mereka ang
kota dan sangat menghina itu, maka kini lenyaplah kesabarannya. Ia
maju dengan mata berkilat,
"Tuan-tuan harap jaga mulut dan jangan bicara sembarangan!" Ia
memperingatkan mereka. Orang tinggi besar muka hitam yang tadi memuji-muji Song Tat Kin
segera berkata dengan tertawa lebar, "Song twako lekas, kau bikin
jinak kuda liar ini, biar aku yang mengusir anjing yang pandai
menggonggong ini!" Sehabis berkata demikian, si Tinggi Besar lalu
mengayun kepalan tangganya yang sebesar kepala orang biasa itu ke
arah dada Sin Wan dalam gerak tipu Pai-san-to-hai atau Dorong Gunung
Uruk Laut. Gerakan ini dilakukan dengan tenaga ratusan kati beratnya
karena maksudnya sekali dorong saja membuat Sin Wan terlempar jauh
atau kalau mungkin terdorong masuk ke dalam sumur kembali. Tetapi Sin
Wan cepat miringkan tubuh dan berkelit sambil berkata,
"Jangan kalian mendesak, kami tidak mencari permusuhan!"
Tetapi si Tinggi Besar yang merasa terhina karena serangannya
tidak mengenai sasaran dan karena kata-kata Sin Wan itu dianggap
sebagai pernyataan takut, lalu menyerang makin hebat dengan tipu Hekhouw-to-sim atau Macan Hitam Sambar Hati. Pukulannya berat dan keras,
tanda bahwa ia adalah seorang ahli gwakang yang pandai, juga ilmu
silatnya tidak lemah dan gerakkannya tetap. Sekali lagi Sin Wan
berkelit lincah. Sementara itu, Song Tat Kin yang melihat betapa kawannya telah
menyerang Sin Wan yang agaknya jerih, lalu maju ke arah Giok Ciu
dengan sikap yang sangat menjemukan.
"Nona, jangan kau marah-marah. Marilah ikut aku ke kota, untuk
apa tinggal di tempat seperti ini? Di kota kau akan hidup mewah dan
senang!" Ia melihat betapa kulit muka Giok-Ciu yang halus lemas itu
perlahan-lahan berubah merah dan menganggap bahwa gadis itu malumalu, sama sekali ia tidak menyangka bahwa hawa marah Giok Ciu sedang
berkobar dan seakan-akan mulai membakar gadis itu. Setelah Song Tat
Kin menutup mulutnya, Giok Ciu berseru keras untuk melepas hawa
marah yang mendesak dadanya, dan sebelum semua orang tahu apa yang
telah terjadi, tahu-tahu Giok Ciu lenyap dan berubah bayangan putih
berkelebat cepat kearah Song Tat Kin dan tahu-tahu orang she Song itu
terlempar jauh sekali dan roboh dengan pingsan dan mata terbalik!
Ternyata dara itu karena marahnya yang tak dapat ditahan lagi telah
mempergunakan tipu Cio-po-thian-keng atau Batu Meledak Langit Gempar
dibarengi ginkangnya yang luar biasa, sekali menyerang tepat
menghantam dada Song Tat Kin sehingga mendapat luka di dalam!
Kini terkejutlah semua orang, terutama Sim Kwie si Walet Terbang,
karena barusan ia telah menyaksikan sendiri bahwa ginkang gadis itu
jauh lebih hebat dari ginkangnya sendiri yang telah cukup tinggi dan
membuat ia dijuluki si Walet Terbang! Maklumlah ia menghadapi orang
berilmu tinggi dan ia tahu bahwa kepandaian Song Tat Kin setingkat
dengan kepandaiannya, maka tidak mungkin bisa menang kalau melawan
gadis itu seorang diri. Ia lalu berseru,
"Kawan-kawan, serbu!" Maka belasan orang itu lalu menyerang Giok
Ciu! Mereka menyangka bahwa yang tinggi ilmu kepandaiannya hanyalah
Giok Ciu saja, sedangkan Sin Wan cukuplah dilawan oleh si tinggi besar
itu. Tidak tahunya, ketika melihat betapa Giok Ciu timbul marahnya
dan kini dikeroyok oleh belasan pahlawan kaisar itu, Sin Wan lalu
berseru, "Pergilah kau!" dan tahu tahu si tinggi besar yang bermuka
hitam itu terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi.
Paniklah kini para penyerbu dan sebagian lari mengeroyok Sin
Wan. Enam orang termasuk Sin Kwie yang lihai mengeroyok Giok Ciu dan
enam orang pula mengeroyok Sin Wan. Dan karena ternyata bahwa kedua
anak muda itu benar-benar sangat lihai, mereka tidak sungkan-sungkan
lagi dan semua mencabut senjata masing-masing.
Dua belas orang yang mengeroyok Sin Wan dan Giok Ciu adalah
pahlawan-pahlawan kaisar kelas tiga yang memiliki kepandaian tinggi
juga, maka setelah semua menggunakan senjata, mau tidak mau Sin Wan
dan Giok Ciu menjadi terdesak. Baiknya kedua anak muda ini memiliki
ginkang yang sempurna, sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari
semua serangan senjata tajam yang menghujani mereka. Kalau saja pada
saat itu mereka memegang pedang pusaka mereka, tentu sebentar saja
semua lawannya akan mudah dirobohkan tetapi justru pada saat itu
mereka tidak membawa pedang.
Tiba-tiba Sin Wan teringat ajaran kakeknya untuk menggunakan
suara suling membikin kalut musuh, maka ia segera berkata kepada Giok
Ciu sambil berkelit, "Masih adakah suling kecilku dulu padamu?"
Mendengar ini, Giok Ciu diam-diam mengomel. Mengapa dalam
keadaan terdesak dan berbahaya seperti ini tiba-tiba membicarakan
tentang hal itu? Tetapi ia menjawab juga, "Tentu saja ada. Ada apakah?"


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dapat mengeluarkan itu? Coba beri aku pinjam sebentar!" Kini
tahulah Giok Ciu akan maksud pemuda itu. Ia menggunakan
kepandaiannya meringankan tubuh untuk meloncat jauh dari musuhmusuhnya, lalu cepat sekali merogoh ke dalam bajunya untuk mengambil
suling kecil yang ia selipkan di ikat pinggangnya sebelah dalam.
Sebenarnya suling itu ia telah memberi ikatan dan selalu diikatkan
dengan pinggang sehinnga suling itu takkan terlepas jatuh, maka
karena keadaan mendesak, ia mencabut saja suling itu hingga tali
ikatannya putus. Ia meloncat lagi ke dekat Sin Wan dan melempar
suling itu padanya. "Nah, terimalah ini!" teriaknya. Sin Wan lalu cepat menyambut
benda hitam yang melayang ke arahnya itu. Ia heran ketika menerima
suling itu, karena merasa betapa benda itu makin mengkilap dan terasa
hangat! Ia tidak tahu bahwa tunangannya itu sering kali menggosok-
gosok sulingnya dan setiap saat suling itu tidak terpisah dari
tubuhnya. Setelah menerima suling itu, Sin Wan lalu menempelkan peniupnya
di mulut, lalu sambil bersuling ia bersilat dengan kedua kakinya
menghindar semua serangan. Para pengeroyoknya tadinya menduga bahwa
pemuda itu hendak menggunakan sulingnya sebagai senjata, tetapi
setelah melihat dan mendengar pemuda itu meniup sulingnya, mereka
terheran sekali! Tetapi keheranan mereka itu terganti dengan
kebingungan karena tiba-tiba suara suling yang merayu-rayu dan
tinggi rendah mengalun itu seakan-akan merupakan pisau tajam yang
mengiris jantung dan menusuk-nusuk perasaan mereka sehingga
permainan silat mereka kacau balau! Sebentar saja Sin Wan telah
berhasil menendang dua orang pengeroyok!
Tiba-tiba, melihat hasil baik kawannya, Giok Ciu juga
mengeluarkan ilmu simpanan pemberian ayahnya, dan terdengarlah suara
pekik dan suitan nyaring keluar dari mulut dan dada dari gadis jelita
itu. Karena suara ini dikeluarkan dengan tenaga Tian-tan dan seperti
suara suling Sin Wan, mengandung tenaga hawa lweekang yang tinggi,
maka para pengeroyok segera merasa kehebatan pengaruh suara itu.
Mereka merasa ngeri dan menggigil tubuh mereka sehingga serangan
mereka yang tadinya teratur baik menjadi kacau balau. Hanya Sim Kwie
seorang yang memiliki lweekang lumayan, masih dapat mengerahkan
tenaga lweekang untuk menolak pengaruh mujijat ini, tetapi kelima
kawannya semua mencari kacau permainannya. Dengan gunakan
kelincahannya, Giok Ciu akhirnya dapat juga memukul seorang
pengeroyok dan sekalian merampas pedangnya! Kini dengan pedang di
tangan, walaupun pedang itu hanya sebatang pedang biasa, Giok Ciu
berubah seakan-akan dari seekor domba menjadi seekor harimau betina!
Ia berseru keras. Tubuhnya lenyap dan terkurung oleh sinar pedangnya
yang berkilauan ketika ia mainkan Sin-liong Kiam-sut!
Terkejutlah semua pengeroyoknya, apalagi setelah beberapa jurus
saja dua orang telah dirobohan oleh gadis itu! Sim Kwie kaget sekali
dan ia mengeluh mengapa hari ini mereka bertemu dengan dua setan
muda yang lihai itu! Sementara itu, Sin Wan yang hanya menghadapi empat orang
pengeroyok, lalu menyimpan sulingnya dan bersilat seenaknya saja,
seakan-akan mempermainkan para pengeroyoknya yang sudah bernapas
empas empis! Pada saat itu, terdengar teriakan Sim Kwie, "Cuwi, tahan!"
Karena mengenal tingkat para pahlawan itu, yang berada dibawah
Son Tat Kin hanya Sim Kwie, maka para pahlawan itu tentu saja
mendengar perintah dan taat, karena Son Tat Kin sendiri telah roboh,
mereka lalu meloncat mundur dengan hati lega, karena memang keadaan
mereka berbahaya sekali. "Jiwi enghiong, harap maafkan kami." Sim Kwie mengangkat kedua
tangan memberi hormat kepada Sin Wan dan Giok Ciu. "Agaknya telah ada
salah paham yang besar. Kami sama sekali tidak tahu berhadapan dengan
orang-orang gagah dan beberapa orang kawan kami telah berlaku kurang
ajar! Harap maafkan kami. Boleh kami mengetahui nama jiwi yang
mulia?" Giok Ciu tersenyum menyindir."Hm, baru sekarang kalian merasakan
kelihaian kami, ya? Sungguh tak tahu diri!"
Sin Wan juga mencela, "Kalau tadi tuan-tuan menggunakan katakata halus tidak nanti akan timbul korban-korban di antara tuan-tuan.
Kami tidak perlu kenalkan nama, juga tidak perlu mengetahui nama
kalian. Sekarang lebih baik kalian bawa saja kawan-kawanmu yang luka
dan tinggalkan tempat ini."
Sim Kwie mendongkol sekali karena terang sekali ia tidak
dipandang sebelah mata oleh kedua pemuda itu, padahal oleh kalangan
kang-ouw, nama si Walet Terbang bukanlah nama kecil-kecilan. Ia segera
berkata dengan bersungut-sungut, "Hm, biarlah jiwi boleh merasa bangga
akan kemenangan ini. Biarpun jiwi tidak memberi tahukan nama tapi
tiupan suling tadi mengingatkan aku akan seseorang!"
Mendengar ini, sekali loncat saja, Giok Ciu telah berada di
depannya dan mengancam dengan pedang rampasannya!
"Apa katamu? Mengingatkan kau akan seseorang? Hayo, katakan,
siapa orang yang kau maksudkan itu!"
Sim Kwie mundur dengan muka pucat. Ia telah tahu kelihaian nona
muda ini dan percuma kalau ia melawan juga.
Sin Wan membujuk Giok Ciu,"sudahlah, moi-moi jangan membikin
takut dia. Lihat mukanya menjadi biru karena ketakutan. He, pahlawan
raja dengarlah. Memang aku adalah cucu dari Kang-lam Ciu-hiap, si
Peniup Suling!" Sim Kwie mengangkat tangan menjura, "Memang sudah kuduga!
Terima kasih atas kejujuranmu." Ia lalu perintahkan kawan-kawannya
untuk mengangkat para korban dan meninggalkan tempat itu cepatcepat.
Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang kemudian mereka tersenyum
puas karena kemenangan tadi.
Sin Wan menghela napas, lalu memandang suling itu. "Untung ada
suling ini hingga kita teringat akan ilmu kakekku dan ayahmu." Ia
lalu menyerahkan suling itu kembali kepada Giok Ciu yang menerimanya
dengan muka berubah merah.
"Ternyata kau kau selalu simpan suling ini baikbaik.."katanya menggod Giok Ciu.
Giok Ciu menundukkan kepala, mengerling tajam dan menggigit
bibirnya. Ia merasa gemas sekali digoda dan hendak membalas dendam.
"Koko, apakah dulu kau tidak menerima sesuatu dari ibumu?"
"Menerima sesuatu? Apakah itu aku tidak ingat lagi." Jawab Sin Wan.
Giok Ciu kewalahan. "Menerima sesuatu yang berasal dari.. dari.
Eh, sebagai.. pengganti suling ini"
"Sesuatu sebagai pengganti suling ini? Ah, aku tidak ingat lagi.
Coba kau katakan bilang apa itu, tentu aku ingat." Sin Wan sengaja dan
berpura-pura lupa sehingga Giok Ciu makin gemas dan kewalahan.
"Barang. barang kecil." katanya dengan muka merah.
"Kecil?" Sin Wan pura-pura memandang ke arah awan sambil
mengerutkan jidat berpikir keras. "Eh, barang kecil apa, ya?
Sebagaimana kecilnya? Ada segini?" Ia menggunakan kedua tangannya
membuat ukuran. "Lebih kecil lagi." Giok Ciu berkata yang menduga bahwa Sin Wan
betul-betul lupa. "Seperti ini?" Sin Wan memperkecil ukuran dengan tangannya.
"Lebih kecil sedikit lagi," kata Giok Ciu yang menjadi gemas.
"Sebeginikah?" "Ya, sebegitulah kecilnya. Ah. sudahlah, maka kau perhatikan
barang tak berharga itu. Mungkin telah kau buang jauh-jauh!" Tiba-tiba
Giok Ciu tampak menyesal dan marah, bahkan kedua matanya tiba-tiba
menjadi merah! Sin Wan melihat betapa gadis itu seperti yang hendak
menangis, lalu timbul kasihannya.
"O, barang itukah yang kau masudkkan? Ada, ada. ada kusimpan!"
Giok Ciu cepat menengok dan memandang ia dengan mata bersinar.
"Betulkan kau simpan barang itu?"
Sin Wan mengangguk kuat. "Ada kusimpan baik-baik."
"Betulkah? Di mana kau simpan barang itu?"
"Di. Dimana ? Ah, di tempat yang baik."
"Betulkah itu? Hati-hati jangan disimpan sembarangan takut
hilang." "Tidak tidak mungkin hilang. Bukankah sulingku juga kau simpan
baik-baik dan tidak hilang?" kata Sin Wan sambil memandang suling
hitam yang dipegang gadis itu.
"Ah, kalau sulingmu ini lain lagi barang ini. ku simpan di ..
dipakaianku selalu," jawab Giok Ciu malu-malu.
"Barang itupun. sudah kusimpan baik-baik, jangan kau takut,
takkan hilang." "Apakah.. apakah di saku bajumu selalu?" tanya Giok Ciu sambil
memandang wajah Sin Wan dengan tajam.
Sin Wan balas memandang "Mengapa harus dimasukkan saku?"
"Habis di manakah?"
Sin Wan tetap tidak mau mengaku.
Tiba-tiba Giok Ciu berkata sambil tersenyum. "Ah, tidak mengaku
juga tidak apa, aku pernah melihat barang itu tersembul keluar."
Terkejutlah Sin Wan, "He? Apa katamu? Tersembul keluar?" dan
diam-diam pemuda itu melirik ke arah dadanya. Pancingan gadis cerdik
itu berhasil dan lirikan mata Sin Wan ke arah dadanya memperkuat
dugaannya. Giok Ciu bangkit dari duduknya lalu tiba-tiba suling itu
terlepas dari tangannya, menggelinding di atas tanah,
"Tolong, koko, sulingku jatuh."
Sin Wan buru-buru membungkuk dan mengambil barang itu, tetapi
pada saat ia membungkuk ia merasa sesuatu bergerak di lehernya. Ia
terkejut dan segera berdiri dan. Ia melihat Giok Ciu tertawa girang
sambil menunjuk ke arah dada pemuda itu. Kini Sin Wan tundukkan muka
untuk memandang, ternyata sepasang sepatu kecil yang tadinya
tergantung di dada dengan sutera biru yang dikalungkan dileher,
ternyata telah keluar dan bergerak-gerak di luar bajunya! Ternyata
ketika ia membungkuk tadi, Giok Ciu telah menyambar pita sutera itu
dan membetotnya sehingga sepatunya terbetot keluar!
Sin Wan tak dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah Giok
Ciu dengan mulut tersenyum lebar dan muka kemerah-merahan.
"Bukankah kataku tadi telah kusimpan baik-baik? Kau sungguh
kurang percaya." "Sekarang aku percaya dan puas, terimakasih, koko," jawab Giok Ciu
dengan manis. "Hayo kita kembali, telah terlampau lama kita keluar, nanti suhu
marah,"tiba-tiba Sin Wan berkata. Ucapan ini mengingatkan Giok Ciu
dan mereka segera meloncat masuk ke dalam sumur itu dengan khawatir
kalau-kalau gurunya akan marah.
Betul saja, baru kaki mereka menginjak pasir di dalam sumur itu,
telah terdengar suara suhu mereka memanggil dari dalam gua ular.
Mereka segera masuk dan mendapatkan Bu Beng Lojin duduk bersamadhi
dan menghadap ke dalam. Tanpa menengok lagi,orang tua aneh itu berkata, suaranya tetap
dan keras. "Sin Wan dan Giok Ciu! Kalian telah melanggar laranganku dan
keluar dari tempat ini sebelum waktunya!"
Sin Wan dan Giok Ciu segera menjatuhkan diri berlutut, "Ampunkan
teecu berdua suhu. Kami tidak sengaja keluar dan."
"Cukup! Aku sudah tahu semua. Pelanggaranmu tidak kusesalkan
sekali, tetapi yang paling kusesalkan ialah karena kalian melanggar
maka kalian bertemu dengan kaki tangan kaisar itu! Dan kalian tentu
tahu akan akibat pertempuran tadi. Sekarang terpaksa kalian harus
keluar dari sini!" Terkejut sekali kedua murid itu mendengar ini. Dengan khidmad
mereka berlutut dan memohon ampun.
"Muridku, jangan menganggap aku terlampau kejam kepada kalian.
Aku suruh kalian keluar dan pergi bukanlah dengan maksud mengusir
karena kemarahanku. Aku suruh kau pergi untuk mendahului mereka dan
memukul dulu sebelum mereka menyerbu dan mencari kalian kesini!
Bukankah kalian hendak menuntut balas? Nah, sekarang waktunya!
Berangkatlah dan bawalah pedangmu. Tetapi, berhati-hatilah, lawanlawanmu bukan orang lemah!"
Kalau tadinya kedua murid itu merasa bingung dan takut, kini
mereka merasa girang sekali. Mereka menghaturkan terima kasih kepada
suhu mereka yang agaknya tidak memperdulikan mereka karena duduknya
membelakangi mereka itu. Kemudian mereka berpamit tanpa dijawab oleh
Bu Beng Lojin, Sin Wan dan Giok Ciu mengambil kedua pokiam mereka dan
meloncat keluar dari sumur itu.
Mereka merasa seakan-akan baru sadar dari mimpi dan seakan-akan
baru terbebas dari kurungan. Hati mereka gembira sekali dan mereka
berjaaln turun gunung sambil bergandeng tangan seperti lakunya dua
orang kanak-kanak nakal. Sin Wan seperti biasa mengenakan pakaian warna putih yang
menjadi kesukaannya semenjak kecil, sedangkan Giok Ciu mengenakan
pakaiannya yang berwarna gelap kehitam-hitaman. Memang menurut
nasihat dari suhu mereka, warna pakaian yang paling cocok dan tepat
bagi Sin Wan ialah putih dan bagi Giok Ciu warna hitam!
"Karena kalian memiliki pedang pusaka yang ampuh dan keramat,
maka kalian juga seberapa bisa harus menyesuaikan keadaanmu dengan
pedang itu sehingga pedang pusaka itu akan lebih besar faedahnya,"
demikianlah kakek yang luar biasa itu berkata ketika mereka baru
berlatih pedang. Karena pemandangan alam yang indah dan hawa gunung yang segar,
Giok Ciu timbul gembiranya dan berkata,"Koko, hawa begini bagus.
Marilah kita berlatih pedang. Sekarang kita berada di luar dan bebas
merdeka., aku ingin sekali mencoba pokiamku." Sehabis berkata demikian,
ia mencabut Ouw Liong Pokiam sehingga tampak sinar hitam menyambar.
"Hush, Giok Ciu, jangan kita main-main dengan pokiam kita. Kalau
mau berlatih, mari kita gunakan ranting kayu seperti biasa," berkata
Sin Wan. "Selalu berlatih menggunakan sepotong ranting, aku bosan, koko.
Kita diberi pedang, untuk apa kalau tidak digunakan?"
"Kita hanya menggunakan di mana perlu, Giok Ciu."
Jilid V "Koko, jangan kau terlalu kukuh.Kita belajar ilmu pedang dan telah
bertahun-tahun kita pegang dan mainkan pedang kita, tetapi tidak
sekali pedang kita boleh kita pakai latihan bersama. Mengapakah?
Bukankah kedua pedang kita sama kuatnya? Nah, marilah kita
mencobanya sekalian melihat pedang siapa lebih hebat!"
Mendengar desakan dan bujukan nona itu, Sin Wan tertarik juga.
Memang suhunya orang aneh dan kukuh sehingga belum pernah mereka
berlatih pedang bersama dengan menggunakan pedang tulen. Pedang itu
hanya boleh dipakai sendiri saja. Karena itu, iapun ingin sekali
mengukur kelihaian permainan Ouw-liong Kiam-sut dari gadis itu
dengan menggunakan pedng mereka yang asli.
Ketika Sin Wan mencabut Pek-liong Pokiam dan mereka mulai
berlatih, maka tampaklah dua sinar hitam dan putih bergulung-gulung
saling sambar dan saling belit, bagaikan sepasang naga hitam dan putih
sedang bersenda gurau dan berterbangan di antara mega-mega di
angkasa. Keduanya merasa kagum sekali karena setiap serangan selalu
menemui tangkisan yang tepat sekali sehingga keduanya merasa tidak
berdaya! Sungguh-sungguh suhu mereka lihai sekali dalam memecah Sinliong kiam-sut menjadi dua macam ilmu pedang itu, karena jika
dimainkan sendiri-sendiri kedua ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut dan
Ouw-liong Kiam-sut itu tampaknya berbeda sekali kembangannya dan
mempunyai keistimewaan berbeda pula. Pek-liong Kiam-sut gerakannya
gagah dan kuat, tetapi gerakan-gerakan yang lurus itu mengandung
bermacam-macam tenaga dan tipu gerak tak terduga. Sebaliknya Ouwliong Kiam-sut gerakannya lincah dan gesit sekali, membingungkan
lawan karena banyak sekali pecahan dan gerak tipunya. Sinar
pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan
pertahanan lawan. Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah
kini dimainkan bersama dan dipakai untuk saling serang, ternyata
kedua duanya gagal dan tak berdaya, seakan-akan keduanya telah saling
kenal baik gerakan masing-masing! Kalau Pek-liong Kiam-sut


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw-liong Kiam-sut adalah
sarungnya! Giok Ciu penasaran sekali dan ia mengeluarkan gerakan terhebat
dari Ouw-liong Kiam-sut, namun sia-sia, karena Sin Wan tahu belaka
kemana dan bagaimana ia hendak menyerang. Memang hal ini tidak aneh
kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang ini berasal dari satu cabang,
yakni Sin-liong Kiam-sut, dan mereka telah mempelajari Sin-liong
Kiam-sut sampai hafal benar. Sedangkan Pek-liong Kiam-sut dan Ouw-
liong Kiam-sut sebenarnya belum mereka kuasai seluruhnya, karena
sebetulnya mereka belum tamat mempelajari kedua ilmu pedang ini, dan
sebelum mereka dapat menguasai dengan sempurna, keburu datang
perisitiwa di luar sumur sehingga mereka disuruh turun gunung!
Setelah lelah berlatih, keduanya berhenti dan menyimpan pedang
masing-masing, lalu duduk beristirahat di aas rumput sambil menikmati
angin gunung yang sejuk. Dan aneh sekali, karena latihan itu, di dalam
lubuk hati masing-masing timbul rasa tidak puas karena terhadap
masing-masing mereka merasa tidak berdaya. Lebih-lebih Giok Ciu, gadis
ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tidak berarti
kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atas menang, ia akan
merasa puas, tetapi ia kini menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah
tidak, menangpun bukan! Juga ia tidak dapat menentukan, pedang mana
yang lebih baik atau lebih ampuh!
"Koko, aku merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita
pelajari ini tidak seberapa hebat."
Sin Wan memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab,"Aneh,
moi-moi, akupun merasa mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah
kau ketika terjadi pengeroyokan itu? Kau menggunakan pedang dan
sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu.!"
Giok Ciu teringat dan kekecewaannya agak berkurang. "Kau benar,
koko. Tapi anehnya, menghadapi ilmu pedangmu, kepandaianku tiada
gunanya sama sekali!"
Sin Wan melirik sambil tersenyum.
"Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw-liong Kiam-sut
untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa betapa
pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!"
Setelah beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di
dalam hutan di lereng bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan
mereka dengan cepat. "Koko, apakah kita pergi ke gedung Suma-cianbu?"
"Ya, kita langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma
lebih dulu!" jawab Sin Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat
akan musuh besarnya. Karena mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka dua hari saja
mereka telah tiba dikota tempat tinggal Suma-cianbu. Hari telah
menjadi gelap ketika mereka berdua memasuki kota.maka mereka menanti
sebentar sebelum menyerbu ke gedung Suma-cianbu itu. Setelah hari
menjadi gelap, keduanya lagi loncat keatas genteng dan sambil berlarilari cepat di atas genteng merupakan dua bayangan putih dan hitam,
mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu.
Tetapi mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu
sunyi saja dan yang menjaga keamanan hanya empat orang anggauta
keamanan yang berjalan mondar-mandir di belakag tembok yang
mengurung gedung itu. Didalam gedung sendiri sunyi senyap, hanya
dibagian belakang tampak lampu bernyala dan ada suara orang
bercakap-cakap. Bagaikan dua ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan
sekali sehingga tidak menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga
lewat ditempat mereka bersembunyi, mereka menerjang dan tanpa dapat
mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena tertotok dan roboh
pingsan. Demikianlah nasib ke dua penjaga lainnya. Kemudian Sin Wan
Giok Ciu meloncat masuk ke dalam gedung.
Alangkah kecewa mereka ketika mendapat kenyataan bahwa gedung
itu betul-betul kosong dan tidak ada orangnya, dan yang sedang
bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang pelayan
saja. Para nelayan itu, empat orang tua dan dua orang laki-laki
terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah
berada dihadapan mereka. "Jangan takut, kami takkan mengganggu!" Kata Sin Wan kepada
mereka yang berlutut, sambil menggigil ketakutan."Asal saja kalian
terangkan di mana adanya Sum-cianbu dan keluarganya."
"Taijin, hujin dan siocia beserta beberapa orang pelayan dan
pengawal telah tiga hari pergi ke kota raja." Jawab seorang pelayan
yag agak tabah. "Awas, jangan membohong!" Giok Ciu membentak sambil menendang
sebuah meja sehingga meja itu terpental dan semua barang di atas meja
itu beterbangan. Mereka takut sekali dan makin pucat wajah mereka.
"Tidak tidak, lihiap . Kami ti tidak berani membohong."
"Bukan main rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu
meninggalkan gedung itu, setelah terjadi pula sedikit pertentangan
faham antara Sin Wan dan Giok Ciu. Karena kecewa dan marah, Giok Ciu
hampir saja mengangkat tangan dan membunuh semua isi gedung Sumacianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya,
"Moi-moi tak perlu membunuh mereka ini. Mereka tiada sangkutpautnya dengan kedosaan Suma-cianbu."
"Tetapi orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki
tangannya bukankah orang baik-baik!" Giok Ciu bersikeras.
"Jangan begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang
bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi. Kalau mereka tidak
mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam terhadap mereka."
Giok Ciu mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tapi ia tidak
membantah lagi, lalu mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh
Sin Wan dari belakang. Malam itu juga mereka meninggalkan kota Wiekwan untuk mengejar Suma-cianbu yang sedang pergi ke kota raja.
Jarak antara Wie-kwan dan kota raja bukanlah dekat dan jika
mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga
hari. "Moi-moi, di kota raja kita harus berlaku hati-hati, karena di
sana adalah pusat para pahlawan kaisar yang berkepandaian tinggi."
Giok Ciu menahan tindakan kakinya dan menengok, "Ah, jadi kau
tiba-tiba merasa jerih dan takut, koko?" katanya mengandung suara
sindiran. Sin Wan mengerutkan jidatnya dan berkata, "Tidak takut, moi-moi,
tapi berhati-hati. Kau kan juga ingin agar pekerjaan kita membalas
dendam kali ini jangan sampai gagal, bukan?"
Giok Ciu berkata jumawa, "Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak
takut segala pahlawan anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan
dengan tosu siluman Cin Cin Hoatsu, dan aku seujung rambutpun tidak
takut padanya!" Sin Wan makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu,
karena tidak disangkanya gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia
tidak tahu bahwa semenjak dapat mengalahkan para pahlawan yang
mengeroyok mereka diluar sumur, didalam hati gadis muda itu timbullah
sifat bangga yang besar sehingga membuat ia menjadi jumawa dan
menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan!
Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia
menjadi penasaran dan kecewa karena tak dapat menangkan pemuda itu!
Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kiong-kwan yang besar. Kota
ini cukup ramai karena letaknya dekat kota raja dan di sini banyak
pula tinggal orang-orang berpangkat pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok
Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota, tiba-tiba dari belakang
terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di pinggir jalan
memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar yang
pandai sekali menunggang kuda. Ketika tiga orang itu lewat di depan
mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam. Tapi Sin Wan
dan Giok Ciu tidak ambil perduli sama sekali dan melanjutkan perjalan
mereka memasuki kota. Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu
dan tiang-tiangnya di cat merah sehingga nampak indah sekali, maka ia
lalu mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum
melihat kegembiraan gadis itu dan menurut saja. Kepada seorang
pelayan ia lalu minta disediakan dua kamar.
"Dua kamar ukuran kecil, atau satu saja kamar ukuran besar?"
Pelayan yang berlidah tajam dan jenaka itu bertanya sambil melirik
kearah Giok Ciu. Gadis itu timbul marahnya dan ia membentak,
"Tulikah kau? Kami minta dua kamar dan jangan kau banyak
cerewet lagi!" Pelayan itu memandang dengan terkejut dan buru-buru ia
menyediakan kamar yang diminta.
"Sabarlah, moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti
dia?" "Apa? Justeru orang-orang macam dia itu kalau tidak diberi
hajaran tentu selalu akan mengganggu orang!" Sin Wan hanya tersenyum
melihat kegalakan nona ini, karena betapapun juga, jika Giok Ciu
sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya
kemerah-merahan, kulit hidunganya yang tipis kembang-kempis dan
bibirnya yang bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi
menambah manisnya! Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkatakata dan Sin Wan lalu memberi isarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka
memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang yang berkuda yang
tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang kota. Ketika orang itupun
memandang kepada mereka dengan tajam, tetapi lalu mereka membuang
muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan.
Sin Wan lalu mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata,
"Moi-moi, kurasa tiga orang itu bukanlah orang-orang baik.
Mereka agaknya mengikuti kita."
"Apa? Biar kuhajar mereka sekarang juga!"
"E, e! Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari
perkara? Biarkan sajalah, tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan
berhati-hati." "Menghadapi tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ributribut? Aku malam ini ingin melihat-lihat kota, koko."
Sin Wan menyatakan setuju. "Baiklah, kita pergi mencari tempat
makan yang paling besar."
Setelah membersihkan tubuh Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari
rumah penginapan dan berjalan melihat-lihat kota yang indah dan
besar itu. Giok Ciu kagum melihat bangunan-bangunan yang besar dan
tinggi. Sungguhpun kedua anak muda itu tampaknya berjalan-jalan dan
mengagumi pemandangan kota namun sebenarnya mereka tahu bahwa ada
seorang diantara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka!
Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tapi
dipingganya tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.
"Kita sikat dia, koko?" kata Giok Ciu.
Mereka lalu masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan
masakan. Dan alangkah mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika
melihat betapa si pincang itupun memasuki restoran dan duduk di meja
yang dekat dengan meja mereka. Alangkah kurang ajar dan beraninya!
Kalau ia tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia melemparkan meja di
depannya kepada orang tinggi kurus itu!
Tetapi Sin Wan berkejab kepadanya untuk mencegah gadis itu
melakukan sesuatu yang mengacaukan. Untuk melampiaskan marahnya,
Giok Ciu berkata, "Tak kusangka, tiga bangkai tikus yang terserak di
sanan tadi tahu-tahu yang seekor terdampar kesini!" Sambil berkata
demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah! Tentu
saja, kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran,
sedangkan si pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas
menahan-nahan diri untuk tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya
balas memandang tajam, lalu menundukkan kepala dan maka hidangan
yang dipesannya. Setelah makan kenyang, Sin Wan dan Gio Ciu sengaja mengambil
jalan memutar, melalui jalan yang sunyi. Dan betul saja, si tinggi
pincang itu tetap mengikuti mereka. Sin Wan dan Giok Ciu lalu
menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itupun pandai dalam ilmu
ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang itu
tidak berapa tinggi. "Giok Ciu, tentu ada apa-apa yang tidak beres. Mari kita pulang
dengan diam-diam kita lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa
dan sedang melakukan apa."
"Dan tikus ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya."
Sin Wan tersenyum, "Sesukamulah asal jangan terlalu lama."
Giok Ciu lalu membungkuk untuk memungut sepotong batu, lalu ia
berhenti dan berteriak,"He, tikus pincang, jalanmu tidak sedap
dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah aku tolong kau dan
bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!" Tangannya lalu diayun dan
batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar.
Si tinggi kurus itu berlaku waspada, tetapi ternyata batu yang
menyerangnya lebih cepat lagi. Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu
tulang keringnya berbunyi "Pletak!" dan ia roboh karena kaki kanannya
tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia merabanya, ternyata
tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam terkejut
sekali melihat kelihaian kedua anak muda itu.
"Masih baik mereka tidak menghendaki jiwaku," Ia berpikir dan
merangkak maju untuk minta pertolongan orang.
Sin Wan dan Giok Ciu lalu meloncat ke atas genteng dan mereka
menggunakan kepandaian untuk meloncati rumah-rumah dan cepat menuju
ke rumah penginapan. Ginkang mereka sudah demikian sempurna sehingga
yang tampak berkelebat hanya dua bayangan putih dan hitam.
Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di balik
wuwungan yang tinggi dan mengintai. Tiba-tiba tampak bayangan
beberapa orang bergeak di atas genteng dan meloncat ke bawah denga
gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan
hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu.
Ternyata di dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang
dan langkah terkejut mereka melihat bahwa diantara mereka terdapat
juga pahlawan-pahlawan kaisar yang dulu mengeroyok mereka di atas
sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.
"Benarkah mereka mengejar Suma-cianbu?" terdengar seorang
berkata. "Kalau begitu, kita harus dapat menangkap mereka sebelum
kabur." "Tetapi mereka lihai sekali," berkata seorang yang dulu mengeroyok
Sin Wan. "Jangan takut, Hek twako dan Mo susiok ada disini. Pula, mereka
tadi telah diikuti oleh Liu sute. Kita nanti mengepung mereka, masak
tak dapat merobohkan dua orang anak muda saja?"
Maka tahulah Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di
gedung Suma-cianbu telah diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula
bahwa orang-orang ini bukan lain ialah para pengawal dan pahlawan
kerajaan! Maka Giok Ciu menjadi hilang sabar dan ia tertawa nyaring
di atas genteng, sambil memaki,"Bangsat anjing penjilat kaisar! Kalau
kalain sudah bosan hidup, naiklah ke sini kutunggu!"
Sin Wan terpaksa juga meloncat dan bersiap menanti kedatangan para
lawan itu, ia merasa geli tercampur "bohwat" atau tak berdaya
menghadapi gadis yang pemberani sekali ini.
Mendengar kata-kata Giok Ciu, tiba-tiba api lilin di dalam kamar
itu ditiup pada tak lama kemudian dari empat penjuru berloncatan
naiklah orang-orang dengan senjata tajam di tangan! Sin Wan melihat
bahwa yang naik lebih dari dua puluh orang dan yang terdepan sekali
adalah seorang tua yang gerakannya gesit dan seorang pemuda gagah dan
bersenjata tombak. Orang tua itu bersenjata sepasang pedang yang
tergantung di punggungnya.
"Bangsat pemberontak yang berani mati. Menyerahlah hidup-hidup
dari pada mati tertembus pedang," orang tua itu membentak garang. Giok
Ciu tertawa dan menunjuk ke arah orang tua itu sambil berkata kepada
Sin Wan, "Koko, kau lihat baik-baik. Bukankah orang she Mo ini mukanya
sama benar dengan tikus tua yang hampir mati kelaparan?"
Sin Wan memandang dan hampir saja ia tertawa geli kalau saja ia


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingat bahwa orang tua itu seorang yang berkepandaian tinggi
sehingga tidak baik menghinanya, karena sesungguhnya muka yang
sempit dan berpotongan tajam, ditambah dengan beberapa lembar kumis
dibawah hidunganya itu memang seperti seekor tikus!
Ternyata Giok Ciu menduga tepat, karena memang orang tua itu
adalah Mo Hin Cu yang berjuluk Iblis berpedang dua dan termasuk
pahlawan kaisar kelas dua. Ilmu pedangnya telah terkenal dan
kepandaiannya masih lebih tinggi dari semua orang yang kini
mengepung Giok Ciu dan Sin Wan. Sebagai seorsng yang memiliki
kepandaian dan kedudukan tinggi, tentu saja Mo Hin Cu marah sekali
mendengar ejekan Giok Ciu. Ia mencabut sepasang siang-kiamnya dan
menyerang sambil membentak,"Bangsat pemberontak rendah!" Sepasang
pedang di tangan kiri kanannya bergerak, yang kanan menusuk lengan
dan yang kiri menyapu pinggang gadis itu!
"Haya..!!" Giok Ciu berkelit mundur sambil mengejek sehingga Mo
Hin Cu makin marah dan menyerang lagi. Kalau dibandingkan,
kepandaian orang she Mo ini setingkat dengan kepandaian Song Tat Kin
murid Cin Cin Hoatsu yang pernah dijatuhkan oleh Giok Ciu. Memang
dulu secara mudah sekali Song Tat Kin dapat dirobohkan oleh gadis itu,
tapi hal itu terjadi karena Song Tat Kin tak bersenjata dan tidak
pernah menyangka bahwa gadis itu demikian lihai. Sedangkan kini orang
she Mo ini telah dapat menduga bahwa lawannya adalah seorang muda
yang memilki kepandaian tinggi, dan di kedua tangannya terdapat
sepasang pedang yang telah mengangkat namanya tinggi-tinggi, maka
setelah diserang terus, Giok Ciu terdesak juga dan menjadi marah.
Sambil berseru keras gadis itu mencabut pokiamnya dan Mo Hin Cu
bergidik ketika melihat sinar hitam berkelebat dan menyambarnya
dengan mengeluarkan hawa panas mengerikan! Cepat sekali Mo Hin Cu
menggunakan sepasang pedangnya menangkis dengan tipu gerakan Hongsauw-pai-yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Maksudnya hendak
menggunakan tenaga untuk menangkis dengan keras agar sekali babat
saja membuat senjata lawan yang aneh itu terpental. Tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia merasa betapa kedua siang-kiamnya seakan-akan
membacok air dan tahu-tahu yang tinggal di dalam kedua tangannya
hanya gagang pedang saja, sedangkan pedangnya sendiri entah telah
terbang kemana? Demikianlah hebat dan ketajaman Ouw Liong Pokiam.
Giok Ciu mengeluarkan seruan menghina dan sekali saja ia menyerang,
pundak lawannya telah kena terbabat oleh pokiamnya sehingga orang
she Mo itu roboh sambil mengeluarkan teriakan ngeri!
Sementara itu orang muda yang bersenjata tombak menyerang Sin
Wan, akan tetapi oleh Sin Wan mudah saja dikelit dan anak muda ini
balas menyerang dengan tangan kosong. Anak muda bersenjata tombak itu
hanya pahlawan kelas tiga saja, mana ia dapat melawan Sin Wan? Dalam
beberapa jurus saja, tombaknya telah dapat dirampas dan sekali tekuk
dalam tangannya, tombak besi itu menjadi bengkok dan dilemparkan Sin
Wan ke bawah genteng. Melihat betapa lihainya kedua anak muda itu, semua pahlawan maju
mengeroyok dengan senjata masing-masing. Sin Wan terpaksa mencabut
Pek Liong Pokiam dan bersama-sama Giok Ciu ia mainkan pedangnya
dengan gerakan bergelombang yang hebat. Harus dikasihani para
pengeroyok itu, seakan-akan rombongan semut mengeroyok api, begitu
mendekat segera tubuh mereka bergelimpangan karena sinar hitam dan
putih itu saja sudah cukup membuat mereka roboh!
Akhirnya beberapa orang yang masih belum menjadi korban segera
meloncat turun dan melarikan diri dari amukan Sin Wan dan Giok Ciu.
Tak lama kemudian datanglah barisan tentara dibawh pimpinan seorang
komandan mengurung rumah penginapaan tu. Sin Wan dan Giok Ciu sudah
masuk kembali ke dalam kamar dan berkemas, karena malam ini juga
mereka hendak melanjutkan perjalanan.
Ketika Sin Wan melihat keluar, ternyata puluhan tentara penjaga
keamanan yang datang membantu telah mengurung rumah itu dan semua
tamu yang tidur menginap disitu menjadi ketakutan.
"Pemberontak-pemberontak keluar dengan damai!" komandan yang
gemuk dan bermuka merah itu berteriak-teriak sambil mengatur
barisannya mengurung. Sin Wan tersenyum meliha ini, kemudia setelah beres membungkus
pakaian dan lain-lain, ia dan Giok Ciu keluar dari pintu depan dengan
tenang! Para anggota penjaga itu tidak tahu yang manakah pemberontakpemberontak yang harus ditangkap, maka ketika melihat Sin Wan dan
Giok Ciu keluar mereka diamkan saja. Baru setelah seorang pengeroyok
yang lari dan kini telah ikut mengepung berteriak," Inilah
pemberontak-pemberotak itu, serbu!" Mereka segera bergerak dengan mata
memandang heran. Inikah pemberontak-pemberontaknya? Seorang pemuda
tampan dan seorang gadis cantik? Komandan muka merah memperlihatkan
kegagahannya dan sambil palangkan golok besar ia mencegat Sin Wan dan
Giok Ciu. "Menyerahlah!" bentaknya dengan suaranya yang tinggi kecil.
"Hm, kalian gentong-gentong kosong ini harus diberi hajaran!" Giok
Ciu berkata gemas, tetapi Sin Wan mendahului membentak kepada
komandan muka merah yang gemuk itu.
"Kau menggelindinglah pergi dari sini!" dan sebelum si gemuk itu
tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasa tangan pemuda itu yang
kuat sekali mendorongnya demikian keras sehingga tidak ampun lagi
tubunya terjengkang ke belakang dan bergulingan, betul-betul seperti
bola menggelinding! "Hayo, moi-moi! Buat apa mengotorkan tangan melayani segala tikus
rendah." Biarpun belum puas, Giok Ciu mengejar Sin Wan yang meloncat naik
ke atas genteng dan mereka pergi tinggalkan Kiong-kwan menuju ke kota
raja. Menjelang fajar mereka telah tiba di luar tembok besar kota raja
dan di sebuah bukit keil mereka melihat sebuah kucil kecil yang
mungil. Karena perlu beristirahat sebentar sebelum memulai dengan
pekerjaan yang penting itu. Ternyata itu adalah kelenteng Kwan-impouwsat yang dijaga oleh dua orang pendeta wanita yang telah tua.
Kedua pendeta itu sangat ramah tamah dan mereka menerima kedatangan
Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang. Kedua anak muda itu memberi
hormat kepada patung Kwan-im, lalu mereka mengaso sambil bersamadhi
di ruang belakang. Setelah matahari pagi menerangi permukaan bumi dan kedua anak
muda itu makan bubur hidangan nikouw tadi, mereka lalu meninggalkan
bungkusan uang dan pakaian, dan hanya dengan membekal pedang, mereka
berangkat menuju ke pintu gerbang kota raja.
Tetapi ternyata bahwa para penjaga yang mereka pukul kucar-kacir
di Kiong-kwan malam tadi, telah cepat memberi kabar ke kota raja pada
malam itu juga sehingga Suma-cianbu telah bersiap menanti kedatangan
mereka! Hal ini Sin Wan dan Giok Ciu tidak menyangkanya, maka ketika
mereka tiba di pintu gerbang mereka kaget melihat banyak orang
menghadang di jalan masuk pintu itu. Ketika mereka melihat tegas,
ternyata kesemuanya adalah pahlawan kaisar dan diantaranya terdapat
Suma-cianbu sendiri yang berpakaian perang dengan lengkap! Selain
suma-cianbu sendiri, di dekat kapten itu terdiri tiga orang tosu dan
seorang perempuan tua berbaju hijau.
Melihat musuh besarnya berdiri di depannya, Sin Wan timbul
marahnya dan segera ia mencabut Pek Liong Pokiam sambil
membentak,"Bangsat Suma sekarang kau hendak lari kemana?" Sambil
berkata begini ia meloncat menerjang Suma-cianbu yang cepat menangkis
dengan pedangnya, tetapi sekali bentur saja pedang itu patah! Sin Wan
melanjutkan pedangnya membabat leher dan Suma-cianbu berteriak kaget,
tetapi pada saat itu, seorang diantara tiga tosu itu telah maju
menolong dengan tongkat bajanya yang berat menusuk perut Sin Wan
dengan gerakan Ular Hitam Masuk Lubang!
Terpaksa Sin Wan menarik kembali pedangnya dan meloncat berkelit
karena jika ia meneruskan serangannya, maka sukar baginya untuk
menghindarkan diri dari sodokan tongkat itu.
"Bangat muda sabar dulu!" tosu itu membentak,"Siapakah kau berani
mengacau ke kota raja? Apakah kau sudah bosan hidup?"
Sin Wan tersenyum dan membalas memaki, "Hm, hm, kau bangsat
berjubah pendeta. Agaknya kaupun bukan orang baik-baik. Ketahuilah,
aku adalah Bun Sin Wan dan kedatanganku hendak membalas dendam
orang tuaku kepada bangsat she Suma ini. Kalian tiada permusuhan
dengan aku, maka lebih baik mundurlah. Tetapi kalau hendak membela
bangsat ini, akupun tidak takut!"
Tiba-tiba terdengar suara perempuan tua baju hijau itu
berkata,"Cianbu, apakah ini anak pemberontak itu?"
Suma-cianbu mengangguk. "Benar, toa nio. Inilah anak pemberontak
itu." Wanita itu lalu menunding dan berkata," Anak muda, kau lebih baik
menyerah saja, mungkin dosa-dosamu dapat di peringan. Kau
mengandalkan apakah berani melawan kami?" Sikap wanita ini jumawa
sekali sehingga menimbulkan marahnya Giok Ciu.
"Eh, kau ini siluman perempuan darimanakah begitu sombong?"
bentaknya. Wanita baju hijau itu memandang kepada Giok Ciu dengan tersenyum
mengejek. "Kau anak kemarin sore sudah berani unjuk gigi. Ketahuilah
nenekmu ini ialah Liong-san Kui-bo! Hayo lekas kau berlutut di
depanku." Wanita itu agaknya mengira bahwa Giok Ciu tentu pernah
mendengar namanya yang tersohor dan menjadi jerih. Tidak tahunya,
tidak saja Giok Ciu memang belum pernah mendengar julukan yang
berarti Biang Hantu dari Liong-san itu, bahkan andaikata sudah
mendengarpun, gadis yang bernyali besar sekali pasti takkan merasa
takut. Mendengar kata-kata Liong-san Kui-bo, ia bahwa tertawa merdu
dan nyaring, lalu berkata,
"Jadi kaukah si Biang Hantu? He, anakku, kalau begitu kau harus
berlutut tiga kali di depanku. Ketahuilah, aku ini ialah Nenek Moyang
Biang Hantu! Hayo kau lekas berlutut!"
Tentu saja Liong-san Kui-bo menjadi marah sekali. Ia berpaling
kepada ketiga tosu itu lalu berkata," Toyu sekalian, mari kita bikin
mampus dua anak kurang ajar ini!"
Sehabis berkata demikian, perempuan tua baju hijau itu lalu
mencabut keluar sepasang pedangnya dan langsung menyerang Giok Ciu
dengan hebat. Giok Ciu terkejut melihat betapa gerakan perempuan itu
ganas dan cepat sekali, tapi ia tidak takut dan sambil berloncatan
menyingkiri serangan lawan, ia mencabut Ouw Liong Pokiam. Kini Liongsan Kui-bo yang kaget karena tiba-tiba ia merasa sambaran pedang
hitam yang ganas itu. Ia tahu bahwa pedang gadis itu adalah sebuah
pokiam yang sangat ampuh, maka ia tidak berani beradu pedang. Ia
hanya menggunakan kiam-hwatnya yang memang indah dan cepat itu
untuk mengurung Giok Ciu. Tapi ia tidak tahu bahwa disamping Kiamsutnya, yakni Sin-eng Kiam-sut yang lihai, masih banyak ilmu pedang
yang lebih hebat lagi, dan diantaranya yang terlihai adalah Ouw-liong
Kiam-sut! Maka ketika Giok Ciu mulai menjalankan ilmu pedangnya,
sebentar saja ia menjadi sibuk menangkis sambil mundur. Tosu termuda
diantara ketiganya, yakni Liang Ging Tosu segera maju membantu,
sedangkan yang dua, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, maju
menyerang Sin Wan dengan tongkat mereka yang berat dan kuat.
Pertempuran makin ramai ketika beberapa orang pahlawan yang memiliki
kepandaian tinggi juga mengurung mereka.
Tapi pedang-pedang mustika itu dimainkan oleh Sin Wan dan Giok
Ciu demikian hebat sehingga merupakan sepasang naga sedang mengamuk
dan membuat jerih mereka yang mengeroyoknya. Sebentar saja beberapa
orang pengeroyok telah roboh dan yang lain-lainnya terdesak. Sin Wan
menggunakan sebagian besar daripada perhatiannya untuk menyerang
Suma-cianbu yang telah berganti pedang sehingga karena beberapa kali
hampir saja kapten itu menjadi korban keganasan Pek liong Pokiam, dan
melihat betapa para pembantunya terdesak mundur, Suma-cianbu lalu
meloncat mundur dan lari memasuki pintu gerbang!
"Bangsat jangan lari!" Sin Wan loncat mengejar, tapi ia dihalanghalangi pengeroyok lain sehingga ia harus merobohkan dua orang dulu
baru ia dapat meloncat mengejar. Karena ia melihat betapa Suma-cianbu
meloncat ke atas genteng, iapun mengayun tubuhnya ke atas dan masih
dapat ia melihat bayangan musuhnya itu di atas wuwungan yang tinggi.
Ia segera mengejar tapi kedua tosu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun
Tosu, sudah mengejarnya pula dan menyerangnya dengan tongkat mereka.
Sin Wan memutar pedangnya menangkis lalu setelah melayani mereka
beberapa jurus dan mendapat ketika,ia meloncat pula mengejar ke arah
bayangan tadi. Ia mencari-cari dengan matanya dan melihat berkelebatnya
bayangan di tempat jauh, di atas sebuah gedung yang jauhnya beberapa
belas rumah dari situ. Ia lalu meloncat lagi dan lari mengejar. Ia
masih sempat melihat betapa Suma-cianbu yang ketakutan setengah mati
itu lari dan meloncat turun dalam pekarang belakang sebuah gedung.
Tapi pada saat itu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu sudah sampai
pula ke situ dan mengirim serangan mereka lagi!
"Pendeta-pendeta tak tahu diri! Aku tak ingin membunuhmu,
lepaskanlah aku!" "Bangsat kecil, jangan kau banyak tingkah. Menyerah atau mati."
Maka timbullah marah Sin Wan. Ia memutar Pokiam nya sedemikian
rupa sehingga Pek Liong Pokiam seakan-akan berubah menjadi puluhan
dan menyerang ke dua tosu itu dari segala jurusan. Tosu-tosu itu
adalah murid Cin Cin Hoatsu tingkat pertama, maka kepandaian silat
mereka memang tinggi. Tapi kini menghadapi Pek-liong Kiam-sut, mereka
tak berdaya. Mereka masih mencoba untuk memutar-mutar tongkat
menangkis, tapi sia-sia, karena pokiam itu telah mendahului mereka dan
tiba-tiba Liang Hun Tosu berteriak kesakitan karena lengan
tanggannya berikut tongkatnya terbabat putus! Dengan kaget Liang
Gwat Tosu meloncat mundur, dan Sin Wan lalu lari pula ke arah gedung
di mana tadi Suma-cianbu turun. Liang Gwat Tosu terpaksa hanya bisa
menolong sutenya yang terluka parah.
Sin Wan meloncat turun ke pekarangan gedung besar itu dan ia tiba
di taman yang indah. Ia menengok ke sana ke sini, lari lari ke arah
gedung. Ia mengintai ke dalam dari sebuah jendela, tapi gedung itu
sunyi saja. Setelah mengambil jalan memutar ia mengintai ke jendela
lain dan di dalam sebuah kamar ia melihat seorang gadis sedang membaca
kitab Tiong Yong, yakni kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Seorang
pelayan wanita datang mengantar air the dan berkata,
"Suma-siocia, kau rajin sekali sehingga siang malam hanya belajar
kitab saja. Apakah siocia ingin menjadi sasterawan wanita? Ataukah
siocia ingin menjadi gadis suci?" Pelayan itu menggoda. Dan gadis itu
perdengarkan suara ketawanya yang halus dan merdu. Tubuhnya yang
langsing itu bergoyang-goyang di atas bangku yang didudukinya ketika
ia tertawa, lalu terdengar suaranya yang lemah lembut,
"A-bwe, aku adalah seorang wanita terpelajar, kalau tidak membaca
kitab yang balik di dalam kamar atau menyulam sulaman yang indah,
habis apakah harus pegang pedang main panah?"
A-bwe, pelayan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan ujung
lengan baju, lagaknya genit sekali. "Socia, apa salahnya kalau kau
bermain pedang? Ayahmu seorang pembesar militer yang gagah perkasa."
"Ingat, A-bwe, aku seorang wanita."
"Tapi, socia. Bukankah jaman sekarang banyak terdapat wanitawanita pendai bersilat? Coba saja lihat nyonya tua yang berbaju hijau
yang kemarin datang itu, namanya kalau tidak salah Liong-san Toanio,
begitulah disebut orang. Ia selalu membawa-bawa pedang dan kabarnya
kepandaiannya tidak dibawah ayahmu sendiri. Bukankah itu hebat dan
luar biasa sekali namanya?"
Nona itu menghela napas dan ia memutar tubuhnya perlahan dan
menghadap jendela hingga Sin Wan terkejut dan buru-buru bersembunyi,
dan mendengar lebih jauh sambil mengagumi wajah gadis yang luar biasa
cantiknya itu. Usia gadis itu paling banyak delapan belas tahun,
pakaiannya indah berkembang, tubuhnya tinggi langsing, rambunya
hitam panjang dikonde ke belakang dengan manisnya, sedangkan kulit
muka yang halus lemas kemerah-merahan itu terhias sepasang mata yang
cerdas dan lembut sinarnya, hidung dan mulutnya kecil dan indah
bentuknya. Pendeknya seorang cian-kim-siocia yang benar-benar tiada
cacad celanya! Nona itu menghela napas dan berkata, "A-bwe,biarpun ayah


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpangkat cianbu dan tiap hari kau melihat orang-orang dari golongan
ahli silat, namun sesungguhya aku tidak suka melihat orang-orang yang
biasanya hanya bermain dengan senjata tajam untuk membunuh orang
lain! Lihatlah betapa permusuhan ditumpuk-tumpuk,orang-orang saling
kejar, saling bunuh, dan saling balas sakit hati. Apakah hidup macam
demikian itu baik? Ah, aku lebih senang membaca kitab-kitab kuno yang
memberi nasehat-nasehat dan petuah tentang hidup yang baik."
"Suma siocia, kau memang seorang ciankim siocia yang berbudi dan
pandai," A-bwe memuji.
Sementara itu, kini Sin Wan tidak ragu-ragu lagi bahwa nona
cantik di dalam kamar itu adalah puteri musuhnya, anak perempuan dari
Suma-cianbu! Ia tidak mau mengganggunya, karena yang dibenci dan
dicarinya hanya Suma-cianbu seorang. Maka ia segera tinggalkan tempat
itu dan memeriksa kamar lain. Tapi Suma-cianbu tidak tampak
bayangannya! Sin Wan menjadi marah dan timbul gemasnya. Ia lalu marah
dan timbul gemasnya. Ia lalu kembali ke atas kamar Suma-siocia tadi
dan cepat meloncat masuk dari jendela!
Suma socia menggunakan saputangan menutup mulutnya yang hendak
mengeluarkan jeritan kaget ketika melihat betapa tiba-tiba seorang
pemuda yang tampan dan gagah tahu-tahu telah berada di dalam
kamarnya! Kebetulan sekali A-bwe baru saja keluar dari kamar itu
karena disuruhnya mengambil benang sulam baru.
"Maaf socia. Aku tak hendak mengganggumu, hanya ingin bertanya
bukankah siocia puteri dari Suma-cianbu?"
Melihat sikap dan kata-kata Sin Wan yang halus, lenyaplah rasa
kaget nona itu dan ia mengangguk untuk membenarkan kata-kata Sin
Wan. "Di manakah ayahmu sekarang, siocia? Tadi aku melihat ia masuk ke
dalam gedung ini, tapi telah lenyap begitu saja. Dimana ia
bersembunyi?" Tiba-tiba Suma siocia menjadi berani dan bertanya,"Ada urusan
apakah kau mencari ayahku?"
"Dia adalah musuh besarku yang harus menebus dosanya!"
Terbelalak sepasang mata yang bening itu mendengar pengakuan ini.
"Apa?? Mengapa begitu? Apakah dosanya terhadapmu?"
Sin Wan kertak gigi ketika menjawab."Ayahmu telah membunuh ibuku
dan kakekku! Hayo katakan, dimana dia?"
"Tidak, tidak! Ayah..!! Kau pergilah.. ada orang jahat!! Sumasiocia berteriak-teriak. Sin Wan cepat maju dan ulurkan tangannya
sehingga sekejap saja suma-siocia kena tertotok dan lemas tak berdaya.
Tiba-tiba timbullah akal pada pikiran Sin Wan. Musuh besarnya sangat
licin dan selain banyak pelindungnya, juga pandai bersembunyi. Lebih
baik kalau ia culik Suma-siocia saja untuk memancing Suma-cianbu!
Karena pikiran ini, maka ia berkata kepada gadis itu yang masih dapat
mendengarnya walaupun telah menjadi gagu. "Maaf, siocia. Kau terpaksa
kubawa untuk memancing ayahmu keluar dari tempat sembunyinya!"
Pada saat itu A-bwe telah datang dan melihat seorang pemuda
berada disitu dan nonanya dalam keadaan lemas dipegang oleh pemuda
tampan dan asing itu, segera ia lari keluar kamar dan menjerit-jerit.
Sin Wan tidk buang waktu lagi, segera ia pondong tubuh Suma-siocia dan
meloncat keluar dari jendela, terus saja ia melayang ke atas genteng.
"Bangsat penculik jangan lari!" terdengar teriakan orang dan
beberapa orang pengawal meloncat naik mengejar. Tapi Sin Wan kecewa
sekali karena di antar lima orang pengawal yang mengejarnya itu tidak
tampak Suma-cianbu sendiri.
"Kalian minggirlah dari sini! Aku tidak butuh jiwamu. Suruh
bangsat Suma-cianbu itu keluar sendir!" Sin Wan berseru marah dan
gemas, tapi kelima pahlawan itu segera mengurungnya dan
menyerangnya. Sin Wan hanya berkelit karena ia tiada nafsu untuk
melayani orang-orang ini. Ia segera menggunakan ginkangnya dan
sekali loncat saja ia telah keluar dari kepungan itu sambil pondong
tubuh Suma-siocia! Kemudian ia berlari-lari cepat di atas genteng.
Lima orang pengawal itu mengejarnya, tapi sebentar saja Sin Wan telah
lenyap jauh di depan. Sin Wan kembali ke tempat di mana tadi Giok Ciu dikeroyok, yakni
dipintu gerbang kota. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak
melihat orang berkelahi di tempat itu lagi. Apakah Giok ciu telah
berhasil memukul mundur semua musuhnya dan menyusulnya? Tapi kenapa
ia tidak bertemu dengan gadis itu? Atau barangkali Giok Ciu telah
kembali lebih dulu di klenteng.
Memikir demikian, Sin Wan lalu cepat lari menuju ke kelenteng
dimana ia dan Giok Ciu tinggal. Tapi kembali ia kecewa karena di
tempat inipun gadis itu belum pulang! Dua orang nikouw tua dari Kwanim-bio heran sekali melihat Sin Wan memondong seorang gadis cantik
yang setengah pingsan. "Bun taihiap, kalau kau hendak melanggar kesopanan dan melakukan
kejahatan, maka terpaksa kami mengusir kau dari sini!" Nikouw itu
berkata dengan sikap keren, karena mereka menyangka keliru pada Sin
Wan yang membawa seorang gadis dalam keadaan demikian.
Sin Wan segera lepaskan totokan Suma-siocia yang segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kedua nikouw itu sambil menangis
sedih. "Jangan khawatir, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Gadis
ini sengaja saya culik untuk memaksa ayahnya keluar dari tempat
persembunyiannya, dan ayahnya ialah musuh besar saya, pembunuh ibu
dan kakek! Suma-siocia, ku harap kau suka tinggal di klenteng ini
untuk sementara waktu sampai ayahmu sudah bertemu dengan aku. Aku
bukanlah orang rendah yang hendak menyusahkan dan mengganggumu, dan
percayalah, aku melakukan ini karena sangat terpaksa. Kalau ayahmu
tidak berlaku curang dan pengecut, mungkin kau dan aku selamanya tak
pernah bertemu muka. Agaknya memang telah menjadi nasibmu harus ikut
merasakan dosa-dosa ayahmu!"
Sin Wan lalu meninggalkan gadis itu kepada kedua nikouw yang
terheran-heran sekali mendengar kata-katanya. Gadis itu hanya
menangis sedih dan segera dihibur oleh kedua nikouw itu dan dibawa
kekamar mereka. Sementara itu, Sin Wan dengan hati sangat gelisah
menanti-nanti kembalinya Giok Ciu. Ia duduk dalam kamarnya, lalu
keluar untuk melihat apakah gadis itu telah kembali, kemudian kembali
ke kamar dan duduk lagi. Ia gelisah sekali karena setelah ditunggu
sampai sore, belum, juga Giok Ciu kembali!
Setelah hari menjadi gelap dan bintang-bintang malam mulai
tampak menghias langit hitam,kegelisahan Sin Wan memuncak dan ia
tidak sabar untuk untuk menanti lebih lama. Giok Ciu pasti terkena
bencana, pikirnya dengan hati cemas dan tercampur mendongkol.
Pembalasan dendam belum berhasil, telah ditambah lagi dengan
lenyapnya Giok Ciu! Ia segera meninggalkan kelenteng setelah berpesan
kepada kedua nikouw agar menjaga Suma-siocia baik-baik, dan langsung
menuju ke dalam kota. Ia berdiri lama sekali di tempat persembunyian
siang tadi, tapi di situ sunyi senyap. "Kemanakah ia harus mencari
jejak Giok Ciu?" Ia lalu meloncat naik ke atas genteng dan menuju ke gedung Sumacianbu dari mana tadi ia menculik Suma-siocia. Disitupun sunyi saja,
bahkan gedung di bawah itu gelap sama sekali, menunjukkan bahwa pada
saat itu tidak ada penghuni. Tentu bangsat tua she Suma itu telah
pergi ke lain tempat, pikirnya gemas. Apakah betul-betul bangsat itu
demikian kejam dan tega terhadap puteri sendiri sehingga tidak hendak
menolong? Apakah ia hendak mengorbankan puterinya untuk keselamata
jiwa sendiri? Pada saat ia berdiri termenung di atas genteng, tiba-tiba dari
arah kiri tampak berkelebat bayangna orang dengan gerakan sangat
gesit. Begitu tiba dekat Sin Wan, bayangan itu bertanya,
"Apakah kau mencari Kwie lihiap?"
Terkejutlah Sin Wan mendengar ini, dan cepat ia mencabut Pek
Liong Pokiam dari pinggangnya dan membentak,"Bangsat rendah, hayo
katakan dimana kalian sembunyian Kwie Giok Ciu!"
Bayangan itu yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan dan
putih, tersenyum. "Sebelum aku menjawab, marilah kita main-main
sebentar!" Dan ia lalu mencabut keluar sebatang pedang dan menyeang
Sin Wan yang menjadi marah sekali dan menangkis dengan pedangnya.
Terdengar bunyi "trang!!" dan bunga api bepercikan ketika kedua pedang
itu beradu dengan kerasnya. Sin Wan terkejut karena ternyata bahwa
senjata lawannya juga sebatang pedang pusaka yang kuat dan tajam,
juga ketika kedua pedang bertemu, ia merasakan betapa telapak
tangganya tergetar karena tenaga lawannya tidak lemah! Sebaliknya
pemuda muka putih itu mengeluarkan suara kagum karena ia merasa
telapak tangannya perih dan hampir saja pokiam yang dipegangnya
terpental! Mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Setelah bertempur
puluhan jurus, tahulah Sin Wan bahwa lawannya adalah seorang ahli
pedang Bu-tong-pai, tapi yang telah memiliki kepandaian aseli hingga
gerakan-gerakannya sangat sempurna dan hebat. Diam-diam ia mengeluh
karena kalau fihak musuhnya mempunyai orang-orang yang seperti ini
kepandaiannya, maka makin sukarlahnya untuk membalas dendam. Memang
ilmu pedang Bu-tong mempunyai keistimewaan dalam membela diri,
hingga pedang pemuda muka putih itu diputar sedemikian rupa bagaikan
benteng baja yang amat kuat. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Sin
Wan, pemuda yang telah meyakinkan Sin-liong Kiam-sut yang tiada
bandingnya di dunia ini, ditambah pula telah mempelajari Pek Liong
Kiam-sut, maka desakan-desakannya membuat pemuda ahli Bu-tong-pai
itu repot juga. Sin Wan mainkan gerakan Sin-liong Kiam-sut di bagian
yang paling sulit dilawan, yakni Sin-liong-koan-jit atau NagaSakti
menutupi Matahari. Tubuhnya yang memiliki ginkang tinggi itu
berkelebat ke atas dan bawah demikian cepatnya, didahului dengan
gerakan pedang yang menyambar-nyambar merupakan sinar putih
menyilaukan dan setiap saat mengancam hendak menembus dan
membobolkan benteng baja dari pedang pemuda muka putih itu!
Kali ini benar-benar pemuda muka putih itu kewalahan dan hampir
saja ia tak dapat bertahan lagi, maka cepat ia berseru,
"Bun taihiap, tahan dulu!" lalu ia meloncat ke belakang
berjumpalitan dengan gerak tipu Ular Air Menerjang Ombak.
Sin Wan menahan serangannya dan memandang dengan mata tajam dan
marah di tahan-tahan. "Kau mau apa?" tanyanya dengan ketus.
Heran sekali, pemuda itu agaknya tidak mengambil sikap
bermusuhan, sebaliknya bahkan tertawa. "Bun-taihiap, sungguh hebat
Pek-liong Kiam-sut yang kau mainkan! Setelah bertempur kurang lebih
seratus jurus, aku Gak Bin Tong mengaku kalah! Terima kasih atas
pelajaran yang kau berikan tadi."
"Eh, apa artinya kata-katamu semua ini? Jangan kau bermain-main
didepanku, aku sedang sibuk!" Sin Wan menegur gemas.
Pemuda muka putih itu segera angkat tangan menjura. "Maaf,
taihiap, sebetulnya aku tadi hanya ingin mencoba kelihaianmu saja. Aku
bukan musuhmu, jika kau tidak percaya, hendak kubuktikan sekarang.
Bukankah kau sedang mencari-cari kawanmu yang lenyap?"
"Ya, dimanakah dia? Tahukah kau apa yang telah terjadi dengan
Kwie li-hiap?" "Dia telah tertawan," kata Gak Bin Tong.
Terkejutlah Sin Wan mendengar ini.
"Tertawan? Ah, rasanya tak mungkin!"
Gak Bin Tong tersenyum mengejek."Memang kau dan kawanmu itu sudah
cukup pantas untuk bersikap jumawa, tapi ingatlah, di dunia ini masih
banyak sekali orang yang terlebih pandai daripada kita. Kwi Kai
Hoatsu kebetulan datang dan apa yang tidak mungkin baginya? Sumoimu
itu mudah saja tertawa olehnya."
"Kwi Kai Hoatsu, siapakah itu? Dan bagaimana bisa tertawan
olehnya?" Sin Wan bertanya cepat.
"Kwi Kai Hoatsu adalah jago nomor tiga dari Tibet yang memiliki
kepandaian hebat dan tinggi sekali. Juga ia pandai ilmu sihir yang
sukar sekali dilawan. Aku melihat sendiri tertawannya kawanmu siang
tadi. Beginilah." Gak Bin Tong lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi.
Ketika Sin Wan lari mengejar Suma-cianbu yang melarikan diri,
Giok Ciu memutar Ouw Liong Pokiam di tangannya lebih cepat lagi untuk
mencegah orang-orang itu mengejar Sin Wan dan membela Suma-cianbu.
Memang gadis ini lincah sekali gerakannya dan ketika ia memainkan
silat pedang di bagian Ouw-liong-ciong-thian atau Naga Hitam Terjang
Langit, sebentar saja dua orang pengeroyoknya telah roboh mandi darah.
Kemudian ia maju terus menghadapi pengeroyoknya yang tinggal empat
orang lagi, yakni Liong-san Kui-bo si wanita baju hijau, dan ketiga
pahlawan lain yang berkepandaian tinggi, termasuk Liang Ging tosu
yang bersenjata tongkat baja. Biarpun dikeroyok empat, namun Giok Ciu
masih berada difihak penyerang dan keempat musuhnya hanya dapat
menangkis dan berkelit saja! Tak lama lagi tentu keempatnya akan
dapat dirobohkan oleh gadis yang konsen itu.
Tapi pada saat itu, datanglah seorang pendeta berjubah merah yang
tubuhnya tinggi sekali, matanya lebar bundar dan hidungnya seperti
pelatuk burung kaktua. Tosu ini memegang sebatang tongkat aneh,
karena tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular cobra yang telah
mati dan dikeringkan, dengan bagian lehernya berkembang mengerikan,
sedangkan di punggu tosu itu terselip sebatang hudtim atau kebutan
dengan bulu berwarna hitam. Tosu ini datang dengan tindakan lebar,
dan di sebelahnya terdapat seorang laki-laki yang berpakain serba
mewah dan bertopi indah terhias permata. Laki-laki ini usianya paling
banyak empat puluh tahun dan dari topinya ternyata bahwa ia adalah
seorang pangeran! Ia datang sambil naik seekor kuda yang tinggi besar
dan berbulu putih. Biarpun kudanya lari cepat, namun tosu itu yang
tampak berjalan seenaknya, ternyata tidak ketinggalan. Ini saja
membuktikan kelihaian tosu aneh itu.
Melihat betapa seorang gadis dengan hebatnya mengurung keempat
pahlawan kaisar dengan sinar pedangnya yang berwarna hitam, pangeran
itu berkata," Gadis cilik manakah yang berani main gila disini?"
Tosu itu lalu tertawa besar dan berkata,"Kalian mundurlah,
biarkan pinto menangkapnya!"
Setelah berkata begini, tosu itu meloncat dan tahu-tahu telah
menghadang di depan Giok Ciu. Gadis ini terkejut melihat gerakan
orang yang demikian cepat, tapi ia tidak jerih dan memutar pokiamnya
dengan gerakan Ouw-liong-ciauw-hai atau Naga Hitam Lintasi Laut,
langsung menyerang dengan tusukan maut ke dada tosu itu. Tosu itu
cepat-cepat berkelit ke kiri dan berbareng ulur tangan kanannya yang
berbulu hitam itu untuk menangkap lengan Giok Ciu yang memegang
pedang, tapi siapa sangka, begitu tusukannya dapat dikelit, Giok Ciu
teruskan serangannya dengan gerakan Naga Hitam Caplok Ekornya.
Pedangnya lalu berbalik dan menabas tangan tosu yang hendak
mencengkeram lengannya itu!
Tosu itu berseru heran dan terkejut. Tak disangkanya bahwa kiamhwat gadis ini sedemikian lihainya hingga kalau tidak ia buru-buru
meloncat ke belakang dan menarik kembali lengannya, tentu lengan itu
telah terbabat putus! Diam-diam ia mengeluarkan keringat dingin dan
kini ia tahu bahwa gadis ini adalah murid seorang sakti yang tidak
boleh dibuat main-main lagi. Ia lalu memindahkan tongkat ular yang
tadinya dipegang di tangan kiri, ke tangan kanan, lalu dengan tongkat
aneh itu ia melayani Giok Ciu. Karena kulit ular cobra yang menjadi
tongkat itupun berwarna ke hitam-hitaman, maka kini tampak dua sinar
hitam saling serang dengan hebatnya!
Betapapun hebat gerakan dan senjata tosu itu, namun menghadapi
Ouw Liong Pokiam yang dimainkan dengan sedemikian luar biasanya oleh
Giok Ciu, tosu itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia harus berlaku
hati-hati sekali, karena kalau tidak, banyak kemungkinan tongkat ular
senduk itu akan terbabat putus oleh Ouw Liong Pokiam!
Tosu itu adalah Kwi Kai Hoatsu, seorang paderi di Tibeeet yaaang
telah diusir pergi oleh kaum Lama karena paderi ini ternyata bukanlah
orang suci seperti seharusnya seorang pendeta, dan dalam tingkat
kepandaian,ia boleh dibilang menduduki tingkat ke tiga di seluruh
Tibet. Ia bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Cin Cin
Hoatsu, ialah pendeta Tibet yang dulu membunuh Kwie Cu Ek, ayah Giok


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciu! Tapi dibandingkan dengan Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu lebih
lihai. Sebetulnya dalam hal lweekang atau ginkang, Giok Ciu masih belum
dapat menyamai Kwi Kai Hoatsu yang lihai, tapi karena gadis itu
memegang sebuah pedang keramat yang sangat ampuh, pula memainkan
ilmupedang yang benar-benar menjagoi di seluruh kalangan persilatan
pedang, maka untuk beberapa lama tosu itu tidak berdaya. Sebaliknya
Giok Ciu juga merasa lelah karena lawannya ini benar-benar tangguh.
Setelah mereka bertempur hampir seratus jurus dan belum juga dapat
merobohkan gadis itu, Kwi Kai Hoatsu merasa penasaran dan malu sekali.
Ia merasa kehilangan muka di depanpara pahlawan, terutama di depan
pangeran yang tadi datang bersama-sama dia dan kini masih menonton di
atas kudanya, ia merasa betapa nama besarnya dipermainkan oleh gadis
cilik ini. Karena itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari
mulut ular yang telah menjadi tongkat itu menyambar keluar asap hijau
kearah muka Giok Ciu! Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu sedang menyerang
dengan pukulan ke leher Giok Ciu dan Giok Ciu hanya miringkan kepala
berkelit maka ketika tiba-tiba mulut ular itu mengeluarkan uap hijau,
ia tak dapat berbuat lain kecuali membuang diri kebelakang. Tapi
terlambat, karena ia telah mencium bau yang amis sekali dan tiba-tiba
kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang. Kemudian, dengan
pekik nyaring, gadis gagah itu roboh pingsan dengan pedang masih
terkepal erat di tangannya!
"Nah, demikianlah, Kwie lihiap tertawan oleh mereka dan dibawa
pergi." Gak Bin Tong mengakhiri ceritanya kepada Sin Wan.
Sin Wan marah sekali, kedua matanya mengeluarkan cahaya api dan
giginya berbunyi. Kemudian ia dapat menekan perasaan cemasnya, lalu
ia menjura kepada Gak Bin Tong.
"Maafkan sikapku yang kasar tadi, saudara. Sebetulnya dengan
siapakah aku berhadapan? Dan mengapa kau agaknya membela kami?"
Gan Bin Tong membalas hormatnya,"Aku adalah Gan Bin Tong dan
aku terpaksa menggabungkan diri dengan para pahlawan kaisar , karena
ayahku adalah seorang pembesar di istana, tapi semenjak kecil aku
belajar di Bu-tong-san dan baru beberapa bulan kembali ke sini. Aku
suka melihat sepak terjangmu dan sepak terjang Kwie lihiap, karena aku
tahu bahwa kalian hanya datang untuk menuntut balas, sekali-kali
bukan maksud kalian untuk memberontak atau mengacau. Sekarang,
marilah kita tolong Kwie Lihiap."
"Apa dia tidak apa-apa? Dimana dikeramnya?" Sin Wan bertanya
dengan hati memukul. "Tenanglah, ia tidak apa-apa dan kalau tidak salah, ia dibawa oleh
Pangeran Lu ke gedungnya."
"Pangeran Lu? Siapakah dia?"
"Pangeran Lu Boh Ong adalah murid dari Kwi Kai Hoatsu,
kepandaiannya lumayan juga, dan ia sangat disayang oleh suhunya
karena pangeran Lu pandai mengambil hati dan menguruk diri Kwi Kai
Hoatsu dengan segala kesenangan dan harta benda."
"Kalau begitu, mari kita segera berangkat. Biar kau serahkan saja
pangeran anjing itu kepadaku," kata Sin Wan.
"Sabar, kawan. Kita harus menggunakan siasat, karena ketahuilah
bahwa Kwi Kai Hoatsu menjaga gedung itu."
"Siapa takuti dia?" kata Sin Wan gagah.
"Memang kau tak perlu takuti dia, tapi ia benar-benar lihai dan
ilmu sihirnya berbahaya sekali. Lebih baik diatur begini. kau menyerbu
ke dalam gedung dan aku akan ajak tosu itu bercakap-cakap, karena aku
sudah kenal padanya dan sering bercakap-cakap atau main catur dengan
dia." Sin Wan girang sekali dan dia menjabat tangan kawan baru itu
dengan berterima kasih. Kemudian mereka lalu berangkat dan bergerak
cepat sekali di atas genteng. Biarpun dalam hal ilmu lari cepat Gak
Bin Tong masih jauh di bawah kepandaian Sin Wan, namun pemuda muka
putih itu tidak tertinggal jauh.
Ketika mereka tiba di sebuah gedung besar dan megah, Gak Bin Tong
memberi tanda kepada Sin Wan supaya berhati-hati. Pertama-tama mereka
menuju ke sebelah kamar di sebelah kiri. Begitu mereka menginjak
genteng, tiba-tiba dari bawah terdengar bentakan.
"Siapa di atas?"
Terkejutlah Sin Wan melihat kelihaian orang di bawah yang segera
mengetahui bahwa di atas genteng ada orang! Ia tidak tahu bahwa
memang di bawah genteng dipasangi alat hingga jika genteng itu
terpijak sedikit saja, maka akan ada tanda di dalam kamar itu.
Gak Bin Tong segera menjawab, "Bukan lain orang, totiang, aku Gak
Bin Tong hendak bercakap-cakap dengan kau orang tua!" Pemuda muka
putih itu segera memberi tanda kepada Sin Wan untuk meloncat ke
bagian lain, sementara ia sendiri meloncat untuk bertemu dengan Kwi
Kai Hoatsu yang lihai. Sin Wan segera memeriksa gedung itu dengan hati-hati sekali.
Ketika ia memeriksa bagian belakang gedung itu, terdengar suara orang
berkata-kata dengan suara marah. Ia girang sekali karena kenal suara
ini sebagai suara Giok Ciu. Cepat Sin Wan membuka genteng dan
mengintai ke dalam. Ternyata Giok Ciu tampak duduk di atas sebuah
pembaringan dengan wajah pucat bagaikan seorang yang baru sembuh
dari sakit. Ternyata bisa yang tersembur dai mulut tongkat ular dan
yang telah kena tercium olehnya itu berbahaya sekali dan setelah
minum obat penawar dari Kwi Kai Hoatsu,barulah jiwa Giok Ciu
tertolong. Sebetulnya, biarpun tidak minum obat penawar, belum tentu
gadis itu akan terbinasa, karena di dalam tubuhnya telah mengalir
pengaruh mujijat dari buah-buah yang dulu ia makan didalam gua ular.
Tentu saja ia sendiri maupun Kwi Kai Hoatsu tidak mengetahui hal ini.
Setelah Giok Ciu sadar, maka pendeta yang lihai itu lalu menotok urat
jalan darah gadis itu bagian koan-goan-hiat,hingga biarpun Giok Ciu
telah kembali kesehatannya, namun tenaganya lumpuh dan ia tidak
berdaya. Kalau tidak mendapat pertolongan untuk memunahkan pengaruh
totokan itu, ia harus menanti tiga hari baru tenaganya akan pulih dan
totokan itu akan lenyap pengaruhnya sendiri. Ia telah kerahkan
tenaganya tapi karena totokan itu memang lihai, ia tidak bisa gerakkan
lweekangnya hingga sia-sia saja usahanya untuk melepaskan totokan.
Sin Wan sekejab saja tahu bahwa Giok Ciu berada dibawah pengaruh
totokan, maka hatinya menjadi marah sekali. Tapi ia masih menahan
sabar karena ia harus bertindak hati-hati. Ia melihat bahwa pada saat
itu, seorang pelayan wanita sedang membujuk gadis itu yang dijawab
dengan makian dan cacian sehingga pelayan itu menjadi kewalahan.
Pada saat Sin Wan hendak meloncat turun, tiba-tiba pintu kamar
terbuka dan seorang laki-laki berpakaian mewah dan indah berjalan
masuk. Laki-laki itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, lagaknya
dibuat-buat dan ceriwis sekali. Sepasang matanya yang kekuningkuningan itu berminyak dan memandang kepada Giok Ciu dengan kurang
ajar. "Aah, siocia, bagaimana rasanya tubuhmu? Sudah sehat kembali,
bukan? Sukurlah." Kata laki-laki itu kepada Giok Ciu yang tidak
menjawabnya, tapi memandang dengan tajam dan marah.
"Siocia telah berkali-kali kukatakan tak perlu kau melawan kami,
karena di kota raja banyak sekali terdapat pahlawan-pahlawan yang
gagah perkasa dan orang-orang berilmu tinggi. Dan lagi, apakah
perlunya mengacau dan memberontak? Usahamu akan sia-sia belaka,
bahkan nyawamu akan tak tertolong. Bukankah sayang sekali kalau
orang seperti kau yang semanis dan semuda ini mengorbankan jiwa
dengan sia-sia?" Suara bujukan yang manis ini bahkan menambah marah hati Giok
Ciu. "Siapa yang perduli omonganmu yang kosong? Aku datang hendak
membunuh bangsat she Suma itu dan kawan-kawannya! Apa hubungannya
dengan kau?" "Itulah yang salah sekali, Suma-cianbu adalah seorang berjasa
diistana, dan yang dibunuh olehnya dulu adalah para pemberontak
negara. Mana bisa kau sekarang datang-datang hendak membunuhnya?
Itulah yang disebut mengapa kau memberontak mengacau. Sudahlah, kau
menyerahlah saja dengan baik-baik. Kalau kau berjanji hendak menyerah
dan tidak mengamuk lagi, aku Lu Boh Ong akan menanggung dan
membelamu. Percayalah kepada Pangeran Lu!"
"Sudahlah kau jangan banyak mengobrol di depanku. Tunggu saja,
kalau kawanku datang, kau pasti akan mendapat hadiah ujung
pedangnya!" Jilid VI Lu Boh Ong tertawa bergelak-gelak.
"Kawanmu? Ha, ha, jangan ngelindur! Kawanmu itu telah mati di tangan
para pahlawan. Tubuhnya sudah dihancurleburkan, maka jangan kau
menanti sia-sia!" Sehabis berkata demikian, pangeran ceriwis itu
bertindak mendekat dan hendak memeluk Giok Ciu. Gadis itu biarpun
telah lumpuh karena totokan, tidak sudi didekati pangeran itu, maka ia
bergerak, berdiri dan hendak meloncat. Tapi tubuhnya menjadi limbung
dan ia roboh! Terdengar pangeran itu tertawa besar dan pada saat itu Sin Wan
dengan gemasnya telah meloncat ke dalam kamar. Kaget sekali Pangeran
Lu itu melihat seorang pemuda dengan pedang berkilau putih di tangan
tahu-tahu telah berada di situ. Ia segera menyambar sebatang pedang
yang memang tersedia di punggungnya dan cepat bagaikan seekor
harimau ia menubruk ke arah Sin Wan. Pemuda itu dengan tenang
menangkis keras dan Pangeran Lu dengan mata terbelalak memandang
gagang pedangnya sendiri entah telah terlempar kemana. Sebelum ia
hilang kagetnya, tahu-tahu pedang Sin Wan menyambar dan tanpa dapat
berteriak lagi pangeran itu roboh dengan kepala terpisah dari
lehernya! Sebetulnya Pangeran Lu yang menjadi murid Kwi Kai Hoatsu,
cukup memiliki kepandaian silat, tapi karena dalam gemasnya Sin Wan
datang-datang menggunakan gerak tipu Naga Putih Menyambar Awan,
mana Pangeran itu dapat menghindarkan diri dari maut!
Sin Wan cepat ketok-ketok dan mengurut-urut pundak dan punggung
Giok Ciu dan sebentar saja lenyaplah pengaruh totokan yang
melumpuhkan gadis itu. Pelayan yang ketakutan itupun lalu dirobohkan
dengan totokan. "Kau tidak apa-apa, moi-moi?" Tanyanya.
Giok Ciu tersenyum manis sambil geleng-geleng kepala.."Aku tadi
juga sama sekali tidak percaya obrolan pangeran rendah ini tentang
matimu," katanya. "Hayo kita serbu pendeta binatang itu!" Sin Wan berkata gemas.
"Baik, koko, memang aku hendak mencari dia, karena pokiamku juga
berada di tangannya."
"Apa? Ah, kita harus rampas kembali," kata Sin Wan. "Biarlah kita
menggunakan siasat. Aku bikin panas hatinya dan kau boleh tantang
serta maki-maki dia untuk bertanding lagi dan jangan menggunakan
ilmu curang!" Dengan cepat keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan langsung
menuju tempat dimana Kwi Kai Hoatsu dan Gak Bin Tong sedang main
catur. Tanpa ragu-ragu lagi, Sin Wan dan Giok Ciu meloncat turun dan
menuju ke ruang itu. Kwi Kai Hoatsu tahu akan kedatangan mereka, tapi ia sedang asyik
memikirkan jalan untuk menghindari serangan Gak Bin Tong dalam
permainan itu, ia sengaja diam saja. Demikianlah kesombongannya yang
menganggap rendah tiap orang yang datang padanya.
"Tosu siluman hayo kita bertanding lagi sampai seribu jurus tanpa
menggunakan ilmu siluman rendah dan hina!" Giok Ciu menantang sambil
memandang ke arah pedang Ouw Liong Pokiam yang benar saja terletak di
atas meja di dekat papan catur. Gak Bin Tong memandang ke arah mereka
dan pura-pura merasa kaget. Tapi Kwi Kai Hoatsu dengan tenang
menggerakkan biji caturnya dulu sebelum menengok ke arah mereka.
Matanya yang lebar dapat melihat Sin Wan yang berdiri di sebelah
Giok Ciu dengan pedang putih berkilauan di tangan, maka ia lalu
mengerti bahwa gadis itu telah tertolong.
"Hm, kalau terangkap lagi olehku, tentu aku akan menotok jalan
darah tai-wi-hiat agar kau takkan tertolong lagi," katanya menghina.
"Pendeta bangsat jangan banyak mulut, kalau kau memang orang
gagah, marilah kita bertempur untuk menetapkan kepandaian siapa yang
lebih unggul!" Giok Ciu berseru.
"Moi-moi, aku mendengar bahwa Kwi Kai Hoatsu adalah seorang toko
di Tibet yang menduduki kelas tiga. Tapi ternyata ia hanya
mengandalkan ilmu siluman. Sedangkan terhadap kau seorang muda saja
ia sudah ketakutan setengah mati hingga mana ia berani menghadapimu,
apalagi kalau pedangmu berada di tanganmu kembali!" Sin Wan berkata
kepada Giok Ciu, cukup keras hingga terdengar oleh Kwi Kai Hoatsu.
"Anak muda sombong! Siapakah kau berani menghina Kwi Kai Hoatsu?
Apakah kau sudah bosan hidup?" teriak pendeta itu dengan marah, tapi
Sin Wan memandangnya dengan mengejek.
"Kwi Kai Hoatsu! Aku adalah suheng dari nona ini. Tadi kau telah
mendengar sendiri tantangannya, dan aku ingin sekali melihat apakah
benar-benar kau bisa mengalahkan sumoiku ini. Aku tidak percaya kau
begitu becus mengalahkan ilmu pedang sumoiku. Sayang kau begitu
pengecut hingga pedang sumoiku kau sembunyikan! Kalau kau bisa
mengalahkan sumoiku, barulah kau ada harga untuk mencoba
kepandaianku!" Lagak Sin Wan dalam kata-katanya demikian jumawa hingga membuat
Kwi Kai Hoatsu marah sekali! Ia adalah seorang tokoh kenamaan dan
biasanya dihormati orang, apalagi oleh yang muda-muda. Sekarang di
depan Gak Bin Tong ia dihina oleh dua anak muda tentu saja ia murka
luar biasa. Lebih-lebih ketika Gak Bin Tong yang mengerti maksud Sin
Wan, berkata kepada Kwi Kai Hoatsu,"Kwi totiang, anak muda itulah yang
mencari-cari Suma-cianbu untuk dibunuhnya. Ilmu silatnya lihai
sekali." Kwi Kai Hoatsu berdiri dan membanting papan caturnya. "Baiklah,
aku akan menghancurkan kepala dua binatang kecil ini!"
"Majulah kau, pendeta palsu. Biar aku lawan kau dengan tangan
kosong!" Giok Ciu menyombong.
Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu memungut pedang Ouw Liong Pokiam dan
sekali ia ajunkan tangan, sambil berseru, "Nah terimalah kembali
pedangmu!" Pedang itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah
dada Giok Ciu, merupakan sinar hitam yang luar biasa!
Tapi Giok Ciu dengan tenang miringkan tubuh dan ulur tangannya
dan dengan cepat pedang itu telah berada di tangannya. Inilah gerakan
hebat untuk menyambut timpukan senjata rahasia yang disebut Kwan-imsiu-hwa atau Dewi Kwan Im Sambut Bunga.
"Bagus!" Kwi Kai Hoatsu berseru dan sekejab kemudian ia telah
meloncat menyerang Giok Ciu dengan tongkat ularnya yang lihai.
Sebaliknya Giok Ciu setelah mendapatkan kembali pedangnya, terdorong
oleh hati yang sakit karena pernah dijatuhkan dengan kecurangan oleh
tsou itu, segera menyerang dengan sengit dan ganas sekali.
Sin Wan melihat betapa tosu itu betul-betul kosen dan gerakangerakannya berbahaya hingga Giok Ciu hanya dapat mengimbanginya
saja. Kalau tosu itu keluarkan serangan-serangan gelap yang tak
terduga, tentu gadis itu akan menjadi kurban lagi. Maka ia segera
meloncat maju sambil kelebatkan Pek Liong Pokiam dan berseru,
"Tosu siluman, kau cukup berharga untuk mampus di tanganku!"
Melihat Sin Wan maju, Gak Bin Tong merasa tidak pantas kalau
tinggal diam, lagi pula ia kuatir kalau-kalau dicurigai maka iapun
meloncat sambil menyerang Giok Ciu dan membentak,
"Jangan menghina Kwi totiang!" Sebetulnya orang she Gak ini
hendak menggunakan kesempatan itu untuk menjajal ilmu pedang Giok
Ciu, tapi tidak disangka, Kwi Kai Hoatsu berkata padanya,
"Gak kongcu, jangan ikut campur. Aku masih belum perlu dibantu
untuk menghadapi dua orang anak kecil ini saja!" Demikianlah
kesombongan Kwi Kai Hoatsu hingga ia menolak bantuan orang biarpun
dirinya dikeroyok! Terpaksa Gak Bin Tong mundur kembali dan berdiri
di pinggir sambil menonton.
Majunya Sin Wan mendatangkan perubahan besar, karena biarpun
dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tidak lebih jauh dari pada Giok Ciu


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tingkatannya, namun mempunyai perbedaan gerakan yang besar sekali.
Dan kini karena dua macam ilmu pedang yang kedua-duanya hebat itu
dimainkan berbareng, maka mendatangkan serangan yang luar biasa,
tidak terduga-duga dan yang tak mungkin dihadapi oleh seorang saja!
Pendeta itu terdesak dan dengan repot memutar-mutar tongkat ular dan
kebutan yang kini telah digunakan di tangan kirina untuk menangkis
datangnya serangan yang bertubi-tubi itu. Beberapa kali hampir saja
tubuhnya terluka oleh pedang lawan dan jubah merahnya telah robek
terkena sambaran pedang Giok Ciu, maka ia menjadi terkejut, marah dan
berbareng kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi
lawan-lawan yang segini lihai dan memiliki kiam-hwat yang luar biasa.
Ia ingin menggunakan senjata-senjata rahasianya tapi merasa malu,
maka diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya untuk merobohkan
lawannya dengan sihir. Setelah tenaga batinnya terkumpul ia lalu berkata, suaranya
menggetar dan mendatangkan pengaruh menyeramkan hingga Giok Ciu
merasa bulu tengkuknya berdiri ketika tosu itu berkata,"Haa, kalian
anak-anak muda hendak melawan aku? Pasti kalah, pasti roboh.
Lihatlah, aku siapa, lihat, pandanglah dan roboh!"
Karena kata-kata itu memang aneh Giok Ciu memandang heran tapi
begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kwi Kai Hoatsu, ia
tiba-tiba merasa kepalanya pusing dan berat hingga tubuhnya menjadi
limbung! "Haaa! Pasti roboh, pasti roboh!"
Sin Wan terkejut sekali, lalu dengan tangan kiri ia memegang
lengan Giok Ciu dan menyendalkan sambil berseru keras,"Moi-moi, jangan
pandang matanya! Lekas gunakan lweekang melawan kepusingan dan atur
napasmu!" Giok Ciu memang telah hampir berada dalam pengaruh sihir pendeta
itu, tapi karena suara Sin Wan adalah suara orang yang selalu dekat di
Istana Kumala Putih 11 Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan Tokoh Tokoh Kembar 3
^