Pencarian

Kisah Sepasang Naga 1

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


KISAH SEPASANG NAGA (JI LIONG JIO CU) Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Pelukis : Yohanes & Antonius S.
Jilid I Pada suatu senja, dikala angina pengantar malam tengah sibuk
mengatur mega, memindahkan awan yang berkelompok dari barat ke timur
dan matahari telah kehilangan cahayanya dan redup-redup mengintip di
balik puncak Kam-hongsan hingga langit di barat tampak ke merahmerahan denan dasar biru laut, berdirilah seorang anak laki-laki
berusia kurang lebih sepuluh tahun di pinggir sebuah jurang. Anak itu
dengan asyiknya melamun seorang diri sambil memandang kearah awan
putih dan hitam yang berkejar-kejaran di puncak bukit-bukit dan
membentuk gambar mahluk-mahluk yang aneh dan menimbulkan kayal ke
dalam otak siapa yang memandangnya.
Anak itu berdiri di kaki pegunungan yang banyak terdapat di
dataran tinggi Yunan di mana terdapat puncak tertinggi yang
menjulang di udara seakan-akan merupakan cakar naga sedang
mencengkram awan-awan yang bergerak didekatnya. Pakaian anak itu
menunjukkan bahwa ia seorang anak petani. Memang ia baru saja pulang
menggembala dua ekor kerbau yang berkulit hitam abu-abu dan yang
kini dengan senangnya berdiri dengan kepala kebawah dan mulut
memilih-milih rumput tergemuk dan ekor mereka yang kecil bergerakgerak tiada hentinya keperut mereka untuk mengusir lalat dan nyamuk.
Baju anak itu berwarna kuning memakai sabuk biru mengikat
pinggangnya, dan di pinggang kirinya terselip sebuah suling bambu
yang berlubang lima. Anak itu tenggelam dalam samudra lamunannya hingga ia tidak
merasa betapa kedua ekor kerbaunya telah jauh meninggalkannya dan
menuju ke kampung karena kedua binatang itu agaknya telah hafal akan
jalan pulang ke kandang yang tiap hari dilaluinya itu.
Beberapa lama kemudian, dari bawah kaki bukit tampak seorang tua yang
berpakaian sebagai petani pula jalan mendaki bukit itu menuju ke
pinggir jurang dimana anak itu masih berdiri melamun. Kakek ini
usianya tidak kurang dari enampuluh tahun, tapi tubuhnya masih
tampak sehat dan wajahnya kemerah-merahan sebagaimana lajimnya wajah
seorang petani yang hidup di udara bebas dan tubuhnya tiap hari
melakukan pergerakan yang sehat. Tapi yang sangat mengherankan ialah
betapa kakek itu mendaki bukit itu. Ia berlari demikian ringan dan
cepat seakan-akan terbang saja! Ternyata orangtua itu mengunakan ilmu
lari cepat hui-heng-sut dan dari keringanan tubuhnya yang seolah-
olah burung kepinis terbang itu dapat diduga bahwa ginkangnya telah
mencapai tingkat tinggi sekali.
Melihat anak yang masih berdiri melamun dan agaknya lupa
keadaan di sekelilingnya itu, kakek tadi tersenyum lalu menghampiri
perlahan. "Sin Wan, kau sedang melamun apakah?" tanyanya halus, Anak itu
ketika mendengar suaranya kakeknya baru sadar dari lamunannya dan
menengok cepat. "Eh, Kong-kong, mana kerbau kita?"
Kakeknya tersenyum mentertawakan. "Mereka sudah pulang dan
kini bermalas-malasan di kandang. Heran, apakah yang kau pikirkan
hingga kau tidak tahu akan keadaan kerbaumu?"
Sin Wan putar tubuhnya ke arah puncak Kam-hong-san dan
menunding keatas. "Lihatkah kong, bukankah di atas puncak yang tinggi
itu terbang dua ekor naga?"
Mendengar kata-kata ini, kakek itu berubah air mukanya dan ia
datang mendekat dan ikut memandang. Lalu dengan suara bersungutsungut ia berkata. "Sin Wan, janganlah kau berkata yang bukan-bukan.
Yang kau lihat itu ialah awan hitam dan mega putih".
"Tapi, ngkong, lihatlah yang jelas, Bukankah yang panjang-panjang
itu seekor naga putih dan seekor naga hitam yang sedang mengulur
lidah dan cakar depan? Lihatlah, lihatlah, mereka bergerak-gerak.
Ngkong, mereka sedang terbang!"
"Anak bodoh! Yang putih itu adalah mega dan yang hitam awan.
Karena tertiup angin maka awan-awan itu membentuk gambar yang anehaneh. Sebentar lagi gambar-gambar itu akan lenyap pula. Lihatlah,
awan hitam telah mulai buyar."
Tapi Sin Wan yang mempunyai daya khayal besar segera bersorak.
"Ngkong, mereka bertempur! Nah, naga hitamnya yang kalah dan ia
sekarang buyar, hancur digigit naga putih!"
Kakek pegang lengan cucunya. "Sudahlah, Sin Wan, mari kita
pulang. Ibumu menanti-nantimu dengan tak sabar."
"Ngkong, biarlah aku nonton perkelahian naga putih dan naga
hitam dulu", anak itu memohon.
"Sudah malam dan sebentar lagi gelap. Nanti saja kuceritakan
tentang naga putih dan hitam yang dulu tinggal di puncak bukit itu,
Sin Wan" Sin Wan pandang kakeknya dengan heran dan tertarik. "Betulkah,
ngkong? Mereka tinggal di puncak gunung itu?" Ia menuding ke arah
puncak Kam-hong-san yang kini agak tertutup gelap awan yang tak
dapat melewati puncaknya yang tinggi.
"Sudahlah, nanti di rumah saja aku mendongeng. Maka Sin Wan
tidak membantah lagi. Keduanya lalu turun dari lereng itu.
"Sin Wan, hayo gunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini
kuajarkan kepadamu."
Sin Wan tersenyum girang karena di dekat kakeknya ia tak usah
takut tergelincir atau jatuh. Maka keduanya lalu lari secepat angin
menuruni lereng yang banyak jurangnyaitu. Jurang-jurang kecil
diloncati begitu saja oleh Sin Wan dan kakeknya dan jika melintasi
jurang yang besar lagi curam maka kakeknya pegang lengan Sin Wan dan
bawa cucunya itu meloncat! Sebentar saja mereka sudah tiba di sebuah
kampung kecil yang hanya terdapat beberapa belas rumah sederhana. Di
sekitar kampung itu adalah sawah-sawah sumber hasil dan makan orangorang kampung itu yang hidup secara sederhana sekali.
Ketika melangkah ambang pintu, seorang wanita cantik dan
berwajah muram dan sedih menyambut mereka. Dengan kata-kata halus ia
tegur Sin Wan yang disebut tidak tahu waktu.
"Kau hanya membikin kami orang orang tua berkhawatir saja.
Kalau hendak pergi bermain, pulanglah dulu agar kami tahu ke mana
saja kau pergi!" Ibu itu menegur dan Sin Wan lalu menghampiri ibunya.
"Ibu maafkan aku. Aku tadi nonton perkelahian naga putih dan
naga hitam hingga lupa waktu. Biarlah lain kali aku tidak akan ulangi
lagi ibu, jangan marah padaku, ya?" Dengan sikap manja ia pegang
tangan ibunya dan gesek-gesek tangan yang halus itu kepipinya dengan
penuh kasih sayang. Nyonya muda yang cantik itu tiba-tiba merasa terharu dan sedapat
mungkin ia tahan keluarnya air mata dari kedua matanya hingga
matanya menjadi merah dan bibirnya gemetar. Ia hanya bisa dekap
kepala puteranya dan ciumi kepala itu.
Siapakah nyonya muda cantik jelita yang berwajah sedih itu? Dan
siapa pula kakek yang lihai itu?
Kakek itu bukan lain ialah seorang pendekar luar biasa yang
pernah menjagoi di Kang-lam dan bernama Bun Gwat Kong, digelari
orang Kang-lam Cui hiap atau Pendekar-arak dari Kang-lam. Gelaran
ini menunjukkan bahwa ia doyan sekali minum arak. Hal ini memang
betul, karena bukan saja ia doyan sekali minum arak, bahkan dengan
lweekangnya yang tinggi ia dapat gunakan itu sebagai senjata yang
ampuh. Dengan semburkan arak dari mulutnya, ia sanggup menjatuhkan
lawan yang lihai. Kang-lam Cuihiap mempunyai seorang anak perempuan tunggal,
yakni ibu Sin Wan atau nyonya muda yang berwajah muram itu.
Puterinya itu dijodohkan dengan seorang pembesar yang bijaksana
di kota Kang-lam. Perjodohan puterinya cukup mendatangkan bahagia
sampai terlahir Sin Wan. Tapi kemudian datanglah malapetaka, ayah Sin
Wan sebagai seorang pembesar yang jujur dan adil, sangat dimusuhi oleh
rekan-rekannya yang curang dan korup. Maka ia kena fitnah dan
mendapat hukuman mati yang diperintahkan oleh raja yang dapat
disebut buta karena mabok di bawah pengaruh para durna dan selirnya
yang jahat. Untung sebelum sekeluarga terbasmi habis, datang Kang-lam
Ciuhiap yang cepat menyelamatkan puterinya dan telah menjadi janda
dan cucunya, yakni Sin Wan. Setelah selamatkan anak cucunya, Kang-lam
Ciuhiap lalu mengamuk dan membasmi para musuh mantunya yang telah
memfitnah anak mantunya hingga menjadikannya matinya itu. Setelah
itu, barulah ia merasa puas dan melarikan diri dengan anak cucunya ke
sebuah kampung kecil di kaki gunung Kam-hong-san itu.
Semenjak ditinggal mati suaminya yang tercinta, ibu Sin Wan
seakan-akan hidup tanpa semangat. Nyonya muda ini tiada hentinya
bersedih dan menangis jika teringat akan kematian suaminya dalam cara
yang sangat menyedihkan itu.
Karena itu, ia sering jatuh sakit dan mempunyai semacam penyakit,
yakni terganggu jantungnya dan kadang-kadang ia batuk-batuk dan
keluar darah dari mulutnya!
Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu didik cucunya dalam ilmu
silat yang tinggi karena ia hendak turunkan seluruh kepandaiannya
kepada cucunya yang tunggal itu, sedangkan Sin Wan oleh ibunya
dididik dalam hal ilmu surat.
Demikianlah maka selama lima tahun atau enam tahun mereka
tinggal dengan aman di kampung kecil di kaki Kam-hong-san itu. Atas
kehendak ibunya, Sin Wan menggunakan she ibunya, yakni she Bun
hingga ia disebut Bun Sin Wan, sedangkan sebenarnya ayahnya dari
keluarga Liu. Setelah makan malam, makan Sin Wan ingat akan janji kakeknya,
maka ia segera datangi kakeknya itu di dalam kamarnya dan berkata.
"Ngkong, hayo ceritakanlah padaku tentang naga itu."
"Sin Wan, kau harus menghafal pelajaranmu yang kuberikan
kemarin malam." Ibunya menegur ketika mendengar suara anaknya di kamar ayahnya.
"Biarlah aku besok bangun pagi-pagi sekali dan menghafal
pelajaran membaca itu, ibu. Kong-kong tadi sudah berjanji hendak
mendongeng tentang naga putih dan naga hitam."
Akhirnya kakek dan ibunya mengalah dan mulailah Bun Gwat Kong
mendongeng. Dongeng itu demikian menarik, hingga ibu Sin Wan dibalik
bilik juga ikut mendengarkan dengan asik. Demikianlah dongeng itu.
* * * Ratusan, atau mungkin ribuan tahun yang lalu, di puncak gunung
Kam-hong-san yang tinggi sekali, lebih tinggi dari keadaannya
sekarang karena semenjak itu telah ratusan kali puncak itu gugur dan
longsor, terdapat dua ekor nagasakti yang besar sekali. Dua ekor naga
itu sedang bertapa dan telah bertahun-tahun tidak bergerak dari gua
Pertapaan masing-masing dalam memohon kepada yang Maha Kuasa untuk
mengangkat mereka menjadi dewa.
Dua ekor nagasakti itu seekor betina dan bersisik hitam mulus,
sedangkan yang kedua adalah seekor naga jantan yang bersisik warna
putih bersih. Mereka bertapa dalam gua masing-masing yang berjajar,
melingkar merupakan bukit kecil dalam gua yang besar itu dan
tumpangkan kepala di atas lingkaran tubuh.
Telah puluhan tahun mereka bertapa, tanpa mengisi perut, hanya
beberapa tahun sekali mereka keluar dari gua untuk minum air telaga
sebuah yang terdapat di puncak gunung itu. Mereka bercakap-cakap
sebentar untuk bertukar pendapat, kemudian masuk ke dalam gua pula
untuk melanjutkan pertapaan mereka.
Di pegunungan yang banyak puncaknya itu, terdapat sebuah puncak
bukit kecil dan disitu terdapat lain gua pertapaan. Tapi yang bertapa
disitu seorang manusia, seorang pertapa laki-laki yang gagah lagi
sakti. Diapaun bertapa disitu menyucikan diri dan bermohon menjadi
dewa. Pada suatu hari, ketika seluruh puncak bukit-bukit di situ
diliputi halimun putih tebal, pertapa itu keluar dari gua untuk pergi
ke dalam hutan dan memetik buah yang dapat dimakan. Tapi ketika ia
sedang berjalan perlahan menuruni puncak, tiba-tiba ia melihat dua
batang sinar memancar dari puncak Kam-hong-san. Ia terkejut sekali
karena sinar itu cahayanya keemas-emasan dan tahulah ia bahwa dua
ekor naga-sakti yang bertapa disitu telah mendekati kesempurnaan dan
boleh dibilang telah berhasil baik dalam pertapaan mereka!
Mungkin telah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, karena pada saat
yang kebetulan sekali itu, pertapa itu kena asap hawa-hawa kotor yang
keluar dari dunia ramai dan berkumpul diatas puncak, terbawa awan dan
mega. Maka tiba-tiba saja timbullah iri hati dan kecewa dalam kepala
dan hatinya. Ia merasa malu sekali mengapa ia seorang manusia sampai
kalah oleh dua ekor naga itu. Buktinya, sedangkan ia sendiri belum
berhasil apa-apa dalam pertapaannya, adalah dua ekor naga itu telah
sampai di dekat pantai cita!
Rasa iri dan dengki mengamuk hebat di dadanya hingga ia menyerah
terhadap godaan ini. Ia gunakan kesaktiannya untuk terbang melayang
kepuncak Kam-hong-san. Benar saja, dua cahaya terang itu mencorot
keluar dari dua buah gua yang berdampingan. Timbullah marahnya dan
ia membentak marah ke arah dua gua itu.
"Hai, siluman naga yang rendah! Kalian telah mengotorkan puncak
bukit ini. Pergilah kalian sebelum pinto mewakili Thian menghukum
kalian!" Kedua naga mendengar bentakan nyaring dan keras ini menjadi
heran dan keluarlah mereka dari gua masing-masing. Naga jantan yang
bersisik putih segera menegur pertapa itu.
"Engkau seorang manusia pertapa mengapa ganggu kami? Apakah
salah kami? Maka kau bersikap seperti ini?"
"Eh, siluman jahat kau masih berpura-pura! Tak tahukah kau bahwa
aku telah bertahun-tahun bertapa di puncak gunung ini? Kalian yang
berhawa siluman sekarang mengotorkan tempat ini hingga mengganggu
sekali pertapaanku. Hayo kalian pergi sekarang juga, kalau tidak
terpaksa pinto bersihkan tempat ini dan membunuh kalian."
Naga betina yang bersisik hitam mulus menjadi gemas dan berkata
kepada naga putih. "Saudaraku Pek Liong (naga putih), kakek ini begini
sombong. Biarlah kucoba kesaktiannya!"
Maka bertempurlah pertapa itu melawan naga hitam. Mereka
berkelahi dengan seru, saling mengeluarkan kesaktian hingga mereka
dari atas tanah terbang ke atas mega-mega dan bertempur diantara awan
hitam. Kilat menyambar-nyambar dan berhari-hari mereka bertempur
tiada hentinya. Melihat kesaktian pertapa itu, naga putih tidak sabar
lagi. Ia melayang dan terjang pertapa itu, menggantikan naga hitam.
Maka kalahlah pertapa itu dan ia kena ditiup pergi oleh naga putih.
Karena sakit hati, pertapa itu menaruh dendam. Ia mencari daya
untuk membalas, tapi apa daya? Sepasang naga itu terlampau sakti dan
kuat baginya. Tapi dasar ia manusia dan memiliki otak manusia yang penuh tipu
daya dan muslihat, akhirnya ia mendapat akal juga. Ia tahu bahwa pada
musim kemarau dan hawa sangat panasnya, kedua naga itu akan keluar
gua dan minum air telaga diatas gunung itu. Maka ia menjaga dengan
sabar di dekat telaga sambil mempersiapkan semacam ramuan obat
beracun. Benar saja, ketika musim sedang panas-panasnya, kedua naga itu
keluar dari guha mereka dan dengan berbareng sambil bercakap-cakap
mereka menuju ketelaga dengan gembira. Keduanya merasa gembira dan
puas karena pertapaan mereka sudah mendekati hasil baik. Mereka tidak
tahu sama sekali bahwa petapa itu dengan cepatnya melempar ramuan
obat yang mempunyai pengaruh luar biasa ke dalam air yang hendak
mereka minum. Tanpa ragu-ragu sedikitpun mereka minum dengan segar dan
nikmatnya. Kemudian mereka kembali ke puncak gunung. Si pertapa yang
tadinya bersembunyi melihat betapa ke dua naga itu benar-benar telah
minum air yang telah dicampurnya dengan racun hebat, menjadi girang
sekali dan menanti-nanti hasil perbuatannya yang curang.


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata pengaruh racun itu mujijat sekali. Kalau hanya racun
atau bisa yang berbahaya dan dapat menghanguskan isi perut saja, tak
mungkin dapat mempengaruhi dan mencelakakan ke dua naga sakti itu.
Tapi racun atau obat yang dilepas oleh pertapa itu adalah racun yang
langsung merangsang perasaan dan melemahkan iman, lalu membangkitkan
nafsu-nafsu keduniaan yang telah lama dapat ditekan dan dipadamkan
oleh kedua naga itu. Kini obat itu menjalar dan bekerja dengan hebat.
Nafsu-nafsu yang telah padam dan terpandam di dasar hati kedua naga
sakti itu kini mulai bernyala kembali dan timbul menguasai seluruh
hati dan pikirannya. Maka mulai merahlah kulit muka mereka dan mulai
suramlah cahaya mata mereka dan mulai suramlah cahaya meling pandang
dan timbullah hati suka dan tertarik kepada masing-masing dan lupalah
mereka bahwa pantangan terbesar bagi pertapaan mereka ialah
menurutkan napsu hati. Kesadaran mereka kini dikuasai hati, hati
dikuasai pikiran dan pikiran dikuasai pancaindera mereka. Maka di
bawah pengaruh ramuan obat mujijat itu, kedua naga sakti mulai
bercumbu dan melupakan segala!
Ternyata obat itu tidak bertahan lama mempengaruhi kedua naga
yang sebenarnya telah mempunyai batin yang teguh dan kuat itu.
Beberapa hati kemudian, lenyaplah pengaruh obat itu dan keduanya
kembali sadar kembali dari kekhilapan. Alangkah menyesal dan malunya
hati mereka. Kedua perasaan ini lalu bersatu dan berubah menjadi perasaan
marah yang hebat. Mereka dapat menduga bahwa keadaan mereka yang
tidak sewajarnya dan bagaikan mabok itu tentu terkena pengaruh obat
mujijat. Maka dengan penuh kemarahan dan dendam, mereka berdua turun
gunung dan mencari pertapa itu. Si pertapa yang ketahui pula akan hal
ini, segera melarikan diri dari gunung ke gunung. Tapi sepasang naga
itu tidak mau melepaskannya, dan tiada hentinya mengejar. Hati mereka
terlampau menyesal dan sedih hingga kini hanya satu tujuan mereka,
yakni membalas dendam! Akhirnya di puncak sebuah gunung di
pegunungan Thai-san, kedua naga dapat menangkap pertapa denga hati
gemas mereka lalu membunuhnya dan menghancurkan tubuhnya.
Namun mereka masih merasa penasaran karena hasil pertapaan yang
puluhan tahun lamanya itu lenyap dan membuat hati mereka berduka.
Mereka lalu bertapa kembali, tapi para dewa yang melihat pelanggaran
yang mereka lakukan, lalu memberi hukuman kepada mereka. Hukuman itu
ialah bahwa mereka harus ke alam ramai dan memberi pertolongan
kepada manusia untuk tebus dosa mereka. Sepasang naga-sakti itu lalu
mengubah diri menjadi sepasang pedang mustika, naga jantan bersisik
putih berubah menjadi sebatang pedang warna putih dan naga betina
bersisik hitam berubah menjadi sebatang pedang berwarna hitam!
Karena masih diliputi hawa nafsu mereka ketika mengubah diri
menjadi pedang, maka kedua pedang itu masih penuh mengandung hawa Im
dan Yang, yaitu hawa positip dan negatif! Pedang putih dan pedang
hitam lalu turun ke alam ramai dan keduanya berjuang melalui tangan
orang-orang gagah untuk membasmi semua keturunan pertapa yang jahat,
yakni manusia-manusia yang hanya mengotorkan dunia dengan perbuatan
mereka yang sewenang-wenang dan menindas sesama manusia!
"Demikianlah dongeng itu, Sin Wan, dan sampai sekarangpun orangorang jahat, betapapun pandai dia itu pasti mereka takkan terluput
dari hukuman. Maka kau yang mempelajari ilmu silat dariku, kelak
harus mencontoh perjuangan suci dari sepasang naga-sakti itu untuk
membela keadilan kebenaran serta membasmi segala kejahatan". Kang-lam
Ciuhiap Bun Gwat Kong akhiri ceritanya yang sangat menarik hati Sin
Wan, hingga anak itu seakan-akan lupa akan segala dan melihat sendiri
kedua naga dalam dongeng itu di depan mata khayalnya.
"Kalau begitu, bayang-bayang naga yang kulihat tadi adalah Pek
Liong dan Ouw Liong yang sakti itu, ngkong?"
"Aah, yang kuceritakan hanya dongeng, Sin Wan, dan telah terjadi
ribuan tahun yang lalu. Mana ada liong betul-betul di jaman ini?" kata
engkongnya sambil usap-usap jenggotnya yang putih.
"Sin Wan telah jauh malam, hayo kau tidur!" terdengar suara ibu
Sin Wan memerintah anaknya. Sin Wan bersungut-sungut, tapi ia tidak
berani membantah kehendak ibunya, dan engkongnya berkata dengan
tertawa. "Benar kata ibumu, Sin Wan. Tidak baik bagi anak-anak tidur
terlampau malam. Kau tentu masih ingat kata-kata orang dahulu bahwa
tidur tak terlambat bangun pagi-pagi, tubuh sehat banyak rejeki!"
Sin Wan tertawa pula lalu ia masuk ke biliknya di mana hanya
terdapat sebuah dipan bambu sederhana. Seperti biasa menurut ajaran
kakeknya sebelum tidur ia bersamadhi membersihkan napas.
Sin Wan adalah seorang anak yang rajin sekali, dan otaknya
sangat cerdik. Baik dalam pelajaran silat yang diturunkan oleh Kanglam Ciuhiap Bun Gwat Kong kepadanya, maupun dalam pelajaran menulis
yang diajakankan ibunya, ia sangat maju dan tekun belajar hingga
dalam usia sepuluh tahun saja ia telah memiliki kepandaian gin-kang
dan lwee kang yang cukup mengagumkan serta telah menguasai dasardasar ilmu silat tinggi, juga dalam hal membaca dan menulis ia telah
dapat melampai pengetahuan kakeknya.
Semenjak mendengar dongeng tentang sepasang naga sakti yang
diceritakan kakeknya itu, Sin Wan seringkali duduk termenung di
lereng gunung terendah sambil memandang ke arah puncak Kam-hong-san
dengan tertarik. Ia suka sekali memandang awan-awan yang bergerakgerak dan membentuk lukisan binatang aneh. Ia suka mengkhayalkan
betapa di antara awan-awan hitam itu tampak terbang melayang dua
ekor naga hitam dan putih saling berkejaran memperebutkan mustika,
yaitu matahari yang hampir tenggelam dan berwarna merah keemasan!
Seringkali Sin Wan memikirkan dengan hati tertarik sekali di mana
gerangan sepasang naga itu. Kalau saja ia bisa memiliki pedang itu,
alangkah senangnya! Tidak jarang kakeknya menyusul ketempat itu
karena Sin Wan sering pulang terlambat hingga didahului kerbaunya
yang pulang lebih dulu. Selain duduk melamun dan mengkhayal, Sin Wan juga senang sekali
meniup suling bambunya. Ia memang mempunyai bakat akan seni suara,
hingga tiupan sulingnya terdengar merdu sekali dan ia dapat
memainkan beberapa lagu yang digubahnya sendiri. Bahkan seringkali
ibunya diam-diam mengalirkan airmata karena terharu mendengar suara
suling puteranya di tengah malam, membikin nyonya muda itu teringat
akan suaminya yang juga pandai meniup suling! Juga Kang-lam Ciuhiap,
seorang pendekar tua yang telah banyak mengalami pertempuranpertempuran hebat dan hatinya menjadi keras, jika mendengar tiupan
suling cucunya, diam-diam ia bengong dan terpesona. Seakan-akan
dirinya dibawa terbang melayang-layang oleh suara suling yang
mengalun itu, dibawa terbang kedunia halus dan suci!
Beberapa kali Sin Wan nyatakan keinginannya kepada kakeknya
untuk naik mendaki puncak Kam-hong-san tapi selalu Kang-lam Ciuhiap
mencegahnya dan bilang bahwa di atas Kam-hong-san banyak terdapat
hutan-hutan lebat yang penuh dengan binatang buas dan keadaannya
berbahaya sekali. "Sin Wan, ketahuilah. Beberapa tahun yang lalu aku sendiri pernah
naik ke puncak itu," kata kakeknya sambil menunjuk ke arah puncak
gunung yang dikelilingi awan putih itu, "aku tidak takut segala
binatang buas, tapi aku sungguh-sungguh ngeri melihat jurang-jurang
yang curam sekali dan dataran dataran palsu."
"Apakah dataran palsu itu engkong?" tanya Sin Wan heran.
"Tampaknya seperti tanah datar yang ditumbuhi rumput-rumput
hijau segar dan gemuk, tapi kalau kau kurang hati-hati dan
menginjaknya, maka kakimu akan terjeblos dan tubuhmu akan tenggelam
dalam tanah lumpur yang berbahaya sekali karena sekali tubuh kita
diisap olehnya sukarlah kita dapat melepaskan diri dari bahaya maut."
Tapi Sin Wan adalah seorang anak yang semenjak kecilnya
mengalami banyak kesukaran ketika ia dengan ibunya dibawa mengungsi
oleh kakeknya hingga hidup secara sederhana dan sengsara di tempat
sunyi, maka hatinya tabah sekali. Mendengar cerita kakeknya ini, ia
tidak merasa takut atau ngeri, bahkan timbul keinginan yang besar
dalam hatinya untuk melihat dengan mata sendiri semua keanehan itu!
Sebetulnya Kang-lam Ciuhiap tidak berkata bohong. Memang beberapa
tahun yang lalu pernah ia naik ke Kam-hong-san untuk mencari tempat
yang lebih enak, tapi ia hanya ketemukan tempat-tempat berbahaya,
maka ia turun kembali. Ia hanya membohong ketika ia berkata bahwa
hatinya merasa ngeri melihat keadaan-keadaan berbahaya itu. Seorang
dengan kepandaian setinggi dia tak perlu merasa ngeri dan takut hanya
menghadapi bahaya seperti itu saja. Memang kakeknya itu sengaja
membohong untuk membikin cucunya merasa jeri dan batalkan
keinginannya mendaki bukit tinggi itu. Ia sama sekali tidak sangka
bahwa cerita yang seram-seram itu bahkan menjadi pendorong bagi Sin
Wan untuk melaksanakan keinginan hatinya!
Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Wan tinggalkan
rumahnya dan pergi naik ke gunung Kam-hong-san yang mengandung
penuh rahasia-rahasia ganjil dan menarik baginya itu. Tadinya ibu dan
kakeknya tidak menyangka akan hal ini. Memang biasanya Sin Wan
bangun pagi-pagi sekali dan anak itu tentu berlatih silat di
pekarangan belakang atau berlatih ginkang sambil meloncati anak
sungai berkali-kali seperti yang diajarkan kakeknya, karena menurut
kakeknya, berlatih silat di waktu hari masih pagi sekali adalah sangat
bermanfaat bagi kesehatan dan baik sekali bagi kemajuan
kepandaiannya. Sin Wan tak pernah abaikan petunjuk ini. Karena
itulah, maka pagi hari itu, ibu dan kakeknya tidak menyangka sedikit
juga bahwa anak yang mereka sayang itu telah pergi mendaki gunung
yang berbahaya itu. Setelah matahari naik tinggi, barulah hati ibu Sin Wan merasa
heran karena anaknya belum juga pulang.
"Ayah," katanya kepada Kang-lam Ciuhiap yang sepagi itu telah
minum arak buatannya sendiri, "mengapa Sin Wan belum juga pulang?
Bukankah pagi ini ia harus bantu meluku sawah dengan kerbaunya?"
"Anakku, kuharap kau jangan terlampau keras kepada Sin Wan. Anak
itu cukup rajin dan ia perlu hiburan. Biarkanlah ia bermain sebentar
lagi, nanti ia tentu datang."
Nyonya muda itu hanya menghela napas, ia tahu bahwa ayahnya
sangat sayang kepada cucunya itu hingga agak memanjakan. Ia khawatir
sekali kalau Sin Wan kelak meniru kebiasaan ayahnya yang hanya minum
arak saja kerjanya itu! Menurut keinginannya, ia akan suka sekali
melihat puteranya menjadi seorang terpelajar, seorang ahli surat dan
memangku jabatan tinggi seperti ayahnya. Tapi hatinya makin sedih
melihat betapa Sin Wan, biarpun tekun mempelajari ilmu surat, namun
agaknya lebih menyukai ilmu silat. Pernah ia mengemukakan suara
hatinya ini kepada ayahnya, tapi Kang-lam Ciuhiap berkata dengan
sungguh-sungguh kepada anak perempuannya itu.
"Kau agaknya tidak ingat bahwa karena tidak pandai ilmu silat
tinggi maka suamimu sampai mengalami fitnahan dan hukuman mati. Masa
sekarang banyak orang jahat yang tak mungkin dilawan dengan
menggunakan coretan pit dan tinta hitam belaka. Gantilah pit dengan
pedang tajam, maka kau akan dapat menjaga dirimu lebih baik daripada
gangguan orang jahat. Aku ingin sekali melihat cucuku itu menjadi
seorang hohan yang gagah perkasa dan membasmi para manusia-manusia
rendah yang suka ganggu orang lain!" Mendengar ucapan yang
bersemangat dari ayahnya, nyonya muda itupun di dalam hati
membenarkan, maka ia tidak mau ganggu lagi kesukaan Sin Wan belajar
silat. Tapi tetap ia merasa kurang puas melihat betapa kakek itu
memanjakan Sin Wan. Setelah hari hampir siang, maka ibu yang mencinta anaknya ini
makin gelisah bahwa Kang-lam Ciuhiap yang biasanya tenang, nampak
heran dan curiga. Ia lalu tunda guci araknya dan pergi mencari Sin
Wan. Ketika di mana-mana tak dapat menemukan anak itu, Kang-lam
Ciuhiap Bun Gwat Kong menjadi gelisah juga dan ia berdiri di tebing
jurang sambil layangkan pandangannya ke arah gunung. Timbul
dugaannya bahwa cucunya itu tentu telah nekad dan mendaki Kam-hongsan. Ia maklum akan ketabahan dan kekerasan hati cucunya yang
pantang mundur menghadapi apapun untuk melaksanakan cita-citanya.
Dengan hati mulai cemas ia lalu gunakan kepandaiannya mendaki gunung
yang sukar di lalui itu. Ketika pagi hari itu Sin Wan tinggalkan rumahnya menuju ke
gunung yang menarik hatinya, ia merasa gembira sekali dan dadanya
berdebar karena tertarik oleh pengalaman-pengalaman dasyat yang ia
harapkan akan ditemukan di puncak gunung.
Mula-mula perjalan mendaki gunung itu tidak sesukar yang
diceritakan kakeknya. Hutan-hutan kecil yang dilaluinya bahkan indah
menarik, penuh dengan burung-burung yang berkicau merdu dan indah
warna bulunya. Beberapa ekor monyet hitam berlari cepat dan
bergantungan di puncak pohon karena takut melihat Sin Wan. Anak itu
merasa gembira sekali dan ia geli melihat betapa monyet kecil
bergelantungan di dada induknya sambil perdengarkan suara cecowetan
lucu. Karena jalan masih mudah dilalui bahwan penuh pemandangan
indah, Sin Wan lari cepat seenaknya saja, terus mendaki sebuah lereng
yang hijau penuh rumput. Di pundaknya tergantung seutas tali yang
kuat dan besi pengait, karena dari engkongnya ia pernah diberitahu
bahwa untuk mendaki gunung yang tinggi perlu membawa tambang dan
besi seperti itu. Karena maksudnya mendaki puncak Kam-hong-san telah
lama terkandung dalam hatinya, maka Sin Wan telah siapkan segalanya.
Bahkan tidak lupa ia membawa roti kering di dalam kantongnya!
Ketika ia sedang berlari terus naik makin tinggi, tiba-tiba ia
melihat bayangan seorang anak perempuan berlari cepat dari balik
lereng dan dengan sigapnya anak perempuan itu berloncat-loncatan
menuju keatas! Sin Wan merasa heran sekali dan ia segera gunakan
kepandaiannya mengejar, tapi biarpun ia lari secepatnya, ternyata ia
tidak mampu mengejar anak perempuan itu! Anak perempuan itu agaknya
melihat Sin Wan dan sengaja mempermainkannya, karena ia sering
menengok sambil tertawa, lalu loncat dan lari pula ke atas makin
tcepat, Sin Wan merasa penasaran sekali. Masak ia harus kalah oleh
seorang perempuan yang tidak lebih besar darinya? Ia kerahkan
ginkangnya dan mengejar makin cepat pula.
Dalam kejar-mengejar ini, mereka naik makin tinggi dan jalan juga
tidak semudah tadi. Kini jalan mereka banyak terhalang jurang-jurang
yang curam dan batu-batu cadas dan karang yang tinggi bagaikan
menara. Tapi gadis cilik itu agaknya telah hafal akan jalan disitu,
karena ia dapat memilih jalan dengan cepat. Sin Wan tidak mau
mengalah dan mengikuti jejaknya. Ia bertekad takkan berhenti mengejar
sebelum dapat menyandak anak perempuan itu.
Tiba-tiba di tempat yang tinggi sekali, anak perempuan itu
berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sin Wan
sambil tertawa menghina. Sin Wan juga berusaha naik secepatnya, tapi
ia telah merasa lelah sekali. Ketika ia tiba di hadapan gadis cilik itu,
ia memandangnya dengan penasaran dan mendongkol. Gadis cilik itu
berpakaian warna biru, dan senyumnya manis sekali. Dua titik lesung
pipit menghias kanan kiri bibirnya yang kecil merah, dan rambutnya
yang hitam panjang itu diiikat merupakan jambul diatas kepala sebelah
kanan dan kiri, lalu terurai kebelakang. Wajahnya tampak berseri dan
kemerah-merahan, agaknya iapun lelah juga. Dengan mendongkol, mau
tidak mau Sin Wan harus mengaku bahwa ilmu meringankan tubuh anak
perempuan itu masih menang sedikit darinya!
"Hei, kenapa kau kejar-kejar aku?" tegur gadis cilik itu dengan
suara yang nyaring dan tinggi.
"Kenapa kau belari-lari seperti maling kesiangan?" Sin Wan balas
bertanya. Gadis cilik itu tertawa geli mendengar pertanyaan Sin Wan, suara
ketawanya merdu dan bebas, dan Sin Wan melihat dua baris gigi yang
kecil rata dan mengkilap putih hingga wajah anak perempuan itu
tampak makin manis. "Kau tidak kuat mengejarku mengapa memaksa? Ah, kasihan kakimu
tentu lelah sekali." Gadis itu menyindir.
Merahlah wajah Sin Wan, ia angkat dadanya dan memandang marah.
"Kau kira aku tak dapat mengejarmu? Ke mana saja kau lari, aku
pasti dapat mengejarmu!"
"Betulkah? Kau lihat jurang ini, dapatkah kau meloncatinya?"


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Wan memandang ke depan, ternyata disitu terdapat sebuah
jurang yang selain curam juga lebar sekali, tidak kurang dari
limabelas tombak. Bagaimana ia bisa loncat sejauh itu? Engkongnya yang
terkenal ahli dalam kepandaian loncat jauh, belum tentu dapat loncati
jurang selebar ini. Tapi dia tidak percaya bahwa gadis itu dapat
meloncati jurang itu, maka iapun angkat dada dan menantang.
"Jurang sebegini saja apa susahnya untuk diloncati? Aku katakan
tadi, kemanapun kau pergi, aku tentu dapat mengejarmu. Biarpun kau
akan loncat melalui jurang ini, aku pasti dapat mengejar".
Gadis itu memandangnya tak percaya. "Benarkah? Coba kita
buktikan!" Kemudian dengan lincah dan ringan sekali gadis itu loncat
ke atas karang di belakang mereka. Karang ini menjulang tinggi dan di
dekat situ terdapat beberapa batang pohon semacam liu, tapi batangnya
lebih kecil dan tinggi. Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon itu, dengan kedua
tangan, dengan kedua tangan pegang puncak pohon dan menariknya
kebawah dengan tenaga yang mengagumkan. Kemudian ia berseru kepada
Sin Wan yang melihat semua itu dengan heran.
"Nah, kau lihatlah. Aku hendak menyebrang!" Dengan kata-kata ini,
gadis itu lalu lepaskan tenaganya hingga punak pohon terayun keras
karena batang pohon itu memang kuat dan ulat serta mempunyai sifat
keras seperti baja. Karena ayunan batang pohon itu keras sekali, maka
tubuh gadis itupun terayun dan dengan ambil waktu dan saat yang tepat
sekali gadis itu lepaskan pegangannya hingga dilontarkan keudara oleh
ayunan itu. Ia atur gerakan dan tenaga ayunan itu dengan
berjumpalitan hingga sebentar saja ia telah berada di seberang jurang,
turun dengan gerakan alap-alap menyambar kelinci indah.
"Dapatkah kau loncat kesini?" tantangnya kepada Sin Wan sambil
tersenyum. Sin Wan kagum sekali melihat akal dan gerakan gadis yang cerdik
itu hingga tanpa terasa ia berseru. "Bagus!"
Ketika mendengar tantangan itu, ia putar otak mencari akal.
Untuk meloncat begitu saja, pasti ia tidak akan berhasil dan tentu ia
akan terjatuh ke dalam jurang dan tubuhnya kan hancur. Untuk meniru
akal dan gerakan itu ia masih sanggup, tapi ia tidak sudi lakukan
karena ia tidak mau ditertawakan nanti oleh gadis itu. Ia lalu
teringat akan tambang dan besi pengaitnya. Tapi tambang itu belum
tentu ada sepuluh tombak panjangnya. Tiba-tiba ketika memandang ke
atas dan melihat batu karang yang tinggi menjulang di dekatnya itu, ia
mendapat akal. "Tunggulah, sebentar aku akan mengejarmu!" teriaknya. Seperti
gadis tadi, iapun loncat ke atas dengan dan cekatan sekali ia lempar
besi kaitan itu ke atas hingga dengan tepat besi itu mengait pada
pinggir karang yang kuat di puncak. Setelah menarik-narik tambang
dan mendapat kepastian bahwa tali dan besi pengait itu sudah kuatkuat mengait batu karang diatas, ia lalu bawa ujung tali ke puncak
karang lain, kemudian sambil berseru. "Awas, aku mengejarmu!" Ia loncat
dari atas puncak karang itu dan tubuhnya terayun sambil pegang ujung
tambang. Betul saja, tambang itu tidak cukup panjang untuk mencapai
seberang jurang. Melihat hal ini gadis cilik itu terkejut dan
berkhawatir sekali hingga ia menjerit. Tapi Sin Wan yang sudah tahu
bahwa tambangnya takkan dapat sampai ke seberang dan sudah siap sedia
untuk menghadapi hal ini, gunakan saat tenaga ayunan tambang belum
habis lalu loncat keras menuju ke seberang. Dengan beberapa kali
jungkir balik, ia berhasil juga turn di sebelah gadis itu yang
memandangnya dengan mata terbelalak dan kagum.
"Kau hebat!" katanya memuji sambil tersenyum dan mendengar pujian
serta melihat senyuman ini, kemarahan hati Sin Wan lenyap seketika. Ia
memang bukan orang pemarah, dan tadi ia juga tidak marah, hanya
mendongkol dan penasaran.
"Kau juga lihai," ia balas memuji
"Tapi kurasa kau tidak akan dapat menangkan ilmu silatku", gadis
itu berkata lagi. Timbul pulalah rasa penasaran Sin Wan yang tadinya sudah
tenggelam dan lenyap. Ia tadinya pandang tambang yang terayun-ayun
karena dilepaskan tadi dengan agak kecewa dan sayang, tapi kini ia
menengok dan pandang gadis itu dengan tajam. Ia sudah lupa sama sekali
akan kekecewaannya karena kehilangan tambang itu.
"Apa katamu? Kau dapat menangkap aku dalam ilmu silat? Hayo, kau
cobalah!" tantangnya sambil gulung lengan bajunya.
Gadis itu tersenyum menggoda. "Awas ya, kalau terpukul olehku
jangan kau menangis!" Dan ia lalu maju menyerang dengan cepat ke arah
dada Sin Wan. Pemuda ini berkelit cepat dan hatinya terkesiap juga
melihat betapa gadis cilik itu datang-datang menyerang dengan gerakan
dari cabang Kun-lun yang berbahaya! Ia lalu balas menyerang danuntuk
menebus kekalahannya dalam balap lari tadi. Sin Wan keluarkan semua
ilmu pukulan yang ia pelajari dari Kang-lam Ciuhiap! Biarpun gadis
itu memiliki dasar-dasar ilmu sila Kunlun yang cukup lihai, namun ia
tidak tahan juga menghadapi serbuan Sin Wan yang mempunyai pukulan
aneh dan cepat juga. Terhadap Sin Wan ia kalah tenaga hingga ke dua
lengannya yang digunakan untuk menangkis sudah merasa sakit!
Akhirnya gadis itu lalu balikkan tubuh dan lari! Entah bagaimana,
tiba-tiba timbul nafsu dalam hati Sin Wan untuk menjatuhkan gadis itu
dan memaksa gadis itu mengakui kekalahannya! Nafsu ini membuat ia
loncat dan lari mengejar gadis itu dengan cepat.
Kedua anak itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mendung yang tebal
dan hitam mengancam tempat di mana mereka berada! Gadis itu lari
makin cepat ke atas, dikejar oleh Sin Wan. Karena gugup, maka gadis itu
agaknya salah ambil jalan dan mereka tiba di sebuah jalan buntu
dimana hanya tampak jurang-jurang dalam di depan dan sebelah
kanannya, sedangkan sebelah kiri mereka terdapat dinding karang yang
tebal dan tinggi. Jalan maju tidak ada lagi, yang ada hanya jalan
mundur lagi. Gadis itu bingung dan dengan kertak gigi ia balikkan
tubuh menghadapi Sin Wan yang mendatangi dengan cepat. Sementara itu,
cuaca yang tadinya terang telah berubah suram dan hampir gelap
karena mendung tebal telah datang menyerbu. Hawa lalu menjadi dingin
luar biasa! Sin Wan melihat betapa gadis itu terhalang jalannya menjadi
girang dan berseru, "Kau hendak lari kemana?"
Sementara gadis itu, dengan nekad lalu menyerang lagi dan mereka
segera bertempur lagi di tebing jurang yang berbahaya itu, sedangkan
dari atas kepala mereka mendung hitam tebal menyelubungi tempat itu
dan menghalang cahaya matahari hingga keadaan menjadi makin gelap.
Tiba-tiba mendung hitam dan gelap itu mengakibatkan munculnya
kilat dan guntur yang menggelegar. Kedua anak yang sedang bertempur
itu menjadi kaget. Mereka loncat mundur dan menengok ke atas.
Alangkah terkejut dan takut mereka ketika melihat betapa mendung
hitam tebal telah menutup tempat itu dan membuat semua menjadi gelap
dan betapa kilat dan guntur merupakan lidah lidah api yang
menakutkan menyambar nyambar di atas mereka. Gadis cilik itu merasa
ngeri dan menjerit ketakutan, lalu menubruk Sin Wan, memeluknya dan
menangis dengan wajah pucat!
Sin Wan juga merasa betapa tubuhnya menjadi dingin sekali sampai
hampir beku, kemudian ketika ia memandang lagi keatas, ia hampir saja
memekik karena terkejut dan ngeri. Ia melihat dengan samar-samar
betapa di dalam kegelapan mendung itu ia melihat berkelebatnya dua
ekor naga hitam dan putih! Ia melihat betapa dua pasang mata naga itu
menyinarkan cahaya merah menyilaukan dan betapa lidah mereka
menjulur keluar mengeluarkan api menakutkan sekali! Dengan tak
terasa Sin Wan peluk tubuh gadis cilik itu dengan erat dan ia berdiri
untuk melarikan diri. Tapi tiba-tiba ia merasa betapa ekor kedua naga
itu bergerak dan menyabet ke arah ia dan gadis itu. Sabetan ekor itu
mendatangkan angin dingin dan Sin Wan terlempar oleh angin itu
hingga terhuyung huyung. Hampir saja ia terlempar ke dalam jurang
sebelah depan yang sangat curam dan banyak batu-batu karang tajam
bagaikan ujung golok terpancang di bawah! Tapi dengan sekuat tenaga
Sin Wan dan gadis itu saling berpegangan dan Sin Wan seret gadis
menggelinding di atas tanah menuju ke dinding batu karang hingga
mereka terbentur karang! Pada saat itu dari atas datang hujan yang menimpa badan dalam
butir besar bagaikan peluru saja hingga menerbitkan rasa sakit. Dan
pada saat itu tampak cahaya kilat gemerlapan di di atas kepala mereka.
Dalam pandangan Sin Wan tampak kepala sepasang naga itu dan menambar
dan hendak menggigit mereka, maka sambil memekik ngeri ia tarik
tangan gadis itu loncat ke kanan. Karena keadaan sudah menjadi gelap
gulita, maka Sin Wan tidak melihat bahwa di sebelah kanan itu adalah
jurang yang sangat gelap karena selalu tertutup awan hitam! Tak dapat
tercegah lagi tubuh kedua anak itu terpelanting ke bawah dan meluncur
bagaikan dua buah batu di lempar kedalam sumur!
Sin Wan buka matanya dan ia dapatkan dirinya rebah terlentang di
atas tumpukan pasir halus. Mulutnya penuh pasir hingga ia segera
bangun duduk dan menyemburkan pasir itu dari mulut. Pada saat itu
terlihatlah olehnya tubuh gadis itu berbaring miring. Maka
teringatlah ia akan peristiwa tadi. Ia tidak tahu bahwa telah beberapa
lama mereka pingsan. Agaknya Thian masih melindungi jiwa mereka
karena secara kebetulan sekali mereka jatuh menimpa tumpukan pasir
lembut yang menahan tubuh mereka dan mencegahnya dari kehancuran.
Hanya bantingan yang keras dari kejatuhan itu membuat mereka pingsan
untuk beberapa lam. Sin Wan segera menghampiri gadis cilik yang masih pingsan itu. Ia
melihat betapa jidat gadis itu mengeluarkan sedikit darah dan terdapat
sebuah luka kecil, Sin Wan segera lepaskan ikat pinggangnya dan cepat
balut kepala gadis itu agar darah dari lukanya berhenti mengalir. Ia
agak khawatir melihat betapa gadis itu rebah tak bergerak dengan
tubuh lemas, dan dengan bingung ia memandang kesekelilingnya.
Ternyata mereka terjatuh kedalam jurang yang lebar dan disitu
terdapat batu-batu besar dan air lumpur. Anehnya di tengah-tengah
jurang itu terdapat tumpukan pasir lemas yang telah menolong jiwa
mereka! Sin Wan lalu menghampiri sebagian tanah yang terdapat airnya
lalu celupkan ujung bajunya disitu. Setelah direndam agak lama dan
ujung baju itu menjadi cukup basah, ia lalu kembali ketempat gadis itu
berbaring dan peras ujung bajunya hingga airnya mengucur membasahi
muka anak perempuan itu. Dengan perlahan anak perempuan itu sadar dari pingsannya. Ia
gerak-gerakkan bibir dan pelupuk matanya. Karena duduk di dekat
kepala gadis cilik itu, Sin Wan dapat melihat betapa bulu mata yang
panjang, hitam dan lentik itu bergerak-gerak dan betapa kulit pelupuk
mata yang halus itu terbuka perlahan. Pertama-tama pandangan mata
gadis itu bertemu dengan Sin Wan dan ia tersenyum karena segera ia
teringat kepada pemuda ini. Kemudian ia merasa betapa jidatnya agak
sakit maka dirabanya jidat itu. Pandang matanya berubah heran ketika
jari-jari tangannya menyentuh ikat pinggang membalut jidatnya.
"Kau terluka sedikit dan aku membalutnya".
Ketika Sin Wan melihat betapa gadis itu memandangnya dengan agak
bingung, ia mengingatkan. "Kita jatuh ke dalam jurang, ingatkan?"
Maka teringatlah gadis itu. Ia loncat bangun dan memandang ke
atas dengan ketakutan. Sin Wan juga memandang keatas. Ternyata mereka
terjatuh dalam sekali hingga mereka tak dapat melihat tebing jurang di
atas, apalagi jurang itu tertutup oleh uap semacam embun yang tebal
dan tergenang di situ. "Aneh sekali, mengapa kita masih hidup?" anak gadis itu berkata
perlahan. Sin Wan meraba pasir lemas di bawah kaki mereka. "Inilah yang
menolong kita, kalau kita terjatuh disitu, ah.ah" Ia bergidik ketika
memandang kepada lain bagian dalam jurang itu yang penuh batu-batu
hitam besar, Gadis cilik itupun bergidik ngeri.
"Kau.. kau siapakah? Siapa namamu?" tanyanya sambil pandang
wajah Sin Wan dengan sepasang matanya yang bening dan bagus,
sedangkah karena terjatuh tadi, maka kedua jambul di atas kepalanya
menjadi kusut dan rambut-rambut halus menutup sebagian mukanya.
"Aku she Bun bernama Sin Wan, dan kau siapakah?"
"Namaku Kui Giok Ciu, aku tinggal bersama ayah dilereng gunung
Kam-hong-san sebelah timur, Ah, ayah tentu mencari-cariku dan nanti
tentu akan marah padaku".
"Namamu bagus sekali, Giok Ciu. Kau beruntung masih mempunyai
ayah. Ayahku telah meninggal dan aku hanya tinggal bersama ibu dan
kakekku di kampung Lok-thian-kwan di kaki gunug. Kakekku juga tentu
mencari aku karena aku pergi tanpa pamit".
"Bagaimana kita bisa keluar dari sini? Sin Wan, kita harus keluar
dari sini secepatnya, aku . . . . . ., aku takut dan perutku lapar
sekali". Sin Wan tersenyum dan merasai kemenangan di dalam jurang ini. Ia
sama sekali tidak merasa takut sekarang. Mendengar bahwa kawannya
itu merasa lapar, ia teringat akan roti keringnya. Ia rogoh saku dan
ternyata rotinya masih ada. Segera ia keluarkan roti itu dan berikan
kepada Giok Ciu. Gadis cilik ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu
terima roti itu dan terus saja menggigitnya.
"Ah, enak juga rotimu," kata Giok Ciu. Ketika melihat betapa pemuda
itu melihatnya dengan wajah ingin sekali,ia tertegun dan bertanya
"Tidak ada lagikah rotimu? Hanya ini?"
Sin Wan menggeleng kepala. "Tidak ada lagi, tapi tidak apa, kau
makanlah." "Ah, mana bisa begitu. Ini, kau makanlah sepotong."
Gadis kecil itu lalu potong roti kering di tangannya menjadi dua
potong dan ia berikan yang sepotong kepada Sin Wan.
"Makanlah semua, Giok Ciu, aku tidak lapar," jawab Sin Wan sambil
geleng kepala. Tapi Giok Ciu tiba-tiba menjadi ngambul dan cemberut,
lalu ia kembalikan dua potong roti itu kepada Sin Wan.
"Kalau begitu, aku juga tidak lapar. Mari, kau terima kembali
rotimu!" katanya marah. Sin Wan tersenyum melihat ini dan terpaksa ia
terima juga sepotong. Tapi tanpa disengaja ia menerima potongan yang
bekas digigit oleh Giok Ciu. Ketika Giok Ciu gigit bagiannya sambil
melihat kepada Sin Wan, gadis cilik itu melihat betapa roti yang
dipegang oleh Sin Wan terdapat bekas gigitannya maka cepat ia berkata
sebelum roti digigit Sin Wan.
"Eh tahan dulu, jangan kau makan roti itu!"
Sin Wan telah bawa roti itu kedekat mulut dan siap hendak
menggigitnya. Maka ketika mendengar seruan Giok Ciu, ia heran dan
turunkan kembali rotinya.
"Ada apakah?" Wajah Giok Ciu memerah hingga Sin Wan makin heran. "Kemarikan
roti itu, itu adalah roti bagianku yang telah kugigit. Ini, kau harus
makan yang ini." Dengan cepat Giok Ciu saut roti dari tangan Sin Wan
dan berikan rotinya dari tangan Sin Wan dan berikan rotinya sendiri
kepada pemuda itu. Tapi pada saat itu dengan terkejut ia melihat bahwa
roti ke dua itupun telah digigitnya tadi! Maka ia menjadi bingung dan
berkata dengan mata terbelalak.
"Ah, itupun sudah kugigit! Bagaimana baiknya, ah. . . . eh . . . . . ."
Melihat kebingungan gadis itu, Sin Wan tersenyum sambil melihat
bekas gigitan pada roti ditangannya.
"Giok Ciu kau aneh sekali! Kukira tadi ada apa maka kau tahan roti
yang hendak kumakan. Tidak tahunya hanya soal itu. Apakah salahnya
kalau aku makan roti bekas gigitanmu? Apakah gigitanmu berbahaya
seperti ular berbisa?"
Makin merahlah wajah Giok Ciu mendengar godaan ini. "Bukan
begitu, tapi . . . . tapi . . . . bekas mulutku . . . . dan . . . kotor!"
Sin Wan segera gigit rotinya dibagian bekas gigitan Giok Ciu lalu
makan roti itu dengan enak. Ia angguk-anggukkan kepala dan berkata.
"Ah, bekas gigitanmu tidak berbisa, dan kulihat mulutmu tidak
kotor, bahkan bersih dan bagus. Mengapa adatmu seaneh-aneh ini?
Makanlah".

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka lalu makan roti yang tidak berapa besar itu. Tentu saja
mereka tidak kenyang. Kemudian mereka merasa haus karena roti kering
itu dimakannya seret sekali. Mereka mencari air bersih dan temukan
pancuran air kecil yang bening dan mengucur dari ats sepanjang batu
cadas. Setelah puas minum air, tiba-tiba Giok Ciu menunjuk kedepan.
"Sin Wan, lihat itu, ada gua!"
Benar saja, tertutup oleh alang-alang yang rapat sekali, terdapat
sebuah gua besar dan gelap dalam jurang itu. Gua ini bukan hanya
karena tertutup oleh alang-alang maka tak tampak, tapi adalah karena
gua itu gelap dan hitam sedangkan di dasar jurang dimana kedua anak
itu terjatuh, terdapat cahaya matahari yang masuk dari sebelah utara
di mana tida ada awan yang menghalang. Jurang itu sebenarnya adalah
semacam lamping gunung, dan bukanlah merupakan jurang biasa, maka di
belakang masih terdapat tempat terbuka yang curam kebawah dan
berbahaya sekali. Sin Wan tidak melihat kemungkinan untuk keluar dari
tempat itu melalui jalan naik karena batu cadas yang merupakan
dinding jurang itu licin sekali dan tinggi luar biasa, juga tidak
mungkin melepaskan diri dari kurungan itu melalui bagian yang
terbuka, karena bagian itu merupakan jurang lain yang lebih curam
lagi! Ia mencoba melongok kesana dan cepat-cepat tutup kedua matanya
karena ngeri! Ternyata bawah mereka berada di lereng gunung dan dari
tempat terbuka yang dimasuki cahaya matahari itu mereka dapat melihat
dasar dibawah yang luas dan dalamnya puluhan li!
"Sayang tambang dan besi pengaitku tertinggal di sana ketika kita
meloncati juran itu," kata Sin Wan. Sekarang terpaksa kita harus coba
menyelidiki gua itu."
"Gua hitam itu? Ah, aku takut, Sin Wan. Agaknya mengerikan sekali
tempat itu." "Habis apakah kita mau tinggal selamanya disini dan mati
kelaparan? Kita harus berdaya mencari jalan keluar!"
Terbangun semangat Giok Ciu mendengar kata-kata ini. Mereka lalu
saling berpegang tangan untuk saling menahan kalau tergelincir, dan
bersama-sama memasuki gua yang gelap sekali itu. Sambil meraba-raba
dengan kaki dan tangan mereka masuk. Gua itu ternyata besar dan di
bawahnya tidak basah, melainkan pasir belaka isinya. Sin Wan dan Giok
Ciu berjalan terus setengah merayap karena khawatir kalau-kalau
terjeblos kedalam lubang. Setelah berjalan lama dan membelok lebih
dari tujuh kali dalam tikungan-tikungan yang tajam, tiba-tiba
disebuah tikungan mereka dibikin silau oleh cahaya yang dengan aneh
sekali dapat memasuki guha itu!
Gua yang merupakan terowongan panjang itu makin lama makin
lebar, dan ketika tiba di tempat yang terang, Giok Ciu dan Sin Wan
cepat menuju ke ruang tersebut. Ternyata bahwa rung itu merupakan
sumur yang lebar dan besar dan cahaya masuk dari atas. Tapi sayang,
sumur itu terlalu dalam hingga tak mungkin untuk loncat naik, juga
dindingnya dari karang-karang yang tajam dan tak mungkin didaki.
Kedua anak itu duduk melepaskan lelah dan saling pandang dengan
putus asa. Tapi Sin Wan tidak mau memperlihatkan kelemahannya, ia
gigit bibirnya dan berkata.
"Giok Ciu, bukankah aneh sekali kejadian yang menimpa diri kita
hari ini? Kau lihatkah tadi dua ekor naga yang menyerang kita?"
Giok Ciu pandang kawannya dengan heran. Ia takut kalau-kalau
Sin Wan sudah berubah ingatan. "Apa maksudmu? Dua naga yang mana?"
Kini Sin Wan yang heran, "Apa Kau tidak melihat dua naga yang
menyambar-nyambar kita dan memukul-mukul kita dengan ekornya ketika
kita berada di atas dan sebelum terjatuh ke dalam jurang?"
Giok Ciu geleng-geleng kepala. "Aku hanya melihat mendung tebal
menghitam dan kilat menyambar-nyambar, disertai suara geluduk yang
mengerikan. Dimanakah ada naga? Aku tidak melihatnya."
Sin Wan tundukkan kepalanya. Apakah benar kata kakeknya bahwa ia
terlalu banyak memikirkan dongeng naga itu hingga sering mimpi dan
melamun sampai bayangan-bayangan naga tampak di depan mata? Ah, tak
mungkin. Dua naga yang tadi jelas kelihatan olehnya!"
"Sin Wan, jangan mengobrol yang tidak-tidak. Paling perlu,
pikirkanlah bagaimana kita harus keluar dari sini!"
Sin Wan bangkit berdiri diikuti oleh Giok Ciu. "Hayo kita berjalan
terus," ajaknya. Ketika menyelidiki ruang itu, mereka melihat sesuatu yang
menarik hati sekali. Tadi hal itu tidak tampak oleh mereka, tapi kini
setelah meneliti dengan baik, Sin Wan dapatkan bahwa bentuk batu di
dalam sumur ini mengherankan sekali. Ia mundur sampai di dinding
yang berhadapan dengan batu-batu di dinding itu, dan hampir saja ia
berseru kaget dan heran. Giok Ciu segera menghampiri kawannya dan
ikut melihat. Juga gadis cilik itu terherannya ketika lihat betapa
batu-batu besar yang menonjol di dinding karang itu bentuknya
sedemikian rupa hingga merupakan mata, sedemikian rupa hingga
merupakan kepala seekor naga! Sepasang batu bulat merupakan mata,
batu dibawah merupakan hidung dengan dua lubangnya, dan batu di
bawah yang memanjang diserta batu-batu runcing merupakan mulut naga
yang sedang ternganga! Dengan tabah Sin Wan mendekati dinding berlukis kepala naga itu
dan meraba-raba. Juga Giok Ciu meraba-raba, dan gadis kecil ini
berteriak kaget ketika ia meraba mata kiri batu naga itu.
"Sin Wan! Batu yang menduduki tempat mata ini dapat bergerakgerak!"
Sin Wan cepat meraba batu mata kanan dan ternyata batu itupun
dapat bergerak-gerak. Dengan berbareng Sin Wan dan Giok Ciu menekannekan kedua batu yang merupakan mata naga itu. Ini sebetulnya terjadi
kebetulan saja, tapi sungguh mengagetkan mereka ketika tiba-tiba
terdengar bunyi berkerotokan seperti barang yang sangat berat
bergerak pindah dan perlahan-lahan batu yang menempati mulut itu
bergeser dan terbuka! Sin Wan dan Giok Ciu loncat mundur dengan takut
dan menunggu-nuggu kalau-kalau dari lubang itu akan keluar makhluk
yang dahsyat. Tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu dengan hati
berdebar, tak tampak sesuatu keluar dari situ. Dalam kegelapan hati
mereka, kalau saja pada saat itu ada seekor tikus kecil keluar dari
lubang itu tentu keduanya akan terperanjat sekali!
"Giok Ciu biarlah aku memasuki lubang ini untuk memeriksa. Kau
tinggal saja disini."
"Tidak, Sin Wan. Aku tidak mau berada seorang diri disini. Kita
terjerumus di tempat ini berdua, maka sekarang maju harus berdua
pula." "Giok Ciu lubang ini terjadi karena kita berdua menggerakkan
batu-batu yang membentuk mata naga, maka tentu ini bukan hal
kebetulan saja. Pasti lubang dan batu-batu ini sengaja dibuat oleh
orang, atau setidaknya oleh makhluk hidup. Maka kurasa tentu ada apaapa menanti dibalik lubang dan bukan tidak berbahaya. Kalau aku saja
yang masku biarpun ada bahaya menimpa, hanya aku yang menghadapinya.
Biarpun sampai mati, tapi masih ada engkau. Lebih baik kurban hanya
seorang daripada kedua duanya."
Tak tersangka ketika mendengar kata-kata ini, Giok Ciu marah
sekali. Sepasang matanya yang lebar memancarkan cahaya yang
mengingatkan Sin Wan akan sepasang mata naga yang dilihatnya didalam
hujan ribut tadi pagi! "Sin Wan, kau anggap aku orang apakah? Aku bukan seorang
pengecut, dan ayahku ialah seorang tokoh Kunlun-pay yang gagah
perkasa dan dihormati orang! Kalau kau tidak takut menghadapi bahaya,
apa kau kira akupun takut mati? Pendeknya kau pilih saja, kita masuk
berdua atau kalau hanya seorang yang boleh masuk, kau yang tinggal
disini dan aku yang masuk sendiri!
Sin Wan pandang gadis cilik yang usianya sepantaran dia tapi
sudah bersemangat gagah ini dengan kagum. Maka iapun mengalah. Ia
hendak masuk lebih dulu, tapi Giok Ciu tetap hendak masuk berbareng.
Karena lubang itu cukup besar, maka dengan merangkak berdampingan
mereka dapat juga menerobos masuk.
Tapi, dalam keadaan masih merangkak bagaikan dua ekor binatang
kaki empat, kedua anak itu dengan mata terbelalak dan mulu ternganga
serta wajah pucat memandang sambil berdongak ke depan mereka, sedang
tubuh mereka tak bergerak bagaikan berubah menjadi patung! Di depan
mereka tidak ada tiga tombak jauhnya, terdapat rangka dua ekor ular
besar sekali dengan tengkorak menghadap mereka dan mulut tengkorak
ular itu terbuka lebar seakan-akan hendak telan mereka!
Sin Wan dapat tenteramkan goncangan hatinya lebih dulu dan ia
berkata. "Ah, tidak apa-apa Giok Ciu. Hanya rangka yang telah mati.
Hayo berdirilah." Tapi biarpun mulutnya berkata begini, ketika berdiri
SinWan merasa heran karena kedua kakinya agak menggigil! Giok Ciu
berpegang kepada tangan Sin Wan yang diulurkan dan gadis cilik itupun
berdiri dengan wajah masih pucat.
Mereka maju selangkah demi selangkah ketempat di mana dua rangka
ular itu berada. "Aduh besarnya!" Giok Ciu berbisik ketika mereka telah dekat
dengan rangka itu. Memang rangka itu besar dan panjang dengan tubuh
kedua ular saling belit. "Jangan-jangan masih ada ularnya yang hidup." Giok Ciu berbisik
kepada Sin Wan, tapi pemuda kecil ini sedang pandang kedua tengkorak
ular dengan penuh perhatian dan tertarik. Bayangan dua ekor naga
sakti bersisik putih dan hitam terbayang depan matanya. Apakah ini
rangka naga sakti itu? Demikian hatinya berbisik dengan takjub.
Melihat betapa Sin Wan berdiri bengong di depan tengkorak ular,
Giok Ciu segera betot tangan kawannya itu.
"Sin Wan, hayo kita kesana. Lihat ada apa itu di sana?"
Jilid II Sin Wan memandang dan ternyata di bagian sebelah dalam terdapat
semacam tetumbuhan yang mengeluarkan bau harum. Mereka segera
menghampiri tetumbuhan itu dan ternyata daun tetumbuhan itu seperti
daun anggur dan disitu terdapat enam butir buah yang berwarna putih.
Buah itu besarnya sekepalan tangan dan macamnya seperti apel, tapi
baunya sangat harum. Giok Ciu yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering
pemberian Sin Wan, segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.
"Giok Ciu, tahan dulu!" kata Sin Wan cepat.
"Ada apa? Kalau kau mau, petiklah itu." Jawab Giok Ciu.
"Buka begitu, Giok Ciu. Buah ini kita tidak tahu apakah boleh
dimakan atau tidak. Bagaimana kalau mengandung racun?"
"Tapi baunya enak sekali, kurasa tidak beracun," jawab Giok Ciu.
"Pula lebih mati makan buah beracun daripada mati kelaparan."
"Kalau begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!" kata Sin Wan.
"Ah, kau ini anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri
saja! Apa-apa hendak mendahului!"
"Kalau begitu, biarlah kita makan bersama," kata Sin Wan yang lalu
petik sebuah lagi. Mereka berbareng gigit buah itu dan saling pandang
heran. Ternyata buah itu manis dan harum sekali, rasanya lezat dan
segar! Karena hanya ada enam butir di situ, maka masing-masing makan
tiga. Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir buah mereka
merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat
menahan pula. Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan
hampir jatuh. Sin Wan berseru, "Celaka, kita makan buah beracun!" dan
ia masih sempat peluk tubuh kawannya yang hendak roboh.Tapi ternyata
Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati dan
perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah,
sedangkan ia sendiri yang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya
lagi, segera rebahkan diri di atas tanah yang tertutup pasir itu.
Sebentar saja ia mengeros karena tertidur pulas!
Kedua anak itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai
sumur itu menjadi gelap karena matahari telah terbenam. Semalam penuh
lewat tanpa mereka ketahui samasekali, juga mereka tidak merasa betapa
hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut naga itu karena mereka
telah tertidur lelap sekali.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam
sumur, Giok Ciu bangun lebih dulu. Gadis cilik ini merasa perutnya
mulas dan sakit bagaikan diremas-remas dari dalam hingga ia bangun
duduk sambil pegang-pegang perutnya. Ia merasa hendak buang air
besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani bangunkan Sin Wan yang
masih tidur enak, karena malu. Ia lari kesana kemari mencari tempat
untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu. Sedangkan
perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di
dalam perutnya. Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahannahan rasa sakit, dan akhirnya ia tak kuat lagi.
Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu dan
cepat buka pakaiannya. Dan disudut situlah ia buang air besar yang
banyak sekali seakan-akan perutnya dikuras habis. Kotoran keluar dari
perutnya tiada hentinya hingga Giok Ciu hampir menangs karena malu.
Ah, bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan
dan tubuhnya terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran
dalam perutnya terkuras keluar!
Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan
teliti. Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia
mendengar suara orang buang air di sebelah kanan rangka ular itu!
Hampir Giok Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa
yang telah terjadi di balik rangka yang menghalangi mereka itu!
Ternyata Sin Wan juga telah sadar dari tidurnya dan mengalami nasib
yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok Ciu. Kenapa mesti malu
kalau pemuda itupun berhal seperti dia?
Karena perut kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di
dalam ruangan itu tersiar bau yang tidak sedap hingga keduanya merasa
jengah dan malu. Masing-masing tidak berani berdiri, biarpun buang air
itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi di dalam perut mereka
yang dapat keluar. Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan tidak tahu
harus berbuat atau berkata apa. Juga suara rintihan Sin Wan sudah
lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik
rangka ular aau tidak. Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.
"Giok Ciu, ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut
kita dikuras habis! Barusan aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan
tak jauh dari situ jika kau berjalan terus kau akan menemukan sebuah
pancuran air. Tadi aku telah ke situ untuk cuci badan dan cuci
pakaian. Kau kesanalah, Giok Ciu!"
Giok Ciu tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan
yang ditunjuk oleh Sin Wan itu. Ketika memasuki tikungan, ia
mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima kasih sekali ketika
melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu hingga
tidak melihatnya. Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu
cepat lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air
memancur keluar dari sebuah batu yang terbelah. Ia cepat cuci
tubuhnya dan bersihkan dir, maka ia makan waktu yang agak lama.
Ketika dengan badan lemas tapi hati lega ia pakai kembali
pakaiannya dan pergi ke ruang rangka ular itu, ia melihat betapa Sin
Wan telah menggali lantai pasir di situ dan telah pendam semua
kotoran yang berada disitu, juga kotoran Giok Ciu! Perbuatan Sin Wan
ini tepat sekali karena dengan terpendamnya semua kotoraan itu, maka
bau busuk juga lenyap. Tapi Giok Ciu merasa malu sekali karena
kawannya itu dengan tak merasa jijik telah pendam kotorannya pula.
"Kenapa tidak kau biarkan aku melakukan itu sendiri?" ia
mencela dengan mulut memberengut, tapi sepasang matanya memandang
dengan berterima kasih. "Ah, apa bedanya Giok Ciu? Tak perlu hal seremeh itu dibicarakn.
Yang penting sekarang marilah kita pikirkan nasib kita. Ternyata
bahwa buah putih yang lezat itu mengandung racun hingga is perut kita
terkuras kosong! Bagaimana sekarang? Masih baik kita tidak teracun
mati, tapi dengan perut kosong dan lapar seperti ini, kita dapat
bertahan sampai kapan?"
"Baiknya masih ada air dan kita boleh minum secukupnya," kata
Giok Ciu.

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Wan tak sengaja memandang ke atas melihat semacam tetumbuhan
di dinding sumur. Tetumbuhan kecil itu juga berbuah dan buahnya
berwarna merah dan kecil-kecil. Sayang sekali tempat tetumbuhan itu
sangat tinggi hingga tak mungkin ia meloncat mengambilnya.
"Itu ada buah merah, entah buah apa." Kata Sin Wan dengan sedih.
Giok Ciu berdongak dan juga melihat buah itu. Ia lalu enjot
tubuhnya yang lemah ke atas. Dan Sin Wan kagum sekali melihat betapa
tubuh gadis cilik itu melayang ke atas dan dapat memetik sekepal buahbuah kecil!
"Kau hebat betul, Giok Ciu!" ia memuji, tapi Giok Ciu pandang ia
dengan mata terbelalak. "Sin Wan sungguh aneh. Mengapa tubuhku menjadi begini ringan?
Biasanya tak mungkin aku dapat loncat setinggi dan semudah itu! Apa
yang terjadi?" Sin Wan memang cerdik dan otaknya dapat bekerja cepat. Tentu ini
adalah pengaruh buah mujijat yang mereka makan itu. Kalau
pengaruhnya menguasai tubuh Giok Ciu, mengapa ia tidak? Sin Wan lalu
berdiri di bawah tetumbuhan itu dan iapun enjot tubuhnya. Sungguh
heran! Hampir ia berteriak girang karena tubuhnya melayang ke atas
demikian cepat dan ringan hingga dengan mudah ia dapat ambil buahbuah itu!
Kedua anak itu girang sekali hingga mereka makan buah yang
rasanya manis itu sambil tertawa-tawa. Buah kecil merah itu ternyata
berat sekali, tidak sesuai dengan kecilnya. Rasanyapun sedap dan manis,
dan baru makan beberapa butir saja mereka telah merasa kenyang. Tentu
saja kedua anak itu girang bukan main.
"Giok Ciu, ini tentu pengaruh kesaktian kedua rangka ini yang
menolong kita. Kedua macam buah yang telah kita makan itu tentu buah
dewa yang hanya terdapat di tempat suci ini. Hayo kita menghaturkan
terima kasih kepada dua rangka itu," kata Sin Wan.
Giok Ciu menyetujui pendapat ini dan mereka berlutut di depan
dua buah rangka ular itu untuk menghaturkan terima kasih mereka.
Setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh mereka menjadi ringan
sekali akibat khasiat yang mujijat dari buah-buah yang mereka makan,
dua orang ini lalu mencoba keluar lagi dari dasar sumur. Setelah
beberapa kali mencoba, akhirnya keduanya berhasil meloncat ke luar
dari sumur. Ilmu ginkang mereka maju demikian pesatnya sehingga dalam
melompat keluar ini, tidak saja amat mudah, bahwa mereka masih
berhasil menjambret sisa buah-buah merah itu. Giok Ciu ternyata
memiliki keringan dan kecepatan lebih hebat sehingga dia berhasil
memetik lebih banyak buah-buah merah mujijat.
Melihat bahwa Sin Wan hanya mendapatkan tidak berapa banyak,
Giok Ciu dengan rela lalu membagi buah kepada Sin Wan sehingga mereka
mendapat bagian jumlah yang sama.
Bukan main girang dan gembira hati dua orang anak ini. Mereka
lalu berlumba untuk mencoba ginkang mereka, berlari-lari saling kejar
dan ternyata gerakan mereka luar biasa pesatnya bagaikan dua ekor
burung terbang saja. Tiba-tiba keduanya berhenti berlari. "Kau mendengar sesuatu?"
tanya Sin Wan. Giok Ciu mengangguk. Keduanya lebih memperhatikan dan
terdengarlah oleh mereka suara tiupan suling diselingi siulan-siulan
aneh. Terkejutlah mereka karena masing-masing mengenal baik suara
itu. Sin Wan mengenal suling itu yang bukan lain adalah tiupan suling
engkongnya, Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dan kalau engkongnya
meniup suling itu, berarti sedang mainkan ilmu silatnya untuk melawan
musuh berat. Sebaliknya, Giok Ciu juga mengenal siulan-siulan itu
adalah siulan pertempuran dari ayahnya, Kwie Cu Ek.
Dua orang anak ini tidak membuang waktu lagi, cepat mereka
melesat pergi, berlari-lari seperti terbang menuju ke arah suara itu.
Sukar untuk mengikuti gerakan bayangan mereka karena ginkang mereka
yang betul-betul luar biasa itu.
Ketika keduanya tiba di sebuah jalan tikungan, mendadak mereka
berhenti dan berdiri di situ dengan bengong, keduanya tampak khawatir
sekali melihat pertempuran antara dua orang yang bagi orang lain
tentu dianggap main-main. Tapi Sin Wan dan Giok Cu maklum bahwa
kedua orang yang sedang bertempur itu berada dalam kedudukan
berbahaya dan keduanya sedang keluarkan ilmu mereka yang tertinggi!
Yang seorang adalah Kang-lam Ciu hiap kakek yang lihai dari Sin
Wan. Kakek itu bertempur sambil pegang sebatang suling dan tiup-tiup
suling itu dalam lagu yang tak keruan dan membuat sakit anak telinga!
Ia bersilat dengan tenang dan gerak kaki yang teguh sekali sedangkan
kedua tangannya memegang sulingnya yang ditiup-tiup hanya kadangkadang ia angkat tangan kanan dan kiri untuk menangkis atau
menyerang! Dengan cara demikian gerakannya tak terduga lawannya.
Lawannya juga mempunyai cara bertempur yang aneh. Ia adalah
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan gerakgeriknya gesit sekali. Ia bersilat bagaikan gerakan seekor burung,
kedua lengannya terpentang bagaikan sayap dan kakinya berloncatloncatan keatas, kadang-kadang tinggi sekali dan turunnya langsung
menerjang lawannya. Mulutnya dimoncongkan dan dari bibirnya
keluarlah siulan-siulan aneh dan nyaring, dan dalam hal menyakiti
anak telinga, siulan itu tidak kalah oleh suara suling! Laki-laki ini
bukan lain ialah Kwie Cu Ek ayah Giok Ciu, seorang tokoh Kun-lun-pai
yang sangat terkenal dan digelari orang Hui-houw atau Macan terbang.
Bagaimana kedua orang gagah itu dapat terlibat pertempuran matimatian ini? Sebenarnya ini hanyalah suata kesalah-pahaman yang
timbul dari hati bingung karena masing-masing telah sehari semalam
berkeliaran di seluruh permukaan bukit Kam-hong-san, yang seorang
mencari cucunya yang seorang mencari anaknya!
Ketika Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, empek yang lihai itu
sedang mencari-cari cucunya dengan hati cemas dan bingung karena
telah sehari semalam ia mencari dengan sia-sia, ia mulai berteriakteriak memanggil nama Sin Wan. Karena ia gunakan tenaga Tian-tan
yang dikerahkan ke dalam suaranya, maka suara itu dapat terdengar
oleh Kwie Cu Ek yang memang semenjak kemarin telah meencari sambil
memanggil-manggil. Karena jarak mereka tadinya sangat jauh, seorang
di lereng sebelah timur dan yang seorang laagi di sebelah barat, maka
tadinya suara mereka tidak terdengar. Tapi kini mereka telah saling
mendekati hingga Kwie Cu Ek mendengar juga teriakan Bun Gwat Kong.
Cu Ek sendiri telah berteriak-teriak memanggil nama anaknya sehingga
Bun Gwat Kong mendengar pula suaranya. Setelah saling mendengar
suara masing-masing, maka kedua orang tua itu timbul harapan baru dan
cepat menuju ke suara yang mereka dengar.
Tapi alangkah kecewa hati mereka ketika mereka saling bertemu di
sebuah lereng gunung dan melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang
asing. Timbullah hati curiga di kedua belah pihak. Kang-lam Ciuhiap
yang beradat keras segera mendakwa Kwie Cu Ek menculik cucunya,
sebaliknya Kwie Cu Ek melihat seorang kakek yang aneh dan berada
keras itu, memakinya sebagai siluman gunung yang mencuri anaknya.
Tak dapat dicegah pula keduanya lalu bertarung! Baru segebrakan
saja, terkejutlah kedua fihak karena ternyata masing-masing memiliki
kepandaian silat tinggi dan merupakan lawan yang berat. Namun karena
hati mereka telah nekad dan terdorong oleh rasa duka dan bingung
kehilangan anak-anak yang dikasihi, merka tidak mau saling mengalah.
Setelah bertempur ratusan jurus dengan keadaan masih seimbang, tibatiba Kang-lam Ciuhiap cabut keluar sulingnya dari ikat pinggang. Ia
memang memiliki dua macam kepandaian hebat, yakni yang pertama, ia
pandai gunakan arak untuk disemburkan dengan kekuatan lweekang
sepenuhnya hingga arak biasa itu dapt menjadi senjata yang ampuh,
karena lawan yang kena sembur mukanya jika tidak cepat berkeliat bisa
menjadi buta matanya. Kelihaiannya yang kedua juga berdasarkan ilmu
lweekang yang dalam dan terlatih sempurna, jika sambil bertempur ia
tiup sulinngya dengan suara demikian nyaring dan tinggi rendah tak
keruan hingga tidak saja dapat membingungkan dan menyakiti hati dan
telinga lawan, juga bisa membuat jantung berdebar-debar dan
melemahkan lawannya! Gerakan bersilat sambil meniup suling juga menjadi lambat dan
kokoh kuat, namun semua gerakan disertai tenaga lweekang yang hebat!
Melihat kehebatan lawannya dan merasa betapa isi perutnya
bagaikan diaduk dan jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk pisau tajam
ketika mendengar suara tiupan suling, Kwie Cu Ek merasa terkejut
sekali, maka iapun buru-buru mengeluarkan kepandaian simpanannya.
Dengan mengatur napasnya menjadi panjang dan lama ia kerahkan
lweekang dan ginkangnya lalu mainkan silat Rajawali Sakti, yakni ilmu
pukulan rahasia yang telah dipelajarinya bertahun-tahun dan
merupakan kepandaian simpanan yang membuat ia tak terkalahkan sampai
berpuluh-puluh tahun lamanya menjagoi di dunia kang-ouw. Tubuhnya
berubah ringan sekali dan berloncatan bagaikan seekor rajawali
menyambar-nyambar dari segala jurusan, sedangkan dari mulutnya
keluar siulan-siulan tajam mengiris jantung untuk mengimbangi suara
suling lawannya. Demikianlah, yang seorang bergerak lambat-lambatan
tapi kokoh-kuat sedangkan yang seorang lagi bergerak cepat dan lincah
sekali hingga merupakan tandingan yang jarang terdapat, tapi keadaan
mereka tetap seimbang. Sin Wan dan Giok Ciu yang berdiri berdampingan sambil melihat
pertempuran itu, merasa kagum berbareng khawatir kalau-kalau seorang
di antara keduanya terluka. Oleh karena itu maka keduanya lalu
berseru, "Hai! Jangan bertempur, kami berada disini!"
Mendengar teriakan kedua anak itu, Kang-lam Ciuhiap dan si Macan
terbang kenali cucunya dan anaknya masing-masing, maka dengan heran
sekali mereka loncat mundur lalu memandang. Diam-diam kedua orang
tua kosen ini merasa terkejut sekali. Bagaiman mereka berdua sampai
tidak mendengar kedatangan kedua anak itu? Padahal, biarpun mereka
sedang bertempur mati-matian, mereka pasti akan dapat mendengar jika
ada orang lain datang di dekat situ. Untuk ini telinga mereka sudah
cukup terlatih. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa kedua anak itu
telah memiliki ilmu ginkang yang berlipat ganda kehebatannya dengan
kepandaian mereka sebelum mengalami hal-hal yang berbahaya itu.
"Ayah!" "Ngkong!" Kedua anak itu lari ke masing-masing orang tuanya dengan gerakan
demikian cepatnya hingga membuat Bun Gwat Kong dan Kwie Cu Ek
melenggong! "Eh, eh, anak nakal. Kau datang dari mana?" kedua orang tua itu
berbareng tegur mereka. Maka ramailah keduanya menceritakan pengalaman mereka kepada
masing-masing orang tua itu yang mendengarkan dengan mulut
ternganga keheranan. Setelah kedua anak itu habis bercerita, Kang-lam
Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu menghampiri Kwie Cu Ek dan berkata sambil
tertawa dan elus-elus jenggotnya,
"Sungguh lucu, kita orang-orang tua saling sibuk gebuk kaya
kerbau gila, sedangkan kedua anak yang kita cari tahu-tahu selamat
tidak apa-apa, bahkan mendapat untung besar."
Kwie Cu Ek juga tertawa besar.
"Kau orang tua sungguh lihat sekali membuat aku yang muda tunduk.
Bolehkan kiranya aku ketahui nama besarmu?"
"Ha, ha, ha! Mana aku tua bangka dapat dibandingkan dengan kau
yang gagah? Aku sudah lama tinggalkan dunia kang-ouw dan tenaga
makin habis tubuh juga makin tua dan bobrok. Namaku Bun Gwat Kong,
dan siapakah kau yang selihai ini?"
Terkejutlah Kwi Cu Ek mendengar nama ini, ia lalu tertawa girang
dan menjura tanda hormat. "Ah, ah, sungguh benar kata orang. Kalau
sengaja dicari-cari, sampai di ujung dunia juga tidak bertemu, kalau
tidak disengaja, tiba-tiba saja berhadapan denga Kang-lam Ciuhiap yang
terkenal. Sungguh beruntung! Telah bertahun-tahun aku mendengar nama
Kang-lam Ciuhiap yang besar dan hari ini aku Kwie Cu Ek telah
membuktikan sendiri kebenaran nama besar itu!"
"Apa? Jadi kau ini Kwie Cu Ek si harimau terbang?" berkata Bun
Gwat Kong dengan heran. "Pantas saja kau lihai sekali dan masih
untung tubuhku tidak terbinasa dalam tanganmu. Tapi yang
mengherankan sekali, kenapa kau juga berada disini? Apakah kau juga
tinggal di atas gunung ini?"
Kwie Cu Ek menghela napas duka. "Dunia sudah berubah banyak
semenjak kau pergi. Dulu aku mendengar tentang malapetaka yang
menimpa diri putera mantumu dan aku tahu pula bahwa yang membunuh
para pembesar anjing itu adalah kau orang tua. Tapi, memang nasib
rakyat jelata yang buruk! Kata orang Kaisar adalah manusia pilihan
Thian, tapi agaknya kali ini Thian telah salah memilih orang yang
menjadi kaisar! Raja lalim itu hanya tahu berpelesir dan bersenangsenang saja hingga ia tidak tahu sama sekali keadaan rakyatnya yang
tertindas. Tidak tahu bahwa para dorna dan pembesar anjing memegang
kekuasaan penuh di seluruh negeri. Rakyat yang sudah tertindas, makin
menderita lagi dengan turunnya wabah penyakit bermacam-macam dan
bencana alam berupa banjir besar yang menghabiskan jiwa dan harta.
Keluargaku juga terkena bencana ketika kampung kami terserang wabah
penyakit, hingga isteriku, ibu anakku Giok Ciu ini meninggal dunia."
Sampai disini Kwie Cu Ek berhenti dan tampak berduka. Giok Ciu yang
mendengar bicara ayahnya disamping dan melihat ayahnya bersedih, lalu
menubruk orang tua itu. Kang-lam Ciuhiap menghela napas dan diam-diam ia merasa kasih
kepada si Harimau Terbang yang biarpun usianya baru empat puluh
tahun, tapi sebagian besar rambut kepalanya telah putih. Tapi hanya
sebentar saja Kwie Cu Ek berduka, karena ia segera tindas perasaannya
yang tertekan dan sambil memandang Sin Wan ia berkata,
"Anak ini cucumu, bukan? Hm, ia baik juga, tidak mengecewakan
menjadi cucu Kang-lam Ciuhiap!" demikian ia memuji sejujurnya.
"Anakmu juga berbakat baik," si kakek memuji juga.
Tiba-tiba Kwie Cu Ek bangun berdiri. "Setelah kau tersesat sampai
disini, kau harus mampir di tempat tinggalku. Tidak jauh dari sini, tuh
di atas bukit sebelah timur itu!"
"Baik, baik. Kita memang tetangga dekat dan sudah sepantasnya
saling mengunjungi." Jawab Bun Gwat Kong gembira.
"Giok Ciu, kau ajak temanmu itu pergi dulu dan di rumah kau boleh
sediakan makan seadanya untuk tamu-tamu kita!" kata si Harimau
terbang kepada anaknya. "Baik, ayah," jawab Giok Ciu yang lalu berpaling kepada Sin Wan dan
berkata, "Hayo, Sin Wan, kita berlumba kerumahku!" Sin Wan tersenym
gembira dan kedua anak itu segera loncat dan lari cepat sekali ke arah
bukit yang di tunjuk oleh Kwie Cu Ek tadi.
Kwie Cu Ek tertawa gembira melihat tingkah anaknya dan ia berkata
kepada Kang-lam Ciuhiap. "Mereka dapat bergaul rapat sekali!"
Tiba-tiba kedua mata kakek itu bersinar gembira dan wajahnya
berseri. "Eh Kwie enghiong bagaimana kalau mereka itu dijodohkan saja?
Kalau kau tidak mencela Sin Wan dan tidak keberatan mempunyai mantu
sebodoh ia, sekarang juga kulamar anakmu itu untuk Sin Wan!"
Kwie Cu Ek terperanjat dan pandang muka kakek itu dengan heran.
"Aah, Ciuhiap mengapa begini aneh? Anakku baru berusia sepuluh
tahun dan cucumu itupun paling banyak baru...."
"Ia juga sepuluh tahun lebih, hampir sebelas......" kakek itu
memotong. "Nah, mereka itu keduanya masih kanak-kanak, tidak pantas
dikawinkan!" Maka tertawalah Kang-lam Ciuhiap dengan keras, "Bukan kawin
sekarang, maksudku kita ikat mereka dengan tali pertunangan. Mereka
itu kulihat berjodoh."
Keduanya saling pandang agak lama, agaknya untuk menyelami hati
dan pikiran masing-masing, kemudian Kwie Cu Ek maju pegang lengan
kakek itu sambil berkata gembira, "Baik, orang tua, aku percaya penuh
kepadamu. Kau orang jujur. Eh, siapa nama cucumu itu?"
"Bun Sin Wan." "Nah, biarlah, mulai saat ini Kwie Giok Ciu anakku itu menjadi
calon isteri atau tunangan Bun Sin Wan, cucu Kang-lam Ciuhiap."
"Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus! Kalau kau perlu tahu, dapat juga aku
ceritakan tentang almarhum ayahnya, mantuku itu."
"Ah, siapakah yang tidak kenal Bun taijin? Mantumu adalah pembesar


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang adil dan jujur, kalau tidak demikian sifatnya, mana dia bisa
dihukum mati oleh Kaisar lalim?"
"Kau pintar, sungguh Sin Wan boleh bangga mempunyai mertua
seperti kau ini!" Sekali lagi empek gagah itu tertawa senang.
"Nah, hayo kita susul mereka. Kita harus rayakan ikatan ini dengan
arak wangi. Kebetulan sekali aku mempunyai simpanan arak dari Hunlim
yang telah puluhan tahun umurnya.Wajah Kang-lam Ciu-hiap tiba-tiba
berseri. "Apa kau kata? Arak wangi dari Hunlim? Aah, bagus sekali.
Hayo kita pergi, mau tunggu apa lagi?" Maka keduanya menggunakan
ilmu lari cepat menyusul kedua anak yang telah pergi lebih dulu itu.
"Eh, Kwi enghiong, tahukah kau bahwa kedua anak kita kelak akan
menjadi pendekar-pendekar yang tiada taranya di muka bumi ini?"
"Akupun sedang berpikir dan tak habis mengerti, lo-ciuhiap," kata
Kwie Cu Ek sambil berlari cepat di samping kakek itu. "Kedua anak itu
belum lama mendahului kita, tapi sampai sekarang belum juga kita bisa
mengejar mereka. Sungguh ajaib sekali, buah apakah gerangan yang
demikian mujijat dan menambah tenaga mereka berlipat ganda?"
"Itulah kurnia Thian Yang Maha Esa, Kwie enghiong. Dan tepat
sekali kalau kukatakan tadi bahwa mereka memang berjodoh satu kepada
yang lain," kata si empek gagah. Biarpun mereka percepat lari mereka,
ternyata ketika mereka tiba di depan pondok kayu tempat tinggal Macan
Terbang, kedua anak itu telah tiba disitu dan Giok Ciu sedang sibuk
mencabuti bulu ayam dan Sin Wan sibuk mengumpulkan kayu kering.
Ternyata menghadapi Giok Ciu yang tentu saja lebih pandai masak dari
padanya, Sin Wan tunduk dan taat akan segala perintah Giok Ciu ketika
ia menawarkan diri untuk membantunya.
"Kami mempunyai beberapa belas ekor ayam," kata gadis kecil itu
dengan gembira, "ayah dulu membeli beberapa ekor induk ayam dan kini
telah menjadi belasan ekor." Kemudian Giok Ciu tangkap dua ekor ayam
yang paling gemuk dan suruh Sin Wan memotongnya. Dengan cekatan
gadis yang sejak masih kecil telah ditinggal ibunya dan pandai masak
karena terpaksa itu, memotong-motong daging ayam dan memasaknya,
dibantu oleh Sin Wan, sedangkan Kang-lam Ciuhiap dan Hui-houw Kwie
Cu Ek bercakap-cakap dengan gembira di luar pondok yang kecil itu.
Kang-lam Ciuhiap memuji Kwie Cu Ek yang dikatakan pandai memilih
tempat. Memang tempat di situ indah sekali pemandangannya, lagipula
nyaman hawanya. Dibanding dengan lereng-lereng lain di gunung itu
tempat ini yang terindah dengan puncak Kam-hong-an yang tinggi
menjulang di atasnya merupakan atap tertutup awan. Kwie Cu Ek
semenjak ditinggal mati isterinya, telah lima tahun tinggal di situ
dengan anaknya, dan agar Giok Ciu tidak terasing sama sekali dari
pergaulan manusia, ia seringkali ajak anak gadisnya turun gunung di
kaki gunung. Setelah Giok Ciu agak besar dan memiliki kepandaian
hingga tidak berbahaya baginya untuk turun gunung seorang diri,
seringkali anak perempuan ini mengunjungi kampung-kampung itu dan
bermain-main. Karena ini maka Giok Ciu tidak merasa sangat kesunyian.
Setelah masakan siap, mereka berempat lalu makan dengan gembira,
dan tuan rumah serta anak perempuannya kagum melihat betapa Kanglam Ciuhiap minum arak bagaikan minum air tawar saja!
"Arak baik, arak baik!" berkali-kali kakek itu memuji tiap habis
minum semangkuk besar. Kwie Cu Ek walaupun seorang peminum yang kuat
juga, namun tiap kali minum ia hanya dapat tuang semangkuk kecil
kedalam perutnya, karena arak yang mereka minum itu adalah arak tua
yang sangat keras. Sebentar saja, habislah arak wangi seguci besar dan
kakek Bun Gwat Kong itu elus-elus perutnya dengan puas sekali.
"Engkong ini sungguh kuat sekali minum arak!" Berkata Giok Ciu
yang ikut-ikutan menyebut engkong atau kakek kepada Kang-lam
Ciuhiap, meniru Sin Wan. Mendengar dirinya disebut kakek, Bun Gwat
Kong girang sekali. "Bagus Giok Ciu, memang kau selayaknya menyebut engkong padaku."
Lalu ia tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa,
sedangkan Sin Wan diam-diam agak heran karena tidak pernah ia
melihat kakeknya segembira itu.
"Giok ciu, kau tidak tahu, kakek ini adalah Kang-lam Ciuhiap si
Pendekar Arak dari Kang-lam. Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di
dalam mulutnya dapat dipakai membunuh seekor kerbau besar!"
"Hebat sekali!" kata Giok ciu ambil leletkan lidahnya, "kong-kong,
perlihatkan ilmu kepandaianmu menyembur dengan arak itu!"
Melihat kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini
mencari sasaran, kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya
ia berkata kepada Kwie Cu Ek,
"Kwie enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?" Tuan
rumah mengangguk dengan tersenyum juga. Kang-lam Ciuhiap lalu tuang
sedikit arak yang masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah
mengejapkan sebelah matanya kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu
hingga anak perempuan itu tertawa geli, si empek lalu semburkan arak
dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar keputih-putihan tersembur
keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular meluncur ke atas
dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di tiang
besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia
membangun pondok itu. Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar
lengan itu dan "Krak!" ujung itu patah dan jatuh ke bawah!
Kwie Cu Ek memuji, "Bagus sekali, lo-ciuhiap! Kau benar-benar
patut di sebut ciuhiap, bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian
karena kau benar-benar dewa arak!"
Juga Sin Wan dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji. "Kong-kong!"
kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang kakek itu
seperti seorang anak yang meminta sesuatu.
"Apa lagi?" kakek itu bertanya.
"Itu.... suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau
tiup sulingmu ketika kau bertempur melawan ayah, tapi lagunya buruk
sekali hingga telingaku tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa
mainkan lagu yang enak didengar? Aku suka sekali mendengar suling!"
Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang kakek itu dimana tampak ujung
suling tersembul keluar. "Giok Ciu, jangan kau main-main dengan tiupan kakekmu! Kalau aku
tadi tidak kerahkan seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan
untuk menahan pengaruh tiupan suling, aku sudah dirobohkan oleh daya
tiupan suling itu! Jangan kau pandang rendah tiupan tadi karena itu
adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan lawan dan
melemahkan semangat serta membuat lawan bingung hingga gerakgeriknya menjadi kacau!"
Giok Ciu leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan
kekaguman atau keheranan. "Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu
yang buruk tadi, kong-kong! Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat
menghibur kita!" Kang-lam Ciuhipa sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok
Ciu ini, ia cabut sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya.
Ia angkat pundaknya dan berkata,"Anakmu memang benar, Kwie enghiong,
aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak sedap didengar.
Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur hatiku
yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!" Lalu
sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, kakek itu
berkata, "Kau ingin mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk
meniup suling ini. Selain dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!"
Sin Wan mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena
jengah di puji kakeknya di depan Giok Ciu dan ayahnya. Sebaliknya,
Giok Ciu menjadi girang sekali. Ia ambil suling itu dari tangan Bun
Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin sambil angsurkan suling
kecil itu. "Sin Wan, kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!" Berkata
demikian, gadis itu pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.
Sin Wan tak dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata
bahwa iapun ingin sekali mendengar tiupan suling anak itu. Dengan
tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari tangannya diatas
lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di bibirnya dan
dengan mata setengah terkatup meniup suling itu. Mula-mula terdengar
bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus
merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan
dan mulailah terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan
menggetarkan kalbu. Giok Ciu dan Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum
karena pandainya Sin Wan meniup suara yang meninggi rendah, tapi tak
lama kemudian kedua ayah dan anak itu duduk bengong dengan bibir se
tengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin Wan.
Mereka merasa sekan-akan dibawa melayang naik oleh gelombang ombak
yang mengalun tinggi diangkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus
dan menakjubkan. Mula-mula suara suling terdengar gagah dan riang
membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar dan wajahnya panas, tapi
ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah, ia merasa
terharu sekali, ketika ia berpaling kepada ayahnya dengan perlahan, ia
melihat betapa dari kedua mata ayahnya itu mengalir air mata! Nyata
sekali bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan
keharuan hebat di sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini
teringat akan isterinya dan membuatnya tak dapat menahan
kesedihannya. Melihat keadaan ayahnya sedemikian itu, Giok Ciu berteriak kepada
Sin Wan,"Sin Wan, cukup! Simpan sulingmu!" dan anak perempuan itu
menubruk ayahnya dan menangis di atas pangkuan orang tua itu!
Sin Wan tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir
tertutup samasekali, lalu memandang heran.
Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar ini
menghela napas berulang-ulang.
"Bukan main! Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih
hebat dan kuat daripada tiupan kakekmu, bukankah demikian. Lo
ciuhiap?" Kang-lam Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena
terpengaruh tiupan suling cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.
"Memang hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan
lagu sehebat itu." Mendengar ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan
senyum girang ia berkata kepada Sin Wan, "Jadi kau sendirikah yang
mencipta lagu tadi?" Kang-lam Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran
sekali melihat sifat Giok Ciu. Baru saja manis menangis sesunggukan,
tiba-tiba bisa tersenyum manis. Alangkah ganjilnya!
Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu
padanya itu. "Ah, pandai sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu
sehebat ini?" "Sederhana saja," kata Sin Wan merendah. "Pada suatu hari ketika
aku sedang menggembala kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang
sedang makan rumput di pinggir anak sungai di pagi hari, aku
mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu mengeluarkan
suara seperti sedang berdendang.
Dan di atas pohon terdengar burung-burung berkicau girang, diseling
bunyi kerbau-kerbauku menguak senang. Tiba-tiba, entah mengapa,
seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada induknya,
terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit
menimbulkan suara mengharukan. Nah, ketika itu aku telah keluarkan
sulingku dan entah bagaimana, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu
yang kusesuaikan dengan pendengaranku akan keadaan di sekeliling
pada saat itu. Dan semenjak itu, aku suka sekali meniup lagu ini."
"Memang indah!" Giok Ciu memuji kagum."Aku harus bersihkan
mangkuk-mangkuk ini dan mencucinya di belakang," kaanya kemudian.
"Mari kubantu," kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkukmangkuk yang telah kosong untuk dicuci di belakang rumah. Sementara
itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang-lam Ciuhiap berkata kepada
tuan rumah. "Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah
berjodoh!" Kwie Cu Ek mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari
tamunya untuk masuk ke kamar sebentar. Ketika keluar lagi, ia membawa
sepasang sepatu kecil dan serahkan benda itu kepada Kang-lam Ciuhipa,
"Kami orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat
perjodohan anakku. Nah ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok
Ciu ketika ia berusia setahun. Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai
barang keramat karena ini adalah buah tangan ibunya!"
Kang-lam Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan
benda itu kedalam saku bajunya yang lebar. Kemudian ia ambil suling
yang tadi ditiup Sin Wan dan berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek
sambil berkata,"Dan suling ini kubuat ketika Sin Wan masih kecil dan
baru bisa merangkak. Maksudku hanya untuk barang mainan, tapi
ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali bermain-main dengan suling
ini. Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan tanda pengikat
perjodohannya dengan putrimu!"
Kwie Cu Ek terima suling itu dengan girang dan cepat
menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan bercakap-cakap.
Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena
pekerjaan mereka telah selesai.
Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan
pulang, karena ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang
telah dua hari pergi itu. Setelah saling memberi hormat, kakek dan
cucu itu gunakan ilmu lari cepat tinggalkan tempat itu dan beberapa
kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan ke arah Giok Ciu sampai
bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan.
Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka
tiba di rumah, karena ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan
darah! Sin Wan tubruk ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang
banyak menderita ternyata tak dapat menindas tekanan dan
kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan tidak pulang. Ia cemas
sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan anaknya itu,
hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat Sin Wan kembali
dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika! Tapi kesehatannya
makin buruk. Sin Wan menyesal sekali dan berlutut di depan ibunya
meminta ampun dan berjanji bahwa semenjak saat itu ia takkan berani
pergi lagi tanpa ijin ibunya!
Diluar tahunya Sin Wan, Kang-lam Ciuhiap beri tahu anak
perempuannya akan ikatan jodoh antara Sin Wan dan puteri Kwie Cu Ek.
Nyonya muda itu merasa girang sekali, ia terima sepasang sepatu kecil
itu dengan girang. Warta baik ini membuat ia banyak terhibur. Ia
percaya sekali akan pilihannya ayahnya tapi ia nyatakan bahwa ia
ingin sekali melihat gadis cilik itu dengan mata sendiri karena ia
ingin mengagumi nona calon mantunya!
Semenjak hari itu, Sin Wan makin tekun mempelajari ilmu silat dan
ia di gembleng oleh kakeknya yang ingin turunkan seluruh kepandaian
yang dimilikinya kepada cucu yang terkasih itu. Ia tahu bahwa dengan
bantuan keganjilan alam yang telah dialami Sin Wan, maka dengan
latihan-latihan keras, anak itu akan menjadi seorang yang mempunyai
tenaga dan kesanggupan jauh lebih tinggi dari dia sendiri. Hal ini
membuat ia tak kenal lelah dan selain ilmu silat tinggi, ia juga
menuturkan dunia kang-ouw dan aturan-aturannya kepada Sin Wan.
Ketika Sin Wan menanyakan sulingnya yag dibawa oleh kakeknya
itu, Kang-lam Ciuhiap terus terang katakan bahwa suling itu
diberikannya kepada Giok Ciu sebagai tanda mata. "Menyesalkah kau?"
tanyanya. Sin Wan geleng kepala dan matanya berseri. "Ah, tidak ngkong,
biarlah. Aku melihat ada bambu kuning di kaki gunung sebelah sana,
bambu itu indah lagi kecil. Aku hendak membikin suling sendiri."
Pada keesokan harinya, Sin Wan telah membuat sebatang suling yang
panjangnya tidak kurang dari tiga kaki. Karenanya engkongnya ahli
pembuat suling, ia lalu minta kakeknya itu yang membuat lobang-lobang
agar suaranya tidak sumbang. Ketika Kang-lam Ciuhiap sedang asyik
gunakan api melobangi batang suling bambu itu, ia teringat sesuatu dan
dengan sungguh-sungguh ia berkata.
"Sin Wan, aku hendak ajar kau menggunakan batang sulingmu sebagai


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata istimewa!" Sin Wan girang sekali dan mulai saat itu kakeknya mengajar ia
mainkan suling itu bagaikan sebatang petang dan karena semua gerakan
adalah pukulan-pukulan merupakan totokan hebat dan disertai tenaga
lwee-kang, maka suling itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Juga
Kang-lam Ciuhiap mengajar cucunya untuk bersilat sambil tiup suling
untuk mengacaukan gerakan lawan, seperti yang pernah ia lakukan
ketika menghadapi si Harimau terbang dulu!
Karena memang suka sekali meniup sulingmaka mendapat pelajaran
baru ini, Sin Wan merasa girang sekali dan ia lebih giat melatih ilmu
silatnya hingga memperoleh kemajuan pesat. Juga Sin Wan yang sangat
mencinta dan berbakti kepada ibunya, mentaati permintaan ibunya dan
membuat nyonya muda itu puas melihat kemajuan yang dicapai oleh Sin
Wan dalam ilmu surat. Dengan pesat sekali waktu berjalan tanpa terasa oleh manusia,
Tahu-tahu tiga tahun telah lewat. Selama itu Sin Wan yang kini telah
berusia hampir empat belas tahun , mendapat kemajuan besar hingga
dalam hal ilmu silat ia telah menyusul kakeknya! Kalau dibuat
perbandingan, mungkin Sin Wan lebih gesit dan cepat daripada
kakeknya, tapi tentu saja ia masih kalah dalam hal tenaga lweekang.
Selama tiga tahun itu, tidak jarang Sin Wan terkenang kepada Giok Ciu,
teman baru yang begitu bertemu telah mengalami peristiwa-peristiwa
aneh bersama dia itu. Semenjak perjumpaan pertama, belum pernah
mereka bertemu lagi dan ia sedikitpun tidak menyangka bahwa dirinya
Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 1 Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Pedang Ular Mas 10
^