Pencarian

Kisah Sepasang Naga 6

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


penjelasan, belum tentu gadis yang keras hati itu suka
mempercayainya. Ah, sungguh serba susah dan Sin Wan menghela napas
panjang. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa menyindir. Ia
melihat betapa kedua murid Keng Kong Tosu masih berdiri di situ
dan memandangnya dengan senyum sindir. Marahlah Sin Wan dan
sekali tubuhnya bergerak, tahu-tahu dua orang itu kena
diterjangnya dan roboh di atas genteng sambil merintih-rintih.
Ternyata sekali bergerak saja Sin Wan telah berhasil menotok
mereka hingga roboh tak berdaya dan biarpun mereka takkan mati
karenanya, namun dalam waktu dua belas jam, kalau tidak ada orang
pandai yang melepaskan totokan itu, mereka akan lemas tak dapat
bergerak, hanya dapat merintih-rintih saja! Kemudian Sin Wan
meloncat pergi dari situ dengan hati mengkal.
Marilah kita ikuti perjalan Suma Li Lian, gadis bangsawan
yang cantik jelita, tapi yang tertimpa nasib malang itu. Setelah
mendengar dari mulut Sin Wan kenyataan-kenyataan yang sangat
pahit dan menikam ulu hatinya, gadis cantik ini hampir menjadi
gila! Jiwanya memang telah tertekan oleh rasa terhina dan malu
karena sebagai seorang gadis baik-baik keturunan bangsawan, adalah
hal yang lebih hebat dan lebih rendah daripada mat ketika
mengandung dan melahirkan seorang anak tanpa mempunyai suami!
Sebetulnya ketika merasa bahwa dirinya mengandung, ia telah
mengambil keputusan hendak membunuh diri, tapi wajah Sin Wan yang
tampan dan gagah selalu terbayang di muka matanya, maka ia lalu
menetapkan hatinya. Ia nekad untuk menghadapi semua hinaan daan
nistaan karena betapapun juga, ia diam-diam mengakui bahwa ia
tidak menyesal mengandung seorang keturunan dari Sin Wan! Ia cinta
pemuda itu, cinta dengan cinta murni, dan ia bersedia mengorbankan
apa saja untuk pemuda itu. Jangankan baru hinaan dari dunia luar,
aah, ia takkan merasa terhina, bahkan ia akan merasa bangga kalau
anaknya telah lahir, anak mereka, anaknya dan anak Sin Wan!
Demikian besar rasa cintanya terhadap Sin Wan hingga Li Lian
rela dirinya mendapat hinaan karena sebagai seorang gadis yang
melahirkan seorang anak tak berayah. Ia bahkan sempat diusir oleh
ibunya dan keluarganya dan hidup terlunta-lutan di sebuah kampung
kecil. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari dan menyusul
Sin Wan, karena bukankah dulu Sin Wan pernah bilang bahwa jika
hendak mencari dirinya, harus pergi ke puncak Kam-hong-san? Maka,
ia lalu jual semua perhiasannya untuk dipakai biaya mencari
suaminya itu. Dan akhirnya setelah bersusah payah, ia berhasil
membawa anaknya yang baru berusia lima bulan itu ke puncak Kamhong-san. Tapi di sana ia hampir saja menjadi kurban keganasan dan
kejahatan empatorang pemikul tandu, dan baiknya datang Giok Ciu
yang menolongnya. Dan akhirnya ia bertemu dengan Sin Wan,
suaminya! Tapi alangkah remuk rendam hatinya, hancur luluh kalbunya.
Segala penderitaan, segala perngurbanan yang dilakukan itu sia-sia
belaka! Bukan Sin Wan pemuda idaman itulah yang sebenarnya
menjadi ayah anak itu, tapi Gak Bin Tong! Gak Bin Tong pemuda muka
putih yang dibencinya, karena semenjak dulu pemuda itu selalu
menggodanya, selalu memperlihatkan sikap ceriwis dan menjemukan.
Pemuda yang pernah ia tolak lamarannya! Pemuda yang bahkan telah
ia laporkan kepada para pengawal agar ditangkap dan dibunuh,
karena ia sungguh-sungguh membencinya! Dan kini.. dari mulut Sin
Wan sendiri, dari mulut laki-laki yang tadinya telah dianggap
sebagai suaminya, ia mendengar bahwa suaminya bukanlah Sin Wan,
tapi. Orang she Gak itu! Ketika ia melahirkan, segala hinaan yang didengarnya tak
dapat menggoyahkan kalbunya, tak dapat merobah pendiriannya. Tapi
kenyataan yang didengarnya ini merupakan penghinaan yang
sebesar-besarnya baginya, dan kenyataan ini membuat ia tak sanggup
memandang wajah Sin Wan lagi, membuat ia begitu membenci Gak Bin
Tong hingga seakan-akan hendak dicekiknya dan dibunuhnya pada
saat itu juga pemuda muka putih yang telah menodai dan merusak
hidupnya itu! Demikianlah, ia lari bagaikan gila menuruni lereng
bukit. Beberapa hari kemudian, Suma Li Lian yang tadinya cantik
jelita, telah berubah menjadi seorang wanita yang menakutkan.
Rambutnya yang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang kotor
penuh debu dan lumpur. Matanya merah dan liar dan bibirnya yang
biasanya tersenyum manis menarik hati, kini tertarik menyeringai
penuh kebencian. Pakaiannya yang tadinya indah dan rapi, kini
robek disana-sini dan kotor sekali hingga tak tampak pula bekasbekasnya yang terbuat dari bahan mahal. Kakinya tak bersepatu
lagi, hanya berkaus yang sudah dekil dan hitam penuh tanah.
Sungguh mengenaskan nasib manusia ini.
Ketika ia memasuki sebuah dusun kecil, semua anak-anak lari
ketakutan dan menggodanya dari jauh sambil melempar-lemparinya
dengan batu. Dimana saja ia angsurkan tangan untuk minta makanan
pengisi perutnya yang sudah lapar sekali, orang-orang mengusirnya
dengan kata-kata menyatakan jijik. Dengan tindakan kaki limbung
dan terhuyung-huyung, terpaksa Li Lian meninggalkan dusun itu.
Tubuhnya lemas, perutnya terasa perih sekali, dan pandang matanya
berkunang-kunang. Karena terik matahari membuat kepalanya berdenyut-denyut, ia
lau menghampiri sebuah pohonn besar yang tumbuh dipinggir jalan
untuk meneduh, tapi ketika tiba di bawah pohon, tubuhnya tak
tertahan lagi dan tubuh itu limbung hendak roboh, matanya meram
dan kedua tangannya diulurkan meraba-raba mencari pegangan
diudara! Pada saat ia pingsan, sebelum tubuhnya roboh di tanah, tibatiba dari atas pohon menyambar turun sebuah tali yang secara aneh
dan cepat bagaikan ular telah membelit kedua pergelangan tangan Li
Lian dan tahu-tahu tubuh Li Lian telah mencelat ke atas pohon
bagaikan disendal oleh tenaga yang luar biasa besarnya! Ketika
tubuh gadis yang malang itu terapung ke atas, sebuah lengan yang
panjang dan besar lagi hitam dan kotor terulur dan tubuh Li Lian
ditangkapnya pada bajunya. Terdengar suara ketawa yang aneh,
karena bunyinya seperti setengah tertawa setengah menangis dan
sebuah jari yang kotor menyentil belakang kepala Li Lian sehingga
gadis itu siuman dari pingsan dan membuka matanya.
Alangkah herannya ketika Li Lian melihat bahwa ia sudah
duduk di atas sebatang cabang pohon yang tinggi. Kalau saja hal ini
terjadi padanya dahulu, tentu ia akan berteriak-teriak minta
tolong karena takutnya melihat tanah sebegitu jauh di bawahnya.
Tapi agaknya rasa takut telah lenyap di telan ombak samudera
kesedihannya, hingga jangan kata baru tempat tinggi, biarpun
berada di depan mulut harimau, agaknya gadis itu takkan merasa
takut lagi. Maut akan disambutnya dengan senyum dan lambaian
tangan karena baginya hidup ini tak berarti lagi. Tapi ketika ia
menengok dan memandang orang yang duduk di atas sebuah dahan lain
dan sedang memandangnya pula, ia terkejut sekali dan tanpa
disengaja ia membelalakan matanya. Di atas sebatang dahan duduk
seorang laki-laki tua yang tinggi besar dan kurus sekali tapi
keadaannya menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang yang
berotak waras! Orang itu memegang segulung tali yang ujungnya diputar-putar
eperti lagak seorang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Ia
memandang Li Lian sambil tertawa ha-ha hi-hi. Suma Li Lian
menahan tubuhnya yang lemas dan gemetarkarena lelah dan lapar,
lalu berkata, "Lopeh, kau siapakah dan mengapa kau menolong aku?"
Orang yang berpakaian jembel itu memandangnya dengan heran,
lalu pada wajahnya yang berkulit kotor hitam itu terbayang seri
gembira ketika ia menjawab,"Siapa aku?" ia garuk-garuk kepalanya,
"Aku adalah aku dan siapa yang menolong siapa? Aku tidak menolong
juga tidak ditolong. Nona sakit, maka kubawa naik ke sini."
Suma Li Lian maklum bahwa orang yang menolongnya ini benarbenar gila dan otaknya tidak waras namun ia heran sekali
bagaimanakah orang gila ini dapat membawanya ke atas? Melihat
wajah dan sinar mata orang tua tinggi besar itu, agaknya tidak
berwatak jelek, bahkan ketika tadi tersenyumpun tampak baik hati
benar, maka ia lalu berterus terang,
"Loph, aku tidak sakit, hanya lelah dan lapar."
"Lapar? Bagus! Akupun lapar!" jawabnya sambil tertawa
terkekeh. Mau tak mau, Suma Li Lian terpaksa ikut tertawa geli, hingga
ia sendiri merasa heran mengapa ia dapat tertawa! Agaknya pada
saat itu semua kesedihannya lenyap dan kegilaan orang tua itu
menjalar kepadanya hingga iapun merasa sangat geli mendengar
kata-kata si jembel gila yang lucu dan gila itu. Celaka dua belas,
pikirnya. Dalam keadaan sedemikian menderita, bertemu dengan orang
berotak miring. Tapi tiba-tiba si jembel gila itu gerakkan tangannya yang
memegang tali dan tali itu meluncur panjang dan bergerak-gerak
bagaikan seekor ular terbang, ujung tali itu telah menyelusup
diantara daun-daun pohon dan ketika di tarik kembali, diujung tali
itu telah terbelit setangkai ranting yang ada buahnya beberapa
butir. Tali kecil itu agaknya dapat disuruh mencarikan makan!
Si gila itu memetic beberapa butir buah dan memberikan kepada
Suma Li Lian. "Kalau lapar, enak sekali makan. Makanlah buah ini."
Suma Li Lian memandang jembel gila itu dengan pandangan
berterima kasih sekali. Ia maklum bahwa orang gila ini adalah
seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Dengan lahapnya ia lalu
makan buah-buah itu bersama-sama si jembel yang mencari buah-buah
lagi. Sambil makan buah, mereka saling pandang tanpa bercakapcakap. Kemudian, Li Lian berkata lagi,
"Lo-suhu, sebenarnya siapakah lo-suhu ini dan mengapakah kau
begini baik kepadaku?"
Kakek gembel itu tertawa lagi dengan geli. "Dunia ini memang
lucu, tapi kau tidak lucu, nona. Kau berwajah gelap diliputi
kemurungan, menimbulkan rasa sakit dalam dada kiriku." Setelah
berkata demikian, jembel gila itu meringis-ringis seperti menahan
sakit dan tangan kirinya meraba-raba dadanya. Kemudian ia
melanjutkan kata-katanya,
"Aku adalah aku, kau tak usah bertanya karena aku sendiripun tidak
tahu! Tapi kau mengapa bermuram durja? Siapa yang mengganggumu,
anakku manis?" Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dengan suara
sangat menyayang ini, hati Li Lian menjadi sedih sekali hingga
tubuhnya limbung dan ia terjungkal dari dahan pohon yang
didudukinya dan tubuhnya melayang ke bawah. Tapi sedikitpun Li
Lian tidak menjerit, hanya meramkan mata menanti datanya maut.
Tapi, tubuhnya tidak terbanting ke atas tanah keras, bahkan
merasa seakan-akan tubuhnya diayun-ayun dan tiba-tiba ia merasa
kakinya menginjak tanah. Ketika ia membuka mata, ternyata ia telah
berdiri di atas tanah dengan selamat, sedangkan empek gila tadi
telah berdiri pula di depannya seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
"Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang
mengganggumu?" Suma Li Lian tidak menjawab, tapi lalu menjatuhkan diri
berlutut sambil menangis. Jembel gila itu menangkat kepala dan
sambil memandang langit ia tertawa bergelak-gelak. "Ha, ha, ha! Kau
memang pantas menjadi muridku. Pantas, pantas!" Dengan ujung
kakinya ia mencokel tubuh Li Lian dengan perlahan, tapi cukup
membuat tubuh gadis itu mencelat mumbul ke atas, berputaran
beberapa kali di udara sebelum jatuh lagi kebawah, tapi Li Lian
sama sekali tidak merasa takut! Kembali kakek jembel itu tertawa
bergelak-gelak dan menyambar baju Li Lian untuk mencegah tubuh
gadis itu terpelanting. "Bagus, bagus ! berdirilah muridku!"
Sebenarnya, sekali-kali bukan maksud Li Lian untuk
mengangkat guru kepada orang gila ini ketika berlutut tadi, tapi
karena kakek aneh itu telah menerimanya sebagai murid, ia tidak
berani menolak atau membantah. Pula, di dunia ini tidak ada orang
yang berlaku baik kepadanya hingg ia benci kepada dunia dan
penduduknya, kini tiba-tiba ada seorang berotak miring yang sangat
baik kepadanya, maka diam-diam timbul pikiran baru dalam otaknya.
Kakek ini mempunyai kepandaian luar biasa, maka kalau ia menjadi
muridnya dan mempunyai kepandaian tinggi, tak mungkin manusiamanusia macam Gak Bin Tong itu berani menghinanya. Gakkk Bin
Tong! Teringat akan nama ini, mata Suma Li Lian memancarkan cahaya
kemarahan. Kalau ia memiliki kepandaian tinggi, bahkan ia akan
dapat membalas dendamnya kepada pemuda muka putih yang jahanam
itu! "Muridku, sekarang juga kau harus mulai belajar!" kata kakek
gila itu. Ia lalu memutuskan sepotong tali dan gunakan itu untuk
mengikat ujung celana Li Lian di bagian pergelangan kaki kiri,
demikianpun dengan ujung celana di pergelangan kaki kanan
muridnya. Lalu ia pergi ke bawah pohon dan berjungkir balik dengan
kepala di atas tanah dan kaki ke atas.
"Kau tiru ini, dan sandarkan kedua kakimua di batang pohon!"
katanya kepada Li Lian. Semenjak kecil memang Li Lian belum pernah belajar silat
hingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara orang bersilat,
maka mendapat perintah demikian itu, dengan membuta ia turut dan
taat. Sebentar saja ia merasa kepalanya pening dan berdenyutdenyutan ketika ia berdiri degan kepala di bawah macam itu. Kalau
tidak ada batang pohon yang menahan tubuhnya, tentu sudah taditadi ia terguling! Tapi karena hati dan perasaan Li Lian telah
dibikin kaku dan membatu oleh penderitaan batin yang dipikulnya,
ia bulatkan kemauannya dan biarpun andaikata sampai matipun tak
nanti ia menyerah dan mundur!
Agaknya gurunya yang gila itupun maklum akan kekerasan hati
muridnya, maka ia lalu membuka rahasia pelajaran mengatur napas
dan latihan lweekang yang sangat luar biasa, karena di kalangan
persilatan tidak ada latihan-latihan yang kesemuanya dilakukan
secara aneh dan terbalik macam yang diajarkan oleh si gila ini.
Demikianlah, berhari-hari Suma Li Lian, gadis bangsawan yang
sopan santun terpelajar, dan halus budi pekertinya itu, kini
menjadi murid seorang gila yang sakti dan mempelajari ilmu-ilmu
yang sakti yang mujijat sekali! Karena Li Lian telah mendapat
pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya boleh dikata tidak
sewajarnya lagi, dan kini mendapat seorang orang guru yang gila
pula, maka sikapnyapun makin tidak karuan dan ketidakacuhannya
akan keadaan diri sendiri membuat ia lebih mendekati kegilaan!
Latihan-latihan aneh dilakukan tiada hentinya di dalam sebuah
hutan yang tak pernah dikunjungi manusia, dan mereka hanya
berhenti berlatih apabila perut terasa lapar dan tak tertahan atau
mata merasa ngantuk sekali. Selain keperluan khusus yang tak dapat
ditahan atau ditunda lagi, mereka siang malam terus berlatih matimatian!
Kakek tua jembel yang berotak miring ini sebetulnya dahulu
adalahseorang gagah yang berwatak berani, jujur, dan jantan. Tapi
karena tersesat seorang diri dalam sebuah gua siluman, ia
mendapatkan ilmu mujijat yang penuh mengandung hawa siluman dan
tanpa sadar mempelajarinya. Ilmu yang dipelajarinya itu demikian
mujijat hingga setelah keluar dari gua itu ia menjadi gila tapi
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya pula, karena
gerakan-gerakannya demikian aneh, sesuai dengan orangnya yang
menjadi gila! Pengalaman-pengalaman hebat di waktu mudanya, dapat
diikut dalam cerita "Bu Beng Kiam-hiap" yang ramai.
Entah apakah yang menggerakkan jiwa empek gila itu untuk
merasa sangat tertarik dan sayang kepada Suma Li Lian sehingga ia
menerima gadis sengsara itu sebagai muridnya dan menurunkan ilmu
mujijat yang dimilikinya kepada murid ini. Setelah mereka berdua
bersembunyi di dalam hutan itu selama sebulan lebih, maka si jembel


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gila lalu mengajak muridnya keluar untuk ikut dalam
perantauannya yang tiada tentu tujuan itu. Kecantikan Li Lian
lenyap tertutup oleh kekotoran yang menutupi mukanya dan oleh
rambutnya yang riap-riapan mengerikan. Tapi sepasang matanya
tetap bening dan jeli, hanya sepasang mata itu mengeluarkan sinar
yang seakan-akan merasa jemu melihat segala yang berada di
sekelilingnya. Di sepanjang jalan tiada hentinya dan bosannya, Li Lian
berlatih silat dan lweekang yang aneh-aneh.
Kita kembali kepada Giok Ciu, gadis jelita yang patah hati
karena kecewa kepada Sin Wan kekasihnya. Ia tetap menganggap bahwa
pemuda itu telah terpikat oleh kecantikan Li Lian dan telah
bermata gelap hingga melakukan perbuatan rendah, maka perasaan
cintanya terhadap pemuda itu berubah benci sekali, benci bercampur
kecewa dan memandang rendah.
Setelah berpisah dari Sin Wan pada malam itu, yakni sesudah
berhasil membunuh Keng Kong Tosu bersama-sama dengan Sin Wan
seakan-akan mereka sekali lagi berlumba dan tidak mau kalah dalam
hal mengeluarkan kepandaian membasmi musuh-musuh mereka, Giok Ciu
lari cepat di malam gelap. Setelah keluar dari dusun itu dan
memasuki sebuah hutan, ia melihat sebuah kelenteng kecil atau bio
yang berdiri terpencil di pinggir jalan. Bio tua itu tampak sunyi
terpencil hingga menarik perhatian Giok Ciu. Ia lalu masuk ke
dalam bio itu. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah patung
Dewi Kwan Im yang sudah luntur catnya. Melihat patung kecil itu
berada di tempat terpencil dan sunyi, biarpun di dalam keadaan
remang-remang dan gelap, namun Giok Ciu seakan-akan melihat
betapa patung itu merasa kesunyian dan sengsara karena tiada
kawan, sebatang kara di dunia ini, maka sedihlah rasa hatinya. Ia
lalu menangis dan mencurahkan semua kedukaan hatinya. Di depan
patung kecil itu sambil berlutut.
Sampai fajar menyingsing, gadis itu berlutut di depan patung
Kwan Im. Kemudian ia lalu duduk bersila dan menjalankan siulian
untuk menenangkan pikiran dan istirahat.
Untuk beberapa lama ia bersamadhi, kemudian ia merasa seakanakan ada orang yang memandangnya, maka sadarlah ia lalu membuka
mata. Ternyata, seperti dulu ketika di puncak Kam-hong-san, tak
jauh di depannya tampak Gak Bin Tong duduk pula memandangnya
dengan sepasang mata yang sangat kagum dan tertarik. Seketika itu
juga naiklah warna merah di kedua pipi Giok Ciu dan ia lalu
meloncat berdiri. "Eh, kau lagi! Mau apa kau mengganggu aku?" bentaknya ambil
mencabut pedangnya. Tapi Gak Bin Tong buru-buru berdiri dan mengangkat kedua
tangannya menyabarkannya. "Maafkan aku, lihiap. Aku tidak
mempunyai maksud jahat terhadapmu, hal ini kau tahu dengan baik.
Kalau dulu-dulu aku pernah mengeluarkan kata-kata kurang ajar,
maka lupakanlah itu dan aku mohon maaf sebesar-besarnya."
"Jangan bicarakan lagi hal dulu-dulu!" Giok Ciu membentak pula,
tapi ia agak sabar melihat sikap pemuda itu.
"Baiklah, lihiap. Aku selalu ingin sekali bersahabat dengan
engkau, sama sekali tak ingin menjadi lawan. Bukankah dulu aku
telah memperingatkan kau dari segala keburukan? Aku pernah
mengatakan bahwa Li Lian dan Sin Wan.."
"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menyebut hal mereka, terpaksa
pedangku ini yang akan berbicara!"
Gak Bin Tong tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi
hormat. "Maaf! Baiklah, aku takkan mengulangi hal itu. Agaknya kau masih
saja tidak percaya dan membenciku, lihiap, sungguh hal itu sangat
kusesalkan, karena sebetulnya aku ingin menolongmu dalam segala
hal." Giok Ciu menjadi tidak sabar. "Sudahlah, katakan saja apa
maksudmu mengikuti aku dan datang kesini mengganggu istirahatku?"
Gak Bin Tong memperlihatkan muka terkejut."Aku tidak
mengikutimu, lihiap. Hanya kebetulan saja aku lewat disini.
Alangkah girang hatiku melihat kau berada dalam bio ini. Aku. aku
mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali kau akan mencari musuh
besarmu, bukan? Nah, kalau betul dugaanku ini, agaknya aku akan
dapat menolongmu." Tiba-tiba lenyaplah segala kegalakan Giok Ciu. Wajahnya yang
tadi muram kini tampak berseri dan penuh semangat,"Betulkah?
Tahukah dimana tempat tinggal siluman itu? Beritahukanlah
padaku!" Diam-diam Gak Bin Tong tersenyum. Ia telah menggunakan
senjata terampuh dalam menghadapi gadis ini. "Begini, lihiap. Aku
sendiri pada saat sekarang ini tidak dapat menentukan di mana ia
tinggal, tapi karena aku kenal semua tempat dan orang-orang di
kota raja, mudah sekali bagiku untuk menyelidikinya. Aku tanggung,
jika kau ikut aku ke kotaraja, pasti dalam waktu beberapa hari saja
aku akan memberi tahu padamu dimana tempat sembunyinya siluman
tua itu!" Giok Ciu adalah seorang gadis yang biarpun memiliki kepandaian
tinggi sekali namun masih hijau dan belum banyak mengenal
kepalsuan dan kelicinan muslihat orang. Mendengar kata-kata Gak
Bin Tong ini, ia percaya penuh dan merasa bersyukur sekali.
Lenyaplah sebagian besar rasa tidak sukanya kepada pemuda muda
putih yang tampan itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di dada dan
menjura. "Saudara Gak, sungguh kau ternyata seorang sahabat yang baik.
Maafkan kelakuan kasarku yang sudah-sudah karena aku bercuriga
kepadamu." "Sama-sama, Kwie Lihiap, akupun sebagai seorang muda tentu
banyak kekhilapan, maka harap dari pihakmu juga yang banyak
memaafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah."
Demikianlah, dengan kata-kata yang halus, sopan, dan manis,
Gak Bin Tong memasang perangkapnya, dan Giok Ciu si dara muda
yang masih bodoh ini bagaikan seekor lalat yang tanpa merasa
mendekati jaring laba-laba yang berbahaya. Namun, Giok Ciu yang
mempunyai kepercayaan besar sekali kepada diri sendiri, sedikitpun
tidak merasa betapa pemuda muka putih itu sedang memasang
perangkap untuknya. Hal ini sebenarnya dapaat terjadi demikian
mudahnya karena sikap Giok Ciu yang memandang rendah kepada
pemuda itu. Ia menganggap bahwa betapapun juga, pemuda itu takkan
berdaya menghadapinya dan ia tahu betul bahwa kepandaiannya masih
jauh lebih tinggi hingga tak perlu berkuatir apa-apa. Ia tidak tahu
bahwa disamping kelihaian ilmu silat, masih ada kepandaian yang
lebih hebat dan lebih berbahaya lagi, yakni tipu muslihat yang
banyak digunakan orang untuk menjatuhkan lawan yang lihai dan
tangguh! "Saudara Gak, menurut dugaanmu di manakah adanya Cin Cin
Hoatsu pada waktu ini?"
"Kalau tidak salah tentu ada di kota raja, tapi entah di gedung
mana. Kita harus berlaku hati-hati sekali, karena pada waktu ini di
kota raja terdapat seorang yang sangat tangguh dan sakti, yakni
Beng Hoat Taisu, seorang utusan dari Tibet yang masih paman guru
dari Cin Cin Hoatsu sendiri. Aku mendengar berita bahwa kepandaian
taisu ini tinggi sekali, maka kau harus waspada dan berhati-hati
lihiap." "Aku tidak takut, marilah kita berangkat mencari mereka!"
Di dalam hatinya, Gak Bin Tong merasa girang sekali karena
ternyata muslihatnya berhasil baik. Ia telah dicap sebagai
pengkhianat oleh para pengawal kota raja semenjak rahasianya
dibuka oleh Suma Li Lian dulu itu hingga ia dikejar-kejar sampai di
puncak Kam-hong-san. Kini ia mendapat kesempatan untuk menebus
kedosaannya. Kalau saja ia dapat menjebak gadis pemberontak ini dan
dapat menyerahkannya kepada Cin Cin Hoatsu, tentu ia akan
mendapat muka terang dan mendapat jasa! Tentu saja Giok Ciu
sedikitpun tak pernah menyangka akan apa yang terpikir di dalam
kepala pemuda tampan muka putih ini.
Di sepanjang jalan dalam perjalanan mereka ke kota raja dan
mencari tahu akan keadaan Cin Cin Hoatsu, Gak Bin Tong berlaku
sopan santun dan baik hingga sedikit kecurigaan yang masih bersisa
di dalam hati Giok Ciu dan membuatnya berlaku waspada terhadap
pemuda itu, kini lenyap sama sekali, terganti kepercayaan besar.
Berhari-hari mereka melakukan perjalanan dan setelah masuk ke
kota raja, Gak Bin Tong mengajaknya secara sembunyi-sembunyi
tinggal di dalam sebuah rumah di pinggir kota. Dari tempat itu, tiap
malam mereka keluar melakukan penyelidikan. Kadang-kadang mereka
berpisah, untuk melakukan penyelidikan masing-masing.
Pada hari kelima setelah mereka berada di kota yang besar itu,
Gak Bin Tong berkata dengan wajah girang setelah kembali dari
penyelidikannya. "Nah, terpeganglah sekarang olehku! Aku telah menemukan tempat
tinggal siluman itu, lihiap!"
Bukan main girang hati Giok Ciu mendengar ini. Dengan wajah
berseri-seri ia segera menanyakan di mana tempat itu.
"Kita harus berhati-hati, lihiap. Sekali-kali tidak boleh
berlaku lancang dan sembrono. Cin Cin Hoatsu sendiri kepandaiannya
tinggi, sedangkan aku belum tahu jelas siapa saja yang tinggal di
gedung besar itu. Mungkin Beng Hoat Taisu juga berada di situ pula,
dan ini berbahaya sekali. Lebih baik malam nanti kita berdua pergi
menyelidiki ke sana dan kalau kiranya ada kesempatan baik, kita
turun tangan!" Giok Ciu memandang wajah pemuda itu dan menghela napas.
"Saudara Gak, kau sungguh baik hati kepadaku. Pekerjaan ini tiada
sangkut-pautnya dengan kau dan sangat berbahaya, maka janganlah
kau membahayakan keselamatanmu untuk urusanku. Biarlah aku pergi
sendiri malam nanti."
Gak Bin tong membalas pandangan nona itu dan tersenyum
menjawab,"Lihiap harap jangan sungkan, lihiap telah tahu betul akan
perasaanku terhadapmu. Maaf lihiap, aku tidak berani mengulangulangi hal itu karena kau tidak suka mendengarnya. Tentu kau tidak
percaya kepadaku, maka biarlah kesempatan ini kugunakan untuk
membuktikan betapa murninya perasaanku itu. Biarlah kalau perlu
aku mengorbankan jiwa dalam membelamu."
Giok Ciu merasa terharu mendengar ucapan ini, tapi ia tidak
berkata apa-apa karena kembali bayangan Sin Wan terbayang di
depanmatanya dan membuatnya merasa sangat sedih. Melihat keadaan
gadis itu, Gak Bin Tong lalu meninggalkan gadis itu untuk
mengadakan persiapan guna penyelidikan mereka malam nanti.
Malam hari itu udara gelap sekali. Udara hanya diterangi oleh
sinar ribuan bintang yang berkelap-kelip. Di dalam kegelapan malam
itu, tampak dua bayangan hitam berkelebat di atas genteng-genteng
rumah yang tinggi. Mereka ini adalah Giok Ciu dan Gak Bin Tong.
Seperti biasa Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang serba hitam dan
Ouw Liong Pokiam tergantung di pinggangnya. Rambutnya yang hitam
dan bagus itu diikat ke atas degan pengikat kepala dari sutera
merah. Gak Bin Tong mengenakan pakaian serba biru dan tampaknya
gagah sekali. Mereka menggunakan ilmu lari cepat dan berloncatloncatan di atas wuwungan rumah. Akhirnya tibalah mereka di atas
sebuah gedung yang tinggi besar.
"Lihiap, inialh gedungnya. Lebih baik kita berpencar, aku
masuk dari kiri dan kau dari kanan."
Giok Ciu mengangguk. Mereka lalu berpencar dan Giok Ciu
dengan gesit sekali loncat ke atas wuwungan bangunan sebelah
kanan. Ia melihat betapa di bawah masih terang sekali, tanda bahwa
penghuni gedung itu belum tidur. Hatinya berdebar keras karena ia
ingin sekali lekas-leks bertemu dengan musuh besarnya dan membuat
perhitungan. Ketika ia sedang mengintai ke dalam, telinganya yang
tajam mendengar sesuatu di atas genteng sebelah belakangnya. Cepatcepat ia menengok dan melihat bayangan yang berkelebat cepat
sekali tapi terus lenyap! Ia kaget sekali karena orang itu memiliki
kepandaian tinggi dan gerakan yang cepat sekali.Pada saat ia
menduga-duga, tiba-tiba di bawah genteng terdengar sara orang
berjalan dan ia cepat mengintai dari celah-celah genteng. Hatinya
berdebar keras ketika melihat bahaw yang berjalan dengan pedang
berkilauan di tangan itu adalah Sin Wan! Ia merasa marah sekali
karena hatinya takkan rela kalau pemuda itu mendahuluinya dan
membinasakan musuh besar ayahnya. Maka tanpa banyak pikir lagi
Giok Ciu lalu melayang turun untuk menegur dan mengusir Sin Wan.
Tapi pada saat itu dari dalam gedung keluarlah seorang tinggi besar
yang langsung menyerang Sin Wan dengan sebatang tongkat ular!
Ternyata yang datang ini adalah Kwi Kai Hoatsu!
Jilid X "Tosu siluman, sekarang takkan kulepaskan lagi kau!" kata Sin
Wan dengan marah dan menangkis dengan Pek Liong Pokiam. Pada saat
itu Giok Ciu telah turun dan tanpa banyak cakap lagi ia kerjakan
Ouw Liong Pokiam untuk menyerang Kwi Kai Hoatsu, hingga tosu itu
terkejut sekali. Menghadapi Sin Wan seorang saja ia tidak mampu
menang, sekarang ditambah kehadiran gadis lihai ini. Ia mundur
dengan jerih. Sin Wan juga terkejut melihat Giok Ciu. Hampir saja ia berseru
memanggil, tapi melihat betapa muka gadis itu tampak marah dan
sama sekali tidak memperdulikan padanya, ia juga diam saja, tapi
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menamatkan pertempuran
ini. Pada saat Kwi Kai Hoatsu terdesak dan berada dalam keadaan
berbahaya sekali, dari dalam terdengar orang berseru keras dan
tahu-tahu Cin Cin Hoatsu telah melayang dan dengan bentakan
nyaring ia menggunakan ujung lengan bajunya menyerang Sin Wan!
Pemuda ini melihat datangnya serangan yang demikian hebat, cepat
merobah gerakan pedangnya dan menangkis, Cin Cin Hoatsu dapat
merasa betapa sambaran pedang pemuda itu hebat sekali, maka ia
tidak berani melanjutkan serangannya karena maklum bahwa ujung
bajunya tentu akan terbabat putus, maka ia meloncat ke belakang
sabil berjumpalitan. "Ha, ha, ha1 Kusangka siapakah tamu-tamu malamku, tidak
tahunya kedua pemberontak muda ini! Memang telah kuduga bahwa
kalian tentu akan datang juga akhirnya. Maka menyerahlah sebelum
kalian mampus di ruangan ini!"
Sementara itu, melihat datangnya musuh besar ini, Giok juga
meninggalkan Kwi Kai Hoatsu dan kini menuding sambil memaki
dengan marah sekali, "Cin Cin, pendeta palsu! Kalau kau memang
laki-laki sejati, hayolah kau layani aku seribu jurus untuk
menentukan siapa yang lebih unggul! Kau telah membunuh mati
ayahku, apakah sekarang kau begitu pengecut untuk menghindari
puterinya yang hendak menuntut balas?"
"Ha, ha, nona cantik. Sungguh aku beruntung sekali mendapat
kehormatan untuk melayanimu! Kau kira kau akan dapat menangkan
aku? Pula, andaikata kau dapat menangkan aku juga, kau kira akan
dapat lolos dari sini dengan aman? Ketahuilah, kini lebih dari dua
puluh pahlawan istana kini telah mengepung gedung ini untuk
menangkap kalian!" Giok Ciu dan Sin Wan terkejut juga mendengar ini. Mereka telah
masuk perangkap! Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun
bayangan orang dan ternyata yang turun itu adalah Gak Bin tong
dengan pedang di tangan. "Kwie Lihiap, jangan takut, aku membantumu!" katanya dengan
gagah. Cin Cin Hoatsu tertawa bergelak-gelak lalu dari punggunya ia
mengeluarkan sebatang pedang dan dari ikat pinggang ia mencabut
hudtimnya yang warna. Ia lalu menyerang ke arah Giok Ciu dengan


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan cepat dan kuat sekali. Gadis itu tidak menjadi jerih, bahkan
ketika tahu bahwa ia telah dikepung, ia hendak berlaku nekad dan
mengadu jiwa. Ia menggerakkan Ouw Liong Pokiam sedemikian rupa
hingga Cin Cin Hoatsu kagum sekali. Ternyata bahwa kepandaian
gadis ini lihai sekali, bahkan kiam-hoatnya aneh dan tak mampu ia
memecahkannya! Ketika ia mengadu lweekang dan menggunakan
pedangnya hendak menyampok pedangnya hendak menyampok pokiam
Giok Ciu, kembali ia terheran karena lweekang gadis muda itupun
tidak berada di bawah tingkatannya! Tadinya ia mentertawakan
suhengnya, yakni Kwi Kai Hoatsu yang memuji-muji kepadaian Sin
Wan dan Giok Ciu di depan sutenya, tapi kini ia setelah merasakan
sendiri kelihaian Giok Ciu, diam-diam merasa jerih dan bingung.
Sementara itu, Sin Wan gunakan pokiamnya mendesak Kwi Kai Hoatsu!
Sedangkan Gak Bin Tong yang merasa bahwa kepandaiannya msih jauh
di bawah tingkat mereka yang bertempur, hanya berdiri dengan
pedang di tangan melihat jalannya pertempuran.
Pada saat yang sangat tidak menguntungkan itu, Cin Cin Hoatsu
lalu bersuit kerasa memberi tanda kepada para pahlawan raja yang
mengepung gedung itu untuk turun tangan membantu. Tapi biarpun
berkali-kali ia bersuit dan berseru memberi tanda tak satupun
bayangan kawan-kawannya tampak turun! Hal ini aneh sekali dan ia
merasa sangat gelisah dan terkejut. Juga Gak Bin Tong yang
sebenarnya adalah pengatur dari jebakan ini, tiba-tiba menjadi
pucat dan diam-diam merasa cemas sekali. Ia tahu bahwa kepandaian
Sin Wan dan Giok Ciu hebat sekali dan kedua imam itu agaknya akan
kalah. Ia merasa gemas sekali mengapa tanpa diduga sama sekali Sin
Wan bisa datang di situ dan mengacau rencananya. Tapi yang
mengherankan sekali, mengapa dua pulih orang gagah yang beada di
sekitar tempat itu tidak muncul-muncul? Ia ingin sekali meloncat
naik dan melihat mereka, tapi kuatir kalau-kalau gerakan ini akan
terlihat oleh Sin Wan dan Giok Ciu hingga menimbulkan kecurigaan,
maka ia diam saja sambil berdiri bingung. Sama sekali mereka tidak
menduga bahwa dua puluh orang yang menjaga di sekeliling tempat
itu, semuanya telah kaku karena tertotok oleh tangan yang luar
biasa gerakannya! Dengan gerakan Pek-liong-ciau-hai atau Naga Putih Lintasi
Laut, pedang Sin Wan akhirnya berhasil menusuk leher Kwi Kai
Hoatsu yang berteriak keras dan roboh di atas lantai! Setelah
berhasil merobohkan lawannya, tanpa banyak cakap lagi Sin Wan lalu
menerjang Cin Cin Hoatsu yang masih bertempur seru melawan Giok
Ciu. Gadis itu merasa gemas sekali melihat Sin Wan ikut menyerbu,
maka berkata marah, "Jangan mencampuri urusanku, biarkan aku
membalas sendiri sakit hati ayahku!"
Sin Wan menjawab, "Bukan hanya engkau yang menaruh dendam,
aku juga ingin membalaskan sakit hati Kwie-suhu!" lalu ia
menggerakkan pedangnya dengan hebat. Giok Ciu kertak gigi dan
perhebat serangannya karena ia tak ingin didahului oleh Sin Wan.
Kembali sepasang pedang pusaka itu seakan-akan berlumba
memperebutkan pahala. Cin Cin Hoatsu merasa takut sekali ketika
tiba-tiba kedua lawannya yang masih muda itu lenyap dari
pandangan matanya dan seakan-akan berubah menjadi dua sinar hitam
putih yang bergulung-gulung menyerang dirinya, seakan-akan
sepasang naga hitam dan naga putih yang mencakar-cakar dan
menyambar-nyambar. Imam yang sesat itu menjadi terdesak dan ia masih mencoba
untuk menangkis dengan pedang dan kebutannya. Dalam bingungnya ia
teringat akan paman gurunya yang berjanji hendak dating. Mengapa
belum juga susioknya itu muncul? Ia berseru, "Susiok
bantulah susiok" Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tak memberi ketika kepadanya untuk
berteriak-teriak terus, karena dengan gerakan mematikan kedua
pokiam itu berbareng menyambar dan tahu-tahu telah menembusi dada
musuh besar itu dari kanan kiri! Pedang dan kebutan Cin Cin Hoatsu
terlepas dan tangan, tubuhnya kejang dan ketika dua pedang itu
ditarik keluar, tubuhnya terhuyung dan akhirnya mandi darah!
Giok Ciu yang masih merasa penasaran karena lagi-lagi Sin
Wan telah memperlihatkan ketangkasannya hingga robohnya musuh
besar inipun disebabkan oleh serangan mereka yang berbareng, segera
maju dan mengayunkan pedangnya hingga putuslah kepala Cin Cin
Hoatsu! Tapi Sin Wan setelah melihat betapa musuh besar itu dapat
dibinasakan, kini menghampiri Gak Bin Tong yang berdiri dengan
wajah pucat. Sikap Sin Wan yang menakutkan itu membuat ia mundurmundur hingga sampai di tembok. Giok Ciu berpaling dan kaget
melihat sikap Sin Wan. "Bangsat hina dina! Laki-laki rendah! Kalau belum membunuh
engkau, aku takkan merasa puas!" terdengar Sin Wan berkata
perlahan. "Saudara Bun jangan jangan mengapa kau hendak
membunuh.?" Gak Bin Tong merasa takut melihat wajah Sin Wan
yang menyeramkan karena menahan marah dan gemasnya.
Tapi Sin Wan tak dapat banyak berkata lagi, dengan loncatan
cepat ia mengayun Pek Liong Pokiam ke arah leher Gak Bin Tong
yang mencoba menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara "trang!"
keras sekali dan pedang pemuda she Gak itu putus menjadi dua
potong! Ketika Sin Wan menyerang untuk kedua kalinya, tiba-tiba sinar
hitam berkelebat dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis oleh
pedang Giok Ciu! "Pengecut hina juga kau main bunuh saja orang yang lebih
lemah! Lebih pantas kau bunuh dirimu sendiri, atau kau bunuh aku!"
kata Giok Ciu. Sin Wan balas memandang dengan marah. "Hem, jadi kau juga
telah kena tipuannya dan pikatnya? Bagus! Bertambahlah alasanku
untuk membinasakan anjing ini!" Kembali ia menyerang Gak Bin Tong
tanpa perdulikan Giok Ciu, tapi gadis itu yang merasa dipandang
rendah sekali, lalu menggerakkan pedangnya menangkis lagi hingga
sebentar saja mereka berdua lalu bergebrak seru sekali.
Tapi pada saat itu terdengar suara wanita yang nyaring dan
merdu, dibarengi suara tertawa aneh, "Suhu, kau rampas pedang
mereka!" Dari atas melayang turunlah tubuh seorang yang tinggi besar.
Tangan kiri orang itu memegang lengan tangan seorang wanita yang
riap-riapan rambutnya. Begitu turun, orang tinggi besar itu
melepaskan tangan wanita itu, lalu ia maju cepat menghampiri Sin
Wan dan Giok Ciu yang sedang bertempur. Beberapa kali ia berloncatloncatan dan kedua tangannya bergerak secara aneh dan tahu-tahu
Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam telah terampas olehnya!
Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tengah mereka
bertempur, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang yang bergerak
secara aneh di dekat mereka dan ada gerakan angina menyambar dan
menyerang jalan-jalan darah mereka hingga mereka segera berkelit.
Tidak tahunya, tiba-tiba pedang mereka secara gaib telah terlepas
dan terampas oleh bayangan itu. Sungguh satu gerakan ilmu merampas
senjata dengan tangan kosong yang hebat sekali!
Orang itu tertawa bergelak-gelak dan angsurkan kedua pedang
kepada wanita yang menyebutnya suhu. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu
memandang, mereka terkejut sekali karena orang tinggi besar yang
merampas pedang mereka itu ternyata bukan lain ialah si jembel
gila yang dulu pernah menolong mereka. Tapi lebih hebat kekagetan
mereka ketika mereka lihat wanita muda yang menjadi murid si kakek
gila itu, karena biarpun pakaiannya seperti orang gila dan
rambutnya riap-riapan menutupi muka, mereka masih mengenali bahwa
wanita itu bukan lain orang ialah Suma Li Lian adanya!
Tak terasa lagi, dari mulut Sin Wan keluar seruan tertahan
dan ia berbisik, "Suma-siocia engkau.?"
Sementara itu, Gak Bin Tong yang tadinya berdiri mepet di
tembok karena merasa takut kepada Sin Wan kini memandang Suma Li
Lian dengan kedua mata terbelalak ngeri, juga ia memandang kakek
tinggi besar itu dngan heran karena tidak tahu siapakah orang yang
aneh dan luar biasa ini. Suma Li Lian menerima kedua pedang Pek Liong dan Ouw Liong
Pokiam di tangan kanan kiri dan memutar-mutar kedua senjata itu
sedemikian rupa sehingga Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa lagi
saling pandang dengan bengong, karena gerakan-gerakan gadis itu
adalah tipu-tipu silat Sin-liong Kiam-sut! Kemudian mereka merasa
ngeri ketika mendengar gadis itu tertawa pula bergelak-gelak
seperti suara ketawa kakek gila itu.
Suma Li Lain memandang kedua pedang itu berganti-ganti, lalu
ia mendekati Sin Wan dan Giok Ciu. Pandang mata gadis yang agaknya
telah menjadi gila itu membuat Sin Wan dan Giok
Ciu tak terasa pula mundur satu tindak kebelakang.
"Ha, ha, ha, kau kau. orang! Orang-orang bodoh.. ha, ha,
ha! Sin Wan, kau telah mengecewakan dan menghancurkan hati
seseorang, tapi kau telah menerima balasanmu. Kau juga dikecewakan,
bukan? Ha, ha, ha! Itulah cinta! Cinta gila yang membuat orangorang menjadi gila pula! Kau cinta kepada Giok Ciu? Tentu saja,
gadis itu cantic jelita. Kalau Giok Ciu telah bercacad, telah menjadi
gila seperti aku, masih akan cintakah kau padanya? Tak mungkin
ha, ha inilah cinta!"
Sin Wan memandangnya dengan muka menjadi merah. Pemuda itu
merasa kasihan sekali melihat betapa Li Lian menjadi demikian, tapi
ia juga merasa heran betapa ucapan-ucapan gila itu menikam
jantungnya seakan-akan ucapan itu mengandung filsafat yang nyata.
Kemudian gadis gila itu memandang kepada Giok Ciu.
"Kau.. ha, ha! Kau lebih gila lagi! Kau bodoh dan mudah
tertipu. Kau terlalu menurutkan perasaan hatimu, tidak mau
menggunakan pertimbangan sehat! Kau mencinta Sin Wan? Bohong!
Cintamu palsu. Kalau betul mencinta mengapa sedikit rasa cemburu
saja dapat merobah cintamu menjadi benci. Itu bukan cinta! Kau
mencinta diri sendiri! Giok Ciu kau gadis tolol. Ha, ha,ha.."
Dan Giok Ciu terbelalak heran. Ia tidak tahu harus berbuat
bagaimana. Menurut rasa hatinya, ingin ia menyerang gadis ini dan
merampas kembali pedangnya. Tapi ia malu, karena baru saja gadis
gila itu menyatakan bahwa ia terlampau menurutkan perasaan
hatinya! Kemudian Suma Li Lian membalikkan tubuh dengan cepat sekali,
dan dengan tindakan perlahan dan mengancam ia menghampri Gak
Bin Tong! Pemuda itu melihat hal ini menjadi takut sekali dan
tubuhnya bergemetar bagaikan api lilin besar yang berada di ruang
itu dan pada saat itu tertiup angina. Sementara itu, kakek tua gila
itu menjatuhkan diri duduk dan menyandarkan diri di tembok,
melenggut, dan sebentar lagi ia mendengkur!
"Gak Bin Tong, manusia rendah! Bukan bukan manusia, kau
binatang hina! Dosamu besar sekali dan kau lebih gila daripada
segala yang gila! Kau telah menodaiku, menghancur-leburkan
hidupku, tapi secara pengecut sekali kau telah melemparkan
tanggung jawab perbuatanmu itu kepada Sin Wan! Kau tidak hanya
merusak hidupku, tapi kaupun merusak perhubungan dan kebahagiaan
sepasang kekasih itu! Ha, ha! Tahukah apa hukumannya karena kau
telah menipuku dan berpura-pura menjadi Sin Wan lalu memasuki
kamarku! Ha, ha! Lihatlah dua pedang ini. Dengan pedang ini, aku
hendak mengeluarkan jantungmu! Hendak kulihat apakah jantungmu
berwarna hitam atau merah!"
Sambil berkata demikian, ia maju makin dekat. Terdengar seruan
tertahan dari Giok Ciu, karena gadis ini ketika mendengar
pengakuan dan keterangan Li Lian yang membuka rahasia persoalan
menjadi demikian terkejut dan terharu hingga ia memekik perlahan
dan menangis sambil menggunakan kedua tangan menutupi mukanya!
Ia merasa malu, menyesal dan marah kepada Gak Bin Tong. Ternyata
Sin Wan benar-benar tak pernah melakukan perbuatan sesat
sebagaimana yang dikiranya! Sin Wan tetap bersih, dan Gak Bin Tong
pemuda jahanam itulah gara-gara semuanya. Kini terbuka matanya
betapa ia telah tertipu oleh pemuda muka putih itu, betapa pemuda
itu sebenarnya adalah pengkhianat dan "pertolongan" yang diberikan
padanya sekarang ini sebetulnya hanyalah sebuah perangkap untuk
menangkap dan menjatuhkannya! Ah, betapa bodohnya, betapa tololnya.
Benar belakalah kata-kata Li Lian tadi yang mengatakan bahwa ia
adalah seorang gadis bodoh dan tolol! Tapi, demikian pikirnya,
setolol-tolol dia masih lebih tolol Suma Li Lian yang dapat
terpedaya oleh Gak Bin Tong! Maka ia lalu membuka tangannya dan
sambil menahan tangis ia melihat kepada gadis yang telah berada di
hadapan Gak Bin Tong. Pemuda muka putih itu dengan bibir gemetar berkata," Li Lian..
Li Lian. ampunilah aku. Biarlah aku menebus dosa-dosaku dan
merawatmu baik-baik Li Lian, mana anakku..? Marilah kita mulai
hidup baru lagi, kau ampunilah aku, Li Lian?"
Terdengar pekik ngeri dari mulut Li Lian, seakan-akan katakata ini menusuk anak telinganya. "Bangsat rendah! Jangan ulangi
kata-kata palsu itu! Siapa yang sudi mendengarnya? Tahukah kau
bahwa jika kuketahui kaulah orangnya yang menggangguku, pada saat
itu juga aku lebih baik membunuh diriku? Siapa sudi dicinta olehmu?
Cintamu kotor dan hina. Rasakanlah sekarang pembalasanku!"
Setelah berkata demikian, Li Lian maju menyerang dengan kedua
pedang di kanan kiri, menyabet ke arah leher Gak Bin Tong.
Sebetulnya kepandaian Gak Bin Tong bukanlah lemah dan kalau baru
Li Lian saja yang hanya belajar silat selama satu bulan, tak
mungkin dapat melawannya, biarpun gadis itu menyakinkan ilmu
silat yang mujijat. Akan tetapi, pada saat itu Gak Bin Tong telah
kehilangan tigaperempat bagian semangatnya yang membuatnya lemas
da lambat. Ia telah putus asa melihat ancaman-ancaman Sin Wan dan
kini setelah rahasianya terbuka oleh Li Lian, tentu Giok Ciu takkan
dapat mengampuninya pula. Juga, selain tiga orang ini, masih ada
lagi kakek gila yang duduk melenggut sambil mendengkur itu. Ia
maklum bahwa jembel itu tentu seorang sakti, karena ia dapat
menduga bahwa dua puluh orang pahlawan yang kini tidak munculmuncul itu tentu telah dibuat tak berdaya oleh kakek jembel itu!
Maka apakah harapannya untuk tinggal hidup? Keputus-harapan
inilah membuat ia setengah hati untuk menahan serangan Li Lian
yang biarpun lemah tapi telah mempelajari ilmu silat aneh. Dengan
mudah saja sambil menundukkan kepala, Gak Bin Tong dapat mengelit
dua pedang yang menyambar di atas kepalanya, tapi pada saat itu Li
Lian mengeluarkan teriakan demikian gila dan menyeramkan hingga
seluruh tubuh Gak Bin Tong terasa lemas! Inilah lweekang luar biasa
yang diajarkan oleh kakek gila itu, dan teriakan ini cukup untuk
melumpuhkan seorang yang lweekangnya belum begitu tinggi. Bahkan
Sin Wan dan Giok Ciu yang mendengar pekik gila ini, merasa betapa
dada mereka berdebar aneh dan keras!
Pada saat Gak Bin Tong memandang kepada Li Lian dengan mata
terbelalak takut dan tubuhnya lemas, sepasang pedang hitam dan
putih itu meluncur cepat dan tahu-tahun telah menusuk dada Gak
Bin Tong hingga tembus! Li Lian tertawa bergelak-gelak, tapi pada
saat itu dari pintu di belakang Gak Bin Tong yang terbuka
menyambar angin besar yang membuat tubuh Li Lian terlempar keras
dan jatuh di pangkuan kakek jembel gila yang sedang melenggut.
Ketika kakek gila itu membuka matanya, ternyata muridnya telah
meringkuk di atas pangkuannya dalam keadaan mati!
Juga Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali. Mereka tahu bahwa
Li Lian telah terkena pukulan dari jauh yang dilakukan oleh orang
berilmu tinggi. Mereka tidak berani sembarangan bergerak, hanya
berlaku waspada dan hati-hati menjaga segala kemungkinan.
Jembel gila itu beberapa kali merasa jidat Li Lian. Tiba-tiba
ia meletakkan tubuh muridnya di atas lantai, lalu ia berdiri dan
menangis! Suara tangisan ini diseling-seling suara tertawa yang


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar sangat aneh dan membuat bulu tengkuk Sin Wan dan Giok
Ciu meremang karena merasa ngeri. Dan pada saat itu dari pintu di
dekat tempat Gak Bin Tong berdiri, muncullah seorang tosu tua
sekali dengan tubuh bongkok dan tongkat di tangan. Ia memasuki
ruangan itu dan kedua matanya yang tajam menyambar-nyambar. Ia
melihat betapa Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu rebah mandi darah
dan mati di atas lantai, maka ia membuka mulutnya dan bertanya
dengan suara kecil tinggi bagaikan suara kanak-kanak.
"Siapa orangnya yang berani membunuh kedua orang ini?"
Tapi pada saat itu, lain suara terdengar, dan sungguh jauh
bedanya dengan suara kakek bongkok tadi, karena suara ini
terdengar besar,parau, dan bernada aneh dan janggal.
"Siapa orangnya yang berani membunuh muridku ini?"
Kakek bongkok ini tujukan pandang matanya kepada si jembel
gila yang berdiri di sudut lain. Ia memandang heran dan bertanya,
"Siapa pulakah orang gila ini?" tanyanya. "He, siapa namamu dan
ada apakah kau berada di sini?"
Jembel gila itu balas memandang. "Siapa aku, siapa namamu? Aku
sendiri tidak tahu. Aku adalah aku, dan mengapa aku berada di sini,
entahlah. Tapi siapa yang telah membunuh muridku ini? Kaukah,
orang bongkok?" Si bongkok tersenyum. "Ya, akulah yang melakukan itu. Kau
tidak mau memberitahukan nama, tapi aku tidak demikian pengecut.
Pinto adalah Beng Hoat Taisu dan kedua orang ini adalah muridmurid keponakanku. Nah, sekarang jawablah, kau siapa orang gila?"
Si jembel gila itu mendengar pengakuan ini maju perlahanlahan dan tertawa-tawa sambil menangis. "Kau membunuh mati dia?
Kalau begitu aku harus membunuhmu juga!"
Beng Hoat Taisu tertawa kecil. Ia belum pernah melihat orang
ini dan belum pernah pula mendengar seorang tokok persilatan yang
seperti orang gila ini, maka ia memandang rendah sekali.
Sebaliknya, ia berhati-hati terhadap Sin Wan dan Giok Ciu, karena
kedua anak muda ini tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka ia
lalu menujukan pertanyaannya kepada mereka,
"He, orang-orang muda! Siapakah yang membunuh Cin Cin Hoatsu
dan Kwi Kai Hoatsu?"
"Aku yang membunuh mereka!" jawab Sin Wan dengan gagah.
"Bukan, akulah yang membunuh mereka!" kata Giok Ciu tak mau
kalah. Tiba-tiba terdengar gelak tawa si jembel gila dan dari
tangannya menyambar seutas tali panjang yang meluncur cepat dan
membelit gagang kedua pedang yang masih menancap di tubuh Gak Bin
Tong yang telentang. Sekali sendal saja, kedua pokiam itu tercabut
keluar dan sendalan kedua membuat kedua pedang itu melayang ke
arah Sin Wan dan Giok Ciu! Kedua pemuda pemudi itu segera
mengulurkan tangan dan menyambut pedang mereka dengan girang dan
kagum sekali. Sebenarnya mereka tadi hendak mengambil pedang
mereka dari tubuh Gak Bin Tong, tapi mereka kuatir kalau-kalau
kakek bongkok yang lihai itu menyerang mereka.
Melihat kelihaian jembel gila itu, si kakek bongkok merasa
heran sekali. Ia lalu menjura dan sekali lagi bertanya, "Toheng
siapakah sebenarnya nama dan julukanmu?"
Si jembel kini telah maju dekat dan berdiri di hadapan Beng
Hoat Taisu. "Aku adalah aku dan mengapa kau bunuh mati muridku?
Aku harus membunuh kau!"
Marahlah Beng Hoat Taisu mendengar ini karena ia merasa
dipandang rendah sekali. "Orang gila, baiklah kuantar kau menyusul
muridmu!" Baru saja kata-katanya habis diucapkan tiba-tiba
tongkatnya bergerak dan cepat sekali meluncur ke arah dada si
jembel gila merupakan totokan maut yang berbahaya sekali. Sin Wan
dan Giok Ciu terkejut sekali, tapi si jembel gila sambil
mengeluarkan suara ketawa bergelak lalu bergerak dengan aneh dan
tahu-tahu ia telah dapat berkelit dan talinya yang kecil panjang
itu meluncur dalam serangan balasan! Beng Hoat Taisu tak berani
memandang rendah serangan ini dan menangkis dengan tongkatnya.
Tapi tali itu bergerak bagaikan ular dan ujungnya dapat membelit
tongkat itu lalu ditarik untuk merampas tongkat lawan. Mereka
berdua mengerahkan tenaga, tapi ternyata tenaga lweekang mereka
sama kuat hingga tali dan tongkat itu masing-masing masih
terpegang kencang, sama sekali tidak dapat terbetot! Si jembel gila
tertawa keras dan talinya mengendur dan melepaskan belitan, lalu
mereka bertempur pula. Sin Wan dan Giok Ciu yang tahu bahwa jembel gila itu berdiri di
fihak mereka, lalu maju membantu dngan pedang mereka di tangan.
Tapi mereka segera mundur kembali dengan kaget, karena sekali saja
pedang mereka beradu dengan tongkat Beng Hoat Taisu, mereka
merasakan tangan mereka linu dan lemas, tenaga mereka terpukul
kembali oleh tenaga si bongkok yang benar-benar lihai dan memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari mereka.
Pada saat itu, terdengar seruan-seruan ramai dan ternyata dua
puluh pengawal keraton kaisar yang tadinya tertotok tak berdaya
oleh si jembel gila, kini berserabutan masuk dengan senjata di
tangan mereka. Mereka tadi telah tertolong oleh Beng Hoatsu Taisu
yang baru saja datang, dan setelah mereka dapat bergerak kembali,
lalu membawa senjata masing-masing dan maju menyerbu!
Karena tidak tahu akan kelihaian si jembel, mereka sambil
berteriak-teriak membantu Beng Hoat Taisu dan menyerang si jembel.
Tapi sekali saja si jembel gila itu menggerakkan talinya yang aneh,
tali itu bersiutan nyaring dan empat orang roboh dengan kulit
terbeset dan mengeluarkan darah karena kena di cambuk oleh ujung
tali itu! Kini mereka mundur dengan jerih, lalu menujukan
perhatian mereka kepada Sin Wan dan Giok Ciu. Melihat kedua anak
muda ini, ramailah mereka menyerbu hendak menangkap. Sin Wan dan
Giok Ciu memutar pedang mereka dan pertempuran hebat terjadi di
dalam ruang gedung yang sangat luas itu.
Sementara itu, Beng Hoat Taisu dan si jembel gila telah lenyap
dari pandangan mata. Tubuh kedua orang tua aneh dan berilmu tinggi
itu telah tertutup sama sekali oleh sinar kedua senjata mereka yang
walaupun hanya tongkat biasa dan tali saja, namun kehebatannya
jauh melebihi puluhan senjata tajam terbuat daripada baja tulen!
Angin gerakan kedua kakek itu membuat kursi dan meja
bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berdesir-desir. Karena
tidak merasa puas dengan adu tongkat dan tambang, mereka lalu
melempar kedua senjata itu ke lantai, dan mulai berhantam dengan
menggunakan sepasang kaki dan tangan! Pertempuran dilanjutkan
dengan lebih mati-matian. Beng Hoat Taisu merasa penasaran dan
heran sekali, karena selama hidupnya yang sudah lebih dari tujuh
puluh tahun itu, belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang
demikian tangguhnya. Mungkin tak lebih tangguh daripada Bu Beng
Lojin yang pernah juga menjatuhkannya, tapi ilmu pukulan si jemb el
ini sungguh-sungguh aneh sekali! Gerakan-gerakannya tak teratur
sama sekali, pukulan-pukulannya ngawur belaka namun, tiap kali
serangannya seperti akan mendatangkan hasil baik, tiba-tiba saja
gerakan si jembel itu berubah dan tepat sekali dapat menangkisnya
atau berkelit seakan-akan di seluruh bagian tubuh jembel itu ada
matanya yang melihat datangnya bahaya! Juga, serangan-serangan
ngawur yang dilancarkan oleh si jembel ini, sungguh-sungguh sukar
diduga. Kalau serangannya seperti yang tepat dan hampir berhasil,
tiba-tiba jembel itu dan menarik kembali tangannya, sedangkan jika
seranganya dapat ditangkis atau dikelit oleh Beng Hoat Taisu, tibatiba serangan yang gagal itu masih dapat dilanjutkan dengan
serangan lain yang terlebih lihai dan aneh!
Beng Hoat Taisu adalah seorang tosu kelas satu dari
pegunungan Tibet dan ia telah terkenal sekali sebagai seorang
jagoan kelas tertinggi dan sukar dicari bandingannya pada masa itu.
Hampir semua jago-jago silat di Tibet mapun di daratan Tiongkok,
telah dicobanya dan belum pernah ia menderita kekalahan. Paling
buruk tentu bermain seri, yakni ketika ia melawan jago-jago dari
seluruh Tiongkok Selatan dan jago-jago dari seluruh Mongol. Baru
tiga kali ia pernah benar-benar dikalahkan orang, yakni ketika
bertemu dan melawan Bu Beng Lojin dan paling akhir ketika ia
bertemu dengan Pai-san Sianjin dan Nam-hai Sianjin dua orang tokoh
terbesar di Tiongkok timur. Tapi ketiga orang inipun hanya menang
sedikit saja darinya. Ia mengira tadinya bahwa hanya tiga orang
itulah yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.
Tapi sungguh tidak dinyana, ini hari ia bertemu dengan seorang
jembel gila yang memiliki kepandaian sungguh-sungguh istimewa dan
aneh. Pula, angin gerakan pukulan si jembel gila itu seperti
mendatangkan hawa gila yang menyeramkan dan aneh, hingga seakanakan ia merasa seperti sedang bertempur melawan mahluk bukan
manusia. Ia takkan ragu-ragu untuk percaya jika dikatakan bahwa ia
sedang bertempur melawan iblis sendiri1 Gerakan silat macam ini
memang tak mungkin dicipta oleh manusia kecuali manusia iblis!
Beng Hoat Taisu mengerahkan tenaga batin dan lweekangnya
untuk menjatuhkan jembel gila itu tapi selalu tenaganya ini buyar
dan terpukul oleh hawa aneh yang keluar dari pukulan-pukulan dan
gerakan si jembel. Tiba-tiba jembel gila itu tertawa lagi, nyaring dan panjang,
"Ha, ha, ha! Kau sungguh lihai, kau hampir selihai. Bu Beng.! Ya,
kau hampir selihai Bu Beng!"
Mendengar ini, Beng Hoat Taisu menjadi terkejut. "Pernah
apakah kau dengan Bu Beng Lojin?" tanyanya sambil mengirim
serangan. "Ha, ha! Bu Beng kawan baikku. Kau kenal Bu Beng?" balas tanya
jembel itu, suaranya mengandung keramahan hingga Beng Hoat Taisu
menjadi heran. "Aku kenal baik padanya," jawabnya. Tiba-tiba saja desakan si
gila mengendur. "Kalau begitu, aku tidak jadi membunuhmu! Kau kawan baik Bu
Beng! Ah. Murid, kau tunggu sajalah. Pasti tiba saatnya pembunuh
ini menemui maut, dan aku juga tentu akan menyusulmu kelak.. Ha,
ha, ha!" Setelah berkata demikian, jembel gila itu meniup keras ke
arah muka lawannya. Tiupan ini demikian hebat dan bertenaga
hingga cepat sekali Beng Hoat Taisu berkelit, namun masih saja
jenggot dan rambutnya yang panjang putih berkibar-kibar bagaikan
tertiup angin besar! Ia menjadi kaget sekali, tapi pada saat itu si
jembel gila telah meloncat mendekati Sin Wan dan Giok Ciu.
Pada saat si jembel tadi bertempur dengan hebatnya melawan
Beng Hoat Taisu, kedua orang muda itu mengamuk dan biarpun
dikeroyok oleh belasan orang pengawal-pengawal kaisar yang
berkepandaian tinggi, namun Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam
menyambar-nyambar demikian hebatnya hingga sebentar saja beberapa
orang telah menjadi kurban dan sisa pengeroyok mereka menjadi
jerih. Pada saat mereka masih mainkan pedang, tiba-tiba Sin Wan dan
Giok Ciu merasa betapa lengan tangan mereka di betot orang dan
mereka tahu bahwa si jembel itu mengajak mereka pergi. Mereka
meloncat pula ke atas dan mengikuti si jembel yang telah lari lebih
dulu sambil memondong tubuh Suma Li Lian yang telah menjadi mayat.
Kakek jembel itu berhenti di sebuah hutan, lalu ia meletakkan
muridnya di atas tanah sambil beberapa kali mengeluh, "Muridku,
kau sungguh kejam telah meninggalkan aku lebih dulu" dan
menitik keluarlah air mata dari kedua mata si kakek jembel.
Sementara itu, malam telah berganti fajar dan ayam mulai
berkeruyuk, tapi masih saja kakek jembel itu berlutut di dekat
jenazah muridnya, sedangkan Sin Wan dan Giok Ciu berdiri
memandang keadaan kakek aneh itu dengan terharu.
Tiba-tiba kakek itu tertawa lagi, dan suara ketawanya
terdengar seperti biasa, terlepas dan gembira. "Aah, lebih baik
begini, muridku. Lebih baik begini. Bukankah sekarang kau telah
terlepas dari semua kedukaan? Bukankah sekrang tiada orang lagi
bisa mengganggumu? Aah, benar lebih baik begini biarlah aku yang
melanjutkan penderitaanmu. Kau harus dikubur, ya, kau harus
dikubur!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggunakan kedua
tangannya menggaruk-garuk tanah dengan maksud menggali lubang!
Sin Wan dan Giok Ciu merasa terharu sekali mendengar kata-kata
itu. Biarpun kakek itu sangat mencinta muridnya, namun ia rela
muridnya itu mati agar terlepas dari segala kesengsaraan. Ah,
inilah cinta! Inilah cinta suci, cinta yang tidak mengharapkan
sesuatu untuk kesenangan diri. Cinta yang semata-mata didasarkan
atas keinginan melihat orang yang dicintainya bahagia dan tidak
menderita, biarpun harus mengurbankan perasaan sendiri! Memikir
sampai di situ, Sin Wan dan terutama Giok Ciu, merasa tersinggung
dan tersindir, maka mereka menundukkan muka dengan wajah merah.
Sementara itu, kedua mata Giok Ciu mengalir air mata.
Sin Wan dan Giok Ciu, tanpa diminta lalu menggunakan pedang
mereka mereka untuk membantu menggali lubang untuk menguburkan
Suma Li Lian. Setelah jenazah gadis yang bernasib malang itu
dikubur baik-baik, jembel gila itu lalu berkata kepada Sin Wan dan
Giok Ciu. "Kalian anak-anak baik. Nah, aku pergi hendak mencari Bu
Beng." Melihat betapa pikiran kakek itu agaknya mulai ingat, Sin Wan
cepat berkata, "Locianpwe, teecu berdua adalah murid-murid Bu Beng
Lojin!" Kakek itu memandang tajam kepada mereka. "Bagus, dimana
sekarang adanya Bu Beng?"
Sin Wan tak dapat menjawab, dan Giok Ciu yang menjawab, "Teecu
tidak tahu di mana suhu berada, karena suhu telah meninggalkan
Kam-hong-san dan berjanji hendak bertemu dengan teecu berdua
sepuluh tahun kemudian."
"Ha, ha! Bu Beng memang gila!" kata kakek itu dan sekali
berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ!
Sin Wan dan Giok Ciu yang ditinggal di situ saling pandang.
Giok Ciu lalu berlutut di depan makam Suma Li Lian dan berkata
dalam bisikan, "Li Lian. Li Lian. Aku telah banyak menyakiti hatimu. Kau
orang baik dan setia, tidak seperti ah, Li Lian, kau tentu dapat
mengampunkan aku, sungguhpun aku sendiri tidak akan sanggpu
mengampunkan diri sendiri."
Sin Wan lalu berkata kepada Giok Ciu, "Sumoi, marilah di depan
makam Li Lian kita mengadakan pembicaraan sungguh-sungguh dan
dari hati ke hati." Kedua anak muda itu di pagi hari yang cerah itu duduk di depan
makam yang masih baru, saling berhadapan. Sikap mereka tenang dan
sungguh-sungguh. "Giok Ciu," kata Sin Wan sambil memandang wajah yang menunduk
di depannya itu, "Bagaimanakah pikiranmu setelah sekarang semua
menjadi terang dan kau tahu akan duduknya persoalan yang
sebenarnya?" Giok Ciu mengangkat mukanya dan menahan air matanya yang
hendak menitik turun. "Suheng, untuk apa kita bicarakan hal ini?
Kau tahu, aku merasa menyesal dan malu sekali."
"Bukan begitu, sumoi, hal itu tak perlu lagi dimalukan atau
disesalkan. Semua telah lewat dan habis, seperti halnya Li Lian
yang telah menjadi gundukan tanah ini. Tak perlu lagi
dipersoalkan. Yang penting adalah persoalan kita, yang akan datang,
sumoi. Kesalahpahaman diantara kita telah lenyap. Bagaimanakah
sekarang pendirianmu mengenai... perjodohan kita?"
Gadis itu sekali lagi mengangkat muka dan memandang wajah Sin
Wan dengan terharu, "Kau sendiri bagaimana, suheng? Bagaimana
pendirianmu?" Sin Wan merasa tak enak mendengar sebutan gadis itu
kepadanya kini telah berubah. Dulu menyebut koko atau kanda,


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang menyebung suheng atau kakak seperguruan. Ia lalu
mengangkat tangan ke arah leher dan mengeluarkan sepatu kecil
yang tergantung di lehernya.
"Kau lihatlah sendiri, barang ini selalu masih menempel di
dadaku! Masih kurang jelaskan ini?"
Giok Ciu merasa terpukul dan teringatlah ia akan suling tanda
perjodohan yang dulu ia hancurkan, maka tiba-tiba ia menangis
perlahan. "Giok Ciu terus terang saja kukatakan bahwa betapapun juga
dan apapun yang terjadi, cintaku kepadamu tetap tak berubah.
Mungkin terjadi perubahan sedikit, yakni tentang sifat cintaku itu.
Kalau dulu cintaku disertai kandungan harapan untuk menjadikan
kau sebagai isteriku sekarang sifat cintaku itu berubah setelah
mendengar kata-kata Li Lian. Cintaku bukan berdasarkan hendak
mengawinimu saja, tapi hendak melihat kau bahagia, Giok Ciu."
Giok Ciu makin terharu dan tak dapat menjawab, maka Sin Wan
lalu melanjutkan kata-katanya.
"Sumoi, jangan kau terlalu bersedih, Yang lalu biarlah lalu,
sekarang marilah kita hadapi kenyataan. Aku hendak berterus
terang saja kepadamu agar jangan sampai terulang lagi
kesalahpahaman di antara kita. Aku masih tetap cinta kepadamu,
tetapi aku sekali-kali tidak akan menggunakan hakku dan memaksamu
menjadi isteriku. Terserah kepadamu, sumoi, apakah kau hendak
melanjutkan perjodohan kita atau tidak. Tapi yang pasti, selain
dengan engkau, selama hidup takkan ada wanita lain yang dapat
menjadi isteriku!" Giok Ciu tunduk untuk beberapa lama, akhirnya ia dapat juga
menjawab, "Suheng, kau memang seorng pemuda yang mulia. Hal ini
seharusnya telah kuketahui sejak dulu dan seharusnya memperkuat
kepercayaanku. Tapi memang aku gadis bodoh. Bodoh, lemah, dan
tolol, tepat seperti dikatakan oleh Li Lian dulu! Setelah segala
kebodohan yang kulakukan, termasuk penghancuran tanda perjodohan
yang kuterima darimu, rasanya tak mungkin aku ada muka untuk
menjadi isterimu, suheng! Tentang cinta dan perasaan hatiku
kepadamu. Entahlah! Aku menjadi ragu-ragu sekali untuk
memikirkan tentang ini setelah mendengar ucapan-ucapan Li Lian
dulu itu. Aku menjadi ragu-ragu apkah benar-benar ada cinta suci
di dunia ini! Kalau kusesuaikan dengan ajaran suhu kepada kita
tentang pemiliharaan tenaga rohani, aku menjadi ragu-ragu. Aku.
Aku tidak berani berkata secara membuta membuat pengakuan bahwa
aku aku cinta padamu, suheng. Maafkan aku yang bodoh."
Sin Wan tersenyum pahit dan memegang lengan sumoinya. "Bagus,
sumoi, memang seharusnya demikianlah sikap kita sebagai orang-
orang yang telah mendapat latihan suhu. Kita harus beani
menghadapi kenyataan, betapa pahit dan tidak enaknya kenyataan
itu." Giok Ciu memandang Sin Wan dengan kasihan. "Maafkan kalau aku
menyakiti hatimu, suheng. Aku juga tidak berani berkata bahwa aku
tidak cinta kepadamu, karena percayalah bahwa selain dengan
engkau, akupun tak mungkin kawin dengan seorang pemuda lain. Aku
hanya malu dan ragu-ragu mengaku akan cintaku padamu, karena
kalau benar-benar cinta, mengapa sikap dan tindakanku yang sudahsudah demikian macamnya terhadapmu? Sekarang, biarlah kita
berpisah dan meluaskan pengalaman masing-masing, sementara
itu,berilah waktu padaku, suheng."
Sin Wan menghela napas panjang dan dengan jari-jari tangan
gemetar ia melepaskan tali pengikat sepatu kecil itu, lalu
diberikannya kepada Giok Ciu. "Terimalah ini, sumoi. Aku tak berhak
menyimpannya." Giok Ciu menganggap bahwa hal itu sepantasnya, maka sambil
mengeraskan hatinya yang sangat terharu, iapun menerima barang
itu dengan tangan gemetar pula.
"Sebelum kita berpisah, beritahukanlah di mana kau titipkan
anak Li Lian dulu itu suheng?"
Karena tidak menduga sesuatu, Sin Wan lalu menceritakan
betapa Li Lian meninggalkan anaknya demikian saja hingga ia
menjadi bingung dan akhirnya menitipkan anak Li Lian itu kepada
seorang janda she Thio di kampong kecil di kaki gunung Kam-hongsan itu. Kemudian mereka lalu berpisah dan melanjutkan perjalanan
masing-masing. Biarpun kini di dalam lubuk hati kedua anak muda
itu terdapat sesuatu yang mengganjal dan membuat mereka merasa
sunyi dan kosong, namun tidak ada pula segala kejengkelan,
kekecewaan dan kemarahan mengganggu mereka.
Sin Wan merantau ke daratan sebelah Timur dan ia melakukan
perjalanan menjelajah sepanjang pantai timur. Pada waktu itu,
daratan timur di Tiongkok seringkali terganggu oleh bajak-bajak
laut yang ganas. Bajak-bajak laut itu menggunakan perahu-perahu
layar yang cepat gerakannya dan mereka terkenal mempunyai
anggauta-anggauta yang rata-rata berilmu silat tinggi. Tubuh
mereka pendek dengan tangan yang panjang-panjang, sedangkan
mereka biasa bersenjata pedang panjang yang mereka mainkan dengan
secara cepat dan ganas. Banyaklah sudah dusun-dusun di pinggir
pantai yang menjadi kurban keganasan para bajak laut ini, dan para
penduduk dusun itu tidak tahu dari manakah datangnya bajak-bajak
itu. Bahasa yang digunakan oleh para bajak laut itu walaupun tidak
mereka mengerti, namun ada persamaan dengan Bahasa dusun pantai
timur. Pemerintah setempat telah pula mendengar tentang gangguan
bajak laut ini, tapi karena pemerintah pada waktu itu sangat lemah
dan sama sekali kurang menaruh perhatian akan nasib rakyat, maka
hal itupun tidak diperdulikan. Pendirian pemerintah Tiongkok di
kala itu, asalkan kedudukan para bangsawan dan kaisar tidak
terancam dan tidak terganggu, maka amanlah! Rakyat dirampok?
Rakyat diganggu bajak laut? Rakyat kelaparan? Aah, itu soal kecil
dan soal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang
menduduki pangkat. Asal saja gangguan-gangguan itu tidak
merugikan mereka! Karena keadaan pemerintah yang lalim dan alat-alat
pemerintah yang buruk sekali ini, maka para bajak laut itu makin
ganas dan kurang ajar. Mereka bahkan berani menculik wanitawanita dan membawanya ke pulau tempat tinggal mereka. Bahkan tiga
buah dusun kecil di dekat pantai yang tadinya merupakan dusun
nelayan yang ramai dan makmur, kini boleh dibilang menjadi dusun
para bajak laut itu! Tiga dusun itu dijadikan seksi pendaratan
mereka, bahkan yang memerintah disitu sekrang orang-orang
anggauta bajak laut itu! Bukan tidak ada orang-orang gagah dan hohan-hohan yang
mencoba untuk memberantas keganjilan ini, tapi karena jumlah bajak
laut sangat banyak dan semua memiliki kepandaian berkelahi yang
baik sekali sedangkan fihak orang-orang gagah hanya ada beberapa
orang saja sedangkan alat pemerintah tidak ada yang membantu,
beberapa kali mereka ini tidak berhasil, bahkan mengalami
kekalahan yang pahit! Ketika di dalam perantauannya mendengar tentang hal ini, Sin
Wan merasa maah dan penasaran sekali. Ia lalu langsung menuju ke
dusun Tin-siang, sebuah daripada tiga dusun yang menjadi sarang
bajak laut di timur itu. Tapi alangkah herannya ketika ia memasuki dusun itu, krena
keadaan dusun bukanlah seperti yang disangkanya semula. Tadinya ia
menduga akan melihat sebuah dusun yang sengsara di mana
penduduknya hidup tertindas dan serba kekurangan. Sebaliknya,
dusun itu ramai sekali dan penghidupan penduduk dusun Tin-siang
tampak seperti biasa, juga wajah orang-orang disitu tidak kelihatan
sedih! Ini sungguh aneh sekali, pikir Sin Wan. Lalu ia berjalanjalan ke pantai laut melihat kapal-kapal layar yang berlabuh
disitu. Ternyata kapal-kapal dari pedalaman, juga mengangkut kayukayu dari hutan, yakni kayu untuk pembangunan yang disebut kayu
besi yang sukar dicari dan mahal harganya. Semua pekerjaan
dilakukan oleh penduduk dusun itu dan yang mengepalai mereka
adalah beberapa orang pendek yang tampaknya ramah tamah. Maka
otak yang cerdik dari pemuda itu lalu dapat menduga.
Ia pikir bahwa bajak-bajak laut itu tentu menggunakan siasat
halus untuk membujuk para penduduk dusun itu hingga tenaga mereka
digunakan. Bajak-bajak itu tentu tidak mengganggu mereka, tidak
mengganggu pekerjaan sehari-hari mereka, karena hasilnya tak
seberapa besar. Sebaliknya, mereka melakukan perampokan di dalam
hutan-hutan dan mengangkut pergi hasil-hasil bumi Tiongkok yang
kaya, dan yang mengerjakan semua itu adalah tenaga-tenaga
penduduk dusun itu, mungkin dengan diberi sedikit upah!
Sin Wan melanjutkan penyelidikannya. Ia memasuki sebuah
rumah makan dan memesan arak serta makanan. Karena ada beberapa
orang yang sedang duduk di dalam rumah makan itu dan tampaknya
seperti orang-orang pedagang dari lain tempat, sengaja Sin Wan
mendekati mereka, lalu secara iseng-iseng ia berkata,
"Dusun ini tampaknya ramai dan penduduknya hidup senang."
Seorang di antara mereka yang menengok dan mendengar katakatanya itu, lalu menghampiri. Agaknya orang ini telah minum arak
agak terlampau banyak, maka lidahnya terlepas,
?"Mengapa tidak, kawan? Kau tentu bukan orang sini maka
agaknya heran melihat keadaan kami! Sudah banyak orang-orang
seperti engkau yang datang ke sini. Tentu kau tadinya menyangka
bahwa kita tentu hidup sengsara, bukan? Ha, ha! Tidak, kita tidak
merasa terganggu. Mereka itu mengangkut hasil-hasil hutan dan
tanah bukan milik kami. Mereka menguasai kami tapi tidak membuat
kami sengsara. Tahukah kau bahwa dulu sebelum mereka datang,
kepala dusun ini, seorang bangsa kita sendiri, bahkan merupakkan
lintah darah yang menghisap habis darah kami? Aah, kami lebih
senang mempunyai kepala dusun bangsa lain daripada kepala dusun
bangsa sendiri yang menindas kami!"
Mendengar kata-kata ini Sin Wan meras muak sekali. Celaka dua
belas! Beginilah kalau pemerintah sendiri tidak becus memerintah
dan buruk keadaannya! Rakyat menjadi penasaran dan sakit hati,
hingg bahkan mereka lebih suka diperintah oleh pemerintah asing
daripada oleh pemerintah bangsa sendiri, karena mereka itu hanya
menghendaki hidup senang! Celaka sekali! Tentu saja bagi orangorang beriman dan mempunyai jiwa gagah perkasa seperti Sin Wan,
diperintah oleh orang-orang asing itu merupakan hinaan yang besar
sekali. Apalagi ketika melihat betapa kekayaan tanah air dibawa dan
diangkut pergi leh orang-orang kate itu, Sin Wan merasa mendongkol
sekali. Pada saat itu, tiba-tiba orang yang doyan mengobrol itu diam
bagaikan orong-orong terpijak, karena dari luar masuklah seorang
kate yang agak gemuk. Orang kate itu memandang Sin Wan dengan curiga dan ia lalu
menunding ke arah Sin wan sambil bertanya kepada pengobrol tadi,
"Siapakah orang ini? Dan dari mana datang?"
Sebelum ada yang menjawab, Sin Wan menghampiri orang itu dan
bertanya, ?"Kau perduli apakah? Kau siapa dan apa hakmu maka
bertanya demikian?" Orang itu tersenyum menghina. ?"Kau mencari susah sendiri!"
Dan ia membalikkan tubuh hendak pergi, tetapi Sin Wan telah
menangkap lengan tangan orang itu.
?"Tahan dulu, bukankah kau ini anggauta bajak-bajak asing
yang mengganggu pantai Tiongkok?"
orang itu memandang dengan ancaman di matanya. ?"Habis kau
mau apa?" Sehabis berkata demikian, dengan sekali renggut
terlepaslah tangannya dari pegangan Sin Wan sehingga pemuda itu
diam-diam terkejut sekali karena tidak disangkanya bahwa si pendek
ini memiliki tenaga besar.
Kemudian si pendek itu menyerang dengan pukulan yang
mempunyai gerakan aneh. Datangnya serangan ini cepat sekali dan
kedua tangannya digunakan bagaikan cengkeraman garuda. Inilah
semacam ilmu Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Garuda, dan ilmu ini
mengandalkan tenaga dan kecepatan mencengkeram tubuh atau tangan
musuh. Tapi Sin Wan dengan mudahnya dapat berkelit dan balas
menyerang. Setelah bergerak tiga jurus saja, Sin Wan berhasil
mendorong tubuh yang kate itu sehingga bergulingan menabrak meja.
Orang kate itu bersuit keras dan dari arah pantai berlarilarilah beberapa orang kate lain, yakni anggauta-anggauta dan anak
buah bajak laut yang bertugas di situ. Bahkan ada beberapa
penduduk aseli, yakni orang-orang kampung di situ ikut pula datang
dengan wajah mengancam seakan-akan mereka juga hendak mengeroyok
Sin Wan! Sin Wan mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok
banyak orang yang bersenjata pedang panjang dan yang kesemuanya
memiliki ilmu pedang yang cukup baik. Tapi menghadapi Pek Liong
Kiam-sut, mereka ini tidak berdaya. Yang mengherankan Sin Wan
ialah betapa pedang-pedang mereka ini kesemuanya terbuat daripada
bahan yang baik dank eras hingga tidak mudah terbabat putus oleh
pokiamnya! Ini sungguh mengagumkan! Kemudian, penduduk kampong
ikut pula mengeroyok dengan segala macam senjata yang dapat mereka
pakai, karena mereka menganggap bahwa pemuda itu hanya membuat
kacau saja di kampung mereka. Melihat hal ini, Sin Wan lalu memutar
pedangnya sedemikian rupa sehingga empat orang kate roboh dengan
mandi darah, kemudian Sin Wan berseru keras,
"Hai, saudara-saudara! Tidak tahukah kalian bahwa bajak-bajak
kate ini menguras kekayaan di negeri kita? Mereka ini tidak saja
membajak bangsa kita, tapi juga merampol hasil bumi kita! Hayo kita
usir mereka ini!" Tapi orang-orang kampung init tak seorangpun mau
mendengarkan kata-katanya, bahkan ada seorang yang berteriak
keras, "Aah, obrolan apa yang kau jual ke sini? Kau rupanya bukan
hendak menolong, tetapi bahkan hendak mengacau dan mencelakakan
kami!" Tiba-tiba Sin Wan ingat bahwa kalau ia mengusir bajak-bajak
ini, tentu para banyak yang banyak sekali jumlahnya itu akan sakit
hati sekali kepada orang-orang kampung dan akhirnya penduduk
dusun itulah yang akan menerima balasan dan tertimpa bencana
besar. Mengingat demikian, Sin Wan lalu meloncat pergi dan lari
keluar dari dusun itu dengan cepat. Ia merasa bingung dan tidak
tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengusir para bajak laut itu.
Malam itu ia bermalam di dalam sebuah dusun yang terdapat di hutan
yang memanjang di tepi laut. Berbeda dengan keadaan dusun yang
dikuasai para bajak itu, di dusun yang dikuasai para bajak itu, di
dusun ini orang-orang hidup sederhana sekali dan keadaan mereka
sungguh-sungguh miskin! Tapi mereka sangat ramah tamah dan
seorang keluarga yang terdiri dari seorang kakek dan seorang
puternya yang sudah duda, menerima Sin Wan dan memberi tempat
kepadanya untuk bermalam.
Karena lelahnya Sin Wan tidur nyenyak sekali. Tapi menjelang
fajar, ia dikejutkan oleh suara gemuruh dari kaki kuda dan sepatusepatu dari ratusan pasang kaki orang yang mendatangi ke arah
dusun itu! Ia segera bangun dan terdengar pekik dan jerit tangis
penduduk dusun di situ. "Ada apakah?" Sin Wan meloncat keluar dan bertanya kepada
seorang yang lari ketakutan.
"Bajak-bajak itu mengganas lagi!" katanya, Sin Wan menjadi
gemas sekali. Jadi kalau di sekitar pantai bajak-bajak itu berlaku
baik terhadap penduduk di situ untuk memikat hati mereka, di
pedalaman mereka merampok dengan kejam. Dalam marahnya, Sin Wan
mencabut pedangnya dan lari memapaki kedatangan para bajak itu.
Dan apa yang dilihatnya membuat dia kaget sekali! Yang datang itu,
bukanlah bajak-bajak biasa, karena pakaian yang dipakai oleh
orang-orang kate itu adalah seragam hingga mereka lebih tepat
disebut tentara yang berdisplin dan teratur! Pergerakan mereka
teratur sekali dan di sana sini terdengar aba-aba yang dikeluarkan
dengan suara keras dari atas kuda! Tentara yang bergerak ini
jumlahnya cukup besar, ditaksir tidak kurang dari lima puluh
orang. Hendak menyerbu kemanakah rombongan bajak yang merupakan


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barisan teratur ini, pikir Sin Wan. Tapi pada saat itu telah
terlihat oleh seorang anggauta barisan itu dan atas aba-aba seorang
pemimpin, beberapa belas orang dengan pedang dan tombak lari
menyerbu. Sin Wan menerima kedatangan mereka dengan pedang di
tangan dan ia lalu mengamuk hebat!
Tapi segera ia mendapat kenyataan bahwa para pengeroyoknya
ini benar-benar orang berilmu silat lumayan juga dan jika
dibandingkan dengan kepandaian para pengawal kaisar, maka agaknya
tidak boleh disebut lebih lemah! Terutama ilmu pedang mereka yang
mempunyai gerakan aneh, sungguh sukar dilawan. Baiknya ia
memiliki ilmu pedang yang cepat dan hebat gerakannya, maka
sebentar saja ia dapat merobohkan beberapa orang hingga tempat itu
menjadi ramai dengan pekikan-pekikan mereka dan rumput-rumput di
situ menjadi basah oleh darah! Tapi keberanian dan kenekatan
orang-orang itu sungguh membuat Sin Wan merasa bingung dan gugup.
Jatuh seorang datang dua dan jatuh dua datang empat! Ia sampai
merasa kewalahan dan kini dirinya terkurung rapat! Ia telah
merobohkan sepuluh orang lebih, tapi tenaganya mulai lemah karena
ternyata musuh-musuhnya makin banyak saja.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan
kepungan Sin Wan menjadi buyar dan keadaan menjadi kacau balau!
Ketika Sin Wan merasa kepungan yang mengurung dirinya mengendur,
ia lalu meloncat keluar dari kepungan untuk melihat apa yang telah
terjadi di luar kepungannya. Ternyata terdapat dua bayangan putih
dengan jubah lebar berkibar-kibar sedang mengamuk hebat!
Dua bayangan itu menyambar-nyambar ke sana kemari dan dimana saja
mereka tiba, tentu terdengar pekik ngeri dan tampak tubuh seorang
pengeroyok roboh! Sin Wan terkejut sekali melihat kehebatan sepak terjang dua
orang itu, karena mengingatkan ia akan kakek jembel gila. Tiba-tiba
dua orang itu menghentikan gerakan mereka dan mereka berdiri di
atas sebuah batu besar sambil bertolak pinggang. Ternyata bahwa
mereka adalah dua orang kakek yang berwajah angker dan gagah
sekali. Pakaian mereka seperti dua orang petani dan jubah mereka
longgar, di punggung mereka tampak gagang pedang. Rambut mereka
yang putih dan panjang digelung ke atas dan kini ujung rambut itu
berkibar-kibar tertiup angin. Mereka sungguh gagah perkasa!
"He, kamu sekalain bajak laut, dengarlah! Kamu telah melihat
sepak terjang kami berdua dan ternyata baru kami dua orang tanpa
memegang senjata saja kalian sudah tak dapat melawan. Apalagi
kalau bangsa kami bangkit serentak melawan kalian, pasti kalian
akan dilempar semua ke laut! Kembalilah ke negarimu sendiri dan
jangan mengganggu rakyat kami! Kalau dalam tiga hari kami masih
melihat kamu, maka jangan harap akan mendapat ampun lagi! Kedua
kakek itu berbicara perlahan, lalu seorang diantara mereka berkata
lagi dengan suara keras, "Ketahuilah, kami berdua adalah Pai-san Sianjin dan Nam-hai
Sianjin. Dan jangan kira bahwa di negeri kami hanya ada kami dua
orang saja yang memiliki kepandaian! Masih ribuan orang yang
memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami. Kalian lihatlah
pohon siong di sana itu dan lihat apakah diantara kalian ada yang
sanggup menahan serangan pedang kami seperti yang hendak kami
lakukan kepada pohon itu!"
Setelah berkata demikian dua orang kakek itu lalu mencabut
pedang dari punggung, lalu berbareng mereka enjot tubuh mereka.
Dua bayangan putih berkelebat ke arah puncak pohon itu dan tibatiba daun-daun dan ranting-ranting kecil jatuh berhamburan ketika
dua orang kakek itu gerakkan pedang mereka membabat! Sebentar saja
keduanya telah melayang turun di atas batu yang tadi dan ketika
semua orang melihat ke arah pohon, mereka lelettkan lidah karena
daun-daun pohon itu telah dicukur sedemikian rupa hingga
pinggirnya rata dan potongannya bundar!
Setelah menyaksikan demonstrasi ini, terdengar aba-aba keras
di fihak bajak laut dan mereka lalu lari mundur dengan cepat!
Kedua kakek itu tertawa bergelak-gelak menyaksikan mereka.
Kemudian mereka memandang ke arah Sin Wan dan memberi tanda
kepada pemuda itu supaya datang mendekat. Sin Wan lalu memberi
hormat sambil berlutut. "He, anak muda yang gagah perkasa. Bukankah kau mendapat
pelajaran dari Bu Beng?" tegur Nam-hai Sianjin.
"Benar, locianpwe. Teecu adalah murid dari Bu Beng Lojin dan
mendengar nama jiwi locianpwe yang besar serta menyaksikan
kehebatan ilmu pedang jiwi locianpwe, sungguh teecu merasa
beruntung sekali sudah dapat bertemu dengan jiwi locianpwe!"
Terdengar Pai-san Sianjin menghela napas, ?"Sayang sekali
orang-orang seperti kita kebanyakan berlaku sesat dan tidak
melihat akan penderitaan rakyat. Kau mendengar tadi betapa kami
membohong agar mereka jangan berani datang lagi. Nah, sampaikan
salam kami kepada suhumu?" Dan kedua tokoh persilatan yang
terkenal itu berkelebat menghilang dari pandangan Sin Wan.
Setelah kenyang merantau, lima tahun kemudian, Sin Wan
kembali ke Kam-hong-san. Maksudnya hendak mulai mendidik anak
perempuan Li Lian yang dulu dititipkan kepada janda Thio. Tapi
alangkah herannya ketika mendapat keterangan bahwa anak itu telah
dibawa oleh Giok Ciu. Sin Wan lalu mengejar dan menjumpai Giok Ciu
di bekas tempat tinggal ayahnya, yakni di sebelah timur bukit Kamhong-san.
"Sumoi," katanya ketika bertemu dan melihat betapa benar-benar
anak itu berada disitu. ?"Kau berikanlah anak ini kepadaku untuk
kudidik menjadi muridku."
"Tidak suheng. Akulah orangnya yang mempunyai dosa terhadap
Li Lian, maka biarlah aku menebus dosa itu dengan memberi didikan
kepada anaknya ini," jawab Giok Ciu. Mereka berdua mempertahankan
pendirian mereka sendiri-sendiri, karena Sin Wan juga suka sekali
melihat anak perempuan yang mungil itu dan yang wajahnya mirip
sekali dengan Li Lian. Akhirnya sambil tersenyum Giok Ciu mencabut
ouw Liong Pokiam dan berkata tenang,
"Suheng, kalau begitu, biarlah pedang kita yang memutuskan."
"Apa maksudmu?" tanya Sin Wan terkejut.
?"Marilah kita mengukur kepandaian masing-masing, yang lebih
tinggi berhak menjadi guru anak itu!"
Sin Wan tersenyum dan heran, karena biarpun sikap dan bicara
gadis itu telah berubah dan tenang tapi sebenarnya watak keras
masih ada di dalam hatinya. Iapun lalu mencabut Pek Liong Pokiam
dan menghadapi sumoinya. Mereka lalu menggerakkan kedua pedangnya
itu dan sebentar kemudian pertemuan mereka ini dirayakan dengan
adu pedang! Mereka dalam hal memberi pelajaran kepada kedua
muridnya, Bu Beng Lojin tidak berlaku berat sebelah, maka
kepandaian mereka berimbang. Sin Wan dapat merobohkan sumoinya
yang keras hati ini, tapi ia tidak tega dan pula agaknya ia takkan
dapat merobohkan kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Karena
inilah maka mereka bertempur sampai ratusan jurus bagaikan dua
ekor naga sakti berebut mustika. Anak perempuan yang baru berusia
kurang lebih lima tahun itu bertepuk-tepuk tangan gembira dan
suka sekali melihat pertempuran itu, seakan-akan ia melihat
pertunjukan yang bagus sekali.
Tiba-tiba terdengar suara lemah lembut dan suara tertawa
menyeramkan. Sin Wan dan Giok Ciu kenal suara ini maka mereka
segera meloncat mundur dan menjatuhkan diri berlutut.
Bu Beng Lojin dan kakek jembel gila yang lihai itu telah berada di
depan mereka. "Sin Wan dan Giok Ciu! Bagaimana keputusanmu yang terkahir?
Perlukah kedua pokiam itu kau kembalikan kepadaku? Biarlah aku
yang menyimpannya!" Sin Wan memberi hormat dan berkata, ?"Suhu, hal ini murid
hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Giok Ciu!"
Giok Ciu menundukkan muka dan kulit mukanya berubah merah.
Ia pandang Ouw Liong Pokiam di tangannya dan agaknya ia tak
mungkin dapat berpisah dari pedang ini. Pula, niatnya untuk
berumah tangga, biar dengan Sin Wan sekalipun, telah lenyap dari
sanubarinya. "Maaf, suhu. Teecu telah bersumpah hendak hidup menyendiri
dengan pokiam ini." Bu Beng Lojin tertawa bergelak-gelak, diiringi oleh suara
tertawa oleh kakek jembel gila itu. ?"Kalau begitu, kau bertapalah
disini, dan Sin Wan boleh tinggal di gua naga. Ketahuilah muridmuridku, memang kalianlah yang berjodoh untuk mengembangkan Sinliong Kiam-sut dan kelak kalaian pulalah yang akan menurunkan
kepandaian dan kedua pokiam ini kepada orang-orang atau muridmurid yang berbakat. Dengan demikian, takkan sia-sialah hidupmu di
dunia ini. Kalian telah memilih jalan benar, karena sekarang aku
mau membuka rahasia, yakni menurut penglihatanku, kalian
mempunyai watak yang bertentangan dan jika tertangkap menjadi
suami isteri, maka akan lebih banyak pahitnya daripada manisnya
kalian rasakan!" "Suhu, mohon petunjuk suhu tentang anak ini," kata Sin Wan,
juga Giok Ciu mendesak gurunya. Tiba-tiba si kakek jembel gila
berkata dengan suaranya yang parau.
"Hanya akulah seorang yang berhak menjadi suhunya!"
Giok Ciu dan Sin Wan terkejut, tapi Bu Beng mengangguk-angguk,
"Kalian masih terlampau muda untuk menerima murid. Matangkanlah
dulu kepandaianmu, dan kalian taruhlah kasihan kepada kawan
baikku ini. Anak ini akan menjadi obat penawar baginya." Akhirnya
Sin Wan dan Giok Ciu menurut dan mengalah.
Semenjak saat itu, Bun Sin Wan bertapa di puncak gunung Kamhong-san sedangkan Kwie Giok Ciu bertapa di bekas tempat tinggal
ayahnya. Keduanya telah dapat menahan segala nafsu keduaniaan dan
tekun memperdalam ilmu mereka. Tapi adat yang terbawa ketika lahir
tak dapat dirobah dengan mudah, karena dalam beberapa tahun
sekali, tentu Giok Ciu mengunjungi Sin Wan untuk diajak bertanding
mengukur kepandaian! Sering pula Sin Wan atau Giok Ciu turun gunung untuk
melakukan tugas sebagai pendekar-pendekar gagah pembela keadilan,
hingga nama Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam makin terkenal
di kalangan persilatan sebagai dua pedang naga sakti yang hebat
dan sebagai penggempur kejahatan!
Kelak, berpuluh puluh tahun kemudian, setelah mereka menjadi
orang-orang tua, Bun Sin Wan akan menggunakan nama Kam Hong
Siansu, sedangkan Kwie Giok Ciu tak mengubah nama hingga disebut
orang Kwie Giok Ciu Suthai.
TAMAT bohemian-typewriter.zip Misteri Rumah Berdarah 6 Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Roh Jemputan 2
^