Pencarian

Ranjang Ranjang Bergoyang 2

Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Mau rasanya aku berlari dari pelukan lelaki ini.
Tetapi ia segera mengetahui maksudku.
"Tono rupanya paling beruntung dari sekian banyak lelaki yang hadir malam ini?". katanya tertawa. Tertawa kecil.
Aku ingin membalas tertawanya. sebab aku harus mengerti bahwa sanjungannya itu semestinya merupakan kebanggaanku Juga. Bukankah dia mengenal Tono sebagai saudaraku" Saudaraku. oh!
"Ia pastilah mengantar Mini pulang....".
"Oh!". si lelaki menarikku. "jangan khaWatir. Aku akan mengantarkan engkau, andainya Tono berhalangan...".
*** BEBERAPA menit lewat tengah malam. Peugeut 504 yang disupiri oleh pemiliknya. Oom Handoko, wakil direktur PT. "Danu" cabang Bandung yang menemaniku melantai, meluncur meninggalkan hotel Preanger. Baru terasa dinginnya udara malam. sehingga Oom Handoko menutupkan kaca jendela di sampingku. Tetapi begitu kaca jendela itu tertutup. tangannya tidak ia tarik langsung ke stir. melainkan hinggap di pundakku. Ia mengelusnya.
"Masih dingin?"
Aku menggeleng. Elusan tangannya sampai di leherku.
Jalanan sepi.Apalagi menuju timur. Kosambi yang biasanya ramai, saat itu seperti jalan mati. Hanya pedagang-pedagang kecil di trotoir yang masih menghidupinya. lalu satu dua manusia yang berjalan diam. rapat. Gelandangan menggulung hampir sepanjang trotoir.
Kami tak berbicara lagi sampai akhirnya mobil memasuki daerah Cicadas yang sedikit lebih ramai dibandingkan dengan Kosambi. Di saat itulah baru aku teringat akan sesuatu.
"Oom?", "Mmmm?", ia menggumam. Tangannya menekan bahuku. menarikku lebih rapat ke tubuhnya. Aku menurut.
"...Oom ah. saya malu!"
"Mm, jangan begitu!"
"Ada lowongan di kantor Oom?"
"Buat kau" Ah. sayang sekali perempuan semanis engkau harus menyibukkan diri di kantor...."
"Untuk Tono. Oom".
"Oooo!". tangannya yang tadi berpindahpindah dari pundak, bahu lalu leher, kini pindah ke kepalaku. Ia menekannya. sehingga aku terpaksa merebahkan kepalaku ke bahunya. Kupejamkan mataku. dan kuyakinkan diriku bahwa aku bisa berbuat semesra yang ia kehendaki.
"Di Bandung ini?", tanyanya pelahan.
"Tidak. Di Jakarta?"
"Kenapa mesti jakarta?"
"Kota lainpun boleh...."
"Lho!" "Soalnya, saya ingin Tono lebih matang. Lebih maju. Supaya ia jangan hanya mengenal dan timbul tenggelam hanya di Bandung ini saja!"
"Hem...". ia membelokkan mobil memasuki jalan Cikutra. "Sayang. kau tidak mengatakannya sewaktu acara cocktail party tadi. Waktu itu bisa kucari kemungkinan sementara rekan-rekan berlobbying....".
"Kami bukan peserta Konperensi Pers
Tahunan perusahaan Oom sih...."
Ia tertawa. "Iya, ya. Kita ketemunya juga baru di lantai dansa!"
Aku manggut. Lebih kurapatkan kepalaku. Kurebahkan, seperti pada suamiku sendiri. Seperti pada Tono. Seperti pada lelaki satusatunya. pada siapa aku memasrahkan diri dan ragaku sepenuhnya.
"Jadi engga ada lowongan ya Oom?"
Mobil tiba-tiba berhenti.
"jangan patah semangat. Noni. Aku akan berusaha"!"
Aku memandang ke luar. Kami telah sampai di gang yang menuju ke rumah. Oom Handoko membukakan pintu untukku, menggandeng tanganku memasuki gang. Aku jalan tertatih-latih, seolah kecapaian. Hasilnya: Oom Handoko tidak lagi menggandeng tanganku. tetapi pinggangku. Hanya pinggangku. Ternyata ia lebih sopan dari sekian lelaki yang menggauliku sebelum dia: selalu memeluk pinggang. dengan induk jari menekan buah dadaku.
"Rumahku yang ini Oom!" aku bergegas ke pintu berharap Tono telah pulang. Tetapi di pintu. seketika aku tersadar, bahwa aku bersama seorang lelaki lain. .
Sesaat, kami berpandangan.
*** "MASUK YA?" Oom Handoko mengangguk. "Tapi tak lama".", katanya. Dan ia memang serius. Begitu kami berada di dalam. ia menggenggam jari jemari tanganku. Kedua bola matanya berbinar-binar menatap mataku, dan bibirnya bergetar ketika menatap ke arah bibirku.
"Saya menantikan Oom!"
Kecupanku di pipinya berhasil merangsangnya. Aku sengaja menarikkan tubuhku perlahan-lahan. sampai dengan gemas ia merangkulkan kedua lengannya di punggungku.
dan kemudian mulutnya menjelajahi wajahku. Kupejamkan mata. dan kubiarkan mulutnya mencari-cari bibirku.
Dan, bibir kami saling melumat.
*** Aku baru saja mengunci pintu, ketika sebuah dehem yang serak membuat aku berbalik dengan terkejut.
Sambil tersenyum-senyum. Tono muncul dari pintu kamar.
"Mesra sekali?", katanya. "Aku yakin kau telah berhasil memikatnya. Cukuplah, sebagai pendahuluan!"
Merah wajahku. Malu, dilihatnya aku dicium lelaki lain.
Aku heran yang Tono bisa memendam perasaannya sebagai seorang suami. melihat isterinya dicium pria lain. Supaya kau lebih berhasil dalam tugasmu. aku harus memberikan contoh ketahanan di antara kita, ia pernah mengatakan mengenai hal itu.
"Ke mana saja kau dengan Mini?", tibatiba aku merandeng.
Matanya membeliak. "Eh, datang-datang kok marah! Emangnya Mini itu gimana sih?"
"Cantik!" "Kau lebih cantik...". ia mendekat.
"Ia montok!" "Tapi tak merangsang!"
"Ia menaksirmu!"
"Biarlah. asal bukan aku yang naksir dia...". Tono telah memelukku.
"Bohong!", aku mulai runtuh.
"Mengapa?". Kau lihat. aku pulang lebih cepat darimu. Aku tak tahan menanggung rindu. Aku ingin kau tiba di rumah dengan aku sudah siap untuk menyambut kedatanganmu. Siap membawamu ke tempat tidur.
"Oh!", aku betul-betul runtuh. terkulai dalam dekapannya. "Bawalah aku ke tempat tidur. sayang... bawalah, bawalah sayang!"
Ia membimbingku menuju ke kamar.
"Tidak... aku lemah sekali!"
Tono tertawa kecil. Sekali renggut. aku telah terangkat dalam bopongannya.
"Tono...." "Ngggg?" "Kau lihat aku dicium Oom Handoko?"
"0. jadi namanya Handoko" Lihat, lalu?"
"Aku bayangkan. aku bukan mencium dia. Tapi kau!"
Tono tersenyum. Kakinya menendang daun pintu kamar sehingga terbuka lebar. membopongku masuk dan kemudian dengan kakinya pula menendang pintu kamar sampai tertutup.
"Tono...." "....ngghhh?" "Kau engga mau cium aku?"
Ia tertegun. Memandangi mataku, dan lebih merapatkan tubuhku ke dadanya, dalam bopongannya yang hangat.
"Tono sayang...", aku merengek.
Mata Tono berkilau. Lalu. perlahan-lahan bibirnya hinggap dengan manis di bibirku. Aku mengulumnya. menikmatinya, mencicipinya, menghayatinya. sehingga ketika ia lemparkan aku ke tempat tidur, aku sudah hampir pingsan menahan gctaran yang amat sangat di sekujur persendian tubuhku.
".... kau kasar malam ini", aku terengah engah.
"Tapi aku senang..."
Tono kemudian naik ke tempat tidur.
Mencium mulutku. memutar-mutar telapak tangannya sekitar dadaku, sehingga dengan perasaan tak sadar aku segera merenggutnya........!"
*** PAGI itu udara Bandung sangat cerah. Aku baru saja meluncurkan Peugeutt 504 berwarna merah darah itu meninggalkan halaman yang luas dari PT "Danu" di Raya Barat ketika lewat bioskop Parahyangan. Menyadari lewat kaca spion. ada sebuah Citroen biru kombinasi putih yang mengikuti dari belakang sejak iadi, memang sungguh sungguh membuntuti aku.
Citroen itu malah di parkir di sebelah mobil yang kuparkir di depan Pasar Baru. dan lelaki yang mengendarainya, Handi menguntitku dari belakang ketika aku dengan membawa tas belanjaan memasuki los pasar buah .Aku baru menawar buah apel ketika Handi telah berada di sebelahku.
?" aku yang bayar!"
Aku memandangnya. heran. Tetapi keheranan itu Cuma sebentar, karena kemudian aku menangkap rona wajahnya yang sungguh sungguh masam.
"Terima kasih, aku punya uang sendiri" jawabku perlahan.
"Dari papa?", matanya menyipit.
Aku terdiam. "Uangmu uang papa. Uangku juga uang papa. Biar aku yang bayarkan!", dan sebelum aku sempat memprotes. ia telah berkata kepada penjual apel dengan suara serak setengah berteriak:
"Sepuluh kilo. mang!"
Penjual apel yang memperhatikan sejak tadi. menjadi gugup. Mulutnya kemak kemik mau bersuara. tetapi Handi sudah mengulangi permintaannya:
"Sepuluh kilo. kubilang. Apa perdulimu?"
"....Handi!" Pemuda itu tak menyahut. Aku mulai merasa malu oleh pandangan sejumlah orang dan pedagang-pedagang di sekitar kami, sementara Handi mengeluarkan dompetnya dan melemparkan selembar uang sepuluh ribu ke tumpukan apel di depan si penjual.
Aku mau bergegas pergi, tetapi Handi keburu menangkap lenganku.
"Tunggu!". katanya.
Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku sudah malu sekali. Tetapi aku tak ingin ada terjadi keributan yang lebih parah. Karenanya aku diam, setengah tunduk setengah tengadah memandang penjual apel yang dengan tangan gemetar menimbang setumpukan apel. Ia harus menimbangnya sampai empat kali. karena kiloannya hanya muat paling banyak tiga kilo apel setiap timbangan.
Tiga keranjang bambu besar _dikepit Handi di ketiak dan di dadanya. sambil menggerutu pada penjual apel:
"Kembalinya cepat!"
Penjual apel menghitung uang kembalian dengan tangan emetar dan muka pucat dan kemudian menyerahkan kepada Handi sambil mengucapkan terima kasih dengan suara gemetar.
Belanja apa lagi?". tanya Handi padaku.
Kalau lelaki lain yang menanyakannya, dengan nada yang lain pula pastilah aku akan berbesar hati dan kemudian menolak dengan perasaan ikhlas atas bantuannya. Tetapi dengan Handi. dan dengan sorot matanya yang tajam. aku seperti itik yang sedang akan bertelor. Diam. meringkuk dan baru mau di pindahkan dari tempatku terpaku setelah lenganku ditarik secara paksa.
ketika kami keluar dari los-los Pasar Baru. di jok belakang Peugeot 504 itu penuh oleh keranjang-keranjang berisi apel yang tak terhitung banyaknya, lalu dodol Garut. oncom goreng, beberapa keranjang buah jeruk dan sekeranjang mangga Cikoneng. Penuh jok belakang oleh keranjang besar itu. Aku melihatinya tidak dengan wajah riang, melainkan dengan wajah yang pucat pasi dan tubuh lemah lunglai.
"Masuk!" Aku menurut. "Ayah, pergi....". katanya setelah ia duduk pula disebelahku. '
tapi Handi" mobilmu...
"Kubilang. kita pergi!"
Dengan enggan aku memundurkan mobil, untung jalanan tidak begitu ramai sehingga kegugupanku tidak menimbulkan kericuhan dengan kendaraan-kendaraan lain. Beberapa detik berikutnya, mobil itu sudah berada di pengkolan depan Gubernuran.
"Kau Liat!", Handi menggerutu di sebelahku. "Aku cukup kaya! Bukti papa teramat kaya! Milyarder, tau" Bukan jutawan!"
Aku diam saja. Mobil kemudian kubelokkan ke Cicendo. tetapi Handi tiba-tiba menampar pergelangan tanganku.
"Kebon Kawung!". makinya.
Aku terperanjat, menghentikan mobil tiba tiba.' '
"Kau sudah keterlaluan, Handi!"
"Ha, melawan ya?"
"Bukan begitu. Berlakulah sedikit lebih sopan..."
"Seperti papa?"
Aku mau membantah. Tetapi klakson mobil di belakang menghentikan umpatanku yang mau ke luar. Lalu teriakan dan makian
abang becak. Mobil buru-buru kupinggirkan, tidak berani melihat ke luar, melihat wajah Wajah yang marah dan mulut yang memaki.
Setelah itu. kumundurkan mobil, dan
kubelokkan memasuki kebon kawung.
"Ke mana?" "jalan saja. jangan tanya...."
Kujalankan Peugeot 504 itu dengan enggan.
"Kau pasti mau mengeruk uang papa. bukan?"
Mukaku pucat. "Gila kau!" "Kau yang gila. Coba merebut kekayaan bapakmu"
"Tapi merebut papa. begitu he" Sama saja....."
"Tidak". "Sama!" "Tidak!" "Sama!" Mobil kubelokkan memasuki Pasir Kaliki. Meluncur melalui jembatan. dan kubelokkan lagi ke Kebon jati.
"Aku anak tunggal. kau tau itu". katanya kemudian.
Aku mengangguk. "Maksudmu pewaris tunggal...."
"Persetan. kau betul. Apa perdulimu?"
"Kau berterus terang. Dan akupun akan berterus terang padamu. Aku tidak berminat pada warisan bapakmu".
Ia terdiam. Kuhentikan mobil di perapatan Otto.
"Turunlah". kataku dengan suara tertahan. "Kau bisa jalan kaki dari sini, mengambil Citroenmu dan menghilangkan kecurigaanmu atas diriku!"
"Berani pula kau memerintah aku ya?", ia menjadi marah kembali.
"Terserah tanggapanmu.?"
"Apa kau kira...."
Aku jadi jengkel. _ "Turun, kubilang. Atau aku yang akan turun!"
Ia kelihatan bimbang. tetapi kemudian ia membuka pintu juga.
Setelah berada di luar, pintu itu dihempaskannya sampai tertutup dengan kerasnya. Kepalanya dijulurkannya ke dalam. dan suaranya gemetar ketika berkata:
"jauhi papa!" Kutatap matanya. Kubalas sorotannya.
Seketika. mukanya menjadi pucat.
Aku tersenyum. Tak tahu aku, apa sinis. apa manis atau bagaimana.
Tetapi, melihat senyumku. muka Handi berubah menjadi merah saga. lalu mengundurkan kepalanya dari kaca jendela mobil .Di .' saat mana aku tancap gas sekaligus.
*** JAUHI PAPA! jauhi papa, jauhi papa!. Dua perkataan itu mengharu birukan pikiranku sementara tanganku dengan kaku berusaha untuk tidak sampai mendatangkan celaka pada mobil yang kukendarai, yang berarti membawa kecelakaan pada diriku pula.
jauhi papa! jauhi papa!. Suara Handi yang serak mendesiskan katakata itu. perlahan-lahan berubah menjadi lebih besar, dan mengguntur. Suara papa.
"jauhi papa!", kata papa pada hari terakhir aku meninggalkan kota Cirebon. Kota di mana aku dilahirkan. Kota di mana aku di besarkan. Kota di mana aku oleh orang tuaku ditempa jadi manusia. Manusia yang berguna. Manusia yang mengabdi. Pada mereka. Tetapi apa yang kulakukan" Aku lebih banyak mengabdi pada diriku sendiri. Pada keinginan hatiku sendiri!.
Betapa terasa ketakutan mama, ketika paman mengajakku ikut mereka ke kota ini. Ke Bandung ini. Paman tak punya anak, dan karena paman adalah adik kandung mama sendiri', mama akhirnya terpaksa merelakan aku pergi untuk bersekolah di sini. Tetapi. aku tidak saja'bersekolah di kota ini. Tetapi juga mengenal seorang lelaki. Ketua kelas kami. yang digandrungi beberapa orang kawan-kawanku, tetapi yang sungguh beruntung. Si
lelaki menggandrungiku. Meskipun kemudian. kuketahui bahwa aku adalah gandrungannya yang kesekian. Tetapi aku senang. Aku telah memenangkan pertarungan sengit melawan sekian banyak gandrungannya.
Dan yang penting. aku telah digaulinya, luar dalam!"
akupun sependapat dengan anak-anak muda. anak belasan tahun yang tidak meninjau segala sesuatunya lebih dalam. Sama-sama atas cinta. Sama-sama atas kehendak berdua. Apakah salahnya" Apakah dosanya" Lagi. telah terjadi!.
Lalu aku pulang ke kampung.
Ke Cirebon. Menyampaikan niatku pada mama. Untuk mengambil .Tono jadi menantunya.
"Allah ya Tuhan!". itulah ucapan pertama sebagai komentar mama. dengan wajah pucat
dan tubuh gemetar. "Anak kecil itu, akan kau ambil jadi suamimu?"
Papa ikut marah-marah. Keluarga semua marah. lalu akupun tahu, papa dan mama. keluarga semua telah mencalonkan seorang suami untukku. Kedua pihak telah sama-sama setuju, dan si lelaki pun tidak keberatan.
"Tidak mungkin!", aku menangis. aku menjerit.
Ketidak mungkinan itu tidak kuberi' tahu pada mama. Tidak juga pada papa. Pada Nina. Pada paman. Pada uwa. Atau pada salah seorangpun di antara semua keluarga.
Aku langsung mendatangi lelaki itu, dan dengan hati diteguh-teguhkan, tanpa malu malu aku berterus terang:
".... aku sudah tidak perawan lagi!"
Lalu aku lari. Meninggalkan papa. Meninggalkan mama. Meninggalkan saudara kembarku. Nina. Meninggalkan seluruh keluarga meninggalkan Cirebon. Meninggalkan bibit-bibit kegemparan bibit-bibit kekacauan, dan bibit-bibit kebencian.. Bibit-bibit itu tertanam di setiap hati mereka yang kutinggalkan. Semuanya bertumpu jadi satu: aib! Dan satu-satunya Jalan yang ku dengar kemudian. Nina terpaksa melepaskan pacarnya, 'seorang Sarjana Muda Hukum. Ia dipaksa kawin dengan calon suamiku, yang
tidak banyak berkata selain "apa boleh buat!"
"Demi nama seluruh keluarga. aku berkorban. Berkorban. kak Noni!", kata Nina seraya menangis dalam suratnya yang berbercak-bercak oleh bekas air matanya. "Tetapi kau tidak saja mengorbankan aku. Mengorbankan joko, pacarku. Kau juga telah mengorbankan seluruh keluarga!"
Buktinya tidak lama kutunggu.
Aku baru saja beberapa minggu kembali ke Bandung. bersembunyi di rumah salah seorang teman. Tono gagal menemui orang tuanya, yang menuduhnya gila, masih ingusan sudah mau kawin, seolah berantakan. cita-cita keluarga terhadap harapan satu-satunya berantakan dan akhirnya terjadi pertentangan. Dan akhir dari segala pertentangan itu sungguh-sungguh musibah terbesar dalam hidup Tono, dalam hidupku. Harapan Tono. harapanku musnah seketika. sewaktu suatu hari kedua orang tua Tono meninggal sekaligus ketika mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan. Tabrakan.
Tono menangis. Aku menangis. Dan aku hampir saja bunuh diri ketika di tengah-tengah ratap tangisku. datang kawat Nina dari Cirebon. dibawakan oleh kawan sekelas ke tempat persembunyianku:
"Mama meninggal dunia dalam duka!
Seluruh keluarga mengutukmu. Dan menghapus namamu dari hati sanubari setiap rumah. Apalagi papa. jauhi papa! Jauhi papa!"
Aku menjerit. Hampir saja aku menabrak sebuah becak yang melintas kalau aku tak keburu genjot rem!
Aku tak sadar. terbawa hanyut oleh belaiannya, oleh cumbuannya, dan mana kala aku melihat sprei kasurku berbercak merah. barulah aku sadar. Aku telah melewati batas.
aku akan memperisterimu!". kata Tono. pemuda itu. "Aku akan bertanggung jawab. Aku cinta padamu!"
"Sungguh?" aku setengah menangis.
Ia mendekap tubuhku. "Demi Tuhan!" Hatiku terharu biru. "Jangan sebut nama Tuhan Perbuatan kita ini...".
"Berdasarkan cinta. Berdasarkan kehendak kita bersama. Apakah salahnya" Apakah dosanya?"
Ya. akupun sependapat. Pendapat anak-anak muda. Anak belasan tahun yang tidak meninjau segala sesuatunya lebih mendalam. Sama-sama atas cinta. SamaSama atas kehendak berdua. Toh sudah cukup. Dan lagi, apa mau di kata" Telah terjadi.
Akhirnya. di saat aku naik ke kelas terakhir .aku memutuskan. Pulang saja ke Cirebon. Mcngabarkan bahwa aku telah naik kelas. dan sekaligus menyampaikan niatku. Untuk mengajukan Tono jadi menantu orang tuaku. Tetapi kegembiraan akan kenaikan kelas, perlahan lahan lenyap. Makin dekat ke kampung semakin Ada terasa lecutan-lecutan di hati. Rasa khawatirku datang. Diterimakah Tono" Dan papa yang keras kepala" Tetapi sekali lagi, segalanya telah terjadi. Toh papa dan mama tidak bisa membantah satu hal: aku telah terikat pada Tono. Luar dan dalam!.
Keringat membasahi seluruh tubuh ketika akhirnya bus berhenti di terminal yang kutuju. Aku turun dengan perasaan kacau balau. Di andong, menjelang sampai ke rumah, hatiku berdebar. Makin keras dan keras.
"Noni!", adik kembarku Nina berlari-lari dari rumah ketika aku turun dari andong. "Noni datang! Noni datang!"
Dengan rasa haru aku menyambut kedua uluran tangannya yang mengembang. Diciumnya pipiku Kiri dan kanan
"Kau tambah cantik saja, Noni. Pasti calon suamimu akan berbahagia sekali".
Pucat wajahku. Calon suami"
Apakah mereka telah tahu tentang Tono"
Nina menyeretku langsung ke dalam rumah
. Hampir seluruh keluarga telah berkumpul di dalam. Aku heran. Begitu cepatkah kabar tentang naik kelasnya aku. dan kemungkinan perkawinanku dengan Tono"
Capek oleh perjalanan yang jauh dan melelahkan.Malamhari aku langsung mengurung diri di kamar. Mama mengikutkan aku ke kamar. menyelimutiku dan mengecup pipiku. Tersenyum dia.
"Istirahatlah!", katanya lembut. "Lusa kau harus Sudah siap dengan seluruh tenagamu".".
"Lusa?" Mama mengernyitkan dahi. "Nina tidak menceritakan padamu?"
Aku menggeleng. dan tak seorang keluarga pun yang mengatakannya?" Aku menggeleng lagi. Bingung.
Mama mendekat, mendekapku. mencium rambutku dengan penuh kasih sayang.
"... seluruh keluarga telah merencanakan hari perkawinanmu!"
Mataku terbeliak. "Kau takjub" Kami ingin membahagiakanmu, anakku. Itulah sebabnya kami rahasiakan. Dan ketika pamanmu menginterlokal bahwa kau akan pulang, yah! Rencana yang telah lama didatangkan itu kembali diperdebatkan. Lusa Kau bersedia bukan, Noni?"
Aku kehilangan suara. "Kenapa, anakku" Terlalu tergesa-gesa?"
"Dengan... dengan siapa?", gugup aku bertanya.
"Siapa lagi" Dharmono!" _ _
Jantungku berdebur kencang.
"Ia telah pulang dua bulan yang lalu dari Amerika. Kau dengar Noni" Dari Amerika! Tidakah menakjubkan?"
Kupandangi mata ibuku yang bersinar sinar.
O. segala kegembiraan. segala kebahagiaan mengumpul dalam sinar matanya itu. Senyum pasrah karena merasa telah memberikan kebahagiaan pada puteri sulungnya. tidak lepas lepas dari bibirnya yang mulai keriput.
Menyadari itu semua. mataku tiba-tiba terasa perih.
Tanpa bisa kutahan lagi. air mataku menetes satu-satu. melelehi pipi.
"Noni!" Aku merentak. merangkul mama. Merangkulnya dengan segenap perasaan. Dengan
tubuh gemetaran. "Mama mama" oh!" "Kenapa Noni?".
"Mamaaaa ..... ". lalu, akupun tak sadar diri lagi. jatuh dalam pelukan mama.
*** AKU tak keluar-keluar dari kamar. Ada suara ribut-ribut kaum ibu dan gadis-gadis dari belakang.
Pekak telingaku dibuatnya. Dan asap yang berkepul-kepul, dibawa angin masuk ke dalam kamar. Bau makanan yang tengah di masak, semerbak dan berbagai rupa rasa masuk ke hidung. Akan tetapi. aku cuma bisa terbaring di atas ranjang. Mataku nyalang ke langit-langit kamar.
Siangnya. Nina mengetuk pintu.
?" makan. Noni?"
Aku tak membukanya. Menjawab pun tidak.
"Kata mama, makan dulu....".
juga tak kujawab. Sore harinya. mama sendiri yang mengetuk pintu.
"Tidak mandi, Noni?"
Langit-langit kamar tampaknya seperti batu-batu karang yang terhunjam di loteng. Satu goncangan kecil saja bisa membuat batubatu itu berlepasan. runtuh menimpaku. Badanku akan hancur, darah memerah akan berSimbah sepanjang kamar. dan hari berkabung akan berlangsung sepanjang 40 hari 40 malam. di lingkungan seluruh keluarga.
"Noni. Kau musti keramas!"
Tanganku menyengkam erat sprei tempat tidur. Kalau kugulung-gulung, pasti bisa menjadi semacam tali. Tetapi dimana kugantungkan" Langit-langit kamar polos. Tiang-tiangnya berada di balik asbes putih yang kapurnya mulai rapuh.
"Noni. Noniiiii!"


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gedoran-gedoran keras di pintu membuat kamarku seperti goncang.
jadi gantung diri dengan seutas tali yang terbuat dari gulungan sprei, tidak mungkin terlaksana. Adakah sesuatu yang bisa kutelan" Racun misalnya. Kupandangi tanganku. Di pergelangan. gelang emas 24 karat yang berat tidak akan bermanfaat. Dan cincin bermutiara pemberian Tono di jari tanganku, sungguh membuatku semakin jengkel. Andaikata aku tahu akan begini menderita. tentu sebelumnya aku telah memasukkan serbuk beracun ke dalam cincin bermutiara ini.
Akhirnya aku turun dari ranjang setelah suara riuh menggema di luar.
Dengan langkah gontai aku mendekati pintu.
Baru saja kuncinya kuputar, pintu itu telah menganga lebar. Suara pintu membanting dinding dengan keras, terdengar seperti dentuman meriam di tengah kesepian yang mencekik tiba-tiba setelah pintu terbuka.
Sejumlah keluarga berdiri di depanku.
Kupandangi mereka semua dengan muka basah.
aku. aku tidak apa-apa....".
Mama yang berdiri paling depan. melompat memelukku dan menangis di dadaku.
"... kau membuat kami cemas!". Nina bersungut-sungut.
Dan mereka yang tadinya memenuhi pintu, pada bubar.
Malam hari, empat orang perempuan tak kukenal membawa seperangkat pakaian dan perhiasan pengantin, masuk ke kamar. Aku terhenti dari lamunan. dan tegak mendadak di ranjang.
"Bawa semuanya ke luar!". aku mendesis.
Mereka tertegun. "Cepat! Semuanya! Ke luar!"
Mereka saling berpandangan. Lalu seperti di komando. mereka berempat serentak mundur ke pintu. Mataku beralih ke pakaian dan perhiasan yang saking terkejut, telah terjatuh dari tangan mereka, perasaan jijik dan mual memenuhi perutku.
Aku mau muntah. "Bawa juga sampah-sampah kotor itu.....!"
Yang terdepan, bergegas memungut bawaan mereka dan dalam sekejap ia telah menghilang di luar kamar bersama teman-temannya. Sebentar kemudian, suara mereka yang ribut bertemperasan di seluruh ruangan.
Mama muncul dalam beberapa menit. Papa menemaninya.
Muka papa merah. Berkeringat.
Di pandanginya aku dengan mata menyipit.
"Apa-apaan kau, Noni?", suaranya serak.
Aku menelan ludah. "Belum ada keinginanku untuk kawin".
Mata papa dan mama terbelalak lebar. Mama melongo. sedang papa menjadi marah.
"Kau tentunya tidak serius bukan nak?"
"Serius, pa!" Tangan papa mengepal. Tetapi mama cepat mencekalnya. Kembali sepasang tangan tua tapi masih berotot itu mengendur. Dadanya bergelombang turun naik. Ia mengurut nya. Kemudian... langkah-langkah kakinya yang pasti, mendekat padaku.
Aku sudah siap. kalau papa menggamparku habis-habisan. Aku tak akan melawan. Malahan kuharap gamparan itu bisa mematikan. Aku lebih senang mati sekarang daripada harus bersanding dengan Dharmono.
Tetapi papa duduk dengan tenang di sebelahku. Tangannya mengelus pundakku.
Ia mau berbicara. tetapi aku telah mendahului.
"Aku mau kawin. Tapi tidak dengan Dharmono!"
Papa terlonjak berdiri. Berkacak pinggang.
"Lalu, kau maksudkan kau baru mau kalau dengan si Tono sialan itu ha?"
Aku tak menyahutnya. Tetapi dengan masuknya nama Tono ke telinga, kekuatanku seakan bertambah.
Papa setengah berteriak padaku:
"Apanya yang menarik pada binatang itu. Noni?"
Merah mukaku. Kutantang muka papa. "Tono bukan binatang, papa. Ia sama dengan Dharmono. Atau dengan papa!"
"Kau masih terus berhubungan dengan dia?"
"Masih. Dan tetap akan!"
Tangan papa terangkat.-Tapi ibu keburu mencekalnya. Cemas dan setengah menangis
mama menyuruh papa mengucap Istighfar.'Papa terduduk di dekatku. Hampir-hampir tak kudengar suara nafasnya.
"Baiklah. nak...", katanya kemudian. "Kenapa kau lebih menyukai Tono dari pada Dharmono?"
"Kami telah saling mencintai Semenjak kelas satu".
"Cinta!". papa menyeringai. "Itu bisa kau peroleh setelah perkawinanmu dengan Dharmono",
"Aku telah memperolehnya. Kenapa mesti kucari lagi?"
Papa memandang takjub padaku.
"Aku memerlukan cinta yang sudah tersedia. papa. Bukan yang masih berupa bayang-bayang..."
Papa memandang mama. Mama cuma menunduk, menyeka air matanya.
Hatiku terenyuh. Tetapi sudah terlambat untuk menarik segala sesuatunya. Mama perempuan. Aku juga perempuan. Dan di antara semua perempuan. kebanyakan air mata menyebabkan ketabahan semakin berkurang.
"Apa kekurangan DharmonO". tanya papa dengan suara yang mulai marah. "Ia tampan. Muda. Dan sudah sarjana!"
"Tetapi Tono lebih berhak. Ia telah memilikiku!" '
Papa merandeng,berdiri, "Tono! Tono lagi' Anak ingusan itu", menggeleng gelengkan kepala dengan susah. Matanya melebar menatapku. Merah. Merah saga. Penanda. papa tak akan ditahan lagi.
"Apa yang bisa diberikan kepada kau" Cinta" Puih. makanlah cinta itu sekenyang-kenyangnya. Puih!"
"jangan menghina Tono. papa. Seandainya papa.....".
Tetapi kedua tangan papa memutus kalimatku. Kedua telapaknya melebar. hinggap di leherku. dan dengan tiba-tiba menjeritnya.
"Anak celaka!", papa berteriak.
Bunuhlah aku! Bunuhlah aku! Aku berteriak di dalam hati. dan kubiarkan tangan papa semakin sempit mencekik leherku. Mama menjerit. Menyambar tangan papa. berusaha menariknya sambil terus menjerit-jerit. Suaranya menjadi lolongan. yang semakin sayup sampai di telingaku.
*** AKU MENGATUPKAN mata. Pasrah. Tetapi kemudian, terasa tangan papa semakin mengendur. Dan ketika mata kubuka, papa. memberontak dalam pegangan beberapa orang lelaki.
".... lepaskan! Biar kubunuh anak celaka itu! Anak tak tahu membalas guna. Membuat malu! Malu! Maluuuuu!"
Dan kemudian, kudengar suara papa sesenggukan.
Hatiku hanCur. Tuhan. apakah yang tehh kau timpakan pada kami"
*** Semakin luluh hatiku ketika melihat mama di bopong orang ke luar .
Beliau telah jatuh pingsan!
apa kata orang kalau perkawinan ini sampai gagal?". papa mengerang. "Mau di kemanakan muka kita?"
"Rapat kilat". seluruh keluarga di adakan malam itu juga. Dan selama berjam-jam, aku menunggu dengan perasaan tegang. Menunggu vonnis itu di sampaikan mama pagi-pagi buta:
"Mau atau tidak, Noni. Siang ini kau mesti naik pelaminan bersama Dharmono!"
Meskipun aku telah menduganya. tetapi duniaku seakan menjadi rapuh oleh keputusan itu. Itu bukan suatu permintaan lagi. Tetapi paksaan. Dan kalau aku masih menantang, seluruh keluarga akan berdiri di hadapanku.
Tak ada jalan lain. "Mama....", aku mencoba melembutkan suara.
"Boleh aku menemui Dharmono lebih dulu?"
Mata mama berbelalak. Tetapi ada sinar harapan terpancar.
"Sekarang ini?", mama menggeleng. "Nanti siang kalian...."
"Aku ingin ketemu dia sekarang!"
Keluarga kembali berembuk. Akhirnya segala pantangan terpaksa dilanggar. Sebagai imbalan atas persangkaan mereka bahwa akhirnya aku bersedia menerima Dharmono.
*** KELUARGA DHARMONO. sarjana tamatan dari Universitas Harvard itu. geger melihat pengantin perempuan muncul di tempat pengantin pria, hanya beberapa jam sebelum naik jenjang pelaminan. Tetapi utusan keluargaku yang datang terlebih dahulu menjelaskan. segala sesuatunya secara lengkap. Dan akhirnya aku di perbolehkan berduaan dengan Dharmono di kamarnya.
Tubuhnya tinggi. Kukuh. Dan tampan.
Selama beberapa saat aku tak dapat buka suara. Andaikata Dharmono datang terlebih dahulu, pastilah nama Tono tidak akan pernah terlahir di sudut-sudut jiwaku. . "Selamat siang. sayang. Kau cantik sekali....", ia mengulurkan tangannya.
Kusambut. Dibawanya ke bibirnya. Terkesima aku oleh caranya itu..Alangkah sopan.
"Dharmono.?", suaraku belum habis. dan
perusaan kagumku atas kesopanannya belum hilang. ketika tangannya yang memegang tanganku, menarikkan tubuhku tiba-tiba ke tubuhnya.
Aku kaget, tetapi ia telah merangkulku. dan dengan sekejab telah mencium bibirku.
Seketika. aku merasakan kenikmatan yang amat sangat.
"... sayangku; ah.....". ia berbisik di telingaku sementara aku megap-megap oleh ciumannya yang panjang. "Aku sangat berbahagia memperisteri gadis secantik engkau.?"
Memperisteri...! Seketika pula. aku merenggang dari pelukannya.
"Tidak!", kataku dengan suara tetap. "Kita tidak akan jadi suami isteri"
Ia memandangku dengan heran.
"Mau kau mengantarku ke luar?"
Keheranannya semakin memuncak. Ia mengemukakan alasan-alasan. tetapi karena kudesak, akhirnya ia bersedia juga. Seluruh keluarganya, memandang kepergian kami dengan takjub. Dan Nina kubiarkan pulang sendirian ke rumah.
"Lho, kenapa kemari". tanya Dharmono ketika kami sudah tiba di perhentian bis.
"Aku akan kembali ke Bandung!"
Ia memegang lenganku dengan erat.
"Terimakasih untuk kebaikanmu mengantarkan aku sampai di sini. Tetapi, Dharmono.... maafkanlah. Telah ada seseorang yang lain sebelum kau!"
Ia bingung, tetapi cepat bisa mengatasi diri.
"Itu bisa kita selesaikan, sayang".
Aku menggeleng. Dengan hati tetap. aku berkata:
"Tidak. Tak perlu kau tau siapa lelaki itu. Tetapi. oh.... maafkanlah. Ia telah mendahuluimu. Kau dengar" Mendahuluimu. Dalam segala hal!"
Matanya menyipit, kemudian mukanya mendadak merah.
Pegangannya lepas dari tanganku.
Ia masih berdiri tegak di tempatnya ketika aku telah berada dalam bis pertama yang sudah penuh dan siap berangkat ke Bandung. Lewat tatapan matanya ia banyak berkata-kata. Tentang kekecewaannya, tentang sakit hatinya. dan perlahan-lahan kutangkap sesuatu yang lain... tentang cintanya!
Ketika bis berangkat. aku tak melambai.
Dia juga tak melambai.' Bis bergerak meninggalkan perhentian.
Dan, Dharmono tetap tegak di tempatnya!
*** PADA hari perkawinanku dengan Tono. kudengar kabar bahwa keluarga melangsungkan perkawinan darurat antara Dharmono dengan Nina. Aku bersyukur jalan itu mereka ambil. Unluk menyelamatkan nama keluarga. Dan sekaligus menyelamatkan diriku pula. Tetapi rasa bersyukur itu mereda ketika beberapa hari kemudian datang surat kilat Nina yang pendek sekali isinya:
"Kutahu perkawinanku dengan Dharmono akan memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh walau setitik kebahagiaan. Selain itu. perlu kau ketahui, mama shock berulang-ulang setelah kau minggat. Empat hari terakhir ini beliau tidak bangkit dari tempat tidur" Adikmu yang telah kau korbankan. Nina!
Kusembunyikan surat itu dari suamiku. juga surat-surat setelahnya. yang mengatakan keadaan mama yang semakin parah. Aku tak mau mengganggu dukanya di tinggal papa dan mamanya yang mati karena kecelakaan itu. Cukuplah penderitaan itu baginya. Apalagi, ternyata ia kemudian disisihkan dari keluarga.
Tetapi sebulan kemudian. aku tak kuat
bertahan. Tono menaruh perhatian atas telegram yang kuperlihatkan kepadanya.
"Kita ke Cirebon. Sekarang!"
*** MAMA meninggal dunia. Hanya itu isi telegram Nina, yang mengiang di telingaku sepanjang jalan dari rumah menuju ke pemakaman di mana mama akan dikuburkan. Pemakaman berlangsung dengan khidmat.
Tetapi begitu peti jenasah diturunkan ke liang lahat, tangis berkecamuk seketika. Aku menjerit, melompat mau menubruk peti mati mama. Tetapi tangan Tono dengan kukuh menahanku. Dan dengan hati hancur luluh aku melihat sekop dan cangkul melayang-layang di atas liang lahat. dan akhirnya aku hanya bisa melihat gundukan tanah yang memerah di dalam pijaran beribu warna yang memenuhi batok kepalaku.
Para pengantar telah meninggalkan kompleks pemakaman.
Kini, aku berhadapan dengan apa yang sejak semula sangat kutakutkan.
Di seberang gundukan tanah dari arah
mana aku berdiri, papa tegak dengan kepala tengadah angkuh dan agung di depan biji mataku. Sorot matanya menyambar-nyambar ke mukaku.
"_" kau, Noni". suaranya dalam, seperti ke luar dari dalam tanah di mana mama terbaring tak bernyawa, "kau yang menyebabkan kematian mamamu. Terkutuk!"
Aku terpekik. Tono.memegangiku_ dan pemuka agama yang mash belum pulang menyabarkan papa. dan memintanya untuk menarik kembali ucapannya.
Tetapi papa mundur. Mundur dan akhir suara mengguntur:
"Nyah dari depanku!"
Bagaikan gila, aku memutari kuburan mama, mendekati papa.
Tetapi papa mundur. Mundur dan akhirnya memutar tubuhnya sementara aku terjatuh bersimpuh di tanah. Sambil pergi papa meninggalkan kata-kata yang menyayat hati :
"Haram aku kau sentuh. jauhi papa! jauhi papa!"
*** AKU menjerit. Rem kuinjak kuat-kuat, akhirnya mobil terhenti bersama dengan suara ban yang berdenyit. Dan sebuah becak yang melintas tanpa memberi tanda, lewat seenaknya sambil si abang becak menoleh padaku seraya memaki:
"Babi!" APEL, jeruk, dodol, oncom goreng serta makanan kecil lainnya yang bertumpuk itu. diangkuti Tono dengan rajin dari mobil ke jembatan yang membelah sungai di bagian bawah Maribaya. Aku diam saja melibatkan sambil memakan tanpa selera bekal yang sengaja kami bawa tersendiri dari rumah. Aku merasa susah, tetapi kurasa tiada yang lebih baik apa yang seharusnya kami perbuat. selain apa yang direncanakan Tono.
Pemandangan yang indah seluruh daerah Maribaya tidak menarik perhatian lagi seperti biasa. Paling tidak, seperti yang sama-sama kami bayangkan ketika merencanakan akan main-main ke Maribaya, hari ini, memuas muaskan hati dan menyenang-nyenangkan perasaan. Relax. kata Tono.
Masih untung hari ini hari biasa, tidak banyak orang yang berkunjung. Kebanyakan hanya penduduk setempat. tetapi mereka kebanyakan melintas di bukit sebelah barat dan hanya satu dua yang melalui jembatan yang membentang di pangkal kali kecil yang berakhir pada sebuah air terjun yang mengaum dengan suara menggemuruh ke bawah. menguapkan embun-embun putih dan cahaya pelangi.
"Sekarang!", Tono berseru.
Aku mendekatinya. mengikutinya yang di kehendakinya.
"Go!", ia berteriak.
?" to be?". aku menyambut.
Dan keranjang demi keranjang, bakul demi bakul yang dipaksakan Handi kubeli di Pasar Baru. berhamburan satu persatu mengikuti air, terjun ke bawah, tenggelam sebentar. timbul lagi. tenggelam, timbul makin ke hillir dan akhirnya berserakan di antara tumpukan batu-batu jauh di bawah dan sisanya hanyut ke hilir.
"Siapa tau ada yang mengail di sebelah sana...", Tono menunjuk ke alur sungai yang seperti ular membelah hutan dan bukit makin ke bawah. "Dia engga dapat ikan. ya. oncom gorengpun jadi!"
Tono tertawa. Aku juga tertawa. Terasa sedikit keriangan di hati.
"Alangkah nikmatnya, andaikata Handi melihat sendiri apa yang telah kia lakukan atas jajannya yang harganya belasan ribu rupiah ini", aku tertawa kecil.
"Ia akan marah". berengut Tono. "Lalu, seperti belanjaannya, dia pun pasti ikut kulemparkan ke bawah sana!"
Lalu Tono berlari mendapatkanku. aku pun berlari mendapatkannya. Kami bertemu di tengah jembatan, saling berpagutan tangan, kemudian saling berangkulan, dan paling kemudian saling berpagutan bibir.
Kami terkejut ketika ada suara ribut di
atas. Seketika. ciuman kami saling melepas dengan wajah sama-sama memerah. Ah, akhirnya kami sama-sama tersenyum, malu pada ketakutan kami sendiri. Kiranya, bukan orang yang memergoki kami yang membuat suara riuh itu. melainkan tiga ekor ruak yang terbang serentak dari sebuah pohon petai di ujung jembatan. sambil menguik dengan riuh' nya.
"Makanya?". aku bergumam. Tono membawaku ke tepi. "Perduli!", katanya. "Kalau ada yang lihat."
mau apa dia. Aku kan bebas berbuat dengan isteriku sendiri!"
Kami menghabiskan bekal kami. Lepas nasi berisi daging. dan telor rebus. Lalu minum air dari termos. Kemudian saling menggolerkan tubuh. menantang matahari yang mulai membakar rerumputan di sekitar kami
"Tono!" Ia masih memandang ke langit.
Biru putih. Sebuah pesawat. seperti burung layang-layang besarnya. lewat dengan gerakan lamban. Kelihatannya.
"Aku mau mengundurkan diri. bagaimana ya?"
"Dari sandiwara ini?"
Aku mengangguk, meskipun aku tahu ia tidak melihat anggukanku.
"Gila. cuma itu yang bisa kubilang. Kalau masih kurang. boleh tambahkan satu perkataan lagi: bodoh!"
"Habis. bagaimana" Belum juga dua minggu aku bergaul dengan Handoko itu. anaknya sudah mulai main gila-gilaan..."
"Kau 'kan bukan kencan dengan anaknya. Tapi bapaknya".
"Handi bisa bikin bahaya. Anaknya sih".
"Anak ya bagaimana bapak!"
Aku tersenyum. Kugoda dia:
"Tapi papamu kaya dan baik hati. Kau"
Bangkrut dan brengsek!"
Tiba-tiba ia menggelinjang.
"jangan sebut-sebut papa!", matanya meram melek.
*** AKU terdiam. Tetapi Tono tidak. Ia berbalikbalik dengan gelisah. Aku kira ia kepanasan. atau ada duri tajam menusuk punggungnya. Tetapi waktu kudengar ia melenguh. aku terperanjat. Buru-buru aku duduk. memegang bahunya yang goncang keras, lalu sekaligus memukul jidatnya yang berkeringat.
"Berhenti, Tono"
Ia mengerang, melepas nafas panjang berulang-ulang. Kuurut dadanya, lalu kubelai wajahnya.
"Sayang, kau terganggu lagi!"
"Maafkan....", katanya lemah.
"Akulah seharusnya yang meminta maaf"
Tono berdiri. "Mandi kita?" Aku membenahi bawaan kami.
"Di sini?" sahutku sambil melonjorkan kaki ke arah air mengalir di depan kami, yang hanya dua meter dari tempat air itu kemudian terjun.
"Tidak. Di bawah...."
Kami kemudian turun, melalui semak-semak dan tebing yang terjal.
Tiba di tempat di mana air menderu dari atas. kami melepas baju sama cepat, dan kemudian sama cepatnya pula terjun ke lingkaran air berbuih.
Selama beberapa menit kami saling mempertahankan diri di dalam air, sebagaimana kebiasaan kami bersama kalau lagi berenang. Baru setelah dadaku mulai agak sesak. aku buru-buru muncul di permukaan dengan nafas megap-megap. Kucari Tono.
"Plok!" Aku terpekik kaget. Tono tertawa di belakangku.
Kujambak rambutnya. "Kukira hantu sungai!". teriakku dongkol.
Ia menarik tanganku yang menjambak rambutnya, tetapi aku tidak melepaskannya. Akhirnya, kedua tangannya memegang pundakku. Dan sebelum aku menangkap maksudnya, dia telah menekanku ke dalam air.
Aku meronta, tetapi ia menekanku semakin dalam.
Aku menggelepar. Di dalam air. kami bergumul. Dadaku sudah hampir pecah rasanya. Aku menjambak apa saja yang bisa kujambak. Memukul apa saja yang bisa kupukul. Aku berusaha lari darinya. dan mulai takut padanya. Dan....
Di puncak ketakutan dan kehabisan nafas. Tono melepaskan aku. Susah payah, kumuncul di permukaan air, dan berdiri pada tanah lembek di kakiku. Aku mengerdipkan mataku yang perih, dan membuang nafas yang mcnyesakkan dada.
Aku mau memaki. tetapi ketika Tono berdiri di depanku sambil tersenyum seperti bayi, aku baru sadar, selama bergumul. Tono telah melepaskan pakaian mandiku, sementara secara tak sadar akupun telah merenggut celana dalamnya.
Kami berdiri dalam keadaan sama-sama telanjang, sama-sama sesak nafas, sama-sama gelombang keras memukul dada.
"Lihat?" Tono tersenyum lebar.
Ia mengambil sesuatu dari dalam air.
Aku melihatnya. Lupa akan kemarahanku.
Ia mengangkatnya ke permukaan air.
Sebungkus dodol Garut! Kami tertawa serentak. Tak lama. Karena Tono telah membuang dodol belian Handi itu, dan kemudian ia telah menatap sekujur tubuh telanjangku. Aku membalas tatapan matanya, dan menemukan kegairahan menggelombang di sana. lalu kemudian di sini, di dalam jiwa keperempuananku.
Ketika kemudian ia mengulurkan tangannya, aku mendekat. Di saat berikutnya, kami sudah saling berangkulan. di atas permukaan pasir berumput di bawah lindungan dedaunan air di tanah basah di atas kami.
Kembali kami berpandangan.
Kembali kami berangkulan.
Kembali kami berciuman. Lebih rapat. Lebih hangat.
Dan aku kemudian tak sanggup lagi menahan rintihan demi rintihan.
*** DALAM perjalanan kembali menuju Bandung, Tono menjalankan mobil dengan tenang. Aku duduk terkantuk di sebelahnya.
sementara ia sendiri beberapa kali menguap tanpa bisa ia tahan.
"Awas lho. lihat-lihat jalan...",
"Lambat begini. membuat kantuk datang-?". jawabnya. "Mau cepat. malas. Capek dan lemas seluruh urat di tubuh...."
"Siapa suruh bikin acara di dekat air terjun!" aku tertawa.
Ia memukul pahaku. Menjelang pengkolan Cirateun. Tono meminggirkan mobil. memberi jalan kepada sebuah Mercy yang dari tadi mencari kesempatan untuk mendahului kami. Bagai kilat, Mercy itu menderu melalui kami menuruni pengkolan dan....
Ribut seketika. Rem berdenyit nyaring, teriakan, bunyi beradu yang keras dan hanya di detik berikutnya, sepi mencengkam. Mercy itu telah menghantam bagian muka sebuah truck yang datang dengan cepat dari bawah, persis di pengkolan!.
Tetapi sesaat kemudian. suara riuh rendah segera memenuhi sekitar tempat kecelakaan itu. Orang-orang berlari mengerumuni mobil dan truck yang saling mengepulkan asap ke atas. Semangatku yang sempat terbang dan telah kembali, belum sempurna sewaktu terjadi hal yang baru.
Tono membanting pintu mobil kami, menjerit. lalu berlari menuju kerumunan itu. Aku terkejut dan terkejut lagi, bagai kena pukau ketika memandang melalui kaca depan, betapa Tono menghambur ke tengah-tengah kerumunan orang-orang itu sambil berteriakteriak:
"Mama! Papa! Mama! Papa! Mamaaa! Papaaa!"
Satu dua orang berjatuhan oleh srudukannya. Tetapi tak seorangpun yang berbuat apaapa. Semuanya melihatnya. akhirnya samar-samar aku mendengar suara tangis. Segera aku sadar, meluncur ke luar mobil dan berlari menuju ke rumunan orang yang semakin ramai juga.
Dengan muka pucat aku menerobos di selah-selah manusia yang memberi jalan untukku Di hadapanku. terhampar sesosok tubuh yang bergelimang darah. sesosok lainnya setengah tergantung ke luar dari pintu depan Mercy dengan kepala persis berada di bawah truck.
Di lain keadaan. pasti aku muak dan muntah.
Tetapi waktu melihat sesosok tubuh lainnya terbungkuk-bungkuk di belakang Mercy itu seraya menangis terisak-isak dan menyebut-nyebut "papa mama", aku segera mendapatkannya. Dengan bantuan beberapa orang aku menarik Tono dari tempat ia sesenggukan sambil memukulkan kepalanya ke bagian belakang Mercy itu, lalu membawanya masuk ke dalam mobil kami sendiri.
maafkan aku mama. Maafkan anakmu ini. papa!". Tono meratap. Ia memberontak dalam peganganku dan pegangan orang yang membantuku. '. aku berdosa. Berdosa. Papa. Mama!"
"Tono, sadarlah"!", aku memukul-mukul mukanya. "Sadarlah. Sadarlah!"
"Papaaa!", Tono menjerit. "Ini salahku, papa. Salahku, mama! Kenapa" Kenapa kalian sampai mati" Kenapa" Papa. Mama. Mama. Mamaaa..?"
Orang dan kendaraan semakin menumpuk di sepanjang jalan. _
Aku panik, dan semakin panik ketika seorang tua berlari ke dekat kami. duduk di Jok seraya mengelus jidat Tono komat kamit membaca do'a. Mata orang tua itu terbalik. mulutnya mulai mengerang. Tangannya yang memegang jidat Tono bergetar hebat. makin lama makin hebat, sementara dari mulutnya terus terloncat do'a dan mantera-mantera yang tidak aku mengerti .
Semakin ia komat kamit dan semakin ia gemetar. semakm Tono menjerit, melenguh sambil menyebut papa
dan mama, menyebut kesalahannya, menyebut permintaan ampunnya.
Aku sudah hampir jatuh pingsan, ketika seorang lelaki gagah turun dari sebuah mobil di depan kami. Ia mendekat. melihat kepada Tono yang menggeliat di jok, melihat padaku. Tatapannya seolah-olah menuduh: kenapa aku tidak membawa mobil itu segera mabur"
Bersamaan dengan tuduhan itu, lelaki berbuat apa yang biasanya dan yang selalu kuperbuat. Tamparan yang keras dari tangannya, melayang ke pipi kiri Tono. Lalu pipi kanan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Berkali-kali.
Akhirnya Tono mengejang, lalu terbaring diam di atas jok.
Matanya yang melotot tertutup perlahan lahan lalu suaranya yang mendengus berubah jadi nafas yang mulai teratur. Dengan kaget aku melihat, si orang tua berpeci dan mengenakan kaus oblong dengan sarung palekat membelit pinggangnya. tiba-tiba jatuh ke tanah.
Orang Segera membantunya. tetapi ia segera bangun, tegak dengan tenangnya. Dan dengan tenangnya pula ia berkata padaku"
"Aden kemasukan!"
Aku melongo. "Dia histeris!", tukas si lelaki yang menampar Tono sambil menunjuk kepada Tono.
"Bukan kemasukan. Cepatlah tinggalkan tempat ini. Suamimu. ah... temanmu atau siapa pun dia. perlu ketenangan...."
Setelah si lelaki membetulkan letak Tono terbaring. aku menutup pintu mobil dan duduk di belakang stir. Stir itu terasa licin. Ternyata tanganku berkeringat. Dan keringat yang sama membanjir di sekujur tubuhku yang terasa panas dingin.


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mobil kujalankan dan orang-orang menyisi, barulah aku tersadar betapa peristiwa kecelakaan itu sebagian besar telah teralih kepada peristiwa histerisnya suamiku. Mukaku menjadi merah dan dengan tangan gemetar aku menjalankan mobil meluncur menuju Bandung.
Baru setelah jauh dari tempat celaka itu, aku teringat yang aku tidak sempat menerangkan apa-apa kepada semua orang. bahkan juga tidak ucapan terimakasih kepada mereka yang membantu menyadarkan suamiku....
Aku menggelengkan kepalaku menghilangkan perasaan pusing. muak dan enggan sekaligus. Ketika aku mengucap berulang ulang. kudengar suara menggeser di belakangku.
Tono terbangun. Aku lihat melalui kaca spion.
".... kenapa dengan aku ?"
Tanyanya bangkit dari baringnya yang setengah meringkuk supaya badannya pas menurut ukuran jok tempat duduk
"Tertidur, lalu terbang ke jok belakang", sahutku datar.
*** "SYUKURLAH". kata Handoko selagi kami asyik menikmati Ayam Bengawan Solo di jalan Riau. "Aku telah mendapatkan pekerjaan buat Tono!"
Aku terdongak. "Ini sesungguhnya....". Handoko tersenyum melihat aku seakan-akan tidak percaya padanya. "Tapi tempatnya jauh...."
"Di mana?". aku mendesak.
Handoko tertawa. "Itu. paha ayam di mulutmu. Turunkan dulu ke piring. baru ngomong...."
Aku sadar, mematuhinya dengan wajah memerah karena malu.
"Prabumulih". "Sumatra?" Handoko mengangguk. "Pusat baru saja membuka cabang baru di sana. Diperlukan beberapa tenaga utama. Aku
mencalonkan Tono...."
"Dan goal....", aku hampir terpekik.
Handoko menempatkan telunjuknya di depan bibirnya.
"Tenanglah", bisiknya. Aku tersenyum. "Sudah kubilang, Tono telah mendapatkannya!"
Ingin saja aku melompat, berlari meninggalkan warung makan itu menuju ke rumah kami di Cicadas. Tetapi segera aku ingat bahwa itu bukanlah perlakukan yang pantas di depan seorang lelaki seperti Handoko, yang telah berumur setengah abad dan selama berkenalan begitu menaruh hormat dan sayang padaku.
"Apakah tidak terlalu jauh?"
"Lebih baik!" tukasku otomatis. "Sebab... sebab....", dan aku terdiam.
"Hmm-hmmm?" Sebab semakin jauh dari kota terkutuk ini, semakin jauh pula kami dari orang-orang yang mengenal dan mengetahui apa yang selama ini kami perbuat. Seorang suami yang dengan tega menjajakan isterinya. dan seorang isteri yang demi cinta kepada si suami. rela ditiduri lelaki lain.
"_" seperti pernah saya katakan, Oom", kataku gagap. "Tono memerlukan pengalaman. Semakin jauh dari tempat asal, semakin ia
bisa lebih mematangkan dirinya sebagai seorang lelaki yang bertanggung jawab. Atas masa depan dirinya, dan dan isterinya". Handoko melihatiku sejurus. "Ia mau kawin?" Tersentak darahku. Tapi tak lama. "Sebagai lelaki, ia harus punya isteri" "Hem, kau bijaksana....", kata Handoko. "Ayoh, sudah sore, kita selesaikan makan kita!"
TIBA di rumah, Handoko duduk lebih lama dari biasa. Lama ia tak berbicara, hanya memandangiku saja. Dan aku tunduk tersipu-sipu di hadapannya. tanpa bisa berkata apa-apa bahkan tanpa mengetahui aku mau berbuat apa. Aku memilin tepi taplak meja. dan akhirnya memilin tepi gaunku.
"Kenapa Oom pandangi aku seperti itu?". akhirnya aku tidak bisa menahan diri.
Handoko menghela nafas. "... kau tau". katanya hilang-hilang timbul di telingaku. "Ibunya Handi telah kawin dengan seorang lelaki lain. Kami tak pernah mengalami kecocokan. Dan lama aku berharap
aku akan mendapat kecocokan itu dengan seseorang yang lebih baik dari ibunya Handi
Wajahku memerah. mengerti tujuan katakatanya.
Tapi aku tetap seperti kura-kura dalam perahu.
'." dan Oom sudah memperolehnya?"
"Insya Allah". Aku memandang Handoko. Tersenyum kecil.
"Kenalkan dong sama Noni!'.
Ia menatapku sejurus, membuatku malu
Ajaib, tidak banyak lelaki yang bisa membuatku seperti sekarang ini. Tidak banyak. karena yang bisa membuatku gelisah malu barulah satu orang: Tono.
Dan kini... ada apakah dengan diriku"
*** NONI. "Ya Oom?" "Kau senang pada Handi!"
Tiba-tiba, aku tertawa. Kini ganti wajah Handoko yang menjadi merah.
"Bukan begitu...", mulai gugup. Ah, orang tua juga bisa gugup, pikirku.
"Oom mau ambil saya jadi mantu?"
Tetapi aku bisa mengerti. karena ia sedang mengutarakan isi hatinya kepada seorang yang jauh lebih muda. dan yang akan ia
utarakan justru bukan soal ketuaan. melainkan soal kemudaan. Darah muda.
"lalu?" "..." lusa aku mau ke Wina!"
"Wouw!" aku terbelalak. "Selamat. Enak ya Oom, ke luar negeri?"
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi soal di sini, justru di dalam negeri?",
"Kenapa" Pe-k-a-i bakalan come back?"
"Ah, kua!" Kami terdiam pula. Lantas:
?" jawablah. Kau menyukai Handi?"
"Suka sih suka. Sebagai teman".
"Sebagai..... ya. sebagai anak?"
Aku membelalakan mataku, meski di dalam hati aku telah tahu. Tetapi, harus. Aku harus membelalakan mata. dan juga mengangakan mulut selebar-lebarnya!
"Oom main-main".
Handoko tertawa memelas. "Setua ini?". ia angkat bahu. "Engga pantas!" _
Kutundukkan mukaku. Meski kurasa. Itu tidak perlu.
"Bagaimana Noni?" .
Lama aku tak memberi Jawab.
"Tapi Handi.."."
"Ia akan menyukaimu! Lambat laun.Aku akan berusaha. Dengan bantuanmu. tentu .
Aku menggelengkan kepala.
"Kami selalu bertengkar".
"Ah. Hanya karena kalian belum intim_ Dan Handi berprasangka jelek. Dia kira aku iseng-iseng denganmu.?"
Dan bermaksud merebut warisan yang seharusnya jatuh ketangannya. lanjutku di dalam hati.
?".. Noni!", Handoko telah berdiri, memutari sice dan kemudian berdiri di belakang kursi yang kududuki. Tangannya kedua-duanya dengan lembut. hinggap di bahuku. dan sama lembutnya mengelus dengan penuh kasih sayang.
"Aku tau kau pasti bersedia".
Merah mukaku. Tetapi pucat hatiku.
Betapapun. aku punya Tono. Masih punya Tono. dan tetap akan punya Tono.
Namun. ketika Handoko menarikku berdiri. menjauhkan aku dari kursi lalu merapatkan aku dekat-dekat ke tubuhnya. aku tidak sanggup menolak. Sekurangnya saat ini aku tidak pantas menolaknya.
Aku masih di kacaukan oleh pikiranku sewaktu Handoko memegang wajahku. memanasinya dengan nafas lantas dengan empuk menjejalkan mulutnya di permukaan bibirku
"Oom. oh.....!". kemudian aku terkulai lemas di dadanya.
"Jadi, kau bersedia?"
Mesti. Aku mesti mengambil keputusan tetapi apa" Dan bagaimana"
".......Oom' "Ya?" "Saya tahu Oom sayang padaku".
"Hm-hm." "Hmm, kalau tidak, masa aku melamarmu."
"Oom juga baik padaku."
"Ah, siapa bilang."
"Saya banyak melihat atau mendengar kenyataan. Bahwa lelaki seperti.".. ah. seperti kedudukan Oom, suka main perempuan. Dan tidak satupun yang dilewatkan. Direnggut kehormatannya. Bahkan ada yang disia-siakan......"
"Tidak semuanya begitu dong."
"Ng, Oom misalnya. Paling cuma memelukku, dan menciumku. Tak lebih....."
"Ah. Toh akan tiba masanya berbuat lebih dari itu......!". katanya tertawa.
Aku tersenyum. Manja. Ketika Handoko permisi mau pulang, aku masih jual mahal",
"Yakinkah kau akan dirimu sendiri" . Ia balas bertanya. _
Aku terdiam. Tetapi cepat tersenyum pula.
"Nah. kau bisa menjawab sendiri Noni "
"Tapi Oom." "Apalagi. sayang?"
"Oom baru sebulan mengenalku."."
Matanya terbelalak. "Hehe, apa maumu aku menunggu sepuluh tahun lagi. Wah, bisa jadi setelah waktu itu, aku bukan laki-laki lagi...."
Merah telingaku. Ketika mobil yang ditumpangi Handoko meluncur dan hilang dari ujung gang. aku masih berdiri di pekarangan. lama aku bediri di situ, sementara langit semakin kelabu.
Hujan akan turun, pikirku.
Lalu aku beranjak masuk ke dalam rumah.
Akan tetapi. mataku masih sempat menangkap beberapa wajah menyembul dari jendela beberapa rumah tetangga. Kupercepat langkahku.
Ya. kau tau. Kalian telah mulai mempergunjingkan aku. Mempergunjingkan rumah tanganku!
*** TONO baru pulang setelah hari hampir pagi.
"Kok matamu. merah?" tanyanya seenaknya sambil melompat ke jok kursi panjang.
Aku tak tidur semalaman. jawab hatiku. Memikirkan engkau Memikirkan Handoko. Memikirkan pandangan mata tetangga-tetangga yang semakin curiga. Dan memikirkan diriku sendiri.
"kau tak pulang". aku merengut.
lantas. kau menangis?"
Aku terdiam. Dan diapun tidak berkata apa-apa lagi. Sebab. selagi aku memandanginya tiduran scenaknya di jok, matanya mulai mengatup perlahan. dan di saat berikutnya, Suara dengkuran lepaslah dari hidung Tono.
Mengapa dengan kau. Tono"
Kupandangi mukanya. Tersenyum dalam tidurnya. Ia menganggap kepulangannya menjelang pagi. tidak apa-apa. Meski itu telah terjadi berulang kali, akhir-akhir ini. dan meski aku memperingatkannya. tanpa berhenti-henti. Tetapi kini, malah ia menganggap sepi. seperti aku ini cuma patung belaka.
Mataku perih. dan sungguh. barulah kini
ku menangis. Kenapa aku tidak bisa membenci Tono" Karena. sejak aku mengenalnya, aku telah jatuh cinta kepadanya. untuk pertama kali,
selakigus untuk terakhir kalinya. Ya. karena aku tidak bisa mencintai lelaki lain lagi. Meskipun itu Handoko'.
Sambil menangis terisak-isak aku mendekati kursi yang ditiduri Tono.
Aku jongkok, kakiku goyah. Aku jatuh berlutut.
Kupandangi wajahnya. Senyumnya. Bayi mentah ini. Kukecup kedua kelopak matanya yang tertutup.
Air mataku jatuh menitik di wajahnya. Ia tetap tersenyum. Dan aku tetap menangis. Tetap berurai air mata.
Dan dengan berurai air mata. aku bangkit pelahan-lahan.
Kubuka tali sepatunya. melepasnya. lalu juga melepas kaus kakinya. Dari kamar, aku mengambil selimut. dan menutup kaki sampai ke dadanya.
"Kau tentu lelah. sayang. Tidurlah...."
Lantas. aku mendekapkan kepalaku di dadanya.
Mendengar degup jantungnya.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh, Delapan. Sembilan......
Dan aku tertidur dalam keadaan duduk dengan wajah mendekap ke dada suamiku....
*** PULANG dari jakarta. kepalaku terasa sangat pusing. Nanang. supirnya Handoko kuantar sampai ke rumahnya di Gg. Tilil. Tanpa dia. barangkali sepanjang perjalanan jakarta-Bandung aku akan mati lemas. Aku tidak berani naik mobil sendirian dalam jarak sejauh ini. dan akupun tidak kuat menyetir sendiri dalam keadaan phisikku yang terasa semakin lemah. serta mentalku yang belakang ini banyak mengalami goncangan.
'.... aku telah melamarmu". mendengung lagi ucapan Handoko sebelum ia meninggalkan aku di lapangan udara Halim.
'Sekemhali dari Wina. kuharap aku sudah bersiap untuk pernikahan kita...."
Waktu itu aku tak bisa menbuat keputusan.
Dan kinipun. sementara kujalankan mobil Handoko dengan hati yang gundah. aku belum mengetahui apakah aku akan bisa mempersiapkannya atau tidak. Menanyakan pada Tono" jangankan menemani ke jakarta. kerumah pun ia sudah jarang muncul.
*** "Supaya kesibukanmu dengan si Oom lebih sempurna". begitu alasannya. Dan sungguh beruntung sebenarnya Tono karena Handoko masih sempat membisikkan pesan terakhirnya sebelum ia berjalan menuju Pan Am yang akan membawanya meninggalkan negeri ini. negeri di mana ia telah jatuh cinta pada seseorang. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama atas dirinya.
"Pindahlah ke bungalow-ku di Cirateun. Bawalah Tono". katanya menegaskan, "Biar kalian bersenang-senang di sana selama aku pergi!"
Bersenang-senang!. Amboi. indahnya, bila itu adalah sesungguhnya.
Aku dan Tono. suamiku. di sebuah bungalow.
Aku tersenyum. Hanya beberapa jenak. Karena begitu mobil kuparkir di mulut gang. dan aku melangkah memasukinya dengan langkah lunglai. Cicih dan Sintya. anak pak Sarwendo di sebelah rumah, berlarian masuk rumah. Suaranya ribut. dan sewaktu aku melewati rumah mereka. keduanya telah lenyap.
Tapi aku tahu .Tahu dengan pasti
Bahwa ketika aku membuka kunci pintu rumah. dari balik gordiyn jendela sebelah
menyembul potongan-potongan wajah kedua buah itu, dan juga wajah pak Sarwendo serta bu Sarwendo. Dan lebih banyak lagi yang menyembul di jendela atau di selah daun pintu rumah sekitarnya. Semuanya dengan maksud yang sama: memperhatikan setiap gerak gerikku. Dengan analisa yang sama: aku ini seorang isteri yang menjajakan tubuh untuk menghidupi sang suami. Lalu dengan keberanian mereka yang sama; cuma sampai mengintip! Selebihnya, bergunjing. Tak lebih. Karena kalau salah seorang di antara mereka mulai berbicara terus terang padaku. maka aku akan berbuat hal yang sudah lama. kutekadkan: kucakar mukanya sampai luka berdarah!.
Kuhempaskan diriku di jok depan.
"Di bawah pigura Bali di atas buffet. ada titipanku untukmu. Ambillah, begitu kau tiba di sana untuk menginap....", mengiang lagi kalimat-kalimat terakhir Handoko.
Aku bangkit. Menuju kamar mandi. Bak kering. Setan! Itu berarti Tono belum pulang sejak kemaren malam sampai sore ini!.
Dengan tangan gemetar kecapaian, kutimba seember air dari sumur.
Kucuci mukaku. Berkumur-kumur.
Tetapi tiba di kamar tidur, toh aku tidak
bisa menahan kantuk yang menyerang, Air yang membasahi wajahku, begitu kering Setelah kulap dengan handuk. begitu kehilangan pengaruhnya. Baru juga aku golerkan tubuhku yang letih lesu di atas kasur. aku pun sudah terbang ke langit yang entah lapis ke berapa belas..".
*** MATAHARI pagi telah sepenggalah di langit biru cerah, ketika aku terbangun besok paginya.
Tuhan, Tuhan! Ke mana dia"
Kasur di sebelahku, dingin. Kamarku sepi. Kamar tengah juga. Kamar depan, apalagi. Aku hanya mendengar-dengar detak jantungku.yang menggebu-menggebu dan semakin menggebu.
Malam tadipun. Tono tak pulang!.
Perasaan kecewa menghantui diriku sementara aku mandi. memasak. menyapu dan membersihkan rumah. Ketika sarapan, aku cuma memamah tiga kerat roti panggang dan sepotong daging goreng.
Dia tahu aku telah berada di rumah.
Tetapi. kenapa dia tidak pulang"
Adakah sesuatu yang terjadi atas dirinya"
Sampai jam sebelas siang aku menunggu dengan perasaan cemas. Setiap langkah kaki terdengar. kulari ke pintu. Kalau tak Tono, mudah-mudahan seseorang yang mengabarkan tentang keadaan dirinya, atau yang menyampaikan pesan di mana aku bisa menemuinya.
Tetapi. sampai aku meninggalkan rumah beberapa menit kemudian setelah penungguan yang sia-sia itu, tak seorangpun yang menampakkan muka. Aku ke luar dengan langkah buru-buru dan tidak perduli pada sekitarku. Persetan. mereka mau mengintip apa tidak. Mau ribut. boleh. Akan kulayani!.
Toh. tak seorangpun yang mengusikku, sampai aku masuk ke mobil yang kuparkir di sebelah mulut gang. Namun kemarahanku tetap memuncak. Dan kemarahan itu kulampiaskan pada daun pintu mobil. yang kuhempaskan keras-keras. lalu pada starter serta versenelling. Kasar bunyinya. dan waktu versenelling ku-over. mobil itu terlonjak dan kemudian menderu membelah Cicadas.
*** PINTU depan bungalow tidak terkunci ketika aku sampai. Takjub. aku masuk dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
Sebotol besar Martini menggelinding di lantai, dan isinya tumpah membasahi permadani beludru biru. Dekat kaki sice. mengepul asap. Lalu kulihat puntung rokok.
Setengah berlari. aku menuju sice dan memijak puntung rokok yang masih menyala dan mulai melebarkan bagian permadani yang hangus terbakar. Di asbak, aku melihat tumpukan puntung rokok lebih banyak. Dari berbagai
jenis. Berarti,_ di sini terdapat lebih dari satu orang lelaki!.
Mukaku pucat. Dan..." "Selamat datang, nona manis!
?" hampir terpekik saking kaget. Di pintu masuk ke ruang dalam. Handi memandangku sambil berkacak pinggang. Senyum di bibirnya lebih mirip seringai penghuni kebun binatang Taman Sari.
Ia mendekat. Aku menghindar. Ia tertawa. karena ia memang tidak menuju pada diriku. Ia langsung ke pintu, menghempaskan sampai tertutup dan sekaligus menguncinya dari dalam.
Mataku terbeliak lebar. "Ini?", tanyanya datar sambil menimang nimangkan anak kunci. "Papa memang sudah tua. Ia bukan saja lupa mengajakku mengantarkannya ke Halim. Malah kukira, ia telah lupa bahwa aku punya kunci duplikat dari istananya ini?"
Ia tertawa. _ Dan sebelum tawanya habis.tangannya terangkat dan dalam satu kecepatan yang tak terduga. anak kunci itu melayang menembus kaca jendela. Kaca itu tidak berantakan hanya tembus. sebesar dan sebentuk anak kunci itu.:
Aku gemetar. "Mau apa kau?" "Aku?" Handi angkat bahu. "Tidak apaapa. Tetapi kawan-kawanku..."
"Kawan kawanmu?"
"Mereka merasa kurang pantas menyambutmu di kamar depan ini!".
Mukaku serasa tak berdarah.
"Masuk!", Handi mulai berteriak
Aku diam di tempatku. "Masuk!" ".... aku mau pulang".
"Cobalah!" Kakiku gontai menuju pintu. Tetapi Handi sudah berkacak pinggang di depanku, mukanya merah bagai terbakar. sedang giginya gemeletuk. Matanya seperti jengkol, dan aku mulai takut.
"Kenapa?". Handi menyeringai. "Bukan kah kau sudah biasa menghadapi banyak lelaki?"
"Handi!" Tiba-tiba. lenganku di renggutkannya. Tasku terlempar ke lantai. Isinya berhamburan.
"Handi. Lepaskan!" "Masuk....". ia menyeretku ke dalam
"Aku nanti menjerit!" "Cobalah!"
Kugembungkan dadaku, lalu pipi. kemudian kukerahkan seluruh suaraku ke luar dari tenggorokanku. Tetapi sebelum suaraku ke luar. Tarr! Tamparan yang sungguh luar biasa kerasnya. hinggap di pipiku.
Aku terjajar. dan selamat dari jatuh berdebum ke jubin hanya karena lenganku di renggut oleh Handi.
"Kawanku ingin berpesta denganmu. Di kamar dalam!"
"... jangan!". aku mulai merintih.
"Kami akan bayar kau!"
"jangan!" "Bukankah papa membayar kau" Kamijuga akan bayar kau!", sungutnya seraya menyeretku melalui ruangan tengah.
Sambil lalu. sebelah kepalan Handi menyambar pigura Bali dari marmer. jatuh dan belah tiga. ketika tiba di atas jubin. Dari tempat di mana pigura itu terletak, Handi menyambar sebuah amplop. Kesejahteraan.
"Ini....". dan ia tersenyum. Bangga.
Amplop besar itu dikembangkannya. dan beberapa tumpuk uang kertas puluhan ribu yang masih terikat rapih. berjatuhan ke lantai dan menyusul sebuah kalung mutiara serta gelang emas yang menggelinding dengan suara ribut di antara uang-uang yang berserakan itu.
".... ambillah untukmu". Selintas teringat
ucapan handoko. Dan Handi bilang: "Ambillah!" Aku gemetar. "Cukup banyak, bukan" Ambillah..."
Tubuhku lunglai. Sekujur tubuhku basah oleh keringat.
"Now!", ia berteriak.
Dari salah sebuah kamar, berlompatan tiga orang lelaki. Aku tidak sempat mengenal mereka satu persatu. Bahkan memperhatikan ciri-ciri mereka. Aku sudah tenggelam dalam ketakutanku, dan hampir mati oleh getaran yang merajai tubuhku.
Kupejamkan mataku. Kucoba berdiri. Tetapi, aku toh jatuh. bersimpuh di lantai. Tak bertenaga.
Aku ingin berdiri, lalu berlari. Tetapi aku cuma bisa bersimpuh. Cuma bisa menutupkan mata. Memandang kegelapan. tetapi telingaku tidak bisa kututup. Suara meja-meja dan kursikursi yang ribut di pindah-pindahkan dengan suara riuh. lalu suara Handi yang setengah berteriak-teriak.
Akhirnya: "Mulai!" ?".tidak!". aku merintih. Memegang kedua tepi baju atasku. Tetapi. sebuah tangan
yang kukuh telah bergerak dengan dahsyat:
Sret!! dan robeklah blouse atasku. Sekali renggut aku pun sudah tidak mengenakan penutup apapun.
"Hehe,!", sungut seseorang.
Memercik air mataku. "Tunggu!" Suara Handi. Ya Tuhan. aku berdo'a, mudah-mudahan Handi telah insyaf, menyuruh rekan-rekannya memakaikan baju yang lain ke tubuhku dan kemudian menyuruhku pergi pulang.
Dan hasil do'aku itu dicetuskan oleh suara Handi kembali:
".... aku dulu!"
Mataku terbuka seketika. Handi telah berada di depan biji mataku. Aku menoleh ke arah lain. dengan perasaan ngeri. Tetapi apa yang kulihat... ke mana pun aku menoleh. aku menemui pandangan yang sama.
"Tidaaakkkk!", aku terpekik.


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pekikan yang lepas di luar sadarku itu, memberi dorongan padaku. Aku mendapat tenaga. bangkit berdiri dan menerjang Handi, Pemuda itu terjatuh tetapi segera sebelah kakinya menyambar tumitku.
Sambil memekik nyaring. aku ikut terjerembab di lantai.
Dan tangan-tangan yang kasar merobek sisa bajuku dengan lebih kasar.
Aku memekik. Aku menangis. Aku memukul. Aku menendang-nendang. Aku menjerit-jerit. Aku meminta tolong. *** Barnas muncul di pintu rumahku. malam itu. dengan mulut menyeringai.
"." selamat malam. Nyonya!"
Aku mau meludah. Tetapi. ia adalah kepala kantor di mana Tono bekerja sebagai pegawai. Pegawai yang meski berkedudukan rendah dan bergaji rendah, seharusnyalah telah bersyukur karena bisa mendapat lowongan di "Sempurna" service Motor. Konon, es-em-apun Tono tak tammat!.
"Pergilah!" aku mencoba menahannya.
"Okey. Tetapi setelah kau menepati janji suamimu".
?" jangan!". aku ketakutan
Barnas tersenyum. "Suamimu akan kuberi kedudukan yang lebih baik!"
Aku menggeleng. "Kau tak menyukainya?". ia tersenyum.
"Tetapi Tono menyukainya. Pasti menyukainya!"
Aku mulai menangis. "Kasihanilah suamiku .Kasihanilah aku!"
"Kaupun harus mengasihani aku. Isteriku sudah tua. Anakku sudah tujuh. Bisa kau bayangkan keadaanku di rumah. sepanjang malam...."
"Tolonglah aku!"
"Boleh. Tetapi tolong pulalah lepaskan aku dari rindu dendamku. Timbal balik. toh?"
Aku cuma bisa menangis. Menangis. Menangis dan menangis. sementara Barnas naik ke atas ranjang di mana aku telah menunggu dengan setengah keinginan untuk lari setengah lainnya untuk bertahan. demi kehormatan dan masa kerja Tono, suamiku.
*** BARNAS meninggalkanku sambil tersenyum puas. Dan aku menghempas-hempaskan tubuhku keranjang memukulkan kepala ke bantal serta menarik-narik rambutku sampai terasa kulit kepalaku mau terkelupas. Akhirnya, mataku bengkak karena menangis.
Barnas tidak menepati janjinva.
Tono tidak mendapat perbaikan kedudukan.
Malah makin terpuruk. kartu-kartu domino telah menjangkit dirinya di waktu waktu senggangnya. Akhirnya Barnas datang sekali lagi. lagi dan lagi. kemudian kolega-kolega Tono yang lain.
"Semua akan membayarmu! Dan kita akan punya uang. Kita akan pindah ke kota lain. memulai hidup baru!". desak Tono.
"Tapi tinggalkan manusia-manusia terkutuk itu!"
"Lalu pekerjaanku?"
"Tinggalkan. atau aku yang akan meninggalkan kau".
Namun. sungguh mati. lebih baik bunuh diri dari pada aku sampai berpisah dengan Tono. Namun, suamiku kemudian memberi jawaban:
"Baiklah. Mulailah cari uang"."
Uang itu kudapat. Melalui Tono yang menjerat lelaki yang tebal kantongnya. Sekali. Dua kali. Tiga. Empat. Lima semakin banyak uang yang tersimpan. Sekali dua kali. Tono terjerumus lagi. Berjudi lagi. Kalah. Dan aku harus menebusnya. Dengan kehormatanku. Toh aku terus menangis. Sampai, serasa terkuras air mataku".
*** AIRMATAKU betul-betul sudah habis terkuras.Ketika Handi dan kawan kawannya menurunkan aku di Cicadas.
"Kirim surat pada papa!", ia memerintah begitu aku mau turun dari mobil. "Bilang. bahwa kau. tak mencintainya. Bahwa ia terlalu tua bagimu!"
Aku tak bersemangat untuk mengomentari.
' Tubuhku lemah lunglai. Belasan jam aku digarapnya dengan ketiga kawannya yang buas dan tidak kenal ampun itu. Serasa mereka belum puas sebelum aku hancur sehancur-hancurnya.
"." keberatan?"
Aku turun dari mobil. "Tunggu!" Handi merenggut lenganku.
Aku mau menarik, tetapi sungguh mati. Aku tak bertenaga.
"."kalau kau keberatan. aku yang kirim surat pada papa. Pasti dia mencak-mencak kalau kubilang bahwa... hehe, bahwa Tono adalah suamimu!"
Gemetar tubuhku. "Mencak-mencaknya papa pasti sampai di puncaknya. Dia bisa mati. lalu aku bisa memiliki semua harta karunnya".
ia terkekeh. Kawan-kawannya ikut terkekeh.
"tapi aku tidak sedurhaka itu. Apalagi kalau kau mau membantu. Okey?"
Kemudian, sambil dipenuhi gelak tawa. mobil yang telah diberikan Handoko kepadaku itu. terbang di bawa oleh anaknya.
Aku melangkah gontai dalam kegelapan dan kesepian malam.
Tak bersemangat. Tak berkemauan.
Bahkan tanpa perhatian pada apapun pandangan orang padaku yang pulang sendirian tengah malam buta di antar mobil, dengan langkah lemah lunglai. Tetanggaku pun kupersetankan.
Kuceburkan diriku ke dalam rumah.
Kupaksa air mataku ke luar.
Tapi hanya keperihan yang terasa.
Biji mataku seperti mau terloncat ke luar.
Belum juga naik ranjang, aku sudah jatuh tak sadarkan diri. dengan pinggang sampai ke bawah menggantung dari tepi ranjang sampai ke lantai....
*** BANGUN pagi. pinggangku seperti putus rasanya. Dadaku seperti pecah. Aku mengeluh. meluncur turun dari ranjang.
?" Tono!", aku mengeluh. "Kau lihat aku" Kau lihat aku?"
Aku terduduk di kursi. Menangis. Terisak-isak. Tapi, tanpa air mata. "Kau lihat, sayang. apa yang mereka perbuat padaku?"
Tangisku meninggi. 'Kenapa kau diam" Kenapa kau tak datang menolongku?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Sayang, kau tak menjawab" Oh. di mana kau" Di mana?"
Sejam lebih aku menangis tanpa mengucurkan air mata, menelungkup di meja. Ketika kuangkat mukaku, aku menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang ketika rumah ini kutinggalkan kemaren siang, tidak ada di situ.
Cangkir. Dasarnya serbuk kopi keputihan.
Bekas k0pi susu. Tono di rumah! Tono di rumah! 'Tono di rumah!.
"Tono....! Tono-ku sayang. Tono!". aku menjerit-jerit. berlari ke luar kamar tidur.
"Tono. lihatlah aku. sayang, Lihatlah aku!"
Aku berlari ke kamar tengah. Ke kamar depan. Ke kamar tengah lagi. terus ke belakang. Pintu dapur kutendang. Pintu kamar mandi kusepak. Pintu W.C. kudobrak.
Dan di dalam wese. aku terduduk.
"Tono, di mana kau?"
Tono tak ada di rumah. Kalau ia ada. kenapa dia biarkan aku tertidur di atas ranjang dengan setengah bagian tubuh menggantung ke lantai" Kenapa ia tidak membalut luka-luka di pipiku" Kenapa ia tidak menggantikan bajuku yang robek" Kenapa ia tidak mengompres sekujur tubuhku yang panasnya seperti baru keluar dari panggangan roti"
Ia telah pulang kemaren. Selagi aku menuju ke Cirateun.
Ia tentu telah menungguku. Tentu. Lama sekali. Tentu.
Dan ia gelisah. Tentu. Lalu ia ke luar lagi. Tentu. Mencariku. Tentu.
Dengan senyum bangga karena demikian cintanya Tono padaku. isterinya, sampai gelisah dan kemudian ke luar untuk pergi mencariku, aku kembali ke kamar. Membuka lemari. mengambil daster. Kubuangkan pakaianku yang sudah robek-robek ke bawah tempat tidur, kupandangi diriku di depan toilet.
Kelopak mataku biru. Bibirku, kering. juga biru.
Dan pipiku. biru. Bekas ditinju. Aku terduduk sambil mengerang di atas .
Menangis. Tanpa air mata.
Dan sewaktu aku mau memandang mukaku yang begitu buruk kelihatannya di kaca aku melihat sebuah amplop di landasan atas, toilet. ditindih oleh cylinder "Odorono"
Entah mengapa. denyut jantungku berhenti selama beberapa saat.
Namun aku kembali bisa bernafas. mukaku pucat pasi. Tanganku putih seperti kapas tak berdarah ketika amplop itu kubuka dengan jari gemetar. Kukedipkan mataku yang perih. Kuseka. Seakan aku takut, aku telah buta hurup. Atau, betul betul buta.
Lalu kubaca: "Noni yang baik. Maafhan aku. Aku terpaksa meninggalkanmu. Sehari setelah tanggal surat ini. Mini resmi menjadi istriku. Selamat tinggal, mudah-mudahan kau berbahagia! Bekas suamimu. Tono!"
Aku terkejut. Hanya terkejut. Kucoba untuk menjerit. Memekik. Menangis. Meratap. Meraung. Tak ada suaraku yang ke luar. Juga tak ada hasratku untuk memukulkan kepalaku ke dinding tembok bahkan untuk menjambak rambutku.
Aku tahu tidak bermimpi. Tetapi berhadapan dengan kenyataan. Yang paling pahit. paling mengerikan dan paling menentukan dalam hidupku. Penderitaan dan siksaan luar biasa yang kualami sebelum membaca surat itu. telah meluluhkan segala keinginan gila dan membabi buta itu.
Namun. surat dan amplop itu toh jatuh dari tanganku.
Yang lunglai. jatuh ke sisi tubuhku.
Kutatap wajahku di kaca. seperti batu. Patung batu. Yang di ukir tergesa-gesa, tanpa semangat dan tanpa perasaan.
Tak berbentuk. Tak menarik.
Dan, tak berharga. Meski cuma selembar uang rupiahan yang kumal dan penuh kuman.
Lalu, di kaca... aku melihat segaris senyum melebar di bibir pucat.
Bibirku. Dan senyumku!. *** DI MELONG. Tanyakan saja kepada material...", itulah satu-satunya peganganku dalam mencari alamat di mana sepasang mempelai akan memulai hidup baru yang indah bahagia.
Tanpa menanyakannya, akupun telah tahu tempatnya.
Suara degung mengalun sampai ke Karapitan ketika aku memasuki Melong. Dari ujung jalan, mobil di parkir memanjang. Manusia hilir mudik tak berhenti. kebanyakan menjurus ke satu rumah. Di depan mana, terpasang panggung hias dengan seperangkat alat degung sedang di mainkan oleh perempuan-perempuan berseragam ke baya biru selendang abu-abu
Kutuliskan namaku di buku tamu.
"... kadonya akan saya serahkan langsung kepada mempelai!", gumamku datar kepada protokol.
Ia memandangku heran. "Aku saudaranya Tono!". lanjutku sambil tersenyum pahit. Saudara huh!.
Penerima tamu tak berkata apa-apa lagi.
Kutahankan diriku untuk tidak sampai mundur oleh pandangan sejumlah tamu-tamu yang ditujukan padaku. Dan aku tak merasa heran. Aku mengenakan hot-pants dengan sepatu kulit yang berleher panjang sampai ke lutut.
Dan hal kedua yang menarik perhatian mereka sudah pasti: aku datang sendiri.
Ya, sendiri. Aku tersenyum. Pada setiap orang.
"Aku memang sendiri. Dan sampai mati. akan tetap sendiri", ingin aku berkata pada setiap mereka.
Tetapi aku hanya memberikan senyum. dan mendapat senyum pula.
Sepasang suami isteri tua. berpakaian mewah dengan kerabu serta giwang dan anting
anting mas memenuhi bagian atas tubuh Si isteri, menerimaku dengan senyuman manis ramah, tetapi mata penuh tanda tanya.
Handoko pernah memperkenalkan yang
lelaki padaku. Ayah Mini. Yang kaya raya.
"... Tono seorang yang beruntung!" gumamku datar.
Si isteri tersenyum. Senyum tanpa nada. Heran, pasti.
Si lelaki mengingat-ingat akhirnya:
"Ooo, kau tentu Noni!".
Aku mengangguk. "Ya Tuhan, alangkah pelupanya saya!". kata si suami. Lalu pada isterinya: "Mami. ini Noni. Saudaranya Tono!"
Aku tersenyum. Saudaranya Tono, huh!
"Oh iya" Aduh, sama-sama manis dan menarik hati.?", si isteri menyambut uluran tanganku.
"Senang berkenalan denganmu. Kenapa sendiri?"
"Kebiasaan. bu".
"Oooo!", ia heran. tapi akhirnya tersenyum.
"Mariii....", ia menarik tanganku. "Mari ke ruangan dalam. kebetulan mempelai. masih nongkrong di tahta kerajaan mereka, hihi, mari nak. mari....!"
Mini tersenyum padaku. Lebar. bahagia.
'Terlecut dadaku ketika melihat Tono. Alangkah gagahnya dia. Tetapi ketika dia melihatku. segala kegagahannya mendadak sontak, lenyap. Wajahnya yang tadinya memerah. mendadak pucat lesi. Senyumnya yang tadinya cerah. mendadak layu. Matanya yang meriah, kini memancar takut, dan tiba-tiba ia telah meninggalkan "tahta kerajaan"nya.
Kumajukan tangan kananku, melebarkan telapak tangan.
"Tenanglah. sayang. Aku hanya mau mengucapkan selamat padamu!"
Tono tertegun. Dan beberapa butir keringat yang besar-besar. menyembul dari pori pori kulit jidatnya.
Aku tidak menjabat tangan mempelai putri sebagai lazimnya. Di bawah tatapan mata semua orang di ruangan pengantin. aku langsung menuju Tono. Kubuka kotak kecil di tangan kiriku.
"Aku'ada kado khusus untukmu. sayang!". lalu kertas bungkus memanjang di dalam kotak itu kulepas.
"Supaya mengingatkan .. kau.....", suaraku mulai serak". bahwa kau tidak boleh dijamah perempuan lain, kecuali aku, isterimu!"
Dan sebelum ucapanku berakhir. bungkusan itu telah terbuka. kusambar dengan tangan
kananku yang bagai kilat melayang ke dada Tono. Aku telah gila! Tikaman pisau dapur yang sepanjang pagi sampai Siang telah kuasah setajam-tajamnya menghunjam sampai dua kali .Diiringi teriakanku
"Ini demi cintaku padamu. Ini Demi cintaku padamu"
Dan kemudian aku berteriak. Histeris !
"Aku isterinya. Istrinya. kalian dengar. Isterinya satu-satunya"
Lalu aku tertawa. Kulihat Mini jatuh ke lantai pingsan. Aku tertawa. Tono jatuh ke tahtanya yang kemilau. gemerlapan berlumur darah memerah. Aku tertawa. Ibunya Mini terpekik, mundur ketakutan melihatku. Aku tertawa. Semua orang memekik-mekik. berlari larian. Aku tertawa. Makin tinggi.
Akhirnya. semua orang memegangiku. Rasanya, semua orang. Memukuliku.
Toh. Tawaku semakin panjang. Lama lama. seperti lolongan.
Tinju dan kaki melayang-layang ke tubuhku. sungguh buas. Aku. seorang perempuan. diperlakukan seperti binatang. Tapi aku tidak meronta. Aku menerimanya dengan pasrah. sambil tertawa. melolong. tertawa. melolong
"... jangan. jangan....!"
Tiba-tiba semua keributan terhenti.
Semua pukulan dan tendangan serta jambakan terhenti.
Semua suara. terhenti. Noni!" Tawaku terenggut. Lolongku terenggut Nyawaku seperti terenggut.
"Tono!". lepas suaraku, seperti di dalam dadaku.
"Kemarilah!" Ini bukan mimpi. Di bawah tatapan mata yang kacau balau dari manusia-manusia yang kacau balau. aku merangkak ke dekat "tahta kerajaan" suamiku dengan isteri barunya.
"Aku akan mati...."
Dan. aku terpekik. menyambar lehernya, memeluknya.
"Tidak! Kau tidak akan mati!"
Di saat itu, aku tak perduli dan sama sekali tidak ingat di mana aku berada dan siapasiapa yang sedang mengerumuni kami. Tono pun mengalami hal yang sama. Dunia ini milik kami berdua. dan hanya kami yang ada di dalamnya.
aku akan mati. Noni".. serguk Tono dengan dengan suara mengerang. Matanya berputap putar. dan aku memeluknya. merapatkan kepalanya ke dadaku.
"Kau berhasil. sayang. Hanya kau yang boleh menjamahku! Hanya kau"."
"Kau tidak marah?" tidak marah, Tono" Kau tidak marah?"
Tono tersenyum. Lalu suaranya yang seperti menenggak minuman:
aku akan mau. Tetapi aku... aku ingin mengemukakan sesuatu sebelum aku mati.?"
"Tono!", aku meluluhkan dirinya dalam lumatan kedua lenganku. Tetapi ia tak luluh. Ia justru semakin lemah, dan darahnya semakin banyak bersimbah.
"jangan!", Tono tiba-tiba merandeng waktu beberapa orang mau membantunya.
'.. kami akan selamatkan kau'". mereka bimbang. Tono menggeleng.
"Tak guna....", ia menelan ludah. "Ini lebih baik buatku!"
Aku memegang kedua pipinya.
"Katakanlah. sayang. Katakanlah..."
Di tatapnya kedua mataku.
"Bola matamu bagus...."
Aku tersenyum "Hidung?" bagus, Bulu matamu... bulu matamu bagus!"
Ia tersenyum. Aku mengangguk-angguk "Ya, sayangku...." aku bergumam.
Ia tersenyum lagi. "Dengarlah.Kaulah orang yang pertama
harus tahu.... Wajahku di tariknya. Ia dekatkan mulutnya ke telingaku.
Aku yang bunuh papa dan mama!
Pucat pasi wajahku. Ia terbaring di "tahta"nya. di haribaanku. DI pandangnya orang-orang yang berkerumun dengan mata nyalang.
"Biarlah. Kalian juga supaya tau....", matanya semakin berputar hitam putih berganti ganti.
"Tono.?". aku mulai lagi menangis.
Dan, berair mata!. ?" aku benci papa dan mama... kucabut pentaure-in dari bawah stir mobil yang akan di pakai papa dan mama berkunjung ke keluarga di Bogor....". Tono menjilat bibirnya yang kering. Mengaduh. Mengeluh. Matanya terbalik-balik pula. "Mur-nya kukikir. Dan." kalian tau!". tiba-tiba suaranya meninggi. "Papa dan mama mati dalam tabrakan dengan truck di Cipayung! Bukan karena kurang hatihati seperti kata polisi dan koran-koran.... Kalian dengar" karena stir-nya los di tengah jalan! Los kalian dengar" Los!"
Dan, kepala Tono terkulai di pahaku. Kedua matanya melotot.
Ia mati!. Seorang memegang tanganku. Pelan. Aku tak bergerak. Pegangan itu mengencang menyakitkan. tetapi aku tetap tidak bergerak. Semua kini berakhir sudah .......
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,31 Juli 2018 Terimakasih TAMAT Darah Darah Laknat 2 Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party Pendekar Pedang Sakti 22
^