Pencarian

Bumiku Cintaku 1

Girl Talk 14 Bumiku Cintaku Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI RANDY : Aku rasanya nggak percaya. Stacy telah
menghabiskan semua dana untuk Pekan Lingkungan anak-anak kelas
tujuh! ALLISON : Aku tahu. Dan gawatnya lagi, ia menghabiskannya
untuk hiburan atraksi yang justru menimbulkan polusi udara. Komidi
putar dan bom-bom car itu bertentangan dengan tema kita bukan"
RANDY : Aku tetap berpendapat, kita harus memberitahukan
hal ini pada Pak Hansen. Stacy tak berhak menggunakan uang itu
tanpa sepengetahuan kita.
ALLISON : Yah, begitulah Stacy. Sebaiknya kita cari akal
untuk menyelamatkan Pekan Lingkungan kita secepat mungkin!
BAGIAN SATU "Namamu Allison kan?" terdengar tanya seorang cowok dari
belakangku. Hari ini, Senin pagi, aku sedang berdiri di depan lokerku
di SMP Bradley di mana aku duduk di kelas tujuh.
Kubalikkan tubuhku untuk melihat siapa gerangan yang bicara.
Seorang cowok yang tak pernah kulihat sebelumnya tengah berdiri di
hadapanku sambil tersenyum " giginya kelihatan putih sekali
dibandingkan kulitnya yang coklat terjemur matahari. Rambutnya
lurus, amat pirang, dan panjangnya sebahu. Di balik poninya yang
menjuntai menutupi mata, terlihat bola matanya yang biru jernih.
Kuperhatikan anak ini mengenakan sekitar sepuluh gelang
persahabatan dari jalinan benang wool di lengan kirinya. Ia pun
mengenakan kaos jala-jala, celana longgar putih dan sepatu sandal
serta kaos kaki warna-warni menyala.
"Allison Cloud," sahutku perlahan sambil menunduk
menatapnya. Meskipun baru 13 tahun, tubuhku sudah setinggi 167 cm.
Jadi hampir setiap kali aku harus agak menunduk jika bicara dengan
anak-anak di sekolah Bradley ini. Dan sungguh aneh rasanya melihat
seseorang dengan kulit begitu coklat di Acorn Falls, Minnesota ini.
Soalnya di sini jarang sekali ada sinar matahari. Apa lagi sekarang
bukan musim panas. "Hai Allison," sapanya, "namaku Arizonna. Aku suka namamu.
Cloud kan berarti awan. Bagus sekali. Nama dari mana tuh?"
"Oh, itu nama Chippewa," sahutku.
"Chippewa?" tanyanya seraya tersenyum, "Itu nama suku
Indian?" Aku mengangguk. Seumur hidup kulewatkan di Acorn Falls,
tapi kedua orang tuaku lahir di daerah perlindungan suku Indian.
Kakek dan nenekku juga menghabiskan sebagian dari hidupnya di
daerah perlindungan itu sebelum mereka ikut tinggal bersama kami di
sini. "Seru ya kedengarannya," ujar cowok itu lagi. "Aku sudah
menduga, pasti ada yang istimewa dalam dirimu."
Beberapa saat aku hanya tertegun. Rasanya aneh ada orang
asing yang mengucapkan pujian seperti itu padaku.
"Jadi namamu Arizonna?" tanyaku untuk mengalihkan
pembicaraan. Aku tersenyum mengingat caranya memperkenalkan
diri. "Yeah....," sahutnya. Matanya yang berwarna biru pucat
kelihatan agak berkerut di sudut-sudutnya setiap kali ia tersenyum
lebar. "Seperti nama negara, tapi dalam namaku pakai dua huruf "N"."
"Oh," gumamku tanpa tahu harus mengucapkan apa lagi.
"Allison," lanjut Arizonna, "aku sudah dengar gagasanmu
untuk bazar kelas tujuh tahun ini. Masalah lingkungan memang lagi
jadi topik hangat tahun 90-an ini. Dan menurutku temanya "Mawas
Lingkungan" cukup oke."
"Oke apa?" tanyaku. Aku mulai merasa bahwa kami berdua
berbicara dalam bahasa yang agak berbeda.
"Oke. Masa kamu nggak tahu sih. Oke gitu," sahut Arizonna.
Disibakkannya poninya yang menutupi matanya. Caranya menatapku
membuatku merasa bagaikan seekor amuba yang tengah diamati
melalui sebuah mikroskop. Tatapannya tajam dan lurus menghunjam.
"Aku tahu ini hari pertamaku di SMP Bradley, tapi aku ingin
membantumu dalam Pekan Mawas Lingkungan itu," lanjutnya
sebelum aku sempat menawarkan hal itu padanya.
"Sungguh?" tanyaku terkejut. Setiap tahun, anak-anak kelas
tujuh mengadakan bazar untuk mengumpulkan dana guna
disumbangkan pada panitia dana setempat. Aku yang mengusulkan
tema "Mawas Lingkungan" tahun ini. Dan selanjutnya, kurasa kita bisa
mendaur-ulang kertas-kertas, gelas-gelas dan botol-botol plastik di
Bradley ini. Minggu lalu, kami mengadakan pemilihan suara dan hampir
semua anak di kelas kami menyukai tema tersebut. Mereka pun
memilih aku sebagai ketua panitia. Langkah pertama yang kulakukan
sebagai ketua panitia adalah mengadakan rapat di Fitzie"s siang nanti.
Sejauh ini belum seorang pun menyatakan ikut serta dalam rapat
tersebut kecuali ketiga sahabat karibku, Randy Zak, Sabrina Wells dan
Katie Campbell. Dan sekarang si Arizonna.
"Tentu saja aku serius," sahut Arizonna menganggukkan
kepalanya. Aku tersenyum. "Bagus sekali kalau begitu. Kita akan
mengadakan rapat pertama di Fitzie"s hari ini sepulang sekolah."
"Fitzie"s?"
"Ya. Tempat makan dan minum terutama es krim," aku
menjelaskan, "anak-anak Bradley biasanya nongkrong di situ sepulang
sekolah." "Oke. Kalau begitu, pulang sekolah ngumpul di Fitzie"s ya?"
ujar Arizonna. Saat itu bel berbunyi tanda jam pelajaran ketiga
dimulai. "Aku harus pergi sekarang. O ya, di mana sih Fitzie"s ini?"
"Dua blok dari sini, di tikungan antara Jalan Main dan
Sycamore," ujarku seraya menunjuk ke arah yang kumaksud.
Sambil mengangguk dan tersenyum, Arizonna berbalik lalu
berlari menyusuri koridor. "Sampai nanti, Allison Cloud," serunya
sambil menoleh sedikit sebelum lenyap di kelokan koridor.
Aku tertegun beberapa saat menatap ulahnya.
Aku senang ia mau membantu Pekan Mawas Lingkungan, tapi
aku belum tahu apa yang bisa dilakukannya. Aku belum pernah
mengenal orang macam dia sih.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, kuambil buku bahasa
Inggrisku dari rak paling atas, kututup lokerku dan segera menuju ke
kelas. Aku tiba tepat pada bel peringatan terakhir, maka segera saja
aku menyelinap ke tempat dudukku di belakang Katie. Pita rambut
pink Katie, pengikat rambut pirangnya yang lurus panjang itu, berada
tepat di depan mataku. Kuperhatikan, pita rambutnya serasi dengan
gaun rajutannya yang berwarna pink bergaris-garis putih. Katie
memang selalu rapih dan teratur. Dan kurasa itu salah satu persamaan
kami. Katie, Randy, Sabs dan aku bersama-sama mengikuti pelajaran
bahasa Inggris yang sekaligus merupakan kelas kami. Aku tak juga
sempat berbicara dengan teman-temanku, sebab pengeras suara tiba-
tiba berdesis-desis dan tak lama kemudian terdengar suara Pak
Hansen, kepala sekolah kami, membacakan pengumuman.
Setelah pengumuman-pengumuman selesai dibacakan, wali
kelas sekaligus guru bahasa Inggris kami, Bu Staats mengadakan tes.
Sepanjang jam pelajaran kami mengerjakan tes itu. Karena memang
menyukai pelajaran bahasa Inggris, aku tak menemukan kesulitan saat
mengerjakan tes itu. Malah boleh dibilang aku menikmatinya lho.
Setelah bel berbunyi, Bu Staats memanggilku menghadap ke
mejanya untuk membicarakan soal lomba penulisan esai antar
wilayah. Menurut beliau, aku punya bakat khusus dalam bidang tulismenulis dan karenanya aku sebaiknya ikut serta. Pujian seperti itu dari
salah satu guru kesayanganku, membuatku merasa bangga, apa lagi
memang suatu saat nanti aku bercita-cita menjadi seorang penulis.
Penutupan lomba itu masih 1 bulan lagi, tapi aku sudah memikirkan
topik yang akan kutulis. Tentu saja tentang mawas lingkungan dan
bazar yang akan kami adakan ini.
Saat melangkah ke kantin untuk makan siang, aku masih
memikirkan topik itu. Di kantin, kulihat teman-temanku belum
berkumpul, maka kupilih sebuah tempat duduk yang masih kosong
lalu membuka-buka buku, sambil menunggu mereka. Membaca
adalah salah satu kegemaranku.
"Allison, apakah kau sudah melihat anak baru itu?" tanya Sabs
terengah-engah beberapa saat kemudian sambil membanting tubuhnya
ke kursi di hadapanku. "Keren bangettt!"
Satu hal yang paling kusukai dari Sabs adalah keceriaannya. Ia
seolah selalu penuh energi. Tubuhnya mungil dan apa pun yang ada
pada tubuhnya kelihatan selalu melonjak-lonjak penuh semangat.
Bahkan jika sedang duduk diam pun tetap saja kelihatan penuh
semangat. Sekarang, kulihat rambut merahnya yang ikal berantakan
menutupi wajahnya dan buah-buahan yang ada di nampannya
menggelinding ke sana ke mari karena lonjakan-lonjakannya.
"Maksudmu Arizonna?" tanyaku sambil menutup bukuku dan
mengeluarkan bekal makan siangku. Seharusnya aku sudah bisa
menduga, Sabs pasti sudah melihat anak baru ini. Sabs senang
berkenalan dengan orang-orang baru. Bukannya aku nggak suka
berkenalan lho, tapi aku kadang merasa kurang nyaman berada di
tengah orang-orang yang baru kukenal. Kalau sudah agak lama kenal
sih nggak apa-apa. "Kau juga sudah kenal?" tanya Sabs dengan mata coklat
kehijauannya membelalak. "Lokernya bersebelahan dengan lokerku
dan Katie. Kami kenalan tadi pagi."
Kugelengkan kepalaku, "Nggak kok, aku belum terlalu
mengenalnya. Tapi dia menawarkan diri untuk membantu bazar kita,"
kusibakkan kepangku ke punggung, kemudian mulai menggigit roti isi
ayamku. "Sungguhkah?" seru Sabs, "Hebat banget! Kau tahu ia berasal
dari L.A.?" Aku belum tahu, tapi hal itu membuatku mengerti mengapa
gaya bicaranya agak tidak lazim di telingaku. Di televisi aku sering
melihat acara-acara dari Los Angeles. Orang-orang Los Angeles
sering sekali mengucapkan kata "radikal".
"Hei....," lanjut Sabs dengan penuh semangat, "apakah
menurutmu Arizonna kenal sama orang-orang top" Mungkin dia kenal
sama sutradara, produser atau sebangsanya. Mungkin dia bisa
memperkenalkanku pada mereka. Sungguh sebuah kesempatan emas
untukku! Astaga....rasanya aku mau pingsan deh"
Sabs bercita-cita menjadi seorang aktris jika sudah dewasa
nanti. Menurutku sih, sekarang pun dia sudah menjadi aktris yang
hebat. Sabs ikut serta dalam pementasan malam kesenian SMP
Bradley dalam lakon "Grease" dan penampilannya betul-betul
memukau penonton dalam perannya sebagai Frenchie.
"Memang ia berasal dari Los Angeles, tapi bukan berarti dia
kenal orang-orang beken kan," ujar Katie yang muncul saat Sabs
masih berbicara dengan penuh semangat. Diletakkannya nampan
makan siangnya yang berisi sepiring lasagna ke atas meja. "Aku
berani taruhan, orang-orang dari California sekalipun belum tentu
kenal sama orang-orang beken."
Pola pikir Katie sungguh realistis sementara Sabs sebaliknya
begitu cepat dipengaruhi suasana hatinya. Menurutku Sabs kadang
terlalu banyak bicara sehingga tak sempat memikirkannya. Mereka
berdua merupakan pasangan yang serasi karena bisa saling
melengkapi, meskipun lucu juga kalau mendengarkan percakapan
mereka. "Yah siapa tahu kan," ujar Sabs tanpa kehilangan harapannya.
"Randy mana sih?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling kantin. Bukan Randy yangkutemukan, tapi malah Billy Dixon. Aku
tersenyum kecil saat melihat rambut ikalnya yang hitam pekat serta
jaket hitam berukuran super besar yang selalu dikenakannya.
Biasanya, aku agak pemalu jika berhadapan dengan cowok, tapi aku
dan Billy sudah menjadi teman dekat sejak aku mendapat tugas untuk
memberikan pelajaran tambahan padanya. Bagiku Billy merupakan
salah satu teman yang istimewa.
Billy dikenal sebagai biang keonaran dan saat pertama aku
mengenalnya, ia pun kelihatan pemarah dan mudah tersinggung.
Namun kemudian kami mengetahui penyebab dari kesulitannya
adalah bahwa ia memiliki kelainan dalam kemampuan membaca.
Kini, ia mulai menjalankan latihan untuk memperbaiki kelainan
membacanya itu dan mengalami banyak kemajuan dalam
mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Tiba-tiba Billy menengadahkan
kepalanya dan melihat ke arahku. Billy melambaikan tangannya ke
arahku, tersenyum dan aku pun membalas lambaian tangannya.
"Hei Al, kau mau habiskan kue itu sendirian?" tanya Sabs.
Aku kembali menatap teman-temanku dan kusorongkan
kantung berisi kue kacang mentega buatan nenekku agak ke tengah
agar bisa dinikmati bersama. "Nih, kalau mau ambil saja. Nooma
selalu membuat cukup banyak kue untuk kalian semua." Nooma
dalam bahasa Chippewa berarti nenek. Aku memanggil nenekku
demikian. "Termasuk aku nggak?" ujar Billy yang tiba-tiba sudah berada
di dekat meja kami. Ia duduk di sampingku dan mengambil dua
potong kue. "Hallo semua," sapanya, "Randy mana?"
"Tepat di belakangmu," sahut Randy sambil menarik sebuah
kursi di dekat Billy kemudian mendudukinya. Diturunkannya topi pet
hitamnya agak ke belakang sehingga juntaian rambut ala punk rocknya yang hitam pekat itu menyembul keluar. Selain topi pet, ia juga
mengenakan gaun katun bermotif bunga-bunga kecil yang kelihatan
seperti buatan tahun 1940. Kaus kaki putih yang kendur merosot
hingga pergelangan kaki dan sepatu hitamnya yang lucu melengkapi
penampilannya hari ini. Randy adalah temanku yang berpenampilan paling luar biasa. Ia
pindah dari New York City awal tahun lalu dan tinggal bersama
ibunya di sebuah lumbung yang direnovasi menjadi sebuah rumah
yang unik. Ia pun memanggil ibunya dengan panggilan unik, "M".
Randy gemar mengenakan pakaian yang aneh-aneh. Aku sih senang
melihatnya, tapi aku sendiri tak mungkin memakai pakaian seperti itu.
Mungkin aku terlalu sopan dan konservatif, ya"
"Bagaimana jalannya proyek Mawas Lingkungan kita?" tanya
Randy padaku sambil mengeluarkan sekardus yogurt dari tas makan
siangnya dan membukanya. "Kurasa hebat sekali. Semua anak menyetujui usulmu, Al," sela
Sabs, "maksudku, inilah kesempatan bagi kita untuk melakukan hal
yang amat penting." Katie menganggukkan kepalanya. "Rasanya semangat deh
memikirkan hal itu. Bayangkan, jika kita benar-benar bisa melakukan
perubahan-perubahan untuk membantu menyelamatkan lingkungan."
"Jadi, sudah adakah yang menawarkan bantuan?" tanya Randy,
"Atau hanya kita-kita saja" Aku heran deh. Begitu banyak anak yang
setuju tema itu tapi tak seorang pun mau membantu."
Aku mengangkat bahu. "Kita kan baru memutuskan tema itu
kemarin," kilahku. "Aku bisa membantu," Billy menawarkan diri sambil
memandang ke arahku. Kuputar tubuhku untuk membalas tatapannya. Aku sungguh
senang mendengar kesediaannya bergabung dalam kepanitiaan kami.
Tadinya aku nggak yakin dia mau ikutan. Sebab, sama halnya dengan
aku, Billy pun kurang suka berada di tengah orang banyak. Sambil
tersenyum padanya, aku berkata, "Aku senang sekali."
"Arizonna juga mau membantu," tukas Sabs sambil mencomot


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepotong kue lagi. "Arizona?" tanya Randy. Ia mengerutkan keningnya dan
menatap Sabs seolah Sabs kehilangan akal. "Negara Arizona mau ikut
membantu bazar Mawas Lingkungan kita?"
Sabs tertawa. "Bukan. Arizonna " tuh murid baru di sekolah
kita," ujarnya. "Namanya memang mirip nama negara, tapi menggunakan dua
huruf "N"," tambahku sambil mengingat-ingat Arizonna tadi pagi.
Sambil menoleh ke arahku, Billy bertanya, "Oh, anak yang
berambut pirang agak panjang itu?"
"Dia imut-imut sekali ya?" ujar Sabs penuh perasaan. Melihat
semangatnya yang menggebu seperti itu, aku yakin Sabs pasti naksir
berat sama si Arizonna. "Menurutmu gimana, Al?"
"Kelihatannya sih begitu," sahutku. Menurutku memang anak
itu cukup keren. Pantaslah kalau Sabs sampai tergila-gila begini.
"Katanya, di sekolahnya yang lama, pelajaran olahraga sering
diisi dengan kegiatan berselancar di pantai!" lanjut Sabs lagi.
Randy menghentikan sejenak acara makan yogurt-nya
mendengar cerita Sabs. "Kedengarannya seru juga ya. Berselancar
nggak jauh berbeda dengan main skateboard lho," Randy selalu
menaiki skateboard-nya ke manapun juga ia pergi. Pokoknya kalau
nggak ada salju, pasti ia meluncur dengan skateboard-nya. Dan di
Acorn Fals sendiri jarang turun salju, di musim dingin sekalipun.
"Jadi itu sebabnya kau tadi terlambat, di kelas bahasa Inggris,
Al?" tanya Sabs tiba-tiba sambil menjentikkan jarinya, "Kamu
ngobrol sama Arizonna kan?"
Aku mengangguk. "Dia akan ikut membantu bazar kita?" tanya Billy. "Kapan
kalian akan mengadakan rapat pertama?" Kuperhatikan ia menatapku
dengan cara yang agak lain dari biasanya. Agak aneh dan nggak jelas
maksudnya. Matanya yang biru keabu-abuan kelihatan agak berkilau
tajam. Sebelum aku sempat menanyakan hal itu, Sabs berbicara lagi.
"Hari ini, pulang sekolah, di Fitzie"s. Hei, aku pasti bisa mengajak
Sam, Nick dan Jason untuk ikutan," Sam adalah kakak kembar Sabs,
sedang Nick Robbins serta Jason McKee adalah sobat-sobat Sam.
"Ide bagus!" Katie setuju, "Kita harus memanfaatkan setiap
bantuan yang bisa kita dapatkan."
Terasa olehku bahwa tatapan Billy terus mengarah kepadaku,
dan ketika aku berpaling ke arahnya, terlihat ekspresi wajah yang
kurang enak itu masih membayang di wajahnya.
"Aku pasti hadir deh," ucapnya. Sekonyong-konyong ia bangkit
berdiri dan menggumam, "Aku pergi dulu ya sekarang."
"Hei, kok kuenya nggak dihabiskan?" panggilku sambil
mencoba menahannya, tapi Billy sudah berlalu meninggalkan meja
kami dengan kedua tangan dalam saku celananya.
Sampai makan siang selesai, aku masih tidak mengerti akan
sikap Billy. Sikapnya barusan mengingatkanku pada saat-saat kami
pertama berkenalan " ia kelihatan seolah ingin menantang seisi dunia
untuk melawannya. Aku tahu ada sesuatu yang mengusik
perasaannya. Entah apa. "Hei Al," tukas Katie membuyarkan
lamunanku, "kelihatannya Billy agak cemburu tuh."
Aku menatap Katie dengan terbengong-bengong, "Apa
katamu?" tanyaku, "Cemburu kenapa?"
"Arizonna," sahut Randy.
"Apa?" seruku terkejut. "Kenapa Billy harus cemburu dengan
orang yang sama-sama baru kita kenal?"
Sabs kelihatan agak terkejut juga. Namun kemudian ia
melingkar-lingkarkan rambut ikalnya di jarinya dan berkata,
"Mungkin saja. Maksudku, tadi kau juga ikut-ikutan bilang dia keren,
sih."teenlitlawas.blogspot.com
"Tapi maksudku kan bukan begitu ?" aku protes. Aku tak
percaya Billy bisa salah paham terhadapku seperti itu, tapi
kelihatannya semua teman-temanku setuju dan sependapat bahwa hal
itu benar terjadi. Cowok memang susah sekali dimengerti, rupanya
BAGIAN DUA "Aku nggak percaya deh!" terdengar seruan jengkel siang itu,
saat aku dan Randy tengah berada di ruang ganti pakaian cewek untuk
mengenakan pakaian olahraga kami. "Bazar Mawas Lingkungan! Bah,
sombong sekali kedengarannya!"
Randy menatapku sambil menggerakkan bola matanya tanda
jengkel. Ucapan itu terdengar dari deretan loker di seberang sana, tapi
tanpa melihat pun kami memang sudah mengenali suara Stacy
Hansen, putri kepala sekolah kami, yang sombong, angkuh dan
munafik. Kuputuskan untuk tidak mengacuhkan komentarnya.
Kukeluarkan sepatu olahraga dari lokerku kemudian duduk di kursi
panjang untuk mengenakannya.
"Kurasa idemu jauh lebih bagus," terdengar suara lain
menimpali. Suara si Eva Malone, salah satu sahabat Stacy. "Bazar
Cinta yang Romantis pasti lebih hebat."
"Tentu saja," Stacy menyetujuinya dengan sombong.
"Bayangkan saja " terowongan cinta dan kecupan, kedengarannya
sempurna sekali bukan?"
"Siapa yang mau mengecup cewek macam dia?" bisik Randy
padaku sambil mengempotkan pipinya dan membuat wajahnya
menjadi seperti ikan mas koki. Kututup mulutku untuk menahan tawa.
Tak perlu dijelaskan lagi, Randy dan Stacy tak pernah bisa akur.
Yah, sebetulnya kami berempat memang nggak pernah berteman
dengan Stacy. "Mawas Lingkungan!" ucap Stacy seperti ingin muntah, "Siapa
mau peduli sih?" "Si Arizonna peduli banget!" ucap Randy keras-keras.
Tadinya aku agak sungkan, seolah menguping pembicaraan
orang, untunglah Randy berani berbicara.
"Aku sih nggak akan percaya semua omongan Randy Zak," ujar
Eva keras-keras, "dia cuma ingin mengganggu kita saja, Stacy."
"Ia bahkan mau membantu kepanitiaan kita," tambah Randy
sambil nyengir padaku. Aku terlalu pemalu untuk berdebat dengan orang, terutama
orang yang sok tahu macam Stacy. Tak seorang pun berani
menghadapi Stacy seperti Randy. Seperti halnya aku, Randy pun tahu
Stacy pasti iri mendengar Arizonna mau terlibat dalam bazar Mawas
Lingkungan kami. "Menurutmu, benarkah si Arizonna mau membantu mereka?"
bisik Stacy pada Eva. Pasti dikiranya kita berdua tidak mendengarnya.
"Maksudku, anak itu kan keren banget."
"Tentu saja. Bukan keren lagi deh," Eva balas berbisik. "Tapi
aku yakin itu cuma karangan Randy aja. Jangan dipikirin deh, Stacy."
"Tapi kalau bener gimana?" tanya Stacy masih dengan suara
pelan. "Aku tak mau dia menuduhku tidak memperhatikan
lingkungan!" Aku tahu semua ini bukan urusanku, tapi aku merasa nggak
enak jika nantinya keterlibatan Stacy pada proyek ini hanya pura-pura
belaka, sekedar untuk menarik perhatian seorang cowok keren! Aku
sungguh prihatin jika hal itu benar terjadi. Tiba-tiba saja aku enggan
untuk mendengar pembicaraan Stacy dan Eva lebih lanjut lagi.
"Yuk, kita cabut Al," ajak Randy sambil membanting pintu
lokernya. Kurasa ia mengerti perasaanku. Randy memang bernaluri
tajam. Dari luar ia kelihatan acuh tak acuh tapi jauh di dalam hatinya
ia seorang yang sensitif dan peka. Ia sengaja melucu dengan
mengerutkan wajahnya sampai tampak nggak karuan untuk
menghiburku. "Nah....sekarang kita akan memainkan permainan
kesukaanmu....Bola Gebok! Aku yakin pelajaran yang kita dapat dari
latihan menghindari timpukan bola ini akan berguna sekali dalam
hidup kita kelak. Iya nggak Al?"
Aku tak dapat menahan tawaku. Olahraga bukanlah mata
pelajaran kesukaanku, tapi aku senang juga sih melakukan aktivitas
fisik macam ini, karena dapat sejenak mengalihkan pikiranku dari
Stacy. Olahraga merupakan pelajaran terakhir kami hari ini, maka
begitu pelajaran selesai, kami segera berganti pakaian dan menuju ke
loker kami. Aku tak mau datang terlambat di Fitzie"s. Soalnya aku kan
ketua panitianya. Kami menghabiskan waktu kurang dari 10 menit, dan aku
merasa lega ketika kulihat belum seorang pun datang di Fitzie"s. Aku
dan Randy memilih meja yang cukup besar di bagian belakang serta
memesan soda. Kukeluarkan buku catatan dan penaku lalu
memperhatikan suasana di Fitzie"s. Lambat laun tempat ini mulai
ramai. "Hai teman!" seru Katie beberapa saat kemudian sambil duduk
di samping Randy dan membuka jaket seragam tim hockey-nya. Jaket
itu kelihatan mengagumkan sekali di mataku.
Billy ikut di belakang Katie. "Kau mau es krim?" tanyanya
sambil meletakkan sepiring es krim banana split-nya di hadapanku
dan menyerahkan sebuah sendok padaku. Billy duduk di sampingku.
"Nah, apa yang akan kita lakukan dalam bazar ini?"
"Justru kita mengadakan rapat untuk itu, dasar culun!" canda
Randy seraya menepak sedikit topi yang dikenakan Billy. "Aku yakin
A1 sudah punya beberapa gagasan. Iya kan Al?"
Aku mengangguk seraya memperhatikan daftar yang sudah
kusiapkan di buku catatan. Mudah-mudahan saja anak-anak lain
menyukai gagasanku. Sepuluh menit kemudian Sabs memasuki Fitzie"s dan duduk di
samping Billy. "Hallo semua" sapanya terengah-engah, "sorry ya
terlambat. Ada masalah dengan lokerku."
"Ada apa dengan loker kita?" tanya Katie panik. Ia dan Sabrina
memakai loker yang sama. "Tadi waktu kutinggalkan masih baik-baik
saja." Sabs lalu bercerita panjang lebar tentang pintu loker yang nggak
bisa dibuka dan ia terpaksa memanggil petugas sekolah untuk
membetulkannya. Entah kenapa, Sabs sering sekali mengalami
kejadian-kejadian seperti itu, menurutku.
Sabs masih asyik bercerita ketika Arizonna memasuki Fitzie"s
sambil mencari-cari tempat duduk kami. "Kau sudah datang, say?"
serunya. "Say?" Randy mengulang ucapan Arizonna sambil nyengir ke
arahku, "Kurasa itu suara si Arizonna ya?"
Aku mengangguk dan kurasakan wajahku jadi bersemu merah
karenanya. Selama ini belum pernah ada orang memanggilku "Say"
seperti tadi. "Kami di sini!" teriak Sabs sambil bangkit berdiri dan
melambai-lambaikan tangannya.
Arizonna kelihatan menyolok sekali dengan jaket super besar
dari bahan nylon berwarna oranye menyala, seperti yang digunakan
untuk parasut. Kaos jala-jalanya muncul sedikit dari balik jaketnya
sehingga ia kelihatan seperti pelangi yang sedang berjalan. Begitu
penuh warna-warni. "Allison Cloud," sapanya seraya menatapku saat ia
menghentikan langkah di depan meja kami, "jadi seperti ini
rupanyaFitzie"s. Menurutku untuk ukuran Minnesota tempat ini cukup
oke!" Katie cekikikan. "Oke" Apaan tuh?" bisiknya ke arahku dengan
hanya menggerakkan bibirnya tanpa suara.
"Hai Arizonna," sapa Sabs.
"Apa khabar Sabs?" tegur Arizonna seraya menyibakkan poni
yang menutupi matanya. "Hai Katie," kemudian ia memandang ke
arah Randy dan Billy sambil tersenyum dan menyapa, "apa khabar
kalian berdua" Namaku Arizonna."
Randy memperkenalkan dirinya, tapi Billy cuma melirik ke
arah Arizonna dan melingkarkan lengannya ke bahuku. Aku terkejut.
Aneh tapi senang. "Mh....kenalkan, ini Billy Dixon," ujarku pada Arizonna dengan
perasaan agak tidak enak karena Billy bersikap kurang bersahabat.
Kulihat Arizonna hanya melirik sedikit ke arah Billy kemudian
kembali menatapku. "Sejauh ini, apakah kau menyukai Bradley?" tanya Sabs
bersemangat. Menurutku Sabs sama sekali nggak menyadari
ketegangan yang terjadi namun aku bersyukur Sabs melerainya.
"Lumayan, tapi aku kangen pada ombak," sahut Arizonna. Lalu
ia duduk di samping Katie. "Nah, aku siap sekarang," lanjutnya seraya
lagi-lagi menatapku. "Kita masih menunggu kakakku," kata Sabs sambil
mengerutkan hidungnya, "katanya mau ngambil sesuatu dulu di ruang
olahraga sebelum datang ke sini. Kurasa dia bakal agak terlambat."
Tak lama kemudian terdengar suara Sam di antara keramaian.
"Nick, kan sudah kubilang kita nggak punya waktu untuk main basket
dulu. Sekarang aku pasti diceramahin si Sabs karena terlambat."
"Kenapa?" tanya Nick tepat pada saat mereka bertiga, Sam,
Nick dan Jason tiba di meja kami. "Oh, rupanya mereka semua sudah
datang duluan. Sorriii ?"
"Hai Nick," Billy tertawa menyambut Nick seraya memberi
salam dengan saling menepukkan telapak tangan.
Aku ingat, dulu Sam, Nick dan Jason sama sekali tidak
menyukai Billy. Kurasa, waktu itu mereka mengira Billy anak yang
sok tahu dan sok jago sementara Billy mengira mereka anak-anak
yang pengecut. Tapi sejak aku dan Billy bersahabat, mereka pun jadi
saling mengenal lebih baik. Bahkan kadang mereka jalan bareng juga.
"B.D.!" seru Sam. "Apa khabar nih?"
"Jangan pura-pura deh. Kalian terlambat, tahu!" tukas Sabs
sambil melipat tangannya di dada. "Kan sudah kubilang nggak boleh
terlambat!" Aku dan Randy bertukar pandang sambil tersenyum geli
melihatnya. Tentu saja Sabs tak akan mengaku pada Sam bahwa ia
sendiri datang agak terlambat. Sejak Sabs dan Sam mencalonkan diri
dan terpilih menjadi ketua dan wakil ketua angkatan kelas tujuh, Sabs
selalu berusaha menjadikan Sam "manusia normal", begitu katanya.
Kemenangan mereka, menurut Sabs, masih harus menempuh
perjalanan panjang dalam rangka "memanusiakan" Sam.
Mereka sering sekali beradu mulut, tapi selalu terlihat eratnya
ikatan kekeluargaan antara mereka. Kurasa karena mereka itu anak
kembar. Kata orang, anak kembar punya hubungan dan cara
komunikasi yang istimewa. Melihat Sam dan Sabs aku percaya hal itu
benar. "Arizonna," Arizonna memperkenalkan dirinya sambil
mengangguk ke arah Sam, Nick dan Jason. Dikeluarkannya topi
baseball hijau menyala dari saku celananya dan dikenakannya ke
kepalanya. "Apa?" tanya Sam agak bingung, "Ada apa dengan Arizona?"
"Arizonna itu nama dia, Sam," ujar Sabs tidak sabaran, "seperti
nama negara tapi menggunakan dua huruf "N"."
"Oh," sahut Sam masih bengong.
"Aku Nick, itu Sam dan ini Jason," ujar Nick sambil duduk di
samping Sabs. Sementara Sam dan Jason menarik kursi lain. Meja
kami pun terasa mulai penuh sesak tapi aku merasa bahagia karena
mereka semua mau membantu dalam bazar Mawas Lingkungan ini.
"Mari kita mulai," ujar Randy setelah anak-anak memesan
makanan, "ayo, Al."
"Mh....begini....," aku memulai dengan perlahan. Aku jadi sulit


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir karena Arizonna terus menatapku dengan caranya yang
"aneh" itu. "Kurasa kita bisa mengadakan beberapa permainan."
"Maksudmu?" tanya Sam yang kelihatannya bingung.
"Misalnya volley gitu" Kedengarannya agak kurang seru Al. Mungkin
ada ide lain yang lebih seru?"
Arizonna menghabiskan setengah gelas sari jeruk pesanannya
dalam sekali teguk. "Mungkin maksud Al bukan permainan macam
itu," ujarnya sambil mengarahkan mata biru-pucatnya ke arahku.
"Permainan macam apa Allison Cloud?"
"Permainan yang kumaksudkan adalah permainan yang
diciptakan ratusan tahun lalu oleh bangsa Indian." Menurutku, bangsa
Indian adalah bangsa yang mengutamakan keselarasan dengan alam,
jadi permainan ini kurasa sesuai dengan tema "Mawas Lingkungan"
kami. "Permainan ini hanya menggunakan benda-benda yang
dihasilkan oleh alam."
Memikirkan permainan itu, aku jadi teringat pada kakek dan
nenekku. Aku sering mendengar, anak-anak yang nggak suka tinggal
bersama kakek dan neneknya. Sebaliknya, aku senang sekali mereka
tinggal bersamaku. Mereka banyak mengajarkan adat istiadat suku
Chippewa padaku dan Charlie, adik laki-lakiku. Mengenal adat
istiadat sendiri membuatku merasa bangga sebagai suku Chippewa.
"Dahsyat sekali!" seru Arizonna dengan bersemangat,
"Misalnya permainan apa tuh?"
Merasa mendapat dukungan, aku pun melanjutkan, "Salah
satunya dikenal dengan nama Hacky Sack. Banyak orang masih
memainkannya sekarang. Aku yakin kalian pun mengenalnya.
Permainan di mana seseorang berusaha mengelilingi sebuah kantong
kulit berbentuk bundar dan berusaha agar tidak terjatuh."
"Aku pernah memainkannya," ujar Nick sambil menegakkan
posisi duduknya, "seru, lho."
"Ya, aku juga pernah. Tapi aku nggak tahu kalau itu permainan
suku Indian," komentar Katie.
Aku mengangguk dan menyuap sesendok es krim Billy. Enak
rasanya. "Sebetulnya, permainan itu cuma dilakukan oleh kaum
wanita," aku menjelaskan.
"Yang bener?" tanya Randy, "Permainan sesulit itu?"
"Kedengarannya ganas sekali," ujar Arizonna. "Kau tahu,
Hacky Sack cukup ngetop di L. A. " terutama di pantai."
Di sampingku kudengar Billy menggumam, "Yah, hebat,"
bisiknya perlahan. "Lalu, makanan apa saja yang akan kita jual?" Sam angkat
bicara sambil menjilat bibirnya, "Hot dog dan burger?"
"Gimana kalau makanan yang alami saja?" usul Arizonna. Aku
terpana menatapnya. Aku pun hendak mengajukan usul yang sama,
tapi ia mendahuluiku. "Maksudmu, seperti rumput laut dan sejenisnya?" tanya Nick
dengan mimik jijik, "Aku sih nggak mau yang aneh-aneh, lebih baik
hot dog aja deh." "Kurasa makanan yang alami adalah gagasan yang bagus," bela
Randy sambil menatap Nick dengan sedikit mengecam.
"Ya. Hot dog kedengarannya agak bertentangan dengan tema
Mawas Lingkungan," timpal Sabs. "Masa kita menyajikan makanan
yang terbuat dari daging binatang dan dibungkus plastik atau tissu
sih?" "Gimana kalau kau yang menangani soal makanan Randy?"
pintaku seraya mencatatnya dalam bukuku. Randy mengangguk, "O
iya Randy," lanjutku ketika tiba-tiba sesuatu melintas di benakku.
"Kira-kira Iron Wombat, grup band-mu itu mau nggak ya manggung
di bazar kita?" "Tentu saja!" seru Randy senang, "Pasti mau dong!"
Sambil menyibakkan poninya, Arizonna menatap Randy dan
bertanya, "Iron Wombat itu apa sih?"
"Itu nama grup band-ku," Randy menjelaskan. Dikeluarkannya
stik drum dari kantung jaketnya dan mulai memainkan irama ketukan
di atas meja. Randy tak pernah meninggalkan stik drumnya. Baginya,
setiap kali merasakan dorongan untuk memainkan irama, ia harus siap
dengan stiknya. "Jadi, ada band juga dong!" seru Arizonna senang.
Randy mengetuk-ngetuk buku catatanku dengan stik drumnya.
"Kurasa sebaiknya kita tidak menggunakan pengeras suara segala,
supaya lebih kelihatan alami."
Dapat kubaca dari kilauan di matanya yang setengah
menerawang, Randy menyukai gagasan untuk manggung ini. "Kau
tahu maksudku kan. Kami hanya memainkan gitar akustik dan piano.
Bukannya gitar listrik atau keyboard."
"Ide yang luar biasa sekali," komentar Katie seraya mengambil
es dari dalam gelas sodanya dan menggigitnya, "dengan begitu kalian
tidak memerlukan listrik sama sekali."
"Aku bisa memainkan gitar akustik," tukas Arizonna. "Dan aku
juga suka membuat lagu sendiri. Kau tidak keberatan, jika aku ikutan
manggung?" "Pasti tambah seru," sahut Randy, "tapi harus kutanyakan dulu
pada anggota grup yang lain."
"Nah, Allison Cloud," lanjut Arizonna mengalihkan
pembicaraan, "apa lagi yang kau ingin kami lakukan?"
Kuharap ia berhenti menyebutkan namaku begitu lengkap. Aku
merasa sedikit salah tingkah karenanya. Dan kelihatannya hal itu pun
agak mengganggu Billy. Lengannya masih melingkar di bahuku dan
setiap kali Arizonna mengajakku bicara, kurasakan ketegangan
mengalir lewat sentuhan lengan Billy ke bahuku.
"Mh, apa lagi ya?" tanyaku perlahan. Kukira ini merupakan
cara terbaik untuk memulai pembagian tugas.
"Aku akan membantu Randy menyiapkan makanan," kata Katie
sambil menuliskan namanya di samping nama Randy di buku
catatanku. "Kita pasti memerlukan poster dan promosi lainnya kan?" tanya
Sabs, "Biar aku yang membuatnya."
"Aku juga," timpal Nick.
Ketika aku selesai menuliskan nama dan tugas masing-masing,
aku memandang ke arah Arizonna yang ternyata juga tengah
memandangiku. "Kau sendiri akan melakukan apa, Allison Cloud?" tanyanya.
Sejenak kuamati isi daftarku, "Kurasa aku akan menyiapkan
permainan saja," jawabku ketika melihat belum ada nama siapa pun di
situ. "Aku pun akan mengurus soal permainan," ujar Arizonna,
"masukkan namaku di daftarmu."
Kulihat Sabs agak kecewa karena Arizonna tidak tertarik untuk
bergabung dalam tim pembuat poster bersamanya. Jujur kuakui, aku
pun merasa agak kurang nyaman berada dalam satu bagian bersama
Arizonna. Bekerja sama dengan Arizonna rasanya....gimana ya"
Kurasa aku masih sedikit khawatir memikirkan ketegangan yang
terjadi antara Billy dan Arizonna. Dan aku tak ingin menyakiti hati
Billy maupun mengecewakan Sabrina.
"Aku juga membantu menyiapkan permainan," tambah Billy
akhirnya dengan suara agak tegang. Lalu sambil menatapku ia
mengucapkan salam, "Ngomong-ngomong, aku duluan ya."
Nick dan Sabs terpaksa berdiri untuk memberi jalan bagi Billy.
Dan tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Billy pun berlalu. "Aku juga
harus pulang sekarang," kataku, "soalnya aku udah janji akan
membantu Ibuku menyiapkan makan malam hari ini. Ada yang akan
bertamu ke rumah kami." Apa yang kukatakan itu benar, tapi
sebetulnya aku ingin berpikir tenang sendirian. Memikirkan soal Billy
dan Arizonna, maksudku. Sambil menutup buku catatanku, aku bangkit berdiri. "Sampai
ketemu lagi besok di sekolah. Randy, kita harus menemui Pak Hansen
untuk meminta dana konsumsi besok saat jam perpustakaan. Oke?"
Randy menghela nafas. "Tokoh idolaku yang satu itu....,"
keluhnya, "oke. Nggak ada masalah"
Kulambaikan tangan pada mereka semua lalu kutinggalkan
Fitzie"s. Aku amat terkejut ketika menyadari kehadiran Arizonna di
sampingku beberapa saat kemudian.
"Allison Cloud, aku mau menemanimu pulang," katanya.
"Lho, nggak usah repot-repot, Arizonna," aku mencoba
mengelak, "nggak usah deh."
Tapi Arizonna tidak menghentikan langkahnya, "Jadi....seperti
inilah Minnesota," gumamnya.
Melihat bahwa ia tak akan mundur, kuputuskan untuk mencoba
bersikap ramah padanya. "Apakah Acorn Falls begitu jauh berbeda
dengan L.A.?" tanyaku.
"Sangat," jawab Arizonna sambil mengangguk hingga poninya
menjuntai-juntai di depan matanya. "Di L.A. udara hampir selalu
panas dan tentunya penduduknya juga jauh lebih banyak. Kau tahu
kan maksudku, banyak orang ngeceng! Dan kabut pun amat tebal.
Kurasa sejak berusia dua tahun, baru kali inilah aku melihat langit
sejernih ini." Aku tertawa geli. "Kenapa sih kamu pindah ke sini?"
"Orang tuaku bercerai," ujar Arizonna dengan raut maklum,
"aku dan Ayahku pindah ke sini sementara Ibu dan ketiga saudara
perempuanku tetap tinggal di L.A. Aku sih maunya tinggal sama Ibu,
tapi menurut orang tuaku sebaiknya sih aku ikut Ayah karena aku kan
laki-laki." Aku tak tahu harus mengatakan apa, jadi aku hanya
mengangguk-angguk saja. Untunglah Arizonna seorang lawan bicara
yang baik. Tak pernah kehabisan cerita. Ia juga menceritakan
lingkungan tempat tinggalnya yang dulu dan rumahnya yang terletak
tak jauh dari pantai. Lewat ceritanya, aku yakin ia rindu pada pantai
dan lautnya. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Aku dan Billy bisa berjalan
berjam-jam tanpa bicara. Dan memang kami berdua seolah menikmati
keheningan itu. Tapi Arizonna ini nampaknya tak pernah diam barang
sedetik pun. Bukan berarti aku nggak senang, cuma rasanya beda.
Ketika tiba di kelokan Jalan Spencer Avenue, di mana aku tinggal,
kuhentikan langkahku dan kuucapkan selamat jalan pada Arizonna.
"Allison Cloud, karena kau teman pertamaku di Acorn Falls,
aku ingin memberi salah satu dari gelang-gelangku," katanya seraya
melepaskan sebuah gelang persahabatan dari lengannya. Ditariknya
tangan kiriku dan diikatkannya gelang dari benang wool itu ke
pergelangan tanganku, "Sekarang, kita resmi menjadi teman."
"Trims," ujarku perlahan. Kurasa ia baik sekali memberikan
gelang ini padaku. "Menurut perasaanku, kita akan bersahabat seumur hidup
Allison Cloud," lanjut Arizonna. Lalu ia membalikkan tubuhnya dan
menyusuri trotoar ke arah yang berlawanan. "Sampai besok!"
"Hati-hati ya," lambaiku.
Kusentuh gelang kuning menyala bergaris merah dan oranye
itu. Kelihatannya cantik sekali.
Ah, ini kan cuma gelang persahabatan saja, bisikku dalam hati.
Pemberian ini sama sekali tidak memiliki arti istimewa. Ya, hanya
ikatan persahabatan biasa antara aku dan Arizonna.
BAGIAN TIGA "Masih berapa banyak dana yang tersisa?" tanyaku sambil
duduk resah di kursiku. Aku dan Randy tengah duduk di ruangan Pak
Hansen hari Selasa siang dan khabar buruk yang disampaikan kepala
sekolah kami itu membuat kami benar-benar kecewa.
"200 dollar," jawab Pak Hansen seraya meletakkan beberapa
lembaran dollar itu ke atas mejanya. "Seperti yang saya katakan tadi,
sebagian dana digunakan untuk membayar sewa peralatan atraksi
komidi putar dan bom-bom car. Semalam, menurut Stacy semua itu
sudah kalian rencanakan. Tadi siang dari kantor saya ia menelpon
tempat penyewaan alat-alat tersebut."
"Kami sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," ujar Randy
geram. Dapat kulihat, Randy benar-benar marah dan aku pun
merasakan hal yang sama. Kami baru tahu bahwa Stacy menghabiskan sebagian besar
dana bazar itu untuk menyewa peralatan komidi putar, bom-bom car
dan atraksi lainnya yang menggunakan tenaga listrik atau gas. Aku
menyesalkan tindakan Stacy yang tanpa sepengetahuan kami itu, tapi
lebih dari itu seharusnya Stacy tahu, alat-alat yang disewanya itu
menggunakan bahan bakar yang mengakibatkan polusi udara. Sama
sekali bertentangan dengan tema bazar kami bukan"
Stacy juga mengaku menjadi wakil ketua panitia pada ayahnya,
padahal ia telah menentang dan tidak mau ikut campur dalam
kepanitiaan kami. Kurasa ia telah mengubah pikirannya semenjak tahu
Arizonna ikut membantu kami menyiapkan bazar Mawas Lingkungan
ini. Dan aku pun rasanya tak mungkin menceritakan ulah Stacy pada
ayahnya sendiri. Kepala sekolah kami pasti tidak senang mendengar
anaknya berdusta. Jadi sekarang kami tak punya pilihan lain selain
menerima Stacy sebagai wakil ketua panitia bazar Mawas
Lingkungan. Yang menjadikan semuanya kian kacau, dana yang mestinya
digunakan untuk menyelamatkan lingkungan malah dihabiskan untuk
benda-benda yang merusak lingkungan! Sementara itu kami masih
harus membeli makanan untuk anak-anak yang datang ke bazar! Jujur
saja, harus kuakui, aku sungguh tak tahu harus berbuat apa jadinya.
"Saya minta maaf jika telah terjadi kesalahpahaman, tapi saya
rasa sekarang sudah terlambat untuk membatalkannya," ujar Pak
Hansen seraya memperhatikan reaksiku dan Randy. Dimasukannya
kembali surat perjanjian penyewaan alat-alat itu ke dalam mapnya.
"Uang itu tak dapat dikembalikan lagi dan saya sendiri yang
membayarkannya saat makan siang tadi."
"Tapi " Randy mulai berbicara dengan suara tinggi.
"Kalau begitu ya sudah, Pak Hansen," tukasku memotong
ucapan Randy sambil bangkit berdiri. "Kami akan mencari jalan
keluarnya." Setelah menyerahkan sebuah amplop berisi sisa uang 200 dollar
itu, aku pun mengucapkan terima kasih dan mengajak Randy
meninggalkan kantor kepala sekolah.
"Stacy benar-benar keterlaluan!" geram Randy berang begitu
kita sudah berada di koridor sekolah. "Berani amat dia melakukan hal
macam ini!" Matanya yang hitam tampak berkilat karena amarah.
"Nekad banget tuh anak!"
Aku diam saja. Aku hanya berdiri mematung memperhatikan
kemarahan dan keputusasaan Randy. Randy memang cepat naik darah
tapi setelah berhasil melepaskan amarahnya ia segera dapat berpikir
jernih kembali. "Menurutku, sebaiknya kita beritahukan kebohongan Stacy
pada ayahnya," lanjut Randy.
"Apa gunanya?" tanyaku seraya memindahkan buku-buku ke
tangan yang lain, "Kau sudah dengar apa kata Pak Hansen. Uang itu
tak dapat diminta kembali." Setelah berdiam diri agak lama, Randy
menghela nafasnya. "Dan sepertinya kita nggak bisa menjelaskan kebohongan Stacy
tentang jabatannya sebagai wakil ketua panitia. Kau benar Al. Mau
tidak mau, kita terpaksa mengadakan atraksi brengsek itu dan bekerja
sama dengan si hebat Stacy!"
Sambil tersenyum dan berusaha menenangkan Randy, aku
bertanya padanya, "Nah, jadi apa yang menurutmu harus kita lakukan
untuk menyiapkan makanan sekarang?"
"Kurasa bahan makanan alami yang canggih harus kita lupakan


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang," sahutnya.
Randy sudah memberiku daftar harga semua makanan yang
terbuat dari bahan-bahan alami dan sekarang daftar itu kukeluarkan
dari buku catatanku. "Dengan uang yang ada sekarang, kita bahkan
takkan bisa mencukupi seperempat jumlah anak yang datang," ujarku,
"sebaiknya kita cari jalan keluarnya."
"Dan harus cepat!" tambah Randy, "Bazar Mawas Lingkungan
akan diadakan minggu depan. Sekarang Selasa, berarti waktu kita
tinggal kurang dari dua minggu lagi. Aku dan Katie akan mengatasi
masalah ini secepatnya."
Terdengar bel berbunyi, dan koridor sekolah berubah menjadi
begitu sesak dengan hilir mudiknya anak-anak berpindah kelas.
"Kurasa semua panitia harus berapat lagi siang ini untuk bersamasama mencari jalan keluarnya," ujarku agak keras untuk mengatasi
riuhnya suara anak-anak yang lalu lalang. "Rapat darurat!"
"Tentu saja, harus!" Randy setuju.
Kami menemui Sabs di lokernya dan ia menawarkan rumahnya
sebagai tempat rapat kami. Bagaimana pun, begitu pelajaran selesai,
sambil mengambil jaket dari loker aku masih merasa cemas
memikirkan bazar kami. Aku tidak yakin kami dapat mengatasi
masalah konsumsi makanan ini dan aku pun masih khawatir
memikirkan rencana licik Stacy yang lainnya.
"Allison Cloud!" tiba-tiba saja Arizonna memanggilku sambil
mendekati lokerku. "Dari tadi kucari-cari kamu. Ngumpet di mana
sih?" Wajahnya kelihatan begitu ceria, sehingga aku tak dapat
menahan diri untuk membalas senyumnya. Lalu kulihat Billy di ujung
koridor. Ia bersama Sam dan Nick tengah melangkah ke arahku dan
Arizonna. Entah kenapa hal ini membuatku agak gugup. Dan telapak
tanganku jadi basah karenanya.
"Hai Al," sapa Sam saat mereka bertiga tiba di dekatku, "apa
khabar, Arizonna?" Sam menepuk punggung Arizonna. "Aku sudah
dengar apa yang terjadi di kelas bahasa Inggris. Kau hebat sekali. Pak
Stover layak mendapatkannya. Dia memang guru yang
menjengkelkan." Arizonna menganggukkan kepalanya. "Trims."
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Seru deh," Nick bercerita, "kami sedang membaca puisi karya
Walt Whitman dan Pak Stover menceritakan sejarah kehidupan
Whitman juga cara menginterpretasikan puisi-puisinya. Kemudian
Arizonna balas mengajari Pak Stover!"
"Sungguhkah?" tanyaku dengan terkejut. Aku merasa
bersyukur mendapatkan Bu Staats sebagai guru bahasa Inggris kami.
Aku pun pernah mendengar tentang Pak Stover, yang kurang
menyenangkan. Ia mengajar hanya berdasarkan buku dan teori saja
serta tak pernah mendengarkan pendapat murid-muridnya di dalam
kelas. Aku sih nggak bakalan menyukai pelajaran bahasa Inggris kalau
gurunya seperti itu. "Apa yang kau katakan?" tanyaku pada Arizonna.
"Kubilang, puisi itu sifatnya amat pribadi dan karena itu cara
membacanya pun berbeda-beda untuk masing-masing puisi. Tapi
orang itu menganggap, cara membaca dan menghayati semua puisi
sama saja. Ngaco kan?" sahut Arizonna.
"Kau benar-benar mengatakan hal itu?" tanyaku tak yakin.
Menurutku, perbuatannya menyanggah Pak Stover yang kurang benar
itu amatlah berani. Nick bersiul kagum, "Sayang kau tidak melihat tampang si
Stover saat itu! Dia langsung mengirim Arizonna menghadap kepala
sekolah saat itu juga!"
Aku kembali menatap Arizonna. "Apakah kau mendapatkan
kesulitan?" "Nggak," jawab Arizonna ringan, "Pak kepala sekolah itu hanya
memperingatkan aku sebagai murid baru harus banyak mempelajari
tata cara yang berlaku di sini. Cuma itu, kurasa."
"Ah, masa?" gumam Billy dengan nada jengkel. "Jika aku yang
melakukan hal itu, pasti aku mendapat hukuman yang berat!"
Aku menatap Billy dengan kaget. Begitu keasyikan mendengar
cerita Arizonna sehingga nyaris melupakan kehadirannya. Billy
kelihatan sungguh marah membayangkan hukuman berat yang akan
diterimanya jika ia yang melakukan hal itu sementara Arizonna hanya
diperingatkan saja. Para guru memang menganggap Billy sebagai
biang onar, meskipun tak selamanya ia melakukan kesalahan.
Memang tidak adil. Tapi Billy bersikap seolah-olah semuanya
kesalahan Arizonna. Menurutku jalan pikiran Billy yang iri pada
Arizonna pun tidak adil. "Mh....begini Al," ujar Sam seraya melirik sedikit ke arah Billy
dan mengganti topik pembicaraan, "aku juga dengar masalah dana
yang kita hadapi. Kau juga mau datang dalam rapat di rumahku
sekarang?" Aku mengangguk, tapi mataku masih tetap tertuju pada Billy.
Billy tak mau menatapku. Malah ia bersikap seolah-olah aku tidak ada
di situ. "Ada masalah apa lagi nih?" tanya Arizonna. Kelihatannya ia
sama sekali tidak mengacuhkan sikap Billy yang tak ramah itu.
"Stacy menyewa komidi putar dan bom-bom car sehingga dana
kita jadi tinggal sedikit sekali," Jason menjelaskan, "maksudku,
atraksi itu sih kedengarannya seru, tapi kan makanan juga harus ada?"
Kening Arizonna yang kecoklatan itu berkerut, "Tapi atraksi
macam itu hanya akan mengotori udara," tukasnya segera, "aku yakin
permainan itu menggunakan bahan bakar."
"Wah....aku tak berpikir sejauh itu," Sam tersadar setelah
terdiam beberapa detik. "Ya. Itulah tujuan kita mengadakan bazar Mawas Lingkungan,"
ujarku, "mengajak orang untuk berpikir lebih jauh ke depan."
Sam mengangguk-angguk. Ia kelihatan agak panik saat melirik
ke arlojinya. "Sebaiknya kita berangkat sekarang,"ia mengajak Nick
dan Jason. "Kalau telat lagi, Sabs bisa membunuhku, nih!"
Aku baru saja hendak menanyakan kesediaan Billy untuk ikut
rapat, tapi tiba-tiba saja ia berlalu dan berkata, "Aku duluan ya." Ia
memutar tubuhnya dan berlalu.
"Sampai nanti B.D.," lambai Sam.
Sambil menatap kepergiannya, tiba-tiba aku menyadari
kesalahanku. Aku terlalu bersemangat ngobrol dengan Arizonna
sehingga seolah tidak mengacuhkannya. Aku sendiri merasa sedih tak
diacuhkan oleh Billy. Mungkin demikian pula perasaan Billy saat
merasa tak kuacuhkan ya" Kuputuskan untuk mengajaknya
membicarakan masalah ini.
Kukatakan pada anak-anak bahwa aku akan segera menyusul ke
rumah keluarga Wells. Kemudian segera kukejar Billy. Tapi Billy
sama sekali tidak memperlambat langkahnya. Aku tak berhasil
mengejarnya sampai akhirnya kami tiba di depan gerbang masuk
sekolah. "Mau ke mana kau?" tanyaku terengah-engah seraya menepuk
bahunya. Billy menghentikan langkahnya tapi tidak membalikkan
tubuhnya. "Banyak yang harus kulakukan," sahutnya singkat, "dan
tentunya lebih penting daripada soal bazar itu."
"Kukira kau mau membantu kami," aku protes. Kucoba untuk
tidak menunjukkan kekecewaanku atas sikapnya yang acuh tak acuh
terhadap bazar kami. Billy kan tahu, bazar itu amat besar dan penting
artinya bagiku, kok dia meremehkannya sih"
"Aku berubah pikiran," ujarnya. Akhirnya, ia pun menoleh
kepadaku dan dapat kulihat, matanya begitu murung bagaikan awan
yang kelabu. "Kamu kenapa sih Allison?"
"Apa maksudmu?" aku balik bertanya.
Ia hanya tertawa kecil. Tawa yang bernada sinis. "Kelihatannya
kau sudah mendapatkan semua yang kau butuhkan Allison," jawabnya
seraya melirikku. Beberapa saat aku hanya terpaku memandangnya. Aku tak
percaya ia bersikap seperti ini. "Billy, kalau ada sesuatu yang
membuatmu jengkel, kuharap kau mau menceritakannya padaku.
Kurasa kau tidak mengerti duduk per"
"Nggak usah dipikirin deh Allison," tukas Billy memotong
kalimatku, kemudian matanya tertuju pada gelang persahabatan
pemberian Arizonna yang kini melingkar di pergelangan tangan
kiriku. "Billy....," aku hendak mencoba menjelaskan, tapi ketika aku
menengadahkan kepalaku ternyata Billy sudah tak ada di hadapanku.
Ia telah melangkah meninggalkan gerbang sekolah dengan kedua
tangan tersimpan di saku celananya. Kucoba mengejar dan memanggil
namanya, tapi ia tetap tak menoleh. Beberapa saat kemudian, ia telah
lenyap dari pandanganku. BAGIAN EMPAT Perselisihanku dengan Billy agaknya akan berpengaruh buruk
selama seminggu ini. Tak satu pun berjalan lancar.
Satu-satunya hal yang kita sepakati dalam rapat di rumah Sabs
adalah bahwa kita terpaksa mengikutsertakan Stacy dalam rencanarencana kita selanjutnya. Tak seorang anak pun menyukai gagasan itu,
soalnya itu berarti teman-teman Stacy, Eva Malone, BZ Latimer dan
Laurel Spencer pun harus diikutsertakan. Tapi menurutku, lebih baik
mengikutkan Stacy daripada membiarkannya menyusun rencana
diam-diam tanpa sepengetahuan kami. Setelah kujelaskan maksudku,
semua anak pun dapat menerimanya.
Yang jadi masalah, setiap kali aku berusaha menghubungi Stacy
untuk memberitahukan tentang rapat kita, Stacy selalu menghindariku
dengan berbagai alasan. Sampai hari Jum"at siang, aku masih belum
berhasil menemui dan bicara padanya dan aku mulai merasa putus asa
karenanya. Bazar akan berlangsung seminggu dari hari ini, dan kami
sama sekali belum menyusun rencana apa pun.
Akhirnya aku tak memiliki pilihan lain kecuali membuat
perjanjian tanpa setahu Stacy. Kami merencanakan untuk mengadakan
rapat besar hari Sabtu di rumah Sabrina. Aku yakin kita telah
memberitahukan pada semua anggota panitia, tapi aku merasa kurang
senang dengan perencanaan yang terburu-buru seperti ini.
Hari Jum"at sepulang sekolah, aku berusaha menelepon ke
rumah Billy dan menitipkan pesan tentang rapat yang akan diadakan
hari Sabtu itu. Kuharap Billy akan mengubah pikiran dan memutuskan
untuk kembali bergabung dalam panitia bazar Mawas Lingkungan
kami. Sejak awal minggu aku belum lagi bertemu dengannya dan
setiap kali kuhubungi lewat telepon rumahnya, kakaknya selalu
mengatakan Billy sedang keluar. Aku tidak yakin akan jawaban kakak
Billy tersebut. Rasanya Billy memang sengaja menghindariku.
Kenyataan ini sungguh menyakitkan hatiku. Dan akhirnya hal
itu membuatku jadi agak jengkel. Aku paham, Billy tidak menyukai
kehadiran Arizonna, dan aku yakin, kalau saja ia mau membicarakan
hal ini denganku, ia pasti menyadari bahwa dugaannya selama ini
sama sekali tidak benar. Bukan salahku jika Billy tak lagi mau bicara
denganku. Tapi semua itu tak juga menolong atau memulihkan
perasaanku. teenlitlawas.blogspot.com
Aku gembira menyambut hari Sabtu, hari rapat besar kita.
Setidaknya, kesibukan dapat sedikit mengalihkan pikiranku dari Billy.
"Al! Ada khabar buruk!" sambut Sabs begitu aku tiba di
rumahnya hari Sabtu siang. Sabrina menarikku masuk ke dapur di
mana Randy dan Katie tengah duduk di meja makan sambil
menikmati kue coklat. "Ada apa?" tanyaku. Keresahan yang terbersit di wajah sahabatsahabatku membuat aku menjadi semakin panik. "Ada apa sih" Yang
lainnya mana?" "Di rumah Eva Malone," Randy memberi tahu.
Aku tertegun menatapnya dengan pikiran amat bingung. "Eva"
Tapi rapat itu seharusnya diadakan di sini kan?" Aku duduk dan
meletakkan buku catatan dan penaku di atas meja.
"Si hebat Stacy melakukannya lagi," ujar Katie sambil
mengambil sepotong kue lagi, "ia sengaja mengatur rapat lain yang
diadakan di rumah Eva."
"Dan ia sama sekali tidak memberitahu kita," desis Sabs
dramatis, "kalau kita tidak segera datang, kita tak akan tahu apa yang
direncanakannya." Sambil membetulkan letak topi baseball
bertuliskan New York Yankees, tim baseball kesayangannya, Randy
berseru, "Hei, jangan khawatir. Mungkin mereka sedang menyusun
rencana untuk menyelamatkan lingkungan dengan permainan dan
hiburan. Misalnya membuat bom nuklir gitu "
Aku tertawa mendengarnya. Keteganganku jadi agak reda
mendengar banyolan Randy. "Kok kalian tahu mereka mengadakan
rapat di rumah Eva?"
"Arizonna yang mengatakannya pada Sabs," ujar Katie, "dan
Stacy yang memberitahu dia dan anak-anak yang lain, kecuali kita."
"Mungkin kita nggak perlu ke sana. Kita mesti menunjukkan
sikap dong. Aksi protes begitu," usul Sabs. "Tapi Arizonna pasti ada
di sana sekarang. Maksudku " dia kan memang keren ya " tapi
kalau menurut kalian kita nggak perlu ke sana ya nggak apa-apa sih"
" "Kurasa sebaiknya kita pergi," ujarku sambil menatap temantemanku. "Aku nggak mau Stacy menyingkirkan kita seperti ini, tapi
kita pun tak punya waktu untuk melawannya lagi. Kurasa kita harus
berusaha keras untuk mencoba bekerja sama dengannya."
Sabs, Katie dan Randy saling bertukar pandang, kemudian
mengangguk setuju. "Baiklah. Seperti biasanya, kita akan menghadapi
kecurangannya dengan kepala dingin sampai dia jengkel sendiri!" seru
Randy sambil melompat tinggi-tinggi. "Aku rela kok!"
Sabs tertawa geli melihat gaya Randy. "Rasanya kok lucu ya.
Kita-kita kan membenci mereka, kok malah datang ke rumah Eva?"
Randy mengungkit skate board-nya dengan satu kaki dan
menangkapnya dengan tangan. "Seperti kata Arizonna: "Pasti oke!?"
Kami semua tertawa, sementara dalam hati aku merasa agak
cemas juga. Aku benar-benar berharap rapat ini bisa berjalan lancar.
"Apakah menurut kalian kita harus ikut serta?" tanyaku, "Inilah satusatunya cara agar kita juga punya suara dalam perencanaan bazar itu."
Sambil mengangguk, Randy menggandeng lenganku dan juga
lengan Sabs, yang tengah menggandeng Katie. Kami berempat
menyeberangi jalan berjajar empat sedemikian rupa, macam tentara
yang berbaris saja. Kemudian tibalah kami di halaman rumah Eva
Malone dan membunyikan bel pintu. Aku amat terkejut ketika
ternyata Arizonna-lah yang membukakan pintu.
"Allison Cloud!" serunya gembira saat melihat kedatanganku,
"Apa khabar cewek-cewek?" ia menyapa teman-teman yang lain.
"Masuklah. Kita semua berkumpul di ruang belakang."
"Hai Arizonna," tegur Sabs sambil melangkah mendahului
kami. Dari pipinya yang memerah, aku semakin yakin Sabs jatuh cinta
pada Arizonna. "Kakakku sudah datang?"
Arizonna mengangguk. "Sam-lah orang pertama yang datang"
sesudah aku. Tahu nggak, dia takut sekali datang terlambat. Kau sadar
nggak sih bahwa kakakmu itu ketakutan terhadapmu?"
"Baguslah," ujar Sabs tenang sambil cekikikan, "kurasa ia
mulai berubah menjadi "manusia normal"."
"Hallo semua!" panggil Nick saat kami memasuki ruang tengah
rumah Eva. Nick, Stacy dan Eva duduk di kursi berlapis kain biru
bergaris coklat di dekat dinding. Sam di kursi lainnya, menggoyanggoyangkan kakinya santai sementara Jason, BZ Latimer dan Laurel
Spencer duduk bersila di atas hamparan karpet. Di depan mereka
terlihat semangkuk besar popcorn.
Kuperhatikan, semua anak menyapa kami kecuali dua orang
yaitu Eva dan Stacy. Mereka berdua kelihatan terkejut melihat
kedatangan kami. Menurut dugaanku, mereka pasti akan mempersulit
rapat ini, maka kuputuskan untuk segera saja memulainya.
"Sejauh ini, apa-apa saja yang sudah kalian bicarakan?"


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanyaku sambil menatap Stacy dengan ramah sebagaimana layaknya
seorang teman. Kemudian aku mencari tempat duduk.
"Kami baru saja mulai," Arizonna menjatuhkan diri ke lantai
dan menggeliat, tangannya diletakkan di belakang lehernya.
"Nah....Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya tersayang, apa yang akan kita
lakukan pertama-tama?"
"Mari kita mulai dengan meneliti kembali susunan pembagian
tugas yang telah kita buat," aku mendahului Stacy yang kelihatan
hendak membuka mulutnya untuk bicara. Aku telah menyimpulkan,
bazar Mawas Lingkungan ini begitu penting dan karena itu tak akan
kubiarkan Stacy mengambil alih semuanya. Terutama karena
keikutsertaannya bukanlah berdasarkan kesadaran sendiri. Stacy sama
sekali tidak peduli akan lingkungan hidup. Itu berarti akulah yang
harus mengendalikan jalannya rapat. Karena biasanya aku dikenal
sebagai anak yang pendiam dan agak pemalu, aku merasa sikapku
agak aneh juga, tapi aku merasa senang dengan keberanianku.
Segera saja kubacakan daftar tugas yang telah kami rancang
bersama. Siapa-siapa saja yang terlibat untuk mengurus makanan,
poster, musik dan permainan-permainan.
"Aku bisa membantu membuat poster," BZ menawarkan diri.
Aku gembira mendengarnya. Barangkali memang kami bisa bekerja
sama dengan baik ya"
"Jangan lupakan soal atraksi-atraksiku," ujar Stacy dengan
suara yang angkuh. Diraihnya segenggam popcorn, "Kita nggak boleh
melupakan pertunjukan utamanya bukan?"
"Mungkin Stacy benar," timpal Nick.
Randy memandang Nick, tak percaya mendengar apa yang
diucapkannya. "Yang bener aja," sanggah Randy, "atraksi itu
mengotori udara!" Sambil melonjorkan kakinya ke lantai, Sam menimpali,
"Kurasa Nick benar. Maksudku, mungkin sebagian anak datang hanya
untuk menikmati atraksi-atraksi itu. Nah, begitu mereka berkumpul,
barulah kita bisa mengajarkan pentingnya kesadaran untuk
menyelamatkan lingkungan dari pencemaran."
"Kurasa memang begitu sebaiknya," sahutku perlahan sambil
menggigit bibir bawahku. "Tapi atraksi itu tidak membawa pesan
Mawas Lingkungan." "Ah, jangan mimpi muluk melulu dong, Allison," sergah Stacy
dengan raut sebal, "siapa sih yang mau peduli" Asal seru dan menarik
semua pasti senang!"
Arizonna bangkit berdiri dan menatap Stacy dengan tajam.
"Kurasa, kau tidak menangkap duduk persoalannya Say," tukasnya
tegas. "Bagaimana kita bisa meyakinkan orang-orang akan
kesungguhan niat kita untuk menyelamatkan lingkungan jika kita
tidak menunjukkan sikap tegas" Jika kita setengah-setengah begitu
kan kesannya nggak serius," lantas ia berbalik ke arahku, "betul
nggak, Allison Cloud?"
Aku mengangguk. Stacy melirikku dengan jengkel tapi aku
sama sekali tidak menanggapinya. Kami pun tidak lagi membicarakan
soal atraksi Stacy. Kami putuskan untuk memisahkan atraksi Stacy
agak jauh dari lokasi bazar kami. Dengan demikian orang-orang tidak
akan terlalu terpengaruh.
Aku tak tahu bagaimana cara melaksanakannya, tapi ketika
rapat dinyatakan selesai, kami semua sudah memiliki daftar tugas
masing-masing. Panitia pembuat poster yang dipimpin Sabs akan
mulai mengerjakan poster besok dan akan mulai ditempelkan di
sekolah hari Senin pagi. Laurel kelihatan amat tertarik dengan
permainan suku Indian, maka ia menawarkan diri untuk membantu
seksi permainan bersama aku dan Arizonna.
Menurut Randy, anggota grup Iron Wombat amat tertarik untuk
manggung di bazar Mawas Lingkungan kami dan bahkan telah
menciptakan sebuah lagu khusus yang bertema Mawas Lingkungan.
Dan mereka pun tidak keberatan Arizonna ikut manggung. Randy juga
berusaha mengajak band-band lain untuk ikut ambil bagian.
Usul Randy yang lain adalah membuat lukisan-lukisan untuk
dipamerkan dalam bazar. Misalnya lukisan sebuah hutan dan sepotong
kehidupan yang ada di dalamnya, yang menampakkan binatangbinatang, dan pepohonan yang dirusak oleh sebuah buldozer.
Mengharukan sekali. Dan menurutku gagasan ini amat bagus untuk
menggugah hati orang. Aku dan Sabs menawarkan diri untuk
membantu Randy membuat lukisan berukuran besar itu di ruang
olahraga. Jika sudah kering barulah akan kami gantungkan di
lapangan bola, di mana bazar akan dilangsungkan.
Jason dan anak-anak cowok yang lain menawarkan bantuan
untuk membantu Katie dan Randy mengurus konsumsi. Mereka akan
membantu menghitung harga bahan yang harus dibeli. Aku senang
sekali, sebab setahuku anak-anak cowok itu tidak suka makanan
alami. Nyatanya mau juga membantu.
Dan tentu saja, Stacy, bersikap sebagai seorang boss yang suka
memerintah. Setelah Arizonna mengomentari atraksinya sebagai
pengotor udara, ia akhimya memutuskan untuk menjual karcis saja.
"Menurutku kita harus menjualnya secepat mungkin. Berarti
banyak uang yang masuk kan," Stacy menatap Eva dan tentu saja Eva
segera mengangguk setuju.
Aku hanya memandang Stacy, "Tapi biasanya karcis baru akan
dijual di hari penyelenggaraannya," kilahku.
"Ya," Katie menimpali, "untuk apa nambah-nambahin kerjaan
dengan jual karcis segala" Masih banyak yang bisa kalian lakukan
untuk persiapan bazar ini daripada menjual karcis."
Anak-anak yang lainnya pun setuju dengan pendapatku. Dan
akhirnya Eva serta Stacy menyerah. Mereka berdua sama sekali tidak
bergabung dalam seksi apa pun kecuali seksi hiburan dan atraksi.
"Nah Arizonna," sapa Stacy dengan suara manis yang dibuatbuat ketika rapat hampir selesai, "kau menyukai Acorn Falls atau
nggak?" Aku benar-benar nggak betah lagi berlama-lama di rumah Eva
sementara Stacy dengan gayanya yang centil dan memuakkan
mencoba menarik perhatian Arizonna. Karena semua telah disepakati,
kuputuskan untuk pulang. "Hm, kayaknya aku harus pulang nih," ujarku sambil berdiri.
"Aku juga ah," Randy, Katie dan Sabs mengikuti langkahku
keluar. Sambil pamitan kami pun meninggalkan rumah keluarga
Malone. "Allison Cloud!" panggil Arizonna ketika Randy baru saja
hendak membuka pintu keluar. Aku berbalik dan kulihat ia berlari
mengejarku, "Tunggu sebentar!"
Setibanya di hadapan kami, Arizonna menatap agak aneh ke
arah Randy, Katie dan Sabs, seolah kehadiran mereka agak
mengganggunya. Seolah-olah ia ingin bicara empat mata denganku.
Dan hal itu membuatku merasa tidak enak terhadap teman-temanku
yang lain. "Kalau begitu kita tunggu di luar saja, deh," ujar Randy yang
lebih dulu menyadari situasi. Didorongnya Katie dan Sabs keluar dan
ditutupnya pintu rapat-rapat.
"Allison Cloud," Arizonna mulai bicara, "aku minta maaf
karena tak dapat berbuat apa-apa tentang atraksi-atraksi si Stacy itu.
Tapi kurasa kita tak punya pilihan lain bukan?"
Aku mengangguk dan menatapnya dengan curiga. Pasti ada hal
lain yang hendak dikatakannya. Jika cuma mau ngomong soal itu
kenapa harus empat mata" Menatap matanya, aku merasa seperti
menatap birunya lautan. Biru dan jernih.
Kemudian Arizonna melangkah mendekatiku dan perlahan
menyentuh gelang persahabatan yang melingkar di pergelangan
tanganku. "Kau " kau " mau jalan-jalan denganku seusai bazar, hari
Sabtu depan?" tanyanya.
"Ap"apa ?" aku terbata-bata. Begitu terkejutnya sampai tak
bisa menjawab sepatah kata pun. Apa lagi tatapan matanya yang tajam
terus terarah padaku, membuatku jadi sulit berpikir. "Boleh aja ?"
ujarku akhirnya tanpa kusadari.
"Sungguh"! Wow!" teriaknya girang, "Akan kutelepon untuk
mengingatkanmu," sambil melambai dan tersenyum lebar ia kembali
masuk ke ruang tengah. Dengan kepala pusing tujuh keliling, aku membuka pintu dan
menemui Randy, Katie dan Sabs yang masih menungguku di luar.
Mereka kelihatan penasaran sekali.
"Apa yang diinginkannya?" tanya Sabs.
"Dia ngajak kencan!" ujarku lemah.
"Apa?" Randy, Katie dan Sabs berseru bersamaan.
Wajah Sabs kelihatan agak kecewa, sehingga aku langsung
menyadari kecerobohanku menceritakannya di depan Sabs. Aku mau
saja diajak kencan oleh cowok yang ditaksir habis-habisan oleh
sahabatku sendiri! Ah, betapa bodohnya aku.
"Seusai bazar hari Sabtu depan. Dan....aku bilang...."iya","
tambahku dengan hati gundah.
Aku pun melangkah mendahului teman-temanku. Melangkah
perlahan meninggalkan halaman rumah Eva Malone. Aneh ya, pagi
tadi aku bangun dengan begitu bersemangat dan gembira, nyatanya
sekarang aku merasa sangat sedih dan bingung.
BAGIAN LIMA " Ada apa Allison?" tanya Sabs sambil mengejarku. Ada sedikit
kekhawatiran membayang di wajahnya. "Kau kelihatannya nggak
senang mendengar ajakan Arizonna?"
Sebelum aku sempat menjawab, Sabs melanjutkan kalimatnya,
"Maksudku, mudah-mudahan saja kau tidak pusing memikirkan
perasaanku. Kurasa ajakannya adalah sesuatu yang hebat sekali."
"Tapi sebetulnya aku nggak mau berkencan dengannya, Sabs,"
tuturku. Sabs kelihatan lega mendengar penjelasanku, tapi sekarang
ganti Katie yang menatapku dengan curiga.
"Lantas kenapa kau bilang "Iya?"" tanya Katie sambil
memasukkan tangannya ke saku jaketnya.
Kutarik nafas panjang sambil berusaha memikirkan
jawabannya. "Kurasa " aku hanya tak ingin mengecewakannya atau
menyakiti perasaannya."
"Tapi kalau kau nggak mau, seharusnya tidak kau terima
ajakannya," Randy membela Katie.
Kelihatannya masalahnya tidak sesederhana itu. "Gimana dong,
aku sudah terlanjur bilang "Iya"," kilahku bingung, "jadi aku nggak
punya pilihan lain selain menepati omonganku. Aku benar-benar
nggak tahu bagaimana menolaknya, setelah terlanjur menyetujuinya."
"Susah juga kalau begitu," Sabs menunjukkan rasa simpatinya.
"Nanti malam akan kubaca majalah-majalahku, deh. Siapa tahu ada
artikel tentang cara mengatasi masalah seperti yang kau hadapi
sekarang." "Trims," sahutku. Sabs berlangganan banyak sekali majalah,
tapi kurasa tak satu artikel pun yang dapat menolongku. "Kau tahu,
aku rasa Arizonna anak yang baik dan aku senang menjadi temannya,
tapi." "Ya Tuhan!" seru Sabs yang tiba-tiba teringat sesuatu,
"Bagaimana dengan Billy?"
Aku sama sekali belum memikirkan hal itu. Tapi setelah Sabs
menyebut nama Billy, aku makin merasa nggak enak lagi jadinya.
"Benar," ujar Katie, "sekarang saja Billy sudah marah padamu.
Bukankah menurutmu Billy mengundurkan diri dari panitia bazar ini
karena dia mengira kau menyukai Arizonna?"
Aku mengangguk. Billy tak mungkin dapat menerima
kenyataan bahwa aku berkencan dengan Arizonna.
"Cuma ada satu cara yang bisa kau tempuh Al," ujar Randy
seraya mendekatiku. "Aku tahu, aku tahu," seruku gugup sambil mengira-ngira apa
maksud Randy dan mempertimbangkan beranikah aku melakukannya.
"Aku harus membicarakannya langsung dengan Billy."
Bola mata Sabs langsung melebar mendengarnya. "Kamu serius
nih?" Aku mengangguk. "Billy adalah temanku dan aku tak ingin dia
salah paham. Billy harus tahu bahwa semua ini bukan masalah besar."
"Tindakan yang tepat," Katie setuju dan menganggukkan
kepalanya. Randy melompat ke atas skateboard-nya dan mulai meluncur
menyusulku, "Nah, kapan kau akan menemuinya?" tanyanya.
Aku menghentikan langkahku untuk berpikir. Aku tahu,
semakin ditunda, akan semakin menambah kesulitan, "Sekarang
juga," ujarku mantap.
"Waah! Kau mau ditemani?" tanya Randy.
Sebetulnya aku akan merasa lebih tenang jika ditemani, karena
bagiku hal ini benar-benar sulit dihadapi. Tapi, aku juga yakin harus
melakukannya sendiri. "Nggak perlu," sahutku. Aku berhenti dan
menjelaskan pada teman-temanku, "Billy tinggal tak jauh dari sini.
Sebelum aku mengubah keputusanku lebih baik kulakukan sekarang
juga." "Semoga sukses Al," lambai Katie seraya menepuk bahuku.
"Kirim-kirim khabar secepatnya ya?" ujar Sabs.
"Tentu," anggukku, "begitu tiba di rumah akan kukhabari kalian
semua." "Oke," sahut Sabs. "Doaku bersamamu Al!"
"Daah" lambai Katie.
"Ciao!" timpal Randy.
Dan berlalulah mereka bertiga. Kulangkahkan kakiku perlahanlahan sambil menyusun kata-kata untuk kusampaikan pada Billy.
Tanpa kusadari, tahu-tahu aku sudah tiba di depan rumah Billy di
Jalan Callahan Drive, sementara aku belum menemukan kata-kata
yang tepat. Kuputuskan untuk berjalan mengitari blok itu beberapa kali dan
memberikan waktu lebih banyak lagi untuk diriku. Tapi aku khawatir,
jangan-jangan Billy mengintip lewat jendela rumahnya. Malu-maluin
aja, kan" Karena itu akhirnya kuputuskan untuk langsung masuk saja.
Sambil menegapkan bahuku, kunaiki tangga teras rumahnya
lalu kutekan belnya. Tak lama kemudian, Billy sendiri yang
membukakan pintu! "Hai Billy," sapaku sambil berusaha tersenyum. Kuamati baikbaik wajahnya untuk menebak suasana hatinya kira-kira saat ini. Tapi
sulit juga, soalnya terhalang kawat pembatas pintu.
"Allison?" tanya Billy tak percaya. "Ngapain kamu ke sini?"
Kutarik nafas panjang sebelum menjawabnya. "Aku harus
bicara denganmu," terdengar suaraku agak bergetar dan hal itu
membuatku semakin tegang saja.
"Masuklah," ujar Billy. Ia membuka kawat pembatas pintu dan
membukakan pintu saat aku melangkah masuk.
Dari tatapannya, aku tahu Billy agak cemas dan penasaran, tapi
yang diucapkannya hanya, "Ada apa" Mau minum?"
Kuanggukkan kepala sambil menyesali ajakan Arizonna. Aku
pun menyesal telah menjawab "Iya". Akibatnya aku harus menghadapi
kenyataan yang serumit ini.
"Billy," aku mulai berbicara. Tapi sekonyong-konyong
kalimatku terhenti dan kepalaku tertunduk menatap tanganku. Kutarik
lagi nafas dalam-dalam kuhembuskan lagi kuat-kuat, "Arizonna
mengajakku kencan dan aku telah menjawab "Iya"."
Kuangkat mataku dan kulihat bola matanya berubah menjadi
semakin kelabu dan tatapannya kian tajam. "Lantas" Apa yang kau
inginkan dariku" Medali penghargaan?" tanyanya sinis sekali.
"Billy " "Ngapain sih kamu datang ke mari, Allison?" tukasnya galak,
"Untuk apa" Kau mau membuatku cemburu?"


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Billy....," kucoba sekali lagi untuk menjelaskannya tapi ia terus
saja berteriak-teriak memarahiku.
"Aku nggak peduli. Untuk cemburu seseorang itu harus peduli
bukan" Nah asal kau tahu saja aku tidak peduli!"
Sesudah itu, Billy memasukkan tangannya ke dalam saku jeansnya dan lari meninggalkan rumah. Ditinggalkannya aku sendirian di
ruang tamu rumahnya. Mataku terkedip saat terdengar suara pintu
dibanting. Rasanya seperti habis ditampar oleh Billy!
Tiba-tiba saja aku jadi berbalik marah. Aku mengerti, ia terluka,
tapi mengapa ia tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan"
Sungguh tidak adil. Aku langsung berlari mengejarnya. "Billy!"
panggilku saat melihatnya tengah berjalan di jalan setapak, "Tunggu!"
Ia sama sekali tidak menoleh atau memperlambat langkahnya.
Namun aku tak akan menyerah begitu saja. Kali ini, aku harus
memaksanya mendengar penjelasanku. Aku berlari secepat mungkin
dan akhirnya berhasil menyusulnya di ujung Jalan Callahan.
Billy tentu mendengar langkahku, sebab tiba-tiba saja ia
menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya menghadap ke
arahku. "Apa lagi maumu, Allison?" tanyanya dengan suara sedingin
es. "A....aku harus menjelaskan sesuatu," ujarku terengah-engah.
Ia melipat tangannya di depan dada. "Apa lagi yang harus
dijelaskan?" tanyanya masih dengan suara sedingin es, "Kan sudah
kubilang, aku tidak peduli! Jadi sebaiknya kau tinggalkan saja aku
sendirian. Kau kan bisa mencari teman cowok baru!"
Lalu kembali ia melangkah pergi meninggalkanku. Aku berdiri
mematung dengan marah dan putus asa.
Tiba-tiba kemarahanku serasa meledak, "Aku harus
menjelaskan!" teriakku sambil berkacak pinggang. "Dan kau harus
mendengarkan penjelasanku! Sesudah itu terserah apa yang akan kau
lakukan, oke?" Teriakanku itu akhirnya membuatnya berhenti dan tertegun
Cheng Hoa Kiam 13 Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga 6
^