Pencarian

Bumiku Cintaku 2

Girl Talk 14 Bumiku Cintaku Bagian 2


menatapku. Kurasa, ia sedikit terkejut mendengar ucapanku yang
cukup keras dan tidak seperti biasanya itu. Aku sendiri kaget
mendengar suaraku yang penuh kemarahan dan melengking itu.
"Aku hanya ingin kau tahu," aku mulai dengan suara yang lebih
lembut, "aku menyetujui ajakan Arizonna hanya karena aku tak ingin
melukai hatinya. Aku benar-benar menyukai Arizonna "
Dapat kulihat Billy mengatupkan rahangnya karena geram
mendengar kalimatku yang belum selesai.
"....sebagai teman!" kuselesaikan penjelasanku. "Aku senang
dapat berkenalan dengannya, tapi aku tak pernah mengira ia akan
mengajakku berkencan. Dan waktu itu aku begitu terkejut sehingga
hanya dapat menjawab "Iya". Padahal aku tidak sungguh-sungguh
ingin pergi dengannya."
Billy menatapku dengan curiga. "Kenapa begitu?"
"Karena kau!" sahutku spontan sambil menundukkan kepala.
Tiba-tiba saja aku merasa malu dengan jawabanku itu. Billy
tentu tak akan pernah mau mengerti alasanku untuk pergi bersama
Arizonna. Sekarang aku akan kehilangan Billy, kehilangan seorang
teman dan aku telah mempermalukan diriku sendiri dengan mencoba
menjelaskan segalanya. Rasanya aku ingin menangis sekarang
Sedetik pun aku tak tahan lagi berhadapan dengan Billy. Semua
ini terlalu memalukan. Kuputar tubuhku dan segera melangkah pergi
secepat mungkin sementara kurasakan air mata mulai mengaliri
pipiku. "Allison!" kudengar Billy memanggilku, tapi aku terus berlari.
Aku tak ingin menghadapi kenyataan yang lebih buruk lagi.
"Allison! Tunggu!" panggil Billy lagi. Sebelum kusadari, tibatiba Billy sudah berada di sampingku.
Aku melirik ke arahnya dan mencoba menghapus air mata yang
membasahi pipiku dengan telapak tanganku.
"Jadi, apakah kau sudah bisa mengatasi masalah konsumsi
untuk bazar Mawas Lingkungan kita?" tanya Billy.
"Apa?" aku balik bertanya, menghentikan langkahku dan
menatapnya. Sekarang aku benar-benar bingung, sebab sama sekali
tidak menduga Billy akan mengucapkan hal itu.
"Mampukah kalian semua memenuhi kebutuhan seluruh anak
kelas tujuh yang akan menghadiri bazar?" Billy mengulang sambil
tersenyum. Untuk pertama kalinya selama seminggu ini, ia bicara
dengan nada normal padaku.
"Mh....sebenarnya sih belum, Bill," sahutku. Sungguh aku tak
tahu, apa lagi yang harus kukatakan.
"Jangan dipikirkan lagi Allison, " ia menatapku dengan
pandangan bersungguh-sungguh, kemudian berpaling ke arah lain.
Sambil membersihkan sol sepatunya di pinggiran trotoar, ia
melanjutkan kalimatnya, "Aku mengerti tentang Arizonna. Maafkan
tindakanku yang menyebalkan selama ini." Kemudian ia menarik
ujung kepang rambutku. "Nah....sekarang gimana dengan masalah
konsumsi bazar kita."
Aku hanya menatapnya dengan lega bercampur bingung. "Billy,
apakah kau hendak mengatakan bahwa kau sudah mengubah
pikiranmu dan kembali membantu kami?"
"Tentu," sahutnya seraya tersenyum, "menurutku, cara terbaik
untuk menggunakan dana yang hanya 200 dollar itu adalah dengan
membuat makanan sendiri."
Aku menatapnya dengan tidak percaya, "Apakah menurutmu
kita mampu" Kita harus membuat banyak sekali makanan lho."
"Tapi biayanya kan murah. Tinggal mencampur-campur saja
kan" Aku yakin kita bisa!" jawabnya. "Aku bisa membantu
berbelanja, memasak dan sebagainya. Yang penting, kita harus
memilih makanan yang kira-kira disukai anak-anak. Dan makanan itu
harus alami, kau ngerti kan?"
Setelah mendengar penjelasannya, aku dapat menangkap apa
yang dimaksudnya. "Mungkin kau benar," ujarku setelah berhenti
sebentar dan berpikir, "akan kutelepon Randy malam ini. Soalnya dia
yang bertanggung jawab soal konsumsi."
Sambil menarik lenganku, Billy tersenyum dan berkata, "Yuk
kita pulang dan lihat makanan apa yang disiapkan ibumu untuk malam
ini. Mudah-mudahan ayam goreng. Dan mungkin aku bisa membujuk
ibumu agar menawariku."
Aku tertawa mendengarnya. Kubalas remasan tangannya. Ibu
sudah amat mengenal Billy dan Billy pun sering ikut makan bersama
keluargaku. Tentu saja ia tak perlu membujuk ibu lagi.
Sambil melangkah kami berdua membisu. Dan aku merasa
begitu menikmatinya. Meskipun demikian tetap saja aku masih
memikirkan Arizonna. Aku tahu, aku hams mengatakan yang
sejujurnya pada Arizonna " yaitu bahwa aku sebetulnya tidak ingin
berkencan dengannya. Aku hanya ingin bersahabat saja.
Tapi aku tak tahu bagaimana cara menyampaikannya agar tidak
menyinggung atau melukai perasaannya. Kadang-kadang hidup ini
memang penuh problema dan sedikit rumit juga, ya" Dan yang saat ini
kuhadapi, adalah salah satu kerumitan dalam hidupku.
BAGIAN ENAM Allison menelpon Randy malam itu.
RANDY : Buona sera. ALLISON : Randy" RANDY : Apa khabar Al" Gimana" Berhasil nggak"
ALLISON : Hai Randy. Berhasil dengan baik sekali. Telah
kukatakan pada Billy semuanya dan akhirnya dia malah ikut makan
malam di rumahku. Baru saja dia pulang.
RANDY : Kau mengatakan padanya bahwa kau akan nonton
bersama Arizonna dan Billy malah bersedia makan malam di
rumahmu" Yang bener saja ah.
ALLISON : (Tertawa geli) Yah, mulanya sih dia marah juga
sedikit " RANDY : Cuma sedikit" Ayolah Al, jangan main-main dong.
ALLISON : Yah, waktu kukatakan semuanya, Billy lari keluar
rumahnya dan meninggalkan aku sendirian di ruang tamu rumahnya.
Tapi kukejar dia RANDY : Kau mengejarnya" Aku rasanya nggak percaya deh.
Benarkah kamu juga bisa marah"
ALLISON : Sedikit, sih. Setelah aku berhasil mengejarnya,
kujelaskan bahwa aku sebetulnya nggak bener-bener kepingin pergi
sama si Arizonna. Aku bilang "Iya" hanya karena tak ingin
menyinggung Arizonna. RANDY : Cuma itu" ALLISON : Kayaknya cuma itu tuh. Setelah itu Billy minta
maaf atas sikapnya yang kasar selama ini dan katanya sih dia bisa
mengerti. Lantas ia menanyakan masalah konsumsi bazar Mawas
Lingkungan kita. RANDY : (Mengerang) Uuuh, jangan ingatkan aku tentang soal
itu deh. Soalnya aku masih belum tahu jalan keluamya.
ALLISON : Sekarang sudah ada. Billy memberi gagasan yang
hebat sekali. Menurutnya, kita harus membuat sendiri makanan itu
dan tak perlu membelinya karena uangnya memang enggak cukup.
RANDY : Wah! Ide bagus tuh! Aku bisa minta ijin M untuk
menggunakan dapur di rumahku. Hari Jum"at siang kan kita diijinkan
absen untuk menyiapkan lapangan sepakbola. Berarti di jam bebas itu
kita bisa menyiapkan makanan juga. Akan kuberitahukan pada Sabs
dan Katie nanti. ALLISON : Eh, Randy, udahan dulu ya. Tugas bahasa
Inggrisku harus segera kukerjakan nih.
RANDY : Tugas itu kan masih dua minggu lagi dikumpulkan"
Oke deh, aku mengerti. Kau memang senang mengerjakan segala
sesuatu secepatnya. ALLISON : Oke. Kita ngomong-ngomong lagi besok ya"
RANDY : Iyalah. Aku senang mendengar kau dan Billy
kembali bersahabat. (Hening sesaat) Nah, sekarang apa yang akan kau perbuat terhadap si Arizonna"
ALLISON : Entahlah. Menurutku kurang baik jika aku pergi
kencan dengannya jika dalam hati sebetulnya aku lebih menyukai
Billy. Kurasa aku harus memberitahukan perasaanku yang sebenarnya
pada Arizonna. RANDY : Kapan kau akan memberitahukannya"
ALLISON : (Menghela nafas) Secepatnya
RANDY : Yah. Kalau begitu semoga beruntung.
ALLISON: Trims Randy. Daahh
RANDY : Ciao. Randy menelpon Sabrina. SAM : Yap'. RANDY : Samuel! Ini Randy nih. Sabrina ada"
SAM : Oh hai Rand. Sebentar ya
(Randy menunggu,) SABRINA : Randy" Sudah dapat khabar dari Allison" Apakah
semua berjalan lancar" Si Billy marah nggak" Apa yang teijadi sih"
Allison baik-baik saja kan"
RANDY : Nafas dulu dong Sabs, jangan bertubi-tubi gitu ah.
Masa kau menanyakan segitu banyak pertanyaan tanpa bernafas sih.
SABRINA : Iya deh iya, aku nafas nih. Nah ceritakan padaku
apa yang telah terjadi. RANDY : Oke, oke. A1 menceritakan tentang kencannya
dengan Arizonna dan Billy kemudian ikut makan malam di rumah Al.
Baru saja dia pulang tadi.
SABRINA : Cuma itu" Itu saja yang teijadi"
RANDY : Yah, kurasa Billy mulanya sedikit marah juga
sampai-sampai ia meninggalkan Allison bengong di ruang tamu
rumahnya. A1 mengejarnya dan memaksanya untuk mendengarkan
penjelasannya. Dan Billy akhirnya mau juga mendengarkan.
SABRINA : Allison mengejar Billy" Wah.
RANDY : Yap! Katanya sih dia juga agak jengkel saat itu.
SABRINA : Allison" Bisa marah juga ya tuh anak" Lucu ya"
RANDY : Kurasa kemarahannya tidak bertahan lama. Hei,
ngomong-ngomong Billy punya usul cemerlang. Kita kan bisa
menyiapkan makanan itu sendiri. Nggak usah beli.
SABRINA : Hei! Kau benar. Kok kita nggak terpikir sih" Ide
yang bagus tuh! RANDY : Bagus kan idenya" Aku sudah minta ijin pada M, dan
kita boleh memasak di rumahku. Malah M akan mengantar aku, Katie
dan Billy berbelanja hari Rabu besok.
SABRINA : Apakah itu berarti Billy kembali ikut membantu
kita" RANDY : Iya dong. Sekarang semua sudah kembali seperti
semula. Tapi Allison masih bingung memikirkan cara menyampaikan
pembatalan kencan itu pada Arizonna.
SABRINA : Memberitahukan bahwa ia lebih menyukai Billy,
begitu" RANDY : Secara nggak langsung begitu. A1 ingin
menyampaikannya tanpa perlu menyinggung perasaan Arizonna.
Ngerti nggak" SABRINA : Agak susahjuga ya. Tapi kalau.
RANDY : Eh Sabs, udahan dulu ya. Soalnya M hendak
menggunakan telepon ini. M mau menilpon ke sanggar seni di Texas.
Kita ngomong-ngomong lagi nanti ya"
SABRINA : Iye deh. Daah RANDY : Ciao Sabrina menelpon Katie EMILY : Keluarga Campbell, Emily disini
SABRINA : Hai Emily, ini aku, Sabrina. Apa Katie ada di
rumah" EMILY : Hallo Sabrina. Tunggu sebentar ya. Aku akan
berusaha mencari Katie. (Sabrina menunggu) KATIE : Sabs" Ada apa" Allison sudah menilponmu"
SABRINA : Kok si Emily ngomongnya aneh banget sih"
KATIE : (Mengerang) Uhhh, kelihatannya ia memasuki tahap
kedewasaannya. Begitu kata Ibuku. Masa sekarang aku dipanggilnya
dengan nama lengkapku, Khaterine. Kuharap tahap itu segera berlalu
dari kehidupan Emily soalnya aku udah nggak tahan lagi
mendengarnya. SABRINA : Aku mengerti maksudmu. Biarpun baru bicara
sebentar dengan Emily, tapi aku sudah bisa membayangkan perasaan
jengkelmu kok. Eh, A1 sudah menceritakan soal kencannya bersama
Arizonna pada Billy. Mereka sudah damai sekarang tapi A1 masih
bingung memikirkan cara membatalkan kencannya tanpa membuat
Arizonna marah. KATIE : Jadi apa yang akan dilakukannya"
SABRINA : Aku nggak tahu. Randy tadi keburu menutup
telepon karena ibunya mau menggunakannya. Sedangkan aku belum
lagi sempat bicara dengan Allison sendiri.
KATIE : Kau tahu, seharusnya Arizonna mengenal lebih
banyak cewek lagi di sekolah. Jelas saja ia begitu memperhatikan
Allison, soalnya Arizonna kan anak baru yang belum punya banyak
teman. SABRINA : Wah, aku tak pernah memikirkan kemungkinan itu
lho. KATIE : Sabs, aku dapat ide!
SABRINA : Apa"Apa"
KATIE : Gimana seandainya Arizonna-lah yang justru
membatalkan kencan itu" Jadi A1 nggak usah pusing-pusing
memikirkan cara membatalkannya bukan"
SABRINA : Bagaimana caranya"
KATIE : Yah, bisa saja kan Arizonna tiba-tiba menyukai cewek
lain. SABRINA : Ya, bisa aja sih. Tapi siapa"
KATIE : Ah....kau kan menyukai Arizonna" Iya kan"
SABRINA : (Terkejut) Katie! (Cekikikan) Emang sih, aku
menyukainya. KATIE : Dan kau tak ingin melihatnya kecewa bukan"
Mungkin jika kau mengenalnya lebih baik lagi
SABRINA : Arizonna akan menyadari bahwa kencannya
dengan Allison sebenarnya bukan gagasan yang baik! Apakah
menurutmu akan berhasil" Maksudku, aku sih nggak keberatan untuk
mengenal Arizonna lebih dekat lagi. Oh....sebaiknya aku segera
memeriksa majalah-majalahku dan mencari sebanyak mungkin artikel
tentang berselancar. Sekarang aku akan menghubungi A1 dan
meminta pendapatnya tentang gagasan kita ini. Tapi gimana kalau dia
nggak setuju" KATIE : Tenanglah Sabs, ini sebuah gagasan yang bagus kok.
(Katie menghela nafas) Randy nggak ngomong apa-apa soal makanan
untuk bazar Mawas Lingkungan kita"
SABRINA : Oh iya! Hampir saja aku lupa! Billy mengusulkan
agar kita membuat sendiri makanan itu. Kedengarannya sih cukup
bagus ya" KATIE : Menurutmu, mungkinkah kita dapat membuat cukup
banyak" SABRINA : Aku yakin kita mampu. Aku masih tak percaya,
Stacy menghabiskan sebagian besar dana untuk menyewa atraksiatraksi jelek itu tanpa minta ijin lebih dulu pada kita
KATIE : Memang begitu sih sifatnya. Jangan sampai
mengacaukan pikiran kita Sabs. Biarin aja
SABRINA : Aku lega melihat Arizonna membela Allison dan


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyalahkan Stacy tadi siang.
KATIE : Kuharap saja anak-anak yang lain juga bersikap
seperti Arizonna. Tapi permainan yang disiapkan Allison memang
cukup menarik. Kudengar yang jadi bahan perbincangan anak-anak
adalah atraksi-atraksi Stacy.
SABRINA : Jangan khawatir tentang itu. Yang dinilai kan
isinya bukan kulitnya. KATIE : Hei, kata-kata mutiara yang bagus tuh. Akan kucatat
baik-baik dan tak akan kulupakan.
SABRINA : Sungguh" Kata-kataku yang pertama kali diingat
oleh orang lain padahal aku belum lagi jadi aktris beken.
(Katie tertawa) SABRINA : Yah, sebaiknya aku menilpon Allison sekarang.
Sudah malam nih. KATIE : Baiklah. Selamat malam Sabrina.
SABRINA : Daah Sabrina menilpon Allison.
ALLISON : Hallo, Allison Cloud di sini.
SABRINA : Al, ini aku, Sabrina. Randy baru saja menilponku
dan menceritakan tentang Billy dan Arizonna. Aku tak tahu apa
rencanamu untuk memberitahukan pada Arizonna tapi kurasa aku
punya gagasan yang bagus sekali.
ALLISON : Aku belum tahu meskipun aku yakin harus
mengatakannya. Yang jelas Arizonna pasti akan kecewa.
SABRINA : Ideku begini nih. Gimana kalau kau tak perlu
membatalkannya" ALLISON : Sabs! Aku harus membatalkannya. Rasanya nggak
adil jika aku membohonginya dan membohongi diriku sendiri.
SABRINA : Maksudku, gimana kalau Arizonna yang
membatalkannya" (Mereka berdua terdiam sesaat)
ALLISON : Arizonna yang membatalkannya"
SABRINA : Ya. Biarkan Arizonna yang membatalkan dan
memutuskan untuk berteman biasa saja denganmu.
ALLISON : Caranya" SABRINA : Seandainya ia menyukai cewek lain, bisa saja kan"
Aku dan Katie berpendapat, jika Arizonna mengenal cewek lain
mungkin ia akan mengubah pikirannya dan perhatiannya tidak lagi
selalu tertuju padamu. ALLISON : Tapi siapa" Dan bagaimana caranya"
SABRINA : Mh....aku orangnya.
ALLISON : Apa" Sabs, aku rasa aku jadi bingung nih sekarang.
Lebih baik kau jelaskan lagi deh dari awal.
SABRINA : Katie-lah yang mengusulkannya. Arizonna
memang imut-imut dan keren dan kurasa aku sendiri memang ingin
mengenalnya lebih dekat lagi. Menurut kami, jika aku mau berusaha
sedikit lebih giat lagi untuk mendekatinya....mh....nggak tahu ya Al.
Mungkin kau tidak setuju. Mungkin saja Arizonna tak akan pernah
tertarik dengan gadis seperti aku ya"
ALLISON : Sabs, kurasa Arizonna pasti akan menyukaimu jika
saja ia bisa mengenalmu lebih dekat. Tapi menurutku sih sebaiknya
aku tetap harus bicara langsung padanya untuk membatalkan kencan
hari Sabtu nanti. SABRINA : Tapi Al, jika rencanaku berjalan baik maka kau tak
perlu pusing dan Arizonna tak akan sakit hati. Juga Billy nggak akan
cemburu dan marah lagi. ALLISON : Gimana ya. SABRINA : Kita coba aja deh dan lihat hasilnya. Kalau sukses
berarti kau nggak usah cape-cape mikirin cara untuk menyampaikan
hal itu padanya kan" O ya, ngomong-ngomong aku sudah mendengar
gagasan Billy untuk konsumsi makanan di bazar kita. Olivia, Ibu
Randy, akan mengantarkan mereka berbelanja hari Rabu sepulang dari
sekolah. Artinya kalian berdua sudah baikan lagi kan"
ALLISON : Nggak tahu ya. Yang jelas dia mau kembali ikut
membantu persiapan bazar kita.
SABRINA : Bagus kalau begitu. Soalnya banyak sekali yang
harus kita kerjakan bukan" Eh udahan dulu ya. Aku ingat artikel yang
pernah kubaca di sebuah majalah terbitan bulan lalu tentang olahraga
berselancar. Aku pernah membaca, cara terbaik dalam melakukan
pendekatan adalah membicarakan kesamaan minat dan hobi.
ALLISON : Semoga sukses Sabs. Kuharap rencana ini berjalan
lancar. SABRINA : Aku juga berharap begitu. Sampai ketemu hari
Senin besok Al. ALLISON : Selamat malam Sabrina.
SABRINA : Selamat malam Al.
BAGIAN TUJUH "Apakah kalian sudah melihat Sabs hari ini?" tanya Randy
seraya menghampiri aku dan Katie saat jam pelajaran ketiga hari
Senin paginya. Katie menggelengkan. "Jam pertama tadi Sabs datang
terlambat, jadi aku nggak sempat bertemu dengannya di loker kami,"
katanya, "kenapa sih" Sabs masuk kan, hari ini?"
"Oh, tentu saja," komentar Randy seraya nyengir. "Dan kalian
harus melihat penampilannya!"
Tiba-tiba saja serasa ada yang menggelitik perutku. "Apakah ini
ada hubungannya dengan rencananya mendekati Arizonna?" tanyaku.
"Hallo Say!" tegur Sabs beberapa saat setelah ia masuk ke
ruang kelas kami. "Apa khabar?"
Sabs mengenakan t-shirt warna turkis yang ukurannya amat
besar dan celana pendek denim serta legging putih. Sebuah kacamata
hitam bergelayutan di sebuah tali oranye menyala yang melingkar di
lehernya. Ia pun mengenakan sepatu kets dengan warna senada.
Rambut ikalnya menyembul dari balik topi baseball kuning menyala
dan di bahunya diikatkannya sweater bertuliskan UCLA. Satu-satunya
yang tidak dimilikinya adalah kulit yang terjemur matahari.
"Apa kubilang, benar kan?" ujar Randy seraya mengacungkan
dua jari tanda "perdamaian" ke arah Sabs.
"Kelihatannya sekolah hari ini "oke" banget ya," ujar Sabs
dengan gaya bicara ala Arizonna sambil duduk di kursinya. "Cewekcewek sekalian," tambahnya sambil tertawa geli, "rencana kita
kelihatannya mulai berjalan dengan baik. Kebetulan tadi pagi aku
melewati rumah Arizonna dan akhirnya kita jalan bareng ke sekolah."
Katie menaikkan alisnya ke arah Sabs, "Yang bener aja.
Kebetulan lewat di depan rumahnya?"
"Wah Sabs," ujarku sambil melihat tulisan "Mendingan
berselancar daripada apa pun" yang tertempel di sepatunya. "Rupanya
kalau kau bermaksud mencocokkan minat dan hobi dengan seorang
cowok, kau benar-benar melakukan banyak perubahan ya?" Harus
kuakui Sabs kelihatan amat menarik sekali.
Sabs tersenyum lagi. "Waktu mengerjakan poster kemarin, aku
terus-menerus memasang kaset dari grup Beach Boys. Dan tadi pagi
kububuhkan sedikit garam dalam air mandiku supaya terasa seperti
sedang berenang di laut."
"Apakah kau terpaksa melakukan semua ini?" tanyaku,
"Mungkin sebaiknya aku memberitahukannya sendiri pada Arizonna
ya?" "Nggak ada masalah kok," jawab Sabs seraya mengenakan
kacamata hitamnya. "Sudah terlanjur kepalang basah Say. Kurasa itu
berarti aku menikmati apa yang kulakukan ini. Segala asesoris berbau
"selancar" ini kayaknya seru juga!"
Bel pun berbunyi dan Sabs duduk di kursinya dengan tegap
menghadap ke depan. Dilepaskannya kacamata hitamnya saat Bu
Staats memasuki ruang kelas.
Di tengah-tengah pelajaran bahasa Inggris, tiba-tiba Stacy dan
Eva memasuki kelas dan minta ijin pada Bu Staats untuk
mengumumkan sesuatu yang cukup penting.
"Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama," Stacy
memulai pengumumannya sambil menyibakkan rambut pirang ke
belakang bahunya, "bazar Mawas Lingkungan akan segera
diselenggarakan." Aku duduk dengan resah di kursiku. Kenapa Stacy
membacakan pengumuman tentang bazar kita" Selama rapat kemarin,
seingatku tak ada yang perlu diumumkan pada anak-anak.
"Karena tidak ada yang bertugas menjual karcis," lanjut Stacy
seraya menatap sok tahu ke arahku.
"Kamu ngomong apa sih Stacy?" tukas Randy agak keras
memotong kalimat Stacy. "Karcis akan dijual di hari yang sama. Kita
semua sudah menyetujuinya. Ingat nggak sih?"
"Tapi aku dan Eva memutuskan untuk menjualnya secepat
mungkin," sanggah Stacy.
"Memangnya kamu raja, seenaknya memutuskan sendiri," tukas
Sabs sambil berdiri. Sejenak ia melupakan aksen bicara ala Arizonnanya. "Kau dan Eva telah memutuskan sesuatu tanpa meminta pendapat
anggota panitia yang lain."
Eva menatap Stacy dengan gaya meremehkan protes Sabs dan
Randy. Seolah mereka tak peduli dengan pendapat anggota panitia
yang lain. "Kami sudah keliling di lima kelas dan menjual banyak
sekali karcis," ujar Eva sombong, "kurasa itu membuktikan bahwa
gagasan kami itu cukup bagus dan sukses."
"Dan saat makan siang nanti kita akan menjual lebih banyak
karcis lagi," lanjut Stacy.
Aku tahu, sepatutnya aku ikut bicara dan membela kedua
temanku. Tapi aku merasa tak enak ribut-ribut di tengah pelajaran
bahasa Inggris. Bu Staats mendehem beberapa kali, tapi anak-anak
lain tak menyadarinya karena terlalu asyik memperhatikan perdebatan
seru yang tengah berlangsung.
"Kalau benar kalian sudah menjual karcis, kalian bisa
menyerahkan uang hasil penjualan itu pada Al," ujar Randy. "Dia kan
ketua panitianya." Stacy menatapku dengan enggan sebelum berkata, "Dan aku
adalah wakil ketua panitia. Jadi kurasa akulah yang bertugas mengatur
soal keuangan. Lagi pula uangnya akan kubutuhkan untuk membayar
sisa sewa bom-bom car dan komidi putar dan yang lainnya."
"Kau tak berhak melakukannya!" seru Sabs sambil bangkit dari
kursinya. "Anak-anak! Tenang!" seru Bu Staats dengan suara lantang dan
tegas. "Cukup. Hentikan semua ini." Perlahan ia menatap Stacy, Eva,
Randy, Sabs, Katie dan aku satu persatu. "Saya rasa adalah hal yang
patut dibanggakan. Kalian semua amat memperhatikan lingkungan
kita. Tapi lebih dari sekedar mawas lingkungan, saya rasa sebagai
manusia kita pun harus hidup dengan damai, menjaga ketentraman di
bumi ini. Dan agaknya inilah masalah kalian."
Secara halus, beliau menyuruh Stacy dan Eva meninggalkan
kelas, "Saya harap kalian berdua mendiskusikan dulu segala sesuatu
dengan matang sebelum memasuki kelas dan membuat kegaduhan di
kelas-kelas berikutnya."
Sulit sekali bagiku untuk memusatkan perhatian pada pelajaran
selanjutnya. Biasanya aku begitu mudah mengkonsentrasikan pikiran
pada pelajaran. Aku terus memikirkan uang hasil penjualan karcis
yang kini berada di tangan Stacy. Stacy pasti akan menggunakan uang
itu untuk hal-hal yang tak berguna dan kami tak dapat melaksanakan
niat kami untuk mengadakan program-program daur ulang yang telah
kami jadwalkan. Setelah pelajaran berakhir, kutinggalkan teman-temanku yang
lain. Aku ingin menyendiri beberapa saat. Segarnya alam bebas selalu
membantuku menjernihkan pikiran, maka aku segera keluar dari pintu
gerbang kiri sekolah kami. Tentu saja atraksi-atraksi itu tetap harus
dilunasi uang sewanya, pikirku. Kalau begitu, apa salahnya Stacy
yang menyimpan uang itu" Meskipun Stacy dan Eva memang
bersikap menjengkelkan, kurasa tak akan jadi masalah, sejauh mereka
benar-benar bisa menjual karcis sebanyak mungkin. Makin banyak
uang yang masuk, makin baik untuk rencana-rencana dan persiapan
selanjutnya yang memang membutuhkan biaya.
Dalam beberapa menit saja perasaanku sudah menjadi kembali
tenang. Aku pun beranjak ke loker untuk meletakkan buku-bukuku.
Ketika aku baru membuka loker, kudengar suara Arizonna menyapa
dari belakang. "Allison Cloud," ujarnya.
Kupalingkan wajah dan kulihat ia tersenyum padaku.
"Hai Arizonna," jawabku sambil meletakkan buku-bukuku dan
mengambil bekal makan siangku. Aku tahu selalu merasa salah
tingkah dan tidak bisa menjadi diriku sendiri bila berada di dekatnya.
Dan aku jadi semakin yakin. Acara kencan itu sama sekali bukan
gagasan yang baik. Tiba-tiba saja aku merasa harus mengatakan hal
itu padanya sekarang, saat kami berhadap-hadapan berdua seperti ini.
Ketika aku selesai mengambil bekal makan siangku, tiba-tiba
kulihat Arizonna sudah memegang sebuah gelang persahabatan yang
lain lagi, "Sahabatku mengirimkan ini dari L.A.," ujarnya sambil
memberikannya padaku, "baru kemarin kuterima. Aku ingin kau
memilikinya." "Tapi kau sudah pernah memberiku," protesku sambil
mengangkat lengan kiriku untuk menunjukkan gelang persahabatan
darinya yang melingkar di pergelangan tanganku. Tapi Arizonna
nekad. Tiba-tiba saja ia sudah mengikatkan gelang itu bersebelahan
dengan gelang pertama! "Nggak ada salahnya kan memakai gelang agak banyak,"
ujarnya. Wah....bagus sekali Allison, pikirku bingung. Sekarang,
bagaimana caranya kau akan membatalkan kencan itu"
"Mh....Arizonna," ujarku perlahan. Tapi aku tak dapat
melanjutkan kalimatku. Ia menyibakkan rambutnya dari matanya dan menatapku tajam.
"Aku tak sabar menunggu kencan denganmu. Hari Sabtu nanti kita
akan nonton bersama kan?" lanjutnya.
Aku cuma membuka dan menutup mulutku beberapa kali
sebelum akhirnya bisa mengeluarkan suara, "Mh....trims untuk
gelangnya," ujarku datar.
Kututup lokerku dan kami mulai melangkah bersama menuju
kantin. Aku sekarang benar-benar merasa tak mampu membatalkan
kencan itu. Dan jika ia tidak membatalkannya berarti aku terpaksa
pergi dengannya. "Al! Arizonna!" seru Randy begitu kami memasuki kantin,
"Kami di sini!" Randy dan Katie duduk di sebuah meja di bagian agak
belakang. Kantin kelihatan agak ramai.
"Hallo semua!" sapa Randy saat kami menghampirinya dan
duduk. "Kau sudah siap untuk masak?" tanyanya sambil
mengeluarkan stik drum dari saku celananya dan mulai
memainkannya di atas meja. "Kita harus membuat banyak sekali
makanan lho." "Aku juga bisa membantu," ujar Arizonna sambil membuka
bekal makan siangnya. Dikeluarkannya sekarton sari jeruk dan
meletakkannya di hadapannya. "Kau juga akan ikut membantu kan
Allison Cloud?" Aku mengangguk. "Dan sepertinya semua anak juga harus ikut
membantu." Meskipun barangkali hari Sabtu nanti aku terpaksa pergi
bersama Arizonna, aku tak ingin memberikan kesan bahwa acara
masak-memasak itu juga merupakan kencan bagi kami berdua.
Ketika itulah Sabs datang dan duduk di samping Arizonna.
Arizonna terpana melihat Sabs dan tersenyum lebar. "Hai Sabs!
Apa khabar?" "Kau mau nonton lomba nasional hari Minggu di televisi?"
tanya Sabs pada Arizonna sambil membuka karton susunya dan


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneguknya sedikit. Randy tertegun mendengar pertanyaan Sabs. "Lomba nasional
apa?" tanyanya ingin tahu.
"Itu lho, lomba selancar profesional di Hawaii yang akan
disiarkan di televisi," Arizonna yang menjelaskannya sambil
menyibakkan rambutnya, "pertandingan besar tuh!"
"Tentu saja," timpal Sabs sambil mengangguk setuju.
Arizonna kembali memperhatikan Sabs, dan kurasa Arizonna
mulai merasa sedikit tertarik melihat penampilan dan minat Sabs yang
sama dengan dirinya. Mata pucatnya yang biru berbinar sedikit, "Aku
tak pernah menduga kau juga menyukai olahraga selancar Sabs,"
ujarnya. "Wah aku suka sekali," jawab Sabs.
"Kau tahu, sahabat-sahabatku di L.A. sekarang ini rata-rata
bergabung dalam tim nasional," kata Arizonna.
"Tim nasional kami masuk di urutan kelima kalau tidak salah,"
lanjutnya lagi. "Mereka selalu mengajakku ikut menjadi peselancar
profesional." Sementara Arizonna dan Sabs asyik ngobrol, Randy mendekati
Katie dan berbisik "Kok bisa ya, Sabs tahu banyak tentang olahraga
selancar secepat ini?"
"Tentu saja dari majalah-majalahnya," sahutku sambil
tersenyum. "Tapi coba kau perhatikan, ia begitu bersungguh-sungguh
seperti, eh, seperti sungguhan!"
"Dasar calon aktris," bisik Randy sambil tersenyum.
"Apa khabar Allison?" tanya Billy yang menghampiri kami dan
bergabung di meja yang sama.
Diberikannya sebuah apel sambil berkata, "Aku sudah makan
satu, yang satu lagi untukmu ya?"
"Oh, hai Billy," sahutku seraya menerima apel pemberiannya,
"trims." Aku merasa amat bahagia karena keadaan kembali normal
seperti semula. "Ada apa dengan Sabs?" tanya Billy heran seraya menatap
Sabrina yang duduk di ujung meja.
"Ia dan Arizonna baru saja menemukan beberapa kesamaan
minat dan hobi," Randy menjawab sambil berbisik ke telinga Billy.
"Ya. Olahraga selancar," tambah Katie sambil tertawa geli.
"Aku nggak pernah tahu kalau Sabs menggemari olahraga itu,"
komentar Billy. Aku, Randy dan Katie saling bertukar pandang dan akhirnya
pecahlah tawa kami bertiga.
"Yah, nyatanya sekarang dia tergila-gila pada olahraga selancar
tuh....," ujar Randy berusaha mengendalikan tawanya.
Kami melewatkan waktu siang itu untuk membicarakan menu
yang akan kami sajikan di bazar nanti. Kuharap, akan lebih banyak
lagi yang ikut membantu " soalnya jumlah anak-anak kelas tujuh
yang akan menghadiri bazar banyak sekali. Teman-temanku
kelihatannya begitu bersemangat membicarakan hal itu, kecuali Sabs
dan Arizonna. Yah, aku tahu mereka pun bersemangat mempersiapkan
bazar, tapi ada hal lain yang lebih menarik bagi mereka sekarang. Saat
kami berdiskusi, mereka berdua kelihatan tidak begitu banyak
menimpali. Mereka lebih asyik membicarakan soal laut, pantai dan
selancar daripada memperhatikan diskusi kami.
Aku pun mulai merasa, segala rencana akan berjalan dengan
lancar sekarang. Tapi kenapa masih ada sedikit keraguan di benakku"
BAGIAN DELAPAN Sepanjang minggu, aku begitu sibuk mempersiapkan bazar
sehingga aku tak punya waktu lagi untuk memikirkan janji kencanku
hari Sabtu dengan Arizonna.
Setiap hari sepulang sekolah, aku membantu Sabs dan Randy di
ruang olahraga. Mereka mengerjakan poster raksasa tentang
kehidupan hutan yang dihancurkan manusia. Dan di waktu yang lain,
kami sibuk menempelkan poster-poster buatan Sabs, juga
mempersiapkan permainan dan acara hiburan lainnya.
Merencanakan permainan tidaklah terlalu sulit untuk dilakukan.
Arizonna dan Laurel datang ke rumahku hari Selasa sore dan kami
pun membicarakan beberapa jenis permainan suku bangsa Indian yang
lain, yang kudapat dari orangtua, kakek dan nenekku. Dan kami
memutuskan permainan-permainan apa saja yang sekiranya dapat
dilakukan selama bazar berlangsung nanti. Tadinya aku khawatir
mereka menganggap semua permainan ini konyol tapi kelihatannya
mereka sungguh bersemangat dan amat tertarik.
Makanan untuk bazar agaknya menjadi bagian yang cukup
menyita waktu persiapan. Karena dia yang mengusulkan untuk
membuat sendiri, maka Billy pun bergabung dengan Randy dan Katie,
sehingga tak dapat membantuku menyiapkan permainan. Mereka
pergi berbelanja bersama Ibu Randy hari Rabu siang. Hari Jum"at
kami merencanakan berkumpul di rumah Randy jam 6 untuk
menyiapkan segala makanan.
"Apakah menurutmu sudah cukup banyak?" tanya Katie
khawatir hari Jum"at pagi saat ia bersama aku dan Randy berdiri di
hadapan sederet bahan makanan di meja dapur Randy. "Kelihatannya
sih nggak cukup untuk semua anak kelas tujuh."
"Jangan khawatir Katie," sahut Randy sambil mengeluarkan
mangkuk-mangkuk, penggorengan dan mixer dari almari dan
meletakkannya di sudut meja.
Kuambil sebotol madu dan sirup maple pembelian mereka dan
meletakkannya di atas meja, di antara bahan-bahan lainnya. "Aku
mulai tegang, nih," kuakui, "maksudku, bagaimana kalau perkiraan
Stacy benar dan anak-anak hanya datang untuk mengunjungi atraksi
bom-bom car, komidi putar dan jet coaster-nya saja" Bukankah siang
tadi kalian lihat sendiri, anak-anak asyik memperhatikan persiapan
atraksi-atraksi itu di lapangan bola?"
"Kau benar," Randy ikut mengakuinya, "tak seorang pun yang
memperhatikan persiapan kita di sana, tadi."
"Jangan takut deh Al," ujar Katie, "maksudku, kita kan nggak
mengumumkan soal atraksi itu dalam poster-poster kita. Kita hanya
menyinggung soal lingkungan dan dari teman-teman yang kujumpai
hari ini, aku berani menyimpulkan mereka amat tertarik untuk
menghadiri bazar kita."
Kuharap apa yang dikatakan Katie benar-benar terjadi, "Di
mana yang lainnya?" tanyaku.
Katie dan Randy bertukar pandang dan tertawa kecil.
"Arizonna diundang makan malam bersama keluarga Wells,
malam ini," ujar Katie.
"Benarkah?" tanyaku. Untuk pertama kalinya sejak awal
minggu ini, aku teringat akan janji kencanku besok.
"Yap!" tukas Randy. "Ia dan Sabs telah menghabiskan banyak
waktu berdua." Aku senang mendengar mereka berdua semakin intim, tapi
Arizonna tetap belum membatalkan kencan itu. Ia belum mengatakan
apa-apa padaku. Semakin aku memikirkannya, semakin aku tak ingin
pergi dengannya. Sambil menghela nafas, kusiapkan mesin pembuat sari buah
Randy di ujung meja dapur. "Kurasa sebaiknya kita mulai membuat
sari buah dari buah-buahan ini," kataku sambil menunjuk lusinan
wortel segar yang tertumpuk di samping mesin itu. Aku amat terkejut
melihat sari buah yang keluar. Aku tak pernah mengira sebelumnya
bahwa warna air wortel begitu kuning seperti air jeruk!
Saat aku mulai mengeluarkan wortel dari kantung yang kedua,
terdengar bel pintu berbunyi.
"Biar kubukakan!" terdengar suara Ibu Randy yang muncul dari
belakang rumah. Olivia, Ibu Randy, adalah seorang seniman, maka beliau
membutuhkan tempat yang luas untuk bekerja. Karenanya beliau
membeli sebuah lumbung yang besar untuk ditinggalinya bersama
Randy. Bagian dalam lumbung itu direnovasi menjadi sebuah rumah
biasa. Kamar tidur Randy sendiri amat unik karena terletak di bagian
semacam panggung dan studio Olivia terletak di bagian paling
belakang. "Hai, Olivia," terdengar suara Sam ketika Ibu Randy
membukakan pintu. "Hai cowok-cowok," sahut Olivia seraya mempersilahkan Sam,
Nick dan Jason masuk. Nick langsung meringis saat masuk ke dapur, "Apakah kalian
yakin kita nggak perlu membuat hot dog atau burger?"
"Jangan macem-macem deh Nick!" sergah Katie sambil
mengacung-acungkan sendok kayu ke arah Nick dengan galak.
Nick mengangkat tangannya tanda menyerah.
"Oke....oke....tenang."
"Apa yang bisa kami bantu?" tanya Jason.
Randy memperhatikan anak-anak cowok itu,
"Lho Sabrina dan Arizonna mana?"
"Kami di sini!" sera Sabs beberapa saat setelah ia dan Arizonna
masuk. Sabs langsung menghampiri kami, "Sudah terlambatkah
kami?" Kugelengkan kepalaku. Sabs adalah tipe orang yang selalu
ingin tiba tepat waktu supaya bisa mengetahui semuanya. "Kita baru
saja mulai kok," ujarku.
"Hallo semua!" tegur Arizonna saat memasuki dapur dan
menyalami aku, Katie dan Randy dengan gaya yang unik:
menepukkan telapak tangan. Ia sama sekali tak mengatakan sesuatu
yang khusus untukku. Tak seperti biasanya.
"Nah, sekarang apa yang dapat kami lakukan?" tanya Sabs.
Kulihat Sabs mengenakan topi baseball Arizonna dan Sabs
mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi ke arahku ketika Arizonna
menghadap ke arah lain memunggunginya. Kelihatannya sih
semuanya berjalan sesuai rencana. Aku merasa gembira karenanya,
tapi tetap saja aku merasa aneh jika aku tidak menyinggungnyinggung soal kencan besok dengan Arizonna.
"Nah, kita harus menyediakan sari buah dan sari sayur-sayuran
tanpa minuman soda sama sekali," Katie menjelaskan, menjawab
pertanyaan Sabs, "bagaimana kalau kau dan Arizonna memulainya
dengan mengupas pisang serta memeras jeruk dan lemon?"
"Oke anak-anak, kita mulai bekerja!" timpal Randy.
Dinyalakannya tape recorder-nya yang terletak di salah satu sudut
dapur dan diketuk-ketukkannya jarinya ke meja dapur saat lagu mulai
berkumandang. Kemudian Randy mengambil sebuah palu dan
diberikannya kepada Nick.
"Untuk apa ini?" tanya Nick yang terbengong-bengong
memandangi benda itu. Katie memberikan sekaleng kacang yang belum dikupas pada
Sam serta sebuah kantung plastik, "Kalian berdua harus memecahkan
kulit kacang ini untuk bahan pembuat kue brownies," ia menjelaskan.
"Dengan sebuah palu?" tanya Nick.
"Tepat sekali," sahut Randy, "letakkan kacang yang sudah
dikupas ke dalam kantung plastik dan pukul dengan palu. Kacang itu
harus dihancurkan tapi jangan sampai terlalu lumat ya."
Jason menatap Sam dengan jenaka, "Perhatikan baik-baik
perintahnya ya," ujarnya berkelakar.
"Baiklah Tuan McKee," ujar Katie sambil memberikan sebuah
kartu resep pada Jason, "kurasa kau bisa mengerjakan kue brownies
ini. Ini resepnya dan di sana ada mixer. Sedangkan bahan-bahannya
kau cari saja sendiri di meja ini."
"Lho, kok nggak pake gula sih?" tanya Jason setelah membaca
resep kue itu. "Soalnya kue brownies kita menggunakan pemanis alami
seperti sari buah, sirup maple dan madu," sahutku, "juga terbuat dari
tepung gandum. Benar-benar brownies yang alami. Supaya sesuai
dengan tema Mawas Lingkungan kita kan?"
"Entahlah Al," timpal Sam sambil memukul-mukulkan palunya
ke atas kacang, "kedengarannya sih nggak enak sama sekali."
"Sam, kau kan pernah makan kue semacam ini," sanggah Sabs,
"waktu Randy, Katie dan Al menginap di rumah kita tempo hari,
Randy membawa kue seperti ini dan kau ikut makan!"
Sam melotot seperti orang habis tercekik. "Kita telah mencicipi
kue brownies alami?" tanyanya panik, "Kok aku masih hidup sampai
sekarang, ya?" Sabs menggulung matanya dan menjelaskan, "Rasanya nggak
jauh berbeda dengan brownies biasa " hanya saja lebih kental
mungkin." Anak-anak cowok kelihatan masih ragu, tapi mereka
melanjutkan pekerjaan masing-masing. Sambil mengangguk puas,
Randy menoleh pada Katie dan berkata, "Sebaiknya kita segera
mengerjakan pizza sekarang. Kau mau memarut kejunya?"
Tiga setengah jam kemudian, kue brownies telah siap, diiris dan
dimasukkan dalam kotak-kotak karton; keempat dispenser yang kami
pinjam dari Fitzie"s pun telah penuh dengan sari wortel, lemon, sari
tomat dan celery serta sari jeruk. 12 pon keju mozzarella telah selesai
diparut dan harum saus pizza yang dibuat Randy mengepul di udara.
Nick dan Jason mencuci peralatan masak sementara Arizonna, Sabs
dan Katie masih memotong dan mengiris buah dan sayuran untuk
dijadikan salad buah. Salad itu akan kami tempatkan di wadah yang
terbuat dari belahan semangka.
Aku dan Sam membuat pretzel, tapi selama bekerja aku lebih
banyak diam. Aku tak dapat menahan diri untuk memikirkan Billy. Ke
mana ya anak itu" Tadinya aku yakin, Billy akan muncul dan membantu kami
menyiapkan makanan, tapi hingga detik ini entah di mana ia berada.
Menilpon pun tidak. Mungkin aku telah salah mengartikan maksudnya
tempo hari. Mungkin ia tidak benar-benar memahami persoalanku
dengan Arizonna. Lagi pula Billy telah menukar tugasnya dari seksi
persiapan permainan ke seksi konsumsi. Mungkin ia merasa tak enak
karena Arizonna juga di dalam seksi persiapan permainan bersamaku.
Dan yang lebih memperburuk keadaan, kelihatannya aku tetap harus
menemani Arizonna nonton film seusai bazar nanti. Soalnya Arizonna
sama sekali belum ngomong apa-apa, tuh"!
Bel pintu berbunyi lagi, membuyarkan lamunanku. Karena aku
yang berdiri paling dekat dengan pintu, maka akulah yang
membukakannya. Saat memutar gagang pintu, aku berusaha agar
tepung yang melumuri tanganku tidak mengotori gagang pintu.
Billy tengah berdiri di ambang pintu dengan tangan dimasukkan
dalam saku jeans-nya. "Hai Allison," sapanya.
"Dari mana saja kamu, Bill?" tanyaku lembut. "Katanya kau
mau membantu." Beberapa saat Billy hanya menundukkan kepalanya. "Tadinya
aku malah nggak mau datang ke sini, soalnya si Arizonna kan juga
ada di sini. Tapi" "Aku senang kau memutuskan untuk datang," tukasku sambil
tersenyum. "Sungguhkah"Tapi...." Billy tidak melanjutkan perkataannya.
"Kau sadar nggak sih, wajahmu itu cemong penuh tepung," Billy
tersenyum sambil membersihkan pipiku dengan usapan tangannya.
"Siapa yang datang?" Sabs berteriak dari dapur.
"Sebaiknya kita mulai bekerja," ajakku sambil melangkah
masuk, "masih banyak yang harus kita kerjakan."
"Kau yakin?" tanya Billy ragu, "Aku tidak ingin mempersulit
dirimu Allison." Aku begitu gembira akhirnya Billy memutuskan untuk datang.
Tak henti-hentinya aku tersenyum sekarang. Aku telah berjanji pada


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diriku sendiri, di lain kesempatan aku akan selalu berusaha jujur agar
tidak terlibat dalam kesulitan seperti ini lagi. Begitu kami selesai, aku
akan langsung membatalkan kencanku dengan Arizonna.
"Aku sungguh senang dengan kehadiranmu," ujarku pada Billy
sekali lagi setelah beberapa lama terdiam. Kutarik tangannya dan
kuajak ia masuk ke dapur.
"B.D.!" seru Nick sambil memukulkan lap handuknya ke arah
Billy. "Untung kau datang!" seru Sam sambil menyerahkan setumpuk
pretzel pada Billy, "Kau datang tepat pada saatnya untuk pretzelpretzel ini!"
45 menit kemudian, kami pun selesai. Aku dan Arizonna
membersihkan sisa perkakas dapur dan anak-anak yang lain sibuk
mencari kardus-kardus karton untuk menempatkan makanan-makanan
yang telah siap ini. "Allison Cloud," Arizonna mulai berbicara pada saat aku pun
ingin memulai percakapan, "Arizonna aku hendak"
Kami berdua pun tertawa karenanya, kemudian Arizonna
melanjutkan kalimatnya, "Aku sedang mempertimbangkan bagaimana
jika.... ah.... susah banget ya menyampaikannya....gimana dong?"
"Apanya yang susah?" tanyaku lembut.
"Maksudku, kita akan berteman selamanya," lanjut Arizonna
sambil menyibakkan poninya dengan resah, "tapi kulihat B.D. adalah
teman yang paling istimewa untukmu."
Aku tersenyum penuh rasa terima kasih mendengar
perkataannya barusan. Aku pun merasakan hal itu. Antara aku dan
Billy memang ada sesuatu yang istimewa.
Arizonna menyerahkan sebuah mangkuk yang baru dicucinya
dan aku mulai mengeringkannya dengan lap handuk. "Dan sepertinya
aneh kalau aku nonton film bersamamu sementara belakangan ini aku
begitu dekat dengan Sabs," tambahnya.
Sebersit rasa lega merasuki hatiku dan sekonyong-konyong aku
merasa yakin bahwa segalanya akanberjalan lancar. Persoalan Billy,
hubungan Sabs dan Arizonna, juga bazar kami tentunya.
"Aku senang mendengarnya," ujarku, "aku pun merasa ide
kencan itu agak konyol."
"Benarkah?" tanya Arizonna. Ketika aku mengangguk,
Arizonna melanjutkan, "Allison Cloud, sampai kapan pun kau tetap
sahabatku yang pertama dan terbaik di Minnesota."
Kemudian sambil mendekatkan diri ke arahku ia berbisik,
"Jangan bilang-bilang sama Sabrina ya, menurutku Sabs nggak benarbenar tahu banyak soal olahraga selancar."
Aku tak dapat menahan tawaku mendengarnya.
"Ada yang lucu?" tanya Sabs yang tiba-tiba muncul di belakang
kami. "Nggak. Nggak ada apa-apa kok," sahutku sambil bertukar
senyum dengan Arizonna. "Aku hanya merasa gembira."
"Aku mengerti. Aku pun nggak sabar lagi menunggu besok
tiba," timpal Sabs. "Bazar Mawas Lingkungan kita pasti akan berjalan
dengan sukses dan menggemparkan!"
BAGIAN SEMBILAN "Topi ini bagus sekali Al!" seru Sabs seraya menunjuk ke arah
topi baseball hijau bertuliskan MAWAS LINGKUNGAN di
rambutnya yang ikal kemerahan.
Sepulangnya dari rumah Randy tadi malam, aku menemukan
sekotak topi di dapur rumahku. Rupanya Ibu telah membeli cukup
banyak topi bagi semua anggota panitia. Di atas sekotak topi itu, Ibu
meninggalkan sepucuk surat yang isinya antara lain bahwa beliau
merasa bangga melihat kami yang masih muda ikut aktif memikirkan
lingkungan dan menyelamatkan bumi.
Hadiah dan pujian Ibu membuatku bangga dan senang, namun
hari ini aku merasa tegang lagi.
"Mana anak-anak yang lain?" tanya Katie seperti dapat
membaca pikiranku. Matanya yang kebiruan memandang cemas ke
lapangan bola yang telah disulap menjadi lokasi bazar kami.
Aku menatap ke arah poster raksasa yang telah kami selesaikan
dan gantungkan di salah satu sisi arena bazar. Lukisan yang bagus,
tapi hanya sekitar 10 anak yang kelihatan tertarik dan memperhatikan
lukisan itu. Selain kesepuluh anak itu, boleh dibilang bazar kami sepi
sekali. Hanya ada aku, Katie, Sabs, Arizonna, Randy dan Billy.
"Bazar Mawas Lingkungan ini sudah kita buka satu jam yang
lalu," kuhela nafasku, "tapi hampir tak seorang anak pun datang ke
sini." Aku duduk di atas panggung papan di mana band Iron Wombat
akan melakukan pementasan nanti. Kutopang daguku dan melanjutkan
keluhanku, "Aku rasanya nggak percaya deh. Kalau tak ada yang
datang ke sini, berarti tak seorang anak pun memperhatikan
keselamatan lingkungan."
"Anak-anak lain berkumpul di lapangan bola," ujar Sam saat ia,
Nick dan Jason menghampiri kami.
"Jet coaster itu cukup dahsyat juga rupanya," timpal Nick.
"Apa?" pekik Sabs sambil berkacak pinggang di hadapan anakanak cowok itu, "Kalian pergi melihatnya ya" Kok gitu sih?"
Sam, Nick dan Jason hanya saling bertukar pandang dengan
cemas, "Yah....uh....kami....kami kan harus memata-matai lawan,"
gumam Jason mencari alasan.
"Lagi pula atraksi itu norak juga kok," tambah Sam cepat-cepat,
"jet coaster Mega Death di Minneapolis jauh lebih baik. Jet coaster si
Stacy sih nggak ada istimewanya sama sekali. Relnya lurus nggak ada
lingkaran dan putaran-putaran yang menegangkan."
Katie ikut duduk di panggung, di sampingku, "Kalau begitu
kenapa anak-anak yang lain masih betah di sana?" tanyanya.
Aku pun mempunyai pikiran yang sama. Aku tahu, atraksi
Stacy akan menjadi pusat perhatian hari ini, namun aku tetap berharap
anak-anak juga berkenan datang ke lapangan ini, tempat bazar yang
sebenarnya. Kutatap tenda besar yang kami pinjam dari sekolah. Kita
telah memasangnya di satu bagian lapangan untuk tempat permainan
dan di bagian lain untuk kantin kecil. Meskipun kosong, tempat yang
kami siapkan ini kelihatannya sih cukup menarik.
"Jangan takut Allison," ujar Billy sambil tersenyum, "mereka
pasti mencari makanan, bukan?" Billy bersandar pada meja tempat
memanaskan makanan yang kami pinjam dari kantin sekolah. Di
atasnya penuh dengan makanan buatan kami kemarin, dan harus
kuakui baunya sedap sekali. Aku berpaling ke arah Randy yang duduk
di belakang drumnya di atas panggung. "Mungkin kalau kalian mulai
memainkan beberapa lagu, perhatian anak-anak akan beralih ke sini,"
usulku. "Boleh aja!" seru Randy sambil memutar stik drumnya di udara.
"Kami sudah siap kok. Pokoknya, begitu Iron Wombat beraksi tanpa
pengeras suara, pasti orang-orang akan pada ngumpul di sini." Lalu
diarahkannya stik drumnya ke kelompok musiknya, "Kalian siap?"
Beberapa menit kemudian, setelah Iron Wombat siap beraksi,
kutinggalkan panggung dan menuju ke bagian penjualan minuman,
tempat tugasku bersama Sabs. Begitu Iron Wombat mulai memainkan
beberapa nomer lagu, bergoyanglah semua kaki mengikuti irama. Aku
kenal lagu yang mereka mainkan ini. Lagu ciptaan Randy dan Troy,
vokalis utama Iron Wombat, yang membuat mereka memenangkan
festival band tempo hari. Lagu yang benar-benar bagus.
"Hei, gimana kalau kita mulai bermain Hacky Sack?" usul
Jason sambil mengambil bola kulit yang akan digunakan dalam
permainan. "Usul bagus," sahutku. Mungkin anak-anak akan tertarik jika
melihat ada kegiatan di sini. Lagian, akan lebih baik jika aku bisa
membuat Sam, Nick, Jason dan Billy sibuk.
Ketika anak-anak cowok mulai bermain, aku dan Sabs
mengeluarkan gelas-gelas kertas dari kardus dan menatanya ke atas
meja. "Mudah-mudahan gelas kita cukup banyak," komentar Sabs
sambil memperhatikan jumlah gelas yang kami miliki dengan cemas,
"kata kakakku, anak-anak kelas delapan dan sembilan juga akan
datang ke bazar ini."
Seraya melirik ke arah lapangan yang masih kosong
melompong, aku berkata, "Sabs, kita bahkan belum menjual segelas
minuman pun. Aku yakin kita tak akan kekurangan gelas."
Tiga jam kemudian, Sabs nyaris memaksaku menelan kata-kata
itu kembali. Persediaan gelas dan minuman kami habis tandas!
Setelah Iron Wombat beraksi, anak-anak pun mulai beralih ke
lapangan bola. Tanpa terasa, sudah sekitar 50 orang anak lebih ikut
memainkan Hacky Sack. Kemudian Sam ingin melakukan permainan yang lain. Maka
kuajarkan permainan "Hantu" pada mereka. Satu orang menjadi
"hantu" dan yang lainnya menjadi "orang hidup". Mereka berhadapan
dalam dua deretan. Tiap pemain, saling berpegangan tangan dengan
orang di hadapannya. "Hantu" harus bisa menarik "orang hidup" agar
terlepas dari "orang hidup" yang lain. Jika berhasil, maka orang itu
harus menjadi "pembantu hantu". "Orang hidup" yang lain harus segera
berpegangan dengan rekan-rekan "hidup"-nya yang lain sebab kalau
terlepas mereka juga harus menjadi "pembantu hantu". Pasangan
terakhir yang bertahan "hidup" adalah pemenangnya.
Tak kusangka anak-anak akan menyukai permainan ini.
Tadinya aku khawatir mereka akan menganggapnya permainan anak-
anak belaka. Tapi di luar dugaanku, semua menyukainya dan
memainkannya sampai lebih dari 10 kali! Bahkan BZ dan Laurel pun
ikut serta. Stacy pasti jengkel melihat kedua anak buahnya itu
meninggalkan arenanya. Selanjutnya, bazar kami berjalan dengan
lancar. teenlitlawas.blogspot.com
Lalu sekian banyak anak itu tiba-tiba serentak kelaparan
bersama, dan menyerbu stand makanan kami. Semua makanan di atas
meja tandas seketika. Kurasa baru kali ini aku dan Sabs bisa
menunduk selama sekitar dua jam; menuang minuman ke gelas dan
membungkus makanan! Iron Wombat dan Arizonna bermain tanpa henti. Sebagai
penutup, mereka memainkan sebuah lagu baru ciptaan Randy dan
Troy. Lagunya bertema lingkungan hidup. Agaknya pesan yang
disampaikan lewat lagu itu dapat diterima oleh anak-anak, melihat
seriusnya mereka mendengarkan.
Sekelompok anak bertepuk tangan riuh ketika Iron Wombat
beranjak meninggalkan panggung. Beberapa anak bahkan berteriak,
"Selamatkan bumi kita! Save the planet!" Teriakan itu segera
disambut bergantian oleh anak-anak lain. Seru sekali.
Aku begitu gembira melihatnya, "Sabs, semua orang benarbenar mendengarkannya! Hebat banget, kan?"
Sabs menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat. "Al!
Kita berhasil! Semua menghadiri bazar kita! Arizonna asyik banget
ya?" serunya terengah-engah sambil mendekatkan diri ke arahku
supaya suaranya terdengar di antara kebisingan. "Bila betul! Arizonna
benar-benar membawakan satu nomer lagu untukku!" Sabrina pun
lantas tersipu dan pipinya memerah.
"Dia penyanyi yang baik," ujarku setuju. Arizonna ikut
memainkan beberapa lagu gubahannya sendiri, dan menurutku lagulagu ciptaannya jauh lebih bagus daripada lagu-lagu yang biasa
dikumandangkan di radio. "Luar biasa!" seru Randy sambil menghentikan langkahnya di
hadapan kami, "Boleh aku minta segelas minuman?"
"Wah....udah habis, nih!" tukas Sabs agak bangga sambil
menunjuk ke arah empat dispenser yang sudah kosong, "Heran ya,
kok banyak orang menyukai juice wortel."
"Hei, sebaiknya kau betulkan letak topimu Al," saran Randy.
"Kenapa" Berantakan ya?" tanyaku sambil melepaskan topi
baseball-ku dan merapihkan rambutku yang ternyata banyak yang
terurai lepas dari kepangannya.
"Soalnya....," Randy menghentikan kalimatnya sebentar
menunggu teriakan-teriakan "Selamatkan Bumi" yang diteriakkan
anak-anak mereda sedikit.
Kutengadahkan kepala dan kulihat Troy Tanner mengangkat
tangannya tinggi-tinggi di atas panggung untuk menenangkan massa.
"Dan sekarang, saya minta dengan hormat, penanggung jawab
bazar harap naik ke pentas untuk menyampaikan beberapa patah
kata," ujar Troy keras-keras setelah teriakan-teriakan agak mereda.
Seluruh tubuhku serasa tersengat aliran listrik. Tak ada yang
lebih membuatku tegang kecuali berada di pentas. Aku bisa demam
panggung nih, "Randy, kau kan tidak," bisikku.
"Ya, aku yang menyuruhnya," sahut Randy sambil nyengir
kepadaku, "hei Al, kan harus ada seseorang yang mengajarkan tentang
pentingnya lingkungan hidup! Ayolah Al, ajak mereka untuk ikut
menyelamatkan bumi kita!"
"....Allison Cloud!" Troy memanggil namaku dan melambaikan
tangan ke arahku. "Tapi....," aku mulai merasa panik. Mana mungkin aku bisa
berbicara di depan begitu banyak anak dari hampir semua kelas di
Bradley ini" Apa yang harus kukatakan"
Kukedip-kedipkan mataku, saat kusadari kurang lebih ada
sekitar 100 anak menungguku. Kutegapkan bahuku dan kuangkat
wajahku sambil melangkah ke atas panggung.
"Ayo Allison!" kudengar teriak Billy memberi semangat.
Kulirik Billy yang tengah berada di salah satu meja makanan. Ia
tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya.
Begitu berada di atas panggung, aku menatap ke arah keramaian
dengan agak gugup. "Teman-teman," kataku agak perlahan. "Terima kasih atas
kedatangan kalian di bazar Mawas Lingkungan ini. Kalian semua
tentu tahu bahwa bumi kita berada di ambang kesulitan. Situasi dunia
memanas terutama dengan terciptanya bom nuklir dan tentunya
limbahnya! Ikan lumba-lumba dan paus digunakan untuk memancing
ikan-ikan tuna. Limbah minyak dan industri mengotori lingkungan
dan membahayakan makhluk hidup di dalamnya."
Ketika mulai berpidato, aku seolah melupakan sejenak
ketegangan dan kegugupanku. Kurasa, keinginanku untuk
menyelamatkan bumi lebih berperan daripada rasa maluku, "Lima
hektar hutan rusak setiap menit!" seruku lebih keras, "Bumi ini satusatunya tempat tinggal kita dan kita harus melakukan sesuatu sebelum
terlambat! Kalau kita biarkan bumi ini hancur, ke mana kita akan
pergi" Tanggung jawab sepenuhnya di tangan kita. Dan kita dapat
melakukannya! Kalian telah membuktikannya dengan menghadiri
bazar Mawas Lingkungan dan hasil penjualan karcis akan digunakan
untuk membiayai proyek daur ulang sampah di SMP Bradley! Bumi
kita dalam kesulitan besar, tapi kita bisa menyelamatkannya! Kita,
murid-murid Bradley akan melakukan perubahan-perubahan!"
Kuselesaikan pidatoku. Keheningan tercipta. Perlukah
kulanjutkan pidatoku" pikirku. Kemudian lapangan bola pun dipenuhi
teriakan-teriakan, tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut pidatoku.
Meskipun sebenarnya aku masih mau menambahkan sesuatu, kurasa
takkan ada yang dapat mendengar suaraku. Maka aku hanya melambai
ke arah massa, tersenyum dan turun dari atas panggung.
Arizonna berada di deretan paling depan. Begitu aku turun, ia
langsung menghampiri dan menyelamatiku, "Hebat sekali Allison
Cloud. Aku bangga menjadi temanmu!"
"Aku juga," sahutku sambil tersenyum. Dan aku bersungguhsungguh dengan ucapanku itu. Arizonna adalah teman yang istimewa
dan aku gembira menyambut kepindahannya ke Acorn Falls ini.
"Kau hebat sekali!" seru Katie ketika mereka bertiga
menghampiri dan memelukku.
"Sungguh deh," Sabs setuju, "kau tahu, kurasa kau sebaiknya
terjun ke dunia politik. Tak kusangka kau bisa berpidato sebaik itu!"
"Menakjubkan!" tambah Randy. "Kau telah membuat mereka
semua tergerak untuk melakukan sesuatu."
"Bazar Mawas Lingkungan kita sukses besar, Al!" seru Sabrina,
"Dan semua itu karena kau!"


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tanpa kalian kurasa aku tak bisa melakukan apa-apa," sahutku
merendah. Aku bersyukur mempunyai teman-teman sebaik mereka.
Tak lama kemudian, kurasakan seseorang menarik ujung
kepang rambutku. Kuputar badanku dan kulihat Billy di belakangku.
"Tadinya aku cemas juga," ujarnya, "tapi ternyata kau tak
memerlukan kecemasan itu Allison! Kau luar biasa hebat!" kemudian
Billy menjabat erat tanganku. Erat dan hangat.
BAGIAN SEPULUH "Wah, dari mana datangnya sampah-sampah ini?" tanya Sabs
sore itu sambil memegang kantung plastik penyimpan sampah yang
berserakan, seusai bazar.
"Banyak bener ya!?" cetus Randy ikut keheranan. Dipungutinya
sisa-sisa gelas dan piring kertas dan dimasukkannya ke kantung
plastik yang dipegang Katie. "Kalian sebaiknya juga melihat ke
lapangan tempat atraksi Stacy. Di sana lebih gawat lagi!"
Aku mengangguk. Barusan aku sudah melihat ke sana dan aku
jadi merinding sendiri. Kami mengadakan bazar Lingkungan ini agar
murid-murid di Bradley lebih memperhatikan kebersihan demi
keselamatan lingkungan, tapi coba lihat, begitu banyak sampah yang
harus kami bersihkan. Nampaknya anak-anak tidak menangkap pesan
itu, buktinya mereka tidak mau repot-repot membuangnya di tempat
sampah. "Di mana Stacy?" tanya Katie, "Atraksi di lapangan sana kan
tanggung jawab dia, jadi dialah yang harus membersihkannya,
bukan?" Aku mengangguk, "Tapi dia sudah pulang, jadi kitalah yang
harus membersihkan semuanya," sahutku. "Setidaknya aku deh yang
bertanggung jawab. Soalnya aku kan ketua panitianya."
"Hei, jangan gitu dong Al, kita pasti membantu," tukas Randy,
"masa kau yang menyelesaikannya sendiri?"
Sabs mencari Nick, Sam dan Jason. Dilihatnya mereka baru saja
tiba. "Dan aku yakin kalian juga akan membantu dengan senang hati
kan?" ujarnya dengan nada suara setengah memaksa.
"Senang hati melakukan apa?" tanya Jason agak curiga.
Kutunjuk tulisan "Mawas Lingkungan" yang tertera di topiku.
"Kita agaknya harus membersihkan lapangan sana juga."
Saat itulah Billy keluar dari balik lukisan raksasa Randy. Ia
memegang tongkat-tongkat kayu yang berujung besi. "Lihat, Pak
McManus meminjamkan ini padaku. Kebetulan kita ketemu saat
beliau sedang membersihkan kaca jendela di depan sekolah."
"Bagus sekali!" seru Sam. Sam, Nick dan Jason langsung
meraih keempat tongkat itu dan langsung pula menuju ke lapangan
sebelah sana. "Hei Sabs," ujar Randy tiba-tiba, "apa sih yang melingkar di
pergelangan tanganmu itu?"
Sabs mengangkat tangan kanannya yang dilingkari sekitar 10
gelang persahabatan. "Maksudmu ini?" tanyanya, "Arizonna
memberikannya padaku tadi sore begitu bazar berakhir."
"Ooo....," goda Katie, "pasti hubungan kalian tambah serius ya"
Allison saja cuma mendapat dua dari Arizonna."
Sabs tersipu dan wajahnya bersemu merah mendengarnya. Ia
hanya menanggapi dengan mengangkat bahunya.
Tiba-tiba saja, di kejauhan kulihat sekitar 10 cowok kekar
menuju ke tempat kami. "Siapa ya mereka?"
"Hoi!" panggil Randy sambil ikut menoleh ke arah yang
kumaksud, "Bantuan telah datang!"
"Itu kan anak-anak anggota tim hoki es sekolah," ujar Katie,
"bagus sekali! Tadi siang aku bertemu dengan Scottie dan Flip.
Mereka berjanji akan mengajak teman-temannya membantu
membereskan bazar kita."
Setelah itu, segalanya bisa kami bereskan dalam waktu singkat.
Setengah jam kemudian lapangan bola sudah sebersih semula, dan
kami segera beranjak ke lapangan sana untuk memeriksa pekerjaan
Sam, Nick dan Jason. "Astaga!" seru Sabs ketika melihat ketiga cowok itu.
Sam, Nick dan Jason tengah main perang-perangan dengan
tongkat pembersih sampah itu. Arizonna dan Billy pura-pura berduel
bagaikan ksatria. Aku tak dapat menahan tawa, tapi kuperhatikan,
setengah dari lapangan tampaknya sudah bersih.
"Ayo berhenti main dan kembali bekerja," tukasku sambil
menghampiri. 20 menit kemudian lapangan itu pun selesai dibersihkan dan
kami semua beranjak ke Fitzie"s. Rencananya, kami akan merayakan
kesuksesan bazar lingkungan kami, tapi entah mengapa aku masih
merasa sedikit tertekan. Aku tak ingin mengungkapkan perasaanku
karena kulihat teman-temanku yang lain sedang menikmati
kegembiraannya. Namun agaknya mereka dapat menangkap
kegelisahanku. "Ada apa Al?" tanya Randy, "Kau masih marah karena Stacy
lepas tanggung jawab dan pulang begitu saja?"
Sabs tertawa. "Aku sih memang sudah menduganya," katanya,
"membersihkan sampah kan pekerjaan yang berat. Si hebat Stacy
mungkin takut kukunya patah."
"Nggak apa-apa," ujar Arizonna sambil mencomot sebagian
kentang goreng Sabs, "kita telah menunjukkan bahwa kita mampu
melakukan segalanya tanpa Stacy, kan?"
"Kalau begitu, ada apa denganmu?" tanya Randy sekali lagi.
"Aku hanya merasa khawatir dengan tema lingkungan kita,"
kucoba menjelaskan sambil menyeruput segelas soda.
Katie mengalihkan perhatiannya dari es krim vanilanya dan
menatapku dengan penuh simpati, "Kenapa dengan tema itu?"
tanyanya. "Begini," sahutku perlahan, "kita mengadakan bazar lingkungan
untuk mengajak anak-anak lebih memperhatikan lingkungannya, tapi
nyatanya mereka masih tetap membuang sampah sembarangan."
"Tapi....kita kan telah membuat mereka sadar akan pentingnya
lingkungan. Ini sebuah awal yang baik bukan?"
Aku hanya mengangguk. Aku tahu, mereka hanya ingin
menghiburku, tapi aku masih tetap merasa sedikit kecewa karena
ternyata usaha kami tidak memberikan hasil sebagaimana yang
kuharapkan. "Kau ingin hasil yang lebih nyata, begitu, Allison?" tanya Billy
sambil menyikutku, "Kau mau perubahan yang nyata. Begitu?"
Kutegakkan posisi tubuhku dan kutatap Billy dengan kagum.
Ternyata ia dapat menerka jalan pikiranku. Berarti ia telah benarbenar mengenalku. "Yah, kurasa itu yang kuinginkan," jawabku.
"Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?" tanya Randy seraya
menghabiskan milk shake coklatnya sampai tandas.
"Berpikirlah secara global tapi bertindaklah secara lokal," ujar
Arizonna sok berpepatah, "itu jawabannya, Allison Cloud."
"Apa?" tanyaku tak mengerti. Tapi setelah memikirkannya
lebih jauh lagi, barulah aku menyadari kebenaran pepatah Arizonna
itu. Aku tak perlu merasa kecewa atau khawatir. Aku telah berhasil
mengajak anak-anak untuk ikut memikirkan masalah dunia yang
sifatnya global. Kini aku harus menunjukkan apa yang dapat mereka
lakukan untuk berpartisipasi secara nyata di Acorn Falls.
Tiba-tiba saja aku tahu apa yang harus kulakukan.
*********** "Ini papanmu Al," ujar Randy sambil memberikan sebilah
papan aksi protes. Hari Senin pagi itu, aku, Randy dan Katie berdiri di tangga
depan gerbang sekolah sambil mengacungkan papan-papan
bertuliskan "Selamatkan Bumi Dari Kehancuran" sebagai ajakan
sekaligus aksi protes. Ada juga papan yang bertuliskan, "Jauhkan
Styrofoam dari Bradley".
Kami telah memutuskan untuk bertindak secara lokal, dan
tempat terbaik untuk memulainya, ya di sekolah kami sendiri. Kantin
sekolah menggunakan piring dari bahan styrofoam yang sukar didaur
ulang. Menurut kami kantin sebaiknya menggunakan peralatan dari
bahan lain yang bisa didaur ulang agar tidak menjadi timbunan
sampah yang membahayakan keseimbangan lingkungan.
"Hallo semua," sapa Sabs sambil berlari terengah-engah
menghampiri kami, "sorry aku telat."
"Nggak apa-apa,"jawab Randy sambil memberikan selembar
papan lagi pada Sabs. Ketika mulai ada yang berdatangan, Katie mengangkat
papannya tinggi-tinggi. "Ini benar-benar seru deh," ujarnya, "aku tak
percaya, kita berani melakukan demonstrasi dan melanggar peraturan
sekolah seperti ini."
"Ini kan demi kebaikan," aku mengingatkannya, "kuharap kita
tidak terlibat dalam kesulitan besar."
Beberapa menit kemudian, Pak Hansen menaiki tangga dan
melewati gerbang sekolah di mana kami melakukan demonstrasi.
"Ada apa ini?" tanyanya sambil melirik ke poster-poster protes
kami. "Mereka melakukan demonstrasi," bisik Stacy sambil
melangkah dari belakang Ayahnya. Stacy agaknya ingin
menjerumuskan kami dalam kesulitan.
"Nah, coba jelaskan, apa maksud semua ini?" ucap Pak Hansen
tegas, "Mengapa kalian berdemonstrasi?"
Sambil memegang papanku erat-erat, kuhampiri Pak Hansen
dan kujawab dengan tegas, "Kami melakukan aksi protes terhadap
styrofoam yang digunakan di kantin sekolah ini, Pak!"
Ekspresi wajah Pak Hansen yang tampak keruh mengecilkan
nyaliku. Tapi, sejak semula aku sudah tahu bahwa hal ini tak akan
mudah. Perubahan selalu membutuhkan perjuangan. Begitulah yang
pernah kubaca dari buku-buku dan sekarang aku akan membuktikan
kebenarannya meskipun dalam taraf yang masih sangat kecil.
"Demonstrasi berarti melanggar peraturan sekolah," bentak Pak
Hansen. "Betul," timpal Stacy setuju.
"Tapi....," Randy mulai protes.
"Dan setiap pelanggaran di sekolah ini harus mendapatkan
hukuman," tukas Pak Hansen memotong ucapan Randy. "Maafkan
saya. Tapi jika kalian ingin menyampaikan sesuatu, seharusnya
melalui jalur yang benar. Bukan dengan cara ini."
"Maksudnya, kita harus melaporkannya dalam rapat pengurus
sekolah?" tanya Randy, "Atau kami harus menulis surat pada redaksi
surat khabar sekolah?"
Aku mengerti apa yang dipikirkan Randy. Mengajukan protes
lewat jalur-jalur tersebut akan memakan waktu lama dan mungkin
tidak akan ditanggapi sama sekali jika dipandang terlalu mengada-ada.
"Tepat sekali," sahut Pak Hansen sambil mengerutkan
keningnya. Aku tahu, Pak Hansen menjadi benar-benar marah
sekarang, "Kalian berempat harus memperoleh hukuman. Sepulang
sekolah nanti kalian harus menghadap ke ruangan saya."
Beberapa saat, tak seorang anak pun bergerak dari tempatnya.
Bahkan anak-anak lain yang berkerumun juga seperti terpaku di
tempat masing-masing. Aku mengerti, ketiga sahabatku ini merasa
rela dan pantas berkorban demi keselamatan lingkungan. Tapi sejauh
ini, gagasan untuk melakukan demonstrasi ini berasal dari aku. Secara
tidak langsung, aku telah melibatkan mereka dalam kesulitan.
Aku tengah memikirkan apa yang akan kulakukan, ketika tibatiba terdengar suara seseorang meminta jalan. Tak lama kemudian,
kulihat Billy menyelinap keluar dari kerumunan anak-anak. Ia
melompat ke dekatku kemudian mengambil alih papan yang sedang
kupegang. "Saya rasa, Bapak juga harus menghukum saya, Pak Hansen,"
ujarnya pada Pak Hansen, "soalnya saya juga ikut demonstrasi."
Pak Hansen menatap Billy dengan jengkel. "Kalau itu yang kau
inginkan, Dixon," ujarnya dengan geram, "saya yakin masih ada
tempat di ruang hukuman untukmu."
"Mudah-mudahan masih ada tempat untuk saya juga," seru Sam
sambil berdiri di samping Sabs.
Kening Pak Hansen semakin berkerut saja melihatnya. Terlihat
bahwa beliau tidak menyukai apa yang dilihatnya ini.
"Saya juga," ujar Nick yang keluar dari sela-sela kerumunan
bersama Jason. Mereka berdua berdiri di sebelah Sam.
Arizonna menjadi orang terakhir yang mengikuti jejak kami.
"Wah, keselamatan lingkungan kan masalah yang patut dan penting
diperhatikan," katanya seraya mengambil alih papan yang tengah
dipegang Billy. Aku benar-benar tak percaya! Mereka semua ikut menentang
Pak Hansen. Mungkin dengan demikian Pak Hansen dapat menyadari
betapa pentingnya arti keselamatan lingkungan bagi kami dan bahwa
topik itu patut diperjuangkan. Kuputuskan untuk berbicara mewakili
teman- temanku dan tentunya diriku sendiri.
"Pak Hansen," aku mulai berbicara, "saya rasa Bapak benar.
Seharusnya kita ajukan masalah ini melalui jalur-jalur yang
semestinya. Kalau begitu bagaimana jika saya menyalurkannya lewat
pidato" Meskipun kami hanya berstatus pelajar, kami tetap berhak
untuk bicara sesuai undang-undang pasal 1 bukan" Lagi pula kami
merasa perlu melakukan sesuatu untuk berhenti merusak bumi kita.
Jika saya boleh berpendapat, seharusnya Bapak bangga memiliki
murid yang memperhatikan masalah tersebut," lanjutku tanpa
mengacuhkan Stacy. "Kami benar-benar yakin akan apa yang kami
lakukan." Pak Hansen hanya bisa membuka dan menutup mulutnya tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun. Baru pertama kali ini aku melihat
kepala sekolah kami kehilangan kata-kata. Sambilmenunggu apa yang
akan diucapkan beliau, aku menahan nafasku.
Setelah terdiam beberapa saat, Pak Hansen mendehem dan
berkata, "Maaf sekali. Demonstrasi tetap melanggar peraturan
sekolah, apa pun alasannya. Saya akan menemui kalian di ruang
hukuman." Terdengar anak-anak lain mengeluarkan suara-suara tidak.
setuju dan kecewa mendengar keputusan itu, tapi Pak Hansen segera
mengangkat tangannya untuk menenangkan kami, "Tapi," tambahnya
dengan suara yang lebih lunak, "barangkali kita bisa membicarakan
soal styrofoam yang digunakan di kantin sekolah itu. Sebelumnya
saya tak memperhatikan hal itu. Barangkali kita bisa memikirkan cara
untuk menggantinya dengan bahan lain yang bisa didaur ulang."
Astaga! Aku tak mempercayai pendengaranku. Tapi kulihat Pak
Hansen kini tersenyum, "Saya bangga melihat kesungguhan niat dan
perhatian kalian pada masalah ini," ujarnya pada kami, "dan saya pun
berharap anak-gnak lain ikut memperhatikan lingkungannya seperti
kalian-kalian ini." Sekarang semua anak bersorak gembira mendengar keputusan
itu, kecuali Stacy yang melirik penuh kebencian ke arah kami.
"Tapi kalian tetap harus mendapat hukuman. Nah, sekarang
singkirkanlah papan-papan demonstrasi itu," ujar Pak Hansen sebelum
melangkah masuk. "Kurasa kita memang sudah nggak memerlukan ini lagi," ujar
Katie. Ia hendak memasukkan papannya ke tong sampah, tapi aku
segera mencegahnya. "Jangan dibuang dong. Papan ini kan berisi pesan-pesan yang
ingin kita sampaikan pada anak-anak. Kalau mereka melihat kita
membuang pesan-pesan kita sendiri, apa jadinya?" ujarku seraya
mengumpulkan semua papan yang dipegang teman-temanku. "Semua
orang harus tahu bahwa perjuangan demi keselamatan lingkungan tak
akan pernah berhenti."
Anak-anak yang masih ikut mengelilingi kami pun bersorak lagi


Girl Talk 14 Bumiku Cintaku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar perkataanku. Dan hal itu membuatku menjadi tersipu
malu. Segera saja kuikuti Pak Hansen memasuki gedung sekolah
kami. "Hei Al," panggil Billy menyusul langkahku, "aku yakin kau
pasti berhasil. Kau telah menunjukkan pada semua orang bahwa
masalah yang melanda bumi kita ini belum berakhir meskipun bazar
kita sudah selesai. Kau telah membuat perubahan di Bradley."
"Ya!" timpal Sabs. "Mulai sekarang, SMP Bradley akan
menjadi wilayah sadar lingkungan sejati!"
"Kita semua akan melakukan perubahan-perubahan,"
kuperbaiki ucapan Billy yang kedengarannya terlalu memujiku.
Kutebarkan senyum pada semua teman-temanku. "Kalian semua
adalah teman-teman terbaik yang pernah kumiliki!"END
Senopati Pamungkas I 3 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Wajah Sang Pembunuh 2
^