Pencarian

Cinta Dan Tipu Muslihat 1

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat Bagian 1


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat Pembuat Djvu : ..... Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 17 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya!!! *** CINTA dan TIPU MUSLIHAT JlLlD: Karya: WIDI WIDAYAT Pelukis: Yanes dan SUBAGYO
Percetakan/Perum: CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT 14 RK III Telpon No. 5801 S O L 0
Cetakan Pertama CV Gema Solo 1983 *** " CINTA dan TIPU MUSLIHAT "
Oleh : Widi Widayat JILID : I
*** CINTA DAN TIPU MUSLIHAT HUTAN di puncak Gunung Muria, baru saja melepaskan diri dari dekapan kabut pegunungan pagi hari. Alam masih sepi, hanya dihiasi oleh kicau burung. Kicau riang masih sempat menikmati udara pagi, dan dituntut kewajiban mencari makanan untuk anak-anaknya dan diri sendiri. Tetapi alam yang sepi itu tiba-tiba dikacau oleh seleret sinar yang bergulung, semacam angin ribut. Burung-burung terkejut, beterbangan sambil berceloteh, mengumpat caci kepada mahluk lain yang mengganggu ketenteramannya.
Sinar yang tak terputus itu berputaran ke empat penjuru. Mendadak gumpalan sinar putih itu melejit ke udara, menyambar sebatang dahan pohon yang rindang.
"Setan kau ." lengking nyaring seorang wanita, mencaci. Kemudian dari dalam daun lebat itu, melayang turun sesosok tubuh yang kecil ramping.Ia seorang dara cantik, berusia sekitar enam belas tahun. Setelah berhadapan dengan seorang pemuda berusia kira-kira sembilanbelas tahun, gadis ini mendelik sambil menghardik.
"Hai, benarkah engkau berani menikam aku?"
Pemuda itu menggumam. Tangannya masih menggenggam sebatang pedang tua dan karatan. Ia merasa terganggu, oleh kehadiran dara itu di saat dirinya sedang berlatih ilmu pedang. Jawabnya dingin,
"Hemm, mengapa engkau berani mencuri pelajaran ilmu pedang untukku?
"Apa?" pekik gadis itu sambil bertolak pinggang.
"Siapa yang mencuri?"
"Hemm, mengintai orang yang sedang berlatih ilmu pedang, apa Lagi maksudnya, kalau tidak ingin mencuri?" hardik pemuda itu, namun wajahnya tidak menunjukkan kemarahan.
"Hai sari! Sudah lupakah engkau akan pantangan guru kita? Bukankah guru sudah memberi tahu, barang siapa berani mengintai orang sedang berlatih ilmu pedang tanpa ijin, bisa dihukum berat?"
Mereka itu sesungguhnya kakak-beradik perguruan. Pemuda itu bernama Prayoga dan gadis manis itu Sarini. Mereka berguru kepada seorang tokoh sakti bemama Ali Ngumar. Siapakah tokoh sakti Ali Ngumar ini? Tidak lain merupakan murid keturunan ke lima, almarhum Sunan Murya, yang bermakam di puncak Gunung Muria. Merasa sebagai murid keturunan almarhum Sunan Murya itu, kemudian Ali Ngumar bermukim di gunung ini. Memang ada sebabnya ia memilih tempat ini untuk bertempat tinggal. Di samping ingin menjauhkan diri dari pergaulan. dengan maksud pula agar dapat merawat makam kakek gurunya. Tetapi di balik semua itu, memang ada sebabnya Ali Ngumar menjauhkan diri dari masyarakat.
Prayoga merupakan murid yang taat dan tekun. di samping setia kepada guru. Memenuhi perintah gurunya, setiap pagi, sebelum matahari terbit di timur, ia sudah menyibukkan diri berlatih ilmu pedang, ia berlatih penuh semangat. Tetapi disaat ia mencurahkan seluruh perhatian kepada ilmu yang dilatihnya, telinga yang sudah terlatih menangkap suara halus. Menyusul kemudian ia menangkap bayangan kecil, meloncat ke batang pohon beringin tua, tak jauh dari tempatnya
berlatih, walaupun hanya sekilas, ia tahu bayangan kecil tadi tentu Sarini, adik seperguruannya. Dan ia tahu pula tentu Sarini ingin mengintai diri'nya berlatih ilmu pedang. Itulah sebabnya secara tak terduga, Prayoga meloncat dan menusuk ke arah rimbun daun.Ternyata hasilnya bagus. Sarini terkejut dan menjerit, kemudian meloncat turun dari tempatnya bersembunyi.
Tetapi dasar gadis manis yang nakal. Ia tidak mau dipersalahkan, malah mencari orang. Dan sekarang sambil tetap bertolak pinggang, malah menyalahkan gurunya.
"Huh, salah guru sendiri. Apa sebabnya pilih kasih kepada sesama murid?"
Prayoga terbelalak kaget. Ujarnya,
"Jadi... engkau sudah melihat semua jurus yang tadi aku latih?"
"Hi-ik, kalau tidak melihat, dapatkah aku menilai bahwa guru pilih kasih?" jawab gadis itu masih bersungut dan cemberut.
"Hemm, jurus ke lima yang bernama "Prahara Dahana" itu ternyata sudah diajarkan kepadamu, tetapi kepadaku tidak!"
Mendadak Prayoga marah dan membentak.
"Hai Sari, kurang ajar engkau! Jangan engkau ulangi lagi perbuatanmu yang kurang patut itu. Huh, kalau aku tadi salah sangka, mengira engkau orang lain, apakah pedangku ini tidak membuat lubang pada tubuhmu?"
Sarini tidak kaget malah mencibir-kan bibir. Dara ini malah "mengejek dan menantang.
"Huh, sekalipun engkau sudah lebih lama belajar dibanding aku, belum tentu sekali tusuk engkau berhasil. Kau tak percaya? Mari kita coba!"
"Kau menantang aku? Bagus!" sambut Prayoga. Disusul gerakan pedangnya mengibas ke atas. Tetapi secepat kilat ujung pedang itu sudah berubah arah, menikam ke depan. 'Tetapi Sarini tidak kaget. Gadis ini malah ketawa mengejek, sambil mengeliatkan tubuhnya. Gerakan itu dibarengi tangan kanan menebas
ke depan, diikuti tubuhnya menghindar ke samping.
"Hi-hik, siapa takut kepada jurus prahara samodra itu?" ejeknya.
Prayoga menghentikan gerakannya, kemudian bertanya
"Jika begitu, apakah engkau ingin berhadapan dengan jurus udan prahara atau jurus lindu prahara?"
Sarini ketawa cekikikan. Tanpa diminta kakak seperguruannya ini, malah menawarkan jurus lain. Bukankah ini rejeki? Mengintai dituduh mencuri. Sebaliknya sekarang tanpa diminta malah memberi..jawabnya cepat,
"lebih baik mainkan jurus prahara dahana, dan aku ingin melihatnya."
Wajah Prayoga berubah mendengar permintaan Sarini. Lalu nampaklah wajah yang tolol, dan menunjukkan kepala.
Sarini merengut. Kemudian membanting kaki dan marah.
"Hemm, sudahlah! Jika tak mau, aku tak dapat memaksa. Mengapa sikapmu jadi berubah memuakkan begitu?"
Prayoga mengangkat kepalanya memandang Sarini. Hardiknja kemudian,
"Sari! Kau sudah melihat yang aku mainkan?"
Sarini menggelengkan kepalanya, jawabnya,
"Engkau jangan menuduh, aku benar-benar belum melihat yang kau lakukan."
"Sari" katanya berubah halus.
"Aku tak dapat melarang engkau nakal kepada kakak seperguruanmu. Tetapi yang aku sesalkan, mengapa engkau berani melanggar larangan guru? Bukankah sebagai muridnya, engkau juga menerima ajaran jurus prahara dahana itu?"
"Tidak adil. Guru tidak adil!" gerutu dara ini.
"Guru memberi kepadamu, tetapi kepadaku tidak! Terus terang, jurus pertama sampai ke empat aku sudah faham. Seharusnya, jurus ke lima segera diajarkan kepadaku. Huh, guru berkata bahwa belum saatnya jurus ke lima itu diberikan. Karena empat jurus saja, aku belum sempurna. Huh-huh, siapa bilang aku belum berhasil memahami empat jurus itu?"
Jelas, ucapan Sarini bernada protes kepada gurunya. Maka ucapannya penuh semangat dan sepasang matanya agak merah. Prayoga menjadi tidak senang. Kemudian katanya bersungguh,
"Sari! Lupakah engkau akan larangan guru, mengintai di saat saudara perguruan sedang berlatih? Dan lupa pulakah; engkau bahwa tanpa ijin guru, kitapun tidak boleh memberi pelajaran? Apakah engaku sengaja tidak tunduk?"
"Tapi... tapi guru tidak tahu," bantah dara ini.
"Apakah sebabnya engkau takut?"
"Hai Sari! Apakah sebabnya engkau sebandel ini?" damprat Prayoga tetapi halus.
"Engkau harus mau menyadari, sudah menjadi murid guru. Percayalah bahwa guru! takkan pilih kasih, dan pada saatnya engkau akan menerima pelajaran itu. Engkau juga harus ingat adikku, belum dua tahun engkau belajar di sini, di samping tenaga dalammu sudah mempunyai dasar yang kokoh, juga dalam hal ilmu golok, tangan kosong maupun ilmu bandring sudah cukup hebat. Lupakah engkau bahwa semua itu bukan lain jasa guru kita?"
Sarini menundukkan kepalanya seperti termenung oleh ucapan kakak seperguruannya. Namun hanya sejenak saja. Ia telah mengangkat kepala,, kemudian menyeringai sambil berkata,
"Tetapi bagaimanapun, aku tetap menganggap guru pilih kasih kepada murid. Guru mengajarkan jurus ke lima kepadamu, tetapi kepadaku tidak!"
"Sari!" bentak Prayoga penasaran.
"Hati-hatilah engkau bicara, dan jangan cepat berprasangka buruk. Menurut pendapatku, bukan karena guru tidak mau
mengajarkan! kepadamu. Karena ilmu pedang Kala Prahara merupakan ilmu lain dari yang lain. Adikku, engkau harus faham dan tahu. Sekalipun ilmu pedang itu hanya terdiri dari tujuh pokok bagian, tetapi setiap bagian memerlukan latihan yang sungguh-sungguh, berat dan memerlukan ketekunan. Engkau harus sadar, bahwa bagian yang ke empat saja, sudah berbeda sekali dengan bagian pertama. Jadi apabila belum mempunyai dasar yang kokoh, sukarlah kita dapat menerima bagian yang ke lima. Bahkan, salah-salah dapat mencelakakan diri sendiri. Tahu? Coba engkau renungkan dengan otak dingin. Setiap bagian terdiri dari tujuh jurus perubahan. Tujuh bagian berarti tujuh kali tujuh sama dengan empatpuluh sembilanjurus... ."
Prayoga berhenti dan mengamati adik seperguruannya yang nakal itu. Melihat bahwa Sarini memperhatikan, ia melanjutkan,
"Memang adikku. apabila hanya dimainkan satu bagian saja, tentu tidak tampak letak kebagusannya. Akan tetapi apabila tujuh bagian itu dimainkan dan dirangkaikan bersama, uah... uah hebatnya alang-kepalang. Dan engkau akan mengakui bahwa ilmu pedang Kala Prahara benar-benar istimewa. Penuh dengan gaya permainan yang mengaburkan pandangan lawan dengan serangan kosong dan isi. Empalpuluh sembilan jurus serangan kosong dan empatpuluh sembilan jurus serangan isi. Jadi jumlah seluruhnya sembilanpuluh delapan jurus! Nah, apakah engkau sekarang sudah mengerti? Apabila empat pokok bagian saja belum difahami, mengapa engkau harus menuntut bagian ke lima? Andaikata guru sedia memberikan semua kepadamu sekarang ini, apakah yang dapat kau peroleh manfaatnya? Engkau dapat bergerak sesuai dengan pedoman ilmu pedang itu. Tetapi engkau tidak dapat menyelami intisarinya. Apakah kegunaannya?"
Penjelasan Prayoga itu kemudian menyadarkan Sarini. Gadis ini mengangkat wajahnya, mengamati
Prayoga dengan tersenyum. Sejenak kemudian gadis ini gembira. lalu berkata dengan ceria,
"Uah, jika begitu ilmu pedang Kala Prahara hebat sekali, kakang. Kapankah guru menerangkan kepadamu tentang rahasia ini?
"Baru kemarin siang guru menerangkan kepadaku,
" jawabnya. "Belum juga selesai, tiba-tiba guru menyatakan hendak meninggalkan Muria. Dan sebelum berangkat, guru juga sempat memberikan pelajaran bagian ke lima kepadaku, di samping ke enam dan ke tujuh. Sambil memberi pelajaran kepadaku, guru sempat mengatakan, akan pergi ke Pati menghadap Gusti Adipati Pragola, karena dipanggil....."
"Dipanggil '? apa maksudmu?" Sarini kaget.
"Menurut guru, aggaknya Gusti Adipati Pragola tidak mau tunduk lagi kepada Mataram. Sebab mempunyai pendapat, bahwa Pati dan Mataram mempunyai hak yang sama. Menurut guru, baik bumi Pati maupun Mataram sama-sama hasil hadiah Sultan Hadiwija-ya Pajang. Setelah almarhum Ki Penjawi dan Ki Pemanahan berhasil membunuh mati Harya Penangsang. Dengan demikian jelas, bahwa antara Pati dan Mataram mempunyai kedudukan sama tinggi."
"Kakang!" potong Sarini.
"Aku menjadi bingung mendengar ceritamu. Apakah maksudmu menyebut nyebut nama Ki Penjawi dan Ki Pemanahan?"
Prayoga tersenyum sambil mengangguk. Kemudian ia meneruskan,
"Menurut keterangan guru begini, Sari. Dahulu, dikala masih hidup, baik Ki Penjawi maupun Ki Pemanahan itu merupakan hamba Kadipaten Pajang, dan merupakan hamba terkasih. Ketika itu, Adipati Hadiwijaya sudah menyanggupkan diri kepada Kanjeng Ratu Kalinyamat, untuk membunuh mati Harya Penangsang. Tugas ini oleh Adipati Hadiwijaya, dilimpahkan kepada Ki Penjawi dan Ki Pemanahan. Dan agar tugas itu dapat berhasil dengan sukses.
Ki Juru Mretani mendapingi mereka. Namun kemudian ternyata, Danang Sutowijojo memaksa ikut serta."
ia berhenti dan mencari kesan. Setelah melihat Sarini berdiam diri lanjutnya,
"Menurut cerita guru, Danang Sutowijoyo ini putera sulung Ki Pemanahan. Namun sejak kecil telah diambil sebagai putera angkat oleh Adipati Hadiwijaya. Kasih Adipati Hadiwijaya kepada Danang Sutowijoyo ini tidak berbeda dengan putera kandungnya sendiri. Maka pada mulanya Adipati Hadiwiyaya tidak mengabulkan permintaan bocah itu. Akibatnya Danang Sutowijoyo yang baru berangkat dewasa itu kecewa dan menangis. Ia ingin membela kepentingan orang tuanya, tetapi mengapa tidak diijinkan? Untunglah Ki Juru Mretani dapat mempengaruhi, dan kemudian Adipati Hadiwijaya mengijinkah. Sebelum berangkat, Adipati Hadiwijaya teringat kepada sebatang tombak pusaka bernama Kyai Plered. Tombak itu disimpan oleh Adipati Hadiwijaya, karena ketika dirinya masih muda, memperoleh hadiah dari Ki Gede Kertoboyo (Kiageng Selo). Tombak itu diserahkan kepada Danang Sutowijoyo, lagi pula bocah ini keturunan langsung Kigede Kertoboyo. Maksud Adipati Hadiwiyaya, agar dengan membawa tombak pusaka itu, Danang Sutowijoyo terhindar dari bahaya yang mengancam, mengingat Harya Penangsang sakti mandraguna."
"Demikianlah, Ki Juru Mrentani, Ki Pemanahan, Ki Penjawi, Danang Sutowijoyo dengan dikawal dua ratus prajurit pilihan berangkat ke Jipang dengan menyamar. Di Jipang, Ki Juru Mrentani telah mempersiapkan segala rencananya. Menurutnya, yang pantas berhadapan dengan Harya Penangsang, hanyalah Danang Sutowijoyo. Tentu saja Ki Pemanahan kaget dan tidak setuju. Sebab Danang Sutowijoyo bukan tanding Harya Penangsang, Atas penolakan Ki Pemanahan ini
kemudian Ki Juru Mrentani memberi penjelasan panjang lebar. Ia telah mempunyai rencana amat bagus, dan Danang. Sutowijoyo takkan celaka di tangan Harya Penangsang. Kemudian setelah semua setuju, ditangkaplah seorang tukang kuda Harya Penangsang yang sedang mencari rumput. Telinganya dipotong yang sebelah, kemudian diganti dengan sampul surat tantangan. Di saat tukang kuda itu pulang, Harya Penangsang sedang makan siang. Tantangan itu memancing kemarahannya. Sebab dalam tantangan, itu disebutkan, Adipati Hadiwijaya telah menunggu di seberang sungai."
"Ah,jadi Harya Penangsang ditipu?" potong Sarini.
"Ya. Itulah siasat dari Ki Juru Mrentani," sahutnya.
"Akibatnya Harya Penangsang meninggalkan Jipang seorang diri, dengan kuda Gagak Rimang."
"Ahh, kurang perhitungan."
"Ya. Memang begitulah watak Harya Penangsang, tidak sabaran! dan mudah marah. Oleh sebab itu mudah terpancing oleh siasat lawan."
"Tetapi tentu juga mengandalkan kesaktiannya."
"Benar! Harya Penangsang memang mengandalkan kesaktian, sehingga tidak takut berhadapan dengan musuh dalam jumlah banyak. Ini menjadi pelajaran bagi kita Sari janganlah merasa diri pandai tanpa memperhitungkan keadaan. Sebab apabila demikian, akan mencelakakan diri sendiri. Demikian pula Harya Penangsang. Seorang diri menerima tantangan itu. Akhirnya celaka di tangan musuh."
"Dikeroyok?" "Tidak! Bertanding secara kesatria, seorang lawan seorang. Tetapi sesuai dengan rencana Ki Juru Mrentani, yang menghadapi kemarahan Harya Penangsang, malah Danang Sutowijoyo."
"Ah. mengapa bukan yang lain?"
"Itulah siasat. Menghadapi seorang bocah tentu saja Harya Penangsang meremehkan. Padahal waktu itu Danang Sutowijoyo mengendarai seekor kuda betina ."
"Mengapa kuda betina? Sarini heran.
"Kuda Gagak Rimang terkenal sebagai kuda yang selalu timbul hasratnya, apabila berdekatan dengan kuda betina. Demikian pula waktu itu. Kuda gagak Rimang menjadi binal dan tidak mau dikekang lagi oleh tuannya. Gagak Rimang menuruti selera sendiri, sehingga berubah semacam kuda yang belum terlatih dalam peperangan. Akibatnya, Gagak Rimang mencelakakan tuannya. Pada suatu saat Danang Sutowijoyo berhasil menikam dengan tombak Kyai Plered. Perut Harya Penangsang berlubang dan usus keluar. Namun dasar seorang sakti mandraguna. Sekalipun usus telah keluar, tidak terpengaruh,Ia tertawa terkekeh, tetapi sebenarnya amat marah. Usus yang keluar itu kemudian disangkutkan ke gagang keris (ukiran), lalu meneruskan pertempuran."
"Hebat......." desis Sarini,
"perut berlubang dan usus ke luar tak juga mati. Seterusnya, apa yang terjadi?"
"Danang Sutowijo menjadi giris menghadapi musuh sakti itu. Ia melarikan kudanya, tetapi dikejar Harya Penangsang. Saking gugup akhirnya Sutowijoyo terjatuh. Harya Penangsang menerkam, dengan penuh rasa marah ia mencabut keris dengan maksud membunuh Danang Sutowijoyo. Dalam marahnya ia terlupa ususnya disangkutkan pada gagang keris. Ketika keris itu dicabut, putuslah usus sendiri, kemudian Harya Penangsang roboh tewas."
"Sayang... orang sesakti itu kurang hati-hati." Sarini menyesal.
"Sebaliknya siasat Ki Juni Mrentani hebat sekali, hingga Harya Penangsang tewas ......"
"Ya, Ki Juru Mrentani memang terkenal seorang cerdik pada jamannya. Dan sesuai dengan jasajasanya itu, maka Adipati Hadiwijaya memberi hadiah bumi Pati kepada Ki Penjawi dan bumi Mataram kepada Ki Pemanahan. Pelaksanaan pemberian hadiah itu, sesudah Hadiwijaya diakui sebagai Raja Pajang oleh para wali. Tetapi Hadiwijaya menjadi Raja Pajang itu, hanya mewakili menantunya."
"Eh, mengapa mewakili?" Sarini heran.
"Nampaknya memang aneh, dan akupun bertanya seperti itu kepada guru. Gurupun kemudian menerangkan begini. Sesuai dengan janji Kanjeng Ratu Kalinyamat, apabila berhasil membunuh Harya Penangsang, memang dijanjikan untuk menjadi Raja. Tetapi hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Karena Hadiwijaya bukan keturunan Demak dan hanya anak menantu Sultan Trenggono. Dan yang mempunyai hak menjadi Raja hanyalah keturunan Raja Demak. Untuk itu kemudian dicarilah cara. Putera tunggal Sunan Prawoto, yang bernama Pangeran Pangiri, dikawinkan dengan puteri sulung Hadiwijaya. Sekalipun sesungguhnya, sama-sama belum dewasa... ."
"Belum dewasa mengapa dikawinkan?" Sarini heran.
"Menurut guru, semua itu hanyalah siasat saja. Sebab dengan perkawinan tersebut, Hadiwijaya mempunyai kesempatan untuk mewakili Pangeran Pangiri sebagai Raja. Tetapi karena hanya Raja Wakil, maka keturunan Hadiwijaya tidak berhak menggantikan kedudukan sebagai Raja. Itu pula sebabnya Kerajaan Pajang hanya mengenal seorang Raja, Sultan Hadiwijaya, karena menurut hukum waris, sesudah Hadiwijaya meninggal, hak Kerajan kembali ke tangan Pangeran Pangiri. Tetapi Panembahan Senopati tidak rela. Dipukullah Pajang, sehingga Sultan Hadiwijaya maupun Pangeran Pangiri dikalahkan. Setelah Pajang runtuh. Kerajaan beralih ke Mataram."
"Kakang, jangan membuat aku bingung dengan ceritamu. Tadi engkau mengatakan, bumi Pati dihadiahkan kepada Ki Penjawi dan Mataram kepada Ki Pemanahan. Lalu siapakah Adipati Pragola dan siapa pula Panembahan Senopati?"
Prayoga mengangguk, kemudian jawabnya,
"Guru menerangkan, bahwa Ki Penjawi lalu boyong ke Pati. Untuk mengukuhkan pertalian keluarga, Ki Penjawi lalu berbesan dengan Ki Pemanahan. Sutowijoyo dikawinkan dengan puterinya, atau kakak Adipati Pragola yang kemudian bernama Kanjeng Ratu Emas. Pemuda Sutowijoyo inilah kemudian bergelar Panembahan Senopati, setelah Ki Pemanahan tiada, dan merupakan Raja pertama."
"Kalau begitu antara Pati dan Mataram berkedudukan sama."
"Benar! Sejak Panembahan Senopati sampai Panembahan Anyakrawati, bumi Pati selalu dihargai sebagai bumi perdikan. Akan tetapi raja yang sekarang, Sultan Agung, agaknya berpendirian lain. Beliau ingin berkuasa di seluruh Nusantara. Maka bumi Pati pun harus menjadi bawahan Mataram. Sebaliknya Gusti Adipati Pragola berpendirian lain. kedaulatan atas Pati di tangannya, dan orang lain tidak berhak mencampuri. Dan itu pula sebabnya, Pati akan mempertahankan diri dari serangan Mataram."
Prayoga berhenti sejenak. Sesudah mengamati Sarini, katanya,
"Sudahlah Sari, apapun alasannya peperangan antara Mataram dengan Pati sudah hampir pecah. Pasukan Mataram, kabarnya sudah siap-siaga di Demak. Setiap saat Pati akan digempur oleh pasukan Mataram..."
Sarini mengeluh. Ia berasal dari Demak. lalu ia membayangkan, betapa derita yang akan dialami keluarganya, apabila pasukan Mataram sampai berbuat kekejaman dan kewenangan kepada rakyat yang tak berdosa.
"Pastikan Mataram yang besar itu dipimpin oleh Bupati Sakti mandraguna, bernama Tumenggung Wiroguno." Lanjut Prayoga.
"Dia terkenal sebagai Bupati yang pandai mengatur siasat perang. Ya, dalam hubungan inilah maka guru dipanggil Gusti Adipati. Agaknya Gusti Adipati memerlukan tenaga dan pikiran guru, untuk mempertahankan Pati. Bahkan bukan guru seorang, kemungkinan besar tenagakupun dibutuhkan untuk membantu menegakkan kedaulatan bumi Pati. Itu pula sebabnya guru mengajarkan aku tiga bagian pokok sekaligus, ilmu pedang Kala Prahara. Dan beliau berpesan, apabila setiap bagian pokok belum berhasil aku yakini sampai mahir, aku dilarang berlatih bagian pokok berikutnya."
"Kakang kalau benar Mataram mengganas dan membanggakan kekuatan diri, merupakan kewajiban kita untuk ikut mempertahankan daerah ini. Kakang, apakah guru tidak pernah menyebut-nyebut diriku dan diri mbakyu Mariam?"
"Tidak pernah," sahut Prayoga sambil menggeleng.
"Kakang!" tiba-tiba Sarini berseru.
"Bumi Pati dalam keadaan genting. Setiap saat perang akan pecah. Apakah tidak selayaknya engkau sekarang mengajarkan ketiga bagian pokok ilmu pedang itu kepadaku?"
Prayoga kaget. Apabila memenuhi permintaan Sarini, berarti melanggar pesan gurunya. Jawabnya,
"Apapun alasannya, aku harus taat kepada guru .Tidak mungkin aku berani melanggarnya."
Sarini merengut dan kecewa. Tadi ia menduga, dengan alasan keadaan genting, Prayoga bersedia mengajarkan ilmu pedang itu kepada dirinya. Ternyata harapannya meleset, dan pemuda ketololan ini tidak bisa dibujuk. Karena kecewa, kemudian ia menyindir,
"Huh-huh, kalau yang menyuruh mbakyu Mariam. apakah kau berani membantah?
Wajah Prayoga berubah merah. Nama Mariam yang disebut Sarini itu, bukan lain puteri' tunggal gurunya sendiri. Usianya sekarang, sudah sembilan belas tahun dan merupakan gadis rupawan, bagai bunga indah di tengah belantara Muria. Semenjak meningkat dewasa, diam-diam Prayoga mengagumi dan jatuh cinta kepada puteri gurunya yang jelita bagai bidadari itu. Sungguh sayang, sikap Mariam jinak merpati. Diburu lari, ditinggal mendekati. Di samping itu sebagai kebiasaan anak tunggal, Mariam ini juga merupakan anak manja. Di saat hatinya senang, gadis itu suka bercanda. Tetapi apabila sedang murung, sehari suntuk tak mau berdekatan dan bicara.
Sikap Mariam itu membuat bingung pemuda ini. Ia menjadi bingung dan tak tahu bagaimana harus bersikap. Agak sayang pula, sekalipun pemuda, Prayoga ini malu-malu, jujur tetapi juga agak tolol. Maka benih asmara yang tumbuh dalam hati itu tak pernah ia ungkap.
Sebaliknya Sarini seorang dara yang cerdik, sekalipun usianya baru enambelas tahun. Diam-diam ia tahu juga perasaan Prayoga kepada Mariam. Maka secara sengaja ia mengolok-olok Prayoga dengan menyebut nama Mariam. Ternyata olek-olek itu tepat sasarannya. Wajah pemuda itu sekarang merah padam, dan untuk beberapa saat lamanya bengong.
Akan tetapi betapun tololnya, ia setia kepada guru. Setelah dapat menguasai perasaannya, ia berkata dengan mantap,
"Tanpa ijin guru, sekalipun mbakyu Mariam memberi perintah, aku takkan tunduk!"
"Cih, tak mau mengajari, aku pun tidak akan minta! Huh, siapakah yang sudi minta-minta kepada dirimu" suara nyaring itu bukan suara Sarini, tetapi orang lain.
Prayoga terjingkat kaget. Dan Sarinipun terperanjat. Seperti memperoleh aba, dua orang muda ini memalingkan muka. Tampak kemudian seorang gadis bertubuh ramping tetapi padat berisi, mengenakan baju biru muda dengan kain panjang corak lereng. Rambutnya yang hitam terurai lepas menutup punggung.
Memang cantik jelita dara yang baru muncul itu. Hidungnya mancung, bibir mungil memerah segar tanpa pemerah. Sepasang matanya bersinar-sinar tajam bagai bintang di langit.
Perawan inilah Mariam, puteri tunggal Ali Ngumar, dan yang diam-diam digandrungi oleh Prayoga. Kemunculannya yang tak diharapkan ini membuat Prayoga tak enak hati dan wajahnya pucat, Ia sudah menduga, tentu yang dibicarakan tadi sudah didengar pula oleh Mariam. Ia menjadi serba salah, dan tak tahu apa yang harus di lakukan....
"Bagus, hi-hi hik si tikus berhadapan dengan kucing!" ejek Sarini ditujukan kepada Prayoga.
"Apa katamu sekarang? Mau mengajarkan jurus baru ilmu pedang itu atau tidak? Jika mau, beres! Tetapi jika tidak, hem,... hemm, antara saudara seperguruan tidak boleh terjadi pilih kasih. Mau mengajarkan kepada mbak", harus juga memberi bagian kepadaku."
Prayoga gelagapan. Ia tidak melayani sindiran Sarini, lalu memberi penjelasan kepada Mariam, katanya
"mBakyu, di saat guru akan berangkat ke Pati, beliau sudah berpesan, bahwa baik jurus ke lima, ke enam dan ke tujuh, tidak boleh diajarkan kepada siapapun. Karena pesan guru, tentu saja aku harus taat. Oleh sebab itu apabila kalian sedia kiranya lebih baik apabila melatih ilmu pedang yang lain. Ehh... maksudku, ilmu pedang yang disebut Bumi Ganjing..."
"Apa? Bumi Ganjing?" potong Sarini.
"Apa sebabnya namanyapun baru aku dengar sekarang?"
Prayoga tidak memperdulikan Sarini yang mengacau. Ia melanjutkan, ditujukan kepada Mariam. Katanya,
"Menurut keterangan guru. apabila kedua macam ilmu pedang tersebut dipergunakan oleh seorang pria dan seorang wanita secara serempak, hebatnya tiada tandingan di jagad ini. Sebab masing-masing mempunyai keistimewaan. Orang yang mempelajari ilmu pedang Kala Prahara, sukar menyelami intisari dan kehebatan ilmu pedang Bumi Ganjing itu...."
"Huh, jangan berlagak sok tahu!" cela Mariam angkuh.
"Siapakah yang sudi kau beri pelajaran ilmu pedang? Tetapi eh apakah engkau bermaksud memberi pelajaran secara diam-diam ...?"
Prayoga gelagapan. Jawabnya terbata,
"Ehh... aku... aku tidak berkata begitu eh bukan begitu Tetapi ."
"Hi-hi-hik .." Sarini mengejek dan ketawa cekikikan,
"katakan saja terus terang. Mengapa malu?"
Melihat keadaan Prayoga seperti itu, Mariam tak sampai hati. Kemudian katanya halus,
"Sudahlah, tidak ada yang ingin memaksa engkau mengajari ilmu pedang itu."
Sesuatu yang menghimpit dadanya mendadak menjadi ringan dan longgar. Kemudian ia mengangkat kepala dan mengamati Mariam. Untung saat itu Mariam memandang ke tempat lain.
Sarini yang cerdik memperoleh kesempatan untuk membalas kemangkelannya kepada Prayoga. Gadis ini segera melangkah dan berdiri di samping. Tak lama kemudian dua gadis ini sudah ketawa cekikikan. Prayoga serba salah. Ia menjadi bingung sendiri. Lalu,
"mBakyu aku ." Mariam memalingkan mukanya, alis berkerut, tegurnya,
"Kau, ada apa? Apakah engkau berani melanggar pesan gurumu?"
"Aku tak berani ....." sahutnya cepat.
"Hi-hi-hik .." Sarini mengejek lagi dengan ketawanya.
Prayoga melongo, ia bingung sendiri menjadi bahan ketawaan orang.
Tetapi tiba-tiba Sarini menghentikan ketawanya, lalu berseru.
"Hai, lihat! Apa yang terbang itu?"
Ketika Prayoga dan Mariam berpaling, tampak oleh mereka sesuatu yang bergerak naik dan turun, timbul tenggelam di gumpalan kabut. Ternyata benda itu memancarkan tujuh macam warna. Makin lama semakin dekat. Kemudian tahulah mereka, bahwa benda tersebut sepasang kupu-kupu yang cengkerma.
"Hai, apakah nama kupu itu?" tanya Sarini sambil melonjak, bermaksud menyambar kupu tersebut. Prayoga gembira. Iamerasa tertolong oleh munculnya kupu-kupu tersebut. Ia cepat menyahut,
"Itulah kupu Gajah Sutera! Kupu yang besar, dan warna sayapnya indah beraneka. Sari apakah engkau ingin .......?"
Tetapi tiba-tiba Prayoga berhenti. Sebab ia melihat perobahan wajah Mariam yang cemberut tidak senang. Buru-buru ia beralih menawari Mariam,
"MBakyu! jika engkau ingin kupu-kupu itu biarlah aku yang menangkap."
Sekarang giliran Sarini yang kurang senang. Ejeknya kemudian,
"Hem, baru saja menawari aku, sekarang sudah berubah kepada mbakyu Mariam."
Sindiran itu cepat menyinggung keangkuhan Mariam. Katanya angkuh,
"Hem, siapa butuh kupu-kupu itu? Jika aku menghendaki, akupun dapat menangkap sendiri tanpa menunggu pertolongan orang."
Nyatalah, walaupun tiga orang ini sudah meningkat dewasa. tetapi karena hidup di pegunungan sunyi, jauh dari pergaulan masyarakat, menyebabkan watak dan tabiat Mariam maupun Sarini masih seperti kanak kanak. Cara berpikir mereka amat sederhana. Maka walaupun hanya soal kupu saja, sudah dapat menjadi masalah.
Prayoga menjadi serba salah lagi. Tadi ia bermaksud agar dapat melunakkan hati Mariam, tahu-tahu Sarini mengacau lagi. Dalam keadaan seperti ini, terlintaslah pikirannya untuk dapat menangkap dua ekor kupu itu sekaligus.
Secara kebetulan, dua ekor kupu-kupu itu terbang merendah. Tak banyak pikir lagi, ia meloncat dan menyambar. Dalam hatinya penuh keyakinan, sekali sambar tentu berhasil. Wut... ia menangkap angin. Kupu-kupu yang lincah itu menghindar.
"Ah sayang! .." seru Sarini.
Tetapi Mariam tidak acuh. Ia tetap memandang ke tempat jauh.
Celakanya. dua ekor kupu itu seakan mengejek Prayoga. Binatang itu tidak terbang menjauh, hanya berputaran seakan menantang,
"Tangkaplah aku ......"
Prayoga menjadi panas. Disambarnya lagi dengan gerakan kilat. Wut... usahanya hampa lagi. Dua.., tiga dan empat kali usahanya tak berhasil. Kupu-kupu itu seakan mengejek dan beterbangan di atas kepala Prayoga. Sesudah puas mempermainkan pemuda itu, baru kemudian terbang jauh.
"Sayang dengan kupu saja tidak mampu!" ejek Sarini.
Hati Prayoga menjadi semakin panas oleh ejekan Sarini. Tanpa pikir panjang lagi ia memburu. Tetapi belum jauh bergerak, jurang yang dalam menghadang di depannya. Ia berhenti melangkah, dan akibatnya dua ekor kupu itu sudah terbang jauh.
"Kurang ajar!" Prayoga membanting kakinya. Ia sudah dapat membayangkan, apa lagi ucapan Sarini yang akan diterima, kalau usahanya gagal.
Di saat ia kecewa dan masygul itu, tiba-tiba kupu itu datang kembali.
"lekas sambar !" teriak Sarini.
Kali ini Prayoga tak ingin kehilangan kesempatan. Kakinya menjejak tanah. tubuhnya melenting ke udara lebih tinggi dibanding kupu-kupu. Wut wut... dua kali tangan menyambar, dengan tamparan keras. Akibatnya hewan itu tak kuasa bertahan oleh sambaran angin dan merendah. Prayoga cepat meniup turun dengan maksud untuk menyambar. Tetapi di saat tangan terulur, tibatiba berdesinglah benda putih, meluncur ke arah kupu kupu.
"Up..." Prayoga terkejut dan cepat menarik kembali tangannya. Sedikit terlambat, tentu tangannya sudah terpanggang benda tersebut.
Benda putih itu ternyata senjata rahasia jarum. Luncuran yang kuat langsung menembus sayap. Akibat sayapnya berlubang, kupu itu tak pandai terbang lagi dan meluncur ke bawah.
Sekalipun sejak tadi Mariam bersikap angkuh dan tak acuh, tetapi secara sembunyi, ia memperhatikan gerak_gerik Prayoga. Sebab ia ingin melihat, kepada siapakah nanti kupu-kupu itu diberikan, sesudah tertangkap.
Disamping manja, ia hidup di tempat terpencil. Oleh sebab itu walaupun hanya soal kupu, ia tak mau mengalah kepada Sarini. Maka dalam hatipun ingin mendapatkan kupu, yang indah warnanya itu. Tetapi sekarang, ia menjadi kecewa dan kaget, melihat kupu Gajah Sutera itu akhirnya mati tertembus oleh jarum.
"Kurang ajar!" teriak Sarini nyaring.
"Siapakah yang lancang melepas jarum ini?"
Hidup dan matinya kupu itu bagi Prayoga bukanlah soal. Namun dalam hati penasaran juga, oleh perbuatan tangan jail yang melepas jarum itu. Sepagi ini orang tidak dikenal sudah mendaki Gunung Muria. Kalau orang itu lawan, celaka. Gurunya sedang pergi. Sanggupkah dirinya dan dua orang saudara seperguruan itu menghalau musuh?
Tengah ia termangu, terdengarlah suara orang berseru nyaring.
"Hai, dengarlah! Negara dalam bahaya, pasukan Mataram sudah tiba di Demak. Tetapi mengapa kalian hanya sibuk mengurusi kupu-kupu?"
Belum juga lenyap gema teriakan, itu, melompatlah seorang pemuda dari balik batu besar. Dengan langkah ringan pemuda itu menghampiri mereka bertiga. Dan tiga orang muda ini terbelalak kagum. Sungguh hebat gerakan orang itu. Di samping ringanjuga lincah.
Pemuda itu berwajah tampan.Ia mengenakan pakaian indah tidak bedanya bangsawan. Dan yang mengagumkan, sekalipun saat itu hawa dingin, tetapi pemuda tampan tersebut malah berkipas-kipas seperti orang kegerahan.
Namun hanya sejenak rasa kagum itu mampir di dada Prayoga. Di lain saat rasa tidak senang berkecamuk, atas ucapan tamu tersebut. Sekalipun apa yang diucapkan tadi benar tetapi cara mengucapkannya tidak sopan. Pantaskah tamu mencela tuan rumah?
"Hemm ." ia hanya dapat mendesis. karena tak pandai bicara.
Ternyata Mariam pun menjadi muak dan tidak senang. Gadis ini terang-terangan sudah menegur,
"Apakah sebabnya engkau menjauhkah diri dari kesopanan? Kami sedang bercengkerama dengan kupu itu. Tetapi mengapa kupu tak berdosa itu kau bunuh?"
Pemuda itu ingin membalas mendamprat. Tetapi ketika terbumbuk oleh wajah cantik, menjadi terkesiap. Kata-kata yang sudah disiapkan ditelan kembali, kemudian mengamati wajah ayu itu penuh kagum. Hampir ia tidak percaya, gadis yang berdiri di depannya ini manusia biasa.
Pandang mata tak sopan itu menambah rasa marah Mariam. Tegurnya,
"Hai, apakah sebabnya engkau memandang aku begitu rupa?"
"Maafkan aku," sahut pemuda itu gelagapan.
"Apabila engkau memang suka, kepada kupu Gajah Sutera, akupun dapat memberimu. Kebetulan aku tadi berhasil menangkap sepasang. Apabila kau mau, akan aku persembahkan kepadamu."
Ia telah mengambil sapu tangan. Di dalam lipatan terdapat sepasang kupu-kupu. Tetapi sayang, kupu-kupu lebih kecil dibanding yang terbunuh tadi.
"Sekalipun kecil, tapi kupu-kupu ini cantik," katanya.
"Tetapi ah... engkau malah seribu kali lebih cantik."
Hati Mariam mendongkol mendengar ucapan tamu ini yang kurang ajar. Tetapi di balik itu, entah mengapa sebabnya, gadis ini tertarik akan ketampanan pemuda itu.
Sebagai gadis yang hidup dan dibesarkan di pegunungan dan terpencil pula, sehari-hari hanya bergaul dengan ayah dan dua orang saudara seperguruan. Selama ini ayah maupun saudara seperguruannya tidak pernah memuji kecantikannya. Dalam hati gadis ini merasa bangga sekali.
Setiap manusia yang hidup dan dibentuk oleh lingkungan terbatas, akan menyebabkan manusia itu juiur. sederhana. dan kurang pandai mengenal manusia
baik maupun jahat. Hingga akibatnya mudah tergelincir, tertipu oleh manusia lain. Demikian pula gadis ini. Ia terbuai oleh sanjungan sebagai manusia cantik. Dalam bangga dan senang, tanpa disadari Mariam telah melangkah maju dengan bibir menyungging senyum.
"Ambillah," katanya halus memberikan kupu-kupu.
Tanpa ragu lagi Mariam menerima pemberian kupu-kupu itu. Kemudian seperti orang terbuai oleh mimpi, Mariam menatap pemuda itu. Dua pasang mata bertaut. Dan tiba-tiba saja darah gadis ini berdeburan.Ia kaget sendiri, lalu cepat-cepat menundukkan kepalanya.
Tetapi tidak urung, dalam hati memuji juga ketampanan tamu yang belum ia kenal ini.
Sarini yang lugu itu pun tertarik kepada kupu pemberian pemuda itu. Ia melangkah menghampiri, ia ingin melihat dari jarak dekat.Hanya Prayoga yang tidak senang. Ia mempunyai kesan buruk kepada tamu yang belum ia kenal ini. Jelas tamu ini manusia licik. Kalau tadi begitu datang sudah mengejek tentang kupu-kupu, ternyata tamu inipun menangkap kupu-kupu.
Prayoga pemuda jujur. Apa yang diucapkan merupakan cermin hatinya. Ia tak pernah berdusta, oleh sebab itu iapun menjadi benci kepada setiap orang yang manis di bibir tetapi berduri dalam hati. Tiba-tiba saja ia sudah membentak kasar,
"Hai, apa maksudmu datang ke mari? Dan. siapa pula engkau ini?"
Pemuda itu memutarkan tubuhnya. Ditatapnya Prayoga dalam dalam. Namun kemudian, secercah senyum menghias bibir. Dua belah tangan kemudian disatukan di belakang pantat, ia menengadah, tidak melayani teguran Prayoga, malah kemudian memalingkan muka.
Hampir meledak dada Prayoga oleh sikap orang.
Betapapun baginya membela guru dan tempat ini merupakan kewajibannya. Sekalipun harus bertaruh nyawa, ia tidak takut. Bukankah dirinya sudah mati beberapa tahun yang lalu, kalau tidak ditolong oleh Ali Ngumar?
Sebelum hidup ditempat ini dan diangkat sebagai murid Ali Ngumar, bocah bernama Prayoga ini seorang penggembala. Ya, penggembala yang malang. Ia hidup hanya menggantungkan belas kasihan orang. Enam tahun yang lalu, Prayoga ditemukan dan di tolong Ali Ngumar dalam keadaan setengah mati dan berlumur darah. Akibat kesalahan tak berarti, Prayoga sudah dihajar, dengan cambuk oleh majikannya.
Ali Ngumar terketuk hati dan perasaannya. Ditolong Prayoga, kemudian dibawa pulang dan diangkat sebagai murid. Ternyata Prayoga seorang bocah yang jujur dan tekun. Hanya agak sayang berotak tidak cerdas. Sekalipun demikian, Ali Ngumar amat sayang kepada bocah ini.
Karena dampratannya dianggap sepele, Prayoga menjadi panas dan akan mendamprat lagi. Tetapi belum sempat membuka mulut, sudah didahului oleh Mariam yang memuji kupu pemberian pemuda itu.
"Aih, kupu ini bagus sekali... ."
Pemuda itu gembira sekali. Dengan tutur katanya yang halus, ia berkata,
"Ya. kupu itu bagus seperti orang yang memberi. Maafkan aku yang lancang, datang tanpa lapor kepada nona. Tetapi aku datang ke mari tidak bermaksud jahat. Aku bernama Swara Manis, dan datang ke mari ingin bertemu dengan Ki Ali Ngumar. Aku tertarik datang ke mari, tertarik oleh nama harum sebagai seorang sakti mandraguna."
Prayoga tambah curiga mendengar ucapan ini. Diam-diam ia waspada menjaga segala kemungkinan.
Sarini mempunyai tanggapan lain. Di samping curiga, ia berpendapat tamu ini seorang yang suka menyombongkan diri.
Sebaliknya tanggapan Mariam lain lagi. Sebagai seorang anak Ali Ngumar yang luas pergaulan, tahu belaka bahwa manusia di dunia ini mempunyai watak yang berlain-lainan. Oleh sebab itu tanpa didesak, ia sudah menerangkan,
"Maafkan saudara, saat ini ayahku sedang pergi. Marilah datang ke rumah, dan kita tunggu disana."
"Ahh, maafkanlah kekurangajaranku," tiba-tiba Swara Manis membungkuk memberi hormat.
"Jadi nona puteri paman Ali Ngumar?"
Mariam tersenyum, jawabnya,
"Benar. Namaku Mariam."
Prayoga menjadi serba salah. Ia curiga dan tidak senang akan kehadiran tamu tak diundang itu. Celakanya, puteri gurunya malah menyambut tamu ini dengan ramah. Padahal dirinya hams ikut bertanggung jawab pula apabila terjadi sesuatu. Sayang sekali Mariam seperti tidak mengacuhkan dirinya. Dalam kemendongkolannya tiba-tiba ia telah melompat, lalu lari secepat terbang meninggalkan mereka.
Tak lama kemudian tibalah di pondok. Ia langsung masuk ke bilik dan menyambar baju kulit binatang sebagai penahan dingin. Ia tak berhenti. Ia kembali berlarian cepat sambil mengenakan baju. Kemudian seperti terbang, menuruni Gunung Muria.
Namun tak lama kemudian ia terkejut. HidUngnya menghirup bau tak sedap. Tak urung hidungnya kembang-kempis sambil menuju ke arah bau yang membuat perutnya lapar mendadak itu. Kemudian ia terkesiap. Terlindung oleh batu besar, ia melihat seorang laki-laki kerdil (cebol), kepalanya gundul tanpa ikat kepala. Kumisnya tebal, sedang jenggotnya menjuntai sampai dada. Kakek itu berdiri diam dan tak
bergerak, menghadapi sebuah belanga yang tengah dipanasi dengan kayu. Anehnya kakek ini menggigit tongkat pendek, seperti anjing sedang menggigit tulang.


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tahulah Prayoga sekarang, bau sedap itu disebarkan oleh belanga yang dipanasi oleh kakek kerdil itu. Ia cepat menyembunyikan diri di balik rimpun pohon. Keinginan tahunya mendorong dirinya harus berpikir, untuk mengintip apa yang dilakukan kakek ini.
Namun demikian yang membuat dirinya harus berpikir, mengapa di tempat ini berdiam kakek itu? Telah bertahun-tahun lamanya ia hidup di tempat ini. Gurunya belum pernah menceritakan tetangga ini. Mungkinkah kakek kerdil yang tingginya hanya sebatas perutnya ini pendatang baru?
Ia mengamati penuh perhatian. Tetapi celakanya perut semakin lapar dan berbunyi berkeruyuk. Bau sedap itulah yang membuat dirinya hampir tidak tahan lagi. Di saat perutnya melilit-lilit kelaparan itu, si kakek menggunakan tongkat pendek yang semula digigit, untuk mengaduk belanga.
Sudah cukup lama Prayoga mengintip dan menunggu. Tetapi belum juga terjadi perobahan. Belanga masih tetap dipanasi; dan uap mengepul menyebarkan bau sedap. Si kakek sendiri tetap berdiri diam, tetapi perhatian sepenuhnya ditujukan ke belanga.
Kenyataan ini membuat Prayoga tak tahan lagi. Timbullah keinginannya untuk pergi saja, dan tidak ingin mengganggu kakek ini. Akan tetapi belum juga ia bergerak dan melangkah, tiba-tiba telinganya mendengar suara mendesis keras, Ia kaget. Ia berdiam diri dan perhatian kembali ditujukan kepada kakek kerdil itu. Tampak kakek itu wajahnya berseri, dan matanya bersinar. Agaknya suara mendesis keras itulah yang diharapkan kakek ini sejak tadi.
Desis itu semakin terdengar jelas. Dan Prayoga baru sadar, bahwa suara itu bukan lain desis ular. Mungkinkah kakek kerdil ini seorang pawang ular. dan menarik perhatian ular dengan bau sedap?
Prayoga mengamati sekeliling. Kemudian tampak olehnya sebuah lubang tak jauh dari tempat kakek itu berdiri. Setelah dilihat seksama, lubang itu menjadi lebih nyata. Dan sesudah memperhatikan, barulah sadar bahwa di sekeliling lubang itu, dalam jarak sedepa keliling, rumputpun tidak tumbuh. Ini merupakan keanehan. Pinggang gunung ini merupakan bagian yang subur, dan rumput tumbuh menghijau. Kalau rumputpun tak dapat tumbuh di dekat lubang itu, kiranya oleh pengaruh bisa ular yang menghuni lubang itu. Perhatiannya semakin tertarik. Jelas bahwa ular yang mendesis tadi, merupakan ular yang amat berbisa.
Tak lama kemudian ular tersebut keluar dari lubang. Tetapi Prajoga menjadi heran. Ternyata lubang yang cukup lebar itu hanya dihuni oleh seekor ular sebesar ibu jari tangan orang dewasa. Tetapi sekalipun kecil, ada yang menarik juga. Tubuh ular tersebut berwarna hijau cerah, dan bagian kepala berwarna merah darah. Sambil merayap keluar, lidah ular itu menjulur panjang dengan warna merah. Sambil merayap kemudian ular sebut mengangkat kepala, seakan sedang memperhatikan sekeliling.
Kakek kerdil itu masih diam seperti patung. Namun demikian sepasang matanya selalu waspada, memperhatikan gerak-gerik ular yang baru keluar dari lubang.
Sebaliknya Prayoga baru sadar dan terkesiap. Ular itu disebut orang dengan nama "Gadung Dahana" atau. Gadung Geni", yang bisanya amat jahat dan galak. Panjang ular itu sekitar satu depa, dan dalam jarak agak jauh, semburan bisanya sudah sanggup mematikan orang.
Ketika itu si ular sudah merayap perlahan meninggalkan lubang. Agaknya ular ini terangsang bau sedap dari belanga. Buktinya ular tersebut langsung menghampiri belanga yang masih mengepul tersebut, dan tiba-tiba mengeliat, dan berdiri dengan ekor untuk menjenguk isi belanga yang menebarkan bau sedap itu.
Pada saat itu si kakek bertindak cepat.Ia melesat dengan maksud menangkapnya. Prayoga melongo, karena gerakan kakek itu cepat tak bersuara.
Tetapi indera pendengaran ular itu tajam sekali. Kepalanya memutar ke belakang siap menyemburkan bisa, sambil tubuhnya surut ke belakang untuk kembali masuk lubang. Gerakan ular itu cepat dan gesit, tetapi masih juga kalah gesit dengan gerakan kakek kerdil itu, kemudian tangan kerdil itu berusaha menangkapnya. Dalam membela diri, ular tersebut menyemburkan hawa beracun. Kemudian dalam keadaan siap, ular itu akan mematuk sambil membuka mulut.
Tetapi kakek kerdil itu tidak takut. Ia tak menghindar dan mundur, malah membuka mulut, seperti siap untuk menggigit ular berbisa itu.
Tak urung Prayoga terkejut juga menyaksikan adegan ini. Sudah gilakah kakek ini? Seharusnya kakek itu menghindar dan membela diri, bukannya menirukan ular dengan cara membuka mulut. Akibatnya, tak tertahan lagi pemuda ini sudah berseru,
"Hai .......!" Seruan itu tidak begitu keras. Tetapi sudah cukup membuat ular dan kakek itu tertegun. Hanya sebentar keadaan itu berlangsung. Namun kesempatan ini sudah dapat dipergunakan oleh ular untuk masuk kembali ke liangnya.
Wajah kakek kerdil itu tiba-tiba merah padam.Ia kecewa dan marah, karena ular yang sudah hampir tertangkap itu lolos. Tiba-tiba brak belanga yang
mengepulkan uap panas itu ditendang, kemudian melayang ke arah Prayoga bersembunyi.
Prayuga kaget sekali. Belanga itu berisi air mendidih. Jika sampai mengenai dirinya, tak urung akan mati dengan tubuh matang. Ia belum mau mati. Dengan gesit ia melompat untuk menghindar. Bum... belanga itu terbanting ke tanah, hancur berkeping-keping, air panas menyiram apa saja di sekitarnya.
Prayoga menyempatkan diri melihat isi belanga. Mendadak ia bergidik ngeri. Ternyata yang direbus dan menebarkan bau sedap itu, berasal dari binatang kadal, cacing, walang dan katak.
"Bocah gila!" bentak kakek itu sambil berkacak pinggang, dan matanya mendelik.
"Mengapa engkau lancang dan mengganggu urusan Ndara Menggung?"
Prayoga terbelalak. Kakek itu kerdil, dan kalau berdiri hanya sebatas perutnya. Tetapi yang mengherankan, suara kakek itu seperti bunyi guntur.
"Maafkan saya, Ndara Menggung," pinta pemuda ini yang sudah menginsyafi kesalahannya.
"Sungguh mati, aku tadi berseru kerena kaget dan mengkhawatirkan keselamatan Ndara Menggung, kalau sampai digigit ular."
Sekalipun tidak tahu artinya, Prayoga terpaksa meniru menyebut "Ndara Menggung".
"Hai bocah!" seru kakek itu sambil mengerutkan alis.
"Aku belum kenal denganmu, dan engkau belum kenal aku. Tetapi apa sebabnya engkau sudah tahu bahwa aku ini Ndara Menggung?"
Sayang juga Prayoga bukan pemuda yang pandai bicara dan bersikap jujur. Ia "tak dapat mempemainkan kakek ini, kemudian menjawab,
"Bukankah Ndara Menggung sendiri yang sudah memperkenalkan nama?"
Plak-plak. tiba-tiba kakek ini menampar kepalanya sendiri, terus menggumam,
"Benar! Engkau belum kenal Ndara Menggung, dan Ndara Menggung juga belum kenal dengan engkau. Hemm, bagus! Dengan begitu di antara kita belum terikat persahabatan. Huh, engkau sudah menyebabkan gagalnya usaha Ndara Menggung. Engkau yang datang dan mengacau. Sekarang, apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan urusan ini?"
Hampir saja Prayoga tak kuasa menahan gelaknya, mendengar ucapan itu. Namun dasar tidak pandai bicara dan juga jujur, pemuda ini kemudian menjawab,
"Ndara Menggung, aku sendiripun tidak tahu bagaimanakah cara menyelesaikan urusan ini. Sekarang, lebih baik kiranya jika Ndara Menggung sendiri yang memberi keputusan."
"Bocah edan! Kau berani mempermainkan Ndara Menggung?" bentaknya.
Prayoga melongo heran dan kaget. Jawabnya cepat,
"Tidak! Aku tak berani mempermainkan Ndara Menggung."
Ndara Menggung berdiam diri. Tetapi hanya sejenak, tiba-tiba ia mengibaskan tangan ke arah batu. Prak! batu yang keras itu sudah hancur.
Prayoga terkesiap. Dengan pukulan tangan saja, kakek ini sanggup menghancurkan batu. Kalau saja dirinya yang dijadikan sasaran, apakah dirinya masih hidup? Sadarlah ia sekarang berhadapan dengan kakek linglung yang sakti. Apabila salah ucap dirinya bisa celaka.
Tiba-tiba kakek itu membentak lagi.
"Hai! Masih beranikah engkau, mempermainkan Ndara Menggnng? Engkau harus tahu bahwa Ndara Menggung hanya ngerti makan tetapi tidak pandai berpikir. Huh, engkau jangan mengajak Ndara Menggung memikirkan sesuatu. Tetapi Ndara Menggung lebih senang diajak
makan tahu bacem, telor dadar, nasi goreng, telor busuk"
Hampir meledak ketawa Prayoga mendengar disebutnya telor busuk itu. Tetapi bagaimanapun ia harus dapat menahan ketawanya, agar kakek itu tidak tambah marah. Usaha menahan ketawa itu memang berhasil. Namun celakanya, perut terasa mules, dan tiba-tiba keluarlah gas busuk dari perut, tut, tut, tut tut... .
Kentut itu menggagalkan usahanya menahan mulut. Akhirnya meledaklah ketawa bocah ini keras-keras.
"Haha-ha-ha... ."
Walaupun Prayoga ketawa bergelak-gelak, tetapi Ndara Menggung tidak marah dan hanya memandang saja. Akan tetapi wajah kakek itu tiba-tiba berubah, ketika mendengar suara logam yang disembunyikan dalam baju, gemerincing menyentuh baju.
"Hai! Ternyata engaku bisa juga berkelahi?" bentak kakek itu.
Prayoga menekap telinga merasa bising. Kemudian ia berdiri, membungkuk, memberi hormat sambil meminta.
"Ndara Menggung, saya masih sayang kepada telingaku. Maka saya mohon, hendaknya Ndara Menggung bicara perlahan saja."
"Heh-heh-heh-heh." Ndara Menggung terkekeh.
"Jawablah cepat. Engkau mengerti ilmu tata kelahi apa tidak? Engkau membawa pedang. Engkau tidak dapat dusta di depan Ndara Menggung."
"Ya, bisa. Tetapi jelek sekali!" Prayoga terpaksa mengaku.
Ndara Menggung berdiam diri. Agaknya puas oleh jawaban Prayoga, kemudian teringat lagi kepada kegagalannya menangkap ular. Katanya perlahan.
"Engkau tadi telah menggagalkan usahaku. Sekali gagal tidak mungkin bisa diulang hari ini. Dengan kegagalan ini, berarti aku harus sabar menunggu waktu lebih kurang satu bulan lagi."
Ndara Menggung menekuk jari tangan, tampak sedang berhitung. Tetapi tak lama kemudian, ia berkata lagi.
"Hemm, sebagai akibat gangguanmu, aku harus menunggu waktu sebulan lagi. Sekarang begini putusanku. Engkau bisa main pedang, maka Ndara Menggnug minta ganti rugi dengan tukar ilmu pedang. Nah, engkau harus memberi pelajaran ilmu pedang kepada Ndara Menggung. Tidak banyak. Tiga jurus saja sudah cukup. Bukankah ini adil? Jika engkau berani membantah, hem tahu rasa. Aku tak segan melemparkan tubuhmu ke dalam jurang sana."
Wajah Prayoga pucat. Dengan nada gemetar, ia menjawab.
"Ndara Menggung, jangan salah sangka. Bukannya aku tak mau mengajarimu. Tetapi yang jelas aku tidak berani lancang, sebelum memperoleh ijin guru." Tiba-tiba mata kakek itu mendelik. Hardiknya kemudian.
"Siapakah gurumu?"
"Guruku bernama Ali Ngumar, yang hidup mengasingkan diri di Muria ini."
"Hemm, Ali Ngumar? tirunya.
"Benarkah Ali Ngumar?"
Prayoga mengangguk. "Sudah puluhan tahun Ndara Menggung menjelajahi sudut Pulau Jawa, dan sudah pernah pula aku menyeberang laut. Hemm, sudah tidak terhitung jumlahnya manusia sakti yang aku kenal namanya. Tetapi aku belum pernah mendengar nama Ali Ngumar."
Agak tak senang Prayoga mendengar ucapan kakek ini. Nama gurunya cukup terkenal, tetapi mengapa kakek ini belum kenal? Namun, ia tak sempat menerangkan, karena kakek ini sudah berkata lagi.
"Hemm... tak perduli Ali Ngumar. Tidak perduli pula Ali Kentut! Huh, aku tahu bahwa ilmu pedangmu hanya semacam cakar ayam dan ilmu pedang murahan. Huh, aku tidak sudi! Tetapi eh. biarlah aku melihat barang sejurus, agar aku dapat menilainya."
Prayoga menyadari bahwa ilmu pedang ajaran gurunya, penuh gaya dan perubahan, indah dan berbahaya. Akan tetapi kalau hanya satu jurus saja, tidak ada salahnya. Terpikir demikian, ia segera mencabut pedang. Dalam hati ia tidak ingin terlalu lama terlibat dengan kakek ini. Pikirannya melayang kembali kepada dua orang saudara perguruan, Mariam dan Sarini.
Prayoga sudah mulai menggerakkan pedang, mencuat memapas ke atas, dua jari tangan kiri mengembang mengimbangi gerakan pedang, dan sesaat-kemudian pedang itu sudah berdesingan menyambar udara. Tiba-tiba Ndara Menggung melesat ke belakang, sambil berteriak.
"Hai. Prahara Bay u!"
Prayoga terkesiap. Cepat-cepat ia menghentikan gerak pedangnya, bertanya.
"Mengapa Ndara Menggung tahu?"
"Kilat Buwono!" Ndara Menggung tidak menyahut, tetapi malah menyebut salah satu nama.
"Apa?" ulang Prayoga.
"Ladrang Kuning!" teriak kakek itu lagi.
Prayoga menjadi melongo heran. Tetapi karena penasaran pertanyaannya tidak dijawab, ia membentak.
"Apa katamu?" Wutt! tiba-tiba kakek kerdil itu sudah melesat maiu. Seienak ia telah meloncat ke belakang lagi, sejauh satu tombak. Tetapi hebatnya walaupun berloncatan maju dan mundur, kaki kakek itu tidak tampak bergoyang. Hanya tumitnya yang seperti mempunyai daya membal. Melihat itu diam-diam Prayoga tahu bahwa Ndara Menggung sedang memamerkan ilmu kesaktian, dengan menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi. Tenaga dalam yang disalurkan ke tumit, kemudian dapat membal seperti itu. Sekarang menjadi jelas, kakek kerdil ini termasuk tokoh angkatan tua yang sakti. Namun yang membuat Prayoga tidak mengerti, mengapa dengan berloncatan maju mundur itu, si kakek terus-menerus berseru.
"Kilat Buwana dan Ladrang Kuning?"
Belum juga memperoleh jawaban atas keheranannya itu, tiba-tiba Ndara Menggung bertanya.
"Hai bocah, sepasang ilmu pedang Kilat Buwana dan Ladrang Kuning itu pernah menggetarkan jagad. Dan sepasang pedang itu ditakuti semua orang pada puluhan tahun lalu. Apakah hubunganmu dengan Kilat Buwana?"
"Apa?" Prayoga melengak.
"Kilat Buwana? Huh, aku sudah enam tahun belajar dan berguru di tempat ini. Tetapi di sini tidak ada orang lain kecuali guruku, mbakyu Mariam dan adik Sarini. Oh ya, masih ada seorang lagi, pembantu rumah tangga guruku yang sudah tua dan mempunyai cacat gagu."
Tetapi kakek kerdil itu malah mendelik,Ia tidak mau percaya, kemudian ia bertanya.
"Hai bocah! Engkau berani bohong kepada Ndara Menggung? Jika tidak kenal dengan Kilat Buwana, mengapa engkau dapat menggunakan ilmu pedang Kala Prahara ? Hayo, cepat jawab!"
"llmu pedang itu ajaran guruku sendiri." Prayoga menjawab.
"Siapa gurumu?" desak Ndara Menggung.
Prayoga menjadi jengkel.Ia tadi telah menyebut nama gurunya. Tetapi mengapa kakek ini masih bertanya? Saking jengkel ia berteriak.
"Guruku bernama Ali Ngumar. Dengar apa tidak Ali Ngumar!"
Celakanya kakek kerdil ini seperti tidak mendengar.
"Hemm, cepat pulanglah!" perintah kakek kerdil itu kemudian.
"Beritahukan kepada Kilat Buwana. Katakanlah bahwa Ndara Manggung sudah amat rindu. Dan sampaikanlah pesanku kepadanya. Ndara Menggung bukan takut bertemu, tetapi hem ."
Kakek kerdil itu menghentikan kata-katanya. Lalu ia miringkan kepala seperti sedang berpikir. Sesaat kemudian terdengar ia berseru.
"Ahh... aku tidak ingin berjumpa. Apa alasannya? Huh. coba engkau katakan saja kepadanya, Ndara Menggung tidak dapat meneruskan alasannya. Ya, Ndara Menggung memang tidak dapat berpikir... ."
Tiba-tiba Prayoga kaget. Kakek itu telah melesat mundur, lalu lari seperti terbang menuruni pinggang bukit. Kakek itu lari cepat sekali Seperti anak panah lepas dari busur.
Prayoga menghela napas. Berhadapan dengan kakek linglung, hanya membuang waktu saja. Karena itu ia segera angkat kaki.Ia lewat jalan setapak menuju pondok. Namun ketika ia mengamati ke bagian atas, Prayoga terkesiap. Tampak di sana beberapa bayangan orang, tengah berlarian cepat menuju puncak.
Dalam hati ia menyesal sendiri, mengapa tadi meninggalkan Sarini dan Mariam. Padahal ia belum mengenal watak pemuda tampan tadi, yang mengaku bernama Swara Manis. Siapakah sebenarnya pemuda tadi?
Akan tetapi ketika teringat sikap Mariam tadi, diam diam ia pun mendongkol. Bukankah sikap Mariam
kepada Swara Manis begitu manis?
Untuk beberapa jenak pemuda ini terombang ambing. Namun tidak lama, kesadaran dan rasa tanggung jawabnya bersemayam kembali. Bagaimanapun timbullah kekhawatirannya dalam hati. Karena itu sekali mengayunkan kaki, ia telah berlarian secepat terbang.
Tak lama kemudian tibalah pemuda ini di tempat yang di tuju. ia berhasil menyusul orang tadi yang tampak berkelebat. Temyata mereka terdiri enam orang. Di antara mereka seorang bertubuh tinggi besar.
Hatinya tambah gelisah. Dipercepat langkah larinya agar tidak terlambat. Semakin dekat dengan enam orang tersebut, makin jelaslah memandang mereka. Seorang bertubuh gemuk, mengenakan pakaian kedodoran, dan berjubah seperti pendeta. Dan di antara mereka, terdapat seorang wanita muda berwajah cantik, tetapi wajahnya selalu murung.
Enam orang itupun tampak terkejut merasa dikejar orang. Mereka memalingkan muka dan heran. Sebab mereka sadar, yaqg dapat menyusul, jelas bukan orang sembarangan.
Laki-laki brewok mengamati Prayoga seksama. Kemudian terdengar ia bicara.
"Hemm orang tidak menduga bahwa Gunung Muria menjadi tempat bersembunyi harimau dan singa. Hem tentunya bocah itupun salah seorang murid Ali Ngumar."
"Apakah kalian mencari guruku?" tanya Prayoga setelah mendengar nama gurunya disebut-sebut.
"Dan apakah maksud kalian datang ke mari?"
Prayoga seorang pemuda sederhana dan jujur. Tetapi merasa belum kenal, ia menjadi curiga. Dan mengapa di saat gurunya tidak di rumah mereka sekarang malah berkunjung?
Yang bertubuh gemuk cepat menjawab
"Aih, kiranya engkau murid Ali Ngumar? Aku ingin bertanya, apakah gurumu di rumah? Apabila ada, sampaikan pesan kami. Kami datang dari Gunung Kendeng, dan ingin bertemu."
Prayoga teringat kepada Swara Manis yang telah datang lebih dahulu. Karena curiga, ia cepat bertanya,
"Tadi sudah ada orang ke mari, bernama Swara Manis. Apakah dia termasuk rombonganmu?"
"Aha, kiranya kakang Swara Manis telah datang lebih dahulu" si brewok berseru. Dan tampak sekali, si brewok itu gembira mendengar Swara Manis telah hadir di gunung ini.
Tetapi orang gemuk itu tampak tidak senang. Ia ketawa tawar, lalu berkata dengan nada mengejek.
"Hemm, langkah kaki yang cepat dapat menyebabkan jiwa selamat."
Tiga orang brewok itu mendelik ke arah si gemuk. Tampak sekali di antara mereka sendiri tidak akur. Untung juga sebelum terjadi sesuatu, si perempuan yang agak tua sudah berkata,
"Hemm, apakah kalian sengaja membuat onar di sini? Belum juga ketemu dengan tuan rumah, mengapa sudah ribut sendiri di depan orang lebih muda? Huh, kamu tidak tahu malu!"
Agaknya si gemuk maupun brewok tadi gentar juga kepada wanita itu. Buktinya mereka tidak membuka mulut lagi.
Akan tetapi tiba-tiba si wanita yang muda sudah maju menghampiri Prayoga sambil bertanya.
"Adik yang baik, bolehkah aku bertanya. Sudah lamakah kakang Swara Manis hadir di sini?"
Prayoga mengamati wanita itu dengan seksama. Wanita ini usianya baru sekitar dua puluh lima tahun.
dan parasnya lumayan. Namun diam-diam pemuda ini kemudian merasa malu sendiri memperhatikan wanita yang belum dikenal. Jawabnya kemudian.
"Sudah agak lama juga."
Perempuan ini mendengus. Tiba-tiba Prayoga menjadi heran dan tercengang. Karena tanpa sebab perempuan itu telah berlinang airmata. Apakah sebabnya?
Karena tidak tega, sebelum ditanya pemuda jujur ini sudah menerangkan.
"Sejak kemarin guru pergi. Kalau kalian ingin bertemu dengan beliau, hendaknya..."
Ucapan Prayoga ini terputus oleh seruan wanita muda itu.
"mbakyu Darmi! Dapatkah engkau menduga ke mana dia pergi ?"
Prayoga terkejut ketika mendengar jawaban Darmi yang tepat.
"Hemm, ke mana lagi kalau tidak ke Pati dan bertemu dengan Adipati Pragola?"
"Ahh, kalau begitu kita datang terlambat!" seru si gemuk dengan nada menyesal.
"Kita datang bersama dengan satu tujuan dan maksud yang sama. Jika dia tahu kehadiran kita, tentu dia akan bergegas pulang." Darmi berkata.
"Ohh... ." si gemuk berseru kaget. Namun kemudian ia berkata.
"Benar juga mbakyu, dugaanmu."
Kemudian ia mengalihkan pandang kepada Prayoga. Ia bertanya.
"Saudara kecil,jika gurumu tidak pulang hari ini, bukankah esok pagi akan pulang juga? Hemm, tak apalah. Untuk menunggu gurumu, kami dapat menginap di pondoknya. Mari cepat kita berangkat, dan antarkanlah!"
Prayoga tidak menyahut. Walaupun otaknya tidak cendik, tetapi ia menjadi curiga mendengar ucapan mereka yang menyebut nama Adipati Pragola. Siapa
tahu kalau mereka ini musuh gurunya. Dan jika benar, repot juga. Jumlah mereka banyak, sedang gurunya tidak ada.
Tetapi bagaimanapun dirinya sekarang ini terpojok. Ia tidak mempunyai alasan menolak mereka. Lalu ia memutuskan, biarlah mereka ini diterima di pondok, kemudian masih mempunyai kesempatan untuk berunding dengan Sarini dan Mariam.
Tak lama kemudian pondok Ali Ngumar sudah tampak. Tetapi ketika jaraknya sudah dekat dengan pondok, pemuda ini terkesiap. Ia mendengar suara ketawa riang gembira. Kiranya Swara Manis sedang bercanda-dengan Mariam dan Sarini.
Prayoga mengerutkan alis. Bagaimanapun timbul rasa curiga dan cemburunya. Lalu dengan suara keras ia berseru.
"mBakyu Mariam! Datang enam orang tamu yang ingin bertemu guru!"
Tak lama kemudian Mariam tampak menyembul dari pintu pondok. Prayoga mengamati gadis itu dan heran, melihat wajah yang berseri tampak gembira. Selama ini ia belum pernah menyaksikan wajah Mariam berseri seperti hari ini.
"Mana tamunya?" tanya Mariam.
Belum sempat Prayoga menyahut, muncullah Swara Manis dan Sarini. Ketika melihat rombongan tamu tersebut, tiba-tiba Swara Manis sudah berkata.
"Hai Rajikun, Rajiman dan Rajimin. Kalian datang juga? Mari, kalian aku perkenalkan dengan penghuni gunung ini."
Swara Manis begitu ramah melihat tiga orang brewok itu. Tetapi sebaliknya kepada si gemuk tidak menyapa, dan si gemuk itupun tidak perduli, malah tertawa dingin.
Sebaliknya Sarini menjadi curiga melihat kehadiran orang-orang ini. Ia menghampiri Prayoga, lalu bertanya perlahan,
"Kakang, siapakah orang-orang ini? Lawan atau kawan?"
"Hem, entah!" sahut Prayoga.
"Aku sendiri juga belum tahu. Tetapi di saat guru tidak di rumah seperti ini, bagaimanapun membuat kita sibuk."
Agaknya Swara Manis sempat menangkap apa yang dibicarakan Sarini dan Prayoga. Pemuda tampan ini berkata dengan nada menghibur.
"Adik Sari, jangan khawatir. Orang-orang ini sahabatku semuanya."
"Bajingan tengik!" umpat Prayoga dalam hati. Ia mendongkol dan iri. Mengapa dalam waktu singkat, Swara Manis, sudah dapat memikat Mariam dan Sarini, sehingga hubungan mereka begitu dekat.
Tetapi bagaimanapun, mereka itu tamu. Sekalipun curiga harus dihormati. Dan lewat mulut Swara Manis itupun kemudian ia tahu, bahwa enam orang tamu itu bernama Darmi, Rajikun, Rajiman, Rajimin, Marsih dan Sugriwo. Kemudian mereka semua dipersilahkan masuk ke dalam pondok.
Namun sesudah di dalam pondok, suasana kaku. Prayoga yang tak pandai bicara itu tidak tahu, bagaimana harus memulai. Sedang Mariam tampak malumalu, dan Sarini yang biasanya ceriwis itupun tidak membuka mulut.
Tetapi gadis Marsih seperti tidak memperdulikan semua itu. Gadis ini lebih senang menatap wajah Swara Manis. Dari tatapan matanya, tampak sekali bahwa gadis ini mengharapkan sesuatu. Namun seperti sebelumnya, Swara Manis tampak tak acuh kepada gadis itu.
Dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba terdengar suara langkah orang menghampiri pondok. Sesaat kemudian muncullah seorang laki-laki bongkok dengan muka kotor dan mata merah. Tetapi si bongkok ini
pembantu Ali Ngumar. ia datang membawa penampan, untuk menjamu kepada seluruh tamu.
Namun wajah Sugriwo tiba-tiba berubah wajahnya dan bangkit, ketika melihat si bongkok. Entah mengapa sebabnya, mata Sugriwo sekarang berapi-api.
Akan tetapi laki-laki bongkok itu tampak tak a-cuh. Ia seperti tidak melihat sikap Sugriwo . Setelah memberi isyarat kepada Prayoga, kemudian ia meninggalkan pondok.
Sugriwo mengikuti si bongkok dengan pandangan matanya tetap berapi. Sesudah bayangan bongkok tidak tampak lagi, ia menatap Prayoga sambil bertanya,
"Saudara Prayoga, maafkanlah. Siapakah laki-laki tua bongkok tadi?"
Prayoga merasa aneh. Namun ia , menjawab juga.
"Dia pembantu rumah tangga ini. Dia bukan saja cacat bongkok, tetapi juga bisu dan tuli. Sejak aku berguru di sini, dia sudah lebih lama di sini."
Sugriwo tak berkata lagi, namun, tampak tidak puas dan bersungut-sungut.
Tiba-tiba Swara Manis berkata.
"Aih, apakah sebabnya si gemuk bertanya tentang laki-laki bongkok itu?"
Ucapan Swara Manis itu dirasakan tengik. Maka Sugriwo menjawab dengan nada tengik juga.
"Huh, jangan mencampuri urusanku!"
Tetapi agaknya ucapan Swara Manis tadi memang disengaja. Buktinya pemuda ini sudah bangkit dan tersinggung. Kemudian menegur dengan angkuh.
"Hai, apa katamu?"
Agaknya Sugriwo memang jeri kepada Swara Manis. Atas teguran itu tak menjawab.
Rajikun tersenyum. Ia memperoleh kesempatan baik.Katanya
"Swara manis! Dalam perjalanan tadi, Dia mengejek engkau. Dia mengatakan, engkau cepat kaki dan cepat pula menyelamatkan diri."
"Apa?" seru Swara Manis.
"Benarkah itu?"
"Kalau benar, bagaimana?" akhirnya Sugriwo membuka mulut. Agaknya laki-laki ini tak mau direndahkan di depan orang.
Sugriwo telah bangkit dan siap siaga. Swara Manis dengan mata berapi juga melangkah perlahan menghampiri.
Suasana menjadi tegang. Di antara mereka ini yang paling tegang, tidak lain Mariam. Secara tiba-tiba gadis gunung yang kurang pergaulan ini, cepat terpukau oleh wajah tampan dan pengetahuannya yang luas, ketika mereka tadi berbicara. Tak mengherankan kiranya, kalau gadis ini mengkhawatirkan keselamatan Swara Manis. Oleh sebab itu dalam hati sudah memutuskan, apabila diperlukan, dirinya akan membantu Swara Manis yang telah mencuri hatinya.
Sebaliknya, sejak tadi perhatian Prayoga selalu ditujukan kepada Mariam. Melihat sikap Mariam kepada Swara Manis ini, dalam hati amat mendongkol. ia sangat cemburu. Maka dalam hati berharap agar Sugriwo dapat menghajar Swara Manis.
Anehnya, tidak seorangpun di antara tamu tersebut yang berusaha mencegah perkelahian itu. Malah Darmi yang mempunyai pengaruh, pura-pura tidak tahu. Kemudian terdengar suara Swara Manis yang mengejek.
"Huh, aku ingin melihat. Dapatkah engkau menyelamatkan Jiwamu secara cepat?"
Ucapan itu disusul dengan serangan kilat. Untung Sugriwo sudah siap dan dengan gerakan gesit, sudah melesat mundur. Ia telah berdiri dekat pintu.
"Bagus!" seru Swara Manis. Agaknya si gemuk pandai juga menyelamatkan jiwanya!"
Ia tidak menyerang lagi, kemudian kembali ke tempat duduknya, dan tak lupa melemparkan senyum manis ke arah Mariam. Senyuman manis itu kuasa membuat jantung Mariam berdenyut lebih cepat.Ia bangga dan dalam hati juga memuji.
Melihat itu, Prayoga tak kuasa menahan hati yang panas. Tiba-tiba saja ia berkata.
"Hai Swara Manis! Kalau ingin berkelahi, mengapa tidak ke luar dari pondok ini? Sebagai tamu, apakah perbuatanmu ini patut, dan apakah bisa dikatakan menghormati tuan rumah?"
Mariam kaget dan berpaling. Ia melihat wajah pemuda itu merah padam.Ia menyadari mengapa sikap Prayoga seperti itu. Karena ia juga tahu, dia mencintainya.
Namun sayang, dirinya tidak mencintai pemuda yang ketolol-tololan itu, sekalipun cukup ganteng. Maka setelah bertemu dengan Swara Manis yang cerdik, luas pengetahuan, perhatiannya cepat terpikat.
Ia seorang puteri tunggal. Seorang gadis manja. Di rumah ini dirinya lebih berkuasa dibanding orang lain. Dan apa pula, di samping sebagai puteri tunggal juga merupakan murid tertua.
"Hai Prayoga!" tegurnya.
"Kepada tamu, kau tak boleh kurang hormat!"
Teguran itu membuat Prayoga mati kutu, tak berani membantah.Swara Manis memperoleh angin baik. ia memalingkan muka ke arah Prayoga, kemudian mengejek.
"Hemm. sejak tadi aku perhatikan. engkau selalu memegang hulu pedang. Sudah lama aku mendengar hebatnya ilmu pedang Ali Ngumar. Dapatkah saudara
memberi pelajaran sedikit kepadaku?"
Prayoga kaget. Itu tantangan. Ia menjadi panas, bangkit dan menjawab lantang
"Jika kau menghendaki, akupun tak keberatan."
Tanpa menunggu jawaban, Prayoga sudah melangkah dengan gagah ke luar pondok.
Suara Manis tersenyum mengejek. Iapun cepat bangkit, lalu membuka kipasnya sambil memandang Mariam. Jelas pemuda itu ingin tahu pendapat gadis ini.
Mariam yang sudah kecurian hatinya oleh pemuda ini, tersenyum malu. Kemudian berseru kepada Prayoga.
"Hai Prayoga. Jangan kurangajar! Hormatilah setiap tamu."
Prayoga amat penasaran. Namun tidak berani membantah mbakyu perguruannya ini.
Tetapi tepat pada saat itu, si bongkok kembali lagi sambil membawa hidangan ketela rebus. Melihat itu Sugriwo memperhatikan si Bengkok sambil pindah tempat dekat pintu.
Si Bongkok tetap tenang seperti tidak ada apa-apa. Hanya ketika berdekatan dengan Prayoga, mulut si Bongkok ini bergerak-gerak, namun tidak terdengar suaranya. Prayoga memperhatikan, tetapi tak juga tahu maksudnya. Antara mereka memang sudah lama bergaul. Meskipun begitu, saat ini tak dapat menangkap maksud kakek bongkok itu.
Akhirnya tiba giliran untuk meletakkan hidangan di depan Sugriwo. Sesudah itu, si Bengkok cepat melangkah menuju pintu. Tetapi tiba-tiba Sugriwo menendang penampan yang dipegang si Bongkok. Prang dan penampan kayu itu terbang berkeping-keping.
"Ha-ha-ha, kau Bongkok! Tak aku sangka engkau bersembunyi di tempat ini. Bertahun-tahun aku mencarimu untuk membuat perhitungan, tak juga ketemu. Sekarang, kau hendak menyelamatkan diri ke mana?" teriak Sugriwo garang.
Si Bongkok terhuyung-huyung, dan wajahnya tampak ketakutan. Namun Sugriwo tak perduli. Ia segera bergerak maju dengan maksud memukul si Bongkok.
Tetapi Prayoga tidak lengah, Wut tubuhnya sudah melesat dan menyerang Sugriwo dengan pedang.
Namun Sugriwo tidak kaget.Ia menggoyangkan kepalanya, dan kalung merjan yang melingkar di lehernya bergerak, membentuk lingkaran bundar.
Tring ujung pedang Prayoga tertangkis dan terpental.
Prayoga terkesiap. Tanpa menggerakkan tangan, si gemuk itu sudah dapat menangkis pedangnya. Akan tetapi ia sudah panas dan penasaran sekali, melihat sikap Sugriwo yang mau menang sendiri, akan menganiaya si Bongkok. Dalam penasarannya ia menyerang lagi dengan pedangnya, diawali dengan jurus Prahara Samodra lalu disusul dengan jurus Prahara Dahana.
Namun Sugriwo seperti tidak perduli. Ia menggoyangkan kepala dengan maksud menghalau serangan pedang. Anggapannya, bayi kemarin sore dapat berbuat apa kepada dirinya?
Tetapi justeru keangkuhan dan kesombongannya ini, kemudian harus dibayar mahal. Tahu-tahu mukanya sudah dikurung sinar pedang yang menyilaukan.Ia kaget dan kewalahan menangkis. Buru-buru ia melompat ke samping menghindar. Tetapi justeru oleh perbuatannya ini, ia malah masuk perangkap. Serangan yang mengurung muka tadi hanyalah serangan kosong. Maka begitu Sugriwo menghindar ke samping. secepat kilat ujung pedang Prayoga sudah menusuk muka.
Sugriwo belum sempat berdiri tegak. Tidak mungkin dirinya dapat menyelamatkan diri. Untung ia sudah kaya pengalaman dan tidak gugup. Kakinya menjejak tanah, tubuhnya sudah melejit ke udara.
Karena serangan tak berhasil, buru-buru Prayoga menarik kembali pedangnya. Hal itu dilakukan karena Prayoga belum mendapat lanjutan pelajaran. Sehingga serangan yang dilancarkan belum sempurna.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, tentu saja Sugriwo tahu sebabnya. Ia sudah jungkir balik di udara, kemudian melayang turun di luar pondok. Sebaliknya Prayoga tidak mau menyerang lagi, melainkan menolong si Bongkok yang pucat ketakutan.
Sarini pun erat pergaulannya dengan si Bongkok. Gadis inipun penasaran atas sikap Sugriwo itu. Saking marah ia sudah berseru kepada Prayoga.
"Kakang! Cegahlah agar dia tidak dapat masuk ke pondok lagi!"
Prayoga tahu. Sesudah melihat si Bongkok tak apaapa. pemuda ini sudah mencelat menutup pintu dengan tubuhnya.
Sugriwo tertegun jika tak dapat masuk kembali ke pondok, berarti menderita malu. Akan tetapi sebaliknya kalau nekat masuk, mau tidak mau mesti timbul onar. Dalam keadaan seperti itu, mendadak terdengar suara orang berseru.
"Hai pendeta Mataram. Ternyata engkau bisa datang lebih cepat. Tetapi mengapa engkau berdiri di situ?"
Sugriwo berpaling. Tiga sosok bayangan manusia berkelebat. Belum sempat membuka mulut, salah seorang sudah mengirimkan serangan dengan tamparan kuat. Sugriwo kaget tapi sudah terlambat. Oleh serangan jarak jauh itu, tubuhnya sempoyongan terdorong ke pintu pondok.
Prayoga salah sangka.Ia mengira Sugriwo akan membalas. Cepat ia maju untuk menyerang lagi. Tetapi belum juga pedang itu membuka serangan, ia terkejut melihat gurunya telah pulang, disertai dua orang lakilaki.
Sarini dan Mariam cepat bangkit menyambut Ali Ngumar. Dan Ali Ngumar mengangguk memberi hormat kepada semua tamu.
Ali Ngumar melangkah dengan gagah dan berwibawa. Jubahnya kuning panjang, menutup bawah lutut. Dua laki-laki di belakangnya berpakaian aneh. Ikat kepalanya separo putih dan separo hitam. Baju hitam, bercelana putih dan berkain poleng bang bintulu seperti kain yang dipakai Harya Wrekodara dalam cerita wayang. Yang seorang sebaya dengan Ali Ngumar, dan yang seorang masih muda.
Swara Manis yang sudah berhasil memikat perhatian puteri Ali Ngumar, merasa serba lebih dibanding dengan tamu lain. Oleh sebab itu ia ingin mencari hati dengan berkata. Namun sebelum mulut terbuka, lakilaki tua di belakang Ali Ngumar sudah menegur dengan nada keras.
"Bagus! Ternyata engkau juga hadir di sini!"
Kemudian laki-laki itu menatap Darmi sambil berkata lagi.
"Aha, kau juga hadir di sini Raden Ayu Darmi? Uah, ternyata ada Rajikun, Rajiman dan Rajimin. Huwaduh, budak-budak Mataram sudah berkumpul di sini. Hem bagus! Bagus!"
"Aha, selamat siang paman Darmo Gati," kata Swara Manis sambil bersikap sombong dan menggerakkan kipasnya.
"Tidak perlu tedeng aling-aling lagi, aku memang sudah mengabdi Ingkang Sinuwun Sultan Agung. Aha, kalau saja paman sudi memenuhi panggilan Ingkang Sinuwun, tidak sulit paman akan berpangkat Tumenggung ."
"Ha-ha-ha" Darmo Gati ketawa dingin.
Ali Ngumar terkesiap. Ia belum mengenal semua tamu. Namun demikian dengan ucapan sabar, ia berkata.
"Jadi, kalian ini hamba-hamba Mataram? Dan apa saja maksud kalian berkunjung ke mari?"
Sekalipun tampaknya ramah, tetapi nada ucapan Ali Ngumar dingin. Swara Manis tenang saja, lalu memberi isyarat kepada semua kawannya supaya duduk. Sesudah memberi hormat, kemudian ia menjawab,
"Ijinkanlah aku memperkenalkan diri kepada paman, aku bemama Swara Manis. Kemudian wanita ini bernama Darmi, dan ini ."
Swara Manis menunjuk kepada tiga orang brewok itu. Tetapi belum sempat memperkenalkan, laki-laki aneh yang agak muda sudah membentak.
"Tidak perlu diperkenalkan lagi. Aku sudah tahu bahwa mereka ini Jikun. Jiman dan Jimin. Sedang itu, pendeta palsu Sugriwo. Huh, kamu manusia-manusia tidak tahu malu, penipu besar. sehingga kamu berhasil menipu Sultan Agung. Karena kepandaian kamu menipu itu, menyebabkan Sultan Agung memberi pangkat cukup tinggi dan mentereng."
Bukan main marahnya Rajikun dan kedua orang adiknya, Rajiman dan Rajimin. Sedang Dar-mi sudah meraba-raba senjatanya, untuk menyerang secara kilat.
Melihat gelagat seperti itu, Swara Manis sudah memberi isyarat agar tenang. Lalu dengan tersenyum, ia menyahut.
"Hemm, sungguh beruntung sekali dapat bertemu dengan paman Darmo Gati dan Darmo Saroyo di sini. Bukankah kalian hendak mengatakan bahwa paman berdua sudah berhamba kepada Pati?"
"Apa salahnya berpihak kepada pihak yang benar?" Jawab Darmo Saroyo dengan lautang.
"Pati merupakan tanah perdikan yang mempunyai kedudukan sama
tinggi dengan Mataram. Dahulu baik Pati maupun Mataram merupakan hadiah Sultan Pajang, Hadiwijaya. Tetapi mengapa sekarang Mataram hendak serakah dan merampas?"
Apabila Swara Manis yang licik ini masih tetap menyungging senyum, sebaliknya Rajimin sudah tidak dapat menguasai diri dan berteriak.
"Awas! Jika engkau berani mengoceh tak keruan, akan kupukuli kepalamu!"
Menyusul terdengar suara plak-plak-plak. Kecepatan Darmo Saroyo bergerak menyebabkan tiga orang brewok itu tidak sempat menghindar, sehingga pipi masing-masing tetah mendapat tamparan satu kali. Dan habis menampar, Darmo Saroyo telah cepat kembali ke tempat semula.
"Hemm, mengapa engkau tak sayang tanganmu kotor?" tegur Darmo Gati.
"Lekas carilah air untuk mencuci tanganmu itu!"


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang terjadi. berlangsung cepat sekali. Prayoga dan saudara seperguruannya terperanjat. Mereka kagum akan kecepatan Darmo Saroyo bergerak di samping tidak-takut menghadapi jumlah lebih banyak. Tetapi diam-diam Prayoga juga merasa heran. Apakah sebabnya gurunya berdiam diri dan tidak berusaha mencegah? Dan ketika ia melirik ke arah Mariam, ternyata seluruh perhatian gadis. itu ditujukan kepada Swara Manis. Hingga Prayoga menjadi tambah cemburu.
Namun agaknya gadis ini juga tahu dilirik oleh adik seperguruannya. Seperti disadarkan, gadis ini kemudian bangkit lalu menghampiri sambil berbisik.
"Ayah, mereka tamu dari jauh. Apakah tidak lebih baik apabila ayah mempersilahkan mereka bicara baik-baik, dan menjauhkan, diri dari ketegangan seperti ini?"
"Apakah engkau tahu maksud mereka?" tanya
ayahnya sambil menghela nafas.
Karena tidak tahu, Mariam menggeleng kepala. Ali Ngumar menghela nafas lagi. Kemudian ia berkata keras dengan maksud supaya semua tamu itu mendengar semua.
"Mariam, Prayoga dan kau Sarini!
Ketahuilah semua, bahwa induk pasukan Mataram yang besar jumlahnya, sekarang sudah tiba di Demak. Akan tetapi juga ketahuilah bahwa Gusti Adipati Pragola juga sudah bertekad untuk melawan dengan seluruh kekuatan yang ada. Apapun yang terjadi, Gusti Adipati Pragola tidak sudi tunduk kepada Mataram. Sebab beliau beranggapan, kedudukan Pati dan Mataram sama tinggi, dan memiliki kedaulatan masing-masing. Samasama merupakan tanah hadiah dari Sultan Pajang Hadiwijaya. Hem anak-anakku, mereka datang ke mari, tetapi seperti buta akan kenyataan yang ada. Huh-huh, kalau aku harus mengikuti jejak mereka, pangkat apakah kiranya yang pantas dihadiahkan Sultan Agung kepada diriku?"
Kata-kata itu diucapkan penuh semangat dan wibawa. Membuat anaknya sendiri maupun muridnya terdiam. 'Tetapi keadaan itu tidak lama. Sarini yang sudah pulih kembali kepribadiannya, sudah bangkit lalu menghampiri Darmo Saroyo.
"Bagus, paman Saroyo! "Gadis ini mengacungkan ibu jarinya tanda memuji.
"Kau telah memberi hajaran yang setimpal kepada mereka."
lagak Sarini membuat Darmo Gati geli, lalu ketawa bergelak-geJak.
"Kakang Ali! Ternyata muridmu ini sekalipun muda usia mempunyai keperwiraan juga."
Tetapi Ali Ngumar merasa malu, kemudian membentak kepada Sarini.
"Hai-Sarini! Jangan kurangajar!"
"Kakang Ali, dia bakal jadi Srikandi kelak kemudian hari" Darmo Saroyo ikut bicara.
"Apakah ilmu pedang kesayanganmu sudah kauturunkan kepadanya?"
Sarini seorang dara yang cerdas.Ia cepat dapat menangkap maksud orang yang sebenarnya. Ia tadi menyaksikan sendiri kecepatan Darmo Saroyo bergerak. Karena itu ia cepat merajuk.
"Paman Saroyo, sudilah paman mengajarkan kepadaku, ilmu pukulan yang tadi paman gunakan menghajar gentong-gentong nasi itu." Darmo Saroyo ke tawa bergelak-gelak. Kemudian dua orang ini asyik bicara tanpa memperdulikan tamu.
Pipi Rajikun dan saudaranya bengkak dan matang biru. Ucapan Sarini tadi membuat pipi itu terasa sakit lagi. Raden Ayudarmi merah padam. Pendeta palsu Sugriwo tampak gelisah. Akan tetapi Swara Manis masih berusaha mencegah. Matanya sekarang melirik ke arah dara cantik Mariam. Namun dara itu seperti tidak melihat, maka pemuda ini kemudian batuk-batuk kecil sambil menghampiri Darmo Saroyo.
"Jika diijinkan, akupun ingin belajar ilmu pukulan kepadamu, paman Saroyo!"
Darmo Saroyo terbelalak. "Kau ingin belajar kepadaku?"
"Ya, saya ingin belajar ilmu pukulan agar dapat membalas serangan orang!'1 sahut Swara Manis dingin. Semua orang terkesiap. Jelas ucapan Swara Manis itu merupakan tantangan.
"hah, siapakah yang tidak tahu akan sejarah hidupmu?" kata Darmo Saroyo.
"Sekalipun orang mengenal engkau sebagai cucu murid Hajar Sapta Bumi dari Gunung Slamet, akan tetapi sebenarnya engkau dan ibumu sama-sama belajar kepada seorang guru. Dan dengan demikian, secara langsung engkau juga murid Hajar Sapta Bumi. Huh, sekarang engkau ingin belajar apa lagi?"
Senyum yang menyungging bibir Swara Manis menghilang, mendengar sindiran
"Ibu dan anak sama sama belajar kepada seorang guru". Sebab sindiran itu berarti, dirinya merupakan seorang anak haram yang lahir dari hubungan gelap antara ibunya dengan
gurunya, Hajar Sapta Bumi. Maka ditatapnya wajah Darmo Saroyo dengan tajam. Lalu ia berkata dengan keras.
"Yang ingin aku pelajari dari engkau, ilmu pukulan gelap, hingga dapat memukul orang dengan gampang!".
Swara Manis menutup ucapannya dengan membungkukkan, tubuh seperti orang memberi honnat. Mengira pemuda itu akan menyerang dari bawah, buruyburu Darmo Saroyo merendahkan tubuh. Di luar dugaan, tiba-tiba pemuda itu melesat ke samping. Darmo Saroyo tersipu malu. Secepat kilat ia mengulurkan tangan untuk mencengkeram pundak Swara Manis. Tetapi sayang, cengkeramannya luput.
Lalu terdengar suara plak plak... tamparan keras
yang tepat pada sasarannya. Darmo Gati yang tidak siapsedia dan tidak tahu apa-apa, sudah ditampar pipinya dua kali oleh Suara Manis. Kontan pipi bengkak, dua biji gigi tanggal dan darah merah membasahi bibir. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Damio Saroyo telah menampar rombongan tamu, dan sekarang Swara Manis membalas ditujukan kepada Darmo Gati. Tamparan balasan ini lebih keras, menyebabkan gigi tanggal dan berdarah.
Semua orang kaget. Mengapa Swara Manis memukul Darmo Gati? Yang lebih mengejutkan lagi mengapa begitu mudah Swara Manis menampar Darmo Gati? Bukankah Darmo Gati bukan orang sembarangan, dan orang kepercayaan Adipati Pragola?
Peristiwa itu belangsung cepat sekali. Ali Ngumar sebagai tuan rumah hanya dapat menghela nafas panjang, dan diam-diam merasa kagum akan cepatnya gerakan pemuda itu.
Darmo Gati menelan rasa malu, karena sudah terlanjur. Untuk menutup perasaan itu, ia tertawa kemudian berkata.
"Hebat benar gerakanmu, Swara Manis. Dan aku yang tua tidak merasa malu mengaku kalah kepadamu. Tetapi ingatlah, apabila tiba waktunya, kelak tentu aku kembalikan kepadamu hutang ini."
Swara Manis yang sudah kembali ke tempat duduknya, tertawa sombong. Lalu ia berkata dengan angkuh.
"Tiga pukulan hanya dikembalikan dua kali, kiranya sudah jauh dari murah. Yang salah gigimu sendiri, mengapa copot. Hem, kapan dan di mana saja engkau mau membalas, aku selalu siap-sedia."
"Bagus!" sambut Darmo Suroyo.
"Sekarang juga aku ingin mendapat pelajaran darimu!"
Sehabis berkata, Darmo Suroyo melesat ke belakang Swara Manis kemudian menyerang.
Tetapi Swara Manis sudah siap-sedia. Begitu orang melesat ke belakang ia sudah membalikkan tubuh dan menikamkan tangkai kipas ke lengan lawan. Darmo Saroyo mendengus dingin. Dengan diturunkan ke bawah kemudian dipergunakan mencengkeram perut perut orang.
Swara Manis insyaf akan bahaya cengkeraman itu. Jika sampai kena, isi perut akan berhamburan ke luar. Tetapi ia bukan pemuda sembarangan. Ia seorang cerdik, dalam waktu singkat sudah dapat menduga gerakan lawan. Sebab setiap kali menyerang, Darmo Saroyo selalu tiga kali mencengkeram. Maka ia segera tahu cara mengahadapi.
Ia mengurungkan tikamannya. Dibiarkan jari tangan bergerak hendak mencengkeram perut. Akan tetapi ketika jari tangan menyentuh bajunya, cepat-cepat ia miringkan kipas dan secepat kilat dikebutkan, ke arah tiga jari sekaligus. jari manis. tengah dan telunjuk. Apabila sabetannya ini berhasil, lawan akan lumpuh seketika.
Darmo Saroyo terkejut dan diam-diam menarik tangannya. Begitulah dalam sekejap mereka teteh bertempur enam jurus.
Bagi seorang ahli seperti Ali Ngumar, secara cepat sudah dapat menduga siapa yang lebih unggul. Darmo Saroyo menyerang lebih dahulu tetapi dipaksa untuk mundur. Maka diam-diam Ali Ngumar memuji kepandaian pemuda ini.
Ia memang sudah mendengar ketinggian ilmu Swara Manis, yang murid Hajar Sapta Bumi dari Gunung Slamet. Hanya sayang, ilmunya keji dan ganas.
Tetapi mengingat bahwa saat ini masih ada urusan yang lebih penting, Ali Ngumar berusaha untuk menghindari bentrokan tak berguna ini. Kemudian ia bangkit dan berseru.
"Adi Saroyo. Mundurlah! Dan bagimu anak-muda. kalau tidak ada urusan lain, silahkan cepat meninggalkan tempat ini."
Nampaknya ucapan itu ramah, tetapi sesungguhnya merupakan teguran keras dan setiap tamu tak dapat membantah.
Rajikun dan dua orang adiknya, diikuti pendeta palsu Sugriwo bangkit berdiri. Darmi ketawa dingin, sedang Swara Manis yang ingin membuka mulut menjadi diurungkan, ketika Marsih menghampiri sambil berkata.
"Kakang Swara Manis, indahkanlah ucapan tuan rumah. Marilah kita meninggalkan tempat ini."
Mariam yang sudah terlanjur terpikat oleh ketampanan Swara Manis menjadi panas hatinya. Tanpa sesadarnya ia sudah menegur.
"Hai, apakah maksudmu?" Atas teguran itu Marsih memalingkan muka dan mengamati Mariam. Kemudian gadis ini berkata.
"Kakang Swara Manis ini tunauganku. dan dia milikku. Saya mohon agar nona tidak merebut tunanganku ini dari tanganku. Engkau lebih cantik jika engkau sampai hati merebutnya, tentu saja aku kalah."
"Perempuan hina. Apa katamu?" Mariam marah karena malu. Secepat kilat ia menyambar senjata trisula yang dipegang Marsih. Tetapi hanya dengan goyangan sedikit, Mariam menangkap angin.
"Prawan ayu, jika engkau tidak mempunyai maksud begitu, aku berterima kasih. Itulah tandanya prawan, berbudi." Marsih mengucapkan kata-kata itu dengan tersenyum untuk menutupi rasa marahnya.
Mariam terpaku. Oleh gejolak marah dan malu menyebabkan gadis ini bingung. Ia menjadi serba salah. Menyerang salah mundurpun malu. Hati sudah terlanjur dicuri oleh Swara Manis, namun malu apabila diketahui orang banyak. Dan ketika mengangkat kepala, melihat semua mata ditujukan kepada dirinya, cepat ia lari ke luar pondok sambil menangis.
Sebaliknya Swara Manis yang jagoan dalam hal merayu wanita, hatinya bersorak gembira. Ia tahu bahwa gadis gunung yang cantik itu sudah jatuh hati kepada dirinya. Hingga dirinya takkan sulit mempersunting gadis itu, pada saatnya.
Dan Marsih sekarang menghela nafas longgar.Ia puas, lalu menghampiri Swara Manis sambil berkata..
"Kangmas, marilah kita tinggalkan gunung ini. Marilah kita pulang ke desa kita yang sunyi dan tenteram, untuk membangun mahligai keluarga yang bahagia. Kangmas. tak ada gunanya engkau melibatkan diri dalam urusan Mataram dengan Pati."
"Perempuan hina. Engkau enyahlah dari sini!" bentak Swara Manis kasar. Pemuda ini menjadi marah sekali, karena kehadiran Marsih mengacau dan menyebabkan Mariam pergi dan menangis.
Namun Marsih yang gadis setia itu tidak marah.
Ia hanya menundukkan kepalanya sambil menangis.
"Hu huk... kangmas Swara Manis, makilah aku sesuka hatimu. Apapun yang terjadi aku takkan marah. Kangmas kau pukul sekalipun, akan aku terima dengan senang hati... ."
Ia memberikan senjatanya sebagai bukti kasih dan cintanya. Swara Manis menyambut senjata itu, dan tibatiba saja wajahnya berobah menjadi bengis.
Semua orang melihat sepasang mata Swara Manis menjadi liar dan memancarkan api pembunuhan, ia melangkah mundur, dan sekonyong-konyong sudah menikam dada gadis itu dengan trisula, senjata Marsih sendiri. Gadis itu sama sekali tidak menghindar, malah memejamkan mata dan pasrah. Agaknya gadis ini rela mati di tangan tunangan sendiri yang amat di-cintai. Tring tiba-tiba ujung trisula yang hampir melubangi dada Marsih itu sudah menyeleweng oleh tangkisan Darmi, dan Swara Manis terhuyung mundur.
"Hai Swara Manis! Engkau jangan terlalu menghina keluargaku!" bentaknya.
Swara Manis ketawa dingin. Sambil melemparkan senjata Marsih, ia mendengus.
"Apakah engkau tidak mendengar bahwa adikmu sendiri yang minta dipukul? Dan mengapa sekarang engkau malah menyalahkan orang?"
Dan Marsih yang sedang diamuk asmara itu ikuti kutan menegur.
"mBakju, apakah sebabnya engkau mencampuri urusanku? Biarlah dia menghina dan membunuhku, aku rela... ."
Darmi terkesiap sekejap, namun di lain saat ia menghela nafas.
"Ah... Marsih, mengapa engkau berpendirian seperti itu? Dunia ini bukan selebar daun kelor. Adikku, masih banyak laki-laki gagah dan tampan selain Swara Manis. Wanita seperti engkau. masih banyak laki-laki yang ingin mempersunting."
"Tetapi aku sudah terlanjur mencintai dia ." jawabnya tanpa malu lagi, didengar orang lain.
Dan celakanya, Swara Manis malah ketawa dingin. Sikapnya makin sombong.
Semua orang sekarang menjadi jelas, antara dua orang muda itu sudah terikat tali pertunangan. Akan tetapi rupanya Swara Manis yang banyak tingkah. Dan tampaknya Swara Manis tidak mengimbangi kasih cinta Marsih.
Di antara yang hadir, Ali Ngumarlah yang sudah pernah merasakan pahit getirnya cinta asmara. Sebabnya sekarang mengasingkan diri di puncak Muria, tidak lain soal itu. Maka sekarang ia menghela nafas sedih, mendengar semua ini.
Berbeda dengan Darmo Gati dan Darmo Saroyo. Untuk memelihara ilmu kesaktian, dua orang bersaudara ini hidup membujang dan menjauhkan diri dari wanita. Sebab sekali bergaul dengan wanita. akan punahlah kesaktian mereka. Akan tetapi sekalipun begitu, mereka amat mengindahkan martabat kaum wanita. Maka mereka menjadi tidak senang atas tingkah laku Swara Manis terhadap Marsih.
"Hai Swara Manis!" beutak Darmo Saroyo.
"Lekaslah enyah dari tempat ini. Engkau jangan lancang dan bertingkah laku kotor di tempat ini."
"Apa?" sahut Swara Manis.
"Apakah tempat ini milikmu? Tahukah bahwa aku malah akan membuat keramaian di sini, dan apakah engkau dapat melarangku?"
Untung yang bertempat tinggal di tempat ini, Ali Ngumar yang sudah dapat bersabar. Kalau tidak, ucapan itu akan dapat membangkitkan kemarahannya.
Tetapi tidak demikian dengan Darmo Saroyo.
Bentaknya. "Siapa bilang pondok ini tidak bertuan? Hanya saja pemiliknya tak mau mengotorkan tangannya menampar mulutmu yang busuk. Maka biarlah aku yang mewakili tuan rumah menghajar engkau."
"Bagus! Memang aku ingin sekali menyaksikan permainan cambukmu yang menggetarkan jagad itu. Hemm, aku dengar setiap kali engkau cukup menggunakan tiga puluh jurus saja untuk merobohkan lawan. Sekarang aku ingin menikmati ilmu cambukmu sampai selesai!" tantang Swara Manis.
Tantangan itu amat merendahkan. Wajah Darmo Saroyo merah padam. Selama ini dirinya memang sudah cukup dengan tiga puluh jurus saja untuk merobohkan lawan. Enam jurus terakhir merupakan ilmu simpanan yang tak dipergunakan jika tidak terpaksa.
Kalau sekarang Swara Manis merendahkan seperti itu, merupakan tamparan hebat yang selama ini belum pernah ia rasakan. Ia tak dapat menahan hati lagi lalu berkata.
"Baik. Mari kita cari tempat di luar pondok."
Mereka kemudian melangkah ke luar pondok. Marsih yang hampir mati itu, sudah memungut senjatanya dan ikut ke luar. Tetapi baru beberapa jangkah Swara Manis melangkah, sesosok tubuh sudah menerjang dengan pedang.
"Aih " Swara Manis terkejut bukan main, tetapi masih sempat mengegos ke samping. Akibatnya sebagai ganti sasaran, Marsih yang tidak tahu apa-apa. Untung gadis itu tidak lengah, dengan senjatanya sudah menangkis. Tring
'Prayoga! Dia bukan tandinganmu. Biarlah aku saja yang membereskan manusia keparat ini!" tegur Darmo Saroyo, sesudah tahu yang menyerang Prayoga.
Akan tetapi pemuda itu tidak menghiraukan. Hati yang dilanda rasa cemburu sudah nekat dan menyerang lagi dengan jurus Udan Prahara.
"Uh ." kembali Swara Manis mendengus sambil menyambut pedang itu dengan jepitan kipas. Cret! tepat sekali ujung pedang itu terjepit lipatan kipas. Dan seperti disedot tenaga raksasa. Prayoga tak kuasa menarik pedangnya.
"Lepaskan!" teriak Prayoga.
Swara Manis mendengus dingin. Kemudian Prayoga merasakan aliran tenaga yang kuat sekali menyalur lewat pedangnya, terus menggempur siku. Tiba-tiba saja prayoga merasa tangannya seperti lumpuh hingga kemudian pedangnya lepas .
Namun kendati Swara Manis bukan tandingannya, Prayoga tak juga mau mundur. Secepat kilat ia menyambar pedangnya yang runtuh ke tanah. Kemudian ia menyerang lagi dengan jurus Guntur Prahara. Ilmu pedang ini merupakan jurus baru yang diterima dari gurunya, dan baru sempat dilatih dua kali. Tentu saja ia baru dapat bergerak saja, tetapi belum dapat menjiwai intisarinya. Setelah memutarkan pedang ke atas. tengah dan bawah, tiba-tiba saja ujungnya ditusukkan ke kepala dan muka Swara Manis.
Pemuda itu ketawa mengejek. Ia melihat gerakan pedang itu dengan acuh. Sebab ia merasa yakin, sekali bergerak akan dapat membuyarkan pedang lawan. Sedikitpun Swara Manis tidak menyadari bahwa ilmu pedang itu sudah lama termashur di seluruh pelosok Nusantara, sebagai ilmu pedang sulit tandingannya. Apa pula jurus ke enam ini disebut Guntur Prahara. Jurus istimewa yang arah serangannya khusus ke-arah kepala dan muka lawan.
Akibat dari kesembronoannya, Swara Manis menjadi kaget dan semangatnya terbang seketika, di saat ujung pedang Prayoga sudah menyambar mukanya. Seumur hidup ia belum pernah berhadapan dengan gaya serangan macam ini.
Masih untung ia seorang pemuda gemblengan Hajar Sapta Bumi. Dalam bahaya ia tidak gugup. Cepat, ia menggeliat dan tubuh ditekuk ke belakang, sehingga kepalanya menjadi amat rendah. Wut... ujung pedang menyambar di atas kepalanya. Walaupun serangan pedang itu luput, tetapi angin dingin dari pedang itu kuasa membuat bulu kuduknya berdiri.
Untuk menjaga kemungkinan Prayoga menabaskan pedang ke bawah, cepat-cepat Swara Manis menggeliat ke samping sambil mengayunkan tubuh, sehingga bisa tegak lagi. Sayang Prayoga belum menyelami ilmu pedang itu dengan baik. Kalau sudah dapat menguasai inti rahasianya, tentu akan dapat menyusuli lagi dengan jurus ke tujuh yang disebut Prahara Panglebur Jagad. Jurus ini tentu akan berhasil membuat pemuda sombong itu menderita luka berat.
Pengalaman pahit itu memaksa Swara Manis tidak berani memandang rendah lawan..
Swara Manis segera melesat ke luar pondok. Prayoga yang penasaran sudah memburu dan ingin menyerang lagi.
Tiba-tiba terdengar hentakan Ali Ngumar.
"Prayoga! Jangan lancang. Biarkan pamanmu yang akan bertanding."
Ali Ngumar tahu, bahwa muridnya itu bukan tandingan Swara Manis. Jika nekat, tidak urung akan celaka. Akan tetapi Prayoga tidak menyadari maksud gurunya. Ia membantah lirih.
"Tetapi bangsat itu menyebabkan mbakyu Mariam, marah dan menangis."
"Hemm," Ali Ngumar hanya mendehem.
"Hati-hatilah membuka mulut."
Untuk Mariam, bagi Prayoga memang segala-galanya. Apabila Mariam menangis, ia sedih dan penasaran. Dan kalau Mariam gembira. iapun menjadi senang. Karena pemuda ini sedang dirundung oleh rasa gandrung kepada Mariam, tetapi celakanya bertepuk sebelah tangan.
Semua tamu sudah ke luar pondok. Ali Ngumar mengajak Darmo Gati, lalu masuk ke pondok lain. Darmo Gati mengerti, bahwa agaknya Ali Ngumar sudah dapat menduga kalau Darmo Saroyo akan sanggup mengatasi pemuda sombong itu. Dan apabila Swara Manis dapat dikalahkan, rombongannya takkan berani berlagak lagi.
Setelah gurunya pergi, Sarini yang sejak tadi diam saja, berkata kepada Prayoga.
"Ayo kakang, kita saksikan paman Saroyo menghajar manusia sombong itu."
Darmo Saroyo sudah berhadapan dengan Swara Manis. Mereka sudah bergerak berputar-putar, namun belum saling serang. Ketika itu Prayoga melihat, Swara Manis masih berkipas-kipas, sedang Darmo Saroyo masih menggendong tangan. Bedanya, kalau Swara Manis bergerak membentuk lingkaran kecil, Darmo Saroyo bergerak dalam lingkaran besar mengitari Swara Manis.
Beberapa saat kemudian Darmo Saroyo ketawa bekakakan, lalu berseru,
"Swara Manis, silahkan mulai!"
Swara Manis tidak menyahut. Tenaga dalam ajaran Hajar Sapta Bumi berpokok kepada ketenangan. Dan setiap berhadapan dengan musuh tangguh, Swara Manis selalu tenang dan tak mau menyerang lebih dulu.
Rupanya hal itu sudah diketahui Darmo Saroyo.Ia sengaja memancing supaya bicara. Karena Swara Manis tidak menyahut, ia mengulangi. Namun di luar dugaan, terdengar pemuda itu menyahut.
"Baiklah!" Kemudian ia melangkah maju, melihat kipasnya lalu menggunakan tangkainya untuk menyerang lawan.
Darmo Saroyo agak terkejut melihat serangan begitu cepat.Ia merendahkan tubuh, siku lengan membalik dan kelima jarinya, cepat menyambar siku lawan. Swara Manis mundur selangkah sambil tertawa. Dan kiranya serangannya tadi hanya serangan kosong saja.
"Jangan lari!" teriak Darmo Saroyo marah karena dipermainkan lawan. Ia memburu maju, lalu mencengkeram lagi dengan dua belah tangan. Yang kiri mencengkeram pinggang, yang kanan mencengkeram dada. Apabila kena, Swara Manis tentu luka.
Swara Manis bersuit nyaring. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, melayang di atas kepala lawan. Ketika tepat di atas kepala lawan, mendadak ia menikam ujung tangkai kipas ke ubun-ubun Darmo Saroyo.
Mau tidak mau Darmo Saroyo terkejut. Cepat ia memutar tubuh dan mencengkeram paha lawan. Akan tetapi cengkeramannya itu tidak membawa hasil karena lawan sudah turun ke bumi. Dan secepat kilat pula sudah melancarkan serangan yang cepat dan berbahaya. Diam-diam Darmo Saroyo mengakui, bahwa sekalipun masih muda, tetapi Swara Manis tak dapat dipandang ringan.
Untuk mengatasi lawan ia mencurahkan seluruh semangat dan perhatian, guna menyerang dengan cengkeraman berbahaya.
Dalam waktu singkat mereka telah berkelahi sengit, dan tidak terasa tigapuluh jurus telah lewat. Makin lama perkelahian tersebut semakin seru, gerakan mereka cepat seperti kilat, sehingga yang tampak tinggal bayangan saja.
Marsih menonton dengan gelisah dan tegang. Diam diam ia khawatir kalau Swara Manis sampai celaka. Berkali-kali gadis ini ingin meloncat, tetapi-selalu dapat dicegah oleh Darmi.
Tak lama kemudian ia melihat Mariam muncul dan menonton dari tempat agak jauh. Sarini sudah berlarian mendapatkan, lalu berdiri berdampingan sambil menonton. Melihat itu inginlah Prayoga ke sana, dan ingin berdampingan pula dengan gadis yang digandrungi itu.
Tetapi baru saja akan menggerakkan kaki, tiba-tiba tengkuk sudah dicekik orang dari belakang.
"Uh ....!" saking terkejut ia ingin memalingkan muka ke belakang. Namun ia tak dapat, malah merasakan sakit luar biasa, leher seperti mau patah.
"Bocah tolol! Mengapa mau pergi?" tiba-tiba berdengar suara berbisik di telinganya.
"Jika engkau pergi, Ndara Menggung takkan dapat melihat lagi pertunjukan menarik ini, karena sudah kehilangan tempat berlindung. Aha. bukankah perkelahian itu menarik?"
Prayoga mengerti sekarang. Kiranya yang mencekik itu Ndara Menggung, si kakek kerdil tadi pagi.
"Ndara Menggung ." baru mengucapkan katakata itu, cekikan semakin kencang dan ia sulit bernafas.
"Goblok! Mengapa kau berteriak seperti itu?" bentak Ndara Menggung perlahan.
"Jangan bicara keras keras, dan engkau harus tetap di sini agar tidak seorangpun tahu kehadiranku."
"Ya, tetapi lepaskanlah cekikanmu. Aku aku tak dapat bernafas ."
"Setan kau. Awas jika engkau berani mempermainkan aku lagi!" ancamnya.
Prayoga meringis. Kemudian ia membujuk dengan halus.
"tidak! Aku takkan berani memeprmainkan engkau ."
"Jika aku lepaskan, engkau tentu akan lari."
Prayoga insyaf, berhadapan dengan kakek kerdil ini tak mungkin dapat berkutik. ia tidak merintih dan membujuk lagi, malah lalu membentak.
"Aku takkan pergi mempemainkan engkau. Tetapi sebaliknya engkau mau melepaskan atau tidak?"
Memang aneh. Sesudah Prayoga membentak, Ndara Menggung malah puas. Sambil ketawa terkekeh, ia kemudian melepaskan cekikannya.
Prayoga merasakan lehernya sakit sekali. Sambil mengusap leher dan menggerakkan kepala untuk menghilangkan sakit, ia kembali menonton perkelahian.
Apa yang terjadi di gelanggang sudah terjadi perobahan. Sekarang tidak lagi bergerak cepat, tetapi gerakan mereka lambat. Namun gerakan lambat itu bukan berarti kepayahan, melainkan keadaannya malah berbahaya. Swara Manis sudah tidak tersenyum lagi, dan masing-masing penuh perhatian.
Prayoga yang masih hijau merasa heran. Sebaliknya Ndara Menggung ngoceh seorang diri. Semula tidak ia perhatikan, tetapi kemudian ia mendengarkan.
"Ah, sudah enam kali kipas itu meleset. Kalau saja, kena, lawan tentu kalah."
Di lain saat. ia ngoceh lagi.
"Ahh... tiga serangan hebat cengkeraman itu luput lagi sayang... ."
Prayoga terbelalak. Apa yang diucapkan kakek kerdil itu memang tepat.
Tiba-tiba Swara Manis nampak terhuyung-huyung. Tubuhnya sebentar miring ke kanan dan sesaat kemudian condong ke kiri. Namun tiba-tiba kipas itu dibuka, dan ketika di gerakkan untuk menyerang, baju Darmo Saroyo sudah banyak berlubang oleh tikaman jari kipas.
Darmo Saroyo mulai insyaf. apabila tetap bertahan
dengan tangan kosong tentu kalah.Ia meloncat mundur lalu berteriak.
"Swara Manis! Akupun terpaksa akan menggunakan senjata."
"Siapa yang melarang?" ejek Swara Manis.
Darmo Saroyo sudah melepaskan cambuk sebesar ibu jari kaki yang panjangnya setombak, yang semula melilit di pinggang. Cambuk itu lemas sekali, dan warnanya agak merah, karena terbuat dan" urat-urat kerbau tua. Sesudah itu ia mulai menyerang. Sekali gentak, ujung cambuk menghajar punggung tawan. Namun pemuda itu tidak perduli, lalu bergerak maju dan membalas menyerang.
Darmo Saroyo kaget. Kalau ia meneruskan, punggung lawan dapat dihajar, tetapi sebaliknya dada sendiri mendapat luka. Cepat ia menarik cambuk dan meloncat ke belakang. lalu berputar. Ternyata cambuk itu mengikuti gerakan tuannya, lalu menyambar untuk melilit tubuh lawan. Akan tetapi dengan tenang, serangan itu dapat dipunahkan oleh Swara Manis.
Ilmu cambuk Darmo Saroyo itu cukup aneh. Sambil menghindar mundur masih dapat melancarkan serangan berbahaya. Akan tetapi Swara Manis bukan pemuda sembarangan. Tubuhnya melambung menghindari libatan cambuk, lalu menikam pundak Darmo Saroyo. Akibatnya Darmo Saroyo harus menghindar dengan bergulingan di tanah.
Serangan Swara Manis selanjutnya menjadi semakin ganas, di samping membuat orang merasa heran. Karena gerakan pemuda itu semacam orang mabuk dan selalu terhuyung-huyung. Namun setiap kali secara tak terduga, tangan pemuda itu menyambar dan melancarkan serangan berbahaya.
Serangan aneh itu membuat Darmo Saroyo sibuk, terpaksa harus menghindar ke sana ke mari sambil melecutkan cambuknya.
Melihat Darmo Saroyo kesulitan, Prayoga jadi gelisah. Ia mengeluh berkali-kali sambil membantingkan kakinya.
"Bocah!" tiba-tiba Ndara Menggung berbisik.
"Gerakan orang -muda itu disebut Jathayu nandang papa. ialah ketika Garuda Jathaju kalah melawan Prabu Dasamuka. Maka burung itu sempoyongan dan tidak hentinya mengibaskan sayap. Ini merupakan ilmu rahasia yang hebat, ajaran hajar Sapta Bumi."
Prayoga tertarik, kemudian berkata.
"Paman... eh keliru... Ndara Menggung... apa sebabnya kau tahu bahwa gerak tatakelahi itu disebut Jathayu nandang papa? Ahh.. agaknya kau ngawur saja."
"Setan kau. Huh, engkau berani menghina aku?" Prayoga tidak kaget oleh bentakan itu. Ia tak takut, karena sudah tahu watak kakek ini. Ia tidak mundur malah mengejek.
"Jika Ndara Menggung tahu, coba sebutkan bagian manakah yang akan diserang orang muda itu?"
Saat itu Darmo Saroyo sedang menggerakkan cambuk menyerang Swara Manis, sedang Swara Manis memiringkan tubuh ke kanan.
"Engkau tolol! Orang muda itu akan memutar tubuh lalu menikam punggung si bangun tulak!", bisik Ndara Menggung. Yang dimaksud bangun tulak, bukan lain Darmo Saroyo.
Prayoga tak percaya. Saat itu Swara Manis di sebelah kanan Darmo Saroyo. Mana mungkin bisa menusuk punggung?
Namun ternyata kemudian yang terjadi tepat seperti apa yang sudah disebut Ndara Menggung. Tubuh Swara Manis mengeliat, kemudian condong ke depan, kemudian mengangkat tubuh secara cepat, roboh lagi, begitu berkali-kali dan bergeser ke samping lawan. Sekali lagi tubuh pemuda itu bergeser dengan rebah tentu sudah berada di belakang Darmo Saroyo.
"Hai!" teriak Prayoga kaget.
Tetapi Darmo Saroyo tidak insyaf akan bahaya yang mengancam. Baru sesudah mendengar sambaran angin tajam di belakangnya, ia sadar akan bahaya itu. Agak gugup Darmo Saroyo maju dua langkah ke depan. Hingga kemudian selamat.
Prayoga berpaling, dan tampak kakek kerdil itu nyengir.
"Apa yang kau duga benar terjadi!"
Sekarang terbuka pikiran Prayoga.Ia mendapat akal untuk menolong Darmo Saroyo. Katanya.
"Ndara Manggung, jika dalam sepuluh kali berturut-turut kau bisa menebak dengan jitu aku tunduk padamu."
"Bagus, mari kita coba!" sahutnya dengan ketawa.
Mereka memperhatikan pertempuran kembali. Saat itu terlihat Darmo Saroyo lepas tertusuk kipas lawan.
Kemelut Iblis 2 Sebuah Kisah Cinta Antara Muslim Dan Nasrani Karya Ndunk Bila Pedang Berbunga Dendam 10
^