Pencarian

Kemelut Iblis 2

Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Bagian 2


tuan dan kesatuan dapat diujudkan." ujar Si Burung Merak. "Karena ketua sudah
tidak ada lagi, sebagai wakilnya apapun katamu kami pasti akan mendengarnya!"
sahut Aribaya yang kemudian diikuti oleh yang lainnya.
Malaikat Kuku Seribu walaupun masih berduka
sedikitnya merasa puas karena ternyata mereka
menghormati Si Burung Merak dan mempercayakan
pertemuan nanti berada di bawah pimpinan si nenek
tua itu. 6 Keesokan harinya ketika Pendekar Sakti Gento
Guyon dan Roro Centil sampai di Kiara Condong, ke-
duanya sama dibuat kaget begitu melihat mayat-mayat
bergelimpangan di sekitar rumah besar tempat ber-
langsungnya pertemuan. Kejadian ini tentu saja tak
pernah terduga, terlebih-lebih bagi Roro Centil. Beberapa saat lamanya si gadis
hanya dapat memandang
ke arah mayat-mayat para pengawal pertemuan yang
berserakan di setiap penjuru sudut dengan tubuh ge-
metar, mata melotot dan mulut ternganga.
Hal yang sama juga terjadi pada Gento, pemuda
ini tidak pernah menyangka telah terjadi pembantaian
keji di tempat itu. Tetapi dia walaupun saat itu dilanda berbagai perasaan yang
tidak menentu, namun dengan
cepat segera melakukan penyelidikan di sekeliling ru-
mah besar. Satu demi satu mayat para pengawal itu
diperiksanya. Ternyata para pengawal pertemuan yang
berjaga-jaga di luar itu seluruhnya tewas dengan batok kepala berlubang, isi
otak terkuras dan mata membeliak lebar.
"Perampas Benak Kepala!" dengan perasaan diliputi ketegangan dan tangan terkepal
penuh kegera- man Gento mengguman. "Dia yang telah melakukan
segala kekejian ini" Semua pengawal telah diban-
tainya. Iblis keji itu benar-benar sangat ganas sekali."
desis si pemuda. Mayat-mayat yang bergeletakan itu
hanya beberapa saat saja sempat menyita perhatian-
nya. Ketika dia teringat pada tokoh serta para pende-
kar yang konon kabarnya akan melakukan pertemuan
di tempat itu Gento berbalik dan menemui Roro Centil.
"Pembunuhan keji ini nampaknya belum lama
berselang. Kau sudah dapat memastikan siapa pela-
kunya, Roro?" tanya Gento pada si gadis yang saat tengah memeriksa mayat salah
seorang pengawal.
Tanpa berpaling pada Gento, Roro Centil men-
jawab. "Aku telah melihat luka-luka ini. Bagian atas kepala berlubang besar, isi
kepala terkuras keluar, kulihat begini banyak sekali ceceran darah. Aku merasa
yakin semua ini adalah hasil perbuatan makhluk ke-
parat penyedot otak!"
"Aku telah memeriksa daerah sini. Aku juga te-
lah memeriksa tempat tersembunyi dimana pengawal
lainnya melakukan penjagaan." gumam Gento. "Adakah mereka dapat memberi
penjelasan padamu siapa
orangnya yang telah melakukan pembantaian disini?"
tanya Roro Centil tak sabar. Gadis itu bahkan bangkit berdiri dan menghadap
langsung ke arah murid kakek
gendut besar Gentong Ketawa.
Gento Guyon gelengkan kepala.
"Tak satupun pertanyaan yang dapat kuaju-
kan." "Mereka tak mau menjawab karena mungkin mereka tak mengenalmu. Bisa jadi
mereka sangat ketakutan sekali!" ujar si gadis. "Kalau begitu biar aku yang
bertanya pada mereka." berkata begitu Roro Centil siap melangkah menuju ke
tempat-tempat rahasia.
Tapi Gento mencegahnya.
"Jika kau sendiri yang bertanya pada mereka,
kurasa sama saja. Sebab mereka semua juga tewas,
malah keadaan mereka lebih mengerikan lagi!"
Roro Centil tercengang, tapi juga kesal bukan
main. Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti itu
si gondrong ini masih bisa bercanda dengan mengulur
waktu untuk mengatakan sesuatu.
"Kau sungguh menyebalkan." kata si gadis berubah cemberut.
Gento tak dapat menahan senyumnya melihat
sikap si gadis.
"Dalam keadaan seperti ini kau tak perlu ma-
rah-marah, apalagi sampai sakit hati padaku." Gento lalu memandang ke arah rumah
besar beratap gen-teng. Rumah itu kelihatan begitu sunyi.
"Roro... jika pertemuan itu memang berlang-
sung disini. Dimanakah para pendekar persilatan go-
longan putih itu berada?"
Pertanyaan itu sungguh membuat Roro Centil
tersentak kaget. Dia berpaling ke arah rumah besar.
Dengan gugup dan tergesa-gesa dia berkata. "Di dalam rumah itu disatu ruangan
rahasia! Gento cepat ikuti
aku!" Selesai berkata tanpa menunggu lagi Roro Centil langsung bergegas menuju
bagian pintu depan. Karena
suasana di depan rumah terasa sunyi, maka si gadis
langsung mendobrak pintu. Pintu terkuak lebar. Gento
dan Roro Centil dengan sikap penuh waspada lang-
sung menyerbu masuk ke dalam. Di dalam ruangan
besar mereka tidak melihat ada orang berkumpul di si-
tu, terkecuali dua sosok mayat terbujur kaku.
"Gento lihat!" pekik Roro Centil begitu mengenali dua mayat bersenjata pedang
yang tergeletak tan-
pa nyawa dalam jarak yang tidak berjauhan.
"Siapa mereka?" tanya Gento dengan suara bergetar. "Kau lihat kepala mereka
masih utuh, namun mata membeliak mulut ternganga. Bagian dada hangus gosong, ada
lima jari membekas di dada itu." kata Gento yang sudah bersimpuh disamping Roro
Centil. "Mereka ini adalah dua pimpinan dari Pengemis
Pedang Utara. Dua manusia berilmu pedang sangat
tinggi. Melihat posisi tangan para pendekar ini nam-
paknya mereka berusaha mencabut pedang, tapi
mungkin serangan lawan datangnya lebih cepat. Sete-
lah melihat mayat mereka yang utuh, apakah mungkin
pembunuhnya adalah orang yang sama?"
"Maksudmu si Perampas Benak Kepala?" tanya
Gento. Roro Centil anggukkan kepala. "Jika dia mengapa tak menggunakan kekuatan
otaknya?" Roro Centil terdiam, dia berusaha berfikir keras
memecahkan segala misteri yang tengah dihadapinya.
"Dugaanku memang jahanam penyedot otak itu
pelakunya. Dia sengaja tidak menggunakan kekuatan
otaknya untuk mengecoh lawan. Dia sengaja menggu-
nakan ilmunya yang lain, untuk meninggalkan kesan
seolah dia memiliki segudang ilmu setan yang dapat
dipergunakan untuk mengalihkan perhatian kita." kata si gadis.
Gento tidak langsung memberi tanggapan. Dia
julurkan tangannya lalu sibakkan pakaian si mayat
yang gosong. Tangannya merayapi bagian dada yang
terluka. Tidak ada tulang dada yang patah, hingga
hangus gosong saja. Ini berarti sang pembunuh meng-
gunakan pukulan berhawa panas, tanpa pengerahan
tenaga dalam penuh tapi menghancurkan bagian tu-
buh di dalam terlebih-lebih pada bagian jantung. Sia-
papun pembunuhnya pasti sangat memahami bagian
tubuh lawannya yang paling mematikan. Gento ge-
lengkan kepala, mulutnya mendesah dalam keresahan.
"Orang seperti Perampas Benak Kepala adalah
manusia paling cerdik. Apalagi di dalam kepalanya
menyatu puluhan bahkan mungkin ratusan otak orang
lain. Seribu akal digabung menjadi satu akan menim-
bulkan satu pemikiran yang cemerlang. Melihat luka-
luka yang dialami oleh para pengawal di luar sana. Jelas orang yang telah
membunuh mereka adalah Pe-
rampas Benak Kepala. Tapi mungkinkah kedua pende-
kar ini dibunuh oleh orang yang sama?" ujar Gento seolah bertanya pada dirinya
sendiri. "Jika Perampas Benak Kepala memang orang
yang cerdik dalam bermuslihat hal itu bisa saja terjadi.
Apalagi bila mengingat di dalam kepalanya bukan
hanya terdapat otaknya sendiri. Puluhan otak orang
lain yang belum tentu dari manusia baik-baik menyatu
di situ. Jika otak-otak itu serentak berfikir, ini bisa menghasilkan satu
gagasan gila." ujar Roro Centil.
"Semacam keinginan gila di atas kegilaan."
"Untuk sementara setidaknya kita hanya punya
dugaan begitu. Nantinya aku akan melakukan penyeli-
dikan, jika kau mau tentu kau juga bisa ikut memban-
tuku!" kata Roro Centil sambil melirik ke arah Gento.
Pemuda itu menanggapinya dengan kedipan mata.
Si gadis tersipu, wajahnya menjadi merah jen-
gah, namun dia segera alihkan pandangannya ke su-
dut ruangan. Roro Centil bangkit berdiri. Dia memberi isyarat pada Gento agar
mengikutinya. Di satu tempat
di sudut ruangan si gadis membungkuk, tangannya
meraih suatu benda berbandul batu yang dihubung-
kan dengan rantai rahasia. Begitu bandul batu bulat
berwarna seperti tanah ditarik ke atas. Maka terdengar suara bergemuruh. Lantai
tanah di tengah ruangan
terkuak. Satu lubang berbentuk empat persegi mem-
buka, Gento terperangah, dia julurkan kepala. Ternya-
ta di lubang itu terdapat tangga batu yang menghu-
bungkan ke satu ruangan rahasia di bawah tanah. Wa-
laupun Roro Centil tak memberikan suatu penjelasan
apapun mengenai ruangan itu, Gento sudah dapat
memperkirakan bahwa di dalam ruangan bawah tanah
itulah pertemuan dilakukan.
Roro Centil julurkan kepala, ternyata ruangan
yang baru dibukanya itu cukup gelap. Si gadis terpak-
sa menyalakan sebuah pelita. Kini dia melangkah
mendekati lubang empat persegi. Gento yang berdiri
disampingnya mencoba melihat keadaan di dalam. Ta-
pi dia mengendus bau sesuatu, sesuatu yang sangat
samar dan tak mungkin tercium terkecuali bagi orang
yang memiliki penciuman sangat tajam.
Gento mengusap matanya yang terasa pedas.
"Racun... aku mencium bau racun pelumpuh
syaraf." Membatin pemuda itu dalam hati. Dia menoleh ke arah gadis disebelahnya.
"Roro, tahan pernafasan-mu. Aku menaruh duga ada yang tidak beres telah ter-
jadi di bawah sana." kata pemuda itu.
"Apa maksudmu?" tanya si gadis tak mengerti.
"Ikuti saja kata-kataku. Waktu kita sangat
sempit, kita harus melihat bagaimana nasib para tokoh dan pendekar di dalam
ruangan pertemuan!" tegas
Gento. Tanpa bicara Roro Centil lakukan apa yang di-
perintahkan kepadanya. Setelah itu mereka mulai me-
nuruni tangga batu, Roro Centil dibagian depan se-
dangkan Gento Guyon mengikuti tak jauh di bagian
belakang sambil menjaga segala kemungkinan yang ti-
dak diinginkan. Baru saja gadis itu sampai diundakan
paling bawah dia menjerit keras.
"Ya Tuhaan.... Mengapa sampai begini?" seru Roro Centil. Sepasang matanya
terbelalak memandang
ke seluruh penjuru ruangan dengan tatapan seakan
tak percaya. Murid si gendut Gentong Ketawa juga tak kalah
kagetnya. Berulang kali dia menyebut nama Allah
sambil menyeka wajahnya yang berkeringat beberapa
kali. "Perampas Benak Kepala, jika memang benar semua ini adalah hasil dari
kejahatanmu, aku ber-sumpah akan menghancurkan tubuhmu sampai lu-
mat!" dengus Gento dengan rahang bergemeletukan
menahan amarah. Tanpa pikir panjang sambil tetap
menahan nafas Gento segera memeriksa puluhan
mayat-mayat para tokoh golongan putih juga para
pendekar yang ikut tergabung dalam pertemuan itu.
Ternyata mereka semuanya tewas. Beberapa diantara
mereka ada yang mengalami pukulan di bagian dada,
tapi ada pula yang mengalami pendarahan hebat dari
bagian hidung dan mulut. Untuk sementara waktu
pemuda ini dapat menduga pendarahan yang mereng-
gut jiwa itu tentu akibat racun jahat yang sengaja ditebar di dalam ruangan itu.
"Racun Penghancur Syaraf, racun sirapan,
adakah pelakunya adalah orang yang sama?" fikir si pemuda.
Di depannya sana Roro Centil dengan pipi ber-
linangan air mata nampak sibuk mencari-cari. Dia
menarik nafas heran ketika orang yang dicarinya tidak ada di dalam ruangan itu.
Yang terlihat oleh gadis itu justru dua sosok mayat orang yang sangat
dikenalnya. "Kakek Malaikat Kuku Seribu dan nenek Bu-
rung Merak" Mereka ada disini tapi Muka Setan entah
kemana" Apakah yang terjadi di tempat ini Gento"
Mengapa tempat ini tiba-tiba berubah menjadi nera-
ka?" tanya Roro Centil tak mampu menahan isak tangisnya. "Pembunuhan demi
pembunuhan kejam." sahut Gento bergetar.
"Mereka yang berada di sini semuanya memiliki
ilmu tinggi. Untuk membunuh mereka bukan suatu
pekerjaan mudah"!" ujar Roro Centil terheran-heran.
"Memang, tapi jika racun ditebar di tempat ini,
lalu pintu rahasia di tutup rapat, kejadiannya tidak
beda dengan ikan dalam kolam yang ditebari tuba. Ta-
pi lihat, pembunuh itu nampaknya sempat masuk ke-
mari lalu menghabisi orang-orang yang masih berta-
han hidup dengan satu pukulan yang sama. Jika be-
nar pembunuhnya adalah Perampas Benak Kepala.
Berarti Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu
sempat bertarung dengan sang pembunuh. Kita harus
mencari petunjuk." Gento Guyon menegaskan. Roro
Centil dengan perasaan tegang dan jantung berdebar
anggukkan kepala. Dia lalu memeriksa mayat para to-
koh serta pendekar yang bertebaran di dalam ruangan
rahasia satu demi satu. Sedangkan Gento segera me-
neliti mayat Malaikat Kuku Seribu dan Si Burung Me-
rak. Kedua tokoh yang masih merupakan sahabat de-
kat Si Muka Setan ini juga tewas akibat pukulan yang
keji. Pakaian di bagian dada hangus tembus sampai ke
permukaan dada tepat di bagian jantung. Ketika
dia memeriksa bagian tangan Malaikat Kuku Seribu
yang memiliki kuku panjang, terkejutlah pemuda ini
dibuatnya. Dengan kening berkerut dia berusaha
membuka jemari tangan si kakek. Ketika jemari tangan


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka, di ujung kuku dia menemukan robekan pa-
kaian berwarna kuning. Melihat keadaannya Gento
menduga mungkin Malaikat Kuku Seribu berusaha
mencakar tubuh lawannya. Kemudian lawan menghin-
dar, tapi ujung pakaiannya masih kena disambar oleh
jemari tangan si kakek.
"Pembunuh itu, mungkinkah seseorang yang
memakai pakaian berwarna kuning?" gumam Gento.
Dia memutar otak mencoba mengingat-ingat. Begitu
Gento ingat sesuatu, tanpa sadar dia menepuk kepa-
lanya. "Jahanam yang satu itu, bukankah dia juga berniat datang ke tempat ini.
Mungkin dia yang telah
melakukan pembunuhan ini. Jika benar Panji Anom
pelakunya, setahuku ketika bentrok denganku dia tak
memiliki ilmu iblis sekeji ini. Selain itu pakaian Panji Anom bukan kuning
seperti robekan pakaian ini. Aku
ingat betul Panji Anom selalu memakai pakaian ber-
warna merah. Lalu siapa, hhm, buntu!" gerutu Gento lalu mengusap wajahnya habis-
habisan. "Gento, aku tidak menemukan petunjuk apa-
pun yang bisa menuntun kita kepada pembunuh yang
sebenarnya!" Roro Centil mengeluh.
"Sebaiknya kau kemari!"
"Ada apa?"
"Kita duduk berduaan disini sambil bertangis-
tangisan."
"Apa?" Roro Centil delikkan matanya. Gento
yang tadi bicara dengan bergurau kini menjawab se-
rius. "Bukan untuk berduaan, tapi ada yang ingin ku-tunjukkan padamu."
"Roro Centil mendekat, setelah berada di samp-
ing Gento dia melihat di tangan pemuda itu terdapat
robekan pakaian. Entah pakaian siapa."
"Kau kenal dengan orang yang berpakaian se-
perti ini?" tanya si pemuda sambil memandang tajam ke arah gadis itu. "Aku
menemukannya di ujung kuku-kuku Malaikat Kuku Seribu." menerangkan Gento.
"Banyak orang berpakaian dengan warna seper-
ti itu. Diantaranya Si Muka Setan juga memakainya,
lalu Raja Pengemis, selain dia Si Mata Aneh, kudengar Sapa dan Nyana si manusia
telaga juga berpakaian
sama. Belum lagi dukun cabul di pasar Gondong, para
gembel yang berkeliaran di pasar Turi. Dan...!"
"Sudah!" potong Gento jadi puyeng sendiri.
"Maksudku bukan begitu, aku cuma ingin tahu siapa saja orangnya yang mempunyai
hubungan dengan pertemuan ini?"
"Kurasa cuma nenek Muka Setan. Aku sendiri
tidak menemukan mayat nenek itu ada diantara
mayat-mayat ini." jawab Roro Centil dengan wajah dan sinar mata masih diliputi
keheranan. "Dia yang menjadi biang dari semua malapeta-
ka ini" Tidak mungkin." potong Gento cepat sambil gelengkan kepala. "Kau
mengatakan Si Muka Setan yang punya keinginan untuk mempersatukan kaum golongan
putih, dia juga yang mengatur pertemuan ini. Ba-
gaimana mungkin mendadak rencananya berubah lalu
melakukan pembantaian sekeji ini?"
"Aku curiga dia pembunuhnya karena hanya
dia yang tahu adanya ruangan rahasia ini, seperti kau lihat mayat Muka Setan tak
ada disini." Roro Centil mengajukan alasannya.
Sekali lagi Gento gelengkan kepala seakan tak
percaya Muka Setan yang membunuh para pendekar
itu. "Bagaimana dengan Raja Pengemis?" tanya
Gento. Roro Centil yang memiliki pengalaman luas dan
banyak mengenai para tokoh dunia persilatan lang-
sung menjawab. "Mengenai yang satu itu aku kurang tahu. Ku-
akui kesaktiannya sangat tinggi. Dia jarang muncul di dunia ramai. Tapi beberapa
hari yang lalu aku bertemu dengan orang itu di sebuah kedai tak jauh dari sini."
"Muncul dengan tiba-tiba disaat pertemuan to-
koh golongan putih akan berlangsung apakah ini bu-
kan sesuatu yang aneh?" ujar Gento. Mungkin kita harus menyelidiki semua orang-
orang yang kau se-
butkan. Terkecuali Si Mata Aneh, orang itu bukankah
sudah tewas di tangan Perampas Benak Kepala?"
"Kau benar. Tapi jawaban yang pasti hanya bisa
kita dapatkan setelah kita bertemu dengan Si Muka
Setan. Nenek itu adalah salah satu kunci dari sekian
kejadian keji yang terjadi disini!" ujar Roro Centil.
"Kalau begitu mari kita tinggalkan ruangan ini!"
ujar Gento. Roro Centil ikut pula bangkit, lalu mengikuti si
gondrong yang sudah menaiki anak tangga yang
menghubungkan ke rumah besar.
7 Ketika hampir sampai di Kiara Condong tempat
dimana pertemuan para tokoh golongan putih berlang-
sung Sapa dan Nyana alias Sepasang Dewa Berwajah
Ganda tidak langsung melewati jalan utama, tapi me-
reka mengambil jalan memutar dari arah belakang. Hal
ini sengaja mereka lakukan untuk menghindari keja-
dian yang tidak diinginkan.
Sampai disatu tempat tak jauh di belakang ru-
mah besar tempat berlangsungnya pertemuan si kaki
buntung Nyana yang duduk di atas bahu saudaranya
yang buta memberi isyarat pada Sapa, hingga langkah
si buta kurus kering berperut buncit ini hentikan
langkah. "Ada apa lagi" Sakit nafasmu kambuh?" tanya Sapa. "Bukan penyakitku yang kambuh.
Kulihat telah terjadi kekacauan disini. Mayat-mayat pengawal berge-
letakan. Kulihat kepalanya berlubang, darah bercece-
ran, uh mengerikan sekali." jelas Nyana yang menjadi pemandu jalan. Sapa jadi
terkejut, lututnya bergetar.
Walaupun matanya mendelik tentu saja dia tak dapat
melihat suatu apapun karena mata itu buta pana.
"Kau melihat ada orang lain disini?" tanya Sa-pa, suaranya tercekat seperti ayam
tertelan karet. Ini merupakan tanda bahwa si buta sedang dilanda ketegangan luar
biasa. "Tempat ini sunyi sekali, seolah telah berubah
menjadi kubur pembantaian massal. Tapi tunggu, aku
melihat pohon di sebelah sana bergerak-gerak. Eeh...
ada sosok tubuh mendekam disana. Orang itu mema-
kai pakaian berwarna kuning, gerak-geriknya mencuri-
gakan. Orang itu sekarang bicara sendiri. Nyana aku
tahu matamu buta, tapi pendengaranmu masih bagus
dari pendengaranku. Coba kau simak baik-baik apa
yang diucapkannya"!"
Sapa anggukkan kepala, dia kemudian miring-
kan kepala, daun telinga kiri kanan bergerak-gerak seperti telinga keledai. Si
buta Sapa kemudian memang
menangkap satu suara, suara racau tapi jelas tertang-
kap artinya. "Orang-orang tolol itu pada mampus semua.
Mereka membuang nyawa sebelum satu kata sepakat
didapat. Tak satupun jiwa yang dapat diselamatkan.
Kini roh mereka gentayangan dipermukaan bumi. Du-
nia gila, dipenuhi dengan orang-orang celaka!" Lalu sosok yang mendekam, dengan
matanya yang tajam dan
terus mengawasi rumah besar terdiam.
Sapa mengatakan apa yang didengarnya pada
sang adik yang duduk dibagian bahunya.
"Orang itu patut untuk kita tanyai. Bisa jadi dia yang telah membunuh para
pengawal pertemuan dan
mengambil otaknya untuk dimakan!" desis Nyana curiga.
"Katakan arahnya kita datangi orang itu!"
"Kau cukup menghadap ke kiri, jalan lurus ke
depan. Tidak sampai lima tombak kita sudah berada di
depan hidung pengintai itu." ujar Nyana memberi ancar-ancar.
Tanpa bicara lagi Sapa pun mengayunkan
langkah ke arah sosok berpakaian serba kuning ber-
tambal-tambalan putih. Walaupun laki-laki itu dalam
keadaan buta, namun setiap langkah yang dilakukan-
nya sama sekali tak menimbulkan suara. Sehingga ke-
tika dia sampai disamping orang yang dituju. Sosok
berpakaian kuning penuh tambalan putih jadi terkejut
dan sempat surut dua langkah.
Dengan mata terbelalak orang ini bangkit berdi-
ri. Dia sangat heran melihat kehadiran kedua orang
cacat ini. Sebaliknya Nyana langsung mengatakan ba-
gaimana ciri-ciri orang dihadapannya pada Sapa.
"Rambut klimis rapi, baju kuning bertambal-
tambal putih, badan tinggi semampai, kau lihat ku-
misnya besar atau kecil. Kulitnya bopeng atau mulus?"
tanya Sapa berbisik pula.
"Kumis tebal, janggutnya seperti janggut mbek.
Kulit tidak bopeng, hanya burik sedikit. Naga-naganya dia ini pengemis. Tapi
mana ada pengemis yang berpe-nampilan seperti ini." jawab Nyana.
"Hak hak hak. Aku tahu orang yang berada di
depan kita pasti Raja Pengemis. Manusia tengik ber-
pendirian pletat-pletot seperti perempuan yang sedang menari. Apa yang
dilakukannya di tempat ini!" tanya Sapa dengan suara keras.
Melihat saudaranya yang asal bicara saja, Nya-
na langsung bekap mulut Sapa.
"Cari penyakit lagi, orang yang kita bicarakan
itu ada di depan kita tolol!" damprat Nyana.
"Biar saja dia mendengar. Aku tahu apa yang
dilakukannya disini" Mungkin saja dia yang membu-
nuh para penjaga. Dia itu manusia plin plan, pendirian tidak tetap mengapa
berlaku sungkan"!" dengus Sapa sengit. Wajah klimis orang tua didepan sana
berubah mengelam, pelipis bergerak-gerak, rahang gemeletukan
sedang sepasang matanya mendelik besar akibat di-
landa kemarahan. "Para manusia cacat konyol sialan.
Jika kubunuh mereka semuanya atau tidak kubunuh
apa urusanmu?" hardik si orang tua yang memang Ra-ja Pengemis adanya.
"Hah, jadi dia telah membunuhnya?" tanya Sa-pa kaget.
"Dia belum mengatakan yang sebenarnya." kata Nyana menyahuti.
"Aku yakin dia yang melakukan semua ini!" Sa-pa tetap ngotot.
"Ha ha ha, kalian bertengkar bertanya tentang
pembantaian yang terjadi di tempat ini" Aku bisa
memberi jalan agar kalian tahu jawaban yang kalian
inginkan." kata Raja Pengemis.
"Kalau begitu cepat katakan padamu bagaima-
na caranya?" tanya Sapa.
"Huh, matamu melek sayang buta. Jadi percu-
ma saja kuberitahu. Mungkin orang yang kau gendong
itu layak mendengarnya. Ketahuilah untuk mengetahui
siapa adanya pembunuh orang-orang itu aku harus
mengantar kau dan saudaramu itu ke akherat. Sampai
disana nanti kalian baru bisa bertanya pada malaikat
penjaga neraka. Ha ha ha!"
"Hah, apa kataku. Raja Pengemis manusia ti-
dak benar, otaknya miring buat apa bertanya segala,
sebaiknya kita tangkap saja!" desak Sapa sudah tidak
sabaran. "Kalau begitu kita tangkap dia untuk diadili!"
teriak Nyana. Belum lagi suara teriakannya lenyap Sa-
pa yang menjadi inti dari setiap gerakan sudah me-
lompat ke depan. Karena dia melompat, maka tubuh
Nyana yang menopang di atas bahunya ikut pula ber-
gerak. Selagi tubuh si kaki buntung condong ke depan, maka Nyana julurkan tangan
satu mencengkeram
rambut Raja Pengemis, sedangkan satunya lagi melun-
cur melakukan totokan di bagian leher lawan. Sedang-
kan Sapa sendiri sambil melepaskan tendangan tak
lupa menghantamkan tangannya melepas pukulan
Dewa Tidur Memecah Karang, yaitu salah satu puku-
lan yang menjadi andalan Sepasang Dewa Berwajah
Ganda. Raja Pengemis jadi terkejut melihat formasi serangan lawannya. Bukan saja
cengkeraman si kaki
buntung amat bahaya tapi juga tendangan dan puku-
lan yang dilepaskan Sapa terasa dingin luar biasa
membuat perut dan dadanya terasa seperti ditusuk ra-
tusan batang jarum beracun tapi juga tubuhnya ter-
gontai. Raja Pengemis cepat melompat ke samping, sa-
tu tangan dipergunakan menangkis serangan Nyana
sedangkan tangan yang satunya lagi langsung diki-
baskan ke arah Sapa.
Plak! Plak! Buum! Dua pukulan beradu keras di udara hingga
mengeluarkan suara ledakan menggelegar. Sapa ter-
huyung lalu terpelanting. Karena orang yang mendu-
kungnya jatuh, maka Nyana pun ikut terjatuh, semen-
tara itu dua tangannya yang berbenturan dengan tan-
gan Raja Pengemis terasa ngilu, melembung bengkak
membiru. Sedangkan Sapa dengan cepat bangkit lagi,
dia sama sekali tidak menghiraukan perutnya yang se-
rasa remuk seperti diaduk-aduk.
Sebaliknya Raja Pengemis bukan tak merasa-
kan akibat dari benturan dan tangkisan yang dilaku-
kannya tadi. Tapi orang yang satu ini sangat pandai
menyembunyikan perasaannya.
"Monyet buntung dan kadal buta. Kalau tak sa-
lah aku mengingat bukankah kalian berdua adalah
Sepasang Dewa Berwajah Ganda" Manusia kesasar
tengik tak tahu penyakit. Sudah cacat tak berguna
masih juga mencampuri urusan orang lain!"
Habis berkata begitu Raja Pengemis hantamkan
tangannya ke atas dan ke bawah.
Wuuus! Selarik sinar biru menyambar ke udara, lalu
melesat terbagi menjadi dua bagian ke arah dua sasa-
ran sekaligus. Nyana yang melihat serangan ini mak-
lum tentu serangan Raja Pengemis selain ganas juga
mengandung racun jahat. Untuk itu tanpa membuang
waktu lagi Nyana pukulkan tangan kiri kanan ke arah
lawan. Dalam kesempatan yang sama Sapa seakan da-
pat melihat bahaya yang mengancam juga menghan-
tam ke depan. Satu gelombang angin dahsyat menderu mela-


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

brak pukulan Raja Pengemis, hingga serangannya
buyar di udara, lebih dari itu sebagian pukulan lawan terus melabrak ke arah
dirinya. Raja Pengemis keluarkan seruan tertahan namun dengan cepat dia melom-
pat ke samping, sekali lagi dia lipat gandakan tenaga dalamnya, lalu kembali
memukul ke depan.
Sepasang Dewa Berwajah Ganda bukan saja
kaget melihat pukulannya amblas tersapu serangan
lawan, tapi akibat pukulan balasan yang dilepaskan
Raja Pengemis membuat mereka jatuh terpelanting, la-
lu menggelundung tidak ubahnya tenggiling. Setelah
menggelinding menjauhi lawannya, Sapa lakukan satu
sentakan sedemikian rupa, hingga membuat tubuh
Nyana juga ikut tersentak ke atas. Wuut! Di lain waktu Sapa sudah berdiri tegak,
mulut si buta berkomat-kamit. Kemudian keduanya sama keluarkan suara te-
riakan. "Pergunakan serangan Dewa Menggandakan
Pukulan!" "Yaa...!" Kedua manusia cacat ini bicara dan menyahuti ucapannya sendiri. Raja
Pengemis yang merasa berada di atas angin untuk sementara hanya
memperhatikan gerakan tangan orang yang berputar
menyambar ke tiga penjuru arah seolah dua pasang
tangan itu kini telah berubah menjadi puluhan ba-
nyaknya. Melihat gelombang angin yang ditimbulkan
oleh gerakan tangan kedua lawannya, Raja Pengemis
sadar lawan tengah mengerahkan ilmu andalannya.
Baru saja Raja Pengemis hendak lakukan satu lompa-
tan sambil susupkan dua tangannya ke arah lawan,
pada saat itu Sapa dan Nyana sudah menghantam
tangan ke arah orang tua ini. Dalam pandangan Raja
Pengemis, tangan kedua lawannya kini seolah menyer-
bu ke segala penjuru tubuhnya, menghantam bagian-
bagian yang mematikan. Raja Pengemis cepat men-
gambil keputusan untuk selamatkan diri. Dia cepat
melangkah mundur dengan satu gerakan yang sulit.
Tapi tak urung tangan lawan masih sempat menghan-
tam rusuknya di bagian sebelah kiri.
Raja Pengemis menjerit keras, tulang rusuk
yang kena dihajar lawan seperti patah, sementara se-
rangan lawan laksana gelombang badai yang terus me-
labraknya tidak berkeputusan kemanapun Raja Pen-
gemis mencoba menghindar. Tak terduga orang tua itu
keluarkan suara menggerung, tubuhnya berputar dua
kali, lalu melesat ke udara. Dengan begitu serangan
lawan yang bertubi-tubi menghantam tempat kosong.
Selagi tubuh Raja Pengemis meluncur deras ke bawah,
dia menghantam ke arah lawannya.
Raja Pengemis yang sudah dibuat kalang kabut
oleh serangan lawannya kali ini melepaskan pukulan
Penghancur Raga, salah satu pukulan andalan dianta-
ra beberapa pukulan yang dia miliki.
Akibatnya sungguh sangat mengerikan sekali.
Semak belukar di sekelilingnya hangus terbakar, batu
dan pasir berubah panas seolah api.
"Waduh, tobat. Selamatkan diri!" teriak Nyana yang tiba-tiba melihat benda apa
saja yang dilewati
pukulan Raja Pengemis berubah menjadi api. Melom-
pat-lompat seperti kanguru. Sapa berusaha melo-
loskan diri dari ancaman bahaya maut. Tapi kemana-
pun orang ini menghindar tanah yang dipijaknya men-
jadi panas luar biasa. Rupanya inilah yang membuat si buta Sapa menjerit-jerit
tak berkeputusan.
Raja Pengemis yang tadinya siap membunuh
kedua lawannya dengan ilmu Penyedot Raga kini ter-
tawa tergelak-gelak. Rupanya apa yang terjadi dengan
Sepasang Dewa Berwajah Ganda sempat membuat geli
perasaannya. Sapa yang berjingkrak-jingkrak kesaki-
tan dimatanya tidak ubahnya seperti seekor kuda yang
tak mau ditunggangi majikannya.
Akan tetapi selagi Sepasang Dewa Berwajah
Ganda jadi kalang kabut selamatkan diri, pada saat itu pula terdengar suara
menggemuruh disertai bertiup-nya angin dingin yang sangat luar biasa. Angin itu
berputar bergulung-gulung di atas tanah yang panas.
Lalu terus bergerak mengelilingi Sapa dan Nyana sea-
kan memberikan perlindungan. Begitu angin dingin itu
memulas tubuh kedua orang cacat ini, maka hawa pa-
nas langsung lenyap, tanah yang luar biasa panasnya
berubah dingin. Di depan sana Raja Pengemis nampak
terhuyung tubuhnya mengepulkan asap putih, tapi
nampaknya orang tua itu sedang berusaha keras me-
lawan sesuatu, satu kekuatan yang dahsyat namun
tak terlihat kasat mata.
"Sialan tengik, siapa yang mencoba mengadu
tenaga dalam dengan diriku!" rutuk Raja Pengemis yang baru saja dapat menguasai
diri. Jika Sepasang Dewa Berwajah Ganda tertawa-
tawa seperti seorang bocah yang kegirangan sebaliknya Raja Pengemis wajahnya
mendadak berubah pucat.
"Waduh, habis kepanasan kini tubuh kita se-
perti diguyur es ya saudaraku!" celetuk Sapa.
"Betul, esnya dingin amat. Tubuhku jadi segar."
Nyana menyahuti sambil dongakkan wajahnya ke lan-
git. "Syukur ada dewa, dewanya baik amat."
Tapi baik kedua orang ini maupun Raja Penge-
mis kemudian sama terdiam dan sama pula meman-
dang ke satu arah begitu mereka mendengar suara si-
ulan tak berketentuan. Suara siulan kemudian lenyap,
di tempat itu muncul seorang pemuda berambut gon-
drong bertelanjang dada. Melihat kemunculan si Gon-
drong Gento Guyon Raja Pengemis jadi melengak.
"Apakah si gondrong ini tadi yang mengadu ke-
saktian denganku?" kata Raja Pengemis seorang diri.
"Rasanya tidak mungkin, dia masih muda, bagaimana mungkin tenaga dalamnya malah
lebih tinggi dariku?"
Di depan sana si gondrong yang baru muncul-
kan diri dengan sikap acuh tak acuh memandang Raja
Pengemis sekilas, setelah itu dia menoleh ke arah Sapa dan Nyana. Melihat kedua
orang ini senyum Gento
menghias dibibirnya. "Hem, kalian lagi. Dua dewa paling malang di dunia. Kita
bertemu lagi, bagaimana
dengan obat yang kuberikan tempo hari" Ha ha ha.
Kukira paman Sapa sudah minggat ke akherat karena
obat itu, tidak tahunya masih segar bugar malah tadi
sempat kulihat berjingkrak-jingkrak seperti orang se-
dang bermain kuda."
"Pemuda edan, dibalik segala tingkah edanmu
ternyata kau mempunyai obat mujarab. Aku Sapa,
mengucapkan terima kasih lahir batin!" kata si buta.
"Aku juga mengucapkan terima kasih karena
kali ini kau menyelamatkan kami dari panggangan api
yang dibuat oleh Raja Pengemis!" ujar Nyana pula.
"Ha ha ha. Kukira kalian sedang pesta mandi
api. Tidak tahunya raja gembel itu yang membuat
ulah" Untung aku punya nafas sedikit panjang, kalau
tidak mungkin kalian sudah jadi singkong bakar!" Gento lalu tertawa-tawa tak
perduli Raja Pengemis me-
mandangnya dengan tatapan dingin menusuk.
Raja Pengemis sendiri akhirnya menjadi marah
begitu melihat si gondrong ini nampaknya tidak me-
mandang sebelah matapun padanya. Apalagi dia kini
tahu orang yang telah menolong kedua lawannya tadi
adalah pemuda ingusan yang agaknya mempunyai
otak kurang waras ini.
"Monyet gondrong, kau datang tidak diundang
beraninya mencampuri urusan orang lain?" hardik Ra-ja Pengemis.
Dimaki dirinya 'monyet gondrong' kuping Gento
sempat memerah. Tapi dengan tenang sambil terse-
nyum dia menjawab. "Mungkin diriku ini hanya mo-
nyet gondrong. Tapi apakah engkau lupa bahwa kau
adalah bapak monyet. Hei bapak monyet, bagaimana
dirimu ini masa sampai lupa pada anak sendiri. Ha ha
ha." Mendengar ucapan Gento Sapa dan Nyana jadi
ikutan tertawa hingga tempat itu jadi berisik oleh sua-ra gelak tawa mereka.
Mendidihlah darah raja Penge-
mis mendengar kata-kata Gento. Dia sering malang
melintang di dunia persilatan, banyak tokoh-tokoh
penting yang menaruh rasa hormat kepadanya, tapi
kali ini ada seorang pemuda berkalung batu seperti
orang sinting bicara seenaknya.
"Bocah edan, bicara terus-terang dan terus-
terang apa maumu. Sehingga aku dapat menentukan
hukuman apa yang akan kujatuhkan padamu atas
ucapanmu tadi?" hardik Raja Pengemis geram.
Beberapa saat Gento terus saja tertawa, malah
kini dia duduk di atas batang pohon kering dengan
kaki bersilangan satu sama lain dengan santainya.
8 Sikap Gento yang tidak dibuat-buat ini jelas
semakin membuat Raja Pengemis bertambah jengkel.
Tapi dia masih berusaha menahan diri untuk menung-
gu beberapa saat lamanya.
Sebaliknya Gento pandangi si orang tua, terle-
bih-lebih pakaiannya yang berwarna kuning. Pemuda
inipun akhirnya tercekat begitu melihat bagian ujung
baju di sebelah bawah nampak robek besar seperti di-
renggut secara paksa. "Mayat-mayat yang kepalanya berlubang dan otaknya lenyap
boleh jadi merupakan
hasil perbuatan Perampas Benak Kepala. Tapi para to-
koh, pendekar yang tewas terbunuh di dalam ruangan
pertemuan rahasia itu?" fikir Gento. Dia ingat betul, cabikan baju yang terdapat
di saku celananya warna
maupun coraknya sama persis dengan warna pakaian
Raja Pengemis. Tapi dia sendiri merasa tidak boleh
berlaku gegabah melempar tuduhan tanpa alasan,
"Pemuda sinting! Kau tak mau mengatakan apa
keinginanmu. Agaknya kau ingin agar aku menjatuh-
kan tangan jahat kepadamu secepatnya"!" Gento tersenyum. Nyana jadi tak sabar.
"Gento, mengapa kau diam saja. Orang ini jelas telah mengaku membunuh
para penjaga itu."
"Tidak begitu paman, segala tindakan apalagi
tuduhan harus disertai dengan bukti. Sekarang kalian
menyingkirlah, bantu sahabatku Roro yang saat ini se-
dang memeriksa kawasan ini."
"Kau berkata begitu, perintahmu segera kami
lakukan. Tapi kau harus berhati-hati. Raja Pengemis
manusia edan yang tidak bisa kau pandang sebelah
mata." mengingatkan Sapa. Lalu dia pergi meninggalkan Gento dan Raja Pengemis.
Orang tua ini rupanya
tidak membiarkan lawan meloloskan diri begitu saja,
dia segera mengejar, tapi gerakannya dihalangi oleh
Gento Guyon. "Pemuda sialan. Kau benar-benar mencari ma-
ti!" rutuk laki-laki itu sengit. Gerakan kakinya yang mengayun kini berubah
menendang. Hanya sekali tendang pasti pemuda itu terjengkang, begitulah fikir
Raja Pengemis. Tapi satu gerakan yang dibuat Gento membuat pemuda itu lenyap
dari hadapannya.
"Hei, kemana minggatnya gondrong kurang ajar
tadi!" maki si orang tua tercekat.
"Aku disini Raja Pengemis, tepat dibelakang-
mu!" kata Gento. Terkejut Raja Pengemis cepat balikkan badan. Rasanya kalau
pemuda itu mau tentu dia
sudah kena dicelakainya sejak tadi. Kenyataan ini yang membuat tengkuk Raja
Pengemis berubah menjadi
dingin. "Seperti katamu tadi orang tua. Mungkin salah seorang diantara kita akan
ada yang mati. Kalau tidak aku pasti kau. Terkecuali kau mau berkata jujur
kepadaku!" kata Gento sambil pandangi orang didepannya dengan tatap mata penuh
curiga. Raja Pengemis menjadi kaget. "Eh, apa mak-
sudmu pemuda sinting?"
"Seperti yang kau lihat, di tempat ini telah terjadi pembantaian. Siapa yang
membunuh para pen-
gawal itu kami kira-kira sudah tahu."
"Kau mengatakan kami, berarti kau tidak sen-
dirian datang ke tempat ini." sergah si kakek.
Gento anggukkan kepala.
"Kau benar, aku bersama kawanku, Roro...
nama panjangnya aku tak tahu entah Roro Cendil atau
Roro Upil." menerangkan Gento sambil mengusap wajahnya pulang balik.
"Itu menandakan bahwa kau bocah edan. Nama
lengkap kawan sendiri pun tak bisa mengingat." dengus Raja Pengemis disertai
senyum mengejek.
"Lalu apakah ada pembunuhan yang lainnya
lagi?" "Ada," sahut Gento. "Pembunuhan itu terjadi di ruangan bawah tanah di
suatu tempat yang dijadikan
ruangan pertemuan. Mereka yang terbunuh adalah pa-
ra tokoh dan pendekar golongan putih. Hanya pembu-
nuhan yang terjadi diruangan itu ciri-cirinya sangat
lain. Tapi aku menemukan bukti berupa robekan pa-
kaian yang mungkin sempat direnggut oleh seorang
korban. Pakaian yang kutemukan sama persis dengan
pakaianmu."
"Jadi robekan pakaian itu berwarna kuning?"
Raja Pengemis ajukan pertanyaan disertai senyum
mencibir. Gento anggukkan kepala.
"Kulihat bajumu juga robek di sebelah bawah.
Robekan baju entah kemana, tapi bisa jadi yang seka-
rang ada ditanganku!"
Sambil memperhatikan baju bawahnya, Raja
Pengemis mengumbar tawa. "Hanya dengan bukti se-
perti itu kau hendak menghukum" Ha ha ha! Sungguh
otak dan jalan fikiranmu sangat sempit sekali. Ha ha
ha!" Mendengar ucapan Raja Pengemis yang jelas
menghinanya Gento tersenyum kecut. Tapi dengan te-
gas dia kemudian tetap berkata, melanjutkan ucapan-
nya. "Mungkin satu bukti tidak kuat, Raja Pengemis.
Jika aku mau menyelidik, mungkin pula di dunia ini
ribuan manusia memakai baju sepertimu. Tapi aku
hanya tinggal mencari dua bukti. Salah satu diantara
dua bukti itu antara lain bisa kucari jika kau mengi-
zinkan aku menggeledah tubuhmu, hanya ku geledah


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja jadi kau tak perlu telanjang di hadapan ku!"
Mendengar ucapan Gento, Raja Pengemis men-
delik. Wajahnya merah padam. Dua tangan terkepal
sebagai tanda bahwa dia sangat geram mendengar
ucapan pemuda itu. Tapi ketenangan dan cara bicara
Gento pulalah yang membuatnya mampu menahan di-
ri. "Apa yang kau cari hingga kau merasa perlu
memeriksa tubuhku?" tanya orang tua itu heran.
"Karena kita laki-laki, adalah suatu ketololan
jika aku mencari barang yang sama. Yang jelas aku in-
gin memastikan apakah di salah satu kantung pa-
kaianmu tersimpan racun syaraf atau tidak."
"Ha ha ha. Sungguh kau pemuda tak waras
yang sangat nekad sekali. Terus-terang aku tidak per-
nah menyimpan racun itu." bantah Raja Pengemis.
"Ha ha ha, aku hanya akan percaya jika kau
mau kugeledah." kata Gento tetap nekad.
"Bocah tengik sialan. Jika kau tidak percaya
pada ucapanku aku tidak perduli. Tapi kau jangan
pernah mimpi bisa menggeledah aku. Bocah tengik sia-
lan. Jika kau mampu lakukanlah!" Raja Pengemis yang jengkel akhirnya ajukan
tantangan. "Bagus. Ha ha ha. Ucapanmu kuanggap sebagai
suatu tanda bahwa kau memang memberi izin padaku.
Sekarang juga aku akan mencari dua bukti yang san-
gat kubutuhkan itu. Raja Pengemis lihat tanganku!" te-
riak murid si gendut Gentong Ketawa memberi aba-
aba. Raja Pengemis keluarkan tawa bergelak. Dia
sudah berniat memberi pelajaran pada pemuda yang
dianggapnya konyol kurang ajar itu. Kalau perlu men-
cidrainya hingga salah satu anggota tubuhnya menjadi
cacat. Di depan sana Gento membuka serangan den-
gan jurus Belalang Terbang.
Segalanya berlangsung dengan sangat cepat
dan tidak terduga-duga, karena ketika tubuh Gento
melesat menyerbu ke arah lawannya dengan tangan
terpentang lurus dengan kepala. Raja Pengemis lang-
sung merasakan adanya angin deras yang menyambar
bagian wajahnya. Orang tua itu segera sadar, kalau
pemuda itu sedang berusaha menjatuhkannya. Raja
Pengemis mendengus, tangan kiri digerakkan dari ba-
wah ke atas menangkis serangan lawan, sedangkan
tangan kanan yang terkepal meluncur ke depan men-
cari sasaran di bagian tubuh Gento.
Tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh tak
terduga dan membuat Raja Pengemis jadi melongo. Be-
gitu tangan lawan hampir membentur tangannya, tiba-
tiba Gento liukkan tubuh depannya, serentak dengan
itu pula kepala menukik tajam ke bawah sedangkan
tangan kanan kiri gentayangan menggerayangi saku
baju dan celana lawannya. Apa yang dilakukannya itu
berlangsung sangat singkat sekali. Raja Pengemis yang gagal menangkis serangan
dan gagal pula memukul
dada lawan, kini dengan cepat hantamkan lututnya ke
wajah Gento. Tapi pemuda ini sudah jejakkan kaki, la-
lu tarik wajahnya dari jangkauan lutut lawan.
Sekali lagi serangan Raja Pengemis yang diken-
al sangat cepat itu hanya mengenai tempat kosong.
Dua tombak didepannya sana Gento Guyon tertawa
tapi keningnya berkerut tajam.
"Aku telah menggeledah kantong mu Raja Pen-
gemis, tak kutemukan apa yang kucari. Cuma tadi
sempat terpegang oleh ku sepotong tebu, mungkin. Ha
ha ha. Adalah mengherankan orang seperti dirimu ma-
sih suka makan tebu?"
"Pemuda edan, kau masih bisa meloloskan diri
dari Tendangan Kaki Bertekuk Lutut. Apakah kau bisa
meloloskan diri Uluran Tangan Pengemis?" seru Raja Pengemis dengan muka merah
padam. Wuuut! Dua tangan Raja Pengemis lalu ditadahkan ber-
sikap seperti peminta sedekah. Setelah itu tangan dis-odorkan ke depan. Kemudian
laksana kilat ditarik lagi ke belakang. Tangan dibalik, lalu dengan tangan
membentuk cakar dia menyerbu ke arah Gento. Tangan lalu
terayun ke kiri dan ke arah kanan. Setiap gerakan tangan disertai suara
bersiutan dan setiap menyambar ke
tubuh Gento, pemuda ini pasti merasakan tubuhnya
yang terkena sambaran angin lawan laksana disayat-
sayat belati. Meskipun Gento mengembangkan jurus-
jurus Belalang Terbangnya, tapi dia cepat sekali terdesak, malah lawannya hanya
dalam waktu beberapa de-
tik sudah mampu mengurung ruang gerak pemuda itu.
Bukan hanya itu saja, tubuhnya seolah tenggelam da-
lam badai serangan lawannya. Gento tak mungkin ke-
luar dari kungkungan serangan tangan lawan yang
seakan datang dari seluruh penjuru arah itu. Tapi dia sendiri tak mungkin terus
bertahan dalam keadaan
seperti itu. Maka dengan tangan sengaja ditekuk dia
menangkis serangan lawannya.
Dess! Breet! Benturan siku dengan tangan lawannya me-
nimbulkan rasa sakit yang tidak terkira. Walaupun
Gento berhasil melompat selamatkan diri dari gelom-
bang serangan lawan, tak urung kulit dadanya tergores kuku lawan. Lima goresan
kuku jari membekas disana,
hingga mengeluarkan darah serta menimbulkan rasa
sakit yang tidak terkira.
Gento menyeringai, didepannya Raja Pengemis
sunggingkan senyum mengejek. "Sekarang kulitmu yang ku cabik, sebentar lagi
nyawamu pasti akan ku-renggutkan dari jasadmu!"
"Ha ha ha. Bisa saja kau orang tua, memang-
nya kau ini wakil dari malaikat maut. Huh... sampai di situ sajakah kesaktian
dan ilmu yang kau miliki?"
pancing Gento sengaja memanasi lawannya.
Sebenarnya Raja Pengemis bukan orang yang
mudah terpengaruh oleh ucapan lawannya, namun ka-
rena dia sadar pemuda yang satu ini memiliki tenaga
dalam yang tinggi, maka diapun tak mau berlaku ayal.
Masih dengan jurus yang sama dia kembali menyerbu
ke depan, tapi kali ini serangannya sedikit berubah
dengan kecepatan berlipat ganda. Dua tangan kembali
menyambar ke bagian perut dan dada pemuda itu.
Pendekar Sakti Gento Guyon yang sudah mendapat
gembelengan tambahan serta tenaga dalam tinggi dari
Manusia Seribu Tahun segera miringkan tubuhnya ke
kiri. Setelah itu dia menghindar dengan langkah ter-
huyung-huyung, gerakannya pun jadi sembarangan.
Rupanya pada saat itu Gento telah mengerahkan jurus
Congcorang Mabuk.
Raja Pengemis diam-diam jadi heran. Bagaima-
na mungkin setiap serangan yang dilancarkannya tak
mengenai sasaran, malah berulang kali tubuhnya
hampir menjadi sasaran tendangan lawan.
"Pemuda ini, langkahnya grubak-grubuk seperti
orang mabuk. Aku seperti mengenai jurus yang diper-
gunakannya itu"! batin Raja Pengemis.
"Raja Pengemis, lihat!" teriak si pemuda. Terke-
jut orang tua itu melompat mundur, sedangkan ka-
kinya menghantam deras ke kaki Gento. Pemuda ini
melompat, sambil melompat secara tak terduga lang-
sung menghantamkan tinjunya ke wajah lawan.
Dees! Brak! Raja Pengemis jatuh terguling-guling, peman-
dangannya berkunang-kunang kepala laksana mau
meledak, sedangkan pelipisnya menggembung besar,
bengkak membiru. Terhuyung Raja Pengemis bangkit
berdiri, dia yang sudah hampir mengenali jurus yang
dipergunakan Gento mendadak jadi lupa lagi. Kini aki-
bat guncangan yang keras akibat pukulan tadi malah
menimbulkan kemarahan hebat di hati Raja Pengemis.
"Pukulanmu sungguh hebat, bocah. Kepalaku
sampai mau meledak, dan kurasakan dunia ini seperti
berputar. Tapi... semua itu bukan berarti kau telah
menang menghadapi aku. Aku punya salah satu ilmu
yang selama ini tak seorang lawanpun selamat dari
padanya." Dalam hati Gento membatin. "Bagus, memang
ini yang kutunggu. Racun pelumpuh syaraf boleh jadi
tak kau miliki. Tapi siapa bisa menduga bahwa se-
sungguhnya kau orangnya yang memiliki pukulan Te-
lapak Beracun yang membuat tokoh dan pendekar di
ruangan rahasia itu tak ada yang selamat." Lalu Gento berteriak lantang. "Raja
Pengemis, yang aku tahu namanya pengemis bisanya cuma meminta-minta. Jika
ternyata kau memiliki sesuatu yang patut dibanggakan
mengapa tak segera kau perlihatkan kepadaku?"
"Kau pasti akan sangat menyesal telah menen-
tangku!" teriak Raja Pengemis pula.
Tak menunggu lebih lama orang tua itu letak-
kan dua tangannya yang terkepal di atas kepala. Mulut si orang tua berkemak-
kemik, entah apa yang diba-
canya. Tapi Gento menyadari pastilah lawan hendak
menggunakan ilmunya yang paling hebat, untuk itu
dia segera bersikap waspada dan langsung mengerah-
kan ilmu andalan warisan Manusia Seribu Tahun, yai-
tu ilmu Menitis Bayangan Raga. Gento silangkan dua
tangannya di depan dada, salah satu kaki ditekuk.
Kemudian tangan kanan yang disilangkan itu digerak-
kan secara perlahan ke depan. Satu perubahan terjadi, tubuh pemuda itu tiba-tiba
mengembar menjadi dua.
Dari dua menjadi tiga dan terus berlanjut sampai men-
jadi lima dalam sosok yang sama. Pada saat itu Raja
Pengemis sudah menghantam ke Gento yang telah
mengembar menjadi lima orang mendadak merasakan
ada satu kekuatan yang menyedot tubuhnya ke arah
Raja Pengemis. Daya sedot semakin bertambah besar,
lima sosok Gento Guyon bergetar hebat. Di depan sana
Raja Pengemis merasa lima kekuatan menahan daya
tarik yang bersumber dari ilmu anehnya. Biasanya
orang yang terkena pukulan Penyedot Raga, bukan
hanya tenaga dalamnya saja yang terkuras berpindah
ke tubuh Raja Pengemis, selain itu nyawanya juga ti-
dak akan tertolong walaupun pengerahan ilmu itu ber-
langsung sangat singkat.
Tapi kini kenyataan yang dia hadapi, tubuh la-
wan yang dapat berubah menjadi lima orang ini seakan
mampu bertahan dari pengaruh ilmunya. Walaupun
saat itu kelima sosok dalam ujud sang pendekar Sakti
sudah nampak bergetar sedangkan kakinya mulai am-
blas pula ke dalam tanah.
Gento Guyon sendiri merasa seluruh perut dan
daging tubuhnya laksana dicabik-cabik. Kedua ma-
tanya seperti mau tanggal. Diapun tak mau mengambil
resiko yang dapat membahayakan keselamatan ji-
wanya. Karena itu diapun berteriak.
"Lima Bayangan Menyatu Raga!" Seiring dengan
itu pula satu demi satu sosok Gento yang lain berlom-
patan berdiri di atas bahu. Setiap sosok kaki Gento
menyentuh Gento yang lain, maka sosok itu amblas,
sampai kemudian menjadi satu kembali dalam ujud
sosok Gento yang sesungguhnya. Setelah empat
bayangan lain menyatu badan, maka Gentopun tanpa
sungkan-sungkan lagi menghantam ke depan. Kini ke-
kuatan pukulan yang telah berubah menjadi lima kali
lipat itu melabrak tubuh Raja Pengemis. Dua kekuatan
beradu keras di udara membuat Gento Guyon dan Ra-
ja Pengemis terlempar ke belakang masing-masing se-
jauh lima tombak. Mereka sama jatuh menelungkup.
Dari mulut dan hidung masing-masing lawan me-
nyembur darah kental kehitaman. Pendekar Sakti Gen-
to Guyon yang wajahnya berubah pucat seperti mayat
cepat telan dua pil mujarab.
Sedangkan dibelakangnya sana Raja Pengemis
segera duduk bersila. Dia mencoba mengatur nafas
dan jalan darahnya yang kacau. Mata orang tua ini
terpejam. Sedangkan Gento masih dalam keadaan du-
duk langsung memutar tubuh. Dia menunggu. Dan ki-
ni baru yakin bahwa Raja Pengemis tak memiliki ilmu
Telapak Beracun. Tidak lama berselang Raja Pengemis
membuka matanya. Si pemuda melihat wajah orang
tua itu masih pucat.
"Raja Pengemis, apakah kau masih ingin me-
lanjutkan perkelahian ini hingga salah seorang dianta-ra kita ada yang mati
seperti katamu tadi?" tanya Gento diam-diam juga merasa kagum dengan kehebatan
yang dimiliki oleh Raja Pengemis.
"Percuma, kau begitu tangguh. Aku... aku se-
benarnya masih punya pertanyaan untukmu." berkata Raja Pengemis dengan suara
lunak dan disertai senyum. Melihat sikap orang yang mendadak berubah
Gento jadi heran.
9 Dengan sikap acuh, namun hati diliputi rasa
ingin tahu Gento pandangi Raja Pengemis. "Apa perta-nyaanmu, Raja Pengemis"
Setelah kita berkelahi apa-
kah kau sekarang ingin mengajari aku bagaimana
menjadi raja dari pada para pengemis?" kata Gento disertai senyum mengejek.
Raja Pengemis gelengkan kepala. "Aku ingin
bertanya, setelah melihat jurus-jurus silatmu tadi apa hubunganmu dengan orang
tua sinting Gentong Ketawa?" Mendapat pertanyaan yang tak disangka-
sangka itu Gento Guyon tentu saja jadi melengak ka-
get. Dia tak mengerti bagaimana Raja Pengemis bisa
mengenai gurunya"
Sebenarnya dia tak ingin menjawab pertanyaan
orang tua itu, karena Gento memang dilarang menga-
takan siapa gurunya pada sembarang orang. Tapi me-
lihat tatapan Raja Pengemis yang teduh dan menco-
rong tajam tapi bukan menyimpan permusuhan. Maka
diapun akhirnya menjawab. "Kakek Gentong Ketawa
itu adalah guruku!"


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Raja Pengemis membulat lebar, ada pera-
saan girang membayang di wajahnya, "Benarkah Gentong Ketawa sahabatku itu
gurumu" Sudah lama seka-
li kami tidak bertemu dengan si edan yang satu itu.
Dimana dia sekarang?" tanya Raja Pengemis ramah.
Yang ditanya berubah murung. "Aku juga se-
dang mencarinya!" kata Gento. Dia kemudian menceritakan segala sesuatu yang
terjadi juga angin putih
yang membuat gurunya terpesat entah kemana.
"Angin putih." Raga Pengemis mengguman da-
lam hati. "Aku berharap gurumu dalam keadaan selamat. Dia beruntung karena
memiliki murid yang san-
gat hebat. Hampir saja kita saling berbunuhan. Lalu
mengapa kau sampai di tempat ini?"
"Aku sengaja memenuhi keinginan guruku. Ta-
pi tak pernah kusangka kejadiannya sampai seperti ini Paman. Para tokoh itu
semuanya tewas. Ada yang dije-bol kepalanya. Ada yang terkena racun penghancur
syaraf ada pula yang terkena pukulan Telapak Bera-
cun!" menerangkan Gento.
"Para pengawal yang mati itu aku sudah meli-
hatnya. Iblis penyedot otak, barangkali dia pelakunya.
Akhir ini namanya menjadi momok bagi dunia persila-
tan. Sedangkan orang yang memiliki ilmu Racun Pe-
lumpuh Syaraf atau yang mempunyai pukulan Telapak
Tangan aku belum tahu."
"Semula aku curiga padamu, karena kulihat
pakaianmu robek. Warna pakaian paman sama persis
dengan robekan pakaian yang kutemukan di salah sa-
tu tangan korban. Maaf aku telah salah menduga."
"Tidak mengapa, yang jelas aku tidak punya ra-
cun atau pukulan yang keji. Menurutku bisa jadi pela-
ku pembunuhan ini adalah orang yang sama!"
"Maksudmu Si Perampas Benak Kepala itu pe-
lakunya?" tanya Gento penuh perhatian.
"Mungkin saja, orang itu sangat cerdik. Otak-
nya bukan cuma satu, tapi puluhan. Ingat daya fikir-
nya pun menjadi sangat hebat. Tapi aku akan mem-
bantumu, aku akan berusaha mencari pembunuh
yang sebenarnya sekaligus mencari muridku yang
murtad!" ketika berkata begitu wajah Raja Pengemis berubah murung.
Gento menjadi heran. "Kau menyebut muridmu,
murid murtad, apakah yang telah terjadi?" tanya Gento,
"Anak itu ku didik sejak kecil. Namanya Menak
Sangaji. Setelah dewasa dia malah pergi dengan mem-
bawa sebuah jimat yang sangat berbahaya bila digu-
nakan untuk jalan yang salah. Pemuda itu harus ku-
temukan dan kubawa ke tempat pertapaan. Kalau per-
lu segala ilmu yang kuturunkan kepadanya kukuras
lagi!" geram si kakek.
"Siapa nama muridmu itu, namun barangkali
suatu saat aku bisa membantu mencarikannya un-
tukmu!" ujar Gento.
"Pemuda baik, terima kasih kau mau memban-
tu. Nama muridku itu adalah Menak Sangaji." kemudian Raja Pengemis menerangkan
ciri-ciri sang murid.
Gento menggangguk tanda mengerti.
"Kau sendiri siapa namamu?" tanya Raja Pen-
gemis. "Aku, namaku Gento Guyon paman!" Mendengar Gento menyebut namanya Raja
Pengemis terse-
nyum. "Namamu hampir sama dengan nama gurumu.
Tapi gurumu walaupun sinting lebih beruntung diban-
dingkan diriku. Aku kagum dengan segala kehebatan
yang kau miliki."
Sadar orang menyanjungnya, Gento malah bi-
cara merendah. "Apa yang kumiliki belum seberapa di-bandingkan dengan kekuasaan
Gusti Allah paman. Se-
tiap ilmu hebat masih ada yang lebih hebat lagi. Di
atas langit masih ada langit bukankah begitu ujar-ujar para orang tua dulu
paman"!" tanya Gento sambil menatap tajam pada Raja Pengemis.
"Apa yang kau katakan itu memang benar
adanya. Gento, aku senang bertemu denganmu. Tapi
aku tak dapat menunggu lebih lama lagi denganmu,
kelak mungkin bila ada umur panjang kita pasti ber-
temu lagi." kata Raja Pengemis. Orang tua itu kemu-
dian bangkit berdiri. Sebelum pergi Gento sempat me-
lihat Raja Pengemis mengurut dadanya.
"Paman, apakah luka dalammu masih sakit?"
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Kau tak usah meri-
saukannya. Sekarang aku harus pergi dulu, untuk
mencari pembunuh dan muridku yang murtad itu!" tegas Raja Pengemis.
Selesai berkata si orang tua tinggalkan tempat
itu. Gento Guyon pandangi kepergian Raja Pengemis
sekilas. Setelah itu dia kembali menjumpai Roro Centil yang ketika
ditinggalkannya tadi sedang sibuk memeriksa di bagian halaman depan.
Roro Centil duduk bersimpuh di depan pusara
itu. Dengan mulut bergetar dia membaca batu nisan
bertuliskan nama orang yang sangat dikenalnya. Sekali lagi si gadis
memperhatikan, membacanya lagi berulang-ulang. 'DISINI BERISTIRAHAT DENGAN
SENANG, SI MUKA SETAN'.
Roro Centil gelengkan kepala seakan tak per-
nah percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Cu-
kup lama dia termenung, sementara tanpa disadari air
matanya bergulir menetes membasahi pipi.
"Muka Setan mengapa semua ini harus terjadi.
Benarkah yang berada di dalam pusara ini adalah di-
rimu" Jika benar siapa yang telah membunuhmu"!"
tanya Roro Centil seorang diri.
"Gadis cantik, jika benar yang dimakamkan di
situ adalah Si Muka Setan, tangis dan deraian air mata tak akan pernah
menyelesaikan masalah.!" kata satu suara. Roro Centil tentu saja menjadi kaget,
cepat dia menoleh ke belakang.
Si gadis jadi melengak kaget ketika dilihatnya
dua orang laki-laki berdiri tegak dibelakangnya. Yang membuat Roro Centil
menjadi sangat heran salah satu
dari mereka yang berkaki buntung duduk di atas bahu
temannya yang berbadan kurus dan berperut buncit.
Tapi si gadis kemudian nampak menjadi girang ketika
dia mengenal kedua laki-laki cacat ini.
"Paman Sapa... paman Nyana?" seru Roro Cen-
til, dengan cepat dia menyeka kedua matanya yang ba-
sah. "Roro...! Kau berada disini. Pusara yang kau tangisi itu?" tanya Nyana. Dia
kemudian langsung mendekati gadis itu.
"Aku bukan menangisi pusara, yang ku tangisi
adalah orang yang berada di dalam pusara ini." sahut Roro Centil.
Nyana tanpa bertanya lagi langsung melihat ke
bagian kepala nisan. Dengan jelas dia melihat satu
nama tertera disini. "Si Muka Setan!"
"Memang siapa yang berkubur disini, Nyana?"
tanya Sapa yang tak dapat melihat sama sekali.
"Si Muka Setan." jawab Nyana singkat.
Sepasang mata buta Sapa mendelik besar, dia
sama sekali tak mampu menyembunyikan rasa kaget-
nya. "Bukankah dia orangnya yang telah merencanakan pertemuan besar ini?"
"Paman betul. Tapi nampaknya dia telah terbu-
nuh, mungkin sebelum pertemuan itu dimulai." jelas Roro Centil.
"Siapakah pembunuh jahanam itu" Apakah
orang yang sama" Maksudku tokoh gila yang telah
menyedot otak para pengawal ini?" tanya Nyana dengan perasaan geram.
"Aku tidak dapat memastikannya paman Nya-
na, karena tak seorangpun orang-orang yang berada
disini yang dapat menyelamatkan diri. Malah mereka
yang hendak melakukan pertemuan di satu ruangan
rahasia di rumah itu semuanya tewas terbunuh!" kata Roro Centil.
"Gusti Allah, mengapa segala kebiadaban ini
kau biarkan terjadi?" desis Sapa dengan suara bergetar.
"Kita harus mencari pembunuh itu!" tegas Nya-na.
Roro Centil anggukkan kepala.
"Memang kita akan mencarinya." sahut si gadis.
Dia kemudian ajukan pertanyaan lagi. "Oh ya, bagaimana paman berdua bisa sampai
kemari?" "Aku dan adikku memang sengaja datang. Ba-
rangkali walaupun tidak diundang kami para orang
cacat ini bisa menyumbangkan tenaga! Tapi secara tak
terduga setelah sampai disini kami hanya melihat satu kekejian yang sangat luar
biasa. Masih untung aku tak bisa melihat, jika tidak mungkin aku sudah pingsan."
"Selain itu sahabat sekaligus penolong kami
Gento Guyon memang menyuruh kami untuk mene-
muimu, barang kali kau membutuhkan bantuan!" ujar Nyana ikut menimpali.
Begitu Nyana menyebut nama Gento, Roro Cen-
til jadi kaget. Sejak keluar dari pintu depan rumah besar tadi, Gento memang
menyuruhnya untuk menyeli-
dik di sekitar halaman depan. Sedangkan Gento sendi-
ri karena memang mendengar suara teriakan dan ben-
takan langsung berlari ke arah datangnya suara. Ba-
gaimana yang terjadi selanjutnya Roro Centil sama se-
kali tidak tahu.
Khawatir akan keselamatan si pemuda, maka
tanpa sadar si gadis langsung bangkit. Telinga dipa-
sang, tapi akhirnya dia menjadi heran karena suara
perkelahian sudah tidak lagi terdengar.
"Paman, saat paman berdua meninggalkan
Gento apa yang sedang dilakukannya?" tanya si gadis cemas. Sapa menjawab.
"Mereka saling bentak-
bentakan."
Roro Centil sebenarnya tak dapat menahan ra-
sa geli mendengar jawaban si buta, tapi rasa khawatir dan kecemasan yang
menggelayuti dirinya akan keselamatan si pemuda membuatnya tak bisa tersenyum
apalagi tertawa.
"Aku sudah tak mendengar suara perkelahian
lagi. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Gento"!" lalu tanpa fikir panjang lagi
si gadis balikkan badan dan
bermaksud menyusul si gondrong. Akan tetapi langkah
si gadis jadi tertahan begitu melihat Gento telah muncul dihadapannya. Seakan
tidak pernah terjadi apa-
apa sebelumnya sambil tersenyum-senyum Gento
menghampiri mereka.
"Gento, bagaimana" Siapa orang itu?" tanya Ro-ro Centil.
"Maksudmu orang yang hampir membuat cela-
ka, para dewa sengsara ini?" Roro Centil mengangguk.
"Dia bukan pembunuh yang kita cari. Dia Raja Pengemis. Orang itu rupanya masih
terhitung sahabat guru-
ku. Sekarang dia pergi untuk mencari muridnya yang
telah melarikan jimat sakti. Tapi sebelum pergi dia berjanji untuk membantu
mencari jejak pembunuh yang
sebenarnya!" ujar Gento.
"Raja sialan itu, masih beruntung dia merupa-
kan sahabat gurumu, jika tidak. Kami pasti akan men-
carinya!" sahut Sapa rupanya masih merasa jengkel pada Raja Pengemis. Gento
tersenyum. "Sudahlah, kalau memang telah kalah tak usah
ngotot salah sedikit jiwamu bisa melayang, paman."
"Bukan jiwaku yang melayang, tapi jiwanya
yang akan kubuat melayang!" dengus Nyana.
Gento tertawa, lalu gelengkan kepala. Pemuda
itu lalu melirik ke arah Roro Centil, tanpa sadar dia melihat satu pusara berada
di belakang gadis itu. Se-
pasang alis si pemuda terangkat naik.
"Pusara siapa itu?" tanya Gento pada Roro Centil.
"Kubur Si Muka Setan! Nampaknya dia terbu-
nuh sebelum pertemuan para pendekar dilangsung-
kan." menerangkan gadis itu.
Pendekar Sakti Gento Guyon berjingkrak kaget.
Sama sekali dia tak menyangka kalau orang yang dicu-
rigainya sebenarnya telah tewas. Tapi apakah memang
benar yang berkubur dalam pusara itu Si Muka Setan"
Bagaimana jika semua ini hanya merupakan muslihat
musuh untuk mengelabuhi mereka" Fikir Gento. Jika
memang betul Si Muka Setan telah terbunuh, rasanya
daftar orang yang mereka curigai semakin bertambah
sedikit. "Roro, jika Si Muka Setan telah terbunuh, berarti orang yang membantai
para tokoh di dalam ruan-
gan pertemuan bukan dia." ujar Gento.
"Mungkin bukan dia, masih ada orang lain. Ta-
pi siapa" Apakah musuh besarmu Panji Anom Pengge-
tar Jagad?" tanya si gadis penuh selidik.
"Aku tidak merasa pasti. Setahuku Panji Anom
tak memiliki pukulan Telapak Beracun, dia juga tak
mempunyai racun mematikan Pelumpuh Syaraf!" ja-
wab si pemuda penuh keyakinan.
"Apakah Perampas Benak Kepala?" duga Roro.
"Aku juga kurang pasti. Untuk membuktikan
semua itu satu-satunya jalan adalah mencari Peram-
pas Benak Kepala. Hanya setelah berhadapan dengan
dia baru kita bisa mengetahui apakah dia memiliki dua hal yang aku sebutkan
tadi!" kata Gento.
"Jika benar, berarti dia memang pelaku satu-
satunya yang bertanggung jawab atas serangkaian pe-
ristiwa yang terjadi!" kata Nyana menimpali.
"Akupun jadi ingin memecahkan kepalanya.
Aku mau lihat otak siapa saja yang berada di balik benak kepalanya!" ujar Sapa
tak mau ketinggalan.
"Kalau sudah didapat kata sepakat, tak ada sa-
lahnya jika kita berangkat sekarang juga!" berkata Ro-ro Centil dengan perasaan
tidak sabar. "Aku setuju." Sapa dan Nyana menyahuti.
"Baiklah, aku tahu para dewa sengsara ini su-
dah tidak sabar ingin membuat gulai otak yang tersim-
pan di dalam kepala Perampas Benak Kepala."
"Hueek...!" Kedua laki-laki cacat itu muntah berbarengan begitu mendengar ucapan
Gento. Si gondrong tertawa terkekeh-kekeh. Roro Centil tersenyum,
kemudian membalikkan badan dan melangkah pergi.
10 Gadis berpakaian ungu berwajah cantik dengan
bentuk dagu seperti pinang terbelah itu duduk diam di atas sebuah batu. Sejak
ayahnya tewas ditangan Rajo
Penitis, dia memang tidak dapat lagi hidup tenteram.
Perasaannya selalu gundah gelisah dan dia menjadi ti-
dak lagi tinggal di rumahnya seorang diri. Tiap hari dia hanya termenung
memikirkan nasibnya yang tinggal


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebatang kara. Dalam keadaan seperti itu terkadang dia jadi
teringat pada si gondrong. Orang yang telah menolong
menyelamatkan dirinya dari Rajo Penitis. Setiap malam bayangan wajah Gento
seakan bermain di pelupuk matanya. Semua ini merupakan suatu siksaan tersendiri
bagi gadis yang bernama Sriwidari ini. Selama hidup
rasanya baru kali ini dia didera oleh perasaan begitu rupa. Celakanya semakin
dia mencoba untuk melupakan pemuda yang pernah menolongnya itu, maka
bayang Gento seakan bertambah lebat di dalam be-
naknya. "Si gondrong itu, namanya saja aku belum ta-
hu. Bahkan aku tidak sempat mengucapkan rasa teri-
ma kasih atas semua pertolongannya." membatin Sriwidari. Dia lalu menarik nafas
sambil berfikir, andai saja ayahnya Juru obat Angin Laknat tidak terbunuh
di tangan Rajo Penitis, andainya dia tidak ditotok dan dilarikan oleh manusia
raksasa itu, mungkin dia tak
pernah mengenal si gondrong. Mungkin juga dia tak
akan tahu apa artinya rindu. Tapi apa artinya semua
itu jika sekarang hati dan jiwanya terombang-ambing
oleh rasa gelisah yang tidak berkesudahan"
Sriwidari gelengkan kepala. Dia jadi ingat pada
Rajo Penitis, si raksasa pembunuh ayahnya. Ingat pa-
da manusia yang satu ini, wajah si gadis nampak me-
negang, sepasang matanya berkilat tajam dijilati rasa dendam. Tanpa sadar
Sriwidari kepalkan tinjunya.
"Manusia laknat keji, pembunuh keparat! Aku
akan mencarimu, aku tak mungkin hidup tenteram se-
lama kau masih hidup bebas bergentayangan di atas
bumi!" geram Sriwidari.
Biasanya dalam keadaan seperti itu manusia
suka berlaku lengah. Orang bahkan bisa lupa dimana
dirinya berada saat itu. Apalagi bila kekalutan benar-benar menyergap jiwa, bisa
saja orang lupa pada ba-
haya yang mungkin bisa muncul secara tak terduga.
Begitu juga halnya yang terjadi dengan Sriwidari saat itu. Dalam keadaan seperti
itu dia sama sekali tidak
tahu kalau saat itu ada sepasang mata yang terus
mengawasi segala gerak-geriknya.
Sepasang mata yang memandangnya dengan
penuh nafsu mengandung gairah.
"Gadis cantik bersunyi diri ditempat yang begini sepi. Sungguh rejekiku hari ini
benar-benar sangat be-
sar. Aku akan meringkusnya, lalu membawanya ke sa-
tu tempat. Wajah cantik, kulit putih mulus, dada dan
pinggul...!" satu seringai bermain di bibir si pengintai.
"Orang seperti dia sangat sesuai dengan seleraku. Dia cocok untuk kubawa
menikmati sorga dunia!" Si pengintai menelan ludah. Sekonyong-konyong dia
melesat keluar dari balik tempat persembunyiannya. Dalam
keadaan melesat di udara tangan sosok berpakaian
serba kuning itu terjulur ke depan lancarkan totokan
di bagian punggung Sriwidari.
Tapi nampaknya si gadis memiliki indera pen-
dengarannya yang sangat tajam, terbukti begitu dia
mendengar adanya hembusan angin Sriwidari lang-
sung menoleh ke belakang. Dia melihat satu tangan
terjulur, semua ini sudah merupakan suatu tanda ada
bahaya yang sedang mengancamnya. Tanpa fikir pan-
jang dia jatuhkan diri lalu bergulingan hindari totokan.
Begitu selamat dari totokan orang dia langsung bangkit berdiri dan mencabut
pedang pendeknya.
Sriwidari tak kuasa menutupi rasa kagetnya ke-
tika dia melihat satu sosok berupa seorang nenek tua
berwajah angker seperti setan berpakaian warna kun-
ing telah berdiri tegak didepannya.
"Perempuan tua wajah Setan siapa dirimu ini
yang sebenarnya!" tanya Sriwidari berusaha mene-
nangkan diri dan mengatur debaran hati.
"Hik hik hik! Namaku tak penting, tapi julu-
kanku sesuai dengan rupa wajahku!" sahut si nenek.
Si gadis meneliti, dia memang tak mengenali
nenek berwajah setan ini sehingga dia kembali ber-
tanya. "Mengapa kau menyerangku!"
Si Muka Setan dongakkan wajahnya yang men-
gerikan. Lalu dia tertawa panjang. "Tak cukup waktu bagiku untuk menjelaskannya.
Aku akan membawamu
ke satu tempat. Tempat itu adalah sebuah sorga, sorga
penuh nikmat yang tak ada duanya!" sahut si nenek.
Walaupun dirinya adalah seorang gadis, namun dia fa-
ham arti ucapan si nenek. Sehingga sambil melintang-
kan pedang di depan dada Sriwidari berucap "Perempuan gila, agaknya kau
mempunyai kelainan. Otakmu
tidak waras dipenuhi fikiran keji!"
"Karena otakku paling waras maka aku menga-
jakmu untuk menikmati sorga. Hanya orang gila saja
yang tak tahu betapa hebat sorga itu!" kata si nenek, lagi-lagi dia keluarkan
tawa. Merah padam wajah si gadis mendengar uca-
pan Si Nenek, "Tua bangka keparat, manusia hina penuh kee-
danan. Lihat pedang dan mampuslah!" teriak Sriwidari.
Laksana kilat dia memutar pedang membentuk sinar
putih bergulung bagaikan gelombang awan putih di-
permainkan angin. Selanjutnya pedang dibabatkan ke
arah si nenek, mendera deras sedikitnya mengancam
tiga bagian tubuh lawannya.
Melihat serangan pedang yang ganas luar biasa
si nenek keluarkan tawa panjang. Sejengkal lagi mata
pedang membabat putus tiga bagian tubuhnya dia
langsung lakukan satu gerakan aneh. Tahu-tahu tu-
buh si nenek lenyap dan serangan pedang hanya men-
genai tempat kosong. Dalam kagetnya tak menyangka
lawan memiliki kehebatan luar biasa, Sriwidari memu-
tar tubuh. Dia melihat Si Nenek berdiri di situ dengan seringai bermain dimulut.
"Permainan jurus pedangmu memang hebat.
Kurasa banyak lawan tak sanggup menghadapimu.
Tapi jika kau mau menjatuhkan aku butuh belasan
tahun lagi untuk belajar agar kau bisa lebih hebat!"
ejek Si Muka Setan.
Sriwidari merasa terhina, wajahnya merah pa-
dam. Tanpa banyak bicara dia keluarkan teriakan me-
lengking. Sontak pedangnya diputar sebat dengan ke-
cepatan dan kekuatan berlipat ganda. Setelah itu di-
apun menyerbu lawannya dengan serangkaian seran-
gan ganas. Si nenek meskipun kaget tapi tetap mengumbar
tawanya. Dia sama sekali tak berusaha menghindari
serangan lawan, seakan dia pasrah tubuhnya menjadi
serangan senjata lawan. Melihat ini si gadis semakin
bersemangat. Pedang lalu dibabatkan ke bagian perut.
Di saat pedang meluncur ke bagian perutnya si nenek
berkelit cepat. Lalu tangan dikibaskan ke arah Sriwi-
dari. Tring! "Hek!"
Hanya berupa kibasan tangan saja yang dila-
kukan si nenek, tapi mampu membuat pedang ditan-
gan Sriwidari terbetot lepas sedangkan tubuhnya jadi tertotok kaku tak dapat
digerakkan. Sriwidari tercekat, dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Gagal, dia
lalu berteriak mendamprat.
"Nenek keparat, perempuan cabul. Lepaskan
diriku!" tapi suara teriakan itu tak pernah keluar dari mulutnya. Ternyata alat
suaranya juga dalam keadaan
tertotok. Sriwidari mendelik besar, sadar akan apa
yang mungkin terjadi, Sriwidari merutuk habis-
habisan. Si Muka Setan tersenyum penuh arti. Dia me-
langkah mendekat. Dipandangnya wajah cantik itu
dengan tatap penuh keinginan.
"Sekarang kita tinggalkan tempat ini sayang. Hi
hi hi! Kita pari tempat yang cocok buat kita berdua!"
sambil berkata begitu si nenek langsung menyambar
tubuh Sriwidari lalu membawanya berlari secepat ter-
bang. Si gadis menjerit-jerit. Tapi jeritannya tak per-
nah terdengar. Jerit yang kemudian berubah menjadi
rasa takut yang seumur hidup belum pernah diala-
minya. TAMAT SEGERA TERBIT !!!
SANG PEMBANTAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Keris Pusaka Sang Megatantra 13 Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Anak Pendekar 10
^