Pencarian

Cinta Dan Tipu Muslihat 2

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat Bagian 2


Terlambat sedikit saja, mata atau kepala Darmo Saroyo berlubang.
Dan sekarang keadaan Darmo Saroyo sudah terdesak. Rambutnya berserabutan tak keruan, dalam usahanya menghindarkan diri. Tetapi celakanya, serangan lawan semakin menjadi gencar dan sulit diduga. Tampaknya menyerang ke timur, namun nyatanya menyerang ke barat. Berkelebat menyerang ke selatan, tahu tahu menyerang bagian utara.
Tak kuasa lagi Prayoga menahan hati dan kekhawatirannya. Kemudian ia berseru.
"Paman Saroyo, jangan khawatir! Aku tahu nama ilmu yang digunakan lawanmu. Dia gunakan ilmu Jathayu nandang papa"
Swara Manis terkejut. Dari manakah bocah itu mengetahui ilmu simpanan dari perguruannya? Sedetik diganggu, buyarlah pemusatan pikirannya dan membuat
gerakannya lambat. Sebagai seorang yang berpengalaman. kesempatan itu tidak disiakan oleh Darmo Saroyo. Wut wut !! cambuknya segera mematuk membalas menyerang.
Swara Manis kaget dan gelagapan. Masih untung ia dapat berlaku tenang. Cepat ia merebahkan diri, dan setelah cambuk lewat, ia cepat bangkit.
"Ndara Menggung, dia akan menyerang bagian mana lagi?" tanya Prayoga. Tetapi tak ada jawaban. Ketika ia memalingkan muka ke belakang, ia terbelalak. Kakek kerdil itu nampak marah.
"Hemm," dengus kakek itu.
"Engkau bocah licin. Apakah engkau tidak tahu bahwa guru anak muda itu sahabatku? Huh, engkau akan membantu si bangun tulak untuk mengalahkan orang muda. Betul apa tidak? Cepat jawablah!"
Prayoga mati kutu. Akan tetapi ia tak mau menyerah kalah begitu saja.
"Paman, eh keliru lagi. Ndara Menggung jika engkau memang tidak mengerti, bilang saja tidak tahu dan jangan jual lagak."
"Paman eh, Ndara Menggung, mengapa engkau tak menjawab?" desaknya.
"Apa katamu? Engkau menghina Ndara Menggung?" kakek itu marah.
"Huh-huh... kali ini anak muda itu akan menyerang ."
Prayoga mengamati gelanggang. Swara Manis menggerakkan kipas ke arah mata Darmo Saroyo. Untung Darmo Saroyo masih bisa menghindar. Sekalipun demikian hindarannya tadi hanya secara kebetulan. Jelas bahwa Darmo Saroyo semakin bingung oleh serangan lawan.
Swara Manis terhuyung-huyung, sedang Darmo Saroyo tegak berdiri.
Akan tetapi Darmo Saroyo selalu siap siaga dalam usahanya membela diri, dari serangan lawan yang amat membingungkan.
"Lutut!" tiba-tiba Ndara Menggung berkata.
Sebenarnya, melihat kedudukan Swara Manis, tidak mungkin dapat menyerang lutut. Tetapi karena sudah dua kali kakek kerdil itu tepat dugaannya, Prayoga tidak ragu Jagi berteriak.
"Paman Saroyo, hati-hati. Dia akan menyerang lutut."
Swara Manis kaget. Tetapi karena sudah terlanjur bergerak, sukar untuk menarik kembali. Tiba-tiba ia melambung ke atas, lalu dengan tangan dan kaki yang gerakannya mirip burung mengibaskan sayap, ia meluncur ke belakang Darmo Sarojo. Begitu kaki hampir menginjak tanah, tangan kanan sudah bergerak untuk menyerang lutut.
Oleh peringatan Prayoga, orang tua itu sudah dapat siap-siaga.Ia diam saja ketika lawan melayang turun di belakangnya. Tetapi kemudian secepat kilat di saat lawan menginjakkan kaki ke bumi, ia sudah membalikkan tubuh dan menghajar dengan cambuk.
Terpaksa Swara Manis meloncat mundur. Ia mendelik dan mendongkol kepada Prayoga. Akan tetapi sebaliknya Prayoga tidak perduli.
Setelah menenangkan diri, kembali menyerang lagi. Prayoga cepat-cepat menggelitik Ndara Menggung di belakangnya.
"Pinggang! "bisik kakek kerdil itu.
Prayoga segera berteriak.
"Paman, dia mau menyerang pinggang."
Serangan Swara Manis cukup aneh. Ia berjongkok dan berputaran di depan Darmo Saroyo. Dan Darmo Saroyo yang sudah mendapat petunjuk cepat menggerakkan cambuk ke atas kepala lawan, lalu disentak menghajar tengkuk. Dengan demikian apabila Swara
Manis meneruskan serangannya, tengkuk orang muda itu takkan bisa diselamatkan lagi.
Karena itu Swara Manis terpaksa menghindar. Tetapi Darmo Saroyo tidak memberi ampun. Ia menyerang terus dengan gencar, hingga Swara Manis kebingungan. Wut... akibat terlambat gerakannya, ikat kepala sudah terpukul ujung cambuk dan terlemparjauh.
Rambut Swara Manis terurai dan awut-awutan tak keruan. Kalau semula ia dapat menyerang dengan baik, sekarang menjadi bulan-bulanan cambuk.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring.
"Tidak tahu malu! Dua orang mengeroyok! Huh, aku tak dapat tinggal diam lagi"
Kemudian berkelebat tubuh Marsih masuk ke gelanggang, dan langsung menyerang dengan senjatanya. Darmo Saroyo mengelak ke samping dan tak mau membalas serangan, karena lebih penting memperhatikan petunjuk Prayoga.
Untuk menghalau gangguan perempuan ini, Darmo Saroyo segera memberi isyarat kepada Sarini. Untung Sarini gadis cerdik, cepat menangkap maksud Darmo Saroyo.
"Hai, jangan curang menyerang orang dari belakang. Engkaupun bebas membantu kawanmu. Jika tanganmu gatal, akulah lawanmu!" teriak Sarini sambil melompat maju ke gelanggang, dan berbareng itu sudah melepaskan bandringannya.
"Tr-ing ." Marsih membalikkan tubuh dan berhasil menangkis bandringan itu.
"Ih, kemampuanku tak seberapa!" ejek Sarini.
Marsih marah lalu menyerang secara gencar, membuat Sarini sibuk melawan dan menangkis. Dalam waktu singkat, dua orang gadis itu sudah berkelahi seru.
Baru saja Darmo Saroyo lega Swara Manis sudah menyerang lagi. Kipasnya mengembang, jari-jarinya sudah menyambar.
Prayoga cepat berseru. "Paman, awas jari kakimu!" Saat itu Swara Manis terhitung-buyung seperti orang mabuk, dan tiba-tiba menjatuhkan diri seperti orang terantuk batu, lalu tubuh dan mukanya mendekati kaki. Karena sudah diberitahu Prayoga, Darmo Saroyo cepat menyongsong dengan pukulan tangkai cambuk, membuat Swara Manis kaget.
Ubun-ubun terancam tangkai cambuk lawan, untuk menghindar tak ada jalan lain kecuali meloncat bangun. Akan tetapi Darmo Saroyo sudah menyambut dengan tendangannya.
Swara Manis berusaha meloncat mundur. Ia berhasil menghindarkan diri dari tendangan maut, tetapi angin tendangan itu keras sekali dan membuat dirinya terhuyung-huyung beberapa langkah. Darmo Saroyo tidak memberi kesempatan lagi, menyusuli dengan cambuknya.
Swara Manis menangkis. Tetapi tiba-tiba tangkai cambuk meluncur turun dan memukul sikunya. Ketika Swara Manis akan menarik sikunya, ujung cambuk sudah melibat kipas.
"Lepas!" bentak Darmo Saroyo sambil menarik cambuknya.
Swara Manis benar-benar kaget. Ia tak mau melepaskan kipasnya, dan mengerahkan tenaganya.
Krek... jari-jari kipas dari baja itu putus. Tangkai masih terpegang oleh Swara Manis, tetapi kipasnya sendiri sudah dirampas oleh lawan. Secepat kilat cambuk Darmo Saroyo bergerak, dan jari-jari kipas itu berhamburan seperti anak panah, menancap pohon.
Swara Manis merah padam.Ia melangkah mundur sambil berkata
"Aku mengaku kalah."
"Maafkan aku," sambut Darmo Saroyo merendah. Secara jujur ia mengakui takkan dapat menang, tanpa bantuan Prayoga.
Tiba-tiba terdengar lengking Sarini.
"Huh, aku tak sudi berkelahi dengan kau."
Sarini melompat mundur. Dan sesungguhnya, Sarini sudah terdesak oleh serangan Marsih. Akan tetapi karena gadis itu tertegun melihat kekalahan Swara Manis, memberi kesempatan Sarini lolos. Dan untuk menutup rasa malu, ia sudah berteriak seperti itu.
Tetapi Marsih tidak menghiraukan Sarini. Ia sudah menghampiri Swara.Manis sambil bertanya.
"Apa yang terjadi, kakang?"
Saat itu Swara Manis sedang menahan rasa sakit, karena tendangan Darmo Suroyo tadi masih sempat menyerempet kakinya. Ia berusaha menahan sakit itu, hingga dari tubuhnya bercucuran keringat dingin. Melihat itu Marsih iba. Ia mengambil sapu tangan, dengan maksud untuk menyeka sang kekasih.
"Jangan sentuh tubuhku, gadis hina! Engkau sungguh menyebalkan!" bentak Swara Manis sambil menghindar.
Tetapi Marsih seperti tidak mendengar kata-kata menghina itu.Ia kembali menghampiri dan menyebabkan Swara Manis muak, cepat berusaha menghindari. Celakanya, matanya tertumbuk oleh pandang mata Mariam yang mengamati dirinya penuh perhatian. Semangat Swara Manis seperti terbang, sehingga terlonggong.
Kesempatan itu digunakan oleh Marsih untuk menyeka dahi. Tetapi perbuatan itu tidak dibalas dengan terima kasih, sebaliknya malah mencengkeram pundak gadis itu kuat-kuat.
"Aduhhh !" Marsih menjerit kesakitan. Namun gadis ini tidak berusaha meronta, malah berkata halus.
"Kangmas. silahkan engkau marah kepadaku. Apapun yang terjadi, akan aku terima dengan senang hati ."
Rasa cinta kasih Marsih kepada Swara Manis, merupakan cinta segenap jiwa raganya. Cinta yang tulus, sehingga sedia berkorban apapun demi kekasihnya. Sungguh, betapa bahagia seorang laki-laki memiliki kekasih seperti ini.
Sungguh sayang, Swara Manis seorang pemuda hidung belang. Begitu berkenalan dengan Mariam yang lebih cantik, ia sudah menjadi muak dengan Marsih. Dan tiba-tiba saja terlintas dalam pikirannya tindakan yang lebih tepat. Ia membentak kasar.
"Huh, gadis hina tak tahu malu!"
Darmi meloncat ke depan, tak tega melihat adiknya. 'Teriaknya.
"Jahanam! Engkau berani menghina adikku?"
Tetapi sudah terlambat. Swara Manis sudah mengangkat kaki kanan dan membenturkan lutut ke dada Marsih. Duk... berbareng cengkeraman dilepaskan.
"Aduhhh ....!" jerit Marsih kemudian roboh ke belakang. Untung Darmi sudah maju, sehingga Marsih tidak tcrbanting.
Menyaksikan perbuatan Swara Manis yang kejam seperti itu, semua orang marah. Sarini tak kuasa mcnahan hati dan mencaci.
"Swara Manis! Ternyata engkau laki-laki busuk dan ganas."
Caci-maki Sarini ternyata mengurangi rasa kemarahan Swara Manis. lalu tersenyum dan menyahut.
"Ahh... adik Sari, aku ingin bertanya kepadamu. Andaikata engkau laki-laki dan aku perempuan, apakah engkau tidak setuju jika dia diberi hadiah tamparan?"
Licik sekali ucapan Swara Manis itu, hingga membuat Sarini tak dapat membuka mulut, karena serba salah.
"Gadis tak kenal malu macam itu, untuk apa diberi hidup?" gerutunya.
Mariam pun merasa perbuatan Swara Manis itu tidak terpuji. Namun perasaan itu hanya sejenak, kemudian ia menjadi gembira. Sebab dengan begitu jelas, Swara Manis benci kepada gadis itu, dan dengan begitu dirinya akan memperoleh kesempatan berdampingan dengan pemuda tampan itu.
"Tetapi bagaimanapun tidak pantas engkau menghina wanita!" kata Sarini.
"Sudahlah, aku tak sudi kenal kau lagi."
Pada saat itu Swara Manis kaget, karena angin tajam menyambar punggungnya. Buru-buru ia membungkuk kemudian berkisar ke samping, dan luputlah serangan orang.
"Eh, mbakyu Darmi ingin bemain-main dengan aku?" katanya sesudah tahu siapa yang menyerang.
Sebenarnya kaki Swara Manis masih sakit. Tetapi menghadapi perempuan ini, ia pura-pura sudah sehat. Melihat itu Darmi menjadi ragu-ragu. Karena merasa ilmu kepandaiannya kalah tinggi.
Setelah Darmi tidak menyerang lagi, cepat-cepat Swara Manis memungut ikat kepalanya yang tadi terbang. Ikat kepala itu kotor, dan sesudah dikibaskan sebentar lalu dipakai lagi. Sesudah itu ia menatap Darmo Saroyo dan Prayoga bergantian. Katanya.
"Aku kagum akan kepandaian kalian, dan terutama kepada adik Prayoga, yang dapat mengenal ilmu rahasia perguruanku. Tatapi apabila kalian benar-benar jantan, kalian kuundang ke padepokan guruku di lereng Slamet tepat pada hari lebaran tahun depan."
Prayoga kikuk. Ia melirik ke belakang. Ternyata kakek kerdil tadi sudah pergi tanpa diketahui.
Dan sebenarnya Darmo Saroyo sendiri merasa, kemenangannya tadi tidak wajar. Akan tetapi menyaksikan keganasan Swara Manis kepada tunangannya, ia menjadi tidak senang. Jawabnya mantap.
"Baik, undanganmu akan kami penuhi."
"Bagus! Kami menunggu kehadiran kalian." kata Swara Manis, kemudian meloncat dan hinggap tak jauh dari tempat Mariam berdiri.
*** CINTA dan TIPU MUSLIHAT Oleh : Widi Widayat JILID : II *** KAU... kau akan pergi begini saja?" tanya Mariam dengan ucapan bergetar.
"Ya!" sahut Swara Manis sambil tersenyum_
"Kuharap engkaupun ikut berkunjung ke sana dihari yang sudah ditentukan. Sampai berjumpa lagi."
"Tetapi itu masih tahun depan. Ah, lama sekali ." tanpa sesadarnya Mariam sudah berkata seperti itu.
Swara Manis gembira bukan main. Ia tahu gadis itu sudah tergila-gila kepada dirinya. Karena itu ia berkata tapi perlahan.
"Jika kau ingin ketemu, carilah aku di Demak."
Mariam mengangguk. Dan Swara Manis sudah meloncat lagi, lalu lenyap di dalam semak belukar. Raji-kun dan dua orang adiknya cepat menyusul. Sedang Sugriwo menghampiri Darmi yang berjongkok memeriksa luka Marsih.
"Pendeta palsu, enyahlah! Engkau jangan mendekati aku lagi!" bentaknya.
Sugriwo ketawa menyeringai, kemudian pergi juga. Ia mempercepat langkahnya dengan maksud menyusul Swara Manis.
Namun belum jauh, tiba-tiba ia kaget mendengar orang menyapa.
"Hai pendeta palsu. Apakah engkau sudah lupa kepada kakek bongkok di pondok tadi ?"
Sugriwo gelagapan kaget. Ia kenal suara itu, dan cepat-cepat melompat ke arah suara. Aih, hampir ia menjerit Sebab kakinya sudah menginjak semak berduri tajam.
Saat itu terdengar suara orang bergelak sambil mengejek.
"Ha-ha-ha-ha, mengapa meringis ketakutan? Si bongkok sekarang sedang makan, dan belum sempat membereskan macam kau. Jika engkau tahu gelagat, lekaslah memberi sembah kepadaku dan minta ampun. Sebab engkau harus sadar, apabila si bongkok sudah selesai makan paha kijang, engkau takkan diberi ampun lagi."
Sugriwo berpaling ke belakang, lalu melihat di atas batu dan di balik pohon, duduk seorang kakek bongkok sambil makan paha kijang.
Cepat-cepat Sugriwo menuding sambil memaki.
"Hai bongkok. Ternyata benar dugaanku, bahwa engkau bukan lain si Bangkok dari Nusa Kambangan. Hai mengapa engkau pura-pura gagu dan menyelundup menjadi budak Ali Ngumar?"
"Huh, bukan urusanmu!" sahut si Bongkok masih terus menggerogoti daging.
Sepasang mata yang berkilat-kilat tajam, memberi keyakinan kepada Sugriwo, bahwa orang ini benar-benar si Bongkok Nusa Kambangan. Lalu teringatlah ia akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu dirinya sedang berusaha membunuh seorang wanita hamil untuk diambil bayinya, guna ramuan obat. Tetapi perbuatan itu gagal karena diketahui si Bongkok. Kemudian ia bertempur, tetapi berakhir dengan menderita kekalahan dan terluka.
Ia dendam sekali lalu mencari guru. Setelah berha-sil meyakinkan beberapa macam ilmu kesaktian, ia mulai mencari si Bongkok untuk menuntut balas. Tetapi sudah bertahun-tahun mencari tak juga dapat menemukan jejak si Bongkok. Karena sudah lama sekali orang tidak melihat lagi orang bongkok itu. Maka ketika melihat orang tua bongkok memberi hidangan di pondok Ali Ngumar, ia sudah memancing dengan menendang penampan kayu. Tetapi tadi ia menjadi agak ragu sesudah mendengar penjelasan Prayoga. Namun sekarang keraguannya itu hilang, setelah bertemu di tempat ini, dan si bongkok malah seperti sengaja menghadang dirinya. Tentu saja sekarang ia amat gembira.
"Hai Baskara! Sekarang engkau tak dapat menipu aku lagi. Sudah lama aku mencari engkau untuk menuntut balas."
Memang sesungguhnya, orang tua bongkok ini nama sebenarnya Baskara.
Masih sambil menggerogoti paha kijang, Baskara menjawab.
"Memang aku tidak ingin menipu engkau. Sebab akupun tidak takut berhadapan dengan engkau. Apa yang akan kau andalkan melawan aku?"
Sugriwo tidak mau digertak orang. Cepat-cepat ia mempersiapkan kalung bertali kawat baja untuk menyerang. Tetapi sungguh kaget. Tanpa diketahui caranya bergerak, tahu-tahu kalung yang diandalkan itu sudah putus.
Menghadapi keadaan begini Sugriwo sadar. Tambahan ilmu yang diperoleh masih belum juga mampu mengalahkan si Bongkok. Tahu ancaman bahaya, cepat cepat ia menjejak tanah untuk lari.
"Hmm, kau akan lari ke mana?" ejek Baskara. Secepat kilat, tubuh Baskara sudah melesat, kemudian Sugriwo merasakan tengkuknya dicengkeram orang. Cengkeraman, itu kuat sekali dan sakit, hingga tenaganya mendadak habis.
"Ampun " Sugriwo beriba.
Tetapi Baskara hanya menyeringai. Tangannya bergerak memukul.
Plak!! dan kepala pendeta palsu itu sudah pecah, nyawanya melayang saat itu juga.
Tubuh Sugriwo dilemparkan, kemudian bergulingan ke bawah. Baskara tak perduli lagi, lalu menyambar pikulan penuh air dan dengan langkah cepat menuju pondok Ali Ngumar.
Mayat Sugriwo bergulingan ke bawah, menimbulkan suara berisik pada semak. Rajikun dan dua orang adiknya yang sedang menuruni pinggang gunung itu kaget. Mereka berpaling, dan ternyata tubuh Sugriwo sedang mengejar mereka.
Pada mulanya memang kaget. Sejenak kemudian Rajimin ketawa geli dan berseru.
"Hai gemuk. Apa yang sedang kau lakukan? Mengapa engkau menggelinding seperti itu, apakah engkau takut ketinggalan?"
"Ha-ha, kiranya dia sedang mencoba ilmunya yang baru, Watu Glundung" Rajikun tertawa.
Tetapi ketika tubuh Sugriwo lebih dekat lagi, mereka terkejut bukan main.
"Aih, celaka!" teriak mereka hampir berbareng. Mendadak wajah mereka pucat. Lalu Rajikun sudah berteriak nyaring.
"Kakang Swara Manis. Berhentilah dahulu, ini ini ada peristiwa hebat sekali!"
Swara Manis yang sudah dibawah menjadi terkejut. Ia mengira kalau Ali Ngumar dan Darmo Saroyo mengejar. Manakah mungkin dirinya sanggup menghadapi? Untuk itu dirinya tak boleh sembrono. Lebih baik mempercepat langkah dan menghindar.
Karena Swara Manis tak menggubris, mayat Sugriwo itu ditendang oleh Rajikun dan menggelinding ke bawah. Di luar dugaan, mayat itu menyusul Swara Manis. Pemuda itu kaget melompat ke samping. Kemudian mayat itu berhenti tidak jauh, karena terhalang batu besar.
Saat itu Rajikun bertiga sudah menyusul. Mereka segera menceritakan apa yang tadi telah dialami. Swara Manis tersenyum kecut. Diam-diam ia dendam kepada penghuni Muria. Namun ketika teringat Mariam, ia menghela napas. Tak mungkin dapat melupakan gadis itu sekalipun anak seorang musuh. Justru teringat kepada Mariam, kakinya lalu bergerak meneruskan perjalanan, dan tak perduli lagi kepada mayat Sugriwo.
Di dekat pondok, Darmo Saroyo masih membantu Darmi yang menolong Marsih. Gadis itu masih pingsan oleh perbuatan Swara Manis. Dalam hati Darmo Saroyo timbul rasa tidak tega, kemudian berkata.
"Hendaknya engkau tidak memandang aku sebagai orang lain. Yang penting saat ini, adikmu yang terluka harus mendapat pertolongan. Cepat bawalah masuk ke pondok, siapa tahu aku dapat memberi pertolongan." Tetapi sebelum Darmi sempat memondong Marsih, Darmo Saroyo sudah mengulurkan tangan.
Ia bermaksud memijit dada. Tetapi ketika teringat bahwa yang ditolong itu wanita, ia cepat menarik tangan dan merasa malu sendiri.
"Jangan ragu, silahkan memijit." Darmi meminta.
Darmo Saroyo mengulurkan tangan untuk memijit dada, Marsih. Beberapa jenak kemudian Marsih mengeluh, lalu Darmi diminta memondong Marsih masuk ke dalam pondok. diikuti Sarini dan Darmo Saroyo.
Perhatian Prayoga tertuju kepada Mariam. Melihat Mariam masih berdiri mematung, ia menghampiri dan berkata.
"mBakyu, tahukah engkau bahwa paman Saroyo tadi menang secara kebetulan... ."
"Diam!" bentak Mariam.
"Enyahlah, aku tidak butuh kau."
Prayoga masih berusaha mengambil hati, ia berka-ta,
"Tetapi ...... ."
Plak! Tiba-tiba pipi pemuda itu sudah ditampar secara tepat oleh Mariam.
Prayoga memang tidak mau menghindar, ia rela dipukul, supaya gadis itu tidak marah lagi.
Tetapi sekarang sudah lain. Setelah kenal dengan Swara Manis, hatinya sudah tercuri. Melihat Prayoga ia menjadi sebal, maka tanpa membuka mulut ia sudah melangkah pergi.
"mbakju aku... "Ada apa lagi?" bentak Mariam.
"Pergi! Jangan ganggu aku lagi!"
Kaki Mariam melompat dan lari.
"Mbakyu hati-hati."
Prayoga memperingatkan, agar Mariam berhatihati dan tidak tergelincir masuk jurang. Tetapi justeru hal itu membuat Mariam makin jengkel, menganggap pemuda itu cerewet saja.
Tiba-tiba tampak Sarini menyusul sambil berteriak.
"mBakyu, guru memanggil kita!"
Tanpa menyahut Mariam menuju pondok. Prayoga mengikuti, tetapi tidak membuka mulut lagi.
Ali Ngumar dan Darmo Gati duduk di atas tikar pandan, menghadap meja persegi pendek dari kayu kasar. Prayoga masuk tanpa berani memandang gurunya. Tetapi Mariam sebagai puteri' tunggal dan manja, langsung menghampiri ayahnya. Kemudian gadis ini melihat di atas meja terbentang selembar peta dan kain putih.
Ali Ngumar batuk-batuk kecil, lalu memberi isyarat agar Prayoga dan Sarini mendekati. Sesudah murid itu duduk, Ali Ngumar menunjuk kepada kota yang diberi tanda merah, katanya.
"Coba perhatikan. Di sinilah pasukan Mataram dipusatkan untuk memukul Pati. Ini kota Demak namanya.Sedang pasukan Mataram yang
berjumlah besar itu, dipimpin oleh Tumenggung Wiroguno."
Ia berhenti dan mengamati murid-muridnya. Sejenak kemudian ia meneruskan,
"Sinuwun Sultan Agung rupanya masih belum puas hanya menaklukkan Bupati dan Adipati di wilayah timur. Ia menginginkan menjadi raja diraja yang menguasai seluruh Nusantara. Itulah sebabnya sekarang ingin menaklukkan Pati."
Ia berhenti lagi sejenak menghela napas. Lalu.
"Anak-anakku, urusan ini merupakan urusan yang besar. Sekalipun merupakan urusan Gusti Adipati Pragola, tetapi kita tidak dapat tinggal diam. Kita harus membela Pati. Dan sesungguhnya anakku, apa yang kamu miliki sekarang ini belum seberapa dan juga belum waktunya pula kamu ikut menunaikan tugas. Akan tetapi keadaan sudah memaksa dan bumi kelahiran telah memanggil. Maka apa boleh buat."
"Tetapi ayah, aku dan Sarini masih belum mempelajari, ilmu pedang itu dengan sempurna." Mariam menyanggah.
Ali Ngumar menghela napas panjang.
"Hemm lebih baik mempelajari ilmu pedang itu. Dan empat jurus yang sudah aku berikan kepadamu itu saja, sebenarnya karena terlanjur. Semestinya engkau dan Sarini, ilmu pedang yang harus dipelajari, yang bernama Bumi Gunjing seperti ibumu. Tetapi ah... ."
Mariam terkejut mendengar ayahnya menyebut ibunya.Ia tidak mengerti di mana ibunya sekarang, dan anehnya setiap kali menyebut ibunya, kemudian ayahnya menghela napas sedih. Sudah berkali-kali ia pertanyakan tentang ibunya akan tetapi selama ini ayahnya selalu menghindar saja.
Sekarang, Mariam menggunakan kesempatan baik ini. Tanyanya.
"Ayah, di manakah ibu sekarang ini?"
Wajah Ali Ngumar mendadak berobah. Ia termangu
mangu beberapa saat. Kemudian ia berseru.
"Lekas kalian bersiap diri dan mengikuti pamanmu Darmo Gati dan Darmo Saroyo ke Kudus. Percayalah adapun akupun segera menyusul ke sana,"
Mariam tidak puas karena ayahnya mengelak menjawab pertanyaannya. Akan tetapi ia tidak beragi mem-bantah perintah itu, lalu tanpa membuka mulut sudah berlalu.
Tiba-tiba Prayoga teringat kepada kakek kerdil yang menamakan diri Ndara Menggung. ia hendak menuturkan pengalamannya, tetapi keburu terdengar suara nyaring dari pondok sebelah.
"Kakang Saroyo. Hwaduh, hebat benar obatmu! Marsih sudah sadar dan sakitnyapun berkurang. Aku ucapkan terima kasih, dan aku berhutang budi kepadamu!"
Darmo Saroyo ketawa. "Adi Darmi, tidak usah engkau berkata begitu. Manusia hidup di dunia ini wajib tolong-menolong. Dan apabila engkau pulang, aku hanya dapat mengucapkan harapan, agar adikmu lekas sembuh. Maaf, menurut pendapatku, pemuda itu seorang laki-laki yang ganas dan keji. Kiranya lebih bahagia apabila adikmu tidak memikirkan dia lagi."
Tetapi Marsih yang baru sadar dari pingsannya, seperti tidak mendengar ucapan Darmo Saroyo. Katanya.
"mbakyu, mari kita cepat pergi. Kalau terlambat, aku khawatir tak dapat berjumpa lagi dengan kangmas Swara Manis."
Darmo Gati kaget mendengar percakapan itu. ia kemudian bertanya kepada Prayoga. Dan Prayoga pun menuturkan apa yang terjadi.
Ketika itu Darmo Saroyo sudah melangkah masuk pondok, ia baru saja mengantarkan Marsih dan Darmi meninggalkan gunung ini. Begitu masuk, ia sudah memuji Prayogo
"Hwaduh, kakang Ali Ngumar. Ternyata muridmu Prayoga hebat sekali. Tidak aku kira, dia tahu ilmu rahasia Hajar Sapta Bumi."
Prayoga menjadi gugup dan cepat berkata.
"Ah mana aku tahu? Ndara Menggunglah yang sudah membantu, dengan cara memberi keterangan rahasia itu ke padaku."
Brak!! tiba-tiba Ali Ngumar memukul meja kayu di depannya hingga pecah berantakan. Semua orang terkejut, dan Prayoga maupun Sarini pucat.
Akan tetapi di lain saat, Ali Ngumar sudah ketawa. Tanyanya kepada Prayoga.
"Prayoga. Apa yang sudah dikatakan Sampar Mega?"
"Sampar Mega?" Prayoga melongo.
"Siapakah yang guru maksudkan dengan nama Sampar Mega itu?"
"Kakek kerdil yang menamakan diri Ndara Menggung itulah dia." jelas Ali Ngumar.
"Dialah yang bernama Sampar Mega itu, dan bukan Ndara Menggung."
"Anu ...." ia menunduk seperti mengingat-ingat. Lalu.
"Dia berkata bahwa dia bukannya takut bertemu dengan guru, tetapi melainkan tidak ingin bertemu. Kemudian ia berkata lagi, hanya tahu makan tetapi tak dapat berpikir... ."
Ali Ngumar termenung sejenak. Tak lama kemudian ia berkata.
"Hemm, sudahlah. Tak ada gunanya memikirkan orang kerdil itu lagi. Sekarang, ikutlah pamanmu Darmo Gati untuk bergabung dengan pasukan Pati. Tunaikanlah, semua tugas sebaik-baiknya. Tak lama lagi aku tentu sudah menyusul."
Tiga orang muda itu kemudian berkemas. Tak lama kemudian mereka sudah mengikuti Darmo Gati dan Darmo Suroyo meninggalkan pondok itu.
Ali Ngumar tampak mondar-mandir dalam ruang pondok seorang diri. Sejenak kemudian, ia sudah mengambil sebatang pedang yang tergantung pada dinding, pedang panjang yang bentuknya berbeda, dengan pedang biasa. Karena sarung pedang yang sebelah
terepes dan yang sebelah menggembung. Setelah membersihkan debu dengan lengan baju, Ali Ngumar menghunus perlahan-lahan.
Batang pedang itu memancarkan sinar kebiruan dan menyilaukan mata. Ujungnya tidak runcing tajam, tetapi agak bundar. Tring tring ketika menyentik dengan jari, batang pedang itu gemerincing bening. Karena pedang itu memang pedang mustika.
Mendadak wajah Ali Ngumar berobah gelap dan berkali-kali menghela napas panjang. Seolah-olah dadanya terhimpit oleh benda yang berat... .
Tak lama kemudian ia sudah menyarungkan pedang itu kembali, lalu ia melangkah ke luar pondok.
Ketika itu puncak Gunung Muria diliputi kesunyian. Selang sejenak ia melihat seseorang berkelebat mendaki puncak, Ia tidak terkejut karena orang itu bukan lain pembantunya sendiri, si Bongkok. Dan ia pun tidak memperhatikan, karena si Bangkok berkewajiban mencari air setiap hari.
Kemudian terdengar suara suitan dari mulut Ali Ngumar. Si Bengkok yang saat itu membawa air agak tercengang. Sesudah menuangkan air di tempat penampungan, ia memperhatikan Ali Ngumar. Dan ketika ia melihat Ali Ngumar sudah membawa pedang pusaka, berdebarlah hati si Bongkok ini. Ia tahu, bahwa saat ini majikannya itu sedang menantang orang berkelahi. Hatinya tegang. Mungkinkah penyamarannya di tempat ini, sudah diketahui Ali Ngumar?
Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
"Hai Kilat Buwono. Engkau jangan bersuit semacam setan. Huh-huh, jantung Ndara Menggung menjadi sakit, tahu?"
Belum lenyap suara itu, sesosok bayangan kerdil telah berlarian mendaki gunung. Melihat siapa yang datang si Bongkok kaget dan cepat-cepat menyelinap masuk dapur. Dari celah dinding dapur, ia berusaha mengintip keluar.
"Hai Sampar Mega. Sudah sepuluh tahun kita tak pernah berjumpa. Bukankah pertemuan ini seperti mimpi." ujar Ali Ngumar.
Ndara Menggung alias Sampar Mega mengangguk beberapa kali. Kemudian menyahut.
"Ya, kau benar Kilat Buwono. Aku memang tidak pernah mimpi dapat bertemu dengan engkau. Tetapi ehh... manakah Ladrang Kuning? Apakah sebabnya tidak sudi menemui aku yang jelek ini? Huh-huh... engkau mempunyai seorang murid yang baik sekali. Murid yang tidak kenal nama gurunya. Ha-ha-ha-ha... ."
"Hai Sampar Mega. Di manakah dia sekarang?" tanya Ali Ngumar dengan nada bengis.
"Siapa yang kaumaksudkan itu?" Ndara Menggung yang linglung itu membalas bertanya.
Ali Ngumar menatap kakek kerdil itu tajam. lalu.
"Lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun lalu? Ketika itu sedang istirahat di kaki Gunung Muria ini karena sakit. Pada suatu malam gelap... engkau lumpuhkan dia. Itulah orang yang aku tanyakan kepadamu sekarang."
Tiba-tiba Sampar Mega alias Ndara Menggung memukul kepalanya sendiri.
Kemudian ia melunjak-lonjak. Lalu sahutnya.
"Itulah Ladrang Kuning,."
"Ya. Di manakah dia sekarang?"
Wut... tiba-tiba kakek kerdil itu melesat mundur tiga langkah. Tetapi Ali Ngumar segera maju menghampiri.
Ndara Menggung menggelengkan kepalanya. lalu.
"Entahlah. Aku tidak tahu!"
Sring... Ali Ngumar sudah menghunus pedang.
"Bagus!" seru Ndara Menggung tiba-tiba.
"Apakah engkau ingin mengajak aku berkelahi lagi? Bagus. Mari kita mulai."
Ndara Menggung menyilangkan dua tangannya ,tiba-tiba ia meloncat dan menghantam Ali Ngumar.
Ali Ngumar menangkis dengan tangannya, lalu menghardik.
"Sampar Mega. Engkau mau atau tidak menuturkan duduk peristiwa yang sebenarnya, dari kejadian sepuluh tahun lewat?"
"Bukan aku!" seru kakek kerdil.
"Tetapi aku memang menyaksikan dengan mata dan kepalaku sendiri, siapakah yang sudah melumpuhkan Ladrang Kuning sampai pingsan. Hemm sayang sekali engkau tidak-percaya kepada keteranganku. Ya, habis apa yang harus aku katakan kepadamu?"
Ucapan Ndara Menggung yang sulit ditangkap itu menyebabkan Ali Ngumar menundukkan kepalanya.Ia termenung beberapa saat, kemudiaan berkata
"Sampar Mega, ingatkah engkau bahwa waktu itu ladrang Kuning sedang sakit? Dan aku sedang pergi mencari obat. Tetapi ketika aku pulang, yang aku dapatkan hanya engkau seorang diri di dalam pondok itu. Dan waktu itu ., engkau tahu apa yang telah terjadi... . Tetapi sesudah aku pulihkan kelumpuhannya, Ladrang Kuning tak mau bicara sepatahpun lalu pergi diam-diam dan menghilang sampai sekarang. Apakah selama ini engkau tidak pernah bertemu dengan dia?"
"Hwaduh, jika tidak kau katakan tentu aku sudah lupa!" Ndara Menggung menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
"Uhh, isterimu itu galak sekali. Kalau saja waktu itu aku tidak cepat menghindar, tentu aku sudah menjadi setan tanpa kepala auh untung ."
"Di mana engkau pernah ketemu." desak Ali Ngumar.
"Entahlah." Ndara Menggung menggelengkan kepala.
"Entahlah aku sudah lupa lagi. Bukankah engkau sudah
kenal, otak Ndara Menggung tidak bisa muat barang..."
"Jangan ngoceh tak keruan!" hardik Ali Ngumar.
"Engkau sakti, tentu tahu juga hukuman bagi seseorang yang berani menggangu isteri orang. Hayo katakan sekarang juga!"
Sepasang mata kakek kerdil itu terbelalak. Kemudian ia malah bertanya.
"Eh, siapa yang sudah menggangu isterimu? Hayo bilanglah, siapa yang sudah berani mengganggu isterimu? Akulah yang akan marah."
Ali Ngumar geleng-geleng kepala menghadapi kakek linglung ini. Tangan menjadi gatal dan meraba hulu pedang.
Akan tetapi tiba-tiba Ndara Menggung melesat ke samping pintu dapur. Sejenak miringkan kepalanya. lalu mendorong pintu dan masuk. Haya!! si Bongkok jadi kepergok dan tak dapat bersembunyi lagi. Secepat kilat kakek kerdil ini mencengkeram si Bangkok sambil, berseru.
"Bagus Kilat Buwono. Ternyata engkau menyembunyikan seorang pembantu."
Baskara alias si Bongkok sebenarnya bisa saja menghindarkan diri. Tetapi tiba-tiba memperoleh pikiran bagus. Karena itu diam saja dicengkeram kakek kerdil itu.
Wut... tiba-tiba tubuh si Bongkok dilempar ke luar. lemparan itu keras sekali, sehingga tubuh si Bongkok melambung tinggi. Si Bongkok pura-pura kebingungan, tangan dan kakinya keroncalan, dan mulutnya menjerit-jerit. Ali Ngumar cepat meloncat dan menyambar tubuh si Bongkok, kemudian diturunkan perlahan-lahan.
Ndara Menggung sudah memburu ke luar. Kemudian si Bongkok diteliti dengan seksama, sambil memijit kepala, tubuh maupun yang lain.


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau apakan dia ini?" tegur Ali Ngumar.
Ndara Menggung menghentikan pemeriksaannya, lalu menatap Ali Ngumar dan berkata.
"Hai si Bongkok inilah. Ya, benar si Bongkok ini yang malam itu masuk ke dalam pondokmu. Dia hendak mencuri pedangmu!"
Ali Ngumar terbelalak heran. Sebelum ia sempat berbuat, si Bongkok sudah melenting ke udara. Gerakannya gesit sekali, membuat Ndara Menggung mundur selangkah.
Ali Ngumar sadar akan keadaan yang dihadapi. Kiranya saat inilah teka-teki hidupnya akan terjawab.
Ketika itu si Bongkok yang melenting ke udara, memijak kaki kiri dengan kaki kanan. Sambil meminjam tenaga pijakan itu. tubuhnya makin melambung tinggi, kemudian melayang turun di tempat agak jauh. Kemudian terdengarlah suaranya yang garang.
"Memang malam itu akulah yang masuk ke dalam pondok, tetapi aku belum melakukan sesuatu. Begitu pula yang melumpuhkan Ladrang Kuning juga bukan aku... ."
Mendadak seperti disadarkan. Teriaknya.
"Hai dia Baskara dari Nusa Kambangan."
Ia menghela napas panjang. Selama ini Baskara menyamar sebagai kakek gagu dan tuli, dan menyelundup sebagai pembantu rumah tangganya.
"Hai, apa sebabnya engkau tidak tahu?" tegur Ndara Menggung.
Ali Ngumar termenung. Peristiwa sepuluh tahun lalu menggoda pikirannya. Sekarang sadarlah ia bahwa peristiwa yang menimpa rumah tangganya semakin ruwet. Ia tidak kenal Baskara, tak heran bisa menyamar. Tetapi memikirkan Baskara. ia tambah heran. Apa saja maksudnya Baskara menyelundup dan menyamar sebagai budaknya? Dan apa sebabnya pula setelah terbuka kedoknya, sekarang melarikan diri? Kalau begitu apakah si Bongkok, itu mengerti duduk perkaranya yang sebenarnya?"
Pikiran Ali Ngumar menjadi tidak keruan. Ketika terjadi peristiwa sepuluh tahun lalu, hanya Sampar Me ga saja yang ada dalam pondoknya. Tetapi mengapa sekarang dia menyangkal? Kemudian ada keterangan Baskara si Bongkok juga di dalam pondok. Tetapi orang itupun menyangkal pula. Yang menjadi pertanyaan sekarang, lalu siapakah yang sudah merusak rumah tangganya?
Sesungguhnya peristiwa itu takkan berlarut kalamana Ladrang Kuning mau memberi keterangan. Celakanya Ladrang Kuning malah menghilang sampai sekarang, ia telah berusaha mencarinya, namun usahanya tak berhasil.
"Sampar Mega. Lekaslah enyah dari sini.'" bentak Ali Ngumar tiba-tiba.
Akan tetapi Sampar Mega alias Ndara Menggung menggelengkan kepalanya.
"Mengusir aku memang mudah. Asal saja kau memberi pelajaran tiga jurus ilmu pedang, aku akan segera pergi dari sini."
Ali Ngumar kenal siapa kakek kerdil itu. Seorang linglung, tetapi suka sekali mempelajari satu dua jurus, puaslah.
Ali Ngumar mengerutkan dahinya. Tak mungkin ia memberikan ilmu pedang Kala Prahara kepada orang lain. Ilmu pedang itu merupakan ciri khusus dari perguruan Sunan Muria. Namun sebaliknya kalau tidak, kakek ini tentu tak mau pergi.
Untung juga Ali Ngumar tidak bodoh.Ia memeperoleh akal bagus. Katanya ramah.
"Hai Sampar Mega! Sekarang begini. Apabila engkau sanggup menemukan isteriku, jangan lagi hanya tiga jurus. Sekalipun semuanya akan aku pelajarkan,kepadmu."
Wajah Sampar Mega tiba-tiba berseri. Hidungnya kembang kempis. Lalu memutar tubuh sambil menyahut.
"Bagus! Akan aku laksanakan perintahmu."
Sesudah kakek kerdil itu pergi, Ali Ngumar menghela napas panjang. Lalu ia menyarungkan pedang sambil bergumam.
"ladrang Kuning, isteriku... di mana engkau? Katakanlah terus terang. Apabila engkau mempunyai dendam kepada orang, aku sedia mengabdikan sisa hidupku ini untuk menuntut balas kepada orang itu."
Pertapa itu kemudian masuk kembali ke pondoknya. Dua hari kemudian baru tampak, Ali Ngumar meninggalkan pondok. Dan sebelum pergi meninggalkan gunung ini, lebih dulu ia berziarah ke makam Sunan Muria.
Sesungguhnya sesudah isterinya menghilang tanpa kabar, semangat hidup Ali Ngumar sudah padam.Ia mengasingkan diri di Muria ini, sambil menggunakan sisa hidup untuk menggembleng dua orang murid dan puterinya. Akan tetapi agaknya memang ada saja gangguan yang datang. Adipati Pragola memanggilnya dan untuk ikut serta mempertahankan Bumi Pertiwi dari serangan Mataram.
Atas pemintaan itu semangatnya bangkit. Ia tidak rela bumi Pati diduduki oleh pasukan Mataram. Ia akan membela Adipati Pragola dengan taruhan nyawa.
Guna menghindari kesulitan dalam perjalanan, Ali Ngumar menyamar sebagai seorang pedagang. IA langsung menuju sungai Serang, karena mendengar, pasukan Pati disiapkan di seberang untuk menahan gerak maju pasukan Mataram.
Hari ketiga ia telah tiba di tepi kali Serang. Tetapi ia menjadi heran ketika, melihat kubu pertahanan pasukan Pati sepi saja.
Di saat ia masih keheranan itu, kemudian ia kaget mendengar suara hiruk pikuk dari pondok yang agak besar. Ketika ia menjenguk ke dalam, ia terkesiap. Bau minuman keras memenuhi udara. Puluhan orang tidur malang-melintang di tanah, dan beberapa orang di antaranya mengoceh tidak keruan.
Ali Ngumar mengerutkah alis. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah sebabnya Darmo Gati dan Darmo Saroyo membiarkan anak buahnya bermabukan seperti, itu?
Ali ngumar masuk ke dalam beberapa pondok. Tetapi keadaan yang tampak serupa yang pertama. Kemudian ia melihat empat orang berpakaian mentereng duduk di empat penjuru. Ketika didekati ia menggelengkan kepalanya karena empat orang itu asyik berjudi. Inginlah ia menegur, tetapi segera ingat bahwa dirinya tidak mempunyai kekuasaan untuk itu. Maka yang dapat dilakukan, ia hanya menghampiri untuk bertanya.
Tiba-tiba salah seorang berpaling dan membentak.
"Hai, siapa kau? Enyahlah!"
Ali Ngumar kaget dan mendongkol. Namun ia tahan, kemudian berkata.
"Aku sahabat Darmo Gati dan Darmo Saroyo. Dapatkah aku bertemu dengan mereka."
"Oh, susullah ke sana!" sahut orang itu tak acuh.
"Ke mana?" "Dengan separo pasukan berangkat ke Mayong."
"Ada apa di sana?"
"Sudahlah, jangan banyak mulut. Susul saja ke sana. Aku tidak ada waktu mengurusi kau!"
Ali Ngumar tidak mau berbantah lalu pergi. Setiba di luar Mayong, ia kaget bercampur heran. Di tepi jalan banyak didirikan warung darurat.
Keheranan bertambah ketika menyaksikan banyak orang lalu-lalang. Semakin dekat dengan Mayong, makin banyaklah orang memenuhi jalan. Dan ketika tiba di tanah lapang, ia melihat dua buah panggung didirikan. Diam-diam Ali Ngumar kaget berbareng heran. Sebab panggung macam itu hanya dipergunakan untuk pertandingan berkelahi. Dan saat itu sekitar panggung telah penuh manusia.
Ali Ngumar mengeluh. Ia tak habis heran, mengapa dalam keadaan segenting ini Darmo Gati malah men-dirikan panggung untuk berkelahi? Dan yang menggelisahkan lagi, apakah sebabnya Darmo Gati membawa separo pasukan ke tempat ini? Sedang kenyataannya orang yang diserahi memimpin pasukan di Kudus tidak bertanggung jawab. Pasukan itu dibiarkan semau sendiri, bermabukan dan berjudi. Jika demikian yang terjadi, bukankah dengan mudah pasukan Mataram dapat memukul Pati?
Ali Ngumar tambah cemas. Hati ingin segera dapat bertemu dengan Darmo Gati dan Darmo Saroyo. Namun sekalipun sudah menyelinap ke sana ke mari, usahanya sia-sia. Di tengah hutan manusia yang penuh sesak seperti ini, tidak mudah mencari orang. Satu-satunya jalan hanya meloncat keatas panggung, tentu Darmo Gati dan Darmo Saroyo akan melihat dirinya. Tapi hal ini tidak diinginkan. Sebab dengan begitu kehadirannya akan segera diketahui orang.
Akhirnya ia memutuskan menunggu dahulu di sebuah warung. Di warung ini sudah ada dua orang tamu. Kemudian ia mendengar salah satu dari mereka bicara.
"Kakang, kali ini kita bakal menyaksikan pertandingan hebat."
"Benar," sahut kawannya.
"Kata orang Darmo Saroyo telah membunuh seorang tokoh Gunung Kendeng, bernama Sugriwo. Oleh sebab itu orang Kendeng mcnuntut balas seperti ini."
"Ya, tidak aneh. Sudah tentu orang Kendeng merasa terhina. Dan guru Sugriwo yang bernama "Gondang Jagad dan dua orang paman gurunya, Lintang Trenggono dan Sambang Buwono penasaran. Mereka menuntut kematian murid itu."
Mendengar ini Ali Ngumar makin gelisah. Apakah sebabnya Darmo Gati dan Darmo Saroyo lebih mementingkan urusan pribadi dan mengabaikan urusan negara? Padahal pasukan Mataram sudah siap sedia di Demak. Setiap saat pasukan besar itu akan menyerang.
"Harus aku gagalkan." Hatinya kemudian memutuskan.
Tetapi pada saat itu terdengarlah bende ditabuh bertalu-talu. dan gemuruhlah sorak penonton. Jelas bende itu merupakan tanda pertandingan dimulai.
Tiga orang bertubuh tinggi besar meloncat ke atas panggung. Berbareng itu dua buah benda pipih melayang ke udara. Kemudian disusul dua buah benda kecil panjang menyusul menyambar.
Tak Tak... benda itu kemudianmenempel pada tiang umbul-umbul di depan panggung.
Gemuruh sorak penonton menyaksikan pertunjukan kepandaian itu. Ternyata benda tadi papan dengan kikisan tengkorak dengan tulang bersilang, dan dipaku pada tiang umbul umbul dari jarakjauh.
Diam-diam Ali Ngurnar memuji kepandaian ketiga orang tersebut, yang sekarang sudah duduk di atas panggung. Belum juga gemuruh sorak tadi mereda, disusul seruan orang yang gemuruh.
"Hidup Ndara Menggung Darmo Gati, Hidup Ndara Menggung Darmo Saroyo "
Sebagai orang kepercayaan Adipati Pragola, kakak beradik itu telah memperoleh pangkat Bupati. Dan karena jabatannya, mereka mendapat sebutan. Tumenggung. Dan mereka dihormati sekalian rakyat Pati.
Darmo Gati dan Darmo Saroyo sudah di atas panggung. Ali Ngumar tidak ingin kehadirannya diketahui 0rang. Kemudian timbul akalnya dengan memecah cawan. Pecahan cawan itu kemudian dijentiknya ke arah Darmo Saroyo. Saat itu Darmo Saroyo justru hendak membuka mulut berbicara, ia membatalkan ketika melihat sambaran benda ke arah dirinya, dan semula disangka senjata rahasia yang dilepaskan orang secara gelap. Namun sesudah benda itu berhasil ia tangkap, ia menjadi kaget berbareng heran.
Ia mengamati sekeliling. Kemudian ia melihat tangan Ali Ngumar yang melambai ke arah dirinya. ia berpaling kepada Mariam dan Sarini, dan berbicara. Tak lama kemudian dua gadis ini sudah turun dari panggung, pergi menghampiri Ali Ngumar.
Ali Ngumar menghela napas kesal ketika melihat puterinya dan muridnya itu menunjukkan sedikit kepandaian di depan umum.
"Ayah" teriak Mariam dalam jarak masih jauh.
Ali Ngumar menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum sempat menegur agar hati-hati, Sarini malah sudah bicara lantang.
"Guru, wah ramai sekali. Baru saja kami tiba di Kudus, datang seorang yang mengantarkan surat tantangan kepada paman Saroyo. Dia dituduh telah membunuh pendeta palsu Sugriwo. Aneh mengapa paman Saroyo yang dituduh membunuh... jangan-jangan... si Bongkoklah yang membunuh. Bukankah Sugriwa pernah menyerang dia? 0 ya, guru, dalam surat itu paman Saroyo ditantang berkelahi di atas panggung terbuka. Paman Saroyo menerima ah... guru kebetulan guru hadir. Apakah nanti guru juga akan ikut ke panggung pertandingan?"
Biasanya Sarini tak berani lancang mulut kepada gurunya. Tetapi karena menghadapi peristiwa sedemikian genting, semangatnya menyala dan mulut nyerocos tidak dapat dibendung. Tentu saja menurut pikiran gadis itu kehadiran gurunya sekarang ini dengan maksud akan membantu Darmo Saroyo.
Akan tetapi Ali Ngumar tidak mengimbangi laporan muridnya itu. Kemudian ia bertanya.
"Mana kakakmu prayoga?"
"Dia di belakang panggung," sahut Sarini.
Ali Ngumar ingin bertanya lagi. Tetapi kemudian dibatalkan ketika melihat Darmo Saroyo sudah tegak berdiri ditengah panggung dan berseru nyaring.
"Para tamu dan rakyat Mayong. Aku terpaksa mendirikan panggung ini karena mengiringkan kehendak Ki Gondang Jagad. Beliau bersitegang menuduh diriku telah membunuh Sugriwo. Telah aku terangkan bahwa yang membunuh bukan aku. Tetapi rupanya Ki Gondang Jagad tetap pada tuduhannya. Malah beliau menantang menyelesaikan peristiwa ini secara ksyatria, adu kesaktian di atas panggung. Hemm, apa boleh buat, aku pun terpaksa mengiringkan maksudnya. Maka siapa pun yang berminat membantu pihak masing-masing, silahkan naik ke panggung ini untuk bertanding. Kalah dan menang tergantung dari kepandaian masing-masing."
Rencana Ali Ngumar Untuk membatalkan pertandingan itu sudah tidak mungkin. Ia menghela napas panjang, kecewa. Kemudian dalam hati telah memutuskan, begitu pertandingan selesai, ia akan minta Darmo Saroyo cepat membongkar panggung itu dan kembali ke markas besar. di pinggir kali Serang.
Tepat pada saat itu Gondang Jagad menyahut ucapan Darmo Saroyo.
"Memang muridku Sugriwo tidak berguna sehingga dapat dibunuh orang dengan mudah. Sebagai gurunya, aku ingin mohon pelajaran dari Tumenggung Darmo Saroyo yang terkenal gagah perkasa."
Mendadak terdengar suara orang berseru dari bawah panggung.
"Paman Gondang, mengapa paman akan mengotorkan tangan? Ijinkanlah kami bertiga menjadi pelopor untuk pihakmu."
Kemudian tiga laki-laki brewok telah berloncatan naik panggung.
Melihat bahwa tiga orang brewok itu Rajiman, Rajikun dan Rajimin, senanglah gadis Sarini. Sebab ia sudah menduga akan terjadi perkelahian seru. Tetapi karena sekarang di dekat gurunya, ia tidak berani bertingkah. Lalu ia berbisik kepada Mariam, mengajak kembali ke panggung.
Tetapi Mariam menolak kembali ke sana. Meskipun demikian Mariam ke luar dari warung, dan diikuti pula oleh Ali Ngumar.
Atas permintaan tiga orang brewok itu, Gondang Jagad dan dua orang adik seperguruannya turun dari panggung. Tiga orang ini sekarang tampak sombong sekali, dan gembira, ribuan orang menonton perkelahian ini.
Akhirnya Mariam dapat dibujuk Sarini dan kembali ke tempat semula. Saat itu terdengar Darmo Saroyo sedang bicara dengan Darmo Gati.
"Mengapa dalam babak pertama ini, mereka menyuruh Rajikun dan adiknya yang maju? Kakang, aku menjadi curiga."
Darmo Gatipun merasa heran. Tetapi sebelum memberikan pendapatnya, Sarini telah menghampiri dan berbisik.
"Guru sudah datang tetapi tampaknya tidak senang melihat panggung ini."
"Ya, akupun khawatir dituduh mengabaikan urusan yang lebih besar," sahut Darmo Gati.
"Akan tetapi apa boleh buat. Mereka yang amat mendesak."
Darmo Gati cepat mendesak agar Darmo Saroyo memilih tiga orang jago menghadapi Rajikun dan adiknya. Dan Darmo Saroyo agak bingung juga untuk memilih. Memang sudah ada beberapa orang perajurit yang mengajukan diri untuk berkelahi, tetapi ia tolak. Kemudian perhatiannya tertuju kepada Prayoga yang sejak tadi diam melulu. Namun tampaknya pemuda ini tidak memperhatikan sehingga tak jadi dipilih.
Tetapi Sarini geregetan, ia menyodok ketiak
Prayogo dengan ujung jari. Pemuda ini gelagapan dan mengangkat kepalanya.
Pada saat itu tampak seorang laki-laki tua berpakaian kotor dan mengenakan caping lebar melangkah perlahan menuju panggung. Kemudian berseru.
"Hai, bukankah kalian ini yang bernama Rajikun, Rajiman dan Rajimin?"
Mereka kaget. Mereka tidak kenal laki-laki tua itu. Namun Rajikun menyahut.
"Benar. Apakah engkau ingin membantu Darmo Saroyo?"
Laki-laki tua berpakaian kotor itu, ternyata kakinya lumpuh sebelah. Sambil menyeret kakinya, orang-tua itu menyahut.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Yang aku ketahui, di Gunung Kendeng terdapat tiga ekor serigala ganas. Serigala itu sekarang sudah menjadi orang berpangkat di Mataram. Kemudian aku lewat di sini dan ingin menangkap serigala itu."
Munculnya laki-laki berkaki lumpuh sebelah ini, memancing perhatian penonton. Dan sekarang mereka merasa heran, bahwa orang tua itu secara berani menyuarakan Rajikun dan adiknya sebagai serigala ganas yang perlu ditangkap.
'Tolong ambilkan tangga. Aku tidak bisa naik panggung tanpa tangga!" teriak orang itu.
Penonton gempar. Kalau meloncat ke panggung saja tidak mampu, manakah mungkin dapat melawan tiga orang bersaudara itu? Apakah orang tua ini sudah gila dan bosan hidup.
Rajikun ketawa sombong kemudian mengejek.
"Haha-ha-ha, kau datang ke mari untuk bertanding. Tetapi mengapa loncat ke panggung saja tidak mampu?"
Tetapi laki-laki tua yang menyeret kakinya itu tidak menghiraukan. Sesudah orang membawakan tangga, dengan tenang ia naik ke panggung. Sesudah di panggung, ia berseru.
"Aku si tua ini memang hanya pandai menangkap serigala. Baik diatas panggung maupun di dalam hutan. Dan aku memang tak bisa loncat seperti kera."
Sesudah di atas panggung, ia menuding Rajikun sambil berkata.
"Bagaimana maksudmu? Mau maju bertiga atau satu demi satu?"
"Ha-ha-ha-ha...." Rajimin ketawa.
"Selamanya kami selalu maju bertiga. Jika memang takut, lekaslah turun saja."
Lelaki lumpuh sebelah itu membalikkan tubuh ke arah penonton. Kemudian berseru nyaring.
"Tuan-tuan dan nyonya sekalian, kiranya kalian sudah mendengar pula bukan? Mereka bertiga mau mengeroyok aku. Jika mereka sampai mampus, tentu saja hal ini bukan salahku."
"Jangan banyak mulut!" bentak Rajikun marah.
"Perkenalkanlah dulu namamu, sebelum kupukul mampus!"
"Engkau tanya namaku? Bagus, namaku Ayahku!"
"Ayahku?" Rajikun heran.
"Ya. Ayahmu datang untuk menghajar mulutmu."
Tiga orang brewok baru sadar kalau diperolok. Mereka menjadi marah lalu berdiri berjajar. Mereka sudah siap dengan golok masing-masing. Dan golok itu dihias dengan tengkorak kecil.
Darmo Gati tidak tega kepada laki-laki tua itu. Ia berbisik kepada Darmo Saroyo supaya memanggilnya mundur.
"Hai ki sanak, berhenti dulu!" teriak Darmo Saroyo. Ia sudah melepas cambuknya. Sekali dikebutkan cambuk itu menjadi lempang seperti tongkat. Kemudian ia mengayunkan tubuh. lalu melayang ke panggung
di mana Rajikun dan adiknya berhadapan dengan lakilaki tua itu.
Darmo Saroyo sudah berdiri di antara laki-laki tua dan Rajikun. Kemudian ia memberi hormat sambil berkata halus.
"Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas kesediaan paman membantu pihak kami. Tetapi pertandingan ini menyangkut nama baik. Darmo Saroyo dan Darmo Gati. Demi ketertiban, saya mohon paman suka mundur dahulu. Kiranya lebih tepat apabila paman maju yang kedua kalinya nanti."
Di luar dugaan, orang tua itu menyahut seenaknya.
"Apa? Bukankah panggung ini didirikan untuk tempat berkelahi? Huh, apakah hakmu melarang aku menangkap serigala ini?"
Baru saja Darmo Suroyo akan membuka mulut, melayanglah sesosok tubuh ke panggung. Ternyata yang datang Sarini, sesudah berdiri di samping Darmo Saroyo, gadis ini berkata kepada laki-laki tua itu.
"Kakek mau berkelahi, boleh saja. Tetapi seorang melawan tiga orang, itu namanya tak seimbang. Sekarang begini Saja. Kamu Rajikun bertiga melawan kami bertiga. Bukankah ini adil?"
Tanpa menunggu jawaban, gadis ini sudah mempersiapkan bandringnya. Lalu diayunkan ke arah Rajimin. Orang ini terkejut dan buru-buru menangkis dengan golok. Sarini cepat menarik kembali senjatanya, tetapi sesudah memutar tubuh menyerang lagi.
Serangan ini membuat Rajimin marah,Ia malu kalau tak dapat mengalahkan bocah ini. Sambil menggeram, ia memutar golok dan menyerang Sarini dengan gencar. Sarini menghindar berloncatan bagai burung. Bandringannya bergerak cepat dan memukul setiap memperoleh kesempatan. Dan karena senjatanya lebih panjang, ia dapat menyerang dari jarak yang jauh. Hingga perkelahian itu cepat berlangsung dengan seru.
Laki-laki tua itu tertawa. Agaknya ia senang melihat gadis ini sudah membuka serangan.
"Bagus, engkau memang anak perempuan baik. Aku mau mengalah dan menyerahkan tiga ekor serigala ini kepadamu."
Sesudah itu ia menuding Rajiman dan berkata.
"Majulah. Apa takut mampus?" Dada Rajiman serasa meledak menahan marah. Serentak ia meloncat dan membacok. Tetapi orang tua itu hanya miringkan tubuh sedikit, bacokan itu mengenai angin.
Panggung takbegitu luas. Separo bagian telah dipergunakan Rajimin. Oleh sempitnya tempat ini, pada saat orang tua itu menghindari bacokan Rajiman, tiba tiba bandringan Sarini melayang ke mukanya.
Namun orang itu hanya berdiam diri. Begitu bandringan Sarini sudah hampir menyambar, tiba-tiba tangan diangkat dan plak ia menampar bola baja pada bandringan, dan lalu melayang ke arah Rajiman. Trang... golok dan bola besi saling berbentur keras. Rajiman merasakan tangannya kesemutan dan golok hampir saja lepas.
"Hebat juga bandringanmu!" puji Rajiman kepada Sarini. Dengan demikian jelas bahwa Rajiman tidak menyadari keadaan.
Yang sebenarnya terjadi, Sarini sendiri hampir tak sanggup memegang rantai bandringannya. Kalau tadi sampai terjadi bandringannya menangkis golok, ia sadar tentu oleh perbuatan orang tua itu. Yang sekalipun sebelah kaki lumpuh, tetapi jelas bukan orang sembarangan.
Akan tetapi Sarini tak ambil pusing. Ia mendelik dan membentak kepada Rajiman.
"Memang tenagaku seperti gajah. Tahu? Tetapi aku , tak butuh pujianmu."
Mula pertama menyerang, Sarini melawan Rajimin. Tetapi sekarang tanpa sadarnja sudah berganti lawan,Ia menghadapi Rajiman, dan orang tua itu berhadapan dengan Rajimin.
Pada saat itu Rajimin sudah membacok Sarini dari belakang. Sarini kaget, kalau ia memutar tubuh, ia khawatir diserang oleh Rajiman. Untung orang tua itu sudah berseru.
"Cah ayu! kita tukar lawan."
Kemudian ia meloncat ke depan Rajimin sambil menampar. Rajimin mengangkat golok untuk membabat. Namun ternyata kalah cepat dan terdengar suara plak! Rajimin sudah kena tamparan kuat. hingga terhuyung tiga langkah ke belakang. Matanya nanar, dan ia merasakan kepalanya seperti meledak, dan hampir saja terjungkal ke bawah panggung.
"Kakek, pukulanmu hebat sekali!" puji Sarini.
"Kau senang?" tanya kakek itu.
Sarini akan menyahut, tetapi tiba-tiba Rajiman menyerang. Terpaksa Sarini melayani.
Keadaan Sarini tidak lepas dari perhatian Darmo Saroyo. Ia yang sudah luas pengalaman, menyadari Sarini belum berpengalaman. Maka kalau berkelahi lama, gadis itu akan kalah. Untung mata Darmo Saroyo sudah awas. Ia tahu bahwa orang tua itu bukan orang sembarangan. Jelas bahwa orang tua itu datang sengaja membantu dirinya dan melindungi Sarini.
Merasa Sarini tidak perlu dikhawatirkan lagi, kemudian ia menantang Rajikun.
"Hayo kita bertanding di panggung lain."
Rajikun menyadari, kalau berkelahi seorang diri, ilmu goloknya lemah sekali. Berbeda kalau mengeroyok tiga, barulah permainan goloknya dapat berkembang hebat. Oleh sebab itu ia tak menghiraukan tantangan orang. Ia melangkah maju ke samping Rajiman,
barulah kemudian menyahut.
"Di sini saja kita berkelahi. Ayo cepatlah maju. Kalau takut mati, enyahlah lekas!"
"Bangsat!" caci Darmo Saroyo sambil menggerakkan cambuk ke arah kaki.
"Siapa takut padamu?"
"Jiman, Jimin!" serunya.
"Pundak rata." Pundak rata, merupakan kata sandi yang berarti harus bahu membahu.
Rajiman dan Rajimin menyadari kekeliruannya. Rajimin lalu maju. Tetapi kakek juga maju menghadapi.
"Bagaimana? Ingin mati terkubur satu liang?"
Sesudah berkata orang tua itu tertawa terkekeh kekeh.
Karena pernah merasakan tangan orang tua itu, Rajimin tak berani menerjang. Tetapi dengan begitu ia tak dapat bersatu dengan dua saudaranya. lalu ia membacok kakek itu. Tetapi sambil ketawa mengejek, kakek itu dapat menghindari semua serangan. Malah kadang secara mengejek, kakek itu menggelitik lambung atau mencubit pantat. Membuat Rajimin kelabakan setengah mati.
Penonton yang menyaksikan tak dapat menahan ketawanya. Mereka senang melihat apa yang dilakukan kakek itu.
Rajiman dan Rajikun dapat berkelahi bahu membahu, dan melancarkan serangan seru sekali. Yang seorang khusus menyerang tubuh dan yang seorang menyerang kaki. Baik di saat menyerang maupun menangkis, dua orang itu selalu kerjasama dengan baik. Hingga cambuk Darmo Saroyo tak kuasa mengatasi lawan.
Sarini tidak mau kalah garang. Bola bandringannya menyambar ke sana dan kemari. Tetapi sebenarnya, Sarini tidak perlu bekerja keras karena. Darmo Saroyo sanggup menghadapi seorang diri.
Karena serangan selalu ditujukan kepada Darmo Saroyo ini, Sarini mempunyai banyak kesempatan.Ia berlincahan ke sana ke mari, dan di saat menyerang sering menirukan apa yang dilakukan kakek itu, dengan sering memukul pantat lawan. Dan melihat dirinya ditirukan, kakek itu senang, ketawa dan bertepuk tangan.
Makin lama Rajimin dan Rajikun kepayahan, dan terdesak oleh Darmo Saroyo. Celakanya, pantat mereka sering dipukul oleh Sarini.
Sedang Rajiman yang berkelahi melawan kakek itu, berkesimpulan bahwa kakek itu sebenarnya tidak mempunyai kesaktian apa-apa, hanya gerakannya yang lincah. Seketika timbullah keberaniannya, lalu sret sret sret... ia menyerang tiga kali untuk memaksa lawan mundur, dan maksudnya akan segera membantu saudaranya.
Tetapi sungguh sayang kakek itu gerakannya lebih cepat dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya, lalu meninju dada Rajiman.
Duk! "Tubuhmu besar. Mengapa takut menerima tinjuku" serunya.
Rajiman gemas. Ia membabatkan golok kuat-kuat, tetapi dengan gampang kakek itu sudah menghindar. Kesempatan ini lalu digunakan untuk bergabung dengan saudaranya, mengeroyok Darmo Saroyo.
Sebagai akibatnya, sekarang Darmo Saroyo berbalik terdesak. Tiga golok yang bekerja sama itu ternyata kuat sekali.
Sarini yang belum berpengalaman, tidak menyadari perobahan itu. Ia meneruskan perbuatannya untuk mengganggu lawan. Ia menyempatkan diri menggelitik ketiak Rajimin. Tetapi alangkah kagetnya ketika Rajikun sudah membabat dengan golok .Sarini kaget dan gugup, kemudian menangkis dengan bandringan.
"Lepas!" teriak Rajikun.
Sarini merasakan tangannya panas dan kesemutan, sedang bandringannya meleset ke udara.Ia akan mundur, tetapi saat itu Rajiman sudah menyambut dengan tikaman. Sarini bingung. Ia merasa takkan dapat menghindar lagi.
Tiba-tiba kakek kotor itu menepuk pantatnya.
Plak... !! dan tubuh Sarini terlempar ke udara. Dara ini kaget, malu dan gugup. Tetapi secara kebetulan saat itu bandringannya meluncur turun. Secepat kilat ia menyambar, lalu melayang turun. Ia terhuyung sebentar, tetapi sudah dapat berdiri tegak lagi.
Saking cepatnya tangan kakek itu menampar, penonton tak sempat tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Prayoga dan Mariam pun bisa dikelabuhi. Mereka terkejut dan kagum menyaksikan kemajuan adik perguruannya.
"Ah mbakyu, Sarini sudah maju pesat sekali," ujar Prayoga.
"Hemm," Mariam hanya mendengus dingin.
Tetapi sekalipun begitu, pemuda yang gandrung setengah mati ini sudah senang.
Sesudah mendapat pengalaman pahit, Sarini tak berani sembrono lagi. Ia membantu Darmo Saroyo dengan hati-hati. Tetapi sebaliknya kakek itu gerakannya seenaknya sendiri dalam menghadapi sambaran golok lawan. Anehnya, tidak sebuahpun serangan lawan itu yang mampu menyambar tubuhnya.
Namun kakek itu sekarang lebih banyak melindungi Sarini, dan memperhatikan serangan Darmo Saroyo.
Tiba-tiba kakek ini berkata.
"Aih, agaknya engkau ingin segera dapat membereskan tiga ekor serigala Kendeng? Mengapa tidak bilang sejak tadi?"
Sesudah ia berkata, kakek itu maju. Rajimin dan Rajikun menyambut dengan tiga kali bacokan, tetapi tak dapat menahan gerak maju kakek itu. Sedang Rajiman yang tengah melawan Darmo Saroyo tahu-tahu betisnya sudah disambar kakek itu terus didorong ke depan. Rajiman terhuyung kehilangan keseimbangan, disongsong oleh libatan cambuk Darmo Saroyo. Sekali sentak tubuh Rajiman sudah melayang, dibarengi dengan bentakan Darmo Saroyo.
"Enyahlah!" Tanpa dapat membela diri, Rajiman keroncalan, karena betisnya dilibat ujung cambuk. Dalam keadaan seperti itu kalau tidak mati terjungkal, setidaknya menderita cacat seumur hidup.
Tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di atas tikar pandan. sudah melejit ke udara, kemudian menyambar tubuh Rajiman. Oleh pertolongan ini Rajiman selamat dari bahaya.
Wajah Rajiman merah padam, malu dan marah. Ia bertekat untuk kembali lagi ke panggung. Sebab dengan berkurang seorang, permainan golok itu akan berkurang hebatnya.
Tetapi sebelum ia sempat bergerak, bola bandringan Sarini berhasil menghajar punggung Rajimin keras sekali. Rajimin muntah darah segar kemudian terjungkal ke bawah panggung dan pingsan. Menyusul muka Rajikun berlumuran darah terhajar cambuk Darmo Saroyo, lalu meloncat dari panggung.
Akibatnya perkelahian babak pertama sudah selesai, dan yang menang pihak Darmo Saroyo.
Kekalahan ini telah menggagalkan rencana Swara Manis yang sudah diatur secara rapi. Sebab sesungguhnya semua ini Swara Manislah yang berdiri di belakang layar. Menurut perhitungan semula, hari pertama, ke dua dan ke tiga Darmo Saroyo akan mengalami kekalahan. Dan dengan begitu tiada alasan membubarkan pertandingan ini. Dan dengan begitu Darmo Saroyo akan dilibatkan usaha mengundang tokoh sakti sahabatnya. Dan apabila semua tokoh sakti sudah berkumpul di tempat ini, usaha menyerang Pati akan lebih gampang.
Dan apa yang dialami Sarini sekarang ini, membuat dirinya bangga setengah mati. Di bawah gemuruhnya tepuk tangan penonton dara ini bersenyum simpul dan tidak mau segera meninggalkan panggung.
"Sarini. Lekas turun!" teriak Darmo Saroyo. Ia mempunyai alasan khawatir. Orang yang menolong Rajiman tadi bukan lain Lintang Trenggono, adik seperguruan Gondang Jagad. Bahwa Lintang Trenggono yang lumpuh, duduk di atas tikar, dapat melayang ke udara menyambut tubuh Rajiman, sungguh merupakan ilmu kesaktian yang sulit dijajagi.
Sarini sudah akan bergerak turun, memenuhi panggilan Darmo Saroyo. 'Tetapi baru saja akan meloncat turun, kakek kotor tadi sudah berkata.
"Bocah, ketahuilah bahwa orang yang duduk di atas tikar pandan itu hanya garang di luar, tetapi dalamnya kosong. Jika engkau berani melawan, tentu menang!"
Dasar dara pemberani dan nakal,Ia mengangguk, batal loncat turun panggung, lalu melangkah sambil menuding Lintang Trenggono.
"Hai orang lumpuh! Apakah engkau berani menghadapi aku?"
Darmo Saroyo kaget setengah mati.Ia mengeluh dan mengkhawatirkan keselamatannya.Ia ingin mencegah, tetapi ia kemudian teringat peraturan pertandingan. Barang siapa yang sudah berani menantang, harus berani bertanggung jawab. Mau tidak mau, Darmo Saroyo mengucurkan keringat dingin khawatir Sarini celaka. Dan Apabila Sarini celaka, tidak urung Ali Ngumar bisa salah paham.
Sebaliknya Sarini memang tidak tahu kesaktian Lintang Trenggono. Namun ketika melihat Darmo Saroyo tegang, semua penonton tegang, gadis ini melongo heran. Tiba-tiba saja ia merasa gentar, lalu berusaha mencari alasan untuk bisa turun panggung. Akan tetapi belum sempat berbuat, tiba-tiba mengiang dalam telinganya, suara kakek kotor.
"Bocah, caci maki sekali lagi orang itu, Jangan khawatir. Jika bertanding, engkau akan menang!"
Sarini terkejut. Kakek itu sekarang sudah duduk di atas tanah. Mulut orang tua itu bergerak-gerak dan telinganya mendengar suara orang tua itu jelas sekali. Mengertilah gadis ini, bahwa kakek itu mengirim suara lewat Aji Pameling. Menurut keterangan gurunya, orang yang dapat memiliki Aji Pameling, hanya terbatas kepada orang sakti. Sebab aji tersebut memerlukan dasar tenaga dalam yang sudah kuat.
Menyusul teringat pula ia akan sambaran tangan kakek itu pada pantatnya. Tamparan tadi ternyata kuasa mendorong tubuhnya ke atas. Tak mungkin hal itu terjadi jika kakek itu bukan orang sakti.
Sekarang Sarini sadar. Bahwa kakek kotor itu sesungguhnya seorang sakti mandraguna yang menyamar sebagai gelandangan. Kalau kakek itu sudah berani tanggung akan menang mengapa harus takut?
"Hai orang lumpuh! Engkau takut naik ke panggung berhadapan dengan aku? Hi-hi-hiik, jika memang takut mintalah ampun. Jongkoklah di depanku agar dengan gampang aku lompati kepalamu tiga kali. jika sudah begitu engkau boleh pergi dan tidak akan aku ganggu lagi."
Penonton riuh rendah. Tetapi di balik itu, banyak orang yang cemas bukan main, mengkhawatirkan keselamatan gadis itu.
Lintang Trenggono mengamati Sarini dengan mata berkilat-kilat. Sesudah penonton reda, ia berseru.
"Hai budak kecil. Katakan siapa gurumu?"
"Hai orang tua lumpuh!" balas Sarini sambil mendelik.
"Apa perlunya engkau menanyakan guruku? Dengan aku saja engkau sudah takut, apalagi berhadapan dengan guruku. Engkau akan terkencing-kencing jadinya... hi-hik... ."
Lintang Trenggono melengking nyaring saking marah. Sekalipun demikian wajah itu tetap pucat seperti mayat.
Lengkingan itu membuat Sarini takut lagi. Namun demikian ia tetap berlagak dan berkata lagi.
"Hai lumpuh. Mengapa engkau melengking seperti itu?"
Belum juga Lintang Trenggono menyahut, telinga Sarini mengiang suara halus.
"Bocah! Mengapa nyalimu Sekecil tikus? Mendengar orang melengking begitu saja sudah ketakutan. Ingat! Jika engkau bisa mengalahkan orang lumpuh itu. engkau akan dipuji semua orang, dan namamu cepat terkenal di seluruh jagad ini. Tahu?"
Sarini berpaling. Tapi orangtua itu sekarang sibuk mencari kutu.
Dalam rombongan Darmo Saroyo, orang yang paling gelisah bukan lain Prayoga. Segera ia minta ijin kepada Darmo Gati untuk menggantikan Sarini. Tetapi Darmo Gati mencegah dan berkata halus.
"Jangan khawatir. Adikmu akan menang."
Prayoga menebarkan pandang mencari gurunya. Tetapi dilihatnya, gurunya kembali di dalam warung. Sikap gurunya tenang sekali. Hal ini membuat Prayoga tambah heran. Bukankah kepandaian Sarini masih terbatas? Mengapa gurunya membiarkan Sarini melawan Lintang Trenggono? Karena merasa bingung tak mengerti, akhirnya ia berpaling kepada Mariam.
"mBakju, mengapa hari ini Sarini garang sekali?"
Mariam juga tak tahu sebabnya. Namun ia malu, kemudian jawabnya
"Ayah tentu sudah tahu. Mengapa engkau bingung sendiri'?"
Tiba-tiba terdengar suara mendesing. Lintang Trenggono sambil duduk di atas tikar pandan telah melayang ke atas panggung. berikut tikar yang menempel di pantat. Sambaran angin itu kuat sekali. hingga Sarini yang tersambar terhuyung mundur beberapa langkah. Menyaksikan itu Darmo Saroyo sudah melesat dan menghadang di depan Sarini.
Lintang Trenggono dengan mata berapi menatap Sarini yang berdiri di belakang Darmo Saroyo. Melihat ini. Darmo Saroyo segera menegur.
"Lintang Trenggono. Apakah tidak malu memusuhi anak perempuan kecil ini?"
Dan diam-diam Sarini mencaci-maki kakek-kotor tadi. Tadi menganjurkan supaya menantang Lintang Trenggono. Akan tetapi sekarang sudah ngumpet. Kakek kotor tadi mengatakan Lintang Trenggono tidak berisi. Tetapi sekarang, baru sambaran anginnya saja sudah membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Ia sekarang menyadari bukan tandingan Lintang Trenggono. dan sudah bermaksud menyimpan kembali bandringannya. Ia sudah tidak perduli lagi ditertawakan penonton. yang penting sekarang akan menyelamatkan diri.
Namun tiba-tiba pandang matanya tertumbuk kepada kakek kotor itu. Kakek itu ketawa meringis. Sebelum dapat berbuat sesuatu. tangan kakek itu bergerak. Sebuah benda sudah menyambar dirinya. Sarini kaget dan akan menghindar, tetap terlambat. Tring... bandringan Sarini sudah terpukul. Tanpa dapat dicegah lagi. sudah menghantam ke Lintang Trenggono.
Peristiwa Itu berlangsung amat cepat. Semua orang tidak tahu, bahkan Lintang Trenggono sendiri juga tidak tahu. Yang dilihatnya saat itu hanyalah bandringan lawan sudah menghantam dirinya.
Sebaliknya Sarini sendiri kaget berbareng girang. Benda yang menyambar tadi ternyata mengandung tenaga kuat sekali. Dengan begitu. kakek kotor itu membantu secara gelap.
Lintang Trenggono ketawa dingin. Masih tetap duduk bersila. ia mengulurkan tangan yang kurus untuk menangkap bandringan. Tetapi si dara cukup cerdik, menyentakkan rantai bandringan ke belakang sehingga bola baja melambung sudah meluncur turun seperti tatit menyambar. Kalau Lintang Trenggono meneruskan gerakannya. tentu punggung sudah terpukul.
Lintang Trenggono insaf akan bahaya.Ia menarik tangannya. lalu beringsut ke samping, hingga terbebas dari serangan.
Penonton bersorak kagum, Darmo Saroyo tercengang, sedang Sarini melongo.
Sebabnya melongo. pertama bandringannya menghantam Lintang Trenggono. ia merasa lawan pasti dapat merampasnya. Tetapi tiba-tiba ia merasa ada suatu tenaga kuat sekali mendorong bola bandringannya. menyebabkan melambung ke atas. Kemudian terasa suatu tenaga lagi yang menarik bola baja meluncur turun cepat sekali. Yang ke dua, pada waktu Lintang Trenggono sedang menghindarkan diri. Sarini sempat mencuri pandang. Ternyata kakek kotor itu tersenyum kepada dirinya. Akibatnya Sarini terkesiap, tetapi di lain saat ia sudah menyadari. Bahwa apa yang dialami. atas bantuan gelap dari kakek gelandangan tersebut.
Sekarang menyala semangat Sarini. karena merasa mempunyai pelindung. Wut... wut.... wut.,.. tiga kali beruntun ia menggerakan bandringan menyerang lawan. Dan atas serangan itu Lintang Trenggono terpaksa harus melayani dengan sibuk.
Pada mulanya Prayoga kaget menyaksikan Sarini secara gegabah berani melawan Lintang Trenggono. Akan tetapi setelah menyaksikan gadis itu dapat memainkan jurus-jurus yang aneh dan dapat memaksa lawan menjadi gugup. hati pemuda ini amat gembira.
"mBakyu hari ini Sarini benar-benar luar biasa.
Kalau dia masih dapat mengalahkan Lintang Trenggono, namanya akan menjadi buah bibir orang!" katanya.
Sesungguhnya Mariam juga gembira sekali. Tetapi karena berwatak tinggi hati, ia tidak senang mendengar Prayoga memuji Sarini. Ia menjadi marah dan kecewa kalau dirinya sebagai murid tertua, sampai kalah dengan adik perguruannya. Oleh sebab itu ucapan Prayoga tidak diacuhkan. Dan karena Prayoga sudah terbiasa menerima sikap dingin, pemuda ini tidak menghiraukan juga. Kemudian ia mengikuti jalannya pertandingan penuh perhatian.
Berulang kali para penonton yang simpati kepada Sarini dipaksa tegang dan berdebar-debar, menyaksikan Sarini hampir bisa dicelakai Lintang Trenggono. Tetapi yang aneh, setiap kali terdesak, secara tiba-tiba Sarini mengeluarkan jurus aneh, sehingga lawan dipaksa mundur. Oleh sebab itu, tepuk tangan penonton gemuruh saking merasa lega.
Duapuluh jurus kemudian Sarini benar-benar tunduk kepada kesaktian kakek gelandangan itu. Setiap kali ada kesempatan, ia mencuri pandang kepada kakek itu. Tampaknya kakek itu memang tenang-tenang saja seperti seorang penonton yang lain. Akan tetapi kenyataannya, petunjuknya merupakan gerakan yang ampuh. Gerakan itu sama sekali asing dan belum pernah ia pelajari dari gurunya. Menghadapi kenyataan ini sudah tentu Sarini gembira setengah mati. Dalam waktu singkat dirinya telah memperoleh pelajaran ilmu bandringan yang luar biasa. Ia dapat mengayunkan bandringannya untuk membela diri maupun menyerang dengan cepat dan keras.
Sesungguhnya Lintang Trenggono seorang sakti mandraguna. Namun sekarang ini benar-benar mati kutu! berhadapan dengan Sarini. Diam-diam ia heran dan tak habis mengerti. Sudah, lebih duapuluh tahun dirinya dikenal sebagai tokoh sakti. Tetapi. mengapa sebabnya dirinya tak dapat berbuat apa-apa? Akibatnya ia menjadi marah. Serangan selanjutnya dilancarkan lebih dahsyat dan ganas.
Perubahan itu mau tidak mau membuat hati Sarini gentar. Sebab ia sadar, kepandaiannya, masih kalah jauh dibanding lawan. Hanya oleh bantuan kakek gelandangan itu sajalah dirinya mampu melayani. Menyadari keadaan itu timbul keinginan untuk mengundurkan diri. Oleh sebab itu sesudah mendesak lawan kemudian ia mundur tiga langkah. Akan tetapi baru saja akan membuka mulut, Lintang Trenggono sudah menerjang dengan dahsyat.
Sarini amat terkejut.Ia hampir tidak dapat bernapas karena gempuran lawan. Sarini, menjadi nekat. Ia menggerakkan bandringan.
Bluk! yang terjadi sungguh ajaib. Berbareng dengan melayangnya bandringan, tiba-tiba Lintang Trenggono terpelanting jatuh. Saat itu pula bola bandringannya berhasil memukul punggung.
"Bagus! Engkau memang, benar-benar gadis tabah dan berotak terang. Ingatlah apa yang sudah aku ajarkan kepadamu tadi. Apabila engkau berhasil meyakinkan sampai faham, engkau akan menjadi wanita sakti. Hemm, musuhmu telah termakan senjata gelap yang akan aku lepaskan. Lekas, cabutlah senjata gelap berujud cincin besi yang menancap di punggung, dan sembunyikanlah. Semua itu untuk menjaga timbulnya kerewelan." Itulah suara yang didengar sarini kemudian. Jelas bahwa suara itu suara kakek gelandangan lewat Aji Pameling. Tetapi suara itu makin lama makin lemah. Ketika ia memandang ke tempat kakek tadi duduk, ternyata sudah tidak tampak lagi.
Sarini cepat memeriksa punggung Lintang Trenggono. Benar pada punggung itu menancap cincin hitam yang, kecil sekali. Dengan cepat, ia sudah mencabut cincin tersebut.
Sesudah cincin dicabut, Lintang Trenggono menggeram lalu bangun. Kemudian duduk bersemedi, agaknya, sedang memulihkan kekuatan.
Sarini cepat meninggalkan panggung. Baru saja gadis ini meninggalkan panggung Gondang Jagad dan Sambang Buwono melayang ke panggung. Dua orang ini segera memberi pertolongan kepada Lintang Trenggono. Tepuk tangan meledak dan sorak sorai penonton bagai gunung rubuh.
Dua kali berturut-turut pihak Darmo Saroyo menang. Hal ini menambah ketegangan, maka kemudian Ali Ngumar menemui Darmo Gati dan Darmo Saroyo,dan berkata.
"Adi, sesudah menang dua kali sebaiknya kita mengalah dan membubarkan panggung ini. Sebab kita harus lebih mementingkan urusan negara."
"Kakang Ngumar," sahut Darmo Saroyo.


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita dapat mengalah, tetapi nama Gusti Adipati juga harus kita jaga. Bagaimanapun tantangan itu melibatkan nama beliau."
"Menurut pendapatku, Gusti Adipati takkan mempersoalkan. Sebab beliau tentu sadar, pasukan Mataram sudah siap menyerbu Pati."
"Maafkan aku. Bukannya aku keras kepala, tetapi aku tidak setuju."
Ali Ngumar menghela napas panjang. Kemudian ia mengeluh.
"Ah, rupanya memang sudah tidak dapat ditolong lagi."
"Tetapi kakang, asal saja pastikan Mataram belum berhasil melintasi kali Serang dan belum pula berhasil menduduki Kudus, kita tak perlu khawatir."
"Hemm, tetapi apakah kalian tahu akan keadaan dalam kubu pertahanan, anak buahmu di pinggir kali Siang itu? Sayang!"
"Apa yang terjadi?" Darmo Gati terkesiap.
"Pasukan Pati yang kau tinggal di sepanjang pertahanan itu, bersenang diri, main judi dan mabuk-mabukan."
"Ha !" Darmo Gati dan Darmo Saroyo tersentak kaget.
"Benarkah itu?"
Belum juga Ali Ngumar menerangkan, pembicaraan mereka terputus oleh kumandang suara tantangan yang bernada dingin. Ketika mereka memalingkan muka, di atas panggung sudah siap Gondang Jagad dan Sambang Buwono.
"Kami benar-benar kagum atas kemenangan pihak tuan. Dan kami sangat memuji kepandaian tuan mengatur siasat sehingga dapat merobohkan saudara kami dengan senjata gelap. Gondang Jagad berkata, nyaring sekali..
"Walaupun perbuatan itu termasuk pengecut, tetapi seorang pengecut yang luar biasa pengecutnya memang pantas dipuja juga. Maka sekarang tiba giliran kami untuk menerima pelajaran tentang ilmumu pengecut tuan itu."
Apa yang diucapkan Gondang Jagad itu jelas, merupakan sindiran keras, tetapi penonton tidak mengerti maksudnya, yang telah menuduh pihak Darmo Saroyo menggunakan senjata gelap untuk memperoleh kemenangan.
Yang mengerti semua itu memang hanya Sarini dan kakek gelandangan tadi. Sebabnya Gondang Jagad dan Sumbang Buwono tahu, karena memeriksa luka pada punggung Lintang Trenggono.
Bagaimanapun tokoh Gunung Kendeng itu tidak percaya kalau Lintang Trenggono sampai dapat dikalahkan oleh Sarini yang masih amat muda. Kecurigaan mereka itu kemudian terbukti, karena punggung Lintang Trenggono bukan luka oleh hantaman bola baja bandringan, tetapi oleh benda kecil yang menancap
di punggung. Dengan begitu jelas ada orang yang membantu secara gelap.
Dan berdasar luka pada punggung Lintang Trenggono itulah, Gondang Jagad berani menuduh pihak Darmo Saroyo main curang.
Darmo Saroyo panas akan tuduhan itu. Sesungguhnya saja ia sudah akan memenuhi nasihat Ali Ngumar untuk membubarkan pertandingan ini. Karena ia telah mendapat pesan Adipati Pragola, agar selalu memperhatikan nasihat Ali Ngumar.
Tetapi adanya tuduhan ini membangkitkan kemarahan Darmo Saroyo. Saking tak kuat menahan perasaan, ia sudah akan mendamprat. Namun belum sempat membuka mulut. tiba-tiba bayangan biru telah melesat ke atas panggung dan melengking.
"Cis! Tidak tahu malu dan bermulut besar. Aku yang akan menghajar mulutmu yang besar itu."
Belum lagi Gondang Jagad sempat memerhatikan siapa pendatang baru ini, tiba-tiba sudah terdengar pula suara pemuda memaki.
"Hai manusia busuk. Engkau jangan menghina mbakyuku."
Belum lenyap suaranya, seorang pemuda telah meloncat ke panggung.
Penonton menjadi gempar ketika melihat, di panggung telah berdiri sepasang muda-mudi. Yang perempuan cantik jelita dan yang laki-laki ketolol-tololan. Mereka itu bukan lain Mariam dan Prayoga.
"mBakyu Mariam, silahkan turun. Biarkan aku saja yang menghadapi mereka." Prayoga berkata.
Mariam, si jelita yang tinggi hati itu, amat penasaran, Prayoga selalu memuji-muji Sarini. Timbullah pendapatnya, kalau Sarini bisa menang, mengapa dirinya tidak mampu mengalahkan lawan?"
"Engkau. saja yang pergi!" bentak Mariam.
Biasanya memang Prayoga selalu penurut, apabila diperintah Mariam. Tetapi mengingat bahaya yang mengancam, ia kali ini membangkang.
"mbakyu, lekaslah turun!"
Penonton menjadi gempar. Belum pernah terjadi di panggung pertandingan teijadi ribut mulut antara sesama kawan, karena saling berebut untuk maju. Beberapa penonton yang jahil dan kasar, sudah melontarkan kata-kata kotor. Ini membuat Mariam malu. Lalu membentak kepada Prayoga.
"Jika engkau tak mau mendengar perintahku, tentu aku bunuh!"
Melihat Mariam benar-benar marah, Prayoga menjadi gentar. Apa boleh buat sesudah menghela napas kecewa. ia turun dari panggung. Namun demikian ia tidak mau kembali ke tempat semula, tetapi tetap berjaga-jaga di bawah panggung.
Sambung Buwono segera maju menghampiri Mariam. Tetapi sebelum-sempat membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
"Paman, tunggu dulu! Ijinkanlah aku yang melayani prawan-ayu itu."
Belum juga lenyap teriakannya, orang itu sudah melesat ke panggung. Begitu di depan Mariam, orang ini memandang gadis itu tak berkedip. Orang yang baru datang ini laki-laki, tetapi menyebarkan bau yang harum sekali.
Laki-laki ini pringas-pringis, menyebabkan Mariam merasa sebal.
"Siapa gerangan namamu, cah ayu?" tegur laki-laki pesolek itu.
"Apa perdulimu?" bentak Mariam.
"Naik ke panggung untuk berkelahi dan tidak untuk menanyakan nama."
"Cck-cek-cek Mengapa prawan ayu cepat marah? Sekalipun kita ini berhadapan untuk berkelahi, namun apakah salahnya saling kenal dahulu? Aku bernama Bagus Anom. Ahh..,. sayang sekali apabila tanganmu yang halus..."
"Jangan banyak mulut'! bentak Mariam lagi.
Gondang Jagad dan Sambang Buwono mengerutkan, alis, menyaksikan laki-laki ini ke atas panggung tanpa minta ijin lebih dahulu. Akan tetapi karena dua orang itu sudah berhadapan, maka sekalipun tidak senang, dua orang ini turun dari panggung,
"Cah ayu, apakah sebabnya sebabnya engkau suka berkelahi?" kembali bagus Anom bertanya, dan matanya memandang tak berkedip.
Kemarahan Mariam sudah meledak. Wut .. wut... ia tidak menyahut, tetapi sudah melancarkan serangan dengan jurus Bayu Prahara Samodra. Bagus Anom pontang-panting setengah mati. Memang sesungguhnya ia hanya seorang pesolek dan selalu bangga akan ketampanan wajahnya untuk memikat wanita. Tetapi dalam hal ilmu tata kelahi, masih amat rendah.
Sesudah menghindarkan diri dari serangan yang pertama, Bagus Anom cepat memutar tubuh dan menyurut ke belakang. Tetapi tanpa menarik pulang pedangnya, Mariam sudah menyusuli serangan yang ketiga.
Bagus Anom terkejut sekali angin pedang Mariam menyambarnya. Buru-buru ia hendak mencabut tongkat di pinggangnya, tetapi sudah terlambat.
"Aduhh ..!" Ia menjerit ngeri ketika tangan kiri sudah terbabat buntung. Darah menyembur ke luar. pandang mata berkunang-kunang, kemudian roboh.
Mariam muak sekali dengan laki-laki hidung belang. ia memburu maju dan mengayunkan pedangnya.
Tring sebilah benda keras telah melayang dan menghantam batang pedangnya. Tenaga hantaman itu
keras sekali sehingga tangan Mariam linu dan hampir tak kuasa mempertahankan pedangnya. Untuk menyelamatkan diri, buru-buru meloncat mundur.
Berbareng dengan itu, desir angin menyambar ke panggung. Sambang Buwono telah melayang ke panggung. Dan begitu tiba, ia sudah menghantam Mariam, sedang tangan sebelah menyambar tubuh Bagus Anom, lalu dilempar ke bawah. Gondang Jagad siap menyambut, kemudian diserahkan kepada rombongannya untuk mendapat pertolongan.
Mariam dapat menggagalkan pukulan Sambang Buwono dengan tebasan pedang. Kemudian terdengarlah tokoh Gunung Kendeng ini berteriak.
"Hah-huh.., apakah orang Pati sudah kehabisan Laki-Laki? -Ataukah memang kalah sakti dengan wanitanya? Lucu sekali... hari ini yang berani bertanding hanya perempuan... ."
Diam-diam Mariam terkejut. Jelas pukulan tadi mengandung tenaga sakti yang kuat sekali. Tetapi mengapa tadi Sarini sanggup mengalahkan Lintang Trenggono? Tetapi ia malu dan pantang mundur. Gadis ini cepat menggerakkan pedang untuk menikam dada.
Memang aneh tingkah laku tokoh Gunung Kendeng ini. Sambung Buwono berbuat sama dengan Lintang Trenggono. Ia duduk di atas tikar pandan, dan tikar itu seperti lekat pada pantat. Ia sekarang duduk di atas tikar, dan ketika ujung pedang gadis itu hampir tiba, secepat kilat ia bangkit dan menjepit tikar dengan jari tangan lalu menggunakan tikar tersebut untuk menangkis.
Mariam tidak takut,Ia menganggap bahwa tikar dari pandan itu akan gampang ia hancurkan dengan pedang.
Trang , pedang seperti membentur sekeping baja, hingga lengannya kesemutan.
Dengan gugup ia menggenggam hulu pedang kuat
Kuat. Tetapi tak..!! batang pedang itu sudah patah menjadi dua.
Belum juga Mariam hilang kagetnya, Sambang Buwono sudah melesat maju. Tangan kiri menyambar tikar dan tangan kanan menghantam dada. Mariam bergegas menangkis sambil meloncat ke samping. Namun Sambang Buwono tak mau melepaskan. Ia maju merangsang sehingga Mariam kewalahan.
Darmo Saroyo dan Sarini gelisah bukan main. Tetapi Ali Ngumar malah tampak tenang. Betapapun sayangnya kepada putri tunggalnya, namun ia tidak ingin ditertawakan orang melanggar peraturan pertandingan. Bahkan iapun melarang ketika Darmo Saroyo akan menolong.
Dengan senjata pedang buntung, gerakan Mariam menjadi kaku. Apa pula kepandaiannya kalah jauh dibanding dengan Sambang Buwono. Hanya mengandalkan kelincahan dan kegesitan saja. Mariam masih bisa lolos dari serangan lawan yang semakin garang. Namun, kekalahannya tinggal soal waktu saja, sedang serangan Sambang Buwono semakin menjadi gencar, sehingga Mariam semakin terdesak. Karena itu dapat dipastikan dalam waktu singkat, Mariam tentu akan kalah.
"Ha-ha-ha..." Sambang Buwono ketawa dingin sambil memutarkan tikar pandannya. Sambaran angin kuasa membuat Mariam terhuyung mundur tiga langkah. Akan tetapi Sumbang Buwono malah mendesak maju dan sudah mengayunkan tangan kanan.
Mariam akan menghindar, tetapi kemudian terkejut karena sudah dikurung oleh serangan lawan. Merasa tak mampu lagi melawan, gadis, ini kemudian memejamkan mata dan pasrah.
Di saat berbahaya ini, mendadak sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan sudah memeluk tubuhnya. Mariam membuka mata, lalu terdengar Prayoga merintih.
"mBakyu... aku... aku naik ke panggung lagi... dan jangan marah..."
Tiba-tiba tubuh Prayoga-roboh. Dan karena masih memeluk Mariam, gadis inipun ikut roboh.
Mendadak terdengar suitan nyaring membelah angkasa, dan meloncatlah Ali Ngumar ke atas panggung. Sambang Buwono kaget. Teringatlah ia akan tokoh sakti yang muncul pada duapuluh tahun berselang. Setiap kali bertempur tokoh yang berjuluk Kilat Buwono itu selalu bersuit nyaring lebih dahulu. Adakah Kilat Buwono yang telah lama tanpa kabar berita itu muncul lagi? Karena itu Sambang Buwono melangkah selangkah mundur, kemudian siap-siaga.
Tetapi dugaannya meleset. Setelah di atas panggung, Ali Ngumar langsung menghampiri Prayoga. Mariam tersipu malu dan berusaha melepaskan rangkulan Prayoga. Tetapi ia gelagapan ketika ayahnva sudah mengangkat tubuh Prayoga dan membentak.
"Lekas turun!" Mariam meloncat turun. Ali Ngumar mengangguk kepada Sambang Buwono, lalu meloncat ke bawah. Kemudian Prayoga dibaringkan di atas pembaringan. Baju dibuka, dan tampak kemudian pada pundak pemuda itu bekas telapak tangan berwarna hitam. Bekas lima jari itu seperti melesak ke dalam daging. Sedang daging sekitarnya menjadi biru.
Ali Ngumar tahu bahwa muridnya terpukul oleh pukulan beracun. Untung ia keburu datang dan menolong. Kalau tidak, tentu tewaslah pemuda itu. Ia mengerutkan alis, Sarini terisak-isak dan Mariam menundukkan kepalanya.
Darmo Saroyo mengambil sebuah kotak emas kecil dari dalam saku ikat pinggangnya.Ia mengeluarkan dua butir obat berbentuk bundar kecil, lalu dimasukkan ke mulut Prayoga.
"Kakang Ali, obat ini buatan guruku Kiageng Jamus. Khasiatnya dapat melindungi jantung dari racun, Mudah-mudahan dapat menyembuhkan lukanya." .
Ali Ngumar mengangguk, lalu duduk bersila.
Beberapa saat kemudian ia bangkit dan mengurut punggung muridnya. Terdengar Prayoga merintih, dan beberapa saat kemudian sudah membuka mata. Begitu melihat Mariam berdiri tak jauh dari tempatnya berbaring sambil menundukkan kepala, Prayoga sudah berkata
"mBakyu... kau... kau tidak apa-apa, bukan . .?"
"mBakyu tidak apa-apa, engkau tak perlu khawatir." sahut Sarini cepat-cepat. Nadanya seperti menyesalkan Mariam yang menyebabkan Prayoga menderita luka parah.
Ketika mengangkat mukanya, Mariam merasa semua orang menyalahkan dirinya. Ayahnya yang biasa memanjakan dirinya, tidak mau mengajak bicara, ia cepat merasa seperti terasing, kemudian mengeluh dalam hati.
"Kalau begini, lebih baik aku mati... ."
Kalau tadi berterima kasih kepada Prayoga, sekarang rasa itu hilang lenyap tertiup oleh angin kemarahan. Ia ingin lari kemudian menangis sejadinya.
Ali Ngumar masih mengurut-urut punggung Prayoga. Ketika berpaling ke panggung, terlihat Sambang Buwono sudah turun dari panggung. Ia mengulangi lagi permintaannya agar membubarkan panggung perkelahian ini.
Darma Gati setuju. Ia naik ke panggung dan mengumumkan hasil pertandingan. Kemudian kepada para penonton menyatakan pertandingan dibubarkan. Tak lama setelah penonton bubar malam tiba. Ali Ngumar, Darmo Gati, Darmo Saroyo, Mariam dan Sarini tak tega meninggalkan Prayoga yang tidur pulas.
Beberapa saat kemudian setelah, tidak terjadi perubahan pada Prayoga. Ali Ngumar berkata,
"Adi Darmo Gati, biarlah Sarini aku tinggalkan di sini menjaga Prayoga. Aku akan membawa Mariam ke kubu pertahanan kali Serang. Berilah aku tanda kepercayaan agar orang-orangtua mengindahkan. Entah apa sebabnya, hatiku terasa tidak enak. Aku hendak pergi ke sana melakukan penyelidikan. Aku curiga jangan-jangan musuh sengaja memancing kita mendirikan panggung pertandingan, tetapi musuh melakukan penyerangan. Terus terang aku curiga kelicikan Swara Manis. Apakah sebabnya dia tidak muncul di sini? Hemm, siapa tahu kalau dialah yang sudah mengatur siasat ini kemudian memukul di. saat kita lengah?"
Darmo Gati terperanjat. "Baiklah. Segera aku berikan surat kuasa untukmu."
Tak lama kemudian Ali Ngumar dengan Mariam telah pergi menuju kubu pertahanan kali Serang.
Sesudah gurunya pergi. dengan tekun Sarini menjaga Prayoga. Diam-diam dara ini merasa kasihan kepada Prayoga, dan di samping itu menyesalkan sikap Mariam.
Karena gara-gara Mariam, menyebabkan Prayoga sekarang menderita.
Tiba-tiba ia terkejut mendengar rintihan Prayoga.Ia memalingkan muka, namun ternyata Prayoga masih tidur pulas. Ia minta keterangan kepada Darmo Saroyo tentang keadaan kakak seperguruannya.
Pernyataan itu menyadarkan Darmo Saroyo. Ia berkata kepada kakaknya.
"Kakang, pernahkah kau mendengar mereka mempunyai obat pemunah racun untuk menawarkan pukulan Aji Wisadahana itu?"
"Tentu saja mereka punya, tetapi aku tak tahu sedia memberi apa tidak kepada kita!" jawab Darmo Gati. Ia kemudian menghela napas panjang, teringat keadaannya sendiri yang menjadi orang tiada guna. Kalau
dirinya masih seperti lima tahun lalu, ia akan sanggup mencuri obat itu.
Darmo Saroyo memandang Sarini. Kemudian ia bertanya.
"Apakah sebabnya engkau bisa menang, melawan Lintang Trenggono?"
Sarini segera menceritakan apa yang terjadi, karena dibantu oleh kakek gelandangan tadi. Darmo Saroyo dan Darmo Gati kaget. Katanya.
"Berikan cincin besi itu kepadaku."
Setelah menerima dan mengamati di dekat lampu, Darmo Gali berseru girang.
"Ha-ha-ha... siapa lagi kalau bukan si dia... .?" ujarnya.
"Apa maksudmu, paman?" tanya Sarini yang keheranan,
Darmo Gati tidak menjawab, tetapi memalingkan muka ke arah adiknya sambil berkata,
"Hem, orang aneh itu sudah lama menyembunyikan diri'. Tetapi mengapa sekarang secara mendadak muncul di sini?" Tanpa menunggu jawaban ia sudah berpaling ke arah Sarini, terusnya,
"Sarini! Engkau tadi sudah mengatakan, apabila memperhatikan ajaran orang tua itu, engkau bakal menjadi tokoh sakti, bukan?"
Sarini membelalakan mata, kemudian bertanya,
"Paman, siapakah sebenarnya kakek itu?"
"Dia orang sakti mandraguna dan disegani semua orang." Darmo Gati menerangkan.
"Ah, tetapi... tidak seorangpun yang tahu nama aslinya. Menurut cerita orang, kakek itu bisa merobah wajahnya, sehingga tidak dikenal lagi. Kau tahu dia tadi menyamar sebagai kakek yang sebelah kakinya lumpuh. Akan tetapi pada saat lain, dia akan berobah menjadi seorang pedagang, seorang petani atau juga seorang priyayi. Tingkah lakunya aneh tetapi dia orang baik".
ia berhenti. Dan sejenak kemudian ia melanjutkan,
"Kepada lawan yang tidak kejam, dia segan membunuh. Tetapi terhadap penjahat, jangan harap dia memberi ampun. Karena kakek itu aneh dan sakti orang memberi julukan Jim Cing-Cing Goling. Dan Sarini, cincin besi ini merupakan ciri kehadirannya. Agaknya dia cocok dan berjodoh dengan engkau, maka diberinya engkau hadiah ini."
Tak lama kemudian Darmo Gati ke luar untuk berunding dengan anak buah. menghadapi pertandingan, esok pagi. Darmo Saroyo ikut pula ke luar sehingga sekarang Sarini seorang diri menjaga Prayoga. Guna menyibukkan diri, ia mengambil cincin besi pemberian Jim Cing Cing Goling. Diamati seksama cincin itu, dan ternyata tidak ada tanda istimewa, kecuali bentuknya yang agak aneh. mirip dengan seekor ular. Di saat ia sedang sibuk meneliti cincin itu, tiba-tiba ia ter-kejut mendengar Prayoga yang mengingau,
"mBakyu Mariam mbakyu Mariam ."
Sekalipun tahu kakak perguruannya mengingau, tak urung Sarini menghampiri sambil menjawab,
"mBakyu Mariam tidak ada. Engkau memerlukan apa?"
Saat itu Prayoga dalam keadaan setengah sadar, ia tidak membuka mulut, namun wajahnya berseri ketika melihat bayangan wanita muncul di depannya. Menurut perasaan Prayoga, bayangan perempuan itu bukan lain Mariam. Namun otaknya yang sehat merasa heran juga terhadap perubahan sikap Mariam. Biasanya Mariam bersikap dingin terhadap dirinya. Tetapi mengapa mendadak sekarang mau mendekati, dan memandang dirinya dengan sikap mesra? Di luar kesadarannya Prayoga sudah mengulurkan tangan dan memegang tangan pe-rempuan itu. Ah ternyata Mariam berdiam diri. Benarkah sekarang Mariam sudah berobah sikap terhadap dirinya?
"mBakyu mBakyu.. lukaku tidak berat.. tetapi jangan tinggalkan .."
Wajah Sarini memerah ketika tangannya digenggam Prayoga, dan darahnya berdebar. Meskipun demikian ia tidak sampai hati menarik tangannya, hingga dibiarkan tangan itu tetap dipegang Prayoga. Gadis yang pintar ini tahu, bahwa dirinya dianggap oleh Prayoga sebagai Mariam. Mendadak saja timbul kenakalannya untuk menyamar sebagai Mariam, guna berolok-olok.
Berpikir demikian, gadis ini segera beraksi. Ia membalas genggaman Prayoga.
"mBakyu Mariam..." bisik Prayoga bahagia.
"Hemm" dara nakal ini menirukan sikap dan suara Mariam.
"mBakyu" bisik Prayoga lagi.
"Apakah kau menyesal karena aku tak mau menurut perintahmu?"
"Mengapa aku menyesal ......?"
"Menyesalkan perbuatanku yang naik ke panggung tadi..."
Sarini mengerti sekarang, bahwa kakak seperguruannya ini amat mendalam rasa cintanya kepada Mariam. Padahal Mariam tidak memperdulikannya, dan berarti pemuda ini bertepuk sebelah tangan. Diam-diam timbullah rasa kasihan dalam hatinya terhadap pemuda ini.
"Tidak! Aku tidak menyesal." hiburnya.
Prayoga menghela napas lega dan Sarinipun ikut senang. Ia menggenggam jari tangan pemuda itu semakin erat. Makin besar rasa kasihannya.
"mBakyu Mariam," lagi-lagi Prayoga berbisik
"Aku ingin mengatakan sesuatu .. Engkau marah apa tidak.....?"
Hampir meledak ketawa Sarini saking geli. Untung ia masih dapat menahannya, lalu menyahut,
"Katakanlah ...jangan takut. Aku takkan marah...."
Perlahan-lahan Prayoga membuka dua matanya. Sarini kaget dan cepat-cepat meniup pelita penerangan kamar. Apa yang dilakukan Sarini sangat cepat. Membuat Prayoga tetap mengira bahwa gadis yang duduk di sampingnya ini, Mariam. Tangan Sarini segera ditarik dan didekapnya ke dadanya.
"mBakyu," bisiknya
"tahukah engkau akan perasaan hatiku yang kusimpan, selama ini .?"
"Apa itu...?" Sarini berdebar keras.
"mBakyu... aku cinta... padamu. Aku takkan berpisah... selama hidup... " bisik pemuda itu tidak lancar.
Mimpipun tidak kalau Prayoga akan mengucapkan kata-kata itu. Wajah Sasini berubah merah dan dadanya berdegup cepat, Ia ingin menarik tangannya, tetapi Prayoga malah menggenggamnya lebih erat.
"Ya ya... aku sedia menjadi isterimu... ." akhirnya Sarini menjawab dengan ucapan yang tidak lancar.
"Tetapi engkau harus menjaga diri baik-baik, supaya segera sembuh. Paman Saroyo sudah memberimu obat. Dan sekarang engkau tidak boleh memikirkan apa-apa lagi."
Prayoga menghela napas lega. Akan tetapi agaknya masih ragu dan berkata lagi,
"Tapi mbakyu, benarkah engkau sedia... menjadi isteriku... .?"
"Huh, apakah aku suka bohong kepadamu?" bentak Sarini, menirukan gaya Mariam berkata.
Tiba-tiba Prayoga mengeluarkan sebuah benda dari saku baju, lalu diberikan kepada Sarini sambil berbisik,
"mBakyu Mariam ! inilah mutiara, terimalah. Ini hadiah dari guru. Sekarang mutiara ini akan aku persembahkan kepadamu "
Begitu menerima benda tersebut, Sarini segera ingat akan cerita orang tua. Bahwa orang yang akan mengikat janji perkawinan. masing-masing saling menukarkan benda sebagai panjar. Istilah sekarang tukar cincin Pengikat.
'"Tunggu!" bisik Sarini,
"Akupun akan memberi sebuah benda."
Secepatnya gadis nakal ini menuju bilik Mariam. Ia menggeledah tempat pakaian Mariam, kemudian berhasil menemukan sebuah kupu-kupu terbuat dari kain sutra, Ia menjadi heran. Kupu-kupu itu seharusnya satu pasang, tetapi mengapa sekarang tinggal satu? Kemudian Sarini menduga, tentu hiasan kupu-kupu untuk kepala itu, saat ini dipakai Mariam. Maka benda itu diambil, langsung menuju bilik Prayoga.Ia duduk di balai balai, lalu berbisik,
"Ini untukmu." Karena bilik itu gelap, Prayoga tak dapat melihat. Tetapi dengan meraba-raba. pemuda ini kemudian tahu bahwa benda yang baru diterima itu, kupu-kupu dari kain sutra. Pemuda ini gembira bukan main. Lalu didekap di dadanya, kemudian ia tidur pulas sambil menyungging senyum.
*** KITA tinggalkan Prayoga dan Sarini. Kita mengkuti perjalanan Ali Ngumar dan puteri tunggalnya, Mariam. Di saat melintasi sebuah hutan, Ali Ngumar terkejut. Sebuah benda telah melayang ke arah dirinya. Benda itu disambut, ternyata kulit kayu. Hampir saja benda itu dibuang, kalau sepasang matanya tidak melihat guratan pada kulit kayu tersebut. Ternyata guratan itu merupakan huruf, dan ketika dibaca, mendapat pemberitahuan bahwa belum lama berselang Swara Manis seorang diri menyusuri kali Serang. Mungkin sekali orang tersebut menuju Demak, tempat pemusatan pasukan Mataram.
Namun Ali Ngunar curiga, jangan-jangan pemberitahuan itu hanya siasat untuk menyesatkan dirinya. 'Te-tapi rasa kecurigaan itu hanya sekilas, lalu menduga bahwa pemberitahuan ini tentu bermaksud baik terhadap dirinya. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Mariam, kulit kayu segera diremas hancur. Sesudah mengamati sejenak kepada anaknya. ia berkata,
"Mariam, ketahuilah bahwa Swara Manis sedang menuju Demak. Mudah diduga bahwa dia akan memberi laporan kepada pasukan Mataram, bahwa pertahanan pihak Pati di sepanjang kali Serang, saat ini kosong. Sebab sebagian besar pasukan dibawa Darmo Gati ke Mayong. Hemm, anakku, aku menjadi khawatir sekali. Apabila pasukan Mataram itu kemudian bergerak, tentu Kudus mudah sekali jatuh ke tangan musuh."
Ia berhenti sejenak. Sesudah menghirup napas, ia meneruskan,
"Anakku, ketahuilah bahwa orang itu berbahaya sekali, Karena itu kita harus dapat menggagalkan usahanya. Untuk itu sekarang kita perlu membagi tugas. Kita susuri sepanjang kali Serang ini secara berpisah. Engkau di sebelah timur dan aku di sebelah barat. Tetapi anakku, engkau harus berhati-hati menghadapinya karena orang itu licin dan berilmu tinggi. Apabila engkau berhasil menyusul Swara Manis janganlah turun tangan. Berilah tanda dengan suitan dan aku akan segera datang."
Mariam mengangguk mengiakan. Ia sadar bahwa masalah yang dihadapi sekarang ini amat penting. Sesudah minta diri, ia segera melakukan tugas. Sedang ayahnya segera menyeberangi kali Serang dengan kayu.
Malam segera tiba. Tetapi gadis ini tidak merasa takut sedikitpun, seorang diri menyusuri sungai, harus berhadapan dengan semak belukar, hutan, jurang maupun kebuasan alam yang lain. langkahnya cepat, agar tugas yang dibebankan ke pundaknya cepat selesai.
Akan tetapi apabila teringat kepada Swara Manis, tiba-tiba saja jantungnya berdegup cepat. Pemuda itu tampan, memikat dan begitu bertemu, dirinya telah jatuh cinta. Apa yang harus dilakukan dan apa yang akan diucapkan kepada pemuda itu, jika bertemu di hutan belantara seperti ini?
Bulan tidak muncul di angkasa, tetapi berjuta bintang menghias langit. Maka, gelap malam bisa dikurangi oleh sinar bintang yang lemah. Tidak terasa, sudah tengah malam. Setelah beberapa lama Mariam melewati tepian sungai, ia harus berhadapan dengan hutan belantara lagi yang rimbun. Namun demikian ia tidak takut.Ia melangkahkan kaki dan selalu siaga menghadapi segala macam bahaya. Telinga dan matanya sudah terlatih. Nalurinya akan memberitahu apabila berhadapan dengan bahaya.
Belum lama gadis ini menerobos hutan belantara, tiba-tiba terkejut mendengar caci maki orang,
"Hui, keparat! Keluarlah jika engkau ingin mengadu kepandaian dengan aku. Huh, jangan lempar batu sembunyi tangan, seperti perbuatan pengecut busuk!"
Jantung Mariam berdegup mendengar suara itu. Tak salah lagi, orang yang berteriak itu bukan lain sang Arjuna, jantung hatinya. Tetapi mengapa pemuda itu mencaci-maki, dan siapa pula orang yang ditantang itu?
Mariam mempercepat langkah. Tak lama kemudian tibalah di tempat agak lapang, yang hanya ditumbuhi oleh rumput pendek. Mendadak ia mendengar jerit tertahan dari mulut Swara Manis, oleh tamparan yang keras. Mariam terkejut dan khawatir karena menduga, ayahnya sudah bertemu dengan pemuda itu dan memukul.
Kalau benar berhadapan dengan ayahnya, dirinya harus hati-hati. Karena itu tidak berani sembarangan muncul, dan sembunyi di belakang pohon besar. Mariam melihat dengan jelas, Swara Manis sedang melangkah berputaran seperti sedang mencari sesuatu. Mudah diduga, Swara Manis dalam keadaan marah.
Hening beberapa saat. Mariam menahan napas penuh kewaspadaan. Tak lama kemudian terdengar lagi Swara Manis berteriak,
"Huh, manusia licik. Kalau benar berani berhadapan dengan aku, muncullah dan hadapi pukulanku!"
Mariam melongo heran. Tamparan tadi jelas sekali terdengar. Tetapi mengapa Swara Manis belum tahu, siapa yang sudah menampar dirinya?
Tiba-tiba gadis ini melihat sesosok bayangan orang berkelebat ke arah Swara Manis, menyusul terdengar suara plak... dan pemuda itu menjerit kesakitan. Pemuda itu bermaksud membalas, tetapi sayang, bayangan orang tersebut sudah lenyap lagi. Hingga Swara Manis menjadi sangat penasaran merasa dipermainkan orang.
Bukan saja beberapa kali kepalanya ditampar orang, tetapi secara tidak terduga, senjata andalannya juga sudah hilang dirampas orang.
Kalau dipikir, hati Swara Manis tambah penasaran. Kali ini dirinya berhadapan dengan beberapa macam peristiwa yang menjengkelkan. Tadi siang, usahanya menyelenggarakan pertandingan kesaktian telah gagal.
Jago yang diundang, Gondang Jagad dan saudaranya, telah gagal mengalahkan Darmo Saroyo dan Darmo Gati. Hingga secara keseluruhan, pihaknya kalah dalam bertandirig. Hasil satu-satunya yang bisa diperoleh, hanyalah berhasil mengurangi kekuatan pasukan Pati yang bertahan di seberang kali Serang tinggal separo.
Mengingat bahwa usahanya mendapat kegagalan, dan menduga pula bahwa Darmo Saroyo, Darmo Gati dan pasukannya masih di Mayong, ia bergegas pergi ke Demak dengan maksud agar pasukan Mataram secepatnya memukul pasukan Pati.Ia memperhitungkan, dengan kekuatan Pati yang terpecah, dengan gampang pasukan Mataram akan dapat melindas pasukan Pati.
Tetapi celakanya, dalam perjalanan ini dirinya diganggu oleh orang sakti yang jahil. Bukan saja senjata andalannya lenyap secara aneh, tetapi dirinya dipermainkan, muka dan kepalanya dihujani tamparan, sama sekali tidak dapat membalas.
Dalam pada itu Mariam yang menonton dari tempat yang tak begitu jauh, menjadi kasihan yang digandrungi itu dipermainkan orang. Gadis ini ingin segera muncul dan menghibur. Namun celakanya belum juga kakinya bergerak, serangan angin yang keras telah menyambar dari belakang. Akibatnya dirinya terlempar dan hampir jatuh. Dan celakanya lagi baru berusaha berdiri, Swara Manis telah meloncat dan menyerang. Untung Mariam cepat-cepat mengelak, dengan cara bergulingan.
Swara Manis tertegun. Cuaca memang gelap, tetapi nalurinya berkata lain. Jelas bahwa hantu yang mengganggu dirinya tadi, dapat bergerak amat cepat. Tetapi orang yang diserang sekarang ini, gerakannya kurang begitu gesit dan kesulitan dalam usahanya menghindari serangan, dengan cara bergulingan.
"Hai apa sebab engkau menyerang aku?" teriak Mariam sesudah dapat berdiri tegak, karena Swara Manis tidak menyerang lagi.
"Kau... kau Mariam .?" Swara Manis tergagap setelah mengenal suara Mariam.
"Hem... kau masih juga pura-pura bertanya .?" sahut Mariam ketus.
"Dan begitukah caramu menyambut kedatanganku...? Begitu bertemu engkau akan membunuh... .!"
"Maafkan aku... Tidak sengaja...," sahut Swara Manis halus.
"Sangkaku tadi... ada orang yang menyerang secara gelap... hingga tanganku sudah lancang menyerangmu. Kalau tahu... engkau yang datang... hem... tentu saja lain, cah ayu . Dan sekarang aku rela menerima hukuman apapun yang hendak kau jatuhkan kepadaku... ."
Dalam usahanya membuktikan rasa kemenyesalannya ini, tidak ragu-ragu lagi Swara Manis memukul sendiri punggungnya dua kali.
Mariam ketawa senang oleh pengakuan Swara Manis. Gadis manja ini menjadi gembira, dirinya memperoleh perhatian pemuda idaman hatinya. Dan gadis gunung yang kurang pengalaman dan terbatas pergaulannya ini, menjadi lupa akan kenyataan, bahwa Swara Manis seorang pemuda hidung belang dan perayu wanita.Ia terlupa kepada peristiwa yang telah lalu, gadis bernama Marsih yang disia-siakan oleh Swara Manis.
Tentu saja Swara Manis menjadi besar hatinya. Ia melangkah maju menghampiri lalu berkata halus,
"Adik Mariam... serasa aku bemimpi tidak tidur menerima kehadiran bidadariku di hutan ini... ."
Mariam membisu. Sesungguhnya ingin membuka mulut, namun bibirnya tak mau bergerak, entah apa sebabnya. Sebaliknya Swara Manis mendekat lagi, kemudian dari jarak yang dekat, dirinya dapat memandang wajah ayu secara samar-samar. Maklum. berhadapan dengan gadis hijau dan sederhana, dirinya harus pandai menempatkan diri. Dan dalam usaha menahan gejolak hatinya, kemudian Swara Manis menghela napas
"Mengapa... engkau menghela napas... .?" tiba-tiba Mariam bertanya, lirih dan tidak lancar.
"Ya karena aku serasa mimpi," jawabnya.
"Adik Mariam, tahukah engkau bahwa sejak pertemuanku denganmu waktu itu... membuat aku selalu terkenang akan wajahmu yang cantik jelita? Tak perlu malu aku kemukakan... cah ayu, aku selalu gelisah, makan tak enak, berdiri tak jenak dan tidur tak nyenyak. Wajahmu terbayang selalu, dan setiap saat aku selalu berharap, kapankah aku dapat bersua denganmu seperti ini? Ya ternyata permohonanku itu dikabulkan Tuhan. Secara tak terduga, aku bertemu dengan engkau di tempat ini, di dalam hutan belantara pula... . Siapakah yang tidak merasa bahagia berhadapan dengan bidadariku yang jelita... .?"
Perguruan Sejati 8 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Sabda Pandita Ratu 2
^