Pencarian

Cinta Dan Tipu Muslihat 3

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat Bagian 3


"Ah... ." Mariam hanya dapat mendesah saja, karena jantung berdegup lebih cepat, terbuai oleh ucapan Swara Manis.
"Dan sekali lagi maafkanlah kelancanganku tadi..." bujuk Swara Maris.
"Aku menyesal sekali... dan kuharap engkau tidak marah... . Ah, apa yang akan terjadi jika engkau tak mau memperdulikan aku lagi... .?"
"Hem, tak mungkin aku melupakanmu... .?" sahut Mariam lirih. Tetapi kemudian gadis ini menyesal sendiri mengapa sampai menjawab seperti itu.
Sulit dibayangkan betapa gembira hati pemuda mata keranjang ini, mendengar jawaban itu. Sebagai seorang pemuda luas pengalaman berhadapan dengan wanita, jelas Mariam menyambut cintanya. Oleh sebab itu pemuda ini segera melangkah lebih dekat lagi. Dekat dan makin dekat, tetapi Mariam tidak berusaha menghindar Ketika Swara Manis mengembangkan tangannya, gadis itu malah menjatuhkan kepalanya ke dada. Bagai harimau memperoleh mangsa, tangan Swara Manis mendekap Mariam erat sekali khawatir lepas.
Dada Mariam serasa pecah oleh guncangan jantung yang semakin deras. Ia tak dapat mengucapkan katakata, dan pasrah kepada pemuda idaman hatinya ini.
Swara Manis tahu apa yang terjadi dalam diri gadis ini. Namun sebagai pemuda luas pengalaman, ia dapat mengekang diri lalu bisiknya,
"Adikku... mimpikah aku sekarang ini?"
"Ti... tidak... ." sahut Mariam lirih.
"Cobalah adikku... cubitlah aku sebagai bukti "
Gadis itu menurut dan mencubit lengan. Swara Manis tertawa, kemudian memuji,
"Bahagia hatiku wong ayu.. memperoleh hadiah cubitanmu yang aduhai ."
"Ah kau... " dan sebagai kelanjutannya, Mariam membalas memeluk Swara Manis. Gadis hijau ini menjadi bahagia sekali, ia menjadi lupa segalanya. Dan ia kemudian seperti melayang-layang di udara, ketika bibirnya dikulnm oleh Swara Manis.
Untuk beberapa jenak lamanya, Swara Manis juga terlupa segalanya. Namun demikian, bukan baru sekali ini' dirinya berdekapan dengan gadis. Oleh sebab itu ia cepat dapat menguasai diri, teringat akan tugas yang terpikul di pundaknya. Kepergiannya malam ini menuju Demak. Secepatnya ia harus bertemu dengan Tumenggung Wiroguno dan memberi laporan.
Dengan perlahan ia mulai melepaskan pelukannya. Kemudian masih menggenggam jari-jari tangan Mariam, ia berbisik,
"Diajeng Mariam garam di laut dan asam di gunung akhirnya bertemu di kuali. Bukankah
begitu antara kita sekarang ini? Begitu kita berkenalan, kitapun enggan berpisah lagi."
"Ah... memang kepergianku malam ini mencari engkau... ."
Swara Manis yang saat itu asyik meremas-remas jari tangan si jelita, tersentak kaget. Sebagai pemuda cerdik, iapun segera dapat menduga. Memang sungguh mengherankan yang terjadi pada malam ini. Mariam, seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri, di tempat berbahaya. Mungkinkah hal itu terdorong oleh rasa cintanya kepada dirinya? Tetapi kalau benar, mengapa? Kepergiannya ke Demak rahasia. Mengapa gadis ini tahu?
Tetapi tiba-tiba ia berpendapat lain. Agaknya gadis ini sedang mengemban tugas penting dari ayahnya. Bukankah kedudukan gadis ini berseberangan dengan dirinya?
"Diajeng, mengapa engkau tahu bahwa aku lewat di hutan ini?" pancingnya.
Sayang sekali Mariam sedang dimabuk kepayang. Ia lupa akan kesadaran, bahwa dirinya malam ini mengemban tugas penting dari ayahnya. Kepentingan ayah dan Kadipaten Pati terhempas jauh oleh angin Cinta. Dan tanpa pikir panjang, ia sudah mengaku,
"Kakang... ayah yang mengatakan engkau akan lewat tepi sungai Serang ini, menuju Demak. Dan saat ini ayah menyusuri tepi sungai sebelah barat hendak mengejar engkau."
Swara Manis terperanjat. Namun ia dapat menguasai diri, kemudian pancingnya,
"Apa sebabnya ayahmu mengejar diriku?"
"Ayah mengatakan engkau memberikan laporan kepada pasukan Mataram, di Demak." Jelas Mariam blak-blakan.
"Dan ayah mengejar bermaksud mencegah"
Swara Manis tertawa dalam usahanya menutupi debaran jantungnya,
"Diajeng, kalau aku tak salah duga. engkaupun berkehendak agar aku tidak menuju Demak?"
"Ya," sahut Mariam cepat
"Apakah engkau tak mau mendengar kataku?"
"Tentu, aku mendengar. Tetapi apakah ada orang lain yang mengejarku?"
"Tidak. Hanya aku dan ayah."
Swara Manis kembali mencium Mariam, kemudian membujuk.
"Dan sebaliknya, maukah engkau mendengarkan perkataanku?"
Swara Manis cukup cerdik. Dalam usahanya menghindari Ali Ngumar, tidak ada jalan lain, kecuali harus menculik Mariam, kemudian membawa lari ke Demak.
"Sudah tentu kakang... aku akan selalu mendengarkan katamu... ."
"Kalau begitu... marilah kita bersama menuju Demak. Jangan khawatir, tidak seorangpun berani mengganggu dirimu."
"Apa? Ke Demak" Mariam terkesiap.
"Ya, kiranya sudah kehendak Tuhan bahwa Kadipaten Pati tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. Engkau harus menyadari bahwa Sinuwun Sultan Agung, seorang Raja yang diridloi Allah dan ditaati seluruh Bupati dan Adipati. Sinuwun Sultan Agung hendak mempersatukan Nusantara, seperti jaman Majapahit."
Swara Manis sudah menduga, tentu Mariam terkejut, ia tidak terkejut, ketika Mariam meronta dan melepaskan diri. Namun sebagai pemuda pengalaman, begitu lepas ia sudah. Mendekap kembali dan lebih erat, sambil menciumi beberapa kali. Setelah Mariam jinak kembali. ia berbisik.
"Diajeng, bukankah engkau tadi menyatakan akan mendengar kataku dan selalu ingin di sampingku? Sekarang inilah kesempatan bagus bagi kita. Mengapa harus kita sia-siakan?"
"Kakang... bukan aku ingkar janji, tetapi engkau harus mengerti perasaan wanita... . Aku mendengar cerita orang, prajurit Mataram itu ganas terhadap wanita dan kejam. Mereka membunuh rakyat Pati tak berdosa, dan menculik wanita..."
Swara Manis tertawa, berbareng jari tangannya mengusap dagu dengan mesra. Kemudian wajah ayu itu didekatkan dengan wajah sendiri, lalu berkata lagi,
"Hem kalau begitu... aku inipun manusia kejam? Hem sayang... engkau termakan oleh khabar angin diajeng. Itu bohong. Sebagai prajurit Mataram, prajuirt Sinuwun Sultan Agung yang ingin mempersatukan Nusantara dan melawan Kumpeni, tak mungkin prajurit Mataram kejam."
"Benarkah katamu?"
"Percayalah akan kebijaksanaanku, diajeng. Aku tanggung pasukan Mataram tidak berbuat sewenang wenang kepada rakyat Pati. Sebaliknya engkau harus mau menyadari bahwa Adipati Pragola hanya seorang Adipati, sedang Sinuwun Sultan Agung seorang Raja besar. Hem apakah yang diandalkan Adipati Pragola berani melawan Mataram? Ibarat ketimun memusuhi durian. Karena itu kita berkewajiban untuk berusaha, agar Pati sedia tunduk kepada Mataram tanpa pertumpahan darah."
Beberapa jenak lamanya Mariam merenung. Apa yang dikatakan Swara Manis cukup beralasan. Maka dalam hatinya sekarang ini terjadi pertentangan hebat. Antara kepentingan ayah kandungnya sendiri, dan permintaan kekasihnya.
Swara Manis tahu bahwa gadis jelita ini mau. Ia
menundukkan muka, mencium lagi beberapa kali, kemudian berbisik mesra,
"Diajeng, engkau ibarat matahari hidupku ini.. Tanpa dikau, apakah artinya hidupku ini? Selama hidup kita takkan terpisah lagi manisku... Maka engkau harus memenuhi harapanku."
Terbuai oleh rasa bahagia yang belum pernah dialami, gadis ini mengangguk pasrah. Kesempatan ini tidak clisia-siakan oleh Swara Manis, kemudian membimbing gadis itu sambil berkata,
"Mari kita berangkat sekarang."
Mariam tidak ubahnya seekor domba, hanya menurut saja. Tak lama kemudian perjalanan sudah mencapai tepi hutan. Tetapi kemudian mereka terkejut mendengar suara orang yang aneh, tajam melengking menyakitkan anak telinga.
"Huh, siapa yang mau memperhatikan diriku? Aku hanya seorang pengemis mesum. Huh, tetapi hanya dikau sajalah pujaanku. Dikau ibarat matahariku, dan tentu aku buta tanpa dikau. Maka kita takkan berpisah sampai ke liang kubur. ibarat kutu dan rambutku yang kotor ini... ."
Terkejutlah sepasang merpati ini. Mereka merasa, sedang disindir orang. Mariam malu, sebaliknya Swara Manis penasaran. Sejak sore dirinya dipermainkan orang. Dan sekarang, terang-terangan dirinya disindir. Tentu orang itu tahu apa yang tadi telah dilakukan dengan Mariam. Ia menjadi malu berbareng marah. Teriaknya.
"Hai, siapakah engkau? Tunjukkan hidungmu dan jangan main sembunyi kalau memang berani."
"Heh-heh-heh, aku sedang merayu puteri Wewe yang cantik. Mengapa engkau marah?" ejek orang itu.
"Kita tidak saling kenal dan mempunyai hubungan. Mengapa engkau menantang aku?"
Tetapi belum lenyap suara jawabannya, sudah berkelebat bayangan orang. meloncat dari balik batu.
Cepat-cepat Swara Manis menarik tangan Mariam supaya mundur. Dan ketika melihat seorang kakek bertubuh kurus dan kotor. Mariam terkesiap.
Tak salah lagi. Dialah orang tua kotor yang tadi siang telah membantu Sarini, di panggung pertandingan. Dan tanpa terasa, mulutnya sudah berseru.
"Jim Cing-Cing Goling... .!"
Kakek itu tertawa berkekeh-kekeh.Ia mengamati sepasang merpati itu dengan tajam. Sesaat kemudian ia menghampiri Mariam dan disambut oleh gadis itu dengan ludah,
"Cuhh... ." Tiba-tiba kakek itu melengking,
"Uh... apa sebabnya engkau jemu memandang aku, tetapi tidak jemu berdampingan dengan pemuda tampan itu? Dan lagi tak mau berpisah selama hidup... .?"
Swara Manis dan Mariam tidak menyahut. Tetapi sebagai seorang pemuda luas pengalaman, ia menyadari dirinya sekarang berhadapan dengan kakek sakti, mandraguna. Ia tak ingin berhadapan dengan kesulitan, lalu katanya,
"Paman yang baik, kami mempunyai urusan pribadi yang penting. Kami harap paman sedia memberi jalan."
"Hem, ingin lewat, silahkan lewat. Siapa yang menghalangi? Aku hanya ingin mengatakan, bahwa di seberang sungai Serang ini ada seorang laki-laki yang berlarian seperti dikejar setan."
"a_ha-ha, heh-heh-heh, akan aku ceritakan semua ini kepada Wewe gembel heh-heh-heh... ."
Swara Manis menjadi lega sesudah kakek itu me-nyingkir. Sebaliknya Mariam berdebar hatinya, karena menduga laki-laki yang berlarian itu ayahnya. Kemudian teringat pula ia akan tugas yang dipikulkan di pundaknya. Apabila bertemu dengan Swara Manis, dirinya harus bersuit nyaring memberi tanda. Tetapi semua itu tidak dilakukan, terbuai oleh panah asmara. Apa
yang harus dikatakan kalau berhadapan dengan ayahnya?
Tiba-tiba ia berseru, "Tunggu sebentar... ."
"Ada apa?" Swara Manis kaget.
"Ayahku ." Mariam melompat menghampiri kakek itu, lalu bertanya
"Di mana paman melihat ayahku?" Kakek itu tertawa sambil menengadah ke langit biru. Sahutnya,
"Entahlah! Tetapi jika engkau mau kembali dan mencarinya, tentu ketemu!"
Mariam menjadi bimbang, ia terombang-ambing antara kepentingan hati dan ayahnya. Namun ketika ia bertatap pandang dengan Swara Manis, mendadak saja hatinya tergetar lalu ajaknya,
"Kakang, mari kita berangkat."
Swara Manis gembira bukan main. Dan sebaliknya kakek itu menghela napas panjang, lalu ucapnya perlahan,
"Kalau Tuhan sudah mentakdirkan seorang durjana, memang dia masih berhak untuk hidup di dunia ini. Akan tetapi kalau sebaliknya seseorang kemudian menjadi durjana, orang itu tidak pada tempatnya diberi hidup lagi. Hai bocah perempuan, camkan apa yang aku katakan ini."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, si kakek pun kemudian pergi tanpa suara. Tampaknya berjalan seenaknya, akan tetapi dalam sekejap telah lenyap.
Swara Manis lega. Kemudian menyambar lengan Mariam sambil berbisik mesra,
"Diajeng... sejak malam ini kita takkan berpisah selamanya...
Gadis itu mengangguk, kemudian menurut saja di bimbing oleh Swara Manis.
Tetapi beberapa saat kemudian terdengarlah suara guntur menggelegar di angkasa. Langit yang. semula
biru sudah menjadi gelap, dan beberapa saat kemudian turunlah hujan. Untuk meneruskan perjalanan tidak mungkin lagi. Lalu Swara Manis mengajak Mariam mencari tempat berteduh.
Sebaliknya bagi Mariam, malam ini kemanapun akan menurut ajakan kekasih. Ia tak ingin berpisah lagi ke manapun, dan iapun akan selalu mengiakan kehendak Swara Manis.
Ternyata sepasang merpati ini beruntung. Sebelum basah oleh hujan, telah berhasil menemukan goa yang cukup luas dan bersih. Swara Manis segera mempersiapkan rumput kering untuk alas tidur. Dan Mariam yang letih, segera pula membaringkan diri di tempat itu.
"Tidurlah diajeng, esok pagi kita lanjutkan perjalanan," bisik Swara Manis dan diakhiri dengan cium.
"Tapi... kau jangan meninggalkan aku... ."
"Jangan khawatir", kita tak berpisah selamanya... ."
Mariam bahagia.Ia memejamkan mata, dan secara manja pula meletakkan kepala dipangkuan sang kekasih. Swara Manis membelai rambut Mariam yang panjang penuh kemesraan. Dan tak lama kemudian terdengarlah suara napas yang teratur, pertanda Mariam telah pulas. Tak lama kemudian Swara Manispun menguap. Dirinya juga letih, dan untuk memulihkan kesegaran harus tidur. Tetapi ia kesulitan, justeru kepala Mariam di pangkuannya. Ia khawatir gadis itu terjaga, kemudian memaksa diri memejamkan mata sambil bersandar pada dinding goa.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang tidak wajar. Ketajaman pendengaran dan panca inderanya memberitahukan sesuatu yang kurang beres.
Memang pemuda ini lain dari yang lain. Di saat
masih dalam kandungan ibunya, ayah sudah meninggal.
Karena baik ayah maupun, ibunya sama-sama murid terkasih Hajar Saptabumi, maka guru tersebut sering menyalurkan tenaga murni yang sakti guna memperkuat tubuh bayi dalam kandungan. Oleh keadaannya itu, maka walaupun muda usia, tetapi sudah menjadi pemuda sakti mandraguna.
Keadaan yang dianggapnya tidak wajar itu, terdengarnya suara pernapasan orang yang halus. Semula ia mengira suara napas Mariam, tetapi ternyata bukan.
Ia menduga secara pasti, bahwa orang yang dapat masuk ke dalam goa di luar sepengetahuannya ini, tentu orang sakti mandraguna. Pikirnya segera menduga, bahwa orang yang datang ini Jim Cing Cing Goling dan ingin menganggu lagi.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara gerakan yang halus mendekati dirinya. Diam-diam jantung Swara Manis bergetar. Manusia atau setankah pengganggu ini?
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan, ia beringsut menjauhi Mariam yang lelap tidur. Akan tetapi sungguh sial! Agaknya pendengaran setan itu peka sekali, kemudian berhenti bergerak.
Walaupun hati terasa berdebar, tetapi gangguan ini sangat menjengkelkan hatinya. Saat sekarang ini dirinya sedang melakukan tugas penting. Tugas yang menentukan berhasil dan gagalnya gerakan pasukan Mataram memukul Pati. Apabila dirinya berhasil, sudah pasti dirinya akan diangkat sebagai Bupati. Sebaliknya kalau sampai gagal. cita-citanya untuk menjadi orang besar akan berantakan.
Membayangkan kedudukan tinggi yang akan diperoleh, tiba-tiba terhempaslah perasaan kasih dan cintanya kepada gadis gunung ini. Tidak ada artinya lagi bagi dirinya. seorang gadis seperti Mariam sesudah menjadi Bupati. Karena sebagai Bupati, dirinya akan memperoleh hadiah puteri cantik dari Raja.
Terpengaruh oleh melayangnya gagasan itu, ia semakin beringsut menjauhi Mariam yang lelap tidur. Saat itu tiba-tiba ia melihat sepasang benda yang mencorong di gelap malam. Namun hanya sejenak, dan tiba-tiba benda itu menghilang kembali. Diam-diam ia bergidik, mata setankah itu?
Di saat dirinya dalam keadaan seperti itu, mendadak dari luar goa bertiuplah serangkum angin dingin. Sambaran angin itu menyadarkan dirinya, dalam keadaan di dalam goa bersama seorang gadis. Timbul kemudian rasa inginnya untuk meninggalkan Mariam yang manja,
"Kakang, engkau jangan meninggalkan aku."
Swara Manis kaget dan akan menjawab. Namun ketika melihat gadis itu tidak bergerak, mengertilah bahwa gadis itu mengingau. Hampir bersaman, telinganya yang peka mendengar, adanya mahklnk yang menghampiri Mariam. Swara Manis khawatir kalau Mariam celaka di tangan mahkluk tersebut, dan secepatnya mendekati. Celakanya, serangkum angin dingin menyambar mukanya. Berbareng itu berkelebatlah bayangan orang melesat ke luar goa. Dalam khawatirnya, tanpa ragu-ragu ia sudah melancarkan serangan. Akan tetapi ah, di luar dugaannya, bayangan tersebut dengan kecepatan luar biasa dan sukar dilukiskan, sudah melesat ke belakang tubuhnya.
Swara Manis cepat memutar tubuh. Tetapi sungguh celaka, gerakannya kalah cepat. Tahu-tahu ikat kepalanya sudah lepas dan terlempar di tanah. Menyusul rambutnya sudah dicengkeram tangan yang amat kuat.
"Siapakah anak perempuan ini." Hardik orang itu lirih. suara wanita.
Menggunakan kesempatan itu Swara Manis bermaksud melepaskan rambutnya dari cengkeraman 0rang, sambil membalikkan tubuh dan menyerang. Namun celakanya ia menyerang tempat kosong, karena tanpa suara orang itu sudah meloncat di belakang tubuhnya lagi. Ternyata kemudian cengkeraman pada rambutnya semakin kuat, dan membuat pemuda ini meringis kesakitan.
Menyadari keadaan, kalau sedang berhadapan dengan orang lebih sakti, maka dirinya menghentikan usahanya menyerang. Ia tahu dirinya akan celaka kalau menggunakan kekerasan. Untuk itu harus digunakan kecerdikan otak.
"Bibi," katanya lirih,
"Apabila ada persoalan marilah kita bicara baik-baik. Saya mohon hendaknya bibi suka melepaskan rambutku."
"Siapa gadis ini?" hardik wanita itu lagi.
"Dia calon isteriku," sahutnya gemetar.
"Hem, siapa namanya?"
Swara Manis tidak cepat menjawab. Otaknya diam diam berpikir memperhitungkan segala kemungkinan. Kalau wanita ini bermusuhan dengan keluarga Mariam, akan celaka.
Tiba-tiba ia merasakan lengannya sakit dicengkeram. Lalu terdengar hardik wanita itu lagi,
"lekas katakan! Siapa nama gadis ini?"
Swara Manis meringis menahan sakit, menjawab,
"Dia Mariam, puteri bapa Ali Ngumar... ."
"Siapa Ali Ngumar itu?"
"Tokoh yang belasan tahun lalu telah menggempar kan jagad ini, dengan Julukan Kilat Buwono!"
Agaknya wanita itu kaget, dan mencengkeramnya mengendur. Di lain saat terdengar wanita itu berbisik.
"Kilat Buwono? Ali Ngumar? Hemm... benarkah dia sudah tidak menghiraukan peristiwa yang lalu lagi?"
Swara Manis bengong dan tak mengerti maksud kata-kata wanita itu. Akan tetapi otaknya yang cerdas berpikir, bagaimanakah caranya lolos dari ancaman maut ini. Secara tiba-tiba ia mengerahkan tenaganya, kemudian berhasil meronta dan melesat setombak jauhnya.
Akan-tetapi tiba-tiba pemuda itu mengeluh kesakitan. Karena belum juga kakinya menginjak tanah, pinggangnya sudah dicengkeram lagi. Namun syukur cengkeraman itu tidak bermaksud mencelakai, dan hanya mencegah supaya dirinya tidak lari. Tiba-tiba saja keberaniannya timbul dan bertanya,
"Apakah bibi akan memberi keterangan penting kepada diriku?"
"Siapa engkau?" tanya wanita itu dan tidak menjawab pertanyaan.
"Aku Swara Manis, cucu murid Ki Hajar Saptabumi yang bermukim di anak Gunung Slamet."
Di luar dugaannya, begitu mengaku asalnya, wanita itu berkata lirih,
"Aku pernah bertemu dengan beberapa orang murid Hajar Saptabumi. Akan tetapi mengapa kepandaianmu sejauh ini?"
"Ah, karena sadar akan otak yang tumpul, aku giat belajar untuk mengejar kekurangan," sahutnya membohong.
"Hem, engkau bukan pemuda tolol, tetapi malah kelewat cerdik."
Sejenak tak membuka mulut, dan Swara Manis menjadi lega setelah sikap wanita itu berobah menjadi agak ramah.
"Hem, tetapi mengapa .. malam begini kau pergi bersama seorang gadis?" tanya wanita itu.
Belum juga Swara Manis menyahut, tiba-tiba Mariam terjaga dan berteriak.
"Kakang Swara Manis, di mana engkau?"
"Aku di sini, jangan takut," sahut pemuda itu.
"Kakang... kemarilah... aku aku tak dapat melihat engkau... ratapnya.
"Sebentar namun dirinya tak dapat bergerak, karena pinggangnya masih dicengkeram orang.
"Hem, akan aku lepaskan engkau. Tetapi engkau harus memenuhi dua syarat yang aku minta."
"Syarat apa?" Mendadak terdengar teriakan Mariam bertanya,
"Kakang, engkau bicara dengan siapa?"
Belum juga ia sempat menjawab, pinggangnya dicengkeram lebih keras lagi, lalu terdengar wanita itu berbisik,
"Pertama, jika engkau berani mempermainkan perempuan Mariam itu, sekalipun engkau bersembunyi di liang semut, akan tetap aku cari dan kubunuh! Kedua, jangan membuka rahasia diriku dengan siapapun, dan juga kepada Mariam. Mengerti?"
"Kakang,... mengapa engkau tak cepat datang...?"
Ternyata wanita itu tidak mencelakai dirinya. Sesudah Swara Manis mengiakan, cengkeraman lepas. Begitu bebas ia menghampiri Mariam yang masih berbaring. Ia lalu merebahkan diri di samping gadis itu. Ia meraba pipi Mariam yang licin dan halus kemudian mencium dan berbisik,
"Apa sebabnya engkau terjaga?"
"Aku mimpi... ."
"Mimpi apa?" "Kau tak perlu tahu... ."
"Ha-ha-ha," Swara Manis ketawa
"Engkau tentu mimpi bertemu aku. Benarkah?"
"Ah aku malu." kemudian gadis ini tertawa lirih, lalu meletakkan kepalanya ke pundak Swara Manis.
Tak lama kemudian fajar, sudah menyingsing.Mereka bersiap diri, kemudian melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan menuju Demak itu, kemudian mereka berpapasan dengan ratusan orang yang berjalan berduyun sambil membawa benda berat. Melihat keadaannya, Swara Manis bisa menduga, bahwa mereka itu rakyat Demak yang sedang mengungsi, karena takut kepada pasukan Mataram.
Melihat rakyat berduyun mengungsi, tiba-tiba perasaan Mariam tidak senang, ia teringat cerita orang, bahwa pasukan Mataram yang menduduki Demak berbuat kejam.
Swara Manis dapat menduga perobahan wajah kekasihnya. Maka cepat-cepat ia berkata,
"Diajeng, marilah kita cepat bertindak. Ini jelas, penduduk telah termakan oleh racun desas-desus, hingga takut kepada pasukan Mataram."
Sebagai seorang pemuda perayu wanita, banyak kata-kata indah yang diucapkan. Menyebabkan Mariam yang masih hijau mudah terpengaruh. Untuk mempercepat perjalanan, mereka menggunakan ilmu lari cepat. Hanya apabila orang melihat, mereka melangkah seperti biasa.
Hari itu mereka tiba di Demak. Swara Manis langsung melaporkan diri kepada prajurit penjaga, untuk bertemu dengan Tumenggung Wiroguno, panglima pasukan.
Tumenggung Wiroguno menerima kehadiran Swara Manis itu dengan wajah berseri. Hingga menampakkan lebih jelas, kulit yang mulai kendor dan keriput. Ia memang lebih tua dari usia yang sebenarnya, tubuhnya kurus kering oleh gangguan penyakit batuk yang sudah menahun. Karena itu dalam bicara banyak kali didahului batuk.
"Uh-uh-uh... Swara Manis, bagaimanakah hasil penyelidikanmu?"
"Baik dan berhasil," sahut Swara Manis dengan bangga.
"Menurut hasil pengamatan hamba, apabila Kudus dan Mayong sudah berhasil kita duduki, musuh akan berantakan dan dalam waktu cepat akan berhasil menduduki Pati. Sebab Kudus dan Mayong merupakan pertahanan musuh paling depan. Bobolnya pertahanan di tempat tersebut, hasil kita lebih cepat. Namun demikian hamba mohon agar penyerangan ke Pati dilakukan lewat darat dan laut. Pasukan laut lebih tepat apabila menyerang lewat Juwana."
(Bermbung ke Jilid III) *** " CINTA dan TIPU MUSLIHAT "
Oleh : Widi Widayat Jilid III *** "BAGUS uh-uh-uh .. engkau memang seorang prajurit yang cerdik dan patut dipercaya. Kelak apabila sudah berhasil membedah Pati. tentu Ingkang Sinuwun Sultan Agung senang, dan engkau akan memperoleh kedudukan tinggi." Tumenggung Wiroguno berhenti dan batuk lagi.
'Dan sekarang untuk melaksanakan penyerbuan pertama, kuberikan kepadamu sepasukan prajurit pilihan menyerang Mayong. Aku sendiri ke Kudus."
Pasukan yang dipercayakan kepada dirinya segera dipersiapkan.Ia merencanakan gerakan pasukan itu lewat air, menyusur sungai Serang. Tetapi ia tidak menginginkan gerakan itu diketahui musuh. Maka semua pasukan menyamar sebagai awak perahu, dan dirinya sendiri bersama Mariam menyamar sebagai saudagar kaya.
Dalam perjalanan lewat air ini, tidak ubahnya pengantin baru yang sedang bercengkerama. Swara Manis dan Mariam memadu kasih. Nampaknya Mariam sangat bahagia dapat selalu bersanding dengan pemuda idamannya. Hingga tidak teringat lagi akan tugas yang dipercayakan oleh ayahnya.
Kemudian pada suatu pagi, Swara Manis yang berdiri di geladak perahu kaget dan berseru tertahan,
"Hai... aneh!" "Apa yang terjadi?" tanya Mariam sambil menghampiri. ia baru saja bangun dari tidur, sehingga belum sempat menyisir rambut.
Ia tak sempat menjawab pertanyaan Mariam, malah berpaling ke belakang, sambil memanggil
"Lurah Darmocurigo."
Orang yang dipanggil menghampiri dan bertanya,
"Raden memanggil aku?"
Nampak sekali nada suara Darmocurigo angkuh. Akan tetapi Swara Manis tidak perduli. Dalam hatinya sudah menduga. tentu Lurah prajurit itu tidak puas, oleh keputusan Tumenggung Wiroguno yang mempercayakan pasukan kepada Swara Manis, orang baru.
,Paman" kata Swara Manis.
"Sudikah paman memerintahkan dua buah perahu yang jauh itu. supaya merapat kemari?"
"Baik!" Darmocurigo segera memberi perintah sesuai maksud Swara Manis.
"Ada apa kakang?" desak Mariam.
",.lihatlah!" Swara Manis menuding ke depan. Mariam segera pula melihat sebuah benda hitam, yang timbul tenggelam di permukaan air.
Sinar matahari memancar lebih terang. Dan makin lama mereka dapat menyaksikan. benda hitam tersebut seseorang yang duduk di atas balok kayu, mengikuti aliran sungai. Dan ternyata, batang kayu itu meluncur cepat menuju perahu mereka.
Jantung Swara Manis berdebar. Ia memilih bergerak lewat sungai dengan maksud agar lebih leluasa dan lepas dari dugaan lawan. Namun ternyata sekarang dugaannya keliru, dan agaknya orang itu bermaksud mengganggu.
Sungai Serang tidak begitu luas. Kemungkinan tubrukan akan terjadi apabila tak berhati-hati. Dalam usaha menghindarkan bahaya. Swara Manis sudah membuka mulut untuk berteriak memperingatkan orang tersebut. Akan tetapi belum juga suaranya ke luar, tiba tiba saja semangatnya seperti terbang.
,,Ah dia !" Mariam pun gemetar tubuhnya setelah siapa yang datang itu, yang bukan lain ayahnya sendiri.
Dalam khawatirnya Swara Manis segera memerintahkan pasukan, menggerakkan perahu masing-masing ke laut dengan cepat. Atas perintah itu, empat buah perahu armada Mataram segera bergerak cepat menuju laut.
Armada Mataram itu bergerak laju ke arah laut. Akan tetapi celakanya balok kayu itupun meluncur dan mengejar.
"Mariam. Cepatlah sembunyi di bawah!" teriak Swara Manis.
Mariam pun menurut, dan menuju ruang bagian bawah untuk bersembunyi. Tetapi tiba-tiba terjadilah guncangan hebat. Hampir saja Mariam terjatuh saking terkejut.
Ternyata balok kayu itu telah membentur perahu yang ditumpangi Swara Manis dan Mariam. Terjadilah kegemparan. Setiap prajurit segera memegang senjata masing-masing, karena sadar akan bahaya.
Namun kegemparan itu kemudian bertambah lagi, setelah menyadari perahu menjadi miring. jelas bahwa perahu telah bocor dan akan segera tenggelam. Untuk menyelamatkan diri. para prajurit itu kemudian berdesakan untuk pindah ke perahu lain.
Swara Manis gugup. Namun tak sempat mencegah keributan para prajurit. Belum juga hatinya tenang, tibatiba sesosok tubuh telah melesat di depannya.
"Ayah....!" Mariam berteriak dengan suara gemetar ketakutan. Ternyata Ali Ngumar telah berdiri di atas geladak, sedang sebatang pedang tergenggam di tangan kanan.
Swara Manis dan Mariam berdiri berdampingan. Berhadapan dengan Ali Ngumar yang sepasang matanya mencorong mengeluarkan api marah.
Mengapa secara tiba-tiba Ali Ngumar telah muncul di tempat ini? Memang sudah masuk dalam perhitungannya.
Ketika pagi tiba, Ali Ngumar menjadi heran, mengapa tidak dapat menemukan jejak Swara Manis. Sebab apabila pemuda itu menyusur sungai bagian barat, bagaimanapun tentu dapat ia kejar. Karena tak bertemu dengan Suara Manis, kemudian ia khawatir akan keselamatan Mariam. Sebab mungkin sekali, pemuda itu menyusuri sungai sebelah timur. Anehnya mengapa Mariam tidak memberi tanda bertemu dengan Swara Manis? Apakah Mariam dalam bahaya?
Oleh rasa khawatir, tokoh Gunung Muria itu cepatcepat menyeberang dan bergegas menyusuri sungai,Ia tidak menuju Demak, tetapi menuju Mayong kembali. Karena ia menduga. puterinya kembali ke Mayong setelah berhadapan dengan bahaya. Akan tetapi sialnya di
Mayong tidak bertemu dengan anaknya. Semua orang menerangkan Mariam belum kembali. Maka secepatnya, Ali Ngumar meninggalkan Mayong, menyusuri sungai menuju Demak.
Dengan hati yang gelisah ia mempercepat perjalanan, sambil mencari jejak anaknya. Akhirnya tiba jugalah Ali Ngumar di Demak. Untuk memperoleh keterangan, ia segera menangkap seorang prajurit Mataram.
Dari prajurit yang ditangkap itu, Ali Ngumar memperoleh keterangan bahwa belum lama berselang, Swara Manis telah menghadap Tumenggung Wiroguno, dan disertai seorang gadis cantik. Hatinya gelisah bukan main mendengar keterangan itu. Dan karena siang hari. ia tidak bebas untuk bergerak menyelidiki lebih jauh. Untuk itu ia harus menunggu malam hari. Maksudnya akan menyelundup ke markas pasukan Mataram guna memperoleh keterangan lebihjauh.
Ketika malam tiba maka Ali Ngumar berusaha menyelidik. Dan betapa kecut dan marahnya, setelah memperoleh keterangan, Swara Manis mendapat tugas pergi menuju Mayong. Keberangkatan Swara Manis disertai sepasukan Mataram. menggunakan empat buah perahu lewat kali Tuntang menuju laut.
Ali Ngumar sadar bahwa Mayong dan Kudus merupakan pertahanan Kadipaten Pati paling depan. Bagi Kudus. sesungguhnya ia tidak begitu khawatir. karena dipertahankan oleh pasukan yang cukup kuat. Akan tetapi Mayong. kedudukannya lemah. Pasukan yang di sana hanyalah dalam jumlah kecil saja. Apabila di serang mendadak, tidak urung akan hancur dalam waktu singkat. Jatuhnya Mayong, akan membahayakan Kadipaten Pati pula.
Secepatnya Ali Ngumar menuju laut, setelah mendengar Swara Manis dan pasukannya lewat kali Tuntang menuju laut utara. Setibanya di tepi laut, ia tak melihat armada Mataram yang dimaksud. Hatinya tegang dan khawatir, maka menggunakan ilmu lari cepat, ia menuju Mayong. Akan tetapi setelah tiba di Mayong, ternyata keadaan tempat itu tenang dan aman saja. Pasukan Mataram belum tiba di tempat tersebut.
Hati yang dipenuhi rasa tegang, kecut dan marah, mendorong Ali Ngumar cepat-cepat meninggalkan Mayong, tanpa berusaha bertemu dengan Darmo Saroyo maupun Darmo Gati.Ia berlarian menyusuri kali Serang. Tetapi setelah berlarian beberapa lama, timbul pendapatnya lebih enak kalau lewat air. Bagi orang sakti seperti Ali Ngumar, tiada perahu tanpa halangan.Ia dapat menggunakan kayu sebagai pengganti perahu. Dirobohkan kemudian sebatang pohon yang besar. Dan batang pohon itu dilempar ke air, dipergunakan sebagai perahu.
Ali Ngumar sudah menduga, bahwa pasukan yang dibawa Swara Manis. tentu masih di laut. Walaupun
berhadapan dengan sejumlah praurit Mataram, ia tidak takut. Ia sudah terbiasa berkelahi dalam air. Dan baginya merobohkan musuh di dalam air lebih mudah dibanding di darat.
Demikianlah ketika pagi tiba, Ali Ngumar melihat empat buah perahu yang cukup besar dari arah muara Kali Serang. Ia sudah menduga tentu empat perahu tersebut yang berisi pastikan Mataram. Ketika jaraknya menjadi dekat, pandang matanya yang awas segera bisa melihat dua orang muda berdiri di geladak. Setelah diamati seksama, jantungnya bergetar. Ternyata mereka itu Swara Manis dan anaknya sendiri.
Betapa marah tokoh Gunung Muria ini, melihat sendiri puteri tunggalnya telah berkhianat. Sebagai seorang yang memperoleh kepercayaan Adipati Pragola, tentu saja menjadi malu menghadapi kenyataan tak terduga ini. Anak satu-satunya yang diharapkan sebagai penyambung sejarahnya, telah berseberangan dengan dirinya.
Itulah yang terjadi. Usaha Ali Ngumar yang tak kenal lelah, akhirnya berhasil.
Dan sekarang. berhadapan dengan Ali Ngumar. gentarlah hati Swara Manis. Kakek gurunya, Ki Hajar Saptabumi sudah memberi pesan. Berhadapan dengan Ali Ngumar harus waspada dan hati-hati, karena tokoh itu sakti mandraguna.
Ia sadar, kalau menghadapi tokoh ini dengan kekerasan, tigaratus orang prajurit yang menyertainya sekarang ini, takkan mampu menghadapi amukan Ali Ngumar. Sedang dirinya sendiri, takkan sanggup melayani Ali Ngumar.
Namun ia seorang muda yang cerdik. Dalam bahaya tidak kehilangan kesadaran. Kemudian ia memberi hormat kepada Ali Ngumar sambil berkata halus,
"Sungguh bahagia hati kami. mendapat kunjungan
paman pada pagi ini. Akan tetapi karena tanpa pemberitahuan lebih dahulu, kami tak dapat menyambut kedatangan paman sebagaimana layaknya, begitu pula ananda."
Ali Ngumar mengamati Swara Manis dan Mariam bergantian dengan mata mencorong. Sejak melihat anaknya berdiri berdampingan dengan Swara Manis, ia telah menduga apa yang terjadi. Dan sekarang mendengar Swara Manis menyebut "ananda", ia menyemprot lantang.
"Apa artinya ini?"
Ali Ngumar menatap anaknya dengan mata merah. Dan Mariam gemetar tubuhnya tidak dapat membuka mulut.
"Hayo... cepat jawab. Apa artinya ini?" bentak ayahnya.
Mariam semakin ketakutan. Ia melirik kepada Swara Manis dengan maksud minta pertolongan. Celakanya Swara Manis tak acuh. .,Ia menduga keliru kepada pemuda ini. Sangkanya sikap pemuda itu, karena tidak mau menentang ayahnya. Padahal suara hati Swara Manis, hadapilah sendiri ayahmu yang sedang marah, dan tidak mau bertanggung jawab akibatnya.
"Ayah... ." seru Mariam gemetar.
"Hemm ." dengus ayahnya.
"Ayah aku... aku ." Mariam tak sanggup berkata lebih lanjut.
Sebenarnya ia ingin menerangkan bahwa dirinya mencintai pemuda itu. Namun Iapun segera menyadari kedudukannya sebagai seorang gadis. Itulah sebabnya gadis ini tergagu.
"Pengkhianat! Anak durhaka!" geram Ali Ngumar. Kemudian ia beralih pandang ke arah Swara Manis, terusnya,
"Hai orang muda. Bukankah kapal ini merupakan armada Mataram yang menyamar?"
Swara Manis tersentak kaget. Tetapi sebelum sempat membuka mulut, Lurah Darmocurigo sudah mendahului,
"Hai orang tua! Apa maksudmu datang kemari?"
Lurah Darmocurigo sebenarnya agak terlalu lancang. Tapi sebelum sempat menegur. tiba-tiba Ali Ngumar sudah meleset ke samping orang itu. Sekali mengulurkan tangan, Darmocurigo tidak bisa berkutik diseret ke pinggir geladak.
"Tolong!" tetapi jeritan itu tak ada artinya. Tidak seorangpun berani bergerak dan byur, orang itu dilempar ke laut.
Swara Manis menjadi khawatir sekali. Kalau sampai terjadi kekerasan, tidak urung dirinya maupun seluruh pasukan, akan dalam bahaya.
Tetapi sebelum ia sempat mencari akal. Ali Ngumar sudah membentak.
"Hai Swara Manis! Bukankah begitu yang akan engkau lakukan jika berhadapan dengan musuh?"
Mariam menggigil. Ia tahu kedudukannya sekarang. Di dalam armada Mataram ini, berarti dirinya sudah berkhianat kepada Pati dan bermusuhan dengan ayahnya sendiri.
Sadar akan keadaan yang berbahaya, Swara Manis telah mundur beberapa langkah mendekati tepi geladak. Celakanya Ali Ngumar tak bisa ditipu lalu membentak,
"Hai Swara Manis! Seorang laki-laki berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Melarikan diri dari tanggung jawab berarti seorang pengecut!"
Swara Manis pucat. Dan Mariam terkesiap menyaksikan keadaan seperti ini. Ia tidak mungkin sampai hati kepada kekasih.Ia menjadi lupa ayahnya sedang marah. Secepatnya melesat ke depan Swara Manis, kemudian berseru,
"Ayah, jangan kau lukai!"


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ali Ngumar terbelalak. Mimpipun tidak anak tunggalnya berbuat seberani itu dan terang-terangan membela musuh.
"Minggir!" bentaknya menggeledek.
Bentakan itu sanggup membuat Mariam gemetaran, namun demkian ia juga tidak berani menentang ayahnya, tetapi juga tidak tega kepada kekasihnya. Untung Swara Manis cerdik dan licik. Kesempatan ini memberi ilham untuk bersilat lidah.
"Paman," katanya.
"Aku tak menyangkal telah memimpin pasukan Mataram ini menuju Mayong. Akan tetapi ketahuilah dalam gerakan ini. puterimu juga terlibat. Lalu hukuman apakah yang akan paman berikan kepada anak sendiri yang berkhianat?"
Ia berhenti sejenak mencari kesan. Lalu lanjutnya,
"Paman terkenal sebagai seorang tokoh gagah perwira dan adil bijaksana. Paman takkan berpilih kasih menghadapi kenyataan ini."
Ali Ngumar tercengang sejenak. Ia tahu maksud Swara Manis. Anak tunggalnya juga tak dapat melepaskan diri dari kesalahan. Menghukum Swara Manis, harus pula menghukum yang sama kepada anak sendiri, dan puteri tunggal. Sanggupkah dirinya melaksanakan?"
Melihat ayahnya tertegun, Mariam yang dimabuk asmara memberanikan diri bicara,
"Ayah... apa yang dikatakan kakang Swara Manis tidak salah. Memang benar. aku berdua telah menghadap Bendara Tumenggung Wiroguno. Kemudian mendapat tugas ini."
Sulit dilukiskan betapa perasaan Ali Ngumar ini. Dalam dadanya bergolak dilanda api kemarahan berbareng kesedihan.Ia marah kepada Mariam yang sudah berkhianat kepada ayahnya sendiri. Tetapi ia juga marah kepada Swara Manis yang secara licik telah menjual Mariam.
"Hemm." dengus Ali Ngumar. Dalam hati sudah memutuskan, membiarkan pemuda licik seperti ini, hanya akan mencelakakan orang-orang tidak berdosa saja.
"Engkau bertanya bagaimanakah caraku menghukum anakku sendiri yang berdosa? Hem, bukalah matamu lebar-lebar. Dan engkau sendiripun takkan dapat menehindarkan hukuman yang setimpal."
Ia memang enggan melakukan hukuman kepada tunggalnya sendiri. tetapi ia insyaf, akan tanggung jawab yang terpikul pada pundaknya. Kalau mengampuni anaknya sendiri yang sudah berkhianat, dirinya akan dicemooh dan diejek orang. Dirinya akan menjadi manusia tak berharga dan akan menderita seumur hidup. Maka satu-satunya tindakan yang paling tepat, walaupun anak sendiri harus dibunuh mati.
Ali Ngumar berpaling ke arah Mariam, lalu bentaknya menggeledek,
"Hai pengkhianat! Apakah engkau belum juga menyadari dosa dan kesalahanmu?"
Tercekat hati Mariam mendengar bentakan ini. Maka gadis ini dengan bibir gemetar berseru,
"Ayah aku... ."
Ali Ngumar memutar tubuh membelakangi Mariam. Sambil menguatkan perasaan dan hati, ia berkata,
"Huh, aku tidak mempunyai anak macam kau!"
Tetapi sekalipun mengucapkan kata-kata demikian. butir air matanya tak dapat dibendung menitik dari sudut mata. Bagaimanapun. Mariam puteri tunggalnya. Anak satu-satunya yang semenjak kecil telah ditinggal oleh ibunya, pergi tanpa diketahui ke mana perginya. Semenjak isterinya meninggalkannya, ia hidup menduda sambil mendidik Mariam dengan harapan sebagai penyambung sejarahnya.
Mariam yang manja dan tak tahu maksud ayahnya, segera menjatuhkan diri dan memeluk kaki sambil menangis. Akan tetapi sambil menguatkan hati, Ali Ngumar mengibaskan tangannya, sehingga pelukan itu lepas.
"Ayah... bukankah aku ini anakmu? Ayah... aku..
aku anakmu... ." Bagai disayat pisau rasa hati Ali Ngumar saat ini. Namun dikuatkan hatinya dan tak acuh. lalu, katanya geram,
"Aku tidak lagi mempunyai anak seperti engkau, yang berkhianat kepada ayah sendiri dan bersekutu dengan musuh... ."
"Tetapi aku aku mencintai kakang Swara Manis ." ratapnya.
"lekas selesaikan dirimu sendiri. Jangan tunggu aku... turun tangan membunuhmu... ." bentak Ali Ngumar lantang. Tetapi sekalipun begitu, ucapannya tidak lancar, karena terjadi pertentangan hebat dalam hatinya.
Sejenak kemudian ia berkata lagi halus,
"Mariam. Jika engkau mati dengan tenteram, aku berjanji akan membalaskan sakit hatimu."
Mendengar itu tangis Mariam berhenti seketika. Dan Ali Ngumar karena tak mendengar isak tangis anaknya lagi, mengira kalau anaknya sudah membunuh diri. Hatinya terasa hancur. Satu-satunya anak yang diharapkan akan menjadi penyambung sejarah telah mengakhiri hidupnya secara mengenaskan. membunuh diri. 'Tak kuasa ia menahan hati dan perasaan, lalu berpaling. Akan tetapi ah... ternyata Mariam masih hidup. Ali Ngumar menghela napas.
Peristiwa ini tak luput dari pengamatan Swara Manis yang cerdik dan licik. Kini ia tahu kelemahan Ali Ngumar. Kemudian Swara Manis berseru lantang,
"Harimau sekalipun buas, takkan sanggup makan anak sendiri, Manusia berbudaya dan lebih mulia dibandirig binatang. Mungkinkah terjadi manusia akan kalah luhur budinya dengan hewan? Hanya dengan maksud menjaga nama diri sendiri, mengapa paman akan tega membunuh anak sendiri? Bukankah perbuatan ini bertentangan dengan hati nurani paman sendiri?"
Ucapan Swara Manis itu tepat pada sasarannya. Saat ini dalam dadanya sedang terjadi pertentangan hebat. Akibatnya Ali Ngumar hanya mematung.
Dan si belut licin Swara Manis dapat melihat titik harapan .Ia kemudian terbatuk-batuk sambil tertawa. Namun ketika akan berkata lagi, ia melihat sepasang mata Ali Ngumar yang mencorong memancarkan api kemarahan. Pemuda ini tergetar hatinya, dan urung membuka mulut.
Sekalipun dalam dadanya terjadi pertentangan hebat, Ali Ngumar tetap sadar bahwa perbuatan anaknya yang berkhianat itu, merupakan dosa terbesar. Sebab oleh pengkhianatan Mariam, akan menyebabkan ribuan manusia menderita dan mungkin terbunuh mati. Haruskah ia mengorbankanjiwa ribuan rakyat tak berdosa dan mempertahankan nyawa anak sendiri yang berkhianat? Tidak!
Ali Ngumar membalikkan tubuh. kemudian membentak,
"Jangan menunda waktu. Cepat, bunuhlah dirimu sendiri!"
Suara tokoh Muria ini tegas. Swara Manis yang sudah hampir berhasil mempengaruhi Ali Ngumar, tercekat dan khawatir. Tetapi pada saat itu. tiba-tiba terdengarlah suara Mariam,
"Kakang... kakang Swara Manis... ."
Suara wanita itu halus dan menggetarkan hati, disamping mengibakan. Selayaknya Swara Manis iba dan menghampiri. Akan tetapi celakanya, ia berhadapan dengan pemuda licik dan pengecut. Pemuda itu malah mencari kesempatan untuk lolos.
Akan tetapi belum juga sempat menggerakkan kaki.mendadak tampak sesosok tubuh manusia. melayang di geladak. Swara Manis terkejut berbareng jengkel. Munculnya orang itu telah menghalangi maksudnya melarikan diri.
Ali Ngumar juga membalikkan tubuh. Tetapi ketika melihat bahwa yang muncul di geladak itu Darmi yang pernah berkunjung ke Muria, ia menjadi heran.
Tiba-tiba saja Darmi sudah berteriak,
"Bagus! Tidak ketemu di darat, kita bisa ketemu di laut!"
Lalu wanita itu memalingkan muka ke arah Ali Ngumar..... dengan wajah heran.
"Tetapi mengapa... tuan dan puteri hadir di sini?"
"Hemm." Ali. Ngumar hanya mendengus.
"Hai Darmi!" tegur Swara Manis.
"Bukankah engkau mempunyai kewajiban sendiri di Demak? Dan mengapa engkau keluyuran sampai ke mari?"
Darmi tertawa dingin. Kemudian teriaknya lantang,
"Huh, persetan dengan segala macam kewajiban. Aku tak sudi lagi diikat oleh pangkat dan jabatan. Aku lebih suka mengarungi samodra guna mencari manusia busuk bernama Swara Manis!"
Tring... sehabis berkata ia sudah mengambil senjatanya. Sepasang senjata roda bergigi tajam telah dipegang oleh tangannya. Kemudian ia berkata lagi, suaranya tetap lantang,
"Swara Manis! Engkau telah menghina orang keterlaluan. Sekalipun engkau sepuluh kali lebih sakti daripada diriku, aku tidak takut menghadapi"
Diam-diam Ali Ngumar kagum dan memuji sikap Darmi yang tanpa tedeng aling-aling itu, ia tak mau campur tangan sesudah tahu Darmi akan menuntut balas kepada Swara Manis. Akan tetapi apabila sampai terjadi Darmi kewalahan menghadapi, tentu saja dirinya akan turun tangan.
Tetapi si licin dan licik Swara Manis tak kehilangan akal. Tantangan Darmi itu bagi dirinya malah menguntungkan, hingga dapat mengulur waktu menghadapi Ali Ngumar. Karena itu sambil menggunakan kipas
senjatanya untuk mengipasi dada, ia bertanya.
"Hai, Darmi. Inginlah aku bertanya kepadamu. Apa sebabnya engkau mengatakan aku sudah menghina engkau?"
Darmi tak mau menjawab.Ia melompat maju sambil melancarkan serangan ke arah dada Swara Manis.
Serangan itu ditangkis Swara Manis, tetapi Darmi tak menghindar. Serangan pertama disusul serangan yang kedua.
"Crett"!" Swara Manis menusukkan kipasnya yang menutup masuk ke tengah roda senjata lawan. Melihat ini Darmi gembira. Gigi senjata rodanya memang khusus disiapkan untuk merebut senjata lawan. Secepat kilat ia menarik sekuatnya ke samping kiri, dan ia yakin senjata lawan akan lepas.
Akan tetapi Darmi lupa, bahwa lawan yang dihadapi sekarang ini si licik dan licin Swara Manis. Ketika melihat Darmi menyentak, Swara Manis mengerahkan tenaga.
Darmi amat terkejut ketika merasakan tangannya kesemutan dan senjatanya hampir lepas. Untuk dapat mempertahankan senjatanya, ia mengendorkan tekanan, kemudian ia bermaksud meloncat mundur guna menghindarkan diri dari lawan. Akan tetapi justru perbuatannya ini berarti melakukan kesalahan dua kali. Tanpa disadari ia telah masuk perangkap Swara Manis.
"lepas!" bentak Swara Manis sambil membanting kipas senjatanya.
Perhitungan pemuda itu tepat sekali. Tak dapat dicegah lagi, senjata Darmi lepas dan terlempar ke laut.
Namun tiba-tiba terdengar suara berdencing. Senjata Darmi terpental ke geladak lagi dan secara sebat sudah disambar pemiliknya.
Peristiwa itu mengejutkan semua orang. Belum juga hilang rasa terkejut semua orang, melesatlah sesosok tubuh langsing ke geladak. Gerakannya lebih cepat dibanding Darmi, dan perempuan itu memegang senjata trisula. Begitu berdiri, wanita itu sudah menyapa kepada Swara Manis,
"Kakang Swara Manis ah, sungguh kebetulan engkau juga di sini. Dan kepadamu adik Mariam, aku mengharapkan kesadaranmu, agar engkau tidak lagi berdekatan dengan kakang Swara Manis."
Mariam terbelalak menyaksikan munculnya gadis itu, yang bukan lain Marsih, gadis tunangan Swara Manis. Lebih terkejut lagi, karena gadis itu tanpa tedeng aling-aling telah menegur kepada dirinya.
Akan tetapi sebaliknya Darmi. sebagai kakak Marsih tidak setuju terhadap sikap adiknya. Dari sikapnya itu jelas bahwa Marsih masih tetap tergila-gila kepada Swara Manis.
"Marsih!" bentaknya.
"Bukankah orang yang tak kenal budi ini sekarang berada di sini? Hayo... kita menuntut balas!"
Marsih memalingkan mukanya kepada Darmi. Kemudian maju beberapa langkah menghampiri Swara Manis, berkata,
"mBakyu, bagaimanapun aku tak dapat menyalahkan kakang Manis."
Sebetulnya hanya secara kebetulan saja kakak beradik ini bertemu di tempat ini. Marsih yang sudah sembuh dari lukanya akibat perbuatan Swara Manis ketika di Gunung Muria. menghibur diri di laut. Tiba-tiba kakak beradik ini melihat sebuah perahu yang terombang ambing tak menentu arahnya. Maka timbul keinginan Darmi untuk datang menyelidik. Sedang Marsih disuruh menunggu di tepi laut.
Agaknya Marsih gelisah menunggu kakaknya belum kembali. Karena itu Iapun menyusul, dan di luar dugaan bertemu dengan pemuda yang digandrungi. Bukan
kepalang girangnya gadis ini. Tetapi rasa gembira itu segera lenyap setelah berhadapan dengan Mariam di tempat ini.Ia khawatir berbareng cemburu. Karena itu tanpa malu-malu sudah minta kepada Mariam, agar mundur teratur.
Tanpa disadari, ucapannya itu menusuk perasaan Ali Ngumar.
Akan tetapi disamping itu Ali Ngumar juga malu atas perbuatan anaknya. Tak pernah disangkanya, Mariam telah melakukan perbuatan tanpa malu. tergila-gila kepada pemuda yang belum. diketahui watak tabiatnya. Di dunia ini memang mungkin terjadi seorang gadis tergila-gila kepada pemuda. Namun apabila seorang pemuda diperebutkan terang-terangan oleh dua 0rang gadis, ah Ali Ngumar menghela napas panjang.
Tak lama kemudian ia sudah berhasil menguasai perasaan dan hatinya. Kemudian ia berkata dengan ramah,
"Apabila urusan kalian sudah selesai, aku harap segera meninggalkan perahu ini."
"Mengapa harus pergi?" sanggah Marsih.
Ali Ngumar tidak dapat bersabar lagi, kemudian katanya setengah memerintah.
"Sebenarnya kalian tidak mempunyai sangkut paut masalah ini. Akan tetapi apabila kalian ingin tahu tak ada halangannya. Hem. ketahuilah bahwa di atas perahu ini terdapat seorang laki-laki dan perempuan."
Ali Ngumar berhenti sejenak sambil menuding Swara Manis dan Mariam. Kemudian terusnya dengan tegas.
"Mereka telah bersekutu dan menggerakkan pasukan guna menyerang Mayong. Persekutuan ini merupakan perbuatan khianat tak berampun. Karena itu sudah aku putuskan, dua manusia ini harus membunuh diri sendiri, sebelum aku bertindak!"
"Ih!" Darmi-berseru tertahan saking kaget.
"Bukankah Mariam ini anak tuan sendiri?"
"Tak salah! Akan tetapi sudah berkhianat. Hukum harus berlaku adil, dan tidak pandang bulu!"
Ali Ngumar menatap Swara Manis dengan tajam. Lalu,
"Hai Swara Manis! Sesudah urusan perempuan itu beres, jangan berharap dapat lolos dari hukuman!"
Wajah Swara Manis pucat bagai kertas. Otaknya yang licin serasa beku, sehingga tak dapat mencari akal untuk meloloskan diri.
Mendadak Marsih melangkah maju dan berkata lantang.
"Paman Ali Ngumar! Apapun alasanmu bisa diterima jika ditujukan kepada anakmu sendiri. Tetapi apabila hal itu menyangkut diri kakang Swara Manis, aku tak dapat berpeluk tangan."
Ali Ngumar terbelalak heran mendengar ucapan gadis itu. Tetapi sejenak kemudian ia berkata halus,
"Engkau bukan orang yang bersekutu dan membantu Mataram. Tiada alasan apapun menyertakan engkau dalam perkara ini."
"Akan tetapi jika engkau akan membunuh kakang Swara Manis, engkau harus membunuh aku lebih dahulu!" teriak gadis ini tegas.
Sebenarnya saja sejak Ali Ngumar bermukim di Muria, ia sudah menjauhkan diri dari permusuhan. Akan tetapi sekarang ini lain. dirinya dihadapkan kepada dua pilihan yang sama beratnya.
Berat, karena menyangkut langsung kepentingan Kadipaten Pati. Mau tak mau dirinya harus memilih dan menentukan jalan yang paling tepat. Oleh sebab itu karena anaknya sudah berkhianat, maka jalan yang paling tepat harus mengorbankan anaknya sendiri, sebagai tumbal keselamatan Pati. Namun begitu mendengar ucapan Marsih, beberapa saat Ali Ngumar berdiri mematung.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disusul guncangan yang hebat. Semua orang terperanjat.
Sebaliknya Marsih tetap tenang, kemudian menghampiri Swara Manis sambil berkata halus,
"Kakang... perahu ini jelas sudah menabrak karang dan pecah. Karena itu engkau tidak perlu takut lagi kepada orang tua itu."
Peristiwa di luar dugaan itu membuat Swara Manis gembira berbareng gelisah. Gembira, karena berharap dapat melarikan diri. Tetapi juga gelisah, dengan pecahnya perahu ini berarti gagallah tugas yang dipercayakan kepada dirinya.
Di saat itu, mendadak terdengar suara Mariam menjerit.
"Kakang Swara Manis,... tolong... .!"
Swara Manis yang cerdik mendapat kesempatan bagus. Dengan sikap dan ucapan gagah ia berseru.
"Diajeng Mariam, jangan takut. Aku di sini Engkau akan kubawa berenang apabila perahu ini tenggelam!"
Ali Ngumar tidak menyadari, bahwa ucapan Swara Manis itu merupakan akal licik. Ia menduga bahwa pemuda itu benar-benar mencintai anaknya. Dan perobahan wajah Ali Ngumar itu tidak luput dari pengamatan Swara Manis. Dengan sikap gagah ia kembali berseru,
"Diajeng, cepatlah ke mari. Mati dan hidup, untung dan celaka, kita rasakan bersama-sama."
Ucapan pemuda itu menyentuh hati nurani orang tua ini. Dalam hatinya timbul pikiran, kalau pemuda itu dapat disadarkan alangkah baiknya diberi kesempatan hidup. Betapa bahagia seorang tua, melihat anak tunggalnya hidup rukun dengan suami.
Sebaliknya Marsih menjadi tersinggung. Cepat-cepat ia mengancam Mariam,
"Adik Mariam. jika engkau berani mendekati kakang Manis, trisulaku ini akan menancap di perutmu!"
Hal ini membuat Mariam ragu dan tidak segera menghampiri Swara Manis. Melihat itu, Swara Manis yang sedang berusaha mempengaruhi Ali Ngumar, cepat bertindak. Senjata Marsih ditarik hingga gadis itu terhuyung beberapa langkah. Kesempatan ini digunakan 0leh Swara Manis untuk menghampiri Mariam, sambil mencaci-maki Marsih,
"Huh, perempuan tidak tahu malu! Dengarlah baik-baik, aku dan Mariam sudah bersumpah sehidup semati. Sekarang engkau jangan mengganggu aku lagi."
Marsih tercengang. Tetapi ia segera dapat menguasai perasaan, lalu menubruk kakaknya sambil memeluk dia berteriak nyaring
"Dasar manusia mata keranjang... . Dia menolak aku dan terpikat wanita lain ...." Diam-diam Darmi malah gembira.Ia justru tidak setuju kepada adiknya yang cinta membuta tuli kepada Swara Manis. Mempergunakan kesempatan inilah ia menyadarkan adiknya.
Akan tetapi belum juga Darmi sempat mengucapkan kata-kata, terdengar suara ribut oleh pekik orang, memberitahukan air sudah masuk dalam perahu. Sekarang semua orang baru menyadari keadaan yang makin gawat. Hanya menunggu saat saja. perahu ini akan tenggelam. Dan karena semua orang naik ke geladak, keadaan semakin merugikan dan mempercepat perahu itu tenggelam.
Swara Manis marah. Tangannya menampar ke kanan dan ke kiri. hingga prajurit yang terpukul terpental ke belakang, lalu membentur kawan yang lain. Akibatnya beberapa orang sempoyongan dan tercebur ke laut.
Beberapa saat kemudian terjadi guncangan hebat, kemudian perahu semakin miring. Beberapa prajurit cepat menurunkan sekoci untuk menyelamatkan diri. Hanya Ali Ngumar, Swara Manis, Mariam, Darmi dan Marsih yang tenggelam dalam perasaan masing-masing. Mereka baru sadar sesudah semua sekoci habis dipergunakan menyelamatkan diri.
Darmi yang paling dulu sadar. lalu melepaskan pelukan adiknya. Ia bermaksud merebut salah sebuah sekoci. Tetapi celakanya, Marsih bagai orang gila. Ia tidak mau melepaskan pelukannya dan meratap,
"Kakang Manis... jangan tinggalkan aku... . Kakang... mati dan hidup... kita tetap bersama..."
Darmi menghela napas panjang. Ia tahu bahwa adiknya memang sangat mencintai Swara Manis, apa pula memang sudah dipertunangkan sejak lama.. Sayangnya Swara Manis yang mata keranjang tidak mengimbangi, membuat Marsih menderita. Sekarang jalan satusatunya harus memaksa Marsih pergi. Lalu tanpa ragu lagi... byur, Darmi terjun ke laut sambil memeluk adiknya. Mereka memang pandai berenang, dalam waktu singkat telah berhasil merebut sebuah sekoci, lalu pergi.
Sekarang Tinggal Swara Manis, Mariam dan Ali Ngumar yang masih di geladak perahu, yang sudah hampir tenggelam.
"Paman." tiba-tiba Swara Manis memberanikan diri bicara.
"Perahu sudah hampir tenggelam. Saya tahu diajeng Mariam tak dapat berenang. Lalu bagaimanakah kita berbuat?"
Ali Ngumar merenung sejenak. Tetapi ia tidak menjawab malah berbalik bertanya,
"Sudah berapa lama kau kenal dengan Mariam?"
"Hampir sebulan lalu, ketika aku datang ke Muria." jawabnya hati-hati.
"Kalau begitu, di saat bertemu pertama kali. Kau dan Mariam terus saling jatuh cinta?"
Swara Manis gembira, lalu menjawabnya.
"Benar, sejak bertemu pertama kali sudah saling jatuh cinta. Tetapi.."
"Kakang... dingin... .!" ratap Mariam, memotong ucapan Swara Manis
Saat itu perahu memang sudah tenggelam dan miring, sehingga geladak sudah terendam air laut, dan sudah sebatas lutut.
"Angkatlah Mariam ke atas. Aku akan bicara sedikit dengan engkau."
Tanpa menunda waktu. Swara Manis mengangkat tubuh Mariam dengan tangan kiri, sedang tangan kanan memegang tiang layar. Oleh pertolongan ilmu meringankan tubuh. dalam waktu singkat Swara Manis sudah berhasil memanjat tiang. Dan sekarang untuk sementara bebas dari gangguan air laut.
Ali Ngumar melompat dan menyusul. Perlahan-lahan perahu sudah tenggelam. Namun secara aneh, tubuh perahu seperti ditahan benda, dan tidak tenggelam lebih jauh lagi.
Ali Ngumar heran. Sedangkal itukah laut di tempat ini? Akan tetapi ia tidak sempat memperhatikan lebih jauh. Ia kemudian memalingkan muka ke arah Mariam, dan melihat dengan jelas anaknya merasa aman dalam pelukan pemuda itu. Kenyataan ini membuat Ali Ngumar menduga, dua sejoli itu memang sudah saling cinta.
Ia menghela napas panjang, kemudian berkata,
"Anakku... Mariam... ."
Mariam mengangkat mukanya mengamati ayahnya. Kemudian menyahut,
"Ayah... engkau sudah tidak marah lagi? Dan engkau mau mengakui aku sebagai anakmu... .?"
"Ah... Mariam... kalau saja engkau tidak melakukan kesalahan sebesar itu... tentu aku takkan semarah tadi ." kata ayah itu.
"Ketahuilah anakku,... soal perkawinan bukanlah permainan. Kalau begitu bertemu terus jatuh cinta... sudah pastikah engkau bakal hidup bahagia? Anakku, engkau masih hijau dan belum bisa menyelami hati orang. Marilah kita pulang dulu ke Muria. Kelak kita bicarakan lagi dalam suasana yang damai
dan menyenangkan..."
Betapa gembira hati Swara Manis mendengar ucapan orang tua itu. Oleh pernyataan itu, berarti dirinya memperoleh jalan lapang untuk melanjutkan rencananya menyerbu Mayong. Cepat cepat ia memberi isyarat agar Mariam sedia mengikuti maksud ayahnya.
Akan tetapi sungguh sial. Gadis yang dimabuk asmara ini tak sanggup berpisah lagi dengan kekasih dan menjawab,
"Ayah, walaupun begitu tetapi aku sudah dapat menyelami hati dan perasaan kakang Swara Manis. Kiranya sudah jelas, aku dan kakang Swara Manis harus kawin."
Ali Ngumar menggeram. hatinya tak puas,
"Mariam! Sadarkah engkau bahwa sebenarnya engkau ini telah diajak menghamba kepada musuh. Hemm, dengan perbuatanmu ini, bagaimanakah tanggapan rakyat kepada dirimu? Hemm, engkau anakku. Engkau harus dapat menyelamatkan nama baik ayahmu... dan namamu sendiri jangan ternoda. Untuk itu engkau harus sanggup bersabar, sambil menilik keadaan. Percayalah bahwa ayahmu bermaksud baik... ."
Mariam terdiam.Ia memandang kekasihnya dengan harapan agar mencari daya. Tetapi celakanya pemuda itu mempunyai rencana lain. Ia pura-pura tak mengerti maksud Mariam. Katanya,
"Apa yang paman kemukakan memang tepat. Seorang calon menantu sepatutnya memang diuji lebih dahulu. Memang harus diselidiki dan diteliti, apakah Swara Manis seorang ksyatria ataukah hanya pengecut... ."
Sejenak berhenti, kemudian lanjutnya,
"Diajeng, engkau harus bersabar menunggu beberapa tahun lagi. Agar dengan begitu engkau tahu jelas siapa sesungguhnya Swara Manis ini."
Ali Ngumar terkesan oleh ucapan "calon menantu" ini. dan cepat menyambung.
"Swara Manis. aku tahu
sekalipun muda engkau sudah berilmu tinggi. Aku percaya, perjalanan hidupmu akan selalu menuju jalan baik."
Diam-diam Swara Manis mendongkol dan mencacimaki orang tua itu. Tetapi ia tetap pura-pura menghormat, dalam usaha menyelamatkan diri. Atas nasihat itu ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sesudah itu ia menatap Mariam sambil berkata,
"Diajeng, berpeganglah kepada tiang ini erat-erat. Dan hatihatilah engkau menjaga diri."
"Tunggu!" Ali Ngumar mencegah.
"Ingatlah Swara Manis. Apabila aku mendengar berita buruk tentang dirimu, sekalipun bersembunyi di liang semut akan kukejar dan kubunuh!"
Swara Manis menahan rasa marah dan mendongkolnya, ia sadar saat ini bukanlah tandingan Ali Ngumar. Yang penting sekarang dapat selamat lebih dahulu. Urusan lain adalah nanti. Ia percaya, kemudian hari akan dapat menebus penghinaan ini.
Akan tetapi celakanya Mariam merasa khawatir. Tanpa malu lagi bertanya,
"Kakang, benarkah engkau pergi sekarang... .?"
"Diajeng, kita harus taat kepada paman,
" sahutnya halus. Akan tetapi belum juga lenyap kumandang suara Swara Manis, sudah terdengar suara melengking tajam.
"Huh, lagi-lagi muncul manusia tak berguna. Tanpa malu-malu mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan kekasih!"
Ali Ngumar terkejut, ia seorang tokoh yang disebut orang sakti mandraguna. Akan tetapi mengapa kehadiran orang di luar pengamatannya. Ia memalingkan muka dan ah... ia terkejut sekali. Seorang wanita telah bergantungan pada tiang perahu yang lain. Rambut wanita itu terurai ke bawah berkibaran tertiup angin
laut. Hingga sebagian rambut menutup wajahnya.
"Siapa engkau!" tegurnya.
Wanita tersebut menyambut teguran Ali Ngumar dengan tertawa terkekeh-kekeh. Nadanya seram, membuat Mariam dan Swara Manis ngeri dan gentar
"Sudah tentu kau tak kenal lagi padaku... ." sahut perempuan itu.
Wanita itu berpaling ke arah Swara Manis. kemudian lanjutnya,
"Tetapi sebaliknya kau kenal siapakah diriku ini. Hemm... bukankah engkau ini cucu murid Hajar Saptabumi?"
Swara Manis terbelalak. Nada dan suara perempuan ini sama benar dengan perempuan yang pernah mengganggunya di dalam hutan malam itu. Waktu itu dirinya tak sempat menyaksikan wajah perempuan itu. Sekarang di siang hari, ia bergidik dan seram. Kalau saja peristiwa ini tidak terjadi di siang hari, tentu ia menduga perempuan ini si Wewe gembel.
"Bibi benar..." sahut Swara Manis, sesudah kuasa menenangkan hati dan perasaan. Akan tetapi ia kembali bergidik ketika melihat sinar mata wanita itu mencorong seperti mata harimau. Hanya yang aneh... mata itu... ya mata itu mirip dengan mata Mariam.
Rasa heran menyelinap di benak pemuda ini. Mengapa perempuan ini tiba-tiba muncul di tempat ini. Lalu dengan kendaraan apakahh dia datang. Tetapi kemudian ia teringat peristiwa aneh ketika dirinya di Demak. Pada pagi hari, Mariam bertanya kepada dirinya, apakah semalam Swara Manis menyelimuti tubuh gadis itu? Karena mengira gadis itu mimpi, ia tak menghiraukan. Tetapi sekarang, setelah melihat persamaan mata perempuan itu serupa mata Mariam, timbullah dugaan bahwa perempuan itulah yang sudah melakukan. Sekarang menjadi jelas, perempuan itu selalu membayangi perjalanannya.
Lalu apakah hubungan antara Mariam dan perepuan itu? Diam-diam ia bersyukur pula bahwa selama bergaul dengan Mariam, ia selalu berhasil memadamkan nafsu. Hingga belum melanggar patangan tak senonoh.
Pada saat itu Mariam merasakan tangannya kesemutan, terlalu lama bergantungan di tiang perahu. Saking tak tahan lagi. tanpa rasa malu lagi ia segera menyandarkan tubuh ke pemuda itu. Sedang Swara Manis segera pula memeluk agar tidak jatuh.
'Tiba-tiba perempuan itu bertanya,
"Bukankah engkau akan sehidup semati dengan gadis itu?"
"Benar..." Swara Manis gugup.
"Kami memang sudah berjanji akan sehidup semati."
"Tetapi mengapa engkau tadi berusaha untuk meninggalkannya?"
Swara Manis kaget. Mimpipun tidak bahwa maksudnya melarikan diri tadi, tak luput dari pengamatan wanita itu. Diam-diam ia bersyukur bahwa maksudnya tadi belum terlanjur. Kalau tadi dirinya membuang diri ke laut, sudah tentu dirinya akan ditangkap perempuan itu. dan akibatnya bisa dibayangkan... . Diam-diam ia bergidik ngeri. Tetapi di samping rasa ngeri, ia merasakan pendapat perempuan ini bertentangan dengan Ali Ngumar. Tiba-tiba timbul niatnya untuk mengadu domba dua orang itu agar berkelahi. Dan dirinya akan memperoleh keuntungan.
Dengan cerdiknya, Swara Manis menyahut,
"Bibi... sebenarnya aku tidak ingin berpisah dengan diajeng Mariam. Tetapi dalam hubungan ini, ada orang yang merintangi. Bukan lain paman ini... ."Ia menunjuk Ali Ngumar, kemudian terusnya,
"beliau mengatakan bahwa tingkah lakuku kurang baik. Lalu memberi alasan agar aku menunda dulu perkawinan sampai beberapa tahun lagi. Malu dituduh terlalu mendesak, kemudian aku
terpaksa akan meninggalkan Mariam... ."
"Ya, aku tahu bahwa hatimu memang tidak buruk", kata perempuan itu.
"Memang benar dan sudah selayaknya pula seseorang berusaha mencari hidup yang lebih baik, Hemmm. hanya seorang pengecut sajalah yang tidak berani mempertaruhkan nyawa guna kepentingan seseorang yang dicintainya. Hi-hik... ."
Mendengar ini Swara Manis kaget dan gembira. Dugaannya ternyata benar, bahwa antara Ali Ngumar dengan wanita ini bertentangan faham. Apabila sampai terjadi perselisihan, agaknya perempuan ini tidak kalah melawan Ali Ngumar. Sekali lagi ia bersyukur, tidak gegabah mengganggu Mariam sejak mula bertemu.
Di pihak lain, Ali Nguniar marah bukan main. Ia tersinggung oleh ucapan perempuan aneh itu, yang mengatakan hanya si pengecut sajalah yang tidak berani mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang yang dicintai. Sebaliknya terhadap perbuatan Swara Manis yang mengajak Mariam berkhianat, malah dianggap baik oleh perempuan itu.
"Hendaknya kamu menerangkan alasanmu!" bentak Ali Ngumar.
"Kalau dia mengajak anakku Mariam mengerahkan pasukan Mataram untuk menyerbu Mayong, apakah itu bukan perbuatan jahat? Kalau hal itu tidak engkau anggap jahat. lalu perbuatan apakah yang pantas disebut jahat?"
Perempuan itu ketawa terkekeh sambil menengadahkan kepala. Rambutnya yang panjang terurai, mendadak saja menjadi kaku bagai kawat baja. Menyaksikan itu Ali Ngumar terkesiap. Kesaktian yang dipamerkan perempuan itu,benar-benar di atas tingkatnya sendiri.
"Huh, " cemooh perempuan itu.
"Kalau melindungi isterinya sendiri saja tak mampu, apakah orang itu akan mampu membela bumi Kadipaten Pati? Hi-hik... orang yang seperti itu sama halnya orang yang bicara muluk,
tetapi hanya omong kosong tanpa isi. Akibatnya hanya akan menjadi bahan tertawaan orang saja!"
Tidak kepalang kagetnya Ali Ngumar mendengar ucapan tajam dari perempuan aneh ini. Kalau ucapan itu tadi mengatakan "tak mampu melindungi orang yang dicintainya", hal itu sudah menyinggung perasaan Ali Ngumar Sekarang setelah mendengar ucapan "kalau melindungi isteri saja tak mampu". perasaan Ali Ngumar sekarang seperti ditusuk tombak. Ucapan itu mengingatkan dirinya akan peristiwa belasan tahun lalu, ketika secara mendadak isterinya menghilang tak diketahui rimbanya.
Teringat peristiwa itu, Ali Ngumar menundukkan kepala dan mematung.
Akan tetapi perempuan aneh itu tidak memperdulikannya. Ia meneruskan kata-katanya, ditujukan kepada Swara Manis,
"Hai bocah. Menilik bakat dan kepandaian yang kau miliki sekarang ini, aku percaya bahwa engkau tentu sanggup melindungi keselamatan orang yang engkau cintai. bukan? Hemm, apa sebabnya engkau masih saja di sini? Apa lagi yang kau tunggu?"
"Terima kasih... bibi... sahut Swara Manis agak menggeletar, saking amat lega dan gembira hatinya. Dengan munculnya perempuan aneh yang melindungi dirinya sekarang ini, jelas Ali Ngumar tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dirinya.
Ali Ngumar menghela napas panjang. Kemudian ia bertanya kepada perempuan aneh itu,
"Bagaimanakah caranya engkau tahu, aku tidak mampu melindungi keselamatan isteriku sendiri?"
Pertanyaan itu disambut oleh ketawa perempuan aneh dengan nada menghina. Tiba-tiba saja tangannya bergerak menabas tiang perahu.
krak... !! tiang perahu itu kutung dua tombak panjangnya Sungguh merupakan demontrasi kesaktian yang menarik. Walaupun telapak
tangan perempuan itu kecil dan tipis, tetapi tajamnya tak kalah dengan pedang.
Begitu patah, potongan tiang perahu itu disambut dengan pukulan telapak tangan lagi.
Krak... !! dan potongan itu terpotong lagi menjadi dua. Dan selanjutnya p0tongan tiang perahu tersebut, dilempar ke laut.
Yang ajaib, setelah tiang perahu tersebut patah, perempuan ini berdiri di atas tiang perahu. Swara Manis takjub. ia tahu, bahwa ilmu meringankan tubuh wanita itu sudah mencapai tataran tertinggi.
"Hai, mengapa kalian tak juga berlalu?" tegurnya.
"Apakah gunanya kamu berdekatan dengan orang itu?"
Swara Manis tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Sambil mengerahkan tenaganya. Sambil memeluk tubuh Mariam, ia meloncat ke arah tiang perahu yang lain.
Sesungguhnya jarak antara Ali Ngumar dengan Swara Manis tadi, hanya kurang lebih satu tombak saja. Kalau mau, jelas Ali Ngumar dapat menghalangi. Akan tetapi Karena tokoh Muria itu sedang tenggelam dalam renungan, dan digoda oleh dampratan wanita itu yang menyangkut keluarganya. ia menjadi seperti linglung.Ia tenggelam dalam peristiwa yang terjadi pada belasan tahun lalu.
Pada lebih duapuluh tahun lalu, masyarakat belum mengenal Ali Ngumar. Sebab nama itu baru muncul dan dikenal orang, setelah Ali Ngumar bermukim di gunung Muria. Nama yang diberikan oleh orang tuanya. Sutejo, dan oleh masyarakat diberi julukan Kilat Buwono. Di samping nama Kilat Buwono yang menggemparkan jagad, juga terdapat nama Rasa Wulan, yang diberi julukan Ladrang Kuning. Antara Kilat Buwono dan Ladrang Kuning merupakan saudara seperguruan.
Memang sudah ditakdirkan Tuhan, kakak-adik seoerguruan itu saling jatuh cinta, dan kemudian mengikat
tali perkawinan, dengan memperoleh restu dari guru mereka. Dua tahun kemudian lahirlah seorang anak perempuan yang mungil dan cantik, diberi nama Mariam. Lahirlah anak perempuan itu, kemudian disusul dengan hamilnya Ladrang Kuning, setelah Mariam berumur sekitar tujuh tahun.
Pasangan suami isteri ini, dikenal oleh masyarakat sebagai sepasang pembela keadilan. Nama mereka harum, disegani oleh kawan maupun lawan.
Akan tetapi memang sudah takdir Tuhan, manusia itu lemah. Manusia itu tidak hentinya berhadapan dengan percobaan dan derita, oleh kekuasaan Tuhan. Maka bagi manusia yang menyadari kelemahannya, apapun yang harus dihadapi akan tetap dan iman. Karena semua itu sudah kehendak Tuhan Seru Sekalian Alam yang tidak dapat dibantah dan dihindari. Malah segala derita dan kepahitan hidup, merupakan ujian yang harus dihadapi dengan tabah dan tawakal. Hanya dengan cara itulah manusia akan hidup tenang dan tenteram, tidak terombang-ambing oleh keadaan dunia yang penuh goda ini.
Demikian pula apa yang dihadapi dan diderita oleh suami isteri ini. Ternyata walaupun nama harum, tidak terluput pula oleh coba dan derita. Suami isteri ini dapat diadu domba oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Akibat pintarnya orang mengadu domba ini. terjadilah perselisihan antara Kilat Buwono dengan Kigede Jamus, guru Darmo Gati dan Darmo Saroyo.
Dua orang sakti itu kemudian bertempur matimatian untuk memperebutkan kebenaran. Tetapi mungkinkah dua orang itu dapat memperoleh yang diperebutkan? Apa yang disebut benar hanyalah satu. Apabila yang seorang disebut benar, maka yang satu tentu saja salah. Padahal benar dan benar itu sulit dipertanggungjawabkan. Tergantung dari mana memandangnya. Benar
yang sesungguhnya, hanya di tangan Tuhan. Tetapi benar bagi manusia, sulit dijadikan ukuran.
Pencuri itu oleh masyarakat, oleh agama, oleh jaksa dan Hakim dan sesuai Undang-undang tentu disebut salah. Karena mengambil barang milik orang lain. Tetapi sebaliknya si pencuri akan membela diri tidak bersalah. Ia merasa melakukan kewajiban, sebagai tanggungjawabnya terhadap keluarga. Dituntut oleh kebutuhan rumah tangga, dituntut oleh tangis anak-anaknya yang kelaparan, menjadi tidak tahan lagi. Telah dicobanya minta belas kasihan tetangga dan orang yang kaya. Tetapi kemudian si pencuri menuduh Tuhan tidak adil. Dirinya mencuri kecil-kecilan, ditangkap dan dihukum. Akan tetapi itu pengusaha kaya menipu pemerintah dengan memalsu kekayaan dan pajak, malah menikmati hasil kejahatannya. Dan itu yang kebetulan sebagai pejabat, manyalah gunakan wewenang. hidup aman dan enak.
Demikianlah antara Kilat Buwono dan Ki Gede Jamus. Karena masing-masing merasa benar, mereka berebut "benar" yang hanya satu. Akhirnya terjadi pertempuran, mempertaruhkan nyawa, katanya demi kehormatan. Pertempuran berlangsung lama dan belum ada yang kalah. Akan tetapi sesudah Ladrang Kuning terjun ke medan perkelahian, dan suami isteri itu menggunakan ilmu pedang Kala Prahara berhasil mengalahkan Ki Gede Jamus.
Akan tetapi kemenangan dalam memperebutkan "benar" yang hanya satu itu, kemudian harus ditebus mahal oleh suami-isteri ini. Akibat terlalu memeras tenaga, kandungan ladrang kuning gugur. Ladrang Kuning banyak mengeluarkan darah, sehingga tubuhnya amat lemah dan menderita sakit. Dalam usahanya memulihkan kesehatan isterinya, Kilat Buwono mengajak isterinya bersembunyi di lereng Gunung Pandan. Dan
dengan setia serta tekun, Kilat Buwono mencari daun dan akar obat untuk kepentingan isterinya.
Namun manusia selalu dihadapkan pada cobaan dan derita. Belum juga Ladrang Kuning sembuh dari sakit, pada suatu hari menyusul peristiwa yang lebih hebat.
Pada siang itu Kilat Buwono meninggalkan pondok. mendaki Gunung Pandan mencari daun obat dan akar obat. Karena daun dan akar obat yang dibutuhkan sulit diperoleh. malam hari Kilat Buwono baru bisa pulang ke pondok.
Betapa rasa kaget dan khawatirnya, melihat pintu pondok yang semula ditutup rapat itu, terbuka lebar. Lampu penerangan dalam pondok hampir mati oleh tiupan angin dari luar. Bergegas ia masuk. Kemudian ia terkejut. melihat seorang laki-laki kerdil sudah di dalam pondoknya, sedang mengamati isterinya, dengan pandang mata tidak sopan.
Dada Kilat Buwono tergoncang hebat, ketika melihat isterinya terlentang di atas balai tidak bergerak. Ia menjadi curiga. Kemudian diketahui, bahwa isterinya dalam keadaan lumpuh tidak berdaya, oleh perbuatan tangan sakti tak bertanggung-jawab. Cepat-cepat ia mengurut tubuh isterinya untuk memulihkan tenaga. Selesai menolong isteri, baru kemudian menghadapi orang kerdil itu dan bertanya, mengapa tanpa ijin sudah masuk dalam pondoknya.
Celakanya ia berhadapan dengan orang linglung. Jawaban orang itu "sulit ditangkap dan tidak keruan juntrungnya. Akibatnya Kilat Buwono menjadi marah. Tamu tak diundang itu segera diserang hebat. Betapa kagetnya ketika merasakan, orang kerdil itu sakti mandraguna. Serangannya tak berhasil. kemudian orang kerdil itu berhasil melarikan diri. Saking penasaran dan marah Kilat Buwono mengejar keluar pondok. tetapi
sia-sia. Orang kerdil yang dikejar itu sudah lenyap seperti setan.
Dengan hati tak keruan ia kembali ke pondok. Tetapi betapa kagetnya, Ladrang Kuning sudah tidak tampak batang hidungnya.
Kilat Buwono kebingungan. Malam itu juga ia mencari ke mana isterinya hilang. Semalam suntuk tidak tidur dan tak kenal lelah, menjelajah sekitar tempat tinggalnya. Akan tetapi Ladrang Kuning tetap lenyap dan tidak diketahui sebabnya, pergi atas kemauan sendiri ataukah diculik orang.
Peristiwa yang menimpa dirinya itu sangat berat. Anaknya masih kecil dan memerlukan kasih sayang ibu, tetapi ladrang Kuning telah lenyap. Ia tidak henti-hentinya mencari di mana isterinya berada, tetapi harapannya tak pernah terkabul. Sesudah lebih satu tahun tak juga dapat menemukan isterinya kembali, akhirnya ia pasrah kepada Tuhan. Dalam usaha melupakan peristiwa sedih yang menimpa keluarganya itu, kemudian ia menyembunyikan diri di lereng Muria. Dan mengingat Mariam memerlukan teman sebaya, kemudian Kilat Buwono berhasil mendapatkan dua orang murid. Prayoga dan Sarini.
Akan tetapi peristiwa yang sudah lama itu, sekarang terbayang lagi di depan matanya, akibat dampratan dan caci maki perempuan itu, namun mengapa perempuan ini tahu segalanya.
"Hemm. benarkah aku seorang pengecut dan tak mampu melindungi isteriku sendiri?" tanya hatinya.Lalu ia menghela napas panjang. Tetapi kemudian terngiang lagi dalam telinganya, hatinya yang bertanya,
"Peristiwa itu terjadi di luar tahuku, dan waktu itu aku sedang mengejar si kerdil yang melarikan diri. Akan tetapi apakah sebabnya perempuan itu malah menuduh aku seorang pengecut? Seorang tak bertanggung-jawab
kepada isterinya?" Cukup lama Ali Ngumar terbenam dalam lamunan. Tiba-tiba ia gelagapan oleh damparan air laut. Ketika sadar, Swara Manis dan Mariam maupun perempuan aneh itu sudah tidak tampak lagi. Hatinya getun. Ia ingin bertanya kepada perempuan itu. Akan tetapi perempuan aneh itu sudah tak ada lagi. Cepat-cepat ia mematahkan tiang perahu. Menggunakan potongan tiang itu, kemudian ia meluncur ke tepi laut, menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam.
Ada baiknya diceritakan sedikit, keadaan Mariam dan Swara Manis di saat menyelamatkan diri dari Ali Ngumar. Karena harus mendukung Mariam sambil berpijak di atas potongan kayu, sulit baginya untuk tetap dapat bertahan. Berbeda dengan kayu yang dipergunakan perempuan aneh itu. Tampak tenang dan meluncur seperti anak panah lepas dari busur. Maka diam-diam Swara Manis kagum dan memuji kesaktian perempuan itu. Dan akibatnya jarak antara mereka dengan perempuan itu semakinjauh.
Bagaimanapun Swara Manis harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, agar tidak tenggelam dalam air. Lebih lagi, apabila sampai dapat dikejar oleh Ali Ngumar, sulit diramalkan keselamatannya. 'Tanpa bantuan perempuan aneh itu, tidak mungkin dirinya dapat menghindar dari bahaya.
Akhirnya Swara Manis berkata,
"Mariam, sudikah engkau memberi bantuan padaku? Sebab dengan cara seperti ini, perjalanan akan lambat dan bahaya selalu mengancam. Maukah engkau berpegangan pada kayu, dan kita bersama-sama berenang?"
Karena jalan itu yang paling tepat, Mariam mengangguk setuju. Sepasang remaja ini kemudian mencebur ke air saling berpelukan. Yang tampak hanya kepala, dan oleh dorongan. kaki, kayu itu dapat meluncur lebih
cepat ke arah tepi.

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ternyata Mariam tidak dapat berenang. Gadis ini menggunakan sebelah tangan memeluk kayu, dan tangan yang lain memeluk tubuh Swara Manis. Yang berenang hanya Swara Manis, dan akibatnya Swara Manis kepayahan. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diharapkan karena kehabisan tenaga, akhirnya Swara Manis menghentikan gerakan kakinya.
"Kakang, sudahlah. Untuk apa engkau memeras tenaga?" bisik gadis ini sambil meletakkan kepala ke pundak kekasih.
"Biarkan saja kita terapung begini. Bagiku. asal kita berdampingan seperti ini, aku tak takut kepada apapun... ."
Bagi pemuda biasa, mendengar ini tentu bahagia dan berterima kasih. Akan tetapi pemuda ini lain. Ia bukannya gembira dan terima kasih, malah amat mendongkol. Bukankah gadis ini yang membuat dirinya gagal melaksanakan tugas? Bukankah tanpa Mariam, dirinya bersama pasukan berhasil memukul Mayong. Dan oleh hasil tugasnya itu, kemudian dirinya akan memperoleh hadiah dari Sultan Agung. Sekarang semua harapannya buyar. Gagalnya tugas, tidak mungkin dirinya berani berhadapan dengan Tumenggung Wiroguno. Dan tidak mungkin pula dirinya dapat mengharap hadiah dari Raja.
Akan tetapi ia seorang pemuda seperti belut yang licin.Ia sadar, dirinya dikejar bahaya. Tetapi selama berdekatan dengan Mariam, dirinya akan selalu dilindungi oleh perempuan aneh yang sakti itu. Maka walaupun mendongkol disimpan dalam dada, dan ia tetap berpura-pura manis dan mencintai. Pikirnya dalam hati,
"Bukan salahku! Tetapi salah gadis ini sendiri, yang tergila kepada diriku. Huh, aku tidak bertanggung-jawab akibatnya. Manakah seekor kucing melepaskan tikus di depannya?"
Tanpa terasa matahari telah bersembunyi di balik jagad. Malam tiba, dan di langit bintang bertaburan.
"Kakang, di manakah kita sekarang?"
"Entahlah." "Bagaimana akhirnya, kalau kita tak bisa mendarat?" Swara Manis tak menjawab. Kalau saja tidak takut kepada perempuan aneh dan sakti itu, tentu sudah melepaskan Mariam, kemudian ia berenang seorang diri. Di dunia ini tidak kurang jumlahnya gadis cantik. Dirinya laki-laki tampan. Tanpa dicaripun, akan banyak gadis berdatangan mengemis cinta. Ia lupa, bahwa manusia terbatas umur. Yang tampan dan yang buruk sama saja. Akhirnya berkeriput dan mati.
"Tetapi sekalipun aku mati, aku sudah puas,
" bisik gadis ini lagi.
"Bukankah kita sudah berjanji untuk sehidup semati?"
"Dengkulmu!" umpat Swara Manis dalam hati.
"Engkau boleh mati, tetapi aku pilih hidup."
Semalam suntuk mereka terombang-ambing di laut. Tidak makan, tidak minum dan tiada kesempatan istirahat. Dapat dibayangkan betapa derita sepasang merpati ini. Hanya karena tak berdaya, terpaksa menyerah keadaan.
Apabila dua insan ini mau menyadari keadaannya. Tentu akan merasa betapa kecil manusia ini hidup di dunia. Tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, dan berhadapan dengan bahaya maut. Dan sesudah orang itu mati, tidak membawa apa-apa kecuali tubuhnya yang sudah rapuh. Tetapi sedikit manusia yang mau menyadari keadaan ini, dan selalu lupa segalanya. Mumpung ia mumpung kuasa, mumpung berkedudukan, mumpung menjadi pemimpin, dan mumpung masih hidup. Lupa kepada manusia lain. dan lupa berkewajiban mengulurkan tangan kepada sesama. Malah ada pula manusia serakah. lupa diri dan tak segan pula memfitnah orang lain
demi kepentingan diri. Manusia lupa bahwa tidur itu ibarat mati. Selama belum tidur memang dapat merasakan. bahagia bersanding dengan isteri ke tiga yang muda lagi cantik. Dapat merasakan tidur di atas kasur yang empuk, di dalam rumah yang mewah. Akan tetapi dikala mata ini sudah terpejam, sudah lelap tidur, semuanya akan lenyap dan tidak dapat dibawa dalam tidur, yang tidur di emper toko, yang tidur di pematang sawah, yang tidur di dalam gubug reyot dan yang tidur di rumah mewah, sama saja! Tidak dapat merasakan apa-apa lagi.
Tidur ibarat mati. Kala baru tidur saja sudah tak dapat membawa apa-apa, apapula sesudah manusia mati. Setiap manusia hidup memang membutuhkan hidup dan sarana untuk hidup. Akan tetapi apakah gunanya mengotori hidup yang terbatas oleh waktu. Apakah tidak pada tempatnya. jauh-jauh sudah mempersiapkan bekal untuk mati? Semua itu tiada lain, agar mendapat tempat di sisi Yang Memberi Hidup.
Demikianlah, sesudah semalam suntuk terapung di laut, muncullah sinar emas di ufuk timur. Siang hari tiba, dan matahari menerangi jagad. Mereka dapat melihat lebih nyata. akan tetapi. derita belum berlalu. Makin tinggi matahari, semakin panas sinarnya. Sejak kemarin siang mereka tidak makan dan tidak minum. Sekarang kerongkongan kering dan haus.
Sambil menjilatkan lidah ke bibir yang asin untuk menahan haus, Swara Manis memandang sekeliling. Tetapi celakanya sejauh mata memandang, yang nampak hanya air melulu. Namun Swara Manis masih pantang mati. Untuk itu ia masih tetap berusaha dapat mendarat.
"Kakang, bukankah engkau haus?" bisik Mariam mesra.
Swara Manis mendongkol sekali oleh pertanyaan itu. Sejak kemarin tidak minum dan tidak makan.
Mengapa Mariam masih bertanya? Tetapi karena dibayangi rasa takut kepada perempuan aneh dan sakti itu, ia mengangguk.
"Kakang, kemari. Dekatlah dengan aku..." bisik Mariam, sambil berusaha merapatkan tubuh.
Swara Manis yang belum dapat menangkap maksud Mariam menurut. Tiba-tiba lengan kanan Mariam memeluk leher Swara Manis. Dan sebelum Swara Manis sadar. tahu-tahu gadis itu sudah melekatkan bibirnya ke bibir pemuda itu.
Aneh tetapi nyata. pertemuan bibir itu berhasil mengurangi rasa haus. Swara Manis dan Mariam tenggelam dalam alam lain. Mereka lupa terapung di laut. Mereka meggunakan dua belah lengan untuk berpelukan. Dan mereka baru sadar setelah tenggelam dan gelagapan.
Rambut mereka basah, dan sebagian rambut Mariam menutup pipi. Dengan mesra Swara Manis menyibakkan rambut yang basah itu, sambil berbisik,
"Mariam, engkau lebih cantik lagi hari ini. Oleh pernyataan cintamu yang murni, matipun aku sudah puas. Diajeng, bukankah begitu yang kau harapkan?"
Mariam tersenyum dengan bibirnya yang pucat. Kemudian ia bertanya,
"Apakah engkau tidak haus lagi?"
Swara Manis mengangguk. Tetapi justru melihat wajah Mariam yang nampak lebih cantik. timbullah semangat Swara Manis untuk berenang dan mencapai darat.
"Mariam," katanya.
"Sebagai pengisi waktu. maukah engkau mendengar ceritaku?"
"Ceritamu macam apa?"
"Cerita lucu. Tentang seorang laki-laki yang takut kepada isterinya."
"Ih... aku tak mau mendengar... ."
"Bodoh! Ini cerita lucu."
"Baiklah. Ceritakan, aku akan mendengarkan," akhirnya Mariam menyahut, untuk menyenangkan hati kekasih.
"Konon ada seorang tukang dongeng bercerita. Nun di salah satu Kerajaan terdapat seorang Pangeran yang terkenal takut kepada isterinya. Pada suatu hari timbullah keinginannya untuk mengetahui, berapa jumlah laki-laki yang hidup di dunia ini, seperti dirinya. Lalu diperintahkan, agar semua laki-laki yang menjadi bawahannya menghadap kepada dirinya."
Swara Manis berhenti sejenak. Kemudian,
"Setelah sejumlah laki-laki menghadap, Pangeran itu berkata. Kalian aku kumpulkan di sini, untuk mengetahui keadaan sebenarnya, dan kalian harus jujur. Siapa yang takut isteri supaya berkumpul di sisi kanan dan siapa yang tidak harus berkumpul di sisi kiri."
"Lalu bagaimana... .?" tanya Mariam.
"Semua orang lalu berjajar di sebelah kanan sang Pangeran. Kecuali seorang saja yang bergerak ke sebelah kiri."
"Ah. aku tahu. laki-laki itu tentu tidak takut kepada isterinya... ."
"Nanti dulu! Pangeran itu berkuasa. Belum tentu laki-laki yang berkumpul di sisi kanan itu semua takut kepada isteri. Mungkin sekali takut kepada sang Pangeran. Ini terbukti. Pangeran itu menjadi marah, kemudian mendamprat. Hai. mengapa engkau tak takut kepada isterimu, seperti sikapku kepada isteriku?"
"Lalu bagaimana... .?" potong Mariam.
"Inilah jawaban laki-laki itu, seorang laki-laki jantan yang tidak suka menjilat kepada atasan, dan tidak senang kepada istilah Asal Bapak Senang. Bagaimanakah jawabnya? Gusti, berilah ampun. Yang hamba lakukan ini bukan berarti hamba menentang sikap Gusti kepada isteri. Akan tetapi sebaliknya hamba malah tunduk kepada nasihat Gusti. Bukankah gusti pernah bernasihat, bahwa orang yang baik hendaknya tidak turut berkerumun apabila di situ banyak orang berkumpul. Sebab kebiasaan yang terjadi, mereka akan mencela dan menjelekkan orang lain. Nah, berpegang kepada nasihat Gusti, hamba tidak berani ikut bergerombol di Situ."
"Hi-hik... pandai juga orang itu bersilat lidah... .' Mariam ketawa merdu, kemudian memberi hadiah ciuman mesra.
Sambil bercerita ini, berkuranglah rasa derita dan siksaan lapar maupun haus. Tak terasa matahari sudah tenggelam di barat, dan malampun tiba.
Beberapa lama kemudian, Swara Manis berteriak kegirangan. Sebab ia melihat deretan benda hitam di sebelah utara. Mariam heran, kemudian bertanya.
"Ada apa kakang?"
"Aku gembira karena tak lama lagi kita bisa mendarat. Lihatlah, di sana ada pulau... ." Swara Manis mengangkat tangan menunjuk.
"Bagus... ah kakang, kita tertolong... ." pekik Mariam gembira.
Semangat Swara Manis bangkit. Menggunakan kakinya, ia mempercepat laju batang kayu itu menuju pulau yang tampak menghitam. Beberapa lama kemudian. cita-cita mereka tercapai. Mereka dapat mendarat.
Walaupun lelah mereka berusaha menemukan rumah penduduk. Akan tetapi sampai loyo, mereka tak dapat bertemu dengan penduduk. Agaknya pulau ini kosong, belum dihuni penduduk. Untung setelah mereka hampir tidak dapat berjalan lagi, mereka menemukan gubug reyot. Agaknya gubuk milik nelayan. Dalam gubug terdapat jerami kering, dan persediaan bahan makanan mentah.
Swara Manis segera membuat api untuk menghangatkan tubuh dan mengeringkan pakaian. Setelah pakaian kering baru berpikir untuk minum dan makan.
Dengan rukun mereka mempersiapkan minuman dan pengisi perut. Setelah masak, mereka makan dengan lahap. Tak perduli semua yang masuk ke perut milik orang lain.
Dua hari semalam mereka tidak tidur dan istirahat. Mariam lelah dan ngantuk sekali. Swara Manis segera mengatur jerami untuk tempat tidur Mariam. Sesudah itu, ia keluar gubug.
"Mau. ke mana?" tanya Mariam.
"Biarlah aku tidur di luar."
"Tidak! Tidurlah di sampingku... -"
Begitu berkata. Mariam geli. Ucapan itu tak pantas diucapkan oleh gadis, walaupun sudah saling cinta. Bagaimanapun antara mereka belum menjadi suami-isteri yang syah. Sebenarnya tidak pantas tidur berdampingan.
Akan tetapi ia sudah terlanjur mengucapkan katakata itu. Swara Manis pun mengiakan, dan sudah melangkah masuk. Kemudian tidurlah mereka berdampingan. Saking letih dan lelah, dalam waktu singkat mereka telah tidur lelap.
Menjelang fajar, Mariam menangis sesenggukan. Swara Manis kaget dan heran. Sedapatnya ia berusaha menghibur dengan kata-kata manis dan puji sanjung.
"Aku sendiri tidak tahu mengapa ingin menangis." jawab Mariam masih terisak.
"Sebenarnya hatiku bahagia sekali malam ini. akan tetapi air mata tak bisa dibendung',
manusia memang dapat menangis oleh dua soal. Ada yang menangis karena sedih, tetapi ada juga yang menangis karena bahagia... ."
"Apa katamu?" "Yang kumaksud. saking gembira dan bahagia engkau lalu menangis .."
Plak!! tangan Mariam yang halus itu menampar pipi kekasihnya perlahan, disertai ketawanya yang merdu.
Tetapi karena masih mengantuk, mereka tidur lagi. Mereka baru terjaga sesudah matahari hampir di tengah jagad. Begitu bangun, mereka berpandangan kemudian tersenyum bahagia, Kemudian mereka melangkah ke luar gubug untuk melihat keadaan.
"Aku duga pulau ini merupakan bagian dari Pulau Karimunjawa," ucapnya perlahan setelah mengamati beberapa saat lamanya.
"Akan tetapi sungguh sayang sekali, pulau ini masih kosong."
"Apa sebab engkau memikirkan isi dan kosongnya pulai ini?" sela Mariam.
"Bukankah asal kita selalu berdampingan. kita sudah cukup bahagia?"
Swara Manis mengerutkan kening, kemudian berkata.
"Tetapi kalau kita terus-menerus hidup di pulau kosong ini, kita bisa mati kelaparan. Pertama, ada baiknya kita sekarang membuat api unggun agar menarik perhatian perahu yang lewat. Ke dua. tiba saatnya a-ku harus mencari makan untuk pengisi perut."
Mariam mengangguk. Kemudian mereka menyusuri tanah berbatu. Tak lama kemudian mereka terkejut berbareng gembira. Mereka melihat dua ekor kijang gemuk.
Melihat orang, kedua ekor kijang itu ketakutan dan akan lari. Akan tetapi keanehan terjadi. Tiba-tiba saja dua ekor kijang itu... tidak dapat menggerakkan kakinya.
Kesempatan itu digunakan oleh Swara Manis. Ia mengambil dua butir batu, lalu disambitkan keras-keras. Menurut pendapat Swara Manis, dalam keadaan hidup atau mati, sama saja. Kijang itu akan menjadi persediaan makanan dalam beberapa hari.
Dua butir batu itu secara tepat mengenakan kepala, hingga terkulai.Namun anehnya... walaupun kepala terkulai pecah, tetapi dua ekor kijang itu tidak roboh. Kijang itu masih saja tetap berdiri.
Mariam Heran dan bertanya,
"Mengapa kijang ini tidak roboh?"
Di saat sepasang merpati ini dicekam rasa heran dan hati berdebar. tiba-tiba terdengar suara orang berbangkis. Swara Manis kaget sekali dan berteriak dengan nada bertanya,
"Siapa .?" Belum juga Swara Manis berhasil menyelesaikan kata-kata, mendadak dua ekor kijang yang sudah mati itu melesat ke arah Swara Manis. Sepasang merpati ini sangat terkejut dan buru-buru menghindar ke samping.
Bluk-bluk... mereka dapat menghindarkan diri. Sedang dua ekor kijang yang sudah mati itu, kemudian terbanting ke tanah berbatu. Swara Manis kaget berbareng tercengang. Karena dua ekor kijang itu sekarang sudah hancur berantakan. Barulah mereka sadar, saat ini menghadapi seorang sakti mandraguna, dan kijang tadi bukan bergerak sendiri, tetapi dilempar orang.
Cepat-cepat Swara Manis bersiap diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi sebelum pemuda ini sempat mengambil senjatanya, sudah terdengar suara orang mencaci-maki,
"Jahanam! Susah payah Ndara Menggung mencari tempat untuk tidur. Tetapi mengapa sebabnya kalian berani membunuh dua ekor kijang milik Ndara Menggung yang digunakan sebagai tempat berteduh?"
Suara itu nadanya tajam sekali dan memekakkan telinga. Membuktikan bahwa orang yang menyebut dirinya bernama Ndara Menggung ini, telah menguasai tenaga dalam yang tinggi sekali. Berhadapan dengan 0rang sakti ini. Swara Manis berdebar dan tubuhnya bagaikan tergoncang.
Namun yang membuat dua orang muda ini heran, apakah sebabnya mereka tidak melihat seorangpun? Karena itu mereka kemudian menebarkan pandangan dengan seksama. Dan ah mereka terkejut sekali setelah melihat, di tempat dua ekor kijang tadi terdapat seorang laki-laki kerdil. Ia seorang kakek. kumis dan jenggotnya sudah putih semuanya.
Sekarang baru tahu, mengapa dua ekor kijang tadi tak dapat melarikan diri. Kiranya kaki kijang tadi dipegang oleh kakek ini, yang tidur di bawah tubuh kijang.
Menyadari walaupun kerdil, tetapi kakek ini sakti mandraguna. Swara Manis tidak ingin bermusuhan. Akan tetapi belum juga Swara Manis berhasil membuka mulut, tiba-tiba kakek kerdil ini sudah meloncat menghampiri Mariam, lalu mengamati seksama dari ujung kaki sampai rambut. Nampak sekali kakek ini sedang meneliti.
"Ladrang Kuning... .!" ujarnya yang nampak kaget.
Mariam juga terbelalak kaget. Ia tidak menduga sama sekali bahwa nada suara kakek mi memekakkan telinga. seperti suara guntur.
Wut... tiba-tiba kakek kerdil ini melesat ke belakang sampai dua tombak. Ia menampar kepalanya sendiri sambil mengucak-ucek mata,
"Salah! Kau salah! Kalau Ladrang Kuning macam itu tidak seharusnya a-ku memelihara jenggot seperti kambing ini... ."
Swara Manis dan Mariam menjadi bingung mendengar ucapan kakek itu. Karenanya mereka tidak membuka mulut. dan hanya berdiri sambil melihat keadaan.
Mendadak kakek kerdil itu mengangkat kepala, mengamati sepasang merpati itu tajam, seraya berkata,
"Hai... kalian bisa melihat apakah tidak? Kalau bisa melihat, aku hendak bertanya. Aku ini punya jenggot atau tidak?"
Swara Manis melongo. Kakek kerdil yang mengaku bernama Ndara Menggung ini jelas sakti mandraguna. Akan tetapi mengapa, entah apa sebabnya, kakek ini menyendiri, sehingga mempengaruhi syaraf otak? Untung saja Swara Manis segera ingat akan keterangan kakek gurunya, Ki Hajar Saptabumi. Bahwa di dunia ini terdapat seorane kakek kerdil yang sakti mandraguna. Walaupun sakti. tetapi kakek itu masih saja selalu haus akan ilmu. Dia sangat gemar mempelajari ilmu apapun yang menarik hatinya. Bukan hanya terhadap orang tua. tetapi kepada orang mudapun, tidak malu untuk minta sesuatu ilmu. dan ingin belajar. Tetapi justru demikian, kakek ini menjadi sakti mandraguna yang menguasai berbagai ilmu kesaktian dari berbagai macam perguruan.
Ilmu kakek ini menjadi campur aduk tidak keruan. Tetapi justru demikian hal itu malah amat membahayakan. karena orang sulit mengenal ilmu tata kelahi tersebut. Namun sayang sekali bahwa kakek ini wataknya aneh, angin-anginan oan setengah linglung. Ia hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak perduli kepentingan orang lain. Karena itu kakeknya pernah memberi pesan, jika berhadapan dengan kakek sakti ini hendaknya hatihati, sedia merendahkan diri dan mengalah. Sebab kakek gurunya sendiri, Ki Hajar Saptabumi mengakui, kakek kerdil ini sangat berbahaya apabila dimusuhi.
Teringat pesan kakek gurunya itu, Swara Manis cepat membungkuk memberi hormat, kemudian menyapa,
"Ndara Menggung, selamat bertemu. Terimalah hormatku sebagai orang yang lebih muda."
Ndara Menggung yang setengah sinting itu ketawa terkekeh-kekeh. Nampaknya ia senang sekali, oleh penghormatan orang muda itu. Akan tetapi hanya sekejap saja terjadi. Tiba-tiba ia menampar kepalanya sendiri. kemudian mendelik dan membentak
"Hai bocah! Tadi Ndara Menggung bertanya, dan engkau belum memberi jawaban. Sekarang aku bertanya lagi, engkau punya jenggot atau tidak?"
Swara Manis terbelalak kaget. Bukankah tadi kakek itu bertanya, dia punya jenggot atau tidak. Tetapi sekarang mengapa dibalik, dirinya yang ditanya mempunyai jenggot atau tidak. Sudah jelas bahwa dirinya tidak berjenggot, tetapi mengapa kakek ini masih bertanya? Karena merasa dirinya memang tidak berjenggot, dan pertanyaan ini apabila tidak dijawab menyebabkan marah, ia menjawab juga,
"Tidak!" Mendadak kakek aneh itu memekik keras,
"Hwaduh... celaka! Aku tidak punya jenggot lagi? Kalau bukan perbuatan Ladrang Kuning, siapa lagi?"
Lalu keanehan menyusul. Secara tiba-tiba kakek itu lari terbirit-birit seperti ketakutan setan. Akan tetapi belum jauh berlari. kakek ini berhenti dan membalikkan tubuh. 'Teriaknya,
"Salah! Huh, asal aku bisa bertemu dengan Ladrang Kuning, aku percaya Kilat Buwono sanggup memberi ajaran ilmu pedang kepada diriku. Tapi ah... huh... aku tak boleh lari . Aku tak boleh lari... ."
Wut... dengan gerakan yang ringan bagai kapas. tahu-tahu orang kerdil ini sudah melesat ke samping Mariam.
Menyaksikan tingkah laku Ndara Menggung yang seperti anak kecil itu, Mariam hilang rasa takutnya malah menjadi geli. Kemudian gadis ini tertawa mengikik.
Ndara Menggung melongo. Ia berdiri tegak sambil mengamati Mariam dan meneliti. Lalu ia bertanya,
"Hai bocah! Benarkah aku sudah tidak berjenggot?"
Mendadak Ndara Menggung marah dan memekik keras.
"Hai! Engkau berani mempermainkan Ndara Menggung."
Tiba-tiba wut...!! tubuhnya sudah melesat ringan sekali. Tahu-tahu kakek ini sudah mengulurkan tangan kanan nampaknya seperti akan mencengkeram. Namun anehnya tangan kanan itu tetap kaku, sedang tangan kiri yang malah siap menyerang.
Swara Manis sadar bahwa serangan tangan kanan itu hanya ancaman kosong. Jika ia buru-buru menghindar, tentu akan terperangkap oleh cengkeraman tangan kiri. Untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, ia pura-pura tidak mengerti ilmu tata kelahi lalu membuang diri ke samping. Perhitungannya tepat sekali, dan cengkeraman tangan kiri itu luput.
Dan setelah luput dari cengkeraman orang, Swara Manis bergerak terhuyung-huyung seperti orang sedang mabuk.
Mendadak kakek ini terkekeh. lalu berteriak,
"Hajar Saptabumi! Bagus, engkau salah seorang murid Hajar Saptabumi?"
Swara Manis membungkuk lagi memberi hormat, lalu menjawab,
"Bukan. Tetapi aku salah seorang cucu muridnya."
"Hai! Mengapa engkau tak mau berlutut di depanku? Sekalipun Hajar Saptabumi pernah memberi pelajar an ilmu kepadaku, akan tetapi sebaliknya akupun pernah memberi pelajaran ilmu tata Kelahi kepadanya. Jadi dengan begitu, aku inipun salah seorang kakek gurumu. Huh, hayo lekas! Cepat engkau berlutut di depan Ndara Menggung."
Mariam yang tidak mengenal bahaya, dan seperti sedang menonton badut melucu di pentas, Mariam tak kuasa lagi menahan ketawanya yang terpingkal-pingkal. Ia geli sekali, bahwa ucapan dan tingkah laku kakek ini tidak keruan juntrungnya.
Merasa ditertawakan Ndara Menggung mendelik marah. Untung Swara Manis segera dapat menanggapi
keadaan, cepat memberi keterangan,
"Ndara Menggung. ini bukan Ladrang Kuning. akan tetapi puterinya"
Namun kelinglungan kakek ini sedang mencapai puncaknya. Ta menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu menampar kepalanya lagi.
Beberapa saat kemudian, Ndara Menggung kembali agak sabar lalu bertanya,
"Tetapi mengapa kalian datang ke pulau kosong ini?"
Berhadapan dengan orang linglung ini, Swara Manis yang cerdik sadar tidak perlu banyak mulut. Sebab sekali salah ngomong, malah akan berhadapan dengan bahaya. Oleh karena itu ia tidak menjawab, malah membalas bertanya,
"'Tetapi mengapa Ndara Menggung sendiri sampai datang di tempat ini?"
Celakanya Ndara Menggung mendelik tiba-tiba. Lalu terdengar teriaknya tidak senang,
"Hai, engkau berani memandang rendah kepada diriku?"
Swara Manis kaget lagi mendengar ocehan kakek sinting yang menyimpang pertanyaannya itu. Ia mencoba menyelidik orang itu, tanyanya,
"Apakah Ndara Menggung naik perahu?"
Ndara Menggung tertawa terkekeh.
"Perahu memang ada. Tetapi aku hanya dapat mencuri sebuah saja. 'Tadi aku datang ke mari sambil berenang, dan tangan menyeret perahu."
Mariam mengikik lagi mendengar jawaban itu. Mengapa kakek ini tidak naik perahu, sebaliknya berenang dan perahu itu diseret? Sebaliknya Swara Manis gembira sekali. Mendengar keterangan Ndara Menggung sanggup berenang sampai ke pulau ini, jelas pulau ini tidak terlalu jauh dengan Pulau Jawa. Lebih dari itu kalau Ndara Menggung datang dengan perahu, berarti dirinya tertolong. Untuk mendarat di Pulau Jawa takkan kesulitan.
"Ndara Menggung." tanya Swara Manis,
"dari manakah engkau mulai berenang?"
"Huh. kau masih bertanya? Apakah engkau tak tahu bahwa di Mayong ada pertandingan ilmu kesaktian?"
"Tahu!" sahut Swara Manis dengan wajah berubah
merah. Dirinya yang mengatur pertandingan itu, dan diam-diam dirinya merasa disindir.
"Sebenarnya Ndara Menggung takkan mau melepaskan kesempatan itu. Dan Ndara Menggung sudah memutuskan dalam hati, kalau pihak Darmo Saroyo kalah, aku akan membantu. Tetapi sebaliknya kalau lawannya kalah, akupun akan membantu lawan itu."
Swara Manis menghela napas. Ia tidak merasa heran, mengapa Ndara Menggung berpendirian seperti itu. Karena kakek ini sinting dan suka berkelahi, tentu saja tidak berpihak. Akan tetapi kalau sampai terjadi, tentu pertandingan di Mayong itu akan kacau oleh kehadiran orang sinting ini.
Di saat Swara Manis sedang terkenang akan masalah pertandingan di Mayong yang gagal, kakek sinting itu sudah berkata.
"Hemm. tetapi celaka! Tanpa disadari. Ndara Menggung sudah tertidur. Tengah malam aku baru bangun dari tidur, lalu lari menuju Mayong. Tetapi justru a-ku datang malam hari, pertandingan sudah tak ada dan masing-masing pihak sedang istirahat. Hemm, ketika pagi tiba. aku ingin datang ke sana. Namun celakanya aku kembali tertidur lagi. Sial. mengapa mataku ini tak mau diatur dan selalu tidur saja. Kemudian ketika aku bangun, aku datang ke sana, pertandingan sudah selesai. Huh-huh, sial benar ."
Mariam tak kuasa menahan ketawanya. Namun karena takut kakek itu, sehingga hanya lirih. Sedang Swara Manis juga geli mendengar. namun pemuda ini hanya tersenyum.
Ndara Menggung tidak perduli, ceritanya itu menyebabkan geli mereka yang mendengar. Sesudah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia meneruskan.
"Hcmm... kalau dipikir, ya kalau aku pikir. tidur itu memang pengacau. Maka sebaiknya tidak tidur saja, jadi dapat melihat semuanya. Hemm... tetapi manusia ini memang sial... . Semakin benci kepada apa yang disebut tidur itu. malah semakin kepingin tidur saja. Lalu tidurlah aku sampai beberapa hari lamanya. Akibatnya aku tidak tahu apa saja yang terjadi di arena pertandingan di Mayong itu. Yang aku ketahui kemudian, aku melihat keadaan yang morat-marit. Tidak ada pertandingan ilmu kesaktian di atas panggung. Yang ada, orang saling hantam berkelahi tanpa peraturan lagi. Hemm... aku tidak perduli segalanya. Ndara Menggung tak mau pusing-pusing dengan orang-orang yang berkelahi tanpa aturan itu. Kucari sebuah perahu, lalu aku menyeretnya dan berenang ke mari. Tetapi yang aneh, di sepanjang perjalanan itu aku selalu bertemu dengan orang-orang yang pakaiannya hampir sama. Mereka memegang senjata bermacam-macam... ."
Penuturan kakek linglung itu amat menggembirakan hati Swara Manis, karena tahu maksudnya. Jelas bahwa pasukan Mataram sudah menyerbu Mayong, dan pertempuran hebat telah terjadi. Timbul pertanyaan dalam hati pemuda ini, lalu siapakah yang sudah memimpin gerakan penyerbuan itu?
"Ndara Menggung, di mana perahumu sekarang?" tanya Swara Manis.
"Hemm, hayo. Ikutlah Ndara Menggnng kalau memang tidak percaya. Perahu itu masih aku simpan baikbaik di tepi laut." sahut kakek itu, lalu berloncatan pergi seperti katak. Swara Manis dan Mariam cepat-cepat mengikuti kakek kerdil itu, menuju pantai.
Tiba di tepi pantai memang benar terdapat sebuah perahu. Akan tetapi begitu dekat, Mariam kaget sekali melihat sesosok tubuh orang, tidur menelungkup di atas pasir.
Mariam yang tertarik berteriak kepada Swara Manis,
"Kakang, lihatlah orang itu."
Mendadak orang yang menelungkup itu mengangkat kepala dan berseru.
"mBakyu!" Mariam terkejut sekali. Ternyata orang yang tidur tadi, bukan lain saudara seperguruannya sendiri, Prayoga. Serunya.
"Hai. mengapa engkau di sini?"
Melihat itu Swara Manis menjadi cemburu. Sebab ia masih ingat sikap Prayoga di pondok waktu itu. Tegurnya kemudian,
"Mariam, mengapa tergesa berjalan? Perlahan sedikit."
Mariam agak terkejut melihat perubahan sikap Swara Manis. Kemudian gadis ini bertanya,
"Kakang, bukankah aku sudah menjadi milikmu, dan aku isterimu?"
Swara Manis sadar akan rasa cemburunya. Sejak mereka berdiam di pulau ini. mereka sudah menjadi suami isteri, dan tidak sepantasnya cepat menjadi cemburu. Sesudah ingat keadaanuya. kemudian Swara Manis mengikuti Mariam, menghampiri Prayoga.
Ndara Menggung yang bergerak lebih cepat nampak terkejut. lalu bertanya.
"Hai bocah. Ada apa engkau?"
Prayoga yang sudah kenal dengan kakek itu cepat berseru,
"Ndara Menggung... ."
Ndara Menggung tertawa terkekeh, dapat bertemu dengan Prayoga.
Prayoga tidak menghiraukan semuanya, kemudian ia berkata kepada Mariam.
"mBakyu. ke mana sajakah engkau beberapa hari ini? dan di mana pula bapak?
Hari itu... malam itu ."
Prayoga segera memasukkan tangannya ke balik baju, dengan maksud untuk mengambil kupu-kupu yang telah diterima. Menurut perasaannya waktu itu, yang memberi bukan lain Mariam. Tidak tahunya. bahwa yang memberi benda itu Sarini.
"mbakyu," terusnya,
"malam itu aku tidur pulas sekali. Baru keesokan harinya aku bangun. Tetapi mengapa sebabnya sekarang engkau di sini dan tidak bersama bapak?"
Mariam ingin menutupi peristiwa yang dialami, kemudian tidak menjawab malah bertanya.
"Prayoga, apakah Iukamu sudah sembuh?"
Prayoga bangkit agak sulit. Ia mencabut pedang yang terselip di pinggang, baru kemudian menjawab,
"Sesungguhnya luka itu sudah hampir sembuh. Akan tetapi aku memaksa diri terjun ke laut. Karena banyak memeras tenaga. punggungku sakit lagi dan tubuh terasa lemas."
Samurai Pengembara 3 2 Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu Pendekar Buta 1
^