Pencarian

Cinta Dan Tipu Muslihat 4

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat Bagian 4


"Apa sebabnya engkau melarikan diri dan terjun ke laut? Apakah engkau telah dikalahkan orang dalam pertandingan dan dikejar oleh lawan? Kalau itu benar, berarti orang itu sudah melanggar peraturan pertandingan."
Prayoga membelalakkan matanya, Ia keheranan, lalu bertanya,
"mBakyu. apakah engkau tidak tahu bahwa pasukan Mataram sudah menyerbu Mayong? Matimatian kami melawan, tetapi karena lawan berjumlah besar, akhirnya kami dikalahkan. Kami kemudian terkurung, dan setelah kami berjuang mati-matian, baru dapat lolos."
Mendengar kabar Ini Swara Manis gembira, ia maju selangkah sambil bertanya,
"Kapan pasukan Mataram menyerbu Mayong? Dan siapa pula pemimpin pasukan itu?"
Sebenarnya sejak melihat Swara Manis, pemuda ini tidak senang. Ia tidak menjawab dan hanya mendehem. Lalu menatap Mariam sambil berkata lirih,
"mBakyu, mengapa sebabnya engkau bersama dia? Apakah dia tidak menghina dirimu?"
Tentu saja Prayoga menjadi cemburu. Karena ia mengira, sejak terjadi pertukaran benda itu, Mariam telah mengimbangi cintanya. Sama sekali di luar tahunya, bahwa peristiwa itu oleh kenakalan Sarini.
"Jangan ngacau!" bentak Mariam. Ia merasa jengkel oleh pertanyaan itu.
Tetapi Prayoga yang tidak menyadari keadaan, lalu mengamati Swara Manis. Sejenak kemudian, pemuda ini bertanya dengan sikap yang masih sabar.
"mBakyu, mari kita cepat-cepat mencari bapak. Sebab aku menduga, engkau tentu tahu di mana bapak sekarang ini. mBakyu, kalau kita tak dapat bertemu bapak, bertemu pamanpun cukup."
Setelah berkata, Prayoga menghampiri Mariam. Lalu menarik tangan gadis itu, dan maksudnya akan diajak pergi.
Mariam sendiri terkejut. Biasanya adik seperguruannya ini selalu takut-takut kepada dirinya. Akan tetapi mengapa sekarang ini berani lancang? Karena tidak menduga, maka gadis ini tidak sempat menghindar.
"Prayoga. Apa maksudmu?" bentak Mariam dengan wajah kemerahan, kemudian mengibaskan tangannya. hingga pegangan Prayoga lepas. Tiba-tiba sesosok bayangan sudah melesat, disusul Prayoga melesat ke samping.
Trang...!! terjadi benturan yang nyaring. Ternyata Swara Manis sudah menyerang Prayoga dan pemuda ini menangkis dengan pedang Swara Manis. Swara Manis terkejut, karena tak dapat menduga, tak kuasa lagi menahan hatinya. Ia telah menikam Prayoga dengan kipas bajanya. Namun Prayoga tidak lengah,
menghindar sambil menangkis. Memang Prayoga sekarang lain dari waktu sebelumnya. Ia bertambah pengalaman, sesudah mengalami pertempuran dengan pasukan Mataram. Oleh pengalamannya itu, ilmu pedang Kala Prahara ajaran gurunya menjadi tambah dipahami.
Prayoga marah sekali. Ia mengamati Swara Manis dengan mata liar. Bentaknya,
"Hai Swara Manis! Apa sebabnya engkau menyerang aku?"
Swara Manis tidak menyahut.
Ndara Menggung tidak senang terjadiriya peristiwa itu, kemudian mencela,
"Huh, bocah itu memang amat jahat! Mengapa sekali bergerak sudah ingin membunuh orang?"
Prayoga kaget. ia memandang Ndara Menggung sambil bertanya,
"Ndara Menggung, apa katamu?"
"Hemm." Ndara Menggung mengurut jenggotnya sambil mendelik.
"Engkau bocah tolol! Apakah engkau tidak tahu, dia tadi bermaksud menikam tengkukmu dengan kipas? Aih. tetapi caramu menghindar tadi bagus sekali. Hai, engkau harus memberi pelajaran ilmu itu kepada diriku."
Dalam keadaan yang mendesak, Prayoga tadi menghindar ke samping dengan merobohkan diri, dan pedangnya terlepas. Akan tetapi dengan sebat pula tangan sudah berhasil menyambar kembali pedangnya. Gerakan menghindar yang dilakukan Prayoga itu merupakan jurus ke tujuh yang, disebut "Prahara Panglebur Jagad". Bagi Ndara Menggung yang selalu haus ilmu kesaktian. hal itu membuat kakek ini ingin sekali mendapatkan. Itulah sebabnya, begitu melihat minta diberi pelajaran ilmu itu.
Pemberitahuan Ndara Menggung, membuat Prayoga marah sekali. Karena jelas Swara Manis jahat dan ingin membunuh. Saking marah ia menjadi gagap dan sulit bicara,
"Kau... kau..."
"Ha-ha-ha... aku mengapa?" ejek Swara Manis sambil tertawa bekakakan. Lalu maju menghampiri, dengan perhitungan. Prayoga yang baru sembuh dari luka akan gampang dikalahkan. Dalam jarak yang dekat ini kemudian Swara Manis melancarkan serangan tiga kali beruntun dengan kipas baja. Dan hebatnya, serangan ini dibarengi pula dengan serangan tangan kiri yang menghantam.
Akan tetapi Prayoga sudah bersiap diri. Begitu lawan menyerang, ia mengangkat pedangnya mengacung ke atas. Sederhana saja tampaknya gerakan ini. Namun gerakan ini sudah berhasil membendung serangan Swara Manis.
Sebaliknya apa yang dilakukan Suara Manis tadi hanyalah serangan kosong untuk memancing. Setelah lawan bergerak melindungi kepala sambil menghindar ke samping, ia akan menyusuli dengan serangan yang berisi. Dengan cara ini ia memperhitungkan, tidak mungkin lawan dapat menyelamatkan diri lagi.
Untung bahwa Prayoga, selama kenal dengan Ndara Menggung memperolehi keuntungan banyak. Dari kakek itu ia mengetahui betapa berbahayanya ilmu "Jatayu Nandang Papa" dan banyak sekali perubahannya yang tak terduga, ketika Swara Manis berkelahi melawan Darmo Saroyo. Dengan demikian sedikit banyak Prayogo telah mengenal ilmu tersebut, dan ia hati-hati. Setelah melindungi bagian dada dengan tangan kiri, barulah Prayoga mainkan pedangnya dengan jurus "Prahara Dahana" atau gerakan pedang yang mirip dengan badai api.
Sebagai akibatnya serangan Swara Manis menjadi repot. Malah pemuda itu terpaksa mundur selangkah.
Sebaliknya Prayoga tidak mau memberi kesempatan lawan bernapas. Ia membalas menyerang dengan jurus ke enam yang disebut "Prahara Guntur".
Insaf akan hebatnya ilmu pedang Kala Prahara ajaran Ali Ngumar itu, Swara Manis tidak berani menyambut keras lawan keras. Ia segera merendahkan tubuh untuk menyelinap ke samping. Tetapi celaka... ujung pedang yang berkarat milik Prayoga membayangi. Secepat kilat Swara Manis bergerak ke sisi lain. akan tetapi ujung pedang lawan sudah menunggu. Sebagai akibatnya Swara Manis basah keringat dirigin.
Swara Manis insaf akan bahaya. Ia segera menampar dengan tangan kiri dan berbareng menggerakkan kipas bajanya dengan mengipas. Di saat Prayoga bermaksud menangkis, secepat kilat Swara Manis meloncat mundur beberapa langkah... .
Sayang sekali perhitungan Swara Manis keliru. Ternyata pemuda yang nampaknya "tolol" itu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu pedang. Berbareng dengan gerak tubuhnya, ujung pedang itu sudah menyambar. Ketika Swara Manis mundur ke samping, ujung pedang Prayogo telah menanti.
Hebat sekali serangan-serangan yang dilancarkan Prayoga, membuat Swara Manis pontang-panting dalam usahanya membela diri. Untunglah di saat dalam bahaya, Mariam sudah bertindak. Ia cepat berteriak lantang,
"Prayoga! Hentikan seranganmu!"
Prayoga memang selalu patuh kepada gadis ini. Mendengar teriakan kakak seperguruannya. pemuda ini melompat mundur menghentikan serangannya.
Swara Manis dapat bernapas lega terbebas dari bahaya. Dengan napas masih terengah, kemudian ia berkata,
"Mariam, hem... ternyata ilmu pedang adik seperguruanmu lebih tinggi dibandirig yang kaumiliki ..
Swara Manis berkata demikian dengan maksud untuk membakar kemarahan Mariam. Sebagai puteri tunggal Ali Ngumar, seharusnya gadis itu memperoleh pelajaran ilmu lebih tinggi. Akan tetapi ternyata, malah memberi kepada Prayoga lebih banyak.
Mariam menjadi penasaran. Ia menjadi tidak puas kepada ayahnya sendiri. Karena tak menemukan alasan lain. kemudian ia menegur kepada Prayoga.
"Hai Prayoga! Apakah sebabnya engkau gunakan jurus "Prahara Nawa" untuk menggertak. kemudian baru menyerang sungguh-sungguh, dan serangan itu dapat memancarkan perubahan sampai tujuh kali?"
"mBakyu, mari kita mencari bapak dulu. Nanti dalam perjalanan aku jelaskan semuanya," sahut Prayoga.
Mariam menjadi heran dan kaget, melihat perubahan sikap Prayoga. Biasanya pemuda ini takut-takut menghadapi dirinya. dan bicarapun tidak lancar. Namun rasa heran itu sejenak saja hinggap dalam benaknya, kemudian menuntut,
"Hai Prayoga, engkau mau mengajarkan jurus itu tidak? Jika tidak, terserah saja! Hem tetapi janganlah mimpi, aku sudi mengikuti engkau mencari ayah. Huh-huh... aku lebih suka pergi bersama kakang Swara Manis, sekalipun masuk liang semut... ."
Ucapan itu didengar oleh Prayoga bagai petir menyambar di siang bolong. Akan tetapi ia masih belum percaya. kemudian bertanya,
"mBakyu... apa katamu"
Sebelum Mariam sempat membuka mulut, Swara Manis yang ingin membuat Prayuga panas dingin, telah menghampiri lalu menyambar lengannya. Katanya halus,
"Diajeng, tidak ada gunanya engkau berdekatan dengan pemuda tolol itu. Hem, mari kita lanjutkan perjalanan."
"Marilah," sahut Mariam mesra. Kemudian mereka melangkah berdampingan, tidak mempedulikan Prayoga lagi. Mereka menuju ke perahu yang sudah tersedia, untuk secepatnya meninggalkan pulau kosong ini.
Prayoga hampir tidak percaya kepada apa yang dialami sekarang ini. Bukankah pada malam itu Mariam telah memberi tanda mata dan sedia menjadi isterinya? Akan tetapi apa pula sebabnya, gadis itu sekarang sudah memalingkan muka kepada pemuda lain?
Saking bingungnya, Prayoga mematung, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Bagaimanapun pemuda ini dalam keadaan tidak sehat. Luka yang diperoleh dalam panggung pertandingan di Mayang belum sembuh benar. Ia tadi terpaksa memeras tenaga melawan Swara Manis, dengan maksud agar Mariam tahu bahwa dirinya bukan pemuda lemah. Akan tetapi celakanya, gadis itu sekarang telah pergi dengan pemuda lain. Dan menurut perasaannya, Mariam telah ingkar janji, walaupun gadis itu pernah memberikan tanda mata.
Keadaan yang tidak menyenangkan dan kehancuran hatinya, membuat dada pemuda ini serasa pecah. Disusul mata menjadi kabur, dan serasa bumi ini bergoyang-goyang. Segumpal darah akhirnya meloncat dari mulut, kemudian disusul oleh robohnya tubuh pemuda itu.
Prayoga menjadi korban kesembronoan Sarini, yang sudah main-main dengan tanda mata. Kalau saja Prayoga tidak dikacau oleh tanda mata yang diterima pada malam itu. kiranya tidak separah ini penderitaannya.
Di saat Prayoga roboh. secara kebetulan Mariam memalingkan muka untuk melihat pemuda itu. Gadis ini menjadi kaget, kemudian berhenti melangkah.
Swara Manis tahu. jika Mariam terpengaruh keadaan Prayogo. Ia ingin segera dapat menghindar untuk itu, cepat-cepat pemuda ini menarik lengan Mariam sambil berkata,
"Lekas kita ke perahu! Jika terlambat, kita bisa mati kelaparan di sini!"
Bagaimanapun perasaannya. Mariam tidak mungkin sanggup berpisah dengan Swara Manis. Gadis ini hanya dapat menghela napas saja melihat Prayuga roboh, kemudian menurut saja dibimbing Swara Manis menuju perahu.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Ndara Menggung.
"Hai bocah perempuan! Huh, engkau tidak boleh pergi!"
Swara Manis terkesiap. Cepat-cepat pemuda ini melindungi sang kekasih, sambil bertanya,
"Apakah maksudmu?"
Ndara Menggung menyeringai, sahutnya,
"Kilat Buwono sudah menyuruh diriku supaya mencari Ladrang Kuning. Dia telah berjanji. apabila aku dapat menemukannya, aku akan mendapat hadiah pelajaran ilmu pedang hebat. Hemm, sekarang kamu harus ikut aku menemui Kilat Buwono!"
Swara Manis sadar. apabila tidak menggunakan akal dan tipu, sulit menghindarkan diri dari kakek sinting ini. Maka katanya kemudian,
"Hai Ndara Menggung. aku ingin bertanya kepadamu. Apa hubungan anak perempuan Ladrang Kuning ini dengan Kilat Buwono? Dan mengapa sebabnya engkau tidak berpikir sampai jauh?"
"Ehh kau benar juga..... memang tidak ada hubungannya Ya, tak ada hubungan Untuk apa aku bertanya?"
Ndara Menggung yang linglung itu kemudian termenung.
Menggunakan kesempatan itu, Swara Manis cepat menarik Mariam lalu menghampiri perahu. Secepat mereka berada di perahu, Swara Manis segera mengayuh perahu itu sepenuh tenaga.
"Bangsat! Jahanam busuk" Ndara Manggung mencaci maki sambil berjingkrakan, karena tak lagi dapat mengejar perahu yang sudah bertolak. Saking marah dan penasaran, kemudian kakek ini memukul apa saja yang tampak di depannya. Tidak perduli batu, pohon maupun yang lain.
Tiba-tiba pandang matanya tertumbuk kepada sesosok tubuh Prayoga yang menggeletak pingsan. Otaknya yang menyalahkan Prayoga. Teriaknya.
"Kau yang menyebabkan semuanya berantakan, huh ....!"
Dan dengan gerakannya yang gesit, kakek ini menghampiri Prayoga yang masih menggeletak pingsan.
"Bedebah busuk!" cacinya.
"Lekas bangun dan mari berkelahi dengan aku. Engkau harus dapat memenangkan aku untuk dapat membebaskan diri dari kesalahanmu!" Akan tetapi karena Prayoga tidak bergerak sedikitpun. kakek ini terbelalak. Sambil mengamati Prayoga, ia berkata.
"Hai. apakah engkau mati? Aduh celaka ! Siapa yang sudah membunuh bocah ini? Hai pengecut curang. Mengapa engkau bersembunyi sesudah membunuh bocah ini? Hayo ..cepatlah keluar, dan marilah berkelahi melawan Ndara Menggung ....."
Otaknya yang linglung sudah menduga, bahwa Prayoga yang menggeletak pingsan itu, oleh serangan orang secara curang. Sudah tentu cara berpikir kakek linglung ini berlainan dengan manusia waras. Orang yang pingsan disangka mati.
Namun kemudian Ndara Menggung menekuk lututnya, lalu berjongkok. Dibalikkannya tubuh Prayoga yang pingsan hingga terlentang. Lalu ia meraba dada sambil mendekatkan telinga ke hidung Prayogo.
"Kurangajar! Engkau belum mati tetapi pura-pura mati. Huh, engkau mau menipu Ndara Menggung?" bentaknya.
Akan tetapi Prayoga tidak bergerak, dan matanya terpejam rapat. Memperhatikan keadaan Prayoga yang meram dan wajahnya pucat. tiba-tiba saja ia memukul kepalanya sendiri sambil bergumam.
"Haya... aku tolol. Bocah ini bukannya pura-pura mati, tetapi tidak ingat orang..."
Ia tidak bisa menyebut pingsan, maka menyebut tidak ingat orang. Setelah mengamati beberapa saat lamanya, dan Prayoga belum juga sadar, ia menjadi khawatir. Tangannya sudah bergerak dengan maksud mengurut dada. 'Tetapi tiba-tiba Prayoga tersadar dan membuka matanya. Akibatnya. Ndara Menggung malah kaget dan berjingkrak.
"0h... ternyata engkau menderita luka berat, bocah tolol," ujarnya.
"Baiklah sekarang aku tulung. Sebagai upahnya, nanti kau harus mengajari ilmu pedang. Mau?"
Sekalipun kerdil, kakek ini tenaganya kuat sekali. Maka sekali angkat tubuh Prayuga telah dipondong, dan kepalanya terkulai ke bawah. Keadaan ini menyebabkan Ndara Mengguug salah paham. Ia mengira kalau Prayoga sudah setuju. Oleh sebab itu tanpa menunda waktu, kakek ini segera menolong. Tetapi di saat ia membuka baiu,jatuhlah kupu-kupu milik Mariam
Ndara Menggung tertarik dan benda itu dipungut. Sesudah mengamati beberapa saat. ia berkata,
"Ha, bocah tidak tahu malu. Apakah sebabnya engkau jahil, mencuri perhiasan anak perempuan?"
Kupu-kupu itu segera dibuang ke pasir. Sesudah itu baru meletakkan tubuh Prayoga. Ia duduk bersila, lalu tangan kanan dilekatkan ke dada Prayoga sedang tangan kiri dilekatkan pada punggung. Dengan cara demikian berarti kakek ini telah menyalurkan tenaga murni ke dalam tubuh Prayoga untuk mengobati. Hasilnya. berangsur-angsur wajah Prayoga berobah merah, tidak pucat lagi dan tak lama kemudian sadar.
Namun ingatan Prayoga masih belum pulih. Yang terbayang masih tetap Mariam. gadis yang amat dicintai. Akan tetapi kemudian ia teringat kepada Swara Manis yang sudah mendampingi Mariam. Dan lebih menyakitkan hatinya lagi, ternyata gadis itu pergi bersama Swara Manis dan meninggalkannya. Akibatnya jantung berdebaran dan darahnya bergolak lagi. Mulutnya berdehem dan tak tertahan lagi, darah segar telah meluncur dari mulut... ."
"Hai jangan! Tidak boleh muntah darah lagi!" teriak Ndara Menggung.
Prayoga terkejut. Ia tahu arti larangan kakek itu. jika terlanjur akan membahayakan diri sendiri. Oleh sebab itu ia segera menenangkan pikiran, agar darahnya yang bergolak tenang kembali. Akan tetapi sungguh sayang. Sulit bagi pemuda ini untuk melupakan gadis pujaannya. Tiba-tiba saja terbayang dalam benaknya, Swara Manis dan Mariam berpelukan di atas perahu. Dan hampir saja ia muntah darah lagi.
Kasihan juga pemuda ini. Setelah menerima kupukupu sutera waktu itu, dirinya merasa bakal terkabul cita-citanya, hidup berdampingan dengan Mariam. Namun ternyata ia bertepuk sebelah tangan. Gadis yang diharapkan itu telah digaet orang lain. Ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Betapa tidak sedih dan kecewa?
Sekalipun linglung, dalam menghadapi keadaan Prayoga yang gawat ini, Ndara Menggung dapat memberi nasihat,
"Bocah bandel, jangan membuat Ndara Mengguug jengkel. Engkau harus menurut nasihatku..."
Bagaimanapun keadaan kakek ini. saat sekarang merupakan bintang penolong Prayoga. Tanpa hadirnya
kakek ini. mungkin Prayoga akan menderita hebat dan salah-salah bisa mati. Ini disadari oleh Prayoga. Maka setelah dada terasa longgar, ia cepat berkata,
"Ndara Menggung, terima kasih atas pertolonganmu."
"Apa? Jangan berterima kasih dengan ucapan kosong. Tidak boleh! Sebagai upahnya. engkau harus mengajarkan ilmu pedang bagus itu kepada Ndara Menggung!" cela kakek itu.
Prayoga terbelalak kaget. Ia bangkit lalu memberi hormat. Akan tetapi ketika berdiri dan ingin memutar kepala... aduh sakit bukan main. Ternyata tulang lehernya tak dapat diputar lagi alias tengeng... .
"Ndara Meugguug... celaka .!" ia mengeluh kepada kakek itu.
Tetapi Ndara Menggung cepat melesat menyingkir. Lalu,
"Jangan salahkan aku. Tadi aku memang, memijat lehermu dengan maksud agar dapat hidup. Huh... tengengpun tak apa. asal nyawamu tidak hilang"
Betapa sedih pemuda ini mendengar keterangan itu. Khawatir akan menderita seterusnya, pemuda ini penasaran. Teriaknya,
"Ndara Manggung! Jika engkau dapat menyembuhkan lukaku, tentu mampu pula mengobati kepalaku yang tengeng ini... ."
Akan tetapi kakek linglung itu menggelengkan kepalanya. Jawaban ini membuat Prayoga sedih sekali.
Beberapa saat kemudian kakek linglung ini menghibur,
"Tak apa kepalamu tengeng. Yang penting bisa hidup dan berbuat kebaikan... ."
Namun sulit sekali hati pemuda ini bisa terhibur. Dan akibatnya Prayoga tak kuasa menahan kesedihannya, lalu menangis. Melihat itu Ndara Menggung bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. lalu,
"Bocah, engkau belum sehat benar! Jika engkau menangis... jiwamu dalam bahaya ."
Tergetar hati Prayoga mendengar itu. Semangatnya bangkit kembali. dan teringat kembali berjuang membela Kadipaten Pati dari serbuan Mataram.
Betapapun Ndara Menggung adalah kakek linglung. Melihat Prayoga berdiam diri, ia mengira nasihatnya diturut. Cepat ia memungut pedang Prayoga, lalu berkata,
""Bocah, cepat ajarkan ilmu pedang kepada Ndara Menggung."
Prayoga terkesiap, ia tidak pernah berjanji, tetapi mengapa kakek ini menuntut? Menurut peraturan perguruan, dirinya tidak boleh sembarangan mengajarkan kepada orang lain. Akan tetapi sekarang ini keadaannya berlainan, ia telah diselamatkan kakek ini, dan berada di pulau kosong. Ia tidak tahu dapat kembali ke Jawa, dan dapat bertahan hidup atau tidak. Walaupun melanggar pantangan perguruan, ia tidak keberatan menuruti permintaan kakek linglung ini.
Ndara Menggung gembira sekali. Sudah lama ia menginginkan ilmu pedang Kala Prahara, dan sekarang mendapat kesempatan. Dalam gembiranya, ia kemudian berkata,
"Hai bocah, apakah aku harus memanggil guru kepadamu? Oh salah... tidak. Engkau tidak boleh mempermainkan Ndara Menggung. Tidak... aku tidak mau. Sekarang akupun harus mengajarkan ilmu kepadamu. Hayu lekas, engkau minta tukar ilmu apa kepada Ndara Menggung? Hemm... tetapi engkau harus tahu dan mengerti. Sekalipun kita saling tukar pelajaran, tetapi bagaimanapun engkau masih tetap saja sebagai salah seorang murid Ndara Menggung... ."
Prayoga tidak memusingkan apa itu sebutan. Yang penting sekarang ini dirinya harus memperoleh kesempatan untuk maju. Agar dirinya dapat berjuang mempertahankan Kadipaten Pati, dari serbuan pasukan Mataram. Dan tiba-tiba saja ia teringat terjadinya perkelahian antara Swara Manis dengan Darmo Saroyo
waktu itu. Waktu itu Ndara Menggung selalu memberi petunjuk secara tepat untuk membantu Darmo Suroyo. Apakah salahnya kalau dirinya sekarang minta ilmu tersebut? Katanya kemudian,
"Ndara Menggung, aku hanya ingin belajar ilmu "Jathayu Nandang Papa !"
"Aduh... mati aku... .!" tiba-tiba Ndara Manggung menjerit.
"Ilmu itu aku peroleh dari Hajar Saptabumi. Ah... waktu itu aku sudah terlanjur bersumpah... tidak mengajarkan kepada siapapun ."
Prayoga terdiam beberapa saat. Sebagai seorang yang jujur, ia tidak berani memaksa. Namun sebaliknya, melihat pemuda itu berdiam diri, Ndara Menggung melongo. Ia, menggaruk kepalanya sendiri, dan kemudian berkata,
"Ah... biarlah! 'Toh Hajar Saptabumi tidak melihatnya. Kalau dia sampai menegur... gampang saja. Akan aku jawab, aku lupa... . Heh-heh-heh habis perkara... ."
Secara singkat, Prayoga telah memperoleh ilmu pelajaran "Jathayu pandang papa" dari Ndara Menggung. Bagi Prayoga. pertukaran ilmu ini sangat menguntungkan. Dalam waktu singkat, telah menjadi seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi, sudah tentu Prayoga harus berlatih terus. Karena apabila hanya mengerti kulit saja, ilmu tersebut kurang kegunaannya.
"Ndara Menggung, aku ingin segera meninggalkan pulau ini kembali ke Pati," kata Prayoga pada suatu hari.
"Hem, engkau mau pergi silahkan pergi... ." sahut Ndara Menggung acuh tak acuh. karena kakek ini sedang asyik memperdalam ilmu pedang Kala Prahara.
Prayoga juga tidak perduli lagi. Ia pergi ke pantai dengan harapan ada perahu nelayan yang dapat menolong. Harapannya terkabul. Beberapa buah perahu nelayan sedang mencari ikan di dekat pulau. Hingga Prayoga ditolong, diseberangkan ke Pulau Jawa.
Di tengah laut. ia tertarik kepada sebuah perahu yang gesit dan meluncur cepat. Prayoga berteriak memanggil. Penumpang perahu tersebut mendengar teriakannya, kemudian menghampiri.
Sesudah perahu itu merapat, salah seorang bertanya,
"Apakah saudara akan hadir dalam rapat?"
"Tidak! sahut Prayoga agak kaget.
Tiga orang meloncat ke perahu Prayoga, hingga sedikit oleng. Salah seorang dari mereka mengamati pemuda tengeng itu, kemudian mengejek,
"Hem benar. Tidak mungkin pemuda tenggeng seperti ini mendapat undangan Ali Ngumar. Yang diundang tentu saja para tokoh gemblengan."
Hatinya sakit dicela sebagai pemuda tengeng. Akan tetapi karena mereka ini diundang gurunya, ia melupakan perasaan itu dan bertanya,
"Bapa Ali Ngumar adalah guruku. Di manakah beliau sekarang?"
Tiga orang itu mengamati Prayoga penuh selidik. Beberapa saat kemudian salah seorang berkata,
"Hai, mengapa engkau bicara, tidak keruan?"
Orang yang lain menyambung,
"Aku tak pernah mendengar Ali Ngumar mempunyai murid. Yang benar, dia mempunyai tiga orang selir... ."
"Jangan menghina guruku!" Prayoga menjadi marah.
Tiga orang itu ketawa senang, kemudian salah seorang bertanya,
"Benarkah engkau murid Ali Ngumar?"
"Benar, mengapa?"
"Aneh! Mengapa tak tahu gurumu mempunyai tiga orang selir?"
Prayoga mendelik dan matanya merah. Sebaliknya
tiga orang itu ke tawa mengejek. Namun Prayoga masih bersabar diri, lalu bertanya,
"Apa maksud guruku mengundang kalian?"
"Pasukan Mataram telah menduduki Mayong," sahut salah seorang.
"Apabila masih juga ada orang yang ingin melawan. ibarat telor melawan tanduk. Pasti mati! Untuk mencegah lebih banyak jatuh korban, Ali Ngumar telah mengundang semua orang gagah agar menghentikan perlawanan... ."
"Bohong!" bentak Prayoga.
"Tak mungkin guruku berbuat begitu."
'Tetapi tiga orang tersebut hanya menyambut dengan ketawanya yang mengejek.
"Hem, di mana pertemuan itu diselenggarakan?"
"Apa?" serentak tiga orang itu ketawa mengejek lagi.
"Engkau mengaku sebagai muridnya, tetapi tak tahu pertemuan itu. Murid apa ini?"
Prayoga amat penasaran. Tetapi untuk membuktikan kabar tersebut, ia menahan diri.
"Kami bertiga memperoleh tugas menyambut para tamu. Jika engkau benar-benar ingin mengunjungi pertemuan itu, baiklah! Mari kita cepat menuju pulau Bawean. Tetapi setelah tiba di sana. jangan banyak mulut lagi. Jika rewel, lehermu bisa putus, tahu?"
Prayoga makin curiga. Tentu bukan gurunya, orang yang mengaku bernama Ali Ngumar itu.
Ia mengucapkan terima kasih kepada nelayan yang telah menolongnya, lalu pindah ke perahu orang tersebut. Perahu itu meluncur cepat menuju pulau Bawean. Dalam perjalanan Prayoga berdiam diri sambil berpikir. Mengapa gurunya bisa meninggalkan Pati dan di pulau Bawean? Maka diam-diam ia mempersiapkan semata menjaga segala kemungkinan.
Ketika perahu hampr berlabuh, terdengar teriakan, seseorang,
"Hai, siapakah yang datang?"
"Seseorang anak muda yang mengaku murid Ali Ngumar," sahut salah seorang. Tetapi sebagai sambutan dari pulau, terdengarlah suara gelak ketawa yang riuh.
Sesudah Prayoga mendarat, ia mendengar keterangan yang mengejutkan,
"Belum lama berselang, Wasi Jaladara dari gunung Wilis sudah datang. Tetapi agaknya dia tidak puas kepada Ali Ngumar. Buktinya dia datang membawa teman yang sepaham ."
Prayoga tambah kaget dan curiga. Ia masih ingat keterangan gurunya, Wasi Jaladara atau Ki Hajar Wilis, merupakan seorang ksyatria gagah perwira. Kalau sampai terjadi pertemuan antara gurunya dengan Hajar Wilis, tentu saja merupakan pertemuan yang menggembirakan. Akan tetapi anehnya, mengapa bisa selisih paham?
Makin dipikir, semakin menjadi heran. Bukankah gurunya sekarang sedang berjuang membela adipati Pragola? Apabila sekarang gurunya di pulau ini, berarti gurunya ingkarjanji.
Sambil dibebani macam-macam pertanyaan dalam benaknya. akhirnya Prayoga tiba di tempat orang banyak berkerumun. Begitu tiba di tempat ia menjadi tercengang heran. Sebab tidak seorangpun yang ia kenal. Kemudian Prayoga memilih tempat yang masih lapang. Akan tetapi baru saja akan duduk, ia kaget dan bangkit lagi. Hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Karena ia melihat munculnya sang guru dari balik batu besar, diikuti oleh dua orang wanita cantik jelita.
Prayoga batal menyambut dan menegur. ia bingung sendiri. karena gurunya saat ini tidak ubahnya pengantin baru. Ia melangkah di tengah diapit dua wanita sambil bergandengan tangan. Ia mengucak-ucak matanya. Tetapi pandangan itu tidak berubah. Gurunya bersama dua wanita cantik lagi muda. menuju tempat pertemuan.
Sesungguhnya bukan Prayoga seorang yang heran dan kaget melihat munculnya Ali Ngumar dengan dua wanita cantik itu. Yang lainpun heran dan tak habis mengerti. Mengapa secara tiba-tiba Ali Ngumar berobah?
Baru saja Ali Ngumar duduk di tempat yang telah disediakan, seorang tinggi besar sudah berseru menegur,
"Hai Ali Ngumar. Apakah maksudmu mengundang kami ke mari? Benarkah engkau bermaksud menghimpun tenaga untuk melawan Mataram?"
Ali Ngumar tertawa, kemudian menjawab,
"Kisanak Wasi Jaladara. Aku ingin bertanya dan jawablah. Berapa ribu prajurit dan penduduk Pati menjadi korban? Hem... Iupakah engkau bahwa Darmo Saroyo dan Darmo gati mampus tanpa kubur?"
"Ksyatria sejati tidak memperhitungkan mati dan hidup lagi dalam berjuang," sahut Wasi Jaladara.
"Aku tidak kenal Darmo Saroyo dan Darmo Gati. Namun aku kagum dan hormat, karena mereka bukan pengecut yang takut mati! Akupun tidak takut mati membela bumi Pati. Karena Pati dan Mataram mempunyai kedudukan yang sama, merupakan bumi perdikan hadiah dari Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang."
"Heh-heh-heh." Ali Ngumar terkekeh mengejek.
"Kalau begitu saudara juga siap mati seperti Darmo Saroyo dan Darmo Gati?"
Prayoga terlonggong keheranan. Ia tidak habis mengerti, mengapa gurunya berobah seperti bumi dan langit? Dari seorang pejuang Pati, sekarang malah berusaha memadamkan semangat orang? Ia berusaha memutar otak untuk memperoleh jawaban. Akan tetapi sayang meskipun telah berusaha, tetap tak tahu apa yang sedang dihadapi.
"Saudara Jaladara," kata Ali Ngumar lagi.
"Lupakah bahwa alam ini mempunyai hukum? Hemm, barang siapa melupakan bukti alam, pasti akan menerima nasib bagai semut masuk api. Demi persahabatan yang sudah kita jalin puluhan tahun dengarlah nasihatku. Sinuwun Sultan Agung seorang Raja bijaksana, dan prajuritnya tidak terhitung jumlahnya. Melawan berarti mati! Maka sebaliknya kita mengabdikan diri ke Mataram, agar dapat hidup mulia."
Tidak kepalang rasa terkejut pemuda Prayoga mendengar ucapan gurunya itu. Ia menjadi gemas dan penasaran, dan tanpa sesadarnya telah berteriak,
"Hai ." Semua orang kaget dan mengamati. Ali Ngumar mendelik. Bentaknya kemudian,
"Hai bocah. Engkau berani melawan aku?"
Mimpipun tidak, kalau gurunya sendiri sudah tidak mengenal lagi kepada dirinya. Namun ia seorang murid yang taat dan patuh kepada gurunya. Dan apa pula ia merasa, dirinya telah berhutang budi. Ia tidak menjadi curiga terhadap "Ali Ngumar" yang tidak mengenal dirinya lagi, malah bangkit dan melangkah maju sambil berteriak nyaring,
"Guru!" Suasana itu menjadi gempar. Ali Ngumar sendiri terbelalak kaget. Tetapi sesaat kemudian berhasil menguasai perasaan, lalu berkata,
"Duduklah! Tunggu sesudah aku selesai bicara dengan Wasi Jaladara."
Prayoga tunduk. Ia kembali duduk. Tetapi karena menderita tengeng. pandangannya agak ke samping. Belum juga sempat memutar tubuh, ia menangkap sesosok bayangan berkelebat cepat. Baik pakaian maupun potongan tubuh, ia menduga Swara Manis. Namun karena gerakan orang itu cepat, ia masih ragu. Ketika ia memutar tubuh yang dicari sudah lenyap.
Wasi Jaladara berteriak lantang.
"Ali Ngumar alias Kilat Buwono! Puluhan tahun lamanya orang menghormati dan mengagungkan namamu. Aku gembira dan bangga ketika mendengar kabar, engkau bersama Darmo Saroyo dan Darmo Gati berusaha membela Kadipaten Pati. Mendengar itu aku menghimpun sahabat untuk membantu. Tetapi ah... ternyata engkau sekarang telah berobah menjadi semacam tikus... . Hai Ali Ngumar, apakah engkau tidak malu sebagai tikus tanpa buntut?"
"Kau... kau berani memaki guruku... .?" teriak Prayoga saking panas hatinya.
Wasi Jaladara berpaling ke arah Prayoga, dan sepasang alisnya berkerut. Tetapi sesaat kemudian, ia sudah mengejek.
"Huh-huh, namanya cocok. Guru kencing berdiri muridnya kencing dengan lari! Huh-huh. tidak perduli setan dan demit. Siapa yang berusaha menyerahkan Kadipaten Pati kepada Mataram, akan aKu caci-maki habis-habisan!"
"Bagus! Bagus Setujuuuuuuuuuuuuuuuu!" sambut yang lain.
Tetapi ada sekelompok orang yang mencibirkan bibir, lalu mengejek.
"Huh, manusia-manusia buta. Tidak sadar akan bahaya!"
"Ksyatria sejati tak takut mati!" teriak yang mendukung Wasi Jaladara.
Ali Ngumar mengerutkan alis. Ia mendorong dua wanita cantik yang mengapit, kemudian bangkit.
"Aih... mengapa kangmas cepat marah... .?" seorang di antaranya menegur dengan manja.
Brak... tiba-tiba Ali Ngumar menghantam meja di depannya, dan amblong saat itu juga. Semua yang hadir kaget, karena meja tersebut terbuat dari kayu tebal. Sejenak Ali Ngumar menyapukan pandang matanya ke sekeliling. Kemudian berkata dengan garang.
"Wasi Jaladara, dengarlah! Aku hanya memikirkan nasib dan kepentingan kalian sendiri, agar tidak mati sia-sia. Jika saudara akan nekat dan tak mau mendengar nasihatku, orang pertama yang menghalangi bukan lain aku sendiri."
Wasi Jaladara seorang brangasan, tetapi jujur dan dapat dipercaya. Tiba-tiba ia bangkit, lalu berteriak,
"Sudahlah. aku tak sudi bicara lagi dengan segala macam manusia tikus. Jika engkau ingin memaksa orang, baiklah. Tundukkan aku lebih dulu!"
Ia telah mencabut tongkat beruas. Sekali dikibaskan, tongkat itu menjadi lurus dan langsung menyerang dada Ali Ngumar. Tongkat itu berbahaya, karena terbikin dari baja hitam. Karena beruas. ia dapat menyerang setombak lebih.
Prayoga kaget sekali melihat gurunya diserang. Tanpa pikir panjang lagi ia sudah meloncat. kemudian berdiri di antara Jaladara dan Ali Ngumar. Katanya.
"Paman Jaladara. Biarkan aku mewakili guru, mohon pelajaran dari paman."
Ketika melihat pemuda tengeng itu menantang Wasi Jaladara, Ali Ngumar tersenyum dan duduk kembali.
"Bocah! Engkau menantang aku? Bagus! Engkau gagah. hanya sayang engkau keliru memilih guru."
Prayoga tertegun. Ucapan Wasi Jaladara, menurut pendapatnya memang tepat. Kalau tahu gurunya berwatak seperti ini, tentu saja ia takkan mau menjadi muridnya. Akan tetapi sebaliknya, ia seorang pemuda polos. Selama ini gurunya selalu baik. Kalau sekarang berbeda dengan kebiasaannya, tentu ada alasannya sendiri. Maka katanya lantang,
"Paman, silahkan memberi pelajaran."
Prayogo menutup ucapannya sambil mulai bergerak melancarkan jurus Prahara Segara.
Wasi Jaladara tidak berani memandang remeh. Sebenarnya ia tak mau melawan bocah ingusan ini. Tetapi sebaliknya kalau mengalah, dirinya akan menderita malu. Maka mendapat serangan, ia sudah melawan dengan tongkatnya,
Prayoga yang marah, menggunakan ilmu pedang ajaran gurunya penuh semangat. Pedangnya berkelebatan cepat mengurung ruang gerak lawan. Tetapi sebaliknya Wasi Jaladara bukan tokoh sembarangan. Ia telah meyakinkan dan mendalami ilmu tongkat puluhan tahun. Maka gerakan tongkatnya sudah satu jiwa dengan pikirannya. Nampak tongkat itu bergerak serampangan. akan tetapi mengandung tenaga hebat sekali. Sekali ujung tongkat berhasil menempel senjata lawan, bagian tengah dari tongkat akan menekuk dan menghantam lawan.
Ketika itu tongkat Wasi Jaladara menyerang perut. Prayoga yang belum banyak pengalaman kaget dan gugup. lalu membuang diri ke samping.
Wut...!! tongkat lawan menyambar di atas kepalanya. Prayoga bangkit, namun tiba-tiba jatuh lagi tiga langkah ke depan. Nampaknya tak kuasa lagi berdiri, tetapi anehnya pedang di tangan saling susul menyerang lawan tiga kali pula.
"Bocah, kau hebat," puji Wasi Jaladara.
"Tetapi eh, mengapa engkau kenal ilmu "Jathayu Nandang Papa" ajaran Hajar Saptabumi?"
Tanpa menunggu jawaban, Wasi Jaladara membuat lingkaran dengan tongkatnya. Prayoga yang kurang pengalaman kaget. Ia mengulurkan tangan untuk menusuk, namun tiba-tiba merasa tertumbuk oleh perisai baja, dan terpaksa mundur beberapa langkah. Celakanya tongkat lawan mengejar, untuk menyelamatkan diri ia gunakan lagi ilmu "Jathayu Nandang Papa"
Wasi Jaladara yang sudah mengenal ilmu tersebut malah sengaja memperlambat serangan. Seakan memberi kesempatan kepada lawan bergerak ke belakangnya. Akan tetapi ketika Prayoga berada di belakangnya, tiba-tiba terdengar suara orang mengeluh kaget,
"Aih... kok bisa... ."
Telinga Prayoga tajam dan dapat mengenal suara Swara Manis. Cepat ia memutar tubuh untuk mengetahui di mana Swara Manis berada. Celakanya tongkat lawan datang,
trang...!! pedangnya menangkis tongkat lawan. Tetapi Prayoga terkejut dan buru-buru meloncat mundur tiga langkah. Demikian pula Wasi Jaladara.
*** CINTA dan TIPU MUSLIHAT Oleh : Widi Widayat JILID : IV *** Mereka berdua sama kagetnya, karena merasa
lengan kesemutan. Padahal semula Wasi Jaladara menduga. begitu terbentur pedang lawan akan lepas. Nyatanya. mimpipun tidak bahwa pemuda itu sanggup mempertahankan senjatanya. Dalam keheranannya. ia mengamati pemuda tengeng itu teliti sekali. Dan sebagai seorang jujur. ia memuji.
"Bagus!" Mereka telah berhadapan lagi. Kemudian Prayoga berusaha mempengaruhi.
"Paman. sudilah engkau ." Tetapi ia sulit mengemukakan pendapatnya. Padahal ia bermaksud agar Wasi Jaladara sedia menuruti nasihat gurunya. Akan tetapi karena mengingat nasihat gurunya itu nadanya berpihak kepada Mataram. diam-diam ia tidak setuju. itulah sebabnya pendapatnya tak dikemukakan.
"Apa maksudmu?" tanya wasi Jaladara.
"Paman, sudilah engkau memulai lagi" jawabnya. Diam-diam Wasi Jaladara tertarik dan terkesan oleh sikap Prayoga yang gagah dan jujur. Ia tidak mau mengalah, katanya,
"Engkau mulailah. Agar aku tidak dituduh sebagai orang tua yang tak tahu diri."
Mendengar ini Prayoga pun kagum akan sikap wasi Jalaaara. Kalau saja tidak karena membela gurunya, tentu ia tidak sedia melawan orang tua ini.
"Maafkan aku. paman... ." serunya seraya melangkah maju dan secepat kilat telah menggerakkan pedangnya untuk membabat pundak lawan. Wasi Jaladara
tenang dan merendahkan Tubuh, kemudian ia membalas menyerang.
Mereka berkelahi lagi dan lebih seru. Oleh cepatnya gerak pedang, menyebabkan seolah empat penjuru penuh sinar pedang, dan wasi Jaladara terkurung di dalamnya.
Semua orang terkesiap melihat hebatnya ilmu pedang pemuda tengeng itu. Diam-diam semua orang menimbang-nimbang. Kalau baru muridnya saja sudah demikian tangguhnya, sanggup menghadapi Wasi Jaladara, apapula gurunya. Maka diam-diam semua orang mengakui, bahwa Ali Ngumar memang seorang sakti dan jarang tandingan.
Ali Ngumar yang duduk diapit oleh dua orang selir, tampak terkejut juga menyaksikan ilmu pedang Prayoga yang gencar. Akan tetapi ketika menyadari semua orang mencurahkan pandang mata kepada dirinya, Lalu menundukkan kepala sambil tersenyum.
Perkelahian itu berlangsung makin seru. Walaupun yang satu tua dan yang lain masih muda belia, tetapi perkelahian itu masih tampak seimbang.
"Kakang. mengapa engkau menghamburkan tenaga dan waktu untuk melayani seorang bocah?" seru salaH seorang sahabatnya.
Wasi Jaladara tidak menyahut. Ia sudah terlanjur terlibat dengan pemuda ini. rasanya malu kalau harus mundur.
Wasi Jaladara cukup hati-hati menghadapi ilmu pedang Prayoga. Dan ia tidak mau menggunakan selunih kepandaiannya. Maksud hati menunggu, agar pemuda itu kehabisan tenaga. dan dengan sendirinya akan mundur dan mengaku kalah. Namun ternyata dugaannya salah. Makin lama pemuda itu semakin tambah semangatnya dan sulit. ditundukkan. Sadar oleh seruan salah seorang sahabatnya, ia merobah permainan tongkatnya untuk menekan lawan.


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimanapun Prayoga baru faham kulitnya saja. dan belum dapat menyelami sari pati ilmu pedang Kala Prahara. Berhadapan dengan Wasi Jaladara yang sudah kaya pengalaman, akhirnya Prayoga terdesak. Untuk menyelamatkan diri, ia terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Melihat lawan mulai terdesak. Wasi Jaladara tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mendadak tongkat itu diluruskan untuk menyodok pinggang. Akan tetapi Wasi Jaladara kaget sendiri. ketika melihat agakuya Prayoga tak dapat menghindar. Sayang kepada pemuda gagah dan jujur itu. serangannya dibatalkan. Kemudian ia mengalihkan sasaran ke bagian tubuh lain yang tidak berbahaya.
Akan tetapi di luar dugaan. Tiba-tiba saja tubuh Prayoga terhuyung-huyung lalu jatuh terlentang ke belakang.
Wut...!! ujung tongkat lewat di atas tubuhnya. Dan cepat-cepat Wasi Jaladara menarik kembali tongkatnya.
Di luar dugaan. tiba-tiba Prayoga mengeliat. menubruk dan menyerang dengan pedang. Wasi Jaladara kaget berbareng kagum. Menurutnya, tata kelahi yang dipergunakan Prayoga ini tidak umum. Maka mendapat kesan bahwa pemuda ini sudah kalap. oleh dugaan itu kemudian ia bermaksud mundur. tak mau melayani pemuda ini lagi.
Celakanya Prayoga malah mengejar sambil memutar pedang. Ilmu pedang Kala Prahara digabung dengan langkah aneh (ajaib). Wasi Jaladara menjadi bingung dan mundur lagi. Namun sayang Prayoga tetap mendesak. dan mendesak terus hingga Wasi Jaladara terus mundur.
Gemparlah keadaan di tempat itu. Semua orang heran mengapa tokoh sakti yang dikenal Dengan sebutan Hajar Wilis itu sampai kewalahan, hanya berhadapan dengan seorang pemuda ingusan.
Sesudah beberapa kali mundur. akhirnya Wasi Jaladara sadar tidak dapat mengalah terus. Ketika ujung pedang menyambar. ia sudah menyambut dengan tongkat ke dua menyusul menyerang siku lawan. Sekali gerak Wasi Jaladara sudah melancarkan serangan dua kali dan berbahaya.
Tetapi Prayoga tidak mundur malah menyongsong serangan lawan. Hal ini membuat Wasi Jaladara kaget dan berseru.
"Hai. kau kepingin mati?"
Tetapi Prayoga memang tidak ingin mati. Secara tiba-tiba ia miringkan tubuh ke samping dan terus menyelinap ke belakang lawan. Untung Wasi Jaladara tidak kurang tangkasnya. Ia menyabetkan tongkat ke belakang, disusul putaran tubuh.
Tetapi celakanya, lawan sudah tak ada dan ia kehilangan. Gerakan Prayoga berhasil membuat Wasi Jaladara kebingungan. dan dalam gugupnya menyapukan tongkat sambil berputar ke samping. Namun kembali sayang. lawan itu tidak juga tampak karena sudah-menyelinap lagi.
Bret !! tiba-tiba terdengar suara kain robek. Dan ternyata ujung pedang Prayoga telah berhasil memutuskan tali celana Wasi Jaladara. Orang tua ini marah dan memukul pedang lawan dengan tongkat. Berbareng itu ia mengulurkan tangan kiri dengan maksud merebut pedang Prayoga.
Trang !! hantaman tongkat yang keras menyebabkan lengan Prayoga kesemutan. Tetapi belum hilang sakitnya. tangan Wasi Jaladara sudah menyambar muka.
Prayoga mundur menghindarkan diri. Dan sayang ia tertipu, dengan mudah pedang sudah pindah ke tangan Wasi Jaladara.
Wajah pemuda itu merah padam saking malu. Namun pada saat itu terdengar suara ketawa yang riuh.
"Idih mengapa kakek itu tak tahu malu ? Menanggalkan celana di depan orang banyak ?" dua orang wanita yang mendampingi Ali Ngumar hampir berbareng mencela Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara kaget dan wajahnya pucat. sesudah menyadari apa yang terjadi. Ternyata celananya sudah merosot turun. karena tali putus. Secepatnya ia mengangkat celana. Saking malu. ia kemudian menantang Prayoga sesudah celana diselipkan pada ikat pinggang.
"Bocah, mari kita teruskan perkelahian ini."
Tetapi Prayoga yang merasa pedangnya sudah dirampas orang. mengaku kalah. Katanya.
"Paman. terima kasih atas kebaikan paman. Saya mengaku kalah dan tak berani melawan lagi."
Sesudah berkata. ia memungut pedang yang tadi dilempar oleh Wasi Jaladara lalu mundur dan kembali duduk di tempat semula.
Wasi Jaladara semakin kagum saja kepada pemuda tengeng ini. Katanya.
"Bocah, engkau hebat. Hanya sayang engkau telah salah memilih guru. Guru jahat!"
Ia mendelik marah gurunya dicela. Namun mendadak ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencurigakan, di samping Ali Ngumar. Sayang Prayoga belum memperoleh kepastian, bayangan siapa yang bergerak cepat itu.
Di saat ia sedang memutar otak, tiba-tiba mendengar orang menyapa,
"Prayoga! Bagus! Apa sebabnya engkau tidak mau menggempur bangsat itu dengan seluruh kepandaian dan tenagamu?"
Prayoga terkesiap. Dalam benaknya memang timbul rasa heran. Mengapa belum lama berpisah dengan gurunya, tetapi gurunya sudah berobah? Bukan saja sekarang menjadi galak. Padahal selama ini. gurunya tidak pernah mengeluarkan kata-kata "bangsat" dan sebagainya. Tetapi mengapa sekarang kata-kata itu diucapkan? Sayang sekali ia seorang pemuda berotak tumpul, jujur dan sederhana, ia tidak curiga sama sekali, dan menelan saja ucapan Ali Ngumar itu.
"Murid memang kalah," sahutnya sambil tunduk.
"Sudilah guru memberikan maaf!"
Sesudah berkata, ia memutarkan tubuhnya, kemudian menantang Wasi Jaladara lagi.
"Paman. Mari kita mengukur kepandaian lagi."
Prayoga telah melompat maju sambil menikam dada Wasi Jaladara. Akan tetapi sebelum Wasi Jaladara melayani, terdengar seruan nyaring.
"Tahan!" Munculnya orang itu membuat Prayoga kaget dan hampir saja pedangnya lepas. Selama ini Prayoga hanya mengenal, si Bongkok seorang gagu. dan sebagai pelayan rumah tangga gurunya, akan tetapi mengapa sebabnya si Bongkok itu sekarang dapat berbicara?
"Sedang mimpikah aku?" Prayoga mengeluh. Tetapi ia sadar dirinya tidak mimpi. karena itu ia bingung dan mematung.
Si Bongkok menuding kepada Ali Ngumar, lalu berteriak,
"Hai tuan Ali Ngumar! Apakah maksud tuan untuk menyuruh semua saudara yang hadir di sini, berhamba kepada Sultan Agung?"
Suara si Bongkok ini nyaring dan tajam. Pertanda bahwa orang tua itu memiliki tenaga sakti yang hampir sempurna. Sebaliknya Prayoga berdiam diri sambil memperhatikan, apa yang akan diucapkan oleh gurunya sebagai jawaban.
Pada mulanya Ali Ngumar memang kaget melihat munculnya si Bongkok. Tetapi rasa kaget itu cepat dapat ditekan, lalu sahutnya.
"Ya, aku memang bermaksud begitu."
Si Bongkok maju beberapa langkah lalu bertanya dengan lantang dan keras.
"Apakah itu maksudmu sendiri atau atas perintah Tumenggung Wiroguno yang memimpin pasukan Mataram?"
Semua orang berdiam diri tetapi kagum dan heran. melihat .si Bongkok berani menantang Ali Ngumar.
Sesaat kemudian Ali Ngumar bangkit berdiri, ia ketawa tawar dan wajahnya tampak cemas. Katanya.
"Semua itu tidak lain aku benar-benar memikirkan nasib para sahabat dan teman seperjuangan agar selamat dari malapetaka. Akan tetapi sebaliknya kalau kalian menghendaki mati. terserah!"
Rombongan Wasi Jaladara menjadi semakin panas. Saking tidak kuat menahan perasaan, beberapa orang sudah berteriak.
"Hai. apa alasanmu melarang kami melanjutkan perlawanan kepada Mataram? Kami berjuang tidak takut mati!"
Sebelum Ali Ngumar sempat menyahut. si Bongkok sudah beberapa langkah lagi dan melambaikan tangan memberi isyarat agar tenang. Sesudah sama tenang. ia berkata lagi,
"Hai tuan Ali Ngumar. Kenalkah engkau kepada orang buruk dan bongkok seperti aku ini?"
Prayoga beranggapan bahwa pertanyaan itu aneh. Sebab si Bongkok sudah lama kenal, dan malah pernah menjadi pembantu rumah tangganya.
Namun ternyata Ali Ngumar tampak ragu dan baru beberapa saat kemudian ia menjawab tidak lancar,
"Ya agakuya aku sudah pernah kenal dengan tuan tetapi kapan dan di mana... aku sudah tidak ingat lagi. Ah ...akupun sudah lupa pula siapakah nama dan julukan tuan... ."
Prayoga mendengar jawaban ini hanya menjadi bingung, dan tetap saja tidak dapat menduga apa yang terjadi. Padahal jawaban Ali Ngumar itu sudah bisa menimbulkan rasa curiga. kalau ia mau teliti. Manakah mungkin Ali Ngumar lupa kepada si Bongkok yang sudah menjadi pembantu rumah tangganya beberapa tahun.
Sebaliknya si Bongkok menengadahkan kepala sambil ketawa keras. Nadanya nyaring dan membelah angkasa. sehingga jantung setiap orang tergetar. Sesudah puas ketawa, barulah ia berkata,
"Aha. benar! Memang belasan tahun lalu. engkau pernah bertemu dengan aku, dan di sebuah pondok di kaki gunung Pandan. Ha ha, Justru sesudah peristiwa itu, terpaksa aku menjadi seorang bisu. Baru hari ini pula aku dapat memperoleh keterangan jelas. Huh, engkau masih berani jual lagak di sini? Apakah engkau tidak takut kalau tiba-tiba Ladrang Kuning muncul dan menghajarmu?"
Pucat seketika wajah Ali Ngumar. Ia memalingkan kepala. kemudian berteriak bingung,
"Swara Manis kemari...! Hai Swara Manis... ."
Menyaksikan semua ini seharusnya Prayoga sudah sadar kalau orang yang disangka gurunya itu. adalah palsu. Akan tetapi justru seorang bodoh, berotak tumpul. ia belum juga mau sadar bahwa yang disangka Ali Ngumar itu. sesungguhnya orang lain yang menyamar. Wasi Jaladara yang sejak tadi berdiam diri kemudian menghampiri si Bongkok, tersenyum dan bertanya,
"Bukankah sahabat ini saudara Baskara dari Cilacap?"
"Ah. aku memang Baskara dari Cilacap." sahut si Bongkok.
"Dan saudara. bukankah Ki Hajar Wilis atau Wasi Jaladara yang terkenal itu? Ah, sungguh tidak aku sangka. hari ini dapat bertemu di tempat ini."
"Jika saudara tak ingin kembali ke Cilacap, Wilis masih luas dan terbuka untuk saudara."
Sambil memegang lengan Baskara, ia melanjutkan,
"Dan aku ingin agar saudara sudi memimpin kami."
"Ah, setidaknya saudara tidak membuat aku malu, karena terlalu tinggi penghargaan saudara kepada diriku." sahut Baskara.
"Ah. sudahlah hal itu kita bicarakan waktu lain. Yang penting, sekarang ini aku harus membereskan secepatnya, untuk membuka kedok penipu busuk itu!"
Baskara cepat menghampiri Ali Ngumar. Membuat Ali Ngumar palsu itu gemetaran dan ketakutan. Saking takut. Ali Ngumar berteriak kalang kabut memanggil Swara Manis. Akan tetapi sayangnya orang yang dipanggil itu tidak tampak batang hidungnya lagi. Saking takutnya, kemudian ia lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri... .
Namun Baskara tidak lengah. Dengan sebat ia melesat mengejar sambil melancarkan serangannya. Melihat ini Prayoga cemas dan khawatir, Saking cemasnya ia melompat ke arah Baskara sambil menikam pundak orang.
"Kakek.jangan kurangajar!" teriaknya.
Sebenarnya Baskara akan menangkap orang yang telah menyamar Ali Ngumar. Dan ia akan mengorek keterangan. mengenai peristiwa belasan tahun lalu yang terjadi di kaki gunung Pandan. Sebab baginya, peristiwa itu sangat penting diketahui. hingga kemudian hari dapat memberi penjelasan tentang hilangnya pedang pusaka dan perginya Ladrang Kuning, sehingga Ali Ngumar hidup menderita.
Celakanya Prayoga masih belum sadar kalau gurunya itu palsu. ia tetap saja menyerang. hingga Baskara harus menghindar. Ia sudah mengenal watak dan tabiat pemuda ini, yang polos dan jujur. ia harus memberi keterangan. tetapi waktu sempit. Pada saat ini yang penting. harus dapat menangkap Ali Ngumar palsu itu.
Tetapi agar Prayoga tidak mengacau terus. menghadapi serangan Prayoga yang nekat itu, ia merendahkan tubuh. Tangannya cepat bergerak. jari tangan yang kuat telah berhasil menyambar tangan Prayoga. Sekali pijat, Prayoga merasakan kesakitan setengah mati, hingga pedangnya terlepas.
"Prayoga, jangan bingung dan cemas. Aku akan segera memberi penjelasan peristiwa ini." katanya.
Prayoga yang kaget oleh ketinggian ilmu si Bongkok, terlonggong keheranan. Tetapi ketika tidak melihat Ali Ngumar, ia bingung dan berteriak.
"Hai. di mana guruku... .?"
Memang di saat Prayoga menyerang Baskara tadi, Ali Ngumar palsu sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan dan menyelinap pergi.
Baskara mengejar cepat. karena masih sempat melihat bayangan Ali Ngumar palsu. Teriaknya ,
"Hai. kau hendak lari ke mana?"
'Tetapi Baskara tidak berhasil mencapai Ali Ngumar palsu. Dan tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk dan riuh rendah. Menyusul munculnya pasukan Mataram dalam jumlah besar. bersenjata lengkap. Dalam waktu singkat sekali, ribuan anak panah telah berhamburan, menghujani mereka yang masih di lapangan. Suara anak panah berdesingan. dan banyak orang berlarian dalam usaha menyelamatkan diri.
Yang paling sial si Bongkok. Karena di saat itu ia mengejar Ali Ngumar palsu. ia merupakan orang paling depan yang menjadi sasaran anak panah. Untung dia seorang tangguh, ia menyambar dua batang anak panah, lalu diputarkan untuk melindungi diri.
Dalam sekejap semua orang sadar bahaya. Mereka menggunakan senjata masing-masing untuk menangkis hujan anak panah itu.
Keadaan sekarang berlainan dengan tadi. Sekarang bukan saja kelompok Wasi Jaladara dan Baskara yang dihujani anak panah, tetapi juga mereka yang datang dan menyokong Ali Ngumar palsu, yang ingin mempengaruhi agar tunduk kepada Mataram. Akibatnya mereka bingung, mengapa bisa terjadi perubahan seperti ini. dan mengapa pula secara tiba-tiba pasukan Mataram sudah muncul dan menyerang.
Prayoga yang sampai saat itu
masih tetap menganggap, bahwa Ali Ngumar yang muncul tadi benar-benar gurunya, kembali terkenang kepada gadis pujaannya, Mariam. Ia berusaha mengejar Swara Manis dan ingin menanyakan tentang Mariam. Akan tetapi celakanya, hujan anak panah sedang berlangsung. Untuk dapat bergerak terus, ia gunakan pedang untuk menangkis. Namun hujan panah itu tidak semakin reda, melainkan malah seperti tercurah dari langit.
Semua orang bergerak mundur menjauhi pasukan Mataram, agar anak panah itu tidak kuasa menjangkau. Sebaliknya Baskara dan Prayoga tidak perduli. terus maju sambil menangkis semua anak panah yang datang.
"Kakek Bongkok!" teriaknya memanggil Baskara.
"Tolong selamatkan mbakyu Mariam. Sekarang dia menjadi tawanan Swara Manis!"
Baskara menghentikan langkah, hingga Prayoga dapat menyusul. Kakek ini memalingkan muka sejenak, kemudian berkata,
"Prayoga. Belum dua bulan aku meninggalkan engkau. Tetapi sekarang engkau telah maju pesat dalam ilmu kepandaian."
Namun Prayoga tidak memperhatikan. Kemudian ia malah menegur.
"Kakek, ternyata engkau seorang penipu. Mengapa engkau pura-pura bisu selama menjadi pembantu guru?"
"Heh-heh-heh," Baskara terkekeh.
"Engkau boleh berprasangka buruk terhadap diriku. karena engkau tidak tahu. Akan tetapi apabila harus bercerita. memerlukan waktu cukup banyak. Sebaiknya nanti saja pada saatnya. engkau akan tahu mengapa sebabnya aku purapura bisu. Yang penting sekarang, lebih dahulu aku harus dapat menangkap Ali Ngumar."
Lagi-lagi Prayoga tertegun mendengar gurunya akan ditangkap oleh Baskara. Akibatnya ia menjadi lengah, sehingga hampir saja telinganya dipanggang oleh sebatang anak panah. Ia berjingkrak kaget. Teriaknya,
"Kakek... mengapa engkau akan menangkap guruku? Bukankah bertahun-tahun engkau pernah menjadi pembantu rumah tangganya?"
Baskara menatap Prayoga menyelidik. Ia menghela napas. kemudian berkata setengah mengeluh.
"Jadi engkau masih juga beranggapan, bahwa orang tadi benar-benar gurumu?"
Dalam benakuya tergambar kembali tingkah laku Ali Ngumar tadi. yang jauh bedanya dengan kebiasaan. Akan tetapi sebagai murid yang patuh dan taat kepada gurunya, dan sebagai seorang pemuda berotak tumpul, ia masih belum percaya akan dugaan Baskara.
"Kakek... jika engkau akan menangkap guniku, lebih dahulu langkahilah mayatku..." dan secepat kilat Prayoga sudah mempersiapkan pedangnya untuk menyerang.
Akan tetapi hampir berbareng. dua batang anak panah datang menyambar. Yang sebatang lewat di sisinya, tetapi yang sebatang sempat merobek bajunya.
Prayoga menyerang Baskara dengan jurus ke tiga yang disebut Naga'prahara. Baskara tersenyum. Ia telah hafal semua gerakan ilmu pedang itu, justru tiap kali Prayoga berlatih, dirinya selalu mendapat kesempatan menonton. Kemudian ia menyambut serangan itu dengan anak panah untuk menangkis.
Namun Baskara sungguh terkejut. Tak pernah diduganya gerakan Prayoga jauh bedanya dengan apa yang sudah ia kenal. Dalam gugupnya, Baskara melompat ke samping, sehingga serangan Prayoga tak berhasil.
"Prayoga," tegurnya.
"Mengapa sebabnya engkau marah?"
Prayoga belum sempat menyahut, dari arah belakang terdengar suara genderang perang dipukul keras
keras, disertai sorak yang gegap gempita. Nampak kemudian beberapa buah perahu merapat ke tepi pulau, dan berlompatanlah sejumlah pasukan Mataram ke darat. Akibatnya rombongan orang yang menuju pantai terhadang. Dari belakang dihujani anak panah, dari depan menghadapi pasukan yang masih segar.
Menghadapi kenyataan pahit ini. Wasi Jaladara kalap dan mencaci-maki Ali Ngumar,
"Hai Kilat Buwono! Orang menganggungkan namamu sebagai ksyatria gagah perkasa. Tetapi sekarang ini terbukti. engkau hanya semacam anjing kudisan yang menjilat kaki Sultan Agung."
Sambil berteriak mencaci-maki. ia mengamuk. Tongkat yang diputarkan berhasil menghancurkan ratusan anak panah yang menyambar ke arahnya. Dalam waktu singkat ia telah berhasil mendekati Baskara dan Prayoga.
Kemarahan Prayoga meledak mendengar orang tinggi besar itu mencaci-maki gurunya, ia menggunakan pedang yang semula untuk menyerang Baskara. dialihkan kepada Wasi Jaladara sambil berteriak.
"Hai paman tinggi besar. Engkau mencaci maki siapa?"
Saat itu Wasi Jaladara sudah terlanjur marah. Ia tidak perduli. dan berteriak lebih keras.
"Ali Ngumar alias Kilat Buwono anjing kudisan! Pantas juga kalau isterimu marah dan meninggalkanmu, karena engkau memang seorang durhaka! Hayo, cepatlah keluar dan bertanding melawan aku!"
Dalam marahnya ini, serangan Prayogo segera disambut. sehingga antara mereka terjadi perkelahian sengit.
Si Bongkok Baskara berjingkrak-jingkrak, berteriak sambil minta agar mereka menghentikan perkelahian. Celakanya Wasi Jaladara dan Prayoga sudah kalap, mereka seperti tidak mendengar teriakan Baskara.
Pada saat itu, mendadak terdengarlah suara orang ketawa bekakakan. Lalu terdengar orang itu berseru,
"Ha-ha-ha. bagus... Anjing berkelahi dengan anjing. saling menggigit dan bercakaran. Huh. biarkanlah dua ekor anjing itu berebut tulang kosong ."
Suara itu amat dikenal oleh Prayoga, suara Swara Manis. Ia kemudian berpaling hingga tidak menyadari tongkat Wasi Jaladara siap menyambar kepalanya. Melihat Prayoga dalam bahaya, Baskara cepat berteriak,
"Tahan senjata!"
Wasi Jaladara sadar. Buru-buru ia mengurungkan serangannya. Tetapi karena terpaksa harus menarik tenaganya. ia terhuyung ke belakang. Celakanya cret... sebatang anak panah menyambar. menancap di pundaknya.
"Keparat busuk!" teriakuya. Lalu bersama Baskara, ia menyerbu ke bagian atas.
Berbeda dengan Prayoga yang sedang teringat kepada Mariam. Ia berhenti bergerak dan berteriak.
"Swara Manis! Cepat katakan. di mana engkau menawan mbakyu Mariam?"
Swara Manis mengejek untuk memanaskan hati Prayoga. Teriakuya.
"Hai tolol! Mengapa engkau bertanya kepadaku? Jika engkau selalu terkenang kepada gadis yang kau cintai. carilah sendiri. Ha-ha-ha. pemuda ditolak cintanya oleh gadis, masih juga tidak tahu malu dan terus mencari ."
Ucapan Swara Manis itu membuat Prayoga terlonggong. Ia masih ingat. pada malam itu Mariam memberi tanda mata kupu-kupu sutera. Tetapi mengapa sekarang Mariam telah menolak cintanya? Akibat semua itu Prayoga lupa diri dan lupa dalam keadaan hujan anak panah... Dan Swara Manis yang licin, melihat kesempatan itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. ia menyambar busur dari-salah seorang prajurit. Kemudian ia membidikkan dua batang anak panah ke arah Prayoga.
Cret... tiba-tiba sebatang anak panah menyambar tenggorokkan. Darah segar memercik keluar, dan rasa sakit membuatnya sadar.
Untung Prayoga masih sadar akan bahaya. Jari tangannya bergerak cepat menahan anak panah itu. sehingga tancapannya tidak dalam. Sedikit saja terlambat. maut sudah mengintai. Di saat ia kesakitan oleh panah yang menancap tenggorokan. menyusul sebatang anak panah yang lain. telah menancap pada betisnya.
Ia seorang pemuda gemblengan dan sejak kecil selalu menderita, ia tidak perduli apa yang terjadi, ia mengerahkan tenaga ke jari tangan untuk mencabut anak panah yang menancap tenggorokkan. Akibatnya, darah menyembur keluar. membasahi pakaian dan dadanya. Dan sesudah itu, Iapun segera mencabut anak panah yang menancap pada betisnya.
Tahu bahwa dirinya terluka oleh perbuatan Swara Manis, pemuda ini tanpa menghiraukan darah membasahi pakaian dan tubuh. sudah berlarian menuju ke tempat Swara Manis.
"Hai... kau terluka... .?" Baskara kaget.
Prayoga masih marah kepada Baskara maupun wasi Jaladara yang ingin menangkap Ali Ngumar. Ia memalingkan kepalanya sambil mendelik. Ah... ia kaget sendiri. sebab sakit tengengnya telah sembuh. Saking Gembira lehernya dapat bergerak lagi. ia menjadi lupa rasa sakit dan ketawa bekakakan. lalu berseru,
"Hai, leherku... mengapa sekarang dapat aku gerakkan .?"
Wasi Jaladara yang heran melihat tingkah laku Prayoga. bertanya,
"Hai bocah! Engkau itu sehat atau gila? Sudah mati atau masih hidup?"
Untung Prayoga tak mendengar, karena diliputi kegembiraan. Menurut pikirannya, sekarang sesudah dirinya tidak tengeng lagi. tidak malu kalau bertemu dengan Mariam. Ya. ternyata Prayoga yang gandrung linglung ini. segalanya ditujukan kepada gadis pujaannya. walaupun sekarang dalam keadaan luka.
Prayoga tidak menyadari. bahwa sebabnya menderita tengeng oleh ulah Ndara Menggung dalam usahanya menyelamatkan jiwanya. Dalam usaha menghentikan darah yang keluar dari mulut Prayoga. kakek linglung itu telah memijat urat darah pada tenggorokan. Usahanya memang berhasil. tetapi kakek linglung itu tidak menyadari akibatnya. Sebagai akibat tidak paham ilmu kesehatan. ia tak dapat membuka kembali dan akibatnya Prayoga tengeng. Sekarang. secara ajaib ia memperoleh pertolongan dari sambaran anak panah. Begitu terluka, urat darah yang semula tertutup kembali terbuka, dan lehernya dapat digerakkan kembali.
"Anak, lukamu harus cepat diberi obat." bujuk Baskara sambil memberikan sebungkus obat.
"Terlambat memberi obat. engkau bisa menderita."
Prayoga tak membantah. Bungkusan cepat dibuka, lalu mengobati lukanya.
Tak lama kemudian mereka sudah meneruskan serbuannya. Walaupun dihujani anak panah. mereka dan 0rang yang lain berhasil mendesak pasukan Mataram mundur.
Tetapi. pasukan Mataram yang bergerak mundur ke tepi laut itu. kemudian gempar dan kalang kabut. Semua orang kaget dan mengamati. Kemudian mereka melihat. seorang laki-laki berperahu mengamuk hebat. Setiap yang berdekatan akan berteriak kesakitan lalu tenggelam di laut.
Tak lama kemudian orang itu sudah mendarat. dan pasukan Mataram ketakutan bercerai-berai. Begitu mendarat. Prayoga gembira. Gurunya telah mengamuk menyebabkan pasukan Mataram cerai-berai. Ia
bangga, lalu berkata kepada Wasi Jaladara.
"Nah. lihatlah! Guruku seorang gagah, dan tidak seperti dugaanmu tadi."
Wasi Jaladara hampir mirip dengan Prayoga. jujur dan kurang dapat berpikir jauh.. Ia menjadi heran. bahwa Ali Ngumar dalam waktu singkat telah berobah. Tadi mengajukan agar takluk kepada Mataram. tetapi sekarang sudah mengamuk membunuhi prajurit Mataram. Mengapa bisa terjadi seaneh ini"?
Wasi Jaladara segera berlari menghampiri Ali Ngumar. Teriakuya nyaring.
"Hai, Kilat Buwono. Kami masih tetap menginginkan. agar engkau memimpin kami berjuang melawan Mataram."
Munculnya Ali Ngumar yang membuat pasukan Mataram cerai-berai itu. sebenarnya menimbulkan rasa heran semua orang. Mereka belum lupa. tadi telah menganjurkan takluk kepada Mataram. Akan tetapi mengapa sekarang sudah berubah dan bermusuhan? Apa yang mereka alami sekarang ini. membingungkan dan aneh.
Kilat Buwono mengamati Wasi Jaladara beberapa saat. Kemudian tersenyum lalu berkata,
"Benarkah aku berhadapan dengan Ki Hajar Wilis?"
"Ha-ha-ha. siapa lagi kalau bukan aku yang rendah?" sahutnya.
"Tetapi yang membuat aku heran. engkau sudah bermain sandiwara dan menyebabkan semua kebingungan."
Ali Ngumar kaget berbareng heran. Akan tetapi belum sempat berkata. tiba-tiba terdengar suara orang berteriak,
"Celaka! Akibat kita lambat, mereka sudah lolos!"
Orang itu Baskara. Melihat si Bongkok, alis Ali Ngumar berkerut.
"Hai. lekas kemari!" teriak Wasi Jaladara. dan si Bongkok menurut.
Tiba-tiba Ali Ngumar menyambar tangan muridnya. Sedang kepada Baskara. ia tidak menyapa karena masih tak senang. bertahun-tahun dirinya ditipu menyamar sebagai orang bisu.
"Hai Prayoga." tegur Ali Ngumar keren.
"Apa sebabnya engkau di sini? Lalu di manakah pamanmu Darmo Gati dan Darmo Saroyo? Dan di mana pula Sarini?"
"Guru," Prayoga tergagap.
"Apakah guru tidak tahu terjadinya pertempuran hebat di Mayong? Akibatnya pihak kita kocar-kacir dan aku... ."
"Apa sebabnya engkau lari? Takut mati?"
Ketika itu wajah Ali Ngumar merah padam. Nampak sekali. ia marah.
Prayoga kaget dan semangatnya terbang mendengar teguran itu. Ia tidak berani membuka mulut. dan hanya menjatuhkan diri berlutut. Baru beberapa saat kemudian. ia dapat berkata,
"Guru, murid ketika itu berhasil membobol kepungan musuh dan dapat lolos. Akan tetapi akibatnya murid berpisah dengan paman Darmo Gati dan paman Darmo Saroyo. Demikian pula murid terpisah dengan Sarini. Murid bukannya takut mati, tetapi karena keadaan."
Sesudah itu. Prayoga menuturkan apa yang telah terjadi. Sejak pergi dari Mayong. sampai pulau kosong, bertemu dengan Ndara Menggung. Mariam dan Swara Manis. Sebagai seorang polos. iapun mengaku pula telah melanggar pantangan perguruan. memberikan ilmu pedang kepada Ndara Menggung tanpa ijin gurunya.
Ali Ngumar mengerutkan alis mendengar pengakuan muridnya. Kemudian katanya bengis,
"Menurut peraturan dalam perguruan kita. kepada saudara seperguruanpun tidak boleh memberi tanpa ijin guru. Mengapa"
Kata-kata Ali Ngumar itu terputus oleh teriakan Wasi Jaladara yang lantang,
"Hai. Kilat Buwono! Jika engkau sampai menghukum bocah itu, engkau akan menyesal karena engkau bisa dituduh orang tidak bijaksana. Berarti pula engkau tidak dapat menimbang mana yang baik dan mana pula yang buruk!"
"Apa maksudmu?" Ali Ngumar heran dan berpaling.
Wasi Jaladara segera menceritakan apa yang sudah terjadi di pulau ini. Bagaimana Prayoga membela gurunya. dan tidak takut mati. Mendengar ini Ali Ngumar tergerak hatinya. Katanya kemudian
"Bangunlah! Setelah urusan selesai, urusan ini dapat aku pertimbangkan lagi. Hemm. sekarang engkau aku beri kesempatan menebus dosa, dengan menunjukkan jasa untuk membela bumi Pati..". ."
"Ha-ha-ha," Wasi Jaladara terkekeh.
"Ternyata engkau seorang pemain watak yang ulung, sahabatku. Lain tadi lain sekarang."
Ali Ngumar mengamati Wasi Jaladara dengan heran dan bingung. Apa sebabnya dirinya disebut pintar main sandiwara dan sebagai pemain watak yang ulung?
Mendapat kesempatan baik ini. Baskara cepat berkata.
"Tak heran kalau sampai terjadi salah sangka. Jika diceritakan, peristiwa ini memerlukan waktu panjang. Sebagai akibat dari semua itu, aku si Bongkok terpaksa harus menjadi pembantu rumah tangga dan berbareng pura-pura bisu. Hemm. sekarang akupun tak dapat menutup mata. bahwa saudara Ali Ngumar benar benar seorang ksatria gagah perkasa."
"Apa maksudmu?" Ali Ngumar mendesak.
"Sudahkah engkau pernah mendengar. di dunia terdapat seorang yang pandai menyamar, dan nama aslinya Bagus Warno?"
'Hemm. bukankah orang itu terkenal dengan julukan Dasamuka?" sahut Ali Ngumar.
Baskara mengangguk. Lalu katanya,
"Dia pandai sekali menyamar dan berganti rupa. meniru wajah maupun nada suara orang. Oleh kepandaian menyamar hingga sukar dibedakan mana yang asli dan mana yang bukan. Dia seorang pengecut. dan kepandaian satu-satunya memalsu orang lain. Dan oleh kepandaiannya menyamar tersebut. dia banyak berbuat jahat dan merugikan orang lain."
Ia berhenti. dan beberapa saat kemudian baru melanjutkan,
"Tadi orang itupun muncul di tempat ini dan menyamar sebagai saudara. Dalam kedudukannya sebagai tokoh Ali Ngumar tersebut. ia menganjurkan agar semua orang merobah pendirian. menghentikan perlawanan kepada Mataram."
Bukan hanya Ali Ngumar saja yang terkejut mendengar keterangan Baskara ini. tetapi juga mereka yang mendengar. Sejenak kemudian. Ali Ngumar bertanya,
"Benarkah semua itu? Dan benarkah pula orang itu dapat menipu banyak orang yang hadir?"
"Usahanya sekarang ini memang gagal." Baskara menjelaskan.
'Tetapi pada kira-kira duabelas tahun lalu. berhasil! Dia menerima upah dari orang, kemudian usahanya waktu itu. yang memainkan peranan menyamar sebagai saudara di kaki Gunung Pandan. berhasil baik. Dalam penyamaran itu dia berhasil menipu, sehingga akhirnya dapat mencuri pedang pusaka di samping dapat membuat isteri saudara pergi tanpa pamit."
Jantung Ali Ngumar berdebar keras. Ia melangkah maju dan mendesak.
"Engkau tahu peristiwa itu?"
"Bukankah Ndara Menggung pernah mengatakan pula. bahwa pada saat itu aku berada di tempat peristiwa yang terjadi?" sahutnya.
"Jadi. ketika itu aku memang menyaksikan dengan mata kepala sendiri."
Mendadak Ali Ngumar berteriak keras,
"Huh, di mana manusia jahat itu sekarang?"
Baskara menghela napas panjang. Kemudian ia menjawab penuh rasa sesal.
"Akibat terlambat. dia telah lolos. Jelas dia melarikan diri bersama Swara Manis. Menurut dugaanku, apabila saudara dapat bertemu dengan Swara Manis. akan bertemu pula dengan manusia terkutuk itu."
Mendengar keterangan ini Ali Ngumar tercengang dan mematung. Tanpa dikehendaki. gagasannya segera melayang kembali kepada peristiwa menyedihkan pada duabelas tahun lalu. Dan begitu teringat peristiwa itu, iapun segera teringat kembali kepada wanita aneh dalam perahu beberapa hari lalu. Tingkah laku dan ucapan perempuan itu samar-samar mengingatkan peristiwa waktu itu. Lalu siapakah sebenarnya perempuan aneh itu?"
"Sebaiknya kita cepat meninggalkan pulau ini. Dan apabila kalian setuju. sebaiknya ke tempat tinggalku saja," kata Wasi Jaladara mengajak mereka.
Mereka kemudian setuju ke Gunung Wilis. Lalu mereka beramai-ramai meninggalkan pulau Bawean ini dengan beberapa buah perahu. Ali Ngumar tidak banyak bicara. karena selalu tenggelam dalam peristiwa peristiwa duabelas tahun lalu. yang menyebabkan isterinya marah dan pergi.
Tergoda oleh peristiwa menyedihkan duabelas tahun lalu itu. kemudian Ali Ngumar memanggil Baskara, diajak bicara empat mata. Mereka kemudian asyik bicara perlahan. Dan dapat diduga Ali Ngumar sedang minta penjelasan kepada Baskara. tentang peristiwa duabelas tahun lalu yang menimpa keluarganya.
Tak lama kemudian, terdengar Wasi Jaladara berteriak.
"Hai aneh! Apa sebabnya perahu itu terkatung saja di tengah laut, dan tidak dapat bergerak?"
Semua orang segera mencurahkan perhatian ke arah yang ditunjuk Wasi Jaladara. Mereka semua heran melihat perahu itu. Perahu yang besar dilengkapi meriam dan jelas merupakan salah satu dari armada Mataram. Melihat itu Ali Ngumar teringat bahwa perahu tersebut. yang beberapa hari lalu ditumpangi oleh Mariam dan Swara Manis. Waktu itu perahu sudah tenggelam. Tetapi anehnya. mengapa sekarang perahu itu muncul lagi dan terkatung-katung di dampar gelombang laut?
"Siapa di antara kalian yang tahu keadaan laut di sini?" tanya Ali Ngumar kepada para awak perahu.
"Apakah di tempat ini terdapat karang?"
Tiba-tiba seorang awak perahu tampil dan menerangkan.
"Memang benar di tempat ini terdapat batu karang. Dan orang mengenal dengan sebutan laut Karang."
"Siapa nama Saudara? Dan apakah engkau tahu, di laut Karang ini menjadi tempat tinggal seorang wanita sakti bernama nenek Naga Gini."
"Nama saya Janma Mino." sahutnya.
"Dan memang benar, menurut cerita orang tua, laut Karang ini dihuni oleh nenek Naga Gini. Akan tetapi nenek itu sudah lama meninggal dunia."
Keterangan Janma Mino ini segera membangkitkan kenangan Ali Ngumar tentang perempuan aneh yang muncul secara tiba-tiba dalam perahu, beberapa hari lalu. Bukan mustahil kalau wanita aneh itu murid nenek Naga gini. namanya termasyhur sebagai wanita sakti mandraguna.
Otak Ali Ngumar bekerja. ia kemudian menghubungkan tentang perempuan aneh itu dengan apa yang sudah diceritakan oleh Baskara. Tiba-tiba saja ia mengeluh dalam hati. Sebab ia kemudian menduga. perempuan aneh itu bukan lain isterinya sendiri. Menduga demikian. ia kemudian mengamati Janma Mino seksama sekali. Dalam pandangannya, timbul kesimpulan bahwa orang di samping berpengalaman di dalam laut, juga seorang jago menyelam.
"Hai saudara Mino." katanya.
"Pernahkan engkau menyelam dan menyelidiki keadaan laut Karang itu?"
"Ya. kira-kira dua tahun lalu. pernah menyelam di laut itu dua kali". sahutnya pasti.
"Dalam laut itu aku temukan banyak batu karang yang aneh bentuknya. Tetapi sayang. aku tak berhasil menemukan tempat tinggal nenek Naga Gini".
Ali Ngumar mengangguk, katanya pula.
"Ilmu Kesaktian nenek Naga Gini itu disebut Sapta Jalanidhi. Sapta artinya tujuh dan Jalanidhi artinya laut. Itu merupakan ilmu kesaktian istimewa. Orang yang ingin meyakinkan ilmu tersebut. dalam melatih diri harus di laut. Orang itu hanya menyembul ke permukaan laut, apabila membutuhkan hawa untuk bernapas. karena di dalam laut harus menahan napas. Akhirnya apabila orang sudah berhasil mencapai tingkat sempurna sesuai dengan ajaran ilmu Sapta Jalanidhi tersebut, ibarat sebuah gunung yang kokoh kuat. Tak kan dapat digempur oleh gelombang samodera. Dan orang itu akan menjadi seorang tokoh sakti mandraguna pilih tanding."
Ia berhenti sejenak. baru kemudian meneruskan,
"Apabila nenek Naga Gini meyakinkan ilmu kesaktian di laut, menurut dugaanku di tempat tersebut tentu terdapat sebuah gua rahasia yang mempunyai tembusan ke darat. Hingga kemudian dapat hidup dan bertempat tinggal di tempat tersebut. Dan apabila saudara Mino belum berhasil menemukannya, itu kemungkinan hanya kurang teliti saja."
Janma Mino mengiakan. tetapi Wasi Jaladara yang cemas dan khawatir segera mencegah.
"Saudara Kilat Buwono. lupakah engkau bahwa sekarang ini kita sedang menghadapi tugas berat dan besar?"
Tetapi Ali Ngumar mendengus saja. tanpa memperdulikan yang lain lalu terjun ke laut. lalu disusul 0leh Janmo Mino. Menghadapi keadaan ini. Wasi Jaladara segera minta agar menurunkan layar, perlunya perahu tidak melaju. Agar dapat menunggu Ali Ngumar dan Janmo Mino yang sedang menyelam.
Mereka kemudian tiba pada deretan batu karang di dasar laut. Batu-batu karang itu menjulang tinggi. Dan sepintas lalu seperti bukit barisan. Tetapi Ali Ngumar dan Janmo Mino menyelam semakin dalam. Untuk menyelidiki rahasia laut karang ini. Dan karena siang hari, maka mereka dapat melihat nyata-nyata keadaan laut. oleh pertolongan sinar matahari.
Sudah berputaran menyelidik. tetapi belum juga dapat menemukan goa yang dimaksud. Janmo Mino yang sudah pernah menyelidik, memberi keterangan dengan isyarat.
Ali Ngumar merenung beberapa saat, untuk mengingat-ingat keterangan yang sudah pernah ia peroleh. ia masih ingat. bahwa disaat meyakinkan ilmu kesaktian Sapta Jalanidhi tersebut. orang tidak boleh bersentuhan dengan benda apapun dan walaupun kecil. Apabila demikian, tidak mungkin orang dapat meyakinkan ilmu di tempat terbuka, karena bisa bersentuhan dengan binatang laut. Oleh karena itu. tentu terdapat tempat yang khusus dan rahasia. Tetapi di manakah tempat itu? Setelah menyelidik beberapa lama. kemudian terlihatlah sebuah batu karang yang bentuknya aneh dan berlainan dengan yang lain. Batu karang tersebut licin, dan tiada tumbuhan laut melekat. Semula batu karang ini tidak tampak. karena telah tertimbun oleh pasir.
Ali Ngumar segera memberi isyarat kepada Janmo Mino. Sesudah Janmo Mino datang. mereka berdua mulai menyingkirkan pasir. Sesudah berhasil menyingkirkan pasir. ia memberi isyarat kepada Janma Mino
agar agak menjauh. Lalu ia menggunakan tangannya untuk memukul ke depan. Sebagai akibat dari pukulan yang di lambari tenaga sakti itu. timbullah air yang deras melanda ke depan. Kemudian secepatnya ia menarik tangannya ke belakang, dan air itupun kemudian membalik.
Dengan cara mendorong dan menarik seperti itu, maka timbullah tenaga air yang dahsyat. Janmo Mino yang sudah menyingkir agak jauh. akhirnya tak sanggup menghadapi damparan air dan tak dapat berdiri tegak.
Dugaan Ali Ngumar ternyata benar. Sesudah batu larang itu dilanda oleh gelombang air yang digerakkan Oleh tangan Ali Ngumar maju dan mundur. akhirnya batu karang tersebut dapat berkisar. Sesudah batu karang itu dapat digeser. muncullah sebuah goa .
Dalam gembira oleh dugaan yang berhasil. Ali Ngumar cepat-cepat masuk ke dalam goa. Ia memastikan bahwa goa inilah tempat nenek Naga Gini dahulu meyakinkan ilmu Sapta Jalanidhi dan bertempat tinggal.
Kemudian Ali Ngumar menyelidiki dinding goa sambil berenang. Pandang matanya yang awas. dapat melihat bahwa pada dinding goa tersebut terdapat guratan-guratan hasil kerja orang. Guratan itu bentuknya mirip dengan huruf. akan tetapi kemungkinan karena sudah aus menjadi tidak jelas lagi.
Janmo Mino yang mengikuti gerakan Ali Ngumar ikut memperhatikan apa yang diperhatikan oleh Ali Ngumar. Akan tetapi pengetahuannya yang terbatas. dan karena tidak dapat membaca, ia tidak tahu maksud corat-coret itu.
Tiba-tiba perhatiannya beralih kepada corat-coret pada sisi dinding yang lain. Tetapi tidak berbentuk huruf. melainkan lukisan. Digambarkan adanya sebilah gubug dan di dalamnya terdapat seorang wanita yang tidur di balai. Melihat roman wajahnya jelas perempuan
itu malu dan amat marah. Di samping balai tampak dua orang laki-laki yang bengis. Laki-laki itu sedang mencekik leher laki-laki lain yang mirip dengan Ali Ngumar. Dan laki-laki yang wajahnya mirip Ali Ngumar itu tampak sedang meratap ratap minta ampun. Oleh air yang selalu bergerak. membuat lukisan pada dinding goa itu hidup.
Berubahlah wajah Ali Ngumar melihat lukisan tersebut. Jelas bahwa lukisan itu mengingatkan keterangan Baskara. Dua orang penjahat yang dilukiskan tersebut sedang mencekik Ali Ngumar. adalah pencuri pedang pusaka milik Ali Ngumar dan Ladrang Kuning. Mereka secara licik telah masuk gubug ketika Ali Ngumar sedang mendaki Gunung Pandan, mencari daun dan akar obat untuk mengobati Ladrang Kuning. Jelas penjahat itu telah menyewa Bagus Warno alias Dasamuka, menyamar sebagai Ali Ngumar. Dalam keadaan tersebut, disuruh membujuk Ladrang Kuning agar menyerahkan pedang pusakanya.
Ali Ngumar tergagap berbareng marah. menduga seperti itu. Dan kini ia menyadari bahwa isterinya marah kepada dirinya. Hanya sayang, tanpa sepatah katapun isterinya telah pergi. Kalau saja waktu itu Ladrang Kuning tidak tergesa pergi, mungkin tidak sampai terjadi salah faham yang berlarut-larut. Sekarang melihat lukisan pada dinding goa ini jelas. tentu isterinya yang sudah melukis.
Kemudian Ali Ngumar menduga. tentunya Ladrang Kuning berhasil menemukan goa di mana dahulu dipergunakan oleh nenek Naga Gini untuk bertapa dan meyakinkan ilmu Sapta Jalanidhi. Guratan pada dinding di sekeliling goa itu jelas merupakan catatan ilmu kesaktian Sapta Jalanidhi. Berpedoman dan melatih diri dengan ilmu tersebut. Ladrang Kuning kemudian dapat menguasai ilmu sakti peninggalan nenek Naga Gini. Sebagai seorang wanita yang berotak cemerlang. ia menyadari manfaat dari ilmu pelajaran ini. Agar orang lain tidak sempat dapat mempelajari, maka Ladrang Kuning telah mengacau catatan tersebut dengan coretan-coretan yang merusak catatan ilmu tersebut.
Sekarang menjadi semakin jelas. bahwa wanita aneh yang telah muncul di perahu waktu itu, jelas isterinya sendiri. Ia menghela napas panjang berbareng menyesal dan malu. Mengapa waktu itu dirinya seperti linglung, tidak mengenal lagi isterinya, dan juga tidak dapat menarik kesimpulan, bahwa orang yang dapat bicara peristiwa rumah tangganya, tentunya bukan orang lain.
Menyadari keadaan. kemudidan terpikir kesalahfahaman ini harus dapat diatasi secara tuntas. Jalan satu-satunya ia harus dapat mencari isterinya. yang sekarang sudah menjilma menjadi wanita sakti. Di samping itu, dirinya harus pula dapat menangkap Bagus Warna yang sudah menyamar sebagai dirinya. Tanpa adanya pengakuan Bagus Warna, sulitlah isterinya mau mengerti.
Janmo Mino yang tak tahu sebab-sebabnya. heran melihat keadaan Ali Ngumar. Tetapi ia tidak mau mengganggu dan mengusik.
Setiap orang yang menyelam dalam air, terpaksa tidak bernapas. dan hal ini menyebabkan ada batasnya. terlalu lama menyelam dalam air tanpa peralatan membuat napas sesak. Oleh sebab itu kemudian Ali Ngumar menutup kembali goa, kemudian mengajak Janma Mino meninggalkan dasar laut tersebut.
Baru saja muncul di permukaan laut, Ali Ngumar sudah berpesan.
"Saudara Mino. aku minta bantuanmu. Setidaknya engkau tidak menceritakan hal tersebut kepada orang lain."
Janmo Mino mengiakan. Kemudian mereka melihat,


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu yang ditumpangi Wasi Jaladara dan kawan-kawannya masih dalam jarak dekat. Akan tetapi yang membuat mereka heran. mengapa perahu tersebut terombang-ambing. Dan tampak pula para penumpang perahu itu dalam kebingungan.
Ali Ngumar dan Janmo Mino cepat berenang menghampiri perahu tersebut. Setelah dekat. mereka melihat semua penumpang perahu berkumpul di tepi. Mereka mendengar suara angin pukulan yang keras dan tampak pula Wasi Jaladara sedang mengamuk. Melihat itu Ali Ngumar amat khawatir dan cepat-cepat mendekati. Semakin dekat, Ali Ngumar kaget bukan main. Ternyata di perahu, sedang terjadi pertempuran. Wasi Jaladara berkelahi melawan seorang wanita berambut panjang reyap-reyapan.
"Ah...." Ali Ngumar berseru tertahan. tetapi dalam hati gembira, ia tidak lupa, perempuan inilah yang pernah dijumpai, di saat dirinya akan menghukum Swara Manis. Tak salah lagi. wanita ini isterinya sendiri, Rasa Wulan alias Ladrang Kuning.
Tongkat baja Wasi Jaladara menyambar-nyambar, tetapi perempuan itu dengan lincah dapat menghindari. Melihat keadaan itu. Ali Ngumar tahu bahwa sesungguhnya Wasi Jaladara bukan tandingan isterinya.
Dugaan Ali Ngumar benar. Tak lama kemudian tongkat Wasi Jaladara menjadi kacau gerakannya. oleh tekanan serangan lawan. Hanya berkat tenaga dalam Wasi Jaladara yang sudah tinggi. masih sanggup bertahan diri.
Insaf bahwa Wasi Jaladara bukan tandingan isterinya. Ali Ngumar menjadi cemas dan khawatir. Ia khawatir kalau Wasi Jaladara akan menderita kekalahan dan terluka. Ali Ngumar mempercepat gerakannya untuk segera meloncat ke perahu dan menolong Wasi Jaladara. Akan tetapi ketika dirinya sudah dekat denga perahu dan akan melenting, tiba-tiba terdengar Janma
Mino menjerit. Matanya mendelik. tangan teracung ke atas sedang tubuhnya tiba-tiba kejang.
"Hai. apa yang terjadi?" seru Ali Ngumar kaget.
Janmo Mino terengah-engah. ucapannya tersendat sendat,.
"Sudahlah... tinggalkan aku! Lekas ....... tinggalkan aku... agar tidak tambah korban lagi... ."
Untuk sejenak Ali Ngumar tertegun. Namun ia sadar bahwa sebabnya Janmo Mino terjun ke laut, oleh permintaannya. Ia tak mungkin berpangku tangan melihat orang itu terancam bahaya. Karena itu ia cepat menghampiri sambil berteriak,
"Saudara Mino, engkau menderita kejang?"
"Jangan... jangan dekati aku... ." teriak Janmo Mino. Sesudah berteriak, Janmo Mino meregang dan beberapa saat kemudian tenggelam dalam air. Ali Ngumar kaget sekali. Ia mengerahkan tenaga dan menyelam. Tetapi baru saja ia menyelam. mendadak ia merasakan pahanya dililit oleh benda yang lunak. Lilitan itu kencang sekali sehingga tidak lagi kuasa bertahan dan terseret makin dalam. Untung Ali Ngumar masih tetap tenang. Ia masih sempat dapat melihat. Janmo Mino dalam keadaan serupa dengan dirinya. Tampak benda hitam telah melilit tubuh Janmo Mino dan tubuhnya sendiri. Hanya karena air bergerak terus. ia tidak dapat melihat secara jelas, mahkluk apa yang sudah menyerang dirinya.
Namun sesudah gerakan air mereda, barulah samar-samar ia melihat. Janmo Mino dililit semacam jaring berwarna putih. Tiba-tiba ia merasakan kakinya sakit sekali. Ia mengerahkan tenaga saktinya untuk kemudian meronta sekuat tenaga. Namun ia amat terkejut. Tenaga saktinya tak mampu melepaskan diri. malah ia merasakan kakinya tambah sakit.
Dalam keadaan bingung dan heran, tiba-tiba ia
melihat semacam benda putih bergerak. Kemudian ia melihat pula adanya sinar terang yang memancarkan warna hijau. Tiba-tiba saja Ali Ngumar sadar. dirinya sekarang dalam bahaya oleh lilitan gurita raksasa. Jika tidak cepat bertindak dan melakukan perlawanan, nyawanya dalam bahaya. Ali Ngumar mengerahkan tenaga sakti dan meronta untuk kedua kalinya. Saking kerasnya gerakan Ali Ngumar menyebabkan air laut bergelombang besar. Namun celakanya gurita raksasa itu tak juga mau melepaskan lilitannya. Meskipun demikian. telinganya yang peka dapat menangkap suara gemeretak. Jelas walaupun masih tetap masih tetap melilit, tetapi makhluk itu sudah terluka. dan terbukti lilitannya mengendor.
Gurita raksasa yang merasakan kesakitan itu, memang benar mengendorkan lilitannya. Tetapi bukan berarti mau melepaskan. karena belalai yang lain segera menggantikan tugas untuk membelit Ali Ngumar. Sebagai mahkluk yang mempunyai belalai delapan buah. gurita ini dapat memindahkan korbannya.
Menghadapi keadaan yang semakin gawat, Ali Ngumar sadar. tidak dapat melawan tanpa senjata. Tangannya segera meraba pinggang. Ketajaman pedangnya akan sanggup memapas putus belalai yang ganas itu. Akan tetapi ia menjadi mengeluh, karena pedangnya tertinggal di perahu. Tiba-tiba saja ia menyesal. mengapa di saat terjun ke laut, dirinya tidak membekal senjata. Sekarang mau tidak mau dirinya harus menghadapi mahkluk ini dengan tangan kosong.
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga sakti kemudian meronta. Usahanya sekarang ini berhasil dan dapat melepaskan diri. Namun ia tidak mungkin membiarkan Janmo Mino menjadi korban. ia berenang dan berputaran sejenak, ia menghampiri gurita tersebut untuk menyerang. Dalam jarak dekat ia melihat bahwa Janmo Mino sudah berhasil diringkus gurita tersebut. Dan saat itu. Janmo Mino telah diangkat dan didekatkan dengan
mulut. jelas sudah akan menjadi mangsa gurita itu. A-li Ngumar menjadi sangat khawatir.
Untung Ali Ngumar masih dapat melihat. bahwa Janmo Mino masih bergerak-gerak seperti sedang meronta. Melihat itu timbul harapannya. Secepat kilat ia menerjang maju sambil mengerahkan tenaganya. memukul belalai yang melibat Janmo Mino. Maksudnya apabila berhasil. lilitan kepada Janmo Mino akan lepas.
Tetapi pukulan di dalam air. pengaruhnya jauh berbeda dengan di daratan. Akibat daya tekanan air, tenaga itu sebagian hilang oleh perlawanan air, dan lagi pula belalai gurita itu licin sekali. Tetapi walaupun demikian. pukulan itu memberi pengaruh juga. Terbukti gurita itu kemudian menyerang dirinya.
Namun Ali Ngumar tidak menghiraukan bahaya
mengancam dirinya. Yang penting Janmo Mino harus dapat ditolong. Maka secepat kilat tangannya bergerak dan mencengkeram belalai yang melilit tubuh Janmo Mino. Apabila di daratan. tenaga sakti dan cengkeraman itu akan dapat menghancurkan batu. Tetapi di dalam air. cengkeraman itu hanya berhasil memutuskan belalai yang melilit tubuh Janmo Mino. Merasakan lilitan pada tubuhnya mengendor. Janmo Mino yang masih hidup dan sadar segera meronta. Sesudah berhasil melepaskan diri, Janmo Mino segera melambung ke permukaan air. Cepat-cepat Ali Ngumar mengikuti jejak Janmo Mino. Akan tetapi baru beberapa saat lamanya. tiba-tiba ia merasakan pinggang dan pahanya secara berbareng telah dililit belalai gurita.
Jelas binatang itu marah sekali menderita luka. Maka sekaligus menggunakan dua belalai. untuk melihat pinggang dan paha. Namun Ali Ngumar tidak mau menyerah. Ia melawan dengan gigih. Belalai yang melilit pinggang segera dipukul dan putus. Tetapi celakanya, belalai yang lain segera menggantikan dan melilit lagi. Dan berbareng itu, dirinya juga sudah diseret ke dasar laut.
Gerakan gurita itu cepat sekali. Akibatnya Ali Ngumar gelagapan karena air masuk ke dalam hidung. Buru-buru ia menahan napas. tetapi dengan demikian gerakannya menjadi lambat.
"Celaka...! Apakah aku harus mati menjadi mangsa gurita?" ia mengeluh.
Namun dalam saat bahaya ini. tiba-tiba saja ia teringat kepada lukisan di dinding goa. Dirinya digambarkan sebagai pengecut. tidak dapat membela isterinya tetapi malah minta ampun kepada penjahat.
Teringat lukisan itu. tiba-tiba saja ia sadar. Dirinya masih menghadapi urusan salah-faham dengan isterinya. dan belum dapat diselesaikan. Di samping itu dirinya juga masih mengemban tugas membela Kadipaten Pati, dari serbuan Mataram. Teringat semua itu, mendadak saja semangatnya timbul. Apapun yang terjadi dirinya harus melawan dan dapat menyelamatkan diri.
Sambil mengerahkan tenaga sakti ke telapak tangan, ia menabaskan telapak tangannya itu ke arah belalai gurita. Usahanya berhasil. Dua belalai sekaligus putus. Secepat kilat ia meronta kemudian melambung ke atas menyelamatkan diri.
Akan tetapi celaka. Sekalipun gurita tersebut menderita luka dan tinggal sebuah belalai yang masih utuh. tetapi gurita itu tak mau menyerah dan mengejar Ali Ngrrmar. Binatang ini dalam keadaan luka dan marah. Apabila Ali Ngumar lengah, ancaman bahaya lebih besar lagi.
Mendadak timbullah akal. Ketika belalai itu membelit dirinya. ia tidak meronta dan melawan. Ia membiarkan dirinya diseret lagi ke dasar laut. Secara kebetulan. Ali Ngumar diseret ke arah barisan batu karang,
yang belum lama berselang diselidiki.
Mendadak timbul harapan dalam hati Ali Ngumar. Di saat dirinya diseret gurita tersebut. secepatnya ia menghantam bagian batu karang yang pipih hingga patah. Ali Ngumar gembira, potongan batu karang itu dapat dipergunakan sebagai senjata melawan gurita ini. Maka di saat belalai itu bergerak untuk mendekatkan korban ke mulut. saat itu pula Ali Ngumar mengerahkan tenaga dan menghantamkan batu karang tersebut ke mulut gurita. Dan sesudah itu, secepat kilat tangannya menghantam belalai. sehingga belitan lepas. Kemudian dengan tangkas, Ali Ngumar melesat ke belakang.
Hantaman Ali Ngumar yang penuh tenaga itu, menyebabkan batu karang masuk ke dalam mulut gurita. Tetapi gurita itu tidak segera mati. Gurita tersebut kemudian menggerakkan perut hingga mengempis dan menggembung. Mungkin sekali, gurita itu dalam kesakitan berbareng marah. Terbukti walaupun sudah tidak mempunyai belalai lagi binatang itu masih mengamuk. Tetapi amukannya itu justru mempercepat kematiannya. Setelah beberapa saat lamanya bergerak ke sana ke mari, binatang itu tidak bergerak dan mati... .
Selepas dari bahaya Ali Ngumar ingin melambung untuk dapat bertemu dengan isterinya. Akan tetapi tiba-tiba pandang matanya tertumbuk kepada sebuah benda bercahaya di tempat binatang itu mati. Ia mendekati dan mengamati seksama. Kemudian dilihatnya dengan jelas, perut gurita itu sudah pecah oleh batu karang. Dan benda berkilau tersebut, ke luar dari perut si gurita.
Karena tertarik ia mendekat. Benda tersebut dipungut dengan cepat. Ternyata sebuah kotak yang sudah terbungkus oleh lemak. Agaknya benda itu sudah amat lama menghuni dalam perut gurita.
Tanpa pikir panjang lagi. benda tersebut segera di
ikat pada pinggangnya. Kemudian ia mengerahkan tenaga untuk muncul ke permukaan laut. Ia sudah tidak kuasa lagi menahan rasa rindu kepada isterinya.
Akan tetapi ia menjadi terlonggong dan berdebar setelah muncul di permukaan laut. Ia tidak dapat mengingat lagi. berapa lama ia berjuang melawan si gurita. Namun yang jelas. di laut itu sekarang sudah tidak tampak lagi perahu Wasi Jaladara. Ke mana perahu itu pergi dan mengapa pula tidak mau menunggu?
"Hemm..." ia mengeluh.
"kalau saja tidak diganggu gurita. tentu aku sudah dapat bertemu dengan Rasa Wulan... ."
Daratan masih amat jauh. Tak mungkin dirinya kuat berenang ke daratan. Padahal saat itu tidak tampak sebuahpun perahu. Apakah dirinya harus mati tenggelam dalam laut. sesudah berjuang mati-matian melawan gurita?
Tetapi agakuya Tuhan belum menghendaki Ali Ngumar mati. Mendadak ia melihat sebatang kayu terapung di laut. Cepat-cepat ia berenang mendekati kayu tersebut. Hatinya menjadi lega setelah berhasil. Dengan pertolongan kayu ini. dirinya sekarang dapat mengaso untuk memulihkan tenaga.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menyelidiki kotak yang baru saja diketemukan. Ia membersihkan lemak yang melapis kotak itu. Setelah berhasil. tangannya gemetar dan matanya membelalak. Ternyata kotak tadi hanya kecil. namun terbuat dari emas. Kunci kotak masih berada di lobang kunci, dan ketika dibuka kotak emas itu berisi sebutir mutiara dengan cahaya kemilauan.
"Ahh...!" ia mengeluh. Ia masih belum lupa. bahwa kotak emas itu miliknya sendiri. Dulu. kotak emas berisi mutiara ini dihadiahkan kepada Rasa Wulan. di saat mereka berdua mengarungi samudera perkawinan.
Akan tetapi mengapa sebabnya kotak emas ini lepas dari tangan isterinya? Mungkinkah Rasa Wulan dalam keadaan marah itu. membuang kotak emas ini untuk melampiaskan kemarahannya kepada dirinya?
Namun kemudian dirinya sadar masih terapung di laut. Setelah tenaganya pulih kembali. ia segera menggerakkan kayu tersebut menuju daratan. Berbareng dengan terbenamnya matahari, Ali Ngumar sudah berhasil mendarat.
Ia memandang sekeliling. Pantai ini sepi sekali. dan rasanya belum pernah mengenal. Namun demikian ia tidak mau berhenti. ia teringat tugas penting yang dipikul, untuk membela Kadipaten Pati. Diam-diam ia menyesal, dirinya tak berhasil mempertahankan Mayong. karena waktu itu dirinya tidak berada di tempat tersebut. Bukan saja Mayong sudah diduduki musuh, tetapi Kudus pun sudah lepas dari Pati.
Ia belum mengenal daerah ini. Namun ia tidak takut dan melangkah cepat. Tetapi ketika dirinya akan masuk sebuah hutan, mendadak berhamburan anak panah yang puluhan banyaknya . menyerang dirinya.
Ia kaget sekali, Ia mengira sedang berhadapan dengan pasukan Mataram yang sengaja menghadang dirinya. Bagi dirinya serangan anak panah seperti itu bukan apa-apa. Dengan menggerakkan dua tangannya, semua anak panah dapat dihalau oleh tangkisannya.
Ali Ngumar pantang mundur. Secepat kilat ia melesat maju dengan maksud untuk menangkap salah seorang dari mereka, untuk dimintai keterangan. Namun sebelum ia sempat melaksanakan niatnya, tiba-tiba sudah terdengar suara seorang wanita yang dibesarkan untuk meniru suara laki-laki.
"Hai kisanak. Bukit ini milikku. dan jalan ini kami pula yang membuat. Kalau kisanak mau lewat tempat ini harus sedia membayar pajak."
Belum juga lenyap teriakannya. sesosok tubuh yang langsing telah meloncat ke luar dari tempatnya bersembunyi. Kemudian dengan garang, wanita itu sudah berteriak,
"Wah, bagus sekali! Malam ini kita dapat seekor kambing gemuk yang datang sendiri."
Wanita itu sudah mulai menyerang. Tetapi dengan tangkas Ali Ngumar menangkap batu yang dilepaskan oleh penyamun perempuan tersebut sambil membentak,
"Kurangajar!" Melihat batu yang lepas dari bandringannya dengan gampang dapat ditangkap calon korbannya, pemimpin penyamun itu takut dan melarikan diri sambil berteriak.
"Kawan-kawan, makanan keras dan angin kencang. Lariiiii... .!"
Ini merupakan aba-aba. bahwa calon korbannya orang sakti dan berbahaya kalau dilawan. Karena itu lebih baik lari menyelamatkan diri.
Akan tetapi sesudah berhasil menangkap batu yang menyambar dadanya, Ali Ngumar menjadi gembira. Secara tidak terduga telah berhadapan dengan muridnya sendiri, Sarini, yang agakuya sekarang menjadi pemimpin penyamun. Teriakuya,
"Hai Sarini. Apa maksudmu dengan permainan ini?"
Mendengar seruan itu pemimpin penyamun wanita yang bukan lain memang Sarini, menghentikan langkah. Ia membalikkan tubuh, dan sesudah tahu bahwa yang diserang tadi gurunya sendiri, wajahnya berubah merah dan malu.
Tak lama kemudian muncul puluhan orang laki-laki bersenjata. Melihat Sarini berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki, sudah menduga keliru. Mereka mengira Sarini dikalahkan, dan pemimpinnya dalam bahaya. Maka mereka segera maju untuk mengeroyok dan membela sang pemimpin.
Sebaliknya Sarini menjadi khawatir kalau gurunya
marah. Cepat ia membentak dengan garang.
"Hai. genteng kosong yang tak tahu diri. Apakah kamu sudah buta dan tidak mengenali guruku lagi? Huh. kamu jangan kurangajar dan banyak tingkah di depan guruku!"
Ternyata bentakan Sarini amat berpengaruh. Puluhan orang tidak berani membantah. lalu berdiam diri di tempat masing-masing. Sesudah anak buahnya tidak berisik.Sarini memberi hormat kepada gurunya lalu berkata.
"Guru, lewat tiga hari sesudah bapa pergi, pasukan Mataram yang besar jumlahnya telah menyerbu Mayong. Akibatnya kami tak dapat bertahan... dan murid khawatir kalau kakang Prayoga, paman Darmo Gati dan Darmo Saroyo telah gugur... Dan... dan murid terpaksa melarikan diri akhirnya tiba di hutan ini. Dari sedikit murid dapat menghimpun tenaga. dan sekarang jumlahnya hampir dua ratus orang. Di bawah pimpinan murid... semua orang ini tunduk. Maksud saya guru, tenaga ini akan saya pergunakan untuk melawan pasukan Mataram... ."
Ali Ngumar kaget berbareng bangga sekalipun perempuan dan masih muda pula, tetapi Sarini dapat menundukkan ratusan orang. Berbeda sekali dengan Mariam. anaknya sendiri. melalaikan kewajiban dan hanya menurutkan cinta yang buta....
"Hem... Prayoga tidak mati seperti kau duga." sahut Ali Ngumar.
"Benarkah itu?"
"Tentu! Aku sudah bertemu dengan dia."
"Ah. saya gembira sekali," Sarini berjingkrak girang. Kemudian.
"Tetapi di mana mbakyu Mariam sekarang?"
Pertanyaan itu membuat Ali Ngumar ingat akan perbuatan anaknya yang memalukan. Ia menghela napas panjang dan tidak menyahut.
Sarini tahu watak gurunya. Walaupun belum jelas, ia sudah dapat menduga adanya masalah antara gurunya dengan Mariam. Maka cepat-cepat gadis ini mengalihkan pembicaraan.
"Saya gembira bertemu dengan guru. Sekarang murid telah mempunyai hampir dua ratus prajurit. memiliki puluhan kuda dan perlengkapan perang. Dengan begitu kita akan dapat melawan musuh!"
"Apakah engkau sudah mendapat kabar keadaan Pati?"
Sarini menghela napas. lalu jawabnya.
"Beberapa orang telah murid tugaskan menyelidiki ke sana. laporan yang murid terima, pasukan Mataram belum berhasil menduduki Pati."
"Alhamdulillah..." Ali Ngumar bernapas lega. Dengan begitu masih mendapat kesempatan membela Kadipaten Pati.
Guru dan murid. dengan dikawal oleh puluhan orang. segera melangkah menuju markas. Tak lama Kemudian mereka sudah tiba pada sebuah bukit rimbun yang dilindungi pohon lebat. Markas tersebut menempati sebuah bangunan tua. dan sekelilingnya dibangun rumah panjang beratap ilalang, tempat istirahat anak buah. Melihat ini Ali Ngumar mengangguk-angguk kagum. Walaupun masih muda dan wanita pula. Sarini patut menjadi suri tauladan.
Setelah duduk di dalam markas. kemudian Sarini menceritakan apa yang sudah dialami. Pasukan Mataram menyerbu Mayong secara mendadak. di saat pasukan Pati dalam keadaan tidak siap. Akibatnya pasukan Pati berantakan dan menyelamatkan diri. Sesudah itu. ia
menceritakan sebabnya bertempat tinggal di sini. dan menjadi pemimpin penyamun. Diceritakan bahwa di saat dirinya tersesat di hutan ini. dirinya berhadapan dengan Karto Gento. pemimpin penyamun. Karto Gento tertarik oleh kecantikannya, tidak jadi menyamun dan malah merayu agar dirinya mau diperisteri. Hal ini membuat Sarini marah. lalu terjadi perkelahian satu lawan satu. Namun ternyata Karto Gento hanya mengandalkan tenaga otot. Dalam waktu singkat, Karto Gento dapat di tundukkan oleh Sarini. Dan sejak itu. semua anak buah Karto Gento menyerah dan menjadi anak buahnya.
Di bawah pimpinan Sarini ini. makin hari jumlah anak buah semakin bertambah. Mereka kebanyakan pemuda-pemuda yang melarikan diri takut ditangkap dan dibunuh perajurit Mataram. Sekarang jumlahnya mendekati dua ratus orang. dan mereka selalu giat berlatih ilmu membela diri.
"Bagus." puji gurunya.
"Hasilmu ini berguna bagi Kadipaten Pati. Hemm, ketahuilah bahwa sejak kerajaan Pajang runtuh dan Mataram berdiri. pulau Jawa terus-menerus dilanda peperangan. Sejak Panembahan Senopati berkuasa, sampai kemudian Panembahan Anyakrawati lalu Sultan Agung berkuasa di Mataram, secara terus-menerus harus perang. Karena banyak Bupati dan Adipati tidak mau tunduk kepada Mataram dan ingin berkuasa di daerah sendiri. Sebagai akibat terjadinya pergolakan yang terus-menerus ini. kemudian para tokoh sakti terbagi menjadi dua. Sebagian. membantu Mataram. tetapi sebagian yang lain memilih berjuang bersama sama melawan Mataram."
Ali Ngumar berhenti sejenak. lalu.
"Seperti sekarang ini. kita memilih berpihak kepada Pati dan melawan Mataram. Hem aku menjadi khawatir sekali akan keselamatan Pati. Sebab dengan jatuhnya Mayong Kudus. lasem dan Rembang. berarti keselamatan Pati sudah terancam. Sarini, kiranya lebih tepat apabila anak buahmu dikumpulkan. kemudian secepatnya menuju Pati."
"Baiklah." sahutnya. Kemudian ia memanggil seorang pembantunya. perintahnya.
"Hai Mangun! Lekas siapkan seluruh kawanmu. Angkut semua harta benda dan persediaan makanan. Secepatnya kita pergi ke Pati. untuk menghalau pasukan Mataram."
Perintah itu dilaksanakan Mangun dengan baik. Dalam waktu singkat. markas tersebut penuh kesibukan.
"Sarini. Tahukah engkau bahwa kita telah terjebak siasat musuh. dan akibatnya kalah?" tanya Ali Ngumar.
"Siasat yang mana. guru?" tanya Sarini.
"Terjadinya pertandingan ilmu kesaktian di Mayong itulah. siasat musuh yang termakan oleh pamanmu." sahutnya. Kemudian secara gamblang oleh Ali Ngumar diceritakan. bahwa sebagai akibat dari pertandingan ilmu tersebut, kekuatan Pati harus dipecah menjadi dua. menjaga sepanjang sungai Serang dan Mayong. Akibat pecahnya kekuatan tersebut, pasukan Mataram dapat memukul dan mengalahkan dengan mudah.
"Ya, memang sayang pamanmu Darmo Saroyo hanya menurutkan hati terbakar oleh "tantangan orang."
Sarini mengangguk-angguk. tetapi dalam hati menyesal sekali. Dan sekarang ia baru menyadari. bahwa pertandingan ilmu kesaktian di Mayong itu mempunyai kaitan dengan gerakan musuh.
Saat itu datanglah Mangun yang memberi laporan seluruh persiapan sudah selesai. Sarini gembira. kemudian melapor kepada gurunya,
"Bapa. seluruh persiapan sudah selesai. Kita harus berangkat sekarang atau esok pagi?"
Sebelum Ali Ngumar sempat membuka mulut. tibatiba terdengar suara derap kuda. Begitu tiba di halaman markas, penunggang itu bergegas turun. Dia seorang pemuda gagah dan brjenggot lebat. Akan tetapi anehnya, begitu kakinya menginjak tanah, pemuda itu sudah terguling roboh.
Mereka yang menyaksikan amat kaget. Mereka segera berlarian menghampiri. dan mereka semua terbelalak sangat terkejut. Ternyata pemuda itu mandi darah, pada beberapa bagian tubuhnya menderita luka.
Melihat itu Mangun cepat-cepat kembali masuk dan melapor kepada Sarini,
"Ratu.... ah.... Sardulo sudah kembali tetapi dalam keadaan luka parah ......"
Sarini berjingkrak kaget. Katanya gugup.
"Bapa ah... murid sudah mengirim penyelidik... Tetapi sekarang pulang... dengan luka parah... ."
"Lekas bawa ke mari." perintah Ali Ngumar tenang.
Beberapa saat kemudian pemuda bernama Sardulo sudah digotong masuk ke dalam. Ali Ngumar cepat bangkit dan menghampiri. Pemuda itu menderita luka parah dan mandi darah. Di samping tubuhnya dihias luka senjata tajam. pada bahu dan punggungnya juga tertancap dua batang anak panah.
Diam-diam Ali Ngumar kagum akan semangat dan ketahanan pemuda itu. Sekalipun terluka parah. masih kuasa melarikan kudanya untuk pulang memberi laporan. Pemuda semacam inilah yang amat dibutuhkan Ali Ngumar dalam berjuang melawan Mataram. Karena hanya pemuda tabah berhati baja seperti ini sajalah akan sanggup menyelesaikan tugas penting.
Ali Ngumar segera bekerja. ia memijat beberapa bagian tubuh untuk menghentikan darah yang keluar. Lalu ia menyalurkan tenaga sakti untuk menambah kekuatan.
Beberapa saat kemudian pemuda itu mengeluh, napasnya terengah-engah dan sesaat kemudian membuka mata. Sinar mata yang sudah pudar memandang sekeliling. Ketika melihat Sarini. pemuda ini berkata tidak lancar,
"Puteri oh...... bahaya Kota Pati diserang dua jur... rusan Pasukan Mataram besar sekali gunung Mur ....."
Hanya itu saja yang dapat diucapkan. kemudian mulut pemuda itu tertutup rapat untuk selamanya. Ya. pemuda berhati baja ini tewas sesudah melaksanakan tugas. Ali Ngumar sudah berusaha untuk menolong, tetapi takdir'Tuhan tidak terbantah.
Air mata Sarini bercucuran menyesal dan terharu. Sebagai seorang wanita. berhadapan dengan anak buah yang patuh dan melaksanakan tugas dengan baik ini, ia merasa kehilangan.
Ali Ngumar juga terharu, bahwa pemuda berhati baja ini hanya berumur pendek. Tetapi agar jangan mengurangkan semangat perjuangan. ia berkata.
"Sudahlah. mati dalam tugas. seribu kali lebih utama daripada mati konyol, Ia seorang pahlawan! Kepergiannya. jadikanlah suri tauladan bagi yang lain."
Sarini segera memerintahkan anak buahnya, agar jenazah Sardulo dirawat lalu dikuburkan baik-baik. Sesudah mereka pergi, kemudian Ali Ngumar mengajak muridnya mencari tempat lain, untuk bicara empat mata.
"Sarini!" katanya sesudah duduk.
"Sekalipun laporan anak "buahmu terputus di tengah jalan, tetapi ketetangan itu sangat berharga. Jelas sekali pasukan Mataram telah bergerak dari dua junisan memukul Pati. yang lain lewat Muria. dan yang lain lagi dari Kudus. agaknya pasukan Mataram yang lewat Muria itu, pasukan Mataram yang lewat laut. Dengan demikian Pati menghadapi serangan berbahaya. Karena dengan begitu perhatian pihak Pati akan terpecah."
Sarini yang belum banyak pengalaman, belum dapat menangkap maksud gurunya. Karena itu ia bertanya
"Murid belum mengerti maksud bapa."
Ali Ngumar menghela napas pendek. Lalu ia menjelaskan,
"Sarini! Serangan yang dilancarkan pasukan Mataram ini berbahaya. sebab berarti diserang dari depan dan belakang. Dengan demikian bagi Pati tidak ada jalan mundur, karena sudah digunting musuh. Ini berat! Pihak Pati menjadi lemah. karena perhatiannya terpecah. Hem"
Jejak Di Balik Kabut 42 Sunyaruri Karya Risa Saraswati Raja Iblis Dari Utara 2
^