Pencarian

Dendam Kesumat 7

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 7


"Apakah kalian tahu jalan pintas untuk turun dari gunung ini?"
"Ya. tahu!" Sutirto menyahut sambil mengangguk. Kemudian dua bocah itu menggotong tubuh Sarini yang belum dapat bergerak, meninggalkan tempat itu.
Ternyata kemudian mereka menuju ke bagian belakang padepokan. Pagar tembok padepokan itu masih utuh dan berdiri kokoh. Akan tetapi kemudian ternyata jalan yang harus dilewati ini sulit, sehingga Sutirto dan Sucitro harus hati-hati menuruni gunung. Ketika matahari terbenam, mereka masih di pinggang gunung. Untuk tidak menarik perhatian, Sutirto dan Sucitro menanggalkan pakaiannya cantrik, dan berobah menjadi penduduk biasa.
Kendati hari sudah malam, Sutirto dan Sucitro terus berjalan. Ketika tengah malam mereka harus melewati jalan pcgunungan yang sulit. dan harus pula mengitari puncak. Karena kepayahan, napas dua bocah itu kembang kempis.
Tak lama kemudian mereka melihat sebuah kuburan yang luas. Sarini segera menyuruh dua bocah itu masuk, untuk tempat istirahat. _
Dua bocah itu memilih tempat yang dikelilingi pohon pohon, dan berlindung dalam sebuah cungkup. Kuburan itu gelap sekali dan amat menyeramkan. Segalanya tampak seperti bayangan hantu dan menakutkan. Bagaimanapun, Sucitro dan Sutirto maSih kanak-kanak. Walaupun sudah memperoleh pelajaran ilmu kesaktian tidak urung merasa seram dan takut.
Melihat sikap dua bocah itu, Sarini mencela,
"Hem. kamu sudah memiliki ilmu kesaktian. mengapa masih juga menjadi penakut? Ketika pertama kali aku ikut guru ke Muria. akupun masih keCil, Akan tetapi _aku tidak pernah takut kepada segala macam kuburan. Bukankah kelak kemudian hari kitapun mati kemudian dikubur seperti ini?"
Sucitro dan Sutirto saling pandang. Bagaimanapun mereka merasa malu dan tidak membuka mulut.
"Pendek kata. kita harus istirahat malam ini,
" sambung Sarini. "Eh-eh, Siapa yang sudah memberitahu kamu, bahwa aku maSih berada dalam terowongan?"
"Seorang pemuda menyuruh kami agar mencarimu di dalam terowongan." Sutirto menerangkan.
"Ketika masuk dalam terowongan, kami menCium bau asap meSiu. untunglah kami cepat dapat menemukan mbakyu dan berhaSil membawa keluar dari sana."
"Seorang pemuda?" Sarini terbelalak.
"Bagaimana bentuk tubuhnya?"
"Gagah, alisnya tebal, tetapi ramah. Dia memanggil mbakyu dengan sebutan adik Sarini."
Sarmi gembira bukan main. Kalau saja dapat bergerak, gadis ini tentu sudah berjingkrak-jingkrak saking lega. Akan tetapi karena masih belum dapat berkutik.
ia hanya ketawa gembira. Katanya kemudian,
"Hi-hihik, itulah kakak seperguruanku yang bernama Prayoga." Sarini kemudian bertanya,
"dapat bertemu dengan Prayoga di mana?" Sutirto menerangkan, bertemu dengan pemuda itu tidak'jauh dari gelanggang perkelahian.
"Mengapa dia di situ? Apakah dia tak ikut berkelahi?"
"Tampaknya dia dan rombongannya tidak berkelahi. Di gelanggang tinggal seorang laki-laki tua gila, yang mengamuk kalang-kabut. Menurut keterangan kakek itu kena pisau beracun. Orang-orang menyingkir dan secara kebetulan ketemu dengan kami."
"Apakah engkau tahu, siapa yang terkena pisau beracun itu? Mengapa dia menjadi gila?"
"Entahlah! Aku tidak tahu terjadinya peristiwa itu, kecuali aku mendengar kakek guru memanggil orang bernama Tatit. Kamipun mendengar pula kakek guru menyebut-nyebut tentang bahan peledak. Itulah yang mendorong kami cepat-cepat mencari mbakyu ke dalam terowongan."
Sarini' tak puas dan mendesak, namun dua bocah itu tidak dapat menerangkan apa-apa. Akhirnya Sarini menghela napas, katanya,
"Sudahlah. Kamu tentu lelah. Sekarang tidurlah dahulu, aku sendiri tidak bisa tidur."
"Ah, kamipun tidak bisa tidur." Sucitro menyahut.
"Kami hendak berjaga saja agar mbakyu tidak diganggu orang."
"Tolol!" Sutirto mencela.
"Mengapa kita tidak tidur? Bukankah kita bisa memanjat pohon dan tidur di sana'?" '
Dua bocah itu memanjat pohon dan mempersiapkan tempat tidur secara kokoh. Kemudian mereka mengangkat Sarini secara hati-hati dibawa ke atas, yang sudah tersedia tempat untuk tidur. Sesudah semua beres. dua bocah inipun tidur.
Sesungguhnya mereka sudah amat letih di samping mengantuk. Akan tetapi di saat mata hampir terpejam, mereka dikejutkan suara orang mencaci-maki,
"Huh, keparat! Sejak semula aku sudah curiga, Tatit memang bukan orang baik. Akibatnya hampir saja kita semua celaka. Dan kalau kita tidak cepat menyelamatkan diri, kita tentu sudah tamasya di akherat."
"Senggring, sudahlah. Jangan uring-uringan terus,
" cegah kawannya. "Menurut dugaanku, dalam peristiwa ini agaknya terselip suatu rahaSia. Dan aku kurang bisa menerima kalau semua peristiwa ini hanya sebagai akibat salah satu urusan saja."
Senggring ketawa dingin. Balasnya, mengejek.
"Bagus! Engkau memang seorang ahli pikir dan banyak akal. Sedang aku hanya telor busuk. berotak udang. Huh, tidak mengerti segala macam tipu muslihat."
"Aih, jangan cepat salah paham. Sekarang begini saja. Aku yang bertanya dan engkau yang menyawab. Maukan ?"
"Silahkan!" "Senggring! Bukankah sebelum kita mengabdi ke Mataram, kita merupakan saudara angkat yang sehidup dan semati? Nah, oleh sebab itu kiranya sangat tepat kalau kita saling membantu? Dan engkau percaya atau tidak?"
"Sudah tentu aku percaya."
"Bagus! Ketahuilah bahwa sekalipun orang menyebut diriku ini sebagai Setan Kuburan, tetapi apa yang aku lakukan hanya terhadap orang lain saja. Engkau percaya atau tidak?"
Sarini kaget. Rasanya ia kenal suara orang itu. 0rang yang yang dipanggil Senggring itu, kalau tidak salah, orang yang pernah menghadang dirinya ketika bersama Pravoga menyelidiki keadaan. Sayang sekali saat
ini dirinya tak dapat bergerak sehingga tak dapat mengamati orang tersebut. Kalau dugaannya benar, jelas bahwa dua orang itu termasuk anggota rombongan jago Mataram yang dipimpin Gendruwo Semanu. Hanya yang membuat dirinya heran, mengapa mereka di tempat ini?
Kemudian terdengar kawan Senggring itu berkata lagi,
"Senggring, dua orang itu memang aneh keadaannya. Bukan manusia tetapi juga bukan iblis. Bagaimana kesaktian mereka yang sebenarnya, aku sendiri juga belum tahu. Tetapi yang jelas, suami-isteri itu tidak mempercayai kita. Wah, jelaskah engkau sekarang?"
"Hem, jadi mereka berani berbuat begitu?"
"Ya, Bukan saja mereka akan memiliki sendiri hadiah yang sudah dijanjikan oleh Ingkang Sinuhun Sultan Agung, mereka juga berniat mengambil sendiri harta karun itu." Orang bernama Jlamprang menjelaskan.
Krak, bum... tiba-tiba Senggring menghantam sebatang pohon sambil menggeram. Batang pohon itu tiba tiba tumbang.
"mBakyu, orang itu kuat sekali. Hemm, sekali pukul dapat menumbangkan pohon besar,
" biSik Sucitro. Akan tetapi cepat-cepat Sarini melarang mereka membuka mulut, karena bisa didengar oleh mereka
Mendengar apa yang dipercakapkan mereka tentang harta karun. Sarini lalu teringat cerita yang pernah ia dengar dari Saragedug. Sekarang dirinya menjadi semakin yakin bahwa Senggring dan Jlamprang ini tentu termasuk anggota rombongan Saragedug.
"Huh! suami-isteri Gendruwo itu memang besar sekali nyalinya. Terus terang saja, kali ini kalau tidak dipesan oleh Mataram, kita tentu tidak sudi tunduk kepada suami-isteri gendruwo itu. Hem. bukankah nama kita sendiri sudah cukup tenar di Wilavah timur? Dan kita belum mendengar tentang siapa sesungguhnya suami isteri itu. Huh, jelas sudah, untuk melaksanakan rencana ini sebenarnya mereka masih hijau."
"Benar! Mereka memang tidak bijaksana!" senggring menyeringai.
Setelah batuk batuk. Senggring meneruskan,
"Kalau tidak mempunyai alasan kuat. suami-isteri itu tentu tidak berani mencari perkara dengan kita. Huh, bukankah setelah beberapa saat meninggalkan padepokan. baru terdengar suara ledakan itu? Huh. apa sajakah yang mereka lakukan selama beberapa waktu lamanya itu? Di samping itu masih ada pula yang menimbulkan kecurigaanku. Mengapa setelah terjadi ledakan, mereka tidak cepat-cepat menyusul ke mari? Dan yang mengherankan lagi, apa sebab Hajar Sapta Bumi berlarian turun gunung mengamuk tidak keruan? 'Dan siapa yang tampak tentu dihajar."
"Ya, memang mengherankan."
"Mengapa Hajar Sapta Bumi mengamuk seperti kerbau gila? Kurangajar benar! Dia telah melukai delapan orang diantara kita. Dan mengapa pula, suami-isteri Gendruwo Semanu itu tidak tampak batang hidungnya? . mengapa mereka malah menyurati kita melarikan diri menjauhi padepokan? Cobalah kita pikir. apakah perbuatannya ini tidak berarti. mereka meminjam tangan Hajar Sapta Bumi untuk membasmi kita? Huh, kalau kita sudah mati semua, Gendruwo itu tentu dapat memiliki sendiri jasa dan hadiah Raja!"
Setelah berkata, ia ketawa bekakakan. Namun kemudian mereka dikejutkan oleh seruan orang,
"Hai. saudara Senggring dan Jlamprang! Di manakah kalian berada?"
"Huh. Gendruwo keparat itu sudah datang?" senggring menggerutu.
Namun Jlamprang lebih cerdik. Ia mencegah kawannya marah-marah. Lalu berteriak nyaring,
"Kami di sini!" _
Pada lain saat sudah terdengar suara orang berlarian. Dan kemudian muncullah beberapa orang yang di
pimpin Saragedug sendiri.
Begitu tiba, dengan lagak sebagai seorang pembesar tinggi, Saragedug sudah memberikan perintahnya,
"Selain kami suami-isteri dan delapan saudara ini, rasanya semua orang sudah binasa. Sayang juga Hajar Sapta Bumi masih bisa lolos dari maut. Ahh, kalau masih ada beberapa orang lagi yang selamat, seSungguhnya kita malu! Sebab apabila Ingkang Sinuhun Sultan Agung mendengar, tentu beliau marah sekali dari tidak percaya lagi kepada kita!"
Ia berhenti mencari kesan. Beberapa saat kemudian baru melanjutkan,
"Apalagi kalau kita sendiri sampai menderita kerugian semacam ini. kita tambah malu. Ah ... sukar sekali dipertanggung-jawabkan. Kawan-kawan harus mengetahui, bahwa kawan kita si Tatit telah dibunuh mati oleh Hajar Sapta Bumi. Akan tetapi terjadinya peristiwa itu memang disebabkan kesembronoan Tatit sendiri. Sudah aku peringatkan agar berhati-hati, tetapi Tatit malah gegabah meracuni salah seorang tamu padepokan. Kaldu tatit mati
itu memang sudah sepatutnya."
Sebenarnya dalam usaha menghancurkan padepokan Gunung Slamet itu, hasilnya tidak seperti yang telah direncanakan. Sesudah terjadi ledakan. rombongan jago Mataram itu menunggu di bawah gunung. Tetapi yang muncul bukan Gendruwo Semanu, melainkan Hajar Sapta Bumi. Begitu munCul, Hajar Sapta Bumi mengamuk tidak keruan. Separo dari jago-jago Mataram itu binasa dihajar Hajar Sapta Bumi.
Sekarang, setelah Gendruwo Semanu datang, Senggring yang berangasan cepat bangkit berdiri dan ketawa mengejek.
Mendengar pembicaraan mereka itu,'Sarini cepat menduga bahwa tentu akan terjadi peristiwa yang amat menarik. Mengingat itu, ia cepat berbisik kepada Sucitro dan Sutirto agar dua bocah itu mengangkatkan kepalanya, dengan maksud dapat mengintai ke bawah.
Sesudah ketawa mengejek, Senggring cepat mencabut tongkat bajanya. Namun Gendruwo Semanu tampak tenang saja dan mereka duduk bersila beradu punggung.
' "Senggring, kau mau apa?" seru Saragedug bernada dingin.
"Huh, manusia yang tidak kenal malu, tidak berperikemanusiaan dan biadab. Sungguh memalukan sekali apabila seorang yang mengaku dirinya sakti,
mandraguna, tetapi selalu tunduk kepada setan perempuan melulu. Huh, sungguh memalukan sekali!"
"Senggring! Jangan membuka mulut seenakmu sendiri!" damprat Saragedug.
Akan tetapi Senggring tidak gentar. Ia malah maju dan menantang,
"Kalau aku memang bicara seenakku sendiri, engkau mau apa? Sangkamu aku takut?"
Kata-kata itu ditutup dengan pukulan tongkat ke arah kepala Saragedug. Sarini dapat melihat jelas bahwa sekalipun orang kasar, tetapi kepandaian Senggring memang tidak dapat diremehkan. Hantamannya cepat dan keras serta menerbitkan angin keras. Senjatanya yang terbuat dari baja murni itu, memang berat di samping keras.
Saragedug dan isterinya memang sudah memperoleh' kesan, Senggring tidak senang kepada mereka. Akan tetapi suami-isteri ini juga tahu, bahwa Senggring seorang kasar yang mengerti ilmu tata kelahi, sayang tidak mempunyai otak yang cerdik. Sudah tentu dengan gampang dapat mengatasi.
Gendruwo Semanu ini memang sangat pandai meng eambil hati Raja Mataram. Kemudian oleh Raja dipercaya memimpin pasukan. pilihan terdiri 18 orang. Pada kesempatan ini Gendruwo Semanu juga disampisi tugas untuk menyebar luaskan tentang adanya harta karun yang tidak terhitung nilainya itu.
Gendruwo Semanu 'juga sudah tahu bahwa sesungguhnya 18 orang itu tidak" sungguh-sungguh menghamba kepada Mataram. Sesudah harta karun ditemukan, kemungkinan mereka tidak mau lagi menghamba kepada Mataram. Mengingat hal itu maka ketika melihat Senggring marah-marah, suami isteri inipun diam-diam sudah siap-siaga.
Sebaliknya Jlamprang yang licin, sekalipun diam-diam bersorak karena Senggring sudah menyerang, akan tetapi mulutnya pura-pura mencegah,
"Hai! Senggring! Engkau ini mau apa? Kalau memang terjadi sesuatu, kiranya bisa berunding."
Sebagai tokoh yang luas pengalaman. Gendruwo Semanu menyadari bahwa ilmu tongkat senggring ini memang tidak dapat diremehkan. Maka cepat-cepat suami isteri ini menekan tanah untuk menghindar ke samping.
Akan tetapi Senggring sudah terlanjur terbakar hatinya. Hantaman tongkat baja tadi digerakkan sepenuh tenaga. Ketika hantamannya luput, tongkat itu menghantam tanah hingga berlobang dalam. Berbareng dengan itu tUjuh orang kawannya sudah bersiap diri memberi bantuan.
Senggring penasaran. Sebelum kawan-kawannya bergerak ia sudah mendahului menyusuli serangan. Saragedug dan Sintren segera berputaran ke kanan dan kekiri sambil mengulurkan tangan menerkam Senggring.
Cepatnya gerakan suami-isteri itu tidak memberi kesempatan kepada Senggring unuk menghindarkan diri. Seketika Senggring merasakan tubuhnya separo panas dan yang separo dingin. Panas seperti disiram air mendidih dan dingin seperti direndam air es. '
Bagaimanapun Senggring hanya kuat dalam tenaga luar, tetapi maSih dangkal tenaga sakti. Begitu merasakan aliran tenaga panas dan dingin mengamuk dalam tubuhnya, ia menjerit kesakitan. Akan tetapi jeritannya
itu kemudian menjadi lemah, dan kesempatan yang maSih ada dipergunakan memberitahu Jlamprang,
"Jlamprang! Suami-isteri iblis ini memang mempunyai ilmu iblis... ."
Si kasar Senggring tidak menyadari sama sekali bahwa Gendruwo Semanu telah melancarkan serangan tenaga sakti yang istimewa. Akibatnya tigabelas urat nadi dalam tubuh telah putus. Setelah berteriak, kepalanya terkulai ke samping dan ketika suami-isteri itu melepaskan tangannya, Senggring sudah hilang nyawanya.
Peristiwa itu menggemparkan semua orang. Hampir duapuluh tahun lamanya nama Senggring disegani orang. Ilmu tongkatnya jarang yang mampu menandingi. Sedang sejumlah 18 orang jago pilihan Mataram itu, Senggringlah termasuk salah seorang yang kuat. Akan tetapi ternyata hanya dalam segebrakan saja, sudah binasa di tangan suami-isteri Gendruwo Semanu.
Beberapa saat kemudian terdengar Sintren ketawa meringkik seperti hantu.
"Kik-kik-kik-kik... tujuan kita kegunung ini memang untuk melaksanakan perintah Ingkang Sinuhun Sultan Agung. Huh, Siapapun yang berani berkhianat, Senggringlah contohnya. Huh, Ingkang Sinuhun Sultan Agung telah memberi amanat, apabila harta karun itu dapat kita temukan, kita semua inilah yang akan memiliki dan menikmatinya. Dan kalian harus menyadari, bahwa kami tidak akan menjadi manusia serakah!"
Tujuh orang yang tadi hendak membantu Senggring menjadi ketakutan. Salah seorang di antara mereka, kemudian malah menyalahkan Senggring.
"Huh, memang salah Senggring sendiri dan mencari penyakit. Dia memang kasar ' dan tak mau mendengar nasihat kawan-kawannya. Maka harap dimaafkan."
Mendengar pernyataan itu, Saragedug menjadi lega.
Kemudian ia berkata, "Adakah ledakan itu membinasakan mereka atau tidak, kitai masih belum tahu pasti. Akan tetapi yang telah aku dengar, mereka merupakan orang-orang berkepala batu. Karena itu mereka tentu akan tetap memberontak kepada Mataram dan akan menyusun kekuatan. Ini amat membahayakan ketenteraman negara dan merongrong keWibawaan raja. Mereka itu tidak boleh dianggap enteng, karena sudah mempunyai pengalaman di beberapa tempat."
Ia berhenti mencari kesan. Kemudian melanjutkan.
"Di samping itu merekapun tentu sudah mendengar tentang harta karun itu. Sebab harta karun itu mempunyai arti penting sekali bagi mereka dalam rangka usaha menyusun kekuatan. Kalian harus tahu kewajiban dan tanggung-jawab, semua ini harus kita cegah. Karena itu kita harus dapat menemukan harta karun itu sebelum mereka menemukan. Apabila kita berhaSil, berarti kita dapat menggagalkan usaha para pemberontak. Kalian harus tahu, bahwa beaya memerangi para Bupati dan Adipati yang menentang Mataram itu Sangat banyak. Untuk kepentingan Mataram, kita harus dapat mencegah orang dapat menyusun kekuatan melawan Mataram."
Ia berhenti dan menebarkan pandang matanya kepada semua orang. Ketika melihat orang-orang itu memperhatikan, Saragedug berkata lagi,
"Kekuatan kita tinggal sembilan orang saja sekarang. Sekarang kita harus membagi tugas untuk secepatnya dapat menemukan harta karun itu. Dan perlu kalian ketahui, bahwa harta karun itu tidak ternilai harganya, terdiri berlian, emas, perak dan batu permata yang lain. Menurut keterangan, harta karun itu peninggalan kerajaan Singasari yang disembunyikan oleh utusan kerajaan Cina pada waktu itu. Maka Sinuhun Sultan Agung sudah menitahkan, siapapun yang dapat menemukan. akan mendapat sepersepuluh bagian dari nilai harta karun seluruhnya. Hemm, kalau dapat menemukan. kendati kalian terdiri tujuh orang, kalian akan dapat menikmati hasil itu sampai tujuh belas keturunan. Nah, apakah sekarang kalian sudah jelas?" '
_ Tujuh orang itu mengangguk tanda mengerti.
Sarini amat tertarik. Lalu ia teringat akan ucapan gurunya waktu itu. Bahwa setiap gerakan untuk perjuangan, memerlukan pembeayaan. Padahal untuk mencari dana, tidak semudah orang bicara.
Ia membayangkan. Apabila sampai terjadi, harta karun itu dapat jatuh ke tangan guru dan kawan-kawannya, tentu akan membantu usaha melaksanakan cita-cita melawan Mataram.
Tak lama kemudian tujuh orang tersebut sudah minta diri kepada Gendruwo Semanu. Setelah mereka pergi. Saragedug dan isterinya maSih belum pergi. Akan tetapi tiba-tiba Saragedug membentak keras,
"Hai. siapa yang belum mau pergi dari sini? Huh, apakah engkau ingin menyusul Senggring?"
Ternyata Sarini yang memiliki tenaga dalam dan tenaga sakti yang tinggi, dapat menguasai pernapasan. Akan tetapi Sucitro dan Sutirto tidak demikian. Mereka belum memiliki tenaga dalam yang tinggi, sehingga napasnya berat dan terdengar oleh suami-isteri itu.
Kalau tadi pernapasan dua bocah itu tidak terdengar oleh Saragedug, karena di situ hadir beberapa orang. Akan tetapi setelah sepi, suami-isteri itu segera dapat mendengar. Ia menduga tentu masih ada salah seorang anak buah Senggring yang bersembunyi.
Atas bentakan itu tangan SUCitrO dan Sutirto gemetaran dan terlepaslah Sarini ke bawah.
bluk. . . .!! Gendruwo Semanu heran dan kaget. Cepat Saragedug menghampiri lalu mencengkeram pundak Sarini. Sudah tentu Sarini yang belum dapat bergerak itu makin tidak dapat berkutik.
"Hai... engkau...!" tiba-tiba Saragedug berteriak kaget, ketika melihat gadis ini.
"Jadi engkau masih hidup?" '
Sarini menyadari bahwa berhadapan dengan suami isteri iblis ini tak mungkin bisa lolos. Akhirnya terpikirlah olehnya untuk memuaskan kemengkalan hatinya.
"Dan engkau sendiri, mengapa tidak mampus?" sahut Sarini.
Saragedug marah sekali dan hampir saja menghantam gadis itu. Untung Sintren cepat mencegah, katanya,
"Kakang, tahan dulu! Apakah engkau tidak tahu bahwa bocah ini belum bisa bergerak? Kalau dia sampai dapat berada di atas pohon, tentu ada orang lain yang mengangkatnya."
"Hai, siapa yang di atas pohon?" bentak Saragedug. .
Sutirto dan Sucitro kaget. Pegangannya lepas dan mereka jatuh ke bawah. Akan tetapi agaknya Saragedug masih belum puas melihat dua bocah itu jatuh. Ia mengira masih ada lagi orang yang bersembunyi. Ancam nya.
"Kalau tidak lekas turun. awas!"
"Hi-hi-hik. di atas tidak ada orang lagi." Sarini ketawa mengejek.
"Engkau jangan ketakutan seperti melihat hantu."
Akan tetapi Saragedug tak percaya. Ia mengayunkan tangannya ke arah pohon. Segelombang angin dahsyat melanda dan kemudian berhamburanlah daun-daun itu ke tanah. Akibatnya pohon itu gundul dalam waktu Singkat. Dan ternyata benar, tidak ada orangnya lagi.
"Apa kerjamu disini?" bentaknya kepada Sucitro dan Sutirto.
Dengan sikap yang tenang, Sarini berkata,
"Buka dulu uratku ini, baru aku sedia memberi keterangan secara jelas."
"Tetapi apakah sebabnya engkau dapat menghindarkan diri dari bahaya maut di terowongan itu?" desak Sintren.
"Buka dahulu uratku yang kau pijat ini!" desak Sarini.
"Jika engkau tidak mau, akupun tidak mau menerangkan. Engkau boleh membunuh kami, tetapi tidak dapat memaksa minta keterangan."
Didorong. keinginan untuk segera dapat mengetahui apa yang sudah terjadi, suami isteri itu cepat mengurut bahu Sarini. Gadis itu merasakan sakit sekali, tetapi kemudian ia dapat bergerak seperti semula. Karena sudah cukup lama dilumpuhkan, Sarini memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya.
"Sekarang cepat terangkan!" perintah Sintren.
Sarini sedang memandang Sucitro dan Sutirto yang pucat ketakutan. Timbul rasa haru dan kaSihnya kepada bocah itu, dan apapun yang terjadi harus dapat melindungi.
'Luluskan dahulu permintaanku, baru aku beri keterangan secara jelas dan jujur." Sarini meminta.
"Engkau minta apa lagi?" bentak Saragedug. '
"Lepaskan dahulu dua bocah tak berdosa itu."
"Baik! Lekas enyahlah dari sini!" bentak Saragedug.
Pada mulanya bocah itu tidak mau. Akan tetapi Setelah Sarini membisiki supaya mereka menunggu di tempat yang pernah ia pesankan, barulah dua bocah itu akhirnya menurut. Dua bocah itu melangkah pergi sambil menangis. Dan berkali-kali mereka memalingkan muka ke belakang, seperti tidak tega.
Sesudah mereka tidak tampak bayangannya lagi, Sarini baru mulai membuka mulut,
"Kalian bertanya mengapa aku tidak binasa oleh ledakan itu? Nah. dengarlah baik-baik. Tidak seorangpun mati oleh ledakan itu."
Sebenarnya saja ia tidak tahu terjadinya peristiwa itu. Tetapi ia tahu kalau suami-isteri ini akan menjadi gembira kalau mendengar hasil perbuatannya, maka ia sengaja memberi keterangan untuk membuat hatinya panas.
"Apa sebabnya?" desak Saragedug, ia merasa heran.
"Karena aku sudah memberitahu kepada mereka agar secepatnya lari, sebelum terjadi ledakan."
Sintren ketawa terkekeh. Ejeknya,
"Huh. engkau benar benar bocah yang pandai bicara. Jika engkau dapat bergerak, mengapa engkau tidak menginjak sumbu peledak itu agar tidak sampai meledak?"
Sekalipun kalah alasan, tetapi Sarini ngeyel.
"Kalau ledakan itu benar-benar terjadi, hanya supaya hatimu merasa senang."
Sebenarnya Sintren mendongkol sekali. Akan tetapi juga geli mendengar ucapan bocah keras kepala ini.
"Lalu, Siapakah yang dapat membebaskan uratmu?"
Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyahut.
"Aku sendiri... ."
Akan tetapi ia menghentikan ucapannya yang belum selesai, karena menyadari pcngawurannya. Bagaimana tidak ngawur? Dirinya jatuh dari atas pohon dalam keadaan belum dapat bergerak. Untuk memberi alasan, ia cepat berkata lagi,
"Akan tetapi lalu kuurut sendiri lagi, hingga aku tak dapat bergerak."
Saragedug yang tidak menyadari telah dipermainkan oleh Sarini, mendongkol sekali. Berbeda dengan isterinya yang lebih teliti dan pandai. Ia segera tahu maksud Sarini yang ngawur belaka. Katanya kemudian,
"Bocah! Tentunya engkau tahu sendiri, bagaimana ketinggian ilmu kami. Malah engkaupun pernah merasakan sendiri."
Ia berhenti sejenak, mengamati Sarini penuh perhatian. Kemudian ia mengancam,
"Jika engkau tak mau
menerangkan secara jujur. engkau akan merasakan sendiri. Aku akan membuat engkau mati tidak dan hiduppun sulit!"
Sarini memang sudah pernah mendengar keterangan tentang semacam siksaan hebat, yang membuat 0rang tidak mati tetapi hiduppun sulit. Akan tetapi karena ia seorang gadis yang tabah dan hal itu baru keterangan orang, ia belum percaya. Kecuali kalau dirinya sudah mengalami, baru mau percaya. Jawabnya lantang,
"Sudahlah! Engkau tidak perlu banyak bicara lagi. Ingin membunuh, silahkan membunuh! Aku sendiri sudah putus asa. Tidak tahu lagi naSib guruku dan kakang Prayoga. Kalau mereka sudah binasa, tidak ada gunanya aku ini hidup lagi!"
Mendengar ucapan Sarini terakrir ini, Sintren menjadi belas. bahwa sebenarnya gadis ini tidak tahu apa yang terjadi ketika terjadi ledakan. Karena itu ia kemudian berkata kepada suaminya.
"Kakang, bocah ini cerdas dan tangkas kalau bicara. Dia tentu faham sekali seluk-beluk Wilayah sekitar sini. Menurut pendapatku, sebaiknya kita pergunakan sebagai penunjuk jalan."
"Akan tetapi bagaimana kalau dia sampai minggat?" tanya suaminya.
"Kita akan celaka."
Sintren ketawa cekikikan. Kemudian menganjurkan,
"Lumpuhkan uratnya dengan ilmu urat Remuk Otot. Dengan begitu dia tidak mungkin berani minggat. Kalau nekat berarti membunuh diri."
Saragedug tertawa terkekeh. Sarini tak tahu a-pa yang disebut dengan ilmu Remuk Otot itu. Akan tetapi sebelum tahu apa yang terjadi. tahu-tahu jari Sintren sudah mencengkeram dadanya. Seketika itu juga Sarini merasakan ketiaknya kesemutan. Akan tetapi tidak lama kemudian rasa sakit itu hilang.
"Bocah, ingatlah!" Sintren memperingatkan.
"Dalam perjalanan seterusnya, engkau akan berhadapan dengan beberapa macam peristiwa. Jika engkau membandel, tidak mau mentaati perintah dan laranganku, engkau boleh pergi."
Sintren ketawa cekikian, lalu,
"Akan tetapi engkau harus menyadari keadaanmu. Engkau sudah aku lumpuhkan dengan ilmu Remuk Otot. Tidak seorangpun didunia ini yang' faham ilmu urut, dapat memberi pertolongan. Huh!"
Sintren berhenti lagi, mengamati wajah Sarini. Sejenak kemudian ia meneruskan,
"Hem. engkau boleh saja minggat. Akan tetapi akibatnya dalam waktu tujuh hari, sekujur tubuhmu akan menjadi kaku dan disusul seluruh ototmu akan putus semuanya. Hi-hi-hik, tetapi engkau tidak perlu khawatir. Engkau belum mati. Hanya engkau akan tersiksa seumur hidup. Karena tubuhmu menjadi cacat. sekalipun hanya terbentur oleh lidi engkau akan kesakitan setengah mati seperti ditusuk dengan keris. Hi-hi-hik, hal ini perlu engkau pikirkan masak-masak kalau tidak ingin hidup tersiksa. Oleh sebab itu engkau harus tunduk dan taat kepada kami. dan engkau akan tetap hidup secara normal seperti manusa yang lain."
Ancaman ini membuat hati Sarini tercekat. Kalau sampai benar terjadi. ini merupakan penderitaan selama hidup. Akan tetapi dasar seorang gadis yang keras kepala dan tabah. Diam-diam masih belum mau percaya keterangan itu, bahwa di dunia ini tidak'terdapat orang yang mampu menolong.
Akan tetapi agaknya Sintren dapat menduga pikiran Sarini. Ia ketawa cekikian, kemudian berkata tegas.
"Engkau harus mau mendengar baik-baik. Aku berani memastikan. di seluruh kolong langit ini tidak ada 0rang lain yang tahu tentang ilmu Remuk Otot kecuali kami sendiri. Karena itu jelas, engkau tidak dapat mengharapkan pertolongan orang lain. Kau boleh percaya dan juga tidak! Dan jika engkau ingin membuktikan sendiri apa yang sudah aku katakan, silahkan engkau pergi sekarang juga dan tidak akan kami ganggu!"
"Benarkah itu?" tantang Sarini.
"Jika engkau mengijinkan, sekarang juga aku akan pergi."
Tantangan itu membuat Gendruwo Semanu saling pandang. Mereka tidak menduga sama sekali, bocah perempuan : masih berani menantang. Akan tetapi dalam hati, Sarini sudah memutuskan. Ia sedia mati, asalkan dalam waktu tujuh hari dapat menemui gurunya, dan terutama kepada pemuda yang dicintai untuk pamit mati... .
Diam-diam Sarini membayangkan wajah Prayoga. Kalau pemuda itu tetap tidak mau memberikan cintanya, bukankah ini merupakan siksaan selama hidup?
Teringat akan sikap Prayoga selama ini, yang menunjukkan kasih cintanya kepada dirinya, tiba-tiba saja tidak memikirkan hidup lagi. Tetapi sebelum dirinya mati, tiba-tiba saja timbul keputusan hatinya, ingin mengikuti ke manapun suami-isteri ini pergi. Kalau suami-isteri ini mencari harta karun. bukankah dirinya memperoleh keuntungan bisa tahu? Dan Siapa tahu kemudian hari dirinya dapat membujuk suami-isteri ini, memberikan sedikit ilmunya.
Memperoleh pikiran demikian, ia menjadi tenang kembali. Ia ketawa Cikikikan, kemudian mengejek,
"Heh, siapa yang mau minggat? Kalau aku berusaha minggat, berarti aku takut kepadamu?"
Saragedug dan Sintren saling pandang mendengar ucapan Sarini yang tidak terduga itu. Dan mereka semakin menjadi kagum akan ketajaman lidah bocah perempuan ini. Akan tetapi bagaimanapun mereka memerlukan tenaga bocah ini dalam usaha mereka mengajaknya pergi.
"Kemana?" tanya Sarini.
Suami-isteri itu tertegun. Mereka sendiri tidak tahu ke mana harus menuju. Tentang harta karun itu sampai sekarang tidak diketahui jelas tempatnya. Keterangan itu dari mulut ke mulut, tanpa petunjuk apa-apa. Meskipun demikian, suami-isteri ini percaya harta karun itu ada.
Bagi suami-isteri ini sudah ada keputusan bulat, akan menyerahkan harta karun itu kepada raja Mataram apabila bisa diperoleh. Bagi mereka sendiri yang sudah tua dan tidak mempunyai anak pula, harta karun itu tidak ada gunanya lagi. Akan tetapi dengan penyerahan harta karun itu tidak ada gunanya lagi. Akan tetapi dengan penyerahan harta karun itu kepada raja, berarti mereka akan memperoleh kehormatan tinggi. Dengan demikian kalamana saatnya maut merenggut, mereka akan tercatat dalam sejarah ikut membangun kerajaan Mataram. '
"Sudahlah, jangan banyak mulut!" bentak Saragedug.
"Engkau sudah dalam kekuasaan kami. Engkau harus menurut apa yang kami perintahkan. Kendati engkau kami suruh masuk ke lautan api. tidak boleh menolak. Perdeknya kami akan pergi, dan engkau harus ikut.'
Sarini akan menjawab. Namun tiba-tiba ia mendengar suara orang bersenandung, lagunya sedih, setengah meratap, suara wanita.
Tersirap darah Sarini mengenal suara itu. Benarkah mbakyu seperguruannya maSih hidup dan tidak menjadi korban ledakan? Apabila Mariam tidak binasa, maka iapun yakin kalau guru dan kakak seperguruannya tidak mati.
Namun yang membuat gadis ini heran, mengapa Marjam seorang diri? Mengapa tidak bersama Swara Manis dan sekarang malah meratap-ratap sedih dalam senandungnya? Kemudian tampak Mariam yang wajahnya pucat, rambut acak-acakan masih terus meratap sedih dengan tembang Mas Kumambang.
Mendengar ratapan Mariam dalam tembang itu, hati Sarini seperti disayat sembilu. Kendati ia tidak senang akan tingkah laku Mariam. tetapi tetap saja saudara seperguruannya, dan puteri gurunya pula. Tak tercegah lagi Sarini berteriak,
"mBakyu Mariam... _"
Akan tetapi Mariam tidak menyahut dan tidak mau berhenti. Ia berjalan terus, sambil sedih.
Duh duh aduh, sangsara temen wak mami. Urip kaningaya. Nresnani priya kang lamis. Timbang wirang Duwung pejah. (Duhai, betapa sengsara diriku ini. Hidup tersia-Sia dan dirundung derita nestapa. Mencintai seorang pria tak setia, manis di bibir lancung di hati. Lebih baik mati daripada selalu menanggung malu ).
Sarini memanggil lagi. tetapi Mariam tak acuh.
Suami-isteri ini juga sudah tahu, Mariam ini datang di padepokan bersama ibunya. Ladrang Kuning. Akan tetapi mengapa sebabnya sekarang perempuan itu berubah seperti gila? Atau memang pura-pura gila 'nemancing Ladrang Kuning supaya datang ke tempat ini?
Menduga demikian, suami-isteri ini tertarik. Perempuan ini tentu tahu apa yang sudah terjadi ketika terjadi ledakan. Secepat kilat suami-isteri ini meloncat, menghadang dan membentak,
"Berhenti!" Mariam tertegun. Ia menghindar ke samping dan tidak menghiraukan suami-isteri tersebut. Sintren mengulurkan tangannya kemudian menepuk bahu Mariam perlahan-lahan. Mendadak saja Mariam menggigil kedinginan sambil merintih,
"Dingin aduhhhhh dingin sekali. Aih kakang Swara 'Manis, nyalakan api untuk mengeringkan pakaianku. Kakang, cepat! Apakah engkau tega melihat aku kedinginan seperti ini... .?"
Sintren tambah heran. Ada sebabnya Mariam mengoceh seperti itu. dalam benak perempuan ini, yang terbayang peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu. Ketika dirinya dengan Swara Manis terombang-ambing di tengan laut. kemudian terdampar di pulau kosong. Ketika itu Swara Manis memang gagah, tampak memperhatikan sekali, lalu menyalakan api. Tetapi justru pada' malam itu pulalah terjadi peristiwa yang takkan pernah terhapus dari ingatan Marjam. Malam itulah terjadi malam pertama seperti pengantin baru.
"Jangan pura-pura gila!" bentak Sintren. Bentakan itu keras sekali, hingga Mariam terkesiap. Beberapa saat Mariam tertegun, namun kemudian menangis tersedu-sedu."Aduh... ibu... aduh...! Anakmu memang bernasib malang."? Aduh... tolong... ayah akan membunuh aku...?
Mendengar ocehan Mariam itu Saragedug segera mendekati. Setelah meneliti sejenak, ia berkata,
"Sudahlah denok. Dia patah hati dan jangan kau ganggu."
Sarini ikut pula mendekati sambil mengguncangkan lengan Mariam. Kemudian ia bertanya,
"mBakyu, di manakah bapa guru dan kakang Prayoga?"
Akan tetapi Mariam yang setengah sadar dan setengah gila seperti tidak mendengar pertanyaan itu. Ia malah menangis. dan akhirnya ketawa terkekeh. Setelah berhenti ketawa, ia mengoceh lagi,
"Ah... kakang... sudah tentu aku ini menjadi milikmu sampai akhir hayatku... ."
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil. Suara itu terdengar sayup-sayup, akan tetapi bagi Sarini Cukup jelas.
"Mariam... anakku! Mariam... di mana kau?"
Suara panggilan itu makin lama menjadi dekat. Wajah Sintren berubah. Kemudian berkata,
"Kakang, mari kita cepat pergi. Orang yang berseru itu. tidak lain Ladrang Kuning."
"Takut apa?" sahut suaminya setengah membentak.
"Kakang, bukannya kita takut!" bujuk Sintren.
"Tetapi saat sekarang ini lebih baik pergi saja, jangan mencari perkara."
Ketika itu suara Ladrang Kuning semakin menjadi dekat. Buru-buru Sintren menarik lengan Sarini dan cepat diajak bersembunyi.
"Mariam... anakku... ."
Sesungguhnya Sarini ingin sekali melihat apa yang terjadi seterusnya. Ingin pula sebabnya Marjam menderita seperti itu. Padahal ia tahu jelas, antara Mariam dengan Swara Manis tampak rukun ketika terjadi perkelahian di gelanggang. Akan tetapi celakanya Sintren tidak mau memberi kesempatan. Dirinya telah digelandang pergi.
Kasihan juga nasib Sarini dalam cengkeraman suami-istcri Gendruwo Semanu ini. karena tidak mungkin dapat membebaskan diri lagi. Setiap enam hari ia mendapat kebebasan beberapa saat. Namun sesudah itu dilumpuhkan lagi. Dengan demikian, keselamatan Sarini sepenuhnya di tangan suami-isteri ini.
Saragedug dan Sintren menuju ke timur. Tanpa terasa perjalanan mereka sudah amat lama, dan akhirnya tibalah mereka di Semarang selatan.
Sejak Mataram berhasil memukul Pati dan Adipati Pragola gugur dalam perang, daerah sekitar pesisir Jawa kembali aman. Ketika mereka masuk kota Semarang, mereka terkejut karena mendengar teriakan nyaring orang berseru,
"Minggir! Hayo minggir! Kereta pesakitan sedang lewat!"
Tak lama kemudian tampak tiga buah kereta berkuda yang bentuknya seperti kerangkeng binatang buas. Dan karena kereta itu kecil dan sempit, maka setiap pesakitan harus duduk atau jongkok, sedang kepalanya tersembul keluar dari lubang pada papan kayu. Dengan demikian kepala pesakitan itu tampak dari luar, akan tetapi tubuhnya di dalam kerangkeng.
Pada mulanya Sarini tidak tertarik dan tidak menghiraukan kereta pesakitan itu. Sebab menurut pendapatnya, kereta pesakitan itu tentu hanya isi penjahat besar yang mengganggu ketenteraman rakyat.
Akan tetapi ketika secara tidak sengaja mengamati ke arah salah sebuah kereta pesakitan, seketika wajah gadis ini pucat. Ia ingin berteriak tetapi tenggorokannya seperti tersumbat. Karena tak dapat berteriak, akhirnya ia memburu kereta itu. Namun baru beberapa langkah saja, punggungnya sudah dicengkeram oleh Sintren. Hardiknya,
"Kau mau lari?"
Sarini meronta. Akan tetapi tangan Sintren tak dapat dilepaskan. Akibat meronta tak berhasil, maka kereta itu menjadi jauh lagi.
Sarini marah-marah dan berteriak keras,
"Huh, engkau berkata tidak khawatir aku melarikan diri. Akan tetapi mengapa baru saja aku bergerak sedikit, engkau sudah kelabakan begitu rupa?"
Teriakan itu menarik perhatian orang banyak yang lewat di jalan. Keadaan ini membuat Saragedug dan Sintren malu.
"Huh, jika kau berani membangkang, tulangmu akan aku remuk!" hardiknya. Akan tetapi Sarini tidak gentar. Namun kemudian terkilas dalam benak yang cerdik ini, kalau keras tidak mungkin suami ini mau mendengarkan. Oleh karena itu tiba-tiba Sarini merobah sikap, lalu meratap,
"Paman dan bibi, ijinkanlah aku mengejar kereta pesakitan itu untuk bicara beberapa patah saja dengan salah seorang pesakitan. Hemm, bukankah aku masih tetap dalam kekuasaanmu? Dan bukankah aku akan mengalami siksaan dan derita hebat kalau aku melarikan diri? Paman dan bibi, terus terang saja aku sekarang tidak ingin mati."
"Siapakah pesakitan itu?" tanya Sintren yang tertarik.
"Yang dua orang aku tidak tahu. Tetapi yang seorang, bukan lain kakak seperguruanku sendiri." _
"Kalau begitu, hem, mari kita bersama-sama mengejar."
Sarmi gembira bukan main. Ia'yakin salah seorang di antara pesakitan itu kakak seperguruannya, Prayoga. Tanpa menghiraukan lagi kepada orang yang lalu lalang di jalan kota itu, ia sudah lari. Karena kereta itu memang belum jauh, tak lama kemudian sudah terkejar.
"Kakang... kakang Prayoga...! teriaknya sambil mengejar kereta pesakitan.
Setelah dekat, ia cepat menyerang dua orang prajurit yang mengawal. Sekali pukul prajurit itu sudah roboh tak berkutik.
"Kakang...!" teriak Sarmi sambil memegang terali kereta, dan air matanyapun mengalir deras.
Prayoga terkeSiap. Ia memalingkan muka, dan ketika melihat Sarini malah terlonggong-longgong.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sarini. Di mana kita sekarang ini?" tanya pemuda itu seperti baru tenjaga dari mimpi.
Sarini malah bertanya, "kakang... mengapa engkau sampai di tawan seperti ini? Dan mengapa pula engkau dibawa ke kota Semarang?"
Prayoga menghela napas panjang. Belum juga sempat menjawab, tiga orang perwira prajurit telah menghampiri sambil menghunus pedang dan membentak,
"Kurangajar! Siapa yang memberi ijin bicara dengan pesakitan? Huh, apakah engkau ingin dimasukkan dalam kerangkeng juga?"
Sarini marah bukan kepalang. Tak gentar sedikitpun ia mendamprat,
"Kentut busuk! Engkau jangan mengganggu aku."
Barang tentu perwira itu amat marah. Cepat-cepat mengancam dengan pedang untuk menusuk dada Sarini, sambil membentak,
"Jika' engkau keras kepala, aku tidak... ."
Ucapan perwira itu belum selesai, ujung pedang telah dijepit dengan jari oleh Sarini. Kemudian secepat kilat Sarini menarik. Akibatnya bukan saja pedang, tetapi orangnyapun ikut terjerembab ke tanah.
"Hayo, berilah hormat tiga kali dengan anggukan kepala, baru aku puas!" perintahnya sambil mengancam leher perwira itu dengan pedang.
"Pemberontak! Pengacau! Tangkap... tangkap!" teriak prajurit yang lain.'
Beberapa prajurit pengawal itu segera menyerang Sarini dengan tombak dan pedang. Sarini menangkis semua serangan itu dengan pedang rampasannya. Dua orang prajurit sudah kehilangan senjata dalam waktu sekejap. Membuat prajurit yang lain menjadi gentar kemudian lari sambil berteriak,
"Kereta pesakitan dirampok pemberontak!" '
Dalam waktu singkat sekali, keadaan menjadi kacau dan geger.
"Sarini, engkau jangan membuat onar di Sini!" Prayoga memperingatkan. Akan tetapi dua pesakitan yang lain diam saja.
Diam-diam Sarini keheranan. Apakah sebabnya kakak seperguruannya ini tidak dapat membebaskan diri dari kereta, yang hanya terbuat dari kayu? Dengan menggunakan pedangnya, ia membacok kereta itu dengan maksud menolong kakak seperguruannya. Trang... Sarini terkejut. Ternyata kerangkeng yang seperti kayu itu, terbuat dari baja.
Tiba-tiba saja terkilas peristiwa yang terjadi di padepokan Hajar Sapta Bumi. Hanya dengan tangan saja, dirinya dapat membengkokkan teralibeSi. Teringat pengalaman itu cepat-cepat membuang senjata lalu menarik
sekuat tenaga. Sungguh menakjubkan. Tanpa kesulitan terali besi itu bisa putus.
Kemudian tampak olehnya, Prayoga dalam keadaan tak berdaya. Kaki dan tangannya dibelenggu dengan rantai besi. Malah siku dan pergelangan tangannya tampak luka bernoda darah. Akibatnya kemarahan Sarini tak dapat ditahan lagi.
"Kakang..." katanya gugup.
"Siapa yang sudah menyiksa dirimu secara kejam seperti ini? Cepat katakan terus terang. Hayo, Siapa yang sudah menyiksa engkau? Akan aku cincang manusia kejam itu!"
Prayoga menghela napas panjang, jawabnya,
"Aku sendiri tidak tahu."
Tiba-tiba salah seorang pesakitan yang berada di kereta lain membuka mulut,
"Saudara Prayoga. Jangan takut menerangkan apa yang sudah terjadi. Terhadap orang-orang macam itu, tepatlah apa yang dikatakan dia."
sarini tak sampai hari menyaksikan kakak seperguruannya dan juga dua orang yang lain, meringkuk dalam kereta dengan kaki dan tangan dibelenggu. Menggunakan kekuatannya, ia membebaskan dua orang pesakitan itu. Tetapi ketika akan menolong Prayoga, ternyata pemuda ini sudah mematahkan sendiri belenggunya.
Saking terharu dan rindu, Sarini lupa segalanya. Ia menubruk, memeluk, kemudian menangis terisak-isak di dada pemuda itu.
"Sudahlah jangan menangis," hibur Prayoga.
"Sekarang terangkanlah, bagaimana engkau bisa lolos dari maut di Gunung Slamet?"
Sarini menyeka air matanya. Akan tetapi belum juga sempat membuka mulut, telinganya sudah mendengar derap kaki kuda dalam jumlah banyak. Ia terkejut tetapi sudah terlambat. Mereka telah dikurung oleh puluhan prajurit berkuda. Empat orang perwira yang gagah telah maju serempak. Melihat tawanan sudah bebas
mereka terkejut. Salah seorang segera menusukkan tombaknya ke arah Prayoga.
Dengan amat mudahnya Prayoga menghindari: Tetapi Sarini tidak. Tombak itu cepat disambar kemudian akan menghajar perwira itu. Namun kali ini Sarini salah hitung. Ternyata perWira itu bukan orang lemah. Tidak kurang gesitnya perWira itu menarik tombaknya merendah, kemudian diputar seperti baling-baling langsung ditusukkan ke dada Sarini.
Untung juga Sarini bergerak geSit. ia membungkuk kemudian merapat maju. ia berhasil meraih pedang yang tadi dibuang. Dengan pedang ia memukul perut kuda dengan hulu pedang. Kuda kesakitan, meringkik sambil mengangkat kaki depan. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Sarini. Pedang menyambar, dan patahlah tombak perWira itu menjadi dua. Sebelum perwira itu dapat berbuat, pukulan Sarini bersarang ke punggung. Hek, perwira itu menjerit roboh di tanah, kemudian diinjak oleh Sarini.
"Hayo, siapa yang berani maju lagi?" tantang Sarini
Melihat pemimpinnya roboh, tiga orang bawahan itu tidak berani maju lagi. Mereka hanya memerintahkan kepada prajurit untuk tetap mengurung, lalu berteriak-teriak memanggil bala bantuan.
Gempar keadaan di jalan itu. Orang-orang yang lewat ketakutan dan masuk gang sambil berlarian. Warung yang semula buka, cepat-cepat menutup pintu.
Prayoga dan Sarini sudah beberapa kali berhadapan dengan prajurit Mataram. Namun biasa yang terjadi, di tengah hutan atau di tempat lapang yang lain. Tidak di tengah jalan kota yang ramai seperti sekarang ini.
Apabila prajurit itu mengurung secara rapat, memang tidak gampang Prayoga dan Sarini melarikan diri. Tiba-tiba Sarini mendapat akal. Ketika melihat prajurit
prajurit itu mulai akan menyerang, cepat-cepat Sarini menarik telinga perwira yang diinjak sambil memerintah,
"Lekas perintahkan. agar mereka mundur!"
Celakanya perwira itu penuh tanggung-jawab. Ia marah tetapi tidak membuka mulut. Pendeknya ia lebih baik mati daripada menyerah, kemudian mendapat hukuman yang memalukan.
Melihat kejantanan perwira ini, tidak urung Sarini dan Prayoga menjadi gelisah sendiri. Akhirnya ia berseru kepada Prayoga,
"Kakang, hayo kita mengamuk!"
Prayoga ragu. Tetapi Sarini sudah bertindak.
"Terimalah!" Sambil berkata Sarini sudah melemparkan perwira yang jantan tadi ke arah prajurit yang mengurungnya. Sesudah itu Sarini sudah menerjang, bersenjata rantai besi sambil berteriak,
"Kakang! Engkau jangan tolol". Jika engkau tak berani mengamuk, apakah engkau ingin mati konyol?"
Prayoga baru tersadar. Ia cepat memungut rantai besi yang lain, kemudian diputarkan seperti baling-baling. Tiga orang perwira tadi sudah berteriak garang,
"Serbu! Tumpas pemberontak!"
Pasukan kuda yang semula sudah mundur itu maju lagi. Hiruk-pikuk oleh dencing senjata dan ringkik kuda memenuhi jalan. Diam-diam Sarini menjadi khawatir juga, karena memang tidak gampang menerobos keluar dari kepungan prajurit yang terlatih ini dalam keadaan selamat.
Akan tetapi rupanya Sarini dan Prayoga masih bernasib baik. DI saat Sibuk itu, tiba-tiba terdengar sunan nyaring tajam disusul dua sosok bayangan sudah melesat datang. Yang seorang mendekati Sarini dan yang seorang mendekati Prayoga.
Ternyata yang menghampiri Sarini itu Sintren. Secepat kilat Sintren sudah menyambar Sarini. kemudian
dibawa meloncat ke atap rumah. lalu menghilang. Sebaliknya Saragedug yang ingin meniru isterinya agak kesulitan, karena Prayoga selalu menghindar dan malah memukul. Saragedug terkejut. Cepat ia merobah gerakan tangan dengan merangsang pundak. Namun pemuda itu belum mau menyerah, menggunakan siku untuk menyodok dada Saragedug.
Duk... uh Prayoga kaget setengah mati. Sebab sikunya panas sekali seperti terbakar api. Di saat Prayoga kaget ini, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram Saragedug. Ketika Prayoga ingin meronta, Saragedug mengepitnya lalu dibawa menghilang sesudah meloncat ke atap rumah.
Pasukan berkuda itu kaget sekali di samping heran menyaksikan gerakan dua orang itu. Dan karena kehilangan pesakitan penting, akhirnya kemarahan prajurit ini ditumpahkan kepada dua orang pesakitan yang'belum berhasil lari. Dan akibatnya, kasihan sekali. Dua orang pesakitan itu tubuhnya hancur tercincang oleh kemarahan para prajurit.
Suami-isteri saragedug dan Sintren berlarian seperti terbang meninggalkan kota Semarang. Ketika tiba di dalam hutan, dan yakin pula tidak dikejar lagi, mereka berhenti dan melepaskan lelah.
Sarini berterima-kaSih sekali atas bantuan suami-isteri itu. Lebih-lebih Prayoga yang jujur dan tak mengetahUi suami-isteri ini. Dan pada kesempatan itu ia juga minta maaf atas perbuatannya tadi, yang sudah salah sangka dan memukul.
Saragedug terkekeh, lalu menjawab.
"Mana mungkin aku dapat berpeluk tangan melihat engkau dikeroyok prajurit itu?"
Prayoga menganggap suami-isteri ini merupakan pejuang yang menentang Mataram pula. Katanya,
"Lalu siapakah yang sudah memberitahukan paman dan bibi akan peristiwa terjadinya pcnangkapan atas diriku? Apakah paman dan bibi yuga termasuk golongan pejuang Pati?"
Sintren cepat menggunakan Aji pameling ditujukan kepada Sarini.
"Hai bocah! Apakah Dia ini kekasihmu? Karena aku dan suamiku sudah menolong kamu berdua dari bahaya, kamupun harus pandai membalas budi. Jagalah rahasia kami. Jika engkau patuh, kami akan segera membebaskan engkau agar bisa pergi bersama kekasihmu. Engkau mau?"
Tanpa banyak pikir lagi, Sarini mengiakan. Sintren senang, lalu menyahut,
"Benar! Kami memang termasuk pejuang Pati! Tetapi mengapa sebabnya engkau dapat menduga begitu?"
Karena tak Curiga, Prayoga menerangkan,
"Dengan dua orang kawan, aku diutus menghubungi sisa pejuang Kadipaten Lasem yang sekarang sedang berkumpul di Randublatung. Akan tetapi ah, ternyata pusat sisa pejuang Randublatung itu telah kaCau-balau akibat pengkhianatan wakil pimpinan, bernama wira Sunu. Dia merebut kekuasaan dan telah membunuh pemimpinnya, Wira Samodra."
Prayoga menghela napas. Sejenak kemudian sambungnya,
"Celaka! Karena tidak tahu terjadinya perubahan, begitu kami tiba di sana dan memperkenalkan diri sebagai utusan pejuang Pati, kami segera diringkus, diSiksa setengah mati, kemudian diserahkan kepada prajurit Bupati Semarang. Seterusnya kami akan dikirim ke Mataram, tetapi untung memperoleh penolongan paman dan bibi. Kemudian aku dapat bertemu pula dengan adik seperguruanku ini, yang bernama Sarini."
Diam-diam suami-isteri Gendruwo Semanu ini gembira mendapat keterangan tentang timbulnya kembali pejuang Pati. Akan tetapi diam-diam mereka juga tidak senang kepada para sisa pejuang Lasem di Randublatung. Dengan menangkap Prayoga dan dua kawannya
itu, tentu mereka akan mendapat jasa dari Mataram. Dan ini sama artinya akan mengurangi kewibawaan mereka di hati raja.
"Hemm, kurang ajar benar pejuang Lasem itu. Huh, jangan takut! Kami akan mengobrak-abrik sarang mereka di Randublatung ujar Sintren.
"Tidak! Kami tidak kecil hati dan gelisah!" sahut Prayoga.
"Guru mengatakan, sekalipun Mataram telah berhaSil menaklukkan beberapa Bupati dan Adipati wilayah timur, tetapi pejuang Pati akan tetap berjuang untuk membangun kembali Kadipaten Pati yang berdaulat."
Lagi-lagi suami-isteri itu kaget, tetapi sekaligus gembira. Keterangan ini amat berguna dan berharga sekali. Sebelum orang Pati berhasil bangkit kembali, secepatnya harus bisa dihancurkan.
"Sungguh kebetulan!" Sintren berlagak sungguhsungguh
"Kamipun sedang dalam perjalanan ke Pati untuk membantu kalian. Secara tidak terduga, kami mendengar tentang ditangkapnya tiga orang pemberontak penting. Maka kami bergegas menuju Semarang, dan ternyata kami berhasil membebaskan kau."
Prayoga yang jujur sudah terperangkap oleh kelicinan suami-isteri itu.
Sarini menjadi gelisah. Sesungguhnya ia ingin memperingatkan kakak seperguruannya, siapa sebenarnya suami-isteri ini. Akan tetapi setiap kali ingin mencegah, Sintren tentu memberi isyarat agar tidak melakukannya. Sebagai akibatnya Sarini tidak dapat berbuat apa-apa.
Prayoga yang tidak menyadari keadaan, sudah bercerita panjang lebar dan tidak berusaha menutupi sedikitpun. Sebab menurut anggapannya, kalau suami-isteri ini membantu perjuangan, merupakan sumbangan tenaga yang hebat sekali. Malah kemudian pemuda ini juga menceritakan apa yang sudah terjadi di padepokan Ki Hajar Sapta Bumi. Bahwa sekalipun padepokan itu hancur oleh ledakan, akan tetapi semua kawannya selamat. Sesudah itu mereka meninggalkan Gunung Slamet langsung menuju Muria.
_ Setelah selesai bercerita, kemudian Prayoga mengajak untuk pergi ke Muria. Sebab timbul kekhawatiran pemuda ini, baik guru maupun yang lain tentu gelisah, mengapa dirinya tidak lekas kembali.
Kita mengenal di dunia ini terdapat hal-hal yang serba kebalikannya. Ada gelap dan ada terang. Ada muda dan ada tua. Ada hidup dan ada pula mati. Demikian pula ada maju dan ada mundur. Maka apakah salahnya kalau cerita ini mundur lebih dahulu barang sedikit? SetUju bukan? Semua itu tidak lain dalam usaha menjelaskan peristiwa yang sudah terjadi.
Seperti telah di ceritakan?, Jim Cing Cing Goling menjadi gila akibat terluka oleh pisau beracun. yang disambitkan oleh Tatit. Ketika Jim Cing Cing Goling mengamuk, semua orang sudah menyingkir, kecuali Prayoga, karena merasa tidak sampai hati. Sebagai akibat dari perasaannya itu, hampir saja Prayoga celaka oleh tangan Jim Cing Cing Goling.
Ketika itu yang masih di tempat tersebut, Ladrang Kuning, Mariam. Ali Ngumar dan kawan-kawannya dan Hajar Sapta Bumi serta Swara Manis. Sepasang mata Ladrang Kuning tidak pernah lepas memandang Swara Manis dengan mata berapi. Akibatnya pemuda ini ketakutan setengah mati dan tidak berani berpisah dari kakek gurunya.
Karena lama ditunggu, Tatit yang dipanggil belum juga muncul, Hajar Sapta Bumi curiga lalu meninggalkan tempat tersebut. Tetapi baru beberapa langkah. tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat dari arah belakang. Kemudian disusul dengan runtuhnya tempat yang semula menjadi gelanggang perkelahian.
Hajar Sapta Bumi kaget setengah mati. Ia tidak pernah mimpi bahwa padepokannya akan meledak secara tiba-tiba. Dalam hatinya merasa heran, Siapakah yang sudah berbuat curang ini?
"Hai Hajar Sapta Bumi!" seru si Bongkok tiba-tiba.
"Sadarkah engkau sekarang, telah ditipu orang-orang Mataram?"
Hajar Sapta Bumi seperti disadarkan. Dengan gesit ia memimpin Swara Manis menerobos keluar padepokan, Ladrang Kuning cepat menyusul, tetapi karena tidak kenal seluk-beluk padepokan itu, ia kehilangan jejak. Sebab Hajar Sapta Bumi menuju ke pinggang gunung, dan secara kebetulan bertemu dehgan 18 orang anak-buah Gendruwo Semanu yang sedang menunggu sang pemimpin.
Tanpa banyak bicara Haiar Sapta Emmi segera mengamuk. Dalam waktu singkat. Hajar Sapta Bumi telah dapat membunuh separo dari orang Mataram itu, sedang yang lain melarikan diri. Sesudah itu Hajar Sapta Bumi tegak termangu-mangu, mengamati padepokannya yang hanCur berantakan. Padepokan yang dibangun dengan jerih payah dan mandi keringat, hancur dalam sekejap mata saja. Hatinya sedih dan kecewa. Ia menghela napas kemudian mengajak Swara 'Manis pergi dari tempat itu.
Tak lama kemudian Ali Ngumar dan kawan-kawannya berhasil menangkap Jim Cing Cing Qoling yang gila, lalu dibawa turun gunung. Ketika tiba di tempat Hajar Sapta Bumi mengamuk, mereka menemukan beberapa sosok mayat. Mereka kenal, mayat ini orang-orang Mataram yang telah menyamar sebagai cantrik padepokan. kemudian mereka sibuk mencari korban itu, barang kali bisa menemukan mayat Tatit. Mereka gembira sekali ketika mendapatkan mayat 'Tatit. Pakaian orang itu kemudian digeledah, dan ditemukan sebungkus bubuk warna kuning. Obat itu kemudian di sedu dengan air. lalu diminumkan kepada Cing Cing Goling.
Ternyata bubuk kuning itu memang obat yang mereka butuhkan. Jim Cing Cing Cing Goling tidur pulas'. Kemudian dengan hati lega mereka meninggalkan gunung itu.
Terjadinya peristiwa yang baru dialami tersebut, para pejuang Pati menjadi semakin insyaf bahwa raja Mataram terus berusaha menghancurkan mereka. Tetapi hal ini juga menjadi cambuk dan dorongan bagi Ali Ngumar dan kawan-kawannya, untuk secepatnya dapat membangun kekuatan kembali dalam usaha melawan Mataram. Sedang tempat yang dipilih sebagai markas, Gunung Muria.
Begitulah yang terjadi, dan marilah sekarang meneruskan cerita mengikuti perjalanan Prayoga yang disertai Sarini, Saragedug dan Sintren. Karena tidak menyadari siapa suami-isteri itu, Prayoga masih terus memberi keterangan tanpa tedeng aling-aling.
"Kakang," bisik Sintren kepada suaminya.
"kecuali anak perempuan itu, tidak seorangpun mengenal kita.
karena itu kita tidak sukar bagi kita menyelundup ke dalam markas mereka."
"Lebih aman kalau bocah perempuan itu kita bunuh saja," saran Saragedug.
"Hem. lebih baik lagi kalau dua-duanya. Kita bekerja Jangan kepalang tanggung kakang."
"Baiklah kalau begitu."
Kemudian suami-isteri ini sambil berbisik, sudah menentukan rencana untuk membunuh Sari dan PraYOga.
Ketika tiba di kali Serang, Prayoga tertarik akan alam pemandangan yang indah. Sarini yang amat rindu dapat melangkah bersama Prayoga. mendampingi untuk mcnyusur sungai itu.
"Hai, mau ke mana kau?" bentak Sintren.
"Engkau tidak boleh pergi!" Sarini tertegun dan menahan langkah. Sekalipun hatinya memberontak. terpaksa harus menahan sabar mengingat dirinya masih belum bebas dari cengkeraman suami-isteri tersebut.
Prayoga keheranan dan bertanya,
"Sarini! Mengapa engkau tidak jadi ikut? Apakaah engkau tidak kepingin menikmati alam indah seperti ini?" _
Sarini menghela napas sedih, kemudian jawabnya,
"Kakang, rasanya aku lelah sekali. Lebih baik kita duduk saja di bawah pohon ini."
Prayoga keheranan. Apa sebabnya gadis yang biasanya lincah itu, sekarang seperti kehilangan semangat? Ia kemudian mengalah, lalu duduk di samping Sarini. Sesungguhnya saja setelah duduk berdampingan ini, Sarini ingin sekali dapat bercerita banyak. Sayangnya mulut seperti terkancing, hingga tidak membuka mulut. Padahal Prayoga tidak pandai bicara, maka akibatnya pemuda dan pemudi ini duduk berdampingan hanya berdiam diri.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang terjadi di tempat tidak jauh dari mereka. Lalu mereka dengar, seorang berteriak mendamprat,
"Hai, apa sebabnya engkau berbuat kurangajar?!"
Menyusul kemudian suara orang ketawa mengejek,
"Heh-heh-heh. Siapa kurangajar? Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut seperti orang kebakaran kumis."
Kemudian terdengar suara orang yang kantap dibanting di tanah. Sesudah itu muncullah seorang laki-laki muda dari semak di tepi sungai sambil menggenggam dua ekor ikan.
Prayoga tersirap darahnya ketika mengenali, orang muda itu Swara Manis. Sedang orang yang tadi terbanting, ternyata seorang tua, kemudian mengejar sambil berteriak,
"Kembalikan ikan itu!"
Prayoga tak dapat menahan kemarahannya. Bentaknya,
"Hai Swara Manis. Apa kerjamu di sini?"
Swara Manis kaget sekali. Saking kagetnya, dua ekor ikan yang digenggam sudah lepas. Ketika berpaling dan melihat Sarini dan Prayoga, jantung Swara Manis berdebaran. Melawan salah seorang saja kewalahan, apa pula harus berhadapan sekaligus.tentu sulit sekali.
Akan tetapi ia seorang laki-laki cerdik dan licin. Ia tidak kehilangan akal. Cepat-cepat ikan yang menggelepar itu ditangkap, lalu dilontarkan ke arah Prayoga dan Sarmi, berbareng meloncat ke belakang. Sudah jelas, maksudnya akan melarikan diri.
"Hem, mau lari ke mana?!" ikan itu ditangkis, kemudian Prayoga mengejar.
Sejak padepokan Gunung Slamet hancur, Hajar Sapta Bumi menjadi malu dan bingung. Karena tak tahu harus mencari perlindungan, akhirnya kakek dan cucu itu bersembunyi di Situ, sebagai tempat sementara. Kemarin Hajar Sapta Bumi pergi untuk menghubungi seorang kenalan yang mungkin sedia menampung sementara. Sebelum pergi berpesan agar Swara Manis tidak pergi ke mana-mana, mengingat suasana masih gawat. Akan tetapi celakanya Swara Masnis tidak patuh, ia keluyuran di tepi sungai Serang, lalu merampas ikan dari seorang nelayan tua.
Melihat gerakan Prayoga yang ringan dan geSit, Swara Manis semakin cemas dan gelisah. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk lari menyelamatkan diri. Ketika berpaling, ia menjadi heran karena Sarini tidak ikut mengejar. Saking heran ia tertegun dan tahutahu Prayoga sudah menyusul.
Swara Manis gelagapan. Ia,akan lari. tetapi Prayoga lebih cepat, dan Prayoga sudah mengulurkan tangan untuk mencengkeram. Tanpa memalingkan muka Swara Manis telah mengibaskan tangan ke belakang untuk menangkis. Dan secepat kilat ia membalas dan berhasil
melukai telapak tangan Prayoga.
Prayoga kaget sekali, karena serangan itu tidak terduga. Ternyata di tangan Swara Manis telah menggenggam sebatang tongkat warna hitam. Senjata itu bukan lain milik kakek gurunya, yang amat berbahaya.
Prayoga cepat-cepat menarik tangannya. Dan senjata Swara Manis tiba-tiba memanjang, hampir saja melukai lagi. Untung Prayoga sudah dapat menduga, sehingga tangannya selamat. Akan tetapi justru kesempatan itu lalu dipergunakan oleh Swara Manis, menyelinap ke dalam semak dan menghilang.
Prayoga geram sekali. Ia mengejar! Tak lama kemudian ia melihat sebuah pondok cukup besar, dikelilingi pagar bambu.
"Hai Swara Manis!" teriaknya menantang.
"Jangan menjadi pengecut dan sembunyi seperti katak! Hayo, lekas menyerahlah! Seorang laki-laki, berani berbuat harus berani bertanggung-jawab."
Akan tetapi Swara Manis tak menyahut, lalu menyelundup ke samping pondok, terus meloncat ke atas pohon.
Prayoga yang mengira Swara Manis bersembunyi di dalam pondok, ia beberapa kali berteriak. Karena Swara Manis tak juga menyahut, ia menggerakkan kakinya menerobos ke dalam pondok. '
Tiba-tiba dari belakang terdengar orang memanggil,
"Anak Prayoga! Kita harus meneruskan perjalanan."
Prayoga terkeSiap. Ketika berpaling, ternyata Saragedug sudah di belakangnya. Ia kagum sekali. Jelas sekali, kakek ini jauh lebih sakti dibanding dirinya.
"Sudilah paman menunggu dulu. biarlah aku tangkap orang itu lebih dulu."
Tetapi Saragedug curiga kalau Prayoga akan melarikan diri. Ia tak ingin kehilangan, lalu menghampiri.
Swara Manis keheranan melihat munculnya Saragedug. Dan yang lebih heran lagi. mengapa Saragedug memanggil Prayoga seramah itu? Mungkinkah sekarang Saragedug telah bersekutu dengan orang Pati dan para pemberontak?
Akan tetapi dugaannya itu cepat dibantahnya sendiri. Sebagai seorang yang licik dan licin, ia menduga Saragedug pura-pura bersekutu dengan orang Pati. Maksudnya tidak lain untuk dapat mengorek keterangan dari mulut Prayoga dan Sarini.
Katanya dalam hati, "Kakek guru sudah memutuskan. tidak sudi lagi berhubungan dengan Mataram. Akan tetapi hem, apakah salahnya aku melangkah sendiri? Aku ingin hidup enak dan dapat menentukan hidupku kemudian hari. Asal saja aku menyediakan diri kerjasama dengan suami-isteri itu, tentu mereka sedia bekerjasama."
Sesudah berpikir demikian, tiba-tiba Swara Manis meloncat turun dari pohon. kemudian katanya mengejek,
"Hai tolol! Jangan membuka mulut seenakmu sendiri. Lihat, aku di sini. Apa sebabnya engkau berteriak teriak seperti tidak waras?"
"Bagus!" sambut Prayoga yang menduga bahwa Swara Manis sedia ikut ke Muria.
"Engkau memang laki laki jantan!"
Akan tetapi Swara Manis memandang Prayoga sambil mencibirkan mulut. Lalu memberi hormat kepada Saragedug, katanya,
"Paman ah, tidak pernah aku sangka sama sekali dapat bertemu paman di sini."
Wajah Saragedug berubah tegang dan memandang tak berkedip.
"Kakek guru sedang pergi,
" katanya menambahkan,
"Sekarang ini saya seorang diri."
Saragedug tak percaya. Untung kemudian Sintren menyusul sambil menggandeng Sarini. Melihat Swara
Manis, perempuan ini terbelalak kaget. Akan tetapi menjadi cepat menjadi tenang sekali mendengar penjelasan Swara Manis. Sekali pandang itu sudah dapat menduga bahwa Swara Manis tetap saja membenci Ali Ngumar dan anak-buahnya. Cepat-cepat ia memberi isyarat mata kepada Swara manis, tetapi mulutnya pura pura mendamprat,
"Hai, manusia busuk Swara Manis! Hayo, engkau sedia ikut aku atau tidak?"
Karena Swara Manis juga seorang durjana, ia cepat dapat menangkap isyarat Sintren. Tanpa rewel lagi ia menundukkan kepalanya, mengeluh, seperti menyerah benar-benar.
Akan tetapi Sarini bukan Prayoga. Melihat hal yang aneh dan mengherankan itu tidak percaya begitu sana. Akan tetapi karena tidak mempunyai alasan mencurigai, maka gadis ini tidak membuka mulut, dan menunggu perkembangan lebih lanjut.
Swara Manis kemudian mengulurkan tangannya kepada Prayoga agar diikat. Lalu mengikuti kepergian Saragedug dan Sintren, meneruskan perjalanan.
Akan tetapi Prayoga menolak mengikat tangan Swara Manis. Sedang Sarini yang sejak pertama sudah curiga, tambah curiga lagi melihat sikap Swara Manis yang berlebihan. Dalam hati gadis ini menduga tentu ada udang di balik batu, mengapa Swara Manis bersikap seperti itu. Akan tetapi masih berdiam diri, justru merasa belum mampu menyingkap rahaSia yang tersembunyi.
Mereka meneruskan perjalanan. Hari itu juga mereka tiba di Kudus. Tetapi karena khawatir timbul hal-hal yang tak diharapkan, Sintren tidak berani masuk kota. Mereka meneruskan perjalanan menuju Muria lewat jalan pintas.
Dalam perjalanan ini otak Sarini dijejali dengan berbagai macam pertanyaan. Ia tahu bahwa Swara Manis mempunyai kesempatan cukup untuk melarikan diri.
Akan tetapi anehnya mengapa tidak mau lari dan malah rela menjadi tawanan seperti ini?
Sarini sudah kenal watak Swara Manis yang licik
dan licin. Kalau sekarang menurut seperti itu tentu mempunyai maksud kurang baik. Sayang sekali ia tidak mempunyai kesempatan memberitahu kepada Prayoga. Diam salah bicara juga salah. Ibarat maju tatu mundur ajur ( malu terluka dan mundur hancur).
Setelah mempertimbangkan untung dan ruginya, ia tak takut menghadapi riSiko. Apapun yang akan terjadi, semua demi kepentingan guru dan pejuang yang lain. Setelah mantap. ia bertanya kepada Prayoga,
"Kakang, aku ingin bertanya kepadamu. Andaikata umurmu tinggal tiga hari saja, apa yang akan engkau lakukan dalam waktu sesingkat itu?"
Prayoga keheranan, menatap Sarini penuh rasa curiga. Namun begitu sebagai seorang yang berotak tumpul, ia belum dapat menduga apa yang dimaksud oleh Sarini. Ia belum menjawab, tetapi malah berbalik bertanya,
"Engkau bermaksud apa dengan pertanyaanmu itu?"
Sarini menghela napas panjang. Sesaat kemudian ia berbiSik lagi,
"Kakang, andaikata engkau mendapat pertolongan orang lain dan juga yang menyelamatkan nyawamu, apa yang engkau lakukan?"
"Tentu saja membalas budi!"
"Akan tetapi kalau penolongmu itu ternyata bukan seorang jujur dan malah seorang jahat, misalnya semacam Swara Manis, bagaimanakah pendapatmu?"
"Hemm," Prayoga menghela napas pendek.
"Kalau orang semacam dia, memang harus berSikap lain. Bukan saja dia seorang jahat, tetapi juga begundal Mataram, yang sudah banyak membunuh orang tidak berdosa. Sudah tentu' berhadapan dengan semacam dia, tentang budi harus nomor dua."
Sarmi terperanjat. Namun ia juga kagum akan pendapat kakak seperguruannya yang jantan itu. Kemudian dalam hati timbul semacam perasaan, bahwa selama ini sikapnya terhadap Saragedug dan Sintren kurang benar.
"Kakang, aku bukannya memuji. Akan tetapi engkau memang seorang ksyatria gagah perwira. Sekarang aku ingin mendengar pendapatmu terhadap suami-isteri Gendruwo Semanu yang sudah menolong kita. Tentunya tentang budi menjadi nomor dua pula?"
"Apa maksudmu?" Prayoga terbelalak kaget.
"Hem, terhadap dua orang itu tentu saja aku lebih baik mati daripada harus membalas budi!"
Sarini mengangkat kepala, kemudian mengamati Prayoga tak berkedip. Prayoga juga menatap, dan dua pasang mata itu beradu. Prayoga tersadar bahwa se sungguhnya Sarini sekarang bukan anak keCil lagi, tetapi sudah menjadi seorang gadis dewasa dan cantik. Bertatap pandang seperti ini, ia menjadi malu sendiri. kemudian mengalihkan pandang matanya ke arah lain.
Sarmi menghela napas, lalu bertanya lagi,
"Kakang, aku ingin bertanya lagi. Kita baru saja mengalami peristiwa,
dikeroyok prajurit Mataram di Semarang dan sulit lolos. Apakah engkau akan memilih mati danpada ditolong oleh suami-isteri itu?"
"Huh, mati di tangan prajurit lebih bahagia daripada memperoleh pertolongan dari suami-isteri jahat itu."
Mendadak saja tubuh Sarini menggigil. BiSiknya lagi,
"Apakah engkau tahu. bahwa yang sudah menolong kita itu, sebenarnya Saragedug dan Sintren?"
Prayoga hampir tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian ia bertanya,
"Sarini! Benarkah apa yang engkau katakan itu?"
Ternyata Saragedug sudah mendengar apa yang dipercakapkan oleh sepasang muda-mudi itu, dan menyahut.
"itu memang benar. Yang sudah menolong engkau dari keroyokan prayurit itu, memang Saragedug dan Sintren!"
Setelah menerangkan, Saragedug segera melancarkan serangan dengan tenaga panas. Akibatnya angin panas sudah menyambar dari samping, kemudian tahu-tahu kakek itu sudah berdiri menghadang jalan.
Dalam gugupnya Prayoga memalingkan mukanya ke belakang. Ia melihat Sintren menyeringai seperti 1blis. Suami-isteri itu sudah Siap-siaga dari depan dan belakang.
"Celaka! "Prayoga mengeluh.
"Aku tadi sudah terlanjur menceritakan rahasia Muria. Dengan perbuatanku ini jelas. dosaku besar sekali baik kepada guru maupun yang lain."
Melihat Prayoga dan Sarini berhadapan dengan bahaya, Swara Manis ketawa terkekeh penuh nada mengejek. Mendengar suara ketawa Swara Manis. hati Prayoga tambah panas dan marah sekali.
"Sarini! Aku... tak pernah menduga sedikitpun bahwa engkau sudah menyeberang..." hardiknya kepada Sarini. Namun ia masih tidak tega menyebut dirinya berkhianat.
Sarini tak dapat memberi keterangan secara jelas. Ia hanya menjawab,
"kakang... aku... aku memang belum sempat memberitahukan kepadamu. Sebab mereka yang melarang kepadaku. Ah kakang... memang aku berobah menjadi seperti tolol, akibat rasa kegembiraanku bertemu dengan engkau masih dalam keadaan selamat. Ahh... kakang... ternyata hatimu hanya terisi mbakyu Mariam seorang... dan engkau 'tak pernah memikirkan derita batinku yang selalu memikirkan engkau. Sayangnya... umurku sekarang tinggal tiga hari lagi. Sekalipun begitu hatiku amat bahagia karena... akan mati bersama engkau... ."
Sekarang baru terbukalah mata dan hati Prayoga, bahwa adik seperguruannya ini, mencintai dirinya dengan segenap hatinya.
"Sarini. Yang kita hadapi saat sekarang ini bukan terbatas soal kita berdua saja. Apabila tiga orang itu sampai berhasil menyelundup ke Muria, ah... betapa bahaya yang akan menimpa seluruh pejuang Pati. Hemm, aku khawatir sekali akan keselamatan guru kita. Betapa sedih guru kita apabila jerih payahnya itu akan hancur dalam sekejap. Hayo cepat, kita teruskan perjalanan."
Sambil menarik tangan Sarini, maka Prayoga menerobos ke kiri. Tetapi celakanya Saragedug sudah menghadang. Prayoga selangkah ke belakang, tetapi celakanya Sintren juga sudah menunggu. Sebelum Prayoga siap-siaga sudah menyerang.
Tiba-tiba Prayoga merasakan punggungnya dingin. Sesungguhnya saja Prayoga masih dapat menghindar ke samping. Namun kemudian timbullah tekat hatinya untuk bertahan, sedang Sarini dilemparkan keluar dari kcpungan musuh. Maksud Prayoga jelas, ia menghendaki agar Sarini dalam melarikan diri.
Prayoga hanya miringkan tubuh. kemudian menyambut serangan Sintren dan berbareng itu, ia sudah berteriak,
"Sarini. Cepat lari ke Muria dan beritahukan kepada bapa!"
Ketika dilemparkan, Sarini terkejut. Tetapi setelah mendengar teriakan Prayoga, barulah dapat menangkap maksud pemuda itu. Akan tetapi Sarini sedia membiarkan kakang seperguruannya berkelahi seorang diri. Kalau Prayoga sedia berkorban, mengapa dirinya tak sanggup berkorban? Tentu saja ia malu. Teriaknya nyaring.
'Tidak, kakang! Jika engkau mati akupun harus mati! Kakang ah... Hidup selalu bersanding, matipun kita bersanding pula... .!"
Dengan gerak jungkir-balik yang amat mengagumkan, Sarini sudah meluncur ke bawah dan melepaskan_lima buah pukulan berantai ajaran Ladrang Kuning. Dan sejak minum air mustika dalam batu, tenaga murni gadis ini tambah maju pesat sekali.
Dalam usaha menghindari serangan Prayoga. Sintren menyurut mundur. Tetapi pada saat itu pukulan Sarini telah datang. Pukulan pertama dapat dihindari, tetapi yang kedua dan seterusnya, ia tak kuasa menghindar. Empat kali pukulan berat telah bersarang ke perut wanita itu
Sayang sekali tenaga Sarini masih belum setinggi Sintren. Hanya oleh serangan Sarini yang nekat saja, menyebabkan Sintren meringis kesakitan.
Akibatnya Sintren marah sekali. Dengan gerak yang lincah sekalipun kesakitan, serangan Prayoga dapat dihindari. Dalam marahnya Sintren tidak sungkan lagi. Ia menghantam dan mendorong dengan tenaga sakti dingin.
Prayoga menjadi jengkel sekali karena Sarini tidak pergi, malah kembali ke gelanggang. Teriaknya.
"Sarini! Mengapa engkau tak juga pergi? Huh,apakah engkau membangkang perintahku, sudahlah! Aku tak sudi mengakui engkau sebagai adik seperguruan."
Pada saat Prayoga bicara ini, serangan hawa dingin dari Sintren melanda tiba. Karena tidak menyadari ampuhnya pukulan Sintren, ia malah maju menangkis pukulan itu. Prak! Ketika dua tangan saling berbenturan, seketika Prayoga merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Cepat-cepat ia menggunakan ilmu Jathayu nandhang papa untuk melepaskan diri.
Akan tetapi sayangnya Sintren menyusuli lagi dengan sebuah dorongan, sehingga sebelum Prayoga berhasil tegak, punggungnya terasa dingin.
Prayoga masih juga berusaha untuk bertahan. Tetapi mendadak kepalanya pening, mata berkunang-kunang.
Saragedug ketawa terkekeh sambil mengejek,
"Hehheh-heh, apakah engkau mabuk jengkol?"
Prayoga memang masih mendengar ejekan itu, tetapi tubuhnya berputaran dan seterusnya roboh terguling di tanah. Sarini menjerit kaget, lari menubruk kakak seperguruannya yang pingsan. Ia menangis sejadinya, air matanya membanjir.
Saragedug tak ingin membuang waktu lagi. Cepatcepat ia mengangkat tangannya mengancam kepala Sarini.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, sedang berusaha dan membujuk agar oroknya tidak menangis Iagi,
"Sayang... ih sayang. jangan menangis. Hemrr... biarlah nenek mencari manuSia jahat yang sudah mengganggu tidurmu. Diam sayang... cah bagus, orang-orang itu akan nenek hajar semuanya... ."
Saragedug terkejut dan menghentikan tinjunya yang sudah melayang. Demikian pula isterinya batal menyerang. Mereka cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah Saragedug kembali lagi, tangan bergerak memukul ke arah Sarini.
Sarini yang sedang menangis sedih tidak siaga sama sekali. Akibatnya pukulan mengandung hawa panas itu. membuat Sarini pingsan.
Saragedug, Sintren dan Swara Manis berjalan cepat. Ketika matahari hampir muncul di timur, mereka sudah tidak jauh lagi dari puncak Muria. Mereka dapat melihat jelas sekali, deretan pondok yang dibangun berjajar dan teratur. Setelah jarak mereka semakin menjadi dekat, mereka sudah dapat menangkap suara orangorang bicara dari dalam pondok.
Dalam peryalanan mendekati pondok itu. Sintren telah berjanji. Apabila pekerjaan menghancurkan pemberontak ini berhasil. ia akan melaporkan jasa Swara Manis kepada Sultan Agung dan agar memperoleh hadiah besar. Barang tentu Swara Manis menjadi gembira sekali, Justru keinginan mendapat jabatan dan pangkat di Mataram akan segera terkabul.
Akan tetapi Saragedug masih khawatir apabila di antara para pemberontak itu mengenal dirinya.
Isterinya ketawa cekikian. kemudian tangannya membuka bungkusan persediaan pakaian sambil berkata.
"Kakang, jika engkau sudah memakai pakaian ini, takkan ada yang mengenal lagi."
Setelah suami-isteri ini menyamar, orang tidak mengenal lagi. Semakin dekat dengan pondok, suara orang terdengar ramai dari dalam pondok. Mereka sudah memperoleh keterangan dari Prayoga, bahwa dalam waktu singkat di Muria akan diselenggaraakan pemilihan pemimpin perjuangan yang se kaligus diangkat sebagai panglima Perang.
Ketika tiba di pintu pertama markas, mereka dihentikan dan ditegur penjaga. Sintren cepat maju, tawanya,
"Kami datang dari Ujung Kulon. Kami bernama Surjadipura dan Witadipura. Maksud kedatangan kami kemari untuk menyerahkan seorang tawanan bernama Swara Manis."
Memang tepat pilihan nama itu, karena baik Surjadipura maupun Witadipura sangat terkenal di Wilayah barat. Walaupun belum pernah ketemu orangnya, orang sudah mengenal namanya. '
Dan sungguh kebetulan, penjaga yang bertugas memang pernah mendengar nama dua tokoh itu. Cepat-cepat ia memerintahkan kawannya untuk segera memberi laporan kepada para tokoh.
Pada saat itu, para tokoh sedang musyawarah. Mereka itu antara lain Ali Ngumar, Darmo Gati. Darmo
Saroyo. Jim Cing Cing Goling, si Bongkok, Resi sempati dan masih ada beberapa tokoh lain. Mendengar laporan bahwa ada dua orang tokoh sakti dari Ujung Kulon datang, mereka gembira sekali.
Hanya si Bongkok Baskara yang tidak gembira, malah curiga. Katanya perlahan,
"Tetapi dua orang saudara itu tinggal di Upung Kulon. Hem, suatu tempat yang amat jauh. Aku menjadi heran, apa saja maksud mereka memerlukan datang ke mari?"
Tetapi Ali Ngumar berpandangan lain. jawabnya,
"mungkin mereka mendengar tentang gerakan kita ini, hingga mereka tertarik dan ingin menggabungkan diri. Ya, apapun itu dan maksud mereka, kita wajib menerima sebagai tamu terhormat. Karena mereka sudah datang dari tempat jauh."
Jawaban Ali Ngumar yang cukup beralasan itu, menyebabkan si Bengkok tak berani menghalangi lagi. Mereka segera menyongsong tamu agung itu dengan gembira. Ketika bertemu. kesan pertama dari mereka. dua orang tamu itu memang sakti. Karena Sinar mata dua orang tamu itu berkilat-kilat tajam sekali dan Sikapnya tenang. Di belakang tamu tersebut, tampak Swara Manis berdiri dengan tangan dibelenggu rantai besi.
Sintren memang ahli pula dalam menyamar. Kendati para pemimpin Muria ini tokoh-tokoh sakti masih bisa terkecoh, menduga kalau Sintren seorang laki-laki bertubuh kurus.
Ali Ngumar menyambut tamu itu dengan hangat, katanya ramah,
"Sudah lama sekali kami mengagumi tuan berdua. Kami gembira sekali mendapat kehormatan sebagai tuan rumah."
Saragedug tersenyum. Sahutnya,
"Ah,-aku dan adikku ini tidak lain hanyalah manusia tidak ternama. Maka rasanya berat sekali kami menerima sambutan tuan setinggi ini."
Sesudah memperkenalkan diri sebagai Surjadipura dan Witadipura, lalu Saragedug mengemukakan maksud kedatangannya untuk menggabungkan diri dalam gerakan perjuangan yang dipelopori Ali Ngumar. Kemudian Saragedug menambahkan,
"Dan harap tuan-tuan ketahui, kami datang sambil membawa seorang tawanan penting bagi kalian. Menurut pendengaran kami, orang ini besar sekali dosanya kepada tuan-tuan sekalian."
Ali Ngumar gembira sekali, dan tidak curiga sedikitpun kepada tamunya ini. Sebagai tuan rumah, kemudian secara ramah Ali Ngumar segera memperkenalkan kawan-kawannya.
Sudah menjadi kebiasaan Cing Cing Goling, yang setiap kesempatan selalu berbuat setengah ugaI-ugalan. Sekilas pandang saja Cing Cing Goling tahu bahwa tingkatan tamu ini masih lebih tinggi sedikit dibanding Ali Ngumar. Menduga begitu, tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk menguji kesaktian mereka. Maka di saat berjabat tangan dengan Saragedug, diam-diam Jim Cing Cing Goling sudah menyalurkan tenaga sakti untuk meremas tangan orang. Akan tetapi untuk menjaga agar tamu itu tidak malu, ia hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya saja.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi sayang sekali, Saragedug bukanlah anak kemarin sore. Iapun dapat menduga maksud orang. Maka diam-diam iapun mengerahkan tenaga sakti untuk menghalau, melawan tenaga Jim Cing Cing Goling. Kemudian seperti tidak terjadi apa-apa, ia ketawa,
"Ah... tuan menghormati aku terlalu tinggi."
Kita sudah kenal siapa Saragedug. Seorang tokoh yang kejam, keji dan berangasan. Akan tetapi menghadapi peristiwa sepenting ini, ia terpaksa harus mengendalikan diri sesuai pesan isterinya.
Agak sayang Jim Cing Cing Goling hanya menggunakan tiga bagian tenaga saktinya. Andaikata ia menggunakan tenaga sakti yang lebih kuat lagi, Saragedug
tentu melawan dengan tenaga sakti panas. Apabila sampai terjadi begitu, tentu rahasia. Saragedug terungkap, atau setidak-tidaknya Jim Cing Cing Goling menjadi curiga.
Agaknya kesembronoan Jim Cing Cing Goling kali ini, menguntungkan Saragedug dan Sintren. Mereka segera diterima dengan penuh hormat oleh Ali Ngumar maupun yang lain. Hubungan cepat menjadi akrab, dan tidak seorangpun mencurigai Sintren dan Saragedug.
Tokoh-tokoh yang tergabung dalam barisan pejuang di Muria ini mempunyai kebulatan pendapat dan tekat. Apabila perjuangan mereka berhasil. mereka akan mengangkat salah seorang putera Adipati Pragola yang bernama Bagus Saketi, untuk dinobatkan sebagai seorang Raja yang berdaulat penuh.
Beberapa hari lalu, Ali Ngumar dan rombongan tokoh Muria, menerima laporan dari mata-mata, bahwa Tumenggung Wiroguno bekas Panglima Perang Mataram yang berhasil membunuh Adipati Pragola, telah dihukum mati oleh Sultan Agung. Maka berita ini disambut penuh rasa gembira oleh semua tokoh sakti di Situ.
Namun di antara rasa gembira itu, timbul tanda tanya dalam hati para tokoh ini. Apakah sebabnya orang yang sudah berjasa besar bagi Mataram itu dihukum dan dibunuh mati oleh Sultan Agung? Pertanyaan ini tidak terjawab, karena orang tidak tahu latar belakang yang sesungguhnya.
Alasan Sultan Agung membunuh mati Tumenggung Wiroguno, hanya Sultan Agung sendiri yang tahu. Sebab dalam maklumat Sultan Agung ketika Tumenggung Wiroguno mendapat hukuman ini, hanya disebutkan, Tumenggung wiroguno dipersalahkan oleh Sultan Agung telah berbuat sewenang-wenang, melakukan pembunuhan kepada Rara Mendut dan Pranacitra.
Benarkah alasan sewenang-wenang itu? Tidak benar! alasan yang dicari-cari. Tidak sedikit jumlahnya para bangsawan yang mempunyai kekuasaan seperti Tumenggung Wiroguno, melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap orang-orang tak berdosa. untuk mengetahui secara jelas peristiwa itu, kiranya kita mengarahkan ingatan, setelah Tumenggung Wiroguno dielu-elukan sebagai Pahlawan Mataram, sesudah berhaSil mengalahkan Pati.
Sudah menjadi kebiasaan pada jaman itu, pihak yang menderita kekalahan, harta benda dirampas,dan para puteri ( gadis maupun bukan ) menjadi tawanan. Di antara tawanan yang dibawa ke Mataram itu. terdapat seorang gadis jelita bernama Rara Mendut. Kedudukan Rara Mendut di Pati, merupakan calon selir Adipati Pragola.
Kendati usia Tumenggung Wiroguno sudah lebih setengah abad, melihat kecantikan Rara Mendut ini tergugah birahinya. Lebih lagi. isterinya tidak bisa memberi anak. Timbul maksud dalam hatinya, apabila memperisteri Rara Mendut yang cantik, muda lagi perawan ini,akan bisa memberi anak.
Tumenggung wiroguno memang sedang mujur. Sultan Agung tidak keberatan menghadiahkan Rara Mendut kepada Wiroguno. Maka gadis cantik jelita tersebut, kemudian diboyong ke rumah dengan hati sebesar gunung.
Di rumah Tumenggung Wiroguno ini. Rara Mendut selalu bersedih hati. Tubuh yang semula sehat itu menjadi kurus karena tak mau makan dan minum. Nyai Wiroguno khawatir kalau Rara Mendut jatuh sakit dan mati. Lalu membujuk suaminya agar sedia bersabar dahulu. Menggunakan pendekatan secara halus, Nyai Wiroguno percaya akan dapat menundukkan kekerasan hati Rara Mendut.
Akhirnya Tumenggung Wiroguno setuju kepada usul isterinya, mengabulkan permintaan Rara Mendut berjualan rokok dika. Sebab hanya dengan jalan berjualan rokok itu sajalah, Rara Mendut dapat memenuhi tuntutan Tumenggung Wiroguno, untuk membayar denda.
Justru sebagai penjual rokok' inilah. Rara Mendut yang jelita itu kemudian menarik perhatian semua lakilaki, termasuk seorang pemuda bernama Pranacitra. Di dalam cerita yang sudah dikenal oleh masyarakat umum, Pranacitra ini disebut-sebut anak seorang janda, bernama Nyai Singobarong, bertempat tinggal di Bata Kenceng. Pemuda Pranacitra ini anak tunggal yang dimanjakan, karena itu Pranacitra seorang juragan "prada" yang kaya-raya.
Pranacitra digambarkan seorang pemuda yang tampan luar biasa. Pakaian sehari-harinya celana cinde, dan kemanapun selalu membawa keris pusaka bernama Kyai Jabardas. Pemuda Pranacitra ini tidak bedanya dengan laki-laki lain. Sekali pandang tak dapat mencela kejelitaan Rara Mendut, kemudian jatuh Cinta. Dan ternyata itu tidak bertepuk sebelah tangan. Rara Mendut menyambut pernyataan cinta Pranacitra ini secara hangat.
Akhirnya melalui liku-liku perjuangan, Pranacitra berhasil melarikan Rara Mendut dari rumah Tumenggung Wiroguno. Dalam usaha menyelamatkan diri, sepasang merpati yang saling Cinta mini menuju selatan. Sayang sekali, ketika itu sungai Oya sedang banjir. Mereka terpaksa menyewa perahu untuk meneruskan perjalanan.
Tukang perahu yang menolong Pranacitra dan Rara Mendut ini. disebut bernama Ki Dogong. Sebagai laki-laki biasa, ia kagum dan terpesona melihat kejelitaan Rara Mendut. Tiba-tiba saja timbullah rasa sayang dalam hatinya", kalamana perempuan cantik ini cepat berlalu dari depan matanya. Dalam usaha dapat menikmati wajah ayu ini lebih lama, Ki Dogong sengaja tidak melaksanakan tugas secara baik. Perahu yang sudah hampir di tengah sungai itu kemudian dibawa kembali ke pinggir.? BerkaIi-kali hal ini ia lakukan, membuat Pranacitra dan Rara Mendut gelisah, dan minta agar Ki Dogong segera menyeberangkan. _
Kekhawatiran Prancitra dan Rara Mendut beralasan Sepasukan prajurit yang dipimpin Praworomantri telah 'datang menyusul. Atas perintah Prawiromantri menyebabkan Ki Dogong tidak berani membantah. Ia menggerakkan perahunya kembali ke pinggir.
Tak ada jalan lain bagi Pranacitra, kecuali harus melawan keroyokan puluhan prajurit. Pranacitra tidak tega melepaskan Rara Mendut. Maka dalam melawan keroyokan ini, Pranaritra sambil mendukung Rara Mendut. Maka dalam melawan keroyokan ini, Pranacitra sambil mendukung Rara Mendut. Perbuatan Pranacitra ini justru mempercepat kekalahannya. Akhirnya PranaCitra ditangkap, kemudian dibawa kembali ke rumah Tumenggung Wiroguno.
Dapat dibayangkan betapa marah Tumenggung Wiroguno berhadapan dengan Pranacitra. Dengan keris, Pranacitra ditikam mati. Rara Mendut yang kecewa dan marah, cepat menggunakan kesempatan menubruk Tumenggung Wiroguno. Secara tepat keris tajam itu menikam dada Rara Mendut. Membuat Tumenggung Wiroguno kaget setengah mati.
Semuanya sudah terjadi, sesal tiada guna. Rara Mendut roboh di tanah, kemudian sebelum menghembuskan napas terakhir. berpelukan dengan Pranacitra. Ternyata kemudian pelukan dua insan ini tidak dapat dilepaskan. Lalu diputuskan untuk dikubur dalam sebuah kubur, di desa Ceporan, Kota Gede. Sekarang Makam Pranacitra dan Rara Mendut ini masih banyak dikunjungi orang yang percaya dan sengaja minta sesuatu.
Akan tetapi bukan peristiwa ini melulu, yang menyebabkan Sultan Agung marah, kemudian memutuskan hukuman mati kepada Tumenggung Wiroguno. Ada rahasia di balik cerita, yang belum banyak diungkapkan sehingga banyak orang yang menjadi terkecoh, dan percaya kalau Pranacitra itu anak seorang janda kaya bernama Nyai Singobarong.
Guna menyingkap tabir rahasia ini perlu ditelusuri hal-hal yang patut dicurigai.
Nyai Singobarong, janda kaya pedagang prada berumah di Bata Kenceng. Apakah itu tidak menyimpan rahasia sesuatu yang perlu di singkap? Di dalam Babad yang kita kenal, sering kali kita jumpai cerita-cerita yang kurang masuk akal, atau sengaja ditutup oleh penulisnya. Sebagai contoh, pada jaman Kerajaan Demak dikenal adanya cerita Dadungawuk pecah dadanya disabat suruh oleh Jaka Tingkir, di samping ada pula cerita seekor Kebo Danu pecah kepalanya di tempeleng Jaka Tingkir. Inipun merupakan peristiwa sejarah yang ditutup dengan cerita lain, dalam usaha menutupi peristiwa sebenarnya. Padahal sesungguhnya, tokoh yang digambarkan sebagai Dadungawuk maupun Kebo Danu itu bukan lain puteri Sultan Trenggono, yang bernama Ratu Mas Cempa.
Antara Jaka Tingkir dengan RatuMas Cempa terlibat hubungan cinta. Kemudian Ratu Mas Cempa hamil. Raja Demak Sultan Trenggono sangat marah, kemudian Jaka Tingkir diusir dari Demak. Akan tetapi ternyata Ratu Mas Cempa yang sudah hamil itu menuntut agar Jaka Tingkir diampuni, agar dapat menjadi ayah secara syah calon manusia dalam rahimnya. Tuntutan puterinya itu menyebabkan Raja Sultan Trenggono mengabulkan. Akhirnya dinikahkan, lalu diangkat sebagai Adipati Pajang dengan nama Hadiwijoyo. Peristiwa dan ungkapan ini pernah diceritakan oleh penulis, dalam cerita bersambung dengan judul "Kemelut di Demak".
Sekarang kita kembali menyingkap nama Nyai Singobarong, pedagang prada dan berumah di Bata Kenceng. Kiranya nama Singobarong ini bukan hanya secara kebetulan saja. Tetapi memang identik dengan kedudukan ibu Pranacitra jaman itu.
Kita cukup kenal, Singobarong merupakan binatang buas sebagai Raja Hutan. Apakah kita tidak perlu mencurigai nama itu? Kiranya di dalam jaman Matarampun, Nyai Singobarong ini merupakan salah seorang isteri Sultan Agung. Dugaan ini dikuatkan dengan kedudukkannya sebagai pedagang "prada". Yang dinamakan prada ini identik dengan emas. Sudah barang tentu sebagai salah seorang isteri Sultan Agung, kaya akan emas. Apabila dihubungkan dengan nama desa Bata Kenceng menjadi dugaan itu mendekati. Bata Kenceng sinonim dengan pagar tembok. Orang yang menghuni di dalamnya disebut wong jeron beteng (orang dalam pagar ). Mudah diduga. yang dimaksud oleh penulis cerita Rara Mendut Pranacitra, tidak lain Kraton.
Apabila dugaan itu dianggap meragukan, bisa ditelusuri dari keadaan Pranacitra sendiri yang bercelana Cinde dan memiliki keris Kyai Jabardas. Pada jaman kerajaan tidak sembarang orang boleh memakai celana Cinde. Yang dibenarkan memakai hanya para bangsawan.
Di Kraton Kasunanan Surakarta, terdapat keris bernama Kyai Jabardas. Keris ini mempunyai kedudukkan penting dalam adat Kraton. Karena di saat penobatan putera Raja menjadi Pangeran, dalam upacara tersebut fungsi keris Kyai Jabardas ini amat menentukan. Nah, kiranya tidak salah kalau PranaCitra ini juga salah seorang Pangeran, putera Sultan Agung.
Karena Tumenggung Wiroguno lancang tangan membunuh seorang Pangeran ini maka hukuman yang paling setimpal, ditebus dengan nyawanya sendiri. Karena Tumenggung Wiroguno merupakan orang yang sudah berdosa terhadap kerajaan, maka jenazahnya dikebumikan di Banyusumurup, Imogiri. Ini merupakan makam khusus bagi para bangsawan yang dianggap berdosa kepada Kerajaan. maka di makam Banyusumurup ini, dimakamkan pula Pangeran Pekik ( Adipati Surabaya ). Ratu Wandansari ( adik Sultan Agung ) dan beberapa
bangsawan yang lain. Mari kita laniutkan cerita kita ini. Gunung Muria telah menjadi pusat perjuangan, banyak tokoh sakti berdatangan. Akan tetapi ketika markas itu menerima tamu dua orang laki-laki bertubuh kerdil dan pipinya hitam, baik Saragedug maupun Sintren terkesiap. Sebaliknya, dua orang tamu itu merasa kaget juga bertemu dengan Gendruwo Semanu di tempat ini.
Dua orang tamu yang kemudian menggabungkandiri itu. bernama Cilik Kunting dan Sarpa Kresna. Cilik Kunting tubuhnya kerdil dan matanya lebar, sedang Sarpa Kresna pipinya hitam bertubuh tinggi besar.
Sesungguhnya saja kedudukan dua orang itu hampir sejajar dengan Gendruwo Semanu, dalam pengabdiannya kepada Mataram. Oleh Sultan Agung, baik Cilik Kunting maupun Sarpa Kresna secara khusus ditugaskan menyelundup ke Muria. Sedang sebabnya dua orang ini mendapat tugas KHUSUS dari Sultan Agung, karena Gendruwo Semanu tidak terdengar kabar beritanya lagi, menyebabkan Sultan Agung khawatir.
Bagi Ali Ngumar maupun kawan-kawannya memang sulit untuk meneliti, setiap orang yang menggabungkan diri, karena jumlahnya banyak sekali. Maka tidak aneh pula kalau Saragedug, Sintren, Cilik Kunting dan Sarpa Kresna dapat menyelundup ke tempat ini.
Akhirnya tiba saat mendebarkan. Sesuai dengan hasil musyawarah, hari itu harus dilakukan pemilihan pemimpin, yang mengendalikan derap langkah perjuangan. Mengingat kedudukan amat penting yang sedang diperebutkan ini, baik Saragedug maupun kawan-kawannya berusaha sekuat tenaga untuk dapat merebutnya. Akan tetapi kalau usahanya sampai tak berhasil, setidaknya akan dapat mengacau dan memecah belah persatuan.
Dalam usaha memperoleh kedudukan itu, Saragodug telah melancarkan Siasatnya,
"Saudara-saudara sekalian, perkenankanlah aku mengajukan pertanyaan. Ada seorang pemuda bernama Prayoga. Apakah dia termasuk kawan kita?"
Ali Ngumar terkejut dan cepat menyahut,
"Dia... muridku sendiri. Apa yang terjadi dengan Prayoga?"
"Hem, sayang sayang...." Saragedug menggeleng gelengkan kepala sambil menghela napas panjang.
Si Bengkok cepat berteriak,
"Prayoga kami utus ke Randublatung. Tolong apabila saudara tahu, hendaknya suka menceritakan."
Saragedug menggeleng-gclengkan kepalanya lagi, tampak amat prihatin dan masgul. Setelah semua perhatian tertuju kepada dirinya, ia berkata,
"Dalam perjalanan tak terjadi sesuatu. Tetapi setelah tiba di Randublatung, dia ditangkap oleh pejuang yang berpusat di sana. Ternyata di Randublatung telah terjadi pengkhianatan, mereka berbalik haluan berpihak kepada Mataram. Akibatnya Prayoga dibawa ke Mataram, kemudian oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati... ."
"Benarkah itu?!" Ali Ngumar berjingkrak terkejut seperti dipagut ular.
"Apakah saudara menganggap aku ini sebagai pembohong besar? Dan untuk apa pula aku harus membohongi kalian?' sahut Saragedug lantang. Sedang semua orang memusatkan perhatian kepada Saragedug.
"ah... pemuda itu memang mengalami nasib yang amat buruk. Setelah dipenggal kepalanya. kemudian kepala itu dipancang dengan kayu di alun-alun, sedang tubuh pemuda itu dicincang para algojo sampai hancur sama sekali."
Keterangan Saragedug ini, nampak seperti benar bcnar terjadi. Membuat semua orang sangat marah, karena menganggap Sultan Agung terlalu kejam. Tiba-tiba terdengar salah seorang berteriak lantang,
"Setan alas! Mari kita serbu sekarang juga kerajaan Mataram. Kita harus dapat merebut kerajaan Mataram, dan membunuh raja tamak itu!"
Yang lain menyambung, "Keparat! Raja serakah itu harus kita cincang sampai tubuhnya hancur!"
Mendengar kemarahan orang-orang itu membuat Saragedug dan Sintren gembira setengah mati. Apabila berhasil membangkitkan kemarahaan mereka, kemudian sudah bergerak ke Mataram, tentu dengan amat mudahnya pasukan Mataram dapat menindas para pemberontak ini dalam waktu singkat. Ibarat "sulung mlebu geni" (' anai'anai masuk ke dalam api ).
Cilik Kunting kemudian menggunakan kesempatan ini untuk membakar kemarahan orang,
"Benar! Tepat! Lebih cepat kita menyerbu ke sana, lebih baik. Kita cukup kuat! Kita tidak perlu takut!"
Suasana menjadi riuh, orang berteriak dan mencaci maki Sultan Agung. Ali Ngumar yang biasanya tenang, saat itu juga dirangsang kemarahan hebat. Betapapun Prayoga merupakan murid kesayangannya, dan sebagai pewaris ilmunya. Akan tetapi sekalipun begitu, ia ma sih cukup sadar. Sebab menyadari pula, apabila hanya menuruti kemarahan tanpa memperhitungkan akibatnya, sangat berbahaya.
Di antara yang hadir, Jim Cing Cing Goling juga menyadari keadaan, dan dapat pula menangkap isyarat Ali Ngumar itu. Tiba-tiba tokoh aneh ini bersuir nyaring dan tajam. Suara hiruk-pikuk seketika tertindas. Kemudian suasana kembali tenang, lalu semua pasang mata dipusatkan ke arah Ali Ngumar, menunggu dengan jantung berdebar.
Ketika itu Ali Ngumar tampak berduka sekali. Dalam waktu beberapa saat tokoh Muria ini tidak dapat membuka mulut. Hubungan antara dirinya dengan Prayoga bukan saja sebagai murid kesayangannya, tetapi juga tidak bedanya seorang anak. Ia kenal akan watak dan kejujuran pemuda itu, yang menjadi seorang pemuda pejuang gagah perkasa, tak gentar berhadapan dengai kesulitan dalam melaksanakan tugas.
Hampir saja Ali Ngumar berhasil dibakar kemarahannya oleh Saragedug dan Cilik Kunting. Namun kesadarannya dapat menindas rangsangan kemarahannya. Ia sadar setiap perjuangan harus dilandasi persiapan teratur dan perhitungan yang tepat. Tanpa adanya persiapan, penyerbuan itu takkan berhasil seperti yang diharapkan. Kebalikannya malah akan mengorbankan ribuan pejuang yang sudah lama dipersiapkan.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, ia dapat menyadari mana' kepentingan pribadi dan mana kepentingan perjuangan. Apabila perjuangan ini dicampuri kepentingan pribadi, salah-salah malah menghancurkan seluruh cita-cita dan harapan membangun Pati akan kandas.
Ali Ngumar batuk-batuk. Setelah semua orang memperhatikan, ia memulai,
"Aku sangat mengharapkan Sikap kalian yang tertib dan tenang, dan hendaknya tidak mudah terbakar oleh rasa marah. Aku mengerti, berita buruk itu sangat mengejutkan dan apa yang sudah dilakukan Sultan Agung jelas tidak bijaksana. Dan sudah tentu kita cepat dapat menyebut, Sultan Agung seorang Raya yang kejam dan sewenang-wenang. Namun sebaliknya harus kalian sadari pula, bahwa dari sudut kepentingan Mataram hal itu tepat. Karena membunuh seorang pemuda berbahaya seperti Prayoga, berarti mencegah bencana yang bisa timbul. karena setiap pejuang akan berhitung-hitung dahulu sebelum bertindak. Sudah tentu antara kita dengan Sultan Agung tidak pernah sependapat."
Ali .Ngumar berhenti sejenak, Sambil menebarkan pandang matanya kepada. sekalian yang hadir untuk mencari kesan. Ketika melihat semua orang memperhatikan,ia menghela napas lebih dahulu sebelum melanjutkan.
"Saudara-saudaraku sekali lagi aku mohon agar kalian dapat mengekang dan memerangi perasaan. Kalian
tahu, betapa sedih dan marahku mendengar peristiwa itu. Namun sebagai seorang pejuang yang bercita-cita luhur untuk melawan keserakahanSultan Agung, kita harus mendahulukan kepentingan perjuangan daripada kepentingan pribadi. Kita semua menyadari bahwa perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, dan jatuhnya airmata. Tetapi airmata malah bagai pupuk bagi tanaman, sehingga dapat menyuburkan dan menebalkan kesetiaan kita kepada perjuangan, sehingga hati kita membaja!"
Ali Ngumar berhenti lagi, ketika melihat hadirin tetap tenang, ia meneruskan.
"Saudara-saudaraku. hendaknya kita mau berpikir lebih jauh lagi. Kemudian akan timbullah pertanyaan dalam hati kita masing-masing, apakah tindakan Sultan Agung terhadap Prayoga itu tidak mempunyai maksud tersembunyi? Menurut dugaanku peristiwa ini memang sudah diatur sedemikian rupa. Agar kemudian kita menjadi marah, kemudian tanpa pikir panjang lagi sudah bergerak menyerbu Mataram untuk menuntut balas. Apakah kita tidak akan menderita rugi kalau sampai bertindak tanpa perhitungan seperti itu?"
Penjelasan Ali Ngumar itu menyadarkan Semua orang, dan memuji pula akan Sikap dan pandangannya yang jauh. Beberapa orang tokoh segera mendukung pendapat Ali Ngumar. Kepentingan perjuangan harus didahulukan daripada urusan pribadi.
Akan tetapi sudah tentu mata-mata Mataram tidak puas dengan Sikap Ali Ngumar. Sikap itu akan merugikan kepentingan Mataram, maka kesempatan ini harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengacauan.
"Salah! Salah! Itu tidak tepat!" seru Sarpa Kresna lantang.
"Aku merasa sayang sekali bahwa kalian sebagai pejuang, sekarang telah dihinggapi oleh rasa takut! Ini dicap yang tidak perwira. Apapun yang terjadi, kita
tak dapat menerima perlakuan sewenang-wenang raja Mataram itu. Pihak sana sudah tidak menghargai prayoga, sehingga harus gugur sebagai ksyatria, tetapi dalam pandangan umum tidak bedanya mati seperti binatang. Huh, ini perbuatan yang tidak berperikemanusiaan. Perbuatan seperti ini harus ditentang dan dilawan!"
Sarpa Kresna berhenti, memandang sekeliling untuk mencari kesan. Setelah tahu semua orang memperhatikan, ia meneruskan,
"Saudara-saudara, kita harus berpegang kepada prinsip, hutang jiwa bayar jiwa dan hutang kekejaman harus dibayar kekejaman pula. Ah, aku menjadi heran dan tak mengerti, mengapa sikap guru saudara Prayoga malah lemah. Hemm, aku sendiri memang belum kenal dengan Prayoga, akan tetapi aku tidak rela dia harus gugur seperti itu. Huh-huh, aku menjadi penasaran sekali mengapa saudara Ali Ngumar malah bersikap seperti banCi? Kita tidak perlu takut kepada Mataram! Mati dalam perjuangan, berarti mati suci! Apa yang akan kita cari lagi?"
Dalam jumlah banyak yang hadir, belum pernah kenal dengan orang yang pipinya hitam itu. Kendati demikian, ucapannya ini mereka anggap beralasan dan sikapnya juga jantan.
Sungguh licin dua orang mata-mata Mataram ini. Sarpa Kresna mempengaruhi sekalian yang hadir dengan bicara lantang, sebaliknya Cilik Kunthing diam-diam menghasut ke sana dan kemari untuk mempengaruhi pendapat. Cilik Kunthing memang licin sekali. Ia menggunakan dalih setia kawan, dalam usahanya membakar kemarahan orang. Oleh pengaruh hasutan Cilik Kunthing ini, suasana yang semula tenang menjadi hiruk-pikuk lagi. Di antara mereka sudah berteriak teriak, menyatakan tidak puas akan sikap Ali Ngumar.
Ali Ngumar kaget. Ia mengangkat tangan ke atas dalam usaha menenangkan kembali keadaan. Akan tetapi sayang sekali, hadirin tak menggubris.
Tak heran kalau saat sekarang yang hadir sulit diatasi. Alasan yang dikemukakan Sarpa Kresna dan hasutan yang dilakukan Cilik Kunthing, tepat sekali, menjunjung tinggi rasa setia kawan. Lebih lagi yang menjadi korban kekejaman Mataram itu, seorang pejuang gagah perkasa seperti Prayoga. Setiap tokoh yang sudah kenal pemuda itu menjadi Suka dan sayang. Karena itu 0rang-rang segera pula menganggap, sikap Ali Ngumar kurang pada tempatnya, justru Prayoga muridnya sendiri.
Si Pemanah Gadis 3 Ketika Kau Hadir Karya Unknown Empat Pemburu Harta 2
^