Pencarian

Dendam Kesumat 6

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 6


"Sudahlah... sudahlah,..." Sarini menjadi gugup.
"Waktu kita sangat berharga. Sekarang kita cepat melarikan diri!"
Akan tetapi Sucitro dan Sutirto belum mau bangkit, dalam hati dua bocah itu minta perlindungan.
"Baiklah! Lekas kalian _keluar .dari padepokan ini dan pergilah ke Muria. Di sana kalian akan mendapat perlindungan. Sesudah semua urusan di Sini selesai, aku pun akan pulang ke sana."
Sucitro dan Sutirto mengucapkan terima kasih. Kemudian mereka keluar dari tempat itu. Sarini segera menutup lubang itu lagi, kemudian iapun pergi.
Tetapi ketika tiba di ruangan yang terbagi menjadi dua, mereka dikejutkan oleh suara orang memanggil,
"Gandung! Gandung! Di mana engkau? Tamu kita memerlukan pelayanan. Hayo. cepatlah ke mari dan jangan enak enak tidur."
Sucitro dan Sutirto cepat-cepat menyelinap bersembunyi. Sebab yang dipanggil Gandung itu, tidak lain si cantrik yang tadi mengajak Sarini ke tempat ini.
Pucat wajah Gandung dan menghentikan langkahnya. Sarinipun ikut berhenti, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak lama kemudian muncul seorang cantrik lain, karena mengenakan jubah. Orang itu sebenarnya cantrik yang sudah naik tingkatnya menjadi apa yang disebut Indung-Indung.
"Aha, sungguh kebetulan! Lekaslah kamu ke sana, dan jangan sembarangan pergi lagi. Awas kamu, jika sembrono bisa dijebloskan ke dalam penjara di bawah tanah. Tahu?" ancamnya.
Ketika Indung-Indung itu muncul, Sarini menundukkan kepalanya. Syukur Indung-Indung itu kurang teliti dan tak mengenal cantrik palsu.
Kalau Gandung gemetaran, Sarini tidak. ia merobah suaranya menladi lebih besar seperti laki-laki.
"Ikut aku!" perintahnya sambil mendahului melangkah. Jarak antara orang itu dengan Sarini hanya setengah depa. Kalau mau, tidak sulit Sarini mencekik. Akan tetapi karena ia ingat kata-kata Indung-Indung tadi, timbullah keinginannya untuk bisa bertemu dengan si tamu.
Ia memberi isyarat dengan tangan kepada Gandung agar tidak takut. Setelah melewati dua buah ruangan lagi, tibalah mereka pada deretan kamar yang dibangun amat indah dan kokoh. Tidak kalah indahnya dengan rumah bangsawan di Pati maupun di Mataram.
"Ndara kakung dan ndara putri, cantrik-cantrik yang ditugaskan melayani ndara sudah datang,
" kata Indung-Indung dengan menghormat.
"Suruh masuk ke mari!" suara melengking terdengar dari kamar.
Tiba-tiba Indung-Indung itu menampar kepala Sarini sambil berpesan,
"Kamu harus melayani baik-baik. Di dalam kamar itu terdapat ndara kakung Saragedug dan ndara putri Sintren yang namanya'termasyur. Mereka merupakan jago-jago Mataram yang amat dihormati. Maka kakek guru sendiri memerlukan menyambut kedatangan mereka. Tahu?"
Sebenarnya marah sekali gadis ini mendapat hadiah tamparan dari Indung Indung itu. Akan tetapi karena mendengar nama Saragedug dan Sintren yang terkenal dengan sebutan Gendruwo Semanu. ia tertarik berbareng terkejut.
Sarini menolak daun pintu. Akan tetapi ketika matanya memandang ke dalam kamar, matanya terbelalak. Ternyata dalam kamar itu hanya terisi sebuah balai balai kayu saja. Di atas balai-balai kayu itu tampak dua orang duduk bersila. Yang perempuan kepalanya runcing dengan rambut jarang. Kalau tanpa subang, tentu dikira laki-laki. Tubuh perempuan itu kurus kering, wajah kehijau-hijauan seperti mayat. Selain memakai baju, ia masih memakai jubah warna hijau. ,
Yang laki-laki tubuhnya juga kurus. Karena tanpa baju, tulang-tulang rusuknya tampak menonjol. Celananya panjang sampai bawah lutut, memakai kuluk seperti seorang Tumenggung. Yang aneh, wajah kakek ini berobah-robah. Kadang merah, _kadang kuning dan kadang hijau.
Setelah melangkah masuk, Sarini segera merasakan seperti diburu hawa Danas. Akan tetapi ketika ia berkisar ke samping, hawa panas itu berganti dengan hawa yang dingin luar biasa. Buru-buru ia menyalurkan tenaga sakti untuk melindungi diri. Sedang Gandung tampak menggigil kedinginan.
"'Hai engkau murid angkatan keberapa ?" tegur laki-laki kurus itu.
Sarini gelagapan. Kalau menyebut angkatan yang begitu tinggi, tentu menimbulkan kecurigaan mereka. karena itu dengan hormatnya ia menyahut,
"Hamba murid angkatan ketiga, ndara."
Laki-laki itu mendendus kemudian mengamati Sarini secara teliti. Dan sesaat kemudian beralih mengamati Gandung yang menggigil kedinginan di muka pintu. Mendadak orang laki-laki itu ketawa terkekeh.
Sarini tak mengerti apa yang diketawakan laki-laki itu. Akan tetapi ia merasakan bulu kuduknya meregang semuanya. Ia merasakan bahwa dalam kamar ini diliputi suasana aneh luar biasa. Diam-diam Sarini khawatir sekali kalau penyamarannya diketahui. Sesaat kemudian ia merasakan terjadinya perubahan hawa dalam kamar itu menjadi makin panas.
Ketika laki-laki itu ketawa, wajahnya menjadi merah. Hawa yang menyembur dari mulutnya menyerupai awan panas dari mulut gunung berapi. Untuk melawan hawa panas itu, terpaksa Sarini mengerahkan tenaga sakti.
Untung juga tak lama kemudian Saragedug menghentikan ketawanya. Lalu sambil menatap Sarmi bertanya,
"Usiamu masih muda, apalagi murid angkatan ketiga., tetapi mengapa sebabnya engkau sudah memiliki tenaga sakti yang cukup bagus? Apakah sebelumnya menjadi murid padepokan ini, engkau sudah mempunyai dasar ilmu?"
Sekarang baru sadarlah Sarini akan kesalahannya sendiri. Ternyata dengan mengerahkan tenaga sakti untuk melawan hawa panas itu, laki-laki tersebut tahu keadaannya. Ah, apabila rahasianya sampai terbuka, celakalah dirinya. Maka sambil berkeringat dingin saking khawatir, ia menyahut,
"Ndara benar." Sebenarnya saja Saragedug merasa curiga. Akan tetapi mengingat penjagaan padepokan ini kuat sekali, tidak ada alasan mengkhawatirkan musuh berani menyelundup ke dalam padepokan. Mengingat itu, ia tidak mengurus lebih lanjut.
"Ambilkan dua buah kuali air!" perintahnya kemudian
Sarini cepat-cepat mundur sambil menghampiri Gandung. Tak lama kemudian Gandung sudah kembali lagi dan membawa dua kuali berisi air. Sarini cepat membawanya masuk. Kuali yang satu ditempatkan di depan Saragedug, sedang yang satu di depan Sintren.
Pada kesempatan meletakkan kuali itu, Sarini mencuri pandang kepada Sintren. Perempuan itu memejamkan mata dan tak bicara apapun. Ketika kuali diletakkan di depannya, dua belah tangannya cepat dimasukkan ke dalam air. Sedang Saragedug cepat pula menirunya.
Beberapa saat kemudian kembali Saragedug berkata,
"Ambil kuali ini dan berikan dia. Sedang kuali itu bawa kemari."
Kendati tidak tahu maksud orang, Sarini mengerjakan perintah itu. Akan tetapi ketika tangannya menyentuh air dalam kuali di depan Saragedug. ia hampir menperit dan cepat menarik kembali tangannya. Ternyata air di dalam kuali itu panas sekali seperti mendidih. Sebaliknya ketika menyentuh air dari Sintren, terasa dingin sekali seperti es. Selama hidup belum pernah Sarini berhadapan dengan ilmu yang aneh seperti ini. Dan ia juga belum jelas, bagaimana cara ilmu itu dipergunakan menyerang musuh. '
Suami isteri itu memasukkan kembali tangan masing-masing ke kuali. Air yang mendidih menjadi dingin dan sebaliknya yang dingin menjadi mendidih. Berturut turut sampai enam kali terjadi pertukaran kuali.
Saragedug dan Sintren merupakan suami isteri. Sekarang ini masing masing sedang melatih tenaga sakti. Saragedug memiliki tenaga sakti panas, sebaliknya Sintren memiliki tenaga sakti dingin.
Tak lama kemudian Saragedug memerintahkan Sarini,
"Bocah, coba panggil 18 orang itu ke mari. Sesudah itu engkau boleh istirahat."
Celaka! Sarini mengeluh, karena tahu belaka siapa yang dimaksud 18 orang itu. Akan tetapi ia tidak berani membantah. Cepat ia menghampiri Gandung di luar kamar. Gandung gemetar ketakutan, katanya.
"mBakyu, mari kita cepat melarikan diri saja."
"Tetapi mereka memerintahkan memanggil 18 orang itu."
Tetapi otak Sarini yang cerdik sudah dapat menduga, 18 orang yang dimaksud tentu jago-jago Mataram yang mengawal suami isteri itu. Kalau mereka dipanggil, tentu akan diajak musyawarah dalam mengatur rencana membasmi Ali Ngumar dan rombongannya.
Sampai pada kesimpulan itu, Sarini membulatkan tekat. ia tak takut kalau harus mati di tangan orang-orang itu. Yang penting bagi dirinya harus berusaha menyelamatkan seluruh rombongannya. Terpikir demikian timbullah tekatnya harus tahu segalanya.
"Tak perlu gelisah!" hiburnya kepada Gandung.
"Asal engkau dapat membantu memanggil 18 orang, beres! Mari kita cepat ke sana!"
Setengah menyeret Gandung, Sarini sudah tiba di kamar sebelah suami isteri Gendruwo Semanu. Ternyata kamar itu kosong, maka Sarini segera masuk lewat jendela. ia tempelkan telinga pada dinding kayu
yang membatasi kamar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan suami isteri itu. .
"Nok," panggil Saragedug. Nok ini singkatan dari istilah denok atau genduk. Memang sudah menjadi kebiasaan Saragedug, jika memanggil isterinya denok.
"Kali ini kalau berhasil, kita tentu makin dikasihi oleh Sinuhun Sultan Agung."
"Kakang benar. Tadi akupun sudah mendengar laporan bahwa Hajar Sapta Bumi sekarang ini sudah berkelahi melawan Ali Ngumar dan Ladrang Kuning. Hi hihik, biarlah mereka berkelahi sendiri, kita tinggal enak enak di sini'tetapi akan memetik buahnya."
"Denok, ah, jangan banyak bicara dulu. Kita harus menjaga telinga di sebelah ini."
Sarini seperti dipagut ular. Tetapi sesaat kemudian sudah dapat menenangkan diri. Sudah teguh tekatnya, sekalipun mati takkan menyesal asal saja dapat menyelamatkan guru dan rombongannya.
Mendadak ia mendengar suara langkah kaki menuju kamar Gendruwo Semanu. Sejenak kemudian terdengar Saragedug menegur,
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Masih berkelahi sengit," sahut orang itu.
Saragedug mendengus. Lalu bertanya,
"Apakah segala rencana sudah kamu siapkan dalam terowongan itu'?
"Semua sudah beres. Sekali sulut, sumbunya akan menjalar sampai ke sana. Tepat di bawah tempat yang sekarang dipergunakan berkelahi itu, sudah tersedia bahan peledak."
Sarini tersentak kaget. Apakah Gendruwo Semanu merencanakan menghancurkan padepokan ini dengan bahan peledak? "Akan tetapi ketika Sarini masih ragu, terdengar Saragedug terkekeh,
"Heh heh heh, apabila pekerjaan kita berhasil, Sinuhun Sultan Agung tentu akan memberi hadiah besar sekali. Saudara saudara tentu akan menikmati hari tua yang penuh nikmat dan bahagia. Karena itu kalian harus bekerja hati hati. Eh, apakah tak perlu dilakukan penelitian sekali lagi?" '
"Ah, kiranya tidak perlu banyak membuang tenaga dan waktu. Bukankah saudara tahu, kedudukanku di dalam pasukan Sarageni? Apabila aku yang memasang obat peledak itu sampai macet di tengah jalan, jangan panggil aku Demit Dahana lagi!" sahut salah seorang yang suaranya agak nyaring. Yang dimaksud Demit Dahana itu ialah demit api.
Saragedug ketawa terkekeh lagi, lalu katanya,
"Ah, aku harap kalian jangan cepat menjadi puas dengan segala usaha dan jerih payah kita. Bukankah engkau sudah tahu sendiri, bahwa Ingkang Sinuwun Sultan Agung sudah bertekat menaklukkan semua Wilayah yang dahulu menjadi wilayah Majapahit atau setidak tidaknya wilayah Demak. Dan sebelum cita Cita itu terlaksana, kanjeng Sultan tentu belum puas. Mengingat itu, semua pengkhianat dan pemberontak harus disapu bersih. Dan Hajar Sapta Bumi? Dia tidak boleh tahu akan rencana kita ini. Sebab dia orang amat berbahaya. Apabila dibiarkan hidup, dia bisa menjadi saingan kita."
Ia berhenti, sejenak kemudian baru meneruskan,
"Karena itu biarlah tua bangka itu ikut pula binasa bersama seluruh pemberontak. Hem, engkau harus ingat apa yang aku katakan ini. Sesudah melihat mereka kepayahan berkelahi, cepat kamu meninggalkan padepokan ini dan tunggulah aku di tempat yang sudah kita rencanakan. Aku sendiri yang akan menyulut sumbu itu dan biarlah mereka mampus semua berbareng dengan hancurnya padepokan ini. Hemm, sesudah tugas ini selesai, kita harus cepat-cepat mengalihkan usaha mencari dan menyelidiki di manakah sebenarnya harta karun itu disimpan! Tahu?"
Sarini kaget bukan main. Ia baru sadar sekarang,
betapa ganas dan keji Gendruwo Semanu dan anak buah nya. Walaupun Hajar Sapta Buni telah menerima mereka penuh hormat, namun tidak juga luput dari kebinasaan. Terpikir kemudian oleh gadis ini, di manakah letak terowongan itu? Apakah terowongan itu terletak di bawah perapian yang tadi telah ia masuki? Ah, kalau tidak cepat bertindak, ia khawatir sekali keselamatan semua orang. Dari semua manusia manusia yang akan binasa itu, yang paling diprihatinkan Prayoga seorang.
Sarini cepat melompat lewat jendela lagi meninggalkan tempat itu. Tetapi celakanya dalam usaha menemukan kembali tempat perapian itu, ia kesulitan. Ia gelisah, ia tidak tahu arah, kemudian timbul keputusannya untuk mencari penunJuk jalan.
Tengah ia kebingungan, tiba tiba melihat tiga sosok tubuh kecil. Kira-kira Sucitro, Sutirto dan Gandung. Ia melihat bahwa tiga bocah itu cemas dan ketakutan. Namun setelah mereka bertemu Sarini, tampak lega.
"mBakyu, kita tak dapat lolos lagi!" bisik mereka.
"Sttt, tak perlu tergesa," bisik Sarini.
"Kita masih mempunyai tugas amat penting. Tahukah kalian di mana lubang terowongan di bawah tanah itu? Dan apakah kalian tahu, bahwa terowongan itu dapat menembus sampai bawah tempat perkelahian?'.'
Di luar dugaan, tiga bocah itu menggelengkan kepala. Sahut Sucitro kemudian,
"Yang aku ketahui, tak lain hanyalah terowongan yang panjangnya 30 meter itu. Apakah terowongan itu dapat menembus tempat lain, aku tak tahu."
Keadaan sudah amat mendesak. Akhirnya Sarini memutuskan mengajak mereka masuk dalam terowongan tadi. Ketika mereka tiba di tempat itu, ternyata dua orang penjaga tadi masih belum sadar.
Secara berani, Sarini segera melangkah masuk. tetapi mendadak dua sosok bayangan meloncat langsung menyerang dengan golok sambil mendamprat,
"Kurangajar! kau berani melepaskan hukuman kami?!"
Karena tak menduga, hampir saja Sarini terbacok. Untung Sucitro dan Sutirto cepat menarik kaki Sarini keluar lubang. Ah, kiranya yang menyerang itu dua orang penjaga yang lain. Melihat dua orang kawannya tak berkutik, dan tempat perapian bergeser dari tempat nya, mereka cepat masuk ke dalam lubang terowongan. Ternyata orang hukuman sudah lenyap. Buru buru mereka hendak naik tangga ke atas kembali untuk melapor. Akan tetapi tepat pada saat itu, Sarini menuruni terowongan. '
Walaupun kakinya ditarik ke atas, tetapi kepala Sarini masih belum sempat keluar. Ketika dua batang golok menyambar, gadis ini cepat menggunakan tangan merampas senjata lawan. Memang tidak sulit Sarini merebut golok dari tangan orang, yang kepandaiannya jauh di bawah swara Manis. Sesudah golok berhasil dirampas, sekali dorong dua orang itu sudah jatuh mencium' lantai. Sucitro dan Sutirto cepat melompat, meringkus mereka, kemudian diseret keluar dari lubang terowongan.
"Bagus!" puji Sarini.
"Ah. mbakyu sendiri yang hebat!" sahut mereka. '
Sekarang mereka dapat masuk ke dalam lubang terowongan tanpa gangguan lagi. Sesudah di dalam terowongan, ternyata keterangan Sucitro benar. Terowongan itu hanya sepanjang 30 meter. Beberapa lama mereka menyelidik, tetapi tetap tak memperoleh hasil. Mereka tidak menemukan bahan peledak maupun jalan tembus. Dinding dan langit langit terowongan itu bercat putih bersih, tetapi tidak terdapat lubang. Saking mendongkol, ia menanggalkan pakaian cantriknya.
Tiga bocah itu tak mengerti sebabnya Sarini marah marah. Kendati begitu tak ada yang yang berani bertanya. Ketika mereka hendak keluar kembali, tibatiba dari luar terowongan terdengar suara orang berkata,
"Empat tikus cilik itu masuk ke dalam lubang. Tetapi salah seorang dari mereka cukup berbahaya. Ah jangan-jangan ada mata mata musuh berhasil menyelundup masuk. Lekas tutup lubang dan kita lapor kepada paman."
"Ya, memang tidak boleh lolos!" sahut yang lain.
Mendengar itu tahulah Sarmi, bahwa gerak geriknya telah diketahui orang. Celaka! Kalau lubang sam pai ditutup, tentu akan kehabisan hawa. Karena itu harus cepat-cepat dapat keluar. Tugas terpenting dalam usaha menggagalkan rencana jahat Gendruwo Semanu dan anak-buahnya.
Dalam usaha mengerahkan tenaga sakti, Sarini berjongkok, kemudian meloncat menerobos ke atas. Celakanya tepat pada saat itu lubang tiba tiba ditutup dari atas. Untung Sarini masih dapat menguasai diri. Kalau tidak, kepalanya tentu terbentur kepada penutup lubang yang terbuat dari besi.
Setelah menyadari tidak dapat keluar lagi, Sarini menanyakan kembali kepada tiga bocah itu, apakah ada terowongan lain yang dapat dipergunakan untuk keluar. Akan tetapi mereka tetap ' menggelengkan kepalanya. Mereka hanya mengatakan, tempat perapian itu berat sekali dan tidak mungkin dapat dibuka tanpa menggerakkan alat pembukanya.
Sarini bagai cacing kepanasan. Ia lari ke pintu besar yang mempunyai terali besi dan segera mencabut sebatang. Dengan benda itu Ia memukul dan menusuk dinding terowongan, sehingga banyak cat yang berguguran bersama tembok terowongan.
Melihat Sarmi mengamuk, tiga bocah itu menjadi takut dan menyembunyikan diri di Ujung dinding.
Setelah puas mengamuk, Sarini tenang kembali. Saking lelah ia duduk di lantai. Kemudian ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil memeras otak. Diam diam ia mencaci maki dirinya sendiri yang gegabah masuk dalam terowongan. Seharusnya setelah berhasil menemukan jalan tembus dibawah tanah, cepat-cepat harus pergi dan melaporkan kepada gurunya. Lebih banyak orang, tentu lebih banyak diperoleh jalan.
Tetapi ah... nasi sudah menjadi bubur. Sesal tak berguna. Sekarang dirinya sudah terlanjur terkurung dalam terowongan bersama tiga orang bocah yang tak berdosa.
Mendadak mulut terowongan terbuka kembali, lalu terdengar orang berseru lantang.
"Setelah Sucitro, Sutirto dan Gandung, siapa lagi di dalam?"
"mbakyu," bisik Sucitro gemetaran.
"Dia paman Sontrang Jiwa. Celaka, tamatlah riwayat kita semua."
Jantung Sarini berdebaran. Ia belum yakin dapat melawan Sontrang Jiwa. Kendati demikian ia berharap agar Sontrang Jiwa masuk seorang diri. Dengan mengeroyok, ia masih mempunyai harapan menang. Memperoleh pikiran demikian, cepat ia memberi isyarat kepada mereka supaya berdiam diri.
Terdengar lagi suara dari lubang.
"Yang seorang masih muda dan wajah baru. Mungkin orang baru di padepokan ini."
"Ngacau" bentak Sontrang Jiwa.
"Sudah lebih setahun kami tidak menerima orang baru. Mana mungkin sampai muncul wajah baru di sini?"
"Tetapi jangan jangan ndara Suragedug yang membawa dia." bantah orang itu.
"Hem, dia hanya membawa 11 orang jago dari Mataram. Semua anak buahnya sendiri. Mana mungkin terdapat seorang muda? sudahlah! Kamu jangan banyak bicara lagi dan minggirlah! Aku sendiri yang akan turun ke bawah dan memeriksa."
Sarini sudah Siap-siaga. Begitu Sontrang Jiwa turun, ia menjejakkan kakinya melenting ke langit langit. lalu ia melekatkan diri sambil berpegangan langit langit.
Cara yang dilakukan Sarini ini semacam ilmu Cecak merayap yang sakti. Tetapi Sarini sendiri tidak mengerti ilmu tersebut. Akan tetapi sejak minum air mustika dalam batu. tubuhnya menjadi ringan sekali seperti tumbuh sayap. Hanya menggunakan sedikit tenaga. ia sudah dapat melekat di langit langit.
Ketika Sontrang Jiwa hanya menemukan tiga bocah yang menggigil ketakutan, ia menghardik,
"Kurangajar! Kamu hendak melarikan diri? Huh, cepat terangkan siapa kawanmu yang seorang itu dan sekarang di mana?"
Gandung merupakan sahabat Sucitro dan Sutirto. Cepat-cepat menjatuhkan diri dan menyembah sambil menangis,
"Semua ini yang bersalah murid sendiri, dan tak ada sangkut pautnya dengan mereka."
Memang Gandung itu salah seorang murid Sontrang Jiwa sendiri. Mengingat hubungan guru dan murid ini ia mengharap gurunya masih dapat memberi ampun. Tetapi kali ini ternyata Sontrang Jiwa benar benar marah.
"Cepat katakan! Siapa dan di mana kawanmu yang seorang itu?" bentaknya seraya mengangkat kepala untuk menempeleng kepala muridnya.
Sesudah tahu yang masuk hanya Sontrang Jiwa seorang. Sarini yang tabah segera memutar otak mencari jalan. Sekali pukul ia ingin dapat merobohkan Sontrang Jiwa. Tiba tiba ia teringat pakaian cantrik yang tadi di
lepas. Ia dapat menggunakan benda itu sebagai senjata. Dengan gerakan hati hati ia melayang turun untuk meng ambil jubah. Tetapi walaupun sudah hati hati, Sontrang
Jiwa maSih dapat mendengar.
"Yang satu aku sendiri!" secepat kilat Sarini melayang turun, dan secepat itu pula menyambar jubah cantrik kemudian menyerang. Sontrang Jiwa yang belum bersiap diri, tahu tahu kepalanya sudah tertutup jubah. Dalam kagetnya ia sudah menghantam kalang kabut.
Dan yang bernasib malang si Gandung. Ia bermaksud menubruk kaki gurunya untuk minta ampun. Tetapi malah terkena tendangan gurunya. Sambil menjerit nyaring, bocah itu terpental membentur dinding terowongan, langsung menghembuskan napas terakhir.
Sarini terharu. Tetapi dalam keadaan segenting ini, ia harus dapat menahan perasaan. Secepat kilat ia sudah menyelinap ke belakang Sontrang Jiwa memungut besi yang tadi berhasil dilepas dari pintu, kemudian dihantamkan sekuatnya ke kaki Sontrang Jiwa.
Mendengar sabatan angin, Sontrang Jiwa akan menghindar. Tetapi karena lupa kepalanya masih tertutup jubah, ia gelagapan dan aduh... tulang kering kakinya sudah terpukul remuk, lalu jatuh tersungkur di lantai. Sarini yang gemas tak memberi ampun lagi. Pukulan yang melayang ke punggung, menyebabkan Sontrang Jiwa tak berkutik lagi.
SEtelah berhasil merobohkan Sontrang Jiwa ia menjadi lega. Ia menarik jubah yang menutup kepala Sontang Jiwa sambil mengejek,
"Lihatlah yang jelas, siapa aku ini?"
Sontrang Jiwa mendelik tetapi tak membuka mulut.
"Henm, engkau sayang jiwamu sendiri atau tidak?" hardik sarini sambil mengancam dada dengan besi.
"Kalau sayang. engkau akan aku tolong tetapi harus
menjawab pertanyaanku. Sebaliknya kalau memang sudah bosan hidup, sekali tusuk dadamu akan berlubang!"
Sarini' menduga orang itu tentu tak mau membuka mulut tentang rahasia terowongan ini. Tetapi ternyata dugaannya salah. Sontrang Jiwa bukannya bandel, tetapi mengangguk. Karena itu Sarini cepat memberi pertolongan.
Sontrang Jiwa segera berusaha memulihkan kekuatannya. Sekalipun sebelah kaki patah, namun tidak ia rasakan. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh, setelah kekuatannya pulih kembali akan segera menyerang.
"Di mana terowongan yang dapat tembus ke bawah gelanggang perkelahian?" bentak Sarini.
"Jangan bergerak!" bentak Sarini sambil mengancam dengan besi.
Diam-diam Sontrang Jiwa sadar, bahwa tenaga dalam gadis ini amat kuat. Ia tak mau bertindak sembarangan. Kalau sekali pukul dan kena, dirinya tentu lebih menderita lagi.
"Hem, itu rahasia padepokan. Tidak seorangpun boleh mengetahui. Tetapi karena aku sudah kalah, baiklah. Namun kenalkanlah namamu."
"Aku Sarini. Lekas terangkan rahasia itu!"
"Perhatikan yang jelas. Keluar dari sini, langsung lewat tiga buah ruangan. Belok ke kiri lalu ke kanan Iagi. Kemudian belok ke kanan lagi, lalu mundur ke belakang dan berputar ke barat... ."
Sengaja ia menerangkan dengan cepat. Sayangnya Sarini mengira saking ketakutan orang itu memberi keterangan sebenarnya. Dalam usahanya mengingat petunjuk itu, ia memperhatikan. Dan mulut Sarini tidak hentinya menirukan ucapan Sontrang Jiwa.
Memang Sontrang Jiwa sengaja menerangkan dengan cepat. dengan maksud agar perhatian Sarini ke arah "keterangannya, dan pikirannya menjadi kacau. Setelah melihat kesempatan bagus, tiba-tiba mendorong besi itu dengan tangan kiri. Kemudian secepat kilat tangan kanan memukul dada. Gerakan itu dilakukan dengan kuat dan mendadak. Ketika Sarini sadar, sudah tak keburu menghindar. Dalam keadaan gugup, ia menggerakkan besi tadi untuk menghalau. Kendati berhasil mengurangi tenaga pukulan, tetapi Sarini merasakan dadanya sesak dan juga malu.
Sarmi marah sekali telah tertipu secara licik. Tangannya bergerak,dan besi itu berhasil mematahkan beberapa tulang rusuk Sontrang; Jiwa. Sebaliknya Sontrang Jiwa juga masih dapat memukul paha Sarini, sehingga kemudian Sarini roboh.
Beberapa saat kemudian Sarini sadar kembali. Tetapi rongga dadanya sesak dan sakit sekali. Ketika berpaling, ia melihat Sontrang Jiwa lebih payah lagi. Wajah orang itu pucat seperti kertas dan napasnya memburu.
Ketika itu Sucitro dan Sutirto sibuk menangis sambil menelungkupi mayat Gandung. Mereka seperti tidak menghiraukan keadaan Sarini yang kesakitan. Meskipun begitu Sarini tak dapat menyalahkan. Akan tetapi karena dilanda marah, tiba tiba matanya gelap lalu pingsan lagi. '
Di gelanggang perkelahian, keadaan amat menegangkan dan mengkhawatirkan. Ilmu pedang Bumi Gonjing tidak memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Ladrang Kuning segera menggunakan ilmu sakti Banyu Sewindu, ajaran nenek Nagagini. Begitu menjungkirkan hulu pedang sambil memutarnya, ia merapat Hajar Sapta Bumi untuk melancarkan serangan tanpa suara.
Hajar Sapta Bumi dapat menduga apa yang akan dilakukan Ladrang Kuning. Cepat-cepat ia menekan senjatanya supaya memanjang, untuk menjaga agar lawan tak dapat merapat. Dengan demikian, apabila Ladrang Kuning nekat menyerang, ia dapat pula membalas serangan itu.
Ladrang Kuning yang sakti segera menarik kembali tangannya, lalu mengganti dengan ilmu lain. Serangan itu cepat tidak terduga sehingga lawan tidak menyadari.
Parobahan yang dilakukan Ladrang Kuning yang semula diserang sekarang menjadi penyerang itu diam diam membuat Sapta Bumi kagum juga. Cepat ia memiringkan kaki kiri sambil menggunakan tangkai senjata, untuk membentur serangan lawan.
Karena dua kali usahanya gagal, Ladrang Kuning kembali menggunakan ilmu pedang Bumi Gonjing. walau pedangnya belum berhasil mengalahkan kakek itu sebenarnya bukan ilmu pedang itu lemah. Tetapi karena Ladrang Kuning bergerak terlalu cepat, dan Ali Ngumar tak mampu mengimbagi kecepatannya.
Hal ini terjadi bukan saja terpengaruh oleh ketinggian ilmu Ladrang Kuning sehingga dapat bergerak lebih cepat, tetapi juga karena sudah lebih duabelas tahun ilmu pedang ini tidak pernah dipergunakan bersama. Apapun yang tidak terlatih, jika menghadapi lawan tangguh akan nampak kekurangannya.
Perkelahian yang terjadi membutuhkan waktu cukup lama. Diam diam Sapta Bumi menjadi khawatir, apabila tidak cepat-cepat dapat mengalahkan suami isteri ini, namanya akan jatuh dan Sultan Agung tidak menghargai dirinya lagi, Khawatir namanya jatuh ini. kemudian kakek ini melancarkan serangan lebih hebat.
Pada saat itu justru punggungnya disambar angin keras. Cepat ia menarik tangannya ke belakang. Tangan kiri ditarik lebih dahulu dan tangan kanan menyusul. Dua siku dibenturkan. sedang gerakan telapak tangan
mengibas ke depan menghalau pukulan Ladrang Kuning yang berbahaya.
Ia tahu benturan siku lengannya itu takkan menyentuh tubuh lawan. Tetapi pengaruh tenaga sakti yang di salurkan ke siku akan memberikan hasil baik. Ternyata perhitungan itu benar. Tiba tiba Ali Ngumar merasakan dadanya sesak seperti dihimpit tenaga dahsyat. Akibatnya ia mundur dua langkah dan menarik kembali serangannya.
Akan tetapi sebaliknya Hajar Sapta Bumi sudah bergerak maju. Sebelum Ladrang Kuning mengejar, ia sudah melancarkan tiga buah serangan untuk menahan. Sesudah Ladrang Kuning dipaksa mundur, secepat kilat ia memijit alat pada senjatanya. Kemudian senjata itu memanjang dan menyambar Ali Ngunar.
Ali Ngumar terkejut sekali. Untuk menghindar sudah tidak keburu lagi. Jalan satu satunya hanya menjatuhkan diri sambil berguling guling di lantai. Hingga ia selamat dari sambaran senjata.
Pada saat Ali Ngumar menduga bahaya lewat, ia akan bangkit meloncat. Tetapi tiba tiba senjata Sapta Bumi menjulur lebih panjang dan menyambar dada lagi. Kalau sampai terpukul, tentu menderita luka parah dan salah-salah nyawa melayang. Ali Ngumar menyadari keadaan itu. Akan tetapi keadaan memang sulit.
Di saat Ali Ngumar akan mengeliat mengangkat tubuhnya, ujung senjata lawan sudah merangsang. Dengan demikian sama dengan menyongsong maut.
Semua orang yang menyaksikan menahan napas saking tegang. Mereka mengira Ali Ngumar akan tamat riwayatnya. Akan tetapi tiba tiba dalam keadaan gawat itu, terdengar suara orang menggeram keras sekali. Menyusul kemudian benda hitam yang panjang dan besar telah melayang ke arah senjata Hajar Sapta Bumi.
Trang... senjata Hajar Sapta Bumi terpental dan benda hitam itupun jatuh ke tanah.
Ketika semua orang mengamati. ternyata benda hitam yang panjang itu hanya alat pemikul kayu. Orang yang melemparkannya pun tidak bersembunyi. 0rang itu tegak berdiri, dan ternyata Dibyo Kukuh dari Lodaya. ia memang terkenal sebagai pencari kayu. dan sekarang berhasil menyelamatkan Ali Ngumar.
Pada saat ujung senjata Hajar Sapta Bumi terpental, dengan sebat Ali Ngumar meloncat ke samping. Tetapi Sapta Bumi menggoyangkan tangannya dan ujung senjata memagut betis Ali Ngumar. Sekali tarik, tergulinglah Ali Ngumar ke lantai.
Ali Ngumar berusaha melenting ke udara, tetapi baru saja tubuhnya melayang, Sapta Bumi sudah menyusuli lagi dengan pukulan.
Serangan berantai yang berbahaya itu dilancarkan Sapta Bumi dengan cepat sekali sehingga Ladrang Kuning belum sempat membalas menyerang.
Untuk kedua kalinya Ali Ngumar terbanting roboh ke lantai keras sekali.
semua orang amat terkejut. Mereka mengira Ali ngumar terluka parah. Demikian pula dugaan Sapta Bumi sendiri. Tetapi dugaan itu ternyata salah. Begitu terbanting, secepat kilat Ali Ngumar sudah menyabatkan pedang pusaka Kyai Baruna. Bret... jubah merah Sapta Bumi terbabat robek. Dan karena sedikit lambat, amat sayang Ujung pedang masih berhasil merobek kaki kakek itu.
Hajar Sapta Bumi tambah marah. Luka yang diderita ini merupakan penghinaan bagi dirinya. Geramnya,
"Sekarang engkau atau aku yang harus mati!"
Akan tetapi Ali Ngumar juga tak kalah marahnya.
Ia juga terhina karena terbanting dua kali. Setelah berhaSil merobek jubah lawan, ia menyusuli lagi serangannya, dan tepat pada saat itu Ladrang Kuning juga sudah mengirim serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya.
Hajar Sapta Bumi menggeram seperti harimau. Mendadak senjatanya menyurut lagi tinggal setengah depa. Kemudian senjata itu menyongsong untuk menangkis pedang Ladrang Kuning.
Pedang pusaka Nyai Baruni itu luar biasa tajamnya. Hal ini juga diketahui oleh kakek ini, maka dalam menangkis menggunakan siasat cerdik sekali. Tring... ujung senjatanya secara tepat memukul batang pedang, dengan demikian senjatanya tidak patah. Kemudian ia meneruskan gerakan untuk memukul Ali Ngumar.
Tepat pada saat itu Ali Ngumar maju menyerang. Sukarlah bagi dirinya untuk menghindarkan diri. Akibatnya lengan kanan Ali Ngumar terpukul, langsung terkulai, dan
Trang... !! pedang pusaka Kyai Baruna jatuh ke lantai.
Melihat Ali Ngumar terluka, Jim Cing Cing Goling meloncat ke tengah gelanggang. Tetapi dua orang murid Sapta Bumi, ialah Simbar Kemlaka dan Jayeng Katon sudah menyongsong. Hingga kakek ini dikeroyok dua.
Swara Manis yang sejak tadi mengikuti jalannya perkelahian seksama sekali, tak mau menyia nyiakan kesempatan. Sekali tangannya menekan meja tubuhnya sudah melayang dengan maksud untuk merampas parang Kyai Baruna. Akan tetapi celakanya berbareng itu, Dibyo Kukuh juga sudah melesat ke gelanggang. Dengan gerakan cepat sudah menyambar pikulannya, lalu disabatkan ke arah Swara Manis.
Buk...!! Swara Manis tak dapat menghindar. terbanting dan menCium lantai. Ia
cepat melompat bangun. Tetapi sekali lagi Dibyo Kukuh menggerakkan senjatanya, lagi-lagi Swara Manis mcncium lantai.
Swara Manis penasaran. Ia meloncat bangun, tetapi kalah cepat dengan sambaran pikulan Dibyo Kukuh. hingga Swara Manis kembali terbanting dan kali ini tengkurap. Hidungnya terbentur lantai, sakitnya bukan main.
Swara Manis mencuri pandang ke gelanggang. ia melihat Jim Cing Cing Goling menghadapi Jayeng Katon dan Simbar Kemlaka. Akan tetapi muka Jayeng Katon sudah biru sebelah, jelas sudah terhajar oleh lawan.
Di pihak lain, Ladrang Kuning dan Sapta Bumi tak bergerak lagi. Suasana kacau karena kawan-kawan Ali Ngumar sudah berdiri dan bersenjata.
Bagi Swara Manis., kapok kalau harus berhadapan dengan Dibyo Kukuh. Dalam hati timbul rasa herannya, mengapa dirinya tak berdaya menghadapi pencari kayu itu? Kemudian terpikirlah suami isteri Gendruwo Semanu dengan 18 orang anak buahnya. Lebih baik segera memberitahu kepada mereka agar cepat membantu.
Untung sekali ketika itu sudah muncul belasan orang ke pinggir gelanggang. Kendati mereka berpakaian cantrik, Swara Manis tahu kalau mereka itu anak buah Gendruwo Semanu. Dengan berseri, ia berseru,-
"Syukurlah kalian cepat datang untuk membantu kami. Tetapi mana paman Saragedug dan bibi Sintren?"
Salah seorang dari mereka menjawab angkuh,
"Ho ho, apa lagi yang harus ditakutkan? Baik satu lawan satu atau maju keroyokan, sama saja! Langit sudah akan runtuh menutup bumi. Mana mungkin dapat lolos dari maut? Lalu apa gunanya terburu-buru?"
Mendongkol sekali Swara Manis mendapat jawaban itu. Biasanya ia tentu marah, di rumah sendiri dijawab seperti itu. Tetapi sekarang ini ia malah tertawa. lalu
menjawab, "Ah, memang betul."
Orang itu mengalihkan pandangannya ke gelanggang. Kedatangan mereka justru ditugaskan oleh Gendruwo Semanu meninjau keadaan. Apabila saatnya sudah tiba, mereka disuruh secepatnya memberitahu, kemudian sumbu bahan peledak itu akan disulut.
Saat itu Ali Ngumar sudah dipapah Resi Sempati menuju tempat duduk. Lengan kanan Ali ngumar yang terhajar senjata Sapta Bumi menjadi patah. Dalam usahanya menahan sakit. tubuhnya basah kuyup oleh peluh.
Prayoga Sibuk tidak keruan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia celingukan mencari Sarini, tetapi gadis itu tak tampak batang hidungnya.
Resi Sempati yang segera merawat Ali Ngumar. Resi Sempati tersenyum ketika memeriksa, tulang lengan itu tidak patah, berarti masih dapat sembuh. Ia cepat menyuruh Prayoga mencari sekeping papan untuk menjepit lengan Ali Ngumar.
Tiba-tiba terdengar suara orang menjerit. disusul sesosok tubuh melayang. Ternyata tubuh Jayeng Katon terlempar oleh tendangan Cing Cing Goling.
Apa lacur. Tubuh Jayeng Katon yang terlempar itu ke arah 18 orang prajurit Mataram yang menyamar sebagai cantrik. Si jangkung, bernama Senggring yang tadi mengejek Swara Manis segera menyambut tubuh Jayeng Katon sambil mengejek,
"Cepat berdiri!"
Melihat itu Swara Manis merah padam wajahnya saking marah, akan tetapi tak berani berbuat. Kemudian ia melihat Jayeng katon tidak maju ke gelanggang lagi, langsung ke tempat duduknya. Simbar Kemlaka yang tinggal seorang diri ketakutan. Ia membalikkan tubuh kemudian melarikan diri. Jim Cing Cing Goling tak mau mengejar tetapi malah berteriak,
"'Haya, lekas lari cepat! Haya, di belakangmu ada setan!"
Simbar Kemlaka benar-benar lari terkencing-kenCing saking takut. Melihat itu, 18 orang jago mataram tak kuasa lagi menahan geli. Mereka tertawa gelak-gelak, di antara mereka malah melonjak bersorak.
Sikap orang Mataram itu menambah rasa marah Swara Manis. Dan diam-diam timbul rasa heran, mengapa mereka tak membantu? Kemudian ia memalingkan muka ke arah gelanggang. Ternyata kakek gurunya berdiri tegak di tengah gelanggang, berpandangan tajam dengan Ladrang Kuning. Melihat itu cepat tahu, dua 0rang itu sedang terlibat mengadu ilmu tingkat tinggi.
Diam-diam Sapta Bumi marah bukan main. Kali ini mengapa hanya berhadapan dengan perempuan saja sulit mengatasi? Ia yang tinggi hati menjadi amat malu. Kemudian mulutnya mengaum seperti Singa. Suaranya menggetarkan bumi. Akan tetapi hampir berbareng, Ladrang Kuning sudah melengking nyaring. nadanya tinggi menusuk telinga. Sekarang gelanggang perkelahian dipenuhi oleh suara seperti aum singa. tetapi suara melengking seperti seruling itu masih sanggup menembus dan mengatasi suara auman singa.
Dalam mengaum dan melengking tadi, tangan dua orang itu teracung ke depan. Tetapi tak lama kemudian lengan mereka turun ke bawah dan masing-masing meloncat mundur. Ternyata bekas tempat mereka berdiri, telah melesak cukup dalam, sekalipun lantai itu dari batu hitam yang keras.
Semua orang kagum. Demikian pula 18 orang jago Mataram itu terbelalak, dan berkuranglah rasa congkaknya. Setelah Hajar Sapta Bumi dan Ladrang Kming berhadapan lagi dan berpandangan, semua orang menahan napas, Sedang yang paling gelisah, Ali Ngumar yang sekarang menderita luka. _
Mariam yang juga gelisah berulang kali berdiri. Tetapi selalu dicegah oleh Swara Manis. Karena tak kuasa menahan perasaan, gadis ini tak kuasa menahan mulut dan berteriak nyaring,
"Ibuuuuuu .!" Di luar kesadarannya, justru perbuatannya ini mencelakakan ibunya sendiri. Atas teriakan anaknya itu, perhatian Ladrang Kuning terganggu. Tepat pada saat Ladrang Kuning agak lengah. secepat kilat Hajar Sapta Bumi sudah menerjang.
Ladrang Kuning tidak menghiraukan ancaman itu. Ia tetap memalingkan muka untuk melihat anaknya. Setelah melihat anaknya tidak apa apa, ia melesat ke samping menghindari serangan lawan. Beginilah kasih seorang ibu. Dalam ancaman bahaya, masih sempat memperhatikan keadaan anaknya. Maka sungguh durhaka kalau seorang anak sampai melupakan rasa dan kasih sayang ibu. Anak demikian, tampaknya saja manusia, tetapi sesungguhnya dikuasai setan.
Memang benar ladrang Kuning masih dapat menghindari terjangan Hajar Sapta Bumi. Namun sekarang kedudukannya sudah dikuasai lawan. Hajar Sapta Bumi tidak memberi kesempatan lagi, lalu mengayunkan senjatanya menusuk lawan.
Dalam keadaan sangat marah, Ladrang Kuning menghantam senjata lawan. Sebenarnya separo bagian senjata kakek ini lemas. Tetapi oleh keahlian kakek itu, senjata dapat dipergunakan selaras kehendaknya. ujungnya dapat ditolak ke samping oleh Ladrang Kuning, tetapi pangkalnya cepat digerakkan memukul dada perempuan itu. Untuk menyelamatkan diri. Ladrang Kuning cepat menyelinap ke belakang lawan. Akan tetapi Sapta Bumi tak kalah gesitnya. Baru Ladrang Kuning tiba di samping, Hajar Sapta Bumi sudah memutar tubuh ke belakang. Belum juga Ladrang Kuning berdiri tegak, kakek itu sudah menyerang lagi.
Akan tetapi kali ini Hajar Sapta Bumi salah hitung. Di luar dugaan, Ladrang Kuning membabat ringan pedang pusakanya. Trang... dan putuslah bagian paling ujung senjata itu. Namun begitu ujung terpapas putus, dari batang senjata yang tengahnya berlubang itu, berhamburan ratusan jarum halus. Suaranya riuh bagai suara tawon gula.
Sekarang semua orang -baru sadar. Bahwa Hajar Sapta Bumi yang tinggi hati dan sombong itu, ternyata bukan ksyatria sejati. Sebab seorang ksyatria sejati, tidak akan mau menggunakan senjata yang diperlengkapi dengan senjata gelap seperti itu. Seorang ksyatria selalu terang-terangan, dan tabu untuk berbuat curang.
Memang senjata Hajar Sapta Bumi yang tengahnya berlubang itu berisi ribuan jarum halus. Lebih halus dari rambut. Jarum itu akan menyerang masuk dalam urat darah lalu mengikuti aliran darah langsung _ bersarang ke jantung. Betapapun sakti seseorang, pasti akan binasa oleh serangan jarum itu.
Semangat Ladrang Kuning seperti terbang atas serangan curang ini. Namun dalam bahaya ia tidak gugup. Pedang yang diputarkan seperti kitiran, berhasil menghalau semua jarum sambil berteriak marah,
"Tua bangka tak tahu malu, jahanam, keji dan bangsat busuk!"
Sebagai seorang yang sudah menggunakan sebutan Hajar, sebenarnya pantang berbuat seperti itu. Apapun alasan yang dikemukakan, tidak mungkin dapat diterima orang. Makin jelas bahwa sebutan Hajar yang dipakai itu, merupakan kedok, seorang jahat yang berkedok sebagai seorang suci.
Mariam yang mendengar caci-maki ibunya itu, hatinya mengeluh. Sebenarnya ia lebih mementingkan kebutuhan sendiri dari yang lain. Ia menjadi khawatir kalau hubungannya dengan Swara Manis terputus. Oleh sebab itu ia segera berbisik,
"Kakang Swara Manis, ibu dan kakek gurumu sudah berkelahi mati-matian. Ah rasanya urusan kita tidak keruan jadinya. Kakang, sekarang lebih baik kita cepat pergi meninggalkan tempat ini, kemudian mengasingkan diri. Dengan begitu kita akan hidup aman, bahagia dan damai."
Akan tetapi Swara Manis sedang dalam keadaan yang gelisah sekali. Kata kata Mariam itu hanya disambut dengan dengus mengejek. Dan tiba-tiba saja sebagai manusia licik dan licin, terkilaslah rencana busuk untuk mencelakakan orang lain dan menguntungkan dirinya.
Bukankah ketika mendengar seruan Mariam, tadi perhatian Ladrang Kuning terganggu dan kemudian terdesak oleh kakek gurunya?
Sungguh tolol kalau kesempatan baik ini disia siakan. Kalau usahanya berhasil, jelas dirinya dapat membantu kakek gurunya secara tidak langsung.
Diam-diam ia memperhitungkan. Apabila Ladrang Kuning dikalahkan, rombongan Ali Ngumar dengan gampang bisa ditumpas habis. Apabila pihaknya menang, sama artinya usaha menggabungkan diri lagi dengan Mataram terbuka lapang. Sebab Gendruwo Semanu tentu akan sanggup membantu mengusulkan kepada Sultan Agung. Kemudian hari, dirinya akan mempunyai jabatan tinggi. Paling tidak menjadi Ndara Tumenggung atau Bupati. Dan kalau sudah menyadi Bupati, Wanita cantik akan berdatangan. Tidak seperti sekarang ini, kendati ia sudah tidak mengharapkan Mariam, tetapi perempuan ini terus saja mengejar setiap ada kesempatan. Ia muak sekali.
"Apa katamu." tiba-tiba Swara Manis berteriak keras sekali.
Mariam terbelalak kaget. Akan tetapi celakanya perempuan ini memang buta mata dan buta hati. Ta be!um juga insyaf berhadapan dengan setan bertubuh manusia yang licik dan kejam. Tanpa malu-malu lagi ia memandang Swara Manis denganpandang mata mesra, lalu berkata lagi,
"Bukankah itu lebih bagus?"
Wajah Swara Manis merah padam. Kemudian ketawa terkekeh, diteruskan mengejek,
"Apa? Perempuan hina! Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu. Siapa yang sudi hidup bersama engkau?"
Mariam kaget sekali. Ia hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri. Maka ia bertanya,
"Kakang, apa katamu?" _
Swara Manis ketawa seperti iblis. Kesempatan ini akan dipergunakan sebaik baiknya untuk menghancurkan hati Mariam, agar tidak terus mengejar dirinya. Bentaknya,
"Huh, masih juga engkau bertanya perempuan hina! Selama hidup aku belum pernah bertemu dengan perempuan yang selalu mengejar lakilaki seperti engkau ini!"
Swara Manis sengaja mengucapkan kata kata ini lantang, agar semua orang mendengar dan lebih lagi Ladrang Kuning. Akibatnya semua mata tertuju kepada Swara manis dan Mariam, hingga perkelahian yang menegangkan antara Sapta Bumi dan Ladrang Kuning tidak diperhatikan orang. Semua orang heran. Mengapa sepasang kekasih itu tiba-tiba bertengkar?
Mariam tambah gugup dan mengamati Swara Manis. lalu katanya tidak lancar,
"Kakang... kakang Swara Manis... bagaimanakah kau ini? Ah... apakah maksudmu yang sebenarnya? Apakah... eng... kau tidak lagi mencintai aku?"
Ketawa Swara Manis keras mengumandang. Jawabnya angkuh,
"Huh, sangkamu aku masih sudi kepada perempuan hina macam engkau ini?"
Ketika itu Prayoga sudah dapat meraba apa yang telah dipertengkarkan antara Mariam dengan Swara Manis. Karena itu tiba tiba saja darahnya meluap dan mencaci maki,
"Swara Manis! Engkau memang manusia bangsat!"
Untung saat itu Sarini tidak ada. Kalau Prayoga tak pandai bicara, tetapi Sarini akan seperti burung betet kalau sudah bicara, dan tentu dapat mencaci maki Swara Manis kalang-kabut.
Swara manis memandang Prayoga sambil menyeringai merendahkan. Lalu jawabnya lantang,
"Hai tolol Prayoga. Apakah engkau tahu artinya bangsat? Hm, bukalah telingamu lebar lebar. Seorang laki laki yang selalu berhubungan dan membayangi seorang perempuan tak tahu malu seperti ini, barulah tepat disebut bangsat!"
Maksud Swara manis jelas, akan mengembalikan sebutan bangsat itu kepada Prayuga.
Dengan tubuh gemetar saking marah dan sedih, Mariam berdiri sambil menuding Swara Manis. Mulutnya bergerak gerak tetapi cukup lama belum dapat bersuara. Kemudian setelah dapat bicara. ucapannya tidak lancar,
"Kau... kau... tak mau tahu... lagi... kepada anak... yang aku... kandung ini... .?"
Besar sekali tanggungan derita batin Mariam saat sekarang ini. Akibatnya tanpa malu lagi ia telah membuka rahaSia pribadinya di depan banyak orang.
Ali Ngumar wajahnya pucat seperti kertas. Sedang Prayoga gemetaran tangannya. Akan tetapi celakanya Swara Manis malah ketawa terkekeh. Pemuda itu tidak kepalang tanggung dalam mengatur Siasat dan rencananya. Teriaknya lebih keras,
"Ha ha ha ha, Mariam pe rempuan hina! Aku baru kurang lebih setengah tahun berkenalan dengan engkau. Akan tetapi perutmu sudah besar. Anak itu... ha ha ha... ."
Dengan ucapan itu jelas Swara Manis ingin ingkar kewajiban.
Dengan mengucapkan kata-kata itu jelas, ia mengingkari kalau anak yang dikandung Mariani itu anaknya. Atau dengan kata lain, Swara Manis menuduh bahwa Mariam sudah bukan gadis suci lagi ketika berkenalan dengan dirinya.
Ucapan Swara Manis terakhir ini merupakan pukulan batin yang amat berat bagi Mariam. Serasa bumi yang diinjak berputar. kemudian pandang matanya menjadi gelap, lalu huak, segumpal darah segar menyembur dari mulut. Kemudian Mariam menelungkup di atas meja, dan darah dari mulut masih beberapa kali menyembur.
Apa yang dipercakapkan oleh Mariam dan Swara Manis itu didengar jelas oleh Ladrang Kuning. Akan tetapi karena sedang menghadapi Hajar Sapta Bumi. maka Ladrang Kuning menahan hati dan tak dapat berbuat apa apa. Namun dalam hati perempuan ini sudah memutuskan, selesai perkelahian akan mencincang tubuh laki laki penipu itu.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun setelah mendengar suara anaknya yang terus-menerus muntah darah, hati ibu ini gelisah bukan main. Secara nekat ia menyerang Sapta Bumi. Setelah lawan mundur, ia cepat meloncat ke luar gelanggang menghampiri Mariam. Anaknya memerlukan pertolongan secara cepat kalau tidak menginginkan tambah men derita dan salah salah tak dapat ditolong lagi.
Celakanya Hajar Sapta Bumi tak mau memberi kesempatan. Pada saat Ladrang Kming melompat menghindar, cepat-cepat ia menyabat punggung wanita itu. Apa boleh buat, terpaksa Ladrang Kuning harus menghalau serangan maut itu lebih dahulu.
Begitu membalikkan tubuh, segera melancarkan tiga serangan berturut turut sehingga Hajar Sapta Bumi di paksa mundur beberapa langkah. Tetapi ketika Ladrang Kming akan berputar tubuh menuju tempat Mariam, senjata Sapta Bumi sudah mengancam punggung lagi.
Sebenarnya saja saat ini seluruh perhatian tertuju kepada Mariam, dan tidak ada nafsu berkelahi lagi. Akan tetapi karena lawan tetap mendesak. terpaksa ia melayani. Meskipun demikian sambaran pedang sudah tidak sehebat tadi.
Swara Manis puas sekali siasatnya mendapatkan hasil. Melihat Mariam sudah muntah darah, ia tak mau menghiraukan lagi lalu ketawa mengejek dan Sikapnya tambah mengejek. Orang yang melihat merasa kasihan kepada Mariam. Tetapi karena kurang tahu masalahnya, mereka tak dapat berbuat apa apa.
Jim Cing Cing Goling amat marah, demikian pula kawan kawannya. Mereka menatap Swara Manis dengan mata berapi. Sesungguhnya ingin sekali menghajar pemuda licik itu sampai puas. Malah kemudian ada beberapa orang yang sudah bergerak. Akan tetapi dengan tenang Ali Ngumar mencegah.
"Sudahlah, biarlah dia memetik buah tanamannya sendiri."
Kendati mulut berkata begitu, sebenarnya hati dan perasaan ayah kandung ini remuk redam. Bagaimana pun Mariam merupakan anak tinggal. Seluruh kasih dan sayangnya selalu diberikan kepada Mariam, dan malah setengah dimanjakan. Akan tetapi sebagai seorang ksatriya ia menekan perasaan agar tidak diketahui orang lain.
Akan tetapi Prayoga sudah tidak kuasa menahan perasaannya. Sambil meloncat ke tempat Swara Manis, ia berteriak memanggil Sarini,
"Sarini. Hayo kita berdua bekerja. Jangan lepaskan bangsat itu!"
Tidak terdengar suara Sarini manyahut. Dan ketika semua.. orang mencari, gadis itu tidak tampak. Sekarang rombongan Ali Ngumar menjadi gempar. Mereka tidak tahu kemana bocah itu pergi. Akan tetapi nyatanya tidak ada. Mereka saling pandang, kemudian mereka menjadi khawatir.
Di tengah orang orang sibuk mencari ke mana gadis itu pergi, mendadak Prayoga roboh terguling kemudian kejang tidak bedanya orang menderita sakit ayan. Sebab dari mulutnya keluar buih putih.
"Kurang ajar! Tentu minuman yang dihidangkan bangsat itu sudah dicampur dengan racun!" teriak beberapa orang dan marah.
Rombongan tamu menjadi tambah gempar.
Peristiwa susul menyusul itu seperti sudah diatur. Mariam muntah darah memang masih bisa ditolong. Akan tetapi Sarini yang hilang, orang belum yakin dapat menemukan kembali. Belum sempat mencari, Prayoga 'sudah roboh.
Semua orang sependapat, bahwa semua ini memang sudah diatur dan diperSIapkan oleh tuan rumah. Tetapi justru mencari kemenangan dengan perbuatan curang seperti ini, semua orang tidak dapat menerima.
Bagaimanapun kalah atau menang asal perkelahian secara ksyatria, para tamu akan puas. Akan tetapi kalau kekalahan yang diderita akibat perbuatan curang, semua orang merasa dihina.
Mereka yang tak kuasa menahan mulut sudah men caci maki kalang kabut. Semua caCi maki tertuju kepada tuan rumah, dan perkelahian secara tawuran sulit sudah dihindarkan lagi apabila tuan rumah tidak mau mengakui perbuatannya.
Kita tinggalkan dahulu mereka yang sedang hiruk pikuk itu. Kita ceritakan kembali gadis lincah Sarini yang tabah dan berani. Ketika gadis ini sadar dari pingsannya, ia hampir berteriak. Sebab ia merasakan tangan dan kakinya sudah dapat digerakkan lagi.
Sucitro dan Sutirto yang melihat Sarini keheranan, seperti berebut menjelaskan,
"mBakyu, kami berdua telah mendapat hadiah kakek guru, kami diberi pelajaran
tentang pijit dan mengurut tulang. Sekarang ternyata ilmu tersebut berguna untuk menolong mbakyu."
Mendengar penjelasan itu, baru sadarlah Sarini sudah ditolong oleh dua bocah ini. Kemudian ia duduk dan bernapas, terasa pula dadanyamasih agak sakit, tetapi tidak mengganggu kesehatan. Sama sekali tidak di sadari oleh Sarini, bahwa semua yang dialami sekarang ini merupakan pengaruh ajaib air mustika dalam batu yang sudah diminum. Kalau saja dirinya belum minum air itu, mungkin juga Sarini sudah tak dapat tertolong lagi jiwanya.
"Hayo. sekarang kita harus secepatnya mencari lorong di bawah tanah itu!" ajaknya sambil meloncat bangun. Namun belum juga Sarini bergerak, dari pintu lubang di atas terdengar orang berseru, memanggil.
"Paman Sontrang Jiwa!"
Sarini cepat memungut besi sambil memberi isyarat dengan mata kepada dua bocah itu. Untung Sucitro cepat dapat menangkap maksud Sarmi, cepat menjawab,
"Paman Sontrang Jiwa maSih di dalam sana."
Beberapa sosok tubuh berloncatan turun ke dalam lubang. Mereka berjumlah enam orang.
Sarini tidak gentar. Dalam hatinya yakin masih sanggup mengatasi enam orang tersebut. Maka sebelum mereka sadar akan keadaan, Sarini menerjang dan menyerang.
Cantrik paling depan yang merasa disambar hawa pukulan, mengira yang memukul itu Sontrang Jiwa. Teriaknya gugup,
"Paman Sontrang Jiwa... ampun... ."
Tetapi belum selesai berkata, ujung besi sudah bersarang di dada. Sekali dorong orang itu jatuh terlentang dan menjatuhi tiga orang kawannya. Ketika mereka jatuh saling tindih. Sutirto dan Sucitro sudah membantu dan memukul. Sedang Sarini sudah menerjang ke
depan lagi, dan secepat kilat ia mencekik dua orang cantrik yang lain.
"Berani berteriak, awas! Nyawamu akan melayang." Ia mengancam.
Karena beberapa orang kawannya menggeletak di tanah hampir mati, dua cantrik itu ketakutan setengah mati. Maka tubuhnya menggigil dan wajah pucat.
Sarini menyeret dua orang itu ke ujung dinding,
"Huh, kalau tak mau mengaku, kubunuh!"
Dua orang cantrik itu ketakutan setengah mati.
"Lekas katakan!" bentak Sarini lagi.
"Siapakah yang tahu tentang jalan di bawah terowongan ini, yang menembus sampai di bawah tempat gelanggang perkelahian? Jika berdusta, aku penggal kepalamu!"
Salah seorang cantrik itu menyahut dengan tak lancar,
"Sudah sepuluh tahun lamanya aku menjadi murid di padepokan ini. Tetapi demi Tuhan, belum pernah aku dengar tentang hal itu."
Yang lainpun menerangkan, kecuali terowongan ini tidak ada lain lagi. Sarini membanting banting kakinya saking gemasnya, membenturkan dua orang itu ke dinding, sehingga mereka pingsan.
"Tak mungkin! Tidak mungkin!" Sarini penasaran.
"Kalau benar jalan di bawah tanah ini tidak ada, lalu bagaimana mereka dapat memasang bahan peledak?"
Tiba tiba Sucitro dan Sutirto berseru berbareng,
"Apa maksud mbakyu?"
"Huh, engkau anak keCil tahu apa!" bentak Sarini.
"Benar, benar! Memang tidak tahu apa apa. Tetapi bahan peledak itu?"
wajah Sarini berseri kembali, karena menduga dua bocah ini termasuk cucu murid yang disayangi Hajar
Sapta Bumi. Tentu saja banyak mengetahui rahasia padepokan. Namun di saat lain, timbullah rasanya yang tak percaya. Ia tak percaya. Bukankah beberapa hari yang lalu dua bocah ini dihukum gantung dan tidak tahu di luar?
"mBakyu. apa sebabnya engkau tak mau bertanya lagi?" desak Sucitro.
Sarini menghela napas. Terpaksa ia menuturkan tentang kemungkinan terjadinya bencana di padepokan ini. Para tamu dari Mataram sudah merencanakan perbuatan jahat, untuk meledakkan padepokan.
Mendengar itu Sucitro dan Sutirto saling pandang beberapa saat. Tiba tiba Sutirto bertanya,
"mBakyu. bukankah orang yang memasang bahan peledak itu tubuhnya gemuk pendek?"
"Aku kurang jelas," sahut Sarini. Tetapi sejenak kemudian Sarini bertanya,
"Apakah engkau tahu?"
"mBakyu, kemarin seorang gemuk pendek dan seorang yang tubuhnya tinggi besar lewat di depan kamar tahanan kami. Mereka membawa bungkusan besar. Kami tidak mendengar seluruhnya yang mereka bicarakan, kami hanya tahu sedikit, mereka bicara soal bahan peledak. Akan tetapi ah... beberapa saat kemudian mereka lewat kembali di depan kamar tahanan kami, dan tidak lagi membawa apa apa."
"Benarkah itu?" Sarini timbul harapan lagi.
"Kami menceritakan sebenarnya."
"Kalau begitu, jelas terowongan ini masih mempunyai tembusan lagi. Jadilah kita sekarang mencari secara teliti!"
Akan tetapi kendati cukup lama mereka berusaha mencari, mereka mengorek sana dan mengorek sini, belum juga mendapat hasil apa apa. Terowongan di bawah tanah ini tetap sebuah terowongan tunggal yang panjangnya tidak lebih delapan tombak.
Kalau dua orang itu kemarin lewat di depan kamar tahanan Sucitro dan Sutirto, mereka jelas menuju ujung terowongan. Maka setelah menimbang, Sarini segera memukul dinding terowongan sampai ke ujung. Akan tetapi tetap saja tidak menghasilkan. Saking gemasnya Sarini membanting besi itu ke tanah. Trang... .
"Hai..." ia berteriak kaget. Satu hal yang aneh tanah bisa menimbulkan suara gemerontang, kalau tanah itu tidak berlubang. Tiba-tiba Sarini ketawa gembira, katanya lagi,
"Hi hi-hik. pantas saja kita tak berhasil mencarinya, karena kita hanya menyelidiki bagian atas."
Saking gembira, Sarini sudah melonjak-lonjak tidak bedanya anak kecil.Tetapi lantai terowongan ini memang tanpa ciri yang mencurigakan. Untuk membuka bagian itu, Sarini terpaksa harus menggunakan besi tersebut untuk mengungkit. Akhirnya setelah beberapa lama berusaha, ia berhasil mengungkit dua batu ubin warna hijau. Kemudian di bawahnya diketemukan besi penutup berikut kunci. Cepat-cepat Sarini memutar kunCi itu ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba terbukalah sebuah lubang bentuknya persegi. Dan besarnya sama dengan mulut terowongan di atas.
Sarini bernapas lega. Ia cepat mengajak dua bocah itu masuk dalam terowongan. Gelapnya bukan main. Sejenak Sarini membiasakan matanya lalu menyusur maju. Namun sudah beberapa saat lamanya, bahan peledak itu belum juga dapat ditemukan.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja mereka mendengar suara hiruk pikuk berasal dari bagian atas. Sarini berdebar-debar, namun sejenak kemudian gembira. Serunya,
"Ah, ternyata di sinilah terowongan itu. Ya, suara hiruk-pikuk dari sebelah atas itu jelas menandakan tempat perkelahian. Marilah cepat kita berpencar dan mencari' di mana bahan peledak itu dipasang.'_'
Namun sebelum mereka berbuat, tiba-tiba dari atas sudah terdengar Suara orang ketawa terkekeh-kekeh.
"Celaka! Yang tertawa terkekeh itu tentu Saragedug dan isterinya. Ah mungkin sekali mereka akan turun ke mari dan menyulut bahan peledak itu. Celaka! Kalau usahaku tak berhasil dan mereka keburu masuk, mampuslah kita!" Sarini mengeluh.
Sarini tidak membuang waktu lagi. ia mendahului melangkah ke depan. Belum beberapa jauh kembali terdengar suara duk-duk, dan Sarini kembali tertegun.
Pada saat itu ia merasakan getaran keras dan dari langit terowongan berguguran pasir dan kapur.
Sarini menjadi semakin yakin. Cepat ia memberitahu Sucitro dan Sutirto, bahwa di atas terowongan ini gelanggang perkelahian.
"Ah benar!" sambut dua bocah itu.
"Itulah kakek guru sedang menunjukkan kesaktiannya. Ia menginjak hancur lantai batu. Kalau tidak begitu. tidak mungkin kapur dan pasir berguguran seperti itu."
Sarini sependapat dengan dugaan dua bocah itu. Tetapi baru saja akan menyuruh supaya berpencar mencari bahan peledak, tiba-tiba telinganya menangkap suara orang bercakap-cakap. Jantungnya berdetak keras sekali, karena mereka itu Gendruwo Semanu.
"Kakang, ah!" seru Sintren.
"Terowongan di bawah tanah ini tentu sudah dibuka orang. ih... mengapa terdapat beberapa mayat orang? Aduh... Jangan-jangan rencana kita sudah bocor!"
"Denok, jangan cepat cemas dan gelisah." Saragedug menghibur.
"Siapakah orangnya yang berani berbuat
begitu? 'Huh, apakah orang itu sudah bosan hidup?"
Mendadak saja Sarini melihat_api menyala. Ahh, suami-isteri itu tentu sudah menyulut bahan peledak. Sarini amat cemas. Namun ketika ia menengadah, ia melihat sesuatu yang menonjol di langit terowongan.
Tanpa membuang waktu lagi. ia meloncat ke atas dan menarik benda itu ke bawah. Ketika memeriksa, benar benda itu merupakan potongan sumbu yang menyambung keluar, langsung menuju ke kamar Gendruwo Semanu. Dengan gugup Sarini segera mengerahkan tenaga untuk memutuskan sumbu.
"Hi-hi-hik, Silahkan menyulut! Habis menyulut, kamu tentu lari terbirit-birit. Akan tetapi hi-hi-hik. benda itu takkan meledak karena sumbunya telah kuputus.
Namun api itu mendadak padam.
"Hai, apa sebabnya kau padamkan api itu?" tegur Saragedug.
"Hemm." sahut isterinya.
"Kalau ada orang yang mengetahUi rencana kita dan sumbu itu diputus orang, bukankah jerih payah kita akan Sia-sia belaka?"
Ia berhenti dan mengamati suaminya. Baru kemudian ia meneruskan,
"Hem, kalau belum memeriksa tempat peledak ilu dipasang sekali lagi. aku belum puas. Di atas orang masih terus berkelahi. Tidak ada halangannya kalau kita meluangkan waktu sejenak untuk meninjau tempat peledak itu dipasang."
"Ah benar. Ya. engkau memang teliti isteriku. Kalau sampai terjadi begitu, memang akan sia-sia saja usaha kita ini."
Ketika Saragedug mengucapkan kata-kata yang terakhir ini, suaranya sudah dekat sekali dengan tempat Sarini. Gadis ini kelabakan setengah mati. Untuk melawan dua orang itu tidak mungkin. Saking gugupnya Sarini lari membawa bahan peledak itu menuju ujung.
Namun kemudian mereka terhenti. karena terdengar suara Saragedug yang melengking tajam menusuk telinga. Menyebabkan Sarini dan dua bocah itu berdiri bulu kuduknya.
"Hai! Siapa yang berani mengganggu pekerjaan kami? Hayo keluarlah! Seorang jantan seharusnya tidak main sembunyi macam tikus clurut!"
Sarini geli mendengar tantangan Saragedug itu. Sayang sekali gadis ini memang kurang dapat menguasai mulutnya. hingga ketawa cekikikan. Tanpa disadari. bahwa suara ketawa itu sama halnya menunjukkan tempatnya bersembunyi.
Masih untung suami-isteri itu tidak berani gegabah menyerbu masuk. Perlu diketahui, suami-isteri itu memang mempunyai watak yang berlawanan. Saragedug sembrono dan berangasan, sedang isterinya cermat dan teliti. Ketika mereka tiba di tempat bahan peledak diSimpan, Sarini sudah bersembunyi lima tombak jauhnya.
Ketika menemukan sumbu terputus dan bahan peledak lenyap, Saragedug kaget setengah mati. Padahal rencana itu amat rahasia, dan Hajar Sapta Bumi sendiri juga tidak tahu. Mereka yang tahu hanya 18 orang anak-buahnya, tetapi mengapa bisa bocor? Karena itu menurut dugaannya, hanya seorang sakti sajalah yang mampu mencuri pembicaraan dan rencana itu.
Dugaannya ini yang menyebabkan ia tidak berani gegabah menyerbu. Demi mendengar suara orang tertawa, yakinlah mereka bahwa yang mengacau rencananya itu memang sakti mandraguna.
Dugaan ini kemudian dikaitkan dengan keberhasilan orang itu memutuskan sumbu dan mengambil bahan peledak, akan tetapi orang itu tidak secepatnya pergi. Karena itu harus hati-hati dalam menghadapi.
Akan tetapi sesudah beberapa saat lamanya Saragedug menimbang-nimbang. timbullah tekatnya unuk menerjang. Namun isterinya cepat mencegah,
"Kakang, kita jangan sampai terkubur Sia-sisa di tempat ini. Bukankah 18 orang anak-buah kita sudah pergi dan kita sekarang tinggal dua orang? Kalau kita ribut dan Hajar Sapta Bumi tahu, kita akan celaka. Ah, jika sampai begitu, bukankah kita akan tergencet ditengah dan kita pula yang rugi? Hem, lebih baik aku sajalah yang membereskan."
Saragedug mengerti maksud isterinya. Ia setuju dan menyerahkan kepada isterinya.
"Kami kagum akan kesaktian saudara'" seru Sintren sambil melangkah maju.
"'Namamu amat harum di seluruh penjuru dunia dan dipuji orang. Apabila saudara sedia bekerja sama dengan kami dan suka membantu urusan ini, kami takkan melupakan budi kebaikan dan bantuan saudara, selama hidup."
Sarini segera tahu tentang apa sebabnya mereka tidak segera menerjang. Karena . ia terus bergerak mundur menjauh. ia telah memperoleh gemblengan gurunya Ali Ngumar, kemudian dibina Kigede Jamus. lalu mendapat tambahan minum air mustika dalam batu. Maka gerakannya menjadi semakin ringan dan halus sekali. Akan tetapi setelah ia memalingkan muka ke belakang tubuh. ia mengeluh.
Terowongan itu ternyata buntu. Walaupun ada, dalam saat sekarang ini sulitlah bagi Sarini untuk mencarinya. Sebagai akibatnya, ia sibuk bukan main.
"Denok, agaknya sahabat sakti itu tak mau memperdulikan permintaan kita," tiba-tiba Saragedug berkata.
.Akan tetapi isterinya belum putus asa, ujarnya,
"Saudara, ketahuilah. Kami suami-isteri bernama Saragedug dan Sintren, dan oleh orang diberi julukan Gendruwo Semanu. Akan tetapi yang jelas kami manusia biasa dan bukan gendruwo sungguhan. Karena baru pertama kali ini kami berkunjung ke Banyumas, kami tak tahu tentang sahabat-sahabat lain di daerah ini."
Sintren berhenti mencari kesan . Sejenak kemudian baru meneruskan.
"Saudara. kami mohon maaf atas kelalaian kami berkunjung lebih dahulu ke tempat kediaman saudara. Terus terang saja kami tidak bermaksud jelek, kecuali hanya ingin berkenalan dengan saudara. Ah, mengapa saudara tidak menjawab? Apakah benar benar saudara tak sudi berkenalan dengan kami?"
Pandai juga Sintren menyusun kata-kata yang diucapkan. Nadanya merendahkan diri dalam usaha mengambil hati. Sebab mereka tetap saja mengira bahwa yang mereka hadapi sekarang ini seorang sakti mandraguna.
Sarini agak lapang juga dadanya mendengar itu. Memang dalam keadaan terdesak seperti sekarang ini tidak ada jalan lain kecuali harus nekat. Kalau dua 0ang itu berani maju menyerang, ia sudah siap menyambut dengan bahan peledak yang maSih dibawanya. Sekalipun tidak meledak. tempat bahan peledak itu tentu peCah berantakan. Dan ia sudah tidak perduli lagi dirinya binasa pada kesempatan ini. yang penting asal semua orang di atas sana selamat.
Bertekat seperti itu, yang sedia mati untuk menyelamatkan ratusan manusia yang lain, merupakan perbuatan terpuji. ia tidak membutuhkan puji sanjung orang. Ia tidak membutuhkan orang orang tahu atau tidak usahanya menyelamatkan padepokan dan ratusan orang di dalamnya. Yang penting sedia mati demi membela manusia lain. Kalau dipikir, semua manusia di dunia ini semua akan mati. Apa sebabnya takut mati?
Setelah hatinya bulat. Sarini menyambut kata kata Sintren itu dengan ketawa dingin dan nadanya menghina. Mendengar suara ketawa itu, Saragedug dan Sintren tercekat. '
"Kalau saudara benar-benar tak mau menampakkan diri dan keluar, terpaksa kami maju dan mohon petunjuk," tambah Sintren, nadanya mengancam.
Untung Sarini gadis cerdik dan tabah. Dalam menghadapi bahaya ini, otaknya masih dapat bekerja dengan baik.
"Hem, siapakah kalian ini? Gendruwo Semanu? Hm, karena takut, kalian lalu main gertak sambal! Sangkamu aku tidak tahu? Ho-ho, sungguh mengherankan sekali mengapa raja Mataram sampai tertipu dan mengutus orang macam kalian yang tak berguna."
Suami-isteri itu makin menjadi-jadi keheranannya. Dari nada suaranya, jelas, orang yang belum menampakkan diri itu wanita. Akan tetapi mengapa begitu berani? Menurut pengetahuan mereka, dewasa ini tokoh wanita yang paling menonjol, tinggal Ladrang Kuning. Pada hal menurut laporan anak-buahnya, Ladrang Kuning saat ini 'sedang terlibat berkelahi dengan Hajar Sapta Bumi. Lalu Siapakah gerangan wanita yang bersembunyi dalam terowongan ini?
Sarini sudah bulat tekatnya. Tempatnya yang gelap membantu dirinya. Jika di tempat bebas dan terang, tidak mungkin dirinya mendapat kesempatan mempermainkan Gendruwo Semanu ini.
"mBakyu," katanya lagi.
"Sudilah engkau memberitahukan nama mbakyu yang mulia. Memang kami suami isteri merupakan orang-orang tak berguna. Tetapi jika hendak mengganggu pekerjaan kami, keliru kalau menganggap pekerjaan gampang!" "
Sarini menggunakan akal untuk mengulur waktu. Yang diharapkan mudah-mudahan akan terjadi sesuatu yang tak terduga, kemudian dapat menolong kesulitannya.
"Huh, kamu akan berani jual lagak di depan bendara putri?" sahut Sarini kemudian.
"Huh, kamu terlalu berani menghadapi aku dan melakukan pengacauan disini. Huh, apakah engkau tidak mau menghargai yang mbaureksa sebagai penunggu Gunung Slamet ini? Dan apakah engkau tidak kenal kepada nenek sakti Naga Gini? Huh, mengapa engkau tak cepat berlutut dan menyembah kakiku?"
Sarini memang sulit dapat menirukan nada suara laki-laki. Karena itu kemudian Ia nekat mengaku sebagai nenek Naga Gini. Sama sekali di luar tahunya. bahwa nenek Naga Gini Itu sudah meninggal lama Sekali.
Sudah barang tentu Gendruwo Semanu kaget mendengar nama itu. Dan memang nenek itu ditakuti oleh semua orang ketika masih hidup. Tetapi sekarang, perempuan ini mengaku yang mbaureksa Gunung Slamet. Apakah arwah nenek sakti itu sekarang menjadi demit? Timbulnya dugaan ini justru menyebabkan mereka lebih hati-hati. Kemudian mereka berdiri berjajar, merupakan sikap yang biasa mereka lakukan apabila berhadapan dengan bahaya.
Andaikata Sarini hati-hati membuka mulut, sekurang-kurangnya suami-isteri Gendruwo Semanu ini masih tetap ragu dan tak berani bertindak dalam waktu cukup lama, seperti maksudnya untuk mengulur waktu, sampai datang pertolongan dan kawan-kawannya. Akan tetapi celakanya gadis ini cerewet dan mempunyai kebiasaan, kalau sudah bicara lalu sering lupa menahan mulut. Hal-hal yang seharusnya tidak perlu diucapkan, kadang-kadang terlanjur diucapkan.
Dan celakanya, pengakuannya sebagai nenek Naga Gini ini tidak dipercaya orang. Karena itu ia berseru lagi lebih garang,
"Huh! Kamu memang manusia tidak tahu adat. Baru dengan muridku saja engkau tidak kenal. Hem, apa yang akan kamu pamerkan berani berhadapan dengan aku?"
Justru keterangannya inilah yang merusak kedudukannya sendiri. Sudah tentu yang dimaksud dengan "muridku". tidak lain Ladrang Kuning. Padahal sesungguhnya Ladrang Kuning itu bukan murid langsung. Ladrang Kuning hanya mendapatkan pelayaran ilmu sakti nenek Naga Gini lewat guratan dan lukisan pada dinding goa di bawah air.
Sebagai suami-isteri yang sakti dan luas pengetahuan, sudah barang tentu mereka tahu benar akan riwayat hidup nenek Naga Gini. Jelas bahwa selama hidup nenek itu tidak mempunyai seorangpun murid. Keterangan Sarini ini justru malah membuka kesadaran suami isteri ini, bahwa mereka ditipu mentah-mentah.
"Huh, engkau pembual tak tahu malu!" bentak Sintren.
"Aku tahu pasti, nenek Naga Gini selama hidupnya tidak pernah punya murid!"
"Kau benar!" sambut suaminya.
"Mari kita cepat bertindak. Kalau terlambat, rencana kita akan berantakan."
Kendati terpisah beberapa tombak jauhnya, tetapi gerakan suami-isteri itu luar biasa.
Gerakan suami-isteri yang disebut Gendruwo Semanu itu benar-benar menyerupai bayangan dan tahu-tahu mereka sudah di depan Sarini. Dengan matanya yang tajam, tokoh itu segera melihat bahwa yang berdiri di depannya ini. hanya seorang anak perempuan saja. Dan kini semakin sadarlah mereka, telah ditipu mentah-mentah oleh bocah.
Akan tetapi celakanya Sarini masih belum menyadari_bahaya yang dihadapi. Ia belum insyaf bahwa sandiwara yang dimainkan itu sudah diketahui orang. Ia malah maSih berani berlagak dan mengancam,
"Eh! Kenapa kamu belum juga angkat kaki dari tempat ini? Apakah kalian memang sudah bosan hidup dan ingin jadi demit seperti aku juga? Jika... ."
Belum juga Sarini selesai mengucapkan kata kata nya, Saragedug sudah menyerang. Seketika itu juga Sarini merasa seperti dilanda oleh hawa panas sekali dan amat terkejut.
Memang Saragedug telah berhasil mempelajari dan menguasai hawa panas seperti lahar gunung berapi. Sebaliknya isterinya telah berhasil meyakinkan ilmu yang dapat memancarkan hawa dingin. Karena dua orang itu mempunyai ilmu pukulan yang berlawanan, maka sukarlah bagi lawan untuk menghadapi.
Sarini meloncat mundur. Ia benar benar tidak tahan kepada sambaran hawa panas itu. Akan tetapi celakanya Saragedug sudah marah. Dengan geram ia sudah meloncat menerkam lengan Sarmi.
Sarmi terbentur jalan buntu. Tak mungkin ia mundur lagi. Karena gugup, ia meloncat menghindarkan diri. Akan tetapi ah celaka... di situ ia disambut dengan hawa yang amat dingin sekali sehingga tubuhnya menggigil kedinginan secara tiba tiba. Ia masih nekat melenting ke atas. Ternyata dengan jalan itu dirinya aman dari bahaya. Dengan cara berloncatan seperti itu, untuk sementara waktu ia dapat lolos dari bahaya. Dan dalam keadaan terpojok seperti ini, ia mempersiapkan bahan peledak untuk menyerang.
Sayang, sebelum bahan peledak itu sempat dilontarkan, suami isteri itu telah mendesak dan tak memberi kesempatan lagi.
"Aduh...!" tiba tiba Sarini menjerit kesakitan karena tahu tahu lengannya seperti dijepit oleh besi. Bahan peledak yang dipegang, jatuh ke tanah.
Dengan cepat Sintren sudah menyambar bahan peledak itu. Sesudah memeriksa sebentar, ia berkata,
"Kakang, sumbunya masih bisa disambung. Jagalah budak itu. Aku akan memasangnya lagi."
Saragedug mengiakan.Ia menepuk bahu Sarini. Dan seketika Sarini merasakan tenaganya lenyap dan jatuh terduduk di atas tanah. Tetapi kendati tidak dapat ber kutik lagi, matanya masih dapat melihat dengan jelas bahwa suami-isteri itu sekarang sibuk memasang sumbu bahan peledak. '
Sesudah sumbu selesai dipasang, mereka menyulut dengan cepat. Sumbu menyala, dan secara cepat sekali api itu menjalar mendekati bahan peledak.
Sudahlah, untuk mengurangi rasa tegang, sebaiknya kita tinggalkan dahulu saja, Sarini di terowongan itu. Sekarang kita kembali menjenguk keadaan di atas, di gelanggang perkelahian yang sudah kacau.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Prayoga roboh terguling dan mulutnya mengeluarkan buih seperti penderita sakit ayan. Menyaksikan keadaan pemuda itu semua orang gempar. Kesan para tamu menuduh bahwa Hajar Sapta Bumi telah berbuat curang. Minuman yang dihidangkan telah dicampur dengan racun. Mereka tidak menyadari bahwa tuduhan itu tidak berdasar. Kalau minuman itu bercampur dengan racun, tentu yang menderita bukan Prayoga seorang. Sebab yang lainpun juga minum.
Akibat dari tuduhan itu, terjadilah hiruk-pikuk.
Orang orang yang berpihak kepada Ali Ngunar segera berteriak,
"Manusia busuk yang tidak tahu malu! Engkau mengangulkan diri sebagai seorang angkatan tua yang sakti dan menyebut dirinya Hajar pula, tetapi buktinya maSih sanggup melakukan perbuatan sekeji itu. Huh huh, dengan tipu muslihat engkau telah memerintahkan orang orangmu mencampurkan racun dalam minuman."
Hajar Sapta Bumi marah sekali dicaCi maki orang seperti itu. Akan tetapi ketika melirik ke arah Prayoga, diam-diam iapun terkejut.
Gangguan ini menyebabkan ia lupa sedang berhadapan dengan Ladrang Kuning. Karena tertegun, hampir saja ia menderita oleh pukulan Ladrang Kuning. Untung ia seorang cerdik di samping sakti, sehingga masih dapat menyelamatkan diri baik sekali.
Akan tetapi keadaan sudah menjadi semakin panas. Mereka yang menuduh pihak tuan rumah telah melakukan perbuatan curang, segera hendak maju dan mengeroyok Hajar Sapta Bumi.
Melihat gelagat tidak baik. Swara Manis segera mengeluarkan ular Gadung Dahana. Dengan memutarkan ular tersebut, para pengeroyok tidak berani maju.
"Berhenti! Semua berhenti!" tiba-tiba Hajar Sapta Bumi membentak nyaring sambil melompat mundur.
Teriakan nyaring dari Hajar Sapta Bumi itu amat berpengaruh sekali. Semua orang tertegun. Ladrang Kuningpun berhenti.
Hajar Sapta Bumi segera hendak menjelaskan bahwa pihaknya sama sekali tidak melakukan perbuatan curang itu. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara orang berseru dingin,
"Hem, bocah itu tentu terkena racun gerombolan penyamun Surcgendilo. Dengan begitu tidak ada sangkut pautnya dengan padepokan Gunung Slamet."
Ketika orang memalingkan muka ke arah orang itu, ternyata orang yang bicara seorang pendek berkulit hitam yang duduk diantara 18 orang jago Mataram. Ucapan orang itu dapat meredakan suasana yang tegang.
Pada saat itu keadaan Prayoga sendiri sudah berangsur baik. Buih yang keluar dari mulutnya makin berkurang. Sedang wajah yang semula pucat sekarang sudah berangsur memerah lagi.
Dengan menahan rasa sakit pada lengannya, Ali Ngumar menghampiri muridnya dan memeriksa pernapasannya. Urat nadi pemuda itu berjalan seperti biasa. Tak ada tanda-tanda terkena racun. Sudah tentu Ali Ngumar menjadi heran. Kalau tidak terkena oleh racun, mengapa secara mendadak muridnya tadi jatuh terguling dan mulutnya mengeluarkan buih? Apakah muridnya itu mempunyai penyakit ayan? Ah. setahuku selama ini Prayoga tidak pernah mempunyai gejala penyakit ayan.
Tiba-tiba Prayoga bersuara seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi indah. Ia minta supaya semua orang kembali ke tempat masing-masing. Baru selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar jeritan ngeri.Jeritan itu berasal dari mulut Mariam.
Keadaan Mariam saat ini memang sudah amat payah. Ia menderita guncangan batin yang hebat sekali sehingga kandungannya bergerak keras. Akibatnya, begitu menjerit, mulutnya kembali menyemburkan darah segar.
Untung sekali saat itu Ladrang Kuning sudah menghampiri. Ketika ibunya memeluk. Mariam masih dapat mengenalinya. Tetapi tenaganya sudah habis. Sekalipun bibirnya bergerak-gerak, tetapi tidak dapat mengeluarkan suara apa-apa.
Melihat keadaan puterinya sedemikian rupa, kemarahan Ladrang Kuning meledak lagi. Ia mendelik ke arah Swara Manis. Kebetulan pada saat itu Swara Manis justru sedang memandang ke arah Mariam. Melihat mata Ladrang Kuning berapi-api. jantung Swara Manis seperti berhenti.
"Bangsat! Engkau takkan lepas dari tanganku!" diam-diam Ladrang Kuning mencaci-maki.
Yang paling penting ia harus menyelamatkan jiwa puterinya lebih dahulu. Oleh karena itu ia segera menolong anaknya dengan memberi penyaluran tenaga sakti. Tak berapa lama Mariam sadar dan menangis.
"Sudahlah, jangan menangis," hibur Ladrang Kuning.
"Aku yang akan membalaskan sakit hatimu."
Mendengar ancaman itu, Swara Manis takut setengah mati. Ia percaya apabila sampai tertangkap oleh Ladrang Kuning, jiwanya takkan dapat selamat lagi. Maka sebelum terlambat, ia harus melarikan diri.
Akan tetapi baru akan menyelinap lolos, Ladrang Kuning sudah meloncat ke samping dan mengancam dengan cengkeraman. Untuk melindungi diri, Swara Manis menggunakan ular Gadung Dahana untuk menangkis.
Crettt... Ladrang Kuning menyongsong serangan itu dengan dua batang jari, dan berbareng itu tangan yang lain sudah mencengkeram tubuh Swara Manis. Leher ular Gadung Dahana tergencet tak berkutik. dan bahu Swara Manis sudah dapat dicengkeram.
"Aduh..." Swara Manis tidak malu lagi memekik nyaring. ,
Ladrang Kuning menyeringai,
"Hemm, sangkaku engkau seorang jantan, ternyata engkau hanya seorang pengecut dan tak berani bertanggung lawab. Huh, belum mati engkau sudah menjerit jerit seperti anjing...."
Swara Manis pucat seperti kertas. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Ladrang Kuning meneruskan cengkeramannya, dan berbareng itu ular Gadung Dahana sudah pindah ke tangan Ladrang Kuning.
Saat sekarang ini Ladrang Kuning amat marah. Ular sakti yang amat berbisa itu kemudian diacungkan ke muka Swara Manis supaya menggigit.
"Ibu... ampun... ya... anak sudah mengaku salah... Ampun... ampunilah dosa anak... ." semangat Swara Manis serasa terbang. Dalam .gugup dan_takutnya. tidak malu lagi sudah merintih-rintih minta ampun.
Tetapi walaupun Ladrang Kuning sudah kurang waras pikirannya, masih mempunyai pikiran longgar. Apa
bila ia membunuh Swara Manis, tentu Mariam menjadi janda. Dan celakanya, seorang janda yang belum pernah menikah sekalipun sudah bersuami. Dan akibatnya anak yang akan dilahirkan Mariam nanti, akan dihina orang sebagai anak haram. Sudah tentu amat memalukan sekali kalau hal itu semakin terjadi.
Dengan pertimbangan yang secara tiba-tiba itu, berhasil menurunkan amarah Ladrang Kuning, dan wanita itu menarik kembali ular Gadung Dahana.
' "Diajeng Rasa Wulan," teriak Ali Ngumar, ketika melihat isterinya batal membunuh Swara Manis yang jahat itu.
"Engkau jangan kena ditipu jahanam itu. Dia telah banyak dosanya dan harus dibunuh!"
Jim Cing Cing Goling dan si Bongkok juga menganjurkan Ladrang Kuning agar membunuh pemuda itu. Akibatnya Ladrang Kuning merasa serba salah.
Di lain pihak Hajar Sapta Bumi amat gelisah sekali. Ia sayang sekali kepada Swara Manis dan ingin menolong. Akan tetapi jika ia bertindak, dan menolong. Tetapi jika ia bertindak pada saat sekarang ini, berarti malah akan mempercepat kematian Swara Manis. Sebab Ladrang Kuning tentu akan bertindak lebih cepat. Karena itu ia bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam kesulitan itu, tiba tiba terkilaslah suatu akal. Cepat ia mengambil senjata rahasia mirip biji asam. Ketika tangannya bergerak, dua benda itu melayang ke arah ular sakti Gadung Dahana dan lengan Ladrang Kuning.
Sebenarnya Sapta Bumi malu sekali harus berbuat begitu. _
Akan tetapi keadaan sangat memaksa. dan harus menggunakan senjata rahasia untuk menolong cucu muridnya. Dan karena khawatir usahanya sampai gagal, ia
menyusuli lagi beberapa butir.
Akhirnya 30 butir senjata rahasia telah melayang ke arah Ladrang Kuning. Dan sambitan itu dilambari tenaga sakti yang tinggi. Suaranya menderu-deru seperti suara angin lesus.
Jarak antara Hajar Sapta Bumi dengan Ladrang Kuning hanya'dua tombak saja. Maka sambitan senjata rahasia itu tidak mungkin luput. Ladrang Kuning terkejut. Sibuk juga ia memikirkan cara untuk menghindari. Ular Gadung Dahana tidak sulit dirinya melepaskan. Akan tetapi kalau lengannya sampai terpukul senjata rahasia, tentu celaka! Betapapun, senjata rahasia dari seorang sakti seperti Hajar Sapta Bumi tentu ampuh sekali. Namun sebaliknya kalau menghindar, berarti ia memberi kesempatan lolos kepada Swara Manis.
Tetapi sebelum mengambil tindakan apa-apa, tiba--' tiba ia mendengar suara senjata rahasia itu jatuh berdencingan sebelum menyentuh dirinya.
Apa yang terjadi memang di luar perhitungan semua orang, kecuali Jim Cing Clng Goling. Kakek ini sudah memperhitungkan bahwa Hayar Sapta Bumi akan bertindak menolong Swara Manis. Untuk menjaga kemungkinan itu, Jim Cing Cing Goling memperhatikan setiap gerak-gerik Hajar Sapta Bumi. Maka ketika melihat Hapar Sapta Bumi mengambil sesuatu dari saku jubah, Jim Cing Cing Goling cepat-cepat menyambar senduk perak, kemudian diremas menjadi beberapa keping. pada saat Hajar Sapta Bumi menyambit, Jim Cing Cing Goling juga cepat menyambit.
Yang menguntungkan, tempat Jim Cing Cing Goling lebih dekat dengan Ladrang Kuning. Kendati sambitan Jim Cing Cing Goling itu tidak dapat membentur jatuh senjata rahasia Hajar Sapta Bumi, tetapi dapat membuat senjata rahasia itu terdorong miring dan atau arahnya menjadi nyasar.
Sesungguhnya saja, ketika mendengar ratap beriba permintaan ampun dari Swara Manis tadi hati Ladrang kuning tergerak. Akan tetapi melihat perbuatan Hajar Sapta Bumi, ia menjadi amat marah. untuk menghadapi senjata rahasia Ladrang Kuning segera mendorong Suara Manis sehingga pemuda itu terjerembab ke lantai. Maksud ladrang Kuning tidak lain agar Swara Manis menjadi korban keganasan kakek gurunya sendiri.
MenyakSikan itu Ali Ngumar dadanya lapang dan gembira. Sebaliknya Mariam memejamkan mata tak sampai hati.
Tak tak-tak... berpuluh-puluh semata rahaSia berbentuk biji asam itu menghujani tubuh Swara Manis. Akan tetapi anehnya, sungguh mengherankan sekali. Ketika membentur tubuh SWara Manis, senjata rahasia itu berhamburan ke lantai. Secepat kilat Swara 'Manis menggerakkan tubuh menyusur lantai, dan sesaat kemudian meloncat bangun lalu lari terbirit-birit.
Ladrang Kuning keheranan melihat terjadinya peristiwa itu. Ternyata Swara Manis mempunyai kulit kebal senjata. Karena heran, Ladrang Kuning tidak keburu menangkap. Setelah sadar, Hajar Sapta Bumi sudah menyerang lagi. Sebagai akibatnya dua orang itu kembali berkelahi sengit. Namun beberapa jurus kemudian, masing-masing mundur dan Hajar Sapta Bumi ketawa gelak-gelak.
"Hai Ladrang Kuning. Engkau seorang tokoh yang sakti. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi seorang muda? Jika aku tadi tidak sedikit main-main dengan senjata rahasia, bukankah namamu akan tercemar?" tegurnya.
Dalam marahnya Ladrang Kuning melempar ular sakti Gadung Dahana. kemudian menuding sambil mendamprat,
"Pertapa palsu! Engkau jangan mengoceh tidak keruan. Sekarang dengar baik-baik, kalau hari ini aku belum berhasil mencincang tubuh bangsat itu, aku takkan meninggalkan tempat ini!"
Sapta Bumi ketawa mengejek. Kemudian ia menyindir,
"Engkau kira dapat meninggalkan padepokan ini? Oho, jangan mimpi. Sebelum memperoleh ijin dariku, tidak seorangpun dapat pergi dari sini!"
Ladrang Kuning tambah marah. Rambutnya tegak berdiri seperti sapu lidi, kemudian menerjang lagi.
Ular Gadung Dahana yang dibanting Ladrang Kuning itu ternyata tidak hancur. Ternyata ular itu memang benar-benar sakti. Begitu terbanting di lantai, ular itu segera melingkar, tetapi kepalanya diangkat. Lidahnya yang merah menjulur keluar, dan siap untuk menyerang Siapapun yang akan mengganggu.
Tiba-tiba pemuda berkulit hitam yang tadi mengatakan bahwa Prayoga terkena racun Surogendilo, sudah melompat ke depan untuk menangkap. Akan tetapi Jim Cing Cing Goling lebih sebat lagi. Sekali tubuhnya melayang, tangan sudah terayun.
Orang hitam itu kaget sekali ketika merasa angin tenaga kuat menekan tubuhnya. ia hendak menghindar tetapi terlambat. Untuk membela diri ia menyambitkan pisau. '
Saat itu perhatian Jim Cing Cing Goling justru tertuju kepada orang yang akan menangkap ular. Sama sekali tak diduganya orang itu dapat berbuat seganas itu. Dalam gugupnya ia menggerakkan tubuh ke samping. Akan tetapi celaka, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kelambatan geraknya itu adalah akibat kehabisan tenaga sakti dalam usaha menolong Ndara Menggung.
Jim Cing Cing Goling terkejut sekali ketika merasakan gerakan tubuhnya tidak seperti yang dikehendaki hatinya. Dua batang pisau dapat dihindari. Tetapi sebatang lagi telah menancap di pahanya. Dan begitu paha tertikam pisau. ia merasakan tubuhnya seperti mati.
Akan tetapi bukan Jim Cing Cing Goling kalau gampang dicelakakan oleh orang tak ternama. Cepat ia meluncur turun dan Sambil mencabut pisau ia menyapu dengan kakinya,. sambil menerkam ular. Dengan demikian, sekali gerak dua sasaran dicapai.
Krak-krak...!! kaki orang itu patah kemudian roboh ke tanah. Untung kawan-kawannya cepat menolong, sehingga terhindar dari kemarahan kakek itu. Kemudian tujuh belas jago Mataram itu cepat melangkah pergi. Salah seorang dari mereka memberitahu Gendruwo Semanu agar Cepat bertindak.
Ketika itu perhatian Hajar Sapta Bumi tercurah untuk melayani Ladrang Kuning, sehingga tidak memperhatikan para tamu dari Mataram itu. Sebaliknya rombongan Ali Ngumar yang tak mengetahui rencana keji Gendruwo Semanu, hanya mengira kalau mereka bermaksud mengobati kawannya yang terluka.
Riuh orang yang menyarankan kepada Jim Cing Goling, agar mau memotong saja daging pahanya yang terkena pisau. Sebab pisau itu beracun, buatan Surogendilo yang amat ganas.
Pingsannya Prayoga yang tiba-tiba itupun sesungguhnya akibat racun yang dicampurkan Surogendilo ke dalam minuman, ketika Prayoga datang bertamu. Kendati ketika itu Prayoga telah mengerahkan tenaga sakti untuk membendung minuman yang kemudian dimuntahkan lagi, namun Sisa racun itu masih sanggup membuat Prayoga pingsan.
Sebaliknya racun yang dipergunakan melumuri pisau yang menancap paha Jim Cing Cing Goling, merupakan racun "asu edan" (anjing gila). Kendati Jim Cing Cing Goling cepat mencabut pisau itu, tetapi sebagian racun sudah terlanjur masuk kedalam pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh. Sekalipun paha itu dipotong, takkan mungkin bisa menolong.
Dalam waktu tidak lama Jim Cmg Cing Goling sudah terpengaruh racun, kemudian berobah seperti linglung. Setiap orang yang mengajak bicara, ia menjadi beringas, membuat semua orang takut.
Kalau rombongan Ali Ngumar menjadi bingung dan gelisah, sebaliknya Swara Manis yang sudah bebas dari ancaman bahaya, bertepuk paha sambil berseru,
"Ha-haha, orang sudah terkena racun asu edan. Dia tentu seperti anjing. dan tak mungkin mendengar orang bicara."
Ali Ngumar mendelik ke arah Swara Manis, sedang si Bongkok mencaci-maki.
Untuk tidak menimbulkan tanda tanya, benarkah Swara Manis kulitnya kebal, perlu dijelaskan. Swara Manis bukanlah kebal kulitnya, tetapi memang ada sebabnya.
Orang yang sudah berhasil melatih diri ilmu kesaktian dan mencapai tingkat sempurna, akan dapat menguasai tenaga sakti dan tenaga dalamnya sesuai kehendak hatinya. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, ia sudah memperhitungkan. bahwa Swara Manis tentu akan dipergunakan sebagai perisai kalau disambut senjata rahasia. Hingga Ladrang Kuning akan selamat. Memperhitungkan kemungkinan itu, Hajar Sapta Bumi dalam menyambit, sudah diperhitungkan, apabila menyentuh tubuh Swara Manis daya kekuatan sambitan itu habis dan runtuh ke tanah.
Ladrang Kuning yang terkecoh tidak menyadari kecerdikan Hajar Sapta Bumi. Akibatnya melepaskan Swara Manis, dan dia selamat dari bahaya.
Di pihak lain, keadaan Jim Cing Cing Goling semakin parah. Ia sudah lupa daratan dan tidak kenal lagi mana kawan dan mana lawan.
Ali Ngumar, Resi Sempati dan si Bongkok berteriak hampir berbareng,
"Cing Cing Goling! Engkau ini ada apa?" '
Celakanya Jim Cing Cing Goling seperti tidak mendengar seruan kawan-kawannya itu. malah tiba-tiba ia menggeram keras sekali.
Ali Ngumar menatap Hajar Sapta Bumi, serunya kemudian,
"Ki Hajar Sapta Bumi. Apakah engkau tidak malu berserikat dengan orang-orang jahat dan ganas seperti ini? Yang sanggup mencelakakan orang dengan senjata beracun?"
Sekalipun benar Hajar Sapta Bumi membantu Mataram. tetapi dirinya seorang sakti yang namanya amat harum. Di samping itu ia juga seorang angkuh dan tinggi hati, tak ingin dicela orang Lain. Atas teguran Ali Ngumar itu, hatinya menjadi tidak enak. Cepat ia memalingkan muka ke belakang. Akan tetapi tidak melihat orang lain, kecuali dua orang muridnya melulu.
"Jangkung!" kata Hajar Sapta Bumi kepada muridnya Murjangkung.
"Cepat panggil Tatit kemari! Dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya!"
Murid yang mendapat perintah itu cepat pergi pula.
Pada saat itu tiba-tiba Jim Cing Cing Coling meloncat ke atas. Di udara ia berjungkir balik. ketika melayang turun ke lantai, ia kembali berteriak aneh beberapa kali. Yang menakutkan sepasang mata kakek itu beringas dan merah.
Semua kawan-kawannya termasuk Ali Ngumar yang biaSanya tenang menjadi gelisah bukan main, melihat keadaan Jim Cing Cing Goling seperti itu. Karena menunggu sampai lama, tetapi Tatit tidak juga muncul. Ali Ngumar segera mengepak teman-temannya agar menyingkir. Karena itu rombongan Ali Ngumar cepat-tepat bubar menyingkir.
Perubahan mendadak atas diri kakek sakti Cing Cing Goling itu, menyebabkan Hajar Sapta Bumi dan Ladrang Kuning cemas juga. Cepat-cepat Ladrang Kuning mendukung Mariam, sedang Hajar Sapta Bumi juga membimbing Swara Manis. _
Orang yang paling dekat hubungannya dengan Jim Cing Cing Goling, tidak lain Prayoga. Sayang sekali pemuda ini baru saja sembuh dari racun Surogendilo. Karena itu walaupun beberapa orang sudah memperingatkan Prayoga, tetapi bocah itu tidak cepat pergi. Bagaimanapun Prayoga tidak dapat segera meninggalkan Jim Cing Cing Goling seperti yang lain. Ia sangat prihatin atas peristiwa tak terduga yang membuat Jim Cing Cing Goling seperti gila.
Tidak diketahui oleh Prayoga saat itu keadaan "Jim-Cing Cing Goling tambah parah. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ia mengembangkan tangannya. Pada hal tangan kanan maSih tetap memegang ular sakti Gadung Dahana. Tiba tiba saja tangan kiri kakek itu sudah memukul tiang.
Krak! Akibatnya tiang itu hampir patah dan menimbulkan suara gcmeretak. Akan tetapi agaknya Jim Cing Cing Goling belum puas. Kemudian tiang itu digerogoti dengan gigi, seperti sedang menggerogoti jagung rebus.
Prayoga kaget dan berseru.
"Hai... paman! Mengapa engkau begitu?"
Jim Cing Cing Goling mengangkat kepalanya. Ia mendelik kemudian ketawa meringkik seperti kuda. Bulu roma Prayoga berdiri saking kaget dan ngeri. Celakanya Jim Cing Cing Goling tidak perduli. Ia mundur selangkah, kembali ketawa meringkik seperti kuda, lalu memukul tiang itu lagi.
Krak! Kali ini tiang itu patah dan sebagian atap rumah runtuh. Orang-orang menjadi panik dan cepat menyingkir.
Hajar Sapta Bumi tambah cemas. Ia membanting-banting kakinya dan menegur Jayeng Katon.
"Jayeng Katon! Mengapa Tatit belum juga datang? Lekas susullah. dan dia cepat suruh datang ke mari!"


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ali Ngumar juga tambah gelisah. Ia selalu memperhatikan Jim Cing Cing Goling dan Prayoga yang tak mau menyingkir. Akhirnya dalam usaha menjaga halhal yang tak diinginkan, ia berteriak agar Prayoga cepat pergi.
Sayang, Prayoga sudah terlambat. Jim Cing Cing Goling sudah mengayunkan tinjunya menghantam Prayoga.
Prayoga tidak berani menangkis. Ia menghindar ke samping, dan Jim Cing Cing Goling berputar tubuh. Kendati pikirannya linglung tetapi kepandaiannya masih tetap hebat. Ia mencengkeram dada pemuda itu, dan Prayoga menarik dadanya ke belakang. Sayang ia kalah cepat.
Bret! Bajunya berhasil disambar robek. Untung saja kulitnya tidak tersentuh.
Namun kemudian beberapa orang memekik kaget, melihat tingkah laku Jim Cing Cing Goling yang sudah tidak bedanya seperti orang gila. Robekan baju Prayogo itu tiba tiba saja dimasukkan dalam mulut kemudian dikunyah. Lahap sekali, tidak bedanya orang sedang melalap daging rusa panggang.
Diam-diam Prayoga mengucurkan keringat dingin saking kaget dan ngeri. Kalau dirinya tadi sampai terlambat menghindar, tentu dagingnya yang akan menjadi santapan Jim Cing Goling. Sekarang ia menjadi takut dan cepat-cepat melompat. Akan tetapi gerakannya ini diketahui Jim Cing Cing Goling. Secara gesit kakek itu membayangi. Akibatnya dua orang itu kejar-kejaran. Sayang sekali dalam mengejar ini Jim Cing Cing Goling sambil mengamuk tidak keruan. Ia menghantam dan menendang apa saja di depannya. Tiang, meja, kursi dan tidak perduli apapun diobrak-abrik.
Tanpa diduga, justru tingkah Jim Cing Cing Goling seperti ini malah menolong Prayoga. Ia memperoleh kesempatan untuk menyingkir. Bagaimanapun dalam ilmu
meringankan tubuh, Prayoga jauh di bawah kakek itu.
Prayoga sekarang menjadi takut setengah mati. melihat perubahan tiba-tiba pada diri kakek itu. Kalau dirinya sampai ketangkap, tentu dirinya akan dicincang sampai mati. Dan ketakutan Prayoga bertambah lagi setelah melihat, Jim Cing Cing Goling melepaskan ular sakti Gadung Dahana. Ular yang lepas itu sekarang melingkar lingkar di lantai.
Namun ketakutan Prayoga itu, bukanlah mencemaskan dirinya kalau sampai digigit ular itu. Yang dikhawatirkan malah keselamatan kakek itu sendiri. Bagaimana pun kakek itu sudah berjasa terhadap dirinya, dan sampai sekarang dirinya belum dapat membalas budi. Kemudian ia melihat, bahwa Jim Cmg Cung Goling seperti tidak menghiraukan apa-apa lagi. Bagaimana mungkin dapat menghindarkan diri dari gigitan ular itu?
Merasa dirinya berhutang budi kepada kakek itu, tiba tiba saja timbul keputusan dalam hatinya harus memberi pertolongan. Apapun yang terjadi ia tidak takut. '
Apabila Prayoga dalam keadaan gelisah setengah mati melihat tingkah laku Jim Cing Cing Goling yang mirip gila itu, Sarini yang berada di terowongan juga tidak kurang kegelisahannya. Ia menghadapi maut, dan sudah putus asa, karena tidak mungkin ada orang yang bisa memberi pertolongan.
Masih untung gadis ini tidak cepat putus asa. Dalam detik-detik berhadapan dengan bahaya ini. ia.masih mempunyai tekat, bahwa sebelum ajal tiba harus berusaha. Justru inilah yang menolong. Semangatnya timbul kembali.
Akan tetapi ah, celakanya ia tidak mampu berbuat apa-apa lagi karena saat itu dirinya tak dapat berkutik sama sekali. Membayangkan betapa ngerinya apabila bahan peledak itu meledak dan seluruh padepokan
runtuh, tentu dirinya terkubur di terowongan ini, ia tambah cemas dan gelisah. Saking bingung. ia kemudian memejamkan mata. Yang diharapkan kepada Tuhan agar bersedia melindungi dirinya, melindungi saudara seperguruannya, gurunya maupun yang lain. Dan diharapkan pula agar sumbu bahan peledak itu tidak menyala dan meledakkan padepokan ini.
*** "DENDAM KESUMAT"
Karya : Widi Widayat Jilid : 6 *** MENDADAK bum-bum... terdengar ledakan yang
dahsyat. hingga Sarini tersentak kaget. Ledakan itu kuasa menimbulkan getaran yang hebat sekali seperti gempa bumi yang dahsyat. Akan tetapi ah, diam-diam hati gadis ini heran. Mengapa setelah terjadi ledakan itu, seperti tidak terjadi sesuatu, dan mengapa pula dirinya masih hidup?
Ia membuka mata dan ah... ternyata sumbu yang masih menyala itu belum mencapai bahan peledak. Dengan begitu, suara menggelegar tadi tentu bukan akibat bahan peledak seperti yang telah ia duga.
Sarini tidak mengetahui apa yang terjadi di bagian atas. Getaran hebat tadi bukan lain oleh tingkah Jim Cing Cing Goling yang mengamuk.
Padahal sumbu semakin menjadi dekat. Jaraknya tinggal tidak seberapa lagi, dan dirinya masih tetap belum dapat bergerak. Ia berusaha membebaskan diri, akan tetapi usahanya sia-Sia saja. Dalam keadaan seperti sekarang ini. ia tidak dapat berbuat lain kecuali memejamkan mata dan berharap mendapat perlindungan Tuhan.
Sebab hanya keajaiban dari Tuhan sajalah semuanya bisa terjadi. '
Tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang. Buru-buru ia membuka mata dan melihat dua sosok tubuh kecil berlarian menghampiri. Dengan sigap dua bocah ini menggotongnya lalu dibawa lari menyusuri terowongan.
Sarini gembira sekali. Dua orang bocah ini bukan lain Sucitro dan Sutirto. Akan tetapi diam-diam ia menyesal kepada dirinya sendiri dan kebodohan bocah itu. Mestinya sebelum pergi, mematikan dahulu sumbu yang menyala itu. Dan dengan begitu akan berhasil menyelamatkan padepokan.
Tak lama kemudian mereka telah berhasil keluar dari terowongan lalu bersembunyi dalam hutan, agak jauh dari pa'depokan. Setelah lelah, Sarini dibaringkan di atas rumput. Dan tak lama kemudian terdengarlah ledakan yang menggelegar. Kedahsyatan dari dentuman itu. lima kali lebih hebat dibanding suara meriam Mataram yang sudah pernah ia dengar.
Menyusul kemudian asap dan debu yang membubung ke angkasa raya. Disamping itu juga terdapat benda-benda yang melayang di udara.
Sucitro dan Sutirto wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Setelah kagetnya lenyap, Sucitro membuka mulut,
"Ah, sedikit terlambat, mbakyu Sarini tak dapat kita tolong lagi."
"Lalu ke manakah kita akan pergi?" tanya Sutirto.
"Nasib kita sekarang tergantung mbakyu Sarini."
Dua bocah itu memang tidak mengerti bagaimana perasaan Sarini saat sekarang ini. Benar dirinya dapat terhindar dari bahaya maut. Tetapi bagaimana dengan Prayoga yang diCintai, gurunya dan yang lain? Teringat akan semua itu. dan membayangkan sudah tinggal nama, tak tertahan lagi ia menangis.
Dua bocah itu sudah tentu menjadi bingung. Mereka menduga, Sarini sedih karena saat sekarang ini tak dapat bicara dan bergerak . Karena itu mereka kemudian berusaha menolong, memijit dan mengurut. Namun pengetahuan bocah itu yang masih jauh kurang, menyebabkan apa yang mereka lakukan hanya ngawur.
Jangan lagi dua bocah itu yang masih rendah tingkatnya. Kendati tokoh sakti dalam ilmu pijat dan urut, belum tentu dapat menyembuhkan korban Gendruwo Semanu yang sakti itu.
Lumpuhnya Sarini saat ini sebagai akibat pijatan keras pada urat yang letaknya di sela-sela tulang pundak. MaSIh untung di saat memijat urat tersebut, Saragedug buru-buru. Andaikata tidak, tentu pijatan itu sekuat tenaga dan nyawa Sarini takkan tertolong lagi.
Karena tidak sempurna pijatan Gendruwo Semanu itu, setelah beberapa lama Sutirto dan Sucnro menolong, akhirnya berhasil menolong Sarini, sehingga gadis ini dapat berbicara lagi. Sarini memekik tertahan. Hatinya lega sekalipun kaki dan tangannya masih belum bisa digerakkan.
"mBakyu, bagaimana nasib kami berdua?" tanya bocah itu yang khawatir.
Sekalipun sekarang ini dalam keadaan cemas. masgul dan sedih, ia pantang menangis. Pertanyaan dua bocah yang mengibakan itu mendadak saja membangkitkan semangatnya. Semangat sebagai orang dewasa yang perlu menolong yang lebih muda.
"Angkatlah aku ke sana!" perintahnya.
"Bawalah aku ke bagian padepokan yang tak berbahaya."
Sucitro dan Sutirto menurut. Mereka lalu mengangkat Sarini menuju ke terowongan, di mana mereka tadi keluar. Akan tetapi ternyata lorong di bawah tanah itu hampir tertutup oleh puing-puing, batu dan pasir. Syukur sekali Sucitro dan Sutirio tidak lekas putus-asa. Kendati agak kesulitan, mereka tetap menyusuri terowongan, yang berliku-liku itu, dan tak lama kemudian tibalah mereka pada jalan yang lurus dan datar. Kemudian mereka tiba pada bagian yang cukup luas,dan melihat bekas kursi dan meja yang hancur berantakan, berserakan tertimbun oleh puing bangunan.
"mBakyu, di sinilah tempat perkelahian tadi,
" kata Sucitro. Sarini mengamati sekeliling dengan hati bertanya tanya dan heran. Sebab di tempat itu ia tidak melihat mayat manusia yang bergelimpangan. Apa yang tampak hanya puing-puing dari bangunan yang runtuh. Akan tetapi ketika pandang matanya tertumbuk kepada lubang yang cukup besar, hati gadis ini seperti di sayat. Sebab menurut anggapannya, bahan peledak yang dipasang Gendruwo Semanu, berhaSil menyebabkan semua mayat manusia hancur lebur menjadi abu.
Masih mtung Sarini bukan gadis bodoh. sesaat kemudian ia membantah dugaannya sendiri. Tidaklah mungkin semua orang binasa dan tubuhnya menjadi abu. ia kemudian menduga, Gendruwo Semanu sedang melakukan pengejaran kepada orang-orang yang berhasil lolos. Menduga demikian, ia bertanya,
Pedang Golok Yang Menggetarkan 19 Mengejar Matahari Karya Ardito Siapa Ayahku 2
^