Pencarian

Kembang Jelita Peruntuh 11

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 11


menjadi mata-mata dan disusupkan sampai ke
dekat Jenderal Lau Cong-bin. Bahkan dalam
laporan rahasianya yang terakhir kepada
Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Tertinggi
Manchu, O Yok-ma melaporkan kalau dia sudah
berhasil menjadi "orang nomor tiga" dalam
jajaran perwira-perwira terdekat Lau Cong-bin.
Kini di tengah pertempuran, tiba-tiba Yim Mo
mendengar perwira Pelangi Kuning yang masih
muda yang menjadi lawannya ini menyebutKembang Jelita 2 / XVIII
59 nyebut nama adik seperguruannya, Yim Mo jadi
penasaran dan ingin mendengar lebih banyak.
Ingin mendengar lebih banyak tetapi tidak mau
bertanya, khawatir kalau pertanyaannya itu
bisa membongkar kedok adik seperguruannya
dan mencelakakannya. Tak terduga Yo Kian-hi terus berkata, tanpa
mengendorkan gerak tangan dan kakinya, "He,
ditanya kok diam saja? Sebab cara bertempur
kalian berdua mirip sekali. Itu lho, O Yok-ma
yang menyamar jadi orang Han dengan nama
Ong Yang-be..." Yim Mo terkejut, "Dia adik seperguru-ku..."
"Ooo, pantas..."
"Kenapa dia?" "Resiko mata-mata. Ketahuan, lalu aku
potong lehernya." Meledaklah kemarahan Yim Mo,
"Keparat! Aku akan membalaskan sakit
hatinya!" Dan bertempurlah dia lebih sengit,
tetapi Yo Kian-hi yang juga "membutuhkan"
pertempuran itu sebagai pelampiasan Kembang Jelita 2 / XVIII 60 kekesalannya, menandinginya dengan sengit
pula. Di seluruh dataran, pertempuran berkecamuk hebat. Nyawa manusia semakin
tidak dipedulikan, jumlah korban yang sudah
tak pernah masuk pikiran benar.
Pasukan Manchu ini masih pasukan Manchu
yang dulu mengusir pasukan Lau Cong-bin dari
San-hai-koan, pasukan yang seolah-olah bisu
tetapi garang bukan main. Tetapi kali ini
menghadapi perlawanan yang jauh berbeda,
meskipun pasukan Pelangi Kuning yang mereka
hadapi juga masih pasukan yang dulu begitu
mudah mereka gebah terbirit-birit dari San-haikoan. Pasalnya, dulu di San-hai-koan itu
prajurit-prajurit dalam keadaan kelelahan lahirbatin dan jenuh setelah sekian lama
menggempur San-hai-koan tanpa hasil. Kedua,
waktu itu prajurit-prajurit Pelangi Kuning baru
saja mengira mereka sudah berhasil merebut
San-hai-koan, ketika tiba-tiba menghadapi
kenyataan yang merupakan kebalikannya sama
sekali, yaitu bahwa pasukan Manchu lebih dulu
Kembang Jelita 2 / XVIII 61 merebut San-hai-koan. Mental yang tidak siap,
itulah biang-keladi utama kocar-kacirnya
pasukan Pelangi Kuning. Tetapi hari itu, setelah
menyegarkan diri lahir-batin selama beberapa
hari, meskipun tidak luput dari beberapa
guncangan, prajurit-prajurit Pelangi Kuning
tampil jauh lebih baik dari ketika terpukul
mundur di San-hai-koan dulu. Semangat mereka
jauh lebih tinggi, semangat juang kaum Pelangi
Kuning yang digembleng keprihatinan dalam
perjuangan menumbangkan dinasti Beng,
semangat yang sempat hampir padam karena
dibuai kemenangan, sekarang seperti bara yang
dihembus dan menyala kembali. Karena itulah
prajurit-prajurit Manchu kini menemui perlawanan berat. Apalagi, saat itu jumlah
prajurit Pelangi Kuning dan prajurit Manchu
adalah dua lawan satu. Demikianlah di seluruh dataran itu suara
senjata bergemerincing riuh, sorakan, bentakan
dan jerit kesakitan ber-campur-aduk. Kaki-kaki
melangkah maju, menendang dan menginjak.
Mata menjadi beringas dan senjata-senjata
Kembang Jelita 2 / XVIII 62 terayun ke orang-orang yang seragamnya tidak
sama. Potongan-potongan tubuh bertebaran di
rerumputan yang menghijau.
Beberapa saat kedua pasukan itu tidak
terlihat ada yang mundur.
Di tengah-tengah pasukannya, Deng Hukoan memperhatikan gerak-gerik pasukan
Manchu, dan teringatlah dia akan pasukan yang
pernah malam-malam menyerbu desa tempat
kediaman Jenderal Lau. Pasukan misterius yang
belum diketahui identitasnya, tetapi mirip
benar dengan pasukan Manchu yang sekarang
dihadapi. Prajurit-prajuritnya "pendiam" semua, tidak bersorak dan tidak berteriak,
tetapi maju terus sampai dihentikan oleh maut
atau oleh perintah atasan mereka. Mata mereka
tajam, dan kalau mereka maju ke depan mereka
tidak menoleh-noleh ke kiri kanan apakah ada
teman mereka di dekat mereka atau tidak.
Mereka maju ya maju saja, mati ya mati.
"Kalau begitu, besar kemungkinannya
bahwa pasukan yang malam itu menyerang
Kembang Jelita 2 / XVIII 63 desa adalah pasukan Manchu, hanya saja waktu
itu mereka tidak berseragam, dan juga tidak
menguncir rambut mereka..." Deng Hu-koan
membatin. Dan ia dikejutkan oleh pikirannya
sendiri, "... dan itu juga berarti... ada pasukan
Manchu di belakang punggung kami. Entah
mereka itu berapa pasukan dan bersembunyi di
mana, tetapi pastilah akan cukup mengganggu."
Dan tak dapat disangkal, saat itu desa
kediaman Jenderal Lau juga sedang diserang.
"Mudah-mudahan Biao San-tong dapat
membereskannya," harapan Deng Hu-koan
dalam hati. Sementara itu, komandan pasukan Manchu
tiba-tiba mengucapkan beberapa patah kata
isyarat. Perintah itu didengar oleh petugaspetugas penghubung yang memang selalu
bersiaga di sekitarnya, dan petugas-petugas itu
menyampaikan perintah itu secara bersambung
ke semua bagian dari pasukan. Ketika aba-aba
sekali lagi terdengar, maka pasukan Manchu itu
pun mulai bergerak mundur serempak. Gerakan
mereka lambat, selain sambil menyeret
Kembang Jelita 2 / XVIII 64 meriam-meriam mereka, mereka juga mengangkut teman-teman mereka yang terluka
dan sekiranya masih bisa ditolong.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning bersorak,
mengira musuh mulai terdesak, sesuatu yang
memang mereka harapkan dan mereka
perhitungkan sebab mereka berjumlah dua kali
lipat dari lawan. Dan kini gerakan mundur
lawan adalah wajar, pikir mereka.
(Bersambung jilid XIX) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/07/2018 16 : 25 PM
Kembang Jelita 2 / XVIII 65 Kembang Jelita 2 / XIX 1 ( Bagian II ) JILID XIX Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XIX 2 Kembang Jelita 2 / XIX 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XIX D eng Hu-koan di tengah-tengah pasukannya
tersenyum, "Bagus, kemenangan ini akan
mengobarkan semangat pasukan kami...."
Ia ikut bergeser maju bersama gerak maju
pasukannya. Tek Un-hap yang sepasang ruyung bajanya
sudah mengepruk belasan kepala prajurit
Manchu, dan kini juga sedang berhadapan
dengan seorang "raksasa" Manchu yang
bersenjata tombak-trisula, berseru dengan
garang, "Maju terus! Pecahkan pasukan
mereka!" Tidak jauh dari Tek Un-hap, Pun Liok yang
bertubuh pendek-gempa! dan bersenjata gada
Kembang Jelita 2 / XIX 2 Kim-kong, juga berteriak-teriak menyemangati
prajurit-prajuritnya. Dia sendiri ada di garis
paling depan mengamuk di antara prajuritprajurit Manchu.
Di bagian lain, Ong Ling-po juga mendesak
maju, la tidak gembar-gembor seperti Tek Unhap atau Pun Liok, ia tetap maju dengan penuh
perhitungan. Dia pun menganggap mundurnya
orang-orang Manchu itu sesuatu yang wajar.
Pertama, kalah dalam jumlah. Kedua, matahari
saat itu sudah agak miring di sebelah barat dan
pasukan Manchu menghadap ke arah barat,
sehingga tentunya mata mereka silau.
"Kejar mereka terus rapati mereka. Jangan
sempat mereka menggunakan meriam-meriam
dan bedil-bedil mereka!"
Pasukan Manchu terus mundur. Tidak
mundur banyak, tetapi sedikit demi sedikit.
Mundur satu garis, lalu bertempur dengan gigih,
lalu mundur satu garis lagi, bertempur gigih
lagi. Seolah ingin memperlihatkan bahwa
mereka sebetulnya tidak ingin terdesak namun
terpaksa terdesak. Kembang Jelita 2 / XIX 3 Sama dengan pemimpin-pemimpin Pelangi
Kuning lainnya, Yo Kian-hi mula-mula juga
menganggap gerak mundur musuh itu sudah
semestinya. Dan dalam pertarungan pribadinya
dengan Yirri Mo, ia tidak menjadi besar kepala
merasa mampu mendesak Yim Mo, ia anggap
Yim Mo berulang-kali mundur karena
menyesuaikan diri dengan gerakan seluruh
pasukan. Tetapi Yo Kian-hi pada kesempatankesempatan tertentu sempat memperhatikan
prajurit-prajurit Manchu, dan Yo Kian-hi
menemukan sesuatu yang mengusik hatinya.
Ia melihat prajurit-prajurit Manchu itu
dalam gerak-surutnya tidak menjadi semakin
buruk keadaannya. Barisan mereka tetap utuh,
tidak tercerai-berai, dan keadaan mereka tidak
menunjukkan benar-benar memerlukan gerakan mundur itu. Kadang-kadang kalau
pasukan Manchu itu bertahan di suatu garis,
mereka mampu menahan gelombang Pelangi
Kuning dengan baik, bahkan nampaknya agak
kelebihan tenaga untuk menyerang balik dan
Kembang Jelita 2 / XIX 4 mendesak balik ke depan. Lucunya, malahan
mereka mundur satu garis lagi.
Yo Kian-hi mulai curiga. Tetapi ia tidak
dapat terlalu memecah konsentrasinya, sebab di
hadapannya masih ada Yim Mo yang berbahaya.


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yim Mo sendiri sedikit demi sedikit mulai
runtuh kesombongannya. Tadinya dia yakin
dapat menumpas Yo Kian-hi dengan tangan
kosong seandainya Yo Kian-hi memakai
sepasang pedangnya sekalipun. Sekarang dia
diam-diam bersyukur dalam hatinya bahwa
sepasang pedang Yo Kian-hi itu tetap tersimpan
di sarungnya, dan Yo Kian-hi menghadapinya
dengan tangan kosong. Dan sekarang pun Yim
Mo merasa beratnya Yo Kian-hi. Untung
kelicinan dan kelenturan tubuh Yim Mo yang
luar biasa itu masih bisa menyelamatkannya
dari amukan dahsyat Yo Kian-hi.
Suatu kali, sebuah tebasan telapak tangan
Yo Kian-hi menyerempet rusuk Yim Mo. Tidak
kena telak, hanya menyerempet dan merobek
pakaian Yim Mo, tetapi "serempetan" itu
membuat rusuk Yim Mo nyeri. Pengalaman
Kembang Jelita 2 / XIX 5 berbahaya itu membuat Yim Mo tidak lagi
berani bertahan dengan gengsinya. Tadi ia
dengar pengakuan Yo Kian-hi yang katanya
sudah membunuh O Yok-ma, adik seperguruan
Yim Mo, dan mulanya Yim Mo menganggap
kata-kata itu hanya sebagai bualan, tetapi
sekarang dia yakin bahwa Yo Kian-hi tidak
membual. Ia tidak ingin menyusul adik
seperguruannya, karena itu dia melompat
mundur dan melepaskan senjatanya dari
pinggangnya. Sehelai cambuk yang terdiri dari
anyaman tiga kulit tipis, panjangnya dua meter,
dan tiap sejengkal dari panjang cambuknya itu
terdapat paku-paku besi yang melengkung,
bukan berkilat keputih-putihan, melainkan
keungu-unguan, tanda bahwa paku-paku itu
sudah direndam racun yang amat ganas.
Yo Kian-hi tidak menunggu sampai kulitnya
tersentuh oleh paku-paku beracun pada
cambuk lawan itu, langsung menghunus
sepasang pedangnya.Demikianlah, pertempuran
mereka semakin sengit di tengah-tengah
banyak pertempuran lainnya.
Kembang Jelita 2 / XIX 6 Sementara itu, pasukan Manchu mundur
tiga empat kali lagi, namun suatu kali tiba-tiba
terdengar aba-aba, dan pasukan Manchu itu
memecah diri jadi tiga bagian. Tengah, sayap
kanan dan sayap kiri, mereka juga membentuk
diri menjadi tiga buah pasukan yang berbaris
memanjang, bukan melebar melintang membendung lawan. Dengan demikian,
mengubah dari "bendungan" yang menahan
arus menjadi tiga "perahu" yang memanjang
sejalan dengan arus. Deng Hu-koan bingung dan tidak tahu
bagaimana menanggapi perubahan di pihak
lawan itu, begitu pula Yo Kian-hi dan pemimpinpemimpin Pelangi Kuning lainnya.
"Hati-hati, jangan terlalu mendesak!" itu
perintah Yo Kian-hi kepada bagian pasukannya
yang dipimpinnya. "Terus gempur dan kejar!" itu perintah Tek
Un-hap kepada orang-orangnya. "Tak peduli
musuh mau jungkir-balik bagaimanapun juga,
hari ini mereka tidak akan bisa menyelamatkan
diri dari kita!" Kembang Jelita 2 / XIX 7 "Tetap tekan tetapi perhatikan setiap
perubahan!" Ong Ling-po ternyata punya
"selera" yang lain lagi menghadapi perubahan
itu. Untung Pun Liok hanyalah komandan
bawahan Ong Ling-po, tindakannya mau tidak
mau harus disesuaikan dengan Ong Ling-po.
Kalau tidak, tentu ia akan mengeluarkan abaaba yang berbeda pula.
Beberapa saat memang bentuk medan
pertempuran menjadi agak kacau. Pihak
Manchu seolah membagi dataran itu menjadi
tiga bagian, sehingga ada tiga pertempuran di
situ. Juga dengan posisi membujur itu, pihak
Manchu menolong sebagian dari prajuritprajuritnya dari posisi menghadap matahari
yang merugikan. Sambil tetap bertempur gigih dengan Yim
Mo, Yo Kian-hi tetap belum bisa menebak pasti
apa maksud musuh dengan mengubah bentuk
barisan jadi macam itu. Satu-satunya manfaat
yang baru kelihatan di pihak lawan adalah tidak
menghadap sinar matahari yang semakin
miring di sebelah barat..
Kembang Jelita 2 / XIX 8 Waktu itulah di tengah-tengah pasukan
lawan tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring
memanjang. "Apa lagi ini?" desis Yo Kian-hi.
Waktu itulah dari hutan di sebelah timur
dataran tiba-tiba terdengar suara gemuruh.
Bumi terasa bergetar, sepuluh ribu ekor kuda
gurun pasir yang tegar dengan penunggangpenunggangnya yang gagah perkasa, berderap
dahsyat menerjang pasukan Pelangi Kuning.
Prajurit-prajurit berkuda itu adalah orangorang Mongol. Mereka tidak berseragam,
melainkan memakai pakaian orang-orang
padang Mongol yang khas, jaket pendek dari
kulit binatang berbulu dan juga topi kulit yang
menutupi kuping. Kalau orang Manchu dikucir
satu, orang Mongol dikuncir dua.
Prajurit-prajurit berkuda yang punya
sejarah membanggakan ratusan tahun yang
silam itu, ketika bersama-sama Jengish Khan
menjarah sampai Eropa, sekarang menjadi
bagian dari angkatan perang Manchu. Ketika
bangsa Manchu menggeliat lepas dari Kembang Jelita 2 / XIX 9 kekuasaan raja dinasti Beng, Sin-cong ( 1573 ?
1620 ) untuk mendirikan negeri merdeka dibawah Thai-cu, bangsa Manchu sadar tidak
mungkin sendirian menghadapi bangsa Han
yang sepuluh kali lipat lebih banyak jumlahnya
itu. Mereka merangkul suku-suku Mongol yang
tercerai-berai di sebelah barat wilayah mereka,
dan banyak jago-jago perang berkuda Mongol
yang menjadi prajurit Manchu. Dengan
demikian pasukan Manchu punya pasukan
berkuda yang tangguh. Tetapi bukan itu saja,
orang-orang Manchu juga mengusir orangorang Jepang yang menjajah Korea, sehingga
orang-orang Korea merasa "berhutang budi"
dan banyak juga yang menjadi prajurit-prajurit
Manchu. Kalau orang-orang Manchu berkuda
dan perang gerak cepat di dataran, maka orangorang Korea adalah ahli dalam perang di
pegunungan sesuai dengan alam negeri asal
mereka. Orang-orang Korea itu menyelusup
masuk ke Tiong-goan dan kemudian bersembunyi di pegunungan jauh sebelum Sanhai-koan "dijual" oleh Bu Sam-kui. KelompokKembang Jelita 2 / XIX
10 kelompok kecil prajurit asal Korea itu mampu
berjalan di malam hari di pegunungan, tanpa
obor, hanya mengandalkan "petunjuk" bintang
di langit, dan tepat sampai ke sasaran-nya.
Demikianlah, dengan memiliki pasukan berkuda
dan pasukan gunung andalan, orang-orang
Manchu mempunyai banyak kejutan buat
lawan-lawan mereka. Melihat munculnya pasukan berkuda itu, Yo
Kian-hi sadar, rupanya maksud pasukan
Manchu memecah diri jadi tiga itu adalah untuk
memberi jalan di tengah-tengah dataran itu,
bagi pasukan berkuda yang bergerak bagaikan
angin puyuh itu. Kini, orang-orang Mongol itu menerjang
dengan ganas celah-celah di antara ketiga
pecahan pasukan Manchu itu, dan menyerbu
langsung kepada pasukan Pelangi Kuning.
Menghadapi pasukan berkuda, sudah tentu
prajurit-prajurit Pelangi Kuning jadi panik tak
keruan. Yang harus mereka hadapi bukan hanya
senjata si penunggang kuda, tetapi juga injakan
kaki kuda yang bisa merontokkan tulang itu.
Kembang Jelita 2 / XIX 11 Deng Hu-koan mencoba mengatur perlawanan prajurit-prajuritnya sebisa-bisanya.
Sebentar ia teriakan agar menyapu kaki kuda, di
lain saat memerintahkan agar memanah dan
sebagainya. Ada juga prajurit-prajuritnya yang melakukan itu, dan ada hasilnya, artinya ada
prajurit Mongol yang dijatuhkan dari kudanya
dan ada pula yang kena panah, tetapi hasil yang
sedikit itu sama sekali tidak berhasil menahan
gerak-maju pasukan berkuda Mongol itu. Jauh
lebih banyak prajurit Pelangi Kuning yang
menjadi korban. Cara bertempur yang digunakan prajuritprajurit berkuda itu pun beraneka ragam.
Kadang-kadang dua prajurit berkuda memacu
kudanya sejajar, sambil memegangi seutas tali
panjang, satu dipegang penunggang kuda yang
di sini dan satu yang di sana, dan tali itu
menyapu roboh prajurit-prajurit Pelangi Kuning
yang mereka lewati. Kalau musuh-musuh sudah
roboh, penunggang kuda di belakangnyalah
yang "menuai" entah dengan pedang, tombak
Kembang Jelita 2 / XIX 12 atau cukup dengan injakan kuda tunggangan
mereka. Yang dituai tentu saja adalah musuhmusuh yang roboh itu.
Tek Un-hap menjadi gusar melihat prajuritprajuritnya diobrak-abrik macam itu. Waktu itu,
ia baru saja "menyelesaikan" lawannya, perwira
Manchu bertubuh raksasa yang bersenjata
tombak-trisula itu, dan sekarang Tek Un-hap
dengan berani menghadang penunggangpenunggang kuda itu sambil menggenggam erat
sepasang ruyung-bajanya. Seorang prajurit Mongol menerjang datang
dengan kudanya, sambil mengayunkan pedang
khas orang Mongol yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Tek Un-hap
menangkis dengan satu ruyungnya, dengan
ruyungnya yang lain ia gebuk kuda
tunggangannya sehingga kuda itu meringkik
dan roboh melemparkan penunggangnya, dan
penunggangnya yang sudah jatuh ini tentu
gampang digebuk pula. Beberapa prajurit Mongol dapat Tek Un-hap
perlakukan seperti itu, tapi bagaimanapun dia
Kembang Jelita 2 / XIX 13 hanya seorang diri, dan tindakannya yang hebat
itu tidak berarti buat gerak-maju pasukan
berkuda musuh. Seorang prajurit berkuda berpacu menyambar Tek Un-hap. Senjatanya adalah
sebatang tongkat besi sepanjang tiga-perempat
meter, disambung rantai tiga perempat meter
juga, dan ujungnya adalah bola besi berdiri.
Senjata yang biasa digunakan kesatria-kesatria
berkuda Eropa. Dan melihat prajurit berkuda ini
berambut agak pirang, barangkali ia mungkin
berdarah campuran Mongol-Rusia. Sambil
berpacu mendekat, ia sudah memutar-mutar
senjatanya itu berdesing-desing di atas
kepalanya. Begitu dekat, bola besi berduri itu
menyambar ke kepala Tek Un-hap. Tek Un-hap
menangkis dengan ruyungnya yang kiri, tetapi
terlibat rantai, ia terseret beberapa langkah
karena kuda lawannya berpacu terus. Tek Unhap kerahkan tenaganya dan membetot
ruyungnya. Lawannya tiba-tiba melepaskannya,
sehingga Tek Un-hap bukan hanya berhasil


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Jelita 2 / XIX 14 mendapat kembali ruyungnya, tetapi senjata
lawannya yang membelit ruyung itu ikut
terluncur ke arahnya. Tek Un-hap terkejut,
senjata-senjata itu bisa menghantam wajahnya
sendiri. Dan ternyata orang Mongol berambut
pirang itu juga melontarkan dirinya sendiri dari
pelana kudanya, dengan dua lengan terkembang
langsung hendak memeluk pinggang Tek Unhap.
Tek Un-hap terpaksa membuang ruyung
kirinya, tapi saat itulah pinggangnya terlibat
lengan-lengan yang kuat dari orang Mongol itu.
Agaknya si Mongol ini adalah jago gulat. Belum
sempat Tek Un-hap berbuat apa-apa, dia sudah
dibanting ke tanah. Tek Un-hap tahu ruyungnya jadi tidak
berguna kalau diajak bergulat macam itu, maka
dia pun melepaskan ruyung kanannya sekalian,
dan balas menggelut musuhnya sambil
mengeram, "Mau mengajak bergulat? Baik!"
Lepas dari Tek Un-hap yang mendapat
"kesibukan" baru, seluruh pasukan Pelangi
Kembang Jelita 2 / XIX 15 Kuning tercerai-berai berantakan diterjang
pasukan berkuda itu. Untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukannya, Deng Hu-koan mengeluarkan
perintah mundur. Dan kali ini mundurnya
sudah tidak mudah. Pasukan Manchu terus
menguber, baik pasukan jalan kakinya maupun
pasukan berkudanya. Bahkan regu senjata api
yang tadi menghilang beberapa saat, sekarang
muncul kembali dan mulai hendak mengambil
posisi lainnya. Deng Hu-koan merasa dadanya sesak
melihat semuanya itu. Ia menoleh ke kiri kanan,
mencari perwira-perwira rekannya untuk
diajak membagi pikiran. Tetapi tidak ada yang
kelihatan. Semuanya punya "acara" sendirisendiri..
Ketika Deng Hu-koan melihat ke langit, dia
lega melihat langit mulai gelap. Ia berharap,
prajurit-prajurit musuh akan kelelahan seperti
juga prajurit-prajuritnya sendiri, sehingga
mereka akan menghentikan pertempuran.
Biasanya begitu. Kembang Jelita 2 / XIX 16 Harapan tidak menjadi kenyataan. Orangorang Manchu tidak mempedulikan hari yang
gelap, mereka terus merangsek maju. Bahkan
ketika pasukan Pelangi Kuning mendaki lereng
bukit, pasukan Manchu terus membayanginya
dengan ketat. Di atas lereng, prajurit Pelangi
Kuning sudah menyiapkan balok dan batu yang
akan digulingkan ke bawah bila diserbu musuh,
itu sudah disiapkan sejak kaum Pelangi Kuning
membangun pertahanan di situ. Tetapi
sekarang batu-batu dan balok-balok itu sudah
tidak dapat digunakan lagi. Di lereng bukit,
prajurit Pelangi Kuning dan prajurit Manchu
bercampur aduk tanpa terpisah garis yang
tegas. Kalau balok dan batu digelundungkan,
bukan cuma musuh yang kena, teman sendiri
pun bisa kena. Deng Hu-koan tidak dapat mengendalikan
seluruh pasukannya lagi. Yang bersama-sama
dengannya saat itu hanya ada puluhan prajurit
yang bertempur terus sambil mendaki lereng.
Bagian-bagian pasukan yang lain entah di mana.
Kembang Jelita 2 / XIX 17 Hari sudah gelap, dan rasanya di seluruh lereng
yang luas itu terdengar suara pertempuran.
Apa boleh buat, Deng Hu-koan harus
mengakui kenyataan, bahwa kubu pertahanan
pihaknya di tempat itu sudah terpukul pecah
hanya dalam waktu satu hari.
Ia dan pasukannya mundur dalam
kelompok-kelompok kecil yang tidak dapat
saling berhubungan karena mengambil jalan
sendiri-sendiri.. Desa yang dijadikan markas Jenderal Lau itu
sudah diduduki pasukan "misterius" yang
beberapa malam sebelumnya menyerang dan
hampir berhasil membunuh Jenderal Lau.
Sekarang setelah menduduki desa, ternyata
mereka tidak misterius lagi. Mereka mengenakan seragam prajurit Manchu, dan
yang jadi wakil komandannya ternyata tidak
asing lagi bagi penduduk desa itu. Dia bukan
lain si "saudagar beras" yang sekarang
berseragam perwira. Senjatanya yang berupa
rantai panjang dengan bandringan besi melibat
pinggangnya. Sementara itu, selat gunung yang
Kembang Jelita 2 / XIX 18 semula menjadi kubu pertahanan Pelangi
Kuning, esok paginya sudah sepenuhnya
dikuasai pasukan Manchu.Tetapi yang berkibarkibar adalah bendera Kerajaan Beng.
Siang hari itu, sebuah rombongan kecil
penunggang kuda mendekati desa itu dari arah
timur. Kuda-kudanya dilarikan perlahan,
memberi kesan santai, tidak tegang. Yang
menunggang kuda paling depan adalah Bu Samkui, dalam seragam mentereng panglima
Kerajaan Beng, berkuda berdampingan dengan
Ang Seng-tiu yang berseragam jenderal Manchu. Di belakang mereka adalah perwiraperwira bawahan mereka, dan bendera yang
dibawa adalah bendera Kerajaan Beng.
Rombongan itu memasuki desa, disambut
oleh si "saudagar beras" yang nama aslinya
adalah Au Cek-ceng, pangkatnya Cian-bu dalam
ketentaraan Manchu. Rombongan langsung menuju ke depan
rumah Kepala Desa, di mana ada alun-alun. Di
alun-alun kecil itu, seluruh penduduk desa
sudah berkumpul. Tua-muda, lelaki-perempuan,
Kembang Jelita 2 / XIX 19 dewasa-anak-anak. Semuanya, termasuk Kepala
Desanya sendiri. Disekeliling lapangan, prajurit-prajurit
Manchu bawahan Au Cek-ceng berjaga-jaga.
Prajurit-prajurit ini kebanyakan adalah keturunan Korea, mereka adalah bagian dari
"pasukan gunung" yang tugasnya menteror
garis-belakang kaum Pelangi Kuning. Meskipun
demikian, si komandan adalah tetap orang
Manchu asli. Begitu pula pasukan berkuda
Mongol itu komandannya juga tetap dipegang
orang Manchu. Penduduk desa itu nampak takut-takut
semuanya. Meskipun Au Cek-ceng sudah
memesan prajurit-prajuritnya untuk bersikap
ramah kepada penduduk, namun penduduk
desa tetap nampak takut-takut. Dan juga sedih.
Dua kali desa mereka menjadi ajang
pertempuran, dan puluhan warga desa sudah
menjadi korban. Mereka yang kehilangan
anggota keluarga, sudah tentu sulit disuruh
bermuka cerah. Kembang Jelita 2 / XIX 20 Siang itu, Bu Sam-kui berpidato di depan
penduduk desa. Secara singkat pidatonya berisi
pembenaran dirinya sampai mengundang
"sahabat-sahabat dari timur laut" yang "datang
untuk menolong dan bukan untuk menjajah",
tak ketinggalan tentu saja adalah caci-maki
pihak Pelangi Kuning sebagai perampok-perampok.
Mendengar itu, ada sebagian penduduk
yang mengangguk-anggukkan kepala menyetujui. Mereka memang merasakan
bedanya. Ketika Jenderal Lau bermarkas di desa
itu, penduduk dirugikan karena dirampas bahan
makanannya dan ada beberapa wanita yang
diperkosa. Sekarang mereka melihat prajuritprajurit Manchu ini kelihatannya lebih
berdisiplin, lebih tertib, meskipun muka mereka
dingin seperti topeng kayu.
Kemudian yang naik panggung untuk
berpidato adalah tokoh yang sudah dikenal
akrab oleh penduduk desa itu, si "saudagar
beras" Au Cek-ceng yang kini ternyata begitu
gagah dalam seragam perwira Manchu-nya. Au
Kembang Jelita 2 / XIX 21 Cek-ceng, dengan bahasa yang lebih terangterangan, menyatakan bahwa bangsa Manchu
datang untuk menolong, bukan menindas.
Sebagai bukti pertama, Au Cek-ceng mengatakan bahwa hari itu akan ada
pembagian beras gratis buat penduduk.
"Saudara-saudara, kalian sudah bertahuntahun hidup bersama-sama denganku, dan aku
sudah kalian limpahi dengan keramah-tamahan
dan keakraban, sehingga rasanya aku berada di
kampung halaman sendiri..." kata Au Cek-ceng
mempesona. "Ketika perampok-perampok itu
datang, aku tahu bahwa mereka akan merampas
beras-beras yang aku simpan buat kalian. Maka
aku menyembunyikan sebagian beras-beras itu
dan hanya memberi sedikit buat mereka untuk
mengelabuhi mereka. Sekarang, kami akan
membaginya buat kalian..."
Kali ini mau tidak mau ada beberapa
penduduk desa yang bertepuk tangan.
Tetapi berasnya sendiri masih "ngumpet"
dan tidak segera dibagikan. Masih ada sebuah
pidato Au Cek-ceng yang kali ini bernada
Kembang Jelita 2 / XIX 22 ajakan. Mula-mula perwira Manchu ini dengan
fasih menggambarkan betapa menderitanya
desa-desa lain yang belum dibebaskan dari
kaum Pelangi Kuning, lalu berkata bagaimana
pihak Manchu sebagai suku lain di luar
perbatasan saja sampai "tersentuh hatinya" dan
memasuki Tiong-goan untuk menolong,
tentunya penduduk desa itu sebagai sesama
bangsa Han tidak pantas kalau hanya berpeluk
tangan. Maka Au Cek-ceng menghimbau
pemuda-pemuda di desa itu untuk bergabung
sebagai tenaga tempur. Mereka dijanjikan akan
diberi gaji, dan kelak mendapat kedudukan
sebagai prajurit dari pemerintahan yang baru
setelah kaum Pelangi Kuning didepak dari Pakkhia nanti. Dan tidak dijelaskan lebih lanjut
"pemerintahan yang baru" itu berbendera apa
dan pemerintahan siapa. Kalau perkara pembagian beras tadi
memperoleh tepuk tangan biarpun tidak terlalu
meriah, maka perkara ajakan menjadi prajurit
ini ditanggapi adem-ayem saja. Tetapi Au Cekceng juga tidak tersinggung atau gusar, bahkan
Kembang Jelita 2 / XIX 23 dengan simpatik berkata, "Karena urusan ini
menyangkut sesuatu yang amat penting, bahkan
bisa saja kehilangan nyawa, maka silakan
pikirkan matang-matang dan tidak perlu
terburu-buru menjawab sekarang. Bahkan
seandainya dari desa ini tidak ada seorang pun
yang mendaftar menjadi prajurit, pembagian
beras tetap tidak dibatalkan. Kami memang
datang untuk menolong, bukan mempersulit..."
Begitulah, hari itu dilaksanakanlah pembagian beras. Sore harinya, ke desa itu datang
serombongan prajurit berjumlah dua ribu
orang. Rombongan yang datang ini mempengaruhi keputusan banyak pemuda desa
setempat yang tadinya acuh tak acuh


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanggapi ajakan menjadi prajurit dari Au
Cek-ceng. Pasalnya, pasukan yang datang ini terdiri
dari prajurit-prajurit baru pemuda-pemuda
bangsa Han dari desa-desa sepanjang jaian-raya
San-hai-koan sampai Pak-khia, bahkan juga ada
pemuda-pemuda dari desa pelosok, yang telah
Kembang Jelita 2 / XIX 24 direkrut oleh pihak Manchu, diberi seragam,
diberi senjata dan dilatih kemiliteran. Di antara
anggota pasukan ini banyak yang sudah kenal
dengan pemuda-pemuda desa setempat, dan
dalam percakapan-percakapan, mereka membangkitkan minat pemuda-pemuda desa
setempat. "He, A-hwe, kenapa kau memilih jadi
serdadu?" "Habis, ladang orang tuaku di pegunungan
terlalu sempit dan tidak subur, sedang anakanak Ayahku banyak jumlahnya. Ladang
sesempit itu dikerjakan beramai-ramai oleh
orang sebanyak itu, ya hasilnya tentu amat tidak
memadai. Kebetulan aku dengar ada pendaftaran serdadu-serdadu baru, aku pun
mendaftarkan diri. Eh, siapa tahu kelak bisa jadi
jenderal dan mendapat masa depan yang
gemilang..." "Kalau mati?" "Semua orang kan harus mati? Kerja di
ladang, kalau hasilnya terus dirampasi kaum
Pelangi Kuning untuk perbekalan perang, kan
Kembang Jelita 2 / XIX 25 lama-lama mati juga? Mati kelaparan? Daripada
mati kelaparan kan lebih baik mengadu nasib
sedikit, membonceng pihak yang lagi berkuasa?
Sambil berbuat sedikit kebaikan juga, yaitu
membebaskan negeri dari kaum Pelangi
Kuning..." "Tetapi kenapa dandananmu seperti
serdadu asing? Rambutmu pakai dikuncir
segala, dan memakai caping rotan seperti
mereka..." "Ah, ini? Ini kan bukan perkara yang
penting. Ini hanya sekedar membedakan mana
yang pihak kita dan mana yang di pihak lawan,
di dalam pertempuran. Kalau dalam pertempuran, kedua pihak seragamnya sama,
kan bikin susah? Salah-salah bisa membacok
kawan sendiri..." "Hanya sementara, begitukah?"
"Nah, betul itu. Kelak kalau kaum Pelangi
Kuning sudah dibersihkan dari seluruh negeri,
dan prajurit-prajurit Manchu itu sudah pulang
ke Liau-tong, ke negeri mereka sendiri, apa su-
Kembang Jelita 2 / XIX 26 "Tetapi kenapa dandananmu seperti serdadu asing?
Rambutmu pakai dikuncir segala, dan memakai
caping rotan seperti mereka."
Kembang Jelita 2 / XIX 27 sahnya memotong rambut kuncir ini dan
kembali ke dandanan orang Han?"
"Mudah-mudahan kelak segala sesuatunya
terjadi semudah seperti yang kau katakan itu..."
"Itu pasti. Dan makin banyak pemudapemuda bangsa Han yang ada dalam
ketentaraan Manchu, makin kuat posisi bangsa
Han kita. Itu sebabnya ajak teman-temanmu
mendaftar..." "Tetapi aku tidak bisa berkelahi."
"Kalian akan dilatih."
Hasilnya, keesokan harinya, ada dua puluh
orang pemuda desa itu menemui Au Cek-ceng
untuk didaftar sebagai calon prajurit. Esok
lusanya, menyusul lima belas orang lagi.
Begitulah tentara Manchu menambah
kekuatannya dengan pemuda-pemuda bangsa
Han sendiri. Penguasa Manchu sadar bahwa
orang-orang bangsa Manchu sendiri terlalu
sedikit untuk menguasai negeri bangsa Han
yang tanahnya luas dan jumlah penduduknya
puluhan kali lipat dari penduduk Manchu
sendiri. Kembang Jelita 2 / XIX 28 Hari mulai gelap, ketika Helian Kong
seorang diri melangkah mendekati sebuah
kampung terpencil di sebelah selatan kota Pakkhia. Di kampung itulah Helian Kong menaruh
isterinya yang sedang mengandung, yaitu
Siangkoan Yan, juga mertuanya yang sudah
lanjut usia, Siangkoan Hi yang bekas menteri
dinasti Beng, dijaga oleh Siangkoan Heng, kakak
laki-laki Siangkoan Yan. Helian Kong ini secara resmi masih menjadi
buronan kelas kakap dari pemerintah Pelangi
Kuning, meskipun "di belakang layar" ada
banyak tokoh-tokoh Pelangi Kuning seperti Tan
Wan-wan, Jenderal Li Giam, Yo Kian-hi bahkan
Kaisar Tiong-ong sendiri, yang mencoba
menarik keuntungan dari Helian Kong dengan
berbagai cara politis mereka. Karena secara
resmi Helian Kong adalan buronan, maka dalam
menuju desa itu Helian Kong dalam
penyamaran, la berpakaian dekil, memakai topi
rumput yang sudah robek-robek pinggirannya.
Pedang Elang Besinya yang tidak pernah
ketinggalan itu di-bungkus-digulung dengan
Kembang Jelita 2 / XIX 29 tikar butut dan digendong bersama buntalan
pakaiannya. Ia benar-benar berpenampilan tak
berbeda dengan pengungsi-pengungsi yang
mengalir dari arah timur. Kabar perang sudah
berkecamuk di wilayah timur membuat rakyat
yang ketakutan mau tidak mau harus
mengungsi menjauhi ajang kemelut.
Helian Kong tiba di rumah yang di ujung
desa, dan lega begitu melihat saudara-iparnya,
Siangkoan Heng, sedang membelah kayu bakar.
Nampaknya tidak terjadi sesuatu dengan seisi
rumah. Siangkoan Heng sendiri gembira menyambut kedatangan Helian Kong.
Seisi rumah menyambut Helian Kong, dan
malam itu mereka berkumpul di seputar meja
makan dari kayu kasar, sekasar bangunan
rumah itu yang berdinding tanah-liat dan
beratap ilalang. Empat orang itu, Helian Kong,
Siangkoan Yan, Siangkoan Hi dan Siangkoan
Heng, berbincang-bincang seusai makan malam.
Siangkoan Hi yang adalah bekas menteri
kerajaan Beng yang sampai saat itu masih
Kembang Jelita 2 / XIX 30 mencintai negerinya, meneteskan air mata
ketika selesai mendengar cerita Helian Kong.
Anak-anaknya dan menantunya sama-sama
memalingkan wajah, tidak tahan melihat air
mata mengalir melewati kulit pipi yang sudah
keriput itu. "Di antara bangsa Han, sudah tidak adakah
pemimpin-pemimpin yang punya otak?" keluh
Siangkoan Hi dengan suara gemetar.
"Bu Sam-kui yang begitu mudah dibohongi
oleh orang yang menyamar sebagai kau, Helian
Kong, dan Lau Cong-bin yang sampai tertipu
oleh seorang yang sekian lama menjadi perwira
andalannya?" Dalam kesalnya, Siangkoan Hi memaki tidak
peduli golongan sisa dinasti Beng atau kaum
Pelangi Kuning. "Di mana pasukanmu?" Siangkoan Yan
bertanya. "Aku pencarkan dulu, dan aku beri waktu 10
hari untuk berkumpul kembali di sebuah bukit,
sepuluh li sebelah selatan tempat ini. Mungkin
Kembang Jelita 2 / XIX 31 ada di antara mereka yang ingin lebih dulu
menengok keluarganya..."
"Rusakkah keadaan pasukanmu setelah
peristiwa di desa itu?"
Helian Kong menarik napas, "Sangat parah.
Tiga perempat dari pasukanku tewas keracunan
atau kena bahan peledak yang dipasang.
Sekarang tinggal seperempat yang membutuhkan penyegaran, lahir maupun
batin..." "Mudah-mudahan Li Cu-seng mampu
menahan majunya tentara Manchu, bahkan
kalau perlu mengusirnya kembali keluar
Tembok Besar. Aku membenci Li Cu-seng ketika
ia merobohkan dinasti Beng, tetapi sekali ini
aku mendoakan kemenangannya..."desis
Siangkoan Hi. "Mudah-mudahan..." sambung Siangkoan
Heng. 'Tetapi agak mencemaskan, mengingat
yang bisa diandalkan Li Cu-seng sekarang ini
hanyalah si jenderal otak-kerbau Gu Kim-sing.
Seandainya Li Giam belum terlanjur dikirim ke
barat laut..." Kembang Jelita 2 / XIX 32 "... dan seandainya pasukan-pasukan dinasti
Beng yang berpencaran dan bersembunyi di
sekitar Pak-khia ini bisa dihubungi dan
digabungkan, tidak ada salahnya kita bekerjasama dengan Li Cu-seng untuk membendung
Manchu..." "Setelah peristiwa di desa yang hampir
menghabiskan pasukan Helian Kong itu, Ayah
masih berpikir untuk bekerja-sama dengan
berandal-berandal Pelangi Kuning yang tidak
tahu aturan itu?" "Masalahnya, kita harus mengutamakan
keselamatan tanah-air, jangan sampai dikuasai
Manchu. Mungkin kita tidak harus di bawah
perintah Li Cu-seng, tetapi setidak-tidaknya bisa
membantu secara diam-diam dengan menggerilya garis belakang pasukan Manchu
sehingga gerak maju mereka terhambat."
Lalu Siangkoan Hi mengarahkan pandangannya kepada Helian Kong. Sang
menantu merasa, bahwa sang mertua menaruh
harapan atas dirinya untuk mengerahkan sisasisa pasukan dinasti Beng agar ikut ambil
Kembang Jelita 2 / XIX 33 bagian membendung musuh. Tetapi Helian
Kong sendiri menjawab lesu, "Aku ingin
melakukan itu, Ayah, ingiiiiin sekali. Aku
bersedia melupakan peristiwa di desa itu dan
bahu-membahu kembali dengan kaum Pelangi
Kuning, tetapi prajurit-prajuritku...rasanya
harus menyembuhkan dulu luka hati mereka.
Luka-luka di kulit mereka bisa sembuh dalam
beberapa hari, tetapi luka-luka di hati, entah
berapa tahun sembuhnya... atau bahkan takkan
pernah sembuh sama sekali..."
Siangkoan Hi menarik napas. "Selain
pasukanmu, pasukan siapa yang kira-kira bisa
kau hubungi?" "Sudah sejak dulu aku berusaha mencari
tahu di mana Kongsun Hui dan pasukannya,
begitu juga Song Sin-pian dan lain-lainnya,
tetapi mereka seperti amblas ditelan bumi."
"Itu artinya, kita tidak bisa berbuat apa-apa
lagi..." Siangkoan Heng memupus harapan
Ayahnya. "Kita tinggal bisa berdoa supaya Li Cuseng kali ini seberuntung ketika merebut


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemerintah dulu. Dia sudah mampu merebut,
Kembang Jelita 2 / XIX 34 sekarang kita lihat apakah dia mampu
mempertahankannya..."
Kata-kata Siangkoan Heng agaknya terlalu
keras buat ayahnya. Helian Kong bisa
memaklumi kemengkalan Siangkoan Heng
setelah mendengar cerita Helian Kong tentang
bubur-beracun dan bahan peledak di desa itu.
Sedang yang dipikirkan Siangkoan Hi hanyalah
bagaimana masih bisa menyelamatkan yang
tersisa.. Helian Kong jadi kasihan kepada ayah
mertuanya, lalu menghiburnya, "Ayah, bagaimanapun juga kita masih punya
pengharapan. Kaum Pelangi Kuning hanya
menguasai separuh wilayah di bagian utara,
sedangkan separuh wilayah selatan tetap
dikuasai jenderal-jenderal dan pangeranpangeran dinasti Beng kita, masih dengan
pasukan mereka yang segar dan kuat..."
Siangkoan Hi masih saja menarik napas,
Helian Kong lalu menghiburnya lebih lanjut,
"Ayah, marilah kita siapkan hati kita untuk
memperhitungkan kemungkinan yang paling
Kembang Jelita 2 / XIX 35 buruk sekalipun. Taruh kata Li Cu-seng
dikalahkan Man-chu, aku percaya takkan mudah
bagi pihak Manchu untuk langsung menguasai
seluruh wilayah utara, tentu di mana-mana
terjadi perlawanan dari kaum Pelangi Kuning..."
"... yang berarti di mana-mana timbul
kesengsaraan hebat buat rakyat jelata..."
sambung Siangkoan Yan. Sebagai seorang calon
ibu, agaknya cara berpikir Siangkoan Yan juga
mulai terpengaruh. Ia jadi kurang peduli pihak
mana yang bakal menang dan bendera apa yang
bakal berkibar, yang terbayangkan saat itu
hanyalah ibu-ibu yang berlari-lari ketakutan
menggendong atau menggandeng anak-anaknya
di antara prajurit-prajurit yang saling sembelih
dengan ganas mempertahankan benderanya
masing-masing. Helian Kong menoleh sebentar ke arah
isterinya itu. "Maaf, Adik Yan. Maksudmu,
biarkan saja negeri ini dijajah Manchu, supaya
tidak terjadi peperangan?"
"Aku kan tidak bilang begitu?"
Kembang Jelita 2 / XIX 36 Helian Kong menarik napas sebentar, lalu
melanjutkan kata-kata untuk menghibur
mertuanya, "Ayah, kalau pun Manchu berhasil
merebut wilayah Utara, mereka akan menang
tetapi kehabisan tenaga karena sisa-sisa
perlawanan kaum Pelangi Kuning... nah, saat
itulah kekuatan kita di selatan bisa digerakkan
ke utara untuk mengusir mereka..."
Siangkoan Yan tidak membantah lagi, tetapi
terbayang penderitaan perempuan-perempuan
tak berdaya. "Kau lupakan satu hal, A-kong..." kata
Siangkoan Hi kepada menantunya.
"Apa, Ayah?" "Aku percaya kekuatan kita di selatan
sangat besar, tetapi itu kalau mereka bersatu..."
si bekas menteri itu memberi tekanan kuat pada
kata-kata "kalau mereka bersatu" itu. "Kebetulan aku
secara pribadi pernah berjumpa dengan
pangeran-pangeran seperti Lou-ong, Hok-ong,
Kui-ong dan Tong-ong yang kau sebut-sebut itu.
Dan aku sedih mengatakan bahwa mereka
Kembang Jelita 2 / XIX 37 adalah orang-orang yang berambisi, sangat
berambisi, sehingga sulit mempersatukan
mereka. Kekuatan di selatan bersatu kemudian
bebaskan wilayah utara, itu barangkali cuma
terjadi di alam mimpi..."
Suara Siangkoan Hi begitu pahit, dan tak
lama lagi anak-anak atau menantunya yang
menyanggahnya. Namun Helian Kong belum
berputus-asa, ia percaya suatu kali nanti akan
mendapat gagasan juga. Kalau sekarang
ditanyai gagasannya apa, Helian Kong sendiri
hanya akan menepuk jidatnya dan tak mampu
menjawab karena otaknya sedang buntu.
Begitulah, karena malam sudah larut.
Mereka kemudian masuk tidur.
Tetapi menjelang dinihari, desa terpencil itu
seolah terbangun karena ada sebuah pasukan
melewatinya. Derap sepatu para prajurit serta
gemeretak roda gerobak yang didorong
membangunkan penduduk, namun penduduk
tidak berani keluar, hanya mengintip dari celahcelah pintu. Ternyata yang lewat itu adalah
sebuah pasukan, dari arah selatan.
Kembang Jelita 2 / XIX 38 "Pasukan mana?" desis Siangkoan Yan yang
ikut mengintip keluar di samping suaminya.
Siangkoan Hi dan Siangkoan Heng ikut
terbangun pula. Helian Kong menggeleng, "Gelap, aku tidak
bisa melihat pakaian mereka. Tetapi aku
menduga, barangkali saja adalah pasukan
Pelangi Kuning yang ditarik dari sekitar Ibukota
untuk memperkuat pertahanan di Ibukota..."
Esok harinya, orang-orang desa itu gempar
membicarakan pasukan yang lewat semalam.
Mereka bercerita di warung di pojok desa, di
sudut jalan, di halaman rumah.
"Untung mereka tidak berhenti di desa kita
ini. Kalau mereka berhenti, habislah perbekalan
pangan kita yang tinggal sedikit."
"Kelihatapnya mereka tergesa-gesa dan
menempuh perjalanan siang-malam."
"Kabarnya Kaisar sendiri sudah meninggalkan Ibukota dan akan memimpin
sendiri pasukannya di it-pian-sek. Pasukan yang
dikerahkan sangat besar."
Kembang Jelita 2 / XIX 39 "Ya, inilah pertaruhan yang menentukan
nasib Ibukota, setelah pertahanan yang
dibangun Jenderal Lau gagal..."
"Ya, menurut beberapa pengungsi di
kampung sebelah, Jenderal Lau dibawa pulang
sebagai mayat..." "Terbunuh?" "Kabarnya, jantungnya berhenti berdenyut
karena kagetnya. Bukan terbunuh di pertempuran." "Tetapi kabarnya pihak Manchu sendiri juga
mengerahkan kekuatan yang tidak tanggungtanggung. Ada yang pernah melihat barisan
serdadu Manchu itu banyaknya seperti semut
keluar dari sarangnya. Bahkan kabarnya,
Panglima Tertinggi Manchu sendiri yang
namanya Toh Sek-kun, sudah memasuki Tionggoan..."
"Wah, jadi di It-pian-sek sekarang
berhadapan dua pasukan raksasa. Entah siapa
yang bakal menang?" "Seandainya ada Jenderal Li Giam..."
Kembang Jelita 2 / XIX 40 "Kasihan penduduk kota Pak-khia. Belum
dua bulan yang lalu mereka mengalami perang
dahsyat ketika pemerintahan beralih dari
dinasti Beng ke tangan kaum Pelangi Kuning,
sekarang, mereka bakal mengalami lagi perang
yang tidak kalah dahsyatnya..."
"Ya, bangunan-bangunan yang terbakar
belum selesai diperbaiki dan sekarang sudah
harus bersiap-siap untuk terbakar lagi,.."
"Tetapi It-pian-sek itu kan di luar Pak-khia?"
"Ya. Agak jauh, tetapi kalau tentara kerajaan
kalah, kan mereka akan mundur ke Ibukota dan
dikejar tentara Manchu sampai ke Ibukota?"
"Lho, kok kamu malah mendoakan tentara
bangsa sendiri yang kalah dan tentara asing
yang menang?" "Bukan mendoakan, tetapi... melihat
pertempuran-pertempuran sebelumnya, agaknya tentara kita menghadapi pekerjaan
yang sangat berat." "Daripada mengomel saja, kenapa kau tidak
mendaftar saja jadi sukarelawan ikut
menentang tentara asing?"
Kembang Jelita 2 / XIX 41 "Cari mati apa? Sudah susah-payah belum
tentu jasaku diketahui orang."
"Sudahlah. Bukan urusan kita."
"Eh, perangnya bisa merembet kemari apa
tidak, ya?" "Mau mengungsi?"
"Iya. Sebelum terlambat."
Itulah yang sampai ke kuping Helian Kong.
Helian Kong jadi bisa membayangkan keadaan
medan perang. Pengerahan kekuatan besarbesaran di pihak Pelangi Kuning maupun di
pihak Manchu, pihak Pelangi Kuning dipimpin
sendiri oleh Kaisar Tiong-ong dan pihak
Manchu dipimpin sendiri oleh Panglima
Tertingginya sendiri, Pangeran Toh Sek-kun.
Helian Kong juga mendengar tentang Lau Congbir. yang meninggal bukan di medan perang,
melainkan putus jantungnya karena kaget dan
ketakutan. Selain itu, dari percakapan
penduduk desa, Helian Kong jadi tahu kalau
pemerintahan Pelangi Kuning pun ternyata
kurang berakar di hati rakyat, rakyat
mengacuhkannya, sama terhadap pemerintahan
Kembang Jelita 2 / XIX 42 dinasti Beng dulu. Mungkin karena kelakuan tak
terpuji dari pejabat-penjabatnya. Tokoh Pelangi
Kuning yang sedikit ada harganya di mata
rakyat agaknya hanya Jenderal L i Giam.
Sebagai bangsa Han, Helian Kong
mengharapkan keberhasilan Li Cu-seng
menahan musuh, tetapi otak militer Helian
Kong sulit diajak membayangkan keberhasilan
tentara Pelangi Kuning. Tetapi Helian Kong tidak berdaya berbuat
apa-apa. Ia tidak punya kekuatan untuk
mempengaruhi satu babak sejarah yang sedang
berlangsung. Yang bisa dilakukan sekarang
hanyalah mengungsikan isterinya, calon
anaknya yang masih dalam perut, mertuanya
dan saudara-iparnya, ke tempat yang aman.
Ketika Helian Kong mengajukan hal itu
kepada keluarganya, semuanya setuju.
"Kita akan pergi ke arah mana?" tanya
Siangkoan Hi. "Makin ke selatan makin aman, Ayah. Selain
makin jauh dari ajang kemelut, juga makin
dekat dengan kawan-kawan kita di selatan.
Kembang Jelita 2 / XIX 43 Paling bagus kalau bisa sampai di Yang-ciu,
tetapi itu bisa kita pikirkan kelak karena
jaraknya terlalu jauh..."
"Ya. Kau sendiri masih harus tetap
mengawasi dan mengumpulkan kembali
pasukanmu. Betapa kecilnya pasukanmu
sekarang, itu tetaplah suatu modal yang bisa
dikembangkan untuk gerakan lebih lanjut."
"Ya, Ayah." Siang itu juga mereka berangkat meninggalkan desa itu. Tidak banyak barang
yang mereka bawa, karena mereka memang
tidak punya banyak lagi. Mereka bukan lagi
keluarga pembesar kerajaan. Mereka menyamar
sebagai orang-orang desa yang mengungsi,
seperti yang lain-lainnya.
Helian Kong melangkah dengan masygul.
Helian Kong tidak berani memimpin
rombongannya melewati tempat-tempat yang


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ramai, sebab di tempat-tempat itu biasanya ada
pengumuman yang ditempelkan di temboktembok, dilengkapi wajah Helian Kong disertai
tulisan keterangan bahwa dialah "buronan
Kembang Jelita 2 / XIX 44 berhadiah" yang masih dicari-cari pihak Pelangi
Kuning. Helian Kong dan Siangkoan Heng yang
adalah lelaki-lelaki muda, sebetulnya sanggup
terus berjalan dari matahari terbit sampai
matahari tenggelam. Tetapi mereka berjalan
bersama Siangkoan Hi yang sudah tua, dan
Siangkoan Yan, wanita yang sedang mengandung. Maka perjalanan hanya bisa
dilakukan pelan-pelan. Bahkan Helian Kong
serta Siangkoan Heng kadang-kadang harus
bergantian menggendong Siangkoan Hi yang
sudah tua itu. Siangkoan Yan sendiri menolak
untuk digendong, meski minta agar jalannya
pelan-pelan. "Nanti kalau ketemu desa, kita cari gerobak
kerbau," kata Siangkoan Heng yang mulai tidak
sabar akan perjalanan yang seperti siput itu.
Tidak lama kemudian, mereka benar-benar
menjumpai sebuah desa kecil. Di pinggir desa
ada warungnya, di warung itulah mereka
beristirahat. Kembang Jelita 2 / XIX 45 Kepada si pemilik warung, Helian Kong
bertanya, "Pak, di desa itu apa ada yang punya
gerobak sapi dan sapi penariknya sekalian, yang
bisa dibeli atau dipinjam?"
Suatu keberuntungan bagi Siangkoan Hi dan
Siangkoan Yan, sebab si pemilik kedai itu
menjawab, "Kebetulan ada. Adik iparku punya.
Rumahnya ada di ujung selatan desa itu."
Helian Kong bangkit dari duduknya dan
berkata kepada Siangkoan Heng, "Saudara
Siangkoan, jagalah dulu Ayah dan Adik Yan, aku
ambil dulu gerobak itu."
Sementara Helian Kong pergi, Siangkoan
Heng menyempatkan diri mengobrol dengan
pemilik kedai yang kebetulan juga sedang
menganggur karena kedainya sepi sekali.
"Kedainya sepi sekali, Pak?" Siangkoan Heng
mengawali. "Ya. Sejak tersiar kabar pecahnya perang di
wilayah timur, usaha jadi sepi. Banyak
penduduk mengungsi sejauh mungkin dari Pakkhia. Mereka meramalkan, wilayah Pak-khia
Kembang Jelita 2 / XIX 46 dan sekitarnya akan menjadi ajang kemelut
yang panas..." Siangkoan Heng cuma mengangguk-angguk
sambil menggigit bakpaonya.
Sementara si tukang warung melanjutkan
keluhannya, keluhan rakyat kecil yang tidak
tahu kepada siapa lagi harus mengeluh,
sehingga kepada orang tidak dikenal pun berani
menumpahkan uneg-unegnya yang sudah
menyesak di dada, "Kami orang-orang kecil
yang di bawah ini benar-benar tidak tahu apa
maunya orang-orang yang di atas, yang jadi
pimpinan. Semua pihak yaijg bersaing, mengaku
sedang memperjuangkan kami, tetapi nyatanya
kami jadi korban terus. Kalau mereka menang,
kami dilupakan, kalau mereka berperang, kami
diikut-sertakan. Bahan makanan dirampas,
bahkan pemuda-pemuda kami diambil begitu
saja dan disuruh memanggul senjata, entah
kelak bisa pulang hidup-hidup atau tidak..."
Siangkoan Yan yang sedang menghiru
tehnya itu pun sampai tersedak dan terbatukbatuk mendengar omongan si tukang warung.
Kembang Jelita 2 / XIX 47 Si tukang warung melanjutkan, "... Adik
perempuanku punya dua anak laki-laki yang
sudah dewasa. Yang besar, tahun ini baru mulai
berumah-tangga, tetapi kedua anak laki-lakinya
itu tiba-tiba saja diambil dari rumah dan
kabarnya akan disuruh ke medan perang. Si
menantu perempuan yang sedang hamil muda
itu, sekarang sampai seperti orang gila..."
Siangkoan Hi tidak tahan lagi, ia
menggebrak meja dan berkata keras, "Hem,
orang bisanya cuma mengeluh dan menuntut
ini-itu, tidakkah pernah terpikir sedikit pun
untuk memberi sesuatu bagi tanah tumpah
darah?" Si tukang warung terkejut dan menatap
tercenggang ke arah si kakek yang nampaknya
tiba-tiba tersinggung itu. Namun karena saat itu
Siangkoan Hi berdandan seperti rakyat jelata
umumnya, si tukang warung tidak gentar, dan
berkata, "Tentu saja rakyat wajib berbakti
kepada penguasanya, kalau penguasa itu juga
menjalankannya kewajibannya dengan baik.
Bukankah Guru Besar Khong Hu-cu mengajar
Kembang Jelita 2 / XIX 48 bahwa penguasa itu pemegang Thian-beng
(mandat dari Tuhan) sebagai ayah-ibu bagi
rakyatnya? Tetapi kalau tidak becus, boleh juga
diadakan Pat-thian-beng (Pencabutan mandat).
Nah, selama ini apa yang dibuat oleh penguasapenguasa terhadap rakyat? Mereka cuma
memeras tenaga dan milik kami ketika mereka
sedang butuh untuk mencapai tujuan mereka,
dan begitu kemenangan tercapai, kami pun
dilupakan. Ini kenyataan kok..."
Kali ini Siangkoan Hi-lah yang terbatukbatuk, sehingga Siangkoan Yan cepat-cepat
menepuk-nepuk dan mengurut-urut punggung
ayahnya, sambil membujuk, "Sudahlah, Ayah,
semua orang boleh punya pendapat sendirisendiri, kenapa harus gusar terhadap orang
yang berpendapat lain? Rakyat yang paling
jelata pun boleh menyatakan isi hatinya, sebab
merekalah isi negeri. Mereka kan bukan bebek
yang cuma harus menurut disuruh ke sana ke
mari oleh penggiringnya?"
Siangkoan Hi sudah reda batuknya, namun
berkata dengan geram, "Aku tidak akan mati
Kembang Jelita 2 / XIX 49 meram kalau masih melihat bendera Naga
Berkuku Lima (bendera Manchu) berkibar di
Tiong-goan ini..." Si tukang warung tidak ingin berbantah
dengan tamu-tamunya, ia tidak menjawab,
namun dalam hatinya sendiri, "Kalau aku sih
tidak peduli bendera apa pun yang berkibar,
bahkan kalau celana kolor yang dikibarkan juga
tidak peduli, asal rakyat diberi kesempatan
mengenyam kehidupan yang tenteram. Tidak
terus-terusan digelisahkan oleh perang yang
berkecamuk..." Helian Kong kemudian datang, menunggang
sebuah pedati yang ditarik seekor sapi,
tunggangan umum orang-orang desa. Ia ikut
makan di warung itu, kemudian setelah
membayar makanannya lalu pergi melanjutkan
perjalanan. Kini Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan bisa
melanjutkan perjalanan lebih nyaman, duduk
dalam pedati yang dialasi dengan jerami. Helian
Kong dan Siang-koan Heng bergantian
menuntun sapi penarik pedati. Dan biarpun
Kembang Jelita 2 / XIX 50 mereka sebenarnya juga bisa duduk di pedati,
mereka rupanya lebih suka berjalan kaki untuk
menjaga kesegaran tubuh mereka.
Sebelum berangkat, si tukang kedai tiba-tiba
mendekat lagi, dan berkata, "Aku tidak tahu
Tuan-tuan ini suka mendengar kata-kataku atau
tidak, namun hati nuraniku mendorongku
untuk mengatakan sesuatu kepada Tuan-tuan."
"Apa?" "Kalau Tuan-tuan melewati jalan ini terus
ke selatan, Tuan-tuan akan menemui pos
tentara pemerintah yang sedang mencari lelakilelaki yang sehat untuk diterjunkan ke
peperangan. Kedua Tuan ini... tentunya akan
terpilih, karena itu kalau Tuan-tuan tidak ingin
dipaksa jadi serdadu, hindarilah jalan itu."
"Ada jalan lain ke arah selatan?"
"Nanti kalau ketemu simpang tiga, ambil
yang sebelah kiri. Jalannya kecil dan agak sukar,
tetapi tidak ada tentara kerajaan yang
keluyuran sampai di sana."
"Terima kasih," sahut Helian Kong.
Kembang Jelita 2 / XIX 51 Mereka pun berangkat. Di dalam pedati,
Siangkoan Hi mendengus hina, "Orang ini
tahunya hanya cari duit saja. Tidak punya
sedikit pun rasa cinta kepada tanah-air..."
Siangkoan Yan menjawab, "Sudahlah, Ayah.
Orang itu hanya kecewa. Belum tentu tidak
mencintai tanah-airnya."
"Bukan seperti itu omongannya pe-cinta
tanah-air." "Bagaimanapun dia orang baik, memberitahu kita apa yang terjadi di depan kita,
entah bagaimanapun pendapat kita..."
"Ya, menurut dia, berbakti untuk tanah-air
itu suatu bencana." "Sudahlah, Ayah."
Helian Kong dan Siangkoan Heng yang
berada di depan pedati, tidak mau menggubris
perbantahan itu, mereka punya perbincangan
sendiri namun tidak bertengkar.
"Beberapa hari lagi aku akan menemui
pasukanku di tempat yang sudah ditentukan.
Kita semua akan menemuinya di sana."
Kembang Jelita 2 / XIX 52 "Kalau perjalanannya selambat ini, apa kau
bisa tepat waktu di sana?"
"Mungkin aku akan jalan mendahului, lebih
cepat, dan setelah aku berikan perintahperintah untuk pasukanku, aku bergabung
kembali dengan rombongan ini."
"Pasukanmu itu... mau kau suruh apa?"
"Ke Yang-ciu, melalui jalannya sendirisendiri, bergabung denganku. Rencananya, kami
akan menempatkan diri di bawah Jenderal Su
Ku-hoat." Siangkoan Heng mengangguk-angguk, "Hanya dia orang yang bisa dipercaya saat ini."
Ternyata perhitungan Helian Kong agak
salah, dengan adanya pedati lembu, biarpun
jalannya jauh lebih lambat dari kereta kuda,
ternyata dua hari sebelum ditentukan, mereka
sudah mendekati bukit yang akan dijadikan
tempat pertemuan Helian Kong dan pasukannya. Tetapi Helian Kong tidak langsung
membawa keluarganya ke bukit itu, melainkan
ke sebuah rumah pemburu tidak
Kembang Jelita 2 / XIX 53 jauh dari bukit itu. "Kenapa tidak langsung ke tempat itu? Aku
masih kuat, biarpun harus tidur dua malam di
alam terbuka..." kata Siangkoan Hi.
"Ayah, aku harus memeriksa tempat itu
lebih dulu..." "Buat apa?" "Siapa tahu selama berpencaran, ada anak
buahku yang kurang hati-hati lalu tertangkap
kaum Pelangi Kuning dan dipaksa menunjukkan
tempat ini dan menyiapkan barisan-pendam.
Orang-orang Pelangi Kuning itu sikapnya
bermacam-macam terhadap kita. Ada yang
ingin bekerja-sama, ada yang tetap memusuhi."
Begitulah Helian Kong dua hari dua malam
mengelilingi bukit itu, memeriksanya dengan
teliti, ibaratnya setiap helai rumput tidak luput
dari penelitiannya. Dan Helian Kong tidak
menemukan adanya tanda-tanda barisan
pendam di bukit itu. Helian Kong menarik napas lega, apa yang
dikhawatirkannya nampaknya takkan terjadi.
Kembang Jelita 2 / XIX

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

54 "Agaknya kaum Pelangi Kuning sedang
memusatkan seluruh perhatian dan kekuatan
untuk perang besar di It-pian-sek, dan tidak
ingin memecah-mecah tenaga dan perhatiannya
dengan kami, sisa-sisa dinasti Beng ini..."
Dengan lega Helian Kong mengatakannya
kepada ayah-mertuanya, isterinya dan saudaraiparnya.
"Kita akan menemui Jenderal Su Ko-hoat di
Yang-ciu tidak dengan tangan kosong, tetapi
membawa suatu kekuatan, betapapun kecilnya."
"Berapa jumlah orang-orangmu?"
"Sebelum peristiwa bubur beracun itu ada
delapan belas ribu, sesudahnya tinggal empat
ribu lebih sedikit..."
"Apakah mereka masih memakai seragam
prajurit Beng?" tanya Siangkoan Hi.
"Tidak lengkap betul, Ayah."
"Tidak jadi soal. Dan masih membawa-bawa
bendera Jit-goat-ki?"
"Tentu, Ayah." "Bagus..." semangat Siangkoan Hi tiba-tiba
terbangunkan. "Aku ingin berada di bukit itu.
Kembang Jelita 2 / XIX 55 Aku ingin mengucapkan beberapa patah kata
yang akan menyalakan semangat mereka!"
Mengingat tempat itu cukup aman, Helian
Kong tidak keberatan. Begitulah, pada hari yang ditentukan,
mereka menunggu di bukit itu. Siangkoan Hi
sudah tidak sabaran, ia berjalan hilir-mudik di
rerumputan sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya. Ia tidak lagi
memakai "seragam pengungsi" nya, melainkan
memakai pakaiannya semasa masih menjadi
menteri kerajaan dulu. Meski pakaian itu agak
kusut juga, sebab selama ini dibungkus bersama
pakaian-pakaian lainnya. Helian Kong juga diperintah memakai
seragam prajuritnya. Meskipun si menantu ini
merasa kurang perlu, tetapi demi menyenangkan hati mertuanya, ia turuti itu
juga. Begitulah, yang satu berpakaian ! menteri
kerajaan, yang lain berseragam panglima.
Tetapi bukan di aula istana kerajaan, melainkan
hanya di bukit belukar. Kembang Jelita 2 / XIX 56 Ternyata sampai matahari lingsir ke arah
barat, belum ada sebatang hidung pun yang
nongol, sehingga Siangkoan Hi jadi gelisah dan
berulang-kali menanyakan kepada Helian Kong
apakah ia tidak salah tempat. Helian Kong
menjawab, tempat itu sudah dua kali digunakan
untuk keperluan yang sama, dan tidak mungkin
prajurit-prajuritnya nyasar ke tempat lain.
Bahkan prajurit-prajurit yang berasal dari Sanhai-koan pun sudah diberi ancar-ancar yang
jelas. Ketika matahari hampir terbenam, barulah
muncul enam orang. Berpakaian pengungsi,
namun mereka segera melapor kepada Helian
Kong. "Mana yang lain?" tanya Helian Kong heran.
Seorang prajurit menjawab, "Kami tidak
tahu. Bahkan kami berenam pun baru ketemu
setelah dekat tempat ini."
"Baik. Kita tunggu, mungkin masih di
perjalanan." Kembang Jelita 2 / XIX 57 Siangkoan Hi pun bertanya, "Dan kenapa
kalian tidak memakai seragam prajurit kalian?
Kalian tidak bangga kepada pakaian itu?"
"Maaf, Tuan... kami dalam penyamaran. Ada
banyak orang-orang Pelangi Kuning yang
berjaga-jaga di semua jalan."
"Sekarang penyamaran kalian sudah lewat.
Kenakan seragam kalian! Dan bersikaplah
sebagai prajurit-prajurit Kerajaan Beng yang
gagah berani!" Para prajurit itu menoleh dulu kepada
Helian Kong, setelah Helian Kong mengangguk,
barulah mereka lakukan perintah si mantan
menteri itu. Pakaian seragam mereka sudah
tidak ada yang lengkap. Ada yang sudah
kehilangan topinya, ada yang bajunya sudah
tambalan atau agak kotor kena darah atau kena
kotoran lain, ada yang sepatunya bukan sepatu
prajurit melainkan sepatu jerami yang biasa
dipakai kaum pengembara. Siangkoan Hi mengerutkan alis melihat
"seragam" itu, tetapi ia tidak berani
mengkritiknya. Kembang Jelita 2 / XIX 58 Kemudian, yang membuat Siangkoan Hi dan
lain-lainnya lebih masygul lagi ialah ketika
ditunggu-tunggu sampai malam, ternyata yang
nongol hanya sejumlah dua puluh orang.
Buyarlah impian untuk datang ke Yang-ciu
sebagai sebuah pasukan yang megah, biarpun
jumlahnya tidak besar. Kemasygulan ditambah lagi dengan laporan-laporan dari segelintir prajurit yang
datang itu, bahwa ketidak-hadiran temanteman itu karena berbagai sebab. Ada yang
ayahnya meninggal sehingga harus menemani
ibunya yang sudah tua. Ada yang disuruh kawin
dengan puteri pamannya. Ada yang diwarisi
usaha dagang oleh orang tuanya, dan seribu
satu macam lainnya. Tetapi sebagian besar
tidak memberi alasan apa-apa, menghilang
begitu saja. "Kantong-kantong nasi tidak berguna!
Terkutuklah mereka!" Siangkoan Hi gusar.
"Orang-orang berpendirian lemah seperti itu
tidak pantas menjadi prajurit dinasti Beng!"
Kembang Jelita 2 / XIX 59 Sedangkan Helian Kong tidak mencaci-maki,
ia tidak benci dan tidak marah kepada prajuritprajuritnya yang tidak berkumpul kembali itu.
Ia coba memahami mereka sebagai manusia
yang punya kebutuhan, punya keluarga, dan
sejak dinasti Beng ambruk, mereka tidak
terjamin apa-apa lagi. Bahwa selama ini mereka
masih ikut Helian Kong bertempur ke sanakemari, hidup seperti orang hutan, bahkan
sebagian besar dari mereka menjadi korban
dalam peristiwa bubur beracun, Helian Kong
cukup bersyukur. Dan kini tiba-tiba dihadapkan
kenyataan bahwa prajurit-prajuritnya itu
sebagian besar sudah bosan bertempur tanpa
ketentuan, Helian Kong tidak marah.
Siangkoan Hi-lah yang tidak bisa terima. la
mencaci-maki prajurit-prajurit yang tidak
datang itu sebagai orang-orang yang tipis rasa
cintanya kepada tanah air.
Helian Kong menunggu sehari lagi, dan hari
berikutnya muncul sebelas orang lagi. Lalu ia
memperpanjang sehari lagi, dan muncul lima
orang lagi, la perpanjang sehari lagi, tidak ada
Kembang Jelita 2 / XIX 60 yang muncul. Sehari lagi, tetap tidak ada yang
muncul. Akhirnya Helian Kong harus menerima
kenyataan, bahwa pasukannya sekarang
hanyalah tiga puluh enam orang.
"Terima kasih atas kedatangan kalian,
Saudara-saudara. Kesetiaan kalian membuat
aku tidak berani lagi menganggap diriku
sebagai atasan kalian, melainkan sebagai kawan
seperjuangan. Aku tidak memerintah kalian,
tetapi mengajak kalian pergi ke Yang-ciu, untuk
meneruskan pengabdian kita di bawah orang
yang tepat, yaitu Jenderal Su Ko-hoat.
Bagaimana?" Agaknya Helian Kong sendiri sedang
menghadapi krisis kepercayaan kepada diri
sendiri. Sebagai manusia biasa, gelombang
kekecewaan yang mendampar keteguhan
batinnya, memang tidak tertahan oleh
sembarangan orang. Itulah sebabnya sekarang
ia tidak bersikap sebagai komandan yang
memerintah, melainkan hanya menyodorkan
pilihan : mau ikut ke Yang-ciu atau tidak.
Kembang Jelita 2 / XIX 61 Siangkoan Hi diam-diam tidak setuju
dengan cara seperti itu, tetapi kali ini dia
menahan diri untuk tidak ikut campur. Ketiga
puluh enam prajurit itu di depan Helian Kong
menyatakan siap bergabung kembali di Yangciu, tetapi perasaan Helian Kong yang tajam
memberitahu, bahwa nanti di Yang-ciu jumlah
itu akan berkurang kembali. Bahkan hanya akan
menjadi nol. Kemerosotan semangat seperti itu,
Helian Kong tidak menyalahkannya, toh
prajurit-prajuritnya masih manusia, bukan
malaikat-malaikat. Terhadap janji itu, Helian Kong mengucapkan penghargaannya, kemudian membubarkan mereka. Siangkoan Hi merasa sesak dadanya, seolaholah melihat harapan pulihnya kembali dinasti
Beng padam pelan-pelan. Kaisar Tiong-ong mengirim perintah kepada
Jenderal Li Giam yang ditugaskan di wilayah
barat-laut, agar secepatnya kembali ke Pak-khia
dengan seluruh pasukannya. Sementara Kaisar
memimpin sendiri suatu tentara yang besar,
Kembang Jelita 2 / XIX 62 membangun sebuah pertahanan amat kuat di
tempat yang bernama It-pian-sek. Karena
tewasnya Jenderal Lau, Kaisar sendiri
memegang langsung pimpinan atas seluruh
pasukan. Pertempuran melawan tentara Manchu
berlangsung sengit, karena di pihak Manchu
dipimpin sendiri oleh Pangeran Toh Sek-kun,
Panglima Tertinggi. Di dataran, pasukan
Manchu mengandalkan gerak-cepat pasukan
berkudanya yang terdiri dari prajurit-prajurit
padang rumput Mongolia. Tetapi dari arah
pegunungan pihak Manchu juga menggerilya
lambung dan punggung kaum Pelangi Kuning,
membakar jembatan-jembatan, menyerang
garis belakang, membakar tempat-tempat
persediaan pangan. Pasukan gunung yang
terdiri dari orang-orang Korea ini memang
mahir bertempur di pegunungan. Dengan
adanya pasukan gunung ini, pihak Pelangi
Kuning seakan-akan menghadapi musuh yang
berada di segala tempat, selain pasukan induk
Manchu yang datang dari arah timur.
Kembang Jelita 2 / XIX 63 Pertempuran di It-pian-sek berlangsung
amat berdarah, kedua pihak mengerahkan
kekuatannya. Tetapi setelah beberapa hari,
Kaisar Tiong-ong merasakan tekanan berat dan
memutuskan untuk menarik pasukannya
mundur ke dalam kota Pak-khia, mengambil
sikap bertahan sambil menunggu Jenderal Li
Giam. Kaisar berharap, dengan sikap bertahan
total dan persediaan pangan yang cukup di balik
tembok Pak-khia, napas pasukannya akan dapat
diperpanjang.. Pertengahan bulan kedua setelah menggulingkan Kaisar Cong-ceng dari dinasti
Beng, Kaisar Tiong-ong bertahan di Pak-khia.
Tentara Manchu memburu terus..
Ternyata, Kaisar Tiong-ong lupa bahwa kota
Pak-khia terdapat tidak sedikit prajurit-prajurit
Manchu yang berselubung di balik macammacam kedok penyamaran, bahkan ada yang
sampai mendapatkan pangkat tinggi dalam


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jajaran militernya Kaisar Tiong-ong sendiri.
Kini, penyelundup-penyelundup itu beraksi dari
dalam. Kembang Jelita 2 / XIX 64 Maka pertahanan Kaisar Tiong-ong di
Ibukota Pak-khia pun bobol. Hanya sanggup
bertahan setengah bulan kurang, waktu yang
jauh kurang dengan yang dibutuhkan Jenderal
Li Giam untuk sampai ke Pak-khia.
Pertengahan bulan kedua, tentara Manchu
sudah berbaris di luar kota Pak-khia, dan akhir
bulan mereka memasuki Pak-khia. Kaisar
Tiong-ong dan pengikut-pengikutnya bertempur dengan sengit di setiap jalan, di
setiap lorong, di sekitar anak tangga, di setiap
jengkal tanah. Tetapi Kaisar Tiong-ong dan sisa-sisa
pasukannya yang compang-camping harus
angkat-kaki dari Pak-khia dan mundur ke baratdaya. Untunglah Kaisar Tiong-ong bukan
seorang yang bernyali kecil seperti Kaisar Congceng. Kalau Kaisar Cong-ceng menggantung diri
karena putus asa kehilangan istananya, maka
Kaisar Tiong-ong justru mencanangkan "hutan
dan pegunungan" adalah istanaku. Dia
membulatkan tekad akan terus melawan
Kembang Jelita 2 / XIX 65 kekuasaan Manchu, biarpun Pak-khia telah
diduduki. Tetapi dalam gerakannya di Pegunungan
Kiu-kiong-san, dia mengalami nasib naas. Dia
masuk perangkap, bukan perangkap militer
yang dipasang musuh, melainkan perangkap
untuk binatang-binatang buas yang dipasang
penduduk di Pegunungan Kiu-kiong-san.
Begitulah nasib akhir seorang raja yang
berkuasa hanya dalam waktu kurang dari dua
bulan itu. Perlawanan kaum Pelangi Kuning yang
selanjutnya sudah tentu kocar-kocir karena
dipimpin orang semacam Gu Kim-sing, dan
dengan mudah dihabisi pasukan-gunungnya
orang-orang Manchu. Penduduk Ibukota Pak-khia, dalam waktu
kurang dari dua bulan harus menyaksikan dua
kali pergantian pemerintahan yang semuanya
terjadi melalui pertumpahan darah besarbesaran. Pertama, ketika kaum Pelangi Kuning
merebut Pak-khia dari dinasti Beng. Kedua,
Kembang Jelita 2 / XIX 66 ketika orang Manchu merebutnya dari pihak
Pelangi Kuning. Dan bagaimana dengan janji orang Manchu
bahwa mereka masuk ke Tiong-goan "hanya
untuk menolong dan sesudah pekerjaannya
selesai akan pulang kembali ke Liau-tong"?
Ternyata, mereka jadi betah di Pak-khia,
memperkuat kedudukan, bahkan menambah
jumlah prajurit mereka dengan pemudapemuda dari Tiong-goan sendiri. Selain itu,
pasukan demi pasukan terus mengalir dari
Liau-tong. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda
mereka 'ingin pulang ke Liau-tong, malahan
yang di Liau-tong boyongan sekali ke Tionggoan.
Singkatnya, mereka mencengkeramkan
kuku penjajahan mereka. Bu Sam-kui memperoleh Tan Wan-wan
kembali, tetapi banyak orang Han mencacimakinya sebagai pengkhianat dan penjual
negara. Apalagi, ia tidak bisa mengelak ketika
pihak Manchu mengangkatnya sebagai Peng-seong (Adipati penakluk wilayah barat),
Kembang Jelita 2 / XIX 67 kedudukan tinggi dengan tugas menindas
perlawanan sisa-sisa dinasti Beng maupun
kaum Pelangi Kuning di wilayah barat.
Namun banyak juga rakyat jelata yang
berharap agar pertempuran kali ini adalah
pertempuran yang terakhir. Mereka, rakyat
kecil yang jemu perang ini, tidak peduli biarpun
di pinggir kuping mereka ada yang berteriak
bahwa orang Manchu harus diusir dengan
pengorbanan apa pun juga. Orang-orang kecil
ini sudah rindu jaman mereka bisa hidup
tenteram. Yang juga tidak ketahuan kabar beritanya
adalah Puteri Tiang-ping dan Pangeran Cu Sam,
putera-puteri almarhum Kaisar Cong-ceng.
Konon, bertahun-tahun kemudian muncul
seorang pendekar wanita berlengan satu yang
digelari Tok-pi Sin-ni (Bhikuni sakti berlengan
tunggal) yang dipercaya sebagai Puteri Tiangping.
Sejarah belum berhenti. Di wilayah selatan
masih ada bangsawan-bangsawan dan jenderaljenderal dinasti Beng dengan pasukan masingKembang Jelita 2 / XIX
68 masing, dan rencana masing-masing. Dan di
utara, penguasa Manchu belum puas hanya
dengan menguasai separuh Tiong-goan.
TAMAT Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/07/2018 17 : 10 PM
Kembang Jelita 2 / XIX 69 Pendekar Negeri Tayli 13 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Tumbal Ratan Segara 1
^