Pencarian

Kembang Jelita Peruntuh 10

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 10


"Kau belum menjelaskan kenapa kau
sampai ke tempat ini."
"Di Pak-khia, Sri Baginda memerintah aku
ikut mengantar Tuan Puteri Kong-hui..."
"Tan Wan-wan, maksudmu?"
"Benar. Aku disuruh Sri Baginda mengantar
Tan Wan-wan ke San-hai-koan untuk
menenangkan Bu Sam-kui agar..."
Lau Cong-bin yang tergila-gila kepada Tan
Wan-wan itu menepuk pegangan kursinya
keras-keras, "Maksudmu, Tan Wan-wan akan
dikorbankan untuk Bu Sam-kui, seperti
sepotong tulang disodorkan ke mulut seekor
anjing kelaparan agar si anjing tidak
menggigit?" "Tidak. Tuan Puteri Kong-hui dikirim
sebagai utusan resmi Sri Baginda dengan
wewenang penuh untuk menyelesaikan
persoalan menurut caranya, atas nama Sri
Baginda!" sahut Yo Kian-hi mengangkat tinggiKembang Jelita 2 / XVII
9 tinggi martabat Tan Wan-wan, sekaligus juga
menghapus kalau-kalau dalam pikiran Jenderal
Lau ada niat mesum. Lau Cong-bin memang terperangah sejenak,
jelas sekarang Tan Wan-wan alias Puteri Konghui bukan lagi "barang permainan" seperti dulu.
Sekarang, mempermainkan Tan Wan-wan sama
dengan mempermainkan Kaisar Tiong-ong yang
melimpahkan kekuasaan kepadanya. Lau Congbin juga sudah mendengar desas-desus dari
Pak-khia, bahwa Kaisar Tiong-ong pun ternyata
menaruh hati kepada Tan Wan-wan. Memang
hanya desas-desus, tetapi Lau Cong-bin tetap
tidak berani mengabaikannya dan mempertaruhkan batang lehernya, meskipun
hatinya terbakar cemburu.
"Sekarang di mana Tan... eh, Puteri Konghui?"
"Ketika kami hampir sampai di desa ini,
kami melihat ada cahaya api dan suara
keributan orang bertempur. Demi keselamatan
Tuan Puteri, aku menyuruh iring-iringan
berhenti tiga li dari sini, dan aku sendiri kemari
Kembang Jelita 2 / XVII 10 bersama teman-teman ini..." sahut Yo Kian-hi
sambil menunjuk para pengawal istana yang
datang bersamanya tadi. "Tempat ini sekarang sudah aman, panggil
Tuah Puteri kemari sekarang juga."
"Baik, Jenderal, aku mohon diri dulu..." Yo
Kian-hi memberi hormat lalu berlalu bersama
pengawal-pengawal istana itu.
Sementara itu, Deng Hu-koan kemudian
datang menghadap Jenderal Lau.
"Lapor, Jenderal, musuh sudah terpukul
mundur dengan meninggalkan korban puluhan
orang. Keadaan seluruh desa sudah terkendali
mantap di tangan kita!"
Seperti itulah gaya laporan yang disukai Lau
Cong-bin, menyebutkan kerugian hanya di
pihak musuh tanpa menyebutkan kerugian di
pihak sendiri. "Bagus. Kau kenali dari pihak mana
mereka?" Kali ini Deng Hu-koan agak gelagapan ;
menjawab, "Soal ini... soal ini... kami sedang
menyelidikinya..." Kembang Jelita 2 / XVII 11 "Kau tidak mengenali mereka?"
"Mereka berpakaian seperti penduduk
biasa, tidak memakai seragam atau tanda
pengenal apa pun..."
"Tetapi mereka jelas sebuah pasukan yang
terlatih, bahkan amat terlatih. Terlihat dari cara
bertempur mereka dan kekompakan mereka."
"Betul, Jenderal..." waktu itu barulah Deng
Hu-koan melihat keadaan ruang yang
berantakan dan cipratan darah di dinding,
sehingga dia terkejut. "He, apa yang terjadi di
sini?" "Para pembunuh berhasil menyelundup
kemari..." Deng Hu-koan yang merasa penanggung
jawab keselamatan jenderalnya dan sekarang
tahu kalau kebobolan, cepat-cepat berlutut,
"Hukumlah aku, Jenderal, aku telah teledor
sehingga membahayakan diri Jenderal..."
"Perkara keteledoranmu bisa diperhitungkan di kemudian hari, sekarang
teruskan dan lengkapkan dulu laporanmu!"
Kembang Jelita 2 / XVII 12 Deng Hu-koan bangkit dari berlutut-nya,
"Terima kasih, Jenderal. Pendapat Jenderal
benar bahwa mereka adalah sebuah pasukan,
meskipun tidak berseragam. Mereka tidak
seperti gerombolan yang tidak tertib. Hanya
saja, dari pihak mana mereka, memang...
memang belum diketahui..."
"Apakah tidak ada di antara mereka yang
tertangkap hidup dan ditanyai?"
"Ada banyak. Tetapi, tak seorang pun bisa
ditanyai lagi." "Kenapa?" "Mereka yang tertangkap hidup memilih
mati dengan menggunakan belati atau
menggigit lidahnya. Yang tidak punya kekuatan
untuk membunuh diri, minta kawannya untuk
membunuh diri. Begitulah, di antara tawanan
itu tidak tersisa seorang pun yang hidup..."
Lau Cong-bin menepuk pegangan kursi
dengan kesal, "Jadi mereka tetap tidak bisa
diketahui dari pihak mana?"
*** Kembang Jelita 2 / XVII 13 Pagi itu cerah, tetapi suasana duka meliputi
desa tempat Jenderal Lau bermarkas itu. Bukan
saja prajurit-prajurit yang tewas dari kedua
belah pihak dalam pertempuran sengit
semalam, penduduk pun tidak sedikit yang jadi
korban. Sudah begitu, Lau Cong-bin pagi itu bukan
mengeluarkan suatu keputusan yang menenteramkan dan melegakan hati penduduk,
malahan mengeluarkan perintah agar setiap
penduduk diperiksa sejauh mana keterlibatannya dengan si "saudagar beras" dan
korban-korban pun bertambah dengan orangorang yang dicurigai. Tanpa berbelit-belit lagi,
semua tersangka langsung dijatuhi hukuman
mati. Sementara itu, di aula dari rumah Si Kepala
Desa, Jenderal Lau duduk berhadapan dengan
Tan Wan-wan dalam situasi yang sangat resmi.
Pengawal-pengawal Jenderal Lau berderet di
belakangnya, wanita-wanita cantik namun
dengan seragam prajurit yang mentereng tetapi
tanpa topi besi. Sedangkan di belakang Tan
Kembang Jelita 2 / XVII 14 Wan-wan berderet belasan prajurit istana yang
juga berseragam mentereng. Yo Kian-hi tidak
berdiri, ia mendapat sebuah kursi meskipun
tingkatannya lebih rendah dari Tan Wan-wan,
begitu pula komandan dari pasukan istana yang
mengawal Tan Wan-wan. Kali ini Lau Cong-bin tidak berani bersikap
kurang hormat terhadap perempuan yang
didesas-desuskan punya hubungan istimewa
dengan Kaisar Tiong-ong ini. Sikapnya
terkendali ketika bertanya, "Nah, Puteri, apa
yang ingin kau lihat di garis depan ini? Mayatmayat yang bergelimpangan?"
Tan Wan-wan duduk anggun di kursinya, ia
menarik napas dan berkata, "Aku menyesal aku
terlambat tiba di San-hai-koan, sehingga Bu
Sam-kui sempat menyerahkannya kepada orang
Manchu." "Ah, seandainya Puteri tidak terlambat
sampai di San-hai-koan pun, belum tentu Puteri
bisa menyelamatkan San-hai-koan, malah
membahayakan jiwa Puteri sendiri. Bu Sam-kui
itu otaknya di dengkul!"
Kembang Jelita 2 / XVII 15 "Masalahnya sekarang, tidak dengan saling
mencaci, tetapi bagaimana mencegah keadaan
agar tidak menjadi semakin buruk, supaya
jangan orang-orang Manchu mendapat keuntungan yang semakin besar. Bahkan kalau
perlu, kita bisa temukan bagaimana caranya
mengusir orang Manchu kembali ke luar
perbatasan!" "Caranya sebetulnya mudah. Asal bala
bantuan dari Ibukota Pak-khia sudah datang,
dan meriam-meriam kita tidak lagi kekurangan
mesiu, mudah menggasak habis anjing-anjing
Manchu itu. Mereka itu berjumlah sedikit kok..."
Waktu mengucapkan ini, suara Jenderal. Lau
begitu congkak nadanya, membuat Yo Kian-hi
diam-diam membatin, "Hem, si hidung-belang
ini agaknya lupa kalau semalam nyawanya
hampir saja dibetot pasukan tak beridentitas
itu..." Tetapi Yo Kian-hi diam saja, Tan Wanwanlah yang menjawab namun dengan
bijaksana, tanpa nada sindiran sedikit pun,
"Tentu saja aku mempercayai kehebatan
Kembang Jelita 2 / XVII 16 Jenderal Lau. Tetapi kita harus memperhitungkan sisa-sisa dinasti Beng yang
bisa menjadi gangguan buat kita, tetapi juga
bisa menjadi bantuan, tergantung bagaimana
sikap kita..." Kembali Lau Cong-bin bersikap meremehkan, "Hem, sisa-sisa dinasti Beng itu
cuma pemimpi-pemimpi ke masa lalu yang
sebenarnya tidak punya kekuatan lagi. Mereka
bisa diabaikan. Lawan kita sekarang ini adalah
orang Manchu." "Jenderal, siapapun yang punya otak pasti
takkan berani menganggap enteng orang-orang
semacam Helian Kong, Su Ko-hoat, The Ci-liong
dan panglima-panglima Beng di wilayah selatan
lainnya. Hanya orang butalah yang tidak
menghitung kekuatan mereka. Dan orang-orang
buta akan selalu melangkah tertatih-tatih dan
sebentar-sebentar kejeblos ke dalam lubang!"
Tan Wan-wan kali ini bersuara tajam.
Lau Cong-bin merah padam wajahnya,
merasa disindir sebagai "orang buta", tetapi ia
tidak berani mentang-mentang lagi kepada Tan
Kembang Jelita 2 / XVII 17 "Tentu saja aku mempercayai kehebatan Jenderal Lau.
Tetapi kita harus perhitungkan sisa-sisa dinasti Beng
yang bisa menjadi gangguan buat kita."
Kembang Jelita 2 / XVII 18 Wan-wan yang hadir sebagai utusan-resmi
Kaisar dengan kekuasaan penuh, ia cuma berani
mencengkeram pegangan-pegangan kursi sampai jari-jarinya memutih dan gemetar.
"Aku tidak berani membantah Jenderal, aku
hanya ingin mengusulkan. Usulku ini akan
Jenderal terima atau tolak, sepenuhnya terserah
Jenderal."

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba aku dengarkan usul Puteri."
"Jenderal, di hadapan musuh asing, yaitu
orang-orang Manchu, rasanya kurang bijaksana
kalau sesama bangsa Han malah cakar-cakaran
satu sama lain. Dan betapapun dalamnya
permusuhan antara kita dengan sisa-sisa dinasti
Beng, kedua belah adalah sama-sama bangsa
Han. Kalau permusuhan dilanjutkan, yang
keenakan adalah orang-orang Manchu. Betul
tidak?" Seorang perwira yang berdiri di samping
kursi Jenderal Lau, tiba-tiba saja menimbrung,
"Omongan Tuan Puteri ini enak kedengarannya,
tetapi pelaksanaannya sungguh lebih sulit dari
memanjat langit. Pihak kita tentu saja ingin berKembang Jelita 2 / XVII
19 damai demi keutuhan negeri leluhur, tetapi
apakah sisa-sisa dinasti Beng itu mau
menyambut uluran tangan kita? Tak terbayangkan, kelihatannya budak-budak keluarga Cu itu lebih suka bersekutu dengan
orang-orang Manchu untuk menggencet kita.
Contohnya, Bu Sam-kui!"
Dalam pembicaraan yang begitu resmi tibatiba ada orang menimbrung bicara begitu saja,
mestinya Jenderal Lau menegur untuk
menunjukkan kalau pasukannya memiliki
disiplin. Tetapi dasar Lau Cong-bin, karena
omongan si perwira itu kebetulan cocok dengan
"selera"-nya, Lau Cong-bin membiarkannya
saja. Sejak semula Lau Cong-bin tidak suka
berdamai dengan orang-orang dinasti Beng,
sebab merasa pihaknya sendiri terlalu kuat
untuk menyelesaikan segala-galanya tanpa
perlu memperhitungkan orang-orang dinasti
Beng. Sekarang kebetulan ada seorang
perwiranya yang mewakili perasaannya, jadi
Lau Cong-bin malah merasa kebetulan.
Kembang Jelita 2 / XVII 20 Deng Hu-koan, perwira pertama yang paling
dekat dengan Jenderal Lau, agaknya merasa
tidak senang terhadap kelancangan rekannya
itu. la lalu menoleh kepada orang itu sambil
berkata, "Saudara Ong, harap kau..."
Jenderal Lau cepat menukas, "Biarkan Ong
Yang-be bicara..." Deng Hu-koan pun bungkam dengan
penasaran, sedangkan perwira yang bernama
Ong Yang-be itu jadi bersemangat karena
didukung dan "berkenan" kepada Jenderalnya.
Bahkan ia melangkah maju agar menjadi pusat
perhatian, dan berkata sambil melangkah hilirmudik, "Tuan Puteri, usulmu itu terlalu
mengawang-awang dan tidak berpijak bumi.
Tuan Puteri hanya membayangkan yang indahindah di tempat Tuan Puteri di istana, tidak
melihat sendiri keadaan dan situasi di garis
depan. Sungguh, aku orang yang paling
berbahagia kalau usul Tuan Puteri itu bisa
dilaksanakan, sayang, seperti kukatakan tadi
pelaksanaannya sulit sekali. Bu Sam-kui sudah
menunjukkan isi hati semua begundal-begundal
Kembang Jelita 2 / XVII 21 Keluarga Cu, dengan menjalin persekutuan
dengan pihak Manchu untuk menyerang kita.
Itu kenyataan, itu bukan hasil berangan-angan
di ruang istana!" Nampaknya perwira bernama Ong Yang-be
ini ingin memancing emosi Tan Wan-wan,
dengan perhitungan kalau seorang wanita
sudah terpancing emosinya, kata-katanya akan
mengandung banyak kelemahan dan akan
dikalahkan dalam perdebatan.
Tak terduga Tan Wan-wan menjawab
dengan suara datar, tanpa lonjakan perasaan,
"Bu Sam-kui bukanlah satu-satunya tolok-ukur
sikap sisa-sisa dinasti Beng terhadap kita. Aku
kenal Bu Sam-kui sebagai seorang yang
berpendirian lemah dan mudah terombangambing, dia berbuat demikian pasti karena kita
memojokkannya dan tidak memberinya pilihan
lain..." "Jadi Tuan Puteri ini malah menutup-nutupi
kesalahan Bu Sam-kui?"
Yo Kian-hi geregetan melihat gaya si
perwira yang ngelunjak itu. Tapi demi menjaga
Kembang Jelita 2 / XVII 22 ketertiban pembicaraan, ia menahan diri. Lagi
pula Tan Wan-wan sendiri kelihatannya tidak
terpengaruh dan tetap tenang, tetap menguasai
diri. Sahut Tan Wan-wan, "Itu kenyataan. Yang
penting kita ketahui, Bu Sam-kui tidak mewakili
sikap seluruh sisa-sisa dinasti Beng."
"Jadi ada yang bersikap lain?"
"Tentu saja." "Siapa misalnya?"
"Helian Kong." Begitu nama Helian Kong disebut, si perwira
Ong Yang-be tiba-tiba tertawa geli, diikuti
Jenderal Lau, dan beberapa perwira staf yang
hadir di ruangan itu baru ikut tertawa setelah
Jenderal Lau tertawa duluan.
Melihat mereka tertawa-tawa, mau tidak
mau terungkit juga emosi Tan Wan-wan,
suaranya agak meninggi, "Maaf, apa yang Tuantuan tertawakan?"
Ong Yang-be masih tetap bersikap sebagai
jurubicara pihak Jenderal Lau karena ia
dibiarkan terus berbicara tanpa dilarang oleh
Kembang Jelita 2 / XVII 23 Jenderal Lau. Tanyanya, "Tuan Puteri ini
memang tidak tahu, atau hanya pura-pura tidak
tahu?" Yo Kian-hi tidak tahan lagi melihat pihak
Jenderal Lau tidak menghormati Tan Wan-wan,
sedangkan semalam mereka semua hampir
mampus kalau tidak ditolong Yo Kian-hi dan
kawan-kawannya. "He, perwira kampungan,
kau bisa bicara yang baik atau tidak?"
Tan Wan-wan cepat menoleh kepada Yo
Kian-hi dan memberinya isyarat untuk diam. Yo
Kian-hi mematuhinya. Lalu Tan Wan-wanlah
yang menjawab, "Maaf, aku benar-benar tidak
tahu soal apa yang Tuan-tuan tertawakan.
Tolong beritahu aku..."
"Baiklah aku beritahu, Tuan Puteri.
Bu Sam-kui dan Helian Kong itu setali tigauang alias sama saja. Dan kami rasa begitu pula
sisa-sisa begundal Keluarga Cu lainnya."
"Sama saja bagaimana?"
"Semalam sebelum Bu Sam-kui mengambil
keputusan sintingnya memasukkan tentara
Manchu ke San-hai-koan, dia ditemui Helian
Kembang Jelita 2 / XVII 24 Kong dan seorang lagi entah siapa. Helian Kong
itulah justru yang menganjurkan Bu Sam-kui
bekerja sama dengan tentara Manchu! Dia
justru yang meneguhkan Bu Sam-kui dalam
keputusan gilanya itu! Soal ini, setiap prajurit di
San-hai-koan mengetahuinya!"
Kali ini Tan Wan-wan menggelenggelengkan kepala, menyangkal pernyataan itu,
Yo Kian-hi juga ikut geleng-geleng kepala.
Bahkan "wabah" geleng-geleng kepala ini
"menular" pula ke jago-jago istana yang datang
bersama Yo Kian-hi. Keruan Jenderal Lau dan orang-orangnya
sekarang ganti yang penasaran, merasa kalau
omongan pihak mereka diabaikan.
Jenderal Lau yang paling tidak tahan,
"Kenapa kalian tidak mempercayai berita yang
kami dapat?" Sahut Tan Wan-wan, "Bagaimana bisa kami
mempercayai itu, sedang waktunya yang kalian
katakan Helian Kong menjumpai Bu Sam-kui di
San-hai-koan itu, sebenarnya Helian Kong
sedang berada di istana kerajaan di Ibukota
Kembang Jelita 2 / XVII 25 Pak-khia? Bagaimana mungkin Helian Kong bisa
berada di dua tempat sekaligus? Dan baru
kemarin aku perintahkan untuk melepaskan
Helian Kong, sebelumnya selama belasan hari
dia terus-menerus di bawah pengawasan ketat
kami. Bahkan dia sempat mencicipi beberapa
hari dalam sel penjara kerajaan. Soal ini
tanyalah kepada setiap prajurit istana, bahkan
tanyalah Sri Baginda sendiri. Aku tidak
bohong!" Perkataan Tan Wan-wan itu begitu
meyakinkan, membuat Jenderal Lau dan orangorangnya melongo. Di pihak Jenderal Lau hanya
Ong Yang-be yang tidak kaget mendengar soal
"dua Helian Kong di dua tempat sekaligus" itu,
sebab sebenarnya ia tahu kalau "Helian Kong"
yang di San-hai-koan itu Helian Kong gadungan.
Yang dikhawatirkannya sekarang ialah kalau
sampai Jenderal Lau mempercayai dan
dipengaruhi oleh Tan Wan-wan, apalagi sampai
menerima usul Tan Wan-wan untuk berdamai
dengan pihak dinasti Beng. Ini tidak boleh
terjadi! Tugas Ong Yang-be adalah membuat
Kembang Jelita 2 / XVII 26 permusuhan kaum Pelangi Kuning dan sisa-sisa
dinasti Beng semakin sengit bahkan saling
menghancurkan. Sekarang Ong Yang-be
memutar otak bagaimana mengantipasi
perkembangan itu. Sementara Jenderal Lau bertanya, "Apa yang
terjadi di istana?" Tan Wan-wan menyuruh komandan
pasukan pengawal istana yang duduk di
sebelahnya untuk bercerita, dan komandan itu
pun mulai menguraikan kejadiannya. Mulai
Helian Kong menyelundup masuk istana,
tertangkap, tertawan beberapa hari, sampai
Kaisar Tiong-ong memutuskan untuk membebaskannya di San-hai-koan. Dalam cerita
itu tersirat niat Kaisar Tiong-ong untuk
mengulurkan ajakan bersekutu kepada sisa-sisa
dinasti Beng, dengan jalan membebaskan Helian
Kong. Setolol-tololnya Lau Cong-bin, ia dapat
merasakannya juga, tentu saja ia tidak berani
menentang kemauan kaisar untuk bersekutu
dengan sisa-sisa dinasti Beng menentang
Manchu. Kembang Jelita 2 / XVII 27 Yang masih membingungkan Jenderal Lau
dan orang-orangnya adalah soal munculnya
"dua Helian Kong" itu. Ia menoleh kepada Deng
Hu-koan dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
Sahut Deng Hu-koan, "Jenderal, lebih baik
tanyakan dulu apa usul Tuan Puteri secara
terperinci, lalu kita akan mempertimbangkannya."
Jenderal Lau mengalihkan pandangan
kepada Tan Wan-wan, dan Tan Wan-wan pun
berkata, "Sederhana saja, antara pihak kita dan
pihak mereka harus melakukan sesuatu hal
nyata yang dapat menimbulkan kepercayaan,
kemudian pembicaraan dapat dimulai. Aku
ulangi, sesuatu yang nyata, bukan sekedar
omong-kosong. Dan pihak kita sudah
mengawalinya..." "Maksud Puteri?"
"Baginda menugaskan aku membebaskan
Helian Kong di San-hai-koan sebagai tanda
uluran tangan kepada sisa-sisa dinasti Beng.
Tetapi di tengah jalan aku mendengar San-haiKembang Jelita 2 / XVII
28 koan sudah jatuh, lalu aku tetap saja
membebaskan Helian Kong dan kutitipkan
pesan untuk teman-temannya untuk menyambut itikad tulus dari Sri Baginda..."
"Mungkinkah budak-budak Keluarga Cu itu


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa?" ejek Ong Yang-be.
"Helian Kong bisa dipercaya, aku lama
mengenalnya. Saudara Yo ini juga mengenal
pribadinya, biarpun sebagai lawan, bukankah
begitu, Saudara Yo?"
Yo Kian-hi mendukung, "Betul. Helian Kong
ini dapat dipercaya."
Ong Yang-be menyeringai, "Baik, baik. Kita
sudah bayar "uang muka"-nya, lalu kita akan
dapatkan apa?" Yo Kian-hi diam-diam menilai sikap perwira
yang bernama Ong Yang-be ini agak berlebihan,
kelihatannya ingin mengarahkan dan membentuk pendapat semua orang yang hadir
menurut kehendaknya. Yo Kian-hi tahu kalau perwira yang menjadi
kepala stafnya Jenderal Lau adalah Deng Hukoan, tetapi dalam pembicaraan itu Deng HuKembang Jelita 2 / XVII
29 koan malah cuma melongo saja, satu kali ingin
bicara saja sudah dibungkam oleh Jenderal Lau.
Sedangkan Ong Yang-be nampak begitu lancang,
sering menimbrung atau menukas sebelum
orang selesai bicara, tetapi Jenderal Lau seperti
mengumbarnya, membiarkannya. Mulanya Yo
Kian-hi menganggap antara Deng Hu-koan dan
Ong Yang-be ini sekedar persaingan berebut
cari muka kepada atasan, suatu hal yang biasa
yang terdapat di hampir semua hirarki. Namun
melihat arah kata-kata Ong Yang-be yang selalu
menghalang-halangi tercapainya persekutuan
antara kaum Pelangi Kuning dengan sisa-sisa
dinasti Beng, Yo Kian-hi mulai mencurigai Ong
Yang-be ini bekerja untuk pihak tertentu.
Sesuatu yang amat mungkin, hasil penyelidikan
Yo Kian-hi di Pak-khia menemukan adanya
jaringan mata-mata musuh yang rapi sampai ke
mana-mana, bahkan ternyata beberapa orang
perwira Pelangi Kuning yang sudah memapai
kedudukan tinggi, bahkan diketahui ikut dalam
perjuangan menumbangkan dinasti Beng,
ternyata adalah mata-mata Manchu yang
Kembang Jelita 2 / XVII 30 diselundupkan. Misalnya perwira pembantu
Jenderal Gu Kim-sing yang mengaku bernama
Ciong Ek-hi, ternyata nama aslinya adalah Ha
Cao, perwira pasukan sandi Manchu. Sayang
orang itu tidak berhasil diringkus meskipun
sudah terbongkar kedoknya. Kini naluri tajam
Yo Kian-hi mulai mencurigai Ong Yang-be ini
jangan-jangan cuma nama palsu seperti Ciong
Ek-hi? Tetapi tanpa bukti-bukti kuat, sudah
tentu Yo Kian-hi tidak bisa mendakwa begitu
saja. Bahkan Yo Kian-hi tidak menampakkan
kecurigaannya sedikit pun, meski di dalam hati
memutuskan akan lebih mewaspadai Ong Yangbe ini.
Terdengar Tan Wan-wan menanggapi
pertanyaan sinis Ong Yang-he tadi, "Helian Kong
berjanji akan melepaskan Ong Ling-po yang
ditahan oleh orang-orangnya di pegunungan.
Kemungkinan besar dia juga akan membawa
usul-usul dari Helian Kong, kalau dia tiba di
tempat ini." Ong Yang-be tidak menyukai itu, namun
kelihatannya hampir semua yang hadir di situ
Kembang Jelita 2 / XVII 31 sudah terpengaruh oleh kata-kata Tan Wanwan, bahkan Jenderal Lau yang otaknya kurang
cerdas itu kelihatannya tidak sepenuhnya bisa
mengerti apa yang sedang dibicarakan. Ong
Yang-be sadar, kalau ia terus-menerus bersikap
menentang Tan Wan-wan, orang-orang bisa
curiga. Maka dia pun kini bersikap "menurut
arah angin" dulu, "Mudah-mudahan Helian
Kong bisa menepati janjinya. Kami akan senang
kalau begitu. Bagaimanapun, kurang baik kalau
sesama bangsa Han saling kepruk di depan
mata anjing-anjing Manchu. Tetapi untuk bisa
mengambil suatu keputusan, pastilah Jenderal
Lau harus berunding dulu dengan perwiraperwiranya. Bukankah begitu, Jenderal?"
Sekali ini Ong Yang-be bahkan sudah
hampir mengambil keputusan yang melancangi
wewenang Jenderal Lau. Deng Hu-koan yang
sekian lama dilangkahi, juga tidak tahan lagi
dan membuka suara, "Saudara Ong, aku kira keputusan apakah
kita akan menerima usul Tuan Puteri Kong-hui
Kembang Jelita 2 / XVII 32 ataukah merundingkannya dulu, itu sepenuhnya adalah wewenang Jenderal."
Ong Yang-be mengangguk hormat kepada
Deng Hu-koan, lalu mundur ke tempat
duduknya di samping Jenderal Lau.
Lau Cong-bin mengambil-alih, "Puteri Konghui, usulmu akan kami pertimbangkan.
Sekarang aku persilakan Puteri ke tempat
peristirahatan Puteri, atau kalau mau berjalanjalan melihat-lihat keadaan di sekitar desa-desa
ini, silakan. Aku akan berunding dengan
perwira-perwiraku." Tan Wan-wan pun bangkit, memberi
hormat kepada Jenderal Lau dan mengundurkan diri dengan diiringi Yo Kian-hi
serta pengawal-pengawal dari istana. Jenderal
Lau dan perwira-perwiranya berdiri sebagai
sikap mengantarkan. Lalu berundinglah Jenderal Lau dengan
perwira-perwira terdekatnya di belakang pintu
tertutup. Tan Wan-wan maupun Yo Kian-hi
tidak tahu apa yang mereka rundingkan.
Mereka juga tidak tahu, bahwa Jenderal Lau
Kembang Jelita 2 / XVII 33 diam-diam sering mengadakan pertemuan
empat mata. Celakanya, pertemuan empat mata dengan
Ong Yang-be. * ** Beberapa hari kemudian, Ong Ling-po,
perwira Pelangi Kuning yang sekian lama
ditawan sisa-sisa dinasti Beng di pegunungan,
muncul di desa yang dijadikan markas Jenderal
Lau. la nampak sehat, segar, tak kurang suatu
apa pun kecuali pakaian seragamnya yang agak
lusuh. Begitu tiba, sebagai layaknya prajurit yang
terikat peraturan, dia pertama-tama melapor
kepada Jenderal Lau Cong-bin.
Lau Cong-bin yang sudah "overdosis" kena
pengaruh Ong Yang-be itu, bersikap dingin saja
mendengar laporan Ong Ling-po. Bahkan juga
ketika Ong Ling-po membeberkan niat Helian
Kong yang menyatakan) siap menyambut
Kembang Jelita 2 / XVII 34 uluran tangan Kaisar Tiong-ong untuk bekerja
melawan Manchu. "Bagus..." Ong Yang-be berkomentar. Hal itu
dikatakannya karena di ruangan itu juga ada
Tan Wan-wan dan Yo Kian-hi yang ikut
mendengarkan laporan Ong Ling-po. "Mudahmudahan tidak ada pengkhianatan..."
Tukas Tan Wan-wan, "Jangan selalu berpikir
yang jelek, Tuan Ong. Usaha bersama seluruh
bangsa Han untuk mengusir orang Manchu yang
terlanjur masuk, harus dimulai dengan belajar
saling percaya dari masing-masing pihak.
Ternyata Helian Kong sudah menepati janji
dengan melepaskan Saudara Ong Ling-po ini."
"Ya, itu pertanda ada harapan..." sahut Ong
Yang-be. Ong Ling-po kemudian berkata, "Jenderal,
kalau Jenderal siap dengan jawaban, ijinkanlah
aku kembali ke pegunungan untuk membawa
jawaban kita kepada Helian Kong."
Jenderal Lau memandang Ong Yang-be, dan
si perwira pun berkata, "Kami sudah
memutuskan untuk menerima uluran tangan
Kembang Jelita 2 / XVII 35 mereka. Saudara Ong, kapan kau akan kembali
ke pegunungan?" Ong Ling-po berseri wajahnya mendengar
jawaban itu, tanpa curiga apa-apa, sebab Ong
Ling-po pun menginginkan sesama orang Han
melupakan permusuhan untuk menyelamatkan
tanah-air lebih dulu, setidak-tidaknya untuk
sementara. Jawabnya penuh semangat, "Untuk
membawa kabar baik ini, rasanya tidak perlu
ditunda-tunda lagi. Kalau Jenderal ijinkan,
sekarang juga aku akan kembali ke
pegunungan..." Tan Wan-wan gembira melihat semangat
perwira muda ini, tidak nampak dibuat-buat.
Ternyata banyak orang di pihak Pelangi Kuning
maupun sisa-sisa dinasti Beng merasakan
perlunya melupakan permusuhan dulu.
Sementara Ong Yang-be berkata mewakili
Jenderal Lau, "Katakan kepada Helian Kong,
bawalah pasukannya turun dari pegunungan
untuk bergabung dengan pasukan kami.
Meskipun kedua pasukan akan tetap punya
garis komando sendiri-sendiri, tetapi kita akan
Kembang Jelita 2 / XVII 36 sama-sama menghadapi orang-orang Manchu
dengan saling menyesuaikan langkah."
"Baiklah, aku mohon pamit sekarang juga."
Ong Ling-po yang baru saja datang itu pun
berangkat lagi. Dadanya sedang bergelora
dengan semangat ingin segera menggempur
tentara Manchu, sehingga rasa lelahnya tidak
terasakan lagi. Sementara Ong Yang-be dan orang-orang
terpercayanya melakukan kegiatan tersendiri
secara diam-diam, diluar sepengetahuan Tan
Wan-wan, juga tanpa diketahui Deng Hu-koan,
bahkan Jenderal Lau sendiri pun tidak tahu apaapa.
* ** Ong Ling-po kembali tiba di pegunungan
sudah larut malam, namun dia benar-benar
tidak mempedulikan rasa lelahnya. Dan karena
dia sudah diberitahu posisi pasukan Helian
Kong, dia tidak tersesat di pegunungan itu
melainkan dapat menuju arah yang tepat
meskipun harus hati-hati. Di pegunungan,
Kembang Jelita 2 / XVII 37 apalagi malam hari, semua tempat kelihatannya
sama saja. Untunglah pasukan Helian Kong juga
menyalakan perapian-perapian besar yang bisa
terlihat dari jauh, cahaya api unggun itu jadi
semacam mercu-suar bagi kapal di lautan yang
menuntun Ong Ling-po ke sasarannya.
Tengah malam lebih, Ong Ling-po sudah
berhadapan dengan Helian Kong di sebelah
sebuah api unggun di lereng pegunungan.
"Bagaimana, Saudara Ong?" tanya Helian
Kong. "Lancar, Panglima Helian. Di markas
Jenderal Lau ternyata juga ada Tuan Puteri
Kong-hui dan rombongannya, rupanya Tuan
Puterilah yang mempengaruhi cara berpikir
Jenderal Lau, sehingga begitu gampang
menerima usul kerja sama. Aku segera bergegas
kemari." Laporan tentang beradanya Tan Wan-wan
di markas Lau Cong-bin menimbulkan dua
macam perasaan di hati Helian Kong. Cemas,
karena bagaimanapun juga Tan Wan-wan sudah
berada di suatu tempat yang bisa dianggap garis
Kembang Jelita 2 / XVII 38 depan, kalau sampai Bu Sma-kui mendengarnya
dan "kumat" gandrungnya, bisa-bisa mengerahkan tentara Manchu untuk menyerbu,
bukankah keselamatan Tan Wan-wan bisa


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terancam? Helian Kong sudah mencegahnya
dulu sebelum berpisah dari Tan Wan-wan,
tetapi peringatannya tidak digubris. Perasaan
kedua, Helian Kong merasa hadirnya Tan Wanwan di markas Jenderal Lau merupakan
jaminan bahwa sambutan Jenderal Lau benarbenar tulus.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan,
Saudara Ong?" "Membawa pasukan ini turun dari
pegunungan dan mengambil suatu posisi yang
mudah dihubungi di dataran rendah, untuk bisa
mengambil langkah bersama melawan orang
Manchu." Helian Kong merenung sejenak, kedengarannya semua begitu mudah. Namun ia
menganggap bahwa segalanya yang begitu
lancar adalah karena pengaruh Tan Wan-wan
atas diri Jenderal Lau. Helian
Kembang Jelita 2 / XVII 39 Kong tahu kalau Jenderal Lau pun tergilagila kepada Tan Wan-wan. "Seandainya Bu Samkui pun sempat dipengaruhi oleh Tan Wanwan..." keluh Helian Kong dalam hatinya.
"Sayang, sekarang sudah terlambat..."
Tak ada banyak waktu untuk menyesali
yang sudah lewat, yang penting adalah
menyusun langkah menyongsong masa depan.
Menyelamatkan yang masil bisa diselamatkan,
bahkan kalau mungkin merebut kembali yang
sudah terlanjur lepas dari genggaman.
Keesokan harinya, Helian Kong menyiapkan
seluruh pasukannya untuk meninggalkan
pegunungan dan turun ke dataran, semua
prajurit sudah diberitahu bahwa mereka akan
bergabung dengan pasukan Pelangi Kuning
yang dulunya musuh, untuk menghadang gerakmaju tentara Manchu lebih lanjut, bahkan kalau
perlu mengusir kembali ke luar perbatasan.
Sebagian dari prajurit-prajurit bawahan
Helian Kong adalah prajurit-prajurit yang
asalnya San-hai-koan, yang dipimpin Kong-sun
Koan, dan kemudian bergabung dengan
Kembang Jelita 2 / XVII 40 pasukan Helian Kong. Para prajurit asal San-haikoan itu masygul karena membayangkan bahwa
mereka bakal berhadapan dengan teman-teman
sendiri, yaitu prajurit-prajurit San-hai-koan
yang kini bergabung dengan tentara Manchu.
Menurut berita yang dibawa Kongsun Koan,
prajurit-prajurit San-hai-koan itu tertekan di
bawah perintah prajurit-prajurit Manchu,
namun tidak berdaya karena jauh lebih lemah.
Dan kalau mereka diajak maju berperang oleh
orang-orang Manchu pun, pastilah mereka
hanya akan maju dengan sangat terpaksa.
Prajurit-prajurit asal San-hai-koan yang
bergabung dengan Helian Kong itu merasa
kasihan membayangkan teman-teman mereka
yang ada di antara tentara Manchu itu. Sudah
perasaan mereka tertekan, mereka bisa-bisa
dicap sebagai pengkhianat tanah leluhur pula,
suatu pengorbanan yang bakal sangat konyol.
"Mudah-mudahan teman-teman kita itu
kebagian tugas hanya menjaga kota San-haikoan, sehingga tidak perlu berhadapan dengan
kita di medan perang..." kata Kongsun Koan
Kembang Jelita 2 / XVII 41 kepada prajurit-prajurit asal San-hai-koan. "Jadi
kita tidak perlu sungkan membenamkan ujung
pedang kita ke jantung prajurit-prajurit Manchu
keparat itu..." Begitulah, bagaimanapun berat dan masygul
perasaan prajurit-prajurit asal San-hai-koan,
ketika aba-aba untuk berangkat dibunyikan,
mereka berangkat juga. Perang adalah perang,
dan perasaan pribadi orang-orang yang terlibat
perang itu dikesampingkan, dianggap melemahkan semangat. Ong Ling-po berjalan di depan, menunjukkan jalan, la berdampingan dengan
Helian Kong, juga dengan Kongsun Koan. Ong
Ling-po dan Kongsun Koan pernah berhadapan
sebagai lawan, bahkan Ong Ling-po pernah
menjadi tawanan sekian lama, namun kini
mereka mencoba menghilangkan kecanggungan
satu sama lain dengan percakapan-percakapan
singkat. Bagaimanapun, kini mereka adalah
calon sekutu untuk bersama-sama menghadapi
tentara Manchu. Kembang Jelita 2 / XVII 42 Helian Kong sendiri melangkah sambil
membungkam, sedikit sekali berbicara, anganangannya melayang ke mana-mana.
Mereka masih sehari-semalam berjalan di
pegunungan, sebelum suatu kali mereka tiba di
kaki pegunungan yang tanahnya semakin
landai, pada suatu siang.
Mereka terus berjalan di dataran, dalam
barisan memanjang dan tidak dalam formasi
tempur. "Kita akan ke mana? Apakah langsung ke
desa yang menjadi markas Jenderal Lau?" tanya
Helian Kong kepada Ong Ling-po.
Ong Ling-po sendiri agak kelabakan
menjawab karena ia sendiri belum tahu rencana
terperinci bagaimana memperlakukan pasukan
Helian Kong ini. Perintah yang dibawanya
hanyalah, agar Helian Kong dan pasukannya
segera meninggalkan posisinya di pegunungan.
"Entahlah..." sahut Ong Ling-po. "Karena
tidak dikatakan apa-apa, barangkali ya memang
disuruh menuju langsung ke desa tempat
Kembang Jelita 2 / XVII 43 Jenderal Lau bermarkas. Urusan ini memang
kurang dirundingkan secara terperinci..."
"Kalau ke desa tempat Jenderal Lau, berarti
menaklukkan diri ke bawah perintah Jenderal
Lau?" tiba-tiba Kongsun Koan bertanya dengan
wajah tegang. Buru-buru Ong Ling-po menjelaskan, "O,
tidak, bukan begitu. Soal lainnya barangkali aku
kurang jelas, tetapi justru soal ini aku
mendengarnya dengan jelas, bahwa antara
pasukan kalian dan pasukan kami akan punya
komando sendiri-sendiri, tidak ada satu pun
yang di atas yang lain. Hanya saling
menyesuaikan langkah menghadapi gerakan
musuh. Begitu. Jadi tidak saling membawahi."
"Benar Saudara Ong dengar begitu?"
"Betul. Kupingku tidak salah dengar."
"Siapa yang mengatakannya?"
"Ong Yang-be." "Siapa itu Ong Yang-be?"
"Bisa dibilang orang nomor tiga dalam
pasukan, hanya di bawah Jenderal Lau dan
Kepala-stafnya, Deng Hu-koan. Jadi ucapan Ong
Kembang Jelita 2 / XVII 44 Yang-be ada bobotnya untuk dipegang, apalagi
karena diucapkan di depan Tuan Puteri Konghui dan rombongannya, juga di hadapan
Jenderal Lau sendiri dan atas namanya."
Helian Kong mengangguk-angguk, pikirnya,
"Lau Cong-bin itu masih punya sedikit otak
yang juga dalam menilai situasi, sehingga ia
tidak mempersulit kerjasama antar kedua
pasukan dengan permintaan yang aneh-aneh,
misalnya." Ketika itulah dari depan terlihat debu
mengepul, nampak serombongan kecil orang
berkuda datang menyongsong barisan Helian
Kong. Karena Helian Kong belum mengenali
rombongan itu dari pihak mana, ia menyuruh
pasukannya berhenti sambil bersiaga.
Setelah makin dekat, barulah terlihat
benderanya, dan Ong Ling-po langsung
mengenalinya. "Itu orang-orang pasukan kami."
Rombongan itu sudah dekat, dan ternyata
adalah Ong Yang-be dan belasan pengawal
berkudanya. Kembang Jelita 2 / XVII 45 Tiba di depan Helian Kong, Ong Yang-be
menghentikan kudanya dan melompat turun,
dengan sikap yang hormat dia bertanya, "Yang
mana Panglima Helian yang termasyhur?"
Helian Kong maju selangkah, "Aku Helian
Kong." Ong Yang-be kembali memberi hormat yang
nampaknya agak berlebihan juga, "Aku sudah
lama mendengar kemasyhuran nama Panglima
di medan laga. Sungguh aku beruntung belum
pernah bertemu Panglima di medan laga, kalau
pernah, pastilah sekarang ini aku hanyalah
sesosok arwah penasaran yang tanpa badan
wadag..." Bukan cuma Helian Kong dan Kongsun Koan
yang merasakan sikap itu agak berlebihan dan
dibuat-buat, bahkan Ong Ling-po yang "satu
bendera" dengan Ong Yang-be juga merasakannya. Namun Helian Kong membalas hormat juga,
"Terima kasih, pujian Anda terlalu berlebihan
dan membuatku merasa malu sendiri. Apakah
Kembang Jelita 2 / XVII 46 kedatangan Anda ke tempat ini mempunyai
maksud?" "Ya. Jenderal Lau sudah memperhitungkan
kalau hari ini sahabat-sahabat seperjuangan
akan tiba di sini, aku diperintahnya untuk
menunjukkan tempat yang akan menjadi
pangkalan kalian." "Di mana?" "Di sebuah desa yang agak besar dan
penduduknya sudah diungsikan ke garis
belakang. Di desa itu bahan pangan tersedia
cukup dan bisa didapatkan dari ladang-ladang
yang luas di sekitarnya kalau masih kurang. Ada
juga binatang-binatang ternak, jadi kalian bisa
makan daging ayam, kambing atau lembu, ada
juga empang-empang ikan yang ikannya gemukgemuk..."
Helian Kong agak geli mendengar cara Ong
Yang-be menceritakan tentang tempat itu
seperti orang mempromosikan barang dagangan. Tetapi ia mencoba membayangkan
maksud tulus di balik "servis" yang hebat itu.
Kembang Jelita 2 / XVII 47 "Terima kasih," kata Helian Kong. "Masih
jauhkah tempat itu dari sini?"
Ong Yang-be menunjuk ke arah selatan,
"Kira-kira lima belas li dari sini. Mari
kuantarkan." Ong Yang-be dan rombongannya lalu
bergabung dengan pasukan Helian Kong sebagai
penujuk jalan. Dua buah bendera berkibaran
berdampingan, bendera kaum Pelangi Kuning
yang warna kuning polos dan bendera Kerajaan
Beng yang juga kuning, namun dengan lukisan
bulatan merah lambang matahari dan bulan
sabit putih. Bendera dinasti Beng disebut Jitgoat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari).
Nampaknya rukun sekali. Sikap Ong Yang-be dan orang-orangnya
begitu sopan, bahkan mereka tidak menunggangi kuda-kuda mereka, melainkan
menuntunnya untuk berdampingan berjalan
kaki dengan Helian Kong, Kong-sun Koan, Kwe
Peng-hui dan perwira-perwira dinasti Beng
lainnya. Kembang Jelita 2 / XVII 48 Di dalam rombongan Ong Yang-be itu juga


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada Pun Liok, perwira bawahan Ong Ling-po
yang dulu terpaksa mundur dari pegunungan
bersama pasukannya setelah Ong Ling-po
tertawan. Kini melihat Ong Ling-po kembali
dalam keadaan sehat walafiat bersama mantan
penawan-penawan-nya, Pun Liok yang bertubuh pendek kokoh dan bersenjata gada
Kim-kong-kun (Gada Malaikat Kim-kong) itu
pun memeluk Ong Ling-po kuat-kuat.
Begitulah, dua kelompok yang semula
bermusuhan, kini berjalan bersama, saling
beramah-tamah sepanjang perjalanan. Keramah-tamahan terjaga, sebab sedikit orang
yang tahu isi otak Ong Yang-be, bahkan sesama
orang Pelangi Kuning juga sedikit yang
mengetahuinya. Beberapa lama kemudian, barisan itu
melewati suatu daerah yang ada tanda-tanda
pernah didiami penduduk. Di kiri-kanan jalan
ada ladang-ladang yang ditangani dengan rapi,
dengan bambu-bambu penyangga tumbuhtumbuhan rambat, dan juga ada empangKembang Jelita 2 / XVII
49 empang ikan yang luas seperti kata Ong Yang-be
tadi. Tidak lama kemudian mereka mulai
melihat rumah-rumah, mendengar suara-suara
ayam, burung, kambing, bebek dan sapi.
Suasana damai, tetapi tidak kelihatan satu
orang pun kecuali prajurit-prajurit yang baru
datang dari pegunungan dan pengantarpengantar mereka.
"Inilah tempat yang kami sediakan bagi
kalian, Saudara-saudara seperjuanganku..." kata
Ong Yang-be sambil me-ngedangkan lengannya.
Helian Kong mengangguk-angguk, sedang
prajurit-prajuritnya yang sudah sekian lama
hidup di pegunungan, mulai membayangkan
nikmatnya tinggal di tempat itu. Meskipun
mereka tahu bahwa mereka ke situ bukan untuk
enak-enakan melainkan untuk berperang.
Tetapi ada juga prajurit yang berpendapat
dan dikatakannya kepada temannya, "Kalau
untuk berperang, tidakkah lebih baik kita tetap
berada di pegunungan? Kita bisa menyergap
musuh kapan saja kita mau, lalu menghilang
kembali ke pegunungan tanpa terkejar..."
Kembang Jelita 2 / XVII 50 "Tetapi di tempat ini kita jadi lebih mudah
dihubungi oleh teman-teman kita," sahut yang
lain. "Lagi pula, dengan menempati tempat ini
dan terang-terangan mengibarkan bendera
kerajaan Beng di desa ini, kita mendapat
kemenangan moral. Ini menandakan kalau Li
Cu-seng..." "Ssssst, jangan keras-keras..."
Yang berbicara tadi lalu meredahkan
suaranya, "... ini tandanya Li Cu-seng mau tidak
mau harus mengakui keberadaan kita secara
resmi..." Sementara itu, Ong Yang-be terus memujimuji kelebihan tempat itu di hadapan para
perwira dinasti Beng, "Aku tahu bahwa
Saudara-saudara adalah pe-cinta-pecinta tanah
air, yang turun dari pegunungan bukan karena
tidak tahan menderita melainkan justru untuk
meningkatkan perjuangan, dan datang kemari
bukan untuk bersantai. Tetapi kalau urat syaraf
para prajurit terlalu tegang juga kurang baik.
Nah, tempat ini letaknya agak tinggi,
Kembang Jelita 2 / XVII 51 pemandangan sekitar indah, di dekat sini ada
sungai kecil berair jernih untuk berbagai
keperluan. Tetapi untuk keperluan pertahanan,
di beberapa sudut desa bisa didirikan menara
pengawas, karena desa ini letaknya agak tinggi
maka bisa mengawasi tempat sampai jauh.
Jalan-raya timur-barst juga bisa diawasi dari
sini..." "Keteranganmu lengkap sekali, Tuan Ong,
terima kasih." "Ada hal yang paling penting yang harus kau
ketahui, Panglima Helian, yaitu posisi pasukanpasukan kami. Bukankah kita sekarang teman,
dan harus saling mengetahui tempat, untuk
saling membantu atau kalau ada kebutuhan.
Pasukan kami yang menjaga dermaga agar
jangan sampai kita kebobolan lewat jalan air.
Pasukan kami yang menjaga selat gunung ada di
arah sana, dan markas Jenderal Lau agak sedikit
ke sebelah baratnya..."
"Terima kasih. Tuan Ong, rupanya kau
lupakan satu lagi jalan yang barangkali bisa
dilewati musuh." Kembang Jelita 2 / XVII 52 "O, yang mana?"
"Dari arah pegunungan."
"Tetapi jalan pegunungan sulit dilalui oleh
sebuah pasukan besar yang membawa
perbekalan lengkap. Di sepanjang jalan juga
tidak mungkin memperoleh perbekalan buat
prajurit-prajuritnya..."
"Pasukan besar tidak mungkin lewat, tetapi
regu-regu yang lebih terbatas jumlahnya bisa
saja menyelusup ke garis belakang kita lewat
jalan pegunungan. Contohnya adalah kami,
seadainya kami ini masih musuh kalian,
bukankah saat ini kami sudah berada di garis
belakang kalian?" Demikianlah, karena Ong Yang-be kelihatannya bersikap cukup tulus dan bahkan
memberitahukan posisi-posisi pasukannya
segala, maka Helian Kong pun mencoba
mengimbanginya dengan "menambal" kekurangan dalam susunan pertahanan kaum
Pelangi Kuning itu. Calon sekutu untuk
kerjasama harus belajar saling percaya dan
terbuka. Kembang Jelita 2 / XVII 53 Ong Yang-be mengangguk-angguk, "Panglima Helian memang berperhitungan
cermat, kami beruntung Panglima Helian dari
lawan berubah menjadi sekutu kami. Dan
anjing-anjing Manchu bakal kena batunya kalau
bertemu Panglima di medan perang kelak.
Tetapi aku kira, orang-orang Manchu yang
sombong dan merasa kuat itu takkan sudi
menyusup jalan-jalan setapak kecil di
pegunungan..." "Maaf, Tuan Ong, kau keliru. Saudara
Kongsun Koan ini menemukan adanya jejak
sebuah pasukan misterius di sebuah gua di
pegunungan.Di pegunungan itu bergentayangan
sebuah pasukan yang entah berada di pihak
mana, tetapi aku menduga keras adalah
pasukan Manchu..." Ong Yang-be terkesiap dalam hatinya,
"Kurang ajar, agaknya jejak mereka sampai
terlihat oleh budak-budak Keluarga Cu ini. Hem,
mereka harus diperingatkan agar lebih hatihati, jangan sampai meninggalkan jejak..."
Kembang Jelita 2 / XVII 54 Meskipun hatinya kaget, Ong Yang-be
terlalu ahli untuk menyembunyikan perasaannya. Ia pura-pura geram dan berkata,
"Kalau begitu, anjing-anjing Manchu itu benarbenar perlu diwaspadai. Panglima Helian,
pasukanmu di tempat inr punya posisi yang
bagus untuk mengawasi jalan dari arah
pegunungan. Maaf, bukannya aku memerintahkan, tetapi aku atas nama Jenderal
Lau memohon, sekali lagi memohon dan bukan
memerintah, sudilah kiranya Panglima mengawasi jalan yang dari arah pegunungan itu
demi kepentingan bersama."
Helian Kong mengangguk. "Tentu saja.
Kalau anjing-anjing Manchu muncul dari arah
pegunungan, bahkan dari arah mana saja, darah
bangsa Han yang mengalir dalam urat
nadikulah yang akan memerintahkan aku untuk
bertindak menghadang mereka. Perkara ini
Tuan Ong tidak usah khawatir."
Ong Yang-be pura-pura lega, "Syukurlah,
makin erat kerjasama di antara kita, makin kecil
peluang bagi pihak Manchu untuk mengambil
Kembang Jelita 2 / XVII 55 keuntungan. Sekarang, Panglima dan prajuritprajurit Panglima tentu butuh istirahat, karena
itu aku dan rekan-rekanku ini mohon pamit."
Kedua belah pihak saling mengucapkan
kata-kata yang bersifat sungkan, saling
memberi hormat, kemudian pergilah rombongan Ong Yang-be ke desa tempat
markas Jenderal Lau. Ong Ling-po ikut dalam
rombongan itu, sebab dia adalah panglima
bawahan Jenderal Lau. Helian Kong segera mengatur penempatan
pasukannya di desa itu. Biarpun sebagian besar
pasukannya harus beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh, Helian Kong juga
memerintahkan penjagaan yang baik. Kemudian
tukang-tukang masak pasukan mulai sibuk,
sebab saat itu matahari sudah mulai lingsir ke
barat, dan bila malam tiba nanti harus sudah
tersedia makan malam buat lebih dari delapan
belas ribu prajurit. Ternyata sesuai dengan
kata-kata Ong Yang-be, persediaan bahan
makanan benar-benar berlimpah.
Kembang Jelita 2 / XVII 56 Namun pasukan Helian Kong sendiri masih
membawa serba sedikit bekal mereka dari
pegunungan. Dan bekal dari pegunungan itu
juga dimasak pula, dimanfaatkan sebelum
menjadi rusak dan tak dapat dimakan lagi.
Begitulah, desa yang baru saja dikosongkan
penduduknya itu pun seolah hidup kembali,
sekarang semua "penduduk" nya berseragam
dan bersenjata. Tetapi dari dapur-dapur mulai
mengepul asap, pertanda tukang-tukang masak
dalam pasukan mulai menjalankan tugasnya,
menyiapkan makan malam. Tidak lama kemudian, obor-obor mulai
dinyalakan, sebab hari mulai gelap. Dan tidak
lama kemudian, isyarat untuk makan malam
pun sudah terdengar, berbondong-bondonglah
prajurit-prajurit ke dapur umum untuk
mengambil ransum mereka. Tetapi sebagian dari prajurit nampak raguragu.
"He, kenapa kau tidak ikut mengambil
ransum?" "Aku masih kenyang. Aku baru saja makan."
Kembang Jelita 2 / XVII 57 "Makan apa? Makanan di dapur baru saja
selesai dimasak..." "Makan bekalku dari pegunungan. Dimasak
sendiri. Masih enak kok."
Temannya tertawa, "Ah, buat apa susahsusah. Kenapa? Takut diracuni oleh orang-orang
Pelangi Kuning yang sekarang sudah menjadi
sahabat-sahabat kita?"
Temannya menggeleng, "Aku tidak berani
berprasangka... barangkali hanya karena sayang
membuang

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekal yang kubawa dari pegunungan." "Kentang liar hitam yang tidak ada rasanya
itu?" "Tetapi kan bisa membantu menghemat
persediaan bahan makanan yang ada di desa
ini?" "Ya sudahlah, kau nikmati kentang hitam
itu, aku yang nikmati bubur ini. Tetapi nanti
kalau kau tidur, pantatmu jangan kau hadapkan
ke muka temanmu lho. Orang yang makan
kentang hitam, bau kentutnya..."
"Sudahlah. Makan sajalah."
Kembang Jelita 2 / XVII 58 "Salahmu sendiri terlalu curiga. Aku percaya
kaum Pelangi kuning tidak akan meracuni kita.
Seandainya mereka tidak tulus pun, setidaktidaknya sekarang ini mereka sedang
membutuhkan tenaga kita. Mereka baru saja
kabur lintang-pukang dari San-hai-koan dalam
keadaan setengah remuk."
Kata-kata prajurit itu selain untuk
mengemukakan alasan kepada temannya, juga
untuk menenteramkan hatinya sendiri.
Begitulah, ada yang makan perbekalan yang
dibawa dari pegunungan, ada yang makan
bubur yang dibuat dari beras yang ditimbun di
desa itu, disediakan oleh orang-orang Pelangi
Kuning. Ternyata tidak terjadi apa-apa.
Setidak-tidaknya sampai menjelang tengah
malam. Kejadiannya dimulai ketika berpuluh-puluh
prajurit tiba-tiba merasa perutnya sakit.
Mengira bahwa sakit perut itu adalah sakit
perut biasa, mereka pun berbondong-bondong
menuju kakus. Ternyata ada, bahkan banyak,
Kembang Jelita 2 / XVII 59 yang langkahnya tidak sampai ke kakus. Di
tengah jalan banyak yang sudah rebah, muntahmuntah, berkeringat, dan kemudian mati
dengan mata mendelik dan sudut bibir
mengalirkan air-liur berwarna hitam.
Yang sudah sampai ke kakus pun harus
menggedor-gedor pintu kakus sebab tiba-tiba
saja semua kakus sudah terisi dan ditutup dari
dalam. Ketika beberapa pintu kakus didobrak,
kebanyakan orang yang di dalamnya sudah jadi
mayat. Kegemparan melanda seluruh pasukan.
Prajurit-prajurit yang waras karena tidak
ikut makan bubur, sekuat tenaga berusaha
menolong teman-teman mereka. Tetapi yang
mati terus berjatuhan seperti lalat.
"Kita dikhianati!"
"Kita keracunan!"
"Babi-babi Pelangi Kuning itu ingin
menumpas kita!" Kepanikan melanda seluruh desa. Helian
Kong diberi laporan, tetapi di antara para
perwira pimpinan pun ternyata banyak yang
Kembang Jelita 2 / XVII 60 jadi korban karena sore tadi ikut makan bubur
maut itu. Dalam kepanikan itu, sebisa-bisanya Helian
Kong masih mencoba mengendalikan keadaan,
meskipun hatinya menyala oleh kegusaran
melihat prajurit-prajuritnya bertumbangan
dengan konyol di mana-mana. Bukan oleh
pedang atau oleh panah, tetapi hanya oleh
semangkuk bubur. "Yang tidak terkena racun, dibagi menjadi
dua bagian!" teriaknya. "Sebagian menolong
yang masih bisa ditolong, sebagian lagi
mengawasi di batas desa!"
Desa itu tidak seperti desa yang ditempati
sebagian markas Jenderal Lau, yang sudah
diberi tembok pertahanan segala, melainkan
desa yang belum diubah menjadi benteng, jadi
belum ada temboknya. Karena itu kalau datang
serangan, musuh bisa menyusup dari arah
mana saja, apalagi di malam gelap begitu.
Begitulah, dalam keadaan serba kacau,
sebagian prajurit masih bisa diarahkan. Tetapi
sungguh suatu kenyataan yang menyedihkan
Kembang Jelita 2 / XVII 61 bahwa sebagian besar anggota pasukan Helian
Kong sudah ikut makan bubur maut itu,
termasuk beberapa perwira tinggi. Bisa
dimaklumi, karena berbulan-bulan mereka
hidup di pegunungan dengan makanan darurat
sedapat-dapatnya, dan sekarang tiba-tiba saja
dihadapan mereka tersaji bubur hangat yang
kelihatan gurih, siapa tidak tergiur. Namun yang
tergiur itu sekarang sedang diseret belalaibelalai kerajaan maut menuju ke dunia orang
mati, bahkan tidak sedikit yang sudah
"melewati perbatasan". Menurut perhitungan,
bakal tinggal sepertiga jumlah pasukan Helian
Kong yang tinggal hidup. Helian Kong ikut sibuk. Gusar, kecewa dan
sedih bercampur-aduk dalam hatinya, sampaisampai otaknya buntu, sulit berpikir. Ia ikut
menggotong orang-orang yang jatuh dan
kelihatannya masih bisa ditolong.
"Semua ini kesalahanku! Aku ini manusia
tolol, paling goblok di dunia! Kenapa aku
mempercayai mulut berbisa orang-orang
Pelangi Kuning?" Kembang Jelita 2 / XVII 62 Sambil berlari-lari ke sana kemari, Helian
Kong juga bercucuran air mata! Suatu
pemandangan yang amat ganjil atas diri seorang
panglima yang membaja setelah sekian tahun
digembleng situasi. Tetapi untung Kwe Peng-hui, perwira
bawahan Helian Kong yang setia, masih punya
sisa akal sehat untuk memperhitungkan apa
yang bakal terjadi. Di antara orang-orang yang
hilir-mudik dengan kacau itu, dia pun ikut
berlari-lari, kadang-kadang melompati mayat
yang bergelimpangan dan menabrak orangorang yang masih hidup. Mencari Helian Kong.
Dan itu tidak mudah dalam situasi kacau-balau
begitu, namun akhirnya Helian Kong
diketemukannya juga. Helian Kong sedang
memijit-mijit tengkuk seorang prajurit dan
menepuk-nepuk punggungnya, agar orang itu
bisa muntah-kan kembali racun yang sudah
terlanjur tertelan. "Panglima!" "Ada apa, Saudara Kwe?"
Kembang Jelita 2 / XVII 63 "Panglima, kalau kita ingin menyelamatkan
yang tersisa, biarpun sedikit, kita harus
secepatnya pergi dari sini. Secepatnya! Mungkin
bajingan-bajingan Pelangi Kuning itu tidak
hanya menyiapkan siasat yang satu macam
untuk membantai kita, mungkin sekali masih
ada gerakan susulan mereka. Kita tidak mau
terkurung dan terjebak di desa ini! Kita harus
pergi!" "Bagaimana dengan mereka yang sakit?"
"Bawa!" Helian Kong menganggap perhitungan Kwe
Peng-hui itu masuk akal. Dia sendiri tidak
sempat berpikir saking bingungnya. Lalu Helian
Kong pun berkata, "Baik. Sebarkan perintah!"
Begitulah, pasukan yang tersisa dengan
tergesa-gesa berbondong-bondong hendak
meninggalkan desa itu dalam barisan yang
kacau-balau. Prajurit-prajurit yang sekiranya
masih bisa tertolong, digendong temantemannya. Yang sudah tewas, apa boleh buat,
ditinggal begitu saja dengan perasaan berat.
Kembang Jelita 2 / XVII 64 "Jangan pakai obor, nanti terlihat oleh
bajingan-bajingan itu!" teriak Kwe Peng-hui.
Begitulah, pasukan itu mencoba bergerak
dalam keadaan gelap. Tetapi hal itu sudah biasa
mereka lakukan selama bergerilya di
pegunungan. "Padamkan juga obor-obor di desa!"
perintah Kwe Peng-hui. "Jangan!" bantah Heiian Kong. "Kalau
penerangan di desa ini mendadak padam semua
dan terlihat oleh mereka dari kejauhan, tentu
mereka akan curiga dan menghadang kita!"
(Bersambung jilid XVIII) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/07/2018 15 : 52 PM
Kembang Jelita 2 / XVII 65 Kembang Jelita 2 / XVIII 1 ( Bagian II ) JILID XVIII Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XVIII 2 Kembang Jelita 2 / XVIII 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVIII B egitulah, dalam keadaan tergesa-gesa dan
panik, pasukan itu bersiap-siap meninggalkan desa yang menurut Ong Yang-be
tadi "sangat nyaman". Tetapi sebelum pasukan
itu bergerak meninggalkan desa, di pinggiran
desa muncullah Ong Yang-be dan pasukannya
yang berjumlah besar, yang dipecah-pecah
mengurung desa itu dari segala arah. "Jangan
biarkan hidup seorang pun!" perintah Ong
Yang-be tegas kepada perwira-perwira bawahannya dan komandan-komandan di
tingkat yang paling rendah.
Kembang Jelita 2 / XVIII 2 Mereka merambat mendekati desa itu tanpa
obor, dengan berlindung pepohonan di ladangladang penduduk di seputar desa.
Kemudian, mereka menghujani desa dengan
panah-panah berapi maupun panah-panah
biasa. Pasukan Helian Kong kembali menjadi
panik karena serangan musuh datang dari
segala arah, dari tempat gelap di tengah-tengah
ladang-ladang sayur penduduk. Rupanya, pihak
Pelangi Kuning yang baru saja "dihajar" oleh
pasukan tanpa identitas yang hampir berhasil
menewaskan Jenderal Lau itu, kini meniru cara
serangan mereka yang mendadak dan dari arah
kegelapan. Prajurit-prajurit Helian Kong banyak yang
menjadi korban. Biarpun banyak di antara
mereka yang mengangkat perisai-perisai, tetapi
arah datangnya serangan benar-benar tidak
tentu. Mengangkat perisai ke arah depan, tahutahu panahnya datang dari arah punggung atau
samping. Begitulah pasukan itu menderita
kerugian besar. Kembang Jelita 2 / XVIII 3 Dan kemudian ternyata panah-panah api
yang dilepaskan musuh itu tidak sekedar
"memeriahkan" saja, melainkan ada tujuannya.
Banyak rumah-rumah yang kejatuhan panah api
itu mula-mula hanya sekedar terbakar atapnya
atau dindingnya, namun kemudian rumah itu
meledak hebat dan membinasakan serta
melukai banyak prajurit Helian Kong. Ternyata,
dalam rumah sudah disembunyikan sejumlah
besar bubuk-mesiu, di langit-langit atap, dalam
tiang-tiang bambu atau bahkan dalam dinding


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah liat, yang begitu kena api meledak. Dan
ternyata sebagian besar rumah di desa itu
sudah diubah jadi "bom" seperti itu sehingga
minta banyak korban jiwa dalam pasukan
Helian Kong. Desa itu menyala menjadi neraka, berdiri di
jalanan pun terasa amat panas. Ledakanledakan besar sudah tidak terdengar, tetapi
letupan-letupan kecil masih terddngar terus
beruntun. Dan, lagi-lagi pihak Pelangi Kuning
meniru teknik "barisan api" pasukan misterius
yang hampir berhasil membinasakan Jenderal
Kembang Jelita 2 / XVIII 4 Lau, di antara campuran bubuk mesiu itu
dicampur remukan beling yang ikut muncrat
melukai orang ketika bubuknya terbakar
meledak. Begitulah kacaunya pasukan Helian Kong,
sedangkan panah dan lembing tidak berhenti
dan menambah jatuhnya korban.
Helian Kong benar-benar tak tahu harus
berbuat apa, tidak peduli bagaimanapun
berpengalamannya dia. Sesuatu yang memedihkan mengusik hatinya, "Apakah Tan
Wan-wan tahu menahu dengan siasat untuk
membinasakan seluruh pasukanku ini?"
Di luar desa, Ong Yang-be yang merasa
bahwa "serangan pembukaannya" sudah cukup
melemahkan sasarannya, sekarang meneriakkan aba-aba seluruh pasukannya
untuk menyerbu masuk ke dalam desa. Dengan
suaranya yang parau ia mengulangi perintahnya
yang tadi, "Jangan biarkan hidup seorang pun!"
Pasukan Pelangi Kuning pun menyerbu ke
dalam desa sambil bersorak-sorai.
Kembang Jelita 2 / XVIII 5 Sisa-sisa pasukan Helian Kong yang sudah
terjepit dan nyaris berputus-asa itu, sekarang
malahan menyambut kedatangan pasukan
Pelangi Kuning itu dengan gembira. Teriak
mereka, "Bagus! Lebih baik begini! Daripada
mati konyol oleh racun dan oleh api, kita akan
mati setelah memberi perlawanan sampai titik
darah terakhir!" "Betul! Kita adu jiwa untuk membalaskan
kematian teman-teman kita!"
Dan teriakan-teriakan penuh dendam
Jainnya yang saling membakar amarah.
Maka pasukan yang dibawa oleh Ong Yangbe
pun mendapat perlawanan yang mengejutkan dari pasukan Helian Kong yang
jumlahnya sekarang jauh lebih sedikit itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu sekarang
seperti melawan sekelompok binatang buas
yang marah, yang tidak tahu apa-apa selain
menggigit dan mencakar. Prajurit-prajurit
Helian Kong tidak menunggu sampai lawanlawan mereka mendekat, merekalah yang
menyongsong maju dan bahkan tidak peduli
Kembang Jelita 2 / XVIII 6 Prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu sekarang seperti
melawan sekelompok binatang buas yang marah, yang
tidak tahu apa-apa selain mengigit dan mencakar.
Kembang Jelita 2 / XVIII 7 seandainya mereka sendirian menyusup ke
tengah-tengah pasukan musuhnya tanpa
dukungan dari garis belakang. Mereka lalu
mengamuk, tidak mempedulikan luka, tidak
mempedulikan apa pun kecuali mencari korban
jiwa sebanyak-banyaknya di pihak musuh
sebelum mereka sendiri jadi korban.
Para pimpinan pasukan sisa-sisa dinasti
Beng seperti Helian Kong, Kongsun Koan dan
Kwe Peng-hui serta lain-lainnya, mengamuk
pula. Dan amukan mereka sudah tentu jauh
lebih merusak dari amukan prajurit-prajurit
biasa. Tidak ada yang menghadang mereka,
mampu menandingi mereka, bahkan Ong Yangbe sendiri kelihatannya malah menghindar
untuk bertemu dengan Helian Kong. Ternyata
bukan cuma sayang nyawa, Ong Yang-be di
dalam hatinya bahkan merasa... senang! Senang
melihat prajurit-prajurit Pelangi Kuning banyak
dikurangi oleh amukan perwira-perwira dinasti
Beng. Juga senang melihat prajurit-prajurit
Kembang Jelita 2 / XVIII 8 dinasti Beng saling bantai dengan prajuritprajurit Pelangi Kuning.
Dalam hatinya dia bersorak, "Ayo, babi-babi
bangsa Han, saling bunuhlah, jangan ragu-ragu.
Habiskan kekuatan kalian sendiri..."
Sementara Ong Yang-be berpeluk tangan
saja melihat kedua pasukan itu saling bantai,
maka prajurit-prajurit Pelangi Kuning seolah
mengulangi pengalaman mereka berhadapan
dengan regu istitewa dari pasukan misterius
yang pernah hampir berhasil membunuh
Jenderal Lau. Regu istimewa yang bukan cuma tangguh
melainkan juga nekad dan tidak menghiraukan
diri sendiri, dengan tujuan hanya membunuh
musuh sebanyak-banyaknya. Waktu 'itu pihak
Pelangi Kuning harus "menyetor" banyak
korban, sekarang lebih-lebih lagi, sebab
bagaimanapun juga prajurit-prajurit Helian
Kong yang tersisa itu jauh lebih banyak dari
regu istimewa yang mengerikan itu.
Nampaknya, berdasar perbandingan jumlah,
pasukan Helian Kong pasti akan tertumpas
Kembang Jelita 2 / XVIII 9 habis, mungkin hanya Helian Kong sendiri yang
bakal hidup, sebab dia pasti mampu
menyelamatkan diri sendiri. Itu kalau Helian
Kong mau berbuat demikian dan tidak memilih
mati bersama anak buahnya. Sedangkan kalau
dilihat dari perlawanan nekad, bukan cuma
berani mati bahkan cenderung mencari mati
dari prajurit-prajuritnya Helian Kong, maka
pihak Pelangi Kuning akan mendapat
kemenangan dengan harga yang mahal sekali,
kalau hanya nyawa para prajurit mereka bisa
dianggap "mata-uang"nya.
Tetapi di lereng di bawah desa itu karena
desa itu terletak di atas tanah yang agak tinggi,
tiba-tiba muncul pasukan lain. Seperti pasukan
Ong Yang-be yang mengendap-endap tanpa
obor, begitu pula pasukan ini, dan ternyata
pasukan ini juga pasukan Pelangi Kuning. Yang
menjadi komandan adalah Ong Ling-po, si
perwira Pelangi Kuning yang pernah menjadi
tawanan pasukan Helian Kong di pegunungan.
Melihat kobaran api di desa itu, Ong Ling-po
mengertakkan giginya dan menggeram,
Kembang Jelita 2 / XVIII 10 "Memalukan sekali. Sisa-sisa dinasti Beng itu
pernah memperlakukan aku dengan baik,
meskipun sebagai tawanan. Aku tidak pernah
dianiaya atau direndahkan martabatku. Dan
sekarang macam inikah balasan pihak kita?
Padahal pasukan Helian Kong itu turun dari
pegunungan karena menuruti ajakan dari pihak
kita. Mereka tulus, dan kitalah yang curang..."
Pun Liok, perwira bawahan Ong Ling-po
yang pendek gempal dan bersenjata gada Kimkong-kun itu pun ikut-ikutan marah tanpa
dibuat-buat, "Entah gagasan siapa pun ini, ini
sangat memalukan!" Ong Ling-po kemudian menggerakkan
tangannya, "Maju! Barisan yang membawa
panah dan senjata api di barisan depan!"
Pasukan itu pun merayap, mendekati
sesama pasukan Pelangi Kuning tetapi yang
dipimpin Ong Yang-be, dari arah belakang. Dan
setelah cukup dekat, Ong Ling-po menyuruh
orang-orangnya yang membawa senjata api
untuk menembak ke udara. Ratusan letusan
Kembang Jelita 2 / XVIII 11 berturut-turut di luar desa itu cukup menarik
perhatian semua pihak. Lalu Ong Ling-po mulai berteriak kepada
pasukannya Ong Yang-be, "kalian bertindak
tanpa mendapat perintah dari Jenderal Lau,
pimpinan tertinggi! Hentikan! Atau kami
memberlakukan disiplin yang keras atas kalian
atas nama Jenderal Lau?"
Seruan serupa diserukan oleh bawahanbawahan Ong Ling-po sehingga didengar oleh
semua prajurit Ong Yang-be di semua bagian,
karena Ong Ling-po pun menyebarkan
prajuritnya ke segala arah. Jumlahnya juga tidak
lebih sedikit dari pasukan Ong Yang-be.
. Prajurit-prajurit Ong Yang-be jadi kebingungan, perintah yang mana dituruti? Baik
Ong Ling-po maupun Ong yang-be sama-sama
bawahan Jenderal Lau, namun kelihatannya Ong
Yang-be lebih dekat dengan Jenderal Lau.
Meskipun begitu, ancaman Ong Ling-po
meyakinkan juga, apalagi dengan adanya
ratusan pucuk senjata api di tangan mereka.
Kembang Jelita 2 / XVIII 12 Beberapa komandan bawahan lalu mencari
Ong Yang-be untuk minta petunjuknya.
Ternyata, begitu sudah ketemu, Ong Yang-be
menjawab dingin dan tak berpikir panjang,
"Aku yang akan bertanggung jawab kepada
Jenderal Lau. Terus habiskan Helian Kong dan
orang-orangnya, dan kalau orang-orangnya Ong
Ling-po mencegah atau menghalang-halangi,
sikat sekalian!" Komandan-komandan bawahannya termangu-mangu mendengar
perintah itu. Perintah untuk menumpas Helian Kong dan
orang-orangnya, meski agak keterlaluan,
rasanya belum dipaksa-paksakan bisa diterima
juga. Bagaimanapun, sisa-sisa dinasti Beng
memang tetap menjadi "duri dalam daging" bagi
pemerintahan Pelangi Kuning. Tetapi perintah
untuk bertarung dengan orang-orangnya Ong
Ling-po benar-benar tidak masuk akal,
dipaksakan pun susah diterima akal sehat.
Bukankah pasukan Ong Ling-po itu sesama
prajurit Pelangi Kuning, bahkan sama-sama
bernaung di bawah benderanya Jenderal Lau?
Kembang Jelita 2 / XVIII 13 Lagipula, pasukannya Ong Ling-po membawa
ratusan pucuk senjata api.
Melihat komandan-komandan bawahannya
masih termangu-mangu, Ong Yang-be membentak, "He, apa yang kalian tunggu?!"
"Panglima, tentang perintah Panglima atas
teman-teman kita dari pasukan Panglima Ong
Ling-po itu..." "Apa perintahku tadi kurang jelas?"
"Cukup jelas, tetapi..."
"Kalau sudah cukup jelas tidak ada 'tetapitetapian'
lagi. Kalian hanya tinggal menjalankannya, atau dihukum menurut
disiplin tentara." "Baik... baik..."
Tiba-tiba dari arah pepohonan sayur di
kebun penduduk nampak seorang berpakaian
prajurit Pelangi Kuning berlari-lari mendekat.
Karena mengira orang itu mungkin membawa
berita perkembangan penting, semuanya
menunggu. "Ada apa?" tanya Ong Yang-be ketika orang
itu sudah cukup dekat.

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Jelita 2 / XVIII 14 Orang itu tidak menjawab, tiba-tiba saja dia
melompat bagaikan harimau, melewati kepala
para komandan bawahan Ong Yang-be yang
berkerumun di dekat pintu gerbang desa itu. Di
tangan orang itu berkilat sebuah belati, dan ia
menubruk langsung ke arah Ong Yang-be.
Sergapan itu demikian cepatnya, Ong Yangbe sendiri terkejut sekali. Dan dalam
keterkejutannya itu Ong Yang-be melakukan
sesuatu yang menyingkap-sedikit kedoknya
sendiri. Orang-orang dalam pasukan Jenderal
Lau mengenal Ong Yang-be sebagai perwira
yang hanya memiliki ketrampilan militer biasa,
dan kalau pun dianggap ada kelebihannya dari
prajurit-prajurit lain hanyalah otaknya, sedangkan soal kemahiran tempur perseorangan alias ilmu silat, ia tidak berbeda
dengan perwira-perwira biasa lainnya. Itulah
pengenalan umum orang-orangnya Jenderal Lau
terhadap Ong Yang-be. Tapi sekarang
pandangan itu harus diubah.
Sebab orang-orang itu melihat Ong Yang-be
melejit ke samping bagaikan kilat cepatnya,
Kembang Jelita 2 / XVIII 15 sambil berputar seperti gasing, sambil sepasang
tangannya melambai gemulai seperti lengan
penari namun kemudian ujung jari-jari
tangannya berubah menjadi seperti kepala ular
yang berpuluh-puluh jumlahnya dan mematukmatuk dengan ganas. Seandainya di tempat itu
ada penerangan yang cukup, pasti akan
kelihatan bagaimana ujung jari-jari itu menjadi
berwarna keungu-unguan. Jelaslah sekarang, sergapan maut dari orang
yang berpisau belati itu telah memaksa Ong
Yang-be menunjukkan ketrampilannya yang
bukan sekedar ketrampilan militer. Ong Yangbe telah mengeluarkan suatu jurus silat yang
bukan cuma hebat, tetapi juga kejam. Suatu
aliran tersendiri orang yang berpisau belati itu
telah memaksa Ong Yang-be menunjukkan ketrampilannya.
Tetapi si penyergap berpisau belati itu
ternyata hebat juga, mendapat serangan
balasan sehebat itu, yang bagi orang lain
pastilah akan menjadi makanan empuk,
ternyata orang ini tidak. Malah dia tertawa terKembang Jelita 2 / XVIII
16 Jelaslah sekarang, sergapan maut dari orang yang
berpisau belati itu telah memaksa Ong Yang-be
menunjukkan ketrampilannya
Kembang Jelita 2 / XVIII 17 bahak-bahak dalam keadaan masih melayang di
udara dan belum menginjak tanah, katanya
disela-sela tawanya, "Bagus! Anjing Manchu,
kalau tidak dipaksa dengan keras memang kau
akan terus bersembunyi di belakang kedokmu!"
Sambil tertawa dengan mengoceh, tiba-tiba
sepasang kakinya pun menendang tiga kali di
udara. Geraknya kelihatan sederhana saja,
namun seorang yang sedang tidak memijak
tanah bisa menendang tiga kali sekeras, secepat
dan semantap itu, memang mengejutkan. Dan
setiap tendangannya selalu lebih dulu
mengancam titik berbahaya dan terbuka di
pihak lawan, membuat pihak lawan dipaksa
membatalkan serangan dan bertahan lebih
dulu. Tiga kali si penyergap berpisau belati
"menendang udara" dan tiga langkah panjang
Ong Yang-be harus mundur, lupa kalau di
tempat itu banyak empang ikan. Maka Ong
Yang-be tercebur ke dalam empang.
Ong Yang-be gusar, bukan cuma oleh
serangan pendadakan itu, tetapi juga oleh katakata si penyergap yang menyebutnya "anjing
Kembang Jelita 2 / XVIII 18 Manchu" itu, sesuatu yang ingin ditutupinya
rapat-rapat. Berdiri di tengah-tengah empang
ikan yang airnya setinggi pinggang, dengan
muka dan pakaian ber-lepotan lumpur, Ong
Yang-be hendak mencabut pedangnya. Tetapi
baru separuh panjang pedang keluar dari
sarungnya, seleret sinar meluncur dari tangan si
penyergap, cepatnya melebihi kilat. Si
penyergap ternyata melontarkan pisau belatinya. Begitu cepatnya, sehingga meskipun Ong
Yang-be sudah memiringkan tubuhnya, tetap
saja pundak kanannya tertancap belati sampai
setengah dari panjang belati itu. Seandainya dia
dapat mencabut pedangnya sekalipun, dia tidak
akan dapat memainkan pedangnya, lengan
kanannya lumpuh dengan belati tertancap di
pundak seperti itu. Sejak munculnya si penyergap, lalu tukarmenukar serangan secepat kilat antara
penyergap dan Ong Yang-be, sampai menancapnya belati itu di pundak Ong Yang-be,
semuanya berlangsung demikian cepat sehingga
Kembang Jelita 2 / XVIII 19 banyak orang di tempat itu tidak dapat melihat
dengan jelas. Namun setelah adegan-adegan
serba cepat itu, barulah semua orang melihat
bahwa si penyergap tadi bukan lain adalah Yo
Kian-hi. Bukan cuma menghajar Ong Yang-be secara
fisik, Yo Kian-hi juga menghajarnya dengan
kata-kata, ditujukan kepada perwira-perwira
bawahan Ong Yang-be yang masih kebingungan,
"Saudara-saudara, orang ini nama aslinya
adalah O Yok-ma, mata-mata Manchu yang
sudah lama menyusup ke tubuh kita, dan
membawa tugas memecah-belah bangsa Han
antara golongan kita dengan golongan yang
masih mendukung dinasti Beng, tujuan
akhirnya tidak lain adalah berkuasanya bangsa
Manchu di Tiong-goan!"
Para komandan itu pun mulai mendapat
pegangan sedikit dalam sikap mereka. Kalau
tadinya mereka bingung memilih mau mentaati
Ong Yang-be atau Ong Ling-po, sekarang hati
mereka mulai cenderung untuk menuruti Ong
Ling-po tentu saja. Kembang Jelita 2 / XVIII 20 Sementara Yo Kian-hi berseru ke tengah
empang, "O Yok-ma, semua peluangmu sudah
tertutup. Satu-satunya jalan bagimu hanyalah
menyerah dan membeberkan semua rencana
pihakmu, dengan demikian kami bisa
mempertimbangkan keringanan hukuman buatmu..." O Yok-ma tertawa, adalah di luar dugaan
bahwa dia tidak mau bersusah-payah
membantah segala omongan Yo Kian-hi itu.
Malah dia tertawa dan berkata dengan nada
bangga bercampur mengejek, "Hebat kau, Yo
Kian-hi, kecermatan panglihatanmu dan
kecerdikan-mu memang beberapa kali hampir
menghancurkan jaringan rahasia kami. Tetapi
selalu hanya hampir, tidak pernah benar-benar
berhasil bukan? He-he-he, itu artinya kami tetap
lebih lihai dari kalian. Di antara kalian, yang
kami pertimbangkan dengan sungguh-sungguh
memang hanyalah Jenderal Li Giam dan orangorangnya, hanya mereka yang punya sedikit
otak, meskipun tetap tidak sepandai kami, hehe-he... maaf, terang-terangan saja ya? Yang
Kembang Jelita 2 / XVIII 21 lain-lainnya cuma keledai dan kerbau tanpa
otak, yang bakal menjadi makanan empuk kami.
Bagaimanapun juga, aku ucapkan selamat
kepadamu, Yo Kian-hi. Tetapi kalian tahu bahwa
keberhasilan kecil kalian ini sudah terlambat.
Besok kalian akan mengetahui arti perkataanku
ini... selamat tinggal!"
Tanpa ragu-ragu, dengan tangan kirinya
memegang pedang karena tangan kanannya
lumpuh, dia menikam perutnya sendiri. Ia
tumbang perlahan dan tenggelam ke dalam
empang ikan yang airnya segera menjadi merah.
Yo Kian-hi bukan atasan langsung
komandan-komandan bawahan Ong Yang-be
yang sekarang bagaikan lidi-lidi dari sebuah
sapu lidi yang kehilangan pengikat, namun
sekarang dengan wibawanya, kata-katanya
dijadikan pegangan, "Tarik mundur orangorang kalian! Cepat!"
Para komandan pun berlarian ke bagiannya
masing-masing, ada yang sampai tergelincir ke
dalam empang saking tergesa-gesanya, namun
segera naik kembali dan terus berlari.
Kembang Jelita 2 / XVIII 22 Tidak lama kemudian, prajurit-prajurit
Pelangi Kuning pun bergerak mundur serempak
meninggalkan desa. Gerakan mereka seperti
gelombang laut yang sudah surut.
Prajurit-prajurit Helian Kong yang tidak
tahu apa yang terjadi dalam pasukan lawan
mereka, karena itu, dengan hati yang masih
panas membara oleh dendam, mereka mengejar
dan masih berusaha menambah korban. Untung
Helian Kong masih memiliki wibawa untuk
mengendalikan prajurit-prajuritnya yang seolah
kerasukan setan itu. Dengan hati yang remuk
Helian Kong memperkirakan bahwa pasukannya benar-benar tinggal kira-kira
seperempat dari sebelumnya. Tadinya, dia
perkirakan akan tinggal sepertiga, tetapi
ternyata malah lebih sedikit dari perkiraannya,
seperempat. Selain itu, beberapa perwira
andalannya juga tewas, antara lain Kongsun
Koan. Tetapi Helian Kong tetap berhasil
mengendalikan sisa orang-orangnya. Kendati
harus berteriak-teriak sampai tenggorokannya
Kembang Jelita 2 / XVIII 23 sakit. Tidak lama kemudian, sisa-sisa
pasukannya telah membetuk barisan yang siap
meninggalkan desa itu. Tetapi ketika pasukan itu sudah keluar desa
dan menuruni lereng, mereka melihat bahwa di
depan mereka nampak ribuan obor, dan ada
sebuah pasukan besar di kaki-bukit. Pasukan
Pelangi Kuning menghadang mereka, jumlah
pasukannya puluhan kali lipat dari pasukan
Helian Kong yang kelelahan dan babak belur.
Tetapi di relung hati pasukan babak-belur itu
masih menyala semangat tempur dan
kemarahan yang bisa mengakibatkan pertumpahan darah kembali.
Helian Kong sendiri sudah mencabut
pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi,
dan nanti kalau pedang itu di-kebaskan turun
maka itulah isyarat bagi pasukannya untuk
menyerang. Tetapi dari pihak lawan melangkah dua
sosok tubuh yang mendekat, langkah mereka
perlahan, berusaha menimbulkan kesan bahwa
mereka tidak berniat berkelahi. Mereka
Kembang Jelita 2 / XVIII 24 membelakangi ribuan prajurit mereka yang
membawa obor-obor, sehingga rnereka cuma
nampak seperti sosok-sosok bayangan hitam
yang tak kelihatan wajahnya. Namun ketika
mereka semakin dekat dan wajah mereka
tergapai cahaya api dari desa yang menjadi
lautan api itu, segera terlihat kedua orang itu
adalah Yo Kian-hi dan Ong Ling-po. Keduanya
sudah dikenal oleh Helian Kong, dan keduanya
tidak kelihatan membawa senjata.
Bahkan kemudian kelihatan kalau tangan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kiri Yo Kain-hi menjinjing sebutir batok kepala
manusia, yang masih segar darahnya! Batok
kepala itu dijinjing pada rambutnya.
Melihat Helian Kong sudah mengangkat
tinggi-tinggi pedangnya yang siap digerakkan
sebagai isyarat serangan, Yo Kian-hi mengangkat tangan kanannya dan berseru,
"Tahan! Panglima Helian, ada yang ingin kami
bicarakan?" Helian Kong belum menurunkan pedangnya,
artinya pasukannya harus tetap bersiap. Namun
menjawab kata-kata Yo Kian-hi, "Apa lagi yang
Kembang Jelita 2 / XVIII 25 akan kalian tawarkan kepada kami? Desa lain,
racun lain, perangkap lain yang akan membuat
kami semua jadi debu sama sekali?"
Kali ini Yo Kian-hi mengangkat batok kepala
orang yang dibawanya, menghadapkannya ke
arah Helian Kong sehingga kelihatan. "Saudara
Helian..." Yo Kian-hi mencoba bersikap lebih
akrab. "Kenal wajah ini?"
Helian Kong tercengang mengenali wajah
Ong Yang-be. Jadi di dalam tubuh kaum Pelangi
Kuning rupanya ada sikut-sikutan? Ong Yang-be
ini diketahui Helian Kong adalah perwira yang
berkedudukan tinggi, bahkan menurut keterangan Ong Ling-po siang tadi, dia adalah
"orang nomor tiga" dalam pasukan setelah
Jenderal Lau sendiri dan Deng Hu-koan". Kini si
"orang nomor tiga" itu yang datang hanya batok
kepala saja. "Sudah kenal, Saudara Helian?" tanya Yo
Kian-hi. "Ya. Inilah perwira yang siang tadi dengan
mulut manis menyambut kami, dan kami begitu
tolol mempercayai lidah-ularnya. Apa Kembang Jelita 2 / XVIII 26 hubungannya dengan kejadian yang menimpa
kami malam ini?" Yo Kian-hi menggelundungkan kepala itu ke
depan kaki Helian Kong, katanya, "Bukan saja
ada hubungannya, bahkan orang inilah dalang
dari semua ini. Nama aslinya O Yok-ma, orang
Manchu yang menyusup ke tubuh kami
beberapa tahun yang lalu dan bahkan ikut
berperang di pihak kami melawan Kerajaan
Beng waktu itu. Pihak Manchu rupanya punya
rencana jangka panjang yang sudah disiapkan
sejak bertahun-tahun yang lalu, dan hari-hari
ini adalah hari-hari puncak dari rencana mereka
menguasai Tiong-goan."
"Mengherankan dia bisa menyusup ke
dalam golongan kalian sampai mendapat posisi
begitu tinggi. Mengherankan pula dia bisa
mengatur segala sesuatunya serapi ini tanpa
kalian curigai..." sahut Helian Kong terangterangan menunjukkan kebimbangannya sambil
melirik batok kepala yang sekarang ada di dekat
kakinya. "Sayangnya, aku tidak dapat
membuktikan omongan itu benar atau kosong,
Kembang Jelita 2 / XVIII 27 sebab aku tidak dapat menanyai sebutir kepala
yang sudah mati." Yo Kian-hi bukan orang sabar, namun demi
urusan besar, kali ini dia harus belajar bersabar
menghadapi sikap Helian Kong, la harus belajar
pula memaklumi sikap Helian Kong yang tentu
masih marah dan kecewa luar biasa. Ia
bayangkan kalau dirinya sendiri yang
mengalami hal yang sama, mungkin akan lebih
tidak terkendali. "Saudara Helian, kau tidak harus
mempercayai omonganku tadi. Tetapi aku ingin
memberitahu sesuatu kepadamu, sekali lagi, tak
peduli kau percaya atau tidak. Aku dan Saudara
Ong Ling-po ini buru-buru kemari untuk
menghentikan ulah merusak dari Ong Yang-be
alias O Yok-ma ini, itulah sebabnya kami tarik
mundur orang-orang kami yang disesatkan oleh
perintah O Yok-ma. Aku tidak mau melihat
orang-orangmu menjadi korban lebih banyak
lagi, aku juga tidak rela melihat prajurit-prajurit
kami menjadi korban orang-orangmu yang
mengamuk dengan marah..."
Kembang Jelita 2 / XVIII 28 Otak Helian Kong bisa menerima penjelasan
itu, tetapi hatinya masih panas. Tiga-perempat
orang-orangnya binasa di desa itu. Dan sebagian
besar mati konyol kena racun atau kena api.
Karena itulah dia menjawab, "Yo Kian-hi, kami
mau pergi dari sini..."
"Kau tidak mempercayai penjelasanku?"
"Aku dan pasukanku sedang dalam keadaan
sulit untuk mempercayai orang dari pihakmu,
siapa saja." "O Yok-ma bukan dari pihakku. Dia orang
Manchu." "Soal O Yok-rna aku berusaha percaya,
tetapi kalau pihakmu sampai bisa kesusupan
musuh sekian tahun tanpa merasa, janganjangan sampai sekarang pun masih banyak
mata-mata Manchu yang bersembunyi rapi di
belakang kedok mereka di jajaran orangorangmu? Yo Kian-hi, demi keselamatan
prajurit-prajuritku, aku memutuskan untuk
pergi!" Wajah Yo Kian-hi agak panas. Kata-kata
Helian Kong secara tidak langsung mengejek
Kembang Jelita 2 / XVIII 29 pihak Pelangi Kuning yang kesusupan matamata sekian lama tanpa sadar. Maka Yo Kian-hi
pun membalas, "Saudara Helian, orang-orang
Manchu itu memang keparat, mereka begitu
lihai menyusup ke sana kemari dengan seribu
satu wajah. Tidakkah Saudara Helian tahu
bahwa orang Manchu juga pernah meminjam
wajahmu di San-hai-koan untuk menipu Bu
Sam-kui?" Sekarang wajah Helian Kong yang menjadi
panas, tetapi tidak bisa membantah. Dari mulut
Kongsun Koan yang pernah menyusup ke Sanhai-koan untuk menemui dan berbicara dengan
Bu Sam-kui, dia memang sudah mendengar
kalau Bu Sam-kui itu semalam sebelum
membuka San-hai-koan bagi orang Manchu,
kabarnya didatangi "Helian Kong" dan "utusan"
Jenderal Su Ku-hoat" yang sudah tentu
gadungan semua. Para prajurit rahasia Manchu
yang menyusup ke mana-mana dalam seribu
satu macam kedok itu, sesungguhnya tidak
kalah berbahayanya dengan prajurit-prajurit
Kembang Jelita 2 / XVIII 30 berkuda maupun prajurit-prajurit gunungnya
yang hebat. Helian Kong kemudian menyarungkan
pedangnya dan berkata, "Sekarang kami mau
pergi, tolong berilah kami jalan. Kalau tidak,
kami akan menabrak kalian biarpun kalian jauh
lebih banyak..." "Sudah tentu kami tidak akan menghalanghalangi..." kata Yo Kian-hi. Mengalah. Tahu tidak
mungkin lagi menahan Helian Kong untuk tetap
di situ, kalau dipaksa malahan akan
menimbulkan korban lebih banyak di kedua
pihak menambah korban yang sudah ada, dan
akan ditertawakan oleh arwah O Yok-ma yang
barangkali belum pergi jauh dari situ. Katanya
kepada Ong Ling-po, "Saudara Ong, minggirkan
orang-orangmu, beri mereka jalan. Amankan
sampai ke kaki pegunungan dan jangan sampai
ada yang mengambil kesempatan untuk
memancing di air keruh."
Ong Ling-po hanya mengangguk muram,
kemudian malangkah menuruni lereng di luar
desa itu untuk menjumpai pasukannya. Tidak
Kembang Jelita 2 / XVIII 31 lama kemudian, dari atas terlihat ribuan oborobor di bawah lereng berpencaran dan menjauh
dalam suatu barisan memanjang ke berbagai
arah. Yo Kian-hi mempersilakan, "Silakan,
Saudara Helian. Kami sudah amankan jalanmu."
Helian Kong memberi isyarat agar
pasukannya mulai melangkah, la sendiri
mendekati Yo Kian-hi sambil berkata, "Sulit
melupakan malam ini, seandainya aku tidak
mengingat orang-orang Manchu di sebelah
timur sana..." Yo Kian-hi menarik napas.
Alangkah sulitnya membayangkan seluruh
bangsa Han bersatu menentang Manchu.
* ** Yo Kian-hi dan perwira-perwira Pelangi
Kuning lainnya, yang sempat menjadi saksi saatsaat terakhir Ong Yang-be alias O Yok-ma,
mendengar kata-kata terakhir O Yok-ma yang
Kembang Jelita 2 / XVIII 32 berbau ancaman, "... besok segalanya akan
terlambat..." Sebab keesokan harinya, sebuah kuda
berlari kencang mendekati desa di mana
Jenderal Lau bermarkas. Penunggang kuda itu
tidak berseragam prajurit, melainkan berpakaian seperti petani biasa, meskipun jadi
ganjil karena petani kok menunggangi kuda
yang tegar dan mahal harganya. Ia petani
gadungan. Di pintu gerbang desa, dia menunjukkan
sekeping lencana yang menandakan dia adalah
petugas sandi. Prajurit-prajurit penjaga
mengijinkannya lewat, begitu pula penjagapenjaga di rumah Si Kepala Desa yang ditempati
Jenderal Lau. Dan pagi yang cerah itu, Jenderal Lau
menerima berita yang tidak diharapkan dari
pengawas garis depannya itu. Laporan bahwa
pasukan besar orang Manchu sudah tinggal
sepuluh li dari selat gunung yang menjadi pos
pertahanan terdepan pasukan Pelangi Kuning.
Dalam formasi tempur. Kembang Jelita 2 / XVIII 33 Semuanya terkejut, selamban inikah kerja
petugas-petugas sandi di garis depan, sehingga
musuh yang tinggal sepuluh li (? 4,5 km) baru
dilaporkan? "Gila! Apa kerja kalian selama ini? Tidur?"
Jenderal Lau meraung gusar, membuat si
pelapor pucat, namun membela diri dengan
suara tergagap, "Kami melaporkan dua hari
sekali, sejak San-hai-koan jatuh, tidak pernah
dua hari lewat tanpa kami berikan laporan
gerakan musuh..." "Kenapa aku tidak..." Jenderal Lau sudah
berteriak, namun Deng Hu-koan cepat
menukasnya, "Jenderal, marah-marah tak ada
gunanya. Aku tahu yang sebenarnya sekarang,
laporan-laporan mata-mata dari garis depan
selalu diterima oleh Ong Yang-be dan dia pasti
menyembunyikannya..."
"Betul... betul...!" sokong si mata-mata. Ia
tidak tahu yang terjadi semalam di tubuh
pasukan Pelangi Kuning sendiri. "Aku selalu
melaporkannya kepada Jenderal Ong..."
Kembang Jelita 2 / XVIII 34 Sebelum Jenderal Lau Cong-bin semakin
kebingungan dan melantur-lantur tak keruan,
Deng Hu-koan cepat berkata, "Empat li bukan
jarak yang jauh. Pasukan di garis depan harus
segera diberi-tahu agar bersiap-siap..."
"Sudah aku beritahu..." sahut si mata-mata.
"Maaf, aku bertindak lancang, aku pikir karena
musuh sudah begitu dekat..."
"Kau tidak bersalah," kata Deng Hu-koan.
"Bahkan berjasa."
Deng Hu-koan agaknya tahu "penyakit"


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Tertingginya, yang kalau menghadapi
masalah mendesak bukannya berpikir cepat,
melainkan malah kebingungan dan macet
pikirannya. Sekarang pun dia cepat mengambil
prakasa, "Jenderal, bolehkah aku mengambil
tindakan-tindakan atas nama Jenderal?"
Jenderal Lau cuma mengangguk.
Deng Hu-koan pun mengambil sehelai lengki (bendera wewenang) dari atas meja Jenderal
Lau, diberikan kepada seorang perwira dan
dibekali pesan, "Saat ini Tek Un-hap pastilah
sudah bersiap menghadapi musuh, tetapi
Kembang Jelita 2 / XVIII 35 berikan juga bendera ini kepadanya, sebagai
tanda bahwa dia bertindak benar."
Prajurit langsung menerimanya dan pergi
menjalankan perintah. Begitulah Deng Hu-koan membagi perintah
ini-itu. Yo Kian-hi yang juga berada di ruangan
itu, diam-diam menilai Deng Hu-koan ini lebih
pantas sebagai atasan daripada Jenderal Lau.
Jenderal Lau terlalu bernyali kecil dan mudah
kebingungan. Kemudian Yo Kian-hi teringat Tan Wan-wan
juga masih berada di desa itu, selagi Deng Hukoan mengatur pasukan, Yo Kian-hi memberi
hormat kepada Deng Hu-koan, "Komandan
Deng, mengingat keselamatan Puteri Kong-hui,
aku mohonkan ijin agar Puteri Kong-hui dan
pengawal-pengawalnya pulang dulu ke Ibukota
Pak-khia..." "Apakah di tengah jalan tidak akan
mengalami bahaya?" "Aku rasa kecil kemungkinannya. Tuan
Puteri membawa seribu pengawal yang
Kembang Jelita 2 / XVIII 36 semuanya diambil dari pasukan-pasukan
pilihan di istana." "Baik, selamat jalan, Saudara Yo, sampaikan
sembah-sujud kami kepada Sri Baginda Tiongong."
Di luar dugaan, Yo Kian-hi berkata, "Jangan
mengucapkan selamat jalan kepadaku, Komandan Deng. Sebab yang akan ke Ibukota
Pak-khia hanyalah Tuan Puteri dan pasukan
pengawalnya. Aku pribadi akan tetap di sini dan
menempatkan diri di bawah komandomu,
Komandan Deng..." Berkelip sepercik rasa hormat di mata Deng
Hu-koan mendengar tekad Yo Kian-hi itu.
Seandainya Yo Kian-hi ingin meninggalkan garis
depan dan pulang ke Pak-khia, tentu ada alasan
kuat buatnya, sebab ia sejak semula termasuk
dalam rombongannya Tan Wan-wan. Ternyata
Yo Kian-hi memilih untuk tetap di situ
menghadapi serbuan Manchu, bahkan tidak
segan-segan mengatakan "menempatkan diri di
bawah komandomu". Kembang Jelita 2 / XVIII 37 Hati Deng Hu-koan bergolak. Sebagai orang
dekat Jenderal Lau, tentu saja dia tahu intrik
busuk yang pernah terjadi antara Jenderal Lau
dan Jenderal Gu Kim-sing untuk menyingkirkan
Jenderal Li Giam, dulu. Sekarang rupanya Yo
Kian-hi sama sekali sudah melupakan peristiwa
yang merugikan Jenderal Li Giam itu.
"Terima kasih, Saudara Yo. Kalau semua
prajurit kita bersemangat seperti kau, kita
benar-benar kuat." Setelah mengatur penjagaan di desa itu,
Deng Hu-koan beserta Yo Kian-hi dan
sekelompok kecil pengawal berkuda menuju ke
selat-gunung. Pos terdepan yang menghadap ke
timur. Tiba di selat gunung itu, nampak ratusan
bendera berkibar di atasnya. Menyiratkan
kesiapan pasukan itu. Deng Hu-koan memanjat naik ke lereng,
disambut Tek Un-hap. "Sungguh gila! Kenapa baru sekarang matamata memberitahu gerakan pasukan Manchu?
Hampir saja kita dimakan mentah-mentah oleh
Kembang Jelita 2 / XVIII 38 mereka. Untung pasukanku selalu siap..."
sambut Tek Un-hap yang kasar itu. Tubuhnya
tinggi besar, berewokan kaku seperti sikat
kakus, dan senjatanya sepasang kong-pian
(ruyung baja) yang bisa digerakkan seringan
orang menggerakkan sepasang potongan
ranting kering. Deng Hu-koan menepuk pundaknya,
"Jangan kaget, Saudara Tek. Kita memang
sempat kebobolan beberapa lama oleh musuh
yang bekerja dalam tubuh kita sendiri, tetapi
jangan khawatir, sekarang semuanya sudah
beres..." Kemudian Deng Hu-koan memperkenalkan
Yo Kian-hi dan Tek Un-hap. Yo Kian-hi
diperkenalkannya sebagai seorang panglima
bawahannya Jenderal Li Giam. Tek Un-hap yang
polos itu menyambutnya dengan gembira, dan
terang-terangan menyatakan sesalnya kenapa
dia tidak bertempur di bawah Jenderal Li Giam,
dulu ketika merobohkan dinasti Beng.
Yo Kian-hi tertawa, "Tetapi tidak perlu
disesali, Saudara Tek. Bukankah bersama-sama
Kembang Jelita 2 / XVIII 39 dengan Jenderal Lau, justru pasukanmulah yang
pertama kali berhasil memasuki Ibukota Pakkhia ketika itu?"
Begitulah keduanya cepat menjadi akrab. Yo
Kian-hi bertubuh tinggi dan tegap, namun
ketika berjalan berdampingan dengan Tek Unhap yang tingginya lebih dari dua meter itu, Yo
Kian-hi jadi cuma setinggi pundaknya. Tek Unhap benar-benar bertubuh rasaksa, dan
makannya pun sebanyak tiga kali lipat orang
biasa. Dari atas bukit yang menjadi kubu
pertahanan mereka, mereka melihat ke dataran
di sebelah timur, dan terlihatlah pasukan
musuh sudah semakin dekat. Jumlahnya
seimbang dengan pasukan Pelangi Kuning yang
di bukit itu. Seragam mereka kain belacu yang
dicelup warna biru tua, dan memakai caping
rotan. Dandanan yang sederhana dan jauh dari
kesan gemerlapan. Tetapi pasukan Pelangi
Kuning sudah "mencicipi" sedikit kehebatan
tempur mereka di luar kota San-hai-koan.
Kembang Jelita 2 / XVIII 40 Namun bendera Kerajaan Manchu, yaitu
bendera bergambar naga bercakar lima, tidak
kelihatan sehelai pun. Bendera utama yang
berkibar di dalam pasukan itu adalah bendera
Kerajaan Beng. "Hem, kedok yang lihai..." geram Yo Kian-hi
sambil terus meneropong. Teropong pelautpelaut Portugis. "Mereka bertindak seolah-olah
menolong dinasti Beng untuk kembali berkuasa,
tetapi aku berani taruhan bahwa mereka kelak
akan betah di Tiong-goan dan sulit diusir
kembali ke Liau-tong. Seperti leluhur mereka,
bangsa Kim, juga pernah mendirikan dinasti di
Tiong-goan ratusan tahun lamanya..."
Pasukan musuh menyeberangi dataran
dengan langkah cepat, setengah berlari,
kemudian menyebar dalam bentuk bulan sabit
raksasa yang menghadap ke arah kubu Pelangi
Kuning di bukit. Sesudah itu, mereka berhenti,
tidak maju lagi. Sepertinya menunggu. Selama
semua gerakan tadi, tidak terdengar mereka
bersorak-sorai, juga tidak ada yang berbicara,
kecuali para komandan dalam aba-aba mereka
Kembang Jelita 2 / XVIII 41 yang singkat-singkat. Dan ketika mereka
berhenti, mereka jadi seperti ribuan patung
yang ditaruh berjajar di dataran itu. Ribuan
patung bisu. Disiplin macam itu mau tidak mau
menggetarkan hati prajurit-prajurit Pelangi
Kuning yang berkubu di selat gunung.
"Apa yang mereka tunggu?" desis Tek Unhap sambil menggosong-gosokkan telapak
tangannya dengan sikap tidak sabar.
"Mungkin menunggu kita turun ke dataran,"
sahut Yo Kian-hi. "Apa kita perlu turun untuk menyongsong
mereka?" Yo Kian-hi ingin menjawab, tetapi tidak
berani melancangi Deng Hu-koan. Ternyata
Deng Hu-koan yang mulai timbul rasa
Hormatnya kepada Yo Kian-hi, malahan
bertanya kepada Yo Kain-hi, "Bagaimana
pikiranmu, Saudara Yo?"
"Menurutku, jumlah kedua pasukan
kelihatannya seimbang. Tetapi keunggulan
posisi kita membuat jadi tidak seimbang lagi,
Kembang Jelita 2 / XVIII 42 kita yang punya lebih banyak peluang kalau kita
tidak meninggalkan bukit ini. Kalau kita turun
ke daratan, posisinya jadi sama dengan mereka
dan menguntungkan mereka."
"Jadi, kita tetap di bukit ini?"
"Ya. Kalau musuh ingin berperang, biar
mereka yang naik kemari, bukan kita yang
turun menyongsong mereka."
Ternyata Deng Hu-koan terima mentahmentah usul Yo Kian-hi itu. Tek Un-hap sebagai
bawahan Deng Hu-koan sudah tentu tidak
bertindak keluar dari garis perintah itu.
Begitulah, pasukan Pelangi Kuning yang
berada di atas bukit di sebelah menyebelah
selat gunung itu pun diperintahkan untuk
waspada namun tidak beranjak dari tempat
mereka. Musuh agaknya menunggu, namun
pihak Pelangi Kuning tidak mau didikte dan
juga akan bersikap menunggu, tidak terpancing.
Dengan demikian, "acara pembukaan"nya ialah
tunggu-menunggu. Kembang Jelita 2 / XVIII 43 Tek Un-hap yang tidak sabaran itu sudah
gelisah seperti semut-kepanasan, berjalan hilirmudik sambil menggerutu tak habis-habisnya.
Kemudian ternyata pihak Manchu ingin
"memberi sedikit variasi" kepada acara salingmenunggu yang menjemukan itu. Seorang
peneropong di pihak Pelangi Kuning bergegas
melaporkan kepada Deng Hu-koan, bahwa
pihak musuh membuat gerakan.
Bergegas Deng Hu-koan dan perwiraperwiranya menuju ke tempat yang agak
menonjol, yang bisa melihat ke seluruh dataran.
Dan sekarang tanpa teropong pun terlihat kalau
pasukan Manchu maju ratusan langkah, masih
dalam formasi menebar, tetapi kali ini sambil
menyeret maju puluhan meriam-meriam besar
mereka yang beroda. Diikuti prajurit-prajurit
yang memanggul tong-tong di pundaknya.
Dari atas bukit Deng Hu-koan menghitung
ada dua puluh pucuk meriam di pihak musuh,
lima pucuk di antaranya adalah meriam yang
sering disebut Cong-thian-pau (Meriam
Penembus Langit) yang jangkauannya amat
Kembang Jelita 2 / XVIII 44 jauh. Deng Hu-koan jadi berkeringat dingin
sendiri, mengingat pihaknya sendiri biarpun
juga punya bahkan lebih banyak meriam dari
pihak Man-chu, tetapi mesiunya sudah tinggal
amat sedikit, habis dihambur-hamburkan
menembaki San-hai-koan dulu.
Supaya prajurit-prajuritnya tidak menjadi
korban, berserulah Deng Hu-koan, "Berlindung
ke balik bukit!" Para prajurit pun tergesa-gesa menjalankan
perintah itu. Mereka harus naik dulu ke puncak,
kemudian turun kembali ke sebaliknya. Namun
belum sampai mereka di puncak bukit, meriammeriam Manchu sudah berdentuman saling
susul. Permukaan tanah di lereng bukit itu seolaholah dibongkar, tanah, kerikil dan pepohonan
kecil seolah bermuncratan ke atas, bersamaan
dengan tubuh para prajurit yang berpentalan.
Tetapi sebagian besar prajurit Pelangi
Kuning berhasil mencapai belakang bukit.
Ternyata kemudian belakang bukit pun
bukanlah tempat aman. Kini lima pucuk
Kembang Jelita 2 / XVIII 45 "meriam penembus langit" Manchu mulai
"bernyanyi". Para penembak meriam di pihak
Manchu

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukanlah penembak-penembak ngawur yang asal menembak saja, mereka
terlatih dan mempunyai berbagai "jurus" untuk
berbagai keadaan. Ketika prajurit-prajurit
Pelangi Kuning bersembunyi di balik bukit,
meriam-meriam "penembus langit" agak
didongakkan, seolah hendak benar-benar
menembak langit. Waktu bola-bola besinya terlontar ke atas,
bola-bola besi itu melewati puncak-puncak
bukit dan jatuh di lereng belakang bukit, tempat
prajurit-prajurit bersembunyi. Begitulah, tetap
saja di pihak Pelangi Kuning jatuh korban jiwa.
Tek Un-hap menjadi gemas dan minta ijin
kepada Deng Hu-koan, "Biar aku bawa sebagian
prajurit untuk membungkam meriam-meriam
itu..." "Tidak, Saudara Tek, kau hanya akan
mengantar nyawamu sendiri dan nyawa
prajurit-prajuritmu. Tunggu saja di situ."
Kembang Jelita 2 / XVIII 46 "Dan ditembaki terus tanpa bisa berbuat
apa-apa untuk membalas?"
Kali ini Yo Kian-hi yang menjawab, "Dalam
adu kesabaran dengan pihak musuh, kita harus
menang, Saudara Tek. Kalau kita terpancing
turun ke dataran, kita akan rugi lebih besar..."
Terpaksa Tek Un-hap menahan diri. "Setansetan Manchu itu, seandainya mereka punya
nyali dan berani melewati selat itu, mereka
akan kita kubur hidup-hidup!"
Memang di tempat itu ada sebuah selat
gunung yang sempit dengan dindingdindingnya yang terjal. Pihak Pelangi Kuning
sudah menyiapkan sejumlah besar batu-batu
dan balok-balok kayu yang siap digelundungkan
ke bawah, kalau musuh lewat. Tetapi musuh
tidak lewat, malahan menembaki dari kejauhan.
Tetapi kemudian tembakan-tembakan meriam itu mereda sendiri. Pihak Manchu
rupanya tidak mau memboroskan bubukpeledak mereka untuk menembaki sasaran yang
tidak kelihatan, dan tidak nampak pula hasil
Kembang Jelita 2 / XVIII 47 dari tembakan mereka karena ada di sebalik
bukit. "Mereka berhenti menembak, Jenderal..."
seseorang melapor kepada Deng Hu-koan.
"Awasi terus gerak-gerik mereka dan
laporkan kepadaku, perkembangan yang
bagaimanapun kecilnya."
"Baik, Jenderal."
Tidak lama kemudian, datang laporan,
"Jenderal, pasukan musuh memecah diri
menjadi dua bagian, sebagian menghilang ke
dalam hutan di sebelah selatan..."
Yo Kian-hi mengomentari sambil menoleh
kepada Deng Hu-koan, "Mungkin mereka ingin
mencari jalan naik ke bukit tanpa melalui selat,
juga tanpa naik dari depan, mungkin sudah
menduga kalau batu-batu dan balok-balok bakal
menyambut mereka..."
"Ya, tetapi mereka tidak akan memperoleh
jalan dari arah selatan, kecuali mereka berubah
menjadi belut, sebab di sebelah selatan adalah
rawa-rawa yang tidak bisa dilewati."
Kembang Jelita 2 / XVIII 48 "Mumpung mereka hanya separuh di
dataran itu, bagaimana kalau kita datangi dan
kita gasak. Tentu butuh waktu bagi yang
sebagian lainnya yang sedang pergi ke arah
rawa-rawa itu untuk bolak-balik ke tempatnya
semula..." usul Tek Un-hap.
"Tunggu, sebentar lagi pasukan kita yang
berjaga di tepi sungai juga akan tiba, tadi aku
sudah memanggil mereka. Kalau mereka sudah
bergabung dengan kita, kita sapu mereka yang
ketinggalan di dataran..."
Tek Un-hap meninju telapak tangannya
sendiri tanda ketidak-sabarannya. Namun Yo
Kian-hi ikut menenangkan si berangasan itu,
"Betul, Saudara Tek. Biar mereka yang pergi ke
arah rawa-rawa itu cukup jauh lebih dulu,
sehingga tidak ada kesempatan membantu
teman-teman mereka..."
Tidak lama kemudian, sepuluh ribu prajurit
Pelangi Kuning yang semula ditugaskan
mengawasi lalu-lintas sungai sepuluh li dari
arah situ, datang bergabung, pemimpin mereka
bernama Biao San-tong, berpangkat Cam-ciang.
Kembang Jelita 2 / XVIII 49 Maka Deng Hu-koan pun mempersiapkan
pasukan untuk menyerbu ke dataran.
"Harus dengan gerak cepat, dan jangan
menghadap langsung ke moncong-moncong
meriamnya, kecuali bosan jadi manusia..." pesan
Deng Hu-koan kepada komandan-komandan
bawahannya yang akan memimpin pecahanpecahan pasukan.
Pasukan sudah siap bergerak, ketika tibatiba muncul suatu masalah. Tiba-tiba saja dari
arah barat, garis belakang, dari desa yang
didiami Jenderal Lau, nampak ada asap
mengepul tinggi. Keruan Deng Hu-koan dan perwira-perwira
lainnya jadi kebingungan mengambil keputusan. Mau menyergap musuh dulu, atau
menolong Jenderal Lau dulu? Menyergap musuh
di dataran adalah kesempatan baik selagi
pasukan musuh ditinggal separuh teman-teman
mereka, tetapi nasib Jenderal Lau?
Kadang-kadang dalam pikiran Deng Hukoan menyeruak juga sepercik rasa jemu
kepada Jenderal Lau yang tidak becus tetapi
Kembang Jelita 2 / XVIII 50 galaknya bukan main. Tapi Deng Hu-koan punya
pertimbangan lain. Bagaimanapun jeleknya Lau
Cong-bin, ia adalah Panglima Tertinggi, dan mau
tidak mau menjadi lambang kejayaan
pemerintah di Pak-khia. Kalau sampai Lau
Cong-bin terbunuh, semangat sekalian prajurit
Pelangi Kuning bisa merosot, sebaliknya
prajurit-prajurit Manchu akan meningkat
semangatnya. Karena itulah Deng Hu-koan kemudian
menugaskan Biao San-tong, "Komandan Biao,
bawa pasukanmu menolong Panglima Tertinggi.
Cepat!" Tanpa membuang waktu, Biao San-tong
segera membawa pasukannya ke arah barat.
Sedang niat menghancurkan pasukan Manchu
yang ada di dataran ternyata tetap
dilaksanakan. Dipimpin sendiri oleh Deng Hukoan, mereka keluar dari balik bukit dan
langsung menyeberangi dataran.
Ternyata pasukan Manchu tidak menembakkan meriam-meriamnya, mungkin
karena meriam-meriam itu berat dan tidak
Kembang Jelita 2 / XVIII 51 gampang untuk mengarahkannya ke sana
kemari dalam waktu singkat. Makin dekat,
makin kelihatan barisan terdepan dari barisan
Manchu adalah prajurit-prajurit yang bersenjata perisai di tangan kiri dan pedang di
tangan kanan. Sebelum kedua pasukan bertemu dalam
perkelahian jarak dekat, seperti "kebiasaan"
kedua belah pihak saling memanah dan
melempar lembing. Menjatuhkan korbankorban pendahuluan di kedua pihak.
Namun ketika jarak antara kedua pasukan
tinggal puluhan langkah, terjadi kejutan.
Prajurit-prajurit Manchu yang dibarisan
terdepan itu tiba-tiba malahan mundur, dan
begitu mereka minggir segera terlihat kalau di
barisan terdepan musuh sekarang berjongkok
dan membiarkan pundaknya sebagai tempat
untuk meletakkan laras, yang belakang siap
menarik pelatuk. Deng Hu-koan dan para pimpinan pasukan
lainnya terkejut. Yo Kion-hi tak sempat lagi
Kembang Jelita 2 / XVIII 52 minta ijin kepada Deng Hu-koan, langsung
berteriak, "Bertiarap! Bertiarap!"
Yo Kian-hi sendiri membanting dirinya
bergulingan di tanah, bertepatan waktunya
ketika moncong-moncong senapan itu menyemburkan kelereng-kelereng panasnya.
Ratusan prajurit Pelangi Kuning terjungkal
seketika. Teman-teman yang di belakang
mereka kaget melihat yang di depan mereka
bergelimpangan. Namun mereka terus menerjang maju karena diperintah komandankomandan mereka.
Memang, karena dekatnya jarak, pasukan
Manchu hanya sempat satu kali mengisi dan
menembakkan senapan-senapan mereka. Selanjutnya musuh sudah sampai ke dekat
mereka dan harus dilawan dengan pedang atau
tombak. Sementara itu, Yo Kian-hi dari bergulingan
di tanah telah melambung tinggi dan
menyambar prajurit-prajurit Manchu seperti
burung elang. Sementara masih melayang,
kedua tangannya meraih ke belakang
Kembang Jelita 2 / XVIII 53 pundaknya, mencabut sepasang pedangnya
yang tergendong di pundaknya. Dan begitu tiba
di tengah-tengah para prajurit Manchu,
sepasang pedangnya menjadi seperti gulungan
cahaya keperak-perakan yang menumbangkan
banyak prajurit musuh. Yo Kian-hi benar-benar melampiaskan
kegeramannya yang terpendam sekian lama
terhadap orang-orang Manchu. la teringat usaha
orang Manchu membunuh Jenderal Li Giam,
membunuh gurunya, dan juga tipu-muslihat
mereka yang membuat San-hai-koan jatuh ke
tangan mereka, dan tipu-daya adu domba yang
membuat kaum Pelangi Kuning gagal
menggabungkan kekuatan dengan sisa-sisa
dinasti Beng. Kini, kekesalan yang menggumpal itu
tersalur ke sepasang pedangnya yang cepat
membuat sepasang pedangnya berubah warna
menjadi merah. Amukan Yo Kian-hi menimbulkan semangat
prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Apalagi ketika
tokoh-tokoh Pelangi Kuning lainnya seperti Ong
Kembang Jelita 2 / XVIII 54 Ling-po, Tek Un-hap, Pun Liok dan lain-lainnya
juga mulai mengamuk ke depan. Deng Hu-koan
tidak ikut acara "mengamuk" itu, sebab
meskipun pangkatnya tinggi, ia bukan jago silat.
Tetapi di pihak Manchu juga tidak
membiarkan pasukan mereka dirusak oleh Yo
Kian-hi dan kawan-kawannya. Amukan Yo Kianhi terhadang oleh seorang setengah baya yang
tidak berseragam prajurit, rambutnya campuran hitam putih, yang istimewa adalah
kulit wajahnya yang kuning hangus seperti
warna perunggu. Dia menghadang Yo Kian-hi
dengan tangan kosong. "Bocah ingusan, hebat juga lagakmu. Siapa
kau?" "Yo Kian-hi. Kau siapa? Kenapa tidak
memakai seragammu?" "Aku jauh di atas prajurit-prajurit biasa,


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak butuh seragam. Namaku Yim Mo."
"Ooo..." "Pernah dengar namaku?"
"Pernah." "Tergolong berpengalaman juga kau,
Kembang Jelita 2 / XVIII 55 "Anak muda. Kapan kau dengar namaku?"
"Baru saja, ketika kau sebutkan namamu."
Keruan Yim Mo gusar. Selama ini dia merasa
sangat bangga karena menganggap namanya
dikenal luas. Tetapi jawaban Yo Kian-hi yang
seenaknya membuatnya gusar. "Anjing kecil,
mulutmu sungguh lancang. Kalau kau tahu siapa
yang sedang kau hadapi, kau akan menggigil
ketakutan..." "Kalau begitu, aku pilih tidak tahu saja
daripada menggigil ketakutan. Nah, kita mulai!"
kata Yo Kian-hi sambil menyarungkan sepasang
pedangnya. Yim Mo heran, "Kau mengajak mulai,
kenapa malah pedang-pedangmu kau simpan?"
"Bukankah kau tidak bersenjata? Masa aku
harus menggunakan senjata melawanmu?"
Yim Mo tiba-tiba tertawa mengejek, "Wah,
gurumu pasti bangga sekali kalau mendengar
kata-katamu ini, Anak manis. Kau begitu
mentaati ajaran kaum kesatria tanpa
menghiraukan resiko bahaya buat nyawamu
sendiri. Tetapi ketahuilah, Anak muda, kerasnya
Kembang Jelita 2 / XVIII 56 dunia kaum pendekar jauh bedanya dengan
ajaran-ajaran manis dalam perguruan. Karena
aku kasihan kepadamu, aku ijinkan kau
menggunakan sepasang pedangmu tadi. Ayo,
hunus kembali kedua pedangmu!"
"Pak tua, mau berkelahi apa mengoceh?"
"Anak muda, tahu dirilah, aku ini kasihan
kepadamu sebab..." Yim Mo tidak sempat menyelesaikan katakatanya sebab tahu-tahu telapak kaki Yo Kian-hi
hampir menginjak wajahnya. Yim Mo kaget
sekali, sebab ia tidak melihat bagaimana awal
gerakannya dan tahu-tahu sudah hampir kena
wajahnya. Untung Yim Mo yang mahir Siu-kut-kang
(Ilmu Menyusutkan Tulang) sehingga bisa
memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam guci
arak. Dia dengan cepat menghindar ke belakang.
"Gila kau!" umpatnya, lalu dia balas
menerkam Yo Kian-hi dengan cakar-cakarnya.
Keduanya pun bertempur sengit dengan
tangan kosong. Dengan gaya bertempurnya
masing-masing, pertarungan mereka jadi
Kembang Jelita 2 / XVIII 57 "Gila kau!" umpatnya, lalu dia balas menerkam
Yo Kian-hi dengan cakar-cakarnya
Kembang Jelita 2 / XVIII 58 menarik ditonton. Yo Kian-hi kuat, keras dan
lugas seperti seekor gajah mengamuk,
sedangkan Yim Mo licin dan meliuk-liuk
bagaikan ular. Gaya tempurnya mengingatkan
Yo Kian-hi akan si mata-mata Manchu yang
semalam dibereskan Yo Kian-hi, yaitu O Yokma.
Terdorong rasa ingin tahunya, di tengahtengah pertempuran, Yo Kian-hi bertanya,
"Orang tua, kau kenal seorang yang bernama O
Yok-ma?" Yim Mo agak terkesiap, kenapa perwira
muda ini kenal adik-seperguruannya yang
Maya 3 Love Command The Second Chance Karya Janice Nathania Hina Kelana 7
^