Pencarian

Pedang Amarah 1

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An Bagian 1


Bab 1. Bertemu salju lebih bersih, berjumpai badai lebih tegar.
Permulaan musim semi baru tiba, ketika Lui Tun berjalan keluar dari balik
rimbunnya pepohonan menuju ke serambi panjang, diapun dapat menyaksikan bangunan
loteng yang tinggi berdiri megah dibawah cahaya langit.
Memandang langit nan luas, menengok gelombang mega yang bersusun, bangunan loteng
itu seolah berdiri menyendiri dibawah jagad raya. Tapi Lui Tun tahu siapa yang
tinggal di situ. Dia ingin balas dendam. Dia ingin menghabisi nyawa orang yang
berdiam dalam bangunan itu. Orang itu adalah So Bong-seng. So Bong-seng yang telah
menghabisi nyawa ayahnya, So Bong-seng yang nyaris menikahi dirinya.
OoOoo Wajah Lui Tun, seakan bertemu salju lebih bersih, berjumpa badai lebih tegar
Tempo dulu, dia senang memeluk khiem dan memetiknya ditepi sungai, tapi kini,
dalam hatinya sudah tak memiliki senar, tak mampu memetikkan lagu lagi.
Oo0oo "Apakah anak Ji belum mau pulang?"
"Aaai! Bocah ini memang kelewatan. Pernah kuminta tolong seseorang untuk
mengajaknya pulang. Akhir tahun berselang ia sempat pulang satu kali, muka nya
nampak kucal, sikapnya acuh tak acuh, tiap hari ia bermurung durja, tak sampai
lewat tahun baru, ia sudah ribut ingin berangkat lagi ke ibu kota. Dia..... mau
dibilang baik atau buruk, aku sudah segan mengurusinya lagi"
"Tempo hari, sewaktu ia turun dari bukit Siau-han-san, kusangka dia mau pulang
menjenguk kalian, tak disangka . . . . . .. ternyata ia benar benar pergi ke ibu kota
untuk mengunjungi So Bong-seng, padahal..... ambisi So Bong-seng kelewat besar,
kelewat membabi buta, cita citanya setinggi langit, cepat atau lambat dia pasti
akan terlibas dalam pertikaian kekuatan terang dan gelap yang berlangsung di
kotaraja. Anak Ji masih belum berpengalaman, diapun baru pertama kali mengunjungi
kotaraja, kalau sampai terlibat dalam pertikaian ini, aku kuatir ia gampang
teraniaya . . . . . .."
"Salah siapa dia enggan menuruti nasehat, tak mau menerima petunjuk orang, kalau
sampai terjadi sesuatu, jangan salahkan orang lain. Suthay tak perlu menguatirkan
nasib bocah ini, aku yakin dia banyak hoki dan berumur panjang, tak ada salahnya
bila harus sedikit menderita, toh keliru besar bila kita selalu memproteksi dia,
melindungi dirinya" "Masih untung muridmu Bong-seng berilmu tinggi dan pandai berstrategi, dia tak
malu disebut seorang jagoan hebat, asal mau menaruh perhatian sedikit saja
terhadap anak Ji, aku percaya tak banyak orang di kotaraja yang tidak mau memberi
muka kepadanya" "Kungfu yang dimiliki Bong-seng memang tinggi, dia pandai mengatur strategi, sejak
lahir memang sudah memiliki jiwa seorang pemimpin, tapi kalau dibilang kesemuanya
itu hasil didikanku . . . . .. hehehe.... itu mah pengakuan lonie sambil tebalkan muka.
Ilmu golok Hong-hun-si-yu-ang-siu-to miliknya sangat hebat, mungkin ini disebabkan
sejak kecil ia berbadan lemah dan sakit sakitan hingga semua tenaga tersembunyinya
malah terangsang keluar, ilmu goloknya boleh dibilang dingin, sadis dan aneh,
kecepatan geraknya tak terkirakan. Kemampuannya sudah jauh melebihi kemampuan
pinni dalam menggunakan ilmu golok ang-siu-to-hoat"
"Tak ada guru kenamaan yang gagal menghasilkan murid hebat, kionghi, kionghi!"
"Thayjin kelewat memuji. Justru pinni sengaja berkata begitu karena ingin
menghindari dosa. Gara gara berhasil mendidik murid macam begini, badai berdarah
tak terhindarkan lagi, yang pinni kuatirkan adalah melepas harimau itu gampang,
yang susah kalau ingin menangkapnya kembali, pinni kuatir kemampuanku pun tak
sanggup lagi untuk mengatasi pertikaian ini!"
"Aaah perkataan sinni kelewat serius. Biarpun So Bong-seng adalah locu dari
kim-hong-si-yu-lo, menjadi pentolan Pakkhia diluar pemerintahan, tapi dalam
kenyataan dia adalah seorang pemimpin yang adil, bijaksana, setia kawan dan
membela kaum lemah, dia sangat ketat mengendalikan anak buahnya, belum tentu
pemimpin macam begini suka berbuat jahat. Apalagi pengaruhnya bisa begitu meluas
pun gara gara didukung secara diam diam oleh pihak pemerintah. Disaat tentara Kim
mulai melanggar teritorial negara, disaat pertempuran bisa pecah setiap saat,
pihak pemerintah sangat membutuhkan dukungan dan bantuan dari kaum gagah di sungai
telaga. Sekarang So Bong-seng justru sedang menggalang kesatuan dan persatuan
untuk menghadapi serangan luar, kebesaran jiwanya boleh dibilang sungguh
mengagumkan, karena itu pertarungannya dengan pihak Lak-hun-poan-tong meski
sepintas seperti pertarungan dua geng besar di Pakkhia untuk berebut pengaruh,
padahal yang benar adalah pertikaian antara pihak yang mendukung pertempuran
melawan agresor dan pihak yang menentang. Sekarang negara dalam kondisi lemah,
masa kita akan persembahkan negara tercinta ini kepada pihak agresor dengan begitu
saja? Memangnya kita akan mendukung kaum laknat yang Cuma memikirkan kejayaan dan
kepentingan pribadi? Tindak tanduk So kongcu luar biasa, dia adalah seorang
ksatria sejati, tidak malu disebut pendekar diantara pendekar"
"Tak nyana thayjin begitu memuji murid ku. Bong-seng memang keras kepala dan suka
cari menangnya sendiri, napsu membunuhnya kelewat kuat. Mungkin sumbangsih dalam
hal lain dia kurang, namun harus diakui dia memang cinta negara, mau peduli dengan
keselamatan kerajaan. Padahal semua orang juga tahu kalau kota Pakkhia merupakan
wilayah kekuasaan Mi-thian-jit-seng (tujuh rasul pembius langit), kelompok yang
lebih cenderung menyerah kepada pihak musuh, kelompok penghianat negara. Kalau
pertarungan dengan Lak-hun-poan-tong hanya pertarungan lokal, maka pertempuran
melawan negara agresor akan menjadi petaka besar bagi seluruh rakyat negara. Harus
diakui hanya orang orang Kim-hong-si-yu-lo yang rela kehilangan batok kepala dan
bercucuran darah demi membela negara. Aaai! Puluhan tahun berselang, kota Pakkhia
masih merupakan wilayah kekuasaan Mi-thian-jit-seng, dan sekarang . . . . . .. segalanya
telah berbalik" "Sejujurnya, murid mu So Bong-seng memang musti diakui sebagai seorang pendekar
sejati, buktinya jagoan tangguh seperti Lui Sun pun harus kehilangan nyawa
ditangannya. Tatkala Mi-thian-jit-seng masih menguasai kotaraja sendirian, siapa
sih yang tidak takut kepada mereka? Siapa yang tidak jeri menghadapi mereka?
Bahkan Lak-hun-poan-tong sendiripun meski dengan susah payah mampu membendung
pengaruh mereka, itupun sudah kewalahan setengah mati hingga boleh dikata tak ada
kemampuan untuk menyerang balik. Tongcu Lak-hun-poan-tong waktu itu, Lui Ceng-lui
sampai merasa perlu untuk mengundang dua jagoan tangguh untuk membantunya, yang
satu adalah Lui Tin-hi, yang lain adalah Lui Sun.
"Lui Tin-hi adalah seorang jagoan dari Suchuan yang malang melintang dalam dunia
persilatan dengan mengandalkan kekuatan bahan peledak dari keluarga Lui, dimana ia
ciptakan sejenis senjata rahasia yang bisa meledak setiap saat, kemudian ia
berhasil menguasai jago jago dari keluarga Tong hingga kemampuan senjata
peledaknya makin hebat. "Berbeda sekali dengan Lui Sun, dia beranggapan keliru besar jika keluarga Lui
hanya mengandalkan ilmu jari dan ilmu bahan peledak untuk mengharumkan nama
keluarga, dia merasa keluarga Lui perlu memandang lebih ke depan, membuka diri
dalam pergaulan Bu-lim dan berkembang dengan cara lain. Itulah sebabnya mati
matian dia berlatih diri dengan ilmu Kuai-man-kiu-ci-koat-hoat (sembilan huruf
cepat dan lambat) dengan harapan bisa memberi sumber kekuatan baru bagi perguruan
keluarga Lui, demi mensukseskan latihannya dia bahkan tak segan mengutungi jari
tangan sendiri sebagai tanda kebulatan tekadnya, yaa . . . . .. sejujurnya sumbangsih
ke dua orang ini terhadap Lak-hun-poan-tong dan perguruan Lui memang sangat luar
biasa. "Tapi kemudian Lui Sun dengan taktik 'pinjam golok membunuh orang' berhasil
menjebak Lui Tin-hi hingga bentrok dengan Kwan Jit dari Mi-thian-jit-seng!
"Akibatnya Lui Tin-hi jadi cacad sedangkan Kwan Jit jadi setengah sinting,
\\ sementara Lui Sun dengan menggunakan taktik merubah peperangan menjadi
II perdamaian buru buru meminang adik kandung Kwan Jit yakni Kwan Siau-te menjadi
bininya, karena perkawinan ini kelompok Lak-hun-poan-tong pun mendapat dukungan
pengaruh dari Mi-thian-jit-seng, otomatis kekuasaannya makin meluas dan kuat. Agar
bisa benar benar menjadi pemimpin tertinggi, mula mula dia pojokkan dulu Lui
Ceng-lui hingga mati, kemudian memojokkan Kwan Siau-te, bininya hingga kabur,
disamping itu secara diam diam dia pun berhubungan gelap dengan Lui Bi, putri
tunggal Lui Ceng-lui. Boleh dibilang lelaki ini asli sebagai "Kalau tidak kejam
bukan seorang lelaki sejati".
"Gara gara kelewat kejam itulah musibah tragis yang harus dia tuai, padahal orang
ini pandai menahan diri, tak mau sembarangan bertindak sebelum rencana matang, dia
pandai menahan diri, pandai menyembunyikan kemampuan, sebetulnya manusia macam
beginilah yang paling susah dicabut akarnya, paling sulit merobohkan kekuasaannya:
ia telah berhasil menjatuhkan Lui Tin-hi, membuat Kwan Jit jatuh pecundang,
membuat Lui Ceng-lui mampus, ketika semua halangan berhasil disingkirkan satu per
satu, waktu itu lo-locu dari Kim-hong-si-yu-lo pun sudah berangkat ke langit
barat, apa mau dikata penggantinya So Bong-seng justru berhasil menguasai keadaan,
bukan saja perkumpulan Kim-hong-si-yu-lo berhasil dikembangkan makin besar dan
berpengaruh, bahkan berhasil melampaui kekuatan Lak-hun-poan-tong.
"Ternyata dalam keadaan seperti ini Lui Sun masih sanggup mengendalikan diri,
sementara dia berbenah untuk mengatur siasat dan memperkuat posisi, sikapnya diluaran seakan
tak berdaya untuk membendung serbuan lawan. So Bong-seng bukan orang bodoh, dia pun manfaatkan
siasat itu dengan melakukan invasi, selangkah demi selangkah dia pojokkan pihak Lak-hun-
poan-tong agar mau melakukan duel habis habisan.
"Lui Sun bersikap macam orang tak bernyali dan ketakutan, dia mundur terus sambil mengalah,
padahal malam sebelum hari pertempuran habis habisan dia lakukan sergapan untuk membokong
lawannya. Sayang So Bong-seng berhasil menebak rencananya itu dan ikut melancarkan serangan
lebih awal, sampai pada akhirnya........"
\\"l -api kelihatannya kejadian inipun sudah dalam dugaan Lui Sun"
"Benar. Karena itulah selama berada didepan So Bong-seng, Lui Sun sengaja memerankan perannya
sebagai orang yang "mati karena terbunuh", padahal dibelakang layar dia perintahkan orang
kepercayaannya Zi Hui-keng untuk melakukan pembokongan, kemudian dia menerobos masuk ke dalam
peti mati yang disangka orang lain sebagai tempat bersembunyinya jago lihay dan meledakkan
diri. Padahal sesaat sebelum peti mati itu meledak, dia sudah kabur dulu melalui terowongan
bawah tanah. Setelah itu dengan memanfaatkan kesempatan disaat musuh sedang memeriahkan pesta
kemenangannya, dia dengan disertai jago paling hebat dari Lak-hun-poan-tong melakukan sergapan
kilat. Tapi sayangnya........."
"Tapi sayang pada detik terakhir semuanya berantakan. Ia sering melakukan maksiat, jadi sudah
sepantasnya mendapat imbalan yang pantas. Ternyata Lui Bi adalah Kwee ?ang-sin, salah satu dari
empat malaikat sakti dibawah pimpinan So Bong-seng, disaat yang paling kritis ia lepaskan
sebuah tusukan maut untuk membunuhnya"
"Kali ini Lui Sun benar benar mampus"
"Yaa, tapi kelompok Lak-hun-poan-tong tidak ambruk lantaran peristiwa itu"
"Disinilah letak kejelian Lui Sun, dia selalu mengutamakan masalah secara keseluruhan, dengan
meninggalkan Toa-tongcu nya Zi Hui-keng di markas, meski akhirnya dia musti menemui ajalnya,
namun Zi Hui-keng masih mampu memimpin sisa laskar Lak-hun-poan-tong dan mengupayakan
pembalasan dendam atas kematian dirinya"
"Menyisakan jalan mundur memang merupakan kelebihan yang dimiliki Lui Sun, kelebihan yang luar
biasa" "Crang kuno berkata: cabutlah rumput hingga seakar-akarnya, aku rasa persoalan ini merupakan
luka telak yang mematikan Lui Sun, coba ia tega, tak nanti Lui Bi bakal berhasil menghabisi
nyawanya untuk menuntut balas"
"Bagaimana pun Lui Sun telah menggunakan seseorang secara tepat"
"Maksudmu Ti Hui-keng?"
"Benar. Biarpun dia masih muda, namun kecerdasan otaknya luar biasa bahkan sangat setia
terhadap Lui Sun. Setelah Lui Sun meninggal, semua orang mengira dia bakal mengerahkan segenap
kekuatan untuk melakukan pembalasan dendam, siapa sangka ia justru tidak melakukan gerakan apa
pun. Biarpun semua orang tahu kalau dia berniat balas dendam, tapi siapa pun tak ada yang bisa
menduga dengan cara apa ia membuat pembalasan tersebut. Kini setahun sudah lewat, biarpun
dikota raja sudah beredar kabar berita tentang buntungnya kaki So Bong-seng, namun Zi Hui-keng
tetap tidak menunjukkan reaksi. Malah ketika tersiar berita santer tentang kondisi badan So
Bong-seng yang kritis dan parah, Ti Hui-keng tetap tidak bereaksi. Siapa pun tak dapat menebak
rencana hebat apa yang sebenarnya sedang ia persiapkan?"
"Mungkin dia sedang menunggu"
"Menunggu?" "Menunggu kesempatan baik, kesempatan yang jauh lebih baik"
"Tapi orang persilatan selalu berpendapat bahwa kesempatan akan lenyap dengan begitu saja, jika
harus menunggu lebih lanjut, masih adakah kesempatan itu? Dan mungkinkah akan muncul
kesempatan?" "Mungkin dia belajar dari pengalaman masa lalu, selama ini nyaris tak ada yang tahu apakah Ti
Hui-keng pandai bersilat atau tidak, kebanyakan orang menyangka luka di tulang tengkuknya
sangat parah dan tubuhnya setengah lumpuh, sampai So Bong-seng mengutus Lui Kun dan Lim Koko
untuk membunuhnya, duduk persoalan baru menjadi jelas, ternyata kungfu yang dimiliki memang
luar biasa hebatnya"
"Tapi gara-gara peristiwa itu, fi Hui-keng malah berhasil merekrut dua orang pembantu tangguh,
Pui Heng-sau dan ?hian-it-u-hong (penjahit baju langit) , aku dengar Penjahit baju langit
adalah jago yang kau utus, benarkah begitu?"
"Benar. Penjahit baju langit bukanlah manusia yang tak memiliki kemampuan, aku memang sengaja
mengutusnya ke kotaraja untuk menjemput anak Ji, sejak awal sudah kuduga, ia pasti akan tinggal
disana. Secara keseluruhan aku telah mengirim tiga orang menuju ke kotaraja, orang pertama
adalah Tong Po-gou, salah satu diantara "Lima perampok ulung", dia pun tak pernah balik sejak
kepergiannya. Hanya adikmu Un-bun yang pada akhirnya berhasil menangkap balik putriku yang
bandel itu, tapi......aaaai, sekalipun sudah tiba dirumah, tiap hari dia hanya melamun seperti
orang kehilangan ingatan saja, aku rasa dia pasti akan berusaha untuk berkelana terus dalam
dunia persilatan. Sudahlah, kalau memang begitu, biarkan saja dia berbuat sesuka hati"
"Masalah ini memang percuma dirisaukan, masih untung putrimu berwajah cerah dan toapan, dia
pasti banyak hoki dan panjang umur, manusia seperti ini tak bakalan sampai menjumpai mara
bahaya. Zhayjin, tadi kau telah menyinggung soal sikap Ti Hui-keng yang menggunakan ketenangan
untuk mengendalikan gejolak, mungkinkah saat ini dia sedang memantau hubungan persaudaraan
antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Cng Siau-sik?"
"Tentang persoalan ini, aku punya pandangan lain, menurut aku nasib So Bong-seng jauh lebih
beruntung karena sebelum melangsungkan pertarungannya melawan Lui Sun, ia telah bertemu lebih
dulu dengan dua orang anak muda yang berilmu tinggi, Pek Jau-hui dan Cng Siau-sik. Dengan
begitu posisinya jadi jauh lebih beruntung. Bila sekarang Zi Hui-keng ingin menjatuhkan So
Bong-seng, pertama-tama dia harus berusaha mencerai beraikan persaudaraan ke tiga orang itu.
Semenjak tubuhnya jadi cacad, So Bong-seng telah menyerahkan semua persoalan partai kepada Yo
Bu-shia, Pek Jau-hui, Kwee ?ang-sin dan Cng Siau-sik sekalian. Aku lihat Cng Siau-sik tidak
terlalu tertarik dengan masalah partai serta pertikaian antar kelompok, karena cita citanya
memang bukan ke situ, sementara Pek Jau-hui kelewat agresif, tindak tanduknya yang ambisius
membuat Kim-hong-si-yu-lou meski maju makin pesat namun justru terjerumus dalam kondisi yang
tidak stabil, padahal yang dibutuhkan persatuan bukan ambisi tapi pengertian. Ti Hui-keng
sebagai orang cerdas, tentu saja harus mengamati situasi terlebih dahulu sebelum melakukan
sesuatu tindakan" "Menurut pandangan pinni, hubungan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Cng Siau-sik bukan
persoalan peruntungan tapi masalah karakter. Lui Sun licik banyak curiga, kecuali terhadap Zi
Hui-keng boleh dibilang ia tak mudah percaya kepada siapa pun, karenanya sulit baginya untuk
mendapat bala bantuan. Beda sekali dengan So Bong-seng, dia tak pernah mencurigai saudara
sendiri, gara gara kelewat percaya orang itulah dia sampai kena dibokong oleh Mo Pak-sin, orang
kepercayaan sendiri, walau pada akhirnya dia ditolong juga oleh orang kepercayaannya, Kwee
?ang-sin. Aaai, siapa menebar benih, dialah yang akan menuai hasilnya"
un -epat sekali perkataan sinni. Kesimpulannya, selain So Bong-seng sebagai sasaran utama
pembalasan dendam kelompok Lak-hun-poan-tong, mereka pasti akan berusaha menghabisi juga nyawa
II Lui Bie, orang yang dianggap sebagai `pagar makan tanaman'............
"Itu mah bukan urusan serius, yang aku kuatirkan sekarang adalah semakin berjayanya pihak
kerajaan yang mendukung perdamaian, bila kelompok mereka semakin menguat, otomatis situasi di
kota Pakkhia pun akan mengalami perubahan lagi, bisa jadi rencana pemindahan ibu kota benar
benar akan terlaksana"
"Aaaai, baru saja kita terjerumus dalam kancah peperangan, semestinya kita usir dulu pasukan
Kiem hingga balik kandang, sayang dalam kerajaan muncul manusia manusia dungu yang takut
mampus, masa tanah air yang kita bangun dengan susah payah harus dipersembahkan kepada musuh
dengan begitu saja. Daripada hidup di alam penjajahan, lebih baik aku pertaruhkan nyawa untuk
beradu jiwa dengan mereka"
"Thayjin sedih karena memikirkan nasib negara, memohonkan keselamatan bagi rakyat negeri, pinni
sungguh merasa kagum akan kebesaran jiwamu, Cuma saja . . . . .. keadaan negeri kita makin lemah,
pembesar banyak yang tak peduli dengan kesengsaraan rakyat, rasanya bukan masalah gampang untuk
mengatasi keadaan seperti ini. Konon dalam kota sudah beredar nyanyian yang berbunyi begini:
?oako jiko samko, mari kita bertukar tempat, siap siaplah menghadapi bencana yang melanda
dunia. Konon Pui siau-hoya, Liong Pat tayya, Jaksa Cu, Perdana menteri Coa hampir semua tokoh
pemerintahan berusaha ikut ambil bagian dalam hal ini, malah Thian-hee-te-jit (nomor tujuh
dikolong langit) yang merupakan tokoh paling ganas pun ikut menyusup ke kota Pakkhia, katanya
Kwan Jit dari Mi-thian-jit-seng juga ikut tampilkan diri lagi. Dalam situasi kacau dan banyak
masalah begini, membiarkan putrimu di kotaraja bukanlah sebuah langkah yang benar"
"Kalau begitu sudah sepantasnya ku utus adik Si-bun sekali lagi untuk membekuk pulang bocah tak
genah itu" "Kelihatannya pinni sendiripun harus berangkat ke kotaraja, akan kulihat bagaimana keadaan si
bocah yang tak tahu diri itu"


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak disangka walau sinnie adalah orang yang sudah hidup dalam pengasingan, namun masih mau
angkat senjata demi membela penderitaan rakyat, kau benar benar berhati welas"
"Tidak berani, tidak berani, pinni justru merasa jodohku dengan keduniawian belum tuntas
sehingga walau dibilang semuanya adalah kosong, namun tetap ada berapa persoalan yang
mengganjal dihati. Semoga thayjin tidak mentertawakan"
Rupanya pada akhir musim semi itu, Ang-siu sinnie telah menuruni gunung Siau-han-san dan
menempuh perjalanan jauh untuk mengunjungi Un Siong-yang atau Un Wan di kota Lok-yang,
pembicaraan itulah yang berlangsung selama kunjungannya.
Waktu itu situasi dalam kerajaan sedang kalut, menghadapi agresi pasukan asing, semua rakyat
hidup tak tenteram. Semua lelaki yang punya jiwa kasatria berbondong bondong mendaftarkan diri
untuk berjuang mempertahankan tanah air, sementara kaum durna dan durjana saling bersekongkel
untuk mencari keuntungan pribadi. Boleh dibilang situasi amat kalut dan tak tenteram.
Co0oo Permulaan musim dingin tahun itu, Lui Tun dengan menunggang tandu berjalan melewati jalan raya
Tang-lak-pak, dari jauh memandang, bangunan loteng Kim-hong-si-yu-lou berdiri tegak dibawah
jagad raya, bangunan itu kelihatan begitu kokoh, begitu tegar. Ia sudah berusaha memutar otak
memeras keringat, berusaha mencari akal, dengan cara apa bangunan tegak itu bisa dirobohkan?
Bagaimana caranya bisa mengubahnya jadi lumpur, jadi abu, jadi debu.
Lui Tun merasa udara makin hari semakin dingin, dingin membekukan tubuh.
Mengawasi jari jemari sendiri yang ramping dan panjang, memandang tangannya yang putih bagaikan
salju...... ?iba tiba ia seperti mengendus bau harum bunga bwee.
Bertemu salju lebih bersih, berjumpa badai lebih tegar.
- Benarkah saat yang paling menderita bagi So Bong-seng adalah saat fajar dimusim salju yang
beku? Crang yang pernah membuatnya jatuh hati, membuatnya selalu terkenang, "dia hanya boleh sakit,
tak boleh mati", sebab dia harus membunuhnya, membunuh dengan tangan sendiri.
Co0oo Bila dari markas Kim-hong-si-yu-lou ingin menuju ke istana raja, orang musti melewati gardu
Siau-seng-teng. Saat itu adalah permulaan musim salju. Hembusan angin dingin yang membawa bunga
salju serasa menyayat badan, membuat orang mau tak mau harus menyembunyikan tengkuknya dibalik
pakaian tebal. Pemandangan diseputar gardu Siau-cay-teng pun nampak sangat sepi dan berantakan, diluar gardu
terbentang jembatan kecil, air mengalir lembut dibawah jembatan, tapi sayang tak lama kemudian
aliran air pun akan ikut membeku!
?iba tiba terdengar suara derap kaki kuda, rombongan yang ditumpangi So Bong-seng bergerak
mendekat. Dalam suasana seperti inilah dari Sah-cap-lak-hong terburu buru dia balik ke loteng Kim-hong-
si-yu-lo. Semenjak Kim-hong-si-yu-lou berhasil mengalahkan Lak-hun-poan-tong, sejak Lui Sun tewas
terbantai dalam gedung Kua-hay-hui-thian-tong di loteng merah, Zi Hui-keng memegang kendati di
perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan bersumpah akan bertarung hingga titik darah penghabisan
melawan Kim-hong-si-yu-lou, tapi saat itu kekuasaan terbesar yang ada di kota Pakhia boleh
dibilang sudah terjatuh ke tangan pihak Kim-hong-si-yu-lou, sementara perkumpulan Lak-hun-
poan-tong terdesak hebat posisinya.
Namun situasi mudah bergulir, perubahan susah diramalkan. Kim-hong-si-yu-lou yang selalu
mendukung penggunaan kekuatan pasukan untuk menghadapi pasukan Kim tiba tiba kehilangan
pengakuan dari pihak kerajaan, begitu Coa Keng terpilih menjadi perdana menteri, segala
sesuatunya telah berubah karena ia lebih mendukung usaha perdamaian.
Musim dingin baru saja tiba.
Salju meski belum turun, namun hawa dingin yang membeku telah menyelimuti seluruh jalan raya,
kendatipun dinginnya belum sampai pada ujung jalan.
- Apakah kehidupan manusia pun akan mencapai ujung jalan?
Hampir semua anggota Kim-hong-si-yu-lou, dari puncak pimpinan hingga sampai bawahan, semuanya
takut kalau kehidupan So Bong-seng sudah tiba di ujung jalan.
Dari atas loteng hijau, dari ruang rapat, dari dalam tandu bahkan dari dalam kereta, dari
tempat yang berbeda, dari keadaan yang berbeda, hampir semua orang dapat mendengar suara batuk
So Bong-seng, suara batuk yang begitu keras bagaikan hembusan angin utara, suara yang menggetar
sukma, suara yang serasa melumat usus.
Dalam berapa bulan terakhir, keadaan penyakit yang diderita So Bong-seng kian hari kian
bertambah parah. Semenjak So Bong-seng kehilangan kakinya, peranan Pek Jau-hui dan Yo bu-shia dalam perkumpulan
Kim-hong-si-yu-lou kian hari kian bertambah penting.
Seringnya berpindah tempat membuat penyakit yang diderita So Bong-seng hanya bisa disembuhkan
oleh tabib Su, akan tetapi tabib istana tak mungkin sembarangan meninggalkan keraton, terpaksa
So Bong-seng pun seringkali melakukan perjalanan.
Semakin sering So Bong-seng mengunjungi istana, hal ini menunjukkan kalau kondisi penyakitnya
makin bertambah parah. Namun hari ini nampaknya suara batuk So Bong-seng jauh lebih berkurang, apakah batuknya
berhasil disembuhkan? Atau dia sudah kehabisan tenaga untuk batuk? Paling tidak itulah yang
dibayangkan Kit-siang-ji-ih.
"Kit-siang-ji-ih" (rejeki sejahtera sesuai pengharapan) bukanlah sebuah kata ucapan, juga bukan
pepatah, bahkan bukan terdiri dari satu kalimat.
Itulah nama manusia, nama empat orang manusia.
- It-yu-bong (sebuah impian) Lip Siau-kit.
- Siau-bun-cu (si nyamuk) Siang Ko-ji.
- Jagoan tangguh dari perguruan Gui-li-pat-ji-bun (delapan depa kecantikan semu) Cu Ji-si.
- Bu-wi-hui-coa (ular terbang tanpa ekor) Cuyang Ih-ih.
Mereka adalah empat orang jago yang baru saja bergabung ke dalam perkumpulan Kim-hong-
si-yu-lou, berhubung mereka bertujuan mencari rejeki dan keuntungan maka nama mereka berempat
pun seringkali digabung menjadi satu hingga terbentuk tulisan Kit-siang-ji-ih.
Mereka berempat selain masih muda, punya kemampuan tinggi, memiliki kungfu yang tiada keduanya,
bahkan amat setia. Penampilan mereka di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou membuat kekuatan
perkumpulan ini makin kuat dan berjaya.
Cu Ji-si dan Cuyang Ih-ih adalah jagoan yang dibawa masuk oleh Pek Jau-hui, siang Ko-ji adalah
sahabat karib Cng Siau-sik, sementara Lip Siau-kit adalah orang yang disponsori oleh Yo
Bu-shia. Mereka semua sangat dihargai So Bong-seng.
Empat orang jagoan inilah yang bertanggung jawab mengawal So Bong-seng.
Ditengah musim salju yang begitu dingin, yang ada hanya orang sakit didalam kereta kuda, tapi
mereka tak terdengar lagi suara orang batuk, apa yang mereka pikirkan kini? Gembira atau
masgul? Kereta tersebut adalah sebuah kereta yang sangat kokoh, seluruh badan kereta tertutup kain
terpal yang tebal, baik roda, tali, maupun perangkat lain hampir semuanya terbuat dari emas,
sebuah kereta yang megah dan indah.
Yang bertindak sebagai kusir ada dua orang, yang satu adalah Siang Ko-ji, yang lain adalah Cu
Ji-si. Sementara Lip Siau-kit dan Cuyang Ih-ih berdiri disisi kiri dan kanan kereta sambil
melakukan perlindungan. Didepan kereta berjalan empat ekor kuda jempolan, dua orang menggembol pedang, dua orang
membawa tombak panjang, sedang dibelakang kereta mengikuti tiga puluh ekor kuda dengan tiga
puluh orang lelaki kekar membawa golok besar dan menyandang busur.
Mereka semua adalah jago jago tangguh generasi baru pertama dari perkumpulan Kim-hong-
si-yu-lou. "Orang bilang Lui Sun memiliki sembilan lembar nyawa, biar matipun dia bisa bangkit dan hidup
kembali, tapi pada akhirnya dia tetap tewas ditangan So Bong-seng" Pui Eng-gan, tokoh paling
terhormat dalam pemerintahan kerajaan dan mempunyai kedudukan misterius dalam dunia persilatan
pernah berkata begitu sambil tertawa, "hanya So Bong-seng seorang yang tak bisa terbunuh,
kecuali dia sendiri yang ingin mati. Kalau tidak siapa pun tak bakal mampu membunuhnya"
Berhasil membunuhnya atau tidak jelas merupakan satu persoalan.
?api dalam kenyataan masih ada juga orang yang berusaha untuk membunuh So Bong-seng.
Sewaktu rombongan baru saja naik jembatan siap menyeberangi sungai, mendadak terdengar suara
orang mengaduh, kemudian terlihat seorang kakek rentan tercebur ke dalam sungai.
Air sungai itu sudah tercampur dengan bongkahan salju yang berasal dari hulu, ditengah hembusan
angin utara yang membeku, sudah jelas air sungai terasa makin dingin menggigilkan.
Bab 2. Bunga Bwee beracun.
Rombongan kereta telah berhenti.
Lip Siau-kit telah bersiap siap melompat masuk ke dalam sungai untuk menolong kakek itu.
Pada saat itulah dari dalam kereta terdengar seseorang bertanya:
"Apa yang terjadi?"
"Seorang kakek tercebur ke dalam sungai" jawab Cu Ji-si.
Tanpa berpikir sekejap pun orang yang berada dalam kereta segera berseru:
"Lanjutkan perjalanan!"
Sudan jelas ucapannya adalah perintah. Siapa pun tak boleh berhenti, bahkan dilarang untuk
menyelamatkan orang tua itu.
Zerpaksa Lip Siau-kit sekalian hanya bisa mengawasi 3i orang tua yang tercebur ke sungai itu
tanpa berbuat apa-apa, menyaksikan kakek itu meronta dengan sekuat tenaga, meronta ditengah
gulungan air yang membeku. Meski tak tega, siapa pun tak berani membangkang.
Kereta segera bergerak melewati jembatan kayu.
Iiba tiba dari dalam sungai melompat keluar sesosok tubuh manusia, orang itu membawa sebuah
lembing sepanjang satu tombak delapan kaki (lebih kurang 1,8 meter), ia menghujamkan lembingnya
dari dasar jembatan, menusuk ke dasar kereta lalu tembus ke atap bagian atas.
"Kongcu . . . . . .." teriak Lip Siau-kit dengan perasaan terkesiap.
"Kurangajar!" umpat Siang Ko-ji pula dengan paras berubah.
Dari ujung sungai kembali terlihat seseorang yang membawa sebilah golok besar seberat dua
ratusan kati, diiringi suara auman keras menerjang datang dengan garangnya, dia memiliki
perawakan tubuh yang tinggi besar, wajahnya gemuk, bibirnya tebal seperti daging samcan,
cambangnya kaku bagai sarang lebah, diiringi percikan butiran air dia menyerbu tiba dengan
garangnya. Cukup dilihat dari kegarangannya sewaktu menerjang tiba, orang akan keder dibuatnya.
Pada saat yang bersamaan, dari ujung sungai yang lain muncul pula seseorang, dia melesat datang
dengan kaki menempel diatas permukaan air, gerakan tubuhnya cepat dan cekatan, dalam
genggamannya terlihat seuntai rantai perak yang tipis dan lembut.
Seandainya tiada pantulan cahaya dari permukaan sungai, bahkan menimbulkan suara desingan angin
tajam, pada hakekatnya siapa pun tidak mengira kalau dalam genggaman orang itu terdapat sebilah
senjata maut yang begitu panjang.
Dua orang itu menghimpit tiba dari kiri kanan, dalam waktu singkat mereka telah semakin
mendekat. Empat orang jago yang berada pada barisan depan serentak mencemplak kudanya, biar menghadapi
ancaman, mereka sama sekali tak kalut. Dengan dua di kiri, dua di kanan mereka cabut pedangnya
siap menghadapi datangnya serbuan.
Ziga orang penunggang kuda yang berada dibarisan belakang serentak bersiap siaga pula
menghadapi segala perubahan.
Pada saat itulah mendadak terjadi getaran keras dari dalam kuil dewa tanah di sisi jembatan,
lalu disusul dengan munculnya sesosok tubuh manusia.
Pada hakekatnya orang ini adalah seorang raksasa. Seorang raksasa yang terbuat dari besi baja.
Sewaktu berjalan, orang itu tak ubahnya seperti sebuah patung tembaga yang pandai bergerak.
Seorang "patung tembaga" yang bertubuh raksasa ternyata mampu menyembunyikan diri didalam kuil
dewa tanah yang begitu kecil lagi sempit, hal ini benar benar merupakan satu kejadian yang
sukar dipercaya. Dalam genggaman manusia raksasa ini terlihat sepasang kampak raksasa yang amat besar.
Kapak raksasa itu tampak berubah makin panjang mengikuti gerakan langkah tubuhnya.
Jangan dilihat ia berperawakan tinggi besar, ternyata gerak geriknya amat gesit dan cepat.
Begitu munculkan diri, manusia raksasa itu langsung mendekat ke arah tandu, dengan gerakan
tubuhnya yang cepat dan kapaknya yang panjang, dalam satu sapuan kilat dia babat kutung enam
buah kaki kuda yang berada pada urutan depan, begitu penunggangnya jatuh dari punggung kuda,
dia susulkan dengan bacokan ke dua untuk membabat batok kepala ke tiga orang itu, disusul
kemudian bacokan ke tiga mengutungi kepala ke tiga ekor kuda itu.
Begitu berhasil, dengan kecepatan tinggi ia menghampiri tandu.
Pada saat yang bersamaan, para pengawal kuda bersenjatakan pedang dan tombak yang berada pada
urutan belakang telah mati semua dibabat jago bersenjata golok dan ruyung perak itu.
Ceceran darah seketika berserakan dimana mana dan mengotori air sungai yang mengalir
dibawahnya. Dalam pada itu kakek yang tercebur ke dalam sungai tadi kini sudah melompat ke daratan dan
menghadang diujung jembatan, sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku, meski tubuhnya basah
kuyup namun dia menghadang ditengah jalan dengan garangnya, seakan seorang jenderal yang sedang
memimpin sepuluh laksa tentara bertempur di medan laga.
Sang pembunuh gelap bersenjata lembing yang berhasil dengan serangannya tadi, kini telah
melompat naik ke pagar kayu ditepi jembatan.
Jikalau pembunuh yang bersembunyi dalam sungai itu merupakan titik pusat pengepungan, maka jago
bergolok besar itu menyerang dari sisi kiri, jago bersenjata ruyung perak itu dari sisi kanan,
dibelakang menghadang lelaki bersenjata kapak sedang didepan menghadang si kakek yang tercebur
kedalam sungai tadi, jumlah mereka seluruhnya lima orang.
Dari posisi pengepungan ke lima orang itu, maka terbentuklah sebuah barisan yang ganas dan
mematikan, bentuk barisan itu mirip sebuah gambar bunga bwee, karena barisan yang mereka
gunakan sekarang memang sebuah ilmu barisan yang sangat mematikan, disebut Bunga bwee beracun.
"Aka cinta keindahan bunga bwee,
Kutempuh jalan pintas yang singkat,
Jangan mengajarkan orang menyapu batu,
Kumpulkan bunga yang berguguran"
Ketika musim dingin lewat, disaat musim semi menjelang, itulah saat bunga bwee mulai mekar dan
menyiarkan bau harum semerbak.
Dingin. Makin dingin makin indah, makin dingin makin mekar.
Kalau tidak mengalami kedinginan yang membeku, darimana kau dapat menikmati harumnya bunga
bwee? Banyak orang bilang, semasa masih hidupnya dulu Lui Sun paling menyukai tiga hal.
Suka perempuan, termasuk putri kesayangan nya.
Suka bakat bagus, khususnya Ti Hui-keng.
Padahal dia masih menyukai satu hal lagi: dia amat menyukai bunga bwee.
Dia amat menikmati keindahan bunga bwee, karena suka bunga bwee maka pernah disusun sebuah
rencana besar, dia ingin membokong musuh yang paling diseganinya . . . . .. So Bong-seng!
Asal So Bong-seng sedang sakit, asal suatu saat dia lewat di jembatan siau-coat-kiau, asal dia
dapat mengumpulkan lima orang jago andalannya: Lui Kong, Lui Pi, Lui Tiong, Lui Ming, Lui San.
Kini, mereka benar benar telah berdatangan, datang dari Kanglam, tepatnya Bi-lek-tong.
Zujuan kedatangan mereka saat ini hanya satu, mewujudkan rencana "bunga bwee beracun".
Mereka harus membalaskan dendam atas kematian Lui Sun, mereka harus menghabisi nyawa So
Bong-seng. Kini lembing panjang telah menembusi kereta, dapat dipastikan orang yang berada dalam kereta
sudah mati secara mengerikan.
Kendatipun begitu, ke lima orang itu bukannya mundur, mereka malah merangsek maju lebih ke
depan. Mereka ingin membunuh dan memusnahkan seluruh kekuatan lawan, mereka ingin menyeret keluar
tubuh So Bong-seng kemudian mencincangnya hingga hancur berkeping.
Lui Sun adalah murid paling menonjol dari Kanglam Bi-lek-tong, dia memegang kekuasaan besar di
kotaraja, pergaulannya luas, hubungan dengan pembesar kerajaan pun erat, selama ini sudah
mendatangkan banyak keuntungan bagi perguruan Lui-bun.
Sebagian besar produksi bahan peledak dan senjata api bikinan keluarga Lui di Kanglam pun
banyak mendapat dukungan dari kalangan pembesar kerajaan, jelas hal ini mendatangkan keuntungan
yang luar biasa bagi perguruannya.
Begitu Lui Sun mati, kekuasaan terbesar di perkumpulan Lak-hun-poan-tong jatuh ke tangan Ti
Hui-keng, tak heran kalau rasa benci mereka terhadap So Bong-seng sudah merasuk hingga ke
tulang sumsum. - Mereka adalah saudara seperguruan Lui Sun.
- Karena itulah mereka bersumpah akan membalaskan dendam bagi kematian Lui Sun.
Dengan sepenuh tenaga Lip Siau-kit, siang Ko-ji, Cu Ji-3i serta Cuyang In-ih melindungi kereta
berkerudung itu, sekalipun semisal So Bong-seng sudah tewas dalam kereta pun, mereka harus
melindungi mayatnya hingga tiba selamat di markas.
Akan tetapi senjata yang digunakan pihak penyerang kelewat panjang, kelewat ganas, terlalu
susah dihadapi. Bila tak ingin hancur bersama kereta itu, mereka harus segera menghindarkan diri dari serbuan
senjata senjata maut lawan.
Hanya Lip Siau-kit seorang tetap berada diatas kereta, karena lembing panjang milik Lui San
yang berada didasar jembatan telah tertancap menembusi ruang kereta.
Dengan tangan kosong Lui San melompat naik ke atas kereta, secara beruntun dia lancarkan
serangan pukulan berantai.
Lip siau-kit sama sekali tak gentar, setiap jurus dipatahkan dengan jurus, setiap gerakan
dihadang dengan gerakan, setengah inci pun dia tak sudi untuk mengalah.
Berapa kali Lui San merogoh ke dalam sakunya siap melemparkan berapa butir Lui-ceng-cu (getaran
guntur) ke dalam ruang kereta, namun Lip Siau-kit segera mengubah taktik pertarungannya, dari
bertahan jadi menyerang, memaksa Lui San tak berkesempatan melepaskan senjata mautnya itu.
Pada saat itulah, mendadak terdengar suara pekikan nyaring menggetar seluruh udara.
Kakek yang tercebur ke sungai tadi tahu tahu sudah melambung ke udara dan langsung meluncur ke
depan kereta. Barn saja Lip Siau-kit hendak menghadang, sebuah sapuan kaki si kakek membuat Lip Siau-kit
terpaksa harus menghindar.
Kakek itu mendengus dingin, sementara tangan kirinya menyingkap tirai kereta, tangan kanannya
segera melancarkan bacokan.
Mendadak ia menjerit keras, tubuhnya roboh terjengkang ke belakang, sebuah tanda merah yang
kecil muncul diatas jidatnya, tanda merah yang kecil dan lembut sekali.
Disaat tubuhnya roboh terjungkal, tiba tiba tanda merah itu mengembang jadi besar, disusul
kemudian jidatnya pecah dan merekah, semburan darah pun berhamburan ke mana mana.
"3laaaam......!"


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peluru lui-ceng-cu yang berada dalam sakunya meledak seketika.
Setelah itu, semua orang baru melihat munculnya sebuah jari tangan, jari tengah.
Sebuah jari tengah yang langsing, panjang dan putih.
Cari tangan itu muncul dari balik tirai kereta, dan kini sedang perlahan lahan ditarik kembali.
Bukan saja totokan jari itu telah merenggut nyawa Lui Kong, bahkan menggemparkan seluruh arena
pertarungan. Seketika itu juga seluruh pertarungan terhenti, suasana hiruk pikuk pun sirap, suasana jadi
hening dan sepi. Sorot mata semua orang beralih ke atas jari tangan itu.
Karena jari tangan telah ditarik kembali, terpaksa kawanan jago itu selangkah demi selangkah
berjalan menghampiri kereta.
Zirai yang digunakan untuk menutup jendela kereta amat tebal, sedemikian tebalnya sampai siapa
pun tak bisa melihat benda yang berada dibalik tirai itu.
Kini pakaian yang dikenakan Lui San telah basah kuyup, tidak jelas basah karena air sungai?
Atau basah karena keringat?
Dia meraung keras, sambil mengayunkan kepalannya langsung menyerang ke arah kereta.
Lui San mempunyai perawakan tubuh tinggi besar, dengan tenaga pukulan yang dimiliki, asal
kereta itu terhantam, niscaya semuanya akan hancur berantakan.
Tapi sayang kereta itu tidak hancur, justru dia sendiri yang remuk.
Zulang hidungnya terhajar sampai remuk, badannya mencelat sejauh berapa tombak dan teroebur ke
dalam air. Diantara aliran air yang bercampur darah segar, Lui San tenggelam ke dasar sungai dan tak
pernah muncul kembali. Lagi lagi dari balik tirai muncul sebuah jari tangan, kali ini ibu jari.
Sebuah ibu jari yang indah bentuk lengkungannya, seakan sedang memuji keberhasilan seseorang.
Lui Pit yang membawa golok besar, Lui Ming yang bersenjatakan ruyung perak, ditambah Lui Ziong
yang bertubuh raksasa bagaikan patung tembaga, tiba tiba saja merasa tenggorokannya jadi
kering, sekujur tubuh mereka gemetar keras.
- Udara di permulaan musim dingin memang amat menggigilkan tubuh, apalagi musim panas ditahun
mendatang masih jauh dari sekarang.
Cuyang Ih-ih, Cu Ji-si dan siang Ko-ji hanya memandang ke arah mereka tanpa bicara, mimik muka
mereka menunjukkan seolah orang orang itu sedang memandang tiga buah liang kubur.
Akhirnya Lui Tiong yang berteriak lebih dulu, bentaknya:
"Apakah kau adalah So Bong-seng? Kau....."
Suasana dalam kereta tetap hening, tiada suara, tiada gerakan.
Lip siau-kit telah melompat turun dari kereta kuda. Ziba tiba saja kereta itu bergerak sendiri,
langsung menabrak tubuh Lui Tiong.
Lui fiong membentak keras, tanpa menggubris keadaan dirinya, dia langsung mengayunkan kapak
sambil menyongsong datangnya terjangan kereta itu, sekali ayun dia belah kereta kuda itu jadi
dua. "Braammm!" kereta kuda itu segera roboh terbelah dan jatuh ke dalam sungai.
Zak seorang manusia pun berada dalam kereta itu, yang ditemukan hanya sebiji gigi yang patah.
Cepat Lui Tiong mendongakkan kepalanya, dan ia pun menyaksikan satu peristiwa yang mengerikan.
Dua orang saudaranya yang tersisa, Lui Ming dan Lui Pit telah roboh terjungkal ke dalam sungai,
tenggorokan mereka terbelah lebar, dari sana darah segar menyembur keluar, berbaur dengan air
sungai yang bersih dan menciptakan banjir darah yang mengerikan.
Seorang lelaki berbaju sutera telah berdiri dihadapannya, kali ini dia menunjukkan dua jari
tangannya. Satu jari kiri dan satu lagi jari tangan kanan, semua jari adalah jari kelingking.
Cari tangan yang putih, mulus dan terawat rapi.
Zak setetes darahpun menodai jari tangan itu, seakan pembunuhan yang barusan terjadi bukan
tercipta karena dia. Lui Tiong meraung keras, dia ayun kapaknya dan langsung dihujamkan ke atas jalan darah
thay-yang-hiat dikening kiri dan kanan sendiri.
"Pek Jau-hui.......... Lak-hun-poan-tong........ keluarga Lui pa3ti.... pasti akan menuntut
balas dendam kesumat sedalam lautan ini......"
Menyaksikan kematiannya, orang berbaju sutera itu seolah merasa sayang, tapi kemudian dengan
nada penuh simpatik perintahnya:
"Gotong pulang mereka semua, kebumikan orang orang itu dengan layak"
"Baik" jawab Cu Ji-si.
"Kita harus kagum dan menghormati mereka karena kesetiaannya sampai mati terhadap Lui Sun" ujar
manusia berbaju sutera itu, Pek Jau-hui sambil menghela napas, "
orang yang setia sampai mati
pantas memperoleh penguburan yang layak"
"Pek hu-loucu" tak tahan Lip siau-kit bertanya, "mengapa orang yang berada dalam kereta bisa
dirimu?" "Kenapa bukan aka?" Pek Jau-hui balas bertanya dengan nada hambar.
Kontan Lip Siau-kit terbungkam dan tak berani bicara lagi.
"Ingin membunuh So loucu?" dengus Pek Jau-hui sinis, sambil menunjukkan jari tangannya ia
melanjutkan, "harus mencoba membunuh diriku lebih dulu"
Maka semenjak hari itu slogan "ingin bunuh So Bong-seng, basmi Pek Jan-hui lebih dahulu"
menjadi populer di seantero jagad, menyusul kemudian kalangan hitam maupun putih dalam dunia
persilatan pun tersiar slogan barn:
"Akan bunuh So, bunuh Pek dulu"
"Pek mati, So susah hidup"
Padahal selama pertarungan berdarah itu berlangsung, ada dua orang, berada pada jarak tertentu,
disuatu tempat yang tak mungkin ditemukan orang, menonton jalannya pertarungan.
Kedua orang itu, satu adalah pemimpin kelompok Lak-hun-poan-tong Ti Hui-keng.
Sedangkan yang seorang lagi adalah Lim Koko, orang yang pernah menghianati Lak-nun-poan-tong.
Ii Hui-keng berdiri sambil bergendong tangan, menundukkan kepala, dia seakan sedang menikmati
pemandangan alam. Sementara Lim Koko berdiri di belakang tubuhnya.
Mengapa ia berada berduaan dengan Lim Koko yang pernah berhianat? Apakah ia tak kuatir rekannya
sekali lagi berubah pikiran dan berusaha membokongnya?
Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan Ii Hui-keng?
Lim Koko tidak tahu, dia hanya menunggu, dia menunggu Ti Hui-keng mengajukan pertanyaan.
Dia tahu, Ti Hui-keng pasti akan mengajukan pertanyaan kepadanya.
Betul saja, Ii Hui-keng bertanya kepadanya:
"Kaukah yang memberi laporan rahasia kepada Lui-bun Ngo Zoa-thian-ong (lima raja langit dari
perguruan Lui), bahwa So Bong-seng pasti akan melalui jembatan Siau-coat-kiau?"
"Benar!" "Kalau memang benar, mengapa kau minta mereka untuk melakukan penghadangan ini?"
"Jauh jauh datang dari wilayah Kanglam, tujuan utama dari Lui-bun-ngo-toa-thian-ong adalah
membalaskan dendam atas kematian Lui Cong-tongcu, mereka merasa amat tak puas karena melihat
aku tak pernah melakukan penyerangan, karenanya apa salahnya bila membiarkan mereka mencobanya
lebih dulu, bila berhasil, tentu saja menguntungkan kita, semisal gagal pun tidak menjadi
masalah" "Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aka 9 " "Apa pandanganmu sendiri atas sikap Lak-hun-poan-tong yang selama ini tidak melakukan
serangan?" "Aka tak berani menjelaskan rencana yang Ii toa-tongcu sedang persiapan, namun paling tidak aku
percaya Zoa-tongcu pasti mempunyai perhitungan sendiri, lagipula saat ini belum bisa dibilang
kesempatan sudah matang, bila mengorbankan diri dengan sia sia, tindakan tersebut tak lebih
hanya akan menggebuk rumput mengejutkan sang ular, sama sekali tak akan menghasilkan apa apa
dan Tongcu tak nanti akan melakukan tindakan sebodoh ini"
"fapi kenyataannya sekarang, gara gara laporan rahasiamu, Lui-bun-ngo-toa-thian-ong mati sia
sia di jembatan siau-coat-kiau, apakah kau tidak takut orang orang perguruan Lui dari Kanglam
Bi-lek-tong akan mencarimu dan menjatuhkan hukuman berat?"
"Aka adalah anggota Lak-nun-poan-tong, bila ingin menghukum, sudah sepantasnya pihak Lak-hun-
poan-tong yang menjatuhkan hukuman, bila aku dianggap bersalah, semua hukuman pasti akan
kujalani tanpa membantah. Padahal pengalaman perang orang jaman kuno bisa dibuat pegangan,
berulang kali aku sudah berkata kepada mereka, ingin membunuh So Bong-seng sama artinya mencari
mati buat diri sendiri, kalau mereka tak percaya dan tetap ngotot, masa aku yang disalahkan?"
"Bukan siapa yang harus disalahkan, kini orangpun sudah mampus, mau menyalahkan juga tak
mungkin" "Bila ingin bekerja, jangan takut disalahkan orang. Inilah wejangan yang selalu ditanamkan
cong-tongcu dimasa silam"
"Ehmm, kau memang lain dari dulu, tampaknya pihak Kim-hong-si-yu-lou harus memandang tinggi
dirimu" "Berkat kebesaran hati Zoa-tongcu, aku barn bisa hidup hingga hari ini, bila aku tak menyesali
semua kesalahanku dimasa lalu, sama artinya telah menyia nyiakan budi pertolongan toa-tongcu
kepadaku dan budi kebaikan cong-tongcu kepadaku dimasa silam"
"Semua yang kau katakan hanya ucapan sampah. Sebagai orang yang berbakat, janganlah berpikiran
sempit, orang boleh berbuat salah kepada orang lain tapi jangan menyia-nyiakan diri sendiri.
Bila kau masih lakukan perbuatan yang menghancurkan diri sendiri, sama artinya kau telah
menyia-nyiakan hidupmu sekarang"
"Benar!" "Tahukah kau mengapa Lui-bun-ngo-toa-thian-ong bisa kalah hingga tertumpas?"
"Me:eka terlalu emosi, kelewat temperamen dan terburu napsu, kurang perencanaan yang baik,
kelewat pandang enteng musuh, maka akibatnya nyawa sendiri jadi taruhan, selain itu aku merasa
siasat bunga bwee beracun yang dirancang Lui cong-tongcu agak..... agak......"
"Zak apa, katakan saja terns terang"
"Selama tiga bulan terakhir aka telah periksa semua bahan dan buku pedoman yang tersedia untuk
memahami rencana bunga bwee beracun yang dirancang Lui Cong-tongcu, ternyata hasil rancangannya
mirip sekali dengan rencana yang disiapkan Sim Han-sian untuk membunuh Sat-jiu-ong (raja tangan
pembunuh) Seng Bu-beng di jembatan siau-gwe-kiau sungai Siong-lim-si tempo dulu"
"Cya?" "Seng Bu-beng adalah tetua berkedudukan paling tinggi dalam perkumpulan Hay-gan-pang, sejak
berusia lima belas tahun Sim Han-sian telah mengirim surat tantangan perang, tak heran kalau
Seng Bu-beng tak berani memandang enteng musuhnya serta memperketat penjagaan sendiri.
"Suatu hari, dia dengan mengajak tujuh puluhan orang pengawal melewati jembatan Siau-gwee-kiau,
mendadak dasa: tandunya dijebol oleh tusukan tombak yang muncul dari dasa: jembatan langsung
menembus tandu. "Belum lagi penyerang dari dasa: jembatan itu munculkan diri, salah satu pembunuh yang menyama:
menjadi pengawal telah melancarkan serangan mematikan secara mendadak ke arah Seng Bu-beng,
hanya saja dia tak mengira kalau penyerangnya hanya sebuah umpan, dia adalah Tong Po-gou. Sim
Hau-sian yang merupakan pembunuh sesungguhnya waktu itu masih bersembunyi didalam air. Maka
ketika konsentrasi Seng Bu-beng tertuju pada serangan Tong Po-gou, tiba tiba saja Sim Han-sian
munculkan diri, dengan sekali tebasan dia pun membabat batok kepala Seng Bu-beng hingga
terlepas dari tubuhnya. "Coba saja bayangkan serangan yang dilancarkan ke lima orang tadi, bukankah caranya persis
seperti apa yang pernah dilakukan Sim Eau-sian dahulu? Zak heran bila So Bong-seng sudah
meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi kejadian seperti ini"
"Dalam waktu singkat Pek Jau-hui berhasil menghabisi lima orang jago tangguh, apa pandanganmu
tentang hal ini?" "Padahal So Bong-seng tidak menakutkan, yang menakutkan justru Pek Jan-hui. Sehebat apa pun
ilmu silat yang dimiliki So Bong-seng, dia tak lebih hanya harimau timpang, sebaliknya Pek
Jau-hui adalah macan tutul yang tengah tumbuh sayap. Dewasa ini, dari kelompok Kim-hong-
si-yu-lou, So Bong-seng sudah jatuh sakit, Cng Siau-sik tak berminat mencampuri urusan
organisasi, Yo Bu-shia hanya konsentrasi dalam kelompoknya didalam gedung, ini berarti tinggal
Pek Jau-hui seorang yang mengurusi segala sesuatunya, bukan saja nama besarnya makin tersohor,
kedudukannya makin tinggi bahkan tindak tanduknya amat telengas"
"Olen sebab itu bila ingin menghancurkan Kim-hong-si-yu-lou, So Bong-seng harus dibunuh lebih
dulu, bila ingin membunuh So Bong-seng, Pek Jan-hui harus dilenyapkan nomo: satu"
"Benarl" "Analisa mu tampaknya mengalami banyak kemajuan, tapi masih kurang tajam akurasinya"
"Aka berani mengurai begitu banyak, sesungguhnya semua ini merupakan anugerah dari Zoa-tongcu"
"Apa yang kau uraikan tadi sebetulnya bukan pandangan yang berimbang, melainkan menarik tali
merah dari menang kalahnya kejadian lama. Biasanya bila suatu peristiwa telah terjadi, timbul
pandangan orang mengapa tidak menengok dari sejarah yang terdahulu, dan membuat persiapan untuk
yang akan datang. Zapi analisa mu cukup cermat dan bisa diterima dengan akal, secara dipaksakan
masih bisa dianggap menduga duluan sebelum kejadian. Zapi coba bayangkan, andaikata usaha
Lui-bun-ngo-toa-thian-ong kali ini berhasil dengan sukses, apa pula pandangan orang persilatan
tentang peristiwa ini? Mungkin saja mereka akan mengatakan: sedih dan marah merupakan kekuatan
inti dari sebuah keberhasilan, dengan memegang teguh pesan akhi: dari Lui Sun mereka berhasil
membalaskan dendam atas kematiannya.
"Mungkin juga akan berkata begini: setelah So Bong-seng berhasil membunuh Lui Sun, mereka
kelewat gegabah, mengira Ii Hui-keng tak berani melancarkan serangan balasan, siapa sangka
anggota perguruan Bi-leng-tong berani mati sehingga pembalasan dendamnya berhasil dengan
sukses. "Seandainya dalam pertempuran itu Pek Jan-hui terbunuh, maka orang pun akan berkata begini: Pek
Jau-hui kelewat tak tahu diri, ingin menjadi So Bong-seng ke dua, akibatnya dia menjadi setan
pengganti So Bong-seng, mati secara mengenaskan ditangan orang dan menjadi tumbal Kim-hong-
si-yu-lou. "singkatnya, dalam situasi seperti apa pun, para analis tentu mempunyai alasan untuk
membenarkan pendapatnya, mereka pun pandai mengikuti arah angin, maka dari itu analisa semacam
ini bukan analisa yang seimbang, melainkan analisa yang dibuat berdasarkan menang kalah
seseorang. "Bila berhasil, semua tindakan dan sepak terjangnya akan berubah menjadi pilihan yang brilian,
usaha yang cemerlang. Sebaliknya bila kalah, semua tindak tanduknya akan diolok olok orang,
dicemooh orang. Karenanya analisa semacam ini jangan sekali kali kau percaya"
"Perkataan Zoa-tongcu bena: sekali, disaat aka melakukan analisa, menang kalahnya suatu
pertempuran memang mempengaruhi jalan pikiranku, disamping itu terpengaruh juga oleh pandangan
orang di kiri kanan"
"Bukan hanya kau, setiap orang pun sama seperti dirimu, jadi dalam hal ini aku tidak
menyalahkan kau. Eanya saja kau harus ingat, terlepas siapa menang siapa kalah, ada berapa hal
yang harus kau perhatikan:
"Pertama, Lui San, Lui fiong, Lui Kong, Lui Ming dan Lui Pit bena: bena: merupakan saudara
sejati dari Lui congtongcu. Sekalipun Lui congtongcu telah meninggal, mereka masih belum
melupakan budi kebaikannya.
"bila seseorang tidak memiliki saudara yang mau senasib sependeritaan, biasanya dia akan
menganggap dirinya paling bersih, dirinya paling hebat karena tak sudi mencari masalah yang tak
berguna, padahal dalam kenyataan dia sama sekali tak tahu bagaimana rasanya bisa memperoleh
orang yang benar benar menganggap dirinya sebagai saudara.
"Aka sendiri tak memiliki saudara angkat, jadi ucapanku barusan sama halnya sedang memaki diri
sendiri, ini barn adil namanya, karena kita tak boleh pandang enteng kekuatan semacam itu.
"Seperti contohnya hubungan persaudaraan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Cng Siau-sik,
jalinan hubungan semacam ini tak boleh dipandang enteng, karena kecerdasan maupun ilmu silat
yang dimiliki Cng Siau-sik serta Pek Jan-hui masih jauh diatas kemampuan Lui-bun-ngo-thian-ong"
ll 71 "Kedua, walaupun hari ini Pek Jau-hui telah menunjukkan kebolehannya, namun paling tidak dia
telah melanggar dua kesalahan besar, kesatu dia turun tangan kelewat awal, menurutku sebetulnya
kekuatan "J1:-slang-J1-Eh" empat orang sudah lebih dari cukup untuk mengatasi serangan Lui-bun-
ngo-thian-ong. Pek Jau-hui bisa turun tangan secara terburu burn, tak disangkal karena dia
mempunyai tujuan sendiri.
"Kedua, Pek Jan-hui tidak seharusnya mengubur jenasah ke lima orang keluarga Lui itu dengan
upacara, karena dengan begitu, siapa pun tahu kalau dialah pembunuhnya, dikemudian hari
keluarga Lui dari Kanglam pasti tak akan melepaskan dirinya, sebab dengan berbuat begitu tak
disangkal dia telah menjalin ikatan dendam dengan keluarga Lui"
"maksud toa-tongcu.........."
"Pek Jau-hui bisa berbuat begitu sudah pasti mempunyai alasannya, dia toh bukan orang goblok"
"Menurut pandangan hamba, tampaknya hubungan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Cng Siau-sik
belum tentu akrab dan harmonis"
"Dasar apa kau berkata begitu?"
"Jika hubungan mereka bertiga betul betul harmonis dan saling menguatirkan keselamatan
rekannya, tak mungkin dalam situasi gawat seperti ini, Cng Siau-sik justru meninggalkan
Kim-hong-si-yu-lou dan pergi ke Kim-sik-hong untuk mengobati pasien sambil menjual lukisan.
Zentu saja Cng Siau-sik pun bukan orang bodoh"
"Crang bodoh di kotaraja makin lama makin sedikit, mereka yang kualitasnya sedikit lebih rendah
pun sudah pada menahan diri, tersisa kaum kuat yang munculkan diri dari dalam tanah, begitu
kaum ini semakin banyak yang muncul maka sikut menyikut akan terjadi, semua pihak akan berusaha
merebut sebagian wilayah untuk berkuasa" kata Ti Hui-keng dengan nada murung.
"So Bong-seng pernah mengutus Yo Bu-shia untuk menawarkan posisi kepadaku, syaratnya mereka
membiarkan aku menduduki kursi ke empat sambil tetap menguasai Lak-nun-poan-tong, tapi harus
membereskan Lui Sun terlebih dulu.
"Saat itu aku pura pura menerima tawaran tersebut, agar dalam rangka melaksanakan rencana
serangan balik yang telah disusun congtongcu bisa terlaksana dengan lancar.
"Selama bergabung dengan mereka, aku selalu memberikan masukan yang mereka yakini sangat
bermanfaat, namun So Bong-seng tetap menganggap aku sebagai orang ke empat, hal ini membuktikan
kalau dia sangat menghargai kemampuan kedua orang ini. Bila Cng Siau-sik tidak punya niatan
dalam hal ini, tak nanti dia tetap tinggal dikotaraja. Kolong langit begitu luas, kalau untuk
menjual lukisan sambil melakukan pengobatan, memangnya ditempat lain tak bisa dia lakukan? Cleh
karena itu aku rasa bila ingin menghancurkan Kim-hong-si-yu-lou, kita harus bunuh So Bong-seng
lebih dahulu, bila ingin bunuh So Bong-seng maka kita harus lenyapkan Pek Jau-hui lebih dulu,
untuk bisa membunuh Pek Jau-hui, kitapun harus habisin Cng Siau-sik lebih dahulu."
Selama memberikan analisa serta uraian, dia lakukan semuanya secara beraturan, alasannya jelas,
nada bicaranya tenang, seakan ia sedang menceritakan satu masalah yang sama sekali tak ada
hubungan dengan dirinya. "So Bong-seng ibarat bintang utama gugus utara, bintang Cewei (kaisar), dia yang memimpin para


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jago dengan wibawa serta kecerdasan otaknya; Pek Jau-hui ibarat bintang Jitsah (jenderal),
membantunya menjebol benteng musuh dan menangani semua masalah dengan kekuatan seorang diri;
Cng Siau-sik ibarat bintang Bokim(pa3ukan ujung tombak), memimpin pasukan untuk menyerbu ke
medan laga dan berjaga disepanjang perbatasan. Sedangkan Yo Bu-shia lebih mirip bintang ?hian-
siang, menteri yang memegang cap kekuasaan sambil menyusun strategi, sementara Kwik Tang-sin
serta To Lam-sin ibarat bintang pengawal Cho-bu, Yu-pit. Mengawal sambil membantu sana sini.
Cleh karena itu kerjasama ke empat orang ini boleh dibilang merupakan rangkaian gelang yang
saling berhubungan dan saling terkait, penjagaan maupun pertahanan mereka luar biasa ketatnya.
"Menghadapi kekuatan musuh yang begini tangguh, sebelum kita berhasil menemukan titik kelemahan
dari kerja sama ini, bila melancarkan serangan balasan, kendatipun memiliki ilmu silat
setangguh congtongcu pun tetap saja akan kalah dan hancur"
"Kalau begitu sekarang, kita hanya bisa menunggu datangnya kesempatan emas?" dengan sangat
berhati hati Lim Koko bertanya.
"Sambil menunggu sembari menyulut api, menggali tanah, menyiram air, perkumpulan Kim-hong-
si-yu-lou ibarat setumpuk kayu bakar, sekuat dan sekeras apa pun tak mungkin bisa bertahan
lama, karena suatu saat rayap pasti akan muncul menggerogoti lapisan kayu itu, jadi kita pun
harus menunggu. "Asal kita menunggu dengan sabar, suatu saat pihak musuh pasti akan tak sabar, atau mungkin
akan lengah, dalam keadaan begitu, besar kemungkinan situasi akan berubah jadi lebih
menguntungkan pihak kita"
Ii Hui-keng masukkan sepasang tangannya ke balik baju, gerakan semacam ini sudah terbiasa dia
lakukan semenjak Lui Sun masih hidup dulu, katanya lagi:
"Apalagi sekarang sudah ada orang yang pergi mencari Cng Siau-sik, Cng Siau-sik pun sudah
membuat kesulitan atas orang lain"
Semenjak menderita kekalahan total setahun berselang, sikap Lim Koko berubah jadi lebih berhati
hati, dalam menghadapi semua masalah, dia selalu berpikir dulu dengan seksama sebelum menjawab,
hal yang tidak sepatutnya ditanya, dia tak akan bertanya, tapi hal yang perlu diketahui pasti
akan ditanyakan sampai jelas.
Maka setelah berpikir sejenak, ia baru bertanya:
"Siapa yang sedang membuat gara gara dengan Cng Siau-sik?"
Dia sudah mempertimbangkan dengan jelas, Ti Hui-keng sengaja berkata begitu karena dia sedang
menunggu pertanyaan dari dirinya.
Bila dia bertanya, Ii Hui-keng pasti akan menjawab.
Betul saja, Ti Hui-keng segera menjawab:
"Liong Pat thay-ya!"
Mencorong sinar terang dari balik mata Lim Koko setelah mendengar nama itu, barangsiapa berani
mencari masalah dengan Liong Pat Zhay-ya, maka selama hidup dia tak akan berani mencari gara
gara lagi, bahkan tak bisa membuat gara gara lagi.
Siapa pun tahu siapa orang dibelakang layar yang menunjang Liong Pat selama ini. Bahkan orang
pemerintahan sempat membuat pernyataan yang berbunyi begini: lebih baik menyalahi kaisar
daripada menyalahi orang ini.
Lim Koko merasa amat bersyukur, merasa sangat gembira. Dia tahu, pertanyaannya memang sangat
tepat. - Bila Cng Siau-sik telah menghadapi kesulitan sebesar ini, tentu saja dengan senang hati Ti
Hui-keng akan menceritakan hal tersebut kepadanya.
Maka kembali tanyanya: "Gara gara siapa yang dicari Cng Siau-sik?"
Sekulum senyuman misterius tersungging diujung bibir Ti Hui-keng, senyuman tersebut membuat
wajahnya tampak lebih sesat dan menakutkan.
"Sianseng!" jawabnya ringkas.
Biarpun senyuman menghiasi wajah Ii Hui-keng, namun hati kecilnya justru meningkatkan
kewaspadaan. Meskipun sudah cukup lama ia bekerja untuk Lui congtongcu, namun ia masih terbiasa menjadi
seorang pengamat yang baik, setiap kali Lui congtongcu meminta pendapat dan sarannya, dia akan
memberikan analisa serta mengajukan usul.
Zapi sekarang Lui Sun sudah tiada, walau begitu dia tetap menjaga sikapnya yang lama, minta
saran dan pendapat dari anak buahnya, menggunakan kesempatan ini diapun mengemukakan pendapat
sendiri. Lalu apa maksudnya ia berbuat begini?
Bila anak buahnya lebih banyak mengenali dirinya, keuntungan apa yang dibawa mereka untuk
dirinya? Dengan membiarkan anak buah kelewat memahami tentang dirinya, sudah pasti akan mendatangkan
ancaman bahaya yang amat besar. (Lui sun telah mati, sekarang dia menempati posisi Lui Sun,
melakukan pekerjaan Lui Sun, sama sederajat kedudukannya dengan Lui Sun dulu).
"Dia adalah Lui Sun!"
"Kenapa hingga sekarang dia masih menjadi Ii Hui-keng!"
"Sekalipun dia masih tetap Ti Hui-keng, namun Ti Hui-keng yang sekarang sudah bukan Ti Hui-keng
yang dulu lagi!" Sementara pikiran dan perasaan hatinya masih terombang ambing tak menentu, agaknya Lim Koko
masih terperana oleh kata "sianseng" tadi, untuk sesaat dia tak berbicara, pun tak mampu
mengajukan pertanyaan. Bab 3. Munculnya bebek timpang.
Nyaris semua umpatan dan kata makian yang bisa dipergunakan telah dipakai Ong Siau-sik untuk
mengumpat. Dia telah kehilangan tabiatnya yang baik, terlebih kehilangan sifat sabarnya.
Un Ji bilang dia akan datang ke tokonya untuk membantu. Sesungguhnya dia tak terlalu repot,
tapi begitu Un Ji datang, diapun benar benar jadi repot, karena dalam waktu setengah jam saja
Un Ji sudah dua kali menumpahkan tinta baknya, mengotori tiga lembar lukisan, merobek selembar
saputangan, memecahkan tiga botol obat, satu botol porselen dan dua botol kaleng.
Bahkan Un Ji telah salah menyerahkan resep obat kepada penderita sakit yang berbeda, coba kalau
tidak segera ketahuan, mungkin akan terjadi kasus pembunuhan.
Sementara Un Ji memang memiliki kelebihan yang lain daripada yang lain, pada saat yang
bersamaan ia dapat menginjak seekor kucing tua yang ada dikedai Ong Siau-sik hingga menjerit
kesakitan, lalu menginjak seorang pasien yang tempurung kakinya sedang di gips, bahkan ditengah
jeritan keras sang kucing, ia telah menumbuk seorang wanita hamil sepuluh bulan yang sedang
minum obat. Ong Siau-sik nyaris membentak dan mengumpatnya berulang kali.
Tentu saja hanya "nyaris" dan belum dilakukan.
Biar begitu, Un Ji sudah moncongkan bibirnya sambil berkerut kening, hampir meledak isak
tangisnya. Malah sekarang ia sudah mulai menangis.
Akibatnya Ong Siau-sik semakin repot, pada hakekatnya dia begitu repot hingga kehabisan daya.
"Kau jangan menangis, kenapa musti menangis? Jangan menangis, mau bukan? Kalau kau menangis,
orang akan menyangka aku telah menganiaya diri mu"
Sambil memberi penjelasan kepada Un Ji, diapun minta maaf kepada tamu tamunya bahkan terburu
buru mengambilkan kain untuk menyeka pakaian wanita hamil yang basah oleh obat.
"Kau maki aku?"
"Tidak, aku tidak memaki" buru buru Ong Siau-sik membantah, karena dari luar pintu telah
berjalan masuk seorang pasien lagi yang sendi tangannya lepas, "aku belum sempat memaki....."
"Tapi kau.... kau..... kau . . . . . . . .." Un Ji menangis tersedu sedu, "sikapmu terhadapku telah
berubah, . . . . . . .."
Isak tangis seorang gadis paling cepat mengundang perhatian orang, khususnya para tamu yang
baru masuk dan tak tahu permasalahannya, beramai ramai mereka menegur kekasaran Ong Siau-sik.
Dalam keadaan begini, mau tak mau terpaksa Ong Siau-sik harus merendahkan nada sambil menahan
rasa mendongkolnya, dengan lembut dia mencoba membujuk:
"Sudah, jangan menangis lagi"
Bukannya berhenti menangis, isak tangis Un Ji malah semakin menjadi, terpaksa Ong Siau-sik
harus menghampirinya sambil memohon:
"Kumohon, bersediakah kau untuk tidak menangis lagi?"
Mendadak terdengar suara orang tertawa cekikikan, dari menangis kini Un Ji malah tertawa
cekikikan, wajahnya yang masih basah dengan air mata tampak semakin menarik dalam keadaan
seperti ini, untuk sesaat Ong Siau-sik hanya bisa berdiri tertegun.
"Hmm, akan kulihat apakah kau berani jahat lagi kepadaku?" ejek Un Ji sambil tertawa.
"Aku akan lebih bersyukur kalau kau tidak menggangguku" gumam Ong Siau-sik lirih.
"Apa kau bilang?" hardik Un Ji dengan kening berkerut.
"Aaah, tidak, aku tidak bicara apa apa" jawab Ong Siau-sik tergagap.
Un Ji berpaling mengawasinya lekat lekat, tatapan tajam yang membuat sekujur badan Ong Siau-sik
terasa panas dingin dan sangat tidak leluasa.
"Sungguh?" "Sungguh!" "Tidak bohong?"
"Tapi jangan kau tatap aku dengan cara begitu"
"Kenapa? Aku tak boleh menatapmu?"
"Bukannya tak boleh . . . . . .." Ong Siau-sik tidak melanjutkan, dia hanya menghela napas panjang.
"Lantas kenapa?" desak Un Ji lebih jauh.
"Tahukah, kau adalah seorang anak gadis?" terpaksa ia memohon.
"Kenapa dengan anak gadis? memangnya kalau anak gadis lantas tak boleh melihat orang?"
"Tahukah kau, tampangmu . . . . . . .." Ong Siau-sik benar benar merasa dirinya seakan sedang
diinterogasi. "Iampangku?" Un Ji mengulang sekali lagi, suara tertawanya mirip jeritan siluman rase, sambil
bergendong tangan tanyanya:
"Kenapa dengan tampangku?"
Pada saat itu kembali ada seorang pasien patah tulang tangan kiri berjalan masuk, seakan
bertemu bintang penolong, buru buru Ong Siau-sik pergi menemui pasiennya.
Un Ji sepertinya tak rela, kembali dia meluruk maju, setelah bosan melihat kesana kemari
akhirnya dia menepuk bahu pemuda itu sambil menegur:
"Hey batu kecil, tahukah kau bagaimana keadaan A-hui ketika aku bermain dengannya kemarin?"
"Ooh, kemarin kau pergi mencarinya?" sahut Ong Siau-sik dengan nada lirih.
"Ehmmm..?" Lagi lagi Un Ji tidak mendengar jelas, sambil tertawa dia maju menghampiri.
Ong Siau-sik segera mengendus bau harum semerbak dari tubuh si nona yang membuat perasaannya
segar kembali, maka sahutnya:
"Ooh, tidak apa apa"
"Kenapa sih caramu bicara seperti setan makan lumpur, tak pernah jelas" omel Un Ji mendongkol.
Sedikit kurang hati hati, Ong Siau-sik sudah turun tangan kelewat keras yang membuat pasiennya
mendengus tertahan, mungkin saking sakitnya hingga tak sanggup bersuara. Buru buru pemuda itu
minta maaf: "Bukankah dia pun mengajak kau berbincang-bincang?"
Kembali Ong Siau-sik konsentrasi membetulkan tulang pasiennya yang terlepas.
"Hmm, manusia yang bisa terbang itu..... dia..... hmmmm!"
"Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang........." bicara sampai disini, seakan jengkel sekali Un Ji menggigit bibirnya
keras keras, "tahukah kau apa yang dia katakan kemarin? Dia minta aku jangan memandangnya
secara begitu, dia pun bilang, dia bisa memakan aku. Aku rasa dia sudah gila karena kelaparan,
tiap hari hanya sibuk dan sibuk diatas loteng, persis sama seperti kau, sedikit pun tak punya
perasaan sebagai manusia"
"Hmm, memangnya tidak kau lihat, aku pun sedang sibuk sekali"
dengus Ong Siau-sik. Kebetulan masuk lagi seorang pasien yang tengkuknya terluka, biar terluka, orang itu sama
sekali tak mengeluh, sekilas pandang pun dapat diketahui kalau dia adalah seorang jagoan kangou
yang terluka gara gara berkelahi.
"Hmm, kalian semua pada sibuk, hanya aku sendiri yang menganggur, tak ada pekerjaan" keluh Un
Ji cemberut. "Kalau begitu carilah jiko dan ajak dia bermain"
"Huuh, aku mah gak sudi cari dia, tampang sok lagi pikirin negeri itu, memang pas sekali, dia
memang merupakan pasangan ideal buat toako yang saban hari murung, mereka lebih suka membaca
setumpukan laporan sambil bicara taktik perang daripada memikirkan urusan lain. Manusia macam
begitu mana tahu mencari kesenangan"
Bicara sampai disini kembali Un Ji jadi riang, terusnya:
"Masih mending nona mu yang jauh lebih pintar, cari kesenangan dikala masih bisa"
Ong Siau-sik berusaha menahan gelak tertawanya.
"Kenapa kau tidak mencari nona Lui dan mengajaknya bermain?"
"Dia?" bisik Un Ji kuatir, "sejak malam itu . . . . . . . . .."
?iba tiba ia menutup mulut sendiri dengan kedua belah tangan, wajahnya agak takut, seakan
kuatir kalau ditegur orang.
"Ada apa?" tanya Ong Siau-sik dengan kening berkerut.
"Aaah tidak apa apa . . . . .."
sahut Un Ji kemudian sambil menurunkan kembali tangannya.
Ong Siau-sik pun tidak mengambil perhatian lagi.
Kini perhatiannya sedang tertuju pada pasiennya yang muncul makin lama semakin banyak, bahkan
hampir sebagian besar pasiennya menderita luka lepas tulang, luka terkilir dan lain sebagainya.
Kalau dilihat dari keadaan para pasien, jelas luka mereka bukan akibat kurang berhati hati,
melainkan sengaja ada orang yang melukai orang orang tersebut.
Walau begitu, tidak susah untuk menyembuhkan luka semacam ini, apalagi ilmu sangkal putung yang
dimiliki Cng Siau-sik memang termasuk sangat hebat.
Para pasien bisa menahan sakit, diapun mengobati dengan cara yang tidak terlalu berat.
?api mengapa secara tiba tiba bisa muncul orang terluka sebanyak ini? Apa yang telah terjadi?
Dilihat sepintas, orang orang itu jelas merupakan para jagoan dunia persilatan, atau jangan
jangan di kotaraja telah terjadi bentrok antar partai atau perkumpulan?
Sementara dia masih berpikir dengan sangsi, tiba tiba tampak seorang sastrawan berwajah bersih
dan cerah berjalan masuk dengan santainya, ia berjalan masuk sambil menggoyangkan kipasnya,
dari gerak gerik orang itu, bisa disimpulkan ia datang untuk berpesiar, bukan sebagai pasien.
Sambil melangkah masuk segera teriaknya:
"Enghiong takut penyakit, orang pintar takut sakit, mana tabibnya? Aku datang untuk memeriksa
sakit" Begitu orang itu berjalan masuk, sebagian besar 'pasien' segera menundukkan kepalanya dan
beranjak pergi dari situ dengan sorot mata takut bercampur gusar.
Cng Siau-sik segera menemukan kalau sebagian 'pasien' yang pergi itu tak lain adalah para
korban luka patah tulang.
Diapun menjumpai kalau air muka pemuda itu tampak amat segar, jangankan tidak membawa luka,
mungkin sakit perutpun tak mungkin menyerangnya.
Selain itu, diapun menjumpai sastrawan itu melirik wajah Un Ji berulang kali sewaktu berjalan
masuk ke dalam ruangan, sementara Un Ji membalasnya dengan anggukan kepala dan tersenyum manis.
Berkobar api amarah Cng Siau-sik, setengahnya karena cemburu.
Dia sendiri tak tahu mengapa begitu, tiba tiba saja ia merasa tak sanggup mengendalikan hawa
amarahnya. Ia sangat mendongkol, teramat sangat mendongkol.
Sementara itu sang sastrawan telah bergerak menuju tepi dinding dan menikmati setiap lukisan
dengan penuh perhatian, seolah dia adalah seorang ahli lukisan saja.
"Ehmmm, lukisan bagus, lukisan bagus!" puji sastrawan itu tak habisnya, "gaya tulisannya bagus
dan menawan, seakan orang setengah mabuk sedang memetik khiem, dari balik guratan huruf
terselip jiwa yang kuat"
"Ketajaman mata yang luar biasa, ketajaman mata yang luar biasa!" dengus Cng Siau-sik.
\\~I -erima kasih II kembali sastrawan itu berpaling seraya menjura, "sayang itu bukan tulisan dari
Ji-khong, melainkan gaya dari Ciong Yau, gaya tulisannya ibarat burung yang terbang di angkasa,
seperti bianglala yang menghiasi garis lautan, sungguh indah dan ternama"
"Aaai, sayang pandanganmu kurang tepat" sela Cng Siau-sik menimpali, "hanya gaya tulisan yang
kau lihat tapi bukan lukisannya, kritikanmu memang terhitung lumayan, hanya sayang belum kau
perhatikan tulisan nama penulisnya"
"Hahaha... ternyata gaya tulisan Ciong Yau, makin lama gaya tulisannya makin mirip dengan Ji
Khong, hahaha..... gaya tulisan seindah ini, kenapa musti digantung ditempat yang gelap? Ibarat
sekuntum bunga mawar ditancapkan diatas gundukan tahi kebo, keterlaluan, sungguh keterlaluan"
"Mau apa kau datang kemari?" tegur Cng Siau-sik dengan wajah dingin.
"Apa kerjamu disini?"
"Aku seorang tabib" sahut Cng Siau-sik, kemudian sambil menunjuk lukisan diatas dinding,
lanjutnya, "setelah jiko ku meninggalkan usaha toko lukisannya, aku pun menggantikan posisinya"
"Akan kau jual lukisan dari Ciong Yau itu? Aku rasa hanya lukisan itu yang berharga"
Cng Siau-sik tertawa. "Tidak, tak satu lukisanpun yang akan kujual" katanya, "tak kusangka kau begitu pandang rendah
Cng Si-ci" "Apa? Aku pandang rendah Cng Si-ci?" teriak sastrawan itu sambil menuding hidung sendiri, "gaya
tulisannya gagah dan kuat ibarat naga menembusi pintu surga, seperti harimau mendekam dalam
gua, semua orang memujanya, tapi kau seperti sentimen denganku?"
"Bukan aku sentimen, justru karena kau hanya menghargai Ciong Yau dan tidak menghargai Cng
Si-ci" Kemudian sambil menuding ke arah lain, lanjutnya:
"Lihat tuh, disamping kanan lukisan Ciong thaysu adalah lukisan dari Cng Si-ci"
Kali ini sang sastrawan tidak membantah lagi, agaknya dia ingin menggunakan kesempatan itu
untuk meredakan suasana. Kali inipun Cng Siau-sik tidak mendesaknya lagi.
"Kedatanganmu kali ini untuk membeli lukisan, atau untuk periksa penyakit?" tanyanya kemudian.
Sastrawan itu tertawa, tersenyum sambil memperlihatkan bibirnya yang merah dengan sebaris
giginya yang putih. "Sebenarnya ingin membeli lukisan, sayang lukisan indah tak kau jual, sementara lukisan kelas
kambing aku ogah membelinya, terpaksa aku datang untuk periksa badan"
"Jadi kau sakit?"
"Hahaha... aneh, Tabibnya kau, malah aku yang musti menjawab pertanyaanmu"
Cng Siau-sik duduk sambil persilahkan tamunya ikut duduk.
"Coba julurkan lidahmu" perintahnya.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Julurkan lidah? " sastrawan itu melengak, "kau sangka lidahku berwarna biru?"
"Pernah dengar kalau periksa penyakit lewat lidah? Baiklah, kalau tidak biarkan aku periksa,
akan kubukakan resep cuci perut saja, sampai waktunya, jangan salahkan aku"
"Baik, baiklah, apa takutnya perlihatkan lidahku"
Cng Siau-sik periksa lidahnya, kemudian memeriksa denyut nadi tangannya, baru keningnya
berkerut, tiba tiba terdengar suara tertawa ringan, begitu berpaling, dilihatnya sastrawan itu
sedang bermain mata dengan Un-ji.
Kontan saja timbul api cemburu dalam dada Cng Siau-sik, pikirnya:
"Sialan, orang ini sudah jelas datang untuk menggaet Un-ji....."
Belum hilang pikiran tersebut, mendadak tampak sastrawan itu membalikkan tangan lalu berganti
mencengkeram urat nadi ditangannya.
Baru saja Cng Siau-sik akan berdiri, lagi lagi sastrawan itu menginjak sepasang kakinya kuat
kuat, membuatnya tak sanggup berdiri.
Kejadian ini kontan menyulut api kemarahan Cng Siau-sik, tak terbendung semua kegusarannya
meluap. Pada dasarnya dia sudah amat mendongkol, ditambah lagi kena bokongan sastrawan itu, meski tahu
jika dia melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga maka akibatnya sepasang pergelangan kakinya
bakal lepas sendi seperti apa yang dialami para korban lainnya, namun tanpa berusaha melepaskan
diri, jelas badannya bakal mati kutu.
Baru saja sastrawan itu bersiap menginjak kakinya sekuat tenaga, cepat Cng Siau-sik menekan
sikutnya ke bawah, menghajar permukaan meja, begitu meja tersebut retak lalu hancur, lengan Cng
Siau-sik lurus ke bawah sementara tangan kanannya ikut membetot.
?idak mengira tindakan lawan, cengkeraman sastrawan itu jadi lepas dan gagal menahan tindakan
lawan, langsung saja tinju Cng Siau-sik menghajar lutut kiri sastrawan itu.
Terdengar sastrawan tersebut menjerit kesakitan, begitu keras jotosan tersebut membuat ia
kesakitan setengah mati, bukan hanya ingusnya yang meleleh, air mata pun ikut membasahi
matanya. Menggunakan kesempatan ini, lagi lagi Cng Siau-sik menggerakkan sepasang tangannya mencengkeram
bahu lawan, hardiknya: "Bocah keparat, kau berani membokong orang lain!"
Cengkeraman itu jelas mengancam bahu kanan sastrawan tersebut, siapa sangka pandangan mata
terasa kabur, tahu tahu orang itu sudah lolos dari ancamannya selincah ikan belut.
Gagal dengan serangan bokongan membuat sastrawan itu justru kena hajaran, kejadian ini
sebetulnya membuat Cng Siau-sik pandang enteng musuhnya, ia baru tertegun setelah menyaksikan
keindahan gerakan tubuh lawan.
Untung sastrawan itu sudah termakan pukulan yang membuatnya kesakitan setengah mati dan tak
mampu bergerak cepat, dengan satu tendangan cepat Cng Siau-sik menghajar bangku bambu yang
semula diduduki orang itu hingga meluncur ke depan.
Kuatir bangku itu melukai kembali tempurung kakinya, cepat sastrawan itu menyongsong datangnya
ancaman dengan tangan. Terasa segulung tenaga besar menggulung tiba, begitu kuat tenaga dorongannya membuat ia sedikit
sempoyongan. Kembali Cng Siau-sik membentak keras, satu pukulan sekali lagi dilontarkan ke muka.
Buru buru sastrawan itu menangkis datangnya ancaman dengan kursi bambu.
"Praaaak......!" terdengar suara bambu retak dan remuk, diiringi teriakan keras sastrawan itu:
"Jangan..... jangan..... jangan..........."
Lagi lagi segulung tenaga besar menggulung tiba, ia tak mampu berdiri tegak lagi, badannya
mencelat sejauh tujuh langkah, punggungnya menumbuk diatas dinding, berapa lukisan yang
tergantung disana pun jatuh berguguran.
Dengan satu loncatan cepat Cng Siau-sik merangsek ke muka, lagi lagi ia cengkeram bahu kanan
orang itu. "Kau lukai banyak orang hingga patah tulang, akan kupatahkan juga tulangmu biar tahu rasa"
ancamnya. "Hei batu kecil, kau benar benar akan melakukannya?" tiba tiba terdengar Un-ji berteriak keras.
"Siapa bilang bukan sungguhan?"
Tiba tiba terdengar sastrawan itu menjerit:
"Kalau berani melukai aku, akan kurobek lukisan ini!"
Cng Siau-sik betul betul dibuat tertegun, mau marah tak bisa mau menangis pun enggan. Ternyata
gagal meloloskan diri dari cengkeraman, sastrawan itu segera menyambar lukisan Ciong Yau dari
atas dinding kemudian mengancam akan merobeknya.
Bukan bertambah marah, ulah orang itu justru membuat hawa amarah Cng Siau-sik sedikit mereda,
ancamnya: "Kau berani merobek lukisanku, akan kupatahkan tulang tengkukmu, biar kau hidup lemas sepanjang
hari, persis seperti keadaan Ti Hui-keng dimasa lalu"
Tiba tiba bayangan hitam berkelebat lewat, lalu terdengar seseorang berteriak nyaring:
"Hey batu besar, berani kau lukai dirinya, akan kubakar tokomu!"
Begitu berpaling, Cng Siau-sik segera menjumpai Tong Po-gou yang tinggi kekar telah berdiri
dihadapannya, dengan keheranan dia lepaskan cengkeraman dari tubuh lawan, kemudian sambil
bertepuk tangan tegurnya:
"Sebenarnya siapakah orang ini? Kenapa kalian semua membelanya?"
Mendadak satu ingatan melintas lewat, membayangkan keindahan gerak tubuh lawan meski lututnya
sedang terluka, ia segera teringat akan seseorang:
"Hahh....... gerakanmu tadi jelas gerakan tubuh kuda putih melintas celah, jadi kau..... kau
adalah Pui Heng-sau?"
Masih berjongkok sambil memijat lututnya yang terluka, gumam sastrawan itu:
"Cooh Mama..... untungnya aku adalah Pui Heng-sau beneran, hanya sayang aku orang she-Pui
kenapa hanya punya dua kaki......."
Cng Siau-sik tak bisa menahan rasa gelinya lagi, dia segera menegur:
"Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mana Thio Tan?"
Sementara itu Un-ji sudah tertawa terpingkal pingkal begitu melihat ulah Pui Heng-sau yang
kesakitan, saking gelinya sampai untuk sesaat dia tak mampu menjawab pertanyaan Cng Siau-sik.
Dengan jengkel Pui Heng-sau melotot sekejap kearah gadis itu, protesnya:
"Kau masih bisanya tertawa, semua ini gara gara ulahmu"
Un-ji tertawa cekikikan. "Aku mana tahu kalau kemampuanmu begitu jelek, huuh, masih berani sesumbar bilang kalau tak
mampu mengalahkannya, kau akan andalkan ilmu meringankan tubuhmu yang hebat untuk kabur.....
hahaha... coba lihat keadaanmu sekarang...... hahaha....."
"Kenapa?" teriak Pui Heng-sau.
Un-ji tidak menjawab, dia malah membisikkan sesuatu ke sisi telinga Tong Po-gou.
"Dia bilang apa?" desak Pui Heng-sau.
Sambil tertawa tergelak sahut Tong Po-gou:
"Hahahaha..... dia bilang kau mirip sekali dengan bebek timpang"
Sebagaimana diketahui, Tong Po-gou dan Pui Heng-sau adalah saudara angkat dalam kelompok lima
perompak, dalam keseharian mereka selalu ribut dan bergurau, tak ada urusan kecil atau besar
yang bisa dilewatkan dalam keadaan damai, tapi begitu menghadapi urusan mati hidup, mereka akan
bertarung bahu membahu dan membela rekannya hingga titik darah penghabisan.
Sudah sejak lama Tong Po-gou maupun Pui Heng-sau kenal dengan Un-ji. Bisa dibayangkan bagaimana
onarnya dunia ketika si nona yang lembut tapi bertemperamen tinggi berkolabulasi dengan Tong
Po-gou yang suka bikin onar, Pui Heng-sau yang suka membuat gara gara ditambah Thio Tan yang
besar rasa ingin tahunya dan suka mencampuri urusan orang lain.
Antara Tong Po-gou, Thio Tan dengan Cng Siau-sik sudah lama terjamin persahabatan, sementara
Pui Heng-sau hanya pernah mendengar nama Cng Siau-sik namun belum pernah menjumpainya, ketika
mendengar Un-ji begitu memuji kebaikan hatinya, Tong Po-gou memuji akan kesetiakawanannya dan
Thio Tan memuji akan keakraban persahabatan mereka, Pui Heng-sau merasa sangat tidak puas, dia
bertekad ingin menguji kehebatan orang itu.
"Aaah, apa hebatnya Cng Siau-sik" begitu dia sesumbar, "coba dia tidak menggunakan golok
kerinduan, pedang pembetot sukma, cukup andalkan kelima jariku pun sudah dapat kubekuk dirinya"
Mendengar itu Thio Tan segera menyela sambil tertawa:
"Hahaha.. jangan kau sangka dia tak berkemampuan, biar umurnya masih muda, kungfu maupun ilmu
pengetahuannya sangat hebat. Kalau So Bong-seng dan Lui Sun hanya tahu mempertahankan
kekuasaannya habis habisan, Pek jau-hui dan Ti Hui-heng hanya punya ambisi besar yang pada
awalnya terangsang oleh ambisi tapi pada akhirnya diperbudak oleh ambisnya juga, tidak seperti
Cng Siau-sik, dia bisa menerima kelebihan, bisa juga melepaskannya, tahu mundur setelah
berhasil, bahkan sekarang menjadi tabib di kotaraja membantu orang banyak, menjual lukisan
sambil hidup santai, lebih baik kau tak usah mencari penyakit"
Meledak amarah Pui Heng-sau sesudah mendengar perkataan itu, teriaknya:
"Ketika berjalan di air tidak gentar menghadapi terkaman sang naga, itulah keberanian seorang
nelayan, berjalan di darat tidak kabur menghadapi sergapan harimau, itulah keberanian seorang
pemburu. Aku ingin coba menimbang kemampuan Cng Siau-sik, ingin tahu seberapa bobot badannya
dan membuktikan sampai dimana keberanianku"
"Bagus, bagus" seru Un-ji sambil bertepuk tangan gembira, "kalau begitu menyamarlah sebagai
orang sakit dan jajallah kemampuannya, kalau memang terbukti kau sanggup membanting batu cadas
itu, aku berjanji akan menyayangimu"
Umpakan tersebut seketika membuat Pui Heng-sau merasakan pipinya jadi panas, tapi semakin
membulatkan tekadnya untuk menjajal kehebatan Cng Siau-sik.
Pada dasarnya Un-ji memang ingin sekali menemukan orang yang mampu menghajar Cng Siau-sik
maupun Pek Cau-hui, memberi pelajaran yang setimpal kepada kedua orang itu karena selama ini
tak pernah pandang sebelah mata terhadap dirinya sebagai si nona besar.
Thio Tan tidak berusaha mencegah, hanya ujarnya sambil tertawa:
"Kalau memang nekad ingin cari apes, silahkan saja, aku mah tidak ikut ikut"
Sebaliknya Tong Po-gou merasa sedikit sangsi, katanya:
"Hey kutu buku, kalau sampai kau dihajar si batu kecil, siapa yang harus kubantu?"
Mendengar itu, Pui Heng-sau merasa hatinya makin panas, teriaknya sambil menggertak gigi:
"Kau tak usah kuatir, lihat saja buktinya besok, siapa yang bakal merangkak ditanah"
Maka dia pun bersekongkol dengan Un-ji untuk membuat perangkap, tentu saja tujuan utamanya
bukan ingin melukai sendi tulangnya, tapi hanya ingin membekuknya.
Siapa tahu begitu bertarung, dalam waktu singkat Cng Siau-sik telah berhasil menguasai keadaan,
bukan saja tidak terluka, malah nyaris melukai tempurung lawan, coba bukan dicegah Tong Po-gou
dan Un-ji tepat pada saatnya, bisa dipastikan Pui Heng-sau bakal menderita kerugian yang lebih
besar. Dengan nada tak suka hati Cng Siau-sik kembali berkata:
"Kali ini aku bisa sampai bermain kasar dengan Pui kongcu, semuanya tak lain karena
kesalahanmu. Un-ji, saudara Tong, tidak seharusnya kalian bikin keonaran, masih untung bertemu
aku, coba kalau sampai kebentur Pek jiko, bisa jadi bakal ada nyawa yang melayang"
Waktu itu Pui Heng-sau masih merasa tak senang gara gara kalah ditangan lawan, begitu mendengar
ucapan Cng Siau-sik, segera selanya:
"Untuk sementara anggap saja kemampuan kita memang berimbang, menang kalah belum ketahuan
hasilnya, coba kalau bukan keusilan mereka, mungkin akulah yang bakal tak enak hati karena
telah melukai saudara Sik. Cya... masih ada juga Pek loji, pasti sampai waktunya akan kujajal
juga kehebatannya, jangan kuatir, aku berjanji tak akan menggunakan jurus pemungkas, apalagi
sampai membunuhnya" Dari pembicaraan tersebut, Cng Siau-sik segera dapat memahami tabiat dari sastrawan itu, buru
buru katanya: "Aaah benar juga, baru saja nyaris aku kena dilukai Pui kongcu, tapi kau musti hati hati, Pek
jiko punya perangai yang lebih keras dariku, dia bertemperamen tinggi, tak tahan kalah, lebih
baik Pui kongcu memberi muka kepadaku dan lepaskan dia"
"Aku memang tak suka kelewatan memojokkan orang, terhadap siapa pun aku selalu ramah" Pui
Heng-sau manggut manggut senang, "kalau toh kau telah berkata begitu, baiklah, biar kutunda
sementara waktu rencana tersebut"
"waah, kalau begitu terima kasih banyak" seru Cng Siau-sik tertawa geli.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Pui Heng-sau marah.
"Eeei, bukankah kau sudah bersedia tidak mengusik jiko ku lagi?"
Tiba tiba Pui Heng-sau tertawa, dengan nada penuh sendiran katanya:
"Aku sudah amat berterima kasih bila ia tidak datang mencari masalah denganku, buat apa kau
harus berterima kasih?"
"Coh, kalau begitu aku harus berterima kasih karena kau telah mengampuni nyawanya"
"Mengampuni nyawanya?" Pui Heng-sau angkat wajahnya, "kau serius?"
"Seriuslah, bayangkan saja, bila tadi kau menyerangku dengan lebih keras, bukankah saat ini aku
sudah tergeletak lemas?"
"Aaai, karena kau telah berkata begitu, rasanya akupun jadi malu untuk mengakui semuanya itu
dengan muka tebal. Betul aku orang she-Pui tak becus, namun tidak sampai begitu memalukan
hingga menyangkal kenyataan yang sebenarnya"
kata Pui Heng-sau terus terang, "harus kuakui,
dalam pertarungan tadi, kaulah yang telah mengalah kepadaku, kejadian ini sudah kuterima dengan
ikhlas, jadi kau tak perlu mencoba untuk menghiburku lagi"
Untuk sesaat Cng Siau-sik jadi terbungkam, dia tak tahu apa yang musti dikatakan.
Tong Po-gou yang berada disampingnya cepat menimpali:
"Hahaha,...... tak kusangka si Pui kecil bersedia mengaku kalah, betul betul salju dibulan
enam, matahari ditengah malam."
Dengan jengkel Pui Heng-sau melotot sekejap ke arahnya.
"Kalah tetap kalah, kenapa musti diingkari?" teriaknya, "aku mah tidak seperti kau si kebo
bebal, sudah kalah tapi tak berani mengakui, sampai mati pun ingin bela nama sendiri. Ingat
kata kata Khong Hu-cu: Selama kau tidak menyalahi langit, selama kau tidak melakukan hal yang
memalukan terhadap sesama manusia, hidup bebas terbuka, apalah arti salah. Hmm, tidak macam
kau, bisanya hanya mencuri seperti tikus, merampok seperti anjing............"
Baru saja Tong Po-gou akan meradang, tiba tiba terdengar Un-ji bergumam:
"Tidak menyalahi langit, tidak melakukan hal yang memalukan terhadap sesama
manusia......................"
"Eeei kenapa kau? Bukan kerasukan `kan?" Tong Po-gou segera menegur keheranan.
"Hahaha.... di musim dingin yang begini segar, masa ada orang kerasukan?" sela Pui Heng-sau
sambil tertawa. Tiba tiba terdengar Un-ji berteriak lagi:
"Betul, tidak bakal salah: Tidak menyalahi langit, tidak melakukan hal yang memalukan terhadap
sesama manusia, ucapan ini pernah kupelajari, rasanya diucapkan oleh Beng-cu, bukan, Khongcu!"
Merah jengah selembar wajah Pui Heng-sau, merasa sulit untuk berkelit, terpaksa katanya:
"Masa tadi aku bilang begitu?"
"Betul, kau berkata begitu" teriak Tong Po-gou cepat.
"Huhh, Khongcu atau Bengcu sama sama berasal dari satu aliran, kenapa ucapan mereka musti
dibedakan? Iseng benar kamu!"
"Mengerti aku sekarang" Tong Po-gou manggut manggut.
"Baguslah kalau sudah mengerti"
Tong Po-gou menyeringai sambil tertawa mengejek.
"Eeei, jika Khongcu dan Bengcu berasal dari satu keluarga, berarti antara kau dan akupun tak
ada bedanya, kenapa kau tidak ikut margaku saja, bagaimana kalau namamu dirubah jadi Tong
Heng-sau?" Sekali lagi Pui Heng-sau meradang, belum lagi mengumbar rasa dongkolnya, mendadak terdengar Cng
Siau-sik menyela: "Hey mana Thio Tan? Kenapa tak nampak manusianya?"
Un-ji segera ikut celingukan, udara dingin mencekam diluar pintu, apalagi salju belum lama
turun dengan derasnya, seluruh permukaan jalan, ranting pohon, atap rumah dilapisi bunga salju
tebal, bahkan batu kerikil didepan pintu pun tertutup salju.
"Betul juga" serunya kemudian, "kemana dia? Kenapa belum nampak batang hidungnya?"
Baru saja ucapan itu selesai diutarakan, dari ujung jalan sudah terlihat sebuah kereta bertirai
hitam bergerak menuju ke depan toko, begitu berhenti, tirai kereta disingkap orang dan
seseorang munculkan diri, ternyata dia tak lain adalah Thio Tan.
"Hei arang sialan" begitu bertemu Un-ji segera menegur sambil tertawa, "kenapa baru muncul
sekarang? Banyak adegan hebat yang kau lewatkan!"
Thio Tan tidak menanggapi, malah dengan sikap acuh serunya:
"Cng kongcu, silahkan naik kereta"
Cng Siau-sik terperangah, selama ini Thio Tan selalu menyebutnya si batu kecil, kenapa secara
tiba tiba memanggilnya kongcu pada hari ini?
"Naik kereta? Kenapa musti naik kereta?" tanyanya kemudian.
"Naik saja dulu baru kita bicarakan" jawaban Thio Tan tetap lemas tak bertenaga.
"Sore, bagus sekali" teriak Un-ji sambil bertepuk tangan gembira, "mumpung ada kereta, kita
bisa berpesiar ke biara Tah-hud-si"
Cepat Thio Tan menggeleng.
"Hey arang hitam, kenapa dengan dirimu hari ini?" tegur Un-ji makin tercengang.
Lagi lagi Thio Tan mengangguk tanpa menjawab.
"Hei arang hitam, apa apaan kamu ini?" hardik Tong Po-gou pula dengan suara nyaring.
Tiba tiba Thio Tan angkat badannya ke depan, dia seperti ingin angkat kepala sambil busungkan
dada, tapi sayang gerak geriknya tidak leluasa.
"Aku...... aku tidak apa apa" terdengar dia menyahut, "Cng kongcu, silahkan naik kereta"
"Kita mau ke mana?" tak tahan Cng Siau-sik bertanya.
Mendadak Thio Tan menjulurkan lidahnya sambil mengerdipkan matanya berulang kali.
Seseorang yang lemas tak bersemangat, tiba tiba melakukan tingkah laku seperti begini, jelas
keanehan tersebut sudah mencapai pada puncaknya, menyusul kemudian paras muka Thio Tan pun
pulih jadi normal kembali.
Matanya yang bulat, hidungnya yang bulat, telinganya yang bulat, dagunya yang bulat, kesemuanya
terlihat seperti gundukan nasi yang bulat, apa mau dikata ia justru memiliki alis mata yang
tebal, sikap yang luar biasa sewaktu berpikir, biar tidak sedang berpikir pun ia tampil alim
bagaikan perawan, tenang bagaikan bukit karang.
Terlebih sewaktu berbicara, suaranya lemah lembut seolah sama sekali tak bertenaga:
"Naik saja dulu, kau bakal tahu dengan sendirinya!"
"Tapi aku belum tutup toko!"
"Tutup saja sekarang, bukankah beres?"
Tiba tiba Tong Po-gou menyela:
"Kenapa kau sendiri tidak masuk dan duduk sebentar?"
Ucapannya disampaikan sangat lamban, amat berhati hati.
Jawaban Thio Tan sendiripun sangat lamban, sangat berhati-hati:
"Sekarang, saking lelahnya aku hanya ingin mencari sebuah lubang gua, peduli mau tembus ke mana


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lorong gua itu. Kalau harus tersiksa macam begini setiap hari .... T.. aaaai, aku tak bisa
mengendalikan diri untuk tidak berkelana diluar, tapi akupun tak ingin menyesal dengan bertapa
saja menghadap dinding, apalagi setelah terjatuh ke tangan orang .... U.. aku tahu kehidupan manusia
memang dari tiada menjadi ada, mau dia musuh atau sahabat, semuanya sama saja"
Menyusul kemudian dia melanjutkan:
"Toako, jiko, samko, kalian semua jangan marah"
Perkataan ini disampaikan sangat cepat, kata demi kata diucapkan bagaikan berondongan mercon,
sama sekali tak mirip nada orang yang minta orang lain jangan marah.
Walau begitu, dia telah berkata dengan sangat teliti, sangat berhati hati, setiap patah kata
selalu diselingi jeda sebelum dilanjutkan, seakan setiap patah katanya merupakan vonis hukuman
untuk seseorang, setiap kata menentukan mati hidup orang lain sehingga tak boleh salah.
Tapi sayangnya Cng Siau-sik maupun Un-ji tidak paham, tidak mengerti.
Apa yang sebenarnya dikatakan Thio Tan? Apa maksud dari ucapannya yang seperti mengerti tapi
tak mengerti itu? Ternyata Pui Heng-sau seolah memahami perkataan itu, dengan sikap yang amat berhati-hati ia
balik bertanya: "Jadi dalam perjalanan tempo hari, kaukah orang yang tak berani menyelamatkan nyawa orang
lain?" Ucapan apa lagi ini? Bingung, tidak jelas.
Un-ji tak bisa mengendalikan diri lagi, segera teriaknya:
"Hei, apa yang sedang kalian bicarakan?"
Pui Heng-sau segera berpaling, balik tanyanya:
"Si arang sialan hanya ingin mengundang si batu kecil pergi ke suatu tempat, dia sama sekali
tidak pandang sebelah mata kepada kita, coba bayangkan, menjengkelkan tidak?"
"Menjengkelkan, sangat menjengkelkan!" sahut Un-ji tanpa berpikir panjang.
Tampaknya Pui Heng-sau telah menduga akan jawaban dari gadis itu, bersama Tong Po-gou segera
serunya: "Un-ji pun mengatakan dia pantas dihajar!"
Sambil menjinjing jubahnya Tong Po-gou maju dengan langkah lebar, umpatnya pula terhadap Thio
Tan: "Setan arang, ayoh turun, cepat turun, biar kuberi pelajaran dulu kepadamu"
Un-ji merasa sedikit tak mengerti, selanya:
"Masksudku........."
Tiba tiba Pui Heng-sau menyelinap kehadapan kereta, serunya kepada Un-ji:
"Nona Un, kau tak usah menangis, arang hitam ini sangat memuakkan, biar kuhajar si arang hingga
hancur bersama salju, kau tak usah mendongkol lagi"
Habis berkata dia menerjang ke muka, gerak tubuhnya benar benar cepat hingga sukar dilukiskan
dengan perkataan, tapi sayang ada orang lain yang jauh lebih cepat lagi, tahu tahu orang itu
sudah menerjang ke hadapan Thio Tan dan melepaskan sebuah jotosan maut ke wajahnya.
Crang itu tak lain adalah Tong Po-gou!
"Hei, apa apaan kalian?" jerit Un-ji makin cemas.
Ketika bogem mentah Tong Po-gou segera akan mampir diwajah Thio Tan itulah mendadak Pui
Heng-sau menggerakkan tangannya, mengempit tubuh Thio Tan dan melesat kearah luar.
Hantaman maut yang dilontarkan Tong Po-gou seketika menghajar telak diatas kereta kuda.
"Blaaaaml" kereta kuda itu hancur dan roboh seketika.
Pada saat Pui Heng-sau melejit ke samping sambil mengempit tubuh Thio Tan itulah, tiba tiba
berkilat dua cahaya putih yang tajam menyilaukan dari balik ruang kereta.
Berada ditengah udara, Thio Tan membalikkan tangannya seakan melepaskan pula satu pukulan, tapi
segera terdengar suara dengusan napasnya yang berat.
Sementara itu tubuh Pui Heng-sau yang sedang melambung pun ikut bergetar keras.
Disaat Cng Siau-sik melihat datangnya kilatan cahaya putih yang menyilaukan mata, ia segera
tersadar atas apa yang terjadi.
Aaah, ternyata begitu: Dia menyesal, mengapa hal ini tidak diketahuinya semenjak tadi.
Bab 4. Akhir dari si tiga bilah golok.
Kereta sudah roboh, kuda sudah kabur sambil meringkik, pada saat itulah lagi lagi satu
kelebatan cahaya golok membelah angkasa.
Cahaya golok yang sangat cepat, gerak serangan yang kilat.
Tong Po-gou meraung penuh amarah, satu sodokan tinju dihentakkan ke muka, sodokan langsung
mengarah cahaya golok. Sebetulnya mata golok lebih tajam, atau kepalan lebih keras?
Sabetan golok lebih cepat, atau pukulan tinju Tong Po-gou jauh lebih kilat?
Bagi Tong Po-gou, dia memang tak punya pilihan lain.
Dengan jelas dia tahu siapa yang berada dalam kereta, namun tidak berusaha untuk
menghindarinya. Bagi dia pribadi hanya ada satu jalan saja, maju menyongsong ancaman musuh dan bertarung
melawannya. Biar harus mendaki bukit golok menyeberangi lautan api pun dia tak jeri, bila ingin selamat
dari kematian, berjuanglah dalam ancaman maut lawan.
Tentu saja diapun tahu kalau sabetan golok itu luar biasa hebatnya, sangat menakutkan.
Meski diapun memiliki sepasang kepalan baja, tapi sabetan golok itu pernah membelah sebuah
tameng tembaga seberat seratus dua puluh kati, membuat tubuh Thi-ta toojin, salah satu dari
empat toa hiocu perkumpulan Jit-pang-ji-hwe-kiu-lian-beng (tujuh perkumpulan sembilan sekutu)
yang berada dibalik tameng tersebut terbelah jadi dua dengan batok kepala berpisah dari badan.
Rasanya bacokan maut golok itu bukan serangan yang bisa dihadang dengan kepalan bajanya, tapi
mustahil baginya untuk menyusut mundur dari situ.
Pui Heng-sau baru saja menyelamatkan nyawa Thio Tan, bahkan tubuh mereka berdua belum lagi
menginjak tanah, tak mungkin dia membiarkan orang dalam kereta melancarkan serangan kearah
mereka. Dalam keadaan begini terpaksa ia harus menyambut datangnya bacokan golok itu, menyambut dengan
kepalannya, menerima dengan nyalinya yang besar.
Biarpun dia mempunyai julukan sebagai "Kepalan baja", namun dalam kenyataan kepalannya tetap
terdiri dari darah dan daging, daging yang tak mungkin bisa menandingi ketajaman serta
keampuhan sebilah golok baja.
- Mungkinkah bacokan itu segera akan memenggal kutung sepasang kepalan baja milik Tong Po-gou?
Tak ada yang bisa menjawab.
Sebab pada saat yang bersamaan ada sebilah golok yang sedang menyambar pula ke tengah arena,
membacok tepat ke arah golok itu.
Percikan bunga api menyebar ke empat penjuru mengiringi suara bentrokan nyaring.
Cahaya golok bagai impian, bagaimana dengan sang golok?
oo0oo Golok tetap adalah sebilah golok.
Cng Siau-sik telah menarik kembali goloknya.
Suara golok yang bening, nyaring, jelas dan menusuk pendengaran.
Menyusul benturan itu, suara golok yang tajam diiringi suara dengusan mengaduh bergema dari
balik ruang kereka. Saat itu seluruh ruang kereta telah roboh, tampak tiga sosok manusia melompat keluar dari balik
ruang kereta yang terbelah.
Tiga manusia dengan sorot mata penuh kebencian, menatap Cng Siau-sik tanpa berkedip.
Ke tiga orang itu memiliki perawakan tubuh yang beraneka ragam, tapi ada satu kesamaan diantara
mereka semua: pada pinggangnya, dalam genggaman tangannya terdapat golok.
Darah segar tampak mengucur keluar dari telapak tangan salah seorang diantaranya, tangan yang
masih menggenggam golok. Cleh karena tangannya terluka, membuat dia tak sanggup menyarungkan kembali senjatanya ke dalam
sarung secara tepat, bahkan butuh bantuan kedua orang rekannya untuk memayang dia dan melompat
keluar dari dalam kereta sebelum rubuh.
oo0oo Cng Siau-sik kenal baik ke tiga orang itu.
Mereka adalah Phang Ciam, salah satu dari Phang-bun-ngo-hau (lima harimau dari keluarga Phang)
yang berhasil menguasai ilmu golok Ngo-hau-toan-hun-to (lima harimau pemutus nyawa) hingga
puncak kesempurnaan. Keng-hun-to (golok pengejut sukma) Tiau Lan-thian, cengcu muda dari perkampungan Tiau-kee-ceng.
Serta Beng Khong-khong. Ahli waris dari Siang-kian-po-to (golok mustika perjumpaan).
Tapi, mengapa mereka bisa berada dalam kereta?
Mengapa mereka melancarkan serangan maut kepada Pui Beng-sau, Thio Tan dan Tong Po-gou?
Mereka adalah tiga diantara Pat-toa-to-ong (delapan raja golok) dibawah pimpinan Buan-jiu-
hong-im-hu-jiu-yu (tangan sakti pembalik angin dan awan) Pui Siau-hoya, mengapa hari ini mereka
semua bisa muncul disitu?
Bab 5. Hidup bagai impian, kenyataan bukan impian.
"Aaah, ternyata kalian bertiga" seru Cng Siau-sik kepada Beng Khong-khong, Phang Ciam dan Tiau
Lan-thian, seakan bertemu tiga orang rekan lama, tambahnya, "lukamu tidak berat bukan?
Untunglah tidak sampai parah"
Yang dia tanya adalah Phang Ciam, sebab tangannya masih mengucurkan darah.
Ternyata tangannya tidak terluka, darah itu bukan meleleh dari tangannya melainkan mengucur
dari balik bajunya. Namun bajunya pun tidak robek, sedikit robekan pun tak ada. Hanya anehnya darah masih meleleh
tiada hentinya, atau dengan perkataan lain, lengannya telah terluka.
Tadi Cng Siau-sik menggunakan golok, tentu luka yang diderita Phang Ciam pun luka sabetan
golok. - Tapi, golok itu sama sekali tidak merobek pakaiannya, kenapa lengan itu bisa terluka?
Jangan lagi orang lain, bahkan dua orang jago golok yang berada disamping Phang Ciam: Beng
Khong-khong dan Tiau Lan-thian pun tidak habis mengerti.
Bukan hanya mereka tak mengerti, Phang Ciam sendiripun tak jelas apa yang telah terjadi.
Saat ini Phang Ciam benar-benar merasa ngeri, terkesiap, ketakutan setengah mati.
Dia termasuk orang yang tahu diri, disamping diapun orang yang amat percaya diri, kalau bukan
begitu, mustahil dia bisa menjadi jagoan lihay yang menonjol dalam Perguruan Ngo-hou-phang-bun.
Selain itu, sejak awal dia pun dapat melihat dengan jelas semua kelemahan dan kekurangan dari
permainan Toan-hun-to keluarga Phang, karena itu banyak perbaikan dan perubahan yang telah ia
lakukan, bahkan membuat ilmu tersebut lebih berjaya.
Phang Ciam pun tahu, bicara soal ilmu silat, dia masih bukan tandingan dari Lui Sun, So
Bong-seng maupun Kwan Sit sekalian, tapi bicara soal ilmu golok, apalagi diseputar wilayah
kotaraja, dia yakin kemampuannya sudah masuk dalam jajaran paling top, bahkan dalam dunia
persilatan pun kemampuan ilmu goloknya tak bisa dipandang enteng.
Perawakan tubuhnya memang pendek, kecil, tapi orangnya sangat tenang, jarang bicara, apa yang
diucapkan selalu dilaksanakan, apa yang dikatakan selalu betul, kalau sedang tidak menyerang,
ia bersikap alim, tapi begitu goloknya dicabut, pasti ada batok kepala yang bergelindingan.
Dalam setahun terakhir, baru dua kali dia menderita kekalahan.
Bagi seorang jago golok yang hidup demi golok, kekalahan merupakan sebuah aib yang luar biasa.
Tapi dalam dua kali kekalahan yang dideritanya, Phang Ciam merasa amat puas dan takluk, kalah
dengan ikhlas. Pertama kali terjadi pada setahun berselang, dalam kedai arak ditengah hujan badai, ia bertemu
Thian-he-tee-jit (nomor tujuh di kolong langit).
Waktu itu dia terluka ditangan Thian-he-tee-jit, malah hingga kini belum jelas senjata apa yang
telah melukainya. Biar begitu, dalam gempuran Ihian-he-Tee-jit ternyata dia sanggup mempertahankan nyawanya,
malahan sempat selamatkan rekannya, Tiau Lan-thian dari ancaman maut Thian-he-tee-jit.
- Dan hari ini merupakan kali ke dua.
Dia menggunakan golok, Ong Siau-sik pun menggunakan golok. Tapi dalam kenyataan dia keok
diujung golok Cng Siau-sik.
Padahal dia selalu mengincar dulu dengan hati hati, menyerang setelah yakin pasti berhasil.
Tadi Beng Khong-khong menyerang ke arah Pui Heng-sau, Tiau Lan-thiang mengincar Thio Tan,
sementara dia mengincar Tong Po-gou.
Kenyataannya, Beng Khong-khong gagal menahan Pui Heng-sau, tapi berhasil melukainya.
Biarpun Tiau Lan-thian gagal membunuh Thio Tan, namun cukup membuatnya berdarah darah.
Sedang dia sendiri, sebetulnya dia berencana membunuh Tong Po-gou.
Selama ini dia selalu menganggap Tong Po-gou satu komplotan dengan Ibian-he-Tee-jit, sebab
malam itu, disaat mereka hendak turun tangan membunuh Thio Tan, Tong Po-gou muncul bersama anak
buahnya Thian-he-tee-jit, langsung menyerbu masuk ke dalam kedai.
Coba kalau Thian-he-tee-jit bukan muncul disaat tersebut, serangan itu pasti akan membuahkan
hasil, dia pasti dapat "melaksanakan perintah"
dengan membunuh Thio Tan dan Tong Po-gou.
Selamanya Phang Ciam tak suka melakukan pekerjaan yang tidak membuahkan hasil, diapun tak suka
membuat pekerjaan terbengkalai setengah jalan.
Dia selalu merasa, tidak dapat menyelesaikan suatu pekerjaan sama artinya dengan sebuah
penghinaan, sebuah kejadian yang sangat memalukan.
Cleh karena itu dia ingin menggunakan kesempatan kali ini untuk sekalian menghabisi nyawa Thio
Tan dan Tong Po-gou. Tapi sayang, belum sempat melihat jelas golok seperti apa yang digunakan Cng Siau-sik, ia sudah
terluka duluan. Menderita luka yang hingga kini masih belum diketahui penyebabnya dan berasal dari mana.
Kemudian Cng Siau-sik masih mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya.
Mereka berdua seolah dua orang yang berasal dari desa yang sama, bertemu secara tak sengaja di
kota besar dan saling menanyakan keadaan.
Untuk sesaat Phang Ciam tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Dalam pada itu Cng Siau-sik telah berbicara lagi, kepada Thio Tan ujarnya dengan lembut:
"Aku tak mau pergi, lebih baik kau masuk saja, mari kita minum teh bersama!"
Thio Tan meraba ketiaknya sejenak, darah segar telah menodai pakaiannya, sambil angkat bahu
ujarnya: "Kalau dalam kedaimu tersedia beras, bukan air teh, aku pasti akan masuk ke dalam"
"Kenapa kau harus bersantap nasi?" tegur Pui Heng-sau sambil berpaling.
Mimik muka Thio Tan tak ubahnya seperti seorang kanak kanak:
"Karena aku kehilangan banyak darah, kalau tidak makan nasi, bagaimana mungkin bisa menambah
darahku yang telah hilang?"
Pui Heng-sau meraba bahu sendiri, gumpalan darah menodai pula bahunya:
"Kau bisa minum teh, air teh pun dapat menambah darah"
"Minum teh hanya jadi air kencing, tak dapat menambah darah" kata Thio Tan, "masa urusan
beginipun tidak kau pahami? Tak heran kalau kau tak sanggup mengalahkan Cng Siau-sik"
"Hei, cara bicaramu betul betul tak tahu adat, persis seperti kebo yang sedang berkubang"
teriak Pui Heng-sau dengan kening berkerut, "apa sangkut pautnya urusan ini dengan ketidak
mampuan mengalahkan Cng Siau-sik?"
Ternyata dengan begitu santainya mereka berdebat sendiri, seolah sudah lupa kalau masih ada
tiga orang jago golok yang sedang mengancam di tempat itu.
Tiau Lan-thian sudah tak sanggup menahan diri lagi, dia siap melancarkan serangan.
Tapi Beng Khong-khong justru bertanya lagi dengan nada sungkan:
"Masih ada satu urusan lagi mohon petunjuk dari kalian"
"Katakan saja, akan kujawab" sahut Tong Po-gou.
"Apakah sejak awal kalian sudah tahu kalau kami bertiga bersembunyi dalam kereta?" tanya Beng
Khong-khong dengan nada tulus.
"Sama sekali tidak tahu"
"Coh? Kalau begitu, aku jadi semakin tak mengerti"
"Memang masih banyak urusan yang tak bakal diketahui oleh manusia macam kalian" potong Tong
Po-gou kasar. Ternyata Beng Khong-khong sama sekali tak menjadi marah, kembali ujarnya:
"Kalau memang begitu, darimana kalian bisa tahu kalau kami berada dalam kereta, bahkan dapat
turun tangan secara serempak?"
Sambil mencibirkan bibirnya yang lebar, Tong Po-gou menunjuk ke arah Thio Tan dan berkata:
"Dialah yang mengatakan"
"Dia yang mengatakan?" tanya Beng Khong-khong tertegun.
"Betul, dia mengatakannya persis dihadapan kalian, masa kau tidak mendengar?" tanya Tong Po-gou
lebih bangga lagi. Sementara Beng Khong-kong masih bertukar pandangan dengan Tiau Lan-thian, terdengar Thio Tan
berkata pula: "Benar, tadi aku telah berkata begini: saking lelahnya, sekarang aku hanya ingin mencari sebuah
Perjodohan Berdarah 2 Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara Keris Tumbal Wilayuda 1
^