Pencarian

Pedang Amarah 2

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An Bagian 2


gua, peduli gua itu mau tembus sampai dimana, siapa yang tahan kalau musti hidup setiap hari
macam begini? Tak bisa menahan napsu ingin berkelana diluar, tapi tak ingin pula setelah jatuh
ke tangan orang, harus duduk menyesal menghadap tembok. Manusia hidup itu dari tak ada menjadi
ada, mau musuh atau teman, semuanya sama saja"
Setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Masa kau sudah lupa?"
"Ehmm, betul, kau memang berkata begitu" Beng Khong-khong mengangguk.
"Coba kau gabungkan kata pertama dan kata terakhir dari kalimat pertama, kata pertama dari
kalimat ke dua, kata terakhir dari kalimat ke tiga, kata pertama dari kalimat ke empat, kata
terakhir dari kalimat ke lima, kata pertama dari kalimat ke enam, kata terakhir dari kalimat ke
tujuh dan kata pertama dari kalimat ke delapan" timbrung Pui Heng-sau tiba tiba.
Sambil tertawa terkekeh Tong Po-gou menambahkan:
"Kecuali kata terakhir dari kalimat pertama, semua kata pada posisi genap digabungkan kata
terakhir maka kami pun segera menemukan serangkaian kalimat yang luar biasa. Hahaha... inilah
cara rahasia kami berlima untuk melakukan komunikasi"
Beng Khong-kong termenung sambil mencoba merangkaian kata kata tersebut, akhirnya ia berteriak
keras: "Aaah...... kalau dirangkai, perkataan itu adalah: Jalan darahku tertotok, dibelakangku ada
musuh......... tak heran kalau kemudian dia menambahkan lagi dengan perkataan: toako, jiko,
samko jangan marah. Kita pernah bersua di rumah makan, ternyata Thio Tan bisa menggunakan cara
ini untuk menunjukkan siapa yang mengancamnya secara diam diam, hebat, luar biasa"
"Maaf, maaaf" sahut Tong Po-gou cepat.
Begitu pula dengan Pui Heng-sau, wajah mereka tetap hambar, sama sekali tak terbesit rasa
menyesal. Thio Tan ikut tertawa, katanya:
"Inilah kode rahasia yang biasa dipergunakan di wilayah Ci dan Siang, anggap saja menambah
pengetahuan kalian" "Betul, terima kasih" Beng Khong- hcng'mengangguk.
Justru wajah Cng Siau-sik yang terlintas perasaan tercengang bercampur keheranan.
Dalam bentrokannya melawan Phang Ciam tadi, meski kemenangan seolah diperoleh secara gampang,
padahal dibalik bacokan goloknya itu, Phang Ciam telah melancarkan tiga kali serangan balik,
masing masing mengancam ujung golok, mata golok dan tubuh golok Cng Siau-sik sebelum akhirnya
ia berhasil melukai lawannya.
Sebagai seorang jago golok yang sesungguhnya, ia mampu melukai lawan baik dengan goloknya,
gagangnya, sarungnya maupun kain pembungkusnya.
Hanya saja, untuk melukai Phang Ciam memang bukan satu pekerjaan yang gampang.
Tapi Cng Siau-sik harus berhasil melukainya.
Dalam pertarungannya tadi, dia telah mempertaruhkan segalanya, sebab bila dia gagal melukai
Phang Ciam berarti bakal mati diujung golok lawan.
Menghadapi musuh tangguh semacam Phang Ciam, biarpun Cng Siau-sik hanya bertarung satu gebrakan
saja, namun sudah timbul perasaan sayang dihatinya, kesan inipun tertanam sangat mendalam
terhadap Beng Khong-khong, sekalipun Cng Siau-sik belum sempat bertarung melawannya.
Ia merasa Beng Khong-khong sangat rendah hati, pandai menahan diri, dalam situasi tertentu, dia
pandai sekali memanfaatkan peluang dan kesempatan.
Bahkan daya ingatan orang itu luar biasa hebatnya.
Buktinya ucapan Thio Tan yang aneh dan kacau, ternyata dapat dia hapalkan diluar kepala bahkan
sejak awal telah mencermatinya.
Terdengar Beng Khong-khong bertanya:
"Kami sengaja menyandera saudara Thio Tan, sudah jelas sasarannya adalah dirimu, kini kau telah
mengetahui rahasia kami, kenapa tidak bertanya apa maksud kedatangan kami bertiga?"
"Kenapa aku harus bertanya?" Cng Siau-sik balik bertanya sambil tertawa.
Lagi lagi Beng Khong-khong tertegun.
"Bila kalian datang untuk mencariku, silahkan saja datang berkunjung ke Jau-sik-cay milikku,
datang secara terang terangan dan tak usah memakai tipu muslihat seperti ini, sebab permainan
seperti itu tak ada gunanya, sia sia saja. Aku tak bakalan pergi, pun sama sekali tak tertarik"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Kalau memang begitu, buat apa aku musti tahu maksud kedatangan kalian dan siapa yang
memerintahkan kalian datang kemari?"
Sesudah tertawa dan garuk kepala, imbuhnya:
"Begitu saja, maaf tidak kuhantar"
Selesai berkata, dia membalikkan badan masuk ke dalam toko.
Gara gara kejadian ini, banyak orang dijalanan yang datang mengerubung, suasana jadi ramai.
?iau Lan-thian segera merasa kehilangan muka, tiba tiba bentaknya:
"Manusia she-Cng, berhenti kamu!"
Cng Siau-sik berhenti, tegurnya lembut:
"Ada apa?" Mendadak ?ong Po-gou nyelutuk:
"Hei, kau ini, orang suruh kau berhenti langsung saja berhenti, memangnya kau anjing? Coba aku,
kalau ada orang suruh aku berhenti, aku sengaja tetap berjalan, orang suruh aku pergi, aku
malah sengaja berhenti"
"Aaa, mengerti aku sekarang" seru ?hio ?an.
"Mengerti apa?" tanya ?ong Po-gou keheranan.
II "Kau bukan anjing, ternyata bukan anjing kata ?hio ?an seolah baru mengerti, "rupanya kau
seekor kebo, benar benar seekor kebo dungu!"
Melihat kedua orang itu masih punya selera bergurau dalam situasi seperti ini, dengan penuh
amarah ?iau Lan-thian meloloskan goloknya.
"Hahaha..... ada apa?" ejek ?ong Po-gou sambil tertawa tergelak, "kau berani membantai orang
ditengah jalan?" "Akan kubunuh dirimu lebih dulu" teriak ?iau Lan-thian sambil mengayunkan goloknya, selapis
bianglala berwarna warni bagaikan sebuah jala langsung mengurung tubuh ?ong Po-gou.
"Bagus" sahut ?ong Po-gou sambil menyongsong datangnya ancaman itu, "sudah lama locu tak pernah
berkelahi sampai puas."
?iba tiba ?hio ?an menyikut tubuh ?ong Po-gou hingga bergeser ke samping, serunya:
"3acokan golok ini sangat lihay, biar aku saja yang menghadapinya"
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, ia sudah ditendang oleh Pui Heng-sau hingga minggir ke
samping. ?erdengar Pui Heng-sau dengan menggoyangkan kipasnya berkata:
Il "Kau tak bakalan mampu menerima bacokan ini, biar aku......
?iba tiba bayangan manusia berkelebat lewat, Cng Siau-sik telah menerima bacokan itu.
Dia hanya menyambut datangnya serangan, sama sekali tidak melukai korbannya.
Mau tak mau dia harus menerima serangan itu, sebab dia telah melihat dengan jelas gaya serangan
dari ?iau Lan-thian. Bila Pui Heng-sau yang menyambut serangan itu, mungkin ?iau Lan-thian tak bisa hidup lebih
lanjut. Karena bacokan golok dari ?iau Lan-thian termasuk semacam ilmu golok "kalau bukan kau yang
mati, akulah yang mampus".
Cleh sebab itu serangan semacam ini tak boleh dihadapi dengan kekerasan.
Sama seperti impian, bila terbangun karena kaget, impian pasti sudah buyar.
Mungkin saja menangkis bacokan itu bukan satu pekerjaan yang sulit, ilmu pedang Keng-bong-to
milik ?iau Lan-thian kelewat banyak kembangan dan kurang daya serang sesungguhnya, tapi untuk
memunahkan serangan tersebut tanpa melukainya benar-benar merupakan satu pekerjaan yang amat
sulit. Sama seperti impian, mana gampang mendusin dari impian tanpa membuyarkan impian itu sendiri?
Kecuali impian adalah kenyataan, kenyataan adalah impian.
Sayangnya, kehidupan manusia bisa saja bagaikan impian, mana mungkin kenyataan merupakan
impian? Bila ingin mengubah impian jadi kenyataan, maka dirimu seharusnya hanya sebuah ilusi.
Sambil busungkan dada Cng Siau-sik menyongsong datangnya bacokan itu, sebab dia yakin dengan
menggunakan kelenturan dan kelembutan dari ilmu golok kerinduan, mungkin saja ia dapat
menghantar pergi sang impian, namun tidak mengusiknya. Membuyarkan datangnya ancaman tanpa
melukai ?iau Lan-thian. Antara dia dengan ?iau Lan-thian tak pernah terikat dendam sakit hati, buat apa dia harus
melukai orang, bahkan membunuhnya?
Apalagi banyak penonton yang mengikuti jalannya peristiwa itu, bila Pui Heng-sau sekalian
sampai melakukan pembunuhan, sudah jelas pihak kejaksaan akan mengutus orang untuk melakukan
pemeriksaan. ?entu saja Cng Siau-sik tidak berharap peristiwa semacam itu terjadi.
Karena itulah dia menyambut datangnya bacokan itu.
Dengan menyambut datangnya bacokan itu, sama artinya Cng Siau-sik telah menerima seluruh
kesulitan yang bakal terjadi.
?iba tiba terdengar ?iau Lan-thian menjerit kesakitan, tubuhnya terjengkang ke belakang, darah
segar menyembur keluar dari dadanya, menyembur bagaikan semburan mata air.
Menyusul jeritan lengking Phang Ciam, Beng Khong-khong ikut menjerit kaget:
"Kau si pembunuh keji........."
?erjadi kegaduhan dan kegemparan ditengah kerumunan orang banyak, untuk sesaat Cng Siau-sik
jadi kelabakan, saking bingungnya, bahkan dia sampai lupa menarik kembali goloknya.
\\uo heran, kenapa bacokan golokku bisa........."
Baru saja Cng Siau-sik akan melakukan pemeriksaan, sambil meloloskan pedangnya Beng Khong-khong
telah membentak nyaring: \\~I -ega benar kau celakai dia"
Belum lagi Cng Siau-sik menyangkal, tiba tiba tampak serombongan manusia telah meluruk tiba,
mereka semua berdandan opas, ada yang menggembol golok, ada yang membawa tongkat.
Seorang opas yang nampaknya sebagai pimpinan segera membentak nyaring:
"Kurangajar benar, berani amat membunuh orang ditengah jalan, petugas! Seret dia ke kantor
pengadilan" "Aaah, korbannya saja belum mati, mana boleh kau tuduh orang melakukan pembunuhan?" sela Pui
Heng-sau cepat. Cpas itu mempunyai perawakan tubuh kurus kecil, tapi tampangnya bersih dan cerdik, biar usianya
paling muda namun pangkatnya kelihatan paling tinggi.
Dengan mata mendelik besar segera teriaknya kepada Pui Heng-sau:
"Darimana kau tahu kalau dia belum mati?"
"Kau sendiripun belum melakukan pemeriksaan, darimana bisa tahu kalau dia sudah mati?" balas
Pui Heng-sau sambil mencibir.
Cpas itu segera menarik muka, tiba tiba bentaknya dengan suara dalam:
"Coba kalian lakukan pemeriksaan"
Dua orang opas dibelakangnya segera menyahut dan maju ke depan untuk memeriksa keadaan luka
?iau Lan-thian. Dengan mata yang tajam opas muda itu tetap mengawasi wajah Pui Heng-sau, tegurnya lagi dengan
nada menyeramkan: "Siapa kau? Siapa namamu?"
"Kenapa aku harus memberitahukan kepadamu?" sahut Pui Heng-sau aras-arasan.
"Kurangajar, manusia macam apa dirimu itu? ?oaya sedang melaksanakan tugas resmi, dalam
pertarungan dan keributan tadipun kau turut ambil bagian. Hei petugas, seret dulu bajingan ini
balik ke kantor" Pui Heng-sau tertawa dingin, belum sempat ia bereaksi, ?ong Po-gou telah menghadang
dihadapannya, dari tampang orang ini, tampaknya ia sudah bersiap siap berkelahi lebih dulu.
"?unggu sebentar" tiba tiba Cng Siau-sik menyela, "akulah yang melukai orang itu, aku pula yang
membuat keonaran disini, bila ingin tahu duduknya perkara, bawa aku kembali ke kantor, jangan
kalian usik orang orang yang tak bersalah"
"Coh begitu?" opas itu membalikkan badan, ditatapnya Cng Siau-sik sekejap, lalu ejeknya,
"memangnya kau bersedia ikut aku kembali ke kantor?"
Cng Siau-sik manggut-manggut.
"Sekalipun aku bersedia ikut kalian, sayang ada semacam benda yang menolak" sahutnya dingin.
Hawa permusuhan segera terpancar dari balik mata opas muda itu, sambil meraba gagang goloknya
dia berteriak: "Bagus, aku sudah tahu, aku sudah tahu......"
"Apa yang kau ketahui?" tukas Cng Siau-sik dengan nada mengejek.
"Aku tahu, kau minta aku bertanya dulu kepadanya"
"Bertanya kepadanya?"
"Kalau bukan golokmu, tentu pedang milikmu!"
"Salah!" tukas Cng Siau-sik tegas, sambil membuka baju bagian dadanya ia berseru, "lencana
bebas dari kematian berada disini, barangsiapa berani menyentuhku, tanya dulu kepadanya"
Cpas itu terperanjat, begitu melihat lencana itu, buru buru ia jatuhkan diri berlutut.
Dalam waktu singkat bukan Cuma anak buahnya saja, bahkan semua orang yang hadir disana ikut
berlutut. Bab 6. Akibat memasuki Jau-sik-cay.
Buru buru Cng Siau-sik menutup kembali pakaiannya seraya berseru:
"Jangan berlutut terus, aku hanya bergurau, jangan membuat rakyat ketakutan"
Saat itulah sang opas baru berani bangkit berdiri, omelnya dengan jengkel:
"Karena kau punya lencana bebas dari kematian yang diberi Kaisar, tentu saja aku tak berani
II mengusikmu...... "Hehehe..... makanya" sela Pui Heng-sau setengah menyindir, "karena lencana bebas kematian
berada disini, biar jaksa agung si gendut Si datang sendiripun, belum tentu dia mampu memboyong
pergi batu kerikil itu"
Kelihatannya opas itu masih merasa tidak puas, katanya:
"Setahuku, lencana semacam itu hanya ada lima biji"
Sekali lagi Pui Heng-sau menyela:
"Sekeping ada ditangan Ibu suri, satu lagi berada ditangan Pui siau hoya, dua keping lainnya
satu untuk Coa thaysu yang menguasai seluruh pemerintahan sipil, satu lagi ditangan Cukat
sianseng yang mengepalai bidang kemiliteran, masih ada satu lagi..........."
Bicara sampai disini tiba tiba ia berpaling ke arah Cng Siau-sik sambil bertanya:
"Bukankah yang sekeping lagi milik So Bong-seng, So locu?"
"Tepat sekali" jawab Cng Siau-sik.
Kembali opas itu mendengus dingin.
"So kongcu rela menyerahkan lencana bebas kematian yang lebih berharga daripada nyawa sendiri
kepadamu, hal ini menunjukkan kalau dia sangat mempercayaimu, tak heran kau pun begitu setia
dan taat kepada dirinya"
Cng Siau-sik menjengek dingin.
"Aku bukan anak buah Mo Pak-sin, akupun tidak punya payung, kepalaku selalu berambut, diatas
rambut selalu ada langit....."
"Hmm, kau melukai orang hingga mampus tapi tak pernah mau menjalani hukuman, inikah yang kau
sebut membela hukum?" sindir opas itu tertawa dingin.
"Eei, nanti dulu, siapa yang telah kulukai?" tiba tiba Cng Siau-sik balik bertanya.
Cpas itu melengak, sambil menuding ke arah Tiau Lan-thian yang berdarah serunya:
"Kau taruh ke mana matamu?"
"Mata dia? Tentu saja ditempatnya" seseorang menyahut secara tiba tiba dari balik kerumunan
orang banyak. Entah sedari kapan, Thio Tan telah menyelinap ke balik kerumunan orang banyak dan berjalan
menghampiri tempat dimana Tiau Lan-thian berbaring, begitu bersuara, kedua jari tangannya
langsung ditusukkan ke arah sepasang mata orang itu.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak, waktu itu Beng Khong-khong sedang pusatkan konsentrasi
untuk menghadapi Cng Siau-sik, Phang Ciam terluka, sedang kawanan opas itupun tak sempat
menghalangi Thio Tan, ingin menolong tak bisa, mau mencegah pun tak sempat.
Tampaknya sepasang mata Tiau Lan-thian segera akan tertusuk oleh Thio Tan......
Tiba tiba Tiau Lan-thian meraung keras, badannya melambung ke udara, sabetan goloknya bagaikan
gumpalan awan langsung balas membabat Thio Tan.
Sambil berteriak keras Thio Tan mundur ke belakang, jeritnya:
"Nah, tidak salah lagi, sekarang kalian sudah melihatnya bukan?"
Begitu melihat Tiau Lan-thian mencabut goloknya sambil melancarkan serangan, paras muka opas
itu seketika berubah hebat, dia seperti merasa malu.
"Hahaha... ternyata luka yang dideritanya tidak seberapa parah." kata Cng Siau-sik pula.
"Peduli bagaimana keadaan lukanya, mau parah mau ringan, berkelahi ditengah jalan jelas
merupakan pelanggaran hukum." teriak opas itu sambil menarik muka.
"Memang hanya aku seorang yang berkelahi? Kenapa tidak kau gusur orang orang itu?" protes Cng
Siau-sik. Cpas itu tertawa dingin. "Darimana kau tahu kalau aku tak akan menangkap mereka? Sebetulnya aku berencana membekukmu
lebih dulu, aku yakin tak seorangpun diantara mereka yang mampu kabur dari sini."
"Boleh tahu siapa namamu?" tiba tiba Cng Siau-sik bertanya.
"Aku dari marga Liong"
"Ooh, jadi kau adalah Liong Jui-jui?" tanya Cng Siau-sik lagi sambil angkat alis matanya.
Terlintas rasa girang diwajah opas itu.
"Aaah, tak nyana kaupun pernah mendengar nama kecilku."
Dengan wajah bersungguh sungguh ujar Cng Siau-sik lagi:
"Nama besar empat opas sudah tersohor diseantero jagad, nama besar empat opas kecil pun sangat
termashur, Kwik Sang-him, Le Su-ji, Su Ci-siu, Liong Sui-jui merupakan opas opas kenamaan yang
baru muncul bahkan aku dengar kau adalah anggota termuda yang paling menonjol"
"Mungkin dikarenakan inilah, hingga sekarang aku belum sampai mampus." jawab opas muda itu
dengan nada sedikit bangga.
Empat opas kecil terdiri dari Kwik, Le, Su, Liong yang tergabung menjadi "empat kecil", tapi
sayang Kwik Sang-him tewas dalam kasus "Pertarungan besar", Le Su-ji tewas ditangan Bok
Kiu-peng dalam kasus Benteng Lian-im-cay, sedang Su Ci-siu tewas dalam kasus "Penghianatan"
(semua kasus itu dapat dibaca dalam serial 4 opas).
Kini dari ke empat opas kecil yang sangat tersohor itu, tersisa dia seorang yang masih hidup,


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak heran opas itu nampak bangga ketika diungkit Cng Siau-sik.
"Urusan mati hidup ada sangkut pautnya dengan kemampuan, soal usia malah tidak seberapa
penting, kalau tidak, bukankah empat opas yang sesungguhnya sudah mati sejak berapa puluh tahun
berselang?" kata Cng Siau-sik, "mungkin masalah hidup mati berhasil atau gagal ada sangkut paut
yang sangat erat dengan nasib dan kemujuran seseorang."
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius tiba tiba tambahnya:
"Sekalipun kau termasuk salah satu dari empat opas kecil, memangnya berani kau abaikan lencana
bebas kematian?" Dengan perasaan jengkel Liong Jui-jui menghentakkan kakinya ke atas tanah, lalu teriaknya:
"Kita pergi!" Rombongan kaum opas itu segera menyahut dan mundur dari situ dengan perasaan tak puas,
tampaknya mereka bakal melampiaskan perasaan kesalnya terhadap rakyat kecil yang tak berdosa.
Sambil mengawasi bayangan orang orang itu, kembali Cng Siau-sik menghela napas panjang.
"Aaai, bukankah kalian semua telah datang? Kenapa tidak segera menampakkan diri?"
"Hahahah.. ternyata tak bisa mengelabuhi dirimu" kata Beng Khong-khong sambil tertawa.
"Kalian ada yang datang secara terang ada juga datang secara gelap, cara lembek cara kekerasan
digunakan semuanya. Aku lihat sepertinya kalian ingin paksa aku harus pergi bersama kalian."
Dari belakang Beng Khong-khong segera bermunculan lima orang.
Begitu ke lima orang itu munculkan diri, kerumunan orang yang menonton keramaian pun segera
bubar, bahkan pergi dengan begitu cepat dan bersih dalam waktu singkat.
Alasannya sederhana sekali:
Sebelum kemunculan ke lima orang itu, orang berdatangan untuk nonton keramaian.
Dimana terjadi perkelahian biasanya akan banyak orang berdatangan, karena perkelahian selalu
dianggap kebanyakan orang sebagai suatu "keramaian".
Crang memang senang nonton keramaian.
Tapi dengan kemunculan ke lima orang itu maka suasana pun jadi berubah, tak ada keramaian lagi
yang bisa ditonton, sebaliknya yang tersisa hanya hawa pembunuhan yang menggidikkan.
Biasanya hanya jago jago lihay yang pandai membunuh orang baru dapat merasakan hawa pembunuhan
dari lawannya. Semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin pekat hawa pembunuhannya.
Namun apabila ilmu silat seseorang telah mencapai tingkatan yang luar biasa, biasanya malahan
tak memiliki hawa pembunuhan lagi.
Hawa pembunuhan itu berasal dari tubuh ke lima orang itu, bahkan rakyat kota Kay-hong yang
belum pernah berlatih silat atau orang yang belum pernah berkelahi pun dapat merasakannya.
Hawa napsu membunuh yang menyayat kulit, membelah dada, membacok wajah, menusuk tulang, merasuk
tulang....... seolah-olah terdapat sebilah pisau tanpa wujud yang menghujam di tenggorokan
mereka. Dalam keadaan begini, terpaksa mereka harus menyingkir secepatnya, mereka tak ingin keluarganya
harus menangisi tubuh mereka yang terkapar bersimbah darah.
ooOoo Beng Khong-khong masih berkata dengan nada sopan dan lembut:
"Kalau memang begitu, kalau sudah tahu harus pergi juga, mengapa tidak ikuti kami saja pergi
sejenak ke sana" "Padahal asal kalian ada urusan, cukup kirim pemberitahuan kepadaku, tak mungkin aku tak akan
II melayaninya kata Cng Siau-sik, "tapi sayang aku paling tak suka dengan cara yang kalian
gunakan, mula mula menyandera teman, kemudian menggerakkan kaum opas untuk membuat
II keonaran . . . . . . .. Semenjak aktingnya berpura pura mati terbongkar, ?iau Lan-thian sudah ingin sekali turun
tangan, segera teriaknya:
"Kami mengundang secara baik baik, kau malah menolak, itu namanya diberi arak kehormatan tak
mau, malah memilih arak hukuman. Hmm, jangan salahkan lagi kalau kami bertindak keji."
Cng Siau-sik tertawa. "Benar, andaikata aku terbunuh ditangan kalian, siapa pun tak ada yang menyalahkan kalian
semua, siapa suruh aku tidak mengikuti para opas itu untuk bertandang ke kantor pengadilan,
disana tak bakalan ada orang yang mengungkit tentang lencana bebas mati, sedang aku paling mati
dibacok banyak orang, kematian yang tak ada hubungannya dengan pihak pemerintah, tak akan
menyalahkan kaum opas, sebaliknya bila mati ditangan kalian, aku hanya bisa menyalahkan langit,
menyalahkan bumi, menyalahkan rembulan, matahari, tapi tak dapat menyalahkan kalian"
"?epat sekali perkataanmu itu, kau memang pintar." puji Beng Khong-khong sambil tertawa.
"Bagaimana seandainya aku yang berhasil membunuh kalian?" tiba tiba Cng Siau-sik bertanya
sambil tertawa. "Hahahaha.... memangnya kau sanggup membunuh kami?" jengek ?iau Lan-thian sambil tertawa
nyaring, kini nyali dan keberaniannya semakin berkobar, "kau anggap delapan raja golok dari
kotaraja dapat dibunuh seenaknya?"
Cng Siau-sik segera menarik kembali senyumannya, sambil meraba gagang golok lengkungnya, ia
berkata dengan nada berat:
"Aku memang ingin menjajal kemampuanmu."
Begitu ucapan tersebut diutarakan, ke lima orang jago golok itu serentak mencabut keluar
senjatanya. ?iau Lan-thian langsung melancarkan serangan lebih dahulu, selama ini goloknya memang selalu
berada dalam genggaman. Ia tahu, asal serangan dilancarkan, niscaya ke lima orang jago golok yang berdiri di
belakangnya serentak akan ikut menyerang dan mendukung dirinya.
Beng Khong-khong telah meloloskan pula goloknya.
Sudah tidak banyak urusan yang bisa memaksa mereka berdelapan mencabut goloknya bersama sama,
apalagi memaksa mereka berdelapan mencabut goloknya hanya gara gara untuk menghadapi seseorang,
kejadian semacam ini nyaris sudah tinggal legenda.
?api hari ini, didepan gedung Jau-sik-cay, delapan golok telah diloloskan bersama, dan sasaran
yang harus mereka hadapi pun hanya seorang, Cng Siau-sik.
Lima orang jagoan yang datang belakangan mempunyai nama besar jauh diatas kehebatan ?iau
Lan-thian. Salah seorang diantaranya, manusia bermarga Biau justru memiliki golok yang mirip besi rongsok,
badan goloknya sudah berkarat, mulut golok gumpil, biar begitu, belum pernah ada orang yang
berani pandang enteng kemampuan orang ini, khususnya pedang yang berada dalam genggamannya.
Golok miliknya memang jelek, tak sedap dipandang, apalagi tampang wajahnya, amat jelek, membuat
perut siapa pun jadi mual bila melihatnya.
?api sayang golok miliknya bukan sebilah senjata tontotan, bukan senjata yang hanya bisa
dipandang. Jurus golok miliknya yang paling ternama adalah jurus Pat-hong-ciong-to-si (gaya sembunyi golok
di delapan penjuru), kehebatan jurus tersebut konon bisa mengalahkan jago pedang nomor wahid
saat itu, memaksa dia bunuh diri didalam markasnya, apalagi dia bermarga Biau.
Nama besar Biau Pat-hong sudah menggetarkan delapan penjuru, tapi jago golok lainnya, Coa
Siau-tau justru sejak kecil hidup dipedalaman, sejak digali bakatnya oleh Pui Ing-gan, belum
pernah ia tinggalkan tempat tinggalnya barang selangkah pun.
Namun Biau Pat-hong tak pernah berani mengandalkan ilmu Ciong-liong-to (golok naga sembunyi)
miliknya untuk menantang duel golok Leng-ting-to milik Coa Siau-tau.
?erkecuali Siau Sat. Hanya ilmu golok toa-kay-thian (membuka langit lebar) dan Siau-pit-te milik Siau Sat yang dapat
mengendalikan ilmu golok milik Coa Siau-tau.
Ilmu golok milik Siau Sat bukan hanya bagus, bukan hanya menakutkan, bukan hanya lihay, bahkan
sangat mematikan. Setiap bacokan goloknya pasti membawa kematian, bila bacokan pertama tidak membawa hasil,
bacokan berikut pasti dapat menghabisi lawannya.
Ilmu golok milik Siau Pek justru merupakan kebalikannya.
Siau Pek dari Siangyang adalah kakak sulung Siau Sat.
Ilmu golok yang dimiliki dua bersaudara ini sama sekali berbeda, masing masing berasal dari
perguruan yang berbeda. Ilmu golok andalan Siau Pek disebut Jit-cap-it-ke-jin (tujuh puluh satu
famili). Namanya memang kedengaran lembut, lembut dan hangat hingga sama sekali tak pantas dipakai
sebagai nama sebuah ilmu golok.
?api bagian yang paling menakutkan dari ilmu golok itu justru karena kelembutan dan
kehangatannya. Dia dapat merenggut nyawamu dalam kelembutan dan kehangatan, dapat memenggal batok kepalamu
tanpa kau sadari apa sebenarnya yang telah terjadi.
Hanya saja, baik Coa Siau-tau maupun Biau Pat-hong, Siau Sat serta Siau Pek, mereka semua
sangat takluk dan kagum terhadap dua orang jago golok lainnya.
Yang satu tentu saja Beng Khong-khong.
Sementara yang lain adalah ?iau Lan-yong.
?iau Lan-yong adalah seorang wanita.
Dia adalah keturunan dari raja golok ?iau Ciu-si, sejak kekalahannya dalam pertarungan dibukit
Go-bi melawan pendekar besar Siau Ciu-sui (lihat serial pendekar setia), ?iau Lan-yong tidak
lagi mencari nama dengan mengandalkan golok mestika, tapi meraihnya dengan berlatih tekun ilmu
golok miliknya. Ia berhasil menciptakan serangkai ilmu golok yang disebutnya sebagai ?in-yu-ji-pwee (barisan
hujan dua puluh delapan).
Konon setelah dia ciptakan ilmu golok tersebut, selama tiga tahun, tak seorang manusiapun dalam
dunia persilatan yang berani menciptakan ilmu golok macam apa pun, sebab sama sekali tak ada
gunanya. Semua orang mengatakan, raja golok wanita ?iau Lan-yong telah mengasah ilmu goloknya hingga
puncak yang paling top. Dan sekarang, ahli waris dari ilmu golok keluarga Biau, Biau Pat-hong bersama Coa Siau-tau dari
perguruan Leng-teng-to, dua bersaudara Siau dengan ilmu golok keras dan lembeknya, ?iau
Lan-thian ahli waris ilmu golok penghancur impian dari perkampungan keluarga ?iau, Phang Ciam
si jago paling tangguh dari Ngo-hau-phang-bun, ditambah lagi keturunan si raja golok ?iau
Lan-yong dan ahli waris golok mestika Beng Khong-khong semuanya berkumpul disatu tempat,
delapan bilah golok siap menjagal nyawa Cng Siau-sik secara bersama sama.
Ada berapa banyak nyawa yang dimiliki Cng Siau-sik sehingga dia mampu membendung golok golok
maut yang semuanya cukup menggetarkan sungai telaga dan sulit dilawan itu?
Cng Siau-sik pun memiliki golok, goloknya adalah golok kerinduan.
Golok kerinduan dengan ilmu golok kerinduan.
Ketika mempelajari ilmu golok kerinduan, Cng Siau-sik mempunyai pengalaman unik.
?entu saja ilmu goloknya berasal dari ajaran ?hian-ie Kisu, tapi bisa juga dikatakan sama
sekali bukan. Kenapa bisa dikatakan begitu?
Alasannya ada dua. Pertama, karena cara ?hian-ie Kisu mewariskan ilmu silatnya bukan diutamakan dengan mengajar,
tapi memberi petunjuk, dia tak ingin muridnya ikut lambat bila ia lambat, ikut cepat bila ia
cepat, tapi berkembanglah sesuai dengan kodratmu.
Kedua, karena Cng Siau-sik memiliki bakat alam yang luar biasa, setiap kali mempelajari
sesuatu, ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya untuk berkonsentrasi, dalam waktu yang paling
cepat membentuk pondasi yang kuat, kemudian mengembangkan menurut daya kemampuan sendiri. Bila
ia gagal mencapai suatu tingkatan yang luar biasa maka ia rela berhenti untuk beralih
mempelajari ilmu yang lain.
Dibawah bimbingan guru yang bijaksana ditambah sang muridpun memiliki kecerdasan yang luar
biasa, tentu saja kepandaian silat yang dimiliki Cng Siau-sik dapat mencapai tingkatan yang
luar biasa, karena pada dasarnya kungfu yang dimiliki ?hian-ie kisu memang kelewat hebat.
?hian-ie kisu sendiri bersama Cukat sianseng, Lan-jan thaysu dan Goan-si-sam-heng sesungguhnya
merupakan empat opas tua, dimana pada masa tuanya masing masing hidup secara terpisah.
Lan-jan thaysu adalah toa-suheng, sebelum jadi pendeta ia bernama Yap Ai-sian, kemudian
lantaran melakukan pelanggaran besar maka diapun mencukur rambut jadi pendeta dan hidup
mengasingkan diri sebagai seorang padri.
?hian-ie Kisu adalah ji-suheng, pandai ilmu pertabiban, ilmu perbintangan, pandai main khiem,
catur, kaligrafi maupun lukisan, dia pun menguasahi ilmu siasat dan ilmu sakti lainnya,
kehebatannya mengatur strategi perang jauh diatas kemampuan sam sutenya, Cukat sianseng, bicara
soal ilmu silat, mungkin Lan-jan thaysu sendiri pun tak dapat menandingi.
Sayangnya, ?hian-ie kisu memiliki perawakan serta kondisi badan yang terbatas, dia lemah,
kurus, kecil dan penyakitan, oleh karena itu ilmu silatnya tak dapat dikembangkan lebih jauh.
Didalam hal ini, diapun ketinggalan jauh bila dibandingkan kemampuan Cukat sianseng.
Sebagai orang yang tak senang mencampuri urusan dunia, ?hian-ie Kisu hidup jauh dari keramaian
dunia, dia pusatkan seluruh kekuatan dan perhatiannya untuk mewariskan semua kepandaian yang
dimiliki kepada sang ahli waris.
Berbeda dengan saudara seperguruan lainnya, hubungan antara Cukat sianseng dengan sute ke
empatnya Goan Capsa-heng justru saling berseberangan.
Sebagai seorang menteri yang membidangi politik, Cukat sianseng selalu berdiri berseberangan
dengan sang perdana menteri Coa Keng (Jay Cin), karena itu Coa Keng menggunakan Goan Capsa-heng
untuk menghadapinya. Maka pertikaian dan persaingan yang berlangsung dalam pemerintahan pun merembet hingga ke dalam
dunia persilatan. Selama ini Cukat sianseng selalu menjalankan peranannya dengan prinsip "mengatasi setiap
masalah sesuai dengan keadaan", dia selalu tegas terhadap kaum laknat, melindungi kaum ksatria.
?api sayang kekuatan Coa Keng sangat hebat, dia membagi setiap distrik dengan satu pimpinan
yang membawahi dua puluh laksa tentara, kekuasaan militer yang begitu besar membuat gerak gerik
Cukat sianseng jadi terbelenggu.
Dalam keadan begini, ke empat muridnya yakni empat opas hanya bisa berjuang mati matian untuk
mendobrak dan menegakkan keadilan ditengah pengaruh perdana menteri yang lalim dan busuk.
Semenjak kedatangan Cng Siau-sik ke kotaraja, hingga kini dia belum sempat bertemu Cukat
sianseng, tidak pula menyambangi Goan Capsa-heng, baginya, orang orang tersebut merupakan tokoh
tokoh sakti dalam cerita dongeng.
Dan sekarang, dia sendiripun sudah menjadi salah satu bagian dari tokoh dalam dongeng itu.
Ketika ?hian-ie Kisu mengajarkan ilmu golok kerinduan kepadanya, iapun berlatih dengan sungguh
hati, suatu ketika ?hian-ie Kisu berkata demikian kepadanya:
"Aku adalah golok kerinduan kecil, kaulah golok kerinduan besar."
"Masa kerinduanpun dibedakan besar dan kecil?" tanya Cng Siau-sik keheranan.
"Ada," jawab ?hian-ie Kisu sambil tersenyum, "kerinduan kecil hanya gejolak perasaan seseorang,
hanya berada dihati seseorang, sedih, senang, berhasil, gagal, semua itu hanya merupakan
masalah kecil. ?api sedih gembira gagal berhasilnya umat manusia dalam jagad inilah merupakan
kerinduan besar yang sesungguhnya, bila kau memikirkan hal itu maka ilmu silatmu baru akan
mencapai tingkatan yang luar biasa."
Ilmu golok semacam inilah yang dilatih Cng Siau-sik, dengan ilmu golok semacam inilah sekarang
dia harus menghadapi delapan orang jago golok terhebat dikolong langit, dapatkah ia menaklukkan
lawan lawannya? Dapatkah dia meraih kemenangan?
Pat-toa-to-ong atau delapan raja golok merupakan delapan pengawal paling andalan dari
Siau-ho-ya Pui Eng-gan, bahkan Goan Capsa-heng sendiripun pernah berkata begini:
"Bila delapan golok bersatu padu, tiada musuh yang dapat menandingi"
Dengan mengandalkan goloknya, mampukah Cng Siau-sik menghadapi mereka?
Dengan sebilah golok, sanggupkah dia menghadapi delapan bilah golok? Dapatkah membendung
delapan bilah golok yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga?
Jawabannya adalah: tidak tahu.
Sebab Cng Siau-sik tidak mencabut goloknya, senjata yang digunakan adalah sebilah pedang.
Sebelum mengeluarkan pedangnya, ia mundur lebih dulu, mundur dengan cepat.
Delapan bilah golok segera mengejar dan menempel dengan ketatnya.
Kini golok mereka telah diayunkan ke muka, kekuatan serangan yang ditimbulkan dahsyat bagaikan
gulungan ombak ditengah samudra, kekuatan yang sukar dibendung, kedahsyatan yang sukar
dipecahkan. Mereka mengejar dan merangsek terus, mendesak semakin ke depan.
"Bila golok telah diayunkan, musuh harus terbabat mati diujung senjata, tak boleh meleset!"
Mimpi pun mereka tidak menyangka Cng Siau-sik berani seorang diri menghadapi serbuan delapan
bilah golok. Mereka terlebih tak menyangka kalau senjata yang dicabut Cng Siau-sik adalah sebilah pedang,
bukan sebilah golok. Mereka lebih lebih tak menyangka kalau Cng Siau-sik, setelah mencabut pedangnya, ternyata
mundur tanpa bertarung. Begitu mundur, dia langsung masuk ke balik pintu gedung ;au-sik-cay.
Yang lebih tak mereka sangka adalah akibat setelah mengejar masuk ke dalam gedung Jau-sik-cay.
Bab 7. Seorang ksatria tak boleh tak punya cita-cita.
Pui Eng-gan memiliki tiga belas orang pengawal andalan.
Pada awalnya delapan raja golok Pat-toa-to-ong merupakan jago jago tangguh yang ditaklukkan dan
dikumpulkan Pui Ko-leng, ayah angkat Pui Eng-gan. Kungfu yang dimiliki Pui Ko-leng memang
sangat tangguh, bahkan jauh diatas kemampuan "Tiga lurus empat sesat:", dia termasuk jago nomor
satu dalam dunia persilatan.
Saat itu Coa Keng menjabat sebagai perdana menteri dan mendapat kepercayaan penuh dari kaisar
Tio Kiat, ia segera mengundang komplotannya untuk berkumpul di Pakkhia dan melaporkan ke
seratus dua puluh orang oknum penting dari komplotan lama sebagai orang orang berdosa.
Yang disebut "komplotan penghianat" mengusulkan untuk mengirim pasukan menyerang negeri
See-hee, untuk mencari muka kepada kaisar Tio Kiat, mereka pun memerintahkan rakyat untuk
mengumpulkan aneka batu indah, batu kristal dan aneka tanaman untuk dinikmati raja.
Ketika timbul protes dari rakyat, Coa Keng mengirim jenderal Tang Kuan untuk menindas mereka
dengan kekerasan, peristiwa ini kontan menimbulkan ketidak puasan khayalak ramai.
Hong Lap, pengikut perkumpulan Si-mo-ni angkat senjata di kota Lok-ciu dan secara diam diam
II berkomplot dengan "Kelompok lama dengan mengirim tiga orang pembunuh untuk membunuh kaisar
Hui-cong, tapi usaha pembunuhan ini berhasil digagalkan Pui Ko-leng dan Cukat sianseng.
Jabatan yang dipangku Cukat sianseng waktu itu adalah perencanaan pembangunan dan arah politik
pemerintahan, menjaring orang berbakat dan melakukan pemeriksaan terhadap skandal negara,
walaupun berhak untuk menentukan arah polotik, sayang kekuasaan politik telah dikuasahi
komplotan Coa King. Untuk mengatasi pengaruh para penghianat yang semakin meluas, mula mula Cukat sianseng meredam
dulu usaha pemberontakan dari Cu Siang-giok di ibu kota, kemudian menangkap sang pembunuh
bayaran Siau Kiam-ceng.

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pui Ko-leng berpendapat untuk mengatasi ancaman pemberontakan ini, tidak seharusnya mereka
melihatkan orang orang persilatan sehingga mengacaukan keseimbangan politik dalam negeri,
disaat yang kritis itulah ia berhasil membunuh Ciu Hui-hui dan selamatkan jiwa kaisar Hui-cong.
Sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, kaisar Hui-oong menganugerahi Pui Ko-leng dengan pangkat
raja muda. Pui Ko-leng sama sekali tak berniat mencari pangkat dan kekayaan, bersama Siang Siau-go diam
diam ia pergi meninggalkan istananya dan berkelana ke mana mana, sebelum pergi ia berpesan
kepada kaisar Hui-cong, bila ia gagal menguasahi para menterinya maka negeri ini bakal jatuh ke
tangan kaum dorna. Sebaliknya putra angkat Pui Ko-leng, Pui Eng-gan justru tetap tinggal di kotaraja, dia berilmu
tinggi dan pintar dalam sastra, sejak awal Coa Keng sudah berniat mengundangnya untuk berpihak
kepada dirinya, maka dia pun membujuk kaisar Hui-cong untuk menganugerahkan pangkat itu kepada
Pui Eng-gan, maka jadilah Pui Eng-gan seorang raja muda.
Tentu saja kaisar Hui-cong sendiripun berniat meminjam kemampuan Pui Eng-gan untuk melindungi
kotaraja, khususnya untuk menghadapi pembunuh terakhir yang masih berkeliaran.
Pembunuh gelap ini sudah dua kali dikalahkan Cukat sianseng dan dilukai Pui Ko-leng, namun
setiap kali berhasil melarikan diri dan bersembunyi di tempat kegelapan, tampaknya pembunuh itu
bersumpah akan membunuh kaisar Hui-cong hingga berhasil.
Sepeninggal Pui Ko-leng dari kotaraja, delapan toa-to-ong pun otomatis menjadi anak buah Pui
Eng-gan. Bila delapan raja golok ini menyerang bersama, bahkan Pui Ko-leng sendiripun pernah berkata
begini: "Jika mereka berdelapan turun tangan bersama, dengan andalkan empat belas jurus ilmu pedang
Thian-yu-cap-si-kiam dan empat jurus paling ampuh dikolong langit pun belum tentu aku sanggup
mengungguli mereka" Inilah sanjungan paling tinggi yang diberikan Pui Ko-leng.
Sebab siapa pun tahu, Pui Ko-leng dengan ilmu pedang Thian-yu-ki-kiam serta empat jurus pukulan
Thian-he-su-toa-coat-cau nya nyaris merajai dunia persilatan dan belum pernah ketemu tandingan.
Kini, delapan raja golok turun tangan bersama menghadapi Cng Siau-sik, menyerang dan berusaha
menghabisi nyawanya. Dalam kondisi seperti ini, mana mungkin Cng Siau-sik dapat menghadapinya?
Maka Cng Siau-sik pun mundur dan masuk ke dalam Jau-sik-cay!
Begitu barisan delapan raja golok terbentuk, musuh pasti akan mati terbunuh.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah: barisan golok itu belum sempat terbentuk.
Sebelum barisan golok terbentuk, Cng Siau-sik sudah mundur ke dalam Jau-sik-cay.
Tentu saja gedung Cau-sik-cay bukan hanya terdiri dari sebuah pintu saja, namun berada dalam
situasi dan kondisi seperti ini, tak mungkin ada orang akan berputar ke pintu belakang atau
pintu samping dan menyerang masuk dari situ.
Sekalipun berhasil menyerbu masuk, saat dan kesempatan emas telah lewat, lagipula kekuatan
mereka pasti tercerai berai.
Serbuan telah dilancarkan, semuanya sudah tak bisa terkendali lagi, terpaksa mereka pun
menyerbu masuk dengan sepenuh tenaga.
Tentu saja serbuan bukan dilakukan delapan orang sekaligus.
Pintu kelewat sempit, mau dipaksakan pun paling banter hanya muat dua orang sekali masuk.
Bukan berarti mereka tak sanggup menjebol pintu itu atau membuat sebuah lubang besar agar
delapan orang bisa menyerbu masuk dalam sekali waktu, masalahnya pabila mereka berdelapan
bekerja sama menjebol dinding pagar itu dan pada saat bersamaan pihak lawan melakukan gempuran
balasan, niscaya mereka tak akan mampu untuk menghadapinya.
Semangat mereka tak boleh tercerai berai.
Dalam sekali gempuran, semangat dan kekuatan mereka harus bersatu padu.
Bagi mereka hanya berlaku satu prinsip, serang dulu urusan belakang, mereka tak ingin memberi
kesempatan kepada Cng Siau-sik untuk mengatur napas, apalagi istirahat.
Hampir pada saat yang sama, mereka telah membentuk satu formasi baru.
Dua orang satu kelompok, menyerbu masuk melalui pintu sempit itu.
Asalkan kedua orang itu berhasil mendesak Cng Siau-sik dengan satu gebrakan, maka para jago
lainnya akan segera menyerbu masuk dan sekali lagi membentuk formasi golok mereka yang tangguh.
Saat ini adalah detik terakhir menjelang terjadinya pertarungan maut itu.
Formasi yang dibentuk Pat-toa-to-ong sedikit agak terlambat, selisih waktu yang sedetik ini
disebabkan Phang Ciam keburu terluka.
Disamping itu karena Cng Siau-sik menghindari pertarungan dengan memilih mundur, terpaksa
mereka harus pecahkan rombongan untuk menyerbu masuk ke gedung Jau-sik-cay.
Memecah rombongan berarti mencerai beraikan kekuatan mereka.
Pedang Cng Siau-sik segera melancarkan gempuran yang paling dahsyat disaat lawan bergerak masuk
melalui pintu yang sempit.
Rombongan pertama yang menyerbu masuk terdiri dari Biau Pat-hong serta Coa Siau-tau.
Golok yang digenggam Biau Pat-hong seketika terpental hingga mencelat ke angkasa.
Sementara pergelangan tangan Coa Siau-tau termakan satu tusukan yang menyebabkan goloknya
terlepas ke tanah. Jagoan yang menyerbu pada kelompok kedua adalah Tiau Lan-yong serta Beng Khong-khong.
Serbuan yang dilakukan kedua orang ini hanya selisih sekejap dari rombongan pertama. Sekejap
berarti waktu sesaat. Sayang disaat mereka tiba didepan pintu, Biau Pat-hong dan Coa Siau-tau telah kehilangan
goloknya. Bagi Pat-toa-to-ong, kehilangan golok sama artinya dengan kehilangan daya kemampuannya untuk
bertempur. Cng Siau-sik tidak segera melancarkan serangan, begitu pula dengan Beng Khong-khong serta Tiau
Lan-yong. Begitu menyerbu masuk, kedua orang itu segera tertegun dan melongo.
Akhirnya Tiau Lan-yong mengeluh:
"Aaai, kita sudah kalah!"
Hanya memandang sekejap, dia langsung mundur dari situ, ia beranggapan sudah tak ada perlunya
untuk melanjutkan pertarungan tersebut.
Merendahkan diri disaat seseorang meraih kemenangan, hal ini bukan suatu penampilan yang aneh,
sebaliknya mengaku secara jantan dan sama sekali tak putus asa ketika menderita kalah,
penampilan semacam inilah baru luar biasa, oleh sebab itu bila ingin menilai berhasil tidaknya
seseorang dimasa mendatang, perhatikan penampilannya disaat seperti itu.
Mengakui kekalahan memang gampang untuk diucapkan, namun bagi seorang enghiong hohan bukan
pekerjaan yang gampang untuk dilakukan.
Padahal ?iau Lan-yong hanya seorang wanita, belum sempat melancarkan satu bacokan pun dia sudah
mengaku kalah. Bukan begitu saja, bahkan selesai berkata dia langsung mengundurkan diri.
Dalam keadaan begini Beng Khong-khong hanya bisa angkat tangan dan melempar senyuman kearah Cng
Siau-sik. Sebaliknya Cng Siau-sik balas melempar satu senyuman kearahnya.
Beng Khong-khong melangkah maju untuk memungut golok milik Biau Pat-hong serta Coa Siau-tau,
disaat mereka bertiga tinggalkan pintu itulah terdengar suara tepuk tangan berkumandang dari
belakang Cng Siau-sik diikuti seseorang berseru memuji:
"Ilmu golok hebat, ilmu pedang lebih hebat, sehebat hebatnya ilmu golok dan ilmu pedang,
strategi perang jauh lebih hebat"
Cng Siau-sik tidak nampak tercengang, sahutnya sambil membalikkan badan:
"Dibandingkan ilmu golok, ilmu pedang dan ilmu strategi perang, kehadiranmu jauh lebih hebat"
"Hahaha, bagus, bagus sekali"
Entah sejak kapan, dalam gedung ;au-sik-cay telah ketambahan tujuh orang, tujuh manusia luar
biasa. Salah satu diantaranya tampak sangat menonjol, ia berwajah putih berdandan sastrawan, saat itu
sedang memegang sebatang pit dan mencoretkan berapa huruf diatas kertas.
Crang inilah yang barusan berbicara dengan Cng Siau-sik, tapi bukan dia yang bertepuk tangan.
Crang lain yang bertepuk tangan.
Crang itu mempunyai dandanan yang tidak terlalu istimewa, namun penampilannya tampak anggun dan
terhormat, begitu anggunnya hingga biar dia mati pun pasti ada orang lain yang akan
menggantikannya. Crang yang bertepuk tangan berada disampingnya, berwajah kotak bermuka merah, jenggot panjang,
mukanya penuh wibawa. Bila orang semacam dia duduk dalam gedung semacam ini, maka tempat tersebut seketika akan
berubah jadi sebuah mimbar yang serius.
Jangan dilihat tampangnya penuh wibawa, ternyata caranya berbicara dengan orang lain sangat
menaruh hormat. Dia sudah berusia lanjut, tapi matanya masih lincah dan bersinar tajam, waktu tertawa
tampangnya nampak saleh dan ramah bahkan terselip juga tampang binal dan licik, siapa pun tak
bisa menduga berapa usianya sekarang.
Cng Siau-sik memandang orang itu sekejap, kemudian serunya:
"Sayang!" "Ada apa? Jelek tulisanku?"tanya orang itu sambil mendongak.
"Tulisan bagus, cara yang salah"
Crang itu tertegun. "Maksudmu tulisanku tak sesuai dengan tata cara penulisan?"
"Bukan begitu. Sejak dulu orang lebih suka tidak dibatasi oleh hukum daripada terikat oleh
hukum dan tata cara, disaat kepandaian seseorang mencapai pada puncaknya, boleh dibilang ia
sudah tak akan mampu mencari kepandaian lain yang lebih tinggi. Jadi hukum dan tata cara
penulisan yang benar adalah cara yang tercipta sendiri, kalau bukan didapat dari pengalaman
pribadi maka semua hukum dan tata cara hanya sebuah belenggu, sebuah belenggu yang menghambat."
Crang itu manggut manggut.
"Betul, Zong-po Kisu pernah bilang: hasil karya yang dituang tanpa paksaan itulah merupakan
karya yang gemilang dan luar biasa!"
Cng Siau-sik tertawa. "Sudah tidak banyak jumlah orang yang dapat menulis dengan huruf yang begitu indah dan kuat,
aku yakin kau pastilah seorang tokoh yang luar biasa."
Lalu sepatah demi sepatah kata ia menambahkan:
"Coa thaysu, tak nyana dengan cara seperti ini kau telah berkunjung ke tempatku, maaf kalau
cayhe tak bisa menyambut kehadiranmu dengan hormat."
Ternyata orang yang muncul secara tiba tiba dalam gedung Jau-sik-cay itu tak lain adalah Coa
Keng, perdana menteri kerajaan yang paling berkuasa saat ini.
Dengan nada kagum ujar Coa Keng:
"Crang bilang, keberhasilan kim-hong-si-yu-lou menghajar Lak-hun-poan-tong hingga tak mampu
membalas tak lain berkat bantuan dua orang manusia berbakat, setelah perjumpaan hari ini,
terbukti bahwa kau memang seorang manusia luar biasa."
"Pandai melihat tulisan dan lukisan bukan terhitung manusia hebat, Cei Siong memahat huruf,
Shen Liau menyusun tulisan, Cei Teng-kian melukis huruf, mereka baru dibilang manusia hebat,
orang berbakat." Yang disebut Cng Siau-sik barusan adalah nama nama orang kenamaan jaman itu, meski secara
sengaja tidak menyinggung nama Coa Keng sebagai perdana menteri dan ?io Kiat sang kaisar,
ternyata Coa Keng sama sekali tidak marah, malah tanyanya sambil tertawa:
"Masih ada yang lain?"
"Ada," sahut Cng Siau-sik serius, "Gak Hui berkorban demi negara demi bangsa, keberanian dan
kesetiaannya tertuang didalam tulisannya, semua huruf, semua perkataan yang dia ucapkan
merupakan tetesan darahnya demi negara, orang semacam inilah baru terhitung seorang pahlawan
sejati." Coa Keng tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, orang hidup di dunia hanya sejenak, kenapa semua persoalan harus ditanggapi dengan
serius? Disaat bisa gembira, bergembiralah, disaat serius, seriuslah, apa salahnya kalau hidup
dilewati dengan santai?"
Cng Siau-sik tertawa, ia berjalan menghampiri.
Disamping Coa Keng masih ada empat orang, ke empat orang itu berdiri berjajar disisinya.
Ketika melihat Cng Siau-sik berjalan mendekat, mereka sama sekali tidak melakukan tindakan apa
pun, namun secara tiba tiba pemuda itu merasa badannya seolah sedang menumbuk diatas dinding
tebal yang terbuat dari baja.
Dibandingkan gabungan delapan raja golok Pat-toa-to-ong, hawa pembunuhan yang terpancar saat
ini jauh lebih menakutkan.
Bila dia ingin meneruskan langkahnya, satu satunya jalan hanya menerjang ke depan.
tapi bila terjangan dilakukan, dinding itu yang bakal roboh? Ataukah nyawa sendiri yang bakal
melayang? Pada saat itulah Coa Keng mengangguk perlahan, bersamaan itu pula dinding tanpa wujud itu
seketika buyar dan lenyap.
Cng Siau-sik tetap melanjutkan langkahnya, menuju ke hadapan Coa Keng, mengambil pit,
dicelupkan ke tinta bak, lalu menggerakkan tangannya menuliskan enam huruf besar, setelah itu
ia letakkan kembali pit nya dan mundur.
"Si-put-ko-put-heng-nge (seorang ksatria tak boleh tak punya cita cita)" seru Coa Keng lantang,
"bagus, tulisan bagus, tulisan semacam ini jarang dijumpai di kolong langit saat ini, hanya
II sayang........ Ditatapnya Cng Siau-sik dengan pandangan dingin:
"Tulisan memang luar biasa, sayang orang yang menulis tak punya pandangan ke depan, ibarat
huruf indah ditulis disecarik kertas lusuh."
"Bila benar benar punya pandangan ke depan, kenapa Thaysu tidak lepaskan dulu jabatan dan
kekuasaanmu?' kata Cng Siau-sik hambar.
"Besar amat nyalimu!" hardik lelaki berwajah merah yang ada disamping Coa Keng dengan nada
gusar. II "Maaf, maaf...... "Tahukah kau, ucapanmu barusan sudah lebih dari cukup untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu?"
bentak orang berwajah merah itu lagi.
"Justru karena ulasan thaysu tadi, boanseng baru berani bicara blak blakan." kata Cng Siau-sik
santai. Berkilat sepasang mata Coa Keng, sesaat kemudian ia baru bertanya:
"Tahukah kau, siapa orang ini?"
Cng Siau-sik sadar, bukan saja orang berwajah merah itu punya asal usul luar biasa, keempat
orang yang berdiri dibelakangnya pun pasti tokoh tokoh kenamaan, namun dari sekian banyak
orang, ia lebih memperhatikan seseorang yang berdiri dibelakang Coa Keng, persis berada dibalik
tempat remang. Crang itu berperawakan tinggi kurus, punggungnya menggembol sebuah bungkusan kain kuning, kalau
tidak diperhatikan secara khusus, orang akan mengira tempat itu hanya tempat remang remang dan
tak ada kehadiran manusia tersebut.
Begitu melirik orang tadi, pemuda itu segera sadar apa yang terjadi, sambil diam diam membuat
persiapan katanya: "Mohon petunjuk."
Coa Keng tertawa. "Kau benar benar luar biasa, dia adalah perdana menteri saat ini Po Ziong-su, cepat memberi
hormat." Diam diam Cng Siau-sik menarik napas dingin, tahu kalau orang dihadapannya adalah Po Tiong-su,
diapun berkata: "Coh ternyata thayjin berdua, maaf kalau tidak menyambut dari jauh."
Nadanya dingin dan tawar, lebih tawar dan lebih dingin daripada air dalam cawan diatas meja.
1) Bab 4. Siapa bibit bencana sebenarnya?
"Cng Siau-sik, besar amat lagakmu." dengus Po Tiong-su.
Cng Siau-sik tertawa hambar.
"Kalau orang memberi muka kepadaku, aku akan memberi muka kepadanya, lagak besar atau tidak
tergantung orangnya."
"Hmm.... memangnya aku dan Coa ?hay-su tak pantas mengundangmu?" dengus Po Tiong-su lagi.
"Itu mah tidak, mula mula kalian mengancam temanku dengan kekerasan, kusangka kalian adalah
bajingan laknat, kemudian menuduh aku membunuh orang, kusangka kalian adalah begundal orang
jahat yang mau semena-mena, tak disangka ternyata semua itu hanya merupakan bagian dari
skenario yang thayjin berdua rancang."
"Kau . . . . . .." saking gusarnya hampir saja Po Tiong-su melompat bangun, tapi setelah mendeham
katanya lagi sambil menahan emosi, "baiklah, yang tidak tahu tidak berdosa, tahukah kau kenapa
hari ini kami datang mencarimu?"
Terperanjat juga Cng Siau-sik ketika melihat Po Tiong-su berhasil mengendalikan amarahnya.
"Silahkan tayjin jelaskan."
Sambil mengelus jenggotnya dan berjalan mondar mandir, tiba tiba hardik Po Tiong-su:
"Cng Siau-sik, bila mengikuti aturan, jika aku menjatuhkan dosa kepadamu maka biar kau punya
dua ratus butir batok kepala pun, semuanya bakal habis dipenggal."
"Kalau kurang cukup, kau boleh menangkap lagi seratus sembilan puluh sembilan orang rakyat tak
berdosa untuk ikut dipenggal juga kepala mereka."
\\ ~ Apa maksud perkataanmu itu?"
\\-I -ak ada maksud lain, aku hanya tak tahu apa dosaku."
sambung pemuda itu cepat.
"Bersekongkol dengan komplotan begal."
"3erkomplot?" tercekat hati Cng Siau-sik.
"Kim-hong-si-yu-lo adalah komplotan pemberontak, kau sebagai salah satu tangke mereka, kalau
tidak berdosa lantas siapa yang dianggap berdosa?"
Cng Siau-sik tahu, justru karena mendapat persetujuan dari pemerintah kerajaan, perkumpulan
Kim-hong-si-yu-lo baru dapat bercokol dikolong langit dan membangun kekuatan, hanya saja
persetujuan itu dilakukan dibawah meja dan tak pernah disiarkan secara terang terangan, itu
berarti bila kawanan pembesar ini memperkeruh suasana dan melakukan pemeriksaan, urusan bisa
berkembang jadi kacau. Tentu saja Cng Siau-sik tak ingin membuat susah anggota perkumpulan hanya dikarenakan
urusannya, cepat dia berkata:
"Kalau aku bersalah, itu urusan pribadiku, lagipula sejak setengah tahun berselang aku telah


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggalkan Kim-hong-si-yu-lo, selama ini aku jalan sendiri, bila telah melakukan pelanggaran,
hal itu tak ada sangkut pautnya dengan Kim-hong-si-yu-lo, harap tayjin maklum."
"Kau benar benar telah meninggalkan Kim-hong-si-yu-lo?" desak Po Tiong-su dengan nada lebih
serius. Cng Siau-sik sadar kalau masalah itu serius, cepat dia mengangguk.
"Aku sama sekali tak punya hubungan dengan Kim-hong-si-yu-lo, biarpun So toako menghargai
diriku, tapi aku sama sekali tak diberi peranan apa apa dalam perkumpulan itu."
"Ehmm," kini Po Tiong-su baru mengangguk puas, kepada Coa Keng katanya, "bagaimana menurut
thaysu?" Coa Keng manggut manggut, kepada Cng Siau-sik katanya:
"Cng Siau-sik, saat ini kau memang sudah beda dengan masa lalu?"
"Mohon petunjuk."
"Baiklah, akan kuberitahukan kepadamu. Dahulu, untuk mengendalikan keamanan kotaraja, selain
pasukan pengawal khusus, dibutuhkan juga kekuatan kalangan persilatan, tapi sekarang ?hay-su
telah menempatkan dua puluh laksa pasukan diempat penjuru kotaraja dan menguasahi ransum
sebanyak lima ratus laksa ton untuk tiap propinsi. Keadaan kami sudah kokoh dan jauh berbeda
dengan masa silam, itu berarti kalian manusia manusia persilatan macam Kim-hong-si-yu-lou atau
lak-hun-poan-tong sudah tak ada kegunaannya lagi bagi kerajaan."
"Komplotan pengacau macam kalian bukan saja tidak menghasilkan pekerjaan besar, yang pasti
II banyak keonaran yang kalian timbulkan, ujar Po Tiong-su pula, "selain tidak menurut, ulah
kalian pun sudah keterlaluan, dalam situasi keamanan yang terkendali, buat apa kami pertahankan
manusia macam kalian?"
Sekarang Cng Siau-sik sudah mengerti dengan keadaan yang sesungguhnya, maka diapun menyindir:
"Aneh, disaat pihak kerajaan masih membutuhkan kekuatan kami, kenapa tidak kalian singgung soal
hukum negara dan lainnya?"
Kontan Po Tiong-su menarik wajahnya dengan tidak suka hati.
Melihat itu Cng Siau-sik segera merasa kalau orang ini ibarat sebuah meja batu granit yang
tinggi besar, seperti juga sebuah bangku kebesaran terbuat dari kayu cendana, ternyata ia
memiliki ketinggian badan yang luar biasa, coba kalau tidak diimbangi dengan perawakan tubuh
yang besar, pasti postur tubuhnya nampak aneh.
Pada wajahnya yang hitam pekat dan kekar dihiasi jenggot hitam yang panjang, bibirnya tebal
dengan kepala besar, hidungnya mirip tabung huncwee, biji matanya mirip cicak mati, membuat
siapa pun yang menyaksikan tampangnya merasa ngeri dan seram.
Terdengar Po Tiong-su berkata lagi:
"Lain dulu lain sekarang, jangan kau samakan waktu itu dan saat ini."
"Jadi kalian sudah putuskan untuk membasmi semua perkumpulan dan partai yang ada di kotaraja?"
Cng Siau-sik balik bertanya.
"Perintah memang dibuat manusia."
\\ H Apa maksud perkataanmu itu?"
"Perintah diturunkan oleh Coa ?hay-su."
"Lantas maksud Coa thay-su?"
II "Aku ingin tahu bagaimana pandanganmu. ujar Coa Keng sambil tertawa.
Dengan perasaan gundah Cng Siau-sik memperhatikan sekejap tokoh tersohor yang berada
dihadapannya. Sukar untuk menduga usia Coa Keng, dibilang baru berusia empat puluhan, dia memang masih gagah,
dibilang sudah mendekati enam puluh tahun pun ada kemiripannya.
Yang pasti dia pandai menjaga kondisi badan dan suka akan kebersihan, bahkan dalam hal ini dia
tak kalah dengan seorang wanita.
Ketika secara kebetulan ia sedang tertawa, akan terlihat kekejian dan ketelengasan hatinya
dibalik keangkuhan, tapi tampak juga keterbukaan serta rasa simpatiknya yang tebal.
Dia menduduki jabatan yang sangat tinggi dalam kerajaan, dibawah pimpinannya paling tidak ada
dua laksa pembesar negeri yang tunduk dibawah perintahnya, dalam dunia persilatan paling tidak
ada empat laksa orang yang rela disiksa dan diperas tenaganya.
"Aku sama sekali tak paham dengan niat thay-su."
"Maksudku sangat sederhana: saat ini bencana peperangan melanda silih berganti, pasukan Kim
berulang kali melanggar perbatasan, dalam negeri pun kacau tak aman, dalam kondisi negara
seperti ini, mau tak mau kita harus singkirkan kelompok yang tak bisa berpihak kepada kami,
kecuali mereka bersedia tunduk, setia dan takluk kepada kami, setia kepada kerajaan, dengan
begitu kami baru bisa menampung mereka dan secara resmi diterima sebagai pasukan kerajaan, bila
hal ini sampai terjadi, bukan saja anak istri kalian akan menikmati segala kemewahan dan
kedudukan, bahkan nama, pangkat dan kekayaan bakal berlimpah ruah."
"Maksudmu, mereka mendapat amnesti, pengampunan?"
\\"'l -epat sekali" "Gaya tulisan thay-su sangat indah, gagah dan menunjukkan pengetahuan yang sangat luas." kata
Cng Siau-sik tiba tiba. Coa Keng tertegun, ia tak habis mengerti apa yang dikatakan pemuda itu.
"Maksudmu?" tanyanya melongo.
"Tolong tanya, apa jadinya dengan gaya tulisan thaysu bila ada seseorang menekan tanganmu yang
sedang menulis?" "Tentu saja tulisannya jadi jele ." Coa Keng mulai meraba apa maksud perkataannya itu.
"Dalam kondisi seperti ini, bukankah jauh lebih baik tak usah menulis saja?" kata Cng Siau-sik,
"sama seperti orang orang pintar yang berkepandaian tinggi, kenapa mereka tidak langsung saja
mengikuti ujian negara lalu naik pangkat dan kaya? Sebagai orang persilatan, kalau lengan kita
harus dibelenggu, bukankah lebih baik membubarkan diri saja?"
Coa Keng tersenyum. "Perkataanmu memang benar, hanya saja . . . . . .."
Cng Siau-sik tahu, masih ada yang akan diucapkan pembesar itu bahkan merupakan kata kunci dari
semua pertemuan pada hari ini, oleh karena mereka sudah muncul di gedungnya, pemuda itupun
bertekad untuk mendengarkan sejelasnya, paling tidak, bila dia masih mampu tinggalkan
Jau-sik-cay dalam keadaan hidup, berita ini bisa disampaikan kepada So Bong-seng, agar dia
segera membuat persiapan.
"Hanya saja kenapa?" tanyanya.
"Saat untuk berkumpul itu gampang, saat untuk berpisah itulah yang susah."
Po Tiong-su yang berada disampingnya melanjutkan:
"Pada dasarnya mereka adalah kelompok pemberontak, mana mungkin bilang mau bertobat langsung
saja mereka bertobat?"
Ong Siau-sik sadar, masalah ini tak mungkin bisa disudahi secara baik baik, maka ujarnya:
"Berarti pihak kerajaan akan menyelesaikan masalah ini hingga tuntas?"
"Kecuali Coa thaysu berniat mempertahankan mereka karena punya rencana lain," kata Po Tiong-su
lagi sambil melirik sekejap kearah Coa Kin, "kau seharusnya tahu, ?haysu punya kuasa dan
pengaruh yang besar dalam pemerintahan kerajaan, setiap orang pasti akan mendukung usul serta
pandangannya!" Diam diam Ong Siau-sik menarik napas dingin.
"Kalau begitu mohon thaysu mau selamatkan dunia persilatan dengan menyampaikan berapa kata
indah dihadapan Baginda."
"Padahal, asal kau bersedia melenyapkan bibit bencana bagi kehidupan rakyat, hal ini sudah
cukup membuktikan kebersihan dari perkumpulan kalian."
a enya an i i encana. anya n iau-si eheranan.
"M l _ k b b t b 7" t _ O S k k
"Betul!" kembali berkilat sinar mata Coa Keng, "melenyapkan seorang bibit bencana."
"Bibit bencana yang bagaimana? Mengapa dia harus dilenyapkan?" desak pemuda itu.
"Orang ini berani melawan atasan membohongi bawahan, jaringannya luas, diam diam membentuk
kelompok pemberontak, ia berniat berhianat, memeras rakyat, ingin merebut kekuasaan. Ilmu
silatnya sangat tinggi, kemampuannya cukup untuk menguasahi semua raja muda dikolong langit,
kemampuan bicaranya hebat, dapat meluluhkan hati orang untuk bersedia berkorban demi mereka.
Dia licik, bahaya, angkuh dan semena mena, orang sangka dia adalah pembesar setia, berjiwa
ksatria, padahal orang itu pandai memutar balikkan fakta dan kenyataan, selama orang ini masih
ada, pemerintah kerajaan akan selalu terancam, karena itu mati hidupnya kerajaan tergantung
apakah dia tetap hidup atau berhasil kita singkirkan."
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah marah lanjut Coa Keng:
"Bayangkan sendiri, pantas tidak kalau kita bunuh dan singkirkan manusia semacam ini?"
"Manusia semacam ini pantas dilenyapkan!"
Dengan wajah serius dan bersungguh sungguh Coa Keng segera menambahkan:
"Orang ini sangat lihay, kalau bukan orang hebat, sulit untuk memenggal batok kepalanya."
"Baiklah." seru Ong Siau-sik cepat, "boleh tahu siapa bibit bencana itu?"
"Tentu saja Cukat sianseng."
"Cukat sianseng?"
"Yaa, tentu saja Cukat sianseng," Coa Keng menegaskan, "kalau bukan dia lantas siapa lagi?"
Hampir saja Ong Siau-sik melompat bangun saking kagetnya.
"Cukat sianseng?" tegasnya.
"Betul, memang Cukat sianseng."
"Kenapa dia harus dibunuh?"
"Karena dia adalah manusia munafik, sok bijak sok setia kawan, padahal meracuni orang untuk
me eron a . is im e aharuan yan i a u an n An-si jus ru a a a erja an arena
mb t k S t mb _ d l k k O ` k _ t t k d t b _ l k
dihalangi dan disabot orang ini. Dia sok pahlawan, mengusulkan kepada kerajaan untuk menyerang
an- en , ermusuhan en an an sa im sehin a a i a nya u an saja ne ara harus men ha a i
Y k b d b K k b t _ b k _ d
seran an ari uar, ah an mus i er in a men ha a i eonaran a am ne eri. en an em a o as
d l b k t b t d k d k d l D t
a ai u u a-u a, i -in m n i nah 'a ia, m n o a- an -on a n i an an
seb k k r d a se* e f t ej bat set e b rk ember t ka d kal
ra va , ah an er in a semau sen iri. co a avan an, i i encana semacam ini a a i a
k_ t b k b t d k d O b b _ k b b t b t d k
pantas dibasmi?" "Kenapa musti aku yang membunuhnya?"
"Karena ilmu silatnya tinggi dan hebat."
"Aaah, itu berita bohong, aku tak punya kemampuan apa apa."
"Justru untuk menguji kemampuanmu, tadi aku sengaja menitahkan delapan raja golok untuk
menjaja e an aianmu, er u i au meman i a ernama oson .
_ _ l k d t b kt k t d k b k "
asih anya ja o ain van er e an aian si a jauh ia as emam uan u.
"M b _ k j l _ b k d l t _ d t k k "
"Kau cerdas, pandai menghadapi setiap perubahan dengan cepat dan cekatan."
"Banyak orang lain yang lebih cekatan dalam menghadapi perubahan, bahkan diantara anak buah
Thaysu pun banyak terdapat jago jago tangguh."
"Beda, mereka tak mengenal seni, sementara kau menguasahi ilmu kaligrafi, ilmu melukis maupun
ilmu pertabiban, lebih gampang mendekati Cukat sianseng."
"Aku kuatir susah untuk menembus penjagaan ketat dari empat opas."
"Bisa, pasti bisa."
"Maksudmu?" "Kau pasti bisa menembusi penjagaan mereka."
"Kenapa?" "Karena kau adalah ahli waris dari Thian-ie Kisu," jawab Coa Keng, "sebagaimana kau tahu,
Zhian-ie Kisu adalah sahabat Cukat sianseng, ini berarti Cukat sianseng tak bakal menaruh
curiga kepadamu, bahkan dia akan sangat akrab denganmu."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Oleh karena itu hanya kau yang paling cocok, hanya kau yang mampu menghabisi nyawa Cukat
sianseng." "Bolehkah aku tidak membunuhnya?" dengan nada hati hati Ong Siau-sik bertanya.
"Melenyapkan sumber bencana bagi rakyat dan negara merupakan tugas utama seorang hiap-gi,
seorang pendekat sejati, ksatria sejati."
"Tidak mudah membunuh Cukat sianseng."
"Kalau gampang, tak bakal kami mengundangmu, bahkan datang sendiri secara khusus untuk minta
pertolonganmu." Tampaknya Coa Keng sudah mulai letih, namun dia masih tetap sabar menanti, tapi siapa pun dapat
melihat kalau dia segera akan mengetahui hasil akhirnya.
"Tidak gampang mendirikan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lo, lagipula selama ini So Bong-seng
perlakukan dirimu sangat baik, masa kau tega menyaksikan semua hasil karyanya hancur berantakan
dalam waktu singkat?" imbuh Coa Keng lagi.
"Apakah aku harus membunuh Cukat sianseng?" Ong Siau-sik tetap berusaha menghindar.
"Jika dia tidak mati, kaulah yang bakal mampus." tukas Po Tiong-su tak sabar.
"Selama Cukat sianseng tidak mati, negara tak pernah bisa hidup tenang."
ujar Coa Keng pula. Ong Siau-sik termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ujarnya:
"Berilah sedikit waktu kepadaku, biar aku pikirkan dulu persoalan ini."
"Tidak bisa," tegas Po Tiong-su, "masalah ini merupakan rahasia negara, rahasia yang tak boleh
bocor keluar, kau harus putuskan ditempat ini bahkan harus segera dilaksanakan."
"Sekarang juga aku harus menjawab?" tanya Ong Siau-sik tercengang.
Po Tiong-su manggut-manggut.
Melihat itu, Ong Siau-sik menghela napas panjang.
"Aaai, tampaknya aku harus memilih, ingin mencari pahala dan nama atau ingin selamatkan nyawa,
bila ingin hidup selamat, terpaksa, mau tak mau aku harus membunuh Cukat sianseng lebih
dahulu." "Jadi kau sudah setuju?" terlintas perasaan girang dari balik mata Po Tiong-su.
"Bagus." kata Coa Keng pula sambil tertawa, "sekarang kau boleh sampaikan apa saja syaratmu dan
bantuan apa yang kau butuhkan untuk melaksanakan tugas ini."
"Aku sedang berpikir."
\\ 1 Apa lagi yang kau pikirkan?"
sahut Ong Siau-sik setelah termenung.
"Aku pikir ingin mencoba........"
"Mencoba apa?" desak Po Tiong-su.
Ong Siau-sik tidak bicara apa apa, mendadak dia merangsek ke hadapan Coa Keng.
Seberapa hebat ilmu silat yang dimiliki Ong Siau-sik?
Ada orang pernah bertanya begini kepada So Bong-seng.
"Sejak Ong Siau-sik tiba di kotaraja, ia telah mengalami berapa kali pertarungan yang penting
dan besar, tapi ia tak pernah turun tangan dengan sepenuh tenaga, tahu tahu saja urusan telah
terselesaikan." "Padahal aku sendiri sudah tiga kali terluka parah, bisa kau bayangkan betapa tingginya ilmu
silat yang dia miliki."
sahut So Bong-seng. Perkataan dari So Bong-seng ini sama artinya dia telah merendahkan kemampuan sendiri dengan
meninggikan kemampuan Ong Siau-sik.
Namun apa yang dia ucapkan memang merupakan satu kenyataan.
Lalu sampai dimanakah kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ong Siau-sik?
Baik dalam kotaraja, dalam dunia persilatan, dalam pergaulan masyarakat, pertanyaan ini menjadi
teka teki yang tidak terjawab, hal yang membuat rasa ingin tahu orang lain makin meningkat.
Terlepas seberapa hebatnya kungfu yang dimiliki Ong Siau-sik, ditinjau dari caranya melancarkan
serangan saat ini, tampak kalau jurus yang digunakan jauh lebih hebat daripada gerakan yang
dipakai untuk memukul lepas golok ditangan Coa Siau-tau dan Biau Pat-hong serta disaat dia
mengalahkan delapan raja golok.
Sasarannya sekarang adalah Coa Keng.
Bila ingin menyerang Coa Keng, berarti dia harus melewati empat orang jagoan.
Jagoan macam apakah ke empat orang itu?
Orang pertama berdandan sastrawan, tapi sayang tampangnya lebih mirip orang kasar yang pagi
hari jagal babi, sore hari angon sapi, malam hari memeluk perempuan, minum arak sambil main
judi. Orang kedua berambut panjang sebahu dengan berapa kuntum bunga disisipkan diantara rambutnya,
mengenakan pakaian kusut, bermata latah tapi gerak geriknya justru penuh sopan santun.
Orang ke tiga berbadan ceking, jangkung dengan sepasang lengan terlipat didepan dada, gayanya
angkuh, tampangnya kaku dan sekeras baja, bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki tidak
tampak secuwil pun lemak badan.
Orang terakhir tidak terlalu tinggi tidak juga kelewat pendek, wajahnya ditutup dengan topeng,
sebuah topeng tanpa mata dan hidung, hanya ada lukisan pemandangan alam yang indah.
Begitu Ong Siau-sik bergerak, ke empat orang itu ikut bergerak.
Begitu ke empat orang itu bertindak, gerak serangan dari Ong Siau-sik pun seketika berubah.
Sasarannya kini tertuju ke tubuh ke empat orang itu.
Siapa sebenarnya ke empat manusia aneh itu?
Kenapa sasaran dari Ong Siau-sik bukannya untuk menjatuhkan Coa Keng, sebaliknya justru tertuju
kepada mereka berempat? Bab 9. Cukat sianseng harus dibunuh.
Satu bacokan maut dilontarkan Cng Siau-sik ke arah musuh musuhnya.
Bacokan itu lebih dalam dari dendam kesumat, lebih tipis dari impian dan lebih membekas
daripada berlalunya sang waktu.
Bacokan itu diarahkan ke tubuh sang sastrawan, cahaya golok secerah cahaya rembulan, sepanjang
bintang kejora yang melintas di angkasa.
II "Kau mencari aku, berarti nasibmu memang kurang beruntung. seru sang sastrawan sambil tertawa.
Dilihat dandanannya, ia kelihatan kasar dengan alis mata yang tebal, apa mau dikata suaranya
justru lembut seperti suara perempuan.
?iba tiba sastrawan itu menerjang maju, menerjang masuk dari balik cahaya golok, tahu tahu
sepasang tangannya telah berhasil menjebol jaring golok lawan dan mencengkeram sepasang bahu
Cng Siau-sik. Sebelum bacokan golok Cng Siau-sik berhasil menebas batok kepalanya, dia telah melempar tubuh
pemuda itu ke udara, seperti melempar sebuah karung goni saja, kekuatannya luar biasa.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seluruh badan Cng Siau-sik terlempar ke udara, langsung terbang kearah dinding ruangan, jika
dilihat dari kekuatan daya lempar itu, paling tidak tubuh pemuda itu bakal gepeng jadi cacahan
daging. Disaat tubuhnya hampir menyentuh dinding itulah, tiba tiba Cng Siau-sik menjejakkan kakinya,
kekuatan lempar yang maha dahsyat itupun terbuang ke samping, lalu dengan manfaatkan tenaga
pantulan, dia balik menerjang ke arah lain dengan kecepatan makin hebat.
Kali ini sasaran yang diterjang adalah lelaki yang menyelipkan bunga dirambutnya.
Berbareng itu pedangnya disabet ke depan, dalam sabetan itu dia sertakan tiga bagian keindahan,
tiga bagian keanggunan, tiga bagian keterbukaan dan satu bagian keangkeran yang menakutkan, dia
seolah-olah ingin menebas batok kepala lelaki berbunga itu dalam sekali tebasan.
Lelaki itu membentak nyaring, pedangnya diputar sambil menangkis, begitu cahaya pedang
berkelebat, cahaya menyilaukan mata menyebar ke empat penjuru, begitu menyilaukan mata sehingga
sulit bagi orang untuk melihat jelas bentuk senjatanya, bahkan sulit membedakan panjang
pendeknya senjata itu dan tajam tumpulnya mata senjata.
Begitu melepaskan lima bacokan, kembali orang itu membentak nyaring, lima butir bintang hitam
yang semula menempel ditubuh pedangnya, tiba tiba ada tiga butir meletup lalu meluncur ke tubuh
anak muda itu. Cng Siau-sik terperanjat, sambil mundur dia lakukan tangkisan, gagal mengenai sasaran, secara
otomatis ke tiba biji bintang hitam itu melesat balik keatas pedang emas itu.
Cepat Cng Siau-sik memutar badan, golok bersama pedang dilancarkan bersama, kali ini dia serang
lelaki yang berdiri sambil menyilangkan tangan didepan dada itu.
Ketika menyerang si sastrawan tadi, Cng Siau-sik nyaris menderita kerugian, menyusul kemudian
ia menyerang lelaki berbunga itu tanpa peroleh hasil apa apa, tapi ketika ia menyerang lelaki
yang menyilang tangannya di depan dada ini, pemuda tersebut justru meluruk dengan kecepatan
luar biasa, ibarat seekor ular berbisa menyerbu ke sarang tawon, serangannya dilakukan seakan
mau adu jiwa saja. Lelaki kekar itu sama sekali tak bergerak, tidak bersuara maupun gugup. Dia menunggu sampai
senjata lawan hampir mengenai tubuhnya, baru secara tiba tiba bereaksi dengan melancarkan
serangan balasan. Reaksi yang ia lakukan sungguh diluar dugaan siapa pun, ia tidak bersenjata, dengan sepasang
kepalan itulah dia sambut datangnya ancaman senjata lawan, kalau mengibaratkan bacokan golok
Cng Siau-sik adalah bunga, sabetan pedang adalah daun, maka sepasang kepalannya adalah sebuah
gunting tajam, gunting yang khusus membabat daun dan bunga.
Cng Siau-sik tidak memaksakan diri untuk beradu kekerasan, mendadak ia tarik kembali
serangannya lalu secara tiba tiba melompat ke hadapan orang ke empat.
Belum sempat dia melancarkan serangan, pihak lawan telah melepaskan tujuh tendangan berantai
terlebih dulu. ?ergopoh-gopoh dia berkelit dari ke tujuh buah tendangan itu, tapi lima belas tendangan berikut
ibarat gulungan ombak samudra kembali meluruk tiba.
Kini Cng Siau-sik tak punya kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, terpaksa dia harus
melompat keatas meja, sebentar lompat keatas bangku lalu melompat kearah lain, dia harus
melompat kian kemari untuk meloloskan diri, sayang usahanya untuk lolos dari pengejaran lawan
tidak berhasil. Sementara itu orang yang berdiri di belakang Coa Keng telah melompat ke sisi pembesar itu dan
melakukan perlindungan. Saat Coa King mundur ke depan segulung tulisan kaligrafi yang tergantung di dinding, Cng
Siau-sik telah menghindari tiga puluh tujuh buah tendangan.
Saat itulah orang yang berada dibelakang Coa Keng membentak dengan suara dingin:
"Mundur semua!"
Crang yang mengenakan topeng itu segera melompat mundur dan kembali ke posisinya semula.
Dalam pada itu Cng Siau-sik telah memberi hormat kepada ke empat orang itu sambil berkata:
"Lu toaya, Yan jiya, Ku samya, ?io suya, maaf dan terima kasih karena kalian telah berlaku
sungkan kepadaku" Disaat mengucapkan perkataan itu, diam diam Cng Siau-sik merasa tercekat hatinya, sebab sejak
awal dia sudah tahu siapakah ke empat orang ini.
Justru karena sudah tahu, dia sengaja ingin menjajal sampai dimana kehebatan ilmu silatnya, dan
sekarang dia pun sudah tahu.
Dengan kehadiran ke empat orang itu, sama seperti disamping Cukat sianseng terdapat empat opas.
Tatkala Cng Siau-sik mengucapkan perkataan itu, ke empat orang jago itupun diam diam was was
serta meningkatkan kewaspadaan.
Dalam waktu yang relatif singkat, mereka pun telah mengetahui satu fakta: bahwa pemuda yang
berada dihadapannya ini selain sukar dihadapi, pada hakekatnya dia adalah seorang lawan yang
sangat menakutkan. Ilmu silat yang dimiliki Cng Siau-sik bukan hanya tinggi, bahkan dalamnya sukar diukur.
Coa Keng memang memiliki pandangan yang luar biasa, pemuda ini memang memiliki kemampuan lebih
untuk membunuh Cukat sianseng.
Ke empat orang ini tak lain adalah jago jago andalan Coa Keng, ke empat pengawal utama yang
berada disampingnya saat ini terdiri dari Lu Su-it, Yan si-ji, Ku Zhiat-sam, ?io Sut-su,
ditambah Yap Ki-ngo dan Ki Bun-lak disebut juga Lak-hap-kim-liong (enam naga emas).
Sebetulnya julukan It-cu-keng-thian, Lak-hap-cing-liong adalah gelar dari Huang-san tojin,
setelah dia mati, julukan itupun dinikmati bersama oleh ke enam orang itu, tentu saja
kepandaian silat yang dimiliki ke enam orang ini tak ada yang berada dibawah kemampuan
Huang-san tojin. Li Hian-ie, orang yang pernah bersama Cukat sianseng disebut empat opas sakti pernah berkata
begini: "Sepuluh tahun lagi, dunia ini akan menjadi milik empat opas dan enam naga hijau, sampai
waktunya dimana kita bangkotan tua akan tancapkan kaki?"
Lau tok-hong, seorang opas sakti lainnya berkata pula:
"Empat opas adalah didikan langsung dari Cukat, bila dibandingkan, ke enam orang muridku betul
betul sampah dan tak ada gunanya."
Dia sendiripun menerima enam orang murid, tapi tak seorangpun yang berhasil ternama.
Cpas sakti yang lain, Liu Gi-yan berkata pula:
"Empat ekor naga dari Lak-hap-cing-liong telah tunduk dibawah perintah Thaysu, bahkan mendapat
posisi tinggi, lewat berapa tahun lagi kita bakal meminta minta kepada mereka."
?api kemudian ke tiga orang opas tua itu kalau bukan gugur dalam tugas, mereka tewas secara
mengenaskan, dan kini yang tersisa tinggal Cukat sianseng seorang.
Dari empat opas tua dimasa lalu, kecuali Goan Cap-sa-han yang berpihak Coa Keng, Cukat sianseng
masih tetap berbakti kepada Kerajaan dan memiliki kekuasaan besar, sementara Lan-jan thaysu
serta Zhian-ie Kisu telah mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Dan kini, ternyata sasaran yang direncanakan komplotan Coa Keng untuk dibunuh tak lain adalah
Cukat sianseng. "Maafkan aku bila melancarkan serangan secara tiba tiba," kata Cng Siau-sik kemudian, "karena
aku memang punya maksud tujuan lain."
"Aku mengerti" jawab Coa Keng tawar.
?ercekat perasaan hati Cng Siau-sik, seolah dalam jawaban Coa Keng yang singkat itu terkandung
maksud yang lebih dalam, seakan ia sedang berkata begini:
"Coba kalau bukan aku sudah menduga kalau kau punya tujuan lain, sejak tadi kau sudah mampus
ditempat ini." Sekalipun sudah mengetahui maksud ucapan lawan, pemuda itu tetap melanjutkan perkataannya:
"Aku berniat mencoba tenaga dalam yang dimiliki ke empat hengtay itu."
"Mau dicoba sekarang juga?"
"Bukankah tadi kau bertanya kepadaku, butuh syarat apa? Bantuan serta dukungan apa saja?"
"Kalau begitu katakan sekarang."
"Sebelum kusampaikan, ada satu hal ingin kutanyakan lebih dahulu."
"Cya?n "Goan cap-sa-han adalah susiok ku."
"Aku tahu." "Kungfu nya masih jauh diatas kemampuanku."
"Ilmu silatnya memang sangat hebat."
"Dan sekarang dia telah bergabung dibawah panji kekuasaan thaysu."
"Betul, aku memang sangat menghargai kemampuannya."
"Kalau memang begitu, kenapa tugas pembunuhan ini bukan thaysu serahkan kepada su-susiok,
sebaliknya justru memilih aku?" desak Cng Siau-sik.
"Karena Goan Cap-sah-han kelewat angkuh."
"Aku tidak paham."
"Selama ini Goan Cap-sah-han hanya pusatkan konsentrasi untuk bertarung melawan Cukat sianseng,
tapi dalam dua kali pertarungan, dia keok terus ditangannya, maka diapun memutuskan untuk
berlatih kembali secara tekun untuk pembalasan dendam dimasa mendatang, tapi pengaruh dan
kekuasaan Cukat sianseng dalam pemerintahan makin lama semakin meluas, kami tak bisa menunggu
lagi." "Jadi Goan Cap-sah-han menolak untuk melaksanakan pembunuhan itu?"
"Dia tak sudi."
"Mengapa kau harus jelaskan sebab musabab itu kepadaku?"
"Kenapa aku harus merahasiakannya kepadamu?"
"Tugas yang tak sudi dilakukan su-susiok kenapa harus kulaksanakan?"
"Karena kau mampu untuk melaksanakannya"
"Demi Kim-hong-si-yu-lo?"
"Juga demi keamanan dan kesejahteraan negara"
\\ II Co0oo "Cukat sianseng gemar berperang, tingkah lakunya membuat kerajaan Kim jadi marah, padahal
seharusnya kita pertahankan kedamaian dan ketenangan dunia, dengan melakukan peperangan maka
bukan saja pasukan kita bakal mengalami banyak kematian, rakyat pun ikut menderita karenanya,
selama Cukat tidak disingkirkan, pertempuran yang berlarut pasti akan melemahkan negara. Dimasa
lalu Thio Liang, Gin Ko berusaha membunuh kaisar Chin, bukankah tindakan mereka terdorong untuk
selamatkan negara? Kau sebagai seorang ksatria, seorang pendekar, apa gunanya belajar ilmu
silat hebat bila tak mau berkorban demi negara?"
"Satu ucapan yang hebat," Cng Siau-sik tertawa getir, "moga moga saja nasibku tak sampai
berakhir tragis seperti apa yang dialami Gin Ko."
"Tidak, tidak mungkin" sahut Po Tiong-su, "kami akan aturkan semua rencana dan siasat, tanggung
setelah berhasil kau bisa mundur dengan selamat, bahkan bersama kami menikmati kemewahan dan
keagungan." "Apakah rencana itu baru kalian beberkan setelah aku putuskan akan pergi?"
"Bagaimana pun kau tetap harus berangkat!" tegas Po Tiong-su serius.
"Bila aku menampik, sekarang juga kalian akan membunuhku?"
"Aku percaya kau pintar, tentu saja tak akan mengambil resiko tersebut."
"Jika usahaku mengalami kegagalan?"
"Kami pun akan menyiapkan orang untuk selamatkan dirimu, tentu kami tidak berharap kau sampai
terjatuh ke tangan Cukat, karena kami pun butuh manusia berbakat macam dirimu."
"Tampaknya aku menolak pergi pun tidak mungkin?"
"Demi sahabatmu, kau terlebih harus pergi."
"Sahabat?" "Sahabatmu: Tong Po-gou, Pui Heng-sau, Un-ji, mereka semua telah melanggar hukum, pelanggaran
tersebut dapat menyeret mereka ke tiang pancung, tapi jika kau dapat membuat jasa untuk menebus
dosa mereka, tentu saja akupun jamin mereka akan kembali dalam keadaan selamat."
\\ G Aaah, tak heran kalau mereka yang berada diluar sama sekali tak bersuara,
Il seru Cng Siau-sik seakan baru menyadari, "tapi pelanggaran apa yang telah mereka lakukan?"
"Kenapa kau tidak tanyakan persoalan ini kepada seorang sahabatmu yang lain?"
"Siapa?" "Thio Ian." "Apa urusannya dengan Thio Ian?"
"Hmmm, sekalipun demi dirimu sendiri, tugas ini tetap harus kau terima." tiba tiba Coa Keng
menimbrung. "Demi aku?" Cng Siau-sik menunjuk hidung sendiri.
"Sebagai seorang lelaki, kau harus berambisi punya nama, kedudukan dan pangkat tinggi, buat apa
kau habiskan masa remaja mu dalam kedai kecil semacam ini?"
"Bukankah kau membujukku untuk lepas tangan disaat harus lepas tangan?"
"Dengan usiamu sekarang, inilah saat terbaik untuk memupuk pahala, kenapa harus lepas tangan?"
II "3etul juga perkataanmu, sambil menggosok jari tangan sendiri kata Cng Siau-sik, "sayang udara
terasa begitu dingin."
"3etul," Coa Keng ikut mengalihkan pokok pembicaraan, tampaknya sedikitpun ia tidak gelisah,
"demikian dinginnya udara sekarang, sampai tinta bak pun begitu cepat mengering."
Mau tak mau Cng Siau-sik harus mengagumi orang itu, dengan kedudukannya sekarang, dia bisa
menguasahi dunia, memberi perintah kepada seluruh pembesar negeri, tapi kesabarannya ternyata
jauh lebih hebat ketimbang dia sendiri.
"Udara yang begini dingin rasanya bukan musim yang cocok untuk membunuh orang."
"Aku tahu, kau pasti akan menyanggupi tugas ini," Coa Keng tertawa ramah, keramahan dibalik
kelicikannya, "membunuh orang disaat udara dingin, cucuran darah mereka akan segera mengering,
reaksi lawan pun akan melambat karena bekunya udara, itu sudah lebih dari cukup bagimu untuk
bertindak." "Moga saja bukan gerakan tubuhku yang melambat gara gara udara yang beku," Cng Siau-sik
tertawa, "tapi sejujurnya aku masih tetap tak habis mengerti."
\\'-l -anyalah kalau belum mengerti."
"Mengapa kau tidak meminta ke empat pengawalmu untuk laksanakan tugas ini? Kungfu mereka jauh
diatas kepandaian silatku."
"Mereka beda dengan dirimu, sulit bagi mereka untuk mendekati Cukat, sekalipun bisa mendekat,
dia pasti akan tingkatkan kewaspadaan, apalagi disamping Cukat......... masih ada empat opas
yang begitu tersohor namanya."
"Empat opas.........? oh, hampir saja aku melupakan mereka."
"Ke empat orang ini tak boleh dianggap enteng," Coa Keng memperingatkan dengan wajah serius,
"siapa pun dari ke empat orang itu, sudah cukup membuat kau terseok."
"Sekalipun Lu, Yan, Ku, ?io empat saudara itu tak sanggup, bila sahabat yang berada
dibelakangmu mau turun tangan, aku yakin tak seorangpun bisa menandingi kemampuannya," kata Cng
Siau-sik lantang, "jika aku tak salah lihat, sobat itu seharusnya adalah jago paling misterius
dikolong langit saat ini: Zhian-he-tee-jit?"
Lelaki jangkung ceking dibelakang Coa Keng sama sekali tak bergerak, apalagi menjawab, tapi
buntalan yang berada dipundaknya kelihatan sedikit bergetar.
Il "Dia pun tidak mungkin. sahut Coa Keng.
"Boleh tahu apa sebabnya?"
"Sekarang masih belum bisa kujelaskan," Coa Keng menggeleng, "disaat kau berhasil melakukan
pembunuhan itu, berarti kita sudah berada di jalan yang sama, saat itulah ada banyak masalah
yang secara otomatis akan kau pahami sendiri."
Cng Siau-sik menghela napas, sambil menuding hidung sendiri keluhnya:
"Kalau begitu rasanya aku harus pergi bahkan aku pula yang akan melakukan tugas ini."
"Betul, sekarang yang bisa kau lakukan hanya mengajukan syarat."
Cng Siau-sik berpikir sebentar, kemudian sambil memperlihatkan ke empat jari tangannya, ia
berkata: "Empat buah!" "Katakan." "Setelah kubunuh Cukat, aku minta thaysu berusaha untuk menempatkan So toako dan Pek jiko pada
posisi yang ditempati Cukat sianseng saat ini."
"Itu mah tidak sulit, kujamin pasti akan kuajukan usul ini kepada Kaisar," janji Coa Keng,
"hanya saja apakah dikabulkan atau tidak, tergantung sampai dimana rejeki kalian."
"Kalau berhasil membunuh Cukat sianseng, aku berharap masih tetap bisa tinggal di Bian-keng,
aku tak ingin jadi buronan sepanjang hidup."
"Itupun tidak sulit, kau bisa saja ikut aku," janji Coa Keng, "rencana kami sudah mencakup kau
bisa mundur secara selamat dan dikemudian hari bisa menduduki posisi tinggi dan terhormat."
"Aku pun berharap jika berhasil nanti, ?hay-su serta tuan perdana menteri mau membuka jalan
untuk para hohan yang ada dalam dunia persilatan."
"Asal mereka mau menyerah, kami pasti akan berusaha untuk menampung orang orang itu, jadi tak
perlu kuatir. Masih ada satu lagi?"
"Mohon thaysu bisa mengajukan usulan kepada Baginda untuk menghapus segala pajak, menghapus
pemaksaan kepada rakyat untuk mengumpulkan batu granit, rakyat sengsara, pencuri merajalela,
semuanya dikarenakan masalah ini. Semoga ucapan Siau-sik bisa dipertimbangkan."
Berubah paras muka Coa Keng.
"Besar amat nyali mu." bentak Po Tiong-su gusar.
?api Coa Keng segera ulapkan tangannya mencegah, perlahan ia berkata:
"Aku akan ajukan usul itu, tapi bagaimana keputusan Baginda, aku dan Po thayjin tak bisa
memberi jaminan." Cng Siau-sik kegirangan setengah mati, buru buru serunya:
"Asal thaysu dan tuan perdana menteri mau buka suara, inilah keberuntungan untuk seluruh rakyat
dikolong langit." "Cng Siau-sik, ternyata kau bukan manusia sederhana," kata Coa Keng kemudian sambil picingkan
mata, "empat syarat telah kau ajukan, apakah membutuhkan bantuan lain?"
"Yaa, aku butuh bantuan dari ke empat pasukan pengawal, agar lebih mudah bagiku untuk
menghadapi empat opas dari Cukat sianseng."
"Memang hanya mereka berempat yang bisa mengatasi empat opas," ujar Coa Keng sambil tersenyum,
"bukankah tadi kau sudah menjajal kepandaian mereka, apakah perlu mencoba sekali lagi?"
\\-I -haysu harap maklum, Siau-sik benar benar merasa kagum sekali."
"Sekarang, tentunya kau sudah bisa mendengarkan rencana kami bukan?" ujar Coa Keng sambil
tersenyum, kecerdikan dan keangkuhan terselip dibalik senyuman itu.
"Aku masih mempunyai satu permintaan lagi."
Sepasang alis mata Po Tiong-su yang tebal kontan berkenyit.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cng Siau-sik," tegurnya, "banyak amat permintaanmu."
Il "Padahal hal ini bukan Cuma permintaan, namun prinsip hidupku, ujar Cng Siau-sik serius,
"dalam hal ini aku harus memberi laporan dulu kepada So toako, asal dia ijinkan, aku baru akan
melaksanakannya." Mendengar itu Po Tiong-su jadi naik pitam, tegurnya:
"Cng Siau-sik, kau berani permainkan kami?"
"Tidak, tapi keputusan cayhe sudah bulat."
"Kalau memang begitu, kenapa tadi kau menyanggupi?" tegur Po Tiong-su dengan mata melotot.
Cng Siau-sik segera merasa sinar mata Po Tiong-su seakan cahaya dari balik kegelapan, cahaya
yang hendak menjatuhkan dia dari situ, cepat ia berusaha mengendalikan diri dan menjawab:
"Sampai sekarang, aku belum pernah mengatakan kesanggupanku."
"Kau........" Sikap Coa Keng sangat tenang, dengan mata setengah terpicing ujarnya perlahan:
"Boleh saja kalau kau bersikeras ingin balik dulu ke Kim-hong-si-yu-lo dan minta pendapat So
Song-seng, tapi bukankah tadi kau mengatakan kalau dirimu sudah tak ada hubungan lagi dengan
mereka?" "Terus terang, aku adalah saudaranya, semua perbuatan dan sepak terjangku sulit untuk terlepas
dari sangkut pautku dengan Kim-hong-si-yu-lo, tadi aku mengucapkan kata kata tersebut karena
tak ingin menyusahkan mereka, aku yakin thaysu dan siang-ya tak bakal percaya. Untuk
melaksanakan tugas seberat ini, mana mungkin boleh aku tidak minta persetujuannya?" Cng
Siau-sik tetap bersikeras dengan pendapatnya, tapi kemudian ia menambahkan lagi, "hanya saja,
aku tidak harus balik ke markas Kim-hong-si-yu-lo di bukit Thian-swan-san."
"Apa maksudmu?" tanya Po Tiong-su melengak.
"Kebetulan orang yang ingin kumintai pendapat berada disini."
Menyusul kemudian diapun berteriak memanggil:
"Ciko, kalau kau tidak turun lagi untuk memberi petunjuk kepadaku, mungkin aku bakal digoreng
orang lain." Dari atas wuwungan rumah segera terdengar seseorang tertawa tergelak.
"Hahaha, tak usah tegang, tak usah gugup, lo-ong sedang menghadapi kesulitan, masa aku si loji
hanya berpeluk tangan?"
"Betul juga ucapanmu," jawab Cng Siau-sik lantang, "apakah toako tahu juga tentang persoalan
ini?" Terlihat bayangan manusia melintas lewat, seorang pemuda tampan berbaju perlete telah melayang
turun, sahut orang itu dengan suara berat:
"Justru toako yang mengutus aku datang kemari. Bukankah kaupun tahu, gerak geriknya kurang
leluasa, sementara aku harus mengurusi masalah Kim-hong-si-yu-lo, yang tersisa hanya kau
seorang, dengan kecerdasan dan ilmu silatmu, seharusnya kau mampu memikul tanggung jawab ini."
Setelah berhenti sejenak, sambil menatap wajah saudaranya, sepatah demi sepatah kata ujar Pek
Jau-hui: "Hanya kau yang bisa melaksanakan tugas ini, demi kita, demi negara, demi rakyat, kau harus
bunuh Cukat." Cng Siau-sik menatap wajah Pek Jau-hui, lama kemudian ia baru menjawab:
"Baik, akan kupikul tanggung jawab ini."
Pek Jau-hui manggut-manggut, sambil mengawasi ujung kaki sendiri, ia maju ke depan lalu
ditatapnya Cng Siau-sik sekejap.
II "Bagus, sahutnya kemudian sambil manggut manggut, "kau memang saudaraku yang hebat."
Sambil berkata dia genggam tangan Cng Siau-sik kuat kuat.
"Jiko," bisik Cng Siau-sik, "seandainya terjadi sesuatu dengan diriku, harap kau jaga baik baik
diri toako." Sekali lagi Pek Jau-hui manggut manggut, dia tetap tundukkan kepala mengawasi ujung kaki
sendiri. Perlahan Cng Siau-sik berpaling ke arah Coa Keng, katanya kemudian:
"Baiklah, silahkan kau beberkan rencana mu untuk melakukan pembunuhan itu."
Bab L0. Akhir dari Thio Tan.
Dalam perjalanan kembali ke istana, Po Tiong-su sempat bertanya kepada Coa Keng:
"Menurut pendapat thaysu, mungkinkah Cng Siau-sik benar benar akan membantu kita pergi membunuh
Cukat? Mungkinkah aksinya akan berhasil?"
Coa Keng tidak menjawab, sambil tersenyum dia memandang keluar jendela kereta.
Rakyat yang berada diluar jendela telah menyingkir ke sisi jalan dan berlutut sambil menyembah,
pasukan pengawal serta tentara berjajar dikiri kanan depan belakang membukakan jalan untuk
dirinya, bergerak masuk ke dalam kota.
Bila seseorang bisa memiliki keanggunan semacam ini, berada diatas jutaan orang dan belum tentu
berada dibawah satu orang, tidak sia sia perjalanan hidupnya selama ini.
Tapi begitu rencananya gagal? Mungkin dia akan peroleh akhir yang belum pernah dirasakan siapa
pun di dunia ini. Tatkala membayangkan sampai disitu, senyuman yang menghiasi wajahnya makin lama makin kental,
dia seolah tidak mendengar pertanyaan yang diajukan Po Tiong-su.
Tiba tiba saja Po Tiong-su merasa bergidik, diam-diam bulu kuduknya pada berdiri.
Sebab dia tahu, Coa Keng, Coa thaysu bisa turunkan perintah secara tiba tiba disaat dia paling
gembira, disaat senyumannya paling hangat untuk membantai seluruh keluarga berapa orang
kepercayaannya sekaligus.
Coa Keng mampu mengendalikan sri baginda, tapi siapa pun tak dapat meraba jalan pikirannya,
tidak terkecuali Po Tiong-su sendiri.
Ketika Coa Keng tidak menjawab, Po Tiong-su pun tidak berani bertanya lagi.
Meski orang yang berada dihadapannya lebih pendek, lebih kecil dan lebih lembut, namun dalam
pandangan Po Tiong-su, bayangan Coa Keng justru melebihi raksasa, raksasa yang mampu menelan
tubuhnya sekaligus. Perasaan ngeri, menakutkan yang luar biasa serasa mencekam hatinya.
Ketika kau menemukan bahwa dirimu bisa hilang lenyap tak berbekas disaat bersama seseorang,
maka kau pun dapat memahami bagaimana perasaan yang dialami Po Tiong-su saat ini.
Untungnya Po Tiong-su sudah terbiasa dengan perasaan semacam ini, sebab kecuali terhadap Coa
Keng seorang, semua orang yang lain pun akan merasakan tekanan yang sama dari dirinya.
Kembali kereta berjalan berapa saat, ketika hampir mendekati pintu istana, tiba tiba Coa Keng
berkata: "Cng Siau-sik tidak jujur, tapi mau tak mau terpaksa dia harus membunuh Cukat."
Po Tiong-su hanya mendengarkan tanpa menjawab, walau tidak begitu paham, dia pun tak berani
bertanya, sebab dia pun tak tahu apakah Coa Keng bersedia menjelaskan atau tidak.
Ada orang bilang begini: Ketika kau menjadi "orang kepercayaan" maka persoalan pertama yang
harus dipahami adalah harus tahu kapan boleh mengajukan pertanyaan dan kapan jangan mengucapkan
walau setengah patah kata pun.
Kadangkala disaat tidak seharusnya bicara tapi kau bicara tiada habisnya, maka hasil yang
diperoleh adalah jauh lebih parah ketimbang sama sekali tidak bicara.
Terkadang juga ada orang yang takut banyak bicara, takut salah bicara sehingga lebih suka
berdiam diri untuk menjaga gengsi, namun hasil yang diperoleh adalah seringkali membuat dia
sendiripun bingung karena tak tahu berada dimana.
Harus bicara apa, bagaimana menyampaikan, kapan buka suara, apa saja yang boleh dibicarakan
sesungguhnya diperlukan satu ilmu pengetahuan yang sangat dalam.
Sudah cukup lama Po Tiong-su terjun dalam pergaulan kaum pembesar, diapun cukup lama berkumpul
bersama Coa Keng, terhadap cara berbicara dan saat kapan boleh bicara, boleh dibilang dia sudah
mencapai tingkat kesempurnaan, boleh dibilang ia sudah berada dalam taraf yang disebut:
menambah satu patah akan terlihat berlebihan, mengurangi sepatah kata akan terlihat kelewat
minim. "Kemampuan Cng Siau-sik menulis sesungguhnya sangat bagus, hanya sayang belum mencapai tingkat
kesempurnaan," kata Coa Keng kemudian, "tahukah kau dimana titik kelemahannya?"
"Aku tidak begitu menguasahi ilmu kaligrafi, mohon thaysu mau memberi petunjuk." buru buru Po
Tiong-su menyahut. Coa Keng tersenyum. "Kau tak usah sungkan sungkan, aku tahu, kau pernah tiga tahun belajar Han-pi, hanya lantaran
kau tahu kalau gaya tulisanku dan kaisar sangat indah dan kau sadar kalau belajar banyak tahun
lagi pun tak bisa melebihi kami, maka kau urungkan niat itu, bukan begitu?"
Hampir saja perasaan hati Po Tiong-su terpeleset jatuh kebawah perut. Sebenarnya ia ingin
berlagak tenang tapi kemudian ia merasa seharusnya perlihatkan perasaan takutnya, untuk sesaat
perdana menteri kerajaan ini jadi bingung sendiri.
Sesungguhnya ia pernah belajar kaligrafi, hanya orang kepercayaannya yang tahu kalau gaya
tulisannya kuat dan indah, setiap goresannya memiliki kekuatan untuk membelah bukit, namun
diapun tahu kalau kaisar dan thaysu sangat mengunggulkan kemampuan menulisnya, tak mungkin
kedua penguasa itu akan biarkan orang lain mengimbangi kemampuan mereka.
Cleh sebab itu sejak lama Po Tiong-su sudah tinggalkan ilmu tersebut dan tak pernah
menyinggungnya kembali, tak disangka ternyata Coa Keng mengetahui kejadian itu sedemikian
jelasnya. Melihat paras Po Tiong-su hijau kekuningan, kembali Coa Keng berkata:
"Padahal apa jeleknya menulis indah? Toh kau tak akan mampu menandingi keindahan tulisan
baginda raja." Diam diam Po Tiong-su bernapas lega, cepat sahutnya:
"Betul, biar aku berlatih menulis seperti apa pun, jangan harap kemampuanku bisa menandingi
Thaysu, aku memang berbakat bebal, tidak cepat mengerti, jadi lebih baik tidak usah belajar
menulis lagi. Justru Cng Siau-sik itu bocah tak tahu diri, nyatanya kelemahan diapun tak bisa
lolos dari ketajaman mata thaysu."
"Aku rasa tidak begitu, bicara soal kaligrafi, gaya tulisan Cng Siau-sik lincah banyak
II perubahan, diapun memiliki keunggulan. kata Coa Keng, "hanya masalahnya, dalam menulis Put-su-
ku-hoat, dia menggunakan empat macam gaya yang berbeda, hal ini membuat kematangannya yang
kurang jadi tampil jelas."
Sesudah berhenti sejenak, tambahnya:
"Dari gaya tulisannya, tercermin juga tentang wataknya, terhadap tugas membunuh Cukat, tampak
sekali akan kesangsiannya. Disatu pihak dia kuatir namanya jadi jelek dan rusak gara gara
tugasnya membunuh Cukat, dipihak lain dia pun ingin mencari nama dan pahala dengan melaksanakan
tugas tersebut disamping diapun ingin membunuh Cukat untuk selamatkan rakyat. Dengan jelas dia
tahu kalau susah melepaskan diri dari cengkeraman kita, akan tetapi diapun tak rela diatur oleh
kita tanpa melawan. Dengan jelas dia tahu kalau kemampuannya belum tentu bisa menjebol
pertahanan Cukat, tapi diapun ingin sekali mencoba, maka pada akhirnya dia serahkan keputusan
terakhir ke tangan So Bong-seng."
Po Tiong-su tahu kinilah saat dia untuk bicara, maka ujarnya:
"Thaysu telah menduga sejak awal, Pek Jau-hui pun sudah tampil sebagai saksi, seharusnya Cng
Siau-sik tak dapat menolak lagi tugas dan beban tersebut."
"Terhadap orang semacam ini, kita harus membentang jaring sepanjang panjangnya, selebar
lebarnya dan sejauh jauhnya, yang paling penting adalah tehnik mengulur, bukan masalah
menarik." Coa Keng mengambil sebuah botol kecil, menuang sedikit bubuk dipunggung tangannya lalu setelah
diendus berapa kali, dia baru melanjutkan:
"Cukup menyimpulkan dari gaya tulisan Cng Siau-sik yang mengambang tak mantab, cepat atau
lambat pada akhirnya dia pasti akan berhasil kita tarik untuk tunduk dibawah kekuasaan kita."
"Menurut pendapatku," Po Tiong-su mengingatkan, "kemungkinan besar Cng Siau-sik bakal berubah
pikiran lagi, lebih baik thaysu utus orang untuk mengintilnya secara diam diam......."
Coa Keng segera tersenyum, balik tanyanya:
"Darimana kau tahu kalau aku tidak mengirim orang untuk menguntilnya?"
Sikap maupun sorot matanya tiada yang istimewa, namun bagi Po Tiong-su, perdana menteri
kerajaan yang mengendalikan pembesar seluruh negeri justru terasa sorot matanya begitu tajam
hingga seakan menembusi lubuk hatinya.
Perintah yang diberikan Coa Keng kepada Cng Siau-sik adalah: dalam tiga hari harus bunuh Cukat,
kalau tidak tenteng kepalamu untuk datang menghadap."
Bagaimana cara membunuhnya? Bagaimana harus turun tangan? Tentu saja secara terperinci Coa Keng
telah membeberkan seluruh rencananya kepada Cng Siau-sik.
Pertanyaannya sekarang: dengan cara apa Cng Siau-sik akan mengeksekusi perintah tersebut?
Sewaktu meninggalkan gedung Jau-hui-cay, Cng Siau-sik sempat bertanya kepada Pek Jau-hui:
"Toako benar benar minta aku pergi membunuh Cukat?"
Dengan wajah serius Pek Jau-hui mengangguk.
"Kenapa?" "Karena orang yang berniat memberangus orang orang perkumpulan di kotaraja tak lain adalah
Cukat," jawab Pek Jau-hui penuh rasa dendam, "sekalipun So toako mengijinkan dia menangkap
seluruh jago, belum tentu Cukat mengijinkan manusia macam kita tetap hidup."
Mendengar penjelasan itu, Cng Siau-sik menghembuskan napas panjang, ia seperti sedang
mempertimbangkan sesuatu, kemudian diambilnya pit dan menulis berapa huruf diatas lembaran
kertas putih: "Mungkinkah bagi seorang lelaki sejati bisa hidup berpeluk tangan?"
Membaca itu Pek Jau-hui kontan tersenyum.
"Semangat yang luar biasa." Pujinya.
"Sayang tak ada orang yang mengerti kualitas barang." jawab Cng Siau-sik sambil membuang pit.
"Bukankah sekarang ada yang memanfaatkan?"
"Maksudmu Coa thaysu dan Perdana menteri Po?"
"Betul, bukankah mereka sedang membutuhkan orang berbakat?"
"Coa Keng bisa menghasilkan tulisan yang begitu indah dan menawan, seharusnya dia memiliki
II kemampuan yang bisa diandalkan. gumam Cng Siau-sik.
"Memangnya kau tidak percaya dengan perkataan mereka?"
"Tahukah kau kenapa aku ambil keputusan hendak membunuh Cukat?" bukannya menjawab, Cng Siau-sik
malah balik bertanya. "Andaikata demi kekuasaan, pangkat, kedudukan dan kekayaan, kau tidak mungkin akan tinggalkan
bukit Thian-swan-san dan tinggal seorang diri di gedung Jau-sik-cay setelah Kim-hong-si-yu-lo
berhasil menghancurkan musuh tangguh"
"Betul, aku melakukan tugas ini demi So toako," tegas Cng Siau-sik, "tanpa So toako, biar
kungfuku lebih hebat, biar kepandaian mu lebih kuat, bakat lebih bagus pun tak bakalan bisa
mendapatkan pengakuan, aku tak lebih hanya seorang manusia tanpa nama, manusia biasa."
Setelah berhenti sejenak, agak emosi tambahnya:
"Justru karena dia, kita menjadi salah satu tangkeh dari perkumpulan nomor wahid di kotaraja,
dia percaya kita, memberi kesempatan kepada kita untuk membuktikan dan mempraktekkan kemampuan,
dia memberi peluang kepada kita untuk berkarya di kota Kay-hong ini.
"Cleh karena itu bila ada orang ingin berhadapan dengannya, aku pasti akan mencegah, siapa pun
itu orangnya!" Penegasan Cng Siau-sik ini diucapkan dengan tegas dan tandas.
"Begitu juga dengan aku," Pek Jau-hui menepuk bahu Cng Siau-sik kuat kuat, "aku pasti akan
mendukungmu." Diiringi gelak tertawa keras, mereka tendang pintu gedung Jau-sik-cay dan berjalan keluar
dengan langkah lebar. Cahaya matahari di awal musim dingin memancarkan sinar yang dingin menggidikkan, seolah cahaya
itulah sukma dari bongkahan salju.
Mula mula yang mereka jumpai adalah wajah wajah yang dingin lesu, bukan senyuman kecerahan, Pui
Heng-sau tampak masgul tak bertenaga, tampangnya jauh lebih murung dan kucal daripada wajah
penjajah kaki lima yang tiga hari jualannya tak pernah laku.
Tampang Tong Po-gou kelihatan sangat marah, kobaran api kemarahannya terasa bagai bara api yang
menyala di tungku pembuatan senjata, seakan akan setiap saat bakal meledak.
Sebaliknya Un Ji yang selama ini lembut dan suka bermain, terlintas pula amarah yang ditahan
tahan. Disitu hadir pula seorang yang lain, seseorang yang belum tampil saat tadi, orang ini adalah Cu
Siau-yau, dia sedikit malas, sedikit cuek, mata yang selalu tampak genit kini diliputi perasaan
gelisah bercampur cemas, seolah olah dia sedang panik karena ada seseorang yang telah
menghilang. "Ke mana perginya Thio Tan?" tanya Cng Siau-sik kepada Pui Heng-sau.
Dia memang sengaja bertanya kepada orang ini, sebab bila bertanya kepada Tong Po-gou, pasti
jawabannya membingungkan dan akhirnya malah sama sekali tak jelas.
"Kau mencari dia?" seru Un Ji tiba tiba, "aaai, masalah yang dia timbulkan kali ini kelewat
serius, tanya saja kepada Pui Heng-sau. Tapi kau.... kau tidak apa apa bukan?"
"Bukankah aku telah muncul kembali dengan selamat?" jawab Cng Siau-sik sambil tertawa.
"Kau memang tidak menghadapi masalah, justru masalah yang kami hadapi luar biasa sekali." seru
Un Ji lagi. Tentu saja Cng Siau-sik tidak habis mengerti: delapan raja golok telah meninggalkan tempat itu,
Un Ji, Tong Po-gou, Thio Tan, Pui Heng-sau serta Cu Siau-yau bukanlah manusia biasa, setelah
dia masuk tadi, diluar pun tak terdengar suara pertempuran, apalagi ditengah hari siang bolong,
ditengah jalan raya pula, kejadian apa yang mungkin menimpa mereka?
Dengan penuh rasa dendam kata Pui Heng-sau:
"Sesudah kau masuk ke dalam, delapan raja golok ikut mengejar masuk, tapi kemudian mereka
mundur dengan wajah mengenaskan, kami percaya kau pasti berhasil mengungguli pertarungan ini,
karena tidak melihat kau muncul kembali, kami duga pasti ada sesuatu yang tak beres.
"Ketika akan masuk untuk melihat, delapan raja golok telah membentuk formasi golok untuk
menghadang didepan kami, melarang kami masuk, gara gara itu kami semakin yakin kalau didalam
sana pasti sudah terjadi sesuatu.
"Ketika masih saling ngotot, tiba tiba kami jumpai Pek jiko berada diatas wuwungan sambil
memberi tanda, saat itulah kami baru merasa lega."
Cng Siau-sik sadar, sahabat sahabatnya adalah sobat sejati yang sangat menaruh perhatian atas
keselamatannya, ia merasa sangat terharu, diam diam ia bersyukur karena kedatangannya ke
kotaraja kali ini tidak sia sia, paling tidak ia telah berkenalan dengan teman teman sejati.
Terdengar Tong Po-gou berseru kepada Pui Heng-sau dengan nada jengek:
"Huh, didengar dari penuturanmu itu, seakan kau sedang menempelkan emas diwajah sendiri, kalau
bukan gara gara ulahmu, mana mungkin setelah itu terjadi peristiwa macam begini?"
"Apa yang kemudian terjadi?" desak Cng Siau-sik.
\\~ Aaah, tidak apa apa, tidak apa apa." buru buru Pui Heng-sau menukas.
"Tidak apa apa kepalamu!" umpat Tong Po-gou gusar.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti sudah terjadi sesuatu......." desak Cng Siau-sik.
Akhirnya sambil tertawa paksa ujar Pui Heng-sau:
"Sebetulnya bukan urusan besar, hanya.... hanya saja Thio Lo-ngo....dia..... dia sudah
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara."
"Semua ini bukankah gara gara kau?" kembali Tong Po-gou berteriak keras.
"3enar," Un Ji menambahkan, "kau belajar tak lebih hanya satu buku, perpustakaanmu paling buku
sekeranjang, tapi teman yang kau susahkan cukup untuk membentuk satu perkampungan sendiri,
kau.... kaulah pembawa kesialan untuk teman sendiri......"
Pui Heng-sau yang pada waktu biasa suka berdebat, kali ini dibuat terbungkam dalam seribu
bahasa. Cng Siau-sik mengira Coa Keng yang menurunkan perintah untuk menangkap Thio Tan sebagai
sandera, cepat dia menukas:
"Kalau hanya ditangkap mah bukan masalah besar, paling mereka hendak menggunakan Thio Ngo-te
sebagai sandera." "Thio lo-ngo bukan lentera yang kehabisan minyak," bisik Pek Jau-hui, "mana mungkin mereka
membiarkan rekannya ditangkap tanpa melawan? Aku rasa dibalik kejadian ini pasti ada hal yang
tidak beres." Kemudian kepada Pui Heng-sau hardiknya:
\\ 1 Apa yang sebenarnya terjadi? Bisa tidak kalau bicara jangan sepotong sepotong?"
Il "Biar aku saja yang menjelaskan. kata Un Ji.
Tapi belum sempat dia bercerita, Tong Po-gou telah meluruk masuk sambil mengumpat:
"Pui Heng-sau kau si telur busuk yang tak tahu malu, ingin membaca buku bukanlah masalah aneh,
tapi jangan kau suruh Thio Tan mencuri buku, apalagi mencuri buku milik orang itu. Ini namanya
mencari penyakit buat diri sendiri. Padahal sudah kubilang, jangan sok berlagak jadi kutu buku,
coba lihat, kacau bukan sekarang?"
Setelah mengumbar perkataannya terakhir, Tong Po-gou bertanya kepada Cng Siau-sik:
"Betul bukan?" Untuk sesaat Cng Siau-sik hanya bisa berdiri tertegun, tak jelas, tak habis mengerti, akhirnya
dia hanya bertanya: "Apa yang sebenarnya sedang kau ucapkan?"
Kontan saja pertanyaan ini membangkitkan amarah Tong Po-gou, umpatnya:
"Jadi kau pun tuli? Sudah begitu banyak yang kukatakan, masa sepatah kata pun tidak kau
pahami?" II "Huhh, kalau begitu caramu menerangkan, siapa yang bakal mengerti. sela Un Ji cemberut.
"Kalau begitu biar kau saja yang menerangkan." usul Pek Jau-hui.
Un Ji tidak langsung bercerita, sebaliknya sambil tertawa menegur:
"Kenapa kau pun bisa muncul disini?"
Pek Jau-hui tertegun. "Tentu saja aku datang mencari loji."
"Kenapa aku tidak melihat kedatanganmu tadi?" kembali Un Ji bertanya sambil menatap wajahnya.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cng Siau-sik.
Terpaksa Pek Jau-hui berkata:
\\"| -adi, apa yang telah terjadi?"
"Terjadi apa?" Un Ji balik bertanya.
"Pelanggaran apa yang telah dilakukan Thio Tan? Kenapa sampai ditangkap orang?" tanya Pek
Jau-hui sabar. "Dasar copet, sejak dulu dia memang sukanya mencuri, itulah akibat dari ulahnya."
"Benda apa lagi yang telah dia curi?" tanya Cng Siau-sik dengan kening berkerut.
"Buku, kali ini buku yang dia curi." jawab Un Ji sambil cemberut.
"3uku? Buku apa yang dia curi? Masa buku pun dicuri?" Cng Siau-sik keheranan.
Dengan jari tangannya yang lembut Un Ci segera menuding ke arah Pui Seng-sau, serunya:
"Tanyakan saja langsung ke dia."
Pui Heng-sau berdiri disitu dengan ujung hidung hampir memutih, sepasang tangannya sebentar
dimasukkan ke dalam saku, sebentar dikeluarkan kembali, dia seperti ingin tertawa, namun tak
berani memperlihatkan tertawanya.
Bab ll. Perkataan si bekas telapak kaki.
Mendadak Pek Jau-hui menyentuh Cng Siau-sik dengan bahunya.
"Coba lihat!" bisiknya dengan suara dalam.
Mengikuti arah yang ditunjuk, Cng Siau-sik menjumpai dua bekas telapak kaki yang sangat dalam
membekas diatas lantai beralas batu granit, anehnya batu disekeliling bekas kaki itu tak ada
yang retak atau hancur, bekas kaki itu seolah hasil pahatan dari seorang pemahat yang ahli.
Tentu saja Cng Siau-sik pun tahu kalau bekas kaki itu bukan hasil pahatan.
Selama tinggal disana, belum pernah ia jumpai bekas kaki seperti itu.
Begitu menyaksikan bekas tersebut, paras mukanya langsung membeku kaku.
"Menurut pendapatmu?" kembali Pek Jau-hui bertanya.
"Betul betul sangat lihay." bisik Cng Siau-sik sambil menghembuskan napas dingin.
Padang Bulan 2 Si Penakluk Dewa Iblis Karya Lovely Dear Belahan Jiwa 3
^