Pencarian

Pedang Amarah 3

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An Bagian 3


"Jadi kesimpulanmu?"
"3egitu tiba disini, orang itu langsung memilih posisi ini, meski sepintas posisi itu tak ada
keistimewaan, padahal itulah posisi paling strategis yang ada diwilayah seputar sepuluh tombak
sekeliling sini, tak diragukan dia adalah seorang jago lihay. Menurut kau?"
"3ukan saja orang itu pandai memilih posisi strategis bahkan didampingi pembantu dengan ilmu
meringankan tubuh yang sangat hebat."
Cepat Cng Siau-sik berpaling, diapun menyaksikan sepasang bekas kaki yang tipis mengintil di
belakang bekas kaki yang membekas dipermukaan batu itu.
Padahal tempat itu adalah jalan raya yang banyak dilalui orang, bekas kaki tumpang tindih dan
susah dikenali, namun Cng Siau-sik dapat segera mengenali bekas kaki tersebut, hal ini
dikarenakan bekas kaki itu sudah membekas dalam dalam diatas batu keras itu.
Berbeda dengan sepasang lainnya, sepasang kaki itu sangat biasa, tiada yang aneh.
"Ehmm?" untuk sesaat Cng Siau-sik tak habis mengerti, kemudian dia pun menemukan sekuntum bunga
disisi kanan bekas kaki itu.
Sekuntum bunga kitiran yang kecil.
Bunga itu berasal dari sebuah pohon bunga yang tinggi dibalik dinding pagar, inilah musim bunga
kitiran berkembang, berapa dahan dan ranting tampak merambat keluar pagar melepaskan putik bunga
yang rontok terhembus angin.
"Sudah kau lihat kuntum bunga itu?" tanya Pek Jau-hui.
Cng Siau-sik mengangguk. "Bunga itu secara kebetulan terjatuh diatas bekas kaki, tapi bunga itu tak tampak rusak atau
remuk walau orang itu telah menginjak diatas bunga tersebut bahkan sempat berhenti berapa saat,
hal ini bukan saja menunjukkan kalau tenaga dalamnya sempurna, ilmu meringankan tubuh miliknya
pun hebat, aku rasa tidak berada dibawah kita semua."
"Mungkin tidak bunga itu baru rontok sesudah orang itu berjalan lewat?" tanya Cng Siau-sik
dengan perasaan terkesiap.
"Tidak mungkin," jawab Pek Jau-hui dengan kening berkerut, "sewaktu sepatu orang itu menginjak
diatas kuntum bunga itu, meski tidak merusak bunganya, tapi lumpur sepatunya telah menempel
diatas putih bunga, bayangkan saja, kalau dia tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar
biasa, siapa yang mampu meninggalkan lumpur sepatunya diatas bunga tanpa merusak bunga itu
sendiri ketika terinjak?"
Un Ji keheranan, mengikuti arah yang ditunjuk dia berpaling, namun tidak menemukan apa pun,
terpaksa tanyanya: "Apa yang sedang kalian saksikan?"
"Bekas kaki." jawab Pek Jau-hui.
"- Apa bagusnya bekas kaki?"
"Bukan saja indah dilihat, bahkan enak didengar." Pek Jau-hui menambahkan.
\\~ Apa? Bekas kaki pun pandai bicara?" tanya Un Ji semakin keheranan.
"Di dunia ini, angin, bunga, salju, rembulan, tumbuhan, hewan semuanya dapat bicara, hanya orang
yang berniat mendengarkan baru akan kedengaran."
Kuatir Un Ji merecoki lebih jauh, buru buru Pek Jau-hui bertanya kepada Pui Heng-sau:
"Buku apa yang telah dia curi?"
"Zun-hi-cip (Kumpulan kitab menelan ikan)" jawab Pui Heng-sau agak tersipu.
"Tun-hi-cip? Buku apaan itu?" tanya Pek Jau-hui lagi agak tertegun.
"Coh, sebuah kitab pusaka untuk meramal nasib orang, konon merupakan hasil karya Li Su-tiong
dari ahala Tong, menggunakan sepuluh batang langit dan dua belas cabang bumi sebagai patokan,
ditambah dengan tanggal, bulan, tahun dan jam lahir seseorang, bisa dilihat masa depan seseorang
termasuk jabatan apa yang bisa diperoleh dan bagaimana nasibnya dikemudian hari . . . . . . . . .."
Selesai mendengarkan uraian dari Cng Siau-sik ini, Pui Heng-sau segera menjulurkan lidahnya
sambil berkata: "Aku tidak paham dengan segala sumber buku itu, yang aku tahu pagi ini kami ramai ramai sedang
pergi ke sungai Bian-ho untuk memancing ikan........"
"Memancing ikan?" kontan alis mata Pek Jau-hui berkernyit, "begitu iseng kalian semua."
"Kami sedang bertanding," Pui Heng-sau menjelaskan, "Tong Po-gou besar tenaganya, dia mengajak
kami untuk beradu memikul batu cadas, Thio ?an besar takaran makannya, dia menantang kami untuk
adu makan, Un Ji pandai main tebak, dia menantang kami untuk adu tebak, sedang aku? Karena aku
mahir ilmu meringankan tubuh maka kutantang mereka untuk mendaki bukit. Akhirnya karena semua
pihak mengandalkan kelebihan masing masing dan tak ada yang mau mengalah, maka kami ajukan
permainan lain untuk menentukan siapa diantara kami yang paling unggul, yakni berlomba memancing
ikan." "Maksudmu?" "Lomba memancing bukan keahlian siapa pun, menang kalah tergantung nasib, bukankah bertanding
dengan cara ini paling adil?" Pui Heng-sau menjelaskan.
"Kalian memang benar benar iseng," kali ini Cng Siau-sik pun sependapat dengan rekannya, "terus,
siapa yang akhirnya menang?"
Pui Heng-sau menghela napas panjang.
"Aaai, gara gara lomba memancing, akhirnya yang terpancing adalah kepala Buddha."
"Coba kalau bukan gara gara kau, tak mungkin lomba memancing itu akan berakhir dengan bencana."
timbrung Un Ji. Cng Siau-sik tertawa, tanyanya kemudian:
"Aaah benar, lantas apa hubungannya memancing dengan buku?"
Sewaktu Cng Siau-sik mengajukan pertanyaan itu, dalam hati kecilnya Pek Jau-hui merasa sangat
kagum. Padahal baru saja Cng Siau-sik menerima sebuah tugas berat: membunuh Cukat sianseng, seorang
pejabat tinggi negara yang sedang naik daun.
Dengan ilmu silat yang dimiliki, membunuh orang bukanlah satu pekerjaan sulit, tapi sasaran yang
harus dibunuh adalah Cukat sianseng, seorang tokoh besar yang So Bong-seng sendiripun belum
tentu yakin akan berhasil, apalagi Pek Jau-hui belum pernah melihat Cng Siau-sik membunuh siapa
pun. Sekalipun pada akhirnya Cng Siau-sik berhasil membunuh Cukat sianseng, mungkinkah baginya untuk
meloloskan diri dari pengejaran empat opas, jago jago maha sakti itu?
Betul dunia sangat luas, tapi apakah sampai waktunya Po Tiong-su sekalian akan menepati janji
dengan memberikan perlindungan untuk pemuda itu? Satu tanda tanya besar yang sukar untuk
dijawab. Bila seseorang sudah terlibat masalah sebesar ini, kendatipun persoalan pada akhirnya berhasil
diselesaikan, bukan berarti selama hidup ia bisa hidup bebas merdeka, dan disinilah letak
permasalahan terbesar. Namun kini, sikap Cng Siau-sik begitu tenang, seakan tak pernah ada kejadian apapun, sikapnya
masih santai dan tenang. Untuk menilai apakah seseorang dikemudian hari bakal berhasil atau tidak, lihatlah sikapnya
disaat sedang menghadapi problem yang maha besar, bila ingin menilai apakah seseorang sanggup
memikul tanggung jawab besar, lihatnya caranya mengatasi persoalan kecil yang dihadapi.
Dari sikap maupun cara bertindak yang diperlihatkan Cng Siau-sik sekarang, Pek Jau-hui sadar
bahwa pemuda ini merupakan seorang tokoh langka yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan,
terlepas nantinya apakah ia berhasil melaksanakan tugas atau tidak.
Dalam pada itu Pui Heng-sau sedang mengomel:
"Ada hubungannya, besar sekali hubungannya. Si kerbau air paling tidak sabaran, dia bilang tidak
memancing juga tak masalah, aku dan si batu bara hitam tidak banyak usul, hanya Un Ji......."
"Un Ji, Un Ji, memang namaku boleh sembarangan disebut?" tukas Un Ji mendongkol, "memangnya aku
ini apa mu? Tak usah berlagak sok dekat denganku."
"Baik, baik," sahut Pui Heng-sau ketakutan, "nona Un berhasil mendapat seekor ikan, tapi anehnya
ikan itu hanya bermata satu, menurut nona Un, dahulu ia pernah makan ikan jenis ini, hanya tidak
tahu apa namanya, maka semua orangpun mengusulkan, siapa yang tahu terlebih dulu nama ikan
tersebut, dialah yang paling hebat."
"Mana bisa begitu," kembali Un Ji menimbrung, "akulah yang berhasil mendapat ikan itu, biar ada
yang tahu nama ikan itupun, paling dia hanya menempati urutan kedua."
"Kemudian apakah berhasil ditemukan nama ikan itu?" tanya Cng Siau-sik sambil tersenyum.
"Sampai sekarang belum diketahui namanya."
sahut Pui Heng-sau sambil menggeleng sedih.
"Paling juga sejenis ikan emas, padahal ikan itu lebih dikenal awam sebagai Pi-bok-hi, menurut
Lau Ciu-lim dari jaman Chin, ikan mas yang masih kecil terbagi kiri kanan dan masing masing
\\ hanya bermata satu, ikan itu selalu berenang berduaan, sebab kalau tidak mereka akan tersesat.
"Aaah. Pengetahuanmu benar benar hebat, nyaris sebanding dengan pengetahuanku." puji Pui
Heng-sau cepat. \\"'l -erima kasih, mana mungkin aku bisa menandingi kecerdasan Pui kongcu,
II kata Cng Siau-sik merendah, "tapi apa pula hubungan antara ikan mas dengan mencuri buku?"
"Aah, betul, hampir aku kelupaan," buru buru Pui Heng-sau menjelaskan, "waktu itu kami berapa
orang sedang membawa ikan itu menuju rumah makan Khong-ciok-lo, maksudnya akan suruh si koki
mengolahnya jadi hidangan lezat, tapi nona Un keberatan, padahal ikannya sudah mati, kalau tidak
dimasak malah sayang."
"Huuh, gara gara kalianlah ikanku jadi mati." teriak Un Ji uring uringan.
"Kali ini kami tidak menggubris protesnya," Pui Heng-sau melanjutkan ceritanya, "sementara kami
sedang berunding, tiba tiba muncul dua orang lelaki diatas loteng, sekilas pandang kami segera
tahu kalau mereka berilmu tinggi."
"Tunggu sebentar." tiba tiba Pek Jau-hui menukas.
"Ada apa?" "Kedua orang inikah yang kemudian menangkap Thio Tan?"
"3etul," sahut Pui Heng-sau melengak, "darimana kau bisa tahu?"
Melihat Pek Jau-hui sedang mengawasi bekas kaki dilantai sambil termenung, Cng Siau-sik pun
berkata: "Coba kau lukiskan raut wajah kedua orang itu."
Pui Heng-sau garuk garuk kepalanya yang tidak gatal, setelah merenung sejenak ia baru berkata:
"Mereka tidak ada yang istimewa, yang lelaki setengah umur berwajah sederhana, sebuah buli-buli
tergantung dipinggangnya, sedang yang lain memiliki lengan yang kasar dan kuat, wajahnya juga
biasa, tak ada sesuatu keistimewaan...... aaah betul, lelaki setengah umur itu membawa sebuah
buntalan kain." "Aaaah!" mendadak Pek Jau-hui berseru tertahan.
Cng Siau-sik tahu, saudaranya pasti sudah teringat akan seseorang, tapi ia tidak bertanya,
sebaliknya malah berseru agak tertegun:
"Membawa buntalan kain?"
"3etul," Pui Heng-sau mengangguk, "dalam buntalan itu terdapat sejilid buku, buku itulah kitab
Tun-hi-cip." "Aah, jadi gara gara judul kitab itu, kalian sangka ada hubungannya dengan masalah ikan?" kata
Cng Siau-sik seolah tersadar.
"Betul sekali, begitulah ceritanya."
"Bukankah kau bisa meminjam kepada mereka, kenapa harus mencuri?"
"Soal ini........." Pui Heng-sau agak tergagap, "sebenarnya akupun ingin meminjam, tapi nona Un
bilang......" "Ketika kudengar Siau-pui bilang ada kitab bernama Tun-hi-cip, aku langsung bilang: cepat kau
curi buku itu," sambung Un Ci cepat, "siapa tahu dalam kitab itu tercatat resep masakan ikan
yang lezat, dengan begitu kita bisa bawa pulang ikan itu ke markas Kim-hong-si-yu-lo dan
memasaknya sendiri."
"Maka si batu bara hitam pun mengajukan diri untuk melaksanakan tugas itu." lanjut Pui Heng-sau.
"Thio Tan memang pencuri ulung, bicara soal ilmu mencopet, dialah nomor wahid di kotaraja," kata
Cng Siau-sik, "hanya anehnya, bukankah kitab itu tersimpan dalam buntalannya? mana mungkin kau
bisa membaca tulisannya?"
II "Hahahaha, disinilah letak kehebatanku, seru Pui Heng-sau membanggakan diri, "aku memiliki
ketajaman mata melebihi siapa pun, dapat melihat lalat yang sedang terbang dalam kegelapan, jadi
meski kitab itu berada dibalik buntalan kain biru, dengan mengandalkan cahaya yang masuk, tidak
sulit bagiku untuk membaca judul kitab tersebut........"
Sambil tertawa penuh keyakinan dia menambahkan:
"Misalnya sekarang, aku dapat melihat kalau dalam saku sebelah kananmu terdapat tiga butir benda
keras semacam bebatuan, bukan begitu?"
II "Kagum, kagum...... Sementara Pek Jau-hui mendengus sambil menyindir:
"Punya mata yang tajam sayang tidak digunakan secara positip...."
Berubah paras muka Pui Heng-sau karena jengkel, tapi cepat Cng Siau-sik mengalihkan pokok
pembicaraan, ujarnya: "Coh, ternyata buku yang ada dalam buntalan orang itu berhasil kau baca dengan ketajaman matamu,
kemudian Thio Tan pergi mencuri kitab itu?"
Pui Heng-sau mengangguk. "Si batu arang pun berkata, sekarang tiba giliranku, maka dia pun maju menghampiri kedua orang
lelaki itu dan sengaja berkenalan dengan mereka........"
Tiba tiba terdengar Un Ji tertawa cekikikan.
"Ada apa kamu? Apa yang menggelikan?" tegur Cng Siau-sik.
"Aku jadi geli setiap kali membayangkan tingkah laku si batu arang saat itu."
"Bagaimana ceritanya?"
"Dia lari menghampir kedua orang itu lalu sambil menjura berkata: tempat ini sudah tak ada meja
lagi, boleh aku menumpang? Kedua orang itupun memberi sebuah tempat duduk. Lalu si arang hitam
memperkenalkan pelbagai hidangan lezat disitu sambil menanyakan nama mereka........"
Bercerita sampai disitu, kembali Un Ji tertawa cekikikan.
Untung Pui Heng-sau segera menyambung cerita itu:
"Lelaki itu bilang, aku dari marga Shang, sementara rekannya bilang aku dari marga Hee,
mendengar itu si arang hitam segera berkata sambil tertawa: "coba disini ada seorang bermarga
Ciu, maka semua nama marga kerjaaan kuno akan jadi komplit. Lelaki she-Hee itupun segera
bertanya sambil memberi hormat: boleh tahu siapa nama anda? Tahukah kau apa jawaban si arang
hitam?" "Apa yang dia katakan?" terpaksa Cng Siau-sik bertanya.
Sambil menahan rasa gelinya ujar Pui Heng-sau:
"Si arang hitam bilang begini: aku tak berani mengatakan, kuatir kalian akan tertawa geli. Orang
she-Shang itupun bertanya: apakah kau dari marga Ko? Tentu saja si arang hitam menggeleng. Kalau
begitu dari marga Huan? Tanya rekannya. Kembali si arang hitam menggeleng. Lantas kau dari marga
apa? Setelah didesak berulang kali, akhirnya si arang bilang dia dari marga Si."
II "Hahaha... pandai amat Thio Tan mempermainkan orang, seru Cng Siau-sik sambil tertawa geli,
"tentunya jawaban itu segera membuat orang jadi tak suka hati?"
Pui Heng-sau tertawa terbahak.
"Ternyata kedua orang itu mempunyai watak yang luar biasa, bukan saja tidak marah, mereka berdua
malah mengagumi kehebatan si arang hitam dan menghadiahkan arak untuknya."
"Kalau mereka berdua sudah bersabar, tidak seharusnya Thio ngo-ko melakukan perbuatan yang
II berlebihan. ucap Cng Siau-sik.
"Aku rasa kedua orang itu pasti menyimpan suatu rahasia," kata Pek Jau-hui setelah berpikir
sejenak, "dari tindak tanduk mereka, jelas kedua orang itu bukan manusia sembarangan."
"Waktu itu si arang hitam sudah terlanjur basah," Pui Heng-sau melanjutkan, "karena kami sudah
ada kesepakatan, jika si arang hitam gagal mencuri buku itu maka dia adalah anak kura kura,
terpaksa dia harus berusaha sampai berhasil...... pada saat itulah si kerbau air yang ada
dibawah loteng berteriak minta tolong."
"Kenapa?" tanya Pek Jau-hui keheranan.
"Betul, kenapa dia berteriak minta tolong?" tanya Cng Siau-sik pula.
"Itulah siasat yang telah direncanakan si arang hitam, dia minta si kerbau air berteriak minta
tolong, begitu kedua lelaki itu berpaling ke bawah loteng, Thio Tan segera mencuri kitab itu
lalu pura pura berpamitan dan kabur dari situ....... bagaimana pun, berteriak minta tolong toh
tidak melanggar hukum."
"Tapi mencuri barang merupakan pelanggaran besar." kata Cng Siau-sik sambil menghela napas.
"Sesungguhnya kami hanya berniat pinjam sebentar untuk kemudian dikembalikan lagi, siapa tahu
begitu buku itu dibuka, isinya bukan buku resep masakan, bahkan sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan ikan, udang atau kepiting. Meski judul kitab itu Tun-hi-cip."
"Lantas apa isi kitab itu?"
II "Hanya deretan nama nama manusia, deretan nama itu aneh sekali, entah apa kegunaannya. ujar Pui
Heng-sau uring uringan. "Celaka!" teriak Cng Siau-sik setelah mendengar sampai disitu.
"Aku curiga kitab itu ada yang tidak beres."
ujar Pek Jau-hui pula. "Paling tidak pasti berisi dokumen penting."
\\ I Aaai, bencana besar pun bakal terjadiw.." keluh Pek Jau-hui.
Bab L2. Pencoleng pencuri kitab.
"Bagaimana bentuk kitab itu?" dengan sangat hati hati Cng Siau-sik bertanya.
"Kitab itu dicetak di kota Hangciu, hurufnya besar dan jelas, tintanya terang, aku rasa kwalitas
cetakannya bagus." "Ehmm, jelas sekali ingatanmu..... tapi apa isi kitab itu?"
"Soal ini....." Pui Heng-sau menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "aku kurang begitu
perhatian..... karena menganggap kitab itu tak ada hubungannya dengan resep masakan, maka aku
segera kembalikan kepada Thio Tan yang langsung dimasukkan pula ke dalam saku, jadi kami tak
sempat melihat dengan seksama."
\\~ Aneh benar sastrawan ini," batin Ong Siau-sik, "masa isi buku tidak perhatian, covernya malah
dia hapal diluar kepala....."
Setelah termenung sejenak, tanyanya:


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemudian bagaimana ceritanya sampai Thio Tan ditangkap kedua orang itu?"
"Ketika selesai bersantap dirumah makan, sebenarnya kami ingin datang kemari, tapi Thio Tan
bilang mau kembalikan dulu buku itu, aku rasa dia ditangkap Beng Khong-khong sekalian ditengah
jalan. Kemudian muncul delapan raja golok yang menantangmu berduel hingga kau masuk ke
Jau-sik-cay, sebetulnya kami ingin membantu, tapi kemudian kulihat delapan raja golok mundur
satu per satu dengan wajah loyo, kami segera tahu kalau mereka sudah keok. Kamipun segera masuk
lewat pintu gerbang, tapi delapan raja golok melarang kami masuk, baru akan bertarung, saudara
Pek datang memberi tanda, maka kami pun menahan diri........"
Tiba tiba terdengar seseorang berteriak keras dari belakang mereka semua.
"Siapa?" bentak Pek Jau-hui.
Tampak seorang bertubuh kurus kecil melompat keluar dari balik sudut dinding, kepada Pek Jau-hui
dan Ong Siau-sik ujarnya sambil memberi hormat:
"Hamba menyumpai hu-locu dan sam-tangkeh."
Ternyata yang datang adalah Siau-mun-ou (si nyamuk kecil) Siong Ko-ji, orang ini bertampang
lincah dan cekatan tapi mukanya justru dingin seperti balok es.
"Mau apa kamu kemari?" Pui Heng-sau segera menegur.
"Pesan So kongcu, bila hu-locu tak ada urusan penting lagi, harap segera kembali ke markas
Hong-yu-lo di bukit Thian-swan-san, locu ada urusan penting hendak dirundingkan."
"Baik, aku segera akan kembali." jawab Pek Jau-hui sambil ulapkan tangannya.
Siang Ko-ji masih tetap tinggal ditempat, sama sekali tidak tinggalkan tempat itu.
"Masih ada urusan apa lagi?" tegur Pek Jau-hui dengan kening berkerut.
"Kata So kongcu, aku diminta tetap tinggal disini, kalau diperlukan harap kalian berdua memberi
perintah." Pek Cau-hui tidak menggubris orang itu lagi, sambil berpaling kearah Pui Heng-sau, katanya:
"Lanjutkan Ceritamu."
"Sampai dimana ceritaku tadi?" tanya Pui Heng-sau agak melengak.
"Kau bercerita sampai kedatangan si hitam besar dan si hitam kecil......" tak sabar Tong Po-gou
mengomel. "Cmong kosong," tukas Pui Heng-sau gusar, "apa itu si hitam besar? Tadi aku bercerita kalau
orang yang akan menangkap Thio Tan muncul disitu."
"?mml" Pek Jau-hui mendengus ketus, "kalau sudah tahu, buat apa pura pura bertanya kepada kami?"
Seketika Pui Heng-sau terbungkam.
Buru buru Cng Siau-sik mengalihkan pembicaraan, tanyanya:
"Apakah yang datang adalah kedua orang lelaki dari rumah makan Khong-ciok-lo?"
"Betul, memang mereka berdua, tanpa menimbulkan suara tahu tahu kedua orang itu sudah muncul
dibelakang kami. Lelaki itu segera menyapa: saudara Si, kita memang berjodoh, masa dalam sehari
sudah bertemu dua kali. Coba bayangkan apa jawaban si arang hitam? Dia malah bilang begini:
saudara Siang merasa haus? kami masih ada seorang teman lagi dari marga Liau."
"Thio Tan memang keterlaluan," tak tahan Cng Siau-sik menyela, "masa dia mencari gara gara
terus?" \\-I -ernyata kedua orang itu tidak marah,
Il ujar Pui Heng-sau lebih jauh, "tapi kelihatan agak
gelisah, orang she-Shang itu ingin mengumbar amarah tapi orang she-Hee berkata duluan sambil
memberi hormat: aku tahu, kalian pasti sobat sobat persilatan, kami tak ingin mengganggu
kesenangan kalian semua, tapi ada satu barang terpaksa harus kuminta balik dari saudara ini.
Sungguh aneh, ketika melihat munculnya kedua orang ini, delapan raja golok yang garang itu
seperti ular mencium bau belirang, kontan pada lemas dan tak ada yang berani tarik napas. Justru
Thio Tan yang bernyali, dia segera berkata: Ch jadi kau ingin minta balik buku itu? Sebetulnya
aku memang ingin mengembalikan kepadamu."
Ketika Pui Heng-sau bercerita sampai disini, tanpa terasa Cng Siau-sik dan Pek Jau-hui saling
bertukar pandangan sekejap.
"Jangan jangan mereka yang datang?" ujar Cng Siau-sik kemudian dengan suara berat.
"Kelihatannya memang mereka." Pek Jau-hui membenarkan.
"Mereka? Siapa mereka?" tanya Pui Heng-sau keheranan.
"Lanjutkan dulu ceritamu." kata Cng Siau-sik lembut.
Kembali Pui Heng-sau melanjutkan:
"Aku sudah tahu, siapa yang kalian tebak. Pada awalnya kamipun merasa keheranan, tapi orang
she-Shang itu bertanya juga sambil tertawa: "Jadi kau yang curi kitab itu?". Dijawab Thio Tan:
"Hush, siapa bilang mencuri, hanya meminjam." Kembali orang she-Shang itu berkata: "Mengambil
tanpa permisi, apa bedanya dengan mencuri."
\\-l -api Thio Tan kembali membantah: "Setelah diambil lalu dikembalikan, apa bedanya dengan
meminjam? Lagipula mencuri buku tak pernah dianggap sebagai pencuri."
"Tapi kau belum mengembalikan." Teriak orang she-Shang.
Thio Tan pun menuding ke arah delapan kura kura sambil berseru: "Mereka yang menghalangiku, jadi
jangan salahkan aku."
Crang she-shang itu kontan melotot kearah delapan orang itu, ditatap seperti itu, paras muka ke
delapan orang itu segera berubah jadi pucat kemerah merahan, tak seorangpun berani bersuara."
"Tentu saja mereka tak berani bersuara." Ujar Pek Jau-hui hambar.
Tampaknya Pui Heng-sau menaruh kesan tak simpatik terhadap Pek Jau-hui, dia tak gubris
perkataannya, malah ceritanya lebih jauh:
"Saat itulah orang she-Eee itu memandang sekejap kearah delapan orang itu seraya menegur:
"Benarkah ada kejadian seperti ini?"
Melihat kedelapan orang itu terbungkam, segera tanyanya kepada Thio Tan:
"Darimana kau bisa tahu kalau kami memiliki kitab tersebut?"
"Aku adalah seorang ahli, dalam sekilas pandang sudah mengetahui segalanya." Sahut Thio Tan.
"Kau ahli dibidang apa?" tanya orang she-Hee itu keheranan.
"Kali ini orang she-Shang itu yang mencegahnya sembari memutar pergelangan tangan, membuat
gerakan kotak: artinya dia adalah seorang pencopet ulung. Kontan saja orang she-Hee itu jadi
paham, kembali dia amati Thio Tan berapa saat, kemudian baru katanya:
"Aku lihat hengtai tidak anggap kami sebagai sobat, sudah jelas kau tidak bermarga Si."
"Melihat ketelitian orang, terpaksa Thio Tan mengaku:
"Aku dari marga Thio, aku mengaku salah karena telah mengambil barang milik kalian. Tapi ngomong
ngomong, darimana kalian bisa melacak sampai disini?"
"Crang she-Hee itu tersenyum, katanya sambil menuding lelaki bermarga Shang itu: "Selama ada
dia, siapa pun jangan harap bisa lolos....."
Mendengar sampai disini, Cng Siau-sik segera nyeletuk:
"Itu sudah pasti."
"3etul," sahut Pui Heng-sau, "waktu itu, secara lamat lamatpun aku teringat akan seseorang,
hanya untuk sesaat tak bisa mengingatnya.
"Crang she-Hee itupun berkata lagi: "Kalau begitu, jika cayhe tidak salah lihat, kau pastilah
raja nasi yang amat tersohor namanya diseantero jagad, saudara Thio Tan?"
"Kini, Thio Tan tak bisa pungkir lagi, terpaksa katanya: "Aku rasa kalian pun tidak bermarga
Shang dan Hee." "Hahaha, tentu saja tidak," jawab lelaki bermarga Hee itu sambil tertawa tergelak, "jadi hitung-
hitung, kita tak ada yang tertipu."
"Tampaknya orang she-Shang itu masih ingin mencari tahu soal kitab yang tercuri, katanya lagi: "
Jika kau memang Thio Tan, siapapun dikolong langit tahu kalau dia adalah seorang lelaki sejati
di kalangan pendekar, lalu kenapa kau curi kitab ku ini?"
"Dengan hati mendongkol sahut Thio Tan: "Siapa yang kesudian dengan sejilid kitab kecil? Aku
telah dipecundangi hanya gara gara urusan ikan. Hmm, coba bukan karena itu, biar kalian berikan
kepadaku pun, belum tentu akan kuterima."
"Sambil berkata dia pun mengembalikan kitab tersebut kepada mereka. Untuk berapa saat kedua
lelaki itu saling berpandangan dengan kebingungan, tapi akhirnya lelaki yang agak lembut itu
menerimanya kembali. "Saat itulah paras muka lelaki lainnya agak mengendor, tapi katanya kembali: "Saudara Thio,
terpaksa harus menyiksamu sejenak, karena urusan ini timbul gara gara ulahmu, tolong ikut kami
balik dulu ke kantor pengadilan, paling tidak kau harus meminta maaf."
Mendengar sampai disini, Pek Jau-hui segera mendengus dingin.
"Hmm, ternyata memang tak akan terselesaikan secara baik baik." Katanya.
"Huh, mereka memang kelewatan," teriak Tong Po-gou dari samping, "padahal siapa yang kesudian
dengan kitab kecil nya itu."
"Aku rasa bukan hanya sekedar buku kecil." Sela Cng Siau-sik sambil menghela napas.
"Apa katamu? Apa maksudmu?" tanya Tong Po-gou agak tertegun.
Pui Heng-sau segera menyela:
"Waktu itupun lo-Tong berkata begitu, katanya....... si nona, si kerbau gede serta aku sudah
siap turun tangan." Sesudah tarik napas, lanjutnya:
"Entah darimana datangnya insting, tiba tiba saja si batu arang mencegah niat kami, dia tanya:
"Boleh tahu apakah kalian berdua adalah.... adalah Thiat jiya serta Sui Sam-ya?". Lc-Iang yang
berada disampingku lagi lagi menimbrung: "Huh, jiya, samya, patya apaan...memang gampang ingin
menahan kami?", tapi kedua orang itu segera menjura seraya menjawab: "Betul sekali, aku adalah
Thiat Yu-hee, dia adalah sam sute ku, Jui Liok-siong."
"Apa? Jadi mereka adalah Thiat-jiu si tangan baja dan Tui-mia si pencabut nyawa?"
"Benar sekali, "Cu Siau-yau manggut-manggut, "mereka adalah orang kedua dan orang ke tiga dari
empat opas yang tersohor itu."
"3etul," kata Pui Heng-sau lagi, "begitu mendengar nama mereka berdua, aku turut tertegun,
selama hidup aku tak takut menghadapi siapa pun, tapi mereka berdua adalah anggota empat opas
yang selalu menegakkan keadilan, membantu kaum lemah dan menghajar kaum durjana, orang semacam
ini tidak seharusnya dimusuhi.
"Kelihatannya Thio Tan pun berpendapat sama, dengan sedih dia berkata: "Aku tidak tahu kalau
kalianlah yang kami jumpai, mohon maaf bila kami telah mengganggumu selama ini, baik, aku akan
turut kalian ke pengadilan."
"Waktu itu nona Un maupun Lo-tong sudah bersiap siap turun tangan, cepat aku berkata: "Kata Shen
II toako, kita tak boleh bermusuhan dengan empat opas yang tersohor.,
"Mendengar itu, si pengejar nyawa tertawa seraya menjura: "Terima kasih, terima kasih." Sedang
si Tangan baja berkata begini: "Kami hanya mengajaknya pergi sejernak dan segera akan hantar
Thio ngo-hiap balik kemari."
"Tentu saja kami semua percaya dengan perkataannya, waktu itu Un lihiap masih jengkel, sedang
Thio Tan segera mengomel sambil mendepakkan kakinya: "Jangan main kasar, begitu kita pakai
kungfu, kita semua benar benar akan melawan hukum."
"Maka dari itu, kami pun hanya bisa melotot sambil menyaksikan kedua opas itu menggiring Thio
Tan menuju pengadilan......"
Ketika berbicara sampai disini, diapun mengeluh:
"Aaai, semua ini gara gara ulahku, coba kalau tidak mencuri buku itu dari si batu arang hitam,
tak akan terjadi keruwetan seperti ini, berani berbuat harus berani bertanggung jawab,
selayaknya akulah yang pergi menghadap pengadilan."
Cng Siau-sik berpikir sejenak, ujarnya kemudian:
"Cika memang mereka berdua yang kalian jumpai, aku rasa kepergian Thio Tan tak akan menimbulkan
Il persoalan besar..... hanya saja.... mengenai kitab itu.......
\\o~ hmm, siapa yang berbuat, sudah sepantasnya dia yang menanggung resiko, mau salahkan siapa
II lagi..... sindir Pek Jau-hui ketus.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tegur Pui Heng-sau gusar.
"Dasar tolol, masa kau tidak paham?" timbrung Un Ji tiba tiba, "dia bilang, kalian berdua adalah
II telur busuk, jadi sudah sepantasnya masuk penjara....
"Kaulnlsulsnr, saking jengkelnya, Pui Heng-sau tak sanggup berkata kata.
Cng Siau-sik kembali berpaling kearah Pek Jau-hui, katanya:
"Kalau dilihat dari bekas telapak kaki yang tertera dipermukaan ubin, sudah jelas ini perbuatan
si tangan besi, mungkin saja sewaktu baru tiba disana, ia sudah waspada menghadapi serangan
lawan sehingga mengerahkan segenap kekuatan tubuhnya, mungkin lantaran kungfu bagian bawahnya
tidak stabil, terpaksa dia salurkan hawa murninya hingga timbul bekas kaki diatas lantai."
"Justru karena kungfu bagian bawahnya agak lemah, maka dia sengaja pamerkan kehebatan tenaga
dalamnya," jawab Pek Jau-hui, "setahuku, kungfu andalannya selama ini terletak pada sepasang
tangannya, dia memang termasuk tokoh yang susah dihadapi."
"Kalau begitu, menginjak putik bunga tanpa merusaknya pasti hasil perbuatan si pengejar nyawa."
"Benar, hanya ilmu meringankan tubuhnya yang bisa menginjak putik bunga tanpa merusaknya."
Pui Heng-sau segera mendengus setelah mendengar ucapan itu, dari mimik mukanya kentara sekali
kalau dia merasa tidak puas.
"Di markas masih ada urusan lain, aku harus segera kembali ke sana." Bisik Pek Jau-hui, "oya,
thaysu berpesan, kau harus lebih berhati hati dalam kontakmu dengan Liong pat thayya, sekali
pukul harus berhasil."
Cng Siau-sik manggut-manggut.
"Aku rasa harus pergi berkunjung ke pengadilan, harus kucarikan akal untuk membebaskan Thio
Tan." ll \\ "i "Gan lotoa mendapat perintah untuk menghentikan kasus ini, sela Cu siau-yau, -api dia datang
agak terlambat, kini dia sudah menyusul ke pengadilan. Menurutku, bukan masalah yang susah bagi
kekuatan Kim-hong-si-yu-lou untuk menjamin bebas seorang Thio Tan."
"Menjalankan perintah? Perintah siapa?"
"Begitu So loucu tahu kalau terjadi masalah disini, beliau segera mengutus kami untuk menyusul
kemari." Cu Siau-yau menjelaskan sambil tertawa.
Cng Siau-sik memandang Cu Siau-yau, Siong Koji serta Pek Jau-hui sekejap, kemudian katanya
sambil tertawa: "Hanya dalam waktu singkat sudah ada tiga rombongan yang tiba disini, ketajaman pendengaran dan
penglihatan So toako memang mengagumkan, bisa berkenalan dengan seorang toako macam dia, mau
bikin masalah pun jadi susah."
Pek Jau-hui tidak menanggapi, dia hanya menarik napas dalam dalam.
"Apakah jiko tak setuju?" tanya Cng Siau-sik.
"So toako memang orang tangguh, sayang musuh kita adalah Cukat sianseng."
"Jadi menurut jiko, So toako pun tak sanggup menandingi Cukat sianseng?" tanya Cng Siau-sik
keheranan. "Susah dibicarakan, tapi lebih baik kau berhati hati."
"Sebelum menghadapi Cukat sianseng, aku pasti akan melakukan satu hal."
"Apa?n "Pertama, mengundurkan diri dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou."
"Coh?" "Dengan begitu, semua sepak terjangku tak akan menyulitkan Kim-hong-si-yu-lou, bila gagal, itu
urusanku, tanggung jawabku seorang diri, sebaliknya jika berhasil, semua urusan lebih gampang
untuk diatur kembali."
"Soal ini......."
"Menurut pendapat jiko?"
"Ehmm...... masalahnya, hal ini akan menyiksa dan membuat kau menderita."
"Aah, perkataan macam apa itu, yang kubutuhkan hanya sebuah alasan, alasan yang menunjukkan
bahwa aku harus mundur dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou, segera akan kubuat surat
pengundurkan diri ini dan tolong kau bersedia menyerahkan kepada toako."
"Tentu saja hal seperti ini bukan masalah....... semua kekuatan yang kau butuhkan pun akan
kupersiapkan untukmu."
"Tinggalkan Cu Siau-yau...... lainnya, aku hanya butuh Tong Po-gou dan Pui Heng-sau. Aku rasa
mereka sudah lebih dari cukup."
"Hah....? masa mereka..... mereka dapat membantumu?"
"Mereka adalah orang baik, lagipula hubungan denganku sangat akrab, bicara soal ilmu silat,
dengan kehadiran Lu Siu-it, Yan Si-ji, Ku Thiat-sam dan Tio Hua-su, aku rasa sudah lebih dari
cukup. Apalagi bila kelewat banyak melibatkan anak buah perkumpulan Kim-hong-si-yu-hou, aku
kuatir perkumpulan kita bakal ikut terlibat dalam peristiwa ini."
"Benar juga perkataanmu itu........ Cuma, bukankah sampai sekarang hanya Tio Hua-su yang selalu
mengintil kita?" "Menginjak salju tanpa bekas Tio Hua-su sangat lihay ilmu ginkangnya, kemampuannya masih cukup
untuk menandingi si pengejar sukma, opas ke tiga."
"Kelihatannya thaysu masih menguatirkan kemampuan kita?"
"Ini urusan besar yang menyangkut mati hidup, memang tak salah bila bertindak lebih hati hati."
"Maka dari itu, lebih baik kau tak usah tampil didepan umum, khususnya ketika menolong Thio
Tan." "Sejak kapan kau tahu kalau dia sudah bersembunyi diatas wuwungan rumah?"
"Belum lama." "Aku pun baru tahu sekarang."
"Ilmu ginkangnya memang lihay."
"Kalau begitu, biar dia saja yang mengintil kita......"
Pembicaraan ini mereka lakukan dengan suara yang sangat lirih, tak mungkin orang lain akan
mendengar, tapi Un Ci merasa tak leluasa, kontan teriaknya:
"Hahaha, aku menemukan sebuah rahasia."
Seketika kedua orang itu berhenti bicara, dengan pandangan kurang bersahabat, Pek Jau-hui
melotot kearah gadis itu.
Dengan wajah berseri, kembali Un Ji berkata:
"Ternyata bukan Cuma cewek yang suka berbisik bisik, lelaki pun ada juga yang senangnya berkasak
kusuk." Setelah tertawa cekikikan, tambahnya:
"Sekarang pun aku sudah tahu, mau enghiong mau hohan, semuanya sama saja......."
Mendengar perkataan itu, dengan hati mendongkol Pek Jau-hui berseru kepada Cng Siau-sik:
"Aku pergi duluan."
Sebelum beranjak, imbuhnya setengah berbisik:
"Jika ingin tahu lebih banyak soal empat opas, tak ada salahnya berkunjung ke Wa-cu-keng. Ingat,
kalau bisa sabar, sabarlah. Urusan penting harus didahulukan."


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dia titahkan Siong koji untuk menunggu kabar dari Cng Siau-sik, sementara dia sendiri
langsung beranjak pergi. Melihat Pek Jau-hui langsung pergi tanpa pamit, kontan Un Ji cemberut, dengan wajah tak senang,
ia injak semut dilantai kuat kuat, seakan kalau bisa dia ingin menginjak mati semua semut yang
ada disitu. Cng Siau-sik hanya bisa menghela napas menyaksikan hal ini.
"Mau ke mana dia?" tanya Un Ji.
"Balik ke Hong-yu-lou."
"Apakah kita akan ke sana juga?"
"Sementara tidak. Aku rasa Gan sengcu dapat menyelesaikan masalah Thio Tan. Apakah kalian
bersedia ikut melakukan sesuatu?"
"Melakukan apa?" kali ini Pui Heng-sau yang bertanya.
"Urusan besar."
"Siapa saja yang ikut?" giliran Tong Po-gou yang bertanya.
"Aku." Cng Siau-sik menuding hidung sendiri.
"Bekerja sama dengan kau?" tanya Tong Po-gou lagi dengan lebih bersemangat.
"Pekerjaan semacam ini memang paling cocok bila dilakukan bersama......" kali ini Cng Siau-sik
tidak menyelesaikan perkataannya.
"Cepat beritahu padaku, pekerjaan apakah itu?" tanya Un Ji penuh semangat.
Bab L3. Kepercayaan. Cng Siau-sik hanya memberi satu jawaban.
"Sekali kalian bersedia ikut dalam pekerjaan ini, selamanya tak boleh mengundurkan diri, akupun
tak akan memaksa kalian harus ikut. Tapi jangan bertanya apa pekerjaan itu, karena akan
kujelaskan bila saatnya telah tiba."
Kemudian Cng Siau-sik menegaskan lagi:
"Apakah kalian mau ikut?"
"Aku ikut." Tong Po-gou menjawab nomor satu.
"Aku juga ikut." Sambung Pui Heng-sau, "semua orang begitu percaya kepadamu, kenapa aku tak
boleh ikut percaya?"
"Kalau ada permainan yang menarik semacam ini, masa aku musti ketinggalan?" seru Un Ji pula
senyum tak senyum, "sekalipun aku tidak percaya dengan setan murung itu, masa tidak percaya
dengan kau si batu kerikil?"
Maka mereka pun menyatakan ikut.
Terlepas apa pun yang akan dilakukan Cng Siau-sik, mereka tetap akan mengikutinya.
Kenapa begitu? Alasannya Cuma satu: karena mereka percaya.
Percaya: adalah semacam dukungan, bisa disebut juga satu pengharapan, tanpa dia, orang akan
hidup kesepian, dengan kehadirannya, orang akan semakin percaya diri. Bila tumbuh ditubuh
seseorang, maka perangainya akan semakin tampak cemerlang; bila dia lenyap dari tubuhmu, maka
orang itu akan tampil cacad.
Mereka mempercayai Cng Siau-sik, karena itu tanpa berpikir panjang mengikuti jejaknya.
Tapi, benarkah pekerjaan yang akan dilakukan Cng Siau-sik cukup berharga bagi mereka untuk
mempercayainya? Bila Cng Siau-sik kehilangan kepercayaan dihadapan mereka, apa pula yang akan dipikirkan teman
temannya ini? Yang akan dilakukan Cng Siau-sik adalah membunuh Cukat sianseng.
Sebelum melakukan pembunuhan ini, dia perlu konsolidasi, perlu menghimpun kekuatan pendukung.
Langkah pertama yang harus dia lakukan adalah mundur dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou.
Terlepas usaha Cng Siau-sik ini berhasil atau gagal, Cukat sianseng hidup atau mati, semuanya
tak berhubungan dengan So Bong-seng, tak berhubungan dengan Pek Jau-hui, sudah barang tentu tak
ada alasan untuk melibatkan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou.
Tentu saja, jika usaha pembunuhan itu berhasil, bicara soal pahala, yang mendapat banyak
keuntungan pastilah perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou.
Karena itu, pekerjaan pertama yang akan dilakukan Cng Siau-sik adalah mengirim surat untuk So
Bong-seng. Isi surat: mengundurkan diri dari Kim-hong-si-yu-lou.
Tapi untuk mengundurkan diri, harus dilandasi dengan alasan yang kuat.
Bila seseorang berniat untuk "menghianati" atasannya, "Tidak puas" selalu merupakan alasan yang
paling kuat. Dia tidak puas terhadap So Bong-seng, merasa dirinya tidak pantas hanya menjabat sebagai
"Sam-tang-ke", tuan muda ke tiga.
Dia tidak puas dengan pimpinan So Bong-seng dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou, dia tidak
setuju akan dukungannya terhadap kelompok Cukat sianseng, walaupun hanya secara diam diam.
Diapun tidak puas kenapa Un Ji karena hanya senang menggoda dan mengusiknya, sementara terhadap
Pek Jau-hui justru tumbuh benih cinta: "Tidak puas" adalah alasannya.
Cng Siau-sik merasa semua alasannya sangat masuk diakal, paling tidak dapat mengelabuhi banyak
orang,. Disaat goresan penanya mulai menghiasai halaman kertas, satu ingatan lagi-lagi melintas dalam
benak Cng Siau-sik: sesungguhnya, pernahkah dia benar-benar berpikir begitu?
Tinta diatas kertas belum lagi mengering, tapi pena ditangannya tak pernah bergerak lagi, dia
seolah termangu, tertegun oleh ingatan tersebut.
Co0oo Kabut salju semakin menebal diluar jendela, tampaknya dalam satu dua hari ini bakal turun hujan
salju lebat. Salju semacam ini, biasanya susah berhenti, paling tidak, tak akan buyar dan hilang dalam waktu
singkat, khususnya dalam udara dan suasana seperti ini.
"Mungkinkah aku pernah berpikir begitu? Kalau tidak, mengapa kucantumkan sikap Un Ji sebagai
alasanku ke tiga? Aaai, seandainya benar benar begini, aku memang seorang manusia rendah yang
tak tahu malu, aku malu terhadap Pek jiko........"
Cng Siau-sik merasa masgul, pikiran dan perasaan hatinya gundah.
\\-I -ampaknya, musim dingin kali ini bakal panjang...... musim dingin yang sangat membekukan
udara....... tapi Un Ji, dia adalah gadis yang takut dingin........."
Dalam waktu yang teramat singkat, tinta diujung pena nya mulai membeku.
Kembali Cng Siau-sik menggosok tinta bak, menyelesaikan suratnya, kemudian diserahkan kepada
Siong Koji agar disampaikan kepada So Bong-seng, dia percaya dan yakin, saat itu Pek Jau-hui
pasti sudah melaporkan semua permasalahan secara terperinci kepada So toako.
Seusai menulis surat, Cng Siau-sik mulai membenahi meja dalam ruang Jau-sik-cay lalu menutup
pintu ruangan. Un Ji, Pui Heng-sau, Tong Po-gou seperti yang lalu, sedang berkumpul dibawah panggung sandiwara
diujung gang Wa-cu-keng, mereka sudah bersiap sedia melaksanakan satu pekerjaan besar, satu
pekerjaan besar yang bakal menggoncangkan kotaraja, satu pekerjaan yang akan menggetarkan
kerajaan. "Sudahkah toako menerima suratku? Mungkinkah hari ini bakal turun hujan salju.......? apa
perintahnya yang pertama? Sewaktu ia membuka suratku, membacanya dibawah lentera, bagaimana
perasaan hatinya saat itu......?"
Co0oo Ketika Pek Jau-hui menerima surat itu dari tangan Siong Koji, sampul surat tidak tertutup.
Pek Jau-hui membuka sampul surat itu, lalu baru berkata:
"Cukup, kau boleh pergi sekarang."
Siong Koji keheranan, tapi ia tak berani bertanya. Saat ini dia mempunyai satu perasaan aneh.
Dia merasa Pek Jau-hui sedang tertawa, sekalipun tiada senyuman diwajahnya.
Biarpun tiada senyuman yang menghiasi bibirnya, tapi dia yakin, dalam hati kecil orang itu pasti
sedang tertawa, mengapa ia tidak memperlihatkan senyuman itu diwajahnya?
Yang lebih aneh lagi, ketika membayangkan hal ini, tiba tiba saja Siong koji merasa mengkirik,
bergidik, berdiri semua bulu kuduknya.
Dia sendiripun tak habis mengerti, mengapa perasaan semacam ini bisa muncul dihatinya, sebuah
firasat jelek..... Co0oo Sebelum berangkat ke gang Wa-cu-keng, Cng Siau-sik memutuskan untuk berkunjung ke suatu tempat
terlebih dulu. Dia langsung menuju penjara di Tay-li-sie, menengok dan mencari tahu keselamatan Thio Tan.
Menurut pandangan Cng Siau-sik, tertangkapnya Thio Tan bisa menjadi masalah besar, bisa juga
jadi masalah kecil, yang pasti buku yang berhasil dicuri Thio Tan secara tak sengaja pasti
mengandung sebuah rahasia besar.
Dalam pergaulannya belakangan ini, Cng Siau-sik sudah terikat menjadi saudara sehidup semati
dengan Tong Po-gou yang suka mencari perhatian dan pahala serta Thio Tan yang sering cari
masalah tapi bernyali kecil.
Kini, saudara angkat mendapat musibah, bagaimana mungkin dia hanya berpangku tangan saja?
Apalagi membantu saudara merupakan prinsip dari orang persilatan.
Cng Siau-sik pandai menulis sajak, ilmu silatnya tinggi, ilmu pedangnya hebat, ilmu golok pun
terhitung kelas satu, dia boleh disebut bun-bu-coan-cay, menguasahi bun (sastra) maupun bu (ilmu
silat). Namun bagi seorang persilatan, apapun pekerjaan dan kelebihannya, semua itu hanya merupakan
pekerjaan sampingan, sebab bagi mereka, pekerjaan yang menempel sepanjang hidup adalah bagaimana
menjadi seorang manusia sejati.
Jadi manusia sejati adalah pekerjaan utama, bagi Cng Siau-sik, menjadi manusia kangou sejati
adalah pekerjaan sejatinya.
Maka ia putuskan untuk menengok Thio Tan.
Seringkali perubahan penting yang terjadi dalam kehidupan manusia hanya dikarenakan keputusan
sesaat, seperti waktu berada di rumah makan Hong-hok-lou, hanya dikarenakan memandang berapa
kejap, diapun berkenalan dengan Pek Jau-hui.
Begitu juga ketika pertama kali bermusuhan dengan kelompok Lak-hun-poan-tong, itupun dikarenakan
dia memandang berapa kejap kearah Lui Tun lalu terjadilah bentrokan dengan Mi-thian-jit-seng.
Kemudian dikarenakan harus berteduh dari hujan badai di rumah terbengkalai Ku-sui-pu, dia malah
menolong So Bong-seng lalu jadi sam-tangke dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou.
Bagaimana dengan kali ini? Siapa tahu.
Siapapun tak tahu, aliran kehidupan akan mengangkut manusia menuju ke mana. Mungkin saja
kehadiran dari suatu kehidupan adalah menyuruh manusia untuk terus melakukan pekerjaan dan
perbuatan yang tak bisa ia kendalikan.
Mungkin saja kehidupan manusia hanya menciptakan kesulitan bagi diri sendiri, atau menciptakan
kesulitan untuk orang lain. Tanpa kesulitan, bukan manusia namanya.
Jika kau mengubah setiap "kesulitan" menjadi satu "kegembiraan", maka hidupmu akan jauh lebih
ringan, karena setiap kesenangan yang kau raih, harus dibayar dengan suatu harga.
Terkadang, harga yang harus dibayar kelewat besar, kelewat mahal. Sama seperti barang barang
berharga yang kelewat mahal harganya, yang membuat orang berat untuk membelinya.
Begitu pula dengan kesenangan.
Masih untung, kegembiraan yang sesungguhnya justru sulit dibeli dengan harga mahal, karena ia
hanya bisa diperoleh dalam dasar hatimu.
Hanya saja, bagaimana membebaskan kesenangan yang terperangkap didasar hati pun merupakan satu
ilmu pengetahuan yang sangat mendalam, mula mula kau harus tahu diri, kemudian baru
menyimpannya. Gampang menumpuk harta, sulit peroleh kesenangan. So Bong-seng terhitung orang yang selamanya
tak pernah gembira. Mimik muka serta tingkah lakunya selalu murung dan gelap, ditambah ia penyakitan, maka sorot
matanya ibarat dua buah api setan yang sedang berkedip.
Badannya yang semakin kurus belakangan, membuat sorot mata itu tambah hijau dan menakutkan.
Semenjak kehilangan kakinya, semangat dan wajahnya semakin murung dan tak sehat.
Kini, selapis perasaan tak senang menghiasi wajah serta sorot matanya.
Kecuali hal tersebut, Pek Jau-hui tak menemukan keanehan lain diwajah toakonya ini.
So Bong-seng baru selesai membaca surat. Surat dari Ong Siau-sik.
Kini, dia telah meletakkan surat itu diatas lutut, sorot matanya yang merah kehijauan sedang
menatap keluar jendela. Ketika selesai membaca surat ini, dia seakan sangat lelah, seakan usianya bertambah sepuluh
tahun secara tiba tiba. Ia duduk disebuah bangku kayu yang tinggi besar dan berbentuk aneh, bangku ini memang dibuat
dari sebatang kayu utuh. Setiap kayu berbentuk tegak lurus, ia bisa bersandar maupun berbaring, tapi jelas bukan sebuah
bangku yang nyaman. Sejak dikota Kay-hong, kekuasaan So Bong-seng telah menghantarnya untuk menempati bangku
pertama, tapi mengapa dia justru duduk dibangku aneh yang tak nyaman?
So Bong-seng memang sengaja memilih bangku itu, agar dia selalu merasa tidak terlalu nyaman,
agar dia selalu meningkatkan kewaspadaan, untuk berjuang lebih maju.
Pek Jau-hui melirik sekejap kearah lelaki yang kesepian dan sebatang kara itu, tiba tiba
pelbagai perasaan berkecamuk dihatinya. Salah satu perasaannya adalah: andai dia yang menduduki
kursi tersebut, apa pula yang bakal dia bayangkan?
"Bila air telaga mulai meluap, suatu hari sang air pasti akan meluber hingga ke daratan."
Pelan-pelan So Bong-seng berkata, setelah berhenti sejenak, tiba tiba ia menambahkan, "apa yang
sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, mengapa samte harus berbuat begitu?" jawab Pek Jau-hui tanpa berubah air
mukanya. So Bong-seng menghela napas panjang.
II "Mungkin saja dia memang berpikir begitu, hawa dingin semakin memancar dari balik matanya,
"setiap manusia pasti ingin melakukan pekerjaan yang dia inginkan."
"Terkadang orang pun bisa melakukan pekerjaan yang sebetulnya tidak dia inginkan, mungkinkah dia
dipaksa orang?" Pek Jau-hui tertunduk sedih, sahutnya:
"Dia tunduk pada Coa Keng, thaysu paling berpengaruh dikolong langit saat ini, tentu saja ia tak
senang bila kita mendukung Cukat sianseng, aku betul betul tak habis mengerti, seharusnya
Siau-sik bukan manusia semacam ini."
Tiba tiba So Bong-seng mulai mengurut dada kirinya, paras muka orang itu berubah jadi pucat
keabuan, sepasang alis matanya berkerut kencang.
Kini Pek Cau-hui baru sadar, ternyata dalam setengah tahun belakangan, alis mata So Bong-seng
sudah banyak yang rontok, rambut pun mulai menipis dan menjadi botak.
Sampai lama sekali So Bong-seng baru batuk, tampaknya dia seolah hendak menggunakan batuknya
untuk muntahkan semua kemasgulannya.
Setelah itu, dia baru bertanya perlahan:
"Jadi loji sama sekali tidak memberi penjelasan apa pun?"
Untuk kesekian kalinya Pek Jau-hui hanya menghela napas panjang, tidak menjawab.
So Bong-seng tidak bicara lagi, dia hanya mengamati bunga salju diluar jendela, tubuhnya seakan
telah berubah jadi pohon kering ditepi telaga, pohon yang berdiri kaku sepanjang musim dingin.
Co0oo Baru saja Cng Siau-sik tiba di penjara Tay-li-sie, Gan Hok-huat telah menariknya dengan wajah
cemas dan panik. Melihat mimik muka itu, Cng Siau-sik langsung bertanya:
"Masalah apa yang telah terjadi?"
Diantara jagoan tangguh yang bekerja di kotaraja, Gan Hok-huat termasuk jagoan yang berusia
lanjut, dia merupakan toa-sengcu dari Mi-thian-jit-seng, dan sejak persekutuan tujuh rasul
hancur berantakan, dia pun bergabung dengan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou dan menikmati
kekuasaan yang sama seperti dulu.
Hampir semua umat persilatan menaruh hormat kepadanya, begitu pula dengan rekan rekan
pemerintahan, hampir semuanya memberi muka kepada orang tua ini.
Ditinjau dari kepandaiannya bergaul, pengetahuannya yang luas dan sepak terjangnya yang jeli,
hampir tak ada persoalan yang menyulitkan Gan Hok-huat, tak heran kalau kali ini Ong Siau-sik
dibuat terperana, keheranan.
"Setelah masuk ke dalam penjara, seharusnya saudara Thio bakal merasakan banyak siksaan, tapi
sudah kucegah, hanya saja mereka tak berani membebaskan dirinya, "dengan perasaan apa boleh buat
Gan Hok-huat menjelaskan, "karena dia adalah buronan yang ditangkap empat opas, tak seorangpun
berani tanggung jawab, tak seorang pun berani melerai."
II "Wah, hebat betul empat opas itu, seru Cng Siau-sik dengan kening berkerut, "padahal kesalahan
yang dilakukan Thio Tan tidak terhitung pelanggaran besar, kalau sampai dia tetap disiksa, pada
hakekatnya mereka tidak pandang sebelah mata pun terhadap Kim-hong-si-yu-lou, opas mana yang
bertugas saat ini?" "Thiat jiya dan Jui samya tidak ambil peduli lagi dengan masalah tersebut begitu mereka
membawanya kemari, "Gan Hok-huat menjelaskan, "sekarang Leng suya yang menangani kasus ini,
orang ini bermuka dingin tak kenal saudara, dia tak bakal memberi muka kepada siapa pun."
"Leng suya? Si darah dingin?" tanya Cng Siau-sik mendongkol.
"Tentu saja dia."
Bila sudah bertemu empat opas, biarpun kau mempunyai nama dan kedudukan yang tinggi pun, sama
sekali tak ada gunanya. Cng Siau-sik mendengus. "Hmm, aku ingin menyambangi jagoan nomor wahid yang telah menggetarkan sungai telaga ini."
Katanya. "Sekarang dia belum tiba, Thio Tan masih meringkuk dalam penjara."
Cng Siau-sik sangsi sejenak, kemudian katanya:
"Aku harus menjumpai Thio Tan."
"Itu mah bukan masalah."
Sejak awal Gan Hok-huat sudah menghubungi petugas bui, hampir semua pejabat tinggi penjara
kerajaan memberi muka kepada Gan Hok-huat. Tak heran kalau Cng Siau-sik segera dapat bertemu
dengan Thio Tan. Sebetulnya Gan Hok-huat mau ikut masuk, tapi Cng Siau-sik tahu kalau takaran makan Thio Tan luar
biasa, setelah dijebloskan kedalam penjara, dia pasti kelaparan, maka ia minta Gan Hok-huat
untuk menyiapkan hidangan.
Setelah menitahkan Gan Hok-huat pergi, Cng Siau-sik baru masuk kedalam penjara.
Kali ini adalah kali pertama dia memasuki sebuah penjara, penjara negara.
Kau pernah masuk bui? Kalau pernah, maka bisa kau bayangkan dunia macam apakah penjara itu.
Tempat tersebut bukan kehidupan manusia, tempat itu hanya berisikan orang orang yang kehilangan
kebebasan, orang orang putus asa, putus harapan.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuman penyakit memenuhi setiap sudut udara dan berkembang terus, ada pesakitan yang masuk bui
karena difitnah orang, ada pula yang masuk bui tanpa pernah diperiksa kesalahannya, dijebloskan
begitu saja tanpa batas waktu tertentu.
Banyak diantara mereka mulai layu, mulai lemah, makin beringas, semakin brutal.
Sejak terjun ke dalam dunia persilatan, banyak ragam jago yang dijumpai Cng Siau-sik, ada pula
jago jago bekas narapidana, tapi belum pernah ia saksikan dengan mata kepala sendiri siksaan dan
penderitaan penghuni penjara.
Dia bersumpah tak akan membiarkan sahabat karibnya terjerumus dalam penjara.
Apalagi dia adalah seorang lelaki sejati, terlebih kesalahan yang dilakukan Thio Tan bukanlah
dosa besar..... Bab L4. Setelah berada disini, kau boleh mati.
Ketika Gan Hok-huat muncul membawa hidangan, Cng Siau-sik sudah cukup lama berbincang dengan
Thio Tan. Begitu melihat kemunculan orang tua itu, sang pemuda segera berseru:
\\"l -idak bisa, aku tak bisa membiarkan Thio lo-ngo tersiksa ditempat ini."
II "Mustahil bisa segera dibebaskan, ujar Gan Hok-huat setelah tertegun, "paling tidak ia harus
tinggal tiga lima hari disini, tak mungkin secepat itu empat opas melepaskan orang."
"Aku dengar Thio ngo-ko pernah memcoba menggerakkan teman teman persilatan untuk kabur dari
penjara, jika membiarkan dia tetap tinggal disini dan rencana itu sampai ketahuan pihak sipir
bui hingga ia dijatuhi dua tuduhan sekaligus, urusan bisa berabe."
"Wah, soal ini........." Gan Hok-huat berkerut kening.
Belum selesai dia bicara, seseorang dengan suara lebih dingin dari es telah menimbrung:
"Apa itu soal ini soal itu, hmm, mencuri buku orang didepan umum sudah merupakan satu tindak
kriminal, masa kriminal semacam ini bisa dibebaskan tanpa diadili?"
Yang berbicara adalah seorang anak muda tampan, tapi wajahnya dingin dan kaku seperti ukiran
batu cadas, bukan saja mendatangkan perasaan seram, bahkan menggidikkan hati.
Sebilah pedang tersoren dipinggangnya, pedang tanpa sarung yang tipis, sempit dan tajam, sepatu
kainnya indah, tubuhnya tegap bagai tombak, ia memiliki sepasang biji mata yang hangat tapi
menggidikkan. Petugas bui yang berdiri disisinya cepat memperkenalkan:
"Dia adalah Leng suya, opas ke empat. Dan Leng-ya, dia... dia adalah Gan Hok-huat, kakek Gan
yang termashur di kalangan persilatan kota Kay-hong..... sedangkan yang satu...... yang satu itu
adalah......" Biarpun dia bermaksud memperkenalkan masing masing pihak, sayang walau sudah gelagapan setengah
harian, namun ia tak sanggup meneruskan perkataannya.
Cng Siau-sik sendiripun merasakan sesuatu yang aneh begitu bertemu orang ini, dia yakin pada
akhirnya pasti akan bertempur melawan orang ini dan dia percaya dalam waktu sesaat, orang itupun
mempunyai perasaan yang sama.
"Cng Siau-sik?" sapa Leng-hiat sambil mengernyitkan dahi.
"Cpas Leng." Balas Cng Siau-sik.
Berkilat sepasang mata Leng-hiat.
"Konon di Jau-sik-cay yang ada di kota Bian-liang-shia terdapat seorang jago Bun-bu-coan-cay
yang telah bergabung dengan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou, dan tiga hari kemudian berhasil
memporak porandakan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kau kah orang yang dimaksud?"
Cng Siau-sik tertawa. "Cpas Leng dengan mengandalkan sebilah pedang, berhasil bikin ciut hati kaum durjana di muka
bumi, perbuatanku yang tak seberapa itu tidak terhitung apa apa dihadapanmu. Aku hanya minta
Leng-ya sudi bermurah hati kepada saudaraku itu, bagaimana pun saudara Thio terhitung juga
seorang jago tenar dikalangan dunia persilatan, memang benar dia sudah terpeleset hingga harus
mendekam disini, tapi aku kuatir dia bisa sakit ditempat seperti ini hingga susah ditangani.
Bagaimana kalau memandang diwajah Kim-hong-si-yu-lou serta diriku, dia dibebaskan dengan
jaminan? Aku bersedia menjaminkan kepala ku, sampai saat diadili, akupun jamin dia pasti hadir
di persidangan. Entah bagaimana pendapat opas Leng?"
"Kau minta aku membebaskan dia karena kepentingan pribadi?" Leng-hiat menegaskan.
Dari nada bicaranya, Cng Siau-sik sadar kalau harapannya tipis. Diapun memperdalam nada
suaranya: "Padahal urusan ini hanya masalah sepele, aku rasa saudara Thio tidak melakukan pelanggaran
besar, apa salahnya kalau aku minta kemurahan hati Leng-ya untuk membebaskannya?"
Leng-hiat mendengus. "Aku bukannya mempersulit dirimu, coba tanya kepada sobat mu itu, barang milik siapa yang dia
curi?" "Saat kejadian, dia tidak tahu kalau mereka adalah tuan opas, jadi sama sekali tak berniat
mencari gara gara dengan petugas hukum." Cng Siau-sik terpaksa menahan sabar.
"Tahukah kau, buku apa yang dia curi?" ujar Leng-hiat lagi.
Padahal Cng Siau-sik sendiripun tidak tahu, dia hanya ingin menggunakan pembicaraan tersebut
untuk mencari penjelasan.
Siapa sangka Thio Tan langsung naik darah, teriaknya:
"Kitab yang kucuri adalah kitab Soh-li-keng milik kakek kaisar yang tersimpan dalam perpustakaan
pribadinya, terus kenapa? Memang perbuatanku ini harus diganjar dengan hukuman mati?"
Begitu Thio Tan mulai mengumpat habis-habisan, Cng Siau-sik jadi terbungkam dan tak bisa
mengendalikan lagi rekannya, sementara Gan Hok-huat jadi panik, saking cemasnya dia sampai
menghentakkan kakinya berulang kali.
"Hmm, sudah kau dengar?" tegur Leng-hiat dingin.
Mau tak mau Cng Siau-sik terpaksa harus merendah, serunya:
"Dia sinting, tidak waras, otaknya tidak beres, jangan kau masukkan dihati ucapannya."
Tapi Thio Tan yang berada dibalik jeriji penjara kembali berkoar koar:
"Siapa bilang aku sinting? Aku sehat, telinga ku tidak penyakitan, huhhh... katanya disini
kedatangan empat opas yang menegakkan keadilan, cuuh! Aku lihat tak lebih hanya kulit kerbau
yang sedang ditiup kencang."
"UU nmm, kalau kulaporkan semua ucapannya ke atasan, hukuman dia bukan hanya penggal kepala."
kembali Leng-hiat mengingatkan.
"Sabar Leng tayjin, sabar, dia hanya emosi sesaat."
"Aku tak dapat mengambil keputusan."
"Kalau begitu, tak usah kau laporkan ke atasanmu."
Leng hiat memandang sekejap gagang pedang melengkung yang tersoren dipunggungnya, kemudian
katanya: "Kecuali kau bersedia membiarkan aku menjajal pedangmu."
"Aah, pedangku ini hanya perhiasan, untuk gagah-gagahan saja, aku takut dirampok, apa lacur
nyaliku kecil, jadi seringkali kupakai pedang ini untuk menggertak kaum kurcaci, mana berani aku
pamer kejelekan dihadapan Leng suya, jago pedang termashur."
Leng-hiat menunggu sampai ia menyelesaikan perkataannya, kemudian baru berkata lagi:
"Aku dengar pedangmu bisa juga dipakai sebagai golok?"
"Tapi aku tak lebih hanya seorang manusia yang gagal belajar golok dan tak becus memainkan
pedang." Seru Cng Siau-sik tertawa getir.
"Cabut pedangmu!"
"Apa?" "Cabut pedang atau golokmu itu, mari kita bertarung satu babak, asal kau unggul, buronan ini
silahkan kau bawa pergi."
Cng Siau-sik sadar, "kalau tak bisa menahan sabar, urusan besar bakal berantakan", maka serunya
lagi: "Aku bukan tandinganmu, main senjata hanya akan membuat malu diriku sendiri."
"Kau tak perlu merendah, mau kau cabut atau tidak pedangmu, aku tetap akan melancarkan
serangan." Perkataan Leng-hiat sangat datar, namun membawa nada angkuh dan dingin yang tak
terlukis dengan perkataan.
"Atau begini saja, bila dalam tiga jurus aku gagal melukaimu atau mengalahkan dirimu atau gagal
memaksamu mencabut senjata, kau boleh bawa pergi orang ini dari sini. Bagaimana?"
Tergerak hati Cng Siau-sik mendengar tawaran itu, tapi serunya lagi:
"Aku tak berani menerima tawaranmu itu, suya adalah petugas hukum negara ini, sementara aku
hanya seorang rakyat kecil, bila Leng-ya sampai melontarkan tuduhan kepadaku, bukankah aku pun
akan terseret dalam urusan pengadilan?"
"Akulah yang memaksamu bertarung, sudah pasti tak akan menjatuhkan tuduhan apa pun kepadamu,"
tukas Leng-hiat tegas, "lagipula, asal dalam tiga gebrakan kau tidak mencabut senjatamu, kau lah
pemenangnya, tawanan itu boleh kau bawa pergi. Kenapa tidak dicoba?"
Tergerak hati Cng Siau-sik. Dia memang berencana untuk menyelidiki kemampuan silat empat opas,
bukankah kesempatan emas itu muncul dengan sendirinya?
Leng-hiat merupakan anggota empat opas yang paling muda dan ilmu silatnya terhitung paling
lemah, sekarang Thian telah memberi kesempatan emas, apa salahnya kalau menggunakan kesempatan
ini untuk menilai kemampuannya? Paling tidak dia akan mendapat gambaran yang cukup atas
kemampuan ke tiga opas lainnya beserta Cukat sianseng.
"Baik, baiklah, mau dicoba pun tak ada salahnya."
Sekilas senyuman mulai terlintas diujung mata Leng-hiat, senyuman yang tajam menggidikkan.
Kalau dibilang senyuman, lebih cocok kalau dikatakan sebagai semangat bertempur yang kuat.
Semacam semangat pantang kalah.
Sekulum senyuman, muncul dan melintas pula diwajah Gan Hok-huat.
"Bagaimana?" "Tiga jurus?" "Padahal hanya satu jurus pun sudah lebih dari cukup."
"Tiga jurus tidak cukup," Cng Siau-sik tertawa pula, "tiga jurus tidak cukup bagimu untuk
memaksa aku mencabut senjata."
Lalu setelah melempar senyuman ringan, ia menambahkan:
"Lebih baik tiga puluh jurus."
Begitu perkataan itu diutarakan, bahkan Gan Hok-huat pun turut bermandi keringat dingin.
Leng-hiat menatapnya berapa saat, ujarnya setelah itu:
"Betul juga perkataanmu, kalau begitu kita ambil jalan tengah, tujuh jurus."
\\' tadi selama kau melancarkan tujuh serangan, asal aku tidak menggerakkan senjata ku, maka kau
akan bebaskan Thio Tan?" dengan sangat hati-hati Cng Siau-sik mengulang pertanyaan itu, "mengapa
kau memaksa aku untuk turun tangan?"
"Jangan kuatir, aku hanya ingin menjajal ilmu silatmu, tidak bakal mencabut nyawamu," ujar
Leng-hiat, "semenjak pertemuan pertama, aku tahu, kita bakal terlibat pertarungan sengit."
Sekilas senyuman kembali tersungging diujung bibirnya, "seperti yang kau katakan, toh saudara
Thio ini tidak melakukan pelanggaran besar."
Kini, Cng Siau-sik pun menyadari, mereka berdua ibarat dua ekor binatang buas yang sedang
berebut wilayah kekuasaan, untuk mempertahankan hidup, pertarungan habis-habisan tak
terhindarkan. Sekalipun tidak sampai mengancam keselamatan jiwa, paling tidak siapa menang siapa
asor harus ada hasilnya. "Baik," Cng Siau-sik mulai menggulung lengan bajunya, "asal kau tak akan menyesal."
"Aku pasti akan pegang janji." Tegas Leng-hiat.
"Aku percaya, sebab kau adalah empat opas yang tersohor."
"Jika kau kalah, atau terpaksa mencabut senjata mu, maka kaupun harus beritahu satu hal
kepadaku." "Soal apa?" "Siapa gurumu?" bicara sampai disini, Leng-hiat sudah tak mau memandang wajah Cng Siau-sik lagi.
Seluruh pandangan matanya, seluruh konsentrasinya telah tertuju ke pedang milik pemuda itu.
Tiba-tiba Cng Siau-sik merasakan punggung tangannya sedikit sakit, hampir saja dia akan menarik
kembali tangannya yang berada di gagang pedang.
Tapi dengan cepat ia menahan diri.
Apakah pandangan Leng-hiat yang membuat punggung tangannya sakit, seperti tertusuk jarum tajam?
Padahal orang yang berada dihadapannya ini belum lagi mencabut senjatanya, tapi dari sinar
matanya telah terpancar sekilas cahaya pedang.
Apa yang bakal terjadi setelah ia mencabut pedangnya?
Bukan, bukan senjata, tapi semacam perasaan, perasaan mendekati tepi kematian, selama hidup
belum pernah ia merasakan cahaya kematian berada begitu dekat dengannya, dapat muncul begitu
dekat disisi tubuhnya. Dia tak pernah berkelit, tak pernah menghindar, baru saja ia menegakkan tubuhnya dan berdiri
tegar, perasaan kematian untuk kedua kalinya menghampiri.
Kali ini, hampir saja ia tak kuasa menahan diri, ia ingin mencabut pedang atau goloknya, ingin
membacok, menghadang, menghancurkan sergapan dari kematian itu, tapi Cng Siau-sik cukup tegar,
ia berhasil menahan diri.
Kini sinar kematian datang dari sisi kanan tenggorokan, melesat lewat hanya tiga inci disisi
kulit tubuhnya, kemudian meluncur balik ke tempat asal.
Disaat sinar kematian datang untuk ketiga kalinya, diapun menyelinap masuk ke balik jeruji bui.
Padahal tidak sembarangan orang dapat memasuki balik jeruji bui, biarpun dia punya posisi
penting dalam pemerintahan pun mustahil bisa masuk seenaknya, tapi hanya satu kali lompatan dia
sudah menyelinap masuk, tak seorang pun tahu dengan cara apa dia melakukan hal tersebut.
Sayang cahaya kematian ikut mengejar masuk, meluncur lagi kearah tubuhnya, kali ini merupakan ke
empat kalinya sinar itu mengancam keselamatan jiwanya.
Cepat dia menumbuk maju, membuat jeriji bui melengkung, tapi tindakan itu tidak membuat Cng
Siau-sik lolos dari sergapan kematian, dia berteriak keras, tiba tiba badannya membalik lalu
tangannya mencengkeram cahaya kematian itu.
Tidak mungkin sekilas cahaya dapat ditangkap dengan tangan kosong, tapi Cng Siau-sik merasa ia
berhasil menangkapnya, menangkap sesaat sebelum cahaya itu ditarik balik.
Kemudian dia merasa tangannya basah, darah bercucuran dari mulut luka, meleleh lalu menetes ke
lantai. Cahaya kematian lagi-lagi menusuk datang dari sudut lain, menyergap untuk ke enam kalinya, tahu
tahu cahaya itu telah menyelimuti sekujur badannya, mengurung dan menelannya, kali ini,
kelihatannya ia tak bisa berkelit lagi, mau tak mau dia harus mencabut pedang, meloloskan
senjatanya, karena dia sudah tak punya pilihan lain.
Untung saja Cng Siau-sik masih memiliki sebuah pilihan dibalik kebuntuan itu, balas melancarkan
serangan. Ia balas menyergap cahaya kematian itu, tentu cahaya kematian tak mungkin bisa mati, tapi kali
ini cahaya tersebut berhasil dipaksa mundur.
Dengan cepat cahaya kematian menyerang balik, menyergap disertai kekuatan dan gerakan yang
mengerikan, satu kekuatan menakutkan yang memaksanya menuju tepi maut.
Sekarang Cng Siau-sik betul-betul tersudut, tiada jalan mundur, apalagi jalan kehidupan.
Tentu saja kecuali dia mencabut pedangnya, mengayunkan goloknya untuk menangkis.
Cuma, begitu dia cabut senjatanya, meloloskan pedangnya, berarti dialah yang kalah, Thio Tan
bakal terjeblos dalam penjara dalam waktu tak jelas, tak ada hak lagi untuk menuntut pembebasan
baginya. Kematian sudah didepan mata, maut sudah diujung alis mata, hanya mencabut golok, hanya
meloloskan pedang dia baru selamat.
Kalau tidak mencabut goloknya, dia bakal mati, tidak meloloskan pedang berarti maut. Apa yang
harus dilakukan Cng Siau-sik sekarang? Dengan cara apa dia harus menghadapi situasi pelik ini?
Siapa yang mampu menghadapi ancaman kematian itu?
Tak seorang pun mampu menghadapi datangnya kematian, begitu pula dengan Cng Siau-sik. Ia tak
dapat meloloskan pedangnya, tak boleh mencabut golok. Tapi ada satu hal yang dapat ia lakukan.
Apa itu? Tiba-tiba Leng-hiat berteriak keras, pedang yang sedang melancarkan tusukan segera ditarik
balik. "H, --aangg!" sebutir batu kerikil mencelat dan hancur menjadi puluhan keping, tersebar ke empat
penjuru, mencelat keluar pagar, jeriji bui.
Cng Siau-sik sama sekali tidak mencabut pedangnya, tak pernah sekali pun. Dia hanya menggunakan
amgi, senjata rahasia itu tersimpan dalam sakunya, batu kerikil, Cng Siau-sik memang batu
kerikil. "Bagus sekali." Dengan mendongkol Leng-hiat menarik kembali pedangnya, kemudian beranjak pergi
dengan langkah lebar, sama sekali tak berpaling lagi.
Walaupun Cng Siau-sik tidak mencabut senjatanya, tapi dia telah menggunakan amgi.
Leng-hiat sama sekali tidak protes, dia tak mau berdebat atau membantah. Apakah hal ini
dikarenakan dia anggap amgi bukan sejenis senjata? Ataukah karena dia sudah berhasil menjajal
tinggi rendahnya kungfu yang dimiliki Cng Siau-sik? Atau dia tak ingin mencari keunggulan? Dia
ingin pegang janji? Sepeninggal Leng-hiat, muncul seorang sipir bui yang dengan hormat membuka borgol ditangan Thio
Tan dan mempersilahkan dia keluar dari balik jeriji bui.
Tentu Thio Tan kenali orang ini, dia adalah si sipir bui bopeng yang disebut orang telur kulit
babi, seorang jago persilatan.
Sewaktu berada dalam bui, Thio Tan banyak berhutang budi kepadanya, karena itu sikapnya terhadap
orang ini sangat menaruh hormat.
Si telur kulit babi tertawa lirih, pujinya:
"Hanya kau seorang yang bisa masuk keluar penjara dengan begitu bebas."
Kentara sekali kalau dia sangat kagum.
Tentu saja Thio Tan tahu kalau keberhasilannya kali ini berkat Cng Siau-sik, karena usaha pemuda
inilah dia punya kesempatan untuk keluar dari bui.
Ketika dia maju menghampiri pemuda itu dan siap berterima kasih itulah, baru diketahui kalau Cng
Siau-sik sedang mengamati telapak tangan kirinya dengan mendelong.
Ternyata peluh telah membasahi telapak tangannya, apakah keringat dingin?
Noda darah masih membasahi tangan kanannya, mungkinkah ia sedang mengamati garis tangan?
Biasanya, hanya orang yang kehilangan pegangan, kehilangan rasa percaya diri, baru pergi ke ahli
nujum untuk membacakan garis tangannya, mungkinkah Cng Siau-sik mempunyai perasaan seperti itu
sekarang? Benarkah begitu? Lalu kenapa? Paling tidak, hingga kini Thio Tan masih belum mengerti apa
sebabnya Cng Siau-sik bersikap begitu.
Thio Tan menatap Gan Hok-huat, sementara Gan Hok-huat pun menatap Thio Tan, mereka tak tahu apa
yang harus diperbuat. Sampai akhirnya Cng Siau-sik buka suara, ujarnya:
"Mari kita kembali ke gang Wa-cu-keng." Nada suaranya berat, amat serius.
Co0oo

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab L5. Tertawa berubah jadi isak tangis.
Yang disebut gang Wa-cu-keng bukanlah tempat berjualan genting.
Tempat ini merupakan pusat taman hiburan, bubar pada kentongan ke tiga dan mulai buka pintu di
kentongan ke lima, pada hakekatnya merupakan satu pusat kegiatan yang tak pernah tidur.
Tatkala tiba di gang Wa-cu-keng, diluar dugaan, salju berhenti lebih awal, atau mungkin sebentar
lagi hujan salju akan berlanjut?
Cng Siau-sik mengira Un Ji, Tong Po-gou, Pui Beng-sau serta Cu Siau-yau sekalian yang senang
akan keramaian, pasti sedang menonton opera.
Siapa tahu dugaannya keliru, ternyata Pui Heng-sau sekalian sedang marah.
Kalau kedatangan Cng Siau-sik terlambat selangkah saja, mereka pasti sudah membuat keonaran.
Ternyata mereka menyaksikan kalau para pedagang yang mencari duit di sepanjang gang hari itu,
tidak menunjukkan rasa gembira, hampir semuanya bermuram durja.
Sesudah mencari tahu dengan seksama, baru diketahui kalau hari ini adalah hari Tiu-heng-tau.
Yang dimaksud Tiu-heng-tau adalah hari penyerahan uang.
Bukan uang pajak yang harus diserahkan, tapi mengisi rekening para pentolan diwilayah itu,
setali tiga uang dengan perbuatan para begal yang mengopas dan memeras rakyat kecil.
\\ Bedanya, uang ini sedikit lebih resmi", resmi dibandingkan hasil pemerasan kaum hitam, karena
upeti itu harus diserahkan kepada tuan "pejabat".
Padahal kaum pejabat sudah mendapat pajak musim panas, pajak musim gugur, termasuk uang jajan
yang meliputi pajak tontonan, iuran tempat jualan dan lain sebagainya. Dan pungutan hari ini,
katanya untuk kesejahteraan tentara dan sebagai pemungut nya adalah para pejabat kejaksaan.
Setiap kali tiba saatnya pemungutan ini, semua penghuni gang Wa-cu-keng akan murung dan bermuram
durja, bayangkan, bukan hanya uang laba seharian, bahkan uang pokok pun ikut diserahkan.
Didalam situasi yang begini korup dan penuh penindasan, berdagang ditempat seperti ini
betul-betul makin sulit. "Kurangajar," sumpah Pui Heng-sau sengit, "masa ada iuran pajak yang begini mencekik leher."
"Betul, paksa orang untuk memberontak saja."
Imbuh Tong Po-gou tak kalah sengitnya.
"Darimana kalian bisa tahu kalau pajak ini merupakan pajak baru yang dilaksanakan empat opas
secara diam-diam?" tanya Cng Siau-sik.
Kalau penarikan pajak biasa, biasanya hal ini dilakukan dalam satu gedung tertentu, tapi iuran
yang ditarik saat ini dilakukan para opas pengadilan secara rombongan, kehadiran para petugas
itu membuat suasana makin tegang dan menyeramkan.
"Tadi, kami sempat bertanya berapa orang," kata Cu Siau-yau, "ternyata memang benar, semuanya
ini merupakan ide dari empat opas yang dilaksanakan orang-orang gedung Sin-hou-hu, coba
bayangkan, siapa yang berani membangkang?"
Cng Siau-sik memandang Cu Siau-yau sekejap.
Cu Siau-yau sama sekali tidak menghindari tatapan matanya, sebaliknya malah balas menatap dengan
tenang. Dibawah cahaya lentera, kecantikan Cu Siau-yau terlihat membawa daya pikat dan kegenitan.
"Mengembara dalam dunia persilatan sambil membawa arak, mengikat kencang pinggang menahan
II lapar....... Tiba tiba Cng Siau-sik mengucapkan satu bait syair yang sama sekali tak ada hubungan dengan
persoalan saat ini, bahkan boleh dibilang sebuah perkataan yang berlebihan.
"Kau adalah seorang wanita, sudah banyak tahun merasakan siksaan dan penderitaan didalam dunia
persilatan, bahkan setiap saat mempertaruhkan nyawa, tidakkah kau merasa lelah?"
Tanpa mengerdipkan matanya yang indah dan tanpa berpikir panjang, Cu Siau-yau menjawab
pertanyaan itu: "Maksudmu, kau sedang membujuk aku untuk secepatnya mencari jodoh dan kawin?"
Setelah tertawa ewa, terusnya:
"Kesatu, siapa yang mau mengawini perempuan semacam aku? Kedua, bagi perempuan seperti aku,
tidak banyak lelaki yang bisa menarik perhatianku, ketiga, siapa bilang seorang wanita harus
kawin? Keempat, berkelana dalam dunia persilatan memang melelahkan, meninggalkan dunia kangou
sama artinya dengan mampus. Kesepian gampang membuat orang cepat mati, jauh lebih tersiksa dan
menderita daripada bermain golok membunuh orang."
Kemudian kepada Cng Siau-sik tegasnya:
"Kau pasti memahami perkataanku ini bukan?"
Bukan menjawab, Cng Siau-sik justru mengajukan lagi pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan
kejadian saat itu: "Mana Un Ji?" Diantara sekian banyak teman, Un Ji terhitung gadis yang paling senang akan keramaian, suka
mencari keributan dan senang bermain, tapi dalam situasi semacam ini, dia justru tak bersuara,
tak ada ulahnya sama sekali.
"Un Ji?" Cu Siau-yau menghela napas, "dia berada dibawah pohon diujung jalan sana."
Setelah memutar biji matanya yang jeli, kembali perempuan ini menambahkan:
"Kau harus tahu, ia sedang menangis."
"Menangis?" bergetar perasaan Cng Siau-sik, "kenapa?"
"Bertemu disaat pertama, kau sedang diam-diam menangis, kau lanjutkan nyanyian walau berwajah
muram durja......." senyum tak senyum Cu Siau-yau bersenandung perlahan.
Ketika melihat Cng Siau-sik terperana, berdiri bodoh, dengan lembut katanya lagi:
"Pergilah ke sana, sejak dulu cinta memang membuat orang sedih.. mumpung cinta belum pupus,
rabuk dan benahilah semuanya itu...."
Dalam saat dan situasi seperti ini, satu perasaan aneh melintas dihati Cng Siau-sik.
Seandainya rencana membunuh Cukat sianseng mengalami kegagalan, bila keselamatan jiwanya
terancam, mengapa tidak menggunakan kesempatan ini dia lampiaskan perasaan hatinya, meluapkan
rasa cinta kepada tambatan hati?
Tiba tiba Cng Siau-sik merasakan satu golakan emosi.
Dia ingin bertemu Un Ji, bertanya mengapa dia menangis, sekalian akan dia luapkan semua perasaan
dan pikiran kepadanya. Bagaimana pun, hidup dalam dunia persilatan yang serba tak menentu, langkah terbaik adalah
mempunyai seorang tambatan hati, seorang kekasih yang dapat diajak berbagi rasa.
Maka Cng Siau-sik pun pergi mencari Un Ji.
Kelihatannya Tong Po-gou tidak paham, ia tak paham dengan apa yang didengar, tidak paham dengan
apa yang dilihat. "Apa yang sedang mereka bicarakan? Apa yang akan dia lakukan? Kenapa kita harus berdiri
mendelong disini?" Serentetan pertanyaan dari orang ini disampaikan dengan nada yang tak sabar.
"Bujukan kita semua pun gagal menenangkan Un Ji, apa gunanya dia ke sana? Bukankah masih ada
pekerjaan besar yang harus kita lakukan? Kenapa kita dibiarkan berdiri melongo disini sambil
meneguk angin barat?"
"Jangan ribut, jangan ribut, kau tak mampu, memangnya orang lain pun tak sanggup?" dengan lagak
seperti mengerti persoalan Pui Heng-sau menegur, "orang bingung tak bakal mengerti, orang bodoh
tak bakal paham, kaulah manusia semacam ini."
"Wah, kau meniru perkataan Cuangcu dalam kitab Thian-tee-pian, tapi apa hubungannya dengan aku?"
sela Cu Siau-yau. "Benar, benar, benar.... makanya aku bilang, locu maupun Cuangcu sama sama berasal dari satu
keluarga." Dalam pada itu Cng Siau-sik sudah menerobos pepohonan tiba disisi pagar.
Waktu itu Un Ji berdiri membelakanginya.
Berada dalam suasana kegembiraan, ia berdiri membelakangi, kesenangan dan kesedihan seakan
terpisah oleh dua dunia yang berbeda.
Dengan tenang Cng Siau-sik berdiri dibelakang Un Ji, menyaksikan si nona yang diwaktu biasa
selalu lincah dan gembira, tapi sekarang berdiri sesenggukan hingga ia tampak begitu lemah dan
lembut, timbul perasaan iba dan sayang dihati kecil pemuda ini.
Sekuntum bunga jatuh dari atas pohon, berputar di udara dan meluncur ke bawah, tanpa sadar Cng
Siau-sik menyambutnya. Desiran suara itu segera mengejutkan Un Ji:
"Kau telah datang?" dengan girang ia berseru, "tapi tadi, kau bersikeras ingin pergi dari sini."
Ketika berpaling, butiran air mata membasahi pipinya, tapi begitu tahu yang muncul adalah Cng
Siau-sik, ia tertegun. "Kenapa bisa jadi kau?" tanyanya.
Kontan Cng Siau-sik merasakan hatinya dingin, membeku, begitu dingin hingga terasa sampai ke
ujung jari. Namun setelah melihat air mata yang membasahi pipinya, melihat raut muka Un Ji yang polos
bagaikan bocah cilik, ia jadi tak tega, hatinya lemas kembali.
"Pek jiko baru saja datang kemari?"
Un Ji tertunduk rendah, wajahnya tak suka hati.
"Kenapa? Jiko jahat denganmu?" kembali Cng Siau-sik bertanya lembut.
"Dia kemari mencari kau, bukan mencari aku, "dengan nada tak senang sahut Un Ji, "sekapnya
selalu begitu." "Apakah jiko meninggalkan pesan?"
"Dia suruh kau melaksanakan tugas sesuai rencana, tak usah sangsi, tak usah ragu," kata Un Ji
sambil mencibir, "dia bilang, urusan markas besar dapat ditangani, kau tak usah risau."
Kemudian dengan nada sedih, katanya lagi:
"Mana dia tahu kalau aku selalu kuatir, aku selalu menguatirkan dirinya."
\\ I Apa yang membuatmu kuatir? Kenapa aku tak tahu?" tanya Cng Siau-sik lembut.
"Aku selalu menguatirkan dirinya,"
air mata kembali bercucuran membasahi pipi Un Ji, "tapi dia
tak pernah memperhatikan aku, tidak pernah menguatirkan aku....... coba katakan batu kerikil,
apakah aku begitu memuakkan?"
Bicara sampai disitu, kembali ia menangis tersedu.
". Aaai, jangan menangis, jangan menangis, Un Ji, tak usah menangis terus." Bujuk Cng Siau-sik
sambil menepuk bahunya. Sambil mendekap dibahu pemuda itu, Un Ji menangis terisak, air mata bercampur ingus mengotori
semua pakaiannya. "Benarkah aku begitu memuakkan? Aku tahu...... tak ada orang yang menyukai aku..... semua orang
pada sibuk, perhatian dengan kegiatan masing masing, hanya aku seorang yang tak pernah dapat
bagian sibuk........"
Untuk sesaat Ong Siau-sik dibikin kelabakan, tak tahu harus berbuat apa, terpaksa ia peluk gadis
itu erat-erat. Kontan perbuatannya menarik perhatian banyak orang, komentar pun dilontarkan disana sini.
Apa-apaan ini, ditengah hari bolong juga berpelukan di depan umum......"
"Kalau pengen mesraan, sana, cari tempat tersembunyi, peluk pelukan didepan umum, huuh tak tahu
II malu..... "Suiit, suiiit.... ayoh tarik terus......"
Ong Siau-sik tak ambil peduli, dia ogah melayani keisengan orang, bisiknya dengan lembut:
"Sudah, jangan menangis lagi, coba kau lihat Un Ji, bukankah kita sedang siap melakukan gebrakan
besar? Kau pun ikut ambil bagian."
Un Ji mengangkat wajah cantiknya yang dibasahi air mata, ia bertanya lagi:
"Batu kerikil kecil, benarkah aku memuakkan?"
"Tidak Un Ji, kau menawan hati, untuk disayang saja gak sempat, masa orang jadi muak?"
Berkilat sepasang mata Un Ji, tapi hanya sebentar, kembali keluhnya sedih:
"Iapi..... tapi setan murung itu tak pernah ambil peduli terhadapku... dia selalu cuek
kepadaku......" "Cuek kepadamu bukan berarti tidak suka kepadamu," hibur Ong Siau-sik, "dia tak ambil peduli
karena urusannya kelewat banyak, kelewat sibuk."
"Mungkin..... mungkinkah dia menyukaiku?" sinar penuh pengharapan terpancar dari balik matanya
yang basah. "Tentu saja dia menyukaimu."
"Sungguh?" jerit Un Ji gembira, tapi lagi lagi dia berkata dengan wajah murung, "kau sedang
II membohongi aku, dia hanya menyukai cici Lui Tun, tak pernah mencintai aku........
"Aah, mana mungkin," kembali Ong Siau-sik menghibur, "dia sering menyinggung kau dihadapanku."
"Menyinggung aku?" tanya Un Ji penuh semangat, "apa yang dia singgung?"
"Dia bilang..... kau adalah gadis yang sangat baik."
Ong Siau-sik merasa napasnya jadi sesak, setiap patah katanya seakan godam yang menghantam
dadanya, membuat dia kaku, mati rasa.
"Dia sangat menyukaimu, Cuma dia terlalu sibuk, jadi sementara waktu tak ada waktu untuk
menemanimu bermain."
"Benarkah begitu?" Un Ji benar-benar amat gembira.
Kalau seorang gadis sedang jatuh cinta, dia akan terlihat sangat cantik, sangat ayu. Sekarang
Ong Siau-sik baru melihat dengan jelas kecantikan wajah gadis ini.
"Aku tak ingin dia menemaniku, beritahu kepadanya, suruh dia bekerja dengan serius, aku tak akan
menghalanginya, aku pun tak.... tak akan menyalahkan dia lagi."
Begitu serius, begitu bersungguh-sungguh dia memikirkan Pek Jau-hui.
\\~I -ahukah kau? Aku amat kagum kepadanya..... lagaknya selalu tak acuh, selalu cuek, sombong dan
jumawa, seakan tiada orang lain dalam pandangannya, mungkin hanya So suheng dan kau yang
dihargai, aaah, juga enci Lui Tun........ wah, hampir saja aku salah menuduh enci 2un......"
Un Ji menjulurkan lidahnya, setiap tingkah laku, setiap gerak gerik gadis ini mendatangkan
perasaan sakit yang luar biasa bagi Ong Siau-sik, ia merasa hatinya seperti disayat dengan
pisau. "Semua ini tak pernah kukatakan kepada orang lain, hanya kepadamu saja........."
Lalu sambil menarik ujung baju Ong Siau-sik, pintanya dengan manja:
"Janji kepadaku, jangan ceritakan soal ini kepada siapa pun."
Lalu mengapa kau beritahukan kepadaku? Bisa saja kau beritahukan hal ini kepada siapa pun, tak
ada manusia didunia ini yang tak ingin mengetahui hal tersebut kecuali aku.......
Namun ia tetap mendengarkan, Ong Siau-sik mulai tertawa.
"Jangan tertawa,"
cegah Un Ji sambil tertawa merdu.
Perawakan badan Ong Siau-sik tidak terhitung tinggi besar, namun dia masih lebih tinggi
ketimbang gadis ini, sewaktu tertawa sambil pijingkan sebelah mata, gadis itu terlihat begitu
menawan, begitu membetot sukma.
"Aku ingin kau berjanji." Kembali pintanya.
"Janji apa?" "Janji kepadaku."
\\~I -entang apa?" "Jangan ingkar janji," seru Un Ci sambil mendepakkan kakinya, "janji kepadaku, tak akan kau
katakan kepada siapa pun."
"Baik, baik, aku berjanji tak akan mengatakan kepada siapa pun."
"Tidak, tidak mau," Un Ji masih kuatir, "aku ingin kau...... kau angkat sumpah."
Waktu itu, para pejalan kaki dan orang yang berlalu lalang disekitar tempat itu sudah tertarik
perhatiannya oleh persoalan lain, mereka malah tidak begitu perhatikan Ong Siau-sik serta Un Ji.
Terpaksa Ong Siau-sik angkat sumpah:
"Bila aku Ong Siau-sik menceritakan apa yang dikatakan Un Ji kepada orang lain, maka
aku... ......" Belum selesai dia mengucapkan sumpahnya, dengan jari tangannya yang lembut, Un Ji telah menutup
bibirnya dan berbisik lembut:
"Tak perlu kau lanjutkan."
Melihat si nona gembira lagi, Ong Siau-sik pun menggoda:
"Lihat kamu ini, sebentar menangis, sebentar tertawa, persis seperti anjing kecil yang
II terkencing kencing.......
"Aaah, ucapanmu betul betul tidak sedap."
"Yang enak didengar pun ada......." lanjut Ong Siau-sik tertawa, "satu ucapan mengungkap
kenyataan, tertawa pun berubah jadi isak tangis."
"Kerikil kecil, hanya kau seorang yang tahu tentang isi hatiku......" kata Un Ji sambil membelai
rambut anak muda itu. Begitu dekat ia berada disampingnya, dengus napas yang harum membuat Ong Siau-sik tak kuasa
menahan diri, satu golakan hati membuatnya lupa diri, digenggamnya tangan Un Ji erat erat, untuk
sesaat dia tak tahu bagaimana harus bicara.
Un Ji berseru tertahan, cepat ia lepaskan genggamannya.
"Eei, kenapa tanganmu begitu dingin?"
Pada saat inilah, mereka mendengar Tong Po-gou sedang meraung keras, berteriak ditengah
kerumunan orang. ?iba tiba tangan Ong Siau-sik berubah arah, dia rangkul bahu Un Ji dan mendorongnya.
Gadis itu merasa tubuhnya terdorong oleh semacam tenaga yang lembut tapi kuat, tahu-tahu
tubuhnya sudah menyelinap diantara kerumunan orang dan tiba disamping Tong Po-gou.
Coba kalau harus berdesakan, mungkin sampai setengah hari mereka baru akan berhasil melepaskan
diri. Asal mereka datang setengah langkah lebih lambat, Tong Po-gou pasti sudah turun tangan dan
akibatnya tak terbayangkan.
Waktu itu, Cu Siau-yau pun telah tiba disamping Tong Po-gou.
Un Ji tak mampu mencegah luapan emosi dari Tong Po-gou, alasan utamanya adalah karena kemarahan
Tong Po-gou dipicu oleh masalah dirinya.
Rupanya Cu Siau-yau tertarik dengan sebuah hiasan sanggul yang berbentuk indah dengan taburan
mutiara, ia ingin membelinya tapi mimik muka sang pedagang tampak keberatan, enggan menjualnya.
Cu Siau-yau sangka ia tak cocok dengan tawaran harganya, maka perempuan inipun berkata:
"Kalau begitu bukalah harganya."
"Maafkan aku nona,"
sahut si tauke gemuk dengan wajah getir,"aku tak bisa menjualnya kepadamu."
"Kenapa? Apakah sudah dipesan orang?"
Zauke gemuk itu menggeleng.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tak senang hati, Cu Siau-yau pun berkata:
"Kalau memang belum dipesan orang, barang dagangan pun kau jajahkan disitu, kenapa aku tak boleh
membelinya?" "Karena benda ini merupakan hiasan paling bagus diantara barang daganganku yang lain, nona ini
pandai benar memilih barang," kata tauke itu bermuram durja, "itulah sebabnya kami semakin tak
bisa menjualnya kepadamu."
"Aneh betul," protes Tong Po-gou sambil tampil ke depan, "orang tertarik dengan bendamu, kau
malah tak bisa menjualnya. Memang barang ini hanya akan dijual kepada orang yang tidak
tertarik?" "Maafkan daku, ini disebabkan karena setiap barang terbaik yang dijual disini, kami harus
menyimpannya untuk diberikan kepada seseorang."
"Orang itu akan membeli setiap benda terbaik yang terjual disini?" Ou Siau-yau semakin
keheranan. "Bukan dibeli, tapi kami harus memberikan kepadanya."
"Masa kalian rela melakukan hal ini?"
"Masalahnya bukan rela atau tidak, memangnya kau sangka kami masih mempunyai pilihan lain?" kata
si tauke sedih. "Siapakah orang itu?"
"Dia tak lain adalah jagoan paling tersohor saat ini.........."
Belum selesai perkataan itu, terlihat ada empat orang pemuda kekar menggotong sebuah tandu dan
berjalan mendekat, hampir semua orang yang berkerumun diseputar sana segera membubarkan diri.
"Cepat kembalikan perhiasan itu," pinta sang tauke ketakutan, "dia..... toaya itu sudah datang."
"Dia orangnya?" Cu Siau-yau menegaskan.
Buru-buru tauke itu mengangguk.
"Jadi dia?" teriak Tong Po-gou sambil menekan bahu sang tauke.
"Betul, dia...... Seng toaya....."
Cu Siau-yau dan Tong Po-gou saling bertukar pandangan sekejap, kemudian serentak mereka berseru:
"Bu-cing (tak berperasaan)?"
Bab 16. Suasana salju yang dingin dan sepi.
Kontan saja Tong Po-gou jadi sewot, teriaknya:
"Kalau memang empat opas, lantas kenapa? Barang milik rakyat kecil pun dirampok dan
dirampas, huuuh, kelakuannya tak ubah seperti begal."
Sebagaimana diketahui, dia bersama Pui Heng-sau, Sheng Hau-sian, Kau-kau, Heng-put-liok-mia
(untung tugas terlaksana) dan Tan tauke sekalian disebut orang sebagai Lak-toa-gio (enam
begal besar). Mengenai tokoh-tokoh tersebut, akan muncul dalam serial Tujuh begal besar.
Sedangkan Bu-cing, Thiat-jiu, Toat-mia dan Leng-hiat disebut orang sebagai empat opas.
Sudah sejak lama mereka harus menahan marah, tak heran kalau orang orang itu kontan naik
pitam setelah menyaksikan sepak terjang empat opas yang dianggapnya semena-mena.
Disamping itu, Tong Po-gou pun ingin pamer kemampuannya dihadapan Cu Siau-yau, maka tanpa
sungkan lagi dia mencaci maki dengan kata-kata tajam.
Begitu Tong Po-gou mulai mengumpat, tiba tiba saja rombongan tandu itu berhenti. Orang yang
berada dalam tandu seakan mengatakan sesuatu, lalu salah satu pemuda penggotong tandu maju
dan mengatakan sesuatu didepan tirai.
Suasana disekeliling tempat itu jadi hening, semua orang mandi keringat dingin,
menguatirkan keselamatan Tong Po-gou.
Cu Siau-yau menarik pula ujung baju rekannya, minta dia jangan mencari masalah.
Masih mending tidak ditarik, begitu bajunya ditarik, kontan saja "semangat pahlawan" nya
timbul, diapun merasa dirinya sebagai "begal" sudah sepantasnya menjajal kehebatan sang
"opas". Dengan suara lantang, setengah berteriak, ujarnya:
"Sekalipun kau adalah empat opas yang tersohor, kalau hanya andalkan pangkat tinggi lalu
bertindak sewenang-wenang, seolah hukum negara tak berlaku lagi, huuuh, terhitung jagoan
macam apa itu." Salah seorang penandu langsung mencengkeram bahu Tong Po-gou sembari membentak:
"Apa kau bilang?"
Cepat Tong Po-gou membalik tangan sambil melepaskan diri dari ilmu ki-na-jiu lawan, sambil
didorong hingga terjatuh, sahutnya:
"Jangan sentuh aku, gotong saja tandu mu."
Dari tempat kejauhan segera terdengar seseorang menimpali:
"Bagus sekali, ini namanya kaum begal berdebat dengan pejabat negeri, sangat kebetulan,
rakyat tertindas, orang berpangkat semena mena, kami harus tegakkan keadilan bagi
masyarakat luas." Ternyata yang bicara adalah Pui Heng-sau.
Waktu itu, gerombolan manusia yang mengerumuni tempat itu sudah semakin padat, semua orang
ingin melihat keramaian, ini membuat dia tak mampu mendesak maju.
Tapi untuk membantu semangat Tong Po-gou, maka dari kejauhan dia pun berteriak.
Begitu perkataan tersebut diutarakan, para penonton jadi ketakutan, tergopoh gopoh mereka
membuka sebuah jalan lewat, perhatian semua orang pun tertuju kepadanya.
Untuk berapa saat, suasana jadi hening, yang terdengar hanya suara percikan api lentera.
Berapa saat kemudian, orang yang berada dalam tandu baru berkata:
"Lelaki pengangguran mana yang berani bicara latah disini?"
"Aku lah jagoan kesepian yang tanpa tanding dikolong langit, malaikat tampan berwajah
kumala yang kebal senjata kebal tusukan, Tong Po-gou tayhiap!"
"Ooh, rupanya kau? Sejak lama sudah seharusnya kau bersama Shen Hau-sian, Kau-kau, Pui
Heng-sau, Heng-put-lick-mia dan Tan tauke diberangus dan jebloskan ke dalam bui."
"Akulah Pui Heng-sau, tangkap saja kalau mampu!" tantang Pui Heng-sau.
"Betul," Tong Po-gou menambahkan, "toh saudara Thio kami sudah kalian tangkap, rasanya tak
masalah bisa ingin membekuk kami semua."
"Kau takut?" ejek orang dalam tandu.
"Takut?" teriak Tong Po-gou sambil menuding hidung sendiri, "hehehe, aku justru kuatir
kalian bukan saja gagal membekuk kami, sebaliknya kau harus merangkak keluar dari balik
kulit cangkang kura kura mu itu."
Perkataan semacam ini, boleh dikata satu penghinaan yang luar biasa, apalagi didepan orang
banyak, ucapan tadi gampang bikin orang kehilangan muka.
Para hadirin mulai gempar, satu pertarungan tampaknya tak terhindarkan, mereka yang takut
urusan mulai mundur dari arena dan menjauh dari situ.
Ternyata penghuni tandu itu tidak marah, malah ujarnya kalem:
"Tanpa meninggalkan tandu pun, sama saja, aku dapat membekuk kamu berdua."
II "Sudah pasti tak bisa tinggalkan tandu, ejek Pui Heng-sau, "kalau berjalan saja susah,
keluar dari situ atau tidak, sama saja hasilnya."
Begitu ucapan tadi terlontar, dia segera sadar kalau perkataannya agak kelewatan.
Betul saja, orang didalam tandu jadi bungkam, hawa pembunuhan pun semakin menebal
menyelimuti angkasa. Kebetulan disaat semacam inilah Ong Siau-sik dan Un Ji muncul disitu, sambil busungkan
dada, berlagak seperti burung hong congkak, teriak si nona:
"Hei, kalau ingin menangkap orang, jangan lupa sekalian tangkap nona mu."
"Siapa yang barusan bicara?"
Un Ji semakin tekebur, jawabnya sombong:
"Akulah pendekar wanita Un Ji, jagoan perempuan paling top di dunia, anggota kehormatan
perkumpulan Kimrhong-si-yu-lou!"
Orang bilang, dekat tinta jadi hitam, dekat gincu jadi merah. Dia sudah kelewat lama
bergaul dengan Tong Po-gou, tak heran kalau bukan Cuma tingkah lakunya saja, bahkan caranya
berbicara pun sudah mirip rekannya ini.
Cu Siau-yau yang berada disisinya, cepat menarik ujung baju Un Ji sembari berbisik:
"Situasi sedang mengalami perubahan, jangan sangkut pautkan dengan perkumpulan Kim-hong-
si-yu-lou." Dengan cerdik Un Ji menambahkan:
"Aku telah putus hubungan dengan Kim-hong-si-yu-lou, jadi sekarang sudah tak ada hubungan
apapun." "Lalu, sekarang kau berhubungan dengan siapa?" tanya orang didalam tandu sambil tertawa
ringan. Jelas, perkataan itu mengandung nada pelecehan, untung Un Ji tidak menangkap artinya.
"Guruku adalah Ang-siu sinnie dari bukit Siau-han-san, kalau kau sudah pecah nyali, lebih
baik sipatlah ekormu dan cepat kabur, nonamu pasti akan mengampuni nyawamu."
Para penonton tertawa terkekeh melihat ulah si nona, berbareng mereka pun menguatirkan
keselamatan jiwanya. Tapi Un Ji tidak kuatir, sedikitpun tidak takut.
Sepanjang hidup, jarang sekali dia kuatir, justru orang lain yang harus menguatirkan
keselamatan jiwanya. Gara-gara Pek Jau-hui, dia telah berusaha dengan sepenuh tenaga, merasakan segala
penderitaan dan siksaan. Terdengar orang dibalik tandu berkata:
"Memandang wajah gurumu, persoalan hari ini tak ada hubungannya denganmu."
"Kenapa tak berhubungan dengan aku? Urusan mereka sama artinya dengan urusanku." Dengan
semangat berkobar, seru Un Ji, "Hei, apakah kau Bu-cing, si tanpa perasaan?"
"Terkadang aku sedikit punya perasaan terhadap orang lain." Sahut orang dibalik tandu
tertawa. "Sebenarnya kau ini lelaki atau wanita?" kesombongan Un Ji semakin menjadi, "kenapa
bersembunyi terus dibalik tandu, persis seperti nona yang mau kawin."
Ucapan ini sangat keterlaluan, bahkan Ong Siau-sik pun gagal untuk mencegahnya.
Mengucapan perkataan semacam ini dihadapan masyarakat luas, Bu-cing sebagai pimpinan empat
opas, pasti akan merasa dipermalukan sekali.
Betul saja, dari balik tandu tegur Bu-cing:
"Ternyata kau mempunyai satu kebiasaan jelek."
"Apa?" tanya Un Ji tertegun, keheranan, "darimana kau bisa mengetahui kebiasaan jelekku?"
ll "Sudahlah, kau tak perlu membusungkan dadamu lagi, sela Bu-cing, "payudara mu kelewat
kecil, mau dibusungkan seperti apa pun, tetek mu tak mungkin menjadi lebih besar."
Suasana jadi gempar, semua orang berteriak ramai.
Merah padam selembar wajah Un Ji, untuk sesaat dia terbungkam, tak sanggup membantah.
"Wah, pelecehan . . . . . .. benar-benar satu pelecehan." Teriak Pui Heng-sau.
Bahkan Ong Siau-sik pun ikut berubah wajah, kalau muridnya saja begini, tak heran kalau
mempunyai guru yang begitu, sungguh kelewatan!
"Kata orang empat opas sangat menggetarkan kolong langit," kata pemuda itu, "setelah
bertemu hari ini, ternyata hanya begitu saja."
"Siapa pula kau?" nada suara Bu-cing sama sekali tidak berubah.
"Aku Ong Siau-sik."
Bu-cing terbungkam berapa saat, kemudian baru katanya:
"Kau harus bayar mahal untuk perkataanmu barusan."
"Terserah, kau boleh berkata seenaknya sendiri, kenapa aku tidak boleh."
"Bila membiarkan kalian kawanan jago kasar yang gemar membunuh selalu membuat keonaran
dalam kota Bian-liong, seolah olah sudah tak berlaku hukum negara disini, kami para opas
benar benar dibuat malu."
"Boleh saja kalau ingin membekuk orang, tapi harus dilandasi alasan kuat," seru Ong
Siau-sik terus terang, "aku toh tidak melakukan pelanggaran, tidak melakukan tindak
kriminal, kalau ingin menuduh, tunjukkan dulu buktinya."
"Baik, aku pasti akan bikin tuntas persoalan ini disertai bukti yang kuat, lebih baik hati
hati kau." Kata Bu-cing.
"Tidak perlu kau ingatkan."
Ke empat pemuda berbaju hijau itu menggotong kembali tandunya dan beranjak pergi dari situ.
Para penonton pun mulai membubarkan diri hingga dalam waktu singkat suasana disana jadi
lebih hening. Sepeninggal kerumunan orang banyak, penjual perhiasan itu kembali menjajahkan barang
dagangannya. "Nona, perhiasan ini bagus sekali, malah hasil karya para suhu yang tinggal di Giok-cing-
kiong." Waktu itu, meski kaisar telah turunkan perintah untuk memugar semua bangunan kuil, namun
banyak nikou dan tokou yang tak bisa lagi menggantungkan hidupnya dari derma yang diberikan
para ziarah. Terkadang, untuk membeayai hidup, terpaksa mereka harus menenun atau membuat hasil
kerajinan tangan, tak heran kalau banyak hasil seni tersohor justru merupakan karya para
nikou dan touko itu. Ong Siau-sik tertarik sekali dengan perhiasan itu, tanyanya:
"Tauke, apakah kerdipan sinar emas itu benar benar berasal dari bubuk emas?"
"Warna emas itu terbuat dari sejenis serangga yang disebut ulat emas, kalau dilumuri warna
keemasan, perhiasan itu akan tampak lebih menawan."
Sambil tertawa Ong Siau-sik berpaling kearah Cu Siau-yau, serunya:
"Coba kau kenakan, pasti akan menawan."
Cu Siau-yau tertawa, sahutnya:
"Aku hanya menginginkan barang terbaik, sekarang tak ada barang bagus disini, aku mah ogah
dengan barang tiruan. Cuma..... karena kau bilang begitu, baiklah, akan kubeli."
Panas hati Un Ji mendengar itu, dengan hati tak puas ditariknya lengan Ong Siau-sik sambil
berbisik: "Aku juga mau."
Dengan perasaan apa boleh buat Ong Siau-sik coba membujuk:
"Bagaimana kalau kau pilih yang lain? Coba lihat, kopiah kumala itupun sangat indah."
"Tidak, aku minta yang itu." Tukas Un Ji tak suka hati.
n "Benda itu sudah dibeli nona Cu, lebih baik pilih yang ini saja.....
Un Ji mendepakkan kakinya berulang kali, tak suka hati.
Melihat itu, Cu Siau-yau segera menghampiri Un Ji dan serahkan perhiasan yang dibelinya
kepada nona itu sambil berkata lembut:
"Kuhadiahkan untukmu . . . . .."
Kontan saja Un Ji kegirangan setengah mati, ia tertawa cekikikan, lesung pipinya terlihat
jelas yang membuat paras mukanya kelihatan makin cantik.
ll "Masa kau hadiahkan kepadaku? Aku jadi sungkan . . . . . . ..
"Kenakan saja." Bujuk Cu Siau-yau lembut.
Un Ji betul betul kegirangan, wajahnya berseri, membuat Ong Siau-sik jadi geli ketika
melihatnya. Tiba tiba pedagang itu seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian diurungkan.
Menyaksikan tingkah laku saudagar itu, Ong Siau-sik segera menegur:
"Ada apa tauke?"
"Wah, aku bukan tauke, barang daganganku sedikit, hanya cukup mencari sesuap nasi."
"Apakah opas tersohor tadi bernama Bu-cing?" tanya sang pemuda.
"Benar, dalam setengah bulan ini, sudah tiga kali dia berkunjung kemari."
"Hah, bukankah dia seorang opas kenamaan? Mau apa datang kemari?" Ong Siau-sik pura pura
tercengang. "Apa lagi kalau bukan atas nama kejaksaan menarik dana keamanan disekitar tempat ini."
Bisik tauke gemuk itu sambil berkerut kening, "kau tentu mengerti bukan, untuk menarik
derma, sudah pasti mereka pakai cara."
Ong Siau-sik manggut manggut.
Sementara itu Cu Siau-yau dan Un Ji telah berlalu dengan riang gembira.
Udara dingin semakin pekat, malam pun bertambah larut, memandang keadaan langit, tauke
gemuk itu bergumam: "Kelihatannya salju segera akan turun."
"Yaa, kelihatannya memang begitu." Ong Siau-sik kembali mengangguk.
Baru saja dia akan beranjak pergi, terlihat tauke gemuk itu kembali berkata dengan ragu:
"Ada satu hal, apakah..... apakah aku boleh bicara."
"Katakan saja tauke."
"Aku tahu, diriku sedang mencari penyakit buat diri sendiri, tapi bagaimana pun, aku wajib
memperingatkan engkoh cilik." Dengan memberanikan diri ucap tauke gemuk itu, "Bu-cing toaya
bukan manusia yang bisa dianggap mainan, sepanjang jalan nanti, kau.... lebih baik kalian
lebih berhati hati . . . . . .."
"Maksudmu . . . . . .."
Tampaknya tauke itu sadar kalau dirinya sudah banyak bicara, tergopoh gopoh dia benahi
barang dagangannya lalu teriaknya:
"Salju segera akan turun, salju segera akan turun . . . . . .."
Cepat dia dorong gerobaknya dan berlalu dari situ.
Mula-mula Ong Siau-sik agak tertegun, kemudian seperti teringat akan sesuatu, dia ajak Cu
Siau-yau, Un Ji, Pui Heng-sau dan Tong Po-gou berlalu dari sana.
Un Ji dan Cu Siau-yau berjalan dipaling depan, mereka tertawa tak hentinya.
Pui Heng-sau dan Tong Po-gou mengintil dipaling belakang, menggunakan kesempatan itu goda
Pui Heng-sau: "Hahaha, kasian, ternyata orang lain tak mau menerima kebaikanmu."
Tong Po-gou merasa kehilangan muka, godaan Pui Heng-sau membuat hatinya semakin mendongkol,
untuk melampiaskan rasa jengkelnya, dia mulai mencaci maki empat opas, khususnya terhadap
Bu-cing. Ong Siau-sik berjalan dipaling belakang, dia termenung, tenggelam dalam pemikiran yang
serius. Ternyata, salju benar-benar turun.
Bunga salju beterbangan memenuhi angkasa, udara semakin dingin, air makin membeku....
Mereka dalam perjalanan balik ke markas besar perkumpulan Kimrhong-si-yu-lou.
Jalan raya semakin lengang, tapi Un Ji dan Cu Siau-yau yang berjalan dipaling depan, masih
bersendang gurau, suasana diliputi keceriaan dan gelak tertawa.
Tong Po-gou dan Pui Heng-sau berjalan ditengah, tampaknya mereka sedang meributkan sesuatu.
Ong Siau-sik berjalan dipaling belakang.
Saat itulah, tiba tiba ia merasakan hawa pembunuhan yang sangat kental. Semacam hawa
pembunuhan yang lebih dingin, lebih menyayat daripada dinginnya udara.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu pula dia telah menyaksikan sesuatu, sebuah tandu, tandu milik Bu-cing.
Didalam tandu tidak nampak siapa pun, Bu-cing tidak berada didalam tandunya.
Ditengah malam yang begitu dingin, tandu itu seperti sebuah altar persembahan, sebuah
patung dewa diatas altar yang sudah lama menanti mereka dibalik kegelapan.
Satu penantian yang lama, lama sekali.
Ong Siau-sik mulai menarik napas panjang, dia mencoba menggerakkan jari tangannya.
Udara saat itu kelewat dingin, kelewat membekukan jari jemari.
Sebenarnya dia ingin berbicara, tapi secara tiba-tiba ia sadar kalau tak perlu berbicara
lagi. Dia memang tak dapat berbicara lagi.
Karena saat itulah Bu-cing telah turun tangan.
Bab 17. Bintang-bintang salju.
Tiga biji senjata rahasia telah meluncur tiba, menyergap tubuh Ong Siau-sik.
Selama hidup, belum pernah Ong Siau-sik menyaksikan senjata rahasia semacam itu.
Sebetulnya amgi yang menyerang tiba tak banyak jumlahnya, hanya ada tiga biji.
Tapi Ong Siau-sik tidak tahu "amgi" apakah itu.
Amgi pertama melesat melewati sisi sungai, lalu dari balik air sungai melesat ke tengah
udara, balik ke tepian kemudian baru menyergap tubuh pemuda itu.
Amgi kedua melesat dulu ke dasar tanah, lalu dari balik tanah, membawa selapis lumpur,
meluncur keluar dari bumi, langsung mengancam tenggorokan Ong Siau-sik.
Sementara amgi yang ke tiga melesat tiba dari balik udara.
Sepanjang jarak dari tandu hingga ke hadapan Ong Siau-sik, senjata rahasia itu timbul
tenggelam bagaikan gulungan ombak, tiada orang yang tahu senjata itu bakal mengancam tubuh
bagian mana. Termasuk Ong Siau-sik, diapun tidak dapat melihat jelas, dia tak tahu senjata rahasia
apakah itu. Atau mungkin memang bukan sejenis senjata rahasia?
Ong Siau-sik bukan saja tak pernah mendengar tentang senjata amgi semacam ini, bahkan
sepanjang hidup belum pernah terpikir sampai disitu.
Untuk menghadapi senjata rahasia yang sepanjang hidup belum pernah terbayangkan, dia pun
tak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya.
Cu Siau-yau berseru tertahan.
"Hah?" teriak Un Ji pula seraya berpaling.
"Ada apa?" tanya Tong Po-gou sambil celingukan.
Pui Heng-sau yang mengetahui paling belakang segera berteriak:
"Hati-hati!" Untung senjata rahasia itu ditujukan ke tubuh Ong Siau-sik. Coba kalau diarahkan kepada
mereka, jangan lagi menunjukkan perubahan mimik muka, mengeluarkan suara pun mungkin tak
sanggup. Ong Siau-sik ingin menghindar. Ia menjumpai kalau tak ada lagi kesempatan untuk berkelit.
Senjata-senjata rahasia itu menyerang dari tiga arah yang berbeda, arah belakang, kiri dan
kanan, itu berarti kalau ingin menghindar, dia harus geser ke depan.
Pemuda ini tak mungkin maju, biarpun ke tiga biji senjata rahasia itu dapat merenggut
nyawa, justru tandu yang berada dihadapannya inilah merupakan senjata pamungkas yang
mematikan. Ong Siau-sik hanya melakukan satu tindakan.
Tiga biji batu kerikil melesat keluar dari balik tangannya, menyerang dengan kecepatan luar
biasa. Secara terpisah ke tiga biji batu kerikil itu menghantam ke tiga biji senjata rahasia yang
datang dari udara, darat dan air.
Ditengah dinginnya malam, terdengar tiga kali dentingan lirih, tiga dentingan dengan suara
yang berbeda. "Plungg!", "Plook!" "Plaaak!"
Sebiji batu kerikil menghantam ke dalam air, menenggelamkan senjata rahasia yang datang
dari dasar air, sebiji lagi menyusup ke tanah, membenamkan senjata rahasia yang datang dari
balik tanah itu semakin dalam, sedangkan sebiji lagi melesat ke tengah udara, mencegat
datangnya senjata rahasia lawan, seketika kedua senjata rahasia itu hancur berkeping dan
berguguran diatas sungai.
Ke tiga biji senjata rahasia yang dilepaskan dari balik tandu itu, hampir semuanya rontok
oleh tiga biji batu kerikil dari Ong Siau-sik.
Namun semangat tempur pemuda itupun ikut runtuh, karena dalam sakunya sudah tiada batu
kerikil. Selama ini dia selalu beranggapan, tak mungkin akan bertemu dengan musuh tangguh
di kota Bian-keng yang bisa memaksanya menggunakan tiga biji batu kerikil.
Tapi kini, dia telah menjumpainya.
Dia hanya menyiapkan tiga biji batu didalam sakunya, setelah menggunakan sebiji, akan
diganti dengan batu yang lain, tentu tak seorang pun akan menggembol segenggam batu kerikil
didalam sakunya tanpa sebab yang jelas.
Diatas tanah memang banyak terdapat batu, tapi musuh tangguh berada didepan mata, tak
mungkin dia memungut untuk digunakan.
Dan kini, musuh tangguh yang dihadapi telah memaksanya menggunakan tiga biji batu kerikil
sekaligus. Untungnya, dia masih memiliki sebuah posisi yang menguntungkan, secara kejiwaan dia menang
satu tingkat, karena musuh belum tahu kalau dalam sakunya sudah tiada batu kerikil,
lagipula ditangannya menggenggam golok, dipinggangnya tersoren pedang.
Selain itu, diapun harus pergi membunuh Cukat sianseng, bila ingin menghabisi nyawa Cukat
sianseng, mana boleh kalah terlebih dulu ditangan Bu-cing? Jika Bu-cing pun tak bisa dia
kalahkan, bagaimana mungkin ia dapat membunuh gurunya, Cukat sianseng?
Ong Siau-sik ambil keputusan akan menghadapi dulu musuh tangguhnya ini. Tapi "musuh
tangguhnya" berupa sebuah tandu.
Tandu itu tak bersuara, tidak bergerak, mirip sebuah arca persembahan. Tiada hio maupun
lilin, yang ada hanya bunga salju, salju bagaikan taburan bintang. Taburan bintang salju
yang beterbangan di angkasa, membuat seluruh jagad terjerumus dalam lapisan putih yang
tiada tepian. Tak lama kemudian, atap tandu telah diselimuti selapis salju. Bunga salju yang bening,
bunga salju yang lembut dan putih.
Dalam tandu tetap hening, tiada gerakan, tiada suara. Kini udara semakin dingin, sedemikian
bekunya hingga membuat hidung serasa mau copot, membuat mata serasa membeku kaku.
Mengapa secepat ini udara menjadi dingin, menjadi beku? Ketika angin berhembus lewat,
terasa sayatan pisau yang tajam membelah seluruh tubuh, seakan hendak memahat manusia hidup
menjadi manusia salju. Ong Siau-sik mulai berkeringat, keringat membasahi punggungnya. Entah bagaimana pula
perasaan Bu-cing yang berada dalam tandu saat ini?
Ong Siau-sik dapat menahan diri, sayang ada orang lain yang tak sanggup menahan sabar lagi.
Tong Po-gou tak sanggup menahan diri. Dia mampu menghadapi pertarungan mati hidup diatas
bukit golok samudra api, dia mampu bertarung ditengah udara dingin atau hawa panas
menyengat, tapi tidak untuk keheningan yang luar biasa. Keheningan seakan dunia sudah mati
selama ratusan tahun, bahkan keheningan yang dapat membuat ia mendengar jelas setiap bunga
salju yang terjatuh di dedaunan, mencair jadi air, menetes jatuh ke tanah, lalu membeku
lagi menjadi bongkahan salju.
Dia tak mampu menahan diri.
Hanya saja ia tak berani bergerak, karena kilatan sinar mata dari Ong Siau-sik.
Belum pernah Ong Siau-sik memperlihatkan sorot mata begitu serius.
Entah mengapa, Tong Po-gou yang selama ini tak pernah takut pada langit, tidak takut dengan
bumi, namun menaruh rasa hormat yang luar biasa terhadap sorot mata Ong Siau-sik.
Golok Naga Kembar 6 Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon Belalang Kupu Kupu 16
^