Pencarian

Pembajak Kapal Selam 2

Hardy Boys Pembajak Kapal Selam Bagian 2


hari sudah malam" Tiba-tiba saja Frank dan Joe merasa letih untuk bicara. Mereka
minta agar diperbolehkan mandi dan tidur. Mereka berjanji akan
menceritakan seluruh peristiwa itu esok harinya.
************* Esok berikutnya, tuan rumah sangat terheran-heran mendengar
di mana kedua anak muda itu berada.
"Di dalam tambang?" tanya Karl, matanya terbelalak. "Aku
tidak pernah tahu orang dapat masuk ke ruang bawahtanah dengan
cara demikian. Siapa yang punya pikiran untuk mencari kalian di
sana?" "Tambang apa itu?" tanya Frank. "Tidak seorang pun pernah
katakan itu kepada saya!"
"Sudah ditinggalkan sejak perang dunia I," jawab Karl. "Pada
waktu itu adalah tambang bijih besi. Tetapi setelah terjadi kecelakaan
hebat lalu ditutup. Sejak itu tidak seorang pun datang ke dekatnya."
"Agak kurang bertanggungjawab hanya memasang papan
peringatan kecil di pinggir jalan," kata Frank. "Kita sebaiknya
menyampaikan hal ini kepada walikota Herr Reimann!"
"Ya, benar! Lakukan itu!" Orangtua itu setuju. "Aku tahu pintu
masuknya biasanya ditutup dengan papan. Tetapi rupa-rupanya sudah
lapuk!" "Atau bangsat-bangsat itu telah menyingkirkannya, hingga
mudah menjebak kami," kata Frank.
"Orang-orang itu benar-benar mengerikan," seru Lina dengan
suara gemetar. "Kalian harus melaporkan itu kepada polisi. Segera!"
"Tentu!" Frank berjanji. "Tetapi lebih dulu akan kulihat apa
mobil kami masih di tambang."
"Tidak!" seru Lina sambil berpaling kepada nona Altenberg.
"Doris, jangan izinkan kedua anak muda itu dekat-dekat dengan
tambang lagi. Itu bunuh diri namanya!"
Tetapi Frank dan Joe yakin bahwa lawan-lawan mereka tentu
sudah meninggalkan tambang. Mereka tentunya mengira bahwa kedua
anak muda itu telah terperangkap untuk selama-selamanya. Doris
menyetujui dan menawarkan mobilnya untuk digunakan.
Segera setelah sarapan kakak beradik itu berangkat.
" Sekarang kita tahu bagaimana pencuri itu dapat masuk ke
dalam ruang bawahtanah untuk mencuri lukisan-lukisan itu," kata Joe.
"Betul," Frank membenarkan. "Terowongan tersebut mungkin
dibuat justru untuk tujuan itu. Kemudian tanah runtuh itu disengaja
diadakan pada tahun 1944."
"Ya, tepat pikiranmu itu, Frank. Hal ini cocok dengan teori kita
tentang menghilangnya Blendinger."
"Yang kini ingin kuketahui adalah bagaimana kita tidak
merasakan hembusan angin waktu memeriksa ruang bawahtanah."
"Memang tidak ada. Celah-celah di langit-langit itu mungkin
terjadi akibat ledakan itu!"
Keduanya terus-menerus mengasah otak, sementara Joe
membelokkan mobil ke jalan sempit menuju lembah.
"Ada sesuatu yang tidak dapat lepas dari pikiranku," Frank
berkata. "Heinz Kroll dan kawannya, yang suaranya kita dengar dari
tape, tentu sangat hafal dengan keadaan letak tambang itu, hingga
dapat menjebak kita. Menurutmu apa itu tidak aneh?"
"Mengapa? Barangkali mereka tahu tempat itu secara kebetulan
atau dari rakyat setempat!"
" Bagaimana kalau itu bukan secara kebetulan? Bagaimana
kalau mereka memang telah tahu sejak lama? Atau ada orang yang
membuatkan peta bagi mereka?"
"Itu mungkin saja. Apa bedanya?"
"Lho, besar sekali," kata Frank bergairah. "Kalau mereka benarbenar hafal, mereka tentu tahu juga tentang terowongan rahasia
menuju ruang rahasia di bawahtanah. Dengan kata lain gerombolan
Kroll mungkin terlibat masalah pencurian lukisan-lukisan itu!"
Joe bersiul. "Kesimpulan yang bagus!" kata Joe. "Itu sudah jelas mengapa
Kroll begitu ingin kita keluar dari kota Glocken. Tetapi di lain pihak
... ia juga terlibat dalam masalah mata-mata industri di bengkel
Wagner!" "Benar. Tetapi jangan kautanyakan aku mengapa ia muncul
dalam kedua misteri ini."
Mereka sampai di tujuan. Meskipun yakin bahwa lawan-lawan
telah pergi, namun mereka tetap waspada dan hati-hati. Mereka parkir
mobilnya agak jauh dari tambang, di belakang rumpun semak-semak.
Kemudian mereka perlahan-lahan merangkak menuju ke pintu masuk.
Kecurigaan mereka ternyata benar. Mobil Alfa Romeo merah telah
tidak ada di situ. Hanya Porsche keperakan yang tetap parkir di bawah
pohon oak. "Periksa dulu! Apa ada yang hilang!!" usul Frank.
"Hilang?" jawab Joe menyeringai. "Justru sebaliknya!"
Ia menunjuk ke kamera tua miliknya di bangku mobil. Selain
itu rupa-rupanya semuanya tidak dijamah.
"Pintar sekali!" Frank menyatakan. "Sekarang nampaknya
seperti benar-benar suatu kecelakaan. Anak-anak yang ingin tahu dan
menyelinap ke dalam tambang yang telah ditinggalkan, lalu terjebak
tanah runtuh. Penyelamatan tidak dilakukan karena sangat
berbahaya." Joe tertawa berdecak. "Kita tunggu sampai Kroll melihat kita! Alangkah terkejut dia!"
"Tetapi justru kita harus menemukan dia dulu," Frank
mengingatkan. "Aku usul kita segera ke Munich dan mulai cari dia!"
"Bagus!" Joe setuju. "Bagaimana pun di sini sudah tidak ada
apa-apa." Mereka memutuskan bahwa Joe akan mengembalikan mobil
nona Altenberg dan selanjutnya mengemasi pakaian, sedang Frank
menelepon Rita Stolz di kantor pos.
Ketika Frank bicara dengan istri temannya, ia merasa terkejut
karena Gerhard belum juga menghubungi istrinya. Rita jadi khawatir,
demikian pula Frank dan Joe.
Frank tiba di rumah nona Altenberg, lalu mengemasi hampir
semua barang-barangnya. Bau harum daging panggang memenuhi
seluruh rumah. Doris lalu mempersilakan mereka untuk makan dulu.
Dengan berterimakasih mereka menerimanya.
Mereka berada di dapur ketika Karl kemudian datang masuk.
"Doris, coba tebak siapa yang baru saja kulihat di kota!"
katanya. "Hein Schmidt!"
Frank menatap dia. "Apakah yang anda maksudkan anak bekas
anggota Dewan Kota yang tewas di pertempuran?"
"Betul!" Karl memastikan. "Mula-mula aku tidak tahu siapa
dia. Karena aku belum pernah lihat ketika kanak-kanak. Tetapi
akhirnya aku sadar bahwa dia tentu Heinz. Rupanya persis ayahnya. Ia
mengendari mobil sport. Rupanya cukup sukses dia di Amerika
Selatan." Joe hampir meledak karena tegang.
"Mobil jenis apa itu? ia mendesak. "Bagaimana bentuknya?"
"Aku kurang mengenal macam-macam mobil, anak muda,"
jawab Karl tersenyum. "Apa yang kuketahui hanya mobil sport kecil
warna merah!" 13. Orang yang di Lobby Frank memandang adiknya. "Joe! Kaudengar itu? Heinz Kroll mungkin sekali Hainz
Schmidt!" "Ya, aku dengar. Karl, dapatkah anda gambarkan bagaimana
wajah Heinz itu kepada kami?"
Setelah orang tua itu memberikan gambaran bagaimana wajah
orang itu, tidak ragu-ragu lagi bagi kedua detektif muda itu. Schmidt
jelas adalah Heinz Kroll.
"Karl, anda telah banyak menolong!" kata Frank. "Anda telah
memberikan petunjuk yang paling baik."
"Anak-anak," Doris menyela. "Maukah kalian mengatakan
kepadaku siapa Kroll yang misterius itu? Ataukah, kalian belum mau
mengungkapkan itu karena aku masih dicurigai!"
Kakak beradik itu meyakinkan nona Altenberg bahwa mereka
tidak pernah percaya bahwa ia terlibat dalam pencurian itu.
"Kami justru tidak sebut-sebut nama Kroll karena belum pasti
bahwa ia tersangkut dalam masalah lukisan," kata Joe. "Hanya sejak
pagi ini kami mulai curiga bahwa kedua perkara yang sedang kami
tangani mungkin saling berkaitan!"
"Dua perkara?" tanya Doris heran.
"Betul!" Dengan singkat Joe menceritakan kepadanya tentang kapal
selam mini Alfred Wagner serta alasan kepergian mereka ke
Dusseldorf. Ia juga menyebutkan saputangan buatan Argentina serta
surat peringatan yang mereka terima di hotel.
"Semua itu memang belum banyak artinya sampai sekarang,"
sambung Frank. "Tetapi setelah ternyata Heinz Kroll sebenarnya
adalah Heinz Schmidt, maka teka-teki mulai terkuak. Namun satu hal
yang kami belum mengerti. Bagaimana ia dapat tahu jalan untuk
mencapai lukisan-lukisan itu!"
" Mungkin ayahnya memberitahu dia di mana lukisan
disembunyikan," Fraulein Altenberg menduga.
"Itu mungkin. Tetapi Heinz masih kanak-kanak ketika Wilhelm
Schmidt meninggal." " Barangkali Herr Lechner dapat mengungkapkan perkara ini,"
Joe sarankan. "Dan jangan lupa pula Blendinger," sambungnya. "Peranannya
dalam semuanya ini sangat misterius." Ia menghela napas. "Kulihat
masih banyak hal-hal yang harus kita hadapi."
"Engkau akan berhasil membuka semuanya," kata Doris. "Kau
pun telah temukan banyak hal. Aku yakin kalian akan temukan pula
lukisan-lukisan itu!"
"Gerombolan itu mungkin telah lama menjualnya," kata Joe.
"Aku sangsi kalau mereka mencuri hanya untuk dilihat-lihat saja!"
"Tentu saja tidak. Tentu aku merasa bahwa mereka sulit
mendapatkan pembeli," kata Doris ngotot. " Mungkin sekali lukisanlukisan itu masih di tangan mereka."
"Apa yang membuat anda berpikir demikian?" tanya Frank.
"Mudah saja. Kalau mereka sudah mencapai tujuan mereka,
tentu tidak akan mati-matian hendak menyingkirkan kalian. Itu tidak
perlu, karena pada saat itu tentunya mereka telah pergi!"
"Penalaran anda sangat hebat!" Frank memuji. "Anda juga
seorang detektif, Fraulein Altenberg."
Setelah makan siang, kedua anak muda itu mengucapkan
terimakasih dan selamat tinggal.
Dalam perjalanan keluar kota, mereka singgah di Balai Kota
untuk bertemu dengan Lechner. Ia mengatakan kepada mereka, bahwa
kerangka yang ditemukan di ruang bawahtanah Altenberg memang
dikenal sebagai Blendinger. Juga, bahwa nama kecil nyonya Schmidt
adalah Kroll. "Dengan nama buruk dari ayahnya, rupanya Heinz tidak mau
memakai nama itu. Ia memilih memakai nama keluarga dari ibunya,"
Frank menjelaskan. Setelah itu anak-anak Hardy kemudian menelepon bapak
walikota. Walikota Reimann mengatakan kepada mereka bahwa kota
Glocken dengan bantuan yang berwajib telah memasang hadiah
sepuluhribu mark bagi siapa yang dapat menemukan lukisan-lukisan
tersebut. "Woow", kata Frank ketika berangkat melakukan perjalanan ke
Munich. "Itu jumlah yang banyak. Pikirkan saja apa yang tidak dapat
kita lakukan dengan sejumlah uang itu!"
Joe menyeringai. "Kita dapat tinggal di Jerman selama satu tahun. Bukankah itu
hebat!" Beberapa jam kemudian, Frank menggantikan Joe memegang
setir. Joe merasa senang karena ia semakin dekat dengan Munich
walau hatinya semakin tegang pula.
"Aku sungguh tidak mengerti mengapa Gerhard tidak juga
menelepon," katanya. "Itu bukanlah kebiasaannya. Dan telegram
ini." Ia merogoh saku jaket yang dilipat dan ditaruh di tempat duduk
belakang. Telegram itu sudah tidak ada! Joe menoleh dan mencari di
semua saku-sakunya, lalu di lantai mobil.
"Telegram itu hilang," serunya. "Kau mengambilnya, Frank?"
"Tentu saja tidak!"
"Kutaruh di saku jaket kemarin. Dan baju itu kutinggalkan di
mobil ketika kita masuk ke dalam tambang.
"Tetapi kita telah memeriksa semuanya pagi tadi. Apa tadi kau
tak melihatnya?" "Tak terpikir untuk memeriksa," Joe mengaku. "Tidak sangsi
lagi. Tentu diambil Heinz Schmidt!"
"Untuk apa ia lakukan itu?"
"Karena palsu! Dan ia tak ingin itu ditemukan orang!" jawab
Joe. "Aku rasakan aneh selama ini. Ada sesuatu yang tidak beres
dengan telegram itu. Aku yakin Gerhard tidak mengirimnya. Tentu
salah seorang dari gerombolan Schmidt."
"Itu berarti Gerhard sama sekali tidak ke Vienna?" Frank
menyimpulkan. "Betul! Siapa tahu! Barangkali saja ia terperangkap dan
diculik!" Frank menginjak pedal gas dan melaju di sepanjang Autobahn
secepat-cepatnya, karena di sana tidak ada batas kecepatan. Ketika
telah dekat Munich, Frank berkata kepada adiknya.
"Mengapa kita tidak mampir ke Alfred Wagner? Barangkali ia
tahu sesuatu dari apa yang telah terjadi!"
Joe setuju. Mobil diparkir di depan bengkel temannya itu.
Mereka mendapatkan Wagner seorang diri di kantornya. Ia nampak
merenung-renung atas gambar-gambar rencananya. Para montir telah
pulang beberapa waktu sebelumnya.
"Pak Wagner, apakah anda tahu di mana Gerhard?" tanya Joe.
"Kukira justru engkau yang dapat mengatakan kepadaku di
mana dia," ia menukas dengan wajah cemberut. "Aku sedang
bertanya-tanya dalam hati, mengapa aku tidak pernah dengar
beritanya. Aku sudah coba hubungi dia sejak kemarin, tetapi tak
seorang pun menjawab."
Dengan singkat kedua anak muda itu menceritakan tentang
telegram. Mereka pun mengemukakan kecurigaan mereka
kemungkinan Gerhard Stolz telah terperangkap.
"Kapan anda lihat dia terakhir?" tanya Joe.
"Senin," jawabnya. Ia lepaskan kacamatanya lalu dibersihkan.
"Ia datang kemari dan memeriksa buku-buku. Selasa pagi ia
menelepon dan mengatakan bahwa ia mencurigai orang tertentu."
"Siapa itu?" tanya Frank. "Ia tidak sebutkan nama karena belum
pasti. Ia rencanakan untuk menjebak orang tersebut dan cari tahu siapa
pemimpinnya." "Bagaimana ia hendak melakukannya?" tanya Joe.
"Ia menyuruh aku untuk menyimpan gambar-gambar lama di
laciku dan menguncinya. Kemudian aku dimintanya untuk
mengatakan kepada siapa saja di bengkel ini, bahwa aku telah
membuat disain dan memperbaiki perlengkapan bagi kapal selam."
"O, saya tahu!" seru Frank. "Ia ingin mengawasi mata-mata
ketika ia masuk dan memotret gambar-gambar anda, kemudian
mengikutinya."

Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau saja kita tahu siapa yang ia curigai," kata Joe sambil
menghela napas. "Apa ada kerja lembur Selasa malam itu?"
"Mungkin," jawab Wagner. "Aku pulang jam enam sebab
Gerhard menghendakinya. Aku pun suruh Meier pulang!"
Itu berarti ia tidak kembali lagi, pikir Joe. Ia masih menaruh
curiga kepada asisten Wagner itu.
"Dan kemarin semua masuk kerja?" tanya Frank. "Tidak ada
satu pun yang berlaku mencurigakan?"
"Aku tidak merasa," kata Wagner.
Karena tidak mampu memberi informasi lebih lanjut, ia
menggeleng putus asa. Kedua anak muda itu menepuk-nepuk
punggungnya memberi semangat. Mereka katakan akan tetap
membantunya, lalu berangkat lagi.
Waktu sudah jam tujuh lewat ketika mereka tiba di apartemen
wartawan itu. Frank membunyikan bel tetapi tidak ada yang
menjawab. "Rita tentu sedang keluar," katanya. "Kita tidak punya kunci
pintu lantai bawah."
"Kita tunggu saja," usul Joe, "sampai ada yang keluar atau
masuk." Tidak lama kemudian seorang nyonya membuka pintu bagi
mereka, ketika ia sendiri hendak keluar. Joe memegangi pintu
sementara Frank mengangkat barang-barang dan meletakkan di
elevator. Ketika mereka selesai menaruh barang, seseorang jangkung
berotot turun dari tangga dengan tergesa-gesa. Ia memakai topi jerami,
berkacamata tebal dan bawa tas kulit. Ketika ia lihat kedua anak muda
itu di elevator, ia lemparkan pandangan marah, menggumam sesuatu
dan bergegas keluar. "Aku ingin tahu apa yang mengganggu dia," kata Joe sambil
naik di elevator. Frank mengangkat bahu. "Mungkin ia marah karena kita menggunakan elevator, hingga
ia terpaksa menggunakan tangga."
Ketika sampai di pintu apartemen Stolz, Frank membuka
pintunya dan berdua mereka lalu masuk. Flidung Joe kembangkempis.
"Sayang sekali," katanya.
"Apa?" "Rita tidak ada. Tetapi aku mencium kosmetiknya. Ia tentu baru
saja keluar. Padahal aku ingin sekali berbicara dengan dia!"
Saat itu juga ia dengar suara merintih dari kamar tamu. Mereka
segera lari masuk dan ternganga. Di sebuah kursi terikat sesosok
tubuh dengan mulut tersumpal.
Rita Stolz! 14. Dongeng Sebuah Inisial
Kakak beradik Hardy lari mendatangi. Mereka cepat-cepat
membebaskan Rita dari ikatannya. "Terimakasih!" Rita menggumam.
Frank kemudian mengambil segelas air dari dapur, lalu
diberikannya, sementara Joe mengurut-urut kedua pergelangan tangan
Rita. "Orangnya tinggi besar," Rita berkata menggagap di antara
tegukan minumnya. "Pakai kacamata. Baru keluar beberapa menit
yang lalu." Frank dan Joe saling berpandangan. Keduanya segera
ingat si orang jangkung berotot yang bergegas keluar, ketika mereka
sedang meletakkan barang-barang mereka di elevator.
"Apa ia memakai topi dan bawa tas?" tanya Frank.
Rita mengangguk. "Orang itu tentu belum jauh," sahut Joe dan lari ke telepon. Ia
menelepon polisi yang sangat kenal Gerhard Stolz. Sersan yang
bertugas berjanji akan segera kirim mobil patroli untuk mencari
pelarian itu. "Engkau tidak mau istirahat dulu?" tanya Frank kepada Rita.
"Ya!" jawab Nyonya itu.
Kedua anak muda itu membantu dia ke tempat tidur dan
meletakkan bantal di bawah kepalanya.
"Aku akan segera sembuh!" kata Rita sambil tersenyum kecil.
Ia meraba-raba rahangnya yang sakit dan mengurut-urut pergelangan
tangannya. "Bersama Gerhard orang tak pernah aman," kata Rita. "Aku
berharap agar ia jangan selalu terlibat perkara kriminal."
"Bagaimana kautahu bahwa ini bukan pencuri biasa? Dan
kebetulan mencuri di apartemen seorang wartawan penyelidik
terkenal?" "Itu aku tahu. Mengapa ia menggeledah meja tulis. Ia tidak
ambil apa-apa, hanya menyobek-nyobek halaman-halaman buku
catatan Gerhard!" "Kalau begitu nampaknya memang bukan pencuri biasa," Frank
mengaku. "Bagaimanakah kejadian semuanya itu?"
"Aku baru saja masuk, tiba-tiba penjahat itu menerkam dari
belakang pintu. Aku meronta untuk melepaskan diri. Tetapi segera ia
menyumpal mulutku, lalu mengikat tangan dan kaki di kursi."
"Jadi ia telah berada di apartemen ketika engkau pulang," tanya
Joe. "Kalau begitu tentunya ia telah merusak kunci."
"Tidak! Ia tidak merusak kunci." Rita jelaskan. "Ia punya kunci.
Ketika pergi, ia menguncinya dari luar!"
Tiba-tiba saja menyelinap ke dalam benak Frank sebuah
kesimpulan nyata. "Maling itu pasti anggota gerombolan Schmidt. Tidak salah
lagi. Ia ambil kunci itu dari saku Gerhard pada waktu ia terjebak!"
"Sekarang aku pun tahu," berkata Joe sehubungan dengan itu.
"Ia mendapatkan kunci itu dari"
Frank menyikut pinggang adiknya. Ia tidak ingin membuat Rita
khawatir suaminya jatuh ke tangan para penjahat yang ganas.
Bel pintu berbunyi. Dua orang polisi datang masuk sambil
menyeret seseorang. Itulah orang yang dilihat kedua anak muda itu di
lobby! "Sudah saya katakan, kalian keliru!" orang itu memberontak.
"Saya akan adukan kalian!" Rita menatap ketiga orang itu dengan
telinga terpasang. "Apa-apaan semua ini!" ia bertanya. "Aku masih marah dan
bingung telah diserang secara kurang ajar. Aku sungguh harapkan
kalian datang lebih awal dan berhasil menangkap penjahat"
"Tetapi, Rita!" Frank menyela. "Bukankah ini maling itu?"
"Tentu saja bukan. Aku belum pernah lihat orang ini!"
"Dengar? Apa kata saya tadi?" orang asing itu berseru penuh
kemenangan. Joe minta maaf kepadanya karena kekeliruan itu. Tetapi ia
jelaskan bahwa ciri-ciri si maling itu cocok benar dengan dia.
Lagipula ia telah lari-lari keluar apartemen hingga menimbulkan
kecurigaan. "Itu karena aku harus mendapatkan tempat dalam kereta api
untuk pulang!" seru orang itu.
Ia masih saja marah dan katakan bahwa ia telah menunggu
selama limabelas menit di depan apartemen Herr Huber di tingkat
yang sama. "Saya kira Huber lupa akan janjinya," orang itu menggerutu.
"Saya lalu memutuskan untuk pulang saja. Saya kira dapat mengejar
kereta api, tetapi elevator sedang dipakai."
Para polisi menerangkan tidak ada kesulitan menangkap orang
itu karena sepanjang jalan terus lari-lari.
"Saya sungguh menyesal, anda ketinggalan kereta api," kata
Frank. "Tetapi barangkali anda dapat membantu kami. Apa ada
seseorang keluar dari apartemen ini ketika sedang menunggu?"
?Tidak!" jawab orang itu heran. "Tetapi nanti dulu ... ketika saya turun
dari elevator, ada orang yang sedang menunggunya. Dialah yang
menggunakannya ke bawah!"
"Bagaimana rupa orang itu?"
"Tinggi dan kuat, meski tidak muda lagi. Saya kira mulutnya
tipis dan hidungnya pesek. Ia pakai kacamata dan pakaian abu-abu
atau biru muda!" "Itulah orangnya!" Rita berseru.
Polisi mencatat gambaran dari orang itu. Ia ucapkan terimakasih
atas bantuannya. Orang itu pergi, nampaknya ia bangga karena polisi
mengatakan bahwa ia telah menjadi saksi penting.
Rita ceritakan tentang kejahatan itu.
"Si pencuri masuk kamar kerja suaminya, menggeledah meja
tulisnya. Akhirnya menyobek-nyobek beberapa halaman buku catatan.
Saya dapat lihat melalui pintu yang terbuka!"
Polisi-poisi itu tidak mengerti. Mereka menggeledah apartemen
tersebut dan tidak menemukan apa-apa yang rusak. Rita pun
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang hilang.
"Tak usah repot-repot cari sidik jari," kata Rita. "Orang itu
pakai kaus tangan." Setelah polisi-polisi itu pergi, Rita masuk ke dalam dapur untuk
menyiapkan makan malam. Sementara itu Frank dan Joe turun ke
bawah untuk memasukkan mobil ke dalam garasi.
"Apa kaukira maling itu anggota gerombolan Schmidt?" tanya
Joe kepada kakaknya. Frank mengangguk. "Schmidt barangkali ingin tahu apakah kita telah memberi
petunjuk-petunjuk kepada Gerhard. Ia lalu kirim seseorang untuk
memeriksa tempat ini dan mencari bukti-bukti."
"Ciri-cirinya tidak cocok dengan Heinz Schmidt atau apa yang
kita ketahui dengan Oskar Jansky," kata Joe. "Jadi tentunya Willy
Steiner!" "Barangkali. Tetapi gerombolan itu punya anggota-anggota lain
yang belum kita ketahui."
"Haa, lihat!" Joe berkata sementara memasukkan mobil ke
dalam garasi. "Mercedes Gerhard juga tidak ada. Kukira itu tidak
mengejutkan." "Aku ingat suatu kali ia menceritakan tentang teman baiknya,
seorang detektif ulung dari Kantor Polisi Negara Munich," kata Frank.
"Namanya Sepp Schirmer. Kukira baik kalau kita telepon dia. Aku
yakin ia dapat membantu kita mencari Gerhard!"
"Bagus! Tetapi sebaiknya dari telepon umum saja. Kita jangan
membuat Rita cemas."
Mereka kembali ke lobby. Di sana terdapat telepon umum.
Frank mencari nomor telepon Schrimer dari buku telepon, lalu
memutarnya. Detektif itu sedang ada di rumah. Ia mendengarkan
cerita Frank dengan penuh perhatian. Ia menghela napas.
"Aku tidak senang dengan ini," katanya. "Aku akan segera
kembali ke kantor sesudah makan. Aku akan kirim seseorang sekarang
juga ke lapangan terbang untuk memeriksa daftar penumpang. Selain
itu aku juga akan beritahu bagianku untuk melakukan tugas
pengawasan dan mencari orang-orang yang dicurigai. Nomor mobil
Gerhard berapa?" Frank memberitahukan nomor mobil. Kemudian terdengar lagi
suara Schirmer. "Barangkali aku akan dapat menemukan sesuatu dari laporanlaporan dua hari yang terakhir ini. Kalau kalian dengar apa-apa cepat
beritahukan aku, Oke?"
Frank berjanji, lalu meletakkan gagang telepon. Kedua anak
muda itu kemudian kembali ke apartemen. Rita telah mengatur meja
dan makan pun telah disiapkan. Meskipun baru saja menghadapi
ketegangan, ketiganya makan dengan berselera. Kakak-beradik Hardy
menawarkan diri untuk membereskan meja makan, sementara Rita
dapat beristirahat di sofa ruang tamu.
Mereka sedang mengeringkan piring-piring di dapur, ketika
Rita tiba-tiba berseru penuh gairah.
"Lihat apa yang kutemukan ini!" katanya sambil menunjukkan
sehelai kertas. Frank menerima kertas serta melihatnya dengan heran, dan
dibacanya: "W KHAWATIR ATAS HILANGNYA S. HARAP
TELEPON SAJA T" "WooW!" seru Joe. "Aku yakin bahwa itu adalah sebuah pesan
dari mata-mata Schmidt. "Itu sudah pasti! W untuk Wagneer, S untuk Stolz dan T untuk
mata-mata itu. Barangkali Wagner dapat memberikan petunjuk arti T
ini." Frank memeluk Rita dan mencium pada pipinya.
"Engkau sungguh hebat," katanya. "Ini adalah petunjuk yang
luarbiasa! Di mana engkau temukan?"
"Tergeletak dekat sofa. Rupanya terjatuh dari saku penjahat itu
ketika aku meronta hendak melepaskan diri." Ia pandangi kedua anak
muda itu penuh harapan. "Kalian hendak telepon Wagner?"
"Tidak!" jawab Frank. "Lebih baik temui dia secara pribadi."
Frank dan Joe berlari keluar. Segera mereka sampai di bengkel
Wagner. Seperti yang mereka harapkan ahli penemu itu masih ada di
bengkelnya walaupun sudah malam.
" Apakah anda punya pegawai dengan nama berinisial huruf
T?" tanya Frank setelah saling menyapa sejenak.
"Nama dengan inisial huruf T?" Wagner kerutkan dahinya. "Ya,
benar! Ada! Salah seorang montirku bernama Tarek. Mengapa
kautanyakan itu?" "Sebab kami kira dialah mata-mata gerombolan Schmidt."
Frank lalu menunjukkan kertas yang ditemukan oleh Rita di
apartemennya. "Tetapi bagaimana kalian yakin bahwa itu adalah Tarek?" tanya
Wagner. "Kita harus pasang perangkap," kata Frank. "Tetapi aku ingin
tahu lebih dulu apakah surat itu ditulis di sini!"
Wagner punya dua buah mesin tulis. Salah satunya, model agak
tua, sering dipakai oleh pegawai-pegawainya.
Dengan segera kedua anak muda itu mencocokkan hurufhurufnya. Tidak sangsi lagi! Pesan itu ditulis dengan mesin tulis tua
tersebut. "Andaikata Tarek kita hadapkan kepada kenyataan ini," usul
Joe, "barangkali ia akan mengaku."
"Jangan. Aku punya akal yang lebih baik," kata Wagner. "Salah
satu dari kalian memanggil dia dan berpura-pura menjadi Schmidt.
Barangkali dengan begitu akan berhasil."
"Bagus!" Frank setuju. "Tetapi mengapa kita tidak pasang
perangkap saja? Jadi dia tidak hanya mengaku, tetapi sekaligus
menangkap basah dalam proses ini."
Mereka kemudian membahas bersama cara untuk menjebak
penjahat itu. Akhirnya diputuskan bahwa Frank menelepon Tarek dan
menyuruh dia datang ke kantor.
Frank berusaha meniru suara seperti yang didengarnya dari tape
recorder yang ada di tambang. Ia tambahkan ucapan-ucapan berikut:
"S tinggalkan sebuah laporan di kantor W. Kita harus
merampasnya sebelum hari esok. Tolong bereskan dengan segera!"
Frank letakkan gagang telepon sebelum orang itu sempat
menjawab. Joe tertawa. "Sekarang kita harus mengatur untuk sambutan hangat penjahat
itu. Aku sudah tidak sabar!" "Aku juga!" kata Wagner.
Ia menyuruh Joe agar sembunyi dalam bilik pakaian di
kantornya, dekat tombol lampu dan membiarkan pintu sedikit terbuka.
Kemudian ia dan Frank sembunyi di balik mobil.
Limabelas menit kemudian ia mendengar suara-suara di luar.
Sebuah kunci diputar di pintu.
Frank mengetuk pelan-pelan di kaca jendela sebagai isyarat
untuk Joe.

Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Joe mengertak gigi. "Aku tidak boleh melepaskan dia!" pikirnya. "Orang itu tahu di
mana Gerhard." Melalui kaca pintu kantor Joe melihat cahaya lampu senter
bergerak-gerak di lantai. Penjahat itu mendekati ruang kantor,
membuka pintu dan melangkah langsung ke meja Wagner. Ia
mengarahkan cahaya lampu senternya ke dalam laci-laci. Joe
mengulurkan tangan menekan tombol. Bersamaan dengan itu ia
berseru. "Jangan bergerak!"
Penjahat itu membalikkan tubuh. Lampu senternya jatuh ke
lantai. Matanya silau oleh terangnya lampu-lampu di langit-langit.
15. Berkayuh di Malam Buta
Alfred dan Frank menyerbu keluar dari persembunyian
bersama-sama. "Tarek!" ia berseru, menangkap orang itu pada pundaknya dan
mengguncang-guncangkannya dengan marah. "Jadi engkaulah
penjahatnya. Engkau yang memotret gambar-gambar rencanaku dan
menjualnya kepada Kroll. Akui saja, berdusta tak berguna sama
sekali!" Tarek, seorang yang bertubuh pendek, umur sekitar tigapuluh,
menjadi pucat pasi. Ia tak dapat mengatasi diri dari rasa terkejut.
Frank mendekati. Dengan hati-hati ia memeriksa kemungkinan
dirinya bawa senjata. Ternyata Tarek tidak membawa. Kedua anak
muda itu lalu mengikat tangannya di punggung dan mendorongnya
duduk di kursi. "Di mana Gerhard Stolz?" tanya Frank.
"A... aku ti...dak tahu persis!" Tarek menggagap. "Entah di
mana di seberang danau itu. Di dalam sebuah rumah!"
"Lebih baik katakan saja apa yang kauketahui!" sambung Joe
sambil menatap wajahnya dengan dingin.
Tarek mengatakan bahwa beberapa bulan yang lalu ia sedang di
rumahmakan. Seorang yang masih muda menawarkan limaratus ribu
mark untuk membereskan sebuah mobil curian.
"Menghapuskan nomor mesin dengan las. Mengecatnya dengan
warna lain. Itulah maksudnya!" kata Tarek.
"Itu mobil Alfa Romeo yang dicat warna merah, bukan?" tanya
Frank. "Ya!" Tarek mengaku. "Aku butuh uang. Maka Kroll, itulah
namanya, membawa mobil tersebut untuk kukerjakan sesudah waktu
kerja!" "Engkau harus malu, telah berbuat begitu!" Wagner
memakinya. "Pada hari berikutnya seorang yang lebih tua menghubungi aku
dan aku ditekannya," Tarek melanjutkan. "Dengan ancaman akan
melaporkan kepada polisi, kalau aku tidak mau mendapatkan gambargambar rencana kapal selam mini itu untuk dia."
"Itu tentu Willy Steiner, teman Heinz," Frank menerka.
"Aku tidak tahu. Ia tidak pernah menyebutkan namanya padaku.
Aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Ia lalu memberi
sebuah kamera dan membuat sebuah kunci kantor. Dengan itu aku
leluasa masuk kantor, kapan saja untuk membuat potret-potret."
"Bagaimana caranya kau serahkan film itu?" tanya Joe.
"Di dekat danau sana ada sebuah taman. Mobil kutinggalkan di
sana kalau aku datang malam-malam untuk memotret. Pulangnya
kuletakkan film itu ke dalam sebuah lubang di pohon oak."
"Dan bagaimana bossmu tahu kapan harus mengambilnya?"
tanya Wagner. "Aku beritahu sebelumnya!" jawab Tarek. "Pada jam makan
siang aku pergi ke taman dan duduk di sebuah bangku yang telah
ditentukan. Kalau aku ada pesan bagi dia, aku tempelkan pesan itu di
bagian bawah bangku itu dengan permen karet. Ia lalu memberi
perintah kepadaku dengan cara yang sama."
"Tetapi kau telah membuat kesalahan!" kata Frank. "Kau
tandatangani surat-suratmu dengan huruf T, dan itulah telah membuat
engkau sendiri tertangkap!"
Tarek mulai memaki, tetapi Frank tak memberinya waktu untuk
menyesali kesalahannya. Sebaliknya ia ingin tahu apa yang terjadi
dengan Gerhard. "Ketika pak Wagner menyebutkan penemuannya yang baru hari
Selasa yang lalu," kata Tarek, "aku hendak memotretnya malam itu
juga." Semuanya berjalan lancar sampai aku meletakkan film itu ke
dalam lubang pohon oak. Tiba-tiba aku dengar suara di belakangku.
Aku hampir saja terkena serangan jantung. Demikian takut aku waktu
itu." "Apa yang terjadi?" tanya Wagner.
"Bossku muncul dari belakang semak-semak dengan orang lain.
Kemudian aku lihat tuan Stolz menggeletak di tanah tidak sadarkan
diri." "Orang lain itu mungkin Oskar Jansky," kata Joe kepada
kakaknya. Kemudian ia berpaling ke arah Tarek.
" Mengapa kedua orang itu mengikuti engkau?"
"Ketika mereka terima pesanku siang harinya, mereka kira
suatu jebakan. Begitulah mereka dapat menangkap tuan Stolz. Mereka
menangkapnya ketika ia justru sedang menunggu untuk menangkap
mereka." "Apa yang mereka lakukan terhadap dia?" Frank menekan.
"Mereka mengangkat dia ke sebuah perahu, lalu dibawa
menyeberang danau," jawab Tarek. "Karena itu aku katakan mereka
menahannya dalam sebuah rumah di seberang. Terlalu gelap untuk
dapat tahu rumah yang mana."
"Kami ingin tahu apakah polisi mau menerima semua ceritamu
itu," kata Frank. Alfred lalu mengambil alih percakapan.
"Itu betul. Kami akan segera telepon yang berwajib. Semua
rumah di seberang harus segera digeledah!"
Frank pergi menelepon. Ia hubungi markas besar dan
menanyakan apakah detektif Schirmer masih ada di sana. Dijawab
bahwa Schirmer baru saja pulang. Ia lalu minta sersan yang bertugas
untuk jemput tawanan, dan kirim pesan kepada Schirmer untuk
menelepon ke kantor Wagner.
Kini tidak ada pilihan selain untuk menunggu. Namun Joe
kurang sabar. Ia khawatir atas diri temannya yang telah dua hari
lamanya jatuh di tangan lawan. Tiba-tiba ia mendapat gagasan.
"Aku ingin kau ikut aku. Tunjukkan kepadaku ke mana kedua
orang itu pergi," katanya kepada Tarek.
"Jangan kaupikir untuk dapat lari!" sambung Frank. "Jangan
lupa kami ada tiga orang dibanding kau seorang."
Tarek memandang dia dengan marah, tetapi tidak melawan
ketika didorong melintas gudang di pinggir danau. Sisi danau yang di
seberang itu hampir tidak nampak dalam gelapnya malam. Tarek
menunjuk arah diagonal ke seberang, ke arah rumpun pohon-pohonan.
"Mereka berhenti di dekat sana," katanya. "Kukira di belakang
pohon-pohonan itu ada sebuah rumah. Dan ada satu lagi di sebelah
kanan, tepat di pinggir danau."
Frank berpaling kepada Wagner setelah membisiki adiknya.
"Bolehkah aku pinjam perahu dayung? Dengan demikian kita
dapat tahu Gerhard ditahan di rumah yang mana, sebelum polisi
datang!" Wagner mengangguk ragu-ragu. "Oke! Tetapi hendaklah
kalian hati-hati!" Kedua anak muda itu menyanggupi.
"He, tunggu sebentar!" seru Wagner. "Aku akan ambil pestol di
rumahku dulu, hingga aku dapat mengatasi burung ini!"
Ia segera lari ke rumahnya dan kembali lagi dalam beberapa
menit. Sambil mengacungkan pestol ia berkata kepada Tarek.
"Ayo maju! Kembali ke kantorku!"
Frank dan Joe bergegas ke tambatan, melepaskan perahu dari
tambatan dan cepat-cepat mendayung menyeberang danau.
"Kita jangan langsung menuju ke rumah itu," Frank
menyarankan. "Lebih baik ke seberang dulu baru kemudian maju di
sepanjang pinggiran danau."
Demikianlah mereka sampai di seberang. Mereka biarkan
perahu terapung-apung. Mereka dengar-dengarkan suara-suara yang
sekiranya mencurigakan. Frank berkata setelah beberapa lama.
"Ayo, kita tidak perlu buang-buang waktu!"
Dengan diam-diam mereka mendayung sepanjang pinggiran
danau menuju ke arah pohon-pohonan. Rumah yang terletak di
sebelah kanan di tepi danau rupanya tidak dihuni.
"Mari kita coba dulu rumah yang lain!" usul Frank.
Mereka lihat sebuah kandang perahu kecil di belakang pohon
yang dahan-dahannya bergantung rendah. Dengan hati-hati meeka
mendekati. Joe menyalakan lampu senternya dan menyinari ke dalam
melalui pintu yang terbuka. Di dalam mereka lihat sebuah perahu
yang ditambat. Mereka pun lalu menambatkan perahu pada tambatan untuk
kemudian memanjat naik. Joe melihat seutas tali panjang yang
menjulai dari perahu yang lain. Barangkali saja ada gunanya, pikirnya.
Lalu ia memotong secukupnya.
Sebuah jalanan kecil yang mendaki keluar dari kandang perahu
itu melewati pohon-pohonan. Frank dan Joe melihat secercah cahaya
lemah. Mereka tahu cahaya itu datang dari dalam rumah.
"Ssst!" Frank peringatkan adiknya. "Mari kita menyelinap tanpa
menimbulkan suara." Mereka semakin dekat hingga dapat mendengar suara-suara
lirih. Mereka ikuti suara itu sampai ke sebuah jendela yang ditutup
gorden tebal, hingga sedikit cahaya saja yang tembus keluar.
Kedua detektif muda itu menempel rapat dengan dinding di
bawah jendela untuk mendengarkan. Seseorang mengatakan sesuatu
yang tidak jelas ditangkap maksudnya. Sedang seorang yang lain
menjawab dengan suara tegas.
"Limaratus ribu belum cukup!"
Kedua kakak beradik itu saling pandang. Itulah suara yang
pernah mereka dengar dari tape recorder.
Orang yang pertama berbicara lagi yang tidak dapat mereka
tangkap, tetapi kedengarannya seperti merengek meminta. Akhirnya
datang jawabannya. "Sudah kukatakan kepadamu, itu belum cukup. Aku punya
tawaran yang lebih baik. Dan jangan lupa persekot seratus ribu pada
waktu menandatangani kontrak!"
"Aku yakin, tentunya itu Willy Stainer!" Joe berbisik kepada
kakaknya. "Mungkin mereka sedang berdebat tentang harga lukisan!"
"Atau untuk gambar-gambar rencana kapal selam mini," Frank
menerka. "Barangkali"
"Ssst!" potong Joe.
Orang yang bersuara lemah itu berdebat mati-matian, tetapi
tidak dapat ditangkap maksudnya oleh kedua anak muda. Joe lebih
menekankan telinganya rapat-rapat ke jendela, tetapi Frank
menariknya. "Hati-hati! Kepalamu nampak di atas kaca!"
Dengan hati kecewa kedua anak muda itu menunggu, tidak
berani bergerak atau pun bernapas. Kemudian suara yang keras itu
terdengar lagi. "Oke! Engkau kuberi waktu sampai besok malam untuk bicara
dengan langgananmu. Setelah itu aku ingin jawabannya. Selamat
malam! Heinz, tolong antarkan tamu kita!"
"Heinz Schmidt juga ada di sini!" Frank menggumam.
"Mari ke pintu depan lihat siapa tamunya itu!" Joe sarankan.
Baru saja mereka hendak bergerak, halaman itu jadi terang
benderang. Seseorang membuka gorden di atas mereka dan menatap
ke luar ke dalam kegelapan.
16. Perkelahian Mati-matian
Frank dan Joe menahan napas. Tidak berani menggerakkan
tubuhnya karena takut ketahuan. Tetapi gorden itu ditutup kembali
dan orang itu masuk kembali ke kamar. Joe melepaskan napas.
"Woow!" ia berbisik. "Hampir saja!"
Cepat-cepat mereka merangkak dengan memutar sudut rumah
ke pintu depan. Di sana sebuah halaman yang luas memisahkan rumah
itu dari jalan. Terdapat sebuah jalan setapak yang dibatasi semaksemak dari pintu depan ke pintu pagar di pinggir halaman.
Mereka sampai di depan tepat pada waktunya dan bersembunyi
di balik semak-semak, ketika dua orang itu muncul di ambang pintu.
Frank dan Joe mengenali Heinz Schmidt, tetapi wajah tamu yang
pendek gemuk ada di dalam bayangan. Kedua orang itu saling
berjabat tangan dan bicara berbisik sejenak.
"Kukira Heinz tidak mengantar tamunya sampai ke jalan," bisik
Frank. "Apa sebaiknya kita tangkap saja si pendek gemuk itu?"
"Bagus!" Mereka lalu merangkak ke arah jalan, dan berhenti di belakang
semak dekat pintu pagar. Mereka tidak perlu tunggu lama. Schmidt
menutup pintu dan menghilang ke dalam rumah. Tamu itu melangkah
menuju ke tempat kedua anak muda. Ketika ia lewat tempat
persembunyian kedua anak muda itu, tiba-tiba Frank melompat dan
memiting leher hingga orang itu tidak dapat berteriak. Ia jatuh di tanah
ketika Joe menendang kedua kakinya. Orang itu meronta mati-matian
dan kemudian diam tidak berkutik. Joe mengikat tangan dan kakinya.
Kemudian Frank kendorkan tangannya yang memiting leher
korbannya, lalu menyumpal mulutnya dengan saputangan.
"Bagus, teman!" Joe menyeringai kepada kakaknya.
Mereka menyeret korban itu ke belakang semak, lalu menyinari
wajahnya dengan lampu senter.
"He, Frank!" seru Joe tertahan. "Ini Braun, si pedagang barang
seni!" "Pedagang barang seni apa?" gumam Frank. "Mau beli barang
curian! Barangkali si Steiner yang diajaknya bicara sewaktu di jalan di
Glocken, sebelum mereka berdua pergi dengan mobil biru!"
"Barangkali! Tetapi apa tindakan kita selanjutnya?"
Kakak beradik itu agak menyingkir agar pembicaraan mereka
tidak terdengar oleh Braun.
"Untuk dapat masuk ke dalam rumah, kita harus memancing ke
luar Heinz Schmidt dan Stainer," Frank mengatakan.
Maka mereka putuskan bahwa Frank menunggu di dekat rumah,
dan Joe membunyikan bel di pintu pagar. Bila kedua orang itu keluar
untuk lihat siapa yang ada di pagar, ia akan mengalihkan perhatian
mereka dengan minta tolong.
Ketika Frank sudah bersembunyi, maka Joe pergi ke pintu pagar
lalu membunyikan bel. Pintu terbuka dan ia berteriak.
"Tolong! Tolonglah aku!"
Heinz Schmidt mengulurkan kepalanya ke luar pintu dan
menjenguk ke halaman. Ia dengar teriakan Joe, lalu keluar. Tetapi
berhenti setelah melangkah beberapa meter dan tidak mendengar suara
lagi. Rupanya ia tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Sayang sekali ia keluar sendirian, pikir Frank. Willy Stainer
masih di dalam rumah. Ia terus mengawasi sambil menahan napas
ketika Heinz melangkah lagi tiga langkah dan berhenti hanya tiga
meter di dekatnya. Detektif muda itu membuat keputusan dengan
cepat. Ia melompat keluar dari persembunyiannya dan menangkap
orang itu di tengkuknya lalu menariknya jatuh ke tanah. Schmidt
meronta menendang-nendang, tetapi Frank menggunakan kesempatan
lebih baik dengan serangannya yang mendadak itu.
"Joe, lekas!" ia memanggil.
Joe sudah melangkah menuju rumah ketika mendengar


Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panggilan kakaknya. Ia lari mendekat dan dengan cepat mengikat
seperti yang telah dilakukannya terhadap Braun.
"Aku senang kau selalu bawa tali," kata Frank begitu selesai
mengikat, sementara Joe menyumpal mulut korbannya dengan
saputangan. Joe mengangguk. "Aku memang punya firasat akan dapat menggunakannya. Nah,
kini yang nomor tiga!"
Dengan hati-hati mereka mendekati rumah. Mereka masuk dan
segera berada di sebuah lorong sempit yang panjang. Lantainya
dihampari karpet tua. Dinding-dindingnya dihiasi dengan senapansenapan dan pedang-pedang.
Frank baru saja hendak menutup pintu depan ketika angin
kencang membantingnya tertutup dengan suara keras. Mereka berdiri
diam. "Ada apa, Heinz?" terdengar suara tegas dan keras dari dalam
kamar di bagian belakang.
Secara mati-matian kedua anak muda itu mencari akal untuk
berbuat sesuatu. Akhirnya Frank mengeluarkan suara menggumam
yang tidak jelas artinya. Mereka melangkah ke arah kamar dari mana
suara tegas keras tadi datang. Mereka menempel di balik pintu.
"Apa katamu?" suara itu terdengar lagi. Rupanya orang itu
sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Terdengar suara kursi yang
digeser, disusul langkah-langkah yang berat mendekat ke pintu. Sesaat
kemudian seorang yang jangkung dan kuat muncul di pintu.
Frank melompatinya dan memutar tangan kanan Stainer ke
belakang serta menekankan lututnya ke punggung lawannya. Steiner
meratap, kemudian menyepak Frank pada kakinya. Frank kendorkan
pegangannya karena kesakitan dan terlempar ke dinding. Joe
menanduk Steiner dan mendorong tubuhnya ke gawang pintu. Tetapi
benturan itu demikian kerasnya hingga Joe sendiri terjatuh.
Dengan cepat Steiner mengambil senapan dari dinding dan
mengacungkannya kepada kedua anak-anak muda tersebut.
"Haaa, tidak! Tidak mungkin kaulakukan itu!" teriak Joe
sebelum orang itu sempat menarik pelatuknya. Joe menghantamkan
tinjunya ke perut Steiner. Senapan terlepas dan jatuh berdentang di
lantai, sedang Steiner jatuh terkulai dengan mengerang kesakitan.
Kedua anak muda itu cepat menubruknya, lalu menyeretnya masuk ke
dalam kamar dan mengikatnya di kursi.
"Inilah dia yang menyerang Rita!" Joe menukas. "Tubuh dan
hidungnya yang pesek, mulutnya yang tipis cocok seperti yang telah
dikatakan." Sebuah kacamata berbingkai tanduk terletak di atas meja.
Steiner menggeleng-geleng karena pening kepalanya, tiba-tiba
menatap kedua anak muda itu penuh kebencian.
"Kalian ya? Ah, aku tidak percaya, kalian"
"Engkau terkejut, ya?" Frank bertanya. "Kaupikir, kami berdua
sudah mampus?" "Lain kali akan kuyakinkan dulu bahwa kalian mati terkubur!"
orang itu mendesis. "Tidak akan ada lain kali lagi! Sekarang sebaiknya kaujawab
beberapa pertanyaan ini, tuan Steiner! Di mana Oskar Jansky?"
"Jansky? Kuharap saja ia ada di sini." Bibir Stainer membentuk
sebuah senyuman tajam. "Tetapi hari ini ia tidak datang. Heinz ...."
"Ada di luar! Terikat rapih!" kata Frank. "Apa yang kaulakukan
dengan Gerhard Stolz?"
Setelah didesak, Steiner mengaku bahwa Gerhard ditahan di
ruang bawah. Sebuah pintu baja memberikan jalan dari lorong dalam.
Frank menghela napas lega.
"Ambil kunci-kunci ini, Joe!" katanya. "Nanti saja kita geledah
rumah ini!" "Tetapi kita panggil dulu polisi," Joe menyarankan, sambil
meraih seperangkat kunci dari saku jaket Steiner.
Frank pergi ke telepon. Lebih dulu ia menelepon bengkel
Wagner. Ia ingin tahu apa yang terjadi di sana. Dijawab oleh polisi
bahwa semuanya telah selesai. Wagner akan menjelaskannya nanti.
Frank segera melapor di mana dia dan Joe berada. Mereka pun
telah berhasil menawan para penjahat.
"Detektif Schirmer sedang menuju kemari," kata polisi itu.
"Begitu ia datang, kami akan menyeberang ke sana."
"Beberapa menit lagi polisi akan datang," Frank memberitakan
setelah gagang telepon diletakkan.
Kemudian Frank dan Joe bergegas ke lorong dalam. Mereka
dapatkan pintu ruang bawah tanah, lalu membukanya dan menyalakan
lampu. Mereka lalu lari menuruni tangga dan memeriksa setiap kamar.
Pada kamar yang terakhir dan terkecil terdapat sebuah dipan kecil dari
besi. Gerhard Stolz tergeletak di atasnya, kaki dan tangan terikat pada
besi dipan. "Gerhard!" seru Frank serak.
Tawanan itu memalingkan kepalanya dan tersenyum lemah.
Kedua anak muda itu memotong tali-tali yang mengikat dia.
Kemudian mereka membantunya duduk.
"Apa yang telah dilakukan bangsat-bangsat itu terhadapmu?"
seru Joe. "Berapa lama engkau di bawah ini?"
Gerhard mengangguk. Sementara itu Frank mengurut-urut
pergelangan tangannya. Tiba-tiba terdengar bunyi keras di atas. Kedua
anak muda itu melompat bangun dan saling berpandangan dengan
cemas. Frank segera lari keluar menaiki tangga. Pintu besi yang
menuju ke lorong tengah tertutup dan terkunci dari luar.
Dengan marah dan mendongkol Frank mengguncang-guncang
handel pintu. Dengan tinjunya ia memukul-mukul daun pintu yang
bergeming. Dengan hati kecewa ia kembali ke teman-temannya.
"Tolol benar!" ia menggerutu. "Kunci itu kutinggalkan di
lubangnya. Tetapi aku tetap tidak tahu siapa yang telah melakukan itu.
Kita telah mengikat bangsat-bangsat itu dengan erat."
"Mungkin Jansky masih ada di dalam rumah ini," kata Joe.
"Engkau benar! Sekarang kita hanya dapat berharap datangnya
polisi!" Pada saat itu mereka dengar langkah-langkah kaki di halaman,
dan sekejap kemudian terdengar mesin mobil dihidupkan. Joe cepatcepat naik ke tempat tidur. Ia mengintip ke luar dari jendela. Ia
melihat Heinz Schmidt banting pintu mobilnya yang segera melesat
dalam awan debu yang mengepul.
"Yah, itulah! mereka telah pergi," teriak Joe. Semua, ketigatiganya.
"Jangan khawatir teman-teman," kata Gerhard. "Aku sudah
bersyukur bahwa kalian tidak cedera."
"Ooo, tidak apa-apa." kata Frank.
"Orang-orang itu katakan padaku, bahwa kalian telah terjebak
dalam tambang yang runtuh!"
"Yaah, sebenarnya memang begitu," Joe mengaku.
Mereka lalu menceritakan segala pengalaman mereka. Beberapa
saat kemudian mereka dengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Suara gedubrak yang keras menandakan bahwa pintu telah dibuka
paksa. Frank berlari ke atas lalu memukul-mukulkan tinjunya ke pintu
besi ruang bawah. Joe membantu Gerhard menaiki tangga. Tidak lama
kemudian mereka dengar pintu depan dipaksa terbuka. Kemudian
seseorang mencoba membuka pintu besi.
Akhirnya pintu itu terbuka. Seorang yang jangkung, berbahu
lebar dan berpakaian kedodoran berdiri di luar, memandang dengan
wajah dungu. Ketika melihat Gerhard Stolz, wajahnya menjadi cerah.
"Gerhard, senang sekali melihat engkau! Dan juga kedua anak
Hardy ini. Tentu ini Frank dan Joe Hardy?"
"Benar! Itulah mereka!" jawab Gerhard, lalu memperkenalkan
anak-anak muda itu kepada detektif Sepp Schirmer.
"Di mana kalian sembunyikan bangsat-bangsat itu?" Schirmer
ingin tahu. "Mereka telah lepas!" jawab Frank.
Ia lalu menceritakan tentang lepasnya penjahat-penjahat.
Sayang sekali mereka tidak dapat mengatakan ciri-ciri mobilnya.
Schirmer menghela napas. "Kita harap saja dapat menangkap mereka," katanya.
Ia lalu menyuruh salah seorang anak buahnya melapor ke
markas besar. Yang lain-lain diperintahkan segera melakukan
penggeledahan di rumah tersebut.
"Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan kemudian," kata
Gerhard. "Mereka tidak pernah berbicara tentang rencana mereka."
Secara singkat ia menceritakan peristiwa penangkapan dirinya.
Tetapi teman-temannya segera dapat tahu bagaimana Ferhard
kehabisan tenaga, dan bagaimana sukarnya ia bicara.
"Ceritakan selengkapnya nanti saja," Schirmer sarankan, "kalau
kau telah pulih. Untuk waktu ini aku ingin engkau pulang dan
istirahat!" Joe lalu memapahnya.
"Rita sudah sangat khawatir," katanya. "Aku tahu ia tidak sabar
lagi menantikan engkau!" Mula-mula Stolz tidak mau pulang, tetapi
akhirnya ia mengaku bahwa ia pernah dipukul hingga pingsan. Dan itu
memerlukan istirahat dan tidur.
"Aku akan perintahkan seseorang untuk mengantarkan engkau
pulang," kata Schirmer. "Ia dapat "
Pada saat itu seorang anggota polisi datang dan berkata
terputus-putus: "Pak ... saya ... eh ... di luar"
Polisi itu nampak bingung.
"Yaah, saya menemukan orang di halaman. Ia terikat dan
mulutnya disumpal!" "Braun!" seru Frank menepuk dahinya. "Kita melupakan dia
sama sekali!" "Siapa dia?" tanya Schirmer dengan heran.
"Ia menyebut dirinya seorang pedagang barang seni. Tetapi
kami tahu ia tidak jujur. Ia sedang main coba-coba membuat
perjanjian jual beli dengan Steiner. Barangkali mengenai barangbarang curian itu."
"Barangkali saja ia dapat membantu kita untuk mengejar
gerombolan itu!" sambung Joe.
Hans mendehem. "Tidak. Tidak mungkin lagi. I... ia telah lari!"
17. Bencana Dalam Air Empat pasang mata menatap orang yang tidak berdaya.
Kemudian Schirmer membentak-bentak.
"Apa kau tidak mau menceritakan bagaimana orang yang diikat
dan disumpal mulutnya sampai dapat lari?"
"Ketika ia lari, sudah tidak terikat lagi ... maksud saya ... saya
telah membuka talinya," Hans menggagap.
Ia menjelaskan bahwa ia mendengar suara di dalam semaksemak dan melihat Braun. Pedagang barang seni itu setelah dilepas
sumpalnya mengaku bahwa ia korban dari gerombolan Schmidt.
"Braun memang tidak tolol," kata Frank.
"Saya lepaskan dia," Hans melanjutkan. "Kemudian ia katakan
kepada saya, bahwa masih ada seorang tawanan lagi di belakang. Ia
mau menunjukkannya kepada saya. Berdua kami pergi ke belakang.
Dan ketika saya sedang mencari-cari, Braun lari sekencangkencangnya ke dalam semak-semak."
"Lain kali jangan kau terlalu percaya," Schirmer menggumam.
Ia perintahkan polisi itu untuk mundur. "Ah, sekarang kita telah
kehilangan semuanya."
"Barangkali belum semuanya," kata Joe tiba-tiba. "Kecuali
kalau Braun punya teman-teman di kota. Ia tentu menginap di hotel.
Misalnya saja kita periksa setiap hotel di Munich, barangkali ia sewa
kamar!" "Pikiranmu bagus!" kata detektif Schirmer. "Aku akan telepon
wakilku di markas besar. Kami punya daftar dan ia dapat
memerintahkan orang untuk melakukan pemeriksaan. Memang
diperlukan waktu yang lama untuk itu di kota."
Setengah jam kemudian wakil Schirmer menelepon bahwa
mereka telah menemukan orang yang cocok dengan ciri-ciri Braun.
Orang itu mendaftarkan diri di hotel Continental di bawah nama Herr
B. Julius." "Itulah orangnya!" seru Frank. "Mari kita ke hotel itu sekarang
juga. Kita berbincang-bincang sedikit dengan dia!"
Sementara Joe mengantar Stolz pulang dengan salah satu mobil
patroli, maka Frank, Schirmer dan dua orang polisi lainnya melaju
menuju hotel Continental di dekat stasiun kereta api.
Setelah Schirmer memperkenalkan diri, petugas hotel
memberitahukan nomor kamar pedagang barang antik itu.
"Herr Julius baru saja masuk ke kamarnya beberapa menit yang
lalu," kata petugas itu. "Rupa-rupanya ia sangat tergesa-gesa!"
Ketika Schirmer dengan teman-temannya mengetuk pintu
kamar Braun, pintu segera dibuka. Mereka lihat Braun sedang
mengemasi kopor-kopornya.
" Rupa-rupanya anda hendak keluar pada tengah malam
begini," kata Schirmer. "Dan kami sangat gembira memberikan
tempat kepada anda untuk sementara waktu di penjara setempat."
Braun menolak dengan keras, lalu berpaling kepada Frank.
"Engkau kan kenal aku?" serunya. "Tolong jelaskan
kesalahpahaman ini!"
"Salah paham?" tanya Frank. "Anda sebaiknya mengaku saja.
Anda berusaha membeli lukisan-lukisan curian milik Museum
Glocken. Kami sendiri dengar kata-kata yang anda ucapkan!"
Braun menjadi pucat pasi.
"Lalu bagaimana pula dengan Herr Rehm? Pedagang matauang
di Frankfurt?" Frank menekan. "Mengapa anda tanyakan matauang
Joachimstaler kepadanya?"
Braun menggumam menyebutkan nada tidak puas pada polisi.
Tetapi ia tidak melawan. Ia dibawa ke markas besar, sementara salah
sebuah mobil patroli mengantarkan Frank ke apartemen Stolz.
Gerhard telah tidur ketika ia datang. Rita memanggil dokter
keluarga mereka, dan telah memeriksanya. Dokter itu menasihatkan
agar wartawan itu mengaso sebanyak-banyaknya.
Esok harinya Gerhard telah merasa lebih baik. Ia baru saja
selesai makan ketika telepon berdering. Joe yang menyambut. Yang
menelepon adalah Schirmer. Sayang sekali bahwa polisi belum
menemukan jejak dari gerombolan itu, sedang Braun tidak mau buka
mulut. "Tetapi kami telah menemukan mobil Gerhard," katanya,
"diparkir dekat lapangan terbang."
"Rupanya mereka berbuat seakan-akan Gerhard sendiri telah
meninggalkan mobil itu di sana."
"Betul! Aku akan menyuruh seseorang untuk ambil mobil itu.
Mengapa kita tidak bertemu saja di tempat Schmidt siang ini? Pada
saat itu mungkin kita sudah mendapatkan petunjuk lain!"
"Baik. Kita toh harus juga ambil mobil Porsche di rumah
Wagner." Joe ingin bicarakan hasil pembicaraannya, tetapi Rita berdiri di
depan pintu kamar tidur seperti pengawal saja layaknya.
"Ssst!" katanya. "Ia sedang tidur lagi. Jangan ganggu dia!"
"Oke!" kata Joe. "Kalau dia bangun katakan saja padanya, kami
ada di rumah Wagner!"
Kedua Hardy bersaudara itu naik kereta api bawahtanah dan
menyambung dengan bis ke rumah ahli penemuan itu. Ia sedang
berada di kantor. Frank dan Joe segera menceritakan semua yang telah
terjadi. Setelah itu mereka ambil mobil Porsche untuk kemudian
mengitari danau itu menuju ke rumah Schmidt. Di waktu siang hari
rupanya rumah itu kurang terawat. Schirmer sudah ada di sana dan
berkata bahwa rumah itu telah kosong sejak sebelum Schmidt dan
Steiner menyewanya.

Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suatu tempat persembunyian yang bagus," kata detektif itu.
"Para tetangga tidak tahu apa yang terjadi di sini."
Mereka memeriksa sebagian dari rumah itu yang semalam
belum sempat diperiksa. Terdapat sebuah pintu yang menghubungkan
ke lorong dalam. Ketika mereka lihat bahwa seluruh bagian itu
merupakan sebuah bengkel yang luas, mereka jadi heran. Di tengahtengah ruangan tengah terdapat tubuh sebuah kapal selam mini yang
sudah setengahnya jadi. " Itulah yang mereka bangun menurut gambar-gambar rencana
Wagner!" kata Frank. "Mereka ini meniru kapal Wagner."
Schirmer mengangguk. "Dan semua gambar-gambar rencana itu tentunya masih di sini,
itu di meja gambar. Rupa-rupanya bangsat-bangsat itu tidak sempat
membawanya lari." Bertiga mereka memeriksa kapal itu dari segala jurusan. Sejauh
yang dapat diketahui oleh kedua anak muda itu, kapal tersebut
memang tiruan dari Ludwig II. Namun tidak seorang pun dari mereka
tahu untuk apa kapal itu dimaksudkan oleh para penjahat itu.
"Jansky mungkin yang bekerja di sini, ketika kalian datang
kemari," detektif itu menerka.
Ia menunjuk ke sebuah bel di pintu.
"Lihat bel itu dihubungkan dengan tombol yang ada di bawah
meja Steiner. Ia tentunya berhasil menggeser meja beserta kursi
tempat dia diikat, yaitu pada waktu kalian ada di ruang bawahtanah."
Frank menyeringai. "Saya juga sudah curiga akan begitu. Kita semestinya harus
lebih curiga bahwa ketika Steiner secara terusterang menunjukkan
tempat persembunyian Gerhard."
"Apakah anda telah mendapatkan petunjuk-petunjuk tentang
lukisan-lukisan itu?" tanya Joe kepada detektif tua tersebut.
Schiermer menggeleng. "Aku tidak menemukan apa-apa di dalam rumah. Tetapi aku
telah menggeledah seluruh halaman. Lagipula kami akan selalu
mengawasi rumah ini kalau-kalau bangsat-bangsa itu kembali."
Kedua anak muda itu kemudian pulang untuk makan siang.
Gerhard sedang duduk di tempat tidur membaca koran.
"Sebetulnya aku sudah merasa pulih," katanya. "Tetapi Rita
belum mengijinkan aku bangun!"
Setelah makan roti berisi daging, kedua anak muda itu turun.
Mereka mencuci mobil Mercedes Gerhard yang telah dikembalikan
oleh polisi. Siang itu Sepp Schirmer datang berkunjung. Gerhard sekali lagi
menceritakan secara terperinci bagaimana ia sampai ditawan oleh para
penjahat. Ceritanya sangat cocok dengan yang diceritakan oleh Tarek.
"Aku diserang dari belakang waktu di taman," Gerhard
bercerita. "Ketika aku sadar kembali, aku telah ada di dipan besi di
dalam ruang bawahtanah."
" Bagaimana engkau tahu bahwa Tarek itu mata-mata?" tanya
Frank. " Dialah montir yang telah memperbaiki mobil Alfa Romeo
merah itu, tetapi ia mengaku tidak tahu nama pemiliknya. Aku ingat
hal itu ketika kuperiksa pegawai-pegawai Alfred. Selain itu aku juga
tahu bahwa Tarek pada akhir-akhir ini telah mengeluarkan uang
banyak melebihi dari gajinya."
"Cerita lama!" kata Schirmer.
Gerhard mengangguk. "Aku membuat catatan-catatan dalam buku catatanku di atas
meja." " Sayang sekali Steiner telah datang kemari lebih dulu dari
kami," Joe menyela, "kalau tidak kami tentu akan menemukan
informasi-informasi tersebut."
************* Pagi berikutnya Alfred Wagner menelepon. Ia telah lakukan
pengujian Ludwig II untuk pertama kalinya. Kapal kecil itu ternyata
lulus dengan gemilang dalam pelayaran perdana.
Dengan sangat gembira Wagner mengundang kedua anak
Hardy bersama Gerhard untuk ikut pada pelayaran uji berikutnya.
Mereka menerima tawaran tersebut dengan senang hati pula,
meskipun Rita masih mencemaskan keadaan suaminya.
"Gerhard, kau harus berjanji padaku jangan ikut menyelam,"
kata Rita. "Dalam keadaanmu seperti sekarang, itu tidak baik.
Misalnya terjadi apa-apa "
"Di danau kecil itu?" sahut suaminya tertawa. "Tetapi
bagaimana pun aku berjanji!"
Bertiga dengan penuh gairah mereka bermobil menuju tempat
Wagner. Mereka jumpai dia di gudang. Pintu telah terbuka ke arah
danau. "Halo, semuanya!" Orang yang bertubuh kecil itu menyapa
dengan gembira. Segera ia berjabat tangan dengan Gerhard.
"Sungguh sangat senang melihat kau telah sehat kembali!"
"Aku baik-baik saja," kata Stolz. "Terimakasih!"
"Rolf Meier sedang di danau," Wagner melanjutkan. "Nah, itu
dia datang!" Ia menunjuk ke suatu titik di atas permukaan air, di mana secara
tiba-tiba memecah ketika kapal selam mini itu timbul ke permukaan.
Kapal kuning mengkilat itu bergerak menuju dermaga, lalu berhenti.
Rolf keluar dari kubah dan menambat Ludwig II dengan tali yang
dilemparkan oleh Wagner. Kemudian ia melompat ke tepian.
"Semuanya bekerja dengan baik," ia melapor. "Kami siap untuk
membawa penumpang pertama!"
"Oke! Hai anak-anak muda, semua naik!" Wagner
mempersilakan. Frank dan Joe masuk ke dalam kubah disusul oleh Wagner.
Rolf melepas tali tambatan. Sementara ia dan Gerhard melambaikan
tangan, Wagner menutup kubah dan duduk di tempat kemudi. Frank
dan Joe duduk di belakangnya. Mereka dapat melihat keluar melalui
jendela kaca bulat yang di depan.
"Nah, kita akan berangkat!" seru ahli penemuan itu. Ia
menghidupkan mesin diesel dan perlahan-lahan kapal itu menuju ke
tengah-tengah danau. Setelah kira-kira sudah sampai di tengahtengah, Wagner mematikan mesin. Ia buka beberapa katup untuk
memasukkan air ke dalam tangki-tangki pengapung.
"Kita harus ambil beban untuk dapat menyelam," ia
menjelaskan, sedang kedua anak muda itu terus mengamati dengan
penuh gairah. Perlahan-lahan air naik ke atas kapal dan
membenamkannya. Wagner menatap sebuah indikator kecil yang menunjukkan
beban di dalam tangki. Akhirnya ia menekan tombol untuk menutup
katup. Kemudian ia hidupkan motor listrik, lalu menekan tongkat
kemudi ke depan. Kapal itu mulai menyelam seperti elevator. Pada
mulanya mereka dapat melihat melalui air di sekeliling, tetapi setelah
menyelam lebih dalam sekelilingnya berubah menjadi hijau tua.
"Sekarang lihat!" kata Wagner, lalu kemudikan kapal selam itu
memutar membentuk angka delapan, lalu naik turun. Akhirnya ia
nyalakan lampu besar di depan, dan menambah lagi beban untuk
menyelam ke dasar danau. "Agak ngeri juga di dasar ini," kata Joe ketika kapal itu
bergerak di antara ganggang dan tumbuhan air lainnya.
Wagner mengangguk. Ia tekan tombol yang menggerakkan
pompa untuk mengeluarkan air beban dalam tangki agar kapal itu
dapat naik ke atas. Tetapi tiba-tiba saja motor listrik itu berhenti,
sedang lampu depan padam. Tidak ada sesuatu di sekeliling kecuali
kegelapan dan kesunyian. Kedua anak muda itu sejenak diam terpaku. Mereka tidak
berani bergerak khawatir akan menghilangkan keseimbangan dari
kapal mini tersebut. Sungguh suatu perasaan yang mencekam untuk
mengalami kemacetan di dasar danau, sama sekali tanpa tenaga!
Namun Wagner tidak menjadi panik. Ia nyalakan lampu senter.
"Kita akan perbaiki," katanya penuh kepastian.
Ia arahkan cahaya lampu senternya pada tombol utama yang
juga berfungsi sebagai pemutus arus listrik. Betul saja pemutus arus
itu terpasang. Wagner membungkuk di bawah dashboard menerangi
jaringan kabel-kabel. "Nah, ini dia biang keladinya!" ia berseru. Ia dapat menemukan
hubungan yang lepas. "Joe, ada kotak perkakas di bawah tempat
dudukmu. Tolong ambil obeng dan tang kecil!"
"Baik!" Joe membuka kotak dan memberikan alat-alat yang
diminta Wagner. Sementara Wagner membetulkan hubungan kabel-kabel, tibatiba mereka rasakan suatu benturan lemah. Mereka kandas di dasar
danau. Kedua anak muda itu saling berpandangan dengan perasaan
tidak enak. Bagaimana kalau Wagner tidak berhasil memperbaiki
kerusakan? Tetapi orang bertubuh kecil itu samasekali tidak punya pikiran
demikian. Ia terus bekerja dengan tenang, lalu berdiri untuk memutar
tombol pada pemutus arus utama. Lampu besar menyala terang dan
mereka dengar pompa bekerja. Kedua anak muda itu menghela napas
lega. "Sebaiknya kita cari udara segar sekarang!" kata Wagner
tersenyum. Ia mengembalikan perkakas kepada Joe kembali, lalu pegang
tongkat kemudi dan menggerakkan kapal naik. Tidak lama kemudian
ia telah memasukkan Ludwig II kembali ke dermaga. Mereka keluar
dari kubah. Gerhard Stolz khawatir ketika mendengar bahwa terjadi
kerusakan tetapi temannya telah menenangkan hatinya.
"Tidak perlu bingung," katanya. "Kita masih punya batere
cadangan untuk menghadapi keadaan darurat."
Setelah mengaso sebentar, Wagner dan kedua kakak beradik itu
melakukan pelayaran uji yang kedua.
"Kali ini akan kutunjukkan lengan pencakar kita!" kata si ahli
penemuan. Mereka sedang melayang di atas dasar danau. "Lengan
pencakar ini adalah sangat berguna, yaitu dapat digunakan oleh para
ilmuwan untuk mengambil contoh-contoh batuan dan kehidupan yang
terdapat di kedalaman air."
Lengan pencakar itu berupa lengan mekanik dilengkapi dengan
sebuah pengait di bagian ujungnya. Alat itu dipasang pada tubuh kapal
di sebelah belakang pintu yang dapat bergeser, dan dilayani dari
dashboard dengan alat pengontrol berbentuk gagang pestol.
Dengan perasaan ingin tahu kedua anak muda itu mengamati
dari balik jendela ketika cakar itu memanjang, menekuk dan bergerak
ke kanan dan ke kiri, sedang cakarnya membuka dan menutup.
"Sayang sekali, tidak banyak benda-benda berharga di dasar
danau ini," kata Wagner. "Paling-paling yang kaudapat hanyalah
rongsokan sepatu tua atau batu-batu biasa."
Sambil tersenyum ia masukkan kembali lengan pencakar.
Setelah mereka kembali ke darat, Gerhard bertanya kepada Wagner
apakah ia bersedia menemani mereka ke rumah Schmidt. Ia ingin
memperlihatkan kapal mini yang sudah setengah jadi tersebut.
"Tentu saja aku ingin melihatnya," kata Wagner. "Mari, kita
gunakan saja perahu dayung."
Frank dan Joe nampak kecewa, tetapi Wagner justru tertawa.
"Kalian belum puas dengan kapal selam miniku itu? Kalian
dapat menyelam lagi bersama Rolf, kalau mau. Barangkali ia mau
mengajarkan sekaligus cara mengemudikannya."
Kakak-beradik Hardy menyatakan keinginannya. Mereka
masuk kembali ke dalam kapal mini. Sementara itu Wagner dan Stolz
mendayung menyeberangi danau menuju ke rumah Schmidt. Mereka
memeriksa ruang tempat bekerja. Wagner nampak sangat marah
melihat tiruan dari kapal mininya.
"Tepat seperti Ludwig II sampai ke bagian-bagian yang kecilkecil!" ia menggerutu.
Kemudian detektif Schrimer datang. Mereka lalu membahas
misteri yang berbelit-belit itu cukup lama. Ketika akhirnya Wagner
dan Gerhard kembali ke rumah Wagner, hari telah gelap. Di bengkel
tidak nampak cahaya lampu dan juga tidak ada tanda-tanda hadirnya
Frank, Joe dan Rolf. "Apakah mereka masih di danau?" tanya Gerhard khawatir.
"Lihat dulu, apakah kapal itu sudah ada di sini," jawab Wagner.
Tetapi kapal mini itu tidak ada di tempatnya. Wagner
merasakan ada bau agak manis.
"Hmm, aku ingin tahu bau apa ini!" katanya.
Gerhard bergegas ikut mendekat.
"Kloroform!" serunya, namun wajahnya tampak tenang.
Ia berlari melintas ruang gudang itu ke kantor Wagner. Tiga
sosok tubuh diam tidak bergerak tergeletak di lantai. Frank, Joe dan
Rolf Meier. 18. Melacak Sebuah Truk Gerhard Stolz berlutut. Ia meraba pergelangan tangan Frank.
"Untung masih bernapas!" bisiknya.
Frank mulai bergerak. Beberapa saat kemudian diikuti oleh
yang lain. Mereka sadar kembali lalu duduk sambil mengedipngedipkan mata.
"Apa yang terjadi?" Frank menggagap dan memandang
sekeliling. "Justru itu yang ingin kudengar darimu!" jawab Gerhard.
"Tenangkan dulu, sampai kau pulih kembali dari pengaruh
kloroform!" Frank menyeringai. "Ah, aku ingat sekarang. Kami diserang begitu kembali dari
pelayaran. Mula-mula Joe, ketika masuk untuk menyalakan lampu.
Kemudian aku sendiri ketika mencari Joe. Rupanya setelah itu giliran
Rolf." "Ada yang lihat siapa penyerangnya?" tanya Gerhard.
"Aku lihat dia," jawab Joe. "Heinz Schmidt!"
"Mengapa penjahat-penjahat itu tidak mau membiarkan kita?"
Wagner menggeram marah. "Sekarang mereka tenggelamkan kapal
miniku!" "Tidak!" jawab Gerhard. "Aku berani bertaruh, mereka pasti
mencurinya!" Ia segera menelepon polisi. Frank dan Joe mencari-cari
petunjuk. Wagner mendapatkan katrolnya telah digunakan untuk
menarik kapal mini itu dari tempatnya.
" Mereka mungkin membawanya dengan menggunakan truk!"
ia berkesimpulan. Frank dan Joe menemukan jejak bekas-bekas roda di rumputan.
"Tentu sebuah truk besar," kata Frank. "Sopirnya terpaksa
melalui rumputan untuk membuat belokan di sudut."
Tidak lama kemudian Schirmer bersama anak-anak buahnya
datang. Ia perintahkan anak buahnya untuk memotret jejak bekas ban.
"Tetapi itu tidak akan menolong banyak," ia menggerutu. "Apa
yang sungguh-sungguh kita perlukan adalah ciri-ciri dari truk
tersebut." Ia segera mengirim pesan-pesan melalui radio ke markas besar,
dan meminta agar setiap mobil patroli waspada dan mencari, sebuah
truk besar dengan muatan sebuah kapal mini di dalamnya!
"Apa yang ingin kuketahui," kata Frank, "ialah mengapa justru
kapal Wagner yang mereka inginkan? Mereka tentunya punya alasan
khusus!" Tidak seorang pun dapat menjawabnya. Akhirnya kedua anak
muda bersama Gerhard berpamitan kepada Wagner dan para polisi,
lalu pulang. Di jalan Frank berkata: "Tahukah kalian, bahwa aku punya pendapat? Barangkali saja
lukisan-lukisan dari Glocken itu disembunyikan di dalam sebuah


Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danau. Dan gerombolan itu mencuri Ludwig II untuk dapat
mengambilnya." "Aku pun berpikir begitu!" kata Gerhard. "Hanya saja akan
sama susahnya barangkali apabila beberapa orang menggunakan
pakaian penyelam. Dan tidak perlu menggunakan kapal selam untuk
itu!" "Itu pun benar," Frank mengaku. "Aku kemukakan itu karena
Schmidt dan Braun telah merundingkan masalah lukisan-lukisan itu!"
"Kami tidak tahu apakah mereka benar-benar membicarakan
masalah lukisan," sambung Joe. "Braun mengaku sebagai pedagang
barang seni. Tetapi sebenarnya bukan, dan mereka itu justru
membicarakan gambar-gambar rencana kapal mini."
Ketika mereka sampai di apartemen, Rita sedang berdiri di
pintu yang terbuka. "Aku tidak percaya," gerutunya. "Gerhard! Kau kemarin masih
harus tinggal di tempat tidur. Hari ini kau sudah keluar rumah berjamjam hingga malam hari. Mengejar-ngejar penjahat!"
Gerhard memeluknya dan menenangkan hatinya.
"Jangan khawatir," katanya. "Aku merasa sudah baik benar.
Hanya sedikit lapar barangkali ... tetapi"
"Nah, masuklah. Aku sudah menunggu untuk makan malam!"
Rita mengajak mereka ke meja makan. Sementara makan
daging panggang yang lezat, mereka bercerita kepada Rita tentang
pengalaman di danau. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata detektif Schirmer.
" Sebuah perusahaan bernama Bally Transport baru saja
melapor, bahwa salah satu truk mereka telah hilang," katanya.
"Warnanya biru tua dengan huruf-huruf putih dan menarik
gandengan!" "Penjahat itu mungkin telah meninggalkan gandengannya entah
di mana," seru Gerhard menerka.
"Itulah yang kupikirkan juga," Schirmer membenarkan. "Aku
akan menelepon engkau esok, kalau aku telah mendapatkan petunjuk
lebih banyak!" Hari berikutnya setelah sarapan, ia memberitahu lebih lanjut.
"Kami menemukan gandengan itu di daerah peristirahatan di
sepanjang Autobahn," katanya. "Tetapi lebih penting lagi sopirnya
muncul di dekat Rosenheim. Aku belum mendengar ceritanya, karena
ia sedang menuju kemari. Kau mau datang bersama-sama anak-anak
muda itu nanti jam duabelas? Barangkali saja kita dapatkan sesuatu
dari orang itu." Gerhard dan kedua kakak beradik Hardy tiba di kantor Schirmer
pada tengah hari. Mereka ingin dapat berbicara dengan si sopir truk.
Orangnya jangkung, berambut abu-abu dengan wajah yang pucat dan
kumis cambang yang tidak sempat dicukur.
Detektif Schirmer tersenyum kepada ketiga tamunya.
"Herr Bauer ini kemarin sedang dalam perjalanan ke Ulm untuk
menjemput muatan," ia memberitahu. "Ketika sedang berhenti di
daerah peristirahatan, ia didatangi dua orang. Rupa-rupanya Jansky
dan Schmidt menurut ciri-ciri yang disebutnya. Mereka mulai bicara
dengan dia, tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka itu menutupi
wajah Bauer dengan kain yang diberi kloroform."
Kemudian sopir itu mengambil alih pembicaraan.
" Ketika saya sadar saya tergeletak di belakang kabin, disumpal
dan diikat. Seperti ada mesin yang berat yang sedang dimuat ke atas
truk. Kemudian salah seorang dari mereka menjalankan truk itu."
"Apakah mereka mengatakan sesuatu tentang arah tujuan
mereka?" tanya Frank.
"Tidak! Mereka menutup kepala saya dengan sehelai karung
hingga saya tidak dapat melihat. Setelah mereka berjalan lama,
mereka lalu masuk ke jalan yang berbenjol-benjol sebelum berhenti
lagi. Di tempat itulah mereka turunkan saya dan mengangkat saya
masuk ke dalam hutan di mana saya ditinggalkan."
"Bagaimana anda dapat meninggalkan tempat itu?" tanya Joe.
"Akhirnya saya dapat melepaskan ikatan," kata Bauer sambil
menunjukkan bilur-bilur di pergelangan tangannya. "Kemudian saya
menjelajah beberapa jam lamanya sebelum tiba di sebuah desa dekat
Rosenheim." "Dapatkah anda menunjukkan pada peta di mana anda
ditinggalkan oleh para penyerang?" tanya Schirmer.
Bauer mengangguk, dan menunjukkan secara garis besar tempat
itu. "Aku akan mengirimkan beberapa orang ke sana sekarang juga.
Untuk melakukan wawancara dengan penduduk di sana," kata
Schirmer. "Barangkali truk itu berhenti pada sebuah pompa bensin,
atau pun orang-orangnya singgah makan di rumah makan."
Gerhard dan Hardy bersaudara berpamitan untuk pulang.
Sehabis makan siang, mereka menyelidiki sebuah peta di kamar kerja
Gerhard. "Aku ingin tahu mengapa gerombolan itu meninggalkan sopir
di sana," kata Gerhard.
"Tentunya mereka tidak dapat meninggalkan dia sebelum
mereka memuat kapal mini, sebab mereka belum mencapai jarak yang
cukup jauh," Frank menerka. "Kalau sopir itu terlalu cepat ditemukan,
polisi akan terlalu dekat di belakang mereka!"
"Betul analisamu! Di lain pihak mereka juga tidak ingin
meninggalkan sopir itu terlalu dekat dengan tempat tujuan mereka,"
Joe melanjutkan. "Menurut pikiranku mereka itu meninggalkan dia di tengahtengah perjalanan mereka!"
"Maksudmu, tujuan mereka adalah sebelah utara atau pun timur
laut dari Rosenheim?"
Frank mengangkat tangan. "Aku sangsikan itu. Mungkin itu hanya tipu daya mereka untuk
menyesatkan kita!" "Aku yakin engkau benar!" seru Joe.
Gerhard lalu membungkukkan tubuhnya di atas peta lagi.
"Mereka tidak mungkin menyeberangi perbatasan. Jadi mereka
tentu menuju ke arah pegunungan Alpen di Bavaria," kata Gerhard
akhirnya. Frank membunyikan tangannya.
"Orang muda dari Dusseldorf itu, Peter Hauser, memang pernah
mengatakan bahwa mereka akan menguji kapal mini itu di sebuah
danau kecil di sana!"
Joe mengangguk. "Tetapi danau yang mana?"
Jari-jarinya mulai menelusuri danau-danau di peta. Tiba-tiba ia
berhenti. "Danau Waldee! Itulah! Keluarga Altenberg punya rumah
peristirahatan di Bad Waldsee."
Joe menceritakan kepada Gerhard bahwa rumah peristirahatan
itu sering dipinjamkan kepada para pegawai pemerintahan kota.
"Barangkali keluarga Schmidt ada di sana juga. Heinz tentunya
mengenal danau itu sejak dia masih kecil!"
"Mengapa engkau tidak menelepon Doris saja? Tanyakan
padanya?" Gerhard mengusulkan.
Joe melakukan itu. Doris menyatakan bahwa keluarga Schmidt
sering tinggal di Bad Waldsee.
"Apa kalian ingin memakai rumah kami di sana?" Doris
bertanya. "Kalau begitu aku akan menelepon tetangga di sana.
Merekalah yang kami titipi kunci-kuncinya! "
"Itu hebat sekali," sahut Joe. "Berjuta-juta terimakasih!"
Diputuskan Frank dan Joe akan berangkat seketika itu juga.
Mereka akan mencari petunjuk-petunjuk di Bad Waldsee. Gerhard
yang masih harus menyelesaikan beberapa tugas penting, akan
menyusul dalam satu dua hari.
Setengah jam kemudian kakak beradik itu telah berada di
perjalanan. Hari telah senja ketika mereka tiba di Bad Waldsee.
Rumah Altenberg ada di daerah di pinggir sebuah danau. Mereka
mendapatkan kunci-kunci dari tetangga. Mereka segera menyesuaikan
diri seperti di rumahnya sendiri. Rumah itu sederhana tetapi
dilengkapi secara menarik.
Esok paginya Frank mengusulkan untuk menggunakan perahu
dayung yang tertambat di kandang perahu. Mereka akan menyelidiki
daerah danau tersebut. "Aku bawa teropong milik Gerhard!" katanya.
Joe mengangguk. "Untuk agar tidak menyolok sebaiknya kita bawa alat pancing
dari kandang perahu itu. Sewaktu-waktu kita lemparkan pancingan ke
danau!" Selama empat jam mereka berdayung berkeliling danau tanpa
menemukan sedikit pun petunjuk dari gerombolan. Akhirnya Joe
merasa lapar. "Aku akan dapat menghabiskan semua ikan-ikan apabila kena
pancingku!" katanya.
Mereka lalu kembali ke rumah, menambat perahu. Mereka
kemudian pergi ke sebuah rumah makan. Di sana mereka mendapat
Bratwurst dan racikan selada dengan kentang. Setelah makan mereka
mendatangi kantor polisi menanyakan tentang truk dengan para
penjahatnya. Namun tidak ada berita sedikit pun.
"Barangkali para penjahat itu memerlukan beli bensin atau
belanja makanan!" Frank menduga-duga begitu mereka ada di
lapangan kota. "Mari kita selidiki tempat pompa-pompa bensin dan
toko makanan." Usaha ini pun tidak bawa hasil. Tidak seorang pun lihat orangorang dengan truk biru tua tersebut.
"Sekarang kita melakukan apa?" tanya Joe.
"Jalan-jalan keliling danau. Kita tanya-tanya penduduk di
sekitar!" jawab Frank. "Mungkin para penjahat itu sengaja sembunyi
di Bad Waldsee." Beberapa jam berikutnya kedua detektif muda itu meneruskan
pencarian mereka di tempat pompa-pompa bensin, rumah-rumah
makan dan toko-toko makanan. Mereka tidak memperoleh apa-apa.
Mereka telah menjalani tiga perempat keliling danau itu.
Kemudian mereka bermobil masuk hutan. Di hutan itu mereka tidak
lihat air danau sampai di jalan tikungan ke arah sebuah teluk kecil.
Sebuah rumah makan kecil dengan beberapa meja kayu di berandanya
terletak di tepi pantai. "Ayo, kita istirahat sebentar!" kata Joe. "Yang ini sungguh
menarik!" "Boleh!" Frank setuju dan memarkir mobilnya.
Ketika mereka duduk, seorang tua bercelana pendek dari kulit
yang disebut Lederhosen mendatangi mereka. Rupanya orang itu
adalah pemiliknya. "Guten Tag!" ia menyapa dengan ramah sambil mengangguk.
"Was darfs denn sein?" yang maksudnya adalah: "Apa yang hendak
dipesan?" Anak-anak muda itu memesan sari buah apel. Orang tua itu
menghidangkan dua gelas besar. Sambil berdiri di dekat mereka ia
bertanya maksud-maksud kedatangannya di kota itu. Ia pun bercerita
bahwa keluarganya telah tinggal di sana turun-temurun.
Joe mengatakan bahwa mereka sedang mengejar tiga orang
pencuri. Ia sebutkan ciri-ciri pencuri itu dengan truknya. Orang itu
menggeleng. Ia tidak lihat mereka.
Frank menghela napas. "Kalau pun mereka ada di sini, barangkali datang pada waktu
malam. Jadi tidak seorang pun lihat mereka," ia ambil kesimpulan.
Pemilik itu mengangkat alis.
"Kapan kiranya menurut kalian mereka itu datang?"
"Sabtu atau Minggu!" jawab Joe.
"Ya, aku memang tidak lihat truk itu, tetapi barangkali aku
mendengar deru mesinnya," kata orang tua itu. "Aku terbangun oleh
suara itu pada kira-kira jam tiga Minggu pagi. Truk itu menuju ke
Danau Beruang di atas sana!"
Orang itu menunjukkan jalanan kecil yang menikung di
belakang rumah itu mendaki ke sebuah bukit terjal yang ditumbuhi
pohon-pohon cemara. "Kalau kuingat-ingat," sambungnya, "truk itu tidak pernah
kembali lagi. Aku ingin tahu apa yang mereka kerjakan di sana!"
Kedua anak muda itu hampir saja melompat-lompat tergelitik
gembira. Akhirnya mereka memperoleh juga kemungkinan suatu
petunjuk di mana gerombolan itu.
19. Rahasia Danau Beruang
"Sungguh sinting menjalankan truk di jalan sempit yang begitu
terjal!" gerutu si pemilik rumah makan. "Dan itu di waktu malam.
Barangkali saja sopirnya ingin patah lehernya."
"Apa mungkin mereka kembali lewat jalan lain?" Joe menerka.
"Tidak ada jalan lain. Setidaknya tidak mungkin dijalani oleh
truk. Kalian belum pernah tahu Danau Beruang itu?"
Tuan rumah itu lalu menjelaskan bahwa itu adalah sebuah
danau yang panjang serta sepi di atas gunung sana kira-kira setengah
perjalanan jauhnya. Pada sebelah ujungnya ada sebuah batu karang
besar yang menjulang timbul dari dalam air. Bagian lain dari danau itu
sangat dalam, dan hutan-hutan sekelilingnya demikian gelap karena
lebatnya. " Danau itu sangat dalam dipagari pohon-pohon cemara sangat
lebat hijau tua. Maka tidak seorang pun suka ke sana, terutama setelah
terjadi tanah longsor!"
"Tanah longsor?" tanya Frank. "Dan itu baru-baru saja terjadi?"
"Bukan, bukan. Itu terjadi dekat setelah Perang Dunia II.
Sebagian batu-batu karang itu runtuh ke dalam danau."
Frank minta kepadanya untuk memberikan arah-arah ke Danau
Beruang. Orang Bavaria yang ramah itu pergi sebentar mengambil
kertas dan pensil. Ia lalu menggambar peta dengan terperinci.
Jalan sempit di belakang rumahnya itu mendaki gunung.
Kemudian sampai di sebuah dataran di dalam hutan cemara. Jalan itu
bercabang-cabang kira-kira tigaratus meter sebelum sampai ke danau.
"Jalan simpang kiri menuju ke tempat terbuka di pantai, dan
yang kanan ke sebuah pondok berburu dan kandang perahu," orang
tua itu menjelaskan. "Siapa pemilik pondok itu?" tanya Joe.
"Pangeran dari Kranichstein. Kakeknya biasa berburu beruang
di sana setiap musim berburu. Tetapi sekarang Pangeran Leopold
hanya tinggal beberapa hari setiap tahunnya di sana. Selain itu hampir
tidak ada orang yang pergi ke sana."
"Lihat," kata Joe sambil menangkap lengan kakaknya, "apakah
semuanya itu cocok? Aku yakin gerombolan itu ada di sana, dengan
Ludwig II!" "Dengan siapa?" orang tua itu bertanya tidak mengerti.
Kedua anak muda itu dengan singkat menceritakan tentang
kapal selam mini yang dicuri. Kemudian mereka menjabat tangan
pemilik rumah makan itu. "Anda sungguh-sungguh telah banyak membantu," kata Frank.
Ia lalu memandang adiknya. " Barangkali kita perlu makan sebelum
berangkat." "Bagus!" Joe setuju. "Aku sebetulnya sejak tadi kelaparan!"
Pemilik rumah makan tertawa.
"Bagus! Saya pun tidak dapat melepaskan kalian pergi ke atas
sana dengan perut kosong!"
Ia lalu bergegas ke dapur untuk menyediakan makanan.
Sementara itu Joe menelepon Gerhard di telepon umum. Ketika ia
kembali sepiring daging asap sudah mengepul di meja. Kemudian
pemilik rumah makan itu menghidangkan sepotong roti dan tiga butir


Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telur goreng bagi mereka masing-masing.
"Gerhard tidak ada di rumah," kata Joe. "Rita akan sampaikan
pesan kita. Aku katakan kepadanya ke mana kita pergi, dan akan
kembali lagi bila sudah tahu tempat para bandit itu. Aku yakinkan dia
bahwa kita akan menelepon lagi beberapa jam kemudian."
Setelah selesai makan mereka bayar harga makanan itu, lalu
berangkat dengan mobil Porsche mereka. Joe yang menyetir. Semakin
dekat Danau Beruang, mereka semakin hati-hati dan berusaha
mendengar-dengar suara di sekitar. Di percabangan jalan Joe
membelokkan mobilnya ke kiri lalu mematikan mesinnya. Mereka
dorong Porsche itu ke dalam semak-semak. Selanjutnya mereka jalan
kaki menuju ke tempat yang terbuka.
Matahari telah menghilang di balik gunung-gunung. Hari pun
mulai gelap. Mereka hampir-hampir tidak dapat melihat pondok
berburu di antara pepohonan pada sisi yang lain dari danau tersebut.
"Tahu kau, rasa-rasanya seperti ada hantu di sini!" kata Joe.
"Sangat terpencil, dan entah bagaimana seperti menekan perasaan,
tidak heran, kalau" Tiba-tiba Frank menunjuk. Terlihat ada orang sedang
menyalakan lampu di pondok.
"Itulah mereka!" bisiknya. "Ayo terus!"
Mereka tidak berjalan di jalanan, khawatir kalau-kalau
gerombolan itu memasang semacam alat tanda bahaya. Mereka
menelusup di hutan yang mengelilingi danau itu hampir selama dua
jam. Mereka gunakan lampu senternya dengan sangat hati-hati.
Akhirnya mereka lihat cahaya remang-remang. Mereka tahu
bahwa mereka telah dekat dengan tujuan. Tanpa menimbulkan suara,
mereka bergerak merangkak ke jendela dari mana cahaya lampu itu
datang. Gorden-gordennya tertutup. Joe mengintip dari celah-celah
dan dapat melihat punggung orang yang sedang duduk di atas meja.
Kemudian mereka mengenah Steiner dari suaranya yang keras.
"Aku tidak tahu, Heinz, tetapi rupa-rupanya segala-galanya
serba salah," orang itu mengeluh. "Namun pada akhirnya kita
dapatkan juga benda itu, tetapi lengan cakarnya tidak dapat bekerja!"
"Yaah, itu harus kita bereskan," Heinz menghibur. "Sekarang
kita tidak akan menghadapi kesulitan lagi!"
"Kuharap saja tidak. Dalam dua jam lagi kita akan ke atas. Kita
tenggelamkan kapal mini itu, lalu kita berangkat!"
"Stolz dan kedua anak ingusan itu sungguh tidak beruntung!"
kata Heinz mengejek. Steiner tertawa. "Mengenai Jansky itu ...", suaranya menghilang menjadi bisikbisik sehingga kedua anak muda itu tidak bisa menangkap percakapan
mereka. Tiba-tiba Steiner berbicara biasa kembali.
"Ha, bagus Oskar! Ini makanan datang. Heinz, mengapa engkau
tidak setel radio?" Kedua anak muda itu mendengar bunyi kursi-kursi yang
digeser. Kemudian terdengar suara pembawa acara. Mereka lalu
mundur hingga tidak terdengar dari rumah.
"Kaudengar tadi?" bisik Frank. "Aku yakin, Steiner sedang
hendak membereskan Jansky, setelah tenaganya tidak diperlukan
lagi!" "Kita tidak dapat membiarkannya!" Joe bersumpah. "Kita harus
cegah mereka untuk "ambil barang" itu dari dalam danau, apa pun
benda itu. Kita harus pula menyelamatkan Ludwig II. Tetapi
bagaimana?" "Kita telepon polisi," kata Frank. "Tetapi pada waktu polisi
datang, jangan-jangan mereka sudah kabur. Kita hanya ada satu
pilihan, menyembunyikan kapal ini, dan setelah itu baru menelepon
polisi untuk minta bantuan."
"Oke! Ayolah!" Kakak beradik itu bergegas menuju pinggir danau. Di samping
kandang perahu, mereka lihat truk curian dan sebuah mobil yang
diparkir di antara pohon-pohonan. Dengan cepat Joe mencatat nomornomornya.
Bulan sedang bersinar. Dalam cahaya bulan itu mereka lihat
Ludwig II di samping sebuah perahu motor di galangan. Pada tubuh
kapal mini itu dipasang sebuah alat berbentuk persegi dengan sistem
piringan yang rumit. "Bisa jadi sebuah echosounder, " Frank menerka.
Ia naik ke kapal mini dan membuka kubahnya. Tiba-tiba ia
merasa bahwa rencana mereka ini ada titik kelemahannya.
"Tunggu sebentar!" ia berbisik kepada Joe yang sedang hendak
melepaskan tali tambatan. "Lebih dulu kita harus berusaha supaya
perahu itu tidak dapat digunakan!"
"Betul juga!" kata Joe sambil garuk-garuk kepala. "Dan kedua
kendaraan itu juga, hingga para bandit itu tidak dapat melarikan diri
sebelum polisi datang!"
"Kita ambil rotor-rotornya dari pembagi perapian kedua
kendaraan itu dulu!", kata Frank.
Ia baru saja akan melompat ke galangan, ketika didengarnya
sebuah seruan keras. "Frank, mereka datang!"
Ketika Frank mendongak, ia lihat pintu rumah terbuka.
Seseorang mendatangi mereka dengan lampu senter di tangannya.
Anak muda itu tidak mau kehilangan waktu sedetik pun. Ia melompat
ke dalam kubah, duduk di tempat pengemudi. Ia nyalakan mesin serta
lampu besar. Ia dengan Joe mengikutinya, lalu memberi gas. Kapal mini
segera bergerak menjauh, tepat waktu seorang lari mendatangi sambil
berteriak-teriak ke dermaga. Oskar Jansky hanya berjarak beberapa
meter saja dari kapal mini.
"Woow! Hampir saja!" kata Joe.
Ia amati kapal mini itu menambah kecepatan menuju ke tengah
danau. Tetapi pada waktu itu di galangan menyala lampu besar.
"Mereka akan mengejar kita dengan perahu motor!" seru Frank.
"Kita menyelam saja!" Joe mengusulkan.
Frank mematikan mesin dan memasukkan air ke dalam tangki
pengapung. Joe menutup rapat kubahnya. Mereka telah lihat
bagaimana Rolf Meier mengemudikan kapal itu, dan kini mereka tahu
apa yang harus diperbuat. Sebelum perahu motor itu sampai mereka
telah tidak nampak. "Sulitnya," kata Frank, "kita tidak dapat menyelam di bawah air
selamanya!" "Memang tidak selamanya," Joe mengaku. "Tetapi cukup lama
sampai Gerhard menemukan kita. Ia akan khawatir kalau kita tidak
meneleponnya, bukan?"
Ia lihat sebuah peta di dinding lalu membukanya. Peta itu
gambaran tangan, tetapi cukup teliti. Itu adalah peta danau tersebut
dengan tanda-tanda silang sebanyak duabelas buah. Sebagian besar
diberi lingkaran hitam. Hanya satu yang diberi lingkarah merah. Di
samping tanda-tanda silang itu diberi angka-angka.
"Ini mungkin menunjukkan kedalaman!" kata Joe. "Sungguh
tidak masuk akal, sebab semuanya di sekitar enamratus dan tujuhratus
kaki!" Keduanya lalu meneliti peta dan berusaha mengetahui arti
tanda-tanda silang itu. Tiba-tiba Joe membunyikan jari-jemarinya.
"Aku tahu!" katanya. "Benda-benda yang disebut Steiner tentu
terbuat dari logam. Sebab, aku kira, alat yang ada di perahu motor itu
adalah sebuah magnetometer. Silang dibuat untuk menunjukkan
tempat di mana dapat ditemukan sebuah benda logam yang di dasar
danau!" Frank mengangguk. "Kemudian gerombolan itu mencuri kapal selam mini ini untuk
meneliti tempat-tempat tersebut. Sebuah lingkaran hitam pada tanda
silang itu berarti bahwa "benda" itu tidak terdapat di sana "
"Dan lingkaran merah berarti mereka telah menemukan benda
berharga itu. Aku yakin tentu itu adalah lukisan-lukisan di dalam
kotak logamnya. Tetapi bagaimana dapat sampai di sana?"
"Siapa yang tahu? Eh, Joe! Mengapa kita tidak ambil sendiri
saja kotak logam itu? Kita tidak terlalu jauh dari tempat itu!"
"Benar!" Dengan bantuan kompas dari kapal mini, mereka mengira-ngira
arah, lalu mengambil beban lagi. Lampu depan mereka nyalakan.
Mereka menyelam lebih dalam sementara Joe mengamati alat-alat.
"Seratus meter, seratus limapuluh, seratus delapanpuluh ..." ia
menjadi tegang. "Seratus delapanpuluh lima, tahan di sini!"
Frank menghentikan kapalnya ketika telah mencapai dasar.
Mereka membuat sebuah batu besar di dasar itu sebagai patokan,
kemudian mulai melakukan pencarian secara sistimatik. Tanah yang
tidak rata itu tertutup lapisan lumpur hitam. Dengan peralahan-lahan
mereka maju dan sewaktu-waktu mereka lihat batang kayu yang telah
busuk atau pun serumpun ganggang. Beberapa kali mereka kira kotak
logam, tetapi setelah didekati ternyata sebuah batu yang besar.
Setelah satu jam, Joe berganti tempat dengan kakaknya. Ia
mulai mengemudikan kapal mini itu. Beberapa lama kemudian Frank
melihat sebuah kotak. "Arah ke kanan!" ia memberikan arah. Mereka berdua menjadi
sangat girang. Di sana, agak terpendam dalam lumpur hitam, tergolek
sebuah kotak persegi dengan dua buah pegangan. Apakah lukisanlukisan yang hilang itu ada di dalamnya?
"Kuharap saja lengan cakar itu bekerja!" Joe berbisik tegang,
sementara Frank mengerjakan alat pengontrolnya. Dengan perlahan-
lahan ia arahkan tangan buatan itu ke kotak logam. Lengan cakar itu
membuka, menangkapnya dan dengan hati-hati lengan itu melipat
kembali. Kotak itu dengan mudah keluar dari lumpur. Frank mengunci
kedudukan lengan cakar tersebut, dan kakak beradik itu bersorak
girang, saling menepuk punggung dan melompat-lompat. Namun
luapan kegirangan itu tiba-tiba saja reda begitu mereka sadar akan
bagaimana keadaan mereka.
Joe memeriksa alat-alat kapal dan menjadi khawatir.
"Kita tinggal punya persediaan oksigen untuk satu jam lagi,"
katanya. "Barangkali lebih baik kita menyembul ke atas permukaan air
dan melihat ke kanan dan kiri."
Frank setuju. "Kalau penjahat-penjahat itu masih tetap mengganggu kita, kita
masih dapat menyelam lagi!"
Joe mengangguk lalu menaikkan kapal mini itu hingga tepat di
bawah permukaan air. Mereka telah matikan semua lampu-lampu, dan
memusatkan pandangan mereka melalui jendela. Danau itu nampak
kosong tidak kelihatan cahaya di pondok.
"Gerombolan itu telah kabur!!" seru Frank.
Joe belum yakin. "Mungkin sebuah perangkap!" katanya hati-hati. "Kita harus
menjauhi kandang perahu!"
Mereka memutuskan untuk tetap di bawah air dan meneruskan
menuju sebuah tempat yang terbuka. Mereka lalu menyembunyikan
kotak itu dan mencari bantuan dari mobil mereka. Dengan
menggunakan kompas dan peta mereka sampai di daerah yang mereka
kehendaki tanpa suatu kesulitan. Airnya cukup dalam untuk merapat
ke tanah yang sempit dan menjorok. Dengan hati-hati mereka berhasil
meletakkan kotak logam itu ke tanah, lalu melompat ke darat.
"Jangan bergerak! Kalau tidak kutembak!" tiba-tiba terdengar
suara keras. Kedua anak muda itu membalikkan tubuh dan menatap ke
dalam cahaya yang menyilaukan dari dua buah lampu senter.
Suara kemeretak membuktikan bahwa ancaman itu bukan
omong-kosong. Tidak ada peluang untuk melarikan diri. Seseorang
melangkah dari arah belakang mereka, lalu mengikat tangan dan kaki.
Ketika mereka mulai terbiasa dengan cahaya yang menyilaukan itu,
mereka mengenali Heinz Schmidt dan Oskar Jansky.
"Kalian tepat masuk perangkap kami," Schmidt mengejek.
"Ketika kami menemukan mobil kalian kami tahu pasti ke mana harus
menunggu kalian!" Kedua anak muda itu mendengar mesin perahu motor
dihidupkan di dalam kandang.
"Terimakasih atas bantuan kalian mengangkat lukisan-lukisan
itu," Schmidt melanjutkan. "Ayahku tentu akan sangat gembira
mendapatkan lukisan-lukisan itu kembali."
"Ayahmu?" seru Frank tidak mengerti. "Ia ?kan sudah
meninggal dalam pertempuran?"
Kembali Schmidt mengejek.
"Ia telah mengatur semua itu sedemikian rupa hingga setiap
orang mempercayainya. Pintar, ya?"
"Haa? Jadi Steiner itu sebenarnya Wilhelm Schmidt?" tanya
Joe. "Betul!" jawab Heinz.
"Tetapi kita telah melihat foto-fotonya, dan rupanya tidak ada
mirip-miripnya!" "Operasi plastik kecil saja dapat membuat mukzizat-mukzizat!
Nah, tidak usah ungkapkan apa-apa lebih jauh, walau kalian takkan
mungkin ceritakan ini semua kepada orang lain lagi. Kalian sudah
terlalu banyak mengintai untuk kali ini!"
Ia menangkap Joe dan bersama Jansky mengangkatnya masuk
ke dalam kapal mini. Joe meronta keras tetapi tinju Schmidt segera
mendarat di dagunya, lalu ia didorong masuk ke kubah. Nasib yang
sama bagi Frank menyusul.
Mereka dengar mesin perahu motor berhenti. Jansky masuk ke
dalam kapal selam mini. Ia menghidupkan mesin diesel lalu
membawanya ke tengah danau. Ia tidak mau menjawab segala
pertanyaan. Sesaat kemudian mesin dimatikan, lalu keluar tanpa
berucap kata. Sebagai gantinya seorang tua berbadan besar muncul
dari dalam kubah. Ia nampak sangat kuat, berhidung pesek dengan
mulut tipis dan mengenakan kacamata. Itu dia Willy Steiner alias
Wilhelm Schmidt. "Aku sudah peringatkan kalian, he anak-anak celaka!" serunya
menggeledek. "Tetapi kalian tidak mau dengar. Sekarang habislah
harapan kalian!" "Mengapa anda tidak menyerah saja, pak Schmidt?" tanya Joe
dengan berani. "Anda toh tidak akan mungkin dapat keluar dari sini.
Polisi sudah dalam perjalanan kemari."
"Kau toh tidak sungguh-sungguh mengharapkan saya akan
menyerah begitu saja, bukan?" kata Schmidt mengejek.
Ia periksa ikatan-ikatan para tawanannya dan menariknya
menjadi satu. Kemudian ia kembali menuju ke tempat pengemudi.
" Kalian akan mendapat oksigen cukup untuk setengah jam
saja," katanya dengan senyuman setan. "Tidak seorang pun akan lihat
kalian dapat kembali atau juga kapal selam mini si Alfred Wagner
ini!" Kata-kata itu diakhiri dengan tindakannya membuka tombol
untuk memasukkan beban air ke dalam tangki-tangki pengapung.
Kemudian ia padamkan lampu-lampu serta keluar dari kubah.
Tutupnya jatuh menutup lalu dikunci dari luar.
Frank dan Joe terkunci di dalam kapal selam mini yang dengan
perlahan-lahan menyelam dalam danau.
20. Operasi Amfibi Kedua anak muda itu hampir lumpuh karena ketakutan. Mereka
mulai menarik-narik ikatan. Namun tali-tali pengikat tersebut malah
makin dalam membebat daging. Mereka tidak akan buang-buang
waktu. Kalau kapal selam itu terdampar di dasar danau, maka kecil
sekali peluang untuk dapat tahan terhadap benturan.
Akhirnya Frank berhasil menguasai diri hingga dapat berpikir
terang.

Hardy Boys Pembajak Kapal Selam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Joe, itu kotak perkakas!" ia berseru. "Barangkali aku dapat
meraihnya." Ia meliuk-liukkan tubuhnya mencari kedudukan yang tepat.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya ia berhasil mengambil kotak
tersebut dari bawah tempat duduk. Segera ia meraba-raba untuk
mencari pisau. Kemudian ia mulai memotong ikatan adiknya dahulu.
Pekerjaan itu hampir tidak dapat ia lakukan, karena ia sendiri pun
dalam keadaan terikat. Namun akhirnya ia berhasil memotong tali
ikatan itu. Maka tidak lama kemudian mereka berdua pun lepas dari
ikatan. Segera mereka menutup katup tangki pengapung sebagai
langkah pertama. Kemudian menjalankan motor listrik dan
mengerjakan pompa untuk mengeluarkan beban dari dalam tangki
pengapung agar menjadi kosong kembali. Semuanya itu terjadi tepat
pada waktunya. Sebab kapal itu telah berada pada kira-kira sepuluh
meter saja dari dasar danau.
"Woow!" seru Frank menyeka peluh yang membasahi dahinya.
" Sungguh lega hati kita dapat berhasil. Dapatkah kaupikirkan apakah
kapal ini akan tetap utuh apabila membentur keras dasar danau?"
"Aku yakin kapal ini akan hancur bersama tubuh-tubuh kita,"
jawab Joe. Ia gemetar memikirkannya, tetapi kemudian bernapas lega.
"Lebih baik kita segera cari udara segar, yaitu sebelum
persediaan oksigen dalam kapal ini habis."
Dengan hati-hati mereka naik ke permukaan. Ketika sampai di
permukaan, mereka lihat lampu-lampu depan sebuah mobil datang
melalui hutan dari arah pondok.
Frank membuka tutup kubah lalu melihat ke luar. Itu dia
mereka pergi, pikirnya. Saat-saat berikutnya seluruh hutan itu seperti hidup dengan
mendadak. Dua buah tembakan menggema menembusi larutnya
malam. Teriakan-teriakan terdengar nyata, dan lampu mobil itu
padam. Kemudian suatu jaringan sinar-sinar lampu senter memancar
dari segala jurusan. Frank memandangi pemandangan itu dengan perasaan
terpesona. "Joe, polisi telah berdatangan. Mari kita keluar!" ia berseru.
Mereka segera sampai di pinggir danau dan mendarat. Hirukpikuk pun berhenti. Setelah maju beberapa langkah, Frank menahan
adiknya. "Ssst! Ada orang datang!" bisiknya.
Sebatang ranting gemeretak lalu patah. Tegang dan waspada.
Kedua kakak beradik itu merapat pada sebuah pohon cemara besar.
Mereka lihat bayangan sosok tubuh yang menyelinap ke pinggir
danau, kira-kira lima meter dari mereka. Setelah saling memberi
isyarat tanpa kata, kedua menyerbu dengan berteriak melompati orang
asing tersebut dan membantingnya jatuh ke tanah.
Gerhard Stolz dan Schirmer mendengar teriakan serempak
mereka lalu mendatangi. "Jangan lepaskan dia!" seru Schirmer.
Kakak beradik itu memandangi dengan seksama tangkapan
mereka. Ternyata ia adalah Wilhelm Schmidt.
"Bagus!" Schirmer memuji, lalu memborgol orang itu. "Ia
hampir terlepas!" Gerhard merangkul kedua detektif muda itu.
"Aku senang bertemu kalian!" katanya. "Aku sudah khawatir!
Kalian tidak menelepon aku, karena itu aku dan Sepp datang kemari
secepatnya." "Syukur kau bertindak cepat," kata Frank tersenyum.
"Bagaimana kautangkap orang ini?" tanya Gerhard selanjutnya.
"Dengan bantuan Ludwig II, " kata Frank sambil menunjuk ke
kapal selam mini. "Boleh dikatakan kami telah melakukan serangan
amfibi untuk menangkap dia!"
Semua tertawa. "Bagaimana dengan dua penjahat lainnya?" Joe bertanya.
"Mereka pun sudah ditahan!" jawab Stolz.
"Dan lukisan-lukisan itu?"
"Sudah di tangan kita. Mereka pun telah membukanya untuk
kita. Seperti yang kita sangka, koleksi matauang itu, milik walikota
Alimberg, juga ada di dalamnya."
"Aku yakin, Doris tentu sangat gembira memperolehnya
kembali," kata Frank.
"Mari kita ke pondok saja untuk berbincang-bincang," Schirmer
mengusulkan, lalu menyeret orang yang diborgol itu.
Setelah sampai mereka lihat sebuah cerek berisi kopi yang
mengepul di tungku. Kedua tangkapan yang lain berada dalam
pengawasan seorang anggota polisi.
Kakak beradik itu menceritakan kepada Gerhard dan detektif
Schirmer apa yang telah terjadi pada diri mereka. Wartawan itu
menggigil mendengar kisah bagaimana para penjahat itu hendak
menyingkirkan kedua anak muda itu.
"Itu adalah percobaan pembunuhan!" ia berseru. Ia lalu
berpaling kepada Willy Steiner. "Steiner! Engkau akan menjalani sisa
hidupmu di penjara untuk itu!"
"Steiner?" Joe mengulang. "Dia sebenarnya adalah Wilhelm
Schmidt, bekas anggota Dewan Kota Glocken!"
Penjahat itu mengucapkan sumpah serapah ketika Frank
menjelaskan apa yang mereka dengar dari Heinz. Tetapi tidak seorang
pun menghiraukannya, dan Schirmer menoleh ke arah Jansky.
"Engkau akan dapat keringanan apabila kau mau menjelaskan
apa yang kauketahui. Pertama-tama bagaimana sampai engkau bekerja
pada Schmidt?" Orang itu menghela napas.
"Jangan kau berpikir bahwa kau telah berhutang budi pada
kedua Schmidt itu," kata Frank. "Mereka justru hendak
menyingkirkan engkau begitu mereka tak lagi membutuhkan
tenagamu!" "Itu betul," sambung Joe. "Kami berdua telah dengar mereka
bicara demikian, ketika kami curi dengar dari jendela sore tadi!"
"Aku sudah merasa mereka akan berbuat begitu!" Jansky
meledak. "Aku memang sudah sinting mau mempercayai mereka!"
Jansky telah mereka sewa dengan gaji yang sangat besar, begitu
ia ungkapkan. Namun sedikit saja yang ia ketahui. Baru belakangan
ini ia mulai tahu apa yang dikehendaki oleh kedua Schmidt. Pada
waktu itu ia sudah terlibat demikian dalam hingga tidak mungkin lagi
mengundurkan diri. "Schmidt demikian keranjingan akan harta yang terpendam di
danau ini," Jansky melanjutkan. "Untuk dapat mengambilnya ia
butuhkan sebuah kapal selam, sebab harta itu tersimpan sangat dalam.
Untuk itu ia pun harus mengangkut kapal itu ke Danau Beruang tanpa
menarik perhatian orang. Karena itu ia berusaha agar Lemberg mau
membuatkan. Dengan demikian akan menjadi lebih mudah baginya."
"Haa, kini aku tahu mengapa ia menjadi sangat marah ketika
perusahaan itu tidak mau melanjutkan proyek kapal selam itu," kata
Joe. Schirmer menatap dalam kepada Schmidt. "Kemudian engkau
suruh Tarek mencuri gambar-gambar rencana Wagner, dan engkau
membuat tiruan dari Ludwig II?"
Penjahat itu tidak menjawab.
"Demikian ia telah memiliki gambar-gambar itu, ia lalu hendak
melakukan sabotase terhadap kapal mini Wagner, dan jual gambargambar rencana itu keluar negeri." kata Jansky.
"Sungguh cerdik," Gerhard mengakui. "Dengan demikian ia
dapat membunuh dua ekor burung dengan sebuah batu!"
Jansky mengangguk. "Ketika ia dengar dari Tarek bahwa Wagner mulai menaruh
curiga dan minta bantuan anda, ia menyuruh Heinz ke bengkel untuk
memberi perintah kepada Tarek. Kedua orang itu berdiri di dekat
kantor ketika kedua anak muda Hardy itu datang. Heinz lalu
mendengar bahwa Stolz berada di Glocken untuk sesuatu hal. Setelah
ia sampaikan hal itu kepada ayahnya, Wilhelm menyuruh Heins
membayangi kedua anak muda tersebut."
"Ia telah melakukan lebih dari itu," Joe menyambung. "Ia telah
coba membunuh kami di Autobahn!"
Jansky mengangkat bahu. "Kebetulan ia bertemu kalian, dan memanfaatkan kesempatan
itu. Ketika gadis pirang itu datang menyela, itu telah memberikan
ilham untuk membeli wig."
"Itu yang telah membuat kami bingung untuk beberapa lama,"
Frank mengaku. "Tetapi ketika ia mencuri masuk ke kamar kami, ia telah
membuat kesalahan," sambung Joe. "Itulah yang menyadarkan kami
tentang arti dari saputangan Argentina."
"Alfa Romeo merah itu juga telah banyak membantu kami,"
kata Frank. "Mobil itu terlalu menyolok."
Wilhelm Schmidt berpaling kepada anaknya.
"Dengar tidak apa yang telah kukatakan kepadamu," ia
mendesis. "Apakah ayah tak juga membuat kesalahan?" Heinz
mencemooh. "Ayah telah meninggalkan surat Tarek di apartemen
Stolz!" "Tutup mulut!" Schirmer menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
"Terimakasih! Itu menjelaskan pula penyerangan atas Rita."
Jansky melanjutkan ceritanya. Dia mengakui bersama Schmidt
telah menyerang Stolz, lalu menyeretnya ke dalam ruang bawahtanah
di dekat danau. Kemudian ia ambil mobil Mercedez Stolz dan
membawanya ke lapangan terbang, lalu mengirim telegram kepada
kedua anak Hardy. Pada malam itu juga Schmidt pergi ke Glocken. Di
sana ia minta Heinz untuk menakut-nakuti kedua anak muda itu
dengan menempelkan surat di pintu kamar hotel. Ketika tidak juga
berhasil, mereka memasang perangkap di tambang. Heinz yang
memancing kedua detektif muda itu ke sana.
"Itu sesungguhnya tidak perlu," kata orang muda itu tersenyum
jahat. "Mereka datang sendiri. Aku memang ada di sana untuk
memasang perangkap, ketika mereka telah datang. Dapat kukatakan
suatu kebetulan yang menguntungkan," katanya mengejek.
Ayahnya menyuruh dia diam, tetapi Heinz mengangkat bahu.
"Untuk apa diam? Kini semuanya toh sudah habis!"
Ia dan Jansky mengakui bahwa mereka yang menjadi otak
pencurian truk dan serangan atas bengkel Wagner. Perahu motor
dengan magnetometer itu pun barang curian. Tetapi telah lebih dulu
dibawa ke Danau Beruang. "Yang tidak kumengerti, "Gerhard menyela," ialah mengapa
kotak berisi lukisan itu disembunyikan hampir duaratus meter di
bawah permukaan air danau."
"Tidak seorang pun yang merencanakan demikian," kata Heinz.
"Ayah menyembunyikannya di kaki batukarang, di mana terdapat
tanjung kecil kira-kira seratus meter panjangnya. Tetapi ketika ia
hendak mengambil lukisan-lukisan tersebut, ternyata tanah longsor itu
telah mendorongnya masuk ke dalam danau."
Schmidt mengaku bahwa selama perang ia mendengar
Altenberg hendak melakukan penyelidikan terhadap dia. Karena
merasa bersalah ia hendak menghindari hukuman. Ia berhasil menukar
identitasnya dengan jenazah perajurit lain. Ia lalu menyelinap masuk
Glocken pada waktu malam tanpa diketahui oleh seorang pun. Ia telah
lama mengetahui tambang tua tersebut, yaitu sejak masa kanak-kanak.
Ia perhitungkan bahwa ada terowongan yang menjorok hingga dekat
dengan ruang bawahtanah Altenberg. Selama beberapa minggu ia
menggali untuk menembus ke ruang bawahtanah tersebut. Sementara
itu isterinya menyediakan makan baginya.
"Kemudian Fritz Blendinger mengetahui rencanamu itu, ya?"
tanya Frank. "Dari mana engkau tahu?" penjahat itu menggagap.
Kemudian Schmidt mengaku telah membunuh bekas teman
sekerjanya karena teman itu tahu rencananya. Ia juga telah meracuni
anjing Altenberg. Setelah Schmidt sembunyikan lukisan-lukisan itu di dasar
Danau Beruang, ia melarikan diri ke Argentina. Kemudian anak
isterinya menyusul. Isterinya meninggal tidak lama kemudian.
Schmidt lalu menemukan peminat yang mau membeli lukisan-lukisan
tersebut maka kembali ke Jerman.
"Pembeli itu si Braun-kah?" tanya Joe.
"Bukan! Memang aku juga menawarkan lukisan-lukisan itu
kepadanya, tetapi ia menolak. Tetapi sekarang aku dapat minta harga
berapa saja dari padanya."
" Mengapa?" "Karena ia baru-baru ini diminta oleh seorang kolektor dari
Amerika Selatan agar membeli untuknya," jawab Schmidt.
************* Dua hari setelah tertangkapnya penjahat-penjahat tersebut,
kedua anak Hardy itu sedang menikmati kopi dan kue bersama
Gerrhard dan Rita di apartemen keluarga itu di Munich. Sepp
Schirmer pun datang. "Aku hendak memberitahu kalian, bahwa Braun akhirnya
mengaku," kata detektif tua itu.
Ia menuangkan kopi ke dalam cangkir. "Telepon gelap tentang
akan terjadinya kejutan pada upacara di Glocken itu berasal dari dia!"
Schirmer melanjutkan. "Kami memang berpikir-pikir tentang hal itu," kata Frank.
"Tetapi untuk apa? Apakah hanya untuk membuat bingung kita?"
"Bukan! Ia berharap telepon gelap itu dapat memberikan kalian
jejak-jejak Schmidt, dan menuntun kalian kepada lukisan-lukisan itu.
Dulu Schmidt pernah tawarkan kepadanya matauang Joachimstaler,
tetapi ia tidak sebutkan namanya. Dan ia pun mengira lukisan-lukisan
itu ada dalam tangannya. Ketika Braun dengar tentang upacara
membuka ruang bawahtanah secara terbuka untuk umum, ia segera
menghubung-hubungkan cerita Schmidt dengan lukisan-lukisan itu.
Sebab itu ia datang pada upacara tersebut."
"Jadi dengan menelepon Gerhard, ia berharap Gerhard akan
tertarik pada perkara tersebut, hingga dapat menemukan lukisanlukisan tersebut baginya. Sebab ia kini telah punya langganan yang
mau membelinya?" tanya Joe.
"Betul! Kemudian ia bertemu Schmidt di jalan di kota Glocken.
Ia lalu membuat perjanjian dagang dengan dia."
Gerhard Stolz tersenyum. "Nah, itulah semuanya teman-teman. Sekarang aku dapat
membuat laporan lengkap untuk dimuat dalam The Herald!"
"Hanya saja agar dibuat dengan lebih menarik dan
menegangkan dari yang kaupikirkan sekarang, bukan?" Frank
menyarankan. Gerhard mengangguk. "Engkau dan Joe akan jadi pahlawan internasional, di samping
mendapat hadiah sepuluhribu mark. Eh, omong-omong akan
kauapakan uang sebanyak itu?"
"Aku ingin melakukan beberapa perjalanan lagi!" kata Joe.
Namun ia segera mengetahui bahwa tidak ada waktu bagi
mereka untuk melakukan perjalanan tamasya. Sebab tidak lama
kemudian mereka pasti terlibat dalam perkara baru.
TAMAT Wanita Iblis Pencabut Nyawa 5 Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster Sang Penebus 11
^