Pencarian

Petualangan Gunung Bencana 1

Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana Bagian 1


Petualangan di Gunung Bencana
Scan by BBSC - OCR by Raynold
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 1 LIBURAN MUSIM PANAS SEBUAH mobil sedang mendaki jalan terjal di lereng sebuah gunung. Empat remaja yang ada di dalam kendaraan itu bernyanyi-nyanyi dengan suara lantang, diikuti seekor burung kakaktua yang berteriak-teriak dengan suara serak dan sumbang.
Jambul burung itu menegak, karena keasyikan. Pria yang menyetir menoleh ke belakang sambil tertawa nyengir.
"Bukan main suara kalian Sampai bunyi tuter mobil saja masih kalah," katanya. "Kenapa kalian gembira sekali?"
Philip, Jack, Dinah, dan Lucy-Ann berhenti menyanyi. Mereka berebut-rebut menjawab pertanyaan pria itu, dengan berteriak-teriak,
"Ini kan permulaan masa liburan"
"Dan untuk masing-masing katanya tersedia keledai tunggangan Kami akan berkeliaran di gunung, menunggang keledai"
"Cul ? si kadal muncul" Itu suara Kiki. Burung kakaktua itu tidak pernah mau ketinggalan, apabila anak-anak sedang berbicara.
"Kita akan bersenang-senang, selama delapan minggu."
"Dan Anda akan ada bersama kami, Bill Begitu pula ibu ibu tidak merasa gembira?"
Bu Mannering menoleh ke arah Philip sambil tersenyum.
"Ya, tentu ? tapi mudah-mudahan saja kalian tidak terus-menerus ribut seperti sekarang ini. Kau harus melindungi aku dari anak-anak berisik ini, Bill"
"Kalau soal itu, jangan khawatir," kata Bill berjanji, sambil membelokkan mobil di tikungan yang kesekian. "Akan kuantukkan kepala mereka. paling sedikit satu kali sehari ? dan jika Lucy-Ann mulai berani melawan, akan ku .... "
"Aduh, Bill" kata Lucy-Ann, yang paling muda dan paling tenang di antara keempat remaja itu.
"Jack selalu mengatakan aku ini kurang berani. Mestinya sudah, kan ? kalau kuingat sudah berapa banyak petualangan yang ikut kualami selama ini."
"Berani alami, berani alami" oceh Kiki. Burung kakaktua itu suka sekali pada kata-kata yang berakhiran sama. "Berani alami, berani .... "
"Aduh, berisiknya burung ini," keluh Bu Mannering. Ia merasa capek, naik mobil terus sebegitu lama. Ia ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan. Belum lagi liburan delapan minggu bersama anak-anak Bu Mannering merasa, pasti akan sudah loyo sebelum masa liburan berakhir.
Philip dan Dinah, anak-anaknya sendiri. Sedang Jack dan Lucy-Ann tidak punya orang tua lagi. Kedua anak itu tinggal bersama Bu Mannering, dan sudah menganggap wanita itu ibu mereka sendiri.
Bill Cunningham sahabat karib keempat remaja itu. Sudah sering mereka mengalami petualangan seru bersama pria itu.
Sekali itu ia ikut berlibur dengan mereka, supaya mereka jangan sampai terjerumus ke dalam petualangan lagi. Itu katanya Bu Mannering sudah bertekad akan terus mengamat-amati selama delapan minggu itu, apabila Bill sedang tidak bersama mereka. Dengan begitu mereka takkan mungkin tahu-tahu menghilang, atau terlibat dalam petualangan baru yang menyeramkan.
"Mestinya mereka kali ini pasti aman, karena berlibur di tengah pegunungan daerah Wales dan dijaga oleh kita berdua, Bill," kata Bu Mannering.
Suaminya, Pak Mannering, sudah lama meninggal dunia. Bu Mannering sering merasa repot sekali mengurus anak-anak yang begitu lincah seperti keempat remaja itu. Apalagi kini mereka bertambah besar.
Philip suka pada binatang. Binatang apa saja, termasuk pula burung dan serangga. Tapi Dinah, adiknya, malah tidak Sebagian besar binatang liar, baginya mengerikan. Ia merasa jijik melihat berbagai jenis serangga, yang sebetulnya tidak apa-apa. Untung saja sikapnya kini sudah agak lumayan. Dinah cepat marah. Ia tidak segan-segan mengayunkan kepalan tinjunya. Lucy-Ann yang lemah lembut selalu sedih kalau Dinah sudah berkelahi lagi dengan Philip.
Lucy-Ann adik Jack. Kiki, burung kakaktua peliharaan Jack yang disayanginya, mempunyai kebiasaan bertengger di bahu anak itu. Bu Mannering bahkan pernah mengatakan, bahwa lebih baik bagian bahu jasnya ditambal saja dengan kulit, supaya tidak lekas aus karena cakar Kiki yang selalu dicengkeramkan ke situ.
Jack sangat suka pada burung. Ia sering mengajak Philip pergi mengamat-amati kehidupan unggas di alam terbuka. Sudah banyak sekali mereka membuat foto yang bagus-bagus mengenainya. Menurut Bill, foto-foto itu berharga. Dalam liburan kali ini pun, perlengkapan foto keduanya tidak mungkin ketinggalan. Mereka juga berbekal teropong, untuk mengamati burung- burung dari kejauhan.
"Mungkin kita akan bisa melihat burung rajawali lagi," kata Jack. "Kau masih ingat ? sarang rajawali yang kita temukan dekat puri tua di Skotlandia waktu itu, Philip? Ada kemungkinan pula kita nanti melihat elang."
"Lang" seru Kiki dengan cepat. "Lang, lang ? hilang"
"Siapa tahu ? mungkin pula kita bahkan akan mengalami petualangan lagi," kata Philip sambil nyengir, "walau ibu serta Bill begitu yakin bahwa takkan mungkin ada kejadian tak terduga ? biar bagaimanapun sepelenya ? karena pengawasan mereka kali ini akan ketat sekali"
Kali ini mereka semua berangkat bersama-sama, berlibur ke pegunungan daerah Wales, di inggris sebelah barat daya. Tempat yang dituju sangat terasing letaknya. Di sana anak-anak akan bisa berkeliaran secara leluasa, dengan membawa kamera foto dan teropong. Bagi masing-masing disediakan seekor keledai. Dengan hewan tunggangan itu mereka nanti akan bisa berkelana sepuas hati, menyusuri celah-celah sempit di pegunungan.
"Aku takkan selalu ikut, karena aku tidak segemar kalian menunggang keledai," kata Bu Mannering. "Tapi Bill akan selalu ada ? jadi kalian pasti aman nanti."
"Tapi Bill sendiri ? akan amankah dia jika selalu ikut kami?" tanya Jack sambil nyengir. "Rasanya kami selalu saja menyeretnya sehingga terlibat dalam berbagai kejadian. Kasihan Bill"
"Jika kalian sampai bisa menarikku ke dalam petualangan di tengah-tengah daerah yang paling sepi di pegunungan Wales, kalian betul-betul hebat," kata Bill.
Setelah melewati satu tikungan lagi, di kejauhan nampak sebuah rumah petani.
"Kita sudah hampir sampai," kata Bu Mannering. "Kalau tidak salah, rumah yang di depan itu tempat kita akan tinggal selama liburan ini. Ya ? betul, memang itulah rumahnya"
Keempat remaja itu menjulurkan leher mereka panjang-panjang, karena ingin ikut melihat. Bangunan yang dibicarakan Bu Mannering terbuat dari batu. Letaknya di lereng gunung. Bentuknya melebar ke segala arah, nampak sudah tua. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan gudang serta bangunan-bangunan lainnya. Tempat itu memancarkan suasana ramah dan terbuka, di tengah keremangan senja.
"Aduh, bagusnya" seru Lucy-Ann senang. "Apa nama tempat ini?"
Bill menyebutkan nama dalam bahasa setempat, yang asing sekali bunyinya.
"Astaga, sulitnya" kata Dinah. "Kurasa bahkan Kiki pun takkan mampu mengucapkan nama itu. Coba kauulangi lagi untuk Kiki, Bill Aku ingin tahu, apa yang nanti diucapkannya."
Bill menuruti permintaan Dinah. Diucapkannya nama itu sekali lagi untuk Kiki, yang mendengarkan dengan serius sambil menegakkan jambul.
"Sekarang ulangi," kata Jack pada burung kakaktuanya. "Ayo, ulangi"
"ltu-rumah-Jack," occh burung itu. Kata-kata itu diucapkan dengan cepat, seperti sambung menyambung. Anak-anak tertawa.
"Hebat, Kiki" kata Jack. "Kiki takkan mungkin bisa dibungkam, Bill ? selalu ada saja yang akan dikatakannya Kau pintar, Kiki"
Kiki merasa senang karena dipuji tuannya. Kini ia menirukan bunyi mobil berganti persneling. Berulang kali bunyi itu ditirukannya selama perjalanan. Bu Mannering sudah tidak tahan lagi mendengarnya.
"Aduh, sudah, Kiki, jangan kauulang-ulangi lagi," katanya dengan sikap memelas. "Untung kita sudah sampai sekarang Yang mana pintu depan tempat ini, Bill? Atau memang tidak ada?"
Kelihatannya memang begitu. Jalan di pekarangan yang dimasuki menuju ke sebuah bangunan yang nampaknya gudang dan berakhir di tempat itu. Dari situ ada jalan setapak yang mengarah ke rumah induk, lalu bercabang tiga yang masing-masing menuju ke pintu yang berbeda-beda.
Anak-anak berebut-rebut turun dari mobil. Bill keluar. Ia menggeliat, lalu membantu Bu Mannering turun. Rombongan yang baru tiba itu memandang berkeliling. Seekor ayam jantan berkokok di dekat mereka. Dengan segera Kiki ikut-ikut berkokok Ayam jantan tadi terdiam. Mungkin karena tercengang mendengar suara Kiki.
Seorang wanita bertubuh gemuk muncul bergegas-gegas dari salah satu pintu rumah. Senyuman ramah menghias wajahnya yang kemerah-merahan. Wanita itu menoleh sebentar, lalu berseru ke dalam rumah,
"Effans, mereka sudah datang ? lihatlah, mereka sudah datang"
"Bu Evans, ya," kata Bill, lalu bersalaman dengan wanita itu. Kemudian Bu Mannering juga melakukan hal yang sama. Sementara itu seorang laki-laki bertubuh kecil datang berlari-lari dari dalam rumah.
"Ini Effans, suamiku," kata wanita yang bertubuh gemuk, memperkenalkan laki-laki yang baru muncul itu. "Moga-moga saja kalian merasa senang selama tinggal di tempat kami ini"
Anak-anak senang sekali mendengar logat bicara wanita itu. Orang Wales memang mengalun suaranya kalau berbicara, seperti menyanyi. Semua bersalam-salaman dengan Bu Evans serta suaminya. Kiki tidak mau ketinggalan, ikut-ikut mengacungkan cakar.
"Eh ? lihat, ada kakaktua" seru Bu Evans pada suaminya. "Kakaktua, Effans"
Pak Effans kelihatannya tidak sesuka istrinya terhadap Kiki. Tapi ia tersenyum sopan.
"Selamat datang," katanya dengan logat Wales yang mengalun. "Silakan lewat di sini."
Rombongan yang baru tiba itu mengikutinya menuju ke rumah induk. Mata anak-anak terpentang lebar, begitu Pak Effans membukakan pintu.
Mereka melihat meja kayu yang kekar dan panjang, diselubungi taplak putih bersih. Di atas meja itu terhidang sajian makanan berlimpah ruah. Rasanya belum pernah mereka melihat hidangan sesedap saat itu
Sebongkah besar daging ham, lengkap dengan pisau dan garpu besar, tinggal diiris saja. Masakan lidah yang tidak kalah besar tersaji di sampingnya, dikelilingi hiasan daun sup yang hijau segar. Lalu selada sepiring besar diletakkan di tengah-tengah meja, dengan telur rebus yang sudah dipotong-potong dan ditaburkan di atasnya. Dua ekor ayam panggang dingin juga nampak di situ, dikelilingi keratan daging lemak yang keriting.
Anak-anak asyik memandang hidangan yang membangkitkan selera itu. Bukan main ? belum lagi roti bundar yang masih hangat, serta kue-kue, selai serta madu berwarna kuning keemasan Begitu pula susu segar berkendi-kendi
"Anda hendak mengadakan pesta, ya?" tanya Jack dengan nada kagum.
"Pesta? Ah, tidak ? ini kan hidangan makan sore untuk kalian," kata Bu Evans menjelaskan. "Kami tidak bisa menghidangkan makan malam, karena kami bukan orang kaya. Hidangan kami hanya bisa seperti yang biasa kami makan sehari-hari saja Inilah hidangan sore untuk kalian hari ini. Kalian bisa langsung mulai makan, apabila sudah mandi nanti"
"Haruskah kami mandi dulu?" kata Philip sambil mendesah. "Badanku sama sekali tidak kotor Hmm ? sedap sekali kelihatannya makanan itu Wah ? jika begini terus hidangan untuk kita selama liburan ini, aku tidak jadi berjalan-jalan dengan keledai. Lebih baik aku tinggal di sini saja, makan terus"
"Kalau itu yang kaulakukan, kau nanti akan terlalu gendut, sehingga takkan ada lagi keledai yang mampu kautunggangi," kata ibunya. "Ayo, mandi dulu, Philip Bu Evans akan mengantarkan ke kamar kita masing-masing. Kita semua perlu mandi dulu. Setelah itu akan kita nikmati bersama hidangan sedap ini"
Mereka menaiki tangga sempit yang berkelok-kelok, memasuki kamar-kamar lapang berlangit-langit rendah dengan perabot model kuno yang besar-besar. Dengan sikap bangga Bu Evans menunjukkan letak sebuah kamar mandi berukuran kecil pada mereka. Hal itu sudah selayaknya, karena rumah petani di daerah terpencil jarang yang diperlengkapi dengan kamar mandi di dalamnya
Di tingkat atas itu ada empat kamar. Bill diberi kamar berukuran kecil. Sedang Bu Mannering mendapat kamar besar, yang letaknya agak jauh dari kamar-kamar keempat remaja itu, karena mereka sering sekali berisik saat bangun pagi-pagi.
Philip dan Jack kebagian kamar berukuran kecil yang agak aneh bentuknya. Langit-langitnya condong, pada satu sisi nyaris menyentuh lantai. Dinah dan Lucy-Ann mendapat kamar sebelah, yang agak lebih besar sedikit.
"Kelihatannya kita akan asyik di sini," kata Jack sambil mencuci tangan dengan sabun di kamar mandi, sementara Kiki bertengger di atas keran air.
"Aku kepingin cepat-cepat menyikat hidangan yang di bawah itu. Sedap sekali kelihatannya"
"Ayo, ke sana sedikit" kata Dinah tidak sabar. "Bak cuci ini cukup lebar, bisa dua orang sekaligus mencuci tangan. Kalau pagi, kita terpaksa bergiliran. He, Kiki Jangan kaubawa lari sikat kuku itu Tangkap dia, Jack"
Sikat kuku yang hendak dibawa terbang oleh burung kakaktua iseng itu berhasil diselamatkan, sedang Kiki mendapat hadiah ketukan pada paruhnya. Burung itu tidak memprotes. Ia pun sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat mencicip hidangan enak yang sudah menunggu di bawah. Ia tadi melihat mangkuk, penuh dengan buah frambus. Ia berniat hendak duduk dekat sekali ke mangkuk itu nanti. Kiki terbang ke bahu Jack, lalu bertengger di situ sambil mengoceh dengan suara lembut dekat telinga remaja itu, yang sedang mengeringkan tangan dengan handuk kasar.
"Jangan, Kiki Geli," kata Jack. "Kalian sudah selesai, Anak-anak? Bibi Allie? Bill Sudah siap belum? Kami akan turun sekarang?"
"Ya, kami datang" seru yang lain-lain menjawabnya, lalu turun beramai-ramai. Nah ? sekarang mereka bisa berpesta
Bab 2 DI RUMAH PETANI SAAT pertama kali makan di rumah petani Wales itu sangat menyenangkan. Bu Evans nampak asyik sekali, karena ada tamu. Sedang Effans, suaminya, nampak sibuk melayani dengan wajah berseri-seri, memotong-motong daging ham, lidah, dan ayam.
Sambil bekerja keduanya berbicara terus dengan logat Wales mereka yang sering disisipi kata-kata seperti 'look you` dan 'whateffer` sebagai bumbu kalimat. Kiki tertarik sekali mendengar gaya bicara suami istri orang Wales itu, yang seperti bernyanyi.
"Bersihkan kakimu, whateffer," katanya dengan tiba-tiba pada Bu Evans. Wanita itu tercengang. Ia rupanya tidak mengira Kiki bisa mengoceh.
"Tutup pintu, look you," perintah burung kakaktua itu lagi sambil mengembangkan jambul. Anak-anak terpingkal-pingkal mendengarnya.
"Kiki sudah ketularan logat Wales" kata Dinah.
"He Jaga dia, Jack ? bisa habis buah frambus itu nanti disikatnya"
Jack menutupi tempat buah itu dengan piring. Kiki marah, lalu berteriak. Bunyinya seperti mesin mobil berganti persneling. Effans terperanjat mendengar bunyi yang datang dengan tiba-tiba itu.
"Jangan kaget ? itu suara Kiki," kata Jack. "Ia bisa menirukan bermacam-macam bunyi. Paling hebat, kalau ia menirukan bunyi peluit kereta api dalam terowongan"
Kiki membuka paruhnya. Tenggorokannya menggembung. Kelihatannya ia hendak meneriakkan bunyi yang nyaring itu.
"Jack" ujar Bu Mannering terburu-buru, "Jangan kau bolehkan Kiki menirukan bunyi itu Kalau ia melakukannya juga, kaubawa dia ke atas lalu kurung di kamarmu"
"Kiki jahat, Kiki nakal," kata burung kakaktua itu dengan suara serius. Rupanya ia tahu dari nada suara Bu Mannering, bahwa wanita itu marah padanya. ia terbang ke bahu Jack lalu meringkuk di situ, sambil melirik piring yang ditutupkan remaja itu pada mangkuk yang berisi buah frambus. Kiki mencubit telinga Jack dengan lembut.
Nikmat sekali keenam tamu itu makan, karena sepanjang hari perut mereka hanya diisi dengan roti sandwich terus. Bahkan Bu Mannering pun makan lebih banyak dari biasanya. Dengan wajah berseri, Bu Evans tidak henti-hentinya mengisi lagi piring yang nampak mulai kosong.
"Di sepen masih banyak lagi," katanya. "Coba, Effans, tolong ambilkan perkedel daging."
"Aduh, jangan, Bu" kata Bu Mannering. "Terima kasih, ini pun sudah lebih dari cukup Kebetulan saja kami sangat lapar, dan hidangan Anda nikmat sekali."
Bu Evans semakin bersinar wajahnya mendengar kata-kata itu.
"Ini makanan pedesaan yang biasa saja, tapi untuk anak-anak baik sekali," katanya. "Selera mereka pasti akan bertambah baik karena hawa pegunungan di sini ? sungguh"
"Ya, memang betul," kata Effans, suami Bu Evans. "Selera mereka masih kecil. Nanti pasti tumbuh."
Bu Mannering kelihatan kaget.
"Astaga" ujarnya. "Belum pernah seumur hidupku aku melihat mereka makan begini banyak Jika selera mereka bertambah lagi, pasti aku takkan mampu lagi memberi mereka makan di rumah"
"Apalagi di sekolah, kami pasti akan kelaparan terus," kata Jack sambil nyengir.
"Kasihan" kata Bu Evans. "Nantilah ? kubekali daging ham yang besar"
Akhirnya tidak ada lagi yang masih sanggup makan lebih banyak lagi, Semua duduk bersandar ke belakang, lalu memandang ke luar lewat jendela-jendela yang lebar dan rendah serta pintu besar yang terbuka. Mereka kagum melihat pemandangan yang terhampar di depan mata.
Gunung-gunung besar menjulang tinggi di tengah keremangan senja. Di dalam lembah sudah mulai gelap. Tapi gunung-gunung itu masih kena sinar matahari, sehingga nampak kemilau menawan hati. Segala-galanya begitu lain daripada daerah sekitar rumah mereka sendiri. Anak-anak seperti tidak bosan-bosannya memandangi puncak-puncak gunung serta lembah yang dinaungi di sebelah bawah.
"Tempat Anda ini sangat terasing," kata Bill. "Saya sama sekali tidak melihat rumah atau tempat pertanian yang lain."
"Saudara laki-lakiku tinggal di balik gunung itu," kata Bu Evans sambil menunjuk. "Kami biasa saling berjumpa setiap pekan, di pasar. Tempatnya sepuluh mil dari sini ?atau mungkin juga sebelas. Sedang saudara perempuanku tinggal di belakang gunung yang di sebelah sana itu. Ia juga memiliki usaha pertanian. Jadi ada juga tetangga kami."
"Ya ? tapi bukan tetangga dekat," kata Dinah.
"Anda tidak pernah kesepian di sini, Bu?" Bu Evans kelihatannya heran mendengar pertanyaan itu.
"Kesepian? Astaga ? kenapa harus kesepian? Kan ada Effans di sampingku, lalu gembala domba di atas bukit, serta gembala sapi dengan istrinya di pondok mereka dekat sini? Dan kan juga banyak ternak ? seperti akan kalian lihat nanti."
Ayam betina berkeliaran keluar-masuk lewat pintu yang terbuka, menotok remah-remah yang jatuh dari atas meja. Kiki memperhatikan ternak bersayap itu dengan penuh minat. Kemudian ia berkotek, dan langsung dibalas oleh ayam-ayam betina yang ada di situ. Seekor ayam jantan melangkah masuk dengan sikap gagah, mencari ayam betina yang bunyi kotekannya belum dikenal itu.
Tiba-tiba ayam jantan itu berkokok dengan sikap menantang, ketika melihat Kiki yang bertengger di bahu Jack.
Kiki berkokok membalasnya. Ayam jantan tadi langsung terbang naik ke atas meja, untuk mengajak kakaktua yang bisa berkokok itu bertarung.
Bu Evans kaget melihat ayam jantan itu berani naik ke atas meja, lalu mengusirnya sambil marah-marah. Sedang Kiki malah terkekeh-kekeh. Effans tertawa. Ia terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya. Air matanya bercucuran karena tertawa.
"Burung ini kocak sekali" katanya pada Jack. ?Biarkan saja ia mengambil buah frambus lagi."
Rupanya suami Bu Evans itu sudah senang pada Kiki.
"Terima kasih, Pak, tapi ia sudah cukup banyak makan," kata Jack yang senang mendengar Effans memuji-muji Kiki. Soalnya, ada juga orang yang tidak senang pada kakaktua itu. Kalau Kiki ikut dengan Jack, remaja itu selalu mengkhawatirkan sikap orang terhadap burung itu.
Kemudian semua berjalan-jalan di luar, dengan perasaan puas dan senang. Bill mengajak Bu Mannering duduk-duduk di bibir sebuah sumur batu yang sudah tua, sambil memandang matahari terbenam di balik gunung di sebelah barat. Sedang Lucy-Ann serta anak-anak yang lain berkeliling tempat pertanian itu.
"Eh ? ada babi juga rupanya di sini Lihatlah, kandang mereka bersih sekali," kata Dinah. "Selama ini, aku belum pernah melihat ada kandang babi yang bersih. Coba lihat babi ini ? badannya gemuk dan bulunya berkilat, seperti disikat"
"Mungkin tadi memang baru disikat, untuk menyambut kedatangan kita" kata Philip. "Aku suka sekali melihat anak-anak babi itu Lihatlah, mereka menyungkur-nyungkur dengan moncong mereka yang kecil"
"Sebentar lagi Kiki pasti sudah bertambah lagi kemampuannya menirukan bunyi yang bermacam-macam," kata Lucy-Ann ketika mendengar burung kakaktua itu mendengus dengan bunyi yang persis suara babi. "Ia akan bisa melenguh, menguak, berkokok, dan berkotek-kotek .... "
"Dan meleter seperti kalkun" kata Dinah, karena saat itu ia melihat beberapa ekor kalkun berkeliaran
di dekat tempat mereka sedang berada. "Pertanian ini menarik sekali, karena segala-galanya ada di sini. Eh, Philip ? lihatlah, lucunya anak kambing itu"
Beberapa ekor kambing sedang merumput di lereng gunung, tidak jauh dari situ. Di antaranya ada seekor anak kambing yang masih kecil sekali. Warnanya putih bersih. Gerak-geriknya manis sekali. Philip langsung suka padanya.
Philip mengembik dengan pelan, menirukan suara kambing. Seketika itu juga kawanan kambing berhenti mengunyah, lalu menoleh kian kemari. Anak kambing tadi meruncingkan telinganya yang mungil.
Sekali lagi Philip menirukan bunyi mengembik. Anak kambing berbulu putih bersih itu meninggalkan induknya. la menghampiri Philip dengan gerakan meloncat-loncat, lalu langsung masuk dalam pelukan remaja itu. Kepalanya dibentur-benturkan dengan pelan ke dagu Philip.
"Aduh, manisnya" kata Dinah dan Lucy-Ann.
Keduanya mengelus-elus anak kambing itu, serta menggosok-gosokkan pipi mereka ke bulunya yang putih bersih.
"Aku kepingin binatang mau langsung dekat padaku seperti terhadap dirimu, Philip," kata Lucy-Ann agak iri. Memang mengherankan sekali, betapa binatang apa pun selalu lekas sekali menurut pada Philip. Bahkan ngengat pun mau hinggap dengan tenang di jari tangan remaja itu. Bermacam-macam jenis binatang yang dijadikan peliharaannya. Landak, kumbang tanduk, kadal, anak burung, tikus kecil dan besar ? segala jenis margasatwa suka padanya dan merasa aman di dekatnya. Sedang Philip kelihatannya memahami serta menyukai segala jenis binatang.
"Sekarang anak kambing ini pasti akan ikut terus ke mana Philip pergi, selama kita ada di sini," kata Dinah. "Untung saja anak kambing, dan bukan sapi Masih ingat tidak, ketika Philip masuk ke lapangan di mana ada kawanan sapi sedang merumput, lalu sapi-sapi itu mendatangi kemudian membuntutinya ke mana saja ia pergi. Binatang-binatang itu bahkan mencoba menerobos pagar ketika Philip kemudian keluar lagi. Aku sudah takut saja saat itu, kalau-kalau mereka berhasil."
"Kau seharusnya malu, masa sebesar ini masih takut pada sapi," kata Philip sambil membelai-belai anak kambing yang ada di pelukannya. "Tapi rupanya kau makin besar bukannya bertambah pintar pula, Di Aneh juga ? kau tidak takut pada anak kambing ini. Tapi kurasa kau pasti lari pontang-panting jika didekati olehnya"
"Siapa bilang" tukas Dinah tersinggung. Tapi kemudian ia buru-buru menyingkir ketika kawanan kambing mulai menghampiri anak-anak, karena heran melihat ada anak kambing dalam pelukan Philip.
Dengan segera Philip, Lucy-Ann, dan Jack sudah dikerumuni, sementara Dinah memperhatikan dari kejauhan. Anak kambing yang ada di pelukan Philip mengembik ketika melihat induknya. Philip meletakkannya ke tanah, agar bisa lari ke induknya. Tapi anak kambing itu malah melompat masuk lagi ke dalam pelukannya
"Nah ? kalau begini, sudah jelas malam ini kau terpaksa membawanya ke tempat tidur," kata Jack sambil nyengir. "Yuk ? kita melihat-lihat kuda sekarang. Kuda-kuda yang ada di sini dari jenis yang kukunya terselubung bulu. Aku senang sekali melihat kuda jenis itu"
Kawanan kambing diusir pergi. Setelah itu anak-anak pergi melihat kuda-kuda besar yang berdiri dengan tenang di lapangan. Jumlahnya tiga ekor. Dan sudah tentu kuda-kuda itu langsung mendatangi Philip.
Ia sudah meletakkan anak kambing yang tadi ke tanah. Tapi anak kambing itu masih saja tidak mau berpisah, sehingga setiap kali Philip berhenti, binatang yang masih kecil itu pasti menabrak kakinya. Dan begitu ada kesempatan, ia langsung mendesak masuk ke dalam pelukan. Ketika anak-anak masuk ke rumah, anak kambing itu masih saja mengikuti Philip.
"Ah ? rupanya kalian sudah berjumpa dengan si Putih cilik," kata Bu Evans yang sedang sibuk di oven. Ia menoleh sebentar. Mukanya yang merah nampak lebih merah lagi saat itu. "Selama ini belum pernah ia mau berpisah dari induknya"
"Aduh ? jangan kauajak anak kambing itu masuk kemari, Philip," kata Bu Mannering, ketika melihat ada lagi binatang yang tidak mau berpisah dari remaja itu. Ia khawatir, jangan-jangan Bu Evans tidak suka melihat anak kambing mengikuti Philip masuk ke dalam rumah ? lalu nanti tidak bisa dilarang ikut ke mana-mana ? mungkin bahkan ikut ke kamar tidur
"Ah ? tidak apa jika ada anak kambing masuk ke dalam rumah," kata Bu Evans. "Anak domba yang baru lahir selalu kami taruh dulu di dalam rumah, begitu pula ayam-ayam, berkeliaran dengan seenaknya keluar-masuk ? sedang Moolie, anak sapi kami, biasa masuk kemari setiap hari, sebelum ia ditaruh di lapangan."
Anak-anak setuju sekali bahwa hewan peliharaan diperbolehkan berkeliaran dengan bebas keluar-masuk rumah. Tapi Bu Mannering lain pendapatnya. Ia sudah khawatir saja, kalau tahu-tahu ada ayam betina bertelur di tempat tidurnya, atau ada anak sapi berbaring di kursi besar di kamar tidurnya Tapi saat itu kan liburan, dan apabila Bu Evans menyukai hewan peliharaannya berkeliaran di dapurnya, anak-anak pasti setuju saja
Lucy-Ann menguap lebar sekali, lalu menjatuhkan diri di sebuah kursi besar. Bu Mannering memandang anak itu, lalu menoleh ke arah jam besar yang ada di pojok dapur.
"Ayo, kalian tidur saja sekarang," katanya. "Kita semua sudah capek. Ya, aku tahu sekarang masih agak sore, Philip ? tapi sepanjang hari kita tidak sempat beristirahat sedikit pun. Hawa pegunungan membuat orang cepat sekali merasa ngantuk. Nanti kita pasti tidur nyenyak semuanya."
"Aku akan menyiapkan minuman susu segar untuk kalian," kata Bu Evans. "Kalian juga ingin membawa bekal roti berlapis mentega dan selai untuk dimakan di atas sebelum tidur?"
"Aduh, tidak usah," kata Bu Mannering buru-buru. "Terima kasih, Bu ? tapi kami takkan sanggup makan apa-apa lagi malam ini."
"Wah, Bu Tentu saja kami masih bisa makan roti dengan selai, serta minum susu yang sedap itu," kata Dinah memprotes. Bu Evans lantas membuatkan roti yang diolesi selai frambus untuk keempat remaja itu, masing-masing sepiring untuk bekal makan sebelum tidur. disertai susu segelas besar.
Ketika anak-anak sudah ada di atas, tiba-tiba terdengar langkah makhluk kecil berkuku lari menaiki tangga. Si Putih, anak kambing itu masuk ke kamar kedua anak laki-laki, lalu meloncat naik ke tempat tidur Philip.
"Wah? lihatlah, si Putih menyusul ke atas? kata Philip. "Kau juga mau roti, Putih?"
"He ? kami rasanya seperti mendengar langkah anak kambing tadi menaiki tangga," kata Lucy-Ann sambil menjenguk ke dalam dari ambang pintu. "Aduh, Philip ? ia ada di tempat tidurmu"
"Habis, tidak mau turun sih," kata Philip. "Setiap kali kudorong turun, langsung naik lagi ? nah, apa kataku Persis seperti anak anjing"
Si Putih mengembik dengan suaranya yang lembut, sambil menumbuk-numbukkan kepalanya pada Philip.
"Akan kaubiarkan saja ia di atas sini sepanjang malam?" tanya Dinah, yang saat itu muncul. Ia sudah mengenakan pakaian tidur.
"Kalau kukeluarkan, ia pasti masuk lagi ? sedang jika pintu kututup, nanti dibentur-bentur dengan kepalanya," kata Philip, yang sementara itu sudah sayang sekali pada si Putih. "Lagi pula, Kiki juga boleh menemani Jack dalam kamar tidur."
"Ah, aku sendiri sama sekali tidak keberatan jika si Putih ada di sini menemanimu," kata Dinah.
"Aku cuma agak sangsi tentang ibu ? dan juga Bu Evans."
"Aku takkan heran apabila ternyata bahwa Bu Evans membawa sapi yang sakit ke kamarnya, begitu pula setengah lusin ayam betina," kata Philip sambil membaringkan si Putih di lekuk sebelah belakang lututnya. "Aku paling suka pada wanita semacam Bu Evans itu. Sana ? kembalilah ke kamar kalian. Aku ingin tidur sekarang. Rasanya sudah enak sekarang ?? perut sudah kenyang, mata pun sudah mengantuk."
Tiba-tiba Kiki mengeluarkan bunyi seperti orang yang kekenyangan.
"Maaf" kata burung itu. Kebiasaan itu ditirunya dari seseorang di sekolah Jack. Bu Mannering selalu marah kalau mendengar Kiki bersendawa, lalu minta maaf, karena memang tidak pantas berbuat begitu dengan bunyi yang sampai didengar orang lain.
"Kurasa Kiki juga sudah kekenyangan makan," kata Jack dengan suara mengantuk. "Ia tadi mencopet satu roti bundar, lalu dimakan habis. Dan ia pasti juga sempat mengudap buah frambus lagi. Lihat saja paruhnya Sekarang diam, Kiki Aku mau tidur?
"Cul si kadal muncul, look you," oceh Kiki dengan gaya serius, lalu menyisipkan kepalanya ke bawah sayap. Dinah dan Lucy-Ann kembali ke kamar tidur mereka. Tidak lama kemudian Jack dan Philip sudah tidur pulas. Menyenangkan sekali awal liburan musim panas mereka
Bab 3 PAGI HARI PERTAMA Keesokan harinya Dinah dan Lucy-Ann bangun paling dulu. Saat itu masih pagi. Tapi di luar sudah ada orang. Lucy-Ann memandang sebentar lewat jendela.
"Pak Effans,." katanya pada Dinah. "Rupanya ia baru selesai memerah sapi. Kemarilah sebentar, Dinah. Pernahkah kau melihat pemandangan secermelang ini?"
Kedua remaja itu berlutut di depan jendela, sambil memandang ke luar. Sinar matahari memancar ke dalam lembah lewat celah di antara dua gunung. Tapi sisa lembah selebihnya masih terselubung bayangan. Di kejauhan nampak gunung-gunung menjulang tinggi. Semakin jauh, semakin biru dan kabur nampaknya. Langit biru cerah, sama sekali tak ada awan yang mengusik.
"Begini mestinya cuaca saat liburan" kata Dinah dengan nada puas. "Mudah-mudahan saja ibu mengizinkan kita piknik hari ini."
"Satu hal sudah pasti dalam liburan kali ini," kata Lucy-Ann. "Kita takkan mengalami petualangan yang seram-seram, karena Bibi Allie sudah bertekad akan selalu ikut, ke mana saja kita pergi. Atau kalau tidak dia, Bill"
"Kita kan sudah cukup sering mengalami petualangan," kata Dinah sambil berganti pakaian. "Lebih sering dibandingkan dengan kebanyakan anak-anak lainnya. Bagiku tidak apa-apa, jika kali ini tidak ada petualangan sama sekali Cepatlah sedikit, Lucy-Ann ? supaya kita bisa lebih dulu memakai kamar mandi. Tapi jangan terlalu berisik Ibu kan tidak suka kalau sampai bangun terlalu pagi.?
Ketika menuju ke kamar mandi, Lucy-Ann menjengukkan kepala sebentar ke dalam kamar Jack dan Philip. Kedua anak itu masih tidur nyenyak. Kepala Kiki tersembul dari bawah sayap karena mendengar Lucy-Ann di pintu. Tapi kakaktua itu hanya menguap, tanpa mengocehkan sepatah kata pun.
Lucy-Ann memandang ke arah tempat tidur Philip. Dilihatnya anak kambing yang kemarin, si Putih, masih berbaring dalam lekukan di balik lutut Philip. Anak itu benar-benar ajaib, kata Lucy-Ann dalam hati. Binatang apa pun pasti langsung senang padanya, dan mau disuruh berbuat macam-macam. Si Putih mengangkat kepalanya, memandang Lucy-Ann.
Anak itu bergegas menyusul Dinah yang sudah sibuk di kamar mandi. Tidak lama kemudian terdengar bunyi kedua abang mereka bangun. Kiki sudah mulai mengoceh lagi, menyuruh bersihkan kaki. Entah siapa lagi yang disuruhnya itu.
"Mungkin ia mengajari si Putih," kata Lucy-Ann geli. "Kiki kan selalu ingin mengajarkan macam-macam pada binatang-binatang peliharaan Philip. He, Dinah ? kau masih ingat tidak, bagaimana kocaknya kelakuan Kiki terhadap Enggas dan Enggos, kedua burung puffin yang selalu ikut dengan kita dalam petualangan yang terakhir?"
"Rrrr," kata Dinah dengan suara garau, menirukan suara burung puffin. Kiki yang ada di kamar Jack dan Philip mendengar suara itu. lalu langsung mengikuti.
?Rrrr" Burung kakaktua konyol itu terkekeh-kekeh, sehingga si Putih kaget mendengarnya.
"Bee-eeek" anak kambing itu mengembik.
"Beee-eeek" kata Kiki menirukan. Si Putih celingukan, mencari anak kambing yang berbunyi itu. Jack dan Philip tertawa geli.
Kiki selalu merasa diberi semangat kalau ada yang tertawa. Tenggorokannya mulai menggembung. la hendak memperdengarkan bunyi mesin mobil yang sedang bertukar persneling. Itu rupanya bunyi favoritnya saat itu. Tapi Philip cepat-cepat mencegah.
"Jangan, Kiki" larangnya. "Sudah cukup sering kita semua mendengarnya. Ganti saja yang lain"
"Hidup Ratu" oceh Kiki dengan suara sedih. "Bersihkan kaki, buang ingus"
"Ayo, cepat berpakaian" kata Dinah dan Lucy-Ann, yang saat itu menjenguk ke dalam. "Dasar anak-anak pemalas"
Keempat remaja itu masuk ke dapur, tepat ketika Bu Evans selesai mengatur meja untuk sarapan pagi. Hidangan yang disajikan hampir sama banyaknya seperti malam sebelumnya. Nampak susu segar hasil perahan pagi itu, berkendi-kendi. Begitu pula buah frambus, tersedia lagi beberapa mangkuk
"Wah ? bingung rasanya, mau sarapan apa," keluh Jack sambil duduk, sementara Kiki bertengger di bahunya. "Kucium bau telur dan daging asap digoreng ? dan ada pula keripik yang bisa dimakan dengan lemak susu serta frambus ? lalu daging ham ? serta tomat ? wah, keju mudakah itu? Wah ? keju muda untuk sarapan, asyik"
Si Putih berusaha naik ke pangkuan Philip, ketika anak itu hendak duduk di meja makan. Philip mendorongnya turun lagi.
"Jangan, Putih ? kalau saat makan tidak bisa Saat-saat begitu aku sibuk. Sana, pergilah mengucapkan selamat pagi pada indukmu. Pasti ia sudah bingung, karena tidak tahu ke mana kau sepanjang malam"
Kiki sudah asyik mengudap buah frambus dari piring yang sengaja disediakan oleh Bu Evans untuknya. Wanita itu memandang Kiki dengan wajah berseri-seri. Begitu pula suaminya, Pak Effans. Keduanya senang sekali terhadap burung konyol itu.
"Look you, whateffer " kata Kiki sambil menotok sebutir frambus lagi. Paruhnya sudah merah kena air buah.
Keempat remaja itu tidak mau ketinggalan. Mereka mulai sarapan dengan nikmat. Suami istri Evans sudah lebih dulu selesai sarapan. Bukan itu saja, mereka pun sudah banyak menyelesaikan pekerjaan pagi itu, kalau mendengar percakapan antara keduanya. Pak Effans sudah membersihkan kandang babi, merawat kuda-kuda, memerah susu, mengumpulkan telur di kandang ayam, mendatangi gembala sapi, serta melakukan sekitar selusin pekerjaan lainnya lagi.
"Bu Evans, tahukah Anda, di mana keledai-keledai yang katanya bisa kami pergunakan sebagai tunggangan untuk melancong ke gunung?" tanya Philip. Ia sudah selesai sarapan. Si Putih sudah ada dalam gendongannya lagi.
"Ah, itu urusan Trefor, gembala domba," jawab Bu Evans. "Keledai-keledai itu milik saudara laki-lakinya Nanti akan dibawanya kemari."
"Tidak bisakah kami sendiri yang mengambil ke tempatnya?" tanya Jack.
"Aduh ? saudara laki-laki Trefor itu tinggalnya tiga puluh mil dari sini" kata Pak Effans. "Kalian takkan mampu berjalan kaki ke sana, whateffer. Begini sajalah ? kalian nanti pergi mendatangi Trefor. Tanyakan padanya, bagaimana dengan keledai-keledai itu"
Saat itu Bu Mannering masuk bersama Bill. Keduanya nampak segar bugar, setelah tidur nyenyak sampai pagi di pegunungan yang berhawa segar itu.
"Masih ada makanan yang tersisa untuk kami?" tanya Bill sambil tertawa lebar.
Bu Evans bergegas menggorengkan telur dengan daging asap lagi. Baunya semerbak memenuhi ruangan.
"Hmm Jika aku lama-lama lagi di sini, bisa lapar lagi nanti karena mencium bau ini," kata Philip.
"Bill, kami hendak mendatangi Trefor, gembala domba, untuk menanyakan tentang keledai-keledai itu. Bu ? bisakah kita mengadakan piknik di gunung apabila keledai-keledai itu nanti sudah datang?"
"Boleh saja ? jika aku sudah tahu pasti akan bisa tetap berada di atas punggung keledaiku," jawab ibunya. "Jika tungganganku gemuk sekali, kurasa setiap kali aku merosot lagi"
"Keledai-keledai itu tidak ada yang gemuk." Kata Pak Effans menenangkan. "Binatang-binatang itu bertubuh kecil, tapi kuat sekali. Dan sudah biasa ditunggangi di pegunungan. Kadang-kadang kami memakai kuda poni ? tapi saudara Trefor itu memelihara keledai. Keledai sama baiknya dengan
kuda poni" "Kalau begitu sekarang saja kita berbicara sebentar dengan Pak Trefor itu," kata Philip. Ia berdiri, sehingga si Putih yang selama itu duduk di pangkuannya merosot ke lantai. "Ayo, kita berangkat He, Kiki ? kau ingin tinggal saja, ya Pasti masih ingin mengudap frambus itu terus. Dasar burung rakus"
Kiki terbang ke bahu Jack. Anak-anak berangkat, lewat jalan kecil yang ditunjukkan oleh Effans. Si Putih mengikuti mereka sambil berjingkrak-jingkrak, tanpa mempedulikan induknya yang mengembik-ngembik memanggilnya. Anak kambing itu kini sudah termasuk dalam rombongan dan disayangi oleh anak-anak. Tapi Kiki kelihatannya tidak begitu suka melihat ada binatang lain begitu banyak menyita perhatian keempat remaja itu.
Jack, Philip, Dinah, dan Lucy-Ann mendaki jalan setapak yang terjal itu. Saat itu matahari sudah sepenggalah tingginya. Sinarnya sudah mulai terasa panas. Anak-anak hanya memakai kemeja tipis serta celana pendek saja. Tapi walau begitu mereka
tetap saja kepanasan. Mereka berhenti sebentar di dekat sebuah mata air yang mengalir keluar dari lereng gunung, untuk minum serta menyejukkan tangan dan kaki. Si Putih ikut minum, lalu berjingkrak-jingkrak di sekitar tempat itu. Geraknya lincah sekali, seakan-akan memiliki sayap. "
"Aku ingin bisa meloncat-loncat seperti kambing," kata Jack bermalas-malas. "Kelihatannya asyik sekali bisa meloncat tinggi-tinggi seperti itu, tanpa sekali pun terpeleset atau jatuh"
Tiba-tiba Philip menangkap sesuatu yang menggelincir di depannya. Dinah langsung waspada.
"Apa itu?" tanyanya dengan sikap cemas.
"Ini," kata Philip la memperlihatkan seekor binatang yang menyerupai ular. Warnanya kelabu keperakan, sedang matanya yang kecil berkilat-kilat.
Dinah terpekik. "Hii, ular" teriak anak itu. "Ayo, letakkan lagi ke tanah, Philip Nanti kau digigit."
"Mana mungkin," kata Philip sambil mencibir. "Ini bukan ular. Lagi pula, ular di inggris umumnya tidak mematuk ? kecuali jenis yang berbisa. Kan itu sudah pernah kujelaskan Sedang binatang ini sejenis kadal. Namanya cecak ular."
Anak-anak memperhatikan cecak ular berwarna kelabu keperakan yang menggeleser di atas lutut Philip. Kelihatannya memang mirip ular. Tapi bukan ular Jack dan Lucy-Ann sudah mengetahuinya, begitu pula Dinah. Tapi ia selalu lupa lagi.
Anak itu begitu ngeri pada ular, sehingga baginya semua yang bergerak menggelincir pasti termasuk jenis ular.
"Hih ? seram rasanya melihat binatang itu," katanya sambil bergidik. "Lepaskan lagi, Philip Dari mana kau bisa tahu pasti bahwa itu bukan ular?"
"Ini misalnya, matanya berkedip-kedip Sedang ular, matanya tidak mengedip," kata Philip. "Coba kauperhatikan baik-baik. Matanya berkedip-kedip seperti kadal. Itu tidak aneh ? karena cecak ular memang termasuk keluarga kadal."
Sementara Philip sedang memberi penjelasan, mata binatang melata itu berkedip-kedip terus. Ia tetap tenang di lutut anak itu, tanpa berusaha lari. Philip menaunginya dengan tangan. Cecak ular itu tetap bertengger dengan tenang.
"Aku belum pernah memelihara cecak ular selama ini," kata Philip. "Kepingin rasanya..."
"Awas ya, Philip Jika kau tetap nekat hendak memelihara ular itu, nanti kau kuadukan pada ibu, biar disuruh pulang" tukas Dinah dengan marah. Ia takut sekali.
"Aduh ? ini bukan ular, Dinah" kata Philip kesal. "Ini kadal ? kadal tak berkaki Sama sekali tidak berbahaya, bahkan sangat menarik. Aku akan memeliharanya, jika ia tidak lari"
"Tentu saja ia mau kaupelihara," kata Jack.
"Mana ada binatang yang tidak mau? Aku tidak kepingin ikut masuk hutan bersamamu, Philip ? karena nanti pasti monyet-monyet bergelayutan di lehermu, harimau mendengkur-dengkur keasyikan melihatmu, sedang ular menggeliat-geliat melingkari kakimu .... "
Dinah terpekik ngeri. "Iih ?jangan bicara tentang hal-hal begitu, ah Ayo Philip, usir cecak ular itu Suruh dia pergi" Tapi Philip malah mengantunginya.
"Jangan suka rewel, Dinah," katanya. "Kau kan tidak perlu dekat-dekat padaku. Kurasa cecak ular ini pasti pergi, karena tidak suka kukantungi ? tapi kita lihat sajalah nanti"
Mereka meneruskan jalan, mendaki bukit. Dinah tidak mau berjalan bersama-sama. Dibiarkannya anak-anak yang lain agak di depan. Ia merajuk. Philip memang macam-macam saja ? merusak suasana liburan
Bab 4 Dl LERENG GUNUNG TREFOR, gembala domba kenalan suami istri Evans bertempat tinggal di sebuah pondok kecil. Letaknya agak tinggi di lereng gunung. Di sekeliling tempat itu nampak domba sedang merumput, terpencar ke mana-mana. Lebih dekat ke pondok berkeliaran anak-anak domba yang lahir tahun itu. Anak-anak domba itu sudah tumbuh menjadi kekar. Tubuh mereka yang berbulu lebat nampak menyoIok di sela-sela domba lainnya yang sudah lebih dewasa. Domba-domba ini dicukur habis bulunya, untuk dijadikan bahan wol.
Ketika keempat remaja itu sampai di pondok Pak Trefor, gembala domba itu ternyata sedang makan. Makanannya sederhana sekali, terdiri dari roti, mentega, keju lunak, serta bawang besar. Di sampingnya ada sebuah kendi besar berisi susu yang telah didinginkan dengan jalan merendamkannya di sungai kecil yang mengalir di dekat situ.
Pak Trefor mengangguk ke arah anak-anak yang datang menghampiri. Pak Trefor itu sudah tua. Rambutnya gondrong. Berjanggut acak-acakan, sedang bola matanya biru sekali. Anak-anak rasanya belum pernah melihat mata sebiru mata Pak Trefor.
Mereka tidak memahaminya ketika ia menyapa mereka, karena Pak Trefor berbicara dalam bahasa Wales.
"Bisakah Anda berbahasa Inggris?" tanya Jack. "Kami tidak memahami kata-kata Anda tadi."
Pak Trefor ternyata bisa juga berbahasa Inggris, walau hanya beberapa patah kata saja. Agak lama juga ia berpikir-pikir sambil mengunyah-ngunyah bawang mentah.
"Keledai ? besok," katanya kemudian.
Ia masih menambahkan beberapa kata lagi, yang tidak dipahami anak-anak la mengatakannya sambil melambaikan tangan ke lembah, ke arah rumah keluarga Evans.
"Pasti ia hendak mengatakan bahwa keledai-keledai itu besok akan diantarkannya ke tempat kita tinggal," kata Jack menebak. "Bagus ? dengan begitu Bill dan Bibi Allie mungkin mau ikut piknik naik keledai."
Pak Trefor tertarik sekali melihat Kiki. Rupanya ia belum pernah melihat burung kakaktua. Ia menuding burung itu sambil tertawa dengan suara serak. Kiki langsung menirukan suara itu.
Pak Trefor tercengang. "Bersihkan kakimu," kata Kiki dengan suara galak. "Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu Tiga tikus buta..."
Pak Trefor menatap Kiki dengan mata terbuka lebar. Sedang Kiki terkekeh-kekeh dengan suara nyaring. .
?Look you, whateffer look you, whateffer look you, whateffer, look.."
Anak-anak tertawa. "Ayo, Kiki ? jangan suka pamer, ya" kata Jack sambil menepuk paruh kakaktua itu.
Si Putih menumbuk-numbuk paha Philip. Ia iri, melihat Kiki memperoleh perhatian besar. Begitu Philip berpaling, anak kambing itu langsung meloncat, masuk ke pelukannya. Pak Trefor sangat geli kelihatannya. Kata-kata dalam bahasa Wales mengalir dari mulutnya, tanpa ada yang bisa mengerti maksudnya. Kemudian laki-laki tua itu menepuk lengan Philip, lalu menunjuk-nunjuk ke tanah. Rupanya ia mempersilakan anak-anak duduk.
Keempat remaja itu duduk dengan perasaan agak heran, karena tidak mengerti kemauan Pak Trefor. Laki-laki tua itu pergi agak menjauh. Ia menuruni bukti sambil menirukan bunyi mengembik dengan lembut. Anak-anak domba yang ada di sekitar itu menoleh semua ke arahnya, lalu datang berlari-lari sambil mengembik-ngembik. Si Putih pun meninggalkan Philip, lari mendatangi Pak Trefor sambil mengembik-ngembik pula. Gambala domba itu berlutut, sementara anak-anak domba mengerumuninya sambil mendorong-dorong dengan ujung hidung mereka. Anak-anak domba itu suka sekali padanya, karena ia teman mereka sejak kecil. Pak Trefor yang merawat ketika binatang-binatang itu baru lahir, dan bahkan memberi makan pada beberapa ekor di antaranya yang kehilangan induk karena mati. Begitu mereka mendengar suaranya memanggil-manggil dengan bunyi mengembik lembut, dengan segera mereka datang menghampiri.
Lucy-Ann merasa terharu melihat betapa akrab pergaulan gembala tua itu dengan binatang peliharaannya.
Si Putih ingin dekat sekali pada Pak Trefor. Ia meloncati punggung anak-anak domba yang mengerumuni laki-laki tua itu, lalu membentur-benturnya dengan kepala.
"Coba lihat si Putih Pandai sekali anak kambing itu," kata Dinah. "Pak Trefor sampai tidak kelihatan lagi sekarang, karena begitu banyak anak domba yang mengerumuni"
Kemudian Pak Trefor kembali. Ia tersenyum, sementara matanya yang biru bersinar-sinar di tengah wajahnya yang keriput dan coklat terbakar sinar matahari. Ia menawarkan roti dengan bawang pada anak-anak. Tapi bawang itu keras sekali baunya. Jack merasa pasti bahwa Bu Mannering takkan suka apabila anak-anak kembali berbau bawang.
"Wah, terima kasih, Pak," kata Jack menolak dengan sopan. "Maukah Anda besok turun untuk menemui saudara Anda, dan menanyakan kapan ia dapat mengantarkan keledai-keledai itu?"
Pak Trefor kelihatannya menangkap maksud Jack, karena ia mengangguk.
"Aku datang," katanya. "Besok Keledai."
"Sudah mulai banyak bicaranya sekarang," kata Jack pada anak-anak yang lain. "Baiklah kalau begitu, Pak. Sampai besok."
Anak-anak turun kembali ke lembah. Di tengah jalan mereka mampir untuk minum sebentar di mata air yang tadi. Setelah itu mereka duduk-duduk di rumput, sambil memandang gunung-gunung yang menjulang tinggi di sekeliling.


Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut Pak Effans, hampir tidak ada orang yang tinggal di gunung-gunung sebelah sana itu, karena sulit sekali dicapai," kata Jack "Kurasa tentunya di sana ada binatang liar serta burung-burung yang menarik. Kepingin rasanya pergi melihat-lihat ke situ."
"Kenapa tidak kita coba saja mengajak Bill dan ibu ikut dengan kita," kata Philip, sambil menahan si Putih yang hendak menginjak perutnya.
"Jangan, Putih. Ayo, turun Kukumu tajam, sakit perutku kalau kauinjak. Ya, pasti asyik kalau kita bisa ke gunung untuk beberapa hari dengan menunggang keledai, serta membawa bekal makanan."
"Berkemah, maksudmu?? kata Jack. "Wah ? asyik juga ide itu, Philip. Kita bisa membawa kamera kita, lalu membuat foto yang bagus-bagus di sana. Siapa tahu, mungkin aku nanti bisa melihat beberapa jenis burung yang sudah langka.?
"Ya, itu sudah pasti" kata Philip. "Nah ? sekarang Sally Geliat muncul"
Cecak ular tadi menggelincir keluar dari kantung Philip, lalu berbaring melingkar di lekuk siku anak itu, ikut berjemur di bawah sinar matahari. Melihat binatang kecil itu muncul, Dinah langsung cepat-cepat menjauh. Kiki yang bertengger di bahu Jack, memandang cecak ular itu dengan penuh minat
"Sally Geliat ? manis sekali nama itu" kata Lucy-Ann. Ia mengelus-elus punggung cecak ular yang berwarna keperakan dengan ujung jarinya.
"Lihatlah ? rupanya ia geli kuusap-usap dengan jari. Menggeliat-geliat"
"Geliat-geliut" kata Kiki seketika itu juga. Burung iseng itu senang sekali bermain dengan kata?kata. "Geliat-geliut, geliat-geliut..."
"Ya, ya, bagus ? tapi sekarang sudah cukup," kata Philip. "Kami semua tahu bahwa kau burung yang pintar, Kiki. Coba kaulihat cecak ular ini, Jack ? ia sedikit pun sudah tidak takut lagi sekarang."
"Rupanya kau sungguh-sungguh hendak memeliharanya, ya" kata Dinah dari kejauhan. "Kau kan tahu, aku paling tidak suka pada ular. Ya, ya ? aku tahu, itu memang bukan ular ? tapi aku takkan heran apabila nanti tahu-tahu aku digigitnya Kalau sudah begitu, lalu bagaimana?" ?
"Aku takkan heran jika kau digigit oleh apa pun juga, kalau kau terus bersikap sekonyol itu," kata Philip kesal. "Aku sendiri, rasanya kepingin menggigitmu. Sudahlah ? kemari sajalah sebentar, Dinah. Coba kauusap punggung Sally Geliat ini ? tatap matanya yang kecil berkilat .... "
Dinah terpekik. "Sudah, aku tak tahan lagi. Jangan kaudekati aku, Philip Binatang itu masih lebih menjijikkan lagi daripada tikus-tikus putih yang pernah kaupelihara beberapa bulan yang lalu. Untung saja mereka kemudian menjadi dewasa, sehingga terpaksa kaulepaskan"
"Sally boleh pergi kapan pun ia mau," kata Philip. "Aku takkan pernah menahan binatang peliharaanku yang ingin pergi. Kau ingin pergi, Sally?"
"Geliat-geliut pengap kedap," oceh Kiki, mengulangi berbagai kata yang pernah didengar dan dihafalnya. "Enggas-enggos."
"Yuk ? kita terus," kata Dinah. "Mungkin saja binatang menjijikkan itu akan masuk lagi ke kantungmu, apabila kita berjalan lagi. Kecuali itu aku juga sudah mulai lapar."
Cecak ular itu menghilang ke dalam baju Philip, ketika remaja itu bangkit lalu berjalan lagi.
"Sekarang coba berjalan dengan beres, tanpa setiap kali menyelipkan kepalamu di sela kakiku, Putih," kata Philip pada anak kambing yang berjingkrak-jingkrak mengelilinginya. "Aku bisa tersandung nanti, kalau kau terus-menerus begitu. Kadang-kadang kau terlalu manja, Putih"
Anak-anak kembali ke pertanian, sambil menikmati kehangatan sinar matahari serta angin yang selalu menghembuskan hawa sejuk di lereng gunung. Setiba di rumah mereka sudah lapar sekali. Pikiran mereka penuh dengan bayangan meja makan serta piring-piring berisi daging ham, ayam panggang, selada, serta buah frambus dengan lemak susu.
Bu Mannering ternyata habis berjalan-jalan pula dengan Bill. Tapi hanya di lembah saja, tidak naik ke lereng gunung. Sudah agak lama juga mereka kembali, dan sementara itu sudah mulai bertanya-tanya kenapa anak-anak belum muncul-muncul juga. Begitu melihat kedua orang dewasa itu, si Putih langsung datang menghampiri sambil berjingkrak-jingkrak.
"Lucu sekali si Putih ini" kata Bu Mannering. "Kurasa selama kita ada di sini, ia pasti takkan mau jauh-jauh lagi. Sayang, anak kambing kalau sudah dewasa menjadi kambing yang keras sekali baunya. Ingat ya, Philip -- kau tidak bisa membawa si Putih pulang bersama kita nanti. Aku tidak mau ada kambing yang memakan habis sayur-sayuranku di kebun serta melahap pakaian yang sedang dijemur, sementara kau bisa tenang-tenang di sekolah"
"Bu, kata Pak Trefor tadi, saudaranya besok akan datang kemari, mengantarkan keledai-keledai tunggangan kita," kata Philip. "Bolehkah kami masing-masing memilih sendiri? Berapa ekor yang akan diantarkannya kemari?"
"Ya, kalian pilih saja sendiri besok, kalau mau," kata Bu Mannering. "Aku tidak tahu pasti berapa ekor yang akan diantarkan ? mungkin enam. Mudah-mudahan saja aku bisa memilih yang kokoh tegaknya kelak"
"Mereka semua kokoh-kokoh," kata Jack. "Sekokoh kambing gunung. Tapi tidak suka meloncat-loncat seperti kambing. Aku tidak mau kalau disuruh menunggangi kambing gunung. Nanti tahu-tahu dibawa meloncat-loncat dari batu ke batu"
"Hii, baru membayangkannya saja sudah seram rasanya," kata Bu Mannering sambil bergidik. "Besok akan kupilih keledai yang paling tenang, paling diam dan patuh ? tanpa kecenderungan berjingkrak-jingkrak."
Semua tertawa mendengarnya. Pak Effans datang menghampiri. Wajahnya berseri-seri, senang melihat para tamunya nampak bahagia.
"Yuk, makan siang," katanya mengajak "Bu Evans sudah selesai mengatur meja."
"Kurasa tak lama lagi aku pasti akan sudah berbicara dengan logat orang sini," kata Lucy-Ann, lalu mengucapkan kalimat pendek dengan logat Wales.
Sambil tertawa-tawa mereka menuju ke dapur, didului oleh si Putih. Bu Evans kelihatannya sama sekali tidak berkeberatan. Tapi kemudian anak kambing itu diusirnya juga dan disuruh turun, yaitu ketika ia meloncat naik ke atas kursi. Seekor ayam betina muncul dari bawah meja sambil berlari. Kiki terbang ke atas sebuah rak. Di situ ia bertengger di atas sebongkah daging ham yang dibungkus dengan kain, sementara matanya melirik ke arah meja yang ada di bawahnya. Rupanya kakaktua itu sedang meneliti, buah apa lagi yang tersedia sekarang di situ.
"Cul si kadal muncul," ocehnya, lalu menirukan bunyi sumbat dicabut dari botol. Pak Effans memandang Kiki dengan perasaan kagum.
"Bukan main" katanya. "Belum pernah aku melihat burung seperti dia"
Kini Kiki menirukan suara orang tersedak-sedak. Pak Effans sampai terpingkal-pingkal karena geli.
"Sudah, Kiki" tukas Bu Mannering. Keningnya berkerut karena kesal. "Sudah berapa kali kukatakan, jangan kautirukan bunyi itu?"
"Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kakimu?" balas Kiki, lalu menjerit. Pak Effans semakin terpingkal-pingkal. Karena tahu ada yang mengagumi dirinya, Kiki semakin pamer. Paruhnya dikatup-katupkan dengan keras. Jambulnya dikembangkan, sementara itu mengeluarkan bermacam-macam bunyi yang aneh-aneh.
"Ayo, Kiki Sini" panggil Jack dengan suara galak. Kiki langsung menurut. Burung iseng itu terbang menghampiri, lalu hinggap di atas bahu remaja itu. Jack menotok paruhnya. "Awas ya ? kalau kau masih konyol terus, nanti kukurung di kamar tidur. Burung nakal Burung konyol"
"Polly malang Polly nakal" kata Kiki sambil mencubit telinga Jack. Anak itu langsung menepuk paruh Kiki sekali lagi.
"Diam, kataku Aku tidak mau dengar apa-apa lagi sekarang" katanya dengan nada tegas. Kiki cepat-cepat menyembunyikan kepalanya di bawah sayap, lalu berbisik-bisik pada dirinya sendiri. Pak Effans sangat geli melihat tingkah laku burung jenaka itu. Ia ingin memiliki kakaktua seperti Kiki
Makan siang yang dihadapi ternyata sama sedapnya seperti hidangan-hidangan sebelumnya. Bu Evans senang sekali melihat anak-anak makan dengan lahap. Begitu ada piring mulai kosong, wanita yang baik hati itu cepat-cepat menyuruh tambah. Tapi bahkan Jack dan Philip pun akhirnya tidak mampu makan lebih banyak lagi, walau Bu Evans mendesak-desak terus.
"Nanti pukul empat tidak ada apa-apa," katanya berulang-ulang. "Baru pukul enam kita makan sore, sambil minum teh. Jadi sekarang makan saja sekenyang-kenyangnya"
"Geliat-geliut," kata Kiki dengan tiba-tiba. Dinah terpekik ngeri. Cecak ular yang ditemukan Philip di lereng gunung pagi itu menggelincir keluar dari lengan kemeja anak itu Philip cepat-cepat mendorongnya masuk lagi ke dalam, dengan harapan tidak ada orang lain yang melihat. Tapi Bill awas sekali matanya. Ia tertawa nyengir.
"Ada tambahan baru lagi?" katanya. "Kelihatannya akan asyik liburan kita kali ini"
Bab 5 KELEDAI-KELEDAI DATANG PERISTIWA mengasyikkan sesudah itu tentu saja datangnya saudara laki-laki Pak Effans, yang mengantarkan keledai-keledai tunggangan. Anak-anak menunggu dengan sikap tidak- sabar sepanjang pagi keesokan harinya. Tidak ada yang mau berjalan-jalan, biarpun dekat-dekat saja. Soalnya, mereka ingin melihat kawanan keledai itu tiba. Lucy-Ann yang paling dulu melihat.
"Keledai kita datang" serunya. "Itu, di sana ? di lereng gunung" ?
Keempat remaja itu berhamburan lari mendaki jalan setapak, menyongsong kedatangan keledai-keledai itu. Jumlahnya delapan ekor. Mereka kecil tapi kekar, dengan mata besar dan cerah, serta ekor panjang yang selalu diayun-ayunkan mengusir lalat. Semua kelabu warnanya. Kuping mereka yang besar bergerak-gerak, sementara mereka berjalan dengan langkah tetap mendaki jalan setapak yang terjal.
Keledai-keledai itu digiring oleh saudara laki-laki Pak Trefor. Orangnya juga sudah tua. Agak mirip Pak Trefor, tapi rambut dan janggutnya lebih rapi. Bola matanya juga berwarna biru cerah Tapi sikapnya takut-takut, seolah-olah sering mengalami hal-hal yang tidak enak. Ia tersenyum sekilas, ketika anak-anak datang menghampirinya dengan bersemangat,
"Bolehkah kami menunggangi mereka sekarang juga?" tanya Philip. "Kami sudah biasa menunggang kuda. Sini, Lucy-Ann, biar kubantu kau naik"
Philip membantu anak itu naik ke punggung keledainya. Dinah tidak memerlukan bantuan sama sekali. Dengan sekali loncat saja ia sudah ada di atas punggung keledainya. Gayanya meloncat persis seperti si Putih.
Keledai-keledai itu meneruskan langkah mendaki jalan terjal. Gerak mereka tidak secepat tadi lagi, karena kini sudah membawa beban yang lumayan beratnya. Si Putih berlari-lari kecil di sisi keledai yang ditunggangi Philip, sambil membentur-benturkan kepala ke kaki keledai itu. Rupanya si Putih agak cemburu.
"Halo Ini kami, sudah kembali" seru Jack. Ia menyuruh keledainya berjalan menghampiri Bu Mannering yang menunggu bersama Bill. "Kita boleh memilih sendiri, dari kedelapan keledai ini. Anda mau yang mana, Bibi Allie?"
Saudara Pak Trefor bernama David. Ia berdiri sambil tersenyum-senyum, sementara semua asyik meneliti dan mencoba keledai-keledai bawaannya. Sementara itu Pak Trefor tiba pula. Kedua orang tua bersaudara itu kemudian asyik bercakap-cakap, dalam bahasa Wales. Kemudian Pak Effans muncul bersama istrinya. Ramai juga keadaan di pekarangan pertanian itu, karena semua sibuk membicarakan kawanan keledai yang baru tiba itu.
"Kami ingin sekali melancong ke gunung naik keledai," kata Philip membujuk-bujuk. ?Boleh ya, Bu? Tentu saja bersama ibu dan Bill. Maksudku, berkemah di sana beberapa hari. Menurut pendapatku, di gunung-gunung sana itu pasti banyak terdapat burung yang sudah langka sekarang. Jack juga berpendapat begitu. Dan binatang pun, pasti banyak pula"
"Asyik juga kedengarannya," kata ibunya."Sudah lama sekali aku tidak pernah berkemah lagi, dan dengan cuaca yang begini indah, pasti itu akan menyenangkan. Bagaimana pendapatmu, Bill?"
"Kalau aku jelas setuju" kata Bill. Ia menyukai kehidupan di alam bebas, serta sangat berpengalaman dalam urusan berkemah. "Untukmu itu pasti baik, Allie Kita bisa membawa beberapa ekor keledai lagi, untuk mengangkut barang-barang."
"Wah ? jadi kita benar-benar bisa pergi, Bill?" seru Lucy-Ann. Ia gembira sekali. Dinah menandak-nandak, mengelilingi Bill. Asyik ? mereka akan mengembara naik keledai ke gunung, dengan membawa kemah serta bekal makanan
"Kita akan bertualang nanti," kata Dinah. "Tentu saja bukan petualangan seperti yang biasa kita alami, tapi pengalaman yang sangat menyenangkan. Kau pasti senang, Lucy-Ann. Ya, kan?"
"Memang," jawab Lucy-Ann. Ia tidak pernah menyenangi petualangan, apabila sedang terlibat di dalamnya. "Kalau petualangan seperti itu, aku senang sekali Kapan kita berangkat?"
"Kurasa lebih baik kita membiasakan diri dulu dengan keledai-keledai ini," kata Bill. "Aku tidak biasa naik keledai, begitu pula Bibi Allie. Mulanya kita pasti masih merasa kaku. Kita harus bisa merasa leluasa dulu, dan setelah itu baru berangkat. Bagaimana kalau minggu depan?"
"Aduh ? aku tak sanggup menunggu selama itu" keluh Dinah. Semua tertawa melihat tampangnya yang langsung berubah.
"Pak Effans," kata Jack sambil menoleh ke arah suami Bu Evans, "tempat mana yang menurut Anda sebaiknya kami datangi?"
Pak Effans berpikir-pikir. Ia berbicara sebentar dalam bahasa Wales dengan Pak Trefor. Kemudian ia memberi jawaban.
"Menurut Trefor ini, Lembah Kupu-kupu juga bagus," katanya. "Kecuali kupu-kupu, di sana juga banyak burung."
"Lembah Kupu-kupu? Wah, asyik" kata Jack dengan gembira.
"Hebat" sambut Philip. "Bagus sekali Kita ke sana. Jauhkah tempatnya dari sini?"
"Begitulah ? dua hari, kalau dengan keledai," jawab Pak Effans.
"Kita memerlukan penunjuk jalan ? Trefor, Effans, atau bisa juga Pak David ini," kata Bill. Ia menghitung?hitung. "Untuk dia diperlukan seekor keledai. Lalu paling sedikit dua lagi untuk mengangkut perbekalan, termasuk tenda perkemahan. Sedang kita sendiri memerlukan enam ekor keledai. Jadi keseluruhannya sembilan.
Padahal ini cuma ada delapan ekor. Effans, tolong tanyakan pada orang ini, apakah ia masih memiliki seekor keledai lagi."
Ternyata saudara laki-laki Pak Trefor sebenarnya bermaksud pulang naik keledai, dengan membawa seekor lagi untuk mengangkut hasil pertanian yang akan dijual. Dengan begitu yang sebenarnya hendak disewakan hanya enam ekor saja. Pak Effans membujuknya agar mau kembali lagi seminggu setelah itu dengan tiga ekor keledai, sebagai tambahan pada keenam ekor yang sudah diantarkan.
"Nanti kau bisa menjadi pemandu mereka ini," kata Pak Effans. "Itu kan uang Kau menunggang seekor, mereka enam, lalu dua untuk mengangkut barang. Penerimaanmu akan besar, David"
Pak David menyetujui tawaran itu. Ia berjanji akan datang hari Rabu pekan mendatang, dengan membawa tiga ekor keledai lagi.
Anak-anak gembira sekali. Mereka mengerumuni kawanan keledai, menepuk-nepuk punggung binatang-binatang itu, mengelus-elus, serta menunggangi mereka. Keledai-keledai itu kelihatannya senang mendapat perhatian. Mereka berdiri diam, sambil memperhatikan anak-anak. Hanya ekor mereka saja yang terayun-ayun. Si Putih berlari-lari tak menentu, menyusup-nyusup ke bawah perut keledai-keledai itu.
Pak Trefor membantu saudaranya menaikkan berbagai barang bawaan ke atas punggung seekor keledai. Bawaan itu makin lama makin banyak. Tapi keledai itu tetap berdiri dengan sikap sabar, seolah-olah tidak peduli. Tapi kemudian meringkik, seolah-olah ingin cepat-cepat berangkat.
Kiki menghambur lurus ke udara. Ia ketakutan, karena belum pernah mendengar ringkikan keledai. Keledai itu meringkik-ringkik lagi, sambil mengentak-entakkan kaki depannya.
"Aduh ? sekarang Kiki pasti ikut-ikut meringkik pula," kata Jack. "Tapi kita harus mencegahnya. Ringkikan keledai yang sebenarnya saja sudah tidak enak bunyinya ? apalagi kalau Kiki yang meringkik"
Akhirnya keledai itu selesai dimuati. Pak David naik ke punggung tunggangannya, mengucapkan salam perpisahan dengan sopan pada semua yang ada di situ, lalu pergi menuruni jalan setapak yang tadi. la memegang tali penuntun keledai yang membawa muatan.
"Nah, sekarang masing-masing bisa memilih keledai yang diingini" kata Lucy-Ann dengan gembira. "Bibi Allie dulu"
"Ah, bagiku semua kelihatannya sama saja" kata Bu Mannering. Bill bertanya pada Pak Effans, apakah petani itu tahu keledai mana yang paling tenang. Pak Effans meneruskan pertanyaan itu pada Pak Trefor.
Ternyata gembala domba itu tahu. Ia menuding seekor keledai kecil dengan tatapan mata sabar, sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Wales.
"Katanya, yang itu cocok bagi Anda," kata Pak Effans menerjemahkan. "Binatang itu tenang dan baik. Namanya Sabar."
"Kalau begitu yang itu saja untukku," kata Bu Mannering. "Ini keledaiku, Anak-anak ? yang di keningnya ada belang hitam."
"Aku ingin yang ini" seru Lucy-Ann sambil menarik-narik seekor keledai yang tidak henti-hentinya mendongakkan kepala dan sekali-sekali mengentakkan kaki ke tanah. "Aku suka padanya. Siapa namanya, Pak Trefor?"
Pak Trefor mengatakan sesuatu. Tapi anak-anak tidak memahami maksudnya. Sekali lagi Pak Effans menjelaskan.
"Namanya Semanggi. Lalu yang ini si Kelabu. Itu si Belang. Sedang yang dua itu, itu si Kuning dan si Manis."
Lucy-Ann sudah memilih Semanggi. Jack mengambil Kelabu, sedang Dinah lebih menyukai Belang. Bill mendapat Kuning, dan Philip kebagian Manis. Tidak ada yang merasa kecewa. Semua menyukai keledai masing-masing. .
"Yuk, kita melancong sebentar naik keledai," kata Jack sambil naik ke punggung keledainya.
"Yuk, Bill. Ayolah, Bibi Allie. Kita coba dulu menunggangi mereka ? bolak-balik sebentar di jalan itu."
Sementara Effans beserta istrinya memperhatikan sambil tertawa-tawa, mereka berenam mencoba keledai masing-masing. Mereka tidak bisa cepat, karena jalan mendaki. Bill menasihati anak-anak agar jangan mencoba menyuruh keledai mereka berjalan lebih cepat.
"Nanti kalau turun mereka pasti bisa lebih cepat," katanya. "Tapi ke atas berat, karena ada kita yang membebani punggung."
Menyenangkan sekali rasanya menunggang keledai, mendaki lereng gunung yang terjal. Bu Mannering mula-mula agak gugup ketika sampai di bagian yang berbatu-batu. Tapi keledai tunggangannya cekatan sekali, seperti juga keledai-keledai yang lain. Binatang itu tetap melangkah dengan tenang ketika melewati bagian yang banyak sekali batu-batunya.
Bill berada di dekatnya, agar dapat segera menolong Bu Mannering bila ia memerlukan bantuan. Tapi ternyata tidak Sedang Lucy-Ann serta ketiga remaja lainnya, mereka sudah jelas tidak mau dibantu. Mereka sudah biasa menunggang kuda, dan keledai sangat mudah dikendalikan.
"Sekarang kita kembali? seru Bill memberi .aba-aba. Semua membalikkan keledai masing-masing, kini menuju ke bawah. Si Putih ikut berbalik. Tadi anak kambing itu berjalan mendului, sambil berjingkrak dan melompat-lompat "Asyik, ah" kata Lucy-Ann, sementara keenam keledai itu berlari-lari kecil menuruni jalan sempit itu. Bu Mannering lebih suka kalau keledainya berjalan santai saja.
"Keledaiku ini suka membentur-bentur," katanya pada Bill. "Setiap kali aku bergerak turun, punggungnya naik. Kalau aku naik, dia turun Jadi setiap kali kami berbenturan lagi"
Semua tertawa geli. Mereka merasa menyesal ketika sudah tiba kembali di rumah, karena masih ingin lebih lama lagi melancong sambil menunggang keledai. Tapi makanan sudah dihidangkan.
Bu Evans menunggu dengan wajah berseri-seri di ambang pintu. Karenanya keenam keledai itu cepat-cepat digiring ke lapangan, lalu segala perkakas dibawa ke kandang.
"Lama-lama kau akan biasa juga menunggang keledai," kata Bill pada Bu Mannering. "Rabu minggu depan kau pasti akan sudah siap untuk berangkat Saat itu kau akan merasa seperti sudah selalu menunggang keledai."
"Ya, kurasa juga begitu," kata Bu Mannering.
Kemudian ia menjenguk ke bawah meja, karena merasa ada yang mematuk-matuk kakinya. Ternyata seekor ayam betina yang montok, berbulu coklat.
"Husy? sana, pergi Jangan kaupatuki kakiku"
Ayam betina itu lari. Tapi dengan segera si Putih datang menggantikan. Anak kambing itu baru saja didorong turun dari pangkuan Philip, lalu mulai iseng menggigiti tali sepatu siapa saja yang kakinya terjulur di bawah meja. Bu Mannering mengusirnya. Si Putih pindah lagi. Kini tepi gaun Bu Evans yang dikunyah-kunyahnya. Istri petani itu tidak mempedulikan hal-hal seperti itu. Jadi si Putih terus saja asyik mengunyah-ngunyah.
Keesokan harinya Bu Mannering merasa seluruh tubuhnya pegal, karena tidak biasa menunggang keledai. Tapi bukan ia sendiri, Dinah dan Lucy-Ann pun berkeluh-kesah. Sedang Bill, Jack, dan Philip tidak apa-apa.
"Aduh ? rasanya aku seperti sudah jompo saja sekarang," keluh Bu Mannering ketika menuruni tangga rumah. "Rasanya takkan mampu lagi menunggang keledai"
Tapi rasa pegal itu kemudian lenyap dengan sendirinya. Dengan segera semua sudah terbiasa melancong naik keledai setiap hari ke gunung, sambil mengagumi pemandangan yang indah. Si Putih selalu ikut dengan mereka. Anak kambing itu berjalan sambil meloncat-loncat dengan lincah, seakan-akan tidak mengenal capek. Kiki bertengger di bahu Jack. Sekali-sekali ia terbang membubung, untuk menakut-nakuti burung yang kebetulan lewat di atas kepala. Burung-burung itu cepat-cepat terbang menjauh. Mereka tercengang mendengar ocehan Kiki yang menyuruh mereka agar membersihkan kaki.
"Dua hari lagi sudah Rabu," kata Lucy-Ann dengan perasaan senang. "Saat itu kita pasti sudah benar-benar siap ? tahan berjam-jam duduk di atas punggung keledai"
"Ya, lalu kita berangkat menuju Lembah Kupu-kupu" kata Jack. "Aku ingin tahu, seperti apa pemandangan di sana. Pasti penuh sayap berwarna-warni, menggelepar di mana-mana. Asyik"
"Ayo, Rabu ? cepatlah tiba" kata Dinah. "Tinggal empat puluh jam lagi ? lalu kita berangkat"
Tapi kemudian terjadi sesuatu yang mengacaukan rencana indah itu.
Bab 6 KE LEMBAH KUPU-KUPU PERISTIWA itu terjadi keesokan harinya, yaitu ketika Bu Mannering ikut dengan Bu Evans ke gudang yang besar. Tahu-tahu pintu dibantingkan angin sehingga tertutup dengan tiba-tiba.
Bu Mannering menjerit kesakitan. Tangannya terjepit pintu. Bu Evans bergegas membukakan. Bu Mannering memegang tangannya yang cedera. Bill bergegas-gegas datang.
"Kita harus cepat-cepat ke dokter," katanya prihatin. "Tunggu sebentar, akan kuambil mobil dulu. Mana anak-anak? Sedang melancong naik keledai? Bu Evans ? nanti kalau mereka kembali, tolong beri tahu mereka, ya? Katakan, mereka tidak usah khawatir. Kurasa cedera ini tidak seberapa parah. Tapi walau begitu lebih baik diperiksakan juga di rumah sakit, kalau-kalau ada tulang yang patah"
Dengan wajah masih pucat, Bu Mannering cepat-cepat diantar dengan mobil menuruni jalan yang terjal, menuju kota yang jaraknya sekitar lima belas mil dari tempat pertanian itu, di lembah sebelah.
Ketika anak-anak pulang, mereka kaget sekali mendengar apa yang terjadi.
"Kasihan ibu" kata Philip. "Pasti sakit sekali tadi, ketika tangannya terjepit pintu berat itu."
"O ya, tentu saja," kata Bu Evans. Ia nampak gugup. "Ia menjerit ketika pintu menjepit tangannya. Tapi setelah itu tidak terdengar lagi suaranya. Kalian tidak perlu terlalu sedih ? malam ini juga ia pasti akan sudah kembali"
"Tapi bagaimana dengan besok?" tanya Lucy-Ann gelisah. "Mungkinkah ia bisa ikut, dengan tangannya yang cedera itu?"
"Yah ? kalau itu, tentu saja tidak bisa," kata Bu Evans. "Tapi ia bisa tinggal di sini bersama aku. Aku akan merawatnya baik-baik Kalian kan bisa pergi sendiri bersama Pak Cunningham, dengan David sebagai penunjuk jalan."
"Tapi maukah Bill ikut, kalau ibu tidak bisa?"kata Philip. "Ia kan sayang sekali pada ibu. Sialan ? kenapa ini harus terjadi, sementara kita sudah merencanakan pelancongan yang benar-benar asyik. Kasihan ibu Mudah-mudahan saja cederanya tidak parah."
Petang itu juga Bu Mannering sudah kembali bersama Bill, menjelang saat makan sore. Ia kelihatannya sudah biasa lagi, dan meremehkan cedera yang dialaminya.
"Kami sudah memeriksakannya ? dan ternyata ada tulang kecil yang patah - di sini," kata Bill. Ia menunjukkan letak tulang itu pada punggung tangannya. "Untuk sementara ibu perlu beristirahat Tangannya harus tetap terbalut, supaya tulang yang patah itu bisa menyambung lagi. Tiga hari lagi ia harus kembali ke rumah sakit, untuk pemeriksaan selanjutnya."
"Aku sendiri menyesal atas kejadian ini, Anak-anak," kata Bu Mannering, ketika melihat wajah keempat remaja itu nampak lesu. "Dan Bill ? kau sebetulnya tak perlu mengantar aku ke sana. Biar tanganku ini cedera, tapi aku masih sanggup menyetir mobil sendiri. Kau ikut saja dengan anak?anak besok. Tak sampai hatiku melihat mereka kecewa"
"Apa ? meninggalkan dirimu dalam keadaan begini?" kata Bill. "Tidak bisa, Allie Aku akan mengantarmu hari Jumat nanti, dengan mobil. Anak-anak bisa pergi dengan David, jika ia mau Perjalanan itu sama sekali tidak ada bahayanya ? dan beberapa hari lagi mereka akan sudah kembali. Mereka semua sudah mahir menunggang keledai. Dan mungkin pula mereka senang melancong sendiri, tanpa kita"
"Kami lebih senang jika Anda dan Bibi Allie juga ikut," kata Jack. "Tapi jika tidak bisa, apa boleh buat Kami takkan apa-apa kalau pergi sendiri, Bill. Kan ada Pak David sebagai penunjuk jalan. Sedang mengenai yang lain-lainnya, kami sudah cukup besar ? sudah bisa mengurus diri sendiri."
Akhirnya ditetapkan bahwa keempat remaja itu akan berangkat sendiri dengan Pak David sebagai penunjuk jalan. Philip bertanya pada Bill, apakah cedera yang dialami ibunya parah atau tidak.
?Ah tidak ? beberapa hari lagi pasti akan sembuh kembali," kata Bill. "Tapi aku ingin mengawasi agar ibumu benar-benar mengistirahatkan tangannya selama itu. Aku juga hendak mengantarnya ke dokter. tiga hari lagi. Sayang aku tidak bisa ikut dengan kalian. Tapi kalian pasti takkan apa-apa dalam perjalanan. Aku tidak melihat kemungkinan kalian akan mengalami kesulitan, atau terjerumus ke dalam petualangan yang tidak disangka-sangka saat kalian sedang melancong naik keledai di gunung, bersama Pak David. Mungkin kalau ibumu sudah sembuh, nanti kita masih bisa melancong bersama-sama."
Malam itu anak-anak sibuk sekali mengatur barang-barang yang akan dibawa. Mereka menyiapkan dua buah tenda kecil, lalu kantung tidur, masing-masing selembar, dua alas untuk dihamparkan di tanah, selanjutnya kamera, teropong, pakaian ? dan tentu saja bahan makanan.
Yang terakhir itu urusan Bu Evans. Bill memperhatikan, sementara wanita itu sibuk mengemaskan perbekalan makanan yang menurutnya diperlukan untuk perjalanan beberapa hari.
"Aku tadi tidak sampai hati mencegahnya," katanya kemudian pada anak-anak. "Tapi makanan yang dikemaskannya, untuk satu bulan pasti masih cukup. Sungguh Bayangkan ? daging ham saja, sebongkah utuh"
"Wahl" kata Jack sambil menjilat bibir. "Lalu apa lagi?"
"Lidah asin, telur rebus, berbagai jenis makanan kalengan, kue-kue, dan entah apa lagi tadi" kata Philip. "Pokoknya, kita bisa berpesta-pora nanti"
"Yah," kata Lucy-Ann, "menurutku, di luar rumah kita selalu lebih banyak makan, karena semua rasanya..."
"Lebih sedap" seru anak-anak lainnya serempak. Mereka sudah tahu, karena Lucy-Ann berulang kali mengucapkannya setiap kali sedang berlibur. Ia tertawa
"Yah, setidak-tidaknya kan menyenangkan, punya bekal makanan yang banyak sekali Lagi pula, ada Pak David ? kita harus membawa bekal pula untuk dia"
"Ia kelihatannya tidak biasa makan banyak," kata Dinah. "Orangnya begitu ceking"
"Sebaiknya kalian lekas-lekas tidur saja sekarang, Anak-anak," kata Bu Mannering beberapa saat kemudian. "Menurut Pak Effans, besok perjalanannya lama sekali."
"Baiklah ? supaya besok cepat tiba," kata Lucy-Ann. "Bagaimana rasanya tangan Anda sekarang, Bibi Allie?"
"Sudah tidak terasa sakit lagi," jawab Bu Mannering. "Sebetulnya aku bisa saja ikut dengan kalian, besok"
"Eh, eh, jangan" kata Bill dengan buru-buru, karena khawatir kalau-kalau Bu Mannering benar-benar berniat hendak ikut.
"Jangan khawatir, aku takkan sembrono," kata Bu Mannering sambil tertawa. "Enak juga ya, sekali-sekali bisa tenang ? tanpa empat berandal yang berisik serta burung yang lebih berisik lagi selama beberapa hari"
Keesokan harinya, pagi sekali anak-anak sudah bangun. Tapi si Putih masih belum puas tidur. Anak kambing itu semakin meringkuk dalam selimut Philip, ketika anak itu hendak bangun.
Kiki menyembulkan kepalanya dari bawah sayap, lalu menggaruk-garuk jambulnya.
"Geliat?geliut," ocehnya. Ia melihat cecak ular peliharaan Philip, yang melingkar di salah satu sudut kamar. Binatang itu sebenarnya ingin ikut naik ke tempat tidur Philip. Tapi ia takut pada si
?prev | next? Go to[1-11] Home Putih, yang suka menggigit-gigit apa saja yang ada di dekatnya.
Jack dan Philip pergi ke jendela, lalu memandang ke luar. Cuaca saat itu cerah sekali. Gunung-gunung yang menjulang tinggi nampak seindah biasanya.
"Gunung-gunung itu kelihatannya begitu bersih, seperti habis dicuci," kata Jack; "Begitu pula langit ? bersih dan segar sekali"
"Aku suka pada suasana pagi hari,? kata Philip sambil mengenakan celana pendeknya. "Ada semacam perasaan baru mengenainya ? seolah-olah merupakan pagi pertama yang pernah ada"
Si Putih pergi ke pojok kamar tempat Sally melingkar. Cecak ular itu cepat-cepat menggelincir pergi, bersembunyi di bawah bufet. Philip meraupnya. Binatang melata itu dengan segera meluncur masuk ke dalam kantung celana.
"Nantilah kutangkapkan beberapa ekor lalat untuk sarapanmu, Sally," kata Philip. "Diam, Kiki Terbangun seisi rumah ini nanti karena batukmu yang jelek itu"
Kiki sedang menirukan bunyi batuk seorang paman Jack yang sudah tua. Bunyinya parau, tidak enak didengar. Burung itu langsung berhenti ketika dilarang Philip, lalu meloncat ke bahu Jack.
"Burung kocak, burung. konyol," kata Jack dengan manis, sambil menggaruk-garuk tengkuk burung kakaktua itu. "Yuk, Philip - kita lihat sebentar, apakah anak-anak perempuan sudah bangun."
Dinah dan Lucy-Ann baru saja terbangun saat itu. Keduanya nampak gembira menghadapi hari yang cerah. Apalagi membayangkan hari itu akan berangkat berkemah ke gunung.
"Cecak ular jelek itu ada padamu?" tanya Dinah cemas, sambil memandang Philip.
"Ada ? tapi entah ke mana tadi," kata Philip. Ia meraba-raba pakaiannya. "Begitulah Sally Geliat ? keluyuran ke mana-mana"
Dinah bergidik. lalu pergi ke kamar mandi. Ternyata si Putih ada di situ, sedang asyik mengunyah-ngunyah keset yang terbuat dari gabus. Kelihatannya nikmat sekali.
"Aduh, Putih ? kena marah Bu. Evans kau nanti" kata Dinah. Diusirnya anak kambing itu ke luar.
Tangan Bu Mannering yang cedera terasa kaku dan nyeri pagi itu. Tapi ia diam saja, karena tidak ingin menyebabkan anak-anak merasa cemas. Ia ikut gembira melihat cuaca pagi itu begitu cerah. Dengan perasaan geli diperhatikannya kesibukan Bu Evans mengemasi bekal makanan yang sudah disiapkan untuk anak-anak,
"Jika semuanya itu kalian makan, nanti kalian pasti takkan bisa pulang naik keledai," kata Bu Mannering. "Kalian akan terlalu gendut, sehingga terlalu berat bagi keledai-keledai kalian."
"Mereka tidak boleh sampai kelaparan," kata Bu Evans yang baik hati. "Nah, beres Kurasa tak ada lagi yang lupa. Anak-anak ? nanti keledai yang satu khusus kalian pakai untuk mengangkut makanan, sedang barang-barang selebihnya kalian muat ke atas keledai yang lainnya. Nantilah kuawasi, agar David memuat segalanya dengan rapi.
Sambil sarapan, anak-anak mendengar wanita itu berbicara terus dengan alun suaranya yang seperti menyanyi. Mereka bahagia sekali saat itu Satu-satunya yang kurang menyenangkan ialah bahwa Bill dan Bu Mannering tidak jadi ikut bersama mereka nanti. Tapi di pihak lain, kalau tidak ada orang dewasa yang ikut, mereka bisa lebih bebas
Kiki menirukan bunyi orang terceguk sambil melirik Bu Mannering, yang langsung memelototinya.
"Kau melakukannya dengan sengaja, Kiki" tukas Bu Mannering. "Minta ditabok paruhmu, ya?"
"Maaf " kata Kiki, lalu terkekeh-kekeh. Sepotong daging asap menyumbat kerongkongan Pak Effans, karena ia tertawa dengan mulut penuh makanan. Sebagai akibatnya ia pun terceguk-ceguk.
"Maaf, look you" ujarnya di sela cegukan pada Bu Mannering. Semua tertawa geli melihat wajah Pak Effans yang nampak lucu, dengan matanya yang terbelalak karena kaget.
"Nah, itu David sudah datang" seru Bu Evans dari ambang pintu. Ia ke situ karena hendak mengusir seekor kalkun yang tahu-tahu muncul sambil berbunyi menengguk-mengguk. Kalkun itu tercengang, ketika tahu-tahu Kiki menirukan bunyinya.
"Husy" seru Bu Evans mengusir kalkun, lalu menyapa Pak David, "Selamat pagi, David Kau pagi sekali. Rupanya kau yang membawa cuaca cerah ini, ya"
"Memang," kata Pak David dalam bahasa Wales, sambil tersenyum malu ke arah semua yang sedang sarapan di dapur. la dikerumuni keledai-keledainya yang menunggu dengan sabar.
"Yuk ? kita naikkan barang-barang kita ke keledai, lalu berangkat" seru Jack. Ia tidak tahan lagi duduk lebih lama.
Anak?anak bergegas keluar. Pak David menaikkan barang-barang bawaan ke atas punggung keledai, dibantu oleh Pak Effans. Seekor keledai memanggul dua keranjang besar yang digantungkan di sisi kiri dan kanannya. Keranjang-keranjang untuk tempat bekal makanan. Sedang keledai yang satu lagi mengangkut barang-barang lainnya, yang diikatkan ke punggungnya yang lebar. Kedua hewan pengangkut itu berdiri diam selama Pak David dan Pak Effans sibuk bekerja. Hanya telinga mereka saja yang sekali-sekali bergerak, apabila ada lalat hinggap di situ.
"Nah ? sudah siap berangkat sekarang?" kata Philip. "Rasanya tidak ada lagi yang terlupa. Eh ? mana teropongku?" '
Akhirnya semua sudah siap. Pak David diberi tahu bahwa Bill dan Bu Mannering tidak jadi ikut. Pak Effans mengatakan bahwa dua keledai yang kelebihan akan diurusnya selama Pak David mengantarkan anak-anak melancong. Pak David kelihatannya tidak begitu bergairah, ketika mendengar bahwa ia sendiri saja yang akan pergi bersama anak-anak. Kelihatannya seakan-akan agak takut, kata Bill dalam hati. Kasihan ? rupanya ia pemalu
Bill menyayangkan, kenapa bukan Pak Effans saja yang mengantarkan anak-anak. Tapi Jack dan Philip sudah biasa berkemah, jadi bisa diandalkan bahwa mereka tidak akan berbuat yang bukan-bukan.
"Kami berangkat sekarang" seru keempat remaja itu ketika iring-iringan keledai mulai meninggalkan tempat pertanian. "Selamat tinggal Beberapa hari lagi kami akan sudah kembali. Hati-hati dengan tangan yang cedera itu, Bu Kami datang, Lembah Kupu-kupu"
Bab 7 DI PERJALANAN ROMBONGAN kecil itu berangkat, diantar dengan lambaian tangan Bill, Bu Mannering, Pak Effans, dan Bu Evan. Mereka mengambil jalan kecil yang lewat dekat pondok tempat tinggal Pak Trefor. Keledai-keledai yang ditunggangi berjalan dengan langkah pasti, mendaki lereng yang terjal.
Si Putih ikut sambil berlari-lari. Anak kambing yang masih kecil itu menyusup-nyusup di bawah perut keledai-keledai yang sedang berjalan. Seenaknya saja ia berbuat begitu. Sedang keledai-keledai itu kelihatannya senang padanya. Si Belang menurunkan kepalanya sedikit untuk menyentuh si Putih, setiap kali anak kambing itu muncul di dekatnya.
Kiki bertengger di bahu Jack, seperti biasa. Kelihatannya ia menikmati gerak langkah keledai yang menyebabkan ia terayun-ayun. Ia berbisik-bisik di telinga Jack, sambil mengatup-ngatupkan paruh.
Beberapa saat kemudian rombongan itu sampai di pondok Pak Trefor, yang saat itu sedang sibuk mengurus domba yang sakit di luar. Saudara Pak David itu datang menyongsong mereka. Rambutnya yang gondrong tergerai dipermainkan angin, sedang bola matanya yang biru bersinar cerah.
Kedua bersaudara itu bercakap-cakap sebentar dalam bahasa mereka. Pak David kedengarannya seperti berkeluh-kesah, sedang Pak Trefor meremehkan ucapannya. Kemudian Pak David membentangkan peta yang dipinjamkan Bill padanya, sambil mengatakan sesuatu. Dan gerak-geriknya nampak bahwa ia mengatakan tidak memahami peta itu.
Pak Trefor kemudian berbicara dengan nada bersungguh-sungguh, sambil menunjuk-nunjuk ke berapa arah di peta. Setiap kali hendak menandaskan sesuatu, ia menyodok Pak David dengan telunjuknya. Menurut dugaan anak-anak, pasti ia sedang menjelaskan jalan yang harus ditempuh.
"Mudah-mudahan saja Pak David tahu jalannya nanti," kata Jack. "Mungkin semula ia mengharapkan Bill akan bisa membantunya membaca peta, jika Bill jadi ikut. Kelihatannya ia mengatakan pada Pak Trefor bahwa ia tidak begitu tahu pasti jalan mana yang harus diambil."
"Itu kan bukan soal," kata Philip sambil menepiskan si Putih yang hendak meloncat naik ke atas punggung keledainya. "Aku memang ingin melihat Lembah Kupu-kupu ? tapi kalau tidak jadi ke sana pun tidak apa, asal kita bisa berkemah di daerah pegunungan yang permai ini"
"Betul juga katamu," kata Jack. "Pokoknya, akan banyak kesempatan kita melihat margasatwa. Yuk, Pak David Kita terus saja sekarang"
Pak David langsung naik lagi ke punggung keledainya sambil mengucapkan selamat tinggal pada saudaranya. Rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan, mengambil jalan sempit di lereng yang arahnya bisa dibilang mendatar.
Asyik rasanya menunggang keledai di tempat yang begitu tinggi. sambil melayangkan pandangan ke arah lembah yang terbentang jauh di bawah kaki. Matahari belum begitu tinggi, sehingga ada beberapa bagian lembah yang masih terselubung bayangan gunung. Burung layang-layang berlayapan di sekeliling mereka, menyambar-nyambar serangga yang beterbangan di udara. Sayap burung-burung itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Kiki memperhatikan mereka dengan matanya yang tajam. Ia sendiri juga sering mencoba menangkap serangga yang sedang terbang, tapi belum pernah berhasil. Ah ? serangga kan tidak seenak buah
Rombongan itu bergerak terus dengan santai. Kemudian sampai di suatu hutan kecil, yang di dekatnya ada aliran air. Sementara itu semua sudah merasa lapar dan juga haus.
"Yuk, kita piknik dulu di sini," kata Philip sambil merosot dari punggung keledainya "Di situ ? di tempat teduh. Aku rasanya sudah seperti mendidih kena sinar matahari."
Keledai-keledai digiring oleh Pak David ke air. Mereka minum sebentar. Setelah itu dibiarkan berkeliaran dengan bebas Keledai-keledai itu patuh sekali, kalau dipanggil pasti datang. Mereka tidak mau pergi jauh-jauh, melainkan berteduh di bawah pohon, menikmati kesempatan beristirahat itu.
Dengan segera si Putih lari menghampiri mereka, dengan tingkah laku seperti anak manja. Si Belang membenamkan hidungnya ke tengkuk anak kambing itu dengan sikap sayang. Ketika si Putih kemudian lari ke keledai berikutnya, si Belang mengikuti dari belakang.
"Belang ingin berteman dengan si Putih," kata Dinah. la mengambil bungkusan bekal makanan untuk saat itu dari salah satu keranjang yang besar.
"Nih, Lucy-Ann ? tolong ambilkan air dengan kaleng ini Kurasa kali di gunung pasti bersih sekali airnya. Aku sudah haus sekali"
Anak?anak melihat Pak David minum langsung dari kali. Jadi pasti airnya tidak mengandung penyakit. Lucy-Ann mengisi kaleng dengan air jernih yang mengalir deras di atas batu-batu koral, menuruni lereng gunung.
Hidangan yang dihadapi sedap sekali kelihatannya. Anak-anak terpaksa berkali-kali memanggil Pak David agar ikut makan. Dengan malu-malu laki-laki tua itu datang, lalu duduk agak jauh dari mereka.
"Jangan begitu dong Kemarilah, duduk bersama kami," kata Jack sambil menepuk-nepuk tanah di sampingnya. "Mengobrollah bersama kami. Kami ingin belajar bahasa Wales"
Tapi pria Wales yang bertubuh kecil itu sangat pemalu. Bahkan sampai mau ikut makan saja pun, anak-anak sudah harus berulang kali memaksa. Padahal hidangan yang dihadapi sedap sekali Roti sandwich saja ada lima jenis, lalu daun selada segar terbungkus kain lembab, telur rebus, serta kue selai yang besar-besar potongannya. Rasanya tidak ada hidangan makan siang lain yang bisa menandingi, apalagi dengan disertai minuman sari buah dicampur air yang sejuk segar dari pegunungan
"Takkan ada orang lain di dunia yang makan siang lebih sedap daripada kita saat ini," kata Lucy-Ann sambil mengunyah roti berisi ayam. "Bahkan raja yang paling kaya pun tidak"
"Atau tempat bersantap yang lebih indah," kata Philip. la melambaikan sandwich yang sedang dipegangnya ke arah pemandangan yang terbentang di depan mata. "Coba lihat saja sendiri ? mana ada raja yang memiliki pemandangan di luar istananya, yang lebih indah daripada ini Lembah dan pegunungan berjejer-jejer, dinaungi langit biru cerah Menakjubkan"
Semua menikmati pemandangan luar biasa yang terhampar di depan mereka. Tapi kemudian semua menoleh, karena mendengar bunyi menggerisik
"Aduh ? Putihl Rakus sekali kau ini. Lihatlah, sandwich ayam kita habis disikatnya" seru Jack dengan kesal. Pemandangan indah sudah tidak diacuhkannya lagi. "Pukul dia, Philip la tidak boleh dibiarkan berbuat begitu ? nanti makanan kita tahu-tahu sudah habis. Anak kambing kan bisa makan rumput"
Anak kambing itu lari sambil marah. Tapi ia masih sempat menyambar kertas pembungkus sandwich, yang kemudian dimakannya dengan nikmat Namun dengan segera ia sudah menghampiri Philip lagi sambil merapatkan tubuh pada anak itu. Rupanya ingin mengambil hati. Si Belang ikut mendekati Philip, karena rupanya tidak ingin jauh-jauh dari si Putih. Keledai itu kemudian berbaring di samping Philip, yang langsung duduk bersandar ke punggungnya. .
"Aah, sedap Terima kasih, Belang Memang inilah yang kuidam-idamkan" kata Philip. Anak-anak yang lain tertawa melihat Philip bersandar dengan santai ke punggung Belang.
"Mau roti lagi, Pak David?" tanya Lucy-Ann sambil menyodorkan bungkusan berisi roti.
Laki-laki tua itu makan jauh lebih sedikit daripada anak-anak Mungkin karena malu, tapi bisa juga karena memang selera makannya tidak besar. Pak David menggeleng.
"Sekarang istirahat sebentar," kata Philip dengan suara mengantuk. "Kita tidak perlu buru-buru. Santai-santai sajalah"
Jack mulai bertanya-tanya pada Pak David, mengenai nama berbagai benda dalam bahasa Wales. Konyol rasanya, tidak bisa bercakap-cakap dengan laki-laki tua itu. la kelihatannya lebih banyak memahami bahasa Inggris daripada kemampuannya berbicara. Tapi kata-kata yang diketahuinya diucapkan dengan logat yang begitu asing, sehingga anak-anak berulang kali terpaksa menebak sendiri artinya.
"Ayolah, Pak," kata Jack, yang saat itu tidak merasa mengantuk seperti yang lain-lainnya. ?Apa ini, dalam bahasa Wales?" tanyanya sambil mengacungkan tangan.
Wajah Pak David agak berseri, setelah mengerti bahwa Jack rupanya ingin belajar bahasa Wales. Laki-laki tua itu merasa agak kikuk, karena Kiki selalu mengulangi setiap kata yang diucapkannya, dengan penambahan beberapa patah kata karangannya sendiri.
Dinah dan Lucy-Ann mengikuti contoh Philip. Mereka pun tidur di tempat teduh. Lucy-Ann ikut menyandarkan kepala ke punggung Belang. Dinah sebenarnya juga ingin melakukannya. Tapi ia ngeri, jangan-jangan nanti Sally, cecak ular peliharaan Philip muncul dari dalam kantung abangnya. Dinah tidak mau berada di dekat binatang melata itu
Dengan bersusah-payah Jack mencoba mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Wales, mengikuti Pak David. Tapi ia tidak tahan lama-lama. la menyibukkan diri dengan melempar-lempar batu kecil ke bawah, lalu memandang berkeliling, memperhatikan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. Salah satu puncak menarik perhatiannya, karena berbentuk seperti gigi berjajar tiga. Dibentangkannya peta, untuk mengetahui nama puncak gunung itu.
Tapi peta itu ternyata mengecewakan, karena tidak banyak memuat nama apa pun di daerah tempat mereka saat itu berada. Mungkin itu disebabkan karena masih banyak tempat-tempat di situ yang belum diteliti para pembuat peta. Tidak satu pun mama tempat pertanian atau bangunan tertera pada peta itu. Kemudian Jack menemukan nama gunung yang dirasakannya cocok.
"Gunung Taring, " ucapnya membaca mama itu. "Barangkali itu namanya. Kurasa pasti gunung itu belum pernah dijelajahi selama ini. Aku kepingin terbang di atasnya, untuk melihat-lihat. Sejak di daerah pegunungan ini, belum sekali pun aku melihat ada pesawat terbang melintas. Kurasa karena memang tidak lewat di daerah ini, barangkali"
Kemudian Pak David pergi mengumpulkan keledai-keledai, sementara Jack membangunkan anak-anak.
"Ayo, bangun, Pemalas" katanya. "Kita harus meneruskan perjalanan. Nanti Pak David menyangka kita hendak bermalam di sini. Angin sejuk sudah mulai berhembus. Kurasa siang ini perjalanan kita akan nyaman."
Dengan segera mereka sudah duduk lagi di punggung keledai masing-masing yang berjalan dengan langkah pasti menyusuri lereng gunung, sambil menikmati angin yang bertiup dan sinar matahari yang hangat, serta menatap pemandangan yang setiap kali lain di setiap belokan jalan itu. Di depan mata muncul gunung-gunung lain dengan garis-garis perbatasan dengan langit yang senantiasa berbeda bentuk. Lama sekali anak-anak itu tidak bercakap-cakap, karena terlalu asyik dengan pemandangan yang begitu indah, serta sinar matahari dan angin yang terasa membelai-belai.
Mereka terus berjalan sampai sekitar pukul enam sore, karena sudah memutuskan akan mengikuti kebiasaan makan saat itu seperti di tempat pertanian keluarga Evans. Ketika saat itu tiba, Jack menyapa Pak David.
"Kita nanti berhenti pukul setengah tujuh, Pak," katanya. "Anda tahu tempat yang bagus untuk bermalam di dekat-dekat sini?"
Pak David tidak memahami pertanyaannya. Jack mengatakannya sekali lagi, dengan lambat-lambat. Kini Pak David rupanya mengerti, karena ia mengangguk sambil tersenyum.
"Iss Iss" itu berarti 'ya`. Jack memandang ke arah yang dituding laki-laki tua itu, yang menunjuk ke suatu tempat di depan mereka. Pak David mengucapkan sesuatu dalam bahasa Wales. Jack menangkap beberapa patah kata yang sementara itu sudah dikenalnya, yaitu ?air? dan ?pohon'.
"Katanya, di depan sana ada tempat berkemah yang baik," seru Jack sambil menoleh ke arah anak-anak yang agak di belakang jalannya. "Di sana ada air, begitu pula pepohonan."
"Wah, bagaimana kau bisa tahu maksudnya?" kata Philip kagum. "Kau hebat, Jack"
Jack tertawa nyengir. Mukanya yang penuh bintik berseri-seri.
"Ah, mengerti benar sih tidak ? aku cuma menangkap kata ?air` dan ?pohon? saja tadi," katanya. "Yuk, kita lekas-lekas ke tempat itu ? supaya masih sempat menikmati pemandangan saat matahari terbenam nanti. Aku ingin makan roti sambil menatap matahari tenggelam ke balik gunung"
Philip tertawa. Rombongan itu terus, menuju tempat yang ditunjukkan oleh Pak David. Ternyata letaknya agak lebih jauh dari sangkaan anak-anak.
Tapi ketika sudah sampai di tempat itu, semua sependapat bahwa tempat itu memang bagus sekali dijadikan tempat berkemah.
Di dekat kerumunan pohon-pohon ada sumber yang dingin sekali airnya. Pepohonan melindungi tempat perkemahan dari angin malam, yang kadang-kadang bisa dingin sekali. Kawanan keledai bisa diikatkan ke pohon, sehingga tidak mungkin pergi jauh-jauh. Pokoknya tempat itu benar-benar cocok
Anak-anak capek sekali. Tapi mereka merasa berbahagia. Semua turun dari keledai masing-masing. Binatang tunggangan yang kecil tapi kuat itu juga merasa capek, karena sudah- sehari penuh berjalan sambil membawa beban. Mereka digiring untuk minum di mata air. Keledai-keledai itu menunggu giliran dengan sabar, sementara si Putih berjingkrak-jingkrak di dekat-dekat situ. Anak kambing itu sama sekali tidak capek, setelah berjalan begitu jauh.
"Nanti saja kita memasang tenda, apabila sudah makan dan beristirahat sebentar," kata Philip.
"Siapkan makanan, Lucy-Ann Kau juga, Dinah. Di sebelah sana itu ada batu yang bagian atasnya datar. Itu bisa kita jadikan meja"
Tidak lama kemudian makanan sudah terhidang dli atas batu besar itu. Air sari buah jeruk sudah dituangkan ke dalam mangkuk-mangkuk, yang kemudian diletakkan di samping piring tempat makan nanti. Anak-anak langsung meminum air segar itu sampai habis. Jack pergi mengambil air lagi dari sumber.
Semua makan dengan cepat, karena sudah lapar sekali. Mereka tidak`banyak bicara, sampai rasa lapar sudah agak terobati. Kemudian mereka mengobrol dengan mulut penuh makanan. Masing-masing asyik bercerita tentang pengalaman indah sehari itu.
Pak David ikut makan, sambil mendengarkan obrolan anak-anak. Kawanan keledai asyik merumput Si Putih menemani si Belang, sedang Kiki sibuk mencotok-cotok tomat sambil bertengger di bahu Jack, sampai tengkuk anak itu kotor kena tetesan air tomat. Semua merasa sangat berbahagia saat itu
"Sekarang kita memasang tenda," kata Philip kemudian. "Yuk, Jack?jika kita tidak cepat-cepat, nanti tahu-tahu hari sudah gelap"
Bab 8 MALAM PERTAMA DI PERKEMAHAN
SEMENTARA anak-anak perempuan pergi ke mata air untuk mencuci piring dan mangkuk yang kotor, Pak David ? dengan dibantu Jack dan Philip ? menurunkan tenda-tenda dari punggung keledai yang membawa barang-barang itu. Semua barang yang lain ikut diturunkan pula, sementara keledai yang satu lagi dibebaskan dari kedua keranjang besar yang tergantung pada kedua sisi punggungnya. Kedua binatang itu nampak lega, setelah barang-barang itu diturunkan. Keduanya merebahkan diri ke tanah lalu berguling-guling sambil menyepak-nyepakkan kaki ke udara.
Kiki cepat-cepat terbang ke atas, lalu hinggap di sebatang pohon.
"Pasti ia mengira kedua keledai itu sudah sinting sekarang," kata Jack. "Jangan takut, Kiki Mereka cuma merasa lega, karena tidak lagi dibebani barang-barang yang berat"
Kiki menjerit seperti bunyi peluit kereta api dalam terowongan. Kedua ekor keledai yang sedang berguling-guling di tanah terkejut mendengar bunyi itu. Mereka cepat-cepat bangun, lalu lari menuruni bukit. Pak David ikut terloncat, lalu memanggil-manggil kedua keledainya.
"Kuikat paruhmu nanti, jika kauulangi jeritan itu, Kiki" kata Jack mengancam. "Rusak suasana malam seindah ini karena teriakanmu tadi"
"Bersihkan kaki Bersihkan kaki" jerit Kiki sambil berjingkrak-jingkrak di atas dahan. Tidak lama kemudian kedua tenda sudah siap dipasang berdampingan. Pak David tidak mau tidur di dalamnya. Ia memilih tempat di luar. Laki-laki tua itu belum pernah tidur dalam tenda. Menurut pendapatnya, itu sama sekali tidak perlu.
"Yah ? bagiku untung saja ia tidur di luar," kata Jack dengan suara pelan pada Philip. "Kurasa seumur hidupnya Pak Tua itu belum pernah - mandi"
"Nanti kita biarkan saja tutup tenda kita terbuka," kata Lucy-Ann yang saat itu datang dengan perkakas makan yang sudah dicuci. "Dengan begitu kita bisa memandang ke luar. Aku sebenarnya juga tidak berkeberatan tidur di tempat terbuka, seperti Pak David."
"Angin di sini dingin sekali," kata Jack. "Kau nanti pasti mengucap syukur karena berbaring di dalam kantung tidur yang hangat, Lucy-Ann Pak David itu rupanya tahan hawa dingin. la cuma berbekal selembar selimut tipis. Dan kelihatannya ia hendak tidur di tanah, tanpa alas sama sekali"
Sementara itu matahari sudah tidak kelihatan lagi, sudah terbenam di balik gunung. Selama beberapa saat puncak-puncak yang tinggi nampak kemilau. Tapi dengan pelan kegelapan malam merayap naik sampai ke puncak yang paling tinggi, sehingga tinggal langit di atas saja yang masih nampak cerah. Bintang-bintang mulai bermunculan di sana-sini, sementara angin dingin terasa bertiup dari arah bawah.
Keledai-keledai ditambatkan ke pohon, dengan tali yang dibiarkan agak panjang, supaya mereka bisa bergerak dengan leluasa. Beberapa ekor di antaranya sudah merebahkan diri ke tanah. Si Belang mencari-cari si Putih. Tapi anak kambing itu pergi mendatangi Philip, dan menunggu anak itu masuk ke dalam tenda.


Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua pergi mencuci badan di mata air. Semua ? kecuali Pak David, yang nampaknya tercengang melihat keempat remaja itu sibuk membasuh diri dengan air sumber yang dingin. la sendiri sudah berbaring di tanah sambil menyelubungi tubuhnya dengan selimut. la berbaring diam, menengadah ke arah langit yang penuh bintang.
"la tidak bisa dikatakan kawan seiring yang periang, ya?" kata Jack. "Kurasa ia beranggapan kita ini sudah sinting semua, karena kita selalu bercanda sambil tertawa-tawa. ? Cepatlah sedikit, Philip Kita masuk ke tenda."
Dinah dan Lucy-Ann sudah lebih dulu masuk ke tenda mereka. Kedua anak perempuan itu menyusup ke dalam kantung tidur masing-masing, yang dilengkapi dengan tudung besar untuk melindungi kepala dari hawa dingin.
Nyaman sekali rasanya berbaring di dalam kantung itu. Cukup lapang, lagi pula hangat. Lucy-Ann bisa memandang ke luar lewat lubang tenda. Bintang-bintang berkelip-kelip di langit. Kelihatannya besar-besar dan terang sekali. Saat itu sunyi senyap. Hanya bunyi air gemercik di sumbernya saja yang terdengar, serba angin yang menghembus di sela dedaunan.
"Pada saat begini, rasanya seperti kita sendiri saja yang ada di dunia," kata Lucy-Ann pada Dinah. "Bayangkan kalau benar-benar begitu keadaannya, Dinah Aneh rasanya, ya?"
Tapi Dinah tidak memiliki daya khayal seperti Lucy-Ann. la malah menguap.
"Ah, mendingan tidur sajalah,? katanya. "Jack dan Philip sudah masuk ke tenda mereka atau belum? Aku lebih senang jika tempat mereka agak lebih jauh dari sini. Aku ngeri, kalau nanti cecak ular itu tahu-tahu menggeleser masuk kemari malam-malam."
"Dia kan tidak apa-apa," kata Lucy-Ann sambil meringkuk di dalam kantung tidurnya. "Hmm, nikmat Menurutku, liburan kita selalu saja mengasyikkan. Ya kan, Dinah?"
Dinah tidak menjawab, karena sudah pulas.
Lucy-Ann masih tetap terjaga selama beberapa saat, menikmati bunyi air gemercik serta angin yang menghembus pelan. Ia merasa seperti masih duduk terayun-ayun di atas punggung keledainya. Kemudian matanya terpejam.
Pedang Sinar Emas 10 Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Sebuah Kisah Cinta 2
^