Pencarian

Batu Api Merah 2

Hardy Boys Batu Api Merah Bagian 2


Kakak-beradik itu ikut bekerja. Mereka sedang ada di dapur, tiba-tiba menjadi terkejut mendengar teriakan ketakutan dari ruang bawah tanah.
"Permata Api Merah itu" McVay menggerung. "Hilang!"
Kedua pemuda itu lari menuruni tangga. Pintu ruangan besi terbuka. McVay berdiri di dalam, pucat pasi dan memegangi tutup kotak permata dengan tangan kanan yang gemetar.
Frank dan Joe lari masuk ke ruangan besi. Mereka melihat, bahwa tempat pada beledu hitam di dalam kotak memang kosong!
10. Rencana di Grand Canyon
Seketika itu juga Frank dan Joe memeriksa seluruh ruangan bawah tanah. Frank memeriksa tombol rahasia di bawah tangga, melihat bahwa alat tanda pencurian itu telah dimatikan. Joe melihat pintu belakang terbuka, berayun-ayun pada engselnya.
"Dari sinilah pencuri itu masuk," ia berseru. "Pintunya pasti tidak dikunci karena pencuri itu tidak merusaknya. Untuk
memasukinya ia hanya mendorong pintu untuk membukanya."
"Dan alat tanda pencurian telah dimatikan," sambung Frank.
"Ini tentu perbuatan orang dalam! Aku mencurigai Wilbur!"
"Aku juga, Frank. Mari kita hadapi dia, apakah ia mau
berbicara!" Pada saat itu pelayan itu justru sedang turun di tangga.
" Ada yang tidak beres?" ia bertanya. " Aku mendengar McVay
..." "Wilbur, kami kira engkau telah mematikan alat tanda bahaya pencurian dan membuka grendel pintu ruang bawah tanah. Jadi sekongkolmu dapat masuk dan mencuri Batu Api Merah," Frank menuduh.
"Itu semua terjadi ketika rumah ini kosong."
Wilbur menyeringai mengejek.
"Tak masuk akal. Aku keluar bersama McVay setelah Tornado, baru masuk lagi bersama kalian. Kalian tahu sendiri!"
"Engkau melakukannya ketika kami sedang memeriksa dapur,"
kata Joe. "Kalian lupa bahwa pintu ke ruangan besi di kunci," Wilbur mengejek. "Tak seorang pun dapat membukanya kalau tak tahu kombinasi rahasia angka-angkanya. Hanya McVay yang mengetahui kombinasi itu!"
Peternak itu mengangguk. " Aku tak pernah membuka pintunya, kecuali kalau aku sendiri berada di ruangan bawah tanah. Wilbur selalu menunggu di atas tangga. Ia tak mungkin melihat nomor-nomor itu dari sejauh itu!"
Wilbur tersenyum sinis dan kakak-beradik itu tercengang
mendengar keteranganan McVay.
"Tetapi pasti pekerjaan orang dalam," Joe tak mau kalah.
"Lebih baik kita tanya para pelayan."
Mereka naik ke lantai pertama dan McVay menyuruh Wilbur
untuk memanggil semua pelayan ke ruang duduk. Kemudian ia menelepon Sheriff Gomez. Dari jendela, Frank dan Joe melihat Jomo sedang berbicara dengan Perkins di luar. Ketika Perkins pergi, Jomo lalu masuk.
"Tornado itu untungnya tak melewati rumahku," katanya.
"Tetapi kulihat mengarah kemari, maka aku datang kalau-kalau dapat membantu. Perkins baru saja menceriterakan peristiwa Batu Api Merah. Kuharap saja pencurinya belum lari!"
"Barangkali sudah," kata Frank dengan geram, dan dengan seijin McVay ia mulai memeriksa para pelayan. Semua menyangkal mengetahui tentang pencurian tersebut. Akhirnya Sheriff Gomez datang dengan seorang wakilnya. Setelah diberitahu tentang perkara tersebut, ia memerintahkan semua orang digeledah. Tetapi tak seorang pun dari para pelayan itu membawa permata tersebut!
Pak Jomo mendesak agar dia sendiri juga digeledah. Ia
membalik-balikkan saku-sakunya dan mempersilahkan Sheriff menggeledahnya. Kemudian ia mengangkat tangannya yang diperban.
"Aku hanya merasa sakit sedikit, dan tidak ada permata di dalam perban ini. Tetapi boleh saja diraba untuk meyakinkannya!"
Sheriff Gomez dengan perlahan-lahan meraba perban.
"Engkau memang tak membawa merah delima itu. "katanya.
"Ada lagi yang hilang?"
Peternak itu menggeleng. "Yang lain-lain masih ada di ruangan besi."
"Sheriff, pencuri itu mungkin masih menyimpan permata tersebut di dalam rumah ini," Joe mengatakan. "Dengan maksud akan mengambilnya kalau engkau sudah pergi."
"Mungkin sekali. Lebih baik kita periksa," Gomez menyatakan.
Frank dan Joe membantu Sheriff dan wakilnya, sementara
Wilbur ikut sebagai penunjuk jalan di seluruh rumah. Setiap kamar diperiksa dengan teliti. Di dalam kamar Wilbur, Frank melihat sebuah teropong berbentuk kecil pada sebuah rak di tempat pakaian.
"Aku pecinta burung amatir," pelayan itu menjelaskan.
"Di Arizona sini banyak burung yang indah-indah. Aku selalu mengamatinya kalau ada waktu."
Pencarian di rumah tak menghasilkan apa-apa. Pada waktu
selesai pemeriksaan, malam sudah tiba. Sheriff Gomez dan wakilnya pergi untuk memeriksa para tukang tadah permata curian.
McVay mengajak kedua kakak beradik itu ke kamar kerja, lalu menutup pintunya.
"Apa yang dapat kita lakukan sekarang?" ia bertanya dengan kecewa.
"Sekarang Sheriff sedang mengawasi apakah permata itu akan muncul bersama pencurinya," Frank menjelaskan. "Aku sendiri ingin menyelidiki barang bukti dari penunggang kuda misterius itu, yaitu topinya yang jatuh ketika aku menyerangnya. Kami dapat bertanya di sekitar Flagstaff. siapa yang telah menjualnya kepada orang tersebut."
"Tetapi orang misterius itu tak ada di sini waktu itu," kata McVay tak mengerti.
"Mungkin ia telah memberikan isyarat dengan cerminnya dengan menggunakan kesempatan Tornado tadi, lalu mencuri Batu Api Merah," kata Joe.
Akhirnya McVay mengangguk. "Lacak saja setiap petunjuk yang kalian dapatkan," katanya.
*********** Esok paginya setelah sarapan, Frank dan Joe menggunakan
pickup peternakan menuju ke Flagstaff. Setelah meninggalkan kendaraan mereka di tempat parkir, mereka berkeliling ke toko-toko penjual topi. Kebanyakan pedagang yang mereka kunjungi heran melihat topi tersebut. Tetapi seorang pedagang yang membuka tokonya di dekat Arizona State College mengenalinya.
"Ini berasal dari timur Jauh," katanya. "Aku pernah melihat jenis ini pada perjalananku ke Hongkong." Ia mengintip ke dalam topi melihat labelnya.
"Ini penjelasannya. Hurup-hurup B-A-N-G berarti Bangkok,
Thailand. Di sanalah topi ini dibuat. Tetapi kukira kalian harus pergi ke Bangkok untuk dapat mengetahui lebih lanjut, sebab tak seorang importir pun di Amerika ini yang memperdagangkan jenis ini.
Omong-omong, dari mana kau dapatkan ini?"
"Aku memungutnya di gurun," jawab Frank. "Ada yang
kehilangan di sana barangkali."
Kedua pemuda itu meninggalkan toko dan berhenti di tikungan jalan, memikirkan apa yang hendak dilakukan selanjutnya. Tiba-tiba terdengar suara yang telah mereka kenal menyapa mereka.
"Halo, teman-teman!"
Kakak-beradik itu membalikkan tubuh mereka dan melihat
seorang pemuda gemuk berpakaian Western yang menyala. Ia
memakai topi tinggi, kemeja wol kotak-kotak dengan saputangan onde-onde di leher, celana berledu berlapis kulit dan sepatu koboi. Ibu jari tangannya menyelip diikat pinggang.
"Chet!" Frank berseru. "Sungguh tak mengira bertemu engkau di sini!"
Biff Hooper yang berpakaian peternak biasa berdiri di
belakangnya dan tertawa. "Ia seorang koboi tulen sekarang. Mengurus kereta dapur. Aku membantu pandai besi. Kalian benar-benar pintar mencarikan pekerjaan yang bagus di Arizona."
Keempat pemuda Bayport itu mencari sebuah rumah makan,
mereka memesan hamburger dan air soda. Chet dan Biff berganti-ganti menceriterakan bagaimana mereka terbang ke Arizona dan langsung bekerja di peternakan Jake Jomo. Hari ini libur, jadi mereka pergi ke Flagstaff.
"Kalian diminta menangkap pencuri ternak, bukan untuk berlibur," Joe menggoda.
"Tak ada tanda-tanda pencuri ternak," kata Biff. "Dan pak Jomo sedang ke kota. Semua berlibur, dan kalau kami tinggal di peternakan, mereka malah akan heran."
"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Chet. "Sudah mendapatkan petunjuk-petunjuk?"
"Kami mencurigai mandor kami, Wat Perkins," Jawab Joe.
"Ia datang ke peternakan Jomo kemarin," seru Chet.
"Apa yang dilakukannya di sana?" tanya Joe.
"Aku tak pasti," jawab Chet. "Aku sedang ke gudang untuk mengambil perbekalan, ketika aku terlupa daftar keperluanku. Karena itu aku kembali untuk mengambilnya, dan kulihat seorang koboi asing di barak, sedang berbicara di telepon. Kudengar ia menyebut dirinya Wat Perkins."
"Apa lagi yang dikatakannya ?" tanya Frank.
"Ia menyebut sebuah nama. Ia sepertinya menyebutkan G.C.T.
Morrow." Frank dan Joe nampak tak mengerti.
"Apakah nama seorang koboi di peternakan Jomo?" Joe
menduga. Biff menggeleng.
"Bukan, kami tak mempunyai teman bernama G.C.T. Morrow.
Tentunya pegawai McVay."
"Di tempat kami juga tidak ada nama itu," kata Frank. "Apakah Perkins mengatakan apa-apa lagi?"
"Tidak. Ia meletakkan gagang telepon dan ke luar dari barak.
Kudanya ada di hutan di belakang. Aku melihat dia pergi tetapi ia tak melihat aku."
"Barangkali Morrow itu seorang pencuri ternak!" Joe menduga.
"Ia dan Perkins sedang merencanakan untuk merampok ternak pak Jomo. Karena itulah ia menyelinap ke barak, ketika tak ada seorang pun."
"Tetapi untuk apa ia ke peternakan yang akan dirampoknya?"
Frank mengajukan keberatan. "Ia dapat menelepon dari mana saja.
Nama G.C.T Morrow itu kok seperti palsu menurutkan. Siapa di sini yang memakai tiga huruf depan?"
Joe mendapat pikiran. "Mungkin G dan C berarti Grand Canyon. Mungkin Perkins hendak mengatakan akan menemui seseorang di Grand Canyon besok!
(tomorrow = besok). Karena ia mengatakannya kemarin, jadi berarti hari ini! Mari ke sana, kita lihat siapa orangnya!"
Ketiga temannya setuju untuk mencobanya. Mereka membayar
makanan dan berdesakan di Pick-up McVay. Setelah melakukan perjalanan yang jauh ke Grand Canyon, mereka memarkir mobil mereka lalu menuju ke Pusat Penerima Tamu. Tiba-tiba, di dalam kerumunan orang banyak itu mereka melihat seseorang yang jangkung berambut hitam.
"Oscar Tamm!" Joe tergagap menahan nafas.
Keempat pemuda itu membaurkan diri lalu mengikuti pencuri permata yang keluar meninggalkan gedung. Mereka memencar agar tak dapat dilihat di antara penonton, mereka membayangi Tamm ke suatu tempat bersemak-semak dan ditumbuhi pepohonan pinus dan pohon juniper. Mereka tiba di tempat terpencil. Daerahnya kering, berbatu-batu dilengkungi puncak-puncak bukit serta jurang-jurang.
Mereka dapat melihat panorama Grand Canyon di antara tepi selatan dan tepi utara, membentang lima belas mil melintang dan meluas ke barat dan ke timur hingga tak kelihatan batasnya. Tebing-tebing yang terjal mengombak di lereng jurang. Lapisan batu-batuan yang berumur jutaan tahun terpeta nyata pada sisi-sisinya dalam warna-warni batu kapur, batu cadas dan granit. Seribu lima ratus meter di bawah, sungai Colorado mengalir di dasar canyon yang telah diciptakannya akibat erosi selama ribuan tahun.
Namun para pemuda itu tak punya waktu untuk mengagumi
semua itu. Mereka membayangi Tamm sampai ia menghilang di balik sebuah bukit papak kecil.
Baru saja mereka hampir sampai di sana, Frank berhenti
mendadak dan mengangkat tangannya.
"Ssst!" ia berbisik. "Aku mendengar suara orang!"
Setelah beberapa saat ia merangkak naik, dari mana ia dapat mengawasi ke balik bukit itu dari antara pohon-pohon juniper.
Kemudian ia memberi isyarat kepada yang lain-lain untuk
mengikutinya. Joe menahan napas ketika ia melihat Tamm sedang berbicara kepada Perkins! Seorang lain mendengarkan percakapan itu. Orang itu bertubuh sedang berambut lurus kecoklatan dan memakai kacamata berbingkai baja.
"Permata itu menjadi tanggung jawabmu," kata Perkins kepada Tamm.
"Tak menjadi soal, selama anak-anak Hardy itu tak mengacau saja," Tamm menggerendeng.
Orang yang ketiga berbicara dengan nada mengejek.
"Aku bisa membereskan mereka, atau namaku bukan Nick Summers. Mereka tak akan mengenali aku dengan samaranku ketika aku menguntit mereka di New York dengan mobil hijau. Mereka tak dapat menangkap aku dengan mengenali mobil itu, karena mobil itu sengaja kucuri untuk tugasku itu. Kemudian kutinggalkan di Central Park."
Tamm tersenyum jahat. "Nick telah menggunakan akal yang bagus," katanya kepada
Perkins. "Setelah aku tak keluar dari kereta bawah tanah tempat ia menunggu, ia lalu memutuskan untuk membayangi McVay."
"Kukira ia dapat meloloskan diri," kata Summers, "dan engkau telah pergi ke hotel McVay. Karena itu aku juga ke sana dan memarkir mobilku."
"Kita telah menyusun rencana besar," kata Tamm. "Nick menelepon McVay dan menahan dia di telepon sementara aku
memanjat masuk ke jendela melalui tangga kebakaran. Sebenarnya aku sudah dapat mengambil Batu Api Merah pada waktu itu juga kalau tidak ada anak-anak Hardy itu. Bagaimana aku bisa tahu bahwa mereka ada bersama McVay?"
"Rupa-rupanya anak-anak itu ada di mana-mana," Perkins menggerutu. "Tetapi aku yakin, mereka tak akan mengejarmu sampai ke Bangkok!"
11. Terbang Mengejar Petualangan
Keempat pemuda itu saling berpandangan. Mereka memasang
telinga mereka untuk dapat mendengar apa yang hendak dikatakan Perkins selanjutnya.
"Aku harus segera kembali ke peternakan sebelum McVay
mulai bertanya-tanya," mandor itu melanjutkan. "Apa yang
mencemaskan ialah bahwa kakak-beradik Hardy itu sudah mencurigai aku. Mereka tahu bahwa aku dengan sengaja ketika hendak kujemput mereka dari bandar udara, dan juga ketika kuletakkan duri di bawah pelana Joe. Mereka juga tahu bahwa aku menyuruh Marti
meninggalkan pintu pagar kandang tetap terbuka, hingga mereka harus mengejar kuda sementara aku sedang menerima isyarat dari boss."
"Sayang sekali, tetapi kita tak dapat berbuat apa-apa," kata Tamm. "Mari kita ucapkan sumpah kita, lalu berpisah."
Ketiga orang itu berpegangan tangan dan bersama- sama
menyerukan yell: "Kekuatan bagi Segitiga Biru! Kekuatan bagi Segitiga Biru!"
Tepat pada saat itu angin bertiup ke wajah Chet. Ia merasakan matanya berair dan hidungnya gatal. Dengan mati-matian ia mencoba memencet hidungnya. Tetapi sudah terlambat. Dengan tak tertahan ia menarik napas dan bersin !
Ketiga orang itu terkejut mendengar suara itu. Sadar bahwa tak ada tempat untuk bersembunyi lagi, Frank, Joe dan Biff melompat dan lari menjauh.
"Ada orang yang mencuri dengan pembicaraan kita!" teriak
Tamm. "Ayo pergi dari sini!" Dengan kata-kata itu Tamm, Perkins dan Summers lari turun bukit lalu menyusur batu cadas.
Para pemuda itu agak jauh di belakang mereka ketika Biff tiba-tiba terpeleset di pinggir batu karang yang terjal menurun sampai ke dasar sungai Colorado!
Untung Frank cukup dekat untuk melompat menyambar lengan
temannya, tepat ketika ia melewati tepi jurang. Sambil menekankan kaki pada tonggak pohon pinus, Frank menahan temannya sampai Joe lari mendatangi dan memegangi lengannya yang sebelah lagi.
Bersama-sama Frank dan Joe menarik temannya ke tempat yang aman.
"Terima kasih banyak," Biff tergagap. "Kakiku kram hingga aku keseleo. Tetapi sudah baik sekarang. Mari jalan terus!"
"Di mana Chet?" tanya Joe.
Mereka melihat ke sekeliling, tetapi tak melihat seujung
rambutpun dari temannya yang gemuk itu. Dengan segera mereka kembali lagi menuju ke tempat mereka semula, dan mata mereka disuguhi sesuatu yang luar biasa. Chet terhimpit di sebuah celah antara dua batu karang, terjepit sedemikian kuatnya hingga ia tak mampu keluar sendiri!
Dengan memelas ia melihat ke teman-temannya.
"Kukira kalian hendak meninggalkan aku di sini! Bagaimana kalau kalian menolong ?"
Meskipun merasa kasihan Biff dan kakak-beradik itu tidak bisa untuk tidak tertawa melihat kedudukan Chet yang menyedihkan itu.
"Barangkali kita terpaksa meninggalkan engkau dulu, sampai engkau menjadi sedikit lebih kurus agar mudah keluar!" Biff menggoda.
"Tidak Lucu, ah!" Chet menukas.
"Tenang saja, kami akan mengambilkan air bagimu!" Biff terus menggoda.
"Lalu bagaimana kalau Perkins dan begundal-begundalnya
menemukan aku di sini?"
"Benar juga, Biff," kata Joe. "Lebih baik segera kita tarik dia."
Joe dan Frank menjulurkan tubuh mereka ke dalam dan menangkap tangan Chet. Dengan menumpu pada tepi celah mereka menarik Chet ke atas, bebas dari himpitan batu.
"Engkau terluka ?" tanya Frank agak cemas.
"Tidak. Hanya lututku lecet dan sikuku belur. Tetapi aku akan tetap hidup."
Keempat pemuda itu pergi ke tempat parkir, naik ke pickup, dan kembali menuju Flagstaff. Di sepanjang jalan mereka
memperbincangkan hal-hal aneh yang telah mereka saksikan.
"Untuk apa Tamm dan Summers berada di Arizona?" pikir Chet dengan heran.
"Aku yakin mereka disuruh kemari oleh bossnya. Boss itu tentu sama orangnya dengan memberitahu mereka ketika McVay berada di New York," kata Frank. "Tak sangsi lagi, merekalah yang mencuri Batu Api Merah!"
"Dan sekarang disebut pula kota Bangkok," sambung Joe.
"Itulah asal permata tersebut, dan ke sana pula Tamm akan pergi!"
"Barangkali untuk menjual permata itu," kata Chet.
Biff menggaruk-garuk kepalanya.
"Apakah dari kalian ada yang tahu apa yang dimaksud Segitiga Biru?"
"Mungkin cap ternak!" seru Chet. "Aku akan menyelidiki peternakan-peternakan di sekitar sini, kalau-kalau ada yang menggunakan cap segitiga untuk ternaknya!"
Frank sangat meragukannya.
"Tetapi untuk apa mereka sampai memekikkan yel kalau hanya cap ternak saja?" ia bertanya.
Tak seorang pun dapat menjawab, dan mereka meneruskan
perjalanan sambil berdiam diri.
Setelah tiba di Flagstaff Biff dan Chet terus ke peternakan Jomo, sedangkan Frank dan Joe dengan pickup kembali ke peternakan McVay.
Mereka mendapatkan peternakan itu sedang sedih.
"Perkins telah menghilang!" seru McVay ketika melihat mereka datang. "Ia menggunakan salah sebuah mobil dan pergi semalam.
Sejak itu ia tak kelihatan lagi!"
"Cocok," Joe menyatakan. "Mungkin Perkins yang mencuri Batu Api Merah. Ia bersekongkol dengan Oscar Tamm dan Nick Summers."
"Tetapi Tamm dan Summers berada di New York! Kalian
sendiri melihat mereka di sana!"
"Sekarang mereka ada di sini. Mereka telah menemui Perkins."
Frank menceriterakan apa yang terjadi di Grand Canyon.
"Kami mendengar Perkins berkata bahwa permata itu menjadi tanggung jawab Tamm. Setelah itu ia menyebut-nyebut bahwa Tamm hendak terbang ke Bangkok. Kami kira, mereka hendak menjual Batu Api Merah itu di sana."
Peternak itu menjadi bersemangat.
"Nah, itulah Frank. Permataku itu mempunyai nilai jual yang sangat tinggi di pasar gelap di Bangkok. Banyak penggemar permata yang membeli permata di sana."
Pada saat itu Sheriff Gomez datang. "Belum ada petunjuk pada perkara Batu Api Merah," katanya dengan muram. "Kalian anak-anak sudah mendapatkannya?"
Frank mengangguk. "Kami baru saja hendak meneleponmu, Sheriff."
Ia lalu secara singkat menjelaskan tentang Perkins, Tamm dan Summers.
"Aku akan mengeluarkan selebaran yang lengkap," Sheriff
berjanji. "Semua bandar udara akan diawasi. Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?"
"Kukira lebih baik mereka pergi ke Bangkok, kalau-kalau
Tamm berhasil lolos," kata McVay.
"Itu gagasan yang bagus," Gomez menyetujui "Sekarang aku akan menelepon markas besar, minta selebaran itu segera diedarkan."
Setelah kembali dari menelepon, Joe bertanya kepadanya:
"Apakah ada yang pernah mendengar nama Segitiga Biru ?"
Kedua orang itu heran, memandangi Joe dengan wajah tak
mengerti. "Aku tidak tahu," jawab McVay, dan sheriff hanya mengangkat bahu.
"Teman kami Biff Hooper mengira itu adalah suatu cap ternak,"
kata Frank. Sheriff menggeleng. " Aku kenal semua cap ternak di seluruh Arizona dari almanak peternakan. Tak seorang pun yang menggunakan cap demikian."
Beberapa menit kemudian Sheriff Gotnez pergi dan McVay
berpaling kepada kedua pemuda itu.
"Aku mempunyai lebih dari satu alasan untuk mengirimkan
kalian ke Bangkok. Agenku di sana melaporkan bahwa sebutir merah delima raksasa baru saja ditemukan di tambang To Kor. Aku menginginkannya untuk koleksiku. Jadi kalian dapat menepuk dua lalat sekaligus : mencari Tamm dan Batu Api Merah, dan membeli merah delima yang baru itu untukku. Aku memberi kuasa kepada kalian untuk mengeluarkan lima puluh ribu dollar untuk itu."
"Kami malah masih dapat menepuk lalat yang ketiga," kata Frank sambil mengeluarkan topi penunggang kuda misterius dari sakunya. "Kami juga akan berusaha untuk mengetahui siapa yang telah membeli topi ini."
"Jadi kalian bersedia untuk pergi?" tanya McVay penuh
semangat. Joe mengangguk. "Kami akan merundingkannya dengan ayah."
"Siapa agen anda? dan di mana kami dapat menemui dia?"
tanya Frank. "Namanya Bo Dai. Ia tinggal di Pasar Pencuri di Bangkok."
"Pasar Pencuri?" Frank dan Joe bersama-sama tak mengerti.
Peternak itu tertawa. "Nama yang sudah kuno. Berasal dari zaman dulu, ketika para pencuri menguasai pasar tersebut. Tetapi keadaan sudah berubah. Bukan berarti kalian tak harus berhati-hati di sana. Bagaimana pun Pasar Pencuri tidak bebas sama sekali dari kaum penjahat! Hati-hatilah, terutama kalau kalian sudah berhasil membeli permata itu. Untungnya kalian tak memerlukan visa di Thailand kalau hanya untuk tinggal kurang dari lima belas hari."
Frank tersenyum. "Kuharap saja kami tak memerlukan waktu selama itu."
McVay membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebutir
permata berwarna kuning. Ia lalu memberikannya kepada Frank.
"Ini batu topaz atau batu cempaka. Memang tak terlalu berharga, tetapi jangan dihilangkan! Kalau kalian sudah tiba di Bangkok, tunjukkanlah batu ini kepada Bo Dai. Ia akan segera mengakui engkau sebagai wakilku."
Mereka bertiga merundingkan perjalanan tersebut. Frank dan Joe setuju untuk mengambil pesawat yang menuju ke Los Angeles besok pagi, dan dari sana langsung ke Bangkok. Mereka memesan tiket dengan telepon, kemudian menelepon ayah mereka yang juga menyetujui rencana kepergian mereka.
Setelah itu Frank dan Joe menelepon ke barak di peternakan pak Jomo, memberitahu Chet dan Biff tentang rencana mereka.
"Waduuh! Aku ingin bisa ikut," kata Chet. "Tak ada tanda-tanda perampok di sekitar sini sampai sekarang, dan kehidupan jadi tak bergairah lagi!"
"Lho, engkau kan membutuhkan pekerjaan sambilan musim
panas?" kata Frank. "Memang, aku tahu. Tetapi aku lebih senang bisa ikut ke
Thailand!" "Jangan kuatir, kami akan tetap pada perkara itu di sini," Biff menyambung. "Kami akan melaporkan kepada Sheriff Gomez kalau menemukan sesuatu."
Sore berikutnya Frank dan Joe terbang dari Flagstaff ke Los Angeles. Mereka berpindah ke jumbo jet yang segera menderu di atas Samudera Pasifik. Setelah mendarat di Hawaii, mereka membaca brosur tentang Thailand yang diberikan oleh perusahaan penerbangan.
Joe mencari kota Bangkok di peta.
"Letaknya di Teluk Thailand," ia berkata setelah
menemukannya. "Sungai Chao Phraya membelahnya menjadi dua.
Banyak sekali terusan-terusannya. Maka Bangkok juga disebut Venesia dari Thailand."
Frank membaca tentang arkeologi negeri tersebut.
"Banyak kuil-kuil di hutan, hampir semuanya penting seperti Angkor Wat, kuil kuno di hutan Kamboja," katanya. "Banyak yang kini sedang dipugar."
Setelah beberapa saat, Joe mengembalikan brosur itu ke
tempatnya, lalu memandang menerawang keluar dari jendela. Awan-awan putih melayang jauh di bawah mereka.
"Frank! Aku mulai berpikir-pikir apakah McVay jujur terhadap kita," katanya. "Misalnya saja ia mencuri permatanya sendiri demi memperoleh uang asuransi, lalu menyuruh kita pergi mengikuti jejak palsu agar kita menyingkir dari dia?"
12. Pasar Pencuri Frank memandang adiknya sejenak, lalu menggeleng perlahan-lahan.
"Aku sangsi," katanya. "Serangan Tamm atas McVay di New York nampak terlalu nyata bagiku. Kalau McVay bersekongkol dengan pencuri itu, ia dapat dengan mudah memberikannya begitu saja."
"Ya, kukira demikian," kata Joe. "Yah, kita menghadapi
perjalanan yang jauh. Kukira lebih baik aku akan tidur dulu." Ia menyandarkan diri di kursinya lalu memejamkan matanya. Frank juga berbuat yang sama, dan tak lama kemudian mereka telah tertidur dengan nyenyak.
Ketika bangun, pesawat sedang mendarat di Bandar Udara Don Muang di dekat Bangkok.
Sambil menguap dan meregangkan tubuh, Frank dan Joe antri turun dari pesawat. Mereka menunjukkan paspor mereka untuk diperiksa, mengambil barang-barang mereka, lalu pergi menuju ke hotel bandar udara. Petugas-petugasnya dapat berbahasa Inggris, karena itu kedua pemuda Amerika itu tak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan kamar.
Baru beberapa menit mereka berada di kamar hotel, telepon berdering.
"Siapa ini kira-kira?" kata Frank dengan heran. "Tidak banyak orang yang mengetahui kita ada di sini!"
"Barangkali bagian penerangan ingin menawarkan wisata berombongan," kata Joe. Ia mengangkat gagang telepon. Suara yang berbahasa Inggeris dengan logat Thailand terdengar.
"Anak-anak Hardy, aku tahu mengapa kalian ada di sini.
Pesawat ke Amerika yang berikut akan berangkat satu jam lagi.


Hardy Boys Batu Api Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naiklah! Hanya ini satu-satunya peringatan bagimu!"
Terdengar suara ?klik? dan telepon tak berbunyi lagi. Joe meletakkannya, lalu menceritakannya kepada Frank.
"Ada orang yang hendak menakut-nakuti kita," Frank
menggerutu. "Mari kita coba mencari mereka di Pasar Pencuri."
Mereka keluar dari hotel dan naik taksi ke Bangkok. Orang-orang di jalanan mengenakan pakaian Timur maupun Barat. Perahu-perahu motor berseliweran lewat, mencipratkan air ke sampan-sampan yang hilir mudik di sungai dan terusan-terusan. Kuil-kuil Budha saling berhadapan dengan apartemen-apartemen bertingkat.
Taksi memasuki Maha Chai Road, dan tak lama kemudian sopir menghentikannya di Pasar Pencuri. Karena sopir itu mengerti sedikit bahasa Inggris, kedua pemuda itu bertanya apakah ia dapat mengatakan di mana dapat mencari Bo Dai.
"Di tengah pasar," jawab sopir itu, dan menunjukan arahnya.
"Terima kasih," kata Frank, dan kedua pemuda itu berjalan di tengah orang banyak yang berpakaian warna-warni di jalan-jalan.
Pemilik kedai-kedai menawarkan dagangan mereka dengan suara yang lucu, membujuk orang lewat untuk membeli barang-barang antik, suvenir-suvenir, perabotan rumah, pakaian dan makanan.
Tiba-tiba Joe merasa ada orang yang membayanginya. Orang
itu bangsa Thai memakai kemeja coklat, celana pendek berwarna, kaki dan sepatu yang berat. Di sabuknya terselip belati.
"Kita dibayangi!" Joe memperingatkan dengan berbisik.
Berpura-pura tertarik di kedai bunga, Frank berhenti. Ia
berpaling dan melirik dari sudut matanya.
" Aku juga sudah melihatnya. Mari kita terapkan siasat
bayangan kita terhadapnya."
Yang dimaksud dengan ?siasat bayangan? oleh Frank adalah
suatu siasat yang telah mereka pelajari bila menghadapi penjahat yang sedang memata-matai mereka. Mereka selalu berpura-pura tak tahu kalau dibayangi, sampai pada suatu ketika mereka dapat mencegat penjahat tersebut.
Kedua pemuda itu berjalan santai di tengah-tengah orang
banyak, melihat-lihat seenaknya ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sebagai wisatawan Amerika biasa. Ketika mereka berhenti pada sebuah kedai, mereka dapat melirik ke bayangan mereka. Bila mereka berhenti, orang itu pun berhenti pula. Kalau mereka berjalan lagi, orang itu juga mengikuti terus. Pada suatu ketika Joe cepat-cepat menyelinap ke belakang pagar kedai. Frank terus berjalan seorang diri.
Dengan mengintai dari celah pagar kedai, Joe melihat orang Thai itu membelok dan mengikuti Frank. Ketika ia telah melewati pagar, Joe keluar hingga orang itu terperangkap di antara Joe dan Frank.
Frank mendengar suara langkah-langkah di belakangnya,
dengan mendadak membalikkan tubuhnya.
Orang itu terperangah memandanginya, kemudian membalikkan tubuhnya. Ketika ia melihat Joe, ia segera mencabut belatinya!
Tanpa ragu-ragu lagi Joe melompat menyerang dengan
menubruknya, hingga orang itu terjengkang dan belatinya terlepas.
Belati itu jatuh ke tanah, dan Frank memungutnya. Kemudian mereka menarik orang itu, hingga berdiri lagi.
"Siapakah engkau, dan mengapa engkau mengikuti kami?"
tanya Joe. Orang Thai itu berceloteh, menggeleng-gelengkan kepalanya dan membentangkan kedua tangannya, seolah-olah hendak
mengatakan tak mengerti apa yang mereka katakan. Pemilik kedai yang mendengar suara-suara itu keluar. Ia dapat berbicara dalam bahasa Inggris lalu membantu mereka.
"Tanyakan dia, siapa dia." Frank meminta kepada pemilik kedai.
Kedua orang itu bercakap-cakap dalam bahasa Thai.
"Namanya Teng Prasit," kata pemilik kedai. "Ia tak mengerti bahasa Inggris."
"Mengapa ia mengikuti kami?"
Kedua orang itu bercakap-cakap dalam bahasa Thai lagi. Teng Prasit tersenyum, menggeleng dan berkata-kata.
"Ia berkata, kalian adalah wisatawan Amerika, lalu mengikuti kalian sebab ia mengira mungkin kalian mau membeli belatinya,"
pemilik kedai itu menterjemahkan.
Frank dan Joe menyadari, mereka tak dapat mengajukan
tuntutan terhadap Teng Prasit, karena itu Frank mengembalikan pisau belati itu.
"Terima kasih, Kami tidak berminat," katanya pendek.
Teng Prasit tersenyum lagi. Ia mengayunkan belatinya hingga Joe terlompat mundur. Kemudian Teng pergi menghilang di antara orang-orang di Pasar Pencuri. Frank dan Joe mengucapkan terima kasih kepada pemilik kedai dan pergi mencari Bo Dai. Tak lama kemudian mereka melihat papan nama BO DAI, AGEN MERAH
DELIMA. Mereka memasuki kedainya dan menemui seorang yang gemuk
berkulit sawo matang yang menyambut mereka dengan tersenyum.
"Kulihat kalian orang Amerika," katanya. "Apa yang dapat kulakukan bagi kalian?"
"Apakah anda Bo Dai?" tanya Frank.
"Ya, aku Bo Dai."
Frank menunjukkan batu topaz kuning kepada Bo Dai yang
segera mengamatinya dengan seksama.
"Ha, jadi kalian suruhan McVay. Kuduga kalian tentu datang kemari untuk membeli merah delima besar yang telah kulaporkan kepada McVay. Batu itu ditemukan di tambang To Kor."
"McVay menguasakan kami untuk membelinya," Joe
memberitahu. Bo Dai mengangguk.
" Aku akan mengantar kalian ke tambang. Kita dapat berangkat nanti sore kalau kalian dapat kembali kemari nanti sore."
"Kami akan kemari," Joe memastikan. "Kebetulan kalian bukan orang Amerika satu-satunya yang berminat membeli permata To Kor itu," Bo Dai melanjutkan. "Ada dua orang lagi yang telah kemari menanyakan tentang batu itu, beberapa jam yang lalu."
"Siapa mereka itu," tanya Frank tak sabar. "Tahukah anda nama mereka?"
Pedagang permata itu mengangguk. "Oscar Tamm dan Nick
Summers." Kata-kata itu membuat Joe terperangah, dan Frank merasa
sarafnya tergelitik. "Tamm dan Summers adalah penjahat-penjahat!" seru Joe.
"Mereka akan mencuri permata itu kalau mereka anda biarkan!"
Bo Dai mengusap-usapkan kedua tangannya. "Dari sikap mereka aku sudah merasa bahwa mereka bukan orang baik-baik.
Karena itu aku tak mengatakan sesuatu pun tentang merah delima To Kor. Tetapi masih ada agen-agen lain yang mungkin mau bekerjasama dengan mereka."
Frank menyadari masalah itu.
"Lebih baik kita pergi ke tambang sebelum Tamm dan
Summers. Kalau kita dapat menyudutkan mereka di sana, barangkali kita juga dapat merebut Batu Api Merah kembali."
Kedua pemuda itu menceritakan pencurian yang terjadi di
peternakan McVay. Bo Dai menggeleng-gelengkan sedih.
"Nasib yang buruk," katanya. "Nah, aku akan menutup kedaiku nanti sore, dan kita akan berangkat ke To Kor."
Frank dan Joe memutuskan untuk mengisi waktu yang luang itu dengan mencari penjual topi yang misterius itu. Mereka pergi dari kedai yang satu ke kedai yang lain, sampai mereka tiba di kedai yang pemiliknya mengenali topi tersebut. Pedagang itu berbicara kepada mereka dengan perantaraan penterjemah.
" Aku membuat ini atas pesanan seorang Amerika yang
menginginkan topi yang sangat lebar," ia teringat. "Ia membeli dua buah. Aku tak tahu namanya, tetapi orang itu berjanggut panjang dan berkumis."
Joe merasa kecewa. "Ia telah menyamar! Tak ada jalan lagi untuk mengenalinya."
Tukang topi itu mengangkat bahu. "Masih ada lagi satu hal tentang dia."
"Apa lagi?" Tanya Frank.
"Ia memiliki gambar segitiga biru di punggung telapak
tangannya yang kanan."
"Cocok," kata Joe ketika mereka telah kembali berada di
tengah-tengah orang ramai. "Barangkali dialah boss gerombolan itu."
"Tamm atau Summers mungkin memiliki rajah segitiga biru itu di tangan mereka."
Joe mengangguk. "Barangkali. Eh, mari kita makan. Aku sudah lapar sekali."
Mereka berjalan menuju ke warung makanan, dan tak lama
kemudian makan nasi dengan sumpit. Tiba-tiba mereka duduk membeku.
Oscar Tamm sedang memandangi mereka dari antara orang
banyak. Ketika ia sadar bahwa kedua pemuda itu telah melihatnya, ia segera cepat-cepat berlalu menuju ke sebuah toko suvenir. Frank dan Joe meninggalkan makanan mereka dan segera mengejar. Melihat orang tersebut memasuki kedai, mereka lari mendatangi dan masuk.
Toko itu penuh permata imitasi, patung-patung gips, bendera-bendera, poster-poster, kartupos bergambar dan barang-barang murahan lainnya.
Ruangan depan kosong, maka kakak-beradik terus ke belakang.
Tamm baru saja menghilang keluar dari pintu belakang. Frank dan Joe lari untuk mengejar. Mereka sedang berada di tengah-tengah ruangan ketika Summers muncul dari belakang sebuah bendera perang penuh hiasan, yang terpasang pada kayu palang di atas kepala. Sambil menyeringai mengejek, ia memegang seutas tali yang tergantung dari langit-langit, kemudian menariknya dengan menyentak!
Sebuah pintu jebakan di lantai terbuka, dan Frank bersama Joe jatuh ke ruangan bawah tanah yang gelap! Kemudian pintu di atas kepala mereka tertutup!
13. Tambang-tambang To Kor
Kakak beradik itu mendarat berdebum di atas lantai papan, dan benturan itu membuat mereka pusing.
"Joe, engkau dapat melihat sesuatu?" tanya Frank ketika
peningnya telah reda. "Aku hanya melihat bintang-bintang," Joe mengaku. "Di mana kita ini?"
"Aku tidak tahu."
Setelah mata mereka terbiasa dengan kegelapan, mereka
mengetahui berada di sebuah ruangan kecil, seluruhnya berdinding batu. Tak ada pintu, dan tak ada suara yang dapat merembes masuk.
"Jalan satu-satunya untuk keluar ialah pintu tingkap jebakan itu," kata Frank sambil berpikir.
"Dan itu terlalu tinggi, mereka tentu telah memperhitungkan bahwa kita tak mungkin dapat mencapainya. Tetapi barangkali mereka membiarkan tidak terkunci!"
Joe meraba-raba kepalanya yang masih pusing. "Lalu, siapa yang memanjat?"
"Silahkan," kata Frank dan memasang kuda-kuda dengan
membungkukkan badan, dan kedua tangannya bertumpu pada lutut.
Joe naik ke bahu kakaknya, dan ketika Frank meluruskan badannya, Joe lalu berdiri. Dengan mengatur keseimbangan, Joe meraba-raba pintu jebakan.
"Cepat!" seru Frank. "Aku bisa meleset!"
Joe memeriksa pintu tersebut, kemudian melompat turun.
"Dikunci," katanya. "Kita terperangkap." Dengan nekad Frank memeriksa ke sekeliling. Ia melihat sebuah batu bata tergeletak di sudut. Ia mendatanginya dan meraba dinding dengan tangannya. Ada beberapa bata yang lepas. Dengan gembira ia memanggil Joe, dan keduanya segera menarik lepas beberapa buah batu bata dari dinding, dan meletakkannya di lantai.
Ketika lubang telah cukup besar, Frank menjenguk keluar.
"Gelap sekali," ia berbisik. "Tetapi inilah satu-satunya jalan.
Ayo ikut." Ia merangkak ke luar sampai ia membentur dinding bambu
yang berjajar tegak. "Kita tak dapat terus", katanya kepada Joe yang tepat ada di belakangnya. "Bambu ini sungguh sangat keras. Gajah pun tak kuat menembusnya."
Tiba-tiba terdengar suara mengeleser, kemudian berdebum di belakang mereka. Setelah membalikkan tubuhnya ke belakang, Joe menabrak dinding bambu yang serupa. Suatu cahaya terang mendadak menyilaukan mereka. Kedua pemuda itu terpaksa melindungi mata mereka yang sudah terbiasa dengan kegelapan. Ketika mereka sudah dapat menahan silaunya cahaya, mereka melihat bahwa mereka berada dalam sebuah kurungan bambu yang ditanam di langit-langit maupun di lantai dengan kuat. Suara menggeleser dan berdebum tadi adalah pintu geser yang menutup di belakang mereka.
"Kita terjebak ke dalam perangkap harimau!" seru Frank.
Mereka mendengar suara Tamm dari balik perangkap.
"Inilah rencana kami, dan kalian terjebak. Jadi Hardy Boys ini ternyata sama sekali bukan detektif yang ulung!"
"Kami memang harus berani mengambil risiko," Joe
menggerutu. "Tetapi bagaimana pun permainan ini belum berakhir!"
"O, tentu saja sudah! Kalian justru baru saja memainkan lakon terakhir ... atau aku telah membuat kesalahan!" Tamm mengejek.
"Aku melihat kalian di hotel, kemudian kusuruh seorang teman menelepon kalian. Ia memperingatkan agar kalian segera
meninggalkan Thailand, tetapi kalian tak mau mendengar. Karena itu aku memancing kalian ke jebakan kecil ini, dan sekarang kalian akan tinggal di sini ... untuk selama-lamanya!"
Summers mendatangi. "Semua sudah siap," katanya kepada Tamm. "Truk itu akan sampai kemari dalam beberapa menit ini."
Kedua orang itu memutar menuju ke pintu geser perangkap.
Summers mengambil tali dari kulit yang kuat dan
memberikannya pada Tamm yang segera mengikat pintu itu erat-erat, dan kedua ujung tali diikat dengan simpul mati yang sangat kuat.
Kedua pemuda itu melihat, kedua orang itu tak berajah segitiga biru di tangan mereka.
Sebuah truk datang dan sopirnya melompat turun. Itulah Teng Prasit!
"Aku sudah siap ke teluk Thailand!" ia berseru.
"Ha, jadi engkau juga dapat berbahasa Inggris!" seru Frank.
"Engkau yang menelepon memberikan peringatan ke hotel. Sekarang aku mengenali suaramu!"
"Dan itu hanya omong kosong tentang engkau mau menjual
belatimu!" Joe menuduhnya.
Teng Prasit tersenyum menyeringai. "Kalian benar. Rencana kami menghabisi kalian dengan belatiku, kalau dapat. Harus kuakui, kalian memang terlalu cepat bagiku. Tetapi masih kurang cepat untuk perangkap harimau!"
Tamm menjadi kurang sabar. "Nick dan aku harus segera
pergi," ia mendesak.
"Teng, engkau tetap di truk sampai malam. Nanti akan ada yang datang dan membantu mengangkat perangkap ini. Bawalah ke teluk dan ceburkan di sana."
Tamm memadamkan lampu, dan ketiga orang itu ke luar setelah menutup pintu di belakangnya. Keheningan meliputi di kegelapan tempat Frank dan Joe terkurung.
Joe merangkak membalikkan tubuhnya. Ia meraba-raba di
antara batang-batang bambu pintu perangkap, mencari tahu apakah talinya dapat dibuka. Jari-jarinya sampai hampir berdarah.
"Tidak bisa dilepaskan," katanya. "Harus kucoba
memotongnya." Ia merogoh kotak mini detektifnya dan memilih sebatang pisau tipis yang tajam bagaikan pisau cukur. Sambil merangkak di dekatnya, Frank menyinari dengan senter kecilnya. Sementara Frank
meneranginya, Joe mulai menyelipkan pisaunya di antara batang-batang bambu, memutar-mutar pisaunya untuk dapat memotong tali kulit, lalu menggerak-gerakkannya seperti sebuah gergaji.
"Kita harus dapat keluar sebelum mereka datang untuk
mengambil kita," katanya dengan cemas. Ia berhenti sejenak untuk melemaskan otot-otot jarinya.
"Teruskan, sudah hampir putus," Frank memberi semangat.
Joe meneruskan menggunakan pisaunya. Akhirnya simpul tali itu terlepas setelah pisau mini berhasil memotong bagian terakhir, dan tali kulit itu jatuh ke lantai. Dengan hati-hati Joe mendorong pintu geser lalu memanjat naik ke luar dari perangkap harimau. Ia mengangkat pagarnya sementara Frank mengikutinya. Kemudian ia mengembalikan ke kedudukannya semula setelah Frank lewat.
Mereka menyimpan alat-alat perlengkapan detektif mereka dan berjingkat-jingkat ke pintu ruangan. Frank membukanya sedikit.
Mereka dapat melihat Teng Prasit di kabin truk. Ia terkulai di tempat duduknya, kepala bersandar ke belakang dengan mata meram dan mulut ternganga.
"Untung dia tertidur," pikir Frank. Ia memberi isyarat dengan kepalanya pada Joe dan menyelinap keluar. Dengan menyelinap di samping truk, mereka bergegas menuju ke kedai Bo Dai. Ketika agen permata itu mendengar cerita mereka, seketika itu pula ia memberitahu seorang anggota polisi yang sedang berpatroli, yang berjanji akan menangkap Prasit dan mencari pula Tamm dan
Summers. "Mereka mungkin sudah menuju ke To Kor," Joe menjelaskan.
"Kami dengar Tamm mengatakan segera harus pergi. Tentunya mereka ke sana kalau mereka memang mencari permata itu."
"Kami akan memberitahu lewat radio ke polisi wilayah To Kor," anggota polisi itu berjanji.
"Aku sendiri akan ke sana nanti malam bersama kedua pemuda Amerika ini," kata Bo Dai. "Kami juga akan mencari para pencuri itu."
Mereka naik ke mobil Bo Dai dan pergi melintas kota Bangkok.
Setelah melewati kota mereka menuju ke tenggara. Dengan perlahan-lahan lalu lintas semakin berkurang, dan mereka melewati hutan lebat.
Monyet-monyet berteriak-teriak dan burung-burung menjerit-jerit, menandakan bahwa raja hutan sedang mencari mangsa.
Di sekitar tengah malam Bo Dai memasukkan mobilnya ke
tempat yang terbuka, yang oleh pemerintah disediakan bagi mereka yang ingin beristirahat.
"Sudah waktu untuk makan malam," kata Bo Dai, dan mereka turun dari mobil. Ia mengeluarkan bekal berupa ikan dan sayur rebung, dan mereka makan sambil duduk pada sebuah balok kayu jati.
Akhirnya Bo Dai mengakhiri acara makan malam itu dengan
menyeduh teh. Dua puluh menit kemudian mereka melanjutkan perjalanan, tiba di To Kor tepat setelah matahari terbit.
Tempat itu mengingatkan Frank dan Joe akan masa Demam
Emas di Amerika Bagian Barat. Pondok-pondok berdiri di mana-mana di antara kelebatan hutan dan sungai yang berlumpur. Tanah telah terbuka penuh lubang-lubang, di mana ratusan pendulang
mencucukkan sekop mereka dengan harapan menemukan kekayaan.
Sejumlah orang memasang saluran pencuci di kaki batu karang, yang mereka semprot dengan air melalui slang-slang besar. Air itu melepaskan tanah dari bukit batu itu masuk ke dalam saluran. Batu-batu permata tertahan oleh sekat-sekat di dalam saluran itu, sementara tanah lumpur keluar di ujung saluran. Beberapa pendulang lainnya menapis di sungai atau mencangkul kerikil di tepinya.
Frank memandangi orang-orang itu. "Rupanya mereka ini orang-orang yang ulet," katanya.
"Memang," Bo Dai membenarkan. "Dan mereka melindungi tanah konsesi mereka dengan mati-matian." Ia menunjuk ke sebuah bangunan besar yang dilengkapi dengan batang-batang besi pada pintu dan jendela-jendelanya.
"Itulah tempat pelelangan permata," katanya. "Di situ para pendulang itu menjual permata mereka atau menitipkannya."
"Di mana kita dapat menemui orang yang memiliki merah
delima besar itu?" tanya Frank
"Di sebelah sana," Bo Dai menunjukkan jalan ke sebuah
pondok pada sebidang tanah dekat hutan, yang sudah sedemikian banyak digali hingga mirip permukaan bulan. Pemiliknya bernama Chao Mai. Ia bertubuh jauh lebih jangkung dari kebanyakan orang Thai, dan wajahnya menunjukkan keberanian.
Ia meminta mereka masuk, dan mereka berdiri di dekat pintu terbuka sementara ia berbicara dengan Bo Dai dalam bahasa anak negeri. Kemudian pedagang permata itu memperkenalkannya kepada Frank dan Joe, dan menjelaskan mengapa mereka datang.
Penambang itu tersenyum, merogoh sakunya, mengeluarkan
dengan penuh bangga sebutir merah delima sebesar Batu Api Merah.
Ia memeganginya di antara telunjuk dan ibu jari tangannya, membiarkan sinar matahari jatuh padanya. Permata itu menyala berwarna merah. Kelihatannya seperti ada cahaya di dalamnya yang ingin sekali hendak keluar!
"Hebat sekali," kata Joe dengan menahan nafas kagum.
Tiba-tiba, tanpa tanda peringatan apapun, Tamm menghambur masuk, dengan kasar mendesak Chao Mai hingga terpental menabrak yang lain-lain, dan pada saat itu juga menyambar permata itu dari tangannya. Sementara Bo Dai, Frank dan Joe terguling ke tanah, pencuri itu lari keluar dan masuk ke hutan!
14. Pengejaran di Hutan Bo Dai dan Chao Mai sangat terkejut. Dengan perlahan-lahan mereka berdiri, dengan mulut ternganga memandangi penjahat itu.
Joe dan Frank sudah berdiri dan lari keluar. Mereka berlari di tanah yang penuh sumuran tempat penggalian permata. Dengan terpeleset berulang kali di debu dan lumpur, mereka sampai di pinggir hutan. Pada saat itu pencuri permata telah lenyap tak kelihatan.
"Ke arah mana ia lari?" tanya Frank terengah-engah.
"Ke sana, kukira," jawab Joe, menunjuk ke arah timur laut, dari mana mereka mendengar suara ranting-ranting patah. Rupa-rupanya Tamm lari menerobos semak-semak.
Frank dan Joe masuk ke kelebatan pohon-pohonan, salur-
saluran dan semak belukar, berlari secepat mereka dapat ke arah suara.
Namun suara itu semakin lemah menjauh. Akhirnya tak terdengar suara lagi. ebukulawas.blogspot.com
"Ia tentu sampai di tempat terbuka!" Joe menduga.
Frank mengangkat bahu. "Kita menuju ke tempat terdengar suaranya yang terakhir, dan mencoba apakah dapat menemukan jejaknya."
Mereka bergegas maju dan sampai di suatu tempat terbuka, di mana Tamm dapat berlari tanpa bersuara di rumputan yang tebal.
Setelah menyeberangi rumputan, Frank dan Joe menggunakan
kepandaian mereka mengarungi hutan, untuk menemukan tempat di mana penjahat itu telah masuk ke hutan kembali.
Frank menunjuk ke sebuah ranting yang patah, terayun-ayun pada batang pohon.
"Patahnya masih baru," katanya. "Tamm lari ke sana!"
Mereka meneruskan pengejaran dengan cepat, melihat semak-
semak berduri di mana terkait kain jaket Tamm. Pada suatu tempat, di daerah yang rendah becek karena hujan, mereka melihat jejak kaki melintasi tanah becek tersebut, lalu mengikutinya sampai tiba di daerah yang lebih tinggi dan kering.
"Barangkali ia masih menuju ke timur laut," kata Frank. "Mari kita tentukan arah mata angin." Ia mengeluarkan sebuah kompas, dan memutar-mutarnya sampai jarumnya menunjuk arah Timur Laut.
Kemudian mereka menerobos hutan tanpa melihat jejak
penjahat. "Semak-semak di sini sudah terlalu jarang untuk dapat mengait baju Tamm," kata Frank dengan kecewa. "Dan tanahnya juga terlalu kering untuk memberikan bekas tapak kaki. Kita tak tahu ke mana ia lari."
"Aku akan memanjat pohon," kata Joe. "Barangkali saja aku dapat melihat dia. Setelah memilih pohon yang tertinggi, Joe melompat, menyambar dahan, lalu naik ke atas. Ia terus memanjat lebih tinggi lagi, sampai tiba di tempat dari mana ia dapat melihat melalui puncak-puncak pohon lainnya. Tamm baru saja nampak berlari.
"Itu dia di sana!" seru Joe. "Ia masih menuju ke arah yang sama."
Tiba-tiba terdengar suara berkemeresak di atasnya. Apa yang semula nampak sebagai batang salur besar pada sebuah cabang, kini mulai bergerak menuju ke arahnya. Sebuah moncong menyeruak di antara dahan-dahan disusul oleh kepala berbentuk segitiga. Sepasang mata reptil yang dingin memandanginya, sementara tubuhnya yang panjang menggeleser melewati cabang.
Joe tak menunggu untuk melihat lebih lama lagi. Ia
menjatuhkan diri pada cabang di bawahnya, kemudian merosot menuruni batang sampai akhirnya terguling ke tanah.
"Untuk apa begitu tergesa-gesa?" tanya kakaknya menggoda.
"Ada kencan?" "Ah, tidak," kata Joe sembarangan. "Hanya seekor ular piton.
Ayo pergi dari sini!"
Frank memandang sekilas ke binatang itu dan segera berlari.
"Waduhhh! ia berteriak. "Ayo!"
Pada saat mereka sampai di lembah terbuka, Tamm sudah
lenyap, namun mereka melihat sebuah jalan setapak yang rupanya sering digunakan oleh para pemburu bangsa Thai. Daun-daun rumput yan baru saja terinjak menunjukkan bahwa pencuri permata itu baru saja melewatinya. Mereka mengikuti jalan setapak itu sampai mereka mendengar suara gemericik air melalui batu-batu. Mereka
menyeberangi sungai yang cukup lebar dengan melompat dari batu ke batu.
Di seberang, jalan setapak itu membelok ke arah barat, tetapi bekas rumput yang terinjak nampak di mata mereka yang terlatih, bahwa pencuri itu tetap menuju ke Timur Laut. Mereka memasuki daerah hutan yang lebat, di mana pucuk pohon-pohonan menghalangi langit. Burung-burung dengan bulu berwarna-warni meloncat-loncat di dahan dan berbunyi riuh menyambut mereka. Monyet-monyet berlompatan dari pohon ke pohon, sementara ular dan kalajengking merayap melarikan diri. Anggrek biru banyak bermekaran di antara daun-daun yang menyiarkan bau yang tajam ditiup angin.
"Tempat yang cukup mengerikan!" Joe menggerutu. Sementara itu lembah berhutan itu berubah menjadi hutan bambu yang lebat.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tepat di hadapan mereka!
Frank menarik adiknya ke samping, masuk ke semak-semak.
"Kalau itu Tamm yang datang, tentu ditemani banyak orang!" ia berbisik.
Suara semakin mendekat. Batang-batang bambu yang tinggi
meliuk-liuk dan rebah ke tanah. Seekor gajah menyeruak keluar dan terus masuk ke hutan yang lain. Tiga ekor lagi yang lebih kecil menyusul berurutan.
"Wah, itu kelompok yang justru kuinginkan!" kata Joe sambil tertawa. "Tak seorang pun yang akan berani melawan kita!"
Frank menyeringai. "Suatu garis penyerang yang hebat bagi regu rugby kita! Kita akan selalu berhasil membuat gol di garis akhir!"
Mereka tiba di daerah perbukitan, di mana terdapat sebuah celah melalui dua batu karang yang sangat terjal. Joe melihat sebuah kancing baju berwarna hitam di tanah dan memungutnya.
"Ini kancing jaket Tamm," ia menduga. "Aku mengenalinya.
Jadi ia telah melalui celah ini."
Suara menggeram mendadak membuat darah mereka membeku.
Mereka mendongak, dan melihat seekor harimau bertengger di puncak batu karang! Harimau itu menggeram lagi lalu melompat ke arah mereka!
Dengan gerak refleks kakak-beradik itu melompat bertiarap.
Kucing raksasa itu terbang di atas mereka, jatuh menubruk dinding batu karang di seberang, lalu berguling ke tanah. Ia tergolek di sana, rupa-rupanya terkejut karena membentur batu.
Frank dan Joe tak membuang-buang waktu lagi untuk lari
melalui celah gunung. Mereka lari secepat-cepatnya. Akhirnya mereka berhenti untuk mengambil nafas.
"Kukira sudah tidak ada harimau pemangsa manusia lagi di
Thailand!" kata Frank tersengal-sengal. Ia membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada lutut.
"Harimau itu tadi tentu tak kebagian makan malam," sambung Joe. "Ketika melihat kita, dikiranya akan mendapatkan sarapan yang enak. Hamburger daging Hardy!"
Setelah nafas mereka mulai teratur, mereka meneruskan
perjalanan hingga malam menyelimuti hutan. Sadar bahwa mereka tak dapat lagi melihat jejak Tamm di kegelapan, mereka mencari lindungan di bawah semak-semak perdu yang lebat, makan malam dengan buah-buahan hutan, lalu merebahkan diri untuk tidur. Matahari yang terbit membangunkan mereka keesokan harinya. Setelah sarapan buah-buahan, mereka segera melanjutkan perjalanan, dan akhirnya mereka sampai di jalan setapak lagi. Di sana mereka sekali lagi dapat mengikuti jejak Tamm di tanah.
"Kita sudah semakin dekat," Joe memperingatkan adiknya.
"Jejak-jejak ini masih baru."
Mereka berjalan terus dengan hati-hati, sebentar-sebentar diam sejenak untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau ada suara. Akhirnya mereka tiba di jalan yang dilapisi dengan batu-batu pipih.
"Jalan ini tentu menuju ke suatu tempat," kata Joe. "Tetapi aku tak mendengar suara apa-apa di depan."
Mereka terus menerobos hutan dan menyeberang jalan, lalu tiba di suatu tempat dari mana mereka dapat melihat tempat terbuka.
Mereka bertiarap dan merangkak ke belakang serumpun paku-pakuan yang lebat. Setelah menyingkapkan batang-batang paku, mereka tercengang heran!
Jalanan batu itu menuju ke sebuah lubang pada dinding batu, terus melebar pada kedua sisinya dan melengkung membentuk lingkaran di belakang dinding, jalanan itu melintasi tempat yang terbuka sampai ke sebuah kuil yang sangat besar. Bangunannya tinggi, terbuat dari balok-balok batu. Di bagian puncak dikelilingi oleh patung-patung batu. Di setiap sisi terdapat lubang-lubang jendela tak berdaun.
"Wahhh!" Joe tergagap. "Sebuah kuil kuno di tengah hutan!
Jauh dari mana-mana!"


Hardy Boys Batu Api Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seekor tikus besar lari melompat-lompat melintas jalanan, dan seekor burung elang meluncur dari udara, menukik turun dan menyambar tikus tersebut dengan cakarnya, lalu dibawanya terbang.
Frank menyentuh adiknya. "Ayo terus. Barangkali Tamm
bersembunyi di puing-puing kuil.itu. Kalau ia telah lewat, kita masih dapat mengikuti jejaknya."
Joe mengangguk. "Ayo kita selidiki di sekeliling dinding. Aku dari sebelah kiri, kau dari sebelah kanan. Kita bertemu di belakang kuil."
Ia lalu bergerak di sepanjang dinding, memanjat batu-batu yang telah berlumut, dan menyeruak di antara salur-saluran yang memanjat tembok dan memagari bangunan kuil. Setiap kali ia berhenti untuk menyelidik, mengawasi kuil-kuil mencari-cari tanda-tanda gerak atau mendengar-dengar suara yang perlu diselidiki lebih jauh
Akhirnya ia melihat Frank sedang mendekat dari arah yang
berlawanan. Baik Joe maupun Frank tak menemui sesuatu yang mencurigakan.
"Tetapi ini belum membuktikan apapun," Frank menjelaskan.
"Tamm mungkin bersembunyi di sana. Kita harus berani
mengambil risiko dan masuk ke sana!"
15. Terperangkap di Kuil Frank dan Joe bergerak dengan hati-hati di sepanjang jalanan masuk ke gerbang. Di dalam, mereka melihat patung-patung batu sudah rusak dimakan waktu dan cuaca. Pada wajah-wajahnya ada garis-garis tegak bekas air hujan yang menyiramnya selama berabad-abad.
"Mereka jadi seperti menangis," kata Joe.
Frank tertawa. "Mereka sedih karena kini sedang musim hujan.
Sesungguhnya kita beruntung, karena beberapa hari ini tidak hujan.
Kita sedang berada dalam masa istirahat dari hujan, tetapi sewaktu-waktu kita bisa menjadi basah kuyup!"
"Janganlah," kata Joe. "Kita sudah terlalu banyak menghadapi kesulitan."
Mereka menaiki tangga kuil ke sebuah pelataran dari mana
menjulang bangunan-bangunan bagian atas. Pintu utamanya lebar, membawa mereka ke sebuah ruangan yang besar berbentuk segi empat. Di sepanjang dinding terdapat bangku-bangku dari batu, dan di sebuah ketinggian di ujung sebelah dalam berdiri sebuah kursi batu dengan sandaran tinggi.
Frank mendapat perasaan ngeri ketika melihat sekeliling.
"Ini tentu ruangan kebesaran," ia menggumam.
Joe mengangguk. "Nampaknya sudah berabad-abad tidak
dikunjungi orang." Mereka melintasi ruangan itu menuju ke sebuah tangga di
belakang kursi kebesaran, yang menuju ke lantai kedua. Di sana banyak kamar-kamar yang lebih kecil dalam keadaan kosong, kecuali satu di mana mereka melihat tiga pucuk pedang yang telah berkarat tergeletak di sudut.
Joe memungut salah satu, lalu dirasakan bagian tajamnya.
"Masih tajam," katanya.
Frank mengangguk. "Kukira kita sedang berada di kamar senjata ..."
Ia berhenti, mendengar suara di atas kepala mereka. Ia memberi isyarat kepada adiknya dan mereka berdiri diam menahan nafas. Suara itu berulang beberapa kali, suara langkah kaki yang mendekati pelataran atas dari tangga.
"Ada orang sedang turun!" bisik Joe dengan serak. "Barangkali Tamm."
Frank mengangguk sambil meletakkan telunjuk di mulutnya.
Dengan kepalanya ia memberi isyarat ke arah tangga, dan mereka berjingkat-jingkat menuju ke pintu. Di sana mereka merapatkan tubuh mereka pada dinding, sebelah menyebelah pintu, siap untuk melompat menerkam Tamm kalau ia lewat di pintu.
Suara di atas sudah sampai di pelataran tangga, kemudian
sebuah benda bulat berwarna coklat menggelinding menuruni tangga melonjak-lonjak di lantai melewati pintu masuk ke kamar.
Joe memandanginya dengan terbelalak.
"Sebutir kelapa!" ia tergagap.
Mereka mendongak ke atas, dan melihat seekor monyet
menyeringai meringis kepada mereka. Kedua pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Terkejut mendengar suara itu, monyet itu melompat melarikan diri! Frank dan Joe segera naik keatas dan melihat bagaimana monyet-monyet dapat masuk ke ruangan melalui sebatang pohon kelapa di dekatnya.
Kedua pemuda itu terus masuk ke dalam bangunan sampai tiba di sebuah menara di atas, disekelilingi oleh pagar bordes yang rendah, terbuat dari batu. Sulur-suluran dari hutan telah menjalar dan memanjat pada dinding luarnya.
Joe melihat ke sekitarnya.
"Tempat ini sangat menarik, tetapi kita telah kehilangan jejak Tamm. Apa yang harus kita lakukan sekarang ?"
Frank melindungi matanya dengan tangannya dan melihat ke
sekeliling. "Kita tidak kehilangan jejaknya!" katanya. "Lihat di sana itu!"
Joe berpaling dan melihat sekelompok orang muncul dari hutan, berjalan berurutan menuju ke kuil. Tamm berjalan di depan, Summers tepat di belakangnya. Yang lain-lain adalah orang Thai yang nampak menyeramkan. Mereka masuk dan naik dari tangga utama, melintas kamar kebersihan, kemudian menaiki tangga.
"Frank," bisik Joe. "Kalau mereka kemari, kita terjebak. Tangga itu hanya satu-satunya jalan untuk turun!"
Frank nampak muram ketika balas berbisik. "Siaplah untuk bertindak! Barangkali kita dapat menangkap Tamm dan menyuruh yang lain-lain mundur!"
Tetapi orang-orang itu berhenti di pelataran tangga tepat di bawah menara, lalu masuk ke salah satu ruangan. Tamm berbicara kepada mereka dalam bahasa anak negeri, kemudian beralih ke bahasa Inggris ketika berpaling kepada Summers.
"Aku sudah sering kemari," katanya. "Sungguh seperti Negeri Impian dengan segala intan merah delima bertaburan di sekitar sini!"
"Tetapi engkau tak berhasil mendapatkan Batu Api Merah ketika dulu engkau kemari," kata Summers.
"Aku segera datang ke Bangkok demikian mendengar berita itu," Tamm membela diri. "Sulitnya, Bo Dai telah mengirimkannya ke Amerika sehari sebelum aku tiba. Jadi aku tergesa-gesa kembali ke New York, dan hampir saja memperolehnya dari tangan McVay, tetapi kedua anak-anak itu telah mengacaukan."
"Sayang sekali mereka lolos dari tangan Teng Prasit," Summers menggerutu. "Kalau tidak mereka sudah tenggelam di Teluk Thailand sekarang ini!"
Tamm menggumam lalu mengakhirinya dengan:
"Bagaimana pun Segitiga Biru telah mendapatkan Batu Api Merah
"Rapih sekali Segitiga Biru itu," kata Summers. "Orang-orang Thai mengira ada pengaruh sihirnya, karena itu mereka patuh kepada siapa pun yang menunjukkannya. Bagaimana cara boss kita dapat memperoleh akal itu?"
"Ketika ia menemukan kuil ini, ia mendengar orang-orang di desa membicarakannya," Jawab Tamm.
Selanjutnya percakapan mereka tak dapat didengar oleh Frank dan Joe, kemudian mereka beralih pokok pembicaraan.
" Aku sudah memperoleh merah delima yang kedua," Tamm
membual. "Kurampas ketika kedua anak itu ada di To Kor. Untunglah boss mendengar pada waktunya, lalu menyuruh aku kemari dan mencurinya. Sekarang kubawa di dalam sakuku, jauh lebih aman daripada di dalam saku rahasia McVay!" katanya mengejek.
Tiba-tiba suara menderu di udara mengalihkan perhatian Frank dan Joe. Suara itu semakin keras, dan sebuah pesawat terbang kecil terbang rendah, muncul dari balik awan putih. Kedua pemuda itu bersembunyi di balik patung dan memandangi pesawat itu mendekat.
Pilotnya merendahkan sebelah sayapnya, memutari kuil dan turun di hutan tak jauh dari kuil.
"Ia jelas anggota gerombolan pencuri," kata Joe dengan
menggerutu."Mereka tentu telah merambah hutan untuk membuat lapangan terbang."
Pesawat berhenti dan mesin dimatikan. Suara pintu dibuka dan ditutup kembali terdengar, dan Frank serta Joe mengetahui bahwa pilotnya menuju ke kuil. Ia mengitari dinding lalu masuk. Ia memakai pakaian barat, dan ketika ia berseru : "Halo? Ada orang di sana?"
kedua pemuda itu tahu bahwa ia seorang Amerika.
"Semua ada di sini, Rob," jawab Tamm dari salah satu jendela.
"Ayo, terus naik."
Pendatang baru itu memasuki kuil dan sesaat kemudian Tamm memperkenalkannya kepada Summers sebagai Rob Ormand, yang menerbangkan permata gerombolan itu ke Burma.
"Aku punya izin terbang untuk lapangan terbang di Ranggon,"
Ormand menjelaskan. "Dan pemerintah Burma tak mencurigai sedikit pun. Lalu ada apa ini? Ketika engkau mengirimkan berita melalui radio dari Bangkok, engkau menyebutkan sebutir merah delima yang sedang kau kejar. Engkau sudah memperolehnya?"
"Tentu sudah. Tetapi aku mempunyai gagasan yang hebat. Aku mengumpulkan semua anggota gerombolan kita hingga kita dapat menyerbu ke To Kor dan merampas semua permata di Tempat
Pelelangan. Itu akan kami lakukan besok."
"Oke, aku akan siap untuk terbang ke Ranggon," pilot itu
berjanji. "Aku tahu sebuah desa tempat aku dapat menginap. Aku akan meninggalkan pesawatku di sini dan menunggu kalian kembali kemari sambil membawa permata-permata itu."
"Bagus," Tamm menyetujui."Sampai besok."
Ormand keluar dari kuil, dan kedua pemuda itu melihat dia kembali ke hutan ke arah lapangan terbang. Kemudian ia menghilang di antara pohon-pohonan.
Frank dan Joe meringkuk dengan tegang, menunggu untuk
mendengar lebih lanjut. Tetapi tak seorang pun berbicara lagi di kamar di bawah mereka.
Joe bangkit untuk merenggang kakinya yang telah kaku, tetapi tiba-tiba kakinya menyentuh sebutir batu kecil hingga terpental jatuh melalui pintu ke tangga. Batu itu menggelinding turun tangga.
"Ada orang di menara!" seru Summers.
Langkah kaki berderap-derap dari bawah ke tangga.
Gerombolan itu menghambur ke menara di bawah pimpinan Tamm.
Frank dan Joe mundur merapat pada dinding. Di sisi lain tak ada apa-apa lagi, kecuali suatu kedalaman yang terjal ke batu-batu pipih di halaman kuil.
"Ha, anak-anak Hardy!" teriak Tamm. "Kita telah
menyudutkannya ! Tangkap mereka!"
16. Tahanan Berhala Orang-orang itu menyerbu dengan ganas di menara.
Frank meraba ke belakang untuk mencari batu sebagai senjata, dan tangannya terpegang sebatang sulur yang besar. Melihat ke bawah, ia melihat sulur itu menjuntai turun sampai ke tanah.
"Kemari Joe!" serunya dan segera melompati pagar batu.
Joe menyusul, hampir saja tertangkap tangan Tamm. Ia
mengikuti kakaknya. Mereka mendengar Tamm berteriak-teriak marah kepada rombongan orang Thai.
"Kita sedikit mendahului mereka !" kata Joe sambil melompat ke tanah. "Barangkali kita dapat lolos."
Tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat empat orang
Thai dengan golok teracung!
Orang-orang itu mengayun-ayunkan parang yang biasa mereka gunakan untuk merambah mencari jalan di hutan, dan mata parang itu bersuit-suit menakutkan!
"Kukira kita lebih baik diam, Joe," Frank menyarankan, suaranya sedikit gemetar.
Orang-orang yang lain berlari-lari turun dari tangga dan
menyerbu ke tempat kedua pemuda itu tertahan. Tamm memandangi mereka dengan marah.
"Ha, kali ini kami menangkap kalian untuk selama-lamanya!" ia mendesis.
"Betul!" sambung Summers. "Bereskan sekarang saja mereka!"
Tamm menggeleng dan tertawa licik.
"Terlalu enteng bagi mereka! Kita suruh saja berhala itu yang membereskan mereka ... perlahan-lahan!"
Ia membawa mereka ke sebuah pintu batu yang sempit di
bagian belakang bangunan. Keempat orang yang bersenjatakan parang mendorong Frank dan Joe maju, sampai mereka tiba di sebuah berhala batu raksasa yang tertelungkup di lantai dekat pintu.
Tamm mengetuk-ngetuk pintu dengan tangannya.
"Sudah macet," katanya. "Sudah berabad-abad tak pernah dibuka. Dan inilah satu-satunya jalan ke ruangan itu. Kita masukkan anak-anak ini dan kita tinggalkan."
"Mereka bisa lolos," Summers menolak. "Mereka cerdik!"
"Itu urusan berhala," Tamm menyatakan. Ia memerintah orang-orang Thai tersebut dalam bahasa mereka. Mereka mengangkat patung berhala itu dengan susah-payah, dan berhasil menggeserkannya ke dinding, lalu menempatkannya membelakangi pintu batu.
Frank dan Joe gemetar ketika melihat wajah patung itu.
Mulutnya terpilin menyeringai mengejek dan matanya setengah tertutup, seolah-olah mengancam siapa saja yang mendekat.
"Biarpun engkau dapat mendorong pintu itu, dan itu mustahil, engkau tak akan bisa membukanya setelah disandari patung ini!" desis Tamm kepada Frank.
"Bagaimana kita masuk?" tanya pemuda itu. Tamm
menyeringai mengejek. "Engkau akan mengetahuinya." Sekali lagi ia berbicara dalam bahasa Thai kepada orang-orang, lalu berpaling kepada Summers. "Kita pergi ke ruangan kebesaran."
Kakak beradik itu dipaksa ikut naik ke tangga, tamm
memerintahkan orang-orang itu untuk menggeser kursi kebesaran, dan nampaklah sebuah lubang persegi di bawahnya. Ia mendorong kedua pemuda itu ke lubang. Kedua pemuda itu melihat kegelapan yang pekat hingga tak nampak lantai dasarnya.
Orang-orang Thai itu hendak mendorong Frank dan Joe ke
dalam lubang, tetapi Tamm mencegahnya.
"Jangan, mereka akan pingsan kalau jatuh ke dalam," katanya, lalu memotong dua batang sulur dari dinding. Sambil tersenyum jahat ia mengikat Frank dan Joe pada pinggang mereka, lalu mengerek mereka turun ke dalam lubang.
Frank dan Joe berayun-ayun tak berdaya, berputar-putar sampai tiba di tanah.
"Nikmatilah kematianmu," seru Tamm, dan orang-orang Thai itu mendorong kursi kebesaran kembali menutup lubang.
Frank dan Joe duduk diam sejenak. Kemudian mereka
melepaskan ikatan sulur di pinggang mereka, mengeluarkan senter kecil mereka dan melihat ke sekeliling. Mereka melihat, berada di dalam sebuah ruangan besar terbuat dari balok-balok batu.
Langit-langitnya terlalu tinggi untuk dapat mereka capai.
"Meskipun seandainya kita dapat mencapai lubang di atas itu, kita tetap tak kuat mendorongnya terbuka," kata Frank.
Joe mencoba pintu. "Tamm benar..Pintu tak bergerak sedikit pun. Dan adanya patung berhala yang bersandar di luar pintu, kita tak mungkin bisa ke luar!"
Mereka bergerak ke tengah ruangan. Joe merasa sesuatu
menggeleser di sepatunya. Ia mengarahkan sinar senternya ke bawah, lalu diam membeku dengan ketakutan.
Ia melihat seekor ular kobra! Cahaya itu membuat binatang berbisa itu mendongak ke atas dalam kedudukan hendak menyerang!
Lehernya membentang lebar, berayun-ayun hanya beberapa senti dari kaki Joe, siap untuk memagut.
Kedua pemuda itu tahu dari latihan-latihan mereka hidup di alam terbuka, bahwa pertahanan satu-satunya melawan ular berbisa yang sedekat itu hanyalah dengan berdiam diri. Karena Joe berdiri diam mematung. Ia merasakan keringat menetes di bawah telinganya.
Frank memandanginya dengan cemas, sebab ia sendiri tak dapat berbuat apa-apa. Setiap gerakan dari pihaknya, menyebabkan kobra itu akan memagut adiknya! Ia merasa nafasnya tersengal-sengal.
Kedua pemuda itu mematung bagaikan seabad lamanya. Joe
mulai merasa tak tahan lagi, ketika kobra itu mengempiskan lehernya, menurunkan kepalanya ke lantai, lalu merayap pergi ke kegelapan.
"Kukira aku sudah mati," kata Joe terengah-engah.
"Untunglah engkau tetap berkepala dingin," Frank
menggumam, "Kalau tidak memang engkau sudah mati. Padahal itu hanya soal waktu. Berapa lama kita terkurung di sini bersama seekor kobra?" ia menggigil ketika berbicara demikian.
"Nanti dulu!" Joe tiba-tiba mendapat pikiran. "Kalau kobra itu dapat masuk kemari, tentu ia harus dapat keluar pula! Barangkali tempat ini tidak serapat yang diperkirakan Tamm!"
Frank berseri. "Engkau benar!" Ia menyorotkan senternya ke sekitarnya untuk melihat si kobra. Senternya mengikuti binatang itu ke sudut ruangan, merayap di atas setumpuk pecahan batu, kemudian ular itu menghilang.
Dengan hati-hati kedua pemuda itu lalu menyinari ke balik tumpukan batu, melihat ular itu merayap masuk ke lubang di antara kedua buah balok batu. Ular itu merayap keluar, meninggalkan cahaya bulat sinar matahari dari luar.
"Semen di antara kedua batu ini telah rontok," seru Joe. "Ayo, kita segera bekerja!"
Dengan gairah mereka mengambil jarum-jarum baja dari kotak detektif mereka dan segera mengorek-ngorek lapisan perekat batu yang seperti semen. Setelah bekerja keras selama satu jam, mereka berhasil mendorong sebuah batu hingga jatuh keluar.
Frank dan Joe merangkak ke luar melalui lubang itu, menutup mata mereka sampai terbiasa pada cahaya.
"Waduhhh!" seru Frank. "Baru kali ini kita benar-benar hampir mengalami maut!"
Joe mengangguk. "Kita harus mendahului gerombolan itu
sampai di To Kor," katanya. Ia berusaha mengucapkan kata-katanya dengan mantap. "Kita harus memberitahu para penambang tentang serangan gerombolan itu!"
"Betul! Tetapi lebih dulu kita harus tetap dapat memastikan agar jangan ada permata yang diterbangkan ke Burma!"
Mereka lari ke tempat mereka melihat pesawat mendarat.
Mereka melihat sebagian dari hutan telah ditebang untuk membuat lapangan terbang berumput, terlindung oleh hutan lebat. Pesawat itu berdiri di salah satu ujung, dan pintunya terkunci.
''Kita tak dapat membuka mesinnya," kata Frank. " Dan kita juga tak mempunyai banyak waktu. Jadi lebih baik kita rusakkan saja baling-balingnya."
Ia mengambil sebatang cabang kering dari dalam semak-semak dan dicongkelkannya hingga baling- baling menjadi peot tak berupa lagi. Joe berbuat yang sama dengan bidang kemudi di ekor pesawat.
Mereka memandangi pesawat yang tak mampu terbang lagi itu dengan puas.
"Ormand tak dapat lagi terbang ke mana-mana!" kata Joe.
"Kecuali kalau ia berubah menjadi burung!"
Frank tertawa. "Bagus! Ayo kita pergi."
Mereka masuk ke hutan dan mengambil jalan yang sama
dengan ketika mereka berangkat. Ketika mereka sampai di sungai, mereka mendengar suara orang. Mereka menyelinap ke hutan, dan tiba di tepi sungai tempat Tamm berkemah bersama teman-temannya.
Tamm berkata kepada orang-orang Thai, lalu memberitahu
Summers. "Kukatakan kepada mereka, kita akan beristirahat selama sejam.
Kita juga dapat tidur sebentar sebelum melanjutkan perjalanan."
Mereka segera merebahkan diri dan tertidur.
Tanpa bersuara kedua pemuda itu melangkah di antara orang-orang yang tidur menuju ke sungai. Mereka tiba di dekat Tamm ketika orang itu bergerak. Ia menekankan kedua tangannya ke tanah, dan mengangkat kepalanya dengan gelisah.
Kedua pemuda itu diam membeku dan memandangi orang
tersebut dengan waspada. "Kalau ia sampai terbangun, habislah kita," pikir Frank.
Tetapi Tamm berguling ke sisi dan kembali tidur. Frank dan Joe bergegas lewat, sampai di sungai, dan mulai menyeberang. Tiba-tiba kaki Joe terinjak batu yang licin, dan ia kehilangan keseimbangan !
17. Keadaan Berbalik Dengan mati-matian Joe membentangkan kedua lengannya,
menggunakannya sebagai alat keseimbangan. Ia bejungkit-jungkit di atas air, mendapatkan kembali keseimbangannya, lalu melompat ke batu berikutnya. Sesaat kemudian ia telah melompat ke tepi disamping Frank.
"Kalau engkau sampai jatuh, mereka tentu mendengarnya!"
bisik Frank. "Aku tahu, karena itu juga aku tidak jatuh!" Joe mencoba menganggap enteng masalah tersebut. "Ayo, lebih baik kita cepat-cepat pergi."
Kedua pemuda detektif itu lari masuk ke hutan dan bergegas melalui jalan yang telah mereka kenal. Ketika malam tiba, mereka sering berhenti untuk menentukan arah dengan kompas yang diterangi lampu senter. Cahaya itu sering mengganggu burung-burung dan monyet-monyet, dan kedua pemuda itu melanjutkan perjalanan disertai suara gaduh di pohon-pohonan.
Mereka tiba di To Kor pada waktu matahari terbit. Mereka
bergegas ke pondok Chai Mai, dan bertemu dengan Bo Dai. Kedua orang itu tidur sepanjang malam karena terlalu gelisah.
"Engkau kembali membawa merah delima?" tanya Bo Dai.
Frank menggeleng. "Tidak. Tetapi kukira hari ini juga kita akan memperolehnya kembali. Tamm dan gerombolannya sedang menuju kemari, dan kami dengar ia mengatakan bahwa ia membawa permata itu."
"Mereka hendak menyerbu Tempat Pelelangan Merah Delima,"
kata Joe. "Apa?" Dengan singkat kedua pemuda itu menceritakan apa yang
mereka dengar. "Kita pasang perangkap bagi mereka," Frank mengakhiri.
"Tetapi kita membutuhkan kerja sama dengan para pendulang."
Bo Dai bangkit lalu keluar. Ia mengambil pluit dari sakunya dan meniupnya tiga kali. Suaranya yang melengking tajam itu membuat para pendulang lari mendatangi.
"Ini tanda bahaya darurat," agen permata itu menjelaskan.
"Semua orang akan segera berkumpul."
Setelah orang-orang berkumpul, Frank dan Joe berbicara
kepada mereka melalui Bo Dai sebagai penterjemah. Dengan singkat mereka menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang para penjahat.
Akhirnya, para pendulang itu saling menggerutu. Beberapa orang bahkan memandang kedua pemuda itu dengan marah.
"Ada apa ini?" tanya Joe dengan heran.
"Mereka mengatakan, bahwa mereka curiga pada kalian," Bo Dai menjelaskan. "Mereka bertanya bagaimana kalian bisa tahu begitu banyak tentang para penjahat itu. Mereka mengira, barangkali kalian termasuk sekongkolnya."
Joe baru saja hendak berbicara, ketika terdengar suara ledakan yang keras di hutan. Asap bergumpal-gumpal ke udara. Chao Mai berteriak entah apa artinya, lalu lari ke arah asap. Yang lain-lain segera mengikutinya.
"Barangkali para penjahat hendak meledakkan Tempat
Pelelangan, tetapi mesiunya meledak lebih dulu," teriak Bo Dai. Ia hendak menyusul yang lain-lain tetapi Frank meletakkan tangannya di pundaknya.
"Mungkin ini hanya jebakan!" ia memperingatkan. "Barangkali Tamm yang menyuruh mengadakan ledakan, hingga para pendulang itu mengira bahwa penjahat ada di sana!"
"Ia menginginkan semua orang menyingkir dari To Kor,
sementara ia dan teman-temannya datang dan mencuri permata,"
sambung Joe. "Apa yang harus kita lakukan ?" agen permata itu meratap.
"Para pencuri akan lari sebelum para pendulang kembali!"
"Tidak, tidak akan!" kata Frank. "Sebaliknya, kita akan menangkap mereka. Apakah engkau mempunyai kunci Tempat
Pelelangan?" "Tentu saja. Sebagai agen resmi dari pemerintah aku selalu membawanya."
"Bagus. Mari kita ke sana sekarang juga," kata Frank."Kita biarkan kunci tergantung di luar dan membiarkan pintu terbuka.
Kalau-kalau teman-teman jahat kita masuk, kita kunci dari luar!"
Wajah Bo Dai merekah tersenyum lebar.
"Akal yang bagus!"
Ketiga orang itu menyiapkan jebakan, kemudian bersembunyi di balik pohon-pohonan. Sesaat kemudian Tamm dan Summers
datang. Orang-orang Thai mengikuti dari belakang.
"Akalku berhasil!" seru Tamm bangga. "Ledakkan itu telah menggiring para pendulang pergi sementara kita menyerbu. Kalau mereka datang terlalu cepat, kita bereskan mereka."
Summers menunjuk ke pintu tempat pelelangan.
"Lagi pula tak perlu meledakkannya," ia tertawa. "Orang yang dikuasakannya tentu telah lupa mengunci ketika lari mendengar ledakan. Kita tinggal berlenggang-kangkung masuk!"
Ia dengan cepat melangkah melintas halaman dan masuk ke
Tempat Pelelangan Merah Delima, diikuti oleh Tamm dan penjahat-penjahat lainnya. Begitu mereka ada di dalam, Frank lari mendatangi, menutup pintu dengan keras lalu menguncinya. Joe dan Bo Dai lari mendekat dan ikut mengawasi dari jendela dari mana mereka dapat melihat ke dalam.
Kepanikan meledak di antara para penjahat. Tamm lari ke pintu dan memutar-mutar tombolnya.
"Dikunci!" ia berteriak parau. "Tetapi kita mempunyai bahan peledak. Kita dapat membukanya."
"Engkau sudah gila?" teriak Summers.
"Engkau akan menghancurkan kita di tempat ini!"
"Bagaimana dengan jendela-jendelanya?"
"Berjeruji," Summers menjelaskan. Kemudian ia mulai
berteriak-teriak ketika melihat Bo Dai bersama kedua pemuda detektif. "Ini perbuatan anak-anak Hardy! Mereka bisa keluar dari kuil dan mendahului kita kemari. Merekalah yang memasang perangkap!"
Tamm lari ke jendela dan menatap tak percaya.
"Bagaimana mungkin mereka bisa keluar?"
"Lihat? Kita harus membereskannya pada saat itu!" Summers menuduh. "Itulah hasil pikiranmu yang hebat!"
Kedua penjahat itu tuduh menuduh dengan hati panas. Mereka masih bertengkar ketika para pendulang intan kembali dari hutan.
Dengan singkat, Bo Dai memberitahu mereka tentang apa yang telah terjadi.
Orang-orang itu lari ke Tempat Pelelangan dan mengintip ke dalam. Mereka bersorak-sorai ketika melihat para calon pencuri itu terjebak. Kemudian mereka meminta maaf kepada Frank dan Joe karena telah mencurigai mereka. Sementara itu Chao Mai memanggil polisi.
Sejam kemudian dua orang anggota polisi datang dengan
sebuah jeep. Mereka mengambil alih pimpinan sementara, pintu Tempat Pelelangan itu dibuka dan para penjahat digiring keluar.
"Geledahlah, Tamm," Joe menyarankan. "Ia membawa merah delima Chao Mai."
Pencuri permata itu merah sekali, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah polisi. Salah seorang polisi mengambil permata raksasa itu dari sakunya, lalu mengembalikannya kepada pemiliknya. Chao Mai menerima permata yang berkilau-kilau itu dengan hati yang lega.
Namun, atas pemeriksaan polisi, para penjahat itu tak ada yang mau berbicara.
Frank memutuskan untuk menggunakan taktik menggertak.
"Coba ceritakan kepada kami tentang Segitiga Biru dan Batu Api Merah," ia dengan tiba-tiba bertanya kepada Tamm.
Pencuri permata itu nampak terkejut.
"Ha, jadi engkau pun sudah mengetahui hal itu pula!" ia meledek. Namun setelah kembali tenang ia menyambung secara mengejek. "Tetapi kalau engkau masih perlu menanyakannya
kepadaku, berarti engkau belum mengetahui semuanya. Nah,
pikirkanlah sendiri kalau engkau memang cerdik!" Hanya itu yang dikatakannya. Pada saat itu datang sebuah mobil patroli polisi, dan para penjahat diangkut dengan truk ke Bangkok.
"Penjahat bangsa Thai itu akan ditahan selama beberapa waktu," kata Bo Dai. "Tak pelak lagi Tamm dan Summers akan diekstradisikan ke Amerika untuk diadili di sana. Pilot Amerika itu, Ormand, akan ditangkap dan pesawatnya disita."
Chao Mai menyela dengan serentetan kata-kata. "Ia ingin
mengucapkan terima kasih kepada kalian karena telah menemukan kembali permatanya," Bo Dai menterjemahkan."Dan ia ingin tahu, apakah kalian masih berminat untuk membelinya."
"Tentu saja masih," kata Frank.
"Kalau begitu marilah kita pergi dan merundingkan masalah itu."
Di dalam pondok Chao Mai, pendulang itu meletakkan
permatanya di atas meja. Ia setuju untuk menjualnya kepada Frank dan Joe dengan harga yang kurang dari lima puluh ribu dollar. Hal itu dilakukannya untuk menghargai apa yang telah mereka lakukan terhadap dirinya. Bo Dai menulis sehelai cek untuk jumlah yang diminta. Frank menyimpan permata itu di tempat yang tersembunyi di dalam kotak detektifnya, dan pertemuan itu diakhiri.
Di tengah perjalanan ke Bangkok, Frank dan Joe memutuskan akan segera pulang ke Amerika.
Setelah beristirahat secukupnya di hotel, mereka mengambil pesawat menuju ke Los Angeles. Pantai California sudah nampak ketika Frank mengungkapkan apa yang selama itu dipikirkan.


Hardy Boys Batu Api Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Joe, aku mempunyai firasat Batu Api Merah itu masih di
Arizona!" 18. Isyarat-isyarat di Padang Gembalaan
"Apa yang membuatmu berfikir demikian?" tanya Joe.
"Pimpinan gerombolan itu tentu dekat dengan McVay untuk dapat mengetahui, bahwa McVay sedang pergi ke New York. Kukira kuncinya tinggal di Arizona."
Ketika mereka tiba di Los Angeles, Joe menelepon peternak itu, memberikan laporan singkat, dan diberitahu bahwa mereka akan dijemput oleh Jupe di lapangan terbang Flagstaff.
Pemuda koboi itu sudah menunggu ketika Frank dan Joe ke luar melalui pintu gerbang sambil menenteng tas-tas mereka.
"Perkins masih belum pulang," kata Jupe. ?Tidak ada yang tahu di mana dia."
"Kukira ia telah mendapatkan pekerjaan baru," kata Frank
sembarangan. Ia menyembunyikan kenyataan bahwa pekerjaan baru mandor
tersebut ialah dalam pencurian permata.
Di peternakan, Jupe mengantarkan mereka ke rumah induk, dan ia sendiri terus ke barak. Frank dan Joe dibukakan pintu oleh Wilbur yang segera mengantarkan mereka ke kamar kerja McVay. Duduk meringkuk di kursi belakang meja kerjanya, peternak itu berseru dengan gembira dan lega ketika Frank memberikan batu merah delima itu.
"Bagus! Bagus sekali!" katanya kegirangan. "Eh, omong-
omong, Bo Dai menelepon dari Bangkok. Ia menceritakan bagaimana kalian telah menangkap Tamm dan gerombolannya. Ia juga
mengatakan sesuatu tentang seorang pilot berbangsa Amerika yang ditangkap di hutan. Aku diberitahu bahwa pesawatnya tak dapat tinggal landas."
"Ada kerusakan pada baling-balingnya," kata Frank sambil
tertawa kecil. "Kita buat pesawatnya sedemikian hingga ia tak dapat tinggal landas."
"Pekerjaan yang hebat!" McVay berseri-seri. Kemudian ia menjadi sungguh-sungguh. "Bagaimana dengan Batu Api Merah?"
"Kami mendengar dari Tamm, bahwa Segitiga Biru yang
menguasainya," Joe menjelaskan. "Dialah pimpinan gerombolan ini.
Seseorang yang mempunyai rajah segitiga biru di punggung telapak tangannya yang kanan."
"Sheriff Gomez telah mencari-cari Perkins," kata McVay.
"Ia mungkin tahu siapa Segitiga Biru itu. Tetapi sejauh ini belum ada tanda-tanda dari mandorku itu."
"Kami akan tetap mencari dia," Joe berjanji. "Dan juga Batu Api Merah."
Kedua pemuda itu kembali ke barak dan menelepon Chet dan
Biff di peternakan pak Jomo. Keempat pemuda itu bersepakat untuk bertemu di jalanan ternak utama. Frank dan Joe lalu memasang pelana kuda mereka dan pergi tanpa membuang-buang waktu lagi.
Tak lama kemudian teman-teman mereka pun datang.
"Bagaimana perjalananmu?" tanya Chet. "Kalian telah menemukan Batu Api Merah ?"
"Belum," jawab Frank. " Tetapi kami telah membeli merah delima yang lain, dan berhasil menangkap pencuri-pencuri itu. Yang masih belum tertangkap tinggal bossnya." Dengan singkat ia menceritakan peristiwa yang mereka alami.
"Kalian telah melakukan karya besar," kata Biff terkesan. "Dan aku yakin bahwa kalian masih akan dapat menangkap pimpinannya!"
Bagaimana keadaan disini?" tanya Joe. "Ada kegiatan?"
"Tak ada apa-apa," kata Chet.
"Kami telah mengetahui apa arti yang sesungguhnya dari Segitiga Biru," kata Frank. Ia menjelaskan perihal lambang tersebut.
"Kalau kalian melihat seseorang yang tangannya berajah demikian, beritahulah kami."
Biff mengangguk. "Sejauh ini kami belum melihatnya. Tetapi kami akan waspada."
"Baik. Kami akan menyelidikinya di peternakan McVay. Nanti malam kami akan menelepon kalian."
Keempat pemuda itu berpisah dan pulang ke peternakan
masing-masing. Frank dan Joe secara sembunyi-sembunyi menanyai koboi-koboi McVay di barak. Tetapi tak seorang pun yang pernah melihat rajah segitiga biru.
Kemudian Joe menelepon Biff. Setelah bercakap-cakap
sebentar ia meletakkan gagang telepon dan menggelengkan kepala.
Hal itu menunjukkan bahwa teman-temannya pun tak berhasil pula.
Esok harinya, McVay menyuruh kedua pemuda itu memeriksa
pagar. Mereka ke luar berkuda melewati kandang terbuka, dan melihat bahwa Barson dan Marti juga tidak ada di tempatnya.
"Aku tak tahu di mana mereka," kata Jupe menjawab
pertanyaan mereka, ketika pemuda itu sedang memindah-mindahkan kuda yang masih setengah liar dari kandang yang satu ke kandang yang lain.
Frank dan Joe memeriksa pagar tanpa melihat sesuatu
kerusakan pun, dan sapi-sapi juga tenang-tenang saja.
"Tak ada perampok yang beraksi di sini pada hari ini," kata Joe.
"McVay ... "Ia berhenti ketika melihat cahaya menyilaukan datang dari bukit di gurun. Mereka melihat seorang penunggang kuda yang menutup mukanya dengan bandana, dan memakai topi bertepi lebar buatan Thailand. Ia memutar-mutar sebuah cermin, memantulkan cahaya matahari.
"Si penunggang kuda misterius!" seru Frank dengan gairah. "Ia sedang mengirimkan isyarat semafor kepada seseorang di balik bukit!"
Kedua pemuda itu dapat membaca sandi semafor, karena
mereka pun sering menggunakannya dalam tugas-tugas penyelidikan mereka. Mereka sering saling memberi pesan dengan lampu senter mereka atau dengan melambaikan saputangan. Hal itu memang praktis kalau tak ada kemungkinan komunikasi yang lain.
Dengan melihat kilatan-kilatan cahaya si penunggang kuda di atas bukit, kedua pemuda itu membaca : j-a-l-a-n t-e-r-n-a-k d-u-a-p-u-l-u-h m-e-n-i-t."
"Mari kita kejar!" seru Frank.
Joe sudah melarikan kudanya ke pagar, yang segera mereka
lompati. Mereka berderap melintas gurun ke bukit, tetapi penunggang kuda itu melihat mereka. Ia membalikkan kudanya dan lari ke arah yang berlawanan. Pada waktu kedua pemuda itu tiba di sana, ia telah lenyap.
"Hilang lagi!" teriak Frank dengan kecewa sambil menarik tali kekang.
"Kita masih bisa pergi ke jalan ternak, lalu bersembunyi di balik semak-semak untuk melihat apa yang akan terjadi."
Sebuah truk datang, sama dengan yang pernah mereka lihat
sebelumnya, ketika mereka membayangi Barson dan Marti. Sopirnya juga yang sama. Ia memutar truknya melingkar lebar hingga hampir melindas semak-semak tempat persembunyian Frank dan Joe.
Kemudian ia memarkir ke pinggir dan mematikan mesinnya.
"Bisa jadi para perampok itu beraksi lagi," bisik Joe. "Inilah mungkin truk mereka. Aku akan memberitahu Sheriff Gomez. Engkau tetap mengawasi di sini, oke?"
Frank mengangguk dan Joe menyelinap ke tempat kudanya
ditambat. Ia mengambil walkie-talkie dari kantung pelananya dan memanggil mobil patroli, Sheriff Gomez berjanji akan segera datang.
Joe kembali menggabungkan diri dengan kakaknya. Beberapa
saat kemudian mereka mendengar lenguh sapi. Tiga ekor sapi longkorn bertanduk panjang bercap peternakan Jomo digiring di jalan ternak. Barson dan Marti yang menggiringnya ke arah truk. Seorang lagi menunggang kuda di belakang.
"Itu Wat Perkins!" Frank tergagap.
19. Hiruk-pikuk di Jalan Ternak
"Naikkan ke truk!" perintah Perkins kepada Barson dan Marti.
Kedua koboi itu menurunkan dinding belakang truk sampai
ujungnya menyentuh tanah. Dengan bantuan Perkins, mereka
mendorong ternak itu naik ke truk.
"Sekarang cepat-cepat ke Flagstaff!" perintah Perkins setelah selesai. "Segitiga Biru yang akan mengurus keuangannya."
Ketika sopir menghidupkan mesin, Joe mendengar suara derap kaki kuda di belakangnya. Ia memutar tubuhnya dan melihat Chet serta Biff berderap datang.
"Frank! dengan bantuan mereka berdua kita dapat mencegah
para penjahat itu!" ia berseru. "Ayo maju!"
Kedua pemuda itu menghambur dari balik semak-semak dan
lari ke arah truk. Sopir menginjak gas, tetapi Joe menyepak sebatang balok ke depan roda belakang, hingga truk itu tersentak berhenti.
Ketiga penjahat melompat turun dari truk, dan terjadilah perang tanding! Tetapi perang itu tak berlangsung lama. Lengkingan sirene mobil polisi bergema di tempat itu. Tiga mobil patroli melaju mendatangi, dan Sheriff Gomez beserta para wakilnya melompat turun dan menggabungkan diri dalam pergulatan.
Melihat polisi, Perkins lari ke kudanya dan melompat ke pelana.
Sedetik kemudian ia bersicepat di sepanjang jalan ternak.
Seketika itu Frank mengejarnya. Beberapa menit kemudian ia telah berhasil memperpendek jarak hingga tinggal beberapa langkah di belakangnya. Ia membiarkan kudanya lari sendiri, sementara kedua tangannya menyiapkan tali lasonya. Setelah diayunkan beberapa kali di atas kepalanya, jerat laso itu mendesah cepat menjerat pundak Perkins, dan menariknya jatuh dari kudanya.
Pencuri ternak itu cukup lama lumpuh setelah jatuh, hingga Frank sempat turun dan mengikat kedua tangannya di punggung.
Kuda Perkins kembali dengan perlahan-lahan, lalu berhenti dan memakan rumput.
"Oke, Perkins! Ayo naik!" Frank memerintah.
Dengan ketakutan orang itu menginjakkan kakinya ke
sanggurdi, dan Frank mendorongnya naik ke pelana. Frank naik ke pelana dan menuntun orang tangkapannya dengan lasonya kembali.
Mereka tiba di truk ketika Sheriff sedang berbicara dengan Chet.
"Kami melihat Barson dan Marti di padang gembalaan Jomo.
Mereka tak mempunyai urusan di sana, karena itu kami lalu mengawasi mereka," kata Chet.
"Tahu-tahu," sambung Biff, "mereka memisahkan tiga longhorn dari kawannya dan menggiringnya ke pagar. Mereka memotong kawat pagar lalu menggiringnya ke jalan ternak ini."
"Kami mengikuti mereka dan bertemu dengan Frank dan Joe,"
Chet menambahkan. "Dan dengan berempat kami dapat menguasai mereka."
"Apa yang hendak kau katakan tentang hal ini?" tanya Gomez kepada para penjahat dengan suara lantang."Kalian tertangkap basah mencuri ternak! Kalian sudah lama mencuri sapi pak Jomo, bukan?
Apakah kalian bekerja untuk orang lain?"
Para penjahat hanya memandang ke tanah dengan wajah
menunjukkan rasa salah, tetapi tak ada yang menjawab.
"Sheriff, kami dapat mengatakan sesuatu tentang mereka ini,"
kata Joe. "Mereka akan membawa ternak ini ke Flagstaff. Mereka tentu mempunyai seorang pembeli gelap di sana."
Gomez menggeleng-geleng menunjukkan rasa heran bercampur
terkejut. "Aku terlalu memusatkan perhatian ke Phoenix, sebab Jomo dan aku berpikir, bahwa itulah tempat yang paling cocok untuk melemparkan sapi ke pasar gelap. Untung sekali kalian pemuda-pemuda mengarahkan perhatian ke Flagstaff. Flagstaff memang sebuah kota yang jauh lebih kecil. Pembelinya tak akan sulit dicari."
Frank dan Joe menjelaskan bagaimana mereka dalam
menangkap gerombolan penjahat itu, dimulai sejak sandi smafor yang dikirimkan dengan cermin oleh penunggang kuda yang miterius itu.
"Dialah yang mengatur perampokan ini," Frank menyatakan.
"Ia memerintahkan kepada gerombolannya agar datang dua puluh menit kemudian ke jalan ternak ini. Dan di situlah kami memergoki mereka. Perkins dan Segitiga Biru yang akan mengurus keuangannya.
Kita harus mencari dia dan si Penunggang Kuda Misterius, kecuali kalau keduanya itu sebenarnya hanya satu orang berwajah dua!"
"Beritahulah aku kalau kalian menemukan petunjuk-petunjuk,"
kata Sheriff. Kemudian ia memerintahkan dua orang wakilnya untuk mengembalikan sapi-sapi itu ke peternakan Jomo. Yang lain-lain mengawal para tahanan dan truk mereka ke kantor polisi. Chet dan Biff kembali menaiki kuda mereka dan pulang ke peternakan Jomo, Sambil menuntun kuda yang tadi digunakan oleh Barson, Marti dan Perkins. Kedua pemuda itu mengenali kuda-kuda tersebut di kandang peternakan Jomo, dan tahu bahwa para penjahat telah mencurinya.
'"Aku akan melapor ke pak Jomo, bahwa gerombolan pencuri ternak ini sudah habis riwayatnya," kata Sheriff Gomez kepada Frank dan Joe. "Ia tentu akan senang sekali dengan pekerjaan yang telah kalian lakukan ini dengan bagus."
Joe Tersenyum. "Dan kami akan mengatakan kepada McVay bahwa tiga orang koboinya telah dikurung."
Ketika sedang menuju ke peternakan kembali, Frank mendapat pikiran. Ia mengatakannya kepada Joe yang sangat menyetujuinya.
Mereka meninggalkan kuda mereka di kandang dan menuju ke rumah induk untuk menjelaskan semua peristiwa yang telah terjadi kepada McVay.
"Kami akan memasang perangkap, dan mencoba apakah orang yang telah mencuri Batu Api Merah akan terperosok ke dalamnya,"
kata Frank. "Ia tentu ingin juga mencuri merah delima yang baru kita beli.
Jadi ia kita beri kesempatan lagi untuk masuk ke ruangan besi."
McVay menggeleng ragu-ragu. "Aku tak berani mengambil
resiko menaruh permata itu ke dalam ruangan besi. Aku telah menyimpannya di almari besi bank.
Frank mengangguk. "Biarlah itu permata di sana. Apa yang harus anda katakan ialah bahwa anda tetap menyimpannya di ruangan besi. Kemudian kita bersembunyi di sana dan menghadang si penjahat!"
"Tetapi ia tentu tak berani kemari kalau banyak orang di rumah ini!"
"Kita usahakan agar rumah ini kosong," Joe mengambil alih.
"Pencuri itu dapat mengambil Batu Api Merah karena ia tahu bahwa tidak ada seorang pun di rumah ini, karena Tornado itu. Kali ini kita letakkan sebuah bom Asap di loteng. Anda memerintahkan semua orang agar ke luar, pura-pura rumah ini sedang terbakar. Hal itu akan memberi kesempatan bagi si pencuri untuk memasuki rumah, dan kita akan menunggunya!"
McVay menjadi bersemangat. "Kalian anak-anak muda ini memang cerdik! Aku setuju! Aku akan mengatakan kepada siapa saja yang kukenal, bahwa permata yang baru itu kusimpan di ruangan besi di bawah tanah!"
"Kami juga akan menyebarkan hal ini di barak, kataJoe. "Dan kami juga akan menyuruh Chet dan Biff melakukan hal yang sama dipeternakan Jomo. Dalam beberapa hari saja semua orang tentu akan mengetahuinya, termasuk si pencuri."
Kedua pemuda itu membeli perlengkapan untuk membuat Bom
asap. Dua hari kemudian mereka menyelinap ke loteng ketika tak ada orang yang mengetahuinya, dan meletakkan bom asap yang telah selesai mereka buat di dekat salah sebuah jendela. Ketika asap telah mulai bergumpal-gumpal keluar, mereka berteriak "Kebakaran kebakaran!"
Ketika mereka sedang turun, McVay memerintahkan para
pegawainya untuk keluar ke halaman depan.
"Rumah terbakar!" ia berteriak.
Dengan menunggu di belakang, seolah-olah ia adalah orang
terakhir yang ada di dalam rumah, McVay menemui kedua pemuda itu dan bersama-sama menuju ke ruang bawah tanah. Setelah mematikan tanda bahaya pencuri,ia memutar angka kombinasi pintu dan membukanya. Lampu langit-langit menyala, kedua pemuda itu masuk, dan lampu itu padam lagi ketika McVay mengunci pintu, kemudian ia memasang lagi tanda bahaya pencuri.
Frank duduk di lantai bersandar pada dinding. "Lebih baik kita bersantai-santai," katanya. "Kita belum tahu berapa lama harus menunggu."
"Sayang sekali kita tak membawa kasur," sambung joe. Ia mengintip dari sebuah lubang kecil di pintu besi, tetapi ruangan bawah tanah itu gelap sekali.
Tiba-tiba ia menahan nafas. "Frank!" bisiknya. "Ada orang datang."
Frank mendekati adiknya dan mengintip dari lubang kecil, ia melihat Wilbur mengulurkan tangannya ke bawah tangga dan
mematikan alat tanda bahaya, kemudian berjalan kembali ke bagian belakang ruang bawah tanah. Suara menggeser memberitahu kedua pemuda itu bahwa ia sedang membuka grendel pintu belakang. Wilbur kembali dan memutar piringan angka-angka kombinasi sampai berbunyi klik. Ia meninggalkan pintu ruangan besi itu tak terkunci dan naik ke atas lagi sambil mematikan lampu.
"Ia telah mempersiapkan segala sesuatunya bagi si pencuri!"
kata Joe. "Aku tak sabar lagi untuk mengetahui siapa sebenarnya dia!"
Beberapa menit kemudian mereka mendengar suara di arah
pintu belakang, kedua pemuda itu berdiri dan merapatkan
punggungnya pada dinding. Jantung mereka berdebar-debar penuh gairah.
Langkah-langkah kaki melintas di kegelapan ruangan bawah
tanah. Sebuah senter kecil menyala sinarnya yang memberkas sempit bermain-main ke pintu ruangan besi. Sebuah tangan mendorong grendelnya dan pintu terbuka. Lampu langit-langit segera menyala.
Seseorang mendatangi kotak permata, mengambil kunci dari sakunya lalu membuka kunci penutup kotak.
Karena perhatiannya terpusat pada apa yang sedang dilakukan, ia tak melihat kedua pemuda itu. Ia membuka kotak tutup permata dan matanya membelalak tak percaya menatap kain beledu hitam yang kosong tanpa permata. Frank dan Joe maju ke sisi kiri-kanannya.
"Halo, pak Jomo!" kata Frank.
20. Segitiga Biru Orang itu membalikkan badannya dan memandang nanar ke
kedua pemuda itu. Ia hendak lari ke pintu.
Frank dan Joe segera menghadang dan terjadilah pergumulan.
Jomo berkelahi dengan mati-matian untuk dapat melepaskan diri, tetapi ia bukan lawan yang seimbang bagi kedua pemuda yang tegap kuat serta lincah. Mereka segera menguasainya dan mengikat kedua tangannya ke belakang, dengan sabuk Joe. Setelah itu mereka membawanya ke lantai atas.
Sementara Joe mendorong orang itu ke kamar kerja McVay,
Frank keluar untuk mengatakan kepada McVay bahwa para pegawai sudah diperbolehkan masuk lagi.
"Semua sudah beres," katanya dengan tenang. "Dan kami telah menangkap orangnya."
"Engkau ... engkau sudah menangkap dia!" McVay terkejut heran. "Siapa dia?"
"Masuklah, dan lihatlah sendiri," kata Frank.
Ketika McVay memasuki kamar kerjanya, ia membelalak
terkejut. "Lho, nanti dulu, anak-anak!" katanya. "Bagaimana ini semua?"
"Ya itulah pencurinya," kata Joe.
"Maaf, McVay, aku tahu anda sangat mempercayai orang ini, tetapi ..."
"Aku ... aku tak bisa percaya!" kata peternak itu. Wajahnya menunjukkan gejolak hatinya. Ia duduk lunglai di kursi dan diam selama beberapa saat.
"Temanku," ia menggumam. "Temanku sendiri!"
"Ia hanya berpura-pura menjadi teman anda," kata Frank.
"Ketika anda mengatakan kepadanya bahwa anda hendak ke New York untuk membeli Batu Api Merah, ia menelepon Tamm dan
mengatakan kepadanya tentang saku rahasia di jaket anda. Karena itulah Tamm menyerang anda di kereta api bawah tanah."
Joe memberitahu lebih terperinci lagi.
"Ketika Tamm melaporkan kegagalannya di New York, Jomo
menyuruh ia datang ke Arizona untuk memikirkan cara bagaimana mencuri permata anda dari ruangan besi. Tetapi ketika Tornado menyerang rumah anda, Jomo sendiri buru-buru mencurinya sendiri ketika semua orang sedang ada di luar. Ia memberikannya kepada Perkins, sesaat sebelum kita melihat dia dari jendela. Karena itulah Jomo minta agar Sheriff Gomez juga menggeledah dia. Ia ingin dirinya nampak bersih."
"Engkau gila!" Jomo marah-marah. "Bagaimana aku bisa masuk ke dalam ruangan bawah tanah? Pintunya digrendel!"
"Persis seperti ketika engkau masuk tadi," Frank menjawab dengan seenaknya.
"McVay, panggillah Wilbur. Ia tahu apa yang terjadi."
McVay memerintahkan agar pelayan kepala itu datang ke
kamar kerjanya. Ketika mereka sedang menunggu, sheriff Gomez datang.
"Kudengar dari radio mobil patroli, bahwa rumahmu
kebakaran," katanya. "Tetapi kulihat kok sudah beres."
Setelah McVay menceritakan kepadanya tentang apa yang telah terjadi, Gomez menanggapinya dengan geram.
"Kita harus membongkar ini sampai ke akar-akarnya!"
Wilbur datang. Kakak-beradik itu lalu menjelaskan, bagaimana pelayan itu telah mematikan tanda bahaya dan membuka grendel pintu belakang ketika dikiranya bahwa rumah benar-benar sedang terbakar.
"Aku hanya ingin memastikan, bahwa tak seorang pun akan
terjebak oleh api dengan meloloskan diri dari pintu ruang bawah tanah Wilbur membela diri.
"Kami melihat engkau membuka kunci pintu ruang besi," Frank menuduh.
"Itu tidak mungkin! Aku tak tahu kombinasi rahasianya!"
McVay menengahi. "Wilbur benar. Aku selalu menyuruh dia menunggu di atas tangga kalau aku sedang membuka ruangan besi.
Dari sana terlalu jauh untuk dapat melihat angka-angka kombinasi kalau aku sedang memutarnya."
Suatu gagasan melintas pada Joe. "Aku tahu bagaimana ia dapat mengetahuinya!" ia berseru. "Tunggu sebentar!"
Ia ke luar dan menuju ke lantai di atasnya
"McVay, Setelah Tornado reda Wilbur mengatakan kepada anda bahwa rumah itu mungkin runtuh, maka anda menyuruh semua orang keluar," Frank mengungkapkan teorinya, "Ia menelepon Jomo bahwa keadaan sudah aman. Kami hampir saja menggagalkannya ketika kami masuk. Tetapi ia telah menipu kami dengan menyuruh kami secara khusus memeriksa dapur. Ketika kami sedang memeriksa di sana, ia menyelinap ke kamar bawah tanah, mematikan tanda bahaya, membuka grendel pintu belakang, dan membukakan pintu ruangan besi bagi Jomo."
Peternak itu mengangguk dengan sedih. "Ya, kini semuanya masuk akal."
"Memang. Ia juga hendak menyingkirkan kami," Frank
meneruskan. "Yaitu dengan membuka keran gas, menjatuhkan nampan perak pada Joe, dan mendorong Joe dari jendela loteng."
McVay mengedip-ngedipkan matanya. "Tetapi aku tak pernah mengatakan kepada Wilbur bahwa kalian adalah detektif-detektif!
Aku tak pernah mengatakannya kepada siapa pun di sekitar sini!"
"Beritanya datang dari New York, ketika kami bertemu Tamm di hotel," Frank menjelaskan. "Tamm menelepon Jomo, dan Jomo menceritakannya kepada Wilbur. Suatu kerja segitiga yang rapih!"
Joe kembali sementara Frank sedang bercerita. Ia membawa
sebuah teropong kecil di tangannya.
"Wilbur, engkau seorang pengamat burung amatir. Engkau biasa menggunakan teropong ini untuk membaca angka-angka
kombinasi rahasia kunci pintu ruangan besi. McVay tak sadar, bahwa engkau sering memata-matai dia dari atas tangga."
"Dan engkau mencuri kunci kotak permata, lalu membuat
duplikatnya,'' Frank menuduh. Duplikat itu kau berikan kepada Jomo dan mengembalikan asli ke rencengan kunci-kunci McVay."
Bukti-bukti yang disebutkan Frank dan Joe membuat Wilbur
terkulai ke kursi, kepalanya ditopang dengan kedua tangannya dengan tak berdaya.
"Engkau tidak bisa membuktikan ini semua!" Jomo menukas.
"Aku yakin dapat membuktikannya lebih jauh lagi," kata Frank.
"Joe, awasi orang ini sementara aku lepaskan ikatannya."
Kedua pemuda itu mendekati Jomo, dan Frank membuka sabuk
pengikat kedua tangannya. Kemudian ia membuka perban yang membebat tangan Jomo.
"Engkau sudah gila?" orang itu berteriak. "Engkau tidak boleh membukanya. Dokter membebatnya ...."
"Kukira tidak, Jomo, "kata Frank. "Engkau sendiri yang membebatnya, untuk menyembunyikan segitiga biru di tanganmu ketika kau dengar bahwa kami akan datang ke Arizona. Engkau hendak menghindarkan segala pertanyaan tentang rajah itu!"
McVay memandangi rajah yang disingkapkan Frank pada
tangan tetangganya. "Ini ... ini sungguh luni biasa !" katanya. Engkau telah
menangkap si Segitiga Biru!"
"Kukira kita juga telah menangkap si penunggang kuda misterius," Joe ikut berbicara.
"Dan kepala organisasi pencuri ternak," sambung Frank. "Jomo, bersama Perkins, Barson dan Marti mencuri sapinya sendiri. Akal ini untuk mengalihkan perhatian Sheriff dari masalah pencurian permata."
Sheriff Gomez nampak geram. "Sekarang aku tahu, Jomo!
Engkau menyuruh aku ke Phoenix untuk mencari pedagang sapi gelap, agar aku kehilangan jejak. Itu membuat aku terlalu sibuk dan engkau dapat menjual sapimu ke Flagstaff tanpa kesulitan."
"Engkau tidak bisa membuktikannya," Jomo mengulang. "Di samping itu, engkau sendiri mengatakan bahwa penunggang kuda misterius itu berambut hitam dan bermata tajam. Aku berambut coklat dan berkacamata.
"Engkau memakai Wig, rambut palsu, dan meninggalkan
kacamatamu di rumah, "Frank menyimpulkan. "Sheriff Gomez, kalau anda mau mengeluarkan surat perintah untuk menggeledah rumahnya, anda akan menemukan topi model Thailand, persis seperti yang kurebut dari si penunggang Kuda Misterius, ia memang telah membelinya di Pasar Pencuri di Bangkok!"
"Barangkali anda juga akan menemukan Batu Api Merah,
malah barangkali pula intan-permata yang lain," kata Joe. "Aku yakin, Jomo tak terlalu senang ketika kusarankan agar mengambil Chet dan Biff sebagai pegawai. Yang paling tidak disenanginya ialah orang-orang yang menyelidiki dan mengganggu urusannya. Tetapi kalau ia menolaknya, KAMI TENTU AKAN MENJADI CURIGA. Karena itu
ia menyetujuinya." Sheriff Gomez memanggil pembantu-pembantunya. Mereka
segera datang dan membawa pencuri-pencuri itu ke penjara. Seorang anggota polisi lain datang pula membawa surat perintah menggeledah rumah Jomo. Suatu penggeledahan sekumpulan permata curian, termasuk Batu Api Merah. Juga sebuah topi buatan Bangkok.
McVay gembira sekali mendapatkan permatanya kembali, dan
memuji hasil karya kedua pemuda itu.
"Maukah kalian menghabiskan liburan musim panasmu di sini?" ia bertanya. "Jadi kalian juga tak perlu bekerja lagi!"
"Terima kasih, McVay, kata Frank. "Tetapi kami harus pulang ke rumah."
Dengan diam-diam ia sudah ingin sekali memulai menangani
suatu misteri baru. Harapannya itu segera akan terpenuhi ketika mereka harus menghadapi peristiwa misterius yang lain.
"Oke," kata peternak itu. "Pesanlah tempat untuk pesawat yang berangkat besok. Jupe akan mengantarkan kalian ke bandar udara."
Joe tertawa kecil. "Aku sangat senang setelah tahu ternyata bahwa ia sama sekali bukan penjahat," katanya.
"Jupe orang baik. Aku benar-benar telah menyukainya."
"Aku juga!" kata Frank.
TAMAT Raja Kera Iblis 1 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Elang Pemburu 3
^