Pencarian

Petualangan Gunung Bencana 2

Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana Bagian 2


Jack dan Philip masih mengobrol sebentar. Mereka benar-benar puas hari itu. Keduanya memandang ke luar, lewat celah tenda yang sengaja dibuka sedikit.
"Daerah ini sangat liar dan terpencil," kata Jack dengan suara mengantuk. "Aku agak heran, bahwa di sini ada jalan yang bisa dilewati. Bill dan Bibi Allie baik hati, mau mengizinkan kita pergi sendiri."
"Hmmmmm," gumam Philip. la masih bangun, tapi sudah segan berbicara.
"Hmmmm" kata Kiki menirukan dari luar. Burung kakaktua itu bertengger di puncak tenda. Ia merasa gerah di dalam.
"Ah, di situ rupanya Kiki," kata Jack. "Aku tadi sudah heran, ke mana dia pergi. Philip-- kau tidak kepanasan ya, ditindih si Putih"
"Hmmm,? gumam Philip. Sekali lagi terdengar Kiki menirukan dari atas tenda. "Hmmmm"
Si Putih berbaring di atas kantung tidur Philip. Sebenarnya anak kambing itu ingin ikut menyusup ke dalam, tapi tidak diperbolehkan.
"Aku tidak mau sepanjang malam tersodok-sodok kukumu yang keras itu, Putih," kata Philip sambil mengikatkan bagian leher kantung tidurnya rapat-rapat, untuk mencegah kemungkinan si Putih berusaha menyusup malam-malam. Sally, ular cecak itu juga ada di sekitar situ, tapi Philip malas mengurusnya lagi, karena sudah terlalu mengantuk. Sally boleh menggeleser ke mana saja ia mau. Sementara itu Philip sudah biasa merasakan geleseran secara tiba-tiba pada salah satu bagian tubuhnya, yang berarti Sally sedang berjalan-jalan lagi.
Dari atas tenda terdengar ocehan pelan. Kiki berbicara pada dirinya sendiri. Setelah itu sunyi. Semua dalam perkemahan sudah tidur, di bawah naungan bintang-bintang di langit. Angin malam menyusup masuk ke dalam tenda, tapi tidak bisa menembus kantung tidur yang menghangatkan tubuh. Si Putih agak kepanasan. la bangun, berjalan melewati Philip, menginjak Jack, lalu berbaring di ambang tenda. Anak kambing itu mengembik pelan. Kiki yang bertengger di atasnya membalas dengan bunyi yang sama.
Keesokan paginya Pak David sudah bangun, sementara anak-anak masih pulas semua. Laki-laki tua itu sedang sibuk dengan keledai-keledainya, ketika kepala Philip tersembul dari dalam tenda. Anak itu menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pagi yang segar.
"Hmm, segarnya" katanya. "Jangan, Putih Kepalamu kan keras ? sakit badanku jika kaubentur-bentur terus. He, Jack Bangun ? pagi ini indah sekali."
Tidak lama kemudian semua sudah bangun dan cepat-cepat keluar dari tenda. Mereka pergi membasuh badan di mata air, sambil tertawa-tawa.
Si Putih berjingkrak-jingkrak, berkeliaran tak menentu. Rupanya sudah terjangkit kegembiraan yang dirasakan anak-anak saat itu. Kiki menirukan bunyi tuter mobil, sehingga keledai-keledai kaget mendengarnya. Pak David yang biasanya diam saja saat itu ikut tersenyum, melihat suasana seceria pagi itu
Setelah itu mereka sarapan pagi. Hidangannya lidah asin, keju lunak dengan roti kemarin, serta tomat masing-masing sebuah. Sari buah sudah tidak ada lagi, karena habis diminum saat makan malam. Sebagai pengganti, diminum air dari sumber. Anak-anak mengatakan bahwa air itu sama nikmatnya seperti sari jeruk
"Bagaimana, Pak David ? akan sudah bisa sampaikah kita hari ini di Lembah Kupu-kupu?" tanya Jack. la mengulangi pertanyaan itu dengan lambat-lambat, sambil mengepak-ngepakkan tangan untuk menunjukkan pada laki-laki tua itu bahwa ia berbicara tentang kupu-kupu. Pak David tidak langsung memahami maksudnya. Setelah mengerti, ia menggeleng.
"Besok?" tanya Philip. Pak David mengangguk.
Setelah itu ia menaikkan barang-barang lagi ke atas punggung kedua keledai pengangkut perbekalan. Binatang-binatang itu kelihatan seperti tidak sabar, ingin meneruskan perjalanan. Saat itu matahari sudah agak tinggi di langit. Bagi Pak David serta ketujuh keledainya, hari sudah siang
Akhirnya mereka berangkat, walau Jack masih harus bergegas kembali sebentar untuk mengambil teropongnya yang ketinggalan, digantungkan pada dahan sebatang pohon. Kemudian mereka berjalan beriringan satu-satu menelusuri punggung pegunungan, sementara angin mempermainkan rambut mereka.
Hari itu Jack merasa yakin sekali bahwa ia melihat beberapa ekor burung elang. la mengendarai keledainya sambil menggenggam teropong, siap untuk meneliti setiap titik yang nampak di langit Sedang anak-anak yang lain melihat tupai-tupai berbulu merah di sela-sela pepohonan yang mereka lewati. Binatang-binatang itu pengejut, tapi cukup jinak. Seekor di antaranya bahkan mau ditawari makanan. Setiap kali ia lari menghampiri untuk mengambil remah-remah, tapi selalu sambil melirik dengan waspada ke arah Kiki dan si Putih.
"la ingin ikut denganmu: Philip," kata Lucy-Ann dengan geli, ketika seekor tupai meletakkan kaki depannya ke lutut Philip.
Philip membelai-belai binatang mungil itu. Tubuh tupai itu gemetar. Rupanya agak takut. Tapi ia tidak lari. Tahu-tahu Kiki datang menyambar. Tentu saja tupai tadi tidak menunggu lebih lama lagi. la melesat dengan cepat, menghilang ke tengah dedaunan yang rimbun.
"Dasar pencemburu ? selalu saja kau merusak segala-galanya," tukas Philip. "Sana, pergi, aku tidak mau kaudekati Pergilah ke Jack ? biar tupai-tupai itu datang padaku"
Beberapa ekor burung layang-layang muncul lagi dan terbang rendah mengitari anak-anak. Mereka bukan tertarik karena makanan, tapi ingin menyambar lalat yang beterbangan mengusik kawanan keledai. Anak-anak merasa seperti mendengar paruh burung-burung itu terkatup-katup memakan lalat.
"Jack ? coba kaujinakkan beberapa ekor burung layang-layang, lalu kita bawa mereka untuk menangkapi lalat," kata Lucy-Ann. la menepuk seekor lalat besar yang hinggap di kakinya.
"Binatang menyebalkan Tadi ada sesuatu menggigitku. Tak kusangka di tempat setinggi ini masih ada lalat"
Sally, cecak ular itu merayap ke luar, hendak memakan lalat yang baru saja dibunuh Lucy-Ann. Binatang itu sudah jinak sekali sekarang. Binatang itu berjemur di tempat terang. Kulitnya kemilau, seperti perak. Dinah sudah sebal saja melihatnya. Kemudian binatang itu cepat-cepat menyusup ke bawah tubuh Philip, ketika si Putih datang menghampiri sambil mengendus-endus.
"Jangan suka mengendus-endus," kata Philip sambil mendorong si Putih pergi, ketika anak kambing itu hendak menyusupkan hidungnya ke bawah tubuhnya karena ingin mencari cecak ular tadi. Si Putih menumbuk Philip dengan keras, lalu berusaha duduk di pangkuannya.
"Aduh, panas ah" kata Philip. "Aku menyesal mengajak binatang serewel kau, Putih Semalaman aku merasa gerah karena napasmu tepat mengenai tengkukku"
Lucy-Ann tertawa geli. la senang pada si Putih. Bukan ia saja ? anak-anak yang lain juga begitu. Anak kambing itu bandel, suka menanduk-nanduk, dan dengan seenaknya saja menginjak-injak orang ? tapi ia juga sangat bersemangat, lincah, dan ramah, sehingga tidak ada yang sanggup lama merasa kesal padanya.
"Yuk, kita berangkat lagi," kata Philip kemudian.
"Pak David sudah mendeham-deham. Seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita ini pemalas."
Pak David memang mempunyai kebiasaan mendeham-deham dulu beberapa kali sebelum berbicara. Hal itu dilakukannya karena ia merasa gugup. Dan Kiki langsung menirukan kebiasaan itu. dengan bunyi yang persis sekali. Burung iseng itu bertengger di dekat Pak David sambil ikut berdeham-deham apabila laki-laki tua itu melakukannya. Kemudian Kiki tertawa terkekeh-kekeh. Pak David nampaknya agak takut padanya.
Lumayan juga jarak perjalanan yang ditempuh hari kedua itu. Ketika sudah tiba saatnya berhenti untuk bermalam lagi, Pak David memandang berkeliling dengan tekun. Kelihatannya seperti mencari-cari sesuatu.
"Anda kehilangan sapu tangan, Pak?" tanya Jack. Anak-anak yang lain tertawa. Pak David menatapnya dengan sikap serius, karena tidak memahami kalimat Jack yang dilontarkan secara iseng itu. Kemudian laki-laki tua itu mengepak-ngepakkan lengannya menirukan gerak sayap, sambil mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Wales.
Tampangnya kocak sekali saat itu. Anak-anak cepat-cepat memalingkan muka, supaya jangan sampai tertawa melihatnya.
"Katanya besok kita akan sudah bisa melihat Lembah Kupu-kupu," kata Jack menafsirkan artinya. "Asyik"
Setelah makan, mereka mempersiapkan perkemahan. Petang itu tidak seindah siangnya. Langit mendung, sehingga matahari tidak nampak ketika terbenam. Juga tidak nampak bintang-bintang yang biasanya muncul satu per satu di langit.
"Kalau nanti hujan, Anda pasti basah, Pak,? kata Jack pada Pak David. Laki-laki tua itu mengangkat bahu, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasanya sendiri yang mengalun bunyinya. Setelah itu ia berbaring di tanah, berselubung selimut tipis.
"Kurasa hujan takkan turun nanti malam." Kata Philip sambil tengadah, memandang langit "Tapi hawa pasti akan jauh lebih dingin. Hhhh Nanti aku pasti mengucap syukur. karena berbaring di dalam kantung tidur."
"Nah ? selamat tidur," seru Dinah dan Lucy-Ann dari dalam tenda mereka.
"Ya, selamat tidur" balas Philip. "Besok cuaca pasti cerah lagi" Anak itu menganggap dirinya pandai menaksir keadaan cuaca. Tapi kali itu ia keliru.
Bab 9 SUASANA BERUBAH LUCY-AAN yang paling dulu bangun. Ia meringkuk di dalam kantung tidurnya, karena merasa kedinginan. Kemudian ia membuka mata, memandang ke arah kelepak tenda yang terbuka. Dikiranya akan nampak lereng gunung yang hijau, serta pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan.
Tapi semuanya itu tidak nampak. Yang ada hanya kabut putih semata-mata, bergerak lewat di depan tenda. Cabikannya ada yang menyusup ke dalam, nampak seperti jari-jari tangan yang dingin pucat.
Gunung-gunung sudah tidak nampak lagi. Pepohonan dekat perkemahan seakan-akan terhapus. Bahkan kawanan keledai pun tidak kelihatan.
"Apakah yang terjadi?" tanya Lucy-Ann. Ia agak bingung. "Astaga Rupanya ada kabut tebal turun"
Ia membangunkan Dinah. Kedua anak perempuan itu memandang lereng gunung dengan perasaan kecut. Sekali-sekali ada juga pemandangan yang nampak sekilas, saat kabut yang lewat agak tipis. Tapi dengan segera menebal kembali.
"Ini bukan kabut?tapi awan," kata Dinah. "Kau tahu kan, dari bawah kita kadang-kadang melihat puncak gunung terselubung awan. Hah ? kita sekarang juga diselubunginya. Tebal sekali, sehingga kita tidak bisa melihat apa-apa. Sialan"
Saat itu Jack dan Philip bangun. Terdengar suara mereka yang bernada kecewa. Dinah dan Lucy-Ann memanggil mereka.
"He, Jack Philip Menyebalkan sekali, ya? Kita tidak bisa melihat apa-apa"
?Ah, sehabis sarapan nanti pasti lenyap lagi," kata Philip dengan suara gembira. la muncul dari tengah keputihan kabut, diikuti oleh si Putih. "Iih, dinginnya Kupakai saja baju tebal"
Pak David muncul saat itu. Tampangnya muram. la menuding ke arah lembah sambil mencerocos dalam bahasa Wales.
?Kelihatannya tegang sekali," kata Jack. "Sayang aku tak mengerti maksudnya."
Anak-anak memutuskan untuk sarapan di dalam tenda saja, karena di luar segala-galanya lembab dan dingin. Pak David memilih tetap di luar saja. Dinah mulanya tidak mau ikut masuk karena takut pada Sally. Akhirnya ia duduk di ambang tenda, siap untuk lari apabila cecak ular itu datang menghampiri.
Suasana saat sarapan tidak secerah biasanya. Anak-anak merasa kecewa, karena tidak ada pemandangan indah yang selama itu selalu terhampar di depan mata. Di samping itu mereka juga khawatir, jangan-jangan Pak David tidak mau meneruskan perjalanan hari itu. Tapi sejam kemudian kabut menyingkir, dan Pak David kelihatannya mau saja berangkat lagi.
Barang-barang dinaikkan ke atas punggung keledai-keledai pengangkut perbekalan. Setelah itu perjalanan diteruskan. Mereka sudah bisa melihat agak jauh lagi ke depan, karena sinar matahari yang sementara itu sudah muncul mulai menceraiberaikan kabut.
"Cuaca pasti akan cerah lagi nanti," kata Jack. "Baru saja aku nyaris melihat matahari"
Tapi kemudian kabut menebal kembali, sehingga pandangan menjadi kabur sekali. Keledai yang ada langsung di depan pun hanya pak samar.
"Kurasa ada baiknya jika aku berpegangan pada ekor keledaimu, supaya kau jangan tiba-tiba lenyap dalam kabut" seru Jack pada Dinah yang ada di depannya. "Begitulah ? seperti yang dilakukan kawanan gajah dalam sirkus"
Kabut yang menyelubungi semakin bertambah tebal. Rombongan itu berhenti, untuk merundingkan apa yang sebaiknya dilakukan. Sulit sekali menanyakan
?prev | next? Go to[1-11] Home pendapat Pak David, karena laki-laki tua itu seperti dengan tiba-tiba saja sama sekali tidak memahami bahasa Inggris. Bahkan beberapa patah kata yang dikenalnya, saat itu tidak dimengerti lagi olehnya.
Jack mengepak-ngepakkan lengan, mengangkat-angkat alis, lalu menuding-nuding ke depan. Maksudnya hendak bertanya, apakah Lembah Kupu-kupu sudah dekat. Pak David nampaknya mengerti. Tapi sikapnya ragu.
"Mudah-mudahan saja ia tidak tersesat," kata Jack pada Philip. "Kemarin sikapnya kelihatan masih cukup yakin. Tapi sekarang tidak. Nampaknya sangat ragu. Sialan"
"Tapi kita tidak bisa terus berhenti di tempat ini," kata Dinah. la menggigil dalam kabut lembab itu. "Di sini tidak ada tempat berlindung. Dingin sekali rasanya. Aduh, mana sih matahari?" `
"Kita terus dulu" kata Jack pada Pak David. "Itu satu-satunya yang bisa kita lakukan, sampai menjumpai tempat berlindung. Terlalu dingin apabila kita menunggu terus di sini sampai kabut ini terangkat. Kalau kita salah mengambil jalan, nanti kan bisa kembali apabila kabut sudah lenyap."
Mereka meneruskan perjalanan menembus kabut lembab, mengikuti keledai tunggangan Pak David. Kiki sama sekali tak kedengaran suaranya.
Burung kakaktua itu belum pernah mengalami perjalanan di tengah kabut, dan karenanya merasa takut. Si Putih merapatkan diri ke tubuh keledai yang ditunggangi Pak David. Kelincahannya sama sekali tidak nampak saat itu. Tidak ada yang senang, berada di tengah kabut.
"Nanti kalau sampai di tempat yang terlindung, kita berhenti untuk makan siang," kata Philip. "Pasti semua sudah lapar sekali sekarang. Tapi kini kita kelihatannya sedang berada di bagian lereng yang terbuka. Kita tidak bisa berhenti agak lama di sini, karena nanti terserang pilek"
Iring-iringan itu bergerak terus dengan lambat. Semua merapatkan baju hangat yang dipakai. Beberapa saat kemudian Jack mulai nampak gelisah. la menghentikan keledainya, menunggu Philip yang menyusul di belakang.
"Ada apa?" tanya Philip, karena melihat air muka Jack nampak serius.
"Kita sudah menyimpang dari jalan," kata Jack. "Tidak kauperhatikan, ya? Sampai kurang lebih sejam yang lalu kita masih menyusur semacam lintasan ? tapi sekarang aku tahu pasti bahwa kita sudah menyimpang dari situ. Entah mau ke mana kita ini dibawa Pak David. Kurasa ia bahkan tidak melihat bahwa kita tidak bergerak di atas jalan."
Philip bersiul, menandakan bahwa ia kaget.
"Jangan sampai anak-anak perempuan mengetahuinya, nanti mereka takut," katanya. "Ya, kau benar Di sini sama sekali tidak nampak tanda-tanda ada jalan. Pak David tersesat."
"Coba kutanyakan sebentar padanya," kata Jack. la menyuruh keledainya berjalan agak cepat, untuk menyusul Pak David yang berada pada posisi paling depan. "
?Ini jalan yang betul, Pak?" tanya Jack lambat-lambat pada laki-laki tua itu, agar bisa dimengerti. "Mana jalannya?" ia menuding ke tanah.
Pak David mengangkat bahu. Wajahnya serius. la mengatakan sesuatu dalam bahasanya sendiri.
"Kurasa ia tahu bahwa kita sudah menyimpang, tapi ia mengharapkan nanti akan sampai lagi di jalan tadi," kata Jack pada Philip, setelah ia berjalan seiring lagi dengan temannya itu. "Yang jelas, ia kelihatannya tidak bermaksud berhenti atau berbalik."
"Ya ? dia kan penunjuk jalan kita," kata Philip setelah diam sejenak. "Kita harus mempercayakan diri padanya. la lebih mengenal daerah pegunungan ini "
"Memang ? tapi ia tidak begitu cerdas," kata Jack ragu. "Bisa kubayangkan bahwa kita nanti akan semakin tersesat di tengah pegunungan ini Ia tahunya cuma maju terus ke depan"
"Hih, seram rasanya membayangkan kemungkinan itu," kata Philip. "Untung bekal makanan kita banyak sekali"
Kemudian mereka sampai ke sebuah batu besar yang menonjol ke luar di lereng itu, di mana mereka bisa melindungi diri dari angin dingin yang membawa hawa lembab.
"Di sini saja sebaiknya kita makan dulu," kata Philip. "Aku kepingin minum yang panas-panas. Bu Evans membekali kita dengan cerek atau tidak?"
"Ya, ada cerek dalam perbekalan kita. Jika dekat sini ada air, kita bisa menyalakan api lalu memasak air untuk membuat minuman coklat panas, atau sesuatu," kata Jack.
Tapi di sekitar situ sama sekali tidak ditemukan air. Benar-benar menjengkelkan
"Padahal pagi ini begitu banyak yang kita lalui," kata Dinah. "Keterlaluan ? masa di sini tidak ada setetes pun Sedang aku haus sekali."
Mereka terpaksa makan tanpa ada yang bisa diminum. Mereka lapar sekali. Sesudah perut mereka terisi, tubuh terasa agak hangat sedikit. Untuk lebih memanaskan badan, kemudian anak-anak bermain kejar-kejaran. Si Putih tidak mau ketinggalan berjingkrak-jingkrak, sehingga berulang kali ada saja yang terjerembab karena tersandung. Kiki terbang sambil menjerit-jerit. Pak David hanya bisa melongo saja melihat mereka.
"Coba lihat tampang Pak David ? kelihatannya ia beranggapan kita ini sudah sinting semua" kata Lucy-Ann tercekikik, lalu duduk di atas sebuah batu. "Aduh, aku tidak kuat lagi berlari. Rusukku nyeri rasanya." '
"Rusukunyeri, rusukunyeri," oceh Kiki dengan cepat. "Cul si kadal muncull"
"Hore Kabut mulai menipis" seru Jack dengan tiba-tiba, sambil menuding ke atas. Matahari sudah nampak jelas bentuknya, mengambang di balik gumpalan kabut.
Anak-anak langsung bersemangat kembali. Bahkan wajah Pak David pun sudah tidak begitu muram lagi.
"Kita coba saja mencapai Lembah Kupu-kupu sebelum hari gelap." kata Jack pada Pak David. Ia mengepak-ngepakkan lengan, agar lebih bisa dimengerti. Pak David mengangguk.
Semua naik lagi ke punggung keledai masing-masing, lalu perjalanan diteruskan. Penglihatan ke depan sudah bisa lebih jauh saat itu Di depan mata terhampar pemandangan lereng gunung yang luas. Dunia dengan tiba-tiba terasa lapang lagi.
Mereka terus berjalan, sementara kabut semakin menipis. Anak-anak merasakan kehangatan sinar matahari memanasi ubun-ubun. Mereka membuka jas masing-masing. Nikmat sekali rasanya panas matahari, setelah begitu lama berjalan di tengah kabut yang dingin dan lembab.
"Lihatlah ? puncak gunung-gunung terdekat sudah nampak sekarang," seru Jack. "Sebentar lagi yang lebih jauh pasti akan kelihatan pula. Untunglah"
"Mestinya sebentar lagi kita akan sudah bisa melihat Lembah Kupu-kupu," kata Lucy-Ann bersemangat. "Kata Pak David, hari ini kita akan sudah sampai di sana. Aku ingin tahu, di mana letak lembah itu. ? Eh, Philip, lihatlah ? itu ada kupu-kupu"
Philip melihat sebentar. "Itu kupu-kupu biasa," katanya. "Jenis seperti itu sudah sering kita lihat." la memandang ke depan dengan sikap mencari-cari, lalu meneropong.
"Di depan ada lembah," katanya sambil menuding. "Pak David Itukah Lembah Kupu-kupu?"
Laki-laki tua itu memandang ke arah yang dituding oleh Philip.
"Iss. No," katanya kemudian sambil mengangkat bahu.
"Ya, tidak ? apa lagi maksudnya?" kata Philip sebal. "Ah, mungkin ia hendak mengatakan tidak tahu Kurasa sebaiknya kita terus saja ? siapa tahu itu memang Lembah Kupu-kupu. Tempat itu nampaknya terlindung letaknya. Di situ iklimnya mungkin cukup hangat, sehingga mungkin banyak terdapat segala jenis serangga dan bunga-bungaan."
Rombongan itu terus berjalan turun ke arah lembah yang nampak di kejauhan, sementara anak-anak membayangkan sebentar lagi akan sampai di suatu tempat yang indah, penuh dengan bunga dan kupu-kupu yang serba cemerlang warna-warnanya. Tapi letak lembah itu kemudian ternyata lebih jauh dari sangkaan mereka. Itulah susahnya mengadakan perjalanan di daerah pegunungan. Semua yang nampak dekat, ternyata sekitar dua kali lebih jauh dari sangkaan semula. Benar-benar mengecewakan
Hari sudah sore ketika rombongan itu akhirnya masuk ke dalam lembah, yang sebenarnya hanya merupakan lekukan dangkal di antara dua gunung yang tinggi. Jadi bukan lembah sejati, yang rendah letaknya. Tempat itu agak tersembunyi letaknya. Di situ bunga-bunga memang lebih banyak dibandingkan dengan yang nampak di sepanjang jalan selama itu ?tapi kupu-kupu sama sekali tidak ada
"Tidak mungkin ini tempat yang hendak kita tuju," kata Philip dengan sikap kecewa. "Bagaimana, Pak David?"
Laki-laki tua itu menggelengkan kepala sambil memandang berkeliling. Dari air mukanya yang nampak bingung dapat diketahui bahwa ia sebenarnya tidak tahu di mana mereka saat itu berada.
"Kalau ini bukan Lembah Kupu-kupu, lalu di mana tempat yang sebenarnya?" tanya Jack dengan lambat-lambat supaya jelas. Sekali lagi Pak David menggeleng-geleng. Orang itu benar-benar menjengkelkan. Percuma saja membawanya, sebagai penunjuk jalan
"Yah," kata Philip kemudian, "rupanya kita dibawanya ke tempat yang keliru. la tidak mengenal tempat ini. Tapi di sini hangat dan terlindung ? jadi untuk malam ini kita terima sajalah kenyataan ini. Besok kita minta peta dari Pak David untuk melihat apakah kita bisa mencari jalan yang benar, lalu berangkat dengan kita sendiri sebagai penunjuk jalan. Kalau Pak David ? dia itu sama besar gunanya seperti Kiki di daerah pegunungan ini" -
Anak-anak mempersiapkan perkemahan dengan perasaan agak kecewa. Mereka tadinya sudah berharap-harap akan bisa sampai di tempat tujuan malam itu juga. Mereka sudah berencana akan berkemah selama beberapa hari di situ, untuk menikmati pemandangan kupu-kupu biasa dan langka yang jumlahnya pasti ribuan Tapi kini ternyata bahwa mereka masih harus meneruskan perjalanan lagi, tanpa tahu dengan pasti apakah mereka akan pernah sampai di tempat tujuan sebenarnya
Anak-anak masuk ke dalam tenda begitu bintang-bintang mulai nampak di langit. Mereka hendak cepat-cepat saja tidur malam itu. Sedang Pak David tidur di luar, seperti biasa.
Saat tengah malam, tahu-tahu Jack dan Philip terbangun. Ternyata ada Pak David di dalam tenda. Orang itu merangkak masuk dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Ada bunyi," katanya dalam bahasa Inggris, yang disusul dengan kalimat dalam bahasa Wales yang diucapkan dengan tergesa-gesa.. Laki-laki tua itu ketakutan sekali nampaknya. "Tidur ? di sini," katanya, lalu menyusup di sela Jack dan Philip.
Keduanya geli melihat kelakuan laki-laki tua itu. Tapi sekaligus juga heran. Apakah yang menyebabkan Pak David begitu ketakutan?
Bab 10 MALAM YANG MENGEJUTKAN KETIKA anak-anak bangun keesokan paginya, matahari sudah bersinar cerah, sehingga mereka langsung merasa lebih riang gembira. Si Putih yang sepanjang malam menanduk-nanduk Pak David karena tidak suka melihat laki-laki tua itu ikut tidur di dalam kemah bersama Jack dan Philip, sudah asyik lagi lari ke mana-mana sambil berjingkrak-jingkrak. Setiap kali berpapasan dengan Pak David, disundulnya laki-laki tua itu dengan kepala yang belum bertanduk.
"Kenapa Anda tadi malam, Pak?" tanya Jack pada Pak David, ketika mereka sarapan pagi beramai-ramai. "Kenapa Anda ketakutan sekali?"
"Ada bunyi," kata laki-laki tua itu.
"Bunyi yang bagaimana?" tanya Philip ingin tahu. "Aneh, kami sama sekali tidak mendengar apa-apa."
Pak David menyuarakan bunyi-bunyi yang aneh, Sehingga Kiki cepat-cepat terbang membubung dan si Putih lari ketakutan. Sedang anak-anak memandang laki-laki tua itu dengan heran, karena tidak memahami maksudnya.
Dengan bahasa Inggris yang hanya sepotong-sepotong dan ditambah dengan gerak-gerik, Pak David menjelaskan bahwa ketika ia hendak memeriksa keledai-keledai, tahu-tahu ia mendengar bunyi-bunyi yang ditirukannya itu. ia mendengarnya di dekat tempat kawanan keledai ditambatkan.
"Itu rupanya kenapa kita tidak mendengarnya tadi malam," kata Jack. "Kalau ditilik dari suara yang ditirukan Pak David tadi, kelihatannya yang didengar itu suara binatang ? binatang buas dan galak"
"Aduh." ucap Lucy-Ann dengan wajah takut. "Tapi di sini tidak ada binatang liar kan, Jack? Maksudku, binatang liar yang buas?"
Jack tertawa nyengir. "Kalau yang kaumaksudkan singa, harimau, dan sebangsanya ? kurasa aku bisa memastikan bahwa kau tak perlu takut akan menjumpai binatang-binatang itu di sini. Tapi jika kau seperti Dinah, yang menganggap ular, anjing ajak, landak, dan sebagainya itu juga binatang liar yang buas ? yah, kalau begitu. hati?hati sajalah"
"Jangan begitu dong, Jack. Tentu saja bukan binatang-binatang itu yang kumaksudkan," kata Lucy-Ann. "Aku sendiri tidak tahu pasti binatang mana yang kumaksudkan. Pokoknya aku ngeri ? karena tidak tahu binatang apa yang suaranya seperti yang ditirukan Pak David tadi."
?Ah, mungkin binatang-binatang itu cuma ada dalam khayalannya saja," kata Philip meremehkan "Atau ia bermimpi buruk. Ia kan cepat sekali takut"
Pak David ternyata enggan meneruskan perjalanan. la selalu menunjuk-nunjuk ke arah dari mana mereka datang. Tapi anak-anak tidak mau perkelanaan mereka itu berakhir dengan mengecewakan. Mereka bertekad hendak mencari Lembah Kupu-kupu sampai dapat, biar untuk itu diperlukan waktu seminggu penuh Anak-anak terpaksa sibuk sekali mengepak-ngepakkan lengan, sampai akhirnya Pak David mengerti.
Sikapnya langsung masam. Tapi walau begitu ia naik juga ke punggung keledainya, untuk ikut dengan anak-anak. Peta kini berpindah ke tangan Jack, yang menelitinya dengan penuh perhatian. Ia merasa jengkel, karena lembah yang dicari ternyata tidak tertera namanya pada peta itu. Mungkin tidak banyak yang mengenal tempat itu.
Rombongan itu melintasi lembah yang sebenarnya merupakan lekukan dangkal, lalu mendaki lereng gunung lagi. Mungkin lembah berikut adalah tempat yang hendak mereka tuju. Atau kalau tidak, lembah setelah itu. Tapi walau mereka berjalan terus sepanjang hari dengan penuh harapan, tetap saja tidak ditemukan lembah yang banyak kupu-kupunya. Anak-anak mulai menduga, jangan-jangan yang mereka cari itu hanya ada dalam kisah belaka.
Mereka sudah tidak menyusuri jalan lagi. Jack dan Philip tidak henti-hentinya mencari-cari, tapi di sekitar situ memang sama sekali tidak ada jalan yang bisa dilewati. Ketika berhenti untuk berkemah lagi malamnya, anak-anak merundingkan apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya.
"Jika kita masih terus saja, nanti tidak tahu lagi jalan kembali," kata Jack. "Kalau Pak David mestinya tahu, karena sejak lahir ia tinggal di tengah daerah pegunungan sini, dan mestinya sanggup menemukan jejaknya semula dalam perjalanan pulang. Tapi di pihak lain ia tidak bisa dikatakan cerdas ? jadi aku tidak mau terlalu mengandalkan diri padanya."
"Kalau begitu. apakah lebih baik kita pulang saja sekarang," kata Lucy-Ann. Anak itu nampak kecewa.
"Bisa juga kita berkemah di sini beberapa hari," kata Jack. Ia memandang berkeliling. "Tempat ini cukup bagus."
Saat itu mereka berada di pertengahan lereng sebuah gunung. Mulai dari tempat itu tebing gunung terjal sekali. Kelihatannya takkan mungkin didaki lebih lanjut.
"Kurasa belum ada orang yang pernah mendaki gunung ini sampai ke puncak sebelah sana itu," kata Dinah sambil mendongak "Begitu kasar medannya ? penuh celah dan batu-batu besar yang mencuat."
"Kita berkemah di sini," kata Philip mengambil keputusan. "Cuaca nampaknya sudah tenang. Tadi kulihat ada mata air di dekat sini. Dan selama kita berkemah, kita bisa memotret dan mempelajari keadaan lingkungan dengan teropong."
Pak David kelihatannya tidak senang, ketika keputusan itu disampaikan padanya. Tapi ia tidak membantah, melainkan langsung pergi untuk menambatkan keledai-keledainya. Semua sudah capek sekali, karena perjalanan yang ditempuh hari itu cukup jauh. Anak-anak mengiris-iris daging ham yang ada dalam perbekalan, karena takut busuk kalau tidak cepat-cepat dimakan.
Pak David kelihatannya ingin tidur di dalam tenda lagi, karena berulang kali ia memandang ke situ dengan sikap yang menampakkan keinginannya. Tapi hawa malam itu panas. Sedang laki-laki tua itu tidak tahan panas. Akhirnya ia merebahkan diri di tanah, tapi memilih tempat di antara kedua tenda. Keledai-keledai ditambatkan dengan tali pengikat yang agak panjang ke pepohonan, agak jauh dari perkemahan.
Ketika sudah tengah malam, tiba-tiba Lucy-Ann terbangun. la merasa seperti mendengar suara mengendus-endus di sekitar perkemahan. Anak itu langsung merosot lebih masuk lagi ke dalam kantung tidurnya, karena ngeri. Bunyi apakah itu? Jangan-jangan itu binatang liar yang didengar oleh Pak David
Kemudian terdengar bunyi lolongan panjang. Jack dan Philip terbangun karenanya. Sedang Pak David yang berbaring di luar sudah lebih dulu mendengar suara-suara itu. Laki-laki tua itu gemetar ketakutan. Berbagai gambaran yang menyeramkan timbul dalam pikirannya.
Saat itu terang bulan, sehingga lingkungan perkemahan nampak seperti mandi cahaya keperak-perakan. Pak David menegakkan tubuhnya, lalu memandang ke arah bawah. Saat itu juga bulu tengkuknya meremang karena ngeri.
Ia melihat serigala. Kawanan serigala Tapi itu kan tidak mungkin? la pasti sedang bermimpi, kata Pak David dalam hati. Sudah sejak berabad-abad di daerah situ tidak ada serigala lagi. Tapi kalau yang dilihatnya itu bukan kawanan serigala, lalu apa? Dan bunyi mengendus-endus yang didengarnya tadi ? itu pasti juga serigala Tidak, itu mustah1
Pak David duduk terpana sambil berpeluk lutut. Serigala atau bukan? Serigala atau bukan? Dan mau apa binatang-binatang itu, berada di dekat keledai-keledai?
Saat itu terdengar bunyi lolongan lagi ? lolongan yang setengah menggonggong. Hih, seram David melesat masuk ke dalam tenda Jack dan Philip, sehingga kedua remaja itu kaget setengah mati. Laki-laki tua itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Wales dengan suara terbata-bata, lalu menyambung dalam bahasa Inggris.
"Serigala" ?Ah - mana mungkin" kata Jack dengan segera, karena melihat laki-laki tua itu sangat ketakutan. "Anda pasti bermimpi buruk tadi"
Pak David menariknya ke ambang tenda, lalu menuding dengan jari gemetar ke arah kawanan binatang yang sedang mengendus-endus, tidak jauh dari tempat keledai-keledai ditambatkan.
Jack dan Philip menatap dengan mata terbelalak, seakan-akan tidak bisa mempercayai penglihatan mereka sendiri. Kelihatannya itu memang kawanan serigala Jack merinding. Astaga ? bermimpikah ia saat itu? Binatang-binatang yang sedang mengendus-endus itu nampaknya jelas serigala
Si Putih juga gemetar tubuhnya, seperti Pak David. Hal itu menyebabkan Jack dan Philip ikut-ikut merasa takut. Hanya Kiki saja yang sama sekali tidak takut. Kakaktua itu juga melihat kawanan serigala yang muncul. Dengan segera ia terbang menghampiri, untuk memeriksa. la selalu tertarik pada apa saja yang lain dari yang lain. Kiki terbang di atas kepala binatang-binatang itu, yang mendongak ke arahnya dan memandang dengan mata yang berkilat-kilat.
"Bersihkan kakimu? jerit Kiki, lalu menirukan bunyi mesin pemotong rumput yang sedang merambah rumput panjang. Bunyinya menyakitkan telinga, apalagi saat tengah malam yang sunyi di daerah pegunungan itu.
Kawanan binatang yang seperti serigala itu nampak kaget, lalu lari serempak menuruni gunung dan menghilang di tengah kegelapan. Kiki masih berteriak-teriak terus, mengumpat-umpat.
"Mereka sudah pergi lagi," kata Jack lega. "Benarkah binatang-binatang itu tadi serigala? Aku benar-benar tidak bisa mengerti"
Ketika fajar sudah menyingsing, Pak David pergi memeriksa keadaan keledai-keledai. Sejak kejadian tengah malam itu ia tidak bisa tidur lagi, begitu pula Jack dan Philip. Pak David karena terlalu ketakutan, sedang kedua remaja itu karena bingung.
Puncak-puncak gunung sudah mulai terang. Pak David berjalan dengan hati-hati, menghampiri keledai-keledai. Mereka masih ada di tempat semula. Semuanya selamat, tapi kelihatannya gelisah. Pak David melepaskan mereka, lalu menggiring semuanya untuk minum ke parit.
Jack dan Philip memandang dari tenda mereka. Keduanya mengamat-amati ke arah bawah. Mereka tidak melihat serigala barang seekor pun. Terdengar suara burung berkicau. Seekor burung berbulu belang kuning menjerit-jerit minta makan.
Tahu-tahu terjadi sesuatu yang mengejutkan. Pak David yang sedang menggiring kawanan keledai ke parit, tiba-tiba menjerit ngeri lalu menjatuhkan diri ke tanah sambil menutupi muka. Jack dan Philip yang memandang dengan napas tertahan merasa seperti melihat sesuatu bergerak-gerak di dalam belukar. Pak David menjerit sekali lagi. la cepat-cepat berdiri, meloncat ke punggung seekor keledai, lalu memacunya ke arah tenda-tenda sambil berteriak-teriak dalam bahasa Wales.
"Hitam, hitam" serunya dalam bahasa Inggris.
Jack dan Philip bingung mendengarnya. Mereka menatap laki-laki tua itu sambil melongo. Jangan-jangan Pak David sudah gila, pikir mereka. Laki-laki tua itu melambai-lambaikan tangan ke arah mereka, lalu menuding keledai-keledai yang datang menyusul. Kelihatannya seperti hendak mengatakan agar ikut dengannya. Pak David tidak berhenti, melainkan terus memacu keledainya, meninggalkan tempat itu. Bunyi derap keledai itu masih menggema selama beberapa saat. Keledai-keledai yang lain berpandang-pandangan dengan sikap ragu, tapi kemudian menyusul Pak David
"He Ayo, kembali" teriak Jack sambil bergegas keluar. "He He Berhenti"
Seekor keledai berpaling. Kelihatannya seperti hendak balik. Tapi kawan-kawannya mendesak dari belakang. Dengan segera binatang-binatang tunggangan itu sudah lenyap dari penglihatan. Bunyi derap mereka makin lama makin pelan, sementara mereka terus mengejar kawannya yang ditunggangi Pak David.
Jack dan Philip terhenyak ke tanah dengan lesu. Muka Jack pucat. la memandang Philip, sambil menggigit-gigit bibir. Selama beberapa saat keduanya sama-sama membisu.
"Ada apa?" Keduanya berpaling, memandang wajah Dinah dan Lucy-Ann yang saat itu muncul dari tenda mereka.
"Kenapa berteriak-teriak? Pak David-kah itu tadi, yang cepat-cepat pergi dengan keledai? Kami tidak berani melihat"
"Ya ? itu tadi memang Pak David la lari meninggalkan kita, dan keledai-keledai yang lain lari menyusulnya," kata Philip kecut. "Gawat keadaan kita sekarang"
Setelah itu semuanya terdiam. Lucy-Ann kelihatan sangat takut. Bagaimana sekarang, karena baik Pak David maupun kawanan keledai tidak ada lagi?
Jack merangkul anak itu, ketika Lucy-Ann datang menghampiri lalu duduk di dekatnya.
"Jangan takut Kita kan pernah menghadapi situasi yang lebih gawat daripada ini Kita sekarang paling-paling terpaksa berada beberapa hari di sini, karena Bill pasti akan datang mencari apabila Pak David sudah sampai di tempat pertanian dan menceritakan apa yang terjadi"
"Untung saja perbekalan kita turunkan ? jadi persediaan makanan cukup banyak," kata Philip.
"Kecuali itu tenda-tenda serta kantung tidur kita juga ada. Payah, Pak David itu. la penakut"
"Aku ingin tahu apa yang dilihatnya tadi, sampai ia lari pontang-panting," kata Jack. "la menyerocos dalam bahasa Wales. Satu-satunya yang kutangkap tadi cuma kata `hitam, hitam? saja"
"Apa yang hitam?" tanya Dinah.
?Ia cuma mengatakan `hitam' saja," kata Jack. "Coba kita periksa ke tempat di mana ia tadi ketakutan, barangkali ada sesuatu yang bisa kita lihat di situ."
"Aduh, jangan" kata Dinah dan Lucy-Ann dengan segera.
"Kalau begitu biar aku sendiri yang pergi, sedang Philip tinggal di sini menemani kalian,? kata Jack. Ia langsung menuruni lereng, diperhatikan oleh ketiga anak lainnya yang memandang dengan napas tertahan. Jack memandang dengan sikap menyelidik. Kemudian ia menoleh sambil menggeleng-geleng.
"Tidak ada apa-apa di sini" serunya. "Aku tidak melihat sesuatu pun Pak David tadi pasti salah lihat ? karena masih terbayang mimpi buruknya"
Jack naik lagi ke perkemahan.
"Tapi bagaimana dengan binatang-binatang yang kita lihat itu?" tanya Philip setelah beberapa saat. "Kita kan sama-sama melihat kawanan serigala itu. Itu kan bukan cuma khayalan belaka?"
Bab 11 KEJADIAN ANEH TIDAK lama kemudian Dinah menyarankan agar mereka sebaiknya sarapan saja dulu, lalu ia pergi ?ke tempat kedua keranjang besar yang berisi perbekalan makanan. la mengeluarkan beberapa buah kaleng. Menurut pendapatnya, boleh juga sekali-sekali sarapan ikan sarden serta buah persik dan sebagainya. Pokoknya hidangan yang lain dari biasanya, agar semua tidak terus memikirkan soal larinya Pak David serta keledai-keledai tunggangan mereka.
Mereka duduk, tanpa banyak berbicara. Lucy-Ann tidak mau jauh-jauh dari Jack dan Philip. Setelah ada kawanan serigala, ditambah Pak David yang lari ketakutan, ia merasa sangat takut
"Mudah-mudahan saja ini tidak berkembang menjadi petualangan kita yang biasanya," katanya berulang kali pada dirinya sendiri. "Petualangan-petualangan itu selalu saja muncul secara tiba-tiba."
Si Putih berjingkrak-jingkrak mendatangi Philip. Kaleng makanan yang sedang dipegang anak itu terpelanting ditanduknya. Anak kambing itu menyundul Philip dengan lembut, lalu menanduk-nanduknya dengan pelan. Philip mengusap-usap hidung si Putih, lalu mendorongnya pergi.
"Syukurlah, kau tidak ikut lari dengan keledai-keledai itu" katanya. "Sementara ini aku sudah terbiasa kaurecoki terus, Putih He ? jangan kaumasukkan hidungmu ke dalam kaleng itu Dorong dia pergi, Lucy-Ann ? nanti habis makanan kita disikatnya"
Tahu-tahu Kiki menyambar si Putih, sambil menjerit marah. Burung kakaktua itu dari tadi sudah melirik-lirik buah persik yang ada dalam kaleng. Karenanya ia marah sekali ketika melihat si Putih mengendus-endus kaleng itu. Dipatuknya hidung anak kambing itu, yang langsung lari mendatangi Philip sambil mengembik-ngembik. Anak-anak tertawa geli melihat kejadian itu. Perasaan mereka dengan segera mulai agak enak kembali.
Keempat remaja itu duduk sambil makan dekat tenda, sambil sekali-sekali memandang sebentar ke arah gunung curam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Dari lereng sampai puncak terjal sekali, berbeda dengan gunung-gunung lainnya di sekitar situ.
"Aku tidak suka pada gunung ini," kata Lucy-Ann.
"Kenapa begitu?" tanya Dinah.
"Entah ? pokoknya aku tidak suka," kata Lucy-Ann. "Aku punya perasaan tertentu."
Anak-anak yang lain tertawa. Lucy-Ann sering mempunyai `perasaan` mengenai berbagai hal. Dan ia yakin, perasaannya pasti beralasan. Jadi tidak mengherankan jika saat itu ia mempunyai `perasaan' tentang gunung, sementara yang lain-lain berperasaan tidak enak tentang serigala serta hal-hal lainnya.
"Kau tidak perlu punya perasaan apa-apa tentang gunung," kata Philip. "Gunung di mana-mana sama ? terdiri dari puncak, lereng, dan bagian kaki. Kadang-kadang ada gerombolan domba di situ, dan kadang-kadang tidak"
"Tapi tidak banyak gunung yang ada serigalanya," kata Lucy-Ann bersungguh-sungguh. Hal itu menyebabkan anak-anak yang lain mulai merasa tidak enak lagi.
"Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanya Jack, setelah semua selesai sarapan. "Kurasa kita terpaksa tinggal di sini terus, sampai Bill datang mencari kita. Kita jangan mencoba-coba berjalan kaki pulang, karena kecuali tidak tahu jalan, kita pun takkan mampu mengangkut bekal makanan cukup banyak, supaya jangan sampai kelaparan di tengah jalan."
"Ya ? jauh lebih baik jika kita di sini saja," kata Philip dengan segera. "Kemungkinannya masih ada satu banding sepuluh bahwa Pak David tahu jalan kembali untuk mengantarkan Bill beserta keledai-keledai kemari. Sedang kalau kita berkeliaran, mereka takkan mungkin bisa menemukan kita."
"Ya ? kelihatannya memang itulah tindakan yang terbaik," kata Jack. "Di sini ada perkemahan kita ? jadi kita sebaiknya bersikap puas dengan apa yang ada. Kita nikmati saja kesempatan berkemah ini. Tapi lebih enak rasanya apabila di sini ada tempat untuk mandi-mandi. Hawa panas sekali, sedang aliran air itu terlalu kecil ? paling-paling kita hanya bisa berkecipak-kecipuk saja di situ."
"Kita nanti jangan memencar," kata Lucy-Ann. "Maksudku ? kawanan serigala itu bisa kita takut-takuti sampai lari jika kita berteriak serempak ? tapi jika kita seorang diri saja ? nanti ? nanti kita..."
"Dimakan serigala" kata Jack, lalu tertawa.
"Aduh, besarnya matamu, Nek Dan bukan main besarnya taring-taringmu" la menirukan ucapan si Tudung Merah ketika berhadapan dengan serigala yang menyamar jadi Nenek.
"Sudahlah, jangan kauganggu dia" kata Philip, karena melihat Lucy-Ann benar-benar ketakutan.
"Kau tidak perlu takut, Lucy-Ann. Serigala baru benar-benar kelaparan saat musim dingin. Sakarang kan musim panas"
Lucy-Ann nampak lega mendengarnya.
"Yah ? kalau mereka benar-benar kelaparan, pasti keledai-keledai sudah langsung diserang, ya?" katanya. "Tapi aneh - kenapa di sini ada serigala?"
Keempat remaja itu hendak mengemaskan perbekalan makanan mereka. Tahu-tahu terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka seperti terpaku di tempat masing-masing.
Pertama-tama terdengar bunyi gemuruh, yang seakan-akan datang dari dalam gunung. Tanah bergetar sedikit. Keempat remaja itu saling pegang-memegang dengan perasaan kecut. Kiki menghambur ke udara sambil menjerit-jerit. Si Putih meloncat ke atas batu yang tinggi. Ia berdiri di situ dengan sikap seolah-olah hendak terbang.
Getaran berhenti begitu pula bunyi gemuruh. Tapi hampir seketika itu juga bunyi tadi kedengaran lagi. Agak lebih keras, tapi tidak jelas ? seolah-olah datang dari suatu tempat di balik dinding batu yang sangat tebal. Tanah bergetar lagi. Si Putih melonjak tinggi-tinggi, lalu mendarat di atas batu lain. Anak kambing itu nampak sangat takut.
Begitu pula halnya dengan anak-anak. Lucy-Ann berpegang erat-erat pada Jack dan Philip. Mukanya pucat pasi. Dinah pun berpegangan pada Philip, tanpa mengingat rasa takutnya pada Sally, cecak ular itu.
Setelah itu bunyi gemuruh lenyap. Tanah di bawah kaki pun sudah tidak bergetar lagi. Burung-burung yang tadi terdiam, sudah mulai berkicau kembali.
Si Putih sudah pulih dari rasa takutnya. la datang menghampiri sambil berjingkrak-jingkrak. Kiki hinggap kembali di bahu Jack.
"Hidup Ratu," oceh burung itu dengan nada lega.
"Apa itu tadi?" kata Philip setelah beberapa saat. "Gempa bumi? Aduh, takut sekali aku saat itu"
"Philip ? ini kan bukan gunung api, ya?" tanya Lucy-Ann cemas, sambil mendongak ke arah puncak gunung.
"Tentu saja bukan Kalau gunung api, akan langsung ketahuan dari bentuknya" jawab Jack.
"Ini gunung yang biasa-biasa saja ? tapi entah apa yang menyebabkannya bergemuruh dan bergetar seperti tadi. Seram rasanya hatiku karenanya."
"Kan sudah kukatakan, aku punya perasaan tertentu tentang gunung ini," kata Lucy-Ann. "Ada perasaan aneh dalam hatiku mengenainya. Aku ingin kembali saja sekarang. Aku tidak ingin lebih lama berada di tempat ini."
"Kami semua juga," kata Philip, "tapi kita pasti takkan tahu jalan nanti, Lucy-Ann. Soalnya lain jika selama ini kita menyusur jalan tertentu. Tapi kau kan tahu sendiri., sewaktu ada kabut tebal kita tanpa sadar meninggalkan jalan yang sedang dilalui. Jadi kita takkan mungkin bisa mengetahui jalan mana yang harus ditempuh."
"ltu juga kusadari," kata Lucy-Ann, "tapi aku tak suka pada gunung ini ? apalagi jika mulai bergemuruh dan bergetar. Kira-kira apa yang menyebabkannya?"
Tidak ada yang tahu jawabannya. Mereka membereskan makanan yang masih tersisa, lalu pergi mencuci badan di parit yang hanya sedikit airnya.
Tahu-tahu angin yang bertiup terasa dingin. Anak-anak mendongak. Mereka melihat awan tebal bergulung-gulung datang dari arah barat daya.
"Kelihatannya seperti akan turun hujan," kata Jack. "Moga-moga saja angin tidak bertambah kencang. Kalau itu terjadi, pasti tenda-tenda kita akan diterbangkannya. Kalian masih ingat tidak, bagaimana tenda-tenda kita diterbangkan angin sewaktu kita sedang mengalami petualangan di Pulau Puffin? Huh ? seram sekali rasanya saat itu."
"Yah," kata Philip, "jika menurutmu ada kemungkinan tenda-tenda kita nanti diterbangkan angin, Jack ? sebaiknya kita cari saja tempat berkemah yang lebih baik daripada di sini. Tapi jangan terlalu jauh, karena nanti ada kemungkinan kita tidak melihat Bill dan Pak David, apabila mereka mencari kita. Dekat sekelompok pepohonan, atau bisa juga gua ? pokoknya tempat di mana kita terlindung dari tiupan angin."
"Kita cari saja sekarang," kata Dinah sambil mengenakan jasnya. Aneh ? hawa langsung terasa dingin, begitu matahari menghilang di balik awan dan angin terasa bertiup. "Si Putih kita ajak, karena kalau tidak, bisa habis sisa makanan kita disikatnya"
Tanpa diajak pun, anak kambing itu memang ingin ikut. la berjalan di samping Jack dan Philip, sambil berjingkrak-jingkrak iseng seperti biasanya. Tapi sementara itu ia sudah jengkel sekali terhadap Kiki. Setiap kali burung kakaktua itu mendekat, si Putih pasti melonjak ke arahnya. la ingin membalas Kiki, yang mematuk hidungnya.
Jack dan Philip berjalan agak cepat, sehingga adik-adik mereka tertinggal sedikit. Kemudian Philip berbicara dengan suara pelan.
"Kurasa lebih baik kita mencari gua, Jack" katanya. "Hatiku tidak enak membayangkan binatang-binatang itu ? serigala, atau entah apa ? berkeliaran malam-malam di sekitar kita. Kalau di dalam gua, kita bisa menyalakan api di mulutnya, sehingga tidak ada binatang berani masuk."
"Ya, itu gagasan yang baik," kata Jack menyetujui. "Tak terpikir hal itu olehku tadi Aku pun tidak suka membayangkan kemungkinan ada kawanan serigala datang mengendus-endus malam-malam di sekitar tenda kita, sementara kita tidur Lebih aman rasanya, kalau di dalam gua"
Karenanya mereka lantas mencari-cari gua atau tempat yang menjorok masuk ke dalam tebing batu. Tapi mereka tidak menjumpainya. Gunung tempat mereka berada terjal sekali, sehingga sangat sulit didaki. Sedang Lucy-Ann takut terpeleset sehingga jatuh ke bawah.
Si Putih meloncat-loncat, mendului mereka. Geraknya pasti di tempat berbatu-batu itu. Jack dan Philip ingin bisa bergerak begitu leluasa di situ, seperti anak kambing itu.
"Coba lihat si Putih ? tenang saja ia berdiri di atas batu itu" kata Jack. Ia sudah kesal sekali, kepanasan karena memanjat-manjat itu. "He, Putih Kemarilah sebentar, bantu kami memanjat Coba kami punya empat kaki yang begitu lentur seperti kakimu"
Si Putih berdiri di atas batu sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang pendek. Kemudian ia berbalik, lalu menghilang.
"Ke mana dia sekarang?" kata Jack tercengang. "Nah ? itu dia muncul kembali He, Philip, kurasa di tempatnya itu pasti ada gua, atau batu yang menaungi di sebelah atas. Si Putih bolak-balik saja menghilang"
Kedua remaja itu memanjat, menyusul si Putih. Ternyata dugaan Jack benar. Di atas batu besar yang mencuat ke depan itu ada gua rendah yang menjorok ke dalam. Bagian atasnya batu pula, yang mencuat seperti mengatapi. Di depan gua itu tumbuh berbagai jenis tanaman pakis.
"Tempat ini cocok untuk keperluan kita," kata Jack. la merangkak-rangkak, menengok ke dalam.
"Kita bisa menyalakan api di atas batu di luar situ ? di mana si Putih tadi berdiri ? supaya malam-malam kita bisa merasa aman. Kau pintar, Putih Kau menemukan apa yang memang kami ingini"
"Tapi bagaimana cara kita mengangkut segala barang-barang kita ke atas sini?" kata Philip ragu.
"Tadi saja kita sudah capek memanjat-manjat. Lain halnya jika kita ini keledai atau kambing yang dengan enak saja bisa mendaki lereng yang curam, bahkan dengan membawa muatan di punggung. Kita kalau memanjat harus dengan bantuan tangan."
Itu memang merupakan masalah yang tidak gampang dipecahkan. Dinah dan Lucy-Ann dipanggil, lalu dibantu naik ke atas batu tempat si Putih tadi berdiri.
"Ini ada tempat yang baik, di mana kita bisa tidur malam ini," kata Jack. "Dari sini bisa kelihatan dengan jelas apabila Bill muncul bersama Pak David. Lihatlah, dari atas batu ini kita bisa memandang sampai jauh sekali Dan kita juga aman dari gangguan serigala, apabila kita menyalakan api di depan mulut gua ini."
"Ya, betul" kata Lucy-Ann senang. la menyusup masuk ke dalam gua. la harus merunduk ketika melewati ambangnya, tapi di dalam langit-langit ternyata lebih tinggi. "Ini sebenarnya bukan gua, melainkan rongga di bawah batu besar yang mencuat di atas itu," katanya. "Tapi pokoknya, cocok untuk kita"
Anak-anak duduk di atas batu, sambil berharap-harap semoga matahari muncul lagi dari balik awan. Si Putih merebahkan diri di sisi mereka. Kiki bertengger di bahu Jack.
Tapi tiba-tiba ia terbang membubung sambil menjerit dengan nyaring. Si Putih cepat-cepat meloncat bangun, lalu memandang ke arah bawah. Kenapa mereka begitu?
"Kawanan serigala itu lagi, ya?" tanya Lucy-Ann ketakutan. Semuanya memasang telinga. Terdengar suara binatang di sebelah bawah mereka, di tengah semak belukar yang tumbuh di bawah pepohonan yang berbatang putih. Dari bunyinya tidak dapat diketahui dengan jelas jumlah binatang-binatang itu. Bisa seekor? tapi mungkin juga lebih banyak.
"Cepat, kembali ke gua," kata Jack dengan suara pelan pada Dinah dan Lucy-Ann. "Dan jangan bersuara"
Kedua anak perempuan itu menyelinap masuk kembali ke dalam gua yang gelap, sementara kedua abang mereka terus memandang ke bawah sambil mendengarkan dengan cermat. Binatang apakah yang di bawah itu? Kalau ditaksir dari bunyinya, pasti binatang besar
Bab 12

Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SERIGALA? TIBA-TIBA si Putih mengembik dengan suara nyaring. Sebelum Philip sempat menahan, anak kambing itu sudah meloncat ke bawah lalu menghilang ke tengah semak belukar. Saat berikut terdengar suara yang sudah mereka kenal. Suara yang
?prev | next? Go to[1-11] Home menyenangkan, walau bunyinya sama sekali tidak bisa dibilang enak didengar.
"L-a l?a l-aa" "Astaga ? itu suara keledai" seru Jack. Ia cepat-cepat merosot turun, karena ingin melihat.
"Mungkinkah keledai-keledai yang kembali? Adakah Pak David bersama mereka?"
Dengan segera keledai itu sudah mereka temukan. Ternyata si Belang Keledai itu ada di dalam semak. la mengendus-endus si Putih. Kelihatannya senang sekali bertemu kembali dengan anak kambing itu. Tapi keledai-keledai yang lain tidak kelihatan ? apalagi Pak David
"Belang Keledai manis" seru Lucy-Ann. Ia berlari-lari menghampiri dengan gembira. "Kau ternyata kembali pada kami"
"Kembali ke si Putih, maksudmu," kata Philip. "Kau memang sayang sekali padanya, ya Belang? Kau kembali, karena ingin mencarinya. Yah ? kami senang melihatmu muncul lagi, karena dengan bantuanmu, kini ada masalah sangat sulit yang bisa diselesaikan ? yaitu mengangkut segala perbekalan ke gua di atas sana"
Si Belang memang kembali karena ingin mencari anak kambing itu. Tapi ia juga senang sekali bisa berjumpa lagi dengan anak-anak. Keledai itu tenang dan penyabar, dan tidak segan bekerja keras. la terus saja berada di dekat anak-anak, sementara si Putih tidak mau beranjak dari sampingnya.
"Sini, Belang" seru Philip memanggilnya. "Tolong angkutkan barang?barang ini ke atas, ya"
Si Belang berdiri dengan patuh, sementara Jack dan Philip mengikatkan barang-barang yang akan diangkut ke punggungnya. Mula-mula perlengkapan tidur yang dibawa ke atas. Keledai itu agak repot juga berjalan mendaki tebing yang terjal. Tapi ia sampai di atas dengan selamat. Setelah itu ia turun lagi, untuk mengangkut keranjang-keranjang berisi makanan.
"Terima kasih, Belang" kata Jack sambil menepuk punggung keledai itu. "Sekarang ikut aku, kita minum"
Semua ikut turun ke air yang mengalir di lereng, lalu minum dan bermain-main dengan air. Matahari sudah muncul dari balik awan. Hawa langsung terasa panas sekali. Anak-anak melepaskan jas mereka, lalu berbaring sambil menjemur badan.
"Kita harus mencari kayu untuk api unggun malam ini," kata Jack. "Agak banyak juga yang diperlukan, apabila apinya harus menyala terus sepanjang malam. Kita masukkan saja ke dalam keranjang-keranjang, lalu kita suruh si Belang membawakannya ke atas"
"Untung ada si Belang" kata Dinah.
Anak-anak mengumpulkan kayu bakar sebanyak mungkin, lalu ditumpukkan di atas batu di luar gua. Tapi tumpukan itu belum dinyalakan. Api unggun yang berkobar-kobar nyalanya baru diperlukan apabila hari sudah malam.
Tidak lama kemudian senja datang menjelang. Matahari terbenam di balik pegunungan, teriring pancaran sinar yang merah semarak Anak-anak masuk ke dalam gua, begitu lereng gunung sudah gelap. Setiap kali mereka teringat lagi pada kawanan serigala serta Pak David yang menjerit ngeri ketika melihat sesuatu di dalam semak. "Hitam, hitam" serunya saat itu. Apakah yang dilihatnya?
Selama hari masih siang, anak-anak tidak begitu teringat pada hal-hal itu. Tapi begitu hari gelap, bayangan seram langsung timbul. Mereka berunding, apakah si Belang sebaiknya dibawa masuk ke dalam gua atau tidak.
Akhirnya keledai itu sendiri yang memutuskan. Ia tidak mau dibawa masuk ke bawah naungan batu yang mencuat, melainkan tetap berdiri di luar dengan sikap keras kepala. Biar anak-anak mendorong-dorongnya sekuat tenaga, ia tetap saja tidak bisa dipaksa masuk. Pokoknya ia tidak mau masuk ke dalam gua ? habis perkara
"Baikkah, Belang" tukas Jack kesal. "Tinggal saja di luar kalau begitu ? biar kau dimakan serigala, jika itu yang kauingini"
"Aduh, jangan suka berbicara begitu," kata Lucy-Ann cemas. "Ayo masuk, Belang Masuklah"
Tapi si Belang tetap berkeras, hendak tinggal di luar. Akhirnya anak-anak yang menyerah. Kalau si Putih dan Kiki, sama sekali tak ada kesulitan, karena yang satu ingin bersama Philip, sedang yang lain ingin menemani Jack.
"Sekarang kita nyalakan api unggun, karena sudah sangat gelap,? kata Jack. "Mana korek apinya, Philip?"
Dengan segera api unggun sudah menyala, karena dahan dan ranting yang dikumpulkan kering sekali. Nyalanya nampak meriah, melonjak-lonjak seperti menari, teriring bunyi gemertak kayu dimakan api.
"Menyenangkan sekali rasanya," kata Lucy-Ann. "Aku merasa aman berlindung di gua ini, sementara di depan ada api menyala. Philip, suruh si Putih berbaring ke sebelah sana. Sakit badanku disodok-sodok kukunya. Kenapa ia tidak memakai selop saja, kalau malam"
Anak-anak tertawa. Semua merasa aman dan nyaman di kantung tidur masing-masing, sementara nyala unggun menerangi gua, menyebabkan bayang-bayang bergerak-gerak sepanjang dinding. Si Putih berbaring sambil merapatkan diri pada Philip, sedang Kiki bertengger di bagian tengah tubuh Jack. Si Belang ada di luar. Lucy-Ann menyayangkan, kenapa keledai itu tetap tidak mau diajak masuk.
Semua tertidur, setelah untuk beberapa lama memperhatikan api unggun. Nyalanya mengecil ketika seluruh kayu yang bertumpuk sudah habis terbakar. Akhirnya hanya bara merah saja yang masih nampak.
Beberapa jam kemudian Philip tiba-tiba terbangun. Dilihatnya unggun sudah hampir padam. Ia keluar dari kantung tidurnya untuk menambah kayu. Api unggun tidak boleh sampai mati seluruhnya
Si Belang masih tetap berbaring dengan tenang di uar, Philip melihat keledai itu diterangi nyala api yang berkobar memakan kayu yang ditumpukkan di atas unggunan. Setelah itu ia menyusup lagi ke dalam kantung tidurnya. Tapi si Putih ternyata sudah lebih dulu masuk, sementara Philip sedang menumpukkan kayu di atas api.
"Berandal cilik," kata Philip memarahinya dengan suara pelan. "Ayo, keluar Tempatnya tidak cukup untuk kita berdua"
Tapi si Putih tidak mau ke luar, sehingga Philip terpaksa menarik dan mendorong-dorong sebentar. Untung tidak ada yang ikut terbangun, karena semua tidur lelap. Akhirnya Philip berhasil mengeluarkan anak kambing itu, lalu menyusup masuk ke dalam kantung tidurnya. Dengan cepat dieratkannya tali pengikat pada bagian leher, sebelum si Putih bisa berusaha masuk lagi. Anak kambing itu mendesah dengan sikap kecewa, lalu mengambrukkan diri di atas perut Philip.
Philip berbaring sambil memandang api unggun. Asapnya kadang-kadang ditiup angin masuk ke dalam gua, sehingga Philip nyaris terbatuk- batuk karenanya.
Kemudian ia menegakkan tubuh. Sambil bertelekan pada siku, ia memandang ke luar. la mendengar bunyi si Belang bergerak-gerak. Apa sebabnya? Jantung Philip berdebar-debar.
Sejumlah bayangan gelap nampak menyelinap, bergerak mendatangi gua. Sosok-sosok itu tidak melewati unggun, tapi kelihatannya tidak takut pada api. Napas Philip terasa sesak. Debaran jantungnya semakin cepat, seakan-akan habis berlari.
Apakah yang ada di luar itu? Jangan-jangan serigala Philip melihat sepasang mata bersinar, seperti lampu mobil di kejauhan ? tapi warnanya hijau, sehijau rumput la duduk. tanpa berani berkutik sedikit pun.
Kawanan serigala itu datang lagi Rupanya mereka mencium bau rombongan yang berlindung di dalam gua. Apakah yang akan dilakukan binatang-binatang itu? Untung saja mereka tidak menyerang si Belang Dan keledai itu pun tidak sangat takut rupanya, melainkan hanya agak gelisah
Sosok-sosok gelap itu menyelinap bolak-balik di belakang nyala api. Philip tidak tahu apa yang harus diperbuat saat itu. la hanya bisa berharap, semoga binatang-binatang itu masih cukup takut pada api, sehingga tidak berani melewatinya lalu masuk ke dalam gua.
Setelah beberapa waktu, kawanan binatang itu pergi. Philip bisa bernapas lega kembali Aduh, bukan main takutnya ia tadi. Untung sore itu terpikir untuk membuat api unggun Philip bertekad takkan tidur lagi malam itu, untuk menjaga jangan sampai api padam.
Anak itu berbaring dengan mata nyalang. Otaknya penuh dengan pikiran tentang serigala, bunyi gemuruh, gempa bumi, serta "Hitam, hitam" Terasa ada yang aneh dengan segala kejadian itu. Ada tidak hubungan antara berbagai hal itu? Jangan-jangan ada yang tidak beres dengan gunung ini, katanya dalam hati.
Api unggun mulai mengecil. Philip bangun dengan hati-hati. Maksudnya hendak menumpukkan kayu tambahan ke atasnya. Kini ia bisa melihat sampai jauh sekali, karena bulan sudah ada di langit. Unggunan berkobar besar kembali, setelah kayu ditambahkan ke atasnya. Philip bergerak dengan hati-hati meninggalkan gua, menghampiri si Belang.
Saat itu ia mendengar bunyi yang mencurigakan. Philip menoleh dengan cepat. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat, ketika melihat seekor serigala berdiri di depan gua. Rupanya binatang itu menyelinap ke situ, saat Philip pergi mendatangi si Belang Akan masukkah serigala itu ke dalam gua?
Binatang itu berdiri tanpa bergerak, sambil memandang ke arah Philip. Philip membalas tatapannya. Dalam hati ia mencari-cari akal. Apa yang harus dilakukannya, jika binatang itu menyerang? Tapi saat itu terjadi sesuatu yang sama sekali tak terduga semula.
Ekor binatang itu bergerak-gerak, mengibas-ngibas ? persis seperti anjing besar Philip merasa lega sekali. Binatang itu ternyata ingin berteman dengannya. Binatang umumnya memang cepat sekali tertarik pada Philip. Tapi serigala? Itu benar-benar luar biasa
Anak itu mengulurkan tangan ke depan, walau dengan agak takut-takut. Tapi ia nekat. Serigala itu berlari-lari kecil mengitari unggun, menghampiri Philip ? lalu menjilat tangan anak itu sambil mendengking pelan.
Sinar bulan menerangi bulunya yang berwarna gelap, telinganya yang runcing, serta moncongnya yang panjang. Serigalakah itu? Philip mulai menyangsikannya, setelah binatang itu ada di dekatnya.
Tiba-tiba disadarinya, binatang apa yang berdiri di hadapannya itu.
?Ah, kau ini kan anjing herder" serunya lega. "Kenapa tak kusadari selama ini? Mana teman- temanmu yang lain? Kalian semua anjing gembala Anjing baik ? anjing manis Akui ingin berteman dengan kalian"
Anjing gembala Jerman yang besar itu meletakkan kaki depannya ke bahu Philip, lalu menjilati muka anak itu. Kemudian ia mendongak. Anjing itu melolong. Bunyinya persis suara serigala. Tapi Philip sudah tidak takut lagi mendengarnya.
Lolongan itu rupanya untuk memanggil anjing- anjing lainnya. Dari arah bawah terdengar bunyi langkah-langkah berlari menerabas semak belukar. Sekawanan anjing melompat ke atas batu yang mencuat Mereka mengepung Philip. Tapi begitu melihat pemimpin mereka bersikap ramah terhadap anak itu, mereka pun ikut menggapai-gapainya sambil menjilat-jilat.
Suara lolongan tadi membangunkan ketiga anak yang masih tidur dalam gua. Mereka cepat-cepat duduk, tercengkam perasaan takut. Mereka semakin ngeri ketika melihat Philip seperti sedang diserang kawanan serigala di luar gua
"Aduh ? mereka menyergap Philip Cepat" seru Jack.
Ketiga remaja itu cepat-cepat keluar dari kantung tidur masing-masing, lalu bergegas keluar untuk membantu Philip. Anjing-anjing yang mengerumuninya langsung menggeram, karena mendengar bunyi ribut-ribut di dalam gua.
"Kami datang, Philip" seru Lucy-Ann. Dengan berani anak itu mengambil sepotong kayu, untuk dijadikan pentungan.
"Tenang, tenang" seru Philip. "Mereka tidak menyerang diriku. Mereka ramah Ini bukan serigala, melainkan anjing herder"
"Astaga" kata Dinah, sambil muncul ke tempat
di luar gua yang diterangi cahaya bulan. Begitu lega hatinya mendengar bahwa yang dihadapi itu bukan serigala, sehingga lenyap rasa takutnya pada anjing-anjing besar yang begitu banyak
"Aduh, Philip" desah Lucy-Ann. Ia hampir menangis karena lega. "Kusangka kau sedang diserang mereka"
"Kalau begitu kau benar-benar tabah, mau datang menyelamatkan diriku," kata Philip. Ia tersenyum geli melihat kecilnya kayu yang diambil Lucy-Ann untuk mengusir kawanan anjing yang disangkanya serigala. "Pemimpin mereka rupanya ingin berteman ? dan karenanya yang lain pun ikut-ikut"
Anjing-anjing besar itu kelihatannya hendak tetap di situ. Philip menimbang-nimbang, apa yang sebaiknya dilakukan.
"Mereka tidak bisa kita ajak masuk ke dalam gua," katanya. "Tempat di situ sempit ? nanti kita tidak bisa bernapas."
"Jangan, ah" kata Dinah. la sudah ngeri saja membayangkan anjing sebanyak itu ikut tidur bersama mereka di dalam. "
"Kalau begitu kita ambil saja kantung tidur kita, lalu tidur di sini dekat si Belang," kata Philip.
"Anjing-anjing ini boleh tinggal jika mereka mau. Tapi jika tidak, mereka boleh saja pergi lagi. Jumlah mereka sekitar sepuluh ekor. Aku ingin tahu, kenapa mereka berkeliaran seperti anjing liar di sini. Bayangkan ? sepuluh ekor Luar biasa."
Anak-anak menyerat kantung tidur masing-masing ke luar, lalu berbaring lagi di dalamnya. Anjing-anjing besar itu mengendus-endus di sekitar mereka, dengan sikap heran. Kemudian pemimpin mereka duduk, di samping Philip. Sikapnya gagah sekali, seperti hendak mengatakan, "Jangan ada yang berani mendekat Anak ini kulindungi"
Anjing-anjing yang lain berbaring di antara anak-anak Si Putih tidak berani menghampiri Philip, karena takut melihat anjing besar pemimpin kawanan herder itu. Karenanya ia lantas mendatangi Jack. Kiki memilih lebih baik bertengger di atas pohon saja. la tidak mau dekat-dekat dengan anjing sebanyak itu
Sinar bulan menerangi pemandangan yang luar biasa empat remaja berbaring di atas batu, ditamani seakor anak kambing, seakor burung kakaktua, seekor keledai ? serta sepuluh anjing herder
Bab 13 WAJAH DI SELA DEDAUNAN KEESOKAN paginya anak-anak terbangun karena terkejut mendengar si Belang bersin dengan keras. Mereka berlompatan, karena kaget mendengar bunyi itu. Saat itu si Belang bersin lagi.
"Ah, si Belang rupanya yang bersin Kau pilek, Belang?" tanya Lucy-Ann agak cemas. Kemudian ia memandang berkeliling, karena teringat pada kejadian saat tengah malam.
"Mana anjing-anjing itu?"
Pertanyaan ini diucapkan serempak oleh anak-anak.
Kawanan anjing herder sudah tidak ada lagi di tempat itu. Anak-anak berpandang-pandangan dengan perasaan heran. Ke manakah binatang- binatang itu? Dan kenapa mereka tahu:tahu pergi lagi?
"Tidak mungkin itu cuma mimpi, karena mustahil kita semua bermimpi sama," kata Dinah, menjawab pertanyaan yang ada dalam hati mereka berempat. "Mereka benar?benar datang kemari tadi malam. Sepuluh ekor Aneh."
"Ya, memang aneh," kata Jack. "Menurut pendapatku, mereka pasti anjing-anjing peliharaan. Sikap mereka tidak seperti kawanan anjing liar."
"Pendapatku juga begitu,? kata Philip. "Tapi lalu siapa yang memelihara mereka? Bermil-mil di sekitar sini kan sama sekali tidak ada rumah Kecuali itu untuk apa memelihara sepuluh ekor anjing pemburu manusia di daerah pegunungan yang begini terpencil?"
"Wah ? jadi anjing-anjing itu pemburu manusia?" tanya Lucy-Ann kaget
"Yah ? polisi biasanya memakai anjing herder untuk melacak jejak penjahat," kata Philip. "Betul kan, Jack? Anjing gembala Jerman tajam sekali penciumannya. Tapi tak mungkin di sini sedang ada polisi, apalagi dengan membawa anjing herder. Maksudku ?jika ada polisi datang kemari, Bill pasti diberi tahu. Ia kan menduduki jabatan tinggi di kepolisian, jadi tidak ada hal yang tidak diketahuinya sehubungan dengan aktivitas polisi."
"Dari mana mereka. kalau begitu?" tanya Dinah. "Mungkinkah mereka ditugaskan menjaga sesuatu ? untuk mengusir, atau memberi tanda, misalnya?"
"Itu mungkin saja? tapi apa yang perlu dijaga di sini, di daerah pegunungan yang begini?" kata Jack. "Menurutku di sini sama sekali tidak ada apa-apa"
"Sudahlah, jangan dipikirkan terus soal itu," kata Philip sambil keluar dari kantung tidurnya. "Aku ingin mandi-mandi sebentar. Ada yang mau ikut?"
"Yuk," kata Dinah. "Setelah itu kita membuka beberapa kaleng makanan, untuk sarapan. Coba kita tadi teringat, memberikan sisa daging ham beserta tulangnya pada anjing?anjing itu, Jack. Dagingnya sudah tidak baik lagi ?? tapi mereka pasti tak peduli."
"Lain kali saja kita berikan, kalau mereka muncul lagi," kata Jack.
Keempat remaja itu berkecimpung dalam air sungai kecil. diikuti si Putih dan si Belang. Kiki duduk agak menjauh, sambil mengata-ngatai mereka. Burung kakaktua tidak suka kena air.
"Puh Hahh" teriaknya. "Huhh Pah"
"Ya, ya, bagus ? terus saja, campur adukkan saja cercaanmu, Kiki" kata Jack. "Bagaimana dengan ?hii' dan `beee`. Kau kan juga tahu bunyi ejekan itu"
"Hibee," oceh Kiki dengan asyik. "Hibee, hibee, cul ?? hibee muncul"
Anak-anak tertawa, diikuti oleh Kiki. Kemudian ia menirukan suara si Belang meringkik. Persis sekali bunyinya, sehingga keledai itu celingukan mencari kawan sejenis yang meringkik itu.
"l?aa, i?aa, i?aa," teriak Kiki dengan asyik. Jack melempar handuk ke arahnya, agar ia berhenti. Kiki menjerit dengan marah, karena kepalanya tertutup handuk. Si Belang dan si Putih memandangnya dengan heran.
Sehabis sarapan, Lucy-Ann pergi mencuci peralatan makan di kali, sementara anak-anak yang lain mempelajari peta untuk mengetahui di mana mereka saat itu berada. Lucy-Ann berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Ia berlutut di tepi air, sambil menggosok piring dengan pasir. Tiba-tiba ia mendongak, karena merasa seperti mendengar sesuatu di atas pohon yang tumbuh di dekat situ.
Pohon itu berdaun lebat. Lucy-Ann menyangka bahwa yang terdengar tadi pasti burung yang sedang hinggap di situ.
Tapi tahu-tahu ia terkejut setengah mati, karena ada orang memandang dari atas pohon. Muka yang tersembul di tengah dedaunan itu ? berkulit hitam
Anak perempuan itu duduk terpaku dengan piring di tangan, tidak mampu bergerak maupun bersuara sama sekali.
Ranting-ranting tersibak ke samping. Kini nampak bahwa orang yang memandangnya itu berambut kribo. Bibirnya tebal, sedang giginya putih sekali.
"Orang Negro," kata Lucy-Ann dalam hati. "Tapi kenapa ada di sini ? di atas pohon? Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Orang berkulit hitam itu memandang anak perempuan yang masih terpaku di bawah pohon. Kemudian ia tersenyum, sambil mengangguk ramah. Tangannya tersembul dari balik dedaunan, diangkat mendekati mulut. Orang itu meletakkan telunjuknya ke bibir.
"Jangan berteriak, Gadis cilik," laki-laki hitam itu berbisik dengan suara parau. "Jangan bilang aku ada di sini. Aku ini orang yang malang, tersesat seorang diri di sini."
Lucy-Ann tidak menuruti permintaan itu. la harus memberi tahu, tekadnya dalam hati. Tapi anak-anak yang lain tidak mendengar seruannya. Laki-laki berkulit hitam itu menggeleng-geleng sambil mengerutkan kening.
"Kalian harus cepat?cepat pergi dari sini, Gadis cilik. Gunung ini berbahaya. Banyak orang jahat di sini. Jika kalian tidak lekas-lekas lari, nanti ditangkap oleh orang-orang itu. Di sini banyak bahaya, Gadis cilik"
"Anda sendiri, kenapa ada di sini?" tanya Lucy-Ann dengan nada takut. "Dari mana Anda mengetahui semua hal itu?"
"Sebelum ini aku ada di dalam gunung jahat, Gadis cilik. Lalu aku minggat. Tapi tidak bisa ke mana-mana ? takut anjing-anjing besar itu. Aku terpaksa tetap di atas pohon besar ini. Cepatlah lari, jauhi tempat ini, Gadis cilik Jauh sekali"
Lucy-Ann merasa tidak seram. Tiba-tiba ia berpaling, lalu lari ke tempat anak-anak yang lain. la sampai dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa?" seru Jack kaget. Wajah Lucy-Ann pucat pasi, menunjukkan bahwa ia terkejut sekali. la hanya bisa terbata-bata, sambil menuding-nuding ke arah sungai kecil.
"Orang hitam" katanya putus-putus. "Hitam"
"Hitam? Kata itulah yang diucapkan berulang-ulang oleh Pak David" seru Philip. "Tenangkan dirimu, Lucy-Ann Katakan apa yang kaulihat tadi, Cepat"
Sementara napasnya masih tersengal-sengal, Lucy-Ann menceritakan apa yang baru saja dialaminya di tepi sungai. Anak?anak yang lain kaget mendengar ceritanya. Ada orang hitam . bersembunyi di atas pohon ? karena takut pada kawanan anjing Orang yang mengatakan bahwa gunung itu berbahaya ? banyak orang jahat' Apa maksudnya?
"Yuk ? kita tanyakan saja padanya" seru Jack. "Rupanya ada sesuatu yang misterius di sini. Mari kita selidiki, lalu kita laporkan pada Bill, apabila ia datang nanti. Ayo, cepat" --
Anak?anak bergegas lari ke air, lalu memandang ke atas pohon. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Laki-laki Negro tadi sudah menghilang lagi.
"Sialan" tukas,Jack kecewa. "Rupanya ia takut melihat kau cepat-cepat lari tadi, Lucy-Ann, karena menduga kau pasti akan memanggil kami"
"Ajaib, kenapa anjing-anjing itu tidak menemukan jejaknya tadi malam ? serta sewaktu Pak David melihat dia di atas pohon ini," kata Jack.
"Kurasa karena orang itu cukup cerdik," kata Philip. la memandang air yang mengalir dari atas.
"Anjing kan tidak bisa mengendus bau dalam air. Dan orang hitam itu mestinya datang dari sebelah atas atau bawah kemari sambil mengarungi sungai kecil ini. Sesampai di pohon, lalu meloncat naik ke atas. Kawanan anjing herder itu takkan sanggup mengikuti jejaknya dalam air. Walau begitu ia rupanya ketakutan juga, melihat anjing?anjing itu berkeliaran di dekat-dekat sini"
"Mungkinkah anjing-anjing itu mencari dia?" tanya Lucy-Ann ngeri. "la mestinya ketakutan setengah mati. Kaiau aku sudah pasti ngeri, apabila dikejar-kejar kawanan anjing herder"
Keempat remaja itu masih mencari?cari selama beberapa saat, tapi Negro itu tetap tidak ditemukan.
"Mungkinkah maksudnya tadi di dalam gunung ini ada orang?" tanya Dinah, setelah mereka menghentikan pencarian.
"Kedengarannya tidak masuk akal ?? tapi jika diingat bunyi gemuruh yang kita dengar kemarin ? serta tanah yang bergetar keras ? mungkin saja ada orang yang bekerja di dalam gunung," kata Jack.
"Bekerja bagaimana maksudmu? Tambang, begitu?" tanya Dinah.
"Entah ? aku pun tidak tahu. Mungkin saja Walau tidak bisa kubayangkan apa yang bisa ditambang di dalam gunung ini, atau dengan cara bagaimana mesin?mesin yang diperlukan diangkut masuk ke dalam. Untuk itu kan diperlukan jalan Dan kalau di sini ada jalan, pasti akan diketahui orang."
"Misterius Benar-benar misterius," kata Dinah. Lucy-Ann mendesah.
"Lagi-lagi kita menjumpai petualangan," katanya. "Kita tidak boleh pergi bersama?sama rupanya. Maksud kita hendak mencari burung, kupu-kupu, atau apa saja ? tapi kemudian selalu muncul sesuatu yang tak tersangka-sangka Bosan aku rasanya"
"Kasihan," kata Philip. "Kita memang selalu secara kebetulan menjumpai hal-hal yang aneh. Bagiku, itu malah asyik Aku suka pada petualangan."
"Ya, itu karena kau anak laki?laki," kata Lucy-Ann. "Anak perempuan tidak suka pada hal-hal seperti itu."
"Aku suka," seia Dinah dengan segera. "Aku selalu menikmati segala petualangan kita sampai sekarang. Sedang yang ini kelihatannya lebih misterius lagi Ada apakah di gunung" ini? ingin sekali aku mengetahuinya Coba orang hitam itu masih ada di sini ? kita bisa minta dia menceritakan segala-galanya."
"He ? dengar tidak ?? kurasa bunyi gemuruh itu datang lagi," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba.
"Lihat saja si Putih, ia ketakutan sekali Ya ?? itu dia bunyinya."
Jack menempelkan telinganya ke tanah. Bunyi itu kedengaran semakin jelas dan aneh. Mungkinkah gemuruh itu bunyi letusan, jauh di dalam gunung?
Kemudian tanah bergetar lagi. Lucy-Ann berpegangan erat-erat pada Jack. Seram rasanya, tanah yang semula kokoh tahu?tahu bergetar
Getaran itu hanya sebentar saja. Dinah memandang sekilas ke atas tebing yang ada di belakang mereka. sambil bertanya-tanya dalam hati, rahasia apa yang ada di dalam gunung itu. Tiba-tiba sikapnya menegang. Dicengkeramnya lengan Philip.
"ltu ? lihat" katanya sambil menuding ke atas. Anak-anak yang lain memandang ke arah yang ditudingnya. Nampak kepulan asap keluar dari sisi gunung, mengepul-ngepul seperti serangkaian awan kecil. Tapi itu bukan asap biasa. Warnanya kemerah-merahan. Dan berlainan dengan kabut, kepulan asap itu tidak melayang dibawa angin, melainkan tetap melayang di dekat tebing selama beberapa saat. Kemudian warnanya memucat, dan akhirnya lenyap dari penglihatan.
"Wah ? apa itu tadi?" tanya Jack tercengang. "Belum pernah aku melihat asap seperti itu. Rupanya pada sisi gunung di sebelah situ ada semacam celah, dari mana ada asap atau gas menghambur keluar."
"Celah yang bagaimana?" tanya Lucy-Ann dengan mata terbelalak.
"Yah, begitulah ? semacam cerobong," kata Jack menduga. "Cerobong dengan aliran udara yang membawa asap atau gas ke luar. Hal yang sedang terjadi di dalam gunung ini mengeluarkan asap tadi, yang harus dibuang ke luar. Aku ingin tahu, apa sedang dibuat di dalam gunung ini. di samping gas atau asap tadi"
Anak-anak tidak bisa membayangkannya. Mereka merasa tidak mampu mencocokkan segala fakta aneh yang sudah mereka ketahui: kawanan anjing herder, lalu orang hitam yang mengaku minggat dari dalam gunung, bunyi gemuruh serta' tanah yang bergetar, kemudian asap merah. Aneh, benar-benar aneh
"Kenapa sih, Bill belum muncul-muncul juga" kata Philip. "Coba ia ada di sini, mungkin ia bisa menghubung-hubungkan potongan-potongan teka-teki ini"
"Atau jika kita berhasil menemukan orang hitam yang dilihat Lucy-Ann tadi ? pasti banyak yang bisa diceritakannya pada kita," kata Philip.
"Kita sebaiknya tetap berjaga-jaga saja ? siapa tahu, nanti akan muncul lagi," kata Dinah.
Malam itu juga anak-anak memang melihatnya. Tapi satu pun pertanyaan mereka tidak sempat dijawab
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 14 BERBAGAI PERISTIWA PETANG itu anak-anak hendak berjalan-jalan sebentar. Si Belang ditinggalkan dalam keadaan tertambat ke pohon yang di dekat air, dengan sepucuk surat terselip pada tali kekangnya. Surat itu ditujukan pada Bill, menyatakan bahwa mereka akan segera kembali. Soalnya mungkin saja Bill datang saat mereka sedang berjalan-jalan.
"Tapi kurasa tak mungkin ia akan sudah sampai kemari sekarang," kata Jack. "Walau demikian, siapa tahu ? karena Bill sering melakukan berbagai hal secara tak terduga. Dan dengan cepat sekali
Keempat remaja itu berangkat disertai si Putih yang berjingkrak-jingkrak di sekitar mereka. serta Kiki yang bertengger di atas bahu Jack Mereka mendaki lereng, melewati gua tempat mereka tidur malam sebelumnya. Kantung-kantung tidur mereka yang ada di situ, sudah dimasukkan lagi ke dalam gua. Tapi anak-anak berniat akan tidur di luar lagi malam ini.
"Yuk, kita ikuti si Putih," kata Dinah. "Ia kelihatannya seperti tahu jalan yang bisa dilewati."
Mereka pun membuntuti si Putih. Anak kambing itu ternyata ingin mendaki. Tapi kemudian mereka terpaksa berhenti, karena terhadang tebing gunung yang sangat curam, hampir tegak lurus. Bahkan si Putih pun tidak bisa terus.
"Aduh, panasnya" kata Dinah sambil mengipas-ngipaskan tangan. "Kita duduk sebentar yuk, di bawah pohon-pohon itu."
Pepohonan itu seperti melambai-lambai ditiup angin. Jack mendongak dengan sikap kepingin, memperhatikan ranting-ranting yang bergerak kian kemari.
"Pasti enak dan sejuk duduk di atas dahan- dahan itu, karena di situ banyak angin," katanya.
"Bagaimana jika kita naik saja ke sana. Pohon-pohon ini kelihatannya gampang dipanjat."
"Itu ide yang bagus" kata Philip. "Aku suka duduk berayun-ayun di atas pohon. Kau ingin kubantu naik, Lucy-Ann?"
Tidak lama kemudian keempat remaja itu sudah duduk di atas dahan yang bercabang-cabang, membiarkan diri terayun-ayun kena angin yang lumayan kuat tiupannya di atas situ.
"Ini baru asyik," kata Dinah. "Sedap"
"Hebat" kata Jack. "Jangan terlalu keras kaucengkeram bahuku, Kiki Jangan khawatir, kau takkan bisa jatuh"
Si Putih terpaksa ditinggal di bawah. Anak kambing itu mengembik-ngembik. Beberapa kali ia mencoba meloncat naik ke atas pohon, tapi selalu gagal. Ia lari berputar-putar mengelilingi pohon yang dipanjat Philip. Kelihatannya kesal sekali Akhirnya ia lari menghampiri sebuah batu, lalu meloncat turun naik di situ tanpa berhenti. Anak-anak tertawa geli melihat kekonyolannya.
Tiba-tiba terdengar bunyi ribut-ribut, suara menggonggong, menggeram, melolong, dan mendengking.
"Itu kawanan anjing yang tadi malam" kata Jack. la memicingkan mata, memandang ke arah i suara ribut yang terdengar. "Wah ? mereka mengejar orang hitam itu"
Jauh di bawah mereka terdengar bunyi berisik di tengah semak belukar, bercampur suara gonggongan. Kemudian nampak seorang laki-laki berlari melintasi medan lereng yang gundul berbatu-batu. Jaraknya sekitar setengah mil di bawah mereka.
Anjing-anjing bertemperasan mengejarnya. Lucy-Ann nyaris terjatuh dari pohon karena ketakutan melihat ada orang dikejar kawanan anjing. Anak-anak hanya bisa memandang saja sambil membisu. Jantung mereka berdebar keras. Dalam hati mereka berdoa. semoga orang yang dikejar itu selamat.
Orang itu berhasil mencapai sebatang pohon. Ia cepat-cepat meloncat ke atas pohon itu, tepat ketika anjing yang paling depan berhasil mengejarnya. Orang itu menjunjung tubuhnya ke atas, lalu menghilang di tengah dedaunan. Kawanan anjing mengepung pohon itu. Ribut sekali bunyi gonggongan mereka
Lucy-Ann meneguk ludah, sementara air matanya bercucuran. Ia menangis, karena merasa kasihan pada laki-laki yang dikejar-kejar itu. Sedang anak-anak yang lain memandang terus dengan perasaan suram. Philip menimbang-nimbang baik buruknya jika ia turun lalu memanggil anjing-anjing itu.
Tapi sebelum ia sempat bertindak, muncul seorang laki-laki lagi. Orang itu berjalan dengan santai, menuju ke pohon yang sedang dikepung kawanan anjing. Anak-anak tidak bisa melihat tampangnya, karena jaraknya dari mereka terlalu jauh. Suaranya pun tak terdengar.
Tapi udara pegunungan yang tipis melayangkan bunyi siulan melengking. Seketika itu juga anjing-anjing yang mengepung pohon lari mendatangi orang yang baru datang itu. Ia berdiri tidak jauh dari pohon. Dari gerak-geriknya dapat ditebak bahwa ia memanggil orang yang bersembunyi di situ, menyuruhnya turun. Tapi tidak ada yang nampak turun.
Laki-laki yang baru muncul itu melambaikan tangannya ke arah kawanan anjing, yang dengan segera mengepung pohon lagi sambil ribut menggonggong dan melolong-lolong. Sedangkan laki-laki itu berpaling, lalu berjalan kembali ke arah dari mana ia datang tadi.
"Aduh?rupanya ia menyuruh anjing-anjingnya terus mengepung pohon," kata Lucy-Ann terisak-isak. "Orang yang bersembunyi di situ pasti akan kelaparan apabila tetap bertahan di atas Tapi kalau turun, langsung akan diserang kawanan anjing galak itu. Kita bisa berbuat apa, Philip?"
"Aku akan turun, lalu memanggil anjing-anjing itu," kata Philip. "Kita tunggu dulu sampai laki-laki tadi sudah jauh, supaya ia tidak melihat aku. Setelah itu akan kuusahakan memancing anjing-anjing itu agar pergi dari sana, sehingga laki-laki yang terkepung itu mendapat kesempatan lari."
la menunggu selama dua puluh menit, lalu turun dari pohon. la bergerak menyelinap dengan hati-hati di tengah belukar, menghampiri pohon yang dijadikan tempat persembunyian laki-laki yang dikejar anjing.
Philip terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba bahunya dicengkeram dari belakang. Ia berpaling dengan cepat ? daan menatap wajah seorang laki-laki
Philip meronta-ronta hendak membebaskan diri dari cengkeraman orang itu. Tapi sia-sia la tidak berani berteriak memberi tahu anak-anak yang lain, karena tidak ingin mereka ketahuan pula Dalam hati ia menyesali dirinya sendiri, kenapa tidak menunggu agak Iebih lama lagi. Rupanya orang yang dihadapinya saat itu, adalah orang yang tadi menyuruh laki-laki yang bersembunyi agar turun dari pohon
"Apa yang kaulakukan di sini?" kata laki-laki yang mencengkeram bahu Philip. Dari logat bicaranya dapat diketahui bahwa ia orang asing.
?Kau ini siapa?" "Aku cuma hendak mencari kupu-kupu, Pak," kata Philip terbata-bata, dengan tampang seolah-olah tahunya hanya kupu-kupu saja. Hatinya tidak enak melihat raut muka orang itu. Kelihatannya galak. Lancip seperti elang, dengan alis tebal menaungi mata hitam yang menatap dengan tajam. Philip langsung sadar bahwa orang ini pasti tidak gampang kena tipu.
"Dengan siapa kau di sini?" tanya orang itu sambil memperkeras cengkeraman tangannya, sehingga Philip menggeliat kesakitan.
"Sendiri saja. Pak. seperti Anda lihat," kata Philip. Mudah-mudahan saja orang itu mau percaya. Orang itu menatapnya dengan pandangan menyelidik.
"Jika kau sudah lama di sini, pasti sudah disergap anjing-anjingku," katanya. "Kau serta kawan-kawanmu"
"Kawan-kawan yang mana?" tanya Philip pura-pura bodoh. "Ah ? si Putih, anak kambingku, maksud Anda? la memang selalu ikut dengan aku"
Saat itu si Putih datang menghampiri sambil berjingkrak-jingkrak. Laki-laki itu memandangnya dengan heran.
"Dia ini seperti anjing saja terhadapku ? tidak pernah mau berpisah," kata Philip menjelaskan. "Lepaskan aku, Pak Aku ke sini cuma karena hendak mencari kupu-kupu. Malam ini aku akan sudah pergi lagi.?
"Kau dari mana?" tanya laki-laki itu. "Tahukah orang tuamu bahwa kau ada di sini?"
"Tidak," jawab Philip tanpa berbohong. "Aku pergi begitu saja, karena hendak berburu kupu-kupu. Datangku dari sana."
Ia berkata begitu sambil menggerakkan kepalanya ke arah belakang, dengan harapan bahwa orang itu mau percaya bahwa ia pencinta alam yang tidak tahu apa-apa, dan karenanya lalu melepaskan dirinya. Tapi ternyata tidak
Bahu Philip malah semakin keras dicengkeramnya, lalu ia berpaling ke arah pohon yang masih dikepung kawanan anjing.
"Kau harus ikut ? karena sudah terlalu banyak yang kaulihat," tukasnya.
Saat itu terdengar suara orang berteriak-teriak dari atas pohon. Rupanya orang yang bersembunyi di situ hendak menyerah. Laki-laki yang mencengkeram bahu Philip datang menghampiri pohon itu, diikuti oleh si Putih yang terheran-heran. Laki-laki itu mengeluarkan peluit dari kantungnya, lalu meniupnya. Terdengar bunyi melengking tinggi. Seperti sudah terjadi sebelumnya, kawanan anjing Iangsung meninggalkan pohon dan datang menghampiri laki-laki itu. Sedang orang itu kini berteriak. Disuruhnya orang yang bersembunyi itu turun dari pohon.
Orang yang ketakutan itu bergegas turun, sehingga nyaris jatuh. Ternyata ia memang orang berkulit hitam yang pernah dilihat Lucy-Ann. Kawanan anjing herder sama sekali tidak menyerangnya. Mereka terlatih baik, kata Philip dalam hati.
Laki-laki Negro itu berlutut sambil mengoceh ketakutan. la kelihatannya ngeri sekali. Laki-laki yang satu lagi menyuruhnya berdiri. Nada suaranya dingin dan merendahkan. Laki-laki hitam itu berdiri lalu berjalan dengan dikelilingi kawanan anjing. Laki-laki yang satu lagi melangkah di belakangnya, sementara tangannya masih terus mencengkeram bahu Philip.
Ketiga anak lainnya yang masih di atas pohon hanya bisa memandang dengan perasaan ngeri. Mereka kaget sekali ketika melihat Philip dicengkeram laki-laki itu.
"Ssst ? kita tidak boleh sampai ketahuan," kata Jack sambil berbisik. "Philip takkan apa-apa, jika anjing-anjing itu ada di dekatnya Ada sepuluh sahabatnya yang setiap saat bisa dipanggil untuk membela dirinya"
Iring-iringan manusia bersama anjing itu lewat dekat sekali di bawah pepohonan tempat Jack, Dinah, dan Lucy-Ann bersembunyi. Philip memaksa dirinya, jangan sampai memandang ke atas. Jangan sampai anak-anak yang ada di atas itu ikut ketahuan, katanya dalam hati.
Jack menyibakkan ranting-ranting yang menutupi, lalu mengamat-amati rombongan yang lewat di bawah dengan perasaan cemas Ternyata mereka menuju ke tebing batu curam yang tidak bisa didaki. Jack meraih teropong yang tergantungi _ di lehernya, untuk mengamat-amati gerak-gerik rombongan itu dengan cermat. Ke manakah tujuan mereka? Jika itu berhasil diketahui, mungkin ia nanti akan bisa menyusul, untuk membebaskan Philip dan si Putih.
Dilihatnya laki-laki tak dikenal itu menggiring Philip, lurus menuju tebing curam yang menghadang. Tahu-tahu rombongan itu lenyap. Begitu saja ? tahu-tahu hilang Jack menggosok-gosok lensa teropongnya, karena disangka kotor atau bagaimana. Tapi tidak ? pemandangan yang nampak tetap sama. Hanya tebing batu yang curam ? tanpa ada siapa pun di situ. Seekor anjing saja pun tidak kelihatan lagi di situ
"Jack Bisakah kau melihat apa yang terjadi dengan Philip sekarang?" tanya Lucy-Ann dengan suara cemas. "Aduh. Jack -- ia tertangkap"
"Ya, dan kini ia digiring masuk ke dalam gunung," kata Jack. "Tapi aku tidak tahu, lewat mana Sesaat tadi semuanya masih ada di luar, lalu tahu-tahu lenyap Aku sampai bingung"
Sekali lagi ia mengamat-amati tempat tadi dengan teropongnya. Tapi tetap tak ada yang nampak di situ. Tahu-tahu ia menyadari bahwa matahari sudah terbenam.
"Sebentar lagi hari sudah gelap." katanya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Kita harus cepat-cepat turun lalu kembali ke gua, sementara kita masih bisa melihat jalan."
Anak-anak itu bergegas turun. Lucy-Ann berusaha menahan tangis.
"Apakah yang terjadi dengan Philip?" katanya sendu. "Aku ingin ia berada lagi di sini"
"Jangan cengeng." kata Dinah. "Tangismu takkan bisa menolong dia Kau ini sedikit-sedikit menangis"
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan ketus, untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia sendiri pun sudah hampir menangis. Jack merangkul kedua anak perempuan itu.
"Janganlah bertengkar,"
?prev | next? Go to[1-11] Home katanya. "Itu pun takkan bisa menolong Philip. Yuk, kita cepat-cepat kembali ke gua. Aku akan menjemput si Belang dari air, lalu membawanya ke atas."
Sementara kedua anak perempuan itu kembali ke gua, Jack pergi ke sungai kecil untuk menjemput si Belang yang menunggu dengan sabar di situ. Kiki bertengger di atas bahu anak itu. Ia sama sekali tidak mengoceh, seperti biasanya. Burung cerdik itu selalu tahu apabila ada kejadian yang tidak enak. Dicubitnya telinga Jack dengan lembut seolah-olah hendak mengatakan bahwa ia ikut prihatin.
Hari sudah hampir gelap ketika akhirnya semua sudah berada di gua. Api unggun tidak perlu dinyalakan lagi malam itu ? karena ternyata tidak ada serigala yang perlu ditakuti. Anak-anak kini malah akan merasa senang, apabila nampak sosok-sosok gelap datang menyelinap. Kawanan anjing herder itu pasti akan mereka sambut dengan gembira.
"Aku rindu pada si Putih," kata Dinah. "Aneh rasanya, tidak melihat anak kambing itu berjingkrak-jingkrak ke mana-mana. Untunglah, ia ikut dengan Philip. Aku juga merasa lega, karena cecak ular itu juga tidak ada lagi."
Ketiga remaja itu tidak ada yang ingin lekas-lekas tidur, karena merasa perlu"berembuk dulu. Dengan tiba-tiba saja begitu banyak peristiwa yang terjadi. Aduh ? kapan sih, Bill tiba? Selama itu mereka mampu mengurus diri sendiri, tanpa dicampuri orang dewasa ? tapi saat itu bahkan kalau Pak David saja yang datang, pasti akan disambut dengan perasaan lega
"Yah ? sebaiknya kita masuk saja ke kantung tidur kita sekarang," kata Jack kemudian. "indah sekali bulan malam ini."
"Bagiku tidak ada yang indah, kalau kuingat bahwa Philip tertawan," kata Lucy-Ann sedih. Tapi bulan saat itu memang sangat cemerlang sinarnya di atas pegunungan, sehingga segala-galanya nampak jelas seperti saat siang.
Anak-anak itu sudah hendak menyusup masuk ke dalam kantung tidur masing-masing, ketika pendengaran Lucy-Ann yang tajam menangkap bunyi yang asing.
"He ? kalian dengar tidak itu," katanya sambil memasang telinga. "Apa itu? Tidak, sekali ini datangnya bukan dari dalam gunung ? tapi di atas, di udara"
Anak-anak keluar dari gua. Mereka berdiri sambil mendongak di atas batu yang datar, memperhatikan langit yang cerah disinari cahaya bulan.
"Aneh" kata Jack. "Kedengarannya agak seperti pesawat terbang ? tapi bukan pesawat terbang. Apakah itu?"
Bab 15 DI BALIK TIRAI HIJAU Bunyi itu kian mendekat. "Seperti ada sepeda motor?tapi di udara," kata Jack.
"Atau mesin jahit," kata Dinah. "Itu, Jack Lihatlah ? apakah itu? itu, bintik kecil yang di sebelah sana itu"
Jack buru-buru meraih teropong yang masih tergantung di lehernya, lalu memandang ke langit dengannya. Matanya terpicing, berusaha mengenali bintik kecil gelap yang nampak di langit. Bintik itu semakin mendekat.
"Apa pun benda itu, kelihatannya hendak mendarat di gunung ini," kata Dinah. "Pelan sekali geraknya Pesawat terbangkah itu, Jack?"
"Bukan," kata Jack. "Astaga ? itu helikopter Terbangnya tidak laju, tapi bisa mendarat di tempat yang sangat sempit. Di pekarangan, atau bahkan di atas atap datar"
"Helikopter?" seru Dinah, sambil merampas teropong yang sedang dipegang Jack. "Mana ? coba kulihat"
Sementara itu bintik tadi sudah cukup dekat, sehingga Dinah dapat melihatnya dengan jelas lewat teropong. Jack dan Lucy-Ann mengamat-amatinya dengan mata terpicing. Pesawat itu melayang di atas puncak gunung, lalu terbang dengan lambat mengitarinya. Beberapa menit kemudian muncul lagi.
Kemudian helikopter itu membubung agak tinggi, lalu turun lambat-lambat. Geraknya hampir tegak lurus, sedang bunyinya terdengar aneh di tengah keremangan senja. Sesaat kemudian bunyi itu lenyap.
"Sudah mendarat," kata Jack. "Tapi di mana? Wah ? kalau aku, takkan mau mendarat di gunung_ securam ini"
"Mungkin di puncak sana ada tempat pendaratan," kata Lucy-Ann.
"Ya, mungkin juga," kata Jack. "Tapi aneh sekali ? mendaratkan helikopter di puncak gunung seperti ini Untuk apa?"
Tidak ada yang bisa memberikan jawaban.
"Yah," kata Jack kemudian, "jika helikopter tadi benar-benar mendarat di puncak sana, itu satu kemungkinan untuk membawakan makanan serta perbekalan lainnya bagi orang-orang yang bekerja di dalam gunung ini Mereka kan memerlukan bekal makanan, sedang di sekitar sini sama sekali tidak ada jalan masuk ke dalam."
"Aku rasanya seperti sedang bermimpi," kata Lucy-Ann lirih. "Seram rasanya Coba aku bisa bangun sekarang, dan kejadian ini ternyata memang mimpi belaka"
"Yuk ? kita tidur saja sekarang," kata Jack. "Kita tidak bisa berbuat apa?apa. Kita harus menunggu sampai Bill datang. Kalau kalian mau, kita bisa tidur di luar lagi dalam kantung tidur, kita cukup hangat dan nyaman."
Sambil makan coklat, ketiga remaja itu menyusup masuk ke dalam kantung tidur masing-masing. Kiki terbang ke belukar yang ada di dekat situ, lalu bertengger di sana. Burung itu mendeham-deham, menirukan Pak Dayid.
"Look you, whateffer look you, whateffer," ocehnya. Rupanya ia teringat pada kata-kata yang baru dipelajarinya di tempat pertanian keluarga Evans.
"Diam, Kiki" kata Jack.
"Whateffer, " kata Kiki lagi, lalu terceguk dengan suara nyaring. "Maaf" katanya, lalu terkekeh. la diam sesaat Kemudian kepalanya tersembul lagi dari bawah sayap.
"Bee" katanya dengan puas, karena masih ingat pada bunyi ejekan itu. Kemudian kepalanya dimasukkan kembali ke bawah sayap.
Malam itu Jack tidak bisa tidur nyenyak, karena memikirkan Philip. la juga tidak habis berpikir, kenapa rombongan yang terdiri dua orang laki-laki, Philip, dan sepuluh ekor anjing yang besar-besar bisa dengan tiba-tiba saja lenyap, sementara ia masih memperhatikan. Ia memutuskan untuk pergi memeriksa tebing gunung yang curam itu besok. Mungkin ia akan bisa mengetahui ke mana rombongan itu pergi ? dan dengan cara bagaimana bisa tahu-tahu lenyap.
"Bagaimana menurutmu ? mungkinkah Bill datang hari ini?" tanya Lucy-Ann keesokan paginya.
Jack menghitung-hitung sebentar, lalu menggeleng.
"Kurasa belum," katanya. "Tapi mungkin besok ? itu pun jika Pak David berhasil cepat-cepat kembali, lalu Bill langsung berangkat kemari. Tapi apabila kita akan pergi jauh dari air, sebaiknya kita meninggalkan surat untuk Bill, seperti yang kita lakukan kemarin. Siapa tahu, mungkin saja ia datang saat kita sedang tidak ada"
Surat yang kemarin disisipkan ke tali kekang si Belang sudah diambil lagi, ketika keledai itu diambil dari sungai kecil dan dibawa ke atas batu yang mencuat, tempat mereka bermalam. Kini Jack menulis sepucuk surat lagi. Isinya menceritakan lenyapnya Philip dekat tebing batu. Jack juga menulis tentang helikopter yang dilihatnya. Menurut perasaannya, lebih baik ia menuliskan semua yang diketahui, untuk berjaga?jaga ? hanya untuk berjaga-jaga saja ? kalau terjadi sesuatu nanti, dan mereka pun ikut tertawan. Banyak sekali hal aneh yang terjadi di gunung itu. Ada saja kemungkinan bahwa jika laki-laki tak dikenal itu berhasil memaksa Philip untuk mengatakan bahwa masih ada anak-anak lain di gunung itu, mereka kemudian juga akan dicari untuk ditawan pula.
Jack menggiring si Belang ke tepi air. Dipilihkannya tempat teduh yang banyak rumput- nya di dekat air, supaya keledai itu bisa minum dengan leluasa. Si Belang menyukai hidup seperti itu. Tapi walau demikian ia masih memandang berkeliling dengan sikap gelisah. la merasa kehilangan si Putih. Di manakah anak kambing kecil temannya itu?
"Si Putih sebentar lagi pasti sudah kembali, Belang," kata Jack sambil mengusap-usap hidung keledai itu. "Bersabarlah sedikit"
"Apa rencana kita hari ini?" tanya Lucy-Ann ketika Jack sudah kembali. "Aku rasanya tidak ingin berbuat apa-apa, setelah Philip lenyap"


Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kalau kau ikut aku ke tebing batu yang curam itu," kata Jack. "Mungkin saja di sana kita akan bisa mengetahui bagaimana caranya mereka itu tahu-tahu bisa lenyap Tapi kalau kau ikut, kita harus waspada sekali ? jangan sampai disergap secara mendadak"
Nampak bahwa Lucy-Ann sebenarnya tidak ingin ikut. Tapi ia tidak mau berpisah dari Jack, apabila kemungkinan ada bahaya. Jika akan datang sergapan secara mendadak, ia memilih lebih baik ada bersama Jack dan Dinah
Ketiga remaja itu berangkat dengan membawa bekal beberapa kaleng makanan, karena mungkin mereka nanti segan kembali ke gua apabila hari sudah panas. Kiki terbang di atas kepala mereka sambil berteriak?teriak menirukan suara kawanan burung layang-layang yang berlayapan sambil menangkap serangga. Burung-burung. itu sama sekali tidak mempedulikan Kiki. Dengan tenang dan tangkas mereka terus melakukan kesibukan mencari makan.
Akhirnya anak?anak sampai di kelompok pepohonan tempat mereka duduk-duduk menikmati hembusan angin malam kemarinnya.
"Tunggu sebentar di sini," kata Jack. Ia meloncat naik ke atas pohon. "Aku ingin memeriksa sebentar, apakah keadaan benar-benar aman."
Ia meneropong berkeliling, sambil berpijak ke dahan di puncak pohon. Tidak ada bunyi Iain yang terdengar saat itu, kecuali angin yang bertiup serta kicauan burung. Manusia sama sekali tidak nampak, begitu pula anjing.
"Kelihatannya aman," kata Jack, setelah turun Iagi. "Yuk ? kita berangkat sekarang"
Saat itu Kiki mulai meringkik?ringkik, menirukan suara si Belang. Jack berpaling sambil membentak.
"Diam, Kiki Burung nakal Sekarang tidak boleh ribut Burung konyol"
Kiki menggerak-gerakkan jambulnya. la terbang ke atas pohon sambil mendetak-detakkan paruh dengan marah. Sikapnya itu seolah?oIah hendak mengatakan, "Baiklah - Kalau kau marah-marah seperti itu, aku tidak mau ikut" Kiki bertengger di dahan pohon sambil merajuk. Tapi ia melirik ke arah anak-anak, yang sementara itu meneruskan langkah ke arah tebing.
Sesampainya di situ mereka mendongak. Tebing itu menjulang nyaris tegak lurus ke atas. Takkan ada yang mampu mendaki tebing securam itu. Bahkan si Putih pun tidak
"Sekarang di mana mereka berada kemarin, ketika tahu-tahu lenyap?" kata Jack sambil mengingat-ingat. "Kurasa di sebelah sana."
Ia berjalan mendului, menghampiri dinding batu yang tidak rata. Di depannya tumbuh belukar yang rapat, berjalinan dengan tumbuhan merambat yang terjuntai dari sebelah atas.
Semula anak-anak menyangka bahwa belukar lebat itu tumbuh Iangsung di dinding yang ditutupi, seperti rumput atau tanaman pakis. Tapi kemudian datang angin kencang, menggerak-gerakkan belukar itu. Saat itu timbul dugaan dalam hati Lucy-Ann bahwa tanaman yang menutupi dinding itu tidak langsung tumbuh di situ, tapi terjulur dari sebelah atasnya.
Ia memegang belukar itu, lalu menariknya. Ternyata bisa disingkapkan, seperti tirai Nampak dinding batu di belakangnya. Tapi dinding itu tidak polos, melainkan bercelah. Celah itu besar dan agak tinggi, sekitar enam sampai tujuh meter ke atas tebing.
"He, Jack" kata Lucy-Ann. "Lihatlah ? belukar ini ternyata bisa disibakkan, seperti tirai Dan ini ada retakan besar di belakangnya. Mungkinkah mereka kemarin menghilang lewat sini?"
"Wah, betul juga ? rupanya mereka masuk dengan cepat ke balik tirai tumbuhan merambat ini," kata Jack. "Kusangka mereka menghilang dengan begitu saja Tolong pegang terus, Lucy-Ann, supaya kita bisa melihat celah itu. Pasti kemarin mereka masuk lewat situ"
Ketiga remaja itu dengan gampang saja bisa menyelinap ke balik tirai belukar yang terayun- ayun, lalu memasuki celah. Ternyata di belakangnya ada gua berbentuk bulatan. Gua itu tinggi sekali. Langit-langitnya tidak kelihatan, walau sudah diterangi dengan senter yang disorotkan Jack ke atas.
"Seperti lubang dalam gunung," katanya. "Dan tinggi sekali ? entah sampai ke mana"
"Masuk kemarikah mereka kemarin itu?" tanya Dinah sambil menengadah, memandang ke atas "Tapi lalu ke mana?"
"Entah," jawab Jack. Ia juga merasa bingung.
Tiba-tiba ia kaget. "Aduh ? coba lihat, apa yang ada di tengah-tengah ini Nyaris saja aku tercebur"
Ia menyorotkan senternya ke dasar gua. Hampir tak ada lantai yang nampak, karena hampir seluruhnya merupakan ko|am Kolam dengan air gelap selicin kaca
"Hii ? kelihatannya menyeramkan," kata Lucy-Ann sambil bergidik ngeri.
"Ini gua aneh," kata Dinah. "Tanpa langit-langit dan tanpa dasar ? yang ada cuma kolam Sama sekali tidak bisa diketahui, ke mana kemarin mereka itu pergi"
"Mestinya ada jalan terus dari sini," kata Jack. la bertekad akan mencari sampai berhasil menemukan jalan itu. Ia berjalan mengitari sisi gua. la memeriksa dengan cermat, dibantu sinar senter. Tapi ia sama sekali tidak melihat lubang yang bisa dilewati. Bahkan lubang kecil saja pun tidak. Dinding gua itu seluruhnya terdiri dari batu semata-mata
Pendekar Guntur 3 Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Api Di Bukit Menoreh 3
^