Pencarian

Sketsa Kematian 1

Fear Street Sketsa Kematian Face Bagian 1


Prolog AKU bermimpi menggambar garis perak.
Buku sketsaku bersandar di dinding putih. Dan sementara aku
memandangi kertasnya yang putih, tanganku dengan mantap bergerak
perlahan. Dan garis yang kugambar memanjang melintasi kertas
dengan warna peraknya. Warna perak yang berkilauan.
Warna perak yang dingin. Kugambar satu garis perak lagi. Lalu sebuah lingkaran.
Kurobek halaman itu dari buku sketsaku dan kuusapkan
tanganku pada kertas yang masih kosong di bawahnya. Lalu aku mulai
menggambar garis perak lagi.
Dalam mimpi itu aku bergidik ketika garis perak itu memanjang
melintasi kertas. Tiba-tiba aku merasa sangat kedinginan.
Perak adalah warna yang dingin. Dingin seperti logam. Kelabu
seperti musim dingin. Mimpi yang aneh sekali, aku ingat aku berpikir begitu dalam
mimpiku. Aku tahu aku sedang bermimpi. Aku tahu aku tidak mungkin
bisa menggambar warna perak yang berkilauan seperti itu.
Aku mulai menggambar garis lagi. Lurus dan sangat tipis. Garis
perak yang bagus. Dan ketika garis itu melintasi kertas, tampak sebuah warna
merembes pada kertas. Warna merah. Warna merah tua merembes dari kedua sisi garis perak itu.
Basah dan berkilat-kilat, warna merah itu menyebar ke seluruh kertas.
Garis perak itu memotong kertas.
Dan kertas itu berdarah. Warna gelap itu melebar, melebar
hingga menutupi kertas yang putih.
Dan aku terbangun dari mimpi, bangun dan menjerit.
Kenapa aku menjerit? Itu kan cuma garis perak.
Cuma gambar berwarna perak dan merah.
Cuma mimpi. Jadi kenapa aku menjerit? Aku tidak ingat.
Aku betul-betul tidak ingat.
Bab 1 SETELAH kecelakaan itu, kurasa aku mengalami shock.
Aku kehilangan sebagian ingatanku. Sebagian kehidupan masa
laluku pergi begitu saja.
Tak ada sesuatu pun yang kuingat tentang minggu itu. Atau
minggu-minggu berikutnya.
Ingatanku tentang musim gugur dan awal musim dingin tahun
yang lalu kabur semua. Rasanya seperti melihat pantulan samar di air
keruh kolam yang dalam. Aku bisa melihat riak-riak air. Tapi aku tidak pasti tentang
wajah-wajah yang tampak di situ. Atau gerakan sosok-sosok gelap
yang meliuk-liuk itu. Apa yang terjadi minggu itu? Hari itu?
Kenapa aku tidak bisa mengingat kecelakaan itu?
Dr. Sayles bilang ingatanku akan kembali. Suatu hari peristiwaperistiwa pada minggu itu akan kembali, jernih dan jelas.
Dr. Sayles melarangku memaksakan diri mengingatnya.
Kadang-kadang aku jadi berpikir ia tidak ingin aku bisa
mengingatnya. Mungkin semuanya terlalu mengerikan. Mungkin aku akan
menyesal kalau tahu yang sebenarnya.
Mungkin aku lebih baik tidak bisa mengingatnya. Apakah aku
harus bersyukur dengan adanya lubang besar dalam ingatanku ini?
Dr. Sayles menyuruhku hidup seperti biasa. Dan aku berusaha
melakukannya. Tapi teman-temanku tidak seperti dulu.
Kadang-kadang kulihat Justine memandangiku, matanya yang
biru pucat menyipit. Seolah-olah ia mengamatiku, berusaha membaca
isi pikiranku. Adriana selalu menyuruhku bersikap santai. "Santai saja,
Martha." Seolah-olah aku ini sakit. Semacam orang cacat.
Justine dan Adriana tampak bersikap sangat hati-hati di
dekatku. Mereka selalu saling lirik saat mereka mengira aku tidak
melihat. Mereka tampaknya selalu mengamatiku dengan sangat
cermat untuk berjaga-jaga.
Berjaga-jaga untuk apa? Berjaga-jaga kalau-kalau aku meledak? Berjaga-jaga kalaukalau si Martha yang malang ini pecah seperti telur dan semua isi
tubuhku meluber ke luar? Aku sering punya pikiran aneh-aneh sejak kecelakaan di musim
gugur tahun lalu itu. Aku tak bisa menghentikannya.
Dr. Sayles bilang itu normal-normal saja.
Itulah aku. Martha Powell. Normal-normal saja. Kurasa aku
kelihatan cukup normal. Tinggiku rata-rata dan berat badanku sekitar
enam puluh kilo. Cukup ideal untuk anak SMA.
Wajahku kekanak-kanakan. Aku lebih nge-Beatles dibanding
Rolling Stone. Aku punya rambut pirang, panjang dan sangat lurus. Mata
berwarna buah zaitun, besar dan bulat. Itu bagian wajahku yang paling
menonjol. Juga bintik-bintik samar di pipiku yang membuatku
kelihatan seperti anak dua belas tahun!
Kurasa aku memiliki senyum yang manis. Tapi aku sekarang
tidak tersenyum sesering dulu lagi.
Tapi, biarpun ada pikiran-pikiran aneh itu, biarpun ada lubanglubang di otakku, kurasa penampilanku lumayan.
Aku tidak cantik dan berkulit gelap dan kelihatan eksotis seperti
Adriana. Dan aku ingin sekali punya rambut merah Justine yang ikal,
bibir merahnya yang penuh, dan mata biru pucatnya yang bulat.
Tapi penampilanku lumayan.
Paling tidak begitulah menurut Aaron.
Aaron yang baik. Ia begitu setia padaku. Begitu menyayangiku.
Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dia. Aku
beruntung sekali? setelah begitu lama?bisa tetap menjalin
hubungan dengannya. Justine hampir tiap hari mengingatkan betapa beruntungnya
aku. Ia teman yang baik. Tapi ia tidak berusaha menutupi
kecemburuannya. "Aaron hebat sekali!" seru Justine beberapa hari lalu. "Coba
lihat body-nya!" "Justine, sudahlah," erangku.
Kami berada di kursi penonton di ruang olahraga Shadyside
High, menonton pertandingan gulat melawan Waynesbridge.
Aaron sebetulnya bukan pegulat yang terlalu hebat. Badannya
memang besar dan kelihatan atletis. Tapi ia tidak berlatih sesering
seharusnya. Lawan gulatnya pendek, gempal, dan penuh bulu. Ia tampak
seperti beruang. Ia menekan Aaron ke matras dengan semacam jurus
mengunci lengan. Wajah Aaron merah padam. Kelihatannya ia tidak terlalu
senang. Justine menarik rambut merahnya dengan kedua tangannya.
Wajahnya tampak tegang, seolah-olah ia ikut bergulat dengan Aaron.
Entah bagaimana Aaron berhasil melepaskan diri dari kunci
lengan lawannya. Ditariknya cowok berbulu itu ke bawah. Mereka
berdua mendengus-dengus, wajahnya sama-sama merah sekarang.
Aaron memitingnya dan melompat berdiri.
"Wow!" teriak Justine, bertepuk tangan kuat-kuat. "Wow!
Hebat sekali, Aaron!"
Aaron terengah-engah. Dari tempat duduk penonton pun, aku
bisa melihat keringat mengucur di keningnya, membasahi rambutnya
yang cokelat. Ia membantu menarik lawannya bangun dari matras. Lalu
diangkatnya kepalanya dan tersenyum padaku.
Maksudku, kurasa ia tersenyum padaku.
Justine tersenyum dan melambai, seolah-olah Aaron tersenyum
padanya! Paling tidak Justine jujur tentang hal itu. Ia tidak berusaha
menyembunyikan bahwa ia sangat menyukai Aaron.
Ia selalu menggodanya, biarpun Aaron cowokku. Kadangkadang Aaron balas menggodanya. Kau tahu kan. Bercanda-canda
dengannya. Tapi kurasa Aaron tidak menganggapnya serius.
Seperti kataku tadi, ia sangat setia padaku. Sangat baik.
Semua temanku sangat baik.
Kalau saja mereka tidak berjingkat-jingkat bila di dekatku.
Kalau saja mereka tidak begitu hati-hati bicara padaku.
Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Aku tahu apa yang ada
dalam pikiran mereka. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah ingatanku sudah
kembali. Tapi mereka takut bertanya.
Mereka tidak mau bicara tentang minggu pada bulan November
tahun lalu itu. Tentang kecelakaan itu. Mereka tidak pernah
membicarakannya di depanku.
Mungkin mereka tidak ingin mengingatnya juga.
Mungkin mereka menganggap aku beruntung. Mungkin mereka
berharap ingatan mereka bisa hilang juga.
Tapi aku tidak menganggap diriku seberuntung itu. Karena
pertanyaan-pertanyaan yang terus bergulat dalam benakku itu
membuatku gila. Apa yang terjadi malam itu?
Apakah begitu mengerikan?
Dan kenapa aku yang mengalami shock?
Bab 2 KUTEKAN pipiku ke bahu Aaron. Aku suka wangi aftershavenya. Sejuk dan manis.
Waktu ia pertama kali memakainya, aku menertawakannya. Ia
bercukur cuma kira-kira dua kali seminggu. Tapi tiap hari
dipercikkannya aftershave-nya itu.
Beberapa lama kemudian aku mulai menyukainya.
Aku menengadah dan menciumnya.
Kami harus cepat-cepat. Kami duduk di sofa kulit hijau di ruang
baca di rumah Aaron, dan adik laki-lakinya, Jake, mengintip-intip
terus dari tadi. Kalau Jake sampai melihat kami berciuman, bisa-bisa
ia membangunkan seisi rumah. Memang begitu sifat anak itu. Bandel.
Televisi menyala, menyiarkan film Lethal Weapon. Entah yang
keberapa. Aku suka Mel Gibson. Menurutku Aaron agak mirip dia.
Seperti Mel, Aaron memiliki rambut cokelat berombak dan mata biru
berkilat- kilat. Tapi kami tidak memperhatikan film itu. Aaron memeluk
bahuku, dan kami berusaha mencuri-curi berciuman sebelum Jake
menyerbu masuk. Menonton aktris berambut gelap di layar, aku tiba-tiba teringat
pada Adriana. "Aku agak cemas pada Adriana," kataku.
Aaron mendengus. Kami berciuman lagi. Aku mendengar suara langkah kaki di belakang kami.
"Jake?kau ya?" seru. Aaron, melirik ke belakang, ke ambang
pintu ruang baca. Aku mendengar suara cekikikan di koridor. Jake memang
tukang cekikikan. "Pergi," perintah Aaron.
"Coba paksa kalau berani." Ini jawaban favorit Jake.
"Oke. Akan kulakukan!" Aaron melompat dari sofa dan
berjalan ke pintu. Kudengar suara cekikikan lagi. Lalu suara langkah
kaki Jake ketika ia berlari pergi.
"Aaron mencium Martha! Aaron mencium Martha!" Jake
berteriak-teriak. Sambil menggeleng-geleng, Aaron duduk lagi di sampingku di
sofa. Di layar TV tampak ledakan dahsyat membuat sebuah gedung
runtuh. Aaron mengambil segenggam keripik nacho dari mangkuk di
sebelahnya. Ia menyodorkan mangkuk itu padaku. Kutolak.
"Adriana sekarang kurus sekali," kataku melanjutkan. "Aku
sangat cemas memikirkan dia."
"Yeah. Aku tahu," jawab Aaron dengan mulut penuh keripik.
Aku menghela napas. "Kau tahu, kurasa kecelakaan itu lebih
mempengaruhi Adriana daripada anak-anak lain."
Aaron menelan isi mulutnya. Matanya terus menatap layar TV
Ia tidak suka kalau aku mengungkit-ungkit kecelakaan itu.
"Berat badannya jauh berkurang," ulangku. "Dan kaulihat
lingkaran berwarna gelap di sekitar matanya?"
"Matanya memang selalu begitu," kata Aaron berkeras, meraih
keripik lagi. "Tidak," kataku padanya. "Dia harus ke dokter karena dia sering
tidak bisa tidur pada malam hari."
"Mungkin pergi pesta," kata Aaron bercanda.
Kudorong bahunya kuat-kuat. "Kau diam saja deh."
Ia mengangkat bahu dan terus menonton Mel Gibson.
Itulah yang selalu dilakukan Aaron kalau aku mencoba
membicarakan apa saja yang serius, apa saja yang berkaitan dengan
kecelakaan itu. Ia bercanda.
Ia tidak mau membicarakannya. Aku bisa melihat tubuhnya jadi
tegang. Pembicaraan ini membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
Sikapnya membuatku seperti gila rasanya. Aku ingin sekali
membicarakannya. Aku perlu membicarakannya.
Juga aku benar-benar cemas soal Adriana.
"Nilai-nilainya sangat merosot," kataku melanjutkan. "Semester
ini dia bahkan tidak jadi juara kelas."
Aaron mendengus menjawabnya.
"Kau kan tahu Adriana selalu ingin serbasempurna," kataku
mengingatkan. "Kau tahu dia sangat kompetitif. Aku tahu dia pasti
sangat resah memikirkannya. Dia cuma dapat C untuk bahasa
Spanyol! Aneh, kan? Padahal itu pelajaran paling mudah untuknya!"
Aaron menggeleng. "Dia jadi kacau," gumamnya.
Ia melingkarkan lengannya di bahuku. Aku merapatkan tubuhku
padanya, sambil memikirkan Adriana. Ketika aku menciumnya,
bibirnya terasa seperti keripik nacho.
Film di TV selesai. Nama-nama pendukungnya muncul di layar.
"Kau sudah bicara dengan dia?" tanya Aaron.
"Hah?" Aku tidak mengerti apa maksudnya.
"Kau sudah bicara dengan Adriana? Tentang badannya yang
makin kurus dan semua masalah tadi?"
Aku menghela napas. "Kau kan tahu Adriana," kataku,
meremas tangan Aaron. "Aku sudah mencoba. Tapi dia menolak
membicarakan masalah itu denganku. Dia tidak mau membicarakan
semua masalahnya denganku."
Aaron mengerutkan kening. "Kukira kalian berdua berteman
akrab." "Memang," kataku keras. "Tapi dia tidak pernah mau
membicarakan dirinya. Dia malah selalu mencemaskan aku. Selalu
berusaha menghiburku. Selalu berusaha membantuku. Setiap kali aku


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba berbicara serius dengannya, dia cuma mengatakan bahwa
semua akan baik-baik saja."
Aaron mengangguk. Ia bergerak hendak meraih keripik, tapi
lalu berubah pikiran. Ekspresi serius tampak di wajahnya yang
tampan. Matanya yang biru menatapku tajam. "Semua akan baik-baik
saja," katanya pelan.
Aku mengangguk. Itulah yang selalu dikatakan semua temanku.
Kami berciuman lagi. Bibirnya masih terasa asin. Aku tidak
ingin ia menjauh dariku. Aku ingin ciuman kami bertahan untuk
selamanya. Tapi kami mendengar suara cekikikan di belakang kami. "Aku
akan bilang ke orang-orang!" seru Jake.
Aaron melompat untuk mengejarnya lagi.
Aku bisa mendengar mereka berlari di koridor, tertawa-tawa
dan berteriak-teriak. Aku bersandar di sofa, memejamkan mata, dan memikirkan
Adriana.ebukulawas.blogspot.com
Justine dan Aaron bisa dibilang sudah kembali normal. Kenapa
Adriana jauh lebih terganggu daripada mereka?
Kenapa malam itu lebih mempengaruhi Adriana daripada kami
semua? Tentu saja aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku masih
tidak bisa mengingat apa yang terjadi.
Tapi aku bertekad mencari jawabannya.
Begitu banyak yang harus dicari. Begitu banyak.
Begitu banyak kejutan yang bisa terjadi.
Lalu, keesokan siangnya, kakak laki-laki Adriana mencoba
membunuhku. Bab 3 IVAN PETRAKIS, kakak Adriana, begitu mirip dengan
adiknya, sehingga rasanya mengerikan.
Keduanya berambut hitam, agak berombak, agak keriting.
Keduanya bertubuh tinggi, kurus, dan luwes. Keduanya bermata
cokelat muda dengan alis hitam tebal. Wajah mereka dramatis.
Mereka tampak menonjol di foto kelas kami.
Tahun ini Ivan mengganti penampilannya. Satu telinganya
ditindik dan dihiasinya dengan giwang perak. Dan ia membiarkan
cambangnya memanjang serta memelihara jenggot hitam kecil di
dagunya. Gaya barunya ini jelas membuat orangtuanya marah besar.
Ia selalu memakai T-shirt hitam dan celana denim hitam, yang
membuatnya tampil macho. Tidak seperti umumnya anak-anak North
Hills, daerah orang kaya di Shadyside.
Akhir-akhir ini Ivan sering terlibat masalah. Paling tidak,
begitulah desas-desus yang kudengar dari anak-anak yang dulu sering
main bersamanya. Mereka bilang ia sekarang kacau. Ia minum-minum
di pesta dan bergaul dengan anak-anak berandal dari Waynesbridge.
Tapi aku sejak dulu selalu menyukai Ivan. Sebetulnya aku
diam-diam naksir dia waktu kelas tiga, dan aku tidak tahu apakah aku
bisa melupakannya. Karena itu aku senang ketika secara tidak sengaja berjumpa
dengannya di Division Street Mall sepulang sekolah. "Hei? Ivan!"
teriakku, bergegas menyeberangi jalur lapangan parkir. "Apa kabar?"
Ia pura-pura terkejut dengan gaya berlebihan, mengangkat
tangannya dan nyaris terjatuh ke belakang. "Martha. Wow! Apa yang
kaubeli? Ada yang bisa dimakan? Ada cokelat Snickers? Milky
Ways? Aku lupa makan siang."
Kuangkat dua kantong belanja yang kubawa dan menunjuk ke
toko di belakangku. "Cuma alat-alat menggambar."
Ia mengerang. "Kau masih suka corat-coret?"
"Hei!" Aku berseru keras. "Aku serius dengan kesukaanku
menggambar, Ivan. Itu bukan corat-coret."
Ia menganggap ucapanku lucu. Ia tertawa dengan gayanya yang
khas. Suaranya agak mirip suara orang mengejek, bahunya yang kurus
jadi naik-turun. "Apa yang kaucorat-coret sekarang, Martha?"
"Diam," jawabku.
Ia tertawa lagi seraya menggaruk secuil rambut hitam halus di
dagunya. "Mau kuantar pulang?"
"Yeah. Tentu." Aku mengikutinya ke Civic merahnya. Ia agak
petentengan kalau berjalan. Mirip sejenis burung yang tinggi
menjulang. Satu lampu depan mobilnya retak, spatbornya bengkok di
sekelilingnya. "Apa yang terjadi, Ivan? Kecelakaan?"
Ia mengangkat bahu. "Entahlah." Dibukanya pintu pengemudi
dan tubuhnya yang panjang masuk ke dalam mobilnya yang mungil.
Kulemparkan kantong-kantong belanjaku ke kursi belakang,
lalu masuk dan duduk di sampingnya. Mobil itu berbau asap rokok.
Kulihat bungkus permen berserakan di lantainya.
Nah, aku punya kesempatan untuk membicarakan Adriana,
pikirku ketika Ivan memundurkan mobil keluar dari tempat parkir.
Mungkin Ivan punya ide tentang bagaimana cara menolongnya.
Ia mengarahkan mobil ke pintu keluar, lalu masuk ke Division
Street. "Mau melarikan diri?" tanyanya tiba-tiba.
"Apa?" Aku menoleh dan menatapnya.
"Mau melaju pergi dan terus melaju?" tanyanya, membalas
tatapanku dengan matanya yang cokelat tajam itu. "Tidak akan pernah
kembali? Terus melaju di jalan lurus sampai kita tidak bisa lagi
melaju?" Aku tertawa pendek dan ragu-ragu. "Kau bercanda?iya, kan?"
Ekspresinya tidak berubah.
"Kau tidak betul-betul ingin melarikan diri?kan?" desakku,
dadaku terasa sesak. Ia berpaling lagi ke kaca depan. "Entahlah," gumamnya.
Ia terpaksa menginjak rem kuat-kuat supaya tidak menerobos
lampu merah. Mobilnya berhenti dengan berdecit di tengah zebracross. Mobil di belakang kami membunyikan klakson.
"Cuma bercanda," gumam Ivan. Diketuk-ketuknya kemudi
dengan kedua tangannya. "Bagaimana kabar Adriana?" tanyaku, ingin mengganti topik
pembicaraan. Ivan tampak sangat tegang, sangat kaku. "Tidurnya
sudah lebih nyenyak?"
Lampu merah berganti hijau. Ditekannya pedal gas, dan
mobilnya melesat, menimbulkan bunyi berdecit. "Aku tidak tahu.
Tanya sendiri padanya."
Nada suaranya kedengaran begitu getir.
"Aku cemas memikirkan dia," kataku mengakui. "Dia bilang
padaku dia tidak bisa tidur. Tidak bisa makan."
"Bah!" Ia mencibir.
Aku menatapnya dengan marah. Tapi matanya menatap jalanan.
Sekarang sekitar pukul setengah enam?jam sibuk?dan jalan-jalan
penuh sesak dengan mobil.
"Kau kan kakaknya. Masak kau tidak mengkhawatirkan dia?"
Sebetulnya aku tidak bermaksud memekik begitu.
Ia mengangkat bahu lagi. Kelihatannya ia lebih banyak bicara
dengan bahunya. "Dia baik-baik saja," jawabnya dengan suara pelan
dan datar. "Minggu lalu dia ke dokter. Dokter mengajarnya melakukan
hipnotis pada diri sendiri."
"Apa?" Sebuah truk menderu lewat. Aku tidak yakin dengan
apa yang kudengar. "Kau tahu," kata Ivan, berteriak mengatasi suara bising truk.
"Dia menghipnotis dirinya sendiri. Untuk membantunya supaya bisa
tidur." "Wow," jawabku. Aku tahu kedengarannya tolol. Tapi aku tidak
tahu harus bilang apa. "Cara itu aman?" tanyaku akhirnya.
Ivan tampaknya tidak mendengarku. Ia berbelok ke kiri ke arah
Park Drive. Langit makin gelap sehingga nyaris berwarna hitam. Baru pukul
setengah enam, tapi kelihatannya seperti sudah tengah malam saja.
Aku benci bulan Februari.
"Nilai-nilai Adriana..." kataku.
Tapi Ivan memotong dengan seruan serak. "Tidak mudah untuk
bisa tidur di rumahku, Martha!" teriaknya, memukul kemudi mobil.
"Akhir-akhir ini tidak ada yang mudah di rumahku."
Aku tahu orangtua Ivan tidak akur. Menurut gosip, Mr. Petrakis
mengancam akan pergi, meninggalkan keluarga.
"Orangtuamu...?" tanyaku lemah. Aku sebetulnya tidak ingin
membicarakannya. Maksudku, itu kan bukan urusanku.
"Rasanya seperti zona perang," seru Ivan, menggeleng-geleng.
Meski remang-remang, aku bisa melihat matanya hampa, melihat
kepahitan di wajahnya. Pahit, bercampur takut.
"Kemarin malam mereka mulai saling melemparkan barang,"
katanya, matanya tetap lurus memandang jalanan di depan.
"Oh, tidak," gumamku.
"Seperti anak kecil. Mereka saling melemparkan piring dan
gelas. Kaca pecah bertaburan di dapur. A... aku berusaha
menghentikan mereka. Pertengkaran itu konyol sekali. Aku..." suara
Ivan tersendat. Aku menghela napas panjang. "Mengerikan sekali," gumamku.
"Lalu apa yang terjadi?"
"Mom lari ke kamar, menangis dan menjerit-jerit seperti orang
gila. Dad menghambur ke luar. Kurasa malam itu dia tidak pulang.
Paling tidak, aku tidak mendengar suaranya lagi."
"Ibumu baik-baik saja?" tanyaku, mencengkeram pegangan
pintu. Ivan menelan ludah. "Entahlah. Kudengar dia tersedu-sedu
semalaman. Kamar mereka tepat di samping kamarku." Ia
merendahkan suaranya supaya tidak tersendat lagi. "Nasib jelek, hah?"
Aku tidak tahu harus bilang apa. Orangtua Ivan sudah berbulanbulan bertengkar. Hampir tiap hari Adriana menceritakannya padaku.
Mereka terus berkelahi, tapi tidak ada yang mau mengalah, keluar dari
rumah itu. Tidak heran Adriana dan Ivan jadi begitu gelisah dan gilagilaan.
Aku memandang ke luar jendela, menatap pepohonan dan
rumah-rumah gelap yang melesat melewati kami. Melesat begitu
cepat. Membentuk bayang-bayang hitam samar dengan latar belakang
gelap. Aku baru sadar Ivan mengemudikan mobil terlalu cepat.
"Ivan, please..." kataku.
Kami melaju melewati tanda Stop di Canyon Drive. Ia
kelihatannya tidak melihatnya.
"Ivan?pelan-pelan!" teriakku.
"A?aku tidak sanggup lagi!" jerit Ivan. Matanya tampak liar.
Ia mencengkeram bagian atas kemudi dengan kedua tangannya.
"Terlalu berat, Martha! Terlalu berat!"
"Ivan?jangan!" Aku tersentak ngeri ketika ia berteriak lagi.
Dan memutar kemudi kuat-kuat.
"Aku tidak sanggup!" Kata-katanya bagai lolongan kesakitan,
keras mengalahkan deru mesin.
Mobilnya, berdecit-decit, roda-rodanya mencengkeram jalanan
sementara ia menginjak habis pedal gas.
Memutar kemudi. Memutar mobil.
Memutar kami berdua. Membuat kami berputar 360 derajat.
Dan membuat kami meluncur.
Ia menjerit-jerit. Menjerit mengeluarkan rasa sakit dari dalam
jiwanya. Ia menjerit ketika kami berputar.
Kupejamkan mataku ketika batang pohon raksasa berwarna
hitam itu tampak menjulang di depan. Dan Ivan membawa kami
meluncur ke sana. Ivan mencoba membunuh kami.
Itulah pikiran terakhirku. Pikiran terakhirku di dunia.
Bab 4 "OH!" Kepalaku menghantam atap mobil yang keras sebelum
mobil kami terlempar keluar jalanan. Rasa sakit menjalari tubuhku.
Kami terlempar lagi. Dan sekali lagi.
Dan akhirnya berhenti. Kubuka mataku. Tanganku gemetar. Sekujur tubuhku gemetar.
Aku terengah-engah kehabisan napas. Aku berusaha
menenangkan jantungku yang berdebar-debar kencang. Kugosok
kepalaku, masih berdenyut sakit.
"Ivan..." "Maafkan aku, Martha!" serunya.
"Kita masih hidup," gumamku. Kata-kata itu keluar begitu saja.
Aku tidak bisa berpikir jernih. Semua masih tampak seperti bayangan
samar. Bayangan samar yang gelap dan bergoyang-goyang.
"Kita masih hidup, Ivan."
"Aku benar-benar minta maaf." Ia terisak.
Dan tanpa sadar, aku berpaling. Dan kupeluk dia. Kupeluk dia
erat-erat. Kurasakan tubuhnya bergetar di balik jaket kulitnya.
"Kita masih hidup."
"Aku memutar kemudinya. A?aku tidak sanggup
melakukannya. Aku tidak bisa melanjutkan," katanya terbata-bata.
Kupeluk dia kuat-kuat, kutekan pipiku ke pipinya. "Kita masih
hidup. Kita masih hidup." Aku tak bisa berhenti mengatakannya.
"Aku tidak bermaksud berbuat begitu," gumam Ivan, suaranya
bergetar. "Tidak. Aku tidak bermaksud begitu."
Kurasakan ia mulai tenang. Kalau saja jantungku mau turun dari
tenggorokanku! Kembali ke tempat semula.
"Aku baik-baik saja," katanya tiba-tiba, nadanya agak dingin.
Ia mendorongku. "Aku baik-baik saja sekarang, Martha.
Sungguh." Aku tersandar lemas di kursiku dan memandang ke luar jendela.
Kami berada di tengah halaman depan sebuah rumah. Lampu teras
menebarkan cahaya kuning pada pintu depan. Tapi rumahnya sendiri
gelap. "Ivan, mungkin sebaiknya kau jangan mengemudi dulu," kataku
dengan susah payah. "Aku baik-baik saja. Betul. Aku baik-baik saja."
Ekspresi dingin dan keras membuat wajahnya yang tampan
tampak tegang. Ia memicingkan matanya. Wajahnya sekarang tanpa
ekspresi. Seolah-olah ia berusaha menyingkirkan semua perasaannya.
Dimasukkannya persneling ke posisi mundur, dan dengan
terlonjak-lonjak kami kembali ke jalan.
Wajahnya tetap membeku, tatapannya tetap dingin, ketika ia
mengantarku pulang. Dan selama itu ia diam membisu.
********** "Kakakmu betul-betul kacau," kataku memberitahu Adriana.
Sekarang hari Sabtu siang, dan kami berada di kamarku. Siang
yang kelabu di bulan Februari. Awan-awan gelap menandakan salju
akan turun. Meski udara dingin, kubiarkan jendela terbuka. Kamarku selalu
panas. Udara sejuk terasa nyaman. Angin yang bertiup kencang
mengembus tirai-tirai. "Apa?" Adriana tengah duduk di meja riasku, mencoba


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemerah pipi, lip gloss, dan benda-benda lain dari peralatan make-up
baru yang diberikan ibuku padaku. "Ini terlalu pucat untukku ya?"
Kukosongkan mejaku dan kuletakkan buku gambar besar.
Semula aku merencanakan membuat sketsa siang ini. Mungkin potret
diri. Tak disangka Adriana datang.
Ia tampak bosan. Agak resah.
Aku terus bicara, tapi ia cuma mendengarku setengah-setengah.
Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya. Tapi aku
enggan menanyakannya. "Kondisi Ivan kurang baik," kataku mengulangi. "Kemarin
siang..." "Siapa yang kondisinya baik?" potong Adriana pahit. Ia
menarik segumpal tisu dan mulai menghapus pemerah pipi dari
pipinya. "Kulitku gelap sekali. Warna ini sama sekali tidak cocok."
Aku berpaling dan mengamati bayangannya di cermin. "Kau
kelihatan agak capek," kataku.
"Aku masih sulit tidur." Ia menggeleng dan mulai memoleskan
lip gloss mengilap di bibirnya yang penuh. Angin yang berembus
mengusik rambutnya yang gelap dan ikal.
"Ivan bilang kau ke dokter," kataku datar, berusaha tanpa
maksud apa pun. Adriana tidak senang orang yang suka ikut campur
urusan orang lain. Biarpun teman akrabnya, seperti diriku.
Kurasa ia malu pada masalah keluarganya. Pertengkaran
orangtuanya yang tak ada habis-habisnya membuatnya merasa terhina.
Hampir tiap hari ia menceritakannya padaku. Tapi menurutku ia tak
ingin aku menanyainya tentang hal itu. Jadi, aku memilih diam saja
dan menunggu ia bercerita sendiri.
Ia menghela napas, memandangi pantulan dirinya di cermin.
"Namanya Dr. Corben. Dia mencoba mengajarkan hipnotis pada diri
sendiri padaku. Kau tahu kan, untuk membantuku supaya bisa tidur.
Kadang-kadang aku bisa melakukannya. Kadang-kadang tidak
berhasil." Ia menguap sebelum mulai menghapus lip gloss. "Aku harus
terus berlatih." Aku mengamatinya meraih tube lain.
Lalu kubuka halaman-halaman kosong buku gambarku. Kutarik
laci meja dan kuambil beberapa pensil hitam.
"Kau punya catatan sejarah?" tanya Adriana, berpaling padaku.
"Apa?" Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku. "Kau
mau pinjam catatanku?" Adriana murid yang selalu dapat A. Aku
tidak. Ia tidak pernah meminjam catatanku sebelumnya.
Pipinya bersemu merah. Ia membuang muka. "A?aku tidak
bisa berkonsentrasi di kelas. Kau tahu. Aku capek sekali, ditambah
berbagai masalah ini. Ada beberapa hal yang tidak sempat kucatat."
Ia tampak begitu malu. Begitu... penuh kesulitan.
Kuambil buku catatan sejarahku dari ransel dan kuserahkan
padanya. "Ini. Bawa saja."
"Hei, trims." Ia bangkit hendak pergi. Aku mundur selangkah.
Ia jauh lebih tinggi daripada aku. Aku selalu merasa seperti anak
berumur sepuluh tahun di dekatnya.
Kuikuti dia ke pintu, benakku masih cemas memikirkan Ivan.
Aku masih berharap bisa memberitahu dia betapa kacau kakaknya.
"Ivan mengantarku pulang kemarin," kataku. "Adriana,
menurutku dia butuh pertolongan. Dia tampak begitu tidak terkontrol.
Maksudku..." Ia berbalik di pintu kamar. "Martha, ayolah. Kau tahu apa
sebenarnya masalah kakakku." Ia membelalakkan mata.
"Hah?" Kuamati wajahnya, mencoba menebak maksud katakatanya.
"Masalah Ivan adalah Laura," Adriana menjelaskan.
"Maksudmu..." "Sejak putus dengan Laura, kelakuan Ivan jadi menyebalkan
sekali. Kadang-kadang aku sampai ingin menghajarnya!" Ia
mengayunkan buku catatan sejarahku, seolah tengah memukul
seseorang. Aku memikirkan kata-kata Adriana.
Laura Winter salah satu teman kami. Dengan rambutnya yang
hitam halus, mata biru-kelabunya yang cemerlang, dan tulang pipinya
yang sempurna, ia gadis paling cantik di Shadyside High.
Laura begitu cantik, sehingga ia jadi model berskala nasional.
Semua orang di sekolah yakin suatu hari nanti Laura akan pindah ke
New York dan menjadi aktris atau model terkenal.
Ivan tak pernah bisa percaya bahwa Laura ingin berkencan
dengannya. Kami pun tidak.
Ketika mereka mulai pacaran, seluruh sekolah
membicarakannya. Aku selalu beranggapan Ivan lebih serius daripada Laura dalam
memandang hubungan mereka. Pacaran dengan Laura membantunya
melupakan pertengkaran-pertengkaran di rumah.
Aku tidak pernah tahu pasti kenapa Laura mau pacaran dengan
Ivan. Semua cowok di Shadyside High naksir dia.
Lalu, seperti bisa diduga, Laura mencampakkannya pada musim
dingin tahun lalu. Ia juga cukup dingin melakukannya. Paling tidak,
begitulah yang dilaporkan Adriana.
Ivan tidak pernah membicarakannya denganku.
"Ivan masih mengalami shock," kata Adriana, ditekannya buku
catatan sejarahku ke depan sweternya. "Sudah berbulan-bulan berlalu,
tapi dia masih saja tidak percaya Laura tidak mencintainya."
"Ia sudah menelepon Laura?" tanyaku.
Adriana menggeleng. "Tidak. Uh, sombongnya bukan main.
Kurasa dia menunggu Laura yang meneleponnya!"
Adriana tertawa. Tawa yang hambar.
Aku tidak ikut tertawa. Ivan nyaris membuat kami berdua mati
kemarin. Aku tahu masalah yang dihadapinya tidak bisa dijadikan
bahan tertawaan. "Adriana, harus ada yang bicara dengan Ivan," kataku.
Mata cokelatnya berbinar. "Kenapa bukan kau saja?" Suaranya
terdengar marah. "Dia sulit sekali didekati. Tidak ada yang bisa bicara
dengannya." "Tapi, Adriana..." protesku.
Ekspresinya melembut. "Jangan mencemaskan dia, Martha.
Ivan bisa menjaga diri. Kau baik sekali. Kau mencemaskan semua
orang kecuali dirimu sendiri."
Ia mencengkeram buku catatanku dengan kedua tangannya.
Matanya menatap mataku tajam. "Kami semua ingin kau baik-baik
saja. Ivan tidak usah dipikirkan."
Ia berbalik dan hilang menuruni tangga.
Aku bergerak mengejarnya. "Aku benar-benar cemas
memikirkan Ivan. Kurasa dia tidak bisa menjaga diri. Kau tidak tahu
seberapa kacaunya dia."
Itulah yang ingin kukatakan pada Adriana.
Tapi aku berhenti di koridor sambil menghela napas. Adriana
tidak mau membicarakan Ivan. Ia tidak mau aku mencampuri urusan
keluarganya. Aku kembali ke kamarku. Awan di langit di luar jendela makin
gelap, warnanya hitam kelam. Angin berembus, membuat tirai
bergerak-gerak memukul dinding.
Dingin sekali di sini, aku baru sadar. Kututup jendela dan
kurapatkan tirai. Lalu aku melintasi kamar menuju meja belajarku dan
duduk di hadapan buku gambarku yang masih kosong.
Kubuka sampulnya dan kuselipkan di belakangnya. Lalu aku
memilih di antara setumpuk pensil hitam sampai kutemukan pensil
tajam yang kuinginkan. Menurutku buku gambar yang masih baru sangat
mengasyikkan. Maksudku, coba lihat. Kosong, putih dan bersih.
Menunggu untuk diisi dengan sesuatu yang tidak pernah ada
sebelumnya. Aku cukup berbakat sebagai artis. Aku punya mata yang bagus
untuk menggambar. Dan goresan-goresanku lumayan tegas.
Aku ikut kelas seni khusus di college negeri di Waynesridge.
Semua guruku berpendapat bakatku bisa dikembangkan.
Aku mencoba membuat portfolio?kumpulan hasil karyaku.
Kebanyakan potret. Aku membutuhkannya untuk melamar ke program
seni musim panas di college itu.
Kudorong kursi belajarku dan kurapatkan ke dinding. Aku ingin
menggambar dengan berdiri.
Kupejamkan mata dan berusaha mengosongkan pikiran.
Berusaha menghilangkan Ivan dan Adriana dari benakku. Berusaha
menghilangkan semua pikiran dari otakku.
Lalu kupandangi buku gambar di atas meja, lembarannya yang
putih bersih. Kuangkat pensil. Dan mulai menggambar.
Seraut wajah, kataku memutuskan. Aku akan menggambar
wajahku. Pensilku bergerak di permukaan kertas. Aku mulai dengan
mata. Aku selalu mulai dengan mata.
Woow! Ini bukan mataku. Mata yang kugambar berbentuk oval. Sementara mataku bulat.
Aku bersandar di meja dan mengamati mata itu. Mata itu seperti
menatapku. Kugambar pupilnya. Pupil berwarna gelap. Mata yang serius.
Kuayunkan pensil di atas kertas, membuat garis tipis
membentuk kepala. Bentuk dasar.
Kulihat bukan kepalaku. Wajah yang langsing. Dengan mata kelam dan serius itu.
"Hei?apa yang terjadi?" gumamku keras-keras. "Siapa kau?"
Tanganku bergerak cepat sekarang, melengkapi detaildetailnya.
Tunggu. Tidak. Apa yang terjadi? Mata pensil yang berwarna hitam itu menggores kertas. Ia
kelihatan seperti bergerak sendiri.
Tanganku?tertekuk di atas kertas, bergerak membuat
lingkaran-lingkaran kecil, turun dan naik. Seolah-olah menggambar
sendiri. Seolah-olah menggambar tanpa aku.
Seolah-olah dituntun tangan yang tidak kelihatan, aku terus
menggambar. Dengan mata memandang takjub?takut?kubiarkan
tanganku menyelesaikan gambar itu.
Aku takut aku tidak bisa menghentikannya.
Bab 5 AKU terengah-engah seusai menggambar potret itu. Tanganku
berkeringat, jari-jariku kaku.
Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk
menyelesaikannya. Tapi aku tahu seumur hidup aku tidak pernah
menggambar secepat tadi. Kuletakkan tanganku di atas meja dan kucondongkan tubuh di
atas buku itu. Kupandangi wajah yang baru saja kugambar.
Wajah cowok. Bukan cowok yang aku tahu.
Bukan cowok yang kukenal.
Rambutnya gelap berombak. Seuntai rambut jatuh di dahinya
yang sempit. Ia memiliki mata kelam dan serius. Mata muram. Mata yang
dalam dan resah. Hidungnya tidak sesuai dengan matanya. Terlalu kecil dan agak
mencuat. Bibirnya tengah tersenyum. Senyumnya sama sekali tidak
cocok dengan matanya yang muram. Ia memiliki senyum yang
menyenangkan. Bibir tipis. Ada lekukan kecil di dagunya.
"Wow," gumamku.
Apakah cowok ini pernah kulihat?
Ia sama sekali tampak asing bagiku.
Apakah ini cuma wajah khayalanku? Bukan wajah yang betulbetul ada? Cuma ciptaan khayalanku?
Kuamati wajah itu dengan cermat sementara napasku masih
tersengal-sengal. Masih kurasakan tarikan kekuatan gaib yang
menuntun tanganku. Potret itu memiliki begitu banyak detail. Wajahnya tampak
seperti wajah yang benar-benar ada. Wajah yang begitu spesifik.
Kuamati untaian rambut warna gelap yang jatuh lemas di
keningnya. Mataku mengamati bagian di bawahnya. Ternyata aku
telah menggambar tahi lalat hitam bulat di pipi kanan cowok itu.
Tahi lalat? Aku tidak pernah menggambar tahi lalat di semua potret yang
pernah kubuat, khayalan ataupun sungguhan.
Tidak pernah. "Apa-apaan ini?" tanyaku pada diriku sendiri.
Lalu mataku berhenti di alis sebelah kiri.
Detail itu membuatku terkesiap. Tampak begitu nyata. Begitu
jelas. Bisakah aku membuat bekas luka seperti itu hanya dari
khayalanku? Mungkin saja. Tapi kenapa sebelum ini aku tidak pernah
menggambar bekas luka seperti itu?
Aku mencondongkan tubuh di atas potret itu. Bibir tipis cowok
itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Sambil berseru pelan kurobek halaman itu dari buku gambar.
Kuremas-remas jadi bola dan kulemparkan ke keranjang sampah di
samping meja. Tanganku masih terasa dingin dan lengket. Tengkukku
meremang. Leherku seperti dicekik. Karena takut?
Aku tidak mau melihat gambar itu lagi. Aku tidak mau melihat
wajah yang tidak kukenal itu.
Aku ingin menggambar potretku sendiri.
Kuusapkan tanganku di kaki celana jeans-ku. Lalu kupilih
pensil hitamku, mencari yang mata pensilnya lebih lebar.
Kubawa cermin kecil persegi di meja riasku ke meja belajar dan
kutegakkan di samping buku gambar. Kuamati bayanganku di cermin,
kurapikan rambut pirangku. Dan kuhapus noda hitam pensil di pipiku.
Aku tidak akan menggambar bintik-bintik di pipiku, pikirku
memutuskan. Aku akan berpura-pura bintik-bintik itu tidak ada. Aku
akan berpura-pura punya kulit yang mulus dan halus seperti Laura.
Laura. Aku tergoda untuk menelepon Laura. Aku ingin
menggambarnya untuk melengkapi portfolio-ku. Aku sudah pernah
menggambarnya. Tulang pipinya yang tinggi dan sempurna itu asyik
sekali untuk digambar. Laura sombong sekali, kataku dalam hati. Gambar buatanku
tidak pernah memuaskannya. Ia bilang aku membuatnya tampak
seperti cewek tidak berotak. "Martha, kenapa aku selalu kelihatan
seperti orang tolol di gambarmu?" tanyanya kesal, seusai aku
menggambarnya terakhir kali.
"Aku cuma menggambar apa yang kulihat," godaku.
Ia tidak tersenyum. Ia selalu bersikap serius.
Kurasa kalau aku secantik Laura, aku juga akan bersikap serius.
Ia memaksaku mengubah senyumnya, berkali-kali. Aku tidak
pernah bisa menggambarnya dengan tepat.
Sekarang aku berpaling kembali ke wajahku sendiri di cermin.
"Aku akan membuatmu kelihatan secanggih Laura," kataku pada
diriku sendiri. Aku membungkuk di atas buku gambar dan mulai menggambar.
Mulai dengan mata.

Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak. Tunggu. Jangan mata itu. Tanganku bergerak cepat, tidak bisa kukontrol.
Tidak bisa dikontrol. Garis tepi wajah. Mata kelam. Rambut berombak. Hidung mencuat.
"Tunggu. Tidak!"
Aku menggambar cowok itu lagi. Wajah yang sama.
Aku bergidik. Perasaan takut merayapi tengkukku.
"Aku tidak mau!"
Segera kurobek kertas itu dari buku gambar. Potret itu belum
selesai. Aku bahkan tidak mau repot-repot meremasnya.
Kucampakkan ke seberang meja dan kuamati kertas itu melayang
turun ke lantai. Aku menarik napas dalam-dalam. Tanpa memedulikan
tanganku yang gemetaran, aku mulai menggambar lagi.
Sekali ini kupaksa mataku memandang cermin. Kuamati
bayanganku sementara aku menggambar. Aku bertekad menggambar
diriku sendiri. Wajahku sendiri. Bukan wajah cowok itu. Wajahku.
Tapi percuma saja. Tanganku tidak mau menurut.
"Tidak! Kumohon tidak!" aku berteriak kaget ketika lenganku
bergerak sendiri. Tanganku bergerak turun. Membuat sketsa.
Menggambar. Melengkapi detail-detailnya.
Detail wajah cowok itu. Belahan di dagunya. Tahi lalatnya. Tahi lalatnya yang bulat
hitam. Dan sekarang bekas lukanya. Bekas luka putih tipis yang
membelah salah satu alisnya. Alisnya yang hitam, agak melengkung
di atas matanya yang kelam dan suram.
"Tidak mau!" Kurobek gambar itu dan kulemparkan ke lantai,
di samping gambar tadi. Cepat-cepat kututup buku gambarku. Kujejalkan pensil-pensil
ke dalam laci. Jantungku berdebar-debar. Kuusapkan tanganku yang basah ke
kaki celana jeans-ku lagi.
Lalu kupandangi kedua gambar di lantai itu. Kedua wajah itu.
Cowok yang sama. Cowok tak dikenal yang sama.
"Siapa kau? Siapa?"
Ia menatapku. Seolah-olah berusaha menjawab. Seolah-olah
berusaha mengatakan sesuatu padaku.
Mengatakan apa? "Kenapa aku menggambarmu? Kenapa aku tidak bisa
menggambar apa yang kuinginkan?"
Aku membungkuk. Menyambar kedua helai kertas itu. Dan
merobek-robeknya. Merobeknya berkali-kali. Merobek sampai menjadi serpihanserpihan kecil.
Dan bertanya dalam hati: Kenapa aku jadi kacau begini?
Bab 6 MALAM itu aku terburu-buru hendak menemui Aaron di mall
pada pukul delapan. Kami punya kencan untuk nonton film pukul
setengah sembilan. Ia bekerja pada akhir minggu sebagai pelayan di
Pete's Pizza. Ayah Aaron berteman dengan pemilik restoran itu.
Biasanya Aaron selesai bekerja pukul delapan kurang sedikit.
Aku mengalami kesulitan untuk menemukan tempat parkir
kosong di dekat bioskop. Akhirnya aku terpaksa parkir di ujung, di
dekat Doughnut Hole. Aku sudah berlari melintasi lapangan parkir ketika sadar lampu
mobilku belum kumatikan. "Aaaagh!" aku mengerang kesal dan lari
kembali ke mobil. Ketika akhirnya aku sampai di bioskop, sudah pukul delapan
lebih beberapa menit. Lobi-nya penuh sesak. Kurasa setengah murid
Shadyside High tumplek di sini sementara aku sibuk mencari-cari
Aaron. Akhirnya kulihat dia di samping penjual popcorn. Aku terkejut
ketika kulihat Justine berdiri di sisinya.
Ia merangkul bahu Aaron dengan santai. Mereka tengah
menertawakan sesuatu, kepala mereka hampir beradu.
Apa-apaan ini? tanyaku dalam hati.
Justine selalu menggoda Aaron meski aku ada di sampingnya.
Mereka selalu saling mengganggu dan menggoda.
Tapi tak kusangka ia berani menggoda Aaron saat aku tidak
ada. Melihat mereka tertawa berdua, sementara lengan Justine
memeluk bahu Aaron seolah-olah ia memiliki cowok itu, membuatku
merasa mual. Tapi Justine kan temanku. Aku tidak mau punya pikiran jahat
tentang dia. Aku berjalan menerobos kerumunan dan bergegas mendatangi
mereka. Justine melepaskan rangkulannya dan mundur selangkah
ketika melihatku. "Hei! Apa kabar?" tanya Aaron. Ia tersenyum manis padaku.
Perasaanku langsung lebih enak.
"Oke," jawabku. Sewaktu di mobil aku sudah memutuskan
tidak akan menceritakan padanya kejadian aneh tadi siang, tentang
wajah yang terus kugambar meskipun tidak ingin kulakukan.
Bersamaku?sejak kecelakaan itu?Aaron mengalami begitu
banyak peristiwa tidak menyenangkan. Ia begitu baik padaku, begitu
memahami keadaanku yang kehilangan sebagian ingatan.
Kadang-kadang aku tidak menceritakan padanya hal-hal
meresahkan yang ada dalam pikiranku. Aku tidak mau ia berpikir aku
sudah gila. "Kau sendiri bagaimana?" tanyaku riang. Kugenggam
tangannya. Aku senang sekali bisa bertemu dengannya.
"Biasalah. Kerja, kerja dan kerja." Ia menunjuk noda-noda saus
tomat di kaus lengan panjangnya. "Masa kau tidak tahu?"
Aku tertawa. "Kau juga bau piza. Nyam-nyam."
"Aku tadi sedang belanja... eh ketemu Aaron," Justine menyela.
Ia memutar-mutar rambut merahnya dengan satu jari. "Dia bilang kau
takkan keberatan aku ikut nonton bersama kalian."
"Tentu," jawabku cepat. Tapi jangan coba-coba merebut dia!
pikirku. Aku lalu merasa jahat karena punya pikiran begitu.
"Aku sudah beli tiketnya. Ayo masuk," kata Aaron.
"Kita butuh popcorn," kata Justine berkeras. Ia berjalan ke
antrean di tempat penjualan popcorn.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan membawa
semangkuk besar popcorn berlumuran mentega. "Aku dapat yang
ukuran kecil!" katanya bercanda.
Aaron merangkul bahuku ketika kami masuk ke bioskop.
Cuplikan film-film yang akan datang sudah mulai diputar. Kami
menemukan tempat duduk di dekat bagian depan. Aku selalu suka
duduk sedekat mungkin dengan layar. Aku tidak suka ada orang di
depanku. Aku ingin melebur dengan gambar di layar.
Aaron duduk di antara aku dan Justine dengan mangkuk
popcorn di pangkuannya. Justine dan aku asyik memakannya.
Beberapa kali kulihat tangan Justine bersentuhan dengan tangan
Aaron. Aku bertanya-tanya apakah itu disengaja.
Setiap kali ia menyentuh Aaron, aku bergidik.
************ Sudah lewat tengah malam ketika teleponku berdering. Dengan
terkejut, kusambar gagang telepon sebelum dering pertama selesai.
"Halo?" "Hai, ini aku."
"Justine?" Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan kagetku.
Baru setengah jam yang lalu aku dan Aaron mengantarkannya pulang.
"Kau baik-baik saja?"
"Yeah. Baik. Aku... cuma ingin mengobrol."
Aku menguap dan melihat jam. Kenapa sih si Justine ini?
tanyaku dalam hati. Tadi kan sudah semalaman aku bersamanya.
"Kita tadi tidak punya kesempatan untuk ngobrol," katanya
menjelaskan. "Filmnya payah ya?"
Kubawa telepon melintasi kamar dan duduk di pinggir tempat
tidurku. "Jim Carrey-nya lucu," jawabku. "Memang dia kasar sekali.
Tapi dia selalu membuatku tertawa."
"Aaron tertawa keras sekali, aku sampai takut dia tersedak!"
seru Justine. "Kau kan tahu, Aaron memang begitu," kataku sambil
meluruskan lengan T-shirt panjang yang biasa kupakai untuk tidur.
Lalu aku berpikir: Seberapa baik kau mengenal Aaron, Justine?
"Biasanya cuma dia yang tertawa sewaktu menonton film-film
seperti itu," kataku melanjutkan, menghilangkan pikiran-pikiran tidak
menyenangkan dari otakku. "Film apa pun selalu membuat Aaron
tertawa. Terutama kalau filmnya kasar."
Justine lama terdiam. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Aku betul-betul
cemburu padamu." "Apa?" Kucingku, Rooney, melompat ke tempat tidur di sebelahku.
Dengan lembut kudorong dia ke lantai. Bulunya yang putih selalu
menempel di mana-mana. "Kau dengar aku tadi," kata Justine ketus. "Kubilang aku
cemburu. Aaron cowok yang hebat."
"Yeah. Memang," jawabku. Jawaban payah. Kuakui itu. Tapi
aku tidak tahu mesti bilang apa lagi.
Maksudku, aku bisa bilang apa pada Justine? "Itu sebabnya kau
selalu berusaha merayunya?" Aku tidak mungkin bicara begitu. Ia kan
temanku. Dan malam ini ia kedengaran resah.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
Diam lagi. Aku bisa mendengarnya mondar-mandir di
kamarnya. Kubayangkan dia memakai piama, rambut merahnya
tergerai di bahunya. "Aku cuma agak lesu," katanya mengakui, bicaranya pelan.
"Ada apa?" desakku seraya kembali mendorong Rooney dari
tempat tidur. Aku membungkuk untuk membelainya, tapi kucing itu
lari ke luar kamarku. "Sebetulnya tidak ada apa-apa. Semuanya. Tidak ada apa-apa.
Semuanya," jawab Justine. Ia memang suka bicara tidak jelas begitu.
Aku menunggu penjelasannya.
"Aku cuma mulai berpikir-pikir malam ini. Tepatnya sebelum
nonton tadi," katanya melanjutkan. "Kau tahu. Bermacam-macam
masalah. Aku bicara banyak dengan orangtuaku."
Oh-oh, pikirku. Orangtua Justine merupakan orang-orang paling
muram, paling tertekan sedunia.
"Kau tahu aku tidak bisa melanjutkan sekolah ke college musim
gugur nanti." Justine menghela napas. "Tidak ada biaya. Dan nilainilaiku tidak cukup bagus untuk bisa mendapatkan beasiswa."
Ia tertawa pahit. "Aku bahkan tidak bisa mendapat beasiswa
untuk kuliah di Waynesbridge Junior College!"
College junior itu jadi bahan ledekan anak-anak Shadyside.
Kami semua menyebutnya SMA lanjutan!
"Jadi, aku terpaksa tinggal di rumah dan bekerja selama
beberapa tahun," lanjut Justine. "Untuk menabung dulu." Ia menghela
napas lagi. "Memang tidak enak," kataku setuju. "Tapi itu kan bukan
berarti kiamat, Justine. Maksudku..."
"Kau beruntung, Martha," potongnya. "Kau punya orangtua
yang baik. Dan mereka punya cukup uang. Kau punya Aaron. Nilaimu
bagus-bagus. Kau artis yang berbakat..."
"Justine?stop!" teriakku, melompat berdiri. "Kau salah. Aku
tahu kau mengira aku punya kehidupan yang sempurna. Tapi..."
"Tidak, aku tidak mengira begitu," sela Justine.
"Hah?" Jawabannya benar-benar mengagetkan aku.
"Tidak, aku tidak mengira begitu, Martha," ulangnya. Lalu
suaranya jadi aneh. Agak tegang. Dan dingin. "Hidupmu tidak
sesempurna yang kau kira," katanya.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Apa maksudmu?" desakku,
agak malu. Sepi. "Justine?apa maksudmu bicara begitu?"
"Aku harus pergi," bisiknya. "Ayahku marah-marah, dia
menyuruhku menutup telepon."
"Tapi, tunggu dulu..." kataku berkeras.
Kudengar bunyi klik, dan hubungan pun putus.
Kulemparkan teleponku ke tempat tidur. Aku duduk bersedekap
seraya mengetuk-ngetukkan kaki ke karpet.
"Hidupmu tidak sesempurna yang kaukira."
Apa maksud Justine berkata begitu?
Apakah ada hubungannya dengan Aaron? Apakah ada
hubungannya dengan Aaron dan Justine?
Atau sesuatu yang jauh lebih buruk?
Bab 7 "AYO, Rooney. Sini." Kutepuk-tepuk pangkuanku.
Aku berbaring di sofa ruang baca dengan mengenakan jeans
robek dan kaus tangan panjang lama, dan aku sedang kepingin
memeluk Rooney dan membelai-belainya. Tapi tentu saja ia tidak mau
mendekatiku. Kenapa kucing harus selalu bersikap malu-malu kucing?
Sekarang Minggu malam, dan aku merasa kesepian. Mom dan
Dad sedang mengunjungi teman mereka di bagian lain kota. Pekerjaan
rumahku sudah sejak tadi selesai. Lagi pula besok sekolah diliburkan.
Ada rapat guru. Aku menelepon Laura untuk menanyakan apakah ia ingin jalanjalan. Tapi ia tidak ada di rumah. Begitu juga Adriana.
Jadi di sinilah aku sekarang, berbaring di ruang baca, sebagian
diriku menonton salju basah yang, mengalir di bagian luar kaca
jendela, sebagian lagi menonton permainan ski di ESPN di televisi di
seberang ruangan. "Rooney?sini!" Kucing itu berputar dan berjalan pergi dengan ekor melambailambai.
Aku bersandar lagi di lengan sofa. Dan memandangi layar TV.
Dan kulihat sebuah pondok. Pondok kayu yang dikelilingi salju.
Salju berguguran dari atapnya yang miring.
"Oh!" Aku duduk tegak. Kepalaku seperti berputar-putar. Aku merasa pusing.
Kilasan. Kilasan ingatan.
Pondok itu. Salju itu. Aku mulai mengingat-ingat.
Aku melompat berdiri. Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba
sekujur badanku terasa dingin. Seolah-olah aku berada di tengahtengah salju itu. Seolah-olah aku berdiri di luar pondok kayu yang
tertutup salju itu. Kupejamkan mataku, berusaha keras berkonsentrasi. Berusaha
keras mengumpulkan ingatanku kembali.
Aku melihat sebuah gambar dalam pikiranku. Pemandangan di
TV itu telah membangkitkan sebuah gambar dalam benakku. Tapi aku
butuh lebih dari sebuah gambar. Aku harus mengingat lebih banyak.
Sambil terus mengingat-ingat pondok bersalju itu, berusaha
jangan sampai perasaan aneh itu hilang, aku bergegas naik ke
kamarku. Aku duduk di meja belajarku. Memejamkan mata lagi.
Dan berusaha melebur masuk ke pemandangan itu. Berusaha
menyusupkan diriku ke salju itu. Berusaha melihat semuanya.


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berusaha mengingat... Wow! Ada dua pondok. Aku melihat dua kabin yang
bersebelahan. Salju menumpuk di dinding kabin-kabin itu. Naik sampai ke
jendela-jendelanya yang ditutupi gorden. Jendela-jendela itu berkilau
keemasan, memantulkan cahaya matahari yang terang benderang.
Saljunya berkilau juga. Semuanya begitu terang, cerah, dan
dingin. Di mana aku? pikirku heran. Apakah aku mengenali kedua
kabin itu? Apakah aku pernah ke sana?
Ini ingatan sungguhan? Sepotong ingatan yang datang kembali?
Atau cuma khayalan? Aku mencoba tidak berpikir. Aku cuma ingin melihat.
Dan aku akhirnya mulai melihat. Aku melihat beberapa sosok
penuh warna, tampak samar tapi mencolok di salju keperakan yang
berkilat-kilat. Mata sulit sekali memandang di bawah cahaya terang yang
menyilaukan itu. Seolah-olah cahaya putih itu membentuk tirai, tirai
yang menyembunyikan wajah mereka dariku.
Aku semakin keras memusatkan pikiran.
Kupandangi warna-warna yang bergerak-gerak di atas salju.
Warna-warna itu berubah bentuk menjadi sosok-sosok manusia.
Aku melihat empat cewek. "Hei!" teriakku ketika mengenali cewek yang ada di depan.
Itu aku. Aku mengenali diriku sendiri. Mengenali rambut pirang
panjangku yang mengintip dari bawah topi ski wol biruku. Mengenali
pakaian ski-ku yang berwarna biru dan putih.
Konsentrasi. Konsentrasi.
Kupaksakan diriku melebur makin dalam ke pemandangan itu.
Makin dalam memasuki ingatan itu.
Dan ketiga temanku bergerak menembus tirai cahaya, bergerak
menembus salju, sehingga sekarang tampak jelas. Adriana, Justine,
dan Laura. Mereka di sana bersamaku.
Aku bisa melihat senyuman mereka. Bisa melihat pipi mereka
yang merah. Bisa melihat napas mereka beruap di depan wajah
sementara mereka berjalan, sepatu-sepatu bot menginjak salju yang
tebal. Dan tiba-tiba kami berada di dalam pondok.
Hangat dan terang. Api berwarna jingga berkobar-kobar di
perapian batu. Muk-muk berisi sari apel.
Ya. Kami berempat duduk mengelilingi meja. Aku bisa melihat
taplaknya yang bermotif kotak-kotak merah-putih. Dan muk-muk
putih. Semuanya menempel di taplak plastik ketika kami
mengangkatnya. Api terus berkobar-kobar, membuat wajah kami jadi keemasan.
Lalu terdengar ketukan di pintu. Kursi-kursi kayu bergesekan
dengan lantai kayu. Teriakan-teriakan dari luar. Ketukan lagi di pintu.
Siapa itu? Kami berempat melompat berdiri. Adriana yang pertama
sampai di pintu. Aku bisa melihatnya dengan sangat jelas sekarang.
Ia mengenakan sweter kuning cerah dan celana ski biru laut.
Headband menghiasi rambutnya yang hitam. Wajahnya masih merah
karena kedinginan. Dibukanya pintu pondok. Tiupan udara dingin menerpa masuk.
Butir-butir salju berkilauan di udara.
Aku melihat semuanya begitu jelas.
Tapi siapa yang berdiri di pintu?
Aaron? Ya. Aku melihat Aaron. Aku mengenali jaket skinya yang
panjang berwarna hitam. Topi hitam menutupi rambutnya yang gelap.
Aaron ada di sana. Bersama dua cowok, lain.
Ya. Dua cowok. Tapi aku tidak bisa melihat mereka. Aku tidak bisa melihat
wajah mereka. Kedua cowok itu?kenapa aku tidak bisa melihat mereka?
Aku mengedipkan mata. Dan pemandangan itu lenyap.
Cowok-cowok itu. Teman-temanku. Api berwarna jingga.
Muk-muk sari apel. Pondok itu. Salju. Semuanya hilang.
Aku mengedipkan mata lagi sebelum memejamkannya. Aku
ingin kembali, kembali ke pondok itu. Kembali ke ingatanku.
Tapi aku hanya melihat kegelapan yang berputar-putar.
Kubuka mataku dan kupandang permukaan meja. "Hah?" aku
berteriak pelan ketika sadar aku ternyata tengah menggambar di buku
gambarku. Tanpa sadar, aku telah membuat sketsa.
Kuangkat buku gambarku dan kuamati.
Dengan perasaan ngeri kulihat aku telah menggambar wajah itu
lagi. Bab 8 KEESOKAN paginya, hari Senin kelabu dengan angin yang
bertiup kencang, aku terbangun tepat pada waktunya untuk berangkat
sekolah. Lalu aku ingat hari ini sekolah libur.
Aku mencoba tidur lagi, tapi tidak bisa. Ketika kupaksa diriku
bangun pada pukul sembilan, kulihat Rooney bergelung dan tidur
pulas di kaki tempat tidur.
"Kau semalaman di sana?" tanyaku padanya.
Ia tidak bergerak. Sepanjang pagi itu aku pergi ke sana kemari membantu ibuku.
Ketika aku pulang lewat tengah hari, kulihat Laura sudah
menungguku di dapur. "Hei?hai!" Aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku.
"Ada apa?" Ia menyipitkan mata biru abu-abunya yang sempurna padaku.
"Kau lupa ya? Kau kan berjanji ikut denganku hari ini."
Kupandangi dia, berusaha mengingat.
Apakah ingatanku mengacaukan diriku lagi?
Laura mengenakan rompi kulit hitam yang terbuka di atas kaus
turtleneck cokelat tua. Sweternya panjang hampir mencapai lutut, di
atas jeans hitam longgar. Rambutnya yang hitam diikat membentuk
buntut kuda sederhana yang jatuh di punggungnya.
"Pengambilan foto," katanya tidak sabaran. Dibukanya pintu
kulkas dan diambilnya sebotol kecil club soda. "Ingat, Martha? Kau
janji ikut denganku?"
"Oh, yeah. Betul." Ingatanku mulai kembali. Laura dan aku
telah merencanakannya berminggu-minggu yang lalu.
"Aku belum pernah bekerja dengan fotografer ini. Studionya
terletak di bagian padat kota, di Old Village. Dan tentu saja
orangtuaku terlalu sibuk untuk mengantarkan aku," celoteh Laura.
"Jadi, aku akan benar-benar merasa lebih enak kalau kau ikut
denganku. Oke?" "Yeah. Tidak masalah," jawabku.
Aku selalu merasa seperti orang bisu di dekat Laura. Ia bicara
seperti air bah. Kata-katanya mengalir deras?mengalir dan terus
mengalir sampai aku merasa tenggelam!
Ia meneguk club soda-nya. "Hiii. Aku benci minuman ini. Tapi
tidak apa-apalah, soalnya tanpa kalori."
"Ada Diet Coke di dalam sana," kataku menawarkan.
Ia menggeleng. Minum seteguk lagi. Lalu disisirnya rambutnya
ke belakang. "Mereka memberitahuku supaya tidak menata rambutku,
jadi kusisir saja ke belakang. Kurasa mereka akan menatanya
setibanya aku di sana."
Diletakkannya botolnya dan dipandanginya aku. "Kau
mengubah tata rambutmu hari ini?"
Aku tertawa. "Tidak. Angin yang meniupnya waktu aku di luar
tadi. Aku lupa menyisirnya."
Kami berdua tertawa. "Bagaimana kabarmu?" tanya Laura, ekspresinya berubah
serius. Tapi ia tidak menunggu aku menjawab. "Sebaiknya kita
berangkat sekarang. Aku suka datang lebih awal kalau aku belum
pernah kerja dengan orang itu. Maksudku, aku tahu kita nanti akan
lama menunggu, tapi aku tetap ingin datang lebih cepat."
Ia menghela napas. "Orang-orang itu butuh waktu berjam-jam
untuk mengatur lampu. Dan selalu saja ada sekering yang putus. Tapi
aku tidak ingin jadi penyebab tertundanya acara pemotretan.
Maksudku, aku tidak mau ada yang mengajukan keluhan pada agenku.
Selama ini mereka memberiku pekerjaan-pekerjaan bagus."
Ia akhirnya menarik napas.
"Bawa mobilku saja?" aku bertanya.
Ia meminum club soda-nya untuk terakhir kali. "Yeah. Tentu.
Terima kasih." Dipakainya mantel biru tuanya. "Terima kasih kau mau
menemaniku, Martha. Bagus sekali, kita akan punya waktu untuk
mengobrol." Dia yang akan mengobrol, pikirku Aku yang akan
mendengarkan! Hujan rintik-rintik yang dingin mulai turun ketika kami melaju
ke Old Village. Wiper bergerak maju-mundur pada kaca depan mobil.
Beberapa jalan sudah berlapis es. Tapi Volvo tuaku tidak selip atau
tergelincir. Laura bercerita tentang baju-baju baru yang dibelinya di
Dalby's Department Store. "Mungkin aku terlalu banyak
menghabiskan uang. Tapi Dad bilang semua pakaian itu tidak dikenai
pajak kalau aku memakainya untuk pemotretan. Sudahkah kuceritakan
padamu, bahwa aku mungkin akan membintangi film iklan di New
York? Saudara sepupuku. Artie? Kurasa kau belum pernah bertemu
dengannya. Dia kenal pencari bakat yang bekerja untuk agen model
besar di sana. Menurutnya dia bisa membantuku untuk mengikuti
audisi film iklan, kalau aku bisa membuat portfolio yang lebih baik."
Kata portfolio membuatku teringat pada buku gambarku. Pada
wajah yang kugambar berulang-ulang. Aku ingin tahu apakah Laura
bisa mengenali wajah itu.
Musim dingin yang lalu Dr. Sayles mengatakan pada temantemanku agar jangan membantuku memperoleh ingatanku.
"Ingatannya harus kembali sendiri," katanya pada mereka. "Jangan
coba-coba memberikan petunjuk pada Martha. Ingatannya tentang apa
yang terjadi harus kembali dengan sendirinya."
Tapi tetap saja aku ingin tahu apakah Laura bisa mengenali
cowok yang kugambar itu. ************ Pemotretannya berjalan lancar. Aku menonton dari samping
studio ketika Laura berpose.
Fotografernya pria kecil yang lucu, kurus kerempeng seperti
pensil, dengan segumpal rambut putih di kepalanya. Ia mengenakan
pakaian yang seluruhnya terbuat dari bahan denim pudar. Ia terusmenerus bicara sendiri, tidak pernah sedetik pun berhenti, selama
kami berada di sana. Dengan ocehan tanpa hentinya, kebanyakan tidak
kedengaran, ia bahkan berhasil membuat Laura terdiam!
Pemotretan itu untuk perusahaan T-shirt. Laura harus
mengenakan enam T-shirt yang modelnya berlainan. Asisten
fotografernya, wanita muda menyenangkan yang umurnya tidak jauh
berbeda dari kami, bertindak sebagai penata rambut. Ia mengubah
gaya rambut Laura untuk setiap foto.
Laura kelihatan cantik, tentu saja. Dan ia tampak begitu luwes
di depan kamera. Seolah-olah sudah seumur hidup ia melakukannya.
Ia selalu melirik ke arahku selama pemotretan. "Martha?yakin
kau tidak bosan?" Kuyakinkan dia bahwa aku merasa asyik. Cuma dengan cara
beginilah aku bisa berada di studio modeling! pikirku.
Setelah itu aku mengantarkan Laura pulang. Hujan rintik-rintik
sudah berhenti, tapi jalanan tetap berlapis es. Langit sama kelabu
seperti sore hari. "Semalam aku ke pesta," Laura memberitahuku sambil menyisir
rambutnya, memandangi dirinya di cermin kecil di klep jendela.
"Aku meneleponmu," jawabku. "Aku bertanya-tanya ke mana
kau pergi." "Pestanya di rumah Gary Brandt. Orangtuanya sedang pergi." Ia
membelalakkan mata. "Tentu saja pestanya jadi tidak terkontrol."
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
Ia memasukkan sisirnya ke dalam tas dan mendorong klep
jendela ke atas. "Ivan ada di sana."
Aku meliriknya. Nyaris saja aku menerobos tanda berhenti.
"Benar?" "Ivan betul-betul kacau-balau," erang Laura. "Maksudku, kau
takkan percaya. Dia minum begitu banyak bir..."
"Dia minum-minum lagi?" Aku menggeleng. Ivan yang malang.
Aku merasa kasihan sekali padanya.
"Dia minum begitu banyak, dia mulai menari-nari?lalu dia
pingsan," Laura melaporkan.
Ia mengerutkan kening. "Dia jatuh begitu saja. Menimpa semua
keripik dan makanan di meja. Lalu dia tergeletak di sana. Di tengah
makanan. Pokoknya berantakan sekali. Makanan dan minuman
tumpah di karpet." Ia berdecak-decak. "Gary dan Bobby Newkirk dan beberapa
anak lain terpaksa mengangkatnya dan membaringkannya di sofa.
Maksudku, dia benar-benar kacau-balau."
"Wow," gumamku. "Kabar buruk."
Laura mengerutkan wajahnya dengan jijik. "Aku heran, bisabisanya dulu aku pacaran dengan dia. Maksudku, apa yang kusuka
pada dirinya? Dia payah bukan main."
"Kata Adriana, Ivan jadi kacau karena kau," kataku tanpa pikir
panjang. "Karena kau memutuskan dia."
Laura ternganga. Pipinya yang pucat jadi merah padam.
"Entahlah," gumamnya.
"Masak kau tidak peduli?" desakku.
Ia menggeleng. "Sedikit pun tidak." Lalu ia menambahkan,
"Nanti juga dia lupa."
Kuputuskan untuk mengganti bahan pembicaraan. "Hari Sabtu
Justine meneleponku malam-malam. Kami mengobrol lama.
Kedengarannya dia betul-betul depresi, betul-betul tertekan."
Laura menoleh dan memandangku. "Kaubilang apa padanya?"
desaknya. "Tidak banyak," jawabku seraya menghentikan mobil di jalan
masuk rumah Laura. "Apa yang bisa kukatakan padanya?"
Laura membuka pintu mobil dan keluar. Tapi bukannya
mengucapkan selamat tinggal dan menutup pintu, ia malah
mencondongkan tubuhnya ke dalam mobil.
Aku kaget melihat ekspresi tegang dan aneh di wajahnya. "Hei,
Martha," katanya, dipelankannya suaranya sehingga hampir berbisik.
"Apa?" "Hati-hati dengan Justine."
Bab 9 KEESOKAN harinya aku melakukan kunjungan mingguanku
pada Dr. Sayles. Dr. Sayles kelihatan muda, dengan rambut pirang panjang
berombak, mata biru pucat, dan lesung pipi di kedua pipinya. Ia
senang memakai kaus Polo dan celana chino. Bahunya lebar dan
lengannya tampak kuat. Kurasa ia suka berolahraga.
Ia sama sekali tidak tampak seperti psikolog. Kurasa ia lebih
mirip peselancar di film Baywatch. Tapi ia sangat pandai, dan ia


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah banyak menolongku. Kantornya juga tidak seperti perkiraanku. Ia memasang poster
Jimi Hendrix di dinding di belakang meja kerjanya. Dan ia tidak
punya sofa tempat pasien berbaring. Sebagai gantinya, ia punya dua
kursi kulit nyaman yang berhadapan?satu untuk pasien dan satu
untuk dirinya. ebukulawas.blogspot.com
Aku suka Dr. Sayles. Tapi tidak berarti aku menanti-nantikan
jadwal konsultasiku dengan dia.
Konsultasiku terasa menyakitkan. Bukan karena apa yang
kuingat tentang peristiwa November tahun lalu. Tapi karena apa yang
tidak bisa kuingat. Kadang-kadang aku merasa malu dengan betapa sedikitnya
kemajuan yang kubuat. Maksudku, waktu kuberitahukan Dr. Sayles
bahwa aku masih tidak ingat apa-apa, aku merasa seperti
mengecewakannya. Jadi, hari ini aku merasa bersemangat. Hari ini aku duduk
tegang di ruang tunggunya yang kecil, tidak sabar ingin segera masuk
ke kantornya. Hari ini akhirnya aku punya sesuatu untuk kuberitahukan
padanya. "Sa?saya rasa ingatan saya mulai kembali," kataku begitu
duduk. Aku merasa begitu bersemangat, begitu gelisah, sampai
tergagap-gagap. Kubentangkan tanganku yang basah di atas lengan
kursi kulit yang hangat dan dalam hati kuperintahkan diriku supaya
tenang. "Betul?" Dr. Sayles mengusap rambut pirangnya ke belakang.
Lalu diketuk-ketukkannya pensilnya ke notes kuning panjang di
pangkuannya. "Ya. Saya... melihat sesuatu. Gambar di pikiran saya," kataku
melanjutkan. Ia mencondongkan tubuh. Mata birunya yang pucat mengamati
wajahku, seolah-olah berusaha membaca pikiranku. "Apa yang
kaulihat, Martha?" Aku menelan ludah. Mulutku tiba-tiba terasa kering.
Kucengkeram lengan kursi. "Saya melihat dua pondok," kataku
padanya. "Di tengah salju. Maksud saya, saat itu penuh salju. Salju di
tanah. Salju di atap pondok. Pondoknya?terletak di puncak bukit.
Bukit yang sangat terjal."
Ia mengangguk. Aku langsung merasa kecewa.
Entah reaksi apa yang kuharapkan darinya, aku juga tidak tahu.
Melompat dari kursinya? Lari mendekatiku dan memelukku? Atau
berteriak, "Yes! Yes! Hebat sekali!"
Aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku mengharap lebih dari
sekadar anggukan. "Bagus, Martha," katanya akhirnya. Ia mengangguk lagi. Lalu
ia mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.
"Apakah itu benar ingatan saya?" tanyaku bersemangat.
"Apakah betul-betul ada dua pondok di puncak bukit bersalju?
Apakah pondok-pondok itu ada hubungannya dengan... dengan apa
yang terjadi?" Ia tidak memedulikan pertanyaanku. "Apa lagi yang kaulihat?"
Aku menghela napas. Kenapa ia tidak lebih bergembira?
Kenapa ia tidak lebih membantu?
"Apa lagi yang ada dalam gambar itu?" desaknya tenang,
sekarang mengetuk-ngetukkan pensilnya ke lengan kursi.
Kuceritakan gambar lain padanya. Bahwa aku melihat Justine,
Laura, dan Adriana. Bahwa aku juga melihat Aaron dan dua cowok
lain. Dan bagaimana aku tidak bisa melihat wajah kedua cowok lain
itu. Ia mengangguk lagi. "Apakah saya mulai bisa mengingat? Apakah ingatan saya
mulai kembali?" tanyaku tidak sabar.
"Kurasa begitu," jawabnya. Kutunggu ia tersenyum atau
menunjukkan emosi? emosi apa saja. Tapi ia diam saja.
Kurasa ia begitu cuma karena ingin bersikap profesional. Tapi
aku ingin ia jadi manusia. Aku ingin ia membantuku.
"Ini merupakan kemajuan, Martha," katanya akhirnya.
Disilangkannya kakinya yang panjang. Ia memakai sepatu Bass
Weejun dengan kaus kaki putih. "Apa lagi yang kaulihat?"
"Cuma itu." Aku berusaha mengingat-ingat. Tapi gambar itu
sudah menghilang dari pikiranku sebelum orang-orang di pondok itu
bicara atau melakukan sesuatu.
"Oh!" seruku, tiba-tiba teringat pada gambar-gambar yang
kubawa. Ia duduk tegak. "Ada apa, Martha?"
Kuambil ranselku dari lantai dan kubuka ritsletingnya. "Saya
hampir lupa. Saya membawakan ini untuk Anda."
Kutarik lembaran-lembaran itu dari buku gambarku dan kubuka
lipatannya. "Ini gambar-gambar yang saya buat," kataku memberitahu.
"Gambar sebuah wajah."
Kutunjukkan salah satu gambar padanya. "Saya terus-menerus
menggambar wajah yang sama, cowok yang sama, berkali-kali,"
kataku. "Saya tidak tahu kenapa. Rasanya seolah-olah ada yang
menggerakkan saya supaya menggambar."
Kutunjukkan dua gambar, kupegang di kedua tanganku.
"Anda mengenali anak laki-laki ini, Dr. Sayles?" desakku
bersemangat. "Anda kenal?"
Aku terkejut, ia menatap gambar-gambar itu dengan mata
membelalak. Mulutnya ternganga.
Tidak ada lagi sikap profesional tanpa ekspresi seperti tadi.
Dengan shock ia menatap gambar buatanku.
Bab 10 AKU menyelesaikan pekerjaan rumahku lebih awal daripada
biasanya. Aku merasa agak bosan. Aaron sedang pergi bersama
keluarganya, mengunjungi sepupunya.
Aku duduk di kamarku, mendengarkan musik yang mengalun
dari lantai bawah. Dad sedang mendengarkan Metropolitan Opera di
radio. Ia selalu memutar volume radio keras-keras kalau
mendengarkan opera. Pintu kamarku tertutup, tapi aku masih bisa
mendengarnya seakan-akan aku berada di ruang tamu bersamanya.
Di luar jendela langit terhampar, biru dan cerah. Setumpuk salju
menempel di kusen luar, menekan kaca jendela. Sudah dua hari ini
turun salju. Akhirnya hari ini matahari keluar juga.
Kupandangi gambar wajah cowok itu. Kupandangi matanya
yang serius. Kupandangi bekas luka yang membelah alisnya.
Siapa dia? Kenapa aku terus menggambar dia?
Kenapa Dr. Sayles tidak mau memberitahu aku? Kenapa sikap
Dr. Sayles tidak lagi tenang setelah melihat gambar itu? Kenapa
wajahnya begitu kaget ketika kutunjukkan gambar itu?
Pertanyaan. Pertanyaan. Aku punya banyak pertanyaan. Tapi tidak banyak jawaban.
Aku masih memandangi wajah cowok itu ketika pintu kamar
terbuka, dan Laura dan Adriana menyerbu masuk.
"Apa kabar?" seru Adriana.
"Kau tidak boleh mengurung diri begini. Kau harus ikut kami,"
kata Laura bersemangat. Mereka berdua memakai jaket biru panjang dan celana jeans
pudar. Keduanya membawa papan luncur plastik bundar berwarna
merah. Pipi mereka hampir sama merahnya dengan papan luncur itu.
"Hah? Ada apa?" tanyaku. Kuletakkan gambar cowok itu ke
meja. "Di luar indah sekali!" seru Laura. "Hari paling indah di musim
dingin ini!" "Cocok untuk main papan luncur," kata Adriana penuh
semangat. "Saljunya agak membeku. Di permukaannya ada lapisan es.
Kau harus ikut ke Bukit Miller bersama kami, Martha!"
Aku ternganga memandangi mereka. Tingkah mereka seperti
anak umur sepuluh tahun! "Maksud kalian?kalian mau main luncur-luncuran?"
Mereka berdua menertawakan aku. Aku tahu aku
kedengarannya seperti orang tolol. Tapi aku tadi memang terkejut
sekali. "Memangnya kita tidak boleh bersenang-senang?" desak Laura.
"Kau tahu kan. Seperti dulu. Sebelum kita jadi tua. Sebelum kita
diharapkan selalu bersikap cool?"
"Ayolah, Martha." Adriana menarikku supaya bangun dari
kursi. "Ambil jaketmu. Di luar tidak terlalu dingin kok. Ayolah! Kami
punya papan luncur lebih."
"Nanti kita berlomba," Laura mengusulkan. Ia membantu
Adriana mendorongku ke pintu. "Kita singkirkan semua anak kecil
dari bukit dan kita main sampai puas!"
"Hei?kenapa tidak?" kataku akhirnya. Kami saling dorong
sewaktu menuruni tangga, ikut bernyanyi mengikuti lagu opera Dad,
bernyanyi begitu keras sampai ia berteriak menyuruh kami diam.
Teriakannya membuat kami tertawa, dan malah menyanyi makin
keras. Kenapa aku tidak boleh bersenang-senang? tanyaku dalam hati.
Kenapa aku harus duduk di kamarku dan memandangi gambar
menyeramkan itu? Aku baru sadar aku tidak pernah bersenang-senang lagi... dalam
bentuk apa pun... sejak kecelakaan itu. Sejak aku kehilangan
ingatanku. Kusambar parka saljuku dan sepasang sarung tangan wol, dan
kuikuti kedua temanku keluar rumah. Mereka benar. Siang ini indah
sekali. Udara terasa dingin dan segar. Sinar matahari yang cerah
membuat salju berkilau-kilau seperti emas.
Kami berjalan kaki ke Bukit Miller dengan membawa papan
luncur bundar kami, memutar-mutarnya seperti simpai, dan saling
membenturkannya. Ketika hampir sampai di ujung jalan, Adriana terpeleset dan
jatuh. Laura dan aku menyerbunya dan membenamkan wajahnya ke
dalam salju. Ia terbatuk-batuk. Bangun sambil tertawa-tawa. Dan memulai
pertandingan gulat yang membuat kami bertiga basah dan penuh salju.
Sambil tertawa-tawa, napas terengah-engah karena pergulatan
seru tadi, kami melepaskan diri. Kami mengambil papan luncur kami
yang sudah meluncur turun, dan melanjutkan perjalanan.
Bukit Miller merupakan tempat meluncur favorit di Shadyside.
Bukitnya terjal, penuh tonjolan, dan membentang sampai ke sebuah
lapangan yang lebar dan kosong. Salju selalu tampak lebih tebal dan
licin di Bukit Miller. Perjalanan naiknya memang sulit. Tapi
perjalanan meluncur turunnya panjang, cepat, dan benar-benar
mengasyikkan. Hari ini bukit itu berkilat-kilat seperti pegunungan perak. Laura,
Adriana, dan aku berhenti di kaki bukit dan menengadah. Berpuluhpuluh anak, anak-anak segala umur, meluncur turun. Naik papan
luncur aneka model! Tutup tempat sampah dan gumpalan-gumpalan
salju yang diratakan bertanding dengan Flexible Flyer dari kayu dan
baja. Sungguh pemandangan yang mengasyikkan!
Dengan jaket berwarna merah, biru, dan ungu, serta topi salju
dan topi ski mereka, anak-anak itu tampak seperti hiasan Natal di
pohon putih yang sangat besar.
Aku tahu. Aku tahu. Bicaraku sudah seperti penyair saja.
Tapi pemandangannya memang luar biasa. Pemandangan yang
begitu polos. Kurasa gara-gara itu aku jadi teringat pada masa kanakkanakku. Membuatku teringat pada masa-masa yang lebih bahagia.
"Kenapa bukit ini bisa tampak jauh lebih besar daripada
biasanya?" tanya Laura sambil merunduk menyingkir ketika dua anak
kecil meluncur turun naik kantong plastik sampah.
"Jangan menciut begitu," ejek Adriana padanya. "Bukitnya dari
dulu sama saja kok. Ayo."
Terpeleset dan tergelincir berulang kali, kami membungkuk
menentang angin dan mendaki ke puncak bukit. Di tengah jalan, angin
dari puncak bukit meniup papan luncurku sehingga terlepas, dan aku
terpaksa turun mengejarnya.
Akhirnya aku sampai juga di puncak.
Mana Laura dan Adriana? Kulindungi mataku dari cahaya terang sinar matahari dengan
satu tangan yang bersarung dan mencari-cari mereka.
Mereka sudah siap-siap meluncur. Mereka telah menemukan
tempat terbuka di satu sisi, tak jauh dari sekelompok cowok berwajah
serius. Kini mereka merendahkan badan pada papan luncur.
Laura duduk di papan luncurnya. Adriana berbaring tengkurap.
Aku bergegas mendekat, ingin mengejutkan Adriana dan
mendorongnya kuat-kuat. Tapi mereka terlalu cepat bagiku.
Mereka berdua meluncur sambil menjerit-jerit senang.
Papan luncur mereka meluncur dengan cepat.
Laura menghantam tonjolan keras. Papan luncurnya terbang ke
udara. Tapi ia berhasil bertahan di atasnya.
Adriana sampai di kaki bukit dan terus meluncur.
Papannya membawanya ke tengah lapangan di bawah.
Aku tertawa. Asyik sekali permainannya!
Giliranku, kataku dalam hati.
Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali aku berdiri di
Bukit Miller ini, saat terakhir aku meluncur turun.
Saat itu aku mungkin berusia sepuluh atau sebelas tahun,
pikirku. Well, kenapa cuma anak-anak berumur sepuluh tahun saja yang
bisa bersenang-senang? Aku memandang ke kaki bukit?dan melihat Adriana dan Laura
berdiri berdampingan dengan papan luncur di samping mereka.
Adriana sudah membuka topi skinya dan sedang membersihkan salju
dari rambutnya yang hitam. Mereka berdua memandangiku.
Menungguku bergabung dengan mereka.
"Aku datang!" teriakku, kulengkungkan tanganku yang
bersarung di sekeliling mulutku. Kurasa mereka tidak bisa
mendengarku. Angin yang bertiup kencang mendorongku dari belakang.
Kuturunkan papan luncurku ke salju, kuletakkan di tepi puncak
bukit. Lalu aku berlutut.
Kucengkeram tepi papan dan duduk di atasnya.
Angin yang bertiup mendorongku meluncur turun. Padahal aku
belum siap. Aku nyaris terjatuh ketika papan luncurku meluncur. Makin
lama makin cepat. Aku menabrak tonjolan bukit. Aku terus berpegangan.
Menjerit-jerit. Oh, tidak. Salju putih melewatiku dengan cepat. Warna putih itu melesat.
Begitu putih. Putih dan dingin.
Dinding dingin berwarna putih.
Tidak. Tidak. Aku terkubur di dalamnya. Terkubur di dalam warna putih itu.
Jatuh makin dalam, makin dalam...
Aku sadar aku menjerit-jerit sekarang.
Bukan jeritan senang. Bukan jeritan asyik.
Aku menjerit ngeri.

Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjerit karena benar-benar ketakutan.
Menjerit sampai paru-paruku terasa hampir pecah.
Dan aku terus menjerit. Menjerit begitu kuat. Menjerit begitu keras.
Dan dinding putih itu mengurungku.
Sementara aku menjerit. Menjerit. Menjerit ngeri.
Aku tahu aku tidak bisa berhenti.
Aku tahu aku takkan pernah bisa berhenti.
Bab 11 AKU tidak ingat persis bagaimana aku bisa sampai di rumah.
Tentu saja, Adriana dan Laura pasti membantuku.
Aku masih bisa melihat wajah mereka yang kalut ketika mereka
lari untuk menarikku turun dari papan luncurku di kaki bukit. Mereka
harus bekerja keras melepaskan tanganku dari tepi papan, lalu
menarikku supaya berdiri.
Aku bisa melihat mata mereka yang membelalak, pipi mereka
yang merah. Mereka ribut berbicara padaku. Berteriak-teriak padaku.
Tapi aku tidak bisa mendengar mereka. Aku menjerit terlalu
keras. Menjerit sampai tenggorokanku sakit.
Menjerit. Menjerit. Kulihat wajah anak-anak yang kebingungan di sekitarku.
Kulihat seorang wanita menarik pergi dua anak perempuan kecil.
Anak-anak itu menutupi telinga dengan tangan mereka yang
bersarung, berusaha tak mendengar jeritanku yang melengking.
Aku melihat mereka semua. Melihat kecemasan mereka.
Melihat ketakutan mereka.
Tapi aku tidak bisa berhenti menjerit.
Aku tidak bisa mengontrol diriku. Aku merasa seolah-olah ada
makhluk dalam diriku yang memaksa menyerbu keluar. Menjerit dan
menjerit?dan memaksa keluar dari dalam diriku.
Apa yang memicu perasaan ngeri ini?
Salju? Papan luncur? Perasaan meluncur turun, turun, turun
begitu kencang? Perasaan tidak terkontrol?
Atau karena dinding salju putih berkilat-kilat yang melesat
cepat? Apa yang membuatku jadi lepas kontrol begitu?
Kurasa aku terus menjerit sampai tiba di rumah.
Aku tidak terlalu ingat. Aku tidak ingat aku pulang ke rumah.
Dan aku tidak ingat akhirnya aku menutup mulut, menghentikan
jeritanku yang mengerikan.
Tenggorokanku terasa panas. Panas seperti terbakar.
Aku tidak bisa bicara. Aku cuma bisa berbisik.
Martha, kau payah bukan main, kataku dalam hati.
Di mana aku? Berbaring di tempat tidurku. Selimut tebal menutup sampai ke
daguku. Mom sedang membuat secangkir teh dan semangkuk sup panas
untukku. Dad sedang bicara di telepon, berusaha menghubungi Dr.
Sayles. Aku masih gemetaran. Sekujur tubuhku bergetar.
Tenggorokanku berdenyut-denyut dan terasa sakit karena menjeritjerit tadi.
Aku berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit yang
putih. Langit-langit yang putih bersih.
Dan aku teringat lagi. Satu gambar lagi menyelinap memasuki
pikiranku, secepat papan luncur yang menuruni bukit.
Ingatan lagi. Tentang putih. Pondok-pondok yang diselimuti salju.
Butir-butirnya melayang ke jendela.
Keping-keping kecil es berkilauan, turun dari saluran air hujan
seperti mata belati. Aku melihat Justine. Laura. Lalu Adriana.
Main lempar-lemparan salju.
Aku mendengar bunyi tok. Suara bola salju mengenai punggung
jaket Adriana. Aku mendengar suara tawa. Tawa cowok.
Bola-bola salju beterbangan lagi.
Lalu aku melihat Aaron di sampingku. Rambut cokelatnya
terjuntai dari balik topi kotak-kotak cokelat-putih. Wajahnya
menyeringai. Pipinya merah karena udara dingin. Uap mengembus
dari mulutnya yang terbuka.
Bunyi tok lagi. Aku merasa diriku merunduk ketika bola salju melesat di atas
kepalaku. Semua orang tertawa. Berteriak-teriak. Bersenang-senang.
Berbaring di tempat tidur, dengan mata terpejam, kurasakan
diriku tersenyum. Tampaknya waktu itu asyik sekali.
Salju berkilauan. Aaron melemparkan bola salju ke arah Laura.
Ia merunduk dan jatuh berlutut di salju yang tebal. Bola salju lain
mengenai kepalanya, membuat topi skinya terlepas.
Tertawa-tawa, ia bersusah payah membuat bola-bola salju lagi.
"Kubalas kau!" jeritnya pada seseorang, pura-pura marah. "Kubalas
kau nanti!" Ia menjerit pada siapa? Aku berusaha keras melihat.
Aaron? Bukan. Ivan. Ivan ada di sana bersama kami. Ia mengenakan jaket kulitnya.
Tanpa topi atau sarung tangan.
Aku melihat seringai mengejeknya. Melihat jenggot kecil di
dagunya. Tok. Bola salju lain mengenai dada Laura.
Ia tertawa. Dicengkeramnya kerah jaket Ivan. Berusaha
menariknya supaya jatuh ke salju yang tebal.
Semua tertawa. Semua begitu gembira. Aku bisa melihat dengan jelas sekarang. Aku bisa mengingat
semuanya. Ingatanku?ini sepotong ingatanku?kembali!
Ow! Aku merasa dingin. Kulihat diriku dalam pemandangan itu.
Kulihat diriku menyeka segumpal salju basah dari keningku.
Aku mendengar suara tawa. Suara tawa yang dingin.
Kurasakan bola salju lagi, keras dan dingin, mengenai tubuhku
tepat di bawah kerah jaket.
Siapa yang melemparkannya? Siapa yang menyerangku?
Aku memicingkan mata, berusaha melihat semuanya. Berusaha
mengingat, mengembalikan semuanya.
Dan kulihat Justine. Amarah membuat wajahnya tegang.
Justine melempariku dengan bola salju. Dengan marah ia
membuat gumpalan-gumpalan salju di antara sarung tangannya yang
hijau. Lalu melemparkannya. Melemparkan bola-bola salju ke arahku
secepat yang bisa dilakukannya.
"Justine...!" kulihat diriku berseru padanya. "Hei?woow!"
Justine tidak memedulikan aku. Ia melempariku makin cepat,
mendengus pendek setiap kali melempar. Melempar sekuat tenaga.
Ia berusaha menyakitiku? Kenapa Justine marah padaku? pikirku heran. Kenapa ia
menyerangku? Lalu kulihat diriku membalas serangannya. Kulihat diriku
melemparinya dengan bola salju. Aku sibuk mengambil gumpalangumpalan salju. Meremasnya kuat-kuat. Melemparkannya bahkan
sebelum salju itu berbentuk bola.
Kami berdua sekarang menjerit-jerit, berteriak-teriak. Saling
melemparkan salju. Kami berdua bergerak-gerak tidak keruan, marah.
Teriakan-teriakan kami sekarang menunjukkan kemarahan.
Begitu pula ekspresi kami.
Lalu kurasakan tangan-tangan menarikku mundur. Kulihat Ivan
dan Aaron menarikku menjauh. Laura dan Adriana melangkah ke
depan Justine. Aku mendengar teriakan-teriakan marah Justine. Kenapa ia
begitu marah padaku? Laura dan Adriana terpaksa memeganginya, terpaksa
menariknya ke pondok. Sementara Aaron dan Ivan mencengkeram
bahuku, berusaha menahanku supaya tenang.
Segala kebahagiaan itu. Semula semua orang begitu
bergembira. Kini kegembiraan itu hilang begitu cepat. Dan aku
merasa sedingin angin yang bertiup membawa salju.
Warna putih itu memudar. Pemandangan itu menggelap.
Apa yang terjadi? Berbaring di tempat tidur, aku berusaha keras supaya gambar
itu tetap terang. Supaya pemandangan itu tetap ada.
Aku ingin melihat lebih banyak. Aku ingin mengingat.
Aku harus mengingat. Makin gelap sekarang. Dan makin malam. Aku berada di dalam
pondok. Aku melihat api berkobar-kobar di perapian di seberang
ruangan. Aku bersandar ke dinding. Di balik bayangan gelap.
Aku berusaha memandang menembus bayang-bayang itu. Aku
duduk di bangku panjang yang rendah. Punggungku menempel ke
dinding. Seseorang bersandar padaku. Duduk di sampingku.
Gelap sekali di sini. Seolah-olah kami bersembunyi.
Aku berusaha melihat wajahnya ketika ia menciumku.
Dia Aaron. Pasti Aaron, aku tahu.
Siapa lagi yang kucium di balik bayang-bayang ini,
tersembunyi dari pandangan yang lain?
Aaron. Kucium dia lagi. Gelap sekali. Aku masih belum bisa melihat wajahnya.
Aaron?kenapa aku tidak bisa melihatmu?
Karena dia bukan Aaron. Aku bergidik ketika berusaha mengingat. Dan melihat cowok
itu mencondongkan tubuh dalam kegelapan dan mencium bibirku.
Aku merasakan bibirnya menekan. Menekan bibirku. Begitu
kuat. Begitu memaksa. Dan dia bukan Aaron. Aku mencium cowok lain. Bukan Aaron. Tapi siapa? Ia menjauh. Tersenyum padaku.
Dan aku melihat matanya yang kelam dan serius.
Melihat hidungnya yang mencuat. Bekas luka kecil berwarna
putih di alisnya yang hitam.
Aku menciumnya. Menciumnya dalam bayang-bayang.
Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang.
Aku melihat wajahnya. Wajah yang berkali-kali kugambar.
Bab 12 KEESOKAN siangnya kukumpulkan gambar-gambar cowok
yang kubuat itu. Kujejalkan semuanya ke dalam ranselku. Dan aku
menyelinap keluar rumah. Aaron, kau harus membantuku, kataku memohon dalam hati.
Sepatu botku terbenam ke dalam lapisan keras di permukaan salju
ketika aku berjalan cepat-cepat ke rumahnya. Aku merapatkan jaket,
mencondongkan tubuh menentang angin yang kencang dan dingin.
Mom dan Dad ingin aku beristirahat di tempat tidur sehari lagi.
Mereka belum berhasil menghubungi Dr. Sayles. Ia sedang mengikuti
konferensi di luar kota. Mereka ingin aku tinggal di rumah supaya aku
merasa aman dan tenang. Tapi aku tidak merasa aman dan tenang, biarpun di tempat
tidurku sendiri dengan selimut tebal ditarik sampai ke dagu. Sup panas
dan bercangkir-cangkir teh tidak bisa menenangkan perasaanku, tidak
bisa membantuku beristirahat.
Hanya dengan mengetahui yang sebenarnya aku bisa aman dan
tenang, kataku memutuskan.
Hanya dengan mengetahui apa yang terjadi bulan November
lalu, bisa membantuku supaya tenang.
Dan Aaron bisa memberitahuku. Aaron bisa membantuku.
Angin dingin membeku yang bertiup kencang membuat jaketku
terbuka. Kurapatkan lagi. Kupindahkan ranselku ke bahuku yang satu
lagi. Dengan susah payah aku berjalan melintasi salju yang tebal dan
keras. Rumah Aaron tampak di blok berikutnya. Dua pohon cemara
tinggi, diselimuti salju putih, menjulang mengapit jalan masuk. Jalan
masuk itu sudah dibersihkan, saljunya ditumpuk di halaman yang
melandai. Sepotong es, sebesar wortel, tergantung di atas pintu kasa
depan. Kucoba menekan bel pintu, tapi rasanya bel itu membeku.
Macet. Kutekan lagi jariku kuat-kuat pada bel itu. Tidak terdengar
bunyi bel di dalam rumah.
Jadi kuketuk pintunya. Aku tadi bergegas pergi sampai lupa
memakai sarung tangan. Tanganku yang beku terasa sakit ketika
kupukul pintu itu tiga kali. Lalu tiga kali lagi.
Aku bisa melihat cahaya di dalam. Aku mendengar suara orang
batuk. Lalu langkah kaki.
Adik laki-laki Aaron, Jake, membuka pintu.
"Hai," kataku, tanganku masih terangkat, siap mengetuk pintu
lagi. "Aaron ada?"
"Yeah. Tentu." Jake memandangiku. Ia memegang cokelat Kit
Kat di satu tangan. Ia tidak menyingkir supaya aku bisa lewat, atau
mengajakku masuk. "Well, bisa aku ketemu dia?" tanyaku tidak sabaran.
Aaron muncul sebelum Jake sempat menjawab. Ia mendorong
Jake minggir. Jake balas mendorongnya, sebelum berlalu.
"Martha?hai!" Aaron mengusap rambut cokelatnya ke
belakang dengan satu tangan. Ia mengenakan jeans gombrong dan
kaus lengan panjang Shadyside High warna merah tua dan abu-abu.
"Aku tidak mengira..."
"Aku harus bicara denganmu!" kataku cepat. Aku tidak
bermaksud kedengaran begitu bersemangat. Begitu mendesak. Tapi
tiba-tiba saja napasku terasa sesak.
"Ada yang ingin kutunjukkan padamu, Aaron. Aku ingin kau
menceritakan beberapa hal padaku. Aku butuh beberapa jawaban."
"Well..." Ia melirik ke dalam rumah. Keningnya berkerut. Ia
tampak tegang. Ada apa sih? pikirku bertanya-tanya, mengamati wajahnya.
Mula-mula Jake tidak mengizinkan aku masuk. Sekarang Aaron
membiarkan aku berdiri kedinginan di luar.
"Boleh aku masuk?" tanyaku akhirnya.
"Oh. Yeah. Tentu." Pipinya jadi merah jambu. Ia melangkah
mundur. Kuentak-entakkan kakiku di keset depan dan masuk ke dalam
rumah yang hangat. Kurasakan udara dingin ikut masuk bersamaku.
Kulepaskan ranselku, lalu jaketku, dan kulemparkan ke lantai di
samping sofa ruang tamu. "Aku di sini menjaga Jake," kata Aaron.
"Orangtuamu sedang tidak ada?"
Ia mengangguk.

Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus bertemu denganmu," kataku.
"A?aku tahu tentang kejadian kemarin," kata Aaron tergagap.
Dimasukkannya tangannya ke dalam saku celana jeans-nya dan
dialihkannya pandangan matanya yang biru ke jendela depan. "Aku
ikut prihatin. Aku..." Suaranya menghilang.
Ia tidak pernah setegang ini di dekatku, pikirku. Kenapa sih dia?
Kugosok-gosok kedua tanganku, berusaha menghangatkannya.
Aku bisa mendengar suara TV di bagian dalam rumah. Suara-suara
lucu. Film kartun. Kudengar Jake tertawa.
"Aaron..." kataku. "Aku ingin menunjukkan padamu gambargambar yang kubuat ini." Aku membungkuk, meraih ranselku? dan
mendengar suara barang pecah di dapur.
Ia terkesiap. Aku berdiri. "Ada orang lain di sini?"
Wajahnya memerah. "Tidak. Aku..."
Aku cepat-cepat melintasi ruangan. Berjalan melewati koridor
pendek dan mendorong pintu dapur.
"Justine...!" teriakku. "Sedang apa kau di sini?"
Bab 13 JUSTINE berdiri membungkuk di atas bak cuci, memunguti
pecahan-pecahan gelas yang tadi dijatuhkannya. Aku melihat air
menggenang di lantai. Ia berbalik ketika aku menyerbu masuk, mulutnya ternganga
seakan-akan ia ingin menjerit.
"Justine mampir untuk meminjam kalkulator grafikku," kata
Aaron menjelaskan, melangkah di belakangku. "Baterai kalkulatornya
habis." "Betul," kata Justine cepat-cepat. Ia menyibak untaian rambut
merah yang jatuh di keningnya. Dan berpaling pada Aaron. "Maaf.
Aku tadi sedang mengambil segelas air. Aku menjatuhkannya, dan..."
"Tapi kau bersembunyi di belakang sini!" seruku. Suaraku
melengking marah. "Justine?kenapa kau bersembunyi di dapur?"
"A?aku tidak bersembunyi!" katanya berkeras. "Martha,
Dewi Olympia Terakhir 6 Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn Misteri Cakar Perunggu 1
^