Pencarian

Sketsa Kematian 2

Fear Street Sketsa Kematian Face Bagian 2


betul?aku..." "Aku yang menyuruhnya," sela Aaron. Ia melangkah dan
berdiri di antara kami. Dengan tegang ia menggaruk rambutnya yang
cokelat dan berombak dengan sebelah tangan dan bergantian
memandang Justine dan aku.
"Apa maksudmu?" desakku.
"Kusuruh dia menunggu di dapur," kata Aaron menjelaskan.
"Aku takut kau punya pikiran jelek."
"Hah?" Justine meletakkan potongan gelas yang tajam di meja.
"Tenang, Martha. Semuanya baik-baik saja," katanya pelan.
Aaron melangkah ke belakang dan memeluk bahuku. "Yeah.
Semuanya baik-baik saja," katanya mengulangi.
"Kami sudah dengar tentang kejadian kemarin," kata Justine.
"Tentang bagaimana kau jadi kacau di Bukit Miller. Dari jendela
depan kami melihat kau mengetuk pintu. Aaron memintaku pergi ke
dapur. Kami tidak ingin membuatmu kacau lagi."
Aaron memalingkan tubuhku. Matanya yang biru menatap
tajam mataku. "Aku telah bertindak bodoh. Maafkan aku, Martha.
Aku benar-benar tolol. Tapi aku melakukannya demi kau."
"Kami tidak mau kau jadi kacau lagi," kata Justine
menambahkan. "Aku mampir cuma untuk meminjam kalkulator. Betul
kok." Kualihkan pandanganku ke lantai. Bintik-bintik hitam dan abuabu pada lantai linoleum tampak berkilat dan berkilauan. Kupejamkan
mataku. "Maaf," gumamku. "Aku tidak bermaksud begitu curiga.
Begitu... gila." Aaron melingkarkan lengannya di pinggangku. Justine
menenangkan diriku lagi. Aaron memberikan kalkulator grafiknya
pada Justine. Sekali lagi. Justine meminta maaf. Lalu dipakainya
jaketnya dan bergegas keluar melalui pintu depan.
Kuamati dia dari jendela ruang tamu. Ia berjalan cepat-cepat,
kepalanya menunduk, menggigit bibir bawahnya. Sambil
mengamatinya, aku mencoba memutuskan apakah akan mempercayai
mereka atau tidak. Selama ini Aaron sangat hebat. Ia begitu baik padaku. Begitu
menyayangiku. Akhirnya aku memutuskan aku harus mempercayai mereka.
Aku bisa merasakan Aaron sedang menatapku. Aku berbalik
dan melihat ia tengah duduk di sofa seraya mengetuk-ngetukkan jarijarinya ke lengan sofa.
Aku bergegas menghampirinya dan duduk di ujung sofa.
"Maaf soal ehm... kekacauan tadi," gumamnya, mengetukngetuk lengan sofa lebih cepat.
"Ingatanku pelan-pelan kembali," aku memberitahunya.
Wajahnya tampak kaget. Kulihat rahangnya bergerak-gerak. Ia
menelan ludah. "Aku terus melihat gambar-gambar," kataku melanjutkan.
"Pemandangan keseluruhan. Semuanya kembali teringat, sedikit demi
sedikit." Ia menghela napas. Lalu ia bicara dengan suara pelan dan
tertekan, hampir seperti berbisik. "Saat ingatanmu benar-benar
kembali nanti, kau akan mengalami kesulitan."
Ia memegang tanganku dan meremasnya. Aku ingin ia terus
memegang tanganku. Tapi ia cepat-cepat melepaskannya.
"Apa maksudmu?" desakku. "Kenapa aku akan mengalami
kesulitan?" Ia ragu-ragu. "Kau tahu aku tidak bisa mengatakannya
padamu," katanya, masih berbisik.
"Katakanlah," kataku memaksa. "Kenapa aku akan mengalami
kesulitan?" "Dokter melarang kami membantumu," jawab Aaron. Ia
berdeham. "Dia memberitahu kami bahwa kau harus memperoleh
kembali ingatanmu dengan usahamu sendiri. Dia memaksa kami
berjanji untuk tidak mengatakan padamu apa yang terjadi malam itu."
"Tapi, Aaron..." Kucengkeram lengannya. Aku mencoba
menariknya mendekat, tapi ia tetap bergeming dari tempatnya.
"Kenapa aku akan mengalami kesulitan saat aku memperoleh kembali
ingatanku?" aku mendesak lagi. "Kenapa aku akan sangat kecewa?"
Ia berseru dengan suara serak. Matanya yang biru menatap
tajam mataku. "Karena?telah terjadi sesuatu yang mengerikan!"
teriaknya. "Sesuatu yang mengerikan, Martha."
Ia menarik napas dalam-dalam. Matanya terus menatapku.
"Kejadian itu telah mengubah kita semua." Senyum aneh
mengembang di wajahnya. Senyum getir. Senyum yang sebelumnya
tidak pernah kulihat di wajahnya. "Boleh dibilang kau beruntung
karena tidak bisa mengingatnya," gumamnya.
"Tapi, Aaron..."
Senyum anehnya menghilang. Digaruknya rambutnya yang
berwarna gelap. Aku berteriak kesal. Aku ingin ia menceritakan semuanya
padaku. Semuanya. Tapi aku tahu ia takkan mau. Teman-temanku
semuanya begitu baik. Semuanya mau bekerja sama dengan Dr.
Sayles. Gambar-gambar itu. Kenapa aku sampai lupa pada gambar-gambar itu?
Aku mengulurkan tangan dan mengambil ranselku. Kubuka
ritsletingnya dengan susah payah. Tanganku gemetar. Kuambil
gambar-gambar itu. "Apa itu?" desak Aaron. Ia akhirnya menggeser duduknya ke
dekatku. Kuacungkan dua gambar. "Aku terus menggambar wajah ini.
Berkali-kali." Matanya membelalak. Ia terkesiap.
"Siapa ini?" desakku.
Ia menggeleng. "Tidak." Keterkejutankah yang tampak di
matanya itu? Ataukah ketakutan?
"Katakanlah," kataku memaksa. "Aku tidak bisa berhenti
menggambar wajah ini. Katakanlah siapa dia, Aaron."
"Tidak. Tidak bisa," jawabnya sambil menggeleng-geleng.
Kuacungkan gambar-gambar itu ke mukanya. "Katakan!
Katakan padaku! Katakan padaku!"
Ia mengibaskannya. Dan melompat berdiri. "Tidak bisa,
Martha. Kau tahu apa kata dokter itu. Kau tahu aku tidak bisa
memberitahumu." Aku melompat ke sisinya. Aku takkan membiarkannya pergi
begitu saja. Aku takkan menyerah.
Wajah cowok itu membuatku gila.
Ke mana pun aku pergi, aku melihatnya. Aku tidak bisa
menghapusnya dari ingatanku.
"Apakah aku mengenalnya?" desakku.
Aaron melipat lengannya di dada.
"Apakah aku mengenalnya?" tanyaku mengulangi.
Kulambaikan gambar-gambar itu di muka Aaron.
Ia mundur dan membuat gerakan seperti mengunci mulutnya.
"Stop, Martha. Aku tidak bisa memberitahumu. Berhentilah
menyulitkan kita berdua. Kau tahu aku tidak bisa bilang apa-apa."
Kurasakan dadaku jadi sesak, pelipisku berdenyut-denyut. Aku
harus tahu sekarang. Aku menjerit, "Apakah aku mengenalnya, Aaron? Di mana dia
berada? Kalau aku mengenalnya, kenapa sampai sekarang aku tidak
pernah melihatnya di sekolah? Kenapa aku belum pernah
melihatnya?" Kurasa aku bertindak terlalu jauh.
Kulihat Aaron mulai goyah.
Tangannya mengepal. Wajahnya memerah. Ia mengertakkan
giginya. Lalu ia menyemburkan jawaban, "Mau tahu kenapa kau tidak
pernah melihatnya, Martha? Kau mau tahu?"
"Kenapa?" desakku. "Kenapa?"
"Karena dia sudah mati!"
Bab 14 SELASA malam aku menyelesaikan pekerjaan rumahku lebih
awal. Aku duduk di meja belajarku dan kubuka buku gambarku.
Gambar wajah cowok yang sudah meninggal itu melayang
jatuh. Kuambil gambar itu dan kuamati.
Kenapa aku menggambar cowok yang sudah meninggal?
tanyaku dalam hati. Kumiringkan kertas itu ke satu arah, lalu ke arah lain. Seolah
dengan melihatnya dari arah yang berbeda-beda aku akan memperoleh
jawaban. Mata yang kelam itu menatapku, tidak mengungkapkan apaapa.
Kenapa aku menggambar cowok yang sudah meninggal?
Siapa dia? Aaron tidak mau memberitahu apa pun lagi tentang cowok ini.
Ia sangat marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa menahan diri
dengan mengatakan cowok ini sudah meninggal.
Aku berusaha meminta maaf pada Aaron di sekolah. Tapi ia
berbalik dan bergegas pergi. Setiap kali aku menelepon ke rumahnya,
Jake yang menjawab dan mengatakan Aaron tidak ada di rumah.
"Aku tidak sanggup kehilangan dirimu, Aaron," gumamku
keras-keras. "Kau terlalu berarti bagiku. Aku tidak sanggup
kehilangan dirimu." Kupandangi wajah dalam gambar itu. "Siapa kau?" tanyaku
padanya. "Dan kenapa aku menciummu di pondok itu?"
Kenapa aku menggambar cowok yang sudah meninggal?
Kenapa aku berkali-kali menggambarnya?
Pikiran yang menakutkan membuatku bergidik meskipun
kamarku terasa panas. Apakah cowok yang sudah meninggal ini mengontrol
tanganku? Membimbing tanganku dari dalam kuburnya?
Kuremas-remas gambar itu. Lalu kuambil dua pensil hitam dari
laci meja. Aku mencondongkan tubuh di atas buku gambar dan
mencoba menguatkan tanganku.
"Aku akan menggambar anak kucing," kataku memutuskan.
Batas waktu untuk menyerahkan portfolio seni itu tinggal dua
minggu lagi. Kalau aku tidak punya gambar untuk ditunjukkan, aku
takkan diterima di kursus itu.
"Aku akan menggambarmu, Rooney. Di mana kau?"
Tentu saja kucing bodoh itu tidak ada kalau aku sedang
membutuhkannya. Aku membungkuk di atas buku gambar dan mulai
menggambarnya mengikuti ingatanku.
"Martha," Mom memanggilku. "Adriana datang."
Kudengar suara langkah kaki Adriana di koridor.
"Hai! Apa kabar?" tanyaku ketika ia masuk ke kamar.
"Biasalah. Bagaimana keadaanmu?" Ia membuka tutup
telinganya yang terbuat dari wol dan jaket birunya, lalu
dilemparkannya ke tempat tidurku. Rambutnya yang hitam keriting
disibaknya dengan kedua tangannya. "Wow! Di luar dingin sekali.
Kau tampak sehat." "Yeah. Aku merasa baik-baik saja," jawabku pelan. Aku sudah
berkali-kali minta maaf pada Laura dan Adriana sejak insiden papan
luncur hari Sabtu itu. Paling tidak sudah dua belas kali aku minta maaf
pada mereka dan mengatakan aku sehat-sehat saja.
Tapi mereka tidak berhenti menanyakan keadaanku. Dan
mereka terus-menerus mengatakan betapa aku tampak sehat.
Adriana duduk di sebelah jaketnya di tempat tidurku. Ia
menghela napas panjang. "PR-mu sudah selesai?"
Aku mengangguk. "Yeah. PR-ku tidak banyak kok. Jadi kupikir
aku mau coba membuat sketsa saja. Portfolio ini..."
"Suasana di rumahku kacau," sela Adriana.
"Orangtuamu?" tanyaku. "Mereka bertengkar lagi? Kau mau
menginap di sini malam ini?"
Seringkali?kalau orangtuanya bertengkar?Adriana melarikan
diri dengan menginap di rumahku. Kadang-kadang keadaan begitu
buruk sampai ia ingin pindah ke rumahku untuk selamanya.
"Bukan, bukan orangtuaku," kata Adriana sambil menendang
karpet dengan ujung sepatunya. "Dad pindah rumah hari Minggu." Ia
mengerang. "Akhirnya."
Aku tidak tahu mesti bilang apa. Aku tahu Adriana lebih dekat
dengan ayahnya daripada dengan ibunya. Kurasa ia tidak suka
ayahnya pergi. Ia cuma pura-pura senang.
"Soal Ivan," katanya sambil memutar-mutar penutup telinga
wolnya yang panjang berwarna biru. "Ivan-lah yang kucemaskan."
Aku memutar kursi belajarku supaya bisa memandangnya.
Aku meletakkan buku gambarku di pangkuan dan aku membuat
sketsa sambil bicara dengannya. "Apa yang dilakukan Ivan kali ini?"
Adriana ragu-ragu. "A?aku tidak pasti. Tapi kemarin malam
aku masuk ke kamarnya untuk menanyakan sesuatu padanya.
Ternyata ada tape player dan Discman baru di kamarnya."
Aku berhenti membuat sketsa. "Terus? Memangnya kenapa?"
Ia melingkarkan penutup telinganya di pergelangan tangan.
Matanya yang hitam berkilauan. "Dari mana Ivan dapat uang untuk
membeli barang-barang itu?"
Aku berpikir, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.
"Kurasa dia mencuri," katanya akhirnya. "Maksudku, dia
bergaul dengan anak-anak berandalan. Beberapa di antara mereka
dikeluarkan dari Waynesbridge High. Entah karena apa, mungkin
karena mereka membakar kamar mandi atau apa."
"Hebat," gumamku sambil membelalakkan mata.
"Well, Ivan selalu kumpul-kumpul dengan anak-anak itu,"
Adriana meneruskan. "Katanya mereka itu asyik. Mereka tahu cara
bersenang-senang." Dilemparkannya penutup telinganya ke tempat tidur. Keningnya
berkerut. "Dan sekarang tiba-tiba Ivan punya Discman dan tape player
baru. Dia pasti mencuri. Aku tahu. Dia kacau sekali, Martha. Dia akan
menghancurkan hidupnya. Dan aku? aku..."
Sebelum menanggapi kata-katanya aku memandang sketsaku?
dan berteriak kaget, "Tidak! Oh, tidak!"
Bukan kucing yang kugambar, melainkan wajah itu lagi.
Apakah aku tidak bisa menggambar objek lain?
Kurasakan tangan Adriana di bahuku. Aku menoleh dan kulihat
ia tengah menatap wajah cowok itu.
Ia menelan ludah. Matanya menyipit. Ia mengertakkan gigi.
"Mau nonton pertandingan basket Jumat malam nanti?"
tanyanya tiba-tiba, tangannya masih ada di bahu sweterku.
"Hah?" "Pertandingan Shadyside. Jumat malam," katanya. "Mau ikut?
Kau tahu, kan? Bersenang-senang? Berusaha melupakan segalanya?"
Aku tidak mau melupakan, pikirku suram. Aku ingin
mengingat. "Tentu," kataku. "Ide bagus. Ayo kita bersenang-senang."
*********** Aku pergi ke pertandingan itu bersama Adriana dan Laura.
Laura menjemput kami agak terlalu cepat. Jadi kami keliling-keliling
kota dulu dengan mobil Bonneville milik Laura, radionya diputar
keras-keras sepanjang perjalanan.
Kami bernyanyi keras-keras dan berteriak-teriak pada cowokcowok di jalanan. Kami menjerit-jerit ketika berbelok. Kami tertawa
dan bercanda. Tingkah kami seperti anak-anak brengsek. Tapi kami tidak


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peduli. Musim dingin kali ini muram dan dingin sekali. Kami bertekad
akan bersenang-senang. Mobil kami menderu memasuki tempat parkir murid di sekolah
kira-kira sepuluh menit setelah pertandingan dimulai. Dengan susah
payah kami masuk ke gedung olahraga, disambut bunyi bola basket
yang didribble di lantai kayu yang keras dan sorak-sorai penonton.
Ketika kami naik ke tribune dan mencari kursi kosong, aku
melirik papan skor: sudah 8?2 untuk kemenangan lawan kami,
Ironton Hawks. Bukan awal yang bagus.
"Ayo, Tigers!" teriakku. "Tigers pasti menang!"
Laura, Adriana, dan aku memaksa beberapa anak pindah ke
bawah. Kami berdesak-desakan duduk di kursi di bagian atas tribune.
Shadyside menambah angka dengan satu layup mudah, dan para
penonton ramai bersorak-sorak.
"Ke mana Aaron malam ini?" Laura berteriak untuk
mengalahkan gemuruh suara penonton.
Aku mengangkat bahu. "Entah. Dia tidak menelepon." Aku
berpaling ke lapangan, bertekad untuk memusatkan perhatian pada
pertandingan. Malam ini aku tidak mau memikirkan Aaron. Atau siapa pun.
Aku ingin menikmati pertandingan basket ini. Bersorak
bersama penonton lain. Berteriak mendukung Tigers. Mungkin
berjalan-jalan dengan Adriana dan Laura setelah pertandingan nanti.
Atau mangkal di The Corner atau Pete's Pizza.
Aku ingin berbuat seperti orang lain. Bukan seperti orang
sinting dengan sepotong hidupnya yang hilang. Orang sinting yang
dikasihani orang lain. "Ayo, Tigers!" Peluit berbunyi. Time-out. Kulihat Corky Corcoran melompat
dan memimpin pasukan cheerleader memasuki lapangan.
"Coba lihat cowok anggota Hawks itu!" teriak Adriana. Ia
menunjuk ke tempat duduk tim lawan di seberang lapangan.
"Yang mana?" Aku memicingkan mata karena silau oleh cahaya
lampu yang terang benderang. "Yang tinggi itu?"
Ia tertawa. "Mereka semua tinggi. Yang rambutnya hitam
keriting itu." Aku memicingkan mata lagi. "Yang tidak tahu cara mengikat
tali sepatunya itu?"
Adriana tidak memedulikan komentar sinisku. "Pokoknya aku
akan bersorak mendukungnya!" serunya. "Wow!"
Aku menggeleng. "Dasar pengkhianat."
Para anggota cheerleader menari-nari, lalu lari keluar lapangan.
Para pemain melemparkan handuk dan botol air mereka dan berjalan
memasuki lapangan kembali.
Terdengar bunyi bel. Pertandingan dimulai.
Pertandingannya sangat seru. Mendekati akhir babak pertama,
skor bertahan 24-24. "Aku lapar," erang Laura. Ditariknya lenganku. "Ayo kita
terobos kerumunan orang dan pergi beli makanan."
"Yeah. Ayo," kata Adriana setuju.
Kira-kira satu menit sebelum babak pertama selesai, kami
bertiga berjalan turun di gang tribune. Di luar gedung olahraga,
banyak kios makanan menjual popcorn, hot dog dan sebagainya.
Kami sudah hampir sampai di lapangan pertandingan ketika
seorang pemain Hawks menambah angka dengan melakukan slam
dunk. Penonton menggerutu melihat Hawks memimpin.
Kulihat pemain-pemain kami berbalik untuk menggiring bola
ke bidang lawan. Kulihat wajah mereka yang tegang, ekspresi mereka
yang keras. Mereka bertekad untuk tidak kalah pada babak pertama.
Sebuah pass. Menyusul satu pass lagi.
Pemain itu mulai mendribble. Sayang ia kehilangan bola.
Kulihat mukanya berkerut marah.
Kulihat wajahnya. Wajahnya. Astaga! Tidak! Ia memiliki wajah itu?wajah yang kugambar!
"Itu dia!" jeritku sambil berusaha mencengkeram Adriana. "Itu
dia! Itu dia!" Aku gagal meraih bahunya. Hampir saja aku jatuh di gang
tribune. Aku berhasil mempertahankan keseimbangan. Segera aku
memandang ke lapangan. Seorang pemain Shadyside lainnya berpaling. Ternyata ia juga
memiliki wajah itu! Wajah yang sama.
Kuamati dua pemain lain. Kuamati rambut mereka yang cokelat berombak. Hidung
mereka yang mencuat. Mata mereka yang kelam dan serius.
Wajah itu! Mereka semua memiliki wajah itu! Wajah yang berkali-kali
kugambar! Wajah cowok yang sudah meninggal itu.
Dan ketika mereka menoleh untuk membalas pandanganku,
senyum mereka lenyap. Mulut mereka berkerut. Mata mereka
membelalak ngeri. Mereka semua menjerit. Dan aku pun ikut menjerit.
Bab 15 "ITU dia! Itu cowok yang sudah meninggal itu! Itu dia!"
Dirikukah yang meneriakkan kata-kata itu berkali-kali?
Kurasakan semua orang memandangiku ketika Adriana dan
Laura menarikku dari tribune.
"Itu dia! Lepaskan aku! Itu cowok yang sudah meninggal itu!
Aku harus melihatnya!"
Bel berbunyi tepat di atas kepala kami. Aku langsung terdiam
karena kaget. Teman-temanku menyeretku ke pintu gedung olahraga. Aku
meronta-ronta. Aku harus melihatnya. Aku harus bicara dengan dia.
Tapi para pemain sudah berbalik pergi.
Mereka lari keluar lapangan menuju ke ruang locker.
"Martha?ayo!" Adriana menarikku ke koridor. Bersama Laura,
ia membawaku menjauhi kios-kios makanan. Menuju ke ujung
koridor yang panjang. Kami berhenti di tangga di samping kafeteria yang gelap.
"Akan kuambilkan minum untuknya," kata Laura pada Adriana.
Kulihat ia berlari kembali ke arah gedung olahraga.
Aku duduk di anak tangga paling bawah. Adriana duduk di
sampingku. "Martha?kau sudah baikan sekarang?"
"Entahlah," jawabku sejujurnya.
Kupejamkan mataku dan kulihat para pemain itu lagi.
Pemain-pemain dengan wajah yang sama. Wajah cowok yang
sudah meninggal itu. "Apakah aku baik-baik saja? Aku betul-betul tidak tahu,
Adriana." Ketika kubuka mataku kulihat di tangannya terdapat koin besar
berwarna keperakan. "Akan kutunjukkan padamu latihan relaksasi
yang kupelajari dari Dr. Corben. Latihan ini selalu bisa membuatku
tenang kalau sedang stres."
Diangkatnya koin itu ke dekat wajahku. "Perhatikan koin ini,"
bisiknya. "Ikuti dengan matamu."
Digerakkannya koin itu perlahan-lahan, ke kiri dan ke kanan, di
dekat wajahku. Koin itu berkilau redup diterangi cahaya remangremang. Adriana berbisik pelan ketika kuikuti gerakan koin itu.
"Pusatkan pikiran pada koin ini. Tenang. Tenang. Terus perhatikan
koin ini." Karena aku ingin wajah-wajah itu menghilang dari benakku,
kupatuhi kata-katanya. Aku ingin diriku tenang. Aku ingin diriku baik-baik saja.
Koin itu bergerak perlahan di depanku. Maju-mundur.
Maju-mundur. Kucengkeram tangan Adriana. "Wow! Apa yang kaulakukan?"
"Tidak apa-apa, Martha," jawabnya pelan. Dengan lembut
dilepaskannya tanganku dari pergelangan tangannya. "Aku melakukan
hipnotis padamu. Supaya kau bisa tenang."
Aku memandangnya dengan mata memicing. Wajahnya
menghilang membentuk bayang-bayang, lalu tampak jelas lagi ketika
ia mencondongkan tubuh ke dekatku. "Kau... menghipnotisku?"
tanyaku. Ia mengangguk. Rambutnya yang hitam tergerai menutupi
matanya. "Tenang. Aku sering melakukannya pada diriku sendiri.
Gampang kok." Diangkatnya koin itu lagi, tapi kutepiskan tangannya. "Aku
sudah baikan," kataku padanya.
Laura bergegas-gegas mendatangi kami. Diberikannya air
dingin dalam gelas kertas padaku. Ia mengamati ketika aku
mengambil gelas itu dari tangannya, wajahnya tampak prihatin. "Kau
baik-baik saja?" Aku mengangguk seraya meneguk air dingin itu banyakbanyak. "Yeah. Aku tidak apa-apa. Betul kok. A?aku tidak tahu
kenapa aku bersikap begitu di dalam tadi."
Kudengar teriakan-teriakan dari dalam gedung olahraga. Serta
suara tawa keras di koridor.
Aku ingin tertawa juga. Aku tidak mau duduk di sini dalam
kegelapan, minum air, menatap wajah cemas teman-temanku.
"Ada apa?" tanya Laura.
Aku menggeleng. Kumiringkan gelas itu dan kuminum airnya
sampai habis. "Entahlah. Aku melihat wajah itu. Kalian tahu, kan?
Wajah yang berkali-kali kugambar itu. Regu Tigers?semua
anggotanya?kulihat mereka semua memiliki wajah yang sama."
Kulihat Laura saling lirik dengan Adriana.
"Aneh juga," gumam Adriana.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Wajah siapakah itu?" aku
mendesak. Aku melompat bangun dan mencengkeram bahu Laura.
"Katakan! Katakan padaku sekarang juga. Wajah siapakah itu?"
Dengan lembut Adriana menarikku, menjauhi Laura. "Kau tahu
kami tidak bisa mengatakannya," katanya, pelan tapi tegas.
Laura menunduk. "Aku ingin bisa membantumu, Martha. Tapi
doktermu bilang..." "Katakan!" jeritku. "Katakan padaku!"
"Ayo kita pulang saja," kata Laura lembut.
Mereka membimbingku ke pintu.
Kakiku terasa lemas dan goyah. Sekujur tubuhku terasa tegang
dan gemetar. Anak-anak berkerumun di luar gedung olahraga, makan dan
mengobrol. Beberapa anak memanggil kami, tapi kami jalan terus.
Kucoba untuk tidak memandang siapa pun. Aku takut. Takut
melihat wajah cowok itu lagi.
Kami melewati gedung olahraga dan berbelok di pojok,
melangkah ke pintu belakang yang menuju lapangan parkir. Udara
terasa lebih sejuk. Aku bisa mendengar bunyi bel di dalam gedung
olahraga. Babak kedua akan dimulai.
Tiba-tiba aku merasa sangat tidak enak.
Aku cuma ingin bersenang-senang. Dan sekarang aku malah
merusak seluruh rencana. Aku merepotkan diriku sendiri dan juga
kedua temanku. Aku sudah membuka mulut untuk minta maaf ketika aku
melihat dua sosok tubuh yang bersandar pada locker di ujung koridor.
Cowok dan cewek. Tersembunyi dalam bayang-bayang, mereka
berpelukan. Cewek itu bersandar pada locker. Cowok itu
menciumnya. Cowok itu memunggungi kami.
Ia menarik kepalanya dan pelan-pelan menoleh ketika kami
bertiga melewati mereka. Kurasa ia mendengar suara langkah kaki
kami di lantai. Ia menoleh dan wajahnya tampak olehku.
Wajahnya. Aku melihat wajahnya. Aku nyaris tidak percaya.
Tapi aku melihatnya begitu jelas.
Sangat jelas. "Tidak!" teriakku. "Ternyata kau! Tidak!"
Bab 16 "MARTHA?tunggu!" serunya. Ia berbalik meninggalkan
cewek yang bersandar pada locker itu.
"Aaron!" aku tak sanggup berkata-kata.
Ketika ia mendekatiku, aku melihat cewek itu. Melihat rambut
merahnya yang ikal. Wajahnya yang bulat dan pucat. Lipstik
merahnya yang manyala. Justine. Ternyata itu Aaron dan Justine.
"Martha?dengar," kata Aaron, napasnya terengah-engah.
Karena mencium Justine? Atau karena kaget melihatku?
Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba bicara lagi.
"Martha?aku harus memberitahumu..."
Adriana mendorongnya. "Jangan sekarang, Aaron," katanya
ketus. "Martha sedang mengalami kesulitan," kata Laura padanya.
Diseretnya aku. "Pergi, Aaron," kata Adriana dingin. "Kau juga, Justine.
Pokoknya pergi. Martha tidak bisa bicara denganmu sekarang."
Ia dan Laura menarikku. Kulihat Aaron mengangkat bahu dengan pasrah. Kucoba
membaca ekspresi wajahnya, tapi aku tidak bisa memahaminya.
Apakah ia tampak merasa bersalah? Atau malu?
Apakah ia tidak peduli? Kulihat ia dan Justine berbalik dan berjalan menuju gedung
olahraga. Aku keluar melewati pintu. Memasuki malam yang gelap.
Malam yang paling gelap. Aku serasa memasuki kegelapan yang dingin. Karena selama
ini aku percaya sepenuhnya pada Aaron. Aku percaya ia
menyayangiku. Dan bukan menyayangi Justine.
Sekarang apa yang bisa kupercaya?
Apa? Aku bahkan tidak bisa lagi mempercayai pikiranku sendiri!
pikirku. Malam gelap yang penuh halusinasi, penuh wajah-wajah tidak
berbentuk?dan wajah-wajah yang nyata.
Aaron dan Justine. Kenapa mereka begitu nyata? Kenapa
mereka bukan halusinasi saja?
Kenapa mereka berciuman di balik punggungku sementara aku
mempercayai mereka? Apa lagi yang bisa kupercaya sekarang?
Sebelum aku sadar, Laura dan Adriana sudah pergi. Aku berada
di kamarku lagi. Kembali berada di tempat yang terang.
Aku memandangi cahaya putih menyilaukan lampu mejaku.
Aku duduk di sana, membuat sketsa lagi. Menggambar wajah cowok
itu. Sambil memandangi cahaya putih itu seakan-akan cahaya itu
menghangatkanku. Membuatku tenang.
Aku tidak ingin melihat kegelapan itu lagi.


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin tetap berada di tempat terang. Berenang di dalamnya.
Mandi di dalamnya. Tinggal di dalamnya.
Aku menggambar wajah itu. Berulangkali.
Dan sementara aku memandangi cahaya itu, wajah itu mulai
bergerak. Wajah itu bergerak dalam ingatanku. Bersama pemandangan
lain, pemandangan yang hilang dari bulan November yang terlupakan
itu. Ingatanku mulai kembali. Aku memandangi cahaya itu, mendorong ingatanku supaya
kembali, mendorongnya supaya hidup lagi.
Apakah kali ini semuanya akan kembali? aku bertanya-tanya.
Apakah aku akan mengingat semuanya kali ini? tanyaku dalam
hati sambil memandangi cahaya putih yang hangat itu dengan penuh
semangat?sekaligus takut yang mencekam.
Bab 17 "JANGAN mendorongku seperti itu," bisikku.
Ia menyeringai, wajahnya begitu dekat, saking dekatnya aku
sampai bisa mencium napasnya yang berbau cokelat. "Tapi kau suka,
kan," ia menggoda. "Tidak." Aku membalas dengan mendorongnya juga. Ia
memeluk bahuku. Dirapatkannya tubuhnya kepadaku. "Tidak. Aku
tidak suka kok. Betul."
Ia tertawa. Ia makin rapat. Ia menundukkan kepala dan menciumku.
Aku berusaha menjauh, tapi ia memelukku erat sekali.
Sampai aku tidak bisa bernapas!
Kudengar suara anak-anak lain di salah satu bagian pondok.
Kudengar sesuatu berderak keras di perapian. Kudengar tawa Justine
yang melengking. Kenapa aku tidak bersama mereka? Kenapa aku tidak bersama
teman-temanku? Kenapa aku ada di ruang belakang pondok yang gelap ini,
mencium cowok tidak dikenal ini, padahal mestinya aku bersama
teman-temanku? Di mana Aaron? Kenapa bukan Aaron yang kucium?
Kutajamkan telingaku untuk mendengar suaranya di ruangan
lain. Yang kedengaran malah suara Ivan. Kudengar Ivan berkata,
"Masukkan kayu lagi. Hei, tolong?masukkan kayu lagi sebelum
apinya mati." Kudengar Adriana berkata padanya, "Masukkan saja sendiri.
Jangan cuma duduk-duduk dan memerintah kami saja dong!"
Aku ingin bangkit. Bergabung dengan mereka. Menikmati
kehangatan perapian. Bersama Aaron. Aku masih pacaran dengan
Aaron. Mestinya aku bersamanya sekarang.
Tapi cowok itu terus memelukku, memelukku begitu erat.
Dan menciumku lagi. Menggosokkan wajahnya dengan kasar
ke wajahku. Membuatku kesakitan. "Sudah. Sean?tolong."
Namanya Sean? Sean? Sean? Aku tahu namanya. Kupandangi cahaya putih lampu meja dan berusaha keras untuk
melihat lebih banyak. Aku tahu nama cowok itu. Tapi aku harus
melihat yang lainnya. Apa yang terjadi sesudahnya? tanyaku dalam hati.
Aku tahu namamu, Sean. Tapi siapa kau? Kenapa aku duduk
dalam kegelapan bersamamu? Kenapa aku menciummu?
Apa yang terjadi sesudahnya?
Kupandangi cahaya lampu, berusaha melihat lebih banyak.
Berusaha melihat semuanya.
Dan kulihat diriku mendorong Sean kuat-kuat. Ia bereaksi
dengan berteriak marah. Ia balas mendorongku. Kami melompat berdiri. Tapi kami sekarang berkelahi. Saling dorong. Berteriak-teriak.
Aku tidak bisa mendengar kata-katanya.
Aku bisa merasakan amarahku. Bahkan lebih dari kemarahan.
Aku murka. Kudorong dadanya. Kutampar dia.
Oh! Suara tamparan itu. Tapi kenapa kami berkelahi?
Kenapa? Dengan tangan gemetaran, kumatikan lampu meja. Aku tidak
mau melihat lebih banyak. Rasanya terlalu menggelisahkan.
Sekujur tubuhku bergetar. Tengkukku terasa dingin dan basah.
Ingatan tadi begitu jernih, begitu jelas sehingga terasa
menyakitkan. Aku bukan sekadar mengingat kejadian malam itu?
aku menghidupkannya kembali.
Aku bangkit berdiri. Tapi lampu merah yang berkedip-kedip
menarik perhatianku. Kupandangi mesin penjawab teleponku. Lampu
berkedip-kedip itu berarti aku mendapat pesan telepon.
Apakah sudah semalaman ia berkedip-kedip?
Kutekan tombolnya dan kudengar bunyi berdecit ketika
kasetnya diputar ulang. Beberapa detik kemudian terdengar sesuatu. Kudengar bunyi
gemeresik. Bunyi latar belakang yang bising. Seperti di restoran atau
ruangan yang ramai. Lalu menyusul suara cewek, parau dan serak. Suara cewek yang
berbisik, "Kau terus-terusan menggambarnya karena kaulah yang
membunuhnya." "Hah?" Aku berseru kaget.
Kudekatkan tubuhku, kudengarkan kata-kata selanjutnya.
Tapi penelepon itu memutuskan hubungan. Terdengar bunyi
klik. Lalu hening. Kaset itu berputar ulang secara otomatis.
Kutekan tombol. Sambil mencengkeram tepi meja aku
mendengarkan baik-baik. "Kau terus-terusan menggambarnya karena kaulah yang
membunuhnya." "Tidaaak!" jeritku. "Laura?kaukah itu? Laura?"
Suara itu memang mirip suara Laura yang sengaja dipelankan
dan dibuat parau. Laura menyamarkan suaranya.
"Laura, kaukah itu? Apa maksudmu?"
Kutekan tombol dan kuputar pesan itu lagi. Dan lagi. Dan lagi.
"Kau terus-terusan menggambarnya karena kaulah yang
membunuhnya." Tidak. Tidak, kataku dalam hati.
Itu tidak mungkin benar. Tidak mungkin.
Laura?kaukah itu tadi? Kaukah yang meninggalkan pesan
mengerikan itu? Kenapa kau berbuat begitu padaku?
Bab 18 "SILAKAN masuk." Dr. Corben membuka pintu ruang
kerjanya, dan aku mengikutinya masuk.
Ia wanita bertubuh pendek dengan rambut sudah beruban.
Tubuhnya mungil dengan raut muka halus seperti boneka. Ia
mengenakan setelan celana panjang hitam yang sesuai sekali
untuknya. Usianya? antara empat puluh dan enam puluh? aku tidak
bisa memastikannya. Ruang kerjanya kecil dan gelap. Semua permukaan penuh
dengan tumpukan buku, map tebal, majalah, dan kertas-kertas.
Ia tidak punya perawat atau resepsionis. Ia benar-benar
sendirian di sini. Di ruang kerja yang gelap dan berantakan ini.
Ruangan yang tampak serius. Toples kue Si Kucing Garfield di
meja kerjanya benar-benar tidak cocok ada di sini.
Pelipisku mulai berdenyut-denyut. Tiba-tiba aku merasa tegang.
Mestinya aku berbalik dan pergi saja, kataku dalam hati.
Tapi tidak. Aku benar-benar putus asa sekarang. Benar-benar
ketakutan setelah pesan telepon mengerikan itu. Aku harus tahu yang
sebenarnya. Semuanya. Aku harus tahu.
Senyum hangat dokter itu membuatku tenang. "Silakan duduk,
Martha." Ia menunjuk kursi kayu di depan meja kerjanya. "Di sini
dingin ya?" Aku mengangguk. "Sedikit. Di luar anginnya kencang."
"Aku sudah lama bertengkar dengan pemilik tempat ini soal
pemanas ruangan," ujarnya seraya duduk di kursi kerjanya dan
menyingkirkan setumpuk arsip. "Kau perlu memakai sweter atau yang
lainnya?" Aku mengenakan T-shirt lengan panjang longgar dan celana
ketat hitam. "Tidak. Saya baik-baik saja. Betul." Kusilangkan kakiku,
lalu kuluruskan lagi. Aku merasa sangat tidak nyaman.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Dr. Corben, tersenyum lagi.
"Saya... well..." Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai
bicara lagi. "Saya tertarik pada hipnotis, Dr. Corben. Saya tahu itu
keahlian Anda. Maksud saya, Anda bisa menghipnotis orang, kan?"
Ia menarik laci tengah mejanya dan mengeluarkan buku catatan
panjang berwarna kuning. Diletakkannya buku itu di atas meja di
hadapannya, tapi ia tidak menulis apa pun. "Hipnotis memang alat
yang kugunakan," jawabnya. Disibakkannya seuntai rambut yang
sudah beruban dari keningnya.
"Dan hipnotis bisa digunakan untuk membantu orang
memperoleh ingatannya kembali, bukan?" tanyaku sambil
mencengkeram lengan kursi kayu yang kududuki.
Ia mengangguk. Lalu matanya yang kecil berwarna kelabu
kebiruan itu menatap mataku. "Ada ingatanmu yang hilang, Martha?"
"Well... ya." Aku menghela napas. "Sesuatu terjadi pada bulan
November tahun lalu. Semacam kecelakaan. Saya tidak bisa
mengingat sepenuhnya. Cuma bisa sepotong-sepotong."
Kusilangkan kakiku lagi. Jantungku tiba-tiba berdebar-debar.
"Saya benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada diri saya, Dr.
Corben. Bisakah Anda menghipnotis saya? Bisakah Anda
menghipnotis saya dan mengembalikan ingatan saya?"
Ia memegang buku catatan kuning itu dengan kedua tangannya,
diusap-usapnya bagian samping buku itu. "Kau kehilangan ingatan
sejak November tahun lalu?"
Aku mengangguk. Ia menyipitkan mata dan mencondongkan tubuh ke depan. "Kau
dalam perawatan dokter, kan?"
Aku mengangguk lagi. "Ya, tapi..."
Ia mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapanku. "Kau
bawa surat dari doktermu? Surat pengantar?"
"Tidak. Saya tidak memberitahu dia," kataku cepat.
Dr. Corben bersandar lagi di kursi kerjanya. "Well, kurasa aku
bisa menelepon doktermu. Kau tahu, aku tidak bisa berbuat apa-apa
sebelum bicara dengan dia dan mengetahui semua detail kasusmu.
Kalau tidak, aku tidak boleh menanganimu. Bisa-bisa malah
merusak." "Tidak. Tolonglah..." kataku. Aku tahu Dr. Sayles tidak akan
menyetujui tindakanku ini. Aku tahu ia akan marah kalau tahu aku
datang kemari tanpa memberitahunya.
Dr. Corben mengetuk-ngetukkan pensil ke buku catatan
kuningnya. "Dari mana kau tahu tentang diriku, Martha? Bagaimana
kau bisa datang kemari?"
"Teman saya, Adriana," aku memberitahunya. "Adriana
Petrakis?" "Oh, ya. Tentu saja." Dr. Corben tersenyum. "Dia mengalami
kesulitan untuk tidur."
"Dan Anda benar-benar membantu dia," kataku cepat. "Dia
bercerita pada saya bahwa Anda menunjukkan padanya cara
menghipnotis diri sendiri. Cara itu banyak membantunya. Dan
kemarin malam saya mengalami masalah sewaktu menonton
pertandingan basket. Adriana menghipnotis saya, dan dia..."
"Dia kenapa?" Dr. Corben melompat berdiri, wajahnya tegang
karena kaget. "Apa yang dilakukan Adriana?"
"Dia menggunakan koin dan mengucapkan kata-kata untuk
menghipnotis saya. Supaya saya tenang. Saya rasa dia berhasil,
karena..." "Dia sama sekali tidak boleh berbuat begitu!" seru Dr. Corben.
"Itu berbahaya sekali, Martha. Adriana tidak memiliki kemampuan
atau keahlian untuk melakukannya. Dia tidak tahu apa yang
dilakukannya. Kau tidak boleh membiarkannya mencoba
menghipnotismu lagi."
"Sa?saya minta maaf," gumamku, menelan ludah dengan
susah payah. Oh, tidak, pikirku, kurasakan perutku jadi kaku karena takut.
Sekarang aku malah melibatkan Adriana dalam masalah besar.
"Dia cuma mencoba menolong saya," kataku. "Sebetulnya,
menurut saya cara itu betul-betul membantu saya."
Dr. Corben tampaknya tidak mendengar perkataanku. "Aku
harus meneleponnya," katanya kesal. "Aku harus bicara dengan
Adriana. Dan orangtuanya."
Aku mengerang frustrasi. "Tapi, bagaimana dengan saya?"
kataku dengan suara melengking. "Anda mau menghipnotis saya?
Anda mau membantu saya memperoleh ingatan saya kembali?"
Dr. Corben menggeleng. Dipandangnya aku dengan tatapan
bersimpati. "Aku sebetulnya ingin membantu, Martha," katanya pelan.
"Tapi aku harus bicara dengan doktermu dulu. Dan dengan
orangtuamu. Aku memerlukan izin mereka sebelum bisa..."
Aku tidak menunggunya selesai bicara. Aku melompat bangkit
dari kursi?begitu keras, sampai kursi itu jatuh ke lantai. Sementara
kursi itu jatuh telentang, aku berbalik dan lari.
Aku meninggalkan ruang kerja yang suram dan berantakan itu.
Melewati ruang tunggu yang kecil dan gelap. Lalu keluar melewati
pintu depan gedung tua itu.
Awan gelap melayang rendah di langit. Udara terasa pengap
dan lembap. Kuhirup udara dingin itu berkali-kali. Lalu, saat aku tengah
berjalan ke mobilku, sesosok tubuh muncul dari balik dinding gedung.
"Martha?tunggu!"
Aku diam mematung ketika ia keluar dari balik bayangan
dinding. "Sean!" Lututku mulai gemetar. Kurasakan keseimbangan tubuhku mulai goyah, terkulai ke
trotoar. Ia bergegas melintasi tempat parkir.
Sean? Bukan. Bukan Sean. Melainkan Aaron. "Aaron?sedang apa kau di sini?" tanyaku kaget.
Ia mengenakan jaket pilot dari kulit berwarna cokelat dan
kemeja flanel hitam. Jaket itu melambai-lambai ketika ia berlari
menghampiriku. Rambutnya yang gelap ikut melambai-lambai.


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Martha, wow!" Ia berhenti di depanku, uap napasnya melayang
ke atas kepalanya. Diusapnya rambutnya ke belakang dengan kedua
tangannya. "Aku ingin menjelaskan," katanya terengah-engah.
Kurasakan tenggorokanku menegang. Sekali lagi, mungkin
untuk keseribu kalinya, aku teringat ketika ia berada di koridor
sekolah yang gelap, mencium Justine. Mencium sahabatku.
Aaron dan Justine. Aku menatapnya dengan pandangan dingin. Saat itu aku sadar
perasaanku terhadap Aaron sudah tidak seperti dulu lagi.
Aku masih sayang padanya. Mungkin aku bahkan
mencintainya. Tapi aku tidak mempercayainya.
"Aku ingin menjelaskan," ulangnya. Dipegangnya bahuku. Tapi
aku mundur, menjauhi tangannya.
"Well? Bicaralah," kataku menantangnya. Aku ingin
kedengaran dingin dan ketus. Tapi suaraku malah bergetar.
"Justine dan aku capek sembunyi-sembunyi," kata Aaron,
matanya yang kelam menatap mataku. "Boleh dibilang, aku senang
kau memergoki kami."
"Kau dan Justine...?" Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan
sakit hatiku. Tapi kata-katanya serasa menusukku, lebih tajam
daripada angin yang dingin ini.
Ia mengangguk. "Justine dan aku tidak ingin menyakitimu,
Martha. Tapi kami memang pacaran. Sudah beberapa bulan."
"Itu sebabnya Justine dan aku berkelahi di pondok waktu itu?"
desakku. Aaron mengangguk. "Ya. Kau sudah bisa mengingatnya?"
"Ya. Aku mulai ingat banyak hal," kataku dingin. "Tapi,
Aaron?kau dan aku..." Suaraku menghilang. Aku tidak tahu harus
bilang apa. Aku merasa sangat sakit hati. Dan perasaan itu dengan
cepat berubah jadi kemarahan.
"Aku betul-betul minta maaf," gumamnya. Ditundukkannya
kepalanya. "Kami tahu kau masih mengalami shock. Sejak kejadian
itu." Agaknya saat itulah aku benar-benar kehilangan kontrol.
Kucengkeram bahunya dengan kedua tanganku. Kuguncang tubuhnya
kuat-kuat. "Apa yang terjadi?" desakku. "Bilang, Aaron. Bilang
sekarang. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi pada Sean?"
Mulutnya ternganga kaget. Disambarnya tanganku dan
dicengkeramnya, memaksaku berhenti mengguncangnya. "Kau?kau
ingat Sean?" tanyanya terbata-bata.
Aaron mundur selangkah. Ia terhuyung-huyung, seolah-olah
baru saja mendapat pukulan hebat. "Kau ingat Sean?"
Aku mengangguk dan mengamati ekspresi terkejut Aaron.
Kenapa Aaron tampak begitu ketakutan? aku bertanya-tanya
dalam hati. Kenapa ia ketakutan mendengar aku mulai bisa
mengingat? "Katakan padaku apa yang terjadi," kataku memaksa. "Katakan
padaku sekarang, Aaron."
"A?aku tidak bisa," katanya tergagap. Ia berpaling dariku. "Itu
ter?terlalu mengerikan."
Bab 19 SAAT pulang sekolah pada hari Rabu, aku mendengar teriakanteriakan ketika berjalan ke locker-ku.
Aku berbelok di sudut dan melihat dua cowok sedang berkelahi,
saling dorong di tengah koridor. Anak-anak lain berkerumun di sekitar
mereka. Berteriak-teriak dan bersorak-sorak.
Aku mendengar teriakan marah. Seorang cowok jatuh telentang
membentur locker yang terbuat dari logam. Suara benturannya
mengalahkan jeritan bersemangat kerumunan penonton.
Ketika aku lari mendatangi mereka, cowok-cowok itu saling
mencengkeram. Salah seorang melayangkan pukulan tinju yang keras,
membuat kepala salah satu di antara mereka tersentak ke belakang.
Beberapa anak menjerit. Aku melihat darah menetes di lantai.
Kuangkat kepalaku, dan kulihat Ivan.
Ivan menghantamkan badannya ke cowok yang tidak kukenal.
Darah mengalir di dagu Ivan, mengotori bagian depan kemeja
abu-abunya. "Ivan?stop!" jeritku.
Mereka sekarang bergulingan di lantai, mendengus-dengus dan
berteriak-teriak, saling meninju. Ivan, dengan wajah merah dan
keringat mengucur di dahi, mencengkeram leher cowok itu dengan
kedua tangannya. Aku membungkuk di sampingnya dan meraih bahu Ivan,
bertekad menariknya agar menjauh dari lawannya.
Tapi ia tetap mencekik cowok itu. Tangannya makin erat
mencengkeram lehernya. Mencekiknya. Terus mencekiknya.
Mereka berguling menjauh dariku.
"Ivan?stop!" jeritku sekuat tenaga. "Hentikan!"
Tangan-tangan lain menarik kedua cowok yang berkelahi itu.
Menyusul terdengar suara-suara, teriakan-teriakan marah.
Aku berdiri dan melihat Mr. Hernandez, kepala sekolah,
menarik Ivan. Cowok yang satu lagi berbaring telentang, menggosok-gosok
lehernya sambil mengerang. Di bagian depan kemeja denimnya
terdapat bercak darah. Darahnya? Atau darah Ivan?
Aku tidak tahu. Kupandangi tubuh-tubuh yang tampak kabur
itu, wajah-wajah yang penuh semangat itu. Dua orang guru membantu
cowok itu berdiri. Ia mengerang, dan darah mengalir dari mulutnya,
turun ke dagunya. "Ada apa sih?" tanya seseorang di belakangku.
"Ivan yang bikin gara-gara," kudengar seorang cewek
bergumam. "Siapa cowok yang satu lagi itu?"
"Kurasa dia bukan murid Shadyside."
"Well, kenapa mereka berkelahi?"
"Lihat. Ada yang giginya copot."
"Hiii!" Aku menjauh dari percakapan yang heboh itu. Aku tidak ingin
mendengarnya. Aku kasihan pada Ivan. Aku berbelok di sudut dan melihat Mr. Hernandez menyeret
Ivan di koridor. Kepala Ivan menunduk, rambutnya yang hitam
tergerai menutupi wajahnya.
Ia seperti penjahat saja, pikirku.
Padahal kan ia temanku. Kakak Adriana.
Ia diseret seperti penjahat.
Aku menghela napas. "Ivan?kenapa kau?"
************* Telepon berdering ketika akhirnya aku sampai di rumah.
Kulemparkan ranselku dan cepat-cepat kuangkat telepon itu.
"Halo?" kataku terengah-engah sambil membuka jaket dengan
sebelah tanganku. "Martha, ini aku."
Laura. "Kau dengar tentang Ivan? Dia diskors dari sekolah," kata
Laura, bicaranya cepat sekali, bersemangat.
"Aku ada di sana," kataku padanya. Kubiarkan jaketku jatuh ke
lantai, kutinggalkan begitu saja. "Aku melihat perkelahian itu. Sengit
banget." "Sudah kuduga," jawab Laura. Aku bisa membayangkan ia
membelalakkan mata. "Mr. Hernandez menskors Ivan selama dua
minggu. Besok orangtuanya harus menghadap."
"Wow," gumamku. "Mereka takkan senang mendengarnya."
"Kenapa sih mereka berkelahi?" tanya Laura.
Kupindahkan telepon ke tanganku yang satu lagi dan duduk di
lantai, bersandar pada dinding. "Aku tidak tahu. Mereka sudah seru
berkelahi waktu aku datang."
"Cowok lawannya itu dari Drake Academy," kata Laura
memberitahuku. "Dia bahkan bukan murid Shadyside. Dia salah satu
teman Ivan dari..." "Teman apaan!" potongku. "Mereka tadi betul-betul berusaha
saling membunuh." Laura mengerang panjang. "Heran, dulu kok aku bisa pacaran
dengan Ivan. Memikirkannya saja bikin aku merinding. Dia seperti
binatang. Aku senang sudah putus dengan dia."
Sepotong ingatanku kembali. Begitu mengejutkan, hampir saja
aku menjatuhkan telepon. "Laura..." kataku, menelan ludah. "Kau putus dengan Ivan
supaya bisa pacaran dengan Sean!"
Kudengar ia terkesiap di ujung sana. Kutunggu ia menjawab.
Tapi yang terdengar hanya kesunyian.
"Laura...?" aku mendesaknya, menunggu jawabannya. Berbagai
kenangan melandaku, gambar-gambar terang memenuhi pikiranku.
"Martha?kau ingat Sean?" akhirnya Laura bertanya dengan
suara lirih. "Minggu itu kau putus dengan Ivan," kataku padanya sambil
memejamkan mata. Memejamkan mata dan membiarkan gambargambar itu kembali ke dalam ingatanku.
"Ya. Aku..." kata Laura.
Tapi tidak kubiarkan ia menyelesaikan ucapannya. Aku tidak
mau aliran ingatanku terhenti.
"Kau memutuskan hubungan dengan Ivan di pondok itu. Dia
marah sekali sehingga hampir berkelahi habis-habisan dengan Sean di
sana." "Ya. Benar." Suara Laura tiba-tiba terdengar dingin.
Seolah ia menjauh dariku. "A?aku tidak mau
membicarakannya," katanya terpatah-patah.
"Kau harus!" teriakku. "Kau harus memberitahuku, Laura..."
"Tidak...!" katanya berkeras. "Tidak. Tidak. Aku tidak bisa.
Aku harus pergi, Martha."
"Tunggu!" teriakku. "Apakah kemarin malam kau
meneleponku? Apakah kau meninggalkan pesan untukku?"
"Aku harus pergi," ulang Laura. "Aku serius."
"Laura?jawab pertanyaanku."
"Telepon saja aku nanti," katanya terengah-engah. "Aku harus
pergi. Nanti saja kita bicara, oke? Bye."
Telepon mati. Tapi aku tetap berdiri sambil memegang telepon,
memandangi dinding. Dinding yang putih.
Ingatanku mengalir deras.
Kupejamkan mata dan kubiarkan ingatanku kembali.
Gambar itu begitu hidup, begitu jelas. Kali ini aku akan melihat
semuanya. Aku akan mengingat semuanya.
Semua kegembiraan itu. Semua kekacauan itu. Semua kengerian itu. Bab 20 SEMENTARA Ivan menarik papan luncur ke pondok, Sean
melompat menaikinya. "Tarik aku man," seru Sean, menyeringai pada
Ivan. Ivan membalas seringainya. "Akan kutarik kau. Sampai
melewati lereng gunung dan terjun ke jurang!" Dilepaskannya tali
papan luncur. "Turun, Sean. Aku tidak sudi menarikmu sampai ke
puncak bukit." Sean tertawa dan berguling turun dari papan, jatuh ke salju
tebal. Diraihnya dua kepal salju dan dilemparkannya pada Ivan.
"Awas!" Aku menonton dari bawah bukit, tidak jauh dari mereka. Aku
juga menarik papan luncurku, Flexible Flyer kayu yang sudah tua.
Kakiku terasa sakit. Sepanjang siang tadi aku main papan luncur terus.
Bersama semua temanku. Justine, Adriana, dan Laura. Aaron, Ivan, dan Sean.
Sean sebetulnya tidak termasuk kelompok kami. Well, kurasa ia
bisa dibilang anggota termuda.
Sean sahabat Ivan. Entah di mana Ivan berkenalan dengannya,
mungkin di tempat main boling. Sean tinggal di Old Village. Tapi ia
tidak bersekolah di Shadyside.
Aku suka pada Sean. Menurutku ia kelihatan menarik, dengan
matanya yang kelam, ekspresinya yang serius, dan bekas luka kecil
berwarna putih yang memotong alisnya. Cacat yang membuatnya
tidak tampan sempurna. "Sandarkan semua papan luncur di dinding itu," perintah
Adriana pada kami. Untuk akhir pekan yang panjang ini, Adriana yang jadi
pemimpin. Orangtuanyalah yang memiliki kedua pondok yang kami
pakai saat ini. Tapi ayah-ibunya tidak pernah menggunakannya.
Mungkin karena terlalu sibuk bertengkar, pikirku sedih.
Jadi Adriana yang bertanggungjawab. Pondok-pondok ini milik
Ivan juga, tentu. Tapi Ivan bukan orang yang suka memberi perintah?atau suka
menolong orang lain. Ivan cuma ingin menyelinap dan berduaan dengan Laura.
Kuletakkan papan luncurku di samping papan lainnya. Aaron
membantuku meletakkannya di atas tumpukan. Ia tersenyum padaku.
"Permainannya asyik, ya."
Aku hendak menjawab, tapi ia sudah bergegas pergi untuk
bergabung dengan Justine dan Laura.
"Habis ini main ski!" teriak seseorang.
"Yeah. Ayo kita sikat lereng-lereng!"
Di samping pondok terdapat jalur ski sempit.
Enaknya! pikirku. Bisa punya jalur ski sendiri!
Aku memandang berkeliling. Justine dan Adriana sudah
membuka pintu gudang dan kini sedang melemparkan keluar peralatan
ski dan tongkatnya. Ivan dan Laura berdiri berdekatan, ribut
bertengkar tentang sesuatu di depan pondok para cowok.
Aaron sudah menghilang ke dalam pondok. Lalu Ivan dan Sean
main lempar-lemparan salju lagi di samping papan luncur mereka.
Aku menarik napas dalam-dalam. Udara terasa begitu segar dan
wangi pinus. Matahari sore masih tinggi di langit biru tak berawan.
"Ayo, kita main ski!" desak Adriana, memanggil semua orang
ke arah gudang. "Kita nanti mau makan malam di kota, kan? Sekarang
sudah sore. Nanti kita terlambat."
Kupandang jalur ski itu. Tidak terlalu sulit, kataku
memutuskan. Tidak terlalu terjal. Jalur lurus di antara dua baris pohon
fir?sejenis cemara yang tinggi.
Cukup mudah, bahkan untuk pemula seperti aku.
"Siapa yang turun duluan?" seru Laura, bergegas-gegas pergi
menjauhi Ivan. Kulihat Aaron keluar dari pondok dan berlari-lari melintasi
salju. Aaron jago main ski. Aku tahu jalur ini cuma mainan anak-anak
baginya. "Kita harus meluncur satu-satu," Adriana memberitahu kami.
"Jalur ini terlalu sempit."
Aku menoleh dan melihat Aaron menyeret Ivan ke tempat ski.
"Kita punya sukarelawan!" teriak Aaron.
Ivan mengomel dan dengan marah melepaskan diri dari
pegangan Aaron. Kulihat Aaron terkejut. Ivan meludah ke salju dan


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggumamkan sesuatu pada Aaron.
"Hei?kau kenapa sih?" tanya Aaron pada Ivan.
Laura sudah melangkah mendekati Justine, mereka berdua asyik
bicara, wajah mereka tampak serius.
"Siapa yang turun duluan?" tanya seseorang.
"Kurasa Martha saja!" jawab Adriana. Ia nyengir padaku dan
menyerahkan sepasang papan ski.
"Kenapa aku?" tanyaku.
"Karena kau juara main papan luncur," seru Adriana.
Beberapa anak bersorak. "Kau dapat posisi pertama," lanjut Adriana.
"Kau bercanda? Aku tiga kali jatuh dari papan luncurku!"
seruku. "Aku nyaris menabrak pohon itu!"
"Aku nomor dua," kata Sean.
"Bagus. Kalau begitu kau bisa menyelamatkan aku kalau kakiku
patah!" kataku padanya.
Aku membungkuk untuk memasang sepatu ski. Jantungku
mulai berdebar-debar. Seumur hidup baru dua-tiga kali aku main ski. Aku tidak terlalu
yakin dengan kemampuanku.
Aku tahu aku akan mempermalukan diriku habis-habisan di
hadapan teman-temanku. Aku tidak bisa memasang sepatu skiku dengan pas. Aku
menoleh dan melihat Adriana, Justine, dan beberapa anak lain
mengawasiku. "Kalian turun duluan deh!" teriakku. "Tali sepatu skiku kusut."
"Oke. Aku duluan!" kudengar Sean berteriak.
Kuikat tali sepatuku. Kutarik kuat-kuat. Lalu aku berdiri tegak
tepat pada saat Sean mulai meluncur.
Aku bergerak ke tepi puncak bukit, papan skiku berderak-derak
di salju yang membeku. Sean mendorong badannya dengan kedua tongkat skinya dan
mulai meluncur turun. Jalur itu ternyata lebih curam daripada yang kukira. Ia
mencondongkan tubuh dan meluncur makin cepat. Papan skinya
menabrak tonjolan bukit. Ia berhasil mempertahankan keseimbangan
dan meluncur makin cepat.
Lalu jauh di depannya, aku melihat garis perak itu.
Garis perak yang melintasi jalur ski.
Begitu tipis. Berkilat. Benang berkilat di antara salju putih.
Berkilat-kilat diterangi sinar matahari, benang itu terbentang
tepat di jalur yang akan dilalui Sean.
Kupandangi benang itu dengan bingung. Aku mencoba berpikir,
untuk apa benang itu dipasang di situ.
Benang apa sih itu? Tampaknya seolah-olah ada yang mengambil pena perak dan
menggambar garis lurus melintasi jalur ski dari pohon ke pohon.
Garis perak. Lama sekali aku baru sadar garis itu ternyata seutas kawat.
Lama sekali aku baru sadar ada orang yang membentangkan
kawat perak melintasi jalur ski.
Lama sekali aku baru menyadarinya, sehingga tidak sempat
menjerit. Tidak sempat memperingatkan Sean.
Tidak sempat bergerak. Dan sedetik kemudian?mungkin kurang dari itu?Sean
meluncur menuju ke kawat itu.
Kawat itu mengenai lehernya.
Melukai lehernya. Garis lurus. Garis perak.
Garis itu melukai lehernya.
Warna merah terang memercik di kedua sisi garis perak itu.
Aku masih tidak bergerak. Aku masih tidak percaya.
Tidak ada seorang pun yang bergerak.
Kami semua berdiri di tepi puncak bukit, memandang ke bawah
tanpa suara. Kepala Sean terkulai. Kulihat tubuhnya terus meluncur. Papan ski membawanya
sejauh beberapa meter, sebelum akhirnya ia terjatuh.
Darah membanjir. Membuat salju tergenang darah merah.
Bab 21 AKHIRNYA aku ingat. Ingat semuanya.
Dan sekarang kupandangi meja belajarku yang penuh dengan
gambar-gambar Sean. Kupandangi wajahnya yang serius.
Aku membayangkan dirinya, dengan wajahnya yang tampan,
tergolek di salju putih bersih. Matanya yang kelam menatap kami di
atas bukit, menatap dengan pandangan menuduh.
Kupeluk diriku, berusaha menghentikan badanku yang gemetar.
Tapi perasaan ngeri itu tidak mau hilang. Menjalari sekujur
tubuhku. Aku merasa kedinginan, kedinginan dan ketakutan.
Seolah-olah aku berdiri di jalur itu lagi. Seolah-olah aku
kembali berada di bukit bersalju itu lagi, memandangi garis perak tipis
itu dengan perasaan ngeri.
Tidak berdaya. Sangat tidak berdaya dan ketakutan.
Ingatanku kembali. Begitu tajam dan jelas, sehingga aku merasa
mual. Kuusap air mata yang membasahi wajahku dengan kedua
tangan. Aku bahkan tidak sadar telah menangis.
Sekarang kubiarkan tangisku meluap. Tangis yang membuat
wajahku jadi kaku, membuat tenggorokanku kaku sampai aku
tersengal-sengal kehabisan napas.
Sean. Sean yang malang. Lalu aku teringat lebih banyak lagi.
Aku bertengkar dengan Sean. Bertengkar hebat.
Aku bertengkar dengan Sean?lalu ia meninggal.
Malam sebelumnya, Sean dan aku bertengkar.
Lalu ia meninggal. Dan polisi datang. Aku ingat seragam biruhitam mereka di antara hamparan salju yang putih.
Aku ingat wajah tegas mereka, merah karena udara dingin.
Mata-mata yang memandangku dengan tajam, mengamatiku.
Aku ingat pertanyaan-pertanyaan mereka. Pertanyaanpertanyaan yang tiada habis-habisnya.
Mereka menanyai kami semua. Selama berjam-jam.
Lalu? Aku belum bisa mengingatnya.
Tapi sudah cukup yang kuingat.
Aaron benar. Keadaanku akan lebih baik bila aku tidak
mengingat kejadian mengerikan itu lagi.
Kupeluk diriku lebih erat, berusaha mengusir perasaan ngeri
yang mengguncang diriku. Lalu telepon berdering. Adriana. "Aku ingat semuanya!" kataku bersemangat. "Adriana,
semuanya bisa kuingat lagi?aku baru saja mengingatnya!"
"Oh, aku sangat prihatin," bisiknya. "Kejadian itu begitu
mengerikan, Martha. Kau pasti merasa sangat tidak enak."
"Ya," kataku mengakui. Kucoba bicara lagi, tapi tenggorokanku
serasa tersumbat. "Kejadiannya mengerikan sekali. Bagi kita semua," gumam
Adriana melalui telepon. "Sejak hari itu, kami..."
"Adriana?kawat itu," selaku. "Ada orang yang merencanakan
untuk membunuh salah satu dari kita?"
Ia terdiam. "Tidak ada yang tahu, Martha," ujarnya.
"Apa?" teriakku. "Bagaimana dengan polisi...? Mereka tidak
tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
Adriana menghela napas. "Lama sekali baru polisi bisa mendaki
jalur ski itu. Kita semua berteriak dan menjerit-jerit. Kita seperti orang
sinting. Kasihan Laura. Mereka terpaksa memberinya obat penenang
supaya dia bisa tidur. Sementara Ivan nyaris gila."
"Tapi, polisi..." kataku.
"Mereka menanyai kita semua. Mereka memeriksa kawat itu.
Lalu mereka mengambilnya dan membawanya ke lab mereka. Tapi
mereka tetap tidak tahu siapa yang merentangkan kawat itu. Atau apa
sebabnya." Air mata mengalir di pipiku. Aku tidak berusaha
menghapusnya. Aku memusatkan pikiran pada kata-kata Adriana,
berusaha memahami apa yang dikatakannya padaku.
Dan sekarang aku mendengar tangisnya juga. Tersedu-sedu,
pendek dan putus-putus. "Aku?aku?aku..." katanya tergagap. "Aku
tidak tahu. Kejadian itu sangat mengerikan. Mimpi yang sangat buruk,
Martha." Suasana sepi sewaktu ia berusaha menenangkan diri. Lalu ia
melanjutkan ucapannya dengan suara bergetar, "Aku takkan bisa
melupakannya. Sejak saat itu aku tidak bisa tidur. Sekejap pun tidak,
Martha. Tiap malam aku selalu mengalami mimpi buruk itu. Berkalikali."
"Adriana..." Tapi ia menangis keras-keras sambil terus bicara. "Aku tidak
bisa berkonsentrasi. Aku tidak bisa mendengarkan pelajaran apa pun
di sekolah. Aku tidak bisa membuat pekerjaan rumah. Nilai-nilaiku...
aku tidak bisa berpikir jernih."
Dingin yang menjalari tubuhku hampir membuatku
menjatuhkan telepon. Kupegang gagangnya lebih erat dengan
tanganku yang basah. "Adriana," kataku tersendat, "kau tidak berpikir
bahwa salah satu dari kita yang membunuh Sean, kan?"
"Menurutmu bagaimana?" tanyanya, suaranya hampir menjerit,
seolah-olah ia marah. "Menurutmu bagaimana, Martha? Tidak ada
orang lain di puncak bukit itu. Tidak ada. Cuma kita yang ada di atas
sana. Siapa lagi yang bisa merentangkan kawat itu?"
Kawat itu. Kawat perak itu. Kubayangkan kawat itu ketika berusaha memahami kata-kata
Adriana. Siapakah yang mungkin merentangkan kawat itu?
Tidak ada orang lain di sana. Yang ada cuma kami.
Cuma kami yang bisa membunuh Sean.
"Aku akan ke rumahmu," kata Adriana tiba-tiba, menyentakkan
diriku dari pikiranku. Suaranya penuh emosi. "Aku akan ke rumahmu.
Sudah lama aku cemas memikirkan kau, Martha. Pasti mengerikan
sekali bagimu. Kehilangan ingatan. Lalu menggambar wajah Sean
berulang kali." "Ya. A?aku tidak mengerti sedikit pun." Aku menghela napas.
"Lama sekali baru aku bisa memahami semuanya. Baru aku bisa
mengingatnya." Sebuah pertanyaan memaksa masuk ke dalam benakku,
pertanyaan yang aku sendiri tidak ingin menanyakannya.
Kenapa aku yang kehilangan ingatan? Kenapa bukan anak-anak
lain, salah satu temanku?
Kenapa aku lebih sulit menerima kematian Sean daripada anakanak lain? Kenapa pengaruhnya begitu kuat padaku?
Apakah karena aku bertengkar dengan Sean pada malam
sebelum ia terbunuh? Apakah aku merasa bersalah karena bertengkar
dengannya pada malam terakhirnya di dunia ini?
Kenapa? Kenapa? Itu pertanyaan yang tidak bisa kujawab.
Tapi, mungkin sekarang ada yang bisa membantu mencari
jawabnya. Mungkin Adriana mau membantuku sekarang.
"Ya?tolonglah," kataku memohon. "Datanglah. Datanglah
sekarang juga." "Aku akan segera berangkat," jawabnya pelan. Dan hubungan
telepon itu putus. Kuletakkan teleponku sambil berpikir keras. Otakku berputar.
Mengingat-ingat. Siapa yang punya alasan untuk membunuh Sean?
Siapa yang menginginkan kematian Sean?
Ivan? Tidak mungkin. Sean adalah temannya. Ivan yang
membawanya bergabung dengan kelompok kami.
Aaron? Laura? Justine? Tidak. Tidak. Tentu tidak.
Semua menyukai Sean. Semua.
Aku melintasi kamar menuju lemari pakaian. Aku ingin
berganti pakaian sebelum Adriana datang.
Kuambil celana jeans belel dari rak di bagian belakang.
Aku senang Adriana akan datang. Mungkin sekarang kami bisa
berbincang-bincang. Mencurahkan semua yang membebani pikiran
kami. Aku perlu bicara. Dan aku tahu baik pula bagi Adriana bisa
bicara dengan seseorang. Gadis malang. Ia begitu hancur. Ia mengalami saat-saat yang
sulit. Orangtuanya bertengkar terus-menerus. Kakaknya diskors dari
sekolah, merusak hidupnya sendiri.
Kudengar bunyi pintu mobil ditutup di halaman depan.
Dengan kaget kujatuhkan jeans-ku.
Aku membungkuk untuk mengambilnya dari dasar lemari.
Saat itulah aku melihat sebuah tas cokelat. Tas besar dari kain
kanvas berwarna cokelat. "Oh!" aku berseru ketika mengingatnya.
Tas itulah yang kubawa dalam perjalanan ke pondok itu. Tas
tempat semua barang-barangku kusimpan bulan November tahun lalu.
Kenapa tas itu bisa berada di bagian belakang lemari
pakaianku? pikirku heran. Apakah aku lupa membongkar isinya?
Apakah aku menjejalkannya begitu saja dan melupakannya?
Kuseret tas itu ke luar. Tanganku gemetar ketika membukanya.
Tas itu hampir penuh. Kukeluarkan sweter-sweter kusut dan
celana jeans yang tergulung. Juga dua helai celana panjang ketat.
Aku tidak pernah membongkarnya, pikirku.
Waktu itu aku pasti sangat kacau, sangat bingung, sehingga
kusembunyikan saja tas itu.
Kukeluarkan baju-baju lain. Tas kosmetik. Pengering rambutku
yang lama. Lalu... "Tidaaak!" jeritku kuat-kuat ketika melihatnya. Aku melolong
ketakutan. Di dasar tas. Tergulung di sudut. Tersembunyi dengan rapi.
Seutas kawat. Kawat perak. Digulung rapi. Di sampingnya terdapat pemotong kawat.
Kawat yang membunuh Sean?
Kupandangi kawat yang tergulung itu dengan tidak bergerak,
tubuhku terasa kaku, dan aku tak bisa mengalihkan pandangan.
Dan aku tahu. Aku tahu siapa yang membunuh Sean.
Aku. Akulah orangnya. "Kau terus-terusan menggambarnya karena kaulah yang
membunuhnya." Bab 22 AKU mendengar pintu depan dibuka. Aku mendengar Mom
bicara dengan Adriana di lantai bawah.


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi aku tidak bergerak. Kupandangi isi tas itu, kupandangi kawat perak itu.
Sebuah kata berulang-ulang dalam pikiranku: Kenapa? Kenapa?
Kenapa? Kata itu menenggelamkan suara-suara di bawah.
Menenggelamkan dentaman jantungku, napasku yang megap-megap.
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa aku membunuh Sean?
Kupejamkan mataku dan berusaha mengingat.
Kenapa ia dan aku berkelahi?
Aku tidak bisa mengingatnya.
Aku cuma ingat aku mendorongnya. Ia ingin terus menciumku.
Tapi aku menolak. Dengan marah kudorong dia menjauh dariku.
Tapi aku tidak bisa mengingat kejadian selanjutnya.
"Masuk akal," gumamku dengan suara datar dan tanpa emosi.
"Semuanya masuk akal."
Cuma aku yang kehilangan ingatan.
Lalu aku mulai menggambar wajahnya. Setiap kali
menggambar, aku pasti membuat sketsa wajah Sean.
Itu karena rasa bersalahku.
Karena alam bawah sadarku tahu aku telah membunuhnya.
"Ya ampun!" aku menjauh dari tas itu.
Aku tidak sanggup lagi memikirkannya. Aku merasa seperti
akan pingsan. Kepalaku berputar-putar dan lututku mulai lemas.
Kudengar langkah kaki Adriana di tangga.
Lalu satu pertanyaan mengerikan lagi memaksa masuk ke
dalam benakku Apakah semua orang tahu?
Apakah semua orang tahu aku yang membunuhnya? aku
bertanya-tanya, tercekam kengerian.
Apakah semua orang curiga akulah pelakunya?
Itukah sebabnya mereka semua bersikap begitu aneh bila berada
di dekatku? Itukah sebabnya mereka memperlakukan aku dengan
sangat hati-hati, sangat lembut?
Itukah sebabnya Aaron meninggalkan aku?
Karena ia tahu? Karena mereka semua tahu aku seorang
pembunuh? Kalau saja aku ingat alasan aku membunuhnya...
"Martha!" Adriana menyerbu masuk ke kamarku. Ia mencoba
memelukku. Tapi aku mundur.
"Aku tahu yang sebenarnya!" seruku. Lalu aku menangis
tersedu-sedu. Adriana maju dan berusaha memelukku lagi. Sekali ini aku
tidak menghindar. "Martha, apa maksudmu?" bisiknya. "Martha,
semua akan baik-baik saja. Betul. Semua akan beres."
"Tidak, tidak!" jeritku, menjauh darinya. Dengan marah kuusap
pipiku dengan kedua tanganku. "Aku tahu yang sebenarnya!" kataku
berkeras. "Takkan ada yang baik-baik saja!"
Wajahnya tampak kebingungan. Ditarik-tariknya rambutnya
yang hitam, matanya yang kelam menyipit memandangku.
Tiba-tiba aku sadar, ia tidak tahu!
"Lihat!" tangisku. Aku jatuh berlutut di samping tas kanvas itu.
Kubuka tas itu lebar-lebar supaya ia bisa melihat isinya. "Lihat!"
Ia masih memegangi rambutnya, menariknya dengan tegang
sementara ia memandang ke dalam tas. "Tidak," bisiknya. "Tidak."
"Itu kawatnya," kataku, meski menurutku ia pasti sudah tahu.
"Sisa kawat, dan pemotongnya."
"Tapi, Martha..."
"Aku yang membunuh Sean," kataku dengan suara pelan dan
datar. Seperti suara orang mati. "Ini buktinya."
"Tapi, kenapa...?" tanya Adriana, memegangi rambutnya seolah
rambut itu bisa melindunginya.
"Aku tidak tahu," jawabku. "Aku tidak ingat. Tapi ini buktinya.
Aku yang membunuhnya. Lalu kusembunyikan sisa kawatnya di
tasku." ebukulawas.blogspot.com
Adriana memandang tas itu. Lalu dipejamkannya matanya, dan
kulihat sekujur tubuhnya bergetar. "Apa yang akan kaulakukan?"
tanyanya. "Memberitahu Mom dan Dad," jawabku. "Ya, aku akan
memberitahu mereka. Kurasa mereka terpaksa membawaku ke polisi."
Kata-kataku membuat Adriana tersentak. Ia jatuh ke tempat
tidurku, tangannya menggapai-gapai. "Tapi kenapa, Martha? Kenapa
kau membunuhnya?" "Aku tidak ingat," kataku menggelengkan kepala, berusaha
menahan air mataku. "Aku memang melihat kalian berdua bertengkar," kata Adriana
mengingat-ingat. "Malam itu di pondok, kau dan Sean pergi ke ruang
belakang. Aku lewat dan melihat kalian bertengkar. Apa yang kalian
ributkan?" Aku mengangkat bahu. "Kalau saja aku tahu. Aku tidak bisa
mengingatnya. Seingatku dia menciumku. Atau mungkin aku yang
menciumnya. Lalu kami bertengkar. Lalu..." Suaraku menghilangi
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu pasti tentang
apa pun. Aku cuma tahu aku ini seorang pembunuh."
"Bukan, kau bukan pembunuh!"
Tiba-tiba terdengar suara lain.
Suara cowok. Dari ambang pintu kamar.
Aku menoleh dan melihat Ivan melangkah masuk. Rambut
hitamnya berantakan. Matanya yang kelam tampak liar.
"Ivan!" teriak Adriana, melompat dari tempat tidur.
"Bagaimana kau bisa kemari? Apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku membuntutimu," katanya pada adiknya. "Orangtua
Martha menyuruh aku masuk sebelum mereka pergi."
"Tapi, apa yang kauinginkan?" desak Adriana dengan suara
melengking. "Martha dan aku perlu bicara. Kami tidak
membutuhkanmu untuk..."
Ia melambaikan tangan dengan kasar, menyuruhnya tutup
mulut. Matanya berkilat-kilat ketika berpaling padaku.
Apakah ia mabuk? pikirku bertanya-tanya. Itu sebabnya ia
tampak begitu liar? Kenapa ia membuntuti Adriana?
Kenapa ia datang kemari? "A?aku mendengar kata-katamu tadi, Martha," katanya
terbata-bata. Matanya yang kelam menatap tajam padaku. "Kau salah.
Bukan kau pembunuhnya."
"Hah?" aku terkesiap kaget. "Ivan?apa maksudmu? Kenapa
kau bicara begitu?" Ia menarik napas dalam-dalam. Dadanya naik-turun. Walaupun
malam ini dingin, keningnya berkeringat.
"Aku tahu bukan kau pembunuhnya, Martha," katanya lagi.
"Karena akulah orangnya. Akulah yang membunuh Sean."
Bab 23 "TIDAK!" Adriana menjerit keras dan menyerbu ke seberang ruangan.
Dicengkeramnya bahu Ivan dan diguncangnya kuat-kuat.
"Tidak! Kenapa kau berkata begitu? Kenapa?"
Dengan mudah disingkirkannya adiknya. Adriana menabrak
meja riasku, wajahnya berkerut kaget, sekaligus takut.
"Kau bukan pembunuh!" jeritnya pada Ivan.
"Ya!" katanya berkeras. "Aku yang melakukannya, Adriana.
Aku tidak punya pilihan lain sekarang. Aku harus mengatakan yang
sebenarnya. Aku tidak bisa membiarkan Martha beranggapan dialah
pelakunya." Adriana terkesiap. Ia membuka mulut hendak memprotes, tapi
berubah pikiran. Kulihat bahunya terkulai, wajahnya pucat pasi.
Ivan duduk di pinggir meja belajarku. Tangannya dengan
gelisah mengusap janggut hitam kecil di dagunya. Dipandangnya aku.
"Aku tidak bisa membiarkanmu berpikir kaulah pembunuh Sean,"
katanya pelan. "Aku?aku..." kataku tergagap-gagap. Aku tidak tahu harus
bilang apa. Kulirik tas kanvasku. Tas itu telah mengungkapkan
rahasianya yang menakutkan.
Dan sekarang hidupku takkan pernah sama lagi dengan dulu.
Hidup kami semua takkan sama lagi.
"Kenapa kau membunuh Sean?" tanyaku pada Ivan dengan
suara pelan, hampir tenang.
"Karena dia tahu aku mencuri mobil," kata Ivan menjelaskan.
"Aku mencuri mobil dan aku menabrakkannya. Aku melarikan diri.
Aku tidak tertangkap."
"Aku tidak percaya," gumam Adriana, menggeleng-geleng. Ia
jatuh berlutut di lantai.
"Aku melakukan kesalahan," lanjut Ivan. "Aku harus bercerita
pada seseorang. A? aku agak ketakutan. Aku tidak bisa
menyimpannya untuk diriku sendiri. Jadi aku menceritakannya pada
Sean, karena kukira dia temanku. Tapi mestinya tidak kuceritakan
padanya." Ia menunduk. Rambutnya yang gelap jatuh di keningnya. Ia
memejamkan mata. "Apa yang terjadi?" tanyaku pelan.
Ivan menghela napas. "Sean memerasku. Dia bilang dia akan
melaporkan aku pada polisi kalau tidak memberinya uang."
"Dan kau memberinya?" desak Adriana.
Ivan mengangguk. "Aku mesti bagaimana lagi? Kalau sampai
tertangkap karena mencuri mobil itu, aku bisa mampus. Hidupku akan
tamat. Jadi aku terus memberi Sean uang yang dimintanya.
Masalahnya cuma satu..." Suaranya menghilang. Digosoknya
matanya. "Apa?" desakku.
"Makin lama uang yang diminta Sean makin banyak. Dia tidak
pernah puas. Aku?aku..." suara Ivan terhenti.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai bicara lagi. "Beberapa
kali aku terpaksa mencuri untuk mendapatkan uang bagi Sean. Saat
itulah aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang drastis.
Aku tidak bisa terus-terusan membayarnya seumur hidup."
Di lantai Adriana mendengus keras. Tapi ia tidak mengatakan
apa-apa. "Kau pernah mencoba bicara dengan Sean?" tanyaku. "Kau
pernah berusaha membujuknya?"
Ivan mengangguk. "Sebelum perjalanan kita ke pondok itu, aku
berusaha bicara dengan dia. Kukatakan padanya aku tidak bisa
memberinya uang lagi."
"Dan apa katanya?" tanyaku.
Ivan tersenyum pahit. "Sean menertawakan aku. Katanya aku
harus terus membayar. Kalau tidak dia akan memberitahu ayahku."
Senyumnya lenyap. "Saat itulah aku tidak tahan lagi."
"Ivan... " kata Adriana.
Ia melambai lagi menyuruhnya diam. Matanya terus
menatapku. "Aku menemukan segulung kawat di bagian belakang lemari di
koridor. Itulah yang menimbulkan ide dalam pikiranku. Waktu semua
sedang tidur, aku menyelinap keluar dan merentangkan kawat itu di
antara pohon-pohon."
Ivan menghela napas. "Aku tahu Sean akan meluncur lebih
dulu. Dia selalu ingin jadi orang pertama yang melakukan sesuatu. Dia
harus selalu jadi yang pertama dalam segala hal."
Ia menggeleng sedih. "Kalau saja aku tahu seperti apa dia
sebenarnya sewaktu berkenalan dengannya. Dia tampak seperti anak
baik-baik. Semua orang menyukainya. Aku?aku bahkan ingin jadi
seperti dia waktu pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak tahu
wataknya yang sebenarnya?sampai semua sudah terlambat."
"Jadi, kau memutuskan untuk membunuhnya?" tanyaku.
"Tidak. Sama sekali tidak!" kata Ivan berkeras. "Kawat perak
itu kupasang dekat permukaan tanah. Tingginya cuma semata kaki.
Aku ingin membuatnya jatuh. Mungkin melukainya sedikit."
Ivan mengerang pelan. "Aku tahu waktu itu aku tidak berpikir
jernih. Akal sehatku entah pergi ke mana. Gila. Aku begitu takut Sean
akan melaporkan aku pada polisi. Aku takut dia benar-benar akan
menghancurkan hidupku."
Ivan berdiri dan berjalan ke jendela. Ia bersandar pada kusen,
memandangi malam yang dingin dan gelap.
"Aku cuma ingin melukainya," lanjutnya. "Kau tahu, kan,
membuatnya takut. Aku tidak ingin membunuhnya. Aku tidak tahu
apa yang terjadi. Kurasa saljunya longsor. Angin melongsorkan salju
di malam hari sehingga kawatnya jadi jauh lebih tinggi."
Ivan berteriak lagi. "Aku melihat kawat itu. Aku melihat kawat
itu sudah bergeser. Aku melihatnya?tapi sudah terlambat. Lalu
kulihat leher Sean?dan darah itu..." Suaranya hilang. Ia menelan
ludah. Adriana melompat bangun. Matanya merah. Wajahnya
berkerut-kerut jijik. "Aku akan menelepon polisi," kata Ivan, bergerak melintasi
ruangan menuju telepon di meja belajarku.
"Tidak..." seru Adriana. Ia bergeser untuk menghalangi
jalannya. "Ivan, dengarkan aku..."
"Aku tidak kuat lagi menahan rasa bersalahku," kata Ivan
padaku. "Aku tidak bisa membiarkan kau mengira kaulah yang
melakukannya, Martha. Aku akan menelepon polisi. Mestinya sudah
berbulan-bulan lalu aku melakukannya."
Ia mengangkat telepon. Adriana menyambar telepon itu sampai terlepas dari pegangan
kakaknya. "Bodoh kau!" jeritnya. "Kau betul-betul bodoh!"
Ivan berusaha merebut telepon itu lagi. Adriana mengelak.
"Berikan padaku!" seru Ivan.
"Kau tahu kau tidak melakukannya!" jerit Adriana. "Dasar
bodoh! Kau tahu kau tidak membunuh Sean!"
Ia menudingku, tubuhnya gemetar karena marah. "Martha yang
membunuhnya! Kau tahu Martha yang membunuhnya! Dia yang
melakukannya! Dia yang melakukannya!"
Bab 24 KATA-KATANYA menembus jantungku, menikamku seperti
belati. Kenapa Adriana menuduhku seperti itu?
Apakah ia tahu yang sebenarnya? Apakah ia tahu pasti bahwa
akulah pembunuhnya? Kalau benar, kenapa Ivan membuat pengakuan? Kenapa Ivan
mengatakan dialah pelakunya?
Sambil menggeram marah Ivan menyambar telepon, berusaha
merebutnya dari adiknya. Adriana berbalik, memeganginya dengan susah payah.
"Kenapa kaulakukan ini?" jeritnya. "Kenapa kau merusak
semuanya?" Merusak semuanya? Apa maksudnya? pikirku heran, tanpa daya melihat mereka
berkelahi. Apa yang dia bicarakan?
"Kenapa kau merusaknya?" teriak Adriana. "Kenapa kau
merusak segalanya? Aku bekerja susah payah?dan kau akan
merusaknya!" Ia terkesiap.

Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia berpaling menghadapku, mulutnya terbuka, matanya
membelalak. Wajahnya merah. Aku sadar ia keceplosan bicara. Ia bicara lebih banyak daripada
seharusnya. Sebelum aku sempat bereaksi, Ivan sudah mencengkeram bahu
adiknya. Telepon terlepas dari tangannya dan jatuh terbanting ke
lantai. "Apa maksudmu?" desaknya. "Jelaskan ucapanmu tadi."
"Ivan, sudahlah..." protes Adriana.
Ivan menekan punggung Adriana ke dinding, dijepitnya
lengannya ke samping. "Jelaskan. Cepat jelaskan."
Sesaat Adriana berusaha melepaskan diri. Lalu kulihat cahaya
di matanya memudar. Kulihat semangatnya untuk berontak hilang.
Ia tidak berusaha melepaskan diri lagi.
"Ivan, jangan menghancurkan segalanya," kata Adriana
memohon. Tapi aku tahu ia sebetulnya sudah menyerah. Suaranya
hanya berupa bisikan parau, begitu pelan sehingga aku nyaris tidak
bisa mendengarnya. "Jangan kauhancurkan," kata Adriana berulangulang dengan lemah.
Tapi tiba-tiba ia membuka mulutnya dan berteriak marah. "Aku
sudah susah payah berusaha!" ratapnya. "Dan kau menghancurkannya.
Kalian berdua menghancurkannya."
"Apa maksudmu?" desak Ivan, menekan tubuhnya kuat-kuat ke
dinding. "Apakah maksudmu aku tidak membunuh Sean?"
Ia mengangguk sedih. Ketika ia memandangku, kulihat
kemarahan menggelegak di matanya. "Sean mestinya tidak mati!"
teriaknya. "Mestinya bukan Sean!"
Ia menunjukku dengan jari gemetar. "Mestinya kau, Martha!
Kenapa kau merusak segalanya? Mestinya kau yang mati!"
Bab 25 "ADRIANA?apa maksudmu?" teriakku kaget.
Ia menatapku tajam, matanya yang kelam menyipit karena
marah. Ia terus menuding, menggoyang-goyangkan jarinya ke arahku,
seolah-olah menuduhku, menuduhku melakukan kejahatan.
"Kenapa lama sekali kau memakai sepatu skimu?" tanyanya,
suaranya sekarang serak dan terdengar jahat. Mengancam. "Kenapa
lama sekali, Martha?"
"Aku?aku..." Kupandang dia dengan mulut ternganga. Ia
mengharap aku bilang apa?
"Mestinya kau yang meluncur lebih dulu," katanya, jarinya
masih menunjukku, matanya tampak liar, liar karena marah, dan basah
dengan air mata. "Aku menyuruhmu meluncur lebih dulu. Karena
kawat itu sudah siap menyambutmu."
"Hah?" Aku terkesiap, tidak percaya pada kata-katanya.
"Aku yang menaikkan kawat itu." Adriana tersenyum
mengejek. "Aku melihatnya terentang melintasi jalur ski. Kutunggu
sampai semua orang tidur. Lalu aku keluar dan meninggikannya.
Untukmu, Martha. Untukmu!"
Ia akhirnya menunduk. Dipeluknya dirinya sendiri. "Bukan
Sean. Bukan Sean. Bukan Sean," katanya berulang-ulang sambil
menggeleng-geleng, rambutnya yang hitam ikut bergoyang-goyang.
Ivan mundur selangkah, matanya kosong. Tangannya mengepal
erat, lengannya tegang, kaku di sisi tubuhnya. "Selama ini,"
gumamnya lemah, suaranya gemetar. "Selama ini aku mengira akulah
pembunuhnya. Selama berbulan-bulan aku mengira akulah yang
membunuh Sean." Tiba-tiba aku merasa pusing. Seperti akan pingsan. Seolah-olah
kata-kata keji Adriana menyerbu ke dalam kepalaku. Dan kurasakan
kata-kata itu berputar-putar di dalam sana. Kugosok pelipisku,
berusaha mengusir rasa pusing itu.
"Kenapa...?" Aku akhirnya bisa bicara. "Aku tidak mengerti,
Adriana. Aku kan temanmu. Kenapa? Kenapa kau ingin
membunuhku?" Matanya yang kelam berkilat. "Karena Sean!"
"Hah? Sean? Memangnya Sean kenapa?" tanyaku, betul-betul
bingung. "Akulah yang mengenal Sean lebih dulu!" jerit Adriana,
diacungkannya kedua tinjunya dengan marah. "Ivan mengajaknya ke
rumah. Aku yang mengenalnya lebih dulu! Sean dan aku?ada sesuatu
yang istimewa di antara kami. Aku?aku bisa merasakannya."
"Tapi, Adriana..." kataku.
"Sean tidak tahu," lanjutnya, tidak dipedulikannya aku. "Kurasa
dia tidak tahu. Tapi aku merasakan ada kedekatan yang istimewa di
antara kami." Ia tersenyum mengejek. "Dia tidak benar-benar tertarik pada
Laura. Laura mengira Sean tertarik padanya. Laura selalu
menganggap semua cowok yang dijumpainya tergila-gila padanya.
Tapi Sean tidak tertarik padanya. Dia tahu dirinya milikku!"
Adriana meneriakkan kata-kata terakhir itu sekuat tenaga.
Aku terhuyung-huyung mundur.
Dia gila, pikirku. Adriana yang malang. Ia benar-benar kehilangan akal sehatnya.
Ucapannya sama sekali tidak masuk akal.
Akhir-akhir ini ia mengalami stres berat. Tidak bisa tidur. Tidak
bisa berkonsentrasi di sekolah.
Tapi aku sama sekali tidak menyangka. Sama sekali...
"Jangan pandangi aku seperti itu!" jeritnya. "Kucongkel
matamu nanti, Martha. Sungguh."
Ivan melangkah maju. Kulihat otot-ototnya menegang. Ia
bersiap mengendalikan adiknya.
"A?aku tidak mengerti," kataku mengaku. "Apa yang
kulakukan, Adriana? Apa yang kulakukan sehingga membuatmu
begitu marah?" "Aku melihatmu berciuman dengan Sean!" lengkingnya.
Dadanya naik-turun. Napasnya terengah-engah.
"Tidak...!" teriakku. "Kau tidak beranggapan..."
"Aku melihatmu di ruang belakang pondok, Martha. Aku
melihatmu mencium Sean. Dan sesuatu?sesuatu terjadi."
Ia menggeleng, ekspresinya tampak getir. "Saat itulah aku tahu
aku harus membunuhmu. Kau punya Aaron. Kau punya keluarga yang
menyenangkan. Kau punya orangtua yang tidak bertengkar terus
setiap saat. "Kau?kau punya segalanya, Martha!" jerit Adriana. "Kenapa
kau menginginkan Sean juga? Tidak bisakah kau menyisakan sesuatu
untukku?" Jadi itulah masalahnya, pikirku, akhirnya aku sadar.
Dari awal sampai akhir semuanya salah besar.
"Aku tidak menginginkan Sean!" kataku memberitahu Adriana.
"Dia memaksaku ke ruang belakang itu karena dia bilang dia ingin
bicara denganku. Lalu dipaksanya aku supaya menciumnya. Aku
mendorongnya pergi. Adriana, aku tidak tertarik padanya. Aku
mendorongnya supaya menjauh dariku dan..."
"Kau pura-pura marah!" tuduh Adriana.
"Tidak...!" Adriana tersenyum pahit. "Aku melihatmu, Martha. Aku
melihatmu pura-pura marah. Kau pura-pura bertengkar supaya Aaron
tidak marah. Tapi sebetulnya kau menginginkan kedua cowok itu!
Kau harus memiliki kedua-duanya!"
"Itu tidak benar!" jeritku. "Kau salah! Waktu itu kau salah?dan
sekarang pun kau salah!"
Kurasa ia tidak mendengarku. Ia menatapku dengan senyum
anehnya yang mengerikan itu. Senyum yang sama sekali bukan
senyuman. "Seharusnya bukan Sean yang mati," katanya dengan
pandangan tertunduk. "Gara-gara kau, orang yang kucintai mati. Aku
ingin berteriak waktu dia meluncur turun di jalur itu. Aku ingin
menghentikannya, mencegahnya. Tapi aku terlambat. Sean sudah
pergi. Satu-satunya cowok yang pernah kusayangi. Pergi. Gara-gara
kau." "Adriana..." Ivan mengulurkan tangan untuk merengkuhnya.
Tapi ia mengelak. "Waktu kau kehilangan ingatanmu," lanjutnya, dipandangnya
aku. "Waktu kau kehilangan ingatanmu, aku tahu itulah kesempatanku
untuk menutupi perbuatanku."
Aku terkesiap. "Apa maksudmu?"
"Aku membeli kawat dan kusembunyikan di dalam tasmu,"
Adriana mengaku. "Lalu, setelah beberapa kali kunjungan ke dokter, aku
menghipnotismu." "Hah? Apa?" jeritku, kupegang pipiku dengan kedua tanganku,
aku ternganga, memandangnya dengan tidak percaya.
Kulihat Ivan terkesiap juga.
"Dr. Corben guru yang bagus sekali. Dan aku begitu cepat
belajar," lanjut Adriana, senyum aneh kembali menghiasi wajahnya.
"Aku menghipnotismu, Martha. Aku menghipnotismu supaya kau
tidak bisa mengingat kejadian yang sebenarnya."
"Aku tidak percaya," gumamku, tanganku masih menekan
pipiku. "Dan kau yang meninggalkan pesan itu, pesan telepon aneh
itu." "Aku ingin kau merasa bersalah," kata Adriana. "Aku ingin
dalam lubuk hatimu kau merasa kaulah pembunuhnya." Senyum aneh
itu perlahan-lahan lenyap.
"Tapi kau mulai bisa mengingat," gumamnya seraya
menundukkan kepala. "Lalu kau mulai menggambar wajah Sean
berkali-kali. Ingatanmu berusaha muncul kembali. Alam bawah
sadarmu membimbing tanganmu."
Ia tersenyum mengejek padaku, menyipitkan matanya dengan
dingin. "Aku terus menghipnotismu. Terus mengucapkan kata-kata
yang menghipnotis. Aku berusaha mendorong ingatanmu supaya tidak
muncul. Tapi... tapi..."
Adriana membuka mulutnya dan berteriak, teriakan sakit hati
dan marah yang mengerikan.
"Sean meninggal gara-gara kau, Martha. Aku tidak bisa
membiarkan dirimu menikmati kehidupanmu yang sempurna seolah
tidak terjadi apa-apa!"
Sebelum aku sempat bergerak, Adriana menghambur ke depan.
Diambilnya gulungan kawat perak dari dalam tas.
Ivan bergerak menghentikannya. Ia menyergap adiknya.
Adriana berbalik dengan cepat. Ia mengangkat sebelah lututnya.
Menghantam perut Ivan. Ivan mengerang. Matanya membelalak kaget dan kesakitan.
Ia tersungkur ke lantai. "Adriana?jangan!" aku mencoba berteriak, tapi yang terdengar
hanyalah suaraku yang parau karena tercekat.
Aku bergerak mundur. Terlambat. Adriana menyambarku. Menyambarku dengan kasar.
Memutar tubuhku. Aku melihat kebencian yang berapi-api di matanya.
Sebelum aku sempat berteriak, ia melilitkan kawat perak itu ke
leherku. Dan menariknya kuat-kuat.
Kurasakan kawat itu menembus kulitku.
Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak bisa bernapas sama sekali.
Bab 26 KAWAT itu menembus leherku.
Adriana menarik kawat itu makin kuat. Dan makin kuat.
Kuangkat tanganku. Berusaha mencengkeram tangannya.
Tapi kurasakan tenagaku melemah. Terkuras. Nyawaku serasa
melayang. Dengan lemah sekali lagi aku menyambar lengan Adriana.
Kami terhuyung-huyung maju.
Kudesak dia hingga mundur ke meja belajar. Kami menabrak
meja itu dengan keras, membuat kertas-kertas beterbangan.
Aku berbalik. Berusaha melepaskan diri.
Tapi aku tidak bisa lari.
Ivan? Mana Ivan? Cowok itu masih meringkuk di lantai.
"Aaaaah." Suara napas terakhir keluar dari mulutku.
Aku merasa begitu lemah. Begitu lemah dan ketakutan.
Tidak bisa bernapas. Tidak ada napas yang tersisa.
Kupejamkan mataku. Yang tampak hanya warna putih. Warna putih yang begitu
bersih dan murni. "Uhh uhh uhhhhh."
Suara aneh apa itu? "Uhhhhh. Uhhhh."
Suara diriku yang tengah sekarat?
Bukan. Itu suara napasku.
Aku bernapas lagi. Aku menghirup udara sedikit demi sedikit.
"Uhhhhh. Uhhhhh." Aku bernapas dengan keras.
Kawat perak itu sudah mengendur sehingga aku bisa bernapas.
Kubuka mataku. Apa yang terjadi pada Adriana? Kenapa ia berhenti
mencekikku? Kenapa ia berhenti? Kenapa aku masih hidup?
Aku berusaha memusatkan pandangan. Warna putih bersih yang
terang itu perlahan-lahan memudar... perlahan-lahan.
Kuhirup udara dalam-dalam.
Adriana? Ia sedang memandangi permukaan meja. Kawat perak itu sudah
dilepaskannya. Ia memandangi permukaan meja, kedua tangannya terkulai di
sisi tubuhnya. Aku berkedip-kedip, berusaha melenyapkan warna putih itu.
Aku harus melihat apa yang tengah ditatapnya.
Akhirnya aku bisa memusatkan pandangan. Dan melihat wajah
itu. Wajah Sean yang kugambar. Gambar itu lepas dari buku
gambar. Adriana memandangi wajah itu seperti terhipnotis.
"Adriana...?" Ia tidak bergerak. Tidak berkedip. Bahkan tidak bernapas.
Ia memandangi gambar buatanku. Memandangi Sean. Dan Sean
tampak seolah membalas pandangannya.
Mereka saling pandang. Adriana dan cowok yang sudah
meninggal itu, cowok yang dicintainya.
Ivan melangkah mendekatinya dan mengambil kawat yang
masih dipegangnya. Dicengkeramnya pergelangan tangan Adriana.
Tapi ia tidak bergerak. "Telepon polisi," kata Ivan pelan.
Aku berbalik sambil mengusap-usap leherku. Baik, pikirku.
Aku akan menelepon polisi. Aku tahu mereka akan memberikan
bantuan untuk Adriana. Aku tahu sekarang aku baik-baik saja. Aku tahu kami semua
baik-baik saja. Aku tahu mimpi buruk ini sudah berakhir.
Aku memeluk Ivan. Kami berpelukan, begitu erat.


Fear Street Sketsa Kematian Face di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Adriana masih tidak bergerak.
Ia memandang tanpa berkedip, terhipnotis sepenuhnya oleh
wajah itu. Wajah yang selama ini membuatku kebingungan, membuatku
kacau?dan begitu lama membuatku ketakutan.
Sekaligus wajah yang telah menyelamatkan nyawaku.END
Perguruan Sejati 5 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Jari Malaikat 1
^