Pencarian

Ajal Sang Penyebar Maut 4

Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi Bagian 4


melihat sepak terjang dan tabiat Jaka Pratama selama ini,
pasti ia sedang berada di sana walaupun cucuku telah
memberi surat kepadanya, dan barangkali ia pun sudah
membacanya. Ia pasti tidak rela membiarkan Mbah Bungkuk
jadi korban tanpa dibela."
10 PENCURI WADI BUAYA PUTIH Itulah yang telah terjadi atas Jaka Pratama, sebagaimana
diperkirakan dengan tepat oleh Mbah Buyut, Nyi Ageng
Panataran. Namun tidak setepat yang berlangsung
sesudahnya. Jaka Pratama telah berhasil membobol genting,
dan kini telah melompat keluar. Di tengah gelap ia tidak lagi
melaksanakan niatnya, melawan kaum penyerbu untuk
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
177 melindungi jiwa Mbah Bungkuk. Bahkan ia melesat bagaikan
pengecut yang ketakutan menjauhkan diri dari pertempuran
yang seharusnya sebentar kemudian akan berkecamuk.
Tanpa memikirkan nasib apa yang bakal menimpa Mbah
Bungkuk, Jaka Pratama dengan langkah tergesa-gesa disertai
kehati-hatian melebihi biasanya segera mendatangi tempat
Karbala disembunyikan. Lantas dengan dada lega ia
memerintahkan kudanya membawa pergi dirinya selekas
mungkin. Ke mana? Benarkah Jaka Pratama telah men-jadi
penakut? Sungguh sayang jika demikian.
Seorang pahlawan yang dipuja-puja sebagai ksatria teladan,
yang disangka tidak pernah mengenal kata undur-jurit, mundur
dari pertarungan, telah mengambil keputusan sejelek itu,
membiarkan seorang kakek tua renta berhadap-hadapan
melawan tiga belasan pendekar tangguh yang haus darah?
Sungguh dunia sudah terbalik. Begitu yang dipikirkan oleh
Wulan Suminar, tatkala tiba di tempat itu bersama gurunya,
dan menjumpai Mbah Bungkuk tanpa seorang pelindung pun.
"Jadi ia sudah pergi dari sini?" tanya Dewi Sekar Dadu kepada
Mbah Bungkuk yang tengah megibar-ngibarkan bendera putih.
Mbah Bungkuk mengangguk. Bertepatan dengan dampratan
yang tiba-tiba bergema dari kalangan para penyerbu.
"Hai, perempuan. Kalian berdua jangan ikut campur dalam
urusan ini. Kami hanya akan meringkus orang-orang Glagah
Wangi," teriak salah seorang di antara mereka. Pasti
pemimpin-nya. "Di sini tidak ada orang-orang Glagah Wangi,"
sahut Mbah Bungkuk. "Bohong!" "Boleh kalian hitung dengan sebelah tangan. Kami
hanya bertiga, dua perempuan dan seorang kakek tua
kelahiran Cuplak asli," jawab Mbah Bungkuk lagi.
"Dusta! Kami tadi melihat si Santri Kinasih masuk ke dalam."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
178 "Boleh kauperiksa. Ia memang tadi kemari. Tapi sekarang
sudah keluar lewat genting."
"Dia sudah jadi pengecut," sambung Wulan Suminar yang
makin mendongkol terhadap kelakuan Jaka Pratama.
Betapapun sebelumnya is menghargai jago muda itu, malah
pernah jatuh hati, tetapi melihat perubahan sifatnya yang
bagaikan langit dengan bumi, tidak punya rasa tanggung
jawab, ia marah bukan main.
Sayang Dewi Sekar Dadu dan Mbah Bungkuk tidak mau
membuka rahasia mengapa Jaka Pratama pergi demi
memelihara rencana rahasia mereka, sehingga perasaan
menghina masih tetap bercokol di hati Wulan Suminar, sampai
kelak menimbulkan salah paham dengan Jaka Pratama, dan
hampir melahirkan tragedi mengenaskan.
"Bila tidak percaya, boleh salah satu di antara kalian
memeriksa gubuk saya sekarang," tantang Mbah Bungkuk.
"Jangan harap kami terpikat oleh jebakanmu, orang tua jahat,"
jawab pemimpin para penyerbu.
"Kami hanya ingin menyelamatkan nyawa kalian," jawab
kakek. "Apa kami takut menghadapi pertarungan?"
"Tentu tidak. Sebab kalian menyangka Wong Pamungkas dan
Liem Hoat Nyan bakal kemari, bukan? Tidak mungkin." Tidak
ada suara bantahan. Boleh jadi mereka dihinggapi
kebimbangan lantaran siasat mereka telah tertebak dengan
jitu. "Wong Pamungkas sudah lari lintang pukang sebab diancam
oleh tokoh sakti yang ditakutinya, Ki Ageng Panataran," ucap
Dewi Sekar Dadu meneruskan penegasan Mbah Bungkuk.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
179 Mereka kedengaran saling berbisik. Dan Wulan Suminar juga
berbisik kepada gurunya. "Jadi, tokoh sakti yang barusan membuat ngeri Wong
Pamungkas adalah Ki Ageng Panataran?" gadis itu bertanya
heran. Dewi Sekar Dadu mengangguk. Lalu is ber-teriak nyaring
kepada kaum pengepung agen-agen Wong Pamungkas itu:
"Apa kalian mau membuang jiwa yang berharga untuk seorang
pemimpin atau majikan yang tidak ada harganya?"
"Apalagi kami sejumlah sembilan orang telah siap
menghancurleburkan kalian dari belakang," tiba-tiba sebuah
suara tua terdengar memekik dari kegelapan, yakni sesudah
belum lama berselang beberapa ekor kuda yang tadinya
dipacu kencang terdengar berhenti mendadak, dan para
penunggangnya berloncatan dengan sigap.
Mbah Bungkuk pun keheranan dan berkata: "Kiai Dolah Pekih,
selamat datang di tempat saya yang buruk ini."
"Terima kasih, Mbah. Saya membawa para pendekar muda
yang haus darah," jawab Kiai Dolah Pekih bernada ancaman,
membikin kaum penyerbu mulai berpikir-pikir. Ketahuan dari
suasana yang diam mencekam. Dan dengus-dengus napas
yang tidak teratur menandakan keadaan mereka tengah
dihinggapi rasa takut makin membesar.
"Boleh kami tambahkan keterangan kami?" ucap Kiai Dolah
Pekih. Tidak ada sepatah suara pun yang membalas. Tidak berarti
bahwa mereka tidak peduli. Bahkan sebaliknya, mereka mulai
memikirkan cara untuk menyingkir dari tempat itu secara diamdiam.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
180 Dasar mereka cukup beralasan. Sembilan orang pendekar
tangguh berada di belakang mereka, ditambah dua pejuang
tanpa tandingan, Dewi Sekar Dadu dan Wulan Suminar,
Srikandi Cantik dari Desa Sirandu, cucu Mbah Kiai Kanapi.
Jelas, tiga belas orang pesilat macam mereka tak kan mampu
menimpali. Sebab keberanian mereka adalah karena Wong
Pamungkas berjanji akan datang bersama anak buahnya.
Ketika tidak ada seorang pun yang membuka mulut, Kiai
Dolah Pekih melanjutkan perkataannya: "Komplotan yang
dipimpin oleh Liem Hoat Nyan telah diringkus oleh para
punggawa Demak. Mereka tidak berkutik sama sekali.
Walaupun si Liong Hitam dapat meloloskan diri, tetapi ia
sedang dikejar dan dikepung. Laksamana Pangeran Sabrang
Lor pasti akan berhasil membawa armadanya menjadi singasinga laut yang ditakuti. Karena itu silakan kalian
meninggalkan tempat ini dengan aman, dan jangan berani
kembali lagi. Atau terpaksa kami laksanakan hukum perang
atas kalian. Terserah mana yang akan kalian pilih."
Walaupun tidak ada sahutan bahwa mereka memilih pergi
dengan aman, namun dari bunyi gemerisik yang sibuk dan
beberapa lama kemudian suara kaki-kaki kuda menghentakhentak dengan kacau dari kejauhan, Kiai Dolah Pekih tahu
bahwa anak-anak buah Wong Pamungkas tersebut bukan
jago-jago berjiwa besi. Setelah keadaan di tempat itu tidak seperti pernah terjadi apaapa sebelumnya, dan malam di seputar kawasan makam
Sunan Sebolampar menjadi begitu samun dan dingin, Wulan
Suminar segera mengusi: "Apa tidak sebaiknya kita ikut melacak kemana Wong
Pamungkas pergi? Bukankah selama bajingan itu masih
berkeliaran, keamanan Demak bakal terus terancam?"
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
181 "Tidak akan banyak gunanya. Sudah terlambat," sahut Mbah
Bungkuk mencegah. "Iiih, Mbah Bungkuk kok begitu, kasih contoh tidak baik buat
kami, angkatan muda," potong Putih Wewangi ceplas-ceplos
tanpa dapat dihalangi oleh sahabatnya, Akas Lelaras.
"Rayi! Jangan omong semaumu!" hardik pemuda itu, membuat
Putih terheran-heran. Baru sekali ini Akas Lelaras berani
berkata agak keras kepadanya. Biasanya ia hanya menuntut
dan membiarkan apa yang ia perbuat atau kata-kan. Putih
Wewangi tambah sewot. Dengan geregetan ia mendamprat lebih keras: "Kakang belum
lama jadi laki-laki. Aku kan sudah lama jadi perempuan.
Terhadap keputusan golongan tua, tidak berarti kita harus
mengikut saja. Mati pikiran kita nanti. Kalau Mbah Bung-kuk
mengatakan tidak ada gunanya lagi kita melacak Wong
Pamungkas, padahal aku lebih condong untuk menyetujui
Kanjeng Bibi Wulan Suminar, tidakkah seharusnya Mbah
Bungkuk menerangkan alasannya?" bantah si gadis
menggunakan kalimat-kalimat panjang, dan dengan cara
bicara yang mencerocos bagaikan sekum-pulan anak-anak itik
berebutan menuju ke sungai.
Mbah Bungkuk tertawa berderai. Kiai Dolah Pekih senyumsenyum. Dewi Sekar Dadu menatap ke tempat lain.
Sedangkan Wulan Suminar diam membisu.
Cep-klakep. Itulah satu-satunya ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan keadaan Akas Lelaras sebagai reaksi
spontan terhadap teguran Putih Wewangi yang tajam dan
mengenai dasar sikapnya selama ini. Kalau dia tidak takut
dianggap telah berubah jadi bukan laki-laki lagi, sudah sejak
mula-mula air matanya akan turun. Dan kalau tidak takut
dianggap cengeng, dia pasti sudah mencak-mencak serta
melawan si centil itu. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
182 Sebetulnya tidak seburuk itu pembawaan Akas Lelaras. Ia
adalah seorang pemuda yang pemberani, tabah dan setia. Ia
hanya tidak ingin menyakiti hati seorang gadis, terutama yang
bernama Putih Wewangi. Ia ingin bersikap lembut-lembutnya
kepada gadis itu. Kalaupun ia senantiasa menjadi Pak Turut
terhadap Putih, bukan karena ia belum jadi laki-laki. Justru
lantaran jauh di lubuk hatinya ia ingin menjadi satu-satunya
lelaki dalam hidup Putih. Maka kelembutannya telah berlebihlebihan sampai hampir dianggap banci oleh sang gadis. Ia
sudah memuja Putih Wewangi semenjak bapaknya almarhum
menjalin hubungan persahabatan dengan ayah si gadis, ketika
usia Putih barn sebelas tahun dan ia sendiri tengah menginjak dua belas tahun. Apapun yang dikatakan orang tentang
perasaannya tersebut, ia sebetulnya tidak rela apabila Putih
jatuh ke dalam perlindungan atau kekuasaan laki-laki lain. Ia
mendambakan dengan sepenuh jiwa-raganya, tidak hanya
sebagai pelindung, bahkan jika perlu berkorban untuk sang
pujaan, Rayi manis Putih Wewangi. Untunglah suasana
berubah sedikit tatkala Kiai Dolah Pekih berkata:
"Nduk, ucapanmu yang kedengaran congkak itu memang
betul. Tapi bukan waktunya untuk saling berbantahan.
percayailah buat sementara dulu, bahwa saran Mbah Bungkuk
pasti punya alasan yang kuat."
Kentara sekali betapa tampaknya Kiai Dolah Pekih berada
dalam persimpangan sikap, ingin memarahi kelancangannya,
tetapi tidak ingin gadis itu tersinggung.
Orang yang arif macam Dewi Sekar Dadu dan Mbah Bungkuk
sudah dapat menebak, bahwa di belakang sikap tersebut
tersembunyi tujuan tertentu. Dan tujuan tertentu itu rasanya
tidak salah kalau dihubungkan dengan umur anak sulung Kiai
Dolah Pekih yang sudah matang untuk beristri tetapi selalu
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
183 menolak apabila ditawari calon istri oleh ayah-nya, dengan
berbagai dalih dan alasan.
"Hahaha. . . ," Mbah Bungkuk lebih mencerahkan suasana itu
dengan tertawanya yang terpingkal-pingkal.
"Genduk Putih yang memang putih kulitnya dan insya Allah
putih hatinya. Manusia memang bukan pokok kayu jati yang
hatinya galih dan coklat. Engkau seharusnya mengerti bahwa
Putih Wewangi memang perempuan, dan Akas Lelaras tetap
lelaki, dari dulu sampai hari-hari yang panjang di kelak
kemudian. Ayo, sebaiknya kita berziarah dulu ke makam
almarhum Sunan Sebolampar untuk berdoa agar arwahnya
diterima Allah dalam kedudukan yang sesuai dengan amal
salehnya. Dan kita meminta kepada Allah supaya yang hidup
dapat meneruskan perjuangannya tanpa putus asa,
bagaimanapun beratnya rintangan yang mungkin bakal kita
hadapi. Setuju? Sesudah itu kita beristirahat di rumahku, yang
meskipun gubuk tapi cukup buat menampung duapuluh orang
gemuk dan tambun." Meresapi makna hidup yang serba tidak pasti, belum tentu
semua manusia memahami hakikat-nya Pandu tercenung di
depan makam Sunan Sebolampar. Ia adalah seorang wali
yang tidak kebagian nama karena ia selalu merahasiakan
amal kebaikannya. Keharumannya baru tercium orang ketika
ia tewas membela seorang pelacur yang ingin bertobat, tapi
dihalang-halangi gendaknya, kepala perampok yang kaya dan
mempunyai puluhan anak buah.
Bajingan jahat yang keji itu bernama Lokawana, dan pernah
menjadi kawan Lokajaya, salah satu julukan Sunan Kalijaga
sebelum diinsafkan oleh Sunan Bonang. Wulan Suminar
menekur. Air matanya menetes, mengenang almarhum
Kanjeng Sunan Sebolampar, seorang ulama besar, yang
dengan tulus ikhlas tanpa rasa takut namanya bakal jadi aib,
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
184 telah rela mengorbankan hidupnya yang berharga demi
membela seorang pelacur yang digebah sebagai sampah
masyarakat, betapapun pelacur itu kadang-kadang menangis
perih dalam tertawa pulasannya. Perempuan manakah bersedia menjual dirinya dengan suka cita apabila tidak lantaran


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaksa? Kecuali seandainya perempuan itu memang hanya
manusia pada jasadnya dan serigala dalam jiwanya?
Atma Sanjaya, ksatria dari padepokan Glagah Wangi, dengan
umurnya yang masih sangat muda, merasa belum mencapai
apa-apa bila dibandingkan dengan perjuangan Sunan
Sebolampar, yang secara diam-diam tanpa diketahui orang
lain, ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang
kelewat mahal bagi tegaknya agama Allah di bumi tercinta ini.
Dan Kiai Dolah Pekih menggeletar suaranya tatkala dengan
khusyuk ia mengungkapkan doa kepada Yang Mahakuasa:
"Ya, Allah Yang Mahatunggal. Bukankah Engkau pernah
berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, bahwa siapa yang
mencari Engkau, Engkau akan cari dia, siapa yang mencintai
Engkau, Engkau akan cintai dia, dan siapa yang meminta
ampun kepada-Mu, Engkau akan ampuni dia? Almarhum telah
mencari-Mu sepanjang hidupnya. Almarhum selalu mencintaiMu dengan sepenuh jiwanya. Almarhum senantiasa menyesali
dosanya dan memohon ampun kepada-Mu. Karena itu carilah
dia, cintailah dia, dan ampunilah dosa-dosanya. Berikanlah
kepada kami petunjuk-Mu melalui contoh tindak lakunya, agar
kami tidak goyah dalam mengemban amanat-Mu, menuju
ketinggian asma dan agama-Mu. Amin."
Semua yang berdiri mematung di makam itu, di tengah angin
malam yang menyanyikan suara Tuhan, di bawah hamparan
langit yang menjanji-kan kurnia Tuhan, dalam kesadaran yang
meningkat akan kuasa Tuhan, semuanya, tanpa kecuali,
menangis tersedu-sedu sebagai luapan rasa syukur dan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
185 keimanan yang jernih, pada waktu bibir mereka yang mengigil
mengucapkan amin. Mbah Bungkuk yakin bahwa manusia
hanya akan memperoleh jalan keluar atas segala kemelut
yang dialaminya apabila mau berkaca kepada riwayat
perjalanan pars penghuni kubur. Sebab sebenarnya
kehidupan yang sekarang adalah sekadar mengulangi
rekaman peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, cuma berbeda
warna dan cuacanya. Dan apabila manusia bersedia
membuka hatinya untuk menerima kenyataan bahwa yang
pasti di dunia ini hanya kematian, maka tak kan pernah
manusia mengalami siksaan batin akibat keserakahan dan
ketakutan. Betapapun demikian, ada kalanya sekeras-keras hati manusia,
jika tidak dibutakan oleh kebencian dan dendam, bakal tiba
saatnya kesadarn, bahwa kehadiran orang lain terbukti sangat
dibutuhkan. Bagaimanapun kejamnya seorang pembunuh,
bukankah ia juga memerlu-kan setidak-tidaknya seseorang
tempat ia dapat membanggakan keganasannya?
Bagaimanapun tingginya kedudukan raja, tidakkah ia membutuhkan rakyat, paling tidak untuk memuja dan
menyembahnya? Sayang Wong Pamungkas tidak sejauh itu
sempat berpikir. Ia menganggap orang lain adalah korban yang sah boat
memuaskan sesuatu yang telah direnggutkan dengan paksa
semasa kanak-kanaknya. Kasih sayang dan pengertian. Ia
tumbuh melewati usia kecilnya dalam tekanan kebencian dan
cemooh. Ia tidak mengenal takut, yaitu hanya apabila ia yakin
bahwa tidak ada sesuatu yang perlu ditakutinya.
Tapi sebenarnya, kekejiannya dalam membunuh dan
membantai manusia bersumber dan ketakutannya, tidak dari
keberaniannya. Terhunjam di dasar jiwanya ketakutan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
186 terhadap bayangan dirinya sendiri yang kerdil, yang hina, yang
sampah. Maka untuk melawan kejaran bayangan buruk itu ia harus
menyingkirkan semua yang dianggapnya harus dimusnahkan,
demi kelanggengan dan kelestariannya selaku makhluk yang
ingin tetap hidup, ingin tetap dihormati, ingin tetap di-takuti.
Tetapi ketika ia tahu bahwa seseorang boleh jadi mampu
mengalahkannya dalam segala hal, maka ia akan berubah
menjadi seekor tikus yang paling pengecut, yang akan
tergebah lari hanya oleh bunyi sebatang lidi patah. Karena itu,
tatkala suara orang yang dibenci sekaligus ditakutinya itu
mengancam akan membuka pantangan membunuh, Wong
Pamungkas menyusutkan porsi kebenciannya, dan yang
meluap adalah ketakutannya. Ia lari terbirit-birit sambil berpikir
untuk dapat menghilangkan satu-satunya momok ini. Sebab ia
tahu, rahasia kelemahannya berada di tangan Ki Ageng Panataran dan istrinya. Tiba-tiba ia tertawa gembira di tengah
keresahannya, tatkala ia teringat bahwa wadi kulit buaya putih
yang merupakan pelindung nyawanya kini dipegang oleh Nyi
Ageng Panataran, atau Mbah Buyut. la percaya, kalau ia dapat
merebut wadi itu, dan ia yakin pasti dapat merebutnya, tiga
orang Ki Ageng Panataran pun tak kan ditakutinya lagi.
Kuatir kalau-kalau rencana liciknya tertebak oleh Ki Ageng
Panataran atau musuh-musuhnya yang lain, maka begitu
keluar dari batas Desa Cuplak, ia memacu ilmu ringan
tubuhnya untuk lari menuju ke jurusan selatan, sementara
bagian barat menuju ke Janur Kemukus dan arah timur
menuju ke Jepara. Sebetulnya ia telah menghitung-hitung, bahwa saat ini pasti
kekuatan penjagaan para punggawa Kerajaan Demak yang
bertugas di Jepara sedang dikerahkan untuk mengamankan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
187 pelabuhan. Berarti pusat kota Jepara sedang sepi. Sedangkan
rumah Nyi Ageng terletak di lingkungan pusat kota.
Ia adalah seorang nenek yang sudah rapuh, kurang dengar
barangkali, dan sendirian. Wadi buaya putihnya berada di
tangan Nyi Ageng. Bukankah ini kesempatan yang paling bailk
untuk merebutnya, dan tentu saja dengan membunuh Nyi
ageng sekalian, perempuan pikun yang amat membencinya
dan sangat dibencinya itu?
Wong Pamungkas begitu percaya akan keberhasilannya.
Sebab salah satu jago muda yang mungkin dapat
mengimbangi kepandaiannya lebih dari dua puluh jurus
hanyalah Jaka Pratama. Dan Jaka Pratama nampaknya tidak
herani mempertaruhkan nama harumnya untuk bertempur
melawan dia, sebab jika kalah akan hancurlah ketenarannya
yang telah dibangun semenjak bertahun-tahun. Apalagi Jaka
Pratama telah jadi menantu seorang raja, telah jadi
bangsawan yang berkedudukan sederajat dengan para
pangeran. Tentu saja dengan dikelilingi istri-istri cantik,
dengan anak yang lucu dan sehat, Jaka Pratama pasti lebih
memilih hidup tenang dan berkecukupan daripada berlumuran
darah untuk terperosok ke dalam kehinaan sepanjang sejarah.
"Hahaha. . . ," Wong Pamungkas tertawa gelak-gelak
memikirkan kepandaian, kesaktian, dan kecerdasannya. Ia
sangat kagum akan dirinya. Dari seorang anak jadah yang
digebah dan compang-camping, kini telah mencapai kehormatan sebagai salah satu senapati terpercaya Kerajaan
Majapahit. Dan sebentar lagi, apabila saatnya sudah matang,
ia akan melangkah jadi mahamenteri, tangan kanan Prabu
Brawijaya VII. Untuk selanjutnya, dalam sekali tebas ia akan menduduki
takhta raja gung binathra, penguasa tunggal Kerajaan
Majapahit. Bukankah tidak ada raja yang dilahirkan sebagai
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
188 raja? Ken Arok buktinya. Raden Wijaya buktinya. Dan masih
segudang dalam catatannya, betapa banyak raja besar yang
dahulunya adalah orang kecil yang tidak dipandang sebelah
mata. Karena itu ia tidak keberatan untuk memutar dulu ke
arah selatan, sebelum beberapa waktu kemudian, sesudah ia
yakin tidak ada seorang pun yang memperhatikan tindaktanduknya, Wong Pamungkas lalu berbalik langkah melalui
jalan pintas menuju ke bandar Jepara.
Ia tidak mengeluh meskipun malam itu tenaganya telah
terkuras melebihi takaran. Toh yang akan disergapnya cuma
seorang nenek pikun, agak budek barangkali, setengah rabun
barangkali, yang kini berada sendirian di rumah-nya. Ia tahu Ki
Ageng Panataran sudah lama berpisah dari istrinya walaupun
mereka belum atau tidak berniat untuk bercerai.
Hampir melampaui sepertiga terakhir malam yang lengang itu,
Nyi Ageng sudah bersiap hendak mengambil air sembahyang.
Ia ingin melakukan salat tahajud. Ia ingin bermuhajat yang
panjang hingga Shubuh, untuk menangisi dosanya selama ini.
Ia amat menyesal telah melawan keputusan suaminya menjadi
pertapa. Ia telah dibutakan oleh dendam kepada Wong
Pamungkas. Ia ingin mencari padepokan suaminya, dengan
meminta tolong kepada cucunya, Putih Wewangi. Umurnya
sudah sangat lanjut. Kalaupun takdir menjemputnya kapan
saja, ia ingin telah memperoleh maaf dari Ki Ageng. Maka
dengan badan reotnya yang digerogoti oleh incok dan rematik
hampir sepuluh tahun, ia pun bangkit dari pembaringannya.
Bunyi derit balai-balai bambu di kamarnya menghilangkan
bunyi dent pintu belakang yang dibuka pelan-pelan. Nyi Ageng
tanpa curiga melangkah terseok-seok melewati kamar tengah.
Ia membuka pintu yang menuju ke dapur. Dulu, ketika
pendengarannya belum terganggu oleh usia tuanya, suara
cicak melompat pun ia mampu melacaknya.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
189 Tapi kini ia hanya mempercayakan diri pada kebiasaan dan
firasatnya. Padahal firasat tidak bisa datang setiap saat yang
tertentu. Apalagi matanya sudah setengah rabun. Sedangkan
dulu pun ia lebih bergantung kepada daya dengarnya yang
cukup peka. Tidak heran kalau ia tidak terusik oleh dengus
napas yang terengah-engah dari seseorang yang ben
sembunyi di balik pintu. Tiba-tiba Nyi Ageng terhenti. Ia
menjerit: "Siapa?" Pertanyaannya tidak berjawab. Ruang dapur gelap pekat bagi
matanya, walaupun di situ ada lampu sentir yang sinarnya
mulai melemah karena sudah disundut sejak sore.
"Ada orang?" kembali ia bertanya, karena firasatnya
menangkap sesosok bau manusia di ruangan itu. Tatkala ia
sedang ragu-ragu dan menyiapkan sisa-sisa kepandaiannya
guna berjaga-jaga, seekor kucing melompat sambil memekik:
"Ngeong!" "Huh," gumam Nyi Ageng.
"Rupanya engkau, jantan si Manis. Manis, Manis,
pasanganmu banyak betul. Malam ini kucing dari mana lagi,
baunya kok berbeda dari yang kemarin?"
Sambil tertawa mengikik, Nyi Ageng melanjutkan langkahnya.
Ia menggeleng-geleng. Si Manis, sih, tidak ada larangan
berganti-ganti Pasangan, sebab si Manis hanya seekor kucing,
tidak berakal dan tidak mengenal aturan moral.
Tidak demikian manusia. Walaupun dalam masalah berahi
mungkin sama saja, tetapi dalam pelepasan berahi harus
dipatuhi cara-cara dan norma-normanya. Nyi Ageng agak
menekur merenungkan hal itu, lantaran akhir-akhir ini makin
sering terjadi perkosaan dan perzinaan sewenang-wenang,
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
190 yang dilakukan tidak oleh orang-orang terbuang, melainkan
juga oleh mereka yang konon terhormat dan dihormati. Nyi
Ageng sudah mendekati pintu belakang. Ia memegang
gerendel hendak membukanya.
Betapa terkejut dia. Gerendel sudah terlepas dari cantelannya.
Pintu agak menganga selebar jari kelingking. Kembali Nyi
Ageng menghentikan langkahnya. Kembali ia menyiapkan
bekas-bekas kesaktiannya. Dan kembali ia bertanya kepada
ruangan yang remang-remang itu.
"Siapa? Ada orang?"
Namun, sesudah ditunggu beberapa lama tidak ada apa-apa,
cuma bunyi angin kencang yang bertiup dari halaman
belakang, bahaya pun tidak muncul juga. Maka Nyi Ageng
menarik kesimpulan yang melegakan. Pasti kesembronoan
Putih Wewangi. "Dasar si centil cucuku. Rupanya ia lupa mengunci pintu tadi,
sehabis buang air kecil di empang. Sudah dewasa tapi masih
seperti anak ingusan." Atau barangkali si Lisoh? Tidak
mungkin. Perempuan malang itu masih tidur melingkar di
balai-balai sebelahnya, memeluk si Thole dengan lelap. Maka
Nyi Ageng pun kembali tertawa sendirian:
"Dasar bocah manja, si Putih Wewangi. Teledornya bukan
main. Apa dia anggap Jepara sekarang masih seperti Jepara
dulu, aman dari pencuri?" Guman sendirian ini membuat hati
Nyi Ageng jadi lega. Ia tidak takut kehilangan barang-barang berharga. Ia takut
kehilangan benda paling berharga yang sempat membikin perpecahan dengan suaminya, wadi buaya putih milik Wong
Pamungkas yang sekarang disimpan dalam kotak terbikin dari
porselen Cina. Kotak itu terletak di samping tempat tidurnya,
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
191 dilekatkan pada sebuah lengkungan batang jati besar, terkunci
rapat, dan hanya bisa dibuka oleh dia sendisi atau suaminya.
Kecuali kalau ada orang yang mempunyai ilmu sihir dari negeri
antah-berantah sehingga dapat membongkarnya. Dengan
hati-hati agar tidak tergelincir, Nyi Ageng menuruni tangga
menuju ke pancuran. Halaman belakang cukup gelap, tetapi
belum cukup untuk membuat Nyi Ageng tidak bisa melihat
apa-apa. Ia hafal betul di mana tempat pancuran berdiri,
dihubungkan dengan pipa buluh dari sumber air yang terdapat
di ujung sungai. Kebun milik Nyi Ageng sangat luas. Dan di
sebelah kebun itu terbentang sawah yang terhalang
pemandangannya oleh sekerumun pokok-pokok besar
membentuk hutan anakan. Suara air yang mengucur sejuk selama Nyi Ageng berwudlu
memberi kesempatan kepada sosok bayangan yang tadi
menyelinap di balik pintu guna mengendap-endap dengan
cekatan me-masuki kamar Nyi Ageng yang sudah terbuka
lebar. Sosok itu bertubuh jangkung dengan pung-gung agak
membungkuk. Seperti yang sudah mengerti lika-liku rumah itu,
sosok tersebut mendekati balai-balai Nyi Ageng.
Ia menampak seorang perempuan tergolek pulas memeluk
anak kecil berusia lima tahun. Sosok itu berhenti sebentar


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengawasi kedua tubuh yang membujur di atas dipan
bersebelahan dengan balai-balai Nyi Ageng. Ia menghela
napas, sebelum dengan cepat mengeluarkan sebilah benda
runcing dari balik bajunya.
Benda itu berkilat-kilat hanya oleh sinar redup dari sebatang
lilin yang tersisa sepertiga, menandakan bahwa baja yang dipergunakan untuk membuat benda tersebut termasuk kelas
pilihan. Beberapa saat ia ragu-ragu, seakan-akan terpojok
kepada dua keputusan, meneruskan ren-cana semula atau
mengurungkannya. Agaknya ia amat berat hendak
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
192 menetapkan tindakannya. Tapi akhirnya, setelah menghela
napas dua tiga kali lagi, nampaknya ia menjadi tidak peduli
dengan apa yang bakal terjadi. Siapa pun perempuan itu,
siapa pun anak kecil itu, tugas ini hares dilaksanakan
sesegera mungkin. Apalagi tatkala telinganya menangkap
batuk Nyi Ageng sesudah selesai mengambil air sembahyang,
dan kini tengah menaiki tangga belakang. la tidak boleh
terlambat sedetik pun. Dengan kesigapan seorang ahli, bayangan serba hitam itu
mengangkat benda runcingnya, lalu memasukkannya dengan
tepat ke dalam sebuah celah di samping kotak porselen milik
Nyi Ageng. Dengan membolak-balikkan benda itu ke atas dan
kebawah, ajaib bukan main, kotak yang kelihatannya tidak
berlubang itu terbuka serentak dibarengi bunyi "ting" yang
sangat halus. Ia menjulurkan tangannya ke dalam lubang kotak yang sudah
terbuka. Lantas secekatan seperti masuknya, ia keluar melalui
pintu depan setelah menutup lagi kotak itu sebagaimana
tadinya. Di tangannya kini tergenggam selembar kulit buaya
putih yang berbentuk bundar lonjong.
Sebelum lolos menyelusupi kehitaman di luar, ia masih
sempat memperhatikan lembaran kecil itu, lalu berkata pelan:
"Maaf, Nyi Ageng. Bukan saya kurang ajar. terpaksa
mengambil kulit ini supaya tidak tersebar malapetaka."
Tanpa curiga Nyi Ageng lambat-lambat masuk ke dalam
tempat sembahyang yang dibangun Ki Ageng berdampingan
dengan bilik tidur. Tidak ada yang berubah letak benda-benda
di dapur ataupun di musala. Nyi Ageng pun dengan hati lega
dan tenang memasang telekungnya dan mengangkat kedua
tangan sambil berbisik lembut: "Allahu Akbar!"
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
193 Kemudian ia hanyut di tengah kesyanduan yang
kenikmatannya terasa kian memuncak. Ia membaca surat Al
Fatihah seperti sedang berbincang-bincang dengan Tuhan.
Alam ter-bentang lapang, dan jiwa tersingkap terang. Sampai
ketika seusai salam pada dua rakaat yang ketiga, terdengar
suara melengking nyaring di belakangnya, merusak suasana
damai tatkala ia tengah memohon ampun ke hadirat Yang
Mahakuasa. "Nenek pikun! Jangan lama-lama duduk di situ. Serahkan wadi
buaya putih kepunyaanku!" Suara menyakitkan telinga itu
keluar dari seorang laki-laki tinggi kurus dengan badan agak
membungkuk. Keringatnya menebarkan bau asam yang tajam,
padahal angin malam yang bertiup melewati liang-liang
dinding begitu semerbak dan sejuk. Mendengar suara mirip
lengkingan iblis itu Nyi Ageng seperti terjaga dari mimpi. Dan
bagaimanapun ia telah mengekang perasaannya, namun toh
tidak sanggup menahan kekagetannya. Suara itu kalau tidak
salah adalah "Masih ingat bukan, kepadaku? Wong
Pamungkas?" lanjut suara itu bernada angkuh. Dari lagunya
sudah kedengaran betapa orang itu mengangap dirinya tidak
berharga untuk disopan-santuni.
Nyi Ageng menjadi tidak terkejut lagi setelah dapat
memastikan dengan yakin bahwa orang itu adalah Wong
Pamungkas. Sekarang ia lebih dari terkejut. Ia kuatir kalaukalau Wong Pamungkas tahu di mana ia menyimpan wadi
maut miliknya, lalu dapat merampasnya. Bila demikian, dunia
bakal sepuluh kali lebih kalau dari keadaannya saat ini. Tetapi
Nyi Ageng masih bisa dengan tenang membuka telekungnya,
lantas bangkit dan meng-hadapi tamu yang tidak diharapkan
itu. Dengan tabah, dalam suara reotnya, ia berkata:
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
194 "Aku dengar kabar engkau telah menjadi lebih besar daripada
ketika engkau mengemis-ngemis kepada suamiku tempo
hari?" "Hahaha. . . ," Wong Pamungkas mengganda tertawa.
"Selangkah lagi aku sudah jadi mahapatih Kerajaan Majapahit
yang perkasa. Hahaha .."
"Berarti engkau orang yang punya kedudukan terhormat?"
tanya Mbah Buyut, nenek dari putri lurah Janur Kemukus itu,
menusuk. "Jelas," sahut Wong Pamungkas bangga, tanpa mempedulikan niat apa yang terkandung dalam pertanyaan si
nenek. "Hartaku bergudang-gudang, istanaku tidak kalah dibandingkan dengan keprabuan mana pun di muka bumi ini."
"Maka seharusnya engkau juga bersikap sebagai orang besar.
Tidak seperti maling kelas kecoa yang mengendap-endap ke
dalam rumah orang tanpa mengetuk pintu, jauh larut malam
lagi. Apa memang begitukah tata krama para punggawa tinggi
Kerajaan Majapahit sekarang?"
Wong Pamungkas menyempitkan keningnya yang seperti
alun-alun pasir di depan keraton Majapahit. Dengan
mendengus ia menghentak keras:
"Puih!" ludahnya meledak ke lantai. "Kalau aku memasuki
rumah orang baik-baik, tentu saja aku akan minta permisi lebih
dulu. Tapi yang kumasuki malam ini adalah tempat tinggal
seorang pencuri yang lebih keji daripada maling jemuran."
Nyi Ageng mulai tersinggung. "Engkau tak kan berani
selancang itu kalau kau tahu suamiku berada di sini."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
195 "Hahaha Aku tidak perlu mendatangi suamimu, sebab yang
kuperlukan adalah istri-nya, nenek tua yang hampir masuk
Jiang landak," jawab Wong Pamungkas telak.
"Kalau aku laki-laki, aku tak kan lama-lama berada di depan
seorang perempuan pikun," sahut nenek lebih telak.
"Aku juga tak kan lama-lama di sini, asal kaukembalikan wadi
buaya putihku," jawab Wong Pamungkas seraya mendesak ke
muka. Nenek sudah menduga apa yang dicari Wong
Pamungkas. Dengan tegas ia menjawab:
"Wadimu memang aku yang menyimpan. Tapi jangan harap
engkau akan memperolehnya tanpa mendapatkan izin
suamiku." "Yang kuperlukan benda kecil itu, bukan izin suamimu, bantah
Wong Pamungkas. Wajah pucatnya mulai memerah.
"Bila aku menolak?"
"Nenek tahu, bukan, bagaimana kebiasaan Wong Pamungkas
pantang permintaannya ditolak?" ucap Pamungkas. Ia lebih
banyak keluyuran daripada menetap di Trowulan memimpin
strategi perang. Karena itu watak kasarnya makin binal.
"Apa engkau tidak tahu bahwa umurku sudah di ujung
tanduk?" jawab Nyi Ageng Panataran. Ia dahulunya seorang
pendekar cukup tangguh walaupun tidak mencapai tingkatan
petarung kelas wahid. Namun sisa-sisa keberaniannya masih
lebih besar daripada sisa-sisa kepandaian-nya.
"Jadi?" tanya Wong Pamungkas pendek. Ia mulai geregetan,
terdengar dari gemeretak gigi-giginya yang bagaikan taringtaring macan kumbang.
"Hem," nenek tabah itu cuma menggumam.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
196 "Katakan terus terang, apa maumu? Kalau perlu kubayar
dengan meluluskan semua keinginanmu. Mau harta? Mau
kubangun rumahmu agar lebih megah dan indah dari istana si
Jimbun, sultan Demak yang melarat serta tengah sekarat itu?"
ucap Wong Pamungkas makin naik pitam.
"Jelasnya, aku tidak membutuhkan apa-apa lagi, termasuk
umur yang lebih panjang. Pengabdianku sudah tuntas.
Pengorbananku sudah ikhlas. Hanya satu yang kuhendaki,
ampunan dari suamiku karena kelancanganku mengambil
tanpa seizinnya wadi buaya putihmu. Maka, apapun yang
diperintahkan suamiku tentang benda itu, pasti akan
kukabulkan. Sekalipun seandainya ia menyuruhku untuk
mengembalikannya kepadamu, walaupun aku lebih suka
melihat engkau musnah menjadi debu," jawab nenek sekaligus
menumpahkan pendaman rasa bersalahnya.
Mendengar jawaban yang nekat ini Wong Pamungkas
malahkehabisan akal. Ia berpendapat, semua yang
disampaikan si nenek memang benar. Usia selanjut itu apa
perlu dipertahankan lebih lama, toh setahun dua tahun lagi
juga bakal runtuh sendirinya?
Jadi, kalau nenek itu dibunuh, tentu yang dibutuhkannya tak
kan terlaksana, mengambil kembali wadi buaya putih yang
merupakan penentu hari naasnya. Ia hams mencari cara lain
agar nenek itu merasa tersakiti atau ketakutan sehingga
bersedia meluluskan permintaannya. Apa kira-kira?
Sudah lama ia mendengar, Nyi Ageng mempunyai cucu yang
sangat dikasihi. Kalau tidak salah, namanya Putih Wewangi,
yang bapaknya telah tewas di tangannya. Oh, andaikata waktu
itu aku tahu bahwa wadi itu ada pada si nenek, pasti gadis itu
kuculik dan kujadikan sandera untuk ditukar dengan wadiku.
Tetapi gadis itu sekarang, sesuai dengan rencana jebakannya,
tengah berada di Desa Cuplak, atau barangkali sudah tewas
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
197 dihabisi oleh anak buahnya yang ditugaskan menyergap
rumah Mbah Bungkuk. Akibat kehabisan akal, maka Wong Pamungkas berbuat asalasalan. Dengan kekejiannya yang melebihi ukuran, Wong
Pamungkas segera menggerakkan tangan berbareng
menggeser kaki kirinya ke kanan. Dalam sedetik kuduk nenek
itu telah berada dalam cengkeramannya, biarpun si nenek tadi
sempat melakukan perlawanan sambil menghindar. Seraya
tertawa melengking tanda kesal, ia mendorong nenek menuju
ke kamar, presis se-ekor kucing menggondol anaknya.
"Tunjukkan di mana kausimpan wadiku. Kalau tidak,
kululuhlantakkan tubuh peotmu," hardiknya menggelegar.
Begitu berada di dalam bilik, mata kucing Wong Pamungkas
menangkap dua sosok tubuh yang sedang tertidur lelap.
Tanpa membutuhkan waktu lebih lama, ia sudah dapat
mengenali mereka, Thole, anak jadahnya, dan Lisoh, ibu si
Thole. Mendadak ia memperoleh jalan sehingga membuat
bibir yang tadinya melengkung ke atas berubah tersenyum
gembira. "Hahaha ...," ia tertawa dulu sebelum melontarkan nenek ke
balai-balai dengan ganas. Lalu ia tertawa lagi lebih
berkakakan, seolah-olah melepas fitrah kemanusiawiannya
untuk membiarkan naluri kebinatangan yang mengeram pada
nafsu setiap manusia untuk naik ke permukaan.
Secara di luar jangkauan perkiraan yang waras, Wong
Pamungkas merenggut Thole dari dekapan ibunya, yang
sebenarnya telah terjaga tatkala nenek terjerembab di tempat
tidur barusan. Cuma ia tidak punya waktu untuk menjerit,
apalagi mempertahankan anaknya karena sangat terkejut dan
tak terpikirkan betapa laki-laki buas itu ternyata adalah ayah
anaknya sendiri. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
198 "Ha?" itu saja yang terucap, terpotong oleh bentakan Wong
Pamungkas yang menggeledek bagaikan seribu Gunung
Merbabu runtuh jadi pecahan-pecahan batu dan abu.
"Kaulihat anak kecil ini, perempuan tua? Konon ia adalah
darah dagingku. Tapi di depan matamu ia akan kubeset jadi
dua potong daging busuk dengan membelahnya dari kedua
kaki-nya," ucap Wong Pamungkas tanpa perubahan warna
mukanya. "Jangan! Jangan!" jerit Lisoh sesudah menyadari apa yang
terjadi. "Hahaha.... Siapa yang sanggup melarang aku untuk
melakukan apa yang ingin kulakukan?" sahut Wong
Pamungkas. Dari sikapnya kentara sekali bahwa ia tidak tergerak oleh
lolongan seorang perempuan yang dahulunya adalah perawan
cantik yang sangat menarik hatinya sehingga dengan paksa ia
melalap kegadisannya. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
199 "Kasihanilah anakku, darah dagingmu sendiri ," tangis Lisoh
mengiba-iba. Ia buru-buru bangun, lantas bersujud di kaki
bapak anaknya itu. "Nasib anak ini tidak tergantung pada belas kasihanku, tahu?
Aku tidak punya wewenang untuk membiarkannya hidup,
kecuali apabila nenek ini menginginkan dia terus hidup.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
200 Mohonlah belas kasihan kepadanya, jangan kepadaku," jawab
Wong Pamungkas enak saja.
"Ndoro Ageng, tolonglah si Thole," ratap Lisoh kepada Nyi
Ageng Panataran. Perempuan tua itu tengah tercabik-cabik
jiwanya. Ia marah. Ia dendam. Dan ia sangat terharu melihat
nasib Lisoh, perempuan jelata yang suratan takdirnya


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat dia terlunta-lunta dari suatu kesengsaraan ke
kesengsaraan lainnya. Apakah nasib semalang itu harus
ditimpakan pula kepada anaknya? Hati Nyi Ageng makin teriris
tatkala tiba-tiba si Thole terjaga, dan sambil menangis
memeluk laki-laki yang menggendongnya seraya memanggil:
"Romo?" Suara si Thole begitu memelas, sebab ia telah
mengenali laki-laki yang mencengkeram badannya hingga
sakit itu adalah ayahnya. Ia tidak pernah lupa terhadap lakilaki yang selama tiga hari tiga malam telah menyekapnya itu.
Namun yang dipanggil romo oleh anak tidak berdosa itu hanya
mendengus: "Jangan banyak cingcong. Ajalmu tergantung pada Nyi
Ageng." "Gusti Senapati, punika putro panjenengan," jerit Lisoh dengan
wajah kian ngeri melihat api berkobar di mata Wong
Pamungkas. "Kasihanilah dia, walaupun Tuan tidak kasihani
saya. Thole sangat merindukan seorang ayah."
"Huh!" damprat Wong Pamungkas seraya menghentakkan
kakinya dari pelukan kedua tangan Lisoh sampai perempuan
itu terhempas ke dinding.
"Jangan mengharapkan aku percaya akan bualmu. Kaukira
aku tidak tahu bahwa perempuan itu seperti pelabuhan,
tempat keluar-masuknya kapal-kapal? Hahaha ...."
"Astaghfirullah," seru Nyi Ageng penuh kutukan. "Hatimu
terbikin dari batu apa, hai Wong Pamungkas? Tidak ada
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
201 gunung karang yang lebih keras dari hatimu. Tega kau berbuat
sekejam itu kepada anakmu sendiri, menolak kehadirannya
sebagai seorang anak akibat kekejianmu? Dan kaulemparkan
tanggung jawabmu kepada perempuan malang itu dengan
menuduhnya berbuat yang sama kepada laki-laki lain?"
Wong Pamungkas bukannya jadi surut, malah kian meloncat
kemarahannya. "Baik, akan kuhitung sampai sepuluh angka. Jika pada
hitungan kesepuluh tidak juga kau serahkan kepadaku wadi
buaya putihku, akan kulaksanakan apa yang kujanjikan tadi,
mem-belah anak ini menjadi dua bagian. Sesudah itu akan
kucabut kepala ibunya, dan kugelindingkan batok kepala itu ke
bawah kakimu. Bila hal itu pun masih kauanggap biasa, aku
akan mencoba mengerjakan perbuatan yang selama ini belum
pernah kulakukan dan belum pernah juga dilakukan oleh
manusia lain, memperkosa se-orang nenek tua yang umurnya
sudah di atas tujuh puluh tahun. Hahaha ...."
Nenek menggigil jijik mendengar ucapan Wong Pamungkas
yang terakhir ini. Memperkosa dia? Ia, nenek-nenek, akan
diperkosa? Hiiini "Hahaha...," gelak Wong Pamungkas penuh kemenangan.
"Akan kumulai sekarang meng-hitung dari permulaan. Satu
tidak ada reaksi dari nenek.
"Dua ...," belum ada.
"Tiga ...," nenek masih berusaha agar tidak nampak
ketakutannya. "Empat ..., lima ..., enam tujuh ...."
Pada waktu Wong Pamungkas sampai pada hitungan yang
kesembilan dan kelihatannya akan sungguh-sungguh
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
202 membeset Thole, anaknya sendiri, menjadi dua potong, Mbah
Buyut langsung berteriak:
"Hentikan! Biarlah kali ini giliranmu yang menang."
"Hahaha begitu kan lebih baik. Memang Nyi Ageng betul-betul
perempuan tua yang berhati mulia, suka menolong orang lain,
kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan sen-diri.
Hahaha ...," Wong Pamungkas tents tertawa, sebab ia berpikir,
dengan memiliki kembali wadi pengapesannya, tidak ada lagi
yang perlu ditakuti, dari siapa pun.
"Lepaskan dulu anak itu," ucap
Pamungkas mengkhianati janjinya.
"Tidak. Kauserahkan Pamungkas menolak. dulu wadi nenek, ku itu," takut Wong sahut Wong "Kalau demikian, biarlah kaubunuh dia, aku tidak peduli.
Sebab, walaupun seandainya kuserahkan wadimu itu, apa
gunanya bila engkau toh akhirnya akan membunuh si Thole?"
sanggah Nyi Ageng tegas. "Jadi engkau tidak percaya kepadaku?" potong Wong
Pamungkas marah. "Tentu. Daripada aku mempercayai janjimu, lebih baik
kauyakini janjiku. Bahwa apabila kaulepaskan dia, pasti
wadimu akan kukembalikan."
Wong Pamungkas mengangguk. mengerutkan kening. Lalu ia pun "Baiklah, kuterima tawaranmu. Tapi awas, jika kau dusta,
jangan tanya betapa bakal sangat mengerikan akibatnya,"
ucap Wong Pamungkas meruncing. Api di matanya bagaikan
neraka yang turun ke bumi.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
203 Thole, dalam dekapannya, sampai mengedip-ngedipkan
pelupuknya. Lisoh, yang memperhatikan kejadian itu
berlangsung, tidak kuat untuk tidak menutupi wajahnya. Maka
dengan amat berat, Wong Pamungkas menurunkan, atau lebih
tepatnya mencampakkan di Thole ke lantai. Lisoh memburu
anaknya, dan memeluknya dengan erat, seolah tidak akan
mau melepaskannya lagi kepada bapaknya. Begitu melihat
kedua ibu dan anak tersebut sudah aman, nenek lantas
berkata kepada Lisoh: "Ajaklah anakmu itu keluar dari sini. Sekarang urusannya
antara aku dengan serigala itu," ujarnya tanpa takut membuka
kemarahan Wong Pamungkas. Itulah keberanian nenek, sisa
kependekarannya di masa lampau.
"Tidak! Aku keberatan! Mereka harus tetap di sini!" bantah
Wong Pamungkas sambil berjingkrakan. Ia melonjak-lonjak
sepanjang mendengar ucapan Nyi Ageng. Tangannya sudah
tidak sabar hendak meremukkan batok kepalanya.
Sayang, di tangan nenek itulah tergantung nasibnya. Nyi
Ageng menimpali kemurkaan Wong Pamungkas dengan
bersikap setenang mungkin. Secara keras is berkata:
"Terserah engkau, Wong Pamungkas. Kauterima syaratku,
biarkan mereka keluar dari ruangan ini, atau kaubunuh aku,
kaubunuh mereka berdua. Masa Bodoh!"
"Hem," geram Wong Pamungkas.
"Setan bodong!"
"Bagaimana?" tanya nenek mendesak.
"Baiklah," gumam Wong Pamungkas penghabisannya.
"Kuizinkan mereka keluar dari sini. Tapi ingat, jika engkau
bohong, Nyi Ageng, aku akan tenteng engkau untuk mencari
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
204 mereka, dan kemudian akan kulakukan apa yang telah
kujanjikan sejak mula pertama."
Maka dari sebuah lemari yang tersimpan di bawah kolong
tempat tidur, Nyi Ageng mengambil kunci berbentuk panjang
dengan ujung Ineruncing seperti benda tajam. Wong Pamungkas curiga sehingga ia siap memukul seraya berkata:
"Jangan berbuat macam-macam, Nyi Ageng. Apa yang
kaupegang itu?" Nyi Ageng sebetulnya tidak ingin menjawab. Tapi ia sempat
mengumpat: "Dasar pengecut berhati busuk. Ini cuma kunci biasa, tahu?"
Dengan tangan gemetar karena harus melakukan apa yang
dibencinya, menyerahkan wadi penentu ajal si penyebar maut
Wong Pamungkas, Nyi Ageng lantas memasukkan kunci itu ke
lubang pembuka peti perselen di sebelah bale-bale. Lebih
gemetar lagi Nyi Ageng pada waktu peti itu terbuka. Dan
menjadi sangat gemetar berbarengan lega tatkala is melihat di
dalam peti itu tidak ada benda apa-apa selain bangkai seekor
cicak yang sudah mengering, mungkin cicak yang tersesat
masuk tanpa diketahuinya.
11 SI CALON PEMBUNUH Nyi Ageng gemetar sekali lantaran begitu terkejut melihat
petinya kosong. Berarti ada seseorang yang telah
membukanya. Ia tidak habis mengerti, siapakah yang dapat
membuka peti rahasianya dan mencuri wadi buaya putih milik
Wong Pamungkas? Untuk tuju,an apa? Mungkinkah
suaminya? Ah, mustahil! Ia sekuku pun tidak gemetar
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
205 menghadapi Wong Pamungkas, betapapun marah dan Bakal
hilang akalnya bajingan tengik itu. Ia bahkan merasa lega,
sebab tidak harus melihat Wong Pamungkas menerima
kembali wadi maut yang telah memisahkannya dari Ki Ageng
sekian lamanya. Ia sudah siap menantang akibat ter-buruk
sekalipun yang boleh jadi akan ditimpa-kan oleh Wong
Pamungkas. "Ayo, segera berikan kepadaku. Mengapa engkau terbengong
lama di situ?" damprat Wong Pamungkas tidak sabar.
"Nasibmu jelek, Wong Pamungkas. Barangkali hari naasmu
telah tiba," sahut Nyi Ageng tenang sembari bangkit berdiri.
"Apa maksudmu? Katakan terus terang!" desak Wong
Pamungkas naik darah. "Rupanya sudah ada yang mendahului mencuri benda itu."
"Ha?" pekik Wong Pamungkas sambil matanya terbalik ke
belakang. "Jangan banyak ulah. Serahkan segera kepadaku!"
"Aku tidak berdusta. Wadimu telah dicuri orang lain."
"Kurang ajar! Pengkhianat! Penipu!" meledak dada Wong
Pamungkas oleh berbagai perasaan. Terutama ketakutan
terhadap nasib dirinya apabila benda itu belum kembali
kepadanya. "Mampus kamu nanti!" Dalam sedetik bergerak, Wong
Pamungkas telah mencengkeram tengkuk Nyi Ageng tanpa
Nyi Ageng mampu mengelak atau bertahan sedikit pun.
Dengan gampangnya Wong Pamungkas menenteng Nyi
Ageng keluar dari rumah seraya berulang-ulang mendengus.
"Kubunuh engkau dengan mematah-matahkan tulangmu, dari
jari tangan sampai tulang Ieher, hingga engkau lebih suka
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
206 digilas batu gunung daripada menderita kesakitan akibat
siksaan. Iblis buduk!"
Melalui pintu belakang, Wong Pamungkas menyeret Nyi
Ageng yang sudah tua itu tanpa rasa iba sama sekali. Biar pun
Nyi Ageng tidak mengeluh, namun melihat air matanya
mengucur di samping bibirnya yang tergigit rapat, tampak
betul bagaimana beratnya penderitaan yang dialami olehnya.
"Akan kita susul dulu si Lisoh dan anaknya. Setelah mereka
kubereskan dengan cara yang tidak dapat kaubayangkan,
baru engkau sendiri akan menerima giliran berikutnya: mati
dalam waktu lama, dengan rasa sakit yang menanjak dari
menit ke menit. Engkau bakal menyesal mengapa sampai
dilahirkan oleh Biung-mu."
Dan ketika bayangan perempuan separo baya beserta
anaknya mulai tertangkap oleh mats Wong Pamungkas, Nyi
Ageng menutup kedua pelupuknya guna menghindarkan
pemandangan ngeri yang akan disaksikannya sebentar lagi.
Wong Pamungkas tertawa terbahak-bahak. Dengan ujung jari
telunjuknya ia menotok dua urat di belakang leher dan dekat
iga kiri si nenek, membuat Nyi Ageng menegang kaku tidak
dapat menggerakkan organ-organ badan-nya. Lalu seperti
sebuah karung kempes, nenek keriput itu dijerembabkan ke
tanah. Dengan kecepatan luar biasa, kemudian Wong Pamungkas
melayang ke arah Mbok Lisoh beserta anak-nya. Dalam sekali
gebrak is berhasil mencengkeram mereka dan menyeret si
Thole di tangan kanannya sementara Mbok Lisoh telah
ditotoknya sebagaimana dilakukan atas diri Nyi Ageng.
Sepasang mats Lisoh menatap tanpa daya ke arah Nyi Ageng,
seolah-olah ingin minta tolong, namun is tahu bahwa dari
bekas majikannya itu is tidak bakal mendapatkan yang
diharapkan. Nyi Ageng pun memandangi bekas pelayannya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
207 dengan mata terharu. Ia menangis, karena itulah satu-satunya
hal yang bisa diperbuatnya saat ini.
Si Thole, anak tanpa dosa yang kelahirannya tidak pernah
dinantikan, walaupun sesudah muncul di dunia amat dicintai
ibunya betapapun orang-orang lain menggebahnya sebagai
anak jadah, mengawasi laki-laki yang menyeretnya dengan
sikap lugu. Tidak ada dendam dan sakit hati. Bahkan ia merasa terlindung dalam kempitan tangan laki-laki ganas itu, sebab ia
tahu sedang berada dalam geng-gaman ayah kandungnya
sendiri. Padahal bukan ringan kesakitan yang dialaminya. Ia
sampai meringis-ringis hampir menjerit.
Namun kedamaian yang dinikmatinya karena dapat berdekatdekat dengan ayahnya, sesuatu yang didambakannya
semenjak ia tahu apa art seorang bapak buat anak sebaya
umurnya, membikin Si Thole tidak merasakan kesakitan
jasmaniah. Ia hanyut dalam kesadaran makna seorang ayah
sehingga kepedihan badaniah terbenam di bawah
ketidaksadarannya. Hatinya terpusat pada kebahagiaan tuntas itu, sampan


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

otaknya menolak bekerja untuk terpengaruh oleh sik-saan
tangan-tangan keras ayahnya. Maka ia masih sempat
tersenyum dan berkata gembira:
"Romo, oh Kanjeng Romo." Si Thole masih belum insaf betapa
kejam ayahnya meskipun waktu itu Wong Pamungkas
membentak: "Diam! Jangan buka bacotmu!"
Lantas, mimpi buruk yang belum pernah terjadi, hari itu pun
terjadilah. Di hadapan ibunya dan Nyi Ageng, anak kecil itu
dijungkirbalikkan dengan kepalanya menungging ke bawah.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
208 Wong Pamungkas memegangi kedua kakinya sambil tertawa
ngakak. Ia berteriak sebal:
"Perhatikan apa yang bakal dilakukan oleh bajingan tengik ini.
Lihat!" Selepas itu Wong Pamungkas, tanpa memejamkan mata
seinci pun, segera mengambil ibu jari anak kecil itu dengan
sebelah tangan. Tiba-tiba terdengar bunyi "keletak!'' dibarengi
tangis memilukan: "Romo, sakit Romo!"
Tapi tangis itu tidak dapat menghalangi patahnya ibu jari kaki
si Thole, tampak dari lenturnya ujung ibu jari tersebut
menggelantung di telapaknya.
Mbok Lisoh menjerit walaupun suaranya tidak keluar. Nyi
Ageng mengutuk meskipun cuma kelihatan dari matanya yang
terbakar. Dan si Thole meratap biarpun ia belum tahu bahwa
hal itu dilakukan ayahnya karena kebencian yang meluap
kepadanya. Ia cuma merasakan sakit tak terperikan.
Sebabnya apa, ia tidak paham. Tapi ia yakin ayahnya bakal
mengobatinya biar tidak sakit lagi.
"Yang salah bukan aku, jika anak kecil ini makin menderita
nanti. Yang berdosa adalah engkau. Nyi Ageng. Yang berdosa
adalah suamimu, Ki Ageng Panataran. Yang berdosa adalah
kalian yang mengaku sebagai golongan putih. Yang berdosa
adalah semua yang mendukung Kerajaan Demak dan para
wali." Itulah umpat Wong Pamungkas yang terdengar oleh si Thole.
Anak itu dengan jelas menangkap ucapan bapaknya,
walaupun pada saat itu tidak mengerti benar apa maksudnya.
Pokoknya ia teringat, bahwa yang berdosa adalah Nyi Ageng,
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
209 Ki Ageng Panataran, golongan putih, dan semua yang
mendukung Kerajaan Demak serta para wali.
Kalau begitu merekalah yang harus dilenyapkan. Hati anak
kecil itu makin bergolak dan panas, manakala ia merasakan
ibu jari kirinya bagaikan dijepit batu penggilas jalan, lebih daripada yang dirasakannya tadi. Iamenangis kian kesakitan. Dan
ia mengutuk kian ganas. Jiwa anak kecil itu menjerit:
"Yang berdosa adalah Nyi Ageng, Ki Ageng Panataran,
golongan putih dan orang-orang yang menunjang Kerajaan
Demak serta pembantu-pembantu para wali."
Sama sekali si Thole tidak sadar bahwa yang melakukannya
adalah ayahnya. Si terlaknat Wong Pamungkaslah yang
menyebabkan timbulnya kesakitan itu ketika dengan
tangannya sendiri, seorang ayah telah mematahkan tulang ibu
jari kaki anaknya. Seandainya tidak dalam keadaan tertotok
kaku, pasti Nyi Ageng akan menghalang-halangi kekejian itu.
Kalau perlu dengan adu nyawa.
Demikian pula Mbok Lisoh. Ia menyesali dirinya mengapa
memberi kesempatan kepada Wong Pamungkas untuk
melakukan kesewenang-wenangan itu dengan mencarinya ke
mana-mana. Andaikata ia tetap tinggal di kediaman Ndoro
Dewi Sekar Dadu, si Thole tidak bakal mengalami musibah ini.
Semuanya telah terjadi dan akan terjadi sepanjang berada
pada garis suratan takdir. Dan alangkah malangnya anak-anak
manusia ketika mereka menyangka bahwa suratan takdir
adalah cetak biru yang turun begitu saja dari Lauh mahfudz.
Mereka tidak sadar bahwa suratan takdir berkaitan erat
dengan ulah manusia tidak mau berusaha mengubahnya.
Serta akan tiba mendadak dan membuat manusia menyesali
kehadirannya di muka bumi jika tidak mau meneliti diri sendiri.
Betapa kebinasaan pasti datang sebagai balasan terhadap
perbuatan buruk masing-masing.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
210 Lisoh menangis. Ia mengutuk kedurhakaan-nya kepada orang
tua semasa ia masih seorang perawan cantik di desanya. Ia
sudah menjalin hubungan dengan seorang pemuda tampan.
Karena itu ia berontak melawan keputusan orang tuanya yang
berniat menjodohkannya dengan seorang santri yang berhati
mulia namun tidak memiliki apa-apa kecuali kemelaratan dan
kerja kasar, sementara pilihannya adalah seorang perjaka
parlente, putra keluarga hartawan. Maka ia memilih lari dari
rumah sampai akhirnya dipunggut Mbah Buyut untuk menjadi
pelayannya. Pemuda pilihannya itu ternyata hanya pemimpin penyamun,
dan butir kepalanya sedang dikejar oleh para pembunuh
bayaran. Sedangkan santri pilihan orang tuanya kini membuka
pesantren dengan murid tersebar dari segala penjuru.
Barangkali hartanya tidak banyak, namun hidupnya tenteram
dan terhormat. Akan tetapi tangis Lisoh tidak ada gunanya
lagi. Sebab Wong Pamungkas sudah mulai sesumbar:
"Sekarang tiba saatnya untuk menyaksikan pemandangan
yang lebih mengerikan. Aku mau mematahkan tulang kering
anak ini, lalu tubuhnya akan kubelah jadi dua."
Dan Mbok Lisoh pun segera mengatupkan matanya untuk
tidak bisa melihat apa-apa. Nyi Ageng pun berbuat yang
sama. Sebab tidak ada yang mampu menghalang-halangi
Wong Pamungkas jika ia sudah berniat melakukannya.
Namun tiba-tiba Wong Pamungkas bahkan membelalakkan
kedua matanya pada waktu sekonyong-konyong merasakan
ada sambaran angin menyerbu dirinya.
Sebutir batu sekepalan tangan terbang bagaikan meteor
mengarah kepalanya sehingga ia harus mengambil keputusan
yang paling selamat. Melemparkan tubuh kecil si Thole untuk
mengelak sambil berguling ke samping. Anak kecil itu terjatuh
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
211 di lamping karang dekat sungai. Kepalanya bocor dan
berdarah. Ia tidak pingsan karena hanya menderita luka kecil.
Tapi ia menjerit kesakitan akibat luka dalam di tulang kedua
ibu jari kakinya yang dipatahkan oleh Wong Pamungkas. Ia
tidak peduli terhadap semua itu, sebab ia tidak mengerti. Yang
diketahuinya sekarang adalah bahwa ia telah dilemparkan
oleh ayahnya lantaran ada seorang musuh yang mengancam
nyawanya. Siapakah bajingan itu?
"Keparat kamu, Jaka Pratama!" itulah yang didengar oleh si
Thole. Jaka Pratama, Jaka Pratama, Jaka Pratama, itulah nama
bajingan yang mengancam ayahnya dan hampir mencelakakan dirinya. Itulah nama terkutuk yang dilaknat oleh
ayahnya. Terkutuk! Terkutuk, kau, Jaka Pratama!
Memang demikian yang terjadi. Jaka Pratamalah yang kini
berdiri di depan Wong Pamungkas.
"Hem Engkau?" dengus Wong Pamungkas heran. Ia yakin
Jaka Pratama tengah terjebak dalam perangkapnya di Desa
Cuplak. Ia nyaris tidak percaya bagaimana mungkin santri
tengik itu dapat melacak jejaknya.
"Ya, saya," sahut Jaka Pratama tenang. Ia tahu Wong
Pamungkas pasti terkejut. Sebab bajingan itu tidak tahu
bahwa Mbah Bungkuk telah membisikinya untuk menyusul
kemari, berasal dari berita dan rencana yang dirancang secara
cermat oleh Ki Ageng Panataran. Bahkan Jaka pun yakin,
Wong Pamungkas atau Nyi Ageng sekalipun tidak tahu bahwa
Ki Ageng Paranataran telah menyuruh seorang tangan
kanannya untuk mengambil wadi maut senapati murtad itu
dari tempat penyimpanannya, supaya wadi itu tidak terjatuh
kepadanya sebelum Jaka Pratama tiba.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
212 Untuk itu Ki Ageng akan minta maaf kepada istrinya atas
segala kesulitan dan kesakitan yang telah dialaminya dari
Wong Pamungkas, akibat tidak ditemukannya lagi wadi
tersebut. "Hahaha ...," Wong Pamungkas masih sempat tertawa. Dan
inilah kelebihannya. Ia mampu menyembunyikan gejolak
perasaannya dari pengawasan orang lain. "Jadi engkau ingin
cepat menyusul arwah bapakmu, si Wirayuda?"
"Pasti. Tapi tidak sekarang," jawab Jaka Pratama menahan
kegetirannya. Ia tiba-tiba merasakan hawa panas oleh
kemarahannya yang tersundut mendadak. Untung dia ingat
diri, bahwa hal itu disengaja oleh Wong Pamungkas agar
ketenangannya terganggu. "Saya malah ingin minta tolong
kepada Tuan." "Hahaha.... Minta tolong? Untuk apa? Untuk membebaskan
nenek tua itu dari totokanku? Atau untuk mengampunimu?"
"Bukan. Kalau soal membebaskan nenek dan lainnya, saya
dapat mengerjakannya sendiri. Lihat!" ujar Jaka Pratama lebih
tenang seraya menjungkit empat butir kerikil kecil dengan
kakinya. Dalam sekejap, Mbah Buyut dan Mbok Lisoh telah dapat
bergerak kembali seperti semula sesudah keempat butir kerikil
tadi dengan tepat mengenai saraf-saraf utama yang membuat
mereka jadi kaku. Dan belum habis keheranan Wong
Pamungkas serta kedua perempuan yang ditolongnya, Jaka
Pratama dengan gerakan kilat dan hampir tidak tertangkap
indera manusia, menyusuli jungkitan kakinya barusan untuk
melemparkan selembar daun sirih ungu yang kebetulan
tumbuh di dekatnya berdiri, atau memang barangkali ia
sengaja memilih tempat itu.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
213 Daun obat itu langsung terbang dan persis menempel di jidat
si Thole yang terluka. Anehnya ketika menimpa bagian luka
tersebut, daun sirih itu sudah teremas-remas, sehingga
lantaran lukanya ringan maka dapat menghentikan kucuran
darahnya beberapa saat kemudian.
"Hahaha engkau memang hebat, Kulup," ucap Wong
Pamungkas berusaha menutupi kekagumannya.
"Jadi kau mau minta tolong apa kepadaku?" ia bertanya
dengan harapan ada peluang untuk menghindari bentrokan
melawan santri kudisan ini.
"Saya mohon Tuan menengok ayah saya sekarang juga,"
jawab Jaka Pratama sambil melancarkan serangannya yang
pertama. Jangan disebut si Tangan Besi kalau serangan itu
tidak dahsyat akibatnya. Sampai beberapa dahan yang
menghijau mendadak jadi kering, padahal tidak tersentuh
sedikit pun. Namun jangan disebut Wong Pamungkas apabila
ia tidak dapat memungkasi serangan lawan dengan cara yang
lebih dahsyat. Hanya dengan berdiri kaku seolah tanpa
bergerak, serangan Jaka bagaikan berbenturan dengan
benteng baja yang lentur.
Wong Pamungkas memutarkan tubuhnya, presis mainan
gasing yang berpusing menimbulkan bunyi dengung. Jaka
Pratama terpaksa menarik kembali tenaga dalamnya,
sekaligus menyedot kekuatan yang terpancar dari daya
bertahan musuh yang aneh itu.
Wong Pamungkas terkesima. Ilmu apa ini yang dipergunakan
oleh si santri buduk terkutuk itu? Sungguh mati ia tidak
menyangka bakal menemui perlawanan semacam itu. Tetapi
ia tidak mati kutu. Secara ajaib ia menyorongkan badannya ke
depan, lantas, seperti balok kayu ditebang, ia merobohkan
badannya. Dan lebih ajaib lagi tatkala ia memutar tubuhnya
presis jarum jam diputar seribu kali lebih cepat.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
214 Kedua tangannya menjulur runcing hendak menebang kakikaki Jaka Pratama. Oh, benar-benar pertarungan kelas tinggi
yang tidak mungkin dapat diikuti oleh pesilat-pesilat biasa.
Karena yang tampak, apalagi di tengah malam yang cukup
kelam, cuma bayangan-bayangan kabur yang berkelebatan ke
sana kemari, ke atas ke bawah, dan sesekali melompatlompat.
Tanpa terasa pertempuran telah berkecamuk lebih dari tiga
puluh jurus. Walaupun arena tempat bertarung itu masih
berada di kawasan bandar Jepara, namun karena letaknya di
tengah sawah dekat sungai besar yang membelah bandar itu
menjadi dua bagian, kota dan kampung, sementara di tengahtengah antara rumah Mbah Buyut dengan lokasi persawahan
itu terdapat gerombolan pohon-pohon besar membentuk hutan
kecil, maka suasana kota yang sepi tetap sepi, tidak terusik
oleh ketegangan yang me-rayap naik dari detik ke detik.
Nyi Ageng Panataran begitu terpukau, hingga tidak sempat,
atau boleh jadi tidak teringat, untuk memberi peringatan
kepada Jaka tentang letak kelemahan Wong Pamungkas di
pusarnya. Demikian juga Lisoh. Ia bahkan tidak paham apa
sebenarnya yang sedang berlangsung di muka hidungnya.
Hanya si Thole yang memper-hatikan dengan saksama. Dan
sembari kadang-kadang mengusap ingusnya apabila bagian
luka-nya berdenyut-denyut nyeri, ia mengumpat Jaka Pratama
sambil mendoakan agar bapaknya yang berjaya. Kelihatannya
memang akan terkabul doa si Thole. Melalui pendalamannya
selama bertahun-tahun, Jaka Pratama belum mampu
menebak sudut-sudut kelemahan musuhnya. Dengan ilmu
Pamupus Aji, juga dengan ilmu Manunggaling Kawulo Gusti,
serta Aji Pangrungu dan Panyirep-nya, Jaka belum
menemukan inti kesaktian Wong Pamungkas. Walaupun
keadaan yang sama dialami pula oleh lawan, namun Jaka
merasa bajingan itu telah mulai bisa mendesak dan
Buku Koleksi : Awie Dermawan


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PDF e-book oleh Kolektor E-Book
215 menekannya. Wong Pamungkas mulai tersenyum. Ia tahu tak
kan ada gunanya kalau menghadapi jago yang satu ini dengan
Aji Awu Geni. Sebab Jaka Pratama telah merasakannya, dan
pasti dapat menebak di mana letak kekurangannya.
Maka ia sekarang menggunakan ilmu simpanan yang belum
pernah dilancarkan kepada musuh lain. Ilmu tersebut
diperoleh dari pamannya, Loka-wana, dan disebut ilmu
Branjangan Wanapati. Kekuatannya bertumpu pada gerakgerak tipu yang membingungkan, didasarkan atas kebalikan
dari hukum alam. Misalnya, jika api seharusnya membakar,
dalam ilmu Branjangan Wanapati justru membuat korbannya
menggigil kedinginan. Itulah yang sedang dialami oleh Jaka Pratama saat ini. Ia
mendadak merasa ketakutan yang sangat hebat, padahal ia
yakin dapat menunduk-kan serangan Wong Pamungkas pada
jurus keempat puluh. Nyatanya memang begitu.
Pukulan miring dengan telapak tangannya tepat mengenai
lam-bung Wong Pamungkas ketika lawan yang licik itu tengah
lengah. Namun, karena rasa cemas menguasai jiwanya,
akibatnya kekuatan pukulan tersebut seolah-olah cuma embun
yang menguap di gurun pasir. Jaka menggeram keheranan. Ia
bahkan sekarang diliputi kegembiraan berlebihan pada saat
Wong Pamungkas menampak kelemahan pertahanannya.
Justru ia tertawa tatkala tendangan Wong Pamungkas
mengenai betis kirinya. "Krak!" kedengaran tulang kering Jaka
berkeretak tertimpa serangan bawah lawan. Tanpa ampun
Jaka terjerembab ke samping laksana meja patah kakinya.
Wong Pamungkas melompat dan berniat menginjak remuk
batok kepala Jaka Pratama. Untung ketika itu Wong
Pamungkas lupa terhadap inti dasar ilmu tersebut, yakni
melawan hukum yang wajar. Ia sangat gembira pada waktu
yakin bahwa sergapan dari atas itu pasti berhasil. Sebetulnya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
216 ia mesti merasa sedih. Karena itu buyarlah keajaiban ilmu
aneh Branjangan Wanapati.
Jaka sekonyong-konyong sadar akan bahaya yang sebentar
lagi bakal menimpa. Sambil bergerak mengelak ia masih
sempat menelan obat penyembuh luka tulang sebelum
berguling-guling ke kanan pada saat kaki Wong Pamungkas
menjejak di sebelah kiri-nya.
Dengan tangkas Jaka bangkit secepat kilat, dan segera
memperbaiki letak kuda-kudanya. Dengan menyebut nama
Allah ia berusaha memusatkan kembali daya manunggalnya
kepada pusat segala kekuatan, yaitu Yang Mahatunggal. Ia
berusaha menjuruskan semua karsa dan niat-nya karena Allah
semata-mata. Ia tidak ingin mengalahkan Wong Pamungkas untuk membela
nama baik mendiang ayahnya. Ia hanya ingin membebaskan
masyarakat dari aniaya yang sudah dan akan banyak timbul
apabila Wong Pamungkas dibiarkan melanjutkan kesimaharaja-lelaannya. Dan semua itu tidak buat mencari
nama, melainkan lantaran mengejar rindla Allah belaka.
Sungguh di luar dugaannya manakala setapak demi setapak
batinnya menggumpal mengisi bagian-bagian yang lowong
dari celah-celah badannya.
Jaka sudah menemukan lagi kepribadian sejati, ikhlas dan
pasrah. Dan pada ke-pribadian sejati itulah terletak inti
kekuatan manusia. Maka ketika Wong Pamungkas menginsafi
kekeliruannya, Jaka Pratama telah siap melancarkan
pembalasan. Sehingga betapapun Wong Pamungkas segera
bertahan dengan jurus pokok ilmu Branjangan Wanapatinya,
namun tak ayal gempuran Jaka sempat merobohkan kudakudanya dan membuat Wong Pamungkas terpen-tal dua
langkah ke belakang. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
217 Darah hitam menggelegak keluar dari mulut dan hidung Wong
Pamungkas, tak ubahnya bagaikan suara tukang cangkul
menenggak air putih dari kendi di tengah sawah, pada saat is
sedang dahaga lantaran bekerja dari pagi sampai siang hari.
Sayang sekali sesudah itu Jaka Pratama membatalkan
serangan berikutnya, sebab hatinya dihinggapi rasa kasihan
melihat lawan sedang menderita kesakitan. Apalagi setelah
mengetahui dari ucapan-ucapan si Thole bahwa si kecil tidak
berdosa itu adalah anak Wong Pamungkas. Ia membayangkan terlalu jauh. Andaikata Wong Pamungkas
tewas, bagaimana pula nasib anak kecil itu, padahal sebagai
anak pasti dia juga membutuhkan kasih sayang seorang
ayah? Jaka tidak punya waktu untuk berpikir, betapa akan
hitamnya masa depan anak kecil itu apabila berada dalam
asuhan seorang manusia jahat macam Wong Pamungkas.
Tempo beberapa detik sepanjang Jaka diliputi pertimbanganpertimbangan perikemanusiaan itu telah digunakan sebaikbaiknya oleh Wong Pamungkas untuk mengumpulkan kembali
inti kekuatannya, lantas dengan sisa tenaga yang masih lebih
besar dibandingkan yang telah dikeluarkan, ia menerjang ke
muka dan melancarkan pukulan ke arah selangkangan
dengan gerak-an bawah pada jurus Branjangan Ngurek Siti.
Untung Jaka masih keburu ingat diri akibat rasa sakit di tulang
keringnya belum hilang sama sekali. Maka serangan lawan
yang mematikan itu dapat ditumpulkannya dengan lompatan
menyilang sembari melakukan tendangan salto ke arah
pundak dan kepala Wong Pamungkas.
Si Thole memekik: "Romo! Bunuh orang jahat itu!" Jaka
tercekat. Anak sekecil itu telah terpengaruh oleh keadaan
menjadi calon pembunuh? Jika ucapan tadi keluar dari
hatinya, bukankah berarti situasi di belakang hari masih akan
dipenuhi pula dengan kebuasan, kekejaman, dan Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
218 pertumpahan darah? Oh, Tuhan, bilakah dunia ini hanya berisi
cinta murni dan perdamaian? Yang jelas, menghadapi Wong
Pamungkas tidak layak untuk terlalu memberi hati. Sebab
senapati yang sakti ini tidak pernah memberi hati kepada
siapa pun selarna memberi hati bermakna mempersulit
tercapainya angan-angan yang melambung untuk menjadi
paling besar di negeri ini. Karena itu, sesudah tendangan
salto-nya dengan susah payah baru dapat dielakkan oleh
Wong Pamungkas, Jaka menyusulinya dengan pukulan ganda
mempergunakan tangan kiri dan kanannya enam kali berturutturut.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
219 Wong Pamungkas terperangah. Ilmu edan dari mana ini? Jaka
memang saat itu sedang mencoba ilmu barunya hasil ciptaan
sendiri, dan terdiri atas hanya tujuh jurus dengan kembangan
tujuh cabang. Ia sudah siap mengajarkannya kelak bagi anakBuku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
220 anaknya dan akan dinamakan ilmu Tanpo Asmo, atau ilmu
tanpa nama. Jurus pertama diawali dengan munculnya bulan tatkala langit
sedang diliputi mendung tebal. Tentu saja hal ini sangat aneh
dan mengagetkan. Faktor tiba-tiba dan mengagetkan inilah
yang dijadikan landasan buat merekam gerak cabang, yaitu
sirnanya mendung akibat angin kencang yang mendadak
terhembus. Bisa juga dilakukan terbalik. Dari cabang dahulu,
baru jurus utamanya. Pukulan ganda enam kali beruntun itulah
angin kencang yang bertiup mengusir mendung di serata
langit, yakni sang musuh Wong Pamungkas. Dan ketika
mendung terperanjat dengan datangnya topan mendadak,
Jaka menjadikan dirinya sebagai bulan, yang merayap lambatlambat menyelusupi awan gemawan.
Wong Pamungkas kebingungan menerima rambatan tenaga
yang seolah-olah menutup semua jalan keluarnya. Ia tidak
mampu berkelit, padahal Jaka baru melancarkan jurus
pertama. Beberapa kali gempuran tenaga serangan memperbesar
kesakitan di jantungnya, dan membikin darah yang barusan
sudah hampir mengering terasa mendesak-desak hendak
muncrat laksana seorang perempuan hamil muda ingin
muntah dalam masa ngidamnya.
Wong Pamungkas penasaran. Ia sudah bertarung puluhan
tahun. Ia sudah mempelajari puluhan ilmu dan ratusan jurus
dari lawan-lawannya. Seluruhnya telah diketahui sudut-sudut
kelemahannya. Tetapi ilmu bajingan yang satu ini su sah
ditelusuri ke mana arahnya. Ia masih mampu menghindar
beberapa kali, tetapi lebih banyak terjebak dalam pusaran
tanpa ujung. Sampai pada suatu saat, ketika Jaka melancarkan jurus
ketiga, Wong Pamungkas sudah kehabisan daya bertahan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
221 tanpa sisa. Yaitu pada waktu sebutir biji yang terlempar ke
tanah mulai tumbuh menjadi tunas. Akarnya menghunjam
makin dalam, menembus lapisan batu karang yang keras.
Daun-daunnya bermekaran, menantang sinar matahari yang
panas, menampung hujan dan embun yang dingin, menahan
tiupan angin yang deras. Wong Pamungkas kehilangan akal.
Pukulan hawa panasnya tidak membuat lawan menarik balik
serangannya. Demikian pula pukulan hawa dingin.
Dan yang paling membuatnya cemas adalah tatkala ia
melancarkan gempuran tenaga kasar, justru digempur Jaka
dengan kelenturan yang lembut, menyebabkan tenaga yang
tuntas dikerahkannya berbalik menggempur dirinya sendiri.
Terpaksa ia pasrah. Sebab tidak ada jalan lain kecuali
mengandalkan belas kasihan Jaka Pratama. Dua gelas darah
hitam telah tersembur dari mulut, hidung, dan kupingnya. Ia
tidak akan mati selama titik kelemahannya di pusar tidak
terkena pukulan. Dan inilah siasat untuk menyelamatkan diri,
pura-pura mati dengan luka parahnya untuk balas dendam lain
kali. Jaka sudah berniat mengampuni sang penyebar maut. Melihat
musuh terhempas tanpa daya, dengan tangan-tangan dan
kedua kaki terkulai, dengan kepala tertekuk ke belakang
seperti tidak berleher, jiwa santrinya tersentuh.
Ia tidak tega membiarkan seorang anak Adam teraniaya,
betapapun kejamnya manusia berhati iblis itu. Ia telah
mengurungkan, bahkan menarik kembali pemusatan kekuatan
di buku-buku jari jemarinya, yang sebentar tadi mengubah jari
jemari itu bagaikan taji-taji baja yang tegang dan tajam. Ia
begitu iba melihat musuh tergolek di tanah lembab dalam
udara malam yang lembab. Sebab hati Jaka telah basah oleh
siraman kasih sayang dan ampunan, suatu sifat yang selayaknya dimiliki oleh anak manusia. Dan Jaka hampir beranjak
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
222 meninggalkan tempat itu. Tentu saja setelah nanti menolong
Mbah Buyut, Mbok Lisoh, dan si kecil sekiranya mereka membutuhkan bantuannya. Ia hendak mengeluarkan obat
penyembuh luka, dan sudah menggerakkan tangan, tatkala
tiba-tiba serombongan laki-laki dan perempuan muncul dari
kegelapan. Se-rangkai suara halus tetapi sangat nyaring bagi
telinganya berteriak menggema:
"Jangan diperpanjang umurnya. Bunuh jahanam itu."
Jaka terperanjat. Ini adalah suara Wulan Suminar, tidak salah
lagi. Gadis yang pernah dan senantiasa menarik simpatinya.
Namun Jaka tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia tegak
terpaku, tersungkur dalam kebimbangan antara iba dengan
kehanisan mem-bunuh. Sementara di tanah becek di sana,
Wong Pamungkas tersengal-sengal putus asa.
Matanya jelas mata tikus ketakutan, sebab di depannya
menganga moncong ular sanca, dan di belakang terancam
taring-taring kucing hutan. Ia sudah siap menghimpun Aji
Patiraga, untuk membuat jasadnya kaku dan dingin laksana
mayat bane lepas nyawa. Jaka menganggap tidak perlu
menghabisi pembunuh ganas itu. Kalaupun ia tidak mati
setelah diobatinya, yang pasti ia tak kan mampu lagi menjadi
pembantai berdarah dingin yang patut ditakuti. Lantaran yang
terlukai adalah urat-urat penting. Dan dengan luka-luka
atersebut ia tak kan bisa memanfaatkan kesaktiannya sedikit
pun. Tidak sepotong pun bagian dari organ-organ yang
mengendalikan gerak tubuhnya dapat berfungsi kembali,
selain sekadar memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya
belaka. Namun ketika Jaka berbalik dari Wong Pamungkas
dan melangkah mendekati Mbah Buyut, Wulan Suminar telah
dipanggil lebih dulu oleh perempuan tua itu. Dengan napas
yang masih satu-satu, ia menyuruh Wulan Suminar
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
223 mendekatkan telinganya, sebab ia ingin membisikkan sesuatu.
Serta-merta Wulan Suminar memenuhi permintaan Nyi Ageng.
Dan begitu kupingnya berada di muka bibir Nyi Ageng, gadis
tersebut tampak mengangguk-angguk dengan wajah sangat
gembira, sementara dalam suasana yang berbeda dan nada
amat kecewa, si Thole bertanya kepada ibunya: "Romo kena
apa, Ibu? Romo tidak kalah, bukan?"
Mbok Lisoh memandangi anaknya dengan terharu. Ia
menyadari nasib yang pantas diterima bapak anaknya itu. Ia
rela keadaan yang lebih buruk menimpa Wong Pamungkas
sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang sudah dikerjakannya. Tapi ia tetap sedih mengingat bagaimanapun


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buruk laki-laki itu, ia adalah bapak dari anaknya. Dan kalau ia
tewas, berarti si Thole akan men-jalani masa kanak-kanaknya
tanpa seorang ayah, betapapun rendahnya seorang ayah tidak
sah dalam pandangan masyarakat.
Si Thole masih juga bertanya tentang keadaan bapaknya,
menang atau kalah dalam pertarungan barusan, ketika Jaka
Pratama mendatangi Wong Pamungkas kembali untuk
memberikan obat pe-nangkal luka kepadanya. Tanpa curiga ia
melangkah, dan menganggap belum perlu menyapa walaupun
ia sudah tahu di tempat itu telah berkumpul sejumlah saudara
seperjuangannya. Dalam perkiraannya, dengan menghitung jejak-jejak kaki
mereka tadi, barangkali seluruhnya sudah berada di situ.
Termasuk Kanjeng Dewi Sekar Dadu. Ia masih belum
menaruh curiga tatkala Wulan Suminar setengah melompat
mendekatinya pada waktu ia mengangkat tubuh Wong
Pamungkas. Jaka melirik ke arah gadis itu sambil membuka
bibirnya sedikit dengan wajah penuh kegembiraan:
"Terima kasih."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
224 Maka alangkah kagetnya Jaka Pratama ketika tiba-tiba Wulan
Suminar menyarangkan sebilah pisau kecil, presis menusuk
pusar Wong Pamungkas, senapati terlaknat yang pernah
menculik dan memaksanya menjadi ronggeng di istana Prabu
Girindrawardhana. Dengan mata terbeliak Jaka hampir tidak
mempercayai kejadian itu, terutama pada detik-detik Wong
Pamungkas meregang nyawa di pangkuannya dengan darah
memancar deras melalui lubang di pusarnya. Wulan Suminar
kelihatan sangat puas, dendam lamanya telah terbayar.
Jaka Pratama menatap bingung dan menyesal. Si Thole
menjerit: "Romo!" seraya menghambur lari dari dekapan
ibunya, lalu menubruk ayahnya yang sedang bersimbah
darah. Wong Pamungkas masih sempat memandangi anak kecil itu,
anaknya sendiri yang saat ini bagaikan tengah mandi dengan
darah Bapaknya. Laki-laki penyebar maut itu tertawa mengikik
sambil menggumam berat: "Engkau..., anakku..?"
Si Thole mengangguk. "Romo, jangan mati, Romo," ucapnya
sesenggukan. "Tidak aku takkan mati Aku mau...
menghancurkan neraka Hahaha Karena itu kalau engkau
betul-betul anakku..., engkau harus... menghancurkan dunia....
Aku yang merajai neraka..., engkau yang merajai dunia putra
Wong Pamungkas.... Hahaha ...."
Pendekar mahasakti itu tertawa panjang menyudahi wasiatnya
kepada si Thole dengan suara makin pelan dan tersengalsengal. Dibarengi jeritan terakhirnya mengutuk nama Jaka
Pratama, pundaknya tiba-tiba tersentak ke atas, lalu
melengkung ke bawah dan terkulai lemas.
Jiwa Wong Pamungkas baru saja melayang meninggalkan
wadah kasarnya. Jaka Pratama menundukkan kepalanya
sangat dalam. la mendengar Kiai Dolah Pekih berkata:
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
225 "Yang seharusnya sudah lama terjadi, hari ini telah terjadi.
Itulah ketentuan takdir yang tak dapat dihindari."
Di tempat yang terpisah, Mbok Lisoh terisak-isak. Bukan
menangisi kematian Wong Pamungkas, jahanam yang telah
merampas kegadisannya secara hina, melainkan menangisi
hari depan si Thole, sendirian tanpa ayah untuk masa-masa
yang amat panjang di hadapannya. Walaupun barangkali
dengan ayahnya masih hidup nasib si Thole malah akan lebih
buruk, atau dalam kata lain, walaupun kematian Wong
Pamungkas barangkali justru lebih baik buat dirinya, namun
selaku seorang ibu ia sangat prihatin mengenang-kan masa
depan anaknya yang bakal sarat dengan tanda tanya dan
gelap. Si Thole masih memeluk tubuh Wong Pa-mungkas, dan
membiarkan dirinya berkubang dalam darahnya.
Wulan Suminar tiba-tiba tersentuh hatinya melihat keadaan
anak tersebut. Ia menghampiri pelan-pelan dari belakang, dan
menggamit pundaknya seraya menegur lembut:
"Kulup, sudahlah jangan menangis lagi. Ia memang bapak
kandungmu, tapi ialah yang menghancurkan hidup ibumu. Ia
telah memperkosa ibumu."
Mungkin ucapan ini masih dapat dimengerti apabila
diungkapkan dalam kesempatan yang tidak seperti sekarang
ini. Tetapi sungguh tidak bijaksana, menurut Mbok Lisoh,
karma di-sampaikan pada saat duka cita begini. Terutama
buat si Thole. Itu pula yang terpikir dalam benak Jaka Pratama
sehingga ia mengangkat muka dan menatap kurang senang
ke arah Wulan Suminar. Lantas, untuk menghilangkan
kekecewaannya, is menjauh buru-buru menuju ke tempat para
kawula Demak berkumpul. Pakaiannya masih berlumur darah
segar. Jaka sedang mengatakan:
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
226 "Maaf, Kiai dan Kanjeng Mbakyu Sekar Dadu. Juga para
kadang lainnya. Saya permisi, ke belakang dulu, ke tempat
kuda saya untuk berganti pakaian," manakala seorang anak
keil yang badannya juga berlumuran darah mengejatnya
seraya memekik: "Jaka Pratama, kubunuh engkau, Jaka Pratama, kubunuh
engkau!" Jaka terperanjat. Ia menyesal, dan ia sedih melihat apa yang
terjadi saat ini, dan bagaimana akibatnya terhadap anak kecil
yang belum menanggung dosa itu. Jiwanya begitu terguncang
sehingga ia kurang sadar atau tidak peduli ketika sesosok
bayangan yang gerakannya sangat ringan dan cepat bukan
main melayang ke arahnya. Daya refleks Jaka membuatnya
segera menyiapkan kuda-kuda tanpa berpikir lagi. Namun
pada waktu ia yakin musuh tidak akan menyerangnya,
sikapnya berubah menjadi penuh teka teki. Siapakah dia? Dan
apa yang hendak diperbuatnya di tengah malam yang dlan
mendekati fajar ini? Dan ketika yang lain juga saling bertanya-tanya melihat sosok
asing yang hanya berciri serba hitam saja tanpa tanda-tanda
yang menun-jukkan identitas dirinya, kedengaran Mbok, Lisoh
menjerit kecil: "Saya mau dibawa ke mana?" Lantaran semua orang sedang
mencurahkan perhatian ke arah sosok hitam yang mula-mula
muncul tadi, maka mereka tidak melihat atau kurang
mengacuhkan terhadap datangnya bayangan kedua, yang
dengan tangkas hinggap di tanah dan dengan sigap
memondong Mbok Lisoh tanpa kesulitan sadikit pun.
Orang-orang hendak mengejar penculik tersebut. Tetapi baru
saja mereka bersiap diri, sosok yang pertama pun berbuat
serupa. Dengan cepat lakksana seekor zebra, sosok itu
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
227 membopong Thole, membawanya pergi menyusul penculik
ibunya. Jaka Pratama yang belum beranjak dari situ segera hedak
memburu, terutama oleh rasa tanggung jawabnya yang besar
sehingga sebetulnya ia berniat mengambil si Thole menjadi
anak angkatnya. Tetapi ia dicegah oleh Kiai Dolah Pekih
sebagaimana dilakukan atas yang lain-lainnya. Sebab pada
waktu itu penculik yang membawa Thole berkata:
"Kalian tidak perlu mengejar kami. Thole dan ibunya akan
kami pelihara baik-baik. Sebab kami adalah keluarga mereka."
Oleh ucapan yang agak melegakan ini, akhirnya tidak seorang
pun berniat melakukan pengejaran. Karena masih banyak
yang harus dikerjakan sebelum mereka dapat dengan tenang
beristirahat sambil melambaikan selamat jalan kepada armada
Angkatan Laut Demak di bawah pimpinan Laksamana
Pangeran Sabrang Lor yang akan bertolak meninggalkan
pangkalan Jepara untuk memerangi tentara Peringgi.
Adapun bagaimana nasib si Thole, Wong Pamungkas, beserta
ibunya, dan bakal jadi apa dia di kemudian hari nanti,
sejarahlah yang akan membeberkannya. Dan sejarah pula
yang berhak menceritakan persoalan-persoalan rumit yang
membelenggu para pendekar remaja dalam belitan asmara
sampai melahirkan keresahan dan saling bertentangan.
Mudah-mudahan segala kemelut itu dapat diatasi dengan baik
sehingga tidak menjadi malapetaka yang mengancam
keutuhan bangsa. Untuk itu Putih Wewangi yang centil tiba-tiba berubah mesra
kan seluruh hidupnya kepada Jaka Pratama, walaupun ia tahu
laki-laki itu telah beristeri tiga, orang dan pantas menjadi
pamannya, sementara tiga orang pemuda remaja, dengan
hawa panas berusaha menghalang-halangi niat itu. Akibatnya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
228 mereka hampir bentrok melawan Jaka Pratama. Untung,
sesudah melalui untaian peristiwa yang berbelit-belit, semua
kesalah-pahaman tersebut dapat diselesaikan secara
bijaksana meskipun dihadang oleh ?si Calon Pembunuh?, yang
karena ganasnya anak itu, hingga dijadikan sebagai judul
cerita seri ''Anak-anak Pendekar" buku kedua.
TAMAT Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
229 Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
230 Pembunuh Di Balik Kabut 3 Pendekar Rajawali Sakti 124 Penghuni Telaga Iblis Dendam Si Anak Haram 6
^