Pencarian

Ajal Sang Penyebar Maut 3

Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi Bagian 3


Kiai Dolah Pekik membenarkan sinyalemen Jaka Pratama.
Lalu ia berbisik-bisik mengadakan perundingan dengan Jaka.
Ksatria muda itu tampak mengangguk-angguk dan
menjawab pelan, " Saya rasa, rencana Kiai sangat tepat
untuk menghadapi kelicikan mereka."
Rencana apa itu, tidak seorang pun mengetahuinya, kecuali
Kiai dan Jaka Pratama. Agaknya hal itu dianggap sangat
penting sehingga perlu dirahasiakan, ter masuk Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
118 terhadap para anak buah yang lain. Yang jelas, begitu
selesai perundingan tersebut, Jaka Pratama kemudian
keluar dari ruangan. Tidak beberapa lama sesudah itu
terdengar bunyi kaki kuda dipacu dengan kencang dan
melesat kian jauh. Pada waktu semuanya memandang kebingungan, Kiai,
lalu berkata kepada mereka, "Kita berangkat ke Desa
Cuplak satu per satu. Kita harus bersikap seolah-olah
tidak saling mengenal satu sama lain. Seperti yang telah
kuberitahukan, kita akan berkumpul di ... ,"
Belum lagi berakhir ucapan Kiai Dolah Pekih, si gadis
centil yang membuat Pandu sebal itu menjawab, "Di
rumah Mbah Bungkuk, juru kunci makam keramat
Sunan Sebolampar." Kiai sangat terperanjat mendengar kelancangan si gadis
yang dapat menebak dengan tepat. Karenanya dengan
tergagap ia bertanya, "Kau tahu dari mana, Genduk?"
Gadis itu tersenyum lebar, "Makanya jangan meremehkan
kaum wanita. Kami punya senjata ampuh untuk membuat
bocor segala rahasia, yaitu dengan keramahan dan
kelemahan kami." "Jadi, siapa yang berhasil kau rayu dengan kecantikanmu sampai engkau mengetahui rahasia ini?"
tanya Kiai Dolah Pekih seraya memperhatikan semua
yang berada di ruangan itu, seakan-akan ia menyangka
ada yang berkhianat. Padahal mereka sama sekali belum
tahu apa-apa. Toh mereka terpaksa membuang muka
agar tidak bertatapan mata dengan Kiai Dolah Pekih.
"Yang penting, jangan kita lanjutkan rencana semula, bertemu
di rumah Mbah Bungkuk," sahut si gadis tanpa mengindahkan
kebimbangan yang lain. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
119 "Alasanmu, Nduk?"
"Pertemuan di tempat itu telah bocor kepada pihak musuh."
"Dari mana kau tabu?"
"Tadi malam, dari salah satu anggota Keris Bersilang sebelum
ia menghembuskan napas terakhirnya."
Semua orang mau tidak mau sangat kagum akan kecerdasan
gadis yang penampilannya masih kekanak-kanakan itu.
Termasuk Pandu, walaupun terpaksa. Tanpa terasa ia
menggumam, "Astaghfirullah. Untung . . .." Kali ini Pandu tidak
malu-malu untuk memuji si gadis dengan tatapan matanya
yang tulus, dalam ramuan sikap yang tiba-tiha berubah serba
canggung. "Wah, susah juga akibatnya," keluh Kiai.
"Mengapa tidak engkau sampaikan hal ini sejak Ladi, sehelum
Jaka berangkat? Padahal ,"
Si gadis punya ulah kembali. la memotong dengan cepat
ucapan Kiai yang belum selesai itu: "Saya tadi sempat
menyisipkan surat ke dalam kantong pelana kudanya, yang
berisi sama dengan yang saya sampaikan kepada Kiai."
"Meskipun begitu, aku perlu bertemu dengan Jaka Pratama
sesudah yang kutugaskan kepadanya berhasil dilaksanakan,"
sahut Kiai masih kurang puas.
"Bagaimana kalau saya sarankan untuk berkumpul di rumah
nenek saya, di dalam kota Jepani?" sahut si gadis.
"Bisa juga, di mana saja pun boleh. Tetapi, bagaimana cara
memheritahukannya kepada Jaka?" ucap Kiai yang tetap tidak
tenang. "Raden Jaka Pratama pasti akan ke sana, Kiai," sahut
si gadis tanpa ragu-ragu.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
120 "Kauanggap dia tahu segala-galanya, termasuk yang berada
di dalam benakmu?" tanya Kiai tanpa bermaksud memperoleh
jawaban, sebab lebih cenderung bernada menggerutu.
"Bukan hegitu, Kiai," ujar si gadis membantah.
"Jadi . . . ?" "Karena saya juga menyertakan rencana tersebut dalam surat
yang saya selipkan itu, lengkap dengan petanya," sahut si
gadis melanjutkan penjelasannya.
"Oh, puji kersaning Allah," sahut Kiai dengan perasaan sangat
lega dan makin kagum. Demikian pula yang lain-lain.
Anehnya, tatkala si gadis menyaksikan betapa besar
perubahan orang-orang itu dalam bersikap kepadanya,
mendadak is jadi gernetar, takut tidak mampu memikul pujian
tersebut. Perasaan ini membuatnya justru tidak berani lagi
berlaku sembrono dan kurang ajar. Apalagi tatkala Kiai
herkata: "Biasanya aku paling benci kepada kelancangan dan sikap sok
tahu. Tetapi kali ini aku amat berterima kasih terhadap
kelancanganmu, meskipun untuk kesempatan lain aku tidak
suka tindakan senacam itu," ujar Kyai ditujukan kepada si
gadis. "Mengerti?"
Gadis itu mengangguk. Kemudian, tanpa diminta ia berkata,
"Agar para kadang dan para paman di sini tidak was-was
kepada saya, izinkanlah saya menerangkan apa yang
sebetulnya Bakal dijelaskan oleh Romo Kiai Dolah Pekih.
Saya bemama Putih Wewangi. Ayah saya lurah Desa Janur
Kemukus. Romo Kiai adalah sahabat karib ayah saya. Teman
saya ini bernama Akas Lelaras, putra lurah Desa Ambarsari.
Orang tua kami berdua telah dibantai oleh gerombolan Keris
Bersilang pimpinan Raka Jinangkar. Dan saya tahu, Keris
Bersilang adalah begundal gerakan rahasia Wong
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
121 Pamungkas. Jadi kami merasa wajib membantu Tuan-Tuan,
kalau perlu dengan mengorbankan jiwa kami. Saya memang
belum pernah bertemu muka dengan Kiai, tetapi ayah saya
berpesan agar saya berusaha mencari dan ngenger kepada
beliau." "Nab, disitulah kelebihan kami, orang tua-tua. Meskipun
engkau belum pernah bertemu denganku, aku sudah tahu
dedek-jenger-mu, artinya sudah mengenal betul dirimu dengan
segala sepak terjangmu," sambut Kiai makin ramah, dan
nampaknya kian menyukai Putih. Akhirnya kesepakatan
diperoleh pada saat itu, bahwa mereka akan berkumpul sore
nanti sesudah Maghrib di rumah nenek Putih Wewangi yang
terletak di tengah kota ukir Jepara. Perjalanan menuju sana
sudah diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan
kecurigaan di pihak lawan. Sebab, kalau hanya sekadar
memusnahkan komplotan pengkhianat itu, rasanya tidak ada
masalah yang menyulitkan. Bukankah Kiai dan para anak
buahnya mempunyai wewenang dari Senapati Demak untuk
mengamankan pekerjaan menyiapkan armada itu?
Persoalannya adalah bahwa mereka harus bergerak diamdiam agar Pangeran Sabrang Lor dan segenap jajaran prajurit
laut yang dipimpin-nya tidak mendengar ada kerihutan itu,
supaya keberangkatan mereka tidak terganggu oleh
keresahan dan ketidaktenangan. Lagipula, Kiai dan Jaka
herikrar hendak memusnahkan komplotan tersebut langsung
ke Kiang keladinya, yakni Wong Pamungkas. Karenanya Kiai
dan Jaka berusaha mengadakan jebakan halus agar Wong
Pamungkas tidak ragu-ragu untuk terjun sendiri dalam
gerakan gelap yang direncanakannya tersebut.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
122 7 SIAUW SIAN GIAP Sebetulnya tindakan yang telah dilakukan oleh Putih sudah
benar, andaikata ia memberikan suatu isyarat kepada Jaka
Pratama untuk mau memeriksa isi pelana kudanya. Lantaran
hal itu tidak dikerjakannya, Jaka sama sekali tidak mengetahui
peruhahan rencana semula, sebab dari Kiai ia telah
memperoleh beherapa petunjuk tentang apa-apa yang mesti
dilaksanakannya. Dan berdasarkan petunjuk Kiai itulah Jaka
kini memacu Karbala sekencang mungkin. Jalan yang
ditempuhnya juga herpedoman kepada petunjuk Kiai. Ke
mana gerangan, sehingga ia hams berkendara bagaikan
dikejar setan kesiangan? Sungguh amat mencurigakan.
Perasaan semacam itu pula yang sekarang menghinggapi
sesosok manusia yang semenjak Jaka keluar dari hutan kecil
tadi sempat memergokinya dan menjadi terperanjat
karenanya. "Setan," umpatnya lirih. "Kunyuk itu muncul juga
kemari." "Siapa?" tanya orang di sebelahnya. Kedua orang itu samasama menunggang kuda, tetapi sebelumnya tidak tergesagesa.
"Santri Putih Bertangan Besi." Jawab yang ditanya.
"Hem, jadi diakah yang disebut Santri Putih Bertangan Besi?"
ulang yang bertanya, seorang pria bermata kecil namun tajam.
Orang-orang yang lama tidak muncul di rimba persilatan pasti
tidalk akan mengenalnya karena ia orang baru di kalangan
para pendekar Tanah Jawa. Ia adalah seorang pekelahi tenar
yang baru dua bulan mendarat dari Tiongkok. Namanya Siauw
Sian Giap, kelahiran Pati tapi dibesarkan di Tanah Leluhur.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
123 "Kukira seperti apa orangnya, tahu-tahu cuma seperti itu,"
lanjut Siauw Sian Giap dengan sikap menganggap remeh.
"Jangan anggap enteng dia, kawan, tegur rekannya, lelaki
kekar bertubuh gesit. Umurnya sekitar empat puluh lima tahun.
"Kita harus segera melaporkan hal ini kepada Wong
Pamungkas." "Lakukanlah sendiri," ujar Siauw Sian Ginp. "Aku mau kejar si
Santri Putih. Aku mau buktikan bahwa ksatria muda itu tak kan
berkutik di tangan Siauw Sian Giap."
"Jangan gegabah. Kita harus memberitahukan soal ini kepada
Wong Pamungkas dahulu sebelum bertindak lebih lanjut,"
bantah yang satu, agaknya seorang pendekar berdarah Jawa
Timur. "Itu kan pekerjaanmu. Aku disewa jauh-jauh bukan untuk
sekadar melakukan pekerjaan lapor-melapor. Aku datang
kemari buat berkelahi. Kau tahu, makin banyak jago silat yang
kukalahkan, apalagi yang punya nama beken, makin terkenal
namaku, dan makin mahal hargaku."
Selepas berkata demikian, Siauw Sian Giap langsung tancap
kudanya secepat kilat tanpa mempedulikan larangan rekannya
yang sangat penasaran. Namun petarung Jawa Timur itu tidak
dapat berkutik, mengingat alasan yang dikemukakan oleh
Siauw Sian Giap cukup mempunyai dasar yang kuat. Ia hanya
mampu memandangi Cina yang gila nama itu memacu
kudanya dengan laju di belakang Jaka Pratama dalam jarak
cuma sekitar sepuluh menit. Tentu saja sebagai pendekar
yang telah banyak makan garam, Jaka tidak menyepelekan
bunyi tapak kuda yang tiba-tiba terdengar lebih nyaring daripada sebelumnya, walaupun ia tidak berani memastikan
bahwa pengendara di belakangnya itu mengandung niat buruk
kepadanya. Ia hanya perlu bersikap waspada, berhubung
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
124 suara lari kuda itu menjadi lebih nyaring semenjak ia melewati
dua orang pengendara kuda barusan. Dan anehnya, yang
tengah lari menuju ke arahnya hanya satu orang saja. Yang
lainnya bahkan kedengaran tambah menjauh.
Tanpa menoleh Jaka memperkirakan jarak di antara mereka
sudah kian dekat. Tidaklah bijaksana jika ia menggebah
Karbala lebih cepat untuk menghindari penunggang kuda di
belakangnya, walaupun dalam hal berpacu ia percaya Karbala
sulit dikalahkan. Dengan pikiran semacam itu Jaka bersikap sewajar mungkin
dengan jalan tidak memper-cepat dan tidak melambatkan,
sampai akhirnya Siauw Sian Giap sudah kian dekat
kepadanya. "Kisanak, berhenti," teriak Siauw Sian Giap kemudian, setelah
jaraknya dengan Jaka hanya tinggal dua tombak lagi. Jaka
menoleh pun tidak. Ia terus memacu Karbala dengan tenang.
"Thayhiap! Kalau engkau betul-betul ksatria, tunggu aku!"
kembali Siauw Sian Giap berseru.
Jaka masih tetap pura-pura tidak peduli walaupun tidak
meninggalkan kewaspadaannya, hingga akhirnya penunggang
kuda bermata sipit itu telah menyusul di sebelahnya. Jaka
terus menatap ke depan, dan Siauw Sian Giap melompat dari
punggung tunggangannya, lantas berdiri menghadang kira-kira
tiga depa di muka Jaka. "Berhenti!" teriaknya seraya berkacak pinggang. Bukan Jaka
yang berhenti, tetapi kudanya yang mengangkat kedua kaki
depan ke atas sambil dari mulutnya menghambur lengkingan
panjang sehingga kuda si sipit tergebah kabur.
"Kurang ajar!" pekik si sipit murka seraya mencabut cemeti di
pinggangnya dan melecut Karbala.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
125 Andaikata bukan Karbala yang jadi sasaran, Jaka belum akan
marah dan bertindak. Namun kalau sudah binatang yang


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu jujur dan setia tanpa pamrih itu terancam
keselamatannya, tak ada lagi yang mampu menghalangi
letupan si Santri Putih Bertangan Besi. Jaka yakin sekiranya
sambaran cemeti itu menimpa leher Karbala, kuda
kesayangan itu pasti tidak akan sanggup bertahan hidup lebih
dari dua atau tiga detik. Karena itulah Jaka Pratama dengan
cepat menjulurkan kaki kanannya, dan begitu cemeti si sipit
membelit, Jaka meminjam tenaga yang tersimpan di dalam
lecutan itu untuk melayang dari punggung Karbala, langsung
menendang ke arah kepala lawan.
Siauw Sian Giap ternyata hanya besar mulutnya saja. Ia
sudah limbung sebelum kaki Jaka menimpa kepalanya. Dan ia
bakal celaka jika kaki Jaka menimpa kepalanya. Jaka pun
menyadari bahwa lawannya bukan jago kelas satu yang
tangguh. Dengan dua pertiga tenaga yang dikerahkannya,
Siauw Sian Giap pasti remuk dalam sekejap. Tapi kalau ia
urungkan serangan itu, dirinyalah yang akan jadi korban,
sebab dapat rnenimbulkan arus balik yang memakan habis
sepertiga tenaga yang tertinggal. Dirinya akan remuk dari
dalam oleh hantaman tenaga sendiri.
Ia harus mencari sasaran lain. Dan untung buat Jaka serta
untung buat Siauw Sian Giap. Di sebelah kiri Jaka ada
gundukan batu semacam Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
126 bukit karang kecil yang menantang. Dengan serta merta Jaka
mengarahkan tendangannya ke sana. Dan brak! Bungabunga api memercik mewarnai hancurnya bukit itu berkepingkeping.
Siauw Sian Giap dudukk lewas. Kepalanya basah, bukan
dengan darah, welainkan bersimbah keringat, dingin bagaikan
Gurun gobi diguyur hujan seratus tahun. Matanya berkunangkunang, kepalanya seperti terputar ke belakang. Dengan
tangan menggigil ia memegangi kepalanya, membayangkan
betapa nasib semacam bukit batu itu akan menimpanya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
127 seandainya Jaka Pratama tidak berhati welas-asih sesuai
dengan sifat kesantriannya yang penuh jiwa ibadat. Jelas ia
tadi tak kan mampu mengelak dari kecepatan gerak Jaka, dan
tak kan mampu menghindar dari kesaktian Jaka. Andai-kata . .
. , andaikata Oh, Thian yang mahaagung, yang menguasai
kekuatan Naga dan menggenggam arwah para leluhur.
Berkatilah thayhiap yang bernama Jaka Pratama, begitu
gumam Siauw Sian Giap dalam kengeriannya.
Oh, Thian yang mahaperkasa. Limpahkanlah kurnia Dewi
Kwan Im memimpin jalannya. Berikan kekuatan kepada Jaka
Pratama untuk mengalahkan Gian Lo Ong di negeri
keabadian. Lalu Cina sipit itu mengepalkan tangannya di
depan dada sembari berlutut dan mencium bumi. Adapun Jaka
Pratama juga sedang sujud mencium bumi, sebagai tanda
syukur kepada Tuhan bahwa pada hari itu ia berhasil
menahan diri sehingga terhindar dari mencabut nyawa
sesama manusia, meskipun manusia itu tidak seagama dan
berusaha merintangi jalannya. Dan alangkah indah serta
bersihnya alam tatkala darah tidak tertumpah. Dan alangkah
harum serta beningnya langit manakala udara tidak diracuni
dengus permusuhan. Dan alangkah dalam serta lapangnya
hati apabila yang bersemi hanya kasih sayang atau saling
memaafkan. Rasanya Siauw Sian Giap belum pernah menikmati
kedamaian jiwa seperti yang dialaminya hari ini. Ia datang di
negeri ini dengan nafsu ingin mengalahkan, ingin
menaklukkan, kalau perlu membinasakan manusia sebanyakbanyaknya. Karena dengan modal senjatanya, cemeti dan
pedang pendek, dilengkapi pendalaman ilmu berkelahi selama
berpuluh-puluh tahun, pekerjaan yang dibanggakannya adalah
menewaskan orang lain. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
128 Hari ini ia telah dikalahkan bukan oleh pedang atau kesaktian,
melainkan oleh kelembutan hati seorang pendekar yang ingin
dikalahkannya. Kekalahan semacam ini lebih telak, jauh lebih
berat dibandingkan dengan seandainya tubuhnya remuk
menjadi bubur daging, lantaran hatinya tidak remuk oleh
nuraninya. Tidak seperti sekarang, ketika telah menguncup
semua nafsu dan gairahnya yang menggebu-gebu, yang
dengan kekuatan itu ia telah banyak menghitung korbankorban di ujung pesangnya.
Namun aneh, ia bahagia dengan kekalahannya ini. Sebab ada
sesuatu yang tiba-tiba mengalir ke dalam dadanya. Sesuatu
yang belum pernah dirasakannya senikmat hari ini. Ia amat
sejuk dengan keinginannya yang serentak mencuat, ingin
berkorban, bukan ingin menjatuhkan korban-korban seperti
sebelumnya. Maka dengan melangkah pelan-pelan ia mendekati Jaka,
sesudah dilihatnya Jaka berdiri kembali dari sujudnya untuk
menaiki Karbala yang tidak sabar menunggu majikannya.
"Boleh saya mengganggu Tuan sebentar?" ia bertanya sopan ,
suatu sikap yang tidak dikenalnya. Bahkan ia terkejut.
Ternyata berlaku sopan membuat hatinya mendadak lebih
tenang. "Saya rasa Tuan sudah mengganggu saya tidak sebentar."
Jawab Jaka sebentar," jawab Jaka yang tengah diburu waktu
dan kewajiban. "Sebaiknya Tuan jangan meneruskan perjalanan ke desa
Cuplak," ucap pendekar Cina itu tanda menganggap terhalang
oleh sindiran Jaka. Jaka berusaha mengaburkan tanda
keterkejutannya, tetapi wajahnya masih menyisakan tanda itu
meskipun tinggal sekilas. Dari mana Cina ini tabu bahwa ia
sedang bergegas ke desa Cuplak? "Maksud Tuan?" tanya
Jaka seolah tidak acuh. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
129 "Barusan kami sedang mengadakan perjalanan untuk
persiapan mengepung rumah Mbah Bungkuk, juru kunci
makam Suran Sebo-lampar," jawab Siauw Sian Gian.
Apa pun tujuan yang hendak dicapai oleh Cina tersebut, Jaka
percaya semua yang disampaikannya itu benar, bahwa
setidak-tidaknya rahasia pertemuan mereka yang direncanakan selepas Maghrib malam nanti di rumah Mbah
Bungkuk telah terbongkar oleh pihak musuh. Keadaan
semacam ini saja sudah amat berbahaya. Belum lagi kalau
makar orang-orang busuk itu memang terbukti, paling tidak
gerakan mereka bakal tercerai-cerai, malah tidak mustahil
akan memakan korban tidak sedikit.
Jaka terdiam mendengar laporan bekas lawannya tersebut. Ia
telah menang, yaitu mengalahkan kemarahan yang tadi
hampir menyobek pertimbangan nuraninya, dan hasilnya kini
ia menangkan perang tanpa kekerasan. Ia sangat berterima
kasih kepada gurunya, Kanjeng Sunan Bonang, yang telah
membekalinya dengan pelajaran kesabaran mengikuti sifat
yang diteladankan oleh Nabi Muhammad saw. Sebab Sunan
Bonang pernah menceritakan suatu peristiwa kemuliaan yang
tiada tara bandingannya dari Sang Rasul yang agung itu.
Pada suatu hari Nabi sedang berkumpul di dalam masjid
bersama para sahabat terdekat. Tiba-tiba seekor unta
menerobos masuk dengan penunggangnya, seorang Badui
hitam pemimpini sebuah suku terpencil penghuni gunung batu.
Seraya tetap hernia di punggung untanya, Badui itu
menghardik sambil berkacak pinggang, menampilkan sikap
paling kurasig ajar: "Hai, siapa di antara kalian yang bernama Muhammad?"
Tentu saja para sahabat naik darah melihat pemimpin mereka
dihina, masjid mereka dikotori kaki-kaki unta. Ali akan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
130 mencabut pedang, tetapi Nabi mencegah, lalu menjawab
ramah: "Sayalah yang bemama Muhammad."
"Hem," Badui itu mendengus lebih kurang ajar. Dan Nabi
tersenyum lebih ramah, sementara amarah para sahabat lebih
membeludak. "Engkaukah yang mengajari manusia agar mempersaksikan
tidak ada Tuhan kecuali Allah dan engkau adalah UtusanNya?" tanya Badui itu seraya mencibirkan bibir.
"Betul, saya," sahut Nabi tetap sabar.
"Engkau juga yang menyuruh manusia untuk sembahyang
lima kali sehari?" tanya Badui itu makin kasar.
"Betul, saya," sahut sang Rasul makin sabar.
"Engkau pulakah yang menyuruh manusia supaya berpuasa
dalam bulan Ramadan?"
"Betul, saya." "Engkau juga yang menyuruh orang-orang kaya membayar
zakat bagi fakir-miskin?" tanya si Badui kian tajam.
"Betul, saya," jawab Nabi kian sopan. Kalau begitu aku akan
kembali kepada kaumku, dan menyuruh mereka supaya
beriman dan menjadi pengikutmu." Ucap si Badui sembari
mengeprak untanya dan melesat pergi tanpa pamit lagi.
Kesabaran sejenis itulah yang ditanamkan oleh para wali
kepada segenap santri mengingat kedatangan Islam adalah
untuk menyeberluaskan pesan-pesan perdamaian di antara
seluruh umat manusia sehingga, menurut Sunan Bonang, di
tengah-tengah Alquran presia, dalam surat Al Kahfi, terdapat
sebuah kalimat pendek, ?wal yatalatthof?, yang artinya berlaku
lembutlah. Kalimat itu merupakan inti Alquran, buktinya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
131 tetletak pada suatu tempat yang membagr Alquran menjadi
penggal pertama dan penggal kedua bila dihitung dari jumlah
ayat-ayatnya. Itulah yang sekarang disematkan Jaka di dadanya sebagai
pegangan perjuangannya. la tidak pernah membenci sesama
manusia karena berbeda agama. Dan ia tidak mau
mengangkat senjata karena alasan berbeda agama. Nabi,
menurut para wati, tidak pernah berperang hanya karena
masalah perbedaan agama. Nabi berjihad dengan senjata
untuk memerangi kelaliman yang mengancam nilai-nilai perikemanusiaan atau melindungi si lemah dari aniaya kaum
durjana. Nabi juga cuma bersedia mencanangkan seruan
perang untuk membela rakyat serta tanah air tercinta dari
kesewenang-wenangan musuh yang membahayakan pemerintahan demi tegaknya kedaulatan dan hukum yang
telah disepakati bersama.
Demikianlah pula yang dijadikan pedoman oleh Raden Patah
atas bimbingan senopatinya, Suna Kalijaga. Kalau ia berniat
memberangkatkan armada laut untuk memerangi kaum
peringgi, bukan lantaran mereka menganut agama yang
berbeda, melainkan semata-mata untuk memerangi kekafiran
mereka, yakni kafir harbi yang gerak upayanya mengancam
keutuhan bangsa dan integritas Nusantara yang suci ini.
Maka dengan pikiran semacam itu, Jaka Pratama lalu
membuka bibirnya untuk tersenyum tatkala ia menjawab tulus,
"Terima kasih atas keterangan Tuan"
Siauw Sian Gin, bahkan dengan lebih tulus menyahut, "Terima
kasih atas kepercayaan Tuan."
Namun mendadak Jaka terpana di tempatnya tanpa bisa
berbuat apa-apa, pada waktu tiba-tiba Siauw Sian Giap
mencahut pedang tipisnya dan dengan gerakan kilat
menusukkannya hingga menembus bagian belakang perutnya.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
132 Tatkala darah menyemhur dan Jaka berniat menolong, Siauw
Sian Giap, sembari tersenyum puas mencegah: "Jangan,
jangan tolong saya. Percuma," begitu ucapannya terpatahpatah sambil menyeringai menahan nyeri yang tamhah
memuncak. "Tapi .. tapi .. , mengapa Tuan melakukan itu? Untuk apa . . .
?" tanya Jaka malah lebih terpatah-patah dan lebih nyeri, di
relung hatinya. Biarkan saya menghadap Thian Yang Maha Agung secara
ksatria. Saya .. saya bahagia dapat berjasa bagi tuan
namun saya harus mempertanggung-jawabkan pengkhianatan
saya kepada kawan-kawan. sebagai bukti bahwa perbuatan
saya itu tidak untuk melindungi nyawa saya, sungguh,
semata-mata saya harus melakukannya, oleh panggilan hati
saya" Kemudian "hek!" terdengar lenguhan terakhir dan
orang cina itupun mati setelah meregang sebentar.
Jaka tertunduk dalam tegaknya. la memandangi mayat Siauw
Sian Giap tanpa berkedip. Namanya pun belum ia tahu. Yang
jelas, bagaimanapun membunuh diri sendiri adalah dosa besar
melebihi membunuh orang lain. Namun ia harus menghargai
keyakinan keyakinan orang Cina itu, yang dalam
pandangannya, tindakan tersebut adalah jalan keluar bagi sifat
keksatriaan. Ia wajib menghargainya dengan menguburkannya
secara terhormat. Atas dasar itulah Jaka segera mengangkat
jenazah yang masih hangat itu, memondongnya ke tengah
hutan yang berjajar memagari jalan tiga tapak yang sepi itu.
Sesudah selesai dengan menghabiskan waktu sekitar satu
jam, Jaka jadi kebingungan, tindakan apa yang harus
diamhilnya setelah is tahu bahwa rencana pertemuan nanti
malam telah tersadap oleh musuh. Tentu saja bukan dengan
membatalkan kepergiannya ke Desa Cuplak, dengan lari
terbirit-birit hanya karena musuh akan mengepung mereka.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
133 Lalu akan dikemanakan nasib para kawula Demak yang lain,
jika ia mencari selamat untuk sendiri dan membiarkan mereka
terperangkap ke dalam kebuasan musuh? Seolah minta
pertimbangan Karbala, Jaka menatap kuda itu dengan tajam.
Presis pada waktu Karbala tengah mendengus-denguskan
moncongnya ke arah pelana. Tiba-tiba Jaka teringat, sudah
waktunya mengisi perut, baik buatnya maupun buat Karbala.


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tiba-tiba pula perutnya menabuh gamelan, bahkan bunyi
kecrek seakan-akan berdebam-debam, bagaikan adegan
goro-goro tatkala Ki Dalang tengah memainkan perang
Bharata Yudha. "Engkau lapar, Karbala?" bisik Jaka. Kuda itu menganggukangguk, dan Jaka menjawab, "Kasihan. Aku juga sudah lapar."
Jaka kemudian melepas pelana Karbala serta kantung yang
tergantung di bawahnya, untuk membiarkan kudanya lebih
bebas merumput dan mencari air. Kawasan yang masih lebat
itu berada di daerah agak tinggi, kurang-lebih sekitar setengah
hari perjalanan sebelum tiba di Desa Cuplak. Udara melembut
dalam siliran angin sejuk yang mengalir pelan-pelan. Jaka
merenung, andaikata udara dalam dada manusia selembut
tiupan slam, andaikata siliran angin dalam dada manusia
sesejuk yang mengalir dalam kedamaian alam, betapa
indahnya kehidupan melata di kulit bumi.
Sayang sekali, mahluk yang bernama manusia tidak mau
menyatu dengan suasana alam tempat mereka berada di
dalamnya, sehingga sering alam pun menunjukkan
kemurkaannya dengan meletupkan bencana demi bencana.
Tangan-tangan kotor manusia sendirilah yang membuat bumi
bersimbah dengan darah, yang membuat langit menjadi merah
oleh angkara murka. Sebab, pada hakikatnya, apabila manusia banyak dilanda
kelaparan, justru kelaparan itu tidak berasal dari tuntutan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
134 badaniah, melainkan kelaparan yang berhulu dari
keserakahan jiwa. Sebab, pada hakikatnya, apabila manusia
seakan tidak tahu jalan, yang buta bukanlah mata, melainkan
hati yang bermukim di dada mereka.
Jaka melenguh kesal. Tidak oleh ubi bakar yang akan
dilahapnya karena telah berubah jadi lebih keras, namun oleh
hati manusia yang telah berubah menjadi lebih keras. Yang
membuatnya terus terlunta-lunta dalam ketegangan hampir
tanpa akhir. Bilakah saling pengertian terjalin sampai
ketenteraman hidup akan merupakan keseharian yang nikmat
dari rangkaian umur manusia yang singkat di muka bumi ini?
Pria muda itu nyaris tanpa rasa mengunyah makanan
bekalnya itu. Dan ketika ia merogoh kantung pelananya untuk mengambil
batang yang kedua dari ubi bakarnya, tangannya menyentuh
sebuah bungkusan kertas. Pikiran Jaka dengan sigap
mengambil kesimpulan, yakni mengurungkan makannya untuk
mencari tahu lebih dulu bungkusan apa itu. Jangan-jangan
racun yang dipasang oleh musuh.
Sebagai seorang pendekar ia harus waspada terhadap
sesuatu yang ditemuinya mendadak. Ia harus dengan cermat
mengetahui semua isi kantung, pelananya, agar tidak ada
yang kurang atau yang lebih. Kurang berarti ada yang
mengambil, dan lebih berarti ada yang menaruh. Dengan
maksud apa? Jaka membuka bungkusan tersebut. Ternyata hanva segulung
kertas yang berisi pesan-nesan. Dengan teliti Jaka membaca
seluruh isinya, lantas meremas-remas dan menyobeknya
sampai menjadi serpihan-serpihan kecil. Diam-diam ia memuji
kecerdasan dan kecergasan Putih Wewangi, putri lurah Janur
Kemukus yang centil itu. Ia yakin gadis mungil yang baru
berusia remaja itu kelak akan menjadi Srikandi apabila berada
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
135 dalam bimbingan seorang tokoh yang pandai dan bijaksana. Ia
bakal mampu memimpin kaumnya supaya tidak hanya
merupakan calon-calon janda dari Para suami yang tidak
bertanggung jawab, atau jadi permainan kaum lelaki yang
berkuasa. Jaka Pratama kemudian bangkit dan memasang
pelana, lalu memacu Karbala. Ia harus berada di Jepara
sebelum fajar pagi terbit kembali.
Di tangannya telah tergenggam kekuatan, di dadanya telah
tersemat kepercayaan, bahwa anak-anak muda yang kelak
akan menggantikan kedudukan orang-orang tua, ternyata
sudah siap mengambil alih tugas-tugas itu dari mereka. Ia
telah melihat beberana di antaranya, Pandu Nayarana, Akas
Lelaras, putra lurah Desa Ambarsari, dan Putih Wewangi.
Berarti perjuangan dan pengorbanannya selama ini bagi
kejayaan Merah Putih Majapahit melalui pengabdiannya
terhadap Sultan Demak tidak nanti sia-sia dan tidak pula tanpa
kelanjutan. Itu pula yang tengah direnungkan oleh Kiai Dolah Pekih, pada
saat menginjakkan kakinya di sempadan bandar Jepara.
Tertatih-tatih ia berjalan sendirian, sesuai dengan senario
yang telah direncanakan. Namun alharndulillah, tanpa
perasaan yang tertatih-tatih ia yakin bahwa masa depan
Pertiwi Nusantara tidak akan terbengkalai di tangan kaum
pemuda. Ia sangat tertarik kepada Putih Wewangi, dan bermaksud
melamarnya untuk menjadi menantu. Rasanya, putra
sulungnya, cocok sekali dengan gadis tersebut. Apalagi
Kembar Ula memang sudah matang untuk mempunyai istri.
Sedangkan ia sendiri sudah lama pantas menimang cucu.
Tapi apakah mereka mau? Selaku seorang ayah, Kiai Dolah Pekih adalah ayah. Ia
mengetahui apa yang tersimpan di hati anaknya tiap kali
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
136 Kembar Ula menatap tajam ke arah Putih Wewangi dengan
pandangan yang berubah-ubah. Ia mempunyai firasat bahwa
anak sulungnya itu tidak sekadar memandang kagum,
melainkan juga menyimpan harapan. Lirikannya begitu penuh
gairah, dan selalu kemalu-maluan apabila kepergok oleh
kerlingan si gadis. Artinya, dari pihak Kembar Ula keinginan
Kiai Dolah Pekih telah ditanggapi baik, sebelum ia
mengungkapkan mat sucinya tersebut. Namun bagaimana
pendapat gadis itu sendiri?
Putih Wewangi terlalu terbuka sikapnya sehingga susah
ditebak. la hanya bisa dibaca, dan tidak dapat ditafsirkan. la
seperti cerita bergambar, dan tidak menyimpan rahasia seperti
kidung karangan para wali, yang sarat dengan ibarat dan
perumpamaan. Atau semacam tembang Pangkur yang tengah
dilagukan oleh Putih Wewangi tatkala akhirnya mereka tiba
dan berkumpul di rumah Mbah Buyut, nenek si gadis, di
tengah bandar Jepara yang sibuk, pada tengah malam yang
senyap. Ternyata suara gadis itu sangat merdu, sampai
Kembar Ula, yang mendengarkannya di luar kamar si gadis,
terpukau presis monyet kehilang-an anaknya. Kemudian
Kembar Ula menjadi kian terbengong ketika seharusnya ia
tertawa geli manakala dengan jenakanya gadis centil yang
menawan itu menyanyikan dolanan rekaan Sunan Kalijaga.
Sluku-sluku bathok Bathoke ela-elo Si Romo menyang Solo Leh-olehe payung motha Tak jenthit lolo lomah Wong mati ora obah Nek obah edeni bocah Semua bagaikan tersihir selama mendengarkan suara lembut
itu. Tidak cuma karena yang menembangkannya seorang
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
137 gadis remaja cantik dengan suara amat renyah, tetapi
terutama lantaran di dalam dolanan yang sederhana itu terkandung peringatan dan nasihat berharga ten-tang hakikat
kehidupan di slam maya yang fana ini.
Dolanan itu berisi filsafat yang dalam, yang surasannya sangat
menyentuh hati nurani terdalam.
"Hai, manusia, hidup ini sekadar seperti permainan yang
remeh, terbuat dari tempurung kelapa. Tempurung itu
bergerak oleng tidak menentu. Mengembaralah Ayah hingga
ke tempat yang jauh, dari Demak ke Solo, namun pulangnya
hanya membawa hadiah berupa payung pengantar jenazah.
Hidup sesungguhnya bagaikan perrnainan ciluk-ba, sebentar
nampak tetapi sebentar lagi bakal lenyap tanpa bekas. Karena
itu berbuat jasalah, dan jangan angkuh, sebab orang, kalau
sudah mati, tidak akan bergerak. Andaikata bergerak pun,
hanya akan membuat anak-anak kecil mati ketakutan."
Pandu Nayarana yang menikmati dengan cermat suara dan isi
dolanan itu, serasa diingatkan tentang perjalanan hidupnya
yang sengsara semenjak kanak-kanak. Ia dilahirkan dari rahim
seorang ibu dengan bibit mulia dari ayahnya, Pandu
Dewabrata. Akibat pergolakan kehidupan, ia tidak sempat
menikmati masa kecil dalam asuhan dan kasih sayang orang
tuanya. Ayahnya yang konon ksatria sejati, telah gugur pada
waktu ia membutuhkan gemblengan dan bimbingan sepasang
tangan jantan yang berjiwa pahlawan, dari mata keras milik
sebuah hati yang pasti dipenuhi keprihatinan kepadanya.
Pandu mencoba menghilangkan kerut duka nya, namun air
mata yang ditatahan tidak sanggup melenyapkan kesedihan
yang menundukkan kepalanya. la memandangi tanah di
bawah kakinya, tanah dari mana manusia berasal dan ke
mana manusia akan kemhali. Tanah yang telah melebur jasad
ibu-bapaknya menjadi kenangan panjang di dalam jiwanya.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
138 Pandu tersedu-sedu walaupun isaknya tidak terdengar orang
lain. Sementara itu Kiai Dolah Pekih mempunyai kesan yang amat
jauh sepanjang Putih Wewangi melantunkan dolanan itu di
dalam biliknya. Kakek yang bijak dan ikhlas itu terbawa
kepada bunyi firman Tuhan dalam Alquran, tentang hakikat
dan makna kehidupan. "Apalah arti hidup ini, kecuali sekadar kesenangan
fatamorgana yang menyesatkan? Karena itu janganlah engkau
terlalaikan oleh kehidupan dunia, dan jangan Pula engkau
mau disesatkan oleh penipu-penipu yang membawa-bawa
nama Allah." Kiai Dolah Pekih makin tepekur di tikar sembahyangnya
tatkala is membaca pada ayat yang lain, peringatan dari Allah
Azza wa Jalla: "Berikan perumpamaan kepada manusia,
bahwa kehidupan di dunia ini bagaikan air yang ter-curah dari
langit. Air itu masuk ke dalam tanah, lalu diisap oleh akar
tanam-tanaman. Menghijaulah dedaunan, bermekaran bungabunga. Nanti yang hijau akan layu, yang kembang akan
kering, gugur diterbangkan angin. Sungguh Allah mahakuasa
atas segala sesuatu."
8 MISTERI MBAH BUYUT Tiba-tiba Kiai Dolah Pekih terkejut melihat Pandu berdiri
mendadak berbarengan dengan terkuaknya pintu kamar dan
berhentinya kidung dolanan yang tengah disenandungkan oleh
Putih Wewangi. Di ambang pintu, gadis tersebut terpaku kaget
ketika matanya bertatapan dengan pandangan sendu Pandu
Nayarana. Sekonyong-konyong ia menaruh rasa iba kepada
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
139 pemuda remaja tersebut, tanpa mengetahui untuk apa.
Sampai ia lupa bahwa keterkejutannya yang membuat ia
keluar dari kamar, adalah lantaran ia mendengar beberapa
pasang kaki melangkah tergesa-gesa menuju ke rumah Mbah
Buyutnya. Demikian pula Pandu. Ia berdiri serentak adalah
karena mencurigai bunyi telapak kaki menjejak tanah dengan
terburu-buru. Namun pada saat matanya berbenturan dengan
sepasang bintang kejora yang bening itu, ia lupa akan
kecemasannya. Ia hanya melihat keindahan yang
melenyapkan semua ketakutannya, keindahan yang jujur pada
wajah yang polos itu, wajah Putih Wewangi.
Begitu juga Kiai Dolah Pekih. Kakek itu pun terperanjat. Tidak
oleh suara-suara beberapa pasang kaki yang didengarnya
pula, melainkan oleh Pandang-memandang antara kedua
remaja tersebut, yang nampaknya menyimpan kekuatan saling
memikat satu sama lain. Kiai Dolall Pekih mengepuskan napas, sambil hatinya
membatin: jangan-jangan mereka telah menjalin hubungan
rahasia? Tidak, tidak dengan maksud buruk andaikata ia akan
menghalang-halangi hubungan itu. Kalaupun ia kelak
berusaha memisahkan mereka adalah demi kepentingan
anaknya, demi kepentingan keturunannya, dan demi
kepentingan perjuangan. Putih Wewangi harus menjadi
menantunya, harus menjadi pendamping anaknya, Kembar
Ula. Apa pun yang musti dilakukannya.
"Astaghfirullah, mengapa aku melantur begini?" gumam Kiai
Dolah Pekih menyadari keburukannya. Maka cepat-cepat ia
menyapa Pandu Nayarana, lantas berkata kepada Pandu
serta kepada Putih Wewangi: "Tidak usah cemas, Ngger
Pandu dan Genduk Putih. Mereka bukan orang lain. Mereka
orang-orang kita sendiri."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
140 "Siapa mereka, Kiai?" tanya si gadis sambil matanya sekalisekali masih tertuju ke arah Pandu. Kiai melihat hal itu, namun
ia hanya menghela napas: "Masak engkau tidak dapat
menebak?" "Seperti ada tiga orang, Kiai, apa betul?" tanya Pandu
mengira-ngira. "Huh! Orang bodoh juga tahu, mereka terdiri dari tiga orang,"
potong Putih, menampilkan kembali watak aslinya yang suka
usil. Kali ini Pandu cuma mengganda tersenyum, sementara
Kiai mengharap agar peristiwa kecil itu merupakan permulaan
dari perpisahan mereka, tidak untuk kejelekan, melainkan
supaya Putih Wewangi menjadi akrab dengan Kembar Ula.
Sayang, Pandu tidak berbuat seperti yang sudah-sudah,
menanggapinya dengan hati panas yang sama. Bahkan anak
muda yang berwajah setampan Arjuna itu menjawab ramah:
"Oh, jadi Rayi Putihpun mempunyai pendapat yang sama,
bahwa mereka terdiri dari tiga orang?"
"Tentu, sebab aku punya otak," sahut Putih belum surut tabiat
aserannya. "Kalau begitu kita ada jodoh," ucap Pandu berseloroh.


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih Wewangi memerah wajahnya. Jantung-nya berdegup
lebih kencang. Ia merasakan getaran nikmat, tetapi segera
tertutup kembali oleh kecentilannya yang lugu: "Iiiih, dasar tak
tahu di untung. Tuan Putri-mu tidak marah saja engkau sudah
untung. Jodoh? Enak amat. Umur belum setahun jagung, jasa
belum ada buat negara, sudah membayang-bayangkan soalsoal perjodohan. Mata Keranjang!"
"Lho, lho, kok marah. Maksud saya jodoh dalam perjuangan.
Jangan mengharap berlebih-lebihan, ah," bantah Pandu agak
penasaran. Putih Wewangi tiba-tiba seperti tersengat lebah.
Mulutnya terkatup seketika dengan mata yang berkedip-kedip
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
141 untuk menahan air matanya agar tidak turun. Ia sungguh
tersinggung oleh ucapan Pandu itu, karena memang nyatanya begitu, dan Pandu telah menusuknya langsung tepat di
terasnya. Pemuda itu jadi tidak mengerti. Ia hanya bermaksud
menggoda, tapi kenapa Putih nampaknya sangat berubah.
Apakah ia marah? Kiai Dolah Pekih hanya diam memperhatikan kedua anak
muda tersebut, yang sejak pertemuan mereka pertama kali
sudah sering bergaduh dan bersilang kata. Untung Akas
Lelaras sekonyong-konyong masuk diikuti oleh Atma Sanjaya
dan Praja Karana, yang kebetulan usia mereka tidak jauh
berbeda. Tentu saja bukan ketiga ksatria muda itu yang menimbulkan
jejak-jejak kaki di luar tadi. Sebab mereka berdatangan dari
arah yang lain, setelah melakukan perondaan seperlunya.
Tapi anehnya, begitu mereka berada di dalam rumah,
langkah-langkah yang mencurigakan tadi lalu menghilang
pula. Malam yang menjelang larut itu bagaikan tidak
menyembunyikan apa-apa selain angin sepoi dan udara yang
menggigit. Seolah di luar telah terbentang suasana damai
abadi, tanpa permusuhan dan pecah-belah.
Kiai Dolah Pekih segera berbisik, "Ssst, dengarkan baik-baik.
Sebentar lagi akan ada peristiwa menarik."
"Teristiwa apa, Kiai? Ke mana tiga orang pendatang yang
menurut Kiai bukan orang lain itu? Mengapa bunyi tapak-tapak
kaki mereka mendadak lenyap?" tanya Putih tidak sabar
hingga lupa terhadap sakit hatinya kepada ucapan Pandu
barusan. Kiai Dolah Pekih membiarkan pertanyaan Putih tidak
berjawab. Ia malah memanggil ketiga putranya. Kembar
Sugra, Kembar Wusta, dan Kembar Ula. Kiai lantas berbisik
dengan suara pelan kepada mereka : "Ingat, hati-hati!"
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
142 Ketiga anak muda itu pun segera keluar dari rumah melalui
pintu belakang. Sesudah tidak terdengar lagi dengusan napas
mereka, Kiai ben kata kepada Atma Sanjaya, yang usianya
paling tua di antara Praja Karana dan Akas Lelaras.
"Apa yang kautemukan pada waktu meronda barusan?"
Akas Lelaras memandangi Atma Sanjaya, apakah jawabannya
akan sama dengannya seandainya pertanyaan itu ditujukan
kepadanya. Ternyata sama. Sebab Atma Sanjaya menjawab:
"Saya menjumpai seorang anak kecil berumur kira-kira lima
tahun, sendirian di tengah kebun kurang lebih lima belas depa
dari rumah ini. Waktu saya dekati, anak itu berlari
menghindar." "Apa yang kamu lakukan?" tanya Kiai.
"Karena dia anak kecil, jadi saya biarkan, meskipun hati saya
merasa bersalah lantaran tidak mengejar dan membantunya."
Kiai Dolah Pekih mengerutkan kening. "Hem," gumamnya.
"Sebagai petugas ronda, seharusnya engkau melacak dan
mencari tahu, siapa anak kecil itu. Mengapa malam-malam
berada di dalam kebun tidak terlalu jauh dari rumah
Mungkinkah ia hanya sendirian? Padahal umurnya baru lima
tahun?" "Kami memang bersalah, Kiai," potong Praja Karam, yang
agaknya juga mengalami peristiwa yang tidak berbeda. "Tapi .
. . , pada waktu kami hendak menguntitnya, kami mencurigai
suara-suara lain yang lebih membuat kami cemas karena
bersumber di bagian belakang rumah ini."
"Kalian memang mempunyai peruntungan yang baik," sahut
Kiai. "Kalau kauikuti anak kecil itu, engkau pasti pulang tinggal
nama, Praja." Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
143 "Jadi, tindakan kami itu benar?" tanya Akas Lelaras seraya.
membetulkan leher bajunya karena tiba-tiba badannya
menjadi dingin, terbawa oleh suara dingin Kiai pada waktu
men-ceritakan bahaya yang mengancam mereka.
"Tidak," sahut Kiai.
"Hah?" ketiga anak muda tersebut sama-sama terbeliak
bingung. "Sebab kalian memang sengaja dipancing untuk kembali ke
rumah atau untuk mengikuti anak kecil itu," sahut Kiai masih
belum membuat mereka mengerti masalahnya.
"Jika kalian mengejar anak kecil itu, kalian pasti binasa.
Mereka sudah menyiapkan jebakan yang arnpuh. Tetapi,
karena kalian kembali ke rumah ini, maka ada kawan kita yang
hampir celaka." "Oh, kami tidak tahu, Kiai," ucap Atma Sanjaya menyesal.
"Andaikata kami mengerti persoalannya, lebih baik kami
bertiga yang lebur jadi abu."
"Kalau begitu, izinkanlah kami membayar hutang sekarang,"
ujar Akas Lelaras sembari bersiap hendak segera keluar. Kiai
mencegah: "Cukup. Kalian lebih baik berjaga-jaga di sini. Kita tunggu saja
berita yang akan dibawa oleh ketiga anakku. Dari kabar itu
nasib kita bakal ditentukan: berhasil atau gagal," gumam Kiai
dengan wajah menjadi mendung.
"Ada apa sebenarnya, Kiai," tanya putih Wewangi memotong
kebisuan Kiai Dolah Pekih yang roman mukanya masih
berkabut. Ia sangat penasaran dan hampir berjingkrak-jingkrak
dengan hanya menjadi pendengar yang tidak paham sejak
beberapa lama tadi. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
144 "Putih, engkau ingin berjasa?" tanya Kiai kembali, tidak
langsung menjawab. "Maksud Mbah Kiai?" Putih pun bersikap seperti itu, tidak
menyahut, malah bertanya.
"Kalau engkau ingin berjasa, diamlah, jangan banyak bertanya
dulu," sahut Kiai, masih dengan nada beku.
"Saat ini, tutup mulut lebih baik daripada selalu memamerkan
gigimu." Sebetulnya Putih tidak tersinggung oleh ucapan Kiai yang
agak tajam itu, mengingat hubungannya yang sangat dekat
dengan Kiai selaku putri sahabat karibnya. Namun tak urung ia
murka bukan kepalang ketika Pandu memperhatikannya
sambil menyungging senyum. Ia menyangka Pandu
mentertawakannya, mengejek kebodohannya. Karena itu Putih
membuang muka dengan dada bergolak oleh dendam.
Sebenarnya Pandu Nayarana tidak sejelek itu. Ia hanya
memandang Putih dengan maksud menyampaikan simpatinya. Ia ingin berada di tempat lebih akrab dalam hati
Putih Wewangi, agar di lingkungan sendiri tidak selalu terjadi
salah paham. Maka Pandu tidak tahu bahwa wajah asam itu
ditujukan kepadanya. Malah ia mengira Putih terlalu kurang
ajar terhadap Kiai Dolah Pekih sampai berani bersikap begitu
kepadanya. Kebetulan ketika ketegangan memuncak di ruangan itu, tidak
oleh gawatnya situasi di luar andaikata mereka tahu,
melainkan oleh per-tempuran tanpa suara antara dua remaja
yang sebenarnya mempunyai tabiat sama, serba panas dan
cepat tersinggung. Sebuah jeritan panjang 'terdengar
melengking di kejauhan. "Ada apa pula, Kiai?" tanya Akas Lelaras, kawan karib Putih
Wewangi yang kini mulai erat dengan rekan-rekan lainnya.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
145 "Ssst," hanya itu yang diucapkan oleh Kiai Dolah Pekih.
Betapapun disembunyikan, kelihatannya Kiai menyimpan
ketegangan di wajahnya. Dan ini menular kepada semua yang
berada di ruangan itu. Mereka menjadi waswas menyaksikan
kecemasan yang terbayang pada kedua bola rata Kiai yang
meredup. Jeritan itu belum seluruhnya berhenti tatkala dan
arah yang berlawanan, mungkin pada jarak yang lebih dekat,
terdengar sebuah suara dalam nada tinggi.
"Jahanam!" suara itu mengutuk tajam. Jerit itu berubah
menjadi terbawa kesetanan yang kian hilang terbawa oleh
angin. Segenap yang berada di ruangan itu makin
kebingungan. Apalagi tidak berapa lama kemudian, hampir di
dekat pintu depan, kedapatan seseorang tengah menangis.
Dari suaranya, jelas yang menangis adalah seorang
perempuan separuh baya. "Tidak bersediakah Kiai
menghapus ketegangan kami dengan menceritakan, gerangan
apa yang sedang berlangsung di luar sana?" akhirnya Praja
Karana, anggota Santri Pitulas termuda itu, tidak sabar lagi
menahan rasa ingin tahunya.
"Kulup, bukankah engkau selalu digembleng dengan puasa
mutih, puasa petigeni dengan hanya berbuka tiga teguk air
waktu Maghrib? Bukankah engkau sering mengerjakan wirid
dan dzikir di tengah malam buta dalam curahan air teriun
yang deras dan dingin?" itulah sepotong jawaban Kiai.
"Jadi?" tanya Putih mendesak, mulai bangkit kembali sifat
asliriya yang senantiasa serba tidak puas.
"Jadi kalian harus bersabar sebentar lagi, sebab semua yang
telah kalian lakukan itu sebetulnya bukan untuk menempa
kesaktian, tetapi semata-mata melatih, dan menggali kekuatan
pribadi. Dengan kita memiliki keyakinan teguh, mempunyai
kepercayaan diri yang kokoh, memegangi pedoman hidup
yang pasti, kesaktian itu Bakal datang setiap kali dibutuhkan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
146 tanpa diundang. Itulah yang dikenal sebagai keramat atau
mukjizat di kalangan orang-orang mulia dan nabi-nabi," sahut
Kiai Dolah Pekih. "Kesabaran adalah sumber keselamatan,
jalan terbaik untuk selalu terhindar dari malapetaka. Tunggu
dulu, sampai ketiga putraku datang kembali," ucap Kiai
seterusnya. Meskipun demikian, kecemasan yang tadi menggelantung di
ruangan itu telah mulai men-cair bersama kabut tipis yang
makin tipis meng-hilang dari wajah Kiai Dolah Pekih. Suara
tangis perempuan tadi tambah mendekat. Lalu tiba-tiba pintu
depan terkuak sedikit, dan muncullah seorang anak kecil
telanjang bulat berusia lima tahun. Mukanya separuh hitam,
tidak oleh jelaga, rupanya daki tebal karena beberapa hari
tidak mandi yang rnenghiasi kebocahannya.
Budak laki-laki itu, dalam bayangan Putih Wewangi, tampak
bagaikan setan kecil yang sutra mencuri dan oleh orang-orang
kampung disebut tuyul. Gadis itu bahkan terpekik lirih seraya
menutupi matanya. "Hiiii," gumam si gadis ketakutan, lebih takut daripada
seandainya ia menginjak cecoro. Akas Lelaras tertawa. Kiai
tertawa. Semua ter-tawa. Hanya Pandu yang tidak berani
tertawa. Ia hanya tersenyum kecil. Takut kalau-kalau Putih
tersinggung dan nyapnyap kepadanya. Namun sebelum
sempat Putih marah-marah, anak kecil itu telah membuka
mulut dan bertanya iba : "Mana ayah saya? Mana romo?" Dan pada saat semua
terbengong, kecuali Kiai Dolah Pekih, Kembar Sugra, Kembar
Wusta, dan Kembar Ula pun masuk melalui pintu depan.
Disusul beberapa lama sesudah itu, dengan munculnya Harjo,
Harno, dan Hargo, yakni ketiga orang agen Demak yang
dikenal sebagai pedagang-pedagang bajigur, jagung bakar,
dan cendol. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
147 "Kenapa perempuan itu tidak kalian ajak masuk?" tanya Kiai
kepada anak tertuanya, Ula.
"Barangkali, jika Romo sendiri yang mengajak, ia baru
bersedia masuk," jawab yang ditanya. Kentara ia baru
mengalami peristiwa gawat, terlihat dari mukanya yang
sebentar-sebentar menarik urat dan napasnya yang masih
terengah-engah. "Semuanya selamat?" tanya Kiai.
"Alhamdulillah," jawab Kembar Ula.
"Bandit itu?" desak Kiai ingin tahu.
"Sayang sekali," ujar Ula menyesal.
"Maksudmu, ia melarikan diri?" tanya Kiai tambah ingin tahu.
"Tidak," sahut Ula.
"Jadi?" kembali Kiai bertanya waswas.
"Ia mengejar sesosok bayangan ramping yang melayang
dengan cepat." "Untung bagi kalian," sahut Kiai sanga lega.
Hingga di sini pembicaraan antara ayah dan 6anak itu sama
sekali tidak dipahami maksudnya oleh yang lain. Mereka
makin penasaran, tetapi Kiai Dolah Pekih belum juga
menjelaskan seluk-beluk peristiwa itu. Malah, dengan
langkahnya yang terseok-seok, Kiai lantas keluar dari rumah
untuk menghilang beberapa saat.
Pada waktu masuk lagi ia mengiringkan seorang perempuan
yang kedua matanya bengkak oleh tangis dan ratap duka.
"Saya menyesal Ndoro, saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya
ingin bertemu dengan laki-laki yang memberikan seorang anak
kecil kepada saya. Sungguh, saya cuma berkepentingan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
148

Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak menjumpai bapak si Thole, anak saya," ucap
perempuan yang agaknya pernah cantik itu mengiba-iba.
Di tengah ribut-ribut, Mbah Buyut keluar dari kamarnya. Ia
adalah seorang nenek berusia lanjut, namun kaki-kakinya
masih sanggup menjejak tanah dengan tegap.
Putih Wewangi, yang tiba-tiba melihat neneknya keluar dari
kamar, segera memapaknya dengan pertanyaan: "Mbah
Buyut, apakah perempuan itu bukan Mbok Lisoh?"
Nenek keriput itu menyahut, "Ya, dialah Mbok Lisoh yang
pernah mengasuhmu selama satu bulan pada waktu engkau
berumur sebelas tahun."
Putih tersentak. "Tujuh tahun yang lalu. Dan ketika itu Mbok
Lisoh cantik sekali." Dalam gumamnya Putih merenungi
dirinya sendiri. Berarti suatu saat kelak ia pun akan mengalami
nasib yang sama. Kecantikan hanya akan tinggal bekasnya
saja. Putih menghela napas panjang. "Ampun, Ndoro Putri,
saya tidak bermaksud jahat. Saya tidak tahu apa-apa," ratap
perempuan itu di kaki Mbak Buyut.
Nenek tua itu cuma melenguh tatkala mengucap: "Begitulah
selalu nasib perempuan yang menyerahkepada kodrat, yang
lemah dan tetap bodoh. Senantiasa menjadi korban dari
kepolosannya, oleh keserakahan laki-laki yang tidak
bertanggung jawab." Semua yang berada di situ makin
bingung, makin berpusar-pusar dalam teka-teki tanpa
jawaban. Mereka hanya menunggu kesediaan Kiai Dolah
Pekih ataupun Mbah Buyut untuk menjelaskan rangkaian
kejadian yang masih tersembunyi tersebut. "Apo boleh saya
terangkan sekarang?" tanya Kiai kepada perempuan tua yang
usianya sedikit lebih lanjut daripadanya itu.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
149 "Silakan. Rasanya untuk sementara tidak ada lagi bahaya
yang mengancam," sahut si nenek seraya duduk di kursi
goyang yang teronggok di sudut.
"Baiklah, anak-anak, kalian duduk baik-baik, dan dengarkan
keteranganku dengan saksama," ujar Kiai Dolah Pekih
memulai penjelasannya. Tentu saja tawaran ini disambut
gembira dan penuh perhatian oleh mereka, termasuk ketiga
putra Kiai sendiri. "Putih, tolong sediakan air teh manis untuk
si Thole, dan barangkali masih ada bubur blohok, kauambilkan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
150 satu piring. Kasihan, kelihatannya ia letih dan lapar," ucap
Mbah Buyut kepada Putih Wewangi ketika melihat anak kecil
itu menggelendot di pangkuan ibunya dengan lesu.
Untung agaknya ia sudah amat mengantuk sehingga lupa
menanyakan bapak-nya. "Dan jangan lupa, ambilkan kain
sarung, agar anak itu jangan kedinginan."
Seraya masuk ke dapur, Putih berpesan: "Paman Kiai,
ceritanya tahan dulu sampai saya datang," ujarnya menyimpan
kedongkolan hatinya, walaupun ia tidak berani memperlihatkannya terang-terangan. Mbah Buyut tahu
perubahan sikap itu, tetapi ia hanya tersenyum, sebab sudah
memahami sifat cucunya yang binal namun sebetulnya berjiwa
halus dan suka menolong orang.
Dan memang, Kiai Dolah Pekih tidak bermaksud mau
bercerita langsung. Ia menoleh kepada perempuan yang
bernama Lisoh itu, dan bertanya: "Ceritakan, bagaimana awal
mulanya hingga engkau terlibat dalam urusan ini?"
"Lisoh, katakan terus terang, jangan ada yang kausembunyikan kalau engkau masih setia kepadaku," ucap
Mbah Buyut dari kursinya.
Tatkala, sambil mengusap-usap kepala anak-nya dengan
kasih sayang, Lisoh hendak memulai kisahnya, Putih masuk
ke ruangan itu membawa yang diperintahkan neneknya.
Dengan suara gemetar Lisoh lantas bersiap menuturkan riwayat sedihnya:
"Baik, Ndoro Putri."
Namun Lisoh masih tetap diam sembari mengusap air
matanya. Sesudah semuanya nyaris tidak sabar, barulah
Lisoh membuka mulutnya lagi:
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
151 "Tujuh tahun saya menghamba di rumah ini, dan saya amat
bahagia bersama keluarga Ndoro Putri yang baik dan selalu
ramah. Enam tahun yang lalu saya diminta Ayah untuk pulang
ke kampung karena Ibu sakit keras. Di tengah perjalanan,
pada suatu tempat yang sepi, terjadilah malapetaka menimpa
saya. Seorang laki-laki jangkung dengan badan kurus bungkuk
mencegat dan membius saya dengan asap kuning yang
berbau wangi. Saya tidak mengenal siapa dia, tapi yang jelas,
sesudah itu saya merasakan ada perubahan di tubuh saya.
Ternyata saya hamil. Dan Thole inilah anak saya akibat
musibah itu. Saya diusir orang kampung sampai saya terluntalunta tanpa tujuan. Untunglah ada seorang perempuan cantik
yang baik hati mau memelihara saya sebagai pembantu di
rumahnya yang terpencil dan jarang dihuninya. Perempuan itu
bernama Dewi Sekar Dadu, putri sulung raja Blambangan."
Mereka yang mendengarkan kisah itu menggeretakkan gigi
karena dihinggapi perasaan yang sama, marah. "Saya sudah
mulai melupakan aib itu karena Thole lebih membutuhkan
perhatian saya, dan waktu saya habis untuk dia tanpa ada
kesempatan buat berduka."
Putih Wewangi sudah mau melompat saja, ingin menerkam
laki-laki yang berhati binatang itu.
"Kemudian . . . ?" ia mendesak tidak sabar.
"Beberapa saat yang lalu, ada yang datang menemui saya,
pada waktu saya mencari Thole yang sejak dua hari lepas
keluar dari rumah dan tidak pulang-pulang. Ketika saya
sedang dirundung kesusahan yang tak tertahankan, orang itu
mengatakan bahwa anak saya diambil oleh bapaknya."
"Siapa bapaknya?" kembali Putih yang cerewet bertanyatanya.
"Nduk, cucuku," tegur Mbah Buyut. "Biarkan dia bercerita."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
152 "Habis, saya geregetan. Akan kukunyah laki-laki itu," umpat
Putih membuat semua orang tersenyum mengkal. Kecuali
Pandu yang terpaksa membuang muka, menyembunyikan
tertawanya. "Saya diberi tahu bahwa bapaknya bernama
Pamungkas," ucap perempuan itu pelan-pelan.
Wong Semua yang mendengar nama itu terbeliak. Gigi-gigi makin
menggeretak, selain Kiai Dolah Pekih dan Mbah Buyut yang
kelihatannya dapat mengawal emosi mereka.
"Ia ... ?" tanya Putih lagi tambah penasaran.
"Saya dijanjikan akan dapat memperoleh kembali anak saya
dan menemui bapaknya asal saya menunjukkan di mana
rumah Ndoro Putri," kata perempuan tersebut amat menyesal.
"Kalau saya tahu bahwa ini semua merupakan usaha jahat
terhadap para Ndoro sekalian, pasti saya tak kan menuruti
permintaan orang itu."
"Jadi, siapa dia?" lagi-lagi Putih tidak sabar bertanya. "Saya
tidak tahu. Nampaknya seperti orang dari negeri seberang."
"Dari Tiongkok?" desah Putih.
"Betul, matanya sipit, kepalanya memakai kuncir."
"Hem, Paman Kiai, berarti rencana kita ini Juga telah bocor ke
pihak musuh," geram si gadis yang merasa dialah
penanggung jawab rencana tersebut.
Kiai Dolah Pekih memotong ucapan Putih dengan menjawab:
"Belum tentu." "Tapi, mereka kan sudah menebak dengan tepat?" bantah si
centil. "Engkau ingin tahu penjelasanku?" kata Kiai balik bertanya.
"Bagaimana?" ucap Putih makin tidak sabar saja.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
153 "Akan kuceritakan, tapi ada satu syarat yang harus kaupatuhi.
Mau?" "Huh. Syarat apa?"
"Dengarkan baik-baik, dan jangan bertanya-tanya. Setuju?"
"Baiklah," sahut si cerewet terpaksa.
Maka akhirnya Kiai Dolah Pekih meluluskan permintaan
orang-orang itu dengan menjelaskan seluk-beluk kejadian
tersebut sejak permulaan. "Kita mula-mula mendengar
langkah beberapa orang yang mendatangi tempat ini, bukan?
Mereka adalah orang-orang kita sendiri, yaitu Hargo, Harno,
dan Harjo. Aku dapat memastikannya dengan memperhatikan
bunyi langkah-langkah mereka sebagaimana sudah pernah
kuberitahukan kepada kalian. Ketika kita sedang menunggununggu kedatangan mereka, tiba-tiba suara langkah mereka
lenyap sama sekali, bertepatan dengan munculnya Atma
Sanjaya, Akas Lelaras, dan Praja Karana. Coba, ceritakan
peristiwa yang telah kaualami, Harjo."
Harjo, yang agaknya masih terpengaruh oleh perjalanan
mendebarkan yang barusan dilaluinya, menjawab hati-hati :
"Ketika kami tengah tergesa-gesa melangkah, seorang
perempuan lari terbirit-birit diikuti oleh seorang Cina berkuncir
dengan perawakan gemuk pendek. Kami cepat-cepat
menyembunyi-kan diri."
"Apa pula yang kaulihat di kebun yang sepi tadi, Atma
Sanjaya?" tanya Kiai Dolah Pekih kepada anggota Santri
Pitulas yang telah bekerja keras selama beberapa minggu itu.
Atma Sanjaya berusaha mengumpulkan ingatannya kembali,
lantas berkata: "Seorang laki-laki jangkung dengan tubuh agak
membungkuk berkelebat menghilang bersamaan dengan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
154 munculnya seorang anak kecil yang melarikan diri dari kami
dengan ketakutan." Kiai Dolah Pekih kemudian menjelaskan secara terperinci:
"Dialah Wong Pamungkas yang membuat perempuan ini
memekik panjang, dan jeritannya kita dengar jelas. Ia
mencoba memancing Atma dan yang lain-lainnya agar
menguntit bocah itu, sebab di sebelah sana kebun beberapa
orang kosen telah menghadang untuk meringkus, sementara
Wong Pamungkas bermaksud menyatroni rumah ini." Kiai
diam beberapa saat. Kekosongan yang membuat Putih
Wewangi hampir melontarkan ketidaksabarannya dengan
hendak bertanya itu, tiba-tiba dipecahkan oleh Mbah Buyut:
"Wong Pamungkas tidak tahu bahwa kalian sedang berkumpul
di sini. Sebab yang dicarinya, bekerja sama dengan Cina itu,
adalah aku sen-diri, bukan orang lain. Ia ingin membinasakan,
setidak-tidaknya mencelakakan diriku, karena suatu peristiwa
yang terjadi lima tahun yang lalu."
"Peristiwa apa, Mbah Buyut?" tanya Putih keheranan.
Ternyata neneknya juga terlibat dengan urusan yang kini
melibatkan dirinya sendiri. Ia tidak pernah menduganya,
menandakan betapa rapinya Mbah Buyut menyembunyikan
identitas dan peranannya.
"Saat ini belum ada gunanya kuterangkan. Kelak akan
kujelaskan kepadamu, apabila saatnya tiba untuk
melampiaskan dendam keluarga kita. Sekarang lebih baik kita
biarkan Kiai Dolah Pekih melanjutkan keterangannya," sahut
Mbah Buyut dengan kilatan pandangan yang menyimpan
misteri duka. Kiai Dolah Pekih menatap iba beberapa saat ke arah Mbah
Buyut, tetapi yang dipandang hanya memejamkan mata di
kursinya. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
155 "Andaikata tidak ada pertolongan yang datang tanpa didugaduga, walaupun merupakan peristiwa yang wajar harus terjadi,
barangkali di antara kita ada yang jatuh sebagai korban," ucap
Kiai Dolah Pekih seraya mengepuskan napas tuanya
berulang-ulang. "Apa maksudnya, Paman Kiai?" tanya Putih.
"Ingat janjimu. Nduk?" sanggah Kiai Dolah Pekih.
Kemalu-maluan Putih mengangguk, disambut sesungging
senyum oleh Pandu Nayarana. Hal ini membuat Putih melotot
tajam kepada Pemuda tampan itu.
"Apa janjimu?" "Diam," jawab Putih pelan.
"Nah, diamlah. Biar aku saja yang bersuara," ucap Kiai
memperingatkan. Sesudah Putih menyudut di tempat duduknya, Kiai pun
meneruskan penuturannya, yang semua itu didapatnya melalui
kesaktian Aji Pangrungu serta pendalaman dan pendalaman
hidup yang panjang. "Rupanya Dewi Sekar Dadu, pada waktu mendapati
perempuan ini tidak berada di rumah bersama anaknya,
segera berangkat untuk menelusuri jejaknya ditemani murid
kesayangannya, Wulan Suminar."
Pandu Nayarana mengangkat kepalanya mendengar nama itu.
Juga yang lain-lain, sebab nama Wulan Suminar, cucu Mbah
Kiai Kanapi, tengah tersohor ke mana-mana karena kesaktian
serta kebaikannya. Malah ia memperoleh julukan kehormatan
dari masyarakat, Srikandi dari Desa Sirandu, walaupun yang
bersangkutan tidak suka terhadap julukan tersebut.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
156 "Mereka memergoki rencana busuk Wong Pamungkas dan
konco-konconya. Merekalah Yang mengocar-ngacirkan
musuh-musuh kita belum lama tadi. Itu pula sebabnya Wong
Pamungkas segera meninggalkan rumah ini buru-buru,


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya tidak berbentrok dengan kedua pendekar wanita itu. Ia
tidak mau mengambil risiko untung-untungan, meskipun jika
berhadap-hadapan aku yakin Wong Pamungkas dapat
mengatasi kelihaian mereka dalam pertarungan yang ganas
dan seru." "Lalu, apa yang harus kita kerjakan sekarang?" tanya Putih
memotong, lupa akan janjinya.
Namun kali ini Kiai Dolah Pekih membiarkannya saja, sebab ia
menganggap ceritanya sudah cukup dibentangkan hingga di
situ, buat sementara. "Kita menunggu kedatangan Jaka Pratama. Kuperkirakan
menjelang fajar, apabila benar-benar surat Putih dibacanya
dan dia mengikuti petunjuk itu, pasti ia akan tiba di tempat ini.
yang jelas, kita harus mencari kepastian, siapakah Cina
gemuk yang berkuncir itu, untuk memperoleh bukti-bukti, dari
pihak mana di bandar Jepara ini tangan-tangan kotor
berusaha menghancurkan upaya Kerajaan Demak dalam
rencananya hendak membinasakan armada Peringgi." Kiai
Dolah Pekih menggeram tatkala menutup ucapannya tersebut,
melampiaskan rasa pepat di dadanya tiap kali teringat akan
kekejaman bangsa Peringgi di Malaka terhadap orang-orang
Melayu sebagaimana didengarnya dari sebagian di antara
mereka yang berhasil lolos dan di-tolong oleh kapal-kapal
niaga Demak di tengah lautan ganas.
Meskipun begitu, masih ada juga pengkhianat yang rela
menjual kehormatan bangsa kepada musuh-musuh kafir itu,
hanya untuk memperoleh balasan upah yang tidak seberapa.
Mereka tidak punya malu untuk bekerja sama dengan orangBuku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
157 orang asing yang kedatangannya di Tanah Jawa memang
hanya bertujuan mengeruk keuntungan sehanyak-banyaknya,
tanpa mempedulikan betapa kotor-nya pun usaha yang
mereka jalankan. Barangkali orang-orang asing pantas berbuat demikian karena
mereka tidak memiliki harga diri dan nilai-nilai budi pekerti.
Namun, sebagai orang Jawa, yang dilahirkan dari rahim
seorang ibu dan ayah Jawa, yang menjadi besar dalam
lindungan adat-istiadat dan keramahan kehidup-an Jawa, dan
jika mati kelak pun akan dikubur di bumi Jawa dengan doa dan
mantra-mantra Jawa, sungguh tidak ketemu nalar jika ada
yang menyerahkan dengan rela kehormatan bangsanya
kepada belas-kasihan orang-orang asing yang bagaikan
benalu itu. Itulah yang sering kali membuat Kiai Dolah Pekih ingin
menjauhkan diri dari pahit getirnya perjuangan. Bukan takut
mati. Tidak. Manusia, betapapun juga, toh pasti akan mati.
Melainkan semacam rasa putus asa, apakah ada gunanya
sepak terjang yang dilakukannya, kalau orang lain malah
seakan-akan cuma meraih keuntungan dari situasi yang runcing itu.
Sebaiknya, pada sebagian bangsa sendiri, seperti Wong
Pamungkas dan konco-konconya, kalau perlu keyakinan
mereka jual hanya untuk mendapatkan nama atau kedudukan
dan kekayaan yang pada hakikatnya cuma perhiasan maya
belaka. "Ah, Karbala, sebaiknya aku tidak terlalu memandang ke luar.
Kalau tidak, kita akan bertemu dengan tikungan buntu tanpa
berbuat sesuatu. Untung, Karbala, aku telah menyematkan
ikrar, bahwa bakti dan ibadatku, hidup dan matiku, hanyalah
untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam," demikian bisik Jaka
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
158 kepada kudanya tiap kali hampir terpeleset oleh kegalauan
hatinya. Ia tidak peduli apakah Karbala paham atau tidak. Yang penting
ia telah mengeluarkan segala kandungan kebimbangannya.
Tadinya ia ragu-ragu, ke mana seharusnya pergi: langsung ke
Jepara atau ke Cuplak? Namun, setelah dipertimbangkannya
masak-masak, musuh pasti akan mengetahui bahwa rencana
mereka sudah terbongkar jika Desa Cuplak ditinggalkan sama
sekali. Ia memperhitungkan, andaikata di Cuplak mesti
bertempur, dengan mengandalkan nasib baik ia masih akan
dapat tiba di bandar Jepara sebelum fajar. Di atas itu, ia
sangat mengkhawatirkan keadaan Mbah Bungkuk yang
tentunya bakal menjadi sasaran orang-orang yang
menghendaki kematiannya. 9 SIAPAKAH MBAH BUYUT? Apabila Kiai Dolah Pekih mempunyai perasaan sepedih itu,
adakah mustahil perasaan yang sama juga menghinggapi
para pejuang lainnya yang jujur? Jaka Pratama ternyata juga
tengah terjerumus ke dalam pikiran seperti itu. Di punggung
kudanya, tatkala ia sedang menempuh perjalanan menuju
Desa Cuplak yang jaraknya tinggal beberapa kilo lagi,
ingatannya tidak dapat dihindarkan dari merenungkan nasib
pendekar Cina yang berjiwa ksatria itu.
Sebagai musuh ia seorang lawan yang gagah berani. Ia mau
mengakui keburukannya setelah barangkali sekujur umurnya
dipenuhi dengan keburukan-keburukan. Ia datang dari negara
antah-berantah karena jauhnya, ke sebuah negeri yang asing
baginya. Ia pasti meluruk ke tanah Jawa untuk mencari nama
dan harta. Namun ia masih tetap memiliki harga diri dan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
159 kehormatan. Ia rela menghabisi nyawanya sendiri untuk
sesuatu yang dianggap-nya sebagai prinsip hidup, sebagai
keyakinan. Dalam peperangan batin yang akhirnya dimenangkan oleh
keyakinan akan kewajibannya meneruskan perjuangan, apa
pun yang harus dihadapi, Jaka dengan kudanya mulai
mendekati desa yang dituju.
Sang surya telah menyerahkan diri kepada ketetapan garis
edarnya. Sinarnya makin redup ketika bulan dalam lintas
putarnya mengelilingi bumi, sudah melewati bagian cakrawala
lainnya, membuat benda-benda di bumi kehilangan bayangbayang. Cuplak terbenam oleh warna hitam, yang kemudian
muncul menjadi remang-remang.
Jaka Pratama tidak memasuki desa itu, melainkan mengitar ke
sebelah selatan agar, tanpa banyak diketahui orang, bisa
mencapai makam Sunan Sebolampar sebelum kegelapan Isya
menggulung lembayung Maghrib.
Jaka turun dari Karbala dan membiarkan kuda itu menunggu
di belakang sebatang pohon asam. Makam Sunan
Sebolampar yang bertutup kelambu dengan cungkup ijuk di
atasnya, berdiri kaku di sebelah gubuk milik juru kuncinya,
Mbah Bungkuk. Makam itu terletak di ujung desa, terpisah dari rumah-rumah
penduduk oleh sebuah hutan, sungai dangkal, dan sawah lima
belas petak. Tidak ada makam lain di sekitar itu. Suasana
amat sepi, mencengkeram gerak kehidupan men-jadi ilusi
yang mengerikan. Seolah-olah Sunan Sebolampar tengah
menyampaikan wejangannya tentang dunia yang bakal sirna,
tentang alam yang bakal berubah menjadi awang-uwung
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
160 kembali, kosong. Tak kan ada apa-apa lagi. Yang ada hanya
tidak ada. Jaka menghela napas, presis ketika seseorang juga sedang
menghela napas. Orang itu mengendap-endap bersama
sejumlah anak buahnya yang berpakaian serba gelap.
Terdengar salah satu di antara mereka berkata: "Apa Siauw
Sian Giap telah tewas oleh bajingan itu?" suara itu agaknya
tidak sekadar bertanya, tetapi lebih banyak terdorong oleh
ketakutannya. Orang yang tadi menghela napas menjawab: "Engkau takut
bernasib seperti dia?"
"Ti-tidak. Cuma kabarnya, bersendirian saja dia dapat
menghadapi sepuluh musuh tangguh. Apalagi menurut berita,
di gubuk itu sedang berkumpul delapan atau sembilan orang
dengan dia. Apa kita punya harapan?"
"Tidak, kalau engkau terus menggigil ketakutan." Lalu diam
agak beberapa lama. Mereka terus mengendap-endap. Dan
tiba-tiba suara gemetar tadi bertanya lagi: "Jam berapa
pemimpin kita datang dengan membawa balabantuan?"
"Ssst, bangsat itu sudah masuk ke dalam. Huh, kumpulkan
kejantananmu. Senapati Wong Pamungkas pasti datang pada
waktunya," jawab Yang ditanya. Tapi, apakah betul Wong
Pamungkas akan datang pada waktunya?
Yang jelas, ketika gerombolan orang-orang seram itu sedang
mengepung gubuk Mbah Bungkuk, Dewi Sekar Dadu telah
mendapatkan jejak ke arah mana Mbok Lisoh yang sedang
dicarinya tengah terbirit-birit menelusuri anak dan laki-laki
yang jadi bapaknya. Ia memperoleh berita itu dari Wulan
Suminar. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
161 Gadis itu berhasil menyadap pembicaraan beberapa orang kuli
pelabuhan yang sedang meminta upah kepada mandor Cina
bertubuh gemuk dengan kuncir di kepalanya. Maka tanpa
menunggu lebih lama dari beberapa kejap, perempuan ningrat
berusia pertengahan yang masih tetap cantik itu buru-buru
melangkahkan kaki ke tempat yang dituju bersama murid
kesayangannya, Wulan Suminar. Tiba di sana, Dewi Sekar
Dadu menangkap sesosok bayangan yang mencurigakan.
Gerakannya sangat gesit tatkala bayangan itu seperti sedang
merayap di genting. Sesudah jelas dari sikap dan tandatandanya, bahwa sosok itu adalah Wong Pamungkas, Wulan
Suminar memekik, "Jahanam!"
Gadis yang kini telah pulih kecantikannya tersebut amat
mendendam kepada bajingan yang pernah menculik dan
menyekapnya itu. Ia ingin menghirup darahnya. Namun, pada
waktu mereka berdua mengejarnya, Wong Pamungkas
bukannya datang memapak, malah melarikan diri dengan
mengganda suara tertawanya yang melengking dan menusuk
perasaan. Kedua perempuan itu mengejar. Akan tetapi mereka
sekonyong-konyong dihadang oleh enam orang pesilat
tangguh, anak buah Wong Pamungkas.
Orang-orang itu tadinya bertugas membinasakan siapa pun
yang terjebak mengikuti seorang anak kecil berusia lima tahun
yang belum lama sebelumnya dilontarkan begitu saja oleh
Wong Pamungkas seperti melemparkan kedondong busuk.
Meskipun kedua Srikandi tua dan muda tersebut tidak sampai
terdesak di bawah angin, namun untuk menghadapi enam
orang petarung andalan, telah menghabiskan waktu mereka
lebih dari setengah jam. Dan dalam tempo sepanjang itu,
rasanya mustahil akan dapat melacak perjalanan Wong
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
162 Pamungkas, apalagi menyusulnya. Tapi mereka tidak putus
asa. Sesudah keenam orang musuh mereka tertundukkan dengan
men-derita luka-luka cukup parah, mereka segera ber-gegas
mengejar Wong Pamungkas. Dalam perjalanan Dewi Sekar
Dadu berpesan: "Ingat, Nduk. Kita tidak menginginkan Wong
Pamungkas sebagai mayat. Sebab, kalau sudah mati, ia tak
kan ada gunanya buat anak itu dan ibunya. Kita hanya akan
menuntut tanggung jawabnya selaku bapak."
Dengan wajah asam Wulan Suminar meng-angguk. Tidak
hanya tangannya saja yang mengepal, bahkan hatinya juga
menggumpal dengan rasa marah yang meluap.
"Tapi . , masih sempat berdalih. "Jangan kuatir. Kecuali jika ia
menolak tanggung jawabnya sebagai laki-laki dan bapak,
berarti tidak ada manfaatnya lagi ia terus hidup. Bahkan
kematiannya akan disyukuri oleh orang banyak," sahut Dewi
Sekar Dadu dengan bijaksana.
Ucapan ini menggugah kembali kecerahan wajah Wulan
Suminar meskipun malam terlalu gelap buat memberi
kesempatan munculnya bayang-bayang. Karena itu, tatkala
mereka sadaf bahwa perjalanan yang mereka tempuh mendekati sepertiga ke Desa Cuplak, kesadaran itu telah terlambat
untuk mengetahui betapa Wong Pamungkas tiba-tiba
melompat di hadapan mereka.
Dewi Sekar Dadu terkejut. Apalagi Wulan Suminar. Sebab
tahu-tahu Wong Pamungkas telah berdiri mengangkang
seraya berteriak: "Kalian berdua memang lonte-lonte keparat!
Tuanmu ini telah mengampuni kalian tadi dengan sama sekali
tidak mau menjatuhkan tangan, sebab aku punya urusan yang
tidak boleh diganggu. Namun rupanya kalian tidak bisa diberi
hati." Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
163 Wulan Suminar sudah begitu murka sampai siap-siap hendak
menerjang. Tetapi Dewi Sekar Dadu keburu mencegah lewat
isyarat, lalu berkata kepada musuh bebuyutan murid
kesayang-annya itu dengan nada menyindir: "Wong
Pamungkas! Apa engkau tidak punya ucapan yang lebih kasar
dari lonte keparat buat kami?"
"Hahaha . . . ," Wong Pamungkas tertawa melengking
walaupun tampaknya tidak ingin tertawa.
"Kami datang tidak untuk mengambil nyawa-mu, melainkan
untuk meminta pertanggung-jawabanmu. Kami mewakili Mbok
Lisoh dan anak yang dilahirkannya akibat kejalanganmu,"
sahut Sekar Dadu sesabar mungkin.
"Haha . . . ," lagi-lagi Wong Pamungkas hanya tertawa.
"Engkau manusia atau binatang? Apa engkau tidak punya
perasaan?" "Kalau aku tidak punya perasaan, bagaimana aku mau
membuntingi si Lisoh? Aku punya perasaan, maka aku
menginginkan dia pada waktu itu."
"Lalu mengapa engkau tidak mau bertanggung jawab?"
"Karena aku punya perasaan."
"Kurang ajar!" "Lho! Apanya yang kurang ajar? Aku meninggalkan Lisoh
karena aku punya perasaan. Yaitu perasaan bosan."
"Jahanam!" hardik Wulan Suminar. Ketika ia hendak
melancarkan serangan, Dewi Sekar Dadu kembali


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencegahnya. "Apa engkau tidak punya sedikit rasa kasithan? Tidak usah
kepada Lisoh. Kasihanilah anaknya, yang juga darah
dagingmu." Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
164 "Hahaha . . . ." menyemburat lagi tertawa Wong Pamungkas.
Kali ini terselip suara getir ketika ia menjawab: "Kasihan?
Apakah orang lain pernah memikirkan kata kasihan bagi si
kembar kecil yang bernama Gagak Rancang dan
Pamungkas?" Dewi Sekar Dadu tertegak membisu. Ia mematung di tempat
berdirinya. Diam. Sampai Wulan Suminar kebingungan melihat
perubahan sikap gurunya, yang tiba-tiba matanya seperti
kebasah-basahan. Pada masa remajanya Dewi pernah mendengar kisah tentang
salah satu punggawa ayahnya, bersama Barong Anggodo. Ia
mempunyai pelayan cantik dari desa. Perawan asli itu hamil.
Barong menuduh bahwa pelayannya telah berbuat serong
dengan sesama pelayan. Gadis itu diusir dari istana Barong,
dan digebah pula dari kampungnya. Dalam kesengsaraan di
luar batas itulah sepasang anak kembar dilahirkan. Mula-mula
yang diberi nama Pamungkas, menyusul kemudian si Gagak
Rancang. Menurut kebiasaan di tanah Jawa, yang lahir
belakangan itulah yang dianggap sebagai abang. Dengan
alasan ia membiarkan adiknya lahir duluan.
"Ibuku tanpa dosa telah diusir dari istana oleh laki-laki yang
menghamilinya, Barong Anggodo. Satu-satunya kesalahan
ibuku hanyalah bahwa ia orang melarat yang berparas cantik.
Suatu dosa besar bagi si miskin apabila berwajah elok. Sebab
akhirnya akan jadi santapan orang-orang terhormat atau jadi
pelacur jalanan. Untung yang seharusnya jadi ayahku itu mati
waktu aku masih berumur tujuh tahun. Kalau tidak, dengan
kedua tanganku sendiri akan ku-ajari laki-laki itu bagaimana
caranya menikmati kesakitan dan penderitaan.''
Sepanjang mengungkapkan kalimat-kalimat itu, tampak muka
Wong Pamungkas makin gelap dalam kegelapan malam.
Namun dari kedua rongga matanya menyorot api berwarna
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
165 biru sembari dadanya megap-megap oleh napas yang
tertahan-tahan. "Dan kau tahu, bukan, yang dilakukan oleh para bangsawan
dan orang-orang berada? Mereka menuding ibuku sebagai
penipu, pemfitnah, dan lonte murahan. Jadi, apa aku tidak
berhak menudingmu sebagai lonte keparat?"
Dewi Sekar Dadu berusaha mengekang dirinya, sementara
Wulan Suminar menggeretakkan gerahamnya. "Lalu,
mengapa engkau justru berbuat serupa itu kepada Lisoh yang
miskin dengan anaknya, yang juga anakmu, si Thole?" desak
Dewi Sekar Dadu, mencoba menusuk hati nurani Wong
Pamungkas, barangkali bajingan itu masih me-miliki sisasisanya.
"Karena aku sekarang sudah jadi orang besar dan terhormat.
Karena aku sekarang sudah punya istana dan kekayaan yang
melimpah," sahut yang ditanya gampang saja.
"Sungguh tunggang-balik cara berpikirmu," sahut Dewi Sekar
Dadu sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Seharusnya,
lantaran engkau pernah disengsarakan oleh bapakmu yang
orang besar, sehingga ibumu terlunta-lunta dalam
penderitaan, wajarlah jika engkau sekarang menolong orangorang miskin yang teraniaya. Tapi mengapa malah
kebalikannya? Engkau bahkan berbuat sewenang-wenang
atas mereka?" "Hahaha ," Wong Pamungkas tertawa gelak-gelak. "Dulu,
waktu aku masih melarat, masih belum punya kedudukan, aku
juga sering membantu mereka, supaya aku dapat nama.
Malah aku terpaksa menjilat-jilat kepada para bangsawan dan
kaum menak. Kini giliranku berada di atas. Aku tidak mau
menyia-nyiakannya." Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
166 "Hem, memang otakmu sudah harus dicuci dengan darahmu,"
gumam Dewi Sekar Dadu menggeram.
Begitu pula Wulan Suminar. Wajah-nya sudah menyala
dengan warna api, tidak lagi warna bunga mawar yang sedang
mekar. "Hahaha ," lagi-lagi Wong Pamungkas tertawa melengking.
Kini suaranya kian mengecil tetapi padat mengental,
menandakan tenaga yang keluar tidak menyebar percuma,
melainkan mengumpul, menjadi simpanan kekuatan dalam.
"Kaulihat bagaimana nasib manusia yang sok pahlawan, sok
suci?" tanya Wong Pamungkas, tidak kepada siapa-siapa,
namun lebih banyak untuk menunjang keyakinannya sendiri.
Pertanyaan yang tanpa pernah membutuhkan jawaban.
"Contohnya adalah abangku, Rakian Gagak Rancang. Ia
sudah punya nama, tapi konon ia menginginkan nama yang
harum, yang tak bercatat. Ia tidak memanfaatkan kesempatan
yang telah diperolehnya. Ia dibantai oleh tentara
Girindrawardhana sampai luka parah."
"Maaf, boleh aku bertanya?" sela Dewi Sekar Dadu.
"Silakan, sebelum engkau kehilangan kesempatan sebentar
lagi," sahut Wong Pamungkas sambil menyeringai sinis.
"Betulkah Rakian Gagak Rancang itu saudaramu?"
"Semua orang tahu, ia abang kandungku."
"Tapi, mengapa waktu itu engkau tidak menolongnya, bahkan
menganiayanya?" "Hahaha. . . , itulah kelebihanku, mempunyai perasaan yang
peka di atas orang lain. Andaikata tidak kuaniaya pun ia pasti
cacat. Lebih baik kusempurnakan sekalian supaya yang cacat
jangan hanya raganya, melainkan juga otaknya, sehingga ia
tidak bisa menyesali lagi atau bersedih terhadap
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
167 tapadaksanya. Dan dengan demikian aku pun memperoleh
keuntungan, dipercaya oleh golongan Girindrawardhana agar
aku dapat mencapai kedudukan tinggi untuk melampiaskan
dendam yang tidak dapat dilaksanakan oleh abangku.
Dendam itu ialah memanfaatkan kesempatan jadi orang besar
buat berlaku sewenang-wenang atas rakyat kecil,
sebagaimana kami alami dahulu semasa kecil. Jelas?"
"Oh, di zaman penduduk Tanah Jawa telah berbudaya tinggi
dengan agama-agama besar sudah membentuk mereka
menjadi manusia berkepribadian luhur, yang di dasar jiwa
mereka membenih karsa manunggal kepada Sang Murbeng
Dumadi melalui perbuatan-perbuatan kebajikan, yang
kesucian hati mereka bersumber dari hijaunya alam dan
makmurnya bumi Jawa Dwipa semenjak berabad-abad, masih
ada seorang macam engkau, Wong Pamungkas, yang tidak
merasakan dosa dalam segala tindak dosamu. Oh, Gusti
Ingkang Mahaagung, mugiya peparing eling dumateng sato
arupe menungso puniko saderengipun lebur dados bubur
timah ing ngarso Panjenengan," gumam Dewi Sekar Dadu
berisi doa kepada Yang Mahakuasa.
"Hahaha. . . ,'. Wong Pamungkas terpingkal-pingkal. "Terima
kasih atas segala doamu, supaya Tuhan memberi ingat
kepadamu sebelum disiksa jadi bubur timah? Hahaha. . . . Aku
akan membalas doa untukmu sebelum engkau menyusul para
penghuni kubur lainnya. Duh, Gusti Ingkang Mohosuci, mugiya
andadosaken priyan-tun putri ingkang sampun peyot punika
supados wangsul moblong-moblong ayunipun kangge sisihan
kulo mbenjang ingdalem Swargi. Hahaha
"Kanjeng Dewi, kekurangajarannya
Kanjeng Ibu akan diam saja?"
sudah biadab. Apa Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
168 Wulan Suminar dengan getaran suara bagaikan air pangs
hampir mendidih sudah tidak dapat lagi memperpanjang
kesabarannya. Dewi Sekar Dadu masih tetap tenang, walaupun dalam
doanya tadi sebetulnya Wong pamungkas hanya mengejek.
Murid mana tak kan marah jika gurunya dihina sebagai
perempuan tua yang sudah peot agar dikembalikan
kecantikannya untuk menjadi pendamping bagi bajingan itu
kelak di dalam surga? Namun terpaksa Wulan pun hanya
berdiri diam karena gurunya masih belum berbuat apa-apa.
"Hem, jangan salahkan aku kalau terpaksa kubuka pantangan
untuk tidak membunuh sesama manusia dalam bulan Suro."
Ucapan ini tercetus begitu saja di tengah kebisuan Dewi Sekar
Dadu dan muridnya, ketika Wong Pa-mungkas tengah
mengatur kuda-kuda melihat Dewi Sekar Dadu telah mulai
menghimpun tenaga dalamnya.
Wulan Suminar memandangi gurunya dengan heran, lalu
menatap ke arah Wong Pamungkas yang juga sama sekali
tidak membuka suara sejak beberapa saat tadi. Jadi siapa
yang mengeluarkan suara penuh wibawa itu? Dan siapa pula
yang dimaksudkan bakal dibunuhnya? Ajaib bukan main.
Suara itu bagaikan datang begitu saja dibawa angin lalu,
lantas menghilang begitu juga seperti ketika datang. Yang
mengherankan, Wong Pamungkas berubah pucat pasi di
tengah wajahnya yang berkulit pucat. Kemudian, bandit tengik
itu menggenjot bada.nnya, dan kabur sipat-kuping seperti tikus
dikejar kucing. Wulan Suminar bergerak hendak memburu, namun gurunya
mencegah: "Jangan. Kita harus tahu diri."
"Mengapa, Kanjeng Ibu? Bukankah ia amat jahat?" potong
muridnya tidak puas. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
169 "Kita berdua tak kan mampu menghadapi dia seorang. Aku
menguatirkan nasibmu yang masih muda. Untunglah datang
seorang tokoh sakti yang membuat Wong Pamungkas lintangpukang. Terima kasih, Pukulun," ucap Dewi Sekar Dadu
seraya membungkuk ke arah empat penjuru, ditujukan kepada
suara gaib yang tidak kelihatan orangnya tersebut.
Tiba-tiba suara itu meniawab sebelum gaung-nya lenyap sama
sekali. Suara itu berkata : "Lebih baik kalian membantu para
kadang Demak yang akan dijebak di makam Sunan
Sebolampar, tapi nanti justru akan berganti mengepung kaum
perusuh." Suara itu kedengaran makin jauh, kemudian gaib tanpa bekas.
"Siapa tokoh sakti itu, Kanjeng Dewi?" tanya Wulan Suminar
masih kebingungan. "Pada waktunya kelak engkau akan tahu. Sekarang belum
saatnya, demi menjaga peranan yang dipegangnya dalam
gerakan suci para ksatria Bintara Demak."
"Jadi, apa yang akan kita kerjakan sekarang?" tanya Wulan
Suminar masih penasaran. "Kaudengar saran pukulun tadi? Kita harus mendatangi
makam Sunan Sebolampar, barangkali ada yang dapat kita
lakukan," jawab sang guru.
Maka kedua perempuan tersebut segera ber-gerak menuju ke
tempat yang dimaksudkan, yang jaraknya tinggal beberapa
tombak lagi. Di sana, Jaka Pratama baru saja berkata kepada Mbah
Bungkuk di gubuknya: "Mbah, sebentar lagi kita akan dapat
tamu-tamu tidak diundang."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
170 "Jangan waswas, denmas. Biarpun Mbah tidak bisa
bertempur, tapi Mbah bukan penakut," jawab Mbah Bungkuk
yang punggungnya sudah membungkuk dimakan usia tuanya.
Konon Mbah Bungkuk dilahirkan pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk di Majapahit. Berarti sudah seratus tahun lebih
umurnya. Ketika itu gelap sudah mendekati dua pertiga
malam, yakni tatkala suara bernada tajam meng-hardik dari
sisi kanan gubuk Mbah Bungkuk.
"Hai, wong-wong persembunyian!" Glagah Wangi. Keluar kalian dari Jaka berbisik kepada Mbah Bungkuk, "Agak-nya mereka tidak
tahu, Mbah, bahwa di sini hanya terdapat saya sendirian."
"Ada berapa orang yang datang mengepung kita?" tanya
Mbah Bungkuk. "Dari bunyi tapak-tapak kaki yang sempat saya hitung, sekitar
dua belas atau tiga belas orang," sahut Jaka sambil
mengernyitkan jidat. "Apa tidak terlalu banyak bagimu?"
"Saya bakal kewalahan, Mbah, kalau kita tidak mengatur
siasat. Mungkin Mbah punya saran?" tanya Jaka, sementara
hatinya mengeluh, bahwa ia telah terperosok ke dalam
rencananya sendiri, betapapun rencana itu dilaksanakannya
dengan tujuan mulia, menyelamatkan kepentingan perjuangan
dan keselamatan Mbah Bungkuk.
Kakek tua itu berpikir sejenak, lantas men-jawab, "Biarkan aku
yang keluar sambil membawa bendera putih."
"Artinya kita menyerah?" sahut Jaka keberatan. Bukan karena
sok pahlawan, tetapi sekadar suatu kebimbangan, apakah
bukan merupakan kecurangan, jika sudah mengibarkan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
171 bendera putih namun secara diam-diam melakukan serangan
dari belakang? "Tidak. Yang menyerah bukan kita, aku. Sebab yang ditantang
adalah orang-orang Glagah Wangi, padahal aku asli kelahiran
Cuplak, dan tidak punya ikatan, apalagi menjadi anggota
gerakan para pejuang Glagah Wangi. Betul, kan?"
"Baiklah, Mbah, meskipun saya tidak berapa suka


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukannya," sahut Jaka sesudah ragu-ragu sebentar.
Kemudian tampak Mbah Bungkuk berbisik-bisik ke telinga
Jaka Pratama. Sesudah itu is membuka pintu. Di tangan
kanannya berkibar bendera putih dengan memanfaatkan
sorban hajinya. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
172 Yang mengepung rumah itu kebetulan segerombolan orangorang sombong. Mereka begitu percaya akan kekuatan
sendiri, dengan mengandalkan jaminan dari Wong
Pamungkas, bahwa pada saatnya yang tepat bala bantuan
bakal sudah siap di bagian belakang gubuk, untuk menjebak
musuh yang mencoba melarikan diri.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
173 Karena itu mereka hanya menyebar di sebelah depan dan
kedua sisi kanan serta kiri gubuk tersebut. Mereka tidak
memperhatikan kemungkinan lolosnya lawan dari belakang.
Dengan alasan yang sebetulnya masuk akal, yaitu bahwa di
bagian belakang tidak ada pintu keluar atau jendela sama
sekali. Ketika salah seorang anak buah ada yang bertanya tentang
masalah itu, agaknya sang pemimpin termasuk orang yang
tidak mau diganggu gugat kebijaksanaannya. Dengan keras is
menjawab: "Mau lari dari mana mereka? Lewat lubang semut? Dan lagi,
Liong Hitam, si Babah Liem Hoat Nyan, pasti sudah
menunggu bersama seluruh bawahannya di tempat itu."
Dan Mbah Bungkuk pun membuka pintu. Dan Jaka Pratama
pun membuka genting satu demi satu. Dan malam pun
merayap terus. Dan, dan, dan
Dan sekumpulan dan terangkai jadi satu menjalin peristiwa
demi peristiwa, mengubah warna sejarah. Begitu pendek dan
lugas kata "dan", namun memegang peranan utama dalam
memutar lembar demi lembar kisah perjalanan anak-anak
manusia di muka bumi. Kata "dan" itu pula yang kini
melibatkan Kiai Dolah Pekih ke dalam jebakan peristiwa tanpa
menemukan ujungnya. Lantaran pada waktu akibat kata "dan"
itu Kiai Dolah memasuki tambahan usianya lebih tua sehari
lagi manakala bunyi kentongan di gardu pelabuhan dipukul
dua belas kali, bertambah pula persoalan yang harus segera
diputuskan pemecahannya. Kakek tua itu mendekati Mbah Buyut untuk bertanya:
"Bagaimana saran Nyi Ageng terhadap masalah ini?"
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
174 Mbah Buyut tidak menjawab. Ia malah bertanya: "Kira-kira apa
yang akan Kiai lakukan seandainya Kiai adalah musuh
Demak?" Kali ini Kiai yang berpikiran dalam itu, terpojok tidak mengerti.
"Maksud Nyi Ageng?"
"Bukankah Liem Hoat Nyan mengumbar berita ke mana-mana
bahwa malam ini, jam satu nanti, ia akan mengirimkan
perlengkapan-perlengkapan penting ke pangkalan laut armada
Demak?" "Tentu saja maksudnya agar kita bergerak menuju yang
dikabarkannya itu," sahut Kiai Dolah Pekih dengan roman
muka sangat cerah, seperti jendela yang disingkap tirainya.
"Artinya berita itu hanya isapan jempol belaka?"
Mbah Buyut, yang dipanggil Nyi Ageng oleh Kiai Dolah Pekih,
merasa tidak perlu menjawab, sebab memang begitulah yang
diinginkan si Liong Hitam dari Hainan, saudara misan babah
Liem Goan Phok. Si kuncir itu memang orang yang boceng-lie,
yang tidak tahu membalas budi.
"Jadi?" desak Kiai.
"Kalian ingin melihat Wong Pamungkas mampus?" sahut Nyi
Ageng yang tiba-tiba wajahnya berubah kelam.
Ketika semua yang berada di ruangan itu saling memandang,
Mbah Buyut meluruskan punggungnya di kursi malas dan
memanggil cucunya, Putih Wewangi, agar duduk lebih dekat
kepadanya. "Dengarkan baik-baik, terutama engkau, Putih," ucap Mbah
Buyut, menekan. "Beberapa tahun yang lalu Wong
Pamungkas datang merengek-rengek kepada suamiku, Ki
Ageng Panataran, yang menjadi penasihat Prabu GirinBuku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
175 drawardhana dari Kediri. Ia mengemis-ngemis agar bisa
diterima sebagai salah seorang pembantunya. Suamiku, yang
melihat kecerdasan dan kelihaiannya, tanpa curiga
menyanggupinya." Semua terbeliak heran. Ternyata perempuan tua yang mereka
hadapi sekarang itu adalah istri punggawa tinggi mendiang
Girindrawardhana, musuh mereka dan .musuh pepunden
mereka. "Atas nasihat suamiku, sebetulnya Prabu Girindrawardhana
sudah akan membatalkan rencana jahatnya menyerang
Majapahit. Tetapi dengan kecerdasan dan kepandaian menjilat
dari Wong Pamungkas, mendiang Prabu Girindrawardhana
justru menuduh suamiku hendak berkhianat. Untung kami
mengetahuinya lebih awal, sehingga sebelum keputusan
hukuman mati dijalankan, kami sempat menyingkir
menyelamatkan diri."
Semua menggumam lega, tanpa lupa mengutuk kejahatan
Wong Pamungkas. "Lima tahun yang lalu kami berdua dihadang oleh Wong
Pamungkas dan anak buahnya, beberapa pendekar Tibet
yang lihai, di suatu kelokan antara dua bukit di luar perbatasan
Majapahit dengan Demak. Dalam pertempuran itu kami
tersudut. Tetapi dengan kuasa Tuhan, suamiku dapat merebut
wadi, atau rahasia kelemahan Wong Pamungkas, berupa
selembar kulit buaya putih untuk menutupi pusarnya. Di situlah
titik kematian Wong Pamungkas, yang hanya dapat dilindungi
oleh kulit tersebut apabila is tidak ingin menemui ajalnya.
Celakanya, sesudah peristiwa itu, suamiku bersumpah hendak
menjadi pertapa dengan pantang membunuh sesama
rnanusia. Kami bertengkar, tidak lagi sejalan, sebab aku masih
menginginkan nyawa Wong Pamungkas yang telah
menyengsarakan hidup kami. Untuk itu, pada suatu malam
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
176 aku berhasil mencuri wadi itu dari suamiku, dan pertengkaran
pun berkembang menjadi perpisahan hingga hari ini. Wong
Pamungkas rupanya sudah mengetahui bahwa wadi itu
berada padaku, makanya tadi ia mengerahkan kelicikannya
untuk menyatroni tempat ini. Tujuannya tidak lain, pasti ingin
merebut wadi buaya putih itu dari tanganku."
"Jadi?" tanya Putih Wewangi tidak tahan. Pertanyaan yang
belum diharapkan oleh lain-lainnya. Mereka cemberut, tapi
tidak sampai hati untuk mengomel.
"Wong Pamungkas hanya takut kepada suamiku, yang aku
sendiri tidak tahu beritanya hingga hari ini. Ia paham, aku tidak
punya daya apa-apa jika tidak dibantu oleh seseorang yang
ilmunya sebanding dengan suamiku."
"Karena itu?" lagi-lagi dengan konyol, begitulah anggapan
Pandu, Putih Wewangi bertanya penasaran.
"Berangkatlah kalian sekarang juga ke Cuplak. Aku yakin,
Si Gila Dari Muara Bangkai 1 Forgotten Eve Karya Phoebe Hati Yang Terberkahi 5
^